Proposal Bab123
Transcript of Proposal Bab123
Hubungan antara Pengetahuan tentang Hukuman dengan Keputusan Memberi
Hukuman dan dengan Kematangan Emosi pada Guru Laki-laki dan Guru
Perempuan
Asri Rahayu
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian ini mengenai hubungan antara pengetahuan tentang hukuman
dengan keputusan memberi hukuman dan dengan kematangan emosi pada guru laki-
laki dan perempuan. Seorang guru menghukum siswanya sudah bagian dari
pendidikan sekolah di manapun. Masalahnya apakah guru itu memahami konsep
hukuman dalam pendidikan dan pembelajaran? Hukuman itu harus cukup berat atau
sebaiknya ringan-ringan saja? Tiap-tiap hukuman itu membebankan penderitaan
bagi si terhukum. Suatu hukuman itu pantas apabila penderitaan yang ditimbulkan
itu mempunyai nilai positif, atau mempunyai nilai pendidikan. Guru menghukum
siswanya tidak hanya dengan tujuan mendidik namun seringkali disertai dengan
amarah. Guru yang menghukum siswanya disertai dengan marah-marah, apakah itu
berarti emosinya belum matang?
Hukuman merupakan penyajian stimulus yang tidak menyenangkan untuk
menghilangkan dengan segera perilaku anak yang tidak diharapkan. Hukuman dapat
pula diartikan sebagai suatu bentuk sanksi yang diberikan pada anak secara fisik
maupun psikis apabila nanak melakukan kesalahan-kesalahan atau pelanggaran yang
sengaja dilakukan terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan. Seorang guru
seharusnya memiliki pengetahuan mengenai hukuman.
Banyak jenis hukuman yang dilakukan oleh guru. Ada guru yang
memutuskan untuk memberi hukuman yang ringan seperti menyanyi di depan
kelas, ada pula guru yang menghukum dengan kekerasan fisik. Di kawasan
Tambora, Jakarta Barat, seorang guru tersebut memukul tujuh siswanya dengan
rotan hingga menyebabkan luka gores karena terlambat masuk kelas setelah jam
istirahat selesai (Media Indonesia). Di kota Binjai, Sumatra Utara, Guru memukul
sembilan siswanya dengan penggaris kayu dan menjepit hidung mereka karena tidak
bisa menghafal 33 nama provinsi (Liputan6.com). Di daerah Dau, Malang, seorang
kepala sekolah membakar dua siswanya yang ketahuan naik kelas lewat jendela.
Berbagai hukuman dalam pendidikan tersebut, tidak kesemuanya patut dan dapat
digunakan dalam mendidik seorang anak. Seorang guru seharusnya memilih
hukuman yang paling tidak menimbulkan efek negative, namun bisa membuat
seorang siswa jera melakukan kesalahan.
Seorang guru menghukum siswanya juga dipengaruhi oleh kondisi
emosinya saat itu. Seorang guru yang baru saja bertengkar dengan keluarganya tentu
berbeda cara menghukumnya dengan seorang guru yang baru saja liburan bersama
keluarganya. Guru yang menunjukkan kematangan emosi tidak akan menghukum
siswanya karena ia sedang jengkel dengan keluarganya.
Istilah kematangan menunjukkan kesiapan yang terbentuk dari pertumbuhan
dan perkembangan (Hurlock, 2004). Emosi merupakan suatu kondisi keterbangkitan
yang muncul dengan perasaan kuat dan biasanya respon emosi mengarah pada suatu
bentuk perilaku tertentu. Dariyo (2006) juga mendefinisikan kematangan emosi
sebagai keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan
emosi sehingga individu tidak lagi menampilkan pola emosional yang tidak pantas.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan guru laki-laki
dan perempuan terhadap konsep hukuman dalam pendidikan atau pembelajaran,
mengetahui kematangan emosi guru laki-laki dan perempuan, keputusan guru laki-
laki dan perempuan dalam memberi hukuman, dan hubungan antara pengetahuan
tentang hukuman dengan keputusan memberi hukuman dan dengan kematangan
emosi pada guru laki-laki dan perempuan.
C. Hipotesis Penelitian
Pengetahuan tentang hukuman dan kematangan emosi bisa berhubungan
positif atau negatif dengan keputusan memberi hukuman pada guru laki-laki dan
perempuan karena keputusan memberi hukuman dipengaruhi oleh keduanya.
