Proposal

50
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penglihatan adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam seluruh aspek kehidupan termasuk diantaranya aspek pekerjaan. Penglihatan merupakan jalur informasi utama, oleh karena itu gangguan pada penglihatan dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitasnya termasuk mencari nafkah. 1 Salah satu gangguan penglihatan yang sering terjadi adalah kelainan refraksi. Kelainan refraksi merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata sehingga sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning, tetapi dapat di depan atau di belakang bintik kuning dan mungkin tidak terletak pada satu titik yang fokus. 1

description

proposal

Transcript of Proposal

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penglihatan adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam seluruh aspek

kehidupan termasuk diantaranya aspek pekerjaan. Penglihatan merupakan jalur

informasi utama, oleh karena itu gangguan pada penglihatan dapat mempengaruhi

kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitasnya termasuk mencari nafkah.1

Salah satu gangguan penglihatan yang sering terjadi adalah kelainan refraksi.

Kelainan refraksi merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata sehingga sinar

tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning, tetapi dapat di depan atau di

belakang bintik kuning dan mungkin tidak terletak pada satu titik yang fokus.

Kelainan refraksi terbagi atas empat yaitu miopia, hiperopia, astigmatisme, dan

presbiopia.1

Kelainan refraksi dapat menyebabkan gangguan penglihatan hingga

mengakibatkan kebutaan. Akibat dari gangguan penglihatan tersebut dapat

menyebabkan gangguan terhadap kehidupan sehari – hari dan juga merupakan

gangguan dalam kemampuan bekerja seseorang. Dibandingkan dengan seluruh

kelainan refraksi mata manusia, miopia diketahui merupakan masalah yang paling

1

besar karena menyangkut jumlah penderita kelainan refraksi yang tertinggi serta

menyebabkan gangguan terhadap kehidupan serta pekerjaan sehari-hari.2

Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi merupakan penyebab utama low vision

di dunia dan dapat menyebabkan kebutaan. Data dari VISION 2020, suatu

program kerjasama antara International Agency for the Prevention of Blindness

(IAPB) dan WHO, menyatakan bahwa pada tahun 2006 diperkirakan 153 juta

penduduk dunia mengalami gangguan visus akibat kelainan refraksi yang tidak

terkoreksi. Dari 153 juta orang tersebut, sedikitnya 13 juta diantaranya adalah

anak-anak usia 5-15 tahun dimana prevalensi tertinggi terjadi di Asia Tenggara.3

Di Indonesia, gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi dengan

prevalensi sebesar 22,1% juga menjadi masalah yang cukup serius. Sementara

10% dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun) menderita kelainan refraksi.

Sampai saat ini angka pemakaian kacamata koreksi masih sangat rendah, yaitu

12,5% dari prevalensi. Apabila keadaan ini tidak ditangani secara menyeluruh,

akan terus berdampak negatif terhadap perkembangan kecerdasan anak dan proses

pembelajarannya, yang selanjutnya juga mempengaruhi mutu, kreativitas, dan

produktivitas angkatan kerja (15-55 tahun), yang diperkirakan berjumlah 95 juta

orang sesuai data BPS tahun 2000. 4

Meskipun fungsinya bagi kehidupan manusia sangat penting, namun sering

kali kesehatan mata kurang diperhatikan, sehingga banyak penyakit yang

menyerang mata tidak diobati dengan baik dan menyebabkan gangguan

2

penglihatan (kelainan refraksi) sampai kebutaan. Berdasarkan pada kenyataan dan

masalah yang ada di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

karakteristik kelainan refraksi pada pasien – pasien di BKMM Kota Makassar.4

B. Rumusan Masalah

Kelainan refraksi merupakan salah satu masalah serius yang dapat

menyebabkan gangguan penglihatan dan berpotensi menjadi kebutaan sehingga

dapat menurnkan kualitas hidup masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut

maka dikemukakan masalah sebagai berikut : “Bagaimanakah karakteristik

kelainan refraksi pada pasien yang berobat di BKMM Kota Makassar tahun 2011.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui prevalensi dan faktor – faktor resiko pasien yang

mengalami kelainan refraksi pada BKMM Kota Makassar tahun 2011.

2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui angka kejadian kelainan refraksi pada pasien yang berobat

di BKMM Kota Makassar tahun 2011 berdasarkan jenisnya.

3

2. Untuk mengetahui distribusi kelainan refraksi berdasarkan faktor resiko

kelainan refraksi.

D. Manfaat Penelitian

1. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pengajaran tambahan

atau informasi khususnya tentang kelainan refraksi untuk menambah

pengetahuan mahasiswa kedokteran dalam memberi pelayanan di masyarakat.

