Proposal Tugas Pengenalan Profesi

45
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan global baik di negara maju dan terlebih di negara berkembang. Di Indonesia penyakit infeksi merupakan salah satu masalah penting yang menjadi perhatian dalam upaya peningkatan kesehatan, dari data statistik menunjukkan bahwa penyakit infeksi merupakan penyebab kematian kedua di negara berkembang termasuk Indonesia setelah penyakit jantung (Ridwan, 2012). Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak di negara berkembang. ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang dapat berlangsung sampai 14 hari, di mana secara klinis suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi terjadi di setiap bagian saluran pernapasan atau struktur yang berhubungan dengan saluran pernapasan dan berlangsung tidak lebih dari 14 hari (Depkes RI, 2002). Di Indonesia, ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke sarana kesehatan, yaitu 40-60% dari seluruh kunjungan ke puskesmas dan 15-30% dari seluruh kunjungan rawat jalan dan rawat inap RS. Jumlah episode ISPA di Indonesia diperkirakan 3-6 kali per tahun, tetapi berbeda antar daerah (Wantania, Roni dan Audrey, 2008). Mengingat tingginya kasus ISPA pada anak-anak di Indonesia, maka pada tugas pengenalan profesi blok respirasi ini penulis merasa perlu untuk membahas mengenai Infeksi 1

description

Ispa adalah infeksi saluran nafas akut

Transcript of Proposal Tugas Pengenalan Profesi

Page 1: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan global baik di negara

maju dan terlebih di negara berkembang. Di Indonesia penyakit infeksi merupakan salah

satu masalah penting yang menjadi perhatian dalam upaya peningkatan kesehatan, dari

data statistik menunjukkan bahwa penyakit infeksi merupakan penyebab kematian kedua

di negara berkembang termasuk Indonesia setelah penyakit jantung (Ridwan, 2012).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian

tersering pada anak di negara berkembang. ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang

dapat berlangsung sampai 14 hari, di mana secara klinis suatu tanda dan gejala akut akibat

infeksi terjadi di setiap bagian saluran pernapasan atau struktur yang berhubungan dengan

saluran pernapasan dan berlangsung tidak lebih dari 14 hari (Depkes RI, 2002).

Di Indonesia, ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke

sarana kesehatan, yaitu 40-60% dari seluruh kunjungan ke puskesmas dan 15-30% dari

seluruh kunjungan rawat jalan dan rawat inap RS. Jumlah episode ISPA di Indonesia

diperkirakan 3-6 kali per tahun, tetapi berbeda antar daerah (Wantania, Roni dan Audrey,

2008).

Mengingat tingginya kasus ISPA pada anak-anak di Indonesia, maka pada tugas

pengenalan profesi blok respirasi ini penulis merasa perlu untuk membahas mengenai

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada anak di Lingkungan Tempat Tinggal.

Tugas pengenalan profesi ini mengharuskan mahasiswa untuk turun langsung ke

lapangan dan berinteraksi dengan masyarakat sehingga akan menambah pengalaman

mahasiswa dalam observasi lapangan.

1.2 Rumusan Masalah

Berikut adalah rumusan masalah dalam tugas pengenalan profesi kali ini:

1. Apa saja faktor risiko dari ISPA pada pasien?

2. Bagaimana manifestasi klinis yang terdapat pada pasien?

3. Bagaimana pencegakkan diagnosis pada pasien?

4. Bagaimana penatalaksanaan yang sudah dilakukan pada pasein?

5. Bagaimana pencegahan yang dilakukan agar penyakit tidak berulang pada pasien?

6. Adakah pemeriksaan penunjang yang sudah dilakukan?

1

Page 2: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mahasiswa mampu:

1. Mengetahui infeksi saluran pernapasan akut yang paling sering terjadi pada

anak-anak.

2. Memenuhi kewajiban tugas pengenalan profesi demi mencapai kelulusan blok

XI.

1.3.2 Tujuan Khusus

Mahasiswa mampu:

1. Menjelaskan menjelaskan faktor risiko ISPA pada pasien.

2. Menjelaskan manifestasi klinis yang terdapat pada pasien serta perjalanan

penyakitnya.

3. Menjelaskan cara penegakkan diagnosis pada pasien.

4. Menjelaskan penatalaksanaan yang sudah dilakukan pada pasien.

5. Menjelaskan pencegahan yang dapat dilakukan agar penyakit tidak berulang pada

pasien.

6. Menjelaskan ada atau tidak pemeriksaan penunjang yang sudah dilakukan.

1.4 Manfaat

Berikut ini adalah manfaat dari tugas pengenalan profesi kali ini:

1. Menambah ilmu tentang embriologi, anatomi, fisiologi dan mekanisme pertahanan

sistem respirasi.

2. Menambah ilmu tentang definisi, klasifikasi, epidemiologi, etiologi faktor risiko,

manifestasi klinis, cara penularan dan pencegahan ISPA.

3. Menambah pengalaman dalam observasi lapangan terhadap pasien ISPA anak secara

langsung.

2

Page 3: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Embriologi dan Perkembangan Sistem Respirasi

Menurut Jeremy, dkk (2008), asal embriologis paru adalah endoderm primitif usus

depan (foregut), yang akhirnya membentuk epitel dan kelenjar-kelenjar laring, trakea dan

paru, serta mesoderm splanknik yang membentuk kartilago, otot polos, parenkim paru dan

jaringan ikat. Seperti umumnya banyak organ glandular, paru berkembang melalui

morfogenesis percabangan, dengan pertunasan dan percabangan endoderm/epitel ke dalam

mesoderm. Proses tersebut memerlukan pemberian sinyal resiprokal di antara epitel dan

mesoderm, dengan mesoderm terutama berperan untuk pemrograman perkembangan

epitel yang berdekatan menjadi struktur-struktur yang relevan. Banyak molekul yang

memberi sinyal penting untuk orkestrasi morfogenesis percabangan selama perkembangan

paru, termasuk faktor-faktor pertumbuhan seperti faktor pertumbuhan fibroblas (fibroblast

growth factor; FGF), faktor pertumbuhan epidermal (epidermal growth factor, EGF) dan

faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit (platelet-derived growth factor, PDGF);

faktor pertumbuhan endotelial vaskuler (vascular endothelial growth factor, VEGF)

penting untuk perkembangan pembuluh darah paru. Perkembangan sistem respirasi

biasanya dibagi menjadi lima tahap atau periode, yaitu periode embrionik,

pseudoglandular, kanalikular, sakular dan alveolar.

Gambar 1. Embriologis Paru

3

Page 4: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

2.1.1 Periode Embrionik

Cabang trakeobronkial berasal dari saluran laringotrakeal, di bawah

kantong faringeal IV pada ujung (ekor) kaudal faring primordial. Saluran

laringotrakeal mulai tampak sesaat sebelum minggu keempat perkembangan,

setelah jantung mulai berdenyut. Pada akhir minggu ke-4, ujungnya bercabang

dua menjadi dua tunas bronkial, progenitor-progenitor dua bronkus utama dan

cabang bronkial (Jeremy dkk, 2008).

