Profil lingkungan kebahasaan anak

88
1 BAB IV PROFIL LINGKUNGAN KEBAHASAAN ANAK 4.1 Lingkungan Kebahasaan Keluarga Putu Lila dilahirkan di Singaraja, tepatnya di Rumah Sakit Umum Daerah Singaraja pada tanggal 20 Juni 2006 pukul 00:05 WITA. Lila lahir dalam keadaan normal dengan berat badan 2,8 kilogram dan panjang 50 cm. Desmita (2009: 102) mengungkapkan bahwa pada waktu bayi masih berada dalam kandungan ibunya, badannya telah membentuk sekitar 1.5 milyar sel-sel saraf permenit. Jadi, saat dilahirkan, bayi kemungkinan telah memiliki semua sel otak yang akan dimiliki sepanjang hidupnya. Namun, keberadaan otak bayi belum matang. Oleh karena itu, otak bayi terus berkembang sampai anak berusia 2 tahun seiring dengan pertumbuhan fisiknya. Myer yang dikutip Desmita (2009) menyatakan bahwa pada saat lahir, berat otak bayi seperdelapan dari berat totalnya atau sekitar 25% dari berat otak dewasanya, maka pada ulang tahun yang kedua, otak bayi sudah mencapai kira-kira75% dari otak dewasanya. Keberadaan otak bayi dan perkembangannya sangat penting dalam pemerolehan bahasa anak seperti yang digagas oleh Chomsky (2002) yang dalam teori pemerolehan bahasanya mengungkapkan bahwa bahasa merupakan objek alami, suatu komponen intelektual manusia yang secara fisik direpresentasikan di dalam otak dan merupakan bagian dari perkembangan biologisnya.

Transcript of Profil lingkungan kebahasaan anak

Page 1: Profil lingkungan kebahasaan anak

1

BAB IV

PROFIL LINGKUNGAN KEBAHASAAN ANAK

4.1 Lingkungan Kebahasaan Keluarga

Putu Lila dilahirkan di Singaraja, tepatnya di Rumah Sakit Umum Daerah

Singaraja pada tanggal 20 Juni 2006 pukul 00:05 WITA. Lila lahir dalam keadaan

normal dengan berat badan 2,8 kilogram dan panjang 50 cm. Desmita (2009: 102)

mengungkapkan bahwa pada waktu bayi masih berada dalam kandungan ibunya,

badannya telah membentuk sekitar 1.5 milyar sel-sel saraf permenit. Jadi, saat

dilahirkan, bayi kemungkinan telah memiliki semua sel otak yang akan dimiliki

sepanjang hidupnya. Namun, keberadaan otak bayi belum matang. Oleh karena

itu, otak bayi terus berkembang sampai anak berusia 2 tahun seiring dengan

pertumbuhan fisiknya. Myer yang dikutip Desmita (2009) menyatakan bahwa

pada saat lahir, berat otak bayi seperdelapan dari berat totalnya atau sekitar 25%

dari berat otak dewasanya, maka pada ulang tahun yang kedua, otak bayi sudah

mencapai kira-kira75% dari otak dewasanya. Keberadaan otak bayi dan

perkembangannya sangat penting dalam pemerolehan bahasa anak seperti yang

digagas oleh Chomsky (2002) yang dalam teori pemerolehan bahasanya

mengungkapkan bahwa bahasa merupakan objek alami, suatu komponen

intelektual manusia yang secara fisik direpresentasikan di dalam otak dan

merupakan bagian dari perkembangan biologisnya.

Page 2: Profil lingkungan kebahasaan anak

2

Menurut Taylor (1990: 230) pemerolehan bahasa dipengaruhi oleh tiga

variabel penting, yaitu bahasa yang diperoleh, anak yang memeroleh bahasa

tersebut, dan lingkungan tempat bahasa itu diperoleh. Seorang anak bisa

memeroleh bahasa karena dilengkapi dengan keadaan fisik yang memungkinkan

dia menggunakan bahasa serta kemampuan kognitif yang dimilikinya. Di samping

itu, anak juga tumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan kebahasaan yang

digunakan penuturnya secara aktif. Berikut ini adalah gambaran lingkungan

kebahasaan tempat Lila dibesarkan yang akan dibahas berdasarkan lingkungan

kebahasaan keluarga dan lingkungan kebahasaan teman sebaya.

Sejak lahir, Lila tinggal bersama kedua orang tuanya di Dusun Celukbuluh,

Desa kalibukbuk Kecamatan Buleleng. Dia lahir dari seorang ibu yang berasal

dari Bali yang merupakan wanita etnis Bali yang berasal dari Kabupaten

Karangasem, namun sudah tinggal di Kabupaten Buleleng sejak berusia 15 tahun

karena mengikuti ayah yang dipindah tugaskan. Ibu Lila merupakan wanita yang

lahir dengan bahasa ibu, bahasa Bali. Selain Bahasa Bali, bahasa Indonesia juga

dikuasainya melalui jenjang bangku sekolah formal. Bahasa ketiga yang dikuasai

adalah bahasa Inggris yang diperoleh melalui jenjang pendidikan formal Strata 1.

Jadi, ibu Lila fasih menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Ibu Lila

bertemu dengan ayah Lila, Frank (bukan nama sebenarnya), pada tahun 2003.

Ketika bertemu dengan ayah Lila, ibu Lila sedikit demi sedikit mulai belajar

bahasa Jerman secara otodidak.

Ayah Lila merupakan seorang laki-laki yang berasal dari Jerman yang

lahir dengan bahasa ibu bahasa Jerman. Selain bahasa Jerman, dia juga fasih

Page 3: Profil lingkungan kebahasaan anak

3

menggunakan bahasa Inggris. Sejak tahun 2003, ayah Lila sudah tinggal di Bali

meskipun dia masih sering mengunjungi negeri asalnya kurang lebih dua kali

dalam setahun. Frank memutuskan untuk mulai belajar bahasa Indonesia untuk

dapat berkomunikasi dengan masyarakat lokal karena dia tinggal di Bali. Bahasa

Indonesia dipilih untuk dipelajari karena dia ingin dapat berkomunikasi bukan

hanya dengan orang Bali, tetapi juga dengan orang Indonesia dari etnis lain yang

tinggal di Bali dan dari informsai yang dia peroleh kebanyakan orang Bali juga

mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Dia memutuskan untuk tidak

mempelajari bahasa Bali karena dia tidak mau dibingungkan oleh dua bahasa

yang berbeda. Ayah Lila menganggap bahasa Bali lebih sukar untuk dipelajari

karena adanya perbedaan tingkatan dan dia tidak mau dibingungkan oleh

perbedaan-perbedaan tingkatan tersebut. Ayah Lila mempelajari bahasa Indonesia

dengan sangat serius dan bahkan dia memiliki guru bahasa Indonesia yang

memiliki latar belakang pendidikan bahasa Indonesia. Saat ini, dia sudah fasih

menggunakan bahasa Indonesia untuk bercakap-cakap dengan orang-orang di

sekitarnya.

Sejak sebelum Lila dilahirkan, orang tuanya sudah mendiskusikan tentang

bahasa-bahasa yang nanti akan digunakan untuk berkomunikasi dengannya.

Mereka akhirnya memutuskan bahwa ketika berbicara dengan Lila, ayah Lila

menggunakan bahasa Jerman dan ibu Lila menggunakan bahasa Indonesia.

Mengapa bahasa Jerman? Bahasa Jerman digunakan karena merupakan bahasa

Ibu ayah Lila dengan harapan Lila juga bisa menggunakan bahasa tersebut.

Namun, pada kenyataanya, karena juga belajar dan senang menggunakan bahasa

Page 4: Profil lingkungan kebahasaan anak

4

Indonesia secara tidak sadar ayah Lila sering menggunakan bahasa Indonesia

ketika berbicara dengan Lila. Ibu Lila menggunakan bahasa Indonesia, ini

dimaksudkan agar percakapan-percakapan yang terjadi antara Lila dan ibunya

bisa dimengerti oleh ayah Lila. Pada kenyataanya ibu Lila tidak hanya

menggunakan bahasa Indonesia saja, namun kadang-kadang digunakan juga

bahasa Bali pada saat –saat tertentu, misalnya ketika Lila melakukan sesuatu yang

nakal dan ibunya menjadi marah.

Seiring dengan perkembangan umur Lila, ketika dia sudah dapat merespon

kata-kata orang tuanya, percakapan-percakan antara orang tua dan anak sering

terjadi dalam bahasa Indonesia dan Jerman. Kadang-kadang ibu Lila juga

menggunakan ungkapan-ungkapan dasar dalam bahasa Jerman yang sering

digunakan oleh ayah Lila dan Lila ketika berbicara satu dengan yang lainnya.

Dalam keluarga, orang tua Lila juga memiliki komitmen bahwa dalam

berkomunikasi dengan anak seberapa kecil pun anak, orang tua harus

menggunakan bahasa `normal`, menggunakan kata-kata yang sesungguhnya dan

bukan mengikuti bahasa bayi; seperti yang dilakukan para orangtua pada

umumnya.

Pada umumnya, ayah dan ibu Lila menggunakan bahasa Indonesia ketika

berkomunikasi satu sama lain, namun jika percakapan-percakapan menyangkut

hal-hal yang lebih dalam atau diskusi-diskusi tentang topik-topik atau isu-isu

tertentu, percakapan-percakapan sering sekali terjadi dalam bahasa Inggris.

Namun, Lila tidak disuguhi bahasa Inggris secara langsung dan tidak diajak

berkomunikasi dalam bahasa tersebut meskipun sejak dilahirkan dia juga sudah

Page 5: Profil lingkungan kebahasaan anak

5

terbiasa mendengar kata-kata atau ucapan–ucapan dalam bahasa Inggris.

Pengaruh bahasa Inggris pun hampir tidak terlihat dalam perkembangan

bahasanya. Di samping itu, Lila sama sekali tidak disuguhi bahasa Inggris karena

orang tuanya tidak mau, Lila dibingungkan oleh kebanyakan bahasa sekitar. Jadi

dapat dikatakan bahwa bahasa yang digunakan oleh orang tuanya untuk

berkomunikasi dengan Lila adalah bahasa Indonesia dan Bahasa Jerman.

Taylor (1990: 227) mengungkapkan bahwa, ketika anak sejak lahir sampai

pada umur dua tahun pusat dari perkembangan bahasanya adalah orang tuanya,

terutama ibunya. Dalam keluarga inti Lila, percakapan-percakapan terjadi dalam

bahasa-bahasa, seperti yang digambarkan dalam diagram berikut

Bahasa Indonesia/Bahasa Inggris

Ibu ayah

Bahasa Indonesia/Bahasa Inggris

Bahasa Indonesia, kadang-kadang B.Jerman, B.BaliBahasa Jerman dan kadang-kadang Bahasa Indonesia

Page 6: Profil lingkungan kebahasaan anak

6

Lila

Bagan 4.1: Lingkungan Kebahasaan Keluarga Inti

Pada prinsipnya, Lila hanya tinggal dengan keluarga inti, yaitu ayah dan

ibu. Dalam keluarga tersebut, dari hari Senin sampai dengan hari Sabtu ada

seorang pengasuh anak yang bekerja paruh waktu, yaitu seorang wanita etnis Bali

yang bernama Warti. Warti hanya bekerja selama 6 jam, per hari, yaitu dari pukul

08.00 sampai dengan pukul 14.00. Ketika berbicara dengan Lila, Warti

menggunakan bahasa Indonesia. Begitu juga ketika berbicara dengan ayah Lila.

Namun, ketika berbicara dengan ibu Lila, Warti menggunakan bahasa Bali. Selain

seorang pengasuh anak, keluarga juga dibantu oleh seseorang yang mengurus

kebun. Dia adalah seoarang lelaki, yang juga merupakan etnis Bali, yang bernama

Ketut. Ketut juga bekerja paruh waktu, yaitu dari pukul 14.00 sampai pukul 17.00

dari hari senin sampai sabtu. Bahasa yang digunakan oleh Ketut dalam keluarga

tersebut sama dengan bahasa yang digunakan oleh Warti.

Di samping lingkungan kebahasaan keluarga inti dan orang orang yang

membantu keluarga tersebut setiap harinya, Lila juga memiliki hubungan dengan

keluarga besar, baik dari pihak ibu maupun pihak ayah. Dari pihak ibu, Lila

memiliki seorang nenek etnis Bali, dua orang paman dan seorang bibi kandung.

Baik nenek maupun paman dan bibinya bertemu dengan Lila secara reguler.

Dengan nenek dari pihak ibu, Lila bertemu hampir setiap bulan selama 2 hari

sampai satu minggu. Hal ini disebabkan oleh neneknya tinggal jauh di kabupaten

lain, yaitu Kabupaten Karangasem. Nenek Lila menggunakan bahasa Indonesia

Page 7: Profil lingkungan kebahasaan anak

7

dan bahasa Bali ketika berbicara dengan Lila. Salah satu paman dan bibinya

berjumpa atau mengunjungi keluarga tersebut hampir setiap minggu sementara

paman yang lain bertemu dengan Lila hampir setiap bulan. Bahasa yang

digunakan oleh mereka ketika berkomunikasi dengan si kecil Lila sama dengan

bahasa yang digunakan oleh nenek mereka. Sementara di antara mereka sendiri

menggunakan bahasa Bali untuk berkomunikasi satu sama lain.

Dari pihak ayah, Lila memiliki seorang nenek dan seorang paman. Nenek

Lila tinggal di Jerman dan sejak kelahiran Lila neneknya sudah datang ke

Indonesia sebanyak dua kali dengan rentang waktu dua bulan dan tiga bulan.

Ketika berkomunikasi dengan Lila, nenek menggunakan bahasa Jerman.

Sementara dengan paman dari pihak ayah, Lila baru bertemu sekali saja. Ketika

berumur 1;10, Lila untuk pertama kalinya diajak ke Jerman oleh orang tuanya.

Ketika di Jerman, keluarga tersebut tinggal di rumah neneknya. Mereka tinggal di

Jerman selama enam minggu dan selama di sana, Lila disuguhi bahasa Jerman

sangat intensif, baik oleh neneknya maupun anggota keluarga lain.

Sejak masih bayi, Lila juga sudah diperkenalkan pada buku-buku bayi baik

dalam bahasa Jerman maupun dalam bahasa Indonesia. Buku-buku bayi yang

dimaksudkan adalah buku-buku yang memiliki kertas-kertas yang tebal dan sulit

untuk dirobek anak. Ayah Lila khususnya, hampir setiap hari memperlihatkan

gambar-gambar yang ada di buku dan memberitahukan kata-kata yang ada dalam

buku-buku tersebut dalam bahasa Jerman. Ini dilakukan ayahnya secara natural

dan bukan untuk tujuan penelitian ini. Di antara buku-buku yang sering digunakan

untuk bermain dan berlatih berbicara adalah buku-buku anak karangan Helmut

Page 8: Profil lingkungan kebahasaan anak

8

Spanner yang berjudul Erste Bilder Erste Wörter dan Mein Bärenbuch. Buku-

buku lain, misalnya berjudul Kennst Du das? Die Farben, Kennst Du Das? Dein

Körperr. Buku-buku dalam bahasa Indonesia juga diperkenalkan kepada Lila,

khususnya buku-buku cerita anak yang biasanya dibacakan kepada Lila menjelang

tidur pada malam atau siang hari. Buku-buku tersebut, misalnya Kisah Si Rusa

Kecil, Periuk Bunbuku, Pindy dan Pinky, Georgia Abott dan lain-lain.

4.2 Lingkungan Kebahasaan Teman Sebaya

Meskipun ketika berumur satu sampai dua tahun Lila lebih banyak berada

di lingkungan rumah, namun secara bertahap seiring dengan perjalanan umurnya,

dia mulai memiliki kelompok teman sebaya, meskipun masih sangat terbatas.

Dalam perkembangan kebahasaan anak, Taylor (1990:227) juga melukiskan

bahwa ketika berumur sekitar 2-3 tahun, anak mulai bisa mengkomunikasikan

kebanyakan dari keinginan fisik maupun sosialnya dengan menggunakan bahasa.

