Proposal: Efektivitas Pelaksanaan Manajemen Pendidikan Karakter (Mixed Method)
-
Upload
denny-kodrat -
Category
Education
-
view
2.829 -
download
8
description
Transcript of Proposal: Efektivitas Pelaksanaan Manajemen Pendidikan Karakter (Mixed Method)
EFEKTIVITAS PROSES PELAKSANAAN MANAJEMEN PENDIDIKAN KARAKTER TINGKAT SEKOLAH MENENGAH ATAS DI KOTA BANDUNG
(STUDI KASUS DI SMA TARUNA BAKTI BANDUNG, SMA TERPADU KRIDA NUSANTARA BANDUNG DAN SMA NEGERI 3 BANDUNG)
PROPOSAL PENELITIAN
Sebagai Ujian Akhir Semester (UAS) Semester Ganjil mata kuliah Metodologi dan Statistik Penelitian Manajemen Pendidikan Lanjut, diampu oleh Prof. Dr. H. Rochman Natawidjaja
OlehDenny Kodrat
NPM: 4103810413007
PROGRAM DOKTOR ILMU PENDIDIKAN/MANAJEMEN PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
2013
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 0
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Prof. Dr. Moh. Nuh, merupakan obat untuk memerangi kemiskinan dan
keterbelakangan peradaban. Pernyataan ini menegaskan bahwa betapa pendidikan masih
diyakini memegang peranan penting dalam pembangunan manusia, karena kemajuan
peradaban sejatinya merupakan kemajuan manusia. Semakin tinggi sebuah peradaban,
maka hal itu mengindikasikan semakin majunya manusia. Begitupula dengan kemiskinan.
Usia kemiskinan sama tuanya dengan usia peradaban manusia. Tentunya, usia pendidikan
pun setua pula usia peradaban manusia. Oleh karenanya, pendidikan selalu menjadi jalan
keluar tanpa alternatif (no alternative way) untuk sebuah upaya membangun peradaban dan
memerangi kemiskinan.
Kewajiban negara yang utama di bidang pendidikan dapat dilihat dalam pembukaan
konstitusi negara Republik Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih lanjut,
dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 dijelaskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional,
yaitu:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Salah satu kebijakan pemerintah dalam mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban adalah dengan menggulirkan pendidikan karakter. Hal
ini didasarkan bahwa pendidikan merupakan pembentukan karakter (character building).
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 1
Bahkan, pendidikan karakter bisa menjadi salah satu sarana pengkulturan dan pemanusiaan,
disebabkan peran pendidikan karakter bukan saja bersifat integratif, dalam arti
mengukuhkan moral intelektual peserta didik, melainkan juga bersifat kuratif, baik secara
personal maupun sosial, yakni bisa menjadi salah satu sarana penyembuh penyakit sosial
(Koesoema, 2010:116).
Realitas dunia pendidikan saat ini masih didominasi oleh cerita-cerita buram penuh
kekerasan. Misalnya tawuran antarpelajar. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat
telah terjadi 147 kasus tawuran dengan korban jiwa sebanyak 82 anak sepanjang 2012
(Megapolitan.com). Tawuran pelajar ini bahkan hampir merata disetiap jenjang, baik jenjang
pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi. Tidak hanya kasus kekerasan tawuran
saja yang cukup mengkhawatirkan, kasus amoral lain seperti seks bebas, aborsi,
penyalahgunaan obat-obat terlarang hingga kasus kekerasan seksual cukup mendominasi
dunia pendidikan. Belum lagi masalah-masalah penyimpangan moral yang terjadi di mikro
pendidikan, misalnya mencontek dan bullying, menjadi masalah yang cukup serius untuk
disikapi bersama para pemangku kepentingan (stakeholders).
Berkaca dari fenomena persoalan pendidikan di atas, konsep pendidikan karakter
menjadi menarik untuk diteliti terlebih bila ditelaah bagaimana penerapan dan pengelolaan
pendidikan karakter ini oleh sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Sementara itu,
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2013 menekankan pada pendidikan karakter
dengan tujuan meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada
pembentukan budi pekerti dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu dan
seimbang sesuai dengan standard kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan
(Mulyasa, 2013). Peneliti memilih satuan pendidikan SMA Taruna Bakti Bandung sebagai
subjek penelitian dengan pertimbangan bahwa sekolah ini dikenal menjadikan pendidikan
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 2
karakter sebagai misi sekolahnya, selain menjadi sekolah pembauran multi etnis. Selain itu,
dengan kiprahnya yang lebih dari 60 tahun, sekolah ini tidak hanya memiliki jejak rekam
yang baik secara akademis, popular secara nama, dan menjadi salah satu dari sedikit sekolah
swasta yang menempati 5 (lima) besar sekolah unggulan di kota Bandung, namun juga
memiliki kekhasan dalam misi pendidikannya, yaitu menjadikan pendidikan karakter dan
pembauran sebagai bagian dari softskill yang tidak terpisahkan.
SMA Taruna Bakti, terakreditasi A sejak tahun 2007 terletak di Jalan L.L.R.E
Martadinata 52 Kota Bandung, persis berada di tengah-tengah pusat perbelanjaan factory
outlets dan pusat pemerintahan provinsi Jawa Barat (Gedung Sate) dan Kejaksaan Provinsi
Jawa Barat. Sekolah ini berdiri di bawah naungan Yayasan Taruna Bakti yang didirikan oleh
masyarakat dengan ketua umumnya Drs. K. Kamajaya, M.Sc. Yayasan Taruna Bakti sendiri
saat ini mengelola satuan pendidikan Play group, Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar,
Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas dan Akademi Sekretari Taruna Bakti.
Untuk kegiatan SMA, proses manajemen dan pembelajarannya berada di gedung utama Jl.
L.L.R.E. Martadinata no. 52 lantai 3 dan 4. Berdasarkan observasi awal yang dilakukan,
disiplin dan keramahtamahan sangat ditekankan. Senyum, Tegur dan Sapa menjadi salah
satu etika yang ditekankan baik kepada siswa juga guru. Siswa harus berada di sekolah
sebelum jam 06.30. Sesudah jam tersebut, Siswa-siswa yang terlambat mendapatkan sanksi
tidak diperkenankan masuk kelas sebelum menyelesaikan tugas terlambat yang dibuat oleh
guru jam pertama dan dipantau serta diadministrasikan oleh guru piket. Ucapan-ucapan
seperti “Assalamu’alaikum, selamat pagi,” dan diikuti mencium tangan dari siswa ke guru
menjadi keseharian para siswa dan guru di sekolah.
Hasil observasi awal di atas dikuatkan oleh penuturan Kepala Sekolah melalui
wawancara informal yang dilakukan peneliti. Kepala Sekolah menegaskan bahwa SMA
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 3
Taruna Bakti adalah sekolah yang sangat menekankan pendidikan karakter, bahkan jauh
sebelum pemerintah menyuarakan urgensi pendidikan karakter. Salah satu nilai yang
ditekankan selama 2013 adalah respect (menghormati/menghargai). Setiap komponen;
siswa, guru maupun pegawai berupaya untuk menghayati dan mewujudkan nilai respect ini.
Akan tetapi, Kepala Sekolah mengakui di tengah-tengah upaya
mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah ini, terdapat beberapa persoalan
mendasar, yaitu pertama, tidak semua siswa berasal dari lingkungan keluarga yang
harmonis. Banyak di antara diasuh secara single parent. Sehingga, kompensasi yang
cenderung ke arah negatif seperti absensi, keterlambatan, pelanggaran, sering dilakukan
oleh para siswa sekadar untuk mencari perhatian. Lingkungan keluarga yang kondusif dapat
menjaga kesinambungan pendidikan karakter yang ditekankan di sekolah. Sebaliknya,
lingkungan keluarga yang bermasalah, dapat menyebabkan terputusnya sosialisasi dan
internalisasi nilai-nilai yang diterima siswa di sekolah. Kedua, SMA Taruna Bakti adalah
sekolah non-asrama. Kebersamaan dengan siswa di sekolah tidak berlangsung 1x24 jam
seperti yang terjadi di sekolah berasrama (boarding school).
Sekolah kedua adalah SMA Terpadu Krida Nusantara menempati tanah seluas 25 Ha
yang terletak di wilayah Bandung Timur, tepatnya di desa Cipadung, Cibiru. SMA ini memiliki
akreditasi A dan mengedepankan pendidikan karakter yang terlihat dari ungkapan visinya,
yaitu “Menjadi sekolah berasrama terkemuka dalam pengembangan potensi peserta didik di
bidang akademik, keagamaan dan keterampilan dengan disiplin tinggi serta mampu bersaing
secara nasional dan internasional”. Selain itu, SMA Krida Nusantara ini memiliki slogan
“Mendidik anak untuk disiplin, bebas rokok, narkotika dan tawuran.” Selain itu, dengan
konsep sekolah asrama (boarding school), proses pendidikan bisa relatif terpantau selama 24
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 4
jam dengan dibimbing oleh kepala sekolah, kepala asrama para guru kelas, wali kelas, guru
asrama hingga tenaga kependidikan.
Sekolah ketiga adalah SMA Negeri 3 Bandung, terletak di jalan Belitung 8 Bandung,
memiliki slogan “Knowledge is power, but character is more” bervisi “Menjadi sekolah
berbasis riset terdepan dalam pembentukan karakter unggul dalam imtak dan iptek”.
Sekolah ini dalam kurun waktu selama dua dekade menjadi sekolah dengan nilai passing
grade teratas se-kota Bandung dan memiliki perolehan A dalam status akreditasinya.
Sebagaimana sekolah-sekolah formal lainnya, SMA Negeri 3 Bandung ini memiliki 64 tenaga
pendidik dengan status PNS dan 8 guru honorer, ditunjang dengan 32 tenaga kependidikan
serta dilengkapi dengan berbagai fasilitas sekolah yang memadai.
Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik untuk mendalami
efektivitas proses pelaksanaan manajemen pendidikan karakter pada tingkat Sekolah
Menengah Atas dengan mengambil 3 (tiga) kasus di SMA Taruna Bakti, SMA Krida nusantara
dan SMA Negeri 3 Bandung
B. Fokus Penelitian dan Rumusan Masalah
Manajemen berfokus pada perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),
Pelaksanaan (Actuating) dan Pengawasan (Controlling). Oleh karenanya, penelitian ini
difokuskan kepada efektivitas disetiap tahapan dari mulai tahapan perencanaan hingga
pengawasan. Untuk itu dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana perencanaan pendidikan karakter pada tingkat SMA.
2. Bagaimana pengorganisasian pendidikan karakter pada tingkat SMA.
3. Bagaimana pelaksanaan pendidikan karakter pada tingkat SMA.
4. Bagaimana pengawasan pendidikan karakter pada tingkat SMA.
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 5
5. Bagaimanakah efektivitas proses manajemen pendidikan karakter pada tingkat SMA
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi yang rinci dan jelas tentang:
1. Perencanaan pendidikan karakter pada tingkat SMA.
2. Pengorganisasian pendidikan karakter pada tingkat SMA.
3. Pelaksanaan pendidikan karakter pada tingkat SMA.
4. Pengawasan pendidikan karakter pada tingkat SMA.
5. Efektivitas proses penerapan manajemen pendidikan karakter pada tingkat SMA.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik teoretik dan praktis.
