Proposal

53
PENGEMBANGAN INSTITUSI KEPEMILIKAN LAHAN MELALUI REVITALISASI FUNGSIONARIS ADAT DALAM BIDANG PERTANAHAN DI KABUPATEN NGADA A. LATAR BELAKANG MASALAH Realitas masyarakat hukum adat (pertanahan) dan eksistensi hak ulayat (tanah suku) pada umumnya dan khususnya masyarakat Manggarai, antara lain merupakan dasar argumentasi untuk melakukan penelitian ini : a.1. Keraguan akademis Berbagai hasil penelitian menunjukan bahwa pengelompokan lingkungan hukum adat didasarkan pada beberapa kriteria : bahasa (Van Vollenhoven, 1925); teritorial dan genealogis (Jaspan, 1959; sosiografi indonesia, 1959; Ter Haar, 1987) dan kombinasi dari berbagai kriteria bahasa, genealogis dan teritorial yang banyak dilakukan oleh para psikolog. Kriteria tersebut kemudian dipandang mengandung karakteristik universal dan dijadikan dasar penilaian bagi eksistensi sistem hukum adat yang ada diberbagai

description

gfj

Transcript of Proposal

Page 1: Proposal

PENGEMBANGAN INSTITUSI KEPEMILIKAN LAHAN MELALUI REVITALISASI FUNGSIONARIS ADAT DALAM

BIDANG PERTANAHAN DI KABUPATEN NGADA

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Realitas masyarakat hukum adat (pertanahan) dan eksistensi hak ulayat

(tanah suku) pada umumnya dan khususnya masyarakat Manggarai, antara

lain merupakan dasar argumentasi untuk melakukan penelitian ini :

a.1. Keraguan akademis

Berbagai hasil penelitian menunjukan bahwa pengelompokan

lingkungan hukum adat didasarkan pada beberapa kriteria : bahasa (Van

Vollenhoven, 1925); teritorial dan genealogis (Jaspan, 1959; sosiografi

indonesia, 1959; Ter Haar, 1987) dan kombinasi dari berbagai kriteria bahasa,

genealogis dan teritorial yang banyak dilakukan oleh para psikolog. Kriteria

tersebut kemudian dipandang mengandung karakteristik universal dan

dijadikan dasar penilaian bagi eksistensi sistem hukum adat yang ada

diberbagai tempat yang berbeda-beda. Identifikasi tersebut, kemudian

menghasilkan Hipotesa tentang 19 lingkungan masyarakat hukum adat.

Di beberapa daerah, usaha ferifikasi (membenarkan) dan falsifikasi

(menggugurkan) terhadap hipotesis tentatif tersebut diatas sudah ada,

meskipun jumlahnya masih sangat kurang (seminar hukum adat, BPHN, 1976;

R. Subekti, 1991). Usaha ferifikasi dan falsifikasi itu dilakukan melalui

berbagai penelitian ilmiah yang diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung

(jurisprudensi). Untuk lingkungan hukum adat wilayah Nusa Tenggara Timur

Page 2: Proposal

termasuk kabupaten Ngada, penelitian tentang hukum adat dan eksistensi hak

ulayat (tanah suku) jarang dilakukan.

Langkanya penelitian hukum adat; masyarakat adat; hubungan antara

masyarakat hukum adat dengan tanah (eksistensi tanah suku); menyulitkan

praktisi hukum termasuk lembaga pengadilan untuk menyelesaikan setiap

sengketa yang dihadapkan kepadanya secara adil dengan memperhatikan

hukum yang hidup pada masyarakat adat. Akibat selanjutnya ialah bahwa,

Jurisprudensi Mahkamah Agung yang mengukuhkan (verifikasi) atau

menggugurkan (falsifikasi) terhadap hukum adat di daerah ini jarang

ditemukan, bahkan belum ada sama sekali. Apakah ini semua berarti hukum

adat pertanahan di wilayah ini masih eksis termasuk tanah suku atau

sebaliknya ? kalau eksis, apa yang menyebabkan hukum adat dan wilayah

persekutuan (tanah suku) itu eksis dan sebaliknya kalau falsifikasi, apa alasan,

kapan dilakukan, siapa yang melakukan dan bagaimana dari teori tersebut

yang difalsifikasi ?. Suatu realita, bahwa hukum adat dan wilayah persekutuan

(tanah suku) di wilayah ini masih ada, minimal seperti yang ditunjukan oleh

para peneliti sebelumnya, tetapi bagaimana rupanya belum terkompilasi.

a.2 Pendirian Hukum Positif Terhadap Hukum Adat Pertanahan

Ambiguitas hukum positif terhadap hukum adat pertanahan tampak

dalam tiga hal. Pertama, secara eksplisit mengakui eksistensi hak komunal

(beshickkingsrecrt) masyarakat hukum adat atas tanah antara lain diatur dalam

pasal 2 ayat ( 4) ; pasal 3; pasal 5 UUPA; UU No.6 tahun 1976; pasal 6 PP

Page 3: Proposal

No. 21 tahun 1970; Kepres No. 54 Tahun 1980; pasal 34. 37 UU No. 41 tahun

1999; Kepmen Agraria No. 5 tahun 1999. Kedua, pengakuan terhadap hak-

hak individu (inlands bezitsrecht) tentang terjadinya hak milik, jual beli,

penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan lain yang

bermaksud memindahkan hak milik (antara lain pasal 22 ayat 1 dan pasal 56

UUPA). Ketiga, antara mengakui dan tidak mengakui hak-hak komunal

masyarakat adat (antara lain Permen Agraria No. 5 Tahun 1999 dan Perda

Propinsi NTT No. 8 Tahun 1974).

Ambiguitas tersebut di atas, memerlukan keputusan tentang posisi dan

eksistensi hukum adat pertanahan, menyangkut: hak-hak komunal

(beschikkingrecht); hak-hak perorangan (inlands bezitrecht), terjadinya hak

milik, jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan

perbuatan lain yang bermaksud memindahkan hak milik. Penelitian sangat

perlu untuk mendukung suatu pilihan atau keputusan.

a.3 Praktis

Tanah memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia.

Berbagai kegiatan manusia senantiasa berkaitan dengan tanah, baik kegiatan

sosial, ekonomi, budaya, agama dan sebagainya. Bahkan tanah sering diulang-

ulang dan cenderung menjadi mitos tanpa melihat konteks sosial politik,

bahkan dikatakan memiliki makna tinggi yang dapat dipadankan dengan

nyawa (Judiantara dan Wijaya dalam Hariardi dan Masruchah, (1995:75).

