Proposal S3 Mansyur Radjab

94
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Jeneponto merupakan salah satu kabupaten dengan taraf pertumbuhan kesejahteraan relatif tertinggal dibanding kabupaten lainnya dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Salah satu indikator umum yang menunjukkan seperti terlihat dalam angka indeks pembangunan masyarakat (IPM). Selama kurun waktu 1999 sampai 2009, Kabupaten Jeneponto hanya mengalami perkembangan IPM rata-rata 59,0 yaitu terendah di Sulawesi Selatan (BPS, 2010). Wilayah Kabupaten Jeneponto relatif tidak memiliki kesamaan umum dengan karakter topografis Propinsi Sulawesi Selatan. Pada umumnya wilayah Sulawesi Selatan mengalami musim barat berlangsung dalam bulan September sampai dengan Pebruari, sedangkan Kabupaten Jeneponto mengalami musim barat antara bulan Desember sampai Maret, sehingga musim hujan relatif cukup pendek. Oleh karena itu wilayah ini dikenal pula sebagai daerah kering. Pengaruh musim tersebut cukup berpengaruh pada seluruh

description

nnn

Transcript of Proposal S3 Mansyur Radjab

BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangKabupaten Jeneponto merupakan salah satu kabupaten dengan taraf pertumbuhan kesejahteraan relatif tertinggal dibanding kabupaten lainnya dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Salah satu indikator umum yang menunjukkan seperti terlihat dalam angka indeks pembangunan masyarakat (IPM). Selama kurun waktu 1999 sampai 2009, Kabupaten Jeneponto hanya mengalami perkembangan IPM rata-rata 59,0 yaitu terendah di Sulawesi Selatan (BPS, 2010). Wilayah Kabupaten Jeneponto relatif tidak memiliki kesamaan umum dengan karakter topografis Propinsi Sulawesi Selatan. Pada umumnya wilayah Sulawesi Selatan mengalami musim barat berlangsung dalam bulan September sampai dengan Pebruari, sedangkan Kabupaten Jeneponto mengalami musim barat antara bulan Desember sampai Maret, sehingga musim hujan relatif cukup pendek. Oleh karena itu wilayah ini dikenal pula sebagai daerah kering. Pengaruh musim tersebut cukup berpengaruh pada seluruh aktivitas wilayah pertanian dan wilayah pesisir dan taraf kesejahteraan masyarakat.Menelusuri wilayah pesisir Kabupaten Jeneponto, sepanjang wilayah pesisir tersebut berhadapan dengan Laut Flores. Kondisi ini menyebabkan terpaan angin, disertai hujan lebat dan ombak besar yang senantiasa dihadapi oleh kaum nelayan, sehingga pada musim-musim seperti ini terutama bulan-bulan Desember sampai Januari kebanyakan para nelayan tidak melaut. Adanya arus bawah yang seringkali berbeda arah dengan arus permukaan juga sering dialami para nelayan di daerah ini. Dalam keadaan demikian sangat sukar melakukan penangkapan ikan dengan peralatan yang sederhana (Sallatang, 1982). Olehnya itu pada masyarakat nelayan terdapat karakteristik yang mencolok yaitu ketergantungan pada musim, maka pada musim penangkapan, para nelayan sangat sibuk melaut. Sebaliknya, pada musim paceklik kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur (Nugroho dan Dahuri, 2004:251)Masyarakat pesisir Kabupaten Jeneponto pada umumnya selama ini menekuni sektor nelayan tangkap. Keterbatasan wilayah penangkapan dan teknologi penangkapan yang serba sederhana menjadi bentuk kehidupan nyata dan berakar dalam sistem sosial masyarakat nelayan. Keterbatasan dan kesederhanaan mendorong terjadinya pembagian peran diantara kelompok nelayan. Setiap peran senantiasa diarahkan untuk menjaga kestabilan dalam berbagai bentuk tolong menolong dan kerjasama di antara sesama kelompok nelayan. Bentuk tolong menolong dan kerjasama yang berlangsung terus menerus lalu kemudian mengakar dan mengkristal sebagai sebuah nilai budaya (resiprositas) yang terinternalisasi (terlembagakan). Proses internalisasi tersebut membentuk apa yang disebut hubungan pinggawa[footnoteRef:2]-sawi di kalangan masyarakat nelayan termasuk di Kabupaten Jeneponto (Sallatang, 1982:3) [2: Kata pinggawa berdasarkan penulisan aslinya seperti digunakan Sallatang, walaupun pada penulisan lainnya menggunakan kata punggawa sebagaimana digunakan kebanyakan penulis .]

