PRODUKSI TEPUNG SUKUN (Artocarpus...
-
Upload
truongtuong -
Category
Documents
-
view
233 -
download
1
Transcript of PRODUKSI TEPUNG SUKUN (Artocarpus...
PRODUKSI TEPUNG SUKUN (Artocarpus altilis)
PRAGELATINISASI
Oleh
WENNY SILVIA LOREN BR SINAGA
F34053480
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PRODUKSI TEPUNG SUKUN (Artocarpus altilis) PRAGELATINISASI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
WENNY SILVIA LOREN BR SINAGA
F34053480
2010
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul
“Produksi Tepung Sukun (Artocarpus altilis) Pragelatinisasi” adalah karya asli
saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan
jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, Mei 2010
Yang Membuat Pernyataan,
Wenny Silvia Loren Br Sinaga
F34053480
Wenny Silvia Loren Br Sinaga. F34053480. Produksi Tepung Sukun
(Artocarpus altilis) Pragelatinisasi. Di bawah bimbingan Chilwan Pandji dan Titi
Candra Sunarti. 2010.
RINGKASAN
Sukun (Artocarpus altilis) dapat merupakan alternatif sumber karbohidrat,
dan mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi karena dapat dijual dalam bentuk
segar maupun olahan sebagai alternatif pangan pengganti beras. Saat ini
pemanfaatan buah sukun sebagai bahan makanan masih terbatas secara tradisional
yaitu direbus, digoreng, dibuat keripik, dibuat kolak, dan difermentasi jadi tape.
Terbatasnya pemanfaatan buah sukun disebabkan kurangnya informasi tentang
komoditas sukun, sehingga upaya untuk meningkatkan daya guna sukun dan nilai
ekonominya diperlukan usaha penganekaragaman jenis produk olahan sukun.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji proses produksi tepung sukun
termodifikasi dengan mengamati pengaruh perbandingan konsentrasi tepung dan
kecepatan putar drum dryer terhadap karakteristik sifat fisiko kimia dan
fungsional dari tepung sukun pragelatinisasi yang dihasilkan. Tepung sukun
termodifikasi dapat dimanfaatkan sebagai makanan instan, bubur dan makanan
bayi.
Modifikasi tepung menjadi tepung sukun pragelatinisasi memiliki tahapan
proses yang harus dilakukan dengan seksama. Tahapan proses pengolahan tepung
sukun pragelatinisasi ada tiga tahap, yaitu persiapan bahan, proses utama
(pemanasan dan pengeringan), dan proses penggilingan. Persiapan bahan
dilakukan terlebih dahulu dengan mencampurkan tepung sukun alami dengan air
dengan perbandingan 20% dan 30% tepung dalam suspensi. Pada penelitian ini
digunakan double drum drier dengan kecepatan putaran 4, 6 dan 8 rpm. Proses
utama pengolahan tepung sukun pragelatinisasi terdiri atas pemanasan dan
dilanjutkan dengan pengeringan pada suhu di atas suhu gelatinisasi yaitu 80±5°C
pada double drum drier yang memiliki panjang dan diameter berturut-turut adalah
12 dan 8 inci.
Karateristik tepung pragelatinisasi ini mempengaruhi kelarutan dalam air
dingin (30°C), tingkat gelatinisasi yang diamati dengan perubahan granula pati,
derajat putih serta freeze thaw stability. Pada kelarutan dalam air dingin (30°C),
diperlihatkan bahwa semakin cepat kecepatan putaran semakin larut tepung
tersebut dalam air dingin. Semakin tinggi kecepatan putaran semakin pendek
waktu kontak sehingga semakin banyak granula pati yang tidak tergelatinisasi.
Konsentrasi padatan yang lebih banyak menyebabkan tepung yang tergelatinisasi
semakin banyak dan pada saat proses pragelatinisasi menghasilkan lembaran yang
lebih tebal daripada lembaran dari konsentrasi padatan yang lebih rendah.
Semakin tinggi putaran maka derajat putih yang dihasilkan semakin tinggi.
Konsentrasi padatan semakin sedikit maka derajat putih yang dihasilkan semakin
tinggi. Kecepatan putar drum dan konsentrasi padatan juga berpengaruh nyata
terhadap tingkat gelatinisasi tepung. Semakin tinggi kecepatan putar drum
semakin tinggi pula tingkat gelatinisasinya tetapi semakin tinggi konsentrasi
padatan semakin rendah tingkat gelatinisasinya. Freeze thaw stability yang
dihasilkan dipengaruhi oleh kecepatan putar drum. Semakin lambat kecepatan
putar drum semakin tinggi nilai freeze thaw stability yang dihasilkan.
Wenny Silvia Loren Br Sinaga. F34053480. Production of Breadfruit
(Artocarpus altilis) Pragelatinized Flour. Supervised by Chilwan Pandji dan Titi
Candra Sunarti. 2010.
ABSTRACT
The fruit of breadfruit tree is one alternative carbohydrate source in
Indonesia. Breadfruits is an important energy food contain starch and sugar, and
usually consume as fresh fruit. However, breadfruit is seasonal crop and
sometimes the crops are so plentiful that it can not be eaten fresh. To prevent
waste, it was preserved in different way including drying. Flour from breadfruit
can be used as important food for all seasons. Breadfruit flour has many
limitations since it is difficult to be solubilized and swollen in cold water. The
flour is modified physically by pregelatinization to improve its properties.
Pragelatinized breadfruit flour can be used as instant food, porridge, and baby
food.
This research is aimed to investigate the effect of slurry concentration and
contact time of the slurry on the drum. The process is conducted using double
drum dryer with temperature of plate is 80±5 C. Twenty and 30% of slurry were
poured into drum with different rotation speed (4, 6 and 8 rpm). Each flour is
characterized its chemical composition and physico-chemical properties.
Generally pregelatinization did not influence to the chemical composition.
Pregelatinization of the flour improved the water solubility and swelling power on
room (30 C) and hot (70 C) solutions, reduced the freeze-thaw stability, caused
partial gelatinization which is monitored by losing the birefringence of starch
granule, and darkened the flour. The pregelatinized flour also reduced gelatinized
temperature and had low final viscosity. Low concentration of slurry and low
rotation speed of drum increased the gelatinized part of the flour, which is
influenced to the cold and hot water solubility.
Judul Skripsi : Produksi Tepung Sukun (Artocarpus altilis) Pragelatinisasi
Nama : Wenny Silvia Loren Br Sinaga
NRP : F34053480
Menyetujui:
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Chilwan Pandji, Apt.MSc Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MSi
NIP: 19491209 198011 1 001 NIP: 19661219 1991103 2 001
Mengetahui:
Ketua Departemen,
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti
NIP: 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus: 14 Juni 2010
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Berastagi, Sumatera Utara pada tanggal 14 Oktober
1987. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan bapak
Robinson Sinaga dan ibu Rehulina Br Simbolon. Pada tahun 1999, penulis
menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Methodist Berastagi. Penulis
menyelesaikan pendidikan sekolah menengah di SLTPN 1 Berastagi pada tahun
2002 dan pendidikan di SMAN 1 Berastagi pada tahun 2005.
Penulis melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri, Institut
Pertanian Bogor tahun 2005 melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah) di
Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis
aktif dalam organisasi kemahasiswaan dengan menjadi pengurus dan anggota
Himalogin pada tahun 2006-2010, pengurus dan anggota UKM PMK IPB 2005-
2010 dan menjadi anggota paduan suara Agriaswara IPB 2006.
Penulis melaksanakan praktek lapang pada tahun 2008 dengan topik
“Mempelajari Aspek Produksi dan Pengawasan Mutu Bumbu Penyedap Royco di
PT Unilever Indonesia Tbk Cikarang, Bekasi”. Untuk menyelesaikan tugas akhir
ini, penulis melakukan penelitian yang dituangkan dalam skripsi berjudul
”Produksi Tepung Sukun (Artocarpus altilis) Pragelatinisasi”.
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah Tritunggal karena
atas berkat, rahmat dan kasih-Nya penulis dapat melaksanakan, menulis, dan
menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi
Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada
kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu dan memberikan dukungan selama penelitian dan penyusunan
skripsi ini:
1. Drs. Chilwan Pandji, Apt.MSc selaku dosen pembimbing I yang telah
memberikan banyak bimbingan, arahan, dukungan, saran dan kritik kepada
penulis sehingga penulis mengerti luasnya ilmu pengetahuan.
2. Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si selaku dosen pembimbing II yang telah
banyak memberikan arahan, bimbingan dan dukungan pada saat penelitian
dan dalam penyusunan skripsi serta ”mendoktrin” penulis untuk mencintai
ilmu pengetahuan.
3. Dr. Ir. Ika Amalia Kartika, MT selaku dosen penguji yang telah memberikan
saran dan kritik untuk penyusunan skripsi ini.
4. Dr. Ir. Illah Saillah, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memotivasi penulis untuk tak berpuas diri dalam menimba ilmu.
5. Pemerintah Daerah Kabupaten Karo atas dukungan dana dan kesempatan
yang sangat berharga sehingga penulis dapat menimba ilmu di IPB.
6. Bapak, Mamak dan adekku Zohdy atas dukungan, motivasi, doa, kasih
sayang dan pengertian yang tak pernah habis. Kalian adalah sumber nafas dan
semangat terbesar yang pernah di berikan Tuhan kepadaku.
7. Keluarga besar penulis Nek Karo, Bunda tante cibet, tulang & nantulang, dek
Cibet, Bony, Petra, Petrus, Lausevina, Lola & kel atas kepercayaan dan
segudang semangat yang tiap hari kalian berikan kepada penulis.
8. “He who must not be named” atas waktu dan kesediaan tempat untuk
menampung air mata, keluh-kesah, suka-duka selama ini. Terimakasih buat
doa, motivasi, solusi dan semangat yang selalu membesarkan dan
iv
menyejukkan hati. Terimakasih atas kepercayaan dibalik senyum dan tawa
yang selalu terpancar untuk menopang penulis yang goyah.
9. Laboran TIN (Bu Ega, Bu Rini, Bu Sri, Pak Gun, Pak Sugi, Pak Dicky, Pak
Edi, Pak Hendi dan Pak Anwar), laboran Seafast dan Technopark (Pak Ias,
Pak Ranta, Pak Nurwanto).
10. Teman-temanku Fitriana SM, Novi S, Bahaderi CS, Eka PS, Priska, Juliana,
Helma, Estherlina, Clara, Kak Jane, Bang Franky Gurning, Joel Sinaga,
Sulaiman Purba meski jauh dimata tetapi kalian dekat di hati. Terimakasih
untuk doa, motivasi, kebersamaan, canda tawa, menangis bersama,
pengertian, dan semangat yang selalu kalian tunjukkan lewat perbuatan.
Bersama kalian aku mengerti arti sebuah persahabatan.
11. Teman-teman keluarga besar TIN 42 yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu, TIN 43, teman se bimbingan (Iwan n Yudi), teman2 yang setiap saat
ditanya selalu ada (Roisah, Amel, Amir, Doni, Pute, Mbo Te, Vioni, Martin,
Novi PY) atas kebersamaan dan ketulusannya.
12. Teman-teman Crew Pondok Putri TinTunz, Desra, Viva, Po, Qq, Qkay,
Astra, Febi, Speti, Dian, Evi, Desi, Ester, Lidia, Kak Ita, Putri, Wirdha, Ra2,
Rima, Teman2 ArtCom (Bang Icok, Juan, Salomo, deny, dll) atas canda tawa
yang selalu menyejukkan hati yang sedang galau. Karena kalian penulis
mengerti bagaiman bersikap sebagai seorang kakak ditengah cendikiawan
masa depan.
13. Semua pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu telah memberikan
bantuan kepada penulis baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan, dalam skripsi ini,
oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga
laporan ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan demi kemajuan
ilmu dan teknologi.
Bogor, Juni 2010
Wenny Silvia Loren Br Sinaga
v
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... v
DAFTAR TABEL .............................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... ix
I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 LATAR BELAKANG ............................................................................ 1
1.2 TUJUAN ................................................................................................ 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 3
2.1 TANAMAN SUKUN ............................................................................. 3
2.2 BUAH SUKUN (Bread fruit) ................................................................. 4
2.3 PRAGELATINISASI PATI .................................................................... 6
III. METODE PENELITIAN ............................................................................. 9
3.1 BAHAN DAN ALAT ............................................................................. 9
3.1.1 Bahan ............................................................................................. 9
3.1.2 Alat ................................................................................................ 9
3.2 PROSEDUR PENELITIAN .................................................................. 10
3.2.1 Karakterisasi Tepung Sukun Alami .............................................. 10
3.2.2 Produksi Tepung Sukun Pragelatinisasi ........................................ 10
3.2.3 Karakterisasi Tepung Sukun Pragelatinisasi ................................. 10
3.3 RANCANGAN PERCOBAAN ............................................................ 12
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 14
4.1 PRODUKSI TEPUNG SUKUN PRAGELATINISASI ......................... 14
4.2 KARAKTERISTIK TEPUNG SUKUN PRAGELATINISASI ............. 20
4.2.1 Komposisi Kimia Tepung Sukun Pragelatinisasi .......................... 20
4.2.2 Sifat Fisik Tepung Sukun Pragelatinisasi ...................................... 26
4.2.3 Karakteristik Sifat Fungsional Tepung sukun ............................... 35
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 49
5.1 KESIMPULAN .................................................................................... 49
5.2 SARAN ................................................................................................ 50
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 51
LAMPIRAN ...................................................................................................... 55
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi kimia buah segar, kering dan tepung sukun alami ............... 16
Tabel 2. Kadar air tepung setelah proses pragelatinisasi ..................................... 19
Tabel 3. Komposisi kimia tepung sukun alami dan pragelatinisasi ..................... 21
Tabel 4. Nilai kecerahan tepung sukun alami dan pragelatinisasi ....................... 29
Tabel 5. Nilai parameter amilografi tepung sukun .............................................. 37
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Buah sukun ...................................................................................... 4
Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan tepung sukun pragelatinisasi ......... 11
Gambar 3. Diagram pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan
kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap
kandungan protein dan lemak tepung sukun pragelatinisasi ........... 24
Gambar 4. Gambar pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2:30%) dan
kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap
perbedaan derajat putih tepung sukun alami dan pragelatinisasi
yang dihasilkan .............................................................................. 27
Gambar 5. Gambar pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan
kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap
perbedaan warna tepung sukun alami dan pragelatinisasi yang
dihasilkan ...................................................................................... 28
Gambar 6. Pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan
putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap diagram
warna ............................................................................................ 30
Gambar 7. Pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan
putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap bentuk
granula tepung sukun alami dan pragelatinisasi dengan
perbesaran 200 kali ........................................................................ 31
Gambar 8. Pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan
putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap
mikroskopik tepung sukun pragelatinsasi pada mikroskop cahaya
terpolarisasi (perbesaran 200 kali) ................................................. 32
Gambar 9. Pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan
putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap uji iod
tepung sukun pragelatinisasi .......................................................... 35
Gambar 10. Pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan
putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap sifat
amilografi tepung sukun pragelatinisasi ......................................... 38
Gambar 11. Diagram pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan
kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap
perbandingan kelarutan dan swelling power antara suhu 70 C dan
30 C .............................................................................................. 41
Gambar 12. Diagram pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan
kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap
kejernihan pasta dan freeze thaw stability ...................................... 44
viii
Gambar 13. Diagram pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan
kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap
daya cerna dengan enzim α-amilase ............................................... 47
Gambar 14. Diagram pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan
kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap
DP dengan enzim α-amilase........................................................... 47
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Diagram Alir Pembuatan Tepung Sukun dari Badan Litbang
Kehutanan ..................................................................................... 56
Lampiran 2. Karakterisasi Komposisi Kimia Tepung Sukun Alami dan
Pragelatinisasi ............................................................................... 57
Lampiran 3. Karakterisasi Sifat Fisik Tepung Sukun Alami dan Pragelatinisasi . 60
Lampiran 4. Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung Sukun Alami dan
Pragelatinisasi ............................................................................... 62
Lampiran 5. Data Hasil Pengamatan Karakterisasi Tepung sukun ...................... 68
Lampiran 6. Analisis sidik ragam(Rancangan Acak Kelompok) dan Uji Duncan 77
I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pertumbuhan penduduk Indonesia yang mengalami peningkatan 2,2
juta jiwa per tahun tersebut akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan
pangan. Namun, peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan pangan ini
tidak diikuti oleh peningkatan produksi beras. Produksi padi pada tahun 2010
diperkirakan 32,65 ton, sedangkan kebutuhan beras pada tahun tersebut 36,77
juta ton beras, sehingga terjadi kekurangan pasokan beras sekitar 4,12 juta ton
beras. Demikian pula untuk tahun 2015 dan 2020 diprediksi terjadi
kekurangan pasokan beras sebanyak 5,8 juta ton pada tahun 2015 dan
meningkat menjadi 7,49 juta ton beras pada tahun 2020 (Saragih, 2008).
Sektor pertanian memiliki peran strategis antara lain yaitu
menghasilkan bahan pangan bagi seluruh penduduk Indonesia. Seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk Indonesia, maka permintaan terhadap pangan
terutama beras, terus meningkat. Padahal sebagaimana dimaklumi upaya
peningkatan produksi beras di tanah air tidak mudah untuk dilakukan karena
sudah mengalami kejenuhan. Namun upaya pemenuhan kebutuhan pangan
harus terus dilakukan. Fakta menunjukkan bahwa pangan pokok penduduk
yang bertumpu pada satu sumber karbohidrat, melemahkan ketahanan pangan,
dan menghadapi kesulitan dalam pengadaannya. Pemerintah bekerjasama
dengan Departemen Kehutanan selama 4 tahun terakhir ini tengah
menggalakkan penanaman sejuta pohon untuk mengurangi resiko global
warming. Salah satu pohon yang dianjurkan untuk ditanam adalah pohon
sukun yang diharapkan selain dapat mengurangi resiko global warming juga
dapat membantu pemenuhan diversifikasi pangan di Indonesia.
Tanaman sukun dapat tumbuh baik di segala macam tanah juga dapat
tumbuh di dataran rendah, sedang hingga mencapai ± 600m/dpl (Pitojo, 1992).
Sukun dapat mulai berbuah pada umur 5 tahun hingga 50 tahun. Setiap kali
berbuah dapat menghasilkan 400 buah per pohonnya (Soeseno, 1977). Data ini
menunjukkan bahwa sukun potensial untuk dikembangkan.
2
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu diketahui bahwa dari setiap 100
g buah sukun segar mengandung 27,12 g karbohidrat, 108 kalori, 17 mg
kalsium, 29 mg vitamin-C, dan 490 mg kalium, sedangkan dari setiap 100 g
sukun tua yang diolah menjadi tepung bisa menghasilkan energi sebanyak 302
kalori dan karbohidrat 78,9 g. Dari kandungan kalori dan karbohidrat yang
dihasilkan mendekati kandungan yang dimiliki beras yaitu 360 kalori dengan
karbohidrat 78,9 g (FAO, 1972).
Ditengah kelangkaan pangan dewasa ini, maka sukun (Artocarpus
altilis (Parkinson) Fosberg) dapat merupakan alternatif sumber karbohidrat,
disamping itu salah satu komoditas buah yang mempunyai nilai ekonomis
cukup tinggi karena dapat dijual dalam bentuk segar maupun olahan sebagai
pangan alternatif pengganti beras. Pemanfaatan buah sukun sebagai bahan
makanan masih terbatas secara tradisional yaitu direbus, digoreng, dibuat
keripik, dibuat kolak, dan difermentasi jadi tape.