Di samping itu, lingkaran komunikasi anak juga semakin luas dengan mulai

dimilikinya lingkaran komunikasi teman sebaya.

Lokasi tempat tinggal keluarga Lila yang berada di sebuah gang yang

kecil, yang terdiri atas sebelas buah rumah, membuat suasana atau hubungan

antara tetangga yang satu dengan yang lainnya cukup akrab. Di gang kecil

tersebut ada tiga pasang keluarga yang memiliki anak-anak yang sering bermain-

main dengan Lila. Hampir semua keluarga yang tinggal di gang tersebut

merupakan keluarga etnis Bali dan hanya satu keluarga yang merupakan keluarga

Page 9: Profil lingkungan kebahasaan anak

9

yang berasal dari Jawa yang sudah lama tinggal di Gilimanuk dan pindah tinggal

di dekat rumah keluarga Lila tepat ketika Lila merayakan ulang tahunnya yang

pertama. Dari sembilan orang anak yang berumur sekitar 1;5 sampai 6;0, lima dari

mereka sangat akrab dengan Lila. Anak- anak tersebut bernama Koming, Angel,

Erlin, Nita dan Restu. Ketika Lila berumur 1 tahun, Koming berumur sekitar 4;0,

Angel 4;5, Erlin 1;5, Nita 5;5 dan Restu 3;0.

Gambar 4.1: Bermain dengan teman-teman

Page 10: Profil lingkungan kebahasaan anak

10

Gambar 4.2: Bercengkrama dengan Koming

Gambar 4.3: Lila bermain dengan Nita dan Restu

Kelompok teman tersebut bertemu setiap hari di sepanjang gang. Mereka

biasannya berkumpul di sepanjang gang pada sore hari. Mereka bermain bersama

dan meskipun saat itu, dari segi umur, Lila merupakan anak paling kecil, namun

dia sudah sering diikutkan dalam berbagai aktivitas oleh teman-temannya

Page 11: Profil lingkungan kebahasaan anak

11

tersebut. Di samping itu, Lila juga leluasa bermain di rumah mereka, pun anak-

anak lain juga terbiasa bermain di rumah Lila. Karena mereka bertemu setiap hari,

maka tentu percakapan-percakapan atau celotehan-celotehan anak juga sering

terdengar di antara mereka. Koming, Angel, dan Erlin merupakan anak dari

keluarga etnis Bali, namun Nita dan Restu merupakan anak yang berasal dari

keluarga etnis Jawa yang sudah tinggal lama di Bali. Jadi, ketika mereka bermain

dan bercakap-cakap, percakapanpun terjadi dalam dua bahasa, yaitu bahasa Bali

dan Bahasa Indonesia. Anak-anak Bali mendengar dan mendapat kata-kata dalam

bahasa Indonesia dari Nita dan Restu, sementara Restu dan Nita belajar bahasa

Bali juga dari kawan-kawannya, dan secara otomatis Lila juga dihadapkan pada

lingkungan bahasa teman sebaya yang menggunakan bahasa Bali dan Bahasa

Indonesia.

Di samping lingkungan teman sebaya tersebut, Lila juga sering diajak

bermain oleh seorang anak yang berumur 11 tahun yang bernama Windi. Windi

adalah anak kedua Warti. Sejak Lila lahir, Windi sudah sering bersama Lila dan

Lila selalu senang kalau diajak bermain oleh Windi. Windi dan Lila juga bermain

bersama hampir setiap hari. Dalam berkomunikasi dengan Lila pada umumnya

Windi menggunakan bahasa Indonesia dan kadang-kadang juga menggunakan

bahasa Bali. Jadi, dengan lingkungan teman sebaya, Lila berada pada lingkungan

dwi bahasa, yaitu bahasa Bali dan Bahasa Indonesia.

Dari uraian yang telah didiskusikan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa

anak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan bahasa Indonesia, Jerman, Bali

dan bahasa Inggris. Namun, bahasa yang digunakan berkomunikasi kepada anak

Page 12: Profil lingkungan kebahasaan anak

12

atau, bahasa yang ditujukan kepada anak pada umumnya, adalah bahasa Indonesia

dan bahasa Jerman. Sementara dalam penelitian ini yang dilihat adalah bahasa

anak itu sendiri, yang terfokus pada bunyi bahasa yang diproduksi oleh anak.

Dilihat dari kuantitas orang-orang yang berkomunikasi dengan anak, dapat

dikatakan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang dominan didengar dan

diproduksi oleh anak.

4.3 Sekilas Bahasan Pemahaman Bahasa Anak

Sebelum anak mampu memproduksi bunyi-bunyi bahasa yang dapat

dikaitkan dengan makna tertentu, anak lebih dahulu memiliki pemahaman

tentang masukan-masukan yang didapatkan dari orang-orang di lingkungannya.

Dardjowidjojo (2000:75) menyatakan bahwa setelah bayi lahir dan mendapatkan

masukan dari orang-orang di sekitarnya, dia mengembangkan pemahaman

terlebih dahulu, bahkan dikatakan bahwa pemahaman lima kali lipat daripada

produksinya.

Clark dan Clark (1977: 43) memaparkan bahwa pemahaman memiliki

makna yang sempit dan makna yang lebih luas. Dalam arti sempit, pemahaman

mengacu pada proses mental ketika pendengar menyimak bunyi yang dikeluarkan

oleh pembicara dan menggunakan bunyi tersebut untuk mengonstruksi suatu

interpretasi tentang apa yang dimaksud oleh pembicara. Secara lebih sederhana,

Page 13: Profil lingkungan kebahasaan anak

13

pemahaman adalah membangun makna dari bunyi yang terdengar. Dalam arti

yang lebih luas, pemahaman yang berawal dari interpretasi terhadap bunyi yang

didengar tidaklah berhenti dalam tahap ini saja. Ketika mendengar suatu

pernyataan, pendengar menyimak informasi yang mereka dengar dan kemudian

menyimpannya dalam ingatan mereka. Ketika mendengar suatu pertanyaan,

mereka biasanya mencari tentang informasi yang diinginkan dan mecari jawaban

dari pertanyaan tersebut. Ketika mendengar perintah atau permintaan, mereka

biasanya memutuskan apa yang harus mereka lakukan dan akhirnya melakukan

sesuatu.

Masih berkaitan dengan pemahaman, Dardjowidjojo (2000) menyebutkan

bahwa Hirsch-Pasek dan Golinkoff mendefinisikan komprehensi sebagai suatu

proses interaktif yang melibatkan berbagai koalisi atau korespondensi antara lima

faktor: sintaktik, konteks lingkungan, konteks sosial, informasi leksikal dan

prosodi. Hirsch-Pasek dan Golinkoff memberikan beberapa alasan tentang

mengapa komprehensi mendahului produksi. Pertama, untuk komprehensi, anak

hanya perlu mengenali masukan yang datang dan tidak perlu memanggil ulang

apa pun yang telah masuk seperti halnya pada produksi. Kedua, komprehensi

memerlukan hanya penerimaan paket informasi yang masuk, sedangkan produksi

memerlukan pembuatan informasi tersebut. Ketiga, komprehensi memerlukan

pengaktifan pilihan-pilihan leksikal, tetapi bentuk leksikal itu telah dipilih oleh

pembicara sedangkan dalam produksi pilihan ini harus dibuat oleh interlokutor.

Tahap pemahaman yang mengawali tahap produksi sangat dipengaruhi

oleh topik-topik yang dibicarakan kepada anak. Pada tahap-tahap awal

Page 14: Profil lingkungan kebahasaan anak

14

perkembangan bahasa anak, topik-topik biasanya berkaitan dengan hal-hal yang

berada di sekitar lingkungan anak. Misalnya, orang-orang yang ada di sekitarnya,

benda-benda, gambar ataupun mainan yang mereka miliki. Clark dan Clark (1977)

menyebutnya sebagai konsep here and now yang diterjemahkan oleh Dardjowijojo

(2000) menjadi konsep sini dan kini.

Dalam kasus Lila, yang tumbuh dalam lingkungan bilingual, juga terlihat

bahwa komprehensinya lebih berkembang daripada produksinya. Sejak usia dini

Lila sudah menyimpan informasi-informasi, baik dalam bahasa Indonesia ataupun

dalam bahasa Jerman. Meskipun lebih banyak masukan yang diterima dalam

bahasa Indonesia, namun informasi dalam bahasa Jerman pun terekam dalam

memori Lila. Ini terlihat ketika Lila diajak bercakap-cakap oleh ayahnya dalam

bahasa Jerman, Lila meresponnya dengan nonverbal ataupun verbal. Pada suatu

hari, ketika berumur 1;7, Lila mendapatkan makanan ringan yang terbungkus

plastik. Setelah makanan ringan tersebut habis, Lila membuang pembungkusnya

di teras rumah. Ketika ayah Lila melihat hal itu, dia mengatakan, “Tun das rein in

die abfall eimer!” (“Buang itu di tempat sampah!”) sambil menunjuk plastik

pembungkus yang tergeletak di lantai. Mendengar apa yang dikatakan ayahnya,

Lila memungut plastik tersebut dan berlari ke dapur ke tempat terletak sebuah

tong sampah, kemudian dia membuang plastik pembungkus tersebut ke dalam

tong sampah. Di samping itu, sering, ungkapan-ungkapan, pertanyaan, atau

suruhan dalam bahasa Jerman dibalas oleh Lila menggunakan bahasa Indonesia.

Misalnya, ketika Lila berumur 1;8, ayahnya bertanya, “Wo ist dein buch?” (“Di

mana bukumu?”) Lila menjawab, ana- ‘di sana’, sambil menunjuk ke arah

Page 15: Profil lingkungan kebahasaan anak

15

meja. Ketika Lila menginjak umur dua tahun, komprehensinya semakin

berkembang dan disertai dengan respon-respon yang mulai bercampur antara

bahasa Indonesia dan bahasa Jerman. Suatu hari, saat Lila berumur 2;1, ayahnya

bermain dengan Lila membuat benda-benda dari duplo (mainan bongkar pasang).

Ayahnya menunjukkan bagaimana caranya membuat kursi dan meja dari duplo-

duplo yang bisa dipasang dan dibongkar. Dalam bahasa Indonesia, mainan ini

sering dikenal dengan nama mainan bongkar pasang. Percakapan antara ayah dan

anak terjadi seperti di bawah ini:

(1) Papa : Was machen wir jetzt? ‘Apa yang kita lakukan sekarang?’

Lila : ‘so’

Lila : ‘jetzt’

Papa : gleich

Lila : ‘mana meja’

Papa : Mejanya, o mejanya.

Lila : ‘mau lagi buat’

Begitu pula ketika Lila bercakap-cakap dengan neneknya yang berasal dari

Jerman. Sering Lila merespon tuturan neneknya dengan bahasa Indonesia atau

mencampur ekspresi bahasa Indonesia dan bahasa Jerman. Misalnya, ketika suatu

was apa jetzt sekarang

machen membuat so akhirnya, ayo

wir kita gleich segera

Page 16: Profil lingkungan kebahasaan anak

16

hari mereka akan jalan-jalan ke luar dan neneknya bertanya apakah Lila sudah

siap.

(2) Nenek : Bist du fertig? ‘Apa kamu sudah selesai?’

Lila : ‘belum’

Nenek : Oma ist fertig. ‘Oma sudah selesai’

Lila : ‘mama auch’ ‘mama juga’

Melihat respon yang diberikan oleh Lila, dapat dikatakan bahwa Lila

memiliki pemahaman baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jerman.

Meskipun bahasa Jerman masih jarang diproduksi, namun informasi atau

masukan-masukan yang ada di sekitarnya sudah disimpan oleh Lila dalam

memorinya.

Di samping itu, dapat dikatakan bahwa sampai usia 2;6, Lila belum bisa

membedakan dua sistem bahasa yang berbeda antara bahasa Indonesia dan

Jerman. Ini ditandai dengan adanya respon bahasa Jerman dalam bahasa Indonesia

atau sebaliknya. Bahkan dengan teman-teman sebayanya yang tidak mengerti

bahasa Jerman, Lila sering mengatakan nein ‘jangan’ ketika dia tidak mau

mainannya dipakai orang. Atau ketika dia melihat mainan miliknya digunakan

oleh seorang teman dan Lila merebutnya sambil mengatakan nein

du kamu fertig selesai

oma nenek ist aux

auch juga

Page 17: Profil lingkungan kebahasaan anak

17

‘jangan’. Ini membuktikan bahwa pada umur itu, Lila belum mengerti bahwa

ketika berkomunikasi dengan teman-temannya dia seharusnya menggunakan

bahasa Indonesia.

Dalam kasus-kasus studi perkembangan bahasa dini anak yang disuguhi

lingkungan bahasa yang bilingual, sering anak-anak pada awalnya belum bisa

membedakan dua sistem linguistik yang berbeda. Hal ini juga dialami oleh

Hildegard, seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan bahasa Inggris dan

Jerman yang perkembangan bahasanya diteliti oleh orangtuanya (Hakuta,

1974:49). Hakuta yang mewawancarai Leopod, ayah Hildegard, mendapat

informasi bahwa dari penelitian yang dilakukan Leopold baru pada umur tiga

tahun Hildegard memperlakukan kedua bahasa yang diperolehnya sebagai dua

sistem linguistik yang berbeda. Dia menggunakan kedua bahasa tersebut secara

berbeda ketika berkomunikasi dengan orang tuanya. Kepada ayahnya dia

menggunakan bahasa Jerman dan kepada ibunya menggunakan bahasa Inggris.

Kasus yang serupa juga terjadi pada Ingrid seperti yang dipaparkan Grosjean

(1982:167). Pada mulanya Ingrid yang dibesarkan dalam lingkungan bahasa

Swedia dan bahasa Inggris (ayah berbahasa Inggris dan ibu berbahasa Swedia)

memroduksi bahasa yang bercampur antara kedua bahasa tersebut, namun ketika

Ingrid berumur tiga tahun dia bisa menggunakan kedua bahasa tersebut secara

terpisah.

Dilihat dari perkembangan bunyi bahasa yang muncul pada Lila, dapat

dikatakan bahwa Lila memeroleh baik kompetensi maupun performasi dalam

berbahasa. Kompetensi yang dimaksud di sini adalah pengetahuan anak tentang

Page 18: Profil lingkungan kebahasaan anak

18

bahasa yang diperolehnya yang direalisasikan dengan performasi bahasa, yaitu

dalam bentuk-bentuk fonologis yang mampu diucapkan oleh Lila. Pada awalnya,

bentuk-bentuk fonologis belum mampu diucapkan secara sempurna, namun dapat

dilihat bahwa bentuk-bentuk yang dilafalkan mengarah pada kata-kata tertentu

yang mengacu pada makna-makna tertentu. Perkembangan bahasa yang diperoleh

Lila sesuai dengan hipotesis nurani yang dicetuskan oleh kaum nativisme yang

salah satu penggagasnya adalah Chomsky. Penganut nativisme berpendapat semua

kanak-kanak di dunia akan memeroleh bahasa Ibunya asal mereka diperkenalkan

atau diajak berkomunikasi dalam bahasa tersebut. Lust (2006) yang mengadaptasi

teori Chomsky mengatakan anak-anak memeroleh bahasa secara alami meskipun

kadang-kadang mereka disuguhi lebih dari satu bahasa sekaligus.

Page 19: Profil lingkungan kebahasaan anak

19

BAB V

ELEMEN BUNYI DAN VARIASI UCAPAN

5.1 Elemen Bunyi dan Urutan Perkembangan Bunyi

Anak yang belajar bahasa atau bahasa-bahasa pertamanya sama sekali

tidak “mengetahui” apakah ia akan mendengar bahasa Indonesia, Jepang, Rusia,

Inggris atau Hongaria (Schane, 1992: 9). Selanjutnya Schane juga berargumen

bahwa meskipun anak tidak mengetahui tentang bahasa yang mereka dengar,

dengan adanya fakta bahwa mekanisme suara semua manusia itu sama, anak

mempunyai potensi untuk menghasilkan segala bunyi yang signifikan dalam

bahasa tertentu atau bahasa yang akan dipakai anak tersebut.

