Profil Kesehatan 2008

57
1 B A B I P E N D A H U L U A N Penyusunan buku Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008 merupakan hasil dari salah satu mata rantai pelaksanaan Sistem Informasi Kesehatan di Provinsi Kalimantan Barat dalam rangka menyediakan berbagai data & informasi di bidang kesehatan. Data dan informasi kesehatan tersebut akan menjadi faktor pendukung didalam sistem manajemen pembangunan kesehatan, sehingga dalam perencanaan maupun pelaksanaan berbagai upaya kesehatan akan menjadi berdaya guna dan berhasil guna sebagaimana dapat kita baca pada penjelasan Pasal 67 ( 2 ) UU No: 23 tahun 1992 tentang kesehatan . Sistem Informasi kesehatan merupakan bagian fungsional dari Sistem Kesehatan secara keseluruhan. Oleh karena itu penerbitan buku Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat sekarang ini lebih dikaitkan dengan sistem kesehatan yang diarahkan pada pencapaian Visi Kalimantan Barat Sehat 2010. Artinya, Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008 ini disusun agar dapat menjadi salah satu sarana untuk menilai pencapaian Pembangunan Kesehatan di Provinsi Kalimantan Barat dalam rangka mencapai Kalimantan Barat Sehat 2010. Profil adalah dokumen yang berisi tentang data dan informasi dari sistem manajemen data/informasi sebuah organisasi, mulai dari pengumpulan, pengolahan, analisis, penyajian dan penyebar luasan informasi. Untuk fungsi manajemen dan pengambilan keputusan sebuah organisasi memerlukan dukungan data/informasi. Dalam penyusunan Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008 ini kami menggunakan berbagai sumber data antara lain Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2008. Kalimantan Barat Dalam Angka Tahun 2008. Data dari berbagai sektor/ Instansi terkait, data dari berbagai bidang di lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat.

description

profi kesehatan 2008

Transcript of Profil Kesehatan 2008

1

B A B I

P E N D A H U L U A N

Penyusunan buku Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun

2008 merupakan hasil dari salah satu mata rantai pelaksanaan Sistem

Informasi Kesehatan di Provinsi Kalimantan Barat dalam rangka

menyediakan berbagai data & informasi di bidang kesehatan. Data dan

informasi kesehatan tersebut akan menjadi faktor pendukung didalam

sistem manajemen pembangunan kesehatan, sehingga dalam perencanaan

maupun pelaksanaan berbagai upaya kesehatan akan menjadi berdaya guna

dan berhasil guna sebagaimana dapat kita baca pada penjelasan Pasal 67 (

2 ) UU No: 23 tahun 1992 tentang kesehatan .

Sistem Informasi kesehatan merupakan bagian fungsional dari Sistem

Kesehatan secara keseluruhan. Oleh karena itu penerbitan buku Profil

Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat sekarang ini lebih dikaitkan dengan

sistem kesehatan yang diarahkan pada pencapaian Visi Kalimantan Barat

Sehat 2010. Artinya, Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun

2008 ini disusun agar dapat menjadi salah satu sarana untuk menilai

pencapaian Pembangunan Kesehatan di Provinsi Kalimantan Barat dalam

rangka mencapai Kalimantan Barat Sehat 2010.

Profil adalah dokumen yang berisi tentang data dan informasi dari

sistem manajemen data/informasi sebuah organisasi, mulai dari

pengumpulan, pengolahan, analisis, penyajian dan penyebar luasan informasi.

Untuk fungsi manajemen dan pengambilan keputusan sebuah organisasi

memerlukan dukungan data/informasi.

Dalam penyusunan Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun

2008 ini kami menggunakan berbagai sumber data antara lain

Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2008.

Kalimantan Barat Dalam Angka Tahun 2008.

Data dari berbagai sektor/ Instansi terkait, data dari berbagai

bidang di lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat.

2

Walaupun dengan berbagai keterbatasan data dan informasi yang

dapat kami sajikan, akhirnya buku Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan

Barat Tahun 2008 ini dapat diselesaikan. Apa yang kami tampilkan pada

buku Profil Kesehatan ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang

berbagai perubahan maupun perbaikan pada program pembangunan Daerah

Provinsi Kalimantan Barat khususnya sektor kesehatan secara menyeluruh.

Untuk memenuhi kebutuhan berbagai data dan informasi guna menunjang

manajemen program kesehatan pada semua tingkat administrasi. Untuk itu

segala upaya dan perbaikan terhadap isi buku profil ini telah kami coba

laksanakan baik terhadap kualitas maupun kuantitas dan juga dalam hal

menganalisa data-data yang ada.

Penyusunan Buku Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008 ini

mengalami keterlambatan jika disesuaikan dengan waktu yang seharusnya

dimana bulan Juli sudah harus tersusun, hal ini disebabkan karena adanya

keterlambatan laporan data profil dari Dinas Kesehatan Kabupatan/Kota.

Guna memberikan gambaran yang lebih baik tentang situasi kesehatan di

Provinsi Kalimantan Barat maka buku Profil Kesehatan ini kami susun

dengan sistimatika sebagai berikut :

Kata Pengantar

Daftar Isi

Daftar Tabel

Bab I : Pendahuluan

Bab II : Gambaran umum Provinsi

Bab III : Pembangunan Kesehatan Daerah

Bab IV : Pencapaian Pembangunan Kesehatan

Bab V : Situasi Sumber Daya Kesehatan

Bab VI : Penutup

Lampiran tabel-tabel

3

BAB II

GAMBARAN UMUM PROVINSI

2.1. Letak Wilayah

Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan

atau di antara garis 2° 08' LU serta 3° 05' LS serta di antara 108° 0' BT

dan 114° 10' BT pada peta bumi. Berdasarkan letak geografis yang spesifik

ini maka, daerah Kalimantan Barat tepat dilalui oleh garis Khatulistiwa

(garis lintang 0° ) tepatnya di atas Kota Pontianak. Karena pengaruh letak

ini pula, maka Kalimantan Barat adalah salah satu daerah tropik dengan

suhu udara cukup tinggi serta diiringi kelembaban yang tinggi.

Ciri-ciri spesifik lainnya adalah bahwa wilayah Kalimantan Barat

termasuk salah satu Provinsi di Indonesia yang berbatasan langsung dengan

negara asing, yaitu dengan Negara Bagian Serawak, Malaysia Timur. Bahkan

dengan posisi ini, maka daerah Kalimantan Barat kini merupakan satu-

satunya Provinsi di Indonesia yang secara resmi telah mempunyai akses

jalan darat untuk masuk dan keluar dari negara asing. Hal ini dapat terjadi

karena antara Kalimantan Barat dan Sarawak telah terbuka jalan darat

antar negara Pontianak – Entikong – Kuching (Sarawak, Malaysia) sepanjang

sekitar 400 km dan dapat ditempuh sekitar enam sampai delapan jam

perjalanan.

Batas-batas wilayah selengkapnya bagi daerah Provinsi Kalimantan

Barat adalah :

Utara : Sarawak (Negara Malaysia)

Selatan : Laut Jawa & Provinsi Kalimantan Tengah

Timur : Provinsi Kalimantan Timur

Barat : Laut Natuna dan Selat Karimata

Sebelah utara Provinsi Kalimantan Barat terdapat empat kabupaten

yang langsung berhadapan dengan negara jiran yaitu; Sambas, Sanggau,

Sintang dan Kapuas Hulu, yang membujur sepanjang Pegunungan Kalingkang

– Kapuas Hulu.

2.2. Luas Wilayah

Sebagian besar wilayah Provinsi Kalimantan Barat adalah merupakan

daratan berdataran rendah dengan luas sekitar 146.807 km2 atau 7,53

4

persen dari luas Indonesia atau 1,13 kali luas pulau Jawa. Wilayah ini

membentang lurus dari Utara ke Selatan sepanjang lebih dari 600 km dan

sekitar 850 km dari Barat ke Timur.

Dilihat dari besarnya wilayah, maka Kalimantan Barat termasuk

Provinsi terbesar keempat setelah pertama Irian Jaya (421.891 km2 ),

kedua Kalimantan Timur (202.440 km2 ) dan ketiga Kalimantan Tengah

(152.600 km2).

Dilihat dari luas menurut Kabupaten/Kota, maka yang terbesar

adalah Kabupaten Ketapang (31.588 km2 atau 21,52 persen) kemudian

diikuti Kapuas Hulu (29.842 km2 atau 20.33 persen), dan Kabupaten

Sintang (21.635 km atau 14,74 persen), sedangkan sisanya tersebar pada 11

(sebelas) kabupaten/kota lainnya.

2.3. Topografi

Secara umum, daratan Kalimantan Barat merupakan dataran rendah

dan mempunyai ratusan sungai yang aman bila dilayari, sedikit berbukit

yang menghampar dari Barat ke Timur sepanjang “Lembah Kapuas” serta

Laut Natuna/Selat Karimata. Sebagian daerah daratan ini berawa-rawa

bercampur gambut dan hutan mangrove.

Wilayah daratan ini diapit oleh dua jajaran pegunungan yaitu,

Pegunungan Kalingkang/Kabupaten Kapuas Hulu di bagian Utara dan

Pegunungan Schwaner di Selatan sepanjang perbatasan dengan Provinsi

Kalimantan Tengah.

Dilihat dari tekstur tanahnya maka, sebagian besar daerah

Kalimantan Barat terdiri dari jenis tanah PMK (podsolet merah kuning),

yang meliputi areal sekitar 10,5 juta hektar atau 17,28 persen dari luas

daerah yang 14,7 juta hektar. Berikutnya, tanah OGH (orgosol, gley dan

humus) dan tanah Aluvial sekitar 2,0 juta hektar atau 10,29 persen yang

terhampar di seluruh Kabupaten/Kota, namun sebagian besar terdapat di

kabupaten daerah pantai.

2.3. I k l i m

Faktor yang merupakan ciri umum bagi suatu daerah dataran rendah

di daerah tropis adalah suhu udara yang relatif panas atau tinggi,

5

sedangkan khusus daerah Kalimantan Barat suhu yang tinggi ini diikuti pula

dengan kelembaban udara yang tinggi. Berdasarkan catatan empiris dari

Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak yang meliputi Stasiun Meteorologi

(SM) Supadio, SM Ketapang, SM Paloh, SM Susilo Sintang, SM Nangapinoh

dan Stasiun Klimatologi Siantan, umumnya suhu udara di daerah Kalbar

cukup normal namun bervariasi, yaitu rata-rata sekitar 260C sampai dengan

270C.

Selama tahun 2008, temperatur udara di Kalimantan Barat

maksimum mencapai 33,20C. yang terjadi di stasiun meteorology Pangsuma

Putussibau pada bulan mei 2008. Sedangkan temperatur minimum tercatat

21,90C yang terjadi di stasiun meteorology Sintang pada bulan Maret

2008.

Pada umumnya, kecepatan angin di Kalimantan Barat dari beberapa

stasiun meteorologi, sepanjang bulan di tahun 2008, secara rata-rata

berkisar antara 02 s/d 06 knot/jam sedangkan maksimum tercatat

sebesar 30 knot/jam terjadi di stasiun metereologi Bandara Supadio pada

Bulan Desember 2008.

Pada tahun 2008, rata-rata curah hujan bulanan tertinggi yang

terjadi di Stasiun Metereologi Paloh adalah pada Bulan Desember mencapai

708 mm, terendah pada Bulan februari 2008 hanya mencapai 38,4 mm.

Sedangkan hasil pemantauan di Stasiun Meteorologi Paloh ternyata jumlah

hari hujan tertinggi terjadi pada Bulan Desember sebanyak 27 hari dan

terendah terjadi pada Bulan Mei yang tercatat sebanyak 11 hari.

Hasil Pemantauan di Stasiun Meteorologi Supadio Pontianak

menggambarkan bahwa curah Hujan tertinggi terjadi pada Bulan Oktober

2008, yang mencapai 565,2 mm, sedangkan yang terendah tercatat 101,8

mm yang terjadi pada Bulan Juni 2008.

Demikian juga halnya,dengan beberapa statsiun meteorology lainnya

seperti, Siantan, Bandara Susilo Sintang dan Nanga Pinoh dan Putussibau

masing-masing curah hujan tertinggi mencapai 576,6 mm, 453,9 mm dan

638,6 mm dan 572,4 mm. Angka terendah masing-masing 38,4 mm, 100,4

mm, 142,8 mm serta 232,1 mm.

6

2.5. Wilayah Administratif dan Pemerintahan.

Pada tahun 2008 berdasarkan Data Profil Kesehatan

Kabupaten/Kota, Provinsi Kalimantan Barat terdiri dari 14 (empat belas)

kabupaten/kota yaitu dua belas kabupaten dan dua kota. Empat belas

Kabupaten/kota ini terbagi dalam 175 kecamatan dengan 1.872

desa/kelurahan. Rincian jumlah kecamatan dan Desa/Kelurahan dapat

terlihat pada Tabel 2.1.

Tabel : 2.1.

Jumlah Kecamatan Dan Desa/Kelurahan Menurut Kabupaten/Kota

Tahun 2008

JUMLAH JUMLAH

NO KABUPATEN KECAMATAN DESA/

KELURAHAN

1 2

1. Kota Pontianak 6 29

2. Kota Singkawang 5 26

3. Kabupaten Pontianak 9 74

4. Kabupaten Sambas 19 184

5. Kabupaten Bengkayang 17 124

6. Kabupaten Landak 13 156

7. Kabupaten Sanggau 15 166

8. Kabupaten Sintang 14 287

9. Kabupaten Kapuas Hulu 25 211

10. Kabupaten Ketapang 20 221

11. Kabupaten Sekadau 7 76

12. Kabupaten Melawi 11 169

13. Kabupaten Kayong Utara 5 43

14. Kabupaten Kubu Raya 9 106

175 1,872 TOTAL PROP. KALBAR Sumber : Kalimantan Barat Dalam Angka Tahun 2008 Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2008

7

2.6. Kependudukan

Jumlah penduduk Provinsi Kalimantan Barat tahun 2008

diperkirakan berjumlah sekitar 4,25 juta jiwa (angka proyeksi BPS),

dimana sekitar 2,15 juta jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 2,10 juta jiwa

adalah perempuan. Luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat sebesar 146.807

Km2 atau lebih besar dari Pulau Jawa, maka kepadatan penduduk Kalimantan

Barat sekitar 29 Jiwa per kilometer persegi.

Tabel : 2.2

Penduduk Menurut Daerah Dan Kepadatan Per Kabupaten/Kota

Tahun 2008 LUAS JUMLAH KEPADATAN

NO KAB/KOTA WILAYAH PENDUDUK PENDUDUK

(km2) /km

2

1. Kota Pontianak 107.8 521,568 4,837.40 2. Kota Singkawang 504.0 175,198 347.61 3. Kabupaten Pontianak 1,367.0 215,738 157.82 4. Kabupaten Sambas 6,394.7 491,076 76.79 5. Kabupaten Bengkayang 5,397.3 205,675 38.11 6. Kabupaten Landak 9,909.1 324,976 32.80 7. Kabupaten Sanggau 12,857.7 388,909 30.25 8. Kabupaten Sintang 21,635.0 365,058 16.87 9. Kabupaten Kapuas Hulu 29,842.0 218,804 7.33 10. Kabupaten Ketapang 31,588.0 408,549 12.93 11. Kabupaten Sekadau 5,444.3 178,129 32.72 12. Kabupaten Melawi 10,644.0 168,309 15.81 13. Kabupaten Kayong Utara 4,221.0 91,168 21.60 14. Kabupaten Kubu Raya 6,895.0 495,957 71.93

146,807 4,249,112 28.94 TOTAL KALBAR

Sumber : Kalimantan Barat Dalam Angka Tahun 2008

Persebaran penduduk Kalimantan Barat tidak merata antar wilayah

kabupaten/kota, Kecamatan, desa/kelurahan, maupun antar wilayah

kawasan pantai bukan pantai atau perkotaan dan pedesaan. Seperti daerah

pesisir yang mencakup Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang,

Kabupaten Pontianak, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kayong Utara,

Kabupaten Kubu Raya, Kota Pontianak, dan Kota Singkawang yang dihuni

8

oleh hampir 50 persen dari total penduduk Kalimantan Barat dengan

kepadatan mencapai 37 jiwa per Km2. Sebaliknya enam kabupaten lain

(bukan pantai) secara rata-rata tingkat kepadatan penduduknya relatif

lebih jarang. Kabupaten Kapuas Hulu dengan luas wilayah 29.842 km2 atau

sekitar 20,33 persen dari luas wilayah Kalimantan Barat hanya dihuni rata-

rata 7 (tujuh) jiwa per kilometer persegi, sedangkan Kota Pontianak yang

luasnya hanya 0,07% (107,80 km2) dibandingkan dengan Kabupaten/Kota

lainnya, dihuni oleh rata-rata sekitar 4.837 jiwa per Km2.

Komposisi penduduk Kalimantan Barat, dari 4.249.112 jiwa penduduk,

50,52% atau 214. 6971 jiwa adalah laki-laki dan 49,47% atau 2.102.141

jiwa adalah perempuan. Berarti rasio jenis kelamin (sex ratio) penduduk

adalah sebesar 102.13 artinya dalam setiap 202 penduduk terdapat 100

penduduk perempuan dan 102 penduduk laki-laki.

Gambar : 2.1

Piramida Penduduk Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008

300,000 200,000 100,000 0 100,000 200,000 300,000

4 - 0

14 - 10

24 - 20

34 - 30

44 - 40

54 - 50

64 - 60

74 - 70

Sumber : BPS Kalimantan Barat tahun 2008

9

B A B III

PEMBANGUNAN KESEHATAN DAERAH

3.1. Visi

Gambaran masyarakat Kalimantan Barat dimasa depan yang ingin

dicapai melalui pembangunan kesehatan adalah masyarakat yang ditandai

dengan penduduknya yang hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku hidup

sehat, memiliki kemampuan untuk menujangkau pelayanan kesehatan yang

bermutu secara adil dan merata , serta memiliki derajat kesehatan yang

setinggi-tingginya di seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Barat.

Gambaran keadaan masyarakat Kalimantan Barat dimasa depan atau visi

yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan tersebut dirumuskan

sebagai : “Sebagai Pusat Rujukan Tertinggi untuk Public Health Guna Menggerakkan, Memfasilitasi dan Mengkoordinasikan Pembangunan Kesehatan dalam Menuju Kalimantan Barat Sehat 2010 “

Makna yang terkandung dalam visi tersebut, diperoleh beberapa komponen

pokok adalah:

a. Pusat Rujukan Tertinggi untuk Public Health

Pusat rujukan tertinggi untuk public health yaitu Dinas Kesehatan

Provinsi Kalimantan Barat dijadikan acuan / rujukan yang tertinggi bagi

pemerintah Kota/Kabupaten dan masyarakat di Kalimantan Barat di

bidang kesehatan masyarakat (public health).

b. Menggerakkan, Memfasilitasi, dan Mengkoordinasikan Pembangunan

Kesehatan.

Menggerakkan, Memfasilitasi, dan Mengkoordinasikan Pembangunan

Kesehatan yaitu suatu tindakan yang dilakukan agar pembangunan

kesehatan di Kalimantan Barat berjalan seiring dan sejalan serta

selaras dengan apa yang diharapkan.

c. Menuju Kalimantan Barat Sehat 2010.

Menuju Kalimantan Barat Sehat 2010 yaitu penyelarasan harapan

Kalimantan Barat sehat pada tahun 2010 dengan harapan nasional yaitu

Indonesia Sehat 2010.

10

3.2. Misi

Berdasarkan uraian di atas dan visi yang telah ditetapkan, dengan

memperhatikan tugas pokok dan fungsi serta kewenangan, Dinas Kesehatan

Provinsi Kalimantan Barat menetapkan misi yang ingin dicapai dalam periode

3 (tiga) tahun ke depan (Kalimantan Barat 2008) sebagai berikut :

1) Meningkatnya Pengendalian Penyakit Serta Tercapainya Lingkungan

Yang Sehat

Misi ini mengandung makna bahwa pengendalian penyakit terutama

penyakit menular yang terjadi di masyarakat, diupayakan adanya

peningkatan cakupan baik yang bersifat pengobatan maupun pencegahan

serta mengupayakan perubahan kondisi lingkungan agar lebih sehat

(tidak menjadi perantara kejadian penyakit).

2) Meningkatkan Pelayanan Kesehatan, Penyediaan Obat dan Perbekalan

Kesehatan yang optimal, Bermutu, dan Terjangkau.

Misi ini mengandung makna bahwa ada upaya peningkatan yang terus

menerus untuk memberikan pelayanan kesehatan di Puskesmas/RS yang

memenuhi standar mutu, baik kompetensi petugas, prosedur, maupun

penyediaan obat dan perbekalan kesehatan serta ada upaya secara

bertahap untuk mendekatkan pusat pelayanan kesehatan tersebut agar

terjangkau oleh masyarakat, utamanya masyarakat terpencil dan

masyarakat perbatasan.

3) Meningkatkan Status Gizi serta Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

Misi ini mengandung makna bahwa status gizi masyarakat terutama

bayi, balita dan ibu hamil secara terus menerus terpantau dan

diupayakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk

menkonsumsi gizi seimbang, serta menjalankan perilaku hidup bersih

dan sehat.

4) Memantapkan Sumber Daya dan Informasi Kesehatan

Misi ini mengandung makna bahwa adanya pemenuhan secara bertahap

dan terus menerus (sesuai proporsinya) sumber daya kesehatan

terutama sumber daya manusia dan pembiayaan sehingga menjadi

pendorong dalam pencapaian misi yang lain serta ketersediaan

11

informasi kesehatan yang cepat, tepat yang dapat digunakan sebagai

landasan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan

5) Mewujudkan aparatur Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat yang

profesional guna memberikan pelayanan prima

Misi ini mengandung makna bahwa aparatur pemerintah yang

profesional diperlukan sumber daya manusia (SDM) dalam

menyelenggarakan tertib administrasi dengan memanfaatkan seluruh

potensi yang ada berdasarkan sistem dan prosedur kerja serta

profesionalisme pegawai sehingga dapat meningkatkan pelayanan prima

kepada masyarakat

3.3. Program dan Kegiatan Pembangunan Kesehatan.

Program adalah kumpulan kegiatan-kegiatan nyata, sistematis dan

terpadu dalam rangka mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan

sehingga Misi dan Visi dapat diwujudkan.

1. Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:

1) Pencegahan dan penanggulangan faktor resiko; seperti Kesehatan

Haji, Kesehatan Matra, Penanggulangan Bencana, Penyakit Kelamin

dan HIV/AIDS.

2) Peningkatan imunisasi.

3) Penemuan dan tatalaksana penderita; seperti pengendalian penyakit

TBC, penyakit ISPA, Pneumonia pada balita, penyakit Diare dan

Kecacingan, penyakit Kusta, penyakit Malaria, penyakit Demam

Berdarah Dengaue, penyakit Rabies, penyakit Frambosia, penyakit

Filaria, pengamatan serangga/ penular penyakit, dan penyakit

kelamin dan HIV/AIDs.

4) Peningkatan surveilens epidemiologi dan penanggulangan wabah.

5) Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) pencegahan

dan pemberantasan penyakit seperti sosialisasi dan advokasi

penyakit dan penyebarluasan informasi program melalui media

cetak, elektronik dan penyuluhan kelompok.

12

2. Program Lingkungan Sehat

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:

1) Penyediaan sarana air bersih dan sanitasi dasar terutama di

daerah pedesaan dan bagi masyarakat miskin.

2) Pemeliharaan dan pengawasan kualitas lingkungan seperti

pengawasan kualitas tempat-tempat umum, tempat pengelolaan

pestisida, perumahan dan permukiman, sanitasi makanan dan

bahan pangan.

3) Pengendalian dampak resiko pencemaran lingkungan.

4) Pengembangan wilayah sehat.

3. Program Upaya Kesehatan Masyarakat

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:

1) Pelayanan kesehatan penduduk miskin di puskesmas dan

jaringannya;

2) Pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana

puskesmas dan jaringannya; termasuk manajemennya.

3) Pengadaan peralatan dan perbekalan kesehatan termasuk obat

generik esensial;

4) Peningkatan pelayanan kesehatan dasar yang mencakup sekurang-

kurangnya promosi kesehatan, kesehatan ibu dan anak, keluarga

berencana, perbaikan gizi, kesehatan lingkungan, pemberantasan

penyakit menular, dan pengobatan dasar; dan

5) Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan.

4. Program Upaya Kesehatan Perorangan

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:

1) Pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin di kelas III rumah

sakit;

13

2) Pembangunan sarana dan prasarana rumah sakit di daerah

tertinggal dan daerah bencana secara selektif;

3) Perbaikan sarana dan prasarana rumah sakit;

4) Pengadaan obat dan perbekalan rumah sakit;

5) Peningkatan pelayanan kesehatan rujukan seperti menciptakan

rujukan secara regional dimana untuk wilayah Kabupaten Sintang,

Kapuas Hulu, dan Melawi dengan RSUD M. Joen Sintang sebagai

Rumah Sakit Regionalnya ; wilayah Kabupaten Sanggau, Sekadau,

dan Landak dengan RSUD Sanggau sebagai Rumah Sakit

Regionalnya; wilayah Kota Singkawang, Kabupaten Sambas, dan

Bengkayang dengan RSUD Abdul Aziz Singkawang sebagai Rumah

Sakit Regionalnya, wilayah Kabupaten Pontianak dan Kota

Pontianak dengan RSUD Soedarso Pontianak sebagai Rumah Sakit

Regionalnya (sekaligus rujukan tertinggi di Kalimantan Barat)

sedangkan Kabupaten Ketapang sendiri dengan RSUD Agoes Djam

Ketapang.

6) Pengembangan pelayanan dokter keluarga.

7) Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan.

8) Peningkatan peran serta sektor swasta dalam upaya kesehatan

perorangan.

5. Program Obat dan Perbekalan Kesehatan

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:

1) Peningkatan ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan;

2) Peningkatan pemerataan obat dan perbekalan kesehatan;

3) Peningkatan mutu penggunaan obat dan perbekalan kesehatan;

4) Peningkatan keterjangkauan harga obat dan perbekalan

kesehatan terutama untuk penduduk miskin; dan

5) Peningkatan mutu pelayanan farmasi komunitas dan rumah sakit.

14

6. Program Pengawasan Obat dan Makanan

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:

1) Peningkatan pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya;

2) Peningkatan pengawasan penyalahgunaan narkotika, psikotropika,

zat adiktif (NAPZA);

3) Peningkatan pengawasan mutu, khasiat dan keamanan produk

terapetik/obat, perbekalan kesehatan rumah tangga, obat

tradisional, suplemen makanan dan produk kosmetika; dan

4) Penguatan kapasitas laboratorium pengawasan obat dan makanan.

7. Program Pengembangan Obat Asli Indonesia

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:

1) Pengembangan dan penelitian tanaman obat.

8. Program Perbaikan Gizi Masyarakat

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:

1) Peningkatan pendidikan gizi.

2) Penanggulangan kurang energi protein (KEP), anemia gizi besi,

gangguan akibat kurang yodium (GAKY), kurang vitamin A, dan

kekurangan zat gizi mikro lainnya.

3) Penanggulangan gizi lebih.

4) Peningkatan surveilens gizi.

5) Pemberdayaan masyarakat untuk pencapaian keluarga sadar gizi.

6) Peningkatan gizi institusi.

9. Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:

1) Pengembangan media promosi kesehatan dan teknologi

komunikasi, informasi dan edukasi (KIE);

15

2) Pengembangan upaya kesehatan bersumber masyarakat, (seperti

pos pelayanan terpadu, pondok bersalin desa, dan usaha

kesehatan sekolah) dan generasi muda; dan

3) Peningkatan pendidikan kesehatan kepada masyarakat.

10. Program Sumber Daya Kesehatan

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:

1) Perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan.

2) Peningkatan keterampilan dan profesionalisme tenaga kesehatan

melalui pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan.

3) Pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan, terutama untuk

pelayanan kesehatan di puskesmas dan jaringannya, serta rumah

sakit kabupaten/kota.

4) Pembinaan tenaga kesehatan termasuk pengembangan karir

tenaga kesehatan.

5) Penyusunan standar kompetensi dan regulasi profesi kesehatan.

6) Penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan tenaga

kesehatan.

7) Penyelenggaraan kebijakan dan manajemen pembangunan

kesehatan.

11. Program Kebijakan dan Manajemen Pembangunan Kesehatan

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:

1) Pengkajian dan penyusunan Kebijakan dan Manajemen

Pembangunan Kesehatan.

2) Pengembangan sistem informasi kesehatan.

3) Pengembangan sistem kesehatan daerah.

16

4) Peningkatan jaminan pembiayaan kesehatan masyarakat secara

kapitasi dan pra upaya terutama bagi penduduk miskin yang

berkelanjutan.

5) Pengembangan sistem perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan

dan pengendalian, pengawasan dan penyempurnaan administrasi

keuangan, serta hukum kesehatan.

12. Program Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:

1) Penelitian dan pengembangan kesehatan

2) Pengembangan tenaga peneliti, sarana dan prasarana penelitian

3) Penyebarluasan dan pemanfaatan hasil penelitian

13. Program Peningkatan Sumberdaya Aparatur

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:

1) Meningkatkan kompetensi sumber daya manusia aparatur dalam

pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya.

2) Meningkatkan Kesejahteraan Aparatur (BAU- Belanja Pegawai).

14. Program Penerapan Kepemerintahan Yang Baik (Good Governance)

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:

1) Penyusunan rencana kerja dinas;

2) Evaluasi dan Pengendalian Kegiatan;

3) Penataan Adminstrasi Kepegawaian; dan

4) Pelaksanaan Koordinasi (BAU-Perjalanan Dinas).

15. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Pemerintah Daerah

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:

17

1. Peningkatan sarana dan prasarana bangunan gedung;

2. Peningkatan Sarana dan Prasarana Mobilitas;

3. Peningkatan Sarana dan Prasarana Alat Kantor dan Rumah

Tangga;

4. Pengadaan Barang dan Jasa (BAU-Barang dan Jasa); dan

5. Pemeliharan prasarana kantor (BAU-Pemeliharaan).

6. Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Kepada Publik

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini antara lain meliputi:

1) Pelayanan Perizinan

18

BAB IV

PENCAPAIAN PEMBANGUNAN KESEHATAN

Mengacu kepada sistimatika dari uaraian Visi, Misi Kalimantan Barat

Sehat 2010, pada bab ini akan menyajikan gambaran tentang hasil-hasil

yang telah dicapai dalam tahun 2008 di Provinsi Kalimantan Barat.

Uraian pada bab ini meliputi gambaran tentang derajat kesehatan

masyarakat, keadaan lingkungan, keadaan perilaku masyarakat dan keadaan

pelayanan kesehatan.

4.1. DERAJAT KESEHATAN MASYARAKAT

Untuk mengetahui derajat kesehatan masyarakat Provinsi Kalimantan

Barat dipergunakan beberapa indikator berdasarkan data-data yang

diperoleh dari SDKI, SUSENAS, RISKESDAS, BPS atau data-data terkait

lainnya.

Indikator-indikator yang digunakan antara lain meliputi :

4.1.1. MORTALITAS

4.1.1.1. Angka Kematian Bayi (AKB)

Kematian bayi adalah kematian yang terjadi antara saat setelah bayi

lahir sampai bayi belum berusia tepat satu tahun. Banyak faktor yang

dikaitkan dengan kematian bayi. Secara garis besar, dari sisi penyebabnya,

kematian bayi ada dua macam yaitu endogen atau yang umum disebut

dengan kematian neonatal : adalah kematian bayi yang terjadi pada bulan

pertama setelah dilahirkan, dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor

yang dibawa anak sejak lahir, yang diperoleh dari orang tuanya pada saat

konsepsi atau didapat selama kehamilan. Dan eksogen atau kematian post

neo-natal : adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia satu bulan

sampai menjelang usia satu tahun yang disebabkan oleh faktor-faktor yang

bertalian dengan pengaruh lingkungan luar.

Angka Kematian Bayi (AKB) di Kalimantan Barat untuk tahun 2008

berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi

Kalimantan Barat (Kalbar dalam angka tahun 2008) masih mengacu pada

AKB tahun 2005 yaitu sebesar 38,41 per 1.000 kelahiran hidup. Angka

19

tersebut jika dibedakan antara bayi laki-laki dengan bayi perempuan,

33,34 per 1.000 kelahiran hidup untuk AKB perempuan dan 43,73 per 1.000

kelahiran hidup untuk AKB laki-laki. Sedang berdasarkan data Survey

Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), berturut-turut AKB di

Kalimantan Barat mulai tahun 1994 adalah 97 per 1.000 Kelahiran Hidup,

Tahun 1997 menjadi 70 per 1.000 KH, Tahun 2002 menjadi 47 per 1.000

KH dan turun menjadi 46 per 1000 kelahiran hidup berdasarkan SDKI

Tahun 2007. Jika dilihat dari kurun waktu 1994 sampai dengan tahun 2007

meskipun terlihat adanya penurunan jumlah kematian bayi, namun masih di

atas rata-rata nasional yaitu 34 per 1.000 kelahiran hidup. Adapun target

Indonesia pada tahun 2010 adalah menurunkan AKB sampai 40 per 1.000

kelahiran hidup, dan target pada 2015 sesuai dengan MDGs adalah 19 per

1.000 kelahiran hidup.

Gambar 4.1.

Angka Kematian Bayi Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 1994 s.d 2005

AKB PROP. KALBAR TH 1994 - 2005

34

97

70

47

38.41

57

46

3530

40

50

60

70

80

90

100

110

TH.1994 TH.1997 TH.2002 TH. 2005

AKB KALBAR NASIONAL

PE

RM

IL

Sumber : SDKI 1994; 1997; 2002-2003, 2007 dan Kalbar dlm Angka Th. 2008.

Angka Kematian Bayi menggambarkan keadaan sosial ekonomi

masyarakat dimana angka kematian itu dihitung. Kegunaan Angka Kematian

20

Bayi untuk pengembangan perencanaan berbeda antara kematian neo-natal

dan kematian bayi yang lain. Karena kematian neo-natal disebabkan oleh

faktor endogen yang berhubungan dengan kehamilan maka program-

program untuk mengurangi angka kematian neo-natal adalah yang

bersangkutan dengan program pelayanan kesehatan Ibu hamil, misalnya

program pemberian pil besi (tablet Fe) dan suntikan anti tetanus.

Sedangkan Angka Kematian Post-NeoNatal dan Angka Kematian

Anak serta Kematian Balita dapat berguna untuk mengembangkan program

imunisasi, serta program-program pencegahan penyakit menular terutama

pada anak-anak, program penerangan tentang gizi dan pemberian makanan

sehat untuk anak dibawah usia 5 tahun.

4.1.1.2. Angka Kematian Ibu (AKI)

Kematian ibu adalah kematian perempuan pada saat hamil atau

kematian dalam kurun waktu 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa

memandang lamanya kehamilan atau tempat persalinan, yakni kematian yang

disebabkan karena kehamilannya atau pengelolaannya, tetapi bukan karena

sebab-sebab lain seperti kecelakaan, terjatuh dan lain-lain (Budi, Utomo.

1985).

Di Provinsi Kalimantan Barat untuk tahun 2007, Angka Kematian Ibu

masih merujuk pada Laporan Indikator Data Base 2005. Dengan asumsi

15% dari kematian wanita (Famale Death), Angka Kematian Ibu adalah

sebesar 403,15 per 100.000 Kelahiran Hidup. Sedang Jika AKI

menggunakan asumsi 20% dari kematian wanita (Female Death), maka AKI

di Kalimantan Barat sebesar 566 per 100.000 kelahiran hidup. Jika

dibandingkan dengan angka nasional sebesar 307 per 100.000 kelahiran

pada periode 1998 – 2002, dan 228 pada tahun 2007, maka kematian ibu di

Kalimantan Barat masih jauh lebih tinggi, apalagi jika dikaitkan dengan

target nasional yang akan dicapai pada tahun 2010 yaitu menurunkan angka

kematian ibu sampai 150 per 100.000 kelahiran hidup, serta target yang

ingin dicapai pada Millenium Development Goals (MDGs), yaitu sebesar 110

per 100.000 kelahiran hidup. Maka Kalimantan Barat akan sulit mencapai

target tersebut. Untuk itu perlu dilakukan berbagai upaya, serta koordinasi

yang lebih baik antara pemegang program maupun lintas sektor dalam

upaya penurunan AKI di Kalimantan Barat.

21

Gambar 4.2

Angka Kematian Ibu Prov. Kalbar periode 2003 -2005

378.82

306.6

359.12

365.86

365.78

305.07

443.03

409.78

360.46

403.15

307

228

150

475.82

Ptk

Skw

Mpm

Sbs

Bky

Ldk

Sgu

Stg

Ktp

KH

Kalbar

Nas 2002

Nas 2007

T 2010

Sumber : SDKI 2002-2003; 2007 & Laporan Indikator Data base 2005

(kerjasama BPS dengan UNFPA 2005),Kalbar dalam Angka Tahun 2008

Informasi mengenai tingginya Angka Kematian Ibu bermanfaat

untuk pengembangan program peningkatan kesehatan reproduksi, terutama

pelayanan kehamilan dan membuat kehamilan yang aman bebas risiko tinggi

(making pregnancy safer), program peningkatan jumlah kelahiran yang

dibantu oleh tenaga kesehatan, penyiapan sistim rujukan dalam penanganan

komplikasi kehamilan, penyiapan keluarga dan suami siaga dalam

menyongsong kelahiran, yang semuanya bertujuan untuk mengurangi Angka

Kematian Ibu dan meningkatkan derajat kesehatan reproduksi.

Berdasarkan konsep diatas, masih tingginya AKI di Kalimantan Barat

ini kemungkinan bisa disebabkan oleh karena masih rendahnya kesadaran

Ibu hamil untuk memeriksakan kesehatan pada saat kehamilannya atau

tidak teraksesnya pelayanan kesehatan terhadap masyarakat.

22

Hal ini terlihat dengan kunjungan K4 bumil yang baru mencapai

81,43%. Selain itu pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang masih

rendah (75,61%) juga dapat berdampak pada tingginya angka kematian ibu

di Kalimantan Barat (tabel 17 profil kesehatan). Rendahnya cakupan K4 dan

persalinan oleh tenaga kesehatan dapat mengindikasikan bahwa ada

sebagian ibu hamil yang tidak terdeteksi proses kehamilannya, sehingga

jika ada kelainan pada janin yang dikandungnya tidak segera dapat diatasi,

yang pada akhirnya dapat mempunyai andil dalam memperbesar kasus

kematian ibu maupun bayi pada proses kelahirannya. Selain itu pemberian

tablet Fe bumil yang masih rendah (73,22%) juga salah satu kemungkinan

yang mempunyai andil dalam terjadinya kematian ibu di Kalimantan Barat.

Masih rendahnya cakupan pemberian tablet Fe kemungkinan mengakibatkan

masih adanya ibu hamil yang menderita anemia sehingga dapat

mengakibatkan terjadinya perdarahan pada waktu persalinan yang berujung

pada kematian.

4.1.1.3. Angka Kematian Balita (AKABA)

Angka Kematian Balita (AKABA) adalah jumlah kematian anak berusia

0-5 tahun (59 Bulan) selama satu tahun tertentu per 1.000 anak umur yang

sama pada pertengahan tahun itu (termasuk kematian bayi).

AKABA menggambarkan faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh

terhadap kesehatan anak Balita seperti gizi, sanitasi, penyakit menular dan

kecelakaan.

AKABA Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan hasil SDKI berturut-

turut mulai tahun 1994 adalah 93 per 1.000 Balita, turun menjadi 88,2 per

1.000 Balita pada tahun 1997, turun menjadi 63 per 1.000 Balita pada tahun

2003 dan turun menjadi 59 per 1.000 balita pada tahun 2007. Angka ini

masih lebih tinggi dari rata-rata angka kematian balita secara nasional

yaitu 51 per 1.000 Balita. Jika dibandingkan dengan target yang akan

dicapai pada tahun 2010 yaitu sebasar 58 per 1.000 kelahiran hidup, maka

AKABA Kalimantan Barat sudah hampir mancapai target. Namun jika

dibandingkan dengan target pada 2015 sesuai dengan MDGs yaitu sebesar

32 per 1.000 kelahiran hidup, maka AKABA Kalimantan Barat masih tinggi.

Dengan demikian, meskipun terjadi penurunan angka kematian balita di

provinsi Kalimantan Barat dan hasil yang dicapai cukup menggembirakan,

namun masih perlu ditingkatkan kegiatan yang menunjang penurunan angka

kematian Balita.

23

Gambar 4.3

Angka Kematian Balita Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 1994 – 2007

88.2

79

63

46

5963

93

4440

45

50

55

60

65

70

75

80

85

90

95

100

TH.1994 TH.1997 TH.2002 TH.2007

PE

RM

IL

KALBAR NASIONAL

Sumber : SDKI 1994; 1997; 2002-2003; 2007

4.1.1.4. Umur Harapan Hidup waktu lahir ( Eo ).

Keberhasilan program kesehatan dan program pembangunan sosial

ekonomi pada umumnya dapat dilihat dari peningkatan umur harapan hidup

penduduk dari suatu negara. Meningkatnya perawatan kesehatan melalui

Puskesmas, meningkatnya daya beli masyarakat akan meningkatkan akses

terhadap pelayanan kesehatan, mampu memenuhi kebutuhan gizi dan kalori,

mampu mempunyai pendidikan yang lebih baik sehingga memperoleh

pekerjaan dengan penghasilan yang memadai, yang pada gilirannya akan

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan memperpanjang usia

harapan hidupnya.

Angka Harapan Hidup merupakan alat untuk mengevaluasi kinerja

pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk pada umumnya,

24

dan meningkatkan derajat kesehatan pada khususnya. Angka Harapan Hidup

yang rendah di suatu daerah harus diikuti dengan program pembangunan

kesehatan, dan program sosial lainnya termasuk kesehatan lingkungan,

kecukupan gizi dan kalori termasuk program pemberantasan kemiskinan.

Gambar 4.4.

Umur Harapan Hidup Penduduk Kalimantan Barat Tahun 1996 s.d 2005

Umur Harapan Hidup Penduduk Kalimantan Barat

Tahun 1996 s.d 2005

66.87

62.9

64.164.4

66.3

69.7

67.2

66.2

64.4

66.2

60

65

70

75

Sumbert :

KALBAR NASIONAL

TH 1996 TH 1999

Sumber : Kalbar Dalam Angka 2007, 2008, HDR 2007

TH 2005TH 2004

Sumber : HDR 2001 dan HDR 2004, 2006, 2007, Laporan Indikator Database 2005,

Dilihat dari tahun ke tahun, Umur Harapan Hidup di Kalimantan

Barat terjadi peningkatan. Umur harapan hidup tahun 2005 berdasarkan

Data Kalimantan Barat dalam Angka tahun 2008 yang dikeluarkan oleh BPS

yaitu 68.08 tahun untuk perempuan dan 65.66 tahun untuk laki-laki.

Sehingga jika dirata-ratakan umur harapan hidup di Kalimantan Barat pada

tahun 2005 adalah 68.87 tahun. Untuk angka umur harapan hidup tingkat

nasional berdasarkan laporan pengembangan manusia tahun 2007 (HDR

2007) tercatat bahwa umur harapan hidup penduduk Indonesia tahun 2005

adalah 69.7 tahun. Dengan demikian, angka umur harapan hidup penduduk di

Kalimantan Barat masih lebih rendah dibanding dengan rata-rata umur

25

harapan hidup tingkat nasional. Secara berurutan kecenderungan

peningkatan umur harapan hidup di Kalimantan Barat dapat dilihat pada

Gambar 4.4.

Meningkatnya Umur Harapan Hidup secara tidak langsung juga

memberi gambaran tentang adanya peningkatan kualitas hidup dan derajat

kesehatan masyarakat serta turut berpengaruh terhadap Index

Pembangunan Manusia (IPM).

4.1.2. MORBIDITAS

Angka Kesakitan (Morbiditas) pada penduduk Provinsi Kalimantan

Barat didapat dari sarana pelayanan kesehatan (facility based data) dan

hasil pengumpulan data dari Lintas Program dan dari profil kesehatan

Kabupaten/ kota.

4.1.2.1. Malaria

Penyakit Malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di

Indonesia. Berdasarkan data profil kesehatan Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 2008 (tabel 11) terdapat 80.201 kasus Malaria Klinis dan 15.796

kasus Malaria Positif. Mengacu pada definisi operasional pada indikator

Indonesia Sehat 2010, dimana penderita malaria di luar Jawa dan Bali

adalah kasus dengan gejala klinis (demam tinggi disertai menggigil) dengan

atau tanpa pemeriksaan sediaan darah di laboratorium, maka berdasarkan

definisi operasional tersebut angka kesakitan malaria di Kalimantan Barat

adalah 18,87 per 1.000 penduduk. Hal ini berati bahwa dari setiap 1.000

penduduk terdapat sekitar 18 sampai dengan 19 orang yang terjangkit

penyakit Malaria. Dibandingkan dengan tahun 2007 terdapat penurunan

kasus dimana pada tahun 2007 angka kesakitan malaria adalah 20,58

per.1000 penduduk, sedangkan jika dibandingkan dengan target pada

Indonesia sehat 2010 sebesar 5 per 1.000 penduduk, maka angka kesakitan

malaria di Kalimantan Barat masih tergolong tinggi. Dari dua kasus

tersebut (Klinis maupun Malaria positif), yang diobati adalah sebesar

70,9% dari target yang seharus nya 100% pada tahun 2010.

26

Terkait Peringatan Hari Malaria Sedunia (HMS) di Jakarta dengan

tema Ayo Berantas Malaria pada bulan April 2008, Dirjen Pengendalian

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP&PL) Depkes, dr. I Nyoman Kandun

menyatakan bahwa Indonesia termasuk negara berisiko malaria. Pada tahun

2006 terdapat sekitar 2 juta kasus malaria klinis, sedangkan tahun 2007

menjadi 1,75 juta kasus. Jumlah penderita positif malaria (hasil

pemeriksaan mikroskop positif terdapat kuman malaria) tahun 2006

sekitar 350 ribu kasus, dan pada tahun 2007 sekitar 311 ribu kasus.

Tingginya angka kesakitan dan kematian malaria disebabkan berbagai

faktor diantaranya adalah perubahan lingkungan, vektor penular, sosial

budaya masyarakat, resistensi obat dan pelayanan kesehatan.

4.1.2.2. TB Paru

Tuberculosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh

bakteri Mycobacterium tuberculosis. TBC terutama menyerang paru-

paru sebagai tempat infeksi primer. Selain itu, TBC dapat juga

menyerang kulit, kelenjar limfe, tulang, dan selaput otak. TBC menular

melalui droplet infeksius yang terinhalasi oleh orang sehat. Pada sedikit

kasus, TBC juga ditularkan melalui susu. Pada keadaan yang terakhir ini,

bakteri yang berperan adalah Mycobacterium bovis.

TBC merupakan penyebab kematian utama dan angka kesakitan

dengan urutan teratas setelah ISPA di Indonesia, selain itu Indonesia

menduduki urutan ketiga setelah India dan China dalam jumlah penderita

TBC di dunia. Jumlah penderita TBC paru dari tahun ke tahun di

Indonesia terus meningkat. Saat ini setiap menit muncul satu penderita

baru TBC paru, dan setiap dua menit muncul satu penderita baru TBC

paru yang menular. Bahkan setiap empat menit sekali satu orang

meninggal akibat TBC di Indonesia. ( Zulkifli Amin, Asril Bahar, 2006).

Di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian akibat

tuberkulosis (TB) dan terdapat 450.000 kasus TB paru. Bahkan angka

prevalensi penderita TB di Indonesia masih yang terbesar ketiga di Asia

setelah India dan Tiongkok. Demikian peringatan yang disampaikan pakar

penyakit paru (pulmonologist) Rumah Sakit Siloam Gleneagles Hospitals

27

Lippo Karawaci, dr Taufan Situmeang dan Kepala Departemen Pulmonologi

dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, terkait dengan peringatan hari TB

sedunia yang jatuh pada setiap 24 Maret setiap tahunnya.

Berdasarkan Hasil rekapitulasi profil kesehatan kabupaten/kota tahun

2008 tercatat TB Paru dengan BTA Positif (+) sebanyak 4.209 kasus

dengan angka kesakitan 99 per 100.000 penduduk. Persentase kesembuhan

penderita TB Paru dengan BTA positif di Kalimantan Barat adalah sebesar

83,08, dengan rincian dari 4.209 penderita yang diobati, sebanyak 3.497

penderita dinyatakan sembuh. (tabel 9). Jika melihat hasil yang dicapai,

maka angka kesembuhan penderita TB Paru BTA + di Kalimantan Barat

sudah mendekati dari target Indikator Indonesia Sehat 2010 yang

ditargetkan sebesar 85%.

4.1.2.3. HIV/AIDS

Perkembangan penyakit HIV/AIDS terus menunjukan kenaikan,

meskipun berbagai upaya pencegahan terus dilakukan. Secara kumulatif

kasus pengidap HIV dan AIDS di Indonesia dari tanggal 1 Januari 1987

hingga 31 Maret 2009 terdiri dari HIV 6.668 kasus, AIDS 16.964 kasus,

sehingga jumlah keseluruhannya mencapai 23.632 kasus, dengan angka

kematian 3.492 jiwa (Komala Sari, 2009)

Menurutnya, “Penyebab meningkatnya HIV dan AIDS lebih banyak

dikarenakan adanya heteroseksual atau bergonta-ganti pasangan,

homoseksual, jarum suntik atau IDU, dan ibu yang sedang hamil yang

mengidap HIV dan AIDS yang mengakibatkan terjadinya penularan

terhadap bayi yang dikandungnya,”

Jumlah kumulatif kasus AIDS menurut jenis kelamin, antara lain

laki-laki mencapai 12.640 kasus, perempuan mencapai 4.239 kasus, dan tak

diketahui mencapai 85 kasus. Jumlah kumulatif kasus AIDS menurut risiko,

antara lain heteroseksual mencapai 8.210 kasus, homoseksual mencapai 628

kasus, jarum suntik atau IDU mencapai 7.125 kasus, transmisi perinatal

atau ibu yang sedang hamil yang menular kepada bayi mencapai 390 kasus,

dan tak diketahui sebabnya mencapai 611 kasus.

Proporsi kumulatif untuk kasus AIDS menurut golongan usia, antara

lain di bawah usia satu tahun mencapai 135 kasus, usia satu hingga empat

28

tahun mencapai 175 kasus, usia lima hingga empat belas tahun mencapai 88

kasus, usia lima belas hingga sembilan belas tahun mencapai 522 kasus, usia

dua puluh hingga dua puluh sembilan tahun mencapai 8.567 kasus.

Selanjutnya, usia 30 hingga 39 tahun mencapai 4.997 kasus, usia 40 hingga

49 tahun mencapai 1.427 kasus, usia 50 hingga 59 tahun mencapai 404

kasus, usia di atas 60 tahun mencapai 91 kasus, dan tak diketahui usia

penderita mencapai 558 kasus.

Gambar 4.5.

Kasus HIV/AIDS Provinsi Kalimantan Barat Menurut

Kabupaten/Kota s.d. Februari 2008

797

515

127

70

14 1729 44

13 33 14 5

2 20

100

200

300

400

500

600

700

800

Kt

Ptk

Skw Mpw Sbs Bky Ldk Sgu Stg K.H Ktp Skd Mlw Ky Ut Kb Ry

Sumber : Laporan Bidang P2PL Dinkes Prov. Kalbar

Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2007.

Untuk wilayah Provinsi Kalimantan Barat, sejak tahun 1993 sampai

dengan bulan Februari tahun 2008 tercatat sebanyak 1.862 orang dengan

HIV/AIDS atau sekitar 0,04% prevalensi penderita HIV/AIDS dengan

penduduk berisiko adalah seluruh jumlah penduduk dikarenakan sulitnya

untuk mendata penduduk yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS (PSK,

Supir Truk, Pengguna Narkoba dll). Namun demikian, angka tersebut hanya

angka yang di dapat dari yang melaporkan saja, sedang pada kenyataannya

29

kemungkinan kasus yang ada akan lebih besar dari angka yang ada, hal ini

disebabkan karena yang terlihat hanya di permukaan saja (yang dilaporkan),

sedang yang tidak terlihat (terlapor) kemungkinan akan jauh lebih besar

dari angka yang ada.

Kecenderungan kasus HIV/AIDS di Kalimantan Barat dapat dilihat pada

Gambar 4.6. berikut.

Gambar 4.6.

Kecenderungan kasus HIV/AIDS di Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 2005 s.d Tahun 2008.

1293

1682

198

611

-

200

400

600

800

1,000

1,200

1,400

1,600

1,800

Ju

mla

h K

as

us

TH 2005 TH 2006 TH 2007 TH 2008

Sumber : Laporan Bidang P2PL Dinkes Prov. Kalbar

Draft Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2008.

Menurut Sasongko, Sejumlah 75-85% penularan terjadi melalui

hubungan seks (5-10% diantaranya melalui hubungan homoseksual), 5-10%

akibat alat suntik yang tercemar (terutama pada pemakai narkotika

suntik), 3-5% melalui transfusi darah yang tercemar. Infeksi HIV sebagian

besar (lebih dari 80%) diderita oleh kelompok usia produktif (15-49 tahun)

terutama laki-laki, tetapi proporsi penderita wanita cenderung meningkat.

Infeksi pada bayi dan anak, 90% terjadi dari ibu yang mengidap HIV.

30

Sekitar 25-35% bayi yang dilahirkan oleh Ibu pengidap HIV akan menjadi

pengidap HIV, melalui infeksi yang terjadi selama dalam kandungan, selama

proses persalinan dan melalui pemberian ASI. Dengan pengobatan

antiretroviral pada ibu hamil trimester terakhir, risiko penularan dapat

dikurangi menjadi hanya 8%.

4.1.2.4. Acute Flaccid Paralysis (AFP)

Kejadian AFP diproyeksikan sebagai indikator untuk menilai

keberhasilan program Eradikasi Polio (Erapo). Upaya pemantauan terhadap

keberhasilan Erapo yaitu dengan melaksanakan kegiatan ” Surveilans

Secara Aktif ” untuk menemukan kasus AFP sebagai upaya untuk

mendeteksi secara dini munculnya virus polio liar yang mungkin ada di

masyarakat untuk segera dilakukan penanggulangannya.

Tahun 2008, berdasarkan hasil rekapitulasi data profil kesehatan

kabupaten/kota tahun 2008 (tabel 9) terdapat 28 kasus AFP atau sebesar

2,11 per 100.000 penduduk berisiko (usia < 15 Tahun). Dibandingkan dengan

tahun 2007 terjadi peningkatan kasus, dimana pada tahun tersebut jumlah

kasus AFP di Kalimantan Barat sebesar 11 kasus atau 0,8 per 100.000

penduduk berisiko. Hal ini berarti pencapaian angka AFP di Kalimantan

Barat sudah mencapai target nasional sesuai dengan indikator Indonesia

sehat pada tahun 2010 yaitu sebasar 0,9 per 100.000 anak usia < 15 tahun.

4.1.2.5. DBD

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi virus

akut yang disebabkan oleh virus dengue terutama menyerang anak-anak

dengan ciri-ciri demam tinggi mendadak dengan manivestasi perdarahan

dan bertendensi menimbulkan shock dan kematian. Penyakit DBD ini

ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan mungkin juga Aedes

Albopictus.

Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia

kecuali di ketinggian lebih 1.000 meter diatas permukaan laut. Masa

inkubasi penyakit ini diperkirakan lebih kurang 7 hari. Penyakit DBD dapat

menyerang semua golongan umur. Sampai saat ini penyakit DBD lebih

banyak menyerang anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat

adanya kecenderungan kenaikan proporsi penderita Demam Berdarah

Dengue pada orang dewasa (Faziah, 2004).

31

Provinsi Kalimantan Barat merupakan daerah endemik untuk penyakit

DBD, hal ini disebabkan karena letak geografis Kalimantan Barat yang

sebagian besar merupakan dataran rendah dan merupakan daerah rawa. Di

samping itu, budaya masyarakat perkotaan di Kalimantan Barat cenderung

menyimpan persediaan air pada tempat-tempat penampungan air di sekitar

rumahnya. Hal ini akan mejadi tempat perindukan nyamuk Aedes Aegypti yang paling disukai.

Gambar 4.7.

Kecenderungan DBD di Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 2005 s.d Tahun 2008.

2,753

960

808

1,210

-

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

TH 2005 TH 2006 TH 2007 TH 2008

Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2008. Kasus DBD di Provinsi Kalimantan Barat tahun 2005 terjadi 1.210

kasus dengan angka kesakitan DBD sebesar 30,49 per 100.000 penduduk.

Pada tahun 2006 terjadi kenaikan kasus menjadi 2.753 kasus dengan angka

kesakitan DBD sebesar 66,85 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2007

terjadi penurunan kasus menjadi 808 kasus dengan angka kesakitan 20,24

per 100.000 penduduk. Pada tahun 2008 berdasarkan rekapitulasi data

profil kesehatan kabupaten/kota terjadi kenaikan kembali kasus DBD

32

menjadi 960 kasus dengan angka kesakitan sebesar 22,59 per 100.000

penduduk (tabel 10).

4.1.3. STATUS GIZI

Status gizi masyarakat dapat diukur malalui beberapa indikator,

diantaranya adalah bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), Status

Gizi balita, status gizi wanita usia subur Kurang Energi Konis(KEK).

4.1.3.1. Gizi Buruk

Status Gizi merupakan suatu indikator yang sangat penting untuk

menilai status indikator derajat Kesehatan Masyarakat. Di dalam Indikator

Indonesia Sehat 2010, status gizi merupakan salah satu indikator yang

menggambarkan derajat kesehatan masyarakat.

Gizi buruk adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh

kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk

terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Anak balita

sehat atau kurang gizi secara sederhana dapat diketahui dengan

membandingkan antara berat badan menurut umurnya dengan rujukan

(standar) yang telah ditetapkan. Apabila berat badan menurut umur sesuai

dengan standar, anak disebut gizi baik. Kalau sedikit di bawah standar

disebut gizi kurang. Apabila jauh di bawah standar dikatakan gizi buruk.

Gizi buruk yang disertai dengan tanda-tanda klinis disebut marasmus atau

kwashiorkor. Sementara itu, pengertian di masyarakat tentang ”Busung

Lapar” adalah tidak tepat. Sebutan ”Busung Lapar” yang sebenarnya adalah

keadaan yang terjadi akibat kekurangan pangan dalam kurun waktu

tertentu pada satu wilayah, sehingga mengakibatkan kurangnya asupan zat

gizi yang diperlukan, yang pada akhirnya berdampak pada kondisi status

gizi menjadi kurang atau buruk dan keadaan ini terjadi pada semua golongan

umur. Tanda-tanda klinis pada ”Busung Lapar” pada umumnya sama dengan

tanda-tanda pada marasmus dan kwashiorkor. Anak kurang gizi pada

tingkat ringan dan atau sedang tidak selalu diikuti dengan gejala sakit. Dia

seperti anak-anak lain, masih bermain dan sebagainya, tetapi bila diamati

dengan seksama badannya mulai kurus.

33

Gambar 4.8.

Persentase Kasus KEP Nyata (Gizi Buruk ) dan KEP Total

Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2005 s.d Tahun 2008

1.13

12.06

2.042.512.87

15.64

19.8219.56

0

5

10

15

20

25

Gizi Buruk KEP Total

TH 2005 TH 2006 TH 2007 TH 2008

Sumber : Laporan Program Gizi Dinkes Prov. Kalbar Tahun 2005, 2006,2008

Berdasarkan hasil rekapitulasi kasus gizi buruk yang terdapat dalam

profil kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2008, terdapat sebanyak 1.570

kasus gizi buruk dari 461.124 yang ditimbang atau sekitar 0,89% (tabel 16).

Namun Berdasarkan laporan Program Gizi Provinsi Kalimantan Barat Tahun

2008, dilaporkan kasus persentase Balita dengan Kriteria KEP Nyata (Gizi

Buruk) sebesar 1,13%, dan Balita dengan kriteria KEP Total (Gizi Buruk +

Gizi Kurang) Total sebesar 12,06%. Jika dilihat dari kecenderungan

persentase kasus gizi buruk maupun KEP Total dari sejak tahun 2005

sampai tahun 2008, terlihat adanya penurunan baik KEP Nyata maupun KEP

Total. Sedang jika dibandingkan dengan target nasional yang akan dicapai

pada tahun 2010, pencapaian di Kalimantan Barat sudah melebihi target

nasional, yaitu sebesar 15%. Kecenderungan kasus gizi buruk maupun KEP

Total di Kalimantan Barat dapat dilihat pada Gambar 4.7.

34

4.1.3.2. Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Secara umum bayi BBLR ini berhubungan dengan usia kehamilan yang

belum cukup bulan (prematur) disamping itu juga disebabkan dismaturitas.

Artinya bayi lahir cukup bulan (usia kehamilan 38 minggu), tapi berat badan

(BB) lahirnya lebih kecil ketimbang masa kehamilannya, yaitu tidak

mencapai 2.500 gram. "Biasanya hal ini terjadi karena adanya gangguan

pertumbuhan bayi sewaktu dalam kandungan yang disebabkan oleh penyakit

ibu seperti adanya kelainan plasenta, infeksi, hipertensi dan keadaan-

keadaan lain yang menyebabkan suplai makanan ke bayi jadi berkurang."

(Pringgardani, SpA).

Berat Badan Lahir Rendah (2.500 gram) merupakan salah satu faktor

utama yang berpengaruh terhadap kematian perinatal dan nenonatal.

Barker dkk dalam Hardiansyah dkk (2000) mengungkapkan bahwa BBLR

mempunyai dampak yang kompleks sampai usia dewasa antara lain

meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner, diabetes mellitus,

gangguan metabolik dan kekebalan tubuh serta katahanan fisik yang

resultantenya adalah beban ekonomi individu dan masyarakat.

Di Provinsi Kalimantan Barat, jumlah BBLR yang dilaporkan pada tahun

2008 sebanyak 1.734 Bayi dengan BBLR dari 84.456 jumlah Bayi Lahir

Hidup Yang ditimbang (1,95%), sementara bayi BBLR yang ditangani dari

seluruh bayi BBLR adalah 1.620 (93,43%).

4.1.3.3. Kecamatan Bebas Rawan Gizi

Kecamatan yang bebas rawan gizi disuatu wilayah dapat digunakan

sebagai indikator untuk memprediksi kapan akan terjadi kasus gizi buruk

atau KLB gizi buruk di suatu wilayah. Dengan semakin tingginya angka

kecamatan bebas rawan gizi disuatu Kabupaten/Kota, maka kemungkingan

akan terjadi kasus gizi buruk di wilayah tersebut akan semakin kecil.

Dari delapan Kabupaten/Kota yang melaporkan, seluruh Kecamatan di

Kabupaten Sanggau merupakan kecamatan bebas rawan gizi, sedang

Kabupaten Pontianak hanya sebesar 22,2% yang Kecamatannya bebas dari

rawan gizi, sehingga masih perlu diwaspadai untuk terjadinya KLB

terjadinya kasus gizi kurang maupun gizi buruk (Gambar 4.9)

35

Gambar 4.9.

Persentase Kecamatan Bebas Rawan Gizi Menurut

Kabupatan/Kota Tahun 2008

66.7

40.0

22.2 23.1

100.0

35.7

72.0 70.0

58.9

0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

70.0

80.0

90.0

100.0

Ptk

Skw

Mpw

LdkSgu

Stg K

HKtp

Kal

bar

Pe

rse

nta

se

Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2008 .

Di Provinsi Kalimantan Barat jika dilihat dari seluruh

Kabupaten/Kota yang ada, sebesar 68,9% merupakan kecamatan bebas

rawan gizi. Persentase ini masih jauh lebih rendah dari target yang

ditetapkan oleh pemerintah untuk menjangkau Indonesia sehat 2010 yaitu

sebesar 100%.

4.1.3.4. Balita berada di Bawah Garis Merah (BGM)

Anak yang bergizi kurang, berarti kekurangan gizi pada tingkat ringan

atau sedang, belum menunjukkan gejala sakit. Dia seperti anak-anak lain,

masih bermain dan sebagainya, tetapi jika diamati dengan saksama

badannya mulai kurus (Soekirman, 2005).

Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memantau

pertambahan berat badan anak (terutama baduta) dengan kartu menuju

36

sehat (KMS) di posyandu, dengan syarat bahwa posyandunya masih

melakukan fungsi utamanya, yakni melakukan pemantauan berat badan anak

dengan baik dan benar. Menurutnya, berdasarkan beberapa penelitian,

banyak posyandu yang tidak lagi melakukan fungsi tersebut dengan baik dan

benar.

Tabel 4.1.

Persentase Balita BGM Menurut Kabupaten/Kota

Tahun 2005 s.d. Tahun 2008

% BGM

Tahun

2005

% BGM

Tahun

2006

% BGM

Tahun

2007

% BGM

Tahun

2008

1. Kota Pontianak 3.9 10.1 10.3 8.0

2. Kota Singkawang 4.3 24.9 10.3 9.1

3. Kabupaten Pontianak 1.7 1.1 1.1 2.1

4. Kabupaten Sambas 13.8 18.2 4.7 2.1

6. Kabupaten Landak 2.6 3.1 2.4 2.1

7. Kabupaten Sanggau 1.9 3.1 2.6 1.5

8. Kabupaten Sintang 2.3 2.1 2.1 21.9

9. Kabupaten Kapuas Hulu 2.1 2.0 2.0 3.9

10. Kabupaten Ketapang 6.0 6.8 6.8 0.8

11. Kabupaten Sekadau 6.4 1.8 - 1.2

12. Kabupaten Melawi 1.6 1.3 2.6 1.6

13. Kabupaten Kayong Utara 3.7

14. Kabupaten Kubu Raya 5.1

4.30 6.30 4.93 4.91Total Kabupaten/Kota

BALITA

NO KABUPATEN

Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2008.

Berdasarkan rakapitulasi profil kesehatan Kabupaten/Kota Tahun

2008 (Table 16), dari 231.757 Balita yang ditimbang, 11.374 (4,93%) Balita

diantaranya adalah Balita yang berada di bawah garis merah (BGM). Jika

dibandingkan data tahun sebelumnya, diamana pada tahun 2006 dimana

angka BGM untuk Kalimantan Barat adalah 6,3%, dan pada tahun 2007

angka BGM sebesar 4,93%, maka tahun 2008 terjadi adanya penurunan

Balita BGM.

37

4.2. KEADAAN LINGKUNGAN

Untuk menggambarkan keadaan lingkungan di Provinsi

Kalimantan Barat, berikut ini disajikan indikator-indikator persentase

rumah sehat, tempat-tempat umum sehat, serta sarana sanitasi dasar

seperti air bersih, pembuangan air limbah dan kepemilikan jamban.

4.2.1. Rumah Sehat

Rumah sehat dinilai dengan menggunakan indikator komposit 8 – 10

indikator tunggal PHBS yaitu : Pertolongan Persalinan nakes, Aktif secara

fisik, Jamban sehat, lantai rumah bukan tanah, ASI eksklusif, Konsumsi

sayur dan Buah, Akses air bersih, Tidak merokok, JPK dan Luas hunian > 9

m2 per orang (Depkes RI, 2005). Suatu rumah tangga dikatakan sehat jika

memenuhi semua indkator PHBS (8-10 indikator).

Berdasarkan data profil kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2008

(Tabel 47), didapatkan dari 341.846 Rumah Tangga yang diperiksa,

163.965 rumah tangga diantaranya merupakan rumah tangga sehat (47,96).

Jika dibandingkan dengan tahun 2007 dimana rumah tangga sehat yang

terlaporkan sebesar 52,46%, maka rumah sehat di Kalimantan Barat tahun

2008 terjadi penurunan sebesar 4,5%,

4.2.2. Jamban Keluarga

Rumah tangga yang tidak menggunakan/mempunyai jamban yang baik,

lebih mudah terkena penyakit seperti disentri, diare dan tipus. Laporan

SDKI 2002-2003 menyatakan bahwa rumah tangga yang mempunyai jamban

sendiri hanya sebesar 86% di daerah perkotaan dan 52% di daerah

pedesaan.

Di Kalimantan Barat pada tahun 2008 berdasarkan hasil rekapitulasi

data profil kesehatan Kabupaten/Kota, dari 355.564 rumah tangga yang

diperiksa, ada sebesar 213.098 (59,9%) rumah tangga yang memiliki

Jamban. Jika dibandingkan dengan tahun 2007 dimana rumah tangga yang

memiliki jamban keluarga sebesar 59,06%, maka pada tahun 2008 terjadi

peningkatan kepemilikan jamban sebesar 0,83%.

38

4.2.3. Tempat-Tempat Umum Sehat

Tempat-tempat Umum dan Tempat Pengelolaan Makanan

(TUPM) merupakan suatu sarana yang dikunjungi oleh banyak orang

sehingga dikhawatirkan dapat menjadi sumber penyebaran penyakit. Yang

termasuk TUPM antara lain adalah hotel, restoran, pasar dan lain-

lain. Adapun TUPM yang dapat dikategorikan sehat adalah TUPM yang

memiliki sarana air bersih, tempat pembuangan sampah, sarana

pembuangan limbah, ventilasi yang baik serta luas yang sesuai dengan

banyaknya pengunjung. Pada Tahun 2008, di Kalimantan Barat berdasarkan rekapitulasi data

profil kesehatan Kabupaten/Kota, dari keseluruhan tempat-tempat umum

yang diperiksa sebanyak 8.221 tempat-tempat umum, sebesar 5.520

(67,15%) diantaranya merupakan tempat-tempat umum yang telah dinyatakan

sehat.

4.2.4. Akses Air Minum

Sumber air minum yang digunakan di rumah tangga dibedakan

menurut air kemasan, ledeng, sumur gali, sumur pompa dan penampungan air

hujan. Dari data yang ada, sebagian besar rumah tangga di Provinsi

Kalimantan Barat memanfaatkan air ledeng baik yang berasal dari

pelanggan PDAM maupun swadaya masyarakat. Pada tahun 2008 dari

339.071 keluarga yang ada diperiksa, 101.776 (34,6%) memanfaatkan

air ledeng. Selanjutnya sebesar 30,6% menggunakan air hujan,

20,4% sumur galian, dan sisanya sebesar 1,1% memanfaatkan sumur pompa.

Apabila ditinjau dari segi kepemilikan sarana, maka seluruh

masyarakat yang ada di Provinsi Kalimantan Barat dapat dikatakan telah

memiliki sarana air bersih yang memadai. Akan tetapi dari segi kualitas air,

masih belum dapat dipastikan apakah masyarakat telah mengkonsumsi

air yang memenuhi standar kesehatan. Hal ini disebabkan oleh karena

wilayah Kalimantan Barat meskipun banyak sumber air, tetapi sumber air

tersebut belum dapat diolah maksimal sebagai air bersih, apalagi jika

musim kemarau tiba, dimana dengan adanya interupsi air laut ke Sungai

Kapuas, menyebabkan air menjadi asin, sehingga air bersih yang

didistribusikan ke masayarakat oleh PDAM pun menjadi payau, sehingga

tidak layak untuk dikonsumsi. Hal lainnya adalah masih banyaknya

39

masyarakat memanfaatkan air hujan sebagi sumber air bersih. Hal

tersebut kemungkinan pula berdampak terhadap derajat kesehatan

masayarakat, oleh karenanya perlu diuji kelayakan kualitas airnya untuk

dikonsumsi.

4.3. PERILAKU MASYARAKAT

Menurut teori Blum, salah satu faktor yang berperan penting

dalam menentukan derajat kesehatan adalah perilaku. Perilaku

dianggap penting karena ketiga faktor lain seperti lingkungan, kualitas

pelayanan kesehatan maupun genetika kesemuanya masih dapat

dipengaruhi oleh perilaku. Selain itu, banyak penyakit yang muncul pada

saat ini disebabkan karena perilaku yang tidak sehat. Perubahan

perilaku tidak mudah untuk dilakukan akan tetapi mutlak diperlukan

untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

4.3.1. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

Rumah Tangga Berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) merupakan

salah satu pilar Indonesia dalam mencapai derajat kesehatan yang optimal.

Diantara salah satu sub sistem dalam SKN adalah sub sistem

pemberdayaan masyarakat. Tujuan dari pemberdayaan masyarakat adalah

terselenggaranya upaya pelayanan, advokasi dan pengawasan sosial oleh

perorangan, kelompok, dan masyarakat dibidang kesehatan secara efesien

dan efektif guna meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang

setinggi-tingginya. Pemberdayaan perorangan mempunyai target minimal

mempraktekan perilaku Hidup bersih dan Sehat (PHBS) yang diteladani

oleh keluarga dan masyarakat sekitar dan target maksimal berperan aktif

sebagai kader kesehatan dalam menggerakan masyarakat untuk berperilaku

hidup bersih dan sehat.

Dari hasil rekapitulasi data profil kesehatan kabupaten/kota tahun

2008 pada Tabel 45, menunjukan bahwa di Kalimantan Barat dari 61.005

rumah tangga yang diperiksa, sebesar 24.519 (40,19%) merupakan Rumah

Tangga ber Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Jika dibandingkan

dengan terget Indonesia Sehat yang diharapkan dicapai pada tahun 2010

yaitu sebesar 80%, maka angka Kalimantan Barat masih tertinggal cukup

besar.

40

4.3.2. ASI Eksklusif

Pemberian ASI eksklusif merupakan salah satu indikator

perilaku hidup bersih dan sehat. Yang dimaksud dengan ASI eksklusif

adalah pemberian ASI saja pada bayi sejak lahir sampai dengan usia 6

bulan. Dari data Profil Kesehatan Kabupaten/Kota di Tujuh Kabupaten yang

melaporkan (Tabel), diperoleh cakupan pemberian ASI eksklusif di

tahun 2008 baru mencapai 31,88%.

Kesulitan utama yang ditemui dalam pemberian ASI

eksklusif antara lain karena adanya perubahan pola pengasuhan dari

ibu kepada pengasuh lain, yang disebabkan banyaknya ibu yang bekerja di

luar rumah serta faktor budaya di masyarakat yang terbiasa

memberikan makanan/ minuman selain ASI sejak bayi lahir seperti air

putih, madu, pisang, nasi pisang dan lain sebagainya. Karena faktor-

faktor tersebut sangat terkait dengan perilaku, maka untuk

perbaikan di masa yang akan datang diperlukan penyuluhan dan

upaya-upaya promosi kesehatan yang lebih intensif.

4.3.3. Posyandu

Dalam rangka meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan kepada

masyarakat berbagai upaya dengan memanfaatkan potensi sumber daya

yang ada di masyarakat telah lama dilakukan dalam bentuk Upaya

Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM). Posyandu merupakan

salah satu bentuk UKBM yang telah lama di kembangkan untuk menjangkau

pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Pencapaian persentase posyandu

aktif di tingkat kabupaten dapat dilihat pada Gambar 4.10.

Dari Gambar 4.10., sebagian besar Posyandu di Kabupaten/Kota

masih dibawah target nasional yang akan dicapai pada tahun 2010.

Kabupaten Sambas meskipun terjadi penurunan Posyandu aktif dari tahun

sebelumnya, namun ia merupakan satu-satunya kabupaten yang pencapaian

posyandu aktifnya sudah melebihi target nasional yaitu sebesar 45,1% pada

tahun 2008 dan 50,5%. Pada tahun 2007. Sedang untuk kabupaten Sekadau

adalah satu-satunya kabupaten yang belum mempunyai posyandu aktif.

41

Gambar 4.10.

Persentase Posyandu Aktif (Purnama + Mandiri )

Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2008

32.732.1

5.0

45.1

18.6

9.4

14.6

39.5

24.926.6

0.0

20.0

8.2

1.4

22.0

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

35.0

40.0

45.0

50.0K

t P

tk

Skw

Mpw

Sbs

Bky

Ldk

Sgu

Stg

K.H

Ktp

Skd

Mlw

KU

T

KB

RY

PR

OP

.

Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2008

Target nasional yang akan dicapai pada tahun 2010 untuk Posyandu

aktif (Purnama + mandiri) adalah sebesar 40%. Pada tabel 46 lampiran

Profil Kesehatan, terlihat bahwa pencapaian Kalimantan Barat untuk

peningkatan posyandu aktif pada tahun 2008 baru berkisar 22,0%, pada

tahun 2007 sebesar 25,25%, sedang untuk tahun 2006 sebesar 24,4%,

dan 22,3% pada tahun 2005. Hal ini berarti terjadi penurunan tingkat

pencapaian Posyandu aktif pada tahun 2008, meskipun pada tiga tahun

sebelumnya menunjukan adanya peningkatan. Jika dibandingkan

berdasarkan lampiran profil kesehatan menurut kabupaten/kota tahun

2007 dan tahun 2008, terlihat bahwa penurunan posyandu aktif yang

terbesar adalah pada Kabupaten Pontianak, yaitu sebesar 34,1% sedang

peningkatan terjadi pada Kabupaten Ketapang yaitu sebesar 24,5%.

42

4.4. PELAYANAN KESEHATAN

Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan kesehatan untuk

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, berbagai upaya pelayanan

kesehatan masyarakat telah dilakukan. Dibawah ini diuraikan beberapa hal

mengenai upaya pelayanan kesehatan pada Tahun 2008.

4.4.1. Pelayanan Antenatal (K1-K4)

Pelayanan antenatal merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga

kesehatan profesional (dokter, bidan maupun perawat) kepada ibu hamil

dimasa kehamilannya dengan mengikuti program pedoman pelayanan

antenatal yang ada dengan titik berat pada kegiatan promotif dan

preventif. Hasil kegiatan antenatal dapat dilihat berdasarkan cakupan

pelayanan K1 dan K4.

Cakupan K1 atau disebut juga akses pelayanan ibu hamil,

menggambarkan besaran ibu hamil yang telah melakukan kunjungan

pertama/ kontak pertama dengan tenaga kesehatan/ fasilitas

kesehatan untuk mendapatkan pelayanan antenatal. Indikator akses ini

digunakan untuk mengetahui jangkauan pelayanan antenatal serta

kemampuan program dalam menggerakkan masyarakat. Sedangkan cakupan

K4 adalah besaran ibu hamil yang telah mendapatkan pelayanan

antenatal sesuai standar minimal empat kali kunjungan selama masa

kehamilannya dengan distribusi satu kali pada trimester pertama, satu kali

pada trimester kedua dan dua kali pada trimester ketiga. Indikator

ini berfungsi untuk menggambarkan tingkat perlindungan ibu hamil di

suatu wilayah dan untuk menggambarkan kemampuan manajemen ataupun

kelangsungan program KIA. Kecenderungan pencapaian cakupan K1 dan K4

di Provinsi Kalimantan Barat dari tahun ke tahun dapat dilihat pada

Gambar 4.11.

Persentase K4 Provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2008

berdasarkan data Profil Kesehatan Kabupaten/Kota adalah 81,43%.

Sedang target cakupan K4 berdasarkan Permenkes RI Nomor 741 Tahun

2008 tentang SPM Bidang Kesehatan adalah sebesar 95%.

43

Gambar 4.11.

Cakupan K-1 dan K-4 Prov. Kalbar Tahun 2005 s.d 2008

89,82%

88,19%

87,65%87,11%

82,24%83,49%

79,84%

81,43%

74,00%

76,00%

78,00%

80,00%

82,00%

84,00%

86,00%

88,00%

90,00%

92,00%

TH. 2005 TH. 2006 TH. 2007 TH. 2008

K1 k4

Sumber : Laporan Seksi KIA Dinkes Provinsi Kalimantan Barat Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2008

Dari Gambar 4.11 terlihat bahwa dapat dilihat bahwa dari tahun

ke tahun selalu terjadi kesenjangan cakupan K1 dan K4. Berturut-turt

kesenjangan K1 dan K4 mulai tahun 2005 adalah sebagai berikut : Pada

tahun 2005 kesenjangannya adalah 7,27%, menurun menjadi 4,16% pada

tahun 2006, dan meningkat pada tahun 2007 menjadi 5,95% dan meningkat

kembali pada tahun 2008 menjadi 8,39%. Hal ini berarti tingkat

perlindungan terhadap ibu hamil dan keberlanjutan program KIA di

wilayah Kalimantan Barat terjadi penurunan dari tahun ke tahun. Untuk

itu perlu dilakukan upaya yang lebih optimal agar kesenjangan yang terjadi

menjadi semakin kecil yang berarti bahwa perlindungan terhadap ibu hamil

semakin meningkat.

4.4.2. Pertolongan Persalinan

Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan merupakan salah satu

dari enam indikator pemantauan program KIA. Dengan indikator ini

dapat diperkirakan proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga

kesehatan sekaligus menggambarkan kemampuan manajemen program

KIA dalam menangani persalinan secara profesional.

44

Komplikasi dan kematian ibu maternal dan bayi baru lahir sebagian

besar terjadi pada masa di sekitar persalinan, hal ini dapat disebabkan

persalinan yang tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai

potensi kebidanan. Adapun definsi Cakupan pertolongan persalinan oleh

tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan adalah Ibu bersalin

yang mendapat pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki

kompetensi kebidanan disatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.

Di Provinsi Kalimantan Barat, berdasarkan data profil kesehatan

Kabupaten/Kota Tahun 2008 (Tabel 17) menunjukan bahwa persentase

cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan menunjukan adanya

peningkatan dari tahun sebelumnya. Hal ini bisa dilihat dari grafik sebagai

berikut :

Gambar 4.12.

Cakupan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan Prov. Kalbar

Tahun 2004 s.d Tahun 2008

TH.2006TH.2007

TH.2008

69.24%

73.72%75.61%

60.00%

62.00%

64.00%

66.00%

68.00%

70.00%

72.00%

74.00%

76.00%

Sumber : Laporan Seksi KIA Dinkes Provinsi Kalimantan Barat Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2008

Dari gambar 4.12 terlihat bahwa cakupan pertolongan persalinan di

Provinsi Kalimantan Barat dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Pada

tahun ah sebesar 2006, cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga

kesehatan sebesar 69,24%, tahun 2007 meningkat menjadi 73,72% dan

45

pada tahun 2008 meningkat kembali menjadi 75,61%. Namun demikian,

meskipun terjadi peningkatan cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga

kesehatan, jika dibandingkan dengan target pada tahun 2010 dan SPM

Bidang kesehatan, yaitu sebesar 90%, maka pencapaian cakupan pertologan

persalinan oleh tenaga kesehatan di Kalimantan Barat masih dibawah target

dan perlu diupayakan untuk meningkatkan cakupan di tahun 2009, sehingga

target 2010 dapat tercapai.

4.4.3. Kunjungan Neonatus

Kunjungan neonatus adalah bayi usia 0-28 hari yang kontak

dengan tenaga kesehatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan minimal

tiga kali yaitu dua kali pada umur 0-7 hari (KN1) dan satu kali pada umur 8-

28 hari (KN2). Angka yang diperoleh dari kunjungan neonatus dapat

digunakan untuk mengetahui jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan

neonatus. Data yang diperoleh dari seksi KIA Dinas Kesehatan Provinsi

Kalimantan Barat dari tahun ke tahun dapat dilihat pada gambar 4.13

berikut :

Gambar 4.13

Grafik KN1 dan KN2 Provinsi Kalimantan Barat

Tahun 2003 s.d Tahun 2008

76.04

66.52

73.26

60.78

39.36

46.28

69.04

63.8

72.05

73.12

79.37

69.88

0

10

20

30

40

50

60

70

80

TH. 2003 TH. 2004 TH. 2005 TH. 2006 TH. 2007 TH.2008

KN 1 KN 2

Sumber : Laporan Seksi KIA Dinkes Provinsi Kalimantan Barat

46

Dari gambar terlihat bahwa seperti halnya K1 dan K4, KN1 dan KN2-

pun selalu terjadi kesenjangan dari tahun ke tahun. Meskipun terlihat dari

grafik tahun 2006 dan tahun 2007 cakupan KN1 dan KN2 relatif berhimpit,

namun justru di Tahun 2008 Cakupan KN1 dan KN2 mempunyai kesenjangan

yang amat besar, yaitu sebesar 9,49%. Hal ini berarti ada sekitar 9 bayi

dari 100 bayi yangh tidak terakses oleh pelayan kesehatan dimasa usia 8 –

28 hari, dan ini dapat berdampak pada peningkatan kematian bayi.

4.4.4. Kunjungan Bayi

Kunjungan bayi adalah kunjungan bayi umur 1-12 bulan di

sarana pelayanan kesehatan maupun di rumah, posyandu dan tempat lain

untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar oleh dokter, bidan

atau perawat (Definisi Operasional SPM Jatim). Pelayanan kesehatan

dimaksud dapat berupa deteksi dini kelainan tumbuh kembang

bayi, stimulasi perkembangan bayi, manajemen terpadu balita sakit

dan penyuluhan perawatan kesehatan bayi.

Hasil pengolahan data profil kesehatan kabupaten/kota Tahun 2008

(Tabel 15) menunjukan bahwa cakupan kunjungan Bayi di Provinsi Kalimantan

Barat mencapai 76,69%. (target 2010 :90%).

4.4.5. Pelayanan KB

Jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) berdasarkan data profil kesehatan

kabupaten/kota tahun 2008 (tabel 19) sebesar 813.910 dengan jumlah

peserta KB aktif sebesar 406.481 (49.94%) dan peserta KB Baru sebesar

89.586 (11,01%). Adapun untuk penggunaan alat kontrasepsi oleh peserta

KB aktif secara rinci ditunjukan pada Gambar 4.14.

Gambar 4.14. menunjukan bahwa pada tahun 2008 di Kalimantan Barat,

pil masih merupakan alat kontrasepsi yang paling banyak digunakan oleh

peserta KB aktif (45,7%), kemudian diikuti oleh suntik sebesar 48,1%.

Sedang penggunaan MOP/MOW merupakan alat kontrasepsi yang paling

sedikit diminati oleh peserta KB untuk menunda kehamilannya (1,5%),

diikuti dengan kondom sebesar 2,93%.

47

Gambar 4.14.

Persentase Penggunaan Alat Kontrasepsi Peserta KB Aktif

Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008

4.9

1.5 4.4

48.1

2.93

0.0

45.7

IUD MOP/ MOW IMP LANTSUN TIK PIL KONDOMLAINNYA

Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2008

4.4.6. Pelayanan Imunisasi

Pencapaian Universal Child Immunization (UCI) pada dasarnya

merupakan suatu gambaran terhadap cakupan sasaran bayi yang telah

mendapatkan imunisasi secara lengkap dengan ditunjukan pada cakupan

imunisasi campak. Bila cakupan UCI dikaitkan dengan batasan wilayah

tertentu (desa), hal ini berarti dalam wilayah tersebut dapat diprediksi

tingkat kekebalan masyarakat terhadap penyakit yang dapat dicegah

dengan imunisasi.

Pada tabel 22 lampiran Profil Kesehatan tahun 2008, Provinsi

Kalimantan Barat telah mencapai desa/kelurahan UCI sebasar 62,0%.

Kabupaten dengan persentase pencapaian desa/kelurahan UCI terbesar

adalah Kabupaten Ketapang yang mencapai 84,16%, sedangkan persentase

pencapaian desa/kelurahan UCI terendah adalah Kabupaten Melawi yang

hanya sebesar 30,18%.

48

Gambar 4.15.

Cakupan Imunisasi DPT-1 dan Campak Prov. Kalbar

Tahun 2004 s.d Tahun 2008

0.00%

20.00%

40.00%

60.00%

80.00%

100.00%

120.00%

DPT1 + HB1 87.00% 96.90% 89.10% 86.20% 91.29%

CAMPAK 78.00% 91.50% 92.30% 77.50% 84.90%

DO 9.00% 8.08% 7.18% 10.10% 7.05%

TH.2004 TH.2005 TH.2006 TH.2007 TH.2008

Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2008

Pelayanan imunisasi bayi mencakup vaksinasi BCG, DPT, Polio, Hepatitis

B dan Imunisasi Campak yang dilakukan melalui pelayanan rutin Posyandu

dan fasilitas pelayanan kesehatan dasar lainnya. Berdasarkan pengolahan

data profil kesehatan kabupaten/kota tahun 2008, menunjukan bahwa

cakupan imunisasi DPT + HB1 sebesar 91.29%; Campak sebesar 84,90%.

Dari tabel tersebut juga terlihat masih adanya droup out (DO) sebesar

7,05%.

4.4.7. Pemberian Kapsul Vit A

Hasil pengolahan data dari profil kesehatan kabupaten/kota Provinsi

Kalimantan Barat pada tahun 2008 menunjukan bahwa cakupan pemberian

kapsul vitamin A 2 kali pada balita sebesar 71,9% (Tabel 24 lampiran

profil kesehatan ). Target pencapaian untuk Tahun 2010 sebesar 90%.

49

Gambar 4.16.

Cakupan Balita Mendapatkan Vitamin A 2 kali/Th

Menurut Kabupaten/Kota

Tahun 2008

60.5

63.7

77.0

61.4

85.2

64.6

75.5

85.6

72.7

79.0

68.3

96.7

64.2

78.9

71.9

Kt Ptk

Skw

Mpw

Sbs

Bky

Ldk

Sgu

Stg

K.H

Ktp

Skd

Mlw

Kut

Kbry

Prop

Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2008

4.4.8. Pemberian Tablet Besi

Cakupan pemberian tablet Fe pada bumil untuk tahun 2008 di Provinsi

Kalimantan Barat seperti yang dapat kita lihat pada tabel 25 Profil

Kesehatan Provinsi Tahun 2008, untuk cakupan Fe-1 sebesar 85%,

sedangkan cakupan Fe3 sebesar 77,78%. Jika dibandingkan dengan target

yang akan dicapai pada tahun 2010 berdasarkan Indikator Indonesia Sehat

2010 sebesar 80%, maka cakupan pemberian tablet Fe3 Provinsi Kalimantan

Barat masih lebih rendah dari target yang akan dicapai. Adapun pencapaian

cakupan Fe3 untuk masing-masing Kabupaten/Kota dapat dilihat pada

gambar berikut.

50

Gambar 4.17

Cakupan Pemberian Tablet Fe3 Prov. Kalbar Tahun 2008

97.08

77.72

64.53

81.65

89.16

65.32

84.15

75.43

91.70

71.35

57.85

70.79

80.79

69.00

77.78

- 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00

Ptk

Skw

Mpw

Sbs

Bky

Ldk

Sgu

Stg

KH

Ktp

Skd

Mlw

KUT

KbRy

Prov

Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2008

51

BAB V

SITUASI SUMBER DAYA KESEHATAN

Gambaran mengenai situasi sumber daya kesehatan dikelompokan dalam

sajian data dan informasi mengenai sarana kesehatan dan tenaga kesehatan

serta alokasi anggaran kesehatan.

5.1. SARANA KESEHATAN

5.1.1. Tenaga Kesehatan

Dalam pembangunan kesehatan, faktor penggerak utamanya adalah

sumber daya manusia. SDM kesehatan yang berkualitas menentukan

keberhasilan dari seluruh proses pembangunan tersebut.

Informasi tenaga kesehatan diperlukan bagi perencanaan dan

pengadaan tenaga serta pengelolaan pegawai. Kesulitan memperoleh data

ketenagaan yang mutakhir disebabkan antara lain oleh sifat dari data

ketenagaan yang selalu berubah dengan cepat dan terus menerus dari

waktu ke waktu.

Pada tahun 2008 jumlah tenaga kesehatan di seluruh Kabupaten/Kota

Provinsi Kalimantan Barat adalah 8.721 orang dengan ratio tenaga

kesehatan untuk masyarakat per 100.000 penduduk adalah 205 orang

tenaga kesehatan, atau 1 orang tenaga kesehatan melayani 487 penduduk.

Adapun rincian ratio tenaga kesehatan dengan jumlah penduduk dan

standar ratio tenaga kesehatan sesuai target pada Indikator Indonesia

sehat 2010 dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Dari Tabel 5.1, dapat dijelaskan bahwa untuk dokter spesialis, 1

orang dokter spesialis menangani 36.009 penduduk, sedang menurut

standar pada tahun 2010, diharapkan 1 orang dokter spesialis menangani

sekitar 16.667 penduduk. Sehingga Dilihat dari ratio yang dicapai, maka

ada kekurangan ratio Dokter spesilias per 100.000 penduduk sekitar 3,22.

Untuk dokter umum, terlihat bahwa 1 orang dokter menangani 8.707

penduduk , sedang menurut standar Indonesia sehat 2010, 1 orang dokter

harus menangani sekitar 2.500 penduduk.

52

Tabel 5.1.

Distribusi Jumlah Tenaga Kesehatan dan Ratio Tenaga Kesehatan

Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008

1 Dr. Spesialis 118 1 : 36,009 2.78 6

2 Dr. Umum 488 1 : 8,707 11.48 40

3 Dr. Gigi 175 1 : 24,281 4.12 11

4 Perawat 4,406 1 : 964 103.69 117.5

5 Bidan 1,830 1 : 2,322 43.07 100

7 Apoteker 83 1 : 51,194 1.95 10

8 Asisten Apoteker 184 1 : 23,093 4.33 -

9 SKM (Kesmas) 219 1 : 19,402 5.15 40

10 Tenaga Sanitasi 396 1 : 10,730 9.32 40

11 Tenaga Gizi 358 1 : 11,869 8.43 22

12 Fisioterapi 30 1 : 141,637 0.71 -

13 Analis Laboratorium 341 1 : 12,461 8.03 -

14 TEM dan Rontgent 68 1 : 62,487 1.60 -

15 P. Anastesi 25 1 : 169,964 0.59 -

8,721 1 : 487 205.24

Ratio Tenaga

Kesehatan

Untuk 100.000

Penduduk

Ratio tenaga

Kesehatan

Sesuai Standar

IS 2010 4,249,112

Ratio

Kecukupan

Tenaga /

JUMLAH (PROPINSI)

NO JENIS TENAGA

Jumlah

Tenaga

Kesehatan

tahun 2008

Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2008

5.1.2. Sarana Pelayanan Kesehatan

Selain ketersediaan tenaga kesehatan dalam jumlah dan

kualifikasi yang cukup, diperlukan juga dukungan sarana dan prasarana

yang memadai agar pelaksanaan pembangunan kesehatan dapat berjalan

dengan baik.

Tahun 2008 jumlah pelayanan kesehatan masyarakat di Provinsi

Kalimantan Barat terdiri dari 224 puskesmas, 844 puskesmas pembantu,

394 Puskesmas Keliling, 1.2962 Polindes, 33 Rumah sakit dan 4.015

Posyandu. Jika dibandingan dengan jumlah kecamatan maka rata-rata

setiap kecamatan di Propinsi Kalimantan Barat terdapat 1 sampai dengan 2

Puskesmas, dengan jangkauan pelayanan per Puskesmas rata-rata melayani

18.969 penduduk. Kondisi ini dapat diartikan bahwa di Kalimantan Barat

setiap Puskesmas rata-rata melayani 20.000 penduduk. Adapun rincian

sarana pelayanan kesehatan di Provinsi Kalimantan Barat dapat dilihat pada

tabel berikut :

53

Tabel 5.2.

Distribusi Sarana Kesehatan Menurut Kabupaten/Kota

Provinsi Kalimantan Barat 2008

1 Kota Pontianak 6 23 12 14 22 0 3 205

2 Kota Singkawang 5 5 18 1 5 0 2 131

3 Kabupaten Pontianak 9 14 83 15 67 64 1 201

4 Kabupaten Sambas 19 25 94 39 135 181 1 503

5 Kabupaten Bengkayang 17 17 61 20 71 81 2 279

6 Kabupaten Landak 13 14 65 18 13 139 2 361

7 Kabupaten Sanggau 15 18 86 18 124 155 2 467

8 Kabupaten Sintang 14 20 84 29 77 129 1 390

9 Kabupaten Kapuas Hulu 25 23 75 10 137 156 1 294

10 Kabupaten Ketapang 20 24 124 197 75 136 1 402

11 Kabupaten Sekadau 7 11 58 4 45 81 9 177

12 Kabupaten Melawi 11 7 55 7 52 78 5 182

13 Kabupaten Kayong Utara 5 6 27 4 13 26 0 85

14 Kabupaten Kubu Raya 9 17 2 18 106 70 3 338

JUMLAH 175 224 844 394 942 1,296 33 4,015

No KabupatenJumlah

RS

Jumlah

Pustu

Desa

Siaga

Jumlah

Polindes

Jumlah

Puskesmas

Jumlah

POSYAN

DU

KECJumlah

Pusling

Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2008

Berdasarkan tabel 5.2. Penyebaran puskesmas terbanyak pada Kota

Pontianak, yaitu ratio Puskesmas terhadap Kecamatan sebesar 3,8, ini

berarti bahwa di Kota Piontianak rata-rata di setiap kecamatan terdapat 4

Puskesmas, disusul dengan Kabupaten Kubu Raya dimana ratio Puskesmas

terhadap Kecamatan sebesar 1,9, berarti rata-rata di setiapkecamatan

memilki 2 Puskesmas. Untuk Kabupaten Kapuas Hulu dan Melawi tidak

semua kecamatan diwilayah tersebut memiliki Puskesmas, hal ini ditunjukan

dengan ratio puskesmas dengan kecamatan yang kurang dari 1 (satu).

Sementara Kabupaten lain rata-rata hanya mempunyai 1 Puskesmas.

5.1.3. Pembiayaan Kesehatan

Pada tahun 2008 berdasarkan hasil rekapitulasi data profil

kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2008, total jumlah anggaran

pembangunan kesehatan di Provinsi Kalimantan Barat (Total Anggaran

Provinsi dan Kabupaten/Kota) yang bersumber dari APBN, PHLN dan APBD

serta sumber pemerintah lain sebesar Rp. 1.222.429.296.022 Sehingga

54

dengan jumlah penduduk sebesar 4,249.112 jiwa, maka anggaran kesehatan

perkapita penduduk di Kalimantan Barat pada tahun 2008 adalah sebesar

Rp. 287.690,53,-.

Total Anggaran APBD kesehatan di Kalimantan Barat (Provinsi dan

Kabupaten) pada tahun 2008 adalah sebesar Rp. 775.314.175.206,-. Dan

anggaran total APBD di Kalimantan Barat (Provinsi dan Kabupaten) adalah

sebesar Rp. 10.432.650.934.237,-. Sehingga persentase anggaran APBD

kesehatan di Kalimantan Barat adalah 8,72% (Tabel 60)

55

BAB VI

PENUTUP

Data dan Informasi merupakan sumber daya strategis bagi pimpinan

dan organisasi dalam pelaksanaan manajemen, maka penyediaan data dan

informasi yang berkualitas sangat diperlukan sebagai masukan dalam proses

pengambilan keputusan juga sebagai alat monitoring dan evaluasi

berjalannya kegiatan sehingga menjadi lebih efesien dan efektif. Data

dalam pembuatan Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat ini diperoleh

melalui penyelenggaraan sistem informasi kesehatan berdasarkan profil

maupun draf data Profil Kesehatan Kabupaten/Kota dan data dari masing-

masing pemegang program.

Penyusunan profil kesehatan sebagai salah satu instrumen

dalam Sistem Informasi Kesehatan Daerah disadari maupun tidak,

memegang peranan penting bagi semua pihak yang terlibat dalam

pembangunan. Hal ini karena data dan informasi merupakan sumber daya

strategis bagi organisasi maupun individu dalam menjalankan

sistem manajemen yaitu dalam proses perencanaan sampai

pengambilan keputusan. Keputusan yang baik dapat dihasilkan apabila

ditunjang dengan data yang akurat dan validitasnya tidak diragukan.

Namun sangat disadari, sistem informasi kesehatan yang ada saat ini

belum berjalan sebagaimana yang diharapkan sehingga tidak dapat

memenuhi data dan informasi yang dibutuhkan, apalagi dalam era

desentralisasi pengumpulan data menjadi relatif lebih sulit didapatkan dari

Kabupaten/Kota yang berimplikasi terhadap ketepatan, kelengkapan

maupun keakuratan data yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan data dan

informasi yang disajikan pada profil kesehatan provinsi saat ini belum

sesuai dengan harapan.

Kedepan, berangkat dari permasalahan yang dihadapi dari

penyusunan Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat tahun 2008

ini, diharapkan kesadaran dan peran serta aktif dari semua pihak untuk

membenahi sistem manajemen data agar kinerja dari masing-masing bidang

dapat lebih terukur dan memberikan gambaran yang lebih rinci dari

56

pencapaian masing-masing program serta kontribusinya bagi pencapaian

visi dan misi pembangunan kesehatan Provinsi Kalimantan Barat.

Namun demikian, diharapkan Profil Kesehatan Provinsi dapat

memberikan gambaran secara garis besar tentang seberapa jauh keadaan

kesehatan masyarakat yang telah dicapai.

Walaupun profil kesehatan propinsi sering kali belum mendapatkan

apresiasi yang memadai, karena belum dapat menyajikan data dan informasi

yang sesuai dengan harapan, namun profil ini merupakan salah satu publikasi

data dan informasi yang meliputi data pencapaian Standar Pelayanan

Minimal (SPM) dan Indikator Indonesia sehat 2010. Oleh karena itu dalam

rangka meningkatkan kualitas Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat,

perlu dicari terobosan dalam mekanisme pengumpulan data dan informasi

secara cepat agar dapat dihasilkan informasi yang cepat, lengkap dan

akurat, khususnya data dan informasi yang bersumber dari

Kabupaten/Kota.

.

Pontianak, September 2009

57

DAFTAR PUSTAKA

1. Faziah. A. Siregar, Dr, Epidemilogi Dan Pemberantasan Demam

Berdarah Dengue (Dbd) Di Indonesia, Fkm, Universitas Sumatra Utara,

2004.

2. Keumala Pringgardani, Dr, Spa Panduan Tumbuh Kembang Balita, Dunia

Bayi edisi Nomor 438 tahun IX.

3. Soekirman, Gizi Buruk, Kemiskinan dan KKN, 2005.

4. Moh, Yasin, Arti dan Tujuan Demografi, Lembaga demografi fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia, 1982

5. Zulkifli Amin, Asril Bahar, ” Tuberkulosis Paru, Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam ”, Jakarta: UI, 2006

6. Eki Komala sari, Kepala Humas PMI Jakarta Timur dan Project

Manajer HIV dan AIDS, di Jakarta, Selasa (16/6/09),

www.surya.co.id/2009/06/16/kasus-hivaids-di-indonesia-terus-

naik.html) 16/06/09