Proposal
-
Upload
vandi-dwi-putra -
Category
Documents
-
view
235 -
download
3
description
Transcript of Proposal
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penglihatan adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam seluruh aspek
kehidupan termasuk diantaranya aspek pekerjaan. Penglihatan merupakan jalur
informasi utama, oleh karena itu gangguan pada penglihatan dapat mempengaruhi
kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitasnya termasuk mencari nafkah.1
Salah satu gangguan penglihatan yang sering terjadi adalah kelainan refraksi.
Kelainan refraksi merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata sehingga sinar
tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning, tetapi dapat di depan atau di
belakang bintik kuning dan mungkin tidak terletak pada satu titik yang fokus.
Kelainan refraksi terbagi atas empat yaitu miopia, hiperopia, astigmatisme, dan
presbiopia.1
Kelainan refraksi dapat menyebabkan gangguan penglihatan hingga
mengakibatkan kebutaan. Akibat dari gangguan penglihatan tersebut dapat
menyebabkan gangguan terhadap kehidupan sehari – hari dan juga merupakan
gangguan dalam kemampuan bekerja seseorang. Dibandingkan dengan seluruh
kelainan refraksi mata manusia, miopia diketahui merupakan masalah yang paling
1
besar karena menyangkut jumlah penderita kelainan refraksi yang tertinggi serta
menyebabkan gangguan terhadap kehidupan serta pekerjaan sehari-hari.2
Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi merupakan penyebab utama low vision
di dunia dan dapat menyebabkan kebutaan. Data dari VISION 2020, suatu
program kerjasama antara International Agency for the Prevention of Blindness
(IAPB) dan WHO, menyatakan bahwa pada tahun 2006 diperkirakan 153 juta
penduduk dunia mengalami gangguan visus akibat kelainan refraksi yang tidak
terkoreksi. Dari 153 juta orang tersebut, sedikitnya 13 juta diantaranya adalah
anak-anak usia 5-15 tahun dimana prevalensi tertinggi terjadi di Asia Tenggara.3
Di Indonesia, gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi dengan
prevalensi sebesar 22,1% juga menjadi masalah yang cukup serius. Sementara
10% dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun) menderita kelainan refraksi.
Sampai saat ini angka pemakaian kacamata koreksi masih sangat rendah, yaitu
12,5% dari prevalensi. Apabila keadaan ini tidak ditangani secara menyeluruh,
akan terus berdampak negatif terhadap perkembangan kecerdasan anak dan proses
pembelajarannya, yang selanjutnya juga mempengaruhi mutu, kreativitas, dan
produktivitas angkatan kerja (15-55 tahun), yang diperkirakan berjumlah 95 juta
orang sesuai data BPS tahun 2000. 4
Meskipun fungsinya bagi kehidupan manusia sangat penting, namun sering
kali kesehatan mata kurang diperhatikan, sehingga banyak penyakit yang
menyerang mata tidak diobati dengan baik dan menyebabkan gangguan
2
penglihatan (kelainan refraksi) sampai kebutaan. Berdasarkan pada kenyataan dan
masalah yang ada di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
karakteristik kelainan refraksi pada pasien – pasien di BKMM Kota Makassar.4
B. Rumusan Masalah
Kelainan refraksi merupakan salah satu masalah serius yang dapat
menyebabkan gangguan penglihatan dan berpotensi menjadi kebutaan sehingga
dapat menurnkan kualitas hidup masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut
maka dikemukakan masalah sebagai berikut : “Bagaimanakah karakteristik
kelainan refraksi pada pasien yang berobat di BKMM Kota Makassar tahun 2011.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui prevalensi dan faktor – faktor resiko pasien yang
mengalami kelainan refraksi pada BKMM Kota Makassar tahun 2011.
2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui angka kejadian kelainan refraksi pada pasien yang berobat
di BKMM Kota Makassar tahun 2011 berdasarkan jenisnya.
3
2. Untuk mengetahui distribusi kelainan refraksi berdasarkan faktor resiko
kelainan refraksi.
D. Manfaat Penelitian
1. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pengajaran tambahan
atau informasi khususnya tentang kelainan refraksi untuk menambah
pengetahuan mahasiswa kedokteran dalam memberi pelayanan di masyarakat.
2. Hasil penelitian ini dapat menambah informasi pengetahuan dan pengalaman
mengenai kelainan refraksi bagi orang – orang yang ingin meneliti tentang
kelainan refraksi sehingga memberikan ide selanjutnya untuk meneliti
kelainan refraksi di setiap daerah.
