Proposal skripsi sementara

53
KARAKTERISASI MUTU MIE BASAH DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG SUKUN DAN PENAMBAHAN TELUR PROPOSAL PENELITIAN Oleh Utiya Listy Biyumna NIM 121710101119 THP C

description

Karakterisasi Mutu Mie Basah dengan Substitusi Tepung Sukun

Transcript of Proposal skripsi sementara

KARAKTERISASI MUTU MIE BASAH DENGAN SUBSTITUSI

TEPUNG SUKUN DAN PENAMBAHAN TELURPROPOSAL PENELITIANOleh

Utiya Listy Biyumna

NIM 121710101119THP CJURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS JEMBER

2015BAB 1. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Mie basah adalah makanan yang terbuat dari tepung terigu, garam dan air serta bahan tambahan pangan lain (Hou and Kruk, 1998). Permintaan akan mie terus meningkat, terutama untuk bahan makanan jajanan (food street), seperti mie bakso, mie ayam dan lain-lain. Di Indonesia, mie bahkan telah menjadi pangan alternatif utama setelah nasi. Pada tahun 2008, total produksi mie Indonesia, baik mi instan, mi kering dan mi basah mencapai 1,6 juta ton, pada tahun 2013 produksinya telah mencapai 2,0 juta ton dan diprediksi tahun 2014 mencapai 2,2 juta ton (Amin, 2014). Tingginya produksi mie dalam negeri seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk yang menjadikan mie sebagai kebutuhan pokok sehari hari. Hal ini menyebabkan tingkat ketergantungan terhadap tepung terigu sangat tinggi, sehingga impor gandum terus meningkat. Berdasarkan data Overview APTINDO tahun 2014, konsumsi nasional terhadap tepung terigu terus meningkat tiap tahunnya, pada tahun 2013 meningkat sekitar 4,1% (5,35 juta) dibanding tahun 2012 dan pada tahun 2014 meningkat sekitar 5,4% (2,79 juta) dibanding tahun 2013. Karena tepung terigu di negara Indonesia masih impor, maka perlu dilakukan suatu upaya untuk mencari bahan lain yang dapat menggantikan sebagian tepung terigu, misalnya sukun.Sukun merupakan salah satu tanaman pangan sumber karbohidrat selain beras yang masih belum dimanfaatkan secara optimal, umumnya hanya digunakan sebagai makanan tradisional, seperti gorengan sukun, kolak, dll. Pemanfaatan sukun sebagai bahan baku industri pangan dapat ditingkatkan dengan cara penggunaan teknologi yang lebih modern yaitu diolah menjadi tepung sukun karena setelah dijadikan tepung, masa simpannya akan semakin panjang dan tahan lama. Jika dikemas dengan baik, tepung sukun bisa bertahan hingga 9 bulan (Purwanita, 2013).Buah sukun mengandung karbohidrat cukup tinggi, yaitu 28,2 g tiap 100 g buah yang sudah tua dan apabila ditepungkan, kandungan karbohidratnya meningkat menjadi 78,9 g tiap 100 g (FAO, 1972), namun buah sukun mengandung protein yang cukup sedikit, yaitu sekitar 3,6 % (Budijanto, 2009), sehingga pada pembuatan mie basah tetap perlu dicampur dengan terigu dan diberi penambahan telur. Fungsi terigu adalah membentuk struktur karena gluten bereaksi dengan karbohidrat (Antarlina, 2009). Substitusi atau campuran tepung sukun pada produk mie hanya berkisar antara 10-20%. Bila lebih dari 20%, produk mie akan mudah patah sewaktu dimasak karena tidak mengandung gluten (Widowati, 2003). Bila dibandingkan dengan tepung ubi kayu, tepung ubi jalar dan tepung pisang, kandungan protein tepung sukun masih lebih banyak (Widowati, 2001).Penambahan tepung sukun pada mie akan menyebabkan kurang elastis, maka perlu ditambahkan telur untuk menambah daya liat atau elastisitas mie. Telur merupakan bahan tambahan yang sangat penting dalam pembuatan mie. Penggunaan telur pada mie bertujuan untuk menambah elastisitas mie dan mempercepat hidrasi air. Hal ini sesuai dengan pendapat Astawan (2001) bahwa penambahan telur pada pembuatan mie basah adalah untuk meningkatkan mutu protein mie dan menciptakan adonan yang lebih liat sehingga tidak mudah putus. Akan tetapi, penambahan telur pada formulasi mie basah dengan substitusi tepung sukun belum diketahui. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kombinasi perlakuan terbaik antara rasio tepung terigu dan tepung sukun dengan penambahan telur, sehingga menghasilkan karakteristik mie basah dengan mutu yang baik dan disukai konsumen.1.2 Rumusan Masalah

Tepung sukun dapat diolah menjadi berbagai jenis produk makanan, salah satunya dapat disubstitusikan pada pembuatan mie basah. Namun, kandungan protein gluten pada tepung sukun masih sedikit, sehingga diperlukan penambahan telur untuk memberikan sifat elastis pada mie basah. Perbandingan rasio penambahan antara tepung terigu, tepung sukun dan telur akan mempengaruhi karakteristik fisik, kimia dan sensoris dari mie basah yang dihasilkan. Sehingga penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui karakteristik fisik, kimia dan sensoris dari mie basah yang disubstitusi oleh tepung sukun dengan hasil yang dapat disukai oleh panelis.1.3 Tujuan Penelitian

1. Menentukan formulasi tepung terigu, tepung sukun dan penambahan telur yang tepat untuk menghasilkan mie basah yang disukai panelis.2. Mengetahui karakteristik fisik, kimia dan sensoris mie basah dengan substitusi tepung sukun dan penambahan telur.1.4 Manfaat Penelitian

1. Mengurangi penggunaan tepung terigu.

2. Menghasilkan produk mie basah yang disubstitusi oleh tepung sukun dan penambahan telur.

3. Memberikan informasi tentang karakteristik fisik, kimia dan sensoris mie basah yang disubstitusi oleh tepung sukun dan penambahan telur.BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sukun

Buah sukun (Artocarpus altilis) merupakan bahan pangan alternatif yang saat ini sedang dikembangkan. Tanaman sukun mudah pertumbuhannya, tahan terhadap penyakit dan dapat hidup sampai 75 tahun atau lebih panjang, sehingga mampu berproduksi secara terus menerus sampai puluhan tahun. Produktivitasnya cukup tinggi, dalam satu pohon dapat menghasilkan buah sukun 300 500 buah/tahun dalam dua kali panen (Koswara, 2006). Prediksi hasil panen sukun dari bibit sukun yang dibagikan oleh Departemen Kehutanan mulai tahun 2010 hingga 2014 (dengan asumsi pohon sukun berbuah setelah 5 tahun) adalah 22.483.574 ton buah sukun atau setara dengan 5.620.893 ton tepung sukun (dengan asumsi produksi tepung sukun setara dengan 25 % dari berat panen) (Ditjen RLPS, 2009). Potensi sukun yang sangat besar tersebut dapat digunakan sebagai sarana diversifikasi pangan pokok sumber karbohidrat berbahan baku lokal.

Buah sukun berbentuk hampir bulat atau bulat panjang. Warna kulit buah hijau muda sampai kuning kecoklatan. Ketebalan kulit berkisar antara 1-2 mm. Sukun muda memiliki permukaan kulit kasar, bertekstur keras dan rasa agak manis, namun saat tua akan menjadi halus, bertekstur lunak-masir, rasa manis dan beraroma khas. Menurut Achmad (1999), pada kulit buah sukun terdapat segmen-segmen petak berbentuk poligonal yang dapat menentukan tahap kematangan buah sukun. Daging buah berwarna putih, putih kekuningan dan kuning, tergantung jenisnya. Ukuran berat buah dapat mencapai 4 kg (Widowati, 2003). Panen buah umumnya dilakukan ketika buah sukun sudah mencapai warna hijau kecoklatan dan daging buah masih putih.

