Proposal Penelitian Fix
-
Upload
amirul-zakiya-bravery -
Category
Documents
-
view
188 -
download
12
description
Transcript of Proposal Penelitian Fix
1
PROPOSAL PENELITIAN
I. Nama Peneliti :
NIM/Semester :
II. Judul Penelitian :
Hubungan antara pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan
kadar transaminase pada pasien tuberkulosis kasus baru.
III. Bidang Ilmu : Klinis/Paru
IV. Latar Belakang Masalah
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis yang ditularkan melalui droplet penderita
ketika bersin atau batuk. Tuberkulosis merupakan kondisi yang serius
namun dapat disembuhkan dengan pengobatan yang tepat. Penyakit ini
biasanya menginfeksi paru tapi dapat pula menginfeksi organ-organ lain
seperti kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, dan lain-lain
(PDPI, 2006; NHS, 2012).
Tuberkulosis sampai saat ini masih merupakan penyebab angka
kesakitan yang tinggi di negara berkembang. Dari data WHO (2013) pada
tahun 2012, Indonesia menduduki peringkat 4 untuk negara dengan
insidensi dan prevalensi tuberkulosis terbanyak di dunia dengan angka
insidensi 210 per 100.000 penduduk dan prevalensi 506 per 100.000
penduduk. Selain itu, Indonesia juga masih memiliki angka mortalitas yang
tinggi, yaitu 48 per 100.000 penduduk. Karena masih tingginya angka
insidensi, prevalensi, dan mortalitas tuberkulosis di Indonesia, sejak tahun
1995 pemerintah telah melaksanakan program pemberantasan tuberkulosis
dengan strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) yang
direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO) (Departemen
Kesehatan RI, 2002).
2
Terapi tuberkulosis yang digunakan dalam program pemberantasan
tuberkulosis pada umumnya adalah metode multidrug (Tostmann et al.,
2008). Obat yang digunakan yaitu isoniazid (INH), rifampisin (RIF),
pirazinamid (PZA), etambutol, dan streptomisin, dimana masing-masing
obat menunjukkan efektivitas yang tinggi (Istiantoro dan Setiabudy, 2011).
Namun, Obat Anti Tuberkulosis (OAT) mempunyai efek samping terhadap
hepar, kulit, saraf, dan dapat menyebabkan kelainan gastrointestinal. Efek
samping berbahaya yang menjadi fokus saat ini adalah efek OAT terhadap
hepar, yaitu menyebabkan hepatotoksisitas, yang dikenal dengan istilah Anti
Tuberculosis Drug-induced Hepatotoxicity (ATDH) (Tostmann et al.,
2008).
Obat Anti Tuberkulosis yang dapat menyebabkan hepatotoksik adalah
PZA, INH dan RIF dengan INH dan RIF yang telah dilaporkan paling sering
menyebabkan gejala hepatotoksik. Gejala hepatotoksik biasanya
menyerupai gejala hepatitis lainnya (Prihatni, et. al, 2012; CDC, 2003).
Penanda dini dari hepatotoksik adalah peningkatan enzim-enzim
transaminase dalam serum yang terdiri dari Aspartate Amino Transaminase
/ Glutamate Oxaloacetate Transaminase (AST/GOT) yang disekresikan
secara paralel dengan Alanine Amino Transferase / Glutamate Pyruvate
Transaminase (ALT/ GPT) yang merupakan penanda yang lebih spesifik
untuk mendeteksi adanya kerusakan hepar (Sherlock dan Dooley, 2002).
Apabila kadar GOT/GPT meningkat, tetapi angkanya tidak lebih dari dua
kali nilai normal, INH dan RIF masih dapat diteruskan pemberiannya.
Namun apabila kadarnya terus meningkat, INH dan rifampisin harus
dihentikan pemberiannya (Amin dan Bahar, 2006).
Dengan diketahuinya efek hepatotoksisitas OAT yang diberikan pada
pasien TB di atas, maka diperlukan adanya penelitian lebih lanjut mengenai
hubungan pemberian OAT dengan kadar transaminase pada pasien TB
sehingga kejadian hepatotoksisitas pada kasus TB dapat ditekan sejak dini
melalui pemeriksaan kadar transaminase pasien dan OAT dapat digunakan
secara aman oleh pasien.
3
V. Perumusan Masalah
Adakah hubungan antara pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
dengan kadar transaminase pada pasien tuberkulosis kasus baru?
VI. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui adanya hubungan antara pemberian Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) dengan kadar transaminase pada pasien tuberkulosis
kasus baru.
VII. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
pengaruh pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terhadap kelainan
tes fungsi hati, terutama mengenai peningkatan kadar transaminase.
2. Manfaat Aplikatif
Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dapat menyebabkan
kerusakan hati yang akut dan kronik, sehingga perlu adanya
pemeriksaan rutin tes fungsi hati setiap bulannya. Pemeriksaan kadar
transaminase merupakan indikator yang mudah dan praktis untuk
mengetahui adanya kelainan tes fungsi hati.
VIII. Tinjauan Pustaka
A. Anatomi dan Fisiologi Hati
Hati adalah kelenjar terberat dalam tubuh, sekitar 1,4 kg atau 2%
dari berat badan orang dewasa dan merupakan organ dengan ukuran
terbesar kedua setelah kulit. Hati terletak di bawah diafragma, pada
regio hipocondriaca dekstra dan sebagian regio epigastrika. Hati
memiliki dua lobus utama, yaitu dekstra dan sinistra (Tortora dan
Bryan, 2011).
4
Secara mikroskopis, hati terbagi dalam lobuli yang berbentuk
heksagonal. Setiap lobulus terdiri atas sel hati atau hepatosit yang
tersusun radier mengelilingi vena sentralis. Sinusoid terletak di antara
kolom hepatosit dan berperan sebagai tempat aliran darah kaya oksigen
dari arteri hepatika dan nutrisi dari Vena portae. Unit fungsional dan
struktural hati adalah hepatosit yang berperan dalam kegiatan
metabolik, sekresi, dan endokrin. Selain hepatosit, terdapat sel Kupffer
yang berfungsi untuk menghancurkan eritrosit tua, bakteri, dan debris,
serta sebagai sel penyaji antigen (Mescher, 2009).
Beberapa fungsi vital yang diperankan oleh hati adalah (1)
metabolisme karbohidrat: mengatur kadar glukosa darah; (2)
metabolisme lemak: menyimpan trigliserid dan memecah asam lemak
untuk menghasilkan ATP; (3) metabolisme protein: deaminasi asam
amino dan sintesis berbagai plasma protein; (4) metabolisme obat dan
alkohol; (5) eksresi bilirubin dari heme eritrosit tua; (6) sintesis garam
empedu; (7) tempat penyimpanan vitamin dan mineral; (8) fagositosis
oleh sel Kupffer; dan (9) aktivasi vitamin D (Tortora dan Bryan, 2011).
