Proposal TB PARU

38
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) Paru sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, dimana hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukan bahwa tuberculosis merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan. TB Paru juga menempati nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Pemutusan rantai penularan dilakukan dengan cara penemuan dini diikuti dengan pengobatan tepat dan cukup masa pengobatan dalam rangka mengurangi bahkan kalau dapat menghilangkan sumber penularan secepatnya (Depkes RI, 2002). Pada bulan maret 1993 WHO mendeklarasikan tuberkulosis paru sebagai Global Health Emergency. Tuberkulosis paru dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh mikobacterium tuberkulosis. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus tuberkulosis yang tecatat dieluruh dunia (Zulkifli Amin, 2006). Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat (2015-2025) adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat diantaranya tingkat ekonomi, pendidikan, keadaan lingkungan, kesehatan dan budaya sosial. Menurut Hendrik L Blum derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh empat faktor yaitu, Lingkungan, Prilaku, Pelayanan Kesehatan dan Keturunan. Dari keempat faktor tersebut menurut Blum faktor lingkungan dan perilaku adalah faktor yang paling besar mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. TB Paru merupakan penyakit infeksi kronik dan menular yang erat kaitannya dengan keadaan lingkungan dan perilaku masyarakat. Penyakit TB Paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini di tularkan melalui udara yaitu percikan ludah, bersin dan batuk. Penyakit TB Paru biasanya menyerang paru akan tetapi dapat pula menyerang organ tubuh lain (Aditama, 2002).

description

5 variabel independent (faktor lingkungan)

Transcript of Proposal TB PARU

Page 1: Proposal TB PARU

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) Paru sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan

masyarakat, dimana hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun

1995 menunjukan bahwa tuberculosis merupakan penyebab kematian ketiga

setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan. TB Paru

juga menempati nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Pemutusan rantai

penularan dilakukan dengan cara penemuan dini diikuti dengan pengobatan

tepat dan cukup masa pengobatan dalam rangka mengurangi bahkan kalau

dapat menghilangkan sumber penularan secepatnya (Depkes RI, 2002).

Pada bulan maret 1993 WHO mendeklarasikan tuberkulosis paru sebagai

Global Health Emergency. Tuberkulosis paru dianggap sebagai masalah

kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia

terinfeksi oleh mikobacterium tuberkulosis. Pada tahun 1998 ada 3.617.047

kasus tuberkulosis yang tecatat dieluruh dunia (Zulkifli Amin, 2006).

Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat (2015-2025)

adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup bagi setiap

orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Ada beberapa

faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat diantaranya tingkat

ekonomi, pendidikan, keadaan lingkungan, kesehatan dan budaya sosial.

Menurut Hendrik L Blum derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh

empat faktor yaitu, Lingkungan, Prilaku, Pelayanan Kesehatan dan Keturunan.

Dari keempat faktor tersebut menurut Blum faktor lingkungan dan perilaku

adalah faktor yang paling besar mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat.

TB Paru merupakan penyakit infeksi kronik dan menular yang erat

kaitannya dengan keadaan lingkungan dan perilaku masyarakat. Penyakit TB

Paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium

tuberculosis. Penyakit ini di tularkan melalui udara yaitu percikan ludah,

bersin dan batuk. Penyakit TB Paru biasanya menyerang paru akan tetapi

dapat pula menyerang organ tubuh lain (Aditama, 2002).

Page 2: Proposal TB PARU

2

Tuberculosis merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian

(mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan

terapinya. Bersama dengan HIV/AIDS, Malaria dan TB Paru merupakan

penyakit yang pengendaliannya menjadi komitmen global dalam program

MDGs. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh

Mycobacterium Tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien

TB baru dan 3 juta kematian akibat TB paru di seluruh dunia. Diperkirakan

95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia terjadi pada negara-

negara berkembang dan 75% penderita TB adalah kelompok usia produktif

(15-50 tahun). Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak

daripada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.

Di kawasan Asia Tenggara, data World Health Organization (WHO)

menunjukkan bahwa TB membunuh sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Dan sekitar

40% dari kasus TB di dunia berada di kawasan Asia Tenggara. Karena jumlah

penduduknya yang cukup besar, Indonesia termasuk dalam high burden

countries, menempati urutan ketiga di dunia dalam hal penderita TB Paru,

setelah India dan Cina. Setiap tahun angka perkiraan kasus baru berkisar

antara 500 sampai 600 orang (Achmadi, 2005). Pada survei yang sama angka

kesakitan TB Paru di Indonesia ketika itu sebesar 800 orang diantara 10.000

penduduk. Namun, pemeriksaan ini memiliki kelemahan, yaitu hanya

berdasarkan gejala tanpa pemeriksaan laboratorium. Estimasi Incidence Rate

TB Paru di Indonesia berdasarkan pemeriksaan sputum (Bakteri Tahan Asam

Positif) adalah 128 diantara 100.000 penduduk untuk tahun 2003, sedangkan

untuk tahun yang sama estimasi TB Paru semua kasus adalah 675 diantara

100.000 penduduk (Achmadi, 2005). Diperkirakan pada tahun 2004, setiap

tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang sedangkan angka

kematian di Indonesia tahun 2007 sebesar 41 per 100.000 penduduk. Angka

nasional TB Paru SP (Survei Prevalensi) SKRT TB Paru tahun 2005

menunjukan angka prevalensi, ini berarti ada peningkatan yang signifikan

terbukti dengan data sebesar 119 kasus diantara 100.000 penduduk, sedangkan

angka insidensi sebesar 110 kasus diantara 100.000 penduduk. Pada tahun

1995-1998, cakupan penderita TB paru denga strategi DOTS baru mencapai

Page 3: Proposal TB PARU

3

10% dan error rate pemeriksaan belum dihitung dengan baik meskipun cure

rate lebih besar dari 85% serta penatalaksanaan penderita dan pencatatan

pelaporan belum seragam (Depkes 2006).

Pada tahun 1999 WHO Global Surveilance memperkirakan bahwa setiap

tahun di Indonesia akan terjadi 583.000 kasus baru tuberculosis dengan

kematian karena tuberkulosis diperkirakan menimpa 140.000 penduduk.

Secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130

penderita barutuberkulosis BTA positif (Depkes RI, 2002).

Di propinsi Banten hasil data dan informasi pada tahun 2010 terdapat

7.853 kasus TB Paru dengan BTA positif, di Kota Serang sendiri pada tahun

2009 mencapai 1590 penderita. Angka kematian kasar (Crude Death Rate =

CDR) TB paru di Provinsi Banten sebesar 78,6%, angka tersebut merupakan

tertinggi kedua di Indonesia setelah Provinsi Sulawesi Utara (89,6%).

Tingginya jumlah penderita TB Paru di Provinsi Banten, menduduki

peringkat kelima terbesar di Indonesia, setelah Provinsi Jawa Barat, Jawa

Timur, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta. Di Kota Serang sendiri, hasil informasi

diperoleh jumlah penderita TB paru tahun 2011 sebesar 3211 kasus, dan tahun

2012 mengalami penurunan menjadi sebesar 2417 kasus (Dinkes Kota Serang,

2012).

Kecamatan Curug Kota Serang, diketahui jumlah penderita TB paru BTA

positif periode tahun 2013 sebanyak 88 orang, sedangkan pada tahun 2014

jumlah penderita TB Paru BTA positif sebanyak 72 orang. Angka kejadian TB

paru BTA positif di Kecamatan Curug menduduki peringkat pertama

dibandingkan dengan beberapa Kecamatan lainnya yang ada di Kota Serang,

berturut-turut yaitu Kecamatan Walantaka 70 kasus, Kecamatan Serang 66

kasus, Kecamatan Taktakan 62 kasus, Kecamatan Kasemen 55 kasus,

Kecamatan Cipocok Jaya 27 kasus.

Kecamatan Curug terdiri dari desa Cilaku, Cipete, Curug, Curugmanis,

Kamanisan, Pancalaksana, Sukajaya, Sukalaksana, Sukawana, Tinggar.