Buah sukun mempunyai komposisi gizi yang relatif tinggi. Kandungan zat gizi pada buah sukun tergantung dari umur buah sukun atau tingkat kematangan buah sukun. Kandungan gizi buah sukun muda berbeda dengan kandungan gizi buah sukun yang sudah masak. Sukun memiliki tekstur berserat halus, rasa yang agak manis dan memiliki aroma yang spesifik (Pijoto, 1992). Kandungan gizi buah sukun dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Gizi Buah Sukun

Unsur GiziKadar/ 100 gr Bahan

Energin (Kal)108,00

Protein (gr)1,30

Lemak (gr)0,30

Karbohidrat (gr)28,20

Serat-

Abu (gr)0,90

Kalsium (mg)21,00

Fosfor (mg)59,00

Besi (mg)0,40

Vitamin B1 (mg)0,12

Vitamin B2 (mg)0,06

Vitamin C (mg)17,00

Air (%)69,30

Sumber: Suprapti (2007)

Buah sukun memiliki daging buah yang tebal, rasa yang manis dan kandungan air yang tinggi (69,3 %), sehingga tidak tahan lama untuk disimpan. Sekitar 7 hari setelah dipetik, buah menjadi matang dan selanjutnya akan menjadi rusak karena proses kimiawi. Meskipun buah sukun segar dapat langsung dimanfaatkan, tetapi supaya dapat disimpan dan digunakan dalam waktu yang cukup lama buah sukun perlu diproses terlebih dahulu menjadi gaplek sukun, tepung sukun atau berbagai masakan sukun (Pijoto, 1992).

2.2 Tepung Sukun

Bila dibandingkan dengan beras, sukun memiliki kandungan vitamin dan mineral yang lebih lengkap (Widowati, 2003), sehingga sangat potensial dimanfaatkan sebagai pengganti beras. Salah satu bentuk diversifikasi sukun adalah tepung sukun. Tepung sukun sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk pangan. Tepung sukun merupakan salah satu cara alternatif untuk memperpanjang masa simpan buah sukun. Dalam tepung sukun, masih terbawa ampas daging buahnya, sehingga tingkat kehalusan yang dicapai adalah 80 mesh (Widowati, 2003).

Pada umumnya, tepung sukun memiliki cita rasa yang khas dari buah sukun itu sendiri dan kondisi bentuk keadaan tepung yang lebih baik dibandingkan tepung tapioka dari segi rasa dan aroma wangi sukun, sehingga tepung sukun akan dapat menghasilkan aneka produk olahan yang lebih enak. Beberapa jenis makanan yang dapat dibuat dari tepung sukun antara lain cake, roti, donat, pudding, kroket, risoles, getuk, klepon, apem, kue lapis, pastel, mie dll (Suprapti, 2007). Selain untuk membuat kue, tepung sukun juga dapat digunakan sebagai pengganti tepung terigu atau tepung tapioka dengan rasa yang khas. Keunggulan buah sukun dibuat tepung adalah dapat meningkatkan daya simpan, memudahkan pengolahan selanjutnya, meningkatkan nilai tambah buah sukun (Budijanto, 2009). Selain itu, kandungan dari tepung sukun tidak kalah dengan tepung terigu. Adapun perbandingan antara tepung sukun dan tepung terigu dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Kandungan Tepung Sukun dan Tepung Terigu (100 gr/bahan)

Unsur GiziTepung SukunTepung Terigu

Energi (Kal)302,00365,00

Protein (gr)3,608,90

Lemak (gr)0,801,30

Karbohidrat (gr)78,9077,30

Kalsium (mg)58,9016,00

Fosfor (mg)165,201,20

Besi (mg)1,100,12

Vitamin B1 (mg)0,34-

Vitamin B2 (mg)47,60-

Vitamin C (mg)0,12-

Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2010)Berdasarkan kandungan gizinya, tepung sukun mempunyai potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai salah satu makanan pokok pendamping tepung terigu karena mengandung 78,9 % karbohidrat, 3,6 % protein dan 0,8 % lemak. Berdasarkan Tabel 3, bila dibandingkan dengan tepung ubi kayu, tepung ubi jalar dan tepung pisang, kandungan protein tepung sukun masih lebih tinggi (Widowati, 2001).Tabel 3. Komposisi Kimia Aneka Tepung Umbi-umbianJenis TepungKadar (%)

AirAbuProteinLemakKarbohidrat

Pisang

Sukun

Ubikayu

Ubijalar10,11

9,09

7,80

7,802,66

2,83

2,22

2,163,05

3,64

1,60

2,160,28

0,41

0,51

0,8384,01

84,03

87,87

86,95

Sumber: Widowati, et.al., (2001)Kendala dalam pembuatan tepung sukun adalah terjadinya warna coklat saat diproses menjadi tepung, sehingga untuk menghindari adanya pencoklatan, usahakan sesedikit mungkin terjadinya kontak antara bahan dengan udara yaitu dengan cara merendam buah sukun yang telah dikupas di dalam air bersih atau larutan garam 1% dan atau menonaktifkan enzim dengan cara dikukus. Lama pengukusan tergantung sedikit banyaknya bahan, berkisar antara 10-20 menit. Tingkat ketuaan buah juga sangat berperan terhadap warna tepung yang dihasilkan. Buah yang muda menghasilkan tepung sukun berrwarna putih kecoklatan. Semakin tua buahnya, semakin putih warna tepung yang dihasilkan. Buah sukun yang baik untuk diolah menjadi tepung adalah buah mengkal yang dipanen 10 hari sebelum tingkat ketuaan optimum (Widowati, 2003).Proses pembuatan tepung sukun diawali dengan pemilihan buah sukun yang tepat matang, dikupas kulitnya, dihilangkan bagian empelurnya, kemudian diperkecil ukurannya dengan cara pembelahan buah dan selanjutnya diiris dengan ketebalan 0,5 cm dan dikeringkan pada suhu 55-60oC selama 5-6 jam, atau dijemur selama 1-2 hari (Widowati, 2003). 2.3 TelurTelur merupakan bahan pangan yang sempurna karena mengandung zat-zat gizi yang lengkap bagi pertumbuhan mahluk hidup baru. Protein telur mempunyai mutu yang tinggi karena memiliki susunan asam amino esensial yang lengkap, sehingga dijadikan patokan untuk menentukan mutu protein dari bahan pangan yang lain. Sebutir telur terdiri atas kulit telur, lapisan kulit telur (kutikula), membran kulit telur, putih telur (albumen), kuning telur (yolk), bakal anak ayam (germ spot) dan kantung udara. Telur terdiri dari tiga komponen utama, yaitu bagian kulit telur 8 - 11 persen, putih telur (albumen) 57 - 65 persen dan kuning telur 27 - 32 persen (Koswara, 2009).

Putih telur atau albumen merupakan bagian telur yang berbentuk seperti gel, mengandung air dan terdiri atas empat fraksi yang berbeda-beda kekentalannya. Bagian putih telur yang terletak dekat kuning telur lebih kental dan membentuk lapisan yang disebut kalaza (kalazaferous). Lapisan kalazaferous merupakan lapisan tipis tapi kuat yang mengelilingi kuning telur dan membentuk cabang kearah dua sisi yang berlawanan membentuk kalaza. Kalaza ini berbentuk seperti tali yang bergulung dan yang satu menjulur ke arah ujung tumpul, dan yang lain kearah ujung lancip dari telur. Dengan adanya kalaza ini, kuning telur pada telur segar akan berada ditengah-tengah telur. Bila diamati lebih jauh, kuning telur ternyata terdiri atas lapisan-lapisan gelap dan terang yang berselang-seling (Koswara, 2009). Telur merupakan bahan tambahan yang sangat penting dalam pembuatan mie. Penggunaan telur pada mie bertujuan untuk menambah elastisitas mie, mempercepat hidrasi air dan menciptakan adonan yang lebih liat sehingga tidak mudah putus (Astawan, 2001). Menurut Koswara (2009), putih telur akan menghasilkan suatu lapisan yang tipis dan kuat pada permukaan mie. Lapisan tersebut cukup efektif untuk mencegah penyerapan minyak sewaktu digoreng dan kekeruhan saus mie sewaktu pemasakan. Sedangkan pada kuning telur mengandung lesitin yang bersifat sebagai pengemulsi, dapat mempercepat hidrasi air pada terigu dan bersifat mengembangkan adonan. Selain itu, kuning telur juga berfungsi sebagai pemberi warna pada mie dan membuat mie terasa lebih gurih (Wahyudi, 2003).

