Proposal Tesis Ane.......doc

66
USULAN PENELITIAN DAN TESIS A. Latar Belakang Permasalahan Masyarakat Islam Indonesia, sedang merubah paradigmanya terhadap hukum Islam, dari paradigma agama yang melihat hukum Islam hanya bagian dari agama Islam di Indonesia, menjadi paradigma hukum yang bersifat lebih luas, yang melihat hukum Islam bukan hanya sebagai bagian dari agama Islam melainkan juga bagian dari hukum Nasional Indonesia. Kedudukan dan peran hukum ekonomi Islam di Indonesia semakin terasa penting manakala dihubungkan dengan pembangunan ekonomi nasional yang disebut-sebut berorientasi atau berbasis kerakyatan. Urgensi dan kedudukan dan peran hukum ekonomi Islam dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, misalnya sudut sejarah, komunitas bangsa Indonesia, kebutuhan masyarakat dan dari sisi falsafah dan konstitusi Negara Indonesia. 1 1 Yusuf Buchori, 2007, Litigasi Sengketa Perbankan Syariah dalam Perspektif Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Purbalingga). Hal. 11 1

Transcript of Proposal Tesis Ane.......doc

Page 1: Proposal Tesis Ane.......doc

USULAN PENELITIAN DAN TESIS

A. Latar Belakang Permasalahan

Masyarakat Islam Indonesia, sedang merubah paradigmanya terhadap

hukum Islam, dari paradigma agama yang melihat hukum Islam hanya bagian

dari agama Islam di Indonesia, menjadi paradigma hukum yang bersifat lebih

luas, yang melihat hukum Islam bukan hanya sebagai bagian dari agama Islam

melainkan juga bagian dari hukum Nasional Indonesia. Kedudukan dan peran

hukum ekonomi Islam di Indonesia semakin terasa penting manakala

dihubungkan dengan pembangunan ekonomi nasional yang disebut-sebut

berorientasi atau berbasis kerakyatan. Urgensi dan kedudukan dan peran hukum

ekonomi Islam dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, misalnya sudut sejarah,

komunitas bangsa Indonesia, kebutuhan masyarakat dan dari sisi falsafah dan

konstitusi Negara Indonesia.1

Dari sudut pandang kesejarahan, jauh sebelum Negara kesatuan Republik

Indonesia terbentuk, sebelum kolonial Eropa menjajah nusantara maupun setelah

merdeka dan hingga sekarang ini, negeri ini telah dihuni oleh penduduk yang

mayoritas beragama Islam. Di daerah-daerah tertentu, hukum ekonomi Islam

telah dipraktekkan dalam masyarakat, seperti sistem bagi hasil dalam pertanian,

peternakan, dan simbol-simbol transaksi perdagangan di sejumlah pasar

tradisional yang terkesan kental dengan madzhab-madzhab figh yang dikenal

dalam masyarakat.

1 Yusuf Buchori, 2007, Litigasi Sengketa Perbankan Syariah dalam Perspektif Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Purbalingga). Hal. 11

1

Page 2: Proposal Tesis Ane.......doc

Dari segi komunitas yang mendiami Negara Republik Indonesia, mayoritas

beragama Islam, maka adalah wajar jika hukum Negara dipengaruhi oleh hukum

agama yang dianut mayoritas penduduknya. Pemberlakuan hukum ekonomi

Islam sama sekali tidak terkait dengan apa yang dikenal dengan sebutan “dictator

mayoritas” dan atau “tirani minoritas”. Alasannya, karena penerapan hukum

Islam tidak dilakukan secara paksa apalagi dipaksakan, bahkan secara sukarela

para pebisnis non muslim tertarik dengan praktek ekonomi Islam.2 Sistem

ekonomi Islam termasuk sistem hukumnya berjalan sebanding dan sederajat

dengan sistem ekonomi dan sistem hukum ekonomi konvensional.

Dari sudut kebutuhan masyarakat, kehadiran sistem hukum ekonomi Islam

di Indonesia juga disebabkan oleh kebutuhan masyarakat pada umumnya.

Terbukti dengan keterlibatan aktif lembaga-lembaga keuangan dan lembaga-

lembaga ekonomi lain yang juga menerima kehadiran sistem ekonomi Islam,

baik lembaga keuangan seperti perbankan maupun non perbankan dan lembaga

pembiayaan lainnya, di Negara hukum Indonesia, kedudukan hukum ekonomi

Islam sesungguhnya sangatlah kuat sebagaimana kedudukan hukum Islam secara

umum. Demikian pula peran hukum ekonomi Islam bisa digunakan terutama

dalam menopang, melengkapi, dan mengisi kekosongan hukum ekonomi

nasional, sebagaimana peran hukum Islam secara umum bisa menopang,

melengkapi dan mengisi kekosongan hukum nasional.

Kehadiran hukum ekonomi Islam dalam tata hukum Indonesia dewasa ini,

sesungguhnya tidak lagi hanya sekedar tuntutan sejarah dan kependudukan

2 Ahmad Jauhari, Peran Arbitrase dalam Sistem Ekonomi Islam, (Makalah Seminar Nasional, di Semarang) 2006, hal 1.

2

Page 3: Proposal Tesis Ane.......doc

(karena mayoritas beragama Islam) sebagaimana disebutkan diatas, tetapi lebih

jauh dari itu adalah karena adanya kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui

dan dirasakan benar betapa adil dan meratanya sistem Ekonomi Islam dalam

mengawal kesejahteraan rakyat sebagaimana dicita-citakan para pendiri Negara

Republik Indonesia.

Kedudukan ekonomi Islam sama sekali tidak bertentang dengan Pancasila

sebagai dasar dan falsafah Negara Indonesia, terutama sila “Ketuhanan Yang

Maha Esa” dan juga tidak berlawanan dengan Undang-undang Dasar 1945

sebagai konstitusi Negara Indonesia, sebagaimana dalam pembukaannya

disebutkan “…….Dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia” juga Pasal 29, 33, dan 34 Undang-undang Dasar 1945.

Pertumbuhan sistem ekonomi syariah semakin hari semakin dirasakan

kehadirannya baik dikalangan pelaku bisnis maupun dikalangan ummat yang

ingin menjadi muslim secara kaffah. Hal tersebut terlihat salah satu dalam

kegiatan ekonomi Islam adalah seperti perbankan syari’ah. Bukan hanya dalam

lingkungan perbankan saja, melainkan juga tumbuh dalam berbagai bidan bisnis

yang lainnya, seperti Asuransi Syariah, Pegadaian Syariah, Pasar Modal Syariah,

dan yang lainnya. Dengan penunjukkan data-data dari banyak sumber tentang

perkembangan ekonomi syariah, sehingga mengukuhkan pendapat banyak

kalangan, terutama akademisi dan ekonom muslim, bahwa saat ini tidak ada

alasan untuk menolak penerapan sistem ekonomi syariah, khususnya di

Indonesia.3

3 Mengenai perkembangan ekonomi syariah, baca dalam Nur Kholis (2006), Penegakan Syariah Islam di Indonesia (Prespektif Ekonomi), dalam Jurnal Hukum Islam Al Mawarid, Edisi : XVI, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hal ; 169-175. Adapun

3

Page 4: Proposal Tesis Ane.......doc

Masyarakat Ekonomi Internasional, mengenal Bank Syariah dengan istilah

“Islamic Banking” atau “Islamic Window”.4 Dan pada mula berdirinya Bank

Islam banyak diragukan berbagai pihak, dengan alasan bahwa sistem perbankan

tanpa bunga (interest free) adalah suatu yang tak mungkin dan tak lazim karena

bagaimana dengan biaya operasionalnya kalau tidak ada bunga.

Dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, secara

implisit disebutkan bahwa Bank Syariah adalah badan usaha yang menghimpun

dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada

masyarakat dalam bentuk pembiayaan atau bentuk lainnya dalam rangka

meningkatkan taraf hidup orang banyak berdasarkan prinsip syariah.5 definisi

yang tidak jauh beda juga secara implisit disebutkan dalam Undang-Undang No.