Page 4: Proposal

Penilaian semacam itu bukanlah suatu isapan jempol belaka, karena

dalam kenyataannya penilaian seperti yang disebutkan di atas memiliki dasar

pembenarannya. Bagi penduduk Kabupaten Ngada umumnya yang sebagian

besar hidup dari hasil pertanian, tanah selain sebagai sumber daya ekonomi,

diperlukan untuk kegiatan sosial, budaya dan agama, juga melambangkan

status sosial seseorang dalam masyarakat.

Manyadari akan pentingnya tanah bagi kehidupan umat manusia, tidak

luput dari perhatian kaum penjajah waktu itu dimana tanah yang dikuasai

rakyat berdasarkan hukum adat (tanah suku maupun tanah perorangan) tidak

diberi ruang untuk memperoleh kepastian hukum, karena disamping perangkat

hukumnya tidak tersedia, pendaftaran yang dilakukan pada waktu itu hanya

mengenai tanah yang bersumberkan hukum barat. Terhadap tanah adat hanya

dilakukan registrasi untuk penarikan pajak (landrente).

Tanah suku adalah tanah yang dikuasai oleh persekutuan masyarakat

adat yang terbentuk berdasarkan kesamaan tempat tinggal (teritorial) maupun

berdasarkan kesamaan keturunan (geneologis). Tanah tersebut mempunyai

nilai religius magis karena ada hubungan yang erat dengan sistem nilai,

kepercayaan dan struktur kekerabatan maupun teritorial masyarakat setempat.

Penguasaannyapun telah turun-temurun, diakui oleh masyarakat setempat

sekalipun hanya didasarkan pada kebiasaan dan adat- istiadat yang berlaku di

wilayah tersebut. Pemilikan dan penguasaan yang didasarkan pada hukum

adat dan tidak didukung oleh bukti tertulis dinyatakan sebagai tanah milik

negara (penjajah) (pasal 1 Agrarish Besluit) yang dikenal dengan sebutan

Page 5: Proposal

Domein Verklaring. Hal ini tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa

Indonesia yang mengutamakan kepentingan (kesejahteraan) rakyat indonesia

seluruhnya.

Setelah bangsa Indonesia merdeka, negara hanya diberikan hak

menguasai atas bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya

untuk mengatur dan menyelenggarakan penggunaan, peruntukan, persediaan,

dan pemeliharaannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat

Indonesia (pasal 33 ayat (3) UUD 1945).

Sebagai penjabaran dari ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD 45

ditetapkan undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar

Pokok-pokok Agraria (UUPA). Pembentukan UUPA didasarkan pada hukum

adat (pasal 5) dan pasal 3 UUPA mengakui keberadaan tanah ulayat (tanah

suku) dan semacamnya sepanjang kenyataannya masih ada. Itu artinya tidak

diperkenankan untuk membentuk tanah suku baru.

Pada tahun 1974 Pemerintah Daerah Tingkat I NTT mengeluarkan

Peraturan Daerah No. 8 Tahun 1974 tentang pelaksanaan Hak Atas Tanah

yang melemahkan eksistensi hak ulayat (tanah suku). Pasal 2 ayat (1)

Peraturan Daerah ini menentukan bahwa tanah bekas penguasaan masyarakat

hukum adat (maksudnya tanah suku) dinyatakan sebagai tanah-tanah dibawah

penguasaan pemerintah daerah cq Gubernur Kepala Daerah. Penegasan

Pemerintah Daerah ini atas dasar pertimbangan bahwa suku tidak lagi

memenuhi persyaratan sebagai persekutuan hukum geneologis, sehingga tidak

ada lagi tanah suku. Yang ada adalah tanah bekas penguasaan masyarakat

Page 6: Proposal

hukum adat dan tanah-tanah seperti inilah yang oleh pemerintah daerah

dinyatakan sebagai tanah negara. Berdasarkan penjelasan dari ketentuan pasal

2 peraturan daerah tersebut, pernyataan yang tertuang dalam pasal 2 sebagai

tindak lanjut hasil kesimpulan Simposium Terbatas Persoalan Tanah Suku di

Daerah Propinsi NTT yang diselenggarakan pada bulan Mei 1972. Simposium

itu sendiri dalam kesimpulannya antara lain menyatakan, bahwa telah terjadi

proses individualisasi dan disintegrasi suku, sehingga suku tidak lagi

memenuhi persyaratan sebagai suatu persekutuan hukum geneologis. Karena

itu dikatakan bahwa di NTT tidak ada lagi tanah suku. Yang ada adalah tanah

bekas penguasaan masyarakat hukum adat (suku)

Penegasan seperti tersebut diatas belum tentu mencerminkan keadaan

sesungguhnya, karena belum tentu melalui pengkajian (penelitian) yang

mendalam tentang keberadaan tanah suku dengan berbagai komponen yang

terkait didalamnya. Lagi pula dikalangan pemerintah sendiri dalam hal ini

Kanwil Badan Pertanahan Nasional masih belum yakin dengan pernyataan

kesimpulan simposium 1972 itu. Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi NTT,

dalam suratnya kepada Gubernur tanggal 20 Nopember 1993 No. 500-224

menyampaikan suatu telahaan yang antara lain isinya menyatakan bahwa di

NTT, baik ditingkat propinsi maupun kabupaten perlu dibentuk lembaga yang

bersifat permanen sebagai peneliti untuk melihat sejauh mana keberadaan

(eksitensi) tanah suku/hak ulayat di NTT dengan tugas antara lain untuk

meneliti tentang :

Page 7: Proposal

1. Keberadaan wilayah masyarakat hukum adat dengan batas-batas yang

jelas dan diakui oleh masyarakat hukum adat yang berbatasan.

2. Adanya masyarakat hukum adat.

3. Adanya hukum adat termasuk hukum pertanahan.

4. Adanya perangkat hukum adat yang diakui oleh anggotanya dan masih

operasional (tidak hanya nama).

5. Adanya sanksi terhadap pelanggar yang ditaati oleh warga masyarakat

hukum adat.

6. Adanya hak atas tanah yang bersifat komunal yang tidak dapat diperjual-

belikan.

Perlu dilakukan penelitian tentang keberadaan tanah suku ini diperkuat

dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan

Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah Hak

Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Dalam ketentuan pasal 5 dari peraturan

menteri tersebut ditentukan bahwa penelitian dan penentuan masih adanya hak

ulayat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dilakukan oleh pemerintah

daerah dengan mengikut sertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum

adat yang ada di daerah yang bersangkutan, lembaga swadaya masyarakat dan

instansi yang mengelola sumber daya alam.

