Proposal Stimulasi Sensori

36
PROPOSAL TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK STIMULASI SENSORI PADA PENDERITA HALUSINASI Oleh: Achmad Suhaili Gregorius Rao Al Fauzan Kanisius Soni Dita Hayu Pangestu Maria E. Ximenes Ervan Efendi Sbastianus Suri Nur Hanifah Vitalis Lake Costanta Yoanita A. Leu Basrudin Daengmanrapi S1- KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

description

kesehatan

Transcript of Proposal Stimulasi Sensori

PROPOSAL TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK

STIMULASI SENSORI PADA PENDERITA HALUSINASI

Oleh:Achmad Suhaili

Gregorius RaoAl Fauzan Kanisius SoniDita Hayu Pangestu Maria E. XimenesErvan Efendi Sbastianus Suri

Nur Hanifah Vitalis Lake

Costanta Yoanita A. Leu

Basrudin Daengmanrapi

S1- KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

(STIKES) SURABAYA

2015KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas nikmat dan karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Setiap konsep dalam makalah ini juga memerlukan bahasa dan rincian serta berbagai penjelasan yang dapat memudahkan untuk mempelajari dan memahaminya.Proposal terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori pada penderita halusinasi ini disusun untuk memenuhi tugas keperawatan keluarga dalam memahami ilmu kesehatan khususnya keperawatan.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada para pendukung yang memberikan motivasi sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih juga kepada para pembaca terutama bagi mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surabaya. Dan tidak lupa pula kepada para dosen yang telah membimbing kami menjadi mahasiswa yang berpotensi. Kritik dan saran pembaca merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi kami dalam menyempurnakan isi makalah ini. Semoga makalah ini dapat menjadi panduan bagi mahasiswa.

Surabaya, 2 Mei 2015

PenulisBAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama (Stuart & Laraia, 2001 dikutip dari Cyber Nurse, 2009).

Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapist atau petugas kesehatan jiwa yang telah terlatih (Pedoman Rehabilitasi Pasien Mental Rumah Sakit Jiwa di Indonesia dalam Yosep, 2007). Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi bagi pasien dengan gangguan interpersonal (Yosep, 2008).

Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Sensori merupakan terapi modalitas yang dapat digunakan sebagai upaya untuk menstimulasi semua panca indra (sensori) agar memberi respon yang adekuat. TAK Stimulasi Sensori yang akan dilakukan ditujukan pada kelompok klien dengan masalah yang sama, yang dalam hal ini adalah gangguan komunikasi verbal. Terapi modalitas ini merupakan terapi yang dikembangkan pada kelompok klien untuk meningkatkan kemampuan verbal klien sehingga diharapkan dengan TAK asuhan keperawatan jiwa adalah asuhan keperawatan spesialistik namun tetap holistik. Sehingga pada proposal ini kelompok berkeinginan mengajukan TAK Stimulasi Sensori untuk penderita Retardasi Mental sebagai terapi modalitas untuk meningkatkan kemampuan komunikasi verbal penderita Retardasi Mental dan konsumen jiwa sehat yang mengalami isolasi sosial.

1.2 Tujuan

Tujuan umum TAK Stimulasi Sensori yaitu peserta dapat meningkatkan kemampuan komunikasi verbal dalam kelompok secara bertahap. Sementara, tujuan khususnya adalah:

1. Peserta mampu mensensorikan stimulus yang dipaparkan dengan tepat 2. Peserta mampu menyelesaikan masalah dari stimulus yang dialami 1.3 Manfaat

1.3.1 Manfaat Bagi Klien

Sebagai cara untuk meningkatkan kemampuan klien retardasi mental dan konsumen jiwa sehat yang mengalami isolasi sosial untuk berkomunikasi secara verbal dengan orang lain dalam kelompok secara bertahap

1.3.2 Manfaat Bagi Terapis

Sebagai upaya untuk memberikan asuhan keperawatan jiwa secara holistik

Sebagai terapi modalitas yang dapat dipilih untuk mengoptimalkan Strategi Pelaksanaan dalam implementasi rencana tindakan keperawatan klien

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Retardasi Mental

2.1.1 Definisi

Menurut Crocker AC (dikutip dari Soetjiningsih, 1995:191), retardasi mental adalah suatu kondisi yang ditandai oleh intelegensi yang rendah, yang disertai adanya kendala dalam penyesuaian perilaku, dan gejalanya timbul pada masa perkembangan. Sedangkan menurut Melly Budhiman (dikutip dari Soetjiningsih, 1995: 191), seseorang dikatakan retardasi mental jika memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) fungsi intelektual umum dibawah normal, (2) terdapat kendala dalam perilaku adaptif sosial, (3) gejalanya timbul dalam masa perkembangan yaitu dibawah usia 18 tahun.