3. Hasil dari penelitian ini dapat sebagai masukan bagi pelayanan kesehatan
untuk lebih memperhatikan aspek preventif dan edukasi melalui penyuluhan
dalam hal kesehatan mata seperti sarana kesehatan di klinik maupun di
komunitas yang belum memiliki fasilitas kesehatan mata lengkap serta
terbatasnya sarana dan prasarana untuk kegiatan penanggulangan kebutaan
dan gangguan penglihatan.
4. Hasil dari penelitian ini dapat menjadi bahan untuk memberikan gambaran
kepada pihak keluarga termasuk orangtua siswa dan guru-guru yang dekat
4
pada anak mengenai kondisi/gejala-gejala yang timbul pada penglihatan anak
sehingga jika ada terjadi penurunan visus dapat dilakukan koreksi dini dan
pengobatan dini untuk mencegah hal-hal yang lebih berat.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Jenis – jenis Kelainan Refraksi
Kelainan refraksi adalah ketidakmampuan mata untuk fokus dengan benar.
Kornea dan lensa cahaya mata fokus pada retina, yang mengubah cahaya menjadi
impuls listrik. Impuls dikirim ke otak kemudian diinterpretasikan dan disajikan
sebagai gambar. Jika kornea dan lensa tidak dapat memfokuskan cahaya ke retina
secara efektif, mengakibatkan kelainan refraksi dan hasil penglihatan menjadi kabur.
Empat kelainan refraksi paling umum adalah miopia (rabun jauh), hiperopia (rabun
jauh), astigmatisme (gambar terdistorsi), dan presbiopia (penuaan mata).5
Miopia
Miopia disebut rabun jauh karena berkurangnya kemampuan melihat jauh tapi
dapat melihat dekat dengan lebih baik. Miopia terjadi jika kornea (terlalu cembung)
dan lensa (kecembungan kuat) berkekuatan lebih atau bola mata terlalu panjang
sehingga titik fokus sinar yang dibiaskan akan terletak di depan retina. Miopia
ditentukan dengan ukuran lensa negatif dalam Dioptri. Klasifikasi miopia antara lain:
ringan (3D), sedang (3 – 6D), berat (6 – 9D), dan sangat berat (>9D).6
6
Gambar 1 : Mata Miopia6
Gejala miopia antara lain penglihatan kabur melihat jauh dan hanya jelas pada
jarak tertentu/dekat, selalu ingin melihat dengan mendekatkan benda yang dilihat
pada mata, gangguan dalam pekerjaan, dan jarang sakit kepala.7
Koreksi mata miopia dengan memakai lensa minus/negatif ukuran teringan
yang sesuai untuk mengurangi kekuatan daya pembiasan di dalam mata. Biasanya
pengobatan dengan kaca mata dan lensa kontak. Pemakaian kaca mata dapat terjadi
pengecilan ukuran benda yang dilihat, yaitu setiap -1D akan memberikan kesan
pengecilan benda 2%. Pada keadaan tertentu, miopia dapat diatasi dengan
pembedahan pada kornea antara lain keratotomi radial, keratektomi fotorefraktif,
Laser Asissted In situ Interlamelar Keratomilieusis (Lasik).7
Hipermetropia
Hipermetropia adalah keadaan mata yang tidak berakomodasi memfokuskan
bayangan di belakang retina. Hipermetropia terjadi jika kekuatan yang tidak sesuai
antara panjang bola mata dan kekuatan pembiasan kornea dan lensa lemah sehingga
titik fokus sinar terletak di belakang retina. Hal ini dapat disebabkan oleh penurunan
panjang sumbu bola mata (hipermetropia aksial), seperti yang terjadi pada kelainan
7
bawaan tertentu, atau penurunan indeks bias refraktif (hipermetropia refraktif), seperti
afakia (tidak mempunyai lensa).6
Gambar 2. Mata Hipermetropia6
Pasien dengan hipermetropia mendapat kesukaran untuk melihat dekat akibat
sukarnya berakomodasi. Bila hipermetropia lebih dari + 3.00 D maka penglihatan
jauh juga akan terganggu. Pasien hipermetropia hingga + 2.00 D dengan usia muda
atau 20 tahun masih dapat melihat jauh dan dekat tanpa kaca mata tanpa kesulitan,
namun tidak demikian bila usia sudah 60 tahun. Keluhan akan bertambah dengan
bertambahnya umur yang diakibatkan melemahnya otot siliar untuk akomodasi dan
berkurangnya kekenyalan lensa. Pada perubahan usia, lensa berangsur-angsur tidak
dapat memfokuskan bayangan pada retina sehingga akan lebih terletak di
belakangnya. Sehingga diperlukan penambahan lensa positif atau konveks dengan
8
bertambahnya usia. Pada anak usia 0-3 tahun hipermetropia akan bertambah sedikit
yaitu 0-2.00 D.7
Pada hipermetropia dirasakan sakit kepala terutama di dahi, silau, dan kadang
juling atau melihat ganda. Kemudian pasien juga mengeluh matanya lelah dan sakit
karena terus-menerus harus berakomodasi untuk melihat atau memfokuskan
bayangan yang terletak di belakang retina. Pasien muda dengan hipermetropia tidak
akan memberikan keluhan karena matanya masih mampu melakukan akomodasi kuat
untuk melihat benda dengan jelas. Pada pasien yang banyak membaca atau
mempergunakan matanya, terutama pada usia yang telah lanjut akan memberikan
keluhan kelelahan setelah membaca. Keluhan tersebut berupa sakit kepala, mata
terasa pedas dan tertekan.7
Mata dengan hipermetropia akan memerlukan lensa cembung atau konveks
untuk mematahkan sinar lebih kuat kedalam mata. Koreksi hipermetropia adalah
diberikan koreksi lensa positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal.