Salah satu kelemahan pati alami adalah ketidakmampuannya untuk
mengembang (swelling) dalam air dingin (Fleche, 1985). Hal ini
menyebabkan tidak dapat digunakan dalam beberapa aplikasi industri,
khususnya obat-obatan. Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah ini adalah dengan melakukan modifikasi pati secara fisik yaitu
dengan modifikasi pati pragelatinisasi. Keterbatasan pemanfaatan buah sukun
disebabkan kurangnya informasi tentang komoditi sukun, sehingga upaya
untuk meningkatkan daya guna sukun dan nilai ekonominya diperlukan usaha
penganekaragaman jenis produk olahan sukun.
1.2 TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji proses produksi tepung sukun
termodifikasi dengan mengamati pengaruh perbandingan konsentrasi tepung
dan kecepatan putar drum dryer terhadap karakteristik sifat fisiko kimia dan
fungsional dari tepung sukun pragelatinisasi yang dihasilkan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TANAMAN SUKUN
Tanaman sukun, Artocarpus altilis termasuk dalam genus Artocarpus,
famili Moraceae, ordo Urticales dan sub kelas Dycotyledone. Tanaman ini
tanaman tropik sejati yang tumbuh baik di daerah dataran rendah (Sturrock
(1940) di dalam Yohani (1995)). Tanaman sukun baik di daerah basah tetapi
masih dapat tumbuh di daerah yang kering serta aerasi tanah yang baik akan
menunjang pertumbuhannya (Terra (1952) di dalam Doni (2002)).
Berdasarkan FAO (1982), tanaman sukun dapat tumbuh dengan baik
pada curah hujan sekitar 1500-2500 mm dan suhu sekitar 21-35ºC. Menurut
Pitojo (1992), tanaman sukun dapat ditanam hampir di segala jenis tanah,
sehingga memiliki daerah penyebaran luas. Tumbuh dengan baik di dataran
rendah, dataran sedang hingga mencapai kurang lebih 600 m dpl.
Pengembangbiakan tanaman sukun dilakukan secara vegetatif. Metode
yang sering digunakan yaitu pembiakan dengan tunas akar. Akar dipotong
atau dimemarkan dan dibiarkan sampai tumbuh tunas. Selain dengan tunas
akar dapat pula dilakukan dengan cara cangkok, okulasi, dan stek (Pepenoe
(1920) di dalam Yohani (1995)). Tunas tanaman ini dapat diperoleh dengan
menyemaikan potongan akar yang telah direndam dulu dalam larutan asam
butirat yang mengandung indol satu persen (Chandler, 1958).
Ketinggian tanaman sukun dapat mencapai 15-20 m dengan diameter
pohon mencapai 0,60 m. Daun tanaman sukun bertulang tangan dengan
panjang 22,5-60,0 cm dan lebar 20,0-50,0 cm. Daun berbentuk tangan dengan
lekukan-lekukan yang dalam dan bergelombang. Pada satu helai daun terdapat
lima sampai Sembilan lekukan. Permukaan daun mengkilap dan bagian
bawahnya hijau suram serta berbulu-bulu halus (Allen, 1967).
Bunga tanaman sukun terdapat diantara daun pada pucuk cabang.
Bunga jantan dan betina terdapat dalam satu pohon. Sukun termasuk tanaman
berumah satu, penyerbukannya antara bunga jantan dan bunga betina akan
menghasilkan buah, tetapi buah sukun kebanyakan tidak berbiji, sehingga sulit
untuk mendapatkan bibitnya dari biji (Allen, 1967).
4
Pohon sukun mulai berbuah setelah berumur lima sampai tujuh tahun
dan akan terus berbuah sampai umur 50 tahun. Dalam usia lima tahun akan
diperoleh buah sukun sebanyak 400 buah per tahun (Soesono, 1977). Musim
panen sukun dua kali setahun. Panen raya bulan Januari-Februari dan panen
susulan pada bulan Juli-Agustus. Perubahan musim panen dipengaruhi oleh
musim penghujan (Pitojo, 1992).
2.2 BUAH SUKUN (Bread fruit)
Buah sukun berbentuk hampir bulat atau bulat panjang. Pada buah
yang telah matang diameternya dapat mencapai sampai 10 inci (19,24-25,4
cm) dan berat kurang lebih 4,54 kg. Kulit buah masih muda berwarna hijau
dan daging buah berwarna putih kekuningan (Allen, 1967). Buah sukun
termasuk golongan buah klimaterik. Puncak klimaterik dicapai dalam waktu
singkat karena proses respirasi yang berlangsung cepat. Pola respirasi buah
sukun sama dengan pola respirasi buah papaya, tetapi kecepatan respirasi buah
sukun lima kali lebih cepat (Thompson et al., 1974).
Gambar 1. Buah sukun
(www.wordpress.com)
Buah sukun yang terdiri dari kulit, daging (pulp), serta hati dan gagang
memiliki potensi sebagai sumber karbohidrat. Menurut Graham dan De Bravo
(1981), bagian daging merupakan bagian yang terbesar dari buah sukun (62,8-
73,9%). Komposisi kimia buah sukun yang dikemukakan oleh FAO (1972),
kandungan gizi dan mineral dalam 100 g sukun yaitu protein 2 g, lemak 0,3 g,
pati 28 g, kalsium 21 g, fosfor 59 mg, besi 0,4 mg, vitamin B1 0,12 mg, dan
5
vitamin C 17 mg. Bila dibandingkan dengan beras, maka sukun lebih unggul
dalam hal kandungan fosfor, kalsium, protein, vitamin B1 dan vitamin C.
Bagian hati buah sukun berintikan sel-sel parenchyma yang dikelilingi
oleh jaringan pembuluh xilem atau floem. Apabila buah dibelah, jaringan
pembuluh ini mudah berubah warna karena aktivitas enzim oksidatif,
sedangkan perubahan warna pada buah relatif sangat lambat (Reeve (1974) di
dalam Doni (2002)).
Menurut Graham dan De Bravo (1981), semua bagian dari buah sukun
(kulit, gagang, hati dan daging) dengan tingkat kematangan yang berbeda
mengandung nilai gizi yang berbeda. Kandungan protein bervariasi dari 4,6-
5,9% pada kulit, 6,0-7,6% pada hati dan gagang, dan 3,8-4,1% dalam daging
buah. Kandungan lemak kasar bervariasi dari 2,3-3,9% pada kulit, 1,6-4,6%
dalam hati gagang, dan 1,1-2,6% dalam daging.
Buah sukun yang sering digunakan untuk konsumsi yaitu buah yang
sudah matang. Penggunaan buah yang sudah matang memiliki beberapa
kendala, yaitu mudah terjadi pelunakan buah dalam waktu yang singkat,
sehingga tidak dapat dimakan. Hal ini disebabkan karena buah sukun yang
memiliki pola respirasi yang cepat (Thompson et al., 1974).
Suhu penyimpanan sukun yang tinggi (27ºC) menyebabkan buah akan
menjadi lunak dalam waktu yang lebih singkat bila dibandingkan suhu simpan
yang lebih rendah (12,5ºC). Akan tetapi proses pematangan pada suhu simpan
yang rendah akan berjalan secara tidak normal. Warna buah matang yang
berubah dari hijau kekuningan menjadi coklat buram (Thompson et al., 1974).
Konsumsi buah sukun umumnya dilakukan setelah digoreng, direbus
dan dibuat kripik. Di Maluku buah sukun sering dibakar utuh kemudian baru
dikupas dan dipotong-potong untuk dijadikan kolak. Buah sukun akan dapat
disimpan lama dalam bentuk kering seperti gaplek pada ubi atau dalam bentuk
tepung (Soeseno, 1977).
Cadangan pati buah sukun terdapat dalam sel perensima. Ukuran sel
ini berkisar antara 30-70 µm, sedangkan diameter granula pati kira-kira 10 µm
(Reeve (1974) di dalam Utami (2009)). Ukuran diameter pati ini lebih besar
6
dari pada pati beras. Kadar pati buah sukun sama dengan nilai pati ubi jalar
dan lebih besar dari pati kentang (Miller et al., 1936).
2.3 PRAGELATINISASI PATI
Ciptadi dan Machfud, (1990) menyatakan bahwa pati termodifikasi
dapat didefenisikan sebagai pati yang telah mengalami modifikasi baik secara
kimia, fisika, maupun enzimatik. Pati yang telah mengalami modifikasi
umumnya memiliki sifat fisik dan kimiawi yang lebih baik seperti peningkatan
tingkat kejernihan pasta, stabilitas, ketahanan terhadap retrogradasi dan
peningkatan freeze-thaw stability (Angboola et al., 1991).
Sifat fisik pati alami yang belum termodifikasi dan padatan koloid
yang terbuat dari pati alami pada pemanasan suspensinya menyebabkan
keterbatasan penggunaannya pada berbagai aplikasi komersial. Berdasarkan
aplikasi penggunaannya, kelemahan-kelemahan ini mencakup sifat mengalir
yang lemah atau ketidakmampuan granula pati mengikat air; viskositas yang
tidak terkontrol setelah pemasakan; kohesif atau tekstur yang seperti karet
pada pati yang telah dimasak seperti pada pati jagung, kentang dan tapioka;
sensitivitas pati yang telah dimasak untuk pecah/hancur selama pemasakan
lanjutan ketika diperlakukan dengan mechanical shear atau pH rendah;
kejernihan pasta yang rendah dan kecenderungan padatan pati yang disiapkan
dari jagung, gandum dan pati biji-bijian konvensional untuk menjadi buram
ketika didinginkan; dll. Modifikasi pati dikembangkan untuk mengatasi salah
satu atau lebih kelamahan-kelemahan tersebut sehingga dapat digunakan pada
beberapa aplikasi industri (Wurzburg, 1989).
Modifikasi pati pragelatinisasi yang telah mengalami pemasakan awal
dan dikeringkan dengan drum dryer menghasilkan produk yang dapat
terdispersi dalam air dingin untuk membentuk suspensi yang stabil (Hodge
dan Osman, 1976). Snyder (1984) menyatakan bahwa proses pengolahan pati
pragelatinisasi dengan alat drum dryer yaitu sebagai berikut: pati yang telah
dicampur air dengan kadar tertentu dimasukkan ke dalam ruang yang sangat
panas diantara drum dryer pada suhu tertentu di atas suhu gelatinisasi bahan.
Suspensi pati tersebut selanjutnya akan tergelatinisasi akibat pemasakan dan
7
secara simultan langsung dikeringkan. Tidak semua granula pati dalam proses
ini tergelatinisasi. Hal ini dikarenakan keterbatasan jumlah air yang
digunakan.
Anastasiades et al., (2002) menyatakan bahwa dua tahap utama dalam
proses modifikasi pati pragelatinisasi dengan drum dryer ialah gelatinisasi dan
pengeringan. Pada double drum dryer, gelatinisasi terjadi pada bagian tengah
diantara kedua drum. Pengeringan sebenarnya terjadi setelah bahan yang telah
tergelatinisasi melewati celah sempit diantara kedua drum dan membentuk
lapisan tipis pada permukaan drum.
Pengering drum digunakan untuk mengeringkan bahan dalam bentuk
bubuk atau larutan. Drum berputar pada sumbu horizontal dan dipanaskan
secara internal dengan uap air atau medium pemanas lain (Brennan, 1974).
Pengering drum bekerja berdasarkan prinsip pengering produk cair yang
dikenakan pada permukaan silinder yang berputar dengan kecepatan yang
diatur. Produk cair yang menempel pada silinder secara perlahan-lahan
berubah menjadi produk kering. Setelah mencapai ¾ putaran, produk kering
tersebut dikikis dengan pisau pengikis sehingga terpisah dalam bentuk lapisan
film (Arsdel dan Copley, 1964).
Secara umum ada dua tipe alat pengering drum yang digunakan dalam
industri pangan, yaitu drum tunggal dan drum ganda. Pada drum tunggal
pembentukan film dilakukan dengan mencelupkan drum pada bubur atau
larutan. Sedangkan pada drum ganda produk dimasukkan di bagian atas pada
bagian antara dua drum yang puncaknya paralel. Ketebalan film yang
dihasilkan diatur dengan mengatur jarak antara kedua drum. Bahan yang akan
dikeringkan harus dalam bentuk cairan pekat (Heldman dan Singh, 1981).
Faktor utama yang mempengaruhi mutu produk kering hasil
pengeringan silinder antara lain uap. Uap merupakan media penghantar panas
yang biasa digunakan dalam proses penggilingan silinder, yaitu untuk
penyediaan panas ke permukaan silinder (Doni, 2002).
Keuntungan penggunaan alat-alat pengering drum ini adalah kecepatan
pengeringan yang tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis, dapat
memperbaiki daya cerna, mempengaruhi sanitasi dan mengawetkan.
8
Kelemahannya adalah hanya dapat digunakan pada bahan pangan yang
berbentuk bubur atau pasta dan bahan pangan yang tahan suhu tinggi dalam
waktu singkat (Brennan, 1974).
III. METODE PENELITIAN
3.1 BAHAN DAN ALAT
3.1.1 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung
sukun, dan air distilata. Tepung sukun yang digunakan diperoleh dari
Badan Litbang Kehutanan, dihasilkan dari buah sukun mengkal yang
dipanen 10 hari sebelum tingkat ketuaan optimum dan untuk pembuatan
tepung disajikan pada Lampiran 1. Bahan-bahan yang digunakan untuk
analisis adalah H2SO4 pekat, katalis (CuSO4 dan Na2SO4), akuades,
NaOH, NaN3, pelarut organik (heksan), etanol 95%, larutan Iod, indikator
(kanji, PP, mengsel (campuran metil merah 0,02% dalam alkohol dan
metil biru 0,02% dalam alkohol (2:1)), akuades, HCl, NaOH, α-amilase.
3.1.2 Alat
Peralatan utama yang digunakan untuk membuat pati
pregelatinisasi pada penelitian ini adalah drum dryer dengan tipe double
drum serta memiliki ukuran diameter dan panjang drum berturut-turut
sebesar 12 dan 8 inci serta panas permukaan 80±5 C. Alat-alat yang
digunakan dalam penelitian ini adalah desikator, oven, cawan porselen,
cawan aluminium, cawan petri, termometer, ukur, gelas piala, pengaduk,
erlenmeyer, pipet volumetrik, timbangan digital, mikroskop cahaya
terpolarisasi, mikroskop cahaya biasa, stopwatch, alat destilasi,
saringan/ayakan, kertas saring, tabung reaksi, spektofotometer,
micrometer, pemanas bunsen, tanur, labu Kjedahl, alat destilasi, otoklaf,
penangas air, alat soxhlet, Brookfield Viscometer, Brabender
Viscoamylograph, freezer, incubator shaker dan pendingin tegak.
10
3.2 PROSEDUR PENELITIAN
3.2.1 Karakterisasi Tepung Sukun Alami
a. Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia dan Mutu Tepung sukun
Karakterisasi sifat fisiko-kimia tepung sukun meliputi bentuk dan
ukuran granula pati, pengamatan sifat birefringence pati, analisis
proksimat (kadar air, abu, protein, lemak, serat kasar dan karbohidrat by
difference), kadar pati, derajat putih, bentuk dan ukuran granula. Prosedur
analisis disajikan pada Lampiran 2 dan 3.
b. Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung sukun
Pengamatan terhadap sifat fungsional meliputi sifat amilograf
(suhu gelatinisasi, maksimum viskositas, breakdown dan set up viscosity
serta viskositas akhir), solubilitas/kelarutan pada suhu 30 dan 70°C dan
swelling power, kejernihan pasta, freez-thaw stability dan apparent
viscosity. Sifat digestibilitas/resistensi pati diukur dengan menggunakan
enzim α-amilase (daya cerna dan derajat polimerisasi). Prosedur analisis
disajikan pada Lampiran 4.
3.2.2 Produksi Tepung Sukun Pragelatinisasi
Sukun dan air dicampurkan dengan konsentrasi padatan 20% dan
30%. Campuran pati ini kemudian dipanaskan dan dikeringkan dengan
menggunakan alat drum dryer pada suhu diatas suhu gelatinisasinya. Pada
proses pemanasan dan pengeringan ini memakai suhu berkisar 80±5ºC
(Endahsari, 1999). Setelah pemanasan dan pengeringan ini selesai
dilanjutkan dengan penggilingan dengan hammer mill. Diagram alir dapat
dilihat pada Gambar 2.
3.2.3 Karakterisasi Tepung Sukun Pragelatinisasi
a. Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia dan Mutu Tepung sukun
Karakterisasi sifat fisiko-kimia tepung sukun meliputi bentuk dan
ukuran granula pati, pengamatan sifat birefringence pati, analisis
proksimat (kadar air, abu, protein, lemak, serat kasar dan karbohidrat by
difference), kadar pati, derajat putih, bentuk dan ukuran granula. Prosedur
analisis disajikan pada Lampiran 2 dan 3.
11
b. Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung sukun
Pengamatan terhadap sifat fungsional meliputi sifat amilograf
(suhu gelatinisasi, maksimum viskositas, breakdown dan set up viscosity
serta viskositas akhir), solubilitas/kelarutan pada suhu 30 dan 70°C dan
swelling power, kejernihan pasta, freez-thaw stability dan apparent
viscosity, Sifat digestibilitas/resistensi pati diukur dengan menggunakan
enzim α-amilase (daya cerna dan derajat polimerisasi). Prosedur analisis
disajikan pada Lampiran 4.
Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan tepung sukun pragelatinisasi
500g Tepung
Sukun alami
Pencampuran Bahan
(konsentrasi padatan 20%, 30%)
Pemanasan dan Pengeringan dengan Drum
Dryer (Suhu 80±5ºC)
Kecepatan putar drum 4,6,dan 8 rpm
Penggilingan dengan Hammer Mill lolos
saring 60 mesh
Air
distilata
Tepung Sukun
Pragelatinisasi
12
3.3 RANCANGAN PERCOBAAN
Karakterisasi tepung sukun disebabkan oleh pengaruh perbedaan
konsentrasi padatan dan perbedaan putaran drum dryer (rotation per
minute/rpm). Konsentrasi padatan yang digunakan adalah 20% dan 30%,
untuk kecepatan putar drum drum yang digunakan adalah 4, 6, dan 8 rpm.
Jenis sumber keragaman ini yang menitik beratkan rancangan percobaan yang
digunakan adalah rancangan percobaan acak lengkap faktorial. Menurut
Walpole (1993), percobaan acak lengkap faktorial perlakuannya merupakan
semua kemungkinan kombinasi dua kriteria dan bahan percobaannya cukup
tersedia untuk satu atau lebih untuk perlakuan tersebut. Pada penelitian ini
(data penelitian dapat dilihat pada Lampiran 5), ada 6 kombinasi yang
mungkin dari 2 jenis konsentrasi padatan dan 3 jenis kecepatan putar drum
drum dan memiliki 2 kali ulangan untuk setiap perlakuan. Model persamaan
untuk semua kemungkinan kombinasi dua kriteria adalah sebagai berikut:
Yijm = µ + Ai + Rj +(AR)ij+ єm(ij)
Keterangan:
Yijm = Nilai pengamatan untuk konsentrasi (A) ke-i dan kecepatan putar
drum drum ke-j serta ulangan ke-m
µ = Rataan
Ai = Pengaruh ke-i untuk perbedaan konsentrasi
Rj = Pengaruh ke-j untuk perbedaan kecepatan putar drum drum
ARij = Interaksi antara pengaruh perbedaan konsentrasi ke-i dan
perbedaan kecepatan putaran drum ke-j
єm(ij) = galat/kesalahan percobaan (m=1,2 untuk semua i,j)
Keterangan faktor konsentrasi padatan (i=1 dan 2):
A1 : Konsentrasi padatan sebanyak 20%
A2 : Konsentrasi padatan sebanyak 30%
13
Keterangan faktor kecepatan putar drum drum ( j=1, 2, dan 3):
R1 : Kecepatan putar drum drum sebanyak 4 rpm
R2 : Kecepatan putar drum drum sebanyak 6 rpm
R3 : Kecepatan putar drum drum sebanyak 8 rpm
Setelah dilihat dari analisis varian jika ditemukan data yang berbeda nyata
maka dilanjutkan dengan Uji Duncan karena uji ini memiliki nilai kritis
yang tidak tunggal tetapi mengikuti urutan rata-rata yang dibandingkan
(Nawari, 2010). Untuk ANOVA dan uji lanjut Duncan disajikan pada
Lampiran 6.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 PRODUKSI TEPUNG SUKUN PRAGELATINISASI
Tanaman sukun berasal dari daerah New Guinea Pasifik yang
kemudian dikembangkan di daerah Malaysia sampai ke Indonesia. Buah
sukun berbentuk bulat agak lonjong seperti buah melon. Warna kulit buah
hijau muda sampai kuning kecoklatan. Ketebalan kulit berkisar antara 1-2
mm. Buah muda permukaan kulit buahnya kasar dan menjadi halus setelah
buah tua. Tekstur buah saat mentah keras, dan menjadi lunak-masir setelah
matang. Daging buah berwarna putih, putih kekuningan dan kuning,
tergantung jenisnya. Rasa buahnya saat mentah agak manis dan manis
setelah matang, dengan aroma spesifik. Ukuran berat buah dapat mencapai 4
kg. Panjang tangkai buah (pedicel), berkisar antara 2,5-12,5 cm tergantung
varietas.
