PROFIL -...
Transcript of PROFIL -...
DINAS PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU
PROVINSI JAWA TENGAH2018
PROFIL
PENGEMBANGAN DAN PENYIAPAN KEWILAYAHANI N V E S T A S I D I W I L AY A H W A N A R A K U T I
RINGKASAN
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
Pembangunan Industri Nasional Indonesia dapat dilakukan dengan meningkatkan kontribusi
industri non-migas selain itu, Penentuan pengembangan industri melalui penetapan klaster industri
prioritas dan kompetensi inti industri daerah sangat diperlukan guna memberi kepastian dan mendapat
dukungan dari seluruh sektor di bidang ekonomi termasuk dukungan perbankan. Pembangunan Industri
dilakukan disemua daerah tak terkcuali Juwana-Jepara-Kudus-Pati (Wanarakuti), dengan potensi
sebagai berikut:
Juwana: -
Jepara : Garam, Produk Olahan Tembakau, Produk Tekstil, Produk Pakaian jadi, Produk
Kulit dan Alas kaki, Industri kayu, Barang dari kayu dan gabus, Pengolahan
Kayu, Industri Barang Anyaman (dari Bambu, Rotan, dan sejenisnya), Industri
Genteng, Produk Furniture.
Kudus : Tepung Berbasis Ubi kayu, Gula (Tebu,Aren,Kelapa), Produk Olahan
Tembakau, Industri kayu, barang dari kayu dan gabus, Industri Jamu, Industri
Batu-bata, Industri Elektronika, Industri piranti Lunak dan Konten Multimedia.
Pati : Garam, Pengolahan Ikan, Tepung Berbasis Ubi kayu, Gula (Tebu,Aren,Kelapa),
Kopi, Produk Olahan Tembakau, Pengolahan Kayu, Industri Barang Anyaman
(dari Bambu, Rotan, dan sejenisnya), Industri pupuk, Industri Pengolahan
Logam, Industri Karoseri, Industri Komponen Otomotif, Produk Furniture,
Industri Alat Kesehatan, Industri pakan berbasis Sumber daya Lokal, Industri
piranti Lunak dan Konten Multimedia.
Ditinjau dari aspek ketiga daerah memiliki peluang yang berbeda secara signifikan, Meskipun
demikian, faktor diluar teknis, seperti aspek politik, motivasi daerah, keputusan pusat, dana rencana
pengembangan kota kabupaten perlu dipertimbangkan. Diperlukan studi lanjutan yang terkait dengan
kesiapan daerah, daya tarik investasi, dan kesiapan pembiayaan untuk meformulasikan kebijakan
lanjutan.
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
1
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya penyusunan buku “Profil
Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi wilayah Wnarakuti Tahun Anggaran 2018”.
Penyusunan profil ini dilatar-belakangi perlunya penyiapan wilayah pengembangan industri di luar
Wilayah Pusat Pengembangan Industri (WPPI) yang ada di Semarang, Kendal dan Demak. Penyiapan
wilayah tersebut, disamping untuk penyebaran investasi, juga untuk mendukung pengembangan
industri di Wilayah Pusat Pengembangan Industri (WPPI) serta mengoptimalkan pemanfaatan
pembangunan infrastruktur wilayah, baik yang sudah terbangun maupun antisipasi tahap perencanaan.
Adapun tujuan penyusunan profil adalah menyediakan informasi kesiapan pengembangan kawasan
industri di wilayah Wanarakuti (Juwana, Jepara, Kudus dan Pati).
Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada narasumber dari Pemerintah Kabupaten/Kota,
Himpunan Kawasan Industri, maupun pendamping kegiatan dari Universitas Islam Sultan Agung
(Unisula). Dengan harapan agar informasi ini dapat memicu tumbuhnya industri di wilayah Wanarakuti.
Semarang, Oktober 2018
KEPALA DINAS PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU
PROVINSI JAWA TENGAH
Dr. PRASETYO ARIBOWO, SH. M.Soc. SC
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
2
DAFTAR ISI Ringkasan………………………………………………………………………………..………………………... 1
Kata Pengantar ………………………………………………………………………………..…………………. 2
Daftar Isi ………………………………………………………………………………..…………………………. 3
Daftar Tabel ………………………………………………………………………………..……………………... 4
Daftar Gambar ………………………………………………………………………………..………………….. 5
I. Pendahuluan ………………………………………………………………………………..………….. 6
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………………………..…….. 6
1.2 Maksud dan Tujuan …………………………………………………….………….………………. 7
1.3 Dasar Hukum ………………………………………………………………………………..…….... 6
1.4 Lingkup Pekerjaan ………………………………………………………………………………….. 6
1.5 Sistematika Laporan ……………………………………………………..……………………….... 6
II. Kajian Kebijakan Pembangunan Industri di Jateng ……….…………..………………………... 8
2.1 Tinjauan Pembangunan Industri Nasional ………………………………………………………. 8
2.2 Tinjauan RTRW Jateng ……………………………………………………………………………. 10
2.3 Tinjauan RPIP Jateng ……………………………………………………………………………… 16
III. Tinjauan Pembangunan Industri di Purwomanggung ………………………………………….. 17
3.1 Kabupaten Jepara ………………………………………………………………………………….. 17
3.1.1 Letak Geografis ……………………………………………………………………………… 17
3.1.2 Kependudukan …………………………………………………………..…………………... 18
3.1.3 Ketenagakerjaan …………………………………………………………………………….. 18
3.1.4 Pendidikan …………………………………………………………………………………… 19
3.1.5 Potensi unggulan …………………………………………………………………….……… 19
3.1.6 RTRW ………………………………………………………………………………..……….. 21
3.2 Kabupaten Kudus …………………………………………………………………………………... 21
3.2.1 Letak Geografis …………………………………………………………………………….... 21
3.2.2 Kependudukan ………………………………………………………………………………. 21
3.2.3 Ketenagakerjaan …………………………………………………………………………….. 22
3.2.4 Pendidikan …………………………………………………………………………………… 23
3.2.5 Potensi unggulan …………………………………………………………………………..... 23
3.2.6 RTRW ………………………………………………………………………………………… 25
3.3 Kabupaten Pati ………………………………………………………………...…………..……….. 26
3.3.1 Letak Geografis ………………………………………………………………..…………….. 26
3.3.2 Kependudukan …………………………………………………………...………………….. 27
3.3.3 Ketenagakerjaan ……………………………………………….…..……………………….. 27
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
3
3.3.4 Potensi Unggulan ………………………………………………………………………..….. 27
3.3.5 RTRW …………………………………………………………………………..…………….. 28
IV. Kajian Kriteria Teknis Kawasan Industri ……………………………….…………………………. 30
4.1 Kriteria Teknis Lokasi Kawasan Industri ……………………………………….………………… 30
4.2 Analisis Deskriptif Peluang Daerah Kawasan Industri …………………………………....………… 36
4.3 Analisis Inferensial Peluang Daerah Kawasan Industri…………………………….…............ 46
V. Kesimpulan dan rekomendasi …………………………………………………..………………….. 47
5.1 Kesimpulan ………………………………………………………………………………………….. 47
5.2 Rekomendasi ……………………………………………..………………………………..………..
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... ................................................
49
50
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
4
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Angkatan Kerja di Kab. Jepara................................................................................ 18
Tabel 3.2 Angka Partisipasi Pendidikan Kab. Jepara.............................................................. 19
Tabel 3.3 PDRB atas dasar harga berlaku………………………….……………….......…….………. 19
Tabel 3.4 Penduduk Kabupaten Kudus................................................................................... 23
Tabel 3.5 Angkatan Kerja Kabupaten Kudus........................................................................... 24
Tabel 3.6 Angka partisipasi sekolah Di kabupaten Kudus ........................................................ 24
Tabel 3.7 PDRB Kabupaten Kudus atas dasar Harga Berlaku................................................... 25
Tabel 3.8 Jumlah penduduk dan laju pertumbuhannya.............................................................. 28
Tabel 3.9 Sebaran tenaga kerja pada sektor-sektor lapangan usaha........................................... 28
Tabel 3.10 PDRB atas dasar harga berlaku.............................................................................. 28
Tabel 4.1 Perhitungan Skor Potensi Pengembangan Kawasan Industri…......................................... 37
Tabel 4.2 Perhitungan Skor Potensi Pengembangan Kawasan Industri........................................ 46
Tabel 4.3 Uji Beda Rata-rata Skor Peluang Pengembangan Kawasan Industri.................................. 47
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
5
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Peta Penggunaan Lahan Provinsi Jawa Tengah…………………………..…………...... 14
Gambar 2.2 Peta Jaringan Prasarana Provinsi Jawa Tengah…………………………………..…...... 15
Gambar 3.1 Peta Administrasi Jepara...................................................................................... 17
Gambar 3.2 Peta Administrasi Kudus...................................................................................... 22
Gambar 3.3 Peta Administratif Kabupaten Pati........................................................................ 27
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
6
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pesat dan tingginya persaingan di bidang perekonomian memerlukan strategi yang tepat dalam
memanfaatkan dan mengoptimalkan potensi yang ada. Propinsi Jawa Tengah khususnya wilayah
Wanarakuti yang meliputi Kab. Jepara, Kab. Kudus, Kabupaten Pati, dan Kec. Juwana memiliki potensi
yang cukup besar untuk mengembangkan Kawasan Peruntukkan Industri (KPI) menjadi Kawasan
Industri (KI). Utamanya dalam rangka untuk pengembangan produk lokal daerah serta sebagai
kawasan yang mampu menumbuhkan pusat-pusat ekonomi baru. Salah satu yang dapat diwujudkan
adalah dengan menyiapkan kawasaan peruntukkan industri yang siap dijadikan sebagai media
investasi.
Pengembangan kawasan peruntukkan industri yang akan menjadi kawasan industri ini
merupakan strategi masa depan yang berpusat pada keunggulan efisiensi dan keuntungan pelaku
bisnis serta kemudahan pemerintah daerah dalam menunjang aspek teknis dan non teknis dan juga
sebagai kawasan yang membuka lapangan kerja serta kesempatan berusaha lainnya.
Memperkuat uraian diatas, sesuai dengan peran dan fungsi kawasan industri merupakan institusi
yang dinamik keberadaannya terhadap perkembangan yang ada. Kawasan Industri harus dapat
mengantisipasi dan mengikuti perkembangan yang berkaitan dengan tuntutan pelayanannya.
Selain itu, kawasan industri yang baik harus mempunyai perencanaan yang terencana dan
terstruktur guna menunjang peran dan fungsinya sesuai kemampuan kapasitas dukungannya. Untuk itu
perlunya dilakukan Studi indikatif lokasi kawasan industri di wilayah Wanarakuti diperlukan agar
mempunyai career planning yang baik dalam memenuhi peran dan fungsinya, selaras dengan tuntutan
perkembangan yang terkait.
