Proposal Penelitian

16
PROPOSAL PENELITIAN JENIS DAN POLA DISTRIBUSI EKTOPARASIT PADA KEPITING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI PERAIRAN DESA LAKARA KECAMATAN TINANGGEA KABUPATEN KONAWE SELATAN OLEH : Septian Bagus Widyacahya 135080101111001 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2015

description

contoh proposal

Transcript of Proposal Penelitian

Page 1: Proposal Penelitian

PROPOSAL PENELITIAN

JENIS DAN POLA DISTRIBUSI EKTOPARASIT PADA KEPITING RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI PERAIRAN DESA LAKARA

KECAMATAN TINANGGEA KABUPATEN KONAWE SELATAN

OLEH :

Septian Bagus Widyacahya

135080101111001

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2015

Page 2: Proposal Penelitian

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kepiting Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan kepiting laut yang banyak terdapat di Perairan Indonesia. Rajungan telah lama diminati oleh masyarakat baik di dalam negeri maupun luar negeri, oleh karena itu harganya relatif mahal. Daging kepiting ini selain dinikmati di dalam negeri juga di ekspor ke luar negeri seperti ke Jepang, Singapura dan Amerika. Rajungan di Indonesia sampai sekarang masih merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Sampai saat ini seluruh kebutuhan ekspor rajungan masih mengandalkan dari hasil tangkapan di laut (Mania 2007).

Menurut Mustafa dkk (2012), menyatakan bahwa Sulawesi Tenggara adalah salah satu pemasok bahan baku industri pengalengan Kepiting rajungan (Portunus pelagicus) yang merupakan komoditas ekspor penting dari sektor perikanan. Komoditi ini dihasilkan dari usaha perikanan dengan alat tangkap bubu hanyut yang tebuat dari besi dan pengoperasian dilakukan secara berderetan, dihubungkan pada tiap-tiap bubu, yang diberikan pemberat utama dan pelampung tanda yang berbendera (Amgyat, 1982 dalam Jafar 2011).

Parasit merupakan organisme yang hidupnya tergantung pada organisme lain dan memiliki hubungan timbal balik dengan organisme yang ditumpanginya. Organisme tempat parasit hidup dinamakan inang yang berperan sebagai sumber nutrien, tempat hidup dan tinggal. Parasit Kepiting rajungan artinya parasit yang hidup di tubuh Rajungan dan menjadikannya sebagai inang. Sedangkan ektoparasit adalah parasit yang melekat pada bagian permukaan tubuh (Noble et al, 1989).

Informasi tentang keberadaan parasit khsusunya ektoparasit di tubuh Rajungan dapat digunakan untuk perkembangan perikanan baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya serta kesehatan masyarakat. Pada kegiatan budidaya ektoparasit dapat menimbulkan kematian larva (Grabda, 1991). Sedangkan hubungan parasit dengan kesehatan masyarakat adalah berkaitan dengan Zoonosis, yaitu infeksi yang secara alamiah dapat berpindah antara hewan dengan manusia, dimana manusia terinfeksi bila memakan organisme yang telah terinfeksi ektoparasit dari larva Nematoda. Efek yang timbul dapat berupa inflamasi, pendarahan dan pembengkakan pada usus (Grabda, 1991).

Menurut Sinderman (1990), efek ekonomis yang diakibatkan oleh infeksi ektoparasit dalam kegiatan penangkapan maupun budidaya yaitu dapat berupa pengurangan populasi, penurunan bobot dan penolakan konsumen akibat adanya perubahan morfologi. Menyikapi akan bahaya yang timbul akibat serangan ektoparasit maka perlu dilakukan identifikasi dan intensitas ektoparasit pada Rajungan yang di tangkap dengan alat tangkap bubu di Desa Lakara, Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan. Untuk itu langkah yang paling awal adalah mengetahui jenis-jenis ektoparasit yang menginfeksi Kepiting rajungan.

Page 3: Proposal Penelitian

B. Rumusan Masalah

Banyaknya manfaat yang dapat diambil dari informasi tentang identifikasi dan intensitas serta pola distribusi ektoparasit pada Kepiting rajungan (P. pelagicus), untuk perkembangan perikanan dan kesehatan masyarakat serta masih sedikitnya informasi tentang ektoparasit yang menginfeksi Kepiting rajungan (P. pelagicus) sehingga perlu dilakukanya penelitian ini. Penelitian ini difokuskan terhadap pola ditribusi serta identifikasi dan intensitas ektoparasit yang menginfeksi Kepiting rajungan (P. pelagicus) yang berlokasi di desa Lakara, Kecematan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan.

C. Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi serta menghitung intensitas ektoparasit pada Kepiting rajungan (P. pelagicus) yang ditangkap dengan alat tangkap bubu di perairan desa Lakara Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konewe Selatan.

Kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang berbagai jenis dan pola distribusi ektoparasit pada Kepiting rajungan yang tertangkap dengan alat tangkap bubu di perairan desa Lakara, Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konewe Selatan.

.

Page 4: Proposal Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi dan Morfologi

Kepiting Rajungan hidup pada kedalaman air laut sampai 40 m, pada daerah pasir, lumpur, atau pantai berlumpur. Klasifikasi Kepiting rajungan Menurut Mirzads (2009) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Athropoda

Kelas : Crustasea

Ordo : Decapoda

Famili : Portunidae

Genus : Portunus

Species : Portunus pelagicus

Gambar 1. Morfologi Kepiting Rajungan (Portunus pelagicus)

Menurut Nontji (1986), ciri morfologi rajungan mempunyai karapaks berbentuk bulat pipih dengan warna yang sangat menarik kiri kanan dari karapas terdiri atas duri besar, jumlah duri-duri sisi belakang matanya 9 buah. Rajungan dapat dibedakan dengan adanya beberapa tanda-tanda khusus, diantaranya adalah pinggiran depan di belakang mata, rajungan mempunyai 5 pasang kaki, yang terdiri atas 1 pasang kaki (capit) berfungsi sebagai pemegang dan memasukkan makanan kedalam mulutnya, 3 pasang kaki sebagai kaki jalan dan sepasang kaki terakhir mengalami modifikasi menjadi alat renang yang ujungnya menjadi pipih dan membundar seperti dayung. Oleh sebab itu, rajungan dimasukan kedalam golongan kepiting berenang (swimming crab).

Ukuran rajungan antara yang jantan dan betina berbeda pada umur yang sama. Yang jantan lebih besar dan berwarna lebih cerah serta berpigmen biru terang. Sedang yang betina berwarna sedikit lebih coklat (Mirzads 2009). Rajungan jantan mempunyai ukuran tubuh lebih besar dan capitnya lebih panjang daripada betina. Perbedaan lainnya adalah warna dasar, rajungan jantan berwarna kebiru-biruan dengan bercak-bercak putih terang, sedangkan betina berwarna dasar kehijau-hijauan dengan bercak-bercak putih agak suram. Perbedaan warna ini jelas pada individu yang agak besar walaupun belum dewasa (Moosa 1980 dalam Fatmawati 2009).

Ukuran rajungan yang ada di alam bervariasi tergantung wilayah dan musim. Berdasarkan lebar karapasnya, tingkat perkembangan rajungan dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu juwana dengan lebar karapas 20-80 mm, menjelang dewasa dengan lebar 70-150 mm, dan dewasa dengan lebar karapas 150-200 mm (Mossa 1980 dalam Fatmawati 2009). Secara umum morfologi rajungan berbeda dengan kepiting bakau, di mana rajungan (Portunus pelagicus)

Page 5: Proposal Penelitian

memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan capit yang lebih panjang dan memiliki berbagai warna yang menarik pada karapasnya. Duri akhir pada kedua sisi karapas relatif lebih panjang dan lebih runcing.

B. Habitat dan Penyebaran

Menurut Moosa (1980) habitat rajungan adalah pada pantai bersubstrat pasir, pasir berlumpur dan di pulau berkarang, juga berenang dari dekat permukaan laut (sekitar 1 m) sampai kedalaman 65 meter. Rajungan hidup di daerah estuaria kemudian bermigrasi ke perairan yang bersalinitas lebih tinggi untuk menetaskan telurnya, dan setelah mencapai rajungan muda akan kembali ke estuaria (Nybakken 1986).

Rajungan banyak menghabiskan hidupnya dengan membenamkan tubuhnya di permukaan pasir dan hanya menonjolkan matanya untuk menunggu ikan dan jenis invertebrata lainnya yang mencoba mendekati untuk diserang atau dimangsa. Perkawinan rajungan terjadi pada musim panas, dan terlihat yang jantan melekatkan diri pada betina kemudian menghabiskan beberapa waktu perkawinan dengan berenang (Susanto 2010).

