Proposal Tesis Deri Baru

download Proposal Tesis Deri Baru

of 33

Transcript of Proposal Tesis Deri Baru

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    1/33

    BAB I

    PENDAHULUAN

    I.1 Latar Belakang

    Ketersediaan sumber daya air dan lahan pertanian yang potensial akhir-akhir ini semakin langka

    dan terbatas. Kondisi sumber daya air yang terbatas, sementara kebutuhan akan air untuk berbagai

    kepentingan terus meningkat dan bertambah sehingga menyebabkan permintaan terhadap air semakin

    kompetitif. Ketersediaan sumber daya air yang semakin terbatas dan kompetitif tidak hanya akan

    berpengaruh negatif terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat, tetapi dapat juga memicu terjadinya

    konflik baik antar sektor ekonomi maupun antar pengguna dalam suatu sektor.

    Pengelolaan daerah pengairan merupakan upaya untuk mendistribusikan air secara adil dan

    merata. Namun dalam mekanismenya sering dihadapkan pada beberapa permasalahan mendasar

    (Rachman, 1999) yaitu : 1) jumlah daerah golongan air bertambah tanpa terkendali, 2) letak petakan

    sawah relatif dari saluran tidak diperhitungkan dalam distribusi air dan anjuran teknologi yang berada di

    bagian hilir (tail end), 3) penyadapan air secara liar dengan pompa berlanjut tanpa sanksi, 4) pintu air

    banyak yang tidak berfungsi, dan 5) produktivitas padi sangat beragam antara bagian hulu dan hilir. Hal

    ini tidak terlepas dari unsur kelembagaan dan perangkat kebijaksanaan yang belum berfungsi secara

    efektif dalam upaya menyadarkan masyarakat akan pentingnya pengelolaan air.

    Adanya anggapan bahwa air irigasi adalah barang publik (public goods), menyebabkan

    masyarakat cenderung kurang efisien dalam menggunakan air. Secara ekonomi, ketidakjelasan tentang

    hak-hak dalam penggunaan air (water rights) dan kewajiban dalam pengelolaan air menyebabkan

    organisasi pemakai air kurang efektif, dan mekanisme kelembagaan dalam alokasi sumber daya air tidak

    berfungsi, sehingga menimbulkan inefisiensi penggunaan air. Dalam pengelolaan irigasi. berdasarkan

    UU.No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, pasal 41 dan pasal 64 serta RPP tentang irigasi pasal 4

    dan pasal 17, pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif primer dan sekunder dilakukan

    oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan mengikutsertakan perkumpulan petani pemakai air dan

    berpartisipasi sesuai dengan kemauan dan kemampuannya pada aspek kelembagaan, teknis dan

    pembiayaan.

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    2/33

    Sebagai salah satu bentuk kelembagaan pertanian yang ada di pedesaan, maka perkembangan

    kelembagaan irigasi telah banyak mewarnai pergeseran sistem kelembagaan dan dinamika sosial ekonomi

    masyarakat pedesaan, dan fenomena ini akan terus berlangsung. Kelembagaan mengandung makna aturan

    main yang dianut oleh masyarakat atau anggota yang dijadikan pedoman oleh seluruh anggota masyarakat

    atau anggota organisasi dalam melakukan transaksi (North, 1991). Kelembagaan secara evolusi tumbuh

    dari masyarakat atau sengaja dibentuk. Namun pada hakekatnya bentuk kelembagaan mengatur tiga hal

    esensial, yaitu penguasaan, pemanfaatan, dan transfer teknologi (Rachman, 1999). Disamping itu bentuk

    kelembagaan juga berdampak terhadap kinerja produksi, penggunaan input, kesempatan kerja, perolehan

    hasil, dan kelestarian lingkungan. Seberapa jauh kelembagaan diterima masyarakat bergantung pada

    struktur, wewenang, kepentingan individu, keadaan masyarakat, adat dan kebudayaan. Hal ini

    mengisyaratkan bahwa kelembagaan yang mempunyai nilai-nilai dan norma yang mampu mengatur

    anggotanya berperilaku selaras dengan lingkungannya akan mencerminkan suatu totalitas kinerja

    kehidupan sosial yang khas.

    Kelembagaan pertanian adalah norma atau kebiasaan yang terstruktur dan terpola serta

    dipraktekkan terus menerus untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat yang terkait erat dengan

    penghidupan dari bidang pertanian di pedesaan. Dalam kehidupan komunitas petani, posisi dan fungsi

    kelembagaan petani merupakan bagian pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial atau social

    interplay dalam suatu komunitas. Kelembagaan pertani juga memiliki titik strategis (entry point) dalam

    menggerakkan sistem agribisnis di pedesaan. Untuk itu segala sumberdaya yang ada di pedesaan perlu

    diarahkan/diprioritaskan dalam rangka peningkatan profesionalisme dan posisi tawar petani (kelompok

    tani). Saat ini potret petani dan kelembagaan petani di Indonesia diakui masih belum sebagaimana yang

    diharapkan (Suradisastra, 2008) Sebagai bagian dari kelembagaan pertanian di pedesaan, maka peran

    kelembagaan irigasi dalam membangun dan mengembangkan sektor pertanian di Indonesia terutama

    terlihat dalam kegiatan pertanian tanaman pangan, khususnya padi.

    Menurut Dimyati (2007), permasalahan yang masih melekat pada sosok petani dan kelembagaan

    petani di Indonesia adalah:

    1. Masih minimnya wawasan dan pengetahuan petani terhadap masalah manajemen produksi maupun

    jaringan pemasaran.

    2. Belum terlibatnya secara utuh petani dalam kegiatan agribisnis. Aktivitas petani masih terfokus pada

    kegiatan produksi (on farm).

    3. Peran dan fungsi kelembagaan petani sebagai wadah organisasi petani belum berjalan secara optimal.

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    3/33

    Untuk mengatasi permasalahan di atas perlu melakukan upaya pengembangan, pemberdayaan,

    dan penguatan kelembagaan petani (seperti: kelompoktani, lembaga tenaga kerja, kelembagaan penyedia

    input, kelembagaan output, kelembagaan penyuluh, kelembagaan irigasi dan kelembagaan permodalan)

    yang diharapkan dapat melindungi bargaining position petani. Tindakan perlindungan sebagai

    keberpihakan pada petani tersebut,baik sebagai produsen maupun penikmat hasil jerih payah usahatani

    mereka terutama diwujudkan melalui tingkat harga output yang layak dan menguntungkan petani. Dengan

    demikian, penguatan dan pemberdayaan kelembagaan tersebut juga untuk menghasilkan pencapaian

    kesinambungan dan keberlanjutan daya dukung SDA dan berbagai usaha untuk menopang dan menunjang

    aktivitas kehidupan pembangunan pertanian di pedesaan. Salah satu kelembagaan pertanian yang ada di

    daerah pedesaan yang sangat berperan dalam menunjang pelaksanaan kegiatan usahatani adalah

    Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A).

    Peranan kelembagaan petani sebagi faktor penting dalam peningkatan produksi dan pemerataan

    pendapatan tidak dapat di sangkal. Oleh karena itu, baik pemerintah Indonesia maupun lembaga-lembaga

    swadaya masyarakat sekarang semakin memperhatikan fungsi dan peran P3A dalam usaha pengelolaan

    air irigasi. P3A dianggrap sebagai suatu badan yang dapat membantu untuk menyukseskan program-

    program pemerintah di bidang pertanian. Tujuan pembentukan P3A ini antara lain:

    (1) Membantu dalam meningkatkan efisiensi penggunaan air pada tingkat usahatani,

    (2) Membagi air pada blok tersier secara merata,

    (3) Memelihara bangunan-bangunan tersier air secara baik,

    (4) Mengatur pelaksanaan jadwal tanam dan pola tanam yang telah ditentukan oleh pemerintah,

    (5) Membayar iuran pelayanan irigasi, dan

    (6) Meredakan konflik terhadap pembagian air.

    Adapun tugas P3A adalah:

    (1) Merencanakan dan melaksanakan O&P di petak tersier,

    (2) Mobilitas sumberdaya petani; dan

    (3) Menjalin kerjasama horizontal dengan organisasi formal dan nonformal di tingkat desa, serta

    hubungan vertikal dengan instansi-instansi yang bertanggung jawab atas O&P jaringan utama (Sugianto,

    1991).

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    4/33

    Berdasarkan tujuan dan tugas dari P3A tersebut, maka kelembagaan P3A secara organisatoris,

    teknis, dan finansial diharapkan mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam pembangunan,

    rehabilitasi, eksploitasi, dan pemeliharaan jaringan irigasi beserta bangunan pelengkapnya dalam petak

    tersier, kwarter, desa, dan subak sehingga terlihat bahwa lembaga tersebut sebenarnya dapat memberikan

    kontribusi yang besar bagi keberhasilan pengelolaan air irigasi di tingkat tersier. (Arifah, 2008).

    I.2 Perumusan Masalah

    Petani jika berusahatani secara individu terus berada di pihak yang lemah karena petani secara

    individu akan mengelola usaha tani dengan luas garapan kecil dan terpencar serta kepemilikan modal

    yang rendah. Sehingga, pemerintah perlu memperhatikan penguatan kelembagaan lewat kelompok tani

    karena dengan berkelompok maka petani tersebut akan lebih kuat, baik dari segi kelembagaannya maupun

    permodalannya. Namun dalam perkembangannya kelembagaan petani di desa umumnya tidak berjalan

    dengan baik, hal ini disebabkan:

    1. Kelompok tani pada umumnya dibentuk berdasarkan kepentingan teknis untuk memudahkan

    pengkoordinasian apabila ada kegiatan atau program pemerintah, sehingga lebih bersifat orientasi

    program, dan kurang menjamin kemandirian kelompok dan keberlanjutan kelompok.

