Proposal Penelitian Fix

52
1 PROPOSAL PENELITIAN I. Nama Peneliti : NIM/Semester : II. Judul Penelitian: Hubungan antara pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan kadar transaminase pada pasien tuberkulosis kasus baru. III. Bidang Ilmu : Klinis/Paru IV. Latar Belakang Masalah Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis yang ditularkan melalui droplet penderita ketika bersin atau batuk. Tuberkulosis merupakan kondisi yang serius namun dapat disembuhkan dengan pengobatan yang tepat. Penyakit ini biasanya menginfeksi paru tapi dapat pula menginfeksi organ-organ lain seperti kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, dan lain-lain (PDPI, 2006; NHS, 2012). Tuberkulosis sampai saat ini masih merupakan penyebab angka kesakitan yang tinggi di negara berkembang. Dari data WHO (2013) pada tahun 2012, Indonesia menduduki peringkat 4 untuk negara dengan

description

OAT dengan transaminase

Transcript of Proposal Penelitian Fix

Page 1: Proposal Penelitian Fix

1

PROPOSAL PENELITIAN

I. Nama Peneliti :

NIM/Semester :

II. Judul Penelitian :

Hubungan antara pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan

kadar transaminase pada pasien tuberkulosis kasus baru.

III. Bidang Ilmu : Klinis/Paru

IV. Latar Belakang Masalah

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium tuberculosis yang ditularkan melalui droplet penderita

ketika bersin atau batuk. Tuberkulosis merupakan kondisi yang serius

namun dapat disembuhkan dengan pengobatan yang tepat. Penyakit ini

biasanya menginfeksi paru tapi dapat pula menginfeksi organ-organ lain

seperti kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, dan lain-lain

(PDPI, 2006; NHS, 2012).

Tuberkulosis sampai saat ini masih merupakan penyebab angka

kesakitan yang tinggi di negara berkembang. Dari data WHO (2013) pada

tahun 2012, Indonesia menduduki peringkat 4 untuk negara dengan

insidensi dan prevalensi tuberkulosis terbanyak di dunia dengan angka

insidensi 210 per 100.000 penduduk dan prevalensi 506 per 100.000

penduduk. Selain itu, Indonesia juga masih memiliki angka mortalitas yang

tinggi, yaitu 48 per 100.000 penduduk. Karena masih tingginya angka

insidensi, prevalensi, dan mortalitas tuberkulosis di Indonesia, sejak tahun

1995 pemerintah telah melaksanakan program pemberantasan tuberkulosis

dengan strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) yang

direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO) (Departemen

Kesehatan RI, 2002).

Page 2: Proposal Penelitian Fix

2

Terapi tuberkulosis yang digunakan dalam program pemberantasan

tuberkulosis pada umumnya adalah metode multidrug (Tostmann et al.,

2008). Obat yang digunakan yaitu isoniazid (INH), rifampisin (RIF),

pirazinamid (PZA), etambutol, dan streptomisin, dimana masing-masing

obat menunjukkan efektivitas yang tinggi (Istiantoro dan Setiabudy, 2011).

Namun, Obat Anti Tuberkulosis (OAT) mempunyai efek samping terhadap

hepar, kulit, saraf, dan dapat menyebabkan kelainan gastrointestinal. Efek

samping berbahaya yang menjadi fokus saat ini adalah efek OAT terhadap

hepar, yaitu menyebabkan hepatotoksisitas, yang dikenal dengan istilah Anti

Tuberculosis Drug-induced Hepatotoxicity (ATDH) (Tostmann et al.,

2008).

Obat Anti Tuberkulosis yang dapat menyebabkan hepatotoksik adalah

PZA, INH dan RIF dengan INH dan RIF yang telah dilaporkan paling sering

menyebabkan gejala hepatotoksik. Gejala hepatotoksik biasanya

menyerupai gejala hepatitis lainnya (Prihatni, et. al, 2012; CDC, 2003).

Penanda dini dari hepatotoksik adalah peningkatan enzim-enzim

transaminase dalam serum yang terdiri dari Aspartate Amino Transaminase

/ Glutamate Oxaloacetate Transaminase (AST/GOT) yang disekresikan

secara paralel dengan Alanine Amino Transferase / Glutamate Pyruvate

Transaminase (ALT/ GPT) yang merupakan penanda yang lebih spesifik

untuk mendeteksi adanya kerusakan hepar (Sherlock dan Dooley, 2002).

Apabila kadar GOT/GPT meningkat, tetapi angkanya tidak lebih dari dua

kali nilai normal, INH dan RIF masih dapat diteruskan pemberiannya.

Namun apabila kadarnya terus meningkat, INH dan rifampisin harus

dihentikan pemberiannya (Amin dan Bahar, 2006).

Dengan diketahuinya efek hepatotoksisitas OAT yang diberikan pada

pasien TB di atas, maka diperlukan adanya penelitian lebih lanjut mengenai

hubungan pemberian OAT dengan kadar transaminase pada pasien TB

sehingga kejadian hepatotoksisitas pada kasus TB dapat ditekan sejak dini

melalui pemeriksaan kadar transaminase pasien dan OAT dapat digunakan

secara aman oleh pasien.

Page 3: Proposal Penelitian Fix

3

V. Perumusan Masalah

Adakah hubungan antara pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

dengan kadar transaminase pada pasien tuberkulosis kasus baru?

VI. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui adanya hubungan antara pemberian Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) dengan kadar transaminase pada pasien tuberkulosis

kasus baru.

VII. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang

pengaruh pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terhadap kelainan

tes fungsi hati, terutama mengenai peningkatan kadar transaminase.

2. Manfaat Aplikatif

Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dapat menyebabkan

kerusakan hati yang akut dan kronik, sehingga perlu adanya

pemeriksaan rutin tes fungsi hati setiap bulannya. Pemeriksaan kadar

transaminase merupakan indikator yang mudah dan praktis untuk

mengetahui adanya kelainan tes fungsi hati.

VIII. Tinjauan Pustaka

A. Anatomi dan Fisiologi Hati

Hati adalah kelenjar terberat dalam tubuh, sekitar 1,4 kg atau 2%

dari berat badan orang dewasa dan merupakan organ dengan ukuran

terbesar kedua setelah kulit. Hati terletak di bawah diafragma, pada

regio hipocondriaca dekstra dan sebagian regio epigastrika. Hati

memiliki dua lobus utama, yaitu dekstra dan sinistra (Tortora dan

Bryan, 2011).

DEWI, 11/25/13,
Fungsi hati, sirkulasi darah hati jadi satu, masukin kesini…jangan terlalu melebar
Page 4: Proposal Penelitian Fix

4

Secara mikroskopis, hati terbagi dalam lobuli yang berbentuk

heksagonal. Setiap lobulus terdiri atas sel hati atau hepatosit yang

tersusun radier mengelilingi vena sentralis. Sinusoid terletak di antara

kolom hepatosit dan berperan sebagai tempat aliran darah kaya oksigen

dari arteri hepatika dan nutrisi dari Vena portae. Unit fungsional dan

struktural hati adalah hepatosit yang berperan dalam kegiatan

metabolik, sekresi, dan endokrin. Selain hepatosit, terdapat sel Kupffer

yang berfungsi untuk menghancurkan eritrosit tua, bakteri, dan debris,

serta sebagai sel penyaji antigen (Mescher, 2009).

Beberapa fungsi vital yang diperankan oleh hati adalah (1)

metabolisme karbohidrat: mengatur kadar glukosa darah; (2)

metabolisme lemak: menyimpan trigliserid dan memecah asam lemak

untuk menghasilkan ATP; (3) metabolisme protein: deaminasi asam

amino dan sintesis berbagai plasma protein; (4) metabolisme obat dan

alkohol; (5) eksresi bilirubin dari heme eritrosit tua; (6) sintesis garam

empedu; (7) tempat penyimpanan vitamin dan mineral; (8) fagositosis

oleh sel Kupffer; dan (9) aktivasi vitamin D (Tortora dan Bryan, 2011).