2.4 Mie Basah

Mie merupakan bahan makanan yang digunakan sebagai sumber karbohidrat pengganti nasi. Menurut (Hoseney, 1986), ada beberapa jenis mie yaitu mie mentah, mie basah, mie kering, mie goreng dan mie instant, tetapi pada dasanya mie dibedakan menjadi dua yaitu mie basah dan mie kering. Yang membedakannya adalah tingkat keuletannya dan daya simpan. Untuk mie basah, keawetannya 1-2 hari, sedangkan mie kering daya simpannya sampai beberapa bulan (Puspanti, 2005). Selain itu, perbedaan yang lain antara mie basah dan mie kering terletak pada tahap setelah penggilingan mie. Pada mie basah tidak mengalami pengeringan terlebih dahulu sebelum dipasarkan, sedangkan mie kering mengalami pengeringan terlebih dahulu sebelum dipasarkan (Astawan, 1999).

Mie basah adalah makanan yang terbuat dari tepung terigu, garam dan air serta bahan tambahan pangan lain (Hou and Kruk, 1998). Menurut SNI (1992), mie basah adalah produk pangan yang terbuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mie yang tidak dikeringkan. Mie basah memiliki kadar air maksimal 35% (b/b). Mie basah banyak digunakan sebagai bahan baku dalam berbagai masakan, antara lain seperti soto mie, mie kocok, mie ayam, mie bakso, mie goreng maupun bahan cemilan lainnya (Widyaningsih & Murtini, 2006). Ciriciri mie basah yang baik yaitu berwarna putih atau kuning terang, tekstur agak kenyal dan tidak mudah putus (Kristina, 2007).

2.3.1 Bahan-Bahan Pembuat Mie Basah

a. Tepung Terigu Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mie. Tepung terigu diperoleh dari biji gandum yang digiling. Ciri khas terigu adalah mengandung protein yang lebih tinggi dan dapat membentuk gluten yang berupa jaringan dari sebagian penyusun protein, apabila terigu diberi air dan digilas-gilas. Gluten bersifat elastis, sehingga akan mempengaruhi sifat elastisitas dan tekstur mie yang dihasilkan. Pada produk makanan, gluten juga cenderung memberikan rasa lebih enak daripada produk makanan yang dibuat dari tepung yang lain. Tepung ini berfungsi untuk membentuk struktur mie, sumber protein dan karbohidrat. Protein dalam tepung terigu untuk pembuatan mie harus dalam jumlah yang cukup tinggi supaya mie menjadi elastis dan tahan terhadap penarikan sewaktu proses produksi berlangsung (Handayani, 2004).Mutu tepung terigu yang dikehendaki adalah tepung terigu yang memiliki kadar air 14%, kadar protein 8-12%, kadar abu 0,25-0,60% dan gluten basah 24-36% (Astawan, 2008). Tepung terigu yang digunakan sebaiknya yang mengandung gluten 8-12%. Tepung terigu ini tergolong medium hard flour di pasaran dikenal sebagai Segitiga Biru atau Gunung Bromo (Widyaningsih dan Murtini, 2006). b. Garam Dalam pembuatan mie, penambahan garam dapur berfungsi memberi rasa, memperkuat tekstur mie, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mie serta untuk mengikat air. Selain itu, garam dapur dapat menghambat aktifitas enzim protease dan amilase, sehingga pasta tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan (Astawan, 2006).

c. Soda abu (Natrium karbonat dan kalium karbonat) Soda abu merupakan campuran dari natrium karbonat dan kalium karbonat (perbandingan 1:1). Berfungsi untuk mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mie, meningkatkan kehalusan tekstur dan meningkatkan sifat kenyal (Astawan 2006).

d. Air Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat (akan mengembang), melarutkan garam dan membentuk sifat kenyal gluten. Air yang digunakan harus air yang memenuhi persyaratan air minum, yaitu tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa. Jumlah air yang ditambahkan pada umunya sekitar 28-38% dari campuran bahan yang digunakan. Jika lebih dari 38%, adonan akan menjadi sangat lengket dan jika kurang dari 28% adonan akan menjadi rapuh, sehingga sulit dicetak (Astawan, 2006).e. STPP

Sodium Tri Poly Phospate (Na5P3O10) digunakan sebagai bahan pengikat air agar air dalam adonan tidak menguap, sehingga adonan tidak mengalami pengerasan. Penggunaan STPP pada adonan mie karena STPP berperan pada proses gelatinisasi pati-protein, sehingga mempengaruhi tekstur mie menjadi lebih liat dan kenyal. Selain itu, STPP dapat mengikat air, sehingga menurunkan aktivitas air (Aw) dan kerusakan mikrobiologis dapat dicegah. Dosis yang aman digunakan adalah 3 gram/kg adonan atau 0,3%. Penggunaan melebihi dosis 0,5% akan menurunkan penampilan produk, yaitu terlalu kenyal seperti karet dan terasa pahit (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

2.3.2 Metode Pembuatan Mie Basaha. Pencampuran Proses pencampuran bertujuan untuk menghidrasi tepung dengan air, membuatnya merata dengan mencampur dan membuat adonan dengan bentuk jaringan glutein dengan meremas-remas. Untuk membuat adonan yang baik faktor yang harus diperhatikan adalah jumlah air yang ditambahkan (28-38%), waktu pengadukan 15-25 menit dan suhu adonan 24-40oC (Sunaryo, 1985). Mixing berfungsi untuk mencampur secara homogen semua bahan, mendapatkan hidrasi yang sempurna pada karbohidrat dan protein, membentuk dan melunakkan glutein hingga tercapai adonan yang kalis. Adapun yang dimaksud kalis adalah pencapaian pengadukan maksimum sehingga terbentuk permukaan film pada adonan. Tanda-tanda adonan telah kalis adalah jika adonan tidak lagi menempel di wadah atau di tangan atau saat adonan dilebarkan (Mudjajanto dan Yulianti, 2004). b. Pembentukan Lembaran Adonan yang sudah kalis sebagian dimasukkan ke dalam mesin pembuat mie untuk mendapatkan lembaran-lembarandan menghaluskan serat-serat gluten. Pembentukan lembaran ini diulang beberapa kali untuk mendapatkan lembaran yang tipis. Adonan yang dipress sebaiknya tidak bersuhu rendah yaitu kurang dari 25oC karena pada suhu tersebut akan menyebabkan lembaran pecah, bersifat kasar dan mie yang dihasilkan akan mudah patah (Widyaningsih dan Murtini, 2006).c. Pembentukan Mie Proses pembentukan mie ini umumnya sudah dilakukan dengan alat pencetak mie (roll press) yang digerakkan oleh tenaga listrik. Alat ini mempunyai dua rol. Rol pertama berfungsi untuk menipiskan lembaran mie dan rol kedua berfungsi untuk mencetak mie. Pertama-tama lembaran mie masuk ke rol pertama kemudian masuk ke rol kedua. Tebal adonan pasta akhir sekitar 1,2-2 mm. Ketika adonan dilakukan roll press, serat-serat gluten yang tidak beraturan segera ditarik memanjang dan searah oleh tekanan antara 2 roller (Sunaryo, 1985). Di akhir proses ini, lembaran adonan yang tipis dipotong memanjang 1-2 mm dengan alat pemotong mie dan selanjutnya dipotong melintang dengan panjang tertentu (Astawan, 2000).d. Perebusan