Yang dimaksud fungsi intelektual dibawah normal adalah IQ yang kurang dari 70. Anak dengan retardasi mental tidak mampu untuk mengikuti pendidikan di sekolah biasa seperti anak lainnya karena cara berpikirnya yang terlalu sederhana. Anak ini bersekolah di sekolah luar biasa tingkat C (SLB-C), yang dikhususkan untuk anak tunagrahita atau retardasi mental.

Menurut PPDGJ-III (2003), retardasi mental atau tunagrahita adalah suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya ketrampilan selama masa perkembangan sehingga berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. Beberapa orang yang mengalami retardasi mental bersifat pasif dan tergantung, sedangkan yang lain bersikap agresif dan impulsif (Videbeck, 2008:560).

Jadi retardasi mental adalah suatu kondisi yang ditandai intelegensi yang rendah yang disertai kendala ketrampilan dan penyesuaian perilaku selama masa perkembangan yaitu dibawah usia 18 tahun.

2.1.2Penyebab

Secara garis besar faktor penyebab dapat dibagi empat golongan, yaitu (Soetjiningsih, 1995):

a. Faktor genetik

Akibat kelainan kromosom, seperti: (1) kelainan jumlah kromosom, misalnya trisomi-21 atau dikenal dengan Mongolia atau Down Syndrome, (2) kelainan bentuk kromosom.

b. Faktor prenatal

Keadaan tertentu yang telah diketahui ada sebelum atau pada saat kelahiran, tetapi tidak dapat dipastikan sebabnya. Ada beberapa kemungkinan penyebab, antara lain: (1) keracunan pada saat di dalam kandungan, (2) faktor psikologi ibu ketika mengandung, (3) infeksi di dalam kandungan, (3) kekurangan gizi pada saat hamil, (4) penyakit karena virus yang diderita ibu ketika hamil, (5) konsumsi beragam obat yang dilakukan oleh sang ibu untuk mengurangi penderitaan ketika hamil muda, (6) kelainan pada kelenjar gondok, yang mengakibatkan pertumbuhan kurang wajar, (7) penyinaran dengan sinar rontgen dan radiasi atom yang mengakibatkan kelainan bayi dalam rahim ibunya (Mulya, 2011).

c. Faktor perinatal

Yang menjadi faktor perinatal yang pertama adalah proses kelahiran yang lama misalnya plasenta previa, rupture tali umbilicus. Faktor yang kedua posisi janin yang abnormal seperti letak bokong atau melintang, anomaly uterus, dan kelainan bentuk jalan lahir. Kemudian faktor yang terakhir adalah kecelakaan waktu lahir dan distress fatal. Menurut Mulya (2011), kekurangan zat asam yang menyebabkan kerusakan pada sel otak dan sesak napas ketika dilahirkan juga berkontribusi dalam menyebabkan retardasi mental.

d. Faktor pascanatal

Yang meliputi faktor pascanatal adalah akibat infeksi (meningitis, ensefalitis, meningoensefalitis, dan infeksi), trauma kapitis dan tumar otak, kelainan tulang tengkorak, kelainan endokrin dan metabolik, keracunan pada otak.

2.1.3Klasifikasi

Menurut nilai IQ-nya, maka intelegensi seseorang dapat digolongkan sebagai berikut (Swaiman dikutip oleh Soetjiningsih, 1995: 1992):

a. Sangat superior (130 atau lebih).

b. Superior (120-129).

c. Diatas rata-rata (110-119).

d. Rata-rata (90-110).

e. Dibawah rata-rata (80-89).

f. Retardasi mental borderline (70-79).

g. Retardasi mental ringan (mampu didik) (52-69).

h. Retardasi mental sedang (mampu latih) (36-51).

i. Retardasi mental berat (20-35).

j. Retardasi mental sangat berat (dibawah 20).