Watson (1992:32) memaparkan bahwa meskipun tahap awal

perkembangan bunyi anak bilingual dipengaruhi oleh berbagai faktor, anak

bilingual tidak begitu dapat dibedakan dengan anak monolingual pada tahap

produksi satu kata satu frasa. Mayoritas dari anak bilingual di dunia yang disuguhi

Page 20: Profil lingkungan kebahasaan anak

20

lebih dari satu bahasa mengalami dominasi pada satu bahasa tertentu sehingga

kata-kata pertama yang diproduksi biasanya merupakan bagian dari satu bahasa

tersebut. Di samping itu, bahkan dalam kasus-kasus anak yang dianggap bilingual

primer yang disuguhi dua bahasa secara bersamaan dengan kuantitas yang sama

sejak anak dilahirkan dan terus berkelanjutan, biasanya anak tidak sadar bahwa

mereka disuguhi dua sistem linguistik yang berbeda. Gejala perkembangan

kebahasaan seperti yang dituturkan Watson juga ditemui pada kasus

perkembangan bahasa, khususnya pada tahap perkembangan bunyi bahasa Lila

pada usia dini, yaitu pada usia 1;2 sampai 2;6. Penelitian yang melihat

perkembangan bunyi anak bilingual bahasa Indonesia dan Jerman ini dimulai

ketika anak berumur 1;2.

Pada umur 1; 2, Lila telah memproduksi bunyi-bunyi, baik bunyi vokal

maupun bunyi konsonan. Bunyi vokal yang paling sering muncul adalah bunyi

vokal-depan-rendah . Bunyi vokal lain yang muncul kemudian adalah bunyi

vokal-depan-tinggi i, vokal-belakang-tinggi u, vokal-depan-tengah e, dan

bunyi yang kedengaran seperti bunyi vokal- pusat-tengah . Dari kelima bunyi

vokal yang muncul pada usia tersebut, bunyi yang paling dominan dan paling

sering muncul adalah bunyi , baru kemudian diikuti bunyi i dan u. Ketiga

bunyi vokal tersebut adalah pola tiga-vokal dasar yang ditemukan dalam hampir

semua bahasa (Schane, 1992: 10). Produksi ketiga vokal tersebut yang dikuasai

oleh Lila sesuai dengan teori yang dicetuskan Jakobson (dalam Schane, 1992: 11)

yang menyatakan bahwa i, a dan u secara menyeluruh merupakan fonem vokal

Page 21: Profil lingkungan kebahasaan anak

21

pertama yang muncul dalam bahasa anak-anak. Jokobson mengulas bahwa ketiga

vokal tersebut dirujuk sebagai vokal paling dasar yang muncul sebagai segmen

dalam hampir semua bahasa dan sebagai segmen pertama dalam bahasa anak-

anak. Vokal-vokal tersebut sangat bertolak belakang. Dalam hal ini, vokal a

sebagai vokal rendah bertolak belakang dengan vokal i dan u yang merupakan

vokal tinggi. Sementara itu, vokal i dan u bertolak belakang atau berkontras

dilihat dari segi perbedaan titinada. Vokal i memiliki karakter bertiti nada tinggi

sementara vokal u bertiti nada terendah.

Dominasi bunyi vokal-depan-rendah juga dapat dilihat dalam contoh

yang digambarkan dalam spektrogram di bawah ini.

Gambar 5.1: Bunyi vokal yang diproduksi anak

Page 22: Profil lingkungan kebahasaan anak

22

Gambar 5.2: Bunyi

Pada gambar 5.1, terlihat bahwa Lila mengeluarkan bunyi yang

panjang dan diulang. Bunyi tersebut diucapkan dengan durasi yang cukup

lama, yaitu antara 700-800 ms dengan frekuensi, yang berkisar antara 24 Hz-30

Hz. Frekuensi bunyi yang terdeteksi dalam gelombang suara tersebut cukup kecil

karena ketika sedang direkam posisi alat perekam tidak bisa diletakkan terlalu

dekat dengan anak, untuk menghindari anak merasa terganggu dengan alat

tersebut. Pada gambar 5.1, dominasi bunyi juga terlihat dibandingkan dengan

bunyi nasal-alveolar . Dibandingkan dengan bunyi , bunyi memiliki

frekuensi lebih tinggi dan durasi yang lebih panjang. Bunyi memiliki

frekuensi sekitar 20 Hz – 25 Hz, sementara bunyi n hanya 4 Hz-8 Hz. Durasi

yang diperlukan untuk mengeluarkan bunyi sekitar 250 ms – 300 ms,

sedangkan durasi yang dibutuhkan untuk produksi bunyi n berkisar antara 150

ms – 160 ms.

Page 23: Profil lingkungan kebahasaan anak

23

Bunyi sering muncul dan dikombinasikan dengan bunyi konsonan

bilabial hambat , serta bunyi nasal dan sehingga muncullah

bentuk fonologis , , dan yang sering direduplikasi oleh anak.

Pada grafik gelombang suara yang diproduksi anak, yang terlihat dalam kedua

gambar di atas, dapat terlihat bahwa bunyi vokal memiliki gelombang suara

yang besar dan durasi yang panjang.

Dari bunyi-bunyi vokal yang dikembangkan oleh Lila pada umur 1;2,

salah satu bunyi yang diperoleh di luar bunyi vokal dasar yang dicetuskan

Jakobson adalah bunyi . Ketika bunyi pertama kali muncul, Lila selalu

mengatakan sambil menunjuk-nunjuk gambar seekor kucing, yang sering

diperkenalkan dengan kata miao atau katze kats dalam bahasa Jerman oleh

orang tuanya. Berikut adalah gambar gelombang bunyi ketika Lila memproduksi

bentuk fonologis .

Page 24: Profil lingkungan kebahasaan anak

24

Gambar 5.3: Spektrogram bunyi

Bunyi pada gambar 5.3 hanya memiliki frekuensi sekitar 4 Hz -6 Hz

dan durasi yang pendek, yaitu sekitar 70 ms – 85 ms. Kemunculan bunyi ini

dapat dimengerti karena bunyi adalah bunyi vokal yang keluar yang

memerlukan energi yang paling lemah. dan frekuensi kemunculan bunyi tersebut

baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali serta Bahasa Jerman cukup

tinggi sehingga pada akhirnya anak juga belajar untuk memproduksi bunyi

tersebut. Dalam bahasa Jerman khususnya, bunyi sangat sering muncul

diakhir kata seperti dalam kata meine ‘punya saya’, k ecke ‘pojok’,

ente ‘bebek’, alle ‘semua’, kette ‘kalung’, jede

‘setiap’, danke ‘terima kasih, bitte, ‘tolong/silakan’. Dalam

http://www.vistawide.com termuat bahwa sekitar 89% kata-kata dengan gender

maskulin, 74% kata-kata dengan gender netral dan 25% kata-kata dengan gender

feminim memiliki bentuk plural –e yang sering dilafalkan dengan bunyi .

Kata-kata tersebut sering didengar oleh Lila. Jadi bunyi dikembangkan oleh

anak karena anak menerima banyak masukan kata-kata yang mengandung bunyi

tersebut.

Oleh karena itu, jika digambarkan dengan bagan, maka fonem vokal yang

secara regular muncul pada umur 1;2 dalam kasus Lila adalah sebagai berikut:

Page 25: Profil lingkungan kebahasaan anak

25

Bagan 5.1: Fonem Vokal Umur 1;2

Bunyi-bunyi konsonan yang muncul adalah bunyi bilabial-hambat-tak

bersuara , bilabial- hambat-bersuara , bilabial-nasal- bersuara ,

alveolar-nasal-bersuara , bunyi dental-hambat- tak bersuara dan bunyi

dental-hambat- bersuara sehingga suku kata yang sering muncul pada umur

ini adalah , , , , , , . Kebanyakan bentuk-bentuk

fonologis yang terdengar belum bisa dikaitkan dengan makna tertentu yang

berhubungan dengan orang, objek maupun perbuatan. Beberapa ahli menamai

tahap ini sebagai tahap ocehan bayi atau dalam bahasa Inggris sering disebut

sebagai babbling period. Ocehan meliputi nyanyian atau intonasi bahasa;

mengungkapkan isyarat emosi; memproduksi kata-kata pertama (Desmita, 2009:

114). Sering kali bentuk-bentuk fonologis yang sama muncul ketika dia sedang

bermain sendiri, bermain dengan orang lain, ketika dia sedang dimandikan, makan

dan melakukan aktivitas lain. Bunyi-bunyi yang dikeluarkan pada umur ini lebih

sebagai latihan alat ucap anak. Bentuk-bentuk fonologis yang muncul misalnya:

(1)

Page 26: Profil lingkungan kebahasaan anak

26

Sehubungan dengan periode ocehan bayi ini, Clark & Clark (1977)

menyebutkan bahwa ocehan bayi memberikan kesan mulai munculnya bunyi

bahasa dibandingkan suara tangisan bayi. Hal ini karena pada tahap ocehan bayi

sering muncul gabungan antara vokal dan konsonan, seperti misalnya bababa,

mamama, mememe, papapa. Selanjutnya dijelaskan bahwa periode ini mulai

menurun ketika anak-anak mulai mengeluarkan kata-kata pertamanya yang dapat

dihubungkan dengan makna.

Anak memproduksi kata-kata pertama yang mengacu pada makna sekitar

umur satu sampai satu setengah tahun (Clark & Clark, 1977: 391). Sementara

Desmita (2009:114) mengungkapkan bahwa pada ulang tahun pertama, anak

menguasai kira-kira 12 kata dan penguasaan ini meningkat secara dramatis hingga

diperkirakan sekitar 300 kata atau lebih pada ulang tahun yang kedua. Pada kasus

Lila, ketika dia berumur 1;2, dua bulan setelah ulang tahunnya yang pertama, baru

terdeteksi hanya beberapa bentuk fonologis yang dapat direlasikan dengan makna

tertentu. Bentuk- bentuk tersebut, yaitu

Bunyi sering

Page 27: Profil lingkungan kebahasaan anak

27

terdengar ketika anak melihat ibunya atau barang-barang yang berhubungan

dengan ibunya. Misalnya, ketika suatu siang ibunya pulang dari bekerja dan

menaruh tas tangannya di teras rumah, Lila berusaha mengambil tas tersebut dan

mengatakan sambil menunjuk-nunjuk tas tersebut. Bunyi juga

sering keluar ketika anak melihat ayahnya atau ketika dia ingin digendong

ayahnya. Bunyi ini juga terdengar ketika anak menunjuk-nunjuk benda-benda

yang berhubungan dengan ayahnya. Misalnya, ketika anak melihat secangkir kopi

yang terletak di atas meja di teras rumah, anak menunjuk-nunjuk cangkir tersebut

sambil mengatakan yang di ulang-ulang, bahkan jika cangkir tersebut

kosong dan tidak berisi kopi, anak juga mengatakan . Hal ini bisa

dimengerti karena di rumah tersebut, setiap orang memiliki cangkir yang berbeda.

Khusus untuk ayahnya, ayah Lila memiliki cangkir kopi yang besar, yang

warnanya selalu sama. Sementara ibunya memiliki cangkir teh yang lebih kecil

yang memiliki warna berbeda dengan cangkir kopi. Cangkir-cangkir tersebut

memiliki hubungan yang sangat khas dengan pemiliknya dan anak terbiasa

melihat setiap cangkir tersebut berada dalam genggaman orang tuanya, khususnya

di pagi hari.

Khusus untuk bentuk fonologis dan juga sering terdengar

pada produksi bunyi pada hampir setiap anak yang memeroleh bahasa mana pun

di dunia. Hal ini dijelaskan oleh Clark & Clark (1977; lihat juga Dardjowidjojo,

2000: 84-86) yang mengadaptasi teori Jakobson, yang menyebutkan bahwa dalam

pemerolehan bahasa, anak mengembangkan kontras bunyi yang muncul dalam

Page 28: Profil lingkungan kebahasaan anak

28

urutan yang konsisten. Kontras pertama yang muncul adalah kontras antara bunyi

vokal dan konsonan. Pada umumnya bunyi vokal yang pertama muncul adalah

bunyi vokal sementara bunyi konsonan adalah konsonan hambat , dan

. Dengan kontras tersebut, anak mampu memproduksi kata seperti papa,

baba, mama. Jakobson kemudian berargumen bahwa perkembangan sistem bunyi

yang diperoleh anak sejak dini tersebut memberikan penjelasan tentang mengapa

kata seperti papa dan mama digunakan secara umum dalam berbagai bahasa di

dunia sebagai kata yang digunakan untuk merujuk makna ‘ayah’ dan ‘ibu’. Kata

papa dan mama merupakan bagian dari kata-kata pertama yang diproduksi anak

dalam bahasa mana pun di dunia. Selanjutnya dikatakan karena orang tua bersifat

egois, maka mereka memberi atribut terhadap kedua kata tersebut dengan makna

‘ayah’ dan ‘ibu’.

Bentuk terdengar ketika Lila melihat orang lain meninggalkan

rumah. Kata dada sering diucapkan orang-orang di rumah ketika orang-orang

pergi, yang selalu disertai dengan lambaian tangan. Hampir setiap hari ada anak-

anak yang bermain di rumah keluarga tersebut, dan setiap kali anak-anak tetangga

meninggalkan rumah, selalu mengucapkan kata dada disertai dengan lambaian

tangan, yang sering dijawab dada juga oleh orang tua Lila. Jadi kata dada relatif

sering didengar oleh Lila sehingga bentuk fonologis tersebut juga merupakan

salah satu kata yang dikembangkan oleh Lila, yang mengacu pada makna selamat

tinggal. Bentuk lain yang muncul adalah yang mengacu pada seekor

anjing tetangga yang bernama Doggy, yang selalu menghabiskan waktu di rumah

Page 29: Profil lingkungan kebahasaan anak

29

keluarga Lila karena keluarga Lila sering memberinya makan. Setiap orang

memanggil anjing itu Doggy dan Lila sangat senang melihat anjing tersebut dan

memanggil-manggilnya .

Sementara bentuk fonologis [] merujuk pada binatang unggas, yaitu

ayam. Ayam adalah salah satu binatang yang juga sering ada di pekarangan

rumah. Ayam-ayam tetangga sering datang berkeliaran dan Lila pada umur 1;2

melafalkan []. Mengapa Lila merujuk binatang tersebut dengan bunyi yang

jauh dari kata ayam? Pada suatu saat, ketika Lila berumur satu tahun, neneknya

dari pihak ayah tinggal di Bali selama tiga bulan. Nenek Lila selalu

berkomunikasi dengan Lila dalam bahasa Jerman dan setiap kali ada ayam yang

berkeliaran di pekarangan rumah, neneknya selalu menunjuknya dan mengatakan

kikeriki. Bunyi kikeriki adalah tiruan suara ayam dalam bahasa Jerman yang di

dalam bahasa Indonesia biasanya disuarakan kukuruyuk. Pada akhirnya, setiap

kali melihat ayam, Lila selalu melafalkan []. Dapat dilihat bahwa bunyi []

yang muncul digunakan untuk mengganti bunyi [] yang saat itu belum dikuasai

oleh Lila. Hal ini sesuai dengan teori perkembangan bunyi Jakobson (1972) yang

menyatakan bahwa bunyi alveolar dikuasai sebelum bunyi-bunyi velar.

Bentuk lain, yaitu [] merujuk benda yang berupa bunga. Sejak Lila usia

dini, dia sudah tertarik pada warna-warna di sekitar rumah, terutama warna-warna

bunga yang ada di kebun. Warna-warna terang seperti merah, oranye dan ungu

merupakan warna-warna bunga bougainvillaea yang ada di kebun rumah. Kalau

Page 30: Profil lingkungan kebahasaan anak

30

diajak berjalan-jalan di sekitar kebun, maka dia menunjuk-nunjuk bunga dan

mengatakan [].