Proses perebusan merupakan proses pemasakan agar terjadi gelatinisasi pati dan koagulasi gluten, sehingga akan menyebabkan dehidrasi protein gluten yang mempengaruhi kekenyalan pada mie. Hal ini disebabkan karena terputusnya ikatan hidrogen, sehingga rantai ikatan kompleks pati-gluten lebih rapat. Sebelum perebusan, ikatan bersifat lunak dan fleksibel, tetapi setelah perebusan, ikatan bersifat keras dan kuat (Astawan, 2000).e. Penirisan

Setelah melalui proses perebusan, mie ditiriskan dan didinginkan. Tujuan dari penirisan adalah agar minyak yang terserap memadat dan menempel pada mie serta membuat tekstur mie menjadi kuat (Mahayani dkk, 2014). 2.4 Syarat Mutu Mie Basah Pada umumnya mie yang disukai masyarakat Indonesia adalah mie berwarna kuning. Bentuk khas mie berupa pilinan panjang yang dapat mengembang sampai batas tertentu dan lentur serta kalau direbus tidak banyak padatan yang hilang. Semua ini termasuk sifat fisik mie yang sangat menentukan terhadap penerimaan konsumen (Setianingrum dan Marsono, 1999). Badan Standarisasi Nasional telah menetapkan syarat mutu mie basah yang tercantum dalam SNI 01-2987-1992 pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Syarat Mutu Mie Basah (SNI 01-2987-1992)

NoKriteria ujiSatuanPersyaratan

1Keadaan :

1.1 Bau

1.2 Rasa

1.3 Warna-Normal

Normal

Normal

2Air% b/b20-35

3Abu (dihitung atas dasar bahan kering)% b/bMaks. 3

4Protein (N x 6.25) dihitung atas dasar bahan kering)% b/bMin. 3

5Bahan tambahan pangan

5.1 Boraks dan asam sorbat

5.2 Pewarna

5.3 Formalin-Tidak boleh ada. Sesuai SNI-0222-M dan Peraturan MenKes.

No.722/MenKes/Per/IX/88

6Cemaran Mikroba

6.1 Angka Lempeng Total

6.2 E. coli

6.3 KapangKoloni/g

APM/g

Koloni/gMaks. 1.0 x 106Maks. 10

Maks. 1.0 x 104

7Cemaran Logam:

6.1 Timbal (Pb)

6.2 Tembaga (Cu)

6.3 Seng (Zn)

6.4 Raksa (Hg)mg/kgMaks. 1.0

Maks. 10.0

Maks. 40.0

Maks. 0.05

8Arsen (As)mg/kgMaks. 0.05

Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1992)2.5 Perubahan yang Terjadi Selama Pembuatan Mie Basah

2.5.1 GelatinisasiPada pembuatan mie, proses gelatinisasi terjadi selama perebusan. Proses gelatinisasi dimulai dengan terjadinya hidrasi yaitu masuknya molekul air ke dalam molekul granula pati. Granula pati memiliki sifat tidak larut dalam air dingin, tetapi membentuk sistem dispersi dan akan menjadi gel ketika dipanaskan. Bentuk dan ukuran granula pati tergantung pada sumber tanaman. Diameter pati granula umumnya berkisar antara 3-100 m (Winarno, 1997). Dengan meningkatnya suhu suspensi pati, maka ikatan hidrogen dalam pati dan air akan menurun, kemudian molekul air yang relatif kecil akan menembus lapisan granula luar dan granula ini akan menggelembung (terjadi pada suhu 60-85oC), bahkan hingga lima kali lipat volume semula. Ketika ukuran granula pati membesar, campuran menjadi kental. Pada suhu sekitar 85oC, granula pati terpecah dan isinya terdispersi merata kesekelilingnya. Molekul berantai panjang mulai terurai dan campuran air dan pati menjadi kental membentuk sol. Pada pendinginan, jika perbandingan pati dan air cukup besar, molekul pati membentuk jaringan dan molekul air terkurung didalamnya sehingga terbentuk gel (Gaman, 1994). 2.5.2 Denaturasi ProteinDalam pembuatan mie, selama perebusan terjadi denaturasi protein. Denaturasi protein merupakan perubahan struktur sekunder, tersier dan kuartener dari molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatan kovalen. Denaturasi disebabkan oleh pengaruh panas, pH dan mekanis. Protein yang terdenaturasi akan mengalami perubahan sifat, seperti menurunnya kemampuan menyerap dan menahan air karena terbentuknya matriks jaringan protein yang kuat, sehingga lapisan molekul protein yang bersifat hidrofob berbalik keluar (Winarno, 1992).2.5.3 Pencoklatan (Browning)Dalam pembuatan mie, reaksi pencoklatan terjadi pada tahap perebusan. Pencoklatan yang terjadi pada pembuatan mie basah adalah reaksi maillard. Reaksi ini terjadi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Pada pembuatan mie, reaksi maillard disebabkan adanya senyawa gula (glukosa) dengan asam amino pada bahan pembuatan mie, sehingga menimbulkan warna cokelat pada mie yang dihasilkan (Puspanti, 2005).2.6 Penelitian Terdahulu2.6.1 Pembuatan Tepung SukunDalam pembuatan tepung sukun ada tahapantahapan yang harus diperhatikan yaitu pemilihan bahan, pengupasan, pencucian, pembelahan, perendaman, pemblasiran, penyawutan tipis, penjemuran dan penggilingan. Apabila dalam proses pembuatan tepung sukun tidak memenuhi persyaratan kualitas, maka akan menghasilkan tepung sukun yang berwarna gelap kecoklatan atau kehitaman. Maka berikut prosedur pembuatan tepung sukun berdasarkan penjelasan uraian tinjauan pustaka Proyek Akhir Fatmawati (2012):

Tahapan dalam pembuatan tepung sukun adalah sebagai berikut :

a. Pemilihan bahan

Sortasi atau pemilihan sukun dikelompokan berdasarkan beberapa kondisi yaitu :

1) Buah sukun yang mendekati matang dan cacat fisik, disisihkan untuk segera diproses lanjut (diprioritaskan). Sehingga terjadi kerusakan atau penurunan kualitas sukun yang lebih parah dapat dihindari.

2) Buah sukun yang masih dapat menunggu waktu (disimpan) untuk kemudian diproses lanjut sesuai kebutuhan.

b. Pengupasan

Pengupasan ini dilakukan untuk memisahkan bagian-bagian tertentu diantaranya bagian tangkai dan bonggol (hati) buah, bagian daging yang tidak mengandung pati dan berwarna kecoklatan yang terdapat disekeliling bonggol serta bagian-bagian yang cacat (rusak/busuk).

c. Pencucian

Pencucian dilakukan untuk membersihkan bagian buah dari kotoran yang menempel dan menjaga sanitasi hygine.

d. Pembelahan/Pemotongan

Pembelahan/pemotongan dilakukan untuk memperkecil volume bahan agar mempermudah dalam proses penyawutan.

e. Perendaman

Dilakukan untuk mengatasi pencoklatan. Perendaman dilakukan dengan merendam buah pada air bersih selam kurang lebih 30-60 menit.

f. Pemblasiran

Pemblasiran adalah suatu cara untuk mengatasi pencoklatan dengan cara menon-aktifkan enzim. Pemblasiran ini dilakukan dengan cara dikukus. Lama pengukusan tergantung volume bahan yaitu sekitar 10-20 menit.g. Penyawutan tipis

Penyawutan pemotongan tipis ini dilakukan untuk memperkecil ukuran buah menjadi tipis. Penyawutan ini dilakukan untuk mempercepat proses pengeringan. Alat yang digunakan adalah pisau pemotong atau alat sawut.