Sedangkan menurut Asosiasi Retardasi Mental Amerika (The American Association on Mental Retardation [AAMR]) dan PPDGJ-III klasifikasi retardasi mental berdasarkan tingkat IQ adalah sebagai berikut: retardasi mental ringan (50-69), retardasi mental sedang (35-49), retardasi mental berat (20-34), retardasi mental sangat berat (di bawah 20).

Menurut Semiun (2006), anak-anak dengan IQ 51-69 dan usia mental berkisar 6 atau 7 sampai 11 tahun disebut moron, anak-anak dalam rentang IQ 25-50 dan rentang usia mental 3-6 atau 7 tahun disebut imbisil, anak-anak dalam rentang IQ di bawah 25 dan usia mental 0-3 tahun disebut idiot.

Dari berbagai klasifikasi yang ditampilkan dapat disimpulkan bahwa anak-anak dengan IQ kurang dari 70 disebut retardasi mental.

2.1.4Manifestasi Klinis

Dalam diagnosis retardasi mental biasanya ditetapkan tingkatan cacat dengan tingkatan IQ dan taraf kemampuan penyesuaian diri sosial (Semiun, 2006:266). Tingkatan tersebut dibagi menjadi moron, imbisil, dan idiot. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, manifestasi yang ditimbulkan dalam tingkatan tersebut adalah sebagai berikut (Semiun, 2006):a. Moron

Dengan dilatih orang-orang yang cakap dan dengan penuh kasih sayang, mereka dapat mencapai kelas V atau kelas VI sekolah dasar (Semiun, 2006). Anak pada tingkatan ini masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan meskipun tidak maksimal. Dengan pelatihan dan pendidikan, anak-anak pada tingkat ini dapat membaca, menulis, dan berhitung meskipun cara berpikirnya masih sederhana. Mereka juga dapat menyesuaikan diri dan sedikit menggantungkan diri pada orang lain, serta masih memiliki ketrampilan sederhana untuk kepentingan kerja dikemudian hari.

Menurut pembagian secara klinis, moron dibagi atas dua tipe yaitu tipe stabil dan tipe tidak stabil (Semiun, 2006). Dalam tipe stabil, mereka masih mempunyai minat dan perhatian pada lingkungannya, mentalnya seimbang, bertingkah laku baik. Mereka dapat dilatih untuk melakukan beberapa tugas tertentu (tukang cuci piring, pembantu rumah tangga, tukang kebun, dan sebagainya) (Semiun, 2006). Dalam tipe tidak stabil, pada umumnya sangat rebut dan tidak mampu mengontrol diri sendiri, selalu merasa gelisah dan selalu bergerak (Semiun, 2006).

b. Imbisil

Anak imbisil dapat belajar bicara, dan dengan demikian mereka dapat menyampaikan kebutuhan dasarnya, dan biasanya tidak mampu untuk belajar membaca dan menulis (Semiun, 2006). Mereka mampu untuk belajar mengurus diri sendiri, belajar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, dan mampu mempelajari kegunaan ekonomi di rumahnya.

c. Idiot

Mereka pada umumnya tidak mampu menjaga dirinya sendiri terhadap bahaya-bahaya yang dating dari luar (Semiun, 2006). Meskipun sudah dewasa tetapi mereka seolah-olah masih anak kecil, untuk mengurus kebutuhan diri-sendiri sangat membutuhkan orang lain.

2.1.5Terapi

Memberi layanan pembelajaran pada anak dengan retardasi mental tentunya banyak menemui hambatan. Namun, ada banyak cara yang bisa dicoba untuk memdudahkan hal tersebut, yaitu dengan menggunakan terapi permainan. Ada beberapa peran terapi permainan dalam pembelajaran, yaitu (Mulya, 2011):

a. Terapi permainan sebagai saranan pencegahan. Mencegah kesulitan, menambah masalah, dan mencegah terhambatnya proses pembelajaran.

b. Terapi permainan sebagai sarana penyembuhan. Dalam hal ini terapi permainan dapat mengembalikan fungsi, psiko-terapi, fungsi sosial, melatih komunikasi, dan lain-lain.

c. Terapi permainan sebagai saranan untuk mempertajam penginderaan. Misalinya permainan sebagai sarana untuk mengembangkan kepribadian.

d. Terapi permainan sebagai saran untuk melatih aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Khususnya anak perempuan.

perilaku anak yang sulit, informasikan sarana pendidikan yang ada.