Pasien dengan hipermetropia sebaiknya diberikan kaca mata lensa positif terbesar
yang masih memberikan tajam penglihatan maksimal.7
Astigmatisma
Astigmata terjadi jika kornea dan lensa mempunyai permukaan yang rata atau
tidak rata sehingga tidak memberikan satu fokus titik api. Variasi kelengkungan
9
kornea atau lensa mencegah sinar terfokus pada satu titik. Sebagian bayangan akan
dapat terfokus pada bagian depan retina sedang sebagian lain sinar difokuskan di
belakang retina. Akibatnya penglihatan akan terganggu. Mata dengan astigmatisme
dapat dibandingkan dengan melihat melalui gelas dengan air yang bening. Bayangan
yang terlihat dapat menjadi terlalu besar, kurus, terlalu lebar atau kabur.6
Seseorang dengan astigmat akan memberikan keluhan : melihat jauh kabur
sedang melihat dekat lebih baik, melihat ganda dengan satu atau kedua mata, melihat
benda yang bulat menjadi lonjong, penglihatan akan kabur untuk jauh ataupun dekat,
bentuk benda yang dilihat berubah, mengecilkan celah kelopak, sakit kepala, mata
tegang dan pegal, mata dan fisik lelah. Koreksi mata astigmat adalah dengan
memakai lensa dengan kedua kekuatan yang berbeda. Astigmat ringan tidak perlu
diberi kaca mata.7
Presbiopia
Presbiopia adalah perkembangan normal yang berhubungan dengan usia, yaitu
akomodasi untuk melihat dekat perlahan-lahan berkurang. Presbiopia terjadi akibat
penuaan lensa (lensa makin keras sehingga elastisitas berkurang) dan daya kontraksi
otot akomodasi berkurang. Mata sukar berakomodasi karena lensa sukar
memfokuskan sinar pada saat melihat dekat.6
10
Gambar 3. Mata Presbiopia6
Gejala presbiopia biasanya timbul setelah berusia 40 tahun. Usia awal mula
terjadinya tergantung kelainan refraksi sebelumnya, kedalaman fokus (ukuran pupil),
kegiatan penglihatan pasien, dan lainnya. Gejalanya antara lain setelah membaca
akan mengeluh mata lelah, berair, dan sering terasa pedas, membaca dengan
menjauhkan kertas yang dibaca, gangguan pekerjaan terutama di malam hari, sering
memerlukan sinar yang lebih terang untuk membaca. Koreksi dengan kaca mata
bifokus untuk melihat jauh dan dekat. Untuk membantu kekurangan daya akomodasi
dapat digunakan lensa positif. Pasien presbiopia diperlukan kaca mata baca atau
tambahan untuk membaca dekat dengan kekuatan tertentu sesuai usia, yaitu: +1D
untuk 40 tahun, +1,5D untuk 45 tahun, +2D untuk 50 tahun, +2,5D untuk 55 tahun,
11
dan +3D untuk 60 tahun. Jarak baca biasanya 33cm, sehingga tambahan +3D adalah
lensa positif terkuat yang dapat diberikan.7
2.2. Faktor – Faktor Resiko Penyebab Kelainan Refraksi
Ada pun faktor - faktor yang dapat menyebabkan kelainan refraksi yaitu antara lain :
a. Faktor Genetik
Faktor genetik dapat menurunkan sifat – sifat kelainan refraksi ke
keturunannya, baik secara autosomal dominan maupun autosomal resesif.
