PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …
Transcript of PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …
i
DETERMINAN SOSIAL BUDAYA PRAKTIK STIGMATISASI ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ)
DAN KELUARGANYA
OLEH
Dr. Bambang, D.P.,S.S.,M.Hum. NIDN: 0008037103
PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA
DESEMBER 2018
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
I. Determinan Sosial Budaya Praktik Stigmatisasi Gangguan Jiwa Pada Orang
Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) ..................................................................... 1
1.1 Pengabaian Pengobatan secara cepat dan tepat ........................................... 1
1.2 Pengucilan Sosial ....................................................................................... 3
1.3 Ketidakberdayaan ...................................................................................... 5
1.4 Diskriminasi ............................................................................................. 9
II. Determinan Sosial Budaya Praktik Stigmatisasi Gangguan Jiwa Pada
Keluarga Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) ........................................... 13
2.1 Keputusan Pilihan Perawatan dan Pengobatan yang Dijalani ..................... 13
2.2 Pilihan Perilaku Perawatan Tradisional ..................................................... 16
2.3 Pilihan Perilaku Perawatan Profesional/Modern ........................................ 16
2.4 Pilihan Perawatan Kedukunan ................................................................... 22
2.5 Pilihan Perilaku Perawatan Profesional/Modern ......................................... 28
2.6 Kelelahan (Burn-Out) dan Keputusasaan ................................................... 36
2.7 Strategi Koping dalam Balutan Resiliensi Keluarga Pasien ....................... 45
III. KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan................................................................................................ 52
3.2 Saran ......................................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA
1
DETERMINAN SOSIAL BUDAYA PRAKTIK STIGMATISASI ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ)
DAN KELUARGANYA
I. Determinan Sosial Budaya Praktik Stigmatisasi Gangguan Jiwa Pada Orang
Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)
1.1 Pengabaian Pengobatan secara Cepat dan Tepat
Stigmatisasi pada orang yang mengalami gangguan jiwa dapat berdampak
pada penanganan gangguan jiwa yang kurang tepat. Stigma terhadap penderita
gangguan jiwa secara tidak langsung menyebabkan keluarga atau masyarakat di
sekitar penderita gangguan jiwa enggan untuk memberikan penanganan yang tepat
terhadap keluarga atau tetangga mereka yang mengalami gangguan jiwa. Hal itu tidak
jarang mengakibatkan penderita gangguan jiwa yang tidak tertangani ini melakukan
perilaku kekerasan atau tindakan tidak terkontrol yang meresahkan keluarga,
masyarakat, dan lingkungan. Konstruksi stigmatisasi pada penderita gangguan jiwa
tersebut berpengaruh pada kondisi psikologis penderita gangguan jiwa itu sendiri.
Artinya, penderita mengembangkan sikap pengingkaran untuk mau menerima
ataupun mengakui bahwa dirinya mengalami sakit gangguan jiwa. Implikasinya
pertolongan yang sekiranya dapat dilakukan secara dini terhadap penderita menjadi
terlambat. Salah seorang keluarga pasien dari Klungkung AA menuturkan sebagai
berikut.
“...itulah, dari awal saya sudah punya firasat kalau sakit kakak saya ini bukan karena faktor niskala. Kalau karena sebab niskala, gangguannya tidak selama itu, paling dalam satu atau dua hari atau beberapa hari saja dengan panggil Pak Mangku sudah baikan, tapi keluarga kakak saya terutama suaminya tetap ngotot kalau istrinya sakit karena dibuat orang. Ya jadinya seperti ini, bolak-balik ke balian satu ke balian lain, ya ngak ada perubahan tetap saja. Terlebih sejak terjadi gangguan, kakak saya itu oleh suaminya dilarang untuk keluar rumah dengan alasan dia ngak mau istrinya dipermalukan di muka umum dan bilang itu sebagai bukti kalau dia masih sayang ke kakak saya. Kalau saya tanya, kakak saya itu ngerasa ngak ada apa-apa dengan dirinya, ngerasa ngak ada gangguan. Jelas-jelas kalau kumat suka teriak-teriak sambil ngumpat-ngumpat ngak jelas, ngomong sendiri, dan kalau sudah ngelamun bisa betah berjam-jam. Sering sudah saya bilang pelan-pelan ke kakak iparku untuk periksa saja ke Rumah Sakit Jiwa di Bangli, tapi dia malah marah dan bilang ke saya apa mau kakakmu dibilang buduh (gila) dan dijauhi orang”.
2
Dari penuturan AA di atas diketahui bagaimana keluarga penderita (suaminya)
memiliki kepercayaan bahwa gangguan yang dialami oleh istrinya karena guna-
guna/dibuat orang (personalistik). Implikasinya adalah dalam pengobatan yang
dilakukan untuk mengatasi gangguan pada istrinya tersebut di bawa ke dukun (balian).
Walaupun belum menampakkan hasil, suaminya terus berpindah dari satu balian ke
balian yang lain dalam usaha mencari hasil kesembuhan untuk istrinya. Di samping
itu, terlihat pula bagaimana anggota keluarga luas yang lain (dalam hal ini adik
iparnya) yang tidak sepandangan dengan kakak iparnya perihal gangguan yang
diderita oleh kakaknya tersebut. Dia sendiri percaya bahwa gangguan juga bisa berasal
dari hal-hal bersifat niskala. Akan tetapi, dalam kasus gangguan yang dialami
kakaknya tersebut berdasarkan gejala-gejala gangguan yang dimunculkan, dia
berkeyakinan bahwa sakit ataupun gangguan yang dialami oleh kakaknya bukan
karena buatan orang atau guna-guna, melainkan karena kondisi keseimbangan
kejiwaaannya sendiri (naturalistik).
Lebih jauh pandangan keluarga pasien juga melihat ruang bangsal-bangsal
yang tertutup rapat dan terkunci. Selain itu, juga terlihat lorong-lorong panjang dalam
balutan bangunan kokoh rumah sakit jiwa. Hal tersebut dalam paradigma masyarakat
hadir sebagai media politik kesehatan yang menguatkan proses stigmatisasi dan
berlakunya kontrol sosial di masyarakat. Artinya, secara sistematis juga memproduksi
kegilaan terus-menerus di masyarakat.
Implikasinya, keluarga dan penderita mengembangkan sikap pengabaian dan
penarikan diri dari stigma yang ada yang berakibat pada kondisi gangguan jiwa
penderita semakin berlarut-larut dan semakin kronis. Hal senada disampaikan oleh PT
salah seorang keluarga pasien seperti yang disampaikan berikut.
“...awalnya saya tidak percaya kalau kakak saya mengalami gangguan jiwa seperti ini. Ngak ada keturunan dalam keturunan keluarga besar kita yang ngalami sakit gini. Saat itu yang kami pikirkan hanya ngak mungkin kakak saya ngalami buduh, paling sakitnya dibuat orang karena sering ngomong sendiri dan ngelamun saja....jangan sampai tetangga tahu. Ngak kebayang kalau mereka tahu Pak kakak saya buduh...bisa jadi omongan orang nanti. Ternyata benar khan Pak...tetangga akhirnya tahu juga. Walau ada tetangga yang kasihan...banyak juga yang menghindar.Ya itu Pak, terpaksa saat itu kakak saya kita kunci dalam kamar ngak keluar rumah, keluar pun keluar
3
kamar kalau mandi saja. Ya waktu itu pengobatan saya antar ke salah satu dukun di Gianyar, tapi ngak ada perubahan”. Berdasarkan penuturan yang disampaikan oleh PT di atas, diketahui bahwa
terjadi keterlambatan penanganan disebabkan oleh stigma terhadap penderita
gangguan jiwa. Dengan demikian, penderita gangguan jiwa akan cepat bertambah
parah. Apabila sudah dianggap mengganggu dan membahayakan, baik diri maupun
lingkungan sekitarnya, akan dengan sangat terpaksa dilakukan praktik pemasungan
(perantaian ataupun pengurungan).
1.2 Pengucilan Sosial
Keluarga penderita ataupun penderita sendiri memiliki penilaian sendiri
terhadap dokter jiwa (psikiater). Bagi pasien, dokter jiwa merupakan sosok yang harus
dihindari dan dijauhi. Jika terjalin relasi, keluarga ataupun penderita merasa takut akan
dikucilkan, takut tidak diterima di lingkungan masyarakatnya (bahkan oleh
keluarganya sendiri). Selain itu, juga takut akan menjadi bahan ejekan, olok-olokan,
dan gunjingan kalau orang lain mengetahui bahwa ia memiliki kelainan atau
penyimpangan. Hal tersebut akan berdampak buruk terhadap dirinya sendiri.
Gejalanya pun semakin hari semakin parah. Ia akan semakin tenggelam dalam
penyakit dan penyimpangan karena tidak mendapatkan terapi atau pertolongan yang
tepat sesuai dengan kebutuhannya. Kenyataan tersebut di atas dapat dilihat sebagai
representasi ideologis yang terdapat pada produksi pengetahuan kuasa masyarakat.
Persoalan kekuasaan bukanlah persoalan pemilikan, dalam konteks siapa
menguasai siapa atau siapa yang powerful sementara yang lain powerless. Kekuasaan
itu tersebar, berada di mana-mana (omnipresent), imanen terdapat dalam setiap relasi
sosial. Kekuasaan itu ada di mana-mana bukan karena ia merengkuh segala sesuatu,
melainkan karena ia datang dari mana pun. Stigmatisasi diberikan masyarakat kepada
penderita gangguan jiwa (social labeling) dan pengawasan sosial (social control)
menginstitusionalisasi para penderita gangguan jiwa dalam lingkaran pengawasan
penuh instalasi kekuasaan rumah sakit jiwa. Hal tersebut merupakan akibat dari
situasi ketegangan antara disiplin kuasa governmentality masyarakat terhadap individu
penderita gangguan jiwa. Artinya, di dalamnya bersemayam rezim governmentality
4
yang menghubungkan diri penderita dengan situasi pengasingan dan pengucilan sosial
penderita dalam balutan wajah regulasi sosial yang berlaku di masyarakat.
Persepsi yang terjadi pada keluarga pasien bahwa gangguan jiwa terjadi karena
“guna-guna” (personalistik) menyebabkan tindakan awal pencarian pengobatan secara
tradisional dengan mendatangi dukun. Akan tetapi, pengobatan dengan berbagai
dukun tidak memberikan kesembuhan, ternyata justru memperberat kondisi penderita.
Akhirnya, keluarga menggunakan sistem medis modern, yaitu berobat ke sarana
kesehatan. Pengobatan dengan medis modern memberikan kesembuhan. Namun,
setelah penderita gangguan jiwa kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat
mengalami kekambuhan lagi. Oleh karena itu, penanganan terakhir yang dilakukan
oleh keluarga adalah kembali dengan merantai, mengurung di kamar, dan memasung.
Hingga sekarang penanganan penderita gangguan jiwa belum memuaskan
disebabkan oleh ketidaktahuan (ignorancy), baik keluarga maupun masyarakat,
terhadap jenis gangguan jiwa. Salah satu di antaranya masih terdapat pandangan yang
negatif (stigma). Selain itu, juga masih ada pandangan bahwa gangguan jiwa bukanlah
suatu penyakit yang dapat diobati dan disembuhkan, orang yang menderitanya tidak
mungkin bisa berfungsi secara normal di masyarakat. Persepsi yang muncul kemudian
dalam taraf yang lebih jauh akan menyebabkan orang tidak mau untuk mengetahui
permasalahan kesehatan jiwa, baik dalam dirinya sendiri maupun orang lain. Dalam
kaitan tersebut, keberadaan suatu informasi memiliki pengaruh besar terhadap opini,
kepercayaan, dan tingkat pengetahuan seseorang ataupun sekelompok orang.
Berbagai bentuk kesalahan sikap masyarakat dalam merespons kehadiran
penderita gangguan jiwa terjadi akibat konstruksi pola berpikir yang salah dan
ketidaktahuan publik. Artinya di masyarakat terdapat logika yang salah. Kondisi
mispersepsi tersebut selanjutnya berujung pada tindakan yang tidak membantu
percepatan kesembuhan si penderita. Dalam kaitan ini adalah pengalaman dalam hal
kontrol kesehatan berserta status etis tersendiri dalam rangka menciptakan masyarakat
yang steril, sehat, dan berguna. Selain itu, hanya kepribadian individu yang telah
mapan dan kuat yang dapat dan mampu menjalankan semuanya. Sebaliknya,
kegagalan atas kemapanan dan ketidakmampuan atas semua itu telah tersedia ruang
luas labirin isolasi, pengucilan sosial, dan tersisihkan dalam kuasa dominasi diskursif,
5
yakni kehendak rezim kebenaran baru di tengah masyarakat. Prinsip ini dilestarikan
dalam bentuk pendisiplinan dan kepatuhan untuk menerima dan menjalankan relasi
yang serba teratur dan steril menurut kacamata kebenaran pemegang kuasa.
Klaim kebenaran itu merupakan bentuk beroperasinya kekuasaan sebagai suatu
wacana yang memengaruhi institusi-institusi sosial dan praktik-praktik sosial. Itulah
sebabnya dalam pandangan Foucault kekuasaan tidak beroperasi secara negatif
melalui aparatus yang koersif, menekan, dan menindas. Pada konteks ini kekuasaan
beroperasi secara positif dan produktif. Artinya, karena wujud kekuasaan tidak
tampak, beroperasinya pun menjadi tidak disadari. Selain itu, memang tidak dirasakan
oleh individu sebagai praktik kekuasaan yang sebenarnya mengendalikan tubuh
individu.
Senada dengan pandangan Foucault, Mudhoffir berpendapat bahwa kekuasaan
dapat diketahui dan dirasakan melalui efek-efeknya. Bentuk pengetahuan atau rezim
wacana yang otoritatif itu merupakan efek dari kekuasaan tersebut. Ia tidak bisa
dipisahkan dari aparatus yang dapat mengendalikan apakah pengetahuan itu otoritatif
atau tidak. Distingsi antara yang benar dan yang salah juga melibatkan aparatus ilmiah
yang memproduksi pengetahuan melalui ritus-ritus kebenaran, yakni melalui dasar
empiris sebagai legitimasi bagi kebenaran pengetahuan itu (Mudhoffir, 2013: 83).
1.3 Ketidakberdayaan
Ketidakberdayaan ditunjukkan ketika persepsi atau tanggapan penderita bahwa
perilaku atau tindakan yang dilakukannya tidak akan membawa hasil atau perubahan
adil seperti yang diharapkan. Dengan demikian, penderita sulit mengendalikan situasi
yang terjadi atau mengendalikan situasi yang akan terjadi (Nanda, 2012:60--65). Lebih
jauh menurut Wilkinson (2007:105), ketidakberdayaan merupakan persepsi seseorang
bahwa tindakannya tidak akan memengaruhi hasil secara bermakna, kurang
pengendalian yang dirasakan terhadap situasi terakhir atau yang baru saja terjadi.
Seturut hal tersebut, psikiater RSJ Provinsi Bali, dr. I D.G. Basudewa, Sp.K.J.
menyatakan ketidakberdayaan pasien penderita gangguan jiwa sebagai berikut.
“... kondisi ketidakberdayaan pada diri penderita disebabkan oleh banyaknya faktor sosial budaya yang hingga saat ini sangat sulit untuk ditangani seorang penderita gangguan jiwa yang pada gilirannya menyebabkan penderita dalam
6
kondisi depresi yang berakibat pada kondisi psikososial dengan ketidakberdayaan”.
Penderita gangguan jiwa juga sering kali dipasung. Pada tahun 2011, Menteri
Kesehatan RI mencanangkan program Indonesia Bebas Pasung pada tahun 2014.
Namun, sampai dengan sekarang belum terlihat penanganan yang signifikan dan
komprehensif dalam penanganan dini penderita gangguan jiwa. Program Indonesia
Bebas Pasung 2014 sudah direvisi menjadi Program Indonesia Bebas Pasung 2019.
Dengan demikian, dalam menentukan ketercapaian target masih ada dua tahun lagi
karena proses ini masih berlangsung berkesinambungan dengan adanya komitmen
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah provinsi dan kota/kabupaten (Yud, 2014
dalam http://www.beritasatu.com/kesra/183215 menkes-ajak-pemdawujudkan-
indonesia-bebas-pasung.html).
Pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa masih banyak terjadi, yaitu
sekitar 20.000 hingga 30.000 penderita gangguan jiwa di seluruh Indonesia mendapat
perlakuan sangat tidak manusiawi dengan cara dipasung. Metode pemasungan tidak
terbatas pada pemasungan secara tradisional dengan menggunakan kayu atau rantai
pada kaki, tetapi juga tindakan pengekangan yang membatasi gerak, pengisolasian,
termasuk tindakan mengurung dan penelantaran (Purwoko, 2010) dalam
http://www.republika.co.id. Data terbaru tahun 2014 dari Kementerian Sosial
menunjukkan bahwa ada sekitar kurang lebih 57.000 orang dengan gangguan jiwa yag
dipasung (dalam http://www.kemsos.go.id/). Penanganan yang tidak tepat dengan cara
pemasungan tersebut dapat menyebabkan ketidakpastian kesembuhan pasien sehingga
menimbulkan rasa tidak berdaya pada penderita.
Kesalahan penanganan dan ketidakpastian waktu pengobatan menjadi
penyebab seorang penderita gangguan jiwa menyerah pada penyakitnya
(ketidakberdayaan) dan mengakibatkan pengabaian pengobatan secara cepat dan tepat.
Saat pasien pada akhirnya dinyatakan sembuh secara medis oleh dokter, maka pasien
akan kembali ke rumah. Kecenderungan yang terjadi kemudian adalah pasien yang
sudah dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang ke rumah, tetapi pada akhirnya
dalam jangka waktu yang tidak lama pasien akan kembali lagi. Artinya, dalam situasi
tersebut perawatan bersifat bolak-balik. Jika situasi ketidakberdayaan ini berlangsung
7
lama, dapat mengarah pada perilaku keputusasaan yang dapat terjadi juga pada diri
penderita.
Kontrol sosial yang diproduksi dalam kuasa klinis kedokteran terlihat dalam
hubungan perangkat antara aparatus kesehatan (dokter, psikiater) dan pasiennya dalam
konteks otoritas dokter untuk merawatnya. Implikasi bagi penderita adalah bahwa saat
dibawa oleh keluarganya ke rumah sakit jiwa walaupun penderita menyatakan diri
sehat, tidak sakit, dan tidak ada gangguan sama sekali, dokter akan tetap menjatuhkan
adanya ataupun terjadinya gangguan pada diri penderita dan akan diputuskan untuk
rawat jalan atau rawat inap. Kejadian tersebut dialami oleh Pasien RA, yang pada
akhirnya menjalani rawat inap seperti yang diutarakan berikut.
“...ingat sekali aku waktu aku diantar ayahku. Ayah banyak cerita ke petugas di gedung depan yang di gawat darurat itu. Aku duduk saja sambil nunggu ayahku. Setelah itu aku diajak ngobrol sama dokter di sana. Aku bilang ke dokter kalau aku sehat-sehat saja. Saat itu aku ditanya apa yang sebabkan ayahku bawa ke sini, ya aku jawab ngak tahu dan aku bilang mungkin ayahku sangka aku buduh karena selalu lawan dia. Beberapa jam menunggu aku akhirnya dirawat di sini sampai sekarang, di rumah sakit jiwa ini”.
Seturut hal tersebut, Goffman (1963:15) mengatakan bahwa kondisi penderita
setelah berada dalam setting ruang luas rumah sakit jiwa akan mendapatkan atribut
peranan yang baru sekaligus melemahkan dirinya. Di samping itu, juga mendapatkan
dan menjalankan peranan “pasien jiwa” di bawah pengawasan dan kontrol ketat rumah
sakit jiwa. Pada akhirnya ia menerima (secara terpaksa) stigma sebagai “orang gila”
yang implikasinya tanpa daya para penderita gangguan jiwa ini menjadi terasing
dalam lingkungan masyarakatnya sendiri saat lepas dari kontrol ketat RS.
