Proposal Nunu

65
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Bangsa Indonesia yang terbentang dari ujung Barat dan ujung Timur kepulauan Nusantara adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari beribu-ribu pulau, suku bangsa, bahasa, agama, dan budaya. Kemajemukan tersebut merupakan satu kesatuan sosial sebagai bangsa yang berbudaya. Hal ini menunjukkan, bahwa bahwa masyarakat Indonesia memiliki keragaman, karakteristik, dan perbedaan dalam adat-istiadat, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan kebiasaan budaya masing-masing. Bahkan bersamaan dengan itu, tiap-tiap budaya tersebut mempunyai kompleksitas dan keunikannya. Kompleksitas dan keunikan dimaksud baik dalam sejarah, latarbelakang, orientasi, maupun tujuannya, dalam peradaban masyarakatnya. 1

Transcript of Proposal Nunu

Page 1: Proposal Nunu

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Bangsa Indonesia yang terbentang dari ujung Barat dan ujung Timur

kepulauan Nusantara adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari beribu-ribu pulau,

suku bangsa, bahasa, agama, dan budaya. Kemajemukan tersebut merupakan satu

kesatuan sosial sebagai bangsa yang berbudaya. Hal ini menunjukkan, bahwa bahwa

masyarakat Indonesia memiliki keragaman, karakteristik, dan perbedaan dalam adat-

istiadat, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi, dan kebiasaan budaya masing-masing.

Bahkan bersamaan dengan itu, tiap-tiap budaya tersebut mempunyai kompleksitas

dan keunikannya. Kompleksitas dan keunikan dimaksud baik dalam sejarah,

latarbelakang, orientasi, maupun tujuannya, dalam peradaban masyarakatnya.

Tiap-tiap budaya kelompok masyarakat tersebut memiliki simbol-simbol,

tanda-tanda, ritual, produk (artefak) dan makna yang membentuk sistem

kebudayaannya masing-masing. Keseluruhan budaya tersebut memiliki pola, bentuk,

praktik secara berbeda-beda sebagai panduan dalam berinteraksi, bertindak dan

berperilaku dalam kehidupan masyarakatnya dengan bantuan akal pikirannya,

manusia dapat mengembangkan, melestarikan, mewariskan dan mengembangkan

kebudayaan dalam berinteraksi dengan sesamanya secara turun-temurun.

(Koentjoroningrat,1990:23-24)

1

Page 2: Proposal Nunu

Kebudayaan merupakan persoalan the how and the what (apa dan bagaimana)

dari interaksi sosial dalam menghadapinya dan menyelesaikan masalah bersama,

yang kemudian melekat kuat dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kebudayaan

secara universal berfungsi sebagai acuan untuk menjalankan dan mengorganisir

berlangsungnya kegiatan maupun proses sosial. Fungsi sosialisasi dalam sistem

budaya yang sama memegang peranan penting sebagai mekanisme sosial dalam

memajukan suatu kebudayaan dan masyarakat. Setiap interaksi yang terjalin,

merupakan produk budaya, bentuk ekspresi, apresiasi dan kreatifitas manusia dan

peradabannya dalam kehidupan sosial bersama. Manusia atau masyarakat melalui

budaya turut mengembangkan kemampuannya, potensinya, harapan-harapan,

tujuannya, dan cita-cita dalam kehidupannya.

Perwujudan atau ekspresi budaya tersebut berbeda-beda bagi setiap kelompok

masyarakat. Namun, diantara bentuk ekspresi budaya yang ada, pengembangan

kebudayaan masyarakat secara umum dilakukan melalui jenis ritual budaya, simbol-

simbol, dan kesenian daerah. Dalam kebudayaan itu, terkandung nilai-nilai filosofis,

mitos, kepercayaan, dan cita-cita hidup, melalui penciptaaan simbol-simbol, prosedur

aktivitas, dan nilai-nilai tertentu, kemudian membentuk makna bagi simbol lainnya.

Proses simbolis ini menembus kehidupan manusia dalam tingkatan yang paling

primitif sampai dengan tingkat paling beradab, karenanya manusia dikatakan hidup

dalam suatu lingkungan simbol-simbol yang bermakna dan bernilai.

Diantara suku bangsa atau kelompok masyarakat yang ada di Indonesia,

adalah masyarakat suku Bajo di Kelurahan Lapulu Kota Kendari Sulawesi Tenggara.

2

Page 3: Proposal Nunu

Secara umum keberadaan masyarakat Orang/Suku Bajo merupakan fakta sosial yang

tidak bisa dihilangkan. Meskipun jumlah komunitas suku Bajo di Kelurahan Lapulu

sangat minim, namun keberadaan mereka sangat kontras dengan masyarakat Lapulu

umumnya. Keberadaan suku Bajo di Kelurahan Lapulu menghuni wilayah pesisir

timur dan barat. Kehidupan sosial mereka terkosentrasi pada hubungan dan interaksi

sosial-budaya diantara mereka sendiri, sehingga praktis mereka kurang beradaptasi

dengan dunia diluar komunitas mereka. Hubungan dan interaksi diantara mereka

berlangsung solid dan harmonis.

Masyarakat Suku Bajo juga memiliki tradisi-tradisi, kebiasaan dan nilai-nilai

budaya yang telah hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakatnya. Salah

satu bentuk budaya dimaksud adalah ritual prosesi melaut Suku Bajo dalam mencari

hasil-hasil laut. Sebagai masyarakat yang mendiami wilayah pesisir pantai, suku Bajo

menghabiskan waktunya dengan beraktivitas di laut, sehingga tak jarang mereka

dijuluki suku pengembara laut. Aktivitas tersebut berupa mencari, menangkap,

membibit hingga memanen ikan dan hasil laut lainya. Berbagai aktivitas melaut

tersebut, secara umum merupakan jenis mata pencaharian utama suku Bajo.

Proses ritual tersebut kemudian menjadi bagian aktifitas sehari-hari dalam

kehidupan diantara mereka. Prosesi ritual dimaksud merupakan produk warisan

budaya leluhur suku Bajo yang dipraktikan secara turun-temurun dari generasi tua

sampai generasi muda. Mulai dari persiapan sebelum melaut, pada saat melaut hingga

setelah melaut prosesi ritual tersebut dapat dijumpai dalam aktivitas melaut mereka.

Tahapan-tahapan ritual itu, menurut pandangan budaya suku Bajo dipercaya memiliki

3

Page 4: Proposal Nunu

makna magis bagi kelangsungan, pelaksanaan dan keberhasilan usaha-usaha

penangkapan ikan dan hasil laut lainnya.

Berdasarkan penelusuran dan pengamatan sementara, penulis menemukan

bahwa interaksi simbolik digunakan dalam proses ritual dalam aktivitas melaut suku

Bajo selain memiliki daya magis, juga mempunyai nilai-nilai sejarah, kebersamaan,

kesetaraan, dan fungsi keseimbangan lingkungan. Menurut pandangan suku Bajo,

ritual-ritual yang dilakukan dilandasi oleh kearifan lokal budaya dan ekosistem biota

laut. Melalui ritual-ritual tersebut, suku Bajo berusaha membangun, mempertahankan

dan mengembangkan solidaritas, kekompakan diantara mereka sebagai kelompok

komunitas suku Bajo yang kuat, ulet dan arif dalam menjaga kelangsungan hidup

bersama dengan lingkungan lautnya. Sebagai masyarakat yang bergantung dan

dibesarkan oleh lingkungan laut, suku Bajo memandang laut sebagai tanah leluhur

yang senantiasa harus dijaga dan dilestarikan ekosistem didalamnya. Bagi suku Bajo

fungsi ritual-ritual tersebut sebagai bentuk ekspresi, pengakuan, penghargaan diri dan

lingkungan alamnya.