1.2 MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud diadakannya “Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi
di Wilayah Wanarakuti” ini adalah memberikan alternatif lokasi Kawasan Industri yang aman, potensial
dan mampu memberikan kebutuhan dalam aktifitas kawasan industri.
Tujuan adanya studi ini adalah:
a) Menyajikan data calon-calon lokasi yang berpotensi sebagai kawasan industri.
b) Melakukan analisis dari potensi- potensi menjadi peluang lokasi yang terkait dengan alternatif
lokasi kawasan industri.
c) Menjadikan kajian ini sebagai bagian materi promosi untuk investasi.
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
7
1.3 DASAR HUKUM
Beberapa Landasan Hukum yang digunakan dalam kajian ini antara lain adalah :
a. Undang-undang No. 3 Tahun 2013 tentang Perindustrian.
b. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2015 tentang RIPIN Tahun 2015-2015.
c. PeraturanPemerintah No. 142 Tahun 2016 tentang Kawasan Industri.
d. Peraturan Presiden No. 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Berusaha.
e. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 40/M-Ind/Per/7/2016 tentang Pedoman Teknis
Pembangunan Kawasan Industri;
f. Peraturan Menteri Perindustrian No. 64/M-Ind/Per/7/2016 tentang Besaran Jumlah Tenaga Kerja
dan Nilai Investasi (Klasifikasi Usaha Industri)
g. Perda RPIP Jawa Tengah 2015-2035
h. Raperda RTRWP 2018
1.4 LINGKUP PEKERJAAN
Ruang lingkup Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di
Wilayah Wanarakuti ini adalah : Pengumpulan data administrasi & kondisi fisik wilayah, Pengkajian
aspek regulasi tata ruang, Pengkajian aspek-aspek kriteria teknis pemilihan lokasi kawasan industri,
Kesimpulan dan rekomendasi.
1.5 SISTEMATIKA LAPORAN
Laporan Akhir ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang diatur dengan sistematika penyajian sebagai
berikut :
Bab I Berisi latar belakang; maksud dan tujuan; dasar hukum, ruang lingkup studi; dan sistematika
penyajian.
Bab II Kajian Kebijakan Pembangunan Industri di Jateng
Menguraikan kajian kebijakan pembangunan Jawa Tengah disertai aspek umum wilayah studi
meliputi kondisi geografis, sosial ekonomi dan profile investasi di masing-masing
kabupaten/kota wilayah Wanarakuti.
Bab III Tinjauan Pembangunan Industri di Wanarakuti.
Bab IV Kajian Kriteria Teknik Kawasan Industri
Menguraikan tentang kriteria teknis dalam menentukan wilayah kabupaten/ kota yang
diajukan sebagai kawasan industri atau kawasan peruntukan industri, sehingga didapatkan
daerah yang paling potensial.
Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi, menguraikan tentang kesimpulan dan rekomendasi tentang
daerah yang layak dijadikan KI atau KPI.
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
8
BAB II
KAJIAN KEBIJAKAN
PEMBANGUNAN INDUSTRI DI JAWA TENGAH
2.1 TINJAUAN PEMBANGUNAN INDUSTRI NASIONAL
Visi pembangunan Industri Nasional sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Presiden
Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional adalah Indonesia menjadi Negara Industri
Tangguh pada tahun 2025, dengan visi antara pada tahun 2020 sebagai Negara Industri Maju Baru,
karena sesuai dengan Deklarasi Bogor tahun 1995 antar para kepala Negara APEC pada tahun
tersebut liberalisasi di negara-negara APEC sudah harus terwujud.
Sebagai negara industri maju baru, sektor industri Indonesia harus mampu memenuhi beberapa
kriteria dasar antara lain:
1) Memiliki peranan dan kontribusi tinggi bagi perekonomian Nasional,
2) IKM memiliki kemampuan yang seimbang dengan Industri Besar,
3) Memiliki struktur industri yang kuat (Pohon Industri lengkap dan dalam),
4) Teknologi maju telah menjadi ujung tombak pengembangan dan penciptaan pasar,
5) Telah memiliki jasa industri yang tangguh yang menjadi penunjang daya saing internasional
industri, dan
6) Telah memiliki daya saing yang mampu menghadapi liberalisasi penuh dengan negara-negara
APEC.
Diharapkan tahun 2020 kontribusi industri non-migas terhadap PDB telah mampu mencapai 30%,
dimana kontribusi industri kecil (IK) ditambah industri menengah (IM) sama atau mendekati kontribusi
industri besar (IB). Selama kurun waktu 2010 s.d 2020 industri harus tumbuh rata-rata 9,43% dengan
pertumbuhan IK, IM, dan IB masing-masing minimal sebesar 10,00%, 17,47%, dan 6,34%.
Untuk mewujudkan target-target tersebut, diperlukan upaya-upaya terstruktur dan terukur, yang
harus dijabarkan ke dalam peta strategi yang mengakomodasi keinginan pemangku kepentingan
berupa strategic outcomes yang terdiri dari: 1) Meningkatnya nilai tambah industri, 2) Meningkatnya
penguasaan pasar dalam dan luar negeri, 3) Kokohnya faktor-faktor penunjang pengembangan industri,
4) Meningkatnya kemampuan inovasi dan penguasaan teknologi industri yang hemat energi dan ramah
lingkungan, 5) Menguat dan lengkapnya struktur industri, 6) Meningkatnya persebaran pembangunan
industri, serta 7) Meningkatnya peran industri kecil dan menengah terhadap PDB.
Dalam rangka merealisasikan target-target tersebut, Kementerian Perindustrian telah
menetapkan dua pendekatan guna membangun daya saing industri nasional yang tersinergi dan
terintegrasi antara pusat dan daerah. Pertama, melalui pendekatan top-down dengan pengembangan
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
9
35 klaster industri prioritas yang direncanakan dari Pusat (by design) dan diikuti oleh partisipasi daerah
yang dipilih berdasarkan daya saing internasional serta potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Kedua, melalui pendekatan bottom-up dengan penetapan kompetensi inti industri daerah yang
merupakan keunggulan daerah, dimana pusat turut membangun pengembangannya, sehingga daerah
memiliki daya saing. Pengembangan kompetensi inti di tingkat provinsi disebut sebagai Industri
Unggulan Provinsi dan di tingkat kabupaten/kota disebut Kompetensi Inti Industri Kabupaten/Kota.
Pendekatan kedua ini merupakan pendekatan yang didasarkan pada semangat Otonomi Daerah.
Penentuan pengembangan industri melalui penetapan klaster industri prioritas dan kompetensi inti
industri daerah sangat diperlukan guna memberi kepastian dan mendapat dukungan dari seluruh sektor
di bidang ekonomi termasuk dukungan perbankan.
Saat ini telah tersusun 35 Roadmap Pengembangan Klaster Industri Prioritas, yakni:
Industri Agro, terdiri atas: (1) Industri pengolahan kelapa sawit; (2) Industri karet dan barang karet;
(3) Industri kakao; (4) Industri pengolahan kelapa; (5) Industri pengolahan kopi; (6) Industri gula;
(7) Industri hasil Tembakau; (8) Industri pengolahan buah; (9) Industri furniture; (10) Industri
pengolahan ikan; (11) Industri kertas; (12) Industri pengolahan susu.
Industri Alat Angkut, meliputi: (13) Industri kendaraan bermotor; (14) Industri perkapalan; (15)
Industri kedirgantaraan; (16) Industri perkeretaapian.
Industri Elektronika dan Telematika: (17) Industri elektronika; (18) industri telekomunikasi; (19)
Industri komputer dan peralatannya.
Basis Industri Manufaktur, mencakup:
1) Industri Material Dasar: (20) Industri besi dan baja; (21) Industri Semen; (22) Industri
petrokimia; (23) Industri Keramik
2) Industri Permesinan: (24) Industri peralatan listrik dan mesin listrik; (25) Industri mesin dan
peralatan umum.
3) Industri Manufaktur Padat Tenaga Kerja: (26) Industri tekstil dan produk tekstil; (27) Industri
alas kaki;
Industri Penunjang Industri Kreatif dan Kreatif Tertentu: (28) Industri perangkat lunak dan konten
multimedia; (29) Industri fashion; (30) Industri kerajinan dan barang seni.
Industri Kecil dan Menengah Tertentu: (31) Industri batu mulia dan perhiasan; (32) Industri garam
rakyat; (33) Industri gerabah dan keramik hias; (34) Industri minyak atsiri; (35) Industri makanan
ringan.
Adapun provinsi yang telah menyusun roadmap industri unggulan provinsinya terdiri dari 18
provinsi yakni: 1) D.I. Yogyakarta, 2) Sulawesi Tengah, 3) Papua, 4) Sumatera Barat, 5) Sumatera
Selatan, 6) Lampung, 7) Kalimantan Timur, 8) Sulawesi Selatan, 9) Gorontalo, 10) Nusa Tenggara
Timur, 11) Nusa Tenggara Barat, 12) Nanggroe Aceh Darussalam, 13) Riau, 14) Kepulauan Riau, 15)
Kepulauan Bangka Belitung, 16) Kalimantan Barat, 17) Sulawesi Tenggara, dan 18) Sulawesi Utara.
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
10
Sedangkan kabupaten/kota yang telah menyusun roadmap kompetensi inti industri
kabupaten/kotanya terdiri dari 5 kabupaten/kota sebagai berikut: 1) Kota Pangkalpinang, 2) Kabupaten
Luwu, 3) Kota Palopo, 4) Kabupaten Maluku Tengah, dan 5) Kabupaten Maluku Tenggara. Sementara
kabupaten/kota lainnya sedang dalam proses kajian.
Untuk lebih lengkapnya, dokumen kebijakan, roadmap dan hasil kajian dapat diunduh di alamat:
http://rocana.kemenperin.go.id.