Gambar 2. Tunas Bronkial

2.1.2 Periode Pseudoglandular (minggu ke 5 – 17)

Menurut Jeremy, dkk (2008), saat ini tunas bronkial telah berkembang

menjadi celah primordial dan bronkus primer sedikit lebih besar, yang akhirnya

dibagi oleh morfogenesis percabangan menjadi lima bronkus sekunder (tiga

kanan, dua kiri). Pada minggu ketujuh, bagian tersebut mulai bercabang secara

progresis menjadi 10 (kanan) atau delapan sampai Sembilan (kiri) bronkus

segmental (tersier), masing-masing akhirnya membentuk segmen

bronkopulmonal. Pada minggu ke-17, sebagian besar struktur utama paru telah

terbentuk dan dilapisi oleh sel-sel epitel kulumnar. Terdapat pembuluh darah

konduktan, tetapi permukaan pertukaran gas masih belum berkembang sehingga

janin yang dilahirkan selama periode ini tidak dapat hidup.

Gambar 3. Morfogenesis Percabangan

4

Page 5: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

2.1.3 Periode Kanalikular (minggu ke 16 – 25)

Kartilago bronkial, otot polos, kapiler paru dan jaringan ikat berkembang

dari mesoderm. Terjadi diferensiasi progresif dan penipisan sel-sel epitel. Bronkus

akan mengalami subdivisi sampai 17 kali setelah 24 minggu, yang akhirnya

membentuk bronkiolus respiratorius yang membagi dengan sendirinya menjadi

tiga sampai enam duktus alveolares dan beberapa sakus terminalis berdinding

tipis. Semuanya dilapisi oleh pneumosit alveolar tipe I yang sangat tipis (sel

skuamosa), yang bersama-sama dengan sel endotelial dari kapiler membentuk

membran alveolakapiler (permukaan pertukaran gas). Terdapat beberapa

pneumosit tipe II, yaitu sel-sel epitel sekretori yang menghasilkan surfaktan.

Surfaktan tersebut mengurangi tegangan permukaan dan memungkinkan ekspansi

sakus terminalis/alveolus, tetapi meskipun ada dalam jumlah kecil dari minggu

ke-20, tetap saja tidak cukup menunjang pernapasan yang tidak dibantu sampai

setelah 26 minggu. Beberapa pertukaran gas dapat terjadi pada akhir periode ini,

karena terdapat sakus terminalis berdinding tipis maupun vaskularisasi yang baik,

tetapi tingkat umum imaturitas mempunyai arti bahwa janin yang lahir akhir

minggu ke-24 secara normal akan meninggal meskipun mendapatkan perawatan

intensif (Jeremy dkk, 2008).

2.1.4 Periode Sakular (minggu ke 24 sampai partus)

Menurut Jeremy, dkk (2008), Pada periode ini terjadi perkembangan cepat

jumlah sakus terminanlis dan jalinan kapiler pulmonal dan kapiler limfatik.

Surfaktan dan vaskularisasi yang cukup terbentuk dalam keadaan normal antara

minggu ke-24 sampai minggu ke-26 sehingga memungkinkan beberapa janin

prematur tetap hidup, meskipun sangat bervariasi. Surfaktan betambah secara

signifikan dalam dua minggu sebelum lahir.

2.1.5 Periode Alveolar (akhir masa janin sampai masa kanak-kanak)

Kelompok alveolus imatur terbentuk selama bagian awal periode ini,

alveolus tipe matur dalam septum-septum interalveolar dan permukaan pertukaran

gas tidak tampak sampai setelah lahir. Gerakan pernapasan janin ada sebelum

lahir, dengan aspirasi cairan amniotik dan hal tersebut merangsang pertumbuhan

paru dan pengkondisian otot respirasi. Perkembangan paru terganggu jika

pernapasan janin tidak ada, cairan amniotik tidak adekuat (oligohidramnion), atau

ruang untuk pertumbuhan paru tidak ada. Penambahan ukuran paru pada lebih

5

Page 6: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

dari 3 tahun pertama terutama disebabkan oleh penambahan jumlah alveolus dan

bronkus respiratorius. Setelah itu, baik jumlah maupun ukuran alveolus

bertambah. Lebih dari 90 % alveolus terbentuk setelah lahir, yang mencapai

maksimum setelah 7-8 tahun. Pada akhir perkembangan paru, terdapat sekitar 23

generasi jalan napas, dengan sekitar 17 juta cabang (Jeremy dkk, 2008).

2.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi

2.2.1 Anatomi Sistem Respirasi

Gambar 4. Anatomi Sistem Respirasi

A. Hidung

Menurut Snell (2006), hidung terdiri atas nasus externus (hidung luar)

dan cavum nasi. Nasus externus mempunyai ujung yang bebas, yang

dilekatkan ke dahi melalui radix nasi atau jembatan hidung. Lubang luar

hidung adalah kedua nares atau lubang hidung. Setiap naris dibatasi di lateral

oleh ala nasi dan di medial oleh septum nasi.

Rangka nasus externus dibentuk di atas oleh os. nasale, processus

frontalis ossis maxillaries dan pars nasalis ossis frontalis. Di bawah rangka ini

dibentuk oleh lempeng-lempeng tulang rawan, yaitu kartilago nasi superior dan

inferior serta kartilago septi nasi (Snell, 2006).

Cavum nasi merupakan rongga yang dipisahkan oleh septum. Lubang

depan disebut sebagai nares anterior dan lubang belakang merupakan koana

yang memisahkan antara cavum nasi dengan nasofaring. Septum dilapisi oleh

perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang

6

Page 7: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

sedangkan bagian luar dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian dari cavum nasi

yang tepat berada di belakang nares anterior disebut vestibulum, yang

mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang. Dasar

rongga hidung melekat dengan palatum durum dan sebagian besar dari atap

hidung dibentuk oleh epitel olfaktorius dan lamina kribiformis os ethmoidalis,

yang memisahkannya dengan rongga tengkorak (Boediman dan Muljono,

2008).

Cavum nasi memiliki 4 dinding dan pada dinding lateralnya terdapat 3

buah konka, yaitu konka superior, konka media dan konka inferior. Rongga

yang terletak di antara konka disebut sebagai meatus. Bergantung pada

letaknya, meatus dibagi menjadi 3, yaitu meatus inferior, medius dan superior.

Meatus inferior terletak di antara konka inferior dan dasar hidung dengan

dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus

nasolakrimalis. Meatus medius terletak di bawah konka medius dan merupakan

saluran yang penting karena hampir seluruh sinus bermuara di saluran ini, yang

kemudian membentuk osteo-meatal kompleks. Adanya kelainan pada daerah

ini dapat mengganggu ventilasi dan bersihan mukosiliar sehingga

mempermudah terjadinya rinosinusitis. Meatus superior merupakan muara dari

sinus spenoidalis (Boediman dan Muljono, 2008).

Cavum nasi merupakan saluran respiratori primer pada saat bernapas.

Saat bernapas dengan menggunakan pernapasan hidung, terdapat tahanan

sebesar lebih dari 50 %, dari seluruh tahanan pada saluran respiratori. Tahanan

tersebut dua kali lipat lebih banyak bila dibandingkan dengan pernapasan

mulut (Boediman dan Muljono, 2008).