    2. Partisipasi dan kekompakan anggota kelompok dalam kegiatan kelompok masih relatif rendah, ini

    tercermin dari tingkat kehadiran anggota dalam pertemuan kelompok rendah (hanya mencapai 50%)

    3. Pengelolaan kegiatan produktif anggota kelompok bersifat individu. Kelompok sebagai forum kegiatan

    bersama belum mampu menjadi wadah pemersatu kegiatan anggota dan pengikat kebutuhan anggota

    secara bersama, sehingga kegiatan produktif individu lebih menonjol. Kegiatan atau usaha produktif

    anggota kelompok dihadapkan pada masalah kesulitan permodalan, ketidakstabilan harga dan jalur

    pemasaran yang terbatas.

    4. Pembentukan dan pengembangan kelembagaan tidak menggunakan basis social capital setempat

    dengan prinsip kemandirian lokal, yang dicapai melalui prinsip keotonomian dan pemberdayaan.

    5. Pembentukan dan pengembangan kelembagaan berdasarkan konsep cetak biru (blue print approach)

    yang seragam. Introduksi kelembagaan dari luar kurang memperhatikan struktur dan jaringan

    kelembagaan lokal yang telah ada, serta kekhasan ekonomi, sosial, dan politik yang berjalan.

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    5/33

    6. Pembentukan dan pengembangan kelembagaan berdasarkan pendekatan yang top down, menyebabkan

    tidak tumbuhnya partisipasi masyarakat.

    7. Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat ikatan horizontal, bukan

    ikatan vertikal. Anggota suatu kelembagaan terdiri atas orang-orang dengan jenis aktivitas yang sama.

    Tujuannya agar terjalin kerjasama yang pada tahap selanjutnya diharapkan daya tawar mereka meningkat.

    Untuk ikatan vertikal diserahkan kepada mekanisme pasar, dimana otoritas pemerintah sulit

    menjangkaunya.

    8. Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan cenderung individual, yaitu

    hanya kepada pengurus. Pembinaan kepada kontak tani memang lebih murah, namun pendekatan ini tidak

    mengajarkan bagaimana meningkatkan kinerja kelompok misalnya, karena tidak ada social learning

    approach.

    9. Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah dari pengembangan aspek

    kulturalnya. Struktural organisasi dibangun lebih dahulu, namun tidak diikuti oleh pengembangan aspek

    kulturalnya. Sikap berorganisasi belum tumbuh pada diri pengurus dan anggotanya, meskipun wadahnya

    sudah tersedia. (Zuraida dan Rizal, 1993; Agustian, dkk, 2003; Syahyuti, 2003; Purwanto, dkk, 2007)

    Kesadaran yang perlu dibangun pada petani adalah kesadaran berkomunitas/ kelompok yang

    tumbuh atas dasar kebutuhan, bukan paksaan dan dorongan proyek-proyek tertentu. Tujuannya adalah (1)

    untuk mengorganisasikan kekuatan para petani dalam memperjuangkan hak-haknya, (2) memperoleh

    posisi tawar dan informasi pasar yang akurat terutama berkaitan dengan harga produk pertanian dan (3)

    berperan dalam negosiasi dan menentukan harga produk pertanian yang diproduksi anggotanya

    (Masmulyadi, 2007).

    Ada empat kriteria agar asosiasi petani itu kuat dan mampu berperan aktif dalam

    memperjuangkan hak-haknya, yaitu: (1) asosiasi harus tumbuh dari petani sendiri, (2) pengurusnya

    berasal dari para petani dan dipilih secara berkala, (3) memiliki kekuatan kelembagaan formal dan (4)

    bersifat partisipatif. Dengan terbangunnya kesadaran seperti diatas, maka diharapkan petani mampu

    berperan sebagai kelompok yang kuat dan mandiri, sehingga petani dapat meningkatkan pendapatannya

    dan memiliki akses pasar dan akses perbankan.

    Hal inilah yang penulis lihat dan temukan pada lembaga pertanian yang sekarang bernama

    Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) KARYA MANDIRI yang ada di Kanagarian Sungai Janiah

    Kecamatan Baso Kabupaten Agam, dimana lembaga ini merupakan lembaga pertanian berbasis irigasi

    yang didirikan murni dari keinginan dan inisiatif warga setempat yang bertekad untuk memajukan dan

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    6/33

    mengembangkan pertanian atau kegiatan usahatani di Kanagarian Sungai Janiah tanpa adanya campur

    tangan dari pemerintah. Sejak berdirinya pada tahun 1987 sampai saat sekarang, lembaga ini sudah

    berperan dan mempunyai andil dalam menunjang pelaksanaan kegiatan usahatani di daerah tersebut.

    Sehingga penulis tertarik untuk meneliti dan mengetahui :

    1.Bagaimana peran dan andil lembaga P3A Karya Mandiri dalam menunjang pelaksanaan kegiatan

    usahatani di Nagari Sungai Janiah Kecamatan Baso Kabupaten Agam

    2.Bagaimana eksistensi dan keberlanjutan lembaga P3A Karya Mandiri di masa yang akan datang dalam

    upaya peningkatan produksi pertanian di Nagari Sungai Janiah Kecamatan Baso Kabupaten Agam

    Dari pertanyaan penelitian diatas maka penulis akan melakukan penelitian dengan judul

    Eksistensi Lembaga P3A Karya Mandiri dalam Upaya Peningkatan Kegiatan Usahatani di Nagari

    Sungai Janiah Kecamatan Baso Kabupaten Agam

    I.3 Tujuan Penelitian

    Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :

    1.Mengetahui fungsi dan peranan lembaga P3A Karya Mandiri dalam menunjang pelaksanaan kegiatan

    usahatani di Nagari Sungai Janiah Kecamatan Baso Kabupaten Agam

    2.Mengidentifikasi keunggulan dan nilai lebih dari keberadaan lembaga P3A Karya Mandiri sehingga

    nantinya bisa dilihat keberlanjutan lembaga P3A Karya Mandiri untuk masa yang akan datang sebagai

    bentuk kemandirian dari kelembagaan tersebut sehingga bisa dikatakan sustainable

    I.4 Manfaat Penelitian

    Hasil dari penelitian ini diharapkan nantinya dapat menghasilkan informasi yang bermanfaat

    tentang keberadaan sebuah lembaga pertanian di pedesaan, dimana dengan kemandiriannya dankeberadaannya dapat menunjang dan memberi andil dalam pelaksanaan kegiatan usahatani dan dalam

    upaya meningkatkan produksi pertanian di daerah penelitian. Disamping itu dengan penelitian ini dapat

    menjadi bahan perbandingan atau percontohan bagi lembaga P3A yang berada di Kecamatan Baso pada

    khususnya dan Kabupaten Agam pada umumnya.

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    7/33

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    II.1 Defenisi Eksistensi

    II.2 Kelembagaan

    Salah satu arti lembaga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: "pola perilaku manusia

    yang mapan. terdiri atas interaksi sosial berstruktur di suatu kerangka nilai yang relevant Sedangkan

    kelembagaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan lembaga. Terdapat tiga kata kunci yakni sosial,

    nilai {norms), dan perilaku {behaviours). Suatu institusi atau kelembagaan dapat berbentuk organisasi

    atau sebaliknya. Bidang kelembagaan kurang memiliki popularitas seperti bidang keilmuan yang mampu

    menggugah perhatian seluruh lapisan masyarakat .

    Kelembagaan mengandung makna aturan main yang dianut oleh masyarakat atau anggota

    organisasi dalam melakukan transaksi (North, 1991). Kelembagaan secara evolusi tumbuh dari

    masyarakat atau sengaja dibentuk. Namun pada hakekatnya bentuk kelembagaan mengatur tiga hal

    essensial, yaitu penguasaan, pemanfaatan, dan transfer teknologi. Keragaman yang merupakan dampak

    dari bekerjanya suatu institusi sangat tergantung pada bagaimana institusi mengatur hal-hal

    tersebut(Rachman, 1999).

    Ada berbagai definisi kelembagaan yang disampaikan oleh ahli dari berbagai bidang:

    a.Lembaga adalah aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang menfasilitasi

    koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan di mana setiap orang dapat

    bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan

    (Ruttan dan Hayami, 1984)

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    8/33

    b.Lembaga aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu

    kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama

    lain. Penataan institusi (institutional arrangements) dapat ditentukan oleh beberapa unsur: aturan

    operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumber daya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakan

    hokum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan

    kewenangan organisasi (Ostrom, 1985; 1986).

    c.Lembaga adalah suatu himpunan atau tatanan normanorma dan tingkah laku yang bisa berlaku

    dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Institusi

    ditekankan pada norma-norma prilaku, nilai budaya dan adat istiadat (Uphoff, 1986).

    d.Lembaga adalah sekumpulan batasan atau faktor pengendali yang mengatur hubungan perilaku

    antar anggota atau antar kelompok. Dengan definisi ini kebanyakan organisasi umumnya adalah institusi

    karena organisasi umumnya mempunyai aturan yang mengatur hubungan antar anggota maupuna dengan

    orang lain di luar organisasi itu (Nabli dan Nugent, 1989).

    e.Lembaga adalah aturan main di dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh

    faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik. Institusi dapat berupa aturan formal atau dalam bentuk kode etik

    informal yang disepakati bersama. North membedakan antara institusi dari organisasi dan mengatakan

    bahwa institusi adalah aturan main sedangkan organisasi adalah pemainnya (North, 1990).

    f.Lembaga mencakup penataan institusi (institutional arrangement) untuk memadukan organisasi

    dan institusi. Penataan institusi adalah suatu penataan hubungan antara unit-unit ekonomi yang mengatur

    cara unit-unit ini apakah dapat bekerjasama dan atau berkompetisi. Dalam pendekatan ini organisasi

    adalah suatu pertanyaan mengenai aktor atau pelaku ekonomi di mana ada kontrak atau transaski yang

    dilakukan dan tujuan utama kontrak adalah mengurangi biaya transaksi (Williamson, 1985).