2.2 TINJAUAN RTRW JAWA TENGAH
Berdasarkan Perda Jateng No. 6 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW)
Jawa Tengah 2009 – 2029. Pasal 17 Sistem Perwilayahan di Jawa Tengah , meliputi:
a. Kedungsapur yang meliputi Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang
(Ungaran), Kota Semarang, Kota Salatiga dan Kabupaten Grobogan (Purwodadi), dengan fungsi
pengembangan sebagai Pusat Pelayanan Lokal, Provinsi, Nasional dan Internasional;
b. Juwana-Jepara-Kudus-Pati (Wanarakuti) yang berpusat di Kudus, dengan fungsi pengembangan
sebagai Pusat Pelayanan Lokal, Provinsi dan Nasional;
c. Surakarta dan sekitarnya (Subosukawonosraten), yang terdiri dari Kota Surakarta, Kabupaten
Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten, dengan fungsi pengembangan
sebagai Pusat Pelayanan Lokal, Provinsi, Nasional dan Internasional;
d. Bregasmalang, yaitu Kabupaten Brebes, Kota Tegal, Slawi (Kabupaten Tegal), dan Kabupaten
Pemalang, dengan fungsi pengembangan sebagai Pusat Pelayanan Lokal, Provinsi dan Nasional;
e. Petanglong yang terdiri dari Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Batang dan Kota Pekalongan
dengan fungsi pengembangan sebagai Pusat Pelayanan Lokal dan Provinsi;
f. Barlingmascakeb, meliputi Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan
Kebumen dengan fungsi pengembangan sebagai Pusat Pelayanan Lokal, Provinsi dan Nasional
(khusus Cilacap);
g. Wanarakuti meliputi Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kota Magelang, Kabupaten
Magelang dan Kabupaten Temanggung, dengan fungsi pengembangan sebagai Pusat Pelayanan
Lokal dan Provinsi;
h. Banglor yang terdiri dari Kabupaten Rembang dan Kabupaten Blora, dengan pusat di Cepu,
dengan fungsi pengembangan sebagai Pusat Pelayanan Lokal dan Provinsi.
Di dalam Pasal 83 dijelaskan bahwa Kawasan Peruntukan Industri di Jawa Tengah meliputi:
a. Wilayah Industri/Kawasan Peruntukan Industri;
b. Kawasan Industri;
c. Kawasan Berikat.
Dalam Pasal 84, Wilayah Industri/Kawasan Peruntukan Industri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 83 huruf a meliputi: Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga,
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
11
Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo,
Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten
Wonogiri, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora,
Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak,
Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang, Kabupaten
Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kota Salatiga, Kota
Semarang, Kota Pekalongan, Kota Tegal.
Dalam Pasal 85, Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf b, meliputi:
Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara,
Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten
Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri,Kabupaten Karanganyar,
Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati,
Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten
Temanggung, Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang,
Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kota Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kota Tegal.
Dalam Pasal 86, Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf c, berada di
Kabupaten Cilacap, Kabupaten Semarang, Kabupaten Kendal, Kota Semarang, serta Kawasan Berikat
lain yang ditetapkan lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
14
Gambar 2.1 Peta Penggunaan Lahan Provinsi Jawa Tengah
WANARAKUTI
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
15
Gambar 2.2 Peta Jaringan Prasarana Provinsi Jawa Tengah
WANARAKUTI
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
16
2.3. TINJAUAN RENCANA PEMBANGUNAN INDUSTRI PROVINSI JAWA TENGAH
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian telah meletakkan industri sebagai
salah satu pilar ekonomi dan memberikan peran yang cukup besar kepada pemerintah dan pemerintah
daerah untuk mendorong kemajuan industri nasional secara terencana. Peran tersebut diperlukan
dalam mengarahkan perekonomian nasional untuk tumbuh lebih cepat dan mengejar ketertinggalan dari
negara lain yang lebih dahulu maju. Pembangunan sektor industri di Provinsi Jawa Tengah mengacu
pada Visi Pembangunan industri nasional sebagaimana tertuang dalam Rencana Induk Pembangunan
Industri Nasional Tahun 2015-2035 yaitu “Indonesia Menjadi Negara Industri Tangguh” dan Visi
Pembangunan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2018 yaitu “Menuju Jawa Tengah Sejahtera dan
Berdikari” Mboten Korupsi, Mboten Ngapusi. Dengan memperhatikan visi misi pembangunan Provinsi
Jawa Tengah dan visi misi dan strategi pembangunan industri nasional, maka visi pembangunan
industri Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017 – 2037 adalah “Terwujudnya Industri Jawa Tengah yang
Berdaya Saing dan Berkesinambungan”.
Penyusunan RPIP 2017-2037 mengacu pada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
(RIPIN) dan Kebijakan Industri Nasional (KIN). RPIP 2017 – 2037 disusun dengan memperhatikan :
a. potensi sumber daya industri Daerah;
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan/ atau Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
c. keserasian dan keseimbangan dengan kebijakan pembangunan Industri di kabupaten/kota; dan
d. kegiatan sosial ekonomi dan daya dukung lingkungan di Jawa Tengah
Tinjauan RPIP (Rencana Pembangunan Industri Provinsi) Jawa Tengah dilandasi oleh peraturan
daerah provinsi Jawa Tengah Nomor 10 tahun 2017. Perda ini merupakan landasan bagi pembangunan
industri bagi perangkat daerah/ pelaku industri/ pengusaha dan/ institusi terkait. Juga sebagai pedoman
pemerintah kabupaten/ kota dalam menyusun RPIK (Rencana Pembangunan Industri Kab/ Kota). Juga
sebagai payung hukum bagi peran serta masyarakat dalam pembangunan industri unggulan provinsi.
Ruang lingkup RPIP Jawa Tengah adalah untuk mengatur kewenangan Pemerintah daerah,
mengatur industri unggulan provinsi, mengatur RPIP 2017 – 2037, dan mengatur pelaksanaan serta
pembinaan dan pengawasan. Kewenangan pemerintah daerah secara keseluruhan adalah bertanggung
jawab terhadap pencapaian tujuan pembangunan Industri Daerah. Kewenangan pemerintah daerah
yaitu sebagai berikut : perencanaan pembangunan Kawasan Industri; penyediaan infrastruktur Industri;
pemberian kemudahan data dan informasi pada wilayah Daerah yang diperuntukkan bagi
pembangunan Kawasan Industri; pelayanan terpadu satu pintu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; pemberian insentif dan kemudahan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; penataan Industri untuk berlokasi di Kawasan Industri; dan pengawasan
pelaksanaan pembangunan Kawasan Industri.
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
17
BAB III
TINJAUAN PEMBANGUNAN
INDUSTRI DI WANARAKUTI
3.1 KABUPATEN JEPARA
3.1.1 Letak Geografis
Jepara sebagai salah satu kabupaten di Jawa Tengah terletak pada 5°43`20,67” sampai
6°47` 25,83” Lintang Selatan dan 110°9`48,02” sampai 110°58` 37,40” Bujur Timur. Sebelah Barat dan
Utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kudus dan Pati dan
sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Demak. Dipandang dari ketinggian permukaan tanah
dari permukaan air laut, wilayah Kabupaten Jepara terletak mulai dari 0 m sampai dengan 1.301 m.
Luas wilayah Kabupaten Jepara tercatat 100.413,189 ha. Kecamatan yang terluas adalah Keling yaitu
12.311,588 ha dan kecamatan yang terkecil adalah Kalinyamatan 2.417,910 ha.
Gambar 3.1 Peta Administrasi Jepara
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
18
3.1.2 Kependudukan
Jumlah penduduk Kabupaten Jepara akhir tahun 2016 berdasarkan hasil proyeksi adalah
sebanyak 1.205.800 jiwa yang terdiri dari 601.206 laki-laki (49,86 %) dan 604.594 perempuan (50,14
%), dengan pertumbuhan sebesar 0,99% dimana sebaran penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan
Tahunan (115.504 Jiwa atau 9,50 %) dan jumlah penduduk paling sedikit terdapat di Kecamatan
Karimunjawa (9.379 jiwa atau 0,78 %). Jika di lihat berdasarkan kepadatan penduduk, pada tahun
2016, kepadatan penduduk Kabupaten Jepara mencapai 1,201 jiwa per km. Penduduk terpadat berada
di Kecamatan Jepara (3.613 jiwa per km2), sedangkan kepadatan terendah berada dl Kecamatan
Karimunjawa (132 jiwa per km2).
Menurut kelompok umur, sebagian besar penduduk Kabupaten Jepara termasuk dalam usia produktif
(15-64 tahun) sebanyak 818.833 jiwa (67,90 %) dan selebihnya 308.023 jiwa (25,55 %) berusia di
bawah 15 tahun dan 78.989 jiwa (6,55 %) berusia 65 tahun ke atas. Sedangkan besarnya angka
ketergantungan (dependency ratio) Kabupaten Jepara adalah 472,64.
Hal ini berarti bahwa setiap 1.000 orang berusia produktif menanggung sebanyak 473 orang penduduk
usia di bawah 15 tahun dan 65 tahun ke atas.
Selama tahun 2013 dl Kabupaten Jepara terdapat 20.912 kelahiran Kelahiran tertinggi terjadi di
Kecamatan Tahunan yaitu sebanyak 1.886 kelahlran atau sekitar 9,02 persen dan total kelahiran di
Kabupaten Jepara, sedangkan jumlah kelahiran terkecil terdapat di Kecamatan Karimunjawa yang
hanya sebanyak 159 kelahiran atau 0,76 persen dan total kelahiran.
Dilihat dan tingkat Kelahiran Kasar (Crude Birth Rote – CBR) yang merupakan jumlah anak yang dilah
irkan per 1000 orang penduduk tercatat sebesar 18,13.
3.1.3 Ketenagakerjaan
Kondisi ketenagakerjaan di Kabupaten Jepara adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1 Angkatan Kerja di Kab. Jepara
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
19
3.1.4 Pendidikan
Pendidikan di Kabupaten Jepara dapat dilihat kondisinya dari tabel angka partisipasi berikut:
Tabel 3.2 Angka Partisipasi Pendidikan Kab. Jepara
3.1.5 Potensi Unggulan
Potensi unggulan dapat diidentifikasi dari PDRB daerah bersangkutan. Kabupaten Jepara
memiliki produk domestik yang berasal dari industri pengolahan di urutan nomor satu kemudian disusul
oleh produk perdagangan besar dan eceran; reparasi mobil dan sepeda motor. Lebih lengkapnya dapat
dilihat di tabel berikut.
Tabel 3.3 PDRB atas dasar harga berlaku
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
20
Jepara dikenal sebagai kota ukir, karena terdapat sentra kerajinan ukiran kayu ketenarannya
hingga ke luar negeri. Kerajinan mebel dan ukir ini tersebar merata hampir di seluruh kecamatan
dengan keahlian masing-masing. Namun sentra perdagangannya terlekat di wilayah Ngabul, Senenan,
Tahunan, Pekeng, Kalongan dan Pemuda. Selain itu, Jepara merupakan kota kelahiran pahlawan
wanita Indonesia R.A. Kartini. Secara spesifik, potensi unggul Kab. Jepara adalah sebagai berikut :
Potensi Wisata Karimunjawa, Industri Mebel Ukir Jepara. Industri ini tersebar luas di hampir semua
kecamatan Jepara, kecuali Kecamatan Karimunjawa, Sentra Kerajinan Ukir Patung Macan Kurung, di
Mulyoharjo, Sentra Kerajinan Ukir Seni Relief, di Senenan, Sentra Kerajinan Ukir Meubel Minimalis, di
Petekeyan, Sentra Kerajinan Ukir Gebyok, di Blimbingrejo, Sentra Kerajinan Ukir Bambu, di Suwawal
Timur, Sentra Kerajinan Ukir Almari, di Bulungan.