Produksi buah sukun dapat mencapai 50-150 buah/tanaman.
Produktivitas tanaman tergantung daerah dan iklimnya. Paling sedikit setiap
tanaman dapat menghasilkan 25 buah dengan rata-rata 200-300 buah per
musim. Untuk setiap hektar lahan dapat menghasilkan buah sukun
sebanyak 16-32 ton. Budidaya tanaman sukun secara monokultur jarang
dilakukan. Umumnya pohon sukun ditanam sebagai tanaman pinggiran,
untuk penghalang angin, atau kadang – kadang sebagai pelindung tanaman
kopi. Musim panen sukun biasanya dua kali setahun, yaitu bulan Januari –
Pebruari dan Juli – September (Widowati, 2003).
Berdasarkan kadar karbohidrat yang cukup tinggi (27,12%), buah
sukun berpeluang untuk diolah menjadi tepung. Pemanfaatan tepung sukun
menjadi makanan olahan dapat mensubtitusi penggunaan terigu sampai 50
hingga 100% tergantung jenis produknya.
Pada umumnya umbi-umbian dan buah-buahan mudah mengalami
pencoklatan setelah dikupas. Hal ini disebabkan oksidasi dengan udara
sehingga terbentuk reaksi pencoklatan oleh pengaruh enzim yang terdapat
dalam bahan pangan tersebut (browning enzymatic). Pencoklatan karena
15
enzim merupakan reaksi antara oksigen dan suatu senyawa phenol yang
dikatalisis oleh polyphenol oksidase. Terjadinya reaksi pencoklatan ini
diperkirakan melibatkan perubahan dari bentuk kuinol menjadi kuinon
(Winarno, 2002).
Kendala dalam pembuatan tepung sukun ialah terjadinya warna
coklat saat diproses menjadi tepung. Untuk menghindari terbentuknya warna
coklat pada tepung yang dihasilkan, usahakan sesedikit mungkin terjadinya
kontak antara bahan dengan udara. Caranya yaitu dengan merendam buah
yang telah dikupas dalam air bersih, dan menonaktifkan enzim dengan cara
diblansir atau direndam dalam larutan garam 1%. Lama pengkukusan
tergantung sedikit banyaknya bahan, berkisar antara 10-20 menit. Tingkat
ketuaan buah juga sangat berperan terhadap warna tepung yang dihasilkan.
Buah yang muda menghasilkan tepung sukun berwarna putih kecoklatan.
Semakin tua buah semakin putih warna tepungnya. Buah sukun yang baik
untuk diolah menjadi tepung adalah buah mengkal yang dipanen 10 hari
sebelum tingkat ketuaan optimum (Widowati et al., 2001).
Bobot kotor buah sukun berkisar antara 1200-2500 g, rendemen
daging buah 81,21%. Dari total berat daging buah setelah disawut dan
dikeringkan menghasilkan rendemen sawut kering sebanyak 11-20% dan
menghasilkan rendemen tepung sebesar 10-18%, tergantung tingkat ketuaan
dan jenis sukun. Pengeringan sawut sukun menggunakan alat pengering
sederhana berkisar antara 5-6 jam dengan suhu pengeringan 55-60oC. Bila
pengeringan dengan sinar matahari lama pengeringan tergantung cuaca.
Pada udara yang cerah, lama pengeringan sekitar 1 - 2 hari.
Buah sukun mengandung air dalam jumlah yang sangat besar sekitar
80% pada buah segar (Tabel 1), apalagi dengan sifatnya sebagai buah
klimaterik sehingga mudah sekali rusak. Oleh karena itu, buah sukun
disimpan dalam bentuk dikeringkan. Menurut Peters and Wills (1959), sukun
yang sudah dikeringkan dapat disimpan selama satu tahun tanpa mengalami
kerusakan. Coenen dan Barrau (1961) menambahkan, pengawetan buah
sukun dengan cara penjemuran dalam bentuk sheet dapat tahan lebih dari
tiga tahun. Pengawetan cara ini dilakukan oleh orang Mikronesia. Buah
16
berbentuk sheet yang telah kering berwarna coklat, biasanya disebut “tipak”.
Komposisi kimia buah sukun kering, basah dan hasil analisis dapat dilihat
pada Tabel 1.
Kadar air suatu bahan penting untuk diketahui. Menurut Lyne (1976),
kadar air yang tinggi akan memudahkan tumbuhnya kapang (jamur) serta
mikroorganisme lainnya dan hal ini juga mempengaruhi sifat kelarutan pati
dalam air. Winarno (2002) menyatakan bahwa kandungan air dalam bahan
makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan
tersebut.
Tabel 1. Komposisi kimia buah segar, kering dan tepung sukun alami
Komposisi Kimia Tepung Sukun
Alami (Bahan Baku)
Buah Segar
(%) *)
Buah
Kering
(%) *)
Air (% bb) 3.5373 80,00 8,00
Abu (% bk) 0,4288 0,80 4,20
Protein (% bk) 5,0278 0,12 4,70
Lemak (% bk) 3,6708 0,50 2,10
Serat kasar (% bk
dan defatted) 5,0440 6,52 8,43
Karbohidrat (by
difference) (% bk) 82,2865 - -
Pati (%bk) 31,6 12,00 72,00 *)
Peters and Wills (1959)
Abu merupakan zat organik sisa pembakaran suatu bahan organik.
Semakin tinggi kadar abu mencerminkan kualitas yang semakin tidak baik,
karena dalam kandungan nutrisi tepung tersebut banyak terdapat mineral-
mineral anorganik. Analisa kadar abu dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa tepung yang digunakan baik kualitasnya karena kadar abunya kecil
yang berarti kandungan mineral anorganiknya kecil.
Kadar protein tepung sukun alami seperti terdapat pada Tabel 1 yaitu
5,0278% (bk). Kadar protein pada buah kering sekitar 4,2%. Kadar protein
tepung sukun alami yang cukup tinggi membuat tepung sukun alami cocok
untuk panganan. Dibandingkan dengan beras, buah sukun mengandung
17
mineral dan vitamin lebih lengkap tetapi nilai kalorinya rendah, sehingga
dapat digunakan untuk makanan diet (Widowati, 2003).
Keberadaan lemak dalam berbagai jenis pati mempengaruhi sifat
fisiknya. Lemak membentuk senyawa kompleks dengan amilosa dalam
granula pati. Fraksi linier amilosa membentuk heliks yang mengikat substansi
polar lemak. Senyawa kompleks amilosa dan lemak tidak larut dalam air
namun dapat dipisahkan dengan pemanasan pada suhu tertentu. Senyawa ini
cenderung menghambat granula pati untuk larut dan mengembang dalam air.
Keberadaan lemak juga menimbulkan masalah yaitu kecenderungannya
berbau tengik dalam penyimpanan (Swinkles, 1985). Kadar lemak yang
terlihat pada hasil analisis lebih besar daripada buah kering, Hal ini dapat
disebabkan oleh gum atau getah yang ada pada sukun ikut terbaca sebagai
lemak. Kadar serat kasar yang dikandung dari tepung sukun pragelatinisasi
hampir sama dengan buah kering. Perhitungan kadar serat kasar ini dikurangi
dengan kadar air dan juga kadar lemak. Kadar serat yang dimiliki tepung
sukun alami sekitar 8,5861 (%bk dan defatted).
Pengukuran nilai karbohidrat ini diperoleh dari perhitungan
carbohydrate by difference yaitu penentuan karbohidrat dalam bahan makanan
secara kasar dengan cara mengurangi nilai 100% terhadap nilai kadar air, abu,
serat kasar, lemak dan protein. Kadar karbohidrat pada tepung sukun alami
mencapai 82,2865 (%bk).
Pati merupakan komponen utama dalam tepung. Kadar pati merupakan
salah satu kriteria penting dalam bahan pangan maupun non-pangan. Pati
secara khusus merupakan sumber kalori utama bagi hampir seluruh penduduk
dunia dan khususnya negara sedang berkembang. Kadar pati tepung sukun
alami adalah sebesar 31,6 %. Pati terdiri dari fraksi amilosa dan amilopektin.
Modifikasi ini dilakukan untuk membuat suatu produk pati atau tepung
yang dapat mengurangi kelemahan dari tepung atau pati alaminya. Salah satu
kelemahan yang ingin dikurangi adalah ketidaklarutan dalam air dingin, yang
dengan adanya modifikasi ini diharapkan tepung tersebut dapat larut dan
mengembang (swelling) dalam air dingin. Karakteristik yang seperti ini sangat
18
penting bagi industri pengguna pati yang tidak memiliki peralatan pemasakan
yang baik (Jarowenko, 1989).
Proses produksi pembuatan tepung pragelatinisasi ini dibagi ke dalam
tiga tahapan, yaitu persiapan bahan, proses pemasakan dan pengeringan, dan
yang terakhir proses penggilingan. Proses produksi ini harus dilakukan secara
bertahap agar hasil yang diinginkan dapat diperoleh. Proses pembuatan tepung
sukun pragelatinisasi ini dibuat dengan menggunakan pengering drum dryer
tipe double drum dan dengan ukuran diameter dan panjang berturut-turut
adalah 12 dan 8 inci. Permukaan drum terbuat dari bahan logam stainless
steel.
Tahapan persiapan bahan dilakukan dengan mencampurkan air
distilata dengan tepung sukun alami dengan formulasi tertentu dalam bentuk
suspensi. Formulasi yang digunakan adalah 20% dan 30% total padatan.
Formulasi ini diharapkan dapat memaksimalkan proses pengeringan. Hasil
dari proses ini akan didapatkan tepung sukun pragelatinisasi yang
karakteristiknya diinginkan oleh konsumen. Menurut Winarno (2002),
konsentrasi terbaik untuk membuat larutan gel adalah 20%; makin tinggi
konsentrasi, gel yang terbentuk makin kurang kental dan setelah beberapa
waktu viskositas akan turun.
Tahapan yang kedua merupakan tahapan paling utama dalam
penelitian ini. Tahapan ini meliputi proses pemanasan dan pengeringan pada
suhu diatas suhu gelatinisasi tepung sukun alami (80±5 C). Tahapan ini
dilakukan dengan menuangkan suspensi tepung dan air secara perlahan,
kemudian suspensi dipanaskan dan dilanjutkan dengan proses pengeringan
pada permukaan drum dryer. Kecepatan drum dryer diatur sebesar 4, 6, dan 8
rpm. Kecepatan ini akan mempengaruhi produk akhir hasil pengeringan.
Setelah itu pati atau tepung yang mengalami pengeringan akan dipotong
menggunakan slicer (pisau pemotong) yang terdapat pada alat drum dryer.
Menurut Ariwibowo (2006), semakin lambat putaran drum akan menghasilkan
pati yang semakin banyak tergelatinisasi. Hasil dari tahapan ini didapatkan
lembaran tepung pragelatinisasi dalam bentuk film, tebal dan tidak beraturan
dimensinya.
19
Tahapan yang terakhir adalah penggilingan. Penggilingan ini
menggunakan hammer mill dengan ukuran penyaring sebesar 60 mesh. Hal ini
disebabkan karena hasil dari pengeringan tidak rata. Tujuan dari penggilingan
ini adalah menyeragamkan dan memperkecil ukuran agar mempermudah
proses analisis dan mempermudah penyimpanan.
Perbedaan konsentrasi padatan pada penelitian ini mempengaruhi
penampilan tepung sukun pragelatinisasi. Perlakuan A1 dengan konsentrasi
padatan 20%, yang penambahan airnya lebih banyak menghasilkan lembaran
produk yang mudah hancur dan tipis. Perlakuan A2 dengan konsentrasi
padatan 30% yang penambahan airnya lebih sedikit menghasilkan lembaran
yang lebih tebal, relatif lebih kuat dan warnanya lebih buram daripada
perlakuan A1. Hasil dari data ini menunjukkan bahwa penambahan air yang
lebih banyak akan membuat kemungkinan granula pati yang tergelatinisasi di
atas suhu gelatinisasi bahan lebih besar.
Selain konsentrasi, kecepatan juga mempengaruhi tampilan lembaran
tepung pragelatinisasi. Semakin cepat putaran drum maka produk yang
dihasilkan lebih cerah. Hal ini terlihat pada putaran tercepat (8 rpm) lebih
cerah daripada putaran drum terkecil (4 rpm) yang warnanya lebih gelap.
Pengamatan ini menunjukkan semakin lambat putaran drum maka kontak
bahan dengan drum semakin lama sehingga tepung atau pati yang
tergelatinisasi semakin banyak yang menyebabkan warna berubah menjadi
kecoklatan. Hal ini juga mungkin disebabkan oleh adanya pemanasan terhadap
gula-gula sederhana yang mengalami reaksi Maillard.
Tabel 2. Kadar air tepung setelah proses pragelatinisasi
Perlakuan Kadar air Awal Proses
A1R1 3,75
A1R2 2,38
A1R3 3,21
A2R1 2,75
A2R2 3,00
A2R3 3,39 Keterangan : A (Konsentrasi padatan yaitu A1 : 20% dan A2 : 30%)
R (Kecepatan kecepatan putar drum drum yaitu R1 : 4 rpm, R2 : 6
rpm, dan R3 : 8 rpm)
20
Kadar air setelah proses harus segera diukur karena ingin mengetahui
apakah ada perbedaan kadar air sebelum atau sesudah proses dengan
perbedaan konsentrasi padatan dan kecepatan putar drum. Data pada Tabel 2
menunjukkan bahwa penambahan air yang banyak akan menghasilkan kadar
air yang tinggi. Perlakuan dengan konsentrasi padatan terbanyak
memperlihatkan adanya pengaruh kecepatan kecepatan putar drum drum pada
kadar air bahan tersebut. Semakin cepat putaran semakin tinggi kadar airnya.
Hal ini disebabkan oleh semakin kecil putaran maka kontak bahan dengan
drum akan semakin lama, sehingga membuat lebih banyak air yang diuapkan,
sedangkan pada konsentrasi padatan 20% terlihat bahwa kecepatan putar drum
drum 6 rpm memiliki kadar air yang paling kecil. Kecilnya kadar air ini
kemungkinan terjadi karena pada perlakuan ini merupakan kombinasi yang
paling baik untuk kadar air dimana banyaknya air yang ditambahkan dan
kontak bahan dengan drum sudah pada kondisi yang optimal. Kecepatan putar
drum 4 dan 8 rpm memiliki kadar air yang lebih tinggi karena pada kecepatan
putar drum ini telah mengalami pragelatinisasi sehingga produk cenderung
lebih higroskopis. Dari hasil uji sidik ragam pada Lampiran 6 terlihat bahwa
kecepatan putar drum dan konsentrasi tidak berbeda nyata terhadap kadar air.
4.2 KARAKTERISTIK TEPUNG SUKUN PRAGELATINISASI
4.2.1 Komposisi Kimia Tepung Sukun Pragelatinisasi
Analisa yang digunakan untuk komposisi kimia tepung sukun
pragelatinisasi ini meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar
lemak, serat kasar dan karbohidrat (by difference). Analisa ini bertujuan
untuk mengetahui adanya perubahan komposisi kimia yang terjadi setelah
proses pembuatan tepung pragelatinisasi ini. Ciptadi dan Machfud (1980)
menyatakan bahwa pati termodifikasi dapat didefinisikan sebagai pati
yang telah mengalami modifikasi baik secara kimia, fisika, maupun
enzimatik. Tepung sukun pragelatinisasi yang terdapat dalam penelitian ini
adalah tepung modifikasi yang mengalami modifikasi secara fisika.
21
Tabel 3. Komposisi kimia tepung sukun alami dan pragelatinisasi
Perlakuan
Komposisi kimia
Air
(%)
Abu
(% bk)
Protein
(% bk)
Lemak
(% bk)
Serat
kasar (%
bk dan
defatted)
Karbohidrat
(by
difference)
(% bk)
A0R0 3,537 0,429 5,028 3,671 5,044 82,286
A1R1 2,237 0,332 3,694 1,004 11,037 82,953
A1R2 1,876 0,402 4,060 2,249 8,536 82,547
A1R3 2,721 0,387 3,977 2,576 8,060 82,493
A2R1 2,438 0,384 4,824 2,070 10,200 80,501
A2R2 2,048 0,382 4,019 2,789 10,613 79,464
A2R3 2,844 0,510 4,315 2,494 4,879 85,377 Keterangan : A (Konsentrasi padatan yaitu A1 : 20% dan A2 : 30%)
R (Kecepatan kecepatan putar drum drum yaitu R1 : 4 rpm, R2 : 6 rpm, dan R3 : 8
rpm)
Kadar air dalam suatu bahan akan mempengaruhi umur simpan
bahan tersebut. Semakin tinggi kadar air suatu bahan maka kemungkinan
bahan itu rusak dan tidak tahan lama akan lebih besar. Kadar air pada pati
dipengaruhi oleh proses pengeringan. Proses pengeringan yang maksimal
tanpa merusak struktur pati akan menghasilkan pati yang tahan lama.
Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air sampai batas tertentu
sehingga pertumbuhan mikroba dan aktifitas enzim penyebab kerusakan
dapat dihambat. Batas kadar air minimum bahan dimana mikroba masih
dapat tumbuh adalah 11-14% (Fardiaz, 1989). Masa simpan tepung terigu
pada kadar air di bawah 14% adalah satu tahun. Kadar air tepung sukun
pragelatinisasi yang dihasilkan lebih kecil dari terigu sehingga diharapkan
tepung sukun pragelatinisasi memiliki umur simpan lebih dari satu tahun.
Terlihat pada Tabel 3 bahwa kadar air pada pati pragelatinisasi cenderung
lebih sedikit kadar airnya daripada kadar air tepung sukun alami. Hal ini
menunjukkan bahwa tepung sukun pragelatinisasi ini akan dapat disimpan
lebih lama daripada tepung sukun alami.
Kadar air pada tepung sukun pragelatinisasi ini juga dipengaruhi
oleh kecepatan putar drum dan banyaknya konsentrasi padatan. Semakin
banyak air yang ditambahkan maka semakin banyak pula air yang hilang
pada proses pengeringan. Konsentrasi padatan 30% dengan jumlah
22
penambahan air lebih sedikit yaitu 70% memiliki kadar air yang lebih
tinggi. Hal ini disebabkan karena suspensi tersebut terlalu pekat sehingga
air yang diuapkan (dikeringkan) lebih sedikit. Berbeda halnya dengan
konsentrasi padatan 20% yang penambahan airnya 80% menguapkan air
lebih banyak sehingga hasil akhir yang didapat setelah pengeringan kadar
air yang dihasilkan lebih sedikit daripada konsentrasi padatan 30%. Hal ini
disebabkan karena pada saat pengeringan air yang berada dalam bahan
keluar hingga mencapai titik keseimbangannya.