B. Faring

Menurut Boediman dan Muljono (2008), faring memiliki 3 bagian yang

terdiri dari nasofaring yaitu bagian yang langsung berhubungan dengan cavum

nasi, kemudian dilanjutkan dengan orofaring dan terakhir adalah laringofaring.

Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas,

belakang dan lateral, yang secara anatomi termasuk bagian faring. Orofaring

yang merupakan bagian kedua faring, setelah nasofaring, dipisahkan oleh otot

membranosa dari palatum lunak. Yang termasuk bagian orofaring adalah dasar

lidah (1/3 posterior lidah), valekula, palatum, ovula, dinding lateral faring

termasuk tonsila palatine serta dinding posterior faring. Laringofaring

merupakan bagian faring yang dimulai dari lipatan faringoepiglotika ke arah

7

Page 8: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

posterior, inferior terhadap esofagus segmen atas (Boediman dan Muljono,

2008).

C. Laring

Menurut Snell (2006), laring adalah organ khusus yang mempunyai

sphincter pelindung pada pintu masuk jalan napas dan berfungsi dalam

pembentukan suara (fonasi). Di atas laring terbuka ke dalam laringofaring dan

di bawah laring berlanjut sebagai trakea.

Kerangka laring dibentuk oleh beberapa kartilago yang dihubungkan

oleh membrana dan ligamentum dan digerakan oleh otot. Laring dilapisi oleh

membrana mukosa (Snell, 2006).

Epiglotis merupakan kartilago yang berbentuk seperti lembaran, yang

melekat pada dasar lidah dan kartilago tiroid. Kartilago tiroid merupakan

struktur kartilago yang terbesar pada laring, yang membentuk jakun (Adam’s

Apple). Kartilago tiroid terdiri atas 2 sayap atau alae yang bergabung pada

garis tengah anterior dan meluas ke arah belakang. Pada bagian depan terdapat

tonjolan yang disebut thyroid notch. Pada bagian belakang terdapat 2 prosesus,

yaitu prosesus superior dan inferior. Kartilago krikoid melekat pada daerah

posterior inferior. Pada bagian depan, kartilago krikoid disatukan oleh

membrane krikotiroid. Kartilago krikoid merupakan tulang rawan yang

berbentuk cincin penuh. Kartilago aritenoid merupakan bagian dari laring yang

berperan pada pergerakan pita suara. Kartilago ini terletak di belakang

kartilago tiroid dan merupakan kartilago paling bawah dari laring. Di setiap

sisi kartilago krikoid, terdapat ligamentum krikoaritenoid, otot krikoartitenoid

lateral dan otot krikoaritenoid posterior (Boediman dan Muljono, 2008).

Pada bagian dalam laring terdapat 2 lipatan yang menyatu pada bagian

depan serta memiliki mukosa yang berwarna merah. Lipatan ini disebut

sebagai pita suara palsu. Pada bagian bawah lipatan terdapat ruang yang

disebut sebagai ventrikel. Bibir bawah ventrikel dibentuk oleh otot yang

disebut sebagai pita suara asli. Bagian anterior pita suara asli melekat pada

garis tengah sampai permukaan posterior kartilago tiroid dan bagian posterior

pita suara melekat pada kartilago aritenoid. Pada bagian bawah pita suata

terdapat bagian tersempit dari laring yaitu celah subglotis yang membentang

pada membran krikotiroid (Boediman dan Muljono, 2008).

8

Page 9: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

D. Trakea, Brokus dan Bronkiolus

Menurut Boediman dan Muljono (2008), trakea merupakan bagian dari

saluran respiratori yang bentuknya menyerupai pipa serta memanjang mulai

dari bagian inferior laring, yaitu setinggi servikal 6 sampai daerah

percabangannya (bifurcatio) yaitu antara torakal 5-7. Panjangnya sekitar 9-15

cm. Trakea terdiri dari 15-20 kartilago hyaline yang berbentuk huruf C dengan

bagian posterior yang tertutup oleh otot. Bentuk tersebut dapat mencegah

trakea untuk kolaps. Adanya serat elastin longitudinal pada trakea,

menyebabkan trakea dapat melebar dan menyempit seusai dengan irama

pernapasan. Trakea mengandung banyak reseptor yang sensitive terhadap

stimulus mekanik dan kimia. Otot trakea yang terletak pada bagian posterior

mengandung reseptor yang berperan pada regulasi kecepatan dan dalamnya

pernapasan.

Trakea terbagi menjadi 2 bronkus utama, yaitu bronkus utama kanan

dan kiri. Bronkus utama kanan memiliki rongga yang lebih sempit dan lebih

horizontal bila dibandingkan dengan bronkus utama kiri. Hal tersebut

menyebabkan benda asing lebih mudah masuk ke paru kanan daripada kiri.

Trakea dan bronkus terdiri dari kartilago dan dilapisi oleh epiter bersilia yang

mengandung mukus dan kelenjar serosa. Bronkus kemudian akan bercabang

menjadi bagian yang lebih kecil dan halus yaitu bronkiolus. Bronkiolus dilapisi

oleh epitel bersilia namun tidak mengandung kelenjar serta dindingnya tidak

mengandung jaringan kartilago (Boediman dan Muljono, 2008).

E. Alveolus

Menurut Boediman dan Muljono (2008), bronkiolus berakhir pada

suatu struktur yang menyerupai kantung, yang dikenal dengan nama alveolus.

Alveolus terdiri dari lapisan epitel dan matriks ekstraseluler yang dikelilingi

oleh pembuluh darah kapiler. Alveolus mengandung 2 tipe sel utama, yaitu sel

tipe 1 yang membentuk struktur dinding alveolus dan sel tipe 2 yang

menghasilkan surfaktan. Alveolus memiliki kecenderungan untuk kolaps

karena ukurannya yang kecil, bentuknya yang sferikal dan adanya tegangan

permukaan. Namun hal tersebut dapat dicegah dengan adanya fosfolipid, yang

dikenal dengan nama surfaktan dan pori-pori pada dindingnya.

Alveolus berdiameter 0,1 mm dengan ketebalan dinding hanya 0,1 µm.

Pertukaran gas terjadi secara difusi pasif dengan bergantung pada gradien

konsentrasi. Setiap paru mengandung lebih dari 300 juta alveolus. Setiap

9

Page 10: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

alveolus dikelilingi oleh sebuah pembuluh darah (Boediman dan Muljono,

2008).

2.2.2 Fisiologi Sistem Respirasi

Menurut Djojodibroto (2009), respirasi adalah suatu proses pertukaran gas

antara organisme dengan lingkungan, yaitu pengambilan oksigen dan eliminasi

karbondioksida. Respirasi eksternal adalah proses pertukaran gas (O2 dan CO2)

antara alveoli dengan kapiler pulmonal sedangkan respirasi internal adalah proses

pertukaran gas (O2 dan CO2) antara kapiler sistemik dengan jaringan.