1. Manfaat Teoretik
Secara teoretik penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengembangkan
keilmuan dalam bidang manajemen pendidikan dan secara khusus manajemen pendidikan
karakter. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi bahan acuan bagi penelitian-penelitian
selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pimpinan yayasan,
pimpinan sekolah, guru, dan seluruh warga sekolah, bahkan para pemerhati pendidikan
tentang pedoman pelaksanaan pendidikan karakter.
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 6
E. Batasan Penelitian
Penelitian ini difokuskan kepada efektivitas proses pelaksanaan manajemen berkarakter
di tingkat SMA. Efektivitas sendiri dapat diukur melalui 4 (empat) pendekatan yaitu
pendekatan sasaran (goal approach), pendekatan sistem (system approach), pendekatan
proses (process approach) dan pendekatan gabungan dari tiga gabungan pendekatan
tersebut (Lubis dan Huseini, 1987). Pengukuran efektif juga didasarkan pada pendapat
Windham (1988) bahwa efektivitas pendidikan, dalam hal ini, manajemen pendidikan
berkarakter dapat dilihat dari proses input-proses-output dan outcomenya. Penelitian ini
membatasi efektivitas hanya pada pendekatan proses dan sasaran serta faktor-faktor yang
mempengaruhi efektivitas proses pelaksanaan manajemen pendidikan kepribadian.
II. ACUAN TEORITIS
A. Konsep Dasar Manajemen dan Manajemen Pendidikan
1. Pengertian Manajemen dan Manajemen Pendidikan
Kata manajemen sering dihubungkan dengan istilah bahasa Italia maneggiare yang
berarti ‘mengendalikan’. Kata ini mendapat pengaruh dari bahasa Perancis manège yang
berarti ‘kepemilikan kuda’ (yang berasal dari Bahasa Inggris yang berarti seni mengendalikan
kuda). Bahasa Perancis lalu mengadopsi kata ini dari bahasa Inggris menjadi ménagement,
yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Berdasarkan etimologinya, istilah
manajemen sebenarnya berasal dari bahasa Latin manus yang berati ‘tangan’ dan agere
yang berarti ‘melakukan’.
Dalam perkembangannya, istilah manajemen mendapatkan pengertian yang lebih
spesifik dan variatif dari para ahli. Harold Koontz dan Hein Weirich (dalam Kambey, 2006:2),
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 7
mendefinisikan manajemen sebagai “proses mendisain dan memelihara lingkungan di mana
orang-orang bekerja bersama dalam kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu secara efisien”. Sementara itu, Sanches (dalam Kambey, 2006:2), mendefinisikan
manajemen sebagai “proses mengembangkan manusia”.
Manajemen bukan sekedar proses melakukan sesuatu, melainkan sebagai seni. Mary
Parker Follet (dalam Sule dan Saefullah, 2010:5) menegaskan bahwa “manajemen is the art
of getting things done through people.” Artinya, manajemen adalah seni menyelesaikan
sesuatu melalui orang lain. Manajemen sebagai proses ataupun seni senantiasa terarah pada
suatu tujuan yang hendak dicapai dan melalui tahapan-tahapan yang pasti, yakni
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian. Hal ini dikuatkan oleh
pernyataan Nickels dkk. (dalam Sule dan Saefullah, 2010:6). Mereka menyebutkan
pengertian manajemen sebagai “the process used to accomplish organizational goals
through planning, organizing, directing, and controlling people and other organizational
goals”. Definisi sesungguhnya dari kata manajemen ternyata banyak, tergantung pada
persepsi masing-masing ahli. Namun, terdapat salah satu definisi klasik tentang manajemen
yang dirumuskan oleh George Terry (dalam Indrajit dan Djokopranoto, 2011:315), yakni
“management is a distinct process consisting of planning, organizing, actuating, and
controlling, performed to determine and accomplish stated objetctives by the use of human
beings and other resources”. Manajemen adalah suatu proses perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengontrolan melalui orang atau sumber daya lain
untuk mewujudkan tujuan. Proses yang dikemukakan Terry inilah yang secara populer
dikenal dengan singkatan POAC (planning, organizing, actuating, controlling).
Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh para ahli di atas, maka manajemen
dalam arti luas adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan proses perencanaan,
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 8
pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian sumber daya organisasi untuk mencapai
tujuan secara efektif dan efisien. Sementara itu dalam arti sempit, yakni dalam konteks
lingkungan pendidikan, “manajemen adalah perencanaan program sekolah, pelaksanaan
program sekolah, kepemimpinan kepala sekolah, pengawas/evaluasi, dan sistem informasi
sekolah” (Usman, 2011:5). Lebih lanjut Usman (2011:12) mengemukakan definisi
manajemen pendidikan sebagai berikut:
Manajemen pendidikan adalah seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dari definisi di atas, Usman menjabarkan tujuan dan manfaat manajemen pendidikan
(2011:13), antara lain:
1. Terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif,
menyenangkan dan bermakna.
2. Terciptanya peserta didik yang aktif mengembangkan potensi dirinya.
3. Terpenuhinya salah satu dari 5 kompetensi tenaga kependidikan, yaitu
kompetensi manajerial.
4. Tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
5. Terbekalinya tenaga kependidikan dengan teori tentang proses dan tugas
administrasi pendidikan.
6. Teratasinya masalah mutu pendidikan.
7. Terciptanya perencanaan pendidikan yang merata, bermutu, relevan, dan
akuntabel.
8. Meningkatnya citra positif pendidikan.
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 9
Secara ringkas, Mulyati dan Komariah (dalam Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI,
2011:88) menegaskan bahwa pentingnya manejemen agar pelaksanaan suatu usaha
terencana secara sistematis dan dapat dievaluasi secara benar, akurat dan lengkap sehingga
mencapai tujuan secara produktif, berkualitas, efektif dan efisien.
2. Fungsi-Fungsi Manajemen
Fungsi manajemen sebenarnya telah tertuang dalam definisi manajemen yang
dikemukan oleh para ahli, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan
pengendalian/pengawasan. Fungsi-fungsi tersebut merupakan elemen dasar yang akan
selalu ada dan melekat di dalam proses manajemen yang akan dijadikan acuan oleh
manajer/pemimpin dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan.
Secara garis besar Gerloff (dalam Kusdi, 2009:9) menunjukkan melalui sebuah tabel
dinamika proses manajemen sebagai berikut:
Fungsi Tindakan Resultan/EfekPlanning Menentukan berbagai tujuan,
strategi, dan arah yang ingin dicapai.
Dasar bagi desain dan kebijakan organisasi
Organizing Menentukan aktivitas-aktivitas pokok.
Mengelompokkan aktivitas-aktivitas menjadi jabatan-jabatan.
Mengelompokkan jabatan dan menentukan tanggung jawab
Mengisi jabatan dengan orang-orang yang sesuai.
Struktur kerja formal dengan mengidentifikasi jabatan, hubungan pelaporan dan koordinasi, departemen-departemen, serta prosedur yang dibutuhkan.
Menciptakan situasi yang memungkinkan munculnya struktur kerja informal.
Directing Memprakarsai dan memfokuskan tindakan para bawahan menuju tujuan.
Aliran komunikasi dari atas ke bawah yang mengaktifkan rencana formal dan
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 10
mendukung prioritas-prioritasnya.
Controlling Memonitor kinerja dan mengarahkan upaya menuju tujuan yang sudah direncanakan
Standard-standar kerja, media pelaporan, dan metode-metode standard yang merupakan bagian dari struktur
2.1. Perencanaan
Banghart dan Trull (dalam Sagala, 2010:56) mengemukakan: “Educational planning is
first of all a rational process”. Artinya perencanaan pendidikan adalah langkah paling awal
dari semua proses rasional. Dengan kata lain sebelum melaksanakan kegiatan lain, langkah
pertama yang mestinya dibuat adalah perencanaan.
Perencanaan pada dasarnya merupakan suatu proses memikirkan dan menetapkan
secara matang arah, tujuan dan tindakan sekaligus mengkaji berbagai sumber daya dan
metode yang tepat. Pengertian serupa dikemukakan oleh Gibson (dalam Sagala, 2010:56),
“perencanaan mencakup kegiatan menentukan sasaran dan alat sesuai untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan”. Perencanaan yang dibuat secara matang akan berfungsi
sebagai kompas untuk mencapai tujuan organisasi. Untuk itu Sergiovanni (dalam Sagala,
2010:57) menegaskan: “plans are guides, approximation, goal post, and compass setting not
irrevocable commitments or dicision commandments”.
Lebih lanjut Mulyati dan Komariah (dalam Tim Dosen, 2011:93-95) mengemukakan
fungsi perencanaan sebagai berikut:
- Menjelaskan dan merinci tujuan yang ingin dicapai.
- Memberikan pegangan dan menetapkan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan
untuk mencapai tujuan tersebut.
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 11
- Organisasi memperoleh standar sumber daya terbaik dan mendayagunakan sesuai
tugas pokok fungsi yang telah ditetapkan.
- Menjadi rujukan anggota organisasi dalam melaksanakan aktivitas yang konsisten
prosedur dan tujuan.
- Memberikan batas kewenangan dan tanggung jawab bagi seluruh pelaksana.
- Memonitor dan mengukur berbagai keberhasilan secara intensif sehingga bisa
menemukan dan memperbaiki penyimpangan secara dini.
- Memungkinkan untuk terpeliharanya persesuaian antara kegiatan internal dengan
situasi eksternal.
- Menghindari pemborosan.
Berdasarkan jangkauan waktunya, perencanaan dapat dibagi menjadi perencanaan
jangka pendek, misalnya satu minggu, satu bulan, satu semester dan satu tahun,
perencanaan jangkah menengah yaitu perencanaan yang dibuat untuk jangka waktu tiga
sampai tujuh tahun, dan perencanaan jangka panjang dibuat untuk jangka waktu delapan
sampai dua puluh lima tahun. Sementara itu proses perencanaan dilaksanakan secara
kolaboratif, yakni melibatkan warga sekolah. Alasan pentingnya melibatkan mereka dalam
perencanaan dikemukakan oleh Hoyle dan Moedjiarto (dalam Sagala, 2010:57). Masyarakat
sekolah akan bertanggungjawab atas perencanaan yang ditetapkan dan akan menimbulkan
sense of belonging (rasa memiliki), sehingga mendorong warga sekolah untuk bersama-sama
berusaha agar rencana tersebut berhasil.
2.2. Pengorganisasian
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 12
Mengorganisasikan adalah proses mengatur, mengalokasikan dan mendistribusikan
pekerjaan, wewenang, dan sumber daya di antara anggota organisasi untuk mencapai tujuan
organisasi. Stoner (dalam Tim Dosen, 2011:94) menyatakan bahwa mengorganisasikan
adalah “proses mempekerjakan dua orang atau lebih untuk bekerja sama dalam cara
terstruktur guna mencapai sasaran spesifik atau beberapa sasaran”. Pada intinya
mengorganisasikan berarti:
- menentukan sumber daya kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan
organisasi.
- merancang dan mengembangkan kelompok kerja yang berisi orang yang mampu
membawa organisasi pada tujuan.
- menugaskan seseorang atau kelompok orang dalam suatu tanggung jawab tugas
dan fungsi tertentu.
- mendelegasikan wewenang kepada individu yang berhubungan dengan
keleluwasaan melaksanakan tugas.
Pengorganisasian yang tepat akan membuat posisi orang jelas dalam struktur dan
pekerjaannya melalui pemilihan, pengalokasian dan pendistribusian kerja yang profesional.
