PRODUKSI KERIPIK DAGING DENGAN PERLAKUAN JENIS … · Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Juni 1968,...
Transcript of PRODUKSI KERIPIK DAGING DENGAN PERLAKUAN JENIS … · Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Juni 1968,...
PRODUKSI KERIPIK DAGING DENGAN PERLAKUAN JENIS TEPUNG YANG DIGORENG VAKUM
YUSTINI ELINDA
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Produksi Keripik daging dengan Perlakuan Jenis Tepung yang Digoreng Vakum adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2007
Yustini Elinda Nim D 051040051
ABSTRACT
YUSTINI ELINDA. The Production Beef Chips with Vaccum Frying at Different Starchs. Under the direction of RUDY PRIYANTO and EDDIE GURNADI.
Beef is a kind of meat from cattle which has a high nutritive value. However, it is the most perishable product. Processing this kind of meat into beef chip by vaccum frying may enchance its self life and promote meat product diversivication.
The aim of this study is to examine the influence of tapioca starch and its combination with wheat and maize starchs at different frying time on phisycal chemical and organoleptic properties of beef chip. The experiment was set in a completely randomized design with 3x6 factorial arrangement and three replication
The results indicated that combination of starchs and heating time showed significant different for reduction form, moisture content and peroxide value. In order that combination of starchs significant different for aroma and cripness of chips. Keywords : Vaccum frying, beef chips, phisycal and chemical properties.
ABSTRAK YUSTINI ELINDA. Produksi Keripik Daging dengan Perlakuan Jenis Tepung yang Digoreng Vakum. Dibimbing oleh RUDY PRIYANTO DAN EDDIE GURNADI.
Daging merupakan bahan pangan produk peternakan yang memiliki nilai gizi relatif lengkap dan seimbang. Pengolahan produk hasil ternak dimaksudkan untuk mendapat nilai tambah dan meningkatkan daya simpan, mengingat daging merupakan bahan yang mudah rusak (perishable). Penelitian ini mempunyai tujuan mempelajari pengaruh jenis tepung dan lama pengorengan terhadap sifat fisik dan kimia keripik daging.
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan pola faktorial 3 x 6 dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah jenis tepung yang terdiri atas tepung tapioka, tepung terigu dan tepung maizena dan faktor kedua adalah lama penggorengan yaitu 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 menit.
Dari hasil analisis jenis tepung tidak mempengaruhi sifat fisik keripik daging namun Lama penggorengan mempengaruhi sifat fisik keripik daging kecuali kekerasan objektif. Jenis tepung tidak mempengaruhi sifat kimia keripik daging kecuali bilangan peroksida namun lama penggorengan mempengaruhi sifat kimia keripik daging kecuali kadar lemak. Sifat fisik dan kimia keripik daging tidak dipengaruhi oleh interaksi jenis tepung dan lama penggorengan
Kata kunci : penggorengan vakum, keripik daging, sifat fisik dan kimia
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian
Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm dan sebagainya
PRODUKSI KERIPIK DAGING DENGAN
PERLAKUAN JENIS TEPUNG YANG DIGORENG VAKUM
YUSTINI ELINDA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada Sekolah Pascasarjana IPB
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2007
Judul Tesis : Produksi Keripik Daging dengan Perlakuan Jenis Tepung
yang Digoreng Vakum Nama : Yustini Elinda NIM : D 051040051
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rudy Priyanto Prof. Dr. H. R. Eddie Gurnadi Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ternak
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 24 April 2007 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak September 2006
adalah Produksi Keripik Daging dengan Perlakuan Jenis Tepung yang Digoreng
Vakum.
Pada kesempatan yang berbahagia ini penulis menghaturkan terima kasih
yang tulus tidak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang
terhormat Bapak Dr. Ir. Rudy Priyanto dan Bapak Prof. Dr. H. Eddie Gurnadi
masing-masing sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing atas kesabaran,
penyediaan waktu, tenaga dan pikiran walaupun di tengah-tengah kesibukan
beliau untuk memberikan bimbingan dan nasehat kepada penulis sehingga tulisan
ini dapat diselesaikan. Demikian pula kepada Bapak Dr. Ir. Nachrowi, M.Sc
selaku Ketua Program Studi Ilmu Ternak serta Kepala Laboratorium Pangan dan
Gizi PAU IPB yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melaksankan
penelitian di laboratorium ini.