Situasi faal paru seseorang dikatakan normal jika hasil kerja proses

ventilasi, distribusi, perfusi, difusi, serta hubungan antara ventilasi dengan perfusi

pada orang tersebut dalam keadaan santai menghasilkan tekanan parsial gas darah

arteri (PaO2 dan PaCO2) yang normal. Yang dimaksud dengan santai adalah

keadaan ketika jantung dan paru tanpa beban kerja berat (Djojodibroto, 2009).

Ventilasi meliputi volume udara yang bergerak masuk dan keluar dari

hidung atau mulut pada proses bernapas. Setelah proses ventilasi, udara yang telah

memasuki saluran napas didistribusikan ke seluruh paru, kemudian masuk ke

dalam alveoli. Perfusi paru adalah sirkulasi darah di dalam pembuluh darah

kapiler paru. Difusi yang terjadi di dalam paru adalah perpindahan molekul

oksigen dari rongga alveoli melintasi membrana kapiler alveolar, kemudian

melintasi plasma darah, selanjutnya menembus sel darah merah dan akhirnya

masuk ke interior sel darah merah hingga berikatan dengan hemoglobin

(Djojodibroto, 2009).

10

Page 11: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

2.3 Mekanisme Pertahanan Sistem Respirasi

Gambar 5. Mekanisme Pertahanan Paru

Menurut Jeremy, dkk (2008), inhalasi udara juga memungkinkan masuknya debu,

partikel iritan dan patogen. Area permukaan paru yang sangat luas menyebabkan banyak

kemungkinan mengalami kerusakan akibat benda asing tersebut. Lingkungan lembab dan

hangat merupakan kondisi ideal untuk perkembangan bakteri dan lain-lain. Namun,

saluran napas memiliki suatu kisaran mekanisme pertahanan yang kuat. Disfungsi

mekanisme tersebut mendasari timbulnya penyakit respirasi.

2.3.1 Pertahanan Fisik dan Fisiologis

Cavum nasi dan nasofaring berperan sebagai sawar fisik terhadap partikel-

partikel dengan ukuran > 10 µm, dalam bentuk rambut dan mukus yang menjadi

tempat perlekatan partikel-partikel. Transpor mukosilier pada akhirnya

memindahkan partikel-partikell tersebut ke faring, kemudian ditelan. Hanya

partikel yang < 5 µm biasanya kemudian masuk melewati trakea. Nasofaring juga

memiliki fungsi sebagai penghangat dan pelembab penting bagi udara inhalasi,

sehingga mencegah kekeringan epitel. Partikel iritan dalam hidung dan trakea

yang diinhalasi atau dibawa dari regio distal melalui transpor mukosilier

merangsang reseptor iritan, yang mencetuskan bersin dan batuk untuk

mengeluarkan benda asing (Jeremy dkk, 2008).

2.3.2 Sekresi Jalan Napas dan Mukus

11

Page 12: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

Menurut Jeremy, dkk (2008), epitel respiratori dilapisi oleh 5-10 µm

lapisan mukus gelatinosa (fase gel) yang mengambang pada suatu lapisan cair

yang sedikit lebih tipis (fase sol). Silia pada sel-sel epitel berdenyut secara

sinkron, sehingga ujungnya dijumpai fase gel dan menyebabkannya bergerak ke

arah mulut, membawa partikel dan debris seluler bersamanya (transpor

mukosilier).

Waktu yang diperlukan mukus dari bronkus besar untuk mencapai faring

adalah sekitar 40 menit dan dari bronkiolus respiratorius perlu beberapa hari

(Jeremy dkk, 2008).

Mukus dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar submukosa.

Unsur utamanya adalah glikoprotein kaya karbohidrat yang disebut dengan musin

yang memberikan sifat seperti gel pada mukus (Jeremy dkk, 2008).

Menurut Jeremy, dkk (2008), lisozim disekresi dalam jumlah besar pada

jalan napas dan memiliki sifat anti-jamur dan bakterisidal; enzim tersebut

memberikan imunitas non-spesifik pada saluran napas.

Imunoglobulin A sekretori (IgA) adalah immunoglobulin utama dalam

sekresi jalan napas serta dengan IgM dan IgG mengaglutinasi dan mengopsonisasi

partikel antigenik; IgA juga menahan perlekatan mikroba ke mukosa (Jeremy dkk,

2008).

2.3.3 Makrofag Paru

Menurut Jeremy, dkk (2008), makrofag adalah fagosit mononuklear yang

ditemukan di sepanjang saluran napas. Makrofag bekerja sebagai sentinel dalam

jalan napas, yang memberikan proteksi halus melawan mikroorganisme yang

diinhalasi serta partikel lain dengan fagositosis dan produksi agen-agen

antimikroba poten yang meliputi spesies oksigen reaktif.

Epitel alveolar tidak memiliki silia, sehingga makrofag alveolar

merupakan kunci untuk membuang materi dan merupakan sel utama yang ada

dalam alveoli. Makrofag alveolar ini juga dapat bekerja sama dengan sel-sel dan

zat-zat lain yang memberikan respon imun (Jeremy dkk, 2008).

2.4 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Anak

12

Page 13: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

2.4.1 Definisi

ISPA adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari

saluran pernafasan mulai dari hidung hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya

seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Nelson, 2003).

Menurut Depkes RI (2004), Infeksi Saluran Pernapasan Akut sering

disingkat dengan ISPA, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris

Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi,

saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai berikut:

1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh

manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

2. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta

organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA

secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran pernapasan

bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran

pernapasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran

pernapasan (respiratory tract).

3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.

Dengan demikian ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang dapat

berlangsung sampai 14 hari, di mana secara klinis suatu tanda dan gejala akut

akibat infeksi terjadi di setiap bagian saluran pernapasan atau struktur yang

berhubungan dengan saluran pernapasan dan berlangsung tidak lebih dari 14 hari.

2.4.2 Klasifikasi

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dapat diklasifikasikan sebagai

berikut:

1. Klasifikasi ISPA Berdasarkan Lokasi Anatomi

Menurut Wantania, Roni dan Audrey (2008), berdasarkan lokasi anatomisnya

ISPA digolongkan menjadi infeksi saluran pernapasan atas akut dan infeksi

saluran pernapasan bawah akut.

a. Infeksi Saluran Pernapasan atas Akut

Infeksi saluran pernapasan atas akut adalah infeksi primer respiratori di

atas laring. Infeksi saluran pernapasan atas akut terdiri dari rhinitis,

faringitis, tonsillitis, rhinosinusitis dan otitis media (Wantania, Roni dan

Audrey, 2008).

1) Rhinitis (common cold)

13

Page 14: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

Rhinitis atau dikenal juga sebagai common cold, coryza, cold atau

selesma adalah salah saru dari penyakit infeksi saluran pernapasan atas

akut tersering pada anak. Rhinitis ditandai dengan pilek, bersin, hidung

tersumbat, iritasi tenggorokan dan dapat disertai dengan atau tanpa

demam. Gejala lain meliputi nyeri tenggorokan, batuk, rewel, gangguan

tidur dan penurunan nafsu makan. Pada pemeriksaan fisik tidak

menunjukkan tanda yang khas, tetapi dapat dijumpai edema dan

eritema mukosa hidung serta limfadenopati servikal anterior (Naning,

Rina dan Amalia, 2008).