Untuk itu seorang manajer memerlukan kemampuan memahami sifat pekerjaan dan
kualifikasi orang yang harus mengisi jabatan.
2.3. Pelaksanaan
Pelaksanaan, pengimplementasian, atau penggerakkan (actuating) merupakan
proses implementasi program agar bisa dijalankan oleh seluruh pihak dalam organisasi serta
proses memotivasi agar semua pihak dapat bertanggung-jawab dengan penuh kesadaran
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 13
dan produktivitas yang tinggi (Sule dan Saefulla, 2010:8). Proses memotivasi berarti
mendorong semua pihak agar mau bekerja sama, ikhlas dan bergairah untuk mencapai
tujuan yang sesuai dengan rencana-rencana yang telah ditentukan atau diorganisir
sebelumnya. Hal ini ditegaskan oleh Terry (dalam Kambey, 2006:70), “Actuating is setting all
members of the group to want to achieve and to strike to achieve the objective willingly and
keeping with the managerial planning and organizing the efforts”.
Dalam konteks manajemen sekolah, fungsi tersebut dijalankan oleh kepala sekolah,
yakni melalui tindakan merangsang guru dan personal sekolah lainnya melaksanakan tugas-
tugas dengan antusias dan kemauan yang baik untuk mencapai tujuan dengan penuh
semangat (Sagala, 2010:60). Menurut Sagala (2010:62-63), kepala sekolah dalam
menjalankan fungsinya perlu memperhatikan beberapa faktor seperti keefektifan organisasi
kerja yang terdiri dari sejumlah unit kerja (kelas, guru kelas, bimbingan penyuluhan, usaha
kesehatan sekolah), kepekaan terhadap sejumlah kebutuhan pelayanan persoan sekolah,
pelatihan guru, koordinasi yang meliputi pembagian kerja dan spesialisasi atas dasar
tanggung jawab profesionalnya masing-masing, semangat kerja sama, tersedianya fasilitas
dan kontak hubungan yang lancer bagi semua pihak dan memulai tahapan suatu kegiatan
dengan benar dan mempertahankan kualitas pekerjaan sebagai proses yang kontinu.
Koordinasi dapat diwujudkan melalui 1) konfrensi atau pertemuan lengkap yang
mewakili unit kerja di sekolah, 2) pertemuan berkala untuk pejabat-pejabat tertentu, 3)
pembentukan panitia gabungan jika diperlukan, 4) pembentukan badan koordinasi staf
untuk mengkoordinir kegiatan, 5) mewawancarai personal sekolah untuk mengetahui hal
yang penting berkaitan dengan tugas dan tanggungjawabnya, 6) memorandum atau instruksi
berantai, dan , 7) ada dan tersedianya buku pedoman organisasi dan tatakerja.
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 14
2.4. Pengawasan
Sagala merangkum beberapa pengertian pengawasan dari beberapa pakar berikut
(dalam Sagala, 2010:65). Pertama, Oteng Sutisna menghubungkan fungsi pengawasan
dengan tindakan administrasi. Baginya pengawasan dilihat sebagai proses administrasi
melihat apakah apa yang terjadi itu sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi, jika tidak
maka penyesuaian yang perlu dibuatnya. Kedua, Hadari Nawawi menegaskan bahwa
pengawasan dalam administrasi berarti kegiatan menukur tingkat efektivitas kerja personal
dan tingkat efesiensi penggunaan metode dan alat tertentu dalam usaha mencapai tujuan.
Ketiga, Johnson mengemukakan pengawasan sebagai fungsi sistem yang melakukan
penyesuaian terhadap rencana, mengusahakan agar penyimpangan-penyimpangan tujuan
sistem hanya dalam batas-batas yang dapat ditoleransi.
Dalam kaitannya dengan manajemen sekolah, Sagala menegaskan bahwa
pengawasan adalah salah satu kegiatan mengetahui realisasi perilaku personal sekolah dan
apakah tingkat pencapaian tujuan pendidikan sesuai yang dikehendaki, kemudian dari hasil
pengawasan apakah dilakukan perbaikan. Pengawasan meliputi pemeriksaan apakah semua
berjalan sesuai rencana yang dibuat, instruksi-instruksi yang dikeluarkan, dan prinsip-prinsip
yang ditetapkan, antara lain seperti yang dikemukakan oleh Massie (dalam Sagala, 2010:65):
- Tertuju kepada strategis sebagai kunci sasaran yang menentukan keberhasilan.
- Menjadi umpan balik sebagai bahan revisi dalam mencapai tujuan.
- Fleksibel dan responsif terhadap perubahan-perubahan kondisi dan lingkungan.
- Cocok dengan organisasi pendidikan.
- Merupakan kontrol diri sendiri.
- Bersifat langsung yaitu pelaksanaan kontrol di tempat pekerja.
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 15
- Memperhatikan hakikat manusia dalam mengontrol para personal pendidikan.
Sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut, Oteng Sutisna (Sagala, 2010:65) menegaskan
bahwa tindakan pengawasan terdiri dari tiga langkah universal, yaitu (1) mengukur
perbuatan atau kinerja; (2) membandingkan perbuatan dengan standar yang ditetapkan dan
menetapkan perbedaan-perbedaan jika ada; dan (3) memperbaiki penyimpangan dengan
tindakan pembetulan.
Lebih lanjut Stoner (dalam Sagala, 2010:66) membagi pengawasan dalam empat
langkah berikut:
- Pertama, menetapkan standar dan metode untuk mengukur prestasi yang
mencakup di dalamnya penetapan standar dan ukuran untuk segala macam
keperluan, mulai dari target pencapaian kurikulum sampai pada target
pencapaian mutu lulusan.
- Kedua, mengukur prestasi kerja yang dilakukan secara berkesinambungan,
repetitif dan frekeunsinya tergantung pada jenis aktivitas yang sedang diukur.
- Ketiga, membandingkan hasil yang telah diukur dengan sasaran dan standar yang
telah ditetapkan sebelumnya.
- Keempat, mengambil tindakan korektif, jika hasil-hasil yang dicapai tidak
memenuhi standar dan analisis menunjukkan perlunya diambil tindakan.
B. Konsep Dasar Pendidikan Karakter
1. Pengertian Pendidikan
Kata bahasa Inggris education yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
menjadi pendidikan, secara etimologis berasal dari kata kerja bahasa Latin educare.
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 16
Koesoema (2010:53) mengemukakan bahwa bisa jadi secara etimologis, kata pendidikan
berasal dari dua kata kerja yang berbeda, yaitu dari kata educare dan educere. Secara
distingtif, Koesoema mendeskripsikan makna kedua istilah tersebut sebagai berikut.
Kata educare memiliki konotasi ‘melatih’, ‘menjinakkan’, atau ‘menyuburkan’. Dalam
konteks ini pendidikan dipahami sebagai “sebuah proses yang membantu menumbuhkan,
mengembangkan, mendewasakan, membuat yang tidak tertata atau liar menjadi semakin
tertata, semacam proses penciptaan kultur dan tata keteraturan dalam diri maupun dalam
diri orang lain”. Pengertian pendidikan seperti ini senada dengan pendapat kaum behavioris
seperti Watson dan Skinner yang menekankan pendidikan sebagai proses perubahan tingkah
laku (Mudyahardjo, 2001:7). Pendidikan juga berarti “proses pengembangan berbagai
macam potensi yang ada dalam diri manusia, seperti kemampuan akademis, relasional,
bakat, talenta, kemampuan fisik atau daya-daya seni”.
Sementara itu, kata educere merupakan gabungan dari preposisi ex (keluar dari) dan
kata kerja ducere (memimpin). Secara harafiah educere berarti “suatu kegiatan untuk
menarik keluar atau membawa keluar”. Dalam arti ini, pendidikan dimengerti sebagai
“sebuah proses pembimbingan keluar yang terarah pada satu tujuan tertentu”. Proses
pembimbingan keluar ini bisa berarti secara internal, yakni keluar dari keterbatasan fisik
kodrati yang dimiliki sehingga tetap bertahan hidup, dan secara eksternal lebih mengacu
pada kecerdasan sosial individu, antara lain tampak dari kemampuan bekerja sama dengan
orang lain untuk mencapai tujuan bersama.
Di pihak lain, menurut John Dewey (dalam Muslich, 2011:67) pendidikan adalah
“proses pembentukan kecapakan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah
alam dan sesama manusia. Sementara itu dalam konteks Indonesia, pengertian pendidikan
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 17
secara sistematis tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi demikian:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Jadi, pengertian pendidikan mencakup keseluruhan aspek kehidupan manusia.
Bahkan, pendidikan adalah hidup itu sendiri, sebab pendidikan berlangsung seumur hidup
(life-long education), mencakup segala lingkungan dan situasi hidup yang mempengaruhi
pertumbuhan individu (Mudyahardjo, 2001:3).
2. Pengertian Karakter
Secara etimologis istilah “karakter” berasal dari bahasa Yunani karasso, berarti ‘cetak
biru’, ‘format dasar’, atau ‘sidik’ seperti dalam sidik jari. Interpretasi atas istilah ini
bermacam-macam. Mounier (dalam Koesoema, 2010:90-91) mengajukan dua cara
interpretasi, yaitu pertama, karakter sebagai “sekumpulan kondisi yang telah diberikan
begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan dalam diri kita”
(karakter bawaan atau given character). Kedua, karakter sebagai “tingkat kekuatan melalui
mana seorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter adalah sebuah proses
yang kehendaki” (willed). Senada dengan pengertian karakter di atas, Ohoitmur (dalam
Rataq dan Korompis, 2011:11), menegaskan bahwa “karakter personal terdiri dari dua unsur
yakni karakter bawaan dan karakter binaan. Karakter bawaan merupakan karakter yang
secara hereditas menjadi ciri khas kepribadiannya. Sedangkan karakter binaan merupakan
karakter yang berkembang melalui pembinaan dan pendidikan secara sistematis.
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 18
Menurut Pusat Bahasa Depdiknas (dalam Kemendiknas, 2010:12) karakter diartikan
sebagai “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat,
temperamen, watak.” Berkarakter berarti “berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat,
dan berwatak”. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha
melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan, dirinya, sesame dan lingkungannya dengan
cara mengoptimalkan potensi dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan
motivasinya.
Musfiroh (dalam Kemendiknas, 2010:12) berpendapat bahwa “karakter mengacu
kepada serangkaian sikap, perilaku, motivasi dan keterampilan”. Karakter berhubungan
dengan karakteristik psikologis individual. Hal ini ditegaskan oleh Berkowitz (2002:69)
sebagai berikut: “Character as an individual’s set of psychological characteristics that affect
that person’s ability and inclination to function morally. Simply put, character is comprised of
those characteristics that lead person to do the right thing or not to do the right thing.”
Karakter adalah kumpulan dari karakteristik psikologis individual yang mempengaruhi bakat
seseorang dan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan moralitas. Dengan kata lain
karakter itu terdiri dari karakteristik-karakteristik yang menuntun seseorang untuk
melakukan sesuatu yang baik atau melakukan sesuatu yang tidak baik.
3. Pendidikan Karakter
3.1. Pengertian Pendidikan Karakter
Elkind dan Sweet (dalam Kemendiknas, 2010:13) menyebutkan pendidikan karakter
dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people
understand, care about, and act upon core ethical values”. Pendidikan karakter adalah suatu
usaha sengaja untuk membantu orang memahami, peduli dan bertindak menurut nilai-nilai
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 19
etika. Sementara itu menurut Ramli (dalam Kemendiknas, 2010:13), pendidikan karakter
memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak.
Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga
masyarakat, dan warga negara yang baik.
Pendidikan moral dan pendidikan karakter tidaklah sama. Perbedaannya terletak
pada ruang lingkup dan lingkungan yang membantu individu dalam mengambil keputusan.
Dalam pendidikan moral, ruang lingkupnya adalah kondisi batin seseorang. Sedangkan dalam
pendidikan karakter ruang lingkupnya selain terdapat dalam diri individu, juga memiliki
konsekuensi kelembagaan, yang keputusannya tampil dalam kinerja dan kebijakan lembaga
pendidikan (Koesoema, 2010:198).
Koesoema (2010:42) menyebutkan bahwa pendidikan karakter sebenarnya
dicetuskan pertama kali oleh ahli pendidikan Jerman F.W. Foerster (1869-1966). Lahirnya
pendidikan karakter bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk menghidupkan kembali
pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang arus positivisme yang dipelopori oleh
filsuf dan sosiolog Perancis Auguste Comte (1798-1857). Tujuan pendidikan menurut
Foerster adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial antara
si subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter menjadi semacam
identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan
karakter inilah kualitas seorang pribadi diukur. Lebih lanjut Foerster menyebutkan kekuatan
karakter seseorang tampak dalam empat ciri fundamental yang mesti dimiliki. Kematangan
keempat ciri fundamental karakter inilah yang memungkinkan manusia melewati tahap
individualitas menuju personalitas.
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 20
Pertama, keteraturan interior melalui mana setiap tindakan diukur berdasarkan
hierarki nilai. Karakter tidak terbentuk selalui merupakan sebuah kesediaan dan keterbukaan
untuk mengubah dan dari ketidakteraturan menuju keteraturan nilai.
Kedua, koherensi yang memberikan keberanian melalui mana seseorang dapat
mengakarkan diri teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau
takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain.
Kredilibitas seseorang akan runtuk apabila tidak ada koherensi.
Ketiga, otonomi atau kemampuan seseorang untuk menginternalisasikan aturan dari
luar sehingga menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Hal ini tampak dari penilaian keputusan pribadi
tanpa terpengaruh atau desakan dari pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang
untuk mengingini apa yang dipandang baik, sedangkan kesetiaan merupakan dasar bagi
penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Lebih lanjut, Koesoema sendiri (2010:193-190) melihat pendidikan karakter sebagai
keseluruhan dinamika relasional antarpribadi dengan berbagai macam dimensi, baik dari
dalam maupun dari luar dirinya, agar pribadi itu semakin dapat menghayati kebebasannya
sehingga ia dapat semakin bertanggungjawab atas pertumbuhan dirinya sendiri sebagai
peribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka. Pendidikan karakter memiliki
dua dimensi sekaligus, yakni dimensi individual dan dimensi sosio-struktural. Dimensi
individual berkaitan erat dengan pendidikan nilai dan pendidikan moral seseorang.
Sedangkan dimensi sosio-kultural lebih melihat bagaimana menciptakan sebuah sistem
sosial yang kondusif bagi pertumbuhan individu.
Tidak hanya di Indonesia, pendidikan karakter juga menjadi perhatian di belahan
dunia lain, seperti di Amerika. Character Education Partnership (CEP) (dalam Koesoema,
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 21
2012:57), sebuah program nasional pendidikan karakter di Amerika Serikat, mendefinisikan
pendidikan karakter demikian.
Sebuah gerakan nasional untuk mengembangkan sekolah-sekolah agar dapat menumbuhkan dan memelihara nilai-nilai etis, tanggung jawab dan kemauan untuk merawat satu sama lain dalam diri anak-anak muda, melalui keteladanan dan pengajaran tentang karakter yang baik, dengan cara memberikan penekanan pada nilai-nilai universal yang diterima oleh semua. Gerakan ini merupakan usaha-usaha dari sekolah, distrik, dan Negara bagian yang sifatnya intensional dan proaktif untuk menanamkan dalam diri para siswa nilai-nilai oral inti, seperti perhatian dan perawatan (caring), kejujuran, keadilan (fairness), tanggung jawab dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain.
Sementara itu Asosiasi Supervisi dan Pengembangan Kurikulum di Amerika Serikat
(dalam Koesoema, 2012:57-58), mendefinisikan pendidikan karakter sebagai berikut.
Sebuah proses pengajaran kepada anak-anak tentang nilai-nilai kemanusiaan dasar, termasuk di dalamnya kejujuran, keramahtamahan, kemurahan hati, keberanian, kebebasan, persamaan, dan rasa hormat. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan diri siswa sebagai warga Negara yang dapat bertanggungjawab secara moral dan memiliki disiplin diri.
Pendidikan karakter baik di Indonesia, maupun di Amerika memuat nilai-nilai yang
kurang lebih sama. Dalam konteks Indonesia, Kemendiknas secara detail (2011)
menyebutkan delapan belas nilai dalam pendidikan karakter, yaitu religius, jujur, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan,
cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, gemar membaca, peduli
lingkungan, dan peduli sosial, serta tanggung jawab. Koesoema (2010:208-2011) mengambil
garis besarnya saja dengan menyebutkan delapan nilai, yakni keutamaan, keindahan, kerja,
cinta tanah air, demokrasi, kesatuan, menghidupi nilai moral, dan kemanusiaan.
3.2. Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Karakter
Koesoema (2010:218-220) mengemukakan bahwa pendidikan karakter di sekolah
memerlukan prinsip-prinsip dasar yang mudah dimengerti dan dipahami oleh siswa dan
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 22
setiap individu yang bekerja dalam lingkup pendidikan itu sendiri. Beberapa prinsip dasar itu
antara lain sebagai berikut.
a. Karaktermu ditentukan oleh apa yang kamu lakukan, bukan apa yang kamu
katakan atau kamu yakini.
b. Setiap keputusan yang kamu ambil menentukan akan menjadi orang macam apa
dirimu.
c. Karakter yang baik mengandaikan bahwa hal yang baik itu dilakukan dengan
cara-cara yang baik, bahkan seandainya pun kamu harus membayarnya secara
mahal, sebab mengandung risiko.
d. Jangan pernah mengambil perilaku buruk yang dilakukan oleh orang lain sebagai
patokan bagi dirimu. Kamu dapat memilih patokan yang lebih baik dari mereka.
e. Apa yang kamu lakukan itu memiliki makna dan transformatif. Seorang individu
bisa mengubah dunia.
f. Bayaran bagi mereka yang memiliki karakter baik adalah bahwa kamu menjadi
pribadi yang lebih baik, dan ini akan membuat dunia menjadi tempat yang lebih
baik untuk dihuni.
3.3. Metode Integral bagi Pendidikan Karakter
Koesoema (2010:212-217) menyebutkan secara praktis dan sederhana lima unsur
yang bisa dipertimbangkan dalam upaya mengarahkan sekolah pada penghayatan
pendidikan karakter yang realistis, konsisten, dan integral. Koesoema menegaskan bahwa
kelima unsur itu bisa menjadi menjadi pedoman dan patokan dalam menghayati dan
mencoba menghidupi pendidikan karkater di dalam setiap lembaga pendidikan. Lima hal
tersebut bisa dikatakan sebagai lingkaran dinamis dialektis yang senantiasa berputar
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 23
semakin maju. Kelima unsur itu adalah mengajarkan, keteladanan, menentukan prioritas,
praksis prioritas, dan refleksi.
a. Mengajarkan
Pendidikan karakter mengandaikan pengetahuan teoretis tentang konsep-konsep
nilai tertentu. Artinya, untuk dapat melakukan yang baik, adil, dan bernilai, maka peserta
didik pertama-tama perlu mengetahui dengan jelas apa itu kebaikan, keadilan dan nilai.
Perilaku berkarakter mendasarkan diri pada tindakan sadar subjek dalam melaksanakan
nilai. Untuk inilah, salah satu unsur penting dalam pendidikan karakter adalah mengajarkan
nilai-nilai sehingga anak didik memiliki gagasan konseptual tentang nilai-nilai pemandu
perilaku yang bisa dikembangkan dalam mengembangkan karakter pribadinya.
Proses diseminasi nilai tidak hanya berlangsung di dalam kelas, melainkan bisa
memanfaatkan berbagai macam unsur lain, misalnya proses perencanaan kurikulum. Dalam
merencanakan kurikulum perlu dilihat apakah telah terdapat nilai-nilai etis yang
menyerambah dalam kurikulum sehingga sekolah memiliki nilai-nilai yang ditawarkan
(proposed values). Cara lain adalah dengan mengundang pembicara tamu dalam sebuah
seminar, diskusi, publikasi, dll, untuk secara khusus membahas nilai-nilai utama yang dipilih
sekolah dalam kerangka pendidikan karakter bagi para peserta didik.
b. Keteladanan
“Verba movent exempla trahunt”, ungkapan bahasa Latin ini berarti kata-kata
memang dapat menggerakkan orang, namun teladan itulah yang menarik hati. Untuk itu
pendidikan karakter merupakan tuntutan terutama bagi para pendidik sendiri. Sebab,
pengetahuan yang baik tentang nilai akan menjadi kredibel ketika gagasan teoretis normatif
itu ditemui oleh peserta didik dalam praksis kehidupan di sekolah.
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 24
Keteladanan menjadi salah satu hal klasik bagi berhasilnya pendidikan karakter. guru
sesungguhnya menjadi jiwa bagi pendidikan karakter itu sendiri. Konsistensi dalam
mengajarkan pendidikan karakter tidak sekadar melalui apa yang dikatakan melalui
pembelajaran di dalam kelas, melainkan nilai itu juga tampil dalam diri guru di kehidupannya
di luar kelas. Indikasi adanya keteladanan dalam pendidikan karakter adalah apakah
terdapat model peran dalam diri insan pendidik. Demikian juga, apakah secara kelembagaan
terdapat contoh-contoh kebijakan serta perilaku yang bisa diteladani oleh siswa sehingga
apa yang mereka pahami tentang nilai-nilai itu memang dekat dengan hidup mereka, dan
mereka dapat menemukan afirmasi dalam perilaku individu atau lembaga sebagai
manifestasi nilai.
c. Menentukan prioritas
Pendidikan karakter menghimpun banyak kumpulan nilai yang dianggap penting bagi
realisasi atas visi lembaga pendidikan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan mesti
menentukan standar atas karakter yang akan ditawarkan kepada peserta didik. Untuk ini,
setiap pihak yang terlibat perlu memahami secara jernih apakah prioritas nilai yang ingin
ditekankan dalam pendidikan karakter di lingkungan sekolahnya. Selain prioritas nilai,
diperlukan juga penentuan sekumpulan perilaku standar yang diketahui dan dipahami oleh
peserta didik, orang tua dan masyarakat.
d. Praksis prioritas
Unsur lain yang sangat penting bagi pendidikan karakter adalah verifikasi di lapangan
tentang karakter yang dituntutkan itu. verifikasi yang dimaksudkan antara lain bagaimana
sikap sekolah terhadap pelanggaran atas kebijakan sekolah, bagaimana sanksi itu diterapkan
secara transparan sehingga menjadi praksis kelembagaan. realisasi visi dalam kebijakan
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 25
sekolah merupakan salah satu cara untuk mempertanggungjawabkan pendidikan karakter di
hadapan publik.
e. Refleksi
Setelah tindakan dan praksis pendidikan itu terjadi, perlulah diadakan semacam
evaluasi, pendalaman atau refleksi, untuk melihat sejauh mana lembaga pendidikan telah
berhasil atau gagal dalam melaksanakan pendidikan karakter. Keberhasilan dan kegagalan
itu lantas menjadi sarana untuk meningkatkan kemajuan yang dasarnya adalah pengalaman
itu sendiri. Oleh karena itu perlu dilihat, apakah para siswa setelah memperoleh kesempatan
untuk belajar dari pengalaman dapat menyampaikan refleksi pribadinya tentang nilai-nilai
tersebut dan membagikannya dengan teman lain? Apakah ada diskusi untuk semakin
memahami nilai pendidikan karakter yang hasil-hasilnya bisa diterbitkan dalam jurnal, koran
sekolah, dll?
