Analisis Kecacatan Produk Tiang Listrik Beton Menggunakan ...
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN …/Hubungan... · sosial dan pekerjaan (Damayanti dan...
Transcript of PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN …/Hubungan... · sosial dan pekerjaan (Damayanti dan...
HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DAN PUSAT
KENDALI EKSTERNAL DENGAN KECEMASAN SOSIAL PADA
REMAJA DIFABEL DI BALAI BESAR REHABILITASI SOSIAL BINA
DAKSA PROF. DR. SOEHARSO SURAKARTA
SKRIPSI
Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan
Strata 1 Psikologi
Oleh :
Agata Claressia Eunike
G 0104043
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
HALAMAN PERSETUJUAN
Proposal dengan judul : Hubungan antara Dukungan Keluarga dan PusatKendali Eksternal dengan Kecemasan Sosial padaRemaja Difabel di Balai Besar Rehabilitasi Sosial BinaDaksa Prof. DR. Soeharso Surakarta
Nama Peneliti : Agata Claressia EunikeNIM/ Semester : G 0104043Tahun : 2010
Telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Pembimbing dan Penguji SkripsiProdi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret pada :
Hari :Tanggal :
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Hardjono, M.Si. H. Arista Adi N., S.Psi., M.M.
NIP 19590119 198903 1 002 NIP 19800702 200501 1 001
Koordinator Skripsi
Rin Widya Agustin, M. Psi.
NIP 19760817 200501 2 002
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi dengan Judul :
Hubungan antara Dukungan Keluarga dan Pusat Kendali Eksternal dengan
Kecemasan Sosial pada Remaja Difabel di Balai Besar Rehabilitasi Sosial
Bina Daksa Prof. DR. Soeharso Surakarta
Agata Claressia Eunike, G 0104043, Tahun 2010
Telah diuji dan disahkan oleh Pembimbing dan Penguji Skripsi Prodi Psikologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Hari :
Tanggal :
1. Pembimbing I
Drs. Hardjono, M.Si. ( ______________ )
2. Pembimbing II
H. Arista Adi N., S.Psi., M.M. ( ______________ )
3. Penguji I
Dra. Sri Wiyanti, M.Si. ( _______________ )
4. Penguji II
Nugraha Arif Karyanta, S.Psi. ( ______________ )
Surakarta, ________________
Koordinator Skripsi Ketua Program Studi Psikologi
Rin Widya Agustin, M. Psi. Dra. Suci Murti Karini, M.Si.
NIP 19760817 200501 2 002 NIP 19540527 198003 2 001
HALAMAN PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam skripsi
ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga
tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang
lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam
daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan ini, maka saya
bersedia derajat kesarjanaan saya dicabut.
Surakarta, …………………..
Peneliti
MOTTO
“Pertandingan” harus dilakukan hingga garis finish
(tim RBC Indonesia)
Berlari Pasti Meraih Mimpi
(tim 3 Generasi)
Segala Sesuatu Indah pada Waktunya
(Peneliti)
With God, I can do everything
(Peneliti)
PERSEMBAHAN
1. Orang tua dan adik-adik untuk doa, kasih
sayang, dan perhatiannya yang tak akan
terhenti.
2. Orang-orang terkasih yang senantiasa telah
memberikan semangat dan doanya.
3. Almamaterku tercinta.
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yesus atas segala hikmat, berkat,
kasih, dan karunia-Nya, sehingga dapat terselesaikannya skripsi sebagai syarat
mendapatkan gelar sarjana Psikologi pada Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Peneliti menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari
dorongan, bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti
menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang
setinggi-tinggnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. AA. Subijanto, dr., M.S., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin
dan membantu kelancaran penyusunan skripsi.
2. Ibu Dra. Suci Murti Karini, M. Si., selaku Ketua Program Studi Psikologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah
memberikan ijin dan membantu kelancaran dalam penyusunan skripsi.
3. Bapak Drs. Hardjono, M.Si., selaku pembimbing I yang telah memberikan
waktunya untuk mengarahkan, membimbing, dan memberi masukan yang
sangat bermanfaat bagi terselesaikannya skripsi ini.
4. Bapak H. Arista Adi Nugroho., S.Psi., M.M., selaku pembimbing II, yang
telah menyediakan waktunya dengan sabar untuk memberikan bimbingan,
arahan, masukan , dan ilmu yang sangat bermanfaat bagi penyelesaian
skripsi ini.
5. Ibu Dra. Sri Wiyanti, M.Si., selaku penguji I, yang telah memberikan
masukan-masukan yang sangat bermanfaat untuk penyempurnaan skripsi ini.
6. Bapak Nugraha Arif Karyanta, S.Psi., selaku penguji II, yang telah
memberikan masukan-masukan yang sangat bermanfaat untuk
penyempurnaan skripsi ini.
7. Seluruh staf pengajar, staf tata usaha, dan staf perpustakaan Program Studi
Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang
telah memberikan banyak bekal ilmu dan pengalaman berharga demi
kemajuan dan membantu kelancaran studi.
8. Dra. Yulaekah, Ibu Retno, dan pembina asrama, yang telah memberikan ijin
kepada peneliti untuk melakukan penelitian dengan menyebarkan skala
kepada remaja difabel di BBRSBD Prof. DR. Soeharso Surakarta.
9. Bapak Kliwon, selaku pembimbing dari BBRSBD yang telah mendampingi
dan membantu dalam menyelesaikan setiap penelitian yang dilakukan
selama berada di BBRSBD Prof. DR. Soeharso Surakarta.
10. Para remaja difabel yang telah bersedia meluangkan waktu untuk mengisi
dan memberikan respons pada setiap aitem dalam skala yang diberikan,
sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.
11. Agnes, Putri, Epin, Dewi, Ester, dan adik-adik PMK Psikologi atas segala
semangat, bantuan, dan doa yang telah diberikan. Teman-teman psikologi
2004 atas bantuan, dorongan, dan doanya.
12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan karena adanya keterbatasan.
Tuhan Yesus memberikan kasih dan karunia yang melimpah.
Peneliti
HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DAN PUSATKENDALI EKSTERNAL DENGAN KECEMASAN SOSIAL PADA
REMAJA DIFABEL DI BALAI BESAR REHABILITASI SOSIAL BINADAKSA PROF. DR. SOEHARSO SURAKARTA
Agata Claressia EunikeG 0104043
ABSTRAKKecacatan yang dialami individu setelah kelahiran adalah kejadian yang
mendadak bagi dirinya, sehingga dianggap sebagai suatu kemunduran danindividu sulit menerimanya. Perubahan tersebut dapat mempengaruhi semuaaspek hidupnya. Salah satu gangguan yang dialami adalah kecemasan sosial.Dukungan keluarga dan pusat kendali eksternal merupakan faktor yangmempengaruhi kecemasan sosial menurun.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara dukungankeluarga dan pusat kendali eksternal dengan kecemasan sosial pada remaja difabeldi BBRSBD. Penelitian ini menggunakan pendekatan korelasional. Respondenpenelitian adalah remaja difabel (17-25 tahun) yang mengalami kecacatan bukanbawaan dan memiliki IQ normal. Responden penelitian berjumlah 120 orang.Penelitian ini merupakan studi populasi, melibatkan semua populasi sebagairesponden dan kesimpulan berlaku untuk seluruh populasi. Alat pengumpulandata menggunakan modifikasi skala dukungan keluarga, skala pusat kendalieksternal, dan skala kecemasan sosial. Analisis data menggunakan teknik analisisregresi linear ganda dengan SPSS 16.0 Windows.
Hasil perhitungan menunjukkan nilai koefisien korelasi 0,436 dengan nilaiF hitung sebesar 11,385 > F tabel 1,62 dan p < 0,05, berarti terdapat hubungannegatif yang signifikan antara dukungan keluarga dan pusat kendali eksternaldengan kecemasan sosial pada remaja difabel di BBRSBD. Hubungan antaradukungan keluarga dengan kecemasan sosial terdapat korelasi negatif yangsignifikan dengan hasil sebesar -0,293 (p<0,05). Hal ini berarti semakin tinggidukungan keluarga maka semakin rendah kecemasan sosial pada remaja difabel.Hasil analisis hubungan antara pusat kendali eksternal dengan kecemasan sosialsebesar -0,370 (p<0,05), hal ini berarti terdapat hubungan negatif yang signifikan,yaitu semakin tinggi pusat kendali eksternal maka semakin rendah kecemasansosial pada remaja difabel. Hasil analisis data menunjukkan nilai R2 (R square)sebesar 0,19, artinya dukungan keluarga dan pusat kendali eksternal memberikontribusi efektif sebanyak 19% terhadap kecemasan sosial.
Kata kunci : Dukungan keluarga, pusat kendali eksternal, kecemasan sosial,remaja difabel.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... iv
MOTTO ......................................................................................................... v
UCAPAN TERIMAKASIH DAN PENGHARGAAN ............................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................... vii
ABSTRAK ..................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xv
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... . 9
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 10
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Kecemasan Sosial
1. Pengertian Kecemasan Sosial .................................................. 12
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kecemasan Sosial ............ 17
3. Aspek-aspek Kecemasan Sosial .............................................. 19
4. Ciri-ciri Kecemasan Sosial ...................................................... 20
B. Dukungan Keluarga
1. Pengertian Dukungan Keluarga ............................................... 20
2. Aspek-aspek Dukungan Keluarga ............................................ 23
3. Manfaat Dukungan Keluarga ................................................... 25
C. Pusat Kendali Eksternal
1. Pengertian Pusat Kendali ......................................................... 27
2. Faktor-faktor Pusat Kendali ..................................................... 28
3. Macam-macam Pusat Kendali .................................................. 29
4. Aspek-aspek Pusat Kendali ....................................................... 30
D. Remaja Difabel
1. Pengertian Remaja Difabel ....................................................... 31
2. Klasifikasi Difabel ..................................................................... 34
3. Status Perkembangan Remaja Difabel ...................................... 36
E. Hubungan antara Dukungan Keluarga dan Pusat Kendali Eksternal
dengan Kecemasan Sosial .................................................... 40
F. Kerangka Pemikiran ........................................................ 43
G. Hipotesis .......................................................................................... 44
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel .................................................................. 45
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ........................................ 45
C. Populasi, Sampel, dan Sampling...................................... 47
D. Metode Pengumpulan Data ........................................................... 48
E. Validitas dan Reliabilitas ................................................................. 52
F. Analisis Data ............................................................................. 54
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian
1. Orientasi Kancah Penelitian ...................................................... 55
2. Persiapan Penelitian ................................................................... 59
3. Pelaksanaan Uji Coba ................................................................ 61
4. Analisis Daya Beda Aitem dan Reliabilitas Skala .................... 61
5. Penyusunan Alat Ukur untuk Penelitian dengan
Nomor Urut Baru ...................................................................... 65
B. Pelaksanaan Penelitian
1. Penentuan Responden Penelitian ................................................ 67
2. Pengumpulan Data .................................................................... 68
3. Pelaksanaan Skoring ................................................................. 69
C. Hasil Analisis Data dan Interpretasi
1. Uji Normalitas ......................................................................... 70
2. Uji Asumsi Klasik ................................................................... 71
3. Hasil Uji Hipotesis .................................................................. 75
4. Hasil Statistik Deskriptif ......................................................... 77
D. Pembahasan ................................................................................... 79
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ...................................................................................... 83
B. Saran ............................................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 86
LAMPIRAN .................................................................................................... 92
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Blue Print Skala Kecemasan Sosial ........................................... 46
Tabel 2. Blue Print Skala Dukungan Keluarga ....................................... 48
Tabel 3. Blue Print Skala Pusat Kendali Eksternal ................................. 50
Tabel 4. Distribusi Aitem Sahih dan Aitem Gugur Skala Kecemasan Sosial
Setelah Uji Coba ....................................................................... 61
Tabel 5. Distribusi Aitem Sahih dan Aitem Gugur Skala Dukungan
Keluarga Setelah Uji Coba ....................................................... 62
Tabel 6. Distribusi Aitem Sahih dan Aitem Gugur Skala Pusat Kendali
Eksternal Setelah Uji Coba ...................................................... 64
Tabel 7. Distribusi Aitem Skala Kecemasan Sosial Setelah Uji Coba .... 65
Tabel 8. Distribusi Aitem Skala Dukungan Keluarga Setelah Uji Coba ... 65
Tabel 9. Distribusi Aitem Skala Pusat Kendali Eksternal
Setelah Uji Coba .................................................................... 66
Tabel 10. Subjek Penelitian ................................................................. 67
Tabel 11. Hasil Uji Normalitas ............................................................ 69
Tabel 12. Uji Linearitas ................................................................... 70
Tabel 13. Hasil Uji Multikolinearitas ............................................. 72
Tabel 14. Korelasi Variabel Bebas dengan Variabel Tergantung .......... 74
Tabel 15. Statistik Deskriptif ........................................................... 76
Tabel 16. Data Hipotetik dan Data Empirik .......................................... 77
Tabel 17. Kategorisasi Subyek Berdasar Skor Skala Penelitian ............. 77
DAFTAR LAMPIRAN
A. Alat Ukur Penelitian ……………………………………………………….. 92
1. Skala Penelitian Sebelum Uji Coba ……………………………… 93
2. Skala Penelitian Setelah Uji Coba …………………………....…. 94
B. Data Uji Coba Skala Penelitian ……………….………………………….. 121
1. Data Uji Coba Skala Kecemasan Sosial (Y) …………………… 122
2. Data Uji Coba Skala Dukungan Keluarga (X1)……………… 123
3. Data Uji Coba Skala Pusat Kendali Eksternal (X2)…………….. 124
C. Uji Validitas Aitem & Reliabilitas Skala Penelitian ……………………... 125
1. Uji Validitas Aitem dan Reliabilitas Skala Kecemasan Sosial ….. 126
2. Uji Validitas Aitem dan Reliabilitas Skala Dukungan Keluarga …. 129
3. Uji Validitas Aitem dan Reliabilitas Skala Pusat Kendali Eksternal .. 135
D. Data Penelitian …………………………………………………………… 136
1. Data Skala Kecemasan Sosial ……………………………………… 137
2. Data Skala Dukungan Keluarga …………………………………… 141
3. Data Skala Pusat Kendali Eksternal ………………………………. 145
E. Analisis Data Penelitian ………………………………………………….. 146
F. Jadwal Kegiatan ………………………………………………………. 161
G. Surat Ijin Penelitian dan Surat Tanda Bukti Penelitian ……………… 162
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Kerangka Pemikiran ............................................................ 39
Bagan 2. Scaterrplot ............................................................................ 73
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seorang manusia sejak dilahirkan ke dunia, menginginkan
kehidupannya berjalan sesuai dengan yang diharapkan, namun seringkali
harapan tersebut menjadi pupus karena terjadi sesuatu hal yang menyisakan
kemelut dalam hidupnya. Seorang difabel yang bukan bawaan dari lahir awal
kehidupannya berjalan seperti layaknya orang normal tetapi tiba-tiba
mengalami perubahan dalam fisiknya yaitu kecacatan fisik yang disebabkan
oleh kecelakaan, jatuh atau penyakit, maka tidak mengherankan jika seorang
difabel sulit menerima keadaanya dan memperlihatkan gejolak emosi terhadap
ketunaan yang dialaminya. Kondisi tersebut, dapat meluas sampai pada segi
sosial dan pekerjaan (Damayanti dan Rostiana, 2003).
Penelitian di Amerika, wanita yang mengalami kecacatan tubuh, 51%
melaporkan memiliki simtom kecemasan (Brenes, dkk., 2005). Penelitian lain
di Amerika, pada orang yang multiple sclerosis, memiliki kualitas hidup yang
rendah (Molt dkk., 2007). Keduanya disebabkan oleh kondisi ketunaan/
kecacatan fisiknya. Selanjutnya, berdasarkan hasil wawancara dengan
psikolog, para difabel yang berada di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina
Daksa Prof. Dr. Soeharso Surakarta (BBRSBD), kondisi yang dapat dijumpai
dari para difabel adalah perasaan minder, kurang percaya diri, cemas, bahkan
sampai tingkat depresi.
Ditinjau dari aspek psikologis, remaja difabel memang cenderung
merasa apatis, malu, rendah diri, sensitif, dan kadang-kadang muncul sikap
egois terhadap lingkungannya. Keadaan tersebut akan mempengaruhi
kemampuan dalam hal sosialisasi dan interaksi sosial dengan lingkungan
sekitar atau dalam pergaulan sehari-hari. Sejalan dengan pendapat di atas,
Soetjiningsih (1995) menjelaskan bahwa remaja yang mengalami cacat tubuh
lebih cenderung hidup dalam lingkungannya sendiri, dengan sikap-sikap yang
negatif, penuh prasangka, dan rendah diri. Anggapan dan sikap yang dimiliki
para difabel, dapat membuat tertekannya fungsi psikologis pada diri mereka
(Ayatollahi, 2007). Hal tersebut akan lebih parah jika terjadi pada difabel yang
mengalami ketunaan tidak sejak lahir, yaitu sewaktu dalam proses
pertumbuhan atau proses belajar.
Akibat lain yang ditimbulkan dari cacat fisik adalah aspek kepribadian
dari individu tersebut. Padahal dominannya suatu kepribadian juga akan
berpengaruh terhadap perkembangan psikologis dan sosialnya (Damayanti dan
Rostiana, 2003). Banyak di lapangan ditemukan bahwa individu yang
mengalami kecacatan tubuh, beranggapan bahwa keadaan cacatnya sebagai
“pagar tembok” yang merampas mereka dari kehidupan yang nyata pada
masyarakat yang normal. Seorang difabel merasa gagal dalam hidup serta
merasa tidak diterima oleh lingkungannya (Soetjiningsih, 1995).