Dalam perkembangannya masyarakat nelayan Kabupaten Jeneponto sebagaimana umumnya terjadi pada masyarakat nelayan lainnya di Indonesia, mengalami proses dialektika sebagai akibat terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan mendorong munculnya pemikiran dan wawasan terhadap kehidupan masyarakat pesisir/nelayan. Masyarakat nelayan yang selama ini memahami dirinya sebagai apa adanya, penuh dengan kesahajaan, dilain pihak menimbulkan pandangan bagi kalangan ilmuan dan teknokrat bahwa masyarakat nelayan terkungkung dalam sistem nilai budaya yang cenderung tereksploitasi dan termarginalisasi. Hal tersebut mendorong munculnya pemikiran tentang berbagai program restrukturisasi dikalangan masyarakat nelayan, melalui bentuk-bentuk pengembangan teknologi dan manajemen atau apa yang disebut proses transformasi (modernisasi).Perspektif modernisasi memandang masyarakat nelayan pada umumnya sebagai masyarakat termarginalisasi dan statis dan terkungkung oleh nilai budaya yang mengatur hubungan-hubungan sosial yang bersifat ekspolotatif. Melalui penerapan teknologi alat tangkap, pengaturan mekanisme produksi dan pemasaran yang terlembagakan secara fungsional, masyarakat nelayan diharapkan mampu melepaskan diri dari keterkungkungan yang selama ini dihadapi. Demikian halnya masyarakat nelayan di Kabupaten Jeneponto dapat ditemukan pengaruh modernisasi dalam aktifitas kehidupan nelayan seperti terdapat pemilik perahu motor, lembaga-lembaga kenelayanan. Akan tetapi bentuk kelembagaan lama tetap memiliki eksistensi dalam kehidupan masyarakat nelayan. Walaupun dengan sendirinya telah tersentuh dengan nilai-nilai modern yaitu munculnya struktur lembaga pinggawa-sawi melalui penamaan pinggawa besar, pinggawa kecil dan sawi.Beberapa pengalaman sejak berkembangnya perspektif modernisasi dalam kehidupan masyarakat nelayan di Indonesia, ternyata menimbulkan beberapa distorsi yang semakin mengancam kehidupan masyarakat nelayan. Terdapat beberapa hasil kajian yang memperlihatkan terjadinya pola hubungan yang tidak seimbang dalam pengayaan sumber daya kemudian menciptakan hubungan ketergantungan yang kuat di antara masyarakat nelayan. Pola hubungan ketergantungan tersebut lalu kemudian menarik banyak perhatian dan mengkajinya dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat nelayan yang menyimbolkan keterpinggiran, kemarjinalisasian, kemiskinan, keterbelakangan, dan sebagainya.Menurut Pranadji (1995:38) dalam hasil penelitiannya menemukan bahwa gejala modernisasi yang terjadi pada kegiatan nelayan lebih merupakan respon terhadap pasar, sehingga golongan yang mempunyai aksesibilitas terhadap kemudahan pemerintah dan bisnis besarlah yang lebih cepat merespon. Artinya nelayan pemilik modallah yang pertama memperoleh kesempatan baik, sedangkan nelayan pekerja (buruh) dan nelayan kecil kurang berkesempatan memperoleh untung dari perkembangan ekonomi pasar. Sehingga bagi nelayan kecil tetap memiliki ketergantungan pada musim karena tidak mampu mengakses teknologi penangkapan. Demikian Anggraini (2006:22) mengatakan bahwa, dalam konteks wilayah pesisir dan laut, keuntungan ekonomi dari pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut baru dinikmati oleh kelompok masyarakat tertentu seperti juragan kapal dan pengusaha perikanan namun belum oleh masyarakat pesisir dan nelayan. Kesenjangan dalam hal kepemilikan menjadi masalah yang serius. Akumulasi sumberdaya pada pihak-pihak tertentu mengarah pada deaksesasi oleh masyarakat nelayan kecil dengan teknologi sederhana menjadi terpinggirkan dan semakin sulit berusaha sehingga mereka terjerat kemiskinanProses transformasi tersebut tidak saja menimbulkan permasalahan hubungan peran yang tidak seimbang di antara masyarakat nelayan atau hubungan kelembagaan pinggawa-sawi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa proses transformasi berpengaruh terhadap berbagai hubungan sosial-ekonomi rumahtangga nelayan dan mencirikan sebagai rumah tangga miskin. Pencirian kemiskinan masyarakat nelayan seperti perilaku ekonomi rumah tangga (Simanullang,2006; Sitorus, 2007), masalah curahan waktu, kertimpangan pendapatan dan produktivitas kerja (Purwanti dkk, 1995; Whenlis, 2008), masalah kredit dan kelembagaan (Elfindri dan Zein, 2001; Siswanto, 2007; Nasution, 2008). Di samping ditemukan pula berbagai strategi dalam keberlangsungan hidup rumah tangga seperti ditunjukkan dalam hasil-hasil penelitian. Rama dan Nurland (dalam Muchlis, 1988) tentang penelitiannya di komunitas nelayan Desa Taroang Kabupaten Jeneponto, menemukan keterlibatan isteri dan anak-anak nelayan pada usia lima sampai tujuh tahun. Sedangkan Radjab (1994) dalam penelitiannya terhadap kehidupan komunitas nelayan Barranglompo menunjukkan tingginya drop-out pendidikan anak-anak nelayan oleh karena pada umumnya anak-anak mereka dilibatkan dalam membantu orangtua setelah kembali menangkap ikan.Selanjutnya, Silitonga (1997) yang meneliti perubahan mata pencaharian dalam hubungannya dengan pembangunan waduk menemukan ada anggota masyarakat petani pemilik lahan seluas lebih 0,5 ha dan bermodal, dapat memperoleh tambahan pekerjaan selain sebagai petani juga menjadi pengusaha keramba jaring terapung; petani berlahan sempit atau kurang dari 0,5 ha dan memiliki modal sebagian mencoba usaha keramba jaring terapung; sedangkan yang tidak memiliki modal tetap sebagai petani yang mengusahakan lahan miliknya sendiri dan mengolah lahan garapan lain.Kehidupan masyarakat nelayan di Indonesia ternyata sebagian besar tidak mampu menghadapi proses dialektika yang terjadi sehingga terus diperhadapkan pada masalah ketimpangan. Ketika masyarakat nelayan sedang berproses dan melakukan adaptasi terhadap transformasi dalam kehidupan nelayan tangkap, terjadi proses dialektika tahapan selanjutnya yaitu apa yang dikenal pengenalan sistem pertanian/budidaya rumput laut sejak awal tahun 1980-an. Pengaruh globalisasi terhadap perekonomian Dunia Ketiga termasuk Indonesia mendorong setiap negara mengembangkan berbagai potensi sumber daya yang dapat menjadi pesaing pasar internasional. Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber daya pesisir dan pantai menjadikan pengembangan rumput laut sebagai komoditi yang dianggap memiliki daya saing pasar internasional. Di antaranya adalah Propinsi Sulawesi Selatan, merupakan salah satu propinsi yang cukup strategis untuk pengembangan budi daya rumput laut. Menonjolnya budi daya rumput laut di daerah ini disebabkan selain tempatnya yang strategis juga didukung fasilitas budi daya yang cukup memadai seperti tersedianya lahan untuk budi daya Gracilaria sp. Sekitar 50.201 ha dan lahan budi daya Eucheuma sp sekitar 193.700 ha. Diharapkan mulai tahun 2012 Sulawesi Selatan sudah dapat menjadi sentra produksi rumput laut terbesar di Indonesia (Tangko, 2008:137).Secara ekonomis usaha pertanian rumput laut, pada mulanya dianggap sangat menguntungkan bagi masyarakat pesisir. Untuk memperoleh panen hanya dibutuhkan waktu sekitar 40 sampai 45 hari ditambah lima hari pengeringan. Dalam sebuah artikel yang dimuat pada (www.rumputlaut.org) dikatakan bahwa, harga yang bagus disertai masa pembudidayaan yang pendek membuat sebagian masyarakat pesisir di Sulawesi Selatan juga tidak lagi bergairah menangkap ikan. Sebab, potensi ikan di laut semakin terbatas, sedangkan perahu penangkapan bertambah banyak dan menggunakan alat tangkap yang canggih. Akibatnya, volume ikan yang ditangkap terus berkurang. Hal itu otomatis berdampak terhadap jumlah pendapatan setiap nelayan sehingga budidaya rumput laut dianggap sebagai pilihan yang baik bagi masa depan.Fenomena di atas turut serta berpengaruh terhadap aktifitas masyarakat nelayan Kabupaten Jeneponto. Hasil penelusuran awal menggambarkan bahwa ketidakmampuan melepaskan diri dari keterbelakangan masyarakat nelayan, menyebabkan sebagian besar nelayan di Kabupaten Jeneponto beralih ke sektor pertanian rumput laut. Daya tarik terhadap sektor pertanian rumput laut memiliki kekuatan seiring meningkatnya permintaan internasional atas komoditas rumput laut. Masyarakat pesisir Kabupaten Jeneponto yang selama ini menekuni aktivitas nelayan tangkap merespon dengan mengubah aktivitas mereka, begitupula berbagai kelompok masyarakat menjadi terdorong untuk ikut serta mengambil peran baik sebagai penyedia bibit, penyedia modal, berbagai prasarana dan sarana permodalan yang mendukung peningkatan produksi pertanian rumput laut.Perubahan pekerjaan yang terjadi, sekaligus merubah tradisi kehidupan baik dilihat dari aspek produksi, teknologi dan kelembagaan. Respons masyarakat pesisir terhadap perubahan tersebut diasumsikan mampu membawa keluar dari ketimpangan dan kemiskinan. Pergeseran aktivitas dari nelayan menjadi petani rumput laut berdampak lebih lanjut terhadap produksi perikanan laut yaitu terjadi kecenderungan penurunan produksi per tahun, dari tahun 2004 sampai 2008 mengalami rata-rata perkembangan/penurunan 9,6. Penurunan terjadi diantaranya karena hampir separuh masyarakat nelayan kurang menunjukkan aktivitas penangkapan ikan, kecuali terlihat aktivitas budi daya rumput laut.Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa hasil kajian menunjukkan tentang terjadinya resistensi baru dalam kehidupan masyarakat petani rumput laut. Proses transformasi dalam sistem pengelolaan baik dilihat dari aspek budidaya dan aspek produksi menunjukkan terjadinya distorsi dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani rumput laut terutama yang berasal dari masyarakat nelayan kurang mampu. Seperti dikatakan bahwa sungguhpun masa depan rumput laut sangat prospektif, ganjalan dilapangan masih banyak sekali. Pertama, ada sebagian pembudidaya yang sudah memanen saat rumput laut baru berusia 35 hari. Akibatnya, kualitas dari komoditas tersebut jauh di bawah standar. Kedua, rumput laut yang di budidaya kurang mendapatkan perawatan yang rutin dan teratur setiap hari. Perawatan yang tidak optimal ini memungkinkan komoditas itu mudah terserang virus dan mengurangi kualitas. Ketiga, tidak adanya tenaga penyuluh kelautan yang setiap saat dapat membimbing, memfasilitasi, memotivasi, sekaligus memberikan jalan keluar bagi pembudidaya rumput laut. Keempat, keterbatasan modal kerja sehingga baru sebagian kecil masyarakat pesisir yang membudidayakan rumput laut. Kelima, mata rantai pemasaran yang terlalu panjang dengan melibatkan lebih dari satu tengkulak atau pedagang pengumpul. Mata rantai pemasaran yang panjang itu membuat harga rumput laut di tingkat petani selalu tertekan rendah. Perbedaan harga yang begitu besar antara tingkat petani dan pabrik nyaris tanpa reaksi, bahkan cenderung dimaklumi petani. Kondisi ini merupakan bagian dari politik balas budi. Alasannya, pembudidaya rumput laut saat pertama kali menggeluti usaha tersebut umumnya tanpa modal. Satu-satunya pihak yang memberikan bantuan modal dan bibit adalah tengkulak. Suku bunga kredit yang hingga mencapai 10 persen per bulan pun mereka terima dengan senang hati sebab prinsip mereka adalah rencana usaha dapat berjalan. Dampak lain dari maraknya pembudidayaan rumput laut adalah pengaplingan areal laut oleh setiap pembudidaya. Jika kondisi ini tak dikelola secara baik, bukan tidak mungkin suatu saat menimbulkan konflik horizontal di kalangan masyarakat pesisir.Dengan demikian, fenomena yang terjadi pada aktivitas pertanian rumput laut tersebut tidak jauh berbeda yang dihadapi ketika mereka menjadi nelayan tangkap dengan karakteristik sangat bergantung pada alam, harga dan pasar. Faktor-faktor sturktural yang dihadapi kelompok nelayan sebagaimana dikatakan sebelumnya diasumsikan tereproduksi kembali pada petani rumput laut. Akan terjadi apa yang disebut Nugroho dan Dahuri (2004:251) yaitu pola hubungan yang asimetris dan sangat mudah berubah menjadi alat dominasi dan eksploitasi.Dalam beberapa hal pula akan dihadapi oleh petani rumput laut sebagaimana terdapat pada nelayan tangkap seperti dikatakan Siswanto (2007:439-440), yaitu bahwa terdapat kelas pedagang mengambil keuntungan yang besar, dan memperoleh pendapatan yang jauh lebih besar dan posisi tawar yang jauh lebih tinggi. Menurut Kusumastanto inilah sebenarnya merupakan persoalan lebih mendasar pada nelayan dan petani ikan yaitu persoalan sosial yang menyangkut ketergantungan sosial (patron client), karena faktor kelemahan yang dimiliki sebagian besar nelayan (nelayan kecil dan pandega), mereka tidak bisa menghindari adanya sistem sosial yang tanpa atau disadari menjeratnya ke dalam lingkaran setan kemiskinan, dan sudah begitu melembaga pada masyarakat nelayan.Dengan demikian, diasumsikan bahwa proses transformasi yang terjadi dalam masyarakat perdesaan/pesisir seperti kelompok nelayan sebenarnya terjadi pula pada aktivitas pertanian rumput laut yaitu berupa pengayaan sarana dan prasarana teknologi, manajemen dan organisasi, serta investasi merupakan upaya yang dialakukan selama ini baik pihak pemerintah maupun pihak swasta. Upaya seperti pengenalan bibit unggul, teknologi pengelolaan, pembentukan berbagai jenis kelembagaan dibidang produksi, pemasaran, diharapkan dapat memberi kemudahan dalam mengakses pengembangan aktivitas terutama golongan miskin/buruh petani.sehingga masyarakat kelompok petani rumput laut mampu meningkatkan pendapatannya dan melepaskan diri dari persoalan ketimpangan struktur sosial ekonomi. Sehubungan dengan itu, maka apa yang terjadi pada aktivitas petani rumput laut menunjukkan beberapa asumsi-asumsi teoritis yang perlu dikaji lebih jauh sehubungan beberapa faktor kepemilikan seperti: penguasaan alat-alat produksi, struktur masyarakat yang terbagi ke dalam kategori pemilik (alat-alat produksi) dan buruh, serta tingkat skala investasi modal usaha. Faktor-faktor seperti kelembagaan dan stratifikasi sosial dalam masyarakat pesisir masih rentang terhadap terjadinya eksploitasi dan menjadi landasan terjadinya ketimpangan sosial ekonomi.Penelitian Salman (2006) menarik menjadi salah satu acuan perbandingan. Salman dalam penelitiannya tentang masyarakat maritim di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan mengkaji dalam perspektif perubahan sosial atau transformasi industri yaitu hubungan antara proses diferensiasi dengan rasionalitas tindakan di antaranya terhadap kehidupan masyarakat nelayan. Bahwa terjadi ketidakseimbangan antara proses diferensiasi sosial dengan proses rasionalisasi tindakan pada tingkatan sistem. Akan tetapi Salman melihat dalam sebuah masyarakat nelayan yang secara historis merupakan aktivitas yang telah mengakar bertahun-tahun. Sedangkan pada aktivitas pertanian rumput laut merupakan suatu bentuk kehidupan baru bagi sebagian besar masyarakat pesisir di Sulawesi Selatan termasuk Kabupaten Jeneponto. Dari aspek substansi perubahan pekerjaan dari nelayan tangkap ke petani rumput laut, penelitian ini bertujuan melakukan evaluasi terhadap kehidupan kelompok nelayan khususnya masyarakat nelayan di Kabupaten Jeneponto melalui sejumlah proposisi yang dibangun oleh Sallatang (1982:135-136) yaitu bahwa : (1) perubahan teknologi penangkapan (motor layar), membawa perubahan terhadap peranan pinggawa-sawi dan pembagian hasil yaitu cenderung mengakibatkan proporsi bahagian hasil pada anggota-anggota lainnya (sawi) menjadi lebih kecil, (2) Masyarakat nelayan (Jeneponto) yang memiliki kepadatan penduduk relatif tinggi dan banyaknya tenaga kerja yang tersedia, berdampak terhadap kemungkinan terjadinya persaingan berat dikalangan kelompok sawi ke depan, (3) Berkenaan dengan penggunaan teknologi (transformasi), masalahnya adalah bagaimana agar tetap dapat menyerap banyak tenaga kerja dan menghasilkan pinggawa-sawi baru sesuai tuntutan perkembangan, 4) Dengan demikian kesempatan menjadi pinggawa besar atau pemimpin bagi generasi berikutnya, tidak terbatas secara ketat.Relevan dengan hal tersebut, walaupun Sallatang memfokuskan kajiannya terutama pada aspek solidaritas dan integrasi dalam perspektif studi komunitas kecil. Secara tidak langsung menghasilkan beberapa proposisi yang menarik untuk dikembangkan lebih jauh yaitu sebuah proses transformasi yang telah berlangsung pada masyarakat nelayan Kabupaten Jeneponto 1982, dan kaitannya dengan proses diferensiasi. Dan sekarang sebagian besar telah beralih menjadi petani rumput laut. Sistem penguasaan, pengelolaan, produksi, dan pemasaran dalam pertanian rumput laut merupakan sesuatu yang baru bagi kehidupan masyarakat pesisir yang membedakan nelayan tangkap. Penerapan konsep diferensiasi sosial (kelembagaan dan stratifikasi) dalam penelitian ini dilihatnya dalam konteks terjadinya reproduksi sehubungan dengan proses transformasi pada masyarakat petani rumput laut. Pengembangan sektor pertanian rumput laut yang menimbulkan fenomena perubahan pekerjaan sebagian besar masyarakat nelayan belum banyak dilakukan pengkajian tentang sejauhmana terjadi perubahan struktur sosial dan berdampak terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Dengan demikian menarik dikaji lebih jauh tentang bentuk-bentuk produksi, teknologi dan kelembagaan tersebut, serta kemungkinan terjadinya reproduksi stratifikasi dalam masyarakat petani rumput laut atau umumnya pada masyarakat pesisir Kabupaten Jeneponto.

B. Rumusan MasalahBerdasarkan latarbelakang tersebut, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut1. Terdapat kesenjangan antara proses transformasi (investasi, penerapan teknologi, dan manajemen) dengan kemampuan masyarakat dalam melakukan pembudidayaan rumput laut di Kabupaten Jeneponto.2. Proses transformasi tidak dapat mendorong terjadinya diferensiasi (kelembagaan dan stratifikasi) secara signifikan pada kegiatan pertanian rumput laut di Kabupaten Jeneponto.3. Proses diferensiasi tidak memenuhi kaidah-kaidah kelembagaan lokal (ponggawa-sawi) dan perubahan struktur sosial-ekonomi pada masyarakat petani rumput laut di Kabupaten Jeneponto.

