profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

50
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah penting bagi kesehatan karena merupakan salah satu penyebab utama kematian. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara-negara berkembang (WHO, 2009). Data terbaru yang dikeluarkan WHO pada bulan Maret 2009 dalam Global TB Control Report 2009, menunjukkan bahwa pada tahun 2008, prevalensi TB dunia adalah 5-7 juta kasus, baik kasus baru maupun kasus relaps. Dari prevalensi ini, 2,7 juta diantaranya adalah kasus basil tahan asam (BTA) positif baru, dan 2,1 juta kasus BTA (-) baru. Tuberkulosis di Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia setelah India dan Cina (Depkes RI, 2006). Menurut WHO dalam Global TB Control Report (2009), prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2008 adalah 296.514 ribu kasus baru maupun relaps. Angka insidensi kasus baru BTA positif TB di Indonesia berdasarkan hasil survei Depkes RI tahun 2007 pada 33 propinsi adalah 104 per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2008). Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Menurut laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007 dalam Depkes RI (2009), menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor dua setelah penyakit kardiovaskuler (stroke) pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Pada tahun 2008, angka temuan kasus baru (Case Detection Rate/CDR) di Indonesia sebesar 72,8% atau didapati 166.376 penderita baru dengan BTA positif. Angka kesembuhannya (Success Rate/SR) 89%. Hal ini melampaui target global,

Transcript of profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

Page 1: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah penting bagi kesehatan karena

merupakan salah satu penyebab utama kematian. Diperkirakan sekitar sepertiga

penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Diperkirakan 95%

kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara-negara

berkembang (WHO, 2009).

Data terbaru yang dikeluarkan WHO pada bulan Maret 2009 dalam Global TB

Control Report 2009, menunjukkan bahwa pada tahun 2008, prevalensi TB dunia

adalah 5-7 juta kasus, baik kasus baru maupun kasus relaps. Dari prevalensi ini, 2,7

juta diantaranya adalah kasus basil tahan asam (BTA) positif baru, dan 2,1 juta kasus

BTA (-) baru.

Tuberkulosis di Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia setelah India dan

Cina (Depkes RI, 2006). Menurut WHO dalam Global TB Control Report (2009),

prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2008 adalah 296.514 ribu kasus baru maupun

relaps. Angka insidensi kasus baru BTA positif TB di Indonesia berdasarkan hasil

survei Depkes RI tahun 2007 pada 33 propinsi adalah 104 per 100.000 penduduk

(Depkes RI, 2008). Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 10% dari

total jumlah pasien TB di dunia. Menurut laporan Riset Kesehatan Dasar

(RISKESDAS) pada tahun 2007 dalam Depkes RI (2009), menunjukkan bahwa

penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor dua setelah penyakit

kardiovaskuler (stroke) pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan

penyakit infeksi.

Pada tahun 2008, angka temuan kasus baru (Case Detection Rate/CDR) di

Indonesia sebesar 72,8% atau didapati 166.376 penderita baru dengan BTA positif.

Angka kesembuhannya (Success Rate/SR) 89%. Hal ini melampaui target global,

Page 2: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

2

yaitu CDR 70% dan SR 85% (Depkes RI, 2009). Sumatera Utara menduduki

peringkat kelima dalam CDR TB paru menurut provinsi tahun 2008 (63,7%) setelah

Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat (Depkes RI, 2009). Pada tahun

2007 sendiri di Sumatera Utara ditemukan 15.779 penderita TB untuk semua jenis

kasus dan 13.369 diantaranya adalah kasus baru Depkes RI, 2008). Berdasarkan data

kesehatan Depkes RI tahun 2007, di kota Medan terdapat 9.411 kasus dengan gejala

klinis positif TB, 2.367 diobati dengan obat anti tuberkulosis (OAT) dan 1.172 dari

kasus dinyatakan sembuh (49,51%). Data ini mewakili penderita TB yang

mendatangi 14 Puskesmas dan Rumah Sakit di kota Medan (Depkes RI, 2008).

Penyebab paling penting peningkatan TB adalah kemiskinan, ketidakpatuhan

terhadap program, diagnosis dan pengobatan yang tidak adekuat, migrasi, endemik

Human Immunodefisiency Virus (HIV), dan resistensi ganda (Multi Drug

Resistance/MDR) (WHO, 2009). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka

jumlah pasien TB akan meningkat. Menurut data yang dikeluarkan WHO pada bulan

Maret 2009, menunjukkan bahwa pada tahun 2008 angka kematian penderita TB

adalah 1,1-1,7 juta pada penderita TB dengan HIV(-) dan 0,45-0,62 juta pada

penderita TB dengan HIV(+).

Pada tahun 2007 diestimasikan terdapat setengah juta kasus MDR (multi drug

ressistance). Di Indonesia sendiri pada tahun 2007 terdapat 446 kasus yang terbukti

MDR TB (7,5%) (WHO, 2009; USAID/Indonesia 2009). Resistensi obat terjadi

karena buruknya kontrol TB dan adanya beberapa penyakit penyerta yang lain

seperti HIV/AIDS dan diabetes melitus (PDPI, 2006). Menurut penelitian yang

dilakukan Tanjung (1998) terhadap penderita TB Paru sejak Januari 1992 – Desember

1994 di RS Dr. Pirngadi/RS H. Adam Malik Medan, sebanyak 31.65% penderita TB

diikuti oleh penyakit penyerta dan yang paling banyak adalah diabetes mellitus, yaitu

11.7%.

Berdasarkan data-data di atas, masih banyak permasalahan dalam

menanggulangi TB, begitu juga dengan angka kematian yang masih tinggi. Salah satu

penyebab masalah penanggulangan TB di Indonesia adalah terbatasnya data-data

Page 3: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

3

epidemiologi (Aditama, 2002). Sejauh ini, belum didapatkan data yang tersedia dan

akurat mengenai bagaimana profil dari penderita TB yang mendatangi pusat atau

sentra kesehatan seperti RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.2. Rumusan Masalah

Dari permasalahan di atas, dapat dirumuskan masalah penelitan sebagai berikut:

“Bagaimana profil penderita Tuberkulosis Paru di Poliklinik Paru RSUP Haji Adam

Malik Medan pada bulan Maret - September 2010?”

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui profil penderita Tuberkulosis Paru di Poliklinik Paru RSUP Haji

Adam Malik Medan pada bulan Maret - September 2010.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Mengetahui profil sosiodemografi (umur, jenis kelamin, pendidikan,

pekerjaan) pada penderita Tuberkulosis Paru.

2. Mengetahui profil keluhan utama pada penderita Tuberkulosis Paru.

3. Mengetahui profil pemeriksaan hasil sputum (BTA positif, BTA

negatif) pada penderita Tuberkulosis Paru.

4. Mengetahui profil berdasarkan kategori pengobatan pada penderita

Tuberkulosis Paru.

5. Mengetahui profil tuberkulosis ekstraparu pada penderita Tuberkulosis

Paru.

6. Mengetahui profil riwayat penyakit penyerta pada penderita

Tuberkulosis Paru.

7. Mengetahui kejadian MDR (multi drug resistance) pada penderita

Tuberkulosis Paru.

Page 4: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

4

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :

1. Dinas Kesehatan Kota Medan, sebagai bahan masukan yang dapat

dipergunakan sebagai bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan

dalam hal program penanggulangan TB Paru.

2. Tenaga kesehatan, sebagai informasi tambahan dalam membantu

diagnosis dan menemukan kasus baru penderita TB Paru.

3. Peneliti lain, sebagai bahan informasi untuk melakukan penelitian yang

lebih lanjut mengenai TB Paru.

Page 5: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB

(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi

dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes, 2006). Tuberkulosis merupakan

suatu penyakit granulomatosa kronis menular dimana biasanya bagian tengah

granuloma tuberkular mengalami nekrosis perkijuan (Kumar, 2007).

2.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru

Adapun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kejadian tuberkulosis paru

adalah:

1. Umur

Insidensi tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai pada usia dewasa

muda, pada usia produktif, yaitu umur 15 – 44 tahun (Crofton, 2002).

Berdasarkan penelitian kohort Gustafon, et all (2004) terdapat suatu efek dosis

respon, yaitu semakin tua umur akan meningkatkan risiko menderita tuberkulosis

dengan odds rasio pada usia 25-34 tahun adalah 1, 36 dan odds rasio pada

kelompok umur > 55 tahun adalah 4,08. Di Indonesia sendiri diperkirakan 75%

penderita TB paru adalah kelompok usia produktif (Depkes, 2006). Usia yang

lebih tua, melebihi 60 tahun, memiliki 4-5 kali risiko terinfeksi tuberkulosis,

karena adanya defisit imun seiring dengan bertambahnya umur (Rao, 2009).

Namun, berdasarkan penelitian meta analisis Guzman (1999) tidak ada perbedaan

gejala klinis dan evaluasi diagnostik pada penderita TB dengan usia tua (> 60

tahun) dan penderita TB dengan usia muda.

2. Jenis Kelamin

Page 6: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

6

Hampir tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan sampai pada

umur pubertas. Namun, menurut penelitian Gustafon P., et al (2004)

menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai risiko 2,58 kali untuk menderita

tuberkulosis dibandingkan dengan wanita. Mungkin hal ini berhubungan interaksi

sosial. Walaupun insisden tuberkulosis paru pada wanita lebih rendah daripada

pria, perkembangan infeksi TB paru menjadi penyakit TB paru pada wanita lebih

cepat dibandingkan dengan pria (WHO, 2005).