Melihat data perkembangan bunyi awal yang dikuasai Lila, seperti

dipaparkan di atas, dapat dikatakan bahwa perkembangan bunyi bahasa Lila

mengikuti teori perkembangan fonologi anak yang dicetuskan oleh Jakobson

(1971) yang juga termuat dalam Clark dan Clark (1977: 392). Jakobson

menemukan bahwa kontras bunyi dikuasai anak secara konsisten. Kontras

pertama yang muncul adalah antara bunyi vokal dan konsonan. Bunyi vokal

pertama yang muncul adalah bunyi depan-rendah yang diproduksi dengan posisi

mulut terbuka lebar dengan posisi lidah yang datar. Bunyi ini direpresentasikan

dengan bunyi A. Bunyi ini sering dikombinasikan dengan kontras konsonan,

biasanya bunyi hambat- bilabial baik yang bersuara maupun tak bersuara P-

Byang sering difluktuasikan di antara keduanya. Lambang huruf kapital

digunakan untuk menggambarkan kontras yang muncul, mengingat bahwa pada

tahap perkembangan bunyi awal yang dikuasai anak, segmen yang muncul sangat

bervariasi. Menurut Jakobson, kontras selanjutnya yang muncul dalam sistem

bunyi konsonan adalah kontras bunyi oral dan nasal konsonan, yaitu antara bunyi

oral bilabial dan nasal bilabial, yaitu P-BM(lambang Mdi sini

merepresentasikan segmen nasal pertama yang muncul, namun realisasi bentuk

fonetiknya bisa bervariasi dari suatu produksi ke produksi lain). Pada tahap ini,

yaitu tahap awal perkembangan bunyi, Clark dan Clark menyebutkan bahwa

Page 31: Profil lingkungan kebahasaan anak

31

anak-anak mengembangkan “bentuk-bentuk kata” yang potensial seperti: ba, pa,

ma, baba, papa dan mama.

Kontras selanjutnya yang muncul adalah antara konsonan bilabial dan

konsonal dental. Konsonan P-B dikontraskan dengan konsonan T-D, dan

M dikontraskan dengan N. Di bawah ini adalah bagan tahap perkembangan

kontras konsonan yang dikembangkan oleh Lila ketika berumur 1;2.

Konsonan P-B

Oral P-B Nasal M

Bilabial P-B Alveolar T-D Bilabial M Alveolar N

Bagan 5.2: Tahap Perkembangan Kontras Konsonan yang Dikuasai Lila

Bagan di atas sesuai dengan bagan yang digambarkan oleh Clark dan Clark (1977:

39).

Page 32: Profil lingkungan kebahasaan anak

32

Pada umur 1;2, fonem konsonan yang muncul secara konsisten adalah

Titik/Cara Artikulasi

Bilabial Alveolar Palatal Velar Glotal

Hambat

Frikatif AfrikatNasal GetarLateralSemivokal

Bagan 5.3: Fonem Konsonan Umur 1;2

Pada bagan 5.3, terlihat bahwa bunyi-bunyi anterior, yang diproduksi di

bagian depan mulut diproduksi lebih awal oleh Lila, sementara bunyi-bunyi

belakang belum mampu untuk dikembangkan. Bunyi glotal h adalah bunyi

yang berada di antara vokal dan konsonan yang cenderung lebih mudah untuk

dikuasai anak. Bunyi-bunyi anterior yang bilabial, misalnya, hanya dengan

menggerakkan bibir sedikit saja, bunyi tersebut sudah muncul. Pengucapan

bunyi-bunyi tersebut paling mudah dikuasai anak. Sementara bunyi lain, yang

diproduksi di belakang bagian mulut, lebih sulit karena untuk dapat mengeluarkan

bunyi-bunyi tersebut, Lila harus menggunakan lidahnya atau membutuhkan gigi

yang sudah tumbuh secara normal. Namun, pada umur 1;2, Lila belum memiliki

cukup gigi serta belum dapat menggunakan lidahnya secara optimal.

Page 33: Profil lingkungan kebahasaan anak

33

Tiga bulan kemudian, ketika Lila berumur 1;5, bunyi-bunyi yang muncul

sudah semakin bertambah. Bunyi vokal , , dan konsonan frikatif

dan velar-hambat sudah mulai muncul. Namun, kemunculan bunyi dan

masih sangat terbatas, yaitu hanya pada akhir kata. Bentuk-bentuk fonologis

yang muncul sudah merujuk benda-benda tertentu, baik yang ada di sekelilingnya

maupun dari gambar-gambar yang dilihat (Pada setiap data fonologis yang

muncul dalam penelitian ini, ditulis dalam tiga lajur. Lajur pertama adalah bunyi-

bunyi yang diproduksi anak, lajur kedua adalah bunyi ideal yang seharusnya

diproduksi, dan lajur ketiga adalah kata-kata yang diproduksi). Bunyi-bunyi yang

terdengar,yaitu

(2) ‘sabun’

‘air’

‘bebek’

‘ikan’

maem (informal)’ ‘makan’

‘lampu’

‘habis’

Beberapa bentuk fonologis yang muncul sering merepresentasikan lebih

dari satu makna. Misalnya, bunyi terdengar ketika Lila melihat air, atau

gelas, cangkir, botol, atau dot. Ketika anak melihat gambar gelas, dia juga

Page 34: Profil lingkungan kebahasaan anak

34

menyebutnya begitu juga ketika dia melihat botol di atas meja. Meskipun

botol itu kosong tidak berisi air, dia tetap mengatakan Demikian juga

halnya dengan bentuk fonologis Untuk Lila, adalah bebek itu

sendiri atau angsa. Keluarga tersebut memiliki dua ekor angsa, dan pada umur

1;5, Lila masih memanggil angsa dengan bentuk fonologis Mengapa

angsa disebut oleh anak? Hal ini dapat dijelaskan, baik secara semantis

maupun fonologis. Secara semantis, angsa memiliki ciri-ciri fisik yang mirip

dengan bebek. Keduanya merupakan binatang unggas yang berkaki dua dan

berbulu serta berparuh. Dalam buku anak-anak yang sering ditunjukkan kepada

anak sering terlihat gambar bebek atau itik yang merupakan anak bebek. Anak

sering diperkenalkan bahwa binatang tersebut bernama bebek, sehingga ketika

Lila melihat angsa yang berjalan-jalan di kebun rumah, dia memanggilnya

karena untuk umurnya yang masih sangat muda, anak belum bisa

membedakan bahwa angsa memiliki leher yang lebih panjang daripada bebek.

Sementara dari segi fonologis, kata angsa terdiri dari bunyi-bunyi yang secara

artikulatoris belum bisa diucapkan oleh anak pada umur tersebut. Pada umur 1;5,

Lila belum mampu untuk memproduksi bunyi serta bunyi yang berada di

posisi tengah kata. Dengan kata lain bunyi bebek dipilih oleh anak karena secara

kodrati bunyi tersebut yang terdiri atas bunyi konsonan bilabial lebih mudah

disuarakan oleh anak.

Bentuk fonologis lain yang diproduksi, yang sering memiliki lebih dari

satu makna adalah , bentuk merujuk pada binatang babi, baik

Page 35: Profil lingkungan kebahasaan anak

35

yang dia lihat di kenyataan maupun di gambar. Kata juga digunakan

ketika anak melihat gambar gajah. Setiap kali melihat gambar gajah ataupun

melihat seekor gajah di TV, Lila memanggilnya .

Pada umur 1;5 kata-kata yang merujuk pada makna suatu benda atau

keadaan dalam bahasa Jerman juga sudah mulai terdengar meskipun realisasi

fonem yang muncul adalah realisasi fonem bahasa Indonesia. Kata-kata tersebut

dapat dilihat di bawah ini.

(3) h heiß

meao ‘suara kucing’

banane ‘pisang’

Kata heiß yang dalam bahasa Indonesia bermakna ‘panas’ adalah salah

satu kata bahasa Jerman yang sering diucapkan Lila. Ini bisa dimengerti karena,

setiap kali dia mendapat makanan, makanan yang diberikan masih dalam keadaan

hangat. Sebelum mulai makan, untuk menghindari anak terkejut dengan makanan

yang mungkin agak panas, orang tuanya selalu mengatakan achtung heiß ‘hati-

hati panas’.

Hal yang menarik, yang dapat dilihat di sini adalah bahwa pada umurnya

yang masih sangat muda, Lila memproduksi beberapa kata dalam bahasa Jerman

dan kata-kata ini muncul secara konsisten. Memang dalam produksi bahasanya,

bahasa Indonesia merupakan bahasa yang dominan yang dikeluarkan anak. Hal ini

dapat dimengerti karena masukan yang diperoleh anak dari lingkungan sekitarnya

Page 36: Profil lingkungan kebahasaan anak

36

kebanyakan dalam bahasa Indonesia. Dari segi kuantitas, orang yang berbicara

kepada anak dalam bahasa Indonesia jauh lebih banyak daripada orang yang

berbicara dalam bahasa Jerman. Beberapa kata yang secara konsisten diproduksi

dalam bahasa Jerman adalah sebagai berikut.

(4) kiekiriki ‘tiruan bunyi ayam’

heiß ‘panas’

banane ‘pisang’

nain nein ‘tidak’

affe ‘monyet’

hand ‘tangan’

buch ‘buku’

bauch ‘perut’

kuh ‘sapi’

clown ‘badut’

auto ‘mobil’

Pada data (4), kata-kata tersebut mulanya selalu diucapkan dalam bahasa

Jerman. Contohnya, sampai umur 1;8, anak selalu menyebut atau memanggil

ayam dengan bunyi otopea dalam bahasa Jerman, yaitu kiekiriki ‘bunyi

suara ayam’. Ini disebabkan saat anak berumur sekitar satu tahun, neneknya yang

berasal dari Jerman tinggal di Bali selama tiga bulan. Setiap hari ketika melihat

ayam, neneknya memperkenalkan kepada anak bahwa ayam itu berbunyi

kiekiriki. Karena saat itu anak belum menguasai bunyi velar-hambat-tak bersuara

Page 37: Profil lingkungan kebahasaan anak

37

, maka yang keluar adalah bunyi alveolar-hambat–tak bersuara , yang

memiliki kesamaan fonetis dengan bunyi k. Kata ayam yang terealisasi dalam

bentuk fonetis baru muncul ketika anak berumur 1;9. Dari segi fonologis,

munculnya mendahului bunyi juga dapat dijelaskan karena bunyi

yang merupakan bunyi palatal-semivokal secara natural dikembangkan lebih

lambat daripada bunyi-bunyi alveolar.

Hal yang serupa juga terjadi dengan kata banane ‘pisang’. Bunyi

jauh lebih dahulu dikembangkan daripada kata ‘pisang’ yang

baru aktif digunakan ketika anak berumur 2;1. Jika kita lihat, kata banane terdiri

atas bunyi-bunyi konsonan bilabial dan alveolar yang secara natural lebih dahulu

dikembangkan oleh anak daripada kata pisang yang di dalamnya terdapat bunyi

alveolar-frikatif-tak bersuara dan bunyi velar-nasal . Sementara untuk kata

buch ‘buku’ dan auto ‘mobil’, masukan yang didapat sangat identis

dengan ayahnya. Ayah Lila adalah orang pertama yang memperkenalkannya pada

buku. Setiap kali bepergian hal yang dibawa pulang sebagai hadiah untuk anaknya

sering berupa buku anak-anak yang penuh dengan gambar-gambar. Ayah dan

nenek yang berasal dari Jerman selalu memperkenalkan anak pada buku-buku

yang baru. Buku sering dipakai ayah Lila untuk melatih anak untuk mengetahui

benda-benda atau hal-hal yang ada di sekitar anak. Begitu juga dengan kata

auto ‘mobil’. Hal-hal yang berhubungan dengan kendaraan sering diketahui anak

dari ayahnya.

Page 38: Profil lingkungan kebahasaan anak

38

Pada kasus yang ditemukan dalam penelitian ini, data yang terdapat pada

(4), pada tahap ujaran bunyi satu kata pada awalnya, selalu muncul dalam bahasa

Jerman dan tidak dalam bahasa Indonesia. Sebaliknya, kata-kata yang terdapat

dalam data (2) yang selalu diucapkan dalam bahasa Indonesia, pada awalnya tidak

pernah diproduksi dalam bahasa Jerman. Temuan ini mendukung pendapat

perkembangan awal bilingualisme yang ditulis oleh Grosjean (1982: 183) yang

mengadaptasi hipotesis Volterra dan Taeschner, yang dikembangkan pada tahun

1978. Hipotesis tersebut menyatakan bahwa tahap pertama dalam perkembangan

bahasa anak bilingual adalah tahap satu sistem linguistik atau satu sistem leksikal

yang mengandung kata-kata dari kedua bahasa yang diperolehnya.

Selanjutnya dikatakan bahwa hal yang menarik dalam tahap pertama

pemerolehan bahasa anak bilingual adalah ketika anak memiliki satu sistem

leksikal yang terdiri atas kata-kata yang terdapat dalam kedua bahasa yang

diperoleh jarang ada ketumpang tindihan di antara kata-kata yang diproduksinya.

Hal ini sesuai dengan yang dilukiskan dari hasil penelitian Imedadze dan Uznadze

(Grosjean, 1982), yang meneliti anak bilingual Rusia-Georgia. Misalnya, anak

menggunakan bahasa Rusia untuk bunga tsiti dan bahasa Georgia untuk bola

buti, tetapi anak tidak pernah menggunakan kata bunga dalam bahasa Georgia,

begitu pun sebaliknya kata buti, dalam bahasa Rusia. Peneliti lain yang

mendukung hipotesis bahwa pada awalnya anak bilingual memiliki satu sistem

linguistik yang mengkombinasikan elemen-elemen dua bahasa yang disuguhkan

Page 39: Profil lingkungan kebahasaan anak

39

kepadanya adalah Swain yang meneliti anak bilingual untuk topik disertasinya

(Grosjean, 1982).

Dalam bahasa Bali, kata yang muncul adalah jajak ‘kue’ dan

mai ‘sini’. Dua kata ini sering terdengar ketika Lila bermain dengan teman-

temannya. Setiap kali ada beberapa teman yang bermain, salah satu dari mereka

pasti memanggil teman lain dengan kata mai-mai sambil melambai-lambaikan

tangan mereka ke arah teman yang baru datang. Ketika mereka sedang bermain

itulah, kerapkali ada anak yang membawa jajanan karena salah satu rumah

tetangga adalah warung penjual jajan, dan mereka sering mengatakan, Mau jajak?

Kata jajak diserap oleh Lila dan yang muncul kemudian adalah bunyi dadak.

Pada umur 1;6, Lila mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang terdiri atas dua

kata, meskipun kemunculannya masih sangat terbatas. Dengan demikian,

muncullah bentuk-bentuk seperti:

(5) a ‘apa ini’

‘tidak ada’

‘papa duduk’

Satu bulan kemudian, bunyi-bunyi semivokal dan serta bunyi

afrikat dan mulai muncul. Bunyi-bunyi seperti di bawah ini mulai

terdengar.

(6) ‘bawa’

Page 40: Profil lingkungan kebahasaan anak

40

‘awas’

‘berat’

‘kecil mama’

‘hujan’

Khusus untuk bunyi afrikat dan kemunculannya masih sangat terbatas

pada kata ‘hujan’. Namun pada produksi kata-kata

yang lain yang mengandung bunyi dan , bunyi sering diganti dengan

bunyi dan bunyi sering diganti dengan bunyi , sehingga bentuk-

bentuk yang diproduksi anak adalah sebagai berikut:

(7) ‘cicak’

‘kencing’

‘jajak’

‘jatuh’

Menginjak umur 1;8, meskipun belum ada elemen bunyi baru yang

dikuasai selain apa yang dikembangkan pada umur 1;7, kuantitas bunyi yang

memiliki makna dalam bahasa Jerman mulai lebih terdengar dan lebih konsisten.