Kecacatan seorang difabel agar dapat lebih berkembang di masyarakat
diperlukan dukungan keluarga dan pusat kendali yang tepat. Namun
kenyataannya, para difabel kurang mendapat dukungan dari keluarga dan
kurang memiliki pusat kendali yang tepat yang dapat mengubah skema
kognitifnya tentang kondisi kecacatannya dan membangkitkan kualitas
hidupnya di masa depan. Seorang difabel yang kurang dukungan dari keluarga
akan cenderung lebih rentan terhadap penyakit mental dan interaksi sosialnya
terganggu (Kaplan dan Saddock, 1997). Pusat kendali yang kurang tepat
dimiliki oleh para difabel akan lebih mudah menggugah simtom kecemasan
pada psikologis mereka (Riyanti, 2004).
Remaja difabel yang mengalami kecacatan bukan bawaan akan
memiliki ketidaksiapan dalam menghadapi reaksi lingkungan terhadap
kondisinya, sehingga timbul kecemasan dalam dirinya (LeMaistre dalam
Damayanti dan Rostiana, 2003). Kecemasan yang dimaksud adalah gangguan
alam perasaan yang ditandai adanya perasaan ketakutan atau kekhawatiran
yang mendalam dan berkelanjutan, mengalami gangguan perilaku yang masih
dalam batas normal, kepribadiannya masih utuh, serta tidak mengalami
gangguan dalam menilai realitas (Hawari, 2001). Pada masa remaja,
kecemasan yang muncul pada umumnya adalah kecemasan yang berhubungan
dengan situasi sosial dalam masyarakat, yang berkaitan dengan diterimanya
remaja dalam kelompok masyarakat dan teman sebayanya. Kenyataan yang
sama juga dialami oleh remaja difabel yang ingin mendapat perlakuan yang
sama seperti layaknya orang normal, namun hal itu sering tidak diperoleh para
remaja difabel (Smet, 1994).
Perasaan cemas yang timbul saat individu merasa takut terhadap
pendapat umum atau pendapat lingkungan yang mencela dirinya disebut
kecemasan sosial. Kecemasan sosial dapat dilihat pada anak yang merasa
cemas bila ketidakmampuannya sampai terlihat oleh banyak orang karena
akan membuat dirinya dihina atau tak dihargai (Moersintowarti dkk., 2005).
Heerey dan Ann (2007), menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki
kecemasan sosial selama berinteraksi akan berpengaruh terhadap perilaku,
perasaan dan persepsinya.
Adanya kecemasan sosial, membuat para remaja difabel
membutuhkan dukungan dari lingkungan yang terdekat dan yang telah
mengenal mereka sejak lahir. Lingkungan yang pertama kali dijumpai sewaktu
individu lahir di dunia ini adalah keluarga. Lingkungan keluarga merupakan
suatu tempat anak berinteraksi sosial dengan orang tua yang paling lama.
Keluarga merupakan suatu unit terkecil masyarakat yang terdiri atas ayah, ibu,
dan anak. Keluargalah yang mengajari anak untuk pertama kali belajar di
dalam kehidupan bermasyarakat. Keluarga memberikan pembelajaran tentang
kasih sayang, saling mengasihi, saling memberi, norma-norma kewajiban
yang harus dilakukan, hak yang dapat diterima, serta tentang agama (Suryanto,
2008).
Keluarga adalah salah satu sumber dukungan sosial yang penting bagi
individu. Keluarga berperan menyediakan dukungan dan dapat memberikan
rasa aman sekaligus memelihara penilaian positif seseorang terhadap dirinya.
Hal itu dapat diwujudkan melalui ekspresi kehangatan, empati, persetujuan,
atau penerimaan yang ditunjukkan oleh anggota keluarga lain (Friedman,
2003). Keluarga juga mempunyai peranan dalam mengatasi masalah di antara
kelompok-kelompok sosial. Menurut Korchin (dalam Notosoedirdjo dan
Latipun, 1999), seorang difabel juga membutuhkan peran keluarga dalam
proses sosialisasinya, apalagi remaja yang mengalami cacat bukan bawaan.
Pendapat tersebut diperkuat oleh Newcomb (dalam Marsiglia dkk., 2007),
lingkungan keluarga dan orang tua adalah kekuatan sosialisasi pada kehidupan
anak.
Dukungan keluarga dapat berasal dari orang tua dan saudara
sekandung. Orang tua diberi tanggungjawab bukan hanya memenuhi
kebutuhan jasmani tetapi juga dalam meningkatkan harga diri, prestasi
akademik, kreativitas, dan perkembangan kognitif, bahkan pembentukan
moral serta spiritual. Kasih sayang yang tanpa pamrih dan cara menunjukkan
rasa hormat serta cara menghargai, juga dapat diperoleh anak melalui orang
tua (Friedman, 2003). Menurut Newcomb (dalam Marsiglia dkk., 2007),
ikatan dan dukungan keluarga mengurangi distres psikologi dan
penyimpangan-penyimpangan umum lainnya pada remaja wanita dan laki-
laki. Begitu pula pada remaja difabel yang membutuhkan dukungan tersebut,
namun dukungan tersebut kadang sulit didapat, sehingga membuat remaja
merasa rendah diri dan tidak dapat bergaul di masyarakat.
Perasaan rendah diri dan tidak dapat bergaul timbul pada diri remaja
difabel disebabkan keluarga mengisolasi anak difabel dari masyarakat karena
malu, atau terlalu memanjakan yang membuat anak kehilangan kepercayaan
diri. Selain itu, ada juga keluarga yang merasa terbebani dan kurang peduli
saat ada anggota keluarga yang mengalami kecacatan, sehingga banyak
keluarga yang mengabaikan kondisinya (Dianawati dkk., 2005) . Kondisi
seperti itu kurang disadari oleh keluarga (Slamet, 2008).
Pada masa rehabilitasi, para remaja di BBRSBD tinggal di asrama, dan
kurang mendapat dukungan dari keluarga karena tempat tinggal keluarga yang
jauh dan kondisi ekonomi yang kurang. Jadi, remaja difabel di BBRSBD
bergaul hanya dengan teman-teman yang sama-sama memiliki kondisi cacat
dan dengan para pembina di tempat rehabilitasi. Pergaulan dengan teman-
teman di asrama tidaklah selamanya membuat seorang remaja mengalami
perbaikan kondisi, tetapi juga membuat seseorang menjadi semakin terpuruk.
Di sinilah sebenarnya fungsi dukungan keluarga diperlukan karena
keluargalah yang dapat memberikan rasa aman dan mengembalikan serta
membentuk penilaian yang positif pada diri remaja tersebut, namun karena
kondisi tempat tinggal dan tingkat ekonomi, menghalangi dukungan itu nyata
dalam hidup para remaja tersebut.
Selain dukungan keluarga, aspek kepribadian yang berupa pusat
kendali juga mempengaruhi psikologis para difabel fisik. Menurut Lefcourt
(dalam Smet, 1994), pusat kendali (locus of control) merupakan derajat
keyakinan individu ketika memandang peristiwa dalam kehidupannya sebagai
konsekuensi internal atau eksternal. Individu dengan kontrol internal akan
lebih memandang bahwa apa yang terjadi dalam hidup dan masa depannya
dipengaruhi oleh usaha, kemampuan, dan sikapnya sendiri. Sebaliknya,
kontrol eksternal memandang hidup sebagai hasil dari nasib, keberuntungan,
dan perilaku di luar dirinya (Marsiglia dkk., 2007).
Individu dengan kontrol eksternal cenderung memiliki tingkat
kecemasan yang lebih rendah karena adanya unsur kepasrahan dan percaya
pada kekuatan-kekuatan di luar dirinya seperti nasib, takdir atau
keberuntungan, sehingga tidak menilai suatu kejadian yang tidak
menyenangkan sebagai suatu situasi yang buruk. Kondisi tersebut
menyebabkan tidak mudah tergugah kecemasannya, karena apa pun yang
terjadi dalam dirinya merupakan suratan takdir Yang Maha Kuasa (Riyanti,
2004).
Para remaja difabel di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Prof.
Dr. Soeharso Surakarta juga memiliki skema kognitif yang berbeda dalam hal
persepsinya tentang apa yang terjadi dalam hidupnya. Hal ini tergantung dari
kondisi cacat fisiknya dan penilaian lingkungan terhadapnya, tetapi awalnya
semua remaja memang kurang menerima kondisi fisiknya, sehingga
diperlukan suatu perubahan penilaian terhadap apa yang terjadi dalam hidup
mereka, namun hal ini belum diukur dan perlu diberitahukan kepada mereka
tentang penilaian yang berhubungan dengan pusat kendali eksternal.
Para remaja difabel yang mengalami kecacatan bukan bawaan atau
karena kecelakaan dan penyakit akan mengalami perubahan, baik dalam hal
fisik, psikologis, kepribadian, maupun sosialnya. Perubahan itu muncul
dengan adannya kecemasan dan ketidaksiapan dalam menghadapi reaksi
lingkungan sosial. Dalam kondisi seperti itu dibutuhkan orang-orang terdekat
atau keluarga yang dapat memulihkan fungsi psikologisnya, sehingga ada
keterbangkitan dari keterpurukan yang terjadi dalam diri individu. Selain itu,
juga dibutuhkan suatu pandangan atau keyakinan yang positif bahwa segala
sesuatu adalah hasil dari nasib dan keberuntungan yang bersifat adikodrati
(berhubungan dengan suratan takdir dari Yang Maha Kuasa). Keyakinan itu
akan membuat seseorang menerima dengan tulus dan ikhlas, sehingga
mengurangi bahkan menghilangkan timbulnya gangguan secara psikologis,
seperti kecemasan sosial.
Berdasarkan paparan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang
gangguan psikologis pada remaja difabel, yaitu kecemasan sosial yang
dihubungkan dengan dukungan keluarga dan pusat kendali eksternal yang
dimiliki. Peneliti memilih judul penelitian: “Hubungan antara Dukungan
Keluarga dan Pusat Kendali Eksternal dengan Kecemasan Sosial pada Remaja
Difabel di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (BBRSBD) Prof. Dr.
Soeharso Surakarta”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan di
atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu : “Apakah terdapat
hubungan antara dukungan keluarga dan pusat kendali eksternal dengan
kecemasan sosial pada remaja difabel di BBRSBD Prof. Dr. Soeharso
Surakarta?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
antara dukungan keluarga dan pusat kendali eksternal dengan kecemasan
sosial pada remaja difabel di BBRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut:
1. Secara teoritis :
a. Memberi informasi tentang pentingnya dukungan keluarga pada
remaja difabel.
b. Memberi pengertian pada para difabel tentang pusat kendali eksternal
dalam pergaulan.
c. Memberi pengertian tentang bahaya kecemasan dalam pergaulan
sosial.
2. Secara praktis
a. Bagi responden penelitian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi dan masukan, khususnya remaja difabel tentang hal-hal yang
mempengaruhi kecemasan sosial.
b. Bagi keluarga, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
dan masukan tentang pengaruh dukungan keluarga terhadap
kecemasan sosial, sehingga keluarga dapat mengembangkan dukungan
yang baik untuk para remaja difabel.
c. Memberi masukan kepada pengelola BBRSBD tentang cara memberi
dukungan kepada remaja difabel agar mampu bergaul di masyarakat
luas.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kecemasan Sosial
1. Pengertian Kecemasan Sosial
Menurut Spielberger (dalam Riyanti, 2004), kecemasan adalah suatu
reaksi emosional yang tidak menyenangkan terhadap bahaya yang tidak nyata
atau imajiner, reaksi ini muncul bersama pengalaman otonom dan subyektif
yang dirasakan sebagai ketegangan, ketakutan, dan kegelisahan. Objek
kecemasan tidak spesifik. Kecemasan yang terus-menerus muncul dalam
hidup seseorang akan mengganggu kehidupannya. Gangguan kecemasan
menurut Beck adalah suatu gangguan memproses informasi tentang bahaya
dan kurangnya pemahaman kemampuan diri untuk mengatasinya. Pada
gangguan kecemasan, pusat gangguan bukanlah pada sistem afektif melainkan
pada skema kognitif. Menurut Beck, skema kognitif berhubungan dengan
suatu kepercayaan dan asumsi (dalam Wells, 1997).
Seseorang yang mengalami kecemasan tidaklah lepas dari pengaruh
adanya stresor yang muncul dalam hidupnya. Stresor-stresor yang dapat
menimbulkan kecemasan antara lain (Hartoyo, 2004) :
a. Ancaman terhadap integritas fisik, meliputi ketidakmampuan fisiologis
yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas
hidup sehari-hari. Hal ini dapat dikatakan sebagai faktor personal.
b. Ancaman terhadap sistem diri, yang dapat membahayakan identitas,
harga diri, dan fungsi integritas sosial yang biasanya muncul dari
lingkungan sekitar individu.
Seorang difabel yang mengalami kecacatan setelah kelahiran, mengalami
ancaman dari faktor personal dan lingkungan. Anggapan bahwa kecacatannya
telah merampas impian dan cita-cita yang ingin diraihnya, serta merasa takut
lingkungan sosial tidak menerima kondisi yang telah dialaminya, menjadikan
para difabel memiliki kecemasan terhadap sosialnya. Hal tersebut seperti
diungkapkan oleh Soetjiningsih (1995) dan Smet (1994) bahwa para difabel
beranggapan bahwa kecacatannya menjadi ”pagar tembok” dari kehidupan
masyarakat normal dan merasa tidak diperlakukan selayaknya orang normal,
sehingga muncul sikap apatis, rendah diri, cemas, bahkan depresi.
Reaksi terhadap stresor-stresor tersebut menjadikan seseorang ada
pada tingkatan kecemasan yang berbeda-beda. Menurut Peplau (dalam
Suliswati dkk., 2004), terdapat empat tingkatan kecemasan, yaitu :
a. Kecemasan ringan
Kecemasan ini berhubungan dengan ketegangan yang dialami
sehari-hari. Individu dengan tingkat kecemasan ini memiliki lapangan
persepsi yang luas, dapat menajamkan indera, dan masih ada
kewaspadaan, sehingga kondisi itu dapat memotivasi seseorang dalam
mencapai tujuan, mampu memecahkan masalah secara efektif, serta
menghasilkan pertumbuhan dan kreativitas.
b. Kecemasan sedang
Pikiran yang ada pada tingkatan ini hanya terfokus pada sesuatu
yang menjadi perhatiannya, ada penyempitan lapangan persepsi, tetapi
masih dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang lain.
c. Kecemasan berat
Ciri-ciri pada tingkat kecemasan ini adalah terdapatnya lapangan
persepsi yang sangat sempit, pusat perhatian pada detail yang kecil, tidak
dapat bepikir hal yang lain, perilakunya hanya tertuju untuk mengurangi
kecemasan, dan perlu banyak perintah untuk terfokus pada area lain.
d. Panik
Ciri-ciri individu yang memiliki panik adalah kehilangan kendali
diri, detail perhatian hilang, tidak mampu melakukan apapun meskipun
ada perintah/ arahan, ada peningkatan aktivitas motorik, berkurangnya
kemampuan interpersonal, penyimpangan persepsi, hilangnya pikiran
rasional, tidak mampu berfungsi secara efektif, dan biasanya ada
disorganisasi kepribadian.
Kecemasan ada bermacam-macam, salah satunya adalah kecemasan
sosial. Hal yang lebih ditekankan pada kecemasan sosial adalah penilaian
interpersonal terhadap individu tersebut. Individu yang mempunyai ketakutan
bahwa dirinya akan dinilai, cenderung akan mengalami kecemasan sosial
dibandingkan dengan individu yang tidak mempunyai ketakutan tersebut.
Penelitian pun mengindikasikan bahwa kecemasan terhadap penilaian sosial
dapat memunculkan masalah mental yang lebih parah, seperti depresi,
penyalahgunaan, dan fobia sosial (Sinniah, 2003).
Kecemasan sosial hanya dihubungkan dengan situasi sosial dan bukan
situasi yang lain. Menurut Schneier, onset dari kecemasan sosial adalah
selama usia remaja. Kecemasan sosial yang terjadi selama remaja
dihubungkan dengan masalah fungsi yang signifikan. Remaja-remaja ini
mempunyai pengalaman penghinaan/ memalukan dan kritikan yang
berlebihan, yang membentuk dugaan negatif terhadap perjumpaan dengan
orang lain di masa yang akan datang. Menurut Albano, remaja dengan
kecemasan sosial mempunyai ciri prestasi sekolah rendah, memiliki sedikit
teman, sulit menjalin persahabatan secara intim, dan meningkatnya
penggunaan alkohol (dalam Rheingold dkk., 2003).
Kecemasan sosial dapat dijelaskan melalui pendekatan kognitif, yaitu
(Hartman et al dalam Wells, 1997) :
a. Ketakutan kegagalan penampilan (performance) dan ketakutan pada
penilaian negatif.
b. Perhatian yang berfokus pada diri sendiri dalam simtom yang membuat
lebih buruk dan mengganggu penampilan.
Kecemasan sosial terjadi karena penyimpangan kognitif seseorang dalam
menghadapi situasi sosial. Menurut Barret dkk., penyimpangan ini disebabkan
adanya penilaian yang berlebihan dan penyimpangan interpretasi terhadap
situasi yang ambigu yang diinterpretasikan sebagai situasi yang mengancam
(dalam Rheingold dkk., 2003).
Menurut DSM IV-TR (dalam Kaplan dan Saddock, 1997), kriteria
diagnostik kecemasan sosial adalah :
a. Ketakutan yang jelas dan menetap terhadap satu/ lebih situasi sosial atau
ketakutan bertemu dengan orang asing dan kemungkinan diperiksa oleh
orang lain, sehingga individu merasa takut jika bertindak yang
memalukan.
b. Pemaparan dengan situasi sosial yang ditakuti hampir selalu
mencetuskan kecemasan, dapat berupa serangan panik yang
berhubungan dengan situasi atau dipredisposisi oleh situasi.
c. Orang menyadari bahwa ketakutan adalah berlebihan atau tidak
beralasan.
d. Situasi sosial dihindari atau kalau tetap dihadapi dengan cara kecemasan
atau penderitaan yang jelas.
e. Ada gangguan dalam rutinitas normal, fungsi pekerjaan (akademik), atau
aktivitas sosial atau hubungan dengan orang lain, atau terdapat
penderitaan yang jelas karena menderita kecemasan.
f. Pada individu di bawah 18 tahun, durasi paling sedikit 6 bulan.