B. Sirkulasi Darah Hati
Suplai darah di hati (hepar) berasal dari vena porta dan arteria
hepatika propria. Vena porta bercabang-cabang sampai ke venula kecil
yang ada di area portal kemudian bercabang menjadi venula penyalur
yang bejalan di sekitar tepi lobulus, ujung kecilnya menembus dinding
hepatosit menuju sinusoid. Sinusoid berjalan radier dan berkumpul di
tengah lobulus membentuk vena sentralis/vena sentrolobularis, di basis
lobulus bersatu dalam vena sublobularis, bersatu membentuk vena
hepatika kemudian menuju vena cava inferior. Vena porta membawa
darah dari limpa dan usus yang membawa bahan-bahan yang telah
diserap oleh usus (aliran darah fungsional), kecuali lemak (kilomikron)
yang dibawa lewat pembuluh limfe. Arteria hepatika bercabang-cabang
membentuk arteria interlobularis, sebagian mendarahi struktur portal
5
dan lainnya berakhir langsung di sinusoid (aliran darah nutritif)
(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009).
C. Fungsi Hati
Hati berfungsi mensekresikan empedu. Hati menghasilkan
empedu sekitar satu liter per hari, yang diekskresi melalui duktus
hepatikus kanan dan kiri yang kemudian bergabung membentuk duktus
hepatikus komunis. Selain sekresi empedu, hati juga melakukan
berbagai fungsi lain, seperti : 1) Pengolahan metabolik kategori nutrien
utama (karbohidrat, lemak, protein) setelah penyerapan mereka dari
saluran cerna; 2) Detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa dan hormon
serta obat dan senyawa asing lainnya; 3)Sintesis berbagai protein
plasma, mencakup protein-protein yang penting untuk pembekuan
darah serta untuk mengangkut hormon tiroid, steroid dan kolesterol
dalam darah; 4) Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga dan
banyak vitamin; 5) Pengaktifan vitamin D, yang dilaksanakan oleh hati
bersama dengan ginjal; 6) Pengeluaran bakteri dan sel darah merah
yang usang; dan 7) Ekskresi kolesterol dan bilirubin, yang merupakan
produk penguraian yang berasal dari pemecahan sel darah merah yang
sudah usang (Amirudin, 2009).
Hati merupakan komponen sentral sistem imun. Tiap-tiap sel hati
atau hepatosit mampu melaksanakan berbagai tugas metabolik, kecuali
aktivitas fagositik yang dilaksanakan oleh sel Kupffer. Sel Kupffer,
yang meliputi 15% dari massa hati serta 80% dari total populasi fagosit
tubuh, merupakan sel yang sangat penting dalam menanggulangi
antigen yang berasal dari luar tubuh dan mempresentasikan antigen
tersebut kepada limfosit (Amirudin, 2009).
D. Uji Fungsi Hati
Pengukuran kadar bilirubin serum, aminotransferase, alkali
fosfatase, gamma-glutamil transpeptidase (γ-GT), dan albumin sering
6
disebut sebagai tes fungsi hati atau Liver Function Tests (LFTs). Pada
banyak kasus, tes-tes ini dapat mendeteksi penyakit hati dan empedu
asimtomatik sebelumnya munculnya manifestasi klinik. Tes-tes ini
dapat dikategorikan dalam 3 kategori utama, antara lain: 1) Peningkatan
enzim aminotransferase (juga dikenal sebagai transaminase), Serum
Glutamic Pyruvate Transaminase (SGPT) dan Serum Glutamic
Oxaloacetic Transaminase (SGOT), biasanya mengarah pada perlukaan
hepatoselular atau inflamasi; 2) Keadaan patologis yang mempengaruhi
system empedu intra dan ekstrahepatis dapat menyebabkan peningkatan
fosfatase alkali dan γ-GT; 3) Kelompok ketiga merupakan kelompok
yang mewakili fungsi sintesis hati, seperti produksi albumin, urea, dan
faktor pembekuan (Amirudin, 2009).
E. Transminase (Aspartate Amino Transaminase/AST dan Alanine
Amino Transferase/ALT)
Widmann, Satyawirawan dan Suryaatmadja, Speicher dan Smith
memaparkan bahwa transaminase atau sering disebut dengan
aminotransferase merupakan sekelompok enzim yang merupakan
katalisator dalam pemindahan gugus amino antara suatu asam alfa
amino dengan suatu asam alfa keto. Enzim ini terdiri dari aspartat
aminotransferase (AST) atau sering disebut glutamate oxaloacetate
transaminase (GOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau yang
sering disebut glutamate pyruvate transaminase (GPT). AST terdapat
dalam semua jaringan tubuh, terutama di hati, dan dalam jumlah lebih
kecil di ginjal dan otot rangka. Sebagian besar AST terikat pada organel
sel, dan hanya sedikit terdapat di sitoplasma, sedangkan ALT
sebaliknya, yaitu sebagian besar terikat pada sitoplasma. Enzim ALT
dan AST akan meningkat bila terjadi kerusakan sel hati. Biasanya
peningkatan ALT lebih tinggi daripada AST pada kerusakan hati yang
akut, mengingat ALT merupakan enzim yang hanya terdapat pada
sitoplasma sel hati. Sebaliknya, AST yang terdapat baik dalam
7
sitoplasma maupun mitokondria akan meningkat lebih tinggi dari ALT
pada kerusakan hati yang lebih dalam dari sitoplasma sel. Keadaan ini
ditemukan pada kerusakan sel hati menahun. Walaupun ALT lebih
khas untuk penyakit hati dibandingkan AST, tetapi kedua enzim ini
sering digunakan bersama-sama untuk evaluasi kelainan hati.
Peningkatan aktivitas enzim transaminase merupakan petunjuk yang
paling peka dari nekrosis sel-sel hati, karena peningkatannya terjadi
paling awal dan paling akhir kembali ke kondisi normal dibandingkan
tes yang lain (Syahrizal, 2008). Smith dan Widmann juga memaparkan
bahwa pada orang normal, kadar SGOT berkisar 10-41 SI/l, sedangkan
SGPT pada orang normal berkisar 5-35 SI/l (Syahrizal, 2008).
F. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Program pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi dua fase, yaitu
fase bakterisidal awal (inisial) dan fase sterilisasi (lanjutan). Pengobatan
fase inisial resimennya terdiri dari 2 RHZS (E) artinya setiap hari
selama dua bulan minum obat Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid,
Streptomisin atau Etambutol. Sputum Bakteri Tahan Asam (BTA) awal
yang positif setelah dua bulan diharapkan menjadi negatif, dan
kemudian dilanjutkan fase lanjutan 4HR atau 4H3R3 atau 6HE. Apabila
sputum BTA masih tetap positif selama dua bulan, fase inisiasi
diperpanjang 4 minggu lagi tanpa melihat apakah sputum sudah negatif
atau tidak (Amin dan Bahar, 2006).
Obat – obatan tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi dua
jenis resimen, yaitu obat lapis pertama dan lapis kedua. Kedua lapisan
obat ini diarahkan ke penghentian pertumbuhan basil, pengurangan
basil dorman, dan pencegahan terjadinya resistensi. Obat primer (Obat
antituberkulosis tingkat satu) : Isoniazid (INH), Rifampisin,
Pirazinamid, Etambutol, dan Streptomisin. Obat sekunder (Obat
antituberkulosis tingkat dua) : Kanamisin, Paraaminosalisilat (PAS),
Tiasetazon, Etionamid, Protionamid, Sikloserin, Viomisin,
8
Kapreomisin, Amikasin, Ofloksasin, Siprofloksasin, Norflosasin,
Levofloksasin dan Klofazimin. Paduan obat yang dipakai di Indonesia
dan dianjurkan oleh WHO adalah : 2RHZ/4RH dengan variasi
2RHS/4RH, 2RHZ/4R3H3, 2RHS/4R2H2 (Amin dan Bahar, 2006).