B. Sirkulasi Darah Hati

Suplai darah di hati (hepar) berasal dari vena porta dan arteria

hepatika propria. Vena porta bercabang-cabang sampai ke venula kecil

yang ada di area portal kemudian bercabang menjadi venula penyalur

yang bejalan di sekitar tepi lobulus, ujung kecilnya menembus dinding

hepatosit menuju sinusoid. Sinusoid berjalan radier dan berkumpul di

tengah lobulus membentuk vena sentralis/vena sentrolobularis, di basis

lobulus bersatu dalam vena sublobularis, bersatu membentuk vena

hepatika kemudian menuju vena cava inferior. Vena porta membawa

darah dari limpa dan usus yang membawa bahan-bahan yang telah

diserap oleh usus (aliran darah fungsional), kecuali lemak (kilomikron)

yang dibawa lewat pembuluh limfe. Arteria hepatika bercabang-cabang

membentuk arteria interlobularis, sebagian mendarahi struktur portal

Page 5: Proposal Penelitian Fix

5

dan lainnya berakhir langsung di sinusoid (aliran darah nutritif)

(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009).

C. Fungsi Hati

Hati berfungsi mensekresikan empedu. Hati menghasilkan

empedu sekitar satu liter per hari, yang diekskresi melalui duktus

hepatikus kanan dan kiri yang kemudian bergabung membentuk duktus

hepatikus komunis. Selain sekresi empedu, hati juga melakukan

berbagai fungsi lain, seperti : 1) Pengolahan metabolik kategori nutrien

utama (karbohidrat, lemak, protein) setelah penyerapan mereka dari

saluran cerna; 2) Detoksifikasi atau degradasi zat-zat sisa dan hormon

serta obat dan senyawa asing lainnya; 3)Sintesis berbagai protein

plasma, mencakup protein-protein yang penting untuk pembekuan

darah serta untuk mengangkut hormon tiroid, steroid dan kolesterol

dalam darah; 4) Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga dan

banyak vitamin; 5) Pengaktifan vitamin D, yang dilaksanakan oleh hati

bersama dengan ginjal; 6) Pengeluaran bakteri dan sel darah merah

yang usang; dan 7) Ekskresi kolesterol dan bilirubin, yang merupakan

produk penguraian yang berasal dari pemecahan sel darah merah yang

sudah usang (Amirudin, 2009).

Hati merupakan komponen sentral sistem imun. Tiap-tiap sel hati

atau hepatosit mampu melaksanakan berbagai tugas metabolik, kecuali

aktivitas fagositik yang dilaksanakan oleh sel Kupffer. Sel Kupffer,

yang meliputi 15% dari massa hati serta 80% dari total populasi fagosit

tubuh, merupakan sel yang sangat penting dalam menanggulangi

antigen yang berasal dari luar tubuh dan mempresentasikan antigen

tersebut kepada limfosit (Amirudin, 2009).

D. Uji Fungsi Hati

Pengukuran kadar bilirubin serum, aminotransferase, alkali

fosfatase, gamma-glutamil transpeptidase (γ-GT), dan albumin sering

DEWI, 25/11/13,
hilangkan
Page 6: Proposal Penelitian Fix

6

disebut sebagai tes fungsi hati atau Liver Function Tests (LFTs). Pada

banyak kasus, tes-tes ini dapat mendeteksi penyakit hati dan empedu

asimtomatik sebelumnya munculnya manifestasi klinik. Tes-tes ini

dapat dikategorikan dalam 3 kategori utama, antara lain: 1) Peningkatan

enzim aminotransferase (juga dikenal sebagai transaminase), Serum

Glutamic Pyruvate Transaminase (SGPT) dan Serum Glutamic

Oxaloacetic Transaminase (SGOT), biasanya mengarah pada perlukaan

hepatoselular atau inflamasi; 2) Keadaan patologis yang mempengaruhi

system empedu intra dan ekstrahepatis dapat menyebabkan peningkatan

fosfatase alkali dan γ-GT; 3) Kelompok ketiga merupakan kelompok

yang mewakili fungsi sintesis hati, seperti produksi albumin, urea, dan

faktor pembekuan (Amirudin, 2009).

E. Transminase (Aspartate Amino Transaminase/AST dan Alanine

Amino Transferase/ALT)

Widmann, Satyawirawan dan Suryaatmadja, Speicher dan Smith

memaparkan bahwa transaminase atau sering disebut dengan

aminotransferase merupakan sekelompok enzim yang merupakan

katalisator dalam pemindahan gugus amino antara suatu asam alfa

amino dengan suatu asam alfa keto. Enzim ini terdiri dari aspartat

aminotransferase (AST) atau sering disebut glutamate oxaloacetate

transaminase (GOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau yang

sering disebut glutamate pyruvate transaminase (GPT). AST terdapat

dalam semua jaringan tubuh, terutama di hati, dan dalam jumlah lebih

kecil di ginjal dan otot rangka. Sebagian besar AST terikat pada organel

sel, dan hanya sedikit terdapat di sitoplasma, sedangkan ALT

sebaliknya, yaitu sebagian besar terikat pada sitoplasma. Enzim ALT

dan AST akan meningkat bila terjadi kerusakan sel hati. Biasanya

peningkatan ALT lebih tinggi daripada AST pada kerusakan hati yang

akut, mengingat ALT merupakan enzim yang hanya terdapat pada

sitoplasma sel hati. Sebaliknya, AST yang terdapat baik dalam

DEWI, 11/25/13,
jadikan 1 dengan tes fx hati
Page 7: Proposal Penelitian Fix

7

sitoplasma maupun mitokondria akan meningkat lebih tinggi dari ALT

pada kerusakan hati yang lebih dalam dari sitoplasma sel. Keadaan ini

ditemukan pada kerusakan sel hati menahun. Walaupun ALT lebih

khas untuk penyakit hati dibandingkan AST, tetapi kedua enzim ini

sering digunakan bersama-sama untuk evaluasi kelainan hati.

Peningkatan aktivitas enzim transaminase merupakan petunjuk yang

paling peka dari nekrosis sel-sel hati, karena peningkatannya terjadi

paling awal dan paling akhir kembali ke kondisi normal dibandingkan

tes yang lain (Syahrizal, 2008). Smith dan Widmann juga memaparkan

bahwa pada orang normal, kadar SGOT berkisar 10-41 SI/l, sedangkan

SGPT pada orang normal berkisar 5-35 SI/l (Syahrizal, 2008).

F. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Program pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi dua fase, yaitu

fase bakterisidal awal (inisial) dan fase sterilisasi (lanjutan). Pengobatan

fase inisial resimennya terdiri dari 2 RHZS (E) artinya setiap hari

selama dua bulan minum obat Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid,

Streptomisin atau Etambutol. Sputum Bakteri Tahan Asam (BTA) awal

yang positif setelah dua bulan diharapkan menjadi negatif, dan

kemudian dilanjutkan fase lanjutan 4HR atau 4H3R3 atau 6HE. Apabila

sputum BTA masih tetap positif selama dua bulan, fase inisiasi

diperpanjang 4 minggu lagi tanpa melihat apakah sputum sudah negatif

atau tidak (Amin dan Bahar, 2006).