Kecenderungan masih ditemukannya angka kejadian TB paru dalam

masyarakat di Kecamatan Curug, dipengaruhi oleh banyak faktor, salah

satunya adalah kondisi rumah penderita TB paru tersebut. Karena dari hasil

Page 4: Proposal TB PARU

4

observasi diperoleh informasi bahwa di Desa Kamanisan Kecamatan Curug

terdapat 2 orang penderita TB paru dalam 1 rumah. Hal tersebut

menggambarkan bahwa penularan TB paru sangat tinggi khususnya yang

kontak dan tinggal 1 rumah dengan penderita.

Sumber penularan penyakit TB Paru adalah penderita TB Paru dengan

BTA positif. Faktor resiko yang berperan penting dalam dalam penularan

penyakit TB Paru diantaranya faktor kependudukan dan faktor lingkungan.

Faktor kependudukan diantaranya adalah jenis kelamin, umur, status gizi, dan

kondisi sosial ekonomi. Sedangkan faktor lingkungan diantaranya lingkungan

dan ketinggian wilayah, untuk lingkungan meliputi kepadatan hunian, lantai

rumah, ventilasi, pencahayaan, suhu, kelembaban, dan ketinggian wilayah.

(Achmad, 2005). Penelitian Chapman et al mengatakan bahwa faktor

lingkungan dan sosial, kepadatan hunian, serta kemiskinan berperan dalam

timbulnya kejadian TB Paru pada anak-anak yang tinggal dengan satu atau

lebih orang dewasa yang menderita TB Paru (Nelson, 2005).

TB Paru yang juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama

lingkungan dalam rumah serta perilaku penghuni dalam rumah karena dapat

mempengaruhi kejadian penyakit, konstruksi dan lingkungan rumah yang

tidak memenuhi syarat dapat menjadi faktor resiko sumber penularan berbagai

penyakit infeksi terutama ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) dan TB

Paru (Depkes, 2007). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rumah yang

tidak memenuhi syarat kesehatan dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB

Paru seperti hasil penelitian Rosida (2008) mengatakan bahwa lantai rumah,

ventilasi yang buruk, dan kepadatan penghuni yang tinggi merupakan faktor

yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB Paru di Kota Jambi.

Penelitian Ayunah (2008) menunjukkan hasil bahwa ventilasi dalam rumah

yang kurang baik dapat mempengaruhi kejadian TB Paru dikecamatan

Cilandak Jakarta Selatan.

Page 5: Proposal TB PARU

5

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada penelitian ini

adalah:

1. Masih tingginya penderita TB Paru dengan angka kejadian 72 per 100.000

penduduk di Kecamatan Curug sejak Januari sampai Desember 2013

2. Kondisi lingkungan di Wilayah Curug yang kurang baik dengan kepadatan

hunian yang tinggi dan kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi syarat.

C. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan pada penelitian ini adalah:

“Apakah ada hubungan antara kondisi fisik rumah (pencahayaan, ventilasi,

kelembaban, jenis lantai, dan kepadatan hunian) dengan kejadian TB paru di

Kecamatan Curug Kota Serang tahun 2014”.

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahuinya Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah (pencahayaan,

ventilasi, kelembaban, jenis lantai, dan kepadatan hunian) dengan

Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Kecamatan Curug Kota Serang tahun

2014

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian adalah:

a. Diketahuinya Distribusi frekuensi kasus berdasarkan kondisi fisik

rumah (pencahayaan, ventilasi, kelembaban, jenis lantai, dan

kepadatan hunian) di Kecamatan Curug Kota Serang tahun 2014

b. Diketahuinya kondisi pencahayaan ruangan di Kecamatan Curug Kota

Serang tahun 2014

c. Diketahuinya kondisi ventilasi ruangan di Kecamatan Curug Kota

Serang tahun 2014

d. Diketahuinya kondisi kelembaban ruangan di Kecamatan Curug Kota

Serang tahun 2014

Page 6: Proposal TB PARU

6

e. Diketahuinya kondisi lantai rumah di Kecamatan Curug Kota Serang

tahun 2014

f. Diketahuinya kondisi kepadatan hunian di Kecamatan Curug Kota

Serang tahun 2014

g. Diketahuinya hubungan antara kondisi intensitas pencahayaan rumah

dengan kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Kecamatan Curug Kota

Serang tahun 2014

h. Diketahuinya hubungan antara kondisi luas ventilasi rumah dengan

kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Kecamatan Curug Kota Serang

tahun 2014

i. Diketahuinya hubungan antara kondisi kelembaban rumah dengan

kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Kecamatan Curug Kota Serang

tahun 2014

j. Diketahuinya hubungan antara kondisi jenis lantai rumah dengan

kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Kecamatan Curug Kota Serang

tahun 2014

k. Diketahuinya hubungan antara kondisi kepadatan hunian rumah

dengan kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Kecamatan Curug Kota

Serang tahun 2014

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Instansi Kesehatan dan Pemerintah

Manfaat penelitian bagi instansi kesehatan dan pemerintah adalah

diketahuinya faktor-faktor kesehatan lingkungan rumah yang berhubungan

kejadian TB Paru di Kecamatan Curug Kota Serang pada tahun 2014,

sehingga dapat dilakukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan

Kejadian TB Paru agar tidak mencapai tingkat keparahan yang lebih

tinggi. Hal ini juga dapat mencegah dan mengurangi angka kesakitan dan

kematian akibat TB Paru, sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat.

Page 7: Proposal TB PARU

7

2. Bagi Mahasiswa

Manfaat penelitian bagi mahasiswa selain mendapat pengalaman

belajar di lapangan juga dapat, mengetahui keadaan dan kondisi kesehatan

masyarakat terutama tentang kejadian TB Paru dan faktor-faktor kesehatan

lingkungan rumah yang mempengaruhi secara langsung, sehingga dapat

mengaplikasikannya dengan ilmu kesehatan masyarakat.

3. Bagi Masyarakat

Dengan kegiatan penelitian diharapkan mendapatkan informasi

tentang kesehatan yang ada diwilayahnya, dan mendapatkan pengetahuan

tentang kesehatan, serta mengetahui syarat rumah sehat, sehingga

masyarakat dapat melakukan perbaikan dan pencegahan sendiri terutama

terhadap kejadian TB Paru.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Pada kegiatan penelitian ini ditujukan untuk mengetahui kondisi fisik

rumah yang berhubungan dengan kejadian TB Paru di Kecamatan Curug Kota

Serang. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan

Mei tahun 2014, dengan mengambil data primer dari responden menggunakan

metode wawancara dengan alat bantu kuesioner dan pengukuran kondisi

lingkungan, sedangkan data sekunder berasal dari Puskesmas Curug. Sampel

pada penelitian ini adalah masyarakat Kecamatan Curug, sedangkan desain

penelitian yang digunakan adalah kasus kontrol.

Page 8: Proposal TB PARU

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit TB Paru

1. Pengertian TB Paru

Tuberculosis Paru adalah penyakit menular langsung yang

disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian

besar kuman menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain

(Dep Kes, 2003). Kuman TB berbentuk batang mempunyai sifat khusus

yaitu tahan terhadap asam pewarna yang disebut juga Basil Tahan Asam

(BTA).TB Paru adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh

kuman Mycobacterium Tuberculosis yaitu bakteri tahan asam (Suriadi,

2001).

TB Paru adalah infeksi penyakit menular yang disebabkan oleh

bakteri Mycobacterium Tuberculosis, suatu basil tahan asam yang

ditularkan melalui udara (Asih, 2004).

2. Kuman Tuberculosis

Mycobacterium Tuberculosis ini berbentuk batang, ukuran panjang 1-4

mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, mempunyai sifat khusus yaitu tahan

terhadap asam pada pewarna. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil

Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak dan

lipid, yang membuat lebih tahan asam. Bisa bertahan hidup bertahun-

tahun. Sifat lain adalah aerob, lebih menyukai jaringan kaya oksigen,

terutama bagian apical posterior. Secara khas kuman membentuk granula

dalam paru menimbulkan nekrosis atau kerusakan jaringan. Kuman TB

cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup

beberapa jam ditempat gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh dapat

dormant, tertidur lama selama bertahun-tahun.