Ketiga kecepatan putar drum ini memiliki perbedaan pada hasil
akhir kadar airnya. Kadar air pada 6 rpm adalah kadar air yang paling
sedikit dari antara ketiganya. Hal ini kemungkinan disebabkan pada
kecepatan 6 rpm adalah kecepatan optimal dimana air sudah teruapkan
dengan sempurna. Pada kecepatan 8 rpm terlihat bahwa kadar airnya
paling tiggi diantara ketiga kecepatan putar drum tersebut. Hal ini
disebabkan karena semakin cepat drum berputar maka semakin sedikit
peluang bahan kontak dengan drum sehingga kadar airnya lebih banyak.
Kadar abu menunjukkan kandungan mineral yang dimiliki suatu
bahan. Abu merupakan residu organik dari pembakaran bahan-bahan
organik setelah bahan dipanaskan pada suhu 500-600 °C yang biasanya
mengandung magnesium, kalsium, natrium, klor, fosfor, besi, mangan dan
lain-lain. Abu umumnya merupakan partikel halus dan berwarna putih
abu-abu (Sudarmadji et al., 1996). Makin tinggi kadar abu suatu bahan
maka semakin tinggi kandungan mineral yang dimiliki bahan tersebut
sehingga dapat menentukan nilai gizi. Kadar abu juga dapat berasal dari
kontaminasi lingkungan.
Pada saat bahan ditanur atau dibakar, mineral yang terkandung di
dalamnya tidak ikut terbakar. Kadar abu adalah komponen yang tidak
mudah menguap, tetap tinggal dalam pembakaran dan pemijaran senyawa
organik. Menurut Soebito (1988), secara kuantitatif nilai kadar abu yang
dihasilkan berasal dari mineral abu dalam bahan umbi segar, pemakaian
pupuk dan dapat juga berasal dari kontaminasi tanah dan udara selama
pengolahan. Dari uji sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa tidak
23
ada pengaruh perbedaan konsentrasi dan kecepatan putar drum terhadap
kadar abu. Hal ini disebabkan karena suhu pengeringan 80±5°C tidak
menghilangkan residu anorganik seperti kalsium, natrium, klor, fosfor,
besi, mangan dan lain-lain. Residu anorganik ini bahkan tidak hilang jika
dipanaskan pada suhu pembakaran 500 C.
Protein termasuk ke dalam komponen minor pati. Kadar protein
diperoleh dari hasil analisis kandungan nitrogen yang terdapat pada bahan.
Kadar protein tertinggi diperoleh dari kombinasi A2R1 (konsentrasi
padatan 30% dan kecepatan putar drum 4 rpm) dan yang terendah
didapatkan dari kombinasi A1R1 (konsentrasi padatan 20% dan kecepatan
putar drum 4 rpm). Hasil dari data ini menunjukkan adanya pengaruh yang
signifikan terhadap penambahan air dalam suatu bahan. Semakin banyak
air yang ditambahkan semakin banyak protein yang larut dalam air
sehingga menyebabkan kerusakan protein. Pada kecepatan putar drum 4
rpm kemungkingan yang terjadi adalah kontak bahan dengan drum yang
terlalu lama dan juga penambahan air yang 80% menyebabkan protein-
protein pada tepung sukun terdenaturasi sehingga mengalami kerusakan
hingga dibawah nilai protein tepung sukun alami. Tingginya nilai protein
tepung sukun alami karena belum adanya perlakuan panas yang
menyebabkan protein terdenaturasi (kerusakan protein). Hasil dari uji sidik
ragam (Lampiran 6) menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan
terhadap nilai protein akibat penambahan air. Konsentrasi A2 (30%)
berbeda nyata dengan konsentrasi A1(20%) dengan rataan berturut-turut
adalah 4,3863 dan 3,9102.
Protein sering mengalami perubahan sifat setelah mengalami
perlakuan tertentu, meskipun sangat sedikit ataupun ringan dan belum
menyebabkan terjadinya pemecahan ikatan kovalen atau peptida,
perubahan inilah yang dinamakan dengan denaturasi protein. Denaturasi
protein dapat terjadi dengan berbagai macam perlakuan, antara lain dengan
perlakuan panas, pH, garam, dan tegangan permukaan. Laju denaturasi
protein dapat mencapai 600 kali untuk tiap kenaikan 10 C. Suhu terjadinya
24
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
Kadar Protein
Kadar Lemak
denaturasi sebagian besar terjadi berkisar 55-75 C
(http://kusmandanuunindra4.blogspot.com).
Gambar 3. Diagram pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%)
dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8
rpm) terhadap kandungan protein dan lemak tepung sukun
pragelatinisasi
Kandungan lemak dalam pati dapat mengganggu proses
gelatinisasi karena lemak mampu membentuk kompleks dengan amilosa
sehingga menghambat keluarnya amilosa dari granula pati. Selain
membentuk kompleks dengan amilosa, lemak juga dapat menghambat
proses gelatinisasi pati dengan cara lain, yaitu sebagian besar lemak akan
diabsorbsi oleh permukaan granula sehingga terbentuk lapisan lemak yang
bersifat hidrofobik di sekeliling granula. Lapisan lemak tersebut akan
menghambat pengikatan air oleh granula pati. Hal ini akan menyebabkan
kekentalan dan kelekatan pati berkurang akibat jumlah air berkurang untuk
terjadinya pengembangan granula pati (Collinson, 1968).
Kadar lemak pada sukun ini tergolong tinggi. Hal ini disebabkan
oleh tanaman sukun yang memiliki getah. Adanya getah ini dibaca sebagai
bahan yang terekstraksi oleh pelarut organik saat pengujian sehingga hasil
lemaknya sangat tinggi. Menurut analisis sidik ragam (α=0,05) pada
Lampiran 6, perbedaan perlakuan konsentrasi padatan, kecepatan putar
drum dan juga interaksi keduanya memiliki pengaruh yang nyata terhadap
kadar lemak.
25
Kadar lemak tertinggi terlihat pada A2R2 (penambahan air 70%
dan kecepatan kecepatan putar drum 6 rpm) sebesar 2,7894 (%bk).
Tingginya kadar lemak ini disebabkan karena tingginya padatan atau
larutan yang terbentuk lebih pekat dari kombinasi yang lain. Kepadatan
larutan tersebut membuat tidak semua lemak ikut rusak (misalnya
membuat lemak teroksidasi). Selain itu, kontak bahan dengan drum juga
tidak terlalu lama sehingga membuat tingginya kadar lemak pada tepung
dengan kombinasi perlakuan ini. Kadar lemak terendah terlihat pada A1R1
(penambahan air 80% dan kecepatan kecepatan putar drum 4 rpm).
Rendahnya kadar lemak ini disebabkan oleh lamanya kontak bahan
dengan drum dan juga penambahan air yang menyebabkan teroksidasinya
lemak akibat perlakuan panas yang diterima dari drum. Hasil dari
penelitian ini mengindikasikan bahwa semakin banyak penambahan air
maka semakin sedikit kandungan lemaknya dan semakin lama putaran
akan menyebabkan semakin sedikit kandungan lemaknya. Interaksi dari
kecepatan putar drum dan penambahan air terbaik untuk kandungan lemak
tertinggi adalah A2R2 dengan rataan sebesar 2,7894 dan yang terkecil
adalah A1R1 dengan rataan sebesar 1,0035. Kecepatan putaran drum R3
(8 rpm) dan R2 (6rpm) berbeda nyata dengan R1 (4 rpm). Konsentrasi
pada uji Duncan (Lampiran 6), menunjukkan konsentrasi A2 (30%)
berbeda nyata dengan A1 (20%).
Serat terdiri dari selulosa dengan sedikit lignin dan sebagian
hemiselulosa. Pati mempunyai kandungan serat yang rendah dibandingkan
tepung karena pada proses ekstraksi pati sebagian serat yang berukuran
kecil terbawa dalam air bersama protein larut air dan gula-gula sederhana.
Kadar serat pati tergantung pada umur panen musim segar.
Hasil uji analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada pengaruh
yang signifikan akibat dari perbedaan perlakuan penambahan air
(konsentrasi padatan) dan juga kecepatan putar drum terhadap kadar serat.
Kadar serat kasar tepung sukun pragelatinisasi. Hal ini disebabkan karena
pada saat proses pembuatan tepung sukun pragelatinisasi ukuran tepung
tetap sama dengan tepung sukun alami sehingga kehilangan serat akibat
26
pengecilan ukuran tidak terjadi. Kandungan serat kasar tepung dapat
dikurangi dengan melakukan penyaringan yang baik. Serat kasar akan
terpisah dari tepung karena terbuang bersama ampas dan serat yang
berukuran kecil akan terbawa bersama air pada saat pencucian. Kadar serat
yang dihitung adalah serat yang sudah dihilangkan kadar lemak (defatted)
dan kadar airnya.
Kadar karbohidrat tepung sukun didapatkan dari total padatan
(bobot kering) dikurangi jumlah komponen air, abu, protein, lemak dan
serat kasar. Hasil uji sidik ragam menunjukkan faktor perlakuan
penambahan air dan kecepatan putar drum tidak berpengaruh signifikan
terhadap kadar karbohidrat pada tepung pragelatinisasi.
4.2.2 Sifat Fisik Tepung Sukun Pragelatinisasi
Sifat fisik tepung sukun pragelatinisasi yang diamati meliputi
derajat putih, bentuk dan ukuran granula serta pengamatan terhadap sifat
birefringence pati, serta uji iod. Mutu tepung sukun dapat dipengaruhi oleh
kualitas bahan mentah dan cara pengolahannya. Mutu tepung sukun yang
dihasilkan kemudian dibandingkan dengan mutu tepung sukun alami.
Derajat putih merupakan mutu yang dapat menunjukkan pengaruh
perlakuan penambahan air dan kecepatan kecepatan putar drum. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa derajat putih tepung sukun berkisar antara
35,82-54,77%. Hasil uji sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan
perlakuan penambahan air (konsentrasi padatan) dan kecepatan kecepatan
putar drum memberikan pengaruh nyata terhadap derajat putih tepung,
sedangkan interaksinya tidak memberikan pengaruh nyata terhadap derajat
putih tepung yang dihasilkan. A1 yaitu konsentrasi padatan 20% berbeda
nyata dengan A2 dengan konsentrasi padatan 30%. R1 (4 rpm) berbeda
nyata dengan R2 (6 rpm) dan R3 (8 rpm).
Hasil analisis sidik ragam tersebut mengindikasikan bahwa
semakin banyak penambahan air (konsentrasi padatan lebih sedikit) maka
bahan yang dihasilkan semakin putih. Air dalam bahan menyebabkan
bahan mengkilat sehingga bahan menjadi lebih cerah. Kecepatan putar
27
0
10
20
30
40
50
60
Derajat Putih
drum yang semakin lambat yang berarti kontak bahan lebih lama membuat
bahan yang dihasilkan lebih buram.
Gambar 4. Gambar pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2:30%)
dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8
rpm) terhadap perbedaan derajat putih tepung sukun alami
dan pragelatinisasi yang dihasilkan
Gambar 4 menunjukkan perbedaan tepung sukun alami A0R0
dengan tepung sukun pragelatinisasi. Tepung sukun alami lebih putih dari
beberapa tepung sukun pragelatinisasi. Hal ini mengindikasikan adanya
pengaruh perlakuan panas yang diberikan kepada tepung sukun. Lamanya
bahan kontak dengan pemanas yang dalam penelitian ini adalah drum
membuat bahan semakin coklat. Warna coklat ini terjadi karena adanya
reaksi Maillard dimana menurut Winarno (2002), bahwa reaksi ini terjadi
antara karbohidrat khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer.
Selain itu, ada juga pengaruh dari denaturasi protein akibat pemanasan.
Hasil reaksi tersebut menghasilkan bahan berwarna coklat. Gugus amina
primer biasanya terdapat pada bahan awal sebagai asam amino. Reaksi
Maillard berlangsung melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1. Suatu aldosa bereaksi bolak-balik dengan asam amino atau dengan
suatu gugus amino dari protein sehingga menghasilkan basa Schiff.
2. Perubahan terjadi menurut reaksi Amadori sehingga menjadi
amino ketosa.
28
3. Dehidrasi dari hasil reaksi Amadori membentuk turunan-turunan
furfuraldehida, misalnya dari heksosa diperoleh hidroksi metal
furfural.
4. Proses dehidrasi selanjutnya menghasilkan hasil antara metil α-
dikarbonil yang diikuti penguraian menghasilkan reduktor-reduktor
dan α-dikarboksil seperti metilglioksal, aseton dan diasetil.
5. Aldehida-aldehida aktif dari 3 dan 4 terpolimerisasi tanpa
mengikutsertakan gugus amino (hal ini disebut kondensasi aldol)
atau dengan gugusan amino membentuk senyawa berwarna coklat
yang disebut melanoidin.
(a) (b)
Gambar 5. Gambar pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan
kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap
perbedaan warna tepung sukun alami dan pragelatinisasi yang
dihasilkan
Pengukuran warna tepung sukun pragelatinisasi dapat juga
menggunakan kolorimeter (colortech). Sistem notasi warnanya
menggunakan sistem Hunter yang dicirikan dengan 3 parameter yaitu L, a
dan b. Nilai L menyatakan kecerahan yang mempunyai nilai dari 0 (hitam)
dan 100 (putih). Nilai a menyatakan warna kromatik campuran merah
hijau dengan nilai positif (0 sampai 60) untuk warna merah dan negatif (0
sampai -60) untuk warna hijau. Nilai b menyatakan warna kromatik
campuran kuning biru dengan nilai b positif untuk warna kuning dan biru
negatif. Semakin besar nilai L maka semakin cerah suatu bahan. Semakin
kecil nilai a maka warna bahan yang ditunjukkan semakin putih,
sedangkan jika nilai a semakin besar maka warna yang ditunjukkan
29
semakin merah. Jika nilai b semakin kecil berarti semakin biru dan bila b
semakin besar berarti semakin kuning.
Tabel 4 menunjukkan nilai L tepung sukun alami dan tepung sukun
pragelatinisasi jauh berbeda yaitu tepung sukun alami 76,82 sedangkan
kisaran untuk tepung sukun pragelatinisasi antara 69,87-72,74. Hal ini
menunjukkan bahwa tepung sukun alami lebih cerah daripada tepung
sukun pragelatinisasi. Tepung sukun alami memiliki nilai a sebesar 14, 62
sedangkan tepung sukun pragelatinisasi lebih tinggi. Hal ini
memperlihatkan bahwa tepung sukun pragelatinisasi lebih gelap. Nilai b
pada tepung sukun alami lebih kecil daripada tepung sukun pragelatinisasi.
Nilai whitenees yang ditunjukkan oleh tepung sukun pragelatinisasi
menunjukkan bahwa tepung ini memiliki warna yang lebih gelap
dibandingkan dengan tepung sukun alami. Nilai Hue dan chroma tepung
sukun alami lebih kecil daripada tepung sukun pragelatinisasi. Kombinasi
nilai chroma dan Hue menunjukkan tepung ini berwarna coklat
kekuningan seperti terlihat pada Gambar 6.
Tabel 4. Nilai kecerahan tepung sukun alami dan pragelatinisasi
Perlakuan L a b
Whiteness
dengan
colortech Chroma °Hue
A0R0 76,82 14,62 49,23 67,23 51,35 73,46
A1R1 70,81 15,74 58,83 49,99 60,89 75,02
A1R2 71,47 15,80 57,21 52,57 59,35 74,56
A1R3 72,74 15,56 54,94 56,54 57,10 74,19
A2R1 69,87 16,43 59,23 48,58 61,46 74,22
A2R2 71,38 16,20 56,41 53,44 58,68 73,98
A2R3 70,23 16,29 58,65 49,63 60,87 74,48 Keterangan : A (Konsentrasi padatan yaitu A1 : 20% dan A2 : 30%)
R (Kecepatan kecepatan putar drum yaitu R1 : 4 rpm, R2 : 6 rpm, dan R3 : 8 rpm)
30
Gambar 6. Pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan
putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap diagram warna
A0R0
A1R1 A1R2
A1R3 A2R1
A2R3
A2R2
31
A0R0
A1R1
A2R1
A1R2
A2R2
A1R3
A2R3
Keterangan : A (Konsentrasi padatan yaitu A1 : 20% dan A2 : 30%)
R (Kecepatan kecepatan putar drum yaitu R1 : 4 rpm, R2 : 6 rpm, dan R3 : 8 rpm)
Gambar 7. Pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan
putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap bentuk
granula tepung sukun alami dan pragelatinisasi dengan perbesaran
200 kali
32
A0R0
A1R1
A1R1
A1R2
A2R2
A1R3
A2R3
Keterangan : A (Konsentrasi padatan yaitu A1 : 20% dan A2 : 30%)
R (Kecepatan kecepatan putar drum yaitu R1 : 4 rpm, R2 : 6 rpm, dan R3 : 8 rpm) Gambar 8. Pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar
drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap mikroskopik tepung
sukun pragelatinsasi pada mikroskop cahaya terpolarisasi (perbesaran
200 kali)
33
Granula pati merupakan identitas untuk setiap pati karena memiliki
ukuran, bentuk dan sifat yang khas. Granula pati dilihat dengan
menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi. Selain pengamatan
terhadap bentuk dan ukuran granula juga diamati sifat birefringencenya.
Blennow (2004) menyatakan bahwa komponen utama dari granula pati
adalah amilosa dan amilopektin. Amilopektin dengan jumlah sekitar 75%
merupakan polisakarida semi kristal rantai tinggi dengan ikatan α-1,4 dan
cabang α-1,6 menyusun struktur granula, sedangkan amilosa dengan
jumlah sekitar 25% bersifat amorf dalam granula dan disusun oleh rantai
linier α-1,4. Perbedaan jenis tanaman tidak hanya menghasilkan jumlah
yang berbeda antara amilosa dan amilopektin dalam granula tapi juga
memberikan bentuk yang tepat dari molekul amilopektin. Pada granula
terdapat lapisan-lapisan yang menyusun granula yang bertambah sesuai
dengan jumlah karbohidrat yang dihasilkan pada setiap periode tumbuh.
Granula pati dari tepung sukun yang diamati memiliki ukuran yang
beragam berkisar antara 9,0-27,8 µm pada perbesaran 400 kali bentuk
granula pati sukun ini tidak terpola (artinya tidak berada pada bentuk yang
seragam). Gambar 7 menunjukkan granula pati pada tepung sukun alami
dengan perbesaran 400 kali. Ukuran pati yang dapat diukur pada penelitian
ini hanya ukuran pati tepung sukun alami. Perlakuan untuk pembuatan
tepung sukun pragelatinisasi ini mempengaruhi bentuk dari tepung sukun.
Bentuk dari granula pati dari tepung sukun alami tidak beraturan seperti
umbi yang lain. Semua bentuk granula pati dari tepung sukun alami yang
terlihat menyerupai lingkaran tetapi tidak merata.
Ukuran granula tepung sukun cukup besar dibandingkan dengan
granula beras yang berkisar antara 3-8 µm (Bao, 2004), granula suweg
sebesar 5 µm dan gembili sebesar 0,75 µm (Richana dan Sunarti, 2004).
Ukuran granula yang cukup besar menunjukkan suhu gelatinisasi yang
lebih rendah dan kemampuan menyerap air yang lebih besar. Ukuran
granula pati yang besar akan mempengaruhi tingkat pengembangan pati.
Granula pati dari tepung sukun pragelatinisasi sudah tidak terlihat
lagi. Jika ada bentuknya sudah tidak beraturan lagi. Hal ini terjadi akibat
34
dari proses gelatinisasi pada proses pengolahan tepung sukun
pragelatinisasi yang menyebabkan beberapa granula pati dari tepung sukun
alami pecah dan tidak dapat kembali utuh seperti bentuk aslinya
(irreversible).