Kecemasan sosial dapat dijelaskan sebagai suatu ketakutan/
kekhawatiran yang berlebihan atau tidak beralasan terhadap satu/ lebih situasi
sosial yang terjadi karena adanya penyimpangan kognitif, sehingga
mengganggu rutinitas sehari-hari.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Sosial
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan kecemasan sosial
adalah (Wells, 1997) :
a. Kepercayaan diri yang negatif (meragukan kemampuan dirinya),
b. Ketakutan terhadap kegagalan performance,
c. Ketakutan terhadap penilaian negatif.
Ahli-ahli lain menyatakan bahwa faktor predisposisi dari kecemasan sosial
dapat dijelaskan dalam beberapa teori, antara lain :
a. Teori biologis
1) Biokimia
Biokimia dan neurofisiologis berpengaruh pada etiologi, dan
kelainan-kelainan ini telah diselidiki.
2) Genetik
Penyelidikan akhir-akhir ini mengindikasikan bahwa kelainan
kecemasan paling sering ditemukan dalam populasi umum.
b. Teori Psikososial
1) Psikodinamika
Teori ini menurut Erikson, menganggap predisposisi untuk kelainan
kecemasan terjadi saat tugas-tugas yang diberikan pada tahap awal
perkembangan belum terpecahkan. Dalam berespons terhadap stres,
perilaku dihubungkan dengan penampilan tahap dini ini, seperti
regresi atau fiksasi dalam tahap perkembangan awal.
2) Interpersonal
Sullivan melengkapi respons kecemasan sebagai kesukaran dalam
hubungan interpersonal yang berawal dari hubungan ibu dan anak
(pemberi perawatan utama adalah ibu). Anak tidak menerima secara
mutlak kebutuhannya akan kasih sayang dan pemeliharaan. Usaha
yang sia-sia terhadap ”perolehan” kasih ini menghasilkan suatu ego
yang rentan.
3) Sosiokultural
Horney menyatakan bahwa kelainan kecemasan dipengaruhi oleh
suatu kontraindikasi yang banyak terjadi dalam masyarakat yang
mengkontribusi perasaan tidak aman atau ketidakberdayaan.
(dalam Townsend, 1995).
Faktor lain yang dapat diketahui menjadi penyebab munculnya
kecemasan sosial adalah kurangnya ketrampilan sosial, rendahnya harga diri,
kurangnya asertivitas, interaksi teman yang negatif, penerimaan sosial yang
rendah, lemahnya fungsi sosial, dukungan sosial yang rendah, dan persepsi/
penilaian seseorang (Ginsburg, dkk. dalam Herbert, Kia, & Kristy, 2004).
Kecemasan sosial yang terjadi pada diri seseorang pada pengertian ini
dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti personal/ diri individu sendiri,
kognitif seseorang, sosial budaya dan fungsi sosialnya, masa lalu yang
berhubungan dengan interaksi sosial, dan lain-lain.
3. Aspek-aspek Kecemasan Sosial
Situasi pemicu kecemasan sosial menurut Wells (1997) dan skala
Atrofiyati (1996) yaitu :
a. Situasi yang melibatkan interaksi sosial.
Situasi ini terjadi pertama kali pada waktu seorang indvidu
berhubungan dengan keluarga, khususnya ibu. Apabila dalam hubungan
ibu-anak, kebutuhan anak terpenuhi dengan baik, maka perkembangan
seseorang tidak mengalami hambatan (Gerungan, 2004). Selanjutnya,
hubungan semakin meluas yaitu dengan teman sebaya dan masyarakat.
Jika dalam hubungan ini terdapat hambatan dan konflik yang tidak
terselesaikan, akan menyebabkan gangguan secara psikologis dan
berdampak merugikan pada perkembangan hubungan sosial dan
ketrampilan sosial ( Herbert, Kia & Kristy, 2004).
b. Situasi seseorang diobservasi oleh orang lain.
Menurut Mattick dan Clark (dalam Wells, 1997), situasi ini dapat
diartikan terjadi pada waktu seseorang menjadi pusat perhatian orang di
sekitarnya. Sikap meragukan kemampuan diri dan mempunyai opini
negatif tentang masyarakat, memunculkan gangguan psikologis pada
seseorang.
Dua aspek situasi yang dapat mempengaruhi kecemasan sosial yaitu
situasi yang melibatkan interaksi sosial dan situasi dimana seseorang
diobservasi oleh orang lain.
4. Ciri-ciri Kecemasan Sosial
Simtom-simtom yang tampak pada individu yang mengalami
kecemasan sosial adalah jantung berdebar, menggigil dan tergoncang, merah
karena malu, berkeringat, dan lain-lain (Beidel dkk. dalam Rheingold dkk.,
2003). Menurut Townsend (1995), gejala kelainan kecemasan sosial antara
lain :
a. Gelisah, perhatian yang berlebihan, perasaan cemas, kekhawatiran yang
berlebihan, respons terkejut yang berlebihan, dan insomnia.
b. Pengulangan dan kelainan ingatan atau mimpi-mimpi tentang kejadian
traumatis, merasa sulit menghilangkan trauma tersebut, dan sukar
merasakan emosi.
Ciri-ciri/ tanda individu yang mengalami kecemasan sosial adalah
berkeringat, insomnia, perhatian berkurang, gelisah, jantung berdebar,
kepercayaan diri rendah, pemalu, dan lain-lain.
B. Dukungan Keluarga
1. Pengertian Dukungan Keluarga
Menurut Ritter, dukungan sosial mengacu pada bantuan emosional,
instrumental, dan finansial yang diperoleh dari jaringan sosial seseorang. Jadi,
segi fungsional dukungan sosial adalah dukungan emosional, mendorong
adanya ungkapan perasaan, pemberian nasihat/ informasi, serta pemberian
bantuan material. Dukungan sosial menunjuk pada hubungan interpersonal
yang melindungi orang terhadap konsekuensi negatif dari stres. Smet
mengutip pernyataan Gottlieb, yang menyatakan bahwa dukungan sosial
terdiri dari informasi atau nasihat verbal/ non verbal, bantuan nyata atau
tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapatkan karena
kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi
pihak penerima. Manfaat dukungan sosial mempengaruhi kesehatan dengan
melindungi orang itu terhadap efek negatif dari stres yang berat/ kuat.
Dukungan sosial juga meningkatkan penghargaan diri seseorang lebih tinggi
(dalam Smet, 1994). Hal tersebut diperkuat oleh Cohen (dalam Molt, dkk.
2007), bahwa tersedianya dukungan sosial mengurangi stres dan efek negatif
dan meningkatkan psikologis positif termasuk kualitas hidup .
Menurut Rodin dan Salovey (dalam Smet, 1994), perkawinan dan
keluarga merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting. Dukungan
dari keluarga dapat berasal dari orang tua serta saudara sekandung. Orang tua
diberi tanggungjawab bukan hanya memenuhi kebutuhan jasmani tetapi juga
dalam meningkatkan harga diri, prestasi akademik, kreativitas, dan
perkembangan kognitif, bahkan pembentukan moral serta spiritual. Kasih
yang tanpa pamrih dan cara menunjukkan rasa hormat serta rasa menghargai,
juga dapat diperoleh anak melalui orang tua (Friedman, 2003). Keluarga,
khususnya orang tua, dapat menjadi figur yang memberikan arahan,
memantau, mengawasi, dan membimbing remaja dalam menghadapi
permasalahan, bahkan tantangan di luar kemampuan mereka (Retnowati,
2005). Menurut Manurung dan Manurung, ayah mempunyai peranan dalam
memberikan dukungan sosial kepada anaknya, peran ayah sebagai kepala
keluarga bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan fisiologis anggota
keluarganya. Menurut Dagun, ibu merupakan guru pertama dan utama bagi
putra dan putrinya yang diharapkan memiliki keindahan, kelembutan, dan
kerendahan hati (dalam Ashriati, 2006).
Pengaruh dukungan orang tua dianggap sebagai faktor utama
pemeliharaan semua anak, entah dalam situasi traumatis atau dalam kehidupan
keluarga yang normal. Hal itu, seperti yang diungkapkan oleh Suryanto
(2008), pihak orang tua yang memenuhi fungsi asih, asuh, dan asah, serta mau
dan mampu meluangkan waktunya untuk anak-anaknya, dapat membuat anak
terpenuhi kebutuhan psikologisnya dan anak mampu mengatasi masalah
secara adaptif.
Selain dari orang tua, dukungan keluarga juga dapat berasal dari
saudara-saudara sekandung. Menurut Cicirelli (dalam Santrock, 2003),
beberapa contoh penelitian menyatakan bahwa saudara sekandung bisa lebih
kuat mempengaruhi remaja dibandingkan orang tuanya. Hal itu terlihat dari
cara mereka berkomunikasi dan cara memahami masalah lebih efektif,
daripada dengan orang tua.
Pengertian dukungan keluarga di sini dapat dijelaskan sebagai bantuan
interpersonal yang berasal dari orang tua dan saudara sekandung, dengan
tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan psikis dan fisik oleh pihak penerima
dukungan.
2. Aspek-aspek Dukungan Keluarga
Menurut Johnson dan Johnson (1991) serta Smet (1994) dukungan
keluarga adalah transaksi interpersonal yang melibatkan satu atau lebih aspek-
aspek berikut:
a. Perhatian emosi
Merupakan dukungan yang diwujudkan dalam bentuk kelekatan,
kepedulian, dan ungkapan emosi, sehingga timbul keyakinan bahwa
individu yang bersangkutan diperhatikan.
b. Bantuan instrumental
Wujudnya dapat berupa barang, pelayanan, dukungan keuangan,
menyediakan peralatan yang dibutuhkan, memberi bantuan, dan
melaksanakan berbagai aktivitas, memberi peluang waktu, serta
modifikasi lingkungan.
c. Bantuan informasi
Merupakan bantuan berupa nasihat, bimbingan dan pemberian
informasi. Informasi tersebut dapat membantu individu membatasi
masalahnya, sehingga individu mampu mencari jalan keluar untuk
mengatasi masalahnya.
d. Penilaian
Misal pemberian penghargaan atau pemberian penilaian yang
mendukung perilaku atau gagasan individu dalam bekerja maupun peran
sosial, yang meliputi pemberian umpan balik, informasi, atau penguatan.
Selanjutnya ditambahkan oleh Smet (1994), ada empat aspek yang
berhubungan dengan dukungan keluarga, yaitu:
a. Dukungan emosional : meliputi ungkapan empati, kepedulian dan
perhatian orang yang bersangkutan. Misal : umpan-balik, penegasan.
b. Dukungan penghargaan : ungkapan penghargaan positif untuk orang itu
dan dorongan maju berupa persetujuan dengan gagasan atau perasaan
individu. Misal : dukungan untuk orang yang kurang mampu/ lebih
buruk keadaannya).
c. Dukungan instrumental : mencakup bantuan langsung. Contoh :
menolong dengan pekerjaan waktu mengalami stres.
d. Dukungan informatif : memberi nasihat, petunjuk, saran, atau umpan-
balik. Ini dapat dilakukan untuk orang dengan prognosis penyakit yang
berat.
Pada skala Destrianitandy (2007) dan skala Asputri (2006) juga menyatakan
ada empat aspek dukungan keluarga, yaitu dukungan emosional, penghargaan,
instrumental, dan informatif.
Dukungan keluarga merupakan transaksi interpersonal yang meliputi
aspek dukungan emosional, penghargaan, instrumental, dan informatif.
3. Manfaat Dukungan Keluarga
Johnson dan Johnson (1991) mengungkapkan bahwa dukungan
keluarga dapat meningkatkan:
a. Produktivitas, melalui peningkatan motivasi, kualitas penalaran,
kepuasaan kerja, dan mengurangi dampak stres kerja.
b. Kesejahteraan psikologis dan kemampuan penyesuaian diri, melalui
perasaan memiliki kejelasan identitas diri, peningkatan harga diri,
pencegahan neurotisme dan psikopatologi, pengurangan distres, dan
penyediaan sumber yang dibutuhkan.
c. Kesehatan fisik, individu yang mempunyai hubungan dekat dengan
orang lain jarang terkena penyakit dan lebih cepat sembuh jika terkena
penyakit, dibandingkan dengan individu yang terisolasi.
Remaja membutuhkan dukungan dari orang tua untuk membantu mengatasi
permasalahan-permasalahan yang dihadapi dan menghadapi tuntutan
lingkungan sosial yang lebih luas yaitu masyarakat. Menurut Dagun,
dukungan itu dapat membantu remaja melakukan penyesuaian sosial yang
lebih baik terhadap lingkungan sosialnya dan membantu membentuk
kepribadian yang tangguh dalam menghadapi tuntutan lingkungan di masa
selanjutnya (dalam Putri, 2003).
Dukungan dan penerimaan oleh setiap anggota keluarga akan
memberikan ”energi” dan kepercayaan diri anak serta remaja terbelakang
mentalnya, membuat mereka lebih berusaha meningkatkan setiap kemampuan
yang dimilikinya, sehingga hal ini akan membantunya untuk dapat hidup lebih
mandiri serta lepas dari ketergantungan pada bantuan orang lain. Sebaliknya,
penolakan yang diterima dalam hidup mereka, akan membuat mereka semakin
rendah diri dan menarik diri dari lingkungan, ada perasaan ketakutan ketika
berhadapan dengan orang lain maupun untuk melakukan sesuatu, dan akhirnya
benar-benar menjadi seseorang yang tidak dapat berfungsi secara sosial serta
bergantung pada orang lain, termasuk dalam merawat diri sendiri (Heward
dalam Hendriani dan Tirta, 2006).
Sama halnya dengan difabel, menurut para ahli (dalam Ashriati, 2006),
dukungan keluarga menjadikan para remaja difabel dapat lebih terbuka dengan
kekurangannya, membuat mereka lebih maju berkembang dalam masyarakat,
pemberi semangat untuk mengeluarkan rasa takut, serta membangun
kepercayaan dirinya. Sadava dan Creary (1997), menyatakan bahwa dukungan
keluarga meningkatkan harga diri seseorang, kesejahteraan seseorang, dan
membentuk kebiasaan hidup yang sehat.
Dukungan keluarga dapat diwujudkan dalam bentuk tidak terlalu
memanjakan, memberikan tanggungjawab sesuai kemampuannya, mengajari
untuk melakukan kegiatan sehari-hari sendiri, mengajari mandiri, memberikan
informasi yang bermanfaat, serta memberikan waktu untuk saling sharing satu
sama lain antar anggota keluarga.
Manfaat yang dapat diperoleh dari dukungan keluarga adalah untuk
meningkatkan produktivitas diri, kesejahteraan psikologis dan membentuk
kepribadian yang tangguh, serta kesehatan fisik, yang semuanya itu menjadi
dasar dari stabilitas sosial.
C. Pusat Kendali Eksternal
1. Pengertian Pusat Kendali
Menurut Pervin, pusat kendali menyangkut kepribadian dan mewakili
harapan umum mengenai masalah faktor-faktor yang menentukan
keberhasilan kehidupan seseorang. Menurut Lefcourt, pusat kendali
merupakan derajat ketika individu memandang peristiwa dalam kehidupannya
sebagai konsekuensi internal atau eksternal (dalam Smet, 1994). Menurut
Daum dan Wiebe, pusat kendali adalah konsep yang menyebutkan tingkatan
seseorang yang merasa bagaimana perilakunya mempengaruhi kejadian
hidupnya. Jadi, dengan kata lain pusat kendali adalah sumber kontrol hidup
dan perilaku seseorang (dalam Ozmete, 2007).
Menurut Krueger, pusat kendali adalah dugaan secara umum seseorang
mengenai siapa atau apa yang bertanggungjawab terhadap suatu kejadian.
Pusat kendali adalah salah satu konsep yang menentukan sikap, perilaku,
pilihan, motivasi, keputusan, rencana, dan implementasi seseorang dalam
proses menejemen hidupnya (dalam Ozmete, 2007).
Pengertian pusat kendali dapat dijelaskan sebagai aspek kepribadian
yang berupa keyakinan individu akan kehidupannya yang dipengaruhi oleh
kondisi internal atau eksternal.
2. Faktor-faktor Pusat Kendali
Faktor-faktor yang mempengaruhi pusat kendali (dalam Ozmete
(2007) serta Bansal dan Jaswal (2006)) :
a. Status ekonomi keluarga
Pusat kendali internal terbentuk dari status ekonomi yang tinggi.
Sebaliknya, eksternal terbentuk dari status ekonomi yang rendah,
anggapan itu berasal dari kondisi mereka yang miskin, sehingga mereka
mempunyai kontrol hidup yang kecil.
b. Budaya
Berupa stabilitas budaya, aturan, hukum, dan kondisi lingkungan.
Seseorang yang merasa tidak tenteram secara sosial akan lebih menilai
bahwa kontrol hidupnya berasal dari luar (eksternal). Sebaliknya
menurut Marsh dan Richards, pengetahuan dan sikap positif ke arah
lingkungan, mengaktifkan keterlibatan dan menekankan pada kebebasan
dalam sosialisasi dapat mengembangkan pusat kendali internal.
c. Gaya dan struktur keluarga
Perkembangan pusat kendali internal berasal dari keluarga yang
juga percaya/ yakin dengan kekuatan internal, yaitu menekankan usaha,
pendidikan, dan tanggungjawab.
d. Pengalaman yang berhubungan dengan reward dan punishment.
