Proposal Penelitian
-
Upload
forestanugraha -
Category
Documents
-
view
10 -
download
4
description
Transcript of Proposal Penelitian
DAFTAR ISI
BAB 1...............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN............................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................................................4
1.3 Manfaat Penelitian...............................................................................................................5
BAB 2...............................................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................................6
2.1 Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue.................................................................6
2.2 Perilaku..............................................................................................................................40
BAB 3.............................................................................................................................................44
KERANGKA KONSEP..................................................................................................................44
BAB 4.............................................................................................................................................45
METODOLOGI PENELITIAN......................................................................................................45
4.1 Desain Penelitian...............................................................................................................45
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian.............................................................................................45
4.3 Populasi dan Sampel..........................................................................................................45
4.3.1 Populasi...................................................................................................................45
4.3.2 Sampel.....................................................................................................................45
4.4 Kriteria Sampel..................................................................................................................46
4.4.1 Kriteria Inklusi........................................................................................................46
4.4.2 Kriteria Ekslusi.......................................................................................................47
4.5 Instrumen Penelitian..........................................................................................................47
4.6 Pengumpulan Data.............................................................................................................47
4.7 Definisi Operasional..........................................................................................................47
4.8 Aspek Pengukuran.............................................................................................................48
4.9 Pengolahan Data dan Analisis Data...................................................................................49
4.9.1 Pengolahan Data.....................................................................................................49
4.9.1 Analisis Data...........................................................................................................49
4.10 Alur Penelitian...................................................................................................................50
4.11 Jadwal Kegiatan.................................................................................................................50
1
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian..................................................................................................53
2
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan adalah tanggung jawab bersama dan setiap individu, masyarakat.
pemerintah dan swasta. Apa pun peran yang dimainkan pemerintah. tanpa kesadaran
individu dan masyarakat untuk secara mandiri menjaga kesehatan mereka. hanya sedikit
yang akan dicapai. Selain ini, adapun salah satu tujuan Indonesia Sehat 2015 yakni
mencegah terjadinya dan menyebarya penyakit menular sehingga tidak menjadi masalah
kesehatan masyarakat (Depkes RI.2014).
Demam berdarah dengue merupakan masalah utama penyakit menular di
berbagai belahan dunia. Selama 1 dekade angka kejadian atau incidence rate (IR) DBD
meningkat dengan pesat diseluruh belahan dunia. Diperkirakan 50 juta orang terinfeksi
DBD setiap tahunnya dan 2.5 miliar (1/5 penduduk dunia) orang tinggal di daerah
endemik DBD.
Pada tahun 2007, dalam angka Case Fatality Rate (CFR) untuk kasus DBD di
Indonesia menempati urutan ke empat di ASEAN dengan CFR 1.01 setelah Bhutan,
India, dan Myanmnar berurutan dan tertinggi. Sampai bulan September 2008, didapatkan
CFR untuk kasus DBD menurun menjadi 0.73, namun naik menjadi peringkat ke dua di
ASEAN setelah Bhutan. Puncak terjadinya DBD di Indonesia adalah pada bulan
Oktober-Februari. Sehingga perhitungan CFR hanya sampai bulan September di tahun
2008 belum tepat untuk menggambarkan CFR pada tahun 2008 (WHO, 2009).
Menurut data Dinas Kesehatan Kota Samarinda Tahun 2014, tercatat 1.511 kasus
DBD di Samarinda dan 14 diantaranya mengakibatkan penderita meninggal dunia. Di
lingkup wilayah kerja puskesmas Lempake dimana terdapat dua kelurahan yakni
Kelurahan Lempake sendiri terjadi 58 kasus, dimana 2 orang penderita meninggal dunia
dan di Kelurahan Tanah Merah terjadi 13 kasus selama periode Januari - November 2014.
Pada bulan Augustus 2014 terjadi peningkatan kasus demam berdarah pada daerah
kelurahan lempake terutama pada RT 19 & 20. Dimana pada didapatkan kasus kematian
pada warga RT. 19 yang diakibatkan komplikasi yakni Dengue Shock Syndrome (DSS)
3
dan pada RT. 20 didapatkan jumlah kasus terbanyak pada bulan tersebut yakni 9 kasus.
Oleh karena itu, pihak Puskesmas Lempake berinisiatif untuk melakukan intervensi untuk
mengurangi angka kejadian DBD di wilayah tersebut.
Pada bulan November-Desember 2014 telah dilakukan intervensi untuk mengurangi
angka kejadian DBD pada wilayah tersebut yang dilakukan oleh pihak puskesmas dan
dokter internship di wilayah tersebut. Intervensi yang dilakukan meliputi pemasangan
spanduk sesuai dengan topik DBD, pengaktifan dasawisma, pembentukan desa siaga,
penyuluhan tentang DBD pada masyarakat melalui kader jumantik serta pengaktifan
kartu bebas jentik yang dilaporkan secara berkala ke puskesmas.
Pada bulan September terjadi kembali peningkatan kasus demam berdarah di
Kelurahan Lempake RT 37 sebanyak 9 kasus. Adanya peningkatan kasus pada RT. 37
Kelurahan Lempake membuat peneliti tertarik untuk meneliti pola prilaku pencegahan
gigitan nyamuk pada warga daerah tersebut dibandingkan dengan warga RT 20 kelurahan
Lempake yang saat ini sudah diintervensi dengan berbagai program puskesmas. Peneliti
juga ingin meneliti apakah terdapat perbedaan signifikan pada warga yang telah diberikan
intervensi dan warga yang belum mendapatkan intervensi untuk merubah prilaku.
Sehingga dari penelitian ini dapat pula dinilai apakah intervensi yang diberikan efektif
dalam meningkatkan pola prilaku warga terhadap pencegahan DBD.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan permasalahan penelitian yaitu bagaimana hubungan tindakan
promotif dan preventif yang telah dilakukan Puskesmas Lempake dengan perilaku
masyarakat terhadap pencegahan demam berdarah.
1.3 Tujuan Penelitian1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan tindakan promotif dan preventif yang telah
dilakukan Puskesmas Lempake dengan perilaku masyarakat kecamatan lempake
terhadap pencegahan demam berdarah.
1.3.2 Tujuan Khusus
Untuk mengetahui :
1. Karakteristik responden berdasarkan
a. Umur
4
b. Jenis kelamin
c. Pekerjaan
d. Pendidikan Terakhir
2. Gambaran tingkat pengetahuan masyarakat kecamatan lempake terhadap
pencegahan demam berdarah.
3. Gambaran sikap masyarakat kecamatan lempake terhadap pencegahan demam
berdarah.
4. Gambaran tindakan masyarakat kecamatan lempake terhadap pencegahan
demam berdarah.
5. Hubungan tindakan promotif dan preventif yang telah dilakukan Puskesmas
Lempake dengan perilaku masyarakat kecamatan lempake terhadap
pencegahan demam berdarah.
1.3 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
1. Sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu yang didapatkan selama belajar di
Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Puskesmas Lempake.
2. Sebagai sarana memperluas pengetahuan peneliti Hubungan tindakan promotif
dan preventif yang telah dilakukan Puskesmas Lempake dengan perilaku
masyarakat kecamatan lempake terhadap pencegahan demam berdarah.
2.4.2 Bagi Puskesmas
Sebagai sarana informatif bagi pihak Puskesmas agar dapat menciptakan
lingkungan dan masyarakat yang bebas dari demam berdarah dengan cara
kegiatan promotif dan preventif.
2.4.3 Masyarakat
Penelitian ini diharap dapat bermanfaat bagi masyarakat agar dapat
memberi informasi bagi masyarakat sehingga dapat meningkatkan kesehatannya
secara mandiri.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue
2.1.1 Definisi
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic
fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan
plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan
cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah
demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok (Sudoyo, 2006).
2.1.2 Epidemiologi
Di Indonesia, demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dicurigai di Surabaya
pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta,
kasus pertama di laporkan pada tahun 1968. Sejak dilaporkannya kasus demam berdarah
dengue (DBD) pada tahun 1968 terjadi kecenderungan peningkatan insiden. Sejak tahun
1994, seluruh propinsi di Indonesia telah melaporkan kasus DBD dan daerah tingkat II
yang melaporkan kasus DBD juga meningkat, namun angka kematian menurun tajam
dari 41,3% pada tahun 1968, menjadi 3% pada tahun 1984 dan menjadi <3% pada tahun
1991 (Soedarmo, 2012)
Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi
disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat
penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi meteorologis.
Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi kematian
ditemukan lebih banyak terjadi pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Pada awal
terjadinya wabah di sebuah negara, pola distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus
terbanyak berasal dari golongan anak berumur <15 tahun (86-95%). Namun pada wabah
selanjutnya, jumlah kasus golongan usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia pengaruh
musim terhadap DBD tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus
6
meningkat antara September sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada bulan
Januari (Soedarmo, 2012)
Gambar 1.1 Negara dengan resiko transmisi dengue (WHO, 2011)
Beberapa faktor resiko yang dikaitkan dengan demam dengue dan demam
berdarah dengue antara lain : demografi dan perubahan sosial, suplai air, manejemen
sampah padat, infrastruktur pengontrol nyamuk, consumerism, peningkatan aliran udara
dan globalisasi, serta mikroevolusi virus. Indonesia berada di wilayah endemis untuk
demam dengue dan demam berdarah dengue. Hal tersebut berdasarkan penelitian WHO
yang menyimpulkan demam dengue dan demam berdarah dengue di Indonesia menjadi
masalah kesehatan mayor, tingginya angka kematian anak, endemis yang sangat tinggi
untuk keempat serotype, dan tersebar di seluruh area (WHO, 2011).
Selama 5 tahun terakhir, insiden DBD meningkat setiap tahun. Insiden tertinggi
pada tahun 2007 yakni 71,78 per 100.000 pddk, namun pada tahun 2008 menurun
menjadi 59,02 per 100.000 penduduk. Walaupun angka kesakitan sudah dapat ditekan
7
namun belum mencapai target yang diinginkan yakni <20 per 100.000 penduduk
(Depkes, 2008).
Gambar 1.2 Angka kesakitan dan kematian demam berdarah dengue di Indonesia
(Depkes, 2008)
2.1.3 Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam group B arthropod borne virus (arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai
genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm
terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106 (Sudoyo, 2006;
Soedarmo, 2012)
8
Gambar 1.3 Virus Dengue (Smith, 2002)
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat
serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Infeksi
dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe
yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungnan terhadap serotipe yang lain. Seseorang
yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe
selama hidupnya. Keempat jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai
daerah di Indonesia (Sudoyo, 2006; Soedarmo, 2012).
Virus Dengue dapat ditularkan oleh Nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes
albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang paling sering ditemukan.
Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah tropis, terutama hidup dan berkembang biak di
dalam rumah, yaitu tempat penampungan air jernih atau tempat penampungan air sekitar
rumah. Nyamuk ini sepintas lalu tampak berlurik, berbintik – bintik putih, biasanya
menggigit pada siang hari, terutama pada pagi dan sore hari. Jarak terbang nyamuk ini
100 meter. Sedangkan nyamuk Aedes albopictus memiliki tempat habitat di tempat air
jernih. Biasanya nyamuk ini berada di sekitar rumah dan pohon – pohon, tempat
menampung air hujan yang bersih, seperti pohon pisang, pandan, kaleng bekas. Nyamuk
ini menggigit pada siang hari dan memiliki jarak terbang 50 meter (Rampengan, 2008)
9
Gambar 1.4 Distribusi nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes albopictus (WHO,
2011)
2.1.4 Patogenenis
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan biokimiawi
demam berdarah dengue belum diketahui secara pasti karena kesukaran mendapatkan
model binatang percobaan yang dapat dipergunakan untuk menimbulkan gejala klinis
DBD seperti pada manusia. Hingga kini sebagaian besar masih menganut the secondary
heterologous infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang
menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang telah terinfeksi virus dengue
10
pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus serotype lain dalam jarak waktu 6
bulan sampai 5 tahun. (Soedarmo, 2012)
Gambar 1.5 Hipotesis secondary heterologus infections ( Soegijanto, 2006 )
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes
Aegypti atau Aedes Albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES meliputi sel
kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru.
Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makrofag
11
mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan
difagosit oleh sel monosit perifer (Soegijanto, 2006).
Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel
tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke
dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-
komponennya, baik komponen perantara maupun komponen struktural virus. Setelah
komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangan
biakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel (Soegijanto, 2006)
Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari Ig G yang berfungsi
menghambat replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing – antibody dan neutralizing
antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yang dibedakan berdasarkan adanya
virion determinant spesificity, yaitu (Soedarmo, 2012):
1. Kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi
memacu replikasi virus
2. Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu
replikasi virus.
Antibodi non neutralisasi yang terbentuk pada infeksi primer akan menyebabkan
terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi
virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe
dengue yang berbeda cenderung menimbulkan manifestasi berat. Dasar utama hipotesis
adalah meningkatnya reaksi imunologis (the immunological enhancement hypothesis)
yang berlangsung sebagai berikut (Soedarmo, 2012):
a. Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit, dan sel kupffer
merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus pertama
b. Antibodi non neutralisasi baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang melekat
pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada
permukaan sel fagosit mononuklear. Mekanisme pertama ini disebut mekanisme
aferen.
12
c. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang
telah terinfeksi
d. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke
usus, hati, lumpa, dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme eferen.
Parameter perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa syok adalah jumlah sel
yang terkena infeksi
e. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan sistem
humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang
mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi sistem koagulasi.
Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.
Limfosit T juga memegang peranan penting dalam patogenesis DBD. Akibat
rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue, limfosit dapat mengeluarkan interferon α
dan γ. Pada infeksi sekunder oleh virus dengue, Limfosit T CD4 berproliferasi dan
menghasilkan interferon α. Interferon α selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus
dengue dan mengakibatkan monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4 dan
CD8 spesifik virus dengue, monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator
yang akan menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan (Soedarmo, 2012).
Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang
menimbulkan “cross reaction” atau reaksi silang pada uji serologis, hal ini menyebabkan
diagnosis pasti dengan uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini dapat terjadi diantara ke
empat serotipe virus DEN. Infeksi oleh satu serotip virus DEN menimbulkan imunitas
protektif terhadap serotip virus tersebut, tetapi tidak ada “cross protectif” terhadap serotip
virus yang lain (Soegijanto, 2006)
2.1.5 Manifestasi Klinis
Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu (Pudjiadi, 2010):
1. Silent dengue atau Undifferentiated fever
13
Pada bayi, anak, dan dewasa yang terinfeksi virus dengue untuk pertama
kali mungkin akan berkembang gejala yang tidak bisa dibedakan dari infeksi
virus lainnya. Bercak maculopapular biasanya mengiringi demam. Biasanya juga
muncul gejala saluran pernafasan atas dan gejala gastrointestinal (WHO, 2011)
2. Demam dengue klasik
Demam dengue atau disebut juga dengan demam dengue klasik lebih
sering pada anak yang lebih tua, remaja, dan dewasa. Secara umum, manifestasi
berupa demam akut, terkadang demam bifasik disertai dengan gejala nyeri kepala,
mialgia, atralgia, rash, leukopenia, dan trombositopenia. Adakalanya, secara tidak
biasa muncul perdarahan gastrointestinal, hipermenorea, dan epistaksis masif.
Pada daerah yang endemis, insidensi jarang muncul pada penduduk lokal (WHO,
2011).
3. Demam berdarah Dengue ( Dengue Hemorrhagic fever)
Demam berdarah dengue lebih sering muncul pada anak usia kurang dari 15 tahun
pada daerah yang hiperendemis. Hal ini dikaitkan dengan infeksi virus dengue
berulang. Demam berdarah dengue memiliki karakteristik onset akut demam yang
sangat tinggi, disertai dengan tanda dan gejala yang sama dengan demam dengue.
Gejala perdarahan yang muncul dapat berupa tes torniquet yang positif, ptekie,
perdarahan gastrointestinal yang masif. Saat akhir dari fase demam, ada tendensi
untuk berkembang menjadi keadaan syok hipovolemik oleh karena adanya plasma
leakage (WHO, 2011).
Terdapat tanda bahaya, antara lain : muntah persisten, nyeri abdomen,
letargi, oligouria yang harus diketahui untuk mencegah syok. Kelainan hemostasis
dan adanya plasma leakage merupakan tanda utama dari demam berdarah dengue.
Trombositopenia dan peningkatan hematokrit harus segera ditemukan sebelum
muncul adanya tanda syok.