Pemanasan dan pengeringan pati alami pada suhu di atas suhu
gelatinisasi yang berlangsung cepat dan spontan mengakibatkan beberapa
granula pati pragelatinisasi masih utuh namun sebagian besar telah
pecah/rusak (Snyder, 1984). Dari Gambar 7 dan 8 berikut terlihat bahwa
kecepatan putar drum mempengaruhi bentuk granula dari pati. Kecepatan
putar drum yang lebih lambat memperlihatkan lebih banyak pati yang
tergelatinisasi sehingga sangat jarang ditemui adanya pati. Warna pada
gambar dibawah cahaya polarisasi (warna biru dan kuning) yang biasanya
menunjukkan pati bukan lagi pati untuk tepung pragelatinisasi melainkan
serat yang masih ada. Gambar yang berbayang (transparan) adalah pati
yang sudah tergelatinisasi. Pada tepung sukun pragelatinisasi akan didapati
beberapa butiran kecil yang masih menunjukkan sifat birefringence yang
menandakan adanya pati yang belum tergelatinisasi.
Birefringence adalah kemampuan pati untuk merefleksikan cahaya
terpolarisasi, sehingga dapat membentuk bidang berwarna biru dan kuning
pada mikroskop. Granula pati mempunyai sifat merefleksikan cahaya
terpolarisasi, sehingga di bawah mikroskop terlihat kristal hitam putih
(Winarno,2002). Komponen pati berupa amilopektin mempengaruhi sifat
birefringence. Menurut Hood (1981), pati yang kandungan amilopektinnya
rendah menyebabkan sifat birefringence akan tampak kuat, begitu pula
sebaliknya. Gambar 7 dan 8 dengan jelas menggambarkan bahwa semakin
banyak air yang ditambahkan maka semakin banyak pula pati yang
tergelatinisasi. Semakin lama kecepatan putar drum membuat pati semakin
banyak yang tergelatinisasi.
Menurut Winarno (2002), pati yang berikatan dengan iodin (I2)
akan menghasilkan warna biru. Sifat ini dapat digunakan untuk
menganalisis adanya pati. Hal ini disebabkan oleh struktur molekul pati
yang berbentuk spiral, sehingga akan mengikat molekul iodin dan
35
terbentuklah warna biru. Bila pati dipanaskan, spiral merenggang,
molekul-molekul iodin terlepas sehingga warna biru hilang. Dari
percobaan-percobaan didapat bahwa pati akan merefleksikan warna biru
bila berupa polimer glukosa yang lebih besar dari dua puluh, misalnya
molekul-molekul amilosa. Bila polimernya kurang dari dua puluh seperti
amilopektin, maka akan dapat dihasilkan warna merah. Sedang dekstrin
dengan polimer 6, 7, dan 8, membentuk warna coklat. Polimer yang lebih
kecil dari lima tidak memberikan warna dengan iodin.
Gambar 9. Pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan
kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm)
terhadap uji iod tepung sukun pragelatinisasi
Gambar 9 memperlihatkan bahwa proses pemanasan yang
dilakukan tidak meregangkan pati sehingga membuat warna biru masih
ada. Pada uji ini glukosa, maltosa, maltodekstrin, tepung terigu dan tepung
beras digunakan sebagai pembanding untuk melihat keberadaan pati. Hasil
dari pengamatan ini menunjukkan bahwa pati yang terkandung baik dalam
tepung sukun alami maupun dalam tepung sukun pragelatinisasi lebih dari
dua puluh karena warna dari hasil uji ini biru tua.
4.2.3 Karakteristik Sifat Fungsional Tepung sukun
Sifat fungsional tepung sukun pragelatinisasi yang diamati meliputi
sifat amilografi, kelarutan dan swelling power, kejernihan pasta 1%,
36
Freeze-thaw stability dan apparent viscosity, Sifat digestibilitas/resistensi
pati diukur dengan menggunakan enzim α-amilase.
Pengukuran sifat amilograf dilakukan menggunakan alat
Brabender amylograph yang meliputi pengukuran suhu gelatinisasi,
kecepatan peningkatan viskositas pemanasan, suhu granula pecah,
viskositas maksimum, viskositas jatuh, kecepatan peningkatan
pendinginan dan viskositas balik.
Suhu gelatinisasi adalah suhu dimana granula pati pecah dan mulai
mengembang mencapai pembengkakan maksimal dan bersifat irreversible
(tidak dapat kembali seperti semula). Menurut Fennema (1985),
mekanisme gelatinisasi dapat dibagi menjadi tiga tahap. Tahap awal, air
secara perlahan-lahan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula,
selanjutnya tahap kedua yaitu, pada suhu 60 ºC sampai 85 °C granula akan
mengembang dengan cepat dan polimer yang lebih pendek akan larut,
sehingga pati kehilangan sifat birefringence-nya. Pada tahap ketiga, jika
suhu tetap naik maka molekul-molekul pati akan terdifusi keluar granula.
Menurut Winarno (2002), jika energi kinetik molekul-molekul air menjadi
lebih kuat daripada daya tarik-menarik antar molekul pati di dalam
granula, air dapat masuk ke dalam butir-butir pati. Hal inilah yang
menyebabkan granula membengkak.
Menurut Leach (1965), suhu awal gelatinisasi adalah suhu pada
saat pertama kali viskositas mulai naik. Peningkatan viskositas ini
disebabkan karena terjadinya pembengkakan granula pati yang irreversible
di dalam air, dimana energi kinetik molekul-molekul air lebih kuat
daripada daya tarik menarik pati di dalam granula pati. Pola amilografi
tepung sukun dapat dilihat pada Gambar 10.
Suhu awal gelatinisasi pada tepung sukun alami berkisar antara
67.5°C. Suhu awal gelatinisasi tepung sukun yang tidak terlalu tinggi
menyebabkan jumlah energi yang dibutuhkan pada saat gelatinisasi tidak
terlalu besar sehingga dapat menghemat energi.
Hasil amilografi tepung sukun dapat dilihat pada pada Tabel 5.
37
Tabel 5. Nilai parameter amilografi tepung sukun
Jenis
Tepung
Titik Awal
Gelatinisasi
°C
Viskositas
Maksimum
Breakdown
Viscosity
Set Back
Viscosity
Viskositas
akhir
A0R0 67,5
Mulai dari suhu 67,5-90, kemudian breakdown
viscosity hingga viskositas akhir terus meningkat
A1R1 30 470 295 85 260
A1R2 30 615 358 103 360
A1R3 30 440 278 104 266
A2R1 30 322 100 118 340
A2R2 30 358 126 127 359
A2R3 30 562 408 50 204 Keterangan : A (Konsentrasi padatan yaitu A1 : 20% dan A2 :30%)
R (Kecepatan putar drum yaitu R1 : 4 rpm, K2 : 6 rpm, dan K3 : 8 rpm)
Kandungan amilosa yang tinggi menyebabkan pati lebih banyak
menyerap air, sehingga pembengkakan granula pati terjadi pada suhu yang
lebih rendah. Suhu awal gelatinisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain oleh ukuran molekul amilosa dan amilopektin serta keadaan
media pemanasan. Tidak ada hubungan yang nyata antara gelatinisasi
dengan ukuran granula patinya, tetapi mempunyai hubungan dengan
kekompakan granula dan amilopektin berdasarkan derajat polimerisasinya.
Suhu gelatinisasi juga tergantung pada konsentrasi pati. Makin kental
larutan, suhu tersebut makin lama tercapai, sampai suhu tertentu
kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang turun. Makin tinggi
konsentrasi, gel yang terbentuk makin kurang kental dan setelah beberapa
waktu viskositas akan turun. Pada waktu granula mulai pecah, sifat
birefringent ini akan menghilang. Kisaran suhu yang menyebabkan 90%
butir pati dalam air panas membengkak sedemikian rupa sehingga tidak
kembali lagi ke bentuk normalnya disebut Birefringent End Point
Temperature (BEPT) (Winarno, 2002). Leach (1965) menyatakan, setiap
granula pati tidak selalu mengembang pada suhu yang sama, melainkan
mengembang dalam kisaran suhu 10 °C. Selain karakteristik granula,
komponen lemak dan protein juga mempengaruhi suhu awal gelatinisasi.
Gambar 10. Pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap sifat
amilografi tepung sukun pragelatinisasi
38
39
Wirakartakusumah (1981), melalui pengamatan mikroskopik
diperoleh hasil bahwa granula pati yang lebih besar memiliki ketahanan
yang lebih besar terhadap perlakuan panas dan air dibandingkan granula
yang lebih kecil. Adanya amilosa, mineral dan garam berpengaruh positif
terhadap kekuatan gel sedangkan protein dan lemak memberikan pengaruh
negatif.
Viskositas optimum merupakan titik maksimum viskositas pasta
yang dihasilkan selama proses pemanasan (Glicksman,1969). Nilai
viskositas maksimum seperti terdapat pada Tabel 5 untuk tepung sukun
pragelatinisasi berkisar antara 322-615 BU. Viskositas maksimum paling
tinggi untuk tepung sukun pragelatinisasi adalah kombinasi A1R2
(konsentrasi padatan 20% dan kecepatan putar drum 6 rpm). Tingginya
vikositas maksimum tepung sukun membuat pati ini dapat digunakan
sebagai bahan pengental.
Nilai viskositas maksimum dapat membantu dalam pengukuran
daya atau energi yang dipakai untuk proses pengadukan pati dalam
reaktor. Tingginya kadar pati akan meningkatkan viskositas maksimum
karena granula yang dimiliki tepung sukun mudah menyerap air dan
membengkak. Suhu pada saat viskositas maksimum tercapai disebut suhu
akhir gelatinisasi. Granula pati akan kehilangan sifat birefringencenya dan
tidak memiliki sifat kristal lagi.
Break down viscosity adalah nilai penurunan viskositas yang terjadi
dari viskositas maksimum menuju viskositas terendah ketika suspensi
dipanaskan pada suhu 95 °C selama 10 menit. Nilai break down viscosity
tepung sukun berkisar antara 100-408 BU. Nilai Break down viscosity
yang rendah menunjukkan tingkat kehancuran granula cukup tinggi. Pada
viskositas terendah ini granula akan hancur sempurna dan komponen
amilosa dan amilopektin telah terpisah. Komponen amilopektin tetap
tertinggal dalam granula sedangkan amilosa larut bersama air.
Viskositas balik (set back viscosity) menunjukkan kemampuan
retrogadasi molekul pati pada proses pendinginan. Viskositas balik
merupakan selisih antara viskositas akhir dan viskositas maksimum pasta.
40
Semakin tinggi nilai viskositas balik maka semakin tinggi kemampuan pati
untuk mengalami retrogadasi. Retrogadasi merupakan sifat kebalikan dari
gelatinisasi. Bila gel pati didinginkan sampai suhu di bawah suhu beku, gel
akan melepaskan air yang diserap. Kecepatan retrogadasi dipengaruhi oleh
temperatur, ukuran, bentuk dan konsentrasi dari pati atau bahan lain.
Terjadinya retrogadasi pada amilopektin dapat dikembalikan dengan cara
pemanasan, namun tidak sama halnya dengan amilosa. Semakin banyak
jumlah amilosa yang keluar dari pati maka kecenderungan untuk
terjadinya retrogadasi semakin meningkat.
Viskositas balik (set back viscosity) tepung sukun berkisar antara
50-127 BU. Nilai viskositas balik tertinggi dimiliki oleh tepung sukun
pragelatinisasi A2R1 dan A2R2 masing-masing sebesar 118 BU dan 127
BU. Nilai viskositas balik menunjukkan tepung sukun pragelatinisasi
A2R2 memiliki kemampuan retrogadasi lebih tinggi dibandingkan tepung
sukun pragelatinisasi A2R1. Nilai viskositas balik menunjukkan bahwa
tepung sukun pragelatinisasi memiliki kemampuan retrogadasi yang
tinggi. Viskositas akhir dari tepung sukun berkisar antara 204-360 BU.
Kelarutan merupakan bobot tepung yang terlarut dan diukur
dengan cara mengeringkan dan menimbang sejumlah larutan supernatant.
Granula tepung sukun alami tidak larut dalam air dingin namun
mengembang dalam air hangat. Untuk mengetahui nilai kelarutannya maka
nilai kelarutan ini dinilai pada dua suhu yaitu suhu 30 C untuk
mengindikasikan kelarutan dalam air dingin dan suhu 70°C untuk
kelarutan pada air hangat.
Setiap jenis pati memiliki pola karakteristik kelarutan dan swelling
power yang berbedaSemakin tinggi nilai kelarutan pati menunjukkan pati
tersebut mudah larut dalam air. Nilai kelarutan tepung sukun
pragelatinisasi terbesar pada suhu 70ºC adalah kombinasi perlakuan A1R3
dimana pada kondisi kombinasi seperti ini adalah kondisi yang sangat baik
karena penambahan airnya paling banyak yang memudahkan
tergelatinisasi dan juga kecepatan putar drum yang paling cepat sehingga
41
0
10
20
30
40
50
60
70
A0R0 A1R1 A1R2 A1R3 A2R1 A2R2 A2R3
Kelarutan 70°C (%)
Kelarutan 30°C (%)
Swelling Power 70°C (%)
Swelling Power 30°C(%)
bahan mendapatkan cukup waktu untuk mengalami gelatinisasi secara
optimal.
Rendahnya kelarutan pada kombinasi A2R3. Hal ini diduga karena
pada kombinasi ini penambahan airnya terkecil dan kecepatan putar
drumnya yang paling cepat. Kecepatan putar drum yang semakin tinggi
menyebabkan lama waktu bagi sejumlah pati untuk tergelatinisasi semakin
sedikit padahal konsentrasi suspensi patinya paling tinggi.
Gambar 11. Diagram pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%) dan
kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm) terhadap
perbandingan kelarutan dan swelling power antara suhu 70 C dan
30 C
Untuk kelarutan 30 C kombinasi perlakuan dengan nilai kelarutan
tertinggi adalah A1R3. Kondisi ini adalah kondisi yang sangat baik untuk
mencari nilai kelarutan. Karena pada kondisi ini granula pati telah pecah
akibat gelatinisasi sehingga membuat amilosa keluar dari pati. Peristiwa
keluarnya amilosa ini membuat granula pati dapat mudah larut dalam air.
Dari analisis sidik ragam diketahui bahwa perbedaan perlakuan dengan
perbedaan kecepatan putar drum mempengaruhi kelarutan pada suhu 30 C.
R3 berbeda nyata dengan R2 dan R1.
Kombinasi perlakuan A2R1 menghasilkan nilai kelarutan pada air
dingin terendah. Hal ini menunjukkan pada kombinasi tersebut pati tidak
42
tergelatinisasi dengan baik. Walaupun memiliki kecepatan putar yang
lambat yang membantu bahan tergelatinisasi ternyata kecepatan putar itu
tidak cukup membuat pati dari tepung sukun alami ini tergelatinisasi
karena suspensi pati ini lebih kental. Penambahan air yang sedikit
mempengaruhi banyaknya pati yang tergelatinisasi. Hal ini mempengaruhi
kelarutan suatu bahan dalam air dingin. Dapat kita bandingkan dengan
tepung sukun alami sebagai kontrol bahwa tepung pragelatinisasi memiliki
kemampuan kelarutan yang lebih baik daripada tepung sukun alami.
Swelling power merupakan kemampuan pati mengembang dalam
air atau kenaikan volume dan bobot maksimum pati saat terjadi
pengembangan dalam air. Semakin tinggi nilai swelling power maka
semakin meningkat kemampuan mengembang pati dalam air. Hal ini juga
dipengaruhi oleh kandungan amilosa pati. Semakin tinggi amilosa dalam
pati menyebabkan rendahnya tingkat swelling. Hal ini mungkin
disebabkan oleh molekul-molekulnya yang linier sehingga memperkuat
jaringan internalnya.
Nilai swelling power tepung sukun pragelatinisasi terbesar pada
suhu 70 ºC adalah kombinasi A2R3. Hal ini disebabkan karena pada
kombinasi ini tepung sukun sudah mengalami gelatinisasi secara optimal.
Nilai swelling power terendah adalah kombinasi A2R2 hal ini disebabkan
penambahan air yang kurang untuk membuat bahan tersebut
tergelatinisasi. Selain itu kecepatan putar yang juga tidak mengimbangi
kentalnya suspensi tersebut sehingga untuk mencapai gelatinisasi optimal
masih kurang. Nilai swelling power tepung sukun yang tidak terlalu tinggi
menjadikan pati ini dapat diaplikasikan dalam pembuatan makanan bayi.
Swelling power merupakan rasio bobot granula yang membengkak
per bobot pati kering. Pembengkakan terbatas terjadi pada 60-70 °C yaitu
pemecahan ikatan yang lemah atau sel amorf. Pembengkakan cepat terjadi
pada suhu 80-90 °C yaitu pemecahan ikatan yang kuat atau sisi yang sulit
diakses. Selanjutnya Winarno (2002) menyatakan bahwa proses
pengembangan gel dipengaruhi oleh konsentrasi, pH larutan, garam,
lemak, surfaktan dan protein.
43
Nilai swelling power tertinggi pada suhu 30 C adalah kombinasi
dari A1R2. Kombinasi ini adalah kombinasi penambahan air terbanyak
dan juga memiliki kecepatan putar sebesar 6 rpm. Tingginya nilai swelling
power ini disebabkan oleh banyaknya penambahan air yang dapat
mempengaruhi banyak atau tidaknya tepung sukun yang dapat
tergelatinisasi. Semakin banyak air didalamnya semakin mudah tepung
tersebut tergelatinisasi. Kecepatan putar 6 rpm merupakan kecepatan putar
yang optimal dengan kombinasi penambahan air sebanyak 80%. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam kondisi inilah tepung dapat tergelatinisasi
secara optimal sehingga menghasilkan swelling power yang tertinggi.
Nilai swelling power terendah terdapat pada A2R1. Rendahnya
nilai ini disebabkan karena rendahnya penambahan air dan rendahnya
kecepatan putar drum. Suspensi pati yang lebih pekat ini tidak dapat
tergelatinisasi sempurna walaupun diikuti dengan lambatnya putaran drum
yang membuat kontak bahan dengan drum lebih lama. Kondisi ini tidak
cukup untuk membuat pecahnya granula pati sehingga merujuk kepada
rendahnya nilai swelling power. Dari semua nilai swelling power, tepung
sukun pragelatinisasi memiliki nilai yang lebih tinggi daripada tepung
sukun alami. Hal ini menunjukkan bahwa tepung sukun pragelatinisasi ini
dapat diaplikasikan kepada produk-produk instan.
Kejernihan pasta 0,1% diketahui melalui pembacaan transmitan
dengan spektrofotometer. Nilai kejernihan pasta 0,1% tepung sukun
seperti terlihat pada hasil penelitian berkisar antara 83,55-94,60 %T.
Semakin tinggi nilai transmitan yang dihasilkan maka akan semakin jernih
suspensi yang dihasilkan. Hasil uji sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan
penambahan air dan kecepatan kecepatan putar drum bahan interaksi
keduanya tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kejernihan pasta
0,1% tepung sukun. Kejernihan pasta terkait dengan swelling power dan
kecenderungan retrogadasi. Swelling power yang tinggi pada pati akan
menghasilkan pasta yang jernih dan retrogradasi yang rendah.
Modifikasi tepung pragelatinisasi akan dapat meningkatkan tingkat
kejernihan pasta tepung sukun alami. Hampir semua data kombinasi
44
perlakuan pada pengolahan tepung pragelatinisasi menunjukkan adanya
peningkatan kejernihan pasta pati yang signifikan dibandingkan dengan
tepung sukun alami. Bagalopagan et al. (1988) menyatakan bahwa
suspensi pati alami dalam air berwarna buram (opaque), namun proses
pragelatinisasi pada granula pati dapat meningkatkan transparansi larutan
tersebut.