3. Gizi

Terdapat bukti yang jelas bahwa gizi buruk mengurangi daya tahan tubuh

terhadap penyakit tuberkulosis. Faktor ini sangat penting, baik pada orang dewasa

maupun pada anak (Crofton, 2002). Menurut Hernilla, et all. (2006) dalam

Desmon (2006), orang yang menkonsumsi vitamin C lebih dari 90 mg/hari dan

mengkonsumsi lebih dari rata-rata jumlah sayuran, buah-buahan, dan berry,

secara signifikan dapat menurunkan risiko terjadinya penyakit tuberkulosis.

4. Kondisi Lingkungan Rumah

Beberapa hal yang mempengaruhi kondisi lingkungan rumah dalam risiko

kejadian infeksi tuberkulosis adalah kepadatan rumah, intensitas cahaya yang

masuk, dan kelembapan udara (Crofton, 2002).

Persentase rumah tangga di Indonesia yang masih tinggal di rumah yang

padat pada tahun 2004 adalah sebesar 20% (Desmon, 2006). Menurut Dahlan

(2001) dalam Desmon (2006), orang yang tinggal dengan tingkat kepadatan yang

tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko 3,8 kali untuk menderita

tuberkulosis dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan kepadatan hunian

yang memenuhi syarat kesehatan. Menurut Supriyanto (1997) dalam Desmon

(2006), luas lantai yang dibutuhkan oleh 1 orang adalah 8,3 m2.

Intensitas cahaya yang alami, yaitu sinar matahari, sangat berperan dalam

penularan kuman TB karena kuman TB relatif tidak tahan terhadap terhadap sinar

matahari (Depkes, 2006). Menurut Musadad (2006) dalam Desmon (2006), rumah

Page 7: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

7

yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko 3,7 kali untuk menularkan

tuberkulosis dibandingkan dengan rumah yang tidak dimasuki sinar matahari.

Kelembapan udara mempengaruhi pertumbuhan bakteri. Menurut Desmon

(2006) kelembapan udara dipengaruhi oleh ventilasi yang baik, yaitu minimal

10% dari luas lantai. Menurut Mulyadi (2003) dalam Desmon (2006), rumah yang

memiliki kelembapan lebih dari 60% memiliki risiko terkena infeksi tuberkulosis

10,7 kali dibandingkan dengan rumah yang kelembapannya lebih kecil dari 60%.

5. Pendidikan

Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan individu atau

masyarakat dan perilaku terhadap penggunaan/sarana pelayanan kesehatan yang

tersedia. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memanfaatkan pelayanan

kesehatan yang lebih tinggi (Notoatmojo, 1993). Proporsi kejadian TB lebih

banyak terjadi pada kelompok yang mempunyai pendidikan yang rendah, dimana

kelompok ini lebih banyak mencari pengobatan tradisional dibandingkan

pelayanan medis (Desmon, 2006).

6. Pendapatan Keluarga

Pendapatan keluarga merupakan hal yang sangat penting dalam upaya

pencegahan penyakit, karena dengan pendapatan yang cukup maka akan ada

kemampuan menyediakan biaya kesehatan serta mampu menciptakan lingkungan

rumah yang sehat dan makanan yang bergizi (Desmon, 2006). Kemiskinan

memudahkan infeksi tuberkulosis berkembang menjadi penyakit tuberkulosis.

Sembilan puluh persen penderita TB terjadi pada penduduk dengan status

ekonomi rendah dan umumnya terjadi pada negara berkembang termasuk

Indonesia (Crofton, 2002). Menurut Ibupertiwi (2004) dalam Desmon (2006),

orang yang memiliki penghasilan yang rendah memilki risiko 2,4 kali untuk

menderita penyakit TB dibandingkan dengan orang yang memiliki penghasilan

yang tinggi.

Page 8: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

8

7. Riwayat Penyakit Penyerta

Beberapa penyakit penyerta tertentu rentan tertular penyakit tuberkulosis

seperti penderita penyakit HIV/AIDS, hepatitis akut, kelainan hati kronik,

gangguan ginjal, diabetes melitus, dan penderita pengguna kortikosteroid

(Depkes, 2006; Zevitz. 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Tanjung (1998)

mendapatkan bahwa dari 733 penderita TB paru, penderita juga menderita

diabetes melitus 11,7 %, hipertensi 9,28%, kelainan hati 2,7%, kelainan jantung

1,9%, kelainan ginjal 0,9% dan struma 0,4%.

Penderita diabetes melitus memiliki risiko 2-3 kali lebih sering untuk terkena

penyakit tuberkulosis paru. Efek hiperglikemi pada penderita diabetes melitus

sangat berperan terhadap mudahnya pasien diabetes mellitus terkena infeksi

(Crofton, 2002). Pada penderita TB paru dengan diabetes mellitus, kepekaan

terhadap kuman TB meningkat, reaktifitas fokus infeksi lama, cenderung lebih

banyak kavitas dan pada hapusan serta kultur sputum lebih banyak positif (Utami,

2005). Selain itu, pasien dengan TB dengan diabetes melitus memiliki respon

yang rendah terhadap pengobatan OAT dan sering terjadi multi-drug resistant

(Rao, 2009).

Meningkatnya prevalensi HIV/AIDS di Indonesia membawa dampak

peningkatan insidens TB serta masalah TB lainnya, seperti TB milier, TB

ekstraparu, serta MDR-TB. Adanya imunokompromais pada penderita HIV/AIDS

menyebabkan mudahnya penderita tersebut terinfeksi kuman TB dan cepatnya

perkembangan infeksi TB menjadi penyakit TB (Rahajoe & Setyanto, 2008).

2.3. Etiologi

Penyebab tuberkulosis paru adalah Mycobacterium tuberculosis. Mikobakterium

adalah organisme berbentuk batang langsing, tidak berspora, tidak berkapsul, dan

nonmotil yang tahan asam (yaitu mengandung banyak lemak kompleks dan mudah

mengikat pewarna Ziehl-Neelsen dan kemudian sulit didekolorisasi) (Kumar, 2007).

Page 9: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

9

Bakteri M. tuberculosis (MTB) adalah aerob obligat, oleh karena itu, kompleks

MTB sering ditemukan di lobus paru bagian atas. Laju pertumbuhan bakteri ini cukup

lambat, sekitar 15-20 jam, dengan bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih cepat,

berkembang baik pada suhu 22-230C (Todar, 2009; Jawetz, 1996).

2.4. Cara Penularan

Sumber penularan infeksi Mycobacterium tuberculosis adalah pasien TB dengan

BTA positif. Penularan ini terjadi secara inhalasi, yaitu bila pasien tersebut batuk atau

bersin, pasien akan menyebarkan kuman udara dalam bentuk percikan dahak (droplet

nuclei). Sekali penderita TB BTA (+) batuk, akan dapat menghasilkan sekitar 3000

percikan dahak (Depkes RI, 2006).

Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam

waktu yang lama. Percikan ini dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan

ruangan yang gelap dan lembab. Sedangkan ventilasi yang baik, akan dapat

mengurangi jumlah percikan, dan sinar matahari langsung dapat membunuh kuman

TB (Depkes RI, 2006).

2.5. Patogenesis Tuberkulosis Paru

2.5.1 Tuberkulosis Primer

Tuberkulosis primer merupakan bentuk penyakit yang terjadi pada orang yang

belum pernah terpajan kuman TB, dengan sumber organisme adalah eksogen (Kumar,

2007). Tiga ribu droplet nuclei akan dikeluarkan oleh pasien TB dengan BTA (+)

yang sedang batuk dan berbicara selama 5 menit. Droplet nuclei ini dapat terinhalasi

oleh orang-orang yang ada disekitar penderita ini, sampai kejauhan sekitar 3m. Satu

droplet nuclei mengandung 3 basil tuberkulosis (Todar, 2009).

Ukuran basil tuberkulosis yang kecil (<5µm), kuman TB yang ada dalam droplet

nuclei yang terhirup, dapat menembus sistem mukosilier saluran napas sehingga

dapat mencapai dan bersarang di bronkus dan alveoli. Oleh karena itu, paru

merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB (Todar 2009).

Page 10: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

10

Infeksi tuberkulosis dimulai saat kuman TB sudah memasuki alveolus. Pertama

kali, kuman akan menghadapi neutrofil yang mengontrol penyebaran infeksi melalui

produksi kemokin yang merupakan faktor kemotaktik, menginduksi pembentukan

granuloma, dan mengarahkan molekul mikrobakteria ke makrofag. Kebanyakan

partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag, keluar dari percabangan

trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya (Amin, 2007). Sebagian

kuman TB dapat bertahan hidup dengan cara menghambat pembentukan enzim-enzim

pencernaan makrofag (Andreoli, 1997; Palomino 2007).

Fase terdini pada tuberkulosis primer (<3 minggu) pada orang yang belum

tersensitisasi ditandai dengan proliferasi basil tanpa hambatan di dalam makrofag

alveolus dan rongga udara. Pada tahap ini, sebagian besar pasien asimptomatik atau

mengalami gejala seperti flu (Kumar, 2007). Kuman yang bersarang di jaringan paru

ini akan membentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer

atau fokus Ghon. Fokus Ghon merupakan suatu daerah konsolidasi peradangan abu-

abu putih sebesar 1-1,5 cm (Amin, 2007).

Basil tuberkel, baik dalam bentuk bebas maupun dalam fagosit, akan menyebar

melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional. Penyebaran ini menyebabkan

respon inflamasi yang terjadi pada saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe

(limfadenitis) yang terkena. Gabungan antara fokus primer (fokus Ghon), limfangitis,

dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (kompleks Ghon).