Obat – obatan tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi dua

jenis resimen, yaitu obat lapis pertama dan lapis kedua. Kedua lapisan

obat ini diarahkan ke penghentian pertumbuhan basil, pengurangan

basil dorman, dan pencegahan terjadinya resistensi. Obat primer (Obat

antituberkulosis tingkat satu) : Isoniazid (INH), Rifampisin,

Pirazinamid, Etambutol, dan Streptomisin. Obat sekunder (Obat

antituberkulosis tingkat dua) : Kanamisin, Paraaminosalisilat (PAS),

Tiasetazon, Etionamid, Protionamid, Sikloserin, Viomisin,

DEWI, 11/25/13,
cari di KBBI penulisannya
Page 8: Proposal Penelitian Fix

8

Kapreomisin, Amikasin, Ofloksasin, Siprofloksasin, Norflosasin,

Levofloksasin dan Klofazimin. Paduan obat yang dipakai di Indonesia

dan dianjurkan oleh WHO adalah : 2RHZ/4RH dengan variasi

2RHS/4RH, 2RHZ/4R3H3, 2RHS/4R2H2 (Amin dan Bahar, 2006).

Pengobatan tuberkulosis menurut Perhimpunan Dokter Paru

Indoseia (2006) dibagi menjadi:

1. TUBERKULOSIS paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto

toraks: lesi luas.

Paduan obat yang dianjurkan   : 2 RHZE / 4 RH  atau 2

RHZE/ 6HE  atau 2 RHZE / 4R3H3.

Paduan ini dianjurkan untuk :

a. TUBERKULOSIS paru BTA (+), kasus baru.

b. TUBERKULOSIS paru BTA (-), dengan gambaran radiologi

lesi luas (termasuk luluh paru).

Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan

disesuaikan dengan hasil uji resistensi.

2. TUBERKULOSIS Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto

toraks: lesi minimal.

Paduan obat yang dianjurkan :  2 RHZE / 4 RH atau 6 RHE

atau 2 RHZE/ 4R3H3.

3. TUBERKULOSIS paru kasus kambuh.

Sebelum ada hasil uji resistensi, dapat diberikan  2 RHZES /

1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak

terdapat hasil uji  resistensi, dapat diberikan obat RHE selama 5

bulan.

4. TUBERKULOSIS Paru kasus gagal pengobatan.

Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan  obat

lini 2 (contoh paduan: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid,

sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid,

sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan, pada fase awal

dapat diberikan  2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan

Page 9: Proposal Penelitian Fix

9

hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji  resistensi dapat

diberikan obat RHE selama 5 bulan. Dapat pula dipertimbangkan

tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal dan

sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru.

5. TUBERKULOSIS Paru kasus putus berobat.

Pasien TUBERKULOSIS paru kasus lalai berobat, akan

dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai

berikut :

a. Berobat   >  4 bulan

1) BTA saat ini negatif.

Klinis dan  radiologi tidak aktif atau ada perbaikan

maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi

aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan

diagnosis TUBERKULOSIS dengan mempertimbangkan

juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti

TUBERKULOSIS maka pengobatan dimulai dari awal

dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu

pengobatan yang lebih lama.

2) BTA saat ini positif.

Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat

yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih

lama.

b. Berobat < 4 bulan

1)  Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan

paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan

yang lebih lama

2) Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif

TUBERKULOSIS aktif pengobatan diteruskan. Jika

memungkinkan seharusnya diperiksa uji      resistensi

terhadap OAT.

6. TUBERKULOSIS Paru kasus kronik

Page 10: Proposal Penelitian Fix

10

Pengobatan TUBERKULOSIS paru kasus kronik, jika belum

ada hasil uji resistensi, berikan RHZES.  Jika telah ada hasil uji

resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 4

macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2

seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll. Pengobatan minimal 18

bulan. Jika tidak mampu, dapat diberikan INH seumur hidup.

Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan

penyembuhan dan kasus tuberkulosis paru kronik perlu dirujuk ke

dokter spesialis paru.

G. Isoniazid (INH)

Gambar 1. Struktur Isoniazid (eMedInfo,2012a)

Isoniazid merupakan suatu turunan hidrazid dari asam nikotinat.

Isoniazid merupakan obat pilihan untuk pengobatan tuberkulosis.

Overdosis Isoniazid akut dapat menyebabkan asidosis metabolik dan

seizure (Erdman A, 2004). Isoniazid (INH) mempunyai kemampuan

bakterisidal tuberkulosis terkuat (Istiantoro dan Setiabudy, 2011).

Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik dan

tuberkulosida dengan KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) sekitar

0,025-0,05 mikrogram/ml. Efek bakterisidnya hanya terlihat pada

kuman yang sedang tumbuh aktif. Isoniazid dapat menembus dalam

sel dengan mudah (Istiantoro dan Setiabudy, 2011).

Mekanisme kerja isoniazid adalah menghambat cell-wall

biosynthesis pathway (Amin dan Bahar, 2006). Efek utama isoniazid

DEWI, 11/25/13,
sumbernya diganti
DEWI, 11/25/13,
tipusnya lebih diringkas dan dicari yang lebih berhubungan dengan masalahnyafarmakokinetik dan farmakodinamik
Page 11: Proposal Penelitian Fix

11

adalah menghambat biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur

penting dinding sel mikobakterium. Isoniazid kadar rendah mencegah

perpanjangan rantai asam lemak yang sangat panjang yang merupakan

bentuk awal molekul asam mikolat. Isoniazid menghilangkan sifat

tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstraksi oleh

methanol dari mikobakterium (Istiantoro dan Setibudy, 2011).

Isoniazid mudah diabsorbsi pada pemberian oral maupun

parenteral. Kadar puncak dicapai pada waktu 1-2 jam setelah

pemberian oral. Di hati, isoniazid mengalami asetilasi dan pada

manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik

yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dan masa paruhnya

(Istiantoro dan Setibudy, 2011). Di dalam hati, INH diasetilasi oleh

enzim asetiltransferase menjadi metabolit inaktif. Plasma t ½ nya

antara 1-4 jam tergantung pada kecepatan asetilasi (Tjay dan

Rahardja, 2007). Perbedaan kecepatan asetilasi tidak berpengaruh

pada efektivitas atau toksisitas isoniazid bila obat ini diberikan setiap

hari. Isoniazid mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh.

Kadar obat ini pada mulanya lebih tinggi dalam plasma dan otot

daripada dalam jaringan yag terinfeksi, tetapi kemudian obta

tertinggal lama di jaringan dalam jumlah yang lebih dari cukup

sebagai bakteriostatik. Antara 75-95% isoniazid diekskresi melalui

urin dalam waktu 24 jam dan seluruhnya dalam bentuk metabolit.

Ekskresi terutama melalui ginjal (75-95% dalam 24 jam) dalam

bentuk asetilisoniazid yang merupakan metabolit proses asetilasi dan

asam nikotinat yang merupakan metuberkulosisolit proses hidrolisis

(Istiantoro dan Setiabudy, 2011).

Dosis isoniazid setiap hari 5 mg/kg, maksimal 300 mg. Dosis

dua kali/minggu sebanyak 15 mg/kg, maksimal 900 mg. Dosis tiga

kali/minggu sebanyak 15 mg/kg maksimal 900 mg (Mansjoer et al,

2007).

Page 12: Proposal Penelitian Fix

12

Efek sampingnya (pada dosis 200-300 mg sehari) jarang dan

ringan (gatal-gatal, ikterus). Tetapi, lebih sering terjadi bila dosis

melebihi 400 mg. Yang terpenting adalah polyneuritis, yakni radang

saraf denga gejala kejang dan gangguan penglihatan. Penyebabnya

adalah persaingan dengan piridoksin, yang rumus kimiawinya mirip

degan INH. Kadang – kadang terjadi kerusakan hati dan ikterus yang

fatal khususnya pada orang asetilator lambat, terutama bila

dikombinasi dengan rifampisin. Kecepatan proses asetilasi yang

mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan masa paruhnya,

tergantung dari banyaknya asetil transferase yang pada masing –

masing orang berbeda secara genetis (Tjay dan Rahardja, 2007).