    Umumnya definisi lembaga mencakup konsep pola perilaku sosial yang sudah mengakar dan

    berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam hal ini sangat penting diperhatikan bahwa perilaku sosial

    tidak membatasi lembaga pada peraturan yang mengatur perilaku tersebut atau mewajibkan orang atau

    organisasi untuk harus berpikir positif ke arah norma-norma yang menjelaskan perilaku mereka tetapi

    juga pemahaman akan lembaga ini memusatkan perhatian pada pengertian mengapa orang berprilaku atau

    bertindak sesuai dengan atau bertentangan dengan peraturan yang ada. Merangkum dari berbagai

    pengertian yang dikemukakan sebelumnya, maka yang dimaksud kelembagaan adalah:suatu tatanan dan

    pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan

    bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    9/33

    jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal

    maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan

    bersama.

    Terbentuknya lembaga sosial bermula dari kebutuhan masyarakat akan keteraturan kehidupan

    bersama. Sebagaimana diungkapkan oleh Soerjono Soekanto lembaga sosial tumbuh karena manusia

    dalam hidupnya memerlukan keteraturan. Untuk mendapatkan keteraturan hidup bersama dirumuskan

    norma-norma dalam masyarakat sebagai paduan bertingkah laku. Sejumlah norma-norma ini kemudian

    disebut sebagai lembaga sosial. Namun, tidak semua norma-norma yang ada dalam masyarakat

    merupakan lembaga sosial karena untuk menjadi sebuah lembaga sosial sekumpulan norma mengalami

    proses yang panjang. Menurut Robert M.Z. Lawang proses tersebut dinamakan pelembagaan atau

    institutionalized, yaitu proses bagaimana suatu perilaku menjadi berpola atau bagaimana suatu pola

    perilaku yang mapan itu terjadi. Dengan kata lain, pelembagaan adalah suatu proses berjalan dan terujinya

    sebuah kebiasaan dalam masyarakat menjadi institusi/ lembaga yang akhirnya harus menjadi paduan

    dalam kehidupan bersama.

    Pakpahan (1991) menilai bahwa bentuk kelembagaan berdampak terhadap kinerja produksi,

    penggunaan input, kesempatan kerja, peolehan hasil, dan kelestarian lingkungan. Seberapa jauh

    kelembagaan yang direkayasa diterima oleh masyarakat bergantung kepada struktur wewenang,

    kepentingan individu, keadaan masyarakat, adat dan kebudayaan. Hal ini mengisyaratkan bahwa

    kelembagaan yang mempunyai nilai-nilai dan norma yang mampu mengatur anggotanya berperilaku

    selaras dengan lingkungannya, akan mencerminkan suatu totalitas kinerja kehidupan sosial yang khas.

    Menurut H.M. Johnson suatu norma terlembaga (institutionalized) apabila memenuhi tiga syarat

    sebagai berikut :

    1. Sebagian besar anggota masyarakat atau sistem sosial menerima norma tersebut.

    2. Norma tersebut menjiwai seluruh warga dalam sistem sosial tersebut.

    3. Norma tersebut mempunyai sanksi yang mengikat setiap anggota masyarakat.

    Dikenal empat tingkatan norma dalam proses pelembagaan yaitu :, pertama cara (usage) yang

    menunjuk pada suatu perbuatan. Kedua, kemudian cara bertingkah laku berlanjut dilakukan sehingga

    menjadi suatu kebiasaan (folkways), yaitu perbuatan yang selalu diulang dalam setiap usaha mencapai

    tujuan tertentu. Ketiga, apabila kebiasaan itu kemudian diterima sebagai patokan atau norma pengatur

    kelakuan bertindak, maka di dalamnya sudah terdapat unsur pengawasan dan jika terjadi penyimpangan,

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    10/33

    pelakunya akan dikenakan sanksi. Keempat, tata kelakuan yang semakin kuat mencerminkan kekuatan

    pola kelakuan masyarakat yang mengikat para anggotanya. Tata kelakuan semacam ini disebut adat

    istiadat (custom). Bagi anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat, maka ia akan mendapat sanksi

    yang lebih keras.

    Keberhasilan proses institusionalisasi dalam masyarakat dilihat jika norma-norma

    kemasyarakatan tidak hanya menjadi terlembaga dalam masyarakat, akan tetapi menjadi terpatri dalam

    diri secara sukarela (internalized) dimana masyarakat dengan sendirinya ingin berkelakuan sejalan dengan

    pemenuhan kebutuhan masyarakat. Lembaga sosial umumnya didirikan berdasarkan nilai dan norma

    dalam masyarakat, untuk mewujudkan nilai sosial, masyarakat menciptakan aturan-aturan yang isebut

    norma sosial yang membatasi perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Sekumpulan norma akan

    membentuk suatu sistem norma. Inilah awalnya lembaga sosial terbentuk sekumpulan nilai dan norma

    yang telah mengalami proses penerapan ke dalam institusi atau institutionalization menghasilkan lembaga

    sosial.

    Meskipun lembaga sosial merupakan suatu konsep yang abstrak, ia memiliki sejumlah ciri dan

    karakter yang dapat dikenali. Menurut J.P Gillin di dalam karyanya yang berjudul "Ciri-ciri Umum

    Lembaga Sosial" (General Features of Social Institution) menguraikan sebagai berikut :

    a.Lembaga sosial adalah organisasi pola-pola pemikiran dan perilaku yang terwujud melalui

    aktivitas-aktivitas masyarakat dan hasil-hasilnya. Ia terdiri atas kebiasaan-kebiasaan, tata kelakukan, dan

    unsur-unsur kebudayaan lain yang tergabung dalam suatu unit yang fungsional.

    b.Lembaga sosial juga dicirikan oleh suatu tingkat kekekalan tertentu. Oleh karena lembaga sosial

    merupakan himpunan norma-norma yang berkisar pada kebutuhan pokok, maka sudah sewajarnya apabila

    terus dipelihara dan dibakukan.

    c.Lembaga sosial memiliki satu atau beberapa tujuan tertentu. Lembaga pendidikan sudah pasti

    memiliki beberapa tujuan, demikian juga lembaga perkawinan, perbankan, agama, dan lain- lain.

    d.Terdapat alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga sosial.

    Misalnya, rumah untuk lembaga keluarga serta masjid, gereja, pura, dan wihara untuk lembaga agama.

    e.Lembaga sosial biasanya juga ditandai oleh lambang-lambang atau simbol-simbol tertentu.

    Lambang-lambang tersebut secara simbolis menggambar tujuan dan fungsi lembaga yang bersangkutan.

    Misalnya, cincin kawin untuk lembaga perkawinan, bendera dan lagu kebangsaan untuk negara, serta

    seragam sekolah dan badge (lencana) untuk sekolah.

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    11/33

    f.Lembaga sosial memiliki tradisi tertulis dan tidak tertulis yang merumuskan tujuan, tata tertib,

    dan lain-lain. Sebagai contoh, izin kawin dan hukum perkawinan untuk lembaga perkawinan.

    Sedangkan seorang ahli sosial yang bernama John Conen ikut pula mengemukakan karakteristik

    dari lembaga sosial. Menurutnya terdapat sembilan ciri khas (karakteristik) lembaga sosial sebagai

    berikut.

    1. Setiap lembaga sosial bertujuan memenuhi kebutuhan khusus masyarakat.2. Setiap lembaga sosial mempunyai nilai pokok yang bersumber dari anggotanya.3. Dalam lembaga sosial ada pola-pola perilaku permanen menjadi bagian tradisi kebudayaan yang

    ada dan ini disadari anggotanya.

    4. Ada saling ketergantungan antarlembaga sosial di masyarakat, perubahan lembaga sosial satuberakibat pada perubahan lembaga sosial yang lain.

    5. Meskipun antarlembaga sosial saling bergantung, masing-masing lembaga sosial disusun dan di-organisasi secara sempurna di sekitar rangkaian pola, norma, nilai, dan perilaku yang diharapkan.

    6. Ide-ide lembaga sosial pada umumnya diterima oleh mayoritas anggota masyarakat, terlepas dariturut tidaknya mereka berpartisipasi.

    7. Suatu lembaga sosial mempunyai bentuk tata krama perilaku.8. Setiap lembaga sosial mempunyai simbol-simbol kebudayaan tertentu.9. Suatu lembaga sosial mempunyai ideologi sebagai dasar atau orientasi kelompoknya.

    Menurut Koentjaraningrat aktivitas manusia atau aktivitas kemasyarakatan untuk menjadi

    lembaga sosial harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Persyaratan tersebut antara lain :

    1. Suatu tata kelakuan yang baku, yang bisa berupa norma-norma dan adat istiadat yang hidupdalam ingatan maupun tertulis.

    2. Kelompok-kelompok manusia yang menjalankan aktivitas bersama dan saling berhubunganmenurut sistem norma-norma tersebut.

    3. Suatu pusat aktivitas yang bertujuan memenuhi kompleks- kompleks kebutuhan tertentu, yangdisadari dan dipahami oleh kelompok-kelompok yang bersangkutan.

    4. Mempunyai perlengkapan dan peralatan.5. Sistem aktivitas itu dibiasakan atau disadarkan kepada kelompok- kelompok yang bersangkutan

    dalam suatu masyarakat untuk kurun waktu yang lama.

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    12/33

    Menurut Soerjono Soekanto, lembaga sosial memiliki fungsi sebagai berikut:

    1. Memberikan pedoman pada anggota-anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bersikap ataubertingkah laku dalam menghadapi masalah-masalah yang muncul atau berkembang di

    lingkungan masyarakat, termasuk yang menyangkut hubungan pemenuhan kebutuhan.

    2. Menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan.3. Memberikan pengarahan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial, yaitu

    sistem pengawasan masyarakat terhadap anggota-anggotanya.

    Menurut Horton dan Hunt, fungsi lembaga sosial adalah:

    1. Fungsi Manifes atau fungsi nyata yaitu fungsi lembaga yang disadari dan di akui oleh seluruhmasyarakat.

    2. Fungsi Laten atau fungsi terselubung yaitu fungsi lembaga sosial yang tidak disadari atau bahkantidak dikehendaki atau jika di ikuti dianggap sebagai hasil sampingan dan biasanya tidak dapat

    diramalkan.

    Menurut John Lewis Gillin dan John Philip Gillin, tipe-tipe lembaga sosial dapat diklasifikasikan

    sebagai berikut:

    a) Berdasarkan sudut perkembangani. Cresive institution yaitu institusi yang tidak sengaja tumbuh dari adat istiadat masyarakat.