Berdasarkan pemikiran dan uraian yang telah dijelaskan di atas, beberapa hal

yang melandasi alasan penelitian ini dilakukan, secara khusus dapat dikemukakan

sebagai berikut : (1) Suku Bajo merupakan kelompok suku yang ada dan tergolong

monoritas yang jarang melakukan interaksi sosial, (2) Suku Bajo memiliki budaya

unik dan berbeda dengan masyarakat lainnya yang dikembangkan sebagai kebiasaan

hidup dalam beraktifitas di laut, (3) Interaksi sosial suku Bajo selalu berorientasi

dengan lingkungan laut, (4) Dalam interaksi simbolik suku Bajo, segala symbol,

4

Page 5: Proposal Nunu

bahasa, seni dan interaksi sosial menyatu membentuk maknanya sebagai suku

pengembara laut, (5) dibalik makna-makna tersebut tersimpan filosofi hidup dan

keseimbangan hidup antara manusia dengan alam.

Berangkat dari uraian alasan di atas, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian secara mendalam tentang bentuk, fungsi dan makna-makna dalam prosesi

interaksi suku Bajo. Proses penelitian ini akan berusaha menggali, menelusuri,

menemukan, mengolah dan menganalisis seluruh data aktivitas melaut suku Bajo di

lokasi penelitian. Penelitian ini diharapkan prosesi interaksi simboli suku Bajo dapat

dimaknai dan diinterpretasikan secara kultural menurut pandangan suku Bajo sendiri,

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan dalam penelitian ini, maka,

maka penulis mengajukan usulan penelitian ini dengan judul “ Interaksi Simbolik

Komunikasi Suku Bajo di Masyarakat Kelurahan Lapulu Kecamatan Abeli Kota

Kendari.

1.2. Rumusan Masalah

Mengacu pada pertimbangan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah :

1. Bagaimana simbol komunikasi orang Bajo dan pada masyarakat Lapulu?

2. Bagaimana perilaku komunikasi non verbal dan verbal?

3. Bagaimana proses komunikasi suku Bajo pada masyarakat di Kelurahan

Lapulu?

5

Page 6: Proposal Nunu

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1. Maksud Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini

dimaksudkan untuk menganalisis dan mendeskripsikan Interaksi simbolik

komunikasi Suku Bajo pada masyarakat di Kelurahan Lapulu.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Dengan mengacu pada maksud tersebut di atas, maka tujuan dalam penelitian

ini adalah:

1. Untuk mengetahui simbol komunikasi orang Bajo dan pada masyarakat

Lapulu?

2. Untuk mengetahui perilaku komunikasi non verbal dan verbal?

3. Untuk mengetahui proses komunikasi suku Bajo pada masyarakat di

Kelurahan Lapulu?

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan kontribusi pada

pengembangan ilmu serta pada kepentingan praktis :

1. Aspek teori : mengembangkan kerangka teori, prosedur metodologis, dan

penjelasan teoritis yang tidak hanya mengakomodasi data, tapi juga dapat

memberi gambaran tentang proses komunikasi dan makna simbol dalam aktivitas

suku Bajo sehingga dapat menjadi sumbangan bagi pengembangan ilmu

pengetahuan khususnya ilmu sosiologi dan antropologi dan menambah kajian

6

Page 7: Proposal Nunu

mengenai makna simbolik terhadap proses interaksi suku Bajo dalam

aktifitasnya.

2. Aspek praktis : penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai kalangan, baik

pemerintah, praktisi maupun masyarakat umum dalam melihat berbagai persoalan

yang berkaitan dengan kehidupan suku Bajo khususnya proses komunikasi pada

masyarakat di Kelurahan Lapulu

1.5. Kerangka Pemikiran

Sebagai sebuah penelitian lintas disiplin yang menganalisis interaksi sosial

budaya seseorang, kelompok, komunitas dalam masyarakat, maka penelitian ini tidak

luput dari beberapa intervensi disiplin ilmu sosial yang dianggap relevan dengan

permasalahan penelitian. Beberapa intervensi yang dimaksud penulis adalah

penggunaan teori-teori dalam khasanah ilmu sosial. Penggunaan teori-teori tersebut

dimaksudkan untuk membantu menelaah dan menganalisis secara ilmiah

permasalahan pokok yang akan diteliti. Penelitian ini memfokuskan diri pada Makna

simbolik dalam Prosesi ritual yang melibatkan kontak-kontak budaya interelasi atau

hubungan peribadi seseorang, kelompok atau komunitas dalam masyarakat memiliki

kemampuan membangun hubungan, memberi tanggapan, dan memaknai proses

interaksi sosial-budaya baik secara fisik maupun nonfisik dilingkungannya. Bahkan

dengan proses simbolisasi (budaya) manusia akan mampu beradaptasi dan

mengembangkan dunia sosialnya secara lebih luas, dari waktu ke waktu. Melalui

penyesuaian diri dengan dunia simbolik ini manusia dimungkinkan melakukan dan

7

Page 8: Proposal Nunu

mengembangkan aktivitas ritual budaya, simbolisasi dan konstruksi makna yang

mereka pergunakan, pola berpikir dan tindakan kompleks berdasarkan makna yang

mereka pakai bersama. Hal ini menyatakan bahwa dunia simbolik menunjukkan

bagaimana masyarakat melihat, merasakan dan berpikir tentang dunia mereka dan

bertindak berdasarkan nilai budaya yang dianut bersama. Sebuah proses ritual yang

melibatkan berbagai simbol verbal / nonverbal, setting dan tindakan yang sarat

makna bagi individu atau kelompok dalam konteks budaya.

Demikian pula dengan prosesi ritual dalam aktivitas melaut suku Bajo di

Kelurahan Lapulu. Bahwa prosesi ritual Suku Bajo di Kelurahan Lapulu menjadi

sebuah kenyataan sosial dan menjadi fenomena yang cenderung bersifat kompleks,

dinamis dan cair yang berubah-ubah setiap saat. Studi ini berusaha memahami

perilaku simbolik prosesi ritual tersebut dari sudut pandang subjek, sehingga dapat

dianggap sebagai studi empirik dalam menelaah makna kultural dari analisisnya

bersifat etnografi tidak untuk dikembangkan. Jadi kajiannya memusatkan perhatian

pada mekanisme tindakan atau perilaku dalam prosesi ritual menurut pandangan

mereka sendiri.

Berdasarkan pemikiran di atas, maka untuk memahami hal itu diperlukan

sebuah kerangka pendekatan teori yang mendalam. Kerangka teori dimaksud terdiri

dari teori tindakan sosial dari Max Weber sebagai payung teori, teori interaksi

simbolik dari George H. Mead Kedua teori tersebut merupakan satu kesatuan sebagai

sebuah kerangka konseptual yang saling melengkapi, dalam menelaah masalah.

Berhubung kedua teori tersebut termasuk dalam tradisi fenomenologis sehingga

8

Page 9: Proposal Nunu

studinya menggunakan metode atau pendekatan etnografi yaitu kegiatan peneliti

untuk memahami cara-cara orang berinteraksi dan bekerja sama melalui fenomena

teramati kehidupan sehari-hari masyarakat bajo sehingga etnografi intinya bertujuan

menguraikan suatu budaya secara menyeluruh yakni semua aspek budaya baik

bersifat material maupun yang bersifat abstrak pada masyarakat yang diteliti.

Menurut Weber (Soeprapto, 2002 : 46), teori tindakan sosial menempatkan

konsep tindakan individual dalam melihat masyarakat. Tindakan sosial diasumsikan

sebagai keseluruhan perilaku manusia ketika memberikan suatu makna subyektif

terhadap perilaku tersebut. Teori ini dipercaya mampu mengurai kompleksitas

hubungan-hubungan sosial yang menyusun sebuah masyarakat, dan dapat dimengerti

segi-segi subyektif dari kegiatan-kegiatan antarpribadi dari para anggotanya. Bahkan

kata Weber, dalam menafsirkan masyarakat mengikuti pola-pola tindakan para

anggotanya. Tindakan sosial, dengan demikian, merupakan sesuatu yang lebih dari

sekedar kesamaan diantara tingkah laku banyak orang (tingkah laku massa),

walaupun tak perlu mengandung kesadaran timbal balik menuju orang lain tanpa

yang lainnya sadar akan fakta ini, teori tindakan sosial menyebutkan bahwa tindakan

akan bermakna sosial, sejauh disengaja, melibatkan penafsiran dan berpikir,

berdasarkan makna subyektifnya yang diberikan orang lain, baik bertindak maupun

berdiam diri. Dengan demikian dalam masyarakat apapun bentuknya, tindakan sosial

merupakan produk dari hasil interaksi sosial yang secara aktif saling menafsirkan.