C. Tujuan Penelitiana. Menganalisis kesenjangan proses transformasi (investasi, penerapan teknologi, dan manajemen) dengan kemampuan masyarakat dalam melakukan pembudidayaan rumput laut di Kabupaten Jeneponto.b. Menganalisis proses transformasi dan terjadinya diferensiasi (kelembagaan dan stratifikasi) secara signifikan pada kegiatan pertanian rumput laut di Kabupaten Jeneponto.c. Menganalisis proses diferensiasi dalam hubungannya dengan kaidah-kaidah kelembagaan lokal (ponggawa-sawi) dan perubahan struktur sosial-ekonomi pada masyarakat petani rumput laut di Kabupaten Jeneponto.

D. Manfaat PenelitianMelalui penelitian ini diharapkan dapat :1. Mengembangkan wahana umum terhadap fenomena kemiskinan komunitas pesisir dalam upaya mempercepat proses pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) atau tujuan pembangunan millennium di Indonesia khususnya Kabupaten Jeneponto.2. Memecahkan masalah distorsi pencapaian peningkatan indeks pembangungan manusia di Kabupaten Jeneponto melalui keberdayaan komunitas pesisir khususnya petani rumput laut.3. Melalui hasil kajian ini, diharapkan dapat menemukan model pembangunan berbasis lokal, dalam rangka mendukung penanggulangan kemiskinan yang menjadi salah satu isu nasional.

BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. Transformasi Indonesia mengalami proses perubahan atau transformasi pertama kali dalam bidang pertanian pada awal tahun 1970-an, dikenal dengan nama revolusi hijau. Transformasi tersebut melahirkan berbagai kajian diantaranya terkait dengan distorsi yang terjadi terutama pada masyarakat petani gurem. Sedangkan perubahan atau proses transformasi masyarakat pesisir atau dikenal dengan revolusi biru lebih belakangan atau sekitar akhir 1970-an termasuk di Sulawesi Selatan. Tidak berbeda dengan yang terjadi di sektor pertanian, di mana ketika masyarakat pesisir terutama masyarakat nelayan memasuki fase transformasi melalui reinvestasi dalam bidang penangkapan, sistem manajemen yang lebih rasional, masyarakat nelayan terutama buruh nelayan atau kelompok sawi (Sulawesi Selatan) tetap terpinggirkan. Fenomena tersebut terjadi hampir menyeluruh pada masyarakat nelayan di Indonesia termasuk masyarakat nelayan Kabupaten Jeneponto. Akibat lanjut, menimbulkan perdebatan teoritis terhadap keabsahan perspektif modernisasi/transformasi dalam melihat proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Perdebatan tersebut tidak lain karena istilah transformasi senantiasa dikaitkan dengan sebuah pemikiran dan pengalaman Barat, yang membentuk arah yang dominan untuk pembangunan masyarakat, yang menentukan sasaran-sasaran ke mana kebijaksanaan diarahkan, dan yang menelurkan metodologi-metodologi canggih guna mengarahkan pilihan-pilihan manusia agar sesuai dengan pemikiran-pemikiran dasarnya. Dalam berbagai literatur sosiologi, istilah transformasi menjadi bagian penting dalam pembahasan perspektif evolusi sosial, perubahan sosial, modernisasi dan kapitalisme, sehingga penggunaannya senantiasa disamakan dan dipertukarkan sesuai dengan konteks yang dipermasalahkan. Hasil akhirnya adalah sebuah telaah tentang proses differensiasi yang terjadi dalam sebuah masyarakat sedang berkembang diperbandingkan dengan masyarakat maju atau masyarakat industri.Perspektif atau teori evolusi sosial senantiasa dipakai untuk menilai kemajuan masyarakat. Parson melihat evolusi sosial dari aspek munculnya bentuk-bentuk organsiasi sosial dengan kemampuan menyesuaikan diri yang semakin besar. Bellah merumuskan pengertian evolusi sebagai proses diferensiasi dan kompleksitas organisasi yang membantu organisme, sistem sosial atau unit-unitnya dengan kapasitas yang lebih besar untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya sehingga menjadi lebih bebas dibandingkan dengan nenek moyang mereka yang mempunyai organisasi yang kurang kompleks (Hoogvelt, 1985:10).Penjelasan konsep transformasi terkait dengan modernisasi, dapat ditelusuri melalui penjelasan Schoorl (1980:1-2) yang mengatakan bahwa, modernisasi sesuatu masyarakat ialah suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya. Misalnya di bidang ekonomi berarti tumbuhnya kompleks industri yang besar-besar, di mana proses produksi barang-barang konsumsi dan barang-barang sarana produksi diadakan secara massal. Kompleks-kompleks industri mengandung implikasi adanya organisasi-organisasi yang kompleks untuk mengadakan bahan-bahan baku serta penjualan produksi dan seterusnya. Kemudian perkembangan industri itu berkaitan dengan perkembangan agraria yaitu produksi agraria per pekerja berhasil ditingkatkan secara luar biasa. Selanjutnya berlandaskan perkembangan agrarian dan industri dapat diciptakan secara luas yang disebut sektor jasa, yang didalamnya dapat dimasukkan lembaga-lembaga pemerintahan, institusi ilmiah dan pendidikan, pemeliharaan kesehatan, rekreasi, kesenian dan seterusnya.Penjelasan konsep transformasi dalam perspektif perubahan sosial dapat diikuti penjelasan Sztompka (2004:5,65) yang mengatakan bahwa, dimensi utama dari sebuah perubahan adalah terjadinya perubahan bentuk kehidupan yang membawa akibat terhadap perubahan lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti hubungan kerja, system kepemilikan, klasifikasi masyarakat dan sebagainya, serta masyarakat senantiasa berubah disetiap tingkat kompleksitas internalnya. Di tingkat makro terjadi perubahan ekonomi, politik dan kultur, di tingkat mezzo (menengah) terjadi perubahan kelompok, komunitas danorganisasi, di tingkat mikro terjadi perubahan interaksi dan prilaku individual.Soedjito (1986:vii) dalam bukunya Transformasi Sosial, ditemukan penjelasan tentang hubungan antara transformasi (sosial) dengan perubahan sosial, yang digolongkan atas tiga yaitu: (1) perubahan sebagai proses evolusi atau perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai suatu proses diferensiasi dan integrasi yaitu perkembangan masyarakat berlangsung secara terus menerus melalui tahap-tahap tertentu sebagaimana halnya pertumbuhan dan perkembangan bilologis, (2) perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai suatu proses perubahan dan pembentukan nilai-nilai. Jadi individu sebagai penyebab perubahan sosial, yakni berupa nilai-nilai yang dimiliki warga masyarakat (dengan kata lain, transformasi nilai-nilai yang terjadi dalam masyarakat merupakan penyebab terjadinya perubahan sosial), (3) perubahan dan perkembangan masyarakat merupakan proses pembebasan ketergantungan.Neil telah menggunakan istilah transformasi dalam menelah transformasi masyarakat manusia yang lebih awal, dari berburu hingga pertanian menetap, menuju pertanian irigasi yang intensif, dan akhirnya industrialisasi. Demikian Alvin Toffler membahas transformasi itu dari perspektif Dunia Ketiga, yang di dalamnya ia mengupas peluang-peluang yang mungkin disingkapkan oleh transformasi ini bagi negara-negara yang belum memasuki era industri (dalam Korten dan Sjahrir, 1988:28,45).Dari penjelasan menurut teori evolusi sosial, perubahan sosial, dan modernisasi sebagaimana dikemukakan sebelumnya, maka transformasi sosial telah melahirkan beberapa pemikiran lebih lanjut dalam berbagai kajian Negara-negara Sedang Berkembang. Byres mengatakan bahwa transformasi sosial ialah suatu perjalanan waktu dan di dalamnya tercakup suatu masalah peralihan. Sedang transformasi sosial di pedesaan berawal dari pelaksanaan program penataan penguasaan tanah dan industrialisasi sampai terbentuknya susunan hubungan sosial ekonomi produksi yang baru. Sedangkan Haris mengatakan bahwa transformasi sosial adalah suatu proses perubahan susunan hubungan sosial ekonomi, berubahnya masyarakat agraris tradisional menjadi masyarakat dengan sistem pertanian telah terintegrasi ke dalam sistem ekonomi secara keseluruhan. Transformasi sosial dapat dilihat dari penekanan saling hubungan antara faktor ekologi, teknologi, demografi dan kultur masyarakat dalam suatu sistem usahatani (Ginting, 1996).Dalam studi pembangunan, teori transformasi dikenal dengan teori perubahan struktural (structural-change theory) yang memusatkan perhatiannya pada mekanisme yang sekiranya akan memungkinkan negara-negara yang masih terkebelakang untuk mentrasformasikan struktur perekonomian dalam negeri dari pola perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih modern yaitu lebih bervariasi serta memiliki sektor industri manufaktur dan sektor-sektor jasa yang tangguh. Salah satu model teori yang terkenal sebagaimana diperkenalkan oleh Arthur Lewis dengan teorinya Model dua-sektor Lewis (Lewis two-sector model) yang memusatkan perhatian pada transformasi struktural (structural transformation), yang mengatakan bahwa perekonomian yang terkebelakang terdiri dari dua sektor yakni, (1) sektor tradisional, yaitu sektor pedesaan subsisten yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marjinal tenaga kerja sama dengan nol, (2) sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor pertanian. (Todaro, 2000:100).Dalam studi pertanian, secara teoretis dikatakan bahwa transformasi pertanian berawal dari ciri masyarakat tradisional yaitu memiliki bentuk usaha tani keluarga, tidak ada pasar, tenaga kerja keluarga, ekonomi uang belum masuk, atau sudah masuk tapi hanya sebagai alat pembayaran, dan strukturnya tidak berubah atau apa yang disebut peasant society. Dengan adanya industri, kapital masuk, dan mendorong orang untuk bersaing secara individual. Jadi tingkah laku petani berubah, tidak lagi mencirikan masyarakat peasant, tapi sudah mulai modern. Di samping pemikiran-pemikiran sudah menjadi kapitalistik yang dicirikan dengan ekonomi uang, memaksimumkan keuntungan, tenaga kerja semua upahan, ada pasar tenaga kerja (Wiradi).Dalam proses transformasi pertanian sebagaimana yang terjadi di Eropa Barat pada abad 17-18 seperti dikemukakan Polanyi (dalam Pranadji dan Hastuti, 2004:78) bahwa dari peradaban tradisional-agraris ke modern-industrial, transformasi tersebut tidak melahirkan kesejahteraan yang meluas. Proses trasformasi memang dikatakan menghasilkan kemajuan fisik dan pertumbuhan ekonomi yang sangat hebat. Namun pada saat yang hampir bersamaan melahirkan polarisasi yang tajam yaitu orang yang kaya raya berjumlah sedikit di satu sisi, dan orang yang melarat berjumlah banyak di sisi lain (Wertheim dalam Pranadji dan Hastuti, 2004:78). Dalam hal tersebut maka Wiradi, dalam tulisannya Transformasi Pertanian; Quo Vadis?, mengatakan bahwa transformasi pertanian berlangsung sangat lama, dapat puluhan tahun atau bahkan ada yang lebih dari seratus tahun baru terjadi. Ini yang bernama transformasi, artinya terjadi bentuk lain yang terus mantap, tidak berubah-ubah, untuk masa yang seterusnya. Oleh karena itu dikatakan bahwa selama tujuan itu belum tercapai, masa itu disebut transisi. Tylor dan Schuurman menyatakan bahwa umumnya sistem produksi pertanian berubah dari prakapitalis (komunal) menuju kapitalis. Akan tetapi pada masyarakat kontemporer dibelahan dunia bukan Barat, perubahan sistem produksi pertanian yang terjadi tidak menghasilkan sistem produksi pertanian kapitalis melainkan hanya transisional. Pada saat sistem produksi pertanian baru yang lebih kapitalis (transisional) semakin dominan, maka terjadi transformasi struktur agraria. Transformasi tersebut akan bergerak dari penguasaan kolektif (collective ownership) menuju perorangan (private ownership). Suatu transformasi hak dalam memanfaatkan sumber daya agraria, dari hak setiap orang menjadi hak sebagian orang. Realitas tersebut kemudian akan memberi jalan pada pembentukan struktur sosial komunitas petani yang mengalami diferensiasi. Dalam arti terdapat dua bentuk struktur sosial komunitas yang mungkin muncul, yaitu stratifikasi (bertambah banyaknya lapisan masyarakat) dan polarisasi (terkutubnya masyarakat menjadi dua lapisan) (Fadjar dkk, 2008:211).Dari latar belakang istilah transformasi sebagaimana dikemukakan di atas maka secara kharfiah transformasi dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata transformation. Neufebet dan Guralnik mengistilahkan transform sebagai perubahan, dan transformation diartikannya sebagai proses perubahan. Atau dalam pengertian yang lebih luas, transformasi mencakup bukan saja perubahan pada bentuk luar, namun juga pada hakikat atau sifat dasar, fungsi, dan struktur atau karakteristik perekonomian suatu masyarakat (Pranadji dan Hastuti, 2004).