Di samping kelima unsur di atas, Koesoema pada bukunya yang lain mendeskripsikan
secara detail pelbagai metode integral untuk mewujudkan pendidikan karakter yang utuh
dan menyeluruh bagi setiap kegiatan yang ada di dalam lingkungan sekolah. Metode integral
berarti terkait upaya pengembangan kualitas individu, desain program yang sesuai dengan
tanggung jawab individu, dan upaya membangun lingkungan yang ramah atau kondusif bagi
pertumbuhan individu sesuai dengan tahap perkembangan kepribadiannya. Berikut pelbagai
metode integral yang disarikan dari pemikiran Koesoema (2012:70-82).
a. Menyebar ke seluruh kehidupan sekolah
Metode pendidikan karakter seperti ini didesain secara khusus agar seluruh dinamika
kehidupan sekolah senantiasa berjiwa pembentukan karakter. Pendidikan karakter utuh dan
menyeluruh memasuki seluruh fase kehidupan sekolah, mulai dari siswa-siswa masuk
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 26
melalui gerbang sekolah, kantin, aula, ruang kelas, perpustakaan sampai mereka kembali
melalui gerbang yang sama untuk pulang ke rumah.
b. Prioritas nilai dan keutamaan (core values)
Lembaga pendidikan mesti menentukan prioritas nilai atau keutamaan apa yang akan
diraih. Prioritas nilai dan keutamaan ini menjadi dasar penting bagi pertumbuhan individu
agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang baik. Nilai-nilai yang diprioritaskan itu dijunjung
tinggi, disepakati bersama, dihormati, dan diteladankan oleh para pendidik dan orang-orang
lain dalam perkataan dan perbuatan. Dengan demikian, diharapkan para siswa dapat
menangkap bahwa nilai-nilai tersebut sungguh merupakan nilai-nilai bersama yang ingin
diperjuangkan oleh seluruh komunitas sekolah. Dalam setiap pembicaraan, diskusi atau
berhadapan dengan berbagai masalah di sekolah, setiap anggota komunitas senantiasa
menyadari bahwa segala peristiwa dalam lembaga pendidikan mesti diletakkan dalam
kerangka pengembangan prioritas nilai, yang menggerakkan dinamika kehidupan sekolah.
c. Mengembangkan tiga dimensi pengolahan hidup
Metode pendidikan karakter utuh dan menyeluruh mengembangkan seluruh dimensi
pengolahan diri manusia secara integral, yakni meliputi olah pikir, olah hati, dan olahraga.
Olah pikir berarti mengajarkan individu untuk dapat memahami nilai-nilai dan keutamaan
secara benar. Individu mengetahui mengapa ia melakukan sebuah tindakan dan mengapa
tindakan yang dilakukan itu dapat dibenarkan secara moral (moral reasoning). Olah hati
berarti upaya menanamkan pemahaman yang benar dalam diri individu sampai pemahaman
tersebut sungguh menjadi bagian berharga dalam dirinya. Dengan kata lain, individu
menghidupi dan mencintai nilai-nilai yang telah diajarkan kepadanya. Olah hati
mengarahkan individu agar mampu membangun komitmen menjadi pribadi berintegritas
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 27
secara mendalam (moral loving). Selanjutnya, olah raga merupakan pembadanan dari
praksis nilai, yaitu merawat tubuh diri dan orang lain. Penghargaan atas tubuh menjadi
tanda dihargainya harkat dan martabat manusia. Olah raga mengindikasikan bahwa tindakan
bermoral itu hanya dapat diverifikasi dalam praksis dan tindakan, di mana fungsi organis
tubuh berperan penting. pemahaman dan penghargaan atas tubuh secara benar membuat
individu mampu juga menghargai keberadaan fisik orang lain apapun keadaan mereka.
d. Pengembangan organisasi dan manajemen
Pendidikan karakter utuh dan menyeluruh juga menyebar sampai pada pembentukan
organisasi dan manajemen sekolah yang berjiwa pembentukan karakter, baik itu berupa
kebijakan-kebijakan maupun keputusan-keputusan yang diambil. Definisi tugas yang jelas
dari masing-masing individu, proses pengaturan relasi antar individu dalam kerangka
organisasi perlu diperjelas, sehingga masing-masing individu dalam lembaga pendidikan
tersebut memiliki pemahaman akan cakupan tanggung jawab mereka secara spesifik dan
khas. Sekolah yang memiliki manajemen yang baik mampu merealisasikan visi dan misi
lembaga ke dalam praksis, membentuk tradisi pendidikan yang kokoh, serta memiliki
kepemimpinan yang berkelanjutan.
e. Pengembangan kultur sekolah yang menumbuhkan (caring community)
Pendidikan karakter akan semakin efektif, relevan dan berkesinambungan jika
terarah pada pengembangan kultur sekolah yang menghargai individu dalam
mengembangkan karakter pribadinya. Pengembangan kultur sekolah yang baik pada
gilirannya akan berpengaruh pada pengembangan kultur sekolah di lingkungan pendidikan
lain. Dalam hal ini, lembaga pendidikan sebagai sebuah pelaku bagi pengembangan
pendidikan tidak dapat berdiri sendiri, atau hidup bagi dirinya sendiri. Kehadirannya yang
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 28
bermutu dan bai semestinya juga dapat menjadi contoh dan model sekolah-sekolah lain di
sekitarnya. Dengan demikian, kultur pendidikan karakter di satu sekolah yang baik dapat
memengaruhi lingkungan pendidikan lain di sekitarnya.
f. Eksplisit, direncanakan, terpadu
Pendidikan karakter mesti berciri eksplisit, direncanakan (planned), dan terpadu
(integrated). Pendidikan karakter mesti bersifat eksplisit. Artinya, isi, pendekatan, dan
bentuk praksisnya di dalam atau di luar kelas, disampaikan secara transparan kepada seluruh
pemangku kepentingan sekolah, yakni siswa, guru, orang tua, ataupun masyarakat.
Pendidikan karakter dilakukan secara sengaja dan direncanakan. Ada niat, kehendak
dan kemauan untuk secara sengaja mengembangkan pendidikan karakter di sekolah. Guru,
tim pendidikan karakter, penanggung jawab setiap kelas, serta anggota komunitas lain
terlibat dalam desain dan perencanaan strategis pendidikan karakter. Melalui perencanaan
secara sadar, keberhasilan pendidikan karakter dapat dievaluasi dan dinilai untuk
pengembangan selanjutnya.
Pendidikan karakter dipraktikkan secara terpadu, dan melibatkan sebanyak mungkin
pihak yang berkepentingan dengan pengembangan pendidikan karakter di sekolah.
Pendidikan karakter menjadi kepentingan bersama yang akan berdampak luas dalam
masyarakat. Untuk itu, kerja sama intensif dan saling mendukung antara lembaga
pendidikan dengan masyarakat sangatlah penting. keterpaduan ini juga mempersyaratkan
adanya simultanitas program, yakni berjalannya berbagai macam program secara serentak
dan bersama-sama. Simultanitas program mengandaikan adanya pembenahan praksis di
lapangan bukan memulai dari awal atau menunggu program pendidikan matang. Caranya
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 29
adalah dengan mulai membuat skala prioritas hal-hal mendesak mana yang mesti dilakukan
segera.
g. Pertumbuhan motivasi individu
Sifat utuh dan menyeluruh pendidikan karakter merangkum persoalan tentang
motivasi moral. Artinya, sifat itu mencakup bagaimana menumbuhkan dalam diri individu
sebuah semangat pembaruan diri terus-menerus dalam kebersamaan untuk menghidupi dan
menghayati nilai-nilai moral inti yang diperjuangkan. Dengan mengembangkan motivasi
dalam diri individu, program tidak sekedar dipaksakan dari atas. Sebaliknya, ada rasa
memiliki, rasa satu panggilan untuk menghayati dan melaksanakan setiap program
pengembangan sebagai bagian dari tugas panggilan hidupnya di dunia.
Dengan motivasi moral, tampaklah bahwa setiap anggota komunitas menghargai dan
menjunjung tinggi nilai-nilai moral inti dalam hidup mereka. Untuk mendukung tumbuhnya
motivasi internal yang muncul dari dalam, setiap tindakan bermoral baik mesti memperoleh
penghargaan secara natural, pujian yang wajar. Upah perilaku bermoral yang baik adalah
pujian tulus dari komunitas, kesadaran, dan kebanggaan diri bahwa individu tersebut
menjadi contoh bagi integritas moral seorang pribadi. Rasa hormat dan pujian ini dilakukan
secara wajar dan normal dalam setiap sisi kehidupan sekolah.
h. Pengembangan professional
Pendidikan karakter utuh dan menyeluruh menyertakan pengembangan professional
para pelakunya sebagai bagian penting. Tujuannya adalah pengayaan serta peningkatan
kemampuan agar guru dapat menjadi pendidik karakter yang efektif, seperti lokakarya
tentang cara mengajar yang baik dan efektif, teknik berkomunikasi dengan orang lain,
manajemen kelas, dan lain sebagainya, yang dirasakan relevan bagi kinerja dan
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 30
pengembangan tugas guru. Di sini dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan agar individu
yang terlibat dalam dunia pendidikan bertumbuh secara sehat dan professional.
i. Kerja sama dengan banyak pihak
Metode pengembangan pendidikan karakter juga melibatkan berbagai macam pihak
dalam komunitas pendidikan. keterlibatan semua pihak diperlukan karena pendidikan
karakter menyangkut kepentingan seluruh anggota komunitas, terutama guru, staf pendidik,
dan karyawan tenaga kependidikan. Keyakinan bersama (shared believed) mesti muncul
pada hal-hal yang esensial: nilai-nilai dan keutamaan, prinsip-prinsip pendidkan karakter,
dan nilai-nilai yang diprioritaskan dan ingin dikembangkan oleh lembaga pendidikan.
Selain itu, pendidikan karakter di lembaga pendidikan juga berusaha menjembatani
dan menghubungkan pendidikan karakter dalam konteks tantanan perubahan masyarakat
yang lebih luas. Integrasi dan kerja sama antara sekolah dengan masyarakat, terutama orang
tua, merupakan sebuah keharusan. Lembaga pendidikan melibatkan komunitas yang lebih
besar agar terlibat dalam pengembangan dan promosi pendidikan karakter di lingkungan
sekolah. Komunitas yang lebih luas itu antara lain kelompok bisnis, kelompok organisasi
kepemudaan, organisasi pemerintah dan non-pemerintah.
j. Terintegrasi dalam kurikulum
Metode pendidikan karakter yang terintegrasi dalam kurikulum ini mempergunakan
berbagai macam materi pembelajaran yang ada dalam kurikulum demi pembentukan
karakter siswa. Pembelajaran di dalam kelas mesti menghargai keunikan setiap peserta didik
dan membantu mengembangkan karakter mereka.