Pusat kendali internal dan eksternal sama-sama memiliki hubungan
yang positif dengan hadiah dan hukuman.
e. Gaya pengasuhan keluarga
Menurut Scott, et al., gaya pengasuhan yang protektif dan permisif
telah ditemukan memiliki hubungan yang negatif dengan ketrampilan
interpersonal.
Faktor yang mempengaruhi pusat kendali adalah status ekonomi
keluarga, budaya, gaya dan struktur keluarga, pengalaman yang berhubungan
dengan reward dan punishment, serta gaya pengasuhan keluarga.
3. Macam-macam Pusat Kendali
Pusat kendali terdiri dari 2 macam, yaitu internal dan eksternal. Kedua
macam pusat kendali tersebut merupakan dua sisi yang berbeda dan
berlawanan. Individu yang mempunyai pusat kendali internal lebih cenderung
memandang bahwa hidup mereka, kemampuan, dan usaha merekalah yang
menentukan masa depan, sedangkan pusat kendali eksternal cenderung
memandang hidupnya ditentukan kesempatan, nasib, keberuntungan, dan
perilaku orang lain (Marsiglia dkk., 2007).
Sejalan dengan pendapat di atas, Spector (dalam Pandan&Djamaludin,
2006) menyatakan individu dengan pusat kendali internal akan mengandalkan
diri sendiri untuk medapatkan petunjuk, mandiri, dan tidak terpengaruh oleh
orang lain. Sebaliknya, individu dengan pusat kendali eksternal akan
mengharapkan bantuan dan pemenuhan kebutuhan dari orang lain. Menurut
Antonides (dalam Wahyu, 2004), orang yang memiliki orientasi kontrol
internal menunjukkan usaha yang lebih baik ketika menghadapi suatu tugas
yang membutuhkan ketrampilan, daripada suatu hal yang membutuhkan
keberuntungan.
Selanjutnya dikatakan oleh Riyanti (2004), orientasi pusat kendali
internal akan cenderung menilai suatu kejadian yang tidak menyenangkan
sebagai suatu situasi berbahaya, karena pemikiran-pemikiran yang cenderung
ke arah sisi peran manusianya bukan ke arah peran faktor eksternal, sehingga
kecemasan dasarnya cenderung tinggi dan kecemasan sesaatnya mudah
tergugah. Lain halnya dengan pusat kendali eksternal, cenderung menilai suatu
kejadian yang tidak menyenangkan sebagai situasi yang tidak berbahaya.,
sehingga kecemasan dasarnya cenderung rendah dan kecemasan sesaat tidak
mudah tergugah. Tingkat kecemasan pada pusat kendali eksternal rendah atau
lebih rendah daripada pusat kendali internal.
Pusat kendali terdiri dari dua jenis yaitu internal dan eksternal. Pusat
kendali internal lebih berfokus pada diri sendiri, sedangkan pusat kendali
eksternal berfokus di luar diri individu. Pusat kendali eksternal memiliki
kecemasan lebih rendah daripada pusat kendali internal.
4. Aspek-aspek Pusat Kendali
Menurut skala IPC-Locus of Control (dalam Azwar, 2007), pusat
kendali memiliki tiga aspek sebagai berikut :
a. Internal (I) : keyakinan seseorang bahwa kejadian-kejadian
dalam hidupnya ditentukan oleh kemampuan
dalam diri sendiri.
b. Powerful other (P) : keyakinan seseorang bahwa kejadian-kejadian
dalam hidupnya ditentukn terutama oleh orang
lain yang lebih berkuasa.
c. Chance (C) : keyakinan dalam diri seseorang bahwa
kejadian-kejadian dalam hidupnya ditentukan
oleh nasib, peluang, dan keberuntungan.
Aspek untuk pusat kendali eksternal ada dua yaitu powerful other (P) dan
chance (C), sedangkan internal (I) adalah aspek pusat kendali yang bersifat
internal. Skala Rahmawati (2007) juga menyatakan ada dua aspek pusat
kendali eksternal yaitu powerful other (P) dan chance (C).
Pusat kendali memiliki aspek internal (I), powerful other (P) serta
chance (C).
D. Remaja Difabel
1. Pengertian Remaja Difabel (Tunadaksa)
Tunadaksa (difabel) adalah suatu keadaan rusak atau terganggu
sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi
dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit,
kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir (dalam
Somantri, 2006). Pendapat yang sama diungkapkan oleh Ashriati (2006),
difabel identik dengan suatu keadaan seseorang mempunyai kekurangan pada
keadaan fisiknya atau suatu keadaan yang abnormal pada fisik individu.
Yusuf (2004) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang
banyak menarik perhatian karena sifat-sifat khasnya dan peranannya yang
menentukan dalam kehidupan individu dalam masyarakat orang dewasa. Masa
ini, tidak sedikit mereka yang mengalami kesukaran sehingga kesehatan
terganggu, jiwanya gelisah dan cemas, pikirannya terhalang menjalankan
fungsinya, dan kadang-kadang kelakuannya bermacam-macam
(Daradjat,1990). Rentang usia remaja berkisar antara 12-25 tahun. Menurut
Petro (dalam Sarwono, 2000) dan Yusuf (2004), tahap perkembangan remaja
sebagai berikut :
a. Remaja awal
Pada masa ini, memiliki ciri-ciri :
1) Terheran-heran dengan perubahan tubuhnya dan ada dorongan-
dorongan yang menyertai perubahan.
2) Mengembangkan pikiran baru.
3) Cepat tertarik pada lawan jenis.
4) Mudah terangsang secara erotis.
5) Berkurangnya kendali terhadap ”ego”.
b. Remaja madya
Ciri-cirinya :
1) Membutuhkan kawan-kawan atau ada perasaan senang jika banyak
teman yang menyukainya.
2) Kecenderungan narsistik (mencintai diri sendiri).
c. Remaja akhir
Ciri-ciri yang tampak :
1) Minat yang makin mantap terhadap fungsi intelek.
2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan
dalam pengalaman yang baru.
3) Terbentuk identitas seksual yang tidak berubah lagi.
4) Egosentrisme diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri
sendiri dengan orang lain.
Pada usia remaja akhir, tugas perkembangan remaja sudah mencapai
pemantapan pendirian hidup untuk menuju masa dewasa (Yusuf, 2004).
Faktor hambatan yang mempengaruhi penguasaan tugas
perkembangan dari remaja adalah (Hurlock, 2005) :
a. Kelambatan dalam tingkat perkembangan, baik fisik maupun mental,
b. Kesehatan buruk yang mengakibatkan energi dan tingkat kekuatan
rendah,
c. Cacat tubuh yang mengganggu,
d. Tiadanya kesempatan untuk belajar apa yang diharapkan kelompok
sosial,
e. Tiadanya bimbingan dalam belajar,
f. Tiadanya motivasi untuk belajar,
g. Rasa takut untuk berbeda.
Remaja difabel adalah suatu kelompok usia antara 12-25 tahun yang
mengalami kekurangan atau ketunaan dalam hal fisik. Seperti halnya dengan
kelompok seusianya, remaja ini masih banyak mengalami pertumbuhan dan
perkembangan baik fisik maupun aspek psikologis. Tetapi dengan adanya
ketunaan atau kekurangan dalam fisiknya, hal itu dapat menghambat atau
memperlambat bahkan menghentikan setiap perkembangan tersebut (Monks
dkk., 1991). Seperti yang dinyatakan oleh Damayanti dan Rostiana (2003),
akibat dari kecacatan yang dialami para difabel adalah seringkalinya mereka
menghadapi masalah, baik secara emosi, sosial, dan pekerjaan.
Remaja difabel adalah mereka yang berada pada usia sekitar 12 – 25
tahun yang mengalami kecacatan/ ketunaan yang menyebabkan perubahan
fisiologis, psikologis, sosial, dan pekerjaan.
2. Klasifikasi Difabel
Menurut Somantri (2006), klasifikasi difabel yaitu kerusakan yang
dibawa sejak lahir atau keturunan, kerusakan pada waktu kelahiran, kerusakan
karena infeksi, kerusakan traumatik, tumor, dan lain-lain. Ketunadaksaan
dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
a. Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran :
1) Faktor keturunan,
2) Trauma dan infeksi pada waktu kehamilan,
3) Usia ibu yang sudah lanjut pada waktu melahirkan anak,
4) Pendarahan pada waktu kehamilan,
5) Keguguran yang dialami ibu.
b. Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran :
1) Penggunaan alat-alat pembantu kelahiran,
2) Penggunan obat bius pada waktu kelahiran
c. Sebab-sebab sesudah kelahiran :
1) Infeksi,
2) Trauma,
3) Tumor,
4) Kondisi-kondisi lainnya.
Derajat kecacatan menurut WHO (dalam Moersintowarti dkk., 2005) yaitu :
a. Impairment
Kehilangan/ ketidaknormalan pada hal-hal yang menyangkut psikis
fisiologis baik struktur maupun fungsinya. Misalnya : kehilangan/ cacat
bagian tubuh, amputasi lengan/ kaki, paralisis oleh karena polio,
kapasitas pernapasan yang terbatas, rabun dekat, mental retardasi, serta
kapasitas pendengaran yang terbatas.
b. Disability
Keterbatasan/ kekurangan dari kemampuan untuk melaksanakan
aktivitas yang biasanya dapat dikerjakan oleh orang normal sebagai
akibat dari “impairment“. Misalnya : kesukaran berjalan, melihat,
berbicara, mendengar, membaca, menulis, menghitung, berkomunikasi
dengan orang-orang di sekitarnya. Bila impairment bersifat sementara/
permanen, disability juga dapat berlangsung dalam waktu pendek/ lama.
c. Handicap
Suatu kerugian yang diderita oleh individu akibat impairment dan
disability yang menghalangi tercapainya keadaan normal. Misalnya :
hubungan antara kemampuan seseorang untuk mengerjakan sesuatu yang
dapat dikerjakan oleh orang lain, tidak dapat berinteraksi dengan anak
lain, serta mengkomunikasikan pikiran dan kehendaknya.
Kecacatan/ ketunaan fisik dapat digolongkan menjadi tiga yaitu
impairment, disability, dan handicap, yang semuanya itu dapat terjadi pada
waktu sebelum kelahiran, kelahiran, dan sesudah kelahiran.
3. Status Perkembangan Remaja Difabel
Menurut LeMaistre (dalam Damayanti dan Rostiana, 2003), terdapat
enam tahapan emosi menuju suatu kondisi kesejahteraan psikis, setelah
seseorang mengalami peristiwa yang berat, seperti kecelakaan yang
menyebabkan keberbedaan atau kecacatan fisik. Keenam tahapan tersebut
mencakup :
a. Crisis, timbul rasa terguncang (shock) dan terkejut ketika individu
menghadapi kenyataan yang sesungguhnya. Pada tahap ini diwarnai oleh
perasaan bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, ketika
mengetahui bahwa anggota tubuhnya tidak lagi bisa berfungsi.
b. Isolation (perasaan terasing), semakin berat cacatnya semakin terbatas
ruang gerak yang dimiliki serta aktivitas pun menjadi semakin
berkurang, misalnya kalau dulu dapat bermain dan berkumpul dengan
teman dan saudara, kini hal tersebut sulit dilakukan. Ketidaksiapan
menghadapi reaksi atau pertanyaan lingkungan turut menambah
intensitas keterasingan tersebut.
c. Anger (tahap kemarahan), muncul ketika keterasingan dan stres semakin
terakumulasi dan akhirnya meledak dalam bentuk kemarahan. LeMaistre
juga berpendapat bahwa reaksi kemarahan dapat muncul di awal tahapan
emosi, karena mereka merasakan ketidakadilan (“mengapa harus saya
yang mengalaminya?”). Pada tahap ini, orang-orang terdekat perlu
mewaspadai, karena dapat mengarah pada tindakan destruktif, seperti
melukai diri sendiri atau berusaha bunuh diri.
d. Reconstruction, didahului oleh adanya penerimaan diri dan berlanjut
dengan perasaan mampu serta yakin untuk berubah menjadi lebih baik.
Tahap ini disebabkan adanya kesadaran bahwa dengan kemarahan tidak
menjadikan kondisi semakin membaik, maka muncul keinginan untuk
memperbaiki keadaan. Beberapa karakteristik yang tampak antara lain
perasaan jenuh dan jengkel dengan rutinitas perawatan, muncul
keinginan untuk berbuat sesuatu yang lain, adanya kemauan, serta
tanggungjawab. Difabel yang menyukai humor lebih mudah untuk
beradaptasi dan perasaan gembira dapat membantu upaya untuk berubah.
e. Intermittent depression, munculnya tahap ini, saat individu merasa
adanya kendala dalam tahap rekonstruksi dan tidak adanya dukungan,
maka usaha yang dilakukan terasa sia-sia. Kondisi depresi muncul
karena ketakutan akan masa depan, takut kondisi tubuhnya betambah
parah, tidak berdaya serta ketergantungan kepada orang yang tidak dapat
diandalkan. Hal itu dipertegas oleh LeMaistre, dengan melihat adanya
phantom psyche, yaitu suatu kondisi penyangkalan terhadap realita yang
ditandai dengan seringnya muncul pertanyaan “andai saja ……”.
f. Renewal, tahap ini muncul ketika fenomena dan segala kendala dapat
diatasi oleh individu yang bersangkutan. Ditandai dengan
diketemukannya kembali aspek-aspek yang berharga dalam dirinya,
sehingga dapat menggantikan rasa sedih, rasa kehilangan, rasa takut, dan
kekecewaan. Secara sadar individu menerima kondisi dirinya dengan
segala kekurangan serta konsekuensinya, sehingga dapat menikmati
kehidupannya. Mereka menemukan cara untuk mengurangi
kecemasannya dan tidak lagi meratapi nasib atau merasa bersalah atas
keadaan dirinya, sehingga tidak merasa malu jika harus meminta
bantuan. Individu juga merasakan adanya suatu potensi dalam dirinya
untuk bersikap tabah, berkemauan keras, dan menerima diri, sehingga
dapat memaafkan dirinya atas keterbatasan yang dimiliki.
Ditambahkan oleh Tirza dkk. (2007), bahwa individu yang memiliki
cacat fisik akan bereaksi khas sebagai berikut :
a. Mudah putus asa,
b. Merasa tidak dipahami,
c. Pasrah,
d. Ketergantungan yang besar kepada orang lain,
e. Pasif dalam mencari pertolongan.
Reaksi-reaksi itu didukung oleh pernyataan Hilmansyah dan Adler, yang
menyatakan bahwa individu difabel memiliki perasaan inferioritas, yaitu
kecenderungan menutup diri dan selalu menyendiri serta muncul kecemasan,
kesedihan, malu, serta segan disebabkan keadaan fisik yang memalukan. Hal
itu dapat membuat kemampuan sosialisasinya terhambat (dalam Dianawati
dkk, 2005).
Menurut Hurlock (2005), perkembangan remaja difabel sebagai
berikut :
a. Status perkembangan berada di bawah anak sebaya yang normal, karena
biasanya terlalu dilindungi, umumnya kurang dapat belajar ketrampilan
untuk mandiri dan kehilangan kesempatan yang baik.
b. Mereka merasa tidak pernah diajak bermain dengan teman, sehingga
berakibat anak menjadi enggan dan kurang minat untuk sekolah.
c. Ketrampilan bermain, seringkali mereka tidak mungkin turut serta
bermain, maka mereka menjadi kurang mampu mengembangkan
ketrampilan bergaul dan merasa ditolak.
d. Penyesuaian sosial, mereka kehilangan kesempatan untuk belajar
caranya berhubungan dengan orang lain, sehingga dikatakan daya
penyesuaian sosial menjadi buruk dan sering memperlihatkan perilaku
secara sosial yang kurang dapat diterima.
e. Pola kepribadian mereka menunjukkan kepribadian yang cenderung
menarik diri dari pergaulan, kurang daya sosiabilitasnya, merasa rendah
diri, dan selalu merasa naas.
Perkembangan fisik anak difabel secara umum dapat dikatakan hampir
sama dengan anak normal, kecuali bagian-bagian tubuh yang mengalami
kerusakan atau bagian-bagian tubuh lain yang terpengaruh oleh kerusakan
tersebut. Tampak atau tidak tampaknya keadaan difabel merupakan faktor
yang penting dalam penyesuaian diri anak difabel dengan lingkungannya,
karena hal itu sangat berpengaruh terhadap sikap dan perlakuan anak-anak
normal terhadap anak-anak difabel (Somantri, 2006).
Status perkembangan remaja difabel adalah mereka mengalami
perkembangan fisik, psikis, dan sosial yang terganggu. Gangguan
perkembangan fisik hanya terdapat di bagian fisik yang mengalami ketunaan,
sedangkan secara psikis terdapat gangguan emosional dan pola kepribadian,
yang semuanya itu dapat mempengaruhi penyesuaian sosialnya.
E. Hubungan antara Dukungan Keluarga dan Pusat Kendali Eksternal
dengan Kecemasan Sosial
Ketunadaksaan yang dialami oleh individu saat usia pertumbuhan atau
pada masa belajar, merupakan hal yang mendadak baginya karena dia pernah
mengalami kehidupan layaknya orang normal, sehingga keadaan ketunaan
atau kecacatan tersebut dianggap sebagai suatu kemunduran dan sulit untuk
diterima oleh anak yang bersangkutan.
Kondisi ketunadaksaan menjadikan para difabel putus asa, merasa
tidak berguna, bingung, bahkan mungkin ada rencana untuk mengakhiri
hidupnya. Apalagi kejadian itu terjadi pada masa remaja. Hal tersebut dapat
diperparah dengan suatu pemikiran yang mengarah pada kehidupan sosial
mereka. Mereka berpikir kalau orang-orang bakal menjauhi dia, menghina,
dan menilai negatif mereka, sehingga membuat mereka menjauhi lingkungan
sosial dan lebih suka menyendiri. Pada akhirnya, pemikiran tersebut akan
mempengaruhi kondisi psikologis seseorang, seperti munculnya perasaan
cemas pada situasi sosial. Kecemasan sosial tersebut dapat menghambat atau
menutup akses individu untuk menjadi berhasil dalam hidupnya.