2. Hasil penelitian ini dapat menambah informasi pengetahuan dan pengalaman

mengenai kelainan refraksi bagi orang – orang yang ingin meneliti tentang

kelainan refraksi sehingga memberikan ide selanjutnya untuk meneliti

kelainan refraksi di setiap daerah.

3. Hasil dari penelitian ini dapat sebagai masukan bagi pelayanan kesehatan

untuk lebih memperhatikan aspek preventif dan edukasi melalui penyuluhan

dalam hal kesehatan mata seperti sarana kesehatan di klinik maupun di

komunitas yang belum memiliki fasilitas kesehatan mata lengkap serta

terbatasnya sarana dan prasarana untuk kegiatan penanggulangan kebutaan

dan gangguan penglihatan.

4. Hasil dari penelitian ini dapat menjadi bahan untuk memberikan gambaran

kepada pihak keluarga termasuk orangtua siswa dan guru-guru yang dekat

4

pada anak mengenai kondisi/gejala-gejala yang timbul pada penglihatan anak

sehingga jika ada terjadi penurunan visus dapat dilakukan koreksi dini dan

pengobatan dini untuk mencegah hal-hal yang lebih berat.

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jenis – jenis Kelainan Refraksi

Kelainan refraksi adalah ketidakmampuan mata untuk fokus dengan benar.

Kornea dan lensa cahaya mata fokus pada retina, yang mengubah cahaya menjadi

impuls listrik. Impuls dikirim ke otak kemudian diinterpretasikan dan disajikan

sebagai gambar. Jika kornea dan lensa tidak dapat memfokuskan cahaya ke retina

secara efektif, mengakibatkan kelainan refraksi dan hasil penglihatan menjadi kabur.

Empat kelainan refraksi paling umum adalah miopia (rabun jauh), hiperopia (rabun

jauh), astigmatisme (gambar terdistorsi), dan presbiopia (penuaan mata).5

Miopia

Miopia disebut rabun jauh karena berkurangnya kemampuan melihat jauh tapi

dapat melihat dekat dengan lebih baik. Miopia terjadi jika kornea (terlalu cembung)

dan lensa (kecembungan kuat) berkekuatan lebih atau bola mata terlalu panjang

sehingga titik fokus sinar yang dibiaskan akan terletak di depan retina. Miopia

ditentukan dengan ukuran lensa negatif dalam Dioptri. Klasifikasi miopia antara lain:

ringan (3D), sedang (3 – 6D), berat (6 – 9D), dan sangat berat (>9D).6

6

Gambar 1 : Mata Miopia6

Gejala miopia antara lain penglihatan kabur melihat jauh dan hanya jelas pada

jarak tertentu/dekat, selalu ingin melihat dengan mendekatkan benda yang dilihat

pada mata, gangguan dalam pekerjaan, dan jarang sakit kepala.7

Koreksi mata miopia dengan memakai lensa minus/negatif ukuran teringan

yang sesuai untuk mengurangi kekuatan daya pembiasan di dalam mata. Biasanya

pengobatan dengan kaca mata dan lensa kontak. Pemakaian kaca mata dapat terjadi

pengecilan ukuran benda yang dilihat, yaitu setiap -1D akan memberikan kesan

pengecilan benda 2%. Pada keadaan tertentu, miopia dapat diatasi dengan

pembedahan pada kornea antara lain keratotomi radial, keratektomi fotorefraktif,

Laser Asissted In situ Interlamelar Keratomilieusis (Lasik).7

Hipermetropia

Hipermetropia adalah keadaan mata yang tidak berakomodasi memfokuskan

bayangan di belakang retina. Hipermetropia terjadi jika kekuatan yang tidak sesuai

antara panjang bola mata dan kekuatan pembiasan kornea dan lensa lemah sehingga

titik fokus sinar terletak di belakang retina. Hal ini dapat disebabkan oleh penurunan

panjang sumbu bola mata (hipermetropia aksial), seperti yang terjadi pada kelainan

7

bawaan tertentu, atau penurunan indeks bias refraktif (hipermetropia refraktif), seperti

afakia (tidak mempunyai lensa).6

Gambar 2. Mata Hipermetropia6

Pasien dengan hipermetropia mendapat kesukaran untuk melihat dekat akibat

sukarnya berakomodasi. Bila hipermetropia lebih dari + 3.00 D maka penglihatan

jauh juga akan terganggu. Pasien hipermetropia hingga + 2.00 D dengan usia muda

atau 20 tahun masih dapat melihat jauh dan dekat tanpa kaca mata tanpa kesulitan,