Demam berdarah dengue biasa terjadi pada infeksi sekunder virus dengue
yang mana sudah pernah terinfeksi oleh virus dengue DEN-1 dan DEN-3 (WHO,
2011)
14
4. Dengue Shock Syndrome (DSS)
Manifestasi yang tidak lazim melibatakn berbagai organ misalnya hepar,
ginjal, otak, dan jantung yang dikaitkan dengan infeksi dengue telah dilaporkan
meningkat pada berbagai kasus yang tidak memiliki bukti terjadinya plasma
leakage. Manifestasi tersebut dikaitkan dengan syok yang berkepanjangan (WHO,
2011).
Gambar 1.6 Manifestasi Klinis Infeksi Virus Dengue (Trihadi, 2012)
2.1.6 Demam Dengue
Masa inkubasi antara 4 – 6 hari (berkisar 3 – 14 hari) disertai gejala
konstitusional dan nyeri kepala, nyeri punggung, dan malaise (WHO,2011).
15
Awal penyakit biasanya mendadak dengan adanya trias yaitu demam tinggi, nyeri
pada anggota badan dan ruam/rash (Soedarmo, 2012).
Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39oC sampai 40oC dan demam bersifat
bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari (WHO, 2011).
Ruam kulit : kemerahan atau bercak-bercak merah yang terdapat di dada, tubuh serta
abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka. Ruam bersifat makulopapular yang
menghilang pada tekanan. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama
kali (hari sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari (Soedarmo, 2012).
Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan, di samping itu perasaan tidak nyaman
di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Gejala
klinis lainnya meliputi fotofobia, berkeringat, batuk. Kelenjar limfa servikal dilaporkan
membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai Castelani’s sign yang patognomonik
(Soedarmo, 2012).
Kelainan darah tepi demam dengue adalah leukopeni selama periode pra demam
dan demam, nutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia relatif dan
limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada masa konvalesens. Eusinofil
menurun atau menghilang pada permulaan dan pada puncak penyakit, hitung jenis
neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma meningkat pada periode
memuncaknya penyakit dengan terdapatnya trombositopenia. Darah tepi menjadi normal
kembali dalam waktu 1 minggu (Soedarmo, 2012).
Pada daerah endemis, tes torniquet yang positif dan leukopenia ( < 5.000
cell/mm3) dapat membantu penegakan diagnosis dari infeksi dengue dengan angka
prediksi 70 – 80 %. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan (WHO, 2011):
Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian
leukopeni hingga periode demam berakhir
Hitung trombosit normal, demikian pula komponen lain dalam mekanisme
pembekuaan darah. Pada beberapa epidemi biasanya terjadi trombositopeni
Serum biokimia/enzim biasanya normal, kadar enzim hati mungkin meningkat.
16
Peningkatan hematokrit ringan oleh karena akibat dari dehidrasi dikaitkan dengan
demam yang tinggi, muntah, anoreksia, dan minimnya intake oral.
Penggunaaan analgesik, antipiretik, antiemetik, dan antibiotik dapat
mengintervensi peningkatan hasil laboratorium fungsi hepar dan pembekuan
darah.
Demam Berdarah Dengue
Pada awal perjalanan penyakit, DBD menyerupai kasus DD. Pada DBD terdapat
perdarahan kulit, uji tornikuet positif, memar dan perdarahan pada tempat pengambilan
darah vena. Petekia halus tersebar di anggota gerak, muka, aksila sering kali ditemukan
pada masa dini demam. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai sedangkan
perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah
renjatan tidak dapat diatasi (Soedarmo, 2012).
Hati biasanya teraba sejak awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba 2-4 cm
dibawah lengkung iga kanan. Derajat pembesaran hati tidak berhubungan dengan
keparahan penyakit. Untuk menemukan pembesaran hati, harus dilakukan perabaan setiap
hari. Nyeri tekan di daerah hati sering kali ditemukan dan pada sebagian kecil kasus dapat
disertai ikterus. Nyeri tekan di daerah hati tampak jelas pada anak besar dan ini
berhubungan dengan adanya perdarahan(Soedarmo, 2012)
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan adanya trombositopenia sedang
hingga berat disertai hemokonsentrasi. Fenomena patofisiologis utama yang menentukan
derajat penyakit dan membedakan DBD dari DD ialah peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan diatesis hemoragik
(Soedarmo, 2012)
2.1.7 Dengue Shock Syndrome
Pada DSS dijumpai adanya manifestasi kegagalan sirkulasi yaitu nadi lemah dan
cepat, tekanan nadi menurun (<20mmHg), hipotensi, kulit dingin dan lembab dan pasien
tampak gelisah.
17
Gambar 1.7 Gambaran Skematis Kebocoran Plasma pada DBD
18
Gambar 1.8 Manifestasi Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue
2.1.8 Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO 2011 untuk diagnosis Demam Berdarah Dengue:
a. Kriteria Klinis
1. Demam
Demam mendadak terus menerus 2-7 hari tanpa sebab yang jelas. Tipe demam
bifasik (saddleback).
Gambar 1.9 Demam Bifasik pada Demam Berdarah Dengue
2. Manifestasi perdarahan, salah satu tergantung:
a. Uji torniket (+)
b. Petechie, ekhimosis ataupun purpura
c. perdarahan mukosa traktus gastrointestinal, epistaksis, perdarahan gusi
19
d. hematemesis dan melena
3. Hepatomegali
4. Kegagalan sirkulasi (tanda-tanda syok): ekstremitas dingin, nadi cepat dan
lemah, sistolik kurang 90 mmHg, dan tekanan darah menurun sampai tidak
terukur, kulit lembab, penyempitan tekanan nadi (< 20 mmHg), capillary refill
time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak gelisah.
b. Kriteria Laboratoris
1. Trombositopenia (trombosit < 100.000 /ul)
2. Hemokonsentrasi ( Peningkatan Ht 20% atau penurunan Ht 20% setelah
mendapat terapi cairan).
Penegakan diagnosis Demam Berdarah Dengue berdasarkan atas 2 kriteria klinis
ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit.
Pembagian derajat Demam Berdarah Dengue menurut WHO ialah :
a. Derajat I
Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah tes torniquet yang positif atau mudah memar.
b. Derajat II
Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan spontan.
Perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
c. Derajat III
Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah,
tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit
lembab dan penderita gelisah.
d. Derajat IV
Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat
diperiksa.
Tabel 1.1 Pembagian derajat Infeksi Virus Dengue
DD/DBD Grade Tanda dan Gejala Laboratorium
20
Demam
Dengue
Demam disertai 2 keadaan
berikut :
- Nyeri Kepala
- Nyeri retro-orbita
- Mialgia
- Rash
- Atralgia/Nyeri tulang
- Manifestasi perdarahan
- Tanpa disertai adanya
plasma Leakage
- Leukopenia
( < 5000 sel/mm3 )
- Trombositopenia
( < 150.000 sel/mm3 )
- Peningkatan Hematokrit
( 5 – 10 % )
- Tidak ditemukan kebocoran
plasma
DBD I Demam disertai
manifestasi perdarahan
(torniquet tes + ) dan
adanya plasma leakage
Trombositopenia
( < 100.000 sel/mm3 )
Hematokrit Meningkat
( > 20 % )
DBD II Grade I ditambah
perdarahan spontan
Trombositopenia
( < 100.000 sel/mm3 )
Hematokrit Meningkat
( > 20 % )
DBD
(DSS)
III Grade I atau II ditambah
adanya kegagalan
sirkulasi :
- pulsasi nadi yang
lemah,
- hipotensi,
- perbedaan sistole dan
diastole yang sempit
- kondisi umum gelisah
Trombositopenia
( < 100.000 sel/mm3 )
Hematokrit Meningkat
( > 20 % )
DBD
(DSS)
IV Grade III ditambah
dengan syok berat serta
nadi dan tekanan darah
yang tidak terukur
Trombositopenia
( < 100.000 sel/mm3 )
Hematokrit Meningkat
( > 20 % )
2.1.9 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu
ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan
21
pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan
perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran
plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit.
Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan
peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya
terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai
hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. Jumlah
leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan
limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok.
Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis
dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin,
faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada
sepertiga sampai setengah kasus DBD.
b. Pencitraan
Pada pemeriksaan radiologi dan USG kasus DBD, terdapat beberapa
kelainan yang dapat dideteksi yaitu, dilatasi pembuluh darah paru, efusi pleura,
kardiomegali dan efusi perikard, hepatomegali, cairan dalam rongga peritoneum,
penebalan dinding vesica felea.
c. Pemeriksaan Rumple leed test
Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah dengan cara
mengenakan pembendungan kepada vena-vena, sehingga darah menekan kepada
dinding kapiler. Dinding kapiler yang oleh suatu sebab kurang kuat akan rusak
oleh pembendungan itu, darah dari dalam kapiler itu keluar dari kapiler dan
merembes ke dalam jaringan sekitarnya sehingga nampak sebagai bercak merah
kecil pada permukaan kulit (petechiae).