Kontrol sosial yang diproduksi dalam kuasa klinis kedokteran terlihat pula
dalam tata aturan dan pola hubungan baru. Artinya, segala sesuatunya diatur atas nama
otoritas serta kepentingan umum masyarakat di samping berlaku mekanisme disiplin
yang ketat di dalamnya. Tata aturan formal dan pola hubungan baru termanifestasi
dalam teritorial luas rumah tinggal bersama bernama rumah sakit jiwa. Mereka juga
beraktivitas dan berkegiatan dengan jadwal ketat rumah sakit dengan orang-orang
yang senasib sesama penderita gangguan jiwa, yang terpenjara berhari-hari,
berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun hidup dalam ruang
bangunan luas rumah sakit jiwa.
8
Pasien mengalami rasa kebosanan yang merupakan konsekuensi logis dalam
sistem aturan rumah sakit jiwa yang harus dihadapinya. Dalam hal ini dia menjalankan
peranan yang memperkuat pencitraan pasien gangguan jiwa dari orang-orang yang
normal di luar sana. Dalam pelaksanaan praktik perawatan di Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Bali, Bangli, pasien penderita gangguan jiwa menjalani kehidupan dalam
wilayah teritori kekuasaan rumah sakit secara bersama-sama. Peran 24 jam para
perawat sebagai kamera CCTV pengamat dan pengawas perilaku pasien dirasakan
penting dalam mengisi hari-hari para pasien penderita gangguan jiwa. Salah satu di
antaranya terlihat pada Gambar berikut. Gambar tersebut menunjukkan salah satu
contoh bagaimana perawat berfungsi layaknya sebagai CCTV atas diri pasien.
Gambar 1.1
Aktivitas makan yang tak luput dari pengawasan perawat
Terkait dengan pengawasan perawat terhadap pasien, dalam keseharian di
bawah pengawasan perawat, kegiatan pasien dimulai tepat pukul 05.00 pasien bangun
pagi, pukul 05.30 mandi pagi dan minum kopi + teh, pukul 06.30 sarapan pagi dan
minum obat, pkl. 08.00 waktunya bersosialisasi dan senam, pkl. 09.00 visit dokter,
pukul 10.00 terapi aktivitas kelompok, pukul 11.00 terapi rekreasi, menonton TV dan
karaoke, pukul 11.30 pembagian snack, pukul 12.00 makan siang dan minum obat,
pukul 12.30 membersihkan meja makan dan perabotan makan, pukul 13.00 istirahat,
pukul 15.30 bangun dan kemudian mandi sore, pukul 16.00 bersosialisasi, pukul 17.00
terapi rekreasi (menonton TV dan karaoke), pukul 18.00 makan malam dan
membersihkan meja makan, pukul 19.00 terapi spiritual (sembahyang), dan pukul
9
19.30 istirahat/tidur malam. Praktik aktivitas dalam waktu dan jam yang sudah
ditentukan oleh pihak rumah sakit jiwa tersebut harus ditaati secara ketat dan disiplin
oleh para pasien serta menjadi alat pengawasan dan kontrol yang efektif.
1.4 Diskriminasi
Salah satu kendala dalam penanganan masalah ganggguan jiwa adalah
masalah stigma. Masalah lain yang menjadi pusat perhatian adalah adanya
diskriminasi terhadap penderita gangguan jiwa. Herek (2002:93) mengatakan bahwa
timbulnya stigma dan perlakuan yang tidak adil (diskriminasi) disebabkan oleh faktor
risiko penyakit jiwa yang terkait dengan perilaku yang menyimpang. Stigma dan
diskriminasi tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam yang tidak mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang penyakit, tetapi dapat juga dilakukan oleh petugas
kesehatan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Andrewin
(2008:94--112), yaitu bahwa petugas kesehatan (dokter dan perawat) mempunyai
stigma dan melakukan diskriminasi terhadap pasien.
Hasil penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Marum, Mbori, dan
Cock (2002:85--91) yang menyatakan bahwa stigma dan diskriminasi berhubungan
dengan persepsi tentang rasa malu (shame) dan menyalahkan (blame). Faktor lain
yang berpengaruh terhadap terjadinya stigma dan diskriminasi adalah tingkat
pendidikan dan lama bekerja. Jenis tenaga kesehatan sesuai dengan latar belakang
pendidikannya memengaruhi stigma dan diskriminasi. Selain itu, lama bekerja juga
memengaruhi terjadinya stigma dan diskriminasi karena seseorang yang sudah lama
bekerja cenderung mempunyai wawasan yang lebih luas dan pengalaman yang lebih
banyak. Hal ini memegang peranan penting dalam perubahan perilaku seorang petugas
kesehatan.
Berdasarkan pandangan para ahli tersebut diketahui bahwa, perlakuan
diskriminasi terhadap para penderita gangguan jiwa dapat disebutkan sebagai suatu
bentuk penjabaran dari hegemoni kekuasaan dan dominasi otoritas aparatus sosial
(kelompok, komunitas, masyarakat) dan otoritas aparatus medis/kesehatan (dokter,
psikiater, perawat) kepada para penderita gangguan jiwa yang melahirkan kesenjangan
sosial dan kesenjangan identitas. Hal ini menunjukkan bentuk pertarungan yang
10
melibatkan kekuasaan untuk mengukuhkan dominasi dan peran para kuasa aparatus
dalam berbagai aspek kehidupan. Fenomena tersebut relevan dengan teori hegemoni,
yaitu adanya dominasi karena faktor otoritas kekuasaan yang menyebabkan adanya
pihak yang terdominasi dan kalah dalam konsensus. Dengan pernyataan lain dapat
dikatakan bahwa kelas berkuasa menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas
kelas subordinat melalui pemenangan konsensus.
Otoritas dokter sangat besar dalam menunjukkan kekuasaannya di rumah sakit
jiwa. Penderita gangguan jiwa sebagai para terstigma mendapat hambatan dalam akses
pelayanan sosial, akses kesehatan, akses pendidikan yang diterima, dihina, dicemooh,
ketidakmampuan bekerja, sebagai individu yang sakit, individu yang tidak normal,
individu lemah dan rapuh, harus dijauhi, ketidakmampuan dalam berintegrasi dengan
kelompok, serta terpinggirkan dalam masyarakat (tersisih secara sosial). Hal itu
dialami pasien TR seperti dituturkannya berikut.
“...ini ingatku sudah empat kalinya masuk rumah sakit lagi. Tetap saja...waktu pulang dulu ngak ada teman-teman yang biasa kita kumpul-kumpul dulu datang ke rumah lagi. Jangankan orang lain....kakakku sendiri kalau lagi marah sering bilang ke aku dasar buduh (gila), susah sekali diatur...pantesan dijauhi orang. Orang ya pasti akan pilih-pilih bergaul sama cari teman....bukan seperti kamu yang suka ngamuk-ngamuk kalau dibilangin. Sudah biasalah aku dihina-hina gitu, sudah kebal aku dihina”.
Dari apa yang disampaikan oleh pasien TR, terlihat bahwa akibat masuknya
pasien TR dalam sistem kontrol medis rumah sakit jiwa, label sakit yang melekat
tersebut akan terus menjadi bayang-bayang ketika pasien TR sudah pulang sekalipun
ke rumah. Dengan kata lain, sudah sejak awal, yaitu ketika masuk dalam kontrol kuasa
rumah sakit pasien TR secara otomatis pula berada dalam sistem kontrol masyarakat
dan keluarga yang tetap mempersepsikan bahwa dirinya tetap mengalami kelainan,
mengalami sakit, dan terganggu masalah kejiwaannya.
Dari apa yang dituturkan oleh pasien TR di atas, terlihat pula bagaimana
masyarakat tetap mengidentifikasi negatif terhadap bekas pasien penderita gangguan
jiwa walaupun pasien sudah pernah pulang sekalipun ke rumah, seperti pengalaman
pasien KA yang dituturkannya sebagai berikut.
“...saat aku boleh disuruh pulang sama dokter, selalu aku bilang ke dokter takut untuk pulang. Sudah tiga kali aku boleh pulang, waktu itu dijemput pamanku.
11
Aku sudah ngak bisa kerja lagi kalau pulang. Aku sudah dikeluarin kata kakakku waktu aku masuk rumah sakit jiwa ini. Pernah aku coba datang untuk kerja tukang lagi, tapi ditolak dan dimarah....disuruh pulang dan istirahat saja katanya. Tapi ya bosen aku di rumah, ngak boleh keluar sama kakakku. Tapi ya bagus di rumah saja daripada aku kalau keluar rumah orang-orang banyak menghindar dan aku ngak diajak ngobrol”.
Walaupun sudah dinyatakan sembuh secara medis oleh pihak rumah sakit jiwa,
tetap saja masyarakat menjustifikasi sebagai “orang lain” serta menutup katup akses
sosial seperti saat mereka menjadi penghuni tetap rumah sakit jiwa. Penderita tidak
melakukan gangguan di lingkungan sekitarnya, tetapi masih mengalami diskriminasi
sosial dan penolakan akibat dari stigma. Di samping itu, terlihat pula bagaimana
konsep “menjadi pasien RSJ” dan “bekas pasien RSJ” tidak banyak berpengaruh
terhadap perubahan sikap dan penilaian masyarakat terhadap pencitraan diri penderita
gangguan jiwa. Bekas penderita gangguan jiwa tetap “terlabelisasi” sebagai musuh
sosial yang harus dihindari. Seturut hal tersebut, RD salah seorang anggota
masyarakat menuturkan hal berikut.
“...walau sudah sembuh...tetap saja saya ngak berani dekat Pak. Kalau tiba-tiba kumat dan berbuat sesuatu yang membahayakan, apa jadinya. Jadi, lebih baik saya menghindar sebelum kejadian. Memang saya tidak pernah ketemu dengan bekas penderita gangguan jiwa, tapi kalau memang kenyataanya saya ketemu, saya pasti menghindar daripada terjadi sesuatu karena menurut saya perilakunya tidak bisa diprediksi. Pernah saya lihat berita di koran juga bagaimana bekas penderita gangguan jiwa mengamuk membabi buta dan mencelakai tetangga sekitarnya”. Dari penuturan RD tersebut, jelas tergambar bagaimana ketakutan RD terhadap
bekas pasien gangguan jiwa yang dianggapnya tetap memiliki perilaku yang
membahayakan bagi lingkungannya. Selain itu, juga terlebih informasi yang diberikan
oleh media terkait dengan kasus bekas pasien jiwa yang melakukan tindakan
kekerasan sangat kuat membekas dan menjadi salah satu pembenaran alasan untuk
bersikap terhadap bekas penderita gangguan jiwa. Di sini terlihat dgn jelas bagaimana
sangat pentingnya peran media dalam penanaman nilai-nilai di samping berperan
sebagai transfer knowledge bagi masyarakat. Informasi yang tersedia mengenai
kesehatan jiwa sangat terbatas dan bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Informasi
12
yang bersifat edukasi pada masyarakat sangat sedikit dan sangat jarang didengar dan
dilihat. Hal ini merupakan salah satu bentuk diskriminasi.
Dari hal tersebut diketahui ternyata kuasa otoritas media juga berperan sangat
penting sebagai kontrol sosial terhadap penderita gangguan jiwa. Para penderita
gangguan jiwa tidak mempunyai kuasa atas dirinya sendiri. Mereka tergilas oleh
gencar dan kuatnya informasi media sekaligus penanaman pencitraan sosial terhadap
para penderita gangguan jiwa dengan mengukuhkan identitas sebagai individu yang
mengalami sakit jiwa dan tetap berbahaya bagi lingkungan sekitarnya. Seturut hal
tersebut, Goffman dalam Kearl dan Gordon (1992:221--222) menyatakan bahwa
sebelumnya para penderita gangguan jiwa akan mengalami perubahan identitas seiring
dengan penderita masuk dalam kontrol sosial aparatus medis. Pasien dalam posisi
destruksi diri terhadap dunia luar sebelumnya. Artinya, diri individu secara serius akan
kehilangan hak miliknya berupa pekerjaan, pendidikan, interaksi dengan sesama, dan
hal-hal lain yang dulu dimiliki. Penderita tidak lagi memiliki kuasa dan hak apa pun
atas dirinya.
Lebih jauh kontrol sosial masyarakat memiliki kuasa atas otoritas, arah,
penghukuman atas segala macam bentuk sikap dan perilaku para penderita gangguan
jiwa yang telah terlabelisasi sebelumnya sebagai penghuni rumah sakit jiwa. Hal itu
menjadi sebuah renungan bersama, artinya sudah benar dan adilkah kita sebagai
anggota masyarakat bersikap dan berperilaku terhadap para penderita gangguan jiwa,
baik yang masih dalam pengobatan dan perawatan di rumah sakit jiwa maupun bagi
para bekas pasien penderita gangguan jiwa yang sudah dinyatakan sembuh secara
medis oleh dokter? Separanoidkah kita sebagai anggota masyarakat terhadap para
penderita gangguan jiwa tersebut? Siapakah yang menjadi “mesin pembunuh”
sebenarnya? Para penderita gangguan jiwakah yang berada dalam tembok-tembok
rapat rumah mereka sendiri atau yang masih berada dalam bangsal-bangsal
penyadaran rumah sakit jiwa? Ataukah masyarakat “normal” kebanyakan seperti kita
ini yang dengan bebasnya berada dalam ruang-ruang terbuka tanpa sekat dengan
menghirup udara kemerdekaan kebebasan sosial?
Hampir setiap waktu terdengar ataupun kita disuguhi informasi oleh media
tentang seorang anak membunuh ibu atau bapaknya, orang tua membunuh anak
13
kandungnya, suami tega menikam istrinya, sebaliknya istri tega membunuh suaminya.
Di samping itu, juga seorang gadis dibunuh dan diperkosa oleh pacarnya sendiri, ayah
memutilasi anak kandungnya sendiri, ayah memerkosa anak kandungnya, seorang
gadis diperkosa dan dibunuh oleh saudaranya sendiri, bahkan pembunuhan yang
dilakukan oleh sahabatnya sendiri, dan kebiadaban lainnya. Pertanyaan besar yang
muncul kemudian adalah gangguan jiwakah para pelaku kebiadaban tersebut?
Jawaban dari hasil investigasi pengumpulan data oleh pihak kepolisian dan dari hasil
tes yang dilakukan oleh para psikolog dan psikiater ternyata mereka tidak mengalami
gangguan jiwa, mereka sehat. Akan tetapi, mengapa justru ketakutan yang luar biasa
diarahkan/terletak pada para penderita gangguan jiwa, yang senyata-nyatanya mereka
berada dalam pikirannya masing-masing, baik di bawah pengawasan kontrol kuasa
medis maupun di bawah pengawasan dan asuhan dalam keluarga. Siapakah yang
disebut menjadi “mesin pembunuh” sebenarnya? Kita sebenarnya dan senyatanya
dikelilingi oleh “mesin-mesin pembunuh” yang dimaksud. Dari apa yang diuraikan di
atas, terlihat bahwa pasien penderita gangguan jiwa tetap mendapatkan perlakuan
yang diskriminatif baik selama berada dalam ruang teritori rumah sakit jiwa maupun
setelah mereka kembali ke masyarakat.
II. Determinan Sosial Budaya Praktik Stigmatisasi Gangguan Jiwa Pada
Keluarga Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)
2.1 Keputusan Pilihan Perawatan dan Pengobatan yang Dijalani
Sistem kesehatan yang dimiliki oleh suatu masyarakat merupakan bagian dari
kebudayaan masyarakat tersebut secara keseluruhan. Dalam hubungan tersebut Wellin
(1977:47--58) membuat tiga generalisasi empiris. Pertama, penyakit dalam segala
bentuknya merupakan bagian dari kehidupan manusia. Kedua, semua kelompok
masyarakat membangun metode dan peranan untuk menanggapi penyakit. Ketiga,
semua kelompok masyarakat membangun kepercayaan dan persepsi untuk memahami
penyakit.
Foster dan Anderson (1978:138--147) mengatakan bahwa ada persamaan yang
universal dalam sistem kesehatan, yaitu (1) sistem kesehatan adalah bagian pelengkap
dari kebudayaan, (2) definisi illness secara kebudayaan, (3) semua sistem pengobatan
14
mempunyai sisi preventif dan kuratif, dan (4) sistem kesehatan mempunyai fungsi-
fungsi yang berkaitan. Lebih lanjut Foster dan Anderson (1986:46) menyatakan
bahwa sistem kesehatan merupakan bagian dari kebudayaan manusia yang dapat
dibagi dalam dua kategori. Adapun kedua kattegori tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, sistem teori penyakit meliputi kepercayaan-kepercayaan mengenai
ciri sehat, sebab-sebab sakit, pengobatan dan teknik-teknik penyembuhan lain yang
digunakan oleh penyembuh. Sistem teori penyakit berkenaan pula dengan kausalitas,
penjelasan yang diberikan oleh penduduk mengenai hilangnya kesehatan, penjelasan
mengenai pelanggaran tabu, mengenai pencurian jiwa orang, gangguan keseimbangan
antara unsur panas, dingin dalam tubuh, atau kegagalan pertahanan termonologi organ
manusia terhadap agen-agen patogen, seperti kuman-kuman dan virus. Dari penjelasan
tersebut diketahui bahwa suatu sistem teori penyakit merupakan suatu sistem ide
konseptual, suatu konstruk intelektual, bagian dari orientasi kognitif anggota-anggota
kelompok tersebut yang berkenaan dengan klasifikasi, penjelasan, serta sebab dan
akibat.
Kedua, sistem perawatan kesehatan merupakan suatu pranata sosial yang
melibatkan interaksi antara sejumlah orang yaitu sedikitnya pasien dan penyembuh.
Adapun fungsi yang terwujudkan dari suatu sistem perawatan kesehatan adalah untuk
memobilisasi sumber-sumber daya si pasien, yakni keluarganya dan masyarakat untuk
menyertakan mereka dalam mengatasi masalah tersebut.
Kleinman (1980:49) menyatakan bahwa fenomena perilaku kesehatan
merupakan fenomena yang kompleks. Dalam rangka usaha perawatan kesehatan di
dalam kenyataan lokalitas kesatuan-kesatuan masyarakat pada umumnya mencakup
tugas sektor yang satu dengan yang lainnya berada dalam hubungan yang saling
tumpang tindih. Adapun sektor-sektor yang dimaksud adalah sektor perawatan umum
(popular sector), sektor perawatan kesehatan kedukunan (folk sector), dan sektor
perawatan kesehatan kedokteran (profesional sector). Sistem perawatan kesehatan
yang ada dalam lokalitas sosial tertentu menunjukkan adanya kenyataan-kenyataan
klinik tersendiri, merupakan kumpulan beranekaragam kepercayaan, pengetahuan,
praktik, tenaga, fasilitas, dan sumber lain yang membentuk struktur yang dijadikan
pedoman oleh anggota suatu kelompok sosial untuk menentukan pemeliharaan dan
15
pengobatan penyakit.Hal tersebut juga merupakan acuan yang digunakan oleh orang
Bali dalam menentukan pemeliharaan dan pengobatan penyakit yang dirasakan tepat.
Lebih lanjut dapat dipahami bahwa dalam usaha penyembuhan suatu penyakit,
masyarakat memilih sumber perawatan berdasarkan sistem teori penyakit yang
dianutnya. Foster dan Anderson menjelaskan bahwa sistem teori penyakit (antara lain
klasifikasi penyakit dan penjelasan-penjeasan mengenai kausalitas penyakit)
memberikan dasar bagi perawatan (Foster dan Anderson, 1978:37--42). Adapun
sumber perawatan tradisional dapat dibagi menjadi dua, yaitu sistem perawatan rumah
tangga (home remedies) dan sistem perawatan kedukunan (folk sector). Di pihak lain
sumber perawatan modern/profesional dibagi atas perawatan dokter, dokter spesialis,
paramedis yang berpraktik secara pribadi, dan lembaga kesehatan pemerintah ataupun
swasta, seperti rumah sakit, klinik kesehatan, dan puskesmas. Berbagai macam sumber
perawatan tersebut menjadi alternatif sumber perawatan yang dipilih oleh keluarga
pasien dan masyarakat pada saat membutuhkan sumber perawatan kesehatan.
Berdasarkan pilihan yang ada seseorang akan melalui suatu proses pengambilan
keputusan sebagai suatu proses memilih satu alternatif atau lebih yang ada dalam
upaya memecahkan suatu masalah (Irawadi, 1983:11).