Kabupaten Jepara juga memiliki beberapa komoditas yang sudah go international, yaitu:
1. Kerajinan Mainan Anak-anak, di Karanganyar
2. Kerajinan Tenun Ikat Troso, di Troso
3. Industri Mebel Ukir Jepara. Industri ini tersebar luas di hampir semua kecamatan Jepara, kecuali
Kecamatan Karimunjawa
4. Seni Relief, di Senenan
5. Kerajinan Patung Macan Kurung, di Mulyoharjo
6. Kerajinan Anyaman Bambu, di Kendengsidialit dan Sidigede
7. Kerajian Rotan, di Telukwetan
8. Kerajinan Gerabah, di Mayong Lor
3.1.6 Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jepara
Kawasan peruntukan industri Kab. Jepara meliputi sentra industri menengah dan industri
mikro dan kecil. Kawasan peruntukan industri menengah adalah berupa pembangunan Kawasan
Industri Mulyoharjo di Kecamatan Jepara dengan luas kurang lebih 28 ha. Kawasan industri mikro dan
kecil meliputi:
a. sentra industri kerajinan mebel di Kecamatan Tahunan, Jepara dan Kedung;
b. sentra industri ukir akar dan patung di Desa Mulyoharjo Kecamatan Jepara;
c. sentra industri kerajinan monel dan emas di Desa Kriyan Kecamatan Kalinyamatan;
d. sentra industri kerajinan keramik di Desa Pelemkerep, Mayong Lor dan Mayong Kidul Kecamatan
Mayong
e. sentra industri tenun ikat troso di Desa Troso Kecamatan Pecangaan;
f. sentra industri kerajinan anyaman rotan di Desa Teluk Wetan Kecamatan Welahan;
g. sentra industri kue dan roti di Desa Bugo Kecamatan Welahan;
h. industri rokok kretek di Kecamatan Kalinyamatan, Nalumsari, Mayong dan Welahan;
i. sentra industri konveksi di kecamatan Kalinyamatan, Mayong dan Nalumsari;
j. sentra industri anyaman bambu di desa Buaran kecamatan Mayong
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
21
3.2 KABUPATEN KUDUS
3.2.1 Letak Geografis
Kabupaten Kudus sebagai salah satu Kabupaten di Jawa Tengah, terletak diantara 4 (empat)
Kabupaten yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Jepara dan Kabupaten Pati, sebelah
timur berbatasan dengan Kabupaten Pati, sebelah selatan dengan Kabupaten Grobogan dan Pati serta
sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Demak dan Jepara. Letak Kabupaten Kudus antara
110o36’ dan 110o50’ Bujur Timur dan antara 6o51’ dan 7o16’ Lintang Selatan. Jarak terjauh dari barat ke
timur adalah 16 km dan dari utara ke selatan 22 km.Secara administratif Kabupaten Kudus terbagi
menjad 9 Kecamatan dan 123 Desa serta 9 Kelurahan. Luas wilayah Kabupaten Kudus tecatat sebesa
42.516 hektar atau sekita 1,31 % dari luas Propinsi Jawa Tengah. Kecamatan yang terluas adalah
Kecamatan Dawe yaitu 8.584 hektar (20,19 %), sedangkan yang paling kecil adalah Kecamatan Kota
seluas 1.047 hektar (2,46 %) dari luas Kabupaten Kudus.
Gambar 3.2 Peta Administrasi Kudus
3.2.2 Kependudukan
Jumlah penduduk Kabupaten Kudus pada tahun 2016 tercatat sebesar 841.499 jiwa, terdiri
dari 414.315 jiwa laki-laki (49,24 %) dan 427.184 jiwa perempuan (50,76 %).Apabila dilihat
penyebarannya, maka kecamatan yang paling tinggi %tase jumlah penduduknya adalah Kecamatan
Jati yakni sebesar 12,85 % dari jumlah penduduk yang ada di Kabupaten Kudus, kemudian berturut-
turut Kecamatan Jekulo 12,76 %.
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
22
Tabel 3.4 Penduduk Kabupaten Kudus
Sedangkan kecamatan yang terkecil jumlah penduduknya adalah Kecamatan Bae sebesar
8,63 %. Bila dilihat dari perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuannya, maka diperoleh
rasio jenis kelamin pada tahu 2016 sebesar 96,99 yang berarti bahwa pada setiap 100 penduduk
perempuan terdapat 97 penduduk laki-laki. Dengan perkataan lain bahwa penduduk perempuan lebih
banyak dibandingkan dengan penduduk laki-laki, ini bisa dilihat di semua kecamatan, bahwa angka
rasio jenis kelamin di bawah 100% yaitu berkisar antara 94,24 dan 98,30.
Kepadatan penduduk dalam kurun waktu lima tahun (2012 - 2016) cenderung mengalami kenaikan
seiring dengan kenaikan jumlah penduduk. Pada tahun 2016 tercatat sebesar 1.979 jiwa setiap satu kilo
meter persegi. Di sisi lain persebaran penduduk masih belum merata. Kecamata Kota merupakan
kecamatan yank terpadat yaitu 9.392 jiwa per km2.
3.2.3 Ketenagakerjaan
Tenaga kerja yang terampil, merupakan potensi sumber daya manusia yang sangat
dibutuhkan dalam proses pembangunan menyongsong era globalisasi.
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
23
Tabel 3.5 Angkatan Kerja Kabupaten Kudus
Berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi kabupaten Kudus terdapat
sebanyak 142.432 orang pekerja yang tersebar di 1.356 perusahaan, dimana sebagian besar adalah
pekerja perempuan sebesar 69,76 %. Dari data juga terlihat bahwa pencari kerja lebih banyak bila
dibandingkan dengan lapangan usaha yang tersedia. Banyaknya pencari kerja pada tahun 2015
sebanyak 5.857 orang sesuai dengan permintaan/kebutuhan tenaga kerja yaitu sebesar 5.857 orang.
3.2.4 Pendidikan
Kondisi pendidikan di Kabupaten Kudus dapat dilihat seperti di tabel berikut ini:
Tabel 3.6 Angka partisipasi sekolah Di kabupaten Kudus
3.2.5 Potensi Unggulan
Dari tahun 2010 kontribusi dari sektor industri pengolahan terlihat stabil. Hal ini menunjukkan
kemajuan dalam proses industrialisasi.
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
24
Tabel 3.7 PDRB Kabupaten Kudus atas dasar harga berlaku
Proses industrialisasi merupakan proses dimana perkembangan sektor industri pada
umumnya akan diikuti berkembangnya transaksi perdagangan dan menurunnya aktivitas pertanian.
Terlihat bahwa selama beberapa dekade ini sektor perdagangan selalu memberikan kontribusi terbesar
kedua, lebih besar dari kontribusi sektor pertanian.
Besarnya kontribusi sektor industri menunjukkan bahwa sektor ini memegang peranan
penting dalam menopang perekonomian di Kudus, walaupun secara geografis Kabupaten Kudus
merupakan kabupaten dengan wilayah terkecil, namun dari sisi industri memiliki potensi dan peluang
pasar yang dapat diandalkan.
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
25
Potensi-potensi unggulan yang dapat dimaksimalkan di Kabupaten Kudus antara lain:
1. Pertanian Jambu Bol, di Jati
2. Pertanian Duku Sumber, di Hadipolo
3. Pertanian Rambutan, di Rejosari
4. Pertanian Durian, di Margorejo
5. Pertanian Mangga Menawan, di Menawan
6. Industri Jenang Kudus, di Kaliputu
7. Industri Kopi, di Kedungdowo
8. Industri Sepatu & Sandal, di Krandon
9. Industri Batik Kudus, di Karangmalang
10. Industri Bordir, di Peganjaran
11. Industri Pande Besi, di Hadipolo
12. Industri Gula tebu, di Puyoh
13. Industri Roti, di Loram Wetan
14. Industri Genteng Kretek Kudus, di Ngembal Kulon, Jati, Kudus
3.2.6 Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kudus
Kawasan peruntukan industri dengan luas keseluruhan sebesar kurang lebih 1.132 Ha terdiri
atas kawasan peruntukan industri besar; kawasan peruntukan industri menengah dan kawasan
peruntukan industri kecil atau mikro.
Kawasan peruntukan industri besar direncanakan berkembang di sisi luar badan jalan dengan jarak
terluar batas lahan pengembangan kurang lebih 500 (lima ratus) meter ke kiri dan/atau ke kanan diukur
dari as jalan meliputi jalan Jekulo – Pati; dan jalan Kaliwungu – Jepara.
Kawasan peruntukan industri menengah direncanakan berkembang pada lokasi meliputi:
a. Kecamatan Mejobo; b. Kecamatan Jati;
c. Kecamatan Kaliwungu d. Kecamatan Bae; dan
e. Kecamatan Gebog
Kawasan peruntukan industri kecil atau mikro tersebar di seluruh kawasan perkotaan dan
kawasan perdesaan berupa penataan dan pengelompokan menjadi sentra atau lingkungan industri
kecil.
Lokasi industri besar dan menengah yang telah ada dan berizin di seluruh wilayah kecamatan
diluar kawasan peruntukan industri besar dan kawasan peruntukan industri menengah ditetapkan
sebagai kawasan peruntukan industri, dengan ketentuan tanpa adanya perluasan pengembangan
kawasan.
Penetapan kawasan peruntukan industri besar dan kawasan peruntukan industri menengah
tetap memperhatikan kelangsungan fungsi jaringan irigasi dan penyediaan jalan lingkungan.
Penyediaan jalan lingkungan dibebankan kepada perusahaan/ pengembang.
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
26
3.3 KABUPATEN PATI
3.3.1 Letak Geografis
Sebagian besar wilayah Kabupaten Pati adalah dataran rendah. Bagian selatan (perbatasan
dengan Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Blora) terdapat rangkaian Pegunungan Kapur Utara.
Bagian barat laut (perbatasan dengan Kabupaten Kudus dan Kabupaten Jepara) berupa perbukitan.
Bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Rembang. Sungai terbesar adalah Sungai Juwana, yang
bermuara di daerah Juwana.
Ibukota Kabupaten Pati terletak tengah-tengah wilayah Kabupaten, berada di jalur pantura
Semarang-Surabaya, sekitar 75 km sebelah timur Semarang. Jalur ini merupakan jalur ramai yang
menunjukkan diri sebagai jalur transit. Kelemahan terbesar dari jalur ini adalah kecilnya jalan, hanya
memuat dua jalur, sehingga untuk berpapasan cukup sulit.
Terdapat sungai besar yaitu BengaWan Silugonggo (Sungai Silugonggo). Saat musim
penghujan sudah terbiasa sungai ini meluap, sehingga pemerintah Jawa Tengah membentuk lembaga
yang berfungsi menanggulangi banjir yang bernama Jatrunseluna.