Pada kondisi seperti itulah, remaja membutuhkan dorongan, nasihat,
perhatian, kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya, terutama keluarga. Hal
itu dipandang bahwa sampai kapan pun, keluargalah yang lebih mengerti dan
memahami dirinya. Pada akhirnya, mereka dapat kembali pada lingkungan
masyarakat tanpa harus ada kecemasan sosial.
Penelitian sebelumnya dari Brenes dkk. (2005) menyatakan bahwa
kurangnya dukungan emosional memiliki hubungan yang signifikan dengan
simtom kecemasan dan Davis dkk. (2009), hubungan yang baik dengan
keluarga adalah peran utama dalam kualitas hidup pada remaja cerebral palsy.
Selain keluarga, remaja difabel juga membutuhkan suatu keyakinan
bahwa yang terjadi dalam dirinya merupakan sesuatu yang sudah menjadi
nasib dan akan mendatangkan hikmah dalam hidupnya. Keyakinan itu disebut
pusat kendali eksternal. Remaja yang memiliki keyakinan bahwa apa yang
terjadi dalam hidupnya dipengaruhi oleh nasib, keberuntungan, dan orang lain,
akan mempunyai perasaan “semeleh” pada segala sesuatu yang terjadi dalam
hidupnya. Adanya perasaan itu, kecacatan yang terjadi dalam dirinya, akan
menjadikan mereka berpikir bahwa segala sesuatunya itu ada hikmahnya.
Pada akhirnya, perasaan tenang dan kecemasan menjadi rendah.
Kondisi itu disebabkan mereka tidak berfokus pada usaha dan
kemampuan sendiri, tetapi ada hal adikodrati (berkaitan dengan suratan takdir
dari Tuhan Yang Maha Kuasa) yang mempengaruhi/ menjadikan hidupnya
seperti itu. Jadi, kendali yang berfokus eksternal membuat kecemasan sosial
rendah.
Penelitian yang mendukung hubungan antara pusat kendali eksternal
dengan kecemasan adalah pernyataan Cruickshank (dalam Ayu, 2001) yang
menyatakan bahwa remaja dengan difabel yang memiliki pusat kendali
eksternal lebih mudah menyesuaikan diri karena berpikir bahwa keadaan
mereka ditentukan oleh keberuntungan, takdir, kesempatan atau rahmat Tuhan
dan penelitian Riyanti (2004) menyatakan bahwa tingkat kecemasan seseorang
cenderung rendah jika orang tesebut memiliki orientasi pusat kendali
eksternal.
Dengan demikian, dukungan keluarga dan pusat kendali eksternal
dapat menurunkan kecemasan sosial yang dialami individu, sehingga mereka
dapat berfungsi secara optimal.
F. Kerangka Pemikiran
Bagan 1. Kerangka Pemikiran
REMAJA DIFABEL KECEMASAN SOSIAL
DUKUNGAN KELUARGA
PUSAT KENDALIEKTERNAL
Seseorang yang awal hidupnya memiliki fisik normal, lalu tiba-tiba
mengalami kecelakaan atau penyakit yang menyebabkan ketidakberfungsiannya
salah satu atau lebih anggota tubuhnya, menjadikan mereka mengalami gangguan
psikologis dan sosial. Kondisi gangguan itu saling berkaitan dan salah satunya
dapat disebut kecemasan sosial. Kondisi demikian, remaja membutuhkan
dukungan dari orang yang terdekat dan suatu pemikiran yang benar tentang setiap
kejadian dalam hidupnya.
Kecemasan sosial pada remaja difabel rendah, ketika memperoleh
dukungan keluarga yang tepat dan remaja tersebut lebih dominan memiliki pusat
kendali eksternal. Dukungan keluarga menjadikan seseorang terhindar dari
gangguan psikologis dan pusat kendali eksternal memunculkan perasaan pasrah
dan percaya bahwa segala sesuatunya mendatangkan hikmah.
G. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah penelitian,
yang kebenarannya masih harus diuji secara empirik (Narbuko dan Achmadi,
2003).
Dalam penelitian ini, peneliti mengajukan hipotesis, yaitu terdapat
hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dan pusat kendali eksternal
dengan kecemasan sosial pada remaja difabel di Balai Besar Rehabilitasi Sosial
Bina Daksa (BBRSBD) Prof. DR. Soeharso Surakarta.
BAB III
METODE PENELITIAN
Hadi (1994) mengatakan bahwa metode penelitian merupakan masalah
yang sangat penting dalam suatu penelitian dan sangat mempengaruhi hasil dari
suatu yang dilakukan.
A. Identifikasi Variabel
Penelitian ini terdapat tiga variabel yang akan diteliti, yaitu :
Variabel tergantung : Kecemasan sosial
Variabel bebas : a. Dukungan keluarga
b. Pusat kendali eksternal
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Definisi operasional variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Kecemasan Sosial
Kecemasan sosial adalah kekhawatiran yang berlebihan atau tidak
beralasan terhadap satu/ lebih situasi sosial yang terjadi karena adanya
penyimpangan kognitif seseorang, sehingga mengganggu rutinitas sehari-
hari. Alat ukur yang digunakan dalam mengukur kecemasan sosial adalah
skala kecemasan sosial yang di modifikasi oleh peneliti berdasarkan dua
aspek dari Wells (1997) dan skala Atrofiyati (1996) yaitu aspek situasi
interaksi sosial dan situasi seseorang diobservasi oleh orang lain. Skala
kecemasan sosial ini menggunakan skala Likert dengan skoring 1 sampai 4
yang terdiri atas aitem favourable serta non favourable. Semakin tinggi
skor yang diperoleh, maka semakin tinggi kecemasan sosial pada remaja
difabel fisik.
2. Dukungan keluarga
Dukungan keluarga adalah bantuan interpersonal yang berasal dari orang
tua dan saudara kandung, dengan tujuan meningkatkan produktivitas diri,
kesejahteraan psikis, dan membentuk kepribadian yang tangguh, serta
kesehatan fisik bagi penerima dukungan. Aspek dukungan keluarga dapat
berupa emosional, penghargaan, instrumental, serta informatif. Alat
ukurnya menggunakan skala dukungan keluarga yang dimodifikasi oleh
peneliti dari skala Destrianitandy (2007) dan Asputri (2006) berdasarkan
empat aspek tersebut. Skala dukungan keluarga juga menggunakan skala
Likert dengan skoring 1 sampai 4 yang terdiri atas aitem favourable serta
non favourable. Semakin tinggi skor yang diperoleh pada skala, maka
semakin baik atau besar dukungan keluarga yang didapatkan oleh remaja
difabel fisik.
3. Pusat kendali eksternal
Pusat kendali eksternal merupakan aspek kepribadian yang berupa
keyakinan individu akan kehidupannya yang dipengaruhi oleh nasib,
keberuntungan, dan perilaku orang lain. Pengukuran pusat kendali dengan
menggunakan skala pusat kendali eksternal yang dimodifikasi oleh peneliti
dari skala Levenson (Azwar, 2007) dan skala Rahmawati (2007) yang
didasarkan pada aspek powerful other dan chance. Skala ini juga
menggunakan skala Likert dengan skoring 1 sampai 4 yang terdiri atas
aitem favourable serta non favourable. Semakin tinggi skor yang
dihasilkan, maka semakin eksternal pusat kendali yang dimiliki.
C. Populasi, Sampel, dan Sampling
1. Populasi
Populasi merupakan besarnya anggota serta wilayah penelitian yang
dicakup (Usman dan Akbar, 2004). Populasi dalam penelitian ini adalah
remaja difabel yang mengalami kecacatan bukan bawaan (usia 17-25 atau
masa remaja akhir) di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Prof. Dr.
Soeharso di Surakarta dan memiliki IQ normal. Populasi berjumlah 120 orang.
2. Sampel
Responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah 120 orang sesuai
dengan kriteria populasi. Tryout melibatkan 20 orang dan penelitian
melibatkan 100 orang.
3. Sampling
Penelitian ini menggunakan studi populasi, yaitu penelitian yang
meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah populasi. Objek pada populasi
diteliti, hasilnya dianalisis, disimpulkan, dan kesimpulan itu berlaku untuk
seluruh populasi (Arikunto, 1998)
D. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan penelitian korelasional. Tujuan penelitian
korelasional yaitu menemukan hubungan dua variabel atau lebih (Arikunto,
2006). Penelitian ini mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dan
pusat kendali eksternal dengan kecemasan sosial pada remaja difabel.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala
psikologi, sebagai berikut :
a. Kecemasan sosial
Kecemasan sosial dalam penelitian ini diungkap dengan
menggunakan skala kecemasan sosial yang di modifikasi oleh peneliti
dengan berdasarkan aspek situasi interaksi sosial dan situasi seseorang
diobservasi oleh orang lain dari Wells (1997) dan skala Atrofiyati (1996).
Blue print skala kecemasan sosial dapat dilihat pada tabel 1 di
bawah ini :
Tabel 1
Blue Print Skala Kecemasan Sosial
NO. ASPEKINDIKATORPERILAKU
NO. AITEMTOTAL
FAVOURABLE UNFAVOURABLE
1.Situasi
InteraksiSosial
a. PenerimaanSosial.
5, 15, 27,36, 44
6, 22, 31, 41, 50 10
b. Pergaulandengan oranglain.
1, 10, 39, 42 4, 11, 34, 37, 48 9
c. Komunikasidengan oranglain.
7, 9, 21, 25,29, 45
24, 26, 33, 38,40
11
2.
Situasiseseorang
diobservasioleh orang
lain
a. Perhatianyangberfokuspada dirisendiri.
8, 12, 16,43, 35
13, 14, 20, 32,47
10
b. Penilaianorang lain.
3, 18, 19,28, 46
2, 17, 23, 30, 49 10
TOTAL 25 25 50
Penskalaan respons pada skala kecemasan sosial dengan
menempatkan empat pilihan jawaban termasuk pada suatu kontinum
kuantitatif, sehingga titik angka pilihan jawaban tersebut menjadi nilai
atau skor yang diberikan bagi tiap-tiap jawaban. Format respons, tersebut
adalah :
Aitem favourable (F) :
SS (sangat setuju) = 4
S (setuju) = 3
TS (tidak setuju) = 2
STS (sangat tidak setuju) = 1
Aitem unfavourable (UF) :
STS (sangat tidak setuju) = 4
TS (tidak setuju) = 3
S (setuju) = 2
SS (sangat setuju) = 1
b. Dukungan keluarga
Pengukuran dukungan keluarga berupa skala dukungan keluarga
yang dimodifikasi oleh peneliti dari skala Destrianitandy (2007) dan
Asputri (2006) berdasarkan aspek emosional, penghargaan, instrumental,
dan informatif yang terdapat pada Johnson dan Johnson (1991) serta Smet
(1994).
Blue print skala dukungan keluarga dapat dilihat pada tabel 2
berikut ini :
Tabel 2
Blue Print Skala Dukungan Keluarga
NO. ASPEKINDIKATORPERILAKU
NO. AITEMTOTAL
FAVOURABLE UNFAVOURABLE
1. Emosionala. Perhatian 24, 31 9, 43 4
b. Kepedulian 30, 37 3, 32, 38 5c. Penerimaan 12, 20 27, 49 4
2. Penghargaana. Pujian 1, 2, 35, 39 4, 5, 45 7
b. Dorongan/semangat
13, 23 16, 29, 40 5
3. Instrumentala. Finansial
10, 18, 19,28
21, 22, 26, 47 8
b. Penyediaanwaktu
25, 42, 50 7, 15 5
4. Informatifa. Nasihat 8, 41 34, 36 4
b. Petunjuk 6, 14 17, 44 4c. Saran 33, 46, 48 11 4
TOTAL 26 24 50
Penskalaan respons pada skala dukungan keluarga sama dengan
skala kecemasan sosial, yaitu:
Aitem favourable (F) :
SS (sangat setuju) = 4
S (setuju) = 3
TS (tidak setuju) = 2
STS (sangat tidak setuju) = 1
Aitem unfavourable (UF) :
STS (sangat tidak setuju) = 4
TS (tidak setuju) = 3
S (setuju) = 2
SS (sangat setuju) = 1
c. Pusat kendali eksternal
Pengukuran pusat kendali eksternal dilakukan dengan skala pusat
kendali eksternal yang terdiri atas aspek powerful other dan chance yang
dimodifikasi dari skala Levenson (Azwar, 2007) dan skala Rahmawati
(2007).
Blue print skala pusat kendali eksternal dapat dilihat pada tabel 3
di bawah ini :
Tabel 3
Blue Print Skala Pusat Kendali Eksternal
NO. ASPEKINDIKATORPERILAKU
NO. AITEMTOTAL
FAVOURABLE UNFAVOURABLE
1.Powerfull
other
a. Keyakinantentang orangyang berkuasadalamhidupnya.
3, 6, 7, 13,15, 23, 35,43, 46
4, 20, 31, 33 13
b. Keyakinantentang suratantakdir dariYang MahaKuasa.
11, 19, 38,42, 44
12, 16, 29,41, 49
10
2. Chance
a. Keyakinantentang nasib.
5, 25, 40, 50 2, 18, 30, 8,45
9
b. Keyakinantentangpeluang.
9, 17, 21, 37 14, 24, 26,36, 47
9
c. Keyakinantentangkeberuntungan.
1, 28, 27, 34 10, 22, 32,39, 48
9
TOTAL 26 24 50
Penskalaan skor pada skala pusat kendali eksternal, yaitu :
Aitem favourable (F) :
SS (sangat setuju) = 4
S (setuju) = 3
TS (tidak setuju) = 2
STS (sangat tidak setuju) = 1
Aitem unfavourable (UF) :
STS (sangat tidak setuju) = 4
TS (tidak setuju) = 3
S (setuju) = 2
SS (sangat setuju) = 1
E. Validitas dan Reliabilitas
Suatu skala dinamakan representatif, fungsional, dan akurat bila skala
tersebut memiliki unsur validitas dan reliabilitas yang tinggi, oleh karena itu
sebelum skala tersebut dikenakan pada subjek penelitian yang sesungguhnya
dilakukan uji coba untuk memperoleh validitas dan reliabilitas.
1. Validitas
Azwar (2007) menyatakan bahwa validitas berasal dari kata
validity yang berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur
dalam melakukan fungsi ukurnya. Instrumen dikatakan memiliki validitas
tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan
hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran.
Koefisien validitas berkisar 0,3 – 1,0.
Uji validitas menggunakan korelasi product moment Pearson.
Sebelum dilakukan penghitungan tersebut, terlebih dahulu melalui
validitas tampang/ muka dari proffesional judgements. Selanjutnya,
dilakukan penghitungan dengan rumus korelasi product moments Pearson,
kemudian pengecekan kelebihan bobot dan corrected item total
correlation.
Untuk uji validitas, rumus yang digunakan adalah korelasi product
moment Pearson yaitu :
xyr
2222
YYNXXN
YXXYN(Arikunto, 2006)
r xy = indeks korelasi antara variabel X dan variabel Y.
X = jumlah skor tiap aitem (X)
Y = jumlah skor tiap responden (Y)
N = jumlah responden
Alasan menggunakan korelasi product moment Pearson adalah
data dalam penelitian ini termasuk data interval dan variabelnya bersifat
kontinu.
2. Reliabilitas
Menurut Azwar (2007), reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu
pengukuran dapat dipercaya. Koefisien reliabilitas berkisar 0,0 – 1,0.
Reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan Alpha Cronbach, karena
dapat digunakan pada jumlah aitem genap atau ganjil. Rumus Alpha :
)1)(1
(2
2
11
x
j
s
s
k
kr
(Azwar, 1997)
11r = reliabilitas alat ukur
2
xs = varians skor tes
2
js = jumlah varians belahan j
k = banyaknya soal
F. Analisis Data
Analisis data digunakan untuk memperkirakan/ memperhitungkan
besar pengaruh secara kuantitatif dari perubahan suatu kejadian terhadap suatu
kejadian lainnya, kemudian meramalkan. Analisis data dalam penelitian ini
adalah analisis regresi (Hadi, 1994). Perhitungan analisis ini menggunakan
program SPSS 16.0 for Windows.
Analisis regresi yang dipakai adalah regresi ganda, yaitu suatu analisis
yang digunakan untuk meramalkan pengaruh dua variabel prediktor atau lebih
terhadap satu variabel kriterium atau untuk membuktikan ada atau tidaknya
hubungan fungsional antara dua buah variabel bebas (X) atau lebih dengan
sebuah variabel terikat (Y) (Usman dan Purnomo, 2003). Sebelum
dilakukannya analisis regresi ganda, terlebih dahulu data yang sudah
terkumpul harus dapat lolos dari persyaratan-persyaratan sebagai berikut
(Sudjana, 1992):
1. Uji normalitas data
Pengujian normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model
regresi, variabel pengganggu memiliki distribusi normal.
2. Uji linearitas dan keberartian garis regresi.
Uji ini untuk meramalkan apakah hubungan antara variabel bebas dan
variabel tergantung telah memenuhi syarat regresi.
3. Uji heteroskedastisitas
Bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan
varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain.
4. Uji otokorelasi
Bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linear ada
korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan
pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya).
5. Uji multikolinearitas
Uji ini bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan
hanya korelasi antar variabel bebas (independen).
Adapun persyaratan di atas didukung oleh Djarwanto (2001), asumsi-
asumsi yang harus dipenuhi dari analisis regresi ganda yaitu :
1. Distribusi nilai-nilai dari variabel x dan y berbentuk distribusi normal.
2. Hubungan antara variabel x dan y merupakan hubungan linear atau garis
lurus.