Menurut Juwana (1997), rajungan hidup di berbagai ragam habitat, termaksud tambak-tambak ikan di perairan pantai yang mendapatkan masukan air laut dengan baik. Kedalaman perairan tempat rajungan ditemukan berkisar antara 0-60 m. Substrat dasar habitat sangat beragam mulai dari pasir kasar, pasir halus, pasir bercampur lumpur, sampai perairan yang ditumbuhi lamun.

Menurut Nontji (1986) dalam Jafar (2011), rajungan merupakan salah satu jenis dari famili Portunidae yang habitatnya dapat ditemukan hampir di seluruh perairan pantai Indonesia, bahkan ditemukan pula pada daerah-daerah subtropis. Nyabakken (1986) mengemukakan bahwa rajungan hidup sebagai binatang dewasa di daerah estuaria dan di teluk pantai. Rajungan betina bermigrasi ke perairan yang bersalinitas lebih tinggi untuk menetaskan telurnya dan begitu stadium larvanya dilewati rajungan muda tersebut bermigrasi kembali ke muara estuaria.

Rajungan hidup pada kedalaman air laut sampai 40 m, pada daerah pasir, lumpur, atau pantai berlumpur (Coleman 1991).

C. Siklus Hidup Kepiting Rajungan (P. pelagicus)

Menurut Effendy dkk. (2006), rajungan hidup di daerah estuaria kemudian bermigrasi ke perairan yang mempunyai salinitas lebih tinggi. Saat telah dewasa, rajungan yang siap memasuki masa perkawinan akan bermigrasi di daerah pantai. Setelah melakukan perkawinan, rajungan akan kembali ke laut untuk menetaskan telurnya.

Saat fase larva masih bersifat planktonik yang melayang-layang di lepas pantai dan kembali ke daerah estuaria setelah mencapai rajungan muda. Saat masih larva, rajungan cenderung sebagai pemakan plankton. Semakin besar

Page 6: Proposal Penelitian

ukuran tubuh, rajungan akan menjadi omnivora atau pemakan segala. Jenis pakan yang disukai saat masih larva antara lain udang-udangan seperti rotifera sedangkan saat dewasa, rajungan lebih menyukai ikan rucah, bangkai binatang, siput, kerang-kerangan, tiram, mollusca dan jenis krustacea lainnya terutama udang-udang kecil, pemakan bahan tersuspensi di daratan lumpur (Effendy, dkk 2006).

D. Alat dan Tehnik Penangkapan

Alat tangkap yang digunakan dalam menangkap Kepiting rajungan (P. pelagicus) yaitu bubu hanyut. Menurut Amgyat (1982) dalam Jafar (2011), bubu hanyut merupakan alat tangkap rajungan yang terbuat dari besi dengan ukuran 80x60 cm, seperti yang disajikan pada Gambar 2. Pengoperasian bubu dilakukan secara berderetan, dihubungkan pada tiap-tiap bubu, yang diberikan pemberat utama dan pelampung tanda yang berbendera. Bubu dioperasikan selama 24 – 48 jam.

Gambar 2. Bubu yang terbuat dari besi

E. Hubungan antara Inang dan Ektoparasit

Ektoparasit adalah parasit yang melekat pada bagian permukaan tubuh inang. Ektoparasit mempunyai habitat yang berbeda pada bagian permukaan tubuh inang sebagai tempat hidupnya. Parasit yang menginfeksi bagian permukaan tubuh inang adalah protozoa, monogenea dan copepod. Akibat dari infeksi ektoparasit ini akan memberikan perubahan-perubahan baik pada jaringan organ tubuh maupun perubahan sifat-sifat inang secara umum Nourina dan Martiadi (2002) menyebutkan bahwa ektoparasit dapat merugikan inangnya dengan banyak cara, yaitu dengan mengisap darah, mengisap makanan hospes dan menyerap jaringan tubuh inang, akibat dari hal tersebut akan berdampak negatif pada inang yakni dapat merusak jaringan tubuh, menimbulkan gangguan mekanik, membawa bibit penyakit (vektor), menimbulkan penyumbatan secara mekanis, menurunkan resistensi tubuh hospes terhadap penyakit lainnya (Ratmin, 2002).

Menurut Izhar (1998) dalam Sarita dkk. (2003) bahwa ektoparasit adalah yang hidup pada permukaan tubuh inang atau rongga tubuh yang terbuka, seperti kulit, mata, sirip, insang dan mulut. Sedangkan menurut Anderson (1974) dalam Fatmah (2001) bahwa ektoparasit adalah suatu jenis penyakit yang menyerang bagian tubuh luar ikan. Bagian tubuh yang umumnya terinfeksi adalah bagian luar yaitu kulit, insang, sirip dan mata.