D. Kegunaan Penelitian
1. Bagi Subjek Penelitian (Guru)
Penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman kepada guru
mengenai hubungan antara pengetahuan tentang hukuman dengan keputusan
memberi hukuman dan kematangan emosi sehingga dapat menjadi referensi
dan pertimbangan guru apabila hendak menghukum siswanya.
2. Bagi Perkembangan Ilmu Psikologi
Penelitian ini diharapkan dapat memberi suatu pengetahuan baru bagi
perkembangan psikologi pendidikan khusunya dalam lingkup sekolah.
3. Bagi Masyarakat Akademik
Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan penjelasan tentang
hubungan hubungan antara pengetahuan tentang hukuman dengan keputusan
memberi hukuman dan kematangan emosi pada guru laki-laki dan perempuan .
E. Asumsi Penelitian
Asumsi penelitian merupakan anggapan-anggapan dasar tentang suatu hal
yang dijadikan pijakan berfikir dan bertindak dalam melaksanakan penelitian.
Asumsi dalam penelitian ini antara lain:
1. Subjek penelitian (guru laki-laki dan wanita) pernah menghukum siswa.
2. Hubungan hubungan antara pengetahuan tentang hukuman dengan
keputusan memberi hukuman dapat diukur dengan kuesionaire.
3. Kematangan emosi dapat diukur dengan skala kematangan emosi.
F. Definisi Operasional
1. Pengetahuan tentang hukuman merupakan tahu tidaknya seorang guru
tentang suatu hukuman dan dampak-dampaknya bagi siswa
2. Keputusan memberi hukuman merupakan jenis hukuman yang dipilih guru
untuk menghukum siswa
3. Kematangan emosi merupakan perilaku yang ditunjukkan seorang guru
terhadap stimulus yang melibatkan emosi
KAJIAN TEORI
A. Pengetahuan tentang Hukuman
1. Pengertian Hukuman
Pengetahuan merupakan segala informasi yang diperoleh. Pengetahuan
tentang hukuman adalah segala informasi yang diperoleh dan diketahui. Hukuman
merupakan penyajian stimulus yang tidak menyenangkan untuk mengurangi dan
menghilangkan perilaku negatif yang dilakukan oleh siswa dan mempunyai nilai
yang mendidik. Hukuman dapat pula diartikan sebagai suatu bentuk sanksi yang
diberikan kepada siswa, baik sanksi yang berupa fisik seperti berjalan jongkok,
berdiri di depan kelas dan push up maupun yang berupa psikologis yakni hukuman
yang lebih menekankan pada keadaan psikologis seperti rasa maludan jera pada diri
siswa. Pendapat tersebut didukung oleh pandapat Langeveld (dalam Kartini
Kartono, 1992) yang mengemukakan bahwa
“Hukuman adalah perbuatan yang dengann sadar dan disengaja diberikan
serta mengakibatkan nestapa pada anak atau sesame manusia yang menjadi
tanggungan kita, dan pada umumnya ada dalam kondisi yang lebih lemah
secara fisik maupun psikis daripada kita.”
Hukuman merupakan salah satu alat pendidikan yang diberikan oleh pihak
sekolah terhadap setiap siswa yang melakukan pelanggaran dalam upaya
menegakkan peraturan atau tata tertib sekolah. Pihak sekolah yang biasanya secara
langsung memberi hukuman adalah guru.
2. Macam-macam hukuman
Pada prinsipnya hukuman diberikan karena adanya kesalahan yang
dilakukan oleh siswa. Jadi hukuman merupakan suatu akibat dari pelanggaran yang
digunakan untuk mengadakan perbaikan. Para ahli hokum mengemukakan
pandangannya tentang macam-macam teori hukuman. Teori hukuman menurut
Amier Daien Indrakusuma adaah sebagai berikut:
a. Teori Hukum Alam
Hukuman itu hendaknya merupakan akibat yang sewajar-wajarnya
dari suatu perbuatan. Hukuman ini dirasa terlalu berat jika
dibandingkan dengan perbuatan yang dilakukan, sehingga kita
cenderung untuk melarangnya dulu daripada menanggung akibatnya.
b. Teori Ganti Rugi
Dalam teori ganti rugi, anak diminta untuk bertanggung jawab atau
menanggung semua resiko dari perbuatannya. Misalnya, anak
mengotori lantai di kelas, maka dihukum haru s membersihkannya
c. Teori Menakut-nakuti
Hukuman diberikan untuk menakut-nakuti anak, agar anak tidak
melakukan pelanggaran atau perbuatan yang dilarang ini. Dalam hal
ini, nilai didik telah ada, tetapi perlu dijaga jangan sampai anak
tersebut tidak berbuat kesalahan lagi karena rasa takut saja.