Hampir semua rhinitis disebabkan oleh virus. Virus penyebab tersering

adalah Rhinovirus, sedangkan virus lain adalah virus parainfluenza,

Respiratory Syncytil Virus (RSV) dan Coronavirus. Dengan demikian,

antibiotik tidak diperlukan dalam tatalaksana rhinitis. Hanya dalam

keadaan tertentu saja bakteri berperan dalam rhinitis yaitu jika

merupakan bagian dari faringitis seperti pada rhinofaringitis atau

nasofaringitis (Naning, Rina dan Amalia, 2008).

2) Faringitis dan Tonsilitis

Faringitis dan tonsilitis akut sebagian besar disebabkan oleh virus, yaitu

adenovirus, rhinovirus, coronavirus, dan influenza. Penyebab infeksi

bakteri adalah Streptococci B, Streptococcus pneumoniae, dan

Haemophilus influenza (Chapman dkk, 2005).

Manifestasi klinis adalah nyeri tenggorokan, yang biasanya bersifat

self-limiting. Gejala klinis yang lain muncul adalah demam, malaise,

lymphadenopathy, conjunctivitis, sakit kepala, mual, dan muntah.

Penatalaksanaan biasanya bersifat supportif, tetapi penggunaan

antibiotik bisa mengurangi komplikasi yang terjadi misalnya sinusitis

dan demam rematik. Penatalaksanaan awal adalah penicilin atau

makrolida (Chapman, 2005).

3) Sinusitis

Sinus paranasal umumnya steril, ia berhubungan dengan hidung,

sehingga rentan untuk mengalami infeksi. Mukosiliar membersihkan

drainase sinus, jika terjadi blokade dari drainase maka akan rentan

mengalami infeksi bakteri. Awalnya sinusitis diawali dengan batuk

pilek, atau infeksi gigi. Gejala klinis yang dialami pasien adalah

demam dan nyeri sinus, yang diperburuk dengan posisi condong ke

14

Page 15: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

depan. Sinusitis akut adalah radang pada sinus paranasal yang terjadi

kurang dari 3 bulan (Chapman, 2005).

Secara epidemiologi, sinusitis akut muncul 1 dari 200 kasus infeksi

saluran napas atas yang akut di dunia. Etiologi yang paling sering

dialami adalah virus dan bakteri. Virus akan mengganggu barrier dari

mukosa sehingga memproduksi eksudat dengan disertai infeksi

bakterial sekunder. Etiologi dari bakteri yang tersering adalah S.

Pneumoniae, H. Influenzae, S. aureus dan S. Pyogenes (Chapman,

2005).

4) Otitis Media

Otitis media adalah suatu inflamasi telinga tengah berhubungan dengan

efusi telinga tengah, yang merupakan penumpukan cairan di telinga

tengah. Otitis media akut paling sering terjadi pada anak-anak dan

termasuk diagnosis yang paling sering pada anak dengan gejala panas.

Membran timpani yang cembung merupkan salah satu tanda kecurigaan

terhadap otitis media (Dadiyanto, 2008).

Gejala dapat diawali dengan infeksi saluran napas yang kemudian

disertai keluhan nyeri telinga, demam dan gangguan pendengaran. Pada

bayi gejala ini dapat tidak khas sehingga gejala yang timbul seperti

iritabel, diare, muntah, malas minum dan sering menangis. Pada anak

yang lebih besar keluhan biasanya rasa nyeri dan tidak nyaman pada

telinga (Dadiyanto, 2008).

b. Infeksi Saluran Pernapasan bawah Akut

Infeksi saluran pernapasan bawah akut adalah infeksi dari laring ke bawah.

Infeksi saluran pernapsan bawah akut terdiri dari epiglotitis, croup

(laringotrakeobronkitis), bronkitis, bronkiolitis dan pneumonia (Wantania,

Roni dan Audrey, 2008).

1) Epiglotitis

Epiglotitis merupakan infeksi yang sangat serius dari epiglotis dan

struktur supraglotis, yang berakibat obstruksi jalan napas akut dan

menyebabkan kematian jika tidak diobati. Epiglotitis hampir selalu

disebabkan oleh Haemophilus influenza tipe B. Penyebab lain adalah

Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae dan lain-lain

(Yangtjik dan Fatimah, 2008).

15

Page 16: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

Gambaran klinis epiglotitis antara lain demam tinggi, tidak selalu batuk

(batuk jarang), disfagia berat, dispnea, drooling dan gambaran

radiologis Positive thumb sign (Yangtjik dan Fatimah, 2008).

2) Croup Syndrome (Laringotrakeobronkitis Akut)

Croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu grup penyakit

heterogen yang mengenai laring, infra/subglotis, trakea dan bronkus.

Karakteristik sindrom croup adalah batuk yang menggonggong, suara

serak, stidor inspirasi dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas.

(Yangtjik dan Dwi, 2008).

Virus penyebab tersering sindrom croup (sekitar 60% kasus) adalah

Human Parainfluenza virus type 1 (HPIV-1), HPIV-2,3 dan 4, virus

influenza A dan B, Adenovirus, Respiratory Syncytial Virus (RSV) dan

virus campak. Meskipun jarang, pernah juga ditemukan Mycoplasma

pneumonia (Yangtjik dan Dwi, 2008).

Manifestasi klinis biasanya didahului dengan demam yang tidak begitu

tinggi selama 12-72 hari, hidung berair, nyeri menelan dan batuk

ringan. Kondisi ini akan berkembang menjadi batuk nyaring, suara

menjadi parau dan kasar. Gejala sistemik yang berkembang seperti

demam, malaise. Bila keadaan berat dapat terjadi sesak napas, stidor

inspiratorik yang berat, retraksi, anak tampak gelisah, dan akan

bertambah berat pada malam hari. Gejala puncak terjadi pada 24 jam

pertama hingga 48 jam. Biasanya perbaikan akan tampak dalam waktu

satu minggu. Anak akan sering menangis, rewel dan akan merasa

nyaman jika duduk di tempat tidur atau digendong (Yangtjik dan Dwi,

2008).

3) Bronkitis

Bronkitis akut merupakan peradangan akut membrane mukosa bronkus

disebabkan oleh infeksi mikroorganisme. Penyebab yang paling sering

adalah virus influenza, parainfluenza, adenovirus serta rhinovirus.

Bakteri yang sering menjadi penyebab adalah Mycoplasma pneumonia,

tetapi biasanya bukan merupakan infeksi primer (Djojodibroto, 2009).

Manifestasi klinis biasanya didahului oleh gejala infeksi saluran

pernapasan bagian atas seperti hidung buntu (stuffy), pilek (runny nose)

dan sakit tenggorokan. Batuk yang bervariasi dari ringan sampai berat,

biasanya dimulai dengan batuk yang tidak produktif. Batuk ini sangat

16

Page 17: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

mengganggu di waktu malam. Udara dingin, banyak bicara, napas

dalam serta tertawa akan merangsang terjadinya batuk. Pasien akan

mengeluh ada nyeri retrosternal dan rasa gatal pada kulit. Setelah

beberapa hari akan terdapat produksi sputum yang banyak; dapat

bersifat mukus tetapi dapat juga mukopurulen. Peradangan bronkus

biasanya menyebabkan hiperreaktivitas saluran pernapasan yang

memudahkan terjadinya bronkospasme (Djojodibroto, 2009).