Secara astronomis Kabupaten Pati terletak antara 6o25’ – 7o00’ lintang selatan dan antara
100o50’ – 111o15’ bujur timur. Berdasarkan posisi geografisnya, Kabupaten Pati memiliki batas-batas:
Utara – Kab. Jepara dan Laut Jawa Selatan – Kab. Grobogan dan Blora Barat – Kab. kudus dan Jepara
Timur – Kab. Rembang dan Laut Jawa. 3. Berdasarkan hasil EPT Tahun 2002, luas wilayah Kabupaten
Pati adalah 150 368 Ha yang terdiri dari 59 332 Ha lahan sawah, 66 086 Ha lahan bukan sawah dan 24
950 Ha lahan bukan pertanian.
Gambar 3.3 Peta Administratif Kabupaten Pati
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
27
3.3.2 Kependudukan
Berikut ini adalah kondisi kependudukan di Kabupaten Pati.
Tabel 3.8 Jumlah penduduk dan laju pertumbuhannya
3.3.3 Ketenagakerjaan
Angka tenaga kerja di Kabupaten Pati terbagi pada sektor pertanian, industri pengolahan,
perdagangan, jasa kemasyrakatan dan lain-lainnya.
Tabel 3.9 Sebaran tenaga kerja pada sektor-sektor lapangan usaha
3.3.4 Potensi Unggulan
Tabel 3.10 PDRB atas dasar harga berlaku
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
28
Produk sektor pertanian dan pengolahan sangat dominan di Kabupaten Pati. Selain terkenal
dengan Bandeng Prestonya, Pati adalah salah satu dari dua kabupaten penghasil buah Manggis
terbesar di Jawa Tengah selain Cilacap. Berikut adalah potensi unggulan yang terdapat di Kab. Pati.
1. Sentra Buah Jambu monyet, di Desa Muktiharjo dan Margorejo
2. Sentra Buah Kelapa kopyor Genjah (kelapa yang dagingnya terpisah dengan tempurung) di Jawa
Tengah
3. Sentra Buah Manggis, di Desa Jepalo dan Gunungsari
4. Kerajinan Kuningan, di Desa Juwana
5. Usaha Susu Sapi, di Desa Sukoharjo dan margorejo
6. Industri Garam, di Kecamatan Batangan dan Wedarijaksa
7. Pabrik Gula Trangkil, di Desa Trangkil, Trangkil
8. Pabrik Gula Pakis Baru, di Desa Pakis, Tayu
9. industri criping singkong aneka rasa(banyuurip)
10. Centra Pengodol Kapuk Randu, di Desa Karaban, Kecamatan Gabus (produk kasur, bantal,
guling dll).
11. Sentra padi dan kacang hijau , di Desa Jambean Kidul, Muktiharjo , Margorejo Pati.
12. Perkebunan Kopi , di Desa Jrahi, Gunungwungkal dan Sitiluhur
13. Industri Tepung Tapioka, di Desa Ngemplak dan Sidomukti Margoyoso
14. Industri Kain Batik Bakaran, di Desa Bakaran, Juwana
15. Industri Batu Bata, di Desa Trangkil
16. Industri Terasi Udang Rebon, di Desa Juwana, Margoyoso dan Tayu
3.3.5 Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupate Pati
Pengembangan kawasan peruntukan industri terdiri atas industri besar dan menengah; dan
industri kecil dan rumah tangga. Pengembangan industri besar dan menengah meliputi :
a. industri manufaktur yang berlokasi di Kecamatan Margorejo dengan luas kurang lebih 306 Ha (tiga
ratus enam hektar ); dan Kecamatan Pati dengan luas kurang lebih 200 Ha (dua ratus hektar).
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
29
b. industri manufaktur dan perikanan yang berlokasi di Kecamatan Batangan dengan luas kurang
lebih 318 Ha (tiga ratus delapan belas hektar); dan Kecamatan Juwana dengan luas kurang lebih
102 Ha (seratus dua hektar).
c. industri agro dan pertambangan yang berlokasi di Kecamatan Tayu dengan luas 30 Ha (tiga puluh
hektar); Kecamatan Trangkil dengan luas kurang lebih 24 Ha (dua puluh empat hektar);
Kecamatan Margoyoso dengan luas kurang lebih 53 Ha (lima puluh tiga hektar); Kecamatan
Tambakromo dengan luas kurang lebih 300 Ha (tiga ratus hektar); Kecamatan Kayen dengan luas
kurang lebih 48 Ha (empat puluh delapan hektar); Kecamatan Sukolilo dengan luas kurang lebih
117 Ha (seratus tujuh belas hektar).
Pengembangan industri kecil dan rumah tangga dikembangkan di seluruh wilayah Daerah.
Kegiatan industri menengah yang mengandung polusi dan industri besar diarahkan pada kawasan yang
ditetapkan sebagai kawasan peruntukan industri.
Pengembangan industri rumah tangga, kecil, menengah, dan pergudangan yang tidak
menimbulkan polusi dan atau limbah berbahaya dapat bercampur dengan kawasan permukiman
dengan memperhatikan keserasian kawasan dan dukungan infrastruktur kawasan.
Pengembangan industri rumah tangga, kecil, dan pergudangan yang berpotensi mencemari
lingkungan disatukan di kawasan peruntukan industri dan dilengkapi dengan dengan Instalasi Pengolah
Air Limbah (IPAL) serta kawasan sabuk hijau. Arahan pengelolaan kawasan peruntukan industri
dilakukan melalui:
a. mengarahkan seluruh kegiatan industri besar, industri menengah yang mengandung polusi, dan
industri rumah tangga, kecil, serta pergudangan yang berpotensi mencemari lingkungan disatukan
di kawasan peruntukan industri dan dilengkapi dengan dengan Instalasi Pengolah Air Limbah
(IPAL) serta kawasan sabuk hijau;
b. pengembangan industri rumah tangga, kecil, menengah, dan pergudangan yang tidak
menimbulkan polusi dan atau limbah berbahaya dapat bercampur dengan kawasan permukiman
dengan memperhatikan keserasian kawasan dan dukungan infrastruktur kawasan;
c. pembangunan kegiatan agro industri dapat dilakukan di kawasan pusat produksi; pengembangan
kawasan industri di kawasan peruntukan industri untuk mewujudkan pengelolaan kawasan
peruntukan industri yang sesuai dengan kaidah lingkungan hidup; dan melibatkan penduduk
sekitar dalam proses kegiatan untuk menghindari permasalahan sosial dan ekonomi dengan warga
sekitar.
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
30
BAB IV
KAJIAN KRITERIA TEKNIS KAWASAN INDUSTRI
4.1 KRITERIA TEKNIS LOKASI KAWASAN INDUSTRI
Berkembangnya suatu Kawasan Industri tidak terlepas dari pemilihan lokasi kawasan industri
yang akan dikembangkan, karena sangat dipengaruhi oleh beberapafaktor/variabel di wilayah lokasi
kawasan. Selain itu dengan dikembangkannya suatu Kawasan Industri juga akan memberikan dampak
terhadap beberapa fungsi di sekitar lokasi kawasan.
Oleh sebab itu, beberapa kriteria menjadi pertimbangan di dalam pemilihan lokasi Kawasan
Industri, antara lain:
1) Jarak ke Pusat Kota
Semakin dekat maka semakin baik, skoring menurun dari 10 Km sampai titik 1 Km
(pertimbangkan juga kriteria jarak terhadap pemukiman).
Pertimbangan jarak ke pusat kota bagi lokasi Kawasan Industri adalah dalam rangka
kemudahan memperoleh fasilitas pelayanan baik prasarana dan prasarana maupun segi-segi
pemasaran.
Mengingat pembangunan suatu kawasan industri tidak harus membangun seluruh sistem
prasarana dari mulai tahap awal melainkan memanfaatkan sistem yang telah ada seperti listrik, air
bersih yang biasanya telah tersedia di lingkungan perkotaan, di mana kedua sistem ini kestabilan
tegangan (listrik) dan tekanan (air bersih) dipengaruhi faktor jarak, di samping fasilitas banking,
kantor-kantor pemerintahan yang memberikan jasa pelayanan bagi kegiatan industri yang pada
umumnya berlokasi di pusat perkotaan, maka idealnya suatu kawasan industri berjarak minimal 10
Km dari pusat kota. (kalau dilihat definisnya maka 10 km adalah jarak maksimal).
2) Jarak Terhadap Permukiman
Pertimbangan jarak terhadap permukiman bagi pemilihan lokasi kegiatan industri, pada
prinsipnya memiliki dua tujuan pokok, yaitu:
a. Berdampak positif dalam rangka pemenuhan kebutuhan tenaga kerja dan aspek pemasaran
produk. Dalam hal ini juga perlu dipertimbangkan adanya kebutuhan tambahan akan
perumahan sebagai akibat daripembangunan Kawasan Industri. Dalam kaitannya dengan jarak
terhadap permukiman di sini harus mempertimbangkan masalah pertumbuhan perumahan, di
mana sering terjadi areal tanah di sekitar lokasi industri menjadi kumuh dan tidak ada lagi jarak
antara perumahan dengan kegiatan industri.
b. Berdampak negatif karena kegiatan industri menghasilkan polutan dan limbah yang dapat
membahayakan bagi kesehatan masyarakat.
c. Jarak terhadap permukiman yang ideal minimal 2 Km dari lokasi kegiatan industri.
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
31
3) Jaringan jalan yang melayani
Jaringan bagi kegiatan industri memiliki fungsi yang sangat penting terutama dalam rangka
kemudahan mobilitas pergerakan dan tingkat pencapaian (aksesibilitas) baik dalam penyediaan
bahan baku, pergerakan manusia dan pemasaran hasil-hasil produksi. Semakin baik semakin
tinggi nilainya.
Jaringan jalan yang baikuntuk kegia tan industri, harus memperhitungkan kapasitas dan
jumlah kendaraan yang akan akan melalui jalan tersebut sehingga dapat diantisipasi sejak awal
kemungkinan terjadinya kerusakan jalan dan kemacetan. Hal ini penting untuk dipertimbangkan
karena dari kenyataan yang ada dari keberadaan Kawasan Industri pada suatu daerah ternyata
tidak mudah untuk mengantisipasi dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan industri terhadap
masalah transportasi. Apabila hal ini kurang mendapat perhatian akan berakibat negatif terhadap
upaya promosi kawasan industri.
Untuk pengembangan kawasan industri dengan karakteristik lalu lintas truk kontainer dan
akses utama dari dan ke pelabuhan/bandara, maka jaringan jalan arteri primer harus tersedia
untuk melayani lalu- lintas kegiatan industri.