Page 9: Proposal TB PARU

9

3. Cara penularan TB Paru

Penularan penyakit TB Paru adalah melalui udara yang tercemar oleh

mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan/dikeluarkan oleh sipenderita

TBC saat batuk, dimana pada anak-anak pada umumnya sumber infeksi

adalah berasal dari orang dewasa yang menderita TBC. Bakteri ini masuk

kedalam paru-paru dan berkumpul dan berkembang menjadi banyak

(terutama pada orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah) bahkan

bakteri ini pula dapat mengalami penyebaran melalui pembuluh darah atau

kelenjar getah bening sehingga menyebabkan terinfeksinya organ tubuh

yang lain seperti otak, ginjal saluran cerna, tulang, kelenjar getah bening

dan lainnya meski yang paling banyak adalah organ paru.

Seseorang dengan daya tahan tubuh (Imun) yang baik, bentuk tuberkel

ini akan tetap dormant sepanjang hidupnya. Lain hal pada orang yang

memiliki system kekebalan tubuh rendah atau kurang, bakteri ini akan

mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak.

Sehingga tuberkel yang banyak ini berkumpul membentuk sebuah ruang

didalam rongga paru, ruag inilah yang nantinya menjadi sumber produksi

sputum (riak/dahak). Maka orang yang rongga aprunya memproduksi

sputum dan didapati mikroba tuberkulosa disebut sedang mengalami

pertumbuhan tuberkel dan positif terinfeksi TB Paru.

Basil TB Paru yang masuk kedalam paru melalui broncus secara

langsung dan pada manusia yang pertama kali terinfeksi disebut

primaryinfection. Infeksi dimulai saat kuman TB Paru berhasil

berkembang biak dengan cara membelah diri di paru, yang mengakibatkan

peradangan dalam paru, yang kemudian disebut sebagai kompleks primer

sekitar 4-6 minggu (Depkes. 1999, Depkes 2005) sebagian besar kuman-

kuman TB Paru yang berada dan masuk ke paru orang yang teratur

mengalami fase domant dan muncul bila tubuh mengalami penurunan

kekebalan, gizi buruk, atau menderita HIV/AIDS.

Page 10: Proposal TB PARU

10

4. Mekanisme Terjadinya Penyakit TB Paru

Mekanisme penulran TB Paru dimulai dengan penderita TB Paru

positif mengeluarkan dahak yang mengandung kuman TB kelingkungan

udara sebagai aerosol (partikel yang sangat kecil). Partikel aerosol ini

terhirup melalui saluran pernafasan mulai dari hidung menuju paru-paru

tepatnya ke alveoli paru. Pada alveoli kuman TB Paru mengalami

pertumbuhan dan perkembangbiakan yang akan mengakibatkan terjadi

destruksi paru. Bagian paru yang telah rusak atau dihancurkan ini akan

berupa jaringan/sel-sel mati yang oleh karenanya akan diupayakan oleh

paru untuk dikeluarkan dengan reflek batuk. Oleh karena itu pada

umumnya batuk karena TB adalah produktif, artinya berdahak. Dahaknya

dengan demikian menjadi khas, yaitu mengandung zat-zat kekuning-

kuningan berbentuk butir-butir gumpalan dengan banyak hail TB

didalamnya (Danusantoso, 2001).

Kadang-kadang proses destruki paru dapat berjalan sempurna sampai

sebagian paru berubah menjadi sebuah lubang (kavitas) yang dapat

bervariasi besarnya dari kecil (1-3 cm) sampai besar (>3cm) dan besar

sekali pada foto rontgen paru kelihatan seperti flek pada paru.

Respon lain yang dapat terjadi pada darah nekrosis adalah pencairan,

dalam proses ini bahan cair akan dibuang ke broncus dan menimbulakan

suatu rongga. Bahan tuberkel yang dikeluarkan dari dinding rongga akan

masuk dalam percabangan trachea bronchial. Proses ini mungkin akan

terulang kembali dibagian lain dari paru-paru dan menjadi tempat

peradangan aktif.

Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah

organisme yang melewati kelenjar getah bening dalam jumlah kecil akan

mencapai aliran darah yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada

beberapa organ. Jenis penyebaran ini dikenal dengan namapenyebaran

hemathogen, yang biasanya sembuh sendiri. Jenis hemathogen yang lain

adalah fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberculosis millier.

Ini terjadi apabila nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak

organisme masuk kedalam system vaskuler dan tersebar ke organ-organ.

Page 11: Proposal TB PARU

11

5. Gejala-Gejala TB Paru

Gejala-gejala yang menunjukan penyakit TB Paru adalah

a. Gejala Utama

Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih.

b. Gejala tambahan

Gejala tambahan yang sering dijumpai yaitu :

1) Dahak bercampur darah

2) Batuk darah

3) Esak nafas dan nyeri dada

4) Badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa

kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa

kegiatan dan demam meriang lebih dari sebulan.

Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit paru

selain TB Paru. Oleh sebab itu setiap orang yang datang ke Unit

Pelayanan Kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut diatas, harus

dianggap “suspek tuberculosis” atau tersangka penderita TB Paru dan

perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

6. Diagnosis TB Paru

a. Semu aspek TB Paru diperiksa 3 spesimen dahan dalam waktu 3 hari,

yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).

b. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakan dengan

ditemukannya kuman TB Paru (BTA). Pada program TB Paru

nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis

merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto waks,

biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis

sepanjang sesuai dengan indikasi.

c. Tidak dibenarkan mendiagnois TB Paru hanya berdasarkan

pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan

gambaran yang khas pada TB Paru, sehingga sering terjadi

overdiagnosis.

Page 12: Proposal TB PARU

12

d. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukan aktifitas

penyakit (Depkes RI, 2007)

7. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Penderita

a. Klasifikasi Penderita

Klasifikasi penderita TB Paru adalah sebagai berikut :

1) Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena :

a) Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang

jaringan (parenkim) paru.Tidak termasuk pleura (selaput paru)

dan kelenjar pada hilus.

b) Tuberkulosis Extra Paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,

misalkan plerua, selaput otak, selaput jantung (pericardium),

kelenjar lympe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran

kencing, alat kelamin dan lai-lain.

2) Klasifikasi berdasarkan pemeriksaan dahak mikroskopis

a) Tuberkulosis Paru BTA positif

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya

BTA positif specimen dahak SPS hasilnya positif dan foto

rontgen dada menunjukan gambaran tuberkulosis aktif.

b) Tuberkulosis Paru BTA Negatif

Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya negatif dan foto

rontgen dada menunjukan gambaran tuberculosis aktif.

3) Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit

a) TB Paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan

tingkat keparahan penyakitnya, yaitu batuk berat dan ringan.

Batuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan

gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far

advanced”) dan atau keadaan umum pasien buruk.

b) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan

penyakitnya, yaitu :

Page 13: Proposal TB PARU

13

TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe,

pleuritis eksuditiva unilateral, tulang (kecuali tulang

belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

TB ekstra paru berat, misalnya: meningitis, milier,

parikarditis, peritonitis, pleuritis eksudative bilateral, TB

tulanng belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat

kelamin (Depkes RI, 2007).

b. Tipe Penderita

Tip penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.

Ada beberapa tipe penderita yatu :

1) Kasus Baru

Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan Obat Anti

Tuberculosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari

1 bulan (30 dosis harian).

2) Kasus Kambuh (Relaps)

Adalah penderita yang pernah mendapat pengobatan tuberculosis

dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat

dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

8. Faktor Resiko TBC

Faktor resiko ialah semua variablel yang berperan timbulnya

kejadian penyakit. Pada dasarnya berbagai faktor resiko TBC saling

berkaitan satu sama lain. Berbagai faktor resiko dapat dikelompokkan

kedalam 2 (dua) kelompok yaitu kependudukan dan faktor lingkungan.

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian TBC

1. Pencahayaan Rumah

Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang

bersumber dari sinar matahari (alami) yairu semua jalan yang

memungkinkan untuk masuknya cahaya matahari alamiah, misalkan

melalui jendela atau genting kaca (Depkes RI, 1989: Natoadmodjo, 2003).