namun tidak demikian bila usia sudah 60 tahun. Keluhan akan bertambah dengan

bertambahnya umur yang diakibatkan melemahnya otot siliar untuk akomodasi dan

berkurangnya kekenyalan lensa. Pada perubahan usia, lensa berangsur-angsur tidak

dapat memfokuskan bayangan pada retina sehingga akan lebih terletak di

belakangnya. Sehingga diperlukan penambahan lensa positif atau konveks dengan

8

bertambahnya usia. Pada anak usia 0-3 tahun hipermetropia akan bertambah sedikit

yaitu 0-2.00 D.7

Pada hipermetropia dirasakan sakit kepala terutama di dahi, silau, dan kadang

juling atau melihat ganda. Kemudian pasien juga mengeluh matanya lelah dan sakit

karena terus-menerus harus berakomodasi untuk melihat atau memfokuskan

bayangan yang terletak di belakang retina. Pasien muda dengan hipermetropia tidak

akan memberikan keluhan karena matanya masih mampu melakukan akomodasi kuat

untuk melihat benda dengan jelas. Pada pasien yang banyak membaca atau

mempergunakan matanya, terutama pada usia yang telah lanjut akan memberikan

keluhan kelelahan setelah membaca. Keluhan tersebut berupa sakit kepala, mata

terasa pedas dan tertekan.7

Mata dengan hipermetropia akan memerlukan lensa cembung atau konveks

untuk mematahkan sinar lebih kuat kedalam mata. Koreksi hipermetropia adalah

diberikan koreksi lensa positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal.

Pasien dengan hipermetropia sebaiknya diberikan kaca mata lensa positif terbesar

yang masih memberikan tajam penglihatan maksimal.7

 Astigmatisma

Astigmata terjadi jika kornea dan lensa mempunyai permukaan yang rata atau

tidak rata sehingga tidak memberikan satu fokus titik api. Variasi kelengkungan

9

kornea atau lensa mencegah sinar terfokus pada satu titik. Sebagian bayangan akan

dapat terfokus pada bagian depan retina sedang sebagian lain sinar difokuskan di

belakang retina. Akibatnya penglihatan akan terganggu. Mata dengan astigmatisme

dapat dibandingkan dengan melihat melalui gelas dengan air yang bening. Bayangan

yang terlihat dapat menjadi terlalu besar, kurus, terlalu lebar atau kabur.6

Seseorang dengan astigmat akan memberikan keluhan : melihat jauh kabur

sedang melihat dekat lebih baik, melihat ganda dengan satu atau kedua mata, melihat

benda yang bulat menjadi lonjong, penglihatan akan kabur untuk jauh ataupun dekat,

bentuk benda yang dilihat berubah, mengecilkan celah kelopak, sakit kepala, mata

tegang dan pegal, mata dan fisik lelah. Koreksi mata astigmat adalah dengan

memakai lensa dengan kedua kekuatan yang berbeda. Astigmat ringan tidak perlu

diberi kaca mata.7

Presbiopia

Presbiopia adalah perkembangan normal yang berhubungan dengan usia, yaitu

akomodasi untuk melihat dekat perlahan-lahan berkurang. Presbiopia terjadi akibat

penuaan lensa (lensa makin keras sehingga elastisitas berkurang) dan daya kontraksi

otot akomodasi berkurang. Mata sukar berakomodasi karena lensa sukar

memfokuskan sinar pada saat melihat dekat.6

10

Gambar 3. Mata Presbiopia6

Gejala presbiopia biasanya timbul setelah berusia 40 tahun. Usia awal mula

terjadinya tergantung kelainan refraksi sebelumnya, kedalaman fokus (ukuran pupil),

kegiatan penglihatan pasien, dan lainnya. Gejalanya antara lain setelah membaca

akan mengeluh mata lelah, berair, dan sering terasa pedas, membaca dengan

menjauhkan kertas yang dibaca, gangguan pekerjaan terutama di malam hari, sering

memerlukan sinar yang lebih terang untuk membaca. Koreksi dengan kaca mata

bifokus untuk melihat jauh dan dekat. Untuk membantu kekurangan daya akomodasi

dapat digunakan lensa positif. Pasien presbiopia diperlukan kaca mata baca atau

tambahan untuk membaca dekat dengan kekuatan tertentu sesuai usia, yaitu: +1D

untuk 40 tahun, +1,5D untuk 45 tahun, +2D untuk 50 tahun, +2,5D untuk 55 tahun,

11

dan +3D untuk 60 tahun. Jarak baca biasanya 33cm, sehingga tambahan +3D adalah

lensa positif terkuat yang dapat diberikan.7

2.2. Faktor – Faktor Resiko Penyebab Kelainan Refraksi

Ada pun faktor - faktor yang dapat menyebabkan kelainan refraksi yaitu antara lain :

a. Faktor Genetik

Faktor genetik dapat menurunkan sifat – sifat kelainan refraksi ke

keturunannya, baik secara autosomal dominan maupun autosomal resesif.