Hal itu sesuai dengan pendapat Young (1980: 113-121) bahwa pemilihan
alternatif-alternatif yang tersedia dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti
persepsi tentang penyakit, tingkat keparahan, faktor ekonomi, dan kemudahan. Lebih
lanjut untuk memenuhi kebutuhan terhadap suatu sumber perawatan, seseorang
dihadapkan pada beberapa alternatif pilihan yang ada. Sehubungan dengan itu,
sebelum diputuskan untuk digunakan satu alternatif atau lebih, harus dijalani
serangkaian proses pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini didapat alternatif
pilihan sumber perawatan kesehatan yang dijalankan oleh keluarga penderita meliputi
perawatan rumah tangga, perawatan kedukunan, dan rumah sakit jiwa. Adapun kriteria
yang dipakai untuk menyeleksi anternatif tersebut meliputi persepsi yang didasarkan
atas konsep sakit, etiologi penyakit, tingkat keparahan, pengetahuan dan pengalaman
perawatan, serta kemudahan.
16
2.2 Pilihan Perilaku Perawatan Tradisional
Sistem-sistem medik tradisional dalam kenyataannya masih tetap hidup, tidak
terhapuskan oleh praktik-praktik biomedik kedokteran yang makin mengalami
perkembangan. Kenyataan inilah yang menunjukkan bahwa pelayanan dan perawatan
kesehatan merupakan fenomena sosial budaya yang kompleks. Usaha penyembuhan
penyakit oleh keluarga penderita tidak hanya dilakukan di puskesmas, rumah sakit,
dokter praktik umum dan spesialis, tetapi dapat pula dilakukan secara tradisional
(Kasniyah, 1985:71).
Ditambahkan oleh Connor bahwa untuk sebagian besar orang atau masyarakat
Bali mempunyai kecenderungan untuk memanfaatkan sistem pelayanan kesehatan
modern apabila sakit. Akan tetapi, tidak dapat dimungkiri pula secara relatif masih
banyak masyarakat juga mendatangi praktisi medis tradisional (prametra) dalam suatu
kasus penyakit tertentu atau masalah-masalah kesehatan yang tidak dapat diatasi
melalui sistem pelayanan kesehatan modern (Connor, 1982:3). Sependapat dengan
Connor, Nala menyatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat Bali umumnya untuk
mencari pemecahan masalah kesehatan dan usaha-usaha dalam sistem pelayanan
kesehatan (health care system), sistem pengobatan tradisional masih merupakan
pilihan yang sangat penting di samping pengobatan modern (Nala, 1997:6--10).
Pengambilan keputusan dalam memilih sumber pengobatan ini dijadikan pedoman
dalam perilaku kesehatan oleh masyarakat.
Dalam penelitian yang dilakukan ini, diketahui bahwa perilaku perawatan
tradisional (yang dijadikan pilihan pengobatan oleh keluarga penderita) terbagi dalam
dua pilihan perawatan kesehatan, yaitu pilihan perawatan rumah tangga (home
remedies) dan pilihan perawatan kedukunan (folk sector).
2.3 Pilihan Perilaku Perawatan Rumah Tangga
Seperti dalam sistem perawatan kesehatan lainnya, sistem ini memiliki
kompleks pengetahuan, kepercayaan, nilai-nilai, aturan-aturan, dan praktik-praktik.
Hal-hal tersebut digunakan dalam mengamati gejala-gejala dan mendiagnosis
gangguan kesehatan. Di samping itu, juga dalam menjalankan peranan-peranan pokok
dalam interaksi antara keluarga dan anggota keluarga mereka yang sakit. Pengetahuan
17
yang dimiliki oleh suatu rumah tangga atau keluarga tentang penyakit akan
memberikan kemungkinan kepada rumah tangga (keluarga) tersebut untuk menangani
perawatan/pengobatan sendiri terhadap anggota keluarganya yang mengalami atau
menderita sakit. Sistem perawatan rumah tangga yang dilakukan merupakan tindakan
pertama yang dilakukan oleh individu atau masyarakat pada umumnya untuk
mengatasi penyakit yang dipandangnya sebagai self medication (berobat sendiri).
Dalam sistem ini tidak dikenal adanya kedudukan praktisi yang mempunyai
pengetahuan dan keterampilan medik serta profesional/modern seperti halnya di dunia
kedokteran (Helman, 1990:55--56).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa orang Bali khususnya
dalam hal ini para keluarga yang salah seorang anggota keluarganya menderita
gangguan jiwa, yaitu untuk mengatasi keadaan atau kondisi si sakit mereka juga
melakukan tindakan pertama. Hal itu bertujuan untuk mengatasi gangguan ataupun
penyakit yang dipandangnya sebagai self medication, yakni awalnya dengan jalan
melakukan perawatan ataupun pengobatan di rumah (home remedies). Keluarga yang
awalnya mencoba melakukan pengobatan atau perawatan di rumah terhadap diri
anggota keluarga mereka yang sakit mengemukakan alasan sebagai usaha yang
bersifat coba-coba saja. Artinya, keluarga mencoba-coba memakai obat yang dibeli,
baik dari toko obat (apotek), warung-warung, maupun tukang obat di pinggir jalan.
Dari Bapak AY yang merupakan salah seorang keluarga pasien diperoleh informasi
seperti berikut.
“...saat munculnya gejala gangguan kesehatan pada istri saya pertama kalinya, suhu badan dia saat siang dan malam hari panas tinggi, tapi paginya normal lagi. Kembali malamnya panas lagi. Saat panas itu dia mulai bicara sendiri. Saat itu saya berikan obat penurun panas paracetamol dan aspirin karena dia mengeluh pusing juga. Sebelum menunjukkan gejala panas dan pusing, istri saya juga punya keluhan sulit tidur. Kalau lagi kumat sulit tidurnya dia biasa minum diazepam. Saya berikan obat itu karena keluarga jika ada yang punya keluhan dan sakit seperti panas atau pusing dan sulit tidur, kita sudah biasa menggunakannya”. Terkait dengan penuturan Bapak AY terhadap istrinya yang menunjukkan
gejala sulit tidur tersebut, Psikiater Basudewa membenarkan bahwa salah satu gejala
18
awal awal gejala terjadinya gangguan jiwa ditunjukkan oleh keluhan sulit tidur yang
terjadi pada penderita. Hal itu disampaikan sebagai berikut.
“...biasanya orang yang mengeluh sulit tidur memang kebanyakan mengalami keluhan gangguan kejiwaan, di antaranya gangguan kecemasan, gangguan depresi, stres kronis, dan gangguan psikotik”. Di pihak lain ada keluarga pasien yang mengungkapkan alasan bahwa awalnya
melakukan perawatan di rumah sebagai pertolongan yang bersifat sementara dengan
menggunakan ramuan tumbuh-tumbuhan yang dibuat sendiri oleh mereka. HR, salah
seorang keluarga pasien menuturkan hal berikut.
“...saat itu saya buatkan bapak obat berupa ramuan keluarga berupa boreh (lulur, parem) dari tumbuh-tumbuhan karena dia mengeluh sakit dan pegal di leher dan untuk mengobati pusingnya saya buatkan ramuan lain dan dipupuk (ditaruh pada ubun-ubun)”. Pengetahuan mengenai cara pengobatan tradisional yang dilakukan oleh
keluarga pasien dengan ramuan tumbuh-tumbuhan, baik dari akar maupun buah dalam
rangka untuk menyembuhkan penderita diperoleh dari keluarga, yaitu resep ramuan
secara turun-temurun. Adapun macam tumbuhan, cara pengolahan, dan pemakaian
ramuan yang pernah digunakan oleh beberapa keluarga pasien untuk mengatasi
beberapa keluhan atau gangguan dapat dijelaskan berikut ini.
Untuk menghilangkan gejala demam yang tinggi digunakan ramuan akar
melati, akar kembang sepatu putih, kulit batang kamboja, dan rimpang jahe pahit.
Pengolahannya digarus halus dan ditambah sedikit air kemudian cara pemakaiannya
di-boreh (parem). Untuk keluhan atau gangguan keadaan susah tidur digunakan
ramuan asam masak, daun ditambah akar keladi, dan bawang merah. Pengolahannya
digiling halus ditambah sedikit air, kemudian di boreh di tungkai bawah. Untuk
menghilangkan keluhan pusing (pengeng) digunakan ramuan akar alang-alang dan
buah tengguli bisa juga digunakan daun buangit, kapur dan minyak kelapa.
Pengolahannya digarus halus ditambah sedikit air dan disaring. Pemakaiannya dengan
cara dimasukkan ke tubuh melalui mulut (loloh). Untuk menenangkan penderita yang
berteriak-teriak (amuk), digunakan ramuan kesawi sekawit (akar, batang, dan daun),
jeruk nipis, jeruk parut, dan dausa keling. Pengolahannya digerus halus ditambah
sedikit air dan diperas, kemudian di-tutuh atau pepeh (tetes hidung).
19
Keluarga yang awalnya mempersepsikan penyebab sakit atau gangguan pasien
karena kausa niskala (tak nyata), juga melakukan pengobatan atau perawatan terhadap
penderita di rumah. selain itu, juga melakukan cara pengobatan dengan memberikan
ramuan tumbuh-tumbuhan, dimandikan atau dikeramasi, dan dibacakan doa-doa.
Terkait dengan hal tersebut, AA salah seorang keluarga pasien pernah melakukan cara
pengobatan di rumah, yaitu adiknya dimandikan atau dikeramasi seperti dituturkan
berikut.
“...setiap jelang sore adikku itu dulu selalu mengamuk dan marah-marah ngak jelas penyebabnya. Setiap benda apa yang ada di dekatnya pasti dibuang dan dibanting. Saat itu pasti saya tarik adik saya ke belakang rumah dan saya guyur dengan air yang sudah direndam bunga kamboja. Sekalian juga aku keramasi. Beberapa saat dia bisa tenang lagi”. Dari pengakuan yang disampaikan AA tersebut, terlihat bahwa dengan
dimandikan atau dicuci rambut penderita, keadaan atau kondisi penderita yang
awalnya selalu memberontak (mengamuk dan marah-marah) menunjukkan perilaku
tenang kembali atau nyem (dingin) kembali. Biasanya penderita dimandikan dengan
air bunga, yaitu biasanya bunga kamboja. Dari bunga itu diperoleh air yang berbau
harum. Sementara itu dari keluarga pasien yang menggunakan bawang merah dan air
garam untuk pengobatan terhadap penderita diperoleh informasi bahwa bawang merah
dan garam dipercaya dapat menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh kausa
niskala. Dalam hal ini bawang merah dan garam (uyah) hanya merupakan sarana
(serana), bukan tamba atau ubad (obat).
Kondisi penderita ketika mengamuk dan marah-marah dipercaya oleh keluarga
dalam kondisi yang panas sehingga perlu dinetralisasi. Dalam hal ini dimandikan atau
dikeramasi sehingga diharapkan terjadi keseimbangan atau keserasian. Dalam
hubungan dengan terjadinya keseimbangan dan keserasian, Thong (1979:17--18)
mengemukakan bahwa di dalam masyarakat Bali dianut falsafah tri hita karana, yaitu
tiga unsur dalam kehidupan yang saling berhubungan dan saling memengaruhi. Ketiga
unsur tersebut harus berada dalam keadaan seimbang dan harmonis untuk
menciptakan keadaan yang sehat, aman, dan damai. Ketiga unsur tersebut, yaitu (1)
Sang Hyang Jagat Karana, yaitu kekuatan supernatural; (2) bhuana agung, yaitu
20
alam semesta (makrokosmos); dan (3) bhuana alit, yaitu manusia (mikrokosmos).
Ketidakseimbangan antara ketiga unsur tersebut menyebabkan bencana dan penyakit.
Lebih jauh terkait dengan tepat tidaknya tindakan awal keluarga pasien
melakukan praktik perawatan di rumah terhadap penderita, diperoleh informasi bahwa
cara-cara pengobatan yang sebelumnya dilakukan di rumah dirasakan tepat oleh
sebagian keluarga. Artinya perawatan yang dilakukan sedikit tidaknya telah
memperlihatkan hasil, dengan kata lain adanya kemampuan menurut pandangan
subjektif mereka. Keluarga pasien lainnya menganggap bahwa tindakan yang
dilakukan terhadap diri pasien merupakan suatu bentuk usaha. Di samping itu, masih
bersifat sementara sebagai bentuk pertolongan pertama sebelum penderita dibawa
kepada sumber pengobatan atau perawatan lainnya karena ternyata belum
memperlihatkan gejala-gejala kesembuhan yang berarti. Kalaupun ada perubahan,
sewaktu-waktu, yaitu dalam dua sampai tiga hari saja gejala itu timbul kembali,
seperti disampaikan oleh Bapak WY, salah seorang keluarga pasien berikut ini.
“...perawatan pertama kali yang pernah kami lakukan dulu di rumah terhadap anak sulung saya itu sifatnya sementara karena tidak ada salahnya mencoba siapa tahu khan sembuh. Memang dalam beberapa hari ada kemajuan. Anak saya pernah saat itu sudah tidak mengamuk, ngerumuk (berbicara tidak jelas), sudah ngak gelisah, sudah ngak kebingungan, dan ngak cemas lagi, tapi beberapa waktu kemudian saat itu tahunya kumat lagi. Ya pengobatan di rumah memang itu khan sementara dan taunya belum ada hasil yang berarti. Sakit anakku semakin berat dan keluarga sepakat anak saya segera saat itu diputuskan untuk mencoba pengobatan balian, siapa tahu sebab sakitnya kemasukan atau dibuat orang”. Penjelasan keluarga pasien tersebut menunjukkan bahwa kondisi anggota
keluarga mereka yang sakit belum memperlihatkan gejala-gejala kesembuhan yang
berarti. Berdasarkan kenyataan itu keluarga pasien menilai bahwa sakit yang diderita
oleh anggota keluarga mereka beserta gejala-gejalanya dianggap sebagai “bukan sakit
biasa”, yang tidak dapat diatasi atau disembuhkan oleh mereka sendiri. Bahkan,
keluarga berpendapat bahwa sakit yang diderita oleh salah seorang anggota. Terkait
dengan pengambilan keputusan dalam keluarga terhadap jenis pengobatan yang
selanjutnya dipilih untuk mengobati ataupun merawat si penderita, ada keluarga yang
melakukan proses musyawarah atau rembuk keluarga, tetapi ada juga yang tidak
21
melakukan proses tersebut. Bapak MD, salah seorang keluarga pasien menyatakan
tidak melakukan rembuk keluarga dengan alasan seperti yang diungkapkan berikut ini.
“...bagaimana mau rembuk Pak, waktu yang ada saja sudah mendesak, belum lagi antar saudara yang berjauhan sulit sekali untuk kumpul, ditambah situasi anggota keluarga saat itu panik/bingung”. Keluarga pasien yang melakukan musyawarah/rembuk tersebut tidak hanya
melibatkan keluarga inti (suami, istri, dan anak-anaknya), tetapi juga melibatkan
keluarga luas mereka (ekstended family). Mereka juga berusaha jangan sampai para
tetangga (masyarakat di lingkungan tempat tinggal) mengetahui bahwa anggota
keluarga mereka mengalami sakit/ganggguan tersebut. Alasan yang dikemukakan oleh
mereka pada umumnya merasa sangat malu, khawatir (jerih), dan takut (nyeh) bila
para tetangga atau lingkungan sekitar banjar mengetahui keadaan/kondisi anggota
keluarga yang sakit tersebut. Hal itu dituturkan oleh Bapak NG atas sakit yang diderita
oleh adik perempuannya seperti berikut.
“...awalnya memang tetangga belum tahu kondisi adikku saat itu...ya pasti malu dan sedih Pak kalau tetangga sampai tahu. Mereka pasti katakan adikku gila nanti. Hari-hari kami semua melarang adikku keluar rumah. Saat itu kami sekeluarga sudah sangat prihatin dengan kondisi adikku itu. Kalau tetangga tahu dan menjadi omongan orang banyak benar-benar malu dan takut kami semua, tapi mau gimana lagi? Sejak rawat inap di sini, tetangga sudah pada tahu sekarang. Saya pasrah saja, ketakutan kita keluarga ternyata benar Pak...pernah saat adikku sudah boleh pulang...tetangga malah menjaga jarak dan menjauhi adikku...adikku saat itu diam di rumah saja, ngak mau keluar. Sekarang terserah tetangga mau terima atau tidak, yang penting adikku bisa pulang segera”. Dari tuturan yang disampaikan oleh Bapak NG di atas, terlihat dengan jelas
bahwa keluarga Bapak NG menanggung beban psikologis yang berat dari proses
stigmatisasi gangguan jiwa yang berkembang sampai saat ini di masyarakat.
Stigmatisasi memiliki kaitan erat dengan hilangnya harga diri, isolasi sosial, rasa
malu, terganggunya status sosial, penderita dipandang tidak lagi produktif, kehilangan
jati diri, dan perpecahan dalam hubungan kekeluargaan. Stigmatisasi dilihat oleh
keluarga pasien sebagai ‘penyakit kedua,’ yaitu sebuah penderitaan tambahan yang
tidak hanya dirasakan oleh penderita, tetapi juga dirasakan oleh anggota keluarga.
Menurut Subandi (2008:63), beban yang dirasakan oleh anggota keluarga sangat berat.
22
Namun, peran keluarga tetap sangat dibutuhkan dalam menunjukkan rasa tanggung
jawab. Di samping itu, dukungan dan kasih sayang yang besar terhadap anggota
keluarga mereka yang mengalami gangguan mental memegang peran yang sangat
penting. Kekhawatiran dan rasa malu Bapak NG juga mewakili keluarga pasien
lainnya.
2.4 Pilihan Perawatan Kedukunan
Istilah dukun di Bali dikenal dengan sebutan balian, tapakan, atau jero
dasaran, yaitu orang yang mempunyai kemampuan untuk mengobati orang yang sakit.
Kemampuan untuk menyembuhkan atau mengobati ini diperoleh dengan berbagai
cara, yaitu berdasarkan tradisi, keturunan, taksu (kemasukan kekuatan gaib), pica
(benda bertuah), atau dapat pula melalui belajar pada seseorang yang telah menjadi
balian, dan berbagai cara lainnya (Nala, 1991:113).
Terkait dengan balian, Suryani (1994:8--9) mengemukakan sebagai berikut.
Pertama, balian dalam menerangkan keadaan dan diagnosis penderita menggunakan
bahasa dan kepercayaan pasien. Kedua, balian lebih menekankan bagaimana membuat
pasien dan keluarganya percaya kepada kemampuan balian dan menenangkan
keluarganya. Di pihak lain dokter lebih banyak berorientasi hanya pada pasien tanpa
melibatkan keluarganya. Ketiga, upacara yang memberikan kekuatan magis pada
penderita dan keluarganya cukup ampuh untuk mengatasi penyakitnya. Keempat,
hubungan balian pasien bersifat kekeluargaan seperti orang tua dengan anaknya dan
rileks. Kelima, sifat hubungan adalah sukarela (tidak ada istilah membayar honor
pengobatan seperti pada dokter). Keenam, balian dengan ikhlas menganjurkan pergi
ke dokter atau rumah sakit (pengobatan medis) kalau penyakit dianggap tidak dapat
diobati atau bukan bidang keahliannya.
Terkait dengan anjuran balian terhadap keluarga pasien, jika anggota keluarga
yang mengalami gangguan tidak dapat diobati (karena penyakit yang sifatnya medis),
disarankan untuk dibawa ke pengobatan di rumah sakit. Hal itu diakui oleh AA salah
seorang keluarga pasien dari Klungkung berikut ini.