Fenotip dengan asetilasi lambat disebabkan penurunan atau tidak

adanya N-acetyltransferase (Sherlock dan Dooley, 1993). INH bila

dihunaka pada pasien gangguan fungsi ginjal atau hati dan mereka

yang berusia diatas 45 tahun beresiko timbulnya efek samping yang

meningkat (Tjay dan Rahardja, 2007). Selain itu INH juga

dapatmengambat konversi laktat di hati menjadi piruvat (Erdmann,

2004).

Isoniazid dapat menyebabkan hepatitis, cutaneus

hipersensitivitas, perifer neuropati, konvulsi, optic neuritis, gejala

gangguan mental, anemia hemolitik, anemia aplastik, agranulositosis,

athralgia (Aditama, 1997). Setelah mengalami asetilasi, isoniazid

diubah menjadi hidrazin melalui enzim dalam hati menjadi acylating

agent yang dapat menyebabkan nekrosis hati (Sherlock dan Dooley,

1993). Isoniazid dapat menyebabkan kerusakan jaringan hati yang

masif dan terjadinya nekrosis difus (Robbins dan Kumar, 2007).

Mekanisme toksisitas isoniazid tidak diketahui, walaupun diketahui

asetilhidrazin dapat menyebabkan kerusakan hati (Istiantoro dan

Setiabudy, 2011).

H. RIFAMPISIN

Page 13: Proposal Penelitian Fix

13

Gambar 2. Struktur Rifampisin (eMedInfo, 2012b)

Rifampisin adalah derivat semisintetik rifampisin B. Obat ini

merupakan ion zwitter, larut dalam pelarut organik dan air yang pH

nya asam (Istiantoro dan Setiabudy, 2011).

Rifampisin terutama aktif pada sel yang sedang bertumbuh.

Kerjanya menghambat DNA-dependent RNA polymerase dari

mikrobakteria dan mikroorganisme lain dengan menekan mula

terbentuknya (bukan pemanjangan) rantai dalam sintesis RNA.

Rifampisin dapat menghambat sintesis RNA mitokondia mamalia,

tetapi diperlukan kadar yang lebih tinggi daripada kadar untuk

penghambatan pada kuman (Istiantoro dan Setiabudy, 2011).

Rifampisin berkhasiat bakterisida luas terhadap fase pertumbuhan M.

tuberculosis dan M. lepra, baik yang berada di dalam maupun di luar

sel. Obat ini mematikan kuman yang dormant selama fase

pembelahannya yang singkat. Maka, obat ini sangat penting untuk

membasmi semua basil guna mencegah kambuhnya

TUBERKULOSIS (Tjay dan Rahardja, 2007).

Pemberian rifampisin peroral menghasilkan kadar puncak dalam

plasma setelah 2-4 jam, dosis tunggal sebesar 600 mg menghasilkan

kadar sekitar 7 mikrogram/ml. Asam paraaminosalisilat dapat

memperlambat absorbsi rifampisin, sehingga kadar terapi rifampisin

dalam plasma tidak tercapai. Setelah diserap dari saluran cerna, obat

ini dapat diekskresi melalui empedu dan kemudian mengalami

sirkulasi enterohepatik. Rifampisin menyebabkan induksi

Page 14: Proposal Penelitian Fix

14

metabolisme, sehingga walaupun bioavailabilitasnya tinggi,

eliminasinya meningkat pada pemberian berulang (Istiantoro dan

Seriabudy, 2007). Rifampisin mempercepat perombakan obat-obat

lain bila diberikan bersamaan waktu dengan jalan induksi enzim

(sistem mikrosomal P450) dalam hati (Tjay dan Rahardja, 2007).

Masa paruh eliminasi rifampisin bervariasi antara 1,5-5 jam dan akan

memanjang bila ada kelainan fungsi hati. Sekitar 75% rifampisin

terikat protein plasma. Obat berdifusi baik ke berbagai jaringan

termasuk cairan otak. Rifampisin didistribusi ke seluruh tubuh

(Istiantoro dan Setiabudy, 2011).

Dosis rifampisin setiap hari sebanyak 10 mg/kg, maksimal 600

mg. Dosis tiga kali/minggu sebanyak 10 mg/kg, maksimal 600 mg

(Mansjoer et al, 2007).

Pada sistem cardiovascular dapat terjadi edema dan flushing.

Pada CNS dapat terjadi ataksia, perubahan perilaku, gangguan

konsentrasi, kejang, demam, kelelahan sakit kepala, psikosis. Reaksi

dermatologik berupa pemphigus, pruritus, dan urticaria. Sistem

endokrin dan metabolik berupa insuffisiensi adrenal, gangguan

menstruasi. Reaksi hematologic berupa agranulocytosis (jarang),

Desminated Intravaskular Coagulation, eosinofilia, penurunan

hemoglobin, hemolisis, anemia hemolitik, leukopenia,

trombositopenia (terutama pada dosis tinggi). Efek samping lain dapat

terjadi hepatitis (14%) dan jaundice, mialgia, osteomalasia,

konjunctivitis eksudatif, flu like sindrom. Pada ginjal berupa gagal

ginjal akut, peningkatan BUN, hemoglobinuria, hematuria, nefritis

interstisial, peningkatan asam urat. Pada gastrointestinal (1% to 2%)

berupa anoreksia, cramps, diarea, flatulensi, heartuberkulosisurn,

mual, dan muntah (Kim, 2007).

Secara umum, Rifampisin adalah obat yang dapat ditoleransi

dengan baik dan hepatotoksisitas terjadi pada sekitar 1- 2 % pasien

Page 15: Proposal Penelitian Fix

15

yang diterapi dengan rifampisin sebagai monoterapi profilaksis

(Tostmann et al, 2008).

I. PIRAZINAMID

Gambar 3. Struktur pirazinamid (eMedInfo, 2012c)

Pirazinamid merupakan analog dari nikotinamida. Pirozinamid

dapat bekerja sebagai bakterisida (pada suasana asam: pH 5-6) atau

bakteriostatik, tergantung pada pH dan kadarnya di dalam darah.

Spektrum kerjanya sangat sempit dan hanya meliputi M. tuberculosis

(Tjay dan Rahardja, 2007).

Mekanisme kerja pirazinamid berdasarkan pengubahannya

menjadi asam pirazinoat (POA) oleh enzim pyrazinamidase yang

berasal dari basil TUBERKULOSIS. Begitu pH dalam makrofag

diturunkan, maka kuman yang berada di “sarang” infeksi yang

menjadi asam akan mati. Khasiatnya diperkuat oleh isoniazid. Obat ini

khusus digunakan pada fase intensif, dan pada fase pemeliharaan bila

terdapat multiresistensi (Tjay dan Rahardja, 2007).

Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa Pirazinamid masuk

ke dalam M. tuberculosis melalui difusi pasif. POA (HPOA)

diabsorbsi masuk ke dalam basil pada kondisi asam dan menjadi

terakumulasi, menyebabkan pompa effluk tidak efisien, dan kemudian

terjadi kerusakan sel (Zhang dan Mitchison, 2003).

Pirazinamid dapat menghentikan pertumbuhan M. tuberculosis.

Mycobacterium tuberculosis mempunyai enzim pirazinamidase yang

aktif pada suasana asam. Enzim pyrazinamidase mengubah

Page 16: Proposal Penelitian Fix

16

pirazinamid menjadi bentuk aktif, yaitu asam pirazinoat, yang dapat

menghambat enzim asam lemak sintetase I (FASI), dimana enzim

tersebut dibutuhkan bakteri untuk sintesis asam lemak. Mutasi gen

pirazinamidase bertanggungjawab terhadap terjadinya resistensi M.

tuberculosis (Yee et al, 2008). Obat ini lebih aktif pada suasana asam

dan merupakan bakterisida kuat untuk bakteri tahan asam yang berada

dalam sel makrofag (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).