21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.6 Bank Syariah disamping untuk

melayani masyarakat menengah dan bawah, peraturan perundang-undangan di

Indonesia juga mengizinkan beroperasinya lembaga keuangan mikro yang

dikenal dengan baitul mal wa tamwil (BMT). Dasar pemikiran pengembangan

bank syariah adalah untuk memberikan pelayanan jasa perbankan kepada

sebagian masyarakat Indonesia yang tidak dapat dilayani oleh perbankan yang

sudah ada, karena bank-bank tersebut menggunakan sistem bunga.7

data lengkap perkembangan ekonomi syariah dalam angka, lihat Dadang Muljawan (200…), Islamic Financial Engineering, A Regulatory Perspective, Slide yang disampaikan pada International Seminar on Islamic Financial Engineering 9-10 Januri Yogyakarta, Indonesia. Atau lihat dalam http://www.bi.go.id.

4 Sutan Remy Syahdaini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta, PT. Kreatama, 2005, hal 5-8.

5 Pasal 1 angka 2 dan 13 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

6 Pasal 1 angka 1, 2 dan 7 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.7 Sultan Remy Syahdaini, Ibit. hal. 1

4

Page 5: Proposal Tesis Ane.......doc

Bank Islam memberikan layanan bebas bunga (interest free) kepada para

nasabahnya. Pembayaran dan penarikan bunga dalam semua bentuk transaksi

dilarang oleh Islam. Islam melarang kaum muslimin menarik atau membayar

bunga. Larangan atas bunga inilah yang membedakan sistem perbankan syariah

dengan sistem perbankan konvensional. Meskipun sebelumnya terjadi

perdebatan mengenai apakah riba sama dengan atau ada kaitannya dengan bunga

(Interest) atau tidak, namun sekarang tampak ada konsensus dikalangan ulama,

bahwa istilah riba meliputi segala bentuk bunga.

Dalam kegiatan ekonomi yang bebas bunga sekalipun, dimungkinkan

terjadinya perselisihan, karena manusia (personlijk) sebagai ciptaan Allah dan

badan hukum (personrecht) sebagai ciptaan hukum, merupakan subyek hukum

dalam lalu lintas hukum. Manusia dan badan hukum yang dalam terminologi

hukum disebut “orang” dalam aktifitasnya sehari-hari khususnya dalam kegiatan

bisnis sangat mungkin saling bersinggungan dan menimbulkan akibat hukum.

Dalam melakukan hubungan hukum, manusia atau badan hukum bisa saja terjadi

konflik atau sengketa keperdataan.

Secara prinsip, penegakan hukum di Indonesia hanya dapat dilakukan oleh

kekuasaan kehakiman (judicial power) yang dilembagakan secara konstitusional

yang lazim disebut badan yudikatif (Pasal 24 UUD 1945). Dengan demikian

yang berwenang memeriksa dan mengadili sengketa hanya badan peradilan yang

bernaung di bawah kekuasaan kehakiman yang berpuncak kepada Mahkamah

Agung RI.

5

Page 6: Proposal Tesis Ane.......doc

Pasal 2 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah

dengan Undang-undang No. 35 Tahun 1999 kemudian telah diubah lagi dengan

Undang-undang No. 4 Tahun 2004 dan terakhir di ubah dengan Undang-undang

No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, secara tegas menyatakan

bahwa yang berwenang dan berfungsi melaksanakan peradilan hanya badan-

badan peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Diluar itu tidak

dibenarkan karena tidak memenuhi syarat formal dan official dan bertentangan

dengan prinsip under the authority of law.

Dalam konstitusional Negara Republik Indonesia, Pasal 24 ayat (2)

Undang-undang Dasar 1945 (amandemen ketiga tahun 2001) jo. Pasal 28

Undang-undang No.4 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-

undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan ada 4

(empat) lingkungan badan peradilan di bawah kekuasaan Mahkamah Agung RI

yaitu lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan

Peradilan Militer, dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

Namun demikian, dalam penjelasan Pasal 58 Undang-undang No. 4 Tahun

2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 48 Tahun 2009

dinyatakan bahwa, tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilakukan

diluar peradilan Negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.

Selanjutnya dalam pasal yang sama dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2004

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 48 Tahun 2009, secara

tegas disebutkan bahwa suatu sengketa perdata selain diselesaikan melalui

6

Page 7: Proposal Tesis Ane.......doc

lembaga peradilan (proses litigasi), dapat pula diselesaikan melalui arbitrase

(non litigasi) atau alternatif penyelesaian sengketa.

Perbankan Syariah termasuk dalam lingkup hukum perdata atau muamalat

dalam Hukum Islam, dan lebih khusus lagi bagian dari hukum bisnis. Sengketa

perdata atau muamalat dalam hukum Islam penyelesaian bisa menempuh jalan

perdamaian (al-Shulh) atau arbitrase (al Tahkim) atau jalan terakhir melalui

proses peradilan (al-Qadla).8

Dengan demikian jika terjadi sengketa antara bank syariah dengan

nasabahnya, maka sebelum menempuh jalur hukum melalui lembaga peradilan,

para pihak dapat menempuh cara lain yang dipandang menguntungkan kedua

belah pihak yaitu melalui perdamaian atau arbitrase atau dikenal dengan ADR

(Alternatif Dispute Resolution). Sebagai lembaga yang berperan dalam

penyelesaian sengketa dibidang muamalah, khusus untuk menyelesaikan

sengketa perbankan syariah masyarakat pelaku bisnis cenderung untuk

menyelesaikan segala sengketanya melalui badan Arbitrase yang khusus

menyelesaikan sengketa di bidang syariah yang dikenal dengan Badan Arbitrase

Syariah Nasional (BASYARNAS).

Pembentukan lembaga Basyarnas disamping banyak memberikan manfaat

bagi para pelaku usaha maupun nasabah dalam penyelesaian sengketa, tetapi

masih banyak kelemahan yang perlu dikaji secara mendalam. Berdasarkan

penelusuran kepustakaan, telaahan dari beberapa peraturan perundang-undangan

terkait masalah pelaksanaan putusan Arbitrase Syariah ini, sampai saat ini masih

8 Abdul Mana, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Sebuah kewenangan baru Peradilan Agama, (makalah disampaikan pada Dies Natalis Universitas yarsi, 7 Pebruari 2007), hal 3-11.

7

Page 8: Proposal Tesis Ane.......doc

menimbulkan polemik dan terjadinya dualisme lembaga yang dapat

melaksanakan putusan dari Basyarnas tersebut.

Kondisi ini timbul dikarenakan lahirnya Undang-undang No. 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang memberikan kewenangan kepada

Pengadilan Negeri untuk melaksankan putusan Basyarnas sebagai lembaga

Arbitrase Syariah sementara Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai

perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah

memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk untuk menyelesaikan

sengketa ekonomi syariah.

Dari uraian diatas, maka perlu adanya pengkajian yang secara

komprehensif untuk menilai eksistensi penyelesaian sengketa syariah melalui

badan Arbitrase Syariah dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan

baik dalam bidang perbankan, Alternatip Penyelesaian Sengketa dan kekuasaan

kehakiman, sebagai upaya memberikan perlindungan baik kepada nasabah

maupun pelaku usaha serta memberikan kepastian hukum mengenai lembaga

mana yang berwenang untuk melaksanakan putusan Basyarnas tersebut. Dengan

demikian sangat menarik bagaimana eksisten penyelesaian sengketa perbankan

syariah melalui Badan Arbitrase Syariah ini untuk diteliti lebih lanjut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan kepastian hukum dalam kegiatan Bisnis Berbasis

Syariah?

8

Page 9: Proposal Tesis Ane.......doc

2. Bagaimanakah penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Arbitrase ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan Badan Arbitrase Syariah Nasional

(Basyarnas) dalam perundang-undang terhadap kewenangan pelaksanaan

putusan Arbitrase Syariah sehingga dapat dibuktikan terjadinya konflik norma

dalam hal pelaksanaan putusan Arbitrase Syariah yang tidak dilaksanakan

secara sukarela ;

2. Untuk mendapatkan pemahaman bagaimana asas preferensi hukum dapat

menjawab permasalahan terhadap dualisme lembaga eksekutorial Arbitrase

Syariah melalui pendekatan antinomi hukum ;

Sedangkan kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum

berkaitan konflik norma yang terjadi dalam peraturan perundang-undangan

menggunakan pendekatan asas preferensi hukum terhadap persoalan antinomy

hukum.

2. Secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat memberikan

sumbangan pemikiran bagi instansi Pemerintah (Kementrian Hukum dan

HAM), Basyarnas dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan

pertimbangan dalam menyusun undang-undang terkait dibidang perbankan

syariah khususnya mengenai lembaga eksekutorial putusan Arbitrase Syariah.

9

Page 10: Proposal Tesis Ane.......doc

D. Tinjauan Pustaka

1. Penyelesaian Sengketa Dalam Konsepsi Hukum Islam.

1.1 Al Sulh (Perdamaian)

Secara bahasa, “sulh” berarti meredam pertikaian, sedangkan

menurut istilah “sulh” berarti suatu jenis akad atau perjanjian untuk

mengakhiri perselisihan/pertengkaran antara dua pihak yang bersengketa

secara damai. 9 Menyelesaikan sengketa berdasarkan perdamaian untuk

mengakhiri suatu perkara sangat dianjurkan oleh Allah SWT,

sebagaimana tersebut dalam surat An Nisa’ ayat 126 yang artinya

“Perdamaian itu adalah perbuatan yang baik”.

Ada tiga rukun yang yang harus dipenuhi dalam perjanjian

perdamaian yang harus dilakukan oleh orang melakukan perdamaian,

yakni ijab, qabul dan lafazd dari perjanjian damai tersebut. Jika ketiga hal

ini sudah terpenuhi, maka perjanjian itu telah berlangsung sebagaimana

yang diharapkan. Dari perjanjian perdamaian itu lahir suatu ikatan hukum,

yang masing-masing pihak berkewajiban untuk melaksanakannya. Perlu

diketahui bahwa perjanjian damai yang sudah disepakati itu tidak bisa

dibatalkan secara sepihak. Jika ada pihak yang tidak menyetujui isi

perjanjian itu, maka pembatalan perjanjian itu harus atas persetujuan

kedua belah pihak.

1.2 Tahkim (Arbitrase)

9 A.W Munawir, Kamus Al Munawir, Pondok Pesantren Al Munawir, Yogyakarta, 1984, hal 843.

10

Page 11: Proposal Tesis Ane.......doc

Dalam perspektif Islam, “arbitrase” dapat dipadankan dengan

istilah “tahkim”. Tahkim sendiri berasal dari kata “hakkama”. Secara

etimologi, Tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu

sengketa. Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama dengan

arbitrase yang dikenal dewasa ini yakni pengangkatan seseorang atau

lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih, guna

menyelesaikan perselisihan mereka secara damai, orang yang

meyelesaikan disebut dengan “Hakam”.

Menurut Abu al Ainan Fatah Muhammad10 pengertian tahkim

menurut istilah fiqih adalah sebagai bersandarnya 2 (dua) orang yang

bertikai kepada seseorang yang mereka ridhai keputusannya untuk

menyelesaikan pertikaian para pihak yang bersengketa. Sedangkan Said

Agil Husein al Munawar pengertian “tahkim” menurut kelompok ahli

hukum Islam mazhab Hanafiyah adalah memisahkan persengketaan atau

menetapkan hukum diantara manusia dengan ucapan yang mengikat

kedua belah pihak yang bersumber dari pihak yang mempunyai kekuasaan

secara umum.11

Lembaga arbitrase telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada saat

itu meskipun belum terdapat sistem Peradilan Islam yang terorganisir,

setiap ada persengketaan mengenai hak milik, hak waris dan hak-hak

lainya seringkali diselesaikan melalui juru damai (wasit) yang telah

10 Abu al Ainain Fatah Muhammad, Al Qadha wa al Itsbat fi al fiqh al Islami, Darr Al Fikr Kairo, Mesir, 1976, hal 84.

11 Said Agil Husein al Munawar, Pelaksanaan Arbitrase di Dunia Islam Dalam Arbitrase Islam di Indonesia, BAMUI & BMI, Jakarta, 1994, hal 48-49.

11

Page 12: Proposal Tesis Ane.......doc

ditunjuk oleh mereka yang bersengketa. Lembaga perwasitan ini terus

berlanjut dan dikembangkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa

dengan memodifikasi yang pernah berlaku pada masa pra Islam. Tradisi

arbitrase ini berkembang pada masyarakat Mekkah sebagai pusat

perdagangan untuk menyelesaikan sengketa bisnis diantara mereka. Nabi

Muhammad SAW. Sendiri sering menjadi mediator dalam berbagai

sengketa yang terjadi, setelah daerah sudah berkembang luas mediator

ditunjuk dari kalangan sahabat dan dalam menjalankan tugasnya tetap

berpedoman pada al Quran, al Hadis dan Ijtihad menurut kemampuan.

Ruang lingkup arbitrase hanya terkait dengan persoalan yang

menyangkut “huququl ibad” (hak-hak perseorangan) secara penuh, yaitu

aturan-aturan hukum yang mengatur hak-hak perorangan yang berkaitan

dengan harta bendanya. Umpamanya kewajiban mengganti rugi atas diri

seorang yang telah merusak harta orang lain, hak seorang pemegang gadai

dalam pemeliharannya, hak-hak yang menyangkut jual beli, sewa

menyewa dan hutang piutang. Oleh karena tujuan Arbitrase itu hanya

menyelesaikan sengketa dengan jalan damai, maka sengketa yang biasa

diselesaikan dengan jalan damai itu hanya yang menurut sifatnya

menerima untuk didamaikan yaitu sengketa yang menyangkut dengan

harta benda dan yang sama sifatnya dengan itu sebagaimana yang telah

diuraikan diatas.

1.3 Wilayat al Qadha (Kekuasaan Kehakiman)

a. Al Hisbah

12

Page 13: Proposal Tesis Ane.......doc

Al Hisbah adalah lembaga resmi Negara yang diberi

wewenang untuk menyelesaikan masalah-masalah atau pelanggaran

ringan yang menurut sifatnya tidak memerlukan proses peradilan

untuk menyelesaikannya. Kewenangan lembaga Hisbah ini tertuju

kepada tiga hal yakni : pertama : dakwaan yang terkait dengan

kecurangan dan pengurangan takaran atau timbangan, kedua :

dakwaan yang terkait dengan penipuan dalam komoditi dan harga

seperti pengurangan takaran dan timbangan di pasar, menjual bahan

makanan yang sudah kadaluarsa dan ketiga : dakwaan yang terkait

dengan penundaan pembayaran hutang padahal pihak yang berhutang

mampu membayarnya.

Dari uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa kekuasaan al

Hisbah ini hanya terbatas pada pengawasan terhadap penunaian

kebaikan dan melarang orang dari kemunkaran. Menyuruh kepada

kebaikan terbagi kepada tiga bagian yakni pertama : menyuruh kepada

kebaikan yang terkait dengan hak-hak Allah misalnya menyuruh orang

untuk melaksanakan sholat jum’at jika ditempat tersebut sudah cukup

orang untuk melaksanakannya dan menghukum bagi mereka jika

terjadi ketidak beresan pada penyelenggaraan sholat jum’at tersebut,

kedua : terkait dengan hak-hak manusia, misalnya penanganan hak

yang tertunda dan penundaan pembayaran hutang. Munasib berhak

menyuruh orang yang mempunyai hutang untuk segera melunasinya,

ketiga : terkait dengan hak bersama antara hak-hak Allah dan hak-hak

13

Page 14: Proposal Tesis Ane.......doc

manusia, misalnya menyruh para wali menikahkan gadis-gadis yatim

dengan orang laki-laki yang sekufu, atau mewajibkan wanita-wanita

yang dicerai untuk menjalankan iddahnya. Para Muhtasib berhak

menjatuhkan ta’zir kepada wanita-wanita itu apabila ia tidak mau

menjalankan iddahnya.

b. Al Madzalim

Badan ini dibentuk oleh pemerintah untuk membela orang-

orang teraniaya akibat sikap semena-mena dari pembesar Negara atau

keluarganya, yang biasanya sulit untuk diselesaikan oleh Pengadilan

biasa dan kekuasaah hisbah. Kewenangan yang dimiliki oleh lembaga

ini adalah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hukum yang

dilakukan oleh aparat atau pejabat pemerintah seperti sogok

menyogok, tindakan korupsi dan kebijakan pemerintah yang

merugikan masyarakat. Orang yang berwenang menyelesaikan perkara

ini disebut dengan nama wali al Mudzalim atau al Nadir.

