PROGRAM REHABILITASI MENTAL PASIEN GANGGUAN...
Transcript of PROGRAM REHABILITASI MENTAL PASIEN GANGGUAN...
PROGRAM REHABILITASI MENTAL
PASIEN GANGGUAN MENTAL PADA PANTI
REHABILITASI SOSIAL JIWA DAN NARKOBA
PURBALINGGA JAWA TENGAH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh
Muhammad Ali Nurdin
NIM 1112052000017
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN
PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN
ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1439 H / 2018 M
ABSTRAK
Muhammad Ali Nurdin, 1112052000017, Program
Rehabilitasi Mental Pasien Gangguan Mental pada Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Dibawah bimbingan Dra. Rini Laili Prihatini, M.Si.
Riset Kesehatan Dasar Kemenkes RI tahun 2013 menunjukan
bahwa penderita gangguan mental di Indonesia masih tinggi.
Upaya untuk mengatasi gangguan mental adalah dengan
melakukan rehabilitasi sedini mungkin ke pusat pelayanan
kesehatan atau berobat ke tenaga kesehatan yang kompeten.
Upaya rehabilitasi penting dilakukan untuk memperbaiki dan
mengembangkan kembali fisik serta mental seseorang agar dapat
kembali kepada kondisi awal sebagai manusia yang berguna dan
dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar seperti
sediakala.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan jenis
deskriptif. Subyek penelitian ini adalah 1 orang pendiri sekaligus
kepala panti, 4 orang staf yang bekerja di panti serta 2 orang
masyarakat sekitar panti. Adapun teknik menentukan informan
untuk dijadikan subyek dalam penelitian ini menggunakan teknik
purposive sampling. Analisis data yang digunakan adalah teknik
analisis domain yang analisis hasil penelitiannya ditujukan untuk
memperoleh gambaran seutuhnya dari objek yang diteliti atau
yang biasa disebut juga dengan eksplorasi.
Hasil observasi dan wawancara yang telah peneliti lakukan
menunjukan bahwa pelaksanaan program rehabilitasi mental pada
Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba sudah berjalan dengan
lancar dan efektif sebagai metode penyembuhan bagi pasien.
Sedangkan untuk penerimaan pasien terhadap program
rehabilitasi mental di panti sudah baik, hal itu terlihat dari tidak
ada pasien yang menolak program rehabilitasi mental yang ada di
panti. Faktor penentu keberhasilan program rehabilitasi mental di
panti ditentukan oleh faktor kerjasama dan faktor sosok yang
memimpin program rehabilitasi mental terutama rehabilitasi
mental non-medis, yaitu program ruqyah, program istighosah dan
program minum air karomah.
Kata Kunci: Rehabilitasi mental, Gangguan mental,
Program.
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiim
Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah
memberikan nikmat dan karunia yang tiada terhingga kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial. Shalawat dan
salam semoga tercurahkan kepada manusia mulia, baginda nabi
besar Muhammad SAW. Semoga tercurahkan pula kepada para
keluarganya, sahabat-sahabatnya dan mudah-mudahan sampai
kepada kita selaku ummatnya yang tunduk dan patuh
menjalankan ajaran dan Sunnah-sunnah beliau.
Proses penyusunan skripsi ini sungguh memakan waktu, stamina,
biaya, pikiran dan diwarnai dengan banyak dinamika kehidupan
yang indah dalam dunia ilmiah. Namun bantuan, perhatian dan
dorongan baik berupa kritikan dan saran maupun dorongan dalam
bentuk lain, senantiasa Allah kirimkan melalui orang-orang
terdekat dan tersayang. Untuk itu, dalam kesempatan ini dengan
hati tulus penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga
kepada kedua orang tua penulis yang tak pernah lelah dan tanpa
henti mendoakan penulis siang dan malam.
Ucapan terima kasih dan penghargaan tak terhingga juga penulis
sampaikan kepada yang terhormat:
1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Dr. H. Arief Subhan, MA.,
Wakil Dekan I Bidang Akademik Suparto M.Ed., Ph.D.,
vi
Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum Dr.
Roudhonah, MA., dan Wakil Dekan III Bidang
Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama Dr. Suhaimi,
M.Si.
2. Dra. Rini Laili Prihatini, M.Si selaku Ketua Prodi
Bimbingan dan Penyuluhan Islam UIN Jakarta, sekaligus
sebagai Dosen Penasihat Akademik serta Dosen
Pembimbing Skripsi penulis yang telah meluangkan
banyak waktunya dan mencurahkan segenap ilmu, arahan,
masukan, saran dan motivasi kepada penulis selama ini.
Penulis juga mohon dimaafkan lahir-bathin atas segala
kesalahan yang telah penulis lakukan selama ini.
3. Ir. Noor Bekti Negoro, SE., M.Si selaku Sekretaris Prodi
Bimbingan dan Penyuluhan Islam UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah turut membantu
melancarkan semua proses yang dibutuhkan oleh penulis.
4. Bapak dan ibu dosen Prodi Bimbingan dan Penyuluhan
Islam serta bapak dan ibu dosen Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis
selama ini.
5. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Utama dan
Perpustakaan Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
serta seluruh civitas akademik Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kepala sekaligus pendiri Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa
dan Narkoba di Purbalingga Jawa Tengah K.H. Supono
vii
Mustajab, M.Si beserta seluruh staf dan pegawai panti
yang telah menerima penulis dengan terbuka dan
memberikan informasi serta data yang dibutuhkan dalam
penelitian ini.
7. Mas Taufik, mas Nana, mas Fuad, mas Arif dan mas
Opank yang telah banyak membantu penulis selama di
panti penelitian. Mudah-mudahan Allah membalas jasa-
jasa kalian dengan sebaik-baiknya.
8. Kakak penulis teh Ida Dahlia dan bang Dian Irawan, juga
tiga keponakan penulis Haikal Araby, Al-Hafizh Akbar
dan Amanda Aprilia. Tak lupa kepada seluruh kerabat
penulis yang terus memotivasi untuk segera
menyelesaikan skripsi ini.
9. Teman-teman BPI 2012: Apip, Sofet, Irpan, Aceng, Ipul,
Novi, Yanti, Saadah, Via, Daul, Rizka, Neli, Sela, Syifa,
Hilya, Diah, Upi, Aul, dan teman-teman lainnya di BPI
2012. Serta teman-teman seperjuangan di Prodi BPI UIN
Jakarta seluruh angkatan, juga teman-teman seperjuangan
di UIN Jakarta.
10. Teman-teman Alumni Ponpes Nurul Furqon Cibinong di
UIN Jakarta yang telah memberikan semangat untuk
menyelesaikan studi S1 ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak tanpa
terkecuali yang telah membantu seluruh proses skripsi ini dari
awal hingga akhir serta membantu proses perkuliahan penulis
dari awal hingga akhir di kampus tercinta ini. Mudah-mudahan
viii
segala macam bantuan dalam bentuk apapun menjadi amal ibadah
dan dibalas oleh Allah SWT, Tuhan pencipta alam.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, amiin.
Jakarta, 29 Agustus 2018
Muhammad Ali Nurdin
ix
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan Pembimbing ............................. i
Lembar Pengesahan .................................................. ii
Lembar Pernyataan ................................................... iii
Abstrak ...................................................................... iv
Kata Pengantar .......................................................... v
Daftar Isi ................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ........................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ............................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................... 13
1. Batasan Masalah .................................... 13
2. Rumusan Masalah .................................. 14
C. Tujuan Penelitian .......................................... 14
D. Manfaat Penelitian ........................................ 15
E. Tinjauan Pustaka ........................................... 15
F. Sistematika Penulisan ................................... 21
BAB II LANDASAN TEORI ................................. 23
A. Teori Kesehatan Mental ................................ 23
B. Jiwa dan Mental ............................................ 38
1. Jiwa Perspektif Teori Umum ................. 38
2. Jiwa Perspektif Teori Islam .................... 40
3. Mental Perspekti teori Umum
dan Islam ................................................ 42
C. Program ......................................................... 46
1. Pengertian Program ................................ 46
2. Program Kesejahteraan Sosial ............... 48
x
3. Prinsip Dasar Dalam Praktik
Kesejahteraan Sosial .............................. 53
D. Rehabilitasi Mental ....................................... 58
1. Pengertian Rehabilitasi Mental .............. 58
2. Jenis Rehabilitasi ................................... 60
3. Fungsi Rehabilitasi ................................. 62
4. Tahapan Rehabilitasi .............................. 63
5. Rasionalisasi Program Rehabilitasi
Mental .................................................... 65
E. Gangguan Mental .......................................... 77
1. Pengertian Gangguan Mental ................. 77
2. Penyebab Gangguan Mental .................. 81
3. Macam-macam Gangguan Mental ......... 84
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............. 94
A. Metode Penelitian ......................................... 94
B. Jenis Penelitian .............................................. 96
C. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................ 97
1. Lokasi Penelitian .................................... 97
2. Waktu Penelitian .................................... 98
D. Subyek dan Obyek Penelitian ....................... 98
1. Subyek Penelitian ................................... 98
2. Obyek Penelitian .................................... 101
E. Teknik Pengumpulan Data ............................ 101
1. Teknik Observasi ................................... 101
2. Teknik Wawancara ................................ 103
3. Teknik Dokumentasi .............................. 104
F. Sumber Data .................................................. 105
1. Sumber Data Primer ............................... 105
2. Sumber Data Sekunder .......................... 106
G. Fokus Amatan dan Analisis .......................... 106
H. Teknik Analisis Data ..................................... 107
I. Asumsi Peneliti ............................................. 110
xi
BAB IV HASIL DAN ANALISA PENELITIAN .. 113
A. Gambaran Umum Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga
Jawa Tengah .................................................. 113
1. Profil Panti Rehabilitasi Sosial
Jiwa dan Narkoba Purbalingga
Jawa Tengah............................................ 113
2. Visi dan misi, Sasaran dan
Tujuan Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa
dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah .. 116
3. Tata Tertib .............................................. 122
4. Program Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa
dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah.. 126
5. Jadwal Harian Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga
Jawa Tengah ........................................... 128
6. Struktur Pengurus Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga
Jawa Tengah ........................................... 128
7. Tahapan Pelayanan Rehabilitasi pada
Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba Purbalingga Jawa Tengah ........ 130
B. Temuan Lapangan ......................................... 133
1. Program Rehabilitasi Mental pada
Pasien Gangguan Mental ....................... 134
2. Analisis Program Rehabilitasi Mental
Pasien Gangguan Mental pada Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba
Purbalingga Jawa Tengah ...................... 175
C. Diskusi .......................................................... 208
BAB V PENUTUP .................................................. 213
A. Kesimpulan ................................................... 213
B. Saran ............................................................. 215
Daftar Pustaka ............................................... 217
Lampiran ....................................................... 225
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak zaman dahulu, sikap terhadap gangguan mental
telah muncul dalam konsep primitif animisme. Ada
kepercayaan bahwa dunia ini diawasi dan dikuasai oleh roh-
roh atau dewa-dewa. Orang primitif percaya bahwa angin
bertiup, ombak mengalun, batu berguling dan pohon tumbuh
karena pengaruh roh yang tinggal dalam benda-benda
tersebut. Orang Yunani percaya bahwa gangguan mental
terjadi karena dewa marah dan membawa pergi jiwanya.1
Untuk menghindari kemarahan dewa tersebut, maka
mereka mengadakan perjamuan pesta (sesaji) dengan mantra
dari korban yang mereka persembahkan. Praktik-praktik
semacam itu berlangsung mulai dari abad 7-5 SM. Seiring
perkembangan zaman, maka praktik semacam itupun kian
berkurang, walaupun kepercayaan tentang penyakit mental
berasal dari roh-roh jahat tetap bertahan sampai abad
pertengahan.2
Selanjutnya pada abad 4 SM muncul tokoh-tokoh bidang
medis dari bangsa Yunani seperti Hipocrates, Hirophilus,
1 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi
Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, Cet ke-2 (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), hal. 16. 2 Ibid., h. 16.
2
Galenus, Vesalius, Paracelsus dan Cornelius Agrippa yang
mulai menggunakan konsep biologis dalam penanganannya
sehingga lebih manusiawi. Asumsinya adalah gangguan
mental disebabkan gangguan biologis atau kondisi biologis
seseorang, bukan akibat roh jahat. Aliran ini mendapat
pertentangan keras dari aliran sebelumnya yang meyakini
adanya roh jahat.3
Abad ke-20 masehi merupakan revolusi kesehatan mental
dengan munculnya pendekatan psikoanalisa yang
mempelopori penanganan penderita gangguan mental secara
medis dan psikologis. Tokoh utamanya adalah Sigmund
Freud, yang melakukan penanganan hipnose, katarsis,
asosiasi bebas dan analisis mimpi. Tujuannya adalah
mengatasi masalah gangguan mental individu dengan
menggali konflik intrapsikis penderita gangguan mental.
Intervensi tersebut dikenal dengan istilah penanganan klinis
(psikoterapi).4
Seiring dengan adanya revolusi pemahaman masyarakat
mengenai mental yang sehat dan cara-cara penanganannya,
maka pemahaman tentang gangguan mental terus berubah
dan berkembang. Gangguan mental dalam beberapa hal
disebut perilaku abnormal (abnormal behavior) yang juga
dianggap sama dengan sakit mental (mental illness) ataupun
sakit jiwa (insanity, lunacy, madness). Selain itu terdapat
3
Kartika Sari Dewi, Kesehatan Mental (Semarang: Universitas
Diponegoro Press, 2012), h. 13. 4 Ibid., h. 13-14.
3
pula istilah-istilah yang serupa seperti: distress, discontrol,
disadvantage, disability, inflexibility, irrationality,
syndromal pattern dan disturbance. Berbagai istilah ini
dalam beberapa hal dianggap sama namun di lain pihak
digunakan secara berbeda. Dalam International
Classification of Diseases (ICD) dan Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), istilah yang
digunakan adalah „mental disorder‟ yang bila diterjemahkan
menjadi „gangguan mental‟.5
Seorang ahli psikologi agama, Zakiah Daradjat
menawarkan satu istilah yang agak berbeda dalam
menjelaskan tentang gangguan mental. Menurut Daradjat,
gangguan mental adalah kumpulan dari keadaan-keadaan
yang tidak normal baik yang berhubungan dengan fisik
maupun dengan mental. Ketidaknormalan tersebut tidak
disebabkan oleh sakit atau rusaknya bagian-bagian anggota
badan, meskipun kadang-kadang gejalanya terlihat pada
fisik.6
Gangguan mental selalu berkaitan dengan gangguan-
gangguan internal berupa motivasi-motivasi yang tidak riil
dan kekuatan-kekuatan yang saling berkonflik dalam
kepribadian seseorang, misalnya berupa konflik antara
dorongan-dorongan yang infantil (bersifat kekanak-kanakan)
5 Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun, Kesehatan Mental: Konsep
dan Penerapan, Cet ke-6 (Malang: UMM Press, 2011), h. 42. 6
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 33.
4
melawan pertimbangan yang rasional dan matang, konflik
antara norma-norma batin sendiri melawan standar sosial
yang dianut orang dan konflik lain yang saling bertentangan
dalam diri seseorang.7
Penyebab sederhana gangguan mental adalah karena
harapan dan kebutuhan yang diidamkan tidak tercapai
sehingga menimbulkan ketegangan dan konflik dalam batin.
Setiap manusia selalu mempunyai macam-macam kebutuhan
untuk mempertahankan eksistensi hidupnya sehingga
timbullah dorongan, usaha dan dinamisme untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Bila kebutuhan-kebutuhan hidup itu
terhalangi, maka akan timbullah ketegangan-ketegangan dan
konflik batin. Bila hal ini berlangsung terus-menerus, maka
akan muncul kekalutan/ gangguan mental.8
Berkaitan dengan penyebab tersebut, Allah SWT
berfirman dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 155:
ل وٱلوفس ه ٱلمو ه ٱلخوف وٱلجوع ووقص م ولىبلووكم بشيء م
بريه ر ٱلص ت وبش )٥١١(وٱلثمر
Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan
kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita
gembira kepada orang-orang yang sabar”.
7
Kartini Kartono, Hygiene Mental, Cet ke-7 (Bandung: Mandar
Maju, 2000), h. 83-84. 8 Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jilid 1 (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2007), h. 304.
5
Sejalan dengan hal tersebut, sifat manusia yang mudah
berkeluh kesah dalam batinnya apabila harapan dan
kebutuhan yang diidamkannya tidak tercapai, yang pada
akhirnya menyebabkan gangguan mental sudah disinggung
dalam al-Quran surat al-Maarij ayat 19-21:
ه خلق هلوعا وس وإذا مسه ) ٠٢(ٱلشر جزوعا إذا مسه )٥١ (إن ٱل
) ٠٥ (ٱلخير مىوعا
Artinya: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh
kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh
kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir”.
Demikianlah al-Quran menjelaskan mengenai penyebab
manusia mengalami gangguan mental. Manusia diciptakan
cenderung bersifat keluh kesah apabila harapannya tidak
sesuai dengan kenyataan. Selain itu, ketidaksanggupan
manusia dalam menyesuaikan diri dengan situasi yang
dihadapinya, respon yang salah terhadap kesulitan yang
dihadapi, penyesuaian diri yang lamban terhadap kondisi
yang ada serta ketidakmampuan menghadapi segala macam
kesulitan akan menyebabkan gangguan mental.
Dewasa ini banyak orang yang tidak menyadari bahwa
dirinya sebenarnya mengalami gangguan mental. Di samping
itu banyak orang yang menderita gangguan mental namun
tidak mau menerima perawatan apapun karena tidak merasa
6
bahwa ia sedang mengalami gangguan mental. Atau karena
anggota keluarga dan kawan-kawannya tidak mengetahui
bahwa orang ini sedang sakit mental. Ada juga orang-orang
yang diketahui oleh keluarga dan kawan-kawannya sebagai
orang yang menderita gangguan mental tetapi tidak mau
mengobatinya karena beberapa alasan, misalnya kekurangan
biaya ataupun karena ingin menjaga kehormatan nama baik
keluarga yang dilandasi rasa malu mengakui bahwa anggota
keluarganya menderita gangguan mental.9
Rendahnya minat masyarakat untuk melakukan
pengobatan bagi penderita gangguan mental tersebut
mengakibatkan terjadinya perlakuan salah masyarakat
terhadap penderita gangguan mental, salah satunya adalah
dengan melakukan pemasungan.10
Hasil Riset Kesehatan
Dasar Kemenkes RI tahun 2013 menunjukan bahwa
penderita gangguan mental yang dikategorikan gangguan
mental ringan sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke
atas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan prevalensi
(jumlah keseluruhan kasus) gangguan jiwa berat seperti
skizofrenia adalah 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar
400.000 orang. Ironisnya, dari jumlah tersebut ternyata
9
Yustinus Semiun, Kesehatan Mental, Edisi ke-3 (Yogyakarta:
Kanisius, 2006), h. 10-11. 10
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI,
Riset Kesehatan Dasar 2013 (Jakarta: Balitbangkes, 2013), h. 125.
7
14,3% atau sekitar 57.000 orang di Indonesia pernah
dipasung atau sedang dipasung.11
Untuk provinsi Jawa Tengah tempat penelitian ini
dilaksanakan, dari prevalensi gangguan jiwa berat pada
penduduk Indonesia 1,7 per mil, Jawa Tengah menempati
urutan ke-5 teratas secara nasional setelah Yogyakarta, Aceh,
Sulawesi Selatan dan Bali.12
Dari angka tersebut, kota
tertinggi penderita gangguan mental terdapat di
Kabupaten/Kota Magelang dan Wonogiri. Sedangkan
Kabupaten Purbalingga menempati urutan ke-7 terbanyak
penderita gangguan mental.13
Berdasarkan angka tersebut, di
seluruh kabupaten Purbalingga pada tahun 2013 ditemukan
30 kasus pemasungan terhadap penderita gangguan mental.14
Tingginya angka pemasungan terhadap penderita
gangguan mental di Indonesia di atas bukanlah satu-satunya
derita bagi penderita gangguan mental, masih terdapat
perlakuan salah lainnya yang sering dialami oleh para
penderita gangguan mental seperti stigmatisasi dan
diskriminasi oleh anggota masyarakat yang menilai para
penderita gangguan mental berbeda dengan masyarakat
lainnya. Bentuk diskriminasi terhadap mereka antara lain
11
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, “Stop Stigma dan
Diskriminasi terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa,” Diakses pada 9
September 2016 dari http://www.depkes.go.id. 12
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI,
Riset Kesehatan Dasar 2013 (Jakarta: Balitbangkes, 2013), h. xi. 13
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI,
Riset Kesehatan Dasar 2013 Provinsi Jawa Tengah (Jakarta: Balitbangkes,
2013), h. 146. 14
Republika, “30 Warga Penderita Gangguan Jiwa Dipasung”,
Diakses pada 10 September 2018 dari http://www.republika.co.id.
8
diceraikan oleh pasangan, ditelantarkan oleh keluarga,
bahkan dirampas harta bendanya.15
Untuk mencegah hal itu terjadi, Menteri Kesehatan RI
mengajak seluruh jajaran kesehatan untuk dapat
melaksanakan Empat Seruan Nasional Stop Stigma dan
Diskriminasi terhadap penderita gangguan mental, yaitu:
1. Tidak melakukan stigmatisasi dan diskriminasi
kepada siapapun juga dalam pelayanan kesehatan;
2. Tidak melakukan penolakan atau menunjukkan
keengganan untuk memberikan pelayanan kesehatan
kepada penderita gangguan mental;
3. Senantiasa memberikan akses pada pelayanan
kesehatan baik akses pemeriksaan, pengobatan,
rehabilitasi maupun reintegrasi ke masyarakat pasca
perawatan di rumah sakit jiwa atau di panti sosial;
4. Melakukan berbagai upaya promotif (pemeliharaan/
penjagaan) dan preventif (pencegahan) untuk
mencegah terjadinya masalah kejiwaan, mencegah
timbulnya atau kambuhnya gangguan jiwa,
meminimalisasi resiko masalah kesehatan jiwa, serta
mencegah timbulnya dampak psikososial.16
Komitmen menteri kesehatan tersebut diperkuat dengan
diterbitkannya Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2014
15
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, “Stop Stigma dan
Diskriminasi terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa,” Diakses pada 9
September 2016 dari http://www.depkes.go.id. 16
Ibid.
9
tentang Kesehatan Jiwa yang disahkan pada 8 Agustus 2014.
Undang-Undang ini ditujukan untuk menjamin setiap orang
agar dapat mencapai kualitas hidup yang baik serta
memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi,
komprehensif dan berkesinambungan melalui upaya promotif
(pemeliharaan/ penjagaan), preventif (pencegahan), kuratif
(penyembuhan) dan rehabilitatif (pemulihan).17
Undang-Undang lain menyatakan bahwa penderita
gangguan mental berhak mendapatkan perawatan atas biaya
negara. Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang RI
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia (HAM),
Pasal 42 yang menyatakan bahwa setiap warga negara yang
berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak
memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan
khusus atas biaya negara untuk menjamin kehidupan yang
layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya,
meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan
berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.18
Dengan demikian rehabilitasi menjadi
penting untuk dilakukan karena rehabilitasi merupakan
amanat Undang-Undang yang harus ditaati dan dijalankan
oleh pemerintah dan harus didukung oleh seluruh masyarakat
Indonesia.
17
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, “Stop Stigma dan
Diskriminasi terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa,” Diakses pada 9
September 2016 dari http://www.depkes.go.id. 18
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, “Undang-Undang No 39
Tahun 1999,” Diakses pada 9 September 2016 dari
http://www.komnasham.go.id.
10
Amanat undang-undang untuk melakukan rehabilitasi
bagi penderita gangguan mental tersebut ditujukan untuk
memperbaiki kembali dan mengembangkan fisik serta mental
seseorang sehingga orang itu dapat mengatasi masalah
kesejahteraan sosial bagi dirinya serta keluarganya.19
Dengan
demikian rehabilitasi merupakan upaya mengembalikan
seseorang kepada kondisi awal supaya menjadi manusia yang
berguna dan memiliki tempat kembali di tengah masyarakat.
Rehabilitasi pada tataran praktik mempertemukan
berbagai disiplin ilmu mulai dari medis, psikologi, sosial
bahkan pendidikan multidisipliner untuk menghasilkan
proses rehabilitasi yang saling terkait dan mendukung upaya
pengembalian fungsi sosial, sehingga individu dapat
menjalankan perannya sesuai dengan tuntutan
lingkungannya.20
Rehabilitasi didasari pada sebuah asumsi
bahwasanya pada diri penyandang masalah sosial terkandung
adanya potensi untuk berubah menuju kondisi yang normal.21
Rehabilitasi diarahkan untuk memfungsikan kembali
kemampuan fisik dan mental seseorang agar dapat
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar seperti
sediakala.
19
Y. B. Suparlan, Kamus Istilah Pekerjaan Sosial (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), h. 139. 20
Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial Departemen Sosial RI,
Isu-isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi (Jakarta:
Balitbangsos RI, 2004), h. 186. 21
Soetomo, Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), h. 53.
11
Rehabilitasi bukan hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah saja melalui Kementerian Sosial RI, namun juga
perlu peran dari masyarakat untuk bersama-sama ikut terlibat
dalam merehabilitasi penderita gangguan mental di
Indonesia. Keterlibatan masyarakat dalam melaksanakan
rehabilitasi terhadap penderita gangguan mental, baik dalam
bentuk lembaga maupun non lembaga sangat memungkinkan
untuk dikembangkan sebagai salah satu usaha
mengembalikan keberfungsian sosial penderita gangguan
mental.22
Sejalan dengan hal tersebut, Haji Supono Mustajab
di Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah mendirikan Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba sebagai bentuk
partisipasi dalam merehabilitasi penderita gangguan mental
di Indonesia.
Rehabilitasi yang dilaksanakan oleh panti ini
memadukan pengobatan medis dan non-medis. Secara medis
pihak panti bekerja sama dengan dokter dari Purbalingga dan
Banyumas, salah satunya adalah dokter spesialis jiwa dr.
Basiran Sp.Kj. yang berasal dari RSUD Banyumas sebagai
penanggung jawab dan konsultan. Sedangkan secara non-
medis atau rohani dilakukan sendiri oleh pimpinan panti,
yakni H. Supono Mustajab dengan metode siraman rohani
22
Ruaida Murni dan Mulia Astuti, “Rehabilitasi Sosial Bagi
Penyandang Disabilitas Mental Melalui Unit Informasi dan Layanan Sosial
Rumah Kita,” Jurnal Sosio Informa, Vol 1 No 3 (September-Desember 2015):
h. 280.
12
setiap selesai sholat, ruqyah, istighosah, dan minum air
karomah.23
Data menunjukan, Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba Purbalingga memiliki 90 pasien rawat inap yang
didominasi oleh laki-laki dengan 74 pasien dan sisanya
perempuan dengan 16 pasien. Pasien yang berjumlah 90
orang tersebut berasal dari 13 kabupaten/ kota di 3 provinsi
di pulau jawa, yakni Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Ke-90 pasien di panti ini berada dalam satu
komplek panti dan dibiarkan melakukan aktifitas di luar
ruangan yang berada dalam komplek panti, namun jika
pasien mengalami gangguan mental berat dan dianggap
membahayakan pasien lain maka akan ditempatkan di ruang
isolasi panti.24
Dengan dilaksanakannya rehabilitasi pada Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah tersebut, diharapkan adanya penurunan pada angka
penderita gangguan mental di Indonesia. Pengobatan dan
rehabilitasi bagi penderita gangguan mental sangat
dibutuhkan untuk mengembalikan martabat kemanusiaannya
di tengah masyarakat, mampu berpartisipasi kembali dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta
23
Suara Merdeka, “Wisma Rehabiltasi Jiwa Purbalingga, Tempat
Sumanto Akan Menimba Ilmu Agama,” Diakses pada 9 September 2016 dari
http://www.suaramerdeka.com. 24
Wawancara Pribadi dengan Maolana Achmad, selaku Konselor
Adiksi pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba, Purbalingga, 10
Agustus 2016.
13
dapat mengatasi masalah kesejahteraan sosial bagi dirinya
serta keluarganya.
Dengan memperhatikan latar belakang di atas dan
setelah melalui berbagai pertimbangan, maka penulis tertarik
untuk menulis sebuah skripsi berjudul: “Program
Rehabilitasi Mental Pasien Gangguan Mental Pada Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Pembatasan masalah diperlukan untuk mencegah
pembahasan masalah yang melebar dan tidak terfokus.
Dalam penelitian ini penulis membatasi masalah yang
akan dibahas yaitu:
Batasan pada program rehabilitasi mental di Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah dibatasi hanya pada program yang bersifat non-
medis, meliputi program ruqyah, program istighosah dan
program minum air karomah.
Sedangkan batasan pada gangguan mental dilihat dari
aspek gangguan mental berat, yang meliputi skizofrenia,
manik depresif dan paranoia. Aspek gangguan mental
berat tersebut juga dibatasi hanya pada penderita atau
14
pasien yang telah menerima bantuan berupa pengobatan/
rehabilitasi di panti sekurang-kurangnya 1 bulan.
2. Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini
sebagai berikut:
a. Bagaimana pelaksanaan program rehabilitasi
mental pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba Purbalingga Jawa Tengah?
b. Bagaimana penerimaan program rehabilitasi
mental pada pasien gangguan mental di Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga
Jawa Tengah?
c. Apa faktor penentu keberhasilan program
rehabilitasi mental pada Panti Rehabilitasi Sosial
Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah?
C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
program rehabilitasi mental di Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa
dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah terhadap pasien
gangguan mental. Selain tujuan secara umum, ada beberapa
tujuan khusus dari penelitian ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan
program rehabilitasi mental pada Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah.
15
2. Untuk mengetahui dan menganalis penerimaan
program rehabilitasi mental pada pasien gangguan
mental di Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba
Purbalingga Jawa Tengah.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor penentu
keberhasilan program rehabilitasi mental pada Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga
Jawa Tengah.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini dapat memperkaya teori
bimbingan dan penyuluhan serta kajian kesehatan
mental seperti teori gangguan mental, teori penyakit
mental dan teori rehabilitasi mental.
2. Sebagai kontribusi untuk jurusan yang dapat
dijadikan bahan rujukan dalam membuat program
praktikum.
3. Hasil penelitian dapat memberikan masukan atau
referensi tambahan bagi panti tempat diadakannya
penelitian dalam penyusunan program kerja dalam
upaya perawatan dan rehabilitasi terhadap pasien
gangguan mental.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam rangka penelitian ini, penulis telah melakukan
tinjauan pustaka di Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi serta Pusat Perpustakaan UIN Syarif
16
Hidayatullah Jakarta untuk memastikan tidak ada skripsi yang
sama dengan skripsi yang penulis susun. Tinjauan pustaka
dilakukan terhadap lima skripsi terdahulu yang berkaitan
dengan judul penelitian ini, diantaranya:
1. Ilmawati Hasanah dengan judul penelitian “Program
Rehabilitasi Sosial Bagi Narapidana Di Lembaga
Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta: Perspektif
Pekerjaan Sosial Koreksional” pada Jurusan
Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2015. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Hasil dari
penelitian ini adalah program rehabilitasi sosial di
Lapas Cipinang merupakan program wajib yang telah
ditetapkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI dan diberikan kepada narapidana dengan
pola pembinaan, baik pembinaan kepribadian dan
pembinaan kemandirian.25
Kelebihan dari skripsi ini adalah mampu
menjabarkan proses penerimaan narapidana terhadap
program rehabilitasi sosial yang diberikan pihak
Lapas secara mendalam, dapat menemukan kendala
yang paling mendasar kemudian menjabarkannya satu
25
Ilmawati Hasanah, “Program Rehabilitasi Sosial Bagi Narapidana
Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang Jakarta: Perspektif Pekerjaan
Sosial Koreksional” (Jakarta: Skripsi Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h.
98.
17
persatu dan pembahasan skripsi ini tidak melebar
kemana-mana dan tetap terfokus hanya dalam
perspektif pekerjaan sosial koreksinonal. Adapun
kekurangan dari skripsi ini terletak pada analisis
mengenai pola rehabilitasi sosial kurang mendalam
dan sangat sedikit dijelaskan oleh peneliti.
2. Jovendra Aliansyah dengan judul skripsi
“Rehabilitasi Mental Remaja Korban
Penyalahgunaan Narkoba Di Yayasan Madani
Mental Care Cipinang Besar Selatan Jakarta Timur”
pada Program Studi Bimbingan dan Penyuluhan
Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013. Hasil
dari penelitian ini adalah rehabilitasi mental yang
dilaksanakan oleh Yayasan Madani Mental Care
berupa terapi medis, terapi religius spiritual dan terapi
psikososial dapat menyembuhkan mental remaja
korban penyalahgunaan narkoba.26
Kelebihan skripsi ini terletak pada kemampuan
penulis melihat penyebab penyalahgunaan narkoba di
kalangan remaja terlebih dahulu dan kemampuan
melihat sisi lain dari keberhasilan dan hambatan yang
ada pada yayasan tempat diadakannya penelitian ini.
26
Jovendra Aliansyah, “Rehabilitasi Mental Remaja Korban
Penyalahgunaan Narkoba Di Yayasan Madani Mental Care Cipinang Besar
Selatan Jakarta Timur” (Jakarta: Skripsi Prodi Bimbingan dan Penyuluhan
Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2013), h. 65.
18
Adapun kekurangan skripsi ini adalah penulis
menukar kata subjek dan objek penelitian pada bagian
Metodologi Penelitian sehingga menimbulkan
kebingungan dan analisis yang disajikan pada Bab IV
kurang mendalam.
3. Penelitian berjudul “Program Rehabilitasi Terhadap
Anak Berkebutuhan Khusus Cerebral Palsy di
Yayasan Sayap Ibu Bintaro (Studi Kasus Yayasan
Sayap Ibu Bintaro Provinsi Banten)” oleh Nurhikmah
pada Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2016. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis
penelitian deskriptif. Hasil dari penelitian yang
dilakukan oleh Nurhikmah adalah program
rehabilitasi yang dilaksanakan oleh Yayasan Sayap
Ibu Bintaro terhadap anak-anak yang berkebutuhan
khusus Cerebral Palsy berupa fisioterapi, hidroterapi,
terapi wicara dan terapi group work berjalan lancar
dan sukses sebagai program rehabilitasi.27
Kelebihan dari skripsi ini adalah peneliti
mengungkapkan cara penanganan anak berkebutuhan
khusus cerebral palsy yang baik dan benar.
27
Nurhikmah, “Program Rehabilitasi Terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus Cerebral Palsy di Yayasan Sayap Ibu Bintaro (Studi Kasus Yayasan
Sayap Ibu Bintaro Provinsi Banten” (Jakarta: Skripsi Jurusan Kesejahteraan
Sosial Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2016), h. 67.
19
Sedangkan kekurangan yang ditemukan pada skripsi
ini adalah peneliti tidak menguraikan program
rehabilitasi yang dijalankan lembaga secara jelas pada
bagian temuan lapangan dan analisis sehingga terlihat
kurang mendalam.
4. Siti Masyitoh dengan judul penelitian “Program
Pelatihan Terapis Dalam Pengobatan Alternatif di
Bengkel Rohani Ciputat”. Skripsi tersebut merupakan
karya ilmiah pada Jurusan Manajemen Dakwah
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2011. Hasil dari
skripsi tersebut adalah program pelatihan bagi para
calon terapis dalam bidang pengobatan alternatif yang
dikembangkan oleh Bengkel Rohani Ciputat
diberikan kepada calon terapis agar dapat menjadi
terapis yang handal namun tetap berpatokan pada
pengobatan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad
SAW.28
Kelebihan skripsi ini adalah mampu melihat
kekurangan dan kelebihan dari program pelatihan
terapis di Bengkel Rohani Ciputat secara jujur dan
apa adanya serta mampu menjabarkan tata cara
pengobatan alternatif di lembaga itu dengan seksama
28
Siti Masyitoh, “Program Pelatihan Terapis Dalam Pengobatan
Alternatif di Bengkel Rohani Ciputat” (Jakarta: Skripsi Jurusan Manajemen
Dakwah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 50.
20
sehingga yang membaca merasa tertarik. Adapun
kekurangan skripsi ini yaitu kurangnya pembahasan
pada analisis program pelatihan terapis yang menjadi
nyawa penelitian ini dan permasalahan dalam
penelitian tersebut terasa tidak ada.
5. Penelitian berjudul “Rehabilitasi Sosial Untuk
Penyalahguna Napza di Yayasan Karya Peduli Kita
Tangerang Selatan” oleh Roudhotul Firdha pada
Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2016. Hasil dari skripsi tersebut adalah
rehabilitasi sosial yang dilaksanakan oleh pihak
Yayasan Karya Peduli Kita untuk para korban
penyalahgunaan napza berupa pemulihan secara fisik,
mental maupun sosial menggunakan metode terapi
medis, terapi psikiatrik, terapi psikososial dan terapi
psikoreligius sukses sebagai program rehabilitasi
sosial untuk penyalahguna napza.29
Kelebihan skripsi ini adalah peneliti
menggambarkan dengan seksama proses rehabilitasi
sosial serta hasil yang didapatkan dari proses
rehabilitasi sosial untuk korban penyalahgunaan
napza tersebut. Adapun kekurangan dari skripsi
29
Roudhotul Firdha, “Rehabilitasi Sosial Untuk Penyalahguna Napza
di Yayasan Karya Peduli Kita Tangerang Selatan” (Jakarta: Skripsi Jurusan
Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 97.
21
adalah peneliti tidak menguraikan permasalahan pada
bagian latar belakang masalah secara mendalam.
Berbeda dengan kelima skripsi tersebut, penulis dalam
skripsi ini lebih memfokuskan pembahasannya pada program
rehabilitasi mental terhadap pasien gangguan mental pada
Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Pada pelaksanaan program rehabilitasi mental
tersebut panti memadukan dua cara, yakni cara medis dengan
memberikan obat-obatan medis kepada para pasien dan cara
non-medis dengan menerapkan program ruqyah, istighosah
dan minum air karomah yang menjadi batasan masalah pada
penelitian ini.