Karenanya, menurut teori ini masyarakat terbentuk dari kelompok-kelompok atau

9

Page 10: Proposal Nunu

unit-unit sosial yang didalamnya terdiri dari orang-orang yang secara aktif, kreatif

dan reflektif berpikir dan bertindak.

Jika mengikuti perspektif teori ini, eksistensi suku Bajo dalam proses ritual

pada aktifitas melaut termasuk dalam batasan teori ini. Bahwa dalam pembahasan ini

untuk meneliti prosesi ritual suku Bajo pada saat sebelum melaut , sedang melaut, dan

setelah aktivitas melaut. Proses penelitian ini akan berusaha menggali, menelusuri,

menemukan, mengolah dan menganalisis seluruh data aktivitas melaut suku Bajo di

lokasi penelitian. Dengan penelitian ini diharapkan prosesi ritual-ritual suku Bajo

dalam beraktivitas dilaut dapat dimaknai dan diinterpretasikan secara kultural

menurut pandangan suku Bajo sendiri. Dengan demikian, segala yang berhubungan

dengan ritual, symbol, dan interaksi sosial-budaya suku Bajo patuh dan tunduk

dengan sistim dan aturan dalam masyarakat tersebut. Dengan menggunakan teori

Weber, sesungguhnya dapat dianalisis budaya, hubungan atau Makna Simbolik

Terhadap Proses Ritual Suku Bajo dalam Aktifitas Melaut di Kelurahan Lapulu,

melalui tindakan nyata dan tersembunyi diantara mereka.

Selanjutnya, untuk memahami lebih dalam tentang makna dari tindakan dan

realitas sosial yang dialami/dilakukan suku Bajo tersebut dalam aktivitas ritual,

penggunaan perspektif fenomenologi dianggap dapat menjelaskan hal itu.

Maksudnya, untuk mendapatkan hakekat kebenaran, atau makna dibalik tindakan

seseorang, maka harus menerobos melampaui fenomena yang tampak. Menurut

Litlejohn (1996:179) tradisi fenomenologis membiarkan segala sesuatu menjadi nyata

sebagaimana aslinya, tanpa membuat prediksi tertentu. Dengan kata lain, bagaimana

10

Page 11: Proposal Nunu

kita berpikir dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari umumnya ditentukan oleh

bagaimana kita memahami realitas. Dengan demikian perspektif ini cenderung

melihat pelaku sosial budaya konsep dalam aktifitas ritual suku Bajo.

Menggunakan perspektif fenomenologis, perilaku aktual manusia tidak dapat

diramalkan, sehingga haruslah dikaji berdasarkan perspektif subyektif mereka sendiri,

untuk memahami motif, alasan dan tujuan perilaku mereka. Yang pasti setiap perilaku

atau tindakan manusia tersebut melibatkan adanya kesadaran dalam dirinya (pribadi)

dan diluar dirinya sebagai mahluk sosial. Dengan demikian, fenomenologi menurut

Cooley (1989:115) berusaha memahami pemahaman informan terhadap fenomena

yang muncul dalam kesadarannya, serta fenomena yang dialami oleh informan dan

dianggap sebagai suatu nilai yang berharga. Pendekatan fenomenologi menurutnya

tidak pernah berusaha mencari pendapat dari informan apakah hal itu benar atau

salah, akan tetapi fenomenologi berusaha mereduksi kesadaran informan dalam

memahami fenomena itu.

Demikian juga memahami kesadaran atau tindakan dalam proses ritual suku

Bajo. Bagaimana mereka berpikir, bersikap dan bertindak, pada akhirnya akan

tergantung pada kebutuhan, kepentingan dan tujuan mereka berinteraksi. Artinya,

pendekatan fenomenologi tidak hanya melihat fenomenanya atau gejala luarnya saja,

melainkan menggali makna yang tersirat sebagaimana yang disebutkan Cambell

sebagai pola subyektivisme. Hal ini hampir sama dengan pandangan Schutz (Sukidin,

2002: 31-40), individu mengkonstruksi makna melalui proses pergaulan. Hubungan-

11

Page 12: Proposal Nunu

hubungan makna diorganisir secara bersama juga melalui proses tipikasi (stock of

knowledge).

Pentingnya analisis perilaku atau tindakan aktual seseorang menurut

perspektif orang itu sendiri pada dasarnya juga sejalan dengan apa yang dikemukakan

Weber : ”Kegagalan teori sosial memperhitungkan arti-arti subyektif individu serta

orientasinya, dapat membuatnya memasukkan orientasi nilainya sendiri dalam

memahami perilaku orang lain”, (Johnson 1986:43). Bahkan menurut Douglas untuk

mencapai hal itu :

Realitas terpenting adalah bagaimana manusia melukiskan atau menghayati

dunianya, oleh sebab itu pula maka kaum fenomenologis dalam mendekati persoalan

dan mencari jawaban menuntut jenis riset dan metodologi yang berbeda. Kaum

fenomenologi berusaha mencari pemahaman melalui metode-metode kualitatif,

seperti observasi, partisipan, open-ended interview dan dokumen perorangan. Metode

ini mencari data deskriptif yang memungkinkan para fenomenologis memahami

dunia sebagimana sang subyek memahaminya, (Douglas, 1970:17).

Karenanya, fenomenologi sesungguhnya adalah sebuah pendekatan yang

diharapkan mampu mengungkapkan sedetail mungkin obyek yang dikaji dan aspek-

aspek lain yang tidak dapat dihitung secara matematis. Sebagaimana dalam studi ini

penting untuk menyerap dan mengungkapkan kembali perasaan dan pemikiran di

balik aktifitas ritual suku Bajo.

Didasari keinginan dan tujuan mengungkap perilaku atau tindakan dalam

proses konstruksi Makna Simbolik Terhadap Proses Ritual Suku Bajo dalam Aktifitas

12

Page 13: Proposal Nunu

Melaut orang bajo di Kelurahan Lapulu, maka penggunaa teori interaksi simbolik

dari Mead dianggap relevan. Teori ini dipandang sebagai salah satu cara dalam

memahami perilaku simbolik manusia dalam proses kehidupan sosial budaya, yang

cenderung berubah-ubah dan unik. Bahwa perilaku simbolik manusia melibatkan

simbol verbal/nonverbal, motif, alasan ,tujuan dan makna tertentu, baik disengaja

atau tidak sehingga memerlukan suatu pendekatan konseptual. Akar pemikiran

interaksi simbolik mengasumsikan realitas sosial sebagai proses dan bukan sebagai

sesuatu yang statis dogmatis. Artinya masyarakat dilihat sebagai sebuah keseluruhan

interaksi simbolik bagi individu-individu didalamnya, tentang hubungannya,

perilakunya dan maknanya.

Becker (Mulyana, 2001:230), menekankan teori interaksi simbolik melihat

perilaku manusia sebagai sesuatu proses yang melibatkan individu-individu untuk

membentuk perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang-orang

yang berinteraksi dengan mereka. Akibatnya interaksi simbolik mengedepankan

konsep diri dengan segala identitasnya yang mencerminkan simbol-simbol dalam

kehidupan sosial maupun kehidupan sendiri. Dengan kata lain, diri tidak terisolasi

melainkan bersifat sosial, diri dipandang sebagai diri sendiri sekaligus bagian dari

masyarakat sekitar.