Pemeriksaan dilakukan dengan memasang sfigmomanometer pada lengan
atas dan pompalah sampai tekanan berada ditengah-tengah nilai sistolik dan
diastolik. Pertahankan tekanan itu selama 10 menit, setelah itu lepaskan ikatan
dan tunggulah sampai tanda-tanda stasis darah lenyap lagi. Stasis darah telah
22
berhenti jika warna kulit pada lengan yang dibendung tadi mendapat lagi warna
kulit lengan yang tidak dibendung. Lalu carilah petechiae yang timbul dalam
lingkaran berdiameter 5 cm kira-kira 4 cm distal dari vena cubiti. Test dikatakan
positif jika terdapat lebih dari dikatakan positif 10 petechiae dalam lingkaran tadi.
d. Pemeriksaan lainnya :
Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahi infeksi virus
dengue yaitu (WHO, 2011):
- Isolasi Virus
Karakteristik serotypic/genotypic
- Deteksi Asam Nukleat Virus
Dengan RT-PCR (Reverse Transcripterase Polymerase Chain
Reaction)
- Deteksi Antigen Virus
Deteksi antigen NS1.
- Pemeriksaan serologis yang meliputi : Haemagglutination-inhibition
(HI), Complement Fixation (CF), Neutralization Test (NT), Ig M
capture enzyme-linked immunosorbent assay (MAC-ELISA),
danpemeriksaan Ig G ELISA indirect
Viremia pada pasien dengan infeksi dengue sangatlah pendek, yaitu muncul pada
2 – 3 hari sebelum onset demam dan bertahan hingga 4 – 7 hari saat sakit. Selama periode
ini, asam nukleat virus dan antigen virus dapat terdeteksi.
Respon antibodi dapat dilihat dari 2 jenis imunoglobulin. Antibodi Ig M dapat
terdeteksi pada 3 – 5 hari setelah onset, meningkat cepat selama 2 minggu, dan menurun
hingga tidak terdeteksi pada 2 – 3 bulan. Antibodi Ig G terdeteksi rendah pada akhir
minggu pertama, meningkat kemudian, dan menetap hingga bertahun – tahun. Pada
infeksi sekunder virus dengue, titer antibodi meningkat cepat. Antibodi Ig G terdeteksi
pada level tinggi, pada saat fase inisial, dan menetap hingga beberapa bulan. Antibodi Ig
23
M biasanya lebih rendah pada infeksi dengue sekunder. Oleh karena itu, perbandingan Ig
M/ Ig G digunakan untuk membedakan antara infeksi primer dan infeksi sekunder virus
dengue. Disebut infeksi primer jika perbandingan Ig M / Ig G lebih dari 1,2, dan disebut
infeksi sekunder jika perbandingan Ig M / Ig G kurang dari 1,2 (WHO, 2011).
Gambar 1.10 Deteksi jumlah Ig M dan Ig G pada Demam Berdarah Dengue
2.1.10 Diagnosis Banding
Diagnosis banding Demam Dengue terdiri atas ( WHO, 2011) :
a. Infeksi virus golongan Arbovirus : Chikungunya
b. Penyakit virus lainnya
Misalnya : Measles, Rubella, dan berbagai virus lainnya, seperti : Epstein barr
virus, Enterovirus, Influenza, Hepatitis A, Hantavirus
c. Penyakit bakterial
Meningocuccaemia, Leptospirosis, Thypoid, Meliodosis, Rackettsial disease,
Scarlet Fever
d. Penyakit parasit : Malaria
24
Pada fase awal demam dari demam berdarah dengue, diagnosis banding meliputi
infeksi spektrum luas oleh virus, bakteri, dan protozoa, sama halnya dengan diagnosis
banding dari demam dengue. Adanya trombositopenia disertai dengan hemokonsentrasi
membedakan demam berdarah dengue dengan penyakit yang lainnya. Hasil yang normal
dari ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate) dapat membedakan dengue dengan infeksi
bakteri dan syok septik (WHO, 2011).
Gambar 1.11 Manifestasi DBD dibandingkan dengan Demam Chikungunya
2.1.11 Komplikasi dan Penatalaksanaan Komplikasi
a. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok.
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok,
cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok teratasi cairan diganti
dengan cairan yang tidak mengandung HCO3-, dan jumlah cairan harus segera
dikurangi. Larutan laktar ringer dekstrosa segera ditukar dengan larutan Nacl
(0,9%) : glukosa (5%) = 3:1. untuk mengurangi edema otak diberikan kortikosteroid,
tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak
diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10 mg
25
selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan >60 mg/dl, mencegah terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu
diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan
pemberiaan oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat
diberikan neomisin dan laktulosa. Pada DBD ensefalopati mudah terjadi infeksi
bakteri sekunder, makaa untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis
(kombinasi ampisilin 100 mg/kgbb/hari + kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari). Usahakan
tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah)
untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
b. Kelainan Ginjal
Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal
akut. Dalam keadaan syok harus yakin benar bahwa penggantian volume
intravascular telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum
mencukupi 2 ml/kgbb/jam, sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan,
maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgbb dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan
untuk jumlah diuresis, kadar ureum, dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap
belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi dengan baik,
maka pemasangan CVP (central venous pressure) perlu dilakukan untuk pedoman
pemberian cairan selanjutnya.
c. Edema paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian
cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai
panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena
perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari
ruang ekstravaskular, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya
melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit),
pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan
ditunjang dengan gambaran edem paru pada foto roentgen dada. Gambaran edem
paru harus dibedakan dengan perdarahan paru.
26
2.1.12 Penatalaksanaan
Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya perubahan
fisiologi berupa perembesan plasma dan perdarahan. Perembesan plasma dapat
mengakibatkan syok, anoksia, dan kematian. Deteksi dini terhadap adanya perembesan
plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya syok,
Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase demam (fase febris) ke
fase penurunan suhu (fase afebris) yang biasanya terjadi pada hari ketiga sampai kelima.
Oleh karena itu pada periode kritis tersebut diperlukan peningkatan kewaspadaan.
Adanya perembesan plasma dan perdarahan dapat diwaspadai dengan pengawasan klinis
dan pemantauan kadar hematokrit dan jumlah trombosit. Pemilihan jenis cairan dan
jumlah yang akan diberikan merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Pemberian cairan
plasma, pengganti plasma, tranfusi darah, dan obat-obat lain dilakukan atas indikasi yang
tepat. (Hadinegoro, 2004)
Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan
biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk
dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang terampil,
sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah yang
senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera
dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka
kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada
waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan
tidak tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para
dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu
(fase kritis, fase syok) dengan baik. (Hadinegoro, 2004)
1. Demam Dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien
dianjurkan:
• Tirah baring, selama masih demam.
27
• Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.
• Untuk menurunkan suhu menjadi <39°C, dianjurkan pemberian parasetamol.
Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (kontraindikasi) oleh karena dapat meyebabkan
gastritis, perdarahan, atau asidosis.
• Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, disamping
air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.
• Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen.
Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan.
Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat
terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita
sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas
saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat
tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD
tanpa disertai gejala syok. Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa
nyeri perut hebat, buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa
seperti mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut
merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa segera ke rumah sakit.
Penerangan untuk orang tua tertera pada Lampiran 1. Pada pasien yang tidak mengalami
komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi. Tatalaksana DD
tertera pada Bagan 2 (Tatalaksana tersangka DBD). (Hadinegoro, 2004)
2. Demam Berdarah Dengue
Ketentuan Umum
Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit lain adalah
adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan
gangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi
mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka
keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis
yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya
kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan
plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal
28
terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit.
Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunan jumlah
trombosit sampai <100.000/µl atau kurang dari 1-2 trombosit/lpb (rata-rata dihitung pada
10 lpb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu.
Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan plasma dan merupakan
indikasi untuk pemberian cairan. Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan
awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit.
Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus dan
penurunan jumlah trombosit <50.000/µl. Secara umum pasien DBD derajat I dan II dapat
dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit
kelas B dan A.
Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat
simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila
cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut
yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-
kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi
lama demam pada DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk pemberian atau dapat
disederhanakan seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1
Dosis Parasetamol Menurut Kelompok Umur
Umur (tahun) Parasetamol (tiap kali pemberian)dosis (mg) Tablet (1 tab = 500 mg)
<1 60 1/81-3 60-125 1/8-1/44-6 125-250 1/4-1/27-12 250-500 1/2-1>12 500-1000 1-2
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi,
anoreksia dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis,
sirup, susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kgBB dalam 4-6 jam
29
pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100
ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum asi, tetap harus diberikan
disamping larutan oralit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan
antikonvulsif selama demam.
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode
kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam.
Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik
untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran
plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya
terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus
diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila
sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat
dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. (Hadinegoro, 2004)
Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan
dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb.(Hadinegoro,
2004)
Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase
penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah
penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus
diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3
jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit).
Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar
hematokrit, dan jumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat,
seminimal mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang
dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.(Hadinegoro, 2004)
Cairan intravena diperlukan, apabila (1) terus menerus muntah, tidak mau minum,
demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya
dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai hematokrit cenderung
meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari
derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan
30
NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB
intravena bolus perlahan-lahan. (Hadinegoro, 2004)
Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan
yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang
diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan
rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada tabel 2 dibawah ini.
(Hadinegoro, 2004)
Tabel 2
Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang (defisit cairan 5-8%)
Berat Badan Waktu Masuk RS(kg)
Jumlah cairanml/kg berat badan per hari
<7 2207-11 16512-18 132>18 88
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan
berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat
hemokonsentrasi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan
ideal untuk anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungan dari
tabel 3 berikut. (Hadinegoro, 2004)
Tabel 3
Kebutuhan Cairan Rumatan
Berat Badan (kg) Jumlah cairan (ml)10 100 per kg BB
10-20 1000 + 50 x kg (di atas 10 kg)>20 1500 + 20 x kg (di atas 20 kg)
Misalnya untuk berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500+(20x20)
=1900 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh karena perembesan
plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), maka
volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan plasma,
yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume yang
berlebihan dan terus menerus setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian.
31
Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi
cairan ekstravaskular kembali ke dalam intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak
dikurangi, akan menyebabkan edema paru dan distres pernafasan(Hadinegoro, 2004)
Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu
gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah, tekanan
nadi menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan peningkatan mendadak dari
kadar hematokrit atau kadar hematokrit meningkat terus menerus walaupun telah diberi
cairan intravena.(Hadinegoro, 2004)
Jenis Cairan (rekomendasi WHO)
Kristaloid
• Larutan ringer laktat (RL)
• Larutan ringer asetat (RA)
• Larutan garam faali (GF)
• Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)
• Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
• Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)
(Catatan: Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh
larutan yang mengandung dekstran)
Koloid
• Dekstran 40
• Plasma
• Albumin
3. Sindrom Syok Dengue
Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang
utama yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan
cepat mengalami syek dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pada
penderita SSD dengan tensi tak terukur dan tekanan nadi <20 mm Hg segera berikan
cairan kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB/jam seiama 30 menit, bila syok teratasi turunkan
menjadi 10 ml/kgBB.(Hadinegoro, 2004)
32
Penggantian Volume Plasma Segera
Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat >20 ml/kg BB. Tetesan
diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan berat badan lebih,
diberi cairan sesuai berat BB ideal dan umur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak ada perbaikan
pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat teratasi
setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada
perbaikan stop pemberian kristaloid dan beri cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10
ml/kg BB/jam. Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal
pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah
pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid syok masih menetap sedangkan kadar
hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi
darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap > tinggi, maka berikan darah dalam volume
kecil (10 ml/kgBB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/24 jam. Setelah keadaan klinis
membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dan kadar hematokrit.(Hadinegoro, 2004)
Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian Volume Plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan
kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dan
kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam.
Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan
lagi. (Hadinegoro, 2004)
Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, dibandingkan
nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa
keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48
jam syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat
terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar
hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia
dengan akibat edema paru dan gagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi
plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi.
33
Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda
terjadinya fase reabsorbsi.(Hadinegoro, 2004)
Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka
analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila
asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien
menjadi lebih kompleks. (Hadinegoro, 2004)
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan
dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat
KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.(Hadinegoro, 2004)
Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok.
Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula
pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.
(Hadinegoro, 2004)
Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien
syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi
darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk
mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi.
Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan klinis
walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan.
Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup
mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar trombosit. Plasma segar dan
atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID
biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat
menimbulkan kematian. Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial,
waktu protombin, dan fibrinogen degradation products harus diperiksa pada pasien syok
untuk mendeteksi terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan hematologis tersebut
juga menentukan prognosis.(Hadinegoro, 2004)
34
Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur
untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah:
• Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau
lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
• Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien
stabil.
• Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah,
dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi.
• Jumlah dan frekuensi diuresis.
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume
intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1
ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda
overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka selanjutnya furosemid 1
mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan jumlah diuresis, kadar ureum dan kreatinin tetap
harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok
belum dapat terkoreksi dengan baik, maka pemberian dopamin perlu dipertimbangkan.
(Hadinegoro, 2004)
Mengingat pada saat awal pasien datang, kita belum selalu dapat menentukan
diagnosis DD/DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman tatalaksana awal dapat dibagi
dalam 3 bagian, yaitu:(Suhendro, 2006)
1. Tatalaksana kasus tersangka DBD, termasuk kasus DD, DBD derajat I dan DBD
derajat II tanpa peningkatan kadar hematokrit. (Bagan 2 dan 3)
2. Tatalaksana kasus DBD, termasuk kasus DBD derajat II dengan peningkatan kadar
hematokrit. (Bagan 4)