Melihat kepada tugas yang dibebankan kepada wilayah al

Mudzalim ini, maka untuk diangkat sebagai pejabat dalam lingkungan

al Mudzalim ini haruslah orang yang pemberani dan sanggup

melakukan hal-hal yang tidak sanggup dilakukan oleh hakim biasa

dalam menuduhkan pejabat dalam sengketa. Seseorang yang pengecut

dan tidak berwibawa tidak layak untuk diangkat sebagai pejabat yang

melakukan tugas-tugas di lingkungan al Mudzalim. Tugas-tugas al

Mudzalim pernah dilakukan oleh Rasullah SAW sendiri, namun badan

14

Page 15: Proposal Tesis Ane.......doc

ini baru berkembang pada pemerintahan Bani Umayyah pada masa

pemerintahan Abdul Malik Ibn Marwan.

c. Al Qadha (Peradilan)

Menurut arti bahasa, al Qadha berarti memutuskan atau

menetapkan. Menurut istilah berarti “menetapkan hukum syara’ pada

suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikannya secara adil dan

mengikat”. Adapun kewenangan yang dimiliki oleh lembaga ini

adalah menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang berhubungan

dengan masalah al ahwal asy syakhsiyah (masalah keperdataan,

termasuk didalamnya hukum keluarga), dan masalah jinayat (yakni

hal-hal yang menyangkut pidana).12

Orang yang diberi wewenang menyelesaikan perkara di

Pengadilan disebut dengan qadhi (hakim). Dalam catatan sejarah

Islam, seorang yang pernah menjadi qadhi (hakim) yang cukup lama

adalah a Qadhi Syureih. Beliau memangku jabatan hakim selama dua

periode sejarah. Yakni pada masa penghujung pemerintah

Khulafaurrasyidin (masa Khalifah Ali Ibn Abi Thalib) dan masa awal

dari pemerintahan Bani Umayyah. Disamping tugas-tugas

menyelesaikan perkara, para hakim pada pemerintahan Bani Umayyah

juga diberi tugas tambahan yang bukan berupa penyelesaian perkara,

misalnya menikahkan wanita yang tidak punya wali, pengawasan

baitul mall dan mengangkat pengawas anak yatim.

12 Imam Al Mawardi,Al Ahkam al Sulthaniyyah,Darr al Fikr,Bairut,Libanon,1960,hal 244.

15

Page 16: Proposal Tesis Ane.......doc

Melihat ketiga wilayah al Qadha (kekuasaan kehakiman)

sebagaimana tersebut diatas, bila dipadankan dengan kekuasaan

kehakiman di Indonesia, nampaknya dua dari tiga kekuasaan

kehakiman terdapat kesamaan dengan Peradilan yang ada di

Indonesia. Dari segi substansi dan kewenangannya, wilayah al

mudzalim bisa dipadankan dengan Peradilan Tata Usaha Negera,

wilayah al Qadha bisa dipadankan dengan lembaga Peradilan umum

dan Peradilan Agama. Sedangkan wilayatul al Hisbah secara substansi

tugasnya mirip dengan Polisi atau Kamtibmas, Satpol PP.

2. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Jalur Non Litigasi

Di Indonesia penyelesaian sengketa melalui jalur Non Litigasi diatur

dalam satu pasal, yakni Pasal 6 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

2.1 Arbitrase

Arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin) atau arbitrage (Belanda)

yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan,

artinya bahwa penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh seorang atau

beberapa orang arbiter atas dasar kebijaksanaannya dan para pihak akan

tunduk pada atau mentaati putusan yang diberikan oleh arbiter yang mereka

pilih atau tunjuk. Dalam menjatuhkan putusan para arbiter biasanya tetap

menerapkan hukum seperti halnya yang dilakukan oleh hakim di pengadilan.13

13 Gunawan Widjaja dan Yani Ahmad, Hukum Arbitrase Seri Hukum Bisnis, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000, hal 3.

16

Page 17: Proposal Tesis Ane.......doc

Menurut Sudargo Gautama arbitrase adalah suatu cara penyelesaian

sengketa yang jauh dianggap lebih baik daripada penyelesaian melalui

saluran-saluran biasa.14

Sedangkan yang termuat dalam Black Law Dictionary, men

difinisikan:

“Arbitration. The reference of a dispute to an impartial (third) person

chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by

the arbitrator’swasta award issued after hearing at which both parties

have an opportunity to be heard. An arrangement for taking and

abiding by the judgement of selected person in some dispute matter,

instead of crrying it to establish tribunals of justice, and is intended to

avoid the formalities, the delay, the expense an vexation of ordinary

litigation.

Sementara menurut Pasal 1 angka (1) Undang-undang No. 30 Tahun

1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar

pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat

secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.15 Selanjutnya dalam

ketentuan Pasal 1 angka (8) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, disebutkan : “Lembaga

Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk

memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut dapat 14 Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang International, Bandung : Alumni, 1979 hal. 1.15 Lihat juga dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009, arbitrase adalah

cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa, dalam Undang-undang jenis pengadilan tidak disebutkan, berbeda dengan Undang-undang No. 30 Tahun 1999 disebutkan jenis Peradilan Umum.

17

Page 18: Proposal Tesis Ane.......doc

memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum

tertentu dalam hal belum timbul sengketa”.

Arbitrase (arbitration) dimana para pihak menyetujuan untuk

menyelesaiakan sengketa kepada para pihak yang netral. Dalam arbitrase,

para pihak memilih sendiri pihak yang bertindak sebagai hakim dan hukum

yang diterapkan.16 Arbitrase hakikatnya merupakan hakim swasta sehingga

mempunyai kompetensi untuk membuat putusan terhadap sengketa yang

terjadi, putusan yang dimaksud bersifat final dan bindang, serta merupakan

win-loss solution.17

Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk yaitu :18

1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang

dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo) ;

atau

2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul

sengketa (Akta Kompromis)

Sebelum Undang-undang Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai

arbitrase diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara

Perdata (Rv). Selain itu, dalam Pasal 58 Undang-undang No. 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di

luar pengadilan melalui prosedur yang disepakati para pihak tetap di

perbolehkan. Mantan Hakim Agung RI Prof. Yahya Harahap, S.H.

16 Khotibul Umam, Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2010. hal 12.

17 Ibid18 Budhy Budiman, Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktek

Peradilan Perdata dan Undang-undang No. 30 Tahun 1999, http://www.uika-bogor.ac.id.

18

Page 19: Proposal Tesis Ane.......doc

menegaskan bahwa keberadaan arbitrase itu sebelum adanya Undang-undang

No. 30 Tahun 1999, bertitik tolak dari pasal 377 HIR atau pasal 705 R.Bg,

pada ketentuan tersebut Pasal 377 HIR tersebut telah memberikan

kemungkinan dan kebolehan bagi para pihak yang bersengketa untuk

membawa dan menyelesaikan perkara yang timbul diluar jalur pengadilan

apabila mereka menghendakinya. Penyelesaian dan keputusannya dapat

mereka serahkan sepenuhnya kepada juru pisah yang lazim dikenal dengan

nama arbitrase.19

Dengan demikian arbitrase merupakan suatu sistem atau cara

penyelesaian sengketa keperdataan oleh pihak ketiga yang disepakati atau

ditunjuk oleh para pihak baik sebelum terjadinya sengketa maupun setelah

terjadinya sengketa. Arbitrase dalam figh Islam, padanannya adalah tahkim

dan kata kerjanya hakam yang secara harfiah berarti menjadikan seseorang

sebagai penengah atau hakam bagi suatu sengketa.20 Dalam hukum Islam

istilah yang sepadan dengan tahkim adalah ash-shulhu yang berarti memutus

pertengkaran atau perselisihan. Maksudnya adalah suatu akad atau perjanjian

untuk mengakhiri perlawanan atau pertengkaran antara dua orang yang

sedang bersengketa..21 Lembaga ini telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada

masa itu, meskipun belum terdapat sistem peradilan yang terorganisir, setiap

ada perselisihan mengenai hak milik, waris dan hak-hak lainnya seringkali

19 Yahya Harahap, Arbitrase Komersial Internasiional, Jakarta, Pustaka Kartini, hal 21-2220 Lihat Q.S. An-Nisa ayat 65.21 A. Rahmat Rosyadi dan Ngatino, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif,

Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002, hal 43.