Ucapan terima kasih penulis tujuakan kepada Dr. Ir. Dedi Rahmat atas
bantuannya selama saya melaksanakan penelitian serta Dr. Ir. Heni Nuraini, Msi
selaku penguji luar komisi atas saran-saran yang diberikan sehingga dapat
menyempurnakan lagi tulisan ini. Demikian pula kepada rekan-rekan S-2 maupin
S-3 PTK IPB, khususnya angkatan 2004, beserta semua pihak yang yang tak
mungkin disebutkan satu per satu, penulis menyampaikan penghargaan dan
ucapan terima kasih sedalam-dalamnya atas bantuan moril dan kerjasamanya
selama penulis menempuh studi S-2.
Kupersembahkan tesis ini untuk ibu, suami tercinta serta saudara-saudaraku
Desy, Lia, Corry dan Novy yang senantiasa telah mencurahkan kasih sayang dan
mendukung serta anak-anakku tercinta Vira dan Syifa untuk mendorong kalian
untuk giat belajar.
Akhirnya jika pembaca merasa tesis ada kekurangan, maka orang yang
merasa kekurangan adalah penulis sendiri. Namun kepada pembaca yang arif dan
bijaksana penulis mengharapkan saran demi peningkatan mutu tesis ini pada masa
berikutnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dijadikan Allah SWT sebagai amal
sholeh bekal penulis menempuh hidup di dunia dan di akhirat nanti. Amin.
Bogor, April 2007
Yustini Elinda
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Juni 1968, di Kota Bandung, Jawa
Barat. Penulis adalah anak kelima dari lima bersaudara dari pasangam Johan
Iskandar Sastrawinata dan Rd Rr Ngt. Sulastri.
Pendidikan formal penulis diawali tahun 1974 di SDN Karang Pawulang I
Bandung, lulus pada tahun 1980. Tahun yang sama melanjutkan ke SMPN 13
Bandung hingga lulus tahun 1983. Kemudian tahun 1983 penulis melanjutkan
pendidikan di SMAN 8 Bandung lulus tahun 1986. Pada tahun 1987 penulis
diterima sebagai mahasiswa di Universitas Padjadjaran melalui jalur Sipenmaru
dan tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Peternakan jurusan Sosial Ekonomi
Peternakan. Pada tahun 2004, penulis diterima di Program Studi Ilmu Ternak
Sekolah Pascasarjana IPB.
Penulis bekerja sebagai pelaksana pada seksi Penyusunan Program di
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat sejak tahun 1998.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………………. iv
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………. v
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………….. vi
PENDAHULUAN ……………………………………………….. 1
Latar Belakang …………………………………………. 2
Tujuan Penelitian ……………………………………….. 3
Kegunaan Penelitian .…………………………… …………… 4
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………. 6
Daging ……………………………………………………….. 7
pH Daging ……………………………………………… 7
Daging Olahan ……………………………………………. 7
Bahan Pengisi …………………………………………….. 8
Tepung / Pati ……………………………………………… 10
Tepung Jagung …………………………………………. 10
Tepung Tapioka …………………………………………... 10
Tepung Terigu ……………………………………………. 11
Bahan Tambahan …………………………………………. 11
Phosphat ………………………………………………….. 11
Garam …………………………………………………….. 12
Es ……………………………………………………………. 12
Keripik Daging ………………………………………………. 12
Transfer Panas ……………………………………………….. 13
Teknik Penggorengan Secara Vakum ………………………….. 14
Minyak ……………………………………………………….. 15
Struktur Bahan Pangan Digoreng ………………………………. 16
Proses Menggoreng ………………………………………….. 16
Pengaruh Penggorengan terhadap Kerusakan Nutrisi ..................... 17
BAHAN DAN METODE PENELITIAN ..................................... 20
Tempat dan Waktu Penelitian .............................. 20
Bahan dan Alat .......................................................... 20
Metode Penelitian ............................................................. 20
Peubah yang Diamati ...................................................................... 24
Rancangan Percobaan .................................................. 27
Analisis Data ......................................................................... 28
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................. 29
Karakteristik Fisik ................................................. 29
Rendemen ........................................................... 30
Penyusutan Bentuk ............................................................ 30
Kekerasan Objektif ............................................................... 30
Karakteristik Kimia ........................................................................... 31
Nilai Proksimat .............................................................................. 31
Kadar Air ....................................................................................... 33
Kadar Lemak ................................................................................... 34
Bilangan Peroksida ...................................................................... 36
Penilaian Organoleptik terhadap Keripik Daging …… ................... 38
Warna .............................................................................. 39
Aroma ........................................................................................... 40
Tekstur .............................................................................................. 40
Rasa ................................................................................................ 43
Kerenyahan ..................................................................................... 43
SIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 45
DAFTAR PUSTAKA .............................................................. 46
LAMPIRAN ........................................................................................ 49
DAFTAR TABEL Halaman 1 Komposisi bahan keripik daging .................................... 21 2 Analisis rendemen, penyusutan bentuk dan kekerasan objektif
keripik daging pada jenis tepung dan lama penggorengan yang berbeda ..................