    Contoh: lembaga perkawinan, hak milik dan agama.

    ii. Enacted institution yaitu institusi yang sengaja dibentuk untuk mencapai suatu tujuantertentu. Contoh: lembaga utang piutang dan lembaga pendidikan.

    b) Berdasarkan sudut nilai yang diterima oleh masyarakati. Basic institution yaitu institusi sosial yang dianggap penting untuk memelihara dan

    mempertahankan tata tertib dalam masyarakat. Contoh: keluarga, sekolah, dan negara.

    ii. Subsidiary institution yaitu institusi sosial yang berkaitan dengan hal-hal yang dianggapoleh masyarakat kurang penting dan berbeda di masing-masing masyarakat seperti

    rekreasi.

    c) Berdasarkan sudut penerimaan masyarakati. Approved dan sanctioned institution yaitu institusi sosial yang diterima oleh masyarakat,

    misalnya sekolah atau perusahaan dagang.

    ii. Unsanctioned institution yaitu institusi yang ditolak masyarakat meskipun masyarakattidak mampu memberantasnya. Contoh: sindikat kejahatan, pelacuran, dan perjudian.

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    13/33

    d) Berdasarkan sudut penyebarannyai. General institution yaitu institusi yang dikenal oleh sebagian besar masyarakat dunia.

    Contoh: institusi agama.

    ii. Restricted institution yaitu institusi sosial yang hanya dikenal dan dianut oleh sebagiankecil masyarakat tertentu. Contoh: lembaga agama Islam, Kristen Protestan, Hindu, dan

    Budha.

    e) Berdasarkan sudut fungsinyai. Operative institution yaitu institusi yang berfungsi menghimpun pola-pola atau cara-

    cara yang diperlukan dari masyarakat yang bersangkutan. Contoh: institusi ekonomi.

    ii. Regulative institution yaitu institusi yang bertujuan mengawasi adat istiadat atau tatakelakuan dalam masyarakat. Contoh: institusi hukum dan politik seperti pengadilan

    dan kejaksaan.

    Ada 8 jenis lembaga sosial, yakni :

    1) Pranata KeluargaKeluarga adalah unit sosial yang terkecil dalam masyarakat dan juga institusi pertama yang

    dimasuki seorang manusia ketika dilahirkan. Proses Terbentuknya Keluarga Pada umumnya keluarga

    terbentuk melalui perkawinan yang sah menurut agama, adat atau pemerintah dengan proses seperti

    dibawah ini :

    Diawali dengan adanya interaksi antara pria dan wanita, Interaksi dilakukan berulang-ulang, lalu

    menjadi hubungan sosial yang lebih intim sehingga terjadi proses perkawinan. Setelah terjadi perkawinan,

    terbentuklah keturunan , kemudian terbentuklah keluarga inti.

    2) Pranata PendidikanMenurut Horton dan Hunt, lembaga pendidikan berkaitan dengan fungsi yang nyata (manifes)

    berikut:

    a. Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah.b. Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan

    masyarakat.

    c. Melestarikan kebudayaan.d. Menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi.

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    14/33

    Fungsi laten lembaga pendidikan adalah sebagai berikut.

    i. Mengurangi pengendalian orang tua. Melalui pendidikan, sekolah orang tuamelimpahkan tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah.

    ii. Menyediakan sarana untuk pembangkangan. Sekolah memiliki potensi untukmenanamkan nilai pembangkangan di masyarakat. Hal ini tercermin dengan adanya

    perbedaan pandangan antara sekolah dan masyarakat tentang sesuatu hal, misalnya

    pendidikan seks dan sikap terbuka.

    iii. Mempertahankan sistem kelas sosial. Pendidikan sekolah diharapkan dapatmensosialisasikan kepada para anak didiknya untuk menerima perbedaan prestise,

    privilese, dan status yang ada dalam masyarakat. Sekolah juga diharapkan menjadi

    saluran mobilitas siswa ke status sosial yang lebih tinggi atau paling tidak sesuai dengan

    status orang tuanya.

    iv. Memperpanjang masa remaja. Pendidikan sekolah dapat pula memperlambat masadewasa seseorang karena siswa masih tergantung secara ekonomi pada orang tuanya.

    3) Pranata EkonomiPada hakekatnya tujuan yang hendak dicapai oleh lembaga ekonomi adalah terpenuhinya

    kebutuhan pokok untuk kelangsungan hidup masyarakat.

    Fungsi dari lembaga ekonomi adalah:

    i. Memberi pedoman untuk mendapatkan bahan panganii. Memberikan pedoman untuk melakukan pertukaran barang/barter

    iii. Memberi pedoman tentang harga jual beli barangiv. Memberi pedoman untuk menggunakan tenaga kerjav. Memberikan pedoman tentang cara pengupahan

    vi. Memberikan pedoman tentang cara pemutusan hubungan kerjavii. Memberi identitas bagi masyarakat

    4) Pranata AgamaPranata Agama adalah sistem keyakinan dan praktek keagamaan dalam masyarakat yang telah

    dirumuskan dan dibakukan.

    Fungsi pranata agama adalah:

    i. Sebagai pedoman hidup

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    15/33

    ii. Sumber kebenaraniii. Pengatur tata cara hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhaniv. Tuntutan prinsip benar dan salahv. Pedoman pengungkapan perasaan kebersamaan di dalam agama diwajibkan berbuat baik

    terhadap sesame

    vi. Pedoman keyakinan manusia berbuat baik selalu disertai dengan keyakinan bahwaperbuatannya itu merupakan kewajiban dari Tuhan dan yakin bahwa perbuatannya itu

    akan mendapat pahala, walaupun perbuatannya sekecil apapun.

    vii. Pedoman keberadaan yang pada hakikatnya makhluk hidup di dunia adalah ciptaanTuhan semata

    viii. Pengungkapan estetika manusia cenderung menyukai keindahan karena keindahanmerupakan bagian dari jiwa manusia

    ix. Pedoman untuk rekreasi dan hiburan. Dalam mencari kepuasan batin melalui rekreasi danhiburan, tidak melanggar kaidah-kaidah agama

    5) Pranata PolitikPranata politik merupakan pranata yang menangani masalah administrasi dan tata tertib umum

    demi tercapainya keamanan dan ketentraman masyarakat. Pranata yang merupakan pembantunya adalah

    seperti sistem hukum dan perundang-undangan, kepolisian, angkatan bersenjata, kepegawaian, kepartaian,

    hubungan diplomatik. Bentuk pranata atau institusi politik yang mengkoordinasi segala kegiatan diatas

    disebut negara.

    Fungsi lembaga politik :

    i. Pelembagaan norma melalui Undang-Undang yang disampaikan oleh badan-badanlegislatif.

    ii. Melaksanakan Undang-Undang yang telah disetujui.iii. Menyelesaikan konflik yang terjadi di antara para warga masyarakat yang

    bersangkutan.

    iv. Menyelenggarakan pelayanan seperti perawatan kesehatan, pendidikan, kesejahteraandan seterusnya.

    v. Melindungi para warga masyarakat atau warga negara dari serangan bangsa lain.vi. Memelihara kesiapsiagaan/kewaspadaan menghadapi bahaya.6) Pranata Hukum

    Fungsi hukum dalam perkembangan masyarakat dapat terdiri dari:

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    16/33

    i. Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat: dalam arti, hukum berfungsimenunjukkan manusia mana yang baik, dan mana yang buruk, sehingga segala sesuatu

    dapat berjalan tertib dan teratur.

    ii. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin: dikarenakan hukummemiliki sifata dan ciri-ciri yang telah disebutkan, maka hukum dapat memberi

    keadilan, dalam arti dapat menentukan siapa yang salah, dan siapa yang benar, dapat

    memaksa agar peraturan dapat ditaati dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya.

    iii. Sebagai sarana penggerak pembangunan: daya mengikat dan memaksa dari hukumdapat digunakan atau didayagunakan untuk menggerakkan pembangunan. Di sini

    hukum dijadikan alat untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju.

    iv. Sebagai penentuan alokasi wewenang secara terperinci siapa yang boleh melakukanpelaksanaan (penegak) hukum, siapa yang harus menaatinya, siapa yang memilih

    sanksi yang tepat dan adil: seperti konsep hukum konstitusi negara.

    v. Sebagai alat penyelesaian sengketa: seperti contoh persengekataan harta waris dapatsegera selesai dengan ketetapan hukum waris yang sudah diatur dalam hukum perdata.

    vi. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisikehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan-hubungan

    esensial antara anggota-anggota masyarakat.

    7) Pranata Budaya8) Pranata Kesehatan

    II.3 Kelembagaan Pertanian

    Kelembagaan pertanian adalah norma atau kebiasaan yang terstruktur dan terpola serta

    dipraktekkan terus menerus untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat yang terkait erat dengan

    penghidupan dari bidang pertanian di pedesaan. Dalam kehidupan komunitas petani, posisi dan fungsi

    kelembagaan petani merupakan bagian pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial atau social

    interplay dalam suatu komunitas. Kelembagaan pertani juga memiliki titik strategis (entry point) dalam

    menggerakkan sistem agribisnis di pedesaan. Untuk itu segala sumberdaya yang ada di pedesaan perlu

    diarahkan/diprioritaskan dalam rangka peningkatan profesionalisme dan posisi tawar petani (kelompok

    tani). Saat ini potret petani dan kelembagaan petani di Indonesia diakui masih belum sebagaimana yang

    diharapkan (Suradisastra, 2008).

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    17/33

    Lembaga di pedesaan lahir untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakatnya. Sifatnya tidak

    linier, namun cenderung merupakan kebutuhan individu anggotanya, berupa : kebutuhan fisik, kebutuhan

    rasa aman, kebutuhan hubungan sosial, pengakuan, dan pengembangan pengakuan. Manfaat utama

    lembaga adalah mewadahi kebutuhan salah satu sisi kehidupan sosial masyarakat, dan sebagai kontrol

    sosial, sehingga setiap orang dapat mengatur perilakunya menurut kehendak masyarakat (Elizabeth dan

    Darwis, 2003). Prinsip-prinsip yang harus dipenuhi oleh suatu kelembagaan petani agar tetap eksis dan

    berkelanjutan adalah :

    a. Prinsip otonomi (spesifik lokal).