Cahaya berdasarkan sumbernya dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :

Page 14: Proposal TB PARU

14

a) Cahaya Alamiah

Cahaya alamiah yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena

dapat membunuh bakteri-bakteri phatogen didalam rumah, misalnya

TBC (Natoadmodjo, 2003). Oleh karena itu, rumah yang sehat harus

memiliki jalan masuk cahaya yang cukup yaitu dengan intensitas

cahaya minimal 60 lux atau tidak menyilaukan. Jalan masuk cahaya

minimal 15%-20% dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan

rumah. Cahaya matahari dimungkinkan masuk ke dalam rumah

melalui jendela rumah ataupun genteng kaca. Cahaya yang masuk juga

harus merupakan sinar matahari pagi yang mengandung sinar

ultraviolet yang dapat mematikan kuman, dan memungkinkan lama

menyinari lantai bukannya dinding (Soekidjo, 2007).

b) Cahaya Buatan

Cahaya buatan adalah cahaya yang menggunakan sumber cahaya yang

bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan lain-lain.

Menurut Lubis dan Natoadmodjo (2003), cahaya matahari mempunyai

sifat membunuh bakteri, terutama kuman mycobacterium tuberculosis.

Menurut Depkes RI (2002), kuman tuberculosis hanya dapat mati oleh

sinar mataharilangsung. Oleh sebab itu, rumah dengan tandar

pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian

Tuberculosis.

Persyaratan pencahayaan rumah sehat menurut Kemenkes No.

829/Menkes/SK/VII/1999 adalah pencahayaan yang meliputi pencahyaan

alami dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung yang dapat

menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux

dan tidak menyilaukan mata. Cahaya efektif dari sinar matahari dapat

diperoleh dari jam 08.00 sampai dengan jam 16.00. Pengukuran dapat

dilakukan dengan alat luxmeter, yang diukur pada tengah-tengah ruangan

dan pada tempat setinggi < 84 cm dari lantai (Nurhidayah et al., 2007).

Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup bertahun-tahun lamanya,

dan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol, dan panas api.

Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko menderita

Page 15: Proposal TB PARU

15

tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar

matahari (Depkes, 2008).

Menurut Rusnoto et al. (2005) bahwa ada hubungan yang

bermakna antara pencahayaan rumah dengan kejadian tuberkulosis paru

dengan nilai odds ratio (OR) sebesar 7,926 dengan 95 % Confidence

Interval (CI)( 3,129 –20,080).

Hasil penelitian Hera (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan

antara pencahayaan alami dengan kejadian penyakit TB paru dimana

kelompok masyarakat yang memiliki pencahayaan alami rumah < 60 Lux

(tidak memenuhi syarat) kemungkinan menderita penyakit TB paru

sebesar 9 kali dibandingkan kelompok masyarakat yang memiliki

pencahayaan alami rumah ≥ 60 Lux (p = 0,000, OR = 4,696, 95% CI:

1,93-11,41).

Keadaaan rumah tidak cukup cahaya dan memiliki lantai

tanah/semen retak juga memiliki proporsi tuberkulosis paru yang besar

(Badan Litbangkes, 2012).

2. Ventilasi Rumah

Ventilasi rumah yaitu usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer

menyenangkan dan menyehatkan manusia (Lubis, 1989). Ventilasi pada

rumah memiliki banyak fungsi, selain menjaga agar aliran udara dalam

rumah tetap segar juga membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri,

terutama bakteri pathogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang

terus menerus. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah

selalu dalam kelembaban yang optimum. Ventilasi yang tidak mencukupi

akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya

proses penguapan dan penyerapan cairan dari kulit. Kelembaban ruangan

yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan

berkembangbiaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis

(Soekidjo, 2007).

Ventilasi yang baik pada ruang tidur adalah dapat berupa lubang

angin yang berseberangan sehingga pertukaran udara akan berjalan terus

dan ruangan menjadi segar, atau jendela yang dapat dibuka sehingga udara

Page 16: Proposal TB PARU

16

segar dan sinar matahari dapat masuk. Cara praktis untuk memperoleh

ventilasi alami adalah jika dengan ventilasi tetap/lubang angin minimal 5%

dari luas lantai, sedangkan jika menggunakan ventilasi variabel/jendela

juga minimal 5% dari luas lantai (Depkes RI, 1995).

Secara umum penilaian ventilasi rumah dengan membandingkan

antara luas ventilasi dengan luas lantai rumah, dengan menggunakan roll

meter. Menurut indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang

memenuhi syarat kesehatan adalah ≥ 10% luas lantai rumah dan luas

ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10%luas lantai

rumah. Luas ventilasi rumah yang < 10% dari luas lantai (tidak memenuhi

syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen

dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi

penghuninya (Kepmenkes, 1999).

Persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai berikut:

a) Luas lubang ventilasi tetap minimal 5% dari luas lantai ruangan dari

luas lantai. Jumlah keduanya 10% dari luas lantai rumah.

b) Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah atau

pabrik, kenalpot kendaraan, debu dan lain-lain.

c) Aliran udara diusahakan Cross Ventilation dengan menempatkan

lubang ventilasi berhadapan antara 2 (dua) dinding. Aliran udara ini

jangan sampai terhalang oleh barang-barang besar, misalnya lemari,

dinding sekat dan lain-lain.

Menurut Rusnoto et al. (2005) bahwa adanya hubungan yang

bermakna antara luas ventilasi dengan kejadian tuberkulosis paru,

didapatkan hasil odds ratio (OR) sebesar 16,9 dengan 95 % Confidence

Interval (CI) 2,121 – 134,641, dengan nilai p = 0,001.

Hasil penelitian Hera (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan

yang bermakna antara kondisi ventilasi dengan kejadian penyakit TB paru

dimana kelompok masyarakat yang memiliki kondisi ventilasi < 10%

kemungkinan menderita penyakit TB paru sebesar 36 kali dibandingkan

yang memiliki kondisi ventilasinya ≥ 10% (p = 0,000, OR = 36,417 95%

CI: 10,85-122,17).

Page 17: Proposal TB PARU

17

Hasil penelitian Dahlan (2001) menunjukkan bahwa untuk

ventilasi rumah merupakan variabel yang paling memberikan kontribusi

yang mengatur kualitas suhu kamar untuk kejadian tuberkulosis paru,

secara statistik menunjukkan hubungan yang signifikan p <0,05 dengan

OR= 8,8 (p = 0,000).

Menurut Susiloawati (2012), kejadian tuberkulosis BTA positif

berpeluang atau berisiko lebih besar pada orang yang tinggal serumah

dengan penderita tuberkulosis BTA positif, rumah beratap seng, luas

ventilasi <10% luas lantai dibanding orang yang tidak tinggal serumah

dengan penderita tuberkulosis BTA positif, rumah tidak beratap seng, luas

ventilasi ≥10% luas lantai pada daerah dataran tinggi Kabupaten

Temanggung dan bermakna secara statistik.

3. Kelembaban Udara

Rumah dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu udara dan kelembaban

udara ruangan sesuai dengan suhu tubuh manusia normal. Suhu udara dan

kelembaban ruangan sangat dipengaruhi oleh penghawaan dan

pencahayaan. Penghawaan yang kurang atau tidak lancar akan menjadikan

ruangan terasa pengap atau sumpek dan akan menimbulkan kelembaban

tinggi dalam ruangan. Untuk mengatur suhu udara dan kelembaban suatu

ruangan normal bagi penghuni dalam melakukan kegiatannya, perlu

memperhatikan: keseimbangan penghawaan antara volume udara yang

masuk dan keluar, pencahayaan yang cukup pada ruangan dengan

perabotan tidak bergerak dan menghindari perabotan yang menutupi

sebagian besar luas lantai ruangan (Kepmen Perumahan dan Prasarana

Wilayah, 2002).