F. Sistematika Penulisan
Dalam rangka mencapai pembahasan skripsi yang
sistematis, maka penulis membuat sistematika penulisan ke
dalam lima (5) BAB yang terdiri dari sub-sub bab sehingga
menjadi satu kesatuan yang utuh. Adapun sistematika
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN. Isi BAB I merupakan
pendahuluan dari keseluruhan BAB yang ada pada skripsi ini.
BAB I terdiri dari Latar Belakang Masalah, Batasan dan
Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
Tinjauan Pustaka dan Sistematika Penulisan.
BAB II : LANDASAN TEORI. Dalam BAB ini akan
dipaparkan mengenai teori-teori ataupun pembahasan yang
22
berkaitan dengan kesehatan mental, program, rehabilitasi
mental dan mengenai gangguan mental.
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN. Isi BAB III ini
terdiri dari Metode Penelitian, Jenis Penelitian, Lokasi dan
Waktu Penelitian, Subyek dan Obyek Penelitian, Teknik
Pengumpulan Data, Sumber Data, Fokus Amatan dan
Analisis, Teknik Analisis data, dan Asumsi Peneliti.
BAB IV : HASIL DAN ANALISA PENELITIAN. Isi
BAB ini terdiri dari Gambaran Umum Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah yang
menggambarkan secara singkat mengenai lembaga penelitian
dan Temuan Lapangan yang merupakan jawaban dari
rumusan masalah serta analisisnya secara komprehensif.
Selanjutnya BAB ini juga terdiri dari Diskusi yang
merupakan penulisan hasil temuan dalam bentuk narasi secara
singkat pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba
Purbalingga Jawa Tengah.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN. Pada BAB ini
disajikan kesimpulan penelitian dan saran dari hasil
pembahasan.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
23
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Teori Kesehatan Mental
Kesehatan mental terdiri dari dua kata, yakni kesehatan
dan mental. Kesehatan kata dasarnya adalah sehat, yang
merupakan kata adopsi dari bahasa Arab yang artinya segar
tidak sakit, sembuh, selamat, memperbaiki dan selamat dari
aib.1 Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah
Nasional Ulama tahun 1983 merumuskan kesehatan sebagai
kesehatan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang dimiliki
manusia sebagai karunia Allah SWT yang wajib disyukuri
dengan mengamalkan tuntunan-Nya, memeliharanya dan
mengembangkannya.2
Dengan demikian yang dinamakan
sehat tidak hanya diukur dari sehat secara fisik saja, namun
sehat dan segar secara badaniah, rohaniah dan sosial.
Sedangkan kata mental dalam Kamus Ilmu Jiwa dan
Pendidikan adalah kepribadian yang merupakan kebulatan
yang dinamik pada diri seseorang yang tercermin dalam cita-
cita, sikap dan perbuatannya.3 Menurut istilah mental adalah
semua unsur-unsur jiwa termasuk pikiran, emosi, sikap dan
perasaan yang dalam keseluruhan kebulatannya akan
1
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya
Agung, 1989), h. 9. 2 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Cet ke-4 (Bandung: Mizan,
1996), h. 182. 3 Jalaluddin, Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan (Surabaya: Putra Al-
Maarif, t.t.), h. 115.
24
menentukan corak tingkah laku, cara menghadapi suatu hal
yang menekan perasaan mengecewakan, menggembirakan,
menyenangkan dan sebagainya.4 Mental adalah seluruh unsur
yang ada pada diri individu yang tidak berbentuk fisik/ organ
terlihat mata namun ada dalam setiap diri manusia.
Kata kesehatan dan mental di atas dipadukan menjadi satu
istilah yang kita sebut dengan kesehatan mental. Kesehatan
mental diambil dari konsep mental hygiene yang berasal dari
kata mental dan hygeia. Hygeia adalah nama dewi kesehatan
Yunani dan hygiene berarti ilmu kesehatan. Sedangkan
mental dari kata lain mens atau mentis yang berarti jiwa,
nyawa, sukma, roh, semangat.5 Dalam banyak literatur, istilah
mental hygiene bukanlah satu-satunya istilah yang digunakan
untuk menyebut kesehatan mental. Istilah lain yang juga
digunakan untuk maksud yang sama adalah psychological
medicine, nervous health, atau mental health.6
Diantara berbagai istilah tersebut yang dipandang
memiliki makna yang tepat untuk menyebutkan kesehatan
mental adalah mental hygiene dibandingkan penggunaan
istilah mental health. Hal ini karena mental health artinya
keadaan jiwa yang sehat namun mengandung pengertian yang
statis. Sedangkan mental hygiene bermakna kesehatan mental
4
Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 35. 5 Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan
Mental dalam Islam, cet ke-6 (Bandung: Mandar Maju, 1989), h. 3. 6 Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun, Kesehatan Mental: Konsep
dan Penerapan, Cet ke-6 (Malang: UMM Press, 2011), h. 27-28.
25
namun lebih dinamis karena menunjukan adanya usaha
peningkatan. Namun demikian, istilah mental health telah
meluas digunakan termasuk oleh badan kesehatan dunia
World Health Organization (WHO).7 Di Indonesia, istilah
yang paling sering digunakan adalah „mental hygiene’ jika
disebutkan mengunakan bahasa Inggris dan istilah „kesehatan
mental‟ jika disebutkan dalam bahasa Indonesia.
Sejak zaman dahulu, sikap terhadap gangguan mental
telah muncul dalam konsep primitif animisme. Ada
kepercayaan bahwa dunia ini diawasi atau dikuasai oleh roh-
roh atau dewa-dewa. Orang primitif percaya bahwa angin
bertiup, ombak mengalun, batu berguling dan pohon tumbuh
karena pengaruh roh yang tinggal dalam benda-benda
tersebut. Orang Yunani percaya bahwa gangguan mental
terjadi karena dewa marah dan membawa pergi jiwanya.
Untuk menghindari kemarahannya, maka mereka
mengadakan perjamuan pesta (sesaji) dengan mantra dari
korban yang mereka persembahkan. Praktik-praktik semacam
itu berlangsung mulai dari abad 7-5 SM. Seiring
perkembangan zaman, maka praktik semacam itupun kian
berkurang, walaupun kepercayaan tentang penyakit mental
7 Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun, Kesehatan Mental: Konsep
dan Penerapan, Cet ke-6 (Malang: UMM Press, 2011), h. 28.
26
tersebut berasal dari roh-roh jahat tetap bertahan sampai abad
pertengahan.8
Selanjutnya pada abad 4 SM muncul tokoh-tokoh bidang
medis dari bangsa Yunani seperti Hipocrates, Hirophilus,
Galenus, Vesalius, Paracelsus dan Cornelius Agrippa yang
mulai menggunakan konsep biologis dalam penanganannya
sehingga lebih manusiawi. Asumsinya adalah gangguan
mental disebabkan gangguan biologis atau kondisi biologis
seseorang, bukan akibat roh jahat. Aliran ini mendapat
pertentangan keras dari aliran sebelumnya yang meyakini
adanya roh jahat.9
Perkembangan kesehatan mental dipengaruhi oleh
gagasan, pemikiran dan inspirasi para ahli terutama dari dua
tokoh perintis, yaitu Dorothea Lynde Dix dan Clifford
Whittingham Beers. Kedua tokoh ini banyak mendedikasikan
hidupnya dalam bidang pencegahan gangguan mental dan
pertolongan bagi orang-orang miskin dan lemah. Dorothea
Lynde Dix lahir pada tahun 1802 dan meninggal dunia
tanggal 17 Juli 1887. Dia adalah seorang guru sekolah di
Massachussets, yang menaruh perhatian terhadap orang-orang
yang mengalami gangguan mental. Sebagian perintis
(pioneer) selama 40 tahun, dia berjuang untuk memberikan
8 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi
Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, Cet ke-2 (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), hal. 16. 9
Kartika Sari Dewi, Kesehatan Mental (Semarang: Universitas
Diponegoro Press, 2012), h. 13.
27
pengorbanan terhadap orang-orang gila secara lebih
manusiawi. Berkat usahanya yang tak kenal lelah, di Amerika
Serikat didirikan 32 rumah sakit jiwa. Dia layak mendapat
pujian sebagai salah seorang wanita besar di abad ke-19.10
Pada tahun 1909, gerakan kesehatan mental secara formal
mulai muncul. Selama dekade 1900-1909, beberapa
organisasi kesehatan mental telah didirikan, seperti American
Social Hygiene Association (ASHA) dan American
Federation for Sex Hygiene. Perkembangan gerakan-gerakan
di bidang kesehatan mental ini tidak lepas dari jasa Clifford
Whittingham Beers (1876-1943). Bahkan, karena jasa-jasanya
itulah, dia dinobatkan sebagai ”The Founder Of The Mental
Hygiene Movement”. Dedikasi Beers yang begitu kuat dalam
kesehatan mental dipengaruhi oleh pengalamannya sebagai
pasien di beberapa rumah sakit jiwa yang berbeda. Selama di
rumah sakit, dia mendapatkan pelayanan atau pengobatan
yang keras dan kasar (kurang manusiawi). Kondisi seperti ini
terjadi karena pada masa itu belum ada perhatian terhadap
masalah gangguan mental, apalagi pengobatannya.11
Pada abad ke-20 barulah muncul revolusi kesehatan
mental ke dua, yakni munculnya pendekatan psikologis
(Psikoanalisa) yang mempelopori penanganan penderita
gangguan mental secara medis dan psikologis. Tokoh
10
Indra Aditiyawarman, “Sejarah Perkembangan Gerakan Kesehatan
Mental”, Jurnal Komunika Dakwah dan Komunikasi, Vol 4 No 1 (Januari-Juni
2010): h. 92-93. 11
Ibid., h. 93.
28
utamanya adalah Sigmund Freud, yang melakukan
penanganan hipnose, katarsis, asosiasi bebas dan analisis
mimpi. Tujuannya adalah mengatasi masalah mental individu
dengan menggali konflik intrapsikis penderita gangguan
mental. Intervensi tersebut dikenal dengan istilah penanganan
klinis (psikoterapi).12
Pendekatan psikologis tersebut meyakini bahwa faktor
psikologis berpengaruh besar pada kondisi mental seseorang,
dimana dalam pendekatan psikologis memiliki 3 pandangan
yang besar yang membahas mengenai hal tersebut, yaitu:13
1. Psikoanalisa
Pendekatan ini meyakini bahwa interaksi individu
pada awal kehidupannya serta konflik intrapsikis yang
terjadi akan mempengaruhi perkembangan kesehatan
mental seseorang. Faktor epigenetik mempelajari
kematangan psikologis seseorang yang berkembang
seiring pertumbuhan fisik dalam tahap-tahap
perkembangan individu, juga merupakan faktor penentu
kesehatan mental individu.
2. Behavioristik
Pendekatan ini meyakini proses pembelajaran dan
proses belajar sosial akan mempengaruhi kepribadian
seseorang. Kesalahan individu dalam proses pembelajaran
dan belajar sosial akan mengakibatkan gangguan mental.
12
Kartika Sari Dewi, Kesehatan Mental (Semarang: Universitas
Diponegoro Press, 2012), h. 13-14. 13
Ibid., h. 16.
29
3. Humanistik
Perilaku individu dipengaruhi oleh hierarki kebutuhan
yang dimiliki. Selain itu, individu diyakini memiliki
kemampuan memahami potensi dirinya dan berkembang
untuk mencapai aktualisasi diri.14
Lebih lanjut badan kesehatan dunia, World Health
Organization (WHO) menyatakan bahwa kesehatan mental
merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu
yang di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk
mengelola stres kehidupan yang wajar, untuk bekerja secara
produktif dan menghasilkan, serta berperan serta di
komunitasnya.15
Menurut Karl Menninger, individu yang sehat
mentalnya adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk
menahan diri, menunjukkan kecerdasan, berperilaku dengan
menenggang perasaan orang lain serta memiliki sikap hidup
yang bahagia. Adapun karakteristik individu sehat mental
mengacu pada kondisi atau sifat-sifat positif, seperti:
kesejahteraan psikologis (psychological well-being) yang
positif, karakter yang kuat serta sifat-sifat baik/ kebajikan
(virtues).16
Dalam UU Nomor 3 Tahun 1966, bab 1 pasal 1
disebutkan bahwa kesehatan mental adalah keadaan mental
yang sehat menurut ilmu kedokteran sebagai unsur daripada
14
Kartika Sari Dewi, Kesehatan Mental (Semarang: Universitas
Diponegoro Press, 2012), h. 16. 15
Ibid., h. 10-11. 16
Ibid., h. 11.
30
kesehatan yang dimaksud dalam pasal 2 Undang-undang
pokok-pokok kesehatan (UU No. 9 tahun 1960 tentang pokok-
pokok kesehatan) yang menyebutkan bahwa kesehatan
meliputi kesehatan badan, rohani atau mental dan sosial serta
bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan
kelemahan.17
Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang
sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan
terciptanya penyesuaian diri antara individu dengan dirinya
sendiri dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan
ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang
bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat.18
Pengertian ini
menunjukan bahwa kesehatan mental adalah keharmonisan
antara individu dengan dirinya sendiri dan lingkungannya agar
merasakan kebahagiaan dan kebermaknaan hidup di dunia dan
akhirat.
Menurut Kartini Kartono, kesehatan mental atau mental
hygiene menitik beratkan pada kehidupan kerohanian. Mental
hygiene merupakan ilmu kesehatan jiwa yang membahas
kehidupan kerohanian yang sehat dengan memandang pribadi
manusia sebagai satu totalitas dari psikis dan fisik yang
kompleks. Ilmu kesehatan mental ini erat hubungannya
dengan tekanan-tekanan batin dan konflik-konflik pribadi
yang terdapat pada diri manusia. Tekanan-tekanan batin dan
17
Dede Rahmat Hidayat dan Herdi, Bimbingan Konseling Kesehatan
Mental di Sekolah, Cet ke-2 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h. 31. 18
Djalaludin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Cet ke-8
(Jakarta: Kalam Mulia, 1998), h. 77.
31
konflik-konflik pribadi itu sering mengganggu ketenangan
hidup seseorang.19
Seorang ahli psikologi agama, Zakiah Daradjat
mengungkapkan ada beberapa pengertian dan definisi tentang
kesehatan mental yang dipaparkan oleh para ahli, sesuai
dengan pandangan dan bidangnya masing-masing. Definisi
pertama menurut Zakiah Daradjat, kesehatan mental adalah
terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose)
dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose). Definisi
pertama ini banyak mendapat sambutan dari kalangan
psikiatri (kedokteran jiwa).20
Definisi pertama inilah yang
paling banyak digunakan oleh psikiatri di Indonesia.
Menurut definisi ini, orang yang sehat mentalnya adalah
orang yang terhindar dari segala macam gangguan jiwa dan
penyakit jiwa. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa
indikator seseorang menderita gangguan jiwa adalah bila
sering mengalami cemas tanpa diketahui sebabnya,
munculnya rasa malas, tidak ada kegairahan untuk bekerja
dan badan selalu terasa lesu. Sedangkan penderita sakit jiwa
adalah orang yang pandangannya jauh berbeda dari
pandangan orang pada umumnya dan jauh dari realitas.21
19
Kartini Kartono, Hygiene Mental, Cet ke-7 (Bandung: Mandar
Maju, 2000), h. 3-4. 20
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 4. 21
Ibid., h. 4.
32
Demikianlah definisi pertama dari empat definisi menurut
Zakiah Daradjat mengenai kesehatan mental.
Definisi kedua menurut Zakiah Daradjat, kesehatan
mental adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan
diri dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan masyarakat
serta lingkungan dimana ia hidup. Definisi kedua ini lebih
luas dan bersifat umum karena dihubungkan dengan
kehidupan secara keseluruhan. Kesanggupan untuk
menyesuaikan diri itu akan membawa orang kepada
kenikmatan hidup dan terhindar dari kecemasan, kegelisahan
dan ketidakpuasan. Disamping itu, ia penuh dengan semangat
dan kebahagiaan dalam hidup.22
Definisi ini menunjukan
bahwa orang yang mampu hidup harmonis dengan dirinya
sendiri dan orang lain di lingkungannya, maka itulah orang
yang sehat mentalnya.
Definisi ketiga menurut Zakiah Daradjat, kesehatan
mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan
untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi,
bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin,
sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain
serta terhindar dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa.
Definisi ini mendorong orang untuk mengembangkan dan
memanfaatkan segala potensi yang ada. Dari definisi ini
diharapkan tidak ada bakat yang terpendam atau bakat yang
22
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 4-5.
33
digunakan dengan cara yang tidak membawa pada
kebahagiaan, apalagi mengganggu hak dan kepentingan orang
lain.23
Definisi keempat menurut Zakiah Daradjat, kesehatan
mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-
sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, mempunyai kesanggupan
untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi dan
merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan
dirinya. Menurut definisi ini, fungsi-fungsi jiwa seperti
pikiran, perasaan, sikap jiwa, pandangan dan keyakinan hidup
harus dapat saling membantu dan bekerjasama satu sama lain
sehingga terciptanya keharmonisan yang menjauhkan orang
dari perasaan ragu dan bimbang serta terhindar dari
kegelisahan dan pertentangan batin/ konflik.24
Definisi ini mengatakan bahwa fungsi-fungsi jiwa dengan
semua unsur-unsurnya bertindak menyesuaikan seseorang
dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan lingkungannya.
Dalam menghadapi suasana dan situasi yang selalu berubah
dalam kehidupan, fungsi-fungsi jiwa akan bekerjasama secara
harmonis dalam menyiapkan diri untuk menghadapi
perubahan-perubahan tersebut. Dengan demikian perubahan-
perubahan itu tidak akan menyebabkan kegelisahan dan
kegoncangan jiwa pada diri seseorang.25
Perpaduan yang
23
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 5-6. 24
Ibid., h. 6. 25
Ibid., h. 6.
34
harmonis antara fungsi-fungsi jiwa dalam menghadapi segala
permasalahan yang dihadapi dalam hidup akan membawa
seseorang pada kesehatan mental yang baik.
Dengan demikian pendapat kesehatan mental menurut
Zakiah Daradjat adalah terhindarnya seseorang dari gejala-
gejala gangguan dan penyakit jiwa, dapat menyesuaikan diri,
dapat memanfaatkan segala potensi dan bakat yang ada dan
membawa kepada kebahagiaan bersama serta tercapainya
keharmonisan jiwa dalam hidup. Perlu diingat bahwa
kesehatan mental itu adalah relatif, dimana keharmonisan
yang sempurna antara seluruh fungsi-fungsi tubuh itu tidak
ada, yang dapat diketahui adalah berapa jauh jaraknya
seseorang dari kesehatan mental yang normal.26
Berdasarkan beberapa pendapat tentang kesehatan mental
terutama berdasarkan teori dari Zakiah Daradjat di atas,
penulis mendefinisikan dalam penelitian ini kesehatan mental
adalah keserasian yang sungguh-sungguh antara pikiran,
perasaan, sikap jiwa, pandangan dan keyakinan hidup dalam
diri individu sehingga dapat merasakan ketenangan hidup dan
sanggup menghadapi permasalahan yang dihadapinya hingga
menjadikan ia terhindar dari gejala-gejala gangguan jiwa dan
dari gejala-gejala penyakit jiwa.
26
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 7.
35
Zakiah Daradjat menambahkan ada beberapa ciri orang
yang mempunyai mental sehat, yaitu:27
1. Terhindar dari gangguan mental dan penyakit mental.
2. Mampu menyesuaikan diri.
3. Sanggup menghadapi masalah-masalah dan
kegoncangan-kegoncangan biasa.
4. Adanya keserasian fungsi-fungsi jiwa (tidak ada
konflik) dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna
dan bahagia.
5. Dapat menggunakan potensi yang ada pada dirinya
seoptimal mungkin.28
Mental yang sehat ditandai dengan adanya integrasi diri
dan pengontrolan diri, yaitu kontrol terhadap pikiran, angan-
angan, keinginan-keinginan, dorongan-dorongan, emosi-
emosi, sentimen dan segenap tingkahlaku. Orang yang
terganggu mentalnya tidak akan mampu menguasai diri
sendiri dan tidak memiliki kontrol diri sehingga mereka selalu
diricuhkan oleh gangguan-gangguan konflik, batin dan
macam-macam frustasi yang serius.29
Seseorang yang
memiliki kontrol terhadap pikiran, emosi, ambisi dan segenap
tingkahlaku merupakan orang yang mentalnya sehat,
27
Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Jiwa, cet ke-8 (Jakarta:
Gunung Agung, 1996), h. 9. 28
Ibid., h. 9. 29
Kartini Kartono, Hygiene Mental, Cet ke-7 (Bandung: Mandar
Maju, 2000), h. 284.
36
sebaliknya jika seseorang tidak mampu mengontrol segenap
tingkahlakunya maka kesehatan mentalnya terganggu.
Orang yang sehat mentalnya tidak akan lekas merasa
putus asa, pesimis atau apatis karena ia dapat menghadapi
semua rintangan atau kegagalan dalam hidup dengan tenang
dan wajar serta menerima kegagalan itu sebagai suatu
pelajaran yang akan membawa sukses nantinya. Maka,
kesehatan mental-lah yang menentukan tanggapan seseorang
terhadap suatu persoalan dan kemampuannya menyesuaikan
diri. Kesehatan mental pulalah yang menentukan apakah
orang akan mempunyai kegairahan untuk hidup atau akan
pasif dan tidak bersemangat.30
Respon atau tanggapan serta
sikap seseorang dalam menghadapi segala macam persoalan
yang dihadapinya ditentukan oleh kondisi kesehatan
mentalnya.
Perlu diingat, orang yang memiliki kesehatan mental yang
baik sekalipun tidak bisa terbebas dari kecemasan dan
perasaan bersalah. Dia tetap mengalami kecemasan dan
perasaan bersalah tetapi tidak dikuasai oleh kecemasan dan
perasaan bersalah itu. orang yang memiliki kesehatan mental
sanggup menghadapi masalah-masalah biasa dengan penuh
keyakinan diri dan dapat memecahkan masalah-masalah
tersebut tanpa adanya gangguan yang hebat pada struktur
30
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 9.
37
dirinya.31
Orang yang mentalnya sehat sekalipun tidak serta-
merta terbebas dari rasa cemas dan perasaan bersalah, akan
tetapi rasa cemas dan perasaan bersalah itu tidak menguasai
dirinya dan mampu ia hadapi dengan tenang dan penuh
keyakinan.
Kesehatan mental bukan hanya sekedar mental yang sehat
berada dalam tubuh yang sehat seperti kata pepatah Yunani
„mens sana in corpore sano‟, tetapi kesehatan mental juga
merupakan suatu keadaan yang berhubungan erat dengan
seluruh eksistensi manusia. Itulah suatu keadaan kepribadian
yang bercirikan kemampuan seseorang untuk menghadapi
kenyataan dalam hidup dan untuk berfungsi secara efektif
dalam suatu masyarakat yang dinamik.32
Dengan demikian,
tubuh yang sehat belum dapat dijadikan ukuran mentalnya
sehat, mental yang sehat dapat terjadi jika seseorang mampu
merespon dan menghadapi kenyataan dalam hidup dengan
tenang dan wajar.
Dalam penelitian ini, pengertian kesehatan mental yang
penulis jadikan landasan teori adalah pengertian dari Zakiah
Daradjat dalam buku Kesehatan Mental cetakan ke-23 tahun
2001 yang menggabungkan empat definisi yang lazim
digunakan para ahli. Pengertian kesehatan mental tersebut
yaitu terhindarnya seseorang dari gejala-gejala gangguan dan
penyakit jiwa, dapat menyesuaikan diri, dapat memanfaatkan
31
Yustinus Semiun, Kesehatan Mental, Jilid 1 (Yogyakarta: Kanisius,
2006), h. 9. 32
Ibid., h. 52.
38
segala potensi dan bakat yang ada dan membawa kepada
kebahagiaan serta tercapainya keharmonisan jiwa dalam
hidup.
B. Jiwa dan Mental
1. Jiwa Perspektif Teori Umum
Jiwa adalah daya hidup rohaniah yang bersifat abstrak
yang menjadi penggerak dan pengatur bagi sekalian
perbuatan-perbuatan pribadi (personal behavior) dari
hewan tingkat tinggi hingga manusia. Perbuatan pribadi
tersebut adalah perbuatan sebagai hasil proses belajar
yang dimungkinkan oleh keadaan jasmani, rohaniah dan
sosial. Menurut Aristoteles, jiwa disebut sebagi anima
yang terbagi dalam tiga macam jenis yaitu:33
a. Anima vegetativa, yaitu anima yang terdapat pada
tumbuh-tumbuhan yang mempunyai kemampuan
untuk makan, minum dan berkembang biak.
b. Anima sensitiva, yaitu anima yang terdapat dalam
hewan. Anima ini memiliki kemampuan seperti
anima vegetativa juga kemampuan untuk
berpindah tempat, mempunyai nafsu, dapat
mengamati, mengingat dan merasakan.
c. Anima intelektiva, yaitu anima yang terdapat
dalam diri manusia. Selain memiliki kemampuan
33
Edwi Arief Sosiawan, “Psikologi Sosial”, Diakses pada 10
September 2018 dari www.file.upi.edu.
39
seperti anima sensitiva juga mempunyai
kemampuan berpikir dan berkemauanan.34
Lebih lanjut dalam teori Sigmund Freud ada tiga
elemen pendukung struktur kepribadian manusia, yaitu:35
a. The Id (Aspek biologis)
Id adalah sistem kepribadian yang asli dan dibawa
sejak lahir. Dari Id ini kemudian akan muncul Ego
dan Superego. Saat dilahirkan, Id berisi semua aspek
psikologik yang diturunkan seperti insting, impuls
dan drives. Id berada dalam daerah unconscious dan
beroperasi berdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure
principle), yaitu berusaha memperoleh kenikmatan
dan menghindari rasa sakit. Id tidak mampu menilai
atau membedakan benar-salah dan tidak tahu moral.
b. The Ego (Aspek psikologis)
Ego berkembang dari Id agar orang mampu
menangani realita sehingga Ego beroperasi
berdasarkan prinsip realita (reality principle). Ego
sebagai eksekutif kepribadian berusaha memenuhi
kebutuhan Id sekaligus juga memenuhi kebutuhan
moral dan kebutuhan mencapai kesempurnaan dari
Superego.
34
Edwi Arief Sosiawan, “Psikologi Sosial”, Diakses pada 10
September 2018 dari www.file.upi.edu. 35
Alwisol, Psikologi Kepribadian (Malang: UMM Press, 2009), h.
14-16.
40
c. The Superego (Aspek sosiologis)
The Superego atau Das Ueber Ich adalah aspek
sosiologis dalam kepribadian yang merupakan wakil
dari nilai-nilai tradisional dan cita-cita masyarakat
yang diajarkan dalam bentuk perintah atau larangan.
The Superego lebih merupakan kesempurnaan
daripada kesenangan, karena itu Das Ueber Ich dapat
pula dianggap sebagai aspek moral dalam
kepribadian. Fungsi pokoknya adalah menentukan
apakah sesuatu itu benar atau salah, pantas atau tidak,
susila atau tidak, sehingga dengan demikian pribadi
dapat bertindak sesuai moral masyarakat.36
2. Jiwa Perspektif Teori Islam
Jiwa dalam bahasa Arab disebut al-Nafs, dalam
bahasa Yunani disebut Psyche yang diterjemahkan dengan
jiwa atau Soul dalam bahasa Inggris.37
Menurut Buya
Hamka, jiwa merupakan jejak atau hasil interaksi antara
aspek-aspek jiwa, yakni akal, hawa nafsu dan kalbu.
Konsep jiwa yang ditawarkan Hamka lebih
menitikberatkan pada perseteruan akal dengan hawa nafsu
sebagai dua kekuatan utama dalam jiwa manusia,
sementara kondisi kalbu yang akan menjadi kondisi jiwa
36
Alwisol, Psikologi Kepribadian (Malang: UMM Press, 2009), h.
14-16. 37
Ema Yudiani, “Dinamika Jiwa dalam Perspektif Psikologi Islam”,
Jurnal Ilmu Agama, Vol 14 No 1 (Juni-Juli 2013): h. 45.
41
secara keseluruhan sepenuhnya tergantung pada hasil
perseteruan tersebut.38
Aspek jiwa menurut Hamka adalah sebagai berikut:
a. Akal
Hakikat akal adalah aspek jiwa manusia yang
berfungsi untuk mengikat hawa nafsunya,
sebagaimana tali pengikat ternak agar ternak tidak lari
kemana-mana. Akal manusia akan mengikatnya agar
ia tidak lepas kendali dengan mudah dan serta merta
mengikuti hawa nafsunya. Lebih lanjut Hamka
menyebutkan bahwa akal digerakkan oleh tiga daya
yang dimiliki jiwa, yaitu pikiran (al-fikr), perasaan
(al-wijdan) dan kemauan (al-iradah).
b. Hawa Nafsu
Hawa nafsu yang dimaksudkan oleh Hamka
adalah nafsul amarah yang digambarkan dalam Al-
Qur‟an sebagai kecenderungan manusia yang lebih
rendah dari pada binatang. Nafsu adalah musuh
bebuyutan akal dalam jiwa manusia. Lebih lanjut
beliau menerangkan sifat-sifat nafsu manusia,
diantaranya bersifat ingin bebas dan egosentris dalam
semua perkara, bertujuan untuk kesenangan semata,
38
Ema Yudiani, “Dinamika Jiwa dalam Perspektif Psikologi Islam”,
Jurnal Ilmu Agama, Vol 14 No 1 (Juni-Juli 2013): h. 46.
42
tidak pernah menyesal meskipun telah berbuat salah
dan nafsu selalu dibisikkan oleh setan.
c. Kalbu
Hamka tidak terlalu banyak mengupas kalbu atau
hati, namun secara gamblang beliau menyatakan
bahwa hati adalah medan pertempuran yang
diperebutkan oleh akal dan hawa nafsu. Kalbu akan
mengikuti akal atau nafsu yang nantinya akan
menguasainya. Jika akal yang menang selamatlah hati
dan selamatlah seluruh jiwa, jika nafsu yang berkuasa
maka rusaklah jiwa keseluruhannya.39
Ahli psikologi Islam Mujib dan Mudzakir lebih
menekankan keutamaan kalbu dalam konsep struktur jiwa
yang ditawarkannya. Lebih lanjut, menurutnya jiwa
manusia berasal dari dua substansi yang saling bertolah
belakang yaitu substansi jasmani yang diwakili oleh jasad
dan substansi ruhani yang yang diwakili oleh ruh. Hasil
penggabungan kedua substansi tersebutlah yang
menghasilkan jiwa. Serupa dengan pendapat Hamka,
Mujib dan Mudzakir juga berpendapat bahwa jiwa terdiri
dari akal, nafsu dan kalbu.40
3. Mental Perspektif Teori Umum dan Islam
Kata mental dalam Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan
adalah kepribadian yang merupakan kebulatan yang
39
Ema Yudiani, “Dinamika Jiwa dalam Perspektif Psikologi Islam”,
Jurnal Ilmu Agama, Vol 14 No 1 (Juni-Juli 2013): h. 46-47. 40
Ibid., h. 50.
43
dinamik pada diri seseorang yang tercermin dalam cita-
cita, sikap dan perbuatannya. 41 Menurut istilah mental
adalah semua unsur-unsur jiwa termasuk pikiran, emosi,
sikap dan perasaan yang dalam keseluruhan kebulatannya
akan menentukan corak tingkah laku, cara menghadapi
suatu hal yang menekan perasaan mengecewakan,
menggembirakan, menyenangkan dan sebagainya. 42
Mental adalah seluruh unsur yang ada pada diri individu
yang tidak berbentuk fisik/ organ terlihat mata namun ada
dalam setiap diri manusia.
Secara sederhana mental dapat dipahami sebagai
sesuatu yang berhubungan dengan batin dan watak atau
karakter, tidak bersifat jasmani (badan).43
Mental adalah
paduan secara menyeluruh antara berbagai fungsi-fungsi
psikologis dengan kemampuan menghadapi krisis-krisis
psikologis yang menimpa manusia yang dapat
berpengaruh terhadap emosi dan dari emosi ini akan
memperngaruhi pada kondisi mental.44
Secara definitif memang belum ada kepastian definisi
yang jelas dari para ahli kejiwaan mengenai pengertian
mental. Secara etimologi kata mental berasal dari bahasa
41
Jalaluddin, Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan (Surabaya: Putra Al-
Maarif, t.t.), h. 115. 42
Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 35. 43
Tim Penyusun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-2 (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 646. 44
Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental (Jakarta: Pustaka
Alhusna, 1992), h. 30.
44
Yunani yang mempunyai pengertian sama dengan
pengertian psyche, artinya psikis, jiwa atau kejiwaan.45
Ada juga yang mengatakan bahwa mental dari kata lain
mens atau mentis yang berarti jiwa, nyawa, sukma, roh,
semangat. 46 James Draver memaknai mental yaitu
„revering to the mind‟, maksudnya adalah sesuatu yang
berhubungan dengan pikiran atau pikiran itu sendiri.47
Sedangkan C.P Chaplin mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan mental yaitu yang berhubungan dengan
pikiran, akal, ingatan atau proses yang berasosiasi dengan
pikiran, akal dan ingatan.48
Lebih lanjut Sigmund Freud memberikan definisi
bahwa mental yang sehat adalah adanya keseimbangan
antara dorongan-dorongan dan motif-motif tiap bagian
jiwa dalam pemuasannya. Begitu juga Arthur Gorden
melihat bahwa kemampuan mengharmoniskan dorongan-
dorongan psikis dengan realitas dengan sendirinya akan
terbentuk kepribadian/ mental yang sehat dan akan
melahirkan tingkah laku yang sehat pula (normal).49
45
Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun, Kesehatan Mental: Konsep
dan Penerapan, Cet ke-6 (Malang: UMM Press, 2011), h. 21. 46
Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan
Mental dalam Islam, cet ke-6 (Bandung: Mandar Maju, 1989), h. 3. 47
James Draver, A Dictionary of psychology (New York: Pengin
Books, t.t.) h, 169. 48
C.P Chaplin, Kamus Psikologi. Penerjemah Kartini Kartono
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), h. 407. 49
F. Patty, dkk., Pengantar Psikologi Umum (Surabaya: Usaha
Nasional, 1982), h. 189-190.
45
Mental yang sehat ditandai dengan adanya integrasi
diri dan pengontrolan diri, yaitu kontrol terhadap pikiran,
angan-angan, keinginan-keinginan, dorongan-dorongan,
emosi-emosi, sentimen dan segenap tingkahlaku. Orang
yang terganggu mentalnya tidak akan mampu menguasai
diri sendiri dan tidak memiliki kontrol diri sehingga
mereka selalu diricuhkan oleh gangguan-gangguan
konflik, batin dan macam-macam frustasi yang serius.50
Seseorang yang memiliki kontrol terhadap pikiran, emosi,
ambisi dan segenap tingkahlaku merupakan orang yang
mentalnya sehat, sebaliknya jika seseorang tidak mampu
mengontrol segenap tingkahlakunya maka kesehatan
mentalnya terganggu.
Orang yang sehat mentalnya tidak akan lekas merasa
putus asa, pesimis atau apatis karena ia dapat menghadapi
semua rintangan atau kegagalan dalam hidup dengan
tenang dan wajar serta menerima kegagalan itu sebagai
suatu pelajaran yang akan membawa sukses nantinya.
Maka, kesehatan mental-lah yang menentukan tanggapan
seseorang terhadap suatu persoalan dan kemampuannya
menyesuaikan diri. Kesehatan mental pulalah yang
menentukan apakah orang akan mempunyai kegairahan
untuk hidup atau akan pasif dan tidak bersemangat.51
50
Kartini Kartono, Hygiene Mental, Cet ke-7 (Bandung: Mandar
Maju, 2000), h. 284. 51
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 9.
46
Respon atau tanggapan serta sikap seseorang dalam
menghadapi segala macam persoalan yang dihadapinya
ditentukan oleh kondisi kesehatan mentalnya.
C. Program
1. Pengertian Program
Menurut bahasa, kata program berasal dari bahasa
Inggris, programe yang berarti acara atau rencana.
Sedangkan menurut istilah program adalah rancangan
mengenai asas-asas serta usaha-usaha yang akan
dijalankan.52
Menurut Wirawan, program adalah kegiatan
atau aktifitas yang dirancang untuk melaksanakan
kebijakan dan dilaksanakan untuk waktu yang tidak
terbatas.53
Dari pengertian ini terdapat makna bahwa
program adalah rencana/ rancangan kegiatan yang akan
dilakukan.
Menurut Suharsimi Arikunto, Program merupakan
sistem. Sedangkan sistem adalah suatu kesatuan dari
beberapa bagian atau komponen program yang saling
kait-mengkait dan bekerjasama satu dengan lainnya untuk
mencapai tujuan yang sudah ditetapkan dalam sistem.
Dengan begitu, program terdiri dari komponen-komponen
yang saling berkaitan dan saling menunjang dalam rangka
52
Tim Penyusun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 702. 53
Wirawan, Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi dan Profesi
(Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 17.
47
mencapai suatu tujuan tertentu.54
Dalam pengertian ini,
selain rencana/ rancangan, program juga merupakan
kumpulan komponen yang saling berkaitan dan saling
menunjang guna mencapai suatu tujuan.
Program didefiniskan sebagai suatu unit atau kesatuan
kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari
suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang
berkesinambungan dan terjadi dalam suatu organisasi/
lembaga yang melibatkan sekelompok orang. Ada tiga
pengertian penting dan perlu ditekankan dalam
menentukan program, yaitu:
a. Realisasi atau implementasi suatu kebijakan.
b. Terjadi dalam waktu yang relatif lama-bukan
kegiatan tunggal tetapi jamak berkesinambungan.
c. Terjadi dalam organisasi/ lembaga yang
melibatkan sekelompok orang.55
Konsep teori program mempunyai dua dimensi, yaitu
dimensi perspektif dan dimensi deskriptif. Dimensi
perspektif memfokuskan pada apa yang harus dilakukan
dalam keadaan ideal ketika melaksanakan program,
sedangkan dimensi deskriptif memfokuskan pada
penjelasan program, yaitu apa yang sesungguhnya terjadi
54
Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi
Program Pendidikan: Pedoman Teoretis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi
Pendidikan, Edisi ke-2 (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 9. 55
Ibid., h. 4.