h. Penjemuran

Penjemuran dilakukan pada dua tahap, yaitu sebelum dan sesudah dilakukan penggilingan. Sebelum digiling yaitu dalam bentuk sawutan sedangkan sesudah digiling yaitu dalam bentuk tepungsukun. Bahan dijemur dibawah terik matahari agar proses pengeringan sukun merata dan tidak mudah terkontaminasi oleh jamur karena lembab, maka setiap 3 jam seakli perlu dibalik. Pada saat musim kemarau saat terik matahari benar-benar optimal penjemuran sukun dalam bentuk sawut dapat dilakukan selama 3 hari.

i. Penggilingan

Setelah proses pengeringan tahap selanjutnya adalah proses penggilingan. Proses ini dilakukan agar buah sukun yang sudah dikeringkan tidak menjadi basah atau lembab kembali karena menyerap air dari udara. Penggilingan dilakukan dengan mesin penggiling tepung.

j. Pengayakan

Pengayakan ini bertujuan untuk mendapatkan butiran yang lebih halus dari tepung sukun. Pengayakan dilakukan sebanyak 3 kali.Tingkat ketentuan buah sangat berperan terhadap warna tepung yang dihasilkan. Buah yang muda menghasilkan tepung yang putih kecoklatan. Sukun yang baik diolah menjadi tepung (warna tepung putih, rendemen tinggi) yaitu buah mangkal yang dipanen 10 hari sebelum tingkat ketuaan optimum. Bobot kotor buah sukun sekitar antara 1.200-2500 gr, kandungan daging buah sekitar 81,21%. Dari total berat daging buah setelah disawut dan dikeringkan menghasilkan sawut kering sebanyak 15-20% dan tepung yang diperoleh sebesar 13-18%, tergantung tingkat ketuaan dan jenis sukun.

Pada penelitian Departemen Pertanian Liptan BPTP Yogyakarta (2005), proses pembuatan tepung sukun juga dilakukan dengan cara sebagai berikut.

a. Penyortiran

Buah sukun disortir/dipilih yang tua optimal.

b. Pengupasan

Kulit buah sukun dihilangkan dan dibelah menjadi beberapa bagian.

c. Pencucian

Lakukan pencucian untuk menghilangkan kotoran tanah yang menepel pada buah.

d. Perendaman

Setelah dicuci, potong bagian empelur buah, dan empelur tersebut disisihkan (tinggal daging buah), selanjutnya langsung direndam air untuk mencegah pencoklatan.e. Penyawutan

Buah disawut dengan alat penyawut yang bertujuan untuk mengecilkan ukuran buah sukun agar cepat kering bila dijemur (dikeringkan). Selama menunggu penyawutan, buah sukun harus tetap direndam air.f. Pengeringan

Sawut dapat dikeringkan dengan sinar matahari (1-2) hari. Sawut telah kering ditandai apabila mudah dipatahkan dengan jari.g. Penepungan

Sawut menjadi tepung sukun dilakukan dengan menggunakan alat penepung.

2.6.2 Pembuatan Mie Kering dengan Substitusi Tepung Sukun

Pada penelitian Mie Dari Tepung Komposit (Terigu, Gembili (Dioscorea esculenta), Labu Kuning) Dan Penambahan Telur (Nurcahyo dkk, 2014), proses pembuatan dilakukan dengan cara sebagai berikut1. Pembuatan Tepung Sukun

Proses pembuatan tepung sukun dilakukan dengan cara: Buah sukun dikupas dan dibelah, direndam dalam Na2S205 (Natrium Metabisulfit) dengan konsentasi 2000 ppm, diblansir selama 5-10 menit (mencegah terjadinya pencoklatan karena senyawa fenol), dirajang tipis-tipis dengan ketebalan 2 mm, dikeringkan dengan rumah surya pada suhu 700 C selama 2 hari. Kemudian digiling dan diayak sampai diperoleh ukuran 80 mesh.

2. Pembuatan Mie Kering

a. Pencampuran bahan

Tepung terigu, tepung sukun, NaCl, dan soda abu dicampur semuanya, terigu disusun menjadi suatu gundukan dengan lubang di tengah-tengah, kemudian ditambahkan bahan-bahan campuran tersebut diaduk hingga rata dan ditambah air sampai membentuk adonan yang homogen yaitu menggumpal bila dikepal dengan tangan. Tepung terigu dan tepung sukun menggunakan formulasi sebagai berikut.

F0 = 100% tepung terigu : 0% tepung sukun

F1 = 90% tepung terigu : 10% tepung sukun

F2 = 80% tepung teigu : 20% tepung sukun

F3 = 70% tepung terigu : 30% tepung sukun b. Pengulenan adonan

Adonan yang sudah membentuk gumpalan selanjutnya diuleni, pengulenan ini dapat menggunakan alat kayu berbentuk selinderpengulenan dilakukan sekitar 15 menit.

c. Pembentukan lembaran

Adonan yang sudah kalis dimasukkan kedalam mesin pembentuk lembaran yang diatur ketebalannya secara berulang kali.

d. Pembentukan mi

Proses pembuatan mi ini umumnya sudah dilakukan dengan alat pencetak mi (roll press). Alat ini mempunyai dua roll, rol pertama berfungsi sebagai penipis lembaran mi dan rol kedua berfungsi sebagai pencetak mi.

e. Pengukusan

Mi yang telah terbentuk dipanaskan (steaming) dengan cara pemberian uap selama 12 menit. Pemanasan ini menyebabkan gelatinisasi pati. Pengukusan yang terlalu lama menyebabkan gelatinisasi berlebihan sehingga pengeringan terlalu lama. Sedangkan pengukusan yang singkat menyebabkan tingkat gelatinisasi rendah. tujuan untuk menonaktifkan enzim yang menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan pada tepung.f. Pengeringan

Mi yang telah dikukus kemudian dikeringkan secara sempurna (kadar air 11-12%) agar menjadi produk yang kering dan renyah, serta terbentuk lapisan protein. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven selama 2,5 jam. Untuk 1,5 jam pertama suhu yang digunakan adalah 600 C dan untuk 1 jam berikutnya dengan suhu 700C.

g. Pendinginan

Setelah dikeluarkan dari oven mi didinginkan. Proses pendinginan bertujuan untuk melepaskan sisa-sisa uap dari produk dan membuat tekstur mi menjadi lebih keras.

Dari hasil penelitian, penggunaan tepung sukun sebesar 10-30% menurunkan ketersediaan protein gluten, sehingga menurunkan nilai pemanjangan mi. Kadar protein mi kering yang disubstitusi dengan tepung sukun semakin menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi substitusi tepung sukun. Semakin tinggi konsentrasi tepung sukunyang digunakan pada pembuatan mi kering, maka kadar air, abu, karbohidrat, dan patiresisten semakin tinggi, tetapi kadar, protein dan lemak semakin turun.2.6.3 Pembuatan Mie dengan Penambahan TelurPenelitian berjudul Pengaruh Penambahan Telur Terhadap Kadar Protein, Serat, Tingkat Kekenyalan Dan Penerimaan Mi Basah Bebas Gluten Berbahan Baku Tepung Komposit (Risti, 2013) menggunakan bahan utama tepung mocaf dari produsen Sari Tany, tepung tapioka Gunung Agung dan tepung maizena Maizenaku dan untuk kontrol digunakan tepung terigu Cakra Kembar. Bahan lain yang dibutuhkan adalah telur, garam, minyak kelapa dan air.Tahap awal pembuatan mi basah bebas gluten adalah menimbang bahan sesuai dengan takaran, kemudian campuran tepung dan garam diaduk rata. Penambahan telur yaitu sebanyak 5, 6, 7 butir telur. Telur dikocok lepas dan masukkan ke dalam tepung, minyak kelapa dan air ditambahkan, adonan diuleni hingga kalis. Adonan kemudian digiling dengan ketebalan 1mm dan dipotong menggunakan pasta maker dengan pemotong ukuran besar. Adonan yang telah berbentuk mi kemudian direbus dalam air mendidih selama 3 menit. Dari hasil penelitian, didapatkan kadar protein yaitu 7,66% untuk perlakuan penambahan 5 butir telur, 7,92% untuk perlakuan penambahan 6 butir telur dan kadar protein paling tinggi terdapat pada perlakuan penambahan 7 butir telur yaitu 9,53 g/100g.Selain itu, pada penelitian berjudul Mie Dari Tepung Komposit (Terigu,Gembili (Dioscorea Esculenta), Labu Kuning) dan Penambahan Telur milik Rosida dan Rizki juga dilakukan variasi penambahan telur pada pembuatan mie kering. Pembuatan mie kering dapat dilihat pada diagram alir berikut.