Orangtua yang mempunyai sumbu bola mata yang lebih panjang dari normal akan
melahirkan keturunan yang memiliki sumbu bola mata yang lebih panjang dari
normal pula. Anak dengan kedua orang tua menderita miopia akan lebih beresiko
menderita miopia dibanding anak dengan salah satu orang tua menderita miopia
atau kedua orang tua tanpa miopia.8
Pada penelitian anak usia 6-12 tahun didapatkan angka kejadian miopia pada
anak dengan kedua orang tua miopia sebesar 12,2%. Sedangkan angka kejadian
miopia pada anak dengan salah satu orang tua miopia sebesar 8,2%, dan pada
anak dengan kedua orang tua normal sebesar 2,7%.8
b. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan meliputi lingkungan tempat bekerja, tingkat pendidikan
dan kebiasaan sehari – hari. Membaca dekat dalam waktu yang lama
12
menyebabkan kelainan refraksi. Terdapat korelasi kuat antara tingkat pencapaian
pendidikan dan prevalensi serta progresitivitas gangguan refraksi terutama
miopia. Individu dengan profesi yang banyak membaca seperti pengacara, dokter,
pekerja dengan mikroskop, dan editor mengalami miopia derajat lebih tinggi.8
Kelainan refraksi dapat berkembang tidak hanya pada usia remaja, namun
melewati usia 20-30 tahun. Iluminasi atau tingkat penerangan juga dianggap
sebagai faktor pencetus yang mempengaruhi timbulnya kelainan refraksi pada
faktor lingkungan. Gangguan penerangan dapat menimbulkan gangguan
akomodasi mata, kontraksi otot siliar secara terus-menerus akan menimbulkan
gangguan refraksi mata yaitu miopia.8
2.3. Hubungan Kelainan Refraksi dengan Kebutaan
Terminologi kebutaan didefenisikan berbeda – beda di setiap negara seperti
kebutaan total, kebutaan ekonomi, kebutaan hukum dan kebutaan Sosial. Publikasi
WHO pada tahun 1966 memberikan 65 defenisi kebutaan. Di bidang oftalmologi,
kebutaan adalah orang yang oleh karena penglihatannya menyebabkan ia tidak
mampu melakukan aktifitas sehari-hari.3
Pada tahun 1972 WHO mendefenisikan kebutaan adalah tajam penglihatan <3/60.
Kemudian pada tahun 1979, WHO menambahkannya dengan ketidaksanggupan
menghitung jari pada jarak 3 meter.3
13
Pada tahun 2008, revisi yang direkomendasikan WHO dan International
Classification of Disease ( ICD ) membagi berkurangnya penglihatan menjadi 5
kategori dengan maksimum tajam penglihatan kurang dari 6/18 Snellen, kategori 1
dan 2 termasuk pada low vision sedangkan kategori 3, 4 dan 5 disebut blindness.
Pasien dengan lapang pandangan 5 – 10 ditempatkan pada kategori 3 dan lapang
pandangan kurang dari 5 ditempatkan pada kategori 4 ( lihat table 1.)3
Tabel 1. Klasifikasi rekomendasi WHO-ICD 2007 terhadap gangguan penglihatan.3
Presenting Distance Visual Acuity
Category of Visual Impaiment Level of Visual Acuity ( Snellen )
Normal Vision 6 / 6 to 6 / 18
Low Vision 1. Less than 6 / 18 to 6 / 60
2. Less than 6 / 60 to 3 / 60
Blindness 1. Less than 3 / 60 (Finger Counting at 3 m)
to 1 / 60 ( Finger Counting at 1 m ) or
Visual field between 5 – 10.
2. Less than 1 / 60 ( Finger Counting at 1 m
) to light perception or visual field less
than 5
3. No light perception
14
Kebutaan karena tidak dikoreksi atau koreksi yang tidak adekuat dari kelainan
refraksi dimulai pada muda usia dibandingkan katarak, yang memanifestasikan dirinya
di usia tua. Jika dampak dari kebutaan akibat kelainan refraksi dipertimbangkan dalam
hal buta-orang-tahun, seseorang menjadi buta karena kelainan refraksi di usia muda,
dan yang tidak diperbaiki, akan menderita lebih banyak tahun dari kebutaan seseorang
menjadi buta karena katarak di usia tua dan akan menempatkan lebih besar beban
sosial ekonomi di masyarakat. Kebutaan akibat kelainan refraksi dapat menghambat
pendidikan, pengembangan kepribadian, dan peluang karir,dan juga menyebabkan
beban ekonomi di masyarakat.9
Namun, dampaknya kebutaan dari miopia mungkin berbeda dari yang dari
hiperopia, karena kebutaan akibat miopia adalah cenderung memiliki lebih visus dekat
yang lebih baik daripada kebutaan akibat hiperopia. Meskipun tidak ada data yang
tersedia pada kerugian ekonomi akibat dari kebutaan karena kelainan refraksi, tidak
akan masuk akal untuk menganggap bahwa itu tidak penting karena besar proporsi
mereka yang terkena dampak dalam ekonomi kelompok usia produktif. Namun, beban
kerugian ekonomi nini dapat bervariasi sesuai dengan jenis kelainan refraksi.9
2.4. Penanganan Kelainan Refraksi
Kaca mata dan Lensa kontak15
Kacamata dan lensa kontak meperbaiki kelainan refraktif dengan cara
menambah atau mengurangi kekuatan fokus pada kornea dan lensa. Kekuatan yang