Suku Bajo merupakan kelompok suku yang ada dan tergolong monoritas yang

jarang melakukan kontak sosial dengan masyarakat suku Bajo, Suku Bajo memiliki

ritual-ritual budaya unik sebagai kebiasaan hidup dalam beraktifitas di laut, Ritual-

ritual Suku Bajo selalu berorientasi dengan lingkungan laut, Dalam ritual-ritual suku

13

Page 14: Proposal Nunu

Bajo, segala symbol, doa ritual, alat,bahasa,seni dan interaksi sosial menyatu

membentuk maknanya sebagai suku pengembara laut dan dibalik makna-makna dan

aturan-aturan tersebut tersimpan filosofi hidup dan keseimbangan hidup antara

manusia dengan alam. Menurut pandangan Interaksi simbolik, seperti ditegaskan

Herbert Blumer (Mulyana, 2001:69) bahwa proses sosial dalam kehidupan

kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan aturan-aturan, bukan aturan-aturan

yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok.

Pandangan interaksi simbolik, manusia adalah pelaku, pelaksana, pencipta dan

pengarah bagi dirinya sendiri, karena memiliki jiwa, semangat, kehendak, dan

tindakan secara pribadi dan sosial. Selain mempertimbangkan bagi dirinya sendiri,

tindakan manusia juga mempertimbangkan keadaan lingkungan di sekelilingnya.

Dengan demikian, hal ini membawa konsekwensi bahwa segala pikiran, perasaan dan

tindakan manusia dapat berubah setiap saat ketika interaksi. Melalui interaksi yang

dipandu pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki, manusia aktif mengelolah dan

menafsirkan simbol-simbol verbal dan nonverbal dalam berinteraksi dengan dunia

sosialnya. proses interaksi sosial dalam berbagai peristiwa senantiasa melibatkan

banyak orang, simbol, situasi bersama diantara mereka, sehingga setiap tindakan

memiliki makna baik terhadap dirinya maupun bagi orang lain. Tegasnya, jika proses

yang berlangsung menurut kehendak, motivasi, tujuan dan kepentingan bersama,

maka keseluruhan tindakannya merupakan manifestasi dari konsep kehidupan sosial

budaya .

14

Page 15: Proposal Nunu

Singkatnya, melalui simbol verbal/nonverbal signifikan manusia mampu

melakukan proses mental, berpikir, bersikap dan bertindak yang berpengaruh pada

proses interaksi dalam kehidupan sosial. Bahwa aktifitas ritual melibatkan simbol-

simbol yang mempunyai makna dan berlangsung secara face to face setting (situasi)

atau ruang sosial. Menurut Giddens (Soeprapto, 2002:70) melalui proses verbal dan

nonverbal signifikan memungkinkan manusia menjadi mahluk yang sadar diri, sadar

akan individualitas dan dunia sosialnya, sehingga dituntut untuk terus menerus

memikirkan obyek secara simbolik yang batasi budaya individu yang cenderung

kolektif.

Mengikuti alur berpikir di atas, secara logika proses interaksi sebagaimana

premis fenomenologi dan interaksi simbolik, bahwa setiap perilaku manusia

berpotensi komunikasi. Littlejohn (1996:159) menyebut interaksi simbolik

mengandung premis dasar tentang komunikasi dan masyarakat (core of common

premises about communication and society). Watson ( dalam Sukidin, 2002:112)

menyebutkan proses komunikasi menghubungkan adaptasi individu terhadap simbol-

simbol signifikan dan dunia luar. Pada konteks ini, kita sebenarnya hanya dapat

berkomunikasi bila kita mempunyai simbol yang signifikan seperti bahasa dan gerak

isyarat bermakna. Begitu pula dengan makna simbolik dalam proses ritual suku Bajo

dalam aktivitas sebelum melaut. Sedang melaut dan setelah melaut di Kelurahan

Lapulu Kecamatan Abeli. Perspektif interaksi simbolik digambarkan sebagai

pembentukan makna, yakni pesan dalam proses ritual dalam konteks budaya. Dalam

proses ritual konteks budaya, manusia melakukan keseragaman makna dalam

15

Page 16: Proposal Nunu

berinteraksi apa yang ada terhadap pikiran, sikap dan tindakan dalam diri dan

lingkungannya. Artinya manusia dalam proses ritual budaya bukan sekedar menerima

lambang (simbol) yang dilihat didengar atau dirabanya secara pasif, melainkan secara

aktif diinterpretasi secara terus menerus. Upaya interpretasi ritual tersebut kemudian

menjadi bagian dari interaksi sosial-budaya dalam rangka menjalin hubungan

komunikasi yang intesif dan efektif dengan sesama manusia dan alam lingkungannya.

Karenanya paham teori interaksi simbolik mengakui tindakan dalam dan

tindakan luar. Tindakan luar tidak secara otomatis menunjukan kelanjutan tindakan

dalam, suatu proses pengelolaan semata. Demikian pula dalam Makna Simbolik

Terhadap Proses Ritual Suku Bajo dalam Aktifitas Melaut di Kelurahan Lapulu

tindakan luar yang nampak dalam aktivitas mereka belum tentu merupakan wujud

dari tindakan dari dalam diri mereka. Sehingga penggunaan teori ini dianggap relevan

dalam menjelaskan fenomena ini.

Berdasarkan kerangka teoretis di atas, penelitian ini menekankan pada

Konstruksi Makna Simbolik Terhadap Interaksi Simbolik Komunikasi Suku Bajo di

Masyarakat Kelurahan Lapulu Kecamatan Abli Kota Kendari.

Alur berpikir yang disusun dan diuraikan penulis di atas, dimaksudkan untuk

menjawab permasalahan penelitian, yang secara ringkas dapat dilihat melalui bagan

kerangka pikir, sebagai berikut :

16

Page 17: Proposal Nunu

Skema 1. Kerangka Pikir

17

INTERAKSI SOSIAL DALAM MASYARAKAT SUKU BAJO

PROSES KOMUNIKASI (Mulyana, 2001)

Simbol KomunikasiAktor

- Orang Bajo- Masyarakat

INTERAKSI BUDAYAMASYARAKAT BAJO

Makna KomunikasiKonteks

- Lingkungan Orang Bajo- Lingkungan Masyarakat

Lapulu

Perilaku KomunikasiPeran

- Komunikasi- Partisipasi

Suku Bajo Masyarakat Lapulu

Page 18: Proposal Nunu

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Komunikasi

Kata komunikasi atau communication dalam bahasa inggris berasal dari kata

latin Communis yang berarti “sama”, communico, communicatio, atau communicare

yang berarti “membuat sama” (to make common). Istilah pertama (communis) adalah

istilah yang paling sering disebut sebagai asal –usul kata komunikasi, yang

merupakan akar dari kata-kata latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan

bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama. 

Bernard berelson dan gary A. Steiner mengemukakan komunikasi : transmisi

informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya. Dengan menggunakan

simbol-simbol, kata-kata, gambar, figur, grafik, dan sebagainya. Tindakan atau proses

transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi (Mulyana : 2001)

Carl I Hovland (Mulyana : 2001) mengemukakan bahwa komunikasi adalah

proses yang memungkinkan seseorang (Komunikator) menyampaikan rangsangan

(biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain.

Komunikasi terjadi ketika suatu sumber menyampaikan suatu pesan kepada penerima

dengan niat yang disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima.

Gary Cronkhite (1976 50-54) merumuskan empat asumsi pokok komunikasi

yang dapat membantu memahami. Pertama, Komunikasi adalah suatu proses

(communication is a process). Kedua, komunikasi adalah pertukaran pesan

18

Page 19: Proposal Nunu

(communication is transaction). Ketiga, komunikasi adalah interaksi yang bersifat

multidimensi (communication is multi-dimensional). Keempat, komunikasi adalah

interaksi yang mempunyai tujuan atau maksud ganda (communication is

multipurposeful).