Gambar 2.6 Diagram Alir Pembuatan Mie KeringDari hasil penelitian ini, semakin tinggi proporsi tepung gembili dan penambahan telur dapat meningkatkan kadar air mie kering. Semakin tinggi proporsi tepung gembili dan semakin rendah penambahan telur, maka kadar protein mie kering semakin menurun. Semakin rendah proporsi tepung gembili dan semakin tinggi penambahan telur, maka elastisitas mie akan semakin meningkat. Semakin tinggi proporsi tepung gembili dan semakin tinggi penambahan telur, maka dapat meningkatkan daya rehidrasi pada mie kering yang dihasilkan. Perlakuan terbaik pada penelitian ini yaitu proporsi tepung terigu : tepung gembili (70:30) dengan penambahan telur 20%. Perlakuan tersebut menghasilkan total skor kesukaan tekstur tertinggi (86), total kesukaan rasa (71), dan total kesukaan warna (82). Mie yang dihasilkan mempunyai kadar air 8,7966%, kadar protein 10,8588%, kadar pati 58,8260%, elastisitas 25,0062%, daya rehidrasi air 52,7117%, dan aktivitas antioksidan 2,8803%.2.7 Hipotesis Penelitian

a. Penambahan telur dapat mempengaruhi karakteristik fisik, kimia dan sensoris mie basah dengan substitusi tepung sukun.b. Ada salah satu formulasi yang tepat pada pembuatan mie basah dengan substitusi tepung sukun dan penambahan telur.BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboraturium Rekayasa Hasil Pertanian (RPHP) dan Laboraturium Kimia dan Biokimia Hasil Pertanian (KPHP), Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember, pada bulan Desember 2015.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

3.2.1 Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan yaitu panci, penggiling, kompor, sendok, piring, loyang, ayakan 80 mesh, neraca analitik, oven, botol timbang, eksikator, penjepit, tissue dan lap, color reader, pisau, baskom, alat penggiling mie, penangas listrik, kurs porselin, kertas saring, beaker glass 50 ml, 100 ml, 200 ml, labu ukur 10 ml, soxhlet, tabung reaksi, botol timbang, tanur, stopwatch, kaca, labu kjeldahl.3.2.2 Bahan Penelitian

Bahan untuk membuat mie basah yaitu tepung terigu, tepung sukun, telur, garam, STPP, soda abu, air. Bahan kimia yang digunakan yaitu aquadest, H2SO4, Na2SO4-HgO, HCl.3.3 Pelaksanaan dan Rancangan Penelitian

3.3.1 Pelaksanaan Penelitian

Pembuatan mie basah diawali dengan pembuatan tepung sukun terlebih dahulu yaitu buah sukun tua dikupas untuk memisahkan bagian-bagian tertentu diantaranya bagian tangkai dan bonggol (hati) buah. Kemudian dicuci bersih dengan air mengalir. Selanjutnya buah dipotong untuk mempermudah proses penyawutan. Lalu dilakukan perendaman menggunakan air bersih selama 30-60 menit untuk mengurangi pencoklatan pada bahan. Kemudian dikukus selama 10-20 menit untuk mengatasi pencoklatan dengan cara menonaktifkan enzim. Setelah itu dilakukan proses penyawutan pemotongan tipis untuk mempercepat proses pengeringan. Pengeringan dilakukan menggunakan alat oven selama 5-6 jam pada suhu 55-60oC. Setelah diperoleh gaplek sukun, kemudian diangin-anginkan dan dilakukan penggilingan yang bertujuan untuk memperkecil ukuran bahan menjadi tepung. Selanjutnya diayak menggunakan ayakan 80 mesh untuk menyeragamkan ukuran butiran tepung.

Tepung sukun pada pembuatan mie basah ditambahkan dengan variasi jumlah yaitu 10%, 15% dan 20%. Tepung terigu yang digunakan yaitu dengan variasi jumlah 100%, 90%, 85% dan 80%. Bahan tambahan telur yang digunakan yaitu sebesar 7,5, 10, 15 dan 20%. Beberapa bahan tambahan lain yang juga digunakan yaitu garam 2%, STPP 1% dan air 10%. Langkah selanjutnya yaitu mencampurkan bahan-bahan dalam satu baskom, sehingga menjadi suatu adonan. Kemudian dilakukan pengulenan adonan sampai kalis. Selanjutnya adonan dibentuk lembaran dengan ketebalan 2 mm dan panjang tiap helai mienya sepanjang 15 cm. Agar siap dikonsumsi, mie basah dikukus terlebih dahulu selama 10 menit dengan suhu 80oC. Skema pembuatan tepung sukun dan mie basah dapat dilihat pada Gambar 3.1 dan Gambar 3.2.

Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan Tepung Sukun

Gambar 3.2 Diagram Alir Pembuatan Mie Basah

3.3.2 Rancangan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial dengan dua faktor dan diulang sebanyak tiga kali ulangan dan satu kontrol. Faktor pertama menggunakan 3 formulasi tepung terigu dan tepung sukun.

Tabel 3.1 Perlakuan Mie Basah dengan Variasi Substitusi Tepung Sukun

PerlakuanTepung Terigu (%)Tepung Sukun (%)Keterangan

A0100-Kontrol

A19010

A28515

A38020

Faktor kedua yaitu penambahan telur 10, 15 dan 20 (% b/v)

B0: telur 7,5% (b/v) (Kontrol)

B1: telur 10% (b/v)

B2: telur 15% (b/v)

B3: telur 20% (b/v)Kombinasi perlakuan dari kedua faktor di atas adalah sebagai berikut:

A0B0 ( Kontrol

A1B1

A1B2

A1B3

A2B1

A2B2

A2B3

A3B1

A3B2

A3B3Setiap formulasi dilakukan pengamatan organoleptik, kemudian dua produk mie basah yang disukai dan satu perlakuan kontrol dilakukan pengamatan secara fisik dan kimia. Data hasil pengamatan ditampilkan dalam bentuk grafik batang. Data analisis sifat fisik, kimia dan organoleptik yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan sidik ragam dan perlakuan yang menunjukkan beda nyata dilanjutkan dengan menggunakan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT).3.4 Parameter Pengamatan

Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi:

a. Karakteristik organoleptik dengan uji hedonik yaitu meliputi warna, aroma, rasa dan kesukaan keseluruhan (Meilgaard, 1999).

b. Karakteristik fisik

1) Warna, metode colour reader (Subagio dan Morita, 1997).

2) Daya rehidrasi, metode penimbangan (Ramlah, 1997).

3) Waktu pemasakan (AACC, 1999).

4) Daya Elastisitas, metode pengukuran panjang (Ramlah, 1997)

c. Karakteristik kimia

1) Kadar protein, metode Kjeldhal (Sudarmadji, 1997).

2) Kadar air, metode oven (Sudarmadji, 1997).