B. Diferensiasi SosialPenjelasan sebelumnya dikemukakan bahwa hasil akhir dari sebuah perubahan sosial/transformasi ialah diferensiasi sosial. Diferensiasi sosial menurut Svalastoga (1989:1) diartikan sebagai kecenderungan ke arah perkembangan sosial yang berlawanan seperti pembedaan menurut ciri-ciri biologis antar manusia. Ada beberapa jenis diferensiasi sosial yang perlu dibedakan menurut North. Pertama, diferensiasi tingkatan (rank differentiation), muncul karena ketimpangan distribusi barang sesuatu yang dibutuhkan, yang terbatas persediaannya. Kedua, diferensiasi fungsional (functional differentiation) atau pembagian kerja, muncul karena orang melaksanakan pekerjaan yang berlainan. Ketiga, diferensiasi adat (custom differentiation), muncul karena aturan berperilaku yang tepat berbeda menurut situasi tertentu (Svalastoga, 1989:1).Dalam hubungan dengan penelitian ini, maka pembahasan diferensiasi tingkatan dan diferensiasi fungsional menjadi landasan konsepsional dalam melihat proses transformasi masyarakat pesisir Kabupaten Jeneponto relevan dengan masyarakat petani rumput laut. Diawali dengan pembahasan diferensiasi fungsional atau disebut juga diferensiasi struktural. Pada sub bahasan tersendiri dibahas tentang diferensiasi tingkatan atau lebih dikenal dengan istilah stratifikasi sosial.Abraham (1991:18-19) menyatakan bahwa perubahan sistemik yang paling berarti dari modernisasi (transformasi) adalah diferensiasi struktural yang berarti unit-unit organisasi yang berbeda cenderung menjadi terpisah (berdiri sendiri) dalam hubungan satu sama lain, sebagian besar bersifat otonom dan interdependensi yang meningkat, pemisahan pekerjaan dan rumah tangga yang mengarah kepada individuasi dan isolasi keluarga inti yang berhenti pada unit produksi. Jadi pembagian kerja secara spesialisasi, pekerjaan yang memerlukan latihan-latihan dan keterampilan spesialis, sungguh merupakan perubahan fungsional yang paling berarti.Menurut Bilton dalam Jones (2009:67) diferensiasi adalah suatu tipe pemecahan atau pemisahan dari satuan yang tadinya tak terbagi. Satuan-satuan yang baru yang tercipta oleh proses ini berbeda dari satuan yang sebelumnya oleh fungsi-fungsi yang lebih khusus. Kedua satuan yang baru berbeda satu sama lain karena keduanya distrukturkan sedemikian sehingga salah satu daripadanya dapat menjalankan fungsi khusus sedangkan yang satu lagi tidak. Relevan dengan pernyataan Smelser, bahwa proses diferensiasi menjadikan hakikat dan fungsi keluarga berubah, sebab ia tidak lagi merupakan unit produksi ekonomi yang asas, maka aktivitas-akitivtas keluarga menjadi lebih menitik beratkan kepada kepuasan emosi dan sosialisasi, tekanan-tekanan mulai dikenakan terhadap perkembangan perburuhan atas dasar kekeluargaan, dan keluarga inti dibedakan secara jelas dari keluarga besar. Akan tetapi bahwa proses diferensiasi yang terjadi tidak selamanya dapat diintegrasikan dengan munculnya fungsi-fungsi baru. Proses diferensiasi dan integrasi senantiasa menimbulkan gangguan-gangguan sosial akibat adanya tingkat perubahan yang tidak seimbang, sehingg akan mempengaruhi modernisasi/transformasi atas suatu sistem sosial (Long, 1987:14; So, 1990;27).Transformasi teknologi dan bentuk stratifikasi di Indonesia selama ini telah banyak mendapat perhatian dalam mengkaji fenomena masyarakat agraris, hal yang sama terjadi pula pada masyarakat pesisir. Transformasi pada masyarakat pesisir sebagaimana ditunjukkan pada masyarakat nelayan mengikuti pola yang terjadi pada masyarakat agraris yaitu terjadinya fenomena bentuk-bentuk penguasaan kepemilikan alat/aset produksi yang ketat kemudian menimbulkan ketimpangan struktur sosial dan fenomena social ekonomi rumah tangga nelayan (Andriati, 2008; Konseng, 2007; Siswanto, 2007). Demikian yang terjadi pada petambak, di mana bentuk penguasaan kepemilikan signifikan dengan perubahan pada penguasaan bentuk-bentuk teknologi dan penetrasi pasar sebagai bentuk masyarakat transisi (Purnamasari., Sumantri., dan Kolopaking, 2002).

C. Stratifikasi Sosial1. Konsep Stratifikasi SosialRelevan dengan kajian terhadap proses transformasi dan pola stratifikasi pada beberapa bentuk masyarakat, maka studi kajian terhadap masyarakat petani budi daya rumput menarik pula dikaji lebih jauh. Bahwa setiap masyarakat memiliki dasar ketidaksetaraan, terdapat beberapa memiliki kekayaan, pendidikan, kesehatan, atau kekuasaan daripada yang lain. Stratifikasi sosial mengacu pada sebuah sistem dimana masyarakat memiliki kategori peringkat dalam suatu hirarki (Macionis, 2000:162), diartikan sebagai ketimpangan struktur (structure inequalities) di antara kelompok orang berbeda. Dalam hal ini yang memiliki hak istimewa berada pada posisi di atas dan yang tidak memiliki berada pada posisi di bawah (Giddens, 1987).Menurut Sorokin, bahwa sistem berlapis-lapis dalam masyarakat merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Selama dalam masyarakat ada sesuatu yang dihargai, maka akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem pelapisan dalam masyarakat tersebut. Sesuatu yang dihargai itu dapat berupa uang, penguasaan lahan, kekuasaan, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Semakin banyak sesuatu yang dihargai dimiliki seseorang, akan semakin dianggap berkedudukan tinggi orang tersebut dalam sistem sosialnya (Soemardjan dan Soemardi, 1964).

2. Teori Evolusioner dan FungsionalisTeori evolusioner melihat proses perkembangan manusia dan masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh Herbert Spencer. Penjelasan utama Spencer mulai dari peningkatan jumlah penduduk sebagai fakta pertama dalam proses evolusi sosial yang dihubungkan dengan persediaan-persediaan makanan yang ada, dan dari kesempatan-jesempatan yang disajikan oleh lingkungan alam. Pertumbuhan dimaksud timbul dari penggabungan satuan-satuan sosial, disertai dengan peningkatan diferensiasi struktur. Hal ini berarti mulai timbul bagian-bagian yang dapat dibeda-bedakan dan dengan demikian dapat dikenali. Bagian-bagian itu juga mengisi fungsi-fungsi yang berbeda-beda demi keseluruhan. Jadi peningkatan struktur berlangsung bersama-sama dengan spesialisasi sesuai dengan fungsi. Karena bagian-bagian itu mengisi fungsi-fungsi yang berbeda-beda, maka bagian-bagian itu tergantung satu sama lain. Saling ketergantungan tumbuh, hal mana dinyatakan sebagai peningkatan integrasi. Jadi dapat dibedakan tiga aspek pada proses evolusi yaitu, diferensiasi struktural, spesialisasi fungsional dan integrasi yang meningkat (Layendecker, 1983:302).Dengan demikian, premis dasar teori stratifikasi sosial bahwa terdapat perubahan struktur kelas seiring dengan proses transformaisi yang terjadi dalam masyarakat. Pada awalnya ketika perubahan ke masa transisi industri kaum fungsional seperti Parson melihat kekuatan utama yang membentuk stratifikasi social adalah kemampuan kapasitas adaptif (Sanderson, 1993:157). Kapasitas adaptif adalah kecenderungan masyarakat untuk senantiasa ingin berkembang, kemampuan masyarakat merespons lingkungan dan mengatasi berbagai masalah atau keterbatasan yang selalu dihadapi manusia sebagai mahluk sosial. Makin besar masalah dan tantangan yang dihadapi menurut Parson, makin besar kebutuhan akan stratifikasi. Hal ini karena ketika masyarakat mengalami proses transformasi akan diikuti oleh keunggulan efektifitas organisasi. Akan tetapi, asumsi yang dikembangkan teori ini ternyata dianggap tidak mampu menjawab realitas dalam masyarakat, artinya organisasi yang dimaksudkan oleh Parson ternyata tidak efektif dalam mengakomodasi kepentingan masyarakat. Bahkan kecenderungannya adalah terjadinya bentuk-bentuk eksploitasi dalam masyarakat serta rawan menimbulkan ekses-ekses konflik (Sanderson, 1993:158).

3. Teori SurplusTeori surplus atau dikenal dengan teori Lenski (Gerald Lenski) memiliki orientasi materialistic dan berlandaskan teori konflik. Bahwa manusia adalah mahluk yang mementingkan diri sendiri dan selalu berusaha untuk mensejahterakan dirinya. Individu berperilaku menurut kepentingan pribadi, bekerjasana dengan sesama jika melihat kesempatan terbuka bagi kepentingannya. Asumsinya bahwa individu relatif tidak pernah puas, dan individu mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mencapai keinginannya tersebut (Sanderson ,1993:159).Lenski beranggapan, kesamaan dasar dapat terjadi dalam masyarakat dimana kerjasama menjadi hal yang essensial dalam mencapai kepentingan individu. Individu akan bekerjasama dengan sesama untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang. Tetapi jika kondisi tidak memungkinkan, maka konflik dan stratifikasi akan terjadi. Jika terjadi susplus, perebutan untuk menguasainya tidak dapat dihindari, dan surplus akhirnya dikuasai oleh individu atau kelompok yang paling berkuasa. Surplus produksi ekonomilah yang menyebabkan berkembangnya stratifikasi. Semakin besar surplus, semakin besar pula stratifikasi yang terjadi. Sedangkan besarnya surplus ditentukan oleh kemampuan teknologi masyarakat. Dengan demikian ada hubungan erat antara derajat perkembangan teknologi dengan derajat stratifikasi (Sanderson, 1993:159).

4. Teori KelangkaanFenomena stratifiksi sosial dalam masyarakat transisi industri sebagaimana dikaji melalui transformasi teknologi bukan merupakan faktor tunggal. Teori yang dikembangkan oleh Harner, Fried dan Blumberg beranggapan bahwa penyebab utama timbul dan semakin intensnya stratifikasi disebabkan oleh jumlah penduduk. Artinya tekanan penduduk terhadap sumber daya menyebabkan masyarakat berusaha menemukan cara-cara produksi yang efektif melalui penguasaan lahan, akan tetapi karena sumber daya lahan tidak mampu mengatasi perkembangan penduduk akhirnya timbul egoisme dalam penguasaan lahan dan hubungan produksi. Perbedaan akses terhadap sumber daya lahan muncul dan suatu kelompok memaksa kelompok lainnya bekerja lebih keras untuk menghasilkan surplus ekonomi melebihi apa yang dibutuhkan. Dengan demikian meningkatnya penduduk dan teknologi, perbedaan akses terhadap sumber daya makin nyata, dan stratifikasi semakin intensif dengan dorongan politik yang semakin besar (Sanderson, 1993:160).