Dengan demikian penelitian tentang eksistensi tanah suku dewasa ini

sudah sangat tepat dilakukan dalam hubungannya dengan pelaksanaan

otonomi daerah. Masing-masing pihak (persekutuan masyarakat adat,

pemerintah dan investor) akan memperoleh keuntungan apabila semua

Page 8: Proposal

kepentingan terakomodir dalam memanfaatkan tanah persekutuan (tanah

suku) untuk menunjang pelaksanaan pembangunan demi kesejahteraan

seluruh rakyat. Saat ini yang memperoleh keuntungan adalah pemanfaat tanah

pesekutuan adat seperti pemegang HPH, kuasa pertambangan, pemegang

HGU dll, hal ini terjadi disebabkan penyelesaian secara tuntas mengenai

eksistensi tanah suku tidak final. Masyarakat persekutuan adat (suku) menjadi

penonton dan tidak lagi menjadi tuan dinegerinya sendiri. Namun untuk masa

depan hak-haknya merekapun (pemegang HPH dsb) akan terancam akibat

penyerobotan yang dilakukan oleh anggota atau persekutuan masyarakat

hukum adat dalam bentuk klaim sepihak bahwa tanah-tanah tersebut

merupakan milik persekutuan adat tanpa mempedulikan nilai investasi atas

tanah tersebut. Klaim tersebut seringkali disertai dengan tindak kekerasan

seperti perusakan fasilitas pendukung usaha, kantor, peralatan usaha,

kendaraan dsb.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan pokok penelitian adalah

bagaimanakah eksistensi tanah suku di Kabupaten Ngada. Permasalahan

pokok tersebut dijabarkan dalam 4 (empat) pertanyaan penelitian:

1. Apakah persekutuan masyarakat hukum adat (kepala

persekutuan/fungsionaris adat) masih memiliki kewenangan untuk

mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah, persediaan dan

pemeliharaan tanah persekutuan yang dikuasai, mengatur dan menentukan

Page 9: Proposal

hubungan hukum antara anggota persekutuan dengan tanah, mengatur dan

menetapkan hubungan hukum antara anggota persekutuan dan perbuatan-

perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah ?

2. Apakah masih ada wilayah persekutuan dengan batas-batas tertentu

sebagai lebenstraum yang merupakan obyek hak ulayat (tanah suku) dan

diakui oleh masyarakat hukum yang berbatasan ?

3. Apakah masih ada masyarakat hukum adat (anggota persekutuan) yang

merasa terikat dan mentaati kewenangan persekutuan masyarakat hukum

adat di bawah pimpinan fungsionaris adat dan memiliki tanggung jawab

yang sama untuk memelihara dan mempertahankan wilayah persekutuan

yang dikuasai dari gangguan pihak lain ?

4. Apakah ada hukum adat termasuk hukum pertanahan yang berlaku dan

mengikat semua anggota persekutuan ?

5. Bagaimana mekanisme solusi konflik yang berhubungan dengan

penguasaan dan pemanfaatan tanah persekutuan (hak ulayat/tanah suku) ?

6. Bagaimana mekanisme pengalihan hak ulayat kepada pihak ketiga ?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Tujuan yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kewenangan yang dimiliki persekutuan masyarakat

hukum adat dibawah pimpinan fungsionaris adat dalam mengatur dan

menyelenggarakan penggunaan tanah, persediaan dan pemeliharaan tanah

persekutuan yang dikuasai; mengatur dan menentukan hubungan hukum

Page 10: Proposal

antara anggota persekutuan dengan tanah; mengatur dan menetapkan

hubungan hukum antara anggota persekutuan dan perbuatan hukum yang

berkenaan dengan tanah.

2. Untuk mengetahui keberadaan wilayah persekutuan dengan batas-batas

yang jelas sebagai lebenstraum yang merupakan obyek hak ulayat/tanah

suku.

3. Untuk mengetahui keberadaan masyarakat hukum adat (anggota

persekutuan) yang merasa terikat dan mentaati kewenangan persekutuan

masyarakat hukum adat di bawah pimpinan fungsionaris adat dan

memiliki tanggung jawab yang sama untuk memelihara dan

mempertahankan wilayah persekutuan yang dikuasai dari gangguan pihak

lain.

4. Untuk mengetahui keberadaan hukum adat termasuk hukum adat

pertanahan yang berlaku dan mengikat semua anggota persekutuan.

5. Untuk mengetahui mekanisme solusi konflik yang berhubungan dengan

penguasaan dan pemanfaatan tanah persekutuan (hak ulayat/tanah suku).

6. Untuk mengetahui mekanisme pengalihan hak ulayat (tanah suku) kepada

pihak ketiga

Sedangkan manfaat dari hasil penelitian ini adalah :

1. Sebagai referensi ilmiah bagi proses pengambilan keputusan politik dan

hukum (penyusunan perda tentang kecamatan dan desa) pada umumnya

khususnya yang berhubungan dengan pemberdayaan lembaga adat,

pengelolaan tanah suku di Kabupetan Ngada.

Page 11: Proposal

2. Sebagai bahan yang dapat dipertimbangkan semua pihak dalam rangka

untuk menyelesaikan sengketa tanah suku pada umumnya dan khususnya

tanah suku di Kabupaten Ngada.

D. STUDI PUSTAKA

Hak ulayat (tanah suku) merupakan nama yang diberikan para ahli

hukum dan hubungan hukum konkrit antara masyarakat hukum adat dengan

tanah dalam wilayahnya yang disebut tanah ulayat (Boedi Harsono,

1994:215).

Pengertian hak ulayat (tanah suku) secara resmi tidak dijumpai

didalam UUPA. Dalam pasal 3 dan penjelasannya hanya dinyatakan bahwa

yang dimaksudkan dengan istilah hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu ialah

apa yang dalam kepustakaan hukum adat disebut beschikkingrecht.

C.C.J. Massen dan A.p.G. Hens sebagai dikutip oleh Eddy Ruchijat

(1986:31) merumuskan hak ulayat (beschikkingrecht) sebagai hak desa

menurut adat dan kemauannya untuk menguasai tanah dalam lingkungan

daerahnya buat kepentingan anggota-anggotanya atau untuk kepentingan

orang lain (orang asing) dengan membayar kerugian kepada desa, dalam hal

mana desa itu adalah banyak turut campur dengan pembukaan tanah itu dan

turut bertanggung jawab terhadap perkara-perkara yang terjadi disitu yang

belum dapat diselesaikan. Sedangkan Sudikno Mertokusumo mengartikan hak

menguasai (maksudkannya hak ulayat) sebagai hak dari desa untuk dalam

batas wilayah tersebut menguasai tanah menurut kemauannya, guna

Page 12: Proposal

kepentingan anggota-anggota desa atau guna kepentingan orang-orang diluar

desa itu dengan pembayaran ganti kerugian (Sukdikno 1988:11,12).