    Pengertian prinsip otonomi disini dapat dibagi kedalam dua bentuk yaitu :

    1. Otonomi individu.

    Pada tingkat rendah, makna dari prinsip otonomi adalah mengacu pada individu sebagai

    perwujudan dari hasrat untuk bebas yang melekat pada diri manusia sebagai salah satu anugerah paling

    berharga dari sang pencipta (Basri, 2005). Kebebasan inilah yang memungkinkan individu-individu

    menjadi otonom sehingga mereka dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang ada di dalam

    dirinya secara optimal. Individu-individu yang otonom ini selanjutnya akan membentuk komunitas yuang

    otonom, dan akhirnya bangsa yang mandiri serta unggul (Syahyuti, 2007).

    2. Otonomi desa (spesifik lokal).

    Pengembangan kelembagaan di pedesaan disesuaikan dengan potensi desa itu sendiri (spesifik

    lokal). Pedesaan di Indonesia, disamping bervariasi dalam kemajemukan sistem, nilai, dan budaya; juga

    memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang dan beragam pula. Kelembagaan, termasuk

    organisasi, dan perangkat-perangkat aturan dan hukum memerlukan penyesuaian sehingga peluang bagi

    setiap warga masyarakat untuk bertindak sebagai subjek dalam pembangunan yang berintikan gerakan

    dapat tumbuh di semua bidang kehidupannya. Disamping itu, harus juga memperhatikann elemen-elemen

    tatanan yang hidup di desa, baik yang berupa elemen lunak (soft element) seperti manusia dengan sistem

    nilai, kelembagaan, dan teknostrukturnya, maupun yang berupa elemen keras (hard element) seperti

    lingkungan alam dan sumberdayanya, merupakan identitas dinamis yang senantias menyesuaikan diri atau

    tumbuh dan berkembang (Syahyuti, 2007).

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    18/33

    b. Prinsip pemberdayaan.

    Pemberdayaan mengupayakan bagaiamana individu, kelompok, atau komunitas berusaha

    mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan

    keinginan mereka. Inti utama pemberdayaan adalah tercapainya kemandirian (Payne, 1997).

    Pemberdayaan berarti mempersiapkan masyarakat desa untuk untuk memperkuat diri dan

    kelompok mereka dalam berbagai hal, mulai dari soal kelembagaan, kepemimpinan, sosial ekonomi, dan

    politik dengan menggunakan basis kebudayaan mereka sendiri (Taylor dan Mckenzie, 1992).

    Pada proses pemberdayaan, ada dua prinsip dasar yang harus dipedomani (Saptana, dkk, 2003)

    yaitu :

    1. Menciptakan ruang atau peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya secara mandiri dan

    menurut cara yang dipilihnya sendiri.

    2. Mengupayakan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk memanfaatkan ruang atau peluang yang

    tercipta tersebut.

    Kebijakan ini diterjemahkan misalnya di bidang ekonomi berupa peningkatan aksesibilitas

    masyarakat terhadap faktor-faktor produksi dan pasar, sedangkan di bidang sosial politik berupa

    tersedianya berbagai pilihan bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya.

    Pemberdayaan dan pengembangan kelembagaan di pedesaan , meliputi :

    a. Pola pengembangan pertanian berdasarkan luas dan intensifikasi lahan, perluasan kesempatan kerja dan

    berusaha yang dapat memperluas penghasilan.

    b. Perbaikan dan penyempurnaan keterbatasan pelayanan sosial (pendidikan, gizi, kesehatan, dan lain-

    lain).

    c. Program memperkuat prasarana kelembagaan dan keterampilan mengelola kebutuhan pedesaan.

    Untuk keberhasilannya diperlukan kerjasama antara : administrasi lokal, pemerintah lokal,kelembagaan/organisasi yang beranggotakan masyarakat lokal, kerjasama usaha, pelayanan dan bisnis

    swasta (tiga pilar kelembagaan) yang dapat diintegrasikan ke dalam pasar baik lokal, regional dan global

    (Uphoff, 1992).

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    19/33

    Pemberdayaan kelembagaan menuntut perubahan operasional tiga pilar kelembagaan:

    a. Kelembagaan lokal tradisional yang hidup dan eksisi dalam komunitas (voluntary sector).

    b. Kelembagaan pasar (private sector) yang dijiwai ideologi ekonomi terbuka.

    c. Kelembagaan sistem politik atau pengambilan keputusan di tingkat publik (public sector).

    Ketiga pilar yang menopang kehidupan dan kelembagaan masyarakat di pedesaan tersebut perlu

    mereformasikan diri dan bersinergis agar sesuai dengan kebutuhan yang selalu mengalami perkembangan.

    Inilah yang dimaksud dengan tranformasi kelembagaan sebagai upaya pemberdayaannya, yang dilakukan

    tidak hanya secara internal, namun juga tata hubungan dari keseluruhan kelembagaan tersebut.

    Disisi lain, pemberdayaan kelembagaan pada masa depan perlu diarahkan agar berorientasi pada :

    a). Pengusahaan komoditas (pangan/non pangan) yang paling menguntungkan, b). Skala usaha ekonomis

    dan teknologi padat karya, c). Win-win mutualy dengan kemitraan yang kolehial, d). Tercipta

    interdependensi hulu-hilir, e). Modal berkembang dan kredit melembaga (bank, koperasi, petani), f).

    Koperatif, kompetitif dan transparan melalui sistem informasi bisnis, g). Memanfaatkan peluang di setiap

    subsistem agribisnis, serta h). Dukungan SDM yang berpendidikan, rasional, mandiri, informatif,

    komunikatif, dan partisipatif (inovatif). Beberapa kunci dalam pengembangan kelembagaan untuk

    pemberdayaan adalah adanya akses kepada informasi, sikap inklusif dan partisipasi, akuntabilitas, dan

    pengembangan organisasi lokal.

    c. Prinsip kemandirian lokal.

    Pendekatan pembangunan melalui cara pandang kemandirian lokal mengisyaratkan bahwa semua

    tahapan dalam proses pemberdayaan harus dilakukan secara desentralisasi. Upaya pemberdayaan yang

    berbasis pada pendekatan desentralisasi akan menumbuhkan kondisi otonom, dimana setiap komponen

    akan tetap eksis dengan berbagai keragaman (diversity) yang dikandungnya (Amien, 2005).

    Kegagalan pengembangan kelembagaan petani selama ini salah satunya akibat mengabaikan

    kelembagaan lokal yang hidup di pedesaan, karena dianggap tidak memiliki jiwa ekonomi yang memadai.

    Ciri kelembagaan pada masyarakat tradisional adalah dimana aktivitas ekonomi melekat pada

    kelembagaan kekerabatan dan komunitas. Pemenuhan ekonomi merupakan tanggungjawab kelompok-

    kelompok komunal genealogis. Ciri utama kelembagaan tradisional adalah sedikit kelembagaan, namun

    banyak fungsi. Beda halnya dengan pada masyarakat modern yang dicirikan oleh munculnya banyak

    kelembagaan dengan fungsi-fungsi yang spesifik dan sempit-sempit (Saptana, dkk, 2003).

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    20/33

    Kemandirian lokal menunjukkan bahwa pembangunan lebih tepat bila dilihat sebagai proses

    adaptasi-kreatif suatu tatanan masyarakat dari pada sebagai serangkaian upaya mekanistis yang mengacu

    pada satu rencana yang disusun secara sistematis. Kemandirian lokal juga menegaskan bahwa organisasi

    seharusnya dikelola dengan lebih mengedepankan partisipasi dan dialog dibandingkan semangat

    pengendalian yang ketat sebagaimana dipraktekkan selama ini (Amien, 2005).

    II.4 Irigasi

    Irigasi berasal dari istilah irrigate dalam bahasa Belanda atau irrigation dalam bahasa Inggris.

    Irigasi dapat diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan untuk mendatangkan air dari sumbernya guna

    keperluan pertanian, mengalirkan dan membagikan air secara teratur dan setelah digunakan dapat pula

    dibuang kembali. Adapun maksud dari irigasi adalah untuk mencukupi kebutuhan air di musim hujan bagi

    keperluan pertanian seperti membasahi tanah, merabuk, mengatur suhu tanah, menghindarkan gangguan

    hama dalam tanah dan sebagainya. Tanaman yang diberi air irigasi umumnya dapat dibagi dalam tiga

    golongan besar yaitu padi, tebu, palawija seperti jagung, kacang-kacangan, bawang, cabe dan sebagainya

    (Mawardi dan Memed, 2002).

    Air irigasi tidak akan memberikan manfaat yang optimal pada petani apabila tidak dikelola

    dengan baik dan benar yang akan berdampak pada pembangunan pengairan. Irigasi merupakan bagian sub

    sistem kemasyarakatan yang tidak dapat dipisahkan dengan sub sistem lain. Dalam hal ini irigasi bukan

    hanya aspek teknis saja yang berupa bendung dan saluran air melainkan juga menyangkut aspek budaya,

    sosial, ekonomi dan politik, yaitu :

    1. Aspek budaya tercermin pada pola pemikiran yakni bagaimana air digunakan dibagikan kepada seluruh

    masyarakat yang membutuhkannya.

    2. Aspek sosial dapat dilihat bagaimana perilaku masyarakat dalam tata carapembagian air,

    pengorganisasian dalam pengelolaannya.

    3. Aspek ekonomi berhubungan dengan tanaman yang menghasilkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan.

    4. Aspek politik akan berhubungan dengan tingkat keamanan, hubungan konflik yang dapat menimbulkan

    kerawanan di pedesaan.

    5. Irigasi berfungsi mendukung produktivitas usaha tani guna meningkatkan produksi pertanian dalam

    rangka ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani, yang diwujudkan

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    21/33

    melalui keberlanjutan system irigasi yang dilakukan dengan pengembangan dan pengelolaan sistem

    irigasi.