William I Gorden, Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson, Stewart L Tubbs dan

Sylvia Moss,secara ringkas memandang komunikasi sebagai kegiatan yang selalu

ditandai dengan tindakan, pertukaran, perubahan, dan perpindahan terhadap

pemaknaan isi pesan dengan implikasi terbangunnya hubungan-hubungan. (Sumadi

Dilla : 2007) 

Proses penyampaian informasi/pesan tersebut pada umumnya berlangsung

melalui suatu media komunikasi. Unsur-unsur pokok dalam proses berkomunikasi,

yaitu sebagai berikut :

1. Source, yaitu individu atau karyawan sebagai sumber atau untuk menyampaikan

pesan-pesannya

2. Message, suatu gagasan, dan ide berupa pesan, informasi, pengetahuan, ajakan,

bujukan atau ungkapan yang akan disampaikan komunikator kepada perorangan

atau kelompok tertentu (komunikan).

3. Channel, berupa media, sarana atau saluran yang dipergunakan oleh komunikator

dalam mekanisme penyampaian pesan.

4. Effect, suatu dampak yang terjadi dalam proses penyampaian pesan-pesan

tersebut. Dapat berakibat positif maupun negatif tergantung dari tanggapan,

persepsi, dan opini dari hasil komunikasi tersebut. 

19

Page 20: Proposal Nunu

Membahas mengenai komunikasi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan : 

1. Komunikasi harus mudah dimengerti

2. Komunikasi harus lengkap

3. Komunikasi harus tepat waktu dan sasaran

4. Komunikasi butuh saling kepercayaan

5. Perlu memperhatikan situasi dan kondisi

6. Perlu menghindari kata-kata yang kurang enak

Selain yang tersebut diatas, kita juga harus memperhatikan :

1. Pemilihan media komunikasi

2. Pemanfaatan alat-alat komunikasi mutakhir

3. Pemakaian kode-kode komunikasi

4. Macam-macam cara pelaksanaan komunikasi

Pengertian komunikasi menurut Gerbner (Mulyana : 2001)), ‘Comunication be

defined as social interaction through messages’. Definisi komunikasi ini lebih

sederhana, bahwa komunikasi yang didefinisikan itu sebagai interaksi sosial melalui

pesan-pesan

2.2. Pesan Simbol

Membicarakan pesan (massage) dalam proses komunikasi, kita tidak bisa

melepaskan diri dari apa yang disebut simbol dan kode, karena pesan yang dikirim

komunikator kepada penerima terdiri atas rangkaian simbol dan kode. (Cangara,

1998)

20

Page 21: Proposal Nunu

Pesan adalah suatu komponen dalam proses komunikasi berupa panduan dari

pikiran dan perasaan seseorang yang dengan menggunakan lambang bahasa atau

lambang-lambang lainnya yang disampaikan kepada orang lain (Effendi,1989)

Buleleng (2002), mendefinisikan pesan sebagai simbol-simbol yang diperhatikan

orang secara sadar yang untuknya mereka menciptakan makna-makna. Pesan berupa

kata-kata yang secara sengaja diucapkan atau ditulis, yang saling dipertukarkan

diantara orang-orang atau pesan-pesan yang kita kirimkan kepada diri sendiri tentang

eksperesi wajah yang tidak disengaja dan tampilan perasaan lainya dari orang lain.

Tiap pesan yang dikirimkan dalam suatu organisasi mempunyai alasan tertentu

mengapa dikirimkan dan diterima oleh orang tertentu. Para ahli telah

mengidentifikasikan persepsi mereka mengenai fungsi utama dari pesan dalam

organisasi (Goldhaber, 1986, Arni, 2007).

Menurut Khan dan Katz dalam Arni (2007) ada empat fungsi utama dari

pesan dalam organisasi yaitu yang berkenaan dengan produksi, pemeliharaan,

penerimaan dan pengelola organisasi. Model penyusunan pesan yang bersifat

informatif lebih banyak ditujukan pada perluasan wawasan dan kesadaran khalayak.

Prosesnya lebih banyak bersifat difusi atau penyebaran, sederhana, jelas dan tidak

banyak menggunakan istilah-istilah yang kurang popular di khalayak.

Ada empat macam penyusunan pesan yang bersifat informative, yakni :

a. space order Ialah penyusunan pesan yang melihat kondisi tempat atau ruang,

seperti internasional, nasional, dan daerah.

21

Page 22: Proposal Nunu

b. Time Order Ialah penyusunan pesan berdasarkan waktu atau periode yang disusun

secara kronologis.

c. Deductive Order Ialah penyusunan pesan mulai dari hal-hal yang bersifat umum

kepada yang khusus. Misalnya penyusunan garis-garis besar haluan Negara dan

Replika.

d. Iductive Order Ialah penyusunan pesan yang dimulai dari hal-hal yang bersifat

khusus kepada hal-hal yang bersifat umum.

Redding dalam arni (2007) mengemukakan bahwa ada tiga alasan pengiriman

pesan yaitu untuk pelaksanaan tugas-tugas dalam organisasi, untuk pemeliharaan dan

kemanusiaan. Lain halnya dengan persepsi Thayler (Arni,2007) yang mengemukakan

bahwa fungsi pesan dalam organisasi adalah untuk memberi informasi, membujuk,

memerintah, memberi instruksi dan mengintegrasikan organisasi.

Menurut Arni (2007) ada tiga hal yang perlu diingat dalam komunikasi

nonverbal yaitu :

a) Karena interpretasi adalah karakteristik yang kritis dalam komunikasi nonverbal,

maka sulit menyamakan tindakan stimulus nonverbal tertentu dengan satu pesan

verbal khusus.

b) Komunikasi non verbal tidaklah merupakan sistem bahasa tersendiri. Tetapi lebih

merupakan bagian dari sistem verbal. Komunikasi non verbal umumnya tidaklah

membawa informasi yang cukup yang menjadikan penerima menyampaikan arti

keseluruhan yang timbul dari pertukaran pesan tertentu.

22

Page 23: Proposal Nunu

c) Komunikasi non verbal dapat dengan mudah ditafsirkan salah. Oleh karena itu

adalah berbahaya membuat arti tingkah laku non verbal trtentu.

Dari bermacam-macam pendapat tersebut di atas, ada kecenderungan

kesamaan dari tujuan atau fungsi dari pesan walaupun dinyatakan dalam istilah yang

berbeda. Empat fungsi pesan dalam organisasi yaitu :

1. Pesan tugas

Pesan tugas ini dimaksudkan adalah pesan-pesan yang berkenan dengan

pelaksanaan tugas-tugas organisasi.

2. Pesan pemeliharaan

Pesan pemeliharaan adalah pesan-pesan yang berkenaan dengan kebijaksanaan

dan pengaturan organisasi.

3. Pesan kemanusiaan

pesan kemanusiaan langsung diarahkan kepada orang-orang dalam organisasi

dengan mempertimbangkan sikap mereka, kepuasan dan pemenuhan kebutuhan

mereka.

4. Pesan pembaruan

Pesan pembaruan menjadikan organisasi dapat menyesuaikan diri dengan

perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Untuk itu suatu

organisasi membuat rencana-rencana baru, aktivitas-aktivitas baru, program-

program baru, dan pengarahan baru untuk tujuan organisasi.

23

Page 24: Proposal Nunu

2.2.1 Simbol

Simbol didefinisikan sebagai barang atau pola yang apapun sebabnya bekerja

pada dan berpengaruh pada manusia, melampau pengakuan semata-mata tentang apa

yang disajikan secara harfiah dalam bentuk yang diberikan. (dillistone, 1990) Sebagai

makhluk sosial dan juga sebagai makhluk komunikasi, manusia dalam hidupnya

diliputi oleh berbagai macam simbol, baik yang diciptakan oleh manusia itu sendiri

maupun yang bersifat alami. (Cangara, 1998). Kemampuan manusia menciptakan

simbol membuktikan bahwa manusia sudah memiliki kebudayaan yang tinggi dalam

berkomunikasi, mulai dari simbol yang sederhana sepeti bunyi, dan isyarat, sampai

kepada simbol yang dimodifikasi dalam bentuk sinyal-sinyal melaui gelombang udara

dan cahaya. (Cangara, 1998)

Simbol adalah lambang yang memiliki suatu obyek, sedangkan kode adalah

seperangkat simbol yang telah tersusun secara sistematis dan teratur sehingga

memiliki arti. Sebuah simbol yang tidak memiliki arti bukanlah kode. Kata david K.