5. Teori FenomenologisPremis dasar teori struktural fungsional dan konflik yang memusatkan kajiannya pada skala makro dianggap kurang relevan menjawab berbagai fenomena stratfikasi social dalam masyarakat industry. Teori fenomenologi menekankan pada aspek mikro atau hubungan antar individu. Salah satu tokoh terkenal ialah Randll Collins yang mengatakan bahwa aktor dengan sumber daya material yang banyak dapat menentang atau bahkan merubah hambatan material ini, sedangkan aktor dengan sumber daya yang lebih sedikit, besar kemungkinan akan berpikir dan bertindak berdasarkan keadaan material mareka (Ritzer dan Goodman, 2004:163). Dikatakan lebih lanjut bahwa dalam situasi ketimpangan, kelompok yang mengendalikan sumber daya kemungkinan akan mencoba mengeksploitasi kelompok yang sumber dayanya terbatas. Akan tetapi bahwa eksploitasi demikian tidak selalu menimbulkan kalkulasi sadar di pihak yang memperoleh keuntungan dari situasi ketimpangan itu. Pihak yang mengeksploitasi semata-mata mengejar apa yang mereka bayangkan menjadi kepentingan terbaik mereka. Yaitu mereka mungkin mengambil keuntungan dari pihak yang sumber dayanya terbatas. Lebih luas lagi bahwa kemungkinan kelompok dengan sumber daya dan berkuasa dapat memaksakan system gagasan mereka terhadap seluruh masyarakat, sedangkan kelompok tanpa sumber daya mempunyai sistem gagasan yang dipaksakan terhadap mereka.

6. Stratifikasi Pada Masyarakat NelayanPada dasarnya, penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan menurut Kusnadi (2002:1-2) dapat ditinjau dari tiga sudut pandang. Pertama, dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jarring, dan perlengkapan yang lain), struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam ketegori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nlayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan produksi sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat terbatas.Kedua, ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil. Disebut nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan relative banyak sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya. Ketiga, dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi kedalam kategori nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan-nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional.Nasution (2005) dalam penelitiannya di Sumatera Utara menemukan pola stratifikasi pada masyarakat nelayan yaitu: 1) golongan pemilik kapal (pemodal) atau diistilahkan toke, 2) golongan yang tidak memiliki modal ekonomi tetapi memiliki modal lain diantaranya keahlian dan tenaga. Golongan yang memiliki keahlian dimaksud seperti nahkoda dan teknisi, sedang yang memiliki modal tenaga adalah yang berperan sebagai pekerja diluar nahkoda dan teknisi. Golongan yang memiliki modal keahlian dan tenaga biasanya dikenal dengan nama buruh.Sebagai perbandingan, ditemukan pola stratifikasi yang lebih luas pada petani petambak seperti penelitian yang dilakukan oleh Purnamasari, dkk (2002:107), bahwa pada masyarakat petambak Desa Babulu Laut ditemui beberapa kelompok ponggawa dan petambak. Kelompok ponggawa memiliki dua tipe yaitu: 1) ponggawa yang memiliki dan menyakapkan lahan tambak, dan 2) ponggawa yang tidak memiliki lahan tambak. Kelompok petambak terdiri tiga tipe yaitu: 1) petambak pemilik terikat yang menyakapkan lahan tambaknya, 2) petambak pemilik terikat yang mengelola lahan tambaknya sendiri, 3) petambak penyakap yang menggarap lahan tambak milik ponggawa.Sanderson (1993:584) menggambarkan, bagaimana masyarakat yang berstratifikasi cenderung menurunkan kualitas hidup karena beberapa individu dan kelompok mencapai kontrol atas sumber-sumber daya produktif, maka mereka mampu memaksakan individu-individu dan kelompok-kelompok lain untuk menghasilkan surplus ekonomi dengan anggota-anggota kelompok dominan itu. Dalam dunia pra-industri proses ini mencapai puncaknya dalam masyarakat agraris dan memberi kontribusi yang sangat besar kepada rendahnya standar hidup para petani. Dalam kapitalisme modern, sistem stratifikasi dunia yang didominasi oleh golongan kapitalis inti merupakan penyebab penting rendahnya standar hidup orang Dunia Ketiga.

D. Kelembagaan1. Konsep KelembagaanPengertian lembaga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: pola perilaku manusia yang mapan, terdiri atas interaksi sosial berstruktur di suatu kerangka nilai yang relevan. Sedangkan kelembagaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan lembaga. Horton and Hunt (1993:69) menyatakan bahwa lembaga adalah sistem hubungan sosial yang terorganisasi yang mewujudkan nilai-nilai dan tata cara umum tertentu dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat tertentu. Dengan kata lain lembaga (institution) adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau secara formal, sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia. Lembaga adalah proses-proses terstruktur (tersusun) untuk melaksanakan berbagai kegiatan tertentu (Horton and Hunt, 1993: 244). Selanjutnya dikatakan lembaga termasuk di antara norma-norma masyarakat yang paling resmi dan bersifat memaksa, dan ketika kebiasaan dan tata nilai di sekitar suatu kegiatan yang penting menjadi terorganisasi ke dalam sistem keyakinan dan perilaku yang sangat formal dan mengikat, maka suatu lembaga telah berkembang. Oleh karena itu menurutnya, suatu lembaga mencakup: (1) seperangkat pola perilaku yang telah distandardisasi dengan baik, (2) serangkaian tata kelakuan, sikap dan nilai-nilai yang mendukung dan, (3) sebentuk tradisi, ritual dan upacara, simbol dan perlengkapan-perlengkapan lain.Menurut Uphoff (1986: 8-9), istilah kelembagaan dan organisasi sering membingungkan dan bersifat saling dipertukarkan (interchangeably). Secara keilmuan, social institution dan social organization membicarakan hal yang sama, untuk menyebut apa yang dalam khasanah sosiologi sebagai kelompok sosial, grup, social form, dan lain-lain. Namun, pada perkembangan terakhir, istilah kelembagaan lebih sering digunakan untuk makna yang mencakup keduanya sekaligus. Kelembagaan lebih dipilih karena kata organisasi menunjuk kepada suatu sistem sosial yang bersifat formal, dan akhir-akhir ini semakin cenderung mendapat kesan (image) negatif. Kata kelembagaan juga lebih disukai karena memberi kesan lebih sosial,lebih menghargai budaya lokal, atau lebih humanistis. Sedangkan menurut Etzioni, (1985:1), bahwa mempelajari kelembagaan (atau organisasi) merupakan sesuatu yang esensial, karena pola kehidupan setiap masyarakat dapat ditelusuri dari sistem keorganisasiannya. Tiap perilaku individu umumnya hasil bentukan dari organisasi sosial yang melatarbelakanginya. Seluruh hidup kita dilaksanakan dalam organisasi, mulai dari lahir, bekerja, sampai meninggal.Saptana dkk (2003) memberikan pengertian kelembagaan secara sosiologis, yaitu kelembagaan ibarat organ-organ dalam tubuh manusia yang menjalankan masyarakat tersebut. Setiap fungsi dalam masyarakat pasti dijalankan oleh sebuah (atau lebih) kelembagaan. Untuk kebutuhan hidup, dalam hal berproduksi dan distribusi, dijalankan oleh kelembagaan ekonomi. Setiap orang yang terlibat di dalamnya diikat oleh suatu pola nilai dan norma sebagai pedoman bersikap dan berperilaku, yang dimantapkan kemudian dengan adanya struktur baku. Struktur merupakan visualisasi dari siapa orang yang terlibat dan posisionalnya.Konsep kelembagaan sebagaimana yang diterapkan dalam memahami masyarakat desa khususnya dalam penelitian, Tjondronegoro (1990) dalam penelitiannya terhadap sistem sosial masyarakat desa di Sukabumi dan Kendal membedakan atas lembaga yang berasal dan terbentuk dari dalam masyarakat desa sendiri, dan organisasi yang cenderung sebagai sesuatu yang formal yang datang dan dibentuk dari atas desa. Ia mempelajari bagaimana lembaga dan organisasi memainkan peranannya dalam pembangunan khususnya dalam merangsang partisipasi masyarakat. Menurut Tjondronegoro lembaga memenuhi kebutuhan anggota masyarakat dengan langsung, sedangkan organisasi kalaupun memenuhi kebutuhan tidak terlepas dari kekuasaan karena tujuan yang ingin dicapai organisasi menghendaki pengaturan rapi, sedikit banyak dengan mengurangi peranan pribadi anggota.

2. Kelembagaan Masyarakat NelayanKelembagaan nelayan terbentuk dari perilaku yang terus menerus hidup dalam komunitas nelayan, dan mengalami proses penyesuaian dengan adanya kendala-kendala yang dihadapi serta potensi lingkungannya. Kelembagaan yang ada pada komunitas masyarakat nelayan dimaksudkan sebagai suatu sistem organisasi yang berlaku dan diakui oleh komunitas nelayan, baik yang termasuk kelembagaan formal maupun informal (Astuty, 2006:115). Seperti halnya kelembagaan ekonomi dalam masyarakat nelayan terbentuk oleh adanya proses yang saling mempengaruhi antara lingkungan tempat hidup masyarakat dengan masyarakat itu sendiri (nelayan), dan peranan lembaga ini sangat berpengaruh terhadap berlangsungnya kegiatan ekonomi masyarakat nelayan diantaranya adalah nelayan tangkap (Astuty, 2006:116).Kelembagaan bagi hasil bukan saja ditemukan pada masyarakat petani akan tetapi juga pada masyarakat nelayan telah lama dikenal. Kelembagaan atau sistem bagi hasil merupakan sistem informal yang eksis di masyarakat nelayan dan terbentuk dari tradisi yang telah ada di masyarakat nelayan. Pola bagi hasil ini muncul akibat dari ketidakpastian hasil tangkapan yang cenderung sangat berfluktuasi. Pola pendapatan nelayan yang tidak teratur sangat mempengaruhi corak adaptasi yang mereka lakukan. Adaptasi yang dilakukan nelayan terhadap usaha penangkapan ikan yang penuh spekulasi dan ketidakpastian melahirkan perilaku khusus yaitu yang disebut etika pemerataan resiko (Masyhuri, 2000).