Pada proses ini terbentuk formasi tuberkel. Bagian tengah dari tuberkel ini

memiliki karakteristik, yaitu adanya nekrosis kaseosa yang konsistensinya semi-solid

atau seperti keju. Pada bentuk tuberkel ini, kuman TB tidak dapat bermultiplikasi

karena rendahnya pH dan lingkungan yang anoksik pada tuberkel. Walaupun

demikian, kuman TB dapat bertahan hidup dorman pada tuberkel ini selama

bertahun-tahun namun tidak menimbulkan gejala sakit TB (Todar, 2009).

Dapat disimpulkan bahwa kompleks primer yang terbentuk pada tuberkulosis

primer dapat menjadi:

Page 11: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

11

1. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Hal ini terjadi karena terbentuknya

reaksi hipersensitivitas dan resistensi. Ada beberapa bukti klinis dimana

kebanyakan orang yang diinfeksi oleh basilus tuberkel (90%) tidak mengalami

penyakit ini selama hidupnya (Palomino, 2007; Kumar, 2007).

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, dan

kalsifikasi di hilus. Keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya lebih

dari 5 mm dan kurang lebih 10% diantaranya terdapat reaktivasi lagi karena kuman

yang dorman (Amin, 2007).

3. Berkomplikasi dan menyebar secara progresif, bronkogen pada paru yang

bersangkutan maupun pada paru disebelahnya, secara limfogen dan hematogen ke

organ tubuh lainnya (Amin, 2007).

Menurut Kumar (2007), insidensi tuberkulosis primer progresif sangat tinggi

pada pasien positif HIV dengan derajat imunosupresi lanjut (hitung CD4+ < 200

sel/mm3).

2.5.2. Tuberkulosis Sekunder

Tuberkulosis sekunder adalah pola penyakit yang berkembang pada host yang

dahulunya sudah tersensitisasi. Biasanya (90%) dihasilkan dari reaktivasi (reinfeksi)

lesi primer dorman setelah beberapa dekade (Halim, 1998). Menurut Amin (2007)

tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas yang menurun seperti malnutrisi,

alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS dan gagal ginjal. Lokasinya biasanya pada

bagian apeks dari satu atau kedua lobus paru, dimana berkaitan dengan tingginya

tegangan oksigen di apeks sehingga membantu kuman TB untuk tumbuh dengan baik

(Crofton, 2002 ; Kumar 2007).

Menurut Amin (2007), sarang dini dapat menjadi beberapa hal, tergantung dari

jumlah kuman, virulensinya, dan imunitas pasien, sarang dini dapat menjadi:

1. Direabsorbsi kembali tanpa meninggalkan cacat.

2. Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera sembuh dengan serbukan jaringan

fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran.

Page 12: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

12

Sarang dini meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat

sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek dan

membentuk suatu jaringan perkejuan (nekrosis kaseosa). Bila jaringan dibatukkan

keluar, maka akan terbentuk kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-

lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblast dalam jumlah besar,

sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik).

Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang, yakni (Amin, 2007):

1. Sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi.

2. Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap dan

sempurna.

3. Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh

spontan, tetapi mengingat kemungkinan terjadinya eksaserbasi, sebaiknya diberi

pengobatan yang lengkap dan sempurna.

2.6. Klasifikasi Tuberkulosis Paru

Menurut PDPI (2006), terdapat beberapa klasifikasi TB paru, yaitu :

1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)

a. Tuberkulosis paru BTA (+), yaitu:

• Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA

positif.

• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan

kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan

biakan positif.

b. Tuberkulosis paru BTA (-), yaitu:

• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis

dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.

Page 13: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

13

• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan

M.tuberculosis positif.

2. Berdasarkan tipe pasien

Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada

beberapa tipe pasien yaitu:

a. Kasus baru

Yaitu pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau

sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan.

b. Kasus kambuh (relaps)

Yaitu pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan

tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian

kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau

biakan positif.

c. Kasus defaulted atau drop out

Yaitu pasien yang telah menjalani pengobatan ≥ 1 bulan dan tidak mengambil

obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

d. Kasus gagal

Yaitu pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi

positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau

akhir pengobatan.

e. Kasus kronik

Yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai

pengobatan ulang dengan kategori 2 dan dengan pengawasan yang baik.

f. Kasus Bekas TB

• Hasil pemeriksaan BTA negatif dan gambaran radiologi paru menunjukkan

lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang

menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.

Page 14: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

14

• Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat

pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan

gambaran radiologi.

2.7. Diagnosis Tuberkulosis Paru

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan penunjang

lainnya.

2.7.1. Gejala Klinis

Gejala klinis dari tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala

respiratorik dan gejala sistemik.

2.7.1.1. Gejala Respiratorik

1. Batuk ≥ 2 minggu

2. Batuk darah

3. Sesak napas

4. Nyeri dada, timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura.

Gejala respiratorik sangat bervariasi, mulai dari tidak ada gejala sampai gejala

yang cukup berat, tergantung dari luas lesi. (PDPI, 2006).

2.7.1.2. Gejala sistemik

1. Demam

2. Gejala sistemik lain, seperti malaise, keringat malam, anoreksia dan berat

badan menurun.

(PDPI, 2006 ; Amin, 2007).

2.7.2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan

pucatnya konjungtiva mata atau kulit pucat karena anemia, suhu demam subfebril,

badan kurus atau berat badan menurun (Amin, 2007).

Page 15: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

15

Tempat kelainan lesi tuberkulosis paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks

paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas maka didapatkan perkusi yang

redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan ditemukan juga suara napas

tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh

penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikular melemah (Alsagaff, 1989).

Pada keadaan konsolidasi dan fibrosis meningkatkan penghantaran getaran

sehingga pada palpasi didapati stem frenitus meningkat serta pada auskultasi suara

napas menjadi bronkovesikuler atau bronkhial. Bila tuberkulosis mengenai pleura,

sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam

pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara lemah

sampai tidak terdengar sama sekali (Halim, 1998).

2.7.3. Pemeriksaan Bakteriologik

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan

pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan

diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan

dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS)

(Depkes RI, 2006).

Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lainnya (cairan

pleura, CSF, bilasan bronkus, bilasan lambung, urin, feses, dan jaringan biopsi dapat

dilakukan dengan cara mikroskopis dan biakan (PDPI, 2006).

Pemeriksaan mikroskopis dengan menggunakan pewarnaan Ziehl-Nielssen,

sedangkan pemeriksaan biakan dengan menggunakan Egg Base Media Lowenstein-

Jensen atau Ogawa (PDPI, 2006).

2.7.4. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi adalah pemeriksaan yang sensitif tapi tidak spesifik untuk

mendiagnosa suatu tuberkulosis aktif (Barker, 2009). Beberapa pembagian kelainan

yang dapat digunakan pada foto Rontgen adalah:

Page 16: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

16

1. Sarang berbentuk awan dengan densitas rendah atau sedang dan batas tidak

tegas. Sarang-sarang seperti ini biasanya menunjukkan bahwa proses aktif.

2. Lubang (kavitas) selalu berarti proses aktif kecuali bila lubang sudah sangat

kecil yang dinamakan lubang sisa (residual cavity).

3. Sarang seperti garis-garis (fibrotik) atau bintik-bintik kapur yang

menunjukkan bahwa proses telah tenang (Rasad, 2008).

Indikasi pemeriksaan foto toraks

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan

pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun

pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi

sebagai berikut (Depkes RI, 2006):

1. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini

pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru

BTA positif.

2. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS

pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan

setelah pemberian antibiotika non OAT.

3. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang

memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotoraks, pleuritis eksudatif,

efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis

berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya

kuman TB (BTA) pada 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu-pagi-

sewaktu (SPS). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan

dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,

biakan, dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang

sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan

Page 17: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

17

pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang

khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis (Depkes RI, 2006).

2.8. Pengobatan Tuberkulosis Paru

2.8.1. Tujuan Pengobatan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,

mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya

resistensi kuman terhadap OAT (Depkes RI, 2006).

2.8.2. Prinsip pengobatan

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut

(Depkes RI, 2006):

1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam

jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan (Todar,

2009). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT – KDT) lebih

menguntungkan dan sangat dianjurkan.

2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan

langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas

Menelan Obat (PMO).

3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

A. Tahap Intensif (2-3 bulan)

1. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi

secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

2. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien

menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

3. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam

2 bulan.

4. Obat yang diberikan ada 4 jenis obat, yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamide,

dan etambutol (HRZE) (Barker, 2009).

Page 18: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

18

B. Tahap Lanjutan (4-7 bulan)

1. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam

jangka waktu yang lebih lama.

2. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah

terjadinya kekambuhan.

3. Obat-obatan yang diberikan adalah isoniazid dan rifampisin (HR) (Barker,

2009).

2.8.3. Panduan Obat Antituberkulosis (OAT)

Pengobatan tuberkulosis dapat dibagi menjadi beberapa bagian, sesuai dengan

kategorinya (PDPI, 2006):

1. Kategori 1

a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks terdapat lesi luas.

b. Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/4 RH atau 2 RHZE/6 HE atau 2

RHZE/4R3H3

2. Kategori 2

a. TB paru kasus kambuh. Panduan obat yang dianjurkan :

• 2 RHZES/1 RHZE sebelum ada hasil uji resistensi.

• Bila hasil uji resistensi telah ada, berikan obat sesuai dengan hasil uji

resistensi.

b. TB Paru kasus gagal pengobatan. Panduan obat yang dianjurkan adalah:

• Obat lini 2 sebelum ada hasil uji resistensi (contoh: 3-6 bulan kanamisin,

ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin,

etionamid, sikloserin).

• Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2 RHZES/1

RHZE.

• Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi.

• Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5 RHE.

Page 19: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

19

c. TB Paru kasus putus berobat.

• Berobat ≥ 4 bulan

- BTA saat ini negatif. Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan

maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan

analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan

mempertimbangkan juga kemungkinan panyekit paru lain. Bila terbukti TB

maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat

dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1 RHZE /

5R3H3E3).

- BTA saat ini positif. Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat

yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.

• Berobat ≤ 4 bulan

- Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang

lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1

RHZE / 5R3H3E3).

- Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif, pengobatan

diteruskan.

3. Kategori 3

a. TB paru (kasus baru), BTA negatif atau pada foto toraks terdapat lesi minimal.

b. Paduan obat yang diberikan adalah 2 RHZE / 4 R3H3

4. Kategori 4

a. TB Paru kasus kronik. Paduan obat yang dianjurkan:

• Bila belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES.

• Bila telah ada hasil uji resistensi, berikan sesuai hasil uji resistensi (minimal

OAT yang sensitif ditambah obat lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan).

b. MDR-TB, paduan obat yang dianjurkan sesuai dengan uji resistensi ditambah

OAT lini 2 atau H seumur hidup.

Page 20: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

20

2.9. Multi-Drug Resistant (MDR)

Multi-drug resistant tuberculosis adalah resistensi obat terhadap obat anti

tuberkulosis (OAT) isoniazid dan rifampisin, dengan atau tanpa resistensi terhadap

OAT lainnya (Prasad, 2005). MDR-TB menyebabkan penyakit TB paru menjadi

sangat fatal dan mematikan, (terutama terjadi pada pasien TB dengan HIV), dengan

perkiraan terjadinya kematian 2-7 bulan setelah terinfeksi (Bang, 2009).

MDR-TB dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu primary dan acquired. Tipe

primary disebabkan karena penderita tidak diobati dengan OAT sebelumnya,

sedangkan tipe acquired disebabkan karena adanya pengobatan kemoterapi pada

penderita TB paru. Terdapat tiga faktor risiko penting yang mempengaruhi kejadian

MDR-TB, yaitu: 1) pengobatan dengan OAT yang tidak sesuai; 2) pengobatan

dengan OAT yang tidak lengkap; dan 3) adanya kontak dengan komunitas penderita

TB yang memiliki prevalensi resistensi obat yang tinggi. Faktor risiko lain yang

berperan adalah ko-infeksi HIV, sosioekonomi rendah, hidup di penjara,

penyalahgunaan obat intravena, dan keadaan-keadaan imunokompromais seperti

pasien tranplantasi, pasien dengan terapi anti-kanker, HIV/AIDS, dan diabetes

mellitus (Prasad, 2005).

Pengobatan dengan OAT yang lengkap (kombinasi isoniazid, rifampisin,

pirazinamid, dan etambutol) selama 6-9 bulan adalah salah satu pencegahan yang

utama MDR-TB. Bila MDR-TB telah terjadi, maka penatalaksanaan yang harus

dilakukan adalah memberikan OAT lini kedua seperti levofloksasin, aminoglikosida,

pirazinamid, etambutol, dan tioamida untuk jangka waktu yang lama, yaitu 18-24

bulan, dengan efek samping yang lebih lama dan biaya yang lebih mahal (Prasad,

2005).

2.10. Tuberkulosis Ekstraparu

Tuberkulosis ekstraparu yang banyak ditemukan adalah tuberkulosis kelenjar,

skrofuloderma, tuberkulosis pleura, meningitis tuberkulosis, tuberkulosis tulang, dan

tuberkulosis abdomen. Tuberkulosis ekstrapulmonal biasanya sekunder terhadap

Page 21: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

21

penyakit TB paru, akibat penyebaran limfo-hematogen, tetapi juga bisa akibat

penyebaran lesi primer (Rahajoe & Setyanto, 2008)

2.10.1. Tuberkulosis Kelenjar Limfe Superfisialis

Limfadenitis biasanya merupakan komplikasi dini TB primer, umumnya terjadi

dalam 6 bulan pertama setelah infeksi. Sebagian besar infeksi kelenjar limfe

superfisialis terjadi akibat penyebaran limfogen dan hematogen (Rahajoe & Setyanto,

2008 ; Baker, 2009).

Manifestasi klinis sering terjadi di kelenjar leher, kemudian lebih sedikit di daerah

aksila dan inguinal.

2.10.2. Tuberkulosis Pleura

Efusi pleura adalah penumpukan abnormal cairan di dalam rongga pleura. Efusi

pleura dan pleuritis biasanya merupakan komplikasi dini TB primer dan sering terjadi

pada anak-anak. Efusi pleura TB dapat ditemukan dalam dua bentuk, yaitu serosa dan

empiema (Rahajoe & Setyanto, 2008 ; Baker 2009).

Pleuritis TB biasanya bermanifestasi sebagai penyakit demam akut yang disertai

dengan batuk produktif, nyeri dada, penurunan berat badan dan malaise (Baker,

2009).

2.10.3. Tuberkulosis tulang

Insidens tuberkulosis tulang dan sendi berkisar 1-7% dari seluruh tuberkulosis.

TB tulang belakang merupakan kejadian tertinggi diikuti sendi panggul dan juga

sendi lutut. Umumnya TB tulang mengenai satu tulang. TB pada tulang belakang

dikenal sebagai spondilitis tuberkulosis, TB pada panggul disebut koksitis

tuberkulosis, sedangkan pada sendi lutut disebut gonitis tuberkulosis (Rahajoe &

Setyanto, 2008).

Gejala spesifik yang timbul pada tuberkulosis tulang adalah bengkak, kaku,

kemerahan, dan nyeri pada pergerakan. Kelainan pada tulang belakang disebut

Page 22: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

22

gibbus, yang menampakkan gejala benjolan pada tulang belakang yang tidak

menunjukkan tanda-tanda peradangan, tidak nyeri tekan, dan menimbulkan abses

dingin (Rahajoe & Setyanto, 2008).

2.10.4. Tuberkulosis Sistem Saraf Pusat

Tuberkulosis pada sistem saraf pusat ditemukan dalam tiga bentuk, yaitu

meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Fokus tuberkel tersebar di otak

atau selaput otak, yang terbentuk pada saat penyebaran hematogen selama masa

inkubasi infeksi TB primer. Meningitis tuberkulosis memiliki proporsi yang kecil

pada penyakit tuberkulosis, tetapi kejadian ini sangat penting karena angka kematiaan

dan morbiditas yang tinggi (Baker, 2009.

Page 23: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

23

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN dan DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam

penelitian ini adalah:

3.2. Definisi Operasional

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman TB (Mycobacterium tuberculosis), dimana kuman ini paling banyak

menyerang organ paru. Diagnosis TB paru ditegakkan ditegakkan dengan

ditemukannya kuman TB (BTA) pada 3 spesimen dalam 2 hari. Diagnosis

Profil Penderita TB Paru:

1. Sosiodemografi, yaitu:

a. Umur

b. Jenis kelamin

c. Pendidikan

d. Pekerjaan

2. Keluhan Utama

3. Hasil Pemeriksaan Sputum (BTA

positif / BTA negatif)

4. Kategori Pengobatan

5. Riwayat Penyakit Penyerta

6. Tuberkulosis Ekstraparu

7. Multi-drug Ressistant (MDR)

Tuberkulosis

Penyakit Tuberkulosis Paru

Page 24: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

24

penyakit tuberkulosis paru diperoleh dari diagnosis dokter yang tertera dalam

rekam medis pasien.

Profil pasien Tuberkulosis Paru meliputi:

1. Sosiodemografi berasal dari dua kata, sosial dan demografi. Demografi adalah

suatu ilmu yang mempelajari penduduk di suatu wilayah terutama mengenai

jumlah, struktur (umur, jenis kelamin, agama, dll), dan proses perubahannya

(kelahiran, kematian, perkawinan, dll). Sedangkan sosial adalah salah satu

komponen variabel nondemografi, mencakup pendidikan, pekerjaan, dll. Dalam

penelitian ini, sosiodemografi meliputi beberapa hal, yaitu:

a. Umur adalah usia pasien dihitung dari tanggal lahir yang tertulis dalam rekam

medis sampai waktu pengambilan data dalam ukuran tahun. Informasi ini

dapat diperoleh dari rekam medis. Hasil dari umur dibagi dalam beberapa

kelompok umur, yaitu: 1) 15-24 tahun; 2) 25-34 tahun; 3) 35-44 tahun; 4) 45-

54 tahun; 5) 55-64 tahun; dan 6) ≥ 65 tahun. Dalam penelitian ini, umur

termasuk ke dalam skala interval.

b. Jenis kelamin adalah jenis kelamin yang tercantum dalam rekam medis, akan

diperoleh hasil apakah laki-laki atau perempuan. Dalam penelitian ini, jenis

kelamin termasuk ke dalam skala nominal.

c. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah dilalui pasien,

dimana informasi ini diperoleh dari rekam medis pasien. Hasil yang

didapatkan dari pendidikan dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu: 1) Tidak

sekolah; 2) SD; 3) SMP; 4) SMA; 5) D3/D4/S1. Dalam penelitian ini,

pendidikan termasuk ke dalam skala ordinal.

d. Pekerjaan adalah jenis pekerjaan penderita yang dilakukan untuk membiayai

kehidupannya, yang diperoleh dari informasi rekam medis pasien. Hasil yang

didapatkan dari pekerjaan dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu: 1) Petani;

2) PNS/ TNI/ POLRI; 3) Wiraswasta; 4) Pegawai Swasta; 5) Pensiunan PNS/

Page 25: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

25

TNI/ POLRI; 6) Tidak Bekerja, dll. Dalam penelitian ini, pekerjaan termasuk

ke dalam skala nominal.