Berlo (1960).

Simbol-simbol yang digunakan selain sudah ada yang diterima menurut

konvensi internasional, seperti simbol-simbol lalu lintas, alphabet latin, simbol

matematika, juga terdapat simbol-simbol lokal yang hanya dimengerti oleh

kelompok-kelompok tertentu. (Cangara, 1998)

Pemberian arti pada simbol adalah suatu proses komunikasi yang dipengaruhi

oleh kondisi sosial budaya yang berkembang pada suatu masyarakat. Karena itu dapat

disimpulkan bahwa :

24

Page 25: Proposal Nunu

1. Semua kode memiliki unsur nyata

2. Semua kode memiliki arti

3. Semua kode tergantung pada prsetujuan para pemakaiannya

4. Semua kode memiliki fungsi

5. Semua kode dapat dipindahkan, apakah melalui media atau saluran-

saluran komunikasi lainnya.

Dillistone (1990) mengemukakan bahwa simbol adalah barang atau pola yang

apapun sebabnya bekerja pada manusia, dan berpengaruh pada manusia, melampaui

pengakuan semata-mata tntang apa yang disajiakan secara harfiah. Dikatakan bahwa

sebuah simbol tidak identik atau koekstensif dengan obyek yang disimbolkannya.

Seandainya demikian halnya, simbol tersebut tidak akan menjadi simbol barang itu,

melainkan barang itu sendiri. Adalah salah anggapan bahwa simbol dimaksudkan

untuk menjadi reproduksi barang, sebenarnya simbol dimaksudkan untuk

menerangkan barang tersebut.

2.2.2. Makna

Semua model makna memiliki bentuk yang secara luas serupa atau mirip.

Masing-masing memperhatikan tiga unsur yang harus ada dalam setiap studi tentang

makna. Ketiga unsur tersebut, acuran tanda dan pengguna tanda. Tanda merupakan

sesuatu yang bersifat fisik dan bisa di persepsi indra kita Tanda mengacu pada

sesuatu di luar tanda tersebut dan bergantung pada pengamatan oleh penggunanya

sehingga bisa disebut tanda.

25

Page 26: Proposal Nunu

Pierce (Fatta, 2003:62) melihat tanda, acuan dan penggunaannya sebagai tiga

titik dalam segitiga. Masing-masing terkait erat pada keduanya dan dapat dipahami

hanya dalam arti pihak lain. Sedangkan Saussure mengambil cara yang sedikit

berbeda. Dikatakan bahwa tanda terdiri atas bentuk fisik plus konsep mental yang

terkait. Konsep ini merupakan pemahaman atas relitas eksternal. Tanda terdiri pada

realisitas melalui konsep orang yang menggunakannnya.

Ada dua model makna yang sangat berpengaruh, pertama model dari filsuf

dan ahli logika CS. Pierce, Ooden dan Richal, Kedua model dari ahli linguistik

Ferdinand de Saussure. Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk

sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjukkan pada seseorang yakni

menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara atau barangkali suatu

benda yang lebih berkembang

2.3. Konsep Kebudayaan

Menurut pandangan Antropologi, kebudayaan adalah “keseluruhan sistem

gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang

dijadikan milik dari manusia dengan belajar” (Koentjaraningrat, 1990 : 193). Definisi

ini sangat luas, sebab seluruh tindakan manusia merupakan proses belajar. Karena

kebudayaan merupakan cara berkelakuan yang dipelajari, maka kebudayaan tidak

tergantung dari transminsi biologis atau pewarisan melalui unsur genetis. Perlu

ditegaskan hal itu, agar dapat dibedakan perilaku budaya dari manusia dan primata

yang lain dari tingkah laku yang hampir selalu digerakkan oleh naluri.

26

Page 27: Proposal Nunu

Tylor merupakan ahli antropologi pertama yang merumuskan kebudayaan

secara sistematik dan ilmiah, bahwa kebudayaan itu adalah keseluruhan yang

kompleks yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian,

moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan serta kebiasaan yang didapat oleh

manusia sebagai anggota masyarakat (Pelly dan Minanti, 1994 : 23; Soekanto, 1998:

55).

Kebudayaan berarti kualitas yang wajar yang dapat diperoleh dengan

mengunjungi cukup banyak sandiwara dan konser tarian dan mengamati karya seni

pada sekian banyak gedung kesenian. Tetapi seorang ahli antropologi, mempunyai

definisi yang lain. Ralph Linton menjelaskan bagaimana definisi kebudayaan dalam

kehidupan sehari-hari berbeda dengan definisi seorang ahli antropologi. Linton

(Ihromi, 2000 : 18) mengemukakan bahwa;

Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun

dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu, yaitu bagian yang oleh

masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Oleh karena itu, tidak ada

masyarakat atau perorangan yang tidak berkebudayaan, setiap masyarakat

mempunyai kebudayaan, bagaimanapun sederhananya kebudayaan itu, dan setiap

manusia adalah mahluk berbudaya, dalam arti mengambil bagian dalam sesuatu

kebudayaan“.

Kluckhon dan Kelly (Harsojo, 1967 : 62) merumuskan bahwa kebudayaan

adalah pola untuk hidup yang tercipta dalam sejarah, yang eksplisit, implisit, rasional,

dan non-rasional, yang terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman yang potensial

27

Page 28: Proposal Nunu

bagi tingkah laku manusia. Kebudayaan sebagai pedoman bertingkah laku bagi

seseorang di dalam masyarakat, menunjuk pada apa yang boleh dilakukan dan apa

yang tidak boleh dilakukan, sehingga kehidupan dapat tertib. Oleh sebab itu,

kebudayaan juga merupakan faktor utama yang membatasi cara berkelakuan bagi

sesorang di dalam masyarakat.

Emile Drukheim (Ihromi, 2000 : 26), menekankan bahwa kebudayaan adalah

sesuatu yang berada diluar kemauan manusia, diluar kemampuan perseorangan dan

memaksakan kehendaknya pada para individu. Manusia tidak selalu merasakan

pembatasan-pembatasan kebudayaan itu, karena pada umumnya manusia mengikuti

cara-cara berkelakuan dan cara berpikir yang dituntutnya. Tetapi jika manusia

mencoba menentang pembatasan-pembatasan kebudayaan, kekuatannya menjadi

nyata. Ada dua macam pembatasan kebudayaan, yaitu pembatasan yang langsung dan

pembatasan yang tidak langsung. Misalnya, jika seseorang mengenakan pakaian yang

tidak biasa dalam kebudayaannya, maka mungkin akan dijadikan bahan ejekan dan

mungkin agak dijauhi dalam masyarakat. Tetapi kalau seseorang hanya memakai

sekedar kain cawat, maka akan mengalami suatu tekanan kebudayaan yang lebih

keras dan lebih langsung misalnya ditangkap karena memperlihatkan badan secara

kurang sopan. Jadi bentuk-bentuk pembatasan kebudayaan yang tidak langsung

kurang nyata bila dibandingkan dengan yang langsung.

Bila dikatakan, bahwa suatu kebudayaan merupakan suatu integrasi, maka

yang dimaksudkan adalah bahwa unsur-unsur atau sifat-sifat yang terpadu menjadi

suatu kebudayaan bukanlah sekumpulan kebiasaan-kebiasaan yang terkumpul secara

28

Page 29: Proposal Nunu

acak-acakan saja. Satu alasan mengapa para ahli antropologi menduga bahwa

kebudayaan merupakan satu integrasi kelihatannya adalah bahwa sifat itu dianggap

bersumber pada sifat adaptif dari kebudayaan. Jika kebiasaan-kebiasaan tertentu lebih

adaptif dalam susunan tertentu, maka dapat diduga bahwa gumpalan unsur-unsur

budaya itu akan ditemui dalam kaitan yang berhubungan bila ditempatkan dalam

keadaan yang bersamaan. Alasan kedua untuk dugaan bahwa kebudayaan merupakan

suatu integrasi karena kebudayaan yang unsur-unsurnya bertentangan satu sama lain

itu sukar, kalau tidak mustahil untuk secara bersamaan mempertahankan yang

bertentangan itu. Jadi kebudayaan cenderung terdiri dari unsur-unsur yang dapat

disesuaikan satu sama lain (Ihromi, 2000 : 30-31).