Meskipun realisasi fonem yang dikeluarkan masih dipengaruhi oleh bunyi-bunyi

bahasa Indonesia. Contoh:

(8) auto ‘mobil’

buch ‘buku’

maus ‘tikus’

Page 41: Profil lingkungan kebahasaan anak

41

kuh ‘sapi’

ö könig ‘raja’

clown ‘badut’

Elemen bunyi baru mulai muncul lagi ketika Lila berumur 1;9. Elemen

bunyi tersebut adalah bunyi palatal-nasal ñ. Lila mulai bisa mengembangkan

bunyi tersebut dalam kata-kata seperti :

(9) ñ mñ ‘monyet’

ñ ada ñ ‘ada monyet’

ini uñ ini ñ ‘ini bunyi’

uda bañ ñak ‘sudah banyak’

Pada bulan berikutnya, usia 1;10, Lila juga mulai mengeluarkan bunyi-

bunyi yang terdiri atas tiga kata. Pada umur ini, anak sudah belajar merangkai

kata-kata pendek. Meskipun ujaran-ujaran yang dikeluarkan belum sempurna,

namun makna dari apa yang diucapkannya, dapat ditangkap.

(10) [] [] ‘mama cuci muka’

[] [] ‘cuci muka mama’

[ ñ] ‘ini punya Ina’

[] ‘Ini jajak kuskus’

[] ‘Papa duduk di sini’

Page 42: Profil lingkungan kebahasaan anak

42

Setelah mengembangkan bunyi ñ, dua bulan kemudian pada bulan Mei

2008, saat Lila menginjak umur 1;11, sebulan sebelum ulang tahunnya yang

kedua, dia mulai menguasai bunyi lateral seperti dalam ujaran

‘jalan-jalan’.

Jika digambarkan dalam bagan, maka fonem vokal yang sudah dikuasai

Lila sampai berumur 2;0 adalah sebagai berikut:

ə

ɛ Ɔ

Bagan 5.4: Fonem Vokal Umur 2 Tahun

Sementara fonem konsonan yang dikuasai adalah seperti yang terlihat pada bagan

di bawah ini.

Titik/cara Artikulasi

Bilabial Labio dental

Alveolar/dental

palatal Velar Glotal

Stop/hambat Tak bersuara bersuara

Frikatif

Page 43: Profil lingkungan kebahasaan anak

43

Afrikat

Nasal ñ

Lateral Getar

Semivokal

Bagan 5.5: Fonem Konsonan Umur 2 Tahun

Setelah Lila berumur 2 tahun, bunyi-bunyi yang dikembangkan masih

tetap sama, namun ada tambahan bunyi baru yang muncul ketika anak berumur

2;1, yaitu bunyi velar-nasal Bunyi ini muncul di antara bunyi vokal dan di

akhir kata.

(11) ‘dingin’

binta ‘bintang’

‘Koming’

ila ‘hilang’

Selain bunyi bunyi yang dikembangkan setelah anak

berumurBunyi ini muncul dengan jelas ketika

anak berumur 2:5. Ini tampak ketika anak mengatakan lagi

om lagi

Tahapan-tahapan perkembangan bunyi bahasa yang diperoleh Lila yang

terealisasi dalam bentuk-bentuk fonologis juga sesuai dengan teori perkembangan

bahasa anak yang dicetuskan oleh Piaget. Piaget mengemukakan bahwa

Page 44: Profil lingkungan kebahasaan anak

44

perkembangan kognitif anak memengaruhi tahapan-tahapan dalam pemerolehan

bahasa anak dan pada saat yang sama membatasi level pemerolehan bahasa itu

sendiri (Taylor, 1990: 231). Melihat perkembangan bentuk-bentuk fonologis yang

dilafalkan oleh Lila, kata-kata yang diacu pada umur 1;2 sampai 2;6 masih

merujuk pada benda-benda, kegiatan maupun orang-orang yang ada di sekitar

anak atau dekat dengan anak. Ketika penelitian ini dilakukan anak masih dalam

tahap sensori motor dan baru menginjak tahap pra operasional. Pada tahap ini

anak belajar tentang dunianya melalui rasa, melihat maupun manipulasi terhadap

objek. Anak mulai memproduksi kejadian-kejadian atau mengucapkan benda-

benda yang dilihatnya atau meniru orang-orang yang ada di sekitarnya.

Saat berumur 2;4, Lila juga banyak berlatih berbicara melalui cerita-cerita

yang sering dibacakan oleh orang tuanya atau pengasuhnya. Cerita-cerita tersebut

adalah cerita anak-anak yang termuat dalam buku-buku kecil. Sering, ketika sudah

selesai dibacakan cerita, Lila sendiri mengambil buku tersebut dan membolak

balikkan halaman buku serta melihat-lihat gambar yang ada di dalam buku sambil

mengatakan apa yang dia lihat pada gambar tersebut. Contoh menarik terdapat

pada rekaman dalam DVD yang diambil pada Oktober 2008 ketika Windi dan Lila

melihat-lihat salah satu cerita yang berjudul Si Jempol.

(12)Windi : Ini apa?

Lila : ojoh melah ‘ogoh-ogoh merah’

Windi : Men Ini?

Lila : ojoh ojoh ijao ‘ogoh-ogoh hijau’

Windi : Ini ogoh-ogohnya kenapa ini?

Page 45: Profil lingkungan kebahasaan anak

45

Lila : Is ‘nangis’

Windi : Kok nangis dia?

Lila : ‘mau ibu’

Windi : Di kasi apa dia?

Lila : ‘kasih hadiah’

Windi : Siapa ini?

Lila : ñ ‘papanya’

Windi : Bukan, si Jempol

Lila : ñ ‘papanya’

Latihan-latihan berbicara seperti ini, dengan melihat gambar dalam cerita

juga sering dilakukan oleh Lila dengan ayahnya. Meskipun ayahnya berbicara

menggunakan bahasa Jerman, Lila sering meresponnya dengan bahasa Indonesia.

Hal ini membuktikan bahwa keterampilan pasif Lila dalam bahasa Jerman jauh

melebihi produksi anak dalam bahasa tersebut. Hal ini dapat dimengerti karena di

lingkungan rumah, ayah Lila adalah satu-satunya orang yang menggunakan

bahasa Jerman secara aktif kepada Lila. Salah satu rekaman yang menarik untuk

dilihat adalah percakapan yang terjadi antara ayah Lila dan Lila pada bulan

November 2008. Pada saat itu, Lila membolak- balik sebuah cerita yang berjudul

Periuk Bunbuku.

(13)Frank : Was ist das schoon buch? ‘Buku apa itu?’

Lila : ‘periuk’

Page 46: Profil lingkungan kebahasaan anak

46

Frank : O, und kenst du das buch? ‘O, Apa kamu tahu buku itu?’

Lila : ‘periuk’

Frank : Oh Pinokio

Lila : ‘ndak-ndak periuk’

Frank : O ya, ya, jetzt verstehe ich. Erzähltmal was gehts das? ‘O ya,

ya.sekarang aku mengerti. Coba ceritakan, apa itu?’

Lila :

‘pada suatu hari, ini musang nangis’

Frank : Warum? ‘kenapa?’

Lila : ’ mau roti sama butter/mentega’

Frank : Ya genauch, die haben keine essen ya

‘Ya tentu saja, mereka tidak punya makanan ya.’

Percakapan-percakapan seperti di atas sering terjadi antara ayah dan anak.

Sampai Lila berumur 2;6, Lila masih sering menjawab pertanyaan-pertanyaan

ayahnya yang diungkapkan dalam bahasa Jerman dengan bahasa Indonesia,

meskipun kata-kata dalam bahasa Jerman sudah muncul di sana sini, tidak dapat

dipungkiri bahwa bahasa Indonesia masih sangat mendominasi produksi bahasa

Lila. Kebanyakan dari anak-anak yang disuguhi bahasa bilingual tidak sadar

bahwa mereka disuguhi dua sistem bahasa yang berbeda sampai anak berumur

dua tahun (Watson, 1992: 34). Demikian juga halnya dengan Lila, bahkan sampai

umur dua setengah tahun belum terlihat bahwa dia menyadari perbedaan linguistik

tersebut terlihat dari jawaban-jawaban dalam bahasa Indonesia yang diberikan

Page 47: Profil lingkungan kebahasaan anak

47

kepada ayahnya ketika ayahnya bertanya dalam bahasa Jerman. Produksi kata-

kata yang dikeluarkan Lila terdiri dari kata-kata, baik dalam bahasa Indonesia

maupun bahasa Jerman. Dia belum bisa memilah kepada siapa bahasa Indonesia

harus digunakan dan kepada siapa kata-kata dalam bahasa Jerman harus

digunakan.

Pada saat penelitian ini selesai dilakukan, yaitu ketika anak berumur 2;6

tidak ada tambahan fonem konsonan baru yang dikuasai anak. Jadi, jika

digambarkan dalam bagan, fonem konsonan yang dikuasai anak sampai umur 2;6

adalah sebagai berikut:

Titik/cara Artikulasi

Bilabial Labio dental

Alveolar/dental palatal Velar Glotal

Stop/hambat Tak bersuara bersuara

Frikatif Afrikat

Nasal ñ Lateral Getar

Semivokal

Bagan 5.6: Fonem Konsonan Umur 2;6

Page 48: Profil lingkungan kebahasaan anak

48

Perkembangan bunyi yang dikuasai anak dari umur 1;2 sampai 2;6

digambarkan dalam grafik perkembangan bunyi anak berikut ini.

Umur 1;2 1;5 1;7 1;9 1;11 2;4

Bunyi Vokal ñ

Bunyi konsonan

Grafik 5.1 Grafik Perkembangan Bunyi Anak Umur 1;2 sampai 2;6

Pada grafik 5.1 terlihat bahwa perkembangan bunyi yang dikuasai oleh anak

sangat ditentukan oleh posisi bunyi tersebut diproduksi. Semakin ke depan posisi

bunyi, semakin mudah anak untuk memproduksinya. Bunyi-bunyi yang

diproduksi di bagian belakang mulut, akan diperoleh lebih lambat.

Melihat bunyi-bunyi yang dikembangkan oleh Lila sebagai anak yang

disuguhi bahasa dalam lingkungan bilingual dapat dikatakan bahwa elemen bunyi

yang dikuasai serta urutan perkembangan bunyi yang dikuasainya sesuai dengan

teori perkembangan bunyi yang dicetuskan oleh Jakobson (1971). Jakobson

mencetuskan teori yang sangat berpengaruh tentang pemerolehan sistem bunyi

yang secara eksklusif menekankan pada pemerolehan bunyi yang benkontras

Page 49: Profil lingkungan kebahasaan anak

49

(Clark&Clark, 1977: 392-393). Jakobson berhipotesis bahwa cara anak-anak

menguasai bunyi bahasa sangat erat kaitannya dengan fitur-fitur bahasa yang

dimiliki bahasa-bahasa di dunia secara umum. Rumusan hipotesanya dapat dilihat

berikut ini.

a. Secara umum anak-anak memeroleh kemampuan untuk memmroduksi

bunyi-bunyi bahasa dengan menguasai kontras dari bahasa orang dewasa.

b. Urutan pemerolehan kontras bunyi ini berlaku secara universal

c. Urutan pemerolehan bunyi ini dapat diprediksi, dilihat dari kontras yang

ditemukan dalam bahasa-bahasa di dunia. Bunyi-bunyi yang tersebar

paling banyak pada semua bahasa akan dikuasai lebih dulu, sementara

bunyi-bunyi khusus dalam suatu bahasa tertentu akan dikuasai belakangan.

d. Anak-anak secara kontinyu akan mengembangkan kontras-kontras bunyi

yang terdapat dalam bahasa dewasa mereka.

Secara umum, Lila mengikuti urutan perkembangan bunyi yang digagas

oleh Jakobson seperti yang diuraikan di atas. Lila pada awalnya paling sering

menyuarakan vokal selanjutnya vokal i dan u. Karena titik tolak

penelitian ini adalah saat anak berumur 1;2, dapat dikatakan bahwa ketika anak

berumur 1;2 ketiga bunyi tersebut telah muncul secara silih berganti dan secara

kuantitas memang bunyi menduduki posisi paling atas. Namun, dua bunyi

vokal lain tidak bisa dipastikan mana yang muncul lebih dahulu, karena saat

Page 50: Profil lingkungan kebahasaan anak

50

penelitian ini mulai dilakukan kedua bunyi tersebut sudah diproduksi anak, begitu

juga dengan bunyi vokal lain, yaitu bunyi .

Teori keuniversalan dalam pemerolehan bunyi konsonan juga secara

umum dipatuhi oleh Lila. Bunyi-bunyi konsonan yang muncul paling awal adalah

bunyi- bunyi bilabial, yaitu bunyi hambat-bilabial-ringan dan nasal-bilabial

. Bunyi-bunyi konsonan yang diperoleh juga semakin berkembang dengan

dikuasainya bunyi hambat-bilabial-berat . Selanjutnya bunyi konsonan yang

dikembangkan adalah bunyi-bunyi alveolar, yaitu bunyi nasal-alveolar ,

hambat-alveolar- ringan dan hambat-alveolar-berat . Setelah bunyi-bunyi

hambat- alveolar dan nasal-alveolar dikuasai, baru kemudian bunyi-bunyi frikatif

muncul. Bunyi frikatif yang muncul adalah bunyi frikatif-palatal dan bunyi

frikatif-glotal . Namun kemunculan kedua bunyi frikatif tersebut masih sangat

terbatas, yaitu hanya muncul di akhir kata. Selanjutnya, muncul satu-satunya

bunyi velar, yaitu bunyi . Kemunculannya pun juga sangat terbatas, yaitu di

akhir kata. Menjelang umur dua tahun Lila juga mengembangkan bunyi-bunyi

afrikat dan , namun-bunyi-bunyi tersebut hanya muncul di antara bunyi

vokal. Dua bunyi konsonan terakhir yang dikuasai Lila beberapa minggu sebelum

ulang tahunnya yang kedua adalah bunyi palatal-nasal ñ dan bunyi lateral .

Sampai pada ulang tahunnya yang kedua, Lila belum menguasai bunyi velar-berat

dan bunyi nasal-velar. Bunyi frikatif-labio dental dan bunyi getar juga belum

dikembangkan. Bunyi velar-nasal , baru muncul ketika Lila berumur 2;1 atau

Page 51: Profil lingkungan kebahasaan anak

51

setelah ulang tahunnya yang kedua. Bunyi dikuasai ketika anak berumur 2;5.

Sampai umur 2;6 tidak terdeteksi ada bunyi baru yang dikembangkan oleh anak.

Dalam kasus Lila, meskipun dia diajak berkomunikasi oleh orang tuanya

dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jerman dapat dilihat bahwa

bunyi bahasa Indonesia yang diproduksi anak lebih dominan daripada bahasa

Jerman. Hal ini dapat dimengerti karena lebih banyak orang yang berkomunikasi

kepada anak dalam bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa Jerman. Hal ini

dapat dilihat, khususnya ketika anak memroduksi kata-kata yang memiliki makna

dalam bahasa Jerman realisasi fonem yang muncul adalah fonem bahasa

Indonesia. Di bawah ini adalah sebaran fonem vokal dalam bahasa Jerman.

Depan Tengah Belakang

Tinggi ü u

ü u

Mid ö o

o

Page 52: Profil lingkungan kebahasaan anak

52

Bawah

Sumber: Finegan (2004)

Bagan 5.7: Bagan Fonem Vokal dalam Bahasa Jerman

Sampai berumur 2;0, Lila belum bisa memproduksi bunyi-bunyi vokal

yang khusus ada dalam bahasa Jerman, seperti bunyi vokal-depan-bundar-tinggi

ü , vokal-depan-bundar –sedang ö dan vokal-depan-bundar-rendah .

Vokal depan bundar dihasilkan dengan mengucapkan vokal depan takbundar

dengan membundarkan bibir tanpa menggerakkan lidah. Bunyi-bunyi depan

bundar tersebut, biasanya diganti dengan bunyi-bunyi yang memiliki kedekatan

fonetis. Misalnya ketika Lila mengatakan könig maka yang ke luar adalah

onik atau ketika dia mengatakan grün maka yang diproduksi adalah

.