E. F. G. H. I. 3. Kelembagaan Patron KlienIstilah patron dan klien berasal dari suatu model hubungan sosial yang berlangsung pada zaman Romawi kuno. Seorang patronus adalah bangsawan yang memiliki sejumlah warga dari tingkat lebih rendah, yang disebut clients, yang berada di bawah perlindungannya. Meski para clients secara hukum adalah orang bebas, mereka tidak sepenuhnya merdeka. Mereka memiliki hubungan dekat dengan keluarga pelindung mereka, yang nama keluarganya mereka gunakan dan upacara pemujaan keluarganya mereka ikuti. Ikatan antara patron orang Romawi dank lien mereka dibangun berdasarkan hak dan kewajiban timbal balik yang biasanya bersifat turun temurun (Pelras, 2009: 21). Menurut Burke (2003:106), patronase dapat didefinisikan sebagai sistem politik yang berlandaskan pada hubungan pribadi antara pihak-pihak yang tidak setara, antara pemimpin (patron) dan pengikutnya (klien). Masing-masing pihak mempunyai sesuatu untuk ditawarkan. Klien menawarkan dukungan politik dan penghormatan kepada patron, yang ditampilkan dalam berbagai bentuk simbolis (sikap kepatuhan, bahasa yang hormat, hadiah, dan lain-lain). Di sisi lain, patron menawarkan kebaikan, pekerjaan, dan perlindungan kepada kliennya.Pada umumnya, relasi patron-klien terjadi secara intensif pada suatu masyarakat yang menghadapi persoalan sosial dan kelangkaan sumber daya ekonomi yang kompleks. Di daerah pedesaan dan pinggiran kota yang berbasis pertanian, seorang patron (bapak buah) akan membantu klien (anak buah) kemudahan akses pada peluang kerja di sekor pertanian, mengatasi kebutuhan mendadak klien, atau meringankan beban utang klien pada pelepas uang. Klien menerima kebaikan tersebut sebagai hutang budi, menghargai, dan berkomitmen untuk membantu patron dengan sumberdaya jasa tenaga yang mereka milikiKetika hubungan patronase terutama digunakan kepada hubungan ekonomi seperti pertanian, pertambakan, penangkapan ikan, perdagangan laut, dan kerajinan, maka istilah yang digunakan di Sulawesi Selatan adalah punggawa untuk patron dan sawi untuk klien. Kata punggawa disamakan dengan pemimpin atau bos. Istilah itu digunakan untuk menggambarkan hubungan dalam ruang lingkup yang luas antara atasan dengan bawahan yang disertai adanya ikatan pribadi. Istilah sawi adalah pelengkap punggawa, yang bisa ditafsirkan sebagai bawahan atau orang yang memiliki hubungan pribadi dengan atasan. Justru karena adanya hubungan pribadi, maka punggawa kerap merujuk kepada sawi mereka sebagai anaq-anaq (anak), anaq guru (murid atau pengikut) atau tau (orang) (Pelras, 2009:52-53).Secara singkat dapat dikemukakan pola-pola relasi patron-klien dalam kaitannya dengan teori stratifikasi sebagaimana dikemukakan oleh Legg (1983:10-29) bahwa pada dasarnya hubungan patron-klien berkenaan dengan: (a) hubungan di antara para pelaku atau perangkat para pelaku yang menguasai sumber daya yang tidak sama, (b) hubungan yang bersifat khusus (particularistic), hubungan pribadi dan sedikit banyak mengandung kemesraan (affectivity), (c) hubungan yang berdasarkan asas saling menguntungkan dan saling memberi dan menerima. Sementara menurut Scott (1993:8-10) bahwa sumber daya yang dipertukarkan dalam hubungan patron-klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dari masing-masing pihak. Kategori-kategori pertukaran dari patron ke klien mencakup pemberian: bantuan penghidupan subsistensi dasar, jaminan krisis subsistensi,perlindungan dari ancaman luar terhadap klien, dan memberikan sumbangan untukkepentingan umum. Sebaliknya, arus barang dan jasa dari klien ke patron pada umumnya dengan menyediakan tenaga dan keahliannya untuk kepentingan patron, apa pun bentuknya.Patron-klien merupakan sebuah pranata yang lahir dari adanya saling percaya antara beberapa golongan komunitas nelayan, yaitu pertama golongan pemilik kapal (modal ekonomi) yang di Sumatera Utara dikenal dengan sebutan toke yang berperan sebagai patron. Kedua, yaitu golongan komunitas nelayan yang tidak memiliki modal ekonomi tetapi memiliki modal lain diantaranya keahlian dan tenaga. Golongan yang memiliki modal keahlian dan tenaga ini biasanya dikenal dengan sebutan buruh yang berperan sebagai klien. Adanya saling percaya diantara beberapa golongan komunitas nelayan tersebut membuat mereka mampu membentuk jaringan sosial (Nasution, dkk., 2005).Menurut Kusnadi, 2000, unsur-unsur sosial yang berpotensi sebagai patron adalah pedagang (ikan) berskala besar dan kaya, nelayan pemilik (perahu) (orenga, Madura), juru mudi (juragan laut atau pemimpin awak perahu), dan orang kaya lainnya. Mereka yang berpotensi menjadi klien adalah nelayan buruh (pandhiga, Madura) dan warga pesisir yang kurang mampu sumber dayanya. Secara intensif, relasi patron-klien ini terjadi di dalam aktivitas pranata ekonomi dan kehidupan sosial di kampung. Para patron ini memiliki status dan peranan sosial yang penting dalam kehidupan masyarakat nelayan Kompleksitas relasi sosial patron-klien (vertikal) dan relasi sosial horisontal di antara mereka merupakan urat-urat struktur sosial masyarakat nelayan.Dalam aktivitas ekonomi perikanan tangkap di kalangan nelayan Madura misalnya, terdapat tiga pihak yang berperan besar, yaitu pedagang perantara (pangamba), nelayan pemilik perahu, dan nelayan buruh (Kusnadi, 2000). Ketiga pihak terikat oleh hubungan kerja sama ekonomi yang erat. Pedagang perantara menyediakan bantuan dan pinjaman (uang) ikatan untuk nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik menyediakan bantuan dan pinjaman ikatan kepada nelayan buruh. Hubungan kerja sama ekonomi di antara mereka diikat oleh relasi patron-klien. Relasi sosial ekonomi berbasis patron-klien ini berlangsung intensif dan dalam jangka panjang. Relasi sosial ekonomi akan berakhir jika terjadi persoalan yang tidak bisa diatasi di antara mereka, sehingga pihak nelayan pemilik dan nelayan buruh harus melunasi utangutangnya kepada pedagang perantara. Sedemikian dalamnya relasi patron-klien mendasari aktivitas ekonomi nelayan, sehingga ada peneliti yang menyebut organisasi ekonomi nelayan sebagai organisasi ekonomi patron-klien (Elfindri. 2002). Selain di sektor ekonomi, relasi-relasi patron-klien juga terjadi intensif di kampung-kampung nelayan yang tingkat kemiskinannya tinggi. Sebagai contoh, dalam jaringan sosial berbasis hubungan ketetanggaan, orang-orang yang mampu (pedagang, nelayan pemilik, atau pihak lainnya) dan memiliki sumber daya ekonomi lebih dari cukup akan membantu tetangganya yang kekurangan. Biasanya bantuan tersebut berupa barangbarang natura, makanan, informasi, pakaian, dan upah jasa. Mereka yang telah ditolong itu akan membalas kebaikan tersebut dengan kesiapan menyediakan jasa tenaganya untuk membantu patron. Aktualisasi relasi patron-klien ini merupakan upaya menjaga kerukunan bersama, sehingga efek negatif kesenjangan sosial di kalangan masyarakat nelayan dapat diminimalisasi (Kusnadi, 2000). Hubungan patron-klien sebagaimana dimaksud senantiasa menjadi fenomena perdebatan antara hubungan yang bersifat eksploitasi dan hubungan bersifat resiprositas. Eksploitasi menurut Scott (1981:239) adalah bahwa ada sementara individu, kelompok atau kelas yang secara tidak adil atau secara tidak wajar menarik keuntungan dari kerja, atau atas keinginan orang lain. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam pengertian ini ada dua cara eksploitasi yaitu pertama, harus dilihat sebagai satu tata hubungan antara perorangan, kelompok atau lembaga; adanya pihak yang dieksploitasi ,mengimplikasikan adanya pihak yang mengeksploitasi. Kedua, merupakan distribusi tidak wajar dari usaha dan hasilnya. Sedangkan resiprositas menurut Scott (1981:255) mengandung prinsip bahwa orang harus membantu mereka yang pernah membantunya atau setidak-tidaknya jangan merugikannya. Artinya bahwa satu hadiah atau jasa yang diterima menciptakan, bagi si penerima, satu kewajiban timbalbalik untuk membalas dengan hadiah atau jasa dengan nilai yang setidak-tidaknya sebanding dikemudian hari. Dalam kaitan ini Malinowski dan Mauss, menemukan bahwa resiprositas berfungsi sebagai landasan bagi struktur persahabatan dan persekutuan dalam masyarakat-masyarakat tradisional (Scott, 1981:255). Dalam pandangan ekonomi resiprositas menunjuk pada bentuk pertukaranyang ditanamkan secara sosial dalam masyarakat simetris yang berskala kecil (Hettne, 2001:289).Dalam hal ini penelitian Purnamasari, dkk (2002:111) menunjukkan bahwa pertukaran sosial ponggawa-petambak penyakap merupakan bentuk pertukaran yang paling rentan sifat eksploitasi. Ponggawa dengan asset produksi yang dimilikinya berada di posisi yang berpotensi mengeksploitasi, sedangkan petambak penyakap berpotensi untuk di eksploitasi karena posisinya lemah dengan aset produksi terbatas. Namun, selama kehidupan ekonomi dan subsistensi petambak penyakap belum terancam dan masih diperhatikan oleh ponggawanya, eksploitasi yang terjadi belum dianggap sebagai suatu bentuk ketidakadilan, melainkan masih dimaknai bersifat resiprositas (timbal-balik). Hal ini karena hubungan ponggawa-petambak telah tumbuh sejak lama dalam kehidupan masyarakat petambak, dan belum tergantikan dalam kelembagaan formal bentukan pemerintah, di samping hubungan ponggawa-petambak tetap menjadi pilihan karena selain sesuai kebutuhan, prosesnya cepat (berlangsung setiap saat dan tanpa batas waktu).

E. Teori Pilihan RasionalTeori pilihan rasional berakar dari teori tindakan individu sebagaimana diperkenalkan oleh Homans (Poloma, 1979) dan Weber (1962a, 1968b, 2002c), kemudian dikembangkan dalam teori pertukaran sosial sebagaimana dapat ditelusuri dalam pemikiran Blau (Poloma, 1979). Selanjutnya, teori pilihan rasional ini mendapat tempat pembahasan penting dalam teori-teori sosiologi sebagaimana dikembangkan oleh Coleman (dalam Ritzer dan Goodman, 2004:394-395) oleh karena, teori pilihan rasional dapat menjelaskan fenomena struktur melalui tindakan individu atau dalam perspektif sosiologi disebut menghubungkan perspektif makro dan mikro.Hal terpenting sebelum membahas teori pilihan rasional Coleman adalah menelusuri pemikiran Weber (dalam Johnson, 1981:220-221) tentang tindakan rasional yang membagi atas rasional instrumental dan rasionalitas nilai. Rasional instrumental dimaksudkan, seseorang melakukan pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan. Individu dilihat sebagai memiliki macam-macam tujuan yang mungkin diinginkannya, dan atas dasar suatu kriterium menentukan satu pilihan di antara tujuan-tujuan yang saling bersaingan ini. Individu itu lalu menilai alat yang mungkin dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang dipilih tadi. Sedangkan, tindakan rasional yang berorientasi nilai adalah bahwa alat-alat hanya merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar, tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. Nilai-nilai akhir bersifat nonrasional dan komitmen terhadap nilai-nilai ini adalah sedemikian sehingga pertimbangan-pertimbangan rasional mengenai kegunaan, efisiensi, dan sebagainya tidak relevan. Tindakan religious mungkin merupakan bentuk dasar dari rasionalitas yang berorientasi nilai ini. Di samping dua tindakan rasional tersebut, Weber (dalam Johnson, 1981:221) membandingkan dengan dua tindakan nonrasional yaitu tindakan tradisional dan tindakan afektif. Tindakan tradisional yaitu seorang individu memperlihatkan perilaku karena kebiasaan, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan. Individu selalu bertindak dengan cara seperti itu atau perilaku seperti itu merupakan kebiasaan baginya. Apabila kelompok-kelompok atau seluruh masyarakat didominasi oleh orientasi ini, maka kebiasaan dan institusi mereka diabsahkan atau didukung oleh kebiasaan atau tradisi yang sudah lama mapan yang diterima begitu saja tanpa persoalan. Akan tetapi, menurut Weber tipe tindakan ini sedang hilang lenyap karena meningkatnya rasionalitas instrumental. Selanjutnya, tindakan afektif yaitu, tipe tindakan yang didominasi oleh perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Tindakan tersebut dikatakan benar-benar tidak rasional karena kurangnya pertimbangan logis, ideologi, atau kriteria rasionalitas lainnya. Perasaan meluap-luap seperti cinta, kemarahan, ketakutan atau kegembiraan, dan secara spontan mengungkapkan perasaan itu tanpa refleksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan afektif. Relevan dengan tindakan rasional tersebut, Coleman mengembangkan melalui teori pilihan rasional yang menyatakan bahwa, tindakan perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu (dan juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi). Pernyataan Coleman bersumber dari akar pemikiran ilmu ekonomi yang melihat aktor memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau yang memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka. Ada dua unsur utama dalam teori Coleman, yakni aktor dan sumber daya, dan menyatakan bahwa basis minimal untuk sistem sosial tindakan adalah dua orang aktor, masing-masing mengendalikan sumber daya yang menarik perhatian pihak yang lain. Perhatian satu orang terhadap sumber daya yang dikendalikan orang lain itulah yang menyebabkan keduanya terlibat dalam tindakan saling membutuhkan, terlibat dalam sistem tindakan. Selaku aktor yang mempunyai tujuan, masing-masing bertujuan untuk memaksimalkan perwujudan kepentingannya yang memberikan cirri saling bergantung atau ciri sistemik terhadap tindakan mereka.Secara teoretis, teori pilihan rasional Coleman memusatkan perhatian pada hubungan mikro-makro atau bagaimana cara gabungan tindakan individual menimbulkan perilaku sistem sosial serta hubungan makro ke mikro atau bagaimana cara sistem memaksa orientasi aktor. Salah satu hubungan dari mikro ke makro adalah mengakui wewenang dan hak yang dimiliki oleh seorang individu terhadap individu lain. Tindakan ini cenderung menyebabkan subordinasi seorang aktor terhadap aktor lain. Terpenting di sini ialah, pengakuan ini menciptakan fenomena makro paling mendasar, yakni satu unit tindakan yang terdiri atas dua orang, ketimbang dua aorang aktor yang bebas. Akibatnya, struktur berfungsi terbebas dari aktor (Coleman dalam Ritzer dan Goodman, 2004: 395-396).Sedangkan penjelasan dari makro ke mikro oleh Coleman adalah norma. Meski kebanyakan sosiolog menganggap norma dapat digunakan untuk menerangkan perilaku individu, namun tidak menerangkan mengapa dan bagaimana cara norma itu terwujud. Atau cara norma muncul dan dipertahankan dalam sekelompok aktor yang rasional. Menurutnya, norma diprakarsai dan dipertahankan oleh beberapa orang yang melihat keuntungan yang dihasilkan dari pengalaman terhadap norma dan kerugian yang berasal dari pelanggaran norma itu. Orang ingin melepaskan pengendalian terhadap perilaku mereka sendiri, tetapi dalam proses, mereka memperoleh pengendalian (melalui norma) terhadap perilaku orang lain. Sebagaimana dinyatakan lebih lanjut bahwa, unsur sentral dari norma adalah melepaskan sebagian hak untuk mengendalikan tindakan diri sendiri seseorang dan menerima sebagian hak unrtuk mengendalikan tindakan orang lain dan itulah yang memunculkan norma. Hasil akhirnya adalah bahwa pengendalian yang dipertahankan setiap orang sendirian akan terdistribusikan secara luas ke seluruh kumpulan aktor yang melaksanakan kontrol itu (Coleman dalam Ritzer dan Goodman, 2004:396-397). Relevan dengan penelitian ini maka, penjelasan teori pilihan rasional diharapkan dapat menjelaskan terutama fenomena hubungan punggawa-sawi dalam masyarakat petani rumput laut dalam perspektif mikro atau tindakan individu. Penelitian Sallatang (1982) pada masyarakat nelayan Pabiringa Kabupaten Jeneponto memberikan penekanan pada hubungan punggawa-sawi dalam perspektif makro atau struktur fungsional dari Parsons. Dijelaskan bahwa, hubungan punggawa-sawi mengarah pada hubungan patron-klien berdasarkan norma yang telah tertanam kuat dalam masyarakat nelayan sehingga setiap individu harus taat dan patuh dalam menjaga kestabilan dalam masyarakat. Disinilah letak perbedaan penelitian ini dengan Sallatang yang akan memberikan penjelasan lebih lanjut terhadap norma dalam hubungan punggawa-sawi tidak pada tingkatan struktur akan tetapi pada tingkatan individu secara timbal balik.