Pengobatan tuberkulosis menurut Perhimpunan Dokter Paru
Indoseia (2006) dibagi menjadi:
1. TUBERKULOSIS paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto
toraks: lesi luas.
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau 2
RHZE/ 6HE atau 2 RHZE / 4R3H3.
Paduan ini dianjurkan untuk :
a. TUBERKULOSIS paru BTA (+), kasus baru.
b. TUBERKULOSIS paru BTA (-), dengan gambaran radiologi
lesi luas (termasuk luluh paru).
Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan
disesuaikan dengan hasil uji resistensi.
2. TUBERKULOSIS Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto
toraks: lesi minimal.
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau 6 RHE
atau 2 RHZE/ 4R3H3.
3. TUBERKULOSIS paru kasus kambuh.
Sebelum ada hasil uji resistensi, dapat diberikan 2 RHZES /
1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak
terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan obat RHE selama 5
bulan.
4. TUBERKULOSIS Paru kasus gagal pengobatan.
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat
lini 2 (contoh paduan: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid,
sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid,
sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan, pada fase awal
dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan
9
hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat
diberikan obat RHE selama 5 bulan. Dapat pula dipertimbangkan
tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal dan
sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru.
5. TUBERKULOSIS Paru kasus putus berobat.
Pasien TUBERKULOSIS paru kasus lalai berobat, akan
dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai
berikut :
a. Berobat > 4 bulan
1) BTA saat ini negatif.
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan
maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi
aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan
diagnosis TUBERKULOSIS dengan mempertimbangkan
juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti
TUBERKULOSIS maka pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama.
2) BTA saat ini positif.
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih
lama.
b. Berobat < 4 bulan
1) Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan
yang lebih lama
2) Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif
TUBERKULOSIS aktif pengobatan diteruskan. Jika
memungkinkan seharusnya diperiksa uji resistensi
terhadap OAT.
6. TUBERKULOSIS Paru kasus kronik
10
Pengobatan TUBERKULOSIS paru kasus kronik, jika belum
ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji
resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 4
macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2
seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll. Pengobatan minimal 18
bulan. Jika tidak mampu, dapat diberikan INH seumur hidup.
Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan dan kasus tuberkulosis paru kronik perlu dirujuk ke
dokter spesialis paru.
G. Isoniazid (INH)
Gambar 1. Struktur Isoniazid (eMedInfo,2012a)
Isoniazid merupakan suatu turunan hidrazid dari asam nikotinat.
Isoniazid merupakan obat pilihan untuk pengobatan tuberkulosis.
Overdosis Isoniazid akut dapat menyebabkan asidosis metabolik dan
seizure (Erdman A, 2004). Isoniazid (INH) mempunyai kemampuan
bakterisidal tuberkulosis terkuat (Istiantoro dan Setiabudy, 2011).
Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik dan
tuberkulosida dengan KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) sekitar
0,025-0,05 mikrogram/ml. Efek bakterisidnya hanya terlihat pada
kuman yang sedang tumbuh aktif. Isoniazid dapat menembus dalam
sel dengan mudah (Istiantoro dan Setiabudy, 2011).
Mekanisme kerja isoniazid adalah menghambat cell-wall
biosynthesis pathway (Amin dan Bahar, 2006). Efek utama isoniazid
11
adalah menghambat biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur
penting dinding sel mikobakterium. Isoniazid kadar rendah mencegah
perpanjangan rantai asam lemak yang sangat panjang yang merupakan
bentuk awal molekul asam mikolat. Isoniazid menghilangkan sifat
tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstraksi oleh
methanol dari mikobakterium (Istiantoro dan Setibudy, 2011).
Isoniazid mudah diabsorbsi pada pemberian oral maupun
parenteral. Kadar puncak dicapai pada waktu 1-2 jam setelah
pemberian oral. Di hati, isoniazid mengalami asetilasi dan pada
manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik
yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dan masa paruhnya
(Istiantoro dan Setibudy, 2011). Di dalam hati, INH diasetilasi oleh
enzim asetiltransferase menjadi metabolit inaktif. Plasma t ½ nya
antara 1-4 jam tergantung pada kecepatan asetilasi (Tjay dan
Rahardja, 2007). Perbedaan kecepatan asetilasi tidak berpengaruh
pada efektivitas atau toksisitas isoniazid bila obat ini diberikan setiap
hari. Isoniazid mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh.
Kadar obat ini pada mulanya lebih tinggi dalam plasma dan otot
daripada dalam jaringan yag terinfeksi, tetapi kemudian obta
tertinggal lama di jaringan dalam jumlah yang lebih dari cukup
sebagai bakteriostatik. Antara 75-95% isoniazid diekskresi melalui
urin dalam waktu 24 jam dan seluruhnya dalam bentuk metabolit.
Ekskresi terutama melalui ginjal (75-95% dalam 24 jam) dalam
bentuk asetilisoniazid yang merupakan metabolit proses asetilasi dan
asam nikotinat yang merupakan metuberkulosisolit proses hidrolisis
(Istiantoro dan Setiabudy, 2011).
Dosis isoniazid setiap hari 5 mg/kg, maksimal 300 mg. Dosis
dua kali/minggu sebanyak 15 mg/kg, maksimal 900 mg. Dosis tiga
kali/minggu sebanyak 15 mg/kg maksimal 900 mg (Mansjoer et al,
2007).
12
Efek sampingnya (pada dosis 200-300 mg sehari) jarang dan
ringan (gatal-gatal, ikterus). Tetapi, lebih sering terjadi bila dosis
melebihi 400 mg. Yang terpenting adalah polyneuritis, yakni radang
saraf denga gejala kejang dan gangguan penglihatan. Penyebabnya
adalah persaingan dengan piridoksin, yang rumus kimiawinya mirip
degan INH. Kadang – kadang terjadi kerusakan hati dan ikterus yang
fatal khususnya pada orang asetilator lambat, terutama bila
dikombinasi dengan rifampisin. Kecepatan proses asetilasi yang
mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan masa paruhnya,
tergantung dari banyaknya asetil transferase yang pada masing –
masing orang berbeda secara genetis (Tjay dan Rahardja, 2007).
Fenotip dengan asetilasi lambat disebabkan penurunan atau tidak
adanya N-acetyltransferase (Sherlock dan Dooley, 1993). INH bila
dihunaka pada pasien gangguan fungsi ginjal atau hati dan mereka
yang berusia diatas 45 tahun beresiko timbulnya efek samping yang
meningkat (Tjay dan Rahardja, 2007). Selain itu INH juga
dapatmengambat konversi laktat di hati menjadi piruvat (Erdmann,
2004).
Isoniazid dapat menyebabkan hepatitis, cutaneus
hipersensitivitas, perifer neuropati, konvulsi, optic neuritis, gejala
gangguan mental, anemia hemolitik, anemia aplastik, agranulositosis,
athralgia (Aditama, 1997). Setelah mengalami asetilasi, isoniazid
diubah menjadi hidrazin melalui enzim dalam hati menjadi acylating
agent yang dapat menyebabkan nekrosis hati (Sherlock dan Dooley,
1993). Isoniazid dapat menyebabkan kerusakan jaringan hati yang
masif dan terjadinya nekrosis difus (Robbins dan Kumar, 2007).