“...sudah ada tiga balian saya bawa adikku jalani pengobatan. Semuanya belum ada perubahan yang baik. Pernah saat jalani pengobatan ke balian yang kedua ada perubahan, tapi hanya sekitar satu mingguan kambuh lagi. Saat itu
23
keluarga putuskan untuk tidak lanjutkan pengobatan balian yang kedua karena setelah jalani pengobatan lagi, malah adikku makin parah. Ke balian yang ketiga saya bawa adikku karena disuruh teman SMP ku dulu. Lumayan ada kemajuan, tapi balian itu suruh saya untuk bawa adikku ke Rumah Sakit Jiwa di Bangli dengan alasan sakit adikku bukan karena sebab niskala”. Senada dengan penuturan keluarga pasien tersebut, dari informasi keluarga
pasien lainnya dalam melihat konsep awal terjadinya gangguan yang dialami oleh
keluarga mereka, keluarga pasien menilai bahwa penyebab (etiologi) gangguan juga
karena “sakit bali” (kausa niskala).Dalam hal ini keluarga pasien telah mencoba dan
berusaha untuk mengatasi keadaan tersebut, tetapi tidak menampakkan hasil. Di
samping itu, keluarga pasien juga berpendapat bahwa sakit yang diderita oleh salah
seorang anggota keluarganya dinilai telah memasuki tahap keadaan serius (sakit
serius) ketika menunjukkan gejala-gejala yang meresahkan seluruh anggota keluarga
dan masyarakat sekitar. Pada akhirnya keluarga pasien membawa penderita kepada
sumber pilihan pengobatan lain yang dinilai lebiih mampu dan dapat mengatasi
penyakit yang diderita. Gambar berikut memperlihatkan seorang pasien yang
menjalani pengobatan ke batra.
Gambar 2.1
Praktik Batra saat sedang mengurut dan memijat anggota tubuh pasien
Dalam menyembuhkan penyakit yang mempunyai kausa sekala atau
naturalistik keluarga penderita akan mencari pertolongan ke pengobat modern atau
juga ke pengobat tradisional. Adapun untuk penyakit yang mempunyai kausa niskala
atau personalistik keluarga penderita akan mencari orang yang mempunyai kekuatan
24
magis yang tinggi, yaitu balian (dukun). Dalam konteks pilihan perawatan ke balian
(dukun), keluarga pasien menyatakan awalnya memang pernah melakukan perawatan
atau pengobatan penderita ke balian sebelum berada seperti sekarang di Rumah Sakit
Jiwa Bali ini. Beberapa alasan yang diungkapkan oleh keluarga pasien ketika mencoba
melakukan pengobatan atau perawatan ke balian terhadap diri pasien. Salah seorang
keluarga pasien dari Klungkung, Bapak AG menyatakan alasan pernah membawa adik
laki-lakinya ke balian sebagai berikut.
“...sebagai orang Bali saya percaya bahwa sakit yang diderita oleh adik saya dengan melihat gejala-gejala yang ada saat itu kemungkinan besar karena sebab yang bersifat niskala. Walau begitu saat itu saya juga sudah punya keinginan nantinya juga akan membawa adik saya ke rumah sakit kalau belum ada perubahan”. Keluarga pasien tersebut percaya bahwa sakit yang diderita oleh adik laki-
lakinya disebabkan oleh kausa niskala, yakni penyebab sakit yang tidak tampak, tidak
nyata, dan tanpa wujud yang pasti. Hal ini berimplikasi bahwa hanya balian yang
dipercaya oleh keluarga pasien sebagai seseorang yang mempunyai kekuatan magis
yang tinggi yang mampu mengusir kausa ini.
Sementara itu keluarga pasien lain, yakni WY yang berasal dari Tabanan
menyatakan alasan berikut ini.
“...anak saya yang laki-laki itu kami bawa ke balian saat itu karena ingin memastikan penyebab gangguan yang dialami sejak enam bulan yang lalu. Keluarga akhirnya punya dugaan kalau gangguan yang ada karena faktor niskala, karenanya saya bawa ke balian yang ada di Sanur. Kalau saya bawa langsung ke rumah sakit atau dokter, mereka pasti tidak percaya dan tidak mau mendengar sepenuhnya apa yang akan kami utarakan mengenai sakit anak kami ini. Kalau balian ternyata membenarkan penyebab gangguan karena niskala, maka untuk selanjutnya anak tertua kami itu menjalani pengobatan yang dilakukan balian. Tapi kalau balian mengatakan sakit anak laki-laki saya itu karena faktor sekala, maka kami akan mengobatinya ke rumah sakit”. Keluarga pasien masih percaya bahwa pengobatan dengan cara usada
(mengobati dengan cara tradisional) banyak manfaatnya. Walaupun telah banyak ada
pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) tersebar merata di setiap kecamatan, berobat
ke battra (pengobat tradisional) masih tetap merupakan pilihan yang tidak dapat
dikesampingkan begitu saja. Penyakit bagi keluarga pasien tidaklah hanya merupakan
gejala biologis, tetapi juga memiliki dimensi lain, yakni sosial budaya. Itulah sebabnya
25
untuk menyembuhkan suatu penyakit tidak cukup hanya ditangani masalah
biologisnya, tetapi juga harus digarap masalah sosial budayanya. Pengakuan AA,
keluarga pasien yang memiliki pengalaman atas hal tersebut menuturkan sebagai
berikut.
“...waktu bawa adikku ke balian, saya cerita semuanya dari awal, balian itu dengerin semuanya. Ngak tahu ya Pak...saat itu kita bicara banyak hal tentang adikku, kerjaannya, tentang keluarga kami, pokoknya semuanya. Saya merasa seperti sudah akrab saja dengan balian itu, padahal baru kenal. Saat ditanya, adikku menjawab dengan bagus, ngak seperti waktu aku bawa ke rumah sakit ini. Adikku waktu di rumah sakit ditanya dokter, terus jawabnya dikit-dikit dan banyak diamnya. Pokoknya kalau lihat adikku seperti orang ketakutan. Beda waktu ke balian, adikku biasa saja, ngak ada rasa takut dan kalau cerita ngalir begitu saja. Ngak tahu kenapa”. Penuturan AA yang merupakan keluarga pasien tersebut jelas menyiratkan
bagaimana perbedaan dalam hal ikatan emosional ketika membawa adiknya
melakukan pengobatan ke balian dan pengobatan di rumah sakit jiwa. Ikatan
emosioanal yang tercipta dari hubungan keluarga pasien dengan pengobat tradisional
(balian) lebih kepada hubungan kekeluargaan dengan penuh rasa psikologis atas
kenyamanan, kepercayaan, luwes, longgar, bahasa verbal yang tidak kaku dan mudah
dipahami. Gambar berikut menunjukkan salah satu praktik batra saat mengeluarkan
kekuatan yang bersifat niskala dengan cara mengurut dan memijat bagian tertentu
tubuh pasien.
Gambar 2.2
Tampak wanita ini kesakitan saat batra mengeluarkan kekuatan niskala dalam tubuhnya
26
Gambar tersebut menunjukkan keluarga pasien datang dengan keluhan ada
sesuatu yang mengganggu dalam tubuh anggota keluarganya (niskala) yang
sebelumnya tidak bisa diatasi keluarga. Dengan demikian, keluarga mempunyai
keyakinan bahwa hanya pengobat tradisional yang dapat menyembuhkannya.
Penderita dan keluarga penderita dalam perilaku pengobatan tradisional balian merasa
nyaman, artinya tidak berada di bawah tekanan bayang-bayang stigma yang sangat
menakutkan mereka. Pengobatan balian secara sistematis tidak memproduksi kegilaan
(tidak melakukan reproduksi kegilaan di masyarakat). Hal sebaliknya terjadi ketika
penderita dibawa ke rumah sakit jiwa. Label “rumah sakit jiwa” sudah merupakan
rangkaian kata yang sangat menakutkan bagi penderita dan keluarga penderita. Ikatan
emosional yang muncul kemudian adalah rasa kurang nyaman (ketidaknyamanan).
Terkait dengan gambaran perawatan ataupun pengobatan yang pernah
diberikan kepada pasien selama menjalani perawatan pada seorang balian, diperoleh
informasi dari para keluarga pasien yang pernah membawa anggota keluarganya yang
mengalami gangguan. Adapun informasi tersebut adalah sebagai berikut. Pertama,
dibacakan mantra (perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib untuk dapat
menyembuhkan), diperciki air suci (metirta), menghirup asap dupa (medusdusan),
tubuh di-boreh dengan campuran ramuan, tubuh dipijat dan diurut, tubuh dimandikan
dengan air suci, mempersembahkan sajen. Kedua, minum air putih yang telah
dimantrai, dibacakan mantra di ubun-ubun pasien. Ketiga, metirta (diperciki air suci
sebanyak sebelas kali), persembahan sajen, minum air suci sebanyak lima kali, tubuh
diasapi dari ujung rambut ke ujung kaki, pembacaan mantra). Keempat, minum air
dari rendaman pica (benda bertuah), tubuh diolesi pica, minum ramuan yang telah
dibacakan mantra, dan penggunaan banten.
Dilihat dari cara-cara pengobatan yang dilakukan oleh balian, diperoleh
informasi bahwa cara-cara pengobatan atau perawatan yang dijalankan balian tersebut
menurut keluarga pasien sudah tepat. Hal itu diketahui berdasarkan beberapa
pengamatan terhadap pengurangan gejala ataupun tanda-tanda gangguan yang ada
pada diri pasien, seperti diutarakan oleh MN, salah seorang keluarga pasien berikut.
27
“...setelah empat kali menjalani pengobatan pada jro balian dan disarankan untuk sembahyang di sanggah kemulan (kuil keluarga) serta rajin membuat banten nasi setelah selesai masak, kakak tiang sudah jarang lagi mendengar suara-suara aneh yang tadinya membuat dia ketakutan sendiri. Sakit balinya menurut saya sudah berkurang, hanya dia masih sulit untuk tidur dan masih banyak ngelamun”. Hal menarik dari penilaian keluarga pasien, yaitu walaupun mereka menilai
belum ada kemajuan ataupun perubahan kondisi pada diri pasien, mereka melihat
bahwa cara pengobatan yang dilakukan oleh balian dirasakan cukup baik. Akan tetapi,
menurut mereka mungkin belum jodho (petemuan), seperti juga diutarakan Bapak AG
keluarga pasien berikut ini.
“...saya bawa adik tiang ke balian karena saran dari tetangga. Dia punya tu aji (bapak) yang mengalami gangguan yang sama dengan adik tiang dan diobati oleh balian yang sama dan sekarang dia sudah seger (waras/sembuh). Saya pikir mungkin belum petemuannya (cocok/jodohnya) adik saya sembuh oleh balian, siapa tahu jodoh di tempat lain”. Dalam hubungan dengan konsepsi jodho-jodhoan ini Kasniyah (2003:25)
menyatakan bahwa pada kebudayaan mana pun konsepsi semacam jodho-jodho selalu
dikenal. Menurt Kasniyah, pada masyarakat Jawa dikenal engan istilah jodhon-jodhon
sebagai representasi ungkapan emik orang Jawa dalam hal perburuan tentang
kesehatan. Pada kebudayaan mana pun sebenarnya tidak pernah ada kemantapan
terhadap satu unsur penyembuhan saja. Artinya, penyembuhan adalah proses, apa pun
ditempuh demi perawatan untuk mendapat kesembuhan. Dalam hal ini tujuan untuk
sembuh yang mengatasi jodhon-jodhon. Menurut Bapak I Made Regep, selaku batra
(beliau tidak menyebut dirinya sebagai dukun atau balian, hanya orang lainlah yang
memberikan sebutan itu bukan dirirnya sendiri) pada masyarakat Bali konsep jodhon-
jodhon ini sama dengan istilah petemuan. Dalam kaitan dengan usaha pencarian
pengobatan untuk mencari kesembuhan ini orang Bali sering menyatakan bahwa, sire
uning drike wenten petemuan (siapa tahu di sana ada kecocokan). Dalam hal ini
tegaknya konsep jodhon-jodhon atau petemuan sebenarnya tidak terlepas dari
pengetahuan dan pengalaman pengobatan.
28
2.5 Pilihan Perilaku Perawatan Profesional/Modern
Sistem perawatan profesional menurut Kalangie dikenal sebagai sistem medis
formal, modern, ilmiah dan kosmopolitan atau kedokteran modern (Kalangie,
1984:10). Dalam sistem perawatan profesional sejumlah besar penyakit di bawah
perawatan dan pengawasan tenaga kesehatan modern (dokter dibantu perawat dan
personal pembantu lainnya). Seturut hal tersebut, Foster dan Anderson (1986:193--
196) melihat rumah sakit sebagai subsistem ataupun institusi sistem perawatan
kesehatan modern/profesional.
Menurut Suryani (1994:10) terdapat banyak bukti bahwa orang-orang yang
menggunakan, baik sistem pengobatan/perawatan tradisional maupun profesional,
cenderung menempatkan penyakit dalam dua kategori yang luas. Kedua kategori
tersebut adalah yakni yang lebih mungkin berespons terhadap pelayanan dukun dan
yang lebih mungkin disembuhkan oleh dokter. Namun, kelonggaran yang cukup luas
harus diberikan untuk fleksibilitas dalam persepsi seperti itu. Menurut Kumbara
(1985:45), model tingkah laku itu didasarkan pada nilai, norma, dan konsep
pengetahuan yang diperoleh. Selanjutnya, dikembangkan dan diwariskan secara
turun-temurun. Tingkah laku yang selektif tersebut merupakan suatu strategi adaptasi
sosial budaya yang timbul sebagai respons terhadap ancaman penyakit.
Penuturan PT, salah seorang anggota keluarga pasien yang pernah mencoba
pengobatan modern/profesional lainnya di luar pengobatan yang dijalani pasien
sekarang di Rumah Sakit Jiwa menyatakan sebagai berikut.
“...awal gejala gangguan pada kakak perempuan saya itu, saya bawa langsung ke balian usadha di Singaraja. Kurang lebih empat kali menjalani pengobatan pada balian itu, kondisi kakakku belum ada perubahan yang berarti. Atas saran putra saya, saya pernah bawa kakak saya juga untuk cek ke dokter jiwa di RSUD Wangaya, tapi sebelumnya ke puskesmas dulu. Pernah tanpa sengaja saya bilang ke balian rencana saya bawa juga kakak saya ke dokter jiwa dan menurut balian ngak ada masalah. Sebenarnya saya bawa kakak saya ke RS jiwa ini atas saran dari balian langsung karena katanya tinggal mengobati masalah medisnya saja”. Dari penuturan keluarga pasien terlihat bahwa balian mampu memengaruhi
pasien dan keluarganya serta percaya kepada yang dinyatakan balian. Dalam hal ini
balian dengan ikhlas menganjurkan pasien untuk berobat ke rumah sakit jiwa ketika
29
penyakit penderita dianggap tidak dapat diobati atau bukan bidang keahliannya. Ada
beberapa alasan yang dikemukakan oleh para keluarga pasien saat mereka baru
mencoba atau melakukan pengobatan terhadap diri pasien di Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Bali ini. Adapaun alasan tersebut, antara lain kegagalan pada pengobatan
yang dilakukan balian, kondisi pasien sendiri yang meresahkan anggota keluarga dan
diri pasien sendiri, baru memahami bahwa di RSJ akan ditangani para ahli, percaya
bahwa sakit balinya sudah hilang dan tinggal menyembuhkan sakit medisnya. Setelah
pasien menjalani pengobatan dan perawatan di rumah sakit jiwa, ternyata ada juga
sebagian pasien tetap menjalani pengobatan dan perawatan pada balian, seperti
pengakuan saudara HR atas sakit yang diderita bapaknya berikut ini.
“...ya sesekali saat aku besuk bapak, aku masih bawa air suci pemberian dari balian untuk aku percikkan ke bapak dan diminum juga sama bapak biar bapak bisa tenang juga terlindungi dari Ida Betara dan dijauhkan dari kekuatan jahat”. Sebelumnya pasien telah berobat ke battra (balian), tetapi belum menunjukkan
hasil yang menggembirakan. Walaupun demikian, keluarga pasien tetap saja
memanfaatkan pengobatan tradisional dalam hal ini pengobatan balian sebagai salah
satu alternatif untuk menyembuhkan sakit pasien. Masalah ketidaksembuhan setelah
berobat ke balian dianggap sebagian keluarga pasien bahwa badan halus yang masuk
ke dalam tubuh pasien terlalu kuat kesaktiannya sehingga balian tidak mampu
membujuk atau mengusirnya keluar atau karena kesalahan yang tidak dapat
dimohonkan maaf lagi. Mereka pasrah karena telah berusaha dan ternyata gagal untuk
menyembuhkan sakit anggota keluarga mereka dan menurut kepercayaaan keluarga
pasien rupanya Ida Betara memang menghendaki demikian.
Dalam hal pengamatan para keluarga pasien terhadap hasil pengobatan atau
perawatan yang dilakukan oleh pihak rumah sakit jiwa terhadap diri pasien, diperoleh
beragam hasil pengobatan menurut sudut pandang keluarga pasien. Hal itu dituturkan
oleh saudara AA selaku keluarga pasien seperti berikut.
“...kalau ditanya hasil pengobatan yang sudah dijalani adik saya di rumah sakit jiwa ini, saya bingung Pak jawabnya. Soalnya kalau dibilang sudah sembuh, ngak makan waktu lama tahunya kambuh lagi adikku. Ini sudah yang ketiga kali adikku rawat jalan Pak”.
30
Terkait dengan hasil pengobatan atau perawatan yang diperoleh pasien di
rumah sakit jiwa, apakah memperlihatkan adanya perubahan ataupun belum
menampakkan hasil dari sakit yang dialami, dapat diperhatikan pendapat Kintono
(1997:2). Menurut Kintono, ternyata hampir sebagian besar klien gangguan jiwa yang
memperoleh perawatan di rumah sakit jiwa memerlukan perawatan jangka panjang.
Sebagian besar dari kelompok ini umumnya menjadi kronik sehingga merupakan
beban tetap bagi rumah sakit jiwa. Kebanyakan gangguan jiwa kronik adalah dengan
diagnosis skizofrenia yang diperkirakan akan kambuh pada tahun pertama dan pada
tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit. Gambar berikut memperlihatkan salah
seorang pasien dengan diagnosis skizofrenia yang masih dalam ruang pengawasan
(kontrol RS).
Gambar 2.3
Pasien skizofrenia di bawah pengawasan kontrol otoritas medis RS
Gambar menunjukkan bagaimana staf medis RS Jiwa dalam hal ini perawat
jiwa akan selalu melakukan pengecekan langsung secara rutin pada diri pasien. Di
samping itu, juga staf medis mengamati dan mencatat kejadian-kejadian secara
tersturktur terhadap pasien dalam satu hari. Demikian seterusnya sampai dokter
memutuskan sudah diperbolehkan untuk keluar kamar dan berbaur dengan yang lain
yang telah mendahului sebelumnya. Dari distribusi pasien berdasarkan sepuluh besar
penyakit rawat inap menunjukkan bahwa sebagian besar pasien rawat inap mengidap
penyakit gangguan jiwa diagnosis skizofrenia, yakni untuk pasien rawat inap sebanyak
86,91% (diolah dari bagian data dan rekam medis RSJ Provinsi Bali, 2014).
31
Apa yang dituturkan oleh Bapak Sukenada selaku Kasi Kesehatan Jiwa
dibenarkan oleh Ibu Ida Ayu Eka Yuliati, seorang perawat jiwa menerangkan bahwa
masih banyak keluarga pasien yang mengabaikan keberadaan pasien jiwa
sekembalinya dari perawatan di rumah sakit jiwa. Lebih jauh disampaikan oleh Ibu
Ida Ayu Eka sebagai perawat jiwa sebagai berikut.
“...bagaimana tidak bolak-balik Pak, karena keluarga pasien sendiri tidak serius menanganinya. Awalnya ketika kita ajak komunikasi, keluarga pasien menyatakan kesediaannya dan sanggup memperlakukan dengan baik. Tapi kenyataannya mereka tidak mampu dengan sabar menerima dan bersikap apa yang seharusnya mereka lakukan. Dari hasil home visit yang dilakukan pihak rumah sakit, ditemukan keluarga pasien memang pada awalnya melakukan perawatan dan pengawasan langsung pasien pasca perawatan sesuai kemampuan mereka dengan baik. Implikasinya kondisi pasien pascaperawatan semakin membaik...tapi seiring waktu keluarga pasien mulai tidak disiplin dalam pemberian obat dengan alasan pasien menolak minum obat karena merasa sudah lebih baik. Mereka juga lebih banyak didiamkan saja dalam arti tidak diberikan kesibukan di rumah, keluarga mulai acuh tak acuh. Intinya dukungan keluarga masih berkurang dan keluarga mulai tidak peduli Pak. Ya itulah akhirnya pasien bolak-balik kambuh dan otomatis akan memakan waktu panjang dalam masa pengobatan dan perawatannya”. Seturut hal tersebut seperti diungkapkan oleh Ibu Ida Ayu Eka di atas dan Ibu
Yunita selaku perawat jiwa juga bahwa pada saat anggota keluarga mereka
diperbolehkan pulang, kesiapan keluarga pasien secara emosional belum matang.