3. Terdapat dua variabel bebas dan satu variabel tergantung yang berbentuk
interval.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian
1. Orientasi Kancah Penelitian
Penelitian mengenai hubungan antara dukungan keluarga dan pusat
kendali eksternal dengan kecemasan sosial pada remaja difabel dilakukan di
Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Prof. DR. Soeharso Surakarta yang
beralamatkan di Jalan Tentara Pelajar, Jebres. Sebelum melakukan penelitian,
terlebih dahulu melakukan wawancara kepada psikolog dan melihat data
dokumentasi untuk mengetahui informasi yang berkaitan dengan subyek
penelitian dan topik yang terkait dengan penelitian.
Balai Besar Rehabilitasi Bina Daksa Prof. DR. Soeharso Surakarta ini
biasa disebut BBRSBD, berdiri diawali dengan sejarah pertumbuhan
Rehabilitasi Centrum "Prof. Dr. Soeharso" Surakarta yang menangani para
pemuda pejuang yang cacat pada saat pertempuran pada tahun 1951.
Rehabilitasi ini mengalami beberapa kali perubahan nama sebelum sampai
akhirnya diberikan nama BBRSBD. Tahun 1954 Departemen Kesehatan,
Departemen Tenaga Kerja, dan Departemen Sosial RI memberikan nama
Lembaga Rehabilitasi Penderita Cacat (LRPC). Nama itu berubah lagi pada
tahun 1982 menjadi Pusat Rehabilitasi Penderita Cacat Tubuh (PRPCT) dan
tahun 1994 disebut Pusat Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (PRSBD). Hingga
akhirnya tahun 2003 sampai sekarang menjadi BBRSBD (Balai Besar
Rehabilitasi Sosial Bina Daksa) sesuai dengan Kepmensos RI No.
55/HUK/2003. Pendiri lembaga rehabilitasi ini sama dengan pendiri Rumah
Sakit Ortopedi di Surakarta yaitu Prof. DR. Soeharso. Awalnya lembaga
rehabilitasi ini memilki fungsi dalam pembuatan alat-alat ortopedi dan protese,
tetapi seiring bertambahnya kemajuan, maka tempat ini berfungsi untuk
mengurusi masalah khusus para difabel, penyaluran kerja para difabel, bahkan
mendapat kepercayaan dari PBB untuk mengadakan training bagi para tenaga
kader rehabilitasi dan Training on Rehabilitation for the Physically
Handicapped Person's serta Program TCDC (Technical Cooperation Among
Development Countries).
Lembaga rehabilitasi ini menerima para difabel usia produktif antara
17-35 tahun. Sasaran yang ditetapkan oleh BBRSBD adalah para difabel
dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Mempunyai hambatan fisik/mobilitas,
b. Mempunyai masalah mental psikologis, rasa rendah diri, kurang percaya
diri, isolatif, dan lain-lain,
c. Mengalami kecanggungan dalam melaksanakan fungsi sosialnya,
d. Tidak mampu bergaul secara wajar :
1) Tidak mampu berkomunikasi secara wajar,
2) Tidak mampu berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan,
3) Ketergantungan pada orang lain yang sangat besar,
e. Mengalami rintangan dalam melakukan keterampilan kerja produktif yang
diakibatkan kecacatannya,
f. Rawan sosial ekonominya.
Daya tampung di lembaga ini adalah 300 difabel dan jumlah difabel saat ini
ada 250 orang, serta setiap 6-12 bulan, BBRSBD meluluskan banyak para
difabel. Difabel-difabel yang bergabung dengan lembaga ini mempunyai
beberapa tahapan, yaitu:
a. Tahap Persiapan
1) Persiapan administrasi,
2) Persiapan fisik,
3) Persiapan mental psikologi dan sosial,
4) POPPRES (Pekan Orientasi dan Pengenalan Program Rehabilitasi
Sosial).
b. Tahap Pelayanan Rehabilitasi
1) Pelayanan rehabilitasi medis,
2) Pelayanan rehabilitasi sosial psikologis,
3) Pemberian penambahan pengetahuan,
4) Bimbingan penyuluhan pemilihan pekerjaan (vocational guidance),
5) Vocational asessment,
6) Case conference (sidang kasus),
7) Bimbingan keterampilan kerja,
8) Bimbingan kewirausahaan,
9) Ujian keterampilan kerja
10) Praktek belajar kerja (PBK).
c. Tahap Penyaluran dan Bimbingan Lanjut
1) Tahap penyaluran,
2) Tahap bimbingan lanjut dan terminasi.
BBRSBD sebagai lembaga rehabilitasi sosial bagi para difabel,
memiliki visi dan misi yang pasti, bahkan ada strategi yang menjadi capaian
dari BBRSBD. Visi BBRSBD adalah menjadikan BBRSBD Prof. DR.
Soeharso Surakarta sebagai rujukan nasional dalam pelayanan rehabilitasi
sosial penyandang cacat fisik pada tahun 2010, sedangkan misinya sebagai
berikut :
a. Melaksanakan rehabilitasi lengkap, terpadu, dan tuntas terhadap setiap
penyandang cacat yang membutuhkan pertolongan,
b. Melengkapi sarana dan prasarana pelayanan rehabilitasi secara
bertahap,
c. Pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.
Strategi yang dimiliki BBRSBD, mengharapkan para alumni menjadi :
a. Pribadi yang mandiri dalam mobilitas sehari-hari,
b. Pribadi yang mandiri secara ekonomi, dan
c. Manusia paripurna sebagaimana orang yang normal fisiknya
(meskipun dalam ketidaksempurnaan fisik).
Berdasarkan hasil wawancara dan dokumentasi yang diperoleh,
peneliti menetapkan BBRSBD sebagai tempat penelitian dengan alasan :
a. Belum pernah diadakannya penelitian terhadap hubungan ketiga
variabel tersebut,
b. Responden penelitian yang diharapkan oleh peneliti ada pada
BBRSBD,
c. Siswa BBRSBD memiliki karakteristik yang sesuai dengan topik
penelitian,
d. Secara ekonomis, BBRSBD lebih dekat dengan rumah peneliti.
2. Persiapan Penelitian
Beberapa persiapan perlu dilakukan untuk mendukung kelancaran
penelitian. Hal-hal yang dipersiapkan terkait dengan berbagai perijinan guna
memudahkan pelaksanaan penelitian dan penyusunan alat ukur yang
digunakan dalam penelitian ini.
a. Persiapan administrasi
Persiapan administrasi penelitian meliputi perijinan yang diajukan
pada pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan penelitian. Peneliti
meminta surat pengantar dari Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang ditujukan kepada
pimpinan BBRSBD. Setelah mendapatkan ijin penelitian dari pihak
BBRSBD, peneliti dapat melaksanakan penelitian di tempat tersebut.
b. Persiapan alat ukur
Penelitian tentang hubungan dukungan keluarga dan pusat kendali
eksternal dengan kecemasan sosial pada remaja difabel menggunakan alat
ukur skala psikologi sebagai berikut :
1) Skala kecemasan sosial yang dimodifikasi oleh peneliti berdasarkan
aspek kecemasan sosial dari Wells (1997) dan skala Atrofiyati (1996).
Skala ini memiliki 50 aitem yang terdiri atas 25 aitem favourable dan
25 aitem unfavourable. Skala ini mempunyai empat jawaban pilihan
yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak
setuju (STS).
2) Skala dukungan keluarga dimodifikasi dari skala Destrianitandy
(2007) dan Asputri (2006) berdasarkan aspek dari Johnson dan
Johnson (1991) serta Smet (1994). Skala ini mempunyai 50 aitem
dengan 26 aitem favourable dan 24 aitem unfavourable. Pilihan
jawaban skala ini sama seperti skala kecemasan sosial.
3) Skala pusat kendali eksternal dalam penelitian ini menggunakan skala
Levenson (Azwar, 2007) dan skala Rahmawati (2007) yang
dimodifikasi oleh peneliti sendiri. Jumlah aitem skala ini ada 50 aitem
yang terdiri atas 26 aitem favourable dan 24 aitem unfavourable. Skala
ini juga memiliki empat pilihan jawaban untuk setiap aitemnya, yaitu
sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju
(STS)
3. Pelaksanaan Uji-Coba
Sebelum skala penelitian digunakan, terlebih dahulu dilakukan uji-
coba untuk mengetahui indeks daya beda aitem-aitem dari tiap-tiap skala dan
reliabilitas skala tersebut. Uji-coba terhadap aitem skala psikologi ini
bertujuan untuk mengetahui apakah kalimat dalam aitem mudah dan dapat
dipahami oleh responden sebagaimana yang diinginkan oleh peneliti, dan
sebagai salah satu cara praktis untuk memperoleh data dari responden yang
akan digunakan untuk penskalaan atau untuk evaluasi kualitas aitem secara
statistik (Azwar, 2007).
Skala penelitian diujicobakan pada kelompok responden yang
mempunyai karakteristik setara dengan responden penelitian (Azwar, 2007).
Uji-coba dilakukan pada minggu terakhir bulan Oktober 2009 dengan
mengambil kelompok responden berjumlah 20 difabel sesuai dengan kriteria
yang sudah ditetapkan. Setelah skala terkumpul dan memenuhi syarat,
dilakukan skoring yang kemudian dilakukan analisis validitas dan
reliabilitasnya.
4. Analisis Daya Beda Aitem dan Reliabilitas Skala
Setelah uji-coba skala dilakukan, selanjutnya data yang diperoleh
ditabulasikan dan dianalisis untuk mengetahui daya beda aitem serta
reliabilitas alat ukur. Hasil uji daya beda atas tiap-tiap skala tersebut secara
lengkap disajikan sebagai berikut :
a. Skala kecemasan sosial
Hasil uji daya beda aitem pada skala kecemasan sosial dapat diketahui
dari 50 aitem yang diujicobakan, diperoleh indeks korelasi aitem
berkisar antara -0,134 sampai dengan 0,802. Ada 15 aitem dinyatakan
tidak valid karena rhitung < rtabel dengan taraf signifikansi 5% dan N = 20
dengan nilai kritis 0,444. Selanjutnya dari analisis korelasi aitem total
yang telah dikoreksi, diperoleh 35 aitem sahih dengan indeks korelasi
aitem berkisar antara 0,445 sampai dengan 0,802. Reliabilitas skala
yang ditunjukkan dengan koefisien Alpha sebesar 0,956. Dengan
demikian, skala kecemasan sosial ini dianggap cukup andal sebagai
alat ukur penelitian. Adapun perincian aitem yang gugur dan sahih
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4
Distribusi Aitem Sahih dan Aitem Gugur Skala Kecemasan Sosial SetelahUji-Coba
No. AspekIndikatorPerilaku
Aitem Sahih Aitem GugurTotal
F UF F UF
1.SituasiInteraksiSosial
d. PenerimaanSosial.
5, 15,44
22, 31,41
27, 36 6, 50 10
e. Pergaulandengan oranglain.
10, 39,42
4, 11,37, 48
1 34 9
f. Komunikasidengan oranglain.
7, 21,25, 29,45
24, 26,40
9 33, 38 11
2.
Situasiseseorangdiobservasioleh orang
c. Perhatianyang berfokuspada dirisendiri.
8, 12,16, 35,43
14, 47 - 13, 20,32
10
Bersambung
lain d. Penilaianorang lain.
3, 18,28, 46
23, 30,49
19 2, 17 10
Total 20 15 5 10 50
b. Skala dukungan keluarga
Hasil uji daya beda aitem pada skala dukungan keluarga dapat
diketahui dari 50 aitem yang di ujicobakan, diperoleh indeks korelasi
aitem berkisar antara 0,450 sampai dengan 0,770. Semua aitem
dinyatakan valid karena rhitung < rtabel dengan taraf signifikansi 5% dan
N = 20 dengan nilai kritis 0,444. Selanjutnya dari analisis korelasi
aitem total yang telah dikoreksi, diperoleh 50 aitem sahih dengan
indeks korelasi aitem berkisar antara 0,450 sampai dengan 0,770.
Reliabilitas skala ditunjukkan dengan koefisien Alpha sebesar 0,967.
Dengan demikian, skala dukungan keluarga ini dianggap cukup andal
sebagai alat ukur penelitian. Adapun perincian aitem yang gugur dan
sahih dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 5Distribusi Aitem Sahih dan Aitem Gugur Skala Dukungan Keluarga
Setelah Uji-Coba
No. AspekIndikatorPerilaku
Aitem Sahih Aitem GugurTotal
F UF F UF
1. Emosional
d. Perhatian24, 31 9, 43 - - 4
e. Kepedulian30, 37 3, 32,
38- - 5
f. Penerimaan 12, 20 27, 49 - - 4
2. Penghargaanc. Pujian
1, 2,35, 39
4, 5, 45 - - 7
d. Dorongan/semangat
13, 23 16, 29,40
- - 5
Sambungan
Bersambung
3.
Instrumentalc. Finansial
10, 18,19, 28
21, 22,26, 47
- - 8
d. Penyediaanwaktu
25, 42,50
7, 15 - - 5
4. Informatif
d. Nasihat8, 41 34, 36 - - 4
e. Petunjuk 6, 14 17, 44 - - 4
f. Saran33, 46,48
11 - - 4
Total 26 24 - - 50
c. Skala pusat kendali eksternal
Hasil uji daya beda aitem pada skala pusat kendali eksternal dapat
diketahui dari 50 aitem yang diujicobakan, diperoleh indeks korelasi
aitem berkisar antara -0,032 sampai dengan 0,837. Ada 11 aitem
dinyatakan tidak valid karena rhitung < rtabel dengan taraf signifikansi 5%
dan N = 20 dengan nilai kritis 0,444. Selanjutnya dari analisis korelasi
aitem total yang telah dikoreksi, diperoleh 39 aitem sahih dengan
indeks korelasi aitem berkisar antara 0,445 sampai dengan 0,837.
Reliabilitas skala ditunjukkan dengan koefisien Alpha sebesar 0,960.
Dengan demikian, skala pusat kendali eksternal ini dianggap cukup
andal sebagai alat ukur penelitian.
Sambungan
Adapun perincian aitem yang gugur dan sahih dapat dilihat pada tabel
di bawah ini:
Tabel 6Distribusi Aitem Sahih dan Aitem Gugur Skala Pusat Kendali Eksternal
Setelah Uji-Coba
No. AspekIndikatorPerilaku
Aitem Sahih Aitem GugurTotal
F UF F UF
1.
Powerfullother
c. Keyakinan tentangorang yangberkuasa dalamhidupnya.
13, 15,23, 35,43, 46
4, 31,33
3, 6,7
20 13
d. Keyakinan tentangsuratan takdir dariYang Maha Kuasa.
42, 44 12,16,29,41, 49
11,19,38
- 10
2. Chance
d. Keyakinan tentangnasib.
5, 25,40, 50
8, 18,30, 45
- 2 9
e. Keyakinan tentangpeluang.
9, 17,21, 37
14,24,36, 47
- 26 9
f. Keyakinan tentangkeberuntungan.
1, 28,34
10,22,39, 48
27 32 9
Total 19 20 7 4 50
5. Penyusunan Alat Ukur untuk Penelitian dengan Nomor Urut Baru
Setelah dilakukan perhitungan validitas dan reliabilitas, maka
langkah selanjutnya adalah menyusun alat ukur untuk penelitian. Aitem
yang telah gugur tidak dipakai lagi dalam alat ukur untuk penelitian dan
aitem yang sahih disusun dengan nomor urut yang baru, kemudian
digunakan lagi untuk pelaksanaan penelitian. Aitem skala kecemasan
sosial, dukungan keluarga, dan pusat kendali eksternal setelah uji coba
dapat dilihat pada tabel 7, tabel 8, dan tabel 9 berikut ini:
Tabel 7Distribusi Aitem Skala Kecemasan Sosial Setelah Uji-Coba
No. AspekIndikatorPerilaku
No. AitemTotal
F UF
1.Situasi interaksisocial
a. Penerimaan sosial. 3, 11, 30 10, 22, 29 6
b. Pergaulan dengan oranglain.
8, 25, 26 2, 5, 24,33
7
c. Komunikasi denganorang lain.
4, 16, 18,21, 32
15, 17, 27 8
2.
Situasiseseorangdiobservasi olehorang lain
a. Perhatian yang berfokuspada diri sendiri.
6, 9, 13, 23,28,
7, 31 7
b. Penilaian orang lain. 1, 14, 20, 35 12, 19, 34 7
Total 20 15 35
Tabel 8Distribusi Aitem Skala Dukungan Keluarga Setelah Uji-Coba
No. AspekIndikatorPerilaku
No. AitemTotal
F UF
1. Emosional
a. Perhatian24, 31 9, 43 4
b. Kepedulian 30, 37 3, 32, 38 5
c. Penerimaan 12, 20 27, 49 4
2. Penghargaana. Pujian
1, 2, 35,39
4, 5, 45 7
b. Dorongan/ semangat 13, 23 16, 29, 40 5
3. Instrumental a. Finansial10, 18, 19,28
21, 22, 26,47
8
b. Penyediaan waktu 25, 42, 50 7, 15 5
4. Informatifa. Nasihat
8, 41 34, 36 4
b. Petunjuk 6, 14 17, 44 4c. Saran 33, 46, 48 11 4
Total 26 24 50
Tabel 9Distribusi Aitem Skala Pusat Kendali Eksternal Setelah Uji-Coba
No. AspekIndikatorPerilaku
Aitem SahihTotal
F UF
1.
Powerfullother
a. Keyakinan tentang orangyang berkuasa dalamhidupnya.
10, 11,17, 25,33, 37
2, 24, 26 9
b. Keyakinan tentangsuratan takdir dari YangMaha Kuasa.
31, 35 8, 12, 20,32, 39
7
2. Chance
a. Keyakinan tentang nasib. 5, 19, 29,3
4, 14, 22,34
8
b. Keyakinan tentangpeluang.
7, 13, 15,27
9, 18, 28,36
8
c. Keyakinan tentangkeberuntungan.