F. Kerangka KonsepProses transformasi atau modernisasi sebagaimana yang diramalkan, bahwa Negara-negara sedang berkembang yang mengikuti model ini lambat laun akan dapat mengembangkan sektor ekonomi modern melalui strategi pembangunan pemanfaatan sumber daya untuk mencapai produksi semaksimal mungkin. Tujuan dasarnya adalah kesejahteraan rakyat melalui penanaman investasi yang mendorong peningkatan produksi.Dalam perkembangannya sebagaimana terjadi pada Negara-negara Sedang Berkembang, bahwa proses transformasi atau modernisasi dapat menciptakan peningkatan produksi dan pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan, akan tetapi belakangan terbukti pula bahwa banyak Negara-negara Sedang Berkembang mengalami krisis penciptaan lapangan kerja, pengangguran dan menimbulkan kemiskinan atau termarginalkan pada mayoritas penduduk. Maka merekapun berupaya menciptakan berbagai strategi keberlangsungan hidup melalui penciptaan lapangan kerja atau melakukan perubahan pekerjaan.Proses transformasi sebagaimana diasumsikan pula, akan diikuti oleh proses diferensiasi dan keunggulan efektifitas organisasi. Akan tetapi, asumsi yang dikembangkan teori ini ternyata dianggap tidak mampu menjawab realitas dalam masyarakat Negara Sedang Berkembang , artinya proses diferensiasi yang terjadi dan berbagai bentuk organisasi/kelembagaan yang dimaksudkan ternyata tidak efektif dalam mengakomodasi kepentingan masyarakat. Bahkan kecenderungannya adalah terjadinya bentuk-bentuk eksploitasi dalam masyarakat serta rawan menimbulkan ekses-ekses konflik.Dalam perspektif lain dijelaskan pula bahwa proses transformasi yang sedang berlangsung pada Negara-negara Sedang Berkembang diperhadapkan pada persoalan tekanan penduduk. Tekanan penduduk lalu kemudian menimbulkan proses dialektis pada perbedaan akses terhadap sumber daya lahan. Muncul suatu kelompok yang cenderung memaksa kelompok lainnya. Kelompok tersebut berupaya bekerja lebih keras untuk menghasilkan surplus ekonomi melebihi apa yang dibutuhkan. Dengan demikian meningkatnya penduduk dan teknologi, perbedaan akses terhadap sumber daya makin nyata, dan stratifikasi semakin intensif dengan dorongan politik yang semakin besar.Ketimpangan yang dihadapi Negara-negara Sedang Berkembang sebagaimana dijelaskan oleh pandangan fungsionalis di atas berbalikan dengan pandangan fenomenologis. Dikatakan bahwa dalam situasi ketimpangan, kelompok yang mengendalikan sumber daya kemungkinan akan mencoba mengeksploitasi kelompok yang sumber dayanya terbatas. Akan tetapi, bahwa eksploitasi demikian tidak selalu menimbulkan kalkulasi sadar di pihak yang memperoleh keuntungan dari situasi ketimpangan itu. Pihak yang mengeksploitasi semata-mata mengejar apa yang mereka bayangkan menjadi kepentingan terbaik mereka. Mereka mungkin mengambil keuntungan dari pihak yang sumber dayanya terbatas. Lebih luas lagi bahwa kemungkinan kelompok dengan sumber daya dan berkuasa dapat memaksakan sistem gagasan mereka terhadap seluruh masyarakat, sedangkan kelompok tanpa sumber daya mempunyai sistem gagasan yang dipaksakan terhadap mereka. Selanjutnya dalam perspektif mikro terutama dalam padangan teori pilihan rasional dinyatakan bahwa, transformasi yang menghasilkan diferensiasi dan stratifikasi yang cenderung bertentangan dengan kaidah-kaidah atau norma yang telah mengakar lama dalam masyarakat seperti kelembagaan punggawa-sawi (hubungan antar hak) pada masyarakat nelayan tidak hanya dapat dilihat dalam konteks kepatuhan yang kaku akan tetapi, lebih jauh harus dilihat bagaimana kepatuhan tersebut muncul sebagai proses tindakan individu dan diterima sebagai norma yang mengatur tindakan bersama. Berdasarkan penjelasan teoritis tersebut di atas, maka penelitian ini dapat digambarkan dalam bentuk skema kerangka konsepsional sebagai berikut :

MAKRO/STRUKTURFUNGSIMIKRO/TINDAKAN INDIVIDUTransformasi

ManajemenInvestasiTeknologi

Differensiasi

WeberBlauColemanKelembagaanStratifikasi SosialParsonsSallatang

Bagi HasilPemasaranProduksi

Patron-Klien

ResiprositasEksploitasi

Struktur Sosial EkonomiRumah Tangga

Gambar 1Skema Kerangka Konsepsional

BAB IIIMETODOLOGI PENELITIANA. Jenis PenelitianPenelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek alami, di mana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, dengan kata lain menjelaskan fakta melalui tindakan individu. Jenis penelitian ini merupakan studi kasus yang bertujuan mengkaji secara utuh terhadap fenomena perubahan sosial pada masyarakat pesisir khususnya perubahan dari nelayan tangkap ke budi daya rumput laut.Sifat khas studi kasus adalah suatu pendekatan yang bertujuan untuk mempertahankan keutuhan (wholeness) dari objek, artinya data yang dikumpulkan dalam rangka studi kasus, dipelajari sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi. Tujuannya adalah untuk memperkembangkan pengetahuan yang mendalam mengenai objek yang bersangkutan (Vredenbregt, 1983:38).

B. Lokasi dan Latar PenelitianWilayah Kabupaten Jeneponto memiliki tujuh kecamatan berbatasan langsung laut dengan panjang pantai berkisar 114 km. Sebagian masyarakat menggantungkan diri pada sektor nelayan. Selain pekerjaan utama sebagai nelayan, pertanian ladang menjadi alternatif sumber ekonomi rumah tangga, ketika musim istirahat penangkapan tiba. Mobilitas musiman juga menjadi rutinitas bagi sebagian besar anak-anak nelayan seperti ke Kota Makassar mencari nafkah.Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa aktivitas masyarakat pada wilayah pesisir Kabupaten Jeneponto pada umumnya melibatkan diri menjadi petani rumput laut sebagai alternatif pekerjaan. Karakteristik pekerjaan baru ini memiliki pola dan bentuk kegiatan yang sangat berbeda dari nelayan tangkap, baik dari aspek pengelolaan, produksi, penguasaan aset dan permodalan. Melakukan pekerjaan sebagai petani rumput laut telah berlangsung kurang lebih lima belas tahun, namun dilihat dari aspek makro menunjukkan bahwa masyarakat pesisir Kabupaten Jeneponto pada umumnya masih menghadapi kendala kemiskinan dengan berbagai karakteristik sosial ekonomi yang melatar belakangi.Dengan demikian, menarik untuk di kaji lebih jauh terhadap beberapa perubahan yang terjadi pada masyarakat pesisir Kabupaten Jeneponto. Dari ke tujuh wilayah Kecamatan pesisir maka fokus penelitian dilakukan di Kecamatan Binamu. Kecamatan Binamu merupakan lokasi penelitian yang pernah dilakukan Sallatang (1982) sehubungan dengan peran pinggawa-sawi dalam kehidupan kelompok nelayan. Salah satu pemikiran ke depan Sallatang bahwa seiring perkembangan masyarakat nelayan ke depan maka keprihatinan utama adalah bagaimana eksistensi sawi dalam konteks ketenagakerjaan. Inilah menjadi salah satu dasar kami selaku peneliti memilih lokasi penelitian, namun kami tidak berada dalam konteks kelompok nelayan tangkap akan tetapi terhadap kelompok/masyarakat petani rumput laut, yang akan lebih dapat mengembangkan perspektif lebih jauh daripada keprihatinan Sallatang ketika meneliti 1982 yang lalu.

C. Sumber Data PenelitianSebagai penelitian studi kasus maka proses pengumpulan data dilakukan melalui sumber rumahtangga petani rumput laut sebagai unit responden penelitian. Berbagai sumber informan lainnya seperti yang terlibat dalam kegiatan pengeloaan, produksi dan tokoh-tokoh masyarakat setempat.

D. Fokus PenelitianBerdasarkan tujuan penelitian, maka fokus penelitian ditujukan untuk mengungkap berbagai data berupa: 1) struktur sosial ekonomi masyarakat petani rumput laut sebagai, 2) proses transformasi yang terjadi pada masyarakat petani rumput laut, 3) proses diferensiasi (kelembagaan dan stratifikasi) yang terjadi pada proses transformasi, 4) eksistensi kelembagaan patron-klien sebagai lembaga tradisionil masyarakat pesisir/masyarakat nelayan.