Selain itu, di satu sisi pasien sendiri merasa sangat tidak nyaman atas perlakuan yang
diterimanya selama menjalani proses rawat jalan di rumah, Secara lebih lengkap hal
itu disampaikan oleh Ibu Yunita selaku perawat jiwa sebagai berikut.
“...walau kita sudah beri pengarahan dan pembekalan terkait penanganan pasien pascarawat di RS, dalam kenyataannya masih banyak keluarga pasien yang ternyata setelah mengalami langsung hari-hari di rumah bersama pasien, mereka masih banyak awalnya bersikap tidak sabar, lekas emosi, mudah marah kepada anggota keluarga mereka tersebut. Ini menyebabkan rasa tidak nyaman pasien yang menyebabkan pasien merasa diremehkan, tidak terlindungi, diperlakukan sewenang-wenang kembali yang sebabkan pasien pesimis akan perawatan yang dijalankan di rumah. Implikasinya kekambuhan pasien akan terus berulang. Tapi pihak RS tidak bosan-bosannya terus memberikan nasihat-nasihat dan pengarahan terus-menerus kepada keluarga pasien. Saya percaya batu saja bisa berlubang jika terus-menerus terkena tetesan air”.
32
Ungkapan di atas jelas menggambarkan bahwa seorang pasien bisa sembuh
karena pengobatan dan perawatan yang dijalaninya sesuai dengan petunjuk yang
disarankan. Di samping itu, bisa juga karena sugesti positif atas apa yang dikerjakan
dalam proses itu. Ada yang merasa lebih baik karena pengobatan dan perawatan
tertentu, padahal tidak bisa dimungkiri bahwa pengobatan dan perawatan yang
dijalankan itu tidak selalu bekerja/berjalan secara sempurna. Hal ini yang disebut efek
placebo (positif). Sebaliknya, karena terlebih dahulu mengetahui efek kurang baik dari
pengobatan dan perawatan tertentu, seorang pasien merasakan gejala kurang baik
tersebut benar-benar terjadi dalam tubuhnya/dirinya. Hal ini disebut efek nocebo
(negatif). Placebo bertujuan mengontrol efek dari pengharapan yang mengacu pada
fakta bahwa keyakinan tentang efektivitas suatu pengananan (pengobatan dan
perawatan) akan dapat membangkitkan harapan yang membantu mereka
menggerakkan diri sendiri untuk menyelesaikan masalah (Jeffery, 2005:22--25).
Di pihak lain menurut Widyastuti (1997:3), salah satu aspek penting penyebab
kambuhnya pasien dan masa perawatan yang panjang pada penderita gangguan jiwa
adalah karena ketidakpatuhan keluarga pasien tentang cara merawat klien di rumah.
Menurut Kepala Poli (Kapoli) Psikologi, Bapak Mad Basri, keadaan tersebut
sebenarnya dapat dihindari jika pihak keluarga menjalankan anjuran yang diberikan
oleh pihak RS, seperti memberikan obat secara teratur, rajin untuk kontrol, dan
diberikan kesibukan/aktivitas. Bentuk dukungan keluarga dalam proses pemulihan
pasien tidak saja dilakukan di rumah setelah pasien dinyatakan sembuh secara medis
dan diperbolehkan pulang, tetapi juga dapat dilakukan saat pasien masih dalam
perawatan di rumah sakit. Bentuk dukungan yang dimaksud menurut Ibu Ida Ayu Eka
Yuliati, yang berprofesi sebagai perawat jiwa adalah membesuk secara rutin anggota
keluarga mereka yang mengalami sakit sehingga pasien merasa tidak terbuang dari
keluarganya. Lebih jauh Ibu Ida Ayu Eka Yuliati menuturkan seperti berikut ini.
“...setelah pasien rawat inap di RS jiwa ini, masih saja ada keluarga pasien yang jarang atau sama sekali ngak pernah datang berkunjung untuk melihat keadaan anggota keluarga mereka itu, paling hanya awal-awalnya saja, setelah itu ya jarang dilihat ke sini. Padahal, menurut saya peran dan perhatian keluarga sangat penting sekali dalam mempercepat proses lama tinggal di rumah sakit. Saya melihat ada kecenderungan keluarga untuk membuang pasien, mungkin karena stigma di masyarakat itu Pak. Bahkan ada keluarga
33
pasien yang mengajukan permohonan agar pasien untuk selanjutnya dapat bekerja apa saja di RS jiwa saja jikalau telah sembuh”.
Dari apa yang disampaikan oleh perawat jiwa tersebut, terlihat bahwa Rumah
Sakit Jiwa Provinsi Bali memiliki komitmen untuk selalu berusaha mempersingkat
waktu perawatan (rawat inap) pasien sebagai indikator keberhasilan perawatan.
Terkait dengan hal itu, Bapak Sukenada selaku Kasi Keswa RS Jiwa Provinsi Bali,
Bangli, menyatakan bahwa masa perawatan pasien gangguan jiwa yang ideal, yakni
selama tiga sampai empat bulan. Artinya, diharapkan dalam jangka waktu tersebut
kondisi pasien sudah membaik dan diperbolehkan pulang di samping sudah
dinyatakan sembuh secara klinis/medis.
Gambar 2.4
Kondisi pasien di ruang istirahat (ruang tidur)
Dari laporan pemakaian tempat tidur (BOR) Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali
tahun 2015 diketahui bahwa rata-rata pemakaian adalah sebesar 88.14% sedangkan
BOR tahun 2014 sebesar 84.62%. Data tersebut menunjukkan bahwa berarti kapasitas
tempat tidur yang disediakan pada satu tahun terakhir mengalami peningkatan. Hal ini
disebabkan oleh gedung pelayanan untuk pasien rawat inap telah berfungsi sesuai
dengan kapasitas yang telah ditetapkan, yaitu sejumlah 400 tempat tidur dari kapasitas
340 tempat tidur pada tahun 2013. Di samping itu, menurut pihak rumah sakit jiwa,
Pemerintah Provinsi Bali memiliki program mengalokasikan dana untuk masyarakat
miskin, khusus yang mengalami gangguan kesehatan. Dengan demikian, penggunaan
34
jasa rumah sakit pemerintah akan menjadi garda terdepan dalam menanggulangi
masyarakat yang tidak mampu (Lakip, 2015: 24).
Terkait dengan keberhasilan perawatan bagi pasien gangguan jiwa menurut
Basudewa, seorang psikiater di RSJ Provinsi Bali yang terpenting juga adalah seperti
apa dituturkannya berikut ini.
“...pengobatan dan perawatan terhadap pasien dikatakan berhasil jika terjadi perubahan perilaku dari sudut pandang secara klinis/medis, di mana pasien yang tadinya menunjukkan sikap yang agresif sudah berubah menjadi lebih tenang, yang awalnya selalu ngamuk-ngamuk sudah tidak ngamuk lagi, yang tadinya selalu berbicara sendiri sudah tidak bicara sendiri. Intinya pasien sudah mampu melakukan kontrol atas dirinya. Tapi sayang, realitas klinis atas kondisi pasien yang telah mengalami perubahan tersebut tidak dibarengi dengan pengetahuan masyarakat yang tetap melihat mereka sebagai sosok yang aneh, membahayakan, dan harus dijauhi”. Pandangan Basudewa sebagai seorang psikiater tersebut dibenarkan oleh HR
selaku keluarga pasien, seperti di bawah ini.
“...memang begitu kondisinya Pak. Buktinya ayahku pernah waktu dikatakan sembuh dan boleh pulang ke rumah, ayahku sudah ngak pernah ngamuk-ngamuk sendiri lagi, sudah ngak teriak-teriak lagi, tapi ngak tahu kenapa lingkungan tetangga sepertinya masih ngak mau kenal ayahku. Pasti orang-orang takut karena ayahku dari RS jiwa. Waktu sebelum sakit saya tahu teman ayahku banyak. Tapi sekarang dan sudah sembuh saat sudah pulang itu, beberapa bulan di rumah sangat jarang aku lihat bapakku didatangai teman-temannya yang dulu. Ayahku sepulang seharian di sawah, kalau malam hari sebelum sakit dulu selalu didatangi oleh orang-orang yang akan pijat. Ayahku punya keahlian memijat orang. Di rumah malam hari selalu ramai, baik yang datang untuk mijat atau sekedar cerita-cerita dengan ayahku. Tapi saat sudah sembuh pun seperti waktu itu dan saya tanya ayahku akan mau memijat orang lagi, tidak ada sama sekali yang mau datang, bahkan untuk cerita-cerita pun orang sudah jarang datang lagi. Terlihat ayahku saat itu banyak berdiam diri kembali, waktunya lebih banyak dihabiskan di dalam kamar menyendiri”. Dari penuturan tersebut, terlihat bahwa keterlibatan masyarakat masih sangat
rendah dan terbatas dalam penerimaan pasien jiwa dari rumah sakit. Artinya,
walaupun pasien jiwa sudah keluar dari rumah sakit jiwa dan dinyatakan sembuh
secara klinis/medis oleh pihak rumah sakit, pencitraan yang kuat masih tetap melekat
35
pada diri pasien sebagai tubuh yang harus dijauhi, dihindari, dan membahayakan.
Pandangan masyarakat seperti itu menurut Ibu NN disebabkan oleh hal berikut.
“...sebagai anggota masyarakat biasa, saya melihat pihak rumah sakit jiwa khan sudah nyatakan sembuh, tapi tetap kalau dilihat para bekas pasien itu kesannya buat orang takut Pak. Ya kita jaga-jaga sebelum semuanya terjadi. Kalau tiba-tiba ngamuk dan berbuat sesuatu di luar dugaan kita, siapa yang mau tanggung jawab? Siapa yang harus disalahkan? Siapa yang harus kita marahin? Sebenarnya sich kasihan juga Pak...Tapi mau gimana lagi?...Ya lebih baik menghindarlah”. Dari pernyataan tersebut terlihat pula posisi pasien gangguan jiwa dalam
situasi yang benar-benar tidak berdaya dengan status gangguan jiwanya yang
berlangsung lama. Bahkan, dalam rajutan hidup ke depannya sekaligus pasien jiwa
lebih sebagai objek perawatan kesehatan semata yang berimplikasi pada proses
pengobatan yang bersifat bolak-balik. Pandangan model klinis/medis terkait dengan
kesembuhan pasien tersebut sering kali dikritik sebagai tindakan yang terlalu
memfokuskan diri pada penyakit. Selain itu, juga menerapkan kriteria reduksi biologis
yang kontradiktif dengan model nonklinis (pasien), yaitu person-centered focus.
Dengan demikian, fenomenanya saat pasien sudah berada di rumah dalam waktu tidak
beberapa lama, pasien akan kembali lagi ke dalam lingkaran perawatan RS jiwa.
Seturut hal tersebut, Robert & Wolfson (2004:37--49) membandingkan nilai-nilai dan
bahasa pada pandangan-pandangan tersebut, yang menunjukkan perbedaan yang
sangat signifikan di antara keduanya, seperti yang ditunjukkan dalam tabel berikut ini.
Tabel 2.1 Perbedaan Konsep, Bahasa, dan Nilai-Nilai Antara Pandangan Model Klinis/Medis
dan Pandangan Model Nonklinis/Nonmedis
Pandangan Model Klinis/Medis (Dokter)
Pandangan Nonklinis/Non-Medis (Pasien & Keluarganya)
Psikopatologi Menekankan pada pengalaman Patografi Biografi Antipenyakit Prokesehatan Berbasis pada penanganan Berbasis pada kekuatan Dokter dan pasien Para ahli karena pengalaman Diagnosis Makna personal Pengenalan Pemahaman
36
Bebas nilai Berpusat pada nilai Ilmiah Humanistik Penanganan (Treatment) Perkembangan dan penemuan Kepatuhan Pilihan Berdasarkan hasil metaanalisis Bermodelkan para pahlawan
(tokoh) Uji coba random terkontrol Dipandu oleh narasi Kembali ke normal Transformasi Dikoordinasi oleh penanganan ahli Manajemen diri Di bawah kontrol seseorang Kontrol diri Kewenangan profesional Tangguang jawab personal Dekontekstualisasi Di dalam konteks sosial
Sumber: Roberts & Wolfson (2004: 40) 2.6 Kelelahan (Burn-Out) dan Keputusasaan
Berbagai macam metode pengobatan terhadap pasien penderita gangguan jiwa
mulai dari tradisional hingga medis sudah dijalani oleh keluarga pasien. Mereka sudah
melakukan rehabilitasi medis melalui berbagai macam terapi. Para pasien tidak sedikit
pula yang pernah mengalami kondisi kesembuhan secara klinis/medis. Namun, para
pasien penderita gangguan jiwa ini sering pula mengalami kekambuhan kembali. Oleh
karena itu proses penyembuhan penderita gangguan jiwa tidak dapat dilakukan secara
singkat, tetapi memerlukan rasa kesabaran dan proses yang panjang. Keluarga pasien
sering kali menjadi putus asa berhadapan dengan kekambuhan salah seorang anggota
keluarganya yang memiliki masalah dengan kejiwaannya. Keputusasaan keluarga
pasien tersebut tercermin dari pengakuan Bapak AG atas sakit yang diderita adik laki-
lakinya berikut. “...ini sudah yang ketiga kali adik saya dirawat di sini Pak. Kenapa makin parah begini?...berat saya jalani hari-hari untuk ngurus adik saya ini. Sering saya mengadu pada Hyang Widi...kenapa keluarga kami diberi cobaan berat begini yang harus kami pikul. Mungkin orang lain yang ngak ngalami bisa katakan sabar, berusaha tenang, ikhlas, dan lainnya...tapi saya yang jalani benar-benar berat Pak. Belum lagi masalah ribut antaranggota keluarga yang saling menyalahkan dan siapa yang bertanggung jawab untuk gantian mengawasi, ditambah penilaian masyarakat yang buruk ke keluarga kita. Ini juga adikku kenapa harus kambuh lagi...apa gunanya beberapa waktu lama diobati di sini? Kenapa tidak ada yang bisa sembuhkan adikku?...bingung dan stres saya Pak”. Ungkapan di atas mengisyaratkan bahwa keputusasaan bapak AG selaku
keluarga pasien terhadap kekambuhan adik laki-lakinya mengggambarkan individu
37
yang tidak melihat adanya harapan kemungkinan untuk memperbaiki kondisi adiknya
lebih baik. Bahkan, semakin memburuk dan dikatakan bahwa tidak ada seorang pun
yang dapat membantunya, terbukti selalu mengalami kegagalan pengobatan
(kekambuhan). Keputusasaan berkaitan dengan kehilangan harapan, ketidakmampuan,
keraguan, duka cita, apatis, kesedihan, depresi, bahkan bisa berakibat bunuh diri.
Menurut Pharris, Resnick, dan A. Blum (dalam Abdi, 2012:4) mengemukakan
bahwa keputusasaan merupakan kondisi yang dapat menguras energi. Perasaan
ketidakberdayaan yang tidak kunjung hilang akan dapat pula menimbulkan
keputusasaan, yaitu keluarga pasien tidak mampu memandang kehidupan ke arah yang
lebih baik. Jalan pintas yang pernah dipilih dan dilakukan oleh keluarga pasien, yakni
mengabaikan penderita dalam bentuk melakukan tindakan seperti pasien
disembunyikan, diisolasi, dikucilkan. Bahkan, ada yang memasung dengan cara
mengurungnya dalam kamar dan menguncinya dan/atau mengikat tangan dan/atau
kedua kakinya dengan seutas tali atau dalam balutan beban rantai karat yang akan
memperburuk kondisi psikologis penderita. Pengakuan Bapak PT atas perlakuan yang
pernah ditujukan pada kakak perempuannya yang mengalami gangguan memberikan
gambaran sebagai berikut. “...pernah waktu sudah pulang dulu kakak saya hanya bertahan sekitar 3--4 bulan terus kambuh lagi. Pernah paling lama di rumah sekitar enam bulanan. Ini sudah rawat inap yang keempat kali Pak. Saat waktu di rumah, kakak saya sudah bisa kerjakan pekerjaan yang ringan-ringan, nyapu dalam rumah dan di luar rumah, cuci piring, cuci baju, masak juga sesekali dilakukan. Kakak saya ini belum nikah. Pernah mau nikah, calonnya meninggal karena sakit. Hari-hari waktu itu dia banyak diam di kamar dan ngelamun saja. Itulah awal gangguannya Pak. Dia ingat lagi kalau calonnya itu pernah datang ke rumah dan ngobrol-ngobrol depan halaman. Sepertinya kakak saya itu belum bisa terima calonnya meninggal. Kakak saya itu khan tinggal dengan saya...saya ajak dia Pak, tapi saya tahu kalau istriku ngak suka kakak saya ada di rumah. Hari-hari saat kakakku di rumah pascarawat inap, saya sering ribut dengan istriku. Istriku ngak terima kakakku ada di rumah...di luar dugaan saya...dia bilang ke saya, biarin saja dia ada di RS Jiwa, ngapain ada di rumah...bikin malu semua orang dan buat malu keluarga. Apa yang disampikan istriku itu lambat laun kakakku dengar juga. Kakakku banyak berdiam di kamar hari-hari, ngak mau makan, apalagi minum obat, bahkan jarang mau tidur. Belakangan dia mulai ngomong sendiri lagi seakan calonnya itu ada di depannya...dan tiba-tiba sesekali marah dan ngamuk-ngamuk pada istri saya. Pernah kakakku kabur dari rumah, tapi ada saudara jauh yang temuin kakakku itu di pasar. Tekanan dari istri yang hari-hari sangat tidak suka dengan kakakku dan ada juga tetangga yang hina kakakku...benar-benar stres saya Pak...bingung saya...mau bela istri apa kakak kandung saya itu, belum lagi mikirin omongan
38
orang ke keluarga kami. Tanpa pikir panjang akhirnya saya kunci kakak saya dalam kamarnya supaya ngak kabur lagi, supaya ngak ketemu istri saya juga untuk sementara...karena kakak saya pernah marah-marah sambil ngancam ke istri saya. Saya ngak mau sesuatu terjadi antara keduanya. Akhirnya, saya ngak punya pilihan lain...kakakku masuk lagi ke sini, ngak tahu kapan boleh pulang. Benar-benar ngak tega saya lihat kakakku tapi ngak tahu harus buat apa lagi”. Kenyataan tersebut jelas menggambarkan bagaimana dalam tekanan situasi
stres, kecemasan, dan keputusasaan menghadapi dan mencari jalan keluar dari
cemoohan dan stigma yang terus berulang terhadap penderita. Sehubungan dengan itu,
keluarga melakukan perilaku mengurung penderita dalam kamar untuk menjauhkan
penderita atau mengisolasi penderita dari lingkungan sosial yang menstigmanya.
Implikasinya penderita akan mengalami kekambuhan atau kembalinya suatu penyakit
setelah tampaknya mereda (relaps) sebelum pada akhirnya pasien kembali menjalani
pengobatan dan perawatan kembali di RS jiwa.
Fenomena relaps menurut Psikolog Diana Setiawati lebih banyak diakibatkan
oleh lemahnya dukungan keluarga dan putus obat. Lebih lanjut dituturkannya sebagai
berikut.
“...relaps ini saya lihat merupakan salah satu masalah dalam penanganan pasien gangguan jiwa. Pasien dalam kasus ini harus disiplin dalam minum obat, tidak boleh putus obat, seperti halnya pasien diabetes ataupun hipertensi yang tidak boleh putus obat. Peran keluarga menjadi sangat penting dalam memantau dan mengawasi pasien untuk minum obat secara teratur. Hal penting lain saya melihat masih sangat kurangnya empati keluarga, baik dalam bentuk dukungan yang bersifat fisik maupun psikis terhadap pasien. Di sinilah pentingnya menurut saya pengetahuan dan kesadaran peran keluarga dalam merawat anggota keluarganya tersebut”. Senada dengan apa yang disampaikan Psikolog Diana Setiawati, menurut Sari
dan Istichomah (2015:26), penderita yang sudah menjalani perawatan di rumah sakit
sering mengalami kekambuhan. Kekambuhan itu terjadi karena kurangnya
pengetahuan keluarga dalam memberikan perawatan terhadap pasien gangguan jiwa di
rumah. Bapak MN salah seorang keluarga pasien mangakui bahwasannya kakaknya
kambuh lagi karena pengetahuan keluarga terkait dengan perawatan pascarawat inap
masih sangat minim, berikut penuturannya.