2.2 Halusinasi2.2.1Definisi Halusinasi sebagaihallucinations are defined as false sensory impressions or experiencesyaitu halusinasi sebagai bayangan palsu atau pengalaman indera. (Sundeen's, 2004).

Menurut Sunaryo (2004) halusinasi merupakan bentuk kesalahan pengamatan tanpa pengamatan objektivitas penginderaan dan tidak disertai stimulus fisik yang adekuat.

Halusinasi ialah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun pada panca indera seorang pasien, yang terjadi dalam kehidupan sadar atau bangun, dasarnya mungkin organik, fungsional, psikopatik ataupun histerik (Maramis, 2005). A. Klasifikasi

Menurut Maramis, terdapat beberapa jenis halusinasi antara lain, yaitu:

1. Halusinasi penglihatan (visual, optic)

Tak berbentuk ( sinar, kalipan atau pola cahaya ) atau berbentuk ( orang, binatangatau barang lain yang dikenalnya), berwarna atau tidak.

2. Halusinasi pendengaran (auditif, akustik)

Suara manusia, hewan atau mesin, barang, kejadian alamiah dan music.

3. Halusinasi pencium (olfaktorik)

Mencium sesuatu bau.

4. Halusinasi pengecap (gustatorik)

Merasa atau mengecap sesuatu.

5. Halusinasi peraba (taktil)

Merasa diraba, disentuh, ditiup, disinari atau seperti ada ulat bergerak dibawah kulitnya.

6. Halusinasi kinestetik

Merasa badannya bergerak dalam sebuah ruang, atau anggota badannya bergerak (umpamanya anggota badan bayangan atau phantom limb).

7. Halusinasi visceral

Perasaan tertentu timbul didalam tubuhnya.

8. Halusinasi hipnagogik

Terdapat ada kalanya pada seorang yang normal, tepat sebelum tertidur persepsi sensorik bekerja salah.

9. Halusinasi hipnopompik

Seperti halusinasi hipnagogik, tetapi terjadi tepat sebelum terbangun samasekali dari tidurnya. Disamping itu ada pula pengalaman halusinatorik dalam impian yang normal.

10. Halusinasi histerik

Timbul pada nerosa histerik karena konflik emosional.B. Etiologi

1. Faktor Predisposisi

Menurut Yosep (2009) faktor predisposisi yang menyebabkan halusinasi antara lain ialah :

a.Faktor Perkembangan

Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stress.

b.Faktor Sosiokultural

Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.

c.Faktor Biokimia

Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia. Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak.

d.Faktor Psikologis

Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.

e.Faktor Genetik dan Pola Asuh

Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini2. Faktor Presipitasi

Menurut Stuart (2007) yang dikutip oleh Jallo (2008), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah :

a)Biologis

Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.

b)Stress lingkungan

Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.

c)Sumber koping

Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.

C. Fase halusinasi

Fase halusinasi ada 4 yaitu (Stuart dan Laraia, 2001):

1) Fase I, Comforting

Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietassedang, kesepian, rasa bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik.

2) Fase II, Condemning

Pada ansietas beratpengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.

3) Fase III, Controling

Pada ansietas berat, klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.

4) Fase IV, Consquering

Terjadi pada panic. Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang. Kondisi klien sangat membahayakan.D. Manifestasi klinis

Menurut Hamid (2000) yang dikutip oleh Jallo (2008), dikutip oleh Syahbana (2009) perilaku klien yang berkaitandengan halusinasi adalah sebagai berikut :

1. Bicara, senyum, dan ketawa sendiri.

2. Menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, dan respon verbal yang lambat.

3. Menarik diri dari orang lain, dan berusaha untuk menghindari diri dari orang lain.

4. Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan keadaan yang tidak nyata.

5. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.

6. Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik dan

7. Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya),dantakut.