d. Teori Balas Dendam
Teori ini termasuk hukkuman yang kurang baik, paling jahat, dan
paling tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam dunia pendidikan
karena ini adalah hukuman yang didasarkan pada rasa sentiment.
e. Teori Memperbaiki
Hukuman yang terbaik yang dapat diterima dan diterapkan dalam
dunia pendidikan adalah hukuman yang bersifat memperbaiki.
Hukuman yang bisa menyadarkan anak pada keinsyafan atas
kesalahan yang diperbuatnya. Dengan adanya keinsyafan ini anak
akan berjanji dalam hatinya tidak akan mengulangi kesalahannya.
Hukuman ini disebut hukuman yang bernilai didik.
Piaget mengemukakan bahwa hukuman diklasifikasikan dalam dua bentuk, yaitu:
a. Hukuman yang bersifat ekspiatorik (expiaroty punishmet)
Hukuman ini tidak hanya dikaitkan dengan bobot tindakan yang salah,
tetapi harus melibatkan pertimbangan yang wajar antara bobot pelanggaran
penderitaan si pelanggar. Misalnya menampar, memukul.
b. Hubungan yang bersifat reprositas
Hukuman senantiasa dikaitkan dengan tindak kesalahannya. Dengan
hukuman ini pelaggar aturan dapat mengetahui akibat-akibat dari tindakan
yang salah. Hukuman ini disertai ganti rugi dan mengenal pengucilan.
Berdasarkan teori di atas dapat disimpulkan bahwa teori hukuman dengan
pembetulan atau memperbaiki merupakan teori yang digunakan dalam dunia
pendidikan. Teori yang tidak bisa diterima menurut pendidikan adalah Teori Balas
Dendam sedangkan Teori yang diragukan mengandung nilai pendidikan adalah Teori
Ganti Rugi. Teori Menjerakan dan Teori Menakut-nakuti mengandung nilai
pendidikan tetapi tidak sebaik Teori Perbaikan.
3. Tingkatan Hukuman
Hukuman yang dapat dikenakan kepada anak-anak bermacam macam jenis,
sehubungan dengan hal ini, Suwarno (1992: 177) mengungkapkan berdasarkan
pandangan W.Stern tedapat tiga tingkatan hukuman sesuai dengan perkembangan
anak, yaitu:
a. Hukuman Asosiatif, di mana penderitaan yang ditimbulkan akibat hukuman
tadi ada asosiasinya dengan kesalahan anak. Misalnya seorang anak yang
akan mengambil sesuatu di atas meja dipukul jarinya. Hukuman asosiasif
dipergunakan bagi anak kecil;
b. Hukuman Logis, di mana anak dihukum sehingga mengalami penderitaan
yang ada hubungan logis dengan kesalahannya. Hukuman logis ini
dipergunakan pada anak-anak yang sudah agak besar yang sudah mampu
memahami hubungan antara kesalahan yang diperbuatnya dengan hukuman
yang diterimanya;
c. Hukuman Moril, tingkatan ini tercapai pada anak-anak yang lebih besar, di
mana anak tidak hanya sekedar menyadari hubungan logis antara kesalahan
dengan hukumannya, tetapi tergugah perasaan kesusilaannya atau terbangun
kata hatinya, ia merasa harus menerima hukuman sebagai sesuatu yang harus
dialaminya.
B. Keputusan Memberi Hukuman
1. Memilih dan menentukan hukuman
Pengambilan keputusan merupakan kegiatan yang memberikan pedoman
seseorang dalam mengambil keputusan, sekaligus memperbaiki proses pengambilan
keputusan dalam kondisi yang tak pasti. Dalam penelitian ini keputusan memberi
hukuman merupakan apasaja hal-hal yang perlu dipertimbangkan oleh seorang guru
sebelum menentukan bentuk hukuman yang bagaimana yang akan diambil untuk
dikenakan pada siswa. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih dan
menentukan hukuman (Amin Danien Indrakusuma, 1973:157) adalah sebagai
berikut:
a. Macam dan besar kecilnya pelanggaran: Besar kecilnya
pelanggaran akan menentukan berat ringannya hukuman yang harus
diberikan
b. Pelaku pelanggaran
c. Hukuman diberikan dengan melihat jenis kelamin: usia dan halus
kasarnya perangai dari pelaku pelanggaran
d. Akibat-akibat yang mungkin timbul dalam hukuman: Pemberian
hukuman jangan sampai menimbulkan akibat yang negatif pada diri
anak
e. Pilihlah bentuk-bentuk hukuman yang pedagogis: Hukuman yang
dipilih harus sedikit mungkin segi negatifnya baik dipandang dari
sisi siswa, guru, maupun dari orang tua
f. Sedapat mungkin jangan menggunakan hukuman badan: Hukuman
badan adalah hukuman yang menyebabkan rasa sakit pada tubuh
anak, hukuman badan merupakan sarana terakhir dari proses
pendisiplinan.