E. Deskripsi FokusProses transformasi yang berlangsung pada masyarakat petani rumput laut melalui bentuk investasi dan teknologi telah melahirkan berbagai bentuk kelembagaan dan stratifikasi sosial. Akan tetapi, proses transformasi tersebut tidak serta merta membawa perbaikan kondisi kehidupan sosial ekonomi. Sistem pengelolaan, produksi dan pemasaran sebagai bentuk baru dalam pertanian rumput laut menimbulkan pola diferensiasi dan menjadi pembeda dengan kehidupan nelayan tangkap. Sistem kelembagaan dan stratifikasi yang terjadi sehubungan proses transformasi masih resisten terhadap kelangsungan masyarakat pesisir terutama yang berasal dari buruh nelayan atau sawi. Dalam kondisi demikian berbagai bentuk strategi yang dilakukan, paling tidak sebagai upaya mempertahankan masih dijumpai. Dengan demikian, yang menjadi fokus penelitian ialah terjadinya perubahan sosial/transformasi dan diferensiasi dan hubungannya dengan perubahan kehidupan sosial ekonomi pada masyarakat petani rumput laut. Bahwa proses transformasi sedang terjadi pula pada masyarakat petani rumput laut sehingga menimbulkan berbagai bentuk kelembagaan dan bentuk-bentuk stratifikasi. Sehingga yang menjadi pertanyaan penelitian ialah, apakah perubahan sosial/transformasi dan diferensiasi menimbulkan perubahan terhadap struktur sosial ekonomi masyarakat petani rumput laut, dalam arti pergeseran-pergeseran apa saja yang terjadi. Apakah proses transformasi yang sedang berlangsung menimbulkan bentuk kelembagaan baru serta stratifikasi baru pada masyarakat petani rumput laut. Pergeseran-pergeseran apa yang terjadi pada kelembagaan serta bentuk stratifikasi. Bagaimana eksistensi kelembagaan lokal/patron-klien yang selama ini merupakan lembaga yang telah mengakar pada masyarakat pesisir khususnya masyarakat nelayan tangkap, apakah terjadi pergeseran pada masyarakat petani rumput laut.Dari pertanyaan penelitian tersebut maka beberapa konsep akan diukur melalui indikator sebagai berikut :1. Transformasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini diukur melalui indikator :a. Bentuk dan jenis investasi, sumber investasi, saluran investasi.b. Bentuk dan jenis teknologi, sumber teknologi, bentuk saluran teknologi.c. Bentuk/struktur pengeloaan, bentuk pembinaan ketenagakerjaan, pembagian fungsi dan peran. 2. Kelembagaan yang dimaksud dalam penelitian ini diukur melalui indikator :a. Bentuk dan jenis kelembagaan produksi.b. Bentuk dan jenis kelembagaan pemasaran.c. Bentuk dan jenis kelembagaan bagi hasil.3. Stratifikasi sosial yang dimaksud dalam penelitian ini diukur melalui indikator :a. Bentuk-bentuk penguasaan terhadap investasi, penguasaan teknologi, dan penguasaan lahan.b. Bentuk-bentuk penguasaan terhadap kelembagaan produksi, kelembagaan pemasaran, dan kelembagaan bagi hasil.4. Patron-klien yang dimaksud dalam penelitian ini diukur melalui indikator :a. Sifat hubungan yang mengarah kepada bentuk eksploitasi.b. Sifat hubungan yang mengarah pada bentuk resiprositas.5. Struktur sosial ekonomi yang dimaksud dalam penelitian ini diukur melalui indikator :a. Tingkat pendapatan rumah tangga petani rumput laut.b. Sumbangan pendapatan anggota rumah tangga terhadap total pendapatan rumah tangga petani rumput laut.c. Sumber-sumber pendapatan dalam usaha pertanian rumput laut.d. Tingkat keterlibatan anggota rumah tangga petani rumput laut.e. Sumber-sumber usaha di luar usaha pertanian rumput laut.F. Teknik Pengumpulan Data1. Wawancara (interview)Berdasarkan tujuan penelitian yang dikemukakan sebelumnya, maka teknik utama yang digunakan dalam pengumpulan informasi di lapangan ialah wawancara mendalam(indepth interview) atau wawancara tak terstruktur (unstructured interview). Selama kegiatan dilapangan, peneliti berusaha menjaring informasi dengan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya sesuai informasi yang dibutuhkan. Dengan wawancara tak terstruktur maka peneliti dapat memahami kompleksitas perilaku anggota masyarakat tanpa adanya kageori a priori yang dapat membatasi kekayaan data yang dapat kita peroleh (Fontana dan Frey, 2009:508), dengan kata lain dapat menyoroti kejadian-kejadian dalam kehidupan seorang responden (dalam hal ini rumahtangga petani rumput laut) atau dalam suatu kelompok (dalam hal ini kelompok petani rumput laut, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat), yang mungkin sangat berarti untuk memahami dinamika sosial dari kelompoknya, demikian pula faktor-faktor penyebab integrasi (Vredenbregt, 1983:42).

2. ObservasiMenggali sejumlah informasi tidak hanya terbatas menggunakan teknik wawancara, akan tetapi sejumlah perilaku individu dan perilaku kelompok perlu diikuti selama proses interaksi berlangsung (dalam hal ini selama proses persiapan, pengelolaan, pemasaran dan bagi hasil kegiatan rumput laut). Observasi merupakan salah satu teknik yang dapat membantu mengungkap sejumlah informasi terkait lingkungan (dalam hal ini peran kelompok petani, peran kelompok pengusaha, peran pemerintah dan peran lembaga-lembaga swadaya masyarakat) yang menjadi obyek perhatian peneliti. Dalam hal ini observasi dilakukan terhadap proses rangkaian kegiatan pertanian rumput laut, struktur sosial ekonomi. Peran peneliti dalam melakukan observasi bersifat sebagai orang dalam (an insiders perspective), di mana peneliti melakukan observasi dan berinteraksi secara cukup dekat dengan para anggota kelompok untuk menciptakan identitas baru sebagai orang dalam (insiders identity), tanpa perlu berpartisipasi dalam aktivitas utama kelompok karena sudah menjadi anggota penuh kelompok masyarakatnya sendiri. Dalam hal peneliti bisa mengambil sikap, baik terbuka maupun tertutup (Adler dan Adler, 2009:526-527).

3. DokumentasiDalam penelitian ini selain menggunakan wawancara dan observasi, maka dalam pengumpulan informasi diperlukan juga data sekunder melalui telusuran berbagai dokumen terkait keperluan penelitian ini, baik dalam bentuk laporan-laporan hasil penelitian (kehidupan masyarakat nelayan), maupun dalam bentuk informasi data statistik berupa: Perkembangan Produksi dan Tenaga Kerja Sektor Nelayan, Perkembangan Produksi dan Tenaga Kerja Petani Rumput Laut, Perkembangan Investasi Pertanian Rumput Laut, Kontribusi Pertanian Rumput Laut terhadap Perekonomian Daerah (Kabupaten Jeneponto), dan Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dari lembaga terkait.

G. Teknik Analisis DataAnalisa databerisi cara-cara menganalisis, bagaimana memanfaatkan data yang telah terkumpul untuk digunakan dalam pemecahan masalah penelitiaan, data yang terkumpul harus dipisah-pisahkan menurut kategori masing-masing dan kemudian ditafsirkan dalam usaha mencari jawaban masalah penelitian. Menurut Miles dan Huberman (1984), dalam analisis data kualitatif dilakukan secarainteraktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis ini meliputi :

1. Reduksi Data (Data Reduction) Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas.

2. Penyajian Data (Data Display)Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data.Penyajian data primer dapat dilakukan dalam bentuk tabel, grafik, dan lain-lain. Sedangkan penyajian data sekunder dapat dilakukan dalam bentuk teks yang bersifat naratif.

3. Penarikan Kesimpulan / Verifikasi (Conclusion / Verification)Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti akan menjadi jelas.Selanjutnya dikatakan bahwa teknik analisis data dalam penelitian kualitatif di dasarkan pada pendekatan yang digunakan. Untuk penelitian studi kasus, diperlukan langkah-langkah analisis, yaitu:1) Mengorganisir informasi.2) Membaca keseluruhan informasi dan memberi kode.3) Membuat suatu uraian terperinci mengenai kasus dan konteksnya.4) Peneliti menetapkan pola dan mencari hubungan antara beberapa kategori.5) Selanjutnya peneliti melakukan interpretasi dan mengembangkan generalisasi natural dari kasus baik untuk peneliti maupun untuk penerapannya pada kasus yang lain.6) Menyajikan secara naratif.

H. Kongruensi dan Konsistensi DataBanyak hasil penelitian kualitatif diragukan kebenarannya karena beberapa hal, yaitu subjektivitas peneliti merupakan hal yang dominan dalam penelitian kualitatif, alat penelitian yang diandalkan adalah wawancara dan observasi mengandung banyak kelemahan ketika dilakukan secara terbuka dan apalagi tanpa kontrol, dan sumber data kualitatif yang kurang credible akan mempengaruhi hasil akurasi penelitian. Oleh karena itu, dibutuhkan beberapa cara menentukan keabsahan data, yaitu:

1. KredibilitasApakah proses dan hasil penelitian dapat diterima atau dipercaya. Beberapa kriteria dalam menilai adalah lama penelitian, observasi yang detail, triangulasi, per debriefing, analisis kasus negatif, membandingkan dengan hasil penelitian lain, dan member check. Cara memperoleh tingkat kepercayaan hasil penelitian, yaitu:a. Memperpanjang masa pengamatan memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan, bisa mempelajari kebudayaan dan dapat menguji informasi dari responden, dan untuk membangun kepercayaan para responden terhadap peneliti dan juga kepercayaan diri peneliti sendiri.b. Pengamatan yang terus menerus, untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang diteliti, serta memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.c. Triangulasi, pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.d. Peer debriefing (membicarakannya dengan orang lain) yaitu mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat.e. Mengadakan member check yaitu dengan menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda dan mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan mengaplikasikannya pada data, serta denganmengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang data.

2. TransferabilitasYaitu apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang lain.

3. DependabilityYaitu apakah hasil penelitian mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam mengumpulkan data, membentuk, dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan.

4. KonfirmabilitasYaitu apakah hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif.

5. ReliabilitasReliabilitas penelitian kualitatif dipengaruhi oleh definisi konsep yaitu suatu konsep dan definisi yang dirumuskan berbeda-beda menurut pengetahuan peneliti, metode pengumpulan dan analisis data, situasi dan kondisi sosial, status dan kedudukan peneliti dihadapan responden, serta hubungan peneliti dengan responden.

I. Definisi KonsepSesuai dengan tujuan penelitian ini, maka terdapat beberapa konsep yang memerlukan penjelasan sehingga memiliki makna relevansi antara konsep dengan kebutuhan informai atau data lapangan. Konsep-konsep yang dimaksud yaitu :1. Transformasi ialah suatu proses perubahan susunan hubungan sosial ekonomi, berubahnya masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang terintegrasi ke dalam sistem ekonomi secara keseluruhan.2. Kelembagaan ialah segala sesuatu yang berkaitan dengan lembaga, sedangkan lembaga adalah sistem hubungan sosial yang terorganisasi yang mewujudkan nilai-nilai dan tata cara umum tertentu dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat tertentu.3. Stratifikasi sosial berasal dari kata stratum yang berarti lapisan. Stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat. Dasar dari pembedaan ini adalah tidak adanya keseimbangan dalam distribusi hak dan kewajiban.4. Patron-klien ialah hubungan di antara para pelaku atau perangkat para pelaku yang menguasai sumber daya yang tidak sama, bersifat khusus (particularistic), hubungan pribadi dan sedikit banyak mengandung kemesraan (affectivity), serta berdasarkan asas saling menguntungkan dan saling memberi dan menerima.

58

Tabel 1: Matriks Desain Penelitian Dari Nelayan Tangkap ke Petani Rumput Laut: Analisis Transformasi dan Diferensiasi Pada Masyar