Gambar 12. Diagram pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%)
dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm)
terhadap kejernihan pasta dan freeze thaw stability
Tepung sukun alami memiliki tingkat kejenihan pasta yang lebih
rendah dibandingkan dengan tepung sukun pragelatinisasi. Hal ini diduga
karena pada tepung sukun alami sebagian besar granula patinya masih
utuh dan masih memiliki sifat birefringence yang baik. Sifat birefringence
merupakan sifat merefleksikan polarisasi cahaya pada granula pati
(Winarno, 2002).
Penggunaan air yang kurang atau berlebih akan menurunkan
kejernihan pastanya. Pada perlakuan A1R2, A1R3, A2R2, dan A2R3
diduga air yang digunakan cukup untuk memecahkan sejumlah granula
pati pada proses gelatinisasi bila dibandingkan dengan perlakuan A1R1
dan A2R1. Pada A1R1 penggunaan air berlebih sehingga meskipun
sebagian granula pati sudah pecah akibat gelatinisasi, masih terdapat
sebagian air yang tidak terpakai dalam proses gelatinisasi. Air yang
berlebih ini selanjutnya justru akan menurunkan nilai kejernihan pasta pati
70
75
80
85
90
95
Kejernihan Pasta (%T)
Freeze Thaw Stability (%Syneresis)
45
(tepung). Sebaliknya pada perlakuan A2R1, penggunaan air yang relatif
sedikit diduga tidak cukup memungkinkan bagi sebagian besar pati untuk
tergelatinisasi. Hal ini tentu saja menurunkan sifat transparansi pasta
patinya.
Freeze-thaw stability yang dimiliki pati akan menunjukkan apakah
pati yang dihasilkan dapat disimpan dalam suhu -15°C. Freeze-thaw
stability akan diketahui dari jumlah air yang dapat dipisahkan saat
disentrifugasi. Semakin banyak jumlah air yang terpisahkan maka freeze-
thaw stability akan semakin tinggi yang menunjukkan pati tidak stabil.
Peristiwa retrogadasi terjadi selama penyimpanan pati pada suhu beku.
Nilai freeze-thaw stability dinyatakan dengan % syneresis yaitu
persentase jumlah air yang terpisah setelah pasta pati disimpan selama 1
siklus freeze-thaw. Nilai freeze-thaw tepung sukun seperti terlihat pada
hasil penelitian berkisar antara 80,00-90,71%. Faktor perlakuan perbedaan
kecepatan putar drum memberikan pengaruh nyata terhadap nilai freeze-
thaw pati.
Sebagian besar pati yang telah menjadi gel bila disimpan atau
didinginkan beberapa hari atau minggu akan membentuk endapan kristal
di dasar wadahnya. Keluarnya atau merembesnya cairan dari suatu gel dari
pati disebut sineresis (syneresis) (Winarno, 2002). Selama 1 siklus freeze
thaw pati mengalami retrogadasi dimana sejumlah air terpisah dari pasta
pati.
Kombinasi perlakuan yang dilakukan pada proses pengolahan
tepung sukun pragelatinisasi memperlihatkan % syneresis yang tinggi.
Tidak ada satu kombinasi pun yang memiliki % syneresis yang lebih kecil
daripada tepung sukun alami. Granula pati yang telah pecah akibat
gelatinisasi memiliki swelling power yang tinggi, namun karena sifat ini
granula pati yang pecah tersebut tidak mampu menahan air lebih banyak
daripada granula pati yang masih utuh. Penyimpanan beku akan
menambah jumlah air yang terpisah dari pasta pati karena kristal-kristal es
yang terbentuk menyebabkan retrogradasi. Semakin banyak pati yang
46
tergelatinisai berarti semakin tinggi kemungkinan air yang terpisah akibat
penyimpanan suhu beku.
Pengukuran nilai apparent viscosity dilakukan dengan
menggunakan viskosimeter Brookfield. Leach (1965) menyatakan bahwa
apparent viscosity dari larutan pati tidak hanya disebabkan oleh
pengembangan granula, tapi juga oleh adanya bagian pati terlarut yang
menahan pengembangan granula dengan daya adhesi dan juga oleh
interaksi diantara granula-granula yang mengembang.
Kestabilan pasta pati 2% diukur dengan menggunakan spindle
nomor 1 pada kecepatan 60 rpm. Struktur pati yang terdiri dari amilosa
dan amilopektin mempengaruhi stabilitas viskositas. Amilosa yang
berantai lurus lebih mudah diputuskan ikatan hidrogennya dibandingkan
amilopektin. Tingginya jumlah amilosa dapat menyebabkan viskositas
pasta rendah dan kurang stabil.
Pati dibentuk oleh tumbuhan untuk menyimpan energi, yaitu
disimpan di dalam biji/butir halus pati di dalam sel, terutama di dalam akar
umbi atau benih. Daya cerna pati tergantung pada sumber pati. Pati yang
memiliki kandungan amilopektin tinggi akan sulit dicerna. Ukuran granula
juga mempengaruhi daya cerna pati, semakin kecil ukuran pati maka luas
permukaannya akan semakin besar sehingga lebih mudah dicerna.
Amilosa memiliki ikatan α-(1-4), sedangkan selulosa memiliki
ikatan β-(1-4) antara molekul gula. Ikatan rantai pada amilosa membentuk
struktur heliks, sedangkan selulosa membentuk struktur zigzag, dan
banyak terdapat pada dinding sel tumbuhan. Enzim pencernaan dapat
mencerna amilosa tetapi tidak dapat mencerna selulosa. Hasil pemecahan
pati oleh amilase menghasilkan hidrolisat yang mengandung glukosa,
maltose, maltotriosa, tetrasakarida dan pentasakarida (Robyt, 1984).
47
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
Derajat Polimerisasi
0
10
20
30
40
50
Bagian yang dapat dicerna (%)
Gambar 13. Diagram pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%)
dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm)
terhadap daya cerna dengan enzim α-amilase
Gambar 14. Diagram pengaruh konsentrasi bahan (A1: 20%, A2: 30%)
dan kecepatan putar drum (R1:4 rpm, R2:6 rpm, R3:8 rpm)
terhadap DP dengan enzim α-amilase
Gambar 13 diatas menunjukkan hasil hidrolisis pati oleh enzim α-
amilase yang menghasilkan produk bernilai daya cerna berkisar antara
32,72-45,31. Nilai daya cerna ini menunjukkan persentase pati yang dapat
dicerna dari keseluruhan total karbohidrat dalam pati. Tepung sukun
pragelatinisasi dengan kombinasi A1R3 menunjukkan nilai daya cerna
yang paling tinggi. Hal ini berarti kemampuan pati sukun pada kombinasi
ini untuk dicerna dalam system pencernaan cukup tinggi, pati akan lebih
cepat dikonversi menjadi monomer-monomer penyusunnya untuk diubah
menjadi energi. Tingginya nilai ini diduga disebabkan oleh tingginya
48
jumlah air yang dimasukkan sehingga tidak semua pati tersebut
tergelatinisasi dengan optimal. Untuk uji total gula dan total pereduksi
dapat dilihat berturut-turut pada Lampiran 5 dan 6.
Pati selain memegang peranan penting sebagai sumber karbohidrat,
juga berperan sebagai sumber karbohidrat yang tidak dapat dicerna dan
dapat dikatakan sebagai pati resisten (resistance starch). Pati resisten
merupakan pati yang tidak dapat dicerna oleh enzim amilolitik dalam
sistem pencernaan (Bjorck, 1996). Dalam sistem pencernaan, pati resisten
tidak dapat dicerna oleh usus kecil, namun dilewatkan ke dalam usus besar
dan difermentasi oleh bakteri mikroflora membentuk asam lemak rantai
pendek yang baik untuk kesehatan dan mencegah kanker usus. Asam
lemak yang terbentuk akan diserap oleh darah dan dapat menurunkan
kadar kolesterol dalam darah (www.healthyeatingclub.org).
Menurut Wuzburg (1989), DP (derajat polimerisasi) suatu produk
menunjukkan jumlah rata-rata monosakarida unit di dalam molekul.
Dziedzic dan Kearsley (1995) menambahkan derajat polimerisasi amilosa
adalah 102-10
3 dan amilopektin dengan DP yang lebih tinggi dari amilosa
Nilai DP tepung sukun pragelatinisasi dan tepung sukun alami (Gambar
14) yang dihasilkan antara 2,04-2,86. Hal ini berarti sakarida yang
dibentuk yaitu campuran antara glukosa (DP=1), maltosa (DP=2), dan
maltotriosa (DP=3). Namun sebagian besar sakarida yang terbentuk adalah
maltosa.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Modifikasi tepung dengan membuat tepung sukun pragelatinisasi
memiliki tahapan proses yang harus dilakukan dengan seksama. Tahapan
proses pengolahan tepung sukun pragelatinisasi ada tiga tahap, yaitu persiapan
bahan, proses utama (pemanasan dan pengeringan), dan proses penggilingan.
Persiapan bahan dilakukan terlebih dahulu dengan mencampurkan tepung
sukun alami dengan air dengan perbandingan 20% dan 30% tepung dalam
suspensi. Proses utama pengolahan tepung sukun pragelatinisasi terdiri atas
pemanasan dan dilanjutkan dengan pengeringan pada suhu di atas suhu
gelatinisasi yaitu 80±5 C pada drum drier yang memiliki panjang dan
diameter berturut-turut adalah 12 dan 8 inci. Produk akhir yang dihasilkan dari
proses utama ini berupa gulungan lembaran tepung yang bersifat kamba,
ukuran dan dimensi tidak seragam. Proses terakhir adalah proses penggilingan
yang bertujuan untuk menghancurkan, memperkecil serta menyeragamkan
ukuran tepung agar mempermudah dalam penyimpanan dan analisa.
Penggilingan yang digunakan adalah hammer mill yang memiliki saringan 60
mesh.
Modifikasi tepung dengan cara pragelatinisasi ini mempengaruhi
kelarutan dalam air dingin (30 C), mikroskopis granula pati, derajat putih,
tingkat gelatinisasi pati serta freeze thaw stability. Pada kelarutan dalam air
dingin (30 C), diperlihatkan bahwa kecepatan putar drum berpengaruh nyata
terhadap kelarutan pada air dingin ini. Semakin cepat kecepatan putar drum
semakin larut tepung tersebut dalam air dingin. Kecepatan putar drum dan
konsentrasi padatan juga mikroskopis granula pati. Semakin tinggi kecepatan
putar drum semakin banyak granula pati yang tidak tergelatinisasi.
Konsentrasi padatan yang lebih banyak menyebabkan tepung yang
tergelatinisasi semakin banyak dan pada saat proses pragelatinisasi
menghasilkan lembaran yang lebih tebal daripada lembaran dari konsentrasi
padatan yang lebih rendah. Derajat putih dipengaruhi oleh kecepatan putar
drum dan juga konsentrasi padatan. Semakin tinggi putaran maka derajat putih
50
yang dihasilkan semakin tinggi. Konsentrasi padatan semakin sedikit maka
derajat putih yang dihasilkan semakin tinggi. Kecepatan putar drum dan
konsentrasi padatan juga berpengaruh nyata terhadap tingkat gelatinisasi
tepung. Semakin tinggi kecepatan putar drum semakin tinggi pula tingkat
gelatinisasinya tetapi semakin tinggi konsentrasi padatan semakin rendah
tingkat gelatinisasinya. Freeze thaw stability yang dihasilkan dipengaruhi oleh
kecepatan putar drum. Semakin lambat kecepatan putar drum semakin tinggi
nilai freeze thaw stability yang dihasilkan.
5.2 SARAN
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk peningkatan mutu tepung
sukun mengenai:
1. Perlu pengkajian dan karakterisasi modifikasi tepung sukun dengan cara
enzimatis.
2. Perlu diadakannya pengkajian perubahan mutu karakterisasi tepung sukun
pragelatinisasi selama penyimpanan.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, B.M. 1967. Malayan Fruits. Donald Moore Press Ltd. Singapore.
Anastasiades, A., S. Thanou, D. Loulis, A. Stapatoris dan T.D. Karapantsios.
2002. Rheological and Physical Characterization of Pregelatinized Maize
Starch. J of Food Eng. 52: 57-66.
Angbola, S.O., J.O. Akingbola, dan G.B. Oguntimen. 1991. Physico-chemical and
Functional Properties of Low DS Cassava Starch Acetate and Citrate.
Starch/Starke, 43 (2): 62-66.
AOAC, 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official of
Analitycal Chemist. AOAC INT., Washingtong D.C.
Ariwibowo. S.S. 2006. Kajian Pengaruh Perbandingan Konsentrasi Pati dan
Kecepatan Putaran Drum Dryer Terhadap Karakteristik Tapioka
Pragelatinisasi. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Arsdel, W.B. dan M.J. Copley. 1964. Food Dehydration 2nd
Edition. The AVI
Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut.
Bagalopagan, C, G. Padmaja, S.K. Nanda dan S.N. Moorthy. 1988. Cassava in
Food, Feed and Industry. CRC Press, Inc, Boca Raton Florida.
Bao, J. and C. J. Bergan. 2004. The Funcionally of Rice Starch. Di dalam A.C.
Elliason (ed.). Starch in Food (Structure, Function and Applications). CRC
Press LLC, New York.
Blennow, A. 2004. Starch Bioengineering. Di dalam A.C. Elliason (ed.). Starch
in Food (Structure, Funtion and Applications). CRC Press LLC, New
York.
Bjorck, I. 1996. Starch: Nutritional Aspects. Di dalam. A.C. Elliason. 1996.
Carbohydrates in Food. Marcel Dekker, Inc., New York.
Brennan, J.G., J.R. Buther, N.D. Cowel dan A.V.E. Lily. 1974. Food Engineering
Operations. Applied Science Publisher Ltd. London.
Ciptadi, W dan Machfud. 1980. Mempelajari Pendayagunaan Umbi-Umbian
Sebagai Sumber Karbohidrat. Institut Pertanian Bogor. Bogor. IPB, Bogor.
Chandler, W.H. 1958. Evergreen Forest Trees, FAO. Roma.
Collinson, R. 1968. Swelling ang Gelation of Starch. Di dalam J. A. Radley (ed).
Starch and Its Derivatives. Champman and Hall, Ltd. London
52
Doni, A. 2002. Karakteristik Bubur Instan Dari Buah Sukun (Artocarpus Altilis)
yang Diolah dengan Pengering Drum. Skripsi Fakultas Teknologi
Pertanian, IPB, Bogor.
Dubois, M., K.A. Gilles, J.K. Hamilton, P.A. Rebers, dan F. Smith. 1956.
Colorometric Method for Determination of Sugar and Related Substances.
Anal. Chem. 28: 350-356.
Dziedzic, S.Z. dan M.W.Kearsley. 1984. Physico-chemical Properties of Glucose
Syrups. Di dalam. Dziedzig, S.Z. dan M.W.Kearsley. (eds.). Glucose
Syrups: Science and Technology. Elsevier Applied Science Publishers,
London.
Endahsari, R. 1999. Pati Singkong Terpregelatinisasi sebagai Bahan Penolong
Tablet Papaverin HCl Cetak Langsung. Skripsi. Jurusan Farmasi, FMIPA,
UI, Depok.
Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan I. PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
FAO. 1972. Food Table Composition For Used in East Asia, FAO. Roma.
FAO. 1982. Fruit-Bearing Forest Trees, FAO. Roma.
Fennema, O. R. 1985. Principles of Food Science. Marcel Dekker Inc., New York
and Basel.
Fleche, G. 1985. Chemical Modification and Degradation of Starch. Di dalam
Fennema, O.R. (ed.). Starch Convension Technology. Marcel Dekker,
Inc., New York dan Basel.
Glicksman, M. 1969. Gum Technology in Food Industry. Academic Press, Inc,.
New York.
Graham, H.D. dan E.N. De Bravo. 1981. Change in The Starch Fraction During
Extruction Cooking of Corn. J. Food Sci. 48 (2): 378-381.
Heldman, D.R. dan R.D. Singh. 1981. Food Process Engineering. AVI Publishing
Company, Inc. Westport, Connecticut.
Hodge, J.E. dan E.M. Osman. 1976. Elament of Food Engineering. The AVI
Publ., Co. Inc, Westport, Connecticut.
Hood, L.F. 1981. Advances in Maize Carbohydrate. Di dalam Fennema, O. R.
(ed). Principles of Food Science. Marcel Dekker. Inc., New York.
Hutching, J.B. 1994. Food Colour and Appereance. Bedford: Blackie Academy
and Profesional.
53
http://kusmandauunindra4.blogspot.com/2009/04/protein.html [14 Juni 2010]
Jarowenko, W. 1986. Acetylated Starch and Miscellaneous Organic Esters. Di
dalam Wurzburg, O.B. 1986. Modified Starches: Properties and Uses.
CRC Press, Inc., Boca Raton, Florida.
Leach, H.W. 1965. Gelatinization of Starch. Di dalam Goldsworth, R.
(ed).Abundant of Plant Varieties. World Wide Inc., New York
Lyne, F.A. 1976. Chemical Analysis of Raw and Modified Starches. Di dalam
Radley, J.A. (ed.). Examination and Analysis of Starch and Starch
Products. Applied Science Publisher Ltd, London.
Miller, C.D., B. Katherine, dan C.R. Ruth. 1936. Some Fruit of Hawaii. Hawaii
Agricultural Experiment Station. 77:Ltd., London.
Nawari. 2010. Analisis Statistik dengan MS Excel 2007 dan SPSS 17. Penerbit
Elek Media Komputindo. Jakarta.
Peter. F.E. dan P.A. Wills. 1959. Dried Breadfruit Di dalam Nature128:1252.
Pitojo, S. 1992. Budidaya Sukun. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Richana, N. dan T. C. Sunarti. 2004. Karakterisasi Sifat Fisiko-kimia Tepung
Umbi dan Tepung Pati Umbi Ganyong, Suweg, Ubi Kelapa dan Gembili.
Jurnal Pascapanen (1) : 29-37.
Robyt, J. F. 1984. Enzymes in the Hydrolysis and Synthesis of Starch. Di dalam
R.L. Whistler, J.N. BeMiller dan E.F.Paschall (eds.). Starch: Chemistry
and Technology. Academic Press, Inc., Florida.
Saragih, SA. 2008. Mengapa Diversifikasi Pangan Menjadi Penting?.
www.kabarindonesia.com. [9 Agustus 2009].
Snyder, E.M. 1984. Industrial Microscopy of Starches. Di dalam R.L. Whistler,
J.N. BeMiller dan E.F.Paschall (eds.). Starch: Chemistry and Technology.
Academic Press, Inc., Florida.
Soebito, S. 1988. Analisis Farmasi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Soesono, S. 1977. Sukun Yang Sukun. Di dalam: Intisari 165: 89-94.
Sudarmadji, S., B. Haryanto dan Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta.
Sunarti, T.C., T. Nonume, N. Yoshio dan M. Hisamatsu. 2001. Study on Outer
Chains from Amylopectin between Immobilized and Free Debranching
Enzymes. J. Appl. Glycosci. 48 (1): 1-10.
54
Swinkles, J.J.M. 1985. Sources of Starch, its Chemistry and Physics. Di dalam
J.A. Roels dan G.M.A.V. Beynym,. (eds). Starch Conversion Technology.
Marcel Dekker, Inc., New York and Basel.
Thompson, A.K., B.O. Bean dan C. Parkius. 1974. Storage of Fresh Bread Fruit.
J. Trp. Agri. 51 (3): 407-415.
Utami, P.Y. 2009. Peningkatan Mutu Pati Ganyong (Canna edulis Ker) Melalui
Perbaikan Proses Produksi. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, IPB,
Bogor.