Waktu paruh pirazinamid rata-rata 10 jam. Pada pasien yang

sebelumnya pernah mengalami penyakit hati, waktu paruhnya dapat

meningkat menjadi 15 jam. Pirazinamid, yang merupakan turunan dari

asam nikotinat, dideamidase menjadi asam pirazinoat dalam hati dan

mengalami metabolism menjadi 5-hidroksi-asam pirazinoat oleh

xantin oksidase, aldehid oksidase, dan xantin dehidrogenase

(Saukkonen et al, 2006).

Pirozinamid diberikan dalam dosis kombinasi dengan obat anti

tuberkulosis lain seperti isoniazid dan rifampisin. Pirazinamid

diabsorbsi sangat baik jika diberikan peroral. Dosis 1 gram

menghasilkan kadar plasma sekitar 45 mikrogram/ml pada dua jam

setelah pemberian obat. Pirazinamid merupakan obat yang penting

dalam pengobatan meningitis tuberkulosis. Pirazinamid

dimetabolisme dalam hati dan metabolitnya di eksresi melalui ginjal

(Yee et al, 2008). Asam pirazinoat yang aktif mengalami hidroksilasi

menjadi asam hidropirazinoat yang merupakan metabolit utama. Masa

paruh eliminasi obat antara 10-16 jam (Istiantoro dan Setiabudy,

2007). Dosis pirazinamid setiap hari sebanyak 15-30 mg/kg, maksimal

2 gram. Dosis dua kali/minggu sebanyak 50-70 mg/kg, maksimal 4

gram. Dosis tiga kali/minggu sebanyak 50-70 mg/kg, maksimal 3

gram (Mansjoer et al, 2007).

Umumnya ( 1%) efek samping dari pirazinamid adalah nyeri

sendi (arthralgia), tetapi hal ini tidak menyebabkan pasien

menghentikan pengobatan pirazinamid. Efek sampingnya berupa

Page 17: Proposal Penelitian Fix

17

kerusakan hati dengan ikterus (hepatotoksik) terutama dengan dosis 2

gram sehari (Tjay dan Rahardja, 2007). Pengobatan harus segera

dihentikan bila ada tanda-tanda kerusakan hati semakin parah. Dosis

lama pirazinamid menggunakan 40-70 mg/kg/hari dan insiden

hepatitis berkurang secara signifikan sejak dosisnya diturunkan (Yee

et al, 2008). Bila pirazinamid diberikan dengan dosis 3 gram/hari,

gejala penyakit hati muncul kira-kira 15%. Gejala pertama adalah

peningkatan ALT, AST (Istiantoro dan Setiabudy, 2007). Secara

klinis, tidak mungkin membedakan penyebab hepatitis karena

pirazinamid dengan penyebab hepatitis karena isoniazid atau

rifampisin. Efek samping lain mencakup mual, muntah, anemia

sideroblastik, kulit memerah, urtikaria, pruritus, hiperurisemia,

disuria, nefritis interstisial, malaise, dan jarang porfiria dan demam

(Yee et al, 2008).

J. STREPTOMISIN

Gambar 4. Struktur Streptomisin (Jasril, 2009)

Streptomisin berkhasiat bakterisida terhadap kuman gram

negatif dan gram positif, termasuk M. tuberculosis dan beberapa M.

atipik. Streptomisin khusus aktif terhadap mikrobakteria ekstraseluler

yang sedang membelah aktif dan pesat (misalnya, di dalam cavernae).

Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sintesa protein

kuman dengan jalan pengikatan pada RNA ribosomal. Antibiotik ini

Page 18: Proposal Penelitian Fix

18

toksis untuk organ pendengaran dan keseimbangan, sehingga

dianjurkan tidak digunakan dalam waktu lama karena efek neurotoksis

terhadap saraf cranial ke 8 dapat menimbulkan ketulian permanen.

Gejala lain berupa pusing dan tinitus. Resorbsinya di usus buruk,

sehingga diberikan sebagai injeksi i.m. Obat ini masih digunakan

bersama dengan tiga obat lainnya untuk TUBERKULOSISC otak

yang sangat parah (meningitis) (Tjay dan Rahardja, 2007).

Dosis Streptomisin setiap hari sebanyak 15 mg/kg, maksimal 1

gram. Dosis dua kali/minggu sebanyak 25-30 mg/kg, maksimal 1,5

gram. Dosis tiga kali/minggu sebanyak 25-30 mg/kg, maksimal 1

gram (Mansjoer et al, 2007).

K. ETAMBUTOL

Derivat etilendiamin ini berkhasiat spesifik terhadap M.

tuberculosis dan M. atipik, tetapi tidak terhadap bakteri lain. Kerja

bakteriostatiknya sama kuat dengan INH, tetapi pada dosis terapi

kurang efektif dibandingkan obat-obat primer (Gunawan et al, 2009).

Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sintesa RNA

pada kuman yang sedang membelah, juga menghindarkan

terbentuknya asam mikolat pada dinding sel (Gunawan et al, 2009).

Reabsorbsinya baik (75 – 80 %) dan dengan mudah memasuki

eritrosit, yang berfungsi sebagai depot dan lambat laun melepaskan

kembali obat ke plasma. Penetrasinya ke CCD buruk. PP nya 20 – 30

% plasma t ½ nya 3 - 4 jam dan dapat meningkat samapi lebih kurang

8 jam pada gangguan ginjal. Ekskresinya pada ginjal (80%) dalam

bentuk utuh dan 15 % sebagai metabolit non aktif (Gunawan et al,

2009).

Efek sampingnya yang terpenting adalah neuritis optica (radang

pada saraf mata) yang mengakibatkan gangguan penglihatan dan buta

warna terhadap warna merah – hijau. Reaksi toksik ini baru timbul

pada dosis besar (diatas 50 mg/kg/hari) dan bersifat reversibel bila

Page 19: Proposal Penelitian Fix

19

pengobatan segera dihentikan, tetapi dapat menimbulkan kebutaan

bila pemberian obat dilanjutkan. Pasien dianjurkan memeriksakan

mata secara periodic, terutama kepekaan terhadap warna. Etambutol

juga meningkatkan kadar asam urat dalam plasma akibat penurunan

ekskresinya oleh ginjal. Etambutol dapat diberikan pada ibu hamil dan

masuk ke dalam air susu ibu (Tjay dan Rahardja, 2007).

Dosis etambutol setiap hari sebanyak 15 – 30 mg/kg, maksimal

2,5 gram. Dosis dua kali/minggu sebanyak 50 mg/kg. dosis tiga

kali/minggu sebanyak 25 – 30 mg/kg (Mansjoer et al, 2007).

G. Mekanisme Hepatotoksisitas Obat Anti Tuberkulosis pada Sel

Hati

Obat hepatotoksik dapat menyebabkan cedera hati secara

langsung, melalui produk radikal bebas atau metabolit intermediate,

yang dapat mengakibatkan peroksidasi membrane lipid sel hati. Pada

umumnya ada dua tipe mekanisme hepatotoksisitas, yaitu toksisitas

langsung dan idiosinkrasi (Dienstag dan Isselbacher, 2001).

Obat tuberkulosis mengalami proses biotransformasi di hati.

Proses ini dimulai dengan oksidasi atau metilasi yang dilakukan oleh

sitokrom P450 (reaksi fase I), kemudian diikuti proses glikoronidasi

(reaksi fase II) atau inaktivasi obat oleh glutathion. Kebanyakan obat

hepatotoksik terjadi pada fase I, dimana terbentuk metabolit toksik.