Orangtua yang mempunyai sumbu bola mata yang lebih panjang dari normal akan

melahirkan keturunan yang memiliki sumbu bola mata yang lebih panjang dari

normal pula. Anak dengan kedua orang tua menderita miopia akan lebih beresiko

menderita miopia dibanding anak dengan salah satu orang tua menderita miopia

atau kedua orang tua tanpa miopia.8

Pada penelitian anak usia 6-12 tahun didapatkan angka kejadian miopia pada

anak dengan kedua orang tua miopia sebesar 12,2%. Sedangkan angka kejadian

miopia pada anak dengan salah satu orang tua miopia sebesar 8,2%, dan pada

anak dengan kedua orang tua normal sebesar 2,7%.8

b. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan meliputi lingkungan tempat bekerja, tingkat pendidikan

dan kebiasaan sehari – hari. Membaca dekat dalam waktu yang lama

12

menyebabkan kelainan refraksi. Terdapat korelasi kuat antara tingkat pencapaian

pendidikan dan prevalensi serta progresitivitas gangguan refraksi terutama

miopia. Individu dengan profesi yang banyak membaca seperti pengacara, dokter,

pekerja dengan mikroskop, dan editor mengalami miopia derajat lebih tinggi.8

Kelainan refraksi dapat berkembang tidak hanya pada usia remaja, namun

melewati usia 20-30 tahun. Iluminasi atau tingkat penerangan juga dianggap

sebagai faktor pencetus yang mempengaruhi timbulnya kelainan refraksi pada

faktor lingkungan. Gangguan penerangan dapat menimbulkan gangguan

akomodasi mata, kontraksi otot siliar secara terus-menerus akan menimbulkan

gangguan refraksi mata yaitu miopia.8

2.3. Hubungan Kelainan Refraksi dengan Kebutaan

Terminologi kebutaan didefenisikan berbeda – beda di setiap negara seperti

kebutaan total, kebutaan ekonomi, kebutaan hukum dan kebutaan Sosial. Publikasi

WHO pada tahun 1966 memberikan 65 defenisi kebutaan. Di bidang oftalmologi,

kebutaan adalah orang yang oleh karena penglihatannya menyebabkan ia tidak

mampu melakukan aktifitas sehari-hari.3

Pada tahun 1972 WHO mendefenisikan kebutaan adalah tajam penglihatan <3/60.

Kemudian pada tahun 1979, WHO menambahkannya dengan ketidaksanggupan

menghitung jari pada jarak 3 meter.3

13

Pada tahun 2008, revisi yang direkomendasikan WHO dan International

Classification of Disease ( ICD ) membagi berkurangnya penglihatan menjadi 5

kategori dengan maksimum tajam penglihatan kurang dari 6/18 Snellen, kategori 1

dan 2 termasuk pada low vision sedangkan kategori 3, 4 dan 5 disebut blindness.

Pasien dengan lapang pandangan 5 – 10 ditempatkan pada kategori 3 dan lapang

pandangan kurang dari 5 ditempatkan pada kategori 4 ( lihat table 1.)3

Tabel 1. Klasifikasi rekomendasi WHO-ICD 2007 terhadap gangguan penglihatan.3

Presenting Distance Visual Acuity

Category of Visual Impaiment Level of Visual Acuity ( Snellen )

Normal Vision 6 / 6 to 6 / 18

Low Vision 1. Less than 6 / 18 to 6 / 60

2. Less than 6 / 60 to 3 / 60

Blindness 1. Less than 3 / 60 (Finger Counting at 3 m)

to 1 / 60 ( Finger Counting at 1 m ) or

Visual field between 5 – 10.

2. Less than 1 / 60 ( Finger Counting at 1 m

) to light perception or visual field less

than 5

3. No light perception

14

Kebutaan karena tidak dikoreksi atau koreksi yang tidak adekuat dari kelainan

refraksi dimulai pada muda usia dibandingkan katarak, yang memanifestasikan dirinya

di usia tua. Jika dampak dari kebutaan akibat kelainan refraksi dipertimbangkan dalam

hal buta-orang-tahun, seseorang menjadi buta karena kelainan refraksi di usia muda,

dan yang tidak diperbaiki, akan menderita lebih banyak tahun dari kebutaan seseorang

menjadi buta karena katarak di usia tua dan akan menempatkan lebih besar beban

sosial ekonomi di masyarakat. Kebutaan akibat kelainan refraksi dapat menghambat

pendidikan, pengembangan kepribadian, dan peluang karir,dan juga menyebabkan

beban ekonomi di masyarakat.9

Namun, dampaknya kebutaan dari miopia mungkin berbeda dari yang dari

hiperopia, karena kebutaan akibat miopia adalah cenderung memiliki lebih visus dekat

yang lebih baik daripada kebutaan akibat hiperopia. Meskipun tidak ada data yang

tersedia pada kerugian ekonomi akibat dari kebutaan karena kelainan refraksi, tidak