Indikator kelembaban udara dalam rumah sangat erat dengan kondisi

ventilasi dan pencahayaan rumah. Bila kondisi suhu ruangan tidak

optimal, misalnya terlalu panas akan berdampak pada cepat lelah saat

bekerja dan tidak cocok untuk istirahat. Sebaliknya, bila kondisinya terlalu

dingin akan tidak menyenangkan dan pada orang orang tertentu dapat

menimbulkan alergi. Hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban dalam

Page 18: Proposal TB PARU

18

rumah akan mempermudah berkembang biaknya mikroorganisme antara

lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat

masuk ke dalam tubuh melalui udara, selain itu kelembaban yang tinggi

dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga

kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme (Kepmenkes, 1999).

Pengukuran kelembaban secara umum menggunakan alat hygrometer

dengan standar kelembaban ruangan minimal 40%–70%, dan suhu

ruangan dengan suhu ideal antara 180C – 300C. Pengukuran dilakukan

pada ruang keluarga yang lebih banyak digunakan aktivitas dan pada jam

09.00-12.00. Saat pengukuran alat diletakkan pada permukaan ruangan

yang akan diukur kelembabannya pada posisi horizontal, kemudian tunggu

± 1 menit dan lakukan pembacaan skalanya. Selama pembacaan haruslah

diberi aliran udara yang dihembus ke arah alat tersebut, hal ini dapat

dilakukan dengan secarik kertas atau kipas (Depkes RI, 1995).

Mengetahui kelembaban ruangan tanpa alat dapat dilakukan dengan

melihat kondisi lantai dan dinding. Lantai dan dinding tidak lembab dapat

dirasakan dengan menyentuh dinding dan lantai, jika lembab akan terasa

basah saat dipegang dan terlihat ditumbuhi jamur (Depkes RI, 1995).

Menurut Rusnoto et al. (2005) bahwa ada hubungan yang bermakna antara

kelembaban dan kejadian tuberkulosis paru (OR=6,3 ; 95% CI=2,651-

14,971).

Hasil penelitian Hera (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan yang

bermakna antara kelembaban udara dengan kejadian penyakit TB Paru

dimana kelompok masyarakat yang memiliki kelembaban udara > 70%

(tidak memenuhi syarat) kemungkinan menderita penyakit TB paru

sebesar 3 kali dibandingkan kelompok masyarakata yang memiliki

kelembaban udaranya 40% - 70% (p = 0,009, OR = 2,935, 95% CI:1,29-

6,64),

Hasil penelitian Jelalu (2008) menunjukkan bahwa 73,7% kejadian

tuberkulosis paru pada orang dewasa di Kabupaten Kupang dipengaruhi

oleh 4 variabel, salah satunya adalah kelembaban rumah.

Page 19: Proposal TB PARU

19

4. Jenis Lantai

Jenis lantai yang baik adalah kedap air dan muah dibersihkan, jenis lantai

rumah yang ada di Indonesia bermacam-macam tergantung kondisi daerah

dan tingkat ekonomi masyarakat, mulai dari jenis lantai tanah, papan,

plesetan semen sampai kepada pasangan lantai keramik. Komponen yang

harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air dan tidak lembab,

tinggi minimum 10 cm dari pekarangan dan 25 cm dari badan jalan, bahan

kedap air, untuk rumah panggung dapat terbuat dari papan atau anyaman

bambu dan tidak lembab (Ditjen Cipta Karya, 1997).

Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian tuberkulosis

paru, mengingat lantai tanah ini lembab dan menjadi tempat yang baik

untuk berkembang biaknya kuman TB Paru. Lantai tanah cenderung

menimbulkan kelembaban, pada musim panas lantai menjadi kering

sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya

(Azwar, 1996). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Mahfudin (2006)

bahwa kondisi rumah yang berlantai tanah memiliki hubungan bemakna

dengan kejadian tuberkulosis paru dengan OR 2,2 (1,135;4,269).

Menurut Rusnoto et al. (2007) bahwa ada hubungan yang bermakna antara

jenis lantai rumah tidak standar dengan kejadian tuberculosis paru dengan

didapatkan hasil odds ratio (OR) sebesar 7,095 dengan 95 % Confidence

Interval (CI) 2,930 – 17,179, dengan nilai p = 0,0001.

5. Kepadatan Hunian

Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah

dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal (Lubis, 1989).

Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan

dalam m2 per orang. Luas minimum perorang sangat relative, tergantung

dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan

sederhana, minimum 10 m2/orang untuk kamar tidur diperlukan minimum

3 m2/orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk

suami istri dan anak dibawah dua tahun.apabila ada anggota keluarga yang

Page 20: Proposal TB PARU

20

menderita penyakit Tuberculosis sebaiknya tidak tidur dengan anggota

keluarga lainnya.

Secara umum penelitian kepadatan penghuni dengan menggunakan

ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi

syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah

penghuni > 10 m2/orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat

kesehatan apabila diperoleh hasil bagi antara luas lantang dengan jumlah

penghuni <10 m2/orang (Lubis, 1989).

Hasil penelitian Hera (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan

antara kepadatan hunian dengan kejadian penyakit TB paru dimana

kelompok masyarakat yang memiliki kepadatan hunian < 10m² (tidak

memenuhi syarat) kemungkinan menderita penyakit TB paru sebesar 10

kali dibandingkan kelompok masyarakat yang memiliki kepadatan

huniannnya ≥ 10m² (p = 0,000, OR = 10,023, 95% CI:3,75-26,75).

C. Kerangka Teori

Menurut Beglehole (1997) dalam jurnal Hubungan Antara Karakteristik

Lingkungan Rumah dengan Kejadian Penyakit Tuberculosis (TB) Paru Pada

Anak. Faktor resiko yang menimbulkan penyakit Tuberculosis adalah faktor

genetic, malnutrisi, vaksinasi, kemiskinan dan kepadatan penduduk.

Tuberculosis terutama banyak terjadi dipopulasi yang mengalami stress,

nutrisi jelek, penuh sesak, ventilasi rumah yang tidak bersih, perawatan

kesehatan yang tidak cukup dan perpindahan tempat.

Lingkungan merupakan hal yang tidak lepas dari aktivitas kehidupan

manusia. Lingkungan, baik secara fisik maupun biologis sangat berperan

dalam proses terjadinya gangguan kesehatan masyarakat, termasuk gangguan

kesehatan berupa penyakit Tuberculosis.

Rumah atau tempat tinggal yang buruk atau kumuh dapat mendukung

terjadinya penularan penyakit dan gangguan kesehatan, seperti infeksi saluran

nafas contohnya TBC, influenza, campak, batuk, infeksi pada kulit, scabies,

lepra, pes, leptospirosis, mlaria, demam berdarah dangue, filariasis dan lain-

lain (Budiman Chandra, 2007:164).

Page 21: Proposal TB PARU

21

BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan

antara konsep-konsep yang akan diamati atau diukur melalui penelitian-

penelitian. Robert dalam Notoatmodjo (2005).

Sesuai dengan tema yang diambil, maka kerangka konsep dalam penelitian

ini adalah untuk memperlihatkan hubungan antara lingkungan rumah

(pencahayaan, ventilasi, kelembaban, jenis lantai dan kepadatan hunian)

dengan kejadian tuberculosis (TB) paru di Kecamatan Curug Kota Serang

Tahun 2014.

Bagan 3.1

Kerangka Konsep Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian

Tuberkulosis (TB) Paru

Variabel Independen Variabel Dependen

Kondisi Fisik Rumah

Pencahayaan

Ventilasi

Kelembaban

Jenis Lantai

Kepadatan Hunian

Kejadian

Tuberkulosis (TB)

Paru

Page 22: Proposal TB PARU

22

B. Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Skala

Variabel Dependen

Kejadian TB

Paru

Kondisi atau riwayat

kejadian sakit paru

pada responden

yang dilihat dari

buku register TB

Paru.

Buku

Register

TB Paru

Kuesioner 0. Sakit TB

Paru.

1. Tidak Sakit

TB Paru

Ordinal

Variabel Independen

Pencahayaan Pencahayaan adalah

pencahayaan alami

ruangan rumah

adalah penerangan

yang bersumber dari

sinar matahari

(alami), yaitu semua

jalan yang

memungkinkan

umtuk masuknya

cahaya matahari

alamiah, misalnya

melalui jendela atau

genting kaca

(DepKes RI, 1989;

Notoatmodjo,2003)

Wawancara

dan

Observasi

Kuesioner 0. Tidak

memenuhi

syarat

kesehatan,

jika sinar

matahari

masuk tidak

langsung

kedalam

ruangan.