Pemeriksaan terhadap setiap hospes (inang) harus dimulai dari bagian luar tubuh misalnya kulit yang umumnya merupakan tempat tinggal copepoda, crustacea, nematoda monogenik dan beberapa jenis protozoa. Tampat berikut yang harus diperiksa adalah di dalam mulut dan insang, sebab pada kedua tempat tersebut, mungkin ditemukan cacing dari jenis yang sama pada kulit dan jenis-jenis lain (Noble dan Noble, 1989) dalam Sarita, dkk (2003).

Page 7: Proposal Penelitian

Menurut Afrianto dan Liviawaty (1992), menjelaskan bahwa untuk mengetahui jenis dan jumlah ektoparasit yang menempel pada tubuh inang perlu adanya identifikasi dan intensitas. Identifikasi pada dasarnya merupakan pengenalan dan deskripsi dari spesies yang kita teliti sedangkan intensitas adalah jumlah rata-rata ektoparasit yang menempel pada permukaan tubuh inang/organisme.

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Page 8: Proposal Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli – September 2014, pengambilan sampel penelitian bertempat di Desa Lakara, Kecamatan Tinanggea Kabuapaten Konawe Selatan dan pengamatan ektoparasit dilakukan di Laboratorium Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo, Kendari.

B. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Alat dan Bahan pada Penelitian

No Alat dan Bahan Kegunaan

C. Prosedur Penelitian

1. Pengambilan Sampel

Sampel Kepiting rajungan (P. pelagicus) diambil pada hasil tangkapan bubu di perairan desa Lakara, Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan. Pengambilan sampel dilakukan enam kali selama tiga bulan dengan selisih waktu 15 hari setiap pengambilan sampel. Kepiting rajungan dipilih yang kondisinya masih baik atau dalam keadaan hidup dan dikelompokan berdasarkan lebar karapasnya, tingkat perkembangan rajungan dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu juwana dengan lebar karapas 20-80 mm, menjelang dewasa dengan lebar 70-150 mm, dan dewasa dengan lebar karapas 150-200 mm.

2. Pemeriksaan/Identifikasi Ektoparasit

Prosedur pemeriksaan ektoparasit mengacu pada prosedur yang dikemukakan Kabata (1985) yaitu sebagai berikut :

- Mengamati bagian luar tubuh organisme, kemudian mencatat jika terjadi pendarahan, luka atau pembengkakan dan memperhatikan jenis organisme yang melekat pada tubuh Kepiting rajungan (P. pelagicus)

- Mengeruk bagian-bagian tertentu pada bagian luar tubuh rajungan seperti karapaks, kaki jalan, kaki renang dan insang,

- Mengambil dengan pingset kemudian meletakan pada objek glass yang telah disediakan dan diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 100X

- Melihat jenis ektoparasit yang telah ditemukan kemudian bandingkan pada buku identifikasi.

Page 9: Proposal Penelitian

3. Penghitungan Intensitas Ektoparasit

Intensitas merupakan kuantitas yang diukur berdasarkan ukuran dari suatu objek yang diteliti. Persamaan intensitas jenis ektoparasit dihitung dengan jumlah total parasit tertentu yang menginfeksi dibagi jumlah Portunus pelagicus yang terserang ektoparasit tertentu. Penghitungan intensitas ektoparasit menggunakan rumus Bush et al, (1997) yaitu sebagai berikut :

Dimana : I = Intensitas serangan ektoparasit (Individu/ekor)

p = Jumlah parasit yang ditemukan (Individu)

N= Jumlah sampel yang terinfeksi (ekor)

4. Perameter Kualitas Air

Parameter yang diukur dalam penelitian ini yaitu suhu perairan (0C), salinitas perairan (ppt) dan pH.

5. Analisis Data

Data sampel ektoparasit yang ditemukan dari hasil identifikasi dan intensitas serangan parasit pada Kepiting rajungan (P. pelagicus) serta data parameter kualitas perairan dianalisis secara deskriptif yaitu analisa data yang telah diperoleh secara sistematis dan terperinci dengan menggunakan bagan, diagram maupun tabel (Yusuf dkk, 2012).

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto dan Liviawaty, 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Kanisius. Yogiakarta. 110 hal.

Amgyat.N.T. 1982. Bahan dan Desain Jaring Insang Hanyut. Jakarta. 12 hlm.

Page 10: Proposal Penelitian

Bush, A. O., Lafferty, K.D., Lotz, J.M., and Shostak, W. 1997. Parasitology Meets Ecologi on its Own Terms Morgolis. Resivited. Parasitology. 83:575-583.