Mekanisme toksisitas isoniazid tidak diketahui, walaupun diketahui
asetilhidrazin dapat menyebabkan kerusakan hati (Istiantoro dan
Setiabudy, 2011).
H. RIFAMPISIN
13
Gambar 2. Struktur Rifampisin (eMedInfo, 2012b)
Rifampisin adalah derivat semisintetik rifampisin B. Obat ini
merupakan ion zwitter, larut dalam pelarut organik dan air yang pH
nya asam (Istiantoro dan Setiabudy, 2011).
Rifampisin terutama aktif pada sel yang sedang bertumbuh.
Kerjanya menghambat DNA-dependent RNA polymerase dari
mikrobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan mula
terbentuknya (bukan pemanjangan) rantai dalam sintesis RNA.
Rifampisin dapat menghambat sintesis RNA mitokondia mamalia,
tetapi diperlukan kadar yang lebih tinggi daripada kadar untuk
penghambatan pada kuman (Istiantoro dan Setiabudy, 2011).
Rifampisin berkhasiat bakterisida luas terhadap fase pertumbuhan M.
tuberculosis dan M. lepra, baik yang berada di dalam maupun di luar
sel. Obat ini mematikan kuman yang dormant selama fase
pembelahannya yang singkat. Maka, obat ini sangat penting untuk
membasmi semua basil guna mencegah kambuhnya
TUBERKULOSIS (Tjay dan Rahardja, 2007).
Pemberian rifampisin peroral menghasilkan kadar puncak dalam
plasma setelah 2-4 jam, dosis tunggal sebesar 600 mg menghasilkan
kadar sekitar 7 mikrogram/ml. Asam paraaminosalisilat dapat
memperlambat absorbsi rifampisin, sehingga kadar terapi rifampisin
dalam plasma tidak tercapai. Setelah diserap dari saluran cerna, obat
ini dapat diekskresi melalui empedu dan kemudian mengalami
sirkulasi enterohepatik. Rifampisin menyebabkan induksi
14
metabolisme, sehingga walaupun bioavailabilitasnya tinggi,
eliminasinya meningkat pada pemberian berulang (Istiantoro dan
Seriabudy, 2007). Rifampisin mempercepat perombakan obat-obat
lain bila diberikan bersamaan waktu dengan jalan induksi enzim
(sistem mikrosomal P450) dalam hati (Tjay dan Rahardja, 2007).
Masa paruh eliminasi rifampisin bervariasi antara 1,5-5 jam dan akan
memanjang bila ada kelainan fungsi hati. Sekitar 75% rifampisin
terikat protein plasma. Obat berdifusi baik ke berbagai jaringan
termasuk cairan otak. Rifampisin didistribusi ke seluruh tubuh
(Istiantoro dan Setiabudy, 2011).
Dosis rifampisin setiap hari sebanyak 10 mg/kg, maksimal 600
mg. Dosis tiga kali/minggu sebanyak 10 mg/kg, maksimal 600 mg
(Mansjoer et al, 2007).
Pada sistem cardiovascular dapat terjadi edema dan flushing.
Pada CNS dapat terjadi ataksia, perubahan perilaku, gangguan
konsentrasi, kejang, demam, kelelahan sakit kepala, psikosis. Reaksi
dermatologik berupa pemphigus, pruritus, dan urticaria. Sistem
endokrin dan metabolik berupa insuffisiensi adrenal, gangguan
menstruasi. Reaksi hematologic berupa agranulocytosis (jarang),
Desminated Intravaskular Coagulation, eosinofilia, penurunan
hemoglobin, hemolisis, anemia hemolitik, leukopenia,
trombositopenia (terutama pada dosis tinggi). Efek samping lain dapat
terjadi hepatitis (14%) dan jaundice, mialgia, osteomalasia,
konjunctivitis eksudatif, flu like sindrom. Pada ginjal berupa gagal
ginjal akut, peningkatan BUN, hemoglobinuria, hematuria, nefritis
interstisial, peningkatan asam urat. Pada gastrointestinal (1% to 2%)
berupa anoreksia, cramps, diarea, flatulensi, heartuberkulosisurn,
mual, dan muntah (Kim, 2007).
Secara umum, Rifampisin adalah obat yang dapat ditoleransi
dengan baik dan hepatotoksisitas terjadi pada sekitar 1- 2 % pasien
15
yang diterapi dengan rifampisin sebagai monoterapi profilaksis
(Tostmann et al, 2008).
I. PIRAZINAMID
Gambar 3. Struktur pirazinamid (eMedInfo, 2012c)
Pirazinamid merupakan analog dari nikotinamida. Pirozinamid
dapat bekerja sebagai bakterisida (pada suasana asam: pH 5-6) atau
bakteriostatik, tergantung pada pH dan kadarnya di dalam darah.
Spektrum kerjanya sangat sempit dan hanya meliputi M. tuberculosis
(Tjay dan Rahardja, 2007).
Mekanisme kerja pirazinamid berdasarkan pengubahannya
menjadi asam pirazinoat (POA) oleh enzim pyrazinamidase yang
berasal dari basil TUBERKULOSIS. Begitu pH dalam makrofag
diturunkan, maka kuman yang berada di “sarang” infeksi yang
menjadi asam akan mati. Khasiatnya diperkuat oleh isoniazid. Obat ini
khusus digunakan pada fase intensif, dan pada fase pemeliharaan bila
terdapat multiresistensi (Tjay dan Rahardja, 2007).
Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa Pirazinamid masuk
ke dalam M. tuberculosis melalui difusi pasif. POA (HPOA)
diabsorbsi masuk ke dalam basil pada kondisi asam dan menjadi
terakumulasi, menyebabkan pompa effluk tidak efisien, dan kemudian
terjadi kerusakan sel (Zhang dan Mitchison, 2003).
Pirazinamid dapat menghentikan pertumbuhan M. tuberculosis.
Mycobacterium tuberculosis mempunyai enzim pirazinamidase yang
aktif pada suasana asam. Enzim pyrazinamidase mengubah
16
pirazinamid menjadi bentuk aktif, yaitu asam pirazinoat, yang dapat
menghambat enzim asam lemak sintetase I (FASI), dimana enzim
tersebut dibutuhkan bakteri untuk sintesis asam lemak. Mutasi gen
pirazinamidase bertanggungjawab terhadap terjadinya resistensi M.
tuberculosis (Yee et al, 2008). Obat ini lebih aktif pada suasana asam
dan merupakan bakterisida kuat untuk bakteri tahan asam yang berada
dalam sel makrofag (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).
Waktu paruh pirazinamid rata-rata 10 jam. Pada pasien yang
sebelumnya pernah mengalami penyakit hati, waktu paruhnya dapat
meningkat menjadi 15 jam. Pirazinamid, yang merupakan turunan dari
asam nikotinat, dideamidase menjadi asam pirazinoat dalam hati dan
mengalami metabolism menjadi 5-hidroksi-asam pirazinoat oleh
xantin oksidase, aldehid oksidase, dan xantin dehidrogenase
(Saukkonen et al, 2006).