48
sepanjang program berfungsi termasuk sumber program,
aktifitas-aktifitas program, pengaruh-pengaruh (outcomes)
program dan akibat (impact) program.56
Dengan demikian, sebuah program sangat dibutuhkan
dalam setiap pelaksanaan kegiatan individu maupun
kegiatan dari sebuah lembaga. Hal yang perlu diingat
adalah bahwa kegiatan yang sudah tidak lagi dilaksanakan
bukan lagi disebut program dan kegiatan yang tidak
direncanakan namun terjadi juga bukanlah suatu program.
Hal itu sesuai dengan definisi dari program yang
merupakan rencana suatu kegiatan yang berarti belum
atau sedang dilakukan.
2. Program Kesejahteraan Sosial
Perhatian pemerintah dan masyarakat secara umum
terhadap perlunya standar kehidupan yang lebih baik telah
mendorong terbentuknya berbagai usaha kesejahteraan
sosial. Usaha kesejahteraan sosial itu sendiri pada
dasarnya merupakan suatu program ataupun kegiatan
yang didesain secara kongkrit untuk menjawab masalah,
kebutuhan masyarakat ataupun meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Usaha kesejahteraan sosial itu dapat
ditujukan pada individu, keluarga, kelompok-kelompok
56
Wirawan, Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi dan Profesi
(Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 69-70.
49
dalam komunitas ataupun komunitas secara keseluruhan
(baik komunitas lokal, regional maupun nasional).57
Dari hal di atas, dapat dilihat bahwa kesejahteraan
sosial sebagai suatu kondisi kehidupan yang diharapkan
masyarakat tidak dapat terwujud bila tidak dikembangkan
usaha/ program kesejahteraan sosial, baik oleh pihak
pemerintah, organisasi non pemerintah maupun dunia
usaha. Karena itu berjalan atau tidaknya suatu program
kesejahteraan sosial sangat dipengaruhi oleh organisasi
yang menyediakan usaha kesejahteraan sosial tersebut.
Organisasi yang menyediakan layanan sosial (usaha
kesejahteraan sosial) ini dalam perspektif yang lebih luas
seringkali disebut dengan nama organisasi pelayanan
masyarakat (Human Service Organizations atau sering
disingkat dengan sebutan HSO).58
Human Service Organizations mempunyai lingkup
yang lebih luas dari organisasi sosial yang dikenal di
Indonesia. karena HSO bisa merupakan organisasi
pemerintah (government organizations), organisasi non-
pemerintah (non government organizations) maupun
pihak swasta (private organizations) yang memperhatikan
(concern dengan) masalah-masalah sosial dan masalah
kesejahteraan sosial dalam arti sempit (seperti masalah
57
Isbandi Rukminto Adi, Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan
Sosial, Edisi kedua (Jakarta: Fisip UI Press, 2005), h. 86. 58
Ibid., h. 86.
50
yang terkait dengan prostitusi, anak jalanan, tuna netra,
tuna rungu dan tuna grahita).59
Dalam kaitan dengan apa yang menjadi motivasi dari
suatu organisasi pelayanan masyarakat mengadakan usaha
kesejahteraan sosial, Schneiderman tahun 1967
menyatakan tiga tujuan dari suatu HSO (Human Service
Organizations) menyediakan usaha kesejahteraan sosial,
yaitu:60
a. Tujuan kemanusiaan dan keadilan sosial
(Humanitarian and social justice goal)
Tujuan ini bersumber dari gagasan ideal
demokratis tentang keadilan sosial, hal ini berasal dari
keyakinan bahwa setiap manusia mempunyai hak
untuk mengembangkan potensi diri yang mereka
miliki meskipun kadangkala potensi tersebut
„tertutup‟ oleh adanya hambatan fisik, sosial,
ekonomi, kejiwaan ataupun berbagai faktor lainnya.
Berdasarkan tujuan ini, usaha kesejahteraan sosial
banyak diarahkan pada upaya pengidentifikasian
kelompok yang paling tidak mendapat perhatian,
kelompok yang paling ditelantarkan, kelompok yang
paling tergantung terhadap pihak lain ataupun
kelompok yang kurang diuntungkan. Usaha/ program
59
Isbandi Rukminto Adi, Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan
Sosial, Edisi kedua (Jakarta: Fisip UI Press, 2005), h. 87. 60
Ibid., h. 87.
51
kesejahteraan sosial menjadikan mereka sebagai
kelompok sasaran dalam upaya menjembatani
kelangkaan sumberdaya yang mereka (kelompok
sasaran) miliki.61
b. Tujuan yang terkait dengan pengendalian sosial
(Social control goal)
Tujuan ini berkembang berdasarkan pemahaman
bahwa kelompok yang tidak diuntungkan, kekurangan
ataupun tidak terpenuhi kebutuhan hidupnya akan
dapat melakukan „serangan‟ ataupun menjadi
„ancaman‟ bagi kelompok masyarakat yang sudah
mapan.62
c. Tujuan yang terkait dengan pembangunan
ekonomi (Economic development goal)
Tujuan pembangunan ekonomi memprioritaskan
pada program-program yang dirancang untuk
meningkatkan produksi barang dan jasa serta berbagai
sumber daya yang dapat menunjang serta
memberikan sumbangan pada pembangunan
ekonomi.63
61
Isbandi Rukminto Adi, Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan
Sosial, Edisi kedua (Jakarta: Fisip UI Press, 2005), h. 87. 62
Ibid., h. 87. 63
Ibid., h. 88.
52
Adapun jenis program kesejahteraan sosial yang
ditawarkan ke masyarakat dapat berupa:64
a. Layanan yang langsung ditujukan ke kelompok
(komunitas) sasaran yang dikenal dengan nama
Direct services. Misalnya saja, suatu lembaga
pelayanan masyarakat (Human Service
Organizations) mengembangkan program
pengembangan modal usaha dan berbagai macam
model pemberian bantuan keuangan untuk
komunitas (income generating activities), program
beasiswa untuk anak yang tidak mampu dan
sebagainya. Disini semua layanan yang dilakukan
oleh lembaga ditujukan langsung pada komunitas
sasaran.
b. Layanan yang tidak langsung diarahkan pada
komunitas sasaran, tetapi bantuan diberikan pada
lembaga yang mempunyai program langsung ke
komunitas sasaran. Bentuk layanan seperti ini
dikenal dengan Indirect services. Misalnya, suatu
lembaga donor internasional dalam rangka
mengurangi angka kemiskinan dan angka kematian
bayi (infant mortality rate) maka lembaga donor
tersebut tidak memberikan bantuan langsung ke
komunitas sasaran, tetapi lembaga tersebut
64
Isbandi Rukminto Adi, Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan
Sosial, Edisi kedua (Jakarta: Fisip UI Press, 2005), h. 89.
53
mengkontak berbagai organisasi pelayanan
masyarakat (Human Service Organizations) di
Indonesia yang mempunyai program langsung ke
masyarakat. Bila dilihat dari apa yang dilakukan
oleh lembaga donor internasional tersebut maka
layanan yang diberikannya dapat digolongkan
sebagai layanan tidak langsung (indirect
services).65
3. Prinsip Dasar Dalam Praktik Kesejahteraan Sosial
a. Penerimaan (Acceptance)
Prinsip ini secara mendasar melihat bahwa praktisi
harus berusaha menerima klien mereka apa adanya,
tanpa „menghakimi‟ klien tersebut. Kemampuan
praktisi untuk menerima klien (pihak yang
membutuhkan bantuan) dengan sewajarnya akan
dapat banyak membantu perkembangan relasi antara
mereka. Berdasarkan prinsip ini, penerimaan seorang
praktisi harus berusaha meredam perasaan „suka‟ dan
„tidak suka‟ yang terlihat dari penampilan fisik
seseorang. Dengan adanya sikap acceptance
(menerima keadaan klien apa adanya) maka klien
akan dapat merasa lebih percaya diri dan tidak kaku
dalam berbicara dengan praktisi, sehingga klien dapat
mengungkapkan berbagai macam perasaan dan
65
Isbandi Rukminto Adi, Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan
Sosial, Edisi kedua (Jakarta: Fisip UI Press, 2005), h. 89-90.
54
permasalahan yang mengganjal di hatinya. Dengan
cara seperti ini maka relasi antara praktisi dan klien
dapat dikembangkan dengan baik.66
b. Komunikasi (Communication)
Prinsip komunikasi ini berkaitan erat dengan
kemampuan praktisi untuk menangkap informasi
ataupun pesan yang dikemukakan oleh klien. Pesan
yang disampaikan klien dapat berbentuk pesan verbal,
yang diungkapkan klien melalui ucapannya, ataupun
pesan tersebut berbentuk pesan non-verbal, misalnya
dari cara duduk klien, cara klien menggerakkan
tangan, cara meletakkan tangan dan sebagainya. Dari
pesan non-verbal kita bisa menangkap apakah klien
sedang merasa gelisah, cemas, takut, gembira dan
berbagai ungkapan perasaan lainnya.67
Bila suatu ketika klien tidak dapat mengungkapkan
perasaan apa yang dirasakannya, praktisi diharapkan
dapat membantu klien tersebut untuk mengungkapkan
apa yang ia rasakan. Dengan berkembangnya
komunikasi antara praktisi dan kliennya, maka ia
dapat menelaah permasalahan yang dihadapi klien
secara lebih jelas sehingga praktisi tidak menganalisis
66
Isbandi Rukminto Adi, Kesejahteraan Sosial: Pekerjaan Sosial,
Pembangunan Sosial dan Kajian Pembangunan (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2013), h. 84-85. 67
Ibid., h. 85.
55
berdasarkan praduga, tetapi berdasarkan data yang
diterima dari pesan verbal dan pesan non-verbal yang
disampaikan oleh klien.68
c. Individualisasi (Individualisation)
Prinsip ini menganggap setiap individu berbeda
antara satu dengan yang lainnya sehingga seorang
praktisi haruslah berusaha memahami keunikan dari
setiap klien. Dalam proses pemberian bantuan,
praktisi harus berusaha mengembangkan intervensi
yang sesuai dengan kondisi kliennya agar
mendapatkan hasil yang optimal. Dengan adanya
prinsip individualisasi ini maka praktisi diharapkan
tidak menyamaratakan setiap klien, sehingga
pendekatan dalam melakukan terapi lebih diutamakan
dengan penanganan kasus per kasus dan bukan
penggeneralisasian cara penanganan masalah.69
d. Partisipasi (Participation)
Pada prinsip partisipasi ini, praktisi didorong untuk
menjalankan peran sebagai fasilitator. Dari peran ini
diharapkan praktisi akan mengajak kliennya untuk
berpartisipasi aktif dalam menghadapi permasalahan
yang dihadapinya. Tanpa partisipasi aktif dari klien,
68
Isbandi Rukminto Adi, Kesejahteraan Sosial: Pekerjaan Sosial,
Pembangunan Sosial dan Kajian Pembangunan (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2013), h. 85. 69
Ibid., h. 86.
56
maka tujuan dari terapi tersebut sulit untuk tercapai.
Misalnya saja seorang praktisi menangani orang tua
yang sedang menderita depresi karena anak
kesayangannya meninggal. Tanpa keikutsertaan dan
usaha yang aktif dari orang tua tersebut untuk
mengatasi permasalahannya, maka upaya yang
dilakukan praktisi tidak akan membawa hasil yang
diinginkan.70
e. Kerahasiaan (Confidentiality)
Dalam prinsip ini, praktisi harus menjaga
kerahasiaan dari kasus yang sedang ditanganinya,
sehingga kasus itu tidak dibicarakan dengan
sembarang orang yang tidak terkait dengan
penanganan kasus tersebut. Praktisi baru dapat
membicarakan kasus tersebut ketika kasus tersebut
sedang dibahas dalam suatu tim kerja. Dengan
dijaminnya kerahasiaan ini, maka klien akan dapat
lebih bebas mengungkapkan permasalahan yang ia
hadapi ataupun perasaan yang ia rasakan. Ia akan
merasa lebih aman mengungkapkan perasaannya
70
Isbandi Rukminto Adi, Kesejahteraan Sosial: Pekerjaan Sosial,
Pembangunan Sosial dan Kajian Pembangunan (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2013), h. 87.
57
karena ia yakin bahwa apa yang ia utarakan akan
tetap dijaga kerahasiaannya.71
f. Kesadaran diri petugas (Worker self-awareness)
Prinsip kesadaran diri (self awareness) ini
menuntut praktisi untuk bersikap profesional dalam
menjalin relasi dengan kliennya, dalam arti bahwa
praktisi harus mampu mengendalikan dirinya
sehingga tidak terhanyut oleh perasaan ataupun
permasalahan yang dihadapi oleh kliennya. Praktisi
haruslah tetap rasional, tetapi mampu untuk
menyelami perasaan kliennya secara objektif. Dengan
kata lain, praktisi haruslah menerapkan sikap empati
dalam menjalin relasi dengan kliennya.72
Dari uraian di atas terlihat bahwa keenam prinsip
dasar tersebut adalah prinsip yang saling kait-mengait satu
dengan yang lainnya, apalagi dalam situasi praktis keenam
prinsip tersebut dapat dikatakan sebagai enam cairan yang
dimasukan ke dalam satu gelas dan setelah diaduk keenam
unsur tersebut saling berbaur dan menyatu dalam diri
praktisi tersebut. Prinsip-prinsip tersebut seolah-olah
sudah menjadi satu kesatuan dengan diri praktisi yang
71
Isbandi Rukminto Adi, Kesejahteraan Sosial: Pekerjaan Sosial,
Pembangunan Sosial dan Kajian Pembangunan (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2013), h. 87-88. 72
Ibid., h. 88.
58
berpraktik di bidang kesejahteraan sosial.73
Demikianlah 6
prinsip dasar dalam praktik mengusahakan kesejahteraan
sosial, termasuk untuk penderita gangguan mental.
D. Rehabilitasi Mental
1. Pengertian Rehabilitasi Mental
Rehabilitasi berasal dari kata dalam bahasa Inggris,
yaitu „Rehabilitation’ yang berarti „pembetulan‟ atau
„perbaikan‟. Rehabilitasi adalah suatu proses kegiatan
untuk memperbaiki kembali dan mengembangkan fisik,
kemampuan serta mental seseorang sehingga orang itu
dapat mengatasi masalah kesejahteraan sosial bagi dirinya
serta keluarganya.74
Dari pengertian ini diketahui bahwa
rehabilitasi merupakan upaya mengembalikan seseorang
kepada kondisi awal supaya menjadi manusia yang
berguna dan memiliki tempat di tengah masyarakat.
Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia,
rehabilitasi adalah proses refungsionalisasi dan
pemantapan taraf kesejahteraan sosial untuk
memungkinkan para penyandang masalah kesejahteraan
sosial mampu melaksanakan kembali fungsi sosialnya
dalam tata kehidupan dan penghidupan bermasyarakat dan
73
Isbandi Rukminto Adi, Kesejahteraan Sosial: Pekerjaan Sosial,
Pembangunan Sosial dan Kajian Pembangunan (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2013), h. 74. 74
Y.B. Suparlan, Kamus Istilah Pekerjaan Sosial (Yogyakarta,
Kanisius: 1990), h. 139.
59
bernegara.75
Pada dasarnya rehabilitasi merupakan upaya
mengembalikan keberfungsian sosial seseorang dengan
menawarkan optimisme serta harapan yang kuat.
Rehabilitasi ini didasari pada sebuah asumsi
bahwasanya pada diri penyandang masalah sosial, baik
pada level individu, kelompok maupun masyarakat luas
terkandung adanya potensi untuk berubah menuju kondisi
yang normal.76
Jika saat ini seseorang sedang mengalami
masalah sosial atau menderita gangguan mental, maka
harus dipahami bahwa mereka sedang tidak normal.
Potensi dan kemungkinan mereka menjadi normal
kembali sangat terbuka lebar dengan adanya upaya
rehabilitasi.
Sedangkan rehabilitasi mental adalah suatu proses
kegiatan yang ditujukan untuk memperkuat ketahanan
mental seseorang dalam menghadapi masalah yang
dimiliki agar dapat bertahan, tidak putus asa dan memiliki
harapan untuk mengatasi masalahnya.77
Rehabilitasi
mental merupakan upaya perbaikan atau pemulihan
mental seseorang yang pernah mengalami gangguan
kejiwaan agar kembali kepada kondisi awal sebagai
75
Balitbang Departemen Sosial RI, Pola Pembangunan
Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Balitbang Departemen Sosial RI, 2003), h. 3. 76
Soetomo, Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), h. 53. 77
Tunggul Sianipar, Pedoman Penanganan Korban Trafficking
(Jakarta: Direktorat Pelayanan dan rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Kemensos
RI, 2010), h. 16.
60
manusia seutuhnya dan dapat diterima kembali di tengah
masyarakat.
2. Jenis Rehabilitasi
Pada perkembangannya, rehabilitasi terbagi menjadi
empat jenis, yaitu:78
a. Rehabilitasi Medis
Rehabilitasi ini memberikan berbagai perawatan
secara medis dalam upaya memulihkan kondisi fisik
klien. Rehabilitasi medis menawarkan pelayanan
kesehatan bagi klien yang mempertemukan tenaga
profesional seperti dokter, psikolog, psikiater bahkan
pekerja sosial medis. Proses rehabilitasi medis
umumnya berlangsung di rumah sakit, khususnya
yang memiliki Instalasi Rehabilitasi Medis (IRM)
seperti Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
dan Rumah Sakit Fatmawati di Jakarta.
b. Rehabilitasi Pendidikan
Rehabilitasi pendidikan merupakan upaya
pembangunan potensi intelektual klien pada sekolah
dan untuk keterampilan.
78
Carolina Nitimiharjo, Rehabilitasi Sosial dalam Isu-isu Tematik
Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi (Jakarta: Balitbang Departemen
Sosial RI, 2004), h. 185.
61
c. Rehabilitasi Vokasional
Rehabilitasi ini memberikan keterampilan khusus
pada klien sesuai minat dan kemampuannya, seperti
keterampilan dalam bidang musik, pijat, masak,
olahraga, komputer dan lain sebagainya. Rehabilitasi
vokasional memerlukan tenaga khusus yang
menguasai keterampilan-keterampilan tersebut
sehingga dapat mewujudkan tujuan proses rehabilitasi
vokasional yaitu kemandirian ekonomi.
d. Rehabilitasi Sosial
Proses rehabilitasi sosial mengupayakan agar klien
dapat memulihkan fungsi sosialnya di masyarakat.
Proses rehabilitasi sosial juga bertujuan untuk
mengintegrasikan klien kembali kepada lingkungan
masyarakat. Pada prosesnya, rehabilitasi sosial
mengintervensi klien sebagai bagian yang tidak dapat
terpisahkan dari keluarga dan komunitasnya. Proses
tersebut melibatkan sikap klien terhadap keluarga,
komunitas bahkan masyarakat. Peranan pekerja
sosial, psikolog, psikiater menjadi sangat penting
pada proses rehabilitasi ini.79
Dari keempat definisi di atas, jenis rehabilitasi yang
diterjadi pada tempat diadakannya penelitian ini, yakni
79
Carolina Nitimiharjo, Rehabilitasi Sosial dalam Isu-isu Tematik
Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi (Jakarta: Balitbang Departemen
Sosial RI, 2004), h. 185.
62
Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga
Jawa Tengah adalah jenis rehabilitasi sosial.
3. Fungsi Rehabilitasi
Menurut Hamdani Bakran Adz-Dzaky, fungsi utama
rehabilitasi adalah sebagai berikut:80
a. Fungsi Pemahaman
Memberi pemahaman dan pengertian tentang
masalah dalam hidup serta bagaimana
menyelesaikannya secara baik, benar dan mulia,
khususnya terhadap gangguan mental, kejiwaan,
spiritual dan moral serta problematika-problematika
lahiriyah maupun batiniyah pada umumnya.
b. Fungsi Pengendalian
Memberikan potensi yang dapat mengarahkan
aktifitas setiap hamba Allah agar tetap terjaga dalam
pengendalian dan pengawasan Allah SWT sehingga
tidak akan keluar dari hal kebenaran, kebaikan dan
kemanfaatan.
c. Fungsi Analisa ke Depan
Sesungguhnya dengan ilmu ini seseorang akan
memiliki potensi dasar untuk melakukan analisa ke
80
Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islam
(Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2004), h. 270.
63
depan tentang segala peristiwa, kejadian, dan
perkembangan.
d. Fungsi Pencegahan
Dengan mempelajari, memahami dan
mengaplikasikan ilmu ini, seseorang dapat terhindar
dari keadaan atau peristiwa yang membahayakan
dirinya, jiwa, mental, dan spiritual atau mentalnya.
Sebab hal tersebut dapat menimbulkan potensi
preventif.
e. Fungsi Penyembuhan /Perawatan
Rehabilitasi akan membantu seseorang melakukan
pengobatan, penyembuhan dan perawatan terhadap
gangguan atau penyakit, khususnya terhadap
gangguan mental, spiritual dan kejiwaan seperti
dengan berdzikrullah, hati dan jiwa menjadi tenang
dan damai, spirit dan etos kerja akan bersih dan suci
dari gangguan setan, jin, iblis, dan sebagainya.81
4. Tahapan Rehabilitasi
Ada beberapa tahapan dalam melakukan rehabilitasi/
terapi mental, yaitu:82
81
Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islam
(Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2004), h. 270-278. 82
Isbandi Rukminto Adi, Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan
Sosial, Edisi kedua (Jakarta: Fisip UI Press, 2005), h. 149.
64
a. Tahapan penelitian (study phase)
Dalam tahapan ini, klien dan caseworker mulai
menjalin relasi. Tahapan ini adalah proses perjalinan
(angagement) antara klien dan caseworker mulai
dikembangkan.
b. Tahapan pengkajian (assesment phase)
Dari pengkajian assesment yang dilakukan
diharapkan akan menghasilkan berbagai macam
bentuk terapi ataupun treatment tergantung kebutuhan
dan keunikan masing-masing klien.
c. Tahapan intervensi
Tahapan ini sebenarnya sudah diawali pada
pertemuan atau tahap awal dengan klien. Dalam
proses ini penyelenggara rehabilitasi sudah membantu
klien dalam mengklarifikasikan permasalahan apa
yang sebenarnya ia hadapi dan melakukan perubahan
kondisi kehidupannya berdasarkan pemahaman yang
terjadi.
d. Tahapan terminasi
Tahapan ini merupakan tahapan dimana relasi
dengan klien akan dihentikan. Pemahaman tentang
„penghentian‟ proses treatment juga harus dipahami
dengan makna yang kurang lebih sama, antara
caseworker dengan kliennya.83
83
Isbandi Rukminto Adi, Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan
Sosial, Edisi kedua (Jakarta: Fisip UI Press, 2005), h. 149-152.
65
5. Rasionalisasi Program Rehabilitasi Mental
Pada penelitian di Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba Purbalingga Jawa Tengah sebagaimana tertuang
dalam batasan masalah pada Bab I, penulis membatasi
program rehabilitasi mental yang diteliti hanya pada
program ruqyah, istighosah dan minum air karomah.
Berikut merupakan uraian mengenai program-program
tersebut ditinjau dari teori-teori yang ada.
a. Ruqyah
Menurut pandangan Sigmund Freud, orang yang
mengalami gangguan mental berat coping stress-nya
tidak dapat mengatasi stressor yang ada sehingga ego
menjadi lemah. Saat ego melemah maka ia mulai
melakukan pertahanan diri dalam bentuk dissosiasi,
yaitu kehilangan kemampuan mengingat peristiwa
yang terjadi pada dirinya. Dissosiasi tersebut
merupakan salah satu bentuk deffence mechanism ego
ketika kebutuhan-kebutuhan id tidak tersalurkan
karena adanya superego.84
Untuk menjelaskan bagaimana proses
penyembuhan gangguan mental melalui terapi ruqyah,
salah satu teori yang dapat digunakan adalah teori
kognitif. Dalam teori kognitif dikatakan bahwa pikiran
84
Rasmun, Stress, Coping dan Adaptasi Teori dan Pohon Masalah
Keperawatan (Jakarta: Sagung Seto, 2004), h. 35.
66
kitalah yang menimbulkan perasaan dan emosi, bukan
faktor eksternal. Selain itu reaksi emosional dan
perilaku dipengaruhi oleh persepsi mereka mengenai
kejadian-kejadian di sekelilingnya. Pikiran yang
timbul secara otomatis merupakan reaksi dari situasi
tertentu yang bukan merupakan hasil dari pemikiran
yang rasional (yang dipikirkan terlebih dahulu).85
Pikiran yang timbul secara otomatis tersebut
kemudian menjadi keyakinan-keyakinan inti, yang
merupakan pengertian-pengertian yang sangat
fundamental dan mendalam yang sering dianggap
sebagai kebenaran yang absolut, sifatnya paling
mendasar (fundamental), global, kaku dan over
generalized (menyama-ratakan). Pikiran otomatis
yang menjadi keyakinan tersebut dibangun oleh proses
kognitif individu (perceptual ke procedural) atas
pengalaman hidup dari kecil sehingga dewasa, dari
interaksi dengan orang-orang disekitar kehidupannya
dan pandangan mengenai dunianya.86
Ruqyah memang sangat berbeda dan tidak dapat
disamakan dengan psikoterapi konvensional
umumnya. Namun secara psikologis, penanganan
berbasis spiritual agama cukup signifikan dalam
85
Siti Qodariah, “Pengaruh Terapi Ruqyah Syariyyah Terhadap
Penurunan Tingkat Kecemasan”, Jurnal Scientica, Vol 2 No 2 (Desember-
Februari 2015): h. 26. 86
Ibid., h. 26.
67
penyembuhan. Asumsi ini khususnya didukung oleh
aliran eksistensial. Aliran eksistensial yang diwakili
oleh Viktor Frankl berpendapat bahwa gangguan
serius yang terjadi pada umat manusia adalah akibat
kevakuman eksistensial atau kekosongan nilai
spiritual. Untuk menghindari hal ini seseorang harus
memiliki kebermaknaan dalam hidupnya, kemudian
Frankl memberikan konsep transendensi untuk
menemukan supra-makna melalui keyakinan
ketuhanan.87
Dengan pendekatan eksistensial, seseorang akan
dibawa menuju kesadaran akan siapa dirinya,
kebebasan yang ada pada dirinya, tanggung jawab
dirinya atas perbuatan yang dipilih, identitas yang
dapat ia raih di lingkungannya, makna hidup yang
ideal bagi dirinya, kecemasan dalam kondisi hidup
yang diaalaminya dan kesadaran akan kematian.
Dalam proses ini maka manusia terarah menjadi
being. Terapi eksistensial menempatkan nilai penting
sentral pada hubungan antar pribadi. Terapi ini
percaya bahwa pertumbuhan klien terjadi melalui
pertemuan yang natur ini, bukan masalah teknik yang
87
George Boeree, Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda
Bersama Psikologi Dunia (Yogyakarta: Prismashopie, 2004), h. 399.
68
digunakan. Kualitas hubungan klien-terapis yang
berperan paling penting.88
Terapi ruqyah adalah terapi dengan menggunakan
ayat-ayat dalam Al Qur‟an dengan membaca ataupun
mendengarkannya secara keseluruhan ataupun hanya
surat-surat tertentu yang ada hubungannya dengan
permasalahan atau gangguan/ penyakit. Seseorang
yang diruqyah artinya sudah dimohonkan
perlindungan kepada Allah SWT, menggunakan
asma‟ul husna dan surat-surat mu’awidzat (penangkal
keburukan). Menurut Ibnul Qayyim Al-Jauziyah
ruqyah mengandung unsur tawassul kepada Allah
melalui kesempurnaan rububiyah dan rahmat-Nya
yang memberi kesembuhan, karena memang Allah
satu-satunya yang dapat memberikan kesembuhan.
Oleh karena itu ruqyah ini sudah mengandung
tawassul kepada Allah melalui tauhid, ihsan dan
keyakinan terhadap Rububiyah Allah.89
Dibacakannya Al Quran dengan tartil dan tenang
pada klien akan menjadikan klien menjadi lebih
tenang karena terdapat aspek psikoterapi yang
dikandung oleh Al-Qur‟an yaitu aspek meditasi,
komunikasi, spiritual dan aspek autosugesti. Bacaan
88
G. Corey, Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi
(Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), h. 277. 89
Abu Umar Basyir Al-Maidani, Metode Pengobatan Nabi SAW
(Jakarta: Griya Ilmu, 2005), h. 26-30.
69
Al-Qur‟an yang tartil atau doa-doa yang lembut akan
memberikan vibrasi yang kuat kepada perubahan
mental dan mengandung kekuatan penyembuhan
memiliki hikmah magis dan gaib (dapat menghibur
perasaan sedih, menenangkan jiwa yang gelisah dan
membersihkan dan melunakkan hati yang keras, serta
mendatangkan petunjuk.90
Menurut Campbell, lantunan Al-Qur‟an secara
fisik mengandung unsur suara manusia. Suara
manusia merupakan instrumen penyembuhan yang
menakjubkan dan alat yang paling mudah dijangkau.
Suara dapat menurunkan hormon-hormon stres,
mengaktifkan hormon endorfin alami, meningkatkan
perasaan rileks dan mengalihkan perhatian dari rasa
takut, cemas dan tegang, memperbaiki sistem kimia
tubuh sehingga menurunkan tekanan darah serta
memperlambat pernafasan, detak jantung, denyut nadi
dan aktivitas gelombang otak. Dengan adanya
perasaan tenang dan rileks membuat laju pernafasan
menjadi lebih dalam atau lebih lambat sehingga
semakin menimbulkan ketenangan, pengendalian
90
Siti Qodariah, “Pengaruh Terapi Ruqyah Syariyyah Terhadap
Penurunan Tingkat Kecemasan”, Jurnal Scientica, Vol 2 No 2 (Desember-
Februari 2015): h. 31.
70
emosi, pemikiran yang lebih dalam dan metabolisme
yang lebih baik.91
b. Istighosah
Serupa dengan ruqyah, penjelasan mengenai
istighosah dapat menyembuhkan gangguan mental
pun hampir sama. Istighosah adalah meminta sesuatu
untuk menghilangkan kesusahan atau kesedihan dan
memohon bantuan hanya dengan Allah SWT. Hal itu
diperbolehkan di dalam segala urusan kebaikan.92
Teori istighosah tersebut sejalan dengan teori Zakiah
Daradjat yang mengatakan bahwa salah satu manfaat
istighosah adalah memberi pencegahan terhadap
kegoncangan kejiwaan dan penyembuhan stres.93
Istighosah juga sangat berbeda dan tidak dapat
disamakan dengan psikoterapi konvensional
umumnya. Namun secara psikologis, penanganan
berbasis spiritual agama cukup signifikan dalam
penyembuhan. Asumsi ini khususnya didukung oleh
aliran eksistensial. Aliran eksistensial yang diwakili
oleh Viktor Frankl berpendapat bahwa gangguan
serius yang terjadi pada umat manusia adalah akibat
91
John M. Ortiz, Nurturing Your Child With Music: Menumbuhkan
Anak-anak yang Bahagia, Cerdas dan Percaya Diri dengan Musik.
Penerjemah Juni Prakoso. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 35. 92
Muhammad Ibn Abdul Wahab, Kitab Tauhid. Penerjemah Abu
Ismail Fuad (Yogyakarta: Pustaka Al-Haura, 2009), h. 33. 93
Zakiah Daradjat, Doa Menunjang Semangat Hidup (Jakarta:
Ruhama, 1994), h. 102.
71
kevakuman eksistensial atau kekosongan nilai
spiritual. Untuk menghindari hal ini seseorang harus
memiliki kebermaknaan dalam hidupnya, kemudian
Frankl memberikan konsep transendensi untuk
menemukan supra-makna melalui keyakinan
ketuhanan.94
Dengan pendekatan eksistensial, seseorang akan
dibawa menuju kesadaran akan siapa dirinya,
kebebasan yang ada pada dirinya, tanggung jawab
dirinya atas perbuatan yang dipilih, identitas yang
dapat ia raih di lingkungannya, makna hidup yang
ideal bagi dirinya, kecemasan dalam kondisi hidup
yang diaalaminya dan kesadaran akan kematian.
Dalam proses ini maka manusia terarah menjadi
being. Terapi eksistensial menempatkan nilai penting
sentral pada hubungan antar pribadi. Terapi ini
percaya bahwa pertumbuhan klien terjadi melalui
pertemuan yang natur ini, bukan masalah teknik yang
digunakan. Kualitas hubungan klien-terapis yang
berperan paling penting.95
Terapi istighosah adalah terapi dengan
menggunakan bacaan-bacaan yang baik termasuk di
dalamnya adalah ayat-ayat dalam Al Qur‟an.
94
George Boeree, Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda
Bersama Psikologi Dunia (Yogyakarta: Prismashopie, 2004), h. 399. 95
G. Corey, Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi
(Semarang: IKIP Semarang Press, 1995), h. 277.
72
Seseorang yang melaksanakan istighosah artinya
sedang memohon perlindungan kepada Allah SWT,
menggunakan bacaan-bacaan yang baik bersumber
dari al-Quran dan doa Rasulullah seperti asma‟ul
husna dan surat-surat mu’awidzat (penangkal
keburukan). Menurut Ibnul Qayyim Al-Jauziyah
istighosah juga mengandung unsur tawassul kepada
Allah melalui kesempurnaan rububiyah dan rahmat-
Nya yang memberi kesembuhan, karena memang
Allah satu-satunya yang dapat memberikan
kesembuhan.96
Dengan memohon kepada Allah dengan
menggunakan bacaan doa-doa dan Al Quran dengan
tartil dan tenang akan menjadikan klien menjadi lebih
tenang karena terdapat aspek psikoterapi yang
dikandung oleh Al-Qur‟an yaitu aspek meditasi,
komunikasi, spiritual dan aspek autosugesti. Bacaan
Al-Qur‟an yang tartil atau doa-doa yang lembut akan
memberikan vibrasi yang kuat kepada perubahan
mental dan mengandung kekuatan penyembuhan
memiliki hikmah magis dan gaib (dapat menghibur
perasaan sedih, menenangkan jiwa yang gelisah dan
96
Abu Umar Basyir Al-Maidani, Metode Pengobatan Nabi SAW
(Jakarta: Griya Ilmu, 2005), h. 26-30.
73
membersihkan dan melunakkan hati yang keras, serta
mendatangkan petunjuk.97
Menurut Campbell, lantunan doa dan al-Qur‟an
secara fisik mengandung unsur suara manusia. Suara
manusia merupakan instrumen penyembuhan yang
menakjubkan dan alat yang paling mudah dijangkau.
Suara dapat menurunkan hormon-hormon stres,
mengaktifkan hormon endorfin alami, meningkatkan
perasaan rileks dan mengalihkan perhatian dari rasa
takut, cemas dan tegang, memperbaiki sistem kimia
tubuh sehingga menurunkan tekanan darah serta
memperlambat pernafasan, detak jantung, denyut nadi
dan aktivitas gelombang otak. Dengan adanya
perasaan tenang dan rileks membuat laju pernafasan
menjadi lebih dalam atau lebih lambat sehingga
semakin menimbulkan ketenangan, pengendalian
emosi, pemikiran yang lebih dalam dan metabolisme
yang lebih baik.98
Dibacakannya doa dan harapan yang positif ini
akan memacu penguatan keyakinan religius dan
meningkatkan kontrol individu terhadap stressor.
Hubungan timbal balik itu direkam oleh hipokampus,
97
Siti Qodariah, “Pengaruh Terapi Ruqyah Syariyyah Terhadap
Penurunan Tingkat Kecemasan”, Jurnal Scientica, Vol 2 No 2 (Desember-
Februari 2015): h. 31. 98
John M. Ortiz, Nurturing Your Child With Music: Menumbuhkan
Anak-anak yang Bahagia, Cerdas dan Percaya Diri dengan Musik.
Penerjemah Juni Prakoso. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 35.
74
maka pengalaman emosional dan religius itu dapat
membawa transformasi diri bagi yang mengalaminya.
Individu menjadi lebih tenang, sehingga dapat
menurunkan gangguan mental yang dialami oleh
individu.99
c. Minum Air Karomah
Air merupakan bagian terbesar dari tubuh dan
terutama berfungsi sebagai pelarut bagi komponen
tubuh lainnya. Unsur air ini harus ada pada tubuh
dalam jumlah yang cukup, untuk mempertahankan
efisiensi tubuh.100
Air adalah daya yang menciptakan
dan memberikan kehidupan. Tanpa air, partikel-
partikel tidak dapat bercampur atau beredar. Air
adalah ibu kehidupan, sekaligus energi untuk
kehidupan. Ini dimungkinkan karena karakteristik
unik air. Air bukanlah sekedar zat, air adalah daya
hidup alam yang agung. Air mampu membersihkan
dan memberi hidup bagi semua kehidupan.101
Masaru Emoto melakukan penelitian tentang air di
Jepang. Dalam temuannya ia mengatakan bahwa air
dapat membawa informasi, informasi yang dibawa
99
Siti Qodariah, “Pengaruh Terapi Ruqyah Syariyyah Terhadap
Penurunan Tingkat Kecemasan”, Jurnal Scientica, Vol 2 No 2 (Desember-
Februari 2015): h. 32. 100
Maimunah Hasan, Al-Qur’an dan Ilmu Gizi (Yogyakarta: Madani
Pustaka, 2001), h. 21. 101
Masaru Emoto, The Hidden Messages in Water: Pesan Rahasia
Sang Air (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 5.