8. Sulit berhubungan dengan orang lain.

9. Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung, jengkel dan marah.

10. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.

11. Tampak tremor dan berkeringat, perilaku panik, agitasi dan kataton. E. Pohon Masalah

F. Penatalaksanaan

1.Menciptakan lingkungan yang terapeutik untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan dilakukan secara individual dan usahakan agar terjadi kontak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat yang masuk ke kamar atau mendekati pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya pasien diberitahu. Pasien diberitahu tindakan yang akan di lakukan.

2.Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan.

3.Melaksanakan program terapi dokter.

Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan rangsangan halusinasi yang diterimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di berikan betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan.

4.Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada. Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien.

5.Memberi aktivitas pada pasien misalnya, pasien diajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien diajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.

6.Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan. Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya diberitahu tentang data pasien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalnya dari percakapan dengan pasien diketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas.

Sebaiknya perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya di beritahukan pada keluarga pasien dan petugas lain agar tidak membiarkan pasien sendirian dan saran yang di berikan tidak bertentangan.2.2 Terapi Aktivitas Kelompok

2.2.2 Definisi kelompok

Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan 1 dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama (stuart dan Laraia, 2001). Anggota kelompok mungkin datang dari berbagai latar belakang yang harus ditangani sesuai dengan keadaannya, seperti agresif, takut, kebencian, kompetitif, kesamaan, ketidaksamaan, kesukaan, dan menarik (Yolam, 1995 dalam stuart dan laraia, 2001). Semua kondisi ini akan mempengaruhi dinamika kelompok, ketika anggota kelompok memberi dan menerima umpan balik yang berarti dalam berbagai interaksi yang terjadi dalam kelompok.2.2.3 Tujuan dan Fungsi Kelompok

Tujuan kelompok adalah membantu anggotanya berhubungan dengan orang lain serta mengubah perilaku yang destruktif dan maladaptif. Kekuatan kelompok ada pada konstribusi dari setiap anggota dan pimpinan dalam mencapai tujuannya.

Kelompok berfungsi sebagai tempat berbagi pengalaman dan saling membantu satu sama lain, untuk menemukan cara menyelesaikan masalah. Kelompok merupakan laboraturium tempat untuk mencoba dan menemukan hubungan interpersonal yang baik, serta mengembangkan perilaku yang adaptif. Anggota kelompok merasa dimiliki, diakui, dan dihargai eksistensi nya oleh anggota kelompok yang lain.

2.2.4 Jenis Terapi Kelompok1. Terapi kelompok

Terapi kelompok adalah metode pengobatan ketika klien ditemui dalam rancangan waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi persyaratan tertentu. Fokus terapi kelompok adalah membuat sadar diri (self-awareness), peningkatan hubungan interpersonal, membuat perubahan, atau ketiganya.

2. Kelompok terapeutik

Kelompok terapeutik membantu mengatasi stress emosi, penyakit fisik krisis, tumbuh kembang, atau penyesuaian sosial, misalnya, kelompok wanita hamil yang akan menjadi ibu, individu yang kehilangan, dan penyakit terminal. Banyak kelompok terapeutik yang dikembangkan menjadi self-help-group. Tujuan dari kelompok ini adalah sebagai berikut:

a. mencegah masalah kesehatan

b. mendidik dan mengembangkan potensi anggota kelompok

c. mengingatkan kualitas kelompok. Antara anggota kelompok saling membantu dalam menyelesaikan masalah.

3. Terapi Aktivitas Kelompok

Wilson dan Kneisl (1992), menyatakan bahwa TAK adalah manual, rekreasi, dan teknik kreatif untik menfasilitasi pengalaman seseorang serta meningkatkan respon sosial dan harga diri. Aktivitas yang digunakan sebagai erapi didalam kelompok yaitu membaca puisi, seni, musik, menari, dan literatur. Terapi aktivitas kelompok dibagi menjadi empat, yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/Sensori, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori, terapi aktivitas kelompok stimulasi realita, dan terpi aktivitas kelompok Stimulasi Sensori.

Terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/Sensori melatih memSensorikan stimulus yang disediakan atau stimulud yang pernah dialami, diharapkan respon klien terhadap berbagai stimulus dalam kehidupan menjadi adaptif. Terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori digunakan sebagai stimulus pada sensori klien. Terapi aktivitas kelompok orientasi realita melatih klien mengorientasikan pada kenyataan yang ada disekitar klien.

2.3 Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi SensoriTerapi aktivitas kelompok (TAK) Stimulasi Sensori adalah upaya untuk menstimulasi semua panca indra (sensori) agar memberi respon yang adekuat.

Tujuan :

Tujuan umum TAK Stimulasi Sensori yaitu klien dapat berespon pada stimulus panca indra yang diberikan. Sementara tujuan khususnya adalah:

1. Klien mampu berespon terhadap stimulus yang dibaca2. Klien mampu berespon terhadap gambar yang dilihat

3. Klien mampu mengekspresikan perasaan melalui gambar

BAB III

PELAKSANAAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK STIMULASI SENSORI

3.1 AKTIVITAS DAN INDIKASI

Aktivitas TAK Stimulasi Sensori dilakukan tiga (3) aktivitas yang melatih kemampuan klien dalam meningkatkan kemampuan verbal secara bertahap selama tiga sesi. Klien yang mempunyai indikasi TAK Stimulasi Sensori adalah klien dengan gangguan sebagai berikut berikut:

1. Klien dengan isolasi sosial dan menarik diri

2. Klien dengan harga diri rendah

3. Klien dengan kurangnya komunikasi verbal

3.2 TUGAS DAN WEWENANG

1. Tugas Leader

Memimpin acara: menjelaskan tujuan dan hasil yang diharapkan.

Menjelaskan peraturan dan membuat kontrak dengan klien

Memberikan motivasi kepada klien

Mengarahkan acara dalam pencapaian tujuan

Memberikan reinforcemen positif terhadap klien2. Co-leader

Membantu leader dalam mengorganisir anggota kelompok

3. Tugas Fasilitator

Ikut serta dalam kegiatan kelompok

Memastikan lingkungan dan situasi aman dan kondusif bagi klien

Menghindarkan klien dari distraksi selama kegiatan berlangsung

Memberikan stimulus/motivasi pada klien lain untuk berpartisipasi aktif

Memberikan reinforcemen terhadap keberhasilan klien lainnya

Membantu melakukan evaluasi hasil

4. Tugas Observer

Mengamati dan mencatat respon klien

Mencatat jalannya aktivitas terapi

Melakukan evaluasi hasil

Melakukan evaluasi pada organisasi yang telah dibentuk (leader, co leader, dan fasilitator)

5. Tugas Klien

Mengikuti seluruh kegiatan

Berperan aktif dalam kegiatan

Mengikuti proses evaluasi

3.3 PERATURAN KEGIATAN

1. Klien diharapkan mengikuti seluruh acara dari awal hinggga akhir

2. Klien tidak boleh berbicara bila belum diberi kesempatan; perserta tidak boleh memotong pembicaraan orang lain

3. Klien dilarang meninggalkan ruangan bila acara belum selesai dilaksanakan

4. Klien yang tidak mematuhi peraturan akan diberi sanksi :

Peringatan lisan

Dihukum : Menyanyi, Menari, atau Menggambar

Diharapkan berdiri dibelakang pemimpin selama lima menit

Dikeluarkan dari ruangan/kelompok

3.4 TEKNIK PELAKSANAAN

TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK STIMULASI SENSORI

SESI 1: Menggunting dan MenempelTema

: Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Sensori

Sasaran: Pasien HalusinasiHari/ tanggal: Selasa, 19 Mei 2015Waktu

: 45 menit

Tempat: RSJ XTerapis:

1. Leader

: Basrudin

2. Co-leader : Dita Hayu Pangestu

3. Fasilitator : Yoanita A. Leu

Gregorius Rao4. Observer

: Nur Hanifah 5. Perawat

: Achmad Suhaili

Vitalis Lake

Sbastianus Suri

Kanisius Soni

A. Tujuan

Dengan dilaksanakan TAK klien dapat mengerti arti dari halusinasiB. Sasaran

Kooperatif

C. Nama Klien

1. Al Fauzan

2. Constanta3. Maria E. Ximenes

4. Ervan EfendiD. Setting

Terapis dan klien duduk bersama dalam satu lingkaran

Ruangan nyaman dan tenang

E. MAP

Keterangan :