2. Keluhan utama adalah keluhan yang paling dirasakan pasien dan menjadi

penyebab pasien datang berobat. Keluhan utama pasien diperoleh melalui

indormasi yang terdapat dalam rekam medis pasien. Dalam penelitian ini, keluhan

utama termasuk ke dalam skala nominal. Keluhan utama dibagi dalam 2

kelompok, yaitu:

a. gejala respiratorik

• Batuk ≥ 2 minggu

• Batuk darah

• Sesak napas

c. Nyeri dada

b. gejala sistemik

d. Demam

e. Gejala sistemik lain, seperti malaise, keringat malam, anoreksia dan berat

badan menurun

c. gejala tuberkulsis ekstraparu

• benjolan di leher

• kaku kuduk

• gibus

• dan lain-lain

3. Hasil pemeriksaan sputum adalah hasil yang didapatkan dari pemeriksaan dahak

sebanyak tiga kali (sewaktu-pagi-sewaktu). Hasil yang didapatkan bisa BTA (+)

atau BTA (-), di mana hasil ini diperoleh dari informasi yang terdapat dalam rekam

medis pasien. Dalam penelitian ini, hasil pemeriksaan sputum termasuk ke dalam

skala nominal.

4. Kategori pengobatan adalah pengkategorian pasien sesuai dengan kasus penderita

dan panduan pengobatannya. Kategori pengobatan ini diperoleh dari informasi

Page 26: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

26

yang terdapat dalam rekam medis pasien. Dalam penelitian ini, kategori

pengobatan termasuk ke dalam skala ordinal. Hasil yang akan didapatkan yaitu

adanya 5 kategori pengobatan, yaitu:

a. Kategori 1 :

f. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks terdapat lesi luas.

g. Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/4 RH atau 2 RHZE/6 HE atau

2 RHZE/4R3H3

b. Kategori 2 :

d. TB paru kasus kambuh. Paduan obat yang dianjurkan :

- 2 RHZES/1 RHZE sebelum adahasil uji resistensi.

- Bila hasil uji resistensi telah ada, berikan obat sesuai dengan hasil uji

resistensi.

e. TB paru kasus gagal pengobatan. Paduan obat yang dianjurkan adalah:

- Obat lini 2 sebelum ada hasil uji resistensi (contoh: 3-6 bulan

kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan

ofloksasin, etionamid, sikloserin).

- Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2

RHZES/1 RHZE.

- Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi.

- Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5 RHE.

f. TB Paru kasus putus berobat.

1) Berobat ≥ 4 bulan

- BTA saat ini negatif. Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada

perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi

aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB

dengan mempertimbangkan juga kemungkinan panyekit paru lain. Bila

terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat

yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2

RHZES / 1 RHZE / 5R3H3E3).

Page 27: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

27

- BTA saat ini positif. Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan

obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama

2) Berobat ≤ 4 bulan

- Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat

yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2

RHZES / 1 RHZE / 5R3H3E3).

- Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif, pengobatan

diteruskan.

c. Kategori 3 :

g. TB paru (kasus baru), BTA negatif atau pada foto toraks terdapat lesi

minimal.

h. Paduan obat yang diberikan adalah 2 RHZE / 4 R3H3

d. Kategori 4 :

h. TB paru kasus kronik. Paduan obat yang dianjurkan:

- Bila belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES.

- Bila telah ada hasil uji resistensi, berikan sesuai hasil uji resistensi

(minimal OAT yang sensitif ditambah obat lini 2 (pengobatan minimal 18

bulan).

i. MDR TB, paduan obat yang dianjurkan sesuai dengan uji resistensi ditambah

OAT lini 2 atau H seumur hidup.

5. Riwayat penyakit penyerta adalah jenis penyakit lain yang diderita pasien selain

TB paru yang terdapat dalam rekam medis. Informasi riwayat penyakit penyerta

diperoleh dari rekam medis pasien. Riwayat penyakit penyerta yang bisa

didapatkan yaitu: 1) HIV/AIDS; 2) diabetes mellitus; 3) hipertensi; 4) dan lain-

lain. Dalam penelitian ini, riwayat penyakit penyerta termasuk ke dalam skala

nominal.

6. Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain

selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran

Page 28: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

28

kencing, dll. Informasi adanya tuberkulosis ekstraparu pada pasien diperoleh dari

rekam medis. Dalam penelitian ini, tuberkulosis ekstraparu termasuk ke dalam

skala nominal.

7. Multi-drug resistant (MDR) tuberkulosis adalah resistensi obat terhadap obat anti

tuberkulosis (OAT) isoniazid dan rifampisin, dengan atau tanpa resistensi terhadap

OAT lainnya. Informasi kejadian MDR ini diperoleh melalui rekam medis,

berdasarkan diagnosis dokter yang tertera dalam rekam medis. Hasil yang akan

didapatkan adalah ada atau tidaknya MDR-TB. Dalam penelitian ini, MDR-TB

termasuk ke dalam skala nominal.

Page 29: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

29

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan desain cross

sectional.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

4.2.1. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai September 2010.

4.2.2. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik Paru RSUP Haji Adam Malik Medan.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh penderita TB Paru yang berobat jalan di

Poliklinik Paru RSUP H. Adam Malik Medan.

4.3.2. Sampel

Sampel adalah semua populasi dari penelitian ini, yaitu semua penderita TB Paru

yang berobat jalan di Poliklinik Paru RSUP H. Adam Malik Medan dari bulan Maret

2010 sampai bulan September 2010 (total sampling).

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data diperoleh dari data sekunder, yaitu rekam medis penderita TB

Paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru RSUP Haji Adam Malik Medan, kemudian

hal – hal yang diperlukan dicatat dan ditabulasikan sesuai dengan kebutuhan peneliti.

Page 30: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

30

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

Semua data yang telah dikumpulkan diolah dan disajikan dengan bantuan

program Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.0, kemudian disusun

dalam bentuk tabel distribusi sesuai dengan tujuan penelitian dan kemudian

dituangkan dalam bentuk diagram bila diperlukan.

Page 31: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

31

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlangsung di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

yang beralamat di Jalan Bunga Lau no. 17 Kecamatan Medan Tuntungan Kotamadya

Medan Provinsi Sumatera Utara. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

merupakan rumah sakit kelas A, sesuai dengan SK Menkes

No. 335/Menkes/SK/VII/1990 dan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes

/SK/IX/1991, RSUP H. Adam Malik juga merupakan pusat rujukan wilayah

Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nangroe Aceh Darussalam,

Sumatera Barat dan Riau. Penelitian ini dilakukan di Subbagian Poliklinik Paru dan

Subbagian Rekam Medis Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.

Page 32: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

32

5.2. Karakteristik Subjek Penelitian

5.2.1 Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Sosiodemografi

Tabel 5.1. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Sosiodemografi

Sosiodemografi N %Frekuensi

Umur

15-24 tahun

25-34 tahun

35-44 tahun

45-54 tahun

55-64 tahun

>65 tahun

65

44

40

68

27

9

25,7

17,4

15,8

26,9

10,7

3,6

Jenis Kelamin

laki-laki

perempuan

173

80

68,4

31,6

Pendidikan

Tidak sekolah

SD

SMP

SMA

D3/D4/S1

4

51

72

101

25

1,6

20,2

28,5

39,9

9,9

Pekerjaan

petani

PNS/TNI/POLRI

wiraswasta

pegawai swasta

pensiunan PNS/TNI/POLRI

tidak bekerja

supir

tukang

pekerja lepas

26

25

70

35

2

84

5

1

5

10,3

9,9

27,7

13,8

0,8

33,2

1,9

0,4

1,9

5.2.2. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Keluhan Utama

Tabel 5.2. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Keluhan Utama

Keluhan Utama N % Frekuensi

gejala sistemik 16 6.3

gejala respiratorik 227 89.7

gejala TB ekstraparu 10 4.0

Total 253 100.0

Page 33: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

33

Tabel 5.3. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Keluhan

Keluhan N % Frekuensi

batuk 219 86,6

batuk dahak 176 69,6

batuk darah 64 25,3

nyeri dada 51 20,2

sesak nafas 73 28,9

demam 88 34,8

keringat malam 56 22,1

lemas 49 19,4

BB menurun 50 19,8

benjolan di leher 13 5,1

nyeri ulu hati 2 0.8

nyeri perut 2 0.8

5.2.3. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Sputum

BTA, Kategori Pengobatan dan MDR TB

Tabel 5.4. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Sputum

BTA, Kategori Pengobatan dan MDR TB

Karakteristik N %Frekuensi

Hasil Sputum BTA

positif

negatif

209

44

82,6

17,4

Kategori Pengobatan

kategori 1

kategori 2

kategori 3

kategori 4

202

34

13

4

79,8

13,4

5,1

1,6

MDR TB

positif

negatif

4

249

1,6

98,4

Page 34: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

34

5.2.4. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Riwayat Penyakit Penyerta

Tabel 5.5. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Riwayat Penyakit Penyerta