diperlukan untuk memfokuskan gambaran secara langsung ke retina diukur dalam
dioptri. Pengukuran ini juga dikenal sebagai resep kacamata.10
Pada miopia, kornea dan lensa terlalu banyak memiliki kekuatan fokus,
sehingga cahaya yang dibisakan bertemu pada suatu titik didepan retina. Kacamata
dan lensa kontak mengatasi keadaan ini dengan cara mengurangi kekuatan fokus mata
yang alami dan memungkinkan cahaya terfokus pada retina. Untuk miopia, resepnya
adalah negatif, misalnya -4,25 dioptri.10
Pada astigmata, kacamata dan lensa kontak menambah kekuatan fokus,
sehingga ketika memasuki mata, cahaya lebih banyak dibisakan. Proses ini
memindahkan titik fokus ke retina sehingga pandangan menjadi lebih jelas. Untuk
hiperopia, resepnya adalah positif, misalnya +4,25 dioptri. Pada astigmata, bentuk
lensa pada kacamata menggantikan lengkung kornea yang ganjil dan memfokuskan
cahaya pada sutau titik di retina.10
Kacamata
Cara yang mudah untuk memperbaiki kelainan refraktif adalah dengan
menggunakan kacamata. Lensa plastik untuk kacamata lebih ringan tetapi cenderung
meregang, sedangkan lensa kaca lebih tahan lama tetapi mudah pecah. Kedua jenis
lensa tersebut bisa diberi warna atau diberi bahan kimia yang secara otomatis
16
menggelapkan lensa jika penderita berada dibawah sinar. Lensa juga bisa dilapisi
untuk mengurangi jumlah sinar ultraviolet yang sampai ke mata.10
Bifokus adalah kacamata yang digunakan untuk mengatasi presbiopia.
Kacamata ini memiliki 2 lensa, yaitu untuk membaca dipasang di bawah dan untuk
melihat jarak jauh dipasang di atas. Jika penglihatan jarak jauh masih baik, bisa
digunakan kacamata untuk baca yang dijual bebas. Tidak ada latihan atau obat-obatan
yang dapat memperbaiki presbiopia.10
Lensa kontak
Banyak yang mengira bahwa dengan menggunakan lensa kontak maka
penglihatan menjadi lebih alami. Lensa kontak memerlukan perawatan yang lebih
teliti, bisa merusak mata dan pada orang-orang tertentu tidak dapat memperbaiki
penglihatan sebaik kacamata. Lansia dan penderita artritis mungkin akan mengalami
kesulitan dalam merawat dan memasang lensa kontak.10
Macam-macam lensa kontak :
Lensa kontak yang kaku (keras) adalah lempengan tipis yang terbuat dari
plastic keras.
Lensa yang dapat ditembus gas terbuat dari silicon dan bahan lainnnya, lensa
ini kaku tetapi memungkinkan penghantaran oksigen yang lebih baik ke
kornea.
17
Lensa kontak hidrofilik yang lunak terbuat dari plastik lentur yang lebih lebar
dan menutupi seluruh kornea.
Lensa non-hidrofilik yang paling lunak terbuat dari silicon.
Lanjut usia biasanya lebih menyukai lensa yang lunak karena perawatannya lebih
mudah dan ukurannya lebih besar. Lensa ini juga tidak mudah lepas atau debu atau
kotoran lainnya tidak mudah masuk ke bawahnya. Selain itu lensa kontak yang lunak
memberikan kenyamanan ketika pertama kali dipakai, meskipun memerlukan
perawatan yang cermat.10
Kebanyakan lensa kontak harus dilepas dan dibersihkan setiap hari. Atau bisa
digunakan lensa sekali pakai, ada yang diganti setiap satu sampai 2 minggu sekali
atau ada juga yang diganti setiap hari. Lensa sekali pakai tidak perlu dibersihkan dan
disimpan karena setiap kali diganti dengan yang baru.10
Setiap jenis lensa kontak memiliki resiko yaitu komplikasi yang serius, termasuk
ulcerasi kornea akibat infeksi yang bisa menyebabkan kebutaan. Resiko ini bisa
dikurangi dengan mengikuti aturan pemakaian dari pembuat lensa kontak dan
petunjuk dari dokter mata. Jika timbul rasa tidak nyaman, air mata yang berlebihan,
perubahan penglihatan atau mata menjadi merah, sebaiknya lensa segera dilepas dan
periksakan mata ke dokter mata.10
Cara membaca resep kacamata
Contoh 1:18
Sferis Silindris Axis
OD (mata kanan) +2,50 +1,00 180
OS(mata kiri) +1,75 +1,50 180
Resep diatas dibaca sebagai berikut :
Mata kanan positif 2,50; positif 1,00; axis 180. Mata kiri positif 1,75; positif
1,50; axis 180. Kolum sferis menunjukkan miopia atau hiperopia. Kolum silindris
menunjukkan astigmata. Kolum axis menunjukkan orientasi dalam derajat dari
bidang horizontal. Angka silindris menunjukkan perbedaan dioptri antara lengkung
kornea terendah dan lengkung kornea tercuram.10
Kekuatan lensa diukur dalam satuan dioptri, yang berdasarkan kepada
banyaknya cahaya yang akan dibisakan melalui lensa. Jika kekuatan lensa meningkat,
maka ketebalan lensapun bertambah.10
Terdapat 3 jenis lensa :
- Lensa Cembung (konveks)
Lensa ini bagian tengahnya lenih tebal, sedangkan ujungnya lebih tipis.