Kejadian hepatitis karena toksisitas langsung bersifat dapat diprediksi

dan tergantung dosis obat yang diberikan, sedangkan kejadian

hepatitis karena reaksi idiosinkrasi sulit diprediksi, dosis toksik obat

berbeda – beda tiap individu (Dienstag dan Isselbacher, 2001) dan

sering bersifat hipersensitif (Suasono, 1998). Reaksi idiosinkrasi

ditandai oleh suatu penundaan variable atau periode latensi, berkisar

antara 5 sampai 90 hari dari proses pencernaan awal obat, dan sering

fatal jika obat dilanjutkan lagi ketika reaksi sudah dimulai. Contoh

obat yang termasuk reaksi idiosinkrasi adalah isoniazid (Lee, 2003).

Page 20: Proposal Penelitian Fix

20

Cedera hati akibat pemakaian obat dapat terjadi melalui

(Crawford, 2005) :

1. Toksisitas langsung pada hati

2. Konversi dari xenobiotik menjadi toksin aktif dalam hati

3. Mekanisme imun, biasanya obat atau metabolitnya beraksi sebagai

hapten yang menyebabkan protein sel menjadi imunogen.

Derajat cedera hati karena obat TUBERKULOSIS bervariasi

dari perubahan nonspesifik ringan pada struktur hati menjadi hepatitis

fulminant, sirosis, dan kanker hati. Pasien yang menerima obat

antituberkulosis dapat mengalami hepatitis akut sampai hepatitis

kronis. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kadar metabolit

toksik lebih cepay pada pemberian isoniazid dengan rifampisin

daripada pemberian isoniazid tunggal. Dan hal ini menunjukkan efek

sinergis daripada aditif (Hussain et al, 2003). Isoniazid, pirazinamid

dan rifampisin menyenbabkan akut hepatoseluler melalui peningkatan

ALT > 3x batas normal (Chang dan Schiano, 2007).

Studi sebelumnya berpendapat bahwa gen dengan asetilator

cepat mempunyai factor resiko lebih besar terjadinya cedera sel hati

karena mereka mampu menghasilkan asetil isoniazid yang lebih

banyak daripada asetilator lambat, yang mana metabolit tersebut dapat

membentuk metabolit perantara yang lebih toksik. Tetapi pada

asetilator cepat dapat membersihkan Mono Asetil Hidrazin (MAH)

lebih besar. Pada asetilator lambat, terjadi akumulasi Mono Asetil

Hidrazin. Dengan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction

(PCR), menunjukkan bahwa asetilator lambat menyebabkan

peningkatan kadar transaminase 3x batas normal lebih sering daripada

asetilator cepat. Peningkatan kadar puncak transaminase juga lebih

tinggi pada asetilator lambat (Saukkonen et al, 2006).

Obat antituberkulosis menginduksi sitokrom P-4502Ei

(CYP2E1) dalam hati. Studi terbaru menunjukkan bahwa

polymorfisme dari gen N-acetyltransferase 2 (NAT2) dan glutathione-

Page 21: Proposal Penelitian Fix

21

S-transferase (GST) adalah factor resiko yang berhubiungan dengan

kejadian hepatitis karena obat anituberkulosis. GST dan NAT2 terlibat

dalam metabolism beberapa karsinogenik arylamines (Hussain et al,

2003).

Rute utama dari metabolisme isoniazid adalah asetilasi di

hati oleh N-asetil transferase yang menghasilkan asetilisoniazid.

Tingkat asetilasi ditentukan secara genetik. Asetilisoniazid

selanjutnya dihidrolisis kepada asam isonikotinat dan asetilhidrazine,

di mana kedua- duanyadiekskresikan melalui urin. Asam

isonikotinat kemudiannya terkonjugasi dengan glisin.

Asetilhidrazine dimetabolisme dengan selanjutnya kepada

diasetilhydrazine dan dapat dikonversi oleh enzim mikrosoma hati

kepada metabolit reaktif (disangka sebagai hidrazin) yang dianggap

bertanggung jawab untuk hepatotoksisitas yang disebabkan oleh

isoniazid. Hidrazones asam labil dari isoniazid dibentuk dengan

ketoglutarate dan piruvat, tapi karena substans ini tidak ditampilkan

untuk setiap tingkat dalam darah, mereka dianggap diproduksi di

dalam kandung kemih (Kumar, 2000).

Isoniazid mempunyai efek langsung atau melalui produksi

kompleks enzim – obat yang berakibat disfungsi sel, disfungsi

membrane, respon sitotoksik sel T. jenis reaksi yang terjadi adalah

hepatoselular (Bayupurnama, 2006).

Metabolit obat mungkin beraksi sebagai hapten dengan protein

sel yang secara imunologi menyebabkan cedera hati, termasuk di

dalamnya peran sitokrom P450. Bebrapa isoenzim sitokrom P450

dapat menginduksi dan merusak membrane sel hati secara imunologi

(Bayupurnama, 2006).

Banyak reaksi hepatoseluler melibatkan system sitokrom P450

yang mengandung heme dan menghasilkan reaksi energy tinggi yang

dapatt membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga

menghasilkan ikatan baru yang tak punya peran. Kompleks enzim-

Page 22: Proposal Penelitian Fix

22

obat ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel vesikel untuk

berperan sebagai imunogen – imunogen sasaran serangan sitolitik sel

T, merangsang respon imun multifase yang melibatkan sel sel T

sitotoksik dan berbagai sitokin (Bayupurnama, 2006). Proses nekrosis

hati dapat timbul akibat ikatan langsung antara bahan metabolit

dengan protein atau melalui proses imunologik dimana bahan

metabolit tersebut menjadi antigen. Pada umumnya berat ringan

kerusakan hati ditentukan oleh pola genetic serta ada tidaknya enzyme

inducer yang merangsang aktivitas enzim mikrosom (Suasono, 1998).

Rifampisin merupakan suatu penginduksi kuat enzim sitokrom

P450 dalam hati yaitu CYP3A4 dan CYP2D6 dan akan meningkatkan

metabolism bermacam-macam obat yang dibersihkan oleh hati

melalui system enzim ini (Trevor, 2004).

Rifampisin bisa menyebabkan ketergantungan dosis dengan

uptake bilirubin yang menyebabkan hiperbilirubinemia tidak

terkonjugasi atau ikterus tanpa kerusakan sel-sel hepar.

Hiperbilirubinemia terkonjugasi terjadi apabila rifampisin

menginhibisi pompa eksporter garam empedu yang mayor. Elevasi

bilirubin yang asimtomatik bisa menyebabkan persaingan

ketergantungan dosis dengan bilirubin untuk pengeluaran di membran

sinusoid atau dari sekresi yang terhambat di tahap kanalikuli (Kumar,

2000). Rifampisin menyebabkan kerusakan hepatoseluler melalui

nekrosis sentrilobuler hati, sedangkan isoniazid menyebabkan

nekrosis masif dan difus pada hati (Crawford, 2005). Rifampisin

meningkatkan reaksi idiosinkrasi metabolisme hepatoseluler pada

pasien yang menerima isoniazid. Hal ini mungkin disebabkan karena

induksi enzim sitokrom P450 yang menyebabkan terbentuknya

metabolit toksik isoniazid (Saukkonen et al, 2006).

Pirazinamid merupakan analog nikotinamid atau derivat asam

nikotinat (Istiantoro dan Setiabudy, 2007). Insiden hepatotoksisitas

pada pirazinamid selama terapi tuberkulosis aktif lebih tinggi daripada

Page 23: Proposal Penelitian Fix

23

obat antituberkulosis lain (Chang dan Schiano, 2007). Jenis reaksi

idiosinkrasi pada asam nikotinat adalah kolaps vaskuler. Efeknya pada

sel hati adalah iskemik dan hipoksia (Lee, 2003). Mekanisme

hepatotoksisitas yang tepat pada pirazinamid belum diketahui (Shakya

et al, 2006).