19

Page 20: Proposal Tesis Ane.......doc

diselesaikan melalui bantuan juru damai atau wasit yang ditunjuk oleh

masing-masing pihak yang berselisih.22

Dalam tradisi figh Islam, menurut Prof. Yahya Harahap, S.H., telah

dikenal adanya lembaga hakam yang sama artinya dengan “arbitrase”, hanya

saja lembaga hakam tersebut bersifat ad-hoc,. Antara sistem hakam dengan

sistem arbitrase memiliki ciri-ciri yang sama yaitu :

a. Penyelesaian sengketa secara volunteer.

b. Di luar jalur peradilan resmi.

c. Masing-masing pihak yang bersengketa menunjuk seorang atau lebih yang

dianggap mampu, jujur dan independen.

Sedangkan kesamaan dari segi kewenangannya, adalah :

a. Bertindak sebagai mahkamah arbitrase (arbitral tribunal)

b. Sejak ditunjuk tidak dapat ditarik kembali.

c. Berwenang penuh menyelesaikan sengketa dengan cara menjatuhkan

putusan dan putusannya bersifat final dan mengikat (final and binding).

2.2 Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa Malalui Lembaga Arbitrase

Dalam ajaran Islam, semua aktivitas hendaknya selalu bersandarkan

pada dasar hukum yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan as-Sunnah atau

pun melalui hasil ijtihad. Eksistensi Majelis Tahkim atau Badan Arbitrase

sangat dianjurkan dalam Islam guna mencapai kesepakatan yang maslahah

dalam penyelesaian suatu sengketa berbagai bidang kehidupan termasuk

sengketa-sengketa dalam bidang muamalah (perdata). Hal itu dimaksudkan

agar umat Islam terhindar dari perselisihan yang dapat memperlemah

22 NJ. Coulson, a History of Islamic Law, Edinburg, University Press, 1991, hal 10.

20

Page 21: Proposal Tesis Ane.......doc

persatuan dan kesatuan ukhuwah Islamiyah. Dasar hukum bagi keharusan ber-

tahkim adanya anjuran al Quran tentang perlunya “perdamaian”, yaitu QS. Al

Hujarat ayat 9 yang berbunyi sebagai berikut :

Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang

hendaklah kamu damaikan antara keduanya ! tapi kalau yang satu

melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar

perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah

Allah, kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut

keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil ; sesungguhnya Allah

mencintai orang-orang yang berlaku adil23.

Dalam ayat lain Q.S an Nisa ayat 35 :

Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya maka

kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam

dari keluarga perempuan, jika kedua orang hakam itu bermaksud

mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami

istri itu. Sesungguhnya Allah maha Mengetahui lagi Maha

Mengenal.24

Dasar hukum arbitrase selanjutnya adalah al Hadis, selain al Quran

dan al hadis juga ijmak (kesepakatan) ulama-ulama dari kalangan sahabat

Rasulullah S.A.W. atas keabsahan praktek tahkim. Pada masa sahabat telah

terjadi sengketa secara arbitrase di kalangan para sahabat dan tak seorang pun

23 Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya (Al Qur’an wa tarjamah Ma’nihi ila al Lughah al Indonesiyyah), Makkah, Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fadh bin Abdul Aziz As Su’udi Ath Thaba’ah al Mushah Asy Syarif, 1412 H. hal 846.

24 Ibid, hal 123.

21

Page 22: Proposal Tesis Ane.......doc

yang menentangnya.25 Bahkan Umar bin Khattab telah memberikan

pengarahan dalam persolan ini dengan menyatakan :

Perdamaian itu diperbolehkan di antara orang-orang Muslim, kecuali

perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan

yang halal.26

Pelaksanaan syariah Islam di Indonesia didasarkan atas Undang-

undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2, implementasi adanya landasan

konstitusional tersebut, beberapa perundang-undangan telah lahir yang

berkaitan dengan kedudukan Basyarnas yaitu :

1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagai yang diubah dengan

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dan

terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.

2. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

3. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

4. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

5. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dalam undang-undang tersebut keberadaan Basyarnas dianggap

sebagai alternatif penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan (non litigasi)

yang didasarkan pada perjajian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para

pihak yang bersengketa ketika melakukan akad perjanjian.

25 Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BMUI & Takaful) di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press, 1996, hal 147.

26 Sayyid Sabiq, Figh al Sunnah, di Indonesia oleh Mudzakir AS, dengan judul Fikih Sunnah, Jilid XIV, Bandung, Alma’arif, hal 36.

22

Page 23: Proposal Tesis Ane.......doc

2.3 Objek Perjanjian Badan Arbitrase Syariah Nasional

Undang-undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan

Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan secara tidak langsung

telah membawa era baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di

Indonesia. Pada dasarnya hukum Islam di Indonesia hanya meliputi hukum

keluarga, hukum waris, zakat dan waqaf serta beberapa aturan tentang

perbankan dan asuransi syariah di Indonesia. Dengan lahirnya Undang-

undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No.

10 Tahun 1998 tentang Perbankan, maka telah memberi kesempatan dan

peranan hukum Islam dalam dunia ekonomi (bisnis). Dari sinilah melahirkan

kesempatan untuk mendirikan BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat

Indonesia) Badan ini kemudian diubah menjadi BASYARNAS (Badan

Arbitrase Syariah Nasional).

BAMUI didirikan di Indonesia pada tanggal 21 Oktober 1993 yang

diprakarsai oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Badan ini didirikan secara

bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama

Indonesia. BAMUI bertujuan untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang

berhubungan dengan muamalat misalnya hubungan perdagangan, industri,

keuangan, jasa dan lain-lain antara lembaga-lembaga keuangan syariah dan

masyarakat yang berhubungan lembaga keuangan tersebut.27 Penyelesaian

sengketa ini senantiasa merujuk kepada aturan syariat Islam.

27 Mariam Darus Badrulzama, Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional, dalam Arbitrase Islam di Indonesia, Jakarta, Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, 1994, hal 57 – 69.

23

Page 24: Proposal Tesis Ane.......doc

Namun demikian sejak tahun 2004 BAMUI di Indonesia telah berganti

nama menjadi (Badan Arbitrase Syariah Nasional) Basyarnas yang apabila

ditinjau dari segi hukum Indonesia kedudukannya lebih kuat jika

dibandingkan dengan keberadaan (Badan Arbitrase Syariah Nasional) BANI

karena telah mendapat pengakuan dari Menteri Kehakiman, Menteri Negara

Ekuin, Bappenas, dan Presiden Republik Indonesia. Dengan demikian

kehadirannya dapat dijadikan sebagai pilihan arbitrase tribunal dalam

menyelesaikan sengketa oleh siapa saja di Indonesia, selain itu pula

kahadirannya diharapkan sebagai dukungan dan partisipasi konkrit umat

Islam terhadap upaya pemerintah Republik Indonesia dalam mewujudkan

keadilan. Ketentraman dan kedamaian di kalangan umat Islam. Skop

wewenang dari lembaga ini adalah meliputi semua lembaga keuangan syariah

yang bersifat profit misalnya bank syariah, asuransi syariah, dan lain-lain.

Dasar hukum berdirinya Basyarnas di Indonesia adalah Pasal 29

Undang-undang Dasar 1945 yaitu :

1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaan itu.

Disamping itu, Pasal II aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945

memberikan peluang kepada Basyarnas juga mesti mengikuti aturan hukum

dan perundang-undang tentang arbitrase di Indonesia. Berdasarkan inilah

maka Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg masih boleh dijalankan di Indonesia.

24

Page 25: Proposal Tesis Ane.......doc

Dalam pasal tersebut disebutkan kemungkinan penyelesaian sengketa melalui

arbitrase asal dikehendaki atau disepakati oleh para pihak yang bersengketa.