Walpole, R. 1993. Pengantar Statistika. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Widowati, S, N. Richana, Suarni, P. Raharto, IGP. Sarasutha. 2001. Studi
Potensi dan Peningkatan Dayaguna Sumber Pangan Lokal Untuk
Penganekaragaman Pangan di Sulawesi Selatan. Lap. Hasil Penelitian.
Puslitbangtan, Bogor.
Widowati, S. 2003. Prospek Tepung Sukun untu Berbagai Produk Makanan
Olahan dalam Upaya Menunjang Diversifikasi Pangan.
Winarno, 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Wirakartakusumah, M. A. 1981. Kinetics of Starch Gelatinization and Water
Absorption in Rice. Unpublished. Ph. D. Thesis. Departement of Food
Science. University of Wisconsin, Madison.
Wurzburg, O.B. 1989. Modified Starches: Properties and Uses. CRC Press, Inc.,
Boca Raton, Florida.
www.healthyeatingclub.org/info/articles/fats-chol/cholesterolstruck.htm[14 April
2010]
Yohani, V. 1995. Ekstraksi dan Analisis Polisakarida Buah Sukun (Artocarpus
altilis). Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
LAMPIRAN
56
Lampiran 1. Diagram Alir Pembuatan Tepung Sukun dari Badan Litbang
Kehutanan
Tepung Sukun
Penggilingan/
pengecilan
ukuran
Serpihan
loss
Pengeringan
dengan oven Air
Blanching
Penjemuran
matahari
Pengupasan dan
pencucian
Pengirisan
Perendaman dalam
larutan bi-sulfit
Limbah: Buah busuk, kulit
sukun & hati/bagian
tengah
Buah Sukun
Segar
Air rendaman
57
Lampiran 2. Karakterisasi Komposisi Kimia Tepung Sukun Alami dan
Pragelatinisasi
1. Kadar Air (SNI 01-2891-1992)
Cawan alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya
diisi sebanyak 2 g sampel lalu ditimbang (W1) kemudian dimasukkan ke
dalam oven suhu 105 °C selama 1-2 jam. Cawan alumunium dan sampel yang
telah dikeringkan dimasukkan ke dalam desikator kemudian ditimbang.
Ulangi pemanasan sampel sampai dicapai bobot konstan (W2). Sisa contoh
dihitung sebagai total padatan dan air yang hilang sebagai kadar air.
2. Kadar Abu (AOAC, 1995)
Sebanyak 2 g contoh ditimbang dalam cawan porselin yang telah
diketahui bobotnya (A), kemudian diarangkan dengan menggunakan pemanas
bunsen hingga tidak mengeluarkan asap lagi. Cawan porselen berisi contoh
(B) yang sudah diarangkan kemudian dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 600
°C selama 2 jam untuk mengubah arang menjadi abu (C). Cawan porselen
berisi abu didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga mencapai bobot
tetap.
3. Kadar Protein (AOAC, 1995)
Sebanyak 0,1-0,5 g contoh dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl lalu
ditambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat dan 1 g katalis (CuSO4 dan natrium sulfat).
Larutan didestruksi hingga menghasilkan larutan jernih kemudian
didinginkan. Larutan hasil destruksi dipindahkan ke alat destilasi dan
ditambahkan 25 ml NaOH 6N. Labu erlenmeyer yang berisi 25 ml asam borat
(H3BO3) 0,02 N dan 2-4 tetes indikator mengsel (campuran metil merah
0,02% dalam alkohol dan metil biru 0,02% dalam alkohol (2:1)) diletakkan
dibawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan
H3BO3. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer
58
mencapai 2 kali volume awal. Ujung kondensor dibilas dengan akuades
(ditampung dalam labu erlenmeyer). Larutan yang berada dalam labu
erlenmeyer dititrasi dengan H2SO4 0,02 N hingga diperoleh perubahan warna
dari hijau menjadi ungu. Setelah itu dilakukan pula penetapan blanko.
Keterangan :
a = ml H2SO4 untuk titrasi contoh
b = ml H2SO4 untuk titrasi blanko
N = normalitas H2SO4
W = bobot contoh (g)
4. Kadar Lemak (AOAC, 1995)
Sebanyak 2 g contoh bebas air diekstraksi dengan pelarut organik
heksan dalam alat Soxhlet selama 6 jam. Contoh hasil ekstraksi diuapkan
dengan cara diangin-anginkan dan dikeringkan dalam oven bersuhu 105 °C.
Contoh didinginkan dalam deksikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot
tetap.
5. Kadar Serat Kasar (AOAC, 1995)
Sebanyak 2 g contoh dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml dan
ditambahkan 100 ml H2SO4 0,325 N. Kemudian dihidrolisis dalam autoklaf
selama 15 menit pada suhu 105 °C dan didinginkan serta ditambahkan NaOH
1,25 N sebanyak 50 ml. Kemudian dilakukan hidrolisis kembali dalam
autoklaf selama 15 menit. Contoh disaring dengan kertas saring yang telah
dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kertas saring tersebut dicuci berturut-
turut dengan air panas, 25 ml H2SO4 0,325 N lalu dengan air panas dan
terakhir menggunakan aceton/alkohol 25 ml. Kertas saring tersebut
dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C selama 1 jam dan dilanjutkan sampai
bobotnya tetap. Kadar serat (%) ditentukan dengan rumus :
59
Dimana: a = bobot residu serat dalam kertas saring (g)
b = bobot kertas saring kering (g)
c = bobot bahan awal (g)
6. Kadar Karbohidrat (By Difference)
Kadar karbohidrat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Kadar Karbohidrat (%) = 100% - ( A + B + C + D+E )
Dimana : A = Kadar air C = Kadar lemak E= Kadar serat kasar
B = Kadar abu D = Kadar protein
7. Kadar Pati (AOAC, 1995)
Sampel sabanyak 1 g dimasukkan dalam labu Erlenmeyer, kemudian
ditambahkan HCl 3% sebanyak 200 ml. Hidrolisis pada suhu 115 C selama 1
jam, kemudian didinginkan. Sampel kemudian dinetralkan dengan NaOH
40%, kemudian ditera dalam labu ukur 250 ml. pipet 10 ml sampel dan
dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml dan ditambahkan Luff Schroll
sebanyak 25 ml. sampel didihkan di bawah pendingin tegah tepat 10 menit
setelah mendidih, kemudian didinginkan. Sampel kemudian ditambahkan
dengan 20 ml larutan KI 20% dan 25 ml H2SO4 melalui dinding tabung.
Titrasi menggunakan NaSO4 0,1 N, gunakan indikator kanji. Blanko
dikerjakan dengan mengganti sampel dengan aquades.
60
Lampiran 3. Karakterisasi Sifat Fisik Tepung Sukun Alami dan
Pragelatinisasi
1. Bentuk dan Ukuran Granula Pati (Metode Mikroskop Cahaya Terpolarisasi)
Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi
cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian
ditambahkan larutan iod untuk menambah daya kontras. Suspensi ini
diteteskan di atas gelas obyek kemudian ditutup dengan gelas penutup. Obyek
diuji dengan meneruskan cahaya melalui polarisator dan selama pengamatan,
alat analisistor diputar sehingga cahaya terpolarisasi sempurna yang
ditunjukkan oleh butir-butir pati yang belum mengalami gelatinisasi dengan
sifat birefringence. Pengamatan yang dilakukan tanpa menggunakan
polarisator dan alat penganalisis (analisistor), disebut mikroskop cahaya.
Selanjutnya hasil pengamatan disimpan dalam bentuk file JPEG.
2. Pengamatan Sifat Birefringence Pati dengan Menggunakan Mikroskop
Polarisasi
Pengamatan sifat birefringence pati di bawah mikroskop polarisasi
dilakukan untuk mengetahui kecukupan proses gelatinisasi. Sampel
disuspensikan dalam akuades dan diaduk secara merata. Kemudian, satu tetes
sampel diteteskan ke gelas objek dan diamati di bawah mikroskop polarisasi.
Sampel yang bukan berupa tepung perlu ditepungkan terlebih dahulu hingga
diperoleh ukuran partikel yang dapat disuspensikan dalam akuades.
Pati yang belum mengalami proses gelatinisasi akan memiliki sifat
birefringence sehingga ketika diamati dengan mikroskop polarisasi akan
tampak granula-granula yang mengkilat dan berwarna. Sedangkan pati yang
telah mengalami gelatinisasi sempurna tidak memiliki sifat birefringence,
sehingga tidak tampak di bawah mikroskop polarisasi.
3. Derajat Putih (SNI 01-3451-1994)
Pengukuran derajat putih pati dilakukan dengan menggunakan
Whitenessmeter merk Kett Electric Laboratory Tipe C-100-3. Kalibrasi
dilakukan dengan standar warna putih (MgO). Sejumlah contoh dimasukkan
61
ke dalam wadah khusus, diputar sehingga terletak dibawah lensa dan diukur
derajat putihnya yang berkisar antara 0-100%. Nilai derajat putih dapat
ditentukan dengan melihat posisi jarum penunjuk persen derajat putih.
4. Warna (Hutching, 1999)
Parameter warna ini diukur dengan menggunakan alat chromameter
merk Minolta CR 300. Sistem notasi warnanya menggunakan sistem Hunter
yang dicirikan dengan 3 parameter yaitu L, a dan b. Nilai L menyatakan
kecerahan yang mempunyai nilai dari 0 (hitam) dan 100 (putih). Nilai a
menyatakan warna kromatik campuran merah hijau dengan nilai positif (0
sampai 60) untuk warna merah dan negatif (0 sampai -60) untuk warna hijau.
Nilai b menyatakan warna kromatik campuran kuning biru dengan nilai b
positif untuk warna kuning dan biru negatif.
Pengukuran dilakukan dengan menempelkan sampel pada permukaan
datar alat. Bagian datar alat pembaca harus ditutup secara sempurna. Apabila
ada cahaya masuk dari sisi samping optik, maka nilai pembacaan alat menjadi
tidak akurat. Dari hasil pengukuran diperoleh nilai L, a dan b yang terbaca
pada layar. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan, nilai a positif
menunjukkan kecenderungan warna merah, nilai a negatif menunjukkan warna
hijau, nilai b positif menunjukkan kecenderungan warna kuning, dan nilai b
negatif menunjukkan warna biru. Setelah diperoleh nilai L, a dan b maka
dilakukan perhitungan nilai chroma (C), derajat Hue dan juga (derajat putih)
whiteness dengan persamaan berikut:
62
Lampiran 4. Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung Sukun Alami dan
Pragelatinisasi
1. Kelarutan Pada Suhu 70 ºC dan Swelling Power (Modifikasi metode Perez et
al., 1999)
Suspensi pati disiapkan, yaitu 0,5 g sampel dicampur dengan 50 ml
akuades dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Sampel ditempatkan pada penangas
air pada suhu 70°C selama 2 jam dengan pengadukan secara kontinyu. Pada
suspensi tersebut diambil 30 ml larutan yang jernih kemudian diletakkan pada
cawan petri yang telah diketahui bobotnya. Cawan petri dikeringkan pada
oven 100°C hingga bobotnya tetap, kemudian ditimbang dan dihitung
kenaikan bobotnya.
Kelarutan (%)
Swelling power (%)
Keterangan : a = bobot cawan petri awal / kosong (g)
b = bobot cawan petri akhir (g)
c = bobot erlenmeyer awal / kosong (g)
d = bobot erlenmeyer akhir (g)
2. Kelarutan Pada Suhu 30 ºC dan Swelling Power (Modifikasi metode Perez et
al., 1999)
Suspensi pati disiapkan, yaitu 0,5 g sampel dicampur dengan 50 ml
akuades dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Sampel ditempatkan pada penangas
air pada suhu 30°C selama 2 jam dengan pengadukan secara kontinyu. Pada
suspensi tersebut diambil 30 ml larutan yang jernih kemudian diletakkan pada
cawan petri yang telah diketahui bobotnya. Cawan petri dikeringkan pada
oven 100°C hingga bobotnya tetap, kemudian ditimbang dan dihitung
kenaikan bobotnya.
Kelarutan (%)
Swelling power (%)
Keterangan : a = bobot cawan petri awal / kosong (g)
63
b = bobot cawan petri akhir (g)
c = bobot erlenmeyer awal / kosong (g)
d = bobot erlenmeyer akhir (g)
3. Sifat Amilografi
Suhu gelatinisasi dihitung dari hasil kurva pengukuran viskositas pati
dengan menggunakan Brabender Viscoamylograph. Rentang suhu gelatinisasi
diukur pada saat viskositas pati mulai naik hingga dicapai viskositas puncak.
a Prosedur uji amilograf
Akuades sejumlah 450 ml disiapkan dan sampel tepung pati
sejumlah 45 g ditimbang. Selanjutnya suspensi dimasukkan ke dalam bowl
amilograf. Lengan sensor dipasang dan dimasukkan ke dalam bowl dengan
cara menurunkan head amilograf. Suhu awal termoregulator diukur pada
suhu 20 atau 25°C. Pada saat pengaturan ini switch pengatur suhu harus
terletak pada posisi 0. Switch pengatur diikat pada posisi bawah (97°),
sehingga jika mesin dihidupkan suhu akan meningkat 1,5°C setiap 1 menit.
Mesin amilograf dihidupkan maka bowl akan berputar dan pemanas akan
memanaskan air bath. Begitu suspensi mencapai 30°C, pena pencatat
diatur pada skala kertas amilogram dan pada skala tersebut diberi tanda
dengan menggoreskan pena naik turun setelah pasta mencapai suhu 95°C.
Ini bisa dihitung dari waktu yang diperlukan menaikkan suhu 65°C setelah
30°C kemudian switch pengatur dipindahkan ke posisi atas (20°C).
b Parameter analisis amilogram
Suhu awal gelatinisasi yaitu suhu pada saat kurva mulai menaik.
Suhu pada puncak gelatinisasi yaitu suhu (°C) pada puncak maksimum
viskositas yang dicapai. Suhu ditentukan berdasarkan perhitungan
berikut :
Suhu = suhu awal + (waktu dalam menit x 1.5)
Viskositas maksimum pada puncak gelatinisasi dinyatakan dalam
Amilograf Unit atau Brabender Unit.
64
4. Kejernihan Pasta 1% (Modifikasi metode Perez et al., 1999)
Pasta pati (0.1%) disiapkan dengan cara mensuspensikan 5 mg sampel
dalam 5 ml air (gunakan tabung reaksi berulir). Selanjutnya suspensi
dicelupkan pada air mendidih selama 30 menit. Tabung dikocok setiap 5
menit. Sampel didinginkan hingga suhu kamar. Nilai transmisi (% T) dibaca
pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 650 nm. Akuades
digunakan sebagai blanko.
5. Freeze-Thaw Stability (Modifikasi metode Perez et al., 1999)
Pasta pati 1% sebanyak 5 ml disiapkan. Cara penyiapan pasta pati
sama dengan prosedur analisis kejernihan pasta. Satu siklus Freeze-thaw
process terdiri atas: pasta pati disimpan dalam Freezer -20°C selama 18 jam,
kemudian ditaruh di suhu kamar selama 6 jam. Sampel diambil sebanyak 2 ml
untuk kemudian disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 3000 rpm.
Jumlah (volume) air yang terpisah setelah siklus Freezee-thaw diukur dan
dinyatakan untuk mengetahui Freeze-thaw stability dalam satuan %
Syneresis.
6. Apparent Viscosity (Modifikasi metode Perez et al., 1999)
Apparent Viscosity diukur dengan Brookfield Viscometer. Sejumlah
500 ml suspensi pati 5% bk disiapkan kemudian dicelupkan dalam air
mendidih selama 15 menit, dan didinginkan hingga suhu 25°C. Pasta diukur
pada 25°C menggunakan spindle no.1 pada laju 60 rpm.
7. Analisa Daya Cerna dan Derajat Polimerisasi
a. Persiapan 0,4% larutan pati tergelatinisasi (Sunarti et al., 2001)
Sebanyak 30 mg pati Di dalam tabung reaksi dilarutkan dalam 0.5 ml
aquades dan ditambahkan dengan 0.75 ml NaOH 1 N. Kemudian ditempatkan
pada ice batch selama 15 menit. Pati yang tergelatinisasi ditambahkan secara
perlahan-lahan aquades sebanyak 5,35 ml, dan dinetralkan dengan 0,75 ml
HCl 1 M dan ditambahkan 0,15 ml NaN3 3%.
65
b. Hidrolisis pati
Hasil persiapan larutan pati 0,4% ditambahkan sebanyak 7,5 ml
larutan buffer sitrat pH 5,2. Kemudian dikocok supaya homogen (substrat
0,2%). Selanjutnya dilakukan penambahan larutan enzim α-amilase dengan
dosis 5 U enzim/g pati. Hidrolisis dilakukan Di dalam water batch incubator
selama 8 jam dengan suhu 95 C. Setelah itu dilakukan inaktivasi enzim dan
dilakukan analisa gula pereduksi dan total gula. Rasio total gula dan gula
pereduksi dihitung sebagai Derajat polimerisasi.
8. Tata cara analisa total gula metode Fenol-Sulfat (Dubois et al., 1956)
Prinsip : Terjadinya dehidrasi pada karbohidrat yang membentuk furfural dan
hidroksi-metil-furfural (HMF). Dehidrasi pentosa oleh asam akan
dihasilkan furfural, dehidrasi ramnosa dihasilkan metal furfural.
Sebelum melakukan pengujian sampel maka perlu diketahui kurva standar
fenol yang digunakan. Pembuatan kurva standar fenol adalah sebagai berikut: 1
ml larutan glukosa standar yang mengandung 0, 10, 20, 30, 40 dan 50 µg masing-
masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi tambahkan 0,5 ml larutan fenol 5%
dan dikocok. Kemudian 2,5 ml asam sulfat pekat ditambahkan dengan cepat.
Biarkan selama 10 menit, kocok lalu tempatkan pada penangas air selama 15
menit. Absorbansinya diukur pada 490 nm. Pengujian sampel sama dengan
pembuatan standar fenolnya hanya 1 ml larutan glukosa diganti 1 ml sampel.
66
0.057
0.24
0.42
0.622
0.713
0.882y = 0.016x + 0.078
R² = 0.991
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
0 10 20 30 40 50 60
Nila
i Ab
sorb
ansi
[glukosa,µg/ml]
Kurva Standar Total Gula
Persamaan kurva standar total gula y=0,016x + 0.078
Keterangan : y: nilai absorbansi
x: nilai total gula
9. Tata cara analisa gula pereduksi metode DNS (Miller, 1959)
Prinsip : Tereduksinya ferrisianida menjadi ferrosianida oleh senyawaan gula
reduksi. Jumlah ferrosianida yang terbentuk ekivalen dengan jumlah
gula reduksi dalam sampel.
1. Penyiapan Pereaksi DNS
Pereaksi DNS dibuat dengan melarutkan 10,6 g asam 3,5-
dinitrosalisilat dan 19,8 NaOH ke dalam 1416 ml air. Setelah itu ditambahkan
306 g Na-K Tatrat, 7,6 g fenol yang dicairkan pada suhu 50 C dan 8,3 g Na-
Metabisulfit. Larutan ini diaduk rata, kemudian 3 ml larutan ini dititrasi
dengan HCl 0,1 N dengan indicator fenolftalin. Banyaknya titran berkisar 5-6
ml. Jika kurang dari itu harus ditambahkan 2 g NaOH untuk setiap kekurangan
HCl 0,1 N.
67
2. Penentuan Kurva Standar
Kurva standar dibuat dengan mengukur nilai gula pereduksi pada
glukosa pada selang 0,2-0,5 mg/l. kemudian nilai gula pereduksi decari
dengan metode DNS. Hasil yang diperoleh diplotkan dalam grafik secara
linear.