akan masuk akal untuk menganggap bahwa itu tidak penting karena besar proporsi

mereka yang terkena dampak dalam ekonomi kelompok usia produktif. Namun, beban

kerugian ekonomi nini dapat bervariasi sesuai dengan jenis kelainan refraksi.9

2.4. Penanganan Kelainan Refraksi

Kaca mata dan Lensa kontak15

Kacamata dan lensa kontak meperbaiki kelainan refraktif dengan cara

menambah atau mengurangi kekuatan fokus pada kornea dan lensa. Kekuatan yang

diperlukan untuk memfokuskan gambaran secara langsung ke retina diukur dalam

dioptri. Pengukuran ini juga dikenal sebagai resep kacamata.10

Pada miopia, kornea dan lensa terlalu banyak memiliki kekuatan fokus,

sehingga cahaya yang dibisakan bertemu pada suatu titik didepan retina. Kacamata

dan lensa kontak mengatasi keadaan ini dengan cara mengurangi kekuatan fokus mata

yang alami dan memungkinkan cahaya terfokus pada retina. Untuk miopia, resepnya

adalah negatif, misalnya -4,25 dioptri.10

Pada astigmata, kacamata dan lensa kontak menambah kekuatan fokus,

sehingga ketika memasuki mata, cahaya lebih banyak dibisakan. Proses ini

memindahkan titik fokus ke retina sehingga pandangan menjadi lebih jelas. Untuk

hiperopia, resepnya adalah positif, misalnya +4,25 dioptri. Pada astigmata, bentuk

lensa pada kacamata menggantikan lengkung kornea yang ganjil dan memfokuskan

cahaya pada sutau titik di retina.10

Kacamata

Cara yang mudah untuk memperbaiki kelainan refraktif adalah dengan

menggunakan kacamata. Lensa plastik untuk kacamata lebih ringan tetapi cenderung

meregang, sedangkan lensa kaca lebih tahan lama tetapi mudah pecah. Kedua jenis

lensa tersebut bisa diberi warna atau diberi bahan kimia yang secara otomatis

16

menggelapkan lensa jika penderita berada dibawah sinar. Lensa juga bisa dilapisi

untuk mengurangi jumlah sinar ultraviolet yang sampai ke mata.10

Bifokus adalah kacamata yang digunakan untuk mengatasi presbiopia.

Kacamata ini memiliki 2 lensa, yaitu untuk membaca dipasang di bawah dan untuk

melihat jarak jauh dipasang di atas. Jika penglihatan jarak jauh masih baik, bisa

digunakan kacamata untuk baca yang dijual bebas. Tidak ada latihan atau obat-obatan

yang dapat memperbaiki presbiopia.10

Lensa kontak

Banyak yang mengira bahwa dengan menggunakan lensa kontak maka

penglihatan menjadi lebih alami. Lensa kontak memerlukan perawatan yang lebih

teliti, bisa merusak mata dan pada orang-orang tertentu tidak dapat memperbaiki

penglihatan sebaik kacamata. Lansia dan penderita artritis mungkin akan mengalami

kesulitan dalam merawat dan memasang lensa kontak.10

Macam-macam lensa kontak :

Lensa kontak yang kaku (keras) adalah lempengan tipis yang terbuat dari

plastic keras.

Lensa yang dapat ditembus gas terbuat dari silicon dan bahan lainnnya, lensa

ini kaku tetapi memungkinkan penghantaran oksigen yang lebih baik ke

kornea.

17

Lensa kontak hidrofilik yang lunak terbuat dari plastik lentur yang lebih lebar

dan menutupi seluruh kornea.

Lensa non-hidrofilik yang paling lunak terbuat dari silicon.

Lanjut usia biasanya lebih menyukai lensa yang lunak karena perawatannya lebih

mudah dan ukurannya lebih besar. Lensa ini juga tidak mudah lepas atau debu atau

kotoran lainnya tidak mudah masuk ke bawahnya. Selain itu lensa kontak yang lunak

memberikan kenyamanan ketika pertama kali dipakai, meskipun memerlukan

perawatan yang cermat.10

Kebanyakan lensa kontak harus dilepas dan dibersihkan setiap hari. Atau bisa

digunakan lensa sekali pakai, ada yang diganti setiap satu sampai 2 minggu sekali

atau ada juga yang diganti setiap hari. Lensa sekali pakai tidak perlu dibersihkan dan

disimpan karena setiap kali diganti dengan yang baru.10

Setiap jenis lensa kontak memiliki resiko yaitu komplikasi yang serius, termasuk

ulcerasi kornea akibat infeksi yang bisa menyebabkan kebutaan. Resiko ini bisa

dikurangi dengan mengikuti aturan pemakaian dari pembuat lensa kontak dan

petunjuk dari dokter mata. Jika timbul rasa tidak nyaman, air mata yang berlebihan,

perubahan penglihatan atau mata menjadi merah, sebaiknya lensa segera dilepas dan

periksakan mata ke dokter mata.10

Cara membaca resep kacamata

Contoh 1:18

Sferis Silindris Axis

OD (mata kanan) +2,50 +1,00 180

OS(mata kiri) +1,75 +1,50 180

Resep diatas dibaca sebagai berikut :