Lebih lanjut Iman Sudiyat yang menyebut hak ulayat dengan istilah

hak purba sebagaimana Djojodigoeno, menyatakan bahwa yang dimaksudkan

dengan hak purba ialah : hak yang dipunyai suatu suku (clan/gens/stam),

sebuah serikat desa (dorpenbond) atau biasanya oleh sebuah desa saja untuk

menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan wilayahnya (Sudiyat,

1981:2). Selanjutnya Roestandi Ardiwilaga (1962:23) menjelaskan secara

lebih rinci pengertian hak ulayat sebagai hak persekutuan hukum untuk

menggunakan dengan bebas tanah-tanah yang masih merupakan hutan belukar

didalam lingkungan wilayahnya, guna kepentingan persekutuan hukum itu

sendiri dan anggota-anggotanya atau guna kepentingan orang-orang luar

(orang asing) dengan isin kepala persekutuan dengan pembayaran recognisi.

Dari uraian diatas diketahui bahwa subyek hak ulayat adalah

masyarakat hukum adat, baik tunggal maupun persekutuan daerah, tetapi tidak

merupakan hak individu dan merupakan pula hak dari suatu famili

(Sumardjono, 1982:5).

Masyarakat hukum merupakan gerombolan yang teratur bersifat tetap,

mempunyai kekuasaan sendiri dan kekayaan sendiri berupa benda yang

kelihatan dan yang tidak kelihatan (Ter Harr 1976:4). Dengan demikian maka

hak ulayat menunjukan adanya hubungan hukum antara masyarakat hukum itu

dengan tanah wilayahnya. Hubungan hukum dimaksud menurut Maria S.W.

Sumardjono, adalah hubungan menguasai, bukan hubungan milik

Page 13: Proposal

sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antara negara dengan tanah

menurut pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Hak menguasai yang melekat pada

masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayat (tanah suku) tersebut berisi

wewenang untuk :

1. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman,

bercocok tanam dan lain-lain) dan pemeliharaan tanah.

2. Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah

(memberikan hak tertentu kepada subyek tertentu).

3. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan

perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah seperti : jual-

beli, warisan dan lain-lain (Sumardjono, Kompas 13 Mei 1993).

Kewenangan yang disebutkan diatas, jika masih ada mencerminkan masih

eksisnya hak ulayat (tanah suku) dan hak-hak semacamnya dalam masyarakat

hukum adat. Dikatakan hak ulayat bila didalamnya terkandung hal-hal sebagai

berikut :

1. Masyarakat yang bertempat tinggal dalam daerah, kawasan, wilayah

tersendiri, yang selanjutnya disebut masyarakat hukum (persekutuan

hukum/rechts gemeenschap).

2. Tanah yang terletak atau berada didaerah kekuasaan masyarakat hukum

tersebut diatas yang disebut tanah ulayat (tanah pertuanan, tanah suku,

penyempeto, meru, prabumian dan sebagainya).

3. Kekuasaan yang berada didalam tangan masyarakat hukum serta

wewenang untuk mengatur segala sesuatu mengenai tanah ulayat tersebut

Page 14: Proposal

di atas yang ada sangkut pautnya dengan tanah ulayat, baik secara

langsung maupun tidak langsung, yang selanjutnya disebut hak ulayat

(Kertawidjaja, 1978:27-28).

Selanjutnya Cornelis Van Volenhoven menyebut 6 tanda hak ulayat, yaitu :

1. Masyarakat hukum yang bersangkutan dan anggota-anggotanya dapat

dengan bebas mempergunakan tanah liar yang terdapat dalam wilayahnya,

seperti membuka tanah, mendirikan perkampungan.

2. Orang luar masyarakat hukum hanya boleh mempergunakan tanah tersebut

dengan isin dari masyarakat hukum, tanpa isin dipandang sebagai suatu

delik.

3. Dalam mempergunakan tanah tersebut bagi masyarakat hukum yang

bersangkutan kadang-kadang juga dipungut recognisi, tetapi orang luar

masyarakat hukum selalu dipungut recognisi.

4. Masyarakat hukum adat bertanggung jawab terhadap kejahatan-kejahatan

tertentu yang terjadi didalam wilayah yang pelakunya tidak dapat dituntut

atau dikenal.

5. Masyarakat hukum adat tidak boleh mengalihkan hak ulayat secara

menetap.

6. Masyarakat hukum adat masih mempunyai kewenangan untuk campur

tangan terhadap tanah yang telah digarap (Van Vollenhoven dalam

Sumardjono, 1982:6).

Disamping tanda-tanda/ciri yang disebut para ahli hukum sebagai petunjuk

eksistensi hak ulayat dan hak-hak semacamnya, secara konstitusional telah

Page 15: Proposal

ditetapkan dalam pasal 3 UUPA yang berbunyi “Dengan mengingat

ketentuan-ketentuan pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa

dari masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada harus

sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara

yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertantangan dengan

undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi”.

Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa ekstensi hak ulayat (tanah suku)

dan hak-hak semacamnya dalam hukum tanah nasional tetap diakui, jika

kenyataannya masih ada, artinya, bila dalam kenyataannya tidak ada, maka

hak ulayat (tanah suku) dan hak-hak semacamnya tidak akan dihidupkan lagi

dan tidak akan diciptakan hak ulayat baru.

Meskipun eksistensi hak ulayat diakui, namun dalam pelaksanaanya dibatasi

agar sesuai dengan kepentingan nasional dan negara serta tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi. Namun

kriteria penentu tentang keeksistensiannya tidak diberikan batasan yang jelas.

Dalam hubungan dengan ini, Maria Sumardjono mengatakan bahwa kriteria

penentu ada atau tidaknya hak ulayat dilihat pada 3 (tiga) hal, yaitu :

1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai

subyek hak ulayat.

2. Adanya tanah (wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebestraum

yang merupakan obyek hak ulayat).

3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-

tindakan tertentu (Sumardjono, Kompas 13 Mei 1993).