“...pernah sudah dapat pengarahan dari rumah sakit bagaimana cara menghadapi pasien saat di rumah Pak, dari masalah pengisian waktu luangnya, cara mengatasi pasien yang sulit minum obat, bagaimana harus bersikap
39
dengan sabar, dan lainnya.Ya tapi saya akui, hanya awal-awalnya saja dijalankan Pak...selang beberapa minggu kakak saya sudah ngak terlalu diawasi. Minum obatnya mulai ngak teratur, mau melakukan pekerjaan di rumah yang ringan-ringan sering dilarang kakak istrinya katanya tetap saja kerjaan ngak beres. Jadi, setiap kerjaan yang dilakukan kakakku itu serba salah jadinya. Kakakku saat itu mulai senang ngelamun lagi, sulit tidur, gelisah pokoknya. Kakak saya ini sejak di RS jiwa kerja istrinya serabutan. Dulu kerjanya di toko artshop, pulangnya sore. Ada dua anak, tapi kurang bisa diandalkan karena saya lihat hubungannya ngak dekat dengan bapaknya. Jarang mereka perhatikan bapaknya. Saya sendiri sebagai adiknya tidak bisa bergerak sendiri kalau tidak mendapat dukungan dari istri dan anak-anaknya....tapi ini salah saya, saya harus bisa lebih perhatian penuh ke dia. Dia tinggal kakakku satu-satunya. Ya ini sekarang kakakku tinggal di RS lagi sudah hampir empat bulanan, dia minta pulang terus...sangat prihatin saya Pak”. Ungkapan di atas mengambarkan bahwa setiap kekambuhan pada penderita
gangguan jiwa akan membawa konsekuensi logis yang cukup berat, yaitu berupa
pemulihan yang berjalan lebih lambat dan kurang lengkap. Setiap kali kekambuhan
akan semakin menyebabkan peningkatan beban pada keluarga pasien, pelaku rawat
(caregiver), dan penyedia pelayanan kesehatan (RS jiwa). Seturut hal tersebut,
menurut Agusno (2009:7) secara psikososial kekambuhan akan membawa
konsekuensi yang disebut sociotoxic, yaitu akan terjadi burn-out of family, meliputi
perasaan bersalah, dampak buruk dalam segi keuangan (situasi collapse), peningkatan
ekspresi emosi, gangguan interaksi sesama anggota keluarga, penurunan jaringan
sosial, dan pengaruh terhadap staf medis berupa kekecewaan.
Sebenarnya dalam proses perencanaan kepulangan pasien gangguan jiwa dari
RSJ Provinsi Bali ini, menurut Psikolog Basri sudah diawali dengan proses
pangkajian. Menurutnya proses pengkajian yang sudah dilakukan untuk memperoleh
data dari pasien dan keluarga sehingga dapat ditemukan masalah yang dihadapi pasien
dan keluarga berhubungan dengan keadaan kesehatan pasien dan perawatannya di
rumah. Lebih lanjut disampaikan oleh Psikolog Basri sebagai berikut.
“...dalam proses pengkajian yang sudah dijalankan oleh pihak RS, yang menjadi perhatian utama antara lain masalah pengetahuan keluarga, struktur keluarga, sistem pendukungnya, dan sumber daya keluarga itu sendiri. Keluarga harus menambah pengetahuan dan melengkapi diri dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat memperlakukan pasien dalam keluarga secara baik dan memadai. Pelaksanaan peran yang dilakukan keluarga
40
sebagai bagian dari struktur keluarga serta nilai-nilai yang dimiliki dan dianut keluarga juga turut mempengaruhi kesiapan keluarga pasien. Keluarga sebagai pendukung utama bagi pasien setelah pulang dari rumah sakit jiwa. Dukungan diberikan dalam bentuk rasa empati, penerimaan, mendorong untuk mulai berinteraksi sosial, dan dorongan untuk tidak berputus asa serta terus berusaha. Akan tetapi, semuanya itu masih sering diabaikan oleh pihak keluarga yang berimplikasi pada kekambuhan pasien”. Pasien yang sudah dinyatakan sembuh secara klinis dan diperbolehkan pulang
memiliki gejala sisa yang harus tetap mendapatkan perhatian penuh dari keluarga. Di
sinilah letak pentingnya pengetahuan dan peran keluarga dalam merawat anggota
keluarga mereka pascaperawatan di RS jiwa. Akan tetapi, dalam kenyataannya, masih
saja ditemukan kurangnya pegetahuan keluarga dalam merawat pasien di rumah yang
berimplikasi pada belum dirasakannya peran keluarga pasien terhadap anggota
keluarga mereka tersebut. Gambaran jelas tentang hal tersebut, seperti dituturkan oleh
RA, salah seorang pasien jiwa yang sudah lebih dari lima kali bolak-balik menjalani
rawat inap sebagai berikut.
“...setiap aku boleh pulang sama dokter...pasti aku pikir paling ngak lama lagi balik ke sini lagi. Eh...benar khan? Ini baru beberapa minggu yang lalu aku dari rumah, sekarang aku di sini lagi. Kalau disuruh pilih...enakan di sini daripada di rumah. Teman banyak, perawat di sini baik juga, pokoknya semuanya baik, betahlah aku di sini. Aku banyak bantu petugas di sini, siapkan makan teman-teman, bantu perawat beli bahan-bahan makanan kecil ke koperasi untuk teman, menenangkan teman yang ngamuk juga, cerita segala macam dengan perawat, tapi kalau di rumah...semuanya sepertinya cuek, masa bodoh. Apalagi ayahku, jarang sekali mau bicara sama aku. Sekalinya bicara, seringnya kasar sekali sama marah terus ke aku. Katanya stres hadapi aku bolak-balik masuk RS ini terus...ibuku hanya banyak diam ngak berbuat apa...ngak bisa bela aku. Pernah waktu aku di rumah ayahku sempat opname empat hari di rumah sakit karena sakit maag. Ibuku pernah bilang ke aku untuk sementara tinggal saja dulu di rumah kakaknya. Aku tahu ibu suruh itu karena supaya aku ngak ribut terus dengan ayahku karena ibu tahu juga kalau sudah ribut pasti ayahku kumat sakit lambungnya. Ibu pernah bilang juga ke aku sudah ngak kuat tinggal degan ayahku. Di rumah aku justru jadi bosen. Ada pikiran kabur, tapi aku kasian sama ibu. Ngak ngerti salah aku apa...pasti karena aku gila ini”. Ungkapan di atas jelas menggambarkan bagaimana keadaan keluarga pasien
yang mengalami stres, yang akan selalu diliputi perasaan cemas, tegang, mudah
tersinggung dan frustrasi. Di samping itu, juga dimungkinkan pula adanya keluhan
41
yang bersifat psikosomatis. Di sisi lain, walaupun rumah tangga kedua orang tua
pasien tetap utuh secara semu, peran ayah mereka “alpa” dan tidak mampu menjadi
model sebagai pelindung terhadap tekanan yang dirasakan keluarga dan pasien sendiri.
Hal lainnya, yaitu kualitas hubungan kedua orang tuanya cenderung “pecah” sehingga
pasien merasa marah dan tidak menghargai figur ayahnya.
Senada dengan pandangan Rosyid (1996:19--24), hal tersebut terjadi karena
terkurasnya energi untuk menghadapi stres yang dialami terus menerus dalam rentang
perjalanan perawatan pasien. Kondisi itulah yang disebut dengan burn-out muncul.
Burn-out adalah suatu kondisi psikologis yang dialami seseorang akibat stres yang
disertai kegagalan meraih harapan dalam jangka waktu yang relatif panjang atau suatu
kondisi kelelahan emosional, fisik dan mental disebabkan oleh penderitaan stres yang
berkepanjangan. Lebih jauh menurut Lee dan Asforth (1996:123--133), ada beberapa
faktor yang memengaruhi burn-out, yaitu ambiguitas, konflik, stres, beban kerja, dan
kurangnya dukungan sosial. Jika anggota keluarga pasien itu sendiri mengalami apa
yang disebut dengan burn-out, menurut Psikolog Diana Setiawati, yang terjadi adalah
harapan akan kesembuhan dan usaha menghilangkan sisa gangguan pascaperawatan di
RS jiwa akan memakan waktu yang lebih panjang. Hal itu diungkapkan berikut ini.
“...dari pengalaman saya berhadapan langsung dengan para keluarga pasien yang kembali menjalani rawat inap, mereka rata-rata menyatakan kesedihan yang mendalam atas apa yang terjadi terhadap anggota keluarganya tersebut. Keluarga pasien benar-benar stres, cemas, dan lelah, bahkan ada yang frustrasi (putus asa) tidak tahu apa yang harus dilakukan. Belum lagi ditambah beban mengatasi stigma yang selalu menghantui pasien dan keluarga pasien sendiri. Saya melihat bahwa kekuatan stigma ini benar-benar sangat berpengaruh terhadap keluarga pasien sehingga mereka tidak bisa atau tidak mampu menjalankan perannya secara baik dalam memperlakukan pasien pascaperawatan di RS jiwa. Tapi saya sering sampaikan ke keluarga pasien bahwa percayalah bahwa stigma akan hilang dengan sendirinya seiring dengan kuatnya dukungan keluarga dalam turut serta berpartisipasi aktif dalam mengoptimalkan kesembuhan pasien sehingga pasien nantinya mampu secara mandiri menunjukkan jati dirinya dengan baik”. Ungkapan di atas menunjukkan bahwa pascaperawatan RS pasien sangat
membutuhkan dukungan sosial dari lingkungan terdekatnya, yakni keluarga mereka
sendiri. Hal itu relevan dengan apa yang disampaikan oleh Ganster dkk. (1986:102--
110) bahwa manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan kehadiran manusia lain
42
untuk berinteraksi. Kehadiran orang lain di dalam kehidupan pribadi seseorang sangat
diperlukan. Hal ini terjadi karena seseorang tidak mungkin memenuhi kebutuhan, baik
fisik maupun psikologisnya, secara sendirian. Individu membutuhkan dukungan sosial
dari lingkungan terdekatnya. Hal yang sama juga terjadi pada pasien gangguan jiwa
pascarawat inap di RS jiwa tersebut.
Lebih lanjut hal itu serupa dengan apa yang disampaikan oleh Psikolog Diana
bahwa keluarga pasien sebagai caregiver memegang peranan yang sangat penting
dalam mendukung kepatuhan pasien gangguan jiwa dalam proses perawatan
selanjutnya. Dukungan keluarga merupakan salah satu sumber dukungan sosial yang
mutlak dibutuhkan pasien. Dukungan keluarga bisa saja hilang seiring dengan waktu.
Hal itu terjadi karena anggota di dalam keluarga tersebut mengalami burn-out atau
kelelahan ataupun keputusasaan dalam merawat anggota keluarganya pascaperawatan
di RS jiwa. Selain itu, juga dianggap sebagai beban oleh keluarga pasien. Sikap
tersebut diakibatkan oleh konsekuensi negatif bagi anggota keluarga pasien yang tanpa
sadar ataupun dengan sadar mengembangkan sikap-sikap perilaku penolakan,
penyangkalan, pengisolasian, dan anggapan sebagai sebuah beban berat. Gambaran di
atas dilihat sebagai family burden oleh Magliano (2008) dalam
http://www.euro.who.int/document/MNH/family-burden.id. Artinya, merupakan suatu
istilah untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan, kesulitan atau efek yang
dialami keluarga (sebagai caregiver) sehubungan dengan adanya anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa yang berkepanjangan.
Menurut Sukmarini (2008:57--58) caregiver adalah seseorang yang
memberikan bantuan kepada orang yang mengalami ketidakmampuan dan
memerlukan bantuan karena penyakitnya atau keterbatasannya. Caregiver pada pasien
gangguan jiwa memiliki peran yang unik, yang membedakannya dengan caregiver
pada penyakit atau keterbatasan lainnya. Caregiver pasien gangguan jiwa (skizofrenia)
sering dihadapkan pada berbagai situasi yang membutuhkan keterampilan khusus,
seperti pada keadaan emergensi atau krisis. Di pihak lain, caregiver pasien gangguan
jiwa (skizofrenia) memiliki berbagai problematika dan keterbatasan dalam melakukan
tugasnya, sementara dukungan dan fasilitas yang tersedia bagi mereka hingga saat ini
belum memadai sehingga menjadi sebuah beban caregiver (caregiver burden).
43
Magliano (dalam Sukmarini, 2008:60--61) membagi beban yang dirasakan caregiver
menjadi dua jenis beban, yakni beban subjektif caregiver dan beban objektif
caregiver. Beban subjektif caregiver memuat beban berupa perubahan emosional
(respons psikologis) yang dialami caregiver berkaitan dengan tugas (atau perannya)
dalam merawat penderita gangguan jiwa (skizofrenia). Beban subjektif yang dialami
caregiver ini berupa kecemasan, kesedihan, dan perubahan emosi. Sementara itu
beban objektif caregiver memuat berbagai beban dan hambatan yang dijumpai dalam
kehidupan suatu keluarga yang berkaitan dengan perawatan penderita gangguan jiwa.
Masalah praktis yang dialami, seperti masalah keuangan, gangguan hubungan pada
keluarga, gangguan kesehatan fisik, masalah dalam pekerjaan serta aktivitas sosialnya.
Beban berat juga dipikul oleh keluarga penderita gangguan jiwa, anggota
keluarga menjadi malu dan ikut dijauhi oleh masyrakat, bahkan terkadang keluarga
juga dipojokkan sebagai penyebab gangguan yang dialami penderita. Hal tersebut
kemudian berujung pada kelelahan dan atau keputusasaan keluarga penderita yang
mengarah pada tahap depresi, seperti yang disampaikan Psikolog Diana berikut.
“...tahap depresi dilalui keluarga pasien dengan bentuk perilaku keluarga yang ditunjukkan melalui rasa sedih, selalu kepikiran, dan selalu khawatir akan keselamatan diri pasien bila pergi meninggalkan rumah (kabur). Di samping itu, juga keluarga khawatir terhadap masa depan pasien, anak pasien, dan masa depan keluarga serta kekhawatiran-kekhawatiran lain yang diwujudkan melalui sikap menyalahkan diri sendiri, munculnya perasaan kecewa terhadap diri sendiri maupun kecewa dengan kondisi/keadaan, kurangnya konsentrasi saat bekerja dan merasakan kelelahan (burn-out) sepanjang waktu, mengalami ketakutan dan keluhan sulit untuk tidur di malam hari serta kehilangan harapan akan kesembuhan anggota keluarga mereka karena sudah lama mengalami gangguan jiwa”. Ungkapan di atas jelas menggambarkan bahwa keluarga sebagai caregiver
dengan anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa dirasakan sebagai suatu
beban tersendiri. Keluarga berupaya untuk mengobati atau menyembuhkannya. Akan
tetapi, realitasnya patologis gangguan jiwa itu sendiri semakin lama diderita oleh
pasien, justru semakin sulit untuk mencapai kesembuhan. Inilah yang menyebabkan
keluarga merasa tidak berdaya dan takut. Selain itu, memiliki anggota keluarga
dengan gangguan jiwa memang menimbulkan stres yang sangat besar. Secara tidak
langsung semua anggota kelaurga turut merasakan pengaruh gangguan tersebut.
44
Individu dengan gangguan jiwa membutuhkan lebih banyak kasih sayang, bantuan,
dan dukungan semua anggota keluarga. Di balik kondisi kelelahan (burn-out) dan
keputusasaan keluarga pasien dalam menghadapi anggota keluarganya yang
mengalami kekambuhan tersebut, terdapat harapan untuk kesembuhan pasien. Hal itu
ditunjukkan dengan usaha keluarga untuk berupaya bangkit kembali di tengah
kelelahan dan keputusasaan. Hal yang dilakukan adalah lebih memperhatikan proses
pengobatan dan mulai mengikuti perkembangan pasien selama menjalani perawaan di
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali ini. Di samping itu, keluarga pasien juga pada
akhirnya memasrahkan kesembuhan pasien kepada Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan
Yang Maha Esa) dengan cara memperbanyak sembahyang.
Hal tesebut menurut Psikolog Basri, merupakan tahap penerimaan keluarga
dan tahapan yang paling penting. Artinya keluarga memilih untuk pasrah dan mencoba
menerima keadaan (menerima kenyataan) anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa (skizofrenia) dengan tenang. Pengakuan Bapak WY sebagai keluarga
pasien menggambarkan hal tersebut sebagai berikut.
“...kalau dibilang lelah, ya pasti lelah fisik dan mental kami Pak. Sudah panjang perjalanan ngobati anak saya ini Pak sebelum masuk ke RS. Dulu pernah coba ke balian bolak-balik ngak sembuh-sembuh, malah makin parah waktu itu. Sekarang di sini anakku juga belum menampakkan kemajuan yang berarti Pak. Pernah pulang, tapi kumat lagi. Memang pernah aku putus asa Pak...tapi aku sudah memasrahkan semuanya pada Hyang Widi, Beliau yang paling paham semua-semuanya. Moga harapan yang baik masih berpihak dan terbuka untuk keluarga kami. Keluarga sudah bisa mulai trima kenyataan...terserah omongan orang yang jelek terhadap keluarga kita. Saya sudah tidak peduli omongan di luar”.
Ungkapan di atas mengisyaratkan bahwa dukungan keluarga pasien atas sikap
“menerima kenyataan” dapat dilihat sebagai sebuah ungkapan “representasi emik”
keluarga pasien. Di samping itu, sebenarnyalah merupakan kunci pertama dan utama
proses penyembuhan dan sekaligus pengendalian diri terhadap pasien. Keluarga harus
bersikap menerima, tetap berkomunikasi, dan tidak mengasingkan penderita. Tindakan
kasar, berantakan, atau mengucilkan justru akan membuat penderita semakin depresi,
bahkan cenderung bersikap kasar yang berimplikasi pada kekambuhan pasien. Terkait
dengan dukungan keluarga yang diterima tersebut, pasien RA mengungkapkan hal
berikut.
45
“...memang aku punya masalah pribadi dengan ayahku, tapi pernah ibuku bilang kalau ayahku sudah mulai sadar kalau memang dia yang salah. Kata ibuku...keluarga semua sudah berusaha terima cobaan ini, cobaan aku sakit seperti ini. Keluarga berusaha untuk ngak malu lagi kalau anaknya ini ada di RS jiwa ini. Itu yang paling aku senang dari keluargaku. Pernah kakakku bilang...kenapa harus malu? Khan memang sakit, jadi harus dirawat di RS. Yang paling aku senang lagi, keluargaku masih jaga komunikasi dengan aku. Ini yang buat aku semangat untuk sembuh dan ingin kembali kumpul dengan keluargaku lagi”. Ungkapan di atas jelas mengggambarkan bahwa dukungan keluarga yang
diterima pasien sangat besar membantu dalam mengatasi tekanan psikologis, seperti
rasa sedih, putus asa, malu. Dikatakan demikian karena dirasakan pasien memiliki
dampak besar terhadap dirinya, menjadikannya merasa lebih semangat dalam
menjalani pengobatannya, tidak sedih lagi, dan menjadikan dirinya untuk berusaha
tidak malu lagi dengan orang di sekelilingnya. Selain itu, pasien juga menjadi merasa
tidak dikucilkan oleh orang-orang di sekitarnya. Dampak dukungan keluarga yang
diterima pasien sangat banyak membantu dalam mengatasi tekanan psikologis karena
pasien merasakan banyak manfaat yang ditimbulkan dari dukungan tersebut. Oleh
karena itu, pasien menjadi lebih optimis, mempunyai semangat hidup kembali,
menjadi lebih kuat, dan ingin cepat sembuh.
Kerja sama berbagai pihak dibutuhkan untuk mengatasi masalah ini. Artinya,
tidak hanya merupakan tanggung jawab pihak lembaga kesehatan semata, tetapi juga
menjadi tanggung jawab bersama. Artinya, dalam hal ini keluarga dan masyarakat
tidak memberikan stigma negatif dan mendiskriminasi seseorang yang memiliki
masalah kejiwaan. Mereka juga memiliki hak hidup layaknya orang-orang lain di luar
dirinya. Oleh karena itu, sangat diperlukan dukungan keluarga dan dukungan sosial
berbagai pihak untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada penderita skizofrenia.