29
3 Nilai Proksimat sampel daging olahan dan keripik Daging .............. 31 4 Analisis kadar air keripik daging pada jenis tepung dan lama
penggorengan yang berbeda........................................................... 33
5 Analisis kadar lemak keripik daging pada jenis tepung dan lama
penggorengan yang berbeda ........................................................... 33
6 Analisis bilangan peroksida keripik daging pada jenis tepung dan
lama penggorengan yang berbeda ................................................... 36
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Struktur dan jaringan ikat otot ................................................. 5 2 Rantai lurus molekul amilose dan rantai bercabang molekul amilopektin .................................................................
9
3 Struktur bahan pangan yang digoreng ......................................... 16 4 Proses penggorengan ............................................................ 16 5 Alat penggorengan vakum ............................................................... 22 6 Spinner ................................................................................ 22 7 Tahapan proses pembuatan keripik daging ........................... 23 8 Histogram kadar air keripik daging pada jenis tepung dan lama
Penggorengan yang berbeda ..............................................
34 9 Grafik pengaruh jenis tepung dan lama penggorengan yang berbeda
terhadap bilangan peroksida keripik daging ................................ 37
10 Grafik tes median penilaian warna keripik daging ..................... 39 11 Grafik tes median penilaian aroma keripik daging .................. 40 12 Grafik tes median penilaian tekstur keripik daging ......................... 41 13 Grafik tes median penilaian rasa keripik daging ............................. 42 14 Grafik tes median penilaian kerenyahan keripik daging .................. 44
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1 Kuesioner penilaian organoleptik uji hedonik .................................. 48
2 Analisis ragam rendemen keripik daging ................................. 55
3 Analisis ragam penyusutan keripik daging .......................... 55
4 Analisis ragam kekerasan objektif keripik daging ................... 55
5 Analisis ragam kadar air keripik daging ........................... 55
6 Analisis ragam kadar lemak keripik daging ........................... 55
7 Analisis keragaman bilangan peroksida keripik daging .................... 55
8 Uji kruskall wallis penilaian warna ................................................ 56
9 Uji kruskall wallis penilaian aroma .................................................. 56
10 Uji kruskall wallis penilaian tekstur .............................................. 56
11 Uji kruskall wallis penilaian rasa ............................................... 56
12 Uji kruskall wallis penilaian kerenyahan .................................... 57
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daging merupakan bahan pangan produk peternakan yang memiliki
nilai gizi relatif lengkap dan seimbang. Daging yang umum dikonsumsi
biasanya berasal ternak konvensial, yaitu sapi dan ayam. Sumber-sumber
daging ternak lain masih agak terabaikan karena beberapa alasan diantaranya
rasa, aroma faktor budaya maupun prestise.
Pengolahan produk hasil ternak dimaksudkan untuk mendapat nilai
tambah dan meningkatkan daya simpan, mengingat daging merupakan bahan
yang mudah rusak (perishable). Pengolahan daging dibagi menjadi dua yaitu
pengolahan basah dan kering. Pengolahan basah memiliki kandungan gizi
yang cukup tinggi tetapi mempunyai umur simpan yang kurang maksimal jika
disimpan pada suhu ruang sebaiknya, dilakukan pengolahan kering.