Page 16: Proposal

Dari berlakunya hak ulayat dengan tanda dan kriteria penentu yang

digambarkan diatas, dapat disimpulkan bahwa hak ulayat merupakan

serangkaian wewenang dan kewajiban masyarakat hukum adat, yang

berhubungan dengan tanah yang terletak dalam wilayahnya. Hak ulayat

mengandung 2 (dua) unsur, yaitu unsur kepunyaan yang termasuk bidang

hukum perdata dan unsur kewenangan untuk mengatur penguasaan dan

memimpin penguasaan tanah bersama yang termasuk bidang hukum publik.

Pelaksanaan kewenangan yang bersifat publik ini dilimpahkan kepada kepala

adat sendiri atau bersama-sama dengan para tetua adat masyarakat hukum adat

yang bersangkutan (Boedi Harsono, 1994:216).

Di Nusa Tenggara Timur, istilah hak ulayat tidak dikenal, tetapi

istilah-istilah seperti tanah Kabisu di Sumba, tanah Wungu di Flores Timur,

tanah Lingko di Manggarai, tanah Leo di Rote, tanah Kanaf di Timor bagian

dawan, tanah Fukun di Timor bagian Tetun, Udu di Sabu, Bapang di Alor, dan

Ngeng Ngerang di Sikka (Patty, 1984:18) mengandung arti dan isi yang

identik dengan tanah hak ulayat. Namun demikian istilah yang populer adalah

tanah suku (hak ulayat).

Kuatnya eksistensi hak ulayat tergantung dari kuatnya persekutuan

masyarakat hukum dan anggota persekutuan mempertahankannya dan

tercermin dari sikap masyarakat mempertahankan dan mentaati kewenangan

dan kewajiban yang diemban. Semakin kuatnya hak persekutuan masyarakat

hukum yang bersangkutan, maka hak-hak perorangan akan melemah.

Sebaliknya bila hak-hak perorangan mengalami peningkatan dari segi kualitas

Page 17: Proposal

maupun kuantitasnya, maka kewenangan masyarakat hukum adat melemah.

Kenyataan tersebut oleh Maria Sumardjono (1982:9) disebut sebagai sifat

istimewa dari hak ulayat, yaitu adanya hubungan timbal balik antara hak

ulayat dengan hak-hak perorangan. Semakin intensif penggarapan tanah

secara perorangan oleh warga masyarakat hukum akan menimbulkan hak

yang kuat antar penggarap dengan tanah dan oleh karenanya hak ulayat

menjadi lemah. Namun apabila tanah garapan tersebut kemudian ditinggalkan

oleh yang bersangkutan dan tidak dipeliharanya lagi, maka hak ulayat menjadi

kuat kembali.

Ditetapkannya peraturan Daerah Tingkat I Propinsi NTT No. 8 Tahun

1974 tentang pelaksanaan penegasan Hak Atas Tanah melemahkan eksistensi

tanah suku yang dikuasai rakyat berdasarkan hukum adat. Pasal 2 ayat (1)

peraturan daerah ini menentukan bahwa tanah bekas penguasaan masyarakat

hukum adat dinyatakan sebagai tanah-tanah dibawah penguasaan Pemerintah

Daerah c.q Gubernur Kepala Daerah, sedangkan dalam ayat (2) ditentukan

bahwa, setiap orang atau badan hukum yang menguasai tanah-tanah sebagai

dimaksud pada ayat (1) pasal ini perlu memiliki bukti penegasan hak.

Pernyataan penguasaan tersebut diatas, menurut penjelasan dari

ketentuan pasal (2) peraturan daerah tersebut, menindak lanjuti hasil

kesimpulan Simposium terbatas persoalan tanah suku di daerah Propinsi NTT

yang diselenggarakan bulan Mei 1972. Simposium itu sendiri dalam

kesimpulannya antara lain menyatakan, bahwa telah terjadi proses

Page 18: Proposal

individualisasi dan disintegrasi suku, sehingga suku tidak lagi memenuhi

persyaratan sebagai suatu persekutuan hukum geneologis.

Jadi oleh karena suku tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai

persekutuan hukum geneologis, maka tidak ada lagi tanah suku. Yang ada

adalah tanah bekas penguasaan masyarakat hukum adat (suku) dan tanah-

tanah seperti inilah yang oleh Peraturan Daerah dinyatakan sebagai tanah

negara.

Peraturan daerah diatas kemudian pada tahun 1984 diperkuat dengan

produk hukum lain dari Pemerintah Daerah berupa Instruksi Gubernur Kepala

Daerah Tkt I NTT No. 3/Pem um/1984 yang antara lain berisi ketentuan

sebagai berikut :

1. Melarang setiap orang, badan hukum, instansi pemerintah dan lembaga

kemasyarakatan untuk membagi tanah negara dan tanah-tanah bekas tanah

suku, selama kewenangan tersebut tidak diatur oleh peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

2. Menginventarisasi tanah-tanah kosong yang ditelantarkan dan diatur

penggunaannya oleh pemerintah sesuai dengan rencana induk

pembangunan daerah.

Tidak jelas apakah kesimpulan simposium tahun 1972 tersebut diatas

menjadi landasan pemikiran dikeluarkannya peraturan daerah No. 8 Tahun

1974 dan kemudian Instruksi Gubernur No.3/Pem-Um-1984 benar-benar

mencerminkan kenyataan sesungguhnya tentang keberadaan persekutuan

masyarakat hukum adat (suku) selaku subyek hak ulayat di NTT. Sebab,

Page 19: Proposal

apabila tidak, hal itu secara yuridis menegaskan keberadaan masyarakat

hukum adat dan hak ulayat yang dimilikinya.

Pemerintah daerah sendiri, setidak-tidaknya kantor wilayah BPN NTT

belum belum begitu yakin dengan pernyataan kesimpulan simposium tahun

1972 itu. Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi NTT, dalam suratnya kepada

Gubernur Kepala Daerah Tkt I NTT tanggal 20 Nopember 1993 No. 500-224

menyampaikan suatu telahaan yang antara lain isinya menyatakan bahwa di

NTT, baik ditingkat Propinsi maupun Kabupaten, perlu dibentuk lembaga

yang bersifat permanen sebagai peneliti sejauhmana keberadaan (eksistensi)

tanah suku/hak ulayat di NTT dengan tugas antara lain untuk meneliti tentang:

1. Keberadaan wilayah masyarakat hukum dengan batas-batasnya yang jelas

dan diakui oleh masyarakat hukum adat yang berbatasan.