Pirozinamid diberikan dalam dosis kombinasi dengan obat anti
tuberkulosis lain seperti isoniazid dan rifampisin. Pirazinamid
diabsorbsi sangat baik jika diberikan peroral. Dosis 1 gram
menghasilkan kadar plasma sekitar 45 mikrogram/ml pada dua jam
setelah pemberian obat. Pirazinamid merupakan obat yang penting
dalam pengobatan meningitis tuberkulosis. Pirazinamid
dimetabolisme dalam hati dan metabolitnya di eksresi melalui ginjal
(Yee et al, 2008). Asam pirazinoat yang aktif mengalami hidroksilasi
menjadi asam hidropirazinoat yang merupakan metabolit utama. Masa
paruh eliminasi obat antara 10-16 jam (Istiantoro dan Setiabudy,
2007). Dosis pirazinamid setiap hari sebanyak 15-30 mg/kg, maksimal
2 gram. Dosis dua kali/minggu sebanyak 50-70 mg/kg, maksimal 4
gram. Dosis tiga kali/minggu sebanyak 50-70 mg/kg, maksimal 3
gram (Mansjoer et al, 2007).
Umumnya ( 1%) efek samping dari pirazinamid adalah nyeri
sendi (arthralgia), tetapi hal ini tidak menyebabkan pasien
menghentikan pengobatan pirazinamid. Efek sampingnya berupa
17
kerusakan hati dengan ikterus (hepatotoksik) terutama dengan dosis 2
gram sehari (Tjay dan Rahardja, 2007). Pengobatan harus segera
dihentikan bila ada tanda-tanda kerusakan hati semakin parah. Dosis
lama pirazinamid menggunakan 40-70 mg/kg/hari dan insiden
hepatitis berkurang secara signifikan sejak dosisnya diturunkan (Yee
et al, 2008). Bila pirazinamid diberikan dengan dosis 3 gram/hari,
gejala penyakit hati muncul kira-kira 15%. Gejala pertama adalah
peningkatan ALT, AST (Istiantoro dan Setiabudy, 2007). Secara
klinis, tidak mungkin membedakan penyebab hepatitis karena
pirazinamid dengan penyebab hepatitis karena isoniazid atau
rifampisin. Efek samping lain mencakup mual, muntah, anemia
sideroblastik, kulit memerah, urtikaria, pruritus, hiperurisemia,
disuria, nefritis interstisial, malaise, dan jarang porfiria dan demam
(Yee et al, 2008).
J. STREPTOMISIN
Gambar 4. Struktur Streptomisin (Jasril, 2009)
Streptomisin berkhasiat bakterisida terhadap kuman gram
negatif dan gram positif, termasuk M. tuberculosis dan beberapa M.
atipik. Streptomisin khusus aktif terhadap mikrobakteria ekstraseluler
yang sedang membelah aktif dan pesat (misalnya, di dalam cavernae).
Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sintesa protein
kuman dengan jalan pengikatan pada RNA ribosomal. Antibiotik ini
18
toksis untuk organ pendengaran dan keseimbangan, sehingga
dianjurkan tidak digunakan dalam waktu lama karena efek neurotoksis
terhadap saraf cranial ke 8 dapat menimbulkan ketulian permanen.
Gejala lain berupa pusing dan tinitus. Resorbsinya di usus buruk,
sehingga diberikan sebagai injeksi i.m. Obat ini masih digunakan
bersama dengan tiga obat lainnya untuk TUBERKULOSISC otak
yang sangat parah (meningitis) (Tjay dan Rahardja, 2007).
Dosis Streptomisin setiap hari sebanyak 15 mg/kg, maksimal 1
gram. Dosis dua kali/minggu sebanyak 25-30 mg/kg, maksimal 1,5
gram. Dosis tiga kali/minggu sebanyak 25-30 mg/kg, maksimal 1
gram (Mansjoer et al, 2007).
K. ETAMBUTOL
Derivat etilendiamin ini berkhasiat spesifik terhadap M.
tuberculosis dan M. atipik, tetapi tidak terhadap bakteri lain. Kerja
bakteriostatiknya sama kuat dengan INH, tetapi pada dosis terapi
kurang efektif dibandingkan obat-obat primer (Gunawan et al, 2009).
Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sintesa RNA
pada kuman yang sedang membelah, juga menghindarkan
terbentuknya asam mikolat pada dinding sel (Gunawan et al, 2009).
Reabsorbsinya baik (75 – 80 %) dan dengan mudah memasuki
eritrosit, yang berfungsi sebagai depot dan lambat laun melepaskan
kembali obat ke plasma. Penetrasinya ke CCD buruk. PP nya 20 – 30
% plasma t ½ nya 3 - 4 jam dan dapat meningkat samapi lebih kurang
8 jam pada gangguan ginjal. Ekskresinya pada ginjal (80%) dalam
bentuk utuh dan 15 % sebagai metabolit non aktif (Gunawan et al,
2009).
Efek sampingnya yang terpenting adalah neuritis optica (radang
pada saraf mata) yang mengakibatkan gangguan penglihatan dan buta
warna terhadap warna merah – hijau. Reaksi toksik ini baru timbul
pada dosis besar (diatas 50 mg/kg/hari) dan bersifat reversibel bila
19
pengobatan segera dihentikan, tetapi dapat menimbulkan kebutaan
bila pemberian obat dilanjutkan. Pasien dianjurkan memeriksakan
mata secara periodic, terutama kepekaan terhadap warna. Etambutol
juga meningkatkan kadar asam urat dalam plasma akibat penurunan
ekskresinya oleh ginjal. Etambutol dapat diberikan pada ibu hamil dan
masuk ke dalam air susu ibu (Tjay dan Rahardja, 2007).
Dosis etambutol setiap hari sebanyak 15 – 30 mg/kg, maksimal
2,5 gram. Dosis dua kali/minggu sebanyak 50 mg/kg. dosis tiga
kali/minggu sebanyak 25 – 30 mg/kg (Mansjoer et al, 2007).
G. Mekanisme Hepatotoksisitas Obat Anti Tuberkulosis pada Sel
Hati
Obat hepatotoksik dapat menyebabkan cedera hati secara
langsung, melalui produk radikal bebas atau metabolit intermediate,
yang dapat mengakibatkan peroksidasi membrane lipid sel hati. Pada
umumnya ada dua tipe mekanisme hepatotoksisitas, yaitu toksisitas
langsung dan idiosinkrasi (Dienstag dan Isselbacher, 2001).
Obat tuberkulosis mengalami proses biotransformasi di hati.
Proses ini dimulai dengan oksidasi atau metilasi yang dilakukan oleh
sitokrom P450 (reaksi fase I), kemudian diikuti proses glikoronidasi
(reaksi fase II) atau inaktivasi obat oleh glutathion. Kebanyakan obat
hepatotoksik terjadi pada fase I, dimana terbentuk metabolit toksik.
Kejadian hepatitis karena toksisitas langsung bersifat dapat diprediksi
dan tergantung dosis obat yang diberikan, sedangkan kejadian
hepatitis karena reaksi idiosinkrasi sulit diprediksi, dosis toksik obat
berbeda – beda tiap individu (Dienstag dan Isselbacher, 2001) dan
sering bersifat hipersensitif (Suasono, 1998). Reaksi idiosinkrasi
ditandai oleh suatu penundaan variable atau periode latensi, berkisar
antara 5 sampai 90 hari dari proses pencernaan awal obat, dan sering
fatal jika obat dilanjutkan lagi ketika reaksi sudah dimulai. Contoh
obat yang termasuk reaksi idiosinkrasi adalah isoniazid (Lee, 2003).