Sedangkan Bronislaw Malinowski pelopor teori fungsionalisme dalam

antropologi,menyatakan bahwa :

Unsur-unsur pokok kebudayaan yaitu : (1) sistem norma-norma yang memungkinkan

kerja sama antara para anggota masyarakat agar menguasai alam sekelilingnya; (2)

organisasi ekonomi; (3) alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk

pendidikan, perlu diingat bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan yang

utama; dan (4) organisasi (Soekanto, 1998 : 192).

Kebudayaan sebagai hasil interaksi antar manusia dan manusia dengan

lingkungannya, menunjukkan suatu pengertian yang luas dan kompleks, karena

meliputi segala hal yang dialami oleh manusia baik sebagai individu maupun sebagai

anggota masyarakat. Kebudayaan menurut Poespowardojo (1993 : 110) mencakup

segala sesuatu yang terjadi dan dialami oleh manusia secara personal dan kolektif,

29

Page 30: Proposal Nunu

mencakup pula bentuk-bentuk yang dimanifestasikan sebagai ungkapan pribadi,

seperti yang disaksikan dalam sejarah kehidupannya, baik hasil pencapaian yang

telah ditemukan oleh umat manusia dan diwariskan secara turun temurun, maupun

proses perubahan dan pengembangan yang sedang dilalui dari masa ke masa. Selain

itu, di dalam kebudayaan tercakup juga bagaimana persepsi manusia terhadap dunia,

lingkungan serta masyarakat, nilai-nilai yang menjadi landasan pokok untuk

menentukan sikap terhadap dunia luar dan untuk memotivasi setiap tindakan berpola

dalam masyarakat dan benda-benda hasil karya manusia.

Kebudayaan sebagai hasil warisan, telah ada lebih dahulu dari lahirnya suatu

generasi baru. Dengan demikian, generasi yang baru itu telah dijiwai oleh norma-

norma, ide-ide atau gagasan-gagasan serta pola tindakan masyarakat tempat mereka

berada. Sifat dinamis dari kebudayaan karena berhubungan dengan kehidupan

manusia, yang meliputi unsur-unsur universal yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem

mata pencaharian, sistem pengetahuan, religi dan kesenian. Kebudayaan tidak lagi

diartikan sebagai kata benda, melainkan sebagai kata kerja karena kebudayaan tidak

lain adalah cara manusia mengekspresikan dirinya dan caranya mencari relasi-relasi

yang tepat terhadap dunia sekelilingnya (Ihromi, 2000 : 61).

Kebudayaan dipandang juga sebagai suatu strategi yang perlu dikelolah dan

diarahkan. Rumusan yang lebih fungsional menyatakan bahwa kebudayaan adalah

suatu desain untuk hidup, baik dalam lingkungan fisik maupun sosial. Untuk itu

Ihromi (2002 : 141) mengemukakan bahwa kebudayaan dianggap sebagai suatu

perencanaan, dan sesuai dengan perencanaan itu manusia mengadaptasikan dirinya

30

Page 31: Proposal Nunu

pada lingkungan fisik, sosial dan ide. Strategi untuk menghadapi lingkungan fisik

mencakup sistem produksi pangan dan semua teknologi yang digunakan. Adaptasi

sosial mencakup sistem politik, sistem kekeluargaan dan hukum sebagai strategi

untuk berhubungan dengan sesama, sedangkan adaptasi ide menunjuk pada ilmu,

seni, filsafat dan agama.

Kebudayaan adalah medium yang digunakan oleh spesies manusia untuk

memecahkan masalah yang dihadapi oleh manusia itu sendiri. Bermacam-macam

lembaga kebudayaan, seperti kekerabatan dan perkawinan, organisasi politik dan

ekonomi, serta agama, berbaur bersama membentuk suatu integrasi sistem

kebudayaan. Karena sistem ini bersifat adaptif, maka sifatnya cukup mantap dan tidak

berubah, kecuali kalau kondisi acuan adaptasinya atau pandangan manusia terhadap

kondisi itu berubah.

Marvin Harris (Ihromi, 2000 : 634-653), membagi tiga tingkatan model

kebudayaan :

1. Infrastruktur, yang berhubungan dengan penduduk, kebutuhan dasar biologis, dan

sumber daya (pekerjaan, peralatan, teknologi dan lain-lain).

2. Struktur, yang berhubungan dengan pola organisasi (pemerintahan, pendidikan,

kekeluargaan, peraturan yang dihasilkan dan lain-lain).

3. Superstruktur, yang berhubugan dengan institusi kemasyarakatan (hukum, agama,

politik, seni ilmu, kepercayaan, nilai-nilai, perasaan, tradisi dan lain-lain).

Menurut Harris (1980 : 47), pendekatan material ini pada prinsipnya bersifat

evolusionistik dan melihat kebudayaan sebagai produk dari proses evolusi, yaitu

31

Page 32: Proposal Nunu

proses perubahan kompleksitas struktural dari kondisi yang sederhana menuju kondisi

yang kian kompleks. Namun dalam konsepsi materialis ini, faktor yang paling

menentukan dalam perkembangan masyarakat adalah berada pada sistem produksi

sebagai sarana subsistem kehidupan manusia.

2.3 Masyarakat

Konsep masyarakat menurut koentjaraningrat (Pelly dan Minanti,1994:29)

adalah “kesatuan hidup manusia yang berintekrasi menurrut suatu sistim adat-istiadat

tertentu yang bersifat kontinyu, Dan terikat suatu rasa identitas bersama “.

Defenisi itu menyerupai suatu devenisi yang diajukan oleh J.L. Gillian dan

J.P. Gillian (Pelly dan Minanti,1994:28) yang mengatakan “masyarakat adalah

kelompok manusia yang terbesar yang mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap. Dan

perasaan persatuan yang sama”. Sedangkan menurut Linton (Pelly dan

Minanti,1994:28) masyarakat adalah “sekelompok manusia yang telah cukup lama

dan bekerjasama, sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya sebagai satu

kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu”

Sementara itu menurut Hendropuspito (1989 ;74) masyaraka adalah “suatu

jalinan kelompok-kelompok sosial yang saling mengait dalam kesatuan yang lebih

besar, berdasarkan kebudayaan yang sama”.

Cirri-ciri masyarakat menurut ( Pelly dan Minanti,1994:28) yaitu :

1) Adanya interaksi

32

Page 33: Proposal Nunu

2) Terbentuk ikatan pola tingkah laku yang khas didalam semua aspek

kehidupan yang bersifat mantap dan kontinyu

3) Adanya rasa identitas terhadsap kelompok bagi individu yang bersangkutan

4) Memiliki kebudayaan yang sama

Mistik dan atau kepercayaan adalah suatu ajaran yang sumber dari hal-hal

yang bersifat gaib dan di luar kesadaran manusia. Dalam pandangan masyarakat

maritim, aktivitas manusia di samping dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat rasional,

juga ada kekuatan-kekuatan lain yang mengendalikan aktivitas manusia (Kartapradja,

1985:64).

Horridae (1980:12) bahwa suatu kepercayaan yang menyatakan bahwa laut

memiliki roh penunggu menyebabkan nelayan dalam melakukan aktivitas

penangkapan selalu menggunakan ramalan atau menentukan arah angin di bawah

pimpinan seorang tabib atau dukun yang dipercaya memiliki kekuatan magis oleh

masyarakat maritim.

Paham mistik adalah kebutuhan dasar manusia. Ia menjadi tolak ukur akan

nilai dan martabat kemanusiaan. Masyarakat maritim mempercayai bahwa alam

semesta adalah ciptaan Allah Yang Maha Esa.Selain itu, mereka juga percaya bahwa

selain Allah terdapat juga kekuatan-kekuatan gaib yang turut mendukung dan

mempengaruhi aktivitas mereka.