4) Bronkiolitis

Bronkiolitis adalah penyakit infeksi saluran pernapasan bawah akut

yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. Umumnya,

infeksi tersebut disebabkan oleh virus. Sekitar 95% dari kasus tersebut

secara serologis terbukti disebabkan oleh invasi RSV. Secara klinis

ditandai dengan periode pertama wheezing pada bayi yang didahului

dengan gejala ISPA (Naning, Hadianto dan Amalia, 2008).

Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Berdasarkan anamnesis, gejala awal berupa gejala ISPA akibat virus,

seperti pilek ringan, batuk dan demam. Satu hingga dua hari kemudian

timbul batuk yang disertai dengan sesak napas. Selanjutnya dapat

ditemukan wheezing, sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi,

muntah setelah batuk, rewel dan penurunan nafsu makan. Pemeriksaan

fisik pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah adanya

takipnea, takikardi dan peningkatan suhu di atas 38,5oC. Selain itu,

dapat juga ditemukan konjungtivitis dan faringitis. Obstruksi saluran

pernapasan bawah akibat respon inflamasi akut akan menimbulkan

gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha pernapasan

yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan

napas cuping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu, dapat juga

ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat

terjadi dan bila gejala menghebat dapat terjadi apnea, terutama pada

bayi berusia < 6 minggu. Untuk menemukan RSV dilakukan kultur

virus, rapid antigen detection tests (direct immunofluoresence assay

dan enzyme-linked immunosorbent assay, ELISA) atau polymerase

chain reaction (PCR) dan pengukuran titer antibody pada fase akut dan

konvalesens (Naning, Hadianto dan Amalia, 2008).

17

Page 18: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

5) Pneumonia

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Etiologi

pneumonia pada neonates dan bayi kecil meliputi Streptococcus grup B

dan bakteri Gram negatif seperti E. colli, Pseudomonas sp, atau

Klesiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia

sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae,

Haemophilus influenza tipe B dan Staphylococcus aureus, sedangkan

pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering

juga ditemukan Mycoplasma pneumoniae (Said, 2008).

Menurut Said (2008), gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak

bergantung pada berat-ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah

sebagai berikut:

a. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise,

penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual,

muntah atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi

ekstrapulmoner.

b. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada,

takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih dan sianosis.

2. Klasifikasi ISPA Menurut Depkes RI

Menurut Depkes RI (2002), klasifikasi ISPA dibagi berdasarkan tingkat berat

ringannya.

a. ISPA Ringan

Seseorang dinyatakan menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala

batuk pilek dan sesak.

b. ISPA Sedang

Seseorang dinyatakan menderita ISPA sedang apabila timbul gejala sesak

napas, suhu tubuh lebih dari 39oC dan bila bernapas mengeluarkan suara

seperti mengorok.

c. ISPA Berat

Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat apabila kesadaran menurun,

nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung nadi

membiru (sianosis) dan gelisah.

18

Page 19: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

3. Klasifikasi ISPA Menurut WHO

Berikut ini adalah klasifikasi ISPA menurut WHO:

a. Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan, terdiri dari:

1) Pneumonia berat, ditandai dengan adanya napas cepat yaitu frekuensi

pernapasan sama atau lebih dari 60 kali per menit atau adanya tarikan

yang kuat pada dinding dada bagian bawah.

2) Bukan pneumonia, ditandai dengan batuk dan pilek dengan atau tanpa

dahak, lendir dan demam, tidak menunjukkan gejala peningkatan

frekuensi napas dan tidak ada tarikan dinding dada.

b. Untuk kelompok umur 2 bulan sampai 5 tahun, terdiri dari:

1) Pneumonia berat, yaitu berdasarkan pada adanya batuk atau kesukaran

bernapas disertai napas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah.

Dikenal pula diagnosis pneumonia sangat berat, yaitu batuk atau

kesukaran bernapas yang disertai adanya gejala sianosis sentral dan

anak tidak dapat minum.

2) Pneumonia, yaitu berdasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran

bernapas disertai adanya napas cepat sesuai umur, tidak ada tarikan

dinding dada bagian bawah. Batas napas cepat pada anak usia 2 bulan

sampai kurang dari 1 tahun adalah 50 kali atau lebih permenit

sedangkan untuk anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun adalah

40 kali atau lebih per menit.

3) Bukan pneumonia, meliputi batuk dan pilek dengan atau tanpa dahak,

lendir dan demam, tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi

napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian

bawah. Klasifikasi bukan pneumonia mencakup penyakit-penyakit

ISPA lain di luar pneumonia seperti rhinitis (common cold), faringitis,

tonsillitis, rhinosinusitis, otitis media, epiglotitis, croup syndrome

(laringotrakeobronkitis), bronkitis dan bronkiolitis.

2.4.3 Epidemiologi

Menurut Wantania, Roni dan Audrey (2008), infeksi saluran pernapasan

akut paling sering terjadi pada anak. Kasus ISPA merupakan 50% dari seluruh

penyakit pada anak berusia di bawah 5 tahun dan 30% pada anak berusia 5-12

tahun. Walaupun sebagian besar terbatas pada saluran pernapasan atas, tetapi

19

Page 20: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

sekitar 5% juga melibatkan saluran pernapasan bawah, terutama pneumonia. Anak

berusia 1-6 tahun dapat mengalami episode ISPA sebanyak 7-9 kali per tahun,

tetapi biasanya ringan. Puncak insidens biasanya terjadi pada usia 2-3 tahun.

Insidens ISPA di negara berkembang adalah 2-10 kali lebih banyak

daripada negara maju. Di Indonesia, ISPA merupakan salah satu penyebab utama

kunjungan pasien ke sarana kesehatan, yaitu 40-60% dari seluruh kunjungan ke

puskesmas dan 15-30% dari seluruh kunjungan rawat jalan dan rawat inap RS.

Jumlah episode ISPA di Indonesia diperkirakan 3-6 kali per tahun, tetapi berbeda

antar daerah (Wantania, Roni dan Audrey, 2008).

2.4.4 Etiologi

Menurut Suhandayani (2007), etiologi ISPA terdiri dari 300 jenis bakteri,

virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah genus

Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococcus, dan Corynebacterium. Virus

penyebab ISPA antara lain adalah golongan Myxovirus (Orthamyxoviruses dan

Paramyxoviruses), Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma,

Herpesvirus dan lain-lain.

Gambar 6. Etiologi ISPA

20

Page 21: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

2.4.5 Faktor Risiko

Menurut Wantania, Roni dan Audrey (2008), terdapat banyak faktor yang

mendasari perjalanan penyakit ISPA pada anak. Hal ini berhubungan dengan

penjamu, agen penyakit dan lingkungan.