Mata kanan positif 2,50; positif 1,00; axis 180. Mata kiri positif 1,75; positif

1,50; axis 180. Kolum sferis menunjukkan miopia atau hiperopia. Kolum silindris

menunjukkan astigmata. Kolum axis menunjukkan orientasi dalam derajat dari

bidang horizontal. Angka silindris menunjukkan perbedaan dioptri antara lengkung

kornea terendah dan lengkung kornea tercuram.10

Kekuatan lensa diukur dalam satuan dioptri, yang berdasarkan kepada

banyaknya cahaya yang akan dibisakan melalui lensa. Jika kekuatan lensa meningkat,

maka ketebalan lensapun bertambah.10

Terdapat 3 jenis lensa :

- Lensa Cembung (konveks)

Lensa ini bagian tengahnya lenih tebal, sedangkan ujungnya lebih tipis.

Cahaya dibisakan ke 1 titik.lensa cembung digunakan pada kacamata untuk

hiperopia dan pada resep diberi tanda positif (+).

- Lensa Cekung (konkaf)

19

Lensa ini memiliki bagian tengah yang lebih tipis dan cahaya dibisakan secara

tersebar. Lensa ini digunakan untuk mengoreksi kelainan miopia dan memiliki

tanda negatif (-).

- Lensa Silindris

Lensa ini salah satu sisinya lebih melengkung dibandingkan dengan sisi yang

lainnya. Lensa silindris digunakan untuk memperbaiki astigmata.

Contoh 2:

Sferis Silindris Axis

OD (mata kanan) -1,25 -2,50 90

OS(mata kiri) -0,75 -2,25 90

Resep ini dibaca sebagai berikut :

Mata kanan minus 1,25; minus 2,50; axis 90. Mata kiri minus 0,76; minus

2,25; axis 0. Artinya mata kanan menderita miopi sebesar 1? dioptri, astigmata

sebesar 2? dioptri dengan orientas silindris 90?. Mata kiri menderita miopi sebesar ?

dioptri, astigmata sebesar 2? dioptri dengan orientasi silindris 90?. Diperlukan

kacamata bifokus dengan kekuatan lensa sebesar +1? untuk membantu membaca.10

20

Pembedahan & Terapi Laser

Pembedahan dan terapi laser bisa digunakan untuk memperbaiki miopia,

hiperopia, dan astigmata. Tetapi prosedur tersebut bisaanya tidak mampu

memperbaiki penglihatan sebaik kacamata dan lensa kontak. Sebelum menjalani

prosedur tersebut, sebaiknya penderita mendiskusikannya dengan seorang ahli mata

dan mempertimbangkan keuntungan serta kerugiannya.10

Pembedahan refrktif bisaanya dijalani oleh penderita yang penglihatannya tidak

dapat dikoreksi dengan kacamata atau lensa kontak dan pederita yang tidak dapat

menggunakan kacamata atau lensa kontak.10

1. Keratotomi Radial dan Keratotomi Astigmatik

Pada keratotomi radial (KR), dibuat sayatan radial (jari-jari roda) pada

kornea, bisaanya sebanyak 4-8 sayatan. Keratotomi stigmatic (KA) digunakan

untuk memperbaiki astigmata alami dan astigmata setelah pembedahan

katarak atau pencangkokan kornea. Pada keratotomi astigmatic dibuat sayatan

melengkung.10

Pembedahan bertujuan mendatarkan kornea, sehingga kornea bisa

lebih memfokuskan cahaya yang masuk ke retina. Dengan pembedahan ini

penglihatan penderita menjadi lebih baik dan sekitar 90% penderita yag

menjalani pembedahan bisa mengemudi tanpa bantuan kacamata maupun

lensa kontak.10

21

Efek samping :

- Penglihatan berubah-ubah (kadang jelas, kadang kabur), terutama pada

beberapa bulan pertama setelah pembedahan

- Kornea menjadi lemah, lebih mudah robek jika terpukul secara langsung

- Infeksi

- Kesulitan dalam memasang lensa kontak

- Silau jika melihat cahaya

- Nyeri yang bersifat sementara

2. Keratektomi Fotorefrktif

Prosedur pembedahan laser ini bertujuan untuk kembali membentuk kornea.