Pengolahan kering biasanya dilakukan pada daging sebelum
dikonsumsi. Salah satu daging olahan dengan metoda transfer panas dapat
dibuat keripik untuk memperpanjang umur simpan. Akan tetapi, pada
pembuatan keripik terjadi kerusakan gizi akibat pemanasan. Salah satu upaya
untuk meminimalkan kerusakan gizi tersebut adalah penggorengan daging
secara vakum. Penggorengan vakum adalah penggorengan hampa pada
kondisi tekanan rendah dan suhu 90 °C. Pembuatan keripik dengan cara
vakum ini diharapkan dapat meningkatkan daya tarik daging maupun
diversifikasi makanan. Sesuai dengan trend yang berkembang di masyarakat
perkotaan yang menginginkan produk olahan yang simpel dan praktis maka
keripik daging ini perlu dikembangkan sehingga dapat langsung dikonsumsi.
Pembuatan keripik daging dilakukan melalui tahap penggilingan dalam
usaha pembentukan produk baru, komponen campuran produk tersebut
memerlukan bahan yang dapat mengikat. Bahan campuran yang digunakan
untuk pembuatan keripik daging adalah tepung tapioka, tepung terigu dan
tepung maizena. Masing-masing tepung tersebut mempunyai perbedaan
dalam kandungan amilosa dan amilopektin sehingga dapat mempengaruhi
kualitas keripik daging yang dihasilkan.
Dalam proses menggoreng, udara dan temperatur tinggi merupakan
dua faktor utama pemyebab kerusakan minyak goreng. Aerasi udara secara
berlebihan selama proses penggorengan harus dihindari untuk mengurangi
proses oksidasi. Pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan penyedotan uap
atau aerasi. Proses oksidasi dengan cara ionisasi - radiasi dengan adanya
oksigen akan menghasilkan hidroperoksida dan senyawa karbonil, namun
peroksida tidak terbentuk pada proses ionisasi - radiasi jika penggorengan
dilakukan dalam suasana vakum.
Suhu penggorengan merupakan faktor yang akan mempengaruhi mutu
hasil penggorengan. Mutu hasil gorengan dengan stabilitas penyimpanan
yang baik dihasilkan pada suhu menggoreng yang paling rendah. Salah satu
pertimbangan pemilihan suhu menggoreng yang optimum adalah pengaruhnya
secara langsung terhadap perubahan warna dari bahan pangan yang digoreng.
Disamping itu, suhu yang tinggi dapat mengakibatkan terjadinya denaturasi
protein daging secara berlebihan sehingga dapat menghasilkan produk dengan
flavor yang tidak disukai. Penggorengan dengan temperatur tinggi pada suhu
300 – 350 °C juga dapat menyebabkan terbentuknya bahan-bahan
carsinogenik yang menstimulasi penyakit kanker pada manusia.
Tujuan Penelitian
1. Mempelajari pengaruh jenis tepung terhadap sifat fisik dan kimia keripik
daging
2. Mempelajari pengaruh lama penggorengan terhadap sifat fisik dan kimia
keripik daging
3. Mempelajari interaksi jenis tepung dan lama penggorengan terhadap sifat
fisik dan kimia keripik daging
Kegunaan Penelitian
Menghasilkan produk keripik daging yang dapat diterima konsumen
TINJAUAN PUSTAKA Daging
Menurut Aberle et al. (2001), seseorang memakan daging dengan
beberapa alasan diantaranya karena tradisi atau kebiasaan yang sudah
dilakukan oleh generasi sebelumnya, karena alasan daging mengandung
nutrisi yang tinggi atau pengaruh sosial bisa juga karena alasan religius.
Kualitas daging dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain posisi otot pada
tubuh hewan. Otot yang berkualitas tinggi dan berharga mahal terletak pada
bagian dorsal yaitu otot Longisisimus dorsi. Sementara otot yang murah
adalah otot-otot yang banyak dipakai beraktivitas bergerak seperti otot
ekstensor. Otot kerangka merupakan organ dari sistem muskular yang
langsung maupun tidak langsung melekat pada tulang melalui ligamen, fascia,
cartilage atau kulit. Ada 600 otot pada tubuh ternak yang berbeda ukuran dan
bentuknya.