Coleman. N. 1991. Encyclopedia of marine animals. Angus & Robertson, An Inprint of harper colling Publishers. Australia, 324 pp.

Effendy, S., Sudirman, S. Bahri, E. Nurcahyono, H. Batubara, dan M. Syaichudin. 2006. Petunjuk Teknis Pembenihan Rajungan (Portunus Pelagicus Linnaenus). Diterbitkan Atas Kerjasama Departemen Kealutan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan dengan Balai Budidaya Air Payau, Takalar.

Fatmawati. 2009. Kelimpahan Relatif dan Struktur Ukuran Rajungan Di Daerah Mangrove Kecamatan Tekolabbua Kabupaten Pangkep.Skripsi. Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Grabda, J. 1991. Marine Fish Parasitogy : An Outline. Weinheim. New York. PWN-Polish Scientific Publishers. Warszawa. hal 3-267.

Jafar, L. 2011. Perikanan Rajungan Di Desa Mattiro Bombang (Pulau Salemo, Sabangko Dan Sagara) Kabupaten Pangkep. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar. 105 hal.

Juwana, S. 1997. Tinjauan tentang Perkembangan Penelitian Budidaya Rajungan (Portunus pelagicus,Linn). Oseana 22(4); 1-12.

Kabata, Z. 1985. Parasites dan Diseases of Fish Cultured in The Tropics. Taylor & Francis, London, Philadelphia. 317 pp.

Mania. 2007. Pengamatan Aspek Biologi Rajungan dalam Menunjang Teknik Perbenihannya. http://ikanmania.wordpress.com/2007/12/31/ pengamatan- aspek-biologi- rajungan- dalam- menunjang- teknik perbenihannya. (Akses 11 Juni 2014).

Mirzads. 2009. Pengemasan Daging Rajungan Pasteurisasi dalam Kaleng. http://mirzads.wordpress.com/2009/02/12/pengemasan-daging-rajungan pasteurisasi-dalam-kaleng/. (Akses 12 Juni 2014).

Moosa, M. K. 1980. Beberapa Catatan Mengenai Rajungan dari Teluk Jakarta dan Pulau-Pulau Seribu. Sumberdaya Hayati Bahari, Rangkuman Beberapa Hasil Penelitian Pelita II. LON-LIPI, Jakarta. Hal 57-79.

Mustafa, A., Abdullah dan D. Oetama. 2011. Studi Disain dan Pengoperasian Long Line Pots sebagai Alat Penangkap Rajungan (Swimming Crab) yang Efisien dan Ramah Lingkungan. Laporan Penelitian. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo. Kendari.

Page 11: Proposal Penelitian

Noble, E. R., G. A. Noble, G. A. Schad dan A. J. McInnes, 1989. Parasitology : The Biologi Of Animal Parasiter. 6 th Ed. Lea end Febiger. Philadelphia. London. 549 hal.

Nourina dan Martiadi, 2002. Inventrisasi Parasit Pada Tubuh Ikan. PT. Rineka Cipta. Jakarta. 130 Hal.

Nontji, A. 1986. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta. 105 hlm.

Nyabekken, J.W. 1986. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Biologi. Penerbit Gramedia, Jakarta.

Ratmin, R. 2002. Inventarisasi Ektoparasit dan Endoparasit Pada Tubuh Ikan Lema (Rastrelliger canagurta, curiver) di Perairan Seri Kotamadya Ambon. Skripsi. Fakultas Perikanan Universitas Pattimura. Ambon. 100 hal.

Sarita, A., H., Nurdin, A., R., Nur, I., dan Riani, I., 2003. Penuntun Praktikum Parasit dan penyakit Ikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Haluoleo. Kendari.

Sinderman, C. J. 1990. Diseases of Marine Fish in Principal and Shellfish. Vol 1 Second Edition. Academic Press, Inc. San Diego. California. 15 Hal.

Susanto, N. 2010. Perbedaan antara Rajungan dan Kepiting. http://blog.unila. ac.id/gnugroho/category/bahan-ajar/karsinologi/. (Akses 11 Juni 2014).

Yusuf Irvansyah, M., Abdulgani, N., dan Mahasri, G., 2012. Identifikasi dan Intensitas Ektoparasit pada Kepiting Bakau (Scylla serrata) Stadia Kepiting Muda di Pertambakan Kepiting, Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Sains dan Seni ITS Vol. 1. Departemen Perikanan, Fakultas Perikanan Universitas Airlangga.