Mengenai hukuman badan (Adnan Hasan Sholih Baharits, 1966), sebagian
ahli membolehkan dengan alasan bahwa di lingkungan keluarga hal ini sering
dilakukan, dan sebagian lagi tidak membolehkan dengan alasan bahwa hukuman
badan tidak layak bagi manusia yang mempunyai akal, budi, pikiran dan hati.
Terlepas dari perbedaan di atas, satu hal yang harus diingat bahwa hukuman badan
itu tidak boleh sampai menimbulkan cedera atau cacat pada anak.
2. Bentuk Hukuman
Soejono (1980:169) mengemukakan bentuk hukuman dengan tiga bentuk, yaitu:
a. Bentuk Isyarat, usaha pembetulan kita lakukan dalam bentuk isyarat
muka dan isyarat anggota badan lainnya. Contohnya, ada seorang anak
didik yang sedang berbuat salah, misalnya bermain-main dengan
mengusik adiknya. Pendidik memandangnya dengan raut muka muram
yang menandakan bahwa ia tidak menyetujui anak didik berbuat
semacam itu. Ia menggelengkan kepala dan menggerakkan tangannya
sebagai tanda agar anak didik pergi meninggalkan adiknya. Apabila
anak didik karena asyiknya mengusik tadi tidak melihat bahwa pendidik
memandangnya, maka pendidik memberi isyarat pendahuluan dengan
bertepuk tangan untuk menarik perhatiaannya;
b. Bentuk kata, isyarat dalam bentuk kata dapat berisi kata-kata
peringatan, kata-kata teguran dan akhirnya kata-kata ancaman. Kalau
perlu bentuk isyarat diganti dengan bentuk kata berupa kata-kata
peringatan, menyebut nama anak yang nakal tadi dengan suara tegas
singkat, misalnya "Amir..!".
c. Bentuk Perbuatan, usaha pembetulan dalam bentuk perbuatan adalah
lebih berat dari usaha sebelumya. Pendidik mengeterapkan pada anak
didik yang berbuat salah, suatu perbuatan yang tidak menyenangkan
baginya atau ia menghalang-halangi anak didik berbuat sesuatu yang
menjadi kesenangannya. Misalnya, pendidik mengancam anak didik
seperti yang sudah diancamkan, atau tidak memperbolehkannya ikut
berjalan-jalan pada hari Ahad yang akan datang.
Pendapat lain sebagaimana diugkapkan oleh J.J. Hasibuan (1988:60), bahwa
bentuk-bentuk hukuman lebih kurang dapat dikelompokan menjadi empat
kelompok, yaitu:
a. hukuman fisik, misalnya mencubit, menampar, memukul dan lain
sebagainya
b. hukuman dengan kata-kata atau kalimat yang tidak menyenangkan, seperti
omelan, ancaman, kritikan, sindiran, cemoohan dan sejenisnya
c. hukuman dengan stimulus fisik yang tidak menyenangkan, sperti
menuding, memelototi, mencemberuti, dan sejenisnya
d. hukuman dalam bentuk kegiatan yang tidak menyenangkan, misalnya
disuruh berdiri di depan kelas, dikeluarkan dari kelas, didudukan di
samping guru, disuruh menulis suatu kalimat sebanyak puluhan kali atau
ratusan kali, dan sebagainya.
3. Kematangan Emosi
Kematangan emosi dapat dimengerti dengan mengetahui pengertian emosi
dan kematangan, kemudian diakhiri dengan penjelasan kematangan emosi sebagai
satu kesatuan. Istilah kematangan menunjukkan kesiapan yang terbentuk dari
pertumbuhan dan perkembangan (Hurlock, 2004).