3. Tatalaksana kasus sindrom syok dengue, termasuk DBD derajat III dan IV. (Bagan 5)
35
Bagan 2. Tatalaksana kasus tersangka DBD
Tersangka DBD
Demam tinggi, mendadakterus menerus <7 haritidak disertai infeksi saluran nafas bagian atas,badan lemah/lesu
Ada kedaruratan Tidak ada kedaruratan
Tanda syok Periksa uji torniquetMuntah terus menerusKejang Uji torniquet (+) Uji torniquet (-)Kesadaran menurun (Rumple Leede) (Rumple Leede)Muntah darahBerak darah
Jumlah trombosit Jumlah trombosit Rawat Jalan <100.000/µl >100.000/µl Parasetamol
Kontrol tiap hariTatalaksana sampai demam hilangdisesuaikan,(Lihat bagan 3,4,5)
Rawat Inap (lihat bagan 3)
Rawat Jalan Nilai tanda klinis & Minum banyak 1,5 liter/hari jumlah trombosit, Ht Parasetamol bila masih demam Kontrol tiap hari hari sakit ke-3 sampai demam turun periksa Hb, Ht, trombosit tiap kali
Perhatian untuk orang tua Pesan bila timbul tanda syok: gelisah, lemah, kaki/tangan dingin, sakit perut, BAB hitam, BAK kurang
Lab : Hb & Ht naik Trombosit turun
36
Tersangka DBD
Segera bawa ke rumah sakit
37
Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II
tanpa peningkatan hematokrit
DBD derajat I atau II tanpa peningkatan hematokrit
Gejala klinis:Demam 2-7 hariUji torniquet (+) atauperdarahan spontanLaboratorium: Hematokrit tidak meningkatTrombositopenia (ringan)
Pasien masih dapat minum Pasien tidak dapat minumBeri minum banyak 1-2 liter/hari Pasien muntah terus menerusAtau 1 sendok makan tiap 5 menitJenis minuman; air putih, teh manis,Sirup, jus buah, susu, oralitBila suhu >39oC beri parasetamol Pasang infus NaCl 0,9%:Bila kejang beri obat antikonvulsi dekstrosa 5% (1:3)Sesuai berat badan tetesan rumatan sesuai berat badan
Periksa Ht, Hb tiap 6 jam, trombositTiap 6-12 jam
Monitor gejala klinis dan laboratoriumPerhatikan tanda syokPalpasi hati setiap hariUkur diuresis setiap hari Ht naik dan atau trombosit turunAwasi perdarahanPeriksa Ht, Hb tiap 6-12 jam
Infus ganti RLPerbaikan klinis dan laboratoris (tetesan disesuaikan, lihat Bagan 4)
Pulang (Kriteria memulangkan pasien)• Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik• Nafsu makan membaik• Secara klinis tampak perbaikan• Hematokrit stabil• Tiga hari setelah syok teratasi• Jumlah trombosit >50.000/µl• Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
38
DBD derajat I atau II tanpa peningkatan hematokrit
Bagan 4. Tatalaksana kasus DBD derajat II dengan peningkatan
hematokrit >20%
DBD derajat I atau II dengan peningkatan hematokrit >20%
Cairan awal RL/RA/NaCl 0,9% atau RLD5/NaCl 0,9%+D5 6-7 ml/kgBB/jam
Monitor tanda vital/Nilai Ht & Trombosit tiap 6 jam
Perbaikan Tidak ada perbaikanTidak gelisah GelisahNadi kuat Distress pernafasanTek.darah stabil Frek.nadi naikDiuresis cukup Tanda vital memburuk Ht tetap tinggi/naik(12 ml/kgBB/jam) Ht meningkat Tek.nadi <20 mmHgHt turun Diuresis </tidak ada(2x pemeriksaan)
Tetesan dikurangi Tetesan dinaikkan10-15 ml/kgBB/jam
Perbaikan5 ml/kgBB/jam Evaluasi 12-24 jam
Tanda vital tidak stabil
PerbaikanSesuaikan tetesan
Distress pernafasan Ht turun 3 ml/kgBB/jam Ht naik
Tek.nadi < 20 mmHgIVFD stop setelah 24-48 jamApabila tanda vital/Ht stabil dan Koloid Transfusi darah segardiuresis cukup 20-30 ml/kgBB 10 ml/kgBB
Indikasi Transfusi pd Anak - Syok yang belum teratasi
Perbaikan - Perdarahan masif
39
DBD derajat I atau II dengan peningkatan hematokrit >20%
Bagan 5. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV(Sindrom Syok Dengue/SSD)
DBD derajat III & IV
1. Oksigenasi (berikan O2 2-4 liter/menit2. Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis)
Ringer laktat/NaCl 0,9%20ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)
Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ?Pantau tanda vital tiap 10 menitCatat balance cairan selama pemberian cairan intravena
Syok teratasi Syok tidak teratasiKesadaran membaik Kesadaran menurunNadi teraba kuat Nadi lembut/tidak terabaTekanan nadi >20 mmHg Tekanan nadi <20 mmHgTidak sesak nafas/sianosis Distress pernafasan/sianosisEkstrimitas hangat Kulit dingin dan lembabDiuresis cukup 1 ml/kgBB/jam Ekstrimitas dingin
Periksa kadar gula darah
Cairan dan tetesan disesuaikan 1. Lanjutkan cairan10 ml/kgBB/jam 15-20 ml/kgBB/jam
Evaluasi ketatTanda vital 2. Tambahkan koloid/plasmaTanda perdarahan Dekstran/FFPDiuresis Pantau Hb, Ht, Trombosit 3. Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam
Stabil dalam 24 jamTetesan 5 ml/kgBB/jam Syok belum teratasiHt stabil dalam 2x Syok teratasiPemeriksaan Ht turun Ht tetap tinggi/naik
Tetesan 3 ml/kgBB/jam Transfusi darah segar10 ml/kgBB Koloid 20 ml/kgBBdapat diulang sesuai
Infus stop tidak melebihi 48 jam kebutuhansetelah syok teratasi
40
DBD derajat III & IV
2.1.13 Prognosis
Bila tidak disertai renjatan dalam 24 – 36 jam, biasanya prognosis akan menjadi
baik. Kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda perbaikan, kemungkinan sembuh kecil dan
prognosisnya menjadi buruk (Rampengan, 2008). Penyebab kematian Demam Berdarah
Dengue cukup tinggi yaitu 41,5 %. (Soegijanto, 2001). Secara keseluruhan tidak terdapat
perbedaan antara jenis kelamin penderita demam berdarah dengue, tetapi kematian lebih
banyak ditemukan pada anak perempuan daripada laki – laki. Penyebab kematian tersebut
antara lain (Rampengan, 2008) :
1. Syok lama
2. Overhidrasi
3. Perdarahan masif
4. Demam Berdarah Dengue dengan syok yang disertai manifestasi yang tidak
syok
2.1.14 Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan adalah dengan cara Pengendalian vector virus
dengue. Pengendalian vektor bertujuan (Purnomo, 2010) :
1. Mengurangi populasi vektor serendah – rendahnya sehingga tidak berarti lagi
sebagai penular penyakit.
2. Menghindarkan terjadi kontak antara vektor dan manusia.
Cara efektif untuk pengendalian vektor adalah dengan penatalaksanaan
lingkungan yang termasuk perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pemantauan
aktivitas untuk modifikasi faktor-faktor lingkungan dengan suatu pandangan untuk
mencegah perkembangan vektor dan kontak manusia-vektor-patogen. Pengendalian
vektor dapat berupa (Purnomo, 2010):
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
a. Melakukan metode 4 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan, dan
monitor tempat perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap
keluarga,
b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan
c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
41
2. Foging Focus dan Foging Masal
a. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang
waktu 1 minggu
b. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam
jangka waktu 1 bulan
c. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan
menggunakan Swing Fog
3. Penyelidikan Epidemiologi
a. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam setelah
menerima laporan kasus
b. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus
4. Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
5. Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD.
Kewajiban pelaporan kasus dalam tempo 24 jam ke Dinas Kesehatan tingkat
II/Puskesmas tempat tinggal pasien merupakan keharusan yang sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan 560 tahun 1989 dengan tujuan kemungkinan terjadinya penularan
lebih lanjut, penyakit DBD dapat dicegah dan ditanggulangi sedini mungkin. Dengan
adanya laporan kasus pada Puskesmas/ Dinas Kesehatan tingkat II yang bersangkutan,
dapat dengan segera melakukan penyelidika epidemiologi di sekitar tempat tinggal kasus
untuk melihat kemungkinan resiko penularan (Soedarmo, 2012).
Apabila dari hasil penyelidikan epidemiologi diperoleh data adanya resiko
penularan DBD, maka pihak terkait akan melakukan langkah – langkah upaya
penanggulangan berupa : foging fokus dan abatisasi selektif. Tujuan abatisasi adalah
membunuh larva dengan butir – butir abate sand granule (SG) 1 % pada tempat
penyimpanan air dengan dosis ppm (part per milion) yaitu : 10 gram meter 100 liter air.
Selain itu dapat dilakukan dengan menggalakkan masyarakat untuk melakukan kerja
bakti dalan pemberantasan sarang nyamuk (Soedarmo, 2012).
42
2.2 Perilaku
Perilaku merupakan semua aktivitas manusia yang dapat diamati secara
langsung ataupun tidak langsung oleh orang lain. Perilaku dibedakan menjadi 2
berdasarkan bentuk respon terhadap stimulus :
1. Perilaku tertutup (Covert Behavior)
Respon ini terselubung atau tertutup karena tidak dapat diamati secara
jelas oleh orang lain. Perilaku tertutup dapat berupa perhatian, persepsi,
pengetahuan/kesadaran dan sikap, Misalnya : seorang ibu hamil mengetahui
bahwa pemeriksaan kehamilan itu penting, seorang pria mengetahui hubungan
seks merupakan media penularan HIV/AIDS.
2. Perilaku terbuka (Overt Behavior)
Respon ini merupakan tindakan terbuka karena dapat dengan mudah
diamati oleh orang lain. Perilaku ini berupa tindakan nyata atau praktik.
Misalnya : seorang ibu memeriksa kehamilannya atau membawa anaknya
imunisasi di Puskesmas Error: Reference source not found.
Respon yang muncul tergantung pada karakteristik dan faktor-faktor lain
dari orang yang bersangkutan. Hal tersebut menyebabkan stimulus yang sama
akan menghasilkan respon yang berbeda dari orang yang berbeda. Faktor-
faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut disebut determinan perilaku,
yaitu :
1. Determinan internal
Berupa karakteristik yang sifatnya given atau bawaan, misalnya : tingkat
kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan lain-lain.
2. Determinan eksternal
Berupa lingkungan orang yang bersangkutan misalnya : lingkungan fisik,
sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain-lain. Determinan ekternal
merupakan faktor yang dominanError: Reference source not found.
Dari penjelasan diatas bahwa perilaku adalah keseluruhan penghayatan
dan aktivitas yang merupakan hasil dari berbagai faktor. Artinya perilaku
manusia sangatlah kompleks. Perilaku itu sendiri memiliki 3 domain yaitu :
1. Pengetahuan (Knowledge)
43
Pengetahuan adalah domain yang sangat penting yang merupakan hasil dari
pengindraan terhadap objek tertentu. Pengindraan ini dapat dilakukan oleh
semua pancaindra namun sebagian besar pengetahuan didapat melalui indra
penglihatan dan pendengaran. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan
dengan wawancara atau angket yang berisi materi yang ingin diukur.
a. Proses adaptasi perilaku
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan bertahan lebih lama
daripada yang tanpa didasari pengetahuan, dalam mengadopsi perilaku
baru seseorang akan mengalami suatu proses, yaitu :
- Awareness (kesadaran), yaitu seseorang menyadari atau mengetahui
stimulus terlebih dahulu.