4) Jaringan fasilitas dan Prasarana
a. Jaringan listrik
Ketersediaan jaringan listrik menjadi syarat yang penting untuk kegiatan industri. Karena
bisa dipastikan proses produksi kegiatan industri sangat membutuhkan energi yang bersumber
dari listrik, untuk keperluan mengoperasikan alat-alat produksi. Dalam hal ini standar pelayanan
listrik untuk kegiatan industri tidak sama dengan kegiatan domestik di mana ada prasyarat
mutlak untuk kestabilan pasokan daya maupun tegangan.
Kegiatan industri umumnya membutuhkan energi listrik yang sangat besar, sehingga
perlu dipikirkan sumber pasokan listriknya, apakah yang bersumber dari perusahaan listrik
negara saja, atau dibutuhkan partisipasi sektor swasta untuk ikut membantu penyediaan energi
listrik untuk memenuhi kebutuhan listrik industri.
b. Jaringan telekomunikasi
Kegiatan industri tidak akan lepas dari aspek bisnis, dalam rangka pemasaran maupun
pengembangan usaha. Untuk itulah jaringan telekomunikasi seperti telepon dan internet
menjadi kebutuhan dasar bagi pelaku kegiatan industri untuk menjalankan kegiatannya.
Sehingga ketersediaan jaringan telekomunikasi tersebut menjadi syarat dalam penentuan lokasi
industri.
c. Pelabuhan laut
Kebutuhan prasarana pelabuhan menjadi kebutuhan yang mutlak, terutama bagi
kegiatan pengiriman bahan baku/bahan penolong dan pemasaran produksi, yang berorientasi
ke luar daerah dan ke luar negeri (ekspor/impor). Kegiatan industri sangat membutuhkan
pelabuhan sebagai pintu ke luar masuk berbagai kebutuhan pendukung. Sebagaiilustrasiuntuk
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
32
memproduksi satu produk membutuhkan banyak bahan pendukung yang tidak mungkin
dipenuhi seluruhnya dari dalam daerah/wilayah itu sendiri, misalnya kebutuhan peralatan mesin
dan komponen produksi lainnya yang harus diimport, demikian pula produk yang dihasilkan
diharapkan dapat dipasarkan di luar wilayah/eksport agar diperoleh nilai tambah/devisa. Untuk
itu maka keberadaan pelabuhan/outlet menjadi syarat mutlak untuk pengembangan kawasan
industri.
5) Topografi
Pemilihan lokasi peruntukan kegiatan industri hendaknya pada areal lahan yang memiliki
topografi yang relatif datar. Kondisi topografi yang relatif datar akan mengurangi pekerjaan
pematangan lahan (cut and fill) sehingga dapat mengefisienkan pemanfaatan lahan secara
maksimal, memudahkan pekerjaan konstruksi dan menghemat biaya pembangunan.
Topografi/kemiringan tanah maksimal 15% (pengaruh biaya tidak signifikan kecuali topografi
yang ekstrim).
6) Jarak terhadap Sungai atau Sumber Air bersih
Pengembangan Kawasan Industri sebaiknya mempertimbangkan jarak terhadap sungai.
Karena sungai memiliki peranan penting untuk kegiatan industri yaitu sebagai sumber air baku
dan tempat pembuangan akhir limbah industri. Sehingga jarak terhadap sungai harus
mempertimbangkan biaya konstruksi dan pembangunan saluran-saluran air. Di samping itu
jarak yang ideal seharusnya juga memperhitungkan kelestarian lingkungan Daerah Aliran
Sungai (DAS), sehingga kegiatan industri dapat secara seimbang menggunakan sungai untuk
kebutuhan kegiatan industrinya tetapi juga dengan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) tersebut. Jarak terhadap sungai atau sumber air bersih
maksimum 5 (lima) Km dan terlayani sungai tipe C dan D atau Kelas III dan IV (semakin dekat
semakin baik).
7) Kondisi Lahan
Peruntukan lahan industri perlu mempertimbangkan daya dukung lahan dan kesuburan lahan.’
a. Daya dukung lahan
Daya dukung lahan erat kaitannya dengan jenis konstruksi pabrik dan jenis produksi
yang dihasilkan. Jenis konstruksi pabrik sangat dipengaruhi oleh daya dukung jenis dan
komposisi tanah, serta tingkat kelabilan tanah, yang sangat mempengaruhi biaya dan
teknologi konstruksi yang digunakan. Mengingat bangunan industri membutuhkan fondasi
dan konstruksi yang kokoh, maka agar diperoleh efisiensi dalam pembangunannya
sebaiknya nilai daya dukung tanah (sigma) berkisar antara ∂ 0,7-1,0 kg/cm2.
b. Kesuburan lahan
Tingkat kesuburan lahan merupakan faktor penting dalam menentukan lokasi
peruntukan kawasan industri. Apabila tingkat kesuburan lahan tinggi dan baik bagi kegiatan
pertanian, maka kondisi lahan seperti ini harus tetap dipertahankan untuk kegiatan pertanian
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
33
dan tidak dicalonkan dalam pemilihan lokasi kawasan industri. Hal ini bertujuan untuk
mencegah terjadinya konversi lahan yang dapat mengakibatkan menurunnya tingkat
produktivitas pertanian, sebagai penyedia kebutuhan pangan bagi masyarakat dan dalam
jangka panjang sangat dibutuhkan untuk menjaga ketahanan pangan (food security) di
daerah-daerah. Untuk itu dalam pengembangan industri, pemerintah daerah harus bersikap
tegas untuk tidak memberikan ijin lokasi industri pada lahan pertanian, terutama areal
pertanian lahan basah (irigasi teknis).
8) Ketersediaan lahan
Kegiatan industri umumnya membutuhkan lahan yang luas, terutama industri-industri
berskala sedang dan besar. Untuk itu skala industri yang akan dikembangkan harus pula
memperhitungkan luas lahan yang tersedia, sehingga tidak terjadi upaya memaksakan diri
untuk konversi lahan secara besar-besaran, guna pembangunan kawasan industri. Sesuai
Peraturan Pemerintah Nomor: 24 tahun 2009 luas lahan kawasan industri minimal 50 hektar.
Ketersediaan lahan harus memasukan pertimbangan kebutuhan lahan di luar kegiatan
sektor industri sebagai multiplier effectsnya, seperti kebutuhan lahan perumahan dan kegiatan
permukiman dan perkotaan lainnya.
Sebagai ilustrasi bila per hektar kebutuhan lahan kawasan industri menyerap 100 tenaga
kerja, berarti dibutuhkan lahan perumahan dan kegiatan pendukungnya seluas 1-1,5 Ha untuk
tempat tinggal para pekerja dan berbagai fasilitas penunjang.
Artinya bila hendak dikembangkan 100 Ha Kawasan Industri disuatu daerah, maka di
sekitar lokasi harus tersedia lahan untuk fasilitas seluas 100 - 150 Ha, sehingga total area
dibutuhkan 200 - 250 Ha.
9) Harga lahan
Salah satu faktor utama yang menentukan pilihan investor dalam memilih lokasi
peruntukan industri adalah harga beli/sewa lahan yang kompetitif, artinya bila lahan tersebut
dimatangkan dalam arti sebagai kapling siap bangun yang telah dilengkapi prasarana
penunjang dapat dijangkau oleh para pengguna (user). Dengan demikian maka dalam
pemilihan lokasi Kawasan Industri sebaiknya harga lahan (tanah mentah) tidak terlalu mahal.
Di samping itu sebagai syarat utamanya agar tidak terjadi transaksi lahan yang tidak adil
artinya harga yang tidak merugikan masyarakat pemilik lahan, atau pemerintah mengeluarkan
peraturan yang dapat memberikan peluang bagi masyarakat untuk terlibat menanamkan modal
dalam investasi kawasan industri melalui lahan yang dimilikinya. Sehingga dengan demikian
membuka peluang bagi masyarakat pemilik lahan untuk merasakan langsung nilai tambah dari
keberadaan kawasan industri di daerahnya.
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
34
10) Orientasi lokasi
Mengingat Kawasan Industri sebagai tempat industri manufaktur (pengolahan) yang
biasanya merupakan industri yang bersifat footlose maka orientasi lokasi sangat dipengaruhi
oleh aksesibilitas dan potensi tenaga kerja.
11) Pola tata guna lahan
Mengingat kegiatan industri di samping menghasilkan produksi juga menghasilkan hasil
sampingan berupa limbah padat, cair dan gas, maka untuk mencegah timbulnya dampak
negatif sebaiknya dilokasikan pada lokasi yang non pertanian dan non permukiman, terutama
bagi industri skala menengah dan besar.
12) Multiplier effects
Pembangunan Kawasan Industri jelas akan memberikan pengaruh eksternal yang besar
bagi lingkungan sekitarnya. Dengan istilah lain dapat disebut sebagai multiplier effects. Dalam
pertimbangan ini akan dibahas dari 2 aspek saja yaitu pengaruh terhadap bangkitan lalu lintas
dan juga aspek ketersediaan tenaga kerja dalam kaitannya dengan kebutuhan berbagai fasilitas
sosial.
Pembangunan suatu kawasan industri (misalnya dengan luas 100 Ha) akan membangkitkan
lalu lintas yang cukup besar baik bangkitan karena lalu lintas kendaraan penumpang mengangkut
tenaga kerja maupun kendaraan trailer pengangkut barang (import dan eksport). Sebagai ilustrasi
dapat dilihat pada uraian berikut:
a. Bila diasumsikan rata-rata per hektar lahan di kawasan industri menyerap 100 tenaga kerja,
maka dengan luas 100 Ha akan terdapat 10.000 tenaga kerja. Selanjutnya diasumsikan bahwa
tenaga level manager sebesar 3% atau 300 orang, level staff 20% atau 2000 orang, dan buruh
7700 orang dengan komposisi penduduk lokal 500 dan 7200 adalah buruh pendatang.
b. Dari asumsi penduduk di atas, diasumsikan bahwa yang akan membangkitkan lalu lintas
(traffic) dengan perjalanan interregional adalah dari level manager dengan penggunaan
kedaraan pribadi dan staff dengan menggunakan bus (kapasitas 40 orang), maka bangkitan
lalu lintas adalah sebesar 300 kendaraan pribadi + (2000/40=50bus) = 300 smp + 50x3 smp =
450 smp/hari.
c. Angkutan barang import sebesar 100x3 TEUS = 300 TEUS per bulan (1200 smp/bulan = 40
smp/hari) dan eksport 100x3,5 TEUS=350 TEUS/bulan = 57 smp/hari. Sehingga total angkutan
barang mendekati 100 smp/hari.
d. Total bangkitan angkutan buruh dan barang menjadi 450 + 100 = 550 smp/hari. Jika
dikembalikan kepada effect bangkitan dari per hektar kawasan industri adalah 5,5
smp/hari/hektar. Meskipun bangkitan yang diakibatkan oleh per hektar kawasan industri terlihat
tidak terlalu besar tetapi ada tuntutan untuk penyediaan jalan dengan kualitas baik karena jalan
yang disediakan akan dilalui oleh angkutan berat.