    Sistem irigasi di Indonesia umumnya bergantung kepada cara pengambilan air sungai dan

    dimaksudkan untuk mengairi persawahan dapat dibedakan menjadi irigasi pedesaan dan irigasi

    pemerintah. Pembedaan itu berdasarkan pengelolaannya. Sistem irigasi desa bersifat komunal dan tidak

    menerima bantuan dari Pemerintah Pusat. Pembangunan dan pengelolaan seluruh jaringan irigasi

    dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat.

    Sedangkan sistem irigasi yang tergantung pada bantuan pemerintah dibagi ke dalam tiga kategori:

    irigasi teknis, semi teknis dan sederhana.

    a. Irigasi teknis yaitu jaringan air yang mendapatkan pasokan air terpisah dengan jaringan pembuang, dan

    pemberian airnya dapat dikur, diatur dan terkontrol pada titik tertentu. Semua bangunannya bersifat

    permanen. Luas daerah irigasinya di atas 500 hektar.

    b. Irigasi semi teknis yaitu pengaliran air ke sawah dapat diatur, tetapi banyaknya aliran tidak dapat

    diukur. Pembagian air tidak dapat dilakukan secara seksama. Memiliki sedikit bangunan permanen.

    Hanya satu alat pengukur aliran yang biasanya ditempatkan pada bangunan bendung.

    c. Irigasi sederhana yaitu yang biasanya menerima bantuan pemerintah untuk pembangunan dan atau

    penyempurnaan. Tetapi dikelola dan dioperasikan oleh aparat desa. Mempunyai bangunan semi permanen

    dan tidak mempunyai alat pengukur dan pengontrol aliran, sehingga aliran tidak dapat diatur dan diukur.

    Dalam pembagiannya peta petak dapat diuraikan seperti:

    1. Petak tersier adalah suatu unit atau petak tanah/sawah terkecil berukuran antara 50 - 100 Ha

    2. Petak sekunder adalah gabungan dari petak tersier dengan luas bergantung kepada lahan.

    3. Petak primer adalah gabungan dari beberapa petak sekunder.

    Ditinjau dari jenis dan fungsi saluran irigasi pembawa dapat dibedakan menjadi saluran primer,

    sekunder, tersier dan kuarter.

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    22/33

    Berdasarkan Standar Perencanaan Irigasi bagian Jaringan Irigasi KP-01 saluran irigasi dapat

    didefinisikan seperti berikut:

    1. Saluran primer yaitu saluran yang membawa air dari jaringan utama ke saluran sekunder dan ke petak-

    petak tersier yang diairi. Saluran primer biasa disebut saluran induk. Saluran ini berakhir pada bangunan

    bagi yang terakhir.

    2. Saluran sekunder yaitu saluran yang membawa air dari saluran primer ke petakpetak tersier yang

    dilayani oleh saluran sekunder tersebut. Batas ujung saluran ini yaitu bangunan sadap terakhir.

    3. Saluran tersier yaitu saluran yang membawa air dari bangunan sadap tersier di jaringan utama ke dalam

    petak tersier lalu ke saluran kuarter. Saluran ini berkahir pada boks kuarter terakhir.

    4. Saluran kuarter yaitu saluran yang membawa air dari boks bagi kuarter melalui bangunan sadap tersier

    ke sawah-sawah.

    Pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder menjadi wewenang dan tanggung jawab

    Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan ketentuan:

    a. Lintas provinsi pemerintahb. Lintas kab./kota pemerintah provinsic. Utuh pada satu kab./kota pemerintah kab./kotad. Pengembangan sistem irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawabe. Perkumpulan Petani Pemakai Air.Berdasarkan Strata Luasan

    1. Daerah irigasi (DI) dengan luas kurang dari 1.000 ha (DI kecil) dan berada dalam satu kab./kota

    menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota.

    2. Daerah irigasi (DI) dengan luas 1.000 ha sampai dengan 3.000 ha (DI sedang) atau DI kecil yang

    bersifat lintas kab./kota menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah provinsi.

    3. Daerah irigasi (DI) dengan luas lebih dari 3.000 ha (DI besar) atau DI sedang yang bersifat lintas

    provinsi, strategis nasional dan lintas negara menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah.

    Pelaksanaan pengembangan sistem irigasi kewenangan Pemerintah dapat diselenggarakan Pemerintah

    Daerah dengan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    23/33

    II.5 Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A)

    II.5.1 Sejarah Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A)

    Tradisi gotong royong masyarakat Indonesia merupakan cikal bakal timbulnya bentuk-bentuk

    kelembagaan tradisional dalam pengelolaan sumber daya air terutama yang terkait dengan irigasi.

    Lembaga lokal yang termashur adalah subak di Bali, Panriahaan Pamokkahan di Sumatera Utara serta

    Panitia Siring di Sumatera Selatan dan Bengkulu.

    Sekitar tahun 1950, di Sragen Jawa Tengah berdiri suatu lembaga dengan nama Persatuan Air

    Surakarta (PAS). Beberapa pihak meyakini PAS merupakan cikal bakal berdirinya P3A yang sekarang

    ada. Berdirinya PAS tidak terlepas dari kondisi prasarana irigasi ketika itu mengalami kerusakan parah

    sehingga ketersediaan air kurang terjamin dan sering terjadi pencurian air. Keadaan ini sering

    mengakibatkan perselisihan di antara petani. Kondisi ini yang menyebabkan beberapa pengurus desa

    membentuk PAS dengan susunan organisasi dan ketentuan yang jelas termasuk sanksi yang diberlakukan.

    Dalam perkembangan selanjutnya PAS telah berhasil memperbaiki seluruh jaringan irigasi menjadi lebih

    baik dan pada tahun 1968 PAS diubah oleh Gubernur Jawa Tengah menjadi Dharma Tirta. P3A seperti

    Dharma Titarta terus bermunculan dan berkembang pada beberapa daerah dengan menunjukkan kinerja

    yang baik. Keberadaan dan peran kelembagaan lokal tersebut semakin mantap dengan adanya dukungan

    dari pemerintah yang mengarahkan agar lembaga-lembaga lokal tersebut dibina menjadi suatu organisasi

    yang disebut Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Sejalan dengan itu diterbitkanlah Inpres No. 1

    Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Pengelolaan Pengairan (Pengaturan Air dan Pemeliharaan Jaringan

    Irigasi).

    Di dalam perjalanannya P3A belum sepenuhnya dapat melaksanakan pembangunan jaringan

    irigasi. Karena itu pemerintah tetap membantu secara bertahap, dimulai dari perencanaan sedangkan

    pembangunanya oleh petani. Tetapi cara ini kurang berhasil karena petani masih belum mampu juga

    membangun. Kemudian pemerintah membangun bangunan sedangkan salurannya dibangun sendiri oleh

    petani. Inipun berjalaan sangat lambat. Akhirmya pemerintah menangani sepenuhnya seluruh

    pembangunan jaringan irigasi tersier walaupun dengan tetap mengikut sertakan petani secara aktif.

    Namun hal ini ternyata menimbulkan implikasi negatif yakni muncul kecenderungan sikap

    ketergantungan kepada pemerintah dan menurunnya rasa ikut memiliki dari petani.

    Pada era pemerintahan orde baru, pemerintah menganjurkan untuk membentuk organisasi

    perkumpulan petani pemakai air yang secara formal memuat AD&ART yang dibuat oleh pemerintah

    sebagai pijakan kegiatannya, sesuai dengan Inpres No. 2 tahun 1984 tentang Pembinaan Perkumpulan

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    24/33

    Petani Pemakai Air (P3A) yang diperkuat dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I

    Sumatera Utara Nomor 610/1965/K/Tahun 1990 tentang Pedoman Pembentukan dan Pembinaan

    Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Petani

    Pemakai Air di Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara. Berbeda dengan organisasi pemakai air

    sebelumnya yang bersifat tradisional, P3A adalah formal sifatnya, memakai Anggaran Dasar (AD) dan

    Anggaran Rumah Tangga (ART) dan terstruktur sebagaimana layaknya sebuah organisasi modern

    Pembentukan/pengesahan/pengakuan P3A sebagai badan hukum menurut KUHP tersebut dilakukan

    dengan cara menerbitkan surat keputusan Bupati dan meregistrasi di dalam buku besar. Sebagai badan

    hukum P3A wajib memiliki AD/ART serta syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh Bupati kepala daerah

    tingkat II (Ambler 1992).

    Atas dasar ini setiap desa yang mempunyai areal irigasi dianjurkan untuk membentuk

    perkumpulan petani pemakai air dengan penekanan khusus semacam keharusan, dengan berorientasi

    terhadap target jumlah dan waktu yang pada kenyataannya belum tentu menjadi kebutuhan masyarakat.

    Karena proses pembentukan yang demikian, maka banyak perkumpulan P3A yang kurang dapat

    berkembang. Belajar dari pengalaman tersebut, maka cara-cara tersebut harus ditinggalkan dan diganti

    dengan pendekatan partisipatif. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, proses desentralisasi dan

    penyerahan kewenangan, pengelolaan sumber daya air memerlukan proses redefinisi. Redefinisi tugas

    dan kewenangan lembaga pengelola yang harus terus dilaksanakan, termasuk di dalamnya mekanisme

    dan penyaluran pendanaan yang merupakan partisipasi dan otonomi yang lebih luas kepada pemerintah

    daerah dan masyarakat petani pemakai air. Dalam hal pengelolaan irigasi, telah dikeluarkan kebijakan

    Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi (PKPI) yang dicanangkan Presiden dan dituangkan dalam

    Inpres No. 3 Tahun 1999. Pembaharuan tersebut terdiri dari 5 (lima) agenda yaitu:

    1. Pengaturan kembali tugas dan tanggung jawab lembaga pengelola irigasi

    2. Pemberdayaan masayarakat petani pengelola air

    3. Penyerahan pengelolaan irigasi kepada perkumpulan petani pemakai air

    4. Penggalian sumber pendapatan untuk membiayai O&P, rehabilitasi dan pembangunan

    5. Pencegahan alih fungsi lahan, sehingga keberlanjutan jaringan irigasi tetap terjaga.

    Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Repubik Indonesia Nomor 20 tahun 2006 tentang Irigasi,

    Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) adalah kelembagaan pengelolaan irigasi yang menjadi wadah

    petani pemakai air dalam suatu daerah pelayanan irigasi yang dibentuk oleh petani pemakai air sendiri

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    25/33

    secara demokratis, termasuk lembaga lokal pengelola irigasi. Pengembangan Perkumpulan Petani

    Pemakai Air (P3A) didukung oleh Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 33/PRT/M/2007 tentang

    Pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A, dimana sesuai pasal 2: P3A/GP3A/IP3A merupakan organisasi petani

    pemakai air yang bersifat sosial-ekonomi dan budaya yang berwawasan lingkungan dan berasaskan

    gotong royong.