Salah satu kelompok masyarakat maritim di Sulawesi Tenggara, yang

memiliki ciri khas tersendiri dalam pengelolaan lingkungan perairan adalah

33

Page 34: Proposal Nunu

masyarakat nelayan Bajo. Orang-suku Bajo mendiami pulau-pulau dan pesisir-pesisir

pantai yang ada di hampir semua wilayah Kabupaten di Sulawesi Tenggara.

Suku Bajo dapat digolongkan sebagai masyarakat terasing karena mereka

hidup secara tidak menetap (nomaden), dan hidup di pulau-pulau terpencil yang

menyebabkan mereka terisolasi dari masyarakat lainnya. Dan dikatakan terbelakang,

karena mereka kurang tersentuh oleh hasil-hasil pembangunan yang dilaksanakan

(Tasman, 1995).

Ciri khas yang menggambarkan sosok suku Bajo sebagai penguasa laut

dijelaskan oleh (Nimno, 1969) bahwa hampir seluruh wilayah perairan Indonesia,

bahkan di pulau-pulau terluar nusantara terdapat kelompok-kelompok nelayan Bajo

yang membentuk pemukiman baik yang bersifat menetap maupun nomaden, dengan

karakter nilai budayanya yang khas.

Masyarakat nelayan merupakan kelompok masyarakat yang memiliki pola

dan corak yang berbeda dengan masyarakat lain. Perbedaan masyarakat nelayan

dengan masyarakat lainnya adalah lebih pada perbedaan persepsi dan tanggapan

terhadap kondisi lingkungannya.

Masyarakat maritim yang seringkali juga disebut dengan masyarakat nelayan

atau masyarakat pantai, memiliki taraf kehidupan yang khas dari masyarakat lain. Ciri

khas yang menonjol adalah ketergantungan mereka terhadap laut dan ikan sebagai

sumber penghidupan mereka.

Cholil Mansyur (Pelly dan Minanti, 1994), masyarakat nelayan adalah

persekutuan hidup yang merupakan perkumpulan manusia dengan perasaan

34

Page 35: Proposal Nunu

persatuan dan kesadaran bersama dengan wilayah laut sebagai alam yang

memperteguh eksistensi kehidupan mereka.

David Hume (Pelly dan Minanti, 1994) menyatakan bahwa masyarakat

nelayan adalah kehidupan masyarakat yang menghimpun dan mencakup seluruh

individu-individu yang saling berinteraksi dengan menjadikan perairan laut sebagai

sumber dalam menyatukan mereka secara teritorial, adat istiadat, sosial, dan ekonomi.

35

Page 36: Proposal Nunu

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dikota kendari dengan obyek penelitian pada makna

simbol yang terdapat dalam komunitas suku Bajo di Kelurahan Lapulu

Kecamatan Abeli Kota Kendari.

3.2. Jenis dan Sumber data

3.2.1 Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yaitu data

yang berupa informasi dan penjelasan seperti gambaran kegiatan suku Bajo di

Kelurahan Lapulu Kecamatan Abeli Kota Kendari, penjelasan mengenai simbol

dan lambang serta penjelasan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

Adapun data yang berbentuk angka, hanya sebatas jumlah masyarakat.

3.2.2 Sumber Data

Data menurut sumbernya terdiri dari data primer, yaitu data yang

diperoleh langsung dari obyek dan lokasi penelitian, sedangkan data sekunder

adalah data yang diperoleh dari literatur dan dokumentasi yang ada pada

komunitas suku Bajo.

36

Page 37: Proposal Nunu

3.3 Informan penelitian

Dalam penelitian ini , informan kunci yang digunakan adalah Lurah,

sekretaris lurah, serta anggota masyarakat sebanyak 8 (delapan) orang. Dengan

demikian informan dalam penelitian ini adalah 10 (sepuluh) orang.

3.4 Instrumen penelitian

Peneliti merupakan instrumen utama dalam penelitian ini, maksudnya

penelitian yang tidak diwakilkan kepada orang lain. Untuk membantu kelancaran dan

keberhasilan dalam pengumpulan data, penelitian ini menggunakan peralatan seperti :

kamera (sebagai dokumentasi ), tape rekorder (sebagai alat perekam), kamus, buku

catatan serta susunan pertanyaan yang jelas berkaitan judul penelitian.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua macam

yaitu teknik observasi Partisipatif dan wawancara.

3.5.1 Observasi Partisipatif

Pengertian observasi partisipatif seperti yang di kemukakan oleh Maleong

(2001:118) yang mengikuti pendapat Crane dan Angrosino (1984:64) bahwa sebagai

pengamat, peneliti berperanserta dalam kehidupan sehari-hari subjeknya pada setiap

situasi yang diinginkannya untuk dapat dipahami. Atas dasar pemikiran Moleong

inilah penelitian ini dilakukan atas dasar dapat mengumpulkan data yang akurat

berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian.

37

Page 38: Proposal Nunu

3.5.2 Wawancara

Wawancara secara garis besar dibagi dua yaitu wawancara terstruktur dan

wawancara tidak terstruktur. Wawancara tidak terstruktur sering juga disebut

wawancara mendalam, wawancara insentif, wawancara kualitatif, wawancara terbuka

dan wawancara etnografis. Sedangkan wawancara terstruktur sering juga disebut

wawancara baku yang susunannya sudah di tetapkan sebelumnya dengan pilihan-

pilihan jawaban yang sudah tersedia (Mulyana, 2001:180)

Pada penelitian ini wawancara yang dilaksanakan dengan informan adalah

wawancara terstruktur dimana peneliti menggunakan daftar pertanyaan yang jelas

berkaitan dengan Simbol-simbol semata.

3.5.3 Dokumentasi

Dokumentasi penunjang diperoleh dari masyarakat suku Bajo, laporan-laporan

dan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.

3.6 Teknik Analisis data

Data yang akan diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan

analisis deskriptif yakni menjelaskan dan menggambarkan interaksi simbol

komunikasi suku Bajo pada masyarakat di Kelurahan Lapulu dan mengetahui proses

komunikasi suku Bajo pada masyarakat di Kelurahan Lapulu Untuk mengetahui serta

memahami simbol-simbol budaya, yang digunakan Suku Bajo pada masyarakat di

Kelurahan Lapulu.

38

Page 39: Proposal Nunu

3.7 Desain Operasional Penelitian

No. Unit Analisis Struktut Kerangka Analisis Teknik Pengumpulan Data

1.

2.

3.

Simbol

Perilaku

Makna

1. Mengetahuai dan memahami aktor dala interaksi simbolik - Orang Bajo- Masyarakat

2. Mengetahuai dan memahami peran komunikasi suku- Komunikatif- Partisipatif

3. Mengetahuai dan memahami konteks - Lingkungan orang

bajo- Lingkungan

masyarakat Lapulu

1. Melakukan observasi

2. Melakukan wawancara

3. Dokuntansi

3.8 Konseptualisasi

1. Makna simbol adalah pemberian arti terhadap pesan tanda, kode, warna atau

lambang yang digunakan oleh masyarakat suku Bajo.

2. Simbol adalah pesan, kode serta lambang yang digunakan pada komunitas suku

Bajo yang bersifat non verbal melalui bahasa dan penampilan.

3. Suku Bajo adalah kelompok masyarakat pesisir yang tergabung dalam komunitas

masyarakat laut yang dilengkapi dengan simbol untuk menyatakan sikap dan

perilaku dan kebersamaan di dalam masyarakat.

4. Perilaku yaitu tindakan orang bajo dalam berinteraksi dengan masyarakat melalui

sikap yang komunikatif dan partisipatif.

39

Page 40: Proposal Nunu

5. Interaksi adalah hubungan yang dibentuk oleh kelompok suku Bajo untuk

berkomunikasi dan mengembang budayanya.

6. Aktor adalah orang bajo yang menjadi pelaku utama dalam interaksi simbolik

dengan suku Bajo

7. Konterks adalah adalah situasi dimana komunikasi berlangusng di lingkungan

Bajo dan Lingkungan Masyarakat Lapulu.

40