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
35
e. Dalam perhitungan kebutuhan berbagai fasilitas umum dan sosial sebagai akibat dari
bertambahnya penduduk karena faktor migrasi, dari asumsi di atas maka terdapat 7200 tenaga
kerja pendatang.
f. Untuk kebutuhan perumahan, bila diasumsikan per 1,5 buruh membutuhkan 1 rumah, maka
dibutuhkan 4800 rumah.
g. Selanjutnya dengan asumsi per unit rumah membutuhkan lahan 150 m2, maka kebutuhan
lahan untuk perumahan menjadi 720.000 m2 atau 72 hektar.
h. Jika tambahan kebutuhan lahan untuk berbagai fasilitas umum dan sosial adalah 25% dari
lahan perumahan, maka dibutuhkan tambahan lahan sekitar 18 hektar. Dengan demikian total
kebutuhan lahan untuk perumahan dan fasilitas umum dan sosial menjadi 90 hektar.
i. Dengan mengembangkan per hektar kawasan industri akan dibutuhkan lahan untuk kegiatan
penunjang dengan luas yang hampir sama, atau dengan perkataan lain setiap hektar kawasan
industri akan membutuhkan areal pengembangan seluas 2 hektar.
j. Dalam perhitungan kebutuhan fasilitas sosial digunakan asumsi bahwa setiap 1,5 buruh
membentuk 1 KK maka jumlah KK sebesar 4800 KK. Jika 1KK terdiri dari 4 orang, maka jumlah
penduduk yang bertambah adalah 19.200 orang. Maka akan dibutuhkan lingkungan
permukiman dengan fasilitas SLP dan SLA 3-4 buah, 1 Puskesmas, dan fasilitas umum dan
sosial lainnya seperti fasilitas rekreasi, peribadatan, perbelanjaan, dan sebagainya. Yang
menjadi pertanyaan, siapa yang akan menyediakan kebutuhan tersebut.
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
36
4.2 ANALISIS DESKRIPTIF PELUANG DAERAH KAWASAN INDUSTRI
Berkembangnya suatu Kawasan Industri tidak terlepas dari pemilihan lokasi kawasan industri yang akan dikembangkan, karena sangat dipengaruhi oleh
beberapafaktor/variabel di wilayah lokasi kawasan. Selain itu dengan dikembangkannya suatu Kawasan Industri juga akan memberikan dampak terhadap beberapa fungsi di
sekitar lokasi kawasan.
Tabel 4.1 Perhitungan Skor Potensi Pengembangan Kawasan Industri
Daerah Konsep Skala dan Bobot Jepara
(Kedung)
Jepara
(Kem-
bang
Keling)
Kudus
(Dawe)
Kudus
(Jekulo)
Pati (Bata-
ngan)
Pati
(Margorejo)
Kriteria Definisi Skala Rescaling Bobot S Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS)
Jarak terhadap
pemukiman
Ada dampak negatif
dan ada dampak
positif. Asumsi semua
dampak sama untuk
semua daerah.
Meskipun demikian,
dengan
mempertimbangakn
Skala
meningkat
dengan
minimal jarak
2
0 – 1 Km = 1
3 2 6 2 6 1 3 3 9 2 6 1 3
1 – 2 Km = 2
2 – 3 Km = 3
Lebih dari 3
Km = 4
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
37
Daerah Konsep Skala dan Bobot Jepara
(Kedung)
Jepara
(Kem-
bang
Keling)
Kudus
(Dawe)
Kudus
(Jekulo)
Pati (Bata-
ngan)
Pati
(Margorejo)
Kriteria Definisi Skala Rescaling Bobot S Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS)
faktor sustainabilitas
maka semakin jauh
dari pemukiman akan
semakin baik (minimal
2 km), dan dengan
pertimbangan faktor
CSR maka faktor ini
menjadi sangat
penting. Bobot = 3
Harga lahan Harga semakin tinggi
maka investasi
semakin mahal.
Terdapat hubungan
Skala= Sangat
tinggi-sangat
rendah (4 s/d
1)
NJOP – harga
pasar = 4 3 4 12 4 12 1 3 1 3 1 3 1 3
1,125 x harga
pasar = 3
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
38
Daerah Konsep Skala dan Bobot Jepara
(Kedung)
Jepara
(Kem-
bang
Keling)
Kudus
(Dawe)
Kudus
(Jekulo)
Pati (Bata-
ngan)
Pati
(Margorejo)
Kriteria Definisi Skala Rescaling Bobot S Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS)
terbalik antara harga
dan minat investasi.
1,25 x harga
pasar = 2
1,5 x harga
pasar = 1
Ketersediaan
lahan
Faktor utama adanya
pengembangan
kawasan industri
Semakin luas,
dan semakin
terintegrasi
maka semakin
besar
skalanya.
0 – 20 ha = 1
3 4 12 4 12 2 6 1 3 4 12 4 12
20 – 40 ha = 2
40 – 60 ha = 3
Lebih dari 60
ha = 4
Jarak ke pusat
kota
Terkait dengan
ketersediaan sarana
prasarana terutama
0-2,5 = 4 ;
>2,5-5 = 3; >5-
7,5 = 2; >7,5-
0 – 5 Km = 4
2 4 8 4 8 2 4 2 4 3 6 3 6 5 – 10 Km = 3
10 – 15 Km =
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
39
Daerah Konsep Skala dan Bobot Jepara
(Kedung)
Jepara
(Kem-
bang
Keling)
Kudus
(Dawe)
Kudus
(Jekulo)
Pati (Bata-
ngan)
Pati
(Margorejo)
Kriteria Definisi Skala Rescaling Bobot S Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS)
jaringan listrik dan
telepon. Jarak 10 km
adalah jarak
maksimal, artinya
jarak ideal.
10 = 1 2
15 – 20 Km =
1
Orientasi lokasi
Aksesibilitas dan
ketersediaan tenaga
kerja (Urgent)
Semakin
aksesabel
tenaga kerja
dan sarana
maka semakin
tinggi nilai
skala
Sangat
potensial: 4
Potensial:3
Cukup
potensial: 2
Kurang
potensial:1
2 4 8 4 8 3 6 3 6 4 8 4
8
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
40
Daerah Konsep Skala dan Bobot Jepara
(Kedung)
Jepara
(Kem-
bang
Keling)
Kudus
(Dawe)
Kudus
(Jekulo)
Pati (Bata-
ngan)
Pati
(Margorejo)
Kriteria Definisi Skala Rescaling Bobot S Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS)
Jarak terhadap
sumber air
Semakin dekat
semakin baik, cukup
vital.
Skala
menurun,
Semakin
dekat dengan
sungai dan
sumber air
maka nilai
skala semakin
besar.
0 – 2 Km: 4
2 – 4 Km: 3
4 – 6 Km: 2
Lebih dari 6
Km: 1
2 4 8 4 8 4 8 4 8 3 6 3 6
Jaringan fasilitas
dan prasarana
Meliputi tiga
komponen: jaringan
listrik; Jaringan
Telepon dan
Semakin
dekat dengan
jaringan
fasilitas maka
Tidak ada
semua: 1
Ada 1 dari 3: 2
Ada 2 dari 3: 3
1 3 3 3 3 4 4 3 3 4 4 4 4
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
41
Daerah Konsep Skala dan Bobot Jepara
(Kedung)
Jepara
(Kem-
bang
Keling)
Kudus
(Dawe)
Kudus
(Jekulo)
Pati (Bata-
ngan)
Pati
(Margorejo)
Kriteria Definisi Skala Rescaling Bobot S Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS)
Pelabuhan. Dengan
asumsi setiap
kabupaten memiliki
potensi orientasi
lokasi (poin 1) yang
sama maka bobot
diberi angka 1 (Cukup
Urgent)
nilai skala
semakin besar
Ada semua: 4
Jaringan jalan
yang melayani
Asumsi: semua
daerah memiliki
kondisi jaringan jakan
yang sama. Bobot 1
Semakin baik
dan tersedia
jaringan jalan
yang melayani
maka nilai
Tidak ada
jalan: 1
Jalan desa: 2
Jalan
kabupaten: 3
1 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
42
Daerah Konsep Skala dan Bobot Jepara
(Kedung)
Jepara
(Kem-
bang
Keling)
Kudus
(Dawe)
Kudus
(Jekulo)
Pati (Bata-
ngan)
Pati
(Margorejo)
Kriteria Definisi Skala Rescaling Bobot S Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS)
skala semakin
besar
Jalan provinsi:
4
Multiplier effect
Dampak ekonomi,
sosial dan lingkungan
diasumsikan sama.
Bobot 1
Semakin
tinggi efek
multipliernya
maka semakin
tingginilai
skala
Sangat besar:
4
Besar : 3
Cukup besar:
2
Kecil: 1
1 4 4 4 4 3 3 4 4 3 3 3 3
Topografi
Topografi setiap
daerah diasumsikan
sama, tidaka ada
Semakin
besar
kemiringan
0 – 5% : 4
5 – 10%: 3
10 – 15%: 2
1 4 4 4 4 3 3 3 3 4 4 4 4
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
43
Daerah Konsep Skala dan Bobot Jepara
(Kedung)
Jepara
(Kem-
bang
Keling)
Kudus
(Dawe)
Kudus
(Jekulo)
Pati (Bata-
ngan)
Pati
(Margorejo)
Kriteria Definisi Skala Rescaling Bobot S Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS)
perbedaan signifikan.
Biaya olah lahan
diasumsikan sama
pula sehingga bobot 1
tanah maka
semakin
rendah nilai
skala
Lebih dari
15%: 1
Kondisi lahan
Faktor kesuburan dan
daya dukung lahan.
Jika lahan untuk
industri maka kedua
faktor tersebut
diasumsikan tidak
berbeda secara
signifikan untuk
Semakin
sesuai kondisi
lahan dengan
peruntukan
semakian
besar nilai
skala
Daerah
longsor: 1
Rawan
longsor: 2
Cukup rawan:
3
Stabil: 4
1 4 4 4 4 3 3 3 3 4 4 4 4
setiap daerah. Bobot 1
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
44
Daerah Konsep Skala dan Bobot Jepara
(Kedung)
Jepara
(Kem-
bang
Keling)
Kudus
(Dawe)
Kudus
(Jekulo)
Pati (Bata-
ngan)
Pati
(Margorejo)
Kriteria Definisi Skala Rescaling Bobot S Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS) S
Skor
(BxS)
Pola tata guna
lahan
Asumsi: semua
daerah memiliki
kondisi laahan yang
sama sebagai
peruntukan industri.