Digunakan sinar berfokus tinggi untuk membuang sebagian kecil kornea

sehingga bentuknya berubah. Dengan merubah bentuk kornea, maka cahaya

akan lebih terfokus ke retina dan penglihatan menjadi lebih baik. Masa

penyembuhan dari terapi laser ini lebih lama dan lebih terasa nyeri

dibandingkan dengan pembedahan refraktif.10

3. Laser In Situ Keratomileusis (LASIK)

LASIK tidak terlalu sakit dan penyembuhan penglihatannya lebih baik

dibandingkan dengan keratektoi fotorefraktif.10

22

2.5. Pencegahan

Selama bertahun-tahun, banyak pengobatan yang dilakukan untuk mencegah atau

memperlambat progresi miopia, antara lain dengan : 6

o Koreksi penglihatan dengan bantuan kacamata

o Pemberian tetes mata atropin.

o Menurunkan tekanan dalam bola mata.

o Penggunaan lensa kontak kaku : memperlambat perburukan rabun

dekat pada anak.

o Latihan penglihatan : kegiatan merubah fokus jauh – dekat.

BAB III

KERANGKA KONSEP

3.1 Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti

Berdasarkan tinjauan pustaka, terdapat berbagai macam faktor yang dapat

berkaitan dengan kejadian kelainan refraksi seperti : umur, jenis kelamin, jenis

kelainan refraksi, pekerjaan, pendidikan, dan riwayat orang tua. Sehingga di antara

23

berbagai faktor tersebut, maka variabel dependen yaitu kelainan refraksi dan variabel

independen dibatasi pada aspek umur dan jenis kelamin. Penentuan variabel ini

didasarkan pada kepentingan keterkaitan variabel tersebut dengan kasus kelainan

refraksi di BKMM Kota Makassar.

3.2 Kerangka Konsep

Berdasarkan konsep pemikiran yang dikemukakan di atas, maka disusunlah

pola variabel sebagai berikut:

Ket : : Variabel Independen

: Variabel Dependen

: yang diteliti

3.3 Kerangka Penelitian

3.3.1 Variabel Dependen

Variabel dependen dari penelitian ini adalah kelainan refraksi

3.3.2 Variabel Independen

Variabel independen dari penelitian ini adalah umur, jenis kelamin, jenis

kelainan refraksi, pekerjaan, pendidikan, dan riwayat orang tua

24

Umur

Jenis Kelamin

Kelainan Refraksi

3.4 Definisi Operasional Penelitian

1. Jenis kelainan refraksi

a. Defenisi : Kelaianan refraksi adalah suatu kelainan pembiasan sinar pada

mata sehingga sinar tidak difokuskan pada retina, tetapi dapat di depan

atau di belakang bintik kuning dan mungkin tidak terletak pada satu titik

yang fokus.

b. Kriteria Objektif :

Miopia

Hiperopia

Astigmatisma

Presbiopia

2. Umur

a. Defenisi : penetuan sesorang berdasarkan hari ulang tahunnya yang

diperoleh dari rekam medis.

b. Kriteria Objektif :

0 – 10 tahun

11 – 20 tahun

21 – 30 tahun

25

31 – 40 tahun

41 – 50 tahun

> 50 tahun

3. Jenis kelamin

a. Defenisi : perbedaan secara seksual dari pasien yang diperoleh dari rekam

medis.

b. Kriteria Objektif :

Laki – laki

Perempuan

4. Pekerjaan

a. Defenisi : kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh pendapatan yang

diperoleh dari rekam medis pasien.

b. Kriteria Objektif :

Siswa

Mahasiswa

Pengacara

Dokter

Pegawai swasta

Pegawai negeri sipil

26

Dll

5. Pendidikan

a. Defenisi : jenjang pendidikan formal yang tertinggi yang diperoleh dari

rekam medis pasien.

b. Kriteria Objektif :

SD

SMP

SMA

Perguruan Tinggi

Dll

6. Riwayat orangtua

a. Defenisi : adanya riwayat orang tua baik salah satu maupun keduanya

yang mengalami kelainan refraksi yang diperoleh dari rekam medis

pasien.

b. Kriteria Objektif :

Ada

Tidak ada

27

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu melakukan deskripsi

mengenai angka kejadian kelainan refraksi pada pasien yang berobat di BKMM Kota

Makassar tahun 2011.

28

4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian

4.2.1. Waktu Penelitian

Penelitian ini direncanakan diadakan pada tanggal 23 Agustus 2012 sampai

dengan 7 September 2012.

4.2.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini direncanakan diadakan di BKMM Kota Makassar.

4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang berobat di BKMM

Kota Makassar periode 1 Jan 2011 – 31 Desember 2011.

4.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang berobat di BKMM

Kota Makassar periode 1 Jan 2011 – 31 Desember 2011 yang terdiagnosa

mengalami kelainan refraksi.

4.3.3. Kriteria Seleksi

4.3.3.1. Kriteria Inklusi

29

Pasien dengan data rekam medis yang lengkap dan sesuai dengan

variable yang diteliti oleh penulis yang berobat di BKMM Kota

Makassar periode 1 Jan 2011 – 31 Desember 2011

4.3.3.2. Kriteria Eksklusi

Pasien yang berobat di BKMM Kota Makassar yang tidak memiliki

rekam medis

Variable – variable pada rekam medis pasien tidak lengkap atau tidak

sesuai dengan kriteria inklusi.

4.4. Jenis Data dan Prosedur Penelitian

4.4.1. Jenis Data Penelitian

Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh

dari hasil rekam medik pasien yang berobat di BKMM Kota Makassar tahun

2011.

4.4.2. Prosedur Penelitian

30

Data yang dibutuhkan seperti umur, jenis kelamin, jenis kelainan

refraksi, pekerjaan, pendidikan, dan riwayat orang tua didapat dari hasil rekam

medik di BKMM pada tahun 2011.

4.5. Manajemen Penelitian

4.5.1.Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan setelah meminta perizinan dari pihak

pemerintah dan instansi tempat diadakannya penelitian, dalam hal ini adalah

Balai Kesehatan Mata Masyarakat Kota Makassar.

Data yang dikumpulkan berupa data sekunder yang diperoleh dari

hasil rekam medik [asien di BKMM Kota Makassar tahun 2011.

Pengumpulan data dilakukan secara observasi sistematis. Pengeditan data

dilakukan dengan cara mempertimbangkan untuk memilih atau memasukkan

data yang penting dan benar-benar diperlukan.

4.5.2.Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data dan analisis data dilakukan dengan komputer memakai

program Microsoft Office 2007, Microsof Excel 2007 dan SPSS versi 16.

4.5.3.Penyajian Data

31

Data yang telah diolah, disajikan dalam bentuk tabel dan dijelaskan dalam

bentuk narasi (uraian) untuk memperjelas hubungan antara variabel dependen

dan variabel independen

4.6. Etika Penelitian

Hal-hal yang terkait dengan etika penelitian dalam penelitian ini adalah:

1. Menyertakan surat pengantar yang ditujukan kepada pihak pemerintah

setempat sebagai permohonan izin untuk melakukan penelitian. setempat

sebagai permohonan izin untuk melakukan penelitian.

2. Menyertakan surat pengantar yang ditujukan kepada instansi terkait sebagai

lokasi penelitian sebagai permohonan izin untuk melakukan penelitian.

3. Berusaha menjaga kerahasiaan subjek penelitian dengan cara tidak

menuliskan nama subjek penelitian tetapi hanya berupa inisial, sehingga

diharapkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas penelitian yang

dilakukan.

4. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak

yang terkait sesuai dengan manfaat penelitian yang telah disebutkan

sebelumnya.

32

DAFTAR PUSTAKA

1. Siregar NV. Perbedaan karakteristik jenis kelamin terhadap kelainan

refraksi pada siswa-siswi di SD dan SMP RK Budi Mulia Pematangsiantar

[skripsi]. Universitas Sumatera Utara. 2012.

33

2. Bastanta T. Prevalensi kelainan refraksi di Poliklinik Mata RSUP H.

Adam Malik Medan dari 7 Juli 2008 sampai 17 Juli 2010. Karya tulis

Ilmiah. Universitas Sumatera utara. 2010.

3. Renardi ANC. Prevalensi kebutaan akibat kelainan refraksi di Kabupaten

Langkat [tesis]. Universitas Sumatera Utara. 2009.

4. Launardo VA, Afifuin A. Syamsu N, Taufik R. Kelainan refraksi pada

anak usia 3-6 tahun di Kecamatan Tallo Kota Makassar. Makassar ; 2010

5. Sardegna J, Shelly S, Rutzen AR, Steidl SM. The Encyclopedia of

Blindness and Vision Impairment 2nd Edition. New York : Facts On File

Inc., 2002 ; 195

6. Media Online Klik Dokter. [online]. 2012. [ cited 2012 July 22 ]. Available from

URL : http://www.klikdokter.com/medisaz/read/2010/07/05/35/kelainan-

refraksi

7. Patu I. Kelainan refraksi. [online]. 2010. [ cited 2012 July 22 ]. Available

from URL : http://cpddokter.com/home/index.php?

option=com_content&task=view&id=1684&Itemid=38

8. Komunitas dan Perpustakaan Online Indonesia. Hal umum penyebab mata

menjadi rabun jauh/miopi/miopia [online]. 2009. [ cited 2012 August 2].

Available from URL : http://organisasi.org/hal-umum-penyebab-mata-

menjadi-rabun-jauh-miopi-miopia-mata-minus

9. Dandona L, Dandona R. Refractive error blindness. Bulletin of World

Health Organization 2001; 237 – 43.34

10. Media informasi obat dan penyakit. [online]. 2012. [cited 2012 July 22].

Available from URL :

http://medicastore.com/penyakit/852/Kelainan_Refraktif.html

35