3) Kadar abu, metode tanur (AOAC, 2005)

4) Kadar lemak, metode soxhlet (AOAC, 2005)

5) Kadar karbohidrat, metode Carbohyddrate by difference (Sudarmadji, 1997)

3.5 Prosedur Analisa3.5.1 Sifat Sensoris (Meilgaard, 1999)

Pengujian sensoris dilakukan dengan uji kesukaan. Uji kesukaan dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap mie yang dihasilkan. Pengujian dilakukan dengan memberikan 6 sampe mie (satu sebagai kontrol) kepada panelis. Sebelumnya, sampel diberi kode dengan 3 digit angka secara acak untuk menghindari terjadinya bias. Jumlah panelis minimal untuk uji kesukaan adalah 30 orang dengan skor sebagai berikut:

Skala HedonikSkala Numerik

Tidak suka1

Kurang suka2

Suka3

Sangat suka4

Amat sangat suka5

3.5.2 Sifat Fisik

a. Warna, Metode Color Reader (Subagio dan Morita, 1997)

Penentuan kecerahan dilakukan menggunakan alat color reader. Alat color reader distandartkan dengan cara mengukur nilai dL, da dan db papan keramik standar yang telah diketahui nilai L, a dan b. Selanjutnya sejumlah sampel diletakkan dalam cawan dan diukur nilai dL, da dan db dengan color reader. Pengukuran nilai dL, da dan db dilakukan pada tiga titik yang berbeda.tingkat kecerahan warna diperoleh berdasarkan rumus:

L = Standart L + dL

Keterangan :

Standart L = 94,35

L = Kecerahan warna, nilai berkisar antara 0-100 yang menunjukkan semakin besar nilainya, maka kecerahan warna semakin tinggi.

b. Daya Rehidrasi (Ramlah, 1997)

Pengukuran daya rehidrasi dilakukan dengan penimbangan. Daya rehidrasi adalah kemampuan mie untuk menyerap air setelah gelatinisasi. Pengukuran dilakukan dengan menimbang 5 g mie mentah sebagai a g, kemudian direbus g menit. Setelah masak, kemudian ditiriskan dan ditimbang seebagai b g.

Daya rehidrasi (%) = (b-a) / a x 100%

c. Waktu Pemasakan (AACC, 1999)

Prinsip dari analisa ini adalah mengukur waktu hingga mie membentuk garis putih ketika ditekan dengan dua potong kaca. Mie mentah ditimbang sebanyak 5 g, kemudian air sebanyak 150 ml dididihkan pada beaker glass dan stopwatch dinyalakan tepat pada saat sampel dimasukkan dalam air yang telah mendidih. Setiap satu menit dilakukan pengambilan satu untaian mie dan dilakukan penekanan dengan dua buah kaca. Pemasakan dikatakan optimum apabila sudah tidak terbentuk garis putih ketika mie ditekan dengan dua potong kaca.

d. Daya Elastisitas, Metode Pengukuran Panjang (Ramlah, 1997)

Pengukuran elastisitas dilakukan dengan menggunakan penggaris. Sampel yang telah dimasak ditempatkan di atas penggaris dan diukur panjangnya sebagai panjang awal (P1), kemudian ditarik hingga putus dan diukur panjangnya sebagai panjang akhir (P2). Elastisitas dihitung dengan persamaan:

Daya elastisitas =

x 100%3.5.3 Sifat Kimia

a. Kadar Protein (Sudarmadji, 1997)

Kadar protein dianalisis menggunakan metode semi kjeldahl. Sampel sebanyak 0,5 g dimasukkan dalam labu kjeldahl dan ditambahkan 2 ml H2SO4 pekat dan 0,9 g campuran Na2SO4-HgO untuk katalisator. Larutan kemudian didestruksi selama 45 menit. Setelah itu, ditambahkan aquadest sebanyak 45 ml. Larutan kemudian didestilasi dengan larutan HCl 0,02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Total N atau % protein sampel dihitung berdasarkan rumus:

% Protein = 6,25 x % N

b. Kadar Air (Sudarmadji, 1997)

Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan oven. Botol timbang yang telah dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam eksikator ditimbang sebagai a g. Sampel yang sudah dihaluskan dimasukkan dalam botol timbang dan ditimbang 2 g sebagai b g, kemudian dimasukkan dalam oven selama 4-6 jam. Botol timbang dipindahkan pada eksikator selama 30 menit dan setelah dingin ditimbang. Botol timbang kemudian dikeringkan kembali selama 30 menit, setelah didinginkan dalam eksikator, ditimbang kembali. Kegiatan ini dilakukan berulang kali sampai diperoleh berat konstan sebagai c g. Selanjutnya dilakukan perhitungan kadar air dengan rumus :

c. Kadar Abu (AOAC, 2005)

Pengukuran kadar abu dilakukan dengan pembakaran pada tanur pengabuan. Kurs porselin dikeringkan dalam oven selama 15 menit didingikan dalam eksikator 30 menit dan ditimbang sebagai a g. Sampel yang sudah dihaluskan ditimbang 2 g sebagai b g dan dimasukkan dalam kurs. Kemudian pijarkan dalam muffle dengan suhu mencapai 300-600oC sampai diperoleh abu berwarna putih keabu-abuan. Pendingin dilakukan dengan kurs dan abu disimpan di dalam muffle selama 1 hari. Kemudian dipindahkan ke dalam eksikator 15 menit dan ditimbang berulang-ulang sampai berat konstan sebagai c g. Selanjutnya dilakukan dengan perhitungan dengan rumus :

d. Kadar Lemak (AOAC, 2005)

Labu lemak dioven selama 30 menit pada suhu 100-105oC, kemudian didinginkan dalam eksikator untuk menghilangkan uap. Kertas saring yang digunakan juga dioven pada suhu 60oC selama 1 jam dan dimasukkan dalam eksikator selam 30 menit, kemudian ditimbang sebagai a g. Sampel ditimbang sebanyak 1 gram tepat langsung di atas saring sebagai b g. Bahan dan kertas saring dioven pada suhu 60o C selama 24 jam dan ditimbang sebagai c g. Kemudian dimasukkan dalam tabung ekstraksi soxhlet. Pelarut lemak dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya. Labu lemak dipanaskan dan dilakukan ekstraksi selama 5 jam. Labu lemak didinginkan selama 30 menit. Sampel kemudian diangkat dan dikeringkan dalam oven bersuhu 60oC selama 24 jam. Setelah dioven, bahan didinginkan dalam eksikator selama 30 menit, lalu ditimbang sebagai d g. Kadar lemak dapat dihitung dengan rumus:

e. Kadar Karbohidrat (Sudarmadji, 1997)

Penentuan karbohidrat secara by difference dihitung sebagai selisih 100 dikurangi kadar air, kadar abu, protein dan lemak. Rumus perhitungan kadar karbohidrat yaitu:

Kadar karbohidrat = 100% - (% kadar protein + % kadar lemak + % kadar

abu + kadar air)

DAFTAR PUSTAKA

AACC. 1999. Method 66-50.01 Pasta and Noodle Cooking Quality-Firmness. USA: AACC International Approved Methods of Analysis, eleventh ed, St. Paul, MN.Achmad, S. A. Tukiran, Makmur, L.1999. Artobilokromen : Suatu Senyawa Turunan Flavon Terdiisoprenilasi dari Kulit Batang Artocarpus teysmanii MIQ (Moraceae). Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Kimia Bahan Alam di Depok, Pusat Penelitian Sains dan Teknologi Universitas Indonesia, Depok, 16-17 November.Amin, M.M. 2014. Studi Potensi Bisnis dan Pelaku Utama Industri Mie (Mi Instan, Mi Kering dan Mi Basah) di Indonesia, 2014 2018. http://www.cdmione.com/source/MIE2014.pdf. [Diakses Tanggal 21 Mei 2015].Antarlina, S.S. dan Utomo, J.S. 2009. Proses Pembuatan dan Penggunaan Tepung Ubi Jalar Untuk Produk Pangan. Dalam Edisi Khusus Balitkabi. AOAC. 2005. Official Methods of Analysis of The Association Analytical Chemistry. USA: Washington D.C. Inc.Astawan, M dan M.W. Astawan. 1991. Teknologi Pengolahan Pangan Nabati. Jakarta: Akademika Presindo.

Astawan, M. 2000. Membuat Mie dan Bihun. Jakarta: Penebar Swadaya.