3. Penetapan Gula Pereduksi
Pengujian gula pereduksi menggunakan kurva standar DNS dengan
prosedur sebagai berikut: 1 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
kemudian ditambahkan 3 ml pereaksi DNS. Larutan tersebut ditempatkan
dalam air mendidih selama 5 menit. Biarkan sampai dingin pada suhu ruang.
Ukur absorbansi pada panjang gelombang 550 nm.
68
Lampiran 5. Data Hasil Pengamatan Karakterisasi Tepung sukun
Simbol Keterangan
A0R0a Tepung sukun alami tanpa perlakuan apapun ke-1
A0R0b Tepung sukun alami tanpa perlakuan apapun ke-2
A1R1a Konsentrasi padatan 20 % dengan putaran 4 rpm ke-1
A1R1b Konsentrasi padatan 20 % dengan putaran 4 rpm ke-2
A1R2a Konsentrasi padatan 20 % dengan putaran 6 rpm ke-1
A1R2b Konsentrasi padatan 20 % dengan putaran 6 rpm ke-2
A1R3a Konsentrasi padatan 20 % dengan putaran 8 rpm ke-1
A1R3b Konsentrasi padatan 20 % dengan putaran 8 rpm ke-2
A2R1a Konsentrasi padatan 30 % dengan putaran 4 rpm ke-1
A2R1b Konsentrasi padatan 30 % dengan putaran 4 rpm ke-2
A2R2a Konsentrasi padatan 30 % dengan putaran 6 rpm ke-1
A2R2b Konsentrasi padatan 30 % dengan putaran 6 rpm ke-2
A2R3a Konsentrasi padatan 30 % dengan putaran 8 rpm ke-1
A2R3b Konsentrasi padatan 30 % dengan putaran 8 rpm ke-2
69
5.1 Karakteristik Kimia Tepung sukun
5.1.1 Kadar air dan kadar abu
Bahan
Kadar
air
Kadar abu
(bb)
Kadar abu
(bk)
A0B0a 3,3435 0,3964 0,4101
A0B0b 3,7311 0,4308 0,4475
Rata-rata 3,5373 0,4136 0,4288
A1R1a 2,3822 0,3214 0,3293
A1R1b 2,0921 0,3274 0,3344
Rata-rata 2,2372 0,3244 0,3319
A1R2a 1,9148 0,3818 0,3893
A1R2b 1,8364 0,4079 0,4155
Rata-rata 1,8756 0,3949 0,4024
A1R3a 3,0426 0,3500 0,3610
A1R3b 2,3992 0,4040 0,4139
Rata-rata 2,7209 0,3770 0,3875
A2R1a 2,4314 0,3025 0,3101
A2R1b 2,4445 0,4476 0,4588
Rata-rata 2,4379 0,3751 0,3844
A2R2a 2,1438 0,4053 0,4142
A2R2b 1,9520 0,3427 0,3495
Rata-rata 2,0479 0,3740 0,3818
A2R3a 2,3789 0,4307 0,4412
A2R3b 3,3097 0,5589 0,5780
Rata-rata 2,8443 0,4948 0,5096
70
5.1.2 Kadar protein dan lemak
Bahan
Kadar
Protein
(bb)
Kadar Protein
(bk)
Kadar Lemak
(bb)
Kadar
Lemak (bk)
A0B0a 4,7199 4,8832 4,0971 4,2388
A0B0b 4,9794 5,1724 2,9871 3,1029
Rata-rata 4,8497 5,0278 3,5421 3,6708
A1R1a 3,6408 3,7296 0,9263 0,9489
A1R1b 3,5816 3,6582 1,0359 1,0580
Rata-rata 3,6112 3,6939 0,9811 1,0035
A1R2a 4,0409 4,1197 2,1816 2,2242
A1R2b 3,9265 4,0000 2,2313 2,2730
Rata-rata 3,9837 4,0599 2,2065 2,2486
A1R3a 4,0509 4,1780 2,5934 2,6748
A1R3b 3,6853 3,7759 2,4186 2,4781
Rata-rata 3,8681 3,9770 2,5060 2,5764
A2R1a 4,3554 4,4639 1,9155 1,9632
A2R1b 5,0582 5,1849 2,1235 2,1767
Rata-rata 4,7068 4,8244 2,0195 2,0700
A2R2a 3,6680 3,7483 2,9418 3,0062
A2R2b 4,2067 4,2905 2,5224 2,5726
Rata-rata 3,9373 4,0194 2,7321 2,7894
A2R3a 4,3641 4,4704 2,6326 2,6967
A2R3b 4,0221 4,1598 2,2157 2,2916
Rata-rata 4,1931 4,3151 2,4241 2,4941
71
5.1.3 Kadar serat kasar dan karbohidrat (by difference)
Bahan
Kadar Serat
Kasar (bb)
Kadar Serat
Kasar (defatted)
Kadar
Karbohidrat
(bb)
Kadar
Karbohidrat
(bk)
A0B0a 8,0098 4,1898 79,4334 82,1811
A0B0b 8,5537 5,8981 79,3178 82,3919
Rata-rata 8,2818 5,0440 79,3756 82,2865
A1R1a 11,2988 10,6482 81,4305 83,4177
A1R1b 12,2007 11,4255 80,7621 82,4879
Rata-rata 11,7498 11,0369 81,0963 82,9528
A1R2a 8,4471 6,4304 83,0337 84,6547
A1R2b 12,6362 10,6413 78,9617 80,4389
Rata-rata 10,5416 8,5358 80,9977 82,5468
A1R3a 7,5717 5,2159 82,3914 84,9769
A1R3b 13,0037 10,9047 78,0891 80,0087
Rata-rata 10,2877 8,0603 80,2403 82,4928
A2R1a 14,4979 12,9437 76,4974 78,4036
A2R1b 9,3463 7,4569 80,5799 82,5990
Rata-rata 11,9221 10,2003 78,5386 80,5013
A2R2a 15,5654 12,9646 75,2757 76,9249
A2R2b 10,5738 8,2619 80,4025 82,0032
Rata-rata 13,0696 10,6133 77,8391 79,4640
A2R3a 6,1523 3,6697 84,0415 86,0894
A2R3b 8,0298 6,0889 81,8638 84,6659
Rata-rata 7,0910 4,8793 82,9526 85,3777
72
5.2 Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung sukun
5.2.1 Kelarutan dan swelling power
5.2.1.1 Kelarutan dan swelling power (70 C)
Bahan
%
Kelarutan
% Swelling
Power
A0B0a 33,9000 42,4425
A0B0b 40,9667 47,4322
Rata-rata 37,4333 44,9374
A1R1a 46,2000 54,6334
A1R1b 36,8667 47,2220
Rata-rata 41,5333 50,9277
A1R2a 42,8214 53,3208
A1R2b 43,5000 48,2996
Rata-rata 43,1607 50,8102
A1R3a 45,5000 53,9240
A1R3b 42,1333 53,1110
Rata-rata 43,8167 53,5175
A2R1a 41,8333 48,2753
A2R1b 39,4000 69,6996
Rata-rata 40,6167 58,9874
A2R2a 40,7333 49,6555
A2R2b 42,8667 50,9927
Rata-rata 41,8000 50,3241
A2R3a 34,6800 61,3513
A2R3b 40,3462 65,4497
Rata-rata 37,5131 63,4005
73
5.2.1.2 Kelarutan dan swelling power (30 C)
Bahan % Kelarutan
% Swelling
Power
A0B0a 23,1000 36,1906
A0B0b 23,0667 37,7566
Rata-rata 23,0833 36,9736
A1R1a 33,0333 44,9055
A1R1b 29,5333 44,3956
Rata-rata 31,2833 44,6505
A1R2a 30,4800 59,3340
A1R2b 28,3000 42,7886
Rata-rata 29,3900 51,0613
A1R3a 33,9333 44,9779
A1R3b 32,3000 43,8508
Rata-rata 33,1167 44,4144
A2R1a 28,8333 40,9885
A2R1b 29,0000 42,4886
Rata-rata 28,9167 41,7386
A2R2a 32,0333 40,7374
A2R2b 30,9667 44,4087
Rata-rata 31,5000 42,5731
A2R3a 34,6000 47,1253
A2R3b 32,2000 41,6083
Rata-rata 33,4000 44,3668
74
5.2.2 Kejernihan pasta 0.1% dan Freeze-thaw stability
Bahan
Kejernihan pasta
0,01% Freeze-thaw Stability
A0B0a 90,20 77,14
A0B0b 90,90 82,86
Rata-rata 90,55 80,00
A1R1a 79,70 85,71
A1R1b 87,40 85,71
Rata-rata 83,55 85,71
A1R2a 93,80 85,26
A1R2b 94,00 82,86
Rata-rata 93,90 84,06
A1R3a 92,00 85,71
A1R3b 97,20 82,86
Rata-rata 94,60 84,29
A2R1a 90,70 90,00
A2R1b 89,00 91,43
Rata-rata 89,85 90,71
A2R2a 97,70 85,71
A2R2b 90,40 82,86
Rata-rata 94,05 84,29
A2R3a 98,80 82,86
A2R3b 88,70 85,71
Rata-rata 93,75 84,29
75
5.2.3 Apparent Viscosity dan Derajat Putih
Bahan
Appearant
Viscosity Derajat Putih
A0B0a 5,50 54.73
A0B0b 5,50 54.82
Rata-rata 5,50 54.77
A1R1a 7,00 40,82
A1R1b 7,00 40,73
Rata-rata 7,00 40,77
A1R2a 9,00 42,82
A1R2b 9,50 42,00
Rata-rata 9,25 42,41
A1R3a 10,00 35,64
A1R3b 8,50 36,00
Rata-rata 9,25 35,82
A2R1a 9,70 38,36
A2R1b 7,00 39,09
Rata-rata 8,35 38,73
A2R2a 6,80 36,18
A2R2b 6,50 38,64
Rata-rata 6,65 37,41
A2R3a 8,70 39,45
A2R3b 9,50 37,09
Rata-rata 9,10 38,27
76
5.2.4 Daya Cerna dan Derajat Polimerisasi
Bahan
Daya
Cerna
Derajat
Polimerisasi
A0B0a 39,5833 2,3378
A0B0b 48,9583 3,1601
Rata-rata 44,2708 2,7490
A1R1a 46,2121 2,6522
A1R1b 19,2235 1,4272
Rata-rata 32,7178 2,0397
A1R2a 40,5303 2,6817
A1R2b 44,9811 2,9321
Rata-rata 42,7557 2,8069
A1R3a 38,9205 2,1012
A1R3b 51,7045 2,7632
Rata-rata 45,3125 2,4322
A2R1a 48,5085 2,9193
A2R1b 46,9105 1,9019
Rata-rata 47,7095 2,4106
A2R2a 42,6136 2,8553
A2R2b 42,0455 2,8638
Rata-rata 42,3295 2,8596
A2R3a 44,1288 2,6489
A2R3b 31,6288 1,9464
Rata-rata 37,8788 2,2977
Lampiran 6. Analisis sidik ragam(Rancangan Acak Kelompok) dan Uji
Duncan
A. Karakteristik Kimia Tepung sukun
1. Kadar air
Sumber
Keragaman df SS MS F-hit F-tabel
Kecepatan
putaran (Ri) 2 0,9184 0,4592 1,8310 5,1433
Konsentrasi (Aj) 1 0,0136 0,0136 0,0541 5,9874
interaksi Arij 2 1,4043 0,7021 2,7993 5,1433
Ek(ij) 6 1,5048 0,2508
Total 11 3,8408
2. Kadar abu
Sumber
Keragaman df SS MS F-hit F-tabel
Kecepatan
putaran (Ri) 2 0,0167 0,0083 2,06 5,14325
Konsentrasi (Aj) 1 0,0079 0,0079 1,96 5,98738
interaksi Arij 2 0,0101 0,0050 1,26 5,14325
Ek(ij) 6 0,0242 0,0040
Total 11 0,0590
3. Kadar protein
Sumber
Keragaman df SS MS F-hit F-tabel
Kecepatan
putaran (Ri) 2 0,0964 0,0482 0,53 5,14325
Konsentrasi (Aj) 1 0,6799 0,6799 7,48* 5,98738
interaksi Arij 2 0,7140 0,3570 3,93 5,14325
Ek(ij) 6 0,5457 0,0909
Total 11 2,0361
78
* = berpengaruh nyata (F hitung > F tabel)
Faktor perlakuan yang berpengaruh nyata :
Konsentrasi Rataan Kode
A2 4,3863 A
A1 3,9102 B
Ket : Kode yang sama menunjukkan perlakuan tidak signifikan
Kode yang tidak sama menunjukkan perlakuan signifikan
4. Kadar lemak
Sumber
Keragaman df SS MS F-hit F-tabel
Kecepatan
putaran (Ri) 2 2,6165 1,3083 34,83* 5,14325
Konsentrasi (Aj) 1 0,7752 0,7752 20,64* 5,98738
interaksi Arij 2 0,6614 0,3307 8,81* 5,14325
Ek(ij) 6 0,2253 0.0376
Total 11 4,2785
* = berpengaruh nyata (F hitung > F tabel)
Faktor perlakuan berpengaruh nyata :
Kecepatan
putaran
Rataan Kode
R3 2,5353 A
R2 2,5190 A
R1 1,5367 B
Konsentrasi Rataan Kode
A2 2,4512 A
A1 1,9428 B
Interaksi Rataan Kode
A2R2 2,7894 A
A1R3 2,5765 A
A2R3 2,4942 ABC
A1R2 2,2486 BC
A2R1 2,0700 C
A1R1 1,0035 D
Ket : Kode yang sama menunjukkan perlakuan tidak signifikan
Kode yang tidak sama menunjukkan perlakuan signifikan
79
5. Kadar Serat Kasar
Sumber
Keragaman df SS MS F-hit F-tabel
Kecepatan
putaran (Ri) 2 37,2557 18,6278 2,06 5,14325
Konsentrasi (Aj) 1 1,2547 1,2547 0.14 5,98738
interaksi Arij 2 13,8794 6,9397 0,77 5,14325
Ek(ij) 6 54,3856 9,0643
Total 11 106,7754
6. Kadar Karbohidrat (by difference)
Sumber
Keragaman df SS MS F-hit F-tabel
Kecepatan
putaran (Ri) 2 18,6407 9,3203 1,26 5,14325
Konsentrasi (Aj) 1 2,3397 2,3397 0,32 5,98738
interaksi Arij 2 21,4958 10,7479 1,45 5,14325
Ek(ij) 6 44,3686 7,3948
Total 11 86,8449
B. Karakterisasi Sifat Fungsional Tepung sukun
1. Kelarutan dan swelling power
1.1. Kelarutan dan Swelling Power 70 C
Kelarutan
Sumber
Keragaman df SS MS F-hit F-tabel
Kecepatan
putaran (Ri) 2 7,2522 3,6261 0,31 5,14325
Konsentrasi (Aj) 1 24,5442 24,5442 2,08 5,98738
interaksi Arij 2 17,8824 8,9412 0,76 5,14325
Ek(ij) 6 70,7419 11,7903
Total 11 120,4207
80
Swelling Power
Sumber
Keragaman df SS MS F-hit F-tabel
Kecepatan
putaran (Ri) 2 125,0901 62,5450 1,34 5,14325
Konsentrasi (Aj) 1 101,5783 101,5783 2,18 5,98738
interaksi Arij 2 61,2915 30,6457 0,66 5,14325
Ek(ij) 6 279,1951 46,5325
Total 11 567,1549
1.2. Kelarutan dan Swelling Power 30 C
Kelarutan
Sumber
Keragaman df SS MS F-hit F-tabel
Kecepatan
putaran (Ri) 2 24,0120 12,0060 5,42 * 5,14325
Konsentrasi (Aj) 1 0,0002 0,0002 0,00 5,98738
interaksi Arij 2 10,1332 5,0666 2,29 5,14325
Ek(ij) 6 13,2977 2,2163
Total 11 47,4432
* = berpengaruh nyata (F hitung > F tabel)
Faktor perlakuan berpengaruh nyata :
Kecepatan
putaran
Rataan Kode
R3 33,258 A
R2 30,445 B
R1 30,100 B
Ket : Kode yang sama menunjukkan perlakuan tidak signifikan
Kode yang tidak sama menunjukkan perlakuan signifikan
81
Swelling Power
Sumber
Keragaman df SS MS F-hit F-tabel
Kecepatan
putaran (Ri) 2 27,2568 13,6284 0,51 5,14325
Konsentrasi (Aj) 1 43,6837 43,6837 1,63 5,98738
interaksi Arij 2 36,8485 18,4242 0,69 5,14325
Ek(ij) 6 160,7239 26,7873
Total 11 268,5129
2. Kejernihan pasta 1%
Sumber
Keragaman df SS MS F-hit F-tabel
Kecepatan
putaran (Ri) 2 145,1217 72,5608 3,56 5,14325
Konsentrasi (Aj) 1 10,4533 10,4533 0,51 5,98738
interaksi Arij 2 29,9817 14,9908 0,74 5,14325
Ek(ij) 6 122,2800 20,3800
Total 11 307,8367
3. Freeze-thaw stability
Sumber
Keragaman df SS MS F-hit F-tabel
Kecepatan
putaran (Ri) 2 42,3893 21,1947 7,88* 5,14325
Konsentrasi (Aj) 1 9,1128 9,1128 3,39 5,98738
interaksi Arij 2 15,9395 7,9698 2,96 5,14325
Ek(ij) 6 16,1458 2,6910
Total 11 83,5874
* = berpengaruh nyata (F hitung > F tabel)
82
Faktor perlakuan berpengaruh nyata :
Kecepatan
putaran
Rataan Kode
R1 88,214 A
R3 84,286 B
R2 84,171 B
Ket : Kode yang sama menunjukkan perlakuan tidak signifikan
Kode yang tidak sama menunjukkan perlakuan signifikan
4. Derajat Putih
Sumber
Keragaman df SS MS F-hit F-tabel
Kecepatan
putaran (Ri) 2 20,7205 10,3603 9,60* 5,14325
Konsentrasi (Aj) 1 30,0833 30,0833 27,88* 5,98738
interaksi Arij 2 5,1253 2,5627 2,37 5,14325
Ek(ij) 6 6,4752 10792
Total 11 62,4044
* = berpengaruh nyata (F hitung > F tabel)
Faktor perlakuan berpengaruh nyata :
Konsentrasi Rataan Kode
A1 40,4849 A
A2 37,3182 B
Kecepatan
putaran
Rataan Kode
R3 39,9091 A
R2 39,7500 A
R1 37,0455 B
Ket : Kode yang sama menunjukkan perlakuan tidak signifikan
Kode yang tidak sama menunjukkan perlakuan signifikan
83
5. Apparent Viscosity
Sumber
Keragaman df SS MS F-hit F-tabel
Kecepatan
putaran (Ri) 2 5,1017 2,5508 2,91 5,14325
Konsentrasi (Aj) 1 0,6533 0,6533 0,75 5,98738
interaksi Arij 2 7,9517 3,9758 4,54 5,14325
Ek(ij) 6 5,2600 0,8767
Total 11 18,9667
6. Daya Cerna
Sumber
Keragaman df SS MS F-hit F-tabel
Kecepatan
putaran (Ri) 2 162,5875 81,2938 0,81 5,14325
Konsentrasi (Aj) 1 7,3242 7,3242 0,07 5,98738
interaksi Arij 2 58,1811 29,0905 029 5,14325
Ek(ij) 6 600,8358 100,1393
Total 11 828,9287
7. Derajat Polimerisasi
Sumber
Keragaman df SS MS F-hit F-tabel
Kecepatan
putaran (Ri) 2 0,8115 0,4057 1,38 5,14325
Konsentrasi (Aj) 1 0,0278 0,0278 0,09 5,98738
interaksi Arij 2 0,1306 0,0653 0,22 5,14325
Ek(ij) 6 1,7651 0,2942
Total 11 2,7350