1. Usia

Setelah telah dikemukakan sebelumnya, ISPA dapat ditemukan pada 50% anak

berusia di bawah 5 tahun dan 30% anak usia 5-12 tahun. World Health

Organization melaporkan bahwa di Negara berkembang, ISPA termasuk

infeksi saluran pernapasan bawah (pneumonia, bronkiolitis dan lain-lain)

adalah penyebab utama dari empat penyebab terbanyak kematian anak, dengan

kasus terbanyak terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun.

2. Jenis Kelamin

Pada umumnya, tidak ada perbedaan insidens ISPA akibat virus atau bakteri

pada laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, ada yang mengemukakan bahwa

terdapat sedikit perbedaan, yaitu insidens lebih tinggi pada anak laki-laki

berusia 6 tahun.

3. Status Gizi

Status gizi anak merupakan faktor risiko penting timbulnya pneumonia. Gizi

buruk merupakan faktor predisposisi terjadinya ISPA pada anak. Hal ini

dikarenakan adanya gangguan respon imun. Vitamin A sangat berhubungan

dengan beratnya infeksi. Anak dengan defisiensi vitamin A yang ringan

mengalami ISPA dua kali lebih banyak daripada anak yang tidak mengalami

defisiensi vitamin A. Oleh karena itu, selain perbaikan gizi dan pemberian

ASI, harus dilakukan pula perbaikan terhadap defisiensi vitamin A untuk

mencegah ISPA.

4. Pemberian Air Susu Ibu (ASI)

Terdapat banyak penelitian yang menunjukkan hubungan antara pemberian

ASI dengan terjadinya ISPA. Air susu ibu mempunyai nilai proteksi terhadap

pneumonia, terutama selama 1 bulan pertama. Bayi yang tidak pernah diberi

ASI lebih rentan mengalami ISPA dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI

paling sedikit selama 1 bulan. Bayi yang tidak diberi ASI akan 17 kali lebih

rentan mengalami perawatan di RS akibat pneumonia dibandingkan dengan

bayi yang mendapat ASI. Pemberian ASI dengan durasi yang lama mempunyai

pengaruh proteksi terhadap infeksi saluran pernapasan bawah akut selama

tahun pertama.

21

Page 22: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

5. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Berat badan lahir memiliki peran penting terhadap kematian akibat ISPA. Di

Negara berkembang, kematian akibat pneumonia diperkirakan terjadi pada

BBLR. Meta-analisis menunjukkan bahwa BBLR mempunyai RR kematian

6,4 pada bayi berusia di bawah 6 bulan dan 2,9 pada bayi berusia 6-11 bulan.

6. Imunisasi

Campak, pertusis dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan risiko

terkena ISPA dan memperberat ISPA itu sendiri, tetapi sebetulnya hal ini dapat

dicegah. Di India, anak yang baru sembuh dari campak, selama 6 bulan

berikutnya dapat mengalami ISPA enam kali lebih sering daripada anak yang

tidak terkena campak. Campak, pertusis dan difteri bersama-sama dapat

menyebabkan 15-25% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan ISPA.

Vaksin campak cukup efektif dan dapat mencegah kematian hingga 25%.

Usaha global dalam meningkatkan cakupan imunisasi campak dan pertusis

telah mengurangi angka kematian ISPA akibat kedua penyakit ini. Vaksin

pneumokokus dan H. influenza tipe B saat ini sudah diberikan pada anak-anak

dengan efektivitas yang cukup baik.

7. Pendidikan Orang Tua

Tingkat pendidikan orang tua menunjukkan adanya hubungan terbalik antara

angka kejadian dengan kematian ISPA. Tingkat pendidikan ini berhubungan

erat dengan keadaan sosial ekonomi dan juga berkaitan dengan pengetahuan

orang tua. Kurangnnya pengetahuan menyebabkan sebagian kasus ISPA tidak

diketahui oleh orang tua dan tidak diobati.

8. Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap pendidikan dan faktor-faktor lain

seperti nutrisi, lingkungan dan penerimaan layanan kesehatan. Anak yang

berasal dari keluarga dengan status soal ekonomi rendah mempunyai risiko

lebih besar mengalami episode ISPA. Risiko mengalami ISPA adalah 3,3 kali

lebih tinggi pada anak dengan status sosial ekonomi rendah.

9. Penggunaan Fasilitas Kesehatan

Di sebagian negara berkembang, pemanfaatan fasilitas kesehatan masih

rendah. Hal ini dapat berdampak pada tingkat keparahan ISPA.

10. Penyakit Lain

Human immunodeficiency virus / AIDS serta penyakit-penyakit lain

merupakan faktor risiko ISPA. Di beberapa Negara, HIV mulai menjadi

22

Page 23: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

masalah karena pneumonia terjadi lebih sering dan lebih berat pada pasien

HIV. Penelitian menunjukkan bahwa 25% dari kematian HIV disebabkan oleh

infeksi saluran pernapasan bawah akut.

11. Lingkungan

a. Polusi Udara

Studi epidemiologi di negara berkembang menunjukkan bahwa polusi

udara, baik dari dalam maupun dari luar rumah, berhubungan dengan

beberapa penyakit termasuk ISPA. Hal ini berkaitan dengan konsentrasi

polutan lingkungan yang dapat mengiritasi mukosa saluran respiratori.

Anak yang tinggal di dalam rumah berventilasi baik memiliki angka

insidens ISPA yang lebih rendah daripada anak yang berada di dalam

rumah berventilasi buruk.

Orang tua yang merokok menyebabkan anaknya rentan terhadap

pneumonia. Pajanan terhadap suhu dingin juga merupakan salah satu

faktor risiko pneumnonia.

b. Bencana Alam

Bencana alam seperti tsunami (yang melanda Aceh dan beberapa negara

lain di dunia) dapat menyebabkan peningkatan kasus dan kematian akibat

ISPA, khususnya pneumonia. Pneumonia yang ditimbulkan adalah

pneumonia aspirasi akibat masuknya cairan dan benda-benda asing lain ke

dalam paru, misalnya pada keadaan hampir tenggelam. Selain itu, di

tempat pengungsian insidens ISPA juga meningkat dikarenakan kepadatan

tempat tinggal dan keadaan lingkungan yang kurang baik.

2.4.6 Manifestasi Klinis

ISPA merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap bagian saluran

pernapasan atas maupun bawah, yang meliputi infiltrat peradangan dan edema

mukosa, kongestif vaskuler, bertambahnya sekresi mukus serta perubahan struktur

fungsi siliare (Muttaqin, 2008).

Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam, pusing,

malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia

(takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara nafas), dispnea

(kesakitan bernafas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia (kurang

oksigen) dan dapat berlanjut pada gagal nafas apabila tidak mendapat pertolongan

dan mengakibatkan kematian (Nelson, 2003).

23

Page 24: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

2.4.7 Cara Penularan

Pada umumnya ISPA termasuk kedalam penyakit menular yang ditularkan

melalui udara. Sumber penularan adalah penderita ISPA yang menyebarkan

kuman ke udara pada saat batuk atau bersin dalam bentuk droplet. Inhalasi

merupakan cara terpenting masuknya kuman penyebab ISPA kedalam saluran

pernapasan yaitu bersama udara yang dihirup, disamping itu terdapat juga cara

penularan langsung yaitu melalui percikan droplet yang dikeluarkan oleh

penderita saat batuk, bersin dan berbicara kepada orang di sekitar penderita,

transmisi langsung dapat juga melalui ciuman, memegang/menggunakan benda

yang telah terkena sekresi saluran pernapasan penderita (Depkes RI, 2002).