1. Memenuhi

syarat

kesehatan,

jika sinar

matahari

masuk

langsung

kedalam

ruangan

Ordinal

Ventilasi Ventilasi adalah

ventilasi rumah

Wawancara

dan

Kuesioner 0. Tidak

memenuhi

Ordinal

Page 23: Proposal TB PARU

23

yaitu usaha untuk

memenuhi kondisi

atmosfer yang

menyenangkan dan

menyehatkan

manusia.

(Lubis,1989).

Persyaratan ventilasi

yang baik adalah

sebagai berikut :

Luas lubang

ventilasi tetap

minimal 5% dari

luas lantai ruangan

dari luas lantai.

Jumlah keduanya

10% dari luas lantai

rumah.

Observasi syarat jika

ventilasi <

10% luas

lantai.

1. Memenuhi

syarat jika

ventilasi >

10% luas

lantai.

Kelembaban Kelembaban rumah

yang tinggi dapat

mempengaruhi

penurunan daya

tahan tubuh

seseorang dan

meningkatkan

kerentanan tubuh

terhadap penyakit

terutama penyakit

infeksi. Kelembaban

juga dapat

meningkatkan daya

tahan bakteri.

Wawancara

dan

Observasi

Kuesioner 0. Tidak

memenuhi

syarat jika

kelembaban

< 40% atau

>70%.

1. Memenuhi

syarat jika

kelembaban

memenuhi

40-70%.

Ordinal

Page 24: Proposal TB PARU

24

Menurut Suryanto

(2003),kelembaban

dianggap baik jika

memenuhi 40-70%

dan buruk jika

kurang dari 40%

atau lebih dari 70%

(Krieger dan

Higgins,2002).

Lantai

Rumah

Kontruksi lantai

rumah dominan

terbuat dari bahan

yang kedap air dan

mudah dibersihkan

(Kepmenkes No.

829/1999).

Wawancara

dan

observasi

kuesioner 0. Tidak

memenuhi

syarat

kedap air.

1. Memenuhi

syarat

kedap air.

Ordinal

Kepadatan

Hunian

Perbandingan luas

kamar dengan

jumlah penghuni di

mana persyaratan

minimal 3 m2/orang.

Wawancara

dan

observasi

Kuesioner 0. Tidak

memenuhi

syarat bila

<3m2/orang

1. Memenuhi

syarat bila

>3m2/orang

Ordinal

C. Hipotesis

Hipotesa sebagai jawaban sementara penelitian, patokan dugaan atau dalil

sementara yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut

(Notoatmodjo, 2003). Berdasarkan kerangka konsep dan definisi operasional

variabel sebagaimana di atas, maka hipotesis yang dapat diajukan adalah :

Ha: Ada hubungan antara Kondisi Pencahayaan Ruangan dengan kejadian

TB paru di Kecamatan Curug Kota Serang Tahun 2014.

Page 25: Proposal TB PARU

25

Ha: Ada hubungan antara Kondisi Ventilasi Ruangan dengan kejadian TB

paru di Kecamatan Curug Kota Serang Tahun 2014.

Ha: Ada hubungan antara Kelembaban Udara dengan kejadian TB paru di

Kecamatan Curug Kota Serang Tahun 2014.

Ha: Ada hubungan antara Jenis Lantai Rumah dengan kejadian TB paru di

Kecamatan Curug Kota Serang Tahun 2014.

Ha: Ada hubungan antara Kepadatan Hunian dengan kejadian TB paru di

Kecamatan Curug Kota Serang Tahun 2014.

Page 26: Proposal TB PARU

26

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain studi kasus control

untuk mencari hubungan seberapa jauh faktor-faktor lingkungan yang

mempengaruhi terjadinya penyakit TB Paru BTA positif (Sastroasmoro,

2002). Yang menjadi faktor lingkungan adalah pencahayaan, ventilasi

ruangan, kelembaban, jenis lantai dan kepadatan hunian.

Pada studi kasus kontrol sekelompok kasus (pasien yang menderita penyakit

atau efek yang sedang di teliti) dibandingkan dengan sekelompok control

(mereka yang tidak menderita efek atau penyakit). Pada penelitian ini kriteria

sebagai kasus adalah semua penderita TB Paru yang tercatat dalam buku

register TB Paru dari bulan Oktober 2013 sampai Februari tahun 2014, yang

datang berobat ke puskesmas dengan hasil pemeriksaan dengan BTA positif

dan bertempat tinggal di Wilayah Kecamatan Curug. Sedangkan kontrol

adalah tetangga terdekat dari penderita TB Paru positif yang bertempat tinggal

di Wilayah Kecamatan Curug, karena mereka mempunyai resiko untuk

tertular penyakit ini dari penderita.

Penelitian ini bersifat retrospektif dimana efek atau outcome ditelusuri

kebelakang (backward) untuk diidentifikasi penyebab atau faktor risikonya,

dengan membandingkan kelompok kasus dan kontrol. Efek yang ingin dilihat

adalah kejadian penyakit TB Paru yang diidentifikasi saat ini, sementara faktor

risiko berupa faktor karakteristik dan lingkungan yang diduga sebagai pemacu

(confounding) diidentifikasi pada masa lalu.

Page 27: Proposal TB PARU

27

Secara sederhana, rancangan kasus control pada penelitian ini dapat dilihat

pada gambar berikut:

Gambar 4.1 : Desain penelitian

B. Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - Mei 2014, bertempat di

Kecamatan Curug dengan jumlah penduduk 47.308 jiwa. Pemilihan lokasi

penelitian karena berdasarkan Laporan Dinas Kota Serang, telah terjadi

penyakit TB Paru di Kecamatan Curug Kota Serang pada bulan Oktober 2013

- Februari 2014.

C. Populasi Dan Sampel

1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian adalah keseluruhan objek penelitian atau objek

yang diteliti (Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah di

Kecamatan Curug.

Populasi kasus adalah penderita pada kejadian penyakit TB Paru di

Kecamatan Curug pada bulan Oktober 2013 – Februari 2014. Populasi

kasus berjumlah 87 orang berdasarkan data yang diperoleh dari

Puskesmas Curug.

Sedangkan populasi control adalah bukan penderita pada kejadian

penyakit TB Paru di Kecamatan Curug pada bulan Oktober 2013 –

Februari 2014. Populasi control berjumlah 47221 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karateristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut (Sugiyono, 2007).Sampel pada penelitian ini dibedakan

menjadi sampel kasus dan sampel kontrol.

Lingkungan memenuhi syarat

Lingkungan tidak memenuhi syarat

Lingkungan memenuhi syarat

Lingkungan tidak memenuhi syarat

Tidak TB Paru (kontrol)

Sakit TB Paru (kasus)

Page 28: Proposal TB PARU

28

Sampel kasus adalah penderita yang telah didiagnosis petugas kesehatan

sesuai juknis yang berlaku sebagai penderita TB Paru dengan gejala dan

tanda klinis seperti dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, rasa

nyeri dada dan badan lemas dan bertempat tinggal di Kecamatan Curug

Kota Serang pada bulan Oktober 2013- Februari 2014.

Sampel kontrol adalah orang yang tidak didiagnosis petugas kesehatan

sesuai juknis yang berlaku sebagai penderita dan tidak mengalami gejala

TB Paru serta dan bertempat tinggal di Kecamatan Curug Kota Serang

pada Oktober 2013 - Februari 2014. Lokasi rumah sampel kontrol adalah

tetangga terdekat dari penderita TB Paru positif yang bertempat tinggal di

Wilayah Kecamatan Curug.

Kriteria inklusi sampel kasus adalah:

a. Penduduk yang bertempat tinggal di Kecamatan Curug Kota Serang

tahun 2014.

b. Penduduk yang telah didiagnosis petugas kesehatan sebagai penderita

TB Paru di Kecamatan Curug Kota Serang tahun 2014.

c. Kesediaan yang bertempat tinggal di Kecamatan Curug Kota Serang

tahun 2014.