Astawan, M. 2001. Membuat Mie dan Bihun. Jakarta: Penebar Swadaya.

Astawan, M. 2006. Membuat Mie dan Bihun. Jakarta: Penebar Swadaya.Astawan, M. 2008. Membuat Mie dan Bihun. Jakarta: Penebar Swadaya.

Badan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2987-1992. Mie Basah. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

Budijanto, S. 2009. Dukungan Iptek Bahan Pangan Pada Pengembangan Tepung Lokal. PANGAN Edisi No. 54/XVIII/April-Juni/2009.

Direktorat Gizi Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhatara Karya Aksara, Jakarta.

Ditjen RLPS, 2009. Prediksi Panen Buah Sukun di Indonesia. http://www.dephut.go.id/files/DEPHUT_Makalah_HPS.pdf. [Diakses 28 Februari 2015].

Departemen Pertanian LIPTAN. Teknologi Pembuatan Sawut dan Tepung Sukun. Yogyakarta: BPTP Yogyakarta.

FAO. 1972. FAO Year Book Forest Products. Roma: FAO. Fatmawati, W.T. 2012. Pemanfaatan Tepung Sukun dalam Pembuatan Produk Cookies. Proyek Akhir. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.Gaman, P.M., dan Sherrington. 1994. Ilmu Pangan; Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi, dan Mikrobiologi. Terjem\ahan oleh Murdijati Gardjito, Sri Naraki, Agnes Murdiati dan Sardjono. Yogyakarta: UGM Press.Handayani, Widya. 2004. Konsumsi Mie Instan Pada Keluarga Miskin Dan Tidak Miskin. Tidak Diterbitkan. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Hoseney, R.C. 2986. Principle of Cereal Science and Technology. St. Paul, Minnesota: American Association of Cereal Chemish.

Hou and Kruk. 1998. Mie. http://id.shvoong.com. [Diakses Tanggal 14 Maret 2015].Koswara. 2006. Sukun Sebagai Cadangan Pangan Alternatif. [terhubung berkala]. http://www.ebookpangan.com. [Diakses Tanggal 7 Maret 2015].

Koswara. 2009. Teknologi Pengolahan Telur (Teori dan Praktek). [terhubung berkala]. http://www.ebookpangan.com. [Diakses Tanggal 1 Mei 2015].

Kristina. 2007. Waspada Bahaya Formalin. http://www.distan.pemda-diy.go.id. [28 Februari 2015].

Mahayani, P.S.,Sargiman, G., dan Arif, S. 2014. Pengaruh Penambahan Bayam terhadap Kualitas Mie Basah. Jurnal Agroknow Vol. 2 No.1. ISSN 2302-2612.Meilgaard, M., Civille G.V., Carr B.T. 2000. Sensory Evaluation Techniques. Boca Raton, Florida: CRC Press.

Mudjajanto, E. S. dan Yulianti, L.N. 2004. Membuat Aneka Roti. Jakarta: Penebar Swadaya.

Nurcahyo, E., Amanto, B.S., Nuhartadi, E. 2014. Kajian Penggunaan Tepung Sukun Sebagai Substitusi Tepung Terigu pada Pembuatan Mie Kering. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Overview APTINDO. 2014. Overview Indutri Tepung Terigu Nasional Indonesia APTINDO (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia). http://www.aptindo.or.id/pdfs/Update%20overview%2011%20Juli%202014.pdf. [Diakses Tanggal 21 Mei 2015].

Pitojo, S. 1992. Budidaya Sukun. Yogyakarta: Kanisius.

Purwanita, R.S. 2013. Eksperimen Pembuatan Egg Roll Tepung Sukun (Artocarpus altilis) dengan Penambahan Jumlah Tepung Tapioka yang Berbeda. Tidak Diterbitkan. Skripsi. Semarang: Jurusan Teknologi Jasa dan Produksi Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang.

Puspanti, E. 2005. Studi Pembuatan Mie Kering dengan Substitusi Tepung Sukun. Tidak Diterbitkan. Skripsi. Jember: Jurursan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember.Ramlah. 1997. Sifat Fisik Adonan Mie dan Beberapa Jenis Gandum dengan Penambahan Kansui, Telur dan Ubi Kayu. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.Risti, Y. 2013. Pengaruh Penambahan Telur Terhadap Kadar Protein, Serat, Tingkat Kekenyalan dan Penerimaan Mie Basah Bebas Gluten Berbahan Baku Tepung Komposit. Semarang: Universitas Diponegoro.Rosida, dan Rizki Dwi. Mie Dari Tepung Komposit (Terigu,Gembili (Dioscorea Esculenta), Labu Kuning) dan Penambahan Telur. Tidak Diterbitkan. Jurnal. Surabaya: Universitas Pembangunan Nasional. Setianingrum dan Marsono, 1999. Pengkayaan Vitamin A dan Vitamin E dalam pembuatan Mie Instan Mengg\unakan Minyak Sawit Merah. Kumpulan Penelitian Terbaik Bogasari 1998-2001. Jakarta: Bogasari.

Subagio, A., dan Morita, N. 1997. Changes in Carotenoids and Their Fatty Acid Esters in Banana Peel During Ripening. Food Sci. Technol. 3 (3), 264-268.

Sudarmadji, S. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty.

Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Sereal dan Biji-bijian. Diktat Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fateta. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Suprapti, M.L. 2007. Tepung Sukun Pembuatan dan Pemanfaatannya. Yogyakarta: Kanisius.

Wahyudi. 2003. Kimia Organik II. Malang : UM Press.

Widowati, S, N. Richana, Suarni, P. Raharto, IGP. Sarasutha. 2001. Studi Potensi dan Peningkatan Dayaguna Sumber Pangan Lokal Untuk Penganekaragaman Pangan di Sulawesi Selatan. Tidak Diterbitkan. Lap. Hasil Penelitian. Puslitbangtan. Bogor.

Widowati. 2003. Prospek Tepung Sukun Untuk Berbagai Produk Makanan Olahan dalam Upaya Menunjang Diversifikasi Pangan. http://www.rudyt.topcities.com. [Diakses Tanggal 14 Maret 2015].

Widyaningsih, T.B., dan Murtini, E.S. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan. Surabaya: Pangan Trubus Agrisarana.

Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Buah sukun tua

Pencucian

Kulit dan hati

Air bersih

Pengupasan

Pengupasan

Buah sukun tua

Pencucian

Kulit dan hati

Buah sukun tua

Tepung sukun

Gaplek

Penggilingan

Perendaman dalam air (30-60 menit)

Pengukusan (10-20 menit)

Penyawutan

Pengovenan (5-6 jam, 55-60oC)

Air bersih

Kulit dan hati

Pencucian

Buah sukun tua

Pengupasan

Pengupasan

Kulit dan hati

Air bersih

Pencucian

Perendaman dalam air (30-60 menit)

Pengukusan (10-20 menit)

Penyawutan

Pengovenan (5-6 jam, 55-60oC)

Gaplek

Penggilingan

Pengulenan

Pembentukan lembaran

Telur (7,5 ; 10 ; 15 ; 20) %

Garam 2%

STPP 1%

Air 1%

Soda abu 1%

Pencampuran adonan

Tepung sukun : Tepung Terigu (0:100) ; (10:90) ; (15:75) ; (20:80)

Tepung sukun : Tepung Terigu (0:100) ; (10:90) ; (15:75) ; (20:80)

Mie basah

Pengukusan (10 menit)

Pencetakan

Tepung sukun : Tepung Terigu (0:100) ; (10:90) ; (15:75) ; (20:80)

Pencampuran adonan

Telur (7,5 ; 10 ; 15 ; 20) %

Garam 2%

STPP 1%

Air 1%

Soda abu 1%

Pembentukan lembaran

Pengulenan

Telur (7,5 ; 10 ; 15 ; 20) %

Garam 2%

STPP 1%

Air 1%

Soda abu 1%

Pencampuran adonan

Pengulenan

Pembentukan lembaran

Pencetakan