1, 21, 23 6, 16, 30,38
7
Total 19 20 39
B. Pelaksanaan Penelitian
1. Penentuan Responden Penelitian
Responden dalam penelitian ini adalah remaja difabel yang
mengalami kecacatan bukan bawaan atau cacat setelah kelahiran dengan usia
17-25 tahun di BBRSBD Prof. DR. Soeharso Surakarta dan IQ normal
sebanyak 120 orang dengan perincian 20 orang untuk uji-coba skala penelitian
dan 100 orang untuk penelitian. Kriteria responden untuk uji-coba penelitian
sama dengan kriteria responden penelitian. Alasan penggunaan responden ini
adalah :
a. Pada umumnya remaja usia ini memiliki ego dalam mencari kesempatan
untuk bersatu dengan orang lain dan dengan pengalaman baru,
b. Usia remaja akhir ini sudah memiliki pemantapan pendirian hidup untuk
menuju ke masa dewasa dan usia ini merupakan usia produktif,
c. Difabel yang mengalami kecacatan karena penyakit atau kecelakaan
setelah kelahiran memiliki tingkat kondisi psikologis yang berbeda dengan
difabel secara bawaan,
d. Difabel dengan tingkat IQ yang normal (90-110) lebih mudah diajak untuk
merespons setiap aitem pernyataan yang diberikan oleh peneliti.
Tabel 10Responden Penelitian
Jumlah difabelUji-coba 20Penelitian 100Jumlah 120
2. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan pada minggu kedua bulan November
2009 dengan menggunakan alat ukur berupa skala kecemasan sosial, skala
dukungan keluarga serta skala pusat kendali eksternal yang telah
dimodifikasi. Skala kecemasan sosial berjumlah 35 aitem pernyataan,
skala dukungan keluarga berjumlah 50 aitem pernyataan, dan skala pusat
kendali eksternal ada 39 aitem pernyataan.
Pembagian dan pengisian skala dilakukan secara santai tetapi
serius di asrama putra dan asrama putri yang terpisah tempatnya dengan
menggunakan waktu setelah makan siang di ruang makan (untuk
responden putra) dan di taman (untuk responden putri). Selama responden
mengisi skala penelitian, responden juga mendapatkan snack dan diajak
berbincang-bincang oleh peneliti dengan tujuan dapat membangun raport
yang baik tetapi tetap konsentrasi dalam mengerjakan skala penelitian.
Sebelum penelitian dimulai, peneliti terlebih dahulu
memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangan serta tujuan
kegiatan yang akan dilakukan. Peneliti kemudian menjelaskan tentang cara
mengerjakan skala dan memberikan contoh pengerjaannya. Responden
yang kurang bisa memahami bahasa dalam tiap pernyataan, diminta
berterus terang pada peneliti dan peneliti akan membimbing dalam
memahami setiap aitem pernyataan dalam skala dan subjek hanya tinggal
menjawab sesuai pilihannya. Responden yang telah selesai mengerjakan,
diminta untuk mengumpulkan skala pada peneliti. Setelah data terkumpul
selanjutnya dilakukan skoring.
3. Pelaksanaan Skoring
Pemberian skor pada ketiga skala di atas, dilakukan dengan cara
memberikan nilai yang bergerak dari satu sampai empat. Pemberian skor
untuk aitem favourable bergerak dari empat sampai satu untuk sangat
setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS);
sedangkan untuk aitem unfavourable, skor bergerak dari satu sampai
empat untuk sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat
tidak setuju (STS).
C. Hasil Analisis Data
1. Uji Normalitas
Tabel 11Hasil Uji Normalitas
Variabel K-S Z Asym. Sig. (2-tailed) KeteranganKecemasan social 0,612 0,848 (p > 0,05) Distribusi normalDukungan keluarga 1,252 0,087 (p > 0,05) Distribusi normalPusat kendali eksternal 1,052 0,218 (p > 0,05) Distribusi normal
Tabel uji normalitas dapat dilihat bahwa asymptotic significance
dua sisi ketiga variabel penelitian memiliki probabilitas di atas 0,05. Ini
berarti data dari variabel dukungan keluarga, pusat kendali eksternal, dan
kecemasan sosial adalah terdistribusi normal. Hal itu didukung oleh nilai
rasio skewness.
Skewness adalah nilai kecondongan (kemiringan) suatu kurva. Data
yang berdistribusi normal akan memiliki nilai rasio skewness yang berada
diantara -2 dan +2, sehingga memiliki kemiringan yang cenderung
seimbang. Rasio skewness diperoleh dari hasil pembagian antara nilai
skewness dengan eror skewness standard. Dari hasil perhitungan diperoleh
dukungan keluarga memiliki rasio skewness sebesar 0,6 sedangkan rasio
skewness pusat kendali eksternal 1,9, sehingga dapat dikatakan data
memiliki kecenderungan terdistribusi secara normal. Hal tersebut dapat
dilihat dari hasil histogram dan normal P-P plot. Output SPSS 16.0 for
Windows, pada normal P-P Plot dukungan keluarga dan pusat kendali
eksternal menunjukkan bahwa data terdistribusi secara normal karena titik-
titik menyebar di sekitar garis diagonal dan penyebaran titik-titik data
searah dengan garis diagonal. Ketiga gambar histogram pada lampiran,
menunjukkan kurva normal yang berbentuk seperti lonceng (memiliki
kemiringan yang seimbang antara sisi kiri dan kanan).
2. Uji Asumsi Klasik
a. Uji linearitas
Tabel 12aHasil Uji Linearitas
Keterangan Signifikansi Alpha Kondisi KesimpulanKecemasansosial*Dukungan keluarga
0,355 0,05 S > A Linear
Kecemasan sosial*Pusatkendali eksternal
0,402 0,05 S > A Linear
Tabel 12bHasil Uji Linearitas
Keterangan F hitung F tabel Kondisi KesimpulanKecemasan sosial*Dukungankeluarga
1,108 1,62 Fh < Ft Linear
Kecemasan sosial*Pusatkendali eksternal
1,066 1,62 Fh < Ft Linear
Uji liniearitas hubungan ini dilakukan untuk melihat adanya
linieritas hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung. Uji
linearitas dianalisis menggunakan program SPSS 16.0 for Windows. Tabel
12a dan b di atas menunjukkan bahwa hubungan antara dukungan keluarga
dengan kecemasan sosial adalah linear. Hal ini dibuktikan dengan hasil
Fhitung = 1,108 dan nilai Ftabel dengan taraf signifikansi 0,05 = 1,62 atau
Fhitung < Ftabel. Sedangkan nilai probabilitas adalah 0,355 > 0,05.
Hubungan antara pusat kendali eksternal dengan kecemasan sosial
adalah linier. Hal ini dibuktikan dengan hasil Fhitung = 1,066 dan nilai Ftabel
dengan taraf signifikansi 0,05 = 1,62 atau Fhitung < Ftabel. Sedangkan nilai
probabilitas sebesar 0,402 > 0,05, maka dapat dikatakan bahwa antara
variabel bebas dan variabel tergantung terdapat hubungan yang linier.
b. Uji multikolinearitas
Uji multikolinieritas dilakukan untuk menguji ada-tidaknya
korelasi antara variabel bebas dukungan keluarga dengan pusat kendali
eksternal pada model regresi. Nilai Variance Inflation Factor (VIF) tidak
lebih dari 10 dan nilai tolerance tidak kurang dari 0,10, maka model dapat
dikatakan terbebas dari multikolinearitas.
Hasil uji multikolinearitas pada bagian coefficients yang dianalisis
menggunakan program SPSS 16.0 for Windows, terlihat angka VIF
(Variance Inflation Factor) sebesar 1,033 untuk kedua variabel bebas
tersebut. Sedangkan nilai tolerance sebesar 0,968 untuk dukungan
keluarga dan pusat kendali eksternal. Pedoman suatu model regresi yang
bebas multikolinearitas adalah jika nilai VIF dan tolerance berada di
sekitar angka 1. Karena nilai VIF dan tolerance pada variabel dukungan
keluarga dan pusat kendali eksternal berada di sekitar angka 1, berarti
tidak terjadi multikolinearitas antara dukungan keluarga dan pusat kendali
eksternal. Tidak adanya korelasi antara kedua variabel bebas tersebut juga
ditunjukkan oleh besarnya korelasi antara dukungan keluarga dan pusat
kendali eksternal sebesar 0,178 ( < 0,500). Hal ini berarti antara variabel
bebas dukungan keluarga dan pusat kendali eksternal dapat dikatakan tidak
terjadi multikolinearitas, atau dapat dikatakan pula bahwa dukungan
keluarga dan pusat kendali eksternal independent. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel 13:
Tabel 13Hasil Uji Multikolinearitas
Variabel Tolerance VIF InterpretasiDukungan keluarga 0,968 1,033 Tidak terjadi multikolinearitasPusat kendali eksternal 0,968 1,033 Tidak terjadi multikolinearitas
c. Uji otokorelasi
Pengujian otokorelasi dalam suatu model bertujuan untuk
mengetahui ada-tidaknya korelasi antara variabel pengganggu pada
periode tertentu dengan variabel pengganggu periode sebelumnya
(Sudjana, 1992). Cara mudah mendeteksi otokorelasi dapat dilakukan
dengan uji Durbin-Watson. Hasil analisis Durbin-Watson dibaca dengan
melihat kriteria pengambilan, jika nilai DW = 2, maka tidak terjadi
otokorelasi sempurna sebagai aturan ringkas. Jika nilai DW di antara 1,5
sampai 2,5, maka data tidak mengalami otokorelasi. Tetapi jika nilai DW
sampai 1,5 disebut memiliki otokorelasi positif dan jika nilai DW > 2,5
sampai 4 disebut otokorelasi negatif. Nilai Durbin-Watson yang
ditunjukkan pada output SPSS 16.0 for Windows sebesar 1,752, artinya
terbebas dari otokorelasi.
Tabel 14Hasil Uji Otokorelasi
Durbin-Watson Kondisi Keterangan
1,752 1,5 – 2,5 Tidak mengalami otokorelasi
d. Uji heteroskedastisitas
Uji ini bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke
pengamatan yang lain. Hasil dari scatterplot menyatakan bahwa regresi
ganda ini terbebas dari heteroskedastisitas dan layak digunakan dalam
penelitian, karena :
1) Titik-titik menyebar di atas dan di bawah atau di sekitar angka 0,
2) Penyebaran data tidak berpola,
3) Titik-titik data tidak mengumpul hanya di atas atau di bawah saja.
(Nugroho, 2005)
3. Hasil Uji Hipotesis
Uji hipotesis pada penelitian ini menggunakan analisis regresi
berganda. Penggunaan regresi berganda untuk menguji antara satu variabel
tergantung yaitu kecemasan sosial dengan dua variabel bebas yaitu dukungan
keluarga dan pusat kendali eksternal, serta untuk memprediksi seberapa besar
pengaruh variabel-variabel dukungan keluarga dan pusat kendali eksternal
terhadap kecemasan sosial. Hasil uji hipotesis dengan menggunakan teknik
regresi linear ganda dan dianalisis dengan menggunakan program SPSS 16.0
for Windows sebagai berikut:
Tabel 15Korelasi Variabel Bebas dengan Variabel Tergantung
Kecemasansosial
Dukungankeluarga
Pusat kendalieksternal
Pearsoncorrelation
Kecemasan sosial 1,000 - -
Dukungan keluarga -0,293 1,000 -
Pusat kendali eksternal -0,370 0,178 1,000
Sig. (2-tailed)
Kecemasan sosial - 0,003 0,000
Dukungan keluarga 0,003 - 0,77
Pusat kendali eksternal 0,000 0,77 -
N
Kecemasan sosial 100 100 100
Dukungan keluarga 100 100 100
Pusat kendali eksternal 100 100 100
Pada tabel korelasi dapat dilihat hasil koefisien korelasi antara
dukungan keluarga dan kecemasan sosial adalah -0,293 (p = 0,003). Hal ini
menunjukkan adanya korelasi negatif yang signifikan (dengan p < 0,05) antara
dukungan keluarga dan kecemasan sosial. Semakin tinggi dukungan keluarga
maka semakin rendah kecemasan sosial, dan sebaliknya semakin rendah
dukungan keluarga maka semakin tinggi pula kecemasan sosial.
Hasil koefisien korelasi antara pusat kendali eksternal dengan
kecemasan sosial adalah -0,370 (p = 0,000). Hal ini menunjukkan adanya
korelasi negatif yang signifikan (dengan p < 0,05) antara pusat kendali
eksternal dengan kecemasan sosial. Semakin tinggi pusat kendali eksternal
maka semakin rendah kecemasan sosial, dan sebaliknya semakin rendah pusat
kendali eksternal maka semakin tinggi kecemasan sosial.
Hasil analisis didapat nilai koefisien korelasi penelitian ini sebesar
0,436 dengan nilai F hitung sebesar 11,385 dan p < 0,05, artinya signifikan.
Oleh karena probabilitas lebih kecil dari 0,05 maka model regresi ini dapat
dipakai untuk memprediksi kecemasan sosial pada remaja difabel. Artinya,
dukungan keluarga dan pusat kendali eksternal secara bersama-sama
berpengaruh terhadap kecemasan sosial. Hal ini berarti hipotesis yang
diajukan diterima kebenarannya, yaitu ada hubungan signifikan antara
dukungan keluarga dan pusat kendali eksternal dengan kecemasan sosial pada
remaja difabel.
Berdasarkan nilai koefisien determinasinya atau nilai R2 (R square)
sebesar 0,19. Artinya, dukungan keluarga dan pusat kendali eksternal memberi
sumbangan efektif sebanyak 19% terhadap kecemasan sosial dengan
sumbangan tiap-tiap variabel adalah 6,9% untuk variabel dukungan keluarga
dan 12,1% untuk variabel pusat kendali eksternal. Hal ini berarti masih
terdapat 81% faktor lain yang mempengaruhi kecemasan sosial pada remaja
difabel. Sumbangan relatif dukungan keluarga dan kecemasan sosial sebesar
36,3% serta sumbangan relatif pusat kendali eksternal dan kecemasan sosial
sebesar 63,7%.
4. Hasil Statistik Deskriptif
Dari skor kasar skala kecemasan sosial, dukungan keluarga, dan pusat
kendali eksternal diperoleh hasil statistik deskriptif responden penelitian.
Analisis deskriptif dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum
mengenai kondisi kecemasan sosial, dukungan keluarga, dan pusat kendali
eksternal pada responden yang diteliti. Hasil statistik deskriptif dapat dilihat
pada tabel berikut :
Tabel 16Statistik Deskriptif
N Skor min Skor maksRata-rata SD
Kecemasan social 100 59 90 71,9 6,87Dukungan keluarga 100 125 170 147,27 11,72Pusat kendali eksternal 100 61 100 85,42 11,21N Valid 100
Keterangan :
SD : standar deviasi,
N : jumlah responden penelitian
Berdasarkan tabel statistik deskriptif di atas, kemudian dilakukan
kategorisasi responden dengan melihat data hipotetik dan data empirik (tabel
16).
Tabel 17Data Hipotetik dan Data Empirik
SkalaJumlahsubjek
Data hipotetik
M SD
Data empirik
M SD
Skor min Skor maks Skor min Skor maks
Kecemasansosial
100 35 140 87,5 14,17 59 90 71,9 6,87
Dukungankeluarga
100 50 200 125 25 125 170 147,27 11,72
Pusatkendali
eksternal100 39 156 97,5 19,5 61 100 85,42 11,21
Tabel 18Kategorisasi Responden
Skala Skor Kategorisasi
SubjekRerataempirik
Frek.
(N ) Persentase
Kecemasansosial
Χ<72 Rendah 50 50%71,972≤ Χ<79 Sedang 34 34%
79≤Χ Tinggi 16 16%Dukungankeluarga
Χ<135 Rendah 16 16%147,27135≤ Χ<159 Sedang 62 62%
159≤ Χ Tinggi 22 22%Pusat
kendalieksternal
Χ<74 Rendah 15 15%85,4274≤ Χ<96 Sedang 62 62%
96≤ Χ Tinggi 23 23%
Dari tabel kategorisasi responden (tabel 18), kecemasan sosial remaja difabel
bukan bawaan di BBRSBD masuk dalam kategori rendah dengan rata-rata
empirik 71,9; dukungan keluarga masuk dalam kategori sedang dengan rata-rata
empirik 147,27; dan pusat kendali eksternal masuk dalam kategori sedang dengan
rata-rata empirik 85,42.
D. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data yang telah diketahui terdapat hubungan
yang signifikan antara dukungan keluarga dan pusat kendali eksternal dengan
kecemasan sosial pada remaja difabel bukan bawaan di BBRSBD. Hal ini berarti
variabel dukungan keluarga dan pusat kendali eksternal dapat dijadikan variabel
bebas atau prediktor untuk memprediksi atau mengukur kecemasan sosial pada
remaja difabel bukan bawaan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa antara dukungan keluarga dengan
kecemasan sosial terdapat korelasi negatif yang signifikan dengan hasil -0,293
(p < 0,05). Hal ini menunjukkan semakin tinggi dukungan keluarga maka semakin
rendah kecemasan sosial pada remaja difabel bukan bawaan, dan sebaliknya
semakin rendah dukungan keluarga, maka semakin tinggi pula kecemasan sosial
pada remaja difabel bukan bawaan.
Berdasarkan nilai korelasi yang signifikan antara dukungan keluarga dan
kecemasan sosial, dapat diungkapkan bahwa dukungan keluarga adalah salah satu
faktor yang turut berperan dalam mengurangi kecemasan sosial pada remaja
khususnya remaja difabel bukan bawaan. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan Brenes dkk. (2005) tentang kurangnya dukungan
emosional memiliki hubungan yang signifikan dengan simtom kecemasan.
Seorang remaja difabel yang mengalami kecacatan bukan karena bawaan,
akan memiliki kondisi psikologis yang berbeda dengan cacat karena bawaan.