2. Adanya masyarakat hukum adat.

3. Adanya hukum adat termasuk hukum pertanahan.

4. Adanya perangkat hukum adat yang diakui oleh anggotanya dan masih

operasional (tidak hanya nama).

5. Adanya sanksi terhadap pelanggaran yang ditaati oleh warga masyarakat

hukum adat.

6. Adanya hak atas tanah yang bersifat komunal yang tidak dapat diperjual

belikan.

Keberadaan (eksistensi) hak ulayat (tanah suku) ditegaskan lebih lanjut dalam

ketentuan pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan

Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian

Page 20: Proposal

masalah hak ulayat masyarakat hukum adat dimana disebutkan bahwa hak

ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila :

a. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan

hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu,

yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut

dalam kehidupannya sehari-hari,

b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga

persekutuan tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya

sehari-hari, dan

c. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan

penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan diatati oleh warga persekutuan

hukum tersebut.

Untuk mengetahui eksistensi hak ulayat (tanah suku) dalam ketentuan

pasal 5 diisaratkan untuk dilakukan penelitian. Namun penelitian dimaksud

belum pernah dilakukan.

E. METODE PENELITIAN

a. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan diwilayah administrasi Kabupaten Ngada meliputi

3 wilayah bekas pemerintahan Swapraja yaitu bekas pemerintahan

swapwaja Ngadha, Nagekeo dan Riung. Penentuan 3 wilayah bekas

pemerintah Swapraja didasarkan pertimbangan bahwa besar kemungkinan

Page 21: Proposal

pembentukan persekutuan masyarakat hukum adat dan wilayah

kekuasaannya didasarkan pada pembagian ke 3 wilayah tersebut.

b. Kerangka Sampling

Kerangka sampling dilakukan untuk memperoleh data primer tentang

aspirasi masyarakat adat dengan menggunakan “purposive sampling”

yaitu dengan sengaja menentukan wilayah persekutuan masyarakat hukum

adat. Responden terdiri atas tokoh-tokoh masyarakat sesuai dengan

struktur dan sistem kekerabatan komunal dan peternalistik yang disebut

dengan tua-tua adat.

c. Data dan Sumber Data

Data sekunder diperoleh dari dokumentasi formal dan informal, data hasil

penelitian sejenis, dan data primer diperoleh langsung dari responden atau

informen.

d. Teknik Pengumpulan data

Studi berbagai dokumen, pengamatan partisipatif, fokus grup diskusi,

seminar dan interview terstruktur.

e. Analisis Data

Menggunakan teknik analisis normatif dari Antony Allot (1980:26) dan

domain analisis dari James B. Spradley (1979:107). Analisis normatif,

untuk menjelaskan hubungan komponen sistem norma hukum adat

pertanahan yang meliputi : bentuk (form); otoritas pengembangan (emitted

by); isi (content); tujuan (aim); kelompok sasaran (adressed); bentuk-

bentuk ketaatan (form of complience); otoritas restorator dan pengendali

Page 22: Proposal

pelanggaran norma hukum dengan norma lainnya (conflict of the

normative system with law or other normative). Sedangkan domain

analisis untuk menjelaskan hubungan antara komponen (spesis) dari suatu

term hukum sebagai genusnya serta induksi analitik, tematis dan

berkelanjutan selama penelitian berlangsung.

f. Siklus pengumpulan keterangan dan penyimpulan hasil analisis dari tahap

demi tahap, digambarkan pada halaman berikut :

Page 23: Proposal

TAHAP KONFIRMASI TAHAP PENGUMPULANDAN PENYIMPULAN DATA

KETERANGAN : ANGKA ROMAWI (I-VII) MENUNJUKAN TAHAPAN STUDIGAMBAR : BAGAN METODOLOGI PENELITIAN

IData sekunderData primer informanKepustakaanSeminar

(VII)

Generalisasi dan pengembangan institusi kepemilikan lahan

Lokakarya

Seleksi lingkaran hukum adat

(II)Masyarakat hukum adatData sekunderData primer respondenKepustakaan

Aras makroKABUPATENWawancara ulangSeminar (VI)

MASYARAKAT HUKUM ADAT

(RECHTSGEBIET)Data sekunderData primer informanKepustakaan

Generalisasi aras kabupaten

Generalisasi aras kecamatan

Kecamatan, desa, lingkaran hukum adat,- wawancara ulang (V)

(III)DESA

Data sekunderData primer respondenKepustakaan

Pemilihan desa

Generalisasi aras Desa

Aras mikro

Page 24: Proposal

F. ASPEK YANG DITELITI

Aspek yang diteliti meliputi hal-hal sebagai berikut :

1. Susunan persekutuan masyarakat hukum adat yang meliputi dasar

pembentukannya (geneologis), afinitas dan teritorial dan bentuknya

(tunggal, bertingkat, berangkai) (Soejono Soekanto dan Soleman B.

Taneko, 1986:106 dst).

2. Wilayah masyarakat hukum adat dalam arti suatu kesatuan teritorial

berlakunya sistem norma (rechtgebeid) dan hubungan antara masyarakat

hukum adat dengan wilayah sebagai labenstraum yang merupakan obyek

hak-hak ulayat (tanah suku).

3. Masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek

hak ulayat (tanah suku).

4. Kewenangan masyarakat hukum adat (kepala persekutuan/fungsionaris

adat maupun anggotanya) untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu

dalam wilayah persekutuan.

5. Konsepsi tentang norma hukum adat yang meliputi pembentukannya,

terminasi norma, bentuknya, isinya, kekuatannya (rechtsracht), wilayah

berlakunya (rechtsgebeid).

6. Konsepsi subyek hukum, sebagai konsepsi, maka subyek hukum dapat

diklasifikasi berdasarkan kategori-kategori tertentu seperti subyek

individual, subyek komunal, kapasitas, kewarganegaraan, status

geneologis, usia, jenis kelamin, dan klasifikasi lain tentang subyek hukum

menurut hukum adat setempat.

Page 25: Proposal

7. Konsepsi obyek hukum berdasarkan metode klasifikasi maka obyek

hukum berupa tanah, benda-benda yang berada diatas tanah, benda-benda

yang ada dibawah tanah, air, laut, sungai, danau, hutan, jalan, bangunan

dan sebagainya.

8. Konsepsi hak yang meliputi dasar filsafatnya, jenis dan definisi hak,

komunal, perorangan, jangka waktu berlakunya, cara-cara memperolehnya

dan hapusnya hak tersebut, pengadministrasian dan sebagainya.