Dalam hal ini lembaga arbitrase berwenang menetapkan suatu keputusan

hukum atas masalah yang dipersengketakan dengan cara tahkim.

Selanjutnya menurut Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun

1999 sengketa yang dapat diselesaikan melalui mekanisme arbitrase hanyalah

sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan

peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang

bersengketa. Sementara itu Pasal 5 (2) Undang-undang Arbitrase memberikan

perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat

diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan

perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur

dalam KUH Perdata Buku III Bab Kedelapan Belas Pasal 1851 s/d 1854.

Selanjutnya dipertegas dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Nomor 48

Tahun 2009, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar

pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara

tertulis oleh para pihak yang bersengketa, dengan demikian hanya perdata

bidang kebendaanlah yang objek arbitrase, demikian halnya dengan

Basyarnas, hanya bidang sengketa ekonomi syariah dalam hal ini perbankan

syariah yang menjadi objeknya yakni “penyelesaian sengketa dilakukan

sesuai dengan isi akad”.28 Artinya jika isi akad menyebutkan penyelesaian

28 Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentan Peradilan Agama.

25

Page 26: Proposal Tesis Ane.......doc

melalui Basyarnas maka melalui badan inilah penyelesaian sengketanya

dilakukan.

Dengan berdirinya Basyarnas di Indonesia terdapat 2 lembaga

arbitrase yaitu BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang berwenang

menyelesaikan semua masalah civil di Indonesia, dan Basyarnas (Badan

Arbitrase Syariah Nasional) yang berwenang menyelesaikan semua

permasalahan muamalat Islam secara tahkim menurut syariah Islam.

Walaupun sampai sekarang masih sangat sedikit kasus sipil yang

berhubungan dengan masalah muamalah Islam yang diselesaikan oleh

Basyarnas, bukan berarti ia belum melaksanakan fungsinya dengan sebaik-

baiknya, tetapi karena permasalahn yang terjadi di lembaga-lembaga

keuangan Islam sampai saat ini masih diperbolehkan diselesaikan melalui

lembaga perdamaian (al-Shulh), sehingga tidak sampai penyelesaian

perkaranya diselesaikan melalui lembaga Basyarnas. Disamping itu lembaga-

lembaga keuangan syariah di Indonesia mulai bermunculan banyak setelah

dikeluarkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Basyarnas sebagai lembaga permanen yang dapat memberikan suatu

rekomendasi atau pendapat hukum (binding advice), yaitu pendapat yang

mengangkat tanpa adanya suatu persoalan tertentu yang berkenaan dengan

pelaksanaan perjanjian yang sudah barang tentu atas permintaan para pihak

yang mengadakan perjanjian untuk diselesaikan.29

29 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hal. 105.

26

Page 27: Proposal Tesis Ane.......doc

Apabila jalur arbitrase tidak dapat menyelesaikan perselisihan, maka

lembaga peradilan adalah jalan terakhir sebagai pemutus perkara tersebut.

Hakim harus memperhatikan rujukan yang berasal dari arbiter yang

sebelumnya telah menangani kasus tersebut sebagai bahan pertimbangan dan

untuk menghindari lamanya proses penyelesaian.

3. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Jalur Litigasi

Mengenai badan peradilan mana yang berwenang menyelesaikan

perselisihan jika terjadi sengketa perbankan syariah memang sempat menjadi

perdebatan di berbagai kalangan apakah menjadi kewenangan Pengadilan

Umum atau Pengadilan Agama karena memang belum ada undang-undang

yang secara tegas mengatur hal tersebut, sehingga masing-masing mencari

landasan hukum yang tepat.

Dengan diamandemenya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama, maka perdebatan mengenai siapa yang berwenang untuk

menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Perubahan ketentuan undang-

undang ini dapat dimaknai sebagai politik hukum ekonomi syari’ah dengan

cara memperluas kewenangan Pengadilan Agama. Dalam hal ini Peradilan

Agama memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah

secara litigasi atau melalui peradilan formal. Amandemen tidak hanya

memperluas kewenangan, tetapi juga memberikan ruang lingkup yang jelas

tentang sengketa ekonomi tidak hanya sebatas masalah perbankan saja, tetapi

27

Page 28: Proposal Tesis Ane.......doc

meliputi pula lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi

syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah, dan surat berharga berjangka

menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah,

dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah.30 selain

sebagaimana yang sudah diatur sebelumnya dalam Pasal 49 Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989 yang hanya berwenang memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama

Islam dibidang : a) perkawinan, b) kewarisan, wasiat dan hibah yang

dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan c) wakaf dan shadaqah.31

Dalam penjelasan Pasal tersebut antara lain dinyatakan : “yang di maksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai ketentuan Pasal ini”

Dari penjelasan Pasal 49 tersebut, maka seluruh nasabah lembaga

keuangan syari’ah atau bank konvensional yang membuka unit usaha syariah

dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syariah, baik dalam

pelaksanaan akad maupun dalam penyelesaian perselisihan.

Adapun sengketa di bidang ekonomi syariah yang menajadi

kewenangan Pengadilan Agama adalah :32

a. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan

lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya.

30 Suhartono, Prospek Legislasi Fikih Muamalah Dalam Sistem Hukum Nasional, www.Badilag.net tanggal 31-12-2011.

31 Lihat ketentuan Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama32 Abdul Manan, Beberapa Masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syariah, Makalah

Diklat Calon Hakim Angkatan-2 di Banten, 2007, hal 8.

28

Page 29: Proposal Tesis Ane.......doc

b. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara sesama lembaga keuangan dan

lembaga pembiayaan syariah.

c. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama

Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa

kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

Selain dalam hal kewenangan sebagaimana diuraikan di atas, Pasal 49

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 juga mengatur tentang kompetensi

absolute (kewenangan mutlak) Pengadilan Agama. Oleh karena itu, pihak-

pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan prinsip syariah (ekonomi

syariah) tidak dapat melakukan pilihan hukum untuk diadili di Pengadilan

yang lain. Apalagi, sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum Undang-

undang Nomor 3 Tahun 2006 alinea ke-2, pilihan hukum telah dinyatakan

dihapus.

Peran dari suatu lembaga peradilan untuk mewujudkan pelaksanaan

ekonomi syari’ah, yang nanti dalam puncaknya melalui peranan Mahkamah

Agung yakni dengan ditetapkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2

Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Hal ini dapat

disimpulkan bahwa cerminan politik hukum ekonomi syari’ah dalam

perspektif hukum yang dicita-citakan dapat dilihat melalui adanya penyiapan

hukum materiil berupa Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dan proses

legislasi undang-undang tentang perbankan syari’ah. Selain itu eksistensi

ekonomi syari’ah menjadi semakin kuat dengan dilihat mulai dari gagasan

sampai menuju tatanan sistem hukum nasional. Hal ini dibuktikan dengan

29

Page 30: Proposal Tesis Ane.......doc

disyahkannya Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dengan Peraturan

Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2008 dan diundangkannya Undang-undang

Nomor 21 Tahun 2008 Tentang perbankan Syari’ah pada tanggal 16 Juli

2008. Hal menarik untuk mendapat perhatian dari persoalan ekonomi syari’ah

yang dicantumkan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang

Perbankan Syari’ah adalah berkenaan dengan penyelesaian sengketa

perbankan syari’ah. Pasal 55 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008

menyatakan :

(1) Penyelesaian sengketa perbankan syari’ah dilakukan oleh Pengadilan

dalam lingkungan peradilan agama.

(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan

sesuai dengan akad.

(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh

bertentangan dengan prinsip syari’ah.