Pirazinamid mungkin memperlihatkan hepatotoksisitas yang

idiosinkratis dan tergantung diosis. Beberapa dekade yang lalu, dosis

harian pirazinamid sebanyak 40 – 50 mg/kg dapat menyebabkan

hepatotoksik. Pirazinamid mengubah kadar nikotinamid acetil

dehydrogenase pada hati tikus, yang mungkin menghasilkan radikal

bebas. Cedera sel hati yang terjadi mungkin karena mekanisme obat

yang sinergis antara isoniazid dengan pirazinamid. Hal ini disebabkan

karena ada persamaan beberapa struktur molekulernya. Pirazinamid

mungkin menyebabkan reaksi hipersensitivitas dengan eosinophilia

dan cedera sel hati atau mungkin hepatitis granulomatous (Saukkonen

et al, 2006).

IX. Kerangka Pemikiran

Page 24: Proposal Penelitian Fix

Nekrosis sel hati

Zat hepatotoksisk

Sitokrom P-450

Ikatan kovalen Asetil hidrazin—makromolekul hati

Tidak hepatotoksik

Free Acetyl Hydrazine

Microsomal enzyme inducerAsetil isoniazid

Hidrolisis

Pasein tuberkulosis kasus baru

Obat anti tuberculosis primer

Isoniazid Rifampisin EtambutolStreptomisinPirazinamid

Asetilasi

Peningkatan kadar nikotinamid asetil dehidrogenase

Iskemik dan hipoksia sel hati

mediator

Peningkatan kadar transaminase

24

Page 25: Proposal Penelitian Fix

25

DEWI, 11/25/13,
kotak disejajarkan,kotak nekrosis dibawah, kotak peningkatan kadar dibawah, kotak lain yang menyebabkan nekrosis diberi kotak putus-putus
Page 26: Proposal Penelitian Fix

26

X. Hipotesis

Ada hubungan antara pemberian obat anti tuberkulosis dengan kadar

transaminase. Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dapat

meningkatkan kadar transaminase pada pasien tuberkulosis kasus baru.

XI. Metodologi Penelitian

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan penilitian observasional dengan jenis desain

penelitian studi kohort karena peneliti tidak mengadakan intervensi

terhadap sampel dan sampel diamati dalam jangka waktu tertentu. Studi

kohort yang digunakan adalah studi kohort prospektif dengan sampel

yang belum pernah terpajan faktor risiko dan belum mengalami efek.

Kemudian sampel diobservasi dan dilakukan pengambilan data. Data

yang diperoleh kemudian diolah dan dideskripsikan.

B. Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Dr. Moewardi Surakarta

C. Subjek Penelitian

Populasi target : Pasien tuberkulosis kasus baru

Populasi terjangkau : Pasien tuberkulosis kasus baru yang berobat di

RSU Dr. Moewardi Surakarta

Kriteria inklusi :

Pasien tuberkulosis paru dan efusi pleura

Pasien tuberkulosis kasus baru berusia dewasa yang telah

mendapat pengobatan Obat Anti Tuberkulosis ≥ 4 minggu

Belum pernah diberi Obat Anti Tuberkulosis sebelumnya

Tes fungsi hati sebelum pemberian Obat Anti Tuberkulosis

dalam batas normal

Kriteria eksklusi :

DEWI, 11/25/13,
diperbaiki berapa waktu yang diperlukan untuk penelitian (harus disesuaikan dengan tinjauan pustaka)
DEWI, 11/25/13,
cohort = pengambilan data diikuti dari a wal -akhir, waktu akhir pengambilan data disesuaikan peneliti (berapa mnggu, bulan, dst), tidak harus pakai kontrolcross sectional=
Page 27: Proposal Penelitian Fix

27

Peminum alkohol

Menderita penyakit imunocompromise, seperti AIDS

Menderita tuberkulosis disertai penyakit lain yang dapat

mengganggu tes fungsi hati pada awal pemberian Obat Anti

Tuberkulosis

D. Sampel

Besar sampel yang diambil sebanyak 30 orang????

E. Teknik Sampling

Teknik sampling yang dipakai adalah purposive sampling???

F. Desain Penelitian

Studi Kohort

Peningkatan Transaminase

Pemberian

OAT

Gambar 7. Desain Penelitian

Risiko Relatif (RR) = a

(a+b ):

c(c+d )

G. Identifikasi Variabel

1) Variabel Bebas : Pemberian Obat Anti Tuberkulosis

2) Variabel Terikat : Kadar Transaminase

3) Variabel Luar

Ya Tidak Jumlah

Ya a b a+b

Tidak c d c+d

Jumlah a+c b+d a+b+c+d

DEWI, 11/25/13,
diperbaiki lagi
Page 28: Proposal Penelitian Fix

28

a) Variabel luar yang dapat dikendalikan:

Umur pasien, jenis kelamin

b) Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan

Status asetilator hati, status nutrisi, dan kadar albumin

H. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1) Pemberian Obat Anti Tuberkulosis

Resimen Pengobatan Saat Ini (metode DOTS) (Amin dan Bahar, 2006)

Fase Awal Fase Lanjutan

Kategori I BTA (+) dan

berat

2RHZS (E) 4RH

2RHZS(E) 4H3R3

2RHZS(E) 6HE

Kategori II Relaps dan

gagal

2RHZES/1RHZE 5RHE

2RHZES/1RHZE 5R3H3E3

Kategori III BTA (-) dan

minimal

2RHZ 4RH

2RHZ 4R3H3

2H3R3Z3 4R3H3

Kategori IV Kronik Tidak dapat

diaplikasikan

Tidak dapat

diaplikasikan

Dosis Isoniazid setiap hari 5 mg/kg, maksimal 300 mg. Dosis dua

kali/minggu sebanyak 15 mg/kg, maksimal 900 mg. Dosis tiga

kali/minggu sebanyak 15 mg/kg, maksimal 900 mg.

Dosis Rifampisin setiap hari sebanyak 10 mg/kg, maksimal 600

mg. Dosis dua kali/minggu sebanyak 10 mg/kg, maksimal 600 mg.

Dosis tiga kali/minggu sebanyak 10 mg/kg, maksimal 600 mg.

Page 29: Proposal Penelitian Fix

29

Dosis Pirazinamid setiap hari sebanyak 15-30 mg/kg, maksimal 2

gram. Dosis dua kali/minggu sebanyak 50-70 mg/kg, maksimal 4 gram.

Dosis tiga kali/minggu sebanyak 50-70 mg/kg, maksimal 3 gram.

Dosis Streptomisin setiap hari sebanyak 15 mg/kg, maksimal 1

gram. Dosis dua kali/minggu sebanyak 25-30 mg/kg, maksimal 1,5

gram. Dosis tiga kali/minggu sebanyak 25-30 mg/kg, maksimal 1 gram.

Dosis Etambutol setiap hari sebanyak 15-30 mg/kg, maksimal 2,5

gram. Dosis dua kali/minggu sebanyak 50 mg/kg. Dosis tiga

kali/minggu sebanyak 25-30 mg/kg (Mansjoer et al, 2007).

2) Kadar transaminase yang diperiksa

Aspartat Transaminase (AST) atau Glutamate

Oxaloacetate Transaminase (GOT)

Terdapat di dalam semua jaringan tubuh, terutama hati,

dan dalam semua jaringan tubuh terutama hati, ginjal,

dan otot rangka. Hanya sedikit yang terdapat di

sitoplasma, sebagian besar terikat pada organel sel. Kadar

normal SGOT berkisar 10-41 SI/l,

Alanin Aminotransferase (ALT) atau Glutamate

Pyruvate Transaminase (GPT)

Sebagian besar terikat di sitoplasma, ALT dan AST akan

meningkat bila terjadi kerusakan sel hati. Biasanya

peningkatan ALT lebih tinggi daripada AST pada

kerusakan hati yang akut, mengingat ALT merupakan

enzim yang hanya terdapat pada sitoplasma sel hati.