- Interest, yaitu mulai tertarik terhadap stimulus.
- Evaluation (menimbang-nimbang bahwa stimulus baik atau tidak bagi
orang yang bersangkutan) sikap responden telah lebih baik pada tahap
ini.
- Trial, telah mulai mencoba perilaku baru.
- Adoption, orang yang bersangkutan telah berperilaku baru sesuai
pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
b. Tingkat pengetahuan
Terdapat 6 tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif :
- Tahu (know)
Tahu dapat didefinisikan sebagai mengingat materi yang telah ada, ini
merupakan tingkat pengetahuan paling rendah.
- Memahami (comprehension)
Kemampuan untuk menjelaskan dan menginterpretasikan secara benar
suatu objek yang diketahui.
- Aplikasi (aplication)
Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari di
dalam kondisi nyata.
- Analisis (analysis)
Kemampuan untuk menjabarkan materi ke dalam komponen-
komponen tetapi masih ada kaitannya.
44
- Sintesis (synthesis)
Kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian ke dalam bentuk
keseluruhan yang baru.
- Evaluasi (evaluation)
Kemampuan melakukan penilaian terhadap materi atau objekError:
Reference source not found.
2. Sikap (Attitude)
Sikap adalah reaksi atau respon terhadap stimulus yang masih terselubung
atau tak dapat diamati namun dapat ditafsirkan. Sikap merupakan
predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap dapat diukur secara langsung
maupun tidak langsung. Pengukuran secara langsung dapat dilakukan
dengan cara menanyakan pendapat responden terhadap suatu objek
sedangkan yang tidak langsung bisa berupa setuju atau tidak setujunya
orang yang bersangkutan.
a. Komponen Pokok Sikap
- Kepercayaan, ide dan konsep terhadap suatu objek
- Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
- Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)
Komponen-komponen diatas bersama-sama membentuk sikap yang utuh.
Pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi berperan dalam menentukan
sikap yang utuh.
b. Berbagai Tingkatan Sikap
Terdapat empat tingkat dari sikap,yaitu :
- Menerima (receiving)
Menerima adalah dimana seseorang memperhatikan stimulus yang
diberikan.
- Merespon (responding)
Tingkat merespon adalah di mana seseorang memberi respon atau
jawaban apabila ditanya, dapat mengerjakan dan menyelesaikan tugas.
- Menghargai (valuing)
Menghargai adalah dimana seseorang mulai mengajak orang lain
untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.
45
- Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab adalah memilih sesuatu dengan segala
resikonyaError: Reference source not found.
3. Tindakan (Practice)
Untuk mewujudkan suatu sikap menjadi perbuatan yang nyata dibutuhkan
faktor pendukung antara lain fasilitas. Tindakan dapat diukur secara
langsung yaitu dengan cara observasi dan secara tidak langsung misalnya
dengan cara wawancara terhadap kegiatan yang telah dilakukan. Tindakan
memiliki beberapa tingkatan, yaitu :
a. Persepsi (perception)
Merupakan praktik tingkat pertama dimana orang yang bersangkutan
mengenal dan memilih berbagai objek sesuai dengan tindakan yang akan
diambil.
b. Respon terpimpin (guide response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai urutannya dengan benar dan sesuai
dengan contoh.
c. Mekanisme (mecanism)
Dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, dan telah
merupakan suatu kebiasaan.
d. Adopsi (adoption)
Tindakan telah berkembang dan dimodifikasi tanpa mengurangi
kebenaran dari tindakan tersebut Error: Reference source not found.
46
BAB 3
KERANGKA KONSEP
Keterangan :
47
Perilaku Terhadap Pencegahan DBD
Karakteristik RespondenJenis Kelamin UsiaPekerjaanpendidikan
Pengetahuan
Tindakan
Sikap
Faktor-Faktor yang mempengaruhi
Host
Lingkungan
Agen
Variabel yang diteliti
Variabel yang tidak diteliti
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian analitik
kategorik tidak berpasangan dengan desain kuantitatif menggunakan kuesioner.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah kerja Puskemas Lempake kota
Samarinda Rukun Tetangga (RT) 20 tempat yang telah dilakukan kegiatan
promotif serta preventif dan Rukun Tetangga 37 yang belum dilakukan kegiatan
promotif serta preventif oleh Puskesmas Lempake . Penelitian ini dilaksanakan
pada bulan Januari 2015.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh unit keluarga di RT 20 dan RT
37 Kelurahan Lempake.
4.3.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah sebagian dari seluruh unit keluarga di
RT 20 dan RT 37 Kelurahan Lempake. Setiap unit keluarga akan diwakili oleh
kepala keluarga atau pasangannya.
Rumus besar sampel yang digunakan adalah:
= deviat baku alfa
= deviat baku beta
48
= Proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya
= 1-
= Proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement peneliti
= 1-
= Selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna
= Proporsi Total =
= 1-
Besar sampel masing-masing kelompok kasus dan kontrol adalah sebesar 37
keluarga. Cara pengambilan sampel yang digunakan untuk kelompok kasus dan
kontrol adalah Simple Random Sampling. Cara pengambilan sampel yaitu, dengan
pengundian menggunakan nomor rumah sampai didapatkan 36 sampel untuk
masing-masing kelompok.
4.4 Kriteria Sampel
4.4.1 Kriteria Inklusi
1. Semua unit keluarga yang diwakili oleh kepala keluarga atau pasangannya yang
berdomisili di RT 20 dan RT 37 Kelurahan Lempake yang dibuktikan dengan
kepemilikan kartu keluarga.
2. Kepala keluarga atau pasangannya yang menetap di lokasi tempat penelitian
selama periode tahun 2014.
3. Semua kepala keluarga atau pasangannya pada RT 20 dan RT 37 Kelurahan
Lempake yang bersedia mengisi kuesioner.
49
4.4.2 Kriteria Ekslusi
1. Kepala keluarga atau pasangannya di RT 20 dan RT 37 Kelurahan Lempake
yang tidak bersedia mengisi kuisioner
2. Kepala keluarga atau pasangannya di RT 19 dan RT 37 Kelurahan Lempake
yang mengisi kuisioner dengan tidak lengkap.
4.5 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.
4.6 Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Primer yang
diperoleh melalui metode angket.
4.7 Definisi Operasional
Tabel 4.2Variabel Penelitian beserta Definisi Operasional, Hasil Ukur/Kategori dan Skalanya
No Variabel Definisi OperasionalHasil Ukur/kategori
Skala
1 Umur Waktu lama hidup Responden saat mengisi kuesioner
Dalam ukuran tahun
Ordinal
2 Jenis kelamin Fungsi seksual/gender siswa yang dituliskan dalam kuesioner
- Laki-laki- Perempuan
Nominal
3 Pekerjaan Kegiatan mencari nafkah yang dilakukan kepala keluarga atau pasangannya sehari-hari
-PNS-Swasta-Petani-Pedagang
Nominal
4 Pendidikan Pendidikan Terakhir kepala keluarga atau pasangannya yang dituliskan dalam kuesioner
- Tidak Sekolah
- SD- SMP- SMA- Sarjana
Ordinal
5 Pengetahuan Segala sesuatu yang diketahui oleh kepala keluarga atau pasangannya tentang demam berdarah dan pencegahannya
- Baik- Sedang- Kurang
Nominal
6 Sikap Respon atau reaksi - Baik Nominal
50
kepala keluarga atau pasangannya tentang demam berdarah dan pencegahannya
- Sedang- Kurang
7 Tindakan Perbuatan yang merupakan perwujudan dari pengetahuan dan sikap siswa yang diukur melalui kuesioner
- Pernah- Dulu pernah- Tidak pernah
Nominal
4.8 Aspek Pengukuran
1. Pengetahuan
Pengetahuan responden diukur melalui 7 pertanyaan. Dengan penilaian sebagai
berikut :
Pertanyaan nomor 1,2,3,4,5,6
Jika responden menjawab benar diberi skor 1, sedangkan yang menjawab
tidak beri diberi skor 0.