Dalam studi kasus ini sampai penelitian dihentikan, ketika anak berumur

2;6, anak mengalami kesulitan atau belum menguasai bunyi-bunyi yang

merupakan fitur-fitur bunyi vokal yang hanya ada dalam bahasa Jerman dan tidak

terdapat dalam fitur bunyi bahasa Indonesia. Bunyi ü biasanya diganti dengan

bunyi vokal- belakang -bundar –tinggi u dan bunyi ö biasanya diganti

Page 53: Profil lingkungan kebahasaan anak

53

dengan bunyi vokal-belakang-bundar-sedang o . Hal ini dapat dijelaskan

bahwa anak dalam proses perkembangan bahasanya cenderung untuk mengikuti

bunyi-bunyi yang muncul secara universal. Artinya, bunyi yang dipilih oleh anak

adalah bunyi-bunyi yang terdapat dalam kedua bahasa yang diperolehnya.

Sementara itu, bunyi-bunyi yang khusus terdapat dalam bahasa-bahasa tertentu

akan diperoleh kemudian. Ini sesuai dengan hipotesa Jakobson yang diuraikan

oleh Clark & Clark (1977) yang menyatakan bahwa bunyi-bunyi yang dikuasai

terlebih dahulu adalah bunyi yang paling banyak tersebar, sementara bunyi-bunyi

yang muncul khusus dalam suatu bahasa tertentu akan dikuasai belakangan.

Grosjean (1982) melukiskan bahwa adanya pengaruh bahasa dominan terhadap

bahasa yang lebih lemah sering terjadi pada kasus-kasus perkembangan bahasa

anak bilingual, di samping juga adanya kecenderungan anak untuk menghindari

bunyi-bunyi yang sulit, yang hanya ada pada bahasa yang lebih lemah. Dalam

kasus Lila, bahasa Jerman memiliki posisi yang lebih lemah karena keluarga

tinggal di Indonesia, sehingga secara otomatis bahasa Indonesia didengar dan

digunakan secara lebih aktif oleh anak.

Dari ulasan dan perkembangan elemen bunyi yang muncul pada studi

kasus anak bilingual ini dengan merujuk hasil penelitian yang dilakukan oleh

Dardjowijojo (2000) yang meneliti pemerolehan bahasa anak monolingual, yaitu

pemerolehan bahasa Indonesia, dapat dikatakan bahwa perkembangan elemen

bunyi yang dikuasai Lila, yang merupakan anak yang disuguhi lingkungan bahasa

yang bilingual, hampir sama dengan perkembangan bunyi yang diperoleh oleh

Echa. Kemiripan tersebut terlihat baik dalam elemen-elemen bunyi yang muncul

Page 54: Profil lingkungan kebahasaan anak

54

maupun urutan perkembangannya. Ini merupakan salah satu bukti bahwa bahasa

apa pun yang diperoleh oleh anak, monolingual maupun bilingual urutan serta

pola perkembangan bahasanya adalah sama. Grosjean (1982) memaparkan

pendapat McLaughlin yang menyatakan bahwa proses pemerolehan bahasa pada

dasarnya sama dilihat dari fitur-fitur bahasa yang dikembangkan serta urutan

perkembangannya baik untuk anak monolingual maupun bilingual. Selanjutnya

dinyatakan bahwa perbedaan di antara keduanya adalah anak bilingual memiliki

tugas untuk membedakan dua sistem bahasa yang berbeda, namun sampai saat ini

belum ada bukti bahwa anak-anak tersebut memerlukan piranti pemroses bahasa

khusus untuk melakukannya. Hal yang senada diungkapkan oleh Myers-Scotton

(2006: 326), yang menyebutkan bahwa beda anak bilingual dengan monolingual

adalah mereka melalui tahapan perkembangan dalam dua bahasa. Oleh karena itu,

lanjutnya, secara natural, anak-anak akan bertutur dalam bahasa apa pun yang

digunakan oleh orang tua atau orang-orang lain yang mengasuhnya saat

berkomunikasi dengan mereka, baik itu dalam satu bahasa, dua bahasa bahkan

lebih.

5.2 Distribusi Fonem yang Diproduksi Anak

Chaer (2009: 89) memaparkan bahwa yang dimaksud dengan distribusi

fonem adalah letak atau beradanya sebuah fonem di dalam satu satuan ujaran,

yang kita sebut sebuah kata atau morfem. Fonem pada umumnya dapat berada

pada posisi awal kata, di tengah kata, maupun di akhir kata. Secara khusus ada

fonem yang hanya muncul di awal kata atau di tengah kata atau di akhir kata saja.

Kadang-kadang ada juga fonem yang muncul di awal kata atau di akhir kata saja.

Page 55: Profil lingkungan kebahasaan anak

55

Selanjutnya Chaer menyebutkan bahwa fonem vokal memang selalu dapat

menduduki posisi pada semua tempat – walaupun tidak pada semua bahasa-,

berkenaan dengan posisinya sebagai puncak kenyaringan pada setiap silabel,

sedangkan fonem konsonan tidak selalu demikian: mungkin dapat menduduki

posisi awal dan akhir, tetapi mungkin juga hanya menduduki posisi pada awal.

Berikut ini adalah distribusi fonem pada kata-kata yang diproduksi oleh Lila

ketika dia mencapai umur 2;6.

a. Distribusi Fonem Vokal

1. Vokal /a/

- dalam realisasi produksi bunyi, fonem ini dapat muncul

dalam semua posisi. Kata-kata dalam bahasa Indonesia,

‘ada’, ‘main’,

‘sama’.

- bahasa Jerman, seperti tampak dalam contoh:

‘mause’ ‘tikus’, ‘auch’ ‘juga’,

‘nenek’.

2. Vokal /i/

Page 56: Profil lingkungan kebahasaan anak

56

- dalam realisasi produksi bunyi bahasa Indonesia dapat

muncul dalam semua posisi, contoh: ‘ini’,

‘hari’, ‘bisa’.

- dalam bahasa Jerman baru muncul pada posisi tengan dan

akhir kata saja seperti tampak dalam contoh:

‘eis‘ ‘es’ ‘cowboy’.

3. Vokal /e/

- dalam bahasa Indonesia, realisasi fonem ini telah muncul

dalam semua posisi seperti tampak

dalamcontoh: meja kadek

- dalam produksi kata bahasa Jerman, bunyi ini baru muncul

dalam posisi awal dan tengah ‘ecke’ ‘pojok’,

‘jetzt’ ‘sekarang’.

4. Vokal / /

- realisasi bunyi dari fonem ini dalam bahasa Indonesia telah

muncul di semua posisi seperti dalam contoh:

‘kecil’, ‘terus’,

‘apel’

Page 57: Profil lingkungan kebahasaan anak

57

- dan dalam bahasa Jerman baru terdeteksi muncul pada

bagian akhir kata saja sepri dalam bunyi ‘ecke’

‘pojok’, ‘meine’ ‘milik saya’,

‘affe’ ‘monyet’.5. Vokal /u/

- fonem ini dalam bahasa Indonesia telah terealisasi pada

semua posisi seperti tampak dalam contoh:

‘sudah’, ‘putus’, ‘bau’.

- dalam kata bahasa Jerman baru terealisasi pada posisi

tengah dan akhir kata seperti dalam contoh:

‘auch’ ‘juga’, ‘pußbal’ ‘sepakbola’.

6. Vokal /o/

- dalam produksi bunyi bahasa Indonesia, fonem ini sudah

terealisasi dalam semua posisi seperti tampak dalam

contoh: ‘om’, ‘kolam’,

‘sayur’.

- dalam produksi kata bahasa Jerman bunyi ini juga sudah

muncul pada semua posisi seperti dalam kata

Page 58: Profil lingkungan kebahasaan anak

58

‘nenek’, ‘krokodil’ ‘buaya’,

‘auto’ ‘mobil’.

b. Distribusi Bunyi Konsonan

Pada bagian ini digunakan istilah bunyi, bukan fonem, untuk

mendeskripsikan distribusi bunyi konsonan yang muncul karena bunyi-bunyi

yang muncul sering divariasikan atau bahkan diganti dengan bunyi lain.

Distribusi bunyi yang diprodukasi anak beserta contoh-contoh bunyi yang

muncul dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Bunyi Konsonan

Bahasa Indonesia Bahasa Jerman

Posisi awal Posisi tengah

Posisi akhir

Posisi awal

Posisi tengah

Posisi akhir

‘putus’

‘papa’

- ‘pußball’‘sepakbola’

- -

b‘bisa’

‘habis’

- ‘buch’‘buku’

‘baby’‘bayi’

-

‘main’

‘koming’

‘belum’

‘mause’‘tikus’

‘nenek’‘nenek’

-

-

‘pesawat’- - - -

‘tikus’

‘ikan’

‘buat’

‘kuh’‘sapi’

‘auto’‘mobil’

‘kaputt’‘rusak’

‘di sana’

‘ada’

- ‘da’‘di sana’

‘krokodil’‘buaya’

‘motorad’‘sepedamotor’

- -

‘tas’- -

‘mause’‘tikus’

Page 59: Profil lingkungan kebahasaan anak

59

‘nangis’

‘renang’

‘ikan’

‘nul’‘nol’

‘banane’‘pisang

‘achtung’‘hatihati’

‘lagi’

‘bola’

‘ular’

- ‘alle’‘semua’

-

‘sama’

‘kecil’

- - - -

‘jatuh’

‘baju’

- - - -

- oñet‘monyet’

- - - -

‘ya’

- - ‘jetzt’‘sekarang’

- -

- - ‘rusak’

- - ‘könig’‘raja’

- ‘lagi’

- - - -

- ‘nangis’

- - -

‘harimau’

- ‘sudah’

- - ‘auch’‘juga’

Bagan 5.8: Distribusi Bunyi Konsonan

5.3 Variasi Bunyi yang Muncul

Sesuai dengan perkembangan alat-alat ucapnya, Lila sering mengganti

bunyi-bunyi yang belum dia kuasai dengan bunyi-bunyi lain yang memiliki

kedekatan fonetis sehingga bunyi-bunyi yang dikeluarkan bervariasi. Sampai anak

berumur 2;0, beberapa bunyi muncul secara terbatas dan ada beberapa bunyi yang

belum muncul sama sekali. Di bawah ini akan dibahas variasi-variasi bunyi yang

dikembangkan oleh Lila.

Page 60: Profil lingkungan kebahasaan anak

60

a. Bunyi hambat- velar- takbersuara

Bunyi hambat-velar-takbersuara hanya muncul secara terbatas,

yaitu di akhir kata. Bentuk-bentuk fonologis yang muncul adalah sebagi

berikut.

(14) ‘bebek’

na ‘naik’

m ‘kumik’ (nama seorang teman)

dada jajak ‘kue’

Bunyi pada posisi awal kata sering dilesapkan atau diganti dengan bunyi

hambat-alveolar- tak bersuara .

Contoh

(15) ‘kapal’

‘kecil’

‘kacang’ (nama seorang teman)

‘kaca mata’

‘kencing’

‘kue’

ö ‘könig’ ‘raja’

‘kuh’ ‘sapi’

‘clown’ ‘badut’

Page 61: Profil lingkungan kebahasaan anak

61

Sementara pada posisi tengah kata, bunyi diganti dengan bunyi

hambat-alveolar-tak bersuara .

Contoh

(16) ‘buka’

‘kaki’

‘sakit’

‘nakal’

kiekiriki ‘ayam’

Setelah Lila berumur 2;0 lambat laun, bunyi velar-hambat juga sering

diganti dengan bunyi palatal-afrikat- takbersuara .

(17) ‘kak kumik’

‘kopi’

‘Koming’

‘kakek’

‘nakal’

Dari data (15), (16), (17) terlihat bahwa bunyi velar-hambat-tak bersuara

k diganti dengan bunyi-bunyi yang lebih anterior, yaitu bunyi-bunyi yang

dihasilkan di bagian depan mulut. Kalau kita lihat, bunyi t yang digunakan

sebagai pengganti bunyi k adalah bunyi yang secara fonetis sangat berdekatan

antara satu sama lain. Kedua bunyi tersebut memiliki karakteristik yang mirip,

Page 62: Profil lingkungan kebahasaan anak

62

yaitu sama –sama bunyi hambat dan takbersuara. Satu-satunya pembeda adalah

letak dimana kedua bunyi tersebut dihasilkan. Anak kecil yang baru belajar untuk

menyuarakan bunyi-bunyi bahasa, cenderung memilih bunyi-bunyi yang lebih

mudah untuk dibentuk karena keterbatasan artikulatoris yang mereka miliki.

Karena bunyi-bunyi anterior lebih mudah diucapkan oleh anak, maka dapat

dimengerti mengapa bunyi velar digantikan dengan bunyi alveolar. Lust (2006:

161) mengkonfirmasi bahwa dalam bahasa anak-anak, beberapa penggantian

elemen bunyi sering dilakukan, misalnya bunyi velar-hambat-tak bersuara k

diganti dengan bunyi alveolar-hambat-takbersuara t. Dalam perkembangan

selanjutnya, bunyi velar ini juga bervariasi dengan bunyi palatal-afrikat-

takbersuara c. Hal ini juga tidak terlapas dari kenyataan bahwa bunyi c

berada pada posisi lebih depan daripada bunyi k. Bunyi c dan k juga

merupakan bunyi-bunyi yang memiliki ciri-ciri yang mirip, yaitu sama-sama

bunyi tak bersuara atau bunyi-bunyi yang ringan.

b. Bunyi hambat-velar-bersuara

Sampai pada umur 2;0, bunyi hambat-velar-bersuara belum muncul

sama sekali. Bunyi ini sering diganti dengan bunyi hambat-alveolar-bersuara

seperti pada bentuk-bentuk fonologis di bawah ini:

Page 63: Profil lingkungan kebahasaan anak

63

(18) ‘gigit’

‘lagi’

‘jagung’

‘bagus’

Jika sebelumnya telah dibahas bahwa bunyi velar-hambat-takbersuara

k diganti dengan bunyi alveolar t, maka untuk bunyi-bunyi velar-

hambat-bersuara sangat sering diganti dengan bunyi alveolar-hambat-

bersuara . oleh anak. Ini juga dapat dijelaskan bahwa bunyi lebih

mudah diucapkan oleh karena posisinya lebih di depan. Yang menarik adalah

bahwa anak juga berusaha dalam produksinya mencari padanannya yaitu,

bunyi takbersuara diganti dengan bunyi-bunyi yang takbersuara, sedangkan

bunyi bersuara diganti dengan bunyi bersuara. Bunyi dan , keduanya

memiliki fitur distingtif - voice sedangkan bunyi dan keduanya

memiliki fitur distingtif + voice.

Kadang-kadang bunyi pada posisi awal dilesapkan misalnya

ketika Lila mengeluarkan bunyi ‘gajah’. Pada kasus-kasus tertentu,

bunyi ini juga bervariasi dengan bunyi hambat-bilabial-bersuara , misalnya

ketika Lila menyuarakan bunyi ‘garfu’. Pada posisi akhir bunyi

diganti dengan bunyi yang memiliki kesamaan fonetis, yaitu bunyi k. Bunyi

Page 64: Profil lingkungan kebahasaan anak

64

ini muncul ketika Lila mengucapkan bunyi onik ‘könig’, yang dalam bahasa

Indonesia bermakna ‘raja’.

Mengapa bunyi velar dikuasai sebelum bunyi velar ? Kalau

dilihat kedua bunyi tersebut memiliki cirri-ciri yang sama, yaitu merupakan

bunyi velar-hambat. Satu-satunya yang membedakan kedua bunyi tersebut

adalah dalam penyuaraan. Untuk dapat memroduksi bunyi diperlukan

adanya getaran pada pita suara sedangkan bunyi tidak. Bunyi

memiliki fitur distingtif + voice. Oleh karena itu, secara natural bunyi

lebih mudah dikuasai oleh anak daripada padanan beratnya, yaitu bunyi .

Dardjowijojo (2000:83) menjelaskan bahwa bunyi-bunyi ringan dikuasai oleh

anak terlebih dahulu daripada bunyi yang memerlukan penyuaraan. Ini sesuai

dengan kaidah voiced plosives are acquired later than voiceless plosives. Ini

berarti bahwa untuk anak mana pun di dunia, baik yang monolingual maupun

bilingual, bunyi-bunyi ringan akan lebih mudah dikuasai daripada bunyi-bunyi

berat.

c. Bunyi hambat-alveolar-tak bersuara

Bunyi sering dilesapkan pada awal kata. Bentuk-bentuk yang

terdengar, misalnya

(19)pi ‘topi’

Page 65: Profil lingkungan kebahasaan anak

65

‘tidak’

‘telinga’

Pada data (19), dapat dilihat bahwa anak juga sudah memahami kata-kata

yang terdiri atas tiga suku kata seperti dalam contoh kata telinga . Namun, karena

pada umur yang masih sangat muda dan keterbatasan perkembangan alat-alat ucap

yang dimilikinya, anak belum bisa mengucapkan kata-kata yang terdiri dari tiga

suku kata. Apa yang dilakukan anak adalah memilih suku kata yang paling mudah

untuk disuarakan. Biasanya, dari data kata-kata yang terdiri atas tiga suku kata,

suku kata terakhirlah yang paling banyak disuarakan. Seperti kata telinga

direalisasikan dengan bunyi begitu juga dengan kata cerita disuarakan

dengan bunyi , raksasa dengan bunyi , kaca mata disuarakan dengan

bunyi . Temuan ini selaras dengan hasil penelitian Darjowidjojo (2000)

yang juga mengamati bahwa ketika cucunya mengeluarkan kata-kata yang dwi

atau polisilabik, maka yang disuarakan adalah suku kata terakhir. Hal ini bisa

dijelaskan bahwa seorang anak yang baru belajar berbicara, seringkali memilih

bunyi-bunyi yang lebih mudah untuk diucapkan dan dari bunyi-bunyi yang

dikuasai, biasanya dipilih yang lebih ringan dan ketika memproduksinya

memerlukan energi yang lebih sedikit.

Pada kasus dalam penelitian ini, anak disuguhi dalam bahasa Jerman dan

bahasa Indonesia, dan anak memiliki lingkungan kebahasaan yang kompleks.

Dalam bahasa Jerman, dia sering mendengar kata-kata yang terdiri atas satu suku

kata atau monosilabik seperti dalam kata kuh ‘sapi’, buch ‘buku’, ich ‘saya’, da

Page 66: Profil lingkungan kebahasaan anak

66

‘di sana’, er ‘dia (laki-laki)’. Di lain pihak, bahasa Indonesia sering terdiri atas

lebih dari satu suku bahkan lebih dari dua suku kata. Jadi, ketika anak dihadapkan

pada kata-kata seperti ini, dia cenderung memilih bagian mana dari kata tersebut

yang akan diucapkan. Seperti telah dikatakan sebelumnya, Lila memilih bagian

akhir dari bunyi kata tersebut. Dardjowidjojo (2000) yang mengadaptasi

pernyataan Slobin (1979) menyebutkan bahwa secara universal, anak-anak

cenderung mengambil suku kata terakhir untuk diproduksi terlebih dahulu.

Pemilihan suku kata terakhir ini, cenderung dilakukan oleh anak-anak mana pun

di dunia terlepas dari bahasa apa pun yang diperolehnya.

Menginjak umur 1;10, bunyi alveolar-hambat-tak bersuara mulai

muncul di awal kata meskipun kemunculannya masih sangat terbatas.

(20) ‘tas’

‘tiup’

Pada posisi tengah kata, bunyi sudah dapat diucapkan secara

sempurna.

(21)ita ‘minta’

‘jatuh’

‘itu’

s ‘sepatu’

Page 67: Profil lingkungan kebahasaan anak

67

Bunyi alveolar-hambat-takbersuara t adalah bunyi anterior yang ringan.

Ini berarti bahwa bunyi t adalah salah satu bunyi yang dapat dikuasai anak

secara mudah. Jika seorang anak sudah menguasai bunyi-bunyi bilabial, dan

dalam kasus ini, Lila sudah dapat menguasaianya, maka secara natural bunyi

selanjutnya yang akan dikembangkannya adalah bunyi-bunyi alveolar-hambat

yang ringan kemudian diikuti oleh padanan beratnya.

Namun, bunyi hambat-alveolar-takbersuara ini pada posisi akhir kata

sering diganti dengan bunyi glotal , seperti yang terlihat pada bentuk-bentuk

fonologis di bawah ini:

(22) ‘rambut’

‘gigit’

‘obat’

p ‘dompet’

n ñ ‘monyet’

Bunyi glotal merupakan bunyi yang lemah yang biasanya muncul

setelah adanya jeda.

Pada salah satu bunyi yang diproduksi Lila, bunyi diganti dengan bunyi

hambat-bilabial-tak bersuara seperti dalam ucapan ‘lagi buat’.

Hal ini disebabkan karena bunyi adalah bunyi bilabial yang hanya

memerlukan sedikit energi untuk memroduksinya. Alasan lain, disebabkan

Page 68: Profil lingkungan kebahasaan anak

68

terjadinya proses asimilasi dengan bunyi bilabial yang mendahuluinya, yaitu

dengan bunyi .

d. Bunyi frikatif-alveolar-takbersuara

Sampai Lila berumur 2;0, bunyi frikatif-alveolar-tak bersuara

hanya muncul di akhir kata sehingga bentuk-buntuk fonologis yang diproduksi

adalah sebagai berikut.

(23) ‘habis’

‘mobil bagus’

‘tulis’

Pada posisi awal kata, bunyi sering dilesapkan

(24) s ‘sudah’

‘sabun’

‘sampah’

‘sepatu’

atau bunyi tersebut divariasikan dengan bunyi , sehingga muncul bentuk-

bentuk fonologis sebagai berikut.

(25) ‘sakit’

‘rusak’

Page 69: Profil lingkungan kebahasaan anak

69

‘kursi’

‘susu’

Bunyi konsonan alveolar-frikatif-tak bersuara adalah konsonan frikatif

yang paling umum dan muncul secara universal. Karena sifat keuniversalan yang

dimiliki, hal ini menyebabkan bunyi menjadi satu-satunya bunyi frikatif ynag

dikuasai anak sejak dini, meskipun kemunculannya masih sangat terbatas, yaitu di

akhir kata saja, sehingga bunyi ini sering divariasikan dengan padanan hambatnya

yang lebih mudah untuk disuarakan.

Bunyi-bunyi frikatif adalah bunyi-bunyi yang sulit untuk diproduksi anak.

Untuk dapat menyuarakan bunyi frikatif, anak harus bekerja keras melibatkan

lidahnya untuk menyentuh alveolum. Persentuhan lidah dan alveolum ini akan

menyisakan sebuah celah untuk alihan udara sehingga bunyi desis terdengar. Akan

halnya Lila, sampai dia berumur 2;6, belum mampu mengucapkan bunyi ini

secara sempurna di semua posisi kata karena keterbatasan artikulatorisnya.

Ketika Lila berumur 1;9 bunyi friktaif juga divariasikan dengan bunyi

afrikat sehingga muncul bunyi-bunyi seperti a ‘basah’ dan a ‘pasir’.

Saat Lila berumur 1;10 bunyi pernah muncul di tengah kata ketika Lila

mengucapkan bunyi fussbal (sepak bola). Setelah anak berumur 2;0

sampai 2;6 bunyi pada posisi awal dan tengah kata lebih sering diganti dengan

bunyi palatal-afrikat-tak bersuara .

Page 70: Profil lingkungan kebahasaan anak

70

(26) ‘nasi’

‘sayur’

‘sudah’

‘besar’

Kasus bunyi fussbal (sepak bola) yang diproduksi anak yang

disampaikan sebelumnya sangat menarik untuk dilihat. Bunyi ini diperoleh

anak ketika dia diajak ke Jerman untuk pertama kalinya ketika anak berumur

1;8, menjelang ulang tahunnya yang kedua. Pada saat di Jerman, yaitu Mei-

Juni 2008, saat itu sedang hangat-hangatnya kompetisi sepak bola Euro 2008.

Karena saat itu keluarga berada di Jerman, sering keluarga itu menonton acara

pertandingan sepak bola antar negara-negara Eropa tersebut di televeisi.

Dalam bahasa Jerman, sepak bola adalah fussbal. Setiap kali akan ada

pertandingan di televisi, ayah Lila mengatakan bahwa mereka akan menonton

fussbal. Karena frekuensi pemakaian kata tersebut sangat banyak pada masa

itu, secara otomatis anak meniru bunyi kata tersebut dan setiap kali menonton

acara sepak bola di televise, dia selalu mengatakan dalam padanan Jermannya.

Mengapa anak mampu memproduksi bunyi di tengah kata

? Hal ini dapat dijelaskan bahwa kata fussbal itu sendiri sebenarnya

dibentuk dari dua kata, yaitu fuss ‘kaki’ dan ball ‘bola’. Dalam

bahasa Jerman, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya sebuah kata sering

terdiri dari satu suku kata saja, sehingga bunyi yang diproduksi oleh Lila

sebenarnya adalah bunyi terakhir dari kata fuss ‘kaki’.

Page 71: Profil lingkungan kebahasaan anak

71

e. Bunyi afrikat-palatal-tak bersuara c

Bunyi afrikat-palatal-tak bersuara hanya muncul pada posisi di

antara bunyi vokal yang ditemukan pada bunyi-bunyi ‘kecil’, a

‘kaca’. Bunyi ini sering diganti dengan bunyi hambat-alveolar- takbersuara .

Bentuk-bentuk fonologis yang muncul adalah

(27) ‘cicak’

‘kacang’

‘kucing’

‘cuci’

Bunyi ini, kadang-kadang pada posisi awal kata juga dilesapkan,

seperti dalam kasus ‘cerita’.

f. Bunyi afrikat-palatal-bersuara j

Bunyi afrikat-palatal-bersuara j juga muncul secara terbatas, yaitu hanya

muncul di antara bunyi vokal. Bentuk fonologis yang terdengar, misalnya dalam

kata ‘hujan’. Selebihnya, bunyi ini sering diganti dengan bunyi hambat-

alveolar-bersuara misalnya dalam bunyi-bunyi ‘jajak’ dan

‘jatuh’.

Page 72: Profil lingkungan kebahasaan anak

72

g. Bunyi nasal-bilabial

Bunyi nasal-bilabial sudah muncul pada semua posisi, baik di awal, di

tengah maupun di akhir kata. Bentuk-bentuk fonologis yang muncul adalah

sebagai berikut:

(28) ‘mama’

‘ambil’

‘maem/makan’

‘kumik’ (nama seorang teman)

Namun, ketika bunyi diikuti oleh bunyi-bunyi alveolar dan bunyi

velar seperti dalam kata ‘mata’, ‘minta’, ‘mandi’, ‘muka’ maka bunyi sering

dilesapkan sehingga bunyi-bunyi yang diproduksi Lila adalah

Hal ini terjadi karena bunyi-bunyi bilabial

adalah bunyi-bunyi lemah yang ketika diproduksi memerlukan energi yang

kurang dibandingkan dengan bunyi-bunyi alveolar atau velar yang memerlukan

energi lebih banyak. Dalam lingkungannya bunyi di atas, bunyi bilabial yang

muncul di awal kata cenderung lesap.

h. Bunyi nasal-aveolar

Page 73: Profil lingkungan kebahasaan anak

73

Bunyi juga sudah muncul pada semua posisi kata.

(29) ‘ini’

‘banane’

‘mandi’

‘nein’

Serupa dengan bunyi , bunyi pada posisi awal kata juga sering

dilesapkan ketika bunyi ini diikuti oleh bunyi-bunyi alveolar atau bunyi velar.

Kasus yang terjadi, misalnya, pada bunyi-bunyi ‘nakal’, ‘nanti’.

i. Bunyi nasal-palatal ñ

Bunyi nasal-palatal ñ baru muncul ketika Lila berumur 1;9.

Sebelumnya, bunyi ñ sering diganti dengan bunyi nasal-alveolar seperti

dalam bunyi i ‘minyak’, o ‘monyet’.

j. Bunyi nasal-velar

Sampai Lila berumur 2;0, bunyi nasal-velar belum muncul

sama sekali. Bunyi ini sering dilesapkan. Hal itu dapat dilihat pada bentuk-

bentuk yang diproduksi berikut ini.

(30) ‘buang’

Page 74: Profil lingkungan kebahasaan anak

74

‘gendong’

‘terbang’

‘burung’

‘renang’

‘kacang’

‘uang’

Ketika Lila berumur 1;10, bunyi mulai diganti dengan bunyi

nasal-alveolar misalnya dalam produksi kata ‘jagung’ ,

atat ‘achtung-achtung’. Bunyi ini baru muncul ketika anak

berumur 2;1, namun kemunculannya baru pada posisi di antara vokal atau

di akhir kata.

Contoh

(31) ‘nangis’

‘pisang’

‘kucing’

k. Bunyi frikatif-glotal

Bunyi frikatif-glotal sudah muncul, namun masih terbatas, yaitu di akhir

kata. Sementara pada posisi awal kata, bunyi ini dilesapkan. Bentuk-bentuk

fonologis yang muncul adalah sebagai berikut:

(32) buch ‘buku’

Page 75: Profil lingkungan kebahasaan anak

75

bauch ‘ perut’

‘sudah’

‘basah’

‘sampah’

hand ‘tangan’

l. Bunyi lateral

Bunyi lateral , biasanya dilesapkan.

(33) l ‘lepas’

‘lobang’

‘kolam’

‘mobil’

Bunyi lateral baru muncul ketika Lila berumur 1;11. Saat itu dia

mengatakan ‘jalan-jalan’ dan ‘Marjolyn’. Bunyi ini

terus berkembang sampai setelah ulang tahunnya yang kedua.

m. Bunyi frikatif

Bunyi frikatif-labiodental diganti dengan bunyi hambat-bilabial-

tak bersuara . Dalam bahasa Indonesia, bunyi frikatif jarang sekali

muncul dan untuk kata-kata awal bagi seorang anak bunyi ini hampir tidak

Page 76: Profil lingkungan kebahasaan anak

76

pernah muncul. Namun, dalam bahasa Jerman, bunyi frikatif sering sekali

muncul. Karena sampai berumur 2;6, Lila belum menguasai bunyi ini sama

sekali, maka ketika dia mengucapkan kata-kata dalam bahasa Jerman yang

mengandung bunyi frikatif, bunyi tersebut divariasikan dengan bunyi bilabial-

hambat-tak bersuara . Bentuk-bentuk fonologis yang muncul adalah

sebagai berikut.

(34)ap affe ‘monyet’

ap apfel ‘apel’

fussball ‘sepak bola’

n. Bunyi getar

Bunyi getar belum keluar sama sekali. Bunyi ini sering dilesapkan.

Bentuk-bentuk yang dikeluarkan oleh Lila adalah

(35) ‘rusak’

umpk ‘rumput’

‘garam’

Setelah ulang tahunnya yang kedua, bunyi-bunyi getar divariasikan

dengan bunyi lateral sehingga bentuk-bentuk yang muncul adalah sebagai

berikut:

Page 77: Profil lingkungan kebahasaan anak

77

(36) ‘harimau’

‘marah’

‘burung’

‘renang’

‘rusak’

Berikut ini adalah dua percakapan yang terjadi antara Lila dan

ayahnya, ketika Lila mengganti bunyi-bunyi getar dengan bunyi lateral

. Percakapan terjadi pada bulan September 2008 (37) dan November 2008

(38).

(37)Frank : Was ist das da? ‘Apa itu?’

Lila : ’harimau’

Frank : Und da? ‘dan itu?’

Lila : ’burung’

Frank : Burung apa?

Lila : ’Burung kakaktua’

Frank : dan apalagi?

Lila : ’crocodile’ ‘buaya’

(38) Lila : ‘papa robek’

‘papa robek ini’

‘papa yang ini robek’

Frank : Ya, nanti Papa perbaiki, Papa mau mandi dulu.

Atau nanti kalau sudah pulang dari kota.

Page 78: Profil lingkungan kebahasaan anak

78

Lila : ’ya nanti pulang dari kota’

Dari data-data dan pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya, maka

jika digambarkan dalam sebuah grafik, maka variasi bunyi yang muncul pada

perkembangan bunyi anak, dalam hal ini Lila, dapat digambarkan seperti pada

grafik 5.2.

Page 79: Profil lingkungan kebahasaan anak

79

Page 80: Profil lingkungan kebahasaan anak

80

Pada grafik 5.2 terlihat bahwa setiap bunyi yang belum diperoleh atau

diperoleh secara terbatas akan diganti oleh anak dengan bunyi-bunyi yang

memiliki ciri-ciri distingtif yang hampir sama. Garis vertikal menunjukkan bunyi

ideal yang seharusnya diproduksi anak, sementara garis horizontal menunjukkan

realisasi fonetis yang mampu disuarakan oleh anak. Garis tebal horizontal pada

masing-masing bunyi ideal menunjukkan perkembangan bunyinya, yang

dihubungkan dengan garis putus-putus yang menunjukkan variasi yang muncul

pada bunyi anak.

Bunyi-bunyi berkembang dari bunyi-bunyi yang lebih mudah untuk

diproduksi anak, seperti bunyi-bunyi anterior, setelah bunyi-bunyi anterior

dipeoleh anak baru kemudian anak mengembangkan bunyi-bunyi non anterior.

Begitu juga bunyi, bunyi hambat akan diperoleh terlebih dahulu sebelum bunyi-

bunyi frikatif dan afrikat dikuasai. Pada grafik juga terlihat bahwa seiring dengan

bertambahnya umur anak, bunyi-bunyi yang dikuasai akan semakin kompleks dan

semakin mendekati bunyi ideal yang akan dikembangkan oleh anak.

Dalam waktu 30 bulan masa perkembangan bahasa Lila, serta dari data-

data yang diperoleh dapat dikatakan bahwa posisi suatu bunyi dalam sebuah kata

sangat menentukan kemunculan bunyi tersebut. Sampai umur 2 tahun 6 bulan ada

bunyi-bunyi yang sudah berkembang dan muncul pada semua posisi, ada bunyi-

bunyi yang diganti dengan bunyi-bunyi lain yang memiliki kedekatan fonetis dan

ada bunyi yang belum muncul sama sekali. Dalam Muslich (2008: 81) disebutkan

bahwa bunyi-bunyi dikatakan memiliki kesamaan fonetis apabila dalam peta

fonetis; a) bunyi-bunyi tersebut berada dalam lajur (garis horizontal) yang sama,

Page 81: Profil lingkungan kebahasaan anak

81

b) bunyi-bunyi tersebut berada dalam kolom (garis vertical) yang sama, c) bunyi-

bunyi tersebut berada pada lajur dan kolom yang sama, d) bunyi-bunyi tersebut

memiliki simbol yang sama, tetapi berbeda dalam diakritik, dan e) bunyi-bunyi

tersebut memiliki sifat yang sama.

Ketika penelitian ini selesai dilakukan, saat Lila berumur 2;6, semua vokal

dalam bahasa Indonesia sudah dikuasai dengan baik, namun vokal-vokal khusus

yang terdapat dalam bahasa Jerman seperti bunyi ä , ö dan ü belum

dikuasai. Bunyi ini sering diganti dengan bunyi vokal yang memiliki kesamaan

fonetis. Sementara bunyi konsonan yang sudah dikuasai pada semua posisi adalah

. Bunyi-bunyi ñ muncul hanya secara

terbatas pada posisi-posisi tertentu saja. Sementara ada beberapa bunyi yang

belum dikuasainya seperti Bunyi-bunyi yang belum dikuasainya

biasanya juga diganti dengan bunyi-bunyi yang memiliki kesamaan fonetis.

Page 82: Profil lingkungan kebahasaan anak

82

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Secara umum dapat dikatakan bahwa perkembangan bunyi yang dikuasai

Lila mengikuti urutan perkembangan fonologi secara universal. Perkembangan

bahasa Lila yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan bilingual bahasa

Indonesia dan bahasa Jerman didominasi oleh bunyi bahasa Indonesia. Di

samping itu kata-kata dalam bahasa Jerman direalisasikan dengan fonem dalam

bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh input dalam bahasa Indonesia jauh

lebih banyak daripada dalam bahasa Jerman. Namun, dibandingkan dengan

produksi yang masih minim, kemampuan komprehensi Lila jauh melebihi

produksinya dalam bahasa tersebut. Hal ini dibuktikan dengan respon-respon

dengan reaksi nonverbal yang diberikan Lila ketika diajak bercakap-cakap dalam

bahasa Jerman, atau bahasa Indonesia, yang kemudian berkembang menjadi

percampuran antara bahasa Jerman dan bahasa Indonesia.

Perkembangan bahasa Lila sejak dia berumur 1;2 sampai 2;6, dalam hal

ini, perkembangan bunyi bahasanya dapat diuraikan, yaitu (1) elemen bunyi yang

sudah dikuasai dan muncul di segala posisi dalam kata adalah bunyi vokal

dan bunyi konsonan , (2) elemen

bunyi yang baru dikembangkan secara terbatas pada posisi-posisi tertentu, yaitu

Page 83: Profil lingkungan kebahasaan anak

83

ñ, (3) elemen bunyi yang belum dikuasai sama sekali adalah

.

Perkembangan elemen bunyi yang muncul pada perkembangan bahasa

Lila, secara umum, mengikuti perkembangan pemerolehan bunyi secara universal

yang dicetuskan oleh Jakobson, yaitu bunyi-bunyi bilabial dikuasai sebelum bunyi

alveolar dan bunyi-bunyi alveolar dikuasai sebelum bunyi-bunyi velar. Begitu

juga bunyi hambat dikuasai sebelum bunyi frikatif dan bunyi frikatif dikuasai

sebelum bunyi-bunyi afrikat muncul. Bunyi- bunyi yang belum muncul atau yang

baru muncul secara terbatas sering diganti atau divariasikan dengan bunyi yang

memiliki kesamaan fonetis atau memiliki fitur-fitur distingtif yang mirip. Semakin

bertambah usia anak, anak semakin mampu untuk mengucapkan bunyi-bunyi

yang semakin sulit. Pada awalnya, anak hanya mampu mengembangkan bunyi-

bunyi anterior, yaitu bunyi bilabial-hambat dan alveolar-hambat. Setelah bunyi-

bunyi tersebut dikuasai baru kemudian anak mampu menghasilkan bunyi-bunyi

belakang seperti bunyi velar-hambat dan pada saat yang bersamaan dengan

munculnya bunyi-bunyi belakang ini, anak juga mulai mengucapkan bunyi-bunyi

frikatif meskipun produksinya masih sangat terbatas, yaitu hanya pada posisi-

posisi tertentu dalam kata.

Sementara itu, bunyi-bunyi yang hanya muncul dalam bahasa Jerman,

yaitu bunyi vokal ö ä ü belum mampu diproduksi anak. Bunyi-bunyi

tersebut diganti dengan bunyi-bunyi vokal yang memiliki kemiripan fonetis. Jadi

bunyi-bunyi yang sebarannya lebih universal atau lebih umum dikuasai oleh anak

Page 84: Profil lingkungan kebahasaan anak

84

terlebih dahulu sebelum dia mampu untuk menguasai bunyi-bunyi yang khusus

yang hanya muncul dalam bahasa Jerman.

6.2 Saran

Penelitian ini hanya melihat perkembangan bahasa anak pada rentang

waktu sampai anak berumur dua setengah tahun. Penelitian ini bisa dilanjutkan

sampai seluruh segmen bunyi baik yang ada dalam bahasa Indonesia maupun

bahasa Jerman muncul. Di samping itu penelitian ini juga dapat dilanjutkan

dengan melihat aspek-aspek linguistik yang lain seperti aspek morfologi, sintaksis

ataupun semantik. Peneliti lain dapat melihat perkembangan anak-anak bilingual

dalam sistem linguistik yang berbeda untuk menyumbangkan hasil-hasil

penelitian sehingga memperkaya informasi dalam studi-studi perkembangan

bahasa anak bilingual, yang merupakan suatu kajian psikolinguistik.

Page 85: Profil lingkungan kebahasaan anak

85

DAFTAR PUSTAKA

Baker, Mark. 2003. Lexical Categories; Verbs, Nouns and Adjectives. Cambridge: Cambridge University Press

Beardsmore, Hugo Baetens. 1982. Bilingualism: Basic Principles. England: Tieto Ltd.

Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Chaer, Abdul. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta

Chomsky, Noam. 1959. A Review of B.F. Skinner Verbal Behavior. In Language, 35, No.1. P. 26-58. Available from: http://cogprints.org/1148/0/chomsky.htm

Chomsky, Noam. 1965. Aspects of a Tehory of Syntax. Cambridge: MIT Press

Chomsky, Noam. 1971. Syntactic Structures. Teh Hague: Mouton

Chomsky, Noam. 2000. New Horizons in teh Study of Language and Mind. Cambridge: cambridge University Press.

Chomsky, Noam. 2002. On Nature and Language. Cambridge: Cambridge University Press.

Chomsky, Noam. 2006. Language and Mind. Third Edition. Cambridge: Cambridge University Press.

Chomsky, Noam. 2008. Noam Chomsky Talks About Universal Grammar Video.

Authors@google series. Available from: http://www.usingenglish.com/weblog/archives/000416.html

Clark, Eve V.1993.Teh Lexicon in acquisition. Cambridge: Cambridge University Press

Clark, Herbert H. dan Clark, Eve V. 1977. Psychology and Language; an introduction to Psycholinguistiks. United States of America: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.

Cummins, Jim. 2003. Bilingual Children's Motehr Tongue: Why Is It Important for Education? Available from: http://www.iteachilearn.com/cummins/motehr.htm

Dardjowidjojo, Soenjono. 2000. Echa: Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia

Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Page 86: Profil lingkungan kebahasaan anak

86

de Boysson-Bardies, Benedicte. 1999. How Language Comes to Children: from Birth to Two Years. Massachusetts: teh Massachusetts Institute of Technology

De Houwer, Annick. 2005. Early Bilingual Acquisition; Focus on Morphosyntax and teh Separate Development Hypotehsis. Kroll, Judith F. dan De Groot, Annette M. B. editor. Handbook of Bilingualism; Psycholinguistik Approaches. Oxford: Oxford University Press. P. 30-48

Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Dharmowijono, Widjajanti W dan Suparwa, I Nynenekn. 2009. Psikolinguistik; Teori Kemampuan Berbahasa dan pemerolehan Bahasa Anak. Denpasar: Udayana University Press

Finegan, Edward. 2004. Language; Its Structure and Use. United States of America: Thomson Wadsworth

Grosjean, Francois. 1982. Life with Two Languages. Teh United States of America: Harvard College

Hakuta, Kenji. 1986. Mirror of Language; teh Debate on Bilingualism. Teh United States of America: Basic Books. Inc.

Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistiks. England: Pearson Education Limited

Howart,P. 2006. Teh Role of Acquisition and Learning in Young Children’s Bilingual Development: A Sociocultural Interpretation. International Journal of Bilingual Education and Bilingualism Volume : 8 Number : 6 P. 588-606.

Jakobson, Rnenekn. 1962. Selected writings I; Phonological Studies. Teh Hague: Mouton.

Jakobson, Rnenekn. 1971. Studies on Child Language and Aphasia. Teh Hague: Mouton & Co.

Jakobson, Rnenekn. 1971. Selected Writings II; Word and Language. Teh Hague: Mouton.

Jakobson, Rnenekn. 1978. Six Lectures on Sound and meaning. Cambride: Teh MIT Press.

Jakobson, Rnenekn. 1980. Teh Framework of Language. Michigan: Michigan studies in teh Humanities.

Jakobson, Rnenekn, dkk. 1961. Preliminaries to Speech Analysis; teh Distinctive Features and Tehir correlates. Cambridge: Cambridge University press

Page 87: Profil lingkungan kebahasaan anak

87

Kartawinata, Handiyo. 1988. “Language Contact in an Indonesian-Chinese Community: a Sosiolinguistik Study.” (dissertation). Australia: Australian National University

Lefrancois, Guy R. 2000. Psychology for Teaching. Wadsworth:Thamson Learning

Lust, Barbara C. 2006. Child Language: Aquisition and Growth. Cambridge: Cambridge University Press

King, Kendall A. 2006. Child Language Acquisition. In. Fasold, Ralph dan Connor-Linton, Jeff. Editor. An Introduction to Language and Linguistiks. Cambridge: Cambridge University Press. P. 205-234

Meisel, Juergen M., 2001. Teh Simultaneous Acquisition of Two First Languages; Early Differentiation and Subsequent Development of Grammars. In. Cenoz, Jasone dan Genesee, Fred. Editor. Trends in Bilingual Acquisition. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company. P. 11-41.

Myers-Scotton, Carol. 2006. Multiple Voices: An Introduction to Bilingualism. Malden: Blackwell Publishing Ltd.

Muslich, Masnur. 2008. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara

Naya, I wayan. 1998. “A Descriptive Study of Balinese-English Code Mixing Used by teh Beach Boys Community in teh Tourism Area of Lovina in Tehir Daily Communication.” (tehsis). Singaraja: IKIP Negeri Singaraja

Rosenberg, Marsha. 1996. Raising Bilingual Children. Available from: http://iteslj.org/Articles/Rosenberg-Bilingual.html

Saputra, Yudha M., Rudyanto. 2005. Pembelajaran Kooperatif untuk Meningkatkan Keterampilan Anak TK. Jakarta: DIKTI

Sebastian-Galles, Nuria dan Bosch, Laura. Phonology and Bilingualism. Kroll, Judith F. dan De Groot, Annette M. B. editor. Handbook of Bilingualism; Psycholinguistik Approaches. Oxford: Oxford University Press. P. 30-48

Shin, Sarah J. 2005. Developing in Two Languages: Korean Children in America. Clevedon: Multilingual Matters Ltd.

Sinclair, John. 1994. Collins Cobuild English Dictionary. London: Harper Collins Publisher

Soriente, Antonia. 2007. Cross-Linguistic and Cognitive Structures in the Acquisition of WH-Questions in an Indonesian –Italian Bilingual Child. In. Kecskes, Istvan and Albertazzi, Liliana. Editor. Cognitive Aspects of Bilingualism. Dordrecht: Springer. P. 325-362

Page 88: Profil lingkungan kebahasaan anak

88

Spolsky, Bernard. 1997. Multilingualism in Israel. (http://iteslj.org/

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press

Steinberg, Danny D., dkk. 2001. Psycholinguistiks: Language, Mind and World. Essex: Pearson Education Limited

Taylor, Insup. 1990. Psycholinguistiks: Learning and Using Language. Englewood Cliffts: Prentice-Hall.Inc.

Treffers-Daller, Jeanine. 2002. Bilingualism/Multilingualism. available from: (http://www.lang.ltsn.ac.uk)

Verma, Mahendra K. 2002. Multilingualism. (http://www.lang.ltsn.ac.uk)

Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistiks. Massachusetts: Blackwell Publisher Inc.

Wage Myartawan, I Putu Ngurah dan Sri Adnyani, Ni Luh Putu. 2008. “Perkembangan Fonologi Anak Berumur 1-2 Tahun (Suatu Studi kasus Multilingual)”. Singaraja: Lembaga Penelitian Universitas Pendidikan Ganesha

Watson, Ian. 1992. Phonological Processing in Two Languages. In. Bialystok, Ellen, editor. Language Processing in Bilingual Children. Cambridge: Cambridge University Press. P. 25-48

Yip, Virginia and Mattehws, Stephen. 2007. Teh Bilingual child: Early development and Language Contact. New York: Cambridge University Press.