G. ALOKASI WAKTU

Kegiatan

Alokasi WaktuJanuari s/d Juli 2007

JanuariMinggu ke

1234

PebruariMinggu ke

1234

MaretMinggu ke

1234

AprilMinggu ke

1234

MeiMinggu ke

1234

JuniMinggu ke

1234

JuliMinggu ke

12341. Persiapan

(penyusunan proposal, asistensi dengan Pemda, negosiasi Kontrak, Peyusunan instrumen penelitian, pelatihan pengumpul data) xxxx xxxx …………... …………... …………... …………... …………...

2. Pengumpulan data………….. ………….. Xxxx xxxx ………….. ………….. …………..

3. Pengolahan, analisis dan penulisan draff laporan ………….. ………….. ………….. ………….. xxxx xx……… …………..

4. Seminar draff laporan sementara

………….. ………….. ………….. ………….. ………….. …x …………..5. Penulisan laporan

akhir ………….. ………….. ………….. ………….. ………….. …………x xx6. Ketik, gandakan,

jilid laporan ………….. ………….. ………….. ………….. ………….. ………….. ………...xx

Page 26: Proposal

H. RENCANA BIAYA

No. Komponen Item Jumlah

Harga (Rp) Sub total(Rp)

Total (Rp)

1. Persiapana. pembuatan proposal dan instrumen

penelitianb. konsolidasi dan konsultasic. penggandaan proposal dan

instrumen penelitian.

Set

HariSet

1

21

2.000.000

2.000.0001.000.000

2.000.000

2.000.0001.000.000

5.000.0002. Pengumpulan data lapangan

a. Prasurvey1. Transport Kupang-Ngada PP

untuk 3 orang @ Rp 150.0002. Transportasi lokal, akomodasi

dan konsumsi untuk 3 peneliti selama 6 hari a Rp. 100.000,-/orang/hari/orang

b. Survey1. Transportasi Kupang-Ngada

PP untuk 10 orang peneliti @ Rp. 150.000,-

2. Transportasi lokal, akomodasi dan konsumsi untuk 10 orang peneliti selama 30 hari @ Rp. 500.000,-/orang/hari.

Org

Org

Org

Org

3

3

10

10

300.000

600.000

300.000

15.000.000

900.000

1.800.000

3.000.000

150.000.000155.700.000

3. Pengolahan dan analisis data - - - Ls 15.000.0004. Penulisan Laporan Penelitian - - - Ls 5.000.0005. Pengetikan, penjilitan dan

pendistribusian laporan penelitian Set 1 2.000.000 2.000.000 2.000.0006. Foto copy bahan-bahan Set 1 1.000.000 1.000.000 1.000.0007. Workshop

a. Rapat intern antar tim penelitib. Konsumsi untuk 50 orang peserta

seminar c. Penggandaan draff laporan/bahan

workshop

-org

set

-50

1

Ls 30.000

2.000.000

5.000.0001.500.000

2.000.000 8.500.000

8. Bahan dan alata. Bahan dan alat habis terpakaib. Sewa alat

SetSet

11

3.000.0003.000.000

3.500.0004.000.000

7.500.0009. Honor

a. Penanggung jawab (rektor dan dekan) a. Rp. 1.500.000,-/bulan

b. Ketua peneliti : 1 orang @ Rp. 2.500.000/bulan

c. Anggota peneliti : 4 orang @ Rp. 1.500.000,-/orang/bulan

d. Enomerator : 6 orang @ Rp 500.000/orang/bulan

e. Staf administrasi : 1 orang a Rp. 250.000,-/bulan

Bln

Bln

Bln

Bln

Bln

6

6

6

6

6

3.000.000

15.000.000

6.000.000

3.000.000

250.000

18.000.000

15.000.000

36.000.000

18.000.000

1500.00078.500.000

Page 27: Proposal

Jumlah 1 s/d 9Fee lembaga 6%

273.200.000 16.392.000

JumlahPajak 15%

.289.592.000 40..980.000

JumlahDibulatkanTerbilang : tiga ratus tiga puluh satu

juta rupiah

330.572.000331.000.000

Page 28: Proposal

DAFTAR PUSTAKA

Ali Chidir, 1980, Jurisprudensi Indonesia Tentang Hukum Adat Bina Cipta, Bandung.

Biasane, Soleman Taneho, 1981, dasar-dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat, Alumni, Bandung.

Bushar Muhammad, 1984, Asas-asas Hukum Adat (Suatu Pengantar), Pradnya Paramita, Jakarta.

--------------------------, 1985, Pokok-pokok Hukum Adat, Pradya Paramita, Jakarta.

Djojodihoeno, M.M, 1986, Asas Hukum Adat dan Kumpulan Kuliah Hukum Adat, Pustaka Tinta Mas, Surabaya.

Engel, David, N., 1987, “Law, Time and Community”, dalam Law and Society Review, Vol. 21 no.4 1987. Fox, J.J, 1982, The Paradox of Powerlessness in European Timorese Realtions”, Canberra Anthropology, No. 5/2 : 22-23.

Gomang S.R, 1993, The People of Alor and Their Alliances in Eastern Indonesia: A Study in Political Sociology, Tesis, Wollonggong University, Australia.

Friedman Lawrence M., 1975, The Legal System – A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York.

Hadikusuma Hilman, 1977, Ensikolopedi Hukum Adat dan Budaya Indonesia, Alumi, Bandung.

-------------,1980, Pokok-Pokok Pengertian Hukum Adat, Alumni, Bandung.-------------,1981, Hukum Ketatanegaraan Adat, Alumni, Bandung.-------------,1982, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju,

Bandung.-------------,1982, Hukum Perjanjian Adat, Alumni, Bandung.-------------,1983, Hukum Waris Adat, Alumni Bandung.-------------,1983, Sejarah Hukum Adat Indonesia, Alumni Bandung.-------------,1985, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung.-------------,1989, Hukum Perkawinan Adat Indonesia, Alumni, Bandung.

Hartono Soenarjati, 1971, Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat, Alumni Bandung.

Hart, H.L.A, 1961, The Concept of Law, Oxford University Press, Oxford.Hakian, S.A, 1967, Hukum Adat Perorangan, Perkawinan dan Pewarisan, Jakarta.

Page 29: Proposal

Hidajat, Z.M, 1976, Hukum Antar Adat, Alumni, Bandung.Hariadi, Untoro dan Masruchah, 1995, Tanah, Rakyat dan Demokrasi, Forum

LSM LPSM SIY, Yogyakarta.

Harsono, B, 1994, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, jilid I. Tanah Nasional. Djembatan Jakarta.