Ketentuan pasal 55 ayat (1) tersebut di atas adalah sejalan dengan

pasal 49 huruf ( i ) UU No. 3 Tahun 2006 yang menyebutkan kewenangan

Pengadilan Agama adalah menyelesaikan sengketa ekonomi termasuk

perbankan syari’ah. Adanya ketentuan ayat (2) adalah merupakan

penyimpangan dari prinsip tersebut. Penjelasan pasal 55 ayat (2) menyatakan :

yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi akad”

adanya upaya sebagai berikut :

a. Musyawarah;

30

Page 31: Proposal Tesis Ane.......doc

b. Mediasi perbankan;

c. Melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga

arbitrase lain; dan/atau.

d. Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Penyelesaian dengan cara musyawarah dan mediasi perbankan adalah

suatu hal yang wajar dalam penyelesaian sengketa perbankan. Penyelesaian

sengketa melalui Basyarnas adalah sesuai dengan fatwa Dewan Syari’ah

Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang selalu menyebut

sebagai penyelesaian sesuai dengan syari’ah dari berbagai sengketa berbagai

kasus ekonomi syari’ah. Dibukanya penyelesaian melalui lembaga arbitrase

lain membuka peluang penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah melalui

lembaga non syari’ah, walaupun dalam ayat (3) Undang-undang Nomor 21

Tahun 2008 yang menyatakan penyelesaian tersebut tidak boleh bertentangan

dengan prinsip syari’ah. Penyelesaian sengketa perbankan syari’ah melaui

pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yaitu penyelesaian sengketa

melalui pengadilan negeri membuka dualisme sistem peradilan dalam

penyelesaian persoalan yang berada dalam ranah syari’ah ke dalam lingkup

non syari’ah yang masih perlu dipersoalkan ketepatannya, mengingat

persoalan perbankan syari’ah sangat erat hubungannya dengan prinsip-prinsip

syari’ah yang sudah dikaji dan dipahami oleh para hakim dilingkungan

peradilan agama.33 Hal ini merupakan gambaran tidak jelasnya politik hukum

33 Abdurrahman, Perkembangan Hukum Ekonomi Syari’ah Dalam Perpektif Politik Hukum Nasional, Mimbar Hukum dan Peradilan Nomor 68, 2009, PPHIMM.

31

Page 32: Proposal Tesis Ane.......doc

nasional berkenaan dengan perbankan syari’ah atau belum digariskannya

suatu politik hukum ekonomi syari’ah di Indonesia.

Oleh karena itu dalam draf-draf perjanjian yang dibuat oleh beberapa

perbankan syariah berkaitan dengan perjanjian pembiayaan murabahah, akad

mudharabah dan akad-akad yang lain yang masih mencantumkan klausul

Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Negeri apabila BASYARNAS tidak

dapat menyelesaikan sengketa maka seharusnya jika mengacu pada

penjelasan umum Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 alenia ke-2, maka

klausul tersebut dirubah menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam

menyelesaikan sengketa tersebut.

4. Harmonisasi Peraturan Dalam Pelaksanaan Putusan Lembaga Arbitrase

Syariah

Bagi hukum yang ingin menciptakan kepastian hukum dalam

hubungan antara orang-orang dalam masyarakat, maka menurut Satjipto

Rahardjo terlebih dahulu harus menciptakan suatu kepastian pula di dalam

tubuhnya sendiri. Tuntutan yang terakhir ini mendatangkan beban formal

yang wajib dipenuhinya yaitu susunan tata aturan yang penuh konsistensi. 34

hal senada dikemukakan M. Isnaeni, mengungkapkan perangkat hukum yang

sangat memperhatikan konsistensi akan mempu melahirkan matra kepastian

hukum seperti yang di citraharapkan oleh khalayak luas. Sebaliknya kalau

dalam diri aturan perundang-undangan itu tidak dialiri arus konsistensi,

berarti citranya sendiri sudah tidak pernah pasti, maka sulit sekali untuk

34 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 1982, hal 25.

32

Page 33: Proposal Tesis Ane.......doc

mengharapkan lahirnya kepastian hukum dari rahim aturan seperti itu.35

Padalah kepastian hukum sebagai salah satu sendi utama dari aturan

perundangan disamping aspek keadilan, memiliki, memiliki kaitan erat

dengan soal efisiensi yang selalu dijadikan acuan oleh kalangan pelaku

ekonomi yang sering kali menggunakan jasa hukum dalam pelbagai

transaksinya.36

Adanya pertentangan pengaturan lembaga eksekutorial sebagaimana

yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Pengadilan Agama dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman telah menimbulkan konflik kelembagaan dalam hal

lembaga eksekutorial putusan Arbitrase Syariah.

Dalam menghadapi antinomi hukum (konflik antar norma hukum,

maka berlakulah asas-asas penyelesaian konflik (asas preferensi), yaitu :37

1. Lex posteriori derogate legi priori, yaitu peraturan perundang-

undangan yang ada kemudian mengalahkan peraturan perundang-

undangan yang ada terlebih dahulu.

2. Lex specialis derogate legi generali, yaitu peraturan perundang-

undangan yang khusus mengalahkan peraturan perundang-

undangan yang umum.

35 M. Isnaeni, Hak Tanggungan Lembaga Jaminan Dalam Kerangka Tata Hukum Indonesia, Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi V Agustus, 1996, hal. 34.

36 Sutan Remy Sjahdeni, Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Majalah Hukum Nasion, No. 2, 2000, hal 19-20.

37 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perpektif Hukum Progresif, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hal 90.

33

Page 34: Proposal Tesis Ane.......doc

3. Lex superior derogate legi inferiori, yaitu peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan perundang

yang lebih rendah dibawahnya.

Konsistensi dalam tatanan peraturan hukum yang melahirkan

kepastian hukum sangatlah di dambakan bagi masyarakat pada umunya. Pada

dasarnya tata aturan yang penuh konsisten, tidak lepas dari hubungannya

dengan sistematika peraturan-peraturan hukum yang lain. Lawrence M.

Fredman dalam Teori Legal Sytem mengjarkan, hukum itu harus

diperspeksikan sebagai suatu sistem. Artinya, hukum itu bukan anasir tunggal.

Melainkan, eksistensinya mesti didukung oleh beberapa unsur yang saling

memengaruhi. Unsur di maksud menurutnya, adalah Struktur, Substansi dan

Kultur. Ketiga unsur itu, secara simultan dan sinergis saling komplementer

agar suatu hukum secara sistemik teraktualisasikan dalam tataran realita.

Esensinya, hukum itu ada untuk diberlakukan. Maka apabila hukum

yang ada tidak berlaku atau tidak dapat diberlakukan, berarti ketentuan

tersebut telah berhenti menjadi hukum. Ia telah berupa “Slapende Regeling”.

Karenanya, dalam perspektif “sociological jurisprudence” tolak ukur

eksistensi hukum tergantung pada efektifitasnya dalam tataran emperis, yaitu

“law in action”. Bukan hanya dalam tataran ide ataupun naskah, berupa “law

in the book”. Sebab hukum merupakan suatu sistem artinya sarana yang

merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau

unsur-unsur yang saling terkait satu sama lain, atau dengan perkataan lain

sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang

34

Page 35: Proposal Tesis Ane.......doc

mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan

kesatuan tersebut.

Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis,

seperti peraturan hukum, asas hukum dan pengertian hukum.38 Adanya

pengaturan yang inkonsistensi terhadap lembaga eksekutorial putusan

Arbitrase Syariah, maka demi dan untuk perlindungan hukum dan kepastian

hukum bagi pelaku usaha maupun nasabah pengguna jasa keuangan syariah,

perlu adanya sandaran berpijak untuk mencari solusi atas kerancuan

pengaturan tersebut.

E. Metode dan Teknik Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Berdasarkan pada latar belakang masalah dan perumusan masalah serta

untuk mencapai tujuan penelitian ini, maka penulis menggunakan jenis

penelitian hukum normatif (legal norm atau doktrinal), bahwa yang ditelaah

bahan-bahan hukum, terutama peraturan perundang-undangan dengan

berusaha mengidentifikasi dan menginventarisir kaidah atau norma-norma

hukum yang berkenaan dengan masalah lembaga eksekutorial putusan

Arbitrase Syariah terkait adanya antinomi hukum dalam pengaturan

eksekutorial pelaksanaan putusan Arbtirase Syariah yang tidak dilaksanakan

secara sukarela oleh para pihak.

Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka

38 Sudikno Mertokusumo, A Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1991, hal 100.

35

Page 36: Proposal Tesis Ane.......doc

dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum

kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut

mencakup: penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap

sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan

horizontal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.39

2. Tipe Penelitian

Adapun tipe penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini

adalah tipe penelitian terhadap asas hukum. Di dalam penelitian hukum

normatif, maka penelitian terhadap asas hukum dilakukan terhadap kaidah-

kaidah hukum yang merupakan patokan-patokan berperilaku. Penelitian ini

dapat dilakukan terutama terhadap bahan hukum primer dan sekunder,

sepanjang bahan-bahan tadi mengandung kaidah hukum.40 Asas hukum

merupakan unsur ideal dari hukum. Dalam penelitian ini asas hukum yang

penulis maksudkan adalah asas preferensi hukum terhadap (antinomi hukum).

3. Sifat Penelitian

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis, yakni menggambarkan

dan menjelaskan serta menganalisa hal-hal yang menjadi objek penelitian

mengenai lembaga yang memiliki kewenangan eksekutorial untuk

melaksanakan putusan Arbitrase Syariah yang tidak dilaksanakan secara

sukarela oleh para pihak dimana dalam implementasinya menyimpan

pertentangan pengaturan lembaga eksekutorial oleh karena terjadinya

antinomi hukum.

39 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hal. 13-14

40 Ibid, hal 62

36

Page 37: Proposal Tesis Ane.......doc

4. Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, maka untuk memecahkan permasalahan yang

diangkat serta menganalisa hal-hal yang menjadi objek penelitian, maka

diperlukan adanya bahan hukum. Bahan hukum yang digunakan dalam

penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) bagian bahan hukum, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-

undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.41 Dalam penelitian ini,

bahan hukum primer terdiri dari:

1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata;

2. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa;

3. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman;

4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagai yang diubah dengan

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dan

terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009;

5. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

6. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008 tentang

Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah;

41 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Cetakan Kelima, Jakarta: Kencana, hal. 141

37

Page 38: Proposal Tesis Ane.......doc

7. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Penegasan Tidak Berlakunya SEMA No. 8 Tahun 2008 tentang

Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah;

8. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah;

9. Al Quran dan Hadis;

b. Bahan Hukum Sekunder, merupakan semua publikasi tentang hukum

yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.42 Dalam penelitian ini

publikasi hukum tersebut antara lain terdiri dari buku, jurnal ilmiah, karya

tulis ilmiah, bahan-bahan hasil seminar atau kegiatan ilmiah lainnya,

majalah, surat kabar yang berkaitan dengan pokok permasalahan.

c. Bahan Hukum Tersier, merupakan bahan hukum yang diambil dari

Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, Kamus Hukum

Black’s Law Dictionary yang memberikan pengertian tentang Arbitrase.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara sebagai

berikut:

a. Inventarisasi peraturan perundang-undangan yang merupakan bahan

hukum primer yang berkaitan dengan lembaga eksekutorial pelaksanaan

putusan Arbitrase Syariah yang tidak dilaksanakan oleh para pihak secara

sekarela terkait adanya antinomy hukum dalam pendekatan asas

preferensi hukum.

42 Ibid.

38

Page 39: Proposal Tesis Ane.......doc

b. Studi kepustakaan, yaitu bahan hukum sekunder dikumpulkan melalui

studi kepustakaan dengan menggunakan sistem kartu (card system),

kemudian disusun berdasarkan pokok permasalahan.

6. Teknik Pengolahan dan Analisis Permasalahan

Dalam pengolahan analisis permasalahan ini, maka ketiga bahan hukum

sebagaimana yang penulis sebutkan di atas, dihimpun dan diolah berdasarkan

langkah-langkah normatif, yaitu mengadakan inventarisasi terhadap

perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok permasalahan kemudian

dicari aturannya menurut hirarkhis tata urutan peraturan perundang-

undangan, selanjutnya dilakukan identifikasi dan sistematisasi terhadap

kaidah-kaidah hukum yang memuang lembaga eksekutorial putusan

Arbitrase Syariah. Selanjutnya setelah dilakukan pengolahan bahan hukum,

maka bahan hukum dibahas dengan menggunakan metode analisis isi

(content analysis) yakni menelaah isi peraturan perundang-undangan yang

berhubungan lembaga eksekutorial putusan Arbitrase Syariah, dianalisis

secara kualitatif yang pada akhirnya dapat memberikan jawaban atas

permasalahan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode berpikir

deduktif.

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam Penelitian Tesis ini nantinya, terbagi

dalam 4 (empat) bab. Bab I terdiri dari bagian pendahuluan yang berisikan kajian

yang menjelaskan latar belakang mengapa penelitian ini dilakukan, kemudian

diikuti dengan perumusan dan pembatasan masalah yang menjadi isu sentral

39

Page 40: Proposal Tesis Ane.......doc

pengkajian dalam tesis ini. Untuk supaya penelitian ini dilakukan mencapai

sasaran yang diinginkan, maka dalam bab ini juga diuraikan mengenai tujuan

yang ingin dicapai dalam penelitian tersebut serta kegunaan yang akan

diharapkan setelah penelitian ini selesai dilakukan. Sebelum melakukan analisis

terhadap isu sentral pengkajian, dalam bab pendahuluan ini juga akan diuraikan

kajian pustaka yang memuat tentang pengertian konsep perdamaian dalam Islam,

bentuk penyelesaian sengketa perbankan syariah dalam kegiatan ekonomi

syariah serta pelaksanaan atas putusan lembaga penyelesaian sengketa perbankan

syariah. Selain itu dalam bab pendahuluan ini juga akan diuraikan mengenai

metode dan teknik penelitian yang dipergunakan, yaitu penelitian hukum

normatif. Akhirnya bab pendahuluan ini ditutup dengan uraian mengenai

sistematika penulisan sebagai pertanggungjawab akademik.

Berikutnya Bab II, berisi uraian untuk menjawab isu hukum pertama. Bab

kedua ini, akan memuat kajian dengan menjawab persoalan yang sudah

dikemukakan dalam bab sebelumnya, karena munculnya konflik norma akan

diinvetarisir dan dilihat sejauh mana konsistensi undang-undang yang mengatur

lembaga eksekutorial putusan Arbitrase Syariah yang dipandang tidak

memberikan kepastian hukum dalam kegiatan bisnis berbasis syariah, dengan

melakukan analisis kepastian hukum sebagai salah satu cita hukum, urgensi

kepastian hukum dalam kegiatan ekonomi serta fungsi kepastian hukum dalam

kegiatan ekonomi yang difokuskan pada kegiatan perbankan syariah.

Selanjutnya Bab III berisi uraian untuk menjawab isu hukum kedua.

Dalam bab ketiga ini akan diuraikan mengenai penyelesaian sengketa perbankan

40

Page 41: Proposal Tesis Ane.......doc

Syariah melalui Arbitrase Syariah, bagaimana kedudukannya, pelaksanaan

putusannya, kewenangan lembaganya yang terdapat inkonsistensi dalam

pengaturannya. Karena itu dalam bab ketiga ini akan ditelaah tingkat

singkronisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan

putusan lembaga Arbitrase Syariah yang bersumber dari akad pada kegiatan

perbankan syariah.

Terakhir laporan penelitian ini akan diakhiri dengan Bab IV yang berisikan

simpulan dan hasil pembahasan serta akan mengungkapkan sejumlah saran

sebagai implikasi simpulan yang merupakan bahan penyempurnaan pengaturan

terhadap lembaga eksekutorial, khususnya menyangkut aturan dan peraturan

mengenai lembaga yang berwenang untuk melaksanakan putusan Badan

Arbitrase Syariah.

G. Jadual Kegiatan

Pelaksanaan penelitian direncanakan selama 6 (enam) bulan kerja yang

dilakukan dalam 3 (tiga) tahap kegiatan dengan penjadualan sebagai berikut:

RINCIAN KEGIATAN

TAHUN 2011/2012SEPT OKT NOP DES JAN PEB

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 PersiapanPenyusunan usulan Penilaian usulan Perbaikan usulan PelaksanaanPengumpulan bahan Pengolahan bahan Analisis bahan PenyelesaianPenyusunan Seminar hasil Perbaikan pertama

41

Page 42: Proposal Tesis Ane.......doc

EvaluasiPenilaian Perbaikan kedua Penggandaan Penyerahan buku Publikasi

42