Cahaya dibisakan ke 1 titik.lensa cembung digunakan pada kacamata untuk
hiperopia dan pada resep diberi tanda positif (+).
- Lensa Cekung (konkaf)
19
Lensa ini memiliki bagian tengah yang lebih tipis dan cahaya dibisakan secara
tersebar. Lensa ini digunakan untuk mengoreksi kelainan miopia dan memiliki
tanda negatif (-).
- Lensa Silindris
Lensa ini salah satu sisinya lebih melengkung dibandingkan dengan sisi yang
lainnya. Lensa silindris digunakan untuk memperbaiki astigmata.
Contoh 2:
Sferis Silindris Axis
OD (mata kanan) -1,25 -2,50 90
OS(mata kiri) -0,75 -2,25 90
Resep ini dibaca sebagai berikut :
Mata kanan minus 1,25; minus 2,50; axis 90. Mata kiri minus 0,76; minus
2,25; axis 0. Artinya mata kanan menderita miopi sebesar 1? dioptri, astigmata
sebesar 2? dioptri dengan orientas silindris 90?. Mata kiri menderita miopi sebesar ?
dioptri, astigmata sebesar 2? dioptri dengan orientasi silindris 90?. Diperlukan
kacamata bifokus dengan kekuatan lensa sebesar +1? untuk membantu membaca.10
20
Pembedahan & Terapi Laser
Pembedahan dan terapi laser bisa digunakan untuk memperbaiki miopia,
hiperopia, dan astigmata. Tetapi prosedur tersebut bisaanya tidak mampu
memperbaiki penglihatan sebaik kacamata dan lensa kontak. Sebelum menjalani
prosedur tersebut, sebaiknya penderita mendiskusikannya dengan seorang ahli mata
dan mempertimbangkan keuntungan serta kerugiannya.10
Pembedahan refrktif bisaanya dijalani oleh penderita yang penglihatannya tidak
dapat dikoreksi dengan kacamata atau lensa kontak dan pederita yang tidak dapat
menggunakan kacamata atau lensa kontak.10
1. Keratotomi Radial dan Keratotomi Astigmatik
Pada keratotomi radial (KR), dibuat sayatan radial (jari-jari roda) pada
kornea, bisaanya sebanyak 4-8 sayatan. Keratotomi stigmatic (KA) digunakan
untuk memperbaiki astigmata alami dan astigmata setelah pembedahan
katarak atau pencangkokan kornea. Pada keratotomi astigmatic dibuat sayatan
melengkung.10
Pembedahan bertujuan mendatarkan kornea, sehingga kornea bisa
lebih memfokuskan cahaya yang masuk ke retina. Dengan pembedahan ini
penglihatan penderita menjadi lebih baik dan sekitar 90% penderita yag
menjalani pembedahan bisa mengemudi tanpa bantuan kacamata maupun
lensa kontak.10
21
Efek samping :
- Penglihatan berubah-ubah (kadang jelas, kadang kabur), terutama pada
beberapa bulan pertama setelah pembedahan
- Kornea menjadi lemah, lebih mudah robek jika terpukul secara langsung
- Infeksi
- Kesulitan dalam memasang lensa kontak
- Silau jika melihat cahaya
- Nyeri yang bersifat sementara
2. Keratektomi Fotorefrktif
Prosedur pembedahan laser ini bertujuan untuk kembali membentuk kornea.