Pertanyaan nomor 7
Jika responden mengisi salah satu pilihan dari diberi skor 1, sehingga jika
menjawab semua pilihan diberi skor 4, sedangkan setiap pilihan yang tidak
di isi diberi skor 0.
Skor tertinggi yang dapat dicapai oleh responden adalah 10. Berdasarkan
jumlah skor yang diperoleh maka pengetahuan responden dapat dikategorikan
sebagai berikut :
a. Baik, jika jawaban responden mengetahui sebagian besar atau seluruhnya
tentang demam berdarah dengue, yaitu > 75 % dari nilai tertinggi, yaitu > 7.
b. Sedang, jika jawaban responden mengetahui sebagian tentang demam
berdarah dengue, yaitu 40-75 % dari nilai tertinggi, yaitu 4-7.
c. Kurang, jika responden hanya mengetahui sebagian kecil tentang demam
berdarah dengue, yaitu < 40 % dari nilai tertinggi yaitu <4.
d. Tidak berpengetahuan, jika responden tidak memiliki jawaban benar.
2. Sikap
Sikap diukur melalui 5 pertanyaan dengan menggunakan skala Guttman, setiap
pertanyaan yang dijawab setuju oleh responden akan diberi skor 1 sedangkan
51
jika menjawab tidak setuju diberi skor 0. Sehingga total skor tertinggi yang
dapat dicapai adalah 5.
a. Baik, jika jawaban responden > 75 % dari nilai tertinggi, yaitu > 4.
b. Sedang, jika jawaban responden 40-75 % dari nilai tertinggi, yaitu 2-4.
c. Kurang, jika jawaban responden < 40 % dari nilai tertinggi yaitu <2.
3. Tindakan
Sikap diukur melalui 5 pertanyaan dengan menggunakan skala Guttman, setiap
pertanyaan yang dijawab ya oleh responden akan diberi skor 1 sedangkan jika
menjawab tidak diberi skor 0. Sehingga total skor tertinggi yang dapat dicapai
adalah 5.
d. Baik, jika jawaban responden > 75 % dari nilai tertinggi, yaitu > 4.
e. Sedang, jika jawaban responden 40-75 % dari nilai tertinggi, yaitu 2-4.
f. Kurang, jika jawaban responden < 40 % dari nilai tertinggi yaitu <2.
4.9 Pengolahan Data dan Analisis Data
4.9.1 Pengolahan Data
Pada Penelitian ini Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
komputer program Microsoft Office Excel 2007 dan SPSS 18.0 dan penyajian data
dilakukan dalam bentuk tabel dan narasi.
4.9.1 Analisis Data
Analisis data yang terkumpul menggunakan analisis bivariat yang
bertujuan untuk mendapatkan Hubungan tindakan promotif dan preventif yang
telah dilakukan Puskesmas Lempake dengan perilaku masyarakat kecamatan
lempake terhadap pencegahan demam berdarah.
52
4.10 Alur Penelitian
4.11 Jadwal Kegiatan
KODEDesember Januari
1 2 3 4 1 2 3 4
Pembuatan Proposal Penelitian
Seminar Proposal
Revisi
Penelitian dan Pengolahan Data
Seminar Hasil
Keterangan :
A : Pembuatan Proposal Penelitian
B : Seminar Proposal
C : Revisi
D : Penelitian dan Pengolahan Data
E : Seminar Hasil
53
Meminta izin penelitian kepada Puskesmas Lempake dan ketua RT
yang yang bersangkutan
Mencatat dan mengolah data hasil penelitian
Meminta responden mengisi kuesioner
Melakukan Studi Pendahuluan dengan meminta data profil Puskesmas
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan. 2008. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyelamatan
Lingkungan. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di
Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.. Edisi 3. Jakarta.
2004.
Purnama, S. Gede. 2010. Pengendalian Vektor DBD. Denpasar : Program Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana.
Pusponegoro, Hardiono D. dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Edisi 1. Jakarta : Ikatan
Dokter Anak Indonesia
Rampengan, T.H. 2008. Penyakit Infeksi Tropis Edisi 2. Jakarta : EGC
Smith, Tracy. 2002. Dengue Virus. Nature Publishing Group.
Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi Tropis Edisi Kedua.
Jakarta : Universitas Indonesia
Soegijanto, Soegeng. 2001. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengu. Surabaya :
Tropical Disease Center (TDC) Universitas Airlangga Surabaya
Soegijanto, Soegeng. 2006. Demam Berdarah Dengue edisi 2. Surabaya : Airlangga
University Press
Soegijanto, Soegeng. 2006. Patogenesa dan Perubahan Patofisologi Infeki Virus Dengue.
Surabaya : Tropical Disease Center (TDC) Universitas Airlangga Surabaya
Sudoyo Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
54
Suhendro dkk. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta, Juni 2006. Hal. 1731-5.
Trihadi, Djoko. 2012. Demam Berdarah Dengue. Semarang : Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Semarang.
WHO. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: WHO
WHO. 2011. Conprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and
Dengue Haemorraghic Fever. India : WHO
Wibowo, Krisnanto, dkk. 2011. Pengaruh Tranfusi Trombosit terhadap Terjadinya
Perdarahan Masif pada Demam Berdarah Dengue. Yogyakarta : Bagian Ilmu
Penyakit Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
55
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian
KUESIONER PENELITIAN
Gambaran Perilaku Pencegahan Gigitan Nyamuk Pada Warga Rukun Tetangga 19 dan 20
Kelurahan Lempake Kota Samarinda
Karakteristik Responden:a. Nama :b. Alamat :e. Pendidikan :d. Pekerjaan :
Pengetahuan RespondenJawablah pertanyaan berikut dengan menyilang jawaban yang paling anda anggapbenar.1. Menurut anda. apakah penyebab dan DBD?a. Virusb. Bakteric. Nyamuk
2. Menurut anda, bagaimana ciri demam pada DBD?a. Mendadak tinggi (awalnya sehat-sehat saja)b. Suhunya tinggi terus—menerusc. Suhu naik pada sore hari dan disertai keringat malam
3. Menurut anda, bagaimana cara untuk mencegah terkena DBD?a. Pembenian vaksin DBDb. Mandi dengan air bersihc. Melakukan pencegahan dengan membunuh nyamuk penular DBD
4. Menurut anda, apa yang sebaiknya dapat dilakukan dirumah jika ada salah
seorang anggota keluarga diduga terkena DBD?
a. Memberi antibiotik dan jamu
b. Mengkompres dan memberi obat penurun demam
c. Memberikan jus jambu biji merah
56
No. Pertanyaan Benar Salah
5 DBD dan DD adalah penyakit yang berbeda karena DBD mempunyai gejala yang lebih berat dan DD mempunyai kemungkinan sembuh lebih besar daripada DBD
6 Jika seseorang didiagnosa DBD, perlu disekitarnya dipasang kelambu untuk mencegah nyamuk menggigit penderita DBD sehingga tidak menularkan ke orang lain
7. Dibawah ini yang merupakan gejala DBD adalah (jawaban boleh lebih dansatu)o Demam dan sakit kepalao Nyeri otot dan bintik-bintik meraho Perdarahan (mimisan, perdarahan gusi, BAB berdarah)o Pembesaran hati
Sikap RespondenJawablah pertanyaan berikut dengan memberikan tanda contreng pada jawabanyang anda anggap benar.
No. Pertanyaan Setuju Tidak Setuju
1 Saya akan mengumpulkan kaleng bekasdan pecahan botol jika keberadaannyasudah sangat mengganggu keindahanlingkungan saya
2 Saya akan menguras bak mandi jika sudahkotor saja.
3 Saya hanya akan menutup teinpatpenampungan air yang berada di luarrumah.
4 Selama bak mandi saya bersih, saya tidakmenguras bak mandi.
5 Saya masih menyimpan botol-botol bekaskarena mungkin bisa digunakan atau dijual
57
suatu saat.
Tindakan RespondenJawablah pertanyaan berikut dengan memberikan tanda contreng pada jawabanyang anda anggap benar
No. Pertanyaan Ya Tidak
1. Apakah anda ada melakukan pemberantasansarang nyamuk sekurang-kurangnyaseminggu sekali?
2. Apakah anda melakukan pengompresan jikaada salah satu anggota keluarga yang didugaterkena DBD?
3. Apakah anda melakukan pemberian airminum sebanyak-banyaknya jika ada salahsatu anggota keluarga yang diduga terkenaDBD?
4. Apakah anda memberi obat penurun panasjika ada salah sabs anggota keluarga yangdiduga terkena DBD?
5. Apakah anda menutup rapat-rapat tempatpenampungan air?
58