Emosi merupakan suatu kondisi keterbangkitan yang muncul dengan
perasaan kuat dan biasanya respon emosi mengarah pada suatu bentuk perilaku
tertentu (Lazzarus, 1991). Selain itu, terdapat juga definisi emosi sebagai suatu
keadaan dalam diri individu yang memperlihatkan reaksi fisiologis, kognitif, dan
pelampiasan perilaku. Berdasarkan beberapa definisi emosi, dapat disimpulkan
bahwa emosi merupakan suatu keadaan yang dirasakan oleh individu dan disertai
dengan gejala-gejala fisiologis, perasaan, dan perilaku yang ditunjukkan.
Kematangan emosi merupakan suatu kondisi pencapaian tingkat kedewasaan
dari perkembangan emosi pada diri individu. Individu yang mencapai kematangan
emosi ditandai oleh adanya kesanggupan mengendalikan perasaan dan tidak dapat
dikuasai perasaan dalam mengerjakan sesuatu atau berhadapan dengan orang lain,
tidak mementingkan diri sendiri tetapi mempertimbangkan perasaan orang lain.
Chaplin (1989) mendefinisikan kematangan emosi sebagai suatu keadaan
atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan perkembangan emosional. Ditambahkan
Chaplin (dalam Ratnawati, 2005), kematangan emosi adalah suatu keadaan atau
kondisi untuk mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional seperti
anak-anak, kematangan emosional seringkali berhubungan dengan kontrol emosi.
Seseorang yang telah matang emosinya memiliki kekayaan dan keanekaragaman
ekspresi emosi, ketepatan emosi dan kontrol emosi. Hal ini berarti respon-respon
emosional seseorang disesuaikan dengan situasi stimulus, namun ekspresi tetap
memperhatikan kesopanan sosial (Stanford, 1965).
Anderson (dalam Mappiare, 1982), mengatakan bahwa seseorang yang
matang secara emosional akan sanggup mengendalikan perasaan dan tidak dapat
dikuasai perasaan dalam mengerjakan sesuatu atau berhadapan dengan orang lain,
tidak mementingkan diri sendiri tetapi mempertimbangkan perasaan orang lain.
Pengetahuan tentang hukuman (X1)
Kematangan Emosi (X2)
Keputusan Memberi Hukuman (Y)
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan ini bertolak
dari anggapan bahwa semua gejala yang diamati dapat diukur dan diubah dalam
bentuk angka sehingga memungkinkan digunakan teknik-teknik analisis statistik
(Suryabrata, 2000). Berdasarkan tujuan penelitian maka penelitian ini termasuk
dalam penelitian deskriptif korelasional. Penelitian bersifat deskkorelasional karena
penelitian bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel yang
diteliti. Penelitian korelasional adalah penelitian yang digunakan untuk melihat
sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan pada dua atau lebih faktor
lain berdasar koefisien korelasi. Penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan untuk
menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala, serangkaian
peristiwa berulang-ulang atau adanya hubungan antara suatu gejala lain dalam
masyarakat.
Penelitian ini terdiri dari tiga variabel, yaitu dua variabel bebas dan satu
variabel terikat. bila dibuat rancangan penelitian ketiga variabel tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut :
Gambar 3.1
Rancangan Penelitian
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Sugiyono (2004:90) mengemukakan populasi adalah obyek/subyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan menurut
Winarsunu (2006:11) populasi adalah seluruh individu yang dimaksudkan
untuk diteliti dan nantinya akan dikenai generalisasi. Populasi dalam Penelitian
ini adalah guru SMP dan SMA. Populasi dari penelitian ini mempunyai cirri-
ciri sebagai berikut:
a. Guru laki-laki dan perempuan
b. Aktif mengajar di SMP dan SMA
c. Usia 25-50 tahun
2. Sampel
Menurut Sugiyono (2003) sampel adalah “bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut”. Pengambilan sampel atau
sampling berarti “mengambil sampel atau mengambil sesuatu bagian populasi
sebagai wakil (representasi) populasi itu (Kerlinger, 2003). Penelitian ini
menggunakan teknik purposive sampling yang dilakukan dengan cara
mengambil subjek didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi didasarkan
atas adanya tujuan tertentu. Dalam penelitian ini terdapat 40 subjek penelitian
yang akan dijadikan sampel penelitian.