Digunakan sinar berfokus tinggi untuk membuang sebagian kecil kornea
sehingga bentuknya berubah. Dengan merubah bentuk kornea, maka cahaya
akan lebih terfokus ke retina dan penglihatan menjadi lebih baik. Masa
penyembuhan dari terapi laser ini lebih lama dan lebih terasa nyeri
dibandingkan dengan pembedahan refraktif.10
3. Laser In Situ Keratomileusis (LASIK)
LASIK tidak terlalu sakit dan penyembuhan penglihatannya lebih baik
dibandingkan dengan keratektoi fotorefraktif.10
22
2.5. Pencegahan
Selama bertahun-tahun, banyak pengobatan yang dilakukan untuk mencegah atau
memperlambat progresi miopia, antara lain dengan : 6
o Koreksi penglihatan dengan bantuan kacamata
o Pemberian tetes mata atropin.
o Menurunkan tekanan dalam bola mata.
o Penggunaan lensa kontak kaku : memperlambat perburukan rabun
dekat pada anak.
o Latihan penglihatan : kegiatan merubah fokus jauh – dekat.
BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1 Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti
Berdasarkan tinjauan pustaka, terdapat berbagai macam faktor yang dapat
berkaitan dengan kejadian kelainan refraksi seperti : umur, jenis kelamin, jenis
kelainan refraksi, pekerjaan, pendidikan, dan riwayat orang tua. Sehingga di antara
23
berbagai faktor tersebut, maka variabel dependen yaitu kelainan refraksi dan variabel
independen dibatasi pada aspek umur dan jenis kelamin. Penentuan variabel ini
didasarkan pada kepentingan keterkaitan variabel tersebut dengan kasus kelainan
refraksi di BKMM Kota Makassar.
3.2 Kerangka Konsep
Berdasarkan konsep pemikiran yang dikemukakan di atas, maka disusunlah
pola variabel sebagai berikut:
Ket : : Variabel Independen
: Variabel Dependen
: yang diteliti
3.3 Kerangka Penelitian
3.3.1 Variabel Dependen
Variabel dependen dari penelitian ini adalah kelainan refraksi
3.3.2 Variabel Independen
Variabel independen dari penelitian ini adalah umur, jenis kelamin, jenis
kelainan refraksi, pekerjaan, pendidikan, dan riwayat orang tua
24
Umur
Jenis Kelamin
Kelainan Refraksi
3.4 Definisi Operasional Penelitian
1. Jenis kelainan refraksi
a. Defenisi : Kelaianan refraksi adalah suatu kelainan pembiasan sinar pada
mata sehingga sinar tidak difokuskan pada retina, tetapi dapat di depan
atau di belakang bintik kuning dan mungkin tidak terletak pada satu titik
yang fokus.
b. Kriteria Objektif :
Miopia
Hiperopia
Astigmatisma
Presbiopia
2. Umur
a. Defenisi : penetuan sesorang berdasarkan hari ulang tahunnya yang
diperoleh dari rekam medis.
b. Kriteria Objektif :
0 – 10 tahun
11 – 20 tahun
21 – 30 tahun
25
31 – 40 tahun
41 – 50 tahun
> 50 tahun
3. Jenis kelamin
a. Defenisi : perbedaan secara seksual dari pasien yang diperoleh dari rekam
medis.
b. Kriteria Objektif :
Laki – laki
Perempuan
4. Pekerjaan
a. Defenisi : kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh pendapatan yang
diperoleh dari rekam medis pasien.
b. Kriteria Objektif :
Siswa
Mahasiswa
Pengacara
Dokter
Pegawai swasta
Pegawai negeri sipil
26
Dll
5. Pendidikan
a. Defenisi : jenjang pendidikan formal yang tertinggi yang diperoleh dari
rekam medis pasien.
b. Kriteria Objektif :
SD
SMP
SMA
Perguruan Tinggi
Dll
6. Riwayat orangtua
a. Defenisi : adanya riwayat orang tua baik salah satu maupun keduanya
yang mengalami kelainan refraksi yang diperoleh dari rekam medis
pasien.
b. Kriteria Objektif :
Ada
Tidak ada
27
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu melakukan deskripsi
mengenai angka kejadian kelainan refraksi pada pasien yang berobat di BKMM Kota
Makassar tahun 2011.
28
4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian
4.2.1. Waktu Penelitian
Penelitian ini direncanakan diadakan pada tanggal 23 Agustus 2012 sampai
dengan 7 September 2012.
4.2.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini direncanakan diadakan di BKMM Kota Makassar.
4.3. Populasi dan Sampel
4.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang berobat di BKMM
Kota Makassar periode 1 Jan 2011 – 31 Desember 2011.
4.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang berobat di BKMM
Kota Makassar periode 1 Jan 2011 – 31 Desember 2011 yang terdiagnosa
mengalami kelainan refraksi.