Di sekeliling urat daging urat daging terdapat seberkas jaringan
penghubung epimisium, yang melekat diantara otot dan membaginya menjadi
sekumpulan berkas otot yang terdiri dari serat-serat yang berdiri sendiri.
Serat-serat ini kira-kira beberapa sentimeter, tetapi garis tengahnya sekitar 10-
100 µm. Serat-serat ini dikelilingi oleh suatu selubung yang lentur yang
dinamakan sarkolemma yang tersusun dari protein dan lemak dan di
sekelilingnya terdapat tubuli. Serat otot tersusun atas sejumlah miofibril pada
suatu larutan cairan pekat bahan koloid yang disebut sarkoplasma. Miofibril
adalah organel yang khas terdapat pada jaringan otot yang bentuknya
memanjang merupakan batang silinder yang bergaris tengah 1-2 µm dengan
panjang yang sesuai dengan serat daging yang mengandung kira-kira 1 000 –
2 000 miofibril. Miofibril ini diikat sehingga memberi bentuk yang melintang
dan berlapis-lapis. Sarkoplasma terdiri dari 75 – 80 % air, berisi campuran
yang kompleks dari butiran kecil lemak, glikogen, ribosom, bahan-bahan
nitrogen bukan protein dan bahan-bahan anorganik. Pada pembesaran 15 000
kali, miofibril nampak terdiri atas serabut tipis dan tebal yang dikenal sebagai
miofilamen yang membentuk suatu sistem yang berliku-liku yang saling
menutupi dalam garis sejajar yang lurus. Unit dasar ini dikenal sebagai
sarkomer dimana serabut tebalnya terdiri dari protein miosin dan serabut tipis
terdiri dari protein aktin. Serabut-serabut ini panjangnya kira-kira 1 – 3 µm
dan bergaris tengah 6 – 16 µm (Buckle et al. 1987).
Menurut McWilliams (2001) jaringan otot mempunyai komponen
utamanya terdiri dari 75 % air, diikuti oleh protein sebanyak 18%, lemak
dengan kisaran 4 – 10 % serta karbohidrat sebesar 1%. Karbohidrat pada
jaringan otot utamaya dibentuk dari glikogen ditambah sedikit glukosa dan
glukosa 6 – phosphat.
Glikogen merupakan persediaan karbohidrat utama di dalam hati dan
serabut otot. Granula tunggal atau kelompok granula glikogen terdapat
didalam sarkoplasma diantara miofibril dan di bawah membran sel. Glikogen
adalah polisaharida yang terbentuk dari ikatan sejumlah unit D-glukosa secara
bersama-sama.
Struktur dan jaringan ikat otot dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1 Struktur dan jaringan ikat otot
Lebih lanjut menurut Aberle et al. (2001) bahwa komponen utama daging
terdiri dari otot, lemak (marbling), sejumlah jaringan ikat (kolagen, elastin,
dan retikulin) serta pembuluh darah, epithel dan syaraf. Otot terdiri dari
berkas otot (muscle bundle), berkas otot terdiri dari serat otot (muscle fiber)
yang merupakan sel otot yang meruncing kedua ujungnya. Serat otot berisi
benang otot (myofibril) sedangkan myofibril terdiri dari beberapa sarkomer.
Dalam sarkomer terdapat filamen-filamen halus (myofilamen) yang tebal dan
tipis. Filamen tebal disebut myosin dan yang tipis disebut actin, yang disebut
juga dengan protein myofibril. Kedua protein ini sangat berperan dalam
proses kontraksi otot.
Lawrie (2003) dan Aberle et al. (2001) menambahkan bahwa protein pada otot
bisa diklasifikasikan sebagai protein myofibrilar, protein sarkoplasmik dan
protein stromal (jaringan ikat dan organel). Menurut Ham (1962) dalam
deMan (1989) bahwa protein otot mempengaruhi kemampuan daging dalam
mengikat air. Sekitar 34% protein ini larut dalam air. Kemampuan otot
mengikat air terutama disebabkan oleh actomyosin yaitu komponen myofibril.