1) Besar Sampel

Besar sampel minimal dihitung dengan menggunakan rumus besar

sampel untuk desain studi kasus kontrol uji hipotesis perbedaan dua

proporsi (Ariawan, 2005)

n = ɑ/ [ ( )] [ ( ) ( )] ²

( )²

Keterangan :

n : Jumlah sampel minimal

ɑ : Kesalahan tipe I, ɑ=0.05

β : Kesalahan tipe II, ß=0,2

P2 : Proporsi terpajan pada kontrol

P1 : Proporsi terpajan pada kasus

P : ½ (P₁+P₂)

Page 29: Proposal TB PARU

29

Dari perumusan diatas dan berdasarkan pada perhitungan P₂ dan OR

hasil penelitian terdahulu, dimana jumlah sampel setiap variabel

dengan ɑ=0.05 perbandingan satu kasus dan satu kontrol dapat

dihitung besar sampel minimal seperti tabel berikut.

Tabel 4.2 Jumlah Sampel Untuk Setiap Variabel Dengan

Perbandingan Satu Kasus Satu Kontrol

No. Variabel Peneliti P₂ OR P₁ P N

1. Ventilasi

Ruangan Dahlan, 2001 0,44 3,27 0,72 0,58 36

2. Kepadatan

Hunian

Helda Suarni,

2009 0,50 3,57 0,78 0,64 45

Contoh perhitungan dengan P = 0,50, OR= 3,57 dan n=45 (Helda suarni,

2009).

P1 = ( )

( ) ( )

= , × ,

( , × , ) ( , )

= 0,78

n = ɑ/ [ ( )] [ ( ) ( )] ²

( )²

= , [ × , ( , )] , , ( , ) , ( , ) ²

( , , )

= 45

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus diatas,

maka diperoleh hasil jumlah sampai minimal yang dapat diambil

adalah 45 orang, dengan perbandingan sampel antara kasus dan kontol

1:1, dimana 45 responden sebagai kelompok kasus dan 45 responden

sebagai kelompok kontrol, sehingga jumlah sampel secara

keseluruhan adalah 90 orang.

Page 30: Proposal TB PARU

30

2) Teknik Dan Cara Pengambilan sampel

Sebagai sampel pada penelitian ini adalah penduduk di Kecamatan

Curug Kota serang. Sampel kasus yang diambil adalah total populasi

kasus berdasarkan daftar nama penderita TB Paru di Kecamatan

Taktakan Kota Serang. Daftar nama penderita di peroleh dari data

Puskesmas Curug dan Kader setempat. Sedangkan sampel kontrol

adalah tetangga terdekat dari penderita TB Paru positif yang bertempat

tinggal di Wilayah Kecamatan Curug. Pengambilan sampel kontrol

diambil secara simple random sampling, artinya seluruh penduduk

Kecamatan Curug Kota Serang yang tidak menderita TB Paru dapat

dijadikan sebagai sampel kontrol.

D. Pengumpulan Data

1. Pengumpulan Data Faktor Lingkungan

Data lingkungan fisik dapat dengan melakukan Observasi dan pengukuran

dilapangan melalui kunjungan rumah pasien TB Paru sebagai kasus

setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium. Meteran untuk mengukur

luas ventilasi dan luas lantai rumah. Sedangkan alat ukur untuk kepadatan

hunian rumah dengan melakukan observasi dan wawancara menggunakan

kuisioner. Hal sama juga dilakukan untuk kontrol.

2. Pengumpulan Data Kejadian TB Paru

Data kejadian TB Paru didapat dengan melihat dokumen status pasien

yang sebelumnya melakukan pemeriksaan mikroskopik di laboratorium.

Dalam pelaksanaan pengumpulan data ini dibantu oleh petugas

puskesmas dan kader denan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Melakukan verifikasi semua tersangka penderita TB Paru BTA

positif di puskesmas Curug yang tercatat pada buku register TB Paru

mulai bulan Oktober 2013 sampai Februari 2014.

b. Memilih semua penderita TB Paru BTA Posotif sebagai kasus

sebagai jumlah yang diperlukan untuk penelitian.

c. Memilih tetangga terdekat dari penderita TB Paru positif yang

bertempat tinggal di Wilayah Kecamatan Curug.

Page 31: Proposal TB PARU

31

d. Melakukan wawancara, observasi, dan pengukuran untuk

mendapatkan informasi mengenai lingkungan fisik rumah.

E. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, maka dilakukan pengolahan data dengan langkah-

langkah sebagai berikut (Hastono, 2007).

1. Pemeriksaan (Editing) data, yaitu pengecekan isian daftar pertanyaan

ataukuisioner dari sisi kelengkapan, kejelasan, relevansi dan konsistensi

jawaban. Kegiatan ini langsung dilakukan pada hari yang sama dengan

pengisian kuesioner. Jika ditemukan data belum lengkap, maka

mengambil data akan diminta untuk melengkapi atau memperbaiki

kuesioner dengar cara menemui responden kembali.

2. Pemberian kode (Coding) data, yaitu kode pada variabel dengan jenis data

kategori yaitu variabel kejadian penyakit TB Paru, pencahayaan, ventilasi,

kelembaban, jenis lantai, dan kepadatan hunian. Dalam pemberian kode

berdasarkan tingkat resiko pada variabel yang terdiri 2 kategori, maka

untuk hasil pengukuran yang tidak berisiko diberi kode yang lebih tinggi

(misalnya : 1). Yang berisiko untuk variabel yang terdiri lebih dari 2

kategori, pada saat dilakukan analisis bivariat akan dirubah menjadi 2

katergori dengan cara menggunakan (collaps) beberapa kelompok data.

3. Processing adalah kegiatan memproses data setelah semua kuisioner terisi

penuh dan benar, serta sudah melewati pengkodean agar data yang sudah

di entry dapat di analisis. Pemrosesan data dilakukan dengan

menggunakan program computer yaitu Sofware Statistik, pada saat proses

pengolahan data dilakukan compude data.

Fungsi compute digunakan pada :

Variabel pencahayaan ruangan diperoleh dari pengukuran dengan

menggunakan luxmeter.

Variabel ventilasi ruangan diperoleh dari pengukuran dengan

menggunakan rollmeter.

Variabel kelembaban ruangan diperoleh dari pengukuran dengan

menggunakan hygrometer.

Page 32: Proposal TB PARU

32

Variabel lantai rumah diperoleh dari observasi yang kemudian

dijumlahkan keseluruhan. Hasil beresiko diberi nilai 0 dan yang tidak

beresiko diberi nilai 1. Jika pada nilai total diperoleh nilai nol, maka

dinyatakan tidak memenuhi syarat kedap air.

Variabel kepadatan hunian diperoleh dengan cara membagi luas

rumah dengan jumlah penghuni dalam satu rumah.

4. Membersihkan (cleaning) data, merupakan kegiatan pemeriksaan kembali

data yang sudah dimasukan kedalam program komputer. Jika ditemukan

data yang tidak sesuai maka dilakukan pengulangan dalam proses entry

data sehingga menjadi sesuai dengan isi yang ada pada kuisioner.

F. Analisa Data

Setelah dilakukan pengolahan data langkah berikutnya adalah menganalisis

data sehingga data tersebut mempunyai arti/makna yang dapat berguna untuk

memecahkan masalah penelitian. Analisia data pada penelitian ini akan

dilakukan dengan bantuan program computer yang sesuai. Tahapan kegiatan

analisa data yang akan dilakukan meliputi analisis univariat dan analisis

bivariat.

1. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh gambaran data mengenai

distribusi frekuensi dan proporsi dari tiap variabel dalam penelitian ini.

Pada penelitian ini diperoleh data mengenai distribusi frekuensi variabel

dependen yaitu, kejadian penyakit TB Paru dan distribus ifrekuensi

variabel independen yaitu faktor lingkungan yang disajikan dalam bentuk

proporsi (persentase).