    Perkumpulan petani pemakai air berdasarkan tingkatannya terdiri atas:

    a. perkumpulan petani pemakai air (P3A) saluran tersier

    b. gabungan perkumpulan petani pemakai air (GP3A) saluran sekunder

    c. induk perkumpulan petani pemakai air (IP3A). Saluran primer

    Sejarah irigasi yang panjang di Indonesia telah memberi kesempatan bagi petani untuk

    menumbuhkan kelembagaan-kelembagaan pengelola air irigasi secara tradisional. Apabila sarana fisik

    sebuah jaringan merupakan perangkat kerasnya, maka lembaga-lembaga tersebut, baik yang formal

    maupun yang tidak formal merupakan perangkat lunaknya, yang mutlak diperlukan untuk mengelola air

    irigasi sebagaimana mestinya. Lembaga-lembaga yang telah dikembangkan oleh petani itu merupakan

    semacam sumber daya nasional yang sangat berharga, yang patut dipelajari agar potensi air irigasi dan

    kemakmuran penghuni pedesaan dapat terus ditingkatkan (Ambler, 1992).

    Masalah air baru dapat dirasakan dan mencuat kepermukaan pada waktu jumlahnya menjadi

    sangat berkurang karena kemarau, kerusakan empang dan saluran atau menjadi sangat melimpah karena

    banjir, kebobolan tanggul, dan sebagainya. Fungsi dan peranan kelembagaan dalam pengaturan irigasi ini

    terutama muncul ketika di perlukan, sementara jika semua berjalan secara normal dan kebutuhan pokok

    akan air terpenuhi, peranan kelembagaan menjadi pasif. Demi terlaksananya kelancaran pelaksanaan

    pengairan di suatu daerah, sebaiknya ada suatu organisasi yang mengatur sistem pengairan tersebut yang

    dapat mewakili aspirasi anggota khususnya petani pemakai air dalam mengairi lahannya. Organisasi

    secara sederhana dapat dikatakan adalah suatu wadah atau tempat untuk melakukan kegiatan bersama,

    agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama (Cahayani, 2003).

    Salah satu bentuk organisasi yang dapat dimanfaatkan petani untuk berperan serta dalam

    pengelolaan irigasi adalah organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) baik yang dibentuk

    pemerintah maupun oleh petani itu sendiri. Organisai P3A bersifat otonom dan mandiri:

    1. Orang atau lembaga manapun (seperti Pemdes, LSM dan siapapun) tidak boleh campur tangan, dalam

    arti mengatur atau mencampuri urusan perkumpulan petani pemakai air yang bersifat intern;

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    26/33

    2. Orang luar hanya boleh mendampingi dan memberi saran baik diminta maupun tidak. Saran boleh

    diterima atau ditolak oleh organisasi tersebut sesuai dengan keputusan rapat pengurus perkumpulan petani

    pemakai air; dan

    3. Organisasi P3A tidak tergantung orang luar, secara perlahan dan bertahap, organisasi ini berusaha

    untuk membiayai dirinya sendiri dengan kemampuan para anggotanya. Organisasi ini boleh menerima

    bantuan, akan tetapi tidak boleh menggantungkan diri dari bantuan. (Departemen PU, 2008)

    Organisasi dikembangkan sesuai dengan kemampuan yang ada dan kebutuhan petani. Organisasi

    ini perlu diberi hak sebagai otorita pengelola sumber air yang ada dalam wilayah kerjanya. Dengan

    demikian siapa saja yang berasal dari luar desa yang ingin memanfaatkan sumber air yang ada di wilayah

    kerja P3A dengan tujuan komersial harus bermusyawarah dengan organisasi itu agar hak petani atas air

    dapat terus terjamin. Apabila dikehendaki para anggota P3A organisasi ini boleh berkembang menjadi

    usaha ekonomi dan tidak hanya mengurusi masalah air saja. Setiap organisasi harus membentuk struktur

    organisasi sehingga jelas organisasi yang dimaksud. Struktur organisasi ini akan nampak lebih tegas

    apabila dituangkan dalam bagan organisasi yang merupakan kesatuan yang utuh dan mempunyai tugas

    masing-masing sesuai bidangnya. Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) demi tanggung jawab dan

    kelancaran pelaksanaan tugas pokoknya itu mempunyai susunan (struktur) organisasi.

    Adapun tujuan dari dibentuknya P3A adalah untuk:

    1. Menampung masalah-masalah dan aspirasi petani yang berhubungan dengan air untuk tanaman dan

    bercocok tanam. Selain itu organisasi ini juga sebagai wadah bertemunya petani untuk saling bertukar

    pikiran, tukar pendapat dan membuat keputusankeputusan guna memecahkan permasalahan yang

    dihadapi petani, baik yang dapat dipecahkan sendiri oleh petani maupun yang memerlukan bantuan dari

    luar.

    2. Memberikan pelayanan kebutuhan petani terutama dalam memenuhi kebutuhan air irigasi untuk usaha

    taninya. Dalam perkembangan P3A diharapkan dapat menjadi suatu unit usaha mandiri yang mampu

    menyediakan sarana produksi pertanian (saprotan) maupun dalam pemasarannya.

    3. Menjadi wakil petani dalam melakukan tawar menawar dengan pihak luar (Pemerintah, LSM, atau

    lembaga lainnya) yang berhubungan dengan kepentingan petani.

    4. Sebagai wadah bertemunya petani untuk saling bertukar pikiran, curah pendapat serta membuat

    keputusan-keputusan guna memecahkan permasalahan yang dihadapi petani, baik yang dapat dipecahkan

    sendiri oleh petani maupun yang memerlukan bantuan dari luar.

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    27/33

    5. Untuk berperan serta dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi primer dan sekunder.

    6. Menyelenggarakan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi pada jaringan

    Tugas pokok P3A dapat dijelaskan sebagai berikut:

    1. Melakukan pemeliharaan dan perbaikan jaringan-jaringan pengairan tersier dan pedesaan.

    2. Membuat peraturan-peraturan dan ketentuan pembagian air pengairan serta pengamanan jaringan-

    jaringan pengairan agar terhindar dari perusahaan si pembutuh air pengairan yang hanya mementingkan

    diri sendiri.

    3. Mengatasi dan menyelesaikan pelbagai masalah yang timbul dan terjadi diantara para anggota petani

    pemakai air pengairan di dalam pengelolaan air pengairan.

    4. Mengumpulkan dana mengurus iuran pembiayaan bagi kegiatan eksploitasi dan pemeliharaan

    bangunan dan jaringan pengairan dari para anggota petani pemakai air yang telah mereka sepakati

    bersama pada musyawarah diantara mereka.

    5. Sebagai badan masyarakat mewujudkan peran serta kepada pemerintah, melaksanakan kewajiban

    kewajiban pemerintah dalam rangka kegiatan yang menyangkut persoalan-persoalan pengairan dan

    pertanian (Kartasapoetra dan Mul, 1994).

    Dasar hukum dalam rangka pengelolaan irigasi dan petani pemakai air pemerintah telah

    menerbitkan peraturan perundang-undangan sebagai dasar pijakan yaitu:

    1. Undang-undang Republik Indonesia No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

    2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi.

    3. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah nomor 529/KPTS/M/2001 tentang Pedoman

    Penyerahan Kewenangan Pengelolaan Irigasi kepada Perkumpulan Petani Pemakai Air.

    4. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 30/PRT/M/2007, tentang Pedoman Pengembangan dan

    Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif.

    5. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor: 31/PRT/M/2007, tentang Pedoman Mengenai Komisi

    Irigasi.

    6. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor: 32/PRT/M/2007, tentang Pedoman Operasi dan

    Pemeliharaan Jaringan Irigasi.

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    28/33

    7. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor: 33/PRT/M/2007, tentang Pedoman Pemberdayaan

    P3A/GP3A/IP3A.

    Lembaga-lembaga tradisional pengelola irigasi yang sampai saat ini masih bertahan membuktikan

    betapa pentingnya organisasi dalam suatu pengelolaan air. Menurut Ambler (1992) organisasi pengelola

    air bukan sekedar untuk kegiatan teknis semata, namun juga merupakan suatu lembaga sosial, bahkan di

    pedesaan Indonesia kandungan kaidah-kaidah yang telah disepakati lebih sarat daripada sarana fisiknya.

    II.6 Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi

    Pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi yang berkesinambungan memerlukan keterpaduan

    holistic antara investasi jangka pendek untuk kegiatan Operasional dan Pemeliharaan (OP) dan jangka

    panjang untuk kegiatan rehabilitasi sistem irigasi (Rachman dan Pasandaran, 2000). Karena terbatasnya

    dana untuk menangani kegiatan OP irigasi, maka pemerintah mencanangkan kebijaksanaan Iuran

    Pengelolaan Air Irigasi (IPAIR). Tujuannya adalah untuk mencapai pemulihan biaya secara penuh atas

    biaya OP jaringan irigasi. Hal ini merupakan tantangan dan peluang bagi P3A dalam memperluas

    kegiatan usaha ekonominya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan para anggotanya. Untuk

    meningkatkan kapasitas P3A dalam mengelola jaringan irigasi secara mandiri, diperlukan penyesuaian

    fungsi kelembagaan P3A.