Proses pembelajaran di kelas terarah pada pembentukan karakter siswa melalui
pendalaman materi, baik tematis maupun non-tematis. Guru memiliki tanggung jawab
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 31
dalam merancang dan mengembangkan pendidikan karakter dalam konteks kelas, yaitu
melalui pengajaran, manajemen kelas dan pembuatan kesepakatan kelas yang mendukung
tercapainya pengembangan belajar di dalam kelas. Melalui metode pembelajaran yang
melibatkan siswa secara aktif, menghargai perbedaan dalam belajar, dan perhatian pada
pertumbuhan individu, diharapkan karakter siswa dapat berkembang.
k. Memberikan ruang bagi tindakan
Setiap anggota komunitas diberikan ruang untuk bertindak dan mempraktikkan nilai-
nilai yang diperjuangkan. Dalam hal ini, lembaga pendidikan memberikan harapan yang jelas
tentang apa yang dapat mereka lakukan. Tujuannya agar para siswa terlibat dalam tindakan-
tindakan yang terkait dengan pengembangan kehidupan moral mereka, baik di lingkungan
sekolah maupun di masyarakat. Caranya adalah dengan memberikan penekanan pada unsur
pengembangan tanggung jawab pribadi, sprotivitas dalam olah raga, kesediaan untuk
membantu orang lain, dan pelayanan pada sekolah ataupun komunitas. Metode ini akan
semakin efektif ketika lembaga pendidikan mampu memberikan pada siswa berbagai macam
kesempatan dan kemungkinan untuk melaksanakan nilai-nilai itu dalam setiap kebijakan dan
program yang dibuat oleh sekolah, yang membuat mereka terlibat aktif dalam kehidupan
sekolah.
l. Kepemimpinan pendidikan berkarakter
Peranan kepala sekolah sebagai pemimpin sangatlah penting dalam pengembangan
dan keberlangsungan program pendidikan karakter. Namun, kepemimpinan kepala sekolah
tidaklah berdiri sendiri. Ada berbagai macam jenis kepemimpinan yang bisa terlibat bagi
pengembangan pendidikan karakter. Untuk itu berbagi tanggung jawab mesti ditumbuhkan.
Semakin banyak pihak yang terlibat dalam pengembangan pendidikan karakter, akan
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 32
semakin lestari pengembangan program tersebut. Pembentukan Tim Pendidikan Karakter
sekolah yang melibatkan berbagai macam pemangku kepentingan sekolah merupakan hal
yang tidak dapat diabaikan.
m. Sistem evaluasi berkesinambungan
Agar pendidikan karakter dapat berlangsung lestari dan menjadi semakin baik, maka
diperlukan sistem evaluasi pendidikan karakter yang berkesinambungan. Sistem evaluasi ini
mesti memotret sekolah sebagai lembaga pendidikan, mengevaluasi program yang didesain
dan dibuat, serta memiliki sistem evaluasi individual secara berkelanjutan utnuk melihat
sejauh mana setiap individu sungguh telah bertumbuh dan berkembang dalam
pembentukan diri menjadi pribadi berkarakter.
Sekolah menentukan indikator-indikator keberhasilan dan menilah keseluruhan
program untuk melihat keberhasilan program pendidikan karakter sesuai dengan visi-misi
yang ingin dicapai. Oleh karena itu, harus ada sistem evaluasi kualitatif dan kuantitatif utnuk
menilai sejauh mana program pendidikan karakter itu berhasil diterapkan.
Sekolah juga menilai dan mengevaluasi sejauh mana program pendidikan karakter
mampu mengembangkan dan menumbuhkan prestasi akademik siswa serta membantu
mereka untuk semakin termotivasi dalam membentuk diri sebagai pelajar yang bertanggung
jawab.
3.4. Desain Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter yang efektif dan utuh menyertakan tiga basis desain dalam
pemrogramannya. Tiga basis yang dimaksud adalah basis kelas, basis kultur sekolah dan
basis komunitas. Berikut intisari desain pendidikan karakter menurut Koesoema (2012:105-
153).
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 33
3.4.1. Pendidikan karakter berbasis kelas
Kelas yang dimaksud bukan saja bangunan fisik, melainkan lebih pada corak
relasional yang terjadi antara guru dan murid dalam proses pendidikan. Untuk itu pendidikan
karakter berbasis kelas membahas lebih tentang bagaimana lembaga pendidikan dapat
memaksimalkan corak relasional yang terjadi dalam kelas agar masing-masing individu dapat
bertumbuh secara sehat, dewasa, dan bertanggung jawab.
Desain kurikulum pendidikan karakter berbasis kelas terjadi melalui dua ranah yang
berjalan seiring, yaitu intstruksional dan non-instruksional. Ranah instruksional terkait secara
langsung dengan tindakan pembelajaran dan pengajaran di dalam kelas, yakni proses
pembelajaran bersama terhadap materi kurikulum yang diajarkan. Sedangkan ranah non-
instruksional mengacu pada unsur-unsur di luar dinamika belajar mengajar di dalam kelas,
seperti motivasi, keterlibatan, manajemen kelas, pembuatan norma, aturan dan prosedur,
komitmen bersama, dan lingkungan fisik.
a. Ranah Instruksional
Desain pendidikan karakter berbasis kelas yang sifatnya instruksional dapat terjadi
melalui dua cara, yaitu bersifat pengajaran tematis dan non-tematis. Pertama, pendidikan
karakter berbasis kelas instruksional tematis adalah diberikannya materi pembelajaran
tertentu tentang pendidikan karakter melalui proses belajar mengajar. Pendidik memilih
satu tema tertentu untuk dibahas bersama. Sekolah mengalokasikan waktu khusus untuk
pengembangan pembentukan karkater, baik melalui pengajaran tradisional, dialogis, diskusi
kelompok, maupun pada pembuatan proyek bersama. Sifat pendidikan karakter berbasis
kelas instruksional tematis ini adalah parsial selektif. Artinya, program pendidikan karakter
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 34
yang dilaksanakan sungguh membidik satu tema khusus atau memilih tema tertentu tentang
nilai yang dipilih dan akan dibahas dalam pendidikan karakter.
Kedua, pendidikan karakter berbasis kelas instruksional non-tematis. Ini adalah
sebuah model pendekatan pembelajaran bagi pembentukan karakter dengan
mempergunakan momen-momen pembelajaran yang sifatnya terintegrasi dalam kurikulum,
proses pembelajaran dan terkait secara inheren dalam materi pembelajaran. Dalam proses
pengajarannya tidak ditentukan ada tema khusus yang mau dibahas, tetapi terintegrasi
dengan materi yang telah ada. Selain itu, tidak ada alokasi waktu khusus untuk melatih dan
mengajarkan pembentukan karkater karena dengan model ini pembentukan karakter yang
dilakukan terintegrasi melalui kurikulum yang ada dalam setiap mata pelajaran. Guru
mempergunakan proses belajar mengajar sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya
untuk menanamkan nilai-nilai tertentu. Sebagai contoh konkretnya, guru diminta membuat
silabus, yang di dalamnya dimasukkan kolom ‘karakter’. Sehingga, di dalam Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), beberapa nilai yang bisa dibentuk, diajarkan dalam proses
pembelajaran mesti disebut secara eksplisit.
b. Ranah Non-Instruksional
Ranah non-instruksional bagi pendidikan karakter berbasis kelas tertuju pada
penciptaan lingkungan belajar yang nyaman dan kondusif bagi pembentukkan atau
pengembangan karakter siswa. Penciptaan lingkungan yang dimaksud meliputi manajemen
kelas, pendampingan perwalian, dan membangun konsensus kelas.
Pertama, manajemen kelas berarti menciptakan dan menjaga sebuah lingkungan
pembelajaran yang mendukung pengajaran dan meningkatkan prestasi siswa. Guru dan
siswa berhadapan dan berdialog secara langsung sebagai pribadi. Secara bersama-sama
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 35
mereka membentuk komunitas belajar. Perjumpaan dalam kelas terjadi secara terencana
dan teratur melalui penjadwalan mata pelajaran yang diorganisir dan diarahkan agar tujuan
pembelajara dapat tercapai, yaitu penguasaan materi, keterampilan teknis, pengayaan
pribadi tentang objek pembelajaran tertentu.
Kedua, pendampingan perwalian. Kegiatan pembinaan wali kelas sesungguhnya
menjadi tempat penting bagi penanaman nilai dan pembentukan karakter siswa. Siswa di
ajak berkumpul bersama melalui berbagai macam cara. Di dalamnya warga kelas
mengevaluasi dinamika kelas mereka, mengembangkan dinamika kelompok, mencoba
mencari cara-cara penyelesaian konflik secara damai. Nilai-nilai yang ditanamkan dalam
program perwalian kelas antara lain, saling menghormati, tanggung jawab bersama, saling
membantu dalam proses belajar, pembelajaran demokrasi dengan mengajak siswa
menentukan tujuan kelas secara bersama beserta cara-cara praktis untuk mencapai tujuan,
keterbukaan dan persahabatan. Tujuan utama pendampingan kelas adalah membangun
kesepakatan bersama kelas demi kemajuan dan keberhasilan mereka sebagai komunitas
kelas yang belajar.
Ketiga, membangun konsensus kelas. Dasar dari pengembangan ini adalah hubungan
timbale balik satu sama lain berdasarkan kepercayaan (trust), rasa hormat (respect), dan
saling menumbuhkan dan merawat (caring). Kelas yang baik memiliki aturan bersama yang
dipahami oleh setiap anggota komunitas kelas sehingga proses belajar mengajar menjadi
lancar. Dalam mengembangkan konsensus kelas, keterlibatan setiap anggota kelas sangatlah
diperlukan. Kesepakatan kelas mesti dipahami, disetujui dan disepakati oleh anggota
komunitas kelas.
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 36
Pada pendidikan karakter berbasis kelas tersebut, dapat disimpulkan beberapa
karakteristik yang menjadi cara bertindak dalam pengembangan pendidikan karakter
berbasis kelas, antara lain:
- Guru sebagai fasilitator pembelajaran.
- Guru sebagai motivator pembelajaran.
- Guru sebagai desainer program.
- Guru sebagai pembimbing dan sumber keteladanan.
- Isi kurikulum menjadi sumber bagi pembentukan karakter.
- Metode pengajaran dialog bukan monolog.
- Mempergunakan metode pembelajaran melalui kerja sama (collaborative
learning).
- Partisipasi komunitas kelas dalam pembelajaran.
- Penciptaan kelas sebagai komunitas moral.
- Penegakkan disiplin moral.
- Penciptaan lingkungan kelas yang demokratis.
- Membangun sebuah ‘rasa tanggung jawab bagi pembentukan diri’.
- Pengelolaan konflik moral melalui pengajaran.
- Solusi konflik secara adil dan tanpa kekerasan.