75
bisa bermuatan positif atau negatif. Karena manusia
adalah air, sudah pasti tubuh akan merespon informasi
yang dibawa oleh air yang diminum. Jika tubuh
mendapat informasi positif dari air, tubuh menjadi
lebih sehat. Namun jika tubuh mendapat informasi
negatif dari air, maka tubuh menjadi sakit.102
Air mempunyai ukuran yang cocok untuk
membawa berbagai macam informasi, termasuk
diantaranya membawa gelombang yang bermanfaat
untuk pengobatan, gelombang tersebut sebagai hado
(energi). Dengan meminum air hado (berisi energi
karena telah dibacakan doa) ini orang yang sakit akan
mampu memperbaiki gelombang yang terganggu.103
Air bermanfaat untuk memperbaiki gelombang
tubuh yang terganggu. Air hado yang telah memiliki
energi karena sudah dibacakan doa-doa akan meresap
ke dalam molekul, atom, dan partikel sub atom,
sebagai faktor-faktor pembentuk tubuh manusia, untuk
kemudian menghentikan gangguan gelombang dalam
tubuh orang tersebut. Dengan meminum air hado,
102
Masaru Emoto, The True Power of Water: Hikmah Air dalam
Olahjiwa. Penerjemah Azam Translator (Bandung: MQ Publishing, 2006), h.
84. 103
Ibid., h. 101.
76
orang yang sakit akan mampu memperbaiki
gelombang yang terganggu.104
Air kiranya dapat memahami maksud dari kata
yang diperlihatkan, saat air merasakan adanya rasa
terima kasih, air kemudian membawa informasi yang
diterima ke dalam dirinya. Saat air sadar bahwa kata
yang diperlihatkan membawa informasi yang baik
maka air membentuk kristal yang indah seperti bunga
yang sedang mekar. Akan tetapi jika air diberikan
informasi negatif berupa kata hinaan seperti “kamu
bodoh” maka air hanya dapat membentuk pecahan-
pecahan kristal. Jadi kualitas air bergantung pada
informasi yang diterimanya.105
Air bersifat sensitif. Air mampu merespon setiap
kata yang diucapkan. Apabila seseorang mengirim
hado yang baik kepada air dengan mengatakan kata-
kata positif, maka air mempersembahkan kristal-
kristal yang indah. Doa juga mengeluarkan energi
yang dapat mengubah kualitas air. Seseorang yang
memberikan hado doa pada air, berarti telah
mengirimkan hado ke air kemudian air menggunakan
kekuatannya untuk menjawab doa-doa tersebut. Suara-
104
Masaru Emoto, The True Power of Water: Hikmah Air dalam
Olahjiwa. Penerjemah Azam Translator (Bandung: MQ Publishing, 2006), h.
34. 105
Ibid., h. 14.
77
suara seperti doa yang dibaca berulang-ulang
menciptakan frekuensi penyembuhan.106
E. Gangguan Mental
1. Pengertian Gangguan Mental
Seorang ahli psikologi agama, Zakiah Daradjat
menawarkan satu istilah yang agak berbeda dalam
menjelaskan tentang gangguan mental. Menurut Daradjat,
gangguan mental adalah kumpulan dari keadaan-keadaan
yang tidak normal baik yang berhubungan dengan fisik
maupun dengan mental. Ketidaknormalan tersebut tidak
disebabkan oleh sakit atau rusaknya bagian-bagian
anggota badan, meskipun kadang-kadang gejalanya
terlihat pada fisik. Ketidaknormalan itu dapat dibagi atas
dua golongan, yaitu gangguan mental dan sakit mental.
Pada tahapan awal seseorang terganggu mentalnya, yang
cepat atau lambat dapat meningkat menjadi sakit mental
sebagai tahapan lanjutannya.107
Gangguan mental merupakan gangguan dalam
pikiran, perasaan dan perilaku yang menimbulkan
ketidakmampuan atau disabilitas dalam kehidupan dan
106
Masaru Emoto, The True Power of Water: Hikmah Air dalam
Olahjiwa. Penerjemah Azam Translator (Bandung: MQ Publishing, 2006), h.
113. 107
MIF Baihaqi, dkk., Psikiatri: Konsep Dasar dan Gangguan-
gangguan (Bandung: Refika Aditama, 2005), h. 4.
78
menyebabkan penderitaan bagi seseorang.108
Dalam
pengertian ini dikatakan bahwa orang yang mentalnya
terganggu mengalami penderitaan dalam kehidupan
karena fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan dan
perilakunya mengalami gangguan sehingga menimbulkan
ketidakmampuan untuk hidup secara normal.
Gangguan mental pada umumnya berbentuk
ketidakmampuan mengadakan adaptasi terhadap
lingkungan dimana ia hidup dengan tingkahlakunya yang
tidak normal dan aneh. Penderita gangguan mental
biasanya tidak memahami dirinya sendiri atau bahkan
membenci dirinya sendiri.109
Orang yang mampu hidup
harmonis dengan dirinya sendiri dan orang lain serta
mampu memahami dirinya sendiri akan mudah
beradaptasi dengan lingkungannya sehingga mampu
membentengi diri dari gangguan mental.
Gangguan mental selalu berkaitan dengan gangguan-
gangguan internal berupa motivasi-motivasi yang tidak
riil dan kekuatan-kekuatan yang saling berkonflik dalam
kepribadian seseorang, misalnya berupa konflik antara
dorongan-dorongan yang infantil (bersifat kekanak-
kanakan) melawan pertimbangan yang rasional dan
108
Laury M.G Korobu, dkk., “Analisis Pelaksanaan Layanan Instalasi
Rehabilitasi Psikososial di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L Ratumbuysang
Provinsi Sulawesi Utara,” Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat Umum, Vol 5
No 2 (April 2015): h. 180. 109
Kartini Kartono, Hygiene Mental, Cet ke-7 (Bandung: Mandar
Maju, 2000), h. 95.
79
matang, konflik antara norma-norma batin sendiri
melawan standar sosial yang dianut orang dan konflik lain
yang saling bertentangan dalam diri seseorang.110
Gangguan mental dalam beberapa hal disebut
perilaku abnormal (abnormal behavior) yang juga
dianggap sama dengan sakit mental (mental illness)
ataupun sakit jiwa (insanity, lunacy, madness). Selain itu
terdapat pula istilah-istilah yang serupa seperti: distress,
discontrol, disadvantage, disability, inflexibility,
irrationality, syndromal pattern dan disturbance.
Berbagai istilah ini dalam beberapa hal dianggap sama
namun di lain pihak digunakan secara berbeda. Dalam
International Classification of Diseases (ICD) dan
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
(DSM), istilah yang digunakan adalah „mental disorder‟
yang bila diterjemahkan menjadi „gangguan mental‟.111
Untuk mengetahui apakah seseorang sehat mental
atau terganggu mentalnya tidaklah mudah, hal ini
dikarenakan tidak mudah mengukurnya, memeriksanya
dan tidak bisa dilihat dengan menggunakan alat-alat
seperti halnya dengan memeriksa kesehatan badan.
Biasanya yang dijadikan bahan penyelidikan atau tanda-
tanda dari kesehatan mental adalah tindakan, tingkah laku
110
Kartini Kartono, Hygiene Mental, Cet ke-7 (Bandung: Mandar
Maju, 2000), h. 83-84. 111
Moeljono Notosoedirdjo dan Latipun, Kesehatan Mental: Konsep
dan Penerapan, Cet ke-6 (Malang: UMM Press, 2011), h. 42.
80
atau perasaan seseorang. Seseorang terganggu kesehatan
mentalnya bila terjadi kegoncangan emosi, kelainan
tingkah laku atau tindakannya.112
Orang yang terkena gangguan mental masih
mengetahui dan merasakan kesukaran-kesukaran yang
dialaminya, sebaliknya orang yang terkena penyakit
mental/ jiwa tidak demikian. Selain itu orang yang kena
gangguan mental kepribadiannya tidak jauh dari
kenyataan, ia masih hidup dalam alam kenyataan
sebagaimana masyarakat umumnya. Sedangkan orang
yang kena penyakit jiwa/ mental kepribadiannya sangat
terganggu dari segala segi (tanggapan, perasaan atau
emosi dan dorongan-dorongannya), tidak ada integritas
dan ia hidup jauh dari alam kenyataan.113
Jumlah gangguan mental yang dapat diidentifikasikan
hampir tidak terbatas, mulai dari kesulitan-kesulitan
emosional yang merugikan individu meskipun singkat
hingga pada gangguan mental yang ringan dan berat.
Beberapa orang menyebut gangguan mental yang ringan
dengan gangguan mental/ neurosis serta gangguan mental
yang berat dengan istilah penyakit mental/ psikosis.
Penulis tidak mau memakai kedua istilah itu mengingat
arti dari penyakit dan gangguan adalah sama. Dengan
112
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 9. 113
MIF Baihaqi, dkk., Psikiatri: Konsep Dasar dan Gangguan-
gangguan (Bandung: Refika Aditama, 2005), h. 4.
81
demikian, baik gangguan emosi yang biasa maupun
neurosis dan psikosis ditempatkan di bawah satu judul
yang sama, yakni gangguan mental.114
2. Penyebab Gangguan mental
Setiap manusia itu selalu mempunyai macam-macam
kebutuhan untuk mempertahankan eksistensi hidupnya
sehingga timbullah dorongan, usaha dan dinamisme untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Bila kebutuhan-kebutuhan
hidup itu terhalangi, maka akan timbullah ketegangan-
ketegangan dan konflik batin. Bila hal ini berlangsung
terus-menerus, maka akan muncul kekalutan/ gangguan
mental.115
Penyebab sederhana gangguan mental adalah
karena harapan dan kebutuhan yang diidamkan tidak
tercapai sehingga menimbulkan ketegangan dan konflik
dalam batin.
Menurut Zakiah Daradjat, gangguan mental (neurose)
dan penyakit jiwa/ mental (psychose) disebabkan
ketidakmampuan seseorang menghadapi kesukaran-
kesukarannya dengan wajar atau ketidaksanggupan dalam
menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapinya.116
Respon yang salah terhadap kesulitan yang dihadapi,
penyesuaian diri yang lamban terhadap kondisi yang ada
114
Yustinus Semiun, Kesehatan Mental, Jilid 1 (Yogyakarta:
Kanisius, 2006), h. 9-10. 115
Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jilid 1 (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2007), h. 304. 116
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 24.
82
serta ketidakmampuan menghadapi segala macam
kesulitan akan menyebabkan mental seseorang menjadi
terganggu.
Lebih lanjut Zakiah Daradjat menyebutkan ada tiga
faktor penyebab timbulnya gangguan mental, yaitu:117
a. Frustasi (tekanan perasaan)
Frustasi adalah suatu proses yang menyebabkan
orang merasa adanya hambatan dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya atau menyangka bahwa
akan terjadi sesuatu yang akan menghalangi
keinginannya. Jika seseorang tidak mampu
menghadapi rasa frustasi dengan cara yang wajar
maka ia akan berusaha mengatasi dengan cara lain
tanpa mengindahkan orang dan lingkungan sekitarnya
seperti dengan cara kekerasan. Apabila rasa tertekan
itu sangat berat sehingga tidak bisa diatasinya, maka
akan mengakibatkan gangguan bahkan penyakit
mental pada orang tersebut.
b. Konflik (pertentangan batin)
Konflik atau pertentangan batin adalah
terdapatnya dua macam dorongan atau lebih yang
saling berlawanan atau bertentangan antara satu
dengan yang lainnya dan tidak adanya kemungkinan
117
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 17.
83
untuk dipenuhi dalam waktu yang sama. Konflik
dapat dibagi kepada beberapa macam, yaitu:
1. Pertentangan antara dua hal yang diingini,
yaitu adanya dua hal yang sama-sama diingini
namun tidak mungkin diambil keduanya.
Konflik seperti ini ringan saja dan akan hilang
jika orang sudah dapat memilih salah satu
diantaranya.
2. Pertentangan antara dua hal, yang pertama
diingini sedangkan yang kedua tidak diingini.
Konflik ini terjadi apabila terdapat dua macam
keinginan yang bertentangan satu sama lain
antara dua hal yang saling menghalangi antara
satu dengan lainnya. Dari satu segi ingin
mencapainya namun dari segi yang lain ingin
menghindarinya.118
3. Pertentangan antara dua hal yang tidak
diingini, yaitu orang menghadapi situasi yang
menimbulkan dua hal yang sama-sama tidak
disenangi.
c. Kecemasan (anxiety)
Kecemasan adalah manifestasi dari berbagai
proses emosi yang bercampur baur yang terjadi ketika
orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi)
118
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 17-19.
84
dan pertentangan batin (konflik batin). Kecemasan itu
mempunyai segi yang disadari seperti rasa takut,
terkejut, tidak berdaya, rasa berdosa/ bersalah,
terancam dan sebagainya. Juga ada segi-segi yang
terjadi di luar kesadaran dan tidak bisa menghindari
perasaan yang tidak menyenangkan itu. Rasa cemas
itu terdapat dalam semua gangguan dan penyakit
jiwa.119
3. Macam-macam Gangguan Mental
Gangguan mental akan terlihat dalam bermacam-
macam gejala, yang paling dominan diantaranya adalah
ketegangan batin (tension), rasa putus asa, murung,
gelisah/ cemas, perbuatan-perbuatan yang terpaksa
(compulsive), hysteria, rasa lemah dan tidak mampu
mencapai tujuan, takut, pikiran-pikiran buruk dan
sebagainya. Semua hal di atas dapat menggangu
ketenangan hidup, misalnya tidak bisa tidur nyenyak,
tidak ada nafsu untuk makan dan sebagainya.120
Gejala-
gejala gangguan mental baik yang ringan maupun yang
berat dapat mengganggu ketenangan hidup seseorang.
Menurut Zakiah Daradjat, orang yang –sekedar-
mengalami gangguan mental ringan masih mengetahui
dan merasakan kesukarannya, sedangkan orang yang
119
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 20. 120
Ibid., h. 26.
85
sudah mengalami penyakit jiwa tidak demikian.
Disamping itu orang yang mengalami gangguan mental
kepribadiannya tidak jauh dari realitas dan masih hidup
dalam alam kenyataannya, sedangkan orang yang
mengalami penyakit jiwa kepribadiannya sangat
terganggu dari segala segi (tanggapan, perasaan, emosi
dan dorongan-dorongannya) serta tidak ada integrasi
dalam diri.121
Pada intinya, gangguan mental menurut
Zakiah Daradjat berada pada level gangguan yang ringan/
rendah dan hanya sekedar „gangguan‟, sedangkan
penyakit mental/ jiwa sudah berada pada level yang berat
maka disebut „penyakit‟.
Lebih lanjut Zakiah Daradjat menyebutkan macam-
macam gangguan jiwa adalah sebagai berikut:122
a. Neurasthenia
Neurasthenia merupakan salah satu gangguan jiwa
yang sudah lama dikenal orang sebagai penyakit saraf
yang dahulu dianggap terjadi karena lemahnya saraf.
Neurasthenia adalah penyakit payah yang apabila
menyerang seseorang, orang itu akan merasa seluruh
badannya letih, tidak bersemangat, lekas merasa
payah walau sedikit tenaga yang dikeluarkan,
perasaan tidak enak, sebentar-sebentar ingin marah,
121
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 26. 122
Ibid., h. 27.
86
menggerutu, tidak sanggup berpikir tentang sesuatu
persoalan, sukar mengingat, sulit fokus, apatis dan
acuh tak acuh terhadap persoalan luar.123
b. Hysteria
Hysteria terjadi akibat ketidakmampuan seseorang
menghadapi kesukaran-kesukaran, tekanan-tekanan,
kegelisahan, kecemasan dan pertentangan batin.
Dalam menghadapi kesukaran itu orang tidak mampu
menghadapinya dengan cara yang wajar lalu
melepaskan tanggung jawab dan lari secara tidak
sadar kepada gejala-gejala hysteria.
c. Psychasthenia
Psychasthenia adalah semacam gangguan jiwa
yang bersifat paksaan yang terjadi akibat kurangnya
kemampuan jiwa untuk tetap berada dalam keadaan
integrasi yang normal. Gejala-gejala gangguan ini
antara lain phobia, obsesi dan kompulsi.
d. Gagap berbicara (stuttering)
Gagap bicara timbul akibat pertentangan batin,
tekanan perasaan dan ketidakmampuan seseorang
menyesuaikan diri. Gejala itu adalah sebagai salah
satu akibat dari gangguan jiwa. Gagap bicara ada
123
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 27.
87
yang berbentuk terputus-putus, tertahan nafas atau
berulang-ulang. Apabila tekanan gagap semakin besar
maka ia akan menekan kedua bibirnya dengan diiringi
gerakan-gerakan tangan, kaki dan anggota tubuh
lain.124
e. Kepribadian psychopathi (psikopat)
Psychopathi adalah ketidaksanggupan
menyesuaikan diri yang mendalam dan kronis. Orang
yang psikopat biasanya menimpakan kesalahan yang
dibuatnya kepada orang lain. Segala perasaan yang
tidak puas, konflik jiwa dan tekanan perasaan dalam
diri tidak dapat ditahan atau diatasinya dengan wajar,
malah ia akan mengungkapkannya dalam bentuk
kelakuan-kelakuan yang menyebabkan orang lain
menderita karenanya. Penderita psikopat bersifat
agresif egois dan tidak peduli pada orang lain. Gejala-
gejala kepribadian psikopat biasanya mulai timbul
pada masa-masa puber (13-21 tahun) dan berlangsung
seumur hidup.
f. Keabnormalan seksual
124
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 28-42.
88
Gejala-gejala yang sering dialami pada penderita
keabnormalan seksual antara lain onani, homoseksual
dan sadisme.125
Selain gangguan mental, Zakiah Daradjat juga
memaparkan macam-macam penyakit mental. Penyakit
mental/ jiwa ini menurut Zakiah berada pada level
gangguan berat dan bukan sekedar gangguan melainkan
sudah menjadi penyakit kronis. Diantara penyakit jiwa
tersebut ialah:126
a. Skizofrenia
Skizofrenia adalah penyakit yang paling banyak
terjadi dibandingkan dengan penyakit jiwa lainnya,
penyakit ini menyebabkan kemunduran kepribadian
yang biasanya mulai tampak pada masa puber dan
yang paling banyak menderita ialah orang yang
umurnya berkisar antara 15-30 tahun.
Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti apa
sesungguhnya yang menimbulkan penyakit
skizofrenia ini. Ada yang berpendapat karena faktor
keturunan yang berasal dari keluarga yang pernah
dihinggapi penyakit mental, ada juga yang
berpendapat bahwa penyebab skizofrenia adalah
karena terganggunya atau rusaknya kelenjar-kelenjar
125
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 44. 126
Ibid., h. 49.
89
tertentu dalam tubuh dan ada juga yang mengatakan
karena lemahnya penyesuaian diri yang
mengakibatkan ketidakmampuan menghadapi
kesukaran hidup sehingga sering menemui kegagalan
dalam usaha menghadapi kesulitan.127
Sedangkan menurut Laura A. King, skizofrenia
adalah gangguan psikologis yang parah yang
dicirikan oleh adanya proses-proses berpikir yang
terganggu. Istilah skizofrenia datang dari bahasa
Latin baru schizo yang berarti „terpecah‟ dan phernia
yang berarti „pikiran‟. Hal ini menekankan bahwa
pikiran seseorang terpecah dari realitas dan bahwa
individu itu menjadi bagian dari dunia yang kacau
dan menakutkan.128
b. Paranoia
Salah satu penyakit yang terkenal selain
skizofrenia adalah penyakit paranoia, yaitu „gila
kebesaran‟ atau „gila menuduh orang‟. Penyakit
paranoia ini biasanya menyerang orang sekitar umur
40 tahun. Diantara cirikhas dari paranoia adalah
delusi, yaitu satu pikiran salah yang menguasai orang
yang diserangnya.
127
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 49-51. 128
Laura A. King, Psikologi Umum (Jakarta: Salemba Humanika,
2010), h. 336.
90
Delusi atau pikiran salah yang menyerang sangat
menguasai dan tidak bisa hilang. Pada permulaan
orang menyangka bahwa pikirannya itu logis dan
benar. Biasanya orang yang diserang oleh paranoia itu
adalah orang cerdas, ingatannya kuat, emosinya
terlihat berimbang dan cocok dengan pikirannya.
Hanya saja ia mempunyai satu kepercayaan salah dan
segala perhatian dan perkataannya dalam hidup
dikendalikan oleh pikiran yang salah.129
c. Manic depresif
Penderita manic depresif mengalami rasa besar/
gembira yang kemudian berubah dengan cepat
menjadi sedih/ tertekan. Gejala-gejala manic depresif
ada dua macam, yaitu:130
1. Mania
Dalam tindakan orang yang diserang oleh
mania yang masih ringan, ia akan terlihat selalu
aktif, tidak kenal lelah, suka menguasai
pembicaraan, pantang ditegur perkataan maupun
perbuatannya dan tidak tahan mendengar kecaman
terhadap dirinya. Biasanya orang ini suka
mencampuri urusan orang lain yang tidak ada
hubungannya dengan dirinya.
129
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 51-52. 130
Ibid., h. 53.
91
Dalam mania yang berat, orang biasanya
diserang oleh delusi-delusi pada waktu-waktu
tertentu sehingga sulit baginya untuk melakukan
suatu pekerjaan dengan teratur. Penderita mania
berat mengungkapkan rasa gembira dan
bahagianya yang dilebih-lebihkan, terkadang ia
juga diserang oleh lamunan yang dalam sekali
sehingga ia tidak dapat membedakan tempat,
waktu dan orang-orang di sekelilingnya.
Dalam mania yang sangat berat (tingkatan
ketiga), penderita terkadang membahayakan
dirinya sendiri dan mungkin membahayakan orang
lain dalam sikap dan perbuatannya. Penyakit ini
sering disebut orang dengan „gila kumat-kumatan‟
karena penderita berubah-ubah dari rasa lega dan
gembira yang berlebihan, lalu terlihat biasa/
normal dan kemudian menurun menjadi sedih,
murung dan tak berdaya.131
2. Melancholia (rasa tertekan)
Dalam melancholia orang selalu terlihat
muram, sedih dan putus asa. Penderita
melancholia merasa diserang oleh bermacam
penyakit yang tidak bisa sembuh atau merasa telah
berbuat dosa yang tak mungkin diampuni lagi.
131
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 53.
92
Terkadang penderita melancholia menyakiti
dirinya sendiri, misalnya menyayat-nyayat
kemaluannya dan sering pula ia berusaha
membunuh orang-orang yang paling dicintainya
dan kemudian bunuh diri karena ia merasa kasihan
pada mereka.
Diantara ciri-ciri dari melancholia adalah
penderita merasa curiga dan putus asa, gelisah dan
sering melamun. Penderita sering keluar-masuk
kamar sambil mengeluh, menarik-narik
rambutnya, menghempas-hempaskan tangannya
dan menyesali dirinya. Biasanya ia tidak mau
makan dan marah kepada orang-orang yang
mencoba mendekatinya.132
Ada orang menyebut gangguan mental sebagai
gangguan ringan/ neurosis dan menyebut gangguan
mental berat sebagai penyakit mental/ psikosis. Penulis
dalam hal ini tidak mau memisahkan kedua istilah itu
karena menurut penulis arti dari penyakit dan gangguan
adalah sama. Dengan demikian, penulis menempatkan
gangguan mental ringan dan gangguan mental berat/
penyakit mental di bawah satu judul yang sama, yakni
gangguan mental. Dalam penelitian ini, penulis memilih
gangguan mental yang tergolong berat yang penulis
132
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 54-55.
93
jadikan sebagai batasan masalah, yakni skizofrenia, manik
depresif dan paranoia. Ketiga batasan dari gangguan
mental berat atau penyakit mental tersebut dalam
penelitian ini disebut sebagai gangguan mental.
94
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kualitatif. Menurut Moleong dalam buku Metodologi
Penelitian kualitatif, penelitian kualitatif adalah penelitian
yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa
yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan dan lain sebagainya secara
holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah.1 Penelitian kualitatif
ditujukan untuk memahami fenomena secara utuh dalam
bentuk kata-kata dan bahasa.
Menurut Creswell, penelitian kualitatif adalah suatu
proses penelitian ilmiah yang lebih dimaksudkan untuk
memahami masalah-masalah manusia dalam konteks sosial
dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks
yang disajikan, melaporkan pandangan terperinci dari para
sumber informasi serta dilakukan dalam setting yang alamiah
tanpa adanya intervensi apapun dari peneliti.2
Penelitian
kualitatif dilakukan di lingkungan dan situasi kondisi yang
1
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet ke-26
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 6. 2 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif: Untuk Ilmu-
ilmu Sosial, Cet ke-3 (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h. 8.
95
alami tanpa dibuat-buat atau tanpa ada manipulasi
sebelumnya.
Dalam penelitian kualitatif, peneliti harus terjun langsung
dan harus mengenal subjek penelitian yang bersangkutan
secara personal dan tanpa perantara. Pemisah (gap) antara
peneliti dengan subjek yang diteliti semaksimal mungkin
harus dihilangkan atau diminimalisasi agar peneliti dapat
benar-benar memahami sudut pandang dan perasaan subjek
penelitian dengan optimal.3
Peneliti dalam penelitian
kualitatif sebisa mungkin tidak menciptakan penghalang yang
membuat jarak dengan subjek.
Pemilihan metode kualitatif dipilih karena penulis ingin
menjelaskan secara mendalam mengenai program rehabilitasi
mental bagi para pasien gangguan mental yang dilaksanakan
oleh Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba yang berada
di Desa Bungkanel Kecamatan Karanganyar kabupaten
Purbalingga Jawa Tengah. Metode kualitatif dipilih untuk
menjelaskan gambaran dan hasil temuan tersebut secara
mendalam.
Alasan penulis menggunakan metode kualitatif karena
metode ini dapat digunakan untuk menemukan dan
memahami apa yang tersembunyi di balik fenomena yang
kadangkala merupakan sesuatu yang sulit untuk dipahami.
Metode ini memungkinkan penulis untuk lebih dekat dengan
3 Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif: Untuk Ilmu-
ilmu Sosial, Cet ke-3 (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h. 7.
96
subjek penelitian tanpa ada jarak dan tanpa ada yang ditutup-
tutupi. Hal ini ditujukan agar memudahkan penulis
mendapatkan data yang sebenar-benarnya benar.
B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah jenis deskriptif. Kata deskriptif berasal dari bahasa
Inggris, descriptive, yang berarti bersifat menggambarkan
atau melukiskan sesuatu hal. Menggambarkan atau
melukiskan dalam hal ini dapat dalam arti sebenarnya
(harfiah), yaitu berupa gambar-gambar atau foto-foto yang
didapat dari data lapangan/ peneliti menjelaskan hasil
penelitian dengan gambar-gambar atau dapat pula berarti
menjelaskannya dengan kata-kata.4
Jenis deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur
pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/
melukiskan keadaan objek penelitian pada saat sekarang
berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana
adanya. Jenis deskriptif memusatkan perhatiannya pada
penemuan fakta-fakta (fact finding) sebagaimana keadaan
sebenarnya. Untuk memberikan bobot yang lebih tinggi pada
jenis penelitian ini, maka data atau fakta yang ditemukannya
harus diberi arti dengan tidak sekadar menyajikannya, data
4 Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian
Sosial, Edisi ke-2 (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 129.
97
atau fakta yang terkumpul tersebut harus diolah dan
ditafsirkan.5
Alasan penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif
karena jenis ini dapat digunakan untuk menggambarkan
keadaan objek penelitian berdasarkan fakta yang terjadi dan
berdasarkan apa adanya. Melalui jenis penelitian deskriptif
ini, penulis dapat menggambarkan/ melukiskan hasil
penelitian yang didapatkan dengan menggunakan kata-kata
mengenai program rehabilitasi mental bagi para pasien
gangguan mental yang dilaksanakan oleh Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba yang berada di daerah Kabupaten
Purbalingga Jawa Tengah.
C. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Purbalingga
Jawa Tengah, tepatnya di Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa
dan Narkoba yang terletak di Desa Bungkanel RT 03 RW
02 Kecamatan Karanganyar Kabupaten Purbalingga Jawa
Tengah. Lokasi ini dipilih penulis berdasarkan beberapa
alasan, diantaranya:
a. Lokasi penelitian memiliki program rehabilitasi
mental yang berperan penting dalam
menyembuhkan pasien gangguan mental,
5 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1994), h. 73.
98
sehingga penulis tertarik untuk melaksanakan
penelitian tentang program rehabilitasi mental di
Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba
Purbalingga Jawa Tengah ini.
b. Penulis belum menemukan karya ilmiah berupa
skripsi yang meneliti tentang program rehabilitasi
mental pada pasien gangguan mental di lokasi
penelitian, yakni Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa
dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah.
c. Lokasi penelitian masih dapat diakses dan
dijangkau oleh penulis sehingga dapat
dilaksanakan penelitian.
2. Waktu penelitian
Waktu pelaksanaan penelitian ini dimulai sejak bulan
Juni 2016 sampai dengan bulan Juli 2018.
D. Subyek dan Obyek Penelitian
1. Subyek penelitian
Dalam penelitian kualitatif, sebelum studi dimulai,
peneliti sudah harus memiliki bayangan mengenai isu-isu
yang akan dilibatkan dalam topik, orang-orang yang akan
diwawancara baik itu responden maupun narasumber
(yakni orang yang dianggap memiliki pengetahuan
khusus, atau dapat memberikan informasi mengenai topik
yang diteliti), karakteristik yang diisyaratkan dari
responden dan lain sebagainya. Pemilihan orang yang
99
tepat dengan berbagai argumentasi konseptualnya menjadi
faktor penting.6
Prosedur penentuan subyek dan/ atau sumber data
dalam penelitian kualitatif umumnya menampilkan
karakteristik sebagai berikut:
a. Diarahkan tidak pada jumlah sampel yang besar
melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai
kekhususan masalah penelitian.
b. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal tetapi
dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun
karakteristik sampelnya sesuai dengan
pemahaman konseptual yang berkembang dalam
penelitian.
c. Tidak diarahkan pada keterwakilan dalam arti
jumlah atau peristiwa acak melainkan pada
kecocokan dan konteks.7
Dengan karakteristik seperti disebutkan di atas,
jumlah sampel dalam penelitian kualitatif tidak dapat
ditentukan secara tegas di awal penelitian. Beberapa ahli
menyarankan untuk lebih mementingkan tercapainya ‘titik
jenuh’ dalam penelitian.8
Bila penelitian kuantitatif diarahkan pada generalisasi
(jumlah) tentang pengambilan sampel secara acak dan
terstratifikasi, penelitian kualitatif umumnya
6 E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian
Perilaku Manusia, Cet ke-4 (Depok: LPSP3 UI, 2011), h. 109-110. 7 Ibid., h. 110.
8 Ibid., h. 110.
100
menggunakan pendekatan purposif. Sampel tidak diambil
secara acak tetapi justru dipilih mengikuti kriteria tertentu.
Pilihan prosedur yang ada memberikan pilihan-pilihan
pada peneliti untuk mengambil prosedur yang dianggap
paling sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian.9
Subyek penelitian ini adalah orang yang terlibat
dalam program rehabilitasi mental di lokasi penelitian,
yakni pendiri Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba
Purbalingga Jawa Tengah dan beberapa staf yang terkait
dengan program rehabilitasi mental serta masyarakat
sekitar panti yang mengetahui program rehabilitasi mental
tersebut.
Selain itu, penulis juga mengobservasi dan
bercengkrama dengan beberapa pasien panti. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui rumusan masalah penelitian
ini khususnya rumusan poin 2 (dua) yang ingin
mengetahui penerimaan pasien terhadap program
rehabilitasi mental dari sisi pasien. Berdasarkan hasil
observasi penulis dan informasi yang didapat dari staf
panti, pasien-pasien di panti mengalami gangguan mental
pada kadar yang masih bisa ditangani dan masih bisa
diajak bicara dengan bebas sehingga penulis masih dapat
melakukan wawancara dan observasi dengan pasien.
9 E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian
Perilaku Manusia, Cet ke-4 (Depok: LPSP3 UI, 2011), h. 118-119.
101
Penulis dalam melakukan penelitian ini juga tidak
hanya mengandalkan teknik wawancara dalam
mengumpulkan data penelitian, tetapi juga menggunakan
teknik observasi mendalam dan dilakukan berkali-kali
serta teknik dokumentasi untuk mengetahui program
rehabilitasi mental pada pasien gangguan mental yang
dijalankan panti.
2. Objek penelitian
Objek penelitian ini adalah program rehabilitasi
mental terhadap pasien gangguan mental pada Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah.
E. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini ada beberapa teknik pengumpulan
data yang digunakan oleh penulis, yaitu:
1. Teknik observasi
Observasi merupakan metode pengumpulan data yang
paling tua yang digunakan sepanjang sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan. Observasi berasal dari
bahasa latin yang berarti memperhatikan dan mengikuti.
Memperhatikan dan mengikuti dalam arti mengamati
dengan teliti dan sistematis sasaran perilaku yang dituju.
Cartwright mendefinisikan observasi sebagai suatu proses
melihat, mengamati dan mencermati serta ‘merekam’
102
perilaku secara sistematis untuk suatu tujuan tertentu.10
Teknik observasi mutlak dilakukan oleh peneliti kualitatif
karena data yang dihasilkan dari observasi merupakan
data primer atau data utama.
Observasi harus mempunyai tujuan, karena
pengamatan yang tanpa tujuan bukan merupakan
observasi. Pada dasarnya, tujuan dari observasi adalah
untuk mendeskripsikan lingkungan yang diamati,
aktivitas-aktivitas yang berlangsung, individu-individu
yang terlibat dalam lingkungan tersebut beserta aktivitas
dan perilaku yang dimunculkan dan makna kejadian
berdasarkan perspektif individu yang terlibat tersebut.11
Penulis menggunakan teknik observasi dalam
penelitian ini untuk mencari dan mengumpulkan data
yang dibutuhkan dengan cara mengunjungi, meninjau,
mengamati dan ‘merekam’ segala bentuk kegiatan yang
dialami oleh subjek penelitian yang terjadi di lokasi
penelitian, seperti kegiatan pasien dan staf dalam mengisi
waktu luang, komunikasi antara pasien dengan pasien,
komunikasi antara pasien dengan staf dan sebaliknya,
komunikasi pasien dan staf terhadap masyarakat sekitar,
pemberian makan, hingga perilaku pasien dan staf ketika
masuk waktu shalat berjamaah. Hasil dari observasi ini
akan penulis gunakan sebagai sumber data penelitian.
10
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif: Untuk Ilmu-
ilmu Sosial, Cet ke-3 (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h. 131. 11
Ibid., h. 131-132.
103
2. Teknik wawancara
Wawancara merupakan metode pengumpulan data
yang digunakan pada hampir semua penelitian kualitatif,
bahkan karena seringnya wawancara digunakan dalam
penelitian kualitatif maka wawancara dianggap sebagai
ikon dalam metode pengumpulan data penelitian
kualitatif. Wawancara menjadi metode pengumpulan data
yang utama, karena sebagian besar data diperoleh melalui
wawancara.12
Menurut Lexy Moleong, wawancara adalah
percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban
atas pertanyaan itu.13
Dalam penelitian, yang bertindak
sebagai pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan adalah peneliti/ penulis, sedangkan pihak yang
dijadikan sebagai terwawancara (interviewee) yang
memberikan jawaban adalah subjek penelitian.
Penulis dalam melakukan kegiatan wawancara dalam
penelitian ini menggunakan bantuan alat komunikasi dan
teknologi seperti buku catatan, alat tulis dan alat perekam
suara seperti handphone. Adanya alat bantu wawancara
12
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif: Untuk Ilmu-
ilmu Sosial, Cet ke-3 (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h. 117-118. 13
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet ke-26
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 186.
104
tersebut membantu penulis dalam melakukan pencatatan
dan perekaman wawancara. Penggunaan alat bantu
tersebut dimungkinkan/ diperbolehkan untuk merekam
wawancara yang tidak mungkin diingat semua oleh
peneliti jika tidak menggunakan alat bantu komunikasi
tersebut.
Dalam penelitian ini, teknik wawancara dilakukan
kepada subyek penelitian yang terdiri dari 7 orang yang
terlibat dalam program rehabilitasi mental di lokasi
penelitian yang terdiri dari 1 orang kepala sekaligus
pendiri panti, 4 orang staf panti serta 2 orang masyarakat
sekitar yang mengetahui program rehabilitasi mental di
panti. Teknik ini dilakukan untuk memperoleh data yang
diperlukan dan akan digunakan penulis sebagai sumber
data utama. Adapun teknik wawancara yang digunakan
peneliti adalah wawancara terstruktur, dimana peneliti
sudah membuat list pertanyaan berupa pedoman
wawancara terlebih dahulu.
3. Teknik dokumentasi
Teknik dokumentasi adalah salah satu teknik
pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau
menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek
sendiri atau oleh orang lain tentang subjek. Teknik
dokumentasi merupakan salah satu cara yang dapat
dilakukan peneliti kualitatif untuk mendapatkan gambaran
dari sudut pandang subjek melalui suatu media tertulis
105
dan dokumen lainnya yang ditulis atau dibuat langsung
oleh subjek yang bersangkutan.14
Penulis dalam penelitian ini menggunakan teknik
dokumentasi untuk memperoleh data yang telah
didokumentasikan oleh Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba Purbalingga Jawa Tengah. Perwujudan dari
teknik dokumentasi dalam penelitian ini adalah dengan
mengkaji dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian untuk dijadikan sumber data
penelitian.
F. Sumber Data
Sumber data adalah salah satu yang paling vital dalam
penelitian. Apabila ada kesalahan dalam menggunakan atau
memahami sumber data, maka data yang diperoleh juga akan
meleset dari yang diharapkan. Oleh karena itu, peneliti harus
mampu memahami sumber data mana yang mesti digunakan
dalam penelitiannya itu. Ada dua jenis sumber data yang
biasanya digunakan dalam penelitian sosial, yaitu sumber data
primer dan sumber data sekunder.15
Sumber data dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu:
1. Sumber data primer
14
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif: Untuk Ilmu-
ilmu Sosial, Cet ke-3 (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h. 143. 15
M. Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial & Ekonomi
(Jakarta: Kencana, 2013), h. 129.
106
Sumber data primer adalah data yang bersumber
langsung dari data asli dan tidak melalui perantara. Dalam
penelitian ini, sumber data primer merupakan hasil
pengumpulan data melalui proses wawancara langsung
dan proses pengamatan langsung/ observasi.
2. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh
secara tidak langsung, yakni melalui perantara dan
merupakan data pendukung. Dalam penelitian ini, sumber
data sekunder diperoleh dari buku-buku dan internet serta
dari data-data yang dimiliki lembaga tempat
dilangsungkannya penelitian ini (melalui teknik
dokumentasi).
G. Fokus Amatan dan Analisis
Fokus analisis pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Program rehabilitasi mental yang bersifat non-medis,
meliputi:
a. Program ruqyah.
b. Program istighosah.
c. Program minum air karomah.
2. Analisis program rehabilitasi mental pada pasien
gangguan mental, meliputi:
a. Pelaksanaan program rehabilitasi mental.
b. Penerimaan pasien terhadap program rehabilitasi
mental.
107
c. Faktor penentu keberhasilan program rehabilitasi
mental.
H. Teknik Analisis Data
Data mentah yang dikumpulkan dan didapatkan oleh
peneliti di lapangan akan ada gunanya setelah dilakukan
analisis data. Banyaknya data yang terkumpul belum
menjamin hasil penelitiannya akan baik, dan sebaliknya,
sedikitnya data yang terkumpul tidak dapat dipastikan hasil
penelitiannya kurang memuaskan. Keadaan di atas sangat
ditentukan pada apakah data yang terkumpul dapat
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya atau tidak.16
Analisis
data mempunyai peranan yang penting dalam mengolah data
yang telah berhasil dikumpulkan oleh peneliti.
Menurut Lexy Moleong, analisis data adalah proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola,
kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan
tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang
disarankan oleh data.17
Inti dari analisis data adalah mengurai
dan mengolah data mentah menjadi data yang dapat
ditafsirkan dan dipahami secara lebih spesifik dan diakui
dalam suatu perspektif ilmiah yang sama, sehingga hasil dari
analisis data yang baik adalah data olah yang tepat dan
16
P. Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktik, Cet
ke-7 (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), h. 104-106. 17
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet ke-26
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 280.
108
dimaknai sama atau relatif sama dan tidak bias ataupun
menimbulkan perspektif yang berbeda di mata orang lain.18
Pada dasarnya dan pada prinsipnya, semua teknik analisis
data kualitatif adalah sama, yaitu melewati prosedur
pengumpulan data, input data, analisis data, penarikan
kesimpulan dan verifikasi serta diakhiri dengan penulisan
hasil temuan dalam bentuk narasi.19
Namun dalam penelitian
ini penulis menggunakan teknik analisis data domain yang
merupakan model analisis data dari Spradley sebagai teknik
analisis data.
Teknik analisis domain digunakan untuk menganalisis
gambaran-gambaran objek penelitian secara umum atau di
tingkat permukaan, namun relatif utuh tentang objek
penelitian tersebut. Teknik analisis domain ini amat terkenal
sebagai teknik yang dipakai dalam penelitian yang bertujuan
eksplorasi. Artinya, analisis hasil penelitian ini hanya
ditargetkan untuk memperoleh gambaran seutuhnya dari
objek yang diteliti, tanpa harus diperincikan secara detail
unsur-unsur yang ada dalam keutuhan objek penelitian
tersebut. Misalnya seorang peneliti menganalisis lembaga
sosial, maka domain atau kategori simbolis dari lembaga
18
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif: Untuk Ilmu-
ilmu Sosial, Cet ke-3 (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), h. 158. 19
Ibid., h. 163.
109
sosial antara lain keluarga, perguruan tinggi, rumah sakit dan
sebagainya.20
Adapun objek dalam penelitian ini adalah program
rehabilitasi mental terhadap pasien gangguan mental pada
Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah.
Teknik analisis domain adalah upaya peneliti untuk
memperoleh gambaran umum tentang data dalam menjawab
fokus penelitian. Caranya ialah dengan membaca naskah data
secara umum dan menyeluruh untuk memperoleh domain
atau ranah apa saja yang ada di dalam data tersebut. Pada
tahap ini, peneliti belum perlu membaca dan memahami data
secara rinci dan detail karena targetnya hanya untuk
memperoleh domain atau ranah. Hasil analisis ini masih
berupa pengetahuan tingkat permukaan tentang berbagai
ranah konseptual. Dari hasil pembacaan itu diperoleh hal-hal
penting dari kata, frase atau bahkan kalimat untuk dibuat
catatan pinggir.21
Sehubungan dengan kemungkinan bervariasinya domain,
maka Spradley menyarankan hubungan semantik yang
bersifat universal dalam analisis domain, yakni jenis (strict
inclution), ruang (spatial), sebab-akibat (cause-effect),
20
M. Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial & Ekonomi
(Jakarta: Kencana, 2013), h. 284. 21
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif: Teori & Praktik
(Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 212.
110
rasional (rationale), lokasi kegiatan (location for action), cara
ke tujuan (means-end), fungsi (function), urutan (sequence)
dan atribut (atribution).22
Dalam teknik analisis domain, terdapat enam langkah
dalam mengaplikasikan analisis domain menurut Spradley,
yakni:
1. Memilih pola hubungan semantik tertentu atas dasar
informasi atau fakta yang tersedia dalam catatan
harian peneliti di lapangan.
2. Menyiapkan kerja analisis domain.
3. Memilih kesamaan-kesamaan data dari catatan harian
peneliti di lapangan.
4. Mencari konsep-konsep induk dan kategori-kategori
simbolik tertentu yang sesuai dengan suatu pola
hubungan semantik.
5. Menyusun pertanyaan-pertanyaan struktural untuk
masing-masing domain.
6. Membuat daftar keseluruhan domain dari seluruh data
yang ada.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, teknik analisis
data pada penelitian kualitatif pada dasarnya adalah sama,
yaitu melewati prosedur pengumpulan data, input data, analisis
data, penarikan kesimpulan dan verifikasi serta diakhiri
dengan penulisan hasil temuan dalam bentuk narasi. Namun
22
Ibid., h. 284.
111
untuk kepentingan pembatasan, maka teknik analisis domain-
lah yang penulis gunakan untuk menganalisis data pada
penelitian ini.
I. Asumsi Peneliti
Penelitian kualitatif yang konseptual akan lebih berbobot
bila hal-ikhwal topiknya telah direnungkan secara mendalam
oleh peneliti. Artinya, peneliti tak mungkin berangkat dengan
kepala kosong. Ia telah memiliki dugaan-dugaan dan
seyogyanya memang demikian. Asumsi peneliti atau dikenal
dengan hipotesis dalam penelitian kualitatif adalah hipotesis
kerja, bukan hipotesis alternatif yang akan diuji secara kaku
apakah diterima atau tidak.23
Hipotesis kerja adalah dugaan-dugaan awal yang
dikembangkan secara seksama oleh peneliti mengenai
kemungkinan-kemungkinan jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan penelitiannya.24
Sesungguhnya, hipotesis kerja
menjadi langkah atau modal sangat awal dari peneliti yang
memerlukan elaborasi dan penajaman untuk nantinya menjadi
kesimpulan dari penelitian.25
Dalam temuan peneliti, Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba yang terletak di Kabupaten Purbalingga Jawa
Tengah menjalankan program rehabilitasi mental terhadap
23
E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian
Perilaku Manusia, Cet ke-4 (Depok: LPSP3 UI, 2011), h. 281. 24
Ibid., h. 281. 25
Ibid., h. 282.
112
para penderita gangguan mental di Indonesia sebagai bentuk
partisipasi dalam merehabilitasi penderita gangguan mental.
Program rehabilitasi di panti ini memadukan pengobatan
medis dan non-medis untuk mengembalikan keberfungsian
sosial para penderita gangguan mental.
Dengan dilaksanakannya program rehabilitasi mental oleh
panti tersebut, peneliti berasumsi bahwa ada penurunan pada
angka pemasungan dan perlakuan salah pada pasien gangguan
mental. Selain itu, peneliti juga menduga banyak penderita
gangguan mental sudah sembuh dan bisa hidup normal seperti
sediakala serta dapat bergaul kembali di tengah masyarakat di
lingkungannya.
113
BAB IV
HASIL DAN ANALISA PENELITIAN
A. Gambaran Umum Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba Purbalingga Jawa Tengah
Berikut adalah uraian mengenai gambaran umum dari
tempat diadakannya penelitian yakni Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba yang terletak di kabupaten
Purbalingga Jawa Tengah:
1. Profil Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba
Purbalingga Jawa Tengah
Keterlibatan masyarakat dalam melaksanakan
rehabilitasi terhadap penderita gangguan mental, baik
dalam bentuk lembaga maupun non lembaga sangat
memungkinkan untuk dikembangkan sebagai salah satu
usaha mengembalikan keberfungsian sosial para penderita
gangguan mental.1 Sejalan dengan hal tersebut, menurut
Haji Supono Mustajab sebagai kepala Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba di Purbalingga Jawa tengah
perlu didirikan panti sebagai bentuk partisipasi dalam
merehabilitasi penderita gangguan mental di Indonesia.
Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba
Purbalingga Jawa Tengah merupakan salah satu tempat
1 Ruaida Murni dan Mulia Astuti, “Rehabilitasi Sosial Bagi
Penyandang Disabilitas Mental Melalui Unit Informasi dan Layanan Sosial
Rumah Kita,” Jurnal Sosio Informa, Vol 1 No 3 (September-Desember 2015):
h. 280.
114
rehabilitasi di Indonesia yang menawarkan metode
rehabilitasi alternatif, yakni menggunakan metode medis
dengan memberikan obat-obatan medis kepada pasien dan
metode non-medis dengan menerapkan program ruqyah,
istighosah dan minum air karomah2 bagi penderita
gangguan mental. Panti yang didirikan oleh Haji Supono
Mustajab yang juga pimpinan Rabithah Ma‟ahid
Islamiyah (RMI) Kabupaten Purbalingga ini beralamat
lengkap di Desa Bungkanel RT 03 RW 02 Kecamatan
Karanganyar Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa
Tengah, Kode pos 53354.3
Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba
Purbalingga Jawa Tengah didirikan pada hari selasa,
tanggal 28 November 1995 dan didaftarkan pada notaris
Tajuddin Nasution, SH. No. 16 tanggal 29-10-1998
dengan nama Yayasan An-Nur. Panti ini bergerak di
bidang pelayanan sosial dalam merawat orang-orang
dengan gangguan kejiwaan dan korban penyalahgunaan
narkotika. Pada awal berdirinya panti ini hanya
2 Air karomah adalah air minum biasa seperti air pada umumnya,
hanya saja air minum tersebut sudah diberikan bacaan-bacaan sehingga
mempunyai energi yang dapat menyembuhkan. Penyebutan air karomah
merujuk pada kegunaan air yang telah diberikan bacaan-bacaan doa sebagai
media penyembuhan. Minum air karomah dilaksanakan setiap malam jumat
setelah selesai melaksanakan ruqyah dan istighosah di aula panti, selain itu air
karomah juga bisa dibuat atau tersedia saat ada pasien baru datang ke panti dan
saat ada pasien yang mengamuk. 3 Afi Dhotul Inayah, “Metode Rehabilitasi Non-medis di Rumah Sakit
Khusus Jiwa H. Mustajab Purbalingga dalam Pandangan Tasawuf”
(Semarang: Skripsi Prodi Tasawuf dan Psikoterapi Fakultas Ushuludin UIN
Walisongo Semarang, 2014), h. 5.
115
merehabilitasi penderita gangguan mental dan hal tersebut
hanya dilakukan terhadap warga desa Bungkanel saja.
Metode yang digunakan saat itu dengan memberikan air
karomah, yakni air yang telah dibacakan doa-doa secara
islami oleh pimpinan panti H. Supono Mustajab.4
Seiring berjalannya waktu, Panti Rehabilitasi Sosial
Jiwa dan Narkoba mengembangkan metode
pengobatannya dengan memadukan pengobatan secara
medis dan non-medis. Untuk pengobatan medis pihak
panti bekerja sama dengan dokter dari Purbalingga dan
Banyumas, salah satunya adalah dokter spesialis jiwa dr.
Basiran Sp.Kj. yang berasal dari RSUD Banyumas
sebagai penanggung jawab dan konsultan yang mana
pasien diberikan obat-obat sesuai dengan penyakit dan
kadarnya. Sedangkan untuk pengobatan non-medis atau
rohani dilakukan sendiri oleh pendiri sekaligus pimpinan
panti, yakni H. Supono Mustajab dengan metode siraman
rohani setiap selesai sholat, ruqyah, istighosah, dan
minum air karomah.5
4 Afi Dhotul Inayah, “Metode Rehabilitasi Non-medis di Rumah Sakit
Khusus Jiwa H. Mustajab Purbalingga dalam Pandangan Tasawuf”
(Semarang: Skripsi Prodi Tasawuf dan Psikoterapi Fakultas Ushuludin UIN
Walisongo Semarang, 2014), h. 5. 5 Suara Merdeka, “Wisma Rehabiltasi Jiwa Purbalingga, Tempat
Sumanto Akan Menimba Ilmu Agama,” Diakses pada 9 September 2016 dari
http://www.suaramerdeka.com.
116
2. Visi dan misi, sasaran dan tujuan Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga
Jawa Tengah
Berikut adalah uraian mengenai visi dan misi panti,
sasaran dari program panti serta tujuan didirikannya Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah:
a. Visi dan misi
Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba
Purbalingga Jawa Tengah memiliki visi-misi yang
dibuat pada tahun 1998 saat panti ini resmi menjadi
yayasan berbadan hukum dengan akta notaris no. 16
tanggal 29 Oktober 1998 oleh Tajuddin Nasution, SH.
dengan nama Yayasan An-Nur. Visi tersebut
berbunyi:
“Terwujudnya Masyarakat Bebas dari Napza/
Narkoba dan Gangguan Jiwa.”6
Istilah Napza sesuai dengan surat edaran Badan
Narkotika Nasional (BNN) nomor SE/03/IV/2002
adalah singkatan dari narkotika, psikotropika dan zat
adiktif lainnya.7 Zat pertama yang tersebut dalam
singkatan napza adalah narkotika. Narkotika adalah
6 Dokumentasi Yayasan An-Nur, Visi Yayasan An-Nur (Purbalingga:
Yayasan An-Nur, 2015). 7 Badan Narkotika Nasional RI, Modul Untuk Remaja (Jakarta: BNN,
2007), h. 2.
117
zat/ bahan aktif yang bekerja pada sistem saraf pusat
(otak) yang dapat menyebabkan penurunan sampai
hilangnya kesadaran dari rasa sakit (nyeri) serta dapat
menimbulkan ketergantungan/ ketagihan.8
Zat selanjutnya yang tersebut dalam singkatan
napza setelah narkotika adalah psikotropika dan zat
adiktif lainnya. psikotropika adalah zat atau obat baik
alamiah maupun sintesis bukan narkotika yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan
khas pada aktifitas mental dan perilaku. Sedangkan
zat adiktif adalah zat atau bahan aktif bukan narkotika
atau psikotropika yang bekerja pada sistem saraf
pusat dan dapat menimbulkan ketergantungan.9
Istilah Napza diperkenalkan oleh Departemen
Kesehatan Republik Indonesia namun masyarakat
lebih mengenal istilah narkoba yang merupakan
singkatan dari narkotika dan obat/ bahan berbahaya.
Kedua istilah tersebut baik napza maupun narkoba
mengacu pada kelompok senyawa yang umumnya
8 Tim ahli BNN, Petunjuk Teknis Advokasi Bidang Pencegahan
Penyalahgunaan narkoba bagi Lembaga/ Instansi Pemerintah (Jakarta: BNN,
2008), h. 16. 9 Ibid., h. 22.
118
memiliki resiko yang sama, yakni kecanduan bagi
penggunanya.10
Dalam visi panti di atas, selain istilah napza
disebut juga istilah gangguan jiwa. Gangguan jiwa
disebut dalam visi panti di atas karena memang panti
ini awalnya untuk merehabilitasi gangguan jiwa.
Gangguan jiwa merupakan kumpulan dari keadaan-
keadaan yang tidak normal baik yang berhubungan
dengan fisik maupun dengan mental.
Ketidaknormalan tersebut tidak disebabkan oleh sakit
atau rusaknya bagian-bagian anggota badan,
meskipun kadang-kadang gejalanya terlihat pada
fisik.11
Bebas dari Napza dan gangguan jiwa merupakan
visi panti yang berdiri di desa Bungkanel kecamatan
Karanganyar Kabupaten Purbalingga Jawa tengah ini.
Panti ini sejak awal berdiri memang dikhususkan
untuk menangani pasien yang menderita gangguan
jiwa, kemudian seiring berjalannya waktu panti ini
juga menangani pasien korban penyalahgunaan
10
Siti Soviatul Muquamah, “Evaluasi Program Penyuluhan Sosial
Dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba pada Badan Narkotika
Nasional Provinsi Banten” (Jakarta: Skripsi Prodi Bimbingan dan Penyuluhan
Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta, 2013), h. 25. 11
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 33.
119
narkoba agar terhindar dan bebas dari Napza dan
gangguan jiwa.12
Untuk mewujudkan visi tersebut di atas, Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga
Jawa Tengah menetapkan 4 (empat) misi sebagai
penjabaran dari visi yang telah dibuat, empat misi
tersebut yaitu:13
1. Mengurangi beban penderita penyalahgunaan
Napza dan gangguan jiwa dengan orientasi
ibadah.
2. Meningkatkan kemampuan masyarakat secara
mandiri dalam melaksanakan upaya
pencegahan dan penanggulangan
penyalahgunaan Napza dan penderita
gangguan jiwa.
3. Meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan
ketahanan individu, keluarga dan masyarakat
dalam melakukan pencegahan dan
penanggulangan penyalahgunaan Napza dan
penderita gangguan jiwa.
4. Berobat dan bertaubat.14
12
Wawancara Pribadi dengan Irvan Bachtiar, Masyarakat sekitar
panti sebagai informan luar, Purbalingga, 15 Juni 2017. 13
Dokumentasi Yayasan An-Nur, Profil Yayasan An-Nur
(Purbalingga: Yayasan An-Nur, 2015). 14
Ibid.
120
Visi misi ini terbentuk dilatarbelakangi oleh
kekhawatiran dan keprihatinan panti terhadap
maraknya penyalahgunaan Napza dan perlakuan salah
pada orang dengan gangguan jiwa yang tidak hanya
terjadi di kota-kota besar saja namun sudah
merambah ke pelosok-pelosok pedesaan. Ironisnya,
korban penyalahgunaan Napza dan korban perlakuan
salah pada penderita gangguan jiwa tersebut berasal
dari semua lapisan masyarakat, baik lapisan ekonomi
menengah ke atas maupun ekonomi menengah ke
bawah, baik yang tingkat pendidikannya rendah
maupun pendidikan tinggi.15
Indikator pencapaian visi-misi di atas dapat dilihat
pada perwujudan program kerja yang ada di panti.
Sebagai bentuk pengamalan terhadap visi-misi yang
sudah dibuat, Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba dari semenjak awal berdiri sampai saat ini
masih tetap konsisten dalam menyelenggarakan
pelayanan sosial dalam merawat orang-orang dengan
gangguan jiwa dan korban penyalahgunaan Napza.16
Alasan lain tercapainya visi-misi panti ini terletak
pada keberhasilan panti menyembuhkan ribuan pasien
baik pasien narkoba maupun pasien gangguan jiwa
dalam rangka mewujudkan masyarakat bebas dari
15
Dokumentasi Yayasan An-Nur, Profil Yayasan An-Nur
(Purbalingga: Yayasan An-Nur, 2015). 16
Ibid.
121
Napza dan gangguan jiwa, seperti visi utama panti ini.
Ribuan pasien yang sudah disembuhkan tersebut jika
dijumlah dari awal berdirinya panti sampai saat ini.17
b. Sasaran
Subyek yang menjadi sasaran Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah
dalam mengemban Visi dan Misi yakni para orang
tua, guru, tokoh masyarakat, penegak hukum dan
masyarakat umum yang membutuhkan pencegahan,
pengobatan dan penanggulangan ketergantungan pada
narkoba serta pada penderita gangguan jiwa terutama
pada masyarakat kurang mampu.18
c. Tujuan
Tujuan dari program rehabilitasi yang
dilaksanakan oleh Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba Purbalingga Jawa Tengah adalah sebagai
berikut:19
1. Terpenuhinya kebutuhan dasar seperti sandang,
pangan dan papan bagi pasien
17
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 5 Desember 2016. 18
Dokumentasi Yayasan An-Nur, Profil Yayasan An-Nur
(Purbalingga: Yayasan An-Nur, 2015). 19
Dokumentasi Yayasan An-Nur, Program Panti (Purbalingga:
Yayasan An-Nur, 2016).
122
2. Adanya bekal keterampilan bagi pasien seperti
keterampilan membuat batu akik dan
mengelas
3. Terpenuhinya kebutuhan rekreasi para pasien
seperti olah raga dan outbond
4. Terpenuhinya kebutuhan Rohani dengan
adanya serangkaian ibadah seperti pengajian,
shalat berjamaah dan membaca Al-Qur‟an
5. Penerimaan masyarakat sekitar dengan
kegiatan yang dilakukan oleh para pasien di
sekitaran luar panti.
6. Penerimaan masyarakat terhadap para pasien
setelah menjalani program rehabilitasi.20
3. Tata tertib
Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba
Purbalingga Jawa Tengah memiliki tata tertib yang
berlaku bagi pasien. Dalam tata tertib ini juga terdapat
larangan dan sanksi yang dikenakan bila tata tertib
tersebut dilanggar. Adapun tata tertib tersebut berisi
sebagai berikut:21
20
Dokumentasi Yayasan An-Nur, Program Panti (Purbalingga:
Yayasan An-Nur, 2016). 21
Dokumentasi Yayasan An-Nur, Tata Tertib Klien (Purbalingga,
Yayasan An-Nur, 2015).
123
a. Tata tertib umum
1. Menjaga sopan santun, dan saling menghormati
diantara klien dan terhadap semua pembina
2. Diwajibkan mengikuti semua kegiatan panti
dengan disiplin dan bertanggung jawab
3. Setiap pagi harus bangun pukul 04.30 WIB, dan
mempersiapkan diri untuk mengikuti kegiatan.
4. Harus sudah berada di kamar tidur pukul 22.00
WIB.
5. Menjaga dan memelihara keindahan dan
kebersihan lingkungan panti.
6. Apabila memasuki kantor harus berpakaian
rapih dan sopan.
7. Mengikuti apel dengan tertib dan tepat waktu.
8. Rambut harus pendek dan rapih.22
b. Tata tertib asrama
1. Menjaga, memelihara dan tidak memindahkan/
merubah posisi barang di asrama
2. Tidak dibenarkan berpindah kamar (kecuali ada
perintah dari pembina)
3. Menjaga kebersihan, kerapihan dan keindahan
asrama serta lingkungan sekitarnya
22
Dokumentasi Yayasan An-Nur, Tata Tertib Klien (Purbalingga,
Yayasan An-Nur, 2015).
124
4. Dilarang menerima tamu di asrama kecuali ada
izin dari pembina
5. Dilarang membawa, memakai, menyimpan
minuman keras, obat-obatan terlarang serta
senjata tajam
6. Tempat tidur, lemari pakaian dan lain-lain harus
dalam keadaan rapih dan bersih
7. Klien harus tidur jam 22.00 WIB
8. Menjaga keamanan, ketertiban dan
ketenteraman asrama
9. Mempergunakan listrik dan air dengan hemat
10.Dilarang mencoret-coret dinding/ tembok atau
pagar asrama
11.Dilarang berbuat kegaduhan/ keonaran di
lingkungan asrama.23
c. Larangan
1. Dilarang berjudi, mencuri, berkelahi, minum-
minuman keras, obat-obatan terlarang serta
membawa senjata tajam
23
Dokumentasi Yayasan An-Nur, Tata Tertib Klien (Purbalingga,
Yayasan An-Nur, 2015).
125
2. Klien yang tidak berkepentingan dilarang
masuk kantor
3. Klien yang menemui pembina terlebih dahulu
melapor kepada petugas piket
4. Dilarang membawa HP
5. Dilarang membawa rokok dalam kantor
6. Dilarang membuang sampah sembarangan
7. Tidak dibenarkan mengambil, memetik, dan
memindahkan tanaman dilingkungan panti
8. Tidak dibenarkan meninggalkan panti tanpa
seizin pembina atau petugas piket
9. Dilarang membawa teman dari luar dan saling
mempengaruhi dalam perbuatan yang negatif
10.Dilarang merusak sarana dan prasarana panti
yang dapat mengganggu kelangsungan kegiatan
pelayanan.24
d. Sanksi
1. Pelanggaran terhadap tata tertib akan dikenakan
sanksi berupa:25
24
Dokumentasi Yayasan An-Nur, Tata Tertib Klien (Purbalingga,
Yayasan An-Nur, 2015). 25
Ibid.
126
a. Teguran. Teguran dengan mengisi surat
pernyataan untuk tidak mengulangi
perbuatan kembali
b. Hukuman berupa pekerjaan
1. Membersihkan lingkungan asrama
2. Membersihkan MCK
3. Membersihkan mushola
4. Membersihkan lingkungan kantor
c. Hukuman fisik
1. Push-up
2. Pull-up
3. Sit-up
2. Pasien akan dikeluarkan apabila melanggar tata
tertib dimaksud maksimal 3 kali setelah
diadakan sidang kasus.26
4. Program Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba Purbalingga Jawa Tengah
Program Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba
Purbalingga Jawa Tengah adalah sebagai berikut:27
26
Dokumentasi Yayasan An-Nur, Tata Tertib Klien (Purbalingga,
Yayasan An-Nur, 2015). 27
Ibid.
127
a. Memberi kebutuhan dasar bagi pasien.
b. Memberi bekal keterampilan antara lain
keterampilan las dan batu akik.
c. Kegiatan rekreasi seperti outbond setiap bulan dan
olahraga setiap minggu.
d. Kegiatan rohani, yakni memberikan pengetahuan
tentang agama Islam dan cara menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari.
e. Kegiatan mengaji bagi pasien setiap malam.
f. Kegiatan ruqyah, istighosah dan minum air
karomah.
g. Kegiatan kebersihan diri di setiap pagi dan sore
hari, yakni pasien melakukan mandi dan dipantau
pembimbing/ staf panti agar kebersihan tubuh
pasien terjaga. Selain itu, kuku dan rambut pasien
rajin di potong oleh staf agar terlihat rapih.
h. Kegiatan kebersihan panti oleh pasien setiap satu
minggu sekali.
i. Memberikan terapi psikososial.
j. Memberikan konseling terhadap setiap pasien.
k. Membebaskan pasien untuk berinteraksi dengan
masyarakat di sekitar panti dengan pengawasan
petugas guna menumbuhkan rasa percaya diri
pasien ketika kembali lagi ke masyarakat.28
28
Dokumentasi Yayasan An-Nur, Program Panti (Purbalingga:
Yayasan An-Nur, 2016).
128
5. Jadwal harian Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba Purbalingga Jawa Tengah
Berikut merupakan jadwal harian Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah
disajikan dalam bentuk tabel.29
Tabel 1
Jadwal Harian Panti
No Hari Pukul Kegiatan
1 Senin 08.00-09.30 Kajian Agama Islam
2 Selasa 08.00-12.00 Cek Kesehatan
3 Rabu 13.00-15.00 Terapi Musik, Pengisian
Waktu Luang
4 Kamis 08.00-10.00 Pengetahuan Umum,
Kreatifitas Petugas
5 Jum‟at 06.30-09.00 Olahraga
6 Sabtu 07.00-10.00 Kerja Bakti
7 Minggu 07.00-10.00 Keterampilan
Sumber: Dokumentasi Yayasan An-Nur
6. Struktur pengurus Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa
dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah
Dalam menjalankan seluruh kegiatan, pendiri panti H.
Supono Mustajab mengangkat beberapa orang yang dapat
29
Dokumentasi Yayasan An-Nur, Program Panti (Purbalingga:
Yayasan An-Nur, 2016).
129
dipercaya. Berikut merupakan struktur pengurus Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah:30
Bagan 1
Struktur Pengurus Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba
di Purbalingga Jawa Tengah
Sumber
30
Dokumentasi Yayasan An-Nur, Struktur Pengurus (Purbalingga,
Yayasan An-Nur, 2015).
KETUA
H. Supono Mustajab
SEKRETARIS
Achmad Muchdir
BENDAHARA
Hj. Siti Sofiyatun
MANAGER PROGRAM
Imam Faozi Wahyudiana
PEKSOS KONS ADIKSI MEDIS
1.Anggun W
2.Siti Nurajizah
3.Dwi Rakhma
1.A. Chamzah
2.Imam Faozi
3.Maolana Ahmad
1. dr. Basiran
2. Nur Azizah
1.Purnama Rozak
2.Fuad Syarif H
TKS
130
7. Tahapan pelayanan rehabilitasi pada Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga
Jawa Tengah
Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba
Purbalingga Jawa Tengah memiliki patokan resmi dalam
hal tahapan pelayanan bagi calon pasien ataupun keluarga
pasien yang ingin merehabilitasi anggota keluarganya di
panti ini. Adapun tahapan pelayanan tersebut adalah
sebagai berikut:31
Tabel 2
Tahapan Pelayanan Rehabilitasi
NO TAHAP
PELAYANAN
TUJUAN LANGKAH YANG
DILAKUKAN
1.
AKSES KLIEN
Untuk mendapatkan
calon pasien pengguna
Napza dan pasien
gangguan jiwa yang akan
direhabilitasi di Yayasan
An Nur
a) Adanya rujukan dari
perorangan/orang tua,
kepolisian, BAPAS,
Rumah Sakit atau
Dinas Sosial.
b) Outreach dari Pekerja
Sosial, Tenaga
Kesejahteraan Sosial
dan Konselor.
31
Dokumentasi Yayasan An-Nur, Program Panti (Purbalingga:
Yayasan An-Nur, 2016).
131
2.
REGISTRASI &
PENERIMAAN
Untuk mengawali
keseluruhan proses
pelayanan dan
rehabilitasi sosial dengan
adanya pendataan dan
identifikasi terhadap
calon pasien
a) Pendekatan awal
b) Sosialisasi
c) Identifikasi
d) Seleksi
e) Penerimaan
f) Kontrak
3.
ASSESMENT
Untuk mendata,
mengumpulkan,
menganalisis dan
merumuskan masalah,
kebutuhan, potensi dan
sumber (aspek aspek
fisik, psikis, sosial dan
spiritual)
a) Perumusan masalah
b) Identifikasi sistem
sumber
c) Identifikasi potensi
4.
RENCANA
INTERVENSI
Untuk merencanakan
penanganan masalah
penyalahgunaan Napza
dan pasien gangguan
jiwa secara obyektif
melalui pengungkapan
masalah (assesment) dan
temu bahas kasus (case
conference)
a) Hasil assesment
b) Hasil temu bahas
kasus awal
c) Sidang kasus
132
5.
PEMECAHAN
MASALAH
Untuk memecahkan
masalah korban
penyalahgunaan Napza
dan gangguan jiwa sesuai
kondisi obyektif
kebutuhan & masalahnya
masing-masing
a) Kegiatan bimbingan
fisik
b) Kegiatan bimbingan
mental
c) Kegiatan bimbingan
sosial
d) Kegiatan bimbingan
spiritual
e) Kegiatan bimbingan
keterampilan
6.
RESOSIALISASI
Untuk menyiapkan
korban penyalahgunaan
Napza agar dapat
diterima kembali di
lingkungan keluarga
maupun lingkungan
sosialnya
a) Dukungan keluarga
b) Mediasi keluarga
7.
TERMINASI
Untuk mengakhiri
pelayanan rehabilitasi
sosial bagi pasien
penyalahgunaan Napza
dan gangguan jiwa di
Yayasan An-Nur
-
133
8.
PEMBINAAN
LANJUT
Untuk memberikan
pembinaan lanjut bagi
pasien penyalahgunaan
Napza dan gangguan
jiwa yang telah selesai di
rehabilitasi agar
keberfungsian sosialnya
kembali
a) Memelihara kepulihan
b) Konsultasi
c) Perubahan Perilaku
d) Kemandirian ekonomi
B. Temuan Lapangan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
(Balitbangkes) Kementerian Kesehatan RI dalam Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013
mengungkapkan bahwa sampai saat ini angka penderita
gangguan mental di Indonesia masih tinggi. Hal ini
diakibatkan pengobatan terhadap penderita gangguan mental
dan akses ke pelayanan kesehatan belum memadai. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan angka
penderita gangguan mental adalah dengan cara merehabilitasi
penderita gangguan mental ke pusat pelayanan kesehatan atau
berobat ke tenaga kesehatan yang kompeten.32
Salah satu panti yang melaksanakan program rehabilitasi
bagi penderita gangguan mental adalah Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba yang terletak di Kabupaten
32
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI,
Riset Kesehatan Dasar 2013 (Jakarta: Balitbangkes, 2013), h. 125.
134
Purbalingga Jawa Tengah. Panti ini hadir sebagai bentuk
partisipasi dalam merehabilitasi penderita gangguan mental
tanpa pemasungan.
Berikut adalah uraian dari hasil penelitian yang akan
membahas tentang program rehabilitasi mental pada pasien
gangguan mental dan analisis program rehabilitasi mental
pasien gangguan mental pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa
dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah:
1. Program rehabilitasi mental pada pasien
gangguan mental
Pembahasan tentang program rehabilitasi mental
kepada para pasien gangguan mental di Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba yang berada di Kabupaten
Purbalingga Jawa Tengah meliputi:
a. Program rehabilitasi mental
Rehabilitasi berasal dari kata dalam bahasa
Inggris, yaitu „Rehabilitation‟ yang berarti
„pembetulan‟ atau „perbaikan‟.33
Sedangkan
rehabilitasi mental adalah suatu proses kegiatan yang
ditujukan untuk memperkuat ketahanan mental
seseorang dalam menghadapi masalah yang dimiliki
33
Y.B. Suparlan, Kamus Istilah Pekerjaan Sosial (Yogyakarta,
Kanisius: 1990), h. 139.
135
agar dapat bertahan, tidak putus asa dan memiliki
harapan untuk mengatasi masalahnya.34
Rehabilitasi terhadap mereka yang menderita
gangguan mental bukan hanya menjadi tanggung
jawab Kementerian Sosial RI saja, namun juga perlu
peran dari masyarakat luas. Keterlibatan masyarakat
dalam melaksanakan rehabilitasi terhadap penderita
gangguan mental, baik dalam bentuk lembaga maupun
non-lembaga sangat memungkinkan untuk
dikembangkan sebagai salah satu usaha
mengembalikan keberfungsian sosial penderita
gangguan mental sehari-hari.35
Carolina Nitimiharjo membagi rehabilitasi ke
dalam empat jenis, yakni rehabilitasi medis,
rehabilitasi pendidikan, rehabilitasi vokasional dan
rehabilitasi sosial.36
Jenis rehabilitasi yang terjadi
pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba
Purbalingga Jawa Tengah adalah jenis rehabilitasi
sosial, dengan fokus penelitian pada progran
rehabilitasi non-medis yang meliputi ruqyah,
istighosah dan minum air karomah.
34
Tunggul Sianipar, Pedoman Penanganan Korban Trafficking
(Jakarta: Direktorat Pelayanan dan rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Kemensos
RI, 2010), h. 16. 35
Ruaida Murni dan Mulia Astuti, “Rehabilitasi Sosial Bagi
Penyandang Disabilitas Mental Melalui Unit Informasi dan Layanan Sosial
Rumah Kita,” Jurnal Sosio Informa, Vol 1 No 3 (September-Desember 2015):
h. 280. 36
Carolina Nitimiharjo, Rehabilitasi Sosial dalam Isu-isu Tematik
Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi (Jakarta: Balitbang Departemen
Sosial RI, 2004), h. 185.
136
Berikut adalah uraian mengenai program
rehabilitasi mental pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa
dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah berupa
program ruqyah, istighosah dan minum air karomah:
1. Ruqyah
Kegiatan terapi ruqyah memiliki peran
strategis dalam rangka mendukung upaya
penyembuhan. Ruqyah merupakan terapi dengan
melafalkan doa baik dari al-Quran maupun as-
Sunnah untuk menyembuhkan suatu penyakit.
Terapi ruqyah tidak terbatas pada gangguan jin
saja, tetapi juga mencakup terapi fisik dan
gangguan jiwa.37
Pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba, ada yang menyatakan bahwa:
a. Pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba ini ruqyah adalah metode dalam
menyembuhkan atau merehabilitasi pasien
gangguan mental/ jiwa, seperti yang
diungkapkan oleh Manager Program dan
Tenaga Kesejahteraan Sosial panti:
37
Ibnul Qayyim Al-Jauziah, Sistem Kedokteran Nabi: Kesehatan dan
Pengobatan menurut Petunjuk Nabi Muhammad SAW. Penerjemah Said Agil
Husin Munawar dan Abdur Rahman Umar (Semarang: Dina Utama Semarang,
1994), h. 41.
137
“Ruqyah adalah salah satu program
untuk mengobati pasien disini. Ruqyah
dilaksanakan di aula setiap malam jumat.
Saya kurang tau definisi pasti dari
ruqyah, tapi disini ruqyah merupakan
cara yang digunakan untuk mengobati
pasien”38
“Kalau disini, ruqyah untuk
penyembuhan. Pasien disini selain diobati
dengan menggunakan obat-obatan medis
juga diobati dengan cara-cara non-medis.
Disini ada ruqyah39
, istighosah40
, mandi
38
Wawancara Pribadi dengan Imam Faozi Wahyudiana, selaku
Manager program pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 39
Ruqyah adalah salah satu metode pengobatan yang terdapat pada
Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah. Ruqyah
dilaksanakan setiap malam jumat di aula panti untuk seluruh pasien secara
bergantian di setiap minggunya. Ruqyah dipimpin langsung oleh kepala
sekaligus pendiri panti yang dibantu oleh para staf dalam mengatur pasien,
selain itu ruqyah ditujukan untuk sebesar-besar kesembuhan pasien di panti. 40
Istighosah adalah salah satu dari tiga program panti yang
dilaksanakan di aula panti pada malam jumat sebagai salah satu metode
pengobatan yang terdapat di panti. Istighosah wajib diikuti oleh seluruh pasien
yang ada di panti karena istighosah adalah sarana mendekatan kembali diri
pasien dengan Tuhan dalam bentuk berdoa memohon kesembuhan pada Allah
SWT. Istighosah di panti berisi bacaan-bacaan yang baik dan harapan agar
pasien dapat segera pulih dari gangguan jiwa.