Aberle et al. (2001) mengatakan bahwa daya mengikat air oleh daging bisa
menurun akibat beberapa perlakuan diantaranya adalah pemanasan.
pH Daging
pH daging pada dasarnya ditentukan oleh kandungan asam laktat yang
tertimbun dalam otot, yang selanjutnya ditentukan oleh kandungan glikogen
dan penanganan sebelum penyembelihan. Penimbunan asam laktat akan
berhenti setelah cadangan glikogen otot menjadi habis atau pada saat pH yang
cukup rendah untuk menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik di dalam
proses glikolisis anaerobik (Soeparno 1994). Jadi pH ultimat daging adalah
pH yang tercapai setelah glikogen otot menjadi habis atau setelah enzim-
enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendah atau setelah glikogen
tidak lagi sensitif terhadap enzim-enzim glikolitik. pH ultimat normal daging
adalah berkisar 5.5 yang sesuai dengan titik isoelektrik, pada umumnya
glikogen tidak ditemukan pada pH sekitar 5.4 – 5.5 (Lawrie 2003). pH akhir
yang tercapai mempunyai beberapa pengaruh terhadap mutu daging. Menurut
Aberle et al. (2001) bahwa pada pH akhir daging mencapat titik isoelektrik
(5.2 – 5.4) jumlah gugus reaktif dari protein otot yang bermuatan positif dan
negatif yang sama, sehingga gugus tersebut cenderung saling menarik dan
hanya gugus yang tersisa yang tersedia untuk mengikat air. Menurunnya pH
akhir daging akibat akumulasi asam laktat pada perubahan postmortem selama
konversi otot menjadi daging. Penurunan pH postmortem dipengaruhi oleh
faktor instrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik antara lain dipengaruhi oleh
spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas sedangkan faktor ekstrinsik
antara lain temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif dan stress sebelum
pemotongan. Penurunan pH mempunyai hubungan erat dengan temperatur
lingkungan, temperatur tinggi meningkatkan laju penurunan pH sedangkan
temperatur rendah dapat menghambat penurunan pH. Laju penurunan pH otot
yang cepat akan mengakibatkan (1) warna daging menjadi pucat, (2) daya ikat
protein daging terhadap cairannya menjadi rendah dan (3) permukaan
potongan daging menjadi basah karena keluarnya cairan ke permukaan
potongan daging.
Daging Olahan
Daging olahan didefinisikan sebagai makanan yang diperoleh dari
campuran daging ternak (kadar daging kurang 50 %) dan pati atau serealia
dengan atau tambahan bahan makanan yang diizinkan (SNI 1995).
Bahan Pengisi
Bahan pengisi mengandung komponen utama karbohidrat yang dapat
meningkatkan daya mengikat air karena mempunyai kemampuan menahan air
selama proses pengolahan dan pemasakan tetapi tidak dapat mengemulsikan
lemak (Oeckerman 1983).
Menurut Pearson dan Tauber (1984), fungsi penambahan bahan
pengisi adalah untuk memperbaiki stabilitas emulsi, mereduksi penyusutan
selama pemasakan, memperbaiki sifat irisan, memeperbaiki peningkatan
lemak dan mengurangi biaya produksi. Penggunaan bahan pengisi dalam
pembuatan daging olahan berdasarkan SNI 01-3818-1995 maksimum 50 %
dari berat daging.
Menurut Aberle et al. (2001) beberapa macam bahan bukan daging
(non meat) dapat ditambahkan dalam formula masakan daging. Bahan-bahan
tersebut dapat diklasifikasikan sebagai ekstender, binder dan filler. Binder
adalah komponen bukan daging yang memiliki peran dalam meningkatkan
daya ikat air dan memperbaiki emulsi sedangkan filler bisa berperan seperti
binder tetapi sifat emulsifier yang dimiliki tidak setinggi binder, sedangkan
ekstender adalah bahan non meat, bukan juga air, garam dan bumbu yang
ditambahkan untuk meningkatkan jumlah produk akhir.