C. Instrumen Penelitian
1. Pengembangan Instrumen Penelitian
Intrumen penelitian disusun untuk mengukur nilai variabel yang diteliti
(Sugiyono, 2003). Instrumen dirancang untuk mengumpulkan data yang
diperlukan dalam penelitian. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
adalah skala. Dasar pertimbangan menggunakan skala adalah instrumen ini
dapat dengan mudah memberikan gambaran penampilan, terutama di dalam
orang menjalankan tugas, yang menunjukkan munculnya frekuensi, munculnya
sifat-sifat (Arikunto, 2002:134). Langkah-langkah dalam pembuatan instrumen
adalah sebagai berikut:
a. Menyusun kisi-kisi instrumen yang berisi indikator-indikator variabel
pada skala
b. Menyusun item-item instrumen dengan memperhatikan item
Favorable dan item Unfavorable
c. Menelaah kesesuaian pernyataan instrumen yang disusun dengan
kisi-kisi instrumen. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah
item-item yang dikembangkan sudah mewakili setiap indikator yang
ditetapkan
d. Memeriksa kembali kata-kata yang digunakan apakah dapat
dimengerti oleh subyek penelitian dengan mencobanya pada
beberapa orang
e. Menyusun blue print, untuk mengetahui sebaran item, karena antara
item favorable dan item unfavorable sebarannya harus seimbang
f. Melakukan uji coba, sekaligus mengambil data penelitian
g. Melakukan penyekoran dan pembobotan jawaban dengan
menggunakan skala
h. Menghitung nilai validitas dan realibilitas.
Penelitian ini menggunakan dua kuesionare yaitu kuesionare
pengetahuan dan kuesionare keputusan memberi hukuman dan satu skala
kematangan emosi. Sedangkan metode pengembangan skala yang digunakan
adalah metode pengembangan skala model Likert yang dihilangkan pilihan
jawaban netralnya.
1. Kuesionare pengetahuan tentang hukuman
Blue print kuesionare pengetahuan hukuman
Subvariabel Indikator
Pengertian hukuman
Motivasi dan Tujuan Menghukum
MemperbaikiMenakut-nakuti Balas dendamMembiarkan saja agar siswa merasakan akibatnya sendiri
Tingkatan hukuman Pengetahuan tentang hukuman yang sesuai dengan perkembangan anak
2. Kuesionare Keputusan Memberi Hukuman
Blue print Skala kecerdasan Emosional
Subvariabel Indikator
Pertimbangan dalam menghukum
Motivasi memberikan suatu hukuman yang sesuai dengan jenis kelamin, usia, pelanggaran, akibat yang timbul dalam hukuman siswa
Bentuk hukuman Hukuman fisikHukuman psikis
3. Skala Kematangan Emosi
Blue print Skala kontrol diri
Subvariabel Indikator
Ekspresi emosi Kemampuan untuk berekspresi sesuai dengan emosiKemampuan mengekspresikan emosi sesuai dengan situasi
Ketepatan emosi Kemampuan memiliki emosi sesuai dengan stimulus
Kontrol emosi Kemampuan mengontrol emosi agar tidak mengganggu lingkungan sosial
D. Pengumpulan Data
Kegiatan pengumpulan data adalah upaya untuk mendapatkan data-data yang
diperlukan dalam penelitian ini. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan
cara peneliti turun lapangan untuk menyebarkan kuesionare pengetahuan hukuman dan
keputusan memberi hukuman serta skala kematangan emosi kepada sampel penelitian.
E. Analisis Data
Setelah data yang dibutuhkan terkumpul selanjutnya data tersebut diolah. Dan
teknik pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari analisis
deskriptif, analisis korelasional dan analisis regresi.
1. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan secara umum hasil
penelitian.
2. Analisis Korelasional
Analisis data yang digunakan menggunakan teknik analisis statistic Product
Moment untuk mengetahui hubungan antar variable.
3. Analisis Regresi
Analisis regresi berganda adalah analisis tentang hubungan antara satu variabel
dependent dengan dua atau lebih variabel independent (Arikunto, 2002). Sebagai syarat
penggunaan statistic parametric, maka sebelum data dianalisis terlebih dahulu dilakukan
uji asumsi terhadap data yang diperoleh, meliputi :
a) Uji normalitas, yaitu pengujian untuk mengetahui apakah nilai-nilai variabel yang
diteliti mengikuti distribusi kurve normal.
b) Uji linieritas, yaitu pengujian untuk mengetahui apakah varian dari subjek adalah
linier.