Penyakit Penyerta N % Frekuensi

Ca ovarium 1 0.4

Dispepsia 8 3.2

DM + hipertensi 4 1.6

DM tipe 2 42 16.6

Hepatitis akut 7 2.8

Hipertensi 2 0.8

HIV/AIDS 4 1.6

Mikosis paru 3 1.2

NPC 3 1.2

PPOK 1 0.4

Tumor paru 1 0.4

Ulkus peptikum 2 0.8

Tidak ada 175 69.2

Total 253 100.0

5.2.5. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Tuberkulosis Ekstraparu

Tabel 5.6. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Tuberkulosis Ekstraparu

Jenis TB ekstraparu N % Frekuensi

kolitis TB dan pleuritis TB 1 0.4

efusi perikard 1 0.4

empiema TB 1 0.4

faringitis TB 1 0.4

laringitis TB 1 0.4

limfadenitis TB 13 5.1

pleuritis TB 21 8.3

spondilitis TB 3 1.2

TB kulit 2 0.8

TB milier 3 1.2

TB peritoneum 2 0.8

TB wrist joint 1 0.4

tuberkuloma otak 1 0.4

tidak ada 202 79.8

Total 253 100.0

Page 35: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

35

5.2.6. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Umur dan Hasil Pemeriksaan

BTA

Tabel 5.7. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Umur dan Hasil

Pemeriksaan BTA

Hasil Pemeriksaan BTA

Total positif negatif

Umur

pasien

15-24 thn N 52 13 65

% Frekuensi 20.6% 5.1% 25.7%

25-34 thn N 39 5 44

% Frekuensi 15.4% 2.0% 17.4%

35-44 thn N 33 7 40

% Frekuensi 13.0% 2.8% 15.8%

45-54 thn N 55 13 68

% Frekuensi 21.7% 5.1% 26.9%

55-64 thn N 23 4 27

% Frekuensi 9.1% 1.6% 10.7%

> 65 thn N 7 2 9

Frekuensi 2.8% 0.8% 3.6%

Total N 209 44 253

% Frekuensi 82.6% 17.4% 100.0%

5.2.7. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Umur dan MDR TB

Tabel 5.8. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Umur dan MDR TB

multi-drug resistance TB

Total

positif negatif

umur

pasien

15-24 thn N 0 65 65

% Frekuensi .0% 25.7% 25.7%

25-34 thn N 2 42 44

% Frekuensi 0.8% 16.6% 17.4%

35-44 thn N 1 39 40

% Frekuensi 0.4% 15.4% 15.8%

45-54 thn N 0 68 68

% Frekuensi 0% 26.9% 26.9%

55-64 thn N 1 26 27

% Frekuensi 0.4% 10.3% 10.7%

> 65 thn N 0 9 9

% Frekuensi 0% 3.6% 3.6%

Total N 4 250 253

% Frekuensi 1.6% 98.8% 100.0%

Page 36: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

36

5.2.8. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin dan MDR TB

Tabel 5.9. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan

Jenis Kelamin dan MDR TB

multi-drug resistance TB

Total positif negatif

jenis

kelamin

pasien

laki-laki N 4 169 173

% frekuensi 1.6% 66.8% 68.4%

perempuan N 0 80 80

% frekuensi 0 31.6% 31.6%

Total N 4 249 253

% frekuensi 1.6% 98.4% 100.0%

5.2.9. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Hasil Pemeriksaan BTA dan

MDR TB

Tabel 5.10. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan

Hasil Pemeriksaan BTA dan MDR TB

multi-drug resistance

TB

Total

positif negatif

hasil

pemeriksaan

BTA

positif

N 4 205 209

% Frekuensi 1.6% 81.0% 82.6%

negatif

N 0 44 44

% Frekuensi .0% 17.4% 17.4%

Total

N 4 249 253

% Frekuensi 1.6% 98.4% 100.0%

Page 37: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

37

5.2.10. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Riwayat Penyakit Penyerta

dan MDR TB

Tabel 5.11. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan

Riwayat Penyakit Penyerta dan MDR TB

multi-drug resistance TB

Total positif negatif

Riwayat

penyakit

penyerta

TB

Ca ovarium N 0 1 1

%

Frekuensi

0.0% 0.4% 0.4%

Dyspepsia N 1 7 8

%

Frekuensi

0.4% 2.8% 3.2%

DM + hipertensi N 0 4 4

%

Frekuensi

0.0% 1.6% 1.6%

DM tipe 2 N 1 41 42

%

Frekuensi

0.4% 16.2% 16.6%

hepatitis akut N 0 7 7

%

Frekuensi

0.0% 2.8% 2.8%

Hipertensi N 0 2 2

%

Frekuensi

0.0% 0.8% 0.8%

HIV/AIDS N 0 4 4

%

Frekuensi

0.0% 1.6% 1.6%

mikosis paru N 0 3 3

%

Frekuensi

0.0% 1.2% 1.2%

NPC N 0 3 3

%

Frekuensi

0.0% 1.2% 1.2%

PPOK N 0 1 1

%

Frekuensi

0.0% 0.4% 0.4%

tumor paru N 0 1 1

%

Frekuensi

0.0% 0.4% 0.4%

ulkus peptikum N 0 2 2

%

Frekuensi

0.0% 0.8% 0.8%

tidak ada

N 2 173 175

%

Frekuensi

0.8% 68.4% 69.2%

Total N 4 249 253

%

Frekuensi

1.6% 98.4% 100.0%

Page 38: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

38

5.3. Pembahasan

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa penderita tuberkulosis paru banyak yang

berada pada kelompok umur 45 – 54 tahun dengan jumlah 68 orang (26,9%). Jumlah

ini tidak berbeda jauh dengan kelompok umur 15 – 24 tahun yaitu 65 orang (25,7%).

Hasil penelitian ini sesuai dengan pedoman yang diungkapkan oleh Depkes RI (2006)

bahwa 75% penderita tuberkulosis berada pada usia produktif, yaitu kelompok umur

15 – 44 tahun. Namun begitu, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian

kohort yang dilakukan oleh Gustafon, et al (2004), dimana diungkapkan bahwa

terdapat suatu efek dosis respon, yaitu semakin tua umur akan semakin meningkatkan

risiko menderita tuberkulosis dengan odds rasio pada usia 25-34 tahun adalah 1, 36

dan odds rasio pada kelompok umur > 55 tahun adalah 4,08. Hal ini dikarenakan pada

penelitian Gustafon, et al dilakukan di negara maju yang memiliki karakteristik umur

terbanyak pada usia lanjut. Berdasarkan penelitian Rasmin dkk (2006) di RS

Persahabatan, kelompok umur terbanyak yang menderita tuberkulosis paru adalah

pada umur 26 – 36 tahun yaitu 111 orang (42,0%) dan kelompok umur terkecil adalah

umur 66 – 75 tahun yaitu 15 orang (5,7%).

Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa mayoritas penderita tuberkulosis

paru di RSUP Haji Adam Malik Medan berjenis kelamin laki-laki yaitu 173 orang

(68,4%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Gustafon , et al (2004) yang

menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai risiko 2,58 kali untuk menderita

tuberkulosis dibandingkan dengan wanita, dimana hal ini mungkin berhubungan

dengan interaksi sosial laki laki lebih tinggi dibandingkan wanita sehingga

kemungkinan transmisi TB lebih besar.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa subjek penelitian banyak yang

memiliki tingkat pendidikan cukup yaitu tamat SMA sebanyak 101 orang (39,9%).

Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Desmon (2006) yang mengungkapkan bahwa

orang dengan tingkat pendidikan menengah ke bawah memiliki risiko 2,51 kali lebih

tinggi dibandingkan dengan orang yang tingkat pendidikannya lebih tinggi. Kondisi

Page 39: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

39

ini dapat disebabkan oleh kesadaran yang tinggi untuk memeriksakan kondisi

kesehatannya pada pasien yang berobat ke Poliklinik Paru di RSUP Haji Adam Malik

Medan.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar subjek penelitian tidak

bekerja yaitu 84 orang (32,2%). Hal ini sejalan dengan penelitian Rusnoto (2006)

bahwa proporsi pekerjaan penderita tuberkulosis pada 106 subjek penelitian adalah

petani sebanyak 43 orang (43,6%). Berdasarkan teori dalam Crofton (2002),

diungkapkan bahwa 90% penderita TB terjadi pada penduduk dengan status ekonomi

rendah. Selain itu, menurut penelitian Desmon (2006), orang yang memiliki

pendapatan yang lebih kecil dari rata-rata pendapatan per kapita nasional berisiko

1,64 kali untuk menderita TB paru dibandingkan dengan pendapatan yang lebih

tinggi.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa mayoritas subjek penelitian memiliki

keluhan utama berupa gejala respiratorik yaitu 228 orang (89,7%). Pada subjek

penelitian, keluhan yang ditemukan dapat lebih dari satu. Keluhan yang paling

banyak dikeluhkan adalah batuk sebanyak 219 orang (86,6%). Menurut penelitian

Tanuwiharja (2001) pada 109 subjek penelitian yang memiliki keluhan utama batuk

kronik, 79 orang diantaranya (72,5%) adalah penderita TB dengan PCR TB (+). Hal

ini juga sesuai dengan teori yang terdapat dalam Crofton (2002) bahwa gejala yang

paling banyak dikeluhkan oleh penderita TB adalah batuk kronik (> 3 minggu).

Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum BTA, sebagian besar subjek penelitian

pada penelitian ini memiliki sputum BTA positif yaitu 209 orang (82,6%). Hal ini

sejalan dengan penelitian Rasmin dkk (2006) dimana didapatkan sebanyak 227 orang

(86%) yang memiliki BTA positif. Berdasarkan teori Crofton (2002) pasien TB paru

yang memiliki sputum BTA positif adalah orang yang sangat infektif menularkan

infeksi TB kepada orang lain. Menurut Schoch & Rieder (1996) dalam penelitiannya

di Zimbabwe, didapatkan bahwa dari 196 pasien TB dengan sputum BTA (+), 127

orang diantaranya menderita HIV/AIDS (65%). Sehingga pasien TB dengan BTA (+)

selain merupakan media transmisi yang paling efektif bagi orang lain disekitarnya,

Page 40: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

40

juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya HIV/AIDS positif. Dalam penelitian

tersebut dinyatakan bahwa risiko ini tidak ada perbedaan antara negara dengan

prevalensi HIV/AIDS yang tinggi dengan negara dengan prevalensi yang rendah,

karena adanya kesamaan karakteristik dan demografi pada penderita TB tersebut. .

Dari hasil penelitian, sebagian besar subjek penelitian mendapatkan

pengobatan kategori 1 yaitu 202 orang (79,8%). Kategori 1 adalah kategori

pengobatan untuk TB paru dengan kasus baru dengan BTA positif atau BTA negatif

dengan lesi luas pada gambaran radiologi. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian Rasmin dkk (2006) di RS Persahabatan dengan jumlah sampel 264 orang,

dimana didapatkan sebanyak 225 orang (85,2%) mendapatkan pengobatan kategori 1.

Dari hasil penelitian, hanya sebagian kecil subjek penelitian yang mendapatkan

pengobatan kategori 4 yaitu 4 orang (1,6%). Kondisi ini dapat disebabkan karena di

Poliklinik Paru RSUP Haji Adam Malik Medan banyak didapatkan kasus baru TB

dan pasien yang datang memiliki kesadaran untuk mengkonsumsi OAT secara

adekuat atau kurangnya pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas.

Dari hasil penelitian, mayoritas subjek penelitian tidak mengalami MDR TB

yaitu 249 orang (98,4%) dan hanya empat orang (1,6%) subjek penelitian saja yang

mengalami MDR TB. Hal ini sejalan dengan penelitian Rasmin dkk (2006) di RS

Persahabatan dimana jumlah penderita TB dengan kasus MDR (+) ditemukan

sebanyak 12 orang (4,5%) dan jumlah penderita TB dengan kasus MDR (-)

ditemukan lebih banyak yaitu 252 orang (95,5%). Namun begitu, hasil ini tidak

sejalan dengan penelitan Tanjung (1998) di RS Pirngadi dimana ditemukan 96% TB

yang resisten dengan satu atau lebih gabungan OAT. Kejadian MDR TB dipengaruhi

oleh beberapa faktor, seperti pengobatan yang tidak adekuat, koinfeksi HIV/AIDS,

lingkungan dimana banyak yang juga mengalami MDR TB, keadaan imunosupresif

dan adanya penyakit penyerta seperti DM tipe 2 (Prasad, 2005). Kondisi ini dapat

disebabkan oleh karena pasien TB paru yang berobat di Poliklinik Paru RSUP Haji

Adam Malik Medan memiliki kesadaran yang tinggi untuk menuntaskan pengobatan

Page 41: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

41

OAT secara adekuat atau mungkin kurang dilakukannya uji kultur dan sensitivitas

pada pasien TB Paru di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar subjek penelitian tidak memiliki

riwayat penyakit penyerta yang merupakan faktor risiko untuk mendapatkan penyakit

tuberkulosis paru, yaitu 175 orang (69,2%). Adapun riwayat penyakit penyerta yang

paling banyak diderita pada pasien TB paru adalah diabetes mellitus tipe 2 yaitu 42

orang (16,6%). Hal ini sesuai dengan teori dalam Crofton (2002) bahwa penderita

diabetes mellitus memiliki risiko 2-3 kali terkena penyakit tuberkulosis paru. Begitu

juga dengan penelitian Tanjung (1998), ada 11,7% penderita tuberkulosis paru

dengan riwayat penyakit penyerta diabetes mellitus. Menurut Ljubic, et all (2005),

diabetes mellitus tipe 2 memiliki insidensi tinggi untuk terjadinya TB paru, respon

OAT yang buruk sehingga rentan untuk terjadinya resistensi OAT dan perkembangan

TB yang sangat cepat. Hal ini dikarenakan keadaan hiperglikemia kronik yang

membuat respon imun menjadi buruk dan memberikan tempat yang baik bagi

perkembangan Mikobakterium tuberkulosis dan juga dikarenakan status nutrisi yang

tidak seimbang pada pasien DM tipe 2.

Dari data hasil penelitian sebagian besar subjek penelitian tidak menderita

tuberkulosis ekstraparu yaitu 202 orang (79,8%). Pada subjek penelitian yang

memiliki tuberkulosis ekstraparu, sebagian besar menderita pleuritis TB yaitu 21

orang (8,3%) dan limfadenitis TB 13 orang (5,1%). Hal ini sesuai dengan teori

Crofton (2002) bahwa tuberkulosis ekstraparu yang paling sering dialami adalah

pleuritis TB dan limfadenitis TB. Peneliti belum menemukan penelitian lain yang

mengungkapkan prevalensi tuberkulosis ekstraparu mana yang paling banyak

diderita.

Dalam suatu statistika, dapat dilakukan suatu distiribusi silang. Dalam

distibusi subjek penelitian berdasarkan kelompok umur dan hasil pemeriksaan BTA,

kelompok umur terbanyak, yaitu umur 45 – 54 tahun, terdapat 21% (55 orang) yang

memiliki hasil sputum BTA positif. Sama halnya dengan penelitian Rasmin dkk

(2006) di RS Persahabatan Jakarta, pada kelompok umur terbanyak pada penelitian

Page 42: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

42

tersebut (26 – 35 tahun) didapatkan sebanyak 88,3% diantaranya (98 orang) adalah

BTA positif. Akan tetapi, berdasarkan penelitian meta analisis Guzman (1999)

didapatkan bahwa kelompok umur > 60 tahun lebih banyak mendapatkan hasil

sputum BTA positif, dimana hal ini dihubungkan dengan menurunnya fungsi imun

tubuh, namun belum ditemukan penelitian lebih lanjut. Perbedaan ini dikarenakan

penelitian tersebut dilakukan pada negara maju dengan angka prevalensi yang rendah

dan sebagian besar penderita TB di negara tersebut adalah usia tua.

Kejadian MDR TB pada penelitian ini terbanyak pada kelompok umur 25 –

34 tahun (dua orang dari empat orang yang ditemukan dari seluruh subjek

penelitian). Hal ini sesuai dengan penelitian Munir, Nawas & Sutoyo (2009) pada

101 subjek penelitian dengan MDR TB, didapatkan 36 orang diantaranya (35,6%)

berada pada kelompok umur 25 – 34 tahun. Begitu juga dengan penelitian Rasmin

dkk (2006) didapatkan bahwa penderita MDR TB terbanyak pada kelompok umur 26

– 35 tahun, yaitu tujuh orang (6,3%) dari 12 orang MDR TB yang ditemukan dalam

264 subjek penelitian.

Seperti halnya pada TB paru, semua kejadian MDR TB pada penelitian ini

terjadi pada jenis kelamin laki-laki, yaitu empat orang (1,6%) dari 169 orang subjek

penelitian yang berjenis kelamin laki-laki. Hal ini sejalan dengan penelitian Munir,

Nawas & Sutoyo (2009) didapatkan 53 orang (52,5%) dari 101 orang subjek

penelitian yang MDR TB adalah laki-laki. Angka kejadian TB baik MDR TB negatif

atau MDR TB positif selalu ditemukan lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini selalu

dikaitkan dengan tingginya kehidupan sosial laki-laki. Namun belum ditemukan

adanya penelitian yang mengungkapkan bagaiman hubungan kejadian TB paru pada

laki-laki.

Seluruh subjek penelitian yang mengalami MDR TB mempunyai hasil sputum

BTA positif. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan dalam penelitian Rasmin dkk

(2006) dimana seluruh MDR TB yang ditemukan pada 264 subjek penelitian (12

orang) memiliki hasil sputum BTA positif.

Page 43: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

43

Dari hasil penelitian terdapat empat orang subjek penelitian yang mengalami

MDR TB, dengan satu diantaranya disertai dengan penyakit penyerta diabetes

meliitus, satu orang diantaranya disertai dengan dispepsia, dan dua orang lagi tidak

disertai dengan penyakit penyerta. Menurut Prasad (2005) keadaan-keadaan

imunokompromais seperti diabetes mellitus, HIV/AIDS, transplantasi, pengobatan

kemoterapi, dan lain-lain merupakan faktor risiko yang memudahkan pasien

tuberkulosis paru untuk mengalami MDR TB. Selain itu menurut Ljubic, et all

(2005) keadaan hiperglikemia kronik pada pasien TB dengan diabetes mellitus tipe 2

membuat respon penderita terhadap OAT buruk dan meningkatkan kerentana pasien

terhadap terjadinya MDR TB. Sementara itu berdasarkan penelitian Sembiring

(2008) di RSUP Haji Adam Malik Medan pada 25 orang penderita DM tipe 2 dan 25

orang penderita non DM tipe 2, didapatkan bahwa terjadi perbedaan bermakna

(p=0,01) dimana delapan orang (32%) penderita DM tipe 2 mengalami MDR TB dan

hanya satu orang (4%) penderita non DM tipe 2 yang mengalami MDR TB.

Page 44: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

44

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah:

1. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru sebagian

besar berada di kelompok umur 44 – 54 tahun (26,9%) dan kelompok umur 15

– 24 tahun (25,7%).

2. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru mayoritas

berjenis kelamin laki-laki (68,4%).

3. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru sebagian

besar memiliki tingkat pendidikan tamat SMA (39,9%).

4. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru sebagian

besar bekerja sebagai tidak bekerja (32,2%).

5. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru mayoritas

memiliki keluhan utama gejala respiratorik (89,7%).

6. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru mayoritas

memilik hasil pemeriksaan sputum dengan BTA positif (82,6%).

7. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru mayoritas

mendapatkan pengobatan dengan kategori 1 (79,8%).

8. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di poliklinik penyakit paru

sebagian besar tidak memiliki riwayat penyakit penyerta (69,2%). Penderita

tuberkulosis dengan riwayat penyakit penyerta sebagian besar menderita

diabetes mellitus (16,6%).

Page 45: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

45

9. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru mayoritas

tidak mengalami tuberkulosis ekstraparu (79,8%). Penderita dengan

tuberkulosis ekstraparu sebagian besar menderita pleuritis TB (8,3%).

10. Penderita tuberkulosis paru yang berobat jalan di Poliklinik Paru mayoritas

tidak mengalami MDR TB (98,4%).

6.2 SARAN

Beberapa saran yang dapat diberikan oleh peneliti bagi semua pihak yang

dapat berperan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Diharapkan kepada pihak RSUP H. Adam Malik Medan, kepada para petugas

kesehatan yang berperan dalam pencatatan rekam medis pasien agar dapat

menyelaraskan jumlah pasien yang berobat di Poliklinik dengan informasi

rekam medis di bagian rekam medis. Hal ini dikarenakan peneliti menjumpai

jumlah pasien yang berbeda antara di Poliklinik paru dengan informasi yang

diperoleh dari bagian rekam medis. Selain itu peneliti juga menemukan nomor

rekam medis pasien yang saling tumpang tindih. Diharapkan kepada pihak-

pihak yang terlibat memperhatikan rekam medis dan isi rekam medis pasien

dengan baik. Peneliti juga mengharapkan agar semua penderita TB Paru dapat

dilakukan uji kultur dan uji sensitivitas agar kejadian adanya resistensi OAT

pada pasien TB dapat terdeteksi secara dini.

2. Diharapkan kepada masyarakat agar lebih memperdalam pengetahuannya

mengenai tuberkulosis paru, penularan, dan pencegahannya.

3. Bagi penelitian selanjutnya agar lebih memperdalam cakupan penelitiannya

mengenai tuberkulosis paru ini. Seperti misalnya penelitian hubungan

kejadian tuberkulosis paru pada laki-laki, penelitian mengenai MDR TB

secara khusus, dan lain-lain.

Page 46: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

46

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T. Y., 2002. Tuberkulosis: Diagnosis, Terapi, & Masalahnya. Edisi 4.

Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia.

Amin, Z., Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo, Aru W et al, ed. Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 988-

993.

Bang, E., 2009. Tuberculosis, State University of New York. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/787841-overview. [Accessed 19 April

2010].

Barker, R. D., 2009. Clinical Tuberculosis. Medical Progress, June 2009: 280-284.

Crofton, J., Horne, N., Miller, F., 2002. Clinical Tuberculosis. England: TALC

IUATLD.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995. Survei Kesehatan Rumah Tangga.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

_________, 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Edisi 2.

Cetakan Pertama. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

_________, 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Departemen Kesehatan

Republik Indonesia.

_________, 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Departemen Kesehatan

Republik Indonesia.

Page 47: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

47

Desa, Mhd. S., 2008. Pengaruh Sosiodemografi dan Karakteristik Pekerjaan

Terhadap Keinginan Pindah Kerja Bidan di Kabupaten Serdang Bedagai.

Universitas Sumatera Utara. Dikutip dari:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6765/1/08E00463.pdf.

[Diakses 28 April 2010].

Desmon, F., 2006. Hubungan antara Merokok, Kayu Bakar, dan Kondisi Rumah

dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru. Fakultas Kedokteran Masyarakat

Universitas Indonesia, Dikutip dari:

http://www.digilib.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=108418&lokasi=lo

kal. [Diakses 12 April 2010].

Gustafon, P., et all. 2004. Tuberculosis in Bissau: incidence and risk factor in an

urban community in sub-Saharan Africa. International Journal of Epidemiology

33(1): 24-28.

Guzman, C. P., Vargas, M. H., Cruz, A. T., Velarde, H. V., 1999. Does Aging

Modify Pulmonary Tuberculosis. CHEST, 116 (4): 961-967.

Isa, Mhd., Khairiah, S., 2003. Prevalensi Panderita TB Paru Bagian Rawat Inap Paru

RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 1999-2000. DEXA MEDICA. 4 (16): 123-133.

Kumar, V., 2007. Tuberkulosis. Dalam: Robbins, Cotran, Kumar¸ ed. Buku Ajar

Patologi. Edisi 7. Volume 2. Jakarta: EGC, 544-551.

Ljubic, S. et all, 2005. Pulmonary Infections in Diabetes Meliitus. Diabetologia

Croatica. 33(4): 203-210.

Munir, S.M., Nawas, A., Sutoyo, D., 2009. Pengamatan Pasien Tuberkulosis Paru

dengan Multi Drug Resistant (TB-MDR) di Poliklnik Paru RS Persahabatan.

Universitas Indonesia. Dikutip dari:

http://www.pulmo-ui.com/tesis/MunirSM.pdf. [Diakses 16 November 2010]

Page 48: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

48

Notoatmojo, S., 1993. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Kesehatan. Yogyakarta: Andi Offset.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan

Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Prasad, R., 2005. MDR TB: Current Status. Indian J Tub, 52: 121-131.

Rahajoe, N.N., Setyanto, D.B., 2007. Patogenesis dan Perjalanan Alamiah. Dalam:

Rahajoe, N.N., Supriyatno, B., Setyanto, D.B.¸ ed. Respirologi Anak. Edisi 1.

Jakarta: IDAI, 169-177.

Rao, P. V., 2009. TB and Diabetes, Joint Effort tu Eradicate Tuberculosis. Available

from:

http://www.ourjeet.com/index2.asp. [Accessed 20 April 2010].

Rasad, S., 2009. Radiologi Diagnostik. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Rasmin, dkk, 2006. Profil Penderita Tuberkulosis Paru di RS Persahabatan Januari-

Juli 2005. Jurnal Respirologi Indonesia, 27 (1): 402-408

Rusnoto, Rahmatullah P., Udiono A., 2006. Faktor-Faktor Yang Berhubungan

Dengan Kejadian TB Paru Pada Usia Dewasa. Universitas Diponoegoro. Dikutip

dari :

http://eprints.undip.ac.id/5283/1/Rusnoto.pdf [Diakses 28 April 2010]

Schoch, O.D., Rieder H.L. 1996. Characteristics of sputum smear-positive

tuberculosis patients with and without HIV infection in a hospital in Zimbabwe.

Eur Respir J, 9: 284–287

Sembiring, S., 2008. Multi Drug Resistance (MDR) pada Penderita Tuberkulosis Paru

dengan Diabetes Mellitus. Universitas Sumatera Utara. Dikutip dari:

Page 49: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

49

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6406/1/08E00290.pdf. [Diakses

16 November 2010]

Tanjung, A. Dkk, 1998. Masalah Tuberkulosis Paru di Bagian Penyakit Dalam RS

Pirngadi Medan. Medika, 48 (10): 804-810

Tanuwiharja, B.Y., 2001. Chronic Cough and Tuberculosis. Jurnal Respirologi

Indonesia, 21 (1): 510-514

Todar, K, 2009. Mycobacterium tuberculosis and Tuberculosis. University of

Wisconsin. Available from:

http://www.textbookofbacteriology.net/tuberculosis.html. [Accessed 12 April

2010].

USAID, 2009. Indonesia Profile of Tuberculosis. Washington DC: USAID. Available

from:

http://www.usaid.gov/our_work/global_health/id/tuberculosis/countries/asia/ind

onesia_profile.html . [Accessed 12 April 2010].

Utami, M. R., 2006. Perbedaan Derajat Lesi Radiologi pada Pasien Tuberkulosis

Paru dengan Diabetes Melitus dan Non-Diabetes Melitus di RSUD Dr.

Moewardi Surakarta, Universitas Negeri Surakarta. Dikutip dari:

http://digilib.uns.ac.id/abstrakpdf_2879_perbedaan-derajat-lesi-radiologi-pada-

pasien-tuberkulosis-paru-dengan-diabetes-melitus-dan-non-diabetes-melitus-di-

rsud-dr.-moewardi-surakarta.pdf. [Diakses 20 April 2010].

World Health Organization, 2006. The Stop TB Strategy. Geneva: World Health

Organization. Available from:

http://www.who.int/tb/publications/stoptbstrategy/2006/update/en/index.html.

[Accessed 12 April 2010].

Page 50: profil penderita tuberkulosis paru di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Bulan Maret-September 2009

50

_______, 2009. Basic TB Facts. Geneva: World Health Organization. Available

from:

http://www.who.int/mediacentre/basictbfacts/fs104/en/index.html. [Accessed 12

April 2010].

______, 2009. Global tuberculosis control: a short update to the 2009 report.

Geneva: World Health Organization. Available from:

http://www.who.int/tb/publications/global_report/2009/update/en/index.html.

[Accessed 12 April 2010].

______, 2005. Gender in Tuberculosis Research. Geneva: World Health

Organization. Available from:

http://www.who.int/gender/documents/TBlast2.pdf. [Accessed 30 April 2010].

Zevitz, M., Lendhart, R., 2006. Pulmonary Medicine Review. USA: McGraw-Hill