Tepung/Pati
Tepung merupakan polisakarida terbuat dari unit glukosa yang
bersambung membentuk rantai panjang. Jumlah molekul glukosa yang
bergabung dalam satu molekul yang bervariasi dari limaratus sampai beratus
ribuan, jumlah ini tergantung dari tipe tepung. Pati tersimpan dalam bentuk
energi tanaman. Tanaman membentuk molekul-molekul tepung menjadi
amiloplas yang tersimpan dalam bentuk granul-granul, yang mempunyai garis
tengah bervariasi antara 2 – 130 µm. Ukuran dan bentuk dai granul
merupakan karakteristik dari tanaman sebagai sumber pati. Ada dua tipe dari
molekul glukosa didalam pati yaitu terdiri dari amilose dan amilopektin.
Amilose berkisar antara 20 – 30% dari total perkiraan dari tepung alami
(Parker 2003).
Amilosa didalam amilosa merupakan molekul-molekul glukosa saling
bergandengan melalui gugus glukopiranosa α-1.4, berbeda dngan selulosa
yang saling bergandengan melalui gugus glukopiranosa β-1.4. Pada hidrolisis
amilose menghasilkan maltosa di samping glukosa dan aligosakarida lainnya.
Amilopektin pada amilopektin sebagian dari molekul-molekul glukosa
didalam rantai percabangannya saling berikatan melalui gugus α-1.6. Ikatan
α1.6 sangat sukar diputuskan lebih-lebih jika dihidrolisis menggunakan
katalisator asam. Untuk kepentingan tumbuhan itu sendiri cadangan pati di
dalam sel-sel penyimpanannnya dapat diuraikan kembali menjadi glukosa
untuk kemudian dikonversikan menjadi energi. Pada saat yang tepat tubuh
tanaman akan mensintesa α-amilase, β-amilase dan R-enzim yang semuanya
secara bersama-sama bertugas memutus ikatan-ikatan rantai pati menjadi
molekul-molekul glukosa yang bebas. Gambaran rantai lurus molekul
amilose dan rantai bercabang molekul amilopektin dapat dilihat pada Gambar
2 berikut ini.
Gambar 2 Rantai lurus molekul amilosa dan rantai bercabang molekul amilopektin
Menurut Parker (2003) molekul amilose membentuk gel, hal ini karena
cabang lurus dapat melintang satu sama lain sehingga berikatan. Percabangan
molekul amilopektin menjadi kental pada saat pemasakan. Pada saat berbeda
mempunyai perbedaan relatif antara amilose dan amilopektin.
Amilose dapat membentuk gel baik dimasak maupun dicampur dengan
air dingin. Jenis tepung yang tidak mempunyai amilose tidak membentuk gel.
Molekul amilose yang larut seperti butir-butir dan akan mengembang selama
proses gelatinisasi. Tepung mulai terjadi gelatinisasi pada suhu antara 140-
158 °F atau 60-70 °C dan proses gelatinisasi ini tergantung dari jenis pati.
Tepung yang dimasak dengan air maka menjadi butiran-butiran dan akan
meningkatkan dispersi kekentalan sampai tingkat kekentalan memuncak.
Dispersi juga meningkatkan tembus cahaya. Menurut Aberle et al. (2001)
bahan campuran ini mempunyai fungsi diantaranya memperbaiki stabilitas
adonan daging, meningkatkan daya ikat air, meningkatkan tekstur dan cita
rasa, menurunkan susut masak, memperbaiki sifat potongan serta mengurangi
biaya produksi.
Tepung Jagung
Menurut Radley (1976) proporsi amilose dan amilopektin pada tepung
jagung masing-masing sebesar 27% amilose dan 73% amilopektin. Keduanya
merupakan berat molekul polimer yang tinggi, yang terbentuk dari unit D-
glukosa. Amilopektin merupakan percabangan dari molekul yang terdiri dari
4 000 atau lebih unit glukosa. Amilose secara esensial merupakan rantai yang
lurus terdiri dari 1 000 unit glukosa. Tepung jagung mempunyi kadar protein
9.2 mg/100gram tepung (Depkes RI 1972).
Tepung Tapioka
Tepung tapioka mempunyai kadar amilose lebih rendah dibanding
tepung jagung dan terigu, termasuk ke dalam jenis pati yang kadar
amilopektin yang tinggi. Pati-pati yang mempunyai kandungan amilopektin
yang tinggi sangat tepat digunakan sebagai bahan baku industri karena pada
umumnya jenis pati ini sedikit mengandung ISSP (Insoluble Starch Particle)
yang merupakan partikel pati yang tersusun atas sejumlah besar amilose yang
saling bergandengan membentuk rantai yang lurus. Bahan ini dapat
dihidrolisis dengan memakai katalistor asam pada suhu tinggi, meskipun hasil
hidrolisis masih tetap mengandung sejumlah kecil sisa ISSP. Hidrolisis
dengan enzim hanya dapat dilakukan pada suhu tinggi. Pada suhu di bawah
85 °C enzim α-amilase hampir-hampir tidak berfungsi.