Jika hal itu tidak terwujud, akan berimplikasi pada terjadinya kelelahan dan
keputusasaan keluarga pasien (Permatasari, 2013:10--12).
2.7 Strategi Koping dalam Balutan Resiliensi Keluarga Pasien
Berbagai pengalaman hidup manusia, baik dalam peristiwa bencana alam,
penyakit kronis (fisik atau mental), kekerasan psikologis dan fisik, kematian
(kehilangan orang yang dicintai), maupun peristiwa yang mengakibatkan stres
46
(stressfull life events) membuat individu untuk melakukan perubahan atau
penyesuaian. Perubahan atau penyesuaian cara hidup ini bisa merupakan usaha yang
besar atau kecil, begitu pula implikasinya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Para keluarga pasien dalam memberikan perawatan kepada penderita gangguan
jiwa juga pasien mengalami beban psikologis (stres) yang tidak ringan. Keluarga
pasien menggambarkan pengalaman merawat penderita gangguan jiwa sebagai
pengalaman yang berat sekali dan duka yang berkepanjangan (Pejlert, 2001:194--
204). Sependapat dengan pandangan tersebut, AA salah seorang keluarga pasien
menggambarkan pengalamannya seperti berikut ini.
“...ya berat aku jalani ini Pak. Orang-orang selalu lihat aneh ke adikku...padahal adikku itu ya diam saja, ngak pernah sama sekali celakai orang. Sama sekali ngak kebayang adikku bisa sakit gini. Dulu pernah sudah bolak-balik ke balian ngak sembuh juga. Saat sudah boleh perawatan jalan, tahunya balik lagi di sini. Setiap hari yang aku pikirkan hanya adikku ini saja. Dia sudah ditinggal sama istri dan anaknya. Anaknya ada dua ikut istrinya semua. Istrinya pergi sejak adikku masuk RS jiwa ini. Ditambah aku punya dua kakak sudah ngak pernah mau tahu dan peduli lagi dengan kondisi adikku ini. Orang tua sudah tidak tinggal serumah. Ayahku sejak tahun lalu pergi ke Jawa. Benar-benar prihatin aku lihat adikku...dari anggota keluarga sendiri ngak ada yang peduli. Tapi aku masih sangat berharap dokter-dokter di sini bisa sembuhkan adikku dan aku ngak akan tinggalin adikku sendirian”. Ungkapan gambaran keprihatian dan perjuangan perjalanan mengiringi
perawatan pasien lainnya disampaikan oleh Bapak MD atas kondisi yang dialami oleh
pamannya berikut ini. “...dia pamanku yang dekat dengan aku. Waktu orang tuaku cerai dan aku tinggal hanya dengan ibu, pamanku ini yang banyak bayar biayai sekolahku. Ngak mungkin lupa apa yang sudah pamanku beri ke aku. Sekarang pamanku dalam situasi seperti ini, sudah ditinggal istrinya meninggal dan anak keduanya juga...ngak mungkin aku diamkan pamanku dalam keadaan sakit seperti ini. Kalau ditanya lelah pasti lelah. Sebelum masuk RS ini sudah coba ke balian juga beberapa kali. Banyak belajar aku dari situasi ini...yakni masalah kesabaran. Kesabaran juga dari omongan orang, bahkan dari keluarga besar sendiri. Aku sangat tahu...pamanku juga pasti merasakan hal yang sama dengan aku...rasa lelah, putus asa, frustrasi ngak sembuh-sembuh. Tapi aku sampai detik ini tetap terus berusaha sebisa dan kemampuan aku untuk paman bisa kembali pulih. Apa-apa saja yang sudah pihak rumah sakit jiwa berikan dan sampaikan ke kita setelah pamanku keluar lagi dari RS ini akan berusaha kita jalankan lebih baik lagi. Memang aku sadar...saat pamanku dibolehkan untuk pulang itu, banyak hal yang sering tidak kita jalankan terkait apa yang sudah pihak RS bekali ke kita untuk jaga pamanku ini”.
47
Dukungan keluarga pascaperawatan di rumah sakit jiwa sangat dibutuhkan
oleh anggota keluarga mereka yang mengalami gangguan. Lingkungan sosial pasien
pun sangat besar berperan dalam memulihkan dan memfasilitasi pasien
pascaperawatan untuk mencapai taraf keberfungsian yang baik untuk jangka panjang
(Wiramihardja, 2005:151). Beban yang dirasakan oleh anggota keluarga pasien sangat
berat. Akan tetapi, terlihat pada umumnya keluarga pasien tetap menunjukkan rasa
tanggung jawab, dukungan, perhatian, dan kasih sayang yang besar terhadap anggota
keluarga mereka yang mengalami gangguan jiwa. Dalam hal ini keluarga
mengembangkan sikap sabar, menerima sebagai kenyataan yang harus dihadapi,
berikhtiar (berusaha), berdoa, dan pasrah terhadap Tuhan untuk yang terbaik.
Di balik tekanan beban yang dirasakan keluarga pasien sekaligus juga timbul
kesabaran dan semangat keluarga pasien dalam proses perawatan dan pengobatan
yang terus diupayakannya seperti telah digambarkan sebelumnya. Terkait dengan hal
itu, Ida Bagus Gede Banuwangsa, Kepala Unit Rehabilitasi, menyebutkan hal berikut.
“...demi meningkatkan dan mengembalikan kondisi pasien pasca perawatan RS secara optimal di rumah, diperlukan pengambilan keputusan dan sikap dukungan keluarga yang turut terlibat langsung dalam penanganan, menjauhi tindakan bermusuhan, pengembangan suasana kehangatan, meminimalisir kritikan, serta pengendalian emosi anggota keluarga”. Ditambahkan pula oleh Ida Bagus Gede Banuwangsa, seperti berikut.
“...sudah sering kali saya sampaikan ke keluarga pasien hal utama yang harus mereka pahami adalah menyadari keadaan diri anggota keluarga mereka yang mengalami sakit tersebut yang masih dalam kondisi keterbatasan baik secara psikologis dan fisik. Selanjutnya keluarga diharapkan sekali untuk bisa mempraktekkan dalam hal mengambil keputusan untuk bisa menghindari konsekuensi dari hal-hal yang tidak diinginkan. Selama ini ada pandangan yang keliru di sebagian besar keluarga pasien, bahwa hanya dengan cara obat-obatan saja pasien bisa sembuh sehingga mereka mengabaikan peran dan dukungan sosial yang lainnnya. Ada juga pandangan keluarga yang menyatakan jika gejala-gejala gangguan sudah tidak ada ataupun sudah berkurang dari hasil pengamatan keluarga pasien, maka saat itu juga pemberian obat akan diberhentikan oleh keluarga. Dengan kata lain pasien putus obat. Dua pandangan tersebut menurut saya salah karena selain pasien tidak boleh putus obat walaupun sudah di rumah, sangat dibutuhkan pula keaktifan peran dan dukungan keluarga dalam mengoptimalkan proses resosialisasi pasien tersebut. Itu yang selalu dan terus saya sampaikan ke keluarga pasien”.
48
Ungkapan di atas menunjukkan dengan jelas bahwa pasien terpenjara dalam
kondisi keterbatasan dan ketidakmampuannya. Artinya pasien tentu sangat
membutuhkan dukungan keluarga untuk menjadi individu yang lebih kuat dan
menghargai diri sendiri sehingga dapat mencapai taraf kesembuhan yang lebih baik
dan meningkatkan keberfungsiannya. Tanpa adanya dukungan keluarga, pasien akan
sulit sembuh dan mengalami kondisi yang makin memburuk.
Dukungan keluarga juga dapat berfungsi sebagai strategi preventif untuk
mengurangi stres dan konsekuensi negatif. Dukungan sosial merupakan strategi
koping penting untuk dimiliki keluarga saat mengalami stres. Koping keluarga yang
tidak efektif dalam mengenali masalah kesehatan anggota keluarga pascaperawatan di
RS dapat menyebabkan pasien kambuh (relaps) lagi. Koping keluarga terhadap pasien
merupakan penyesuaian utama yang baik bagi pasien dan keluarganya. Dukungan
sosial dapat melemahkan dampak stres dan secara langsung memperkokoh kesehatan
jiwa individual dan keluarga. Meskipun pada awalnya anggota keluarga yang merawat
penderita pascaperawatan mengalami stres, pada akhirnya keluarga pasien tetap
menunjukkan sikap penerimaan yang baik, berusaha bertindak secara positif,
mempunyai harapan yang tinggi, dan mereka memasrahkan semuanya kepada Tuhan
dengan tetap berusaha. Gambaran jelas atas hal tersebut diungkapkan WT, salah
seorang keluarga pasien seperti berikut.
“...sudah lama suamiku alami sakit gini, sekitar tujuh tahunan yang lalu pernah alami sakit seperti ini...tapi ngak sampai setahun jalani pengobatan ke balian sudah sembuh. Mulai dua tahun yang lalu suamiku sakit yang sama seperti dulu. Ini yang keempat kali rawat inap. Saat waktu pernah pulang, sakitnya kambuh lagi...sukar untuk tidur, suka ngomong sendiri, kalau marah, tidak bisa kontrol, kalau bicara, sering kali kacau dari topik yang satu ke topik lain secara tiba-tiba. Hari-hari hampir setiap 24 jam aku selalu awasi dan jaga suamiku walau tekanan dari lingkungan sosial sangat membuat aku stres. Dengan kondisi suamiku seperti ini, aku pun menjalankan tugas dan sekaligus menjalankan peran sebagai ibu dan sekaligus sebagai ayah. Kasihan anakku itu...sudah ayahnya sakit dan sudah lama juga ditinggal teman-temannya dan sahabat-sahabatnya di sekolah. Kalau ditanya soal pasrah...ya saya pasrah dan sabar jalani cobaan berat ini semua, tapi tetap berusaha agar suamiku bisa sembuh lagi. Aku juga jalani situasi ini dengan ikhlas bersama anak perempuanku satu-satunya.
49
Hal yang sama juga dirasakan oleh KM, seorang ibu yang sudah ditinggal
pergi oleh suaminya, yang berjuang sendiri tanpa henti demi kesembuhan anaknya. Ia
mengalami tekanan psikologis yang kemudian tetap berusaha bangkit
(mengembangkan strategi koping) demi kesembuhan anaknya seperti dituturkannya
berikut.
“...anakku sakit seperti ini karena dulunya pernah kecelakaan ditabrak motor dari belakang dan sempat opname sekitar dua mingguan di RSUD Klungkung. Kalau ngak salah selang hampir dua tahunan yang lalu, anak saya kelihatan aneh. Anakku itu suka keluar malam, kalau saya tanya dari mana, selalu jawabnya ngak ke mana-mana. Dia juga saat itu mulai senang menyendiri, sulit disuruh mandi, dan sulit tidur. Akhirnya, dia suka ngamuk sendiri, ngomel-ngomel sendiri. Pernah saya bawa ke balian, balian bilang anakku disuruh lebih banyak sembahyang, tapi sikap-sikap anehnya itu semakin menjadi. Dia suka teriak-teriak sendiri dan marah-marah sendiri ke aku. Jadinya aku sering sedih. Pernah aku pikir apa karena kecelakaan dulu itu yang sebabkan benturan di kepalanya. Aku akhirnya bawa ke sini karena disuruh kakakku. Memang sudah ada perubahan, tapi kadang kambuh lagi. Aku khawatir dan bingung masa depan anakku ini...yang aku pikirkan sekarang, siapa yang akan merawat anakku ini kalau aku sudah meninggal?...Aku ngak mau repotkan keluarga besarku. Ini jelas cobaan yang Hyang Widhi beri ke aku. Aku sudah mulai bisa terima sekarang. Aku akan terus dampingi anakku...aku ini ibunya, aku yakin anakku suatu saat akan sembuh, doakan juga ya Pak”. Ungkapan di atas menunjukkan beban yang dirasakan oleh anggota keluarga
pasien sangat berat. Namun, keluarga pasien tetap juga menunjukkan rasa tanggung
jawab, dukungan, dan kasih sayang yang besar terhadap anggota keluarga mereka
yang mengalami gangguan jiwa. Hal ini relevan dengan apa yang disampaikan oleh
Scazufca dan Kuipers (1999:154--158) bahwa beban psikologis yang dialami keluarga
pasien akan mendorong mereka untuk mencari strategi koping sebagai upaya kognitif
dan perilaku yang berubah secara konstan. Hal itu dilakukan untuk mengelola tuntutan
eksternal dan internal tertentu yang dinilai berat melebihi sumber daya (kekuatan)
seseorang. Ketakutan dan perasaan berduka juga kerap datang karena harus
menanggung stigma seumur hidup. Hal seperti ini tentunya akan menimbulkan
perasaan tertekan yang sering disebut dengan stres. Pada umumnya seseorang yang
mengalami stres atau ketegangan psikologik dalam menghadapi masalah kehidupan
sehari-hari memerlukan kemampuan pribadi dan dukungan lingkungan agar dapat
mengurangi stres.
50
Senada dengan hal tersebut, Lazarus (2006:46) melihat bahwa koping
sesungguhnya berpengaruh atas hasil atau akibat (outcomes) secara psikologis,
fisiologis, dan behavioral, baik di dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Koping terjadi dalam proses yang kompleks dan dinamis yang melibatkan individu,
lingkungannya, dan interaksi di antara keduanya dalam pengurangan stres. Gambaran
tentang hal tersebut seperti dituturkan oleh Bapak AY atas sakit yang diderita oleh
istrinya sebagai berikut.
“...berat sekali awalnya saya jalani hari-hari dengan kondisi istri yang sakit seperti ini. Orang lain pasti tidak akan bisa rasakan karena tidak mengalami langsung seperti saya. Rasa jengkel, sedih, kasihan bercampur aduk. Sampai pernah saya sudah putus asa dan masa bodoh juga saya ke istri saya. Istri saya sikapnya malah semakin menjadi-jadi, semakin sering ngamuk-ngamuk sendiri, teriak-teriak ngak jelas, sampai mengancam saya. Ya saat itu ya saya balas dengan bentak-bentak, saya umpat-umpat dengan kata-kata kasar. Pernah dalam satu hari karena rasa kesal, saya beri makan istri saya hanya sekali saja dalam seharinya...dan itu berlangsung beberapa hari sampai istri saya jatuh sakit. Pernah juga saya berpikir kenapa justru di keluarga saya yang alami semua ini?...Tapi setelah saya ketemu dengan seorang mangku di desa saya, saya bisa lebih menerima kondisi istri saya sekarang ini. Saya harus lebih sabar hadapi istri saya. Ini cobaan hidup saya yang harus saya jalani Pak karena walau gimana dia istri saya. Saya telah melewati masa-masa awal dalam proses perawatan istri saya yang bagi saya sangat berat dan akhirnya sampai berada di RS jiwa ini. Kakak saya pernah anjurkan saya untuk menceraikan istri saya...tapi saya marah dan tolak karena kalau saya ceraikan, dengan siapa istri saya ini nanti? Siapa yang akan merawatnya? Ngak tega saya Pak, walau bagaimana dia tetap istri saya yang harus saya jaga, apalagi sekarang ini kondisi istri saya sudah berangsur baik. Banyak kemajuan sekarang istri saya Pak. Mudah-mudahan semakin membaik terus istri saya ini”. Ungkapan di atas jelas menggambarkan bahwa pada awalnya kadar ekspresi
emosi yang tinggi yang terjadi pada Bapak AY. Hal itu ditunjukkan dengan sikapnya
yang terlalu keras, berbicara kasar, menelantarkan (memberikan makan sehari sekali),
serta tidak mengindahkan keberadaan istrinya (bersikap masa bodoh) yang justru
berimplikasi pada semakin parahnya kondisi sakit istrinya. Ekspresi emosi yang tinggi
yang ditunjukkan oleh Bapak AY yang mengisyaratkan keberatannya dalam merawat
istrinya tersebut sebenarnya merupakan bentuk penolakan keluarga terhadap pasien
penderita gangguan jiwa. Hal itu terjadi karena terdapat pandangan bahwa gejala yang
ditunjukkan dan gangguan yang terjadi akan membuat aib, yang merupakan
51
pertimbangan sosial budaya yang sudah menjadi falsafah hidup dalam arena sosial.
Dalam proses selanjutnya, terlebih setelah bertemu dengan seorang mangku (sosok
spiritual), Pak AY lebih bisa menerima kondisi istrinya.
Bapak AY mencoba memaknai mengapa hal tersebut terjadi pada keluarganya,
mengapa gangguan itu terjadi pada istrinya. Setelah melalui pergumulan dalam
permasalahannya kemudian mendapatkan jawaban sebagai sebuah cobaan hidup yang
harus dijalani karena menurutnya sudah menjadi tanggung jawabnya sebagai seorang
suami. Selanjutnya Bapak AY mulai bisa menerima dan berusaha menjaga
kelangsungan pengobatan istrinya sampai sekarang untuk mendapatkan hasil yang
lebih baik. Hal itu relevan dengan temuan Barrowclough dan Tarrier (1990:130--131)
dalam penelitiannya bahwa pasien gangguan jiwa pascaperawatan yang tinggal
bersama keluarga dengan expressed emotion yang tinggi menunjukkan keberfungsian
sosial pasien yang rendah. Sebaliknya, pasien gangguan jiwa pascaperawatan tinggal
bersama keluarga dengan expressed emotion yang rendah menunjukkan keberfungsian
sosial pasien yang tinggi.
Hasil/temuan tersebut menunjukkan bahwa untuk meningkatkan dan
mengembalikan keberfungsian sosial pasien pascaperawatan diperlukan sikap
keluarga yang turut terlibat langsung dalam penanganan, menjauhi tindakan
bermusuhan, ekspresi emosi yang rendah, kehangatan, dan sedikit memberikan kritik.
Jelaslah bahwa hal penting yang dapat meningkatkan kesembuhan pasien
pascaperawatan di rumah sakit adalah dukungan keluarga sehingga akan berimplikasi
pada aspek keberfungsian sosial pasien. Francis dan Satiadarma (2004:37) melihat
bahwa dukungan keluarga menempati posisi yang penting karena merupakan
bantuan/sokongan yang diterima salah seorang anggota keluarga dari anggota keluarga
lainnya dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi yang terdapat di dalam sebuah
keluarga.
Dalam kaitan tersebut, keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan
gangguan jiwa (skizofrenia) atau gangguan mental lain mengalami berbagai macam
bentuk stres yang mengakibatkan kondisi yang ada menjadi sulit untuk dihadapi. Hal
ini menurut Hogarty (dalam Lebow, 2005:207) dipengaruhi oleh pengucilan sosial,
stigmatisasi, beban psikologis, dan beban ekonomi yang semakin meningkat. Pribadi
52
yang mampu bertahan dalam kondisi sulit tersebut disebut dengan pribadi yang
memiliki resiliensi. Resiliensi dilihat sebagai kualitas pribadi yang melibatkan
kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan,
baik internal maupun eksternal.
Grotberg (1995:5) melihat resiliensi merupakan kemampuan atau kapasitas
insani yang dimiliki seseorang, kelompok, atau masyarakat yang memungkinkannya
untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan, bahkan menghilangkan dampak-
dampak yang merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan. Di samping
itu, mengubah kondisi yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk
diatasi. Dari beberapa penjelasan di atas terkait dengan strategi koping dan resiliensi
keluarga pasien atas anggota keluarganya yang menderita gangguan jiwa, terlihat
bahwa koping merupakan bagian dari resiliensi. Peningkatan resiliensi keluarga pasien
merupakan usaha untuk membangun kekuatan keluarga dalam menyelesaikan segala
permasalahan yang muncul dalam konteks perilaku pasien pascaperawatan yang
dihadapi keluarga. Hal itu sebenarnya sebagai bentuk usaha meminimalisasi stigma
yang terjadi pada anggota keluarga mereka (sebagai upaya destigmatisasi penderita).
III. KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan paparan terdahulu, maka dapat ditarik beberapa simpulan pokok.
Adapun simpulan yang dimaksud dapat diformulasikan sebagai berikut.