20
Cedera hati akibat pemakaian obat dapat terjadi melalui
(Crawford, 2005) :
1. Toksisitas langsung pada hati
2. Konversi dari xenobiotik menjadi toksin aktif dalam hati
3. Mekanisme imun, biasanya obat atau metabolitnya beraksi sebagai
hapten yang menyebabkan protein sel menjadi imunogen.
Derajat cedera hati karena obat TUBERKULOSIS bervariasi
dari perubahan nonspesifik ringan pada struktur hati menjadi hepatitis
fulminant, sirosis, dan kanker hati. Pasien yang menerima obat
antituberkulosis dapat mengalami hepatitis akut sampai hepatitis
kronis. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar metabolit
toksik lebih cepay pada pemberian isoniazid dengan rifampisin
daripada pemberian isoniazid tunggal. Dan hal ini menunjukkan efek
sinergis daripada aditif (Hussain et al, 2003). Isoniazid, pirazinamid
dan rifampisin menyenbabkan akut hepatoseluler melalui peningkatan
ALT > 3x batas normal (Chang dan Schiano, 2007).
Studi sebelumnya berpendapat bahwa gen dengan asetilator
cepat mempunyai factor resiko lebih besar terjadinya cedera sel hati
karena mereka mampu menghasilkan asetil isoniazid yang lebih
banyak daripada asetilator lambat, yang mana metabolit tersebut dapat
membentuk metabolit perantara yang lebih toksik. Tetapi pada
asetilator cepat dapat membersihkan Mono Asetil Hidrazin (MAH)
lebih besar. Pada asetilator lambat, terjadi akumulasi Mono Asetil
Hidrazin. Dengan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction
(PCR), menunjukkan bahwa asetilator lambat menyebabkan
peningkatan kadar transaminase 3x batas normal lebih sering daripada
asetilator cepat. Peningkatan kadar puncak transaminase juga lebih
tinggi pada asetilator lambat (Saukkonen et al, 2006).
Obat antituberkulosis menginduksi sitokrom P-4502Ei
(CYP2E1) dalam hati. Studi terbaru menunjukkan bahwa
polymorfisme dari gen N-acetyltransferase 2 (NAT2) dan glutathione-
21
S-transferase (GST) adalah factor resiko yang berhubiungan dengan
kejadian hepatitis karena obat anituberkulosis. GST dan NAT2 terlibat
dalam metabolism beberapa karsinogenik arylamines (Hussain et al,
2003).
Rute utama dari metabolisme isoniazid adalah asetilasi di
hati oleh N-asetil transferase yang menghasilkan asetilisoniazid.
Tingkat asetilasi ditentukan secara genetik. Asetilisoniazid
selanjutnya dihidrolisis kepada asam isonikotinat dan asetilhidrazine,
di mana kedua- duanyadiekskresikan melalui urin. Asam
isonikotinat kemudiannya terkonjugasi dengan glisin.
Asetilhidrazine dimetabolisme dengan selanjutnya kepada
diasetilhydrazine dan dapat dikonversi oleh enzim mikrosoma hati
kepada metabolit reaktif (disangka sebagai hidrazin) yang dianggap
bertanggung jawab untuk hepatotoksisitas yang disebabkan oleh
isoniazid. Hidrazones asam labil dari isoniazid dibentuk dengan
ketoglutarate dan piruvat, tapi karena substans ini tidak ditampilkan
untuk setiap tingkat dalam darah, mereka dianggap diproduksi di
dalam kandung kemih (Kumar, 2000).
Isoniazid mempunyai efek langsung atau melalui produksi
kompleks enzim – obat yang berakibat disfungsi sel, disfungsi
membrane, respon sitotoksik sel T. jenis reaksi yang terjadi adalah
hepatoselular (Bayupurnama, 2006).
Metabolit obat mungkin beraksi sebagai hapten dengan protein
sel yang secara imunologi menyebabkan cedera hati, termasuk di
dalamnya peran sitokrom P450. Bebrapa isoenzim sitokrom P450
dapat menginduksi dan merusak membrane sel hati secara imunologi
(Bayupurnama, 2006).
Banyak reaksi hepatoseluler melibatkan system sitokrom P450
yang mengandung heme dan menghasilkan reaksi energy tinggi yang
dapatt membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga
menghasilkan ikatan baru yang tak punya peran. Kompleks enzim-
22
obat ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel vesikel untuk
berperan sebagai imunogen – imunogen sasaran serangan sitolitik sel
T, merangsang respon imun multifase yang melibatkan sel sel T
sitotoksik dan berbagai sitokin (Bayupurnama, 2006). Proses nekrosis
hati dapat timbul akibat ikatan langsung antara bahan metabolit
dengan protein atau melalui proses imunologik dimana bahan
metabolit tersebut menjadi antigen. Pada umumnya berat ringan
kerusakan hati ditentukan oleh pola genetic serta ada tidaknya enzyme
inducer yang merangsang aktivitas enzim mikrosom (Suasono, 1998).
Rifampisin merupakan suatu penginduksi kuat enzim sitokrom
P450 dalam hati yaitu CYP3A4 dan CYP2D6 dan akan meningkatkan
metabolism bermacam-macam obat yang dibersihkan oleh hati
melalui system enzim ini (Trevor, 2004).
Rifampisin bisa menyebabkan ketergantungan dosis dengan
uptake bilirubin yang menyebabkan hiperbilirubinemia tidak
terkonjugasi atau ikterus tanpa kerusakan sel-sel hepar.
Hiperbilirubinemia terkonjugasi terjadi apabila rifampisin
menginhibisi pompa eksporter garam empedu yang mayor. Elevasi
bilirubin yang asimtomatik bisa menyebabkan persaingan
ketergantungan dosis dengan bilirubin untuk pengeluaran di membran
sinusoid atau dari sekresi yang terhambat di tahap kanalikuli (Kumar,
2000). Rifampisin menyebabkan kerusakan hepatoseluler melalui
nekrosis sentrilobuler hati, sedangkan isoniazid menyebabkan
nekrosis masif dan difus pada hati (Crawford, 2005). Rifampisin
meningkatkan reaksi idiosinkrasi metabolisme hepatoseluler pada
pasien yang menerima isoniazid. Hal ini mungkin disebabkan karena
induksi enzim sitokrom P450 yang menyebabkan terbentuknya
metabolit toksik isoniazid (Saukkonen et al, 2006).
Pirazinamid merupakan analog nikotinamid atau derivat asam
nikotinat (Istiantoro dan Setiabudy, 2007). Insiden hepatotoksisitas
pada pirazinamid selama terapi tuberkulosis aktif lebih tinggi daripada
23
obat antituberkulosis lain (Chang dan Schiano, 2007). Jenis reaksi
idiosinkrasi pada asam nikotinat adalah kolaps vaskuler. Efeknya pada
sel hati adalah iskemik dan hipoksia (Lee, 2003). Mekanisme
hepatotoksisitas yang tepat pada pirazinamid belum diketahui (Shakya
et al, 2006).