2. Analisis Bivariat

Dilakukan dengan uji Chi Square dengan tingkat kemaknaan ɑ= 0,05

untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel

dependen dan variabel lainnya. Uji Chi Square bertujuan untuk

menganalisis ada atau tidaknya hubungan variabel independen dan

variabel lainnya dengan variabel kejadian TB Paru BTA positif, yang

semuanya merupakan data kategorik untuk melihat kebermaknaan secara

Page 33: Proposal TB PARU

33

statistic. Jika nilai P yang didapat lebih kecil dari nilai α =0,05akan

diinterpretasikan bahwa variabel-variabel tersebut memiliki hubungan

dengan kejadian TB Paru. Penyajianan analisis bivariat dilakukan dengan

membuat table dan diinterpretasikan dalam bentuk narasi. Sedangkan

untuk melihat kejelasan tentang dinamika hubungan antara faktor resiko

dan faktor efek dilihat melalui nilai Odds Ratio (OR). OR dalam hal ini

untuk mengetahui keeratan hubungan antara variabel bebas dan variabel

terikat dan menunjukan terjadinya penyakit pada kelompok yang tidak

terpapar.

Interval estimasi OR ditetapkan pada tingkat kepercayaan sebesar 95% CI

(confident Interval).

P value ≤ α, maka uji statistic menunjukan adanya hubungan yang

bermakna.

P value ≥ α, maka uji statistic menunjukan tidak adanya hubungan

yang bermakna.

Dalam penelitian kasus control, dikenal dengan adanya nilai Ods Ratio

(OR), yaitu nilai yang dihitung untuk mengetahui perbandingan benar

resiko antara kelompok terpajan dengan kelompok tidak terpajan, dengan

ketentuan :

Bila OR < 1 artinya faktor protektif, yaitu faktor yang dapat

mencegah untuk terjadinya suatu penyakit.

Bila nilai OR = 1 artinya faktor yang diteliti bukan merupakan faktor

risiko.

Bila nilai OR > 1 artinya faktor yang diteliti merupakan faktor risiko.

G. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

1. Uji Validitas

Untuk mengetahui validitas suatu instrument (dalam hal ini kuesioner)

dilakukan dengan cara melakukan korelasi antara masing-masing variabel

dengan skor totalnya. Suatu variabel (Pertanyaan) dikatakan valid bila

Page 34: Proposal TB PARU

34

skor variabel tersebut berkorelasi secara signifikan dengan skor totalnya

(Hastono, 2007 : 54)

r = ( Ү) ( ).( Ү)

{ . ( ) }.{ . Ү ( Ү) }

Ket:

r = Koefisien korelasi

n = Jumlah responden

ΣΧi = Jumlah skor item

ΣҮi = Jumlah skor total

Keputusan uji:

Bila r hitung > r tabel Ho ditolak, artinya item valid

Bila r hitung < r tabel Ho gagal ditolak, artinya item tidak valid

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukan sejauh mana hasil

pengukuran tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih

terhadap gejala yang sama dengan alat ukur yang sama, (Hastono, 2007).

Uji reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan one shot/ skala ukur. Penelitian dilakukan dengan

perangkat lunak pengolahan data, langkah-langkah yang digunakan antara

lain: mengajukan kuisioner kepada sejumlah responden, kemudian

dihitung validitas masing-masing pertanyaan. Suatu instrument dikatakan

reliable jika r alpha (α) lebih besar dari r tabel.

Page 35: Proposal TB PARU

35

KUESIONER PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA KONDISI FISIK RUMAH (PENCAHAYAAN,

VENTILASI, KELEMBABAN, JENIS LANTAI, DAN KEPADATAN

HUNIAN) DENGAN KEJADIAN TB PARU DI KECAMATAN CURUG

KOTA SERANG TAHUN 2014

Nama Pewawancara : …………………….

Nama Responden : …………………….

Umur Responden : …………….. Tahun

Jenis Kelamin : L/P

Alamat : ………………..…… Rw : ………….. Rt : ……………

Pendidikan Terakhir : 1. Tidak Sekolah 5. Tamat SMA

2. Tidak Tamat SD 6. Akademi

3. Tamat SD 7. Sarjana

4. Tamat SMP 8. Pasca Sarjana

Pekerjaan : 1. Pegawai Negeri 6. Pedagang/ Wiraswasta

2. Pegawai Swasta 7. Ibu Rumah Tangga

3. TNI/Polri 8. Pelajar

4. Petani 9. Lainnya, sebutkan: ……..

5. Nelayan

IDENTIFIKASI GEJALA TB PARU

1. Apakah anda mengalami batuk terus menerus atau berdahak selama 3 minggu

atau lebih?

a) Ya

b) Tidak

2. Jika ya, apakah batuk yang terus menerus disertai mengeluarkan dahak dan

demam meriang?

a) Ya

b) Tidak

Page 36: Proposal TB PARU

36

3. Saat menderita gejala tersebut apakah anda mengalami batuk darah?

a) Ya

b) Tidak

4. Apakah ibu/bapak merasa sesak nafas dan nyeri dada?

a) Ya

b) Tidak

5. Apakah ibu/bapak merasa lemas?

a) Ya

b) Tidak

6. Apakah ibu/bapak sedang mengalami penurunan berat badan?

a) Ya

b) Tidak

7. Apakah ibu/bapak sering mengalami keringat saat malam hari?

a) Ya

b) Tidak

8. Apakah nafsu makan ibu/bapak berkurang?

a) Ya

b) Tidak

PENGUKURAN PENCAHAYAAN

1. Apakah dirumah anda cahaya matahari dapat masuk ke dalam ruangan rumah?

a) Ya

b) Tidak

2. Apakah disetiap ruangan rumah anda ada pencahayaan?

a) Ya

b) Tidak

3. Apakah setiap hari anda suka membuka jendela?

a) Ya

b) Tidak pernah sama sekali

c) Jarang

Page 37: Proposal TB PARU

37

PENGUKURAN VENTILASI RUANGAN (KAMAR TIDUR)

1. Berapa luas lantai kamar tidur ………. m2 (ukur oleh pewawancara)

2. Apakah di dalam kamar tidur anda terdapat ventilasi?

1. Ya

2. Tidak (Langsung ke pengukuran pencahayaan)

3. Bagaimana kondisi ventilasi kamar tidur? (Lihat oleh pewawancara)

1. Ditutup permanen

2. Tidak ditutup permanen

4. Berapa luas ventilasi/jendela kamar tidur? (ukur oleh pewawancara) ………..

m2

5. Bagaimana hasil pengukuran ventilasi kamar tidur?

1. Memenuhi syarat

2. Tidak memenuhi syarat

KELEMBABAN

1. Berapakah kelembaban ruangan rumah anda? (ukur oleh pewawancara)

…………. %

2. Berapakah suhu ruangan rumah anda? (ukur oleh pewawancara)

………………◦C

3. Bagaimana kondisi kelembaban rumah anda?

a) Gelap dan lembab

b) Terang tapi lembab

c) Terang dan hangat

JENIS LANTAI

1. Apakah jenis lantai rumah anda?

a) Semen

b) Keramik/porselin

c) Ubin

d) Tanah

e) Kayu

f) Lainnya, sebutkan : ……….

Page 38: Proposal TB PARU

38

2. Bagaimana kondisi lantai rumah anda?

a) Lembab, kotor dan sulit dibersihkan

b) Kering, rapat dan mudah dibersihkan

3. Seberapa seringkah anda membersihkan lantai rumah anda?

a) 1 kali sehari

b) 2 kali sehari

c) > 2 kali sehari

KEPADATAN HUNIAN

1. Berapa jumlah anggota keluarga yang menempati rumah anda?

a) 1 orang

b) 2-3 orang

c) Lebih dari 3 orang

2. Berapa jumlah kamar tidur dirumah anda?

a) 1 buah

b) 2 buah

c) Lebih dari 3 buah

3. Apakah luas bangunan fisik rumah anda lebih dari 10 m2/orang?

a) Ya

b) Tidak

4. Apakah semua anggota keluarga mempunyai ruang kamar tidur sendiri?

a) Ya

b) Tidak

5. Berapa jumlah orang yang tidur dalam satu kamar?

a) < 2 orang

b) > 2 orang