4.3.3. Kriteria Seleksi
4.3.3.1. Kriteria Inklusi
29
Pasien dengan data rekam medis yang lengkap dan sesuai dengan
variable yang diteliti oleh penulis yang berobat di BKMM Kota
Makassar periode 1 Jan 2011 – 31 Desember 2011
4.3.3.2. Kriteria Eksklusi
Pasien yang berobat di BKMM Kota Makassar yang tidak memiliki
rekam medis
Variable – variable pada rekam medis pasien tidak lengkap atau tidak
sesuai dengan kriteria inklusi.
4.4. Jenis Data dan Prosedur Penelitian
4.4.1. Jenis Data Penelitian
Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh
dari hasil rekam medik pasien yang berobat di BKMM Kota Makassar tahun
2011.
4.4.2. Prosedur Penelitian
30
Data yang dibutuhkan seperti umur, jenis kelamin, jenis kelainan
refraksi, pekerjaan, pendidikan, dan riwayat orang tua didapat dari hasil rekam
medik di BKMM pada tahun 2011.
4.5. Manajemen Penelitian
4.5.1.Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan setelah meminta perizinan dari pihak
pemerintah dan instansi tempat diadakannya penelitian, dalam hal ini adalah
Balai Kesehatan Mata Masyarakat Kota Makassar.
Data yang dikumpulkan berupa data sekunder yang diperoleh dari
hasil rekam medik [asien di BKMM Kota Makassar tahun 2011.
Pengumpulan data dilakukan secara observasi sistematis. Pengeditan data
dilakukan dengan cara mempertimbangkan untuk memilih atau memasukkan
data yang penting dan benar-benar diperlukan.
4.5.2.Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data dan analisis data dilakukan dengan komputer memakai
program Microsoft Office 2007, Microsof Excel 2007 dan SPSS versi 16.
4.5.3.Penyajian Data
31
Data yang telah diolah, disajikan dalam bentuk tabel dan dijelaskan dalam
bentuk narasi (uraian) untuk memperjelas hubungan antara variabel dependen
dan variabel independen
4.6. Etika Penelitian
Hal-hal yang terkait dengan etika penelitian dalam penelitian ini adalah:
1. Menyertakan surat pengantar yang ditujukan kepada pihak pemerintah
setempat sebagai permohonan izin untuk melakukan penelitian. setempat
sebagai permohonan izin untuk melakukan penelitian.
2. Menyertakan surat pengantar yang ditujukan kepada instansi terkait sebagai
lokasi penelitian sebagai permohonan izin untuk melakukan penelitian.
3. Berusaha menjaga kerahasiaan subjek penelitian dengan cara tidak
menuliskan nama subjek penelitian tetapi hanya berupa inisial, sehingga
diharapkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas penelitian yang
dilakukan.
4. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak
yang terkait sesuai dengan manfaat penelitian yang telah disebutkan
sebelumnya.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Siregar NV. Perbedaan karakteristik jenis kelamin terhadap kelainan
refraksi pada siswa-siswi di SD dan SMP RK Budi Mulia Pematangsiantar
[skripsi]. Universitas Sumatera Utara. 2012.
33
2. Bastanta T. Prevalensi kelainan refraksi di Poliklinik Mata RSUP H.
Adam Malik Medan dari 7 Juli 2008 sampai 17 Juli 2010. Karya tulis
Ilmiah. Universitas Sumatera utara. 2010.
3. Renardi ANC. Prevalensi kebutaan akibat kelainan refraksi di Kabupaten
Langkat [tesis]. Universitas Sumatera Utara. 2009.
4. Launardo VA, Afifuin A. Syamsu N, Taufik R. Kelainan refraksi pada
anak usia 3-6 tahun di Kecamatan Tallo Kota Makassar. Makassar ; 2010
5. Sardegna J, Shelly S, Rutzen AR, Steidl SM. The Encyclopedia of
Blindness and Vision Impairment 2nd Edition. New York : Facts On File
Inc., 2002 ; 195
6. Media Online Klik Dokter. [online]. 2012. [ cited 2012 July 22 ]. Available from
URL : http://www.klikdokter.com/medisaz/read/2010/07/05/35/kelainan-
refraksi
7. Patu I. Kelainan refraksi. [online]. 2010. [ cited 2012 July 22 ]. Available
from URL : http://cpddokter.com/home/index.php?
option=com_content&task=view&id=1684&Itemid=38
8. Komunitas dan Perpustakaan Online Indonesia. Hal umum penyebab mata
menjadi rabun jauh/miopi/miopia [online]. 2009. [ cited 2012 August 2].
Available from URL : http://organisasi.org/hal-umum-penyebab-mata-
menjadi-rabun-jauh-miopi-miopia-mata-minus
9. Dandona L, Dandona R. Refractive error blindness. Bulletin of World
Health Organization 2001; 237 – 43.34
10. Media informasi obat dan penyakit. [online]. 2012. [cited 2012 July 22].
Available from URL :
http://medicastore.com/penyakit/852/Kelainan_Refraktif.html
35