Pirazinamid mungkin memperlihatkan hepatotoksisitas yang
idiosinkratis dan tergantung diosis. Beberapa dekade yang lalu, dosis
harian pirazinamid sebanyak 40 – 50 mg/kg dapat menyebabkan
hepatotoksik. Pirazinamid mengubah kadar nikotinamid acetil
dehydrogenase pada hati tikus, yang mungkin menghasilkan radikal
bebas. Cedera sel hati yang terjadi mungkin karena mekanisme obat
yang sinergis antara isoniazid dengan pirazinamid. Hal ini disebabkan
karena ada persamaan beberapa struktur molekulernya. Pirazinamid
mungkin menyebabkan reaksi hipersensitivitas dengan eosinophilia
dan cedera sel hati atau mungkin hepatitis granulomatous (Saukkonen
et al, 2006).
IX. Kerangka Pemikiran
Nekrosis sel hati
Zat hepatotoksisk
Sitokrom P-450
Ikatan kovalen Asetil hidrazin—makromolekul hati
Tidak hepatotoksik
Free Acetyl Hydrazine
Microsomal enzyme inducerAsetil isoniazid
Hidrolisis
Pasein tuberkulosis kasus baru
Obat anti tuberculosis primer
Isoniazid Rifampisin EtambutolStreptomisinPirazinamid
Asetilasi
Peningkatan kadar nikotinamid asetil dehidrogenase
Iskemik dan hipoksia sel hati
mediator
Peningkatan kadar transaminase
24
25
26
X. Hipotesis
Ada hubungan antara pemberian obat anti tuberkulosis dengan kadar
transaminase. Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dapat
meningkatkan kadar transaminase pada pasien tuberkulosis kasus baru.
XI. Metodologi Penelitian
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan penilitian observasional dengan jenis desain
penelitian studi kohort karena peneliti tidak mengadakan intervensi
terhadap sampel dan sampel diamati dalam jangka waktu tertentu. Studi
kohort yang digunakan adalah studi kohort prospektif dengan sampel
yang belum pernah terpajan faktor risiko dan belum mengalami efek.
Kemudian sampel diobservasi dan dilakukan pengambilan data. Data
yang diperoleh kemudian diolah dan dideskripsikan.
B. Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum Dr. Moewardi Surakarta
C. Subjek Penelitian
Populasi target : Pasien tuberkulosis kasus baru
Populasi terjangkau : Pasien tuberkulosis kasus baru yang berobat di
RSU Dr. Moewardi Surakarta
Kriteria inklusi :
Pasien tuberkulosis paru dan efusi pleura
Pasien tuberkulosis kasus baru berusia dewasa yang telah
mendapat pengobatan Obat Anti Tuberkulosis ≥ 4 minggu
Belum pernah diberi Obat Anti Tuberkulosis sebelumnya
Tes fungsi hati sebelum pemberian Obat Anti Tuberkulosis
dalam batas normal
Kriteria eksklusi :
27
Peminum alkohol
Menderita penyakit imunocompromise, seperti AIDS
Menderita tuberkulosis disertai penyakit lain yang dapat
mengganggu tes fungsi hati pada awal pemberian Obat Anti
Tuberkulosis
D. Sampel
Besar sampel yang diambil sebanyak 30 orang????
E. Teknik Sampling
Teknik sampling yang dipakai adalah purposive sampling???
F. Desain Penelitian
Studi Kohort
Peningkatan Transaminase
Pemberian
OAT
Gambar 7. Desain Penelitian
Risiko Relatif (RR) = a
(a+b ):
c(c+d )
G. Identifikasi Variabel
1) Variabel Bebas : Pemberian Obat Anti Tuberkulosis
2) Variabel Terikat : Kadar Transaminase
3) Variabel Luar
Ya Tidak Jumlah
Ya a b a+b
Tidak c d c+d
Jumlah a+c b+d a+b+c+d
28
a) Variabel luar yang dapat dikendalikan:
Umur pasien, jenis kelamin
b) Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan
Status asetilator hati, status nutrisi, dan kadar albumin
H. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1) Pemberian Obat Anti Tuberkulosis
Resimen Pengobatan Saat Ini (metode DOTS) (Amin dan Bahar, 2006)
Fase Awal Fase Lanjutan
Kategori I BTA (+) dan
berat
2RHZS (E) 4RH
2RHZS(E) 4H3R3
2RHZS(E) 6HE
Kategori II Relaps dan
gagal
2RHZES/1RHZE 5RHE
2RHZES/1RHZE 5R3H3E3
Kategori III BTA (-) dan
minimal
2RHZ 4RH
2RHZ 4R3H3
2H3R3Z3 4R3H3
Kategori IV Kronik Tidak dapat
diaplikasikan
Tidak dapat
diaplikasikan
Dosis Isoniazid setiap hari 5 mg/kg, maksimal 300 mg. Dosis dua
kali/minggu sebanyak 15 mg/kg, maksimal 900 mg. Dosis tiga
kali/minggu sebanyak 15 mg/kg, maksimal 900 mg.
Dosis Rifampisin setiap hari sebanyak 10 mg/kg, maksimal 600
mg. Dosis dua kali/minggu sebanyak 10 mg/kg, maksimal 600 mg.
Dosis tiga kali/minggu sebanyak 10 mg/kg, maksimal 600 mg.
29
Dosis Pirazinamid setiap hari sebanyak 15-30 mg/kg, maksimal 2
gram. Dosis dua kali/minggu sebanyak 50-70 mg/kg, maksimal 4 gram.
Dosis tiga kali/minggu sebanyak 50-70 mg/kg, maksimal 3 gram.
Dosis Streptomisin setiap hari sebanyak 15 mg/kg, maksimal 1
gram. Dosis dua kali/minggu sebanyak 25-30 mg/kg, maksimal 1,5
gram. Dosis tiga kali/minggu sebanyak 25-30 mg/kg, maksimal 1 gram.
Dosis Etambutol setiap hari sebanyak 15-30 mg/kg, maksimal 2,5
gram. Dosis dua kali/minggu sebanyak 50 mg/kg. Dosis tiga
kali/minggu sebanyak 25-30 mg/kg (Mansjoer et al, 2007).
2) Kadar transaminase yang diperiksa
Aspartat Transaminase (AST) atau Glutamate
Oxaloacetate Transaminase (GOT)
Terdapat di dalam semua jaringan tubuh, terutama hati,
dan dalam semua jaringan tubuh terutama hati, ginjal,
dan otot rangka. Hanya sedikit yang terdapat di
sitoplasma, sebagian besar terikat pada organel sel. Kadar
normal SGOT berkisar 10-41 SI/l,
Alanin Aminotransferase (ALT) atau Glutamate
Pyruvate Transaminase (GPT)
Sebagian besar terikat di sitoplasma, ALT dan AST akan
meningkat bila terjadi kerusakan sel hati. Biasanya
peningkatan ALT lebih tinggi daripada AST pada
kerusakan hati yang akut, mengingat ALT merupakan
enzim yang hanya terdapat pada sitoplasma sel hati.
Sebaliknya, AST yang terdapat baik dalam sitoplasma
maupun mitokondria akan meningkat lebih tinggi dari
ALT pada kerusakan hati yang lebih dalam dari
sitoplasma sel. Keadaan ini ditemukan pada kerusakan
sel hati menahun. (Syahrizal, 2008). Kadar normal SGPT
berkisar 5-35 SI/l (Syahrizal, 2008).