    Secara umum kebijaksanaan pengaturan irigasi yang dikeluarkan pemerintah memuat tentang

    perlindungan sumber daya air dan pengaturan pemanfaatannya. Kebijaksanaan pemerintah terbaru dalam

    pengelolaan air irigasi adalah Inpres No.3 tahun 1999 tentang pembaharuan kebijaksanaan pengelolaan

    irigasi. Kebijaksanaan tersebut memuat lima isi pokok sebagai berikut : 1) redefenisi tugas dan tanggung

    jawab lembaga pengelola irigasi, 2) pemberdayaan P3A, 3)Penyerahan Pengelolaan Irigasi (PPI)kepada

    P3A, 4)pembiayaan OP irigasi melalui IPAIR, dan 5)keberlanjutan sistem irigasi. Terlaksananya

    pembaharuan kebijaksanaan pengelolaan irigasi ini sangat bergantung pada upaya pemerintah dalam

    pemberdayaan P3A, khususnya menyangkut tiga aspek pokok yaitu : 1) Pelaksanaan PPI, 2) Pelaksanaan

    IPAIR, dan 3) Pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi. Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, IPAIR

    tidak lagi disetor ke DIspenda Kabupaten / Kota, tetapi sepenuhnya dikelola oleh P3A Gabungan yang

    wilayah kerjanya meliputi satu saluran sekunder dan P3A Federasi yang wilayah kerjanya meliputi satu

    saluran primer (Rachman dan Kariyasa, 2002). Sebagai konsekuensinya, perbaikan dan pemeliharaan

    saluran primer dan sekunder tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah.

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    29/33

    Lebih lanjut ditetapkan bahwa :

    1. Perbaikan dan pemeliharaan sepanjang saluran primer menjadi tanggung jawab P3A Federasi2. Perbaikan sepanjang saluran sekunder menjadi tanggung jawab P3A Gabungan3. Perbaikan dan pemeliharaan saluran tersier ke bawah masih menjadi tanggung jawab P3A

    dengan dana dari iuran P3A

    Dari sisi petani (P3A), pelaksanaan PPI dapat memberi manfaat sebagai berikut :

    1. Meningkatkan kemampuan P3A sebagai lembaga petani yang mandiri, dan mampumenyelesaikan permasalahan yang dihadapi

    2. Petani mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan dana IPAIRDari sisi pemerintah, manfaat IPAIR adalah

    1. Beban pemerintah daerah dalam kegiatan Operasional dan Pemeliharaan (OP) jaringan irigasijadi berkurang

    2. Pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator, bersifat koordinatif dan menjaga keberlanjutansumber daya air (Rachman dan Kariyasa, 2002).

    II.7 Penelitian Terdahul

    a. Farida Anggraini Siregar (1999) melakukan penelitian tentang Dampak Perkembangan IrigasiPerdesaan Terhadap Produksi Padi dan Pendapatan Masyarakat di Kabupaten Deli Serdang

    menyimpulkan antara lain:

    1. Dengan peningkatan produksi padi maka pendapatan masyarakat petani juga meningkat,

    2. Keberhasilan irigasi sangat dipengaruhi oleh sumber daya manusia yang tercermin dalam manajemen

    dan keterampilan petani, sumber daya air yang tercermin dari kepastian perolehan air, keajegan air baik di

    musim hujan maupun panas, dan manfaat air itu sendiri,

    3. Kinerja irigasi perdesaan sangat dipengaruhi oleh aspek teknis, sosial dan sosio teknis. Disamping

    aspek teknis, kinerja irigasi desa juga ditentukan oleh aspek sosial yang tercermin dari kemandirian, dan

    kebersamaan petani, sedangkan dari aspek sosio dipengaruhi oleh faktor partisipasi dan keberlanjutan.

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    30/33

    b. Khairul Anwar (2002) melakukan penelitian tentang Analisa Keefektifan PengelolaanPerkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Studi Kasus di Kabupaten Deli Serdang menyimpulkan

    bahwa:

    Keefektifan pengelolaan organisasi P3A di Kabupaten Deli Serdang masih dalam kondisi sedang. Hal ini

    disebabkan oleh Sumber Daya Manusia (SDM) pengurus masih sangat rendah, rasa memiliki anggota dan

    pengurus masih kecil dan pemahaman peran dan fungsi organisasi P3A masih kurang serta belum

    berfungsinya roda organisasi dengan baik.

    c. Dinsyah (2003) melakukan penelitian tentang Analisis Strategi Pemberdayaan PerkumpulanPetani Pemakai Air (P3A) Dalam Rangka Penyerahan Pengelolaan Irigasi Di Daerah Irigasi

    Sungai Ular Di Kabupaten Deli Serdang, menyimpulkan masih ada kendala-kendala yang

    dihadapi organisasi P3A. Kendala-kendala yang dihadapi adalah:

    1. Minimnya organisasi P3A yang berbadan hukum,

    2. Ketidak mampuan pengurus dari segi kepemimpinan dan keterampilan teknis,

    3. Kredibilitas dan akuntabilitas para pengurus P3A,

    4. Belum berfungsinya jaringan irigasi secara maksimal dan pengutipan iuran

    5. IPAIR dan denda iuran belum berjalan sebagaimana mestinya.

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    31/33

    BAB III

    METODOLOGI PENELITIAN

    III.1 Tempat dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini akan dilaksanakan pada lembaga P3A Karya Mandiri yang berada di Kanagarian

    Sungai Janiah Kecamatan Baso Kabupaten Agam. Alasan pemilihan tempat panelitian adalah karena

    lembaga P3A Karya Mandiri adalah lembaga pertanian berbasis irigasi yang didirikan murni dari

    keinginan dan inisiatif warga setempat yang bertekad untuk memajukan dan mengembangkan pertanian

    atau kegiatan usahatani di Kanagarian Sungai Janiah tanpa adanya campur tangan dari pemerintah.

    Penelitian ini dilaksanakan lebih kurang tiga bulan terhitung sejak dikeluarkannya surat tugas

    penelitian dari Program Pascasarjana Universitas Andalas Padang.

    III.2 Metode Penelitian

    Penelitian ini tergolong kedalam penelitian kualitatif dengan pendekatan secara deskriptif.

    Bogdan dan Taylor (1992: 21-22), Menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu prosedur

    penelitian yng menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang

    diamati. Pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasilkan uraian yang mendalam tentang ucapan,

    tulisan, dan atau perilaku yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat, dan atau

    organisasi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh,

    komprehensif, dan holistik.

    Penelitian kualitatif sifatnya deskriptif analitik. Data yang diperoleh seperti hasil pengamatan,

    hasil wawancara, hasil pemotretan, analisis dokumen, catatan lapangan, disusun peneliti di lokasi

    penelitian, tidak dituangkan dalam bentuk dan angka-angka. Peneliti segera melakukan analisis data

    dengan memperkaya informasi, mencari hubungan, membandingkan, menemukan pola atas dasar data

    aslinya (tidak ditransformasi dalam bentuk angka). Hasil analisis data berupa pemaparan mengenai situasi

    yang diteliti yang disajikan dalam bentuk uraian naratif. Hakikat pemaparan data pada umumnya

    menjawab pertanyaan-pertanyaan mengapa dan bagaimana suatu fenomena terjadi.

    Metode yang digunakan adalah metode survey. Menurut Nazir (2009:63) metode survey adalah

    pengumpulan data yang dilakukan terhadap obyek dilapangan dengan mengambil sampel dari suatu

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    32/33

    populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Masri

    Singarimbun, 1998: 63).

    III.3 Populasi dan Sampel Penelitian

    III.3.1 Populasi

    Populasi adalah semua unit analisis yang akan diteliti dalam suatu penelitian, baik lembaga atau

    instansi maupun wujud manusia. Menurut Arikunto (2001 : 102). Populasi merupakan seluruh elemen

    yang berada pada wilayah penelitian. Lebih rincinya lagi Sudjana (2002 : 5) menjelaskan bahwa :

    Populasi adalah totalitas nilai yang mungkin, hasil perhitungan atau pengukuran kuantitatif maupun

    kualitatif dari karakterisitik tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap dan jelas yang ingin

    dipelajari sifat-sifatnya.

    Unit analisis dalam penelitian ini adalah lembaga P3A Karya Mandiri yang membawahi sebuah

    kelompok tani yang bernama Baruah Pakan, sedangkan populasi dalam penelitian ini adalah seluruh

    anggota lembaga P3A Karya Mandiri yang terdiri dari Pengurus Inti, anggota kelompok tani dan petani

    yang memakai air dari jaringan irigasi Karya Mandiri yang berjumlah lebih kurang 75 orang, dengan

    rincian sebagai berikut :

    a. Pengurus Inti : 8 orangb. Anggota Kelompok Tani : 17 orangc. Petani Pemakai Air diluar Kelompok Tani : 50 orang

    Jumlah 75 orang

    III.3.2 Teknik Penentuan Sampel

    Menurut Sugiyono (2009:116), sample adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

    oleh populasi tersebut. Gaspertz (1990), mengemukakan bahwa dalam penetapan sampel dari suatu

    populasi dapat diambil persentase tertentu, misalnya 5%, 10%, 20%, atau 30% dari populasi tertentu.

    Penetapan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan homogenitas dari sifat-sifat yang ingin diteliti.

    Dalam penelitian ini penetapan sampel dilakukan secara purposive (sengaja), dimana dari 75 orang

    populasi diambil sampel sebanyak 30 orang yang dianggap sudah dapat mewakili populasi.

  • 7/29/2019 Proposal Tesis Deri Baru

    33/33

    III.4 Sumber dan Metode Pengumpulan Data

    Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer yang berasal dari jawaban atas

    pertanyaan yang diajukan kepada responden dalam kuesioner, serta pengamatan langsung di lapangan.

    Sedangkan data sekunder berasal dari arsip-arsip lembaga P3A, laporan dan dokumen-dokumen baik dari

    Kantor Kecamatan Baso, Kantor UPT Dipertnakbunhut Kecamatan Baso, Kantor BPP dan lain-lain yang

    ada hubungannya dengan penelitian ini

    .