3.4.2. Pendidikan karakter berbasis kultur sekolah
Dalam konteks pendidikan, kultur sekolah merupakan sebuah pola perilaku dan cara
bertindak yang telah terbentuk secara otomatis menjadi bagian yang hidup dalam sebuah
komunitas pendidikan. Dasar pola perilaku dan cara bertidaknya adalah norma sosial,
peraturan sekolah, dan kebijakan pendidikan di tingkat lokal. Oleh karena itu kultur sekolah
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 37
dapat dikatakan seperti kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) yang lebih efektif
memengaruhi pola perilaku dan cara berpikir seluruh anggota komunitas sekolah. Kultur
sekolah berjiwa pendidikan karakter terbentuk ketika dalam merancang sebuah program,
setiap individu dapat bekerja sama satu sama lain melaksanakan visi dan misi sekolah
melalui berbagai macam kegiatan.
Pada pendidikan karakter berbasis kultur sekolah terdapat integrasi antara idealisme
lembaga pendidikan, yakni visi dan misi, dengan berbagai macam struktur yang
mendefinisikan kinerja individu melalui cakupan tanggung jawabnya. Dalam
mengembangkan pendidikan karakter berbasis kultur sekolah, berbagai macam momen
dalam dunia pendidikan dapat menjadi titik temu. Momen pendidikan ini dapat bersifat
struktural, polisional, dan eventual. Momen pendidikan yang struktural adalah peristiwa
yang berkaitan erat dengan proses regulasi dan administrasi sekolah. Momen struktural ini
di antaranya adalah proses pembentukan kesepakatan kerja, peraturan yayasan, peraturan
sekolah, job description setiap jabatan dan kedudukan.
Momen pendidikan yang bersifat polisional adalah kebijakan pendidikan on the spot
yang dilaksanakan secara rutin dan sifatnya tradisional. Kebijakan yang bersifat rutin adalah
berbagai keputusan dan tindakan yang diambil dalam kerangka pengembangan mutu
sekolah. Misalnya, kebijakan tentang penerimaan siswa baru, ujian sekolah, pengaturan
jadwal pelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, perwalian dan pengembagan professional guru.
Sedangkan, yang bersifat tradisional adalah kebijakan rutin dalam rangka pengembangan
pendidikan yang senantiasa berulang setiap tahun, seperti rapat-rapat kerja, pertemuan
orang tua murid, penerimaan rapor, dll.
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 38
Momen pendidikan yang bersifat eventual adalah peristiwa-peristiwa pendidikan
yang terjadi secara khas dan muncul karena terjadinya peristiwa tertentu yang merupakan
tanggapan nyata sekolah atas peristiwa di luar lembaga pendidikan, dan memengaruhi
kinerja lembaga pendidikan. Momen pendidikan eventual ini tidak dapat diprediksi, namun
membutuhkan keputusan dan tanggapan langsung dari pihak sekolah untuk menyikapinya.
Sasaran pertama pendidikan karakter berbasis kultur sekolah mengarah pada
pertumbuhan lembaga pendidikan sebagai komunitas moral. Prinsip-prinsip moral dasar
semestinya menjadi dasar bertindak dan pengambilan keputusan. Prinsip-prinsip yang
dimaksud adalah berbuat baik, jangan merusak, setiap individu berharga di dalam dirinya,
dan prinsip moral dasar tersebut mesti senantiasa diingat oleh para pendidik dan pengambil
keputusan.
Di samping itu, menumbuhkan kultur demokratis dalam lingkungan sekolah
merupakan salah satu strategi pengembangan pendidikan karkater berbasis kultur sekolah.
Mengembangkan kultur demokratis di sekolah tidak berarti menghapus otoritas yang dimiliki
guru. Intinya adalah bagaimana setiap individu, terutama guru, menghayati tanggung jawab
moral yang diembannya secara akuntabel dan transparan dalam kebersamaan dengan
komunitas. Kehidupan bersama adalah tanggung jawab bersama dan melibatkan seluruh
anggota untuk membangunnya. Dialog, komunikasi, kesediaan untuk saling mendengarkan
dan menghargai perbedaan adalah ciri medasar sebuah komunitas demokratis. Beberapa
momen yang dapat menjadi praksis strategis pengembangan kultur demokratis di sekolah,
misalnya: proses pemilihan ketua kelas, ketua OSIS, dan kepengurusan lain atau evaluasi
atas kehidupan bersama.
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 39
Adapun momen-momen dalam dunia pendidikan yang dapat dijadikan sebagai
pengembangan kultur sekolah antara lain:
- Momen pengembangan diri sepertu kelompok diskusi, jurnalistik, karya ilmiah,
seni teater, menggambar, dll.
- Momen perayaan dan kekeluargaan, dies natalis sekolah, atau syukuran
kelulusan.
- Apresiasi dan pengakuan akan prestasi orang lain.
- Masa orientasi sekolah (MOS).
- Pemilihan para pengurus OSIS, Dewan Kelas, Presidium.
- Kebijakan pendidikan.
- Kolegialitas antarguru.
- Pengembangan professional guru.
- Merawat tradisi sekolah.
- Asosiasi guru-orang tua.
3.4.3. Pendidikan karakter berbasis komunitas
Lembaga pendidikan tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki ikatan yang erat
dengan komunitas-komunitas lain, baik yang terlibat secara langsung atau tidak langsug.
Komunitas-komunitas itu antara lain:
- Komunitas sekolah: siswa, guru, karyawan, staf sekolah, pengurus yayasan, dll.
- Komunitas keluarga: orang tua, wali siswa, komite sekolah.
- Komunitas masyarakat: LSM, pengusaha, berbagai perkumpulan sosial, dll.
- Komunitas politik: pejabat birokrasi negara bidang pendidikan, mulai dari pejabat
di tingkat dinas pendidikan sampai kementrian pendidikan nasional.
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 40
Pendidikan karakter berbasis komunitas berusaha merancang berbagai macam corak
kerja sama dan keterlibatan antara lembaga pendidikan dengan komunitas-komunitas dalam
masyarakat. Tujuannya adalah agar kehadiran lembaga pendidikan semakin bermakna dan
bermutu, mampu menjawab aspirasi setiap anggota komunitas tentang harapan mereka,
fungsi, dan peran lembaga pendidikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
4. Efektivitas
Pengertian dasar efektivitas umumnya menunjukkan pada taraf tercapainya hasil.
Meski demikian, efektivitas senantiasa dipadankan dengan efesien, padahal terdapat
perbedaan diantara keduanya. Efektivitas menekankan pada hasil yang dicapai, sedangkan
efisiensi lebih melihat bagaimana cara mencapai hasil yang dicapai dengan
membandingkan antara input dan outputnya. Istilah efektif (effective) dan efisien (efficient)
merupakan dua istilah yang saling berkaitan dan patut dihayati dalam upaya untuk
mencapai tujuan suatu organisasi. Tentang arti efektif dan efesien terdapat beberapa
pendapat. Bernard dalam Prawirosentono (1999:27) menegaskan sebagai “When a specific
desired and is attained we shall say that the action is effective….When the unsought
concequences are unimportant or trivial, the action is efficient.” Sementara itu, Drucker
dalam Kisdarto (2002:139) menyebutkan bahwa “Effectiveness is to do the right things,
while efficiency is to do the things right”. Handoko (1989:169) menyatakan bahwa
efektivitas merupakan salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan suatu kegiatan
atau program.
Harjana (2000:24) berpendapat bahwa kriteria yang digunakan untuk
mengukur efektivitas adalah:
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 41
1. Siapa penerima atau pemakai (receiver atau user) yang menggambarkan apakah
semua orang yang dituju (sasaran) menerima pesan yang disampaikan;
2. Isi pesan (content), yang menggambarkan apakah semua isi pesan yang
disampaikan sesuai dengan tujuan penyampaian pesan;
3. Ketetapan waktu (timing), yang menggambarkan apakah pesan yang disampaikan
tersedia dan diterima oleh khalayak sasaran tepat pada waktunya;
4. Media komunikasi (meda) yang menggambarkan apakah jenis saluran yang
digunakan untuk menyampaikan pesan tepat dan sesuai dengan karakteristik dan
kondisi khalayak sasaran;
5. Format, yang menggambarkan apakah pesan yang disampaikan disajikan atau
dikemas dalam bentuk yang tepat dan sesuai dengan khalayak sasaran;
6. Sumber pesan (source) yang menggambarkan apakah sumber yang menyampaikan
pesan berasal dari pihak yang berkompeten.
Selanjutnya, Harjana (2000:24) menggambarkan pengertian efektivitas secara umum yaitu
mencakup:
1. Mengerjakan hal-hal yang benar;
2. Mencapai tingkat di atas pesaing;
3. Membawa hasil;
4. Menangani tantangan masa depan;
5. Meningkatkan laba atau keuntungan;
6. Mengoptimalkan penggunaan sumber daya.
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 42
Menurut Lubis dan Huseini (1987:55) efektivitas organisasi dapat dinyatakan sebagai
tingkat keberhasilan organisasi dalam usaha untuk mencapai tujuan atau sasarannya.
Efektivitas merupakan konsep yang sangat penting karena mampu memberikan gambaran
mengenai keberhasilan organisasi dalam mencapai sasarannya. Pengukuran efektivitas dapat
didekati dengan beberapa pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan sasaran (goal approach), dalam pengukuran efektivitas memusatkan
perhatian pada aspek output, yaitu dengan mengukur keberhasilan organisasi dalam
mencapai tingkatan output yang direncanakan. Pendekatan sasaran dalam
pengukuran efektivitas dimulai dengan identifikasi sasaran organisasi dan mengukur
tingkat keberhasilan organisasi dalam mencapai sasaran tersebut. Dengan demikian,
pendekatan ini mencoba mengukur sejauhmana organisasi berhasil merealisasikan
sasaran yang hendak dicapainya. Sasaran yang penting diperhatikan dalam
pengukuran efektivitas dengan pendekatan ini adalah sasaran yang sebenarnya
(operative goal) bukan berdasarkan sasaran resmi (official goal).
2. Pendekatan sistem (System resource approach), mengukur efektivitas melalui
keberhasilan organisasi dalam mendapatkan berbagai macam sumber yang
dibutuhkannya. Organisasi harus dapat memperoleh berbagai macam sumber yang
dibutuhkannya dan juga memelihara keandalan sistem organisasi agar bisa menjadi
efektif. Pendekatan ini didasarkan pada teori mengenai keterbukaan sistem
organisasi. Secara lebih luas, pendekatan sumber mempergunakan beberapa dimensi
berikut untuk mengukur efektivitas organisasi:
a. Kemampuan organisasi untuk memanfaatkan lingkungan untuk memperoleh
berbagai jenis sumber yang bersifat langka dan nilainya tinggi.
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 43
b. Kemampuan para pengambil keputusan dalam organisasi untuk
menginterpretasikan sifat-sifat lingkungan secara tepat.
c. Kemampuan organisasi untuk menghasilkan output tertentu dengan
menggunakan sumber-sumber yang berhasil diperoleh.
d. Kemampuan organisasi dalam memelihara kegiatan operasionalnya sehari-hari.
3. Pendekatan proses (process approach) melihat kegiatan internal organisasi dan
mengukur efektivitas melalui berbagai indikator internal seperti efisiensi atau iklim
organisasi. Pendekatan proses menganggap efektivitas sebagai efisiensi dan kondisi
(kesehatan) dari organisasi internal. Pendekatan ini tidak memperhatikan lingkungan
organisasi dan memusatkan perhatian terhadap kegiatan yang dilakukan terhadap
sumber-sumber yang dimiliki oleh organisasi, yang menggambarkan tingkat efisiensi
serta kesehatan organisasi.