30
3) Variabel luar yang dapat dikendalikan
Umur: pasien tuberkulosis yang berusia dewasa
Jenis kelamin : laki-laki dan perempuan
4) Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan
Status asetilator hati : semakin lambat status
asetilatornya, semakin besar peningkatan serum
transaminasenya
Status nutrisi : status nutrisi pasien buruk dapat
meningkatkan risiko hepatotoksisitas
Kadar albumin : albumin serum > 3,5 gram/dl dapat
meningkatkan risiko hepatotoksisitas
I. Instrumentasi dan Bahan Penelitian
1) Alat
a) Alat untuk membaca ALT dan AST : spektrofotometer
b) Spuit
c) Tabung sentrifuge
2) Bahan
a) Sampel darah pasien tuberkulosis
J. Teknik Analisis Data Statistik
Data yang didapat dianalisis secara statistik dengan…???
XII. Jadwal Penelitian
KegiatanMinggu ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Persiapan & Perijinan
Pengumpulan Data
Analisis Data
Penyusunan Laporan
31
Ujian skripsi
XIII. Daftar Pustaka
Amin Z, Bahar A. 2006. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Idrus A, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, p:1007.
Amirudin R (2009). Fisiologi dan biokimia hati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Idrus A, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, p:631.
Bayupurnama P (2006). Hepatotoksisitas imbas obat. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Idrus A, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, p : 473
Centers for Disease Control. 2003. Treatment of Tuberculosis. Report. CDC. 52:7
Chang CY dan Schiano TD. 2007. Review article : Drug hepatotoxicity. Alimentary Pharmacology & Theraupetics. Volume 25. Issue 10, pp: 1135-1151. http://www.blackwellsynergy.com/action/showFullText?submitFullText=Full+Text+HTML&doi=10.1111%2Fj.1365-2036.2007.03307.x. - Diakses Maret 2008.
Crawford JM (2005). Liver and biliary tract. Dalam : Kumar V, Abbas AK, Fausto N (eds). Robbins and Cotran Pathologic Basis Of Disease. Edisi VII. Philadelphia : Elsevier Inc, pp: 878-903.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan ke 8. DirJen P2M-PL. Departemen Kesehatan Jakarta.
Dienstag JL dan Isselbacher KJ (2001). Toxic and drug induced hepatitis. Dalam : Braunwald, Fauci, Kasper, Hauser, Longo, Jameson (eds). Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi 15. New York : Mc Graw Hill, p:1737.
eMedInfo (2012). Isoniazid. http://www.antibioticslist.com/isoniazid.html (diakses November 2013).
32
Erdman A (2004). Poisoning & drug overdose. Edisi V. Boston : Mc Graw Hill Co, pp: 233-4.
Gunawan, Sulistia Gan (2009). Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Hadi S (2000). Hepatologi. Bandung: Mandar Maju, pp: 539-40.
Hussain Z, et al. (2003). Antituberculosis drug-induced hepatitis: risk factors, prevention and management. Indian J Exp Biol. 11: 1226-32.
Istiantoro Yati H., Setiabudy Rianto. 2011. Tuberkulostatik dan Leprostatik. Dalam: Gunawan Sulistia Gan (ed). Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, p:613.
Jasril (2009). Bahan Alam Organik Sebagai Sumber Obat Moderen. Pekanbaru: Fakultas matematika dan ilmu Pengetahuan alam Universitas riau.
Kim PS, et al. (2007). Rifampin. USA : Merck & Co., Inc. http://www.merck.com.mmpe/lexicomp/rifampin.html. - Diakses Maret 2008.
Kumar, A., Misra P.K., Mehrotra, R., 2000. Hepatotoxicity of rifampicin andisoniazid: is it all drug induced hepatitis. Am Rev Respiratory Disease, 143 (5): 1350–1352.
Lee WM (2003). Drug-induced hepatotoxicity. N Engl J Med. 349:474-85.
Mansjoer A, et al. (2007). Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Edisi III. Cetakan ke-8. Jakarta: Media Aesculapius, pp : 472-475.
Mescher AL (2009). Histologi dasar junqueira teks & atlas. Edisi 12. Jakarta: EGC.
National Health Service (NHS). 2012. Tuberculosis. http://www.nhs.uk/Conditions/Tuberculosis/Pages/Introduction.aspx (diakses November 2013).
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2006. Tuberkulosis: Pedoman & Penatalaksanaannya di Indonesia. http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html (diakses November 2013).
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2009). Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Idrus A, Simadibrata M, Setiati S (eds).
33
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Prihatni Delita, Parwati Ida, Sjahid Idaningroem, Rita Coriejati. 2012. Efek Hepatotoksik Anti Tuberkulosis terhadap Kadar Aspartate Aminotransferase dan Alanine Aminotransferase Serum Pnederita Tuberkulosis Paru. UNAIR J Pathology. 1:2
Robbins SL dan Kumar V (2007). Buku Ajar Patologi Volume 2. Edisi 7. Jakarta: EGC, p: 685.
Saukkonen JJ, et al. (2006). An official ATS statement: hepatotoxicity of antituberculosis therapy. Am J Respir Crit Care Med. Vol. 174, pp : 935-52.
Shakya R, et al. (2006). Evaluation of risk factors for antituberculosis drugs-induced hepatotoxicity in nepalese population. Vol. II. No. 1. http://www.ku.edu.np/kuset/second_issue/o2/Rajani.pdf. - Diakses Maret 2008.
Sherlock, S. & Dooley, J. 2002. Diseases of the Liver and Biliary System. Edisi ke 11. London: Blackwell Publishing.
Suasono B (1998). Obat hepatotoksik pada anak. Cermin Dunia Kedokteran. No. 40. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09ObatHepatotoksikPadaAnak.html. - Diakses Maret 2008.
Syahrizal D (2008). Pengaruh proteksi vitamin C terhadap enzim transaminase dan gambaran histopatologis hati mencit yang dipapar plumbum. Universitas Sumatera Utara. Tesis.
Tjay TH dan Rahardja K (2007). Obat-obat penting khasiat, penggunaan, dan efek-efek sampingnya. Edisi Keenam. Jakarta : Gramedia, pp: 158-163.
Tortora GJ, Bryan D (2011). Principles of anatomy and phisiology. Edition 13th. John Wiley and Son’s, Inc.
Tostmann A, Boeree MJ, Aarnoutse RE, Lange WCM, Ven AJAM, Dekhuizen R (2008). Antituberculosis drug-induced hepatotoxicity : concise up to date review. Journal of Gastroenterology and Hepatology. 23:192-202
Trevor A, Katzung B, Masters S (2004). Katzung and Trevor’s Pharmacology. New York : McGraw-Hill.
34
World Health Organization (WHO). 2013. Global tuberculosis report 2013. Report, p:10.
Yee D, et al. (2003). Incidence of serious side effects from first-line antituberculosis drugs among patients treated for active tuberculosis. Am J.
Zhang Y dan Mitchison D (2003). The curious characteristic of pyrazinamide: a review. Int. J. Tuberc. Lung Dis. 7:6-21Resp Crit Care Med. 167 (11): 1472-7.