Adapun sifat-sifat amilopektin yaitu : (1) sangat jernih, dalam bentuk
pasta amilopektin menunjukkan kenampakan yang sangat jernih sehingga
sangat disukai karena dapat mempertinggi mutu penampilan dari produk
akhir ; (2) Tidak mudah menggumpal, pada suhu normal pasta dari
amilopektin tidak mudah menggumpal dan kembali menjadi keras ; (3)
Memiliki daya pemekat yang tinggi ; (4) Tidak mudah rusak atau pecah, pada
suhu normal atau lebih rendah pasta tidak mudah kental dan pecah (retak-
retak), stabilitas amilopektin pada suhu yang amat rendah juga lebih tinggi ;
(5) Suhu gelatinisasi lebih rendah
Tepung tapioka mempunyai sifat lengket dan cenderung seperti benang
karena molekul amilose mempunyai rantai yang panjang. Berdasarkan kadar
protein tepung tapioka termasuk ke dalam jenis pati yang berkadar protein
rendah yaitu 1.1 gram/100gram (Depkes RI 1972).
Tepung Terigu
Menurut Radley (1976) proporsi amilose dan amilopektin masing-
masing sebesar 16 – 24% amilose dan 76 – 84% amilopektin. Tepung terigu
merupakan Tepung terigu mempunyai kadar protein sebesar 8.9
gram/100gram tepung (Depkes RI 1972).
Protein dalam tepung terigu sangat penting digunakan dalam pembuatan
produk makanan. Kisaran dari protein yang diekstraksi dari tepung terigu
sebesar 85% dari protein yang larut. Protein yang tidak larut dipisahkan
dalam dua fraksi yang dinamakan gliadin dan glutelin. Ketika tepung terigu
dilarutkan dalam air dan tercampur rata protein yang larut membentuk gluten.
Pada tepung terigu 10 – 14 % terdiri dari gluten. Gluten sangat penting
sebagai bahan pengisi, dapat membuat adonan menjadi elastis (Parker 2003).
Bahan Tambahan
Phosphat
Menurut Aberle et al. (2001) banyak bentuk dari Phosphat yang
digunakan, tingkat penggunaannya tidak melebihi dari 0.5 % dari produk
akhir. Menurut Keeton (2001) penggunaan alkali phosphat yang mendekati
0.5 % akan mengakibatkan rasa seperti sabun. Penggunaan phosphat dapat
meningkatkan daya ikat air dari daging, selain itu juga dapat meningkatkan
keempukan dan juiceness. Menurut Pearson dan Tauber (1984) alkali fosfat
tidak hanya meningkatkan daya mengikat air tetapi juga meningkatkan emulsi
lemak pada protein myofibril.
Garam
Garam merupakan bumbu utama yang berguna untuk daya mengikat air
protein daging, pemberi rasa, meningkatkan produk hasil dan membantu
ekstraksi protein larut garam (Keeton 2001). Menurut Underriner dan Hume
(1994), garam memilki peran yang besar pada rasa, garam tidak hanya
digunakan untuk meningkatkan flavor tetapi juga memiliki peranan penting
dalam pengolahan pangan yaitu sebagai pengawet dengan menurunkan
aktivitas air dan membatasi pertumbuhan mikroba pada daging.
Es
Kelembaban produk akhir berkisar antara 45 – 80 % yang berasal dari
bahan tambahan maupun air yang ditambahkan pada adonan. Ada beberapa
alasan ditambahkan air dengan maksud untuk memperbaiki keempukan serta
juiciness, jika tidak akan kurang disukai bila kelembabannya berkurang
(Aberle et al. 2001)
Menurut Pearson dan Tauber (1984) penambahan es pada pembentukan
emulsi daging mempunyai tujuan (1) melarutkan garam dan