L : Leader

CL: Co Leader

O : Observer

F : Fasilitator

K : KlienP : Perawat

F. Metode

Dinamika kelompok

Diskusi dan tanya jawab

G. Langkah-Langkah Kegiatan

1. Persiapan

a. Membuat kontrak dengan klien tentang TAK

b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan

2. Orientasi

a. Salam terapeutik

Salam dari terapis kepada klien.

b. Evaluasi/validasi

1) Menanyakan perasaan klien saat ini.

2) Menanyakan masalah yang dirasakan.

c. Kontrak

1) Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu Mengenal Halusinasi

2) Menjelaskan aturan main berikut:

Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus meminta izin kepada Leader Lama kegiatan 45 ment.

Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.

3. Tahap Kerja

a. Terapis mengajak klien untuk saling memperkenalkan diri (nama dan nama panggilan) dimulai dari terapis secara berurutan searah jarum jam.b. Setiap kali seorang klien selesai memperkenalkan diri, terapis mengajak semua klien untuk bertepuk tangan.c. Menanyakan arti Halusinasi menurut kliend. Berikan pujian/penghargaan atas kemampuan klien memberi pendapat (tepuk tangan)e. Ulangi sampai semua klien mendapat kesempatan.f. Tanyakan Perasaan klien terhadap Halusinasi yang di alami

g. Tanyakan penyebab dan waktu klien mengalami Halusinasi

h. Beri kesimpulan.4. Tahap terminasi

a. Evaluasi

1. Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.

2. Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.

b. Tindak lanjut

Kontrak yang akan datang

1. Menyepakati kegiatan TAK yang akan datang.

2. Menyepakati waktu dan tempat.

3. Tema TAK Stimulasi Sensori tentang Cara Mengontrol Halusinasi

I. Evaluasi dan Dokumentasi

Evaluasi

Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Untuk TAK stimulasi Sensori umum sesi 1, kemampuan yang diharapkan adalah memberi pendapat tentang Halusinasi, memberi tanggapan terhadap pendapat klien lain dan mengikuti kegiatan sampai selesai. Formulir evaluasi sebagai berikut:

Sesi 1: TAK

Stimulasi Sensori Umum

No.Aspek yang DinilaiNama Klien

1.Kemampuan Klien memberikan tanggapan tentang halusinasi yang di rasakan

2.Memberikan alasan penyebab dari halusinasi

3.Memberikan respon terhadap pertanyaan yang di ajukan Leader seputar Halusinasi

4.Mengikuti kegiatan sampai selesai

Petunjuk:

1. Di bawah judul nama klien, tulis nama panggilan klien yang ikut TAK.

2. Untuk tiap klien, semua aspek dinilai dengan memberi tanda (+) jika ditemukan pada klien atau (-) jika tidak ditemukan.

DAFTAR PUSTAKA

Hamid, A.Y.S. 1999. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa Pada Anak dan Remaja, Widya Medika, Jakarta.

Hyun Sung Lim and Jae Won Lee. Parenting Stress and Depression among Mothers of Children with Mental Retardation in South Korea: An Examination of Moderating and Mediating Effects of Social Support. Pacific Science Review, 2007; 9 (2): 150-159.

Rasmun. 2004. Stress, Koping, dan Adaptasi Teori dan Pohon Masalah Keperawatan, Sagung Seto, Jakarta.

Stuart, Gail and Laraia, M. 2005. Principles and Practice of Psychiatric Nursing, 8th edition, Mosby, St. Louis.

Stuart & Sundeen. 1995. Principles an Practice of Psychiatric Nursing, fifth edition, Mosby, St.Louis.Nita Fitria. 2009.Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat. Jakarta: Salemba Medika.Rasmun, (2001).Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan Keluarga.Konsep, Teori, Asuhan Keperawatan dan Analisa Proses Interaksi (API). Jakarta : fajar Interpratama.

Resiko mencederai diri sendiri

Perilaku kekerasan

Perubahan persepsi sensori: halusinasi

Isolasi social menarik diri

K

P

K

L

K

F

CL

O

P

K

F