2.4.8 Pencegahan

Menurut Depkes RI (2002), ISPA dapat dicegah dengan cara berikut ini:

1) Menjaga kesehatan gizi agar tetap baik

Dengan menjaga kesehatan gizi yang baik maka itu akan mencegah kita

atau terhindar dari penyakit yang terutama penyakit ISPA. Misalnya dengan

mengkonsumsi makanan empat sehat lima sempurna, banyak minum air putih,

olahraga dengan teratur, serta istirahat yang cukup, semuanya itu akan menjaga

badan kita tetap sehat. Karena dengan tubuh yang sehat maka kekebalan tubuh

kita akan semakin meningkat, sehingga dapat mencegah virus ataupun bakteri

penyakit yang akan masuk ke tubuh kita.

2) Imunisasi

Pemberian imunisasi sangat diperlukan baik pada anak-anak maupun

orang dewasa. Imunisasi dilakukan untuk menjaga kekebalan tubuh kita

supaya tidak mudah terserang berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh

virus/bakteri.

3) Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan

Membuat ventilasi udara serta pencahayaan udara yang baik akan

mengurangi polusi asap dapur/asap rokok yang ada di dalam rumah, sehingga

dapat mencegah seseorang menghirup asap tersebut yang bisa menyebabkan

terkena penyakit ISPA. Ventilasi yang baik dapat memelihara kondisi sirkulasi

udara (atmosfer) agar tetap segar dan sehat bagi manusia.

4) Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) ini disebabkan oleh virus/

bakteri yang ditularkan oleh seseorang yang telah terjangkit penyakit ini

24

Page 25: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Bibit

penyakit ini biasanya berupa virus / bakteri di udara yang umumnya berbentuk

aerosol (suspensi yang melayang di udara). Adapun bentuk aerosol yakni

droplet nuclei (sisa dari sekresi saluran pernafasan yang dikeluarkan dari tubuh

secara droplet dan melayang di udara berisi bibit penyakit). Oleh karena itu,

kontak langsung anak dengan penderita ISPA harus dihindari.

25

Page 26: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

BAB III

METODE PELAKSANAAN

3.1 Waktu dan Tempat

Tugas pengenalan profesi (TPP) ini akan dilaksanakan pada:

Hari, tanggal :

Pukul :

Tempat : Plaju.

3.2 Subjek dan Pengambilan Data

Berikut ini adalah subjek dan metode pengambilan data tugas pengenalan profesi:

Subjek : Anak-anak penderita ISPA di lingkungan tempat tinggal.

Metode pengambilan data : wawancara / kuisioner terbuka.

3.3 Instrumen Kegiatan

Instrumen kegiatan merupakan peralatan untuk mendapatkan data sesuai dengan

tujuan kegiatan. Dalam kegiatan ini peralatan yang digunakan untuk pengambilan data

beserta pendukungnya adalah:

1. Kuisioner dan Alat Tulis

Kuisioner digunakan sebagai panduan dalam wawancara untuk mendapatkan data

mengenai ISPA dari pasien atau keluarga pasien. Adapun kuisioner tersebut dapat

dilihat pada lampiran 1.

2. Kamera

Kamera digunakan untuk dokumentasi, yakni sebagai bukti bahwa mahasiswa telah

melaksanakan tugas pengenalan profesi. Bukti tersebut nantinya akan dilampirkan

pada laporan akhir.

3. Komputer / Laptop

Komputer / Laptop digunakan sebagai sarana pembuatan proposal dan laporan akhir

kegiatan.

26

Page 27: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

3.4 Tahapan Kegiatan

Tahapan kegiatan meliputi tahap-tahap sebagai berikut:

1. Tahap persiapan

a. Membuat proposal.

b. Melakukan konsultasi kepada pembimbing tugas pengenalan profesi.

c. Mendapatkan izin atau ACC dari pembimbing tugas pengenalan profesi.

2. Tahap pelaksanaan

Mahasiswa:

a. Melakukan wawancara dengan pasien atau keluarga pasien.

b. Mengisi kuisioner yang digunakan sebagai panduan wawancara tersebut sesuai

dengan jawaban dari pasien atau keluarga pasien.

3. Tahap Penyelesaian

a. Mengumpulkan semua data, mengolah, menganalisa dan menyimpulkan.

b. Menyusun laporan hasil pengamatan dan pemeriksaan.

c. Mendapatkan ACC laporan hasil pengamatan dan pemeriksaan dari pembimbing

tugas pengenalan profesi.

3.5 Jadwal Kegiatan

Pada tabel 1 dapat dilihat jadwal pelaksanaan tugas pengenalan profesi Blok XI

(sistem respirasi). Tugas pengenalan profesi ini terbagi menjadi lima kegiatan yaitu

penyusunan proposal pada minggu pertama dan kedua, wawancara terhadap pasien,

pembahasan dan penyusunan laporan pada minggu ketiga serta pleno dilakukan pada

minggu keempat.

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan TPP

No Jenis Kegiatan

Maret 2013

Minggu

I

Minggu

II

Minggu

III

Minggu

IV

1 Penyusunan proposal

2 Wawancara

3 Pembahasan

4 Penyusunan Laporan

5 Pleno

27

Page 28: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

DAFTAR PUSTAKA

Boediman dan Muljono Wirjodiardjo. 2008. Anatomi Sistem Respiratori dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Chapman S, dkk. 2005. Acute upper respiratory tract infections (URTIs) dalam Oxford Handbook of Respiratory Medicine 1st Edition. Oxford: Oxford University Press.

Dadiyanto, Dwi Wastoro. 2008. Otitis Media dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Depkes RI. 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia Balita. Jakarta : Depkes RI.

Djojodibroto, Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC.

Jeremy, dkk. 2008. At a Glance Sistem Respirasi Edisi Kedua. Jakarta : Erlangga.

Muttaqin, Arif.2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Naning, Roni, Hadianto Ismangoen dan Amalia Setyati. 2008. Bronkitis Akut dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.

___________, Rina Triasih dan Amaliah Setyati. 2008. Rinitis dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Nelson. 2003. Ilmu Kedokteran Anak. Jakarta: EGC.

Ridwan, Hibsah, dkk. 2012. Modul Pembelajaran Blok VII Imunologi dan Infeksi. Palembang: Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.

Said, Mardjanis. 2008. Pneumonia dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta : EGC.

Suhandayani, I. 2007. Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Pati I Kabupaten Pati Tahun 2006. Semarang: Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang.

Wantania, Jan M., Roni Naning, Audrey Wahani. 2008. Infeksi Respiratori Akut dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Yangtjik, Kiagus dan Fatimah Arifin. 2008. Epiglotitis dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

______________ dan Dwi Wastoro Dadiyanto. 2008. Croup (Laringotrakeobronkitis Akut) dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

28

Page 29: Proposal Tugas Pengenalan Profesi

LAMPIRAN

29