-------------, 2000, Hukum Agraria Nasional, Himpunan Peraturan Hukum Tanah, Djembatan Jakarta.

Harsono S, 1996, Konflik Pertanahan dan Upaya-upaya Penyelesaiannya disampaikan pada stadium Generale Fakultas Hukum Gadjah Mada, tgl 17 Desember. Yogyakarta.

Kana, L. Nico, 1983, Dunia Orang Sawu, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Kelsen, Hans, 1971, General Theory of Law and State, Ruseel Sage Foundation, New York.

Kusuma Admadja, Mochtar, 1976, Hubungan Antara Hukum dan Masyarakat. Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pelaksanaan Pembaharuan Hukum, BPHN # LIPI, Jakarta.

Lawang Robert, 1989, Stratifikasi Sosial di Cancar, Manggarai Flores Barat, Disertasi, UI, tidak diterbitkan.

---------------------,1996, Konflik Tanah di Manggarai Flores Barat-Pendekatan Sosiologistik, Hasil Penelitian, Kerjasama Fisip UI dengan Pemerintah Dati II Manggarai.

Maribeth, 1987, When Rocks Were Young and Earth Was Soft : Ritual and Mithology in Notheastern Manggarai, Disertasi. Cuplikannya berjudul, “Cudding The Rice : Myth and Ritual in the Agricultural Year of The Rembong of Northern Manggarai”, Indonesia, dalam Antony R. Walker (e.d.), 1994 Contributions to Southeast Asian Ethnography, Doble Six Press Ltd., Singapore.

Mubyarto, et al, 1991, Etos Kerja dan Kohesi Sosial (Masyarakat Sumba, Rote, Sabu, dan Timor Propinsi Nusa Tenggara Timur), Aditya Media, Yogyakarta.

Mertokusumo, S. 1987, Perundang-undangan Agraria. Edisi kedua, cetakan pertama. Liberty. Yogyakarta.

-------------, 1991. Mengenal Hukum (suatu pengantar). Liberty. Yogyakarta.

Page 30: Proposal

Patty, D. 1984. Macam-macam Hak Atas Tanah di Dalam Undang-undang Pokok Agraria. Kasih Indah. Kupang.

Soekanto Soerjono & Soleman B. Taneko, 1986, Hukum Adat Indonesia, CV. Rajawali, Jakarta.

Soekanto Soerjono & Soekanto, 1985, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta.

Ridwan, F.A. 1982. Hukum Tanah Adat, Bagian Pertama. Dewaruci Press. Jakarta.

Sumardjono, M.S.W, Hak Ulayat dan Pengakuannya oleh Undang-undang Pokok Agraria. Kompas. Jakarta 13 Mei.

Spradley, James, B., 1979, The Etnographic Interview, Holt, Rinehart & Winston, New York-London-Sydney.

Subekti, R., 1983, Hukum Adat Indonesia Dalam Jurisprudensi Mahkamah Agung, Alumni Bandung.

Sudiyat Iman, 1985, Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta.

SAWI, 1991, Sarana Karya Perutusan Gereja, Perkawinan Suku Dawan, Perkawinan Adat di Ende, Manggarai, Toraja, Karya Kepausan KWI, Jakarta.

Soelatro, B, 1979, Budaya Sumba, Jilid I, II dan III, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Depdikbud, Jakarta.

Tartib, 1997, Permasalahan Tanah Suku (Tanah Ulayat), Perda No. 8 Tahun 1974 dan Perda-Perda Lain di Nusa Tenggara Timur, Makalah (tidak) diterbitkan, Pengadilan Tinggi Kupang, Kupang.

Ter Haar BZN, 1979, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Pradya Paramita, Jakarta.

Van Dijk, R., 1971, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Sumur, Bandung.

Van Vollenhoven, 1925, Het Adatrecht van Nederlandsch Indie, Jilid I, Groningen, Jakarta.

------------------------, 1933, Het Adatrecht van Nederlandsch Indie 1931-1933, jilid II, Groningen, Jakarta.

Page 31: Proposal

------------------------(terjemahan), 1981, Penemuan Hukum Adat, Djambatan, Jakarta.

------------------------(terjemahan), 1981, Orientasi Dalam Hukum Adat Indonesia, Djambatan, Jakarta.

Verheijen, Jilis A.J., 1967, Kamus Manggarai I : Manggarai Indonesia, Martinus Nijhoff, Gravenhage.

---------------, 1991, Manggarai dan Wujud Tertinggi, terjemahan Alex Beding dan Marcel Beding, LIPI, Jakarta.

Wiknjodipoero, 1988, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta.

---------------, 1983, Kedudukan serta Perkembangan Hukum Adat Setelah Kemerdekaan, Gunung Agung, Jakarta.

Page 32: Proposal

LEMBAR PENGESAHAN

1. a. Judul Penelitian : PENGEMBANGAN INSTITUSI KEPEMILIKAN LAHAN MELALUI REVITALISASI FUNGSIONARIS ADAT DALAM BIDANG PERTANAHAN DI KABUPATEN NGADA

b. Bidang Ilmu : Antropologi Hukum2. Penanggung Jawab :

a. Nama Lengkap : Michael J.Djawa,SH,MHb. Jenis Kelamin : Laki-lakic. Pangkat/Golongan/Nip : Lektor Kepala /1Vc/131287 258

3. Ketua Penelitian :a. Nama Lengkap : UMBU LILY PEKUWALI, SH, M.Humb. Jenis Kelamin : Laki-lakic. Pangkat/Golongan/Nip : Lektor Kepala /IVa/131574164

4. Jumlah Tim Peneliti : 10 (sepuluh) orang5. Lokasi Penelitian : Kabupaten Ngada6. Jangka Waktu Penelitian : 6 (enam) bulan7. Biaya Yang diusulkan : Rp. 261.500.000 (dua ratus enam puluh satu

juta lima ratus ribu rupiah)

Kupang, 20 Desember2006

Mengetahui,Dekan Fakultas Hukum/ Ketua PenelitiPenanggung Jawab

(Michael J. Djawa,SH,MH) (UMBU L PEKUWALI,SH,M.Hum)Nip. 131 287 258 Nip. 131 574 164

Page 33: Proposal

PENGEMBANGAN INSTITUSI KEPEMILIKAN LAHAN MELALUI REVITALISASI

FUNGSIONARIS ADAT DALAM BIDANG PERTANAHAN

DI KABUPATEN NGADA

USULAN PENELITIAN

OLEH

UMBU LILY PEKUWALI, SH,M.Hum DKK

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG2006