138
malam41
dan minum air karomah42
. Itu
semua adalah cara non-medis”.43
b. Tidak ada staf panti yang tahu persis
bacaan ruqyah secara pasti karena ruqyah
hanya dibacakan oleh yang melaksanakan
ruqyah, yakni kepala dan pendiri panti,
seperti yang diungkapkan oleh Manager
Program panti:
“Tidak ada yang tahu bacaan ruqyah,
hanya kepala panti saja yang tahu. Tidak
ada staf yang diberitahu bacaan ruqyah,
maka itu hanya kepala panti saja yang
bisa ruqyah disini”44
c. Ada yang menyebut bahwa ruqyah di panti
ini memakai bacaan jampi-jampi dan doa-
doa, seperti yang diungkapkan oleh Tenaga
41
Mandi malam merupakan salah satu terapi pengobatan yang ada di
Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah kepada
pasien gangguan mental yang baru masuk panti sebagai bentuk membersihkan
jiwa dan raga pasien baru dari segala hal yang mengikutinya. Mandi malam
dilaksanakan pada malam pertama pasien masuk panti dengan mencampurkan
air di bak mandi dengan kembang-kembang lalu menyiramkannya pada pasien
baru. Terapi ini dilaksanakan oleh kepala panti dengan dibantu para staf panti. 42
Air karomah adalah air minum biasa seperti air pada umumnya,
hanya saja air minum tersebut sudah diberikan bacaan-bacaan sehingga
mempunyai energi yang dapat menyembuhkan. Penyebutan air karomah
merujuk pada kegunaan air yang telah diberikan bacaan-bacaan doa sebagai
media penyembuhan. Minum air karomah dilaksanakan setiap malam jumat
setelah selesai melaksanakan ruqyah dan istighosah di aula panti. 43
Wawancara Pribadi dengan Fuad Syarif Hidayatullah, selaku
Tenaga kesejahteraan sosial pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 44
Wawancara Pribadi dengan Imam Faozi Wahyudiana, selaku
Manager program pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017.
139
Kesejahteraan Sosial dan Manager Program
panti:
“Mungkin karena ada bacaan doa-
doanya. Dan memang salah satu fungsi
ruqyah adalah untuk penyembuhan
jiwa”45
“Bacaan-bacaan ditambah doa-doa dari
al-Quran. Lebih detail apa yang dibaca
dalam proses ruqyah staf tidak ada yang
tahu”46
d. Bacaan ruqyah yang diterapkan di panti ini
sebenarnya adalah ayat al-Quran dan doa-
doa yang berasal dari al-Quran, seperti
yang diungkapkan informan luar panti mas
Irvan dan pengakuan peruqyah sendiri
yakni pak H. Supono selaku Kepala Panti:
“Kepala panti menggabungkan ruqyah
dengan istighosah di malam jumat,
kadang digabung sama pengajian,
kadang digabung sama sholawatan.
Bacaan ruqyahnya adalah ayat-ayat al-
Quran”47
45
Wawancara Pribadi dengan Fuad Syarif Hidayatullah, selaku
Tenaga kesejahteraan sosial pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 46
Wawancara Pribadi dengan Imam Faozi Wahyudiana, selaku
Manager program pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 47
Wawancara Pribadi dengan Irvan Bachtiar, Masyarakat sekitar
panti sebagai informan luar, Purbalingga, 15 Juni 2017.
140
“Ruqyah disini menggunakan ayat al-
Quran, ditambah dengan doa-doa yang
ada di dalam al-Quran dan ada juga
bacaan dzikir”48
e. Ada juga yang menyebut bahwa ruqyah di
panti ini dapat menyembuhkan pasien lebih
dikarenakan sosok peruqyah, yakni kepala
dan pendiri panti yang memang dianggap
sebagai „orang sakti‟ oleh masyarakat,
seperti yang diungkapkan oleh ketua
lingkungan bapak RT Madrosad dan
informan luar panti mas Irvan:
“Sejak kepala panti masih muda, beliau
sudah dikenal sebagai orang sakti disini,
istilah lainnya beliau adalah „orang
pintar‟. Jadi waktu beliau masih menjadi
kepala desa disini, sudah banyak orang
yang datang ke rumahnya hendak
berobat. Kalau ada yang kesurupan, ada
yang kena teluh, kena santet, pasti warga
sekitar sini datang ke rumah kepala
panti”49
“Semua orang desa Bungkanel sudah
tahu dari dulu bahwa kepala panti adalah
„orang pintar‟. Dari dulu kepala panti
memang dukun, makanya sampai bisa
jadi kepala desa dan bisa mengobati
orang yang kesurupan. Kalau bukan
48
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 49
Wawancara Pribadi dengan Madrosad, Ketua RT panti berada
sebagai informan luar, Purbalingga, 15 Juni 2017.
141
karena „orang pintar‟ saya yakin tidak
ada orang yang mau datang berobat
kesini”50
Pendapat dari staf dan kepala panti tentang
ruqyah di atas yang diperkuat oleh pendapat dari
ketua RT dan salah satu warga sekitar panti
sebagai informan dapat dikaitkan dengan teori
Ruqyah yang dikemukakan oleh Ibnul Qayyim Al-
Jauziah. Dalam teori Ruqyah tersebut dikatakan
bahwa ruqyah merupakan terapi dengan
melafalkan doa baik dari al-Quran maupun as-
Sunnah untuk menyembuhkan suatu penyakit.
Terapi ruqyah tidak terbatas pada gangguan jin
saja, tetapi juga mencakup terapi fisik dan
gangguan jiwa.51
Kemudian masih menurut imam Ibnul Qayyim
Al-Jauziah, obat Rabbani (Pengobatan non-medis
seperti ruqyah) dapat menanggulangi penyakit
ketika sakit dan dapat mencegah sebelum sakit.
Jika terjadi sakit, sakit itu tak akan
membahayakannya meskipun ia merasakan sakit.52
50
Wawancara Pribadi dengan Irvan Bachtiar, Masyarakat sekitar
panti sebagai informan luar, Purbalingga, 15 Juni 2017. 51
Ibnul Qayyim Al-Jauziah, Sistem Kedokteran Nabi: Kesehatan dan
Pengobatan menurut Petunjuk Nabi Muhammad SAW. Penerjemah Said Agil
Husin Munawar dan Abdur Rahman Umar (Semarang: Dina Utama Semarang,
1994), h. 41. 52
Ibnul Qayyim Al-Jauziah, Zadul Ma‟ad: Bekal Perjalanan ke
Akhirat. Penerjemah Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000), h. 306.
142
Selanjutnya, peneliti berkesempatan
melakukan observasi dan wawancara di Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga
Jawa Tengah. Berdasarkan wawancara diketahui
bahwa pelaksanaan ruqyah di panti masih
mengandalkan satu orang sosok yang
melaksanakan ruqyah, yakni kepala panti H.
Supono Mustajab.
Ketergantungan pada satu orang ini sangat
berbahaya untuk keberlangsungan panti kedepan
karena bukan tidak mungkin program ruqyah akan
ditiadakan jika sosok pelaksana ruqyah itu
berhalangan. Padahal ruqyah dipercaya sangat
efektif sebagai salah satu program rehabilitasi
pada pasien gangguan mental di panti.
Terkait dengan pendapat dari staf dan kepala
panti tentang kendala, Eliyahu M. Goldratt melalui
teori kendala atau Theory of Constraint/ TOC
mengatakan bahwa setiap organisasi mempunyai
kendala-kendala yang menghambat pencapaian
kinerja (Performance) yang tinggi. Jika suatu
kendala telah terpecahkan, maka kendala
berikutnya dapat diidentifikasi dan diperbaharui.53
Kendala yang dimiliki panti saat ini adalah adanya
53
Laelani Rusydina Sabila, Maksimasi Throughput Produk Garmen
dengan Menggunakan Pendekatan Theory of Constraint: Studi Kasus CV Suho
Garmindo Bandung (Bandung: Skripsi Fakultas Teknik Universitas Islam
Bandung, 2014), h. 6.
143
ketergantungan pada satu orang dalam
melaksanakan ruqyah yang jika dibiarkan tanpa
diantisipasi akan menyebabkan ketiadaan program
ruqyah di masa mendatang.
Berdasarkan wawancara diketahui bahwa pada
pelaksanaannya ruqyah sudah sangat efektif
sebagai salah satu metode rehabilitasi mental pada
pasien gangguan mental di panti, meskipun tidak
setiap minggu seorang pasien diruqyah karena
menunggu giliran dan bergantian dengan pasien
lainnya. Sedangkan pada kondisi kesehatan mental
pasien semakin hari semakin mengalami
peningkatan/ membaik, hal itu terlihat dari pasien
yang sudah tidak lagi menempati ruang isolasi
seperti pada saat awal pasien masuk panti.
2. Istighosah
Istighosah adalah meminta sesuatu untuk
menghilangkan kesusahan atau kesedihan dan
memohon bantuan hanya dengan Allah SWT. Hal
itu diperbolehkan di dalam segala urusan
kebaikan.54
Teori istighosah tersebut sejalan
dengan teori Zakiah Daradjat yang mengatakan
bahwa salah satu manfaat istighosah adalah
54
Muhammad Ibn Abdul Wahab, Kitab Tauhid. Penerjemah Abu
Ismail Fuad (Yogyakarta: Pustaka Al-Haura, 2009), h. 33.
144
memberi pencegahan terhadap kegoncangan
kejiwaan dan penyembuhan stres.55
Pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba, ada yang menyatakan bahwa:
a. Pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba ini istighosah adalah sarana bagi
pasien berdoa untuk kesembuhannya
sendiri, seperti yang diungkapkan oleh
Kepala Panti dan Tenaga Kesejahteraan
Sosial panti:
“Istighosah disini adalah membaca surat
Yasin, tahlil dan sholawat secara
bersama-sama, termasuk pasien
diharuskan ikut membaca untuk
kesembuhan mereka sendiri”56
“Istighosah adalah acara berdoa secara
bersama-sama, karena disini yang
istighosah adalah para pasien, jadi
istighosah disini meminta kesembuhan
untuk para pasien disini”57
b. Seluruh program rehabilitasi non-medis
termasuk istighosah di panti ini bertujuan
untuk mendekatkan pasien kepada Tuhan
55
Zakiah Daradjat, Doa Menunjang Semangat Hidup (Jakarta:
Ruhama, 1994), h. 102. 56
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 57
Wawancara Pribadi dengan Fuad Syarif Hidayatullah, selaku
Tenaga kesejahteraan sosial pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017.
145
yang pada akhirnya untuk penyembuhan
mereka, seperti yang diungkapkan oleh
Kepala Panti:
“Pasien disini saya dekatkan pada Tuhan,
minta kepada Tuhan Allah SWT untuk
kesembuhan. Saya hanya membantu,
pasien sendiri yang harus meminta
langsung pada Tuhan”58
c. Istighosah bermanfaat untuk rehabilitasi/
penyembuhan bagi pasien gangguan mental
di panti secara non-medis, seperti yang
diungkapkan oleh Manager Program,
informan luar panti mas Irvan, Tenaga
Kesejahteraan Sosial panti dan ketua
lingkungan pak RT Madrosad:
“Istighosah merupakan bagian dari
program panti untuk menyembuhkan
pasien secara non-medis”59
“Sejak awal berdiri panti ini terkenal
karena cara pengobatan terhadap pasien
bukan dengan menggunakan obat-obatan,
namun dengan cara non-medis seperti
ruqyah, istighosah, air karomah, terapi
mandi malam dan lain sebagainya. Justru
58
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 59
Wawancara Pribadi dengan Imam Faozi Wahyudiana, selaku
Manager program pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017.
146
cara itulah yang menjadi daya tarik dari
panti ini”60
“Kalau pasien mau sembuh maka pasien
harus mengikuti program panti. Disini
ada pengobatan medis dan pengobatan
non-medis. Ruqyah, istighosah dan
minum air karomah itu termasuk kedalam
pengobatan non-medis”61
“Pasien di panti diobati dengan
pengajian-pengajian seperti istighosah,
ruqyah, shalat jamaah, minum air
karomah, dan terapi mandi malam.
Menurut saya hal itu bagus, karena cara-
cara itu masih bisa diterima dengan akal
sehat dan tidak menyiksa pasien”62
d. Ada yang berpendapat istighosah sebagai
penyeimbang antara metode medis dan
non-medis untuk penyembuhan pasien
gangguan mental di panti, seperti yang
diungkapkan oleh Manager Program dan
informan luar panti mas Irvan:
“Menurut saya kalau kita mengobati
pasien hanya dengan cara medis saja
seperti memberikan obat-obatan saja
maka akan sulit untuk sembuhnya, karena
perlu ada cara lain untuk mempercepat
60
Wawancara Pribadi dengan Irvan Bachtiar, Masyarakat sekitar
panti sebagai informan luar, Purbalingga, 15 Juni 2017. 61
Wawancara Pribadi dengan Fuad Syarif Hidayatullah, selaku
Tenaga kesejahteraan sosial pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 62
Wawancara Pribadi dengan Madrosad, Ketua RT panti berada
sebagai informan luar, Purbalingga, 15 Juni 2017.
147
dan memudahkan pasien agar bisa
sembuh. Di panti ini cara non-medisnya
yang diperbanyak, mudah-mudahan bisa
cepat sembuh”63
“Warga menganggap panti ini sudah
bagus dan warga sudah setuju dengan
cara-cara pengobatan di panti. Karena
kalau hanya mengandalkan obat medis
saja akan susah sembuhnya”64
Pendapat dari staf dan kepala panti tentang
istighosah di atas yang diperkuat oleh pendapat
dari ketua RT dan salah satu warga sekitar panti
sebagai informan dapat dikaitkan dengan teori
istighosah yang dikemukakan oleh imam
Muhammad Ibn Abdul Wahab. Dalam teori
istighosah tersebut dikatakan bahwa istighosah
merupakan kegiatan berdoa secara bersama-sama
yang wajib diikuti oleh semua pasien. Istighosah
merupakan kegiatan meminta sesuatu untuk
menghilangkan kesusahan atau kesedihan dan
memohon bantuan hanya dengan Allah SWT. Hal
itu diperbolehkan di dalam segala urusan
kebaikan.65
63
Wawancara Pribadi dengan Imam Faozi Wahyudiana, selaku
Manager program pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 64
Wawancara Pribadi dengan Irvan Bachtiar, Masyarakat sekitar
panti sebagai informan luar, Purbalingga, 15 Juni 2017. 65
Muhammad Ibn Abdul Wahab, Kitab Tauhid. Penerjemah Abu
Ismail Fuad (Yogyakarta: Pustaka Al-Haura, 2009), h. 33.
148
Selanjutnya, peneliti berkesempatan
melakukan observasi dan wawancara di Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga
Jawa Tengah. Berdasarkan wawancara diketahui
bahwa minat dan antusias pasien untuk berdoa
sampai saat ini masih minim, padahal pihak panti
telah membuka kesempatan yang sebesar-besarnya
untuk para pasien berdoa sendiri dengan caranya
sendiri.
Hal tersebut di atas terlihat dari dibebaskannya
pasien ke mushola kapanpun, membebaskan
pasien menggunakan pengeras suara yang ada di
mushola sebelum dan setelah sholat lima waktu.
Kepala panti sengaja membuka kesempatan itu
karena ingin para pasien dapat mendekatkan diri
pada Tuhan dengan cara berdoa dan hal positif
lainnya.
Terkait dengan pendapat dari staf dan kepala
panti tentang motivasi pasien yang berasal dari
harapan untuk sembuh, para staf dan kepala panti
terus memotivasi pasien dengan memberikan
harapan bahwa dengan banyak berdoa dan
semakin dekat dengan Tuhan maka kesembuhan
akan semakin cepat datang. Dalam teori harapan,
Victor Vroom mengatakan bahwa kekuatan yang
memotivasi seseorang untuk giat dalam
mengerjakan pekerjaannya tergantung dari
149
hubungan timbal balik antara apa yang diinginkan
dan dibutuhkan dari hasil pekerjaannya itu.66
Berdasarkan wawancara diketahui bahwa di
dalam program istighosah ada kegiatan berdoa
pada Allah SWT memohon kesembuhan untuk
seluruh pasien dengan harapan pasien dapat
sembuh seperti sediakala. Istighosah dan berdoa
merupakan cara panti dalam mendekatkan pasien
dengan Tuhan. Dengan adanya istighosah kondisi
mental pasien yang terganggu semakin berkurang
dan pada akhirnya lama kelamaan akan sembuh,
hal itu terlihat dari pasien yang sudah jarang sekali
ngamuk karena kumat seperti yang sering terjadi
saat awal masuk.
3. Minum Air Karomah
Air mempunyai ukuran yang cocok untuk
membawa berbagai macam informasi, termasuk
diantaranya membawa gelombang yang
bermanfaat untuk pengobatan, gelombang tersebut
sebagai hado (energi). Dengan meminum air hado
(berisi energi karena telah dibacakan doa) ini
66
Malayu S Hasibuan, Organisasi & Motivasi: Dasar Peningkatan
Produktivitas Kerja (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 116.
150
orang yang sakit akan mampu memperbaiki
gelombang yang terganggu.67
Pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba, ada yang menyatakan bahwa:
a. Air karomah adalah air minum biasa seperti
air pada umumnya, hanya saja air tersebut
sudah diberikan bacaan-bacaan sehingga
mempunyai energi yang dapat
menyembuhkan, seperti yang diungkapkan
oleh Tenaga Kesejahteraan Sosial panti:
“Air Karomah68
pada dasarnya adalah
air biasa seperti air pada umumnya,
hanya saja air karomah sudah
ditambahkan bacaan-bacaan oleh kepala
panti, maka disebutlah air karomah
karena dipercaya bisa menyembuhkan
yang sakit. Jadi airnya itu sudah hasil
bacaan bersama-sama di saat istighosah
yang berisi bacaan surat Yasin, tahlil,
sholawat dan kemudian kepala panti
menambahkan bacaan pribadi di akhir
67
Masaru Emoto, The True Power of Water: Hikmah Air dalam
Olahjiwa. Penerjemah Azam Translator (Bandung: MQ Publishing, 2006), h.
101. 68
Air karomah adalah air minum biasa seperti air pada umumnya,
hanya saja air minum tersebut sudah diberikan bacaan-bacaan sehingga
mempunyai energi yang dapat menyembuhkan. Penyebutan air karomah
merujuk pada kegunaan air yang telah diberikan bacaan-bacaan doa sebagai
media penyembuhan. Minum air karomah dilaksanakan setiap malam jumat
setelah selesai melaksanakan ruqyah dan istighosah di aula panti, selain itu air
karomah juga bisa dibuat atau tersedia saat ada pasien baru datang ke panti dan
saat ada pasien yang mengamuk.
151
istighosahnya. Kemudian air tersebut
diminum oleh seluruh pasien”69
b. Minum air karomah dilaksanakan setiap
malam jumat setelah selesai melaksanakan
istighosah di aula, seperti yang
diungkapkan oleh Kepala Panti dan
informan luar panti mas Irvan:
“Sebelum dilangsungkan ruqyah, para
pasien minum air karomah terlebih
dahulu. Air karomah itu adalah hasil
bacaan para pasien dan staf secara
bersama-sama dalam acara istighosah
dan saya tambahkan bacaan juga secara
pribadi. Jadi ruqyah, istighosah dan
minum air karomah masih satu tempat
dan satu waktu, setiap malam jumat di
aula panti”70
“Istighosah, ruqyah dan minum air
karomah dilaksanakan setiap malam
jumat setelah isya di aula panti”71
c. Ada yang mengatakan selain tersedia di
malam jumat, air karomah juga bisa dibuat/
tersedia saat ada pasien baru datang dan
saat ada pasien yang mengamuk, seperti
69
Wawancara Pribadi dengan Fuad Syarif Hidayatullah, selaku
Tenaga kesejahteraan sosial pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 70
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 71
Wawancara Pribadi dengan Irvan Bachtiar, Masyarakat sekitar
panti sebagai informan luar, Purbalingga, 15 Juni 2017.
152
yang diungkapkan oleh kepala Panti dan
Tenaga Kesejahteraan Sosial panti:
“Kalau kebetulan saya ada di rumah, ada
staf yang laporan bahwa ada pasien
ngamuk atau kumat, langsung saya
datengin dan saya buatkan air karomah.
Pasien saya suruh minum air karomah
itu, biasanya langsung sadar. Biasanya
kalau ada pasien baru dateng, saya kasih
juga air karomah”72
“Kalau ada pasien ngamuk, kepala panti
membuatkan air karomah dadakan. Air
karomah dibuat mengikuti situasi di panti,
tapi kalau malam jumat saat acara
ruqyah dan istighosah pasti ada air
karomah”73
d. Ada yang mengatakan meminum air
karomah bermanfaat untuk penyembuhan
pasien, seperti yang diungkapkan oleh
Kepala Panti dan Manager Program panti:
“Air karomah hanya sebutan saja, karena
airnya sudah ditambahkan bacaan dan
berfungsi untuk penyembuhan. Tapi itu
semua atas izin Allah SWT”74
72
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 73
Wawancara Pribadi dengan Fuad Syarif Hidayatullah, selaku
Tenaga kesejahteraan sosial pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 74
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017.
153
“Air karomah sebagai obat untuk
menyembuhkan pasien disini. Air
karomah merupakan salah satu obat non-
medis di panti”75
Pendapat dari staf dan kepala panti tentang
ruqyah di atas yang diperkuat oleh pendapat dari
salah satu warga sekitar panti sebagai informan
dapat dikaitkan dengan teori Air yang
dikemukakan oleh Masaru Emoto. Dalam teori Air
tersebut dikatakan bahwa air membawa informasi,
informasi yang dibawa bisa bermuatan positif atau
negatif. Karena manusia adalah air, sudah pasti
tubuh akan merespon informasi yang dibawa oleh
air yang diminum. Jika tubuh mendapat informasi
positif dari air, tubuh menjadi lebih sehat. Namun
jika tubuh mendapat informasi negatif dari air,
maka tubuh menjadi sakit.76
Masaru Emoto juga mengatakan bahwa air
mempunyai ukuran yang cocok untuk membawa
berbagai macam informasi tersebut, termasuk
diantaranya membawa gelombang yang
bermanfaat untuk pengobatan, gelombang tersebut
sebagai hado (energi). Dengan meminum air hado
75
Wawancara Pribadi dengan Imam Faozi Wahyudiana, selaku
Manager program pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 76
Masaru Emoto, The True Power of Water: Hikmah Air dalam
Olahjiwa. Penerjemah Azam Translator (Bandung: MQ Publishing, 2006), h.
84.
154
(berisi energi karena telah dibacakan doa) ini
orang yang sakit akan mampu memperbaiki
gelombang yang terganggu.77
Selanjutnya, peneliti berkesempatan
melakukan observasi dan wawancara di Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga
Jawa Tengah. Berdasarkan wawancara diketahui
bahwa dalam program minum air karomah, air
minum biasa dijadikan sebagai media pengobatan
untuk pasien dengan dibacakan doa-doa kebaikan.
Air yang telah dibacakan doa-doa dan kalimat-
kalimat permohonan yang baik akan mengirimkan
energi positif bagi pasien yang meminum sehingga
dengan meminum air karomah kesembuhan pasien
akan semakin cepat dan efektif. hal itu terlihat dari
pasien yang ngamuk karena gangguan mentalnya
kumat seketika akan melemah jika diminumkan air
karomah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa
program rehabilitasi non-medis berupa ruqyah,
istighosah dan minum air karomah di atas menjadi
cirikhas dan andalan Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa
dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah. Secara umum
tiga program rehabilitasi mental non-medis tersebut
77
Masaru Emoto, The True Power of Water: Hikmah Air dalam
Olahjiwa. Penerjemah Azam Translator (Bandung: MQ Publishing, 2006), h.
101.
155
dilaksanakan beriringan pada satu waktu dan satu
tempat, yakni aula panti yang merupakan tempat
paling luas di komplek panti. Tujuan dilaksanakannya
program rehabilitasi mental non-medis tersebut secara
umum adalah untuk pengobatan dan diharapkan
pasien dapat sembuh serta hidup normal kembali
seperti sedia kala.
b. Gangguan mental pada panti
Menurut Zakiah Daradjat, gangguan mental adalah
kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal
baik yang berhubungan dengan fisik maupun dengan
mental. Ketidaknormalan tersebut tidak disebabkan
oleh sakit atau rusaknya bagian-bagian anggota
badan, meskipun kadang-kadang gejalanya terlihat
pada fisik. Ketidaknormalan itu dapat dibagi atas dua
golongan, yaitu gangguan mental dan sakit mental.
Pada tahapan awal seseorang terganggu mentalnya,
yang cepat atau lambat dapat meningkat menjadi sakit
mental sebagai tahapan lanjutannya.78
Berikut adalah uraian mengenai pasien gangguan
mental yang ada di Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba Purbalingga Jawa Tengah:
1. Gangguan mental yang sudah tertangani di
panti adalah semua jenis gangguan mental baik
78
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 33.
156
gangguan mental berat maupun gangguan
mental ringan, seperti yang diungkapkan oleh
Konselor Adiksi panti sebagai berikut:
“Disini kita mengobati pasien yang menderita
gangguan jiwa atau kecanduan narkoba, baik
pada tahap yang berat maupun ringan. Jadi
kita tidak mengelompokan terlebih dahulu apa
jenis sakit yang diderita pasien, kalau pasien
punya penyakit ini kita akan tangani atau
kalau pasien punya penyakit ini kita tolak,
disini tidak seperti itu”79
Pendapat dari Konselor Adiksi di atas dapat
dikaitkan dengan teori Gangguan Mental yang
dikemukakan oleh Zakiah Daradjat. Dalam teori
Gangguan Mental dikatakan bahwa gangguan
mental merupakan kumpulan dari keadaan-
keadaan yang tidak normal baik yang berhubungan
dengan fisik maupun dengan mental.80
Masih
menurut Zakiah Daradjat, orang yang –sekedar-
mengalami gangguan mental ringan masih
mengetahui dan merasakan kesukarannya,
sedangkan orang yang sudah mengalami penyakit
jiwa/ gangguan mental berat tidak demikian.81
79
Wawancara Pribadi dengan Maolana Achmad, selaku Konselor
Adiksi pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba, Purbalingga, 15 Juni
2017. 80
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 33. 81
Ibid., h. 26.
157
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Dari hasil observasi diketahui bahwa di
asrama panti terdapat pasien dari berbagai latar
belakang jenis penyakitnya, baik pasien gangguan
mental maupun pasien narkoba. Dalam keseharian
mereka berbaur bersama sehingga sulit mengenali
mereka menderita gangguan mental atau pasien
narkoba, termasuk sulit membedakan mana pasien
gangguan berat ataupun ringan. Hanya pasien yang
masih mengamuk dan tidak stabil kejiwaannya
yang dipisah di ruang khusus bernama ruang
isolasi di bagian paling ujung timur asrama panti.
2. Pasien gangguan mental yang datang awalnya
tidak ditangani di asrama panti, melainkan
dikirim ke rumah sakit jiwa Banyumas atau
rumah sakit jiwa Magelang pada awal
berdirinya panti. Hal tersebut diungkapkan oleh
Kepala Panti sebagai berikut:
“Pada awal sebelum panti berdiri, kalau ada
warga yang stres atau gangguan jiwa datang
kepada saya. Saya kirim ke Banyumas,
ternyata rumah sakit Banyumas mahal. Saya
kirim ke Magelang juga mahal, menghabiskan
uang banyak. Saya dirikan panti sebagai
158
usaha menolong warga dengan biaya
pengobatan yang murah”82
Pada awal berdirinya panti memang belum ada
asrama seperti sekarang, hanya ada satu bilik
kecil di pinggir sawah sebelah timur rumah
pendiri panti. Hal ini diungkapkan oleh ketua
lingkungan pak RT Madrosad:
“Waktu awal berdirinya panti hanya ada dua
kamar yang terletak di bagian bawah panti,
itupun terbuat dari bilik bambu. Lama-
kelamaan karena semakin banyak yang mau
berobat disini, maka panti menambah
bangunan terus. Nah bangunan yang terbaru
adalah kamar perempuan yang berada di
dekat mushola panti”83
Pendapat dari Kepala Panti yang diperkuat oleh
pendapat dari ketua RT di atas dapat dikaitkan
dengan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia
tentang hak penderita gangguan mental
mendapatkan perawatan atas biaya negara. Hal
tersebut tertuang dalam Undang-Undang RI
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi
Manusia (HAM), Pasal 42 yang menyatakan
bahwa setiap warga negara yang berusia lanjut,
cacat fisik dan atau cacat mental berhak
82
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 5 Desember 2016. 83
Wawancara Pribadi dengan Madrosad, Ketua RT panti berada
sebagai informan luar, Purbalingga, 15 Juni 2017.
159
memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan dan
bantuan khusus atas biaya negara untuk menjamin
kehidupan yang layak sesuai dengan martabat
kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri
dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.84
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa
pada awalnya warga yang membawa keluarganya
yang menderita gangguan mental ditangani sendiri
oleh H. Supono Mustajab di rumahnya di Desa
Bungkanel Kecamatan Karanganyar Kabupaten
Purbalingga Jawa Tengah.
Pada perjalanan panti selanjutnya, pasien yang
datang semakin banyak dan harus dirawat inap,
maka H. Supono Mustajab sebagai pemilik panti
berinisiatif membangun panti di sekitar rumahnya
yang hingga saat ini masih berdiri dengan
beberapa kali pemugaran untuk memberikan
pelayanan pada penderita gangguan mental.
84
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, “Undang-Undang No 39
Tahun 1999,” Diakses pada 9 September 2016 dari
http://www.komnasham.go.id.
160
3. Keberadaan pasien gangguan mental di panti
PRSJN akan mencegah perlakuan salah
terhadap mereka jika mereka berada di luar
panti seperti tindakan pemasungan, diejek dan
ditelantarkan. Seperti yang diungkapkan oleh
Kepala Panti dan Konselor Adiksi panti sebagai
berikut:
“Kalau pasien dibiarkan di rumah mungkin
ada yang dipasung, ada yang dihina oleh
keluarganya, ada yang dibuang keluarganya.
Tapi pasien disini saya urus, saya kasih
makan, kasih minum, saya sediakan tempat
tidur, dilayanin oleh staf, dikasih obat biar
sembuh. Jadi pasien disini justru senang
dibanding mereka berada di rumah”85
“Biasanya pasien gangguan jiwa kalau
berada di rumah ada yang dipasung, ada yang
tidak diurus oleh keluarganya, jadi karena itu
kepala panti memdirikan panti ini supaya
pasien bisa diobati dan bisa sembuh hingga
bisa hidup normal kembali di tengah
masyarakat”86
Pendapat dari Kepala Panti dan Konselor
Adiksi di atas dapat dikaitkan dengan riset
Kementerian Kesehatan dalam Riskesdas (Riset
Kesehatan Dasar) tahun 2013. Dalam riset tersebut
85
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 86
Wawancara Pribadi dengan Maolana Achmad, selaku Konselor
adiksi pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba, Purbalingga, 15 Juni
2017.
161
dikatakan bahwa pemasungan terhadap penderita
gangguan mental dapat dicegah jika pada saat
seseorang mengalami gangguan mental anggota
keluarganya dapat mengatasi atau melakukan
pengobatan sedini mungkin ke pusat pelayanan
kesehatan atau berobat ke tenaga kesehatan yang
kompeten.87
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa
dengan membawa ke tempat pelayanan kesehatan
jiwa seperti panti, penderita gangguan mental akan
direhabilitasi kejiwaannya dan secara tidak
langsung akan mencegah perlakuan salah
masyarakat ataupun anggota keluarga terhadap
penderita gangguan mental.
Untuk itu, Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba Purbalingga Jawa Tengah hadir sebagai
salah satu bentuk pelayanan rehabilitasi dan untuk
mencegah perlakuan salah terhadap para penderita
gangguan mental. Selama berada di panti pasien
gangguan mental direhabilitasi secara manusiawi
dan jauh dari diskriminasi.
87
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI,
Riset Kesehatan Dasar 2013 (Jakarta: Balitbangkes, 2013), h. 125.
162
4. Panti PRSJN didirikan dengan semangat
meringankan beban penderita gangguan mental,
terutama bagi yang berada dekat dengan panti
dan sekitaran Purbalingga. Seperti yang
diungkapkan oleh Kepala Panti sebagai berikut:
“Untuk meringankan beban masyarakat dan
untuk menangani mereka-mereka yang
gangguan jiwa dan narkoba saya buatkan
panti disini, jadi tidak usah berobat jauh-jauh
disini juga bisa”88
Pendapat dari Kepala Panti di atas dapat
dikaitkan dengan penelitian dalam jurnal sosio
informa tahun 2015. Dalam jurnal tersebut
dikatakan bahwa keterlibatan masyarakat dalam
melaksanakan rehabilitasi terhadap penderita
gangguan mental, baik dalam bentuk lembaga
maupun non lembaga sangat memungkinkan untuk
dikembangkan sebagai salah satu usaha
mengembalikan keberfungsian sosial penderita
gangguan mental.89
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di Panti Rehabilitasi
88
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 5 Desember 2016. 89
Ruaida Murni dan Mulia Astuti, “Rehabilitasi Sosial Bagi
Penyandang Disabilitas Mental Melalui Unit Informasi dan Layanan Sosial
Rumah Kita,” Jurnal Sosio Informa, Vol 1 No 3 (September-Desember 2015):
h. 280.
163
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa
keterlibatan masyarakat tersebut bisa dalam bentuk
pencegahan dan bentuk penanganan. Keluarga
Indonesia yang mempunyai anggota keluarga
mengalami gangguan mental dapat membawa
penderita tersebut ke panti-panti milik Kemensos
RI ataupun ke balai-balai pengobatan dan panti-
panti non-Kemensos RI seperti Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah.
5. Pihak keluarga yang membawa pasien
gangguan mental ke panti tidak paham jenis
gangguan mental anggota keluarganya, seperti
yang diungkapkan oleh Konselor Adiksi panti
sebagai berikut:
“Keluarga pasien sendiri tidak paham jenis
sakit yang diderita oleh anggota keluarganya
itu jenis apa, yang mereka tahu pasien itu
sakit jiwa atau narkoba. Dan disini kita tidak
mau membeda-bedakan, jadi kita terima
pasien terlebih dahulu terlepas dari jenis sakit
apa yang diderita oleh pasien”90
Pendapat dari Konselor Adiksi di atas dapat
dikaitkan dengan penjelasan teori Gangguan
90
Wawancara Pribadi dengan Maolana Achmad, selaku Konselor
adiksi pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba, Purbalingga, 15 Juni
2017.
164
Mental yang dikemukakan oleh Zakiah Daradjat.
Dalam penjelasan teori tersebut dikatakan bahwa
untuk mengetahui gangguan mental tidaklah
mudah karena sulit untuk diukur, diperiksa atau
dilihat dengan alat-alat seperti halnya mengetahui
kesehatan badan. Alat yang dijadikan bahan
penyelidikan untuk mengetahui tanda-tanda dari
kesehatan mental adalah tindakan, tingkah laku
atau perasaan seseorang. Orang diketahui
terganggu mentalnya bila terjadi kegoncangan
emosi, kelainan tingkah laku atau tindakannya.91
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa
sampai saat ini masih banyak ditemukan
masyarakat Indonesia yang anggota keluarganya
menderita gangguan mental namun pihak keluarga
tidak mau membawa penderita gangguan mental
tersebut ke tempat pengobatan karena beberapa
alasan, salah satunya adalah karena tidak
mengetahui jenis penyakit mental yang diderita.
Hal ini disebabkan karena memang sulit untuk
mengidentifikasi hal tersebut, dibandingkan
mengetahui kesehatan badan atau fisik.
91
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 9.
165
6. Pasien gangguan mental jarang mengalami sakit
badan atau fisik selama berada di panti,
keberadaan mereka di panti karena mereka
menderita gangguan mental yang tidak terlihat
seperti sakit fisik, seperti diungkapkan oleh
Kepala Panti:
“Disini pasien jarang sakit, seperti sakit
pusing, pilek, sakit perut itu jarang terjadi.
Orang yang mengalami gangguan jiwa itu
jarang sekali sakit, tapi kalaupun ada pasien
yang sakit kita bawa ke klinik, kita juga disini
punya klinik sendiri, klinik tersebut terletak di
samping panti”92
Pendapat dari Kepala Panti di atas dapat
dikaitkan dengan teori Gangguan Mental yang
dikemukakan oleh Zakiah Daradjat. Dalam teori
Gangguan Mental dikatakan bahwa gangguan
mental merupakan kumpulan dari keadaan-
keadaan yang tidak normal baik yang berhubungan
dengan fisik maupun dengan mental.
Ketidaknormalan tersebut tidak disebabkan oleh
sakit atau rusaknya bagian-bagian anggota badan,
92
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017.
166
meskipun kadang-kadang gejalanya terlihat pada
fisik.93
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Berdasarkan observasi, pasien panti
memang terlihat segar-segar dan tidak ada yang
sakit secara fisik. Penulis mengamati pasien yang
sehat memang rata-rata pernah mengalami sakit
kulit seperti diungkapkan kepala panti. Penulis
juga menemukan klinik milik panti yang berada di
samping kiri kediaman kepala panti dan masih
berada di komplek panti. Klinik tersebut bernama
sama dengan nama panti.
7. Gangguan mental yang tertangani di panti
adalah seluruh jenis gangguan mental baik
ringan maupun berat, namun pasien gangguan
mental yang paling banyak adalah pasien
gangguan mental berat, seperti diungkapkan
oleh Konselor Adiksi Panti:
“Jenis gangguan mental yang diderita pasien
di panti mayoritas pada level gangguan
mental berat, level gangguan mental ringan
paling cepat sebulan sudah boleh pulang.