Sebaliknya, AST yang terdapat baik dalam sitoplasma

maupun mitokondria akan meningkat lebih tinggi dari

ALT pada kerusakan hati yang lebih dalam dari

sitoplasma sel. Keadaan ini ditemukan pada kerusakan

sel hati menahun. (Syahrizal, 2008). Kadar normal SGPT

berkisar 5-35 SI/l (Syahrizal, 2008).

Page 30: Proposal Penelitian Fix

30

3) Variabel luar yang dapat dikendalikan

Umur: pasien tuberkulosis yang berusia dewasa

Jenis kelamin : laki-laki dan perempuan

4) Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan

Status asetilator hati : semakin lambat status

asetilatornya, semakin besar peningkatan serum

transaminasenya

Status nutrisi : status nutrisi pasien buruk dapat

meningkatkan risiko hepatotoksisitas

Kadar albumin : albumin serum > 3,5 gram/dl dapat

meningkatkan risiko hepatotoksisitas

I. Instrumentasi dan Bahan Penelitian

1) Alat

a) Alat untuk membaca ALT dan AST : spektrofotometer

b) Spuit

c) Tabung sentrifuge

2) Bahan

a) Sampel darah pasien tuberkulosis

J. Teknik Analisis Data Statistik

Data yang didapat dianalisis secara statistik dengan…???

XII. Jadwal Penelitian

KegiatanMinggu ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Persiapan & Perijinan

Pengumpulan Data

Analisis Data

Penyusunan Laporan

Page 31: Proposal Penelitian Fix

31

Ujian skripsi

XIII. Daftar Pustaka

Amin Z, Bahar A. 2006. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Idrus A, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, p:1007.

Amirudin R (2009). Fisiologi dan biokimia hati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Idrus A, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, p:631.

Bayupurnama P (2006). Hepatotoksisitas imbas obat. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Idrus A, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, p : 473

Centers for Disease Control. 2003. Treatment of Tuberculosis. Report. CDC. 52:7

Chang CY dan Schiano TD. 2007. Review article : Drug hepatotoxicity. Alimentary Pharmacology & Theraupetics. Volume 25. Issue 10, pp: 1135-1151. http://www.blackwellsynergy.com/action/showFullText?submitFullText=Full+Text+HTML&doi=10.1111%2Fj.1365-2036.2007.03307.x. - Diakses Maret 2008.

Crawford JM (2005). Liver and biliary tract. Dalam : Kumar V, Abbas AK, Fausto N (eds). Robbins and Cotran Pathologic Basis Of Disease. Edisi VII. Philadelphia : Elsevier Inc, pp: 878-903.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan ke 8. DirJen P2M-PL. Departemen Kesehatan Jakarta.

Dienstag JL dan Isselbacher KJ (2001). Toxic and drug induced hepatitis. Dalam : Braunwald, Fauci, Kasper, Hauser, Longo, Jameson (eds). Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi 15. New York : Mc Graw Hill, p:1737.

eMedInfo (2012). Isoniazid. http://www.antibioticslist.com/isoniazid.html (diakses November 2013).

Page 32: Proposal Penelitian Fix

32

Erdman A (2004). Poisoning & drug overdose. Edisi V. Boston : Mc Graw Hill Co, pp: 233-4.

Gunawan, Sulistia Gan (2009). Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Hadi S (2000). Hepatologi. Bandung: Mandar Maju, pp: 539-40.

Hussain Z, et al. (2003). Antituberculosis drug-induced hepatitis: risk factors, prevention and management. Indian J Exp Biol. 11: 1226-32.

Istiantoro Yati H., Setiabudy Rianto. 2011. Tuberkulostatik dan Leprostatik. Dalam: Gunawan Sulistia Gan (ed). Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, p:613.

Jasril (2009). Bahan Alam Organik Sebagai Sumber Obat Moderen. Pekanbaru: Fakultas matematika dan ilmu Pengetahuan alam Universitas riau.

Kim PS, et al. (2007). Rifampin. USA : Merck & Co., Inc. http://www.merck.com.mmpe/lexicomp/rifampin.html. - Diakses Maret 2008.

Kumar, A., Misra P.K., Mehrotra, R., 2000. Hepatotoxicity of rifampicin andisoniazid: is it all drug induced hepatitis. Am Rev Respiratory Disease, 143 (5): 1350–1352.

Lee WM (2003). Drug-induced hepatotoxicity. N Engl J Med. 349:474-85.

Mansjoer A, et al. (2007). Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Edisi III. Cetakan ke-8. Jakarta: Media Aesculapius, pp : 472-475.

Mescher AL (2009). Histologi dasar junqueira teks & atlas. Edisi 12. Jakarta: EGC.

National Health Service (NHS). 2012. Tuberculosis. http://www.nhs.uk/Conditions/Tuberculosis/Pages/Introduction.aspx (diakses November 2013).

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2006. Tuberkulosis: Pedoman & Penatalaksanaannya di Indonesia. http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html (diakses November 2013).

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2009). Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Idrus A, Simadibrata M, Setiati S (eds).

Page 33: Proposal Penelitian Fix

33

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Prihatni Delita, Parwati Ida, Sjahid Idaningroem, Rita Coriejati. 2012. Efek Hepatotoksik Anti Tuberkulosis terhadap Kadar Aspartate Aminotransferase dan Alanine Aminotransferase Serum Pnederita Tuberkulosis Paru. UNAIR J Pathology. 1:2

Robbins SL dan Kumar V (2007). Buku Ajar Patologi Volume 2. Edisi 7. Jakarta: EGC, p: 685.

Saukkonen JJ, et al. (2006). An official ATS statement: hepatotoxicity of antituberculosis therapy. Am J Respir Crit Care Med. Vol. 174, pp : 935-52.

Shakya R, et al. (2006). Evaluation of risk factors for antituberculosis drugs-induced hepatotoxicity in nepalese population. Vol. II. No. 1. http://www.ku.edu.np/kuset/second_issue/o2/Rajani.pdf. - Diakses Maret 2008.

Sherlock, S. & Dooley, J. 2002. Diseases of the Liver and Biliary System. Edisi ke 11. London: Blackwell Publishing.

Suasono B (1998). Obat hepatotoksik pada anak. Cermin Dunia Kedokteran. No. 40. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09ObatHepatotoksikPadaAnak.html. - Diakses Maret 2008.

Syahrizal D (2008). Pengaruh proteksi vitamin C terhadap enzim transaminase dan gambaran histopatologis hati mencit yang dipapar plumbum. Universitas Sumatera Utara. Tesis.

Tjay TH dan Rahardja K (2007). Obat-obat penting khasiat, penggunaan, dan efek-efek sampingnya. Edisi Keenam. Jakarta : Gramedia, pp: 158-163.

Tortora GJ, Bryan D (2011). Principles of anatomy and phisiology. Edition 13th. John Wiley and Son’s, Inc.

Tostmann A, Boeree MJ, Aarnoutse RE, Lange WCM, Ven AJAM, Dekhuizen R (2008). Antituberculosis drug-induced hepatotoxicity : concise up to date review. Journal of Gastroenterology and Hepatology. 23:192-202

Trevor A, Katzung B, Masters S (2004). Katzung and Trevor’s Pharmacology. New York : McGraw-Hill.

Page 34: Proposal Penelitian Fix

34

World Health Organization (WHO). 2013. Global tuberculosis report 2013. Report, p:10.

Yee D, et al. (2003). Incidence of serious side effects from first-line antituberculosis drugs among patients treated for active tuberculosis. Am J.

Zhang Y dan Mitchison D (2003). The curious characteristic of pyrazinamide: a review. Int. J. Tuberc. Lung Dis. 7:6-21Resp Crit Care Med. 167 (11): 1472-7.