Semakin
sesuai pola
tata guna
lahan dengan
peruntukan
semakian
besar nilai
skala
0 – 1Km: 1
1 – 2Km: 2
2 – 3Km: 3
Lebih dari
3Km :4
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
SKOR TOTAL 74 74 48 51 61 58
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
45
Kolom definisi merupakan definisi konsep dasar dari masing-masing kriteria sesuai dengan
Pedoman Teknis Kawasan Industri yang ditetapkan oleh Pemerintah. Definisi konsep memberi arahan
untuk penetapan konsep skala (kolom skala) dan bobot. Konsep skala merupakan dasar pijakan bagai
penetapan operasionalisasi skala (rescalling). Selanjutnya, bobot merupakan rasionalisasi dari definisi
masing-masing kriteria dengan nilai pembobotan sebegai berikut:
Bobot 3 : Sangat Urgen
Bobot 2 : Urgen
Bobot 1 : Cukup Urgen
Skor yang diperoleh merupakan hasil perkalian antara bobot yang telah ditetapkan dengan nilai
yang diperoleh dari hasil survey. Dengan berpedoman pada kuesioner (lihat lampiran) maka diperoleh
nilai empirik hasil survey. Secara sederhana, skor yang tinggi dapat diintepretasikan sebagai berikut:
Daerah yang memiliki skor yang tinggi merupakan daerah yang memiliki potensi pengembangan
kawasan industri yang relatif lebih baik daripada daerah lainnya yang memiliki skor lebih
rendah.
Berdasarkan pada skor total pada Tabel 1 maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Kabupaten Jepara memiliki potensi pengembangan kawasan industri yang lebih tinggi
dibandingkan dua daerah lainnya, Kabupaten Kudus dan Kabupaten Pati. Di Jepara terdapat dua
daerah kawasan peruntukan industri, yaitu Kedung dan Kembang Keling, dan keduanya memiliki
potensi yang sama dengan skor total 74.
Kabupaten Pati, terutama Batangan relatif lebih baik dibanding kabupaten Kudus. memiliki
potensi pengembangan kawasan industri yang sama dengan kabupaten Kudus.
Berdasarkan pada perhitungan skor dari faktor Sangat Urgen (bobot 3), maka dapat ditabulasi
ulang sebagai berikut:
Table 4.2 Perhitungan Skor Potensi Pengembangan Kawasan Industri Berdasar Faktor Sangat
Urgen
Daerah Kabupaten/Kota
Jepara Kudus Pati
Skor
Total
Kedung: 30
Kembang Keling ; 30
Dawe : 12
Jekulo : 15
Batangan : 21
Margorejo : 18
Analogi dengan Tabel 1, maka berdasarkan Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa daerah yang
memiliki potensi pengembangan kawasan industri berturut tutur adalah sebagai berikut:
Peringkat 1 : Kabupaten Jepara
Peringkat 2 : Kabupaten Pati
Peringkat 3 : Kabupaten Kudus
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
46
4.3 ANALISIS INFERENSIAL PELUANG DAERAH KAWASAN INDUSTRI
Jika dilihat dari aspek pemusatan data (dalam hal ini rata-rata), maka guna mengembangkan
sebuah prediksi berdasar data sampel diperoleh hasil analisis ANOVA untuk menguji signifikansi
perbedaan rata-rata sampel. Hassil pengujian ANOVA ditunjukkan pada Tabel 3 berikut ini:
Tabel 4.3 Uji Beda Rata-rata Skor Peluang Pengembangan Kawasan Industri
Berdasarkan pada Tabel 3 di atas, dapat ditunjukkan bahwa Kabupaten Jepara memiliki rata-rata
skor yang paling tinggi. Ketiga kabupaten secara statistik inferesial memiliki perbedaan rata-rata
peluang yang signifikan. Artinya, ditinjau dari aspek rata-rata skor potensi pengembangan kawasan
industri, ketiga daerah memiliki peluang yang berbeda secara signifikan, dengan urutan peluang dari
yang paling tinggi ke yang paling rendah adalah: Jepara, Pati dan Kudus.
Meskipun demikian, factor diluar teknis, seperti aspek politik, motivasi daerah, keputusan pusat,
dana rencana pengembangan kota kabupaten perlu dipertimbangkan. Diperlukan studi lanjutan yang
terkait dengan kesiapan daerah, daya tarik investasi, dan kesiapan pembiayaan untuk meformulasikan
kebijakan lanjutan.
Difference Betwen Mean dan Sigifikansi Kesimpulan
Kab Jepara Kudus Pati Jepara memiliki rata-rata skor
yang paling tinggi. Rata-rata
skor Kabupaten Jepara
berbeda secara signifikan
dengan dua daerah lainnya,
Kudus dan Pati, dengan
signifikansi masing-masing
0,002 dan 0,007. Pati relatif
lebih baik daripada kudus
dengan skor yang lebih tinggi
10 poin dengan tingkat
signifikansi 0,021.
(I-J) Sig (I-J) Sig (I-J) Sig
Jepara 24,5 0,002 14,5 0,007
Kudus -24,5 0,002 -10,0 0,021
Pati -14,5 0,007 10 0,021
Rata-rata 74 49,5 59,5
Levene Test : F=101,167; Sig 0,002
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
47
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 KESIMPULAN
Memperhatikan pada Diskusi dan Pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Daerah Wanarakuti memiliki tingkat perbedaan yang signifikan. Berdasarkan analisis
Kabupaten Jepara sangat memenuhi kriteria teknis sebagai lokasi KI/KPI.
Calon-calon lokasi untuk dijadikan KI/KPI pada wilayah Wanarakuti adalah sebagai berikut:
Pati Batangan dan Margorejo; Kudus Dawe dan Jekulo
Jepara Kembang Keling dan Kedung
2. Berdasarkan analisis dari aspek teknis, Kabupaten Jepara memiliki peluang tinggi sebagai
lokasi kawasan industri dibanding dengan Kabupaten pati dan Kudus.
3. Wilayah Wanarakuti memiliki potensi sebagai berikut, yaitu :
No. Kelompok Industri Jenis
Industri
Purwomanggung
Juwana Jepara Kudus Pati
1.
Industri pertambangan
dan penggalian lainnya Garam
Berpotensi
(sesuai
RPIP)
Berpotensi
dan sesuai
RPIP
2. Industri Makanan
Pengolahan
ikan
Sesuai
RPIP
Berpotensi
dan sesuai
RPIP
Tepung
berbasis ubi
kayu
Berpotensi
dan sesuai
RPIP
Berpotensi
dan sesuai
RPIP
Gula
berbasis
tebu, aren
dan kelapa
Berpotensi
dan sesuai
RPIP
Berpotensi
dan sesuai
RPIP
Kopi Berpotensi
3. Industri pengolahan
tembakau
Produk
olahan
tembakau
Berpotensi
dan sesuai
RPIP
Berpotensi
dan sesuai
RPIP
Berpotensi
dan sesuai
RPIP
4. Industri tekstil Produk
tekstil
Berpotensi
dan sesuai
RPIP
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
48
No. Kelompok Industri Jenis
Industri
Purwomanggung
Juwana Jepara Kudus Pati
5. Industri pakaian jadi Produk
pakaian jadi
Berpotensi
dan sesuai
RPIP
6. Industri kulit, barang
dari kulit dan alas kaki
Produk kulit
dan alas kaki
Berpotensi
dan sesuai
RPIP
7.
Industri Kayu,
Barang Dari Kayu
Dan Gabus (Tidak
Termasuk Furnitur)
Dan Barang
Anyaman Dari
Bambu, Rotan Dan
Sejenisnya
Industri kayu,
barang dari
kayu dan
gabus
Berpotensi
dan sesuai
RPIP
Berpotensi Sesuai
RPIP
Pengolahan
kayu Berpotensi Berpotensi
Industri
barang
anyaman
dari bamboo,
rotan dan
sejenisnya
Berpotensi
dan sesuai
RPIP
Berpotensi
8.
Industri Bahan
Kimia Dan Barang
Dari Bahan Kimia
Industri
Pupuk
Berpotensi
dan sesuai
RPIP
10.
Industri Farmasi,
Produk Obat Kimia
Dan Obat Tradisional
Industri
Jamu Berpotensi
11. Industri Logam
Dasar
Industri
Pengolahan
Logam
Berpotensi
dan sesuai
RPIP
12.
Industri Barang
Galian bukan Logam
Lainnya
Industri
Genteng Berpotensi
Industri
Batubata
Berpotensi
13.
Industri Komputer,
Barang Elektromika
Dan Optik
Industri
Elektronika
Berpotensi
dan sesuai
RPIP
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
49
No. Kelompok Industri Jenis
Industri
Purwomanggung
Juwana Jepara Kudus Pati
14.
Industri Kendaraan
Bermotor, Trailer
Dan Semi Trailer
Industri
Karoseri
Berpotensi
dan sesuai
RPIP
15. Industri Alat
Angkutan Lainnya
Industri
Komponen
Otomotif
Berpotensi
dan sesuai
RPIP
16. Industri Furnitur Produk
furnitur
Berpotensi
dan sesuai
RPIP
Berpotensi
dan sesuai
RPIP
17. Industri Pengolahan
Lainnya
Industri Alat
Kesehatan Berpotensi
Industri
Pakan
berbasis
Sumber daya
Lokal
Berpotensi
dan sesuai
RPIP
18.
Aktivitas Produksi
Gambar Bergerak,
Video Dan Program
Televisi, Perekaman
Suara Dan
Penerbitan Musik
Industri
Piranti Lunak
dan
Konten
Multimedia
Berpotensi
dan sesuai
RPIP
Berpotensi
5.2 REKOMENDASI
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan dapat direkomendasikan sebagai berikut:
1. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melakukan pembinaan monitoring evaluasi dan
pengawasan dalam penyusunan dan pelaksanaan Pelaksanaan Perda RPIK (Rencana
Pembangunan Industri Kabupaten/kota), sebagai bagian dari amanah Perda RPIP Jawa
Tengah.
2. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah memberikan informasi dan sosialisasi tentang
produk-produk unggulan yang dimiliki masing-masing daerah dan tentang mekanisme
investasi di wilayah terkait.
3. Diperlukan studi lanjutan untuk menganalisis faktor diluar teknis yang turut menentukan
peluang dan penetapan kawasan industri (Penetapan nilai investasi kawasan industri dan
Feasibility study).
Penyusunan Kajian Pengembangan dan Penyiapan Kewilayahan Investasi di Wilayah Wanarakuti
50
DAFTAR PUSTAKA
1. Undang - Undang Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perindustrian.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri
Nasional Tahun 2015-2035.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2016 tentang Kawasan Industri.
4. Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Berusaha.
5. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 40/M-Ind/Per/7/2016 tentang Pedoman Teknis
Pembangunan Kawasan Industri.
6. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 64/M-Ind/Per/7/2016 tentang Besaran Jumlah Tenaga
Kerja dan Nilai Investasi (Klasifikasi Usaha Industri).
7. Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2017 tentang Rencana Pembangunan Industri
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017-2037.