Sikap rendah diri, malu, dan antisosial sering ditemukan jauh lebih banyak pada
seorang yang cacat setelah kelahiran daripada cacat bawaan. Menurut
Soetjiningsih (1995), bahwa banyak di lapangan ditemukan individu yang
mengalami kecacatan tubuh, beranggapan bahwa keadaan cacatnya sebagai “pagar
tembok” yang merampas mereka dari kehidupan yang nyata pada masyarakat
yang normal. Seorang difabel merasa gagal dalam hidup serta merasa tidak
diterima oleh lingkungannya. Oleh sebab itu, dibutuhkan dukungan yang berasal
dari orang yang dipercayai oleh para difabel yaitu keluarga.
Pengaruh dukungan orang tua dianggap sebagai faktor utama
pemeliharaan semua anak, entah dalam situasi traumatis atau dalam kehidupan
keluarga yang normal. Menurut Suryanto (2008), pihak orang tua yang memenuhi
fungsi asih, asuh, dan asah, serta mau dan mampu meluangkan waktunya untuk
anak-anaknya, dapat membuat anak terpenuhi kebutuhan psikologisnya dan anak
mampu mengatasi masalah secara adaptif.
Selain dari orang tua, dukungan keluarga juga dapat berasal dari saudara-
saudara sekandung. Cicirelli (dalam Santrock, 2003) mengemukakan beberapa
contoh penelitian yang menunjukkan bahwa saudara sekandung bisa lebih kuat
mempengaruhi remaja dibandingkan orang tuanya. Hal itu terlihat dari cara
mereka berkomunikasi dan cara memahami masalah lebih efektif, daripada
dengan orang tua.
Hubungan antara pusat kendali eksternal dengan kecemasan sosial pada
penelitian ini menunjukkan hasil sebesar -0,370 (dengan p < 0,05), hal ini berarti
terdapat hubungan negatif yang signifikan. Semakin seseorang memiliki pusat
kendali eksternal maka kecemasan sosialnya semakin menurun. Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Cruickshank (dalam
Ayu, 2001), remaja dengan difabel yang memiliki pusat kendali eksternal lebih
mudah menyesuaikan diri, karena berpikir bahwa keadaan mereka ditentukan oleh
keberuntungan, takdir, kesempatan, atau rahmat Tuhan.
Suatu keyakinan bahwa yang terjadi dalam dirinya merupakan sesuatu
yang sudah menjadi nasib dan akan mendatangkan hikmah dalam hidupnya,
membuat seseorang menjadi “semeleh” pada segala sesuatu yang terjadi. Selain
itu, individu tersebut dapat memberikan tanggapan yang positif terhadap respons
sosialnya dan muncul kemampuan untuk bangkit dari kecacatannya. Hal itu
disebabkan mereka tidak berfokus pada usaha dan kemampuan sendiri, tetapi ada
hal adikodrati (berkaitan dengan suratan takdir dari Tuhan Yang Maha Kuasa)
yang mempengaruhi/ menjadikan hidupnya seperti itu. Jadi, kendali yang berfokus
eksternal membuat kecemasan sosial rendah.
Hasil analisis menunjukkan nilai koefisien korelasi penelitian ini sebesar
0,436 dengan nilai F hitung sebesar 11,385 dan p<0,05, artinya signifikan. Oleh
karena probabilitas lebih kecil dari 0,05 maka model regresi ini dapat dipakai
untuk memprediksi kecemasan sosial pada remaja difabel bukan bawaan. Artinya,
dukungan keluarga dan pusat kendali eksternal secara bersama-sama berpengaruh
terhadap kecemasan sosial. Hal ini berarti hipotesis yang diajukan diterima
kebenarannya, yaitu ada hubungan signifikan antara dukungan keluarga dan pusat
kendali eksternal dengan kecemasan sosial pada remaja difabel bukan bawaan.
Berdasarkan nilai R2 (R square) sebesar 0,19. Artinya, dukungan keluarga
dan pusat kendali eksternal memberi kontribusi efektif sebanyak 19% terhadap
kecemasan sosial dengan kontribusi tiap-tiap variabel adalah 6,9% untuk variabel
dukungan keluarga dan 12,1% untuk variabel pusat kendali eksternal. Hal ini
berarti masih terdapat 81% faktor lain yang mempengaruhi kecemasan sosial pada
remaja difabel, seperti tingkat kecacatannya, pendidikan orang tua, efikasi diri,
asertivitas, dan konsep diri. Sumbangan relatif dukungan keluarga dan kecemasan
sosial sebesar 36,3% serta kontribusi relatif pusat kendali eksternal dan
kecemasan sosial sebesar 63,7%.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Terdapat hubungan yang signifikan (p < 0,05) antara dukungan keluarga
dan pusat kendali eksternal dengan kecemasan sosial pada remaja difabel
(R = 0,436; Fregresi = 11,385 > dari Ftabel 1,62; p = 0,000).
2. Terdapat hubungan negatif yang signifikan (p < 0,05) antara dukungan
keluarga dengan kecemasan sosial pada remaja difabel (rx1y = -0,293; rtabel
= 0,195; p = 0,003), berarti semakin tinggi dukungan keluarga maka
semakin rendah kecemasan sosial pada remaja difabel.
3. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara pusat kendali eksternal
dengan kecemasan sosial pada remaja difabel (rx2y = -0,370; rtabel = 0,195;
p = 0,000), berarti ada hubungan negatif yang signifikan (p < 0,05) antara
pusat kendali eksternal dengan kecemasan sosial.
4. Kecemasan sosial remaja difabel bukan bawaan di BBRSBD masuk dalam
kategori rendah dengan mean empirik 71,9, dukungan keluarga masuk
dalam kategori sedang dengan mean empirik 147,27, dan pusat kendali
eksternal masuk dalam kategori sedang dengan mean empirik 85,42.
5. Kontribusi efektif yang diberikan dukungan keluarga dan pusat kendali
eksternal terhadap kecemasan sosial sebanyak 19% (R² = 0,190) dengan
kontribusi tiap-tiap variabel adalah 6,9% untuk variabel dukungan
keluarga dan 12,1% untuk variabel pusat kendali eksternal, sehingga masih
ada 81% faktor lain yang mempengaruhi kecemasan sosial. Kontribusi
relatif dukungan keluarga dan kecemasan sosial sebesar 36,3% serta
kontribusi relatif pusat kendali eksternal dan kecemasan sosial sebesar
63,7%.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat dikemukakan saran-
saran sebagai berikut :
1. Bagi remaja difabel bukan bawaan di BBRSBD
a. Remaja difabel hendaknya merespons dengan tepat kondisi kecacatan
yang telah dialami (misal: “Sekalipun saat ini saya cacat, saya pasti
bisa.” atau “Cacat bukan berarti akhir dari segalanya.”).
b. Remaja difabel lebih aktif dalam mengikuti setiap kegiatan untuk
meningkatkan keterampilan dan menambah interaksi sosial.
c. Remaja difabel lebih aktif mengikuti kegiatan rohani untuk semakin
memperkuat diri dalam menghadapi segala keadaan.
2. Bagi keluarga para difabel bukan bawaan di BBRSBD
a. Remaja difabel tetap diberikan sebuah tanggungjawab untuk
melakukan tugas dan pekerjaannya tetapi disesuaikan dengan
kemampuannya.
b. Keluarga memberikan pujian saat para difabel berhasil melakukan
sesuatu.
c. Keluarga memberikan motivasi saat remaja belum berhasil melakukan
sesuatu.
d. Keluarga memberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan sehari-
hari sendiri selama remaja sudah mampu untuk melakukannya.
3. Bagi pengelola BBRSBD dalam menghadapi remaja difabel bukan bawaan
a. Menambah kegiatan yang dapat meningkatkan bakat, seperti pelatihan
musik dan ketrampilan pertukangan sesuai dengan yang dipromosikan
departemen sosial tentang BBRSBD ke daerah-daerah di Indonesia.
b. Menghilangkan kegiatan yang bersifat menggurui dan kekanak-
kanakan, seperti sharing bersama cara menggosok gigi, dan
menggantinya dengan kegiatan yang sesuai usia mereka, seperti talk
show love, sex, and dating.
c. Mengadakan pelatihan motivation training dan pelatihan kepribadian
yang mengarah pada dunia kerja.
4. Bagi peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian dengan
tema yang sama, disarankan untuk mencermati faktor-faktor lain yang
diduga turut berperan dalam mempengaruhi kecemasan sosial pada remaja
difabel. Faktor-faktor itu adalah tingkat kecacatannya, pendidikan orang
tua, efikasi diri, asertivitas, dan konsep diri. Dengan demikian, hasil yang
didapat lebih bervariasi dan beragam, ruang lingkupnya jauh lebih luas,
dan dapat meningkatkan kualitas penelitian lebih lanjut, sehingga
kesimpulan yang diperoleh lebih komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta: P.T. Bina Aksara.
Ashriati, dkk. 2006. Hubungan antara Dukungan Sosial Orang Tua denganKepercayaan Diri Remaja Penyandang Cacat Fisik pada SLB-D YPACSemarang. Jurnal Psikologi Proyeksi Vol. 1 No. 1. p 47-58.
Asputri, Ika S. 2006. Hubungan antara Kepercayaan Diri dan Dukungan Keluargaterhadap Interaksi Sosial pada Remaja Tuna Rungu. Skripsi (tidakditerbitkan). Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas MuhammadiyahSurakarta.
Atrofiyati. 1996. Hubungan antara Penerimaan Diri dengan Kecemasan Sosial.Skripsi (tidak diterbitkan). Jogjakarta: Universitas Gadjah Mada.
Ayatollahi, dkk. 2007. Impact of Depression and Disability on Quality of Life inIranian Patients with Multiple Sclerosis. Short Report “MultipleSclerosis” Vol 13. p 275-277.
Ayu, Ida. 2001. Dinamika Locus of Control Penyandang Cacat Tubuh di PusatRehabilitasi Yakkum. Tesis (tidak diterbitkan). Jogjakarta: UniversitasGadjah Mada.
Azwar, S. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Azwar, S. 2007. Penyusunan Skala Psikologi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Bansal, S.; Thind; dan Jaswal. 2006. Relationship between Quality of HomeEnvironment, Locus of Control and Achievement Motivation among HighAchiever Urban Female Adolescents. Journal Hum. Ecol., Vol 19. p 253-257
Brenes, G. dkk. 2005. Correlates of Anxiety Symptoms in Physically DisabledOlder Women. The American Journal of Geriatric Psychiatry. Vol 13. p15-22.
Damayanti, S. & Rostiana. 2003. Dinamika Emosi Penyandang Tunadaksa PascaKecelakaan. Jurnal Ilmiah Psikologi “Arkhe” No 1. p 15-28.
Daradjat, Z. 1990 . Kesehatan Mental. Jakarta: PT. Gunung Agung.
Davis, E., dkk. 2009. Quality of Life Adolescents with Cerebral Palsy :Perspective of Adolescents and Parents. Development Medicine and ChildNeurology. Vol 51. p 193-201.
Destrianytandy. 2007. Hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Harga DiriRemaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas PsikologiUniversitas Kristen Satya Wacana.
Dianawati, Zamralita, & Ninawati. 2005. Perasaan Inferioritas dan KompensasiRemaja Penyandang Cacat Fisik. Jurnal Ilmiah Psikologi “Arkhe” No 2. p119-136.
Djarwanto. 2001. Mengenal Beberapa Uji Statistik dalam Penelitian. Jogjakarta:Liberty Yogyakarta.
Friedman, M. M. 2003. Family Nursing: Research, Theory, and Practice. NewJersey: Pearson Education, Inc.
Gerungan, W. A. 2004. Psikologi Sosial. Bandung: P.T. Refika Aditama.
Hadi, Sutrisno. 1994. Analisis Regresi. Jogjakarta: Andi Offset.
Hartoyo, Mugi. 2004. Buku Ajar: Asuhan Keperawatan Klien Anxietas.Semarang: Sister School Program D3 Keperawatan Dinas Kesehatan.
Hawari, Dadang. 2001. Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi. Jakarta: FakultasKedokteran Universitas Indonesia.
Heerey, E. dan Ann M. 2007. Interpersonal Consequences of Social Anxiety.Journal of Abnormal Psychology. Vol. 116 No. 1. p 125-134.
Herbert J., Kia C., & Kristy L. 2004. Kowlegde of Social Anxiety DisorderRelative to Attention Deficit Hyperactivity Disorder among EducationalProfessionals. Journal of Clinical Child and Adolescent Psychology Vol.33 No. 2. p 366-372.
Hurlock, E. 2005a. Perkembangan Anak Jilid I. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hurlock, E. 2005b. Perkembangan Anak Jilid II. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Johnson, D.W. dan Johnson, F.P. 1991. Joining Together: Group Theory andGroup Skill. 4th. New York: Prentice Hall International.
Kaplan, H. I., & Sadock, B. J. 1997. Sinopsis Psikiatrik: Ilmu PengetahuanPerilaku Psikiatri Klinis Jilid I. Jakarta: Binarupa Aksara.
Marsiglia, C.; Jeffrey, J.; & Walter, C. 2007. Impact of Parenting Styles andLocus of Control on Emerging Adults’ Psychosocial Success. Journal ofEducation and Human Development Vol. 1. p 1-12.
Moersintowarti, dkk. 2005. Buku Ajar II : Tumbuh Kembang Anak dan Remaja.Jakarta: Sagung Seto.
Monks, F. J.; Knoers, A. M. P.; & Haditono, S. R. 1991. PsikologiPerkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Jogjakarta:Gadjah Mada University Press.
Molt, Robert., dkk. 2007. Physical Activity and Quality of Life in MultipleSclerosis : Possible Roles of Social Support, Self-Efficacy, and FunctionalLimitations. Journal Rehabilitation Psychology. Vol. 52 No. 2. p 143-151.
Narbuko, C. dan Achmadi, A. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta: P.T. BumiAksara.
Nugroho, B.A. 2005. Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian denganSPSS. Jogjakarta: Andi Offset.
Notosoedirdjo, M. dan Latipun. 1999. Kesehatan Mental: Konsep dan PenerapanEdisi ke 4. Malang: UMM Press.
Ozmete, Emine. 2007. An Evaluation of Locus of Control as a System Related toLife Management: A Case Study on Youth. World Applied ScienceJournal Vol 2. p 691-698.
Pandan, Retno A. & Djamaludin Ancok. 2006. Locus of Control SebagaiModerator Komitmen Organisasi: Peran Persepsi Dukungan Organisasidan Kepercayaan terhadap Pemimpin. Anima Vol. 22 No. 1. p 37-46.
Putri, Orthorita M. 2003. Hubungan antara Dukungan Sosial Ayah denganPenyesuaian Sosial pada Remaja Laki-laki. Jurnal Psikologi No. 1. p 23-35.
Rahmawati, W. 2007. Hubungan antara Kualitas Komunikasi Orang Tua-Anakdan Locus Of Control dengan Kenakalan Remaja. Skripsi (tidakditerbitkan). Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas MuhammadiyahSurakarta.
Retnowati, L.; Yulia, S.; & Meiske, Y. 2005. Persepsi Remaja KetergantunganNapza Mengenai Dukungan Keluarga Selama Masa Rehabilitasi. Arkhe No2. p 76-88.
Rheingold, A.; James, D.; & Martin, E. 2003. Cognitive Bias in Adolescents withSocial Anxiety Disorder. Cognitive Therapy and Research Vol 27 No 6. p639-655.
Riyanti, Eka P. 2004. Hubungan antara Orientasi Locus of Control denganTingkat Kecemasan. Jurnal Psikologi Vol. 14 No. 2. p 38-52.
Sadava, Stanley W. & Creary, Donald R. 1997. Applied Social Psychology. NewJersey: Prentice Hall, Inc.
Sarwono, Sarlito W. 2000. Psikologi Remaja. Jakarta: P.T. Raja GrafindoPersada.
Sinniah, S., Hsien-Jien, & Mohamed H. S. 2003. Does Social Evaluative AnxietyAffect a Person’s Mental Health?. Anima, Indonesian PsychologicalJournal Vol. 18 No. 4. p 319-325.
Slamet, Muhammad. 2008. Penyandang Cacat di Jateng Capai 633.480 jiwa.www.okezone.com. Diakses 4 April 2009.
Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Grasindo IKPI.
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit Buku KedokteranEGC.
Somantri, S. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung:Refika Aditama.
Sudjana. 1992. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi : Bagi Para Peneliti.Bandung : Penerbit Tarsito.
Sudarmanto, Gunawan. 2005. Analisis Regresi Linear Ganda dengan SPSS.Jogjakarta: Penerbit Graha Ilmu.
Suliswati, dkk. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Suryanto, S. 2008. Optimalisasi Peran dan Fungsi Keluarga. Majalah Gemariedisi 87.
Tirza, dkk. 2007. Pemulihan Trauma : Panduan Praktis Pemulihan TraumaAkibat Bencana Alam. Jakarta: LPSP3.
Townsend, Mary C. 1995. Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada KeperawatanPsikiatri : Pedoman untuk Pembuatan Rencana Perawatan Edisi Ketiga.Alih Bahasa : Novi Helena. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Usman, H. dan Akbar, P. 2004. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: P.T. BumiAksara.
Usman dan Purnomo. 2003. Pengantar Statistik. Jakarta: Bumi Aksara.
Wells, Adrian. 1997. Cognitive Therapy of Anxiety Disorders : A Practice Manualand Conceptual Quide. London : John Wiley & Sons Ltd.
Wahyu, M. 2004. Perubahan Internal Locus of Control melalui Pelatihan MotivasiBerprestasi pada Anggota Kelompok Kerja Produktif Binaan DinasTenaga Kerja Jogjakarta. Insight No 24. p 91-97.
Yusuf, Syamsu. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: P.T.Remaja Rosdakarya.