4. Pendekatan gabungan merupakan gabungan dari tiga macam pendekatan di atas.
Pendekatan-pendekatan di atas dapat digabungkan secara bersamaan terutama jika
informasi yang diperlukan seluruhnya tersedia.
C. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian tentang model pendidikan karakter sudah pernah dilakukan dengan judul
“Manajemen Pendidikan Karakter Siswa Berasrama: Studi Kasus Pada SMA Lokon St.
Nikolaus Tomohon” oleh Riny Cintya Kumendong, Program Pascasarjana UNIMA, Tahun
2012. Penelitian ini menyoroti tentang bagaimana perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
pendidikan karakter siswa berasrama.
Dari penelitian tersebut disimpulkan, pertama, perencanaan pendidikan karakter di
SMA Lokon St. Nikolaus Tomohon dibuat oleh masing-masing unit dan sub-unit yang ada di
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 44
lembaga pendidikan Lokon dan kemudian dirumuskan bersama dalam rapat koordinasi
antarunit, yakni sekolah, asrama, dan yayasan.
Kedua, pelaksanaan pendidikan karakter di SMA Lokon St. Nikolaus Tomohon
dilaksanakan dengan cara mengimplementasikan program pendidikan karakter yang telah
dirumuskan sebelumnya ke dalam kegiatan konkret sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Pendidikan karakter merupakan bagian dari kurikulum yang diatur dan dilaksanakan oleh
sekolah dan asrama. Di sekolah pendidikan karakter diintegrasikan dalam tiap-tiap mata
pelajaran. Sedangkan di asrama pendidikan karakter dilaksanakan dalam bentuk pembinaan
dan pendampingan personal maupun kelompok.
Ketiga, evaluasi pendidikan karakter di SMA Lokon St. Nikolaus Tomohon, dilakukan
dengan menggunakan catatan data-data yang secara valid dibuat berdasarkan kenyataan.
Sekolah tidak membuat format penilaian tersendiri untuk pendidikan karakter karena sudah
terintegrasi dalam mata pelajaran. Sementara asrama menggunakan raport sendiri dalam
penilaian pendidikan karakter. Nilai pendidikan karakter siswa diambil dari catatan-catatan
yang dibuat oleh pamong, pembina asrama saat proses pendampingan berlangsung.
Penilaian pendidikan karakter didasarkan pada indikator-indikator yang dijabarkan dari tiga
nilai utama, yakni Veritas, Virtus, Fides (Kebenaran, Kebajikan, Iman). Nilai pendidikan
karakter dibuat dalam bentuk penilaian kualitatif, bukan kuantitatif.
Relevansinya dengan penelitian yang akan peneliti laksanakan adalah terletak pada
konsep dasar manajemen dan fungsi-fungsi manajemen, serta konsep pendidikan karakter
yang akan digunakan, diterapkan dan dikembangkan pada lingkungan pendidikan formal
seperti sekolah yang merupakan inti dari objek penelitian ini.
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 45
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode dan Alasan Penggunaan Metode
Penelitian ini akan menggunakan metode campuran (mixed method) dengan
menggabungkan kualitatif dan kuantitatif secara sekuen (Cresswell, 2003), dengan tujuan
untuk saling melengkapi gambaran hasil studi mengenai fenomena yang diteliti dan untuk
memperkuat analisis penelitian (Gay, et all, 2006; Cresswell, 2005; Sugiyono, 2011:399).
B. Lokus dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada SMA Taruna Bakti Bandung, SMA
Kridanusantara dan SMA Negeri 3 Bandung. Waktu penelitian direncanakan akan
dilaksanakan selama 5 (lima) bulan terhitung sejak penyusunan proposal penelitian hingga
perbaikan Desertasi (September 2013– Januari 2014).
C. Sumber Data/Populasi dan Sampel
Sumber data dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu sumber data
primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah pernyataan dan tindakan dari
orang-orang yang diamati atau yang diwawancarai yang dicatat melalui catatan tertulis atau
melalui perekaman dan pengambilan foto. Selebihnya adalah sumber data sekunder seperti
tulisan/dokumen, foto dan statistik (Moleong: 2007:157). Data primer diperoleh dari
informan yaitu kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, dan perwakilan siswa. Data
sekunder bersumber dari dokumen-dokumen resmi yang ada berupa catatan, gambar, foto
serta bahan lain yang dapat mendukung penelitian ini.
Selain itu, karena desain penelitian ini menggunakan desain penelitian campuran,
maka selain menggunakan wawacara, data akan didapat dengan menggunakan survey
dengan kuisioner kepada populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh warga sekolah di tiga
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 46
sekolah tersebut meliputi pimpinan sekolah, pengawas, guru, tenaga kependidikan, siswa
serta stakeholder terkait dengan instrumen yang sebelumnya sudah divalidasi terlebih
dahulu. Penarikan sampel berdasarkan teknik purposive sampling dimana sampel akan
dipilih berdasarkan kriteria tertentu.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan adalah trianggulasi atau gabungan
dari tiga teknik sekaligus, yaitu observasi partisipatif, wawancara mendalam dan studi
dokumentasi. Calon peneliti akan menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-
beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama. Observasi partisipatif, wawancara
mendalam dan dokumentasi akan digunakan untuk semua sumber data secara serempak
(Sugiyono, 2011:330). Selain itu, teknik survey dengan penyebaran sejumlah pertanyaan
dalam kuisioner dilakukan kepada seluruh civitas akademika sekolah tersebut yang meliputi
pimpinan sekolah, guru, tenaga kependidikan, siswa.
E. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini data akan dianalisis secara interaktif dan berlangsung secara
terus-menerus sampai datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data mengikuti flow
model yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (Sugiyono, 2011:337), yaitu data
reduction, data display dan conclusion drawing/verification. Langkah-langkah analisis data ini
dapat digambarkan sebagai berikut:
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 47
Periode pengumpulan data
Reduksi data
Antisipasi Selama Setelah
Display data
Selama Setelah
Kesimpulan/verifikasi
Selama Setelah
Komponen dalam analisis data (flow model)Sumber: Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2011: 337)
Berdasarkan gambar tersebut peneliti melakukan pengumpulan data melalui
kegiatan anticipatory sebelum melakukan reduksi data. Selanjutnya model interaktif dalam
analisis data seperti gambar di bawah ini:
Komponen dalan analisis data (interactive model)
Sumber: Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2011: 338)
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 48
Analisis
Data reduction
Data Display
Data
collection
Data
collection
Data Display
Data reduction
Conclusion:
drawing/verifyin
g
F. Rencana Pengujian Keabsahan Data
Dalam pemeriksaan dan pengecekan keabsahan data peneliti akan menggunakan
teknik pemeriksaan seperti yang dikemukakan oleh Sugiyono (2011:367-378) yakni: 1)
Credibility (Derajat Kepercayaan) yaitu perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan
dalam penelitian, tringulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif,
menggunakan bahan referensi, dan member check.2) Transferability (keteralihan) yaitu
mendeskripsikan secara rinci, jelas, dan sistematis temuan-temuan yang diperolah di
lapangan ke dalam format yang telah disiapkan. 3) Dependability (kebergantungan) adalah
melakukan audit keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan penelitian.4) Confirmability
(kepastian) adalah menguji hasil penelitian, dikaitkan dengan proses yang dilakukan.
G. Uji Validitas dan Realibilitas Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini, seluruh instrumen penelitian kuantitatif dilakukan uji validitas dan
realitibitas. Uji tersebut dimaksudkan untuk memastikan bahwa instrumen penelitian ini
shah dan handal.
1. Uji Validitas
Uji validitas digunakan untuk menunjukan sejaumana instrumen penelitian ini
mengukur apa yang diukur. Pengukuran uji validitas dilakukan dengan menggunakan
Pearson Product Moment dengan rumus:
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 49
Note:
r = r-hitung
Xi = Nilai variabel
Yi = Nilai total variable setiap responden
N = total responden
(Arikunto, 2006: 170)
Uji Reliabilitas
Untuk uji reliabilitas digunakan penghitungan alpha cronbach dengan rumus:
r11 =
Note:
r11 = instrument reliability
k = total questions
= total each variant
= total variants
Untuk mengakurasikan perhitugan uji validitas dan reliabilitas, maka program statistic SPSS
17 for Windows akan digunakan.
IV. JADWAL PENELITIAN
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 50
Penelitian ini direncanakan akan berlangsung selama 5 (lima) bulan, yakni dari bulan
September 2013 sampai dengan Januari 2014, terhitung sejak penulisan Rencana Usulan
Penelitian (RUP) dengan jadwal sebagai berikut:
5
DAFTAR PUSTAKA
Creswell, Jhon.W. (2003). Research Design. Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches. London. Sage Publication.
Creswell, Jhon.W. (2005). Educational Research: Planning, Conducting and Evaluating Quantiative and Qualitative Research. Boston: Pearson
Gay, L.R. Mills, Geoffrey. Airasian, Peter. (2006). Educational Research: Competencies for Analysis and Application. Ohio: Pearson.
Harjana, Andre. (2000). Audit Komunikasi: Teori dan Praktek. Jakarta: Grasindo. Kambey, Daniel C. (2006). Landasan Teori Administrasi/Manajemen. Manado: Tri Ganesha
Nusantara.
Kisdarto, Atmosoeprato. (2002). Menuju SDM Berdaya – Dengan Kepemimpinan Efektif dan Manajemen Efisien. Jakarta: elex Media Komputindo.
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 51
Koesoema, Doni A. (2010). Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak Di Zaman Global. Jakarta: Grasindo.
________________ (2012). Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh. Yogyakarta: Kanisius.
Kusdi. (2009). Teori Organisasi dan Administrasi. Jakarta: Salemba Humanika.
Lubis, S.B. Hari, dan Huseini, Mertani. (1987). Teori Organisasi: Suatu Pendekatan Makro. Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Indonesia
Prawirosentono, Suyadi. (1999). Kebijakan Kinerja Pegawai. Jogyakarta: BPFE
Megapolitan, Tawuran Antarpelajar, [Online] (http://www.megapolitan.com, diakses 21 Desember 2012).
Moleong, Lexy J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mudyahardjo, Redja. (2001). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mulyasa, Enco. (2013). Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Muslich, Masnur. (2011). Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.
Ratag, Mezak A. & Korompis, Ronald, (2009). Kurikulum Berbasis Kehidupan: Pandangan tentang Pendidikan Menurut Ronald Korompis. Tomohon: Yayasan Pendidikan Lokon.
Sagala, Syaiful, (2010). Manajemen Strategik Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono, (2011). Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sule, Ernie Tisnawati dan Saefullah, Kurniawan, (2010). Pengantar Manajemen. Jakarta: Kencana.
Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, (2011). Manajemen Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Usman, Husaini. (2011). Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Wikipedia Indonesia, Manajemen, [Online] (http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia .manajemen , diakses 5 April 2013).
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 52
Windham, Douglas. M. (1988). Improving the Efeciency and Educational System: Indicator of Educational Efectiveness and Efeciency. New York: State University of New York at Albany
Tesis:
Kumendong, Riny Cintya, 2012. Manajemen Pendidikan Karakter Siswa Berasrama. Studi Kasus Pada SMA Lokon St. Nikolaus Tomohon. Manado: Program Studi Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Manado.
Denny Kodrat | Proposal Penelitian 53