Determinan sosial budaya stigma gangguan jiwa terhadap ODGJ meliputi hal-
hal berikut yaitu pertama, pengabaian tindakan pengobatan secara cepat dan tepat
sehingga tidak jarang penderita melakukan perilaku kekerasan atau tindakan tidak
terkontrol yang meresahkan keluarga, masyarakat, dan lingkungan sebagai sosok yang
berbahaya dan harus dijauhi. Konstruksi stigmatisasi tersebut berpengaruh pada
kondisi psikologis penderita. Penderita mengembangkan sikap pengingkaran untuk
mau menerima ataupun mengakui bahwa dirinya mengalami sakit gangguan jiwa.
Kedua, dalam hal pengucilan sosial, stigmatisasi yang diberikan masyarakat terhadap
penderita gangguan jiwa (social labeling) dan pengawasan sosial (social control),
menginstitusionalisasi para penderita gangguan jiwa dalam lingkaran pengawasan
53
penuh instalasi kekuasaan rumah sakit jiwa dalam balutan normalisasi dan
keseimbangan sosial yang berlaku di masyarakat. Ketiga, dalam ketidakberdayaan,
pasien wajib patuh dan tunduk (pasrah) kepada segala aturan yang sudah tersematkan.
Pasien tidak berkuasa atas dirinya sendiri dalam kondisi posisi yang lemah dan tidak
berdaya di hadapan para aparatus medis pemegang kuasa rumah sakit jiwa. Keempat,
diskriminasi para penderita gangguan jiwa sebagai bentuk penjabaran hegemoni
kekuasaan dan dominasi otoritas aparatus sosial (kelompok, komunitas, masyarakat)
dan otoritas aparatus medis/kesehatan (dokter, psikiater, perawat) yang melahirkan
kesenjangan sosial dan kesenjangan identitas.
Adapun determinan sosial budaya stigma gangguan jiwa terhadap keluarga
penderita dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, keputusan pilihan perawatan dan pengobatan yang dijalani meliputi
perilaku perawatan tradisional (pilihan perawatan rumah tangga dan kedukunan) dan
perilaku perawatan profesional atau modern (puskesmas, rumah sakit umum, psikiater,
rumah sakit jiwa). Perilaku perawatan rumah tangga (home remedies) yang dijalani
keluarga pasien merupakan tindakan pertama berobat sendiri (self medication) yang
dilakukan untuk mengatasi penyakit dengan alasan sebagai usaha yang bersifat coba-
coba dan pertolongan yang bersifat sementara. Perilaku perawatan kedukunan dipilih
keluarga pasien karena dinilai bahwa sakit yang diderita sebagai “bukan sakit biasa”
atau bersifat niskala (personalistik), yang tidak dapat diatasi atau disembuhkan oleh
mereka sendiri. Sebaliknya, perilaku perawatan profesional/modern dipilih
berdasarkan beberapa alasan, antara lain kegagalan/tidak adanya kemajuan pada
pengobatan yang dilakukan balian, kondisi pasien meresahkan anggota keluarga dan
diri pasien sendiri, baru memahami bahwa di RSJ akan ditangani para ahli, percaya
kalau “sakit bali”nya sudah hilang, dan alasan tinggal menyembuhkan sakit medisnya
saja.
Kedua, terjadinya kelelahan (burn-out) dan keputusasaan keluarga. Hal
tersebut terjadi karena terkurasnya energi untuk menghadapi stres yang dialami terus
menerus dalam rentang perjalanan perawatan pasien. Kurangnya pengetahuan dan
dukungan keluarga dalam merawat pasien di rumah menyebabkan kekambuhan atau
relaps (kembalinya suatu penyakit setelah tampaknya mereda) Hal itu menyebabkan
54
akhirnya pasien kembali menjalani pengobatan dan perawatan di RS jiwa yang
menimbulkan keputusasaan keluarga pasien. Pasien terpenjara dalam kondisi
keterbatasan dan ketidakmampuannya. Hal itu tentu sangat membutuhkan dukungan
keluarga.
Ketiga, munculnya strategi koping dalam balutan resiliensi keluarga penderita.
Keluarga pasien membiarkan diri merasakan kekecewaan, kemarahan, kesedihan,
tekanan, kehilangan, marah, penyesalan, dan kebingungan. Akan tetapi, mereka tidak
membiarkan perasaan-perasaan tersebut bertahan lama dalam diri mereka. Koping
merupakan bagian dari resiliensi. Resiliensi merupakan kemampuan atau kapasitas
insani yang dimiliki keluarga pasien untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan,
bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi-kondisi yang
tidak menyenangkan. Bahkan, mengubah kondisi yang menyengsarakan menjadi
kondisi menerima kenyataan untuk diatasi. Pribadi yang mampu bertahan dalam
kondisi sulit tersebut disebut dengan pribadi yang memiliki resiliensi.
3.2 Saran
Sejalan dengan tujuan penelitian, kajian, dan simpulan di atas ada beberapa
saran yang dapat dikemukakan sebagai rekomendasi dan tindak lanjut penelitian ini.
Saran-saran tersebut dicantumkan di bawah ini.
Pertama, sebagai upaya destigmatisasi terhadap gangguan jiwa, perlu adanya
peningkatan kerja sama berbagai pihak, antara lain dinas kesehatan, pihak rumah sakit
jiwa (pastisipasi psikiater, psikolog, perawat), puskesmas, pemuka agama, dan pihak
keluarga pasien, Di samping itu, juga testimoni langsung pasien yang telah sembuh
untuk menyampaikan segala informasi kesehatan jiwa dan masalah gangguan jiwa
kepada masyarakat sebagai upaya meminimalisasi stigma yang ada (upaya
destigmatisasi).
Kedua, rumah sakit jiwa diharapkan dapat lebih meningkatkan dan
mengembangkan lagi sosialisasi program-program pascaperawatan yang lebih bersifat
terbuka dalam hubungan relasi yang bersifat intersubjektivitas, baik antara pihak
rumah sakit dan pasien beserta keluarga pasien maupun masyarakat. Kerja sama
tersebut dapat berwujud mengadakan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk
55
mengembalikan keberfungsian sosial pasien pascaperawatan. Selain itu, juga
sosialisasi kepada keluarga pasien untuk mengembangkan pengetahuan dan
memperoleh informasi yang banyak mengenai penanganan dan perawatan pasien
pascaperawatan. Di pihak lain, terapi bagi penderita gangguan jiwa bukan hanya
pemberian obat dan rehabilitasi medik. Namun, aspek psikoedukasi menempati poisisi
yang penting pula dalam aspek resosialisasi pasien guna pencegahan kekambuhan.
Ketiga, para perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada anggota
keluarga yang salah seorang anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa,
hendaknya memperhatikan masalah pengetahuan keluarga pasien dalam merawat
anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. Dalam hal ini perawat ketika
memberikan pendidikan kesehatan (psikoedukasi) menggunakan “bahasa” yang dapat
dimengerti oleh keluarga pasien. Di samping itu, juga mengembangkan hubungan
komunikasi yang tidak bersifat otoritatif.
Keempat, keluarga pasien dalam mendapat edukasi tentang penyakit gangguan
jiwa dan sebagai unit yang paling dekat dengan pasien diharapkan mengerti kondisi
yang dialami anggota keluarganya. Selain itu, dengan penanganan yang tepat dapat
merawat, menjaga, dan memperhatikan kesembuhan pasien. Oleh karena itu,
sebaiknya keluarga menjadi support-group utama bagi pasien. Artinya, dukungan
keluarga terhadap pasien menjadi hal yang paling penting dalam proses
resosialiosasi dan pencegahan kekambuhan demi kesembuhan pasien. Hal itu berarti
bahwa keluarga hendaknya menjaga lingkungan yang sehat secara psikologis bagi
pasien.
Kelima, pasien gangguan jiwa pascaperawatan di rumah sakit jiwa hendaknya
meningkatkan kepatuhannya dalam minum obat. Di samping itu, juga rutin
melakukan kontrol dan aktivitas, serta interaksi sosial sehingga keberfungsian
sosialnya dapat meningkat dan nantinya akan berkembang.
Keenam, saran bagi kalangan akademisi. Kehidupan yang normal dan
seimbang (ekuilibrium) yang ditemukan setiap hari dalam memandang dunia
seharusnya menjadi tolak pikir utama bagi kita untuk berpikir kritis. Hal itu penting
karena di baliknya terdapat relasi-relasi kekuasaan yang bersemayam dan tersebar
demi kepentingan segelintir orang. Pernyataan ini selaras dengan pemikiran Michel
56
Foucault yang mengkritik kekuasaan yang disebarkan oleh ilmu-ilmu pengetahuan
melalui kebenarannya untuk mendisiplinkan tubuh manusia untuk mewujudkan
masyarakat yang disipliner.
DAFTAR PUSTAKA
Abdi, A. Surya. 2012. “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Keputusasaan” dalam Asuhan Keperawatan Jiwa. Makassar: Universitas Muslim Indonesia.
Agusno, Mahar. 2009. “Peranan Falsafah Hidup Keluarga dalam Mendukung
Kelangsungan Pengobatan Penderita Skizofrenia, Studi Kualitatif” dalam Jiwa Majalah Psikiatri, Indonesian Psychiatric Quarterly Tahun XLII No. 1, Januari. Jakarta: Yayasan Kesehatan Jiwa “Dharmawangsa”.
Angermeyer, M.C., Matschinger, H. 2003. “The Stigma of Mental Illness: Effects of
Labelling on Public Attitudes Towards People with Mental Disorder”. Acta Psychiatr Scand, 108: 304--309. Germany: Department of Psychiatry, University of Leipzig.
Andrewin. 2008. “Stigmatization of Patients with HIV/AIDS among Doctors and Nurses in Belize”. AIDS Patient Care and STDs. 22(11).
Barrowclough, C., Tarrier, N. 1990. “Social Functioning in Schizophrenia". Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 25.
Connor, L.H. 1982. In Darkness and Light: A Study of Peasant Intelectuals in Bali. Department of Anthropology of Sydney.
Foster, G. M. dan Anderson, B. G. 1978. Medical Anthropology. New York: John Wiley & Son Inc.
Foster, G. M. dan Anderson, B. G. 1986. Antropologi Kesehatan. Alih Bahasa Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono. Jakarta: UI Press.
Francis, S., Satiadarma, M.P. 2004. “Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Kesembuhan Ibu yang Mengidap Penyakit Kanker Payudara”. Jurnal Ilmiah Psikologi: ARKHE, Th. 9, No. 1. Fak. Psikologi Univ. Tarumanagara.
Ganster, D.C., Fusilier, M.R., dan Meyes, B.T. 1986. “Role of Social Support in The Experience of Stress at Work”. Journal of Applied Psycholog, 71.
57
Goffman, Erving. 1963. Stigma: Notes on the Management of Soiled Identity. Englewod Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Grothberg, H. Edith. 1995. A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening the Human Spirit. The Hague: Bernard Van Leer Foundation.
Helman, Cecil G. 1990. Culture, Health and Illness: An Introduction for Health Professionals. (2nd ed.). England: Butterworth-Heinemann Ltd.
Herek, D. 2002. “HIV Related Stigma and Knowledge in the United States : Prevalence and Trends, 1991--1999”. American Journal of Public Health (3).
Irawadi, Giman. 1983. “Pola Pemilihan Sumber Perawatan Tuberkulosis Paru-Paru”. Tesis Pascasarjana, Bidang Antropologi Pengkhususan Antropologi Kesehatan Fakultas Pascasarjana. Jakarta: Universitas Indonesia.
Irmansyah. 2009. “Pemberdayaan Masyarakat Berperan Penting dalam Pemulihan Penderita Skizofrenia” dalam Jiwa, Indonesian Psychiatric Quarterly. Tahun XLII No. 1. Jakarta: Yayasan Kesehatan Jiwa Dharmawangsa.
Jeffery, Nevid. 2005. Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga.
Kalangie, Nicolas Silvanus. 1984. “Peranan dan Sumbangan Antropologi dalam Bidang Pelayanan Kesehatan, Suatu Kerangka Masalah-Masalah Penelitian dalam Analisis”. Makalah Seminar Peranan Universitas dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk Menunjang Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta 13-16 Februari.
Kasniyah, Naniek. 1985. “Etiologi Penyakit secara Tradisional dalam Alam Pikiran Orang Jawa: Celaka, Sakit, Obat, dan Sehat Menurut Konsepsi Orang Jawa”. Soedarsono, Djoko Soekiman, dan Retno Astuti (ed.). Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi). Direktorat Jenderal Kebudayaan Depdikbud.
Kasniyah, Naniek. 2003. “Sinten Ngertos Jodho, Mbokmenawi Mantun” dalam Harian Minggu Suara Merdeka, 20 Juli.
Kearl, Michael C., dan Chad Gordon. 1992. Social Psychology. Boston: Allyn and Bacon
Kintono, F. 1997. “Mengenal Skizofrenia” disampaikan dalam Temu Keluarga Pasien Skizofrenia. Malang: RSJ Pusat Lawang.
Kleinman. 1980. Patients and Healers in the Context of Culture: An Exploration of the Borderland Between Anthropology, Medicine, and Psychiatry. Los Angeles London: University of California Press Berkeley.
58
Kumbara, A.A. Ngurah Anom. 1985. “Kerangka Konseptual Perawatan Kesehatan sebagai Lapangan Penelitian” Widya Pustaka, II. (5). Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Lakip. 2015. Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.
Lazarus, R.S. 2006. “Emotions and Interpersonal Relationships: Toward a Person-Centered Conceptualization of Emotions and Coping”. Journal of Personality, 74.
Lebow, L.Jay. 2005. Hand Book of Clinical Family Therapy. Canada: John Wiley & Son, Inc.
Lee, R.T. dan B.E. Asforth. 1996. “A Media Analytic Examination of The Correlates of The Three Dimention of Burnout”. Journal of Applied Psychology Vol. 81 No. 2. The American Psychology Ass. Inc.
Lieberman, R.P., & Kopelowicz, A, 2002. “Recovery from Schizophrenia: A Challenge for 21 Century”. International Review of Psychiatry, 14(4).
Magliano. 2008 dalam http//www.euro.who.int/document/MNH/family-burden, diakses 10 desember 2015.
Marum, E., Mbori-Ngaca, D., Cock K.M.D. 2002. Shadow on the continent : Public Health and HIV/AIDS in Africa in the 21 The Lacent.
Mudhoffir, Abdil Mughis, 2013. “Teori Kekuasaan Michel Foucault: Tantangan bagi Sosiologi Politik” dalam Jurnal Sosiologi Masyarakat Vol. 18, No. 1, Januari.
Nanda. 2012. Nursing Diagnoses: Definition anda Classification 2012-2014. Philadelphia-USA. NANDA International.
Nala, Ngurah. 1997. Usada Bali. Denpasar: PT Upada Sastra.
Pejlert, A. 2001. “Being Parent of Adult Son or Daughter with Severe Mental Illness Receiving Professional Care: Parent’s Narratives”. Health and Social Care in the Community, 9(4).
Permatasari, Linda. 2013. “Gambaran Dukungan Sosial yang Diberikan Keluarga dalam Perawatan Penderita Skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat” dalam Naskah Publikasi Fakultas Ilmu Keperawatan. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Roberts, G. & Wolfson, P. 2004. “The Rediscovery of Recovery”. Advances in Psychiatric Treatment, 10.
Rosyid, Haryanto F. 1996. “Burnout: Penghambat Produktivitas yang Perlu Dicermati”. Bulletin Psikologi, Tahun IV, No. 1. Agustus
59
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. 2014. Data Rekam Medis Pasien Rawat Inap dan Pasien Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.
Sari, Nila Permata dan Istichomah. 2015. “Pengaruh Pendidikan Kesehatan tentang Resiko Perilaku Kekerasan (RPK) terhadap Pengetahuan Keluarga dalam Merawat Pasien di Poli Jiwa RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Klaten, Jawa Tengah” dalam Jurnal Kesehatan Samodra Ilmu Vol. 6, No. 1, STIKES Yogyakarta.
Scazufca, M. dan Kuipers, E. 1999. “Coping Strategies in Relatives of People with Schizophrenia Before and After Psychiatric Admission”. British Journal of Psychiatry, 174, 154‐-158.
Sheewangisaw, Z. 2012. “Prevalence and Associated Factors of Relapse in Patent with Schizophernia At Amanuel Mental Specialized Hospital". Congress on Public Health, 1(1).
Shrivastava, Amresh dan Johnston, Megan E. 2011. “Origin and Impact of Stigma and Discrimination in Schizophrenia - Patients’ Perception: Mumbai Study”. Stigma Research and Action, Vol 1, No 1.
Sipahutar, Ida Erni dan Paramita, Ni Putu Ari. 2011. “Dukungan Keluarga dan Keberfungsian Sosial pada Klien Skizofrenia” dalam Jurnal Gema Keperawatan. Volume 4, Nomor 1.
Subandi, M.A. 2008. “Ngemong: Dimensi Keluarga Pasien Psikotik di Jawa” dalam
Jurnal Psikologi Vol. 35, No. 1. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Sulasmi, Ni Wayan. 2013. “Hubungan Stigma Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Bangli”. Skripsi Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar. Tidak Diterbitkan.
Sukmarini, Natalingrum. 2008. “Optimalisasi Peran Caregiver dalam Penatalaksanaan Skizofrenia”. Bagian Psikiatri FK Unpad. Disampaikan pada Konferensi Nasional V Skizofrenia di Lombok, 24--26 Oktober
Suryani, L.K. 1994. “Penanganan Gangguan Jiwa dengan Pendekatan Bio-Psiko-Sosio-Budaya-Spiritual”. Disajikan pada Seminar Lokakarya Psikiatri Budaya Indonesia. Tuban, Bali, 22--23 Juli.
Suryani, L.K. 1999. Pendekatan Bio-Psiko-Spirit-Sosiobudaya di Psikiatri FK Unud. Denpasar: Laboratorium Psikiatri FK Unud RSUP Sanglah.
Switaj, Piotr & Jacek, Wciorka. 2012. “Experiences of Stigma and Discrimination Among Users of Mental Health Services in Poland”. Transcultural Psychiatry, Vol. 49, No. 1.
60
Thong, Denny. 1979. “Beberapa Pandangan Mengenai Pengobatan Tradisional dari Sudut Kesehatan Jiwa dan Kesehatan Masyarakat di Bali”. Simposium Kesehatan Jiwa, 8 Desember. Jakarta: Yayasan Kesehatan Jiwa Dharmawangsa.
Watson. 2004. “Stop the Stigma: Call Mental Illness A Brain Disease”. Schizophrenia Bulletin, Vol. 30, No. 3. United Kingdom: Oxford University Press.
Wellin, Edward. 1977. “Theoritical Orientation in Medical Anthropology: Continuity and Change Over The Past Half Century” dalam David Landy, ed., Culture, Disease and Healing Studies in Medical Anthropology. New York: Macmillan Publishing Co. Inc.
Widyastuti. 1997. “Peran Keluarga dalam Penanganan Penderita Gangguan Jiwa Skizofrenia” disampaikan dalam Temu Keluarga Pasien Skizofrenia. Malang: RSJ Pusat Lawang.
Wilkinson, J.M. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Edisi 7. Jakarta: Penebit Buku Kedokteran EGC.
Wiramihardja, S.A. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung : PT Refika Aditama.
Young, James C. 1980. “A Model of Illness Treatment Decision in A Tarascan Town” dalam American Anthropologist, Vol. 7.
Yud. 2014. Menkes Ajak Pemda Wujudkan Indonesia Bebas Pasung. Tersedia pada:http://www.beritasatu.com/kesra/183215menkesajakpemdawujudkan-indonesia-bebas-pasung.html, diakses 10 September 2015.
Sumber Arsip:
Departemen Kesehatan RI KMK (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 406, 2009 tentang Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI KMK. No. 1627/Menkes/SK/XI, 2010 tentang Pedoman Pelayanan Kegawatdaruratan Psikiatrik. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Sumber Internet:
http://halocities.com/7948. 2012. “Jumlah Pasien Gangguan Jiwa di Bali Meningkat”, akses 15 September 2013.
http://www.kemsos.go.id/ akses 8 November 2016.
http://www,republika,co,id Purwoko, Krisman. 2010. Duh... 30 Ribu Penderita Gangguan Jiwa di Indonesia Masih Dipasung, akses 8 Juni 2016.