93
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 33.
167
Kalau gangguan mental berat bisa sampai
enam bulan disini”94
Pendapat dari Konselor Adiksi di atas dapat
dikaitkan dengan penjelasan teori Gangguan
Mental yang dikemukakan oleh Zakiah Daradjat.
Dalam penjelasan teori tersebut dikatakan bahwa
gangguan mental dibagi menjadi dua macam yakni
gangguan mental ringan dan berat. Menurut
Zakiah Daradjat orang yang –sekedar- mengalami
gangguan mental ringan masih mengetahui dan
merasakan kesukarannya, sedangkan orang yang
sudah mengalami penyakit jiwa/ gangguan mental
berat tidak demikian.95
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Berdasarkan hasil observasi, pasien yang
berada di panti ini beragam jenis penyakitnya dan
kadar gangguan mentalnya. Penulis menemukan
memang benar pasien gangguan mental berat yang
paling banyak menghuni panti dibanding pasien
yang kadar gangguan mentalnya ringan. Hal yang
94
Wawancara Pribadi dengan Maolana Achmad, selaku Konselor
adiksi pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba, Purbalingga, 15 Juni
2017. 95
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 26.
168
tak kalah penting dalam observasi yang penulis
lakukan adalah bahwa seluruh pasien bisa diajak
bicara.
8. Gangguan mental berat seperti skizofrenia,
paranoia dan manik depresif termasuk yang
ditangani di panti, seperti dikatakan oleh
Konselor Adiksi panti:
“Kita tidak membedakan jenis gangguan
mental yang diderita pasien yang akan masuk
ke panti, gangguan berat maupun ringan
kalau masih gangguan jiwa dan narkoba, kita
terima disini, belum ada yang ditolak.
Skizofrenia, paranoia dan manik depresif juga
termasuk yang ditangani disini”96
Pendapat dari Konselor Adiksi di atas dapat
dikaitkan dengan penjelasan teori Gangguan
Mental yang dikemukakan oleh Zakiah Daradjat.
Dalam penjelasan teori tersebut dikatakan bahwa
selain gangguan mental ringan, terdapat juga
macam-macam gangguan mental berat/ penyakit
mental. Penyakit mental ini menurut Zakiah berada
pada level gangguan berat dan bukan sekedar
gangguan melainkan sudah menjadi penyakit
96
Wawancara Pribadi dengan Maolana Achmad, selaku Konselor
adiksi pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba, Purbalingga, 15 Juni
2017.
169
kronis. Diantara penyakit jiwa tersebut ialah:
skizofrenia, paranoia dan manik depresif.97
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Berdasarkan observasi diketahui bahwa
pasien gangguan mental yang paling banyak di
panti adalah pasien dengan kadar gangguan mental
berat. Tiga diantara gangguan mental berat yang
menjadi batasan penulis dalam penelitian ini yakni
skizofrenia, paranoia dan manik depresif ada dan
ditangani di panti.
c. Hasil dari program rehabilitasi mental pada
pasien gangguan mental
Pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba
dan sekitarnya, ada yang menyatakan bahwa:
1. Mencegah perlakuan salah pada penderita
gangguan mental yakni pemasungan yang
sering dialami oleh para penderita gangguan
mental di Indonesia, seperti yang diungkapkan
oleh Kepala Panti, Konselor Adiksi dan ketua
lingkungan pak RT Madrosad:
97
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 49.
170
“Kalau pasien dibiarkan di rumah mungkin
ada yang dipasung, ada yang dihina oleh
keluarganya, ada yang dibuang keluarganya.
Tapi pasien disini saya urus, saya kasih
makan, kasih minum, saya sediakan tempat
tidur, dilayanin oleh staf, dikasih obat biar
sembuh. Jadi pasien disini justru senang
dibanding mereka berada di rumah”98
“Biasanya pasien gangguan jiwa kalau
berada di rumah ada yang dipasung, ada yang
tidak diurus oleh keluarganya, jadi karena itu
kepala panti mendirikan panti ini supaya
pasien bisa diobati dan bisa sembuh hingga
bisa hidup normal kembali di tengah
masyarakat”99
“Menurut saya selaku ketua lingkungan di
sekitar panti, sepanjang cara yang digunakan
di panti masih manusiawi, bisa diterima oleh
akal sehat dan tidak menyakiti pasien maka
hal itu bagus. Di panti sini pasien tidak
dipasung dan diobati dengan cara medis
juga”100
2. Mengisi nilai-nilai spiritual pasien untuk lebih
dekat dengan Tuhan, seperti yang diungkapkan
oleh Kepala Panti:
“Para pasien bisa menderita sakit seperti
sekarang ini karena mereka jauh dari Tuhan,
98
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 99
Wawancara Pribadi dengan Maolana Achmad, selaku Konselor
adiksi pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba, Purbalingga, 15 Juni
2017. 100
Wawancara Pribadi dengan Madrosad, Ketua RT panti berada
sebagai informan luar, Purbalingga, 15 Juni 2017.
171
imannya lemah, miskin spiritual, Disini saya
dekatkan kembali pasien dengan Tuhan. Maka
di panti ini lebih banyak pengobatan non-
medis dibanding pengobatan medisnya. Saya
yakin kalau pasien dekat dengan Tuhan pasti
mereka bisa sembuh lagi. Saya buatkan
program istighosah, ruqyah dan saya
wajibkan pasien shalat berjamaah lima waktu
agar pasien ingat Tuhan. Minta pada Tuhan
agar bisa cepat sembuh”101
3. Menyembuhkan pasien dari gangguan mental
hingga bisa hidup normal kembali, seperti yang
diungkapkan oleh Tenaga Kesejahteraan Sosial,
Manager Program dan Kepala Panti:
“Di panti ini pengobatan non-medis justru
dianggap sebagai cara yang bisa
menyembuhkan pasien, karena cirikhas panti
ini adalah pengobatan non-medisnya itu.
Kalau hanya ingin mendapat obat saja lebih
baik pasien dibawa ke rumah sakit, disana
juga dikasih obat. Tapi kalau di panti pasti
ada cara lain selain obat sebagai cara
penyembuhan, nah disini dengan
menggunakan cara ruqyah, istighosah, air
karomah, terapi kelompok dan sholat jamaah.
Cara-cara seperti itulah yang justru bisa
menyembuhkan pasien disini”102
“Perlu ada cara lain untuk mempercepat dan
memudahkan pasien agar bisa sembuh.
101
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 102
Wawancara Pribadi dengan Fuad Syarif Hidayatullah, selaku
Tenaga kesejahteraan sosial pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017.
172
Memang tidak cukup hanya dengan sekali
pengobatan karena tidak bisa instan. Jadi
non-medis penting untuk pendamping
pengobatan secara medis”103
“Di panti ini pengobatan non-medis sudah
terbukti bisa menyembuhkan ratusan bahkan
ribuan pasien dari tahun 1993. Malah dahulu
panti tidak menggunakan obat-obatan medis,
hanya mengandalkan pengobatan non-medis
saja tapi pasien bisa sembuh. Nah sekarang
panti menambahkan pengobatan dengan
menggunakan obat-obatan medis untuk
mengimbangi saja, pasien juga perlu obat
medis”104
Berdasarkan observasi dan wawancara yang
peneliti lakukan dapat diketahui bahwa hasil dari
program rehabilitasi mental yang dilaksanakan di
Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba
Purbalingga Jawa Tengah kesemuanya untuk sebesar-
besar kesembuhan dan kebaikan pasien yang dirawat
di panti ini, diantaranya adalah mencegah pasien
menerima perlakuan salah akibat gangguan mental
yang dideritanya yakni pemasungan.
Berkaitan dengan pemasungan, berdasarkan hasil
riset Kementerian Kesehatan RI diketahui bahwa
tindakan pemasungan terhadap penderita gangguan
103
Wawancara Pribadi dengan Imam Faozi Wahyudiana, selaku
Manager program pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 104
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017.
173
mental masih tinggi. Untuk itulah panti hadir
memberikan rehabilitasi tanpa pemasungan dan
mencegah penderita gangguan mental mengalami
pemasungan.
Selanjutnya hasil dari program rehabilitasi mental
yang dilaksanakan di panti adalah mengisi kembali
nilai-nilai spiritualitas pasien untuk bisa lebih dekat
dengan Tuhan. Seluruh pasien di panti diusahakan
untuk kembali kepada Tuhan dengan mengikuti
program-program panti yang mayoritas bertujuan
untuk mendekatkan pasien dengan Tuhan seperti
ruqyah, istighosah dan wajib shalat berjamaah.
Hasil yang paling penting diantara hasil penting
lainnya dari pelaksanaan program rehabilitasi mental
di panti adalah menyembuhkan gangguan mental
yang diderita oleh pasien sehingga diharapkan pasien
dapat hidup normal kembali seperti sediakala.
Kesembuhan bagi pasien yang berada di panti
merupakan tujuan utama dari panti ini.
Hasil dari program rehabilitasi mental yang
dilaksanakan di panti tersebut sesuai dengan tujuan
rehabilitasi menurut Kementerian Sosial yaitu untuk
memungkinkan para penyandang masalah
kesejahteraan sosial seperti penderita gangguan
mental ini mampu melaksanakan kembali fungsi
174
sosialnya dalam tata kehidupan dan penghidupan
bermasyarakat dan bernegara.105
Rehabilitasi mental merupakan salah satu bentuk
pelayanan sosial terhadap penderita gangguan mental
untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak dasarnya
sebagai manusia biasa, seperti diperlakukan sama
layaknya manusia pada umumnya, tidak direndahkan
martabatnya sebagai manusia, bebas dari penyiksaan
atau perlakuan kejam, bebas dari eksploitasi, bebas
dari kekerasan dan perlakuan semena-mena dan
mendapatkan hak perlindungan sosial.
Pemerintah berkewajiban untuk pemenuhan hak-
hak penderita gangguan mental dengan cara
merehabilitasi, namun perlu peran serta masyarakat
membantu pemerintah untuk ikut bersama-sama
memberantas dan tidak melakukan tindakan
pemasungan terhadap penderita gangguan mental
ataupun tindakan pengekangan lain yang membatasi
gerak, mengurung, mengisolasi dan menelantarkan
penderita gangguan mental.
Jika penderita gangguan mental mengikuti
program rehabilitasi mental, baik di panti-panti milik
Kementerian Sosial maupun di panti-panti milik
yayasan perorangan seperti Panti Rehabilitasi Sosial
Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah maka
105
Balitbang Departemen Sosial RI, Pola Pembangunan
Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Balitbang Departemen Sosial RI, 2003), h. 3.
175
diharapkan perlakuan salah terhadap penderita
gangguan mental seperti pemasungan dan tindakan
pengekangan lain akan berkurang bahkan tidak terjadi
lagi. Selain itu diharapkan dengan mengikuti program
rehabilitasi mental dapat menyembuhkan gangguan
mental yang diderita sehingga dapat hidup normal
kembali seperti sediakala serta dapat berbaur kembali
dengan masyarakat.
2. Analisis program rehabilitasi mental pasien
gangguan mental pada Panti Rehabilitasi Sosial
Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah
Pembahasan mengenai analisis program rehabilitasi
mental kepada para pasien gangguan mental di Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah meliputi:
a. Pelaksanaan program rehabilitasi mental pada
Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba
Purbalingga Jawa Tengah
Berikut adalah uraian mengenai pelaksanaan
program rehabilitasi mental terhadap pasien gangguan
mental pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba Purbalingga Jawa Tengah:
1. Pelayanan yang diberikan kepada pasien
merupakan bentuk rehabilitasi mental terhadap
176
pasien di panti, seperti yang diungkapkan oleh
Manager Program panti:
“Selama pasien berada di panti mereka akan
diobati dengan cara diruqyah, istighosah,
minum air karomah, ada pembinaan mental.
Pasien juga mendapat fasilitas tidur di kamar
asrama, makan 3 kali sehari dan lain
sebagainya”106
Pendapat dari Manager Program di atas dapat
dikaitkan dengan teori Rehabilitasi Mental yang
dikemukakan oleh Tunggul Sianipar. Dalam teori
Rehabilitasi Mental dikatakan bahwa rehabilitasi
mental adalah suatu proses kegiatan yang
ditujukan untuk memperkuat ketahanan mental
seseorang dalam menghadapi masalah yang
dimiliki agar dapat bertahan, tidak putus asa dan
memiliki harapan untuk mengatasi masalahnya.107
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa
rehabilitasi mental terhadap penderita gangguan
mental dilakukan sebagai upaya perbaikan atau
pemulihan mental pasien yang berada di panti.
106
Wawancara Pribadi dengan Imam Faozi Wahyudiana, selaku
Manager program pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 107
Tunggul Sianipar, Pedoman Penanganan Korban Trafficking
(Jakarta: Direktorat Pelayanan dan rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Kemensos
RI, 2010), h. 16.
177
Rehabilitasi dilakukan pada pasien panti yang
memang dahulunya pernah mengalami gangguan
kejiwaan, tujuannya agar setelah dinyatakan
sembuh dan keluar dari panti pasien dapat kembali
pada kondisi awal sebagai manusia seutuhnya dan
dapat diterima kembali di tengah masyarakat.
2. Rehabilitasi mental yang dilaksanakan di panti
ditujukan terhadap pasien narkoba dan pasien
gangguan mental, seperti yang diungkapkan
oleh Konselor Adiksi panti:
“Kita menerima semua pasien gangguan jiwa
dan narkoba tanpa memilih pasien mana yang
akan diterima di panti. Asalkan pasien
memiliki gangguan jiwa ataupun kecanduan
narkoba baik berat maupun ringan, selagi
pasien diantarkan oleh keluarganya maka
akan kita terima”108
Rehabilitasi terhadap dua golongan pasien
tersebut dibenarkan oleh ketua lingkungan
setempat yakni pak RT Madrosad yang
mengungkapkan bahwa:
“Warga sekitar sudah tahu peruntukan panti
sejak dahulu bahwa panti dibangun untuk
menampung orang yang mau berobat
gangguan jiwa, kemudian sejak tahun 2000
108
Wawancara Pribadi dengan Maolana Achmad, selaku Konselor
adiksi pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba, Purbalingga, 15 Juni
2017.
178
panti baru membuka pengobatan untuk pasien
narkoba”109
Pendapat dari Konselor Adiksi yang diperkuat
oleh pendapat dari ketua RT di atas dapat dikaitkan
dengan teori Gangguan Mental yang dikemukakan
oleh Zakiah Daradjat. Dalam teori Gangguan
Mental dikatakan bahwa gangguan mental
merupakan kumpulan dari keadaan-keadaan yang
tidak normal baik yang berhubungan dengan fisik
maupun dengan mental. Ketidaknormalan tersebut
tidak disebabkan oleh sakit atau rusaknya bagian-
bagian anggota badan, meskipun kadang-kadang
gejalanya terlihat pada fisik.110
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Dari hasil observasi diketahui bahwa
memang hanya ada dua golongan pasien yang
berada di panti, yakni pasien narkoba dan pasien
gangguan mental. Penggolongan pasien narkoba
dan pasien gangguan mental tersebut tidak terlihat
pada keseharian di panti, karena pasien disatukan
dan tidak dibeda-bedakan satu sama lain.
Penggolongan kedua jenis pasien tersebut hanya
109
Wawancara Pribadi dengan Madrosad, Ketua RT panti berada
sebagai informan luar, Purbalingga, 15 Juni 2017. 110
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, cet ke-23 (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001), h. 33.
179
ada di pendataan dan penanganan bukan pada
pelaksanaan sehari-hari.
3. Kegiatan yang selama ini dijalankan di panti
merupakan program panti yang wajib diikuti
oleh seluruh pasien, seperti yang diungkapkan
oleh Kepala Panti:
“Semua pasien wajib mengikuti program
panti. Kalau sudah masuk sini harus
mengikuti semua kegiatan sini. Kadang ada
saja pasien yang malas tetapi staf panti sudah
hafal alasan-alasan yang dibuat pasien, jadi
semua pasien pasti mengikuti semua kegiatan.
Kalau ada pasien yang sakit diperbolehkan
tidak mengikuti kegiatan, tetapi pasien jarang
sekali sakit, mereka kuat-kuat disini”111
Pendapat dari Kepala Panti di atas dapat
dikaitkan dengan teori Program yang dikemukakan
oleh Suharsimi Arikunto. Dalam teori Program
dikatakan bahwa program adalah suatu unit atau
kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau
implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung
dalam proses yang berkesinambungan dan terjadi
dalam suatu organisasi/ lembaga yang melibatkan
sekelompok orang. Ada tiga pengertian penting
dan perlu ditekankan dalam menentukan program,
yaitu realisasi atau implementasi suatu kebijakan,
111
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017.
180
terjadi dalam waktu yang relatif lama-bukan
kegiatan tunggal tetapi jamak berkesinambungan
dan terjadi dalam organisasi/ lembaga yang
melibatkan sekelompok orang.112
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa
program rehabilitasi mental di panti merupakan
kegiatan-kegiatan yang wajib diikuti oleh seluruh
pasien tanpa terkecuali. Kewajiban mengikuti
setiap program panti ditujukan untuk kesembuhan
pasien. Program yang telah direncanakan oleh
panti sejauh ini telah terlaksana dan akan terus
terlaksana dalam keseharian di panti oleh para staf
dan kepala sekaligus pendiri panti.
4. Rehabilitasi mental terhadap pasien gangguan
mental dilakukan dengan memadukan cara
medis dan non-medis, seperti yang diungkapkan
oleh Manager Program dan Tenaga
Kesejahteraan Sosial panti bahwa:
“Disini ada pengobatan dengan cara medis
dan cara non-medis, kedua cara tersebut
berdampingan dan saling melengkapi.
112
Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi
Program Pendidikan: Pedoman Teoretis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi
Pendidikan, Edisi ke-2 (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 4.
181
Keduanya mempunyai fungsi yang sama,
yakni menyembuhkan pasien”113
“Pasien disini selain diberikan obat-obatan
medis, juga diobati dengan cara-cara non-
medis”114
Secara medis pasien mendapatkan obat dan
secara non-medis mengikuti program-program
spiritual atau keagamaan seperti sholat jamaah,
pengajian dan ruqyah, seperti yang
diungkapkan oleh Kepala Panti:
“Kalau soal medis dan non-medis kita
berimbang, meskipun kebanyakan yang non-
medisnya. Cara medisnya hanya obat-obatan
saja tetapi cara non-medis lebih banyak,
seperti sholat berjamaah, pengajian, satu
persatu pasien latihan pidato, ruqyah,
istighosah dan minum air karomah. Jadi lebih
banyak cara non-medisnya, tetapi kita
seimbangkan juga dengan obat-obatan
medis”115
Pendapat dari Manager Program dan Tenaga
Kesejahteraan Sosial yang diperkuat oleh pendapat
dari Kepala Panti di atas dapat dikaitkan dengan
113
Wawancara Pribadi dengan Imam Faozi Wahyudiana, selaku
Manager program pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 114
Wawancara Pribadi dengan Fuad Syarif Hidayatullah, selaku
Tenaga kesejahteraan sosial pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 115
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017.
182
teori Perawatan Kesehatan yang dikutip oleh
Dadang Hawari dari penelitian Ralph Snyderman.
Dalam teori Perawatan Kesehatan dikatakan
bahwa terapi medik saja tanpa disertai dengan
agama (berdoa dan berdzikir) tidaklah lengkap,
sebaliknya terapi agama saja tanpa disertai dengan
terapi medik tidaklah efektif.116
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Dari hasil observasi dan wawancara
terhadap pasien dan para staf di panti, penulis
menemukan kebenaran terjadinya perpaduan
metode medis dan metode non-medis untuk para
pasien tersebut.
Secara medis setiap pagi dan sore setelah
selesai makan staf panti bidang perawat
meminumkan obat untuk pasien sesuai dengan
nama pasien yang terletak di dalam kotak obat
khusus pasien. Secara non-medis pasien memang
melakukan program non-medis panti seperti shalat
wajib berjamaah dalam keseharian di panti.
Berdasarkan observasi dan wawancara memang
benar bahwa perpaduan metode medis dan metode
116
Dadang Hawari, Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan
Psikologi (Jakarta: FKUI Press, 2002), h. 24.
183
non-medis tersebut berjalan beriringan setiap
harinya di panti.
5. Pelaksanaan program rehabilitasi mental
terutama non-medis dilaksanakan di aula milik
panti yang berada di dalam komplek panti
karena alasan kenyamanan, seperti yang
diungkapkan oleh Tenaga Kesejahteraan Sosial:
“Aula sudah cukup nyaman sebagai tempat
pelaksanaan program. Tempatnya muat,
dekat, pak Haji juga bisa masuk dari
rumahnya, terus kalau staf bawain air dan
makanan untuk pasien juga dekat dari dapur.
Jadi sudah enak di aula tidak perlu pindah ke
tempat lain”117
Penggunaan aula panti untuk pelaksanaan
program rehabilitasi mental seperti ruqyah,
istighosah dan minum air karomah juga
diungkapkan oleh Kepala Panti:
“Semua kegiatan non-medis tempatnya di
aula. Saya buatkan aula memang untuk
istighosah dan ruqyah ini. Kalau di mushola
ukurannya tidak terlalu luas, tapi kalau di
aula ukurannya luas. Di panti ini ruang yang
paling luas adalah aula, maka itu tempat
pelaksanaan di aula”118
117
Wawancara Pribadi dengan Fuad Syarif Hidayatullah, selaku
Tenaga kesejahteraan sosial pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 118
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017.
184
Warga setempat dan ketua lingkungan
membenarkan bahwa pelaksanaan program
rehabilitasi mental non-medis seperti ruqyah,
istighosah dan minum air karomah dilaksanakan
di aula panti, seperti yang dikatakan oleh warga
sekitar panti yang menjadi informan penelitian
yakni Irvan dan ketua lingkungan pak RT
Madrosad:
“Istighosah, ruqyah dan air karomah
dilaksanakan pada malam jumat setelah
waktu isya di aula yang berada di depan
panti”119
“Istighosah, ruqyah dan air karomah rutin
dilaksanakan setiap malam jumat sehabis isya
di aula panti”120
Pendapat dari Tenaga Kesejahteraan Sosial dan
Kepala Panti yang diperkuat oleh pendapat dari
ketua RT dan salah satu warga sekitar panti di atas
dapat dikaitkan dengan mengungkapkan teori
Ruang Publik dan Lansekap yang dikemukakan
oleh Rustam Hakim. Dalam teori Ruang Publik
dan Lansekap dikatakan bahwa kenyamanan
ditentukan oleh beberapa unsur pembentuk di
dalam perancangannya, yakni sirkulasi, daya alam/
119
Wawancara Pribadi dengan Irvan Bachtiar, Masyarakat sekitar
panti sebagai informan luar, Purbalingga, 15 Juni 2017. 120
Wawancara Pribadi dengan Madrosad, Ketua RT panti berada
sebagai informan luar, Purbalingga, 15 Juni 2017.
185
iklim, kebisingan, aroma/ bau-bauan, bentuk,
keamanan, kebersihan, keindahan dan
penerangan.121
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Berdasarkan observasi dan wawancara
yang penulis lakukan di panti, aula merupakan
bangunan lapang yang paling luas dibanding
bangunan lain yang sifatnya lapang seperti
mushola. Bahkan jika dibandingkan dengan
halaman asrama yang digunakan oleh para pasien
dan staf untuk bercengkrama, bermain bulutangkis,
dan aktifitas lainnya dalam keseharian pun aula
panti masih jauh lebih besar.
Faktor kenyamanan merupakan alasan utama
menggunakan aula untuk melaksanakan program
panti disamping alasan lain seperti luas, dekat atau
karena dapat menampung seluruh pasien.
Kenyamanan menggunakan aula tersebut tidak
hanya ditinjau dari sisi para staf, tapi juga dari sisi
para pasien dan kepala panti yang memimpin
pelaksanaan program rehabilitasi mental di aula.
6. Motivasi pasien mau mengikuti program
rehabilitasi mental di panti karena adanya
121
Rustam Hakim, Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap:
Prinsip, Unsur dan Aplikasi desain (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h. 28.
186
harapan untuk sembuh, seperti yang
diungkapkan oleh Tenaga Kesejahteraan Sosial
dan Manager Program panti:
“Pasien datang kesini sudah membawa
keyakinan bahwa mereka pasti sembuh, kalau
pasien tidak yakin mereka tidak mungkin
datang kesini”122
“Menurut saya, semenjak keluarga pasien
berniat memasukan pasien kesini, berarti
mereka sudah percaya bahwa disini bisa
menyembuhkan anggota keluarganya yang
dibawa kesini”123
Pendapat dari Tenaga Kesejahteraan Sosial dan
Manager Program di atas dapat dikaitkan dengan
teori Motivasi Harapan yang dikemukakan oleh
Victor H. Vroom. Dalam teori Motivasi Harapan
dikatakan bahwa kekuatan yang memotivasi
seseorang untuk giat dalam mengerjakan
pekerjaannya tergantung dari hubungan timbal
balik antara apa yang diinginkan dan dibutuhkan
dari hasil pekerjaannya itu.124
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di Panti Rehabilitasi
122
Wawancara Pribadi dengan Fuad Syarif Hidayatullah, selaku
Tenaga kesejahteraan sosial pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 123
Wawancara Pribadi dengan Imam Faozi Wahyudiana, selaku
Manager program pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 124
Malayu S Hasibuan, Organisasi & Motivasi: Dasar Peningkatan
Produktivitas Kerja (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 116.
187
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa
pasien mau mengikuti setiap program panti karena
berharap dapat sembuh, harapan akan kesembuhan
tersebut menjadi motivasi keluarga pasien
membawa anggota keluarganya ke panti dan
menjadi motivasi pasien dalam mengikuti semua
kegiatan yang ada dan telah terprogram di panti.
Menurut staf panti berdasarkan wawancara,
motivasi tersebut terlihat cukup kuat pada diri
pasien yang baru. Sedangkan pada pasien yang
sudah relatif lama di panti, motivasi tersebut
semakin hari semakin melemah.
7. Pelaksanaan program rehabilitasi mental non-
medis penting dilakukan sebagai bentuk
penyerahan kesembuhan pasien pada
pertolongan Tuhan, seperti yang diungkapkan
oleh Manager Program dan Konselor Adiksi
panti:
“Memang belum ada penelitian yang bisa
membuktikan program non-medis seperti
ruqyah, istighosah dan minum air karomah
bisa menyembuhkan, tetapi kenyataannya
memang bisa menyembuhkan. Mungkin
karena ada kekuatan doa dan pertolongan
dari Allah SWT”125
125
Wawancara Pribadi dengan Imam Faozi Wahyudiana, selaku
Manager program pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017.
188
“Kita tidak bisa berobat hanya mengandalkan
medis saja, karena semua harus dikembalikan
lagi kepada Tuhan”126
Menurut kepala dan pendiri panti, memohon
kesembuhan kepada Tuhan merupakan sebuah
keharusan dan tidak hanya dilakukan oleh
pasien saja, namun juga oleh para pengurus
panti:
“Pasien disini diajak untuk meminta pada
Allah SWT untuk kesembuhan. Saya dan para
staf juga pasti mendoakan para pasien
disini”127
Pendapat dari Manager Program dan Konselor
Adiksi yang diperkuat oleh pendapat dari Kepala
Panti di atas dapat dikaitkan dengan teori Obat
Rabbani yang dikemukakan oleh Ibnul Qayiim Al-
Jauziah. Dalam teori Obat Rabbani dikatakan
bahwa Obat Rabbani dapat menanggulangi
penyakit ketika sakit dan dapat mencegah sebelum
sakit. Jika terjadi sakit, sakit itu tak akan
126
Wawancara Pribadi dengan Maolana Achmad, selaku Konselor
Adiksi pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba, Purbalingga, 10
Agustus 2016. 127
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017.
189
membahayakannya meskipun ia merasakan
sakit.128
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa
obat Rabbani atau penyembuhan secara spiritual
dengan melibatkan Tuhan sebagai tempat
kembalinya permohonan sangat penting diterapkan
karena pada dasarnya segala penyakit datang atas
kehendak Tuhan dan pasti Tuhan telah
menyiapkan obat penawarnya. Hal itulah yang
menjadi dasar Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba Purbalingga Jawa Tengah menerapkan
teknik pengobatan Rabbani ini sebagai bentuk
memohonkan kesembuhan pasien sepenuhnya
kepada Tuhan.
8. Dalam pelaksanaan program rehabilitasi mental
ada saja kendala yang dihadapi, seperti yang
diungkapkan oleh Manager Program dan
Tenaga Kesejahteraan Sosial panti:
“Kendala pasti ada, salah satunya
menghadapi pasien yang malas-malasan”129
128
Ibnul Qayyim Al-Jauziah, Zadul Ma‟ad: Bekal Perjalanan ke
Akhirat. Penerjemah Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000), h. 306. 129
Wawancara Pribadi dengan Imam Faozi Wahyudiana, selaku
Manager program pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017.
190
“Pasien yang malas-malasan ke aula itu yang
jadi kendalanya. Kadang kita harus memaksa
pasien untuk datang ke aula, kadang juga ada
pasien yang dari kamar sudah jalan menuju
aula tapi setelah dicek pasien tidak ada di
aula, ternyata sembunyi di kamar mandi”130
Kepala dan pendiri panti menambahkan
mengenai kendala yang dihadapi panti dari
perspektif di luar pelaksanaan program dengan
mengatakan bahwa:
“Kendalanya justru dari pihak keluarga, tapi
hal itu di luar kegiatan. Disini ada keluarga
pasien yang tidak bayar-bayar, ada juga yang
tidak pernah datang menjenguk, padahal
pasien setiap harinya butuh makan disini”131
Pendapat dari Manager Program dan Tenaga
Kesejahteraan Sosial yang ditambahkan oleh
Kepala Panti di atas dapat dikaitkan dengan teori
Kendala yang dikemukakan oleh Eliyahu M.
Goldratt. Dalam teori Kendala dikatakan bahwa
setiap organisasi mempunyai kendala-kendala
yang menghambat pencapaian kinerja
(Performance) yang tinggi. Jika suatu kendala
130
Wawancara Pribadi dengan Fuad Syarif Hidayatullah, selaku
Tenaga kesejahteraan sosial pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 131
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017.
191
telah terpecahkan, maka kendala berikutnya dapat
diidentifikasi dan diperbaharui.132
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa
semua staf mengatakan hal yang sama mengenai
kendala yang dihadapi dalam menangani pasien
khususnya di waktu-waktu melaksanakan program
panti, kendala tersebut yaitu rasa malas dari pasien
yang menyebabkan para staf harus mengeluarkan
tenaga ekstra untuk menanggulangi rasa malas dari
para pasien.
Berbeda dengan staf, kepala sekaligus pendiri
panti mengemukakan kendala dari perspektif di
luar proses pelaksanaan program, yakni pada
kemalasan pihak keluarga untuk memperhatikan
keadaan panti dan pasien di panti. Menurut kepala
panti, masih ada pihak keluarga pasien yang tidak
menjenguk pasien berbulan-bulan dan tidak
membayar iuran untuk keberlangsungan hidup
pasien di panti seperti dalam hal makan, minum,
pembelian obat dan lain sebagainya. Hal ini
132
Laelani Rusydina Sabila, Maksimasi Throughput Produk Garmen
dengan Menggunakan Pendekatan Theory of Constraint: Studi Kasus CV Suho
Garmindo Bandung (Bandung: Skripsi Fakultas Teknik Universitas Islam
Bandung, 2014), h. 6.
192
dianggap sebagai kendala yang dihadapi oleh
panti.
9. Program panti untuk melaksanakan rehabilitasi
mental pada pasien diakui dan diterima oleh
warga sekitar, seperti yang diungkapkan oleh
Kepala Panti:
“Warga sekitar sudah maklum terhadap panti
dan sejauh ini tidak ada keluhan. Warga
sekitar sudah terbiasa dan memahami pasien
disini. Jadi panti dan pasien tidak
mengganggu warga”133
Tanggapan warga sekitar panti terhadap
keberadaan panti dan pelaksanaan program
rehabilitasi mental yang dilaksanakan di panti
dikemukakan oleh kepala lingkungan pak RT
Madrosad yang mengatakan bahwa:
“Kalau dikatakan mengganggu sih tidak,
tetapi pernah terjadi ada pasien masuk ke
dalam rumah warga. Jadi secara umum
warga disini tidak ada yang merasa terganggu
dengan kegiatan ataupun keberadaan panti
disini, semua warga menerima panti”134
Pendapat dari Kepala Panti yang diperkuat oleh
pendapat dari ketua RT di atas dapat dikaitkan
133
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 134
Wawancara Pribadi dengan Madrosad, Ketua RT panti berada
sebagai informan luar, Purbalingga, 15 Juni 2017.
193
dengan teori Penerimaan yang dikemukakan oleh
Carl Rogers. Dalam teori Penerimaan dikatakan
bahwa penerimaan (acceptance) merupakan sikap
seseorang yang menerima orang lain apa adanya
secara keseluruhan, tanpa disertai persyaratan
ataupun penilaian.135
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di sekitar Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga
Jawa Tengah. Dari hasil observasi dan wawancara
penulis pada warga di sekitar panti, warga sekitar
memang menerima sepenuh hati keberadaan panti
beserta program-program yang dilaksanakan panti.
Warga sekitar hanya mempermasalahkan jika ada
pasien yang diizinkan keluar oleh staf dengan
alasan ingin membeli sesuatu di warung namun
pasien masuk ke dalam rumah warga. Hal itu
pernah terjadi dan sedikit mengganggu ketenangan
warga.
10. Tujuan sebagai muara dari pelaksanaan
program rehabilitasi mental adalah untuk
kesembuhan pasien, seperti diungkapkan oleh
Manager Program dan Kepala Panti:
135
Triantoro Safaria, Interpersonal Intelligence: Metode
Pengembangan Kecerdasan Interpersonal Anak. (Yogyakarta: Amara Books,
2005), h. 87.
194
“Ruqyah, isighosah, minum air karomah,
terapi kelompok dan program rehabilitasi
lain yang bersifat non-medis dilaksanakan
sebagai cara tambahan dan pendamping
dari pengobatan medis untuk penyembuhan
pasien”136
“Ruqyah, istighosah dan program lainnya
sangat penting dilakukan disini untuk
kesembuhan pasien. Disini sudah terbukti
bisa menyembuhkan ratusan bahkan ribuan
pasien dari tahun 1993”137
Tujuan panti tersebut menurut warga sekitar
memang sesuai dengan semangat awal pada
saat mendirikan panti, yakni untuk mengobati
dan menyembuhkan pasien narkoba dan pasien
gangguan mental, hal tersebut diungkapkan
oleh warga sekitar panti sebagai informan
penelitian yakni mas Irvan:
“Waktu awal panti ini dibangun, pendiri
panti menjelaskan kepada warga sekitar
bahwa pendiri panti akan membangun panti
yang diperuntukan untuk pasien gangguan
jiwa dan pasien narkoba”138
136
Wawancara Pribadi dengan Imam Faozi Wahyudiana, selaku
Manager program pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 137
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 138
Wawancara Pribadi dengan Irvan Bachtiar, Masyarakat sekitar
panti sebagai informan luar, Purbalingga, 15 Juni 2017.
195
Pendapat dari Manager Program dan Kepala
Panti yang diperkuat oleh pendapat dari salah satu
warga sekitar panti di atas dapat dikaitkan dengan
teori Rehabilitasi yang dikutip dari Kementerian
Sosial RI. Dalam teori Rehabilitasi dikatakan
bahwa rehabilitasi adalah proses refungsionalisasi
dan pemantapan taraf kesejahteraan sosial untuk
memungkinkan para penyandang masalah
kesejahteraan sosial mampu melaksanakan
kembali fungsi sosialnya dalam tata kehidupan dan
penghidupan bermasyarakat dan bernegara.139
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa
kepala sekaligus pendiri panti mengakui bahwa
sampai saat ini pihak panti belum memiliki data
lengkap mengenai jumlah pasien yang telah
sembuh dan keluar dari panti jika dijumlah dari
awal berdiri hingga sekarang, hal itu dikarenakan
sistem pengelolaan panti masih dilakukan secara
tradisional dan kekeluargaan.
Kemudian pada tahun 1998 panti memperbaiki
pengelolaan seiring dengan perubahan status
menjadi yayasan. Pengelolaan semakin
139
Balitbang Departemen Sosial RI, Pola Pembangunan
Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Balitbang Departemen Sosial RI, 2003), h. 3.
196
ditingkatkan pada tahun 2015 karena panti
ditetapkan sebagai IPWL (Institusi Penerima
Wajib Lapor) Kementerian Sosial Republik
Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa
pelaksanaan program rehabilitasi mental terhadap
para pasien gangguan mental pada Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah
ditujukan semata-mata untuk kesembuhan pasien
yang menjalani rehabilitasi di panti. Berdasarkan
hasil wawancara, kesembuhan pasien merupakan
tujuan utama dari panti sejak awal berdiri, hal itu
dibenarkan oleh warga setempat yang menyatakan
bahwa memang dari awal berdiri panti ditujukan
untuk mengobati dan menyembuhkan pasien
gangguan mental.
b. Penerimaan pasien terhadap program
rehabilitasi mental pada Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah
Berikut adalah uraian mengenai penerimaan pasien
terhadap program rehabilitasi mental pada Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga
Jawa Tengah:
197
1. Penerimaan pasien gangguan mental terhadap
program ruqyah, istighosah dan minum air
karomah adalah sama, yakni menerima seluruh
program panti dengan cukup antusias. Seperti
yang diungkapkan oleh Kepala Panti dan
Konselor Adiksi panti:
“Pasien disini menerima program panti.
Pasien disini mau sembuh normal, jadi
mereka mengikuti dan menerima. Saya
melihat pasien senang berada disini”140
“Selama ini semua pasien sama saja,
semuanya menerima semua kegiatan yang
ada. Ada beberapa pasien yang sudah lama
disini memang lebih malas dan banyak alasan
kalau disuruh ikut kegiatan, tapi semuanya
menerima kegiatan yang ada disini”141
Pendapat dari Kepala Panti dan Konselor
Adiksi di atas dapat dikaitkan dengan teori
Penerimaan yang dikemukakan oleh Carl Rogers.
Dalam teori Penerimaan dikatakan bahwa
penerimaan (acceptance) merupakan sikap
seseorang yang menerima segala sesuatu apa
140
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 141
Wawancara Pribadi dengan Maolana Achmad, selaku Konselor
Adiksi pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba, Purbalingga, 10
Agustus 2016.
198
adanya secara keseluruhan, tanpa disertai
persyaratan ataupun penilaian.142
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Berdasarkan observasi diketahui bahwa
seluruh pasien memang menerima program yang
ada di panti. Termasuk ketika waktu shalat wajib
berjamaah di mushola panti, sudah ada beberapa
pasien yang menuju mushola meski waktu shalat
masih beberapa menit menjelang. Hal ini
menunjukan bahwa seluruh pasien memang
menerima dan menjalankan seluruh kegiatan yang
ada di panti.
2. Kesamaan penerimaan pasien terhadap
program-program panti dikarenakan program
tersebut berada pada waktu dan tempat yang
sama, seperti yang diungkapkan oleh Manager
Program panti:
“Jawabannya sama dengan jawaban staf yang
lain, karena ruqyah, istighosah dan minum
air karomah masih satu rangkaian”143
142
Triantoro Safaria, Interpersonal Intelligence: Metode
Pengembangan Kecerdasan Interpersonal Anak. (Yogyakarta: Amara Books,
2005), h. 87.
143 Wawancara Pribadi dengan Imam Faozi Wahyudiana, selaku
Manager program pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017.
199
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa
kesamaan penerimaan pasien terhadap program
yang ada di panti terutama program ruqyah,
istighosah dan minum air karomah disebabkan
program tersebut dijalankan pada satu rangkaian di
tempat dan waktu yang sama, yakni di aula panti
pada malam jumat.
3. Tidak ada pasien yang tidak menerima program
panti seperti ruqyah, istighosah dan minum air
karomah, hal tersebut diungkapkan oleh Tenaga
Kesejahteraan Sosial panti:
“Tidak pernah ada pasien yang menolak,
tidak pernah ada yang komplain, berarti
semua pasien menerima. Meskipun pasien
malas-malasan tapi tetap ikut kegiatannya,
jadi malasnya itu kalau diajak ikut
kegiatan”144
Kepala panti mengkonfirmasi bahwa selama
ini tidak ada laporan dari staf mengenai
penolakan dari pasien terhadap program, seperti
yang diungkapkan oleh Kepala Panti:
144
Wawancara Pribadi dengan Fuad Syarif Hidayatullah, selaku
Tenaga kesejahteraan sosial pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017.
200
“Selama ini tidak ada yang melaporkan ke
saya sebagai kepala panti bahwa ada yang
menolak program. Mungkin di kalangan staf
ada pasien yang membandel kalau disuruh
shalat atau minum obat, itu hal yang wajar.
Tapi kalau yang sifatnya berat sampai
melapor ke saya selama ini belum ada”145
Pendapat dari Kepala Panti yang diperkuat oleh
pendapat dari Tenaga Kesejahteraan Sosial di atas
dapat dikaitkan dengan teori Penerimaan yang
dikemukakan oleh Carl Rogers. Dalam teori
Penerimaan dikatakan bahwa penerimaan
(acceptance) merupakan sikap seseorang yang
menerima segala sesuatu apa adanya secara
keseluruhan, tanpa disertai persyaratan ataupun
penilaian.146
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa
sikap positif yang ditunjukan oleh para pasien di
panti seperti mengakui dan mengikuti arahan staf
untuk turut serta dalam pelaksanaan program-
program yang ada di panti termasuk program
145
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 146
Triantoro Safaria, Interpersonal Intelligence: Metode
Pengembangan Kecerdasan Interpersonal Anak. (Yogyakarta: Amara Books,
2005), h. 87.
201
ruqyah, istighosah dan minum air karomah
merupakan tanda bahwa seluruh pasien menerima
program-program yang telah dijadwalkan dan
diberlakukan di panti.
4. Semua pasien menerima program ruqyah,
istighosah dan minum air karomah tanpa
terkecuali, perbedaan hanya terletak pada
antusias pasien mengikuti program tersebut. Hal
ini diungkapkan oleh Manager Program dan
Tenaga Kesejahteraan Sosial panti:
“Pada intinya, antusias pasien berbeda-beda
dalam mengikuti program panti, ada yang
malas-malasan, ada yang mau tidak mau, ada
yang semangat. Jadi antusias pasien berbeda-
beda”147
“Selama ini tidak ada yang menolak, semua
pasien menerima. Memang ada pasien yang
malas-malasan tapi bukan berarti dia
menolak ruqyah. Rasa malas wajar saja,
kadang rajin kadang malas, wajar saja”148
Pendapat dari Manager Program dan Tenaga
Kesejahteraan Sosial di atas dapat dikaitkan
dengan penjelasan pada teori penerimaan yang
dikemukakan oleh Carl Rogers. Dalam teori
147
Wawancara Pribadi dengan Imam Faozi Wahyudiana, selaku
Manager program pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 148
Wawancara Pribadi dengan Fuad Syarif Hidayatullah, selaku
Tenaga kesejahteraan sosial pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017.
202
Penerimaan tersebut dikatakan bahwa faktor yang
menyebabkan seseorang menerima suatu keadaan/
kegiatan pada dasarnya tidak terlepas dari
penafsiran orang tersebut terhadap peristiwa yang
sedang dialaminya.149
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa
perbedaan antusiasme pasien dalam menjalani
program-program rehabilitasi panti seperti ruqyah,
istighosah dan minum air karomah tidak terlepas
dari penafsiran pasien terhadap peristiwa yang
dialaminya.
Pada pasien baru antusias mengikuti program
terbilang tinggi namun pada pasien lama antusias
mengikuti program cenderung menurun.
Perbedaan antusias ini bukan berarti pasien tidak
menerima program, semua pasien tetap menerima
semua program yang ada di panti tetapi antusias
mengikuti program tersebut yang berbeda-beda.
149
Triantoro Safaria, Interpersonal Intelligence: Metode
Pengembangan Kecerdasan Interpersonal Anak. (Yogyakarta: Amara Books,
2005), h. 87.
203
c. Faktor penentu keberhasilan program
rehabilitasi mental pada Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah
Berikut adalah uraian mengenai faktor penentu
keberhasilan dari program rehabilitasi mental pada
Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba
Purbalingga Jawa Tengah:
1. Faktor penentu keberasilan dari program
ruqyah, istighosah dan minum air karomah
adalah sosok kepala dan pendiri panti yang
memimpin ketiga program tersebut. Hal itu
diungkapkan oleh Konselor Adiksi, Manager
Program dan Tenaga Kesejahteraan Sosial
panti:
“Menurut saya sosok penentu keberhasilan
adalah kepala panti, karena di panti ini semua
tergantung pada kepala panti dan memang
kepala panti yang mengatur semuanya. Pasien
takutnya sama kepala panti, staf juga
mengikuti perintah kepala panti. Jadi kepala
panti yang menjadi sosok penentu
keberhasilan disini”150
“Jawabannya adalah kepala panti. Kepala
panti yang membuat program disini, kepala
150
Wawancara Pribadi dengan Maolana Achmad, selaku Konselor
Adiksi pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba, Purbalingga, 10
Agustus 2016.
204
panti juga yang menjalankan dengan dibantu
staf”151
“Ruqyah disini yang memimpin kepala panti
karena yang bisa hanya beliau saja. Staf disini
hanya bantu-bantu tetapi yang memimpin
penyelenggaraan program adalah kepala
panti”152
Masyarakat sekitar panti juga mengatakan
bahwa yang menjadi faktor penentu
keberhasilan dari panti adalah pak Haji,
pendapat ini didasari pada pengetahuan
masyarakat luas bahwa yang dikenal
masyarakar adalah sosok pak Haji, bukan
pantinya. Hal tersebut diungkapkan oleh warga
sekitar panti yang dijadikan sebagai informan
penelitian, yakni mas Irvan:
“Yang dikenal oleh masyarakat dari panti ini
adalah sosok kepala panti, bukan pantinya.
Kalau sedang di terminal atau di tempat lain
di sekitar Purbalingga, mas tanya pada orang
apakah kenal dengan bapak Haji Supono
Mustajab? Jawabannya pasti kenal, tapi kalau
mas tanya apakah kenal panti rehabilitasi
151
Wawancara Pribadi dengan Imam Faozi Wahyudiana, selaku
Manager program pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 152
Wawancara Pribadi dengan Fuad Syarif Hidayatullah, selaku
Tenaga kesejahteraan sosial pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017.
205
sosial jiwa dan narkoba? Pasti bingung
jawabnya”153
Pendapat dari Konselor Adiksi, Manager
Program dan Tenaga Kesejahteraan Sosial yang
diperkuat oleh pendapat dari salah satu warga
sekitar panti sebagai informan di atas dapat
dikaitkan dengan teori Implementasi yang
dikemukakan oleh George Edward III karena
implementasi merupakan perwujudan dari program
yang telah direncanakan. Dalam teori
implementasi tersebut dikatakan bahwa terdapat 4
faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau
kegagalan implementasi kebijakan/ program, yaitu
faktor komunikasi, faktor sumberdaya, faktor
disposisi dan faktor struktur birokrasi.154
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa
faktor penentu keberhasilan program adalah sosok
kepala sekaligus pendiri panti, H. Supono
Mustajab yang menjalankan dan memimpin
program-program rehabilitasi non-medis.
153
Wawancara Pribadi dengan Irvan Bachtiar, Masyarakat sekitar
panti sebagai informan luar, Purbalingga, 15 Juni 2017. 154
Joko Widodo, Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi
(Malang: Bayu Media Publishing, 2010), h. 96.
206
2. Faktor penentu keberhasilan selain sosok kepala
panti adalah karena kerjasama semua pihak
seperti staf, pasien dan kepala panti. Hal
tersebut diungkapkan oleh Tenaga
Kesejahteraan Sosial, Manager Program dan
Konselor Adiksi sebagai berikut:
“Menurut saya penentu keberhasilannya
adalah karena faktor kerjasama. Kerjasama
antara kepala panti dengan staf, juga antara
staf dengan pasien. Kepala panti butuh staf,
staf juga butuh kepala panti. Pasien butuh
staf, staf juga butuh pasien. Pasien juga butuh
sosok kepala panti. Jadi saling kerjasama
adalah kuncinya”155
“Memang faktor penentu keberhasilan adalah
kepala panti, tapi yang membantu menentukan
keberhasilan program disini adalah para staf.
Saling kerjasama adalah kuncinya. Jadi kalau
pertanyaannya siapa, jawabannya adalah
kepala panti. Tapi kalau pertanyaannya apa,
jawabannya adalah faktor kerjasama”156
“Mungkin keberhasilan di panti ini karena
adanya kerjasama, kerjasama staf dengan
pasien, dengan kepala panti, dengan sesama
staf juga. Semua sudah ada tugasnya masing-
masing, kalau dijalankan tugasnya masing-
masing dengan bertanggung jawab maka
semuanya akan baik-baik saja, akan lancar-
155
Wawancara Pribadi dengan Fuad Syarif Hidayatullah, selaku
Tenaga kesejahteraan sosial pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017. 156
Wawancara Pribadi dengan Imam Faozi Wahyudiana, selaku
Manager program pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017.
207
lancar saja. Saling membantu, saling
kerjasama, insya Allah tambah lancar dan
nyaman di panti”157
Faktor kerjasama tersebut juga diakui oleh
kepala panti, seperti yang diungkapkan oleh
Kepala Panti H. Supono Mustajab:
“Alhamdulilah semuanya berjalan dengan
lancar. Kerjasama antara seluruh staf yang
ada disini bagus sekali. Saya disini dibantu
oleh staf, mereka saya pekerjakan disini.
Mulai dari staf bagian masak, jaga malam,
staf yang ada di struktur, mereka membantu
saya mengurus pasien disini”158
Pendapat dari Tenaga Kesejahteraan Sosial,
Manager Program dan Konselor Adiksi yang
diperkuat oleh pendapat dari Kepala Panti di atas
dapat dikaitkan dengan teori Implementasi yang
dikemukakan oleh George Edward III karena
implementasi merupakan perwujudan dari program
yang telah direncanakan. Dalam teori
implementasi tersebut dikatakan bahwa terdapat 4
faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau
kegagalan implementasi kebijakan/ program, yaitu
157
Wawancara Pribadi dengan Maolana Achmad, selaku Konselor
Adiksi pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba, Purbalingga, 10
Agustus 2016. 158
Wawancara Pribadi dengan H. Supono Mustajab, selaku Kepala
dan pendiri panti pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba,
Purbalingga, 15 Juni 2017.
208
faktor komunikasi, faktor sumberdaya, faktor
disposisi dan faktor struktur birokrasi.159
Selanjutnya, peneliti berkesempatan melakukan
observasi dan wawancara di Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa
kerjasama antar semua pihak yang berkepentingan
di panti merupakan faktor penentu keberhasilan
bukan sosok dalam pelaksanaan program
rehabilitasi mental di panti.
Kerjasama yang baik akan menghasilkan hasil
yang baik, hal itu terbukti pada Panti Rehabilitasi
Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa Tengah.
Sejak tahun 1993 panti didirikan hingga sekarang ini
program-program rehabilitasi mental masih tetap
berjalan karena adanya kerjasama di dalam panti.
C. Diskusi
Pemerintah Indonesia mengesahkan dan menerbitkan
Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Jiwa. Undang-Undang ini bertujuan untuk
menjamin setiap orang agar dapat mencapai kualitas hidup
yang baik serta memberikan pelayanan kesehatan secara
terintegrasi, komprehensif dan berkesinambungan melalui
upaya pemeliharaan/ penjagaan, pencegahan, penyembuhan
159
Joko Widodo, Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi
(Malang: Bayu Media Publishing, 2010), h. 96.
209
dan pemulihan.160
Undang-undang ini mengamanatkan agar
melakukan rehabilitasi kepada penderita gangguan mental
untuk memperbaiki dan mengembangkan fisik serta mental
para penderita gangguan mental.
Undang-Undang lain menyatakan bahwa penderita
gangguan mental berhak mendapatkan perawatan oleh negara
atas biaya negara. Hal tersebut tertuang dalam Undang-
Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi
Manusia (HAM), Pasal 42 yang menyatakan bahwa setiap
warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat
mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan
dan bantuan khusus atas biaya negara untuk menjamin
kehidupan yang layak sesuai dengan martabat
kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri dan
kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Melalui Undang-Undang tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa rehabilitasi penting untuk dilakukan
karena rehabilitasi merupakan amanat Undang-Undang yang
harus ditaati dan dijalankan oleh pemerintah dan harus
didukung oleh seluruh masyarakat Indonesia. Rehabilitasi
dijalankan karena pada diri penderita gangguan mental
160
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, “Stop Stigma dan
Diskriminasi terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa,” Diakses pada 9
September 2016 dari http://www.depkes.go.id.
210
terdapat potensi dan kemungkinan untuk hidup normal
kembali seperti sediakala.
Selain berfungsi untuk memulihkan gangguan mental
yang dialami oleh seseorang, rehabilitasi juga berfungsi untuk
mencegah penderita gangguan mental mendapatkan perlakuan
salah dari orang-orang di sekitarnya seperti penghinaan,
penelantaran dan yang paling penting adalah untuk mencegah
pemasungan. Fungsi pencegahan tersebut dapat dilakukan
dengan membawa penderita gangguan mental ke panti-panti
atau ke tempat pelayanan kesehatan yang memiliki program
rehabilitasi mental.
Pencegahan pemasungan dengan membawa penderita
gangguan mental ke tempat rehabilitasi tersebut penting untuk
dilakukan agar kasus pemasungan yang saat ini terdata sekitar
57.000 orang dapat turun bahkan tidak ada lagi kasus
pemasungan di Indonesia. Pemasungan secara tradisional dan
non-tradisional yang ditujukan untuk membatasi gerak
penderita gangguan mental tidak dapat dibenarkan dengan
alasan apapun karena penderita gangguan mental tetaplah
manusia, makhluk Tuhan paling mulia.
Peran serta dan keterlibatan masyarakat untuk mencegah
pemasungan pada penderita gangguan mental perlu dilakukan
sebagai upaya membantu saudara-saudara kita dalam
mengembalikan kesehatan mental serta keberfungsian sosial
mereka di masyarakat agar diterima kembali di
211
lingkungannya. Sejalan dengan hal tersebut, Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba berdiri di Desa
Bungkanel RT 03 RW 02 Kecamatan Karanganyar
Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah sebagai bentuk
partisipasi dalam merehabilitasi penderita gangguan mental di
Indonesia.
Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga
Jawa Tengah didirikan oleh H. Supono Mustajab yang sampai
saat ini masih menjabat sebagai kepala panti. Dalam
melakukan rehabilitasi kepada penderita gangguan mental,
panti menggunakan metode medis dengan memberikan obat-
obatan medis kepada pasien dan metode non-medis dengan
menerapkan program ruqyah, istighosah dan minum air
karomah.
Pelaksanaan program rehabilitasi mental pada pasien
gangguan mental di Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba Purbalingga Jawa Tengah sudah berjalan dengan
lancar dan efektif sebagai metode penyembuhan bagi pasien.
Hal itu terlihat pada banyaknya pasien yang sudah sembuh
dan pulang ke kampung halamannya masing-masing. Selain
dalam hal pelaksanaan program yang lancar dan efektif,
penerimaan pasien terhadap program rehabilitasi mental di
panti juga sudah baik, hal itu terlihat dari tidak ada pasien
yang menolak program rehabilitasi mental yang ada di panti.
Seluruh pasien menerima program yang ada di panti, hanya
antusias saja yang berbeda-beda pada tiap pasien.
212
Pelaksanaan program yang berjalan dengan lancar dan
penerimaan seluruh pasien terhadap program yang ada di
panti tidak lepas dari faktor penentu keberhasilannya. Pada
Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah, keberhasilan program ditentukan oleh faktor
kerjasama antar kepala panti, staf dan pasien serta faktor
sosok yang memimpin program rehabilitasi mental terutama
rehabilitasi mental non-medis, yakni kepala sekaligus pendiri
panti, H. Supono Mustajab. Kedua faktor inilah yang menjadi
sebab keberhasilan dari program-program yang ada di panti
sehingga program tersebut tetap ada dan masih berjalan
hingga saat ini.
213
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di Panti Rehabilitasi Sosial
Jiwa dan Narkoba yang terletak di Kabupaten Purbalingga
Jawa Tengah tentang program rehabilitasi mental pasien
gangguan mental pada Panti Rehabilitasi Sosial Jiwa dan
Narkoba Purbalingga Jawa Tengah, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pelaksanaan program rehabilitasi mental pada Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba sudah berjalan
dengan lancar dan efektif sebagai metode
penyembuhan bagi pasien. Hal itu dapat terlihat dari
pasien yang menjadi sehat kembali dan sudah sembuh
serta diperbolehkan pulang ke kampung halamannya
masing-masing. Program rehabilitasi yang
dilaksanakan di panti menggunakan metode medis
berupa pemberian obat medis kepada pasien dan
metode non-medis berupa program ruqyah, istighosah
dan minum air karomah serta program non-medis lain
seperti terapi kelompok, outbond dan shalat
berjamaah. Pelaksanaan program rehabilitasi mental
umumnya dilaksanakan di aula panti dan area dalam
panti dengan diawasi dan dipandu oleh kepala dan
staf panti.
214
2. Program rehabilitasi mental diterima oleh seluruh
pasien di panti, hal itu terlihat dari tidak ada pasien
yang menolak program rehabilitasi mental yang ada
di panti. Seluruh pasien menerima program panti
namun antusias pasien mengikuti program berbeda-
beda, sehingga perbedaan antusias pasien ini menjadi
kendala bagi para staf dalam mengawal pasien
menjalani program terutama pasien yang antusiasnya
kurang. Pada pasien baru antusias mengikuti program
terbilang tinggi namun pada pasien lama antusias
mengikuti program cenderung menurun. Perbedaan
antusias ini bukan berarti pasien tidak menerima
program, semua pasien tetap menerima semua
program yang ada di panti tetapi antusias mengikuti
program tersebut yang berbeda-beda. Ukuran
perbedaan antusias tersebut terletak pada pasien yang
malas-malasan ketika diajak ikut program dan pasien
yang semangat mengikuti program. Penerimaan
pasien terhadap seluruh program panti memudahkan
panti untuk melaksanakan program sehingga
menjadikan pasien bisa sehat kembali dan dapat
sembuh seperti sedia kala.
3. Faktor penentu keberhasilan program rehabilitasi
mental di panti yaitu kerjasama antar kepala panti,
staf dan pasien serta faktor sosok yang memimpin
program rehabilitasi mental terutama rehabilitasi
mental non-medis, yakni kepala sekaligus pendiri
215
panti, H. Supono Mustajab. Dalam pelaksanaan
program, kepala panti tidak dapat menjalankan
program seorang diri dan sangat membutuhkan
bantuan dari orang lain yang kemudian orang tersebut
diangkat menjadi staf panti di bidangnya masing-
masing. Sehingga dengan adanya kerjasama ini
program-program rehabilitasi mental masih tetap
berjalan sampai saat ini. Kedua faktor inilah yang
menjadi sebab penentu keberhasilan dari program-
program yang ada di panti sehingga pasien di panti
dapat disembuhkan. Selain dua faktor penentu di atas,
keberhasilan program rehabilitasi mental dapat dilihat
dari banyaknya pasien yang menjadi sehat dan
sembuh serta diperbolehkan pulang kembali ke
kampung halamannya masing-masing.
B. Saran
Dari hasil penelitian penulis mengenai program
rehabilitasi mental pasien gangguan mental pada Panti
Rehabilitasi Sosial Jiwa dan Narkoba Purbalingga Jawa
Tengah, penulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Untuk panti agar dapat meningkatkan kualitas
program rehabilitasi mental seperti lebih tegas dalam
mengatur pasien ke aula agar antusias pasien
mengikuti program meningkat.
216
2. Untuk panti karya ini dapat dijadikan masukan untuk
membenahi program yang ada, terutama dalam
mengurangi ketergantungan pada pendiri panti.
3. Untuk Program Studi Bimbingan dan Penyuluhan
Islam UIN Jakarta agar dapat dijadikan bahan rujukan
dalam membuat program praktikum.
4. Untuk Program Studi Bimbingan dan Penyuluhan
Islam UIN Jakarta untuk mengembangkan kurikulum
dalam bidang penyuluhan agama terkait penanganan
terhadap penderita gangguan mental.
5. Untuk masyarakat luas agar dapat membawa anggota
keluarga yang mengalami gangguan mental ke panti
atau lembaga pelayanan kesehatan mental serta tidak
melakukan tindakan yang dapat merendahkan
martabat penderita gangguan mental.
217
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Adi, Isbandi Rukminto. Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan
Sosial, Edisi ke-2. Jakarta: Fisip UI Press, 2005.
Kesejahteraan Sosial: Pekerjaan Sosial,
Pembangunan Sosial dan Kajian Pembangunan. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2013.
Adz-Dzaky, Hamdani Bakran. Konseling dan Psikoterapi Islam.
Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2004.
Al-Jauziah, Ibnul Qayyim. Sistem Kedokteran Nabi: Kesehatan
dan Pengobatan menurut Petunjuk Nabi Muhammad SAW,
Penerjemah Said Agil Husin Munawar dan Abdur Rahman
Umar. Semarang: Dina Utama Semarang, 1994.
Zadul Ma’ad: Bekal Perjalanan ke
Akhirat, Penerjemah Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2000.
Al-Maidani, Abu Umar Basyir. Metode Pengobatan Nabi SAW.
Jakarta: Griya Ilmu, 2005.
Alwisol. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press, 2009.
Arikunto, Suharsimi dan Cepi Safruddin Abdul Jabar. Evaluasi
Program Pendidikan: Pedoman Teoretis Praktis Bagi
Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan, Edisi ke-2. Jakarta:
Bumi Aksara, 2010.
Badan Narkotika Nasional RI. Modul Untuk Remaja. Jakarta:
BNN, 2007.
218
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Sosial RI. Pola
Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Balitbang
Departemen Sosial RI, 2003.
Isu-
isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi.
Jakarta: Balitbang Departemen Sosial RI, 2004.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI,
Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Balitbangkes, 2013.
Riset Kesehatan Dasar 2013 Provinsi Jawa Tengah.
Jakarta: Balitbangkes, 2013.
Baihaqi, MIF. Psikiatri: Konsep Dasar dan Gangguan-
gangguan. Bandung: Refika Aditama, 2005.
Boerre, George. Personality Theories: Melacak Kepribadian
Anda Bersama Psikologi Dunia. Yogyakarta: Prismashopie,
2004.
Bungin, M Burhan. Metodologi Penelitian Sosial & Ekonomi.
Jakarta: Kencana, 2013.
Chaplin, C.P. Kamus Psikologi, Penerjemah Kartini Kartono.
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.
219
Corey, G. Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi.
Semarang: IKIP Semarang Press, 1995.
Daradjat, Zakiah. Doa Menunjang Semangat Hidup. Jakarta:
Ruhama, 1994.
Islam dan Kesehatan Jiwa, cet ke-8. Jakarta:
Toko Gunung Agung, 1996.
Kesehatan Mental, cet ke-23. Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2001.
Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental.
Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Dewi, Kartika Sari. Kesehatan Mental. Semarang: Universitas
Diponegoro Press, 2012.
Djalaludin dan Ramayulis. Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Cet ke-
8. Jakarta: Kalam Mulia, 1998.
Draver, James. A Dictionary of psychology. New York: Pengin
Books, t.t.
Emoto, Masaru. The True Power of Water: Hikmah Air dalam
Olahjiwa, Penerjemah Azam Translator. Bandung: MQ
Publishing, 2006.
The Hidden Messages in Water: Pesan
Rahasia Sang Air. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif: Teori & Praktik.
Jakarta: Bumi Aksara, 2013.
Hakim, Rustam. Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap:
Prinsip, Unsur dan Aplikasi desain. Jakarta: Bumi Aksara,
2012.
220
Hasan, Maimunah. Al-Qur’an dan Ilmu Gizi. Yogyakarta:
Madani Pustaka, 2001.
Hasibuan, Malayu S. Organisasi & Motivasi: Dasar Peningkatan
Produktivitas Kerja. Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Hawari, Dadang. Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan
Psikologi. Jakarta: FKUI Press, 2002.
Herdiansyah, Haris. Metodologi Penelitian Kualitatif: Untuk
Ilmu-ilmu Sosial, Cet ke-3. Jakarta: Salemba Humanika,
2012.
Hidayat, Dede Rahmat dan Herdi. Bimbingan Konseling
Kesehatan Mental di Sekolah, Cet ke-2. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2014.
Jalaluddin. Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan. Surabaya: Putra
Al-Maarif, tth.
Kartono, Kartini dan Jenny Andari. Hygiene Mental dan
Kesehatan Mental dalam Islam, cet ke-6. Bandung: Mandar
Maju, 1989.
Kartono, Kartini. Hygiene Mental, Cet ke-7. Bandung: Mandar
Maju, 2000.
Patologi Sosial, Jilid 1. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2007.
King, Laura A. Psikologi Umum. Jakarta: Salemba Humanika,
2010.
Langgulung, Hasan. Teori-teori Kesehatan Mental. Jakarta:
Pustaka Alhusna, 1992.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet ke-26.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.
221
Nawawi, Hadari dan Mimi Martini. Penelitian Terapan.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994.
Nitimiharjo, Carolina. Rehabilitasi Sosial dalam Isu-isu Tematik
Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi. Jakarta:
Balitbang Departemen Sosial RI, 2004.
Notosoedirdjo, Moeljono dan Latipun. Kesehatan Mental:
Konsep dan Penerapan, Cet ke-6. Malang: UMM Press,
2011.
Ortiz, John M. Nurturing Your Child With Music: Menumbuhkan
Anak-anak yang Bahagia, Cerdas dan Percaya Diri dengan
Musik, Penerjemah Juni Prakoso. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002.
Patty, F. Dkk., Pengantar Psikologi Umum. Surabaya: Usaha
Nasional, 1982.
Poerwandari, E. Kristi. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian
Perilaku Manusia, Cet ke-4. Depok: LPSP3 UI, 2011.
Rasmun. Stress, Coping dan Adaptasi Teori dan Pohon Masalah
Keperawatan. Jakarta: Sagung Seto, 2004.
Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan
Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, Cet
ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Safaria, Triantoro. Interpersonal Intelligence: Metode
Pengembangan Kecerdasan Interpersonal Anak.
Yogyakarta: Amara Books, 2005.
Semiun, Yustinus. Kesehatan Mental, Jilid 1. Yogyakarta:
Kanisius, 2006.
Shihab, M. Quraisy. Wawasan Al-Quran, Cet ke-4. Bandung:
Mizan, 1996.
222
Sianipar, Tunggul. Pedoman Penanganan Korban Trafficking.
Jakarta: Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna
Sosial Kemensos RI, 2010.
Soetomo. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Subagyo, P Joko. Metode Penelitian dalam Teori dan Praktik,
Cet ke-7. Jakarta: Rineka Cipta, 2015.
Suparlan, Y. B. Kamus Istilah Pekerjaan Sosial. Yogyakarta:
Kanisius, 1990.
Tim Ahli Badan Narkotika Nasional. Petunjuk Teknis Advokasi
Bidang Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba bagi
Lembaga/ Instansi Pemerintah. Jakarta: BNN, 2008.
Tim Penyusun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. Metodologi
Penelitian Sosial, Edisi ke-2. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Wahab, Muhammad Ibn Abdul. Kitab Tauhid, Penerjemah Abu
Ismail Fuad. Yogyakarta: Pustaka Al-Haura, 2009.
Widodo, Joko. Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi.
Malang: Bayu Media Publishing, 2010.
Wirawan. Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi dan Profesi.
Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya
Agung, 1989.
223
JURNAL:
Aditiyawarman, Indra. “Sejarah Perkembangan Gerakan
Kesehatan Mental”, Jurnal Komunika Dakwah dan
Komunikasi, Vol 4 No 1. Januari-Juni 2010.
Korobu, Laury M.G. dkk., “Analisis Pelaksanaan Layanan
Instalasi Rehabilitasi Psikososial di Rumah Sakit Jiwa Prof.
Dr. V. L Ratumbuysang Provinsi Sulawesi Utara,” Jurnal
Ilmu Kesehatan Masyarakat Umum, Vol 5 No 2. April
2015.
Murni, Ruaida dan Mulia Astuti. “Rehabilitasi Sosial Bagi
Penyandang Disabilitas Mental Melalui Unit Informasi dan
Layanan Sosial Rumah Kita,” Jurnal Sosio Informa, Vol 1
No 3. September-Desember 2015.
Qodariah, Siti. “Pengaruh Terapi Ruqyah Syariyyah Terhadap
Penurunan Tingkat Kecemasan”, Jurnal Scientica, Vol 2
No 2. Desember-Februari 2015.
Yudiani, Ema. “Dinamika Jiwa dalam Perspektif Psikologi
Islam”, Jurnal Ilmu Agama, Vol 14 No 1. Juni-Juli 2013.
SKRIPSI:
Inayah, Afi Dhotul. “Metode Rehabilitasi Non-medis di Rumah
Sakit Khusus Jiwa H. Mustajab Purbalingga dalam
Pandangan Tasawuf”. Semarang: Skripsi Prodi Tasawuf
dan Psikoterapi Fakultas Ushuludin UIN Walisongo
Semarang, 2014.
Muquamah, Siti Soviatul. “Evaluasi Program Penyuluhan Sosial
Dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba pada Badan
Narkotika Nasional Provinsi Banten”. Jakarta: Skripsi
Prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta, 2013.
224
Sabila, Laelani Rusydina. “Maksimasi Throughput Produk
Garmen dengan Menggunakan Pendekatan Theory of
Constraint: Studi Kasus CV Suho Garmindo Bandung”.
Bandung: Skripsi Fakultas Teknik Universitas Islam
Bandung, 2014.
INTERNET:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, “Stop Stigma dan
Diskriminasi terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa”,
Diakses tanggal 09 September 2016 dari
http://www.depkes.go.id.
Edwi Arief Sosiawan, “Psikologi Sosial”, Diakses tanggal 10
September 2018 dari www.file.upi.edu.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, “Undang-Undang No 39
Tahun 1999”, Diakses tanggal 09 September 2016 dari
http://www.komnasham.go.id.
Republika, “30 Warga Penderita Gangguan Jiwa Dipasung”,
Diakses tanggal 10 September 2018 dari
http://www.republika.co.id.
Suara Merdeka, “Wisma Rehabiltasi Jiwa Purbalingga, Tempat
Sumanto Akan Menimba Ilmu Agama”, Diakses tanggal 09
September 2016 dari http://www.suaramerdeka.com.
PEDOMAN WAWANCARA
A. Program rehabilitasi mental non-medis
1. Ruqyah
a. Bisakah anda menceritakan, apa yang dimaksud
dengan program ruqyah?
b. Siapa yang melakukan ruqyah? Dan siapa sasaran
dari program ruqyah tersebut?
c. Kapan program ruqyah dilakukan?
d. Dimana program ruqyah dilakukan?
e. Berapa jumlah orang/ pasien yang mengikuti
program ruqyah?
f. Mengapa ruqyah ini perlu dilakukan?
g. Bagaimana alur pelaksanaan program ruqyah dari
awal hingga akhir dijalankan?
h. Bagaimana antusiasme dan penerimaan pasien
dalam mengikuti program ruqyah tersebut?
i. Apakah ada kendala dalam melaksanakan program
ruqyah?
j. Apa dan siapa yang menjadi faktor penentu
keberhasilan dari program ruqyah ini?
2. Istighosah
a. Bisakah anda menceritakan, apa yang dimaksud
dengan program istighosah?
b. Kapan istighosah dilakukan?
c. Dimana istighosah dilakukan?
d. Siapa yang memimpin istighosah ini?
e. Mengapa program istighosah penting dan perlu
diterapkan?
f. Bagaimana anda meyakinkan para pasien dan
keluarga pasien bahwa program istighosah ini
ampuh mengobati pasien?
g. Bagaimana alur pelaksanaan istighosah dilakukan?
h. Bagaimana antusiasme dan penerimaan para
pasien terhadap program istighosah?
i. Apa yang menjadi faktor penentu keberhasilan
dari program istighosah ini?
3. Minum Air Karomah
a. Bisakah anda menceritakan, apa yang dimaksud
dengan minum air karomah?
b. Kapan minum air karomah dilakukan?
c. Dimana lokasi minum air karomah dilakukan?
d. Siapa yang membuat air karomah dan siapa
sasaran dari air karomah ini?
e. Mengapa meminum air karomah ini perlu
dilakukan?
f. Apakah ada hal yang menjadi penghambat metode
ini?
g. Bagaimana air karomah ini dapat menyembuhkan
pasien?
h. Bagaimana alur proses meminum air karomah ini
dilakukan?
i. Bagaimana penerimaan pasien terhadap metode
ini?
j. Apa yang menjadi faktor penentu keberhasilan
dari metode meminum air karomah ini?
B. Gangguan mental berat
1. Apa saja jenis gangguan mental yang dapat
direhabilitasi di panti ini? Apakah gangguan mental
skizofrenia, manik depresif dan paranoia termasuk di
dalamnya?
2. Bisakah anda menceritakan, mengapa panti menerima
pasien dengan gangguan mental berat dan bertekad
untuk merehabilitasi mereka?
3. Siapa saja yang menangani dan mengurus para pasien
dengan gangguan mental berat di panti ini?
4. Dimana para pasien gangguan mental berat ini
ditempatkan?
5. Kapan para pasien gangguan mental berat dapat
meninggalkan panti dan dinyatakan sembuh? Apakah
ada batas waktunya?
6. Berapa jumlah pasien dengan gangguan mental berat
skizofrenia, manik depresif dan paranoia?
7. Bagaimana perlakuan panti terhadap para pasien
gangguan mental berat seperti skizofrenia, manik
depresif dan paranoia?
8. Apakah ada perlakuan khusus bagi para pasien
gangguan mental berat yang telah mengikuti program
rehabilitasi lebih dari satu bulan?
9. Bagaimana antusiasme dan penerimaan para pasien
gangguan mental berat dalam mengikuti program-
program panti?
10. Apa yang menjadi faktor penentu keberhasilan dalam
menyembuhkan para pasien penderita gangguan
mental berat di panti ini?
Foto-foto:
Wawancara dengan pendiri sekaligus kepala panti (kanan) di
aula utama panti.
Pelaksanaan kegiatan pasien di luar panti diawasi staf panti.
Olahraga merupakan kegiatan rutin 1 minggu sekali.
Foto bersama staf panti saat observasi dan bincang-bincang
di ruang staf panti.
Situasi shalat berjamaah para pasien di mushola yang berada
di dalam asrama pasien.
Foto bersama salah satu pasien (kanan) saat wawancara dan
observasi di asrama pasien putra.
Situasi saat program ruqyah dan istighosah serta minum air
karomah dilangsungkan di aula panti.
Foto bersama pendiri dan kepala panti di papan nama panti
yang tepat berada di depan gerbang panti.
Situasi para pasien sesaat sebelum program istighosah dan
ruqyah dimulai.
Para pasien ikut shalat jumat berjamaah (berbaur) dengan
warga di masjid desa Bungkanel.
Situasi saat para pasien belajar mengaji untuk program
istighosah di aula panti.
Situasi saat setelah program istighosah di aula panti.
Pelaksanaan program di luar area panti yang juga bertujuan
memulihkan mental pasien.
Situasi saat pasien makan siang di asrama pasien.
Situasi di dalam aula panti sesaat akan dimulai program
ruqyah, istighosah dan minum air karomah di aula panti.
Foto salah satu pasien wanita sedang berjalan bebas di depan
asrama panti.
Situasi saat pelaksanaan program di halaman asrama panti.
Foto sidang munaqasyah: