Profil Banten

35
PROFIL PROVINSI BANTEN Nama Resmi : Provinsi Banten Ibukota : Serang Luas Wilayah : 9.662,92 Km2 *) Jumlah Penduduk : 9.978.932 jiwa *) Suku Bangsa : Sunda, Baduy Agama : Islam, Protestan, Katolik dan Sunda Wiwitan Wilayah Administrasi : Kab.: 4, Kota : 4, Kec.: 155, Kel.: 313, Desa : 1.238 *) Website : http://www.bantenprov.go.id *) Sumber : Permendagri Nomor 39 Tahun 2015 Sejarah Dahulu wilayah Banten (Cilegon, Tangerang, Serang, Pandeglang dan Lebak) merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat, namun dengan adanya pemekaran daerah maka sejak tanggal 4 Oktober 2003 Banten resmi menjadi sebuah Provinsi dengan Ibukota Serang. Meskipun usianya masih muda Banten mempunyai sejarah panjang dalam perjuangan bersama dengan daerah-daerah yang lainnya, utamanya perjuangan melawan kaum kolonialisme / penjajahan. Arti Logo

description

materi profil banten untuk SD

Transcript of Profil Banten

Page 1: Profil Banten

PROFIL PROVINSI BANTEN

Nama Resmi : Provinsi Banten

Ibukota  : Serang

Luas Wilayah  : 9.662,92 Km2 *)

Jumlah Penduduk : 9.978.932 jiwa *)

Suku Bangsa : Sunda, Baduy

Agama  : Islam, Protestan, Katolik dan Sunda Wiwitan

Wilayah Administrasi  : Kab.: 4,  Kota : 4,  Kec.: 155,  Kel.: 313,  Desa : 1.238 *)

Website : http://www.bantenprov.go.id

*) Sumber : Permendagri Nomor 39 Tahun 2015

Sejarah

Dahulu wilayah Banten (Cilegon, Tangerang, Serang, Pandeglang dan Lebak)

merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat, namun dengan adanya pemekaran daerah

maka sejak tanggal 4 Oktober 2003 Banten resmi menjadi sebuah Provinsi dengan Ibukota

Serang. Meskipun usianya masih muda Banten mempunyai sejarah panjang dalam

perjuangan bersama dengan daerah-daerah yang lainnya, utamanya perjuangan melawan

kaum kolonialisme / penjajahan.   

Arti Logo

Page 2: Profil Banten

Kubah Mesjid, melambangkan kultur masyarakat yang agamais.

Bintang bersudut lima, melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Menara Mesjid Agung Banten, melambangkan semangat tinggi, yang berpedoman pada

petunjuk Allah SWT. 

Gapura Kaibon, melambangkan Daerah Propinsi Banten sebagai pintu gerbang peradaban

dunia, perekonomian dan lalu lintas internasional menuju era globalisasi.

 

Padi berwarna kuning berjumlah 17 dan kapas berwarna putih berjumlah 8 tangkai, 4

kelopak berwana coklat, 5 kuntum bungamelambangkan Propinsi Banten merupakan daerah

agraris, cukup sandang pangan. 17-8-45 menunjukkan Proklamasi Republik Indonesia.

Gunung berwarna hitam, melambangkan kekayaan alam dan menunjukkan dataran rendah

serta pegunungan.

Badak bercula satu, melambangkan masyarakat yang pantang menyerah dalam menegakkan

kebenaran dan dilindungi oleh hukum.

 

Laut berwarna biru, dengan gelombang putih berjumlah 17 melambangkan daerah maritim,

kaya dengan potensi lautnya.

Roda gerigi berwarna abu-abu berjumlah 10, menunjukkan orientasi semangat kerja

pembangunan dan sektor industri.

Page 3: Profil Banten

 

Dua garis marka berwarna putih, menunjukkan landasan pacu Bandara Soekarno Hatta.

 

Lampu bulatan kuning,  melambangkan pemacu semangat mencapai cita-cita.

 

Pita berwarna kuning, melambangkan ikatan persatuan dan kesatuan masyarakat Banten.

 

Semboyan "IMAN TAQWA" sebagai landasan pembangunan menuju Banten Mandiri, Maju dan

Sejahtera.

 

Arti warna yang digunakan dalam simbol daerah:

 

Merah : melambangkan keberanian

Putih : melambangkan suci, arif dan bijaksana

Kuning : melambangkan kemuliaan, lambang kejayaan dan keluhuran

Hitam : melambangkan keteguhan, kekuatan dan ketabahan hati

Abu-abu : melambangkan ketabahan

Biru : melambangkan kejernihan, kedamaian dan ketenangan

Hijau : melambangkan kesuburan

Coklat : melambangkan kemakmuran

Nilai Budaya

Terdapat 20 seni tradisional yang  dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu:

 

Seni Tradisional yang sangat kental diwarnai agama Islam yang perkembangannya hidup

bersama agama itu sendiri. Seni-seni dalam katagori ini adalah : ngabedug (seni bedug), seni

rampak bedug, seni qasidah, terebang gede, marhaba rakbi, dzikir saman, debus, patingtung,

rudat, angklung buhun, dog dog lojor, bendrong lesung, ubrug dan beluk.

Page 4: Profil Banten

 

Seni Tradisional yang datang dari luar Banten tapi telah mengalami proses akulturasi budaya

sehingga terkesan sebagai seni tradisional Banten. Termasuk katagori ini adalah seni-seni kuda

lumping, tayuban, gambang kromong dan tari cokek.

http://www.kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/36/banten

Lambang daerah berbentuk perisai dengan warna dasar hijau, di dalamnya terdapat gambar

unsur-unsur lambang dan tulisan “BANTEN”, serta didesain pita berwarna kuning dengan tulisan

“IMAN TAQWA”. 

Lambang daerah terdiri dari 2 (dua) bagian perincian sebagai berikut :

A. Bentuk Gambar 

1. Kubah Mesjid, melambangkan kultur masyarakat Banten yang agamis.

2. Bintang Ilahi, Pengejawantahan Pancaran Semangat Keyakinan yang menyinari seluruh

jiwa masyarakat Banten

3. Menara Mesjid Agung Banten bertingkat dua berwarna putih dengan Memolo berwarna

merah, menjulang tinggi ke angkasa, melambangkan masyarakat Banten mempunyai

semangat yang tinggi untuk mewujudkan masyarakat madani, serta adanya tujuan mulia

yang senantiasa berpedoman pada petunjuk Allah Swt, Menara Mesjid Agung juga

melambangkan budaya dan sejarah Banten yang kokoh pada pendirian zaman

kesultanan.

4. Gapura Kaibon berwarna putih, melambangkan Daerah Propinsi Banten sebagai pintu

gerbang peradaban dunia dan pintu gerbang perekonomian dan lalu lintas internasional

menuju era globalisasi.    

5. Padi berwarna kuning berjumlah 17 (tujuh belas) dan kapas berwarna putih berjumlah 8

(delapan) tangkai, 4 (empat) kelopak berwarna. coklat, 5 kuntum bunga melambangkan

Propinsi Banten merupakan daerah agrarisyang cukup sandang, pangan, jumlah padi

dan kapas menunjukkan hasil Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus1945.

Page 5: Profil Banten

6. Gunung berwarna hitam, melambangkan kekayaan sumler daya alam dan tekstur tanah

yang agak bergelombang tidak merata terdiri dari dataran rendah dan pegunungan.

7. Badak Bercula Satu berwarna hitam adalah satwa langka satu-satunya yang dilindungi

dunia, melambangkan masyarakat yang pantang menyerah dalam menegakkan

kebenaran dan dilindungi oleh hukum.

8. Laut berwarna hitam dengan gelombangnya yang berwarna putih berjumlah 17 (tujuh

belas) melam¬bangkan daerah maritim yang kaya dengan potensi lautnya,

mencerminkan historis dan peluang ke depan Banten sebagai Bandar Samudera

Perdagangan Internasional serta mengandung makna kedalaman. jiwa, keluasan

wawasan dan pandangan, muara tempat berlindungnya masyarakat Banten.

9. Roda gerigi berwarna abu-abu. berjumlah 10 (sepuluh), melambangkan orientasi

semangat kerja pembangunan serta menunjukkan sektor industri.

10. Dua garis Marka, Landasan Pacu Bandara Soekarno Hatta berwaarna putih dan 3 (tiga)

Lampu Pemandu (Beacon Light) berbentuk bulatan berwarna kuning melambangkan

pemacu semangat untuk mencapai cita-cita. Makna yang terkandung dalam angka 8

(delapan), 9 (sembilan) dan 10 (sepuluh) mempunyai arti lahirnya Propinsi Banten yang

ditetapkan dan diundangkannya Undang-undang Nomor 23 tahun 2000, tentang

pembentukan Propinsi Banten, pada tanggal 17 Oktober 2000.

11. Pita berwarna kuning sebagai pengikat, melambangkan betapa indah dan kuatnya ikatan

persatuan dan kesatuan dalam integritas dan heteroginitas masyarakat Banten.

12. Semboyan lambang daerah “IMAN TAQWA” sebagai landasan pembangunan menuju

Banten Mandiri, maju dan sejahtera (Darussalam).

B. Makna Warna Lambang

1. Warna merah, melambangkan keberanian yang didasari kebenaran.

2. Warna putih, melambangkan kesucian, kebijaksanaan dan kearifan.

3. Warna Kuning, melambangkan Kemu¬liaan, warna jiwa, lambang cahaya dan

kebahagiaan, lambang kejayaan dan keluhuran budi.

4. Warna hitam, melambangkan keteguhan, kekuatan dan ketabahan hati.

5. Warna abu-abu, melambangkan ketabahan.

6. Warna biru, melambangkan kejernihan, warna laut melambangkan kedamaian,

ketenangan.

7. Warna hijau, melambangkan kesuburan.

Page 6: Profil Banten

8. Warna coklat, melambangkan kemakmuran.

http://www.bantenprov.go.id/read/pemprov/14/makna-lambang.html#.Ve9rP9Kqqko

1. Administratif , Luas Wilayah, dan Letak Geografis.

 

Banten merupakan provinsi yang berdiri berdasarkan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2000

secara administratif, terbagi atas 4 Kabupaten dan 2 Kota yaitu : Kabupaten Serang, Kabupaten

Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon,

dengan luas 8.651,20 Km2.   Letak geografis Provinsi Banten pada batas Astronomi 105º1'11² -

106º7'12² BT dan 5º7'50² - 7º1'1² LS, dengan jumlah penduduk hingga tahun 2006 sebesar

9.308.944 Jiwa.

 

Letak di Ujung Barat Pulau Jawa memposisikan Banten sebagai pintu gerbang Pulau Jawa dan

Sumatera dan berbatasan langsung dengan wilayah DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara.

Posisi geostrategis ini tentunya menyebabkan Banten sebagai penghubung utama jalur

perdagangan Sumatera – Jawa bahkan sebagai bagian dari sirkulasi perdagangan Asia dan

Internasional serta sebagai lokasi aglomerasi perekonomian dan permukiman yang potensial.

Batas wilayah sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Barat dengan Selat Sunda,

serta di bagian Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sehingga wilayah ini mempunyai

sumber daya laut yang potensial.

 

2.  Topografi.

Topografi wilayah Provinsi Banten berkisar pada ketinggian 0 – 1.000 m dpl. Secara umum

kondisi topografi wilayah Provinsi Banten merupakan dataran rendah yang berkisar antara 0 –

200 m dpl yang terletak di daerah Kota Cilegon, Kota Tangerang, Kabupaten Pandeglang, dan

sebagian besar Kabupaten Serang. Adapun daerah Lebak Tengah dan sebagian kecil

Kabupaten Pandeglang memiliki ketinggian berkisar 201 – 2.000 m dpl dan daerah Lebak Timur

memiliki ketinggian 501 – 2.000 m dpl yang terdapat di Puncak Gunung Sanggabuana dan

Gunung Halimun.

 

Page 7: Profil Banten

Kondisi topografi suatu wilayah berkaitan dengan bentuk raut permukaan wilayah atau morfologi.

Morfologi wilayah Banten secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu morfologi dataran,

perbukitan landai-sedang (bergelombang rendah-sedang) dan perbukitan terjal. 

Morfologi Dataran Rendah umumnya terdapat di daerah bagian utara dan sebagian selatan.

Wilayah dataran merupakan wilayah yang mempunyai ketinggian kurang dari 50 meter dpl (di

atas permukaan laut) sampai wilayah pantai yang mempunyai ketinggian 0 – 1 m dpl. 

Morfologi Perbukitan Bergelombang Rendah - Sedang sebagian besar menempati daerah

bagian tengah wilayah studi.  Wilayah perbukitan terletak pada wilayah yang mempunyai

ketinggian minimum 50 m dpl.  Di bagian utara Kota Cilegon terdapat wilayah puncak Gunung

Gede yang memiliki ketingian maksimum 553 m dpl, sedangkan perbukitan di Kabupaten Serang

terdapat wilayah selatan Kecamatan Mancak dan Waringin Kurung dan di Kabupaten

Pandeglang wilayah perbukitan berada di selatan. Di Kabupaten Lebak terdapat perbukitan di

timur berbatasan dengan Bogor dan Sukabumi dengan karakteristik litologi ditempati oleh satuan

litologi sedimen tua yang terintrusi oleh batuan beku dalam seperti batuan beku granit,

granodiorit, diorit dan andesit. Biasanya pada daerah sekitar terobosaan batuan beku tersebut

terjadi suatu proses remineralisasi yang mengandung nilai sangat ekonomis seperti cebakan bijih

timah dan tembaga.

 

3. Hidrologi  dan Klimatologi.

Potensi sumber daya air wilayah Provinsi Banten banyak ditemui di Kabupaten Lebak, sebab

sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas.

 

Berdasarkan pembagian Daerah Aliran Sungai (DAS), Provinsi Banten dibagi menjadi enam

DAS, yaitu :

1. DAS Ujung Kulon, meliputi wilayah bagian Barat Kabupaten Pandeglang (Taman Naional

Ujung Kulon dan sekitarnya);

2. DAS Cibaliung-Cibareno, meliputi bagian Selatan wilayah Kabupaten Pandeglang dan

bagian selatan wilayah Kabupaten Lebak;

3. DAS Ciujung-Cidurian, meliputi bagian Barat wilayah Kabupaten Pandeglang;

4. DAS Rawadano, meliputi sebagian besar wilayah Kabupaten Serang  dan Kabupaten

Pandeglang;

5. DAS Teluklada, meliputi bagian Barat wilayah Kabupaten Serang dan Kota Cilegon;

Page 8: Profil Banten

6. DAS Cisadane-Ciliwung, meliputi bagian Timur wilayah Kabupaten Tangerang dan Kota

Tangerang.

Tata air permukaan untuk wilayah Provinsi Banten sangat tergantung pada sumber daya air

khususnya sumber daya air bawah tanah. Terdapat 5 satuan Cekungan Air Bawah Tanah

(CABT) yang telah di identifikasi, yang bersifat lintas kabupaten maupun kota, antara lain CABT

Labuan, CABT Rawadano dan CABT Malingping dan lintas propinsi, meliputi CABT Serang –

Tangerang dan CABT Jakarta.

 

Potensi dari masing-masing satuan cekungan air bawah tanah ini, dapat diuraikan sebagai

berikut:

 

a.    Satuan Cekungan Air Bawah Tanah (CABT) Labuan

CABT Labuan ini mencakup wilayah Kabupaten Pandeglang (± 93 %) dan Kabupaten Lebak (± 7

%) dengan luas lebih kurang 797 km2. Batas cekungan air bawah tanah di bagian barat adalah

selat Sunda, bagian utara dan timur adalah batas pemisah air tanah dan di bagian selatan

adalah batas tanpa aliran karena perbedaan sifat fisik batuan. Jumlah imbuhan air bawah tanah

bebas (air bawah tanah pada lapisan akuifer tak tertekan/akuifer dangkal) yang berasal dari air

hujan terhitung  sekitar 515 juta m3/tahun. Sedang pada tipe air bawah tanah pada akuifer

tertekan/akuifer dalam, terbentuk di daerah imbuhannya yang terletak mulai elevasi di atas 75 m

dpl sampai daerah puncak Gunung Condong, Gunung Pulosari dan Gunung Karang;

 

b.      Satuan Cekungan Air Bawah Tanah (CABT) Rawadano

CABT Rawadano mencakup wilayah Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang, dengan

total luas cekungan lebih kurang 375 km2. Batas satuan cekungan satuan air bawah tanah ini di

bagian utara, timur dan selatan berupa batas pemisah air bawah tanah yang berimpit dengan

batas air permukaan yang melewati Gunung Pasir Pematang Cibatu (420 m), Gunung Ipis (550

m), Gunung Serengean (700 m), Gunung Pule (259 m), Gunung Kupak (350 m), Gunung Karang

(1.778 m), Gunung Aseupan (1.174 m) dan Gunung Malang (605 m). Sedang batas di bagian

barat adalah Selat Sunda.

Berdasarkan perhitungan imbuhan air bawah tanah, menunjukkan intensitas air hujan yang turun

dan membentuk air bawah tanah di wilayah satuan cekungan ini sejumlah 180 juta m3/tahun,

sebagian diantaranya mengalir dari lereng Gunung Karang menuju Cagar Alam Rawadano

sekitar  79 m3/tahun. Sedang air bawah tanah yang berupa mata air pada unit akuifer volkanik

Page 9: Profil Banten

purna Danau yang dijumpai di sejumlah 115 lokasi menunjukkan total debit mencapai 2.185

m3/tahun. Sementara itu pada unit akuifer volkanik Danau pada 89 lokasi, mencapai debit 367

m3/tahun. Total debit dari mata air keseluruhan sebesar 2.552 m3/tahun;

 

c.     Satuan Sub Cekungan Air Bawah Tanah (CABT) Serang – Cilegon

Satuan sub cekungan ini merupakan bagian dari CABT Serang – Tangerang, yang secara

administratif termasuk dalam wilayah Kota Serang, Kabupaten Serang, Kabupaten Lebak, dan

Kabupaten Pandeglang, dengan luas wilayah sekitar 1.200 km2. Batas satuan cekungan ini di

bagian utara adalah laut Jawa, bagian timur adalah K.Ciujung, bagian selatan merupakan batas

tanpa aliran dan bagian barat adalah Selat Sunda.

 

Dari hasil perhitungan neraca air menunjukkan jumlah imbuhan air bawah tanah di wilayah

satuan cekungan ini sebesar 518 juta m3/tahun, sedang jumlah aliran air bawah tanah pada tipe

lapisan akuifer tertekan sekitar 13 m3/ tahun, berasal dari daerah imbuhan yang terletak di

sebelah utara dan barat daya yang mempunyai elevasi mulai sekitar 50 m dpl.

 

d.      Satuan Sub Cekungan Air Bawah Tanah (CABT) Tangerang

Satuan sub cekungan ini mencakup wilayah Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten

Serang, Kabupaten Lebak dan sebagian Kabupaten Bogor (Provinsi Jawa Barat), dengan total

luas sekitar 1.850 km2. Batas sub cekungan ini di sebelah Utara adalah Laut Jawa, bagian timur

adalah Kali Cisadane, bagian Selatan yang merupakan kontak dengan lapisan nir akuifer, serta

bagian barat adalah Kali Ciujung.

 

Jumlah imbuhan air bawah tanah di seluruh sub CABT Tangerang sekitar 311 juta m3/tahun,

sedangkan jumlah aliran air bawah tanah tertekan terhitung sekitar 0,9 juta m3/tahun.

 

Iklim wilayah Banten sangat dipengaruhi oleh Angin Monson (Monson Trade) dan Gelombang La

Nina atau El Nino. Saat musim penghujan (Nopember - Maret ) cuaca didominasi oleh angin

Barat (dari Sumatera, Samudra Hindia sebelah selatan India) yang bergabung dengan angin dari

Asia yang melewati Laut Cina Selatan. Agustus), cuaca didominasi oleh angin Timur yang

menyebabkan wilayah Banten mengalami kekeringan yang keras terutama di wilayah bagian

pantai utara, terlebih lagi bila berlangsung El Nino. Temperatur di daerah pantai dan perbukitan

berkisar antara 22º C dan 32º C, sedangkan suhu di pegunungan dengan ketinggian antara 400

–1.350 m dpl mencapai antara 18º C –29º C.

Page 10: Profil Banten

 

Curah hujan tertinggi sebesar 2.712 – 3.670 mm pada musim penghujan bulan September – Mei

mencakup 50% luas wilayah Kabupaten Pandeglang sebelah barat dan curah  335 – 453 mm

pada bulan September – Mei mencakup 50% luas wilayah Kabupaten Serang sebelah Utara,

seluruh luas wilayah Kota Cilegon, 50% luas wilayah Kabupaten Tangerang sebelah utara dan

seluruh luas wilayah Kota Tangerang. Pada musim kemarau, curah hujan tertinggi sebesar 615 –

833 mm pada bulan April – Desember mencakup 50% luas wilayah Kabupaten Serang sebelah

utara, seluruh luas wilayah Kota Cilegon, 50% luas wilayah Kabupaten Tangerang sebelah utara

dan seluruh luas wilayah Kota Tangerang, sedangkan curah hujan terendah pada musim

kemarau sebanyak 360 – 486 mm pada bulan Juni – September mencakup 50% luas wilayah

Kabupaten Tangerang sebelah selatan dan 15% luas wilayah Kabupaten Serang sebelah

Tenggara.

 

4.  Kemiringan

Kondisi kemiringan lahan di Provinsi Banten terbagi menjadi tiga kondisi yang ekstrim yaitu:

1. Dataran yang sebagian besar terdapat di daerah Utara Provinsi Banten yang memiliki

tingkat kemiringan lahan antara 0 – 15%, sehingga menjadi lahan yang sangat potensial

untuk pengembangan seluruh jenis fungsi kegiatan. Dengan nilai kemiringan ini tidak

diperlukan banyak perlakuan khusus terhadap lahan yang akan dibangun untuk proses

prakonstruksi. Lahan dengan kemiringan ini biasanya tersebar di sepanjang pesisir Utara

Laut Jawa, sebagian wilayah Serang, sebagian Kabupaten Tangerang bagian utara serta

wilayah selatan yaitu di sebagaian pesisir Selatan dari Pandeglang hingga Kabupaten

Lebak;    

2. Perbukitan landai-sedang (kemiringan  < 15% dengan tekstrur bergelombang rendah-

sedang) yang sebagian besar dataran landai terdapat di bagian utara meliputi Kabupaten

Serang, Kota Cilegon, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang, serta bagian utara

Kabupaten Pandeglang;

3. Daerah perbukitan terjal (kemiringan < 25%)  terdapat di Kabupaten Lebak, sebagian

kecil Kabupaten Pandeglang bagian selatan dan Kabupaten Serang.

 

Perbedaan kondisi alamiah ini turut berpengaruh terhadap timbulnya ketimpangan pembangunan

yang semakin tajam, yaitu wilayah sebelah utara memiliki peluang berkembang relatif lebih besar

daripada wilayah sebelah Selatan.

Page 11: Profil Banten

 

5.  Jenis Tanah

Sumber daya tanah wilayah Provinsi Banten secara geografis terbagi dua tipe tanah yaitu: (a)

kelompok tipe tanah sisa atau residu dan (b) kelompok tipe tanah hasil angkutan. Secara umum

distribusi dari masing-masing tipe tanah ini di wilayah Propinsi Banten, terdapat di Kabupaten

Serang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan

Kota Cilegon. Masing-masing tipe tanah yang terdapat di wilayah tersebut antara lain: 1.  aluvial

pantai dan sungai; 2.  latosol; 3. podsolik merah kuning; 4.  regosol; 5.  andosol; 6.  brown forest;

7. glei.

 

6.  Geologi

Struktur geologi daerah Banten terdiri dari formasi batuan dengan tingkat ketebalan dari tiap-tiap

formasi berkisar antara 200 – 800 meter dan tebal keseluruhan diperkirakan melebihi 3.500

meter. Formasi Bojongmanik merupakan satuan tertua berusia Miosen akhir, batuannya terdiri

dari perselingan antara batu pasir dan lempung pasiran, batu gamping, batu pasir tufaan,

konglomerat dan breksi andesit, umurnya diduga Pliosen awal. Berikutnya adalah Formasi

Cipacar yang terdiri dari tuf batu apung berselingan dengan lempung tufaan, konglomerat dan

napal glaukonitan, umurnya diiperkirakan Pliosen akhir. Di atas formasi ini adalah Formasi

Bojong yang terdiri dari napal pasiran, lempung pasiran, batu gamping kokina dan tuf.

 

Banten bagian selatan terdiri atas batuan sedimen, batuan gunung api, batuan terobosan dan

Alluvium yang berumur mulai Miosen awal hingga Resen, satuan tertua daerah ini adalah

Formasi Bayah yang berumur Eosen.

 

Formasi Bayah terdiri dari tiga anggota yaitu Anggota Konglomerat, Batu Lempung dan Batu

Gamping. Selanjutnya adalah Formasi Cicaruruep, Formasi Cijengkol, Formasi Citarate, Formasi

Cimapang, Formasi Sareweh, Formasi Badui, Formasi Cimancuri dan Formasi Cikotok.

 

Batuan Gunung Api dapat dikelompokan dalam batuan gunung api tua dan muda yang berumur

Plistosen Tua hingga Holosen. Batuan terobosan yang dijumpai bersusunan andesiot sampai

basal. Tuf Cikasungka berumur Plistosen, Lava Halimun dan batuan gunung api Kuarter. Pada

peta lembar Leuwidamar disajikan pula singkapan batuan metamorf yang diduga berumur Ologo

Miosen terdiri dari Sekis, Genes dan Amfibolit yang tersingkap di bagian utara tubuh Granodiorit

Page 12: Profil Banten

Cihara. Dorit Kuarsa berumur Miosen tengah hingga akhir, Dasit dan Andesit berumur Miosen

akhir serta Basal berumur kuarter.

 

Batuan endapan termuda adalah aluium dan endapan pantai yang berupa Kerikil, pasir,

lempung, rombakan batu gamping, koral bercampur pecahan moluska atau kerang kerangan,

gosong pantai dan gamping terumbu.

 

Sumber :  Dokumen RPJM Prov. Banten Tahun 2007 - 2012

http://www.bantenprov.go.id/read/program-kerja.html#.Ve9rbNKqqko

A.  Kelembagaan dan Ketatalaksanaan Pemerintahan

Pencapaian pembangunan kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintahan pada periode

2002-2006 bertitik tolak dari penetapan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2000 Tentang

Pembentukan Provinsi Banten (17 Oktober 2001). Pembentukan pondasi penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan daerah diawali dengan terbentuknya DPRD Provinsi Banten,

dan selanjutnya melalui proses pemilihan di lingkungan DPRD Provinsi Banten ditetapkan

Gubernur dan Wakil Gubernur Banten untuk memimpin jalannya pemerintahan. Dalam

membantu Gubernur untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan, ditetapkan

perangkat daerah yang terdiri dari Sekretariat Daerah (11 Biro), Sekretariat DPRD, 7 Badan, 12

Dinas dan 4 Kantor, dimana legalitas atas kedudukan serta tugas pokok dan fungsinya diatur

dalam peraturan daerah serta surat keputusan Gubernur Banten. Dalam rangka meningkatkan

kapasitas pelayanan publik, pada tahun 2006 Pemerintah Provinsi Banten membentuk Lembaga

Pemerintah Teknis Daerah (LPTD) Rumah Sakit Malingping.

Dalam implementasinya, beberapa permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan tugas

dan fungsi seluruh perangkat daerah periode 2002-2006 antara lain seperti belum efektifnya

penetapan struktur kelembagaan perangkat daerah, masih dirasakannya tumpang tindih tugas

pokok dan fungsi antar perangkat daerah, belum optimalnya penetapan dan pemilahan tugas

pokok dan fungsi perangkat daerah berdasarkan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan, serta belum optimalnya hubungan kerja antar lembaga, termasuk antara

pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, masyarakat, dan organisasi non

pemerintah.

Page 13: Profil Banten

Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah yang sebelumnya didasarkan atas

kewenangan provinsi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, mengalami

penyesuaian seiring dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah. Sedangkan permasalahan yang dihadapi adalah kewenangan daerah

masih banyak yang belum didesentralisasikan karena peraturan dan perundangan sektoral yang

masih belum disesuaikan dengan UU No. 32 Tahun 2004. Hal ini mengakibatkan berbagai

kendala antara lain dalam hal pelaksanaan kewenangan, pengelolaan APBD, pengelolaan suatu

kawasan atau pelayanan tertentu, serta pengaturan pembagian hasil sumberdaya alam dan

pajak, dan lainnya. Selain itu terjadinya tumpang tindih kewenangan antar pusat, provinsi dan

kabupaten/kota daerah mengakibatkan berbagai permasalahan dan konflik antar berbagai pihak

dalam pelaksanaan suatu aturan, seperti pendidikan, tenaga kerja, pekerjaan umum,

pertanahan, penanaman modal, serta kehutanan dan pertambangan.

B.  Prasarana dan Sarana Pemerintah Daerah

Pencapaian pembangunan prasarana dan sarana pemerintahan daerah antara lain ditunjukkan

dengan realisasi perencanaan dan pembangunan Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten

(KP3B). Selama periode 2002-2006, telah tersusun Amdal KP3B, Masterplan KP3B, RTRK P3B,

serta 8 (delapan) dokumen DED gedung kantor perangkat daerah. Disamping itu, realisasi fisik

KP3B hingga tahun 2006 telah menyelesaikan 100% fisik bangunan gedung DPRD Provinsi

Banten, BAPEDA, Dinas Kesehatan, Dinas Pendapatan, BAWASDA, Gedung KONI, PIB, Kantor

Biro Pusat Statistik, Kantor Wilayah Departemen Agama

Dengan demikian, pembangunan KP3B sebagai agenda yang direncanakan dalam kurun waktu

2002-2006 sebagaimana tertuang dalam Renstra Provinsi Banten 2002-2006 belum dapat

terpenuhi. Sebagian besar pelaksanaan tugas dan fungsi perangkat daerah juga masih

diselenggarakan pada bangunan-bangunan yang berstatus sewa, dengan kapasitas ruang yang

tidak memadai dengan keberadaan pegawai, sehingga mengurangi efektifitas dan kenyamanan

kerja. Sementara itu, berdasarkan informasi dari berbagai perangkat daerah, dukungan sarana

dalam menunjang pelaksanaan operasional kantor maupun operasional lapangan belum

sepenuhnya terpenuhi.

C.  Aparatur Pemerintah Daerah

 Per Januari 2006, jumlah pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten

sebanyak 2.714 orang, dengan komposisi menurut golongan ruang terdiri dari golongan IV

Page 14: Profil Banten

sebesar 9,25%, golongan III (58,84%), golongan II (31,54%) serta golongan I (0,37%)1). Pola

penempatan pegawai teroientasi di lingkungan Dinas-Dinas (51,69%), kemudian di lingkungan

Sekretariat Daerah 22,22%, di lingkungan Badan-Badan 16,65%, dan sisanya di lingkungan

Sekretariat DPRD, Kantor-Kantor dan UPT. Berdasarkan selisih antara jumlah PNS menurut

golongan ruang dengan jumlah jabatan struktural, maka keberadaan PNS yang berfungsi

sebagai pelaksana di lingkungan Dinas-Dinas rata-rata mencapai 86 orang, di lingkungan

Sekretariat DPRD 58 orang, di lingkungan Sekretariat Daerah dan Badan-Badan 39 orang,

sedangkan di lingkungan Kantor-Kantor hanya 19 orang. Jumlah PNS pelaksana tersebut bila

diperbandingkan dengan jumlah jabatan Eselon IV yang tersedia sudah mencapai 4-5

orang/eselon IV di lingkungan Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas-Dinas dan Kantor-

Kantor, sementara di lingkungan Badan-Badan baru mencapai 2 orang/eselon IV.

Per Januari 2006, dari 754 jabatan struktural yang tersedia, hanya terisi sebesar 705 jabatan

(93,5%), sehingga jabatan yang lowong mencapai 49 jabatan (6,50%). Kekosongan jabatan

terjadi pada tingkatan eselon IV dan III dengan porsi masing-masing 69,39% dan 30,61%.

Berdasarkan pengelompokan perangkat daerah, dari jumlah jabatan yang lowong sebagian

besar terdistribusi di lingkungan Dinas-Dinas (65,30%), Badan-badan (16,33%) dan Sekretariat

Daerah (14,28%). Bila diperbandingkan jumlah pegawai menurut golongan ruang III B-D (tidak

termasuk golongan II) dengan jumlah jabatan struktural (tingkat eselon III dan IV) yang tersedia

sebenarnya masih memadai, sehingga terjadinya kekosongan jabatan struktural diperkirakan

disebabkan karena faktor pengalaman dan keahlian (tingkat pendidikan) yang masih belum

terpenuhi oleh sebagian besar pegawai.

Komposisi pegawai menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan per Januari 2006 menunjukkan

kondisi 906 PNS (33,38% dari jumlah seluruh PNS) memiliki tingkat pendidikan non kesarjanaan

(tamatan SD hingga D.II). Pada dasarnya tingkat kesiapan individu dengan tingkat pendidikan

non kesarjanaan masih kurang memadai terhadap kebutuhan penyelenggaraan tugas dan fungsi

kedinasan, khususnya di luar urusan administrasi dan ketatausahaan. Permasalahan yang

dihadapi adalah, bahwa sebagian PNS merupakan pegawai-pegawai baru (seiring dengan usia

Provinsi Banten yang baru menginjak 7 tahun) yang diantaranya belum mengenyam pendidikan

dan pelatihan manajemen dan fungsional. Disamping itu, 56,29% dari PNS dengan tingkat

pendidikan non kesarjanaan sebagian besar terdistribusi di lingkungan Dinas-Dinas yang

merupakan perangkat daerah terdepan dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan publik.

Oleh karena itu, pengelolaan, cakupan dan sasaran penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan

bagi PNS perlu dioptimalkan.

Page 15: Profil Banten

 

D.  Keuangan Daerah

Secara keseluruhan, realisasi pendapatan daerah Provinsi Banten dalam kurun waktu 2002-

2005 semakin menunjukkan penguatan kapasitas, dimana realisasi sebesar Rp. 915,65 Milyar

pada tahun 2002 telah berhasil ditingkatkan menjadi Rp. 1.784,94 Milyar hingga tahun 2006.

Penguatan kapasitas tersebut ditandai dengan rata-rata pencapaian target 104,73% per tahun

serta dengan rata-rata laju pertumbuhan 16,23% per tahun. Berdasarkan Perda No. 2 Tahun

2006, target pendapatan daerah pada tahun 2006 adalah sebesar Rp. 1.784,94 Milyar, dengan

demikian laju pertumbuhan yang diharapkan terhadap realisasi 2005 adalah 11,67%2).

Penguatan kapasitas pendapatan daerah terutama ditopang oleh peningkatan kinerja dan peran

Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam struktur pendapatan daerah, dimana dari Rp. 439,38

Milyar atau 47,99% terhadap total pendapatan daerah (2002) telah dapat ditingkatkan menjadi

Rp. 1.070,23 Milyar atau 66,59% (2005), atau dengan laju pertumbuhan rata-rata 34,63% per

tahun. Di samping itu, Dana Perimbangan juga masih memberikan peran besar terhadap struktur

pendapatan daerah, meskipun dari tahun ke tahun nilainya mengalami peningkatan dengan

kecenderungan stagnan (laju rata-rata 8,80% per tahun)2).

 

Secara keseluruhan, PAD masih berpeluang untuk ditingkatkan, dengan menindaklanjuti

berbagai peluang atau kendala yang belum dapat diupayakan selama periode 2002-2005, antara

lain: penerapan Pajak Kendaraan di Atas Air (PKAA) dan Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air

(BBNKAA), belum optimalnya kinerja dan peran pos Retribusi Daerah (rata-rata kontribusi per

tahun baru mencapai 0,29%) terhadap PAD maupun pendapatan daerah, serta masih

lambannya upaya ekstensifikasi pendapatan daerah melalui pembentukan badan usaha milik

daerah. Sementara itu, kinerja Dana Perimbangan dihadapkan pada kecendrungan penurunan

kinerja penerimaan daerah dari pos Bagi Hasil Pajak/BukanPajak.

Pada sisi belanja daerah selama kurun waktu 2002-2006 menunjukkan perkembangan kapasitas

pembiayaan pembangunan yang semakin memadai, dimana jumlah dan proporsi belanja

pembangunan (belanja publik) dalam struktur belanja daerah mengalami peningkatan. Alokasi

belanja daerah yang terealisasi sebesar Rp. 955 Milyar (2002) telah dapat ditingkatkan menjadi

Rp. 1.091,81 Milyar pada tahun 2004, selanjutnya pada tahun 2005 dan 2006 ditargetkan

masing-masing sebesar Rp. 1.618,99 Milyar dan Rp. 2.043,52 Milyar3). Berdasarkan realisasi

belanja daerah 2002-2004 serta target tahun 2005-2006, rata-rata proporsi alokasi belanja

pembangunan (terdiri dari belanja publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, serta belanja

Page 16: Profil Banten

tak disangka) adalah sebesar 68,96% per tahun, dimana proporsi alokasi pada tahun 2006

ditargetkan sebesar 79,59% atau Rp. 1.626,43 Milyar3). Sedangkan permasalahan pokok dalam

penerapan belanja daerah selama kurun waktu 2002-2005 adalah belum efisiennya prioritas

alokasi belanja daerah secara proporsional, serta masih terbatasnya kemampuan

pengelolaannya termasuk dalam melaksanakan prinsip transparansi dan akuntabilitas, serta

profesionalisme.

 

E.  Perencanaan Daerah

1. Perencanaan Pembangunan

Selama periode 2002-2004, pengimplementasian perencanaan pembangunan daerah diawali

dengan diterbitkannya Perda No. 2 Tahun 2002 Tentang Rencana Strategis Daerah (Renstrada)

Provinsi Banten 2002-2006, sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan lima tahunan, yang ditindaklanjuti oleh tersusunnya seluruh Renstra

Sekretariat/Badan/Dinas/Kantor. Sedangkan dalam upaya meletakkan landasan pembangunan

jangka panjang (20 tahun) diterbitkan pula Perda No. 11 Tahun 2003 tentang Pola Dasar

Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Banten 2002-2022.

Secara tahunan, upaya untuk mewujudkan perencanaan pembangunan partisipatif ditunjukkan

dengan tersusunnya Repetada selama periode 2002-2004, kemudian menginjak tahun 2005-

2006 diwujudkan melalui RKPD dan Renja SKPD Provinsi Banten. Rapat koordinasi teknis antar

Bapeda Provinsi Banten dengan Bappeda Kabupaten/Kota se Provinsi Banten juga dapat

diselenggarakan secara rutin pada setiap tahunnya. Setiap tahun, selama kurun waktu 2002-

2004 diselenggarakan Jaring Asmara, dan menginjak tahun 2005-2006 diwujudkan melalui

Musrenbang Provinsi Banten.

Perubahan paradigma dan pola perencanaan pembangunan seiring dengan diterbitkannya UU

17 Tahun 2003, UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004 telah ditindaklanjuti melalui

penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah

(SPPD) Provinsi Banten pada tahun 2005, yang disertai tersusunnya Petunjuk Teknis Tata Cara

Penyusunan RPJPD, RPJMD, Renstra-SKPD, RKPD, Renja-SKPD dan Penyelenggaraan

Musrenbang Provinsi Banten serta Format Daftar Rencana Program dan Kegiatan (DRPK).

Dalam rangka meningkatkan kemampuan aparatur dalam bidang perencanaan pembangunan,

Page 17: Profil Banten

telah diselenggarakan pendidikan dan pelatihan penyusunan Renstra-SKPD dan Renja-SKPD

Provinsi Banten

2. Rencana Tata Ruang Wilayah

Dalam rangka mengarahkan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah maka diterbitkan

Perda No. 36 Tahun 2002 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten 2002-2017.

Kemudian dalam Perkembangannya, perubahan rencana pemanfaatan ruang di Provinsi Banten

perlu menyelaraskan antara lain dengan rencana penetapan RTRW Pulau Jawa dan revisi UU

No. 24 Tahun 1992, rencana penataan ruang kawasan Megapolitan Jabodetabekjur,

pembangunan Pelabuhan Bojonegara sebagai Internasional Hub Port, rencana Kawasan

Bojonegara dan lingkar pantai utara yang dikembangkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus

(KEK), rencana pembangunan 3 (tiga) PLTU batubara (pengembangan PLTU Suralaya, PLTU

Teluk Naga dan PLTU Labuan), rencana pembangunan pabrik semen PT. Boral di Bayah,

pembangunan permukiman skala besar yang tersebar di Kabupaten Tangerang dan Lebak,

perubahan status jalan provinsi menjadi jalan nasional, rencana pembangunan jalan tol Cilegon-

Bojonegara dan Bintaro-Cikupa, rencana pembangunan jalan lingkar di wilayah Kabupaten

Tangerang, yaitu jalan lingkar utara Teluknaga-Mauk-Kronjo- Serang dan jalan lingkar selatan

Ciputat-Cisauk-Cisoka-Tigaraksa-Balaraja-Kresek, rencana perluasan Bandara Soekarno-Hatta

menjadi 2500 Ha, rencana pembangunan Pelabuhan Cituis, rencana pemekaran wilayah

Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang (pembentukan Kota Serang, Kota Ciputat dan

Kota Serpong, dll), pembangunan Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Baten (KP3B),

rencana pembangunan Pelabuhan Penyeberangan Margagiri di Kabupaten Serang, perubahan

fungsi pemanfaatan ruang di pantai utara Kabupaten Tangerang, rencana pembangunan

jaringan KA Cilegon Timur-Bojonegara, rencana pengembangan TPA Bojong Menteng,

peningkatan luasan kawasan lindung Taman Nasional Gunung Halimun, pengembangan

kawasan wisata di wilayah Banten Selatan dan pantai utara (Pulau Cangkir, dll), pembangunan

pipa gas Jawa-Sumatera, dan lainnya yang mendorong Pemerintah Kabupaten/Kota (Kabupaten

Tangerang, Kota Tangerang, Kabupaten Serang dan Kota Cilegon) dan Pemerintah Provinsi

untuk melakukan peninjauan kembali terhadap RTRW yang ada.

Untuk menyelaraskan dan mensinergikan penataan ruang daerah melalui pemanfaatan ruang

secara optimal, serasi, dan berkesinambungan, telah dibentuk wadah koordinasi secara terpadu

dalam melaksanakan penataan ruang di Provinsi Banten sebagaimana mempedomani

Kepmendagri 147 Tahun 2004 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah, telah

Page 18: Profil Banten

dibentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Provinsi Banten yang ditetapkan

melalui Keputusan Gubernur Nomor : 650/Kep.157-Huk/2005, dengan tugas pokok untuk

merumuskan, mengkoordinasikan, mengintegrasikan dan menyelaraskan, serta melaksanakan

supervisi, merekomendasikan dan kegiatan pengawasan terhadap penyelenggaraan penataan

ruang di daerah. Dalam pelaksanaannya, peran BKPRD dirasakan masih belum memberikan

dampak secara siginfikan dalam pengendalian perubahan pemanfaatan ruang yang berkembang

secara pesat sebagaimana telah ditetapkan dalam RTRWP, yang hal ini disebabkan tidak

diacunya RTRWP sebagai arahan kebijakan spasial bagi rencana sektoral maupun daerah.

Mekanisme dalam penertiban izin terhadap rencana usaha/kegiatan pembangunan yang

berdampak besar dan penting, menimbulkan konflik dalam pemanfaatan ruang, bahkan

berpengaruh terhadap kebijakan tata ruang provinsi belum dikoordinasikan dengan BKPRD.

Jakarta sebagai Ibukota Negara merupakan pusat konsentrasi kegiatan perekonomian baik

produksi maupun jasa akan berpengaruh terhadap aliran migrasi yang tinggi, kemacetan dan

kepadatan yang tinggi dalam penggunaan jasa publik. Daya dukung dan daya tampung wilayah

Jakarta sudah tidak mampu lagi untuk menopang pembangunan berkelanjutan dengan adanya

fenomena tingginya tingkat kerusakan, pencemaran, degradasi sumberdaya alam dan

lingkungan hidup serta sosial. Disamping itu letak geografis Jakarta yang berada di hilir

membawa permasalahan yang cukup kompleks terkait penanganan masalah transportasi,

urbanisasi, banjir dan sampah yang berdampak pada ketertiban kenyamanan dan ketentraman

ibukota negara, sehingga pada akhirnya perlu membentuk suatu hubungan fungsional yang

terpadu dalam satu kesatuan sistem dengan daerah sekitarnya DKI Jakarta yang memberikan

kontribusi secara signifikan perkembangan DKI Jakarta. Keterpaduan dalam penataan ruang

antara kawasan hulu (Botabekjur) dengan kawasan hilir (DKI Jakarta) terutama dalam

pengendalian banjir, pemenuhan air baku dan pengelolaan sampah, penyediaan infrastruktur

transportasi massal yang efisien, penciptaan dan penyediaan lapangan kerja, penyediaan lahan

untuk pembangunan pemukiman dan industri. Proses regionalisasi yang memerlukan keterkaitan

dan kerjasama antar daerah otonom yang bertetangga di wilayah Jabodetabekjur, mendorong

Pemerintah DKI Jakarta melakukan revisi UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi

Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta. Dalam draft rancangan revisi UU

No. 34 Tahun 1999 yang telah disampaikan kepada DPR RI telah mencantumkan konsep

pengaturan tata ruang kawasan ‘megapolitan’ yang meliputi wilayah Kabupaten Bogor, Kota

Bogor, Kota Depok, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi dan Kabupaten

Cianjur (Jabodetabekjur).

Page 19: Profil Banten

Sejalan dengan revisi UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota

Negara Jakarta, Pemerintah Provinsi Banten dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus dapat

menetapkan secara tegas batas daerah dengan mempedomani UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah terutama untuk menyelesaikan terhadap batas wilayah laut Kepulauan

Seribu.

Sebagai tindaklanjut UU No. 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten, dimana

ibukota Provinsi Banten telah ditetapkan di Kabupaten Serang, hal ini memberikan peluang bagi

pembentukan Kota Serang sebagai   ibukota Provinsi Banten yang merupakan pemekaran

wilayah dari Kabupaten Serang. Dengan kedudukan Kota Serang yang sangat strategis sebagai

pusat pemerintahan telah mendorong pada peningkatan pemanfaatan fungsi ruang yang ada,

yang menuntut adanya penyusunan dan penetapan tata ruang (RTRW) Kota Serang sebagai

ibukota Provinsi Banten, yang diprediksi akan mengalami perkembangan pada masa yang akan

datang sebagai dampak dari pertambahan penduduk, aktivitas pembangunan dan peningkatan

investasi.

Untuk mengoperasionalkan RTRW Nasional kedalam rencana pemanfaatan ruang Pulau Jawa-

Bali, sebagaimana yang ditetapkan pada pasal 65 Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1997

perlu ditetapkan pengaturan lebih lanjut mengenai struktur dan pola pemanfaatan ruang nasional

di Pulau Jawa-Bali. Untuk mewujudkan hal itu, sebagai kebijakan dan strategi pemanfaatan

ruang agar dapat menjamin keterpaduan wilayah dan lintas sektor, Pemerintah saat ini sedang

menyusun RTR Pulau Jawa-Bali sebagai landasan hukum perencanaan pemanfaatan ruang

yang mengikat bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan tugas, fungsi dan

kewenangannya. RTR Pulau Jawa-Bali diharapkan dapat meningkatkan kesatuan

pengembangan kegiatan ekonomi, sosial, budaya dan pengembangan prasarana wilayah dalam

satu ekosistem pulau dan perairannya dengan memperhatikan daya dukung lingkungan wilayah,

sehingga dapat mendorong terlaksannya pembangunan lintas sektor dan lintas provinsi secara

lebih efektif dan efisien serta konsisten dengan kebijakan nasional. RTR Pulau Jawa-Bali

diharapkan dapat berperan sebagai alat untuk mensinergikan aspek-aspek yang menjadi

kepentingan nasional sebagaimana direncakan dalam RTRWN dengan aspek-aspek yang

menjadi kepentingan daerah sebagaimana direncanakan dalam RTRW Provinsi dan RTRW

Kab/Kota.

 

Page 20: Profil Banten

F.  Otonomi Daerah

Selama periode 2002-2004 berbagai tuntutan terhadap pembentukan daerah otonom baru

(pemekaran wilayah) berkembang di lingkungan masyarakat. Pembentukan Kota Serang yang

telah memenuhi kaidah peraturan perundangan maupun teknis hingga tahun 2006 belum dapat

direalisasikan. Disamping itu, tuntutan pembentukan Kabupaten Tangerang Selatan (pemekaran

dari Kabupaten Tangerang) , pembentukan Kabupaten Cilangkahan (pemekaran dari Kabupaten

Lebak) dan pembentukan Kabupaten Caringin (pemekaran dari Kabupaten Pandeglang) serta

wacana untuk merebut kembali Kepulauan Seribu (dari DKI Jakarta) merupakan aspirasi dan

harapan yang perlu direspon untuk dinilai terhadap ketepatan dan kelayakannya secara normatif

maupun teknis. Sehingga proses pembentukan daerah otonom baru tidak sekedar

mempertimbangkan aspek politis dan kemauan sebagian kecil elite daerah. 

G.  Kerjasama Pembangunan

1.  Kerjasama Wilayah Perbatasan

Sesuai dengan amanat dalam Pasal 195 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, daerah

dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada efisiensi dan efektifitas

pelayanan publik.

Belum terintegrasinya rencana-rencana pembangunan, keterbatasan dan lemahnya kapasitas

pengelolaan sumber daya di kawasan perbatasan, seperti diantaranya dalam penataan ruang

dan pembangunan prasarana wilayah serta perencanaan pembangunan lainnya, telah disadari

sebagai suatu permasalahan yang dapat menyebabkan terjadinya ketidakserasian dan

ketimpangan pembangunan di wilayah perbatasan.

Oleh karenanya kerjasama pembangunan antar daerah yang didasarkan pada pertimbangan

efisiensi dan efektifitas dalam pelayanan publik yang saling menguntungkan, merupakan hal

yang perlu mendapatkan perhatian bersama.

Sejalan dengan kepentingan tersebut, Pemerintah Provinsi Banten telah melaksanakan

kesepakatan dengan Pemerintah Provinsi lain yang berbatasan dalam rangka kerjasama

pembangunan di wilayah perbatasan seperti dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat

sebagaimana hal ini telah ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama Gubernur Jawa Barat

dan Gubernur Banten Nomor 69 Tahun 2002 dan Nomor 35 Tahun 2002 tanggal 4 Desember

Page 21: Profil Banten

2002, tentang Kerjasama Pembangunan Wilayah Perbatasan, serta dengan Pemerintah Provinsi

Lampung sebagaimana hal ini telah ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama Gubernur

Banten dan Gubernur Lampung Nomor 34 Tahun 2002 dan Nomor 38 Tahun 2002 tanggal 13

Desember 2002, tentang Kesepakatan Kerjasama Pembangunan Wilayah Perbatasan antara

Pemerintah Provinsi Banten dengan Pemerintah Provinsi Lampung.

Sebagai implementasi tindak lanjut kerjasama pembangunan perbatasan yang telah disepakati

bersama, diselenggarakan forum koordinasi kerjasama pembangunan antar kedua daerah yang

dilaksanakan melalui ”Musyawarah Perencanaan Pembangunan Perbatasan

(MUSRENBANGTAS) Banten-Jawa Barat” maupun “Rapat Koordinasi Kerjasama Pembangunan

Wilayah Perbatasan (RAKORTAS) Banten-Lampung” yang diselenggarakan secara periodik

setiap dua tahun sekali.

Keberadaan forum tersebut dimaksudkan untuk memperkuat koordinasi antar Pemerintah

Daerah dalam mengatasi persoalan ketidakintegrasian dalam berbagai kepentingan

pembangunan dan pemerintahan antara kedua daerah, agar rencana-rencana pembangunan

yang akan dilaksanakan antar daerah khususnya di wilayah perbatasan dapat terselenggara

dengan sinergi dan terintegrasi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat di wilayah

perbatasan.

2.     Kerjasama Antar Daerah

Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah memberikan kewenangan yang lebih besar

kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan dan mengelolah pembangunan di daerah

berdasarkan kondisi dan kebutuhannya masing-masing. Namun demikian dalam pelaksanaan

dan pengelolaan pembangunan di daerah seringkali dihadapkan kepada permasalahan yang

tidak dapat diatasi sendiri, tetapi memerlukan kerjasama antar daerah yang memiliki kepentingan

bersama.

Sejalan dengan semangat yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, perlu disikapi secara komprehensif dan langkah

strategis untuk melakukan kerjasama antar daerah yang sinergis dengan perencanaan

pembangunan guna mewujudkan keselarasan, keserasian dan keterpaduan perencanaan

pembangunan antar wilayah dan antar sektor.

Page 22: Profil Banten

Sementara itu, di lain pihak bahwa tekanan pertumbuhan penduduk dan perekonomian yang

terkonsentrasi di Ibukota negara Jakarta dan wilayah sekitarnya dalam wilayah Jabotabek

maupun secara umum pada wilayah Pulau Jawa dan Bali telah menyebabkan tingginya tuntutan

dalam peningkatan pelayanan dan pembangunan yang dirasakan semakin kompleks. Sehingga

dapat dipahami apabila di wilayah Jabotabek serta wilayah Jawa-Bali perlu mendapatkan

perhatian secara lebih intensif untuk melakukan koordinasi dalam rangka penanganan bersama

terhadap permasalahan pembangunan dan persoalan lainnya yang bersifat lintas wilayah dan

lintas sektor.

Dalam rangka mengkoordinasikan kegiatan pembangunan sesuai Instruksi Presiden Nomor 13

Tahun 1976 tentang Pengembangan Wilayah Jabotabek telah dilakukan kerjasama wilayah

Jabotabek yang telah ditetapkan dengan Peraturan Bersama Pemerintah Provinsi Daerah tingkat

I Jawa Barat dan DKI Jakarta Nomor 1/DP/040/PD/1976 dan Nomor 3 Tahun 1976 tentang

Kerjasama Dalam Rangka Pembangunan Jabotabek yang selanjutnya dibentuk Badan

Kerjasama Pembangunan (BKSP) Jabodetabek berdasarkan Keputusan Bersama Pemerintah

Provinsi Daerah tingkat I Jawa Barat dan DKI Jakarta Nomor D.IV-8201/d/II/1976 dan Nomor

197/Pem.121/sk/1976.

Kerjasama tersebut telah ditindaklanjuti dan ditingkatkan dengan terbentuknya Kota Depok,

Provinsi Banten dan keikutsertaan Kabupaten Cianjur yang diwujudkan dalam Kesepakatan

Bersama Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, Gubernur Banten Bupati Bogor, Walikota

Bogor, Walikota Depok, Bupati tangerang, Walikota Tangerang, Bupati Bekasi, Walikota Bekasi

dan Bupati Cianjur tanggal 16 Juni 2005.

Memperhatikan kompleksitas permasalahan pembangunan regional yang terjadi saat ini di

wilayah Jawa-Bali dan sejalan dengan makna yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2005, maka merupakan langkah yang sangat

strategis diselengarakannya forum “Musyawarah Perencanaan Pembangunan Regional

(MUSRENBANGREG) Se Jawa-Bali”, yang hal ini merupakan kesepakatan bersama yang telah

direkomendasikan agar keberadaannya semakin dapat diperkokoh dan dikembangkan

eksistensinya dalam rangka mendukung perencanaan pembangunan nasional.

Dilatarbelakangi berbagi pengalaman memecahkan permasalahan antar daerah secara legal

formal, membangun silaturahmi dan membangun satu persepsi dan pemahaman, pada tahun

Page 23: Profil Banten

1988, Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat mempelopori terbentuknya forum kerjasama

antar daerah Dwi Praja sebagai cikal bakal forum Mitra Praja Utama (MPU) yang sekarang

anggotanya terdiri dari 10 Provinsi yaitu Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa

Tengah, Provinsi DI. Yogyakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali, Provinsi Lampung, Provinsi

Nusa Tenggara Barat, Provinsi Banten dan Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Prinsip kerjasama dalam forum MPU dibangun dalam semangat kebersamaan, kemitraan, saling

menguntungkan, berbagi tanggungjawab dan berkelanjutan dalam upaya berpadu daya

mengatasi permasalahan kesejahteraan antar daerah secara bersama-sama.

Dalam setiap tahunnya diadakan Rapat Kerja Gubernur yang menyepakati usulan

program/kegiatan kerjasama untuk dilaksanakan pada tahun berikutnya, terdiri dari bidang

Pemerintahan, bidang Ekonomi, bidang Kesos dan Tenaga Kerja, serta bidang Lingkungan dan

Pariwisata.

 

H.  Hukum, Politik serta Ketenteraman dan Ketertiban Umum

Dalam rangka memberikan landasan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan,

selama periode 2002-2005 telah dihasilkan 93 peraturan daerah (perda). Seiring dengan era

pembentukan sistem pemerintahan Provinsi Banten, sekitar 43,48% perda-perda yang

diterbitkan mengatur tentang kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah daerah, dan

42,47% mengatur tentang keuangan daerah. Keberadaan perda-perda yang terkait dengan

bidang-bidang pembangunan masih terbatas, dimana baru sekitar 8,22% mengatur tentang

sumber daya alam dan lingkungan hidup, 2,74% mengatur tentang perencanaan pembangunan

serta 2,74% sisanya mengatur tentang pengelolaan zakat serta pemberian penghargaan kepada

seseorang dan atau badan yang berjasa dalam pembangunan atau kesejahteraan daerah.

Keterbukaan dalam wadah partisipasi politik rakyat yang ditandai dengan berlakunya sistim multi

partai telah ditunjukkan pada Pemilu tahun 2004 yang diikuti oleh 24 partai politik, hasilnya 13

partai politik telah memperoleh kursi di DPRD Provinsi Banten periode 2004-2009 yaitu Partai

Golkar memperoleh 15 kursi, PKS 11 kursi, PDIP 10 kursi, PPP dan Partai Demokrat 8 kursi,

PKB dan PBR 5 kursi, PAN 4 kursi, PBB 3 kursi, PDS 2 kursi, serta PNUI, PSI dan PKPB

masing-masing 1 kursi, dan secara umum berlangsung aman dan tertib. Antusias masyarakat

berpolitik juga cukup baik, dimana Pemilu 2004 diikuti oleh 6.207.919 pemilih4). Keterbukaan

dan keterakomodasian hak-hak rakyat dalam berpolitik yang semakin membaik ini juga

Page 24: Profil Banten

ditunjukkan dengan penyelenggaraan Pilkada di Kota Cilegon (2005), Kabupaten Pandeglang

(2005) dan Kabupaten Serang (2006) yang secara umum juga berlangsung secara aman dan

tertib.

Disamping itu munculnya berbagai bentuk asosiasi masyarakat sipil baik dalam bentuk

organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat maupun forum-forum lainnya,

merupakan bentuk pencapaian dalam mewujudkan proses demokratisasi. Hingga tahun 2005

jumlah organisasi kemasyarakatan telah berkembang menjadi 97 ormas, yang terdiri dari 21

lembaga profesi, 26 lembaga keagamaan dan 50 lembaga swadaya masyarakat.

Munculnya berbagai aspirasi dan respon masyarakat terhadap kebijakan pembangunan yang

dikeluarkan oleh Pemerintah, baik yang bersifat mendukung ataupun memberikan kritik

membangun, disampaikan langsung ataupun melalui lembaga perwakilan (legislatif), merupakan

cerminan terjadinya peningkatan kesadaran masyarakat akan politik dan nilai-nilai demokrasi.

Penyampaian aspirasi masyarakat selama tahun 2004 sebanyak 20 kali sedangkan pada tahun

2003 jumlahnya sebanyak 49 kali dan seluruhnya dapat ditanggulangi dengan tertib serta

mengedepankan pendekatan persuasif sehingga tidak menimbulkan gangguan keamanan yang

berarti.

Berbagai kerentanan dan kerawanan sosial merupakan sumber-sumber permasalahan

masyarakat yang masih dihadapi yang dapat berdampak pada terjadinya gangguan

ketenteraman dan ketertiban umum. Banyaknya keluarga penyandang masalah kesejahteraan

sosial (PMKS) hingga tahun 2005 sebesar 705.400 keluarga, yang didominasi oleh keluarga fakir

miskin berjumlah 387.292 keluarga (54,90%), keluarga yang menempati tempat tinggal yang

tidak layak huni sebanyak 230.457 keluarga (32,67%), Keluarga yang rentan sosial ekonomi

berjumlah 78.299 keluarga (11,10%), dan keluarga yang bermasalah sosial psikologis berjumlah

9.352 keluarga (1,33%)5). Keberadaan PMKS tersebut merupakan potensi terhadap

bertumbuhkembangnya ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku masyarakat.

Kasus gelandangan dan pengemis serta pekerja seks komersial (PSK) semakin merebak

terutama pada kota-kota, pelabuhan, terminal serta daerah pantai dan wisata merupakan salah

satu potensi permasalahan yang dapat menganggu ketentraman dan ketertiban umum di wilayah

Provinsi Banten. Berbagai upaya pencegahan terhadap berkembangnya PSK seperti yang

dilakukan oleh Kota Tangerang melalui penerbitan Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan

Page 25: Profil Banten

Pelacuran masih menyisakan permasalahan yang antara lain adanya indikasi exodus PSK ke ke

wilayah Pantura, yang menyebabkan langkah serupa tengah dipersiapkan oleh Pemerintah

Kabupaten Tangerang.

Demikian halnya dengan penyalahgunaan NARKOBA/NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat

Adiktif) yang semakin berkembang dikalangan remaja, bahkan telah memasuki kawasan-

kawasan pendidikan (sekolah). Sebagaimana diketahui pada akhir-akhir ini penggerebekan

produsen-produsen NARKOBA kelas internasional di Kabupaten Serang menunjukkan bahwa

Banten merupakan sasaran utama pusat-pusat produksi dilakukan oleh sindikat-sindikat jaringan

NARKOBA.  

Kejadian luar biasa (KLB) merupakan suatu kondisi tak terduga yang dapat mengganggu

ketenteraman dan ketertiban umum. Frekuensi bencana banjir dan kekeringan sampai dengan

tahun 2003 diketahui sebanyak 9 kali yang melanda 31 kecamatan, sedangkan bencana

kekeringan terjadi di 7 kecamatan. Sedangkan berbagai kasus wabah penyakit yang terjadi di

wilayah Provinsi Banten akhir-akhir ini meliputi: Muntaber, DBD, Polio, Gizi Buruk dan Flu

Burung. Kasus flu burung merupakan wabah penyakit yang melanda wilayah nasional yang

penangannya belum tuntas hingga saat ini.

Sementara itu, berbagai kerusuhan sosial yang terjadi di wilayah Provinsi Banten akhir-akhir ini

antara lain bersifat konflik antar masyarakat dan konflik antar agama. Konflik antar masyarakat

antara lain terjadi di Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang.

Sedangkan konflik antar agama berdasarkan informasi Satuan Polisi Pamong Praja

Kabupaten/Kota terjadi di Kabupaten dan Kota Tangerang.

http://www.bantenprov.go.id/read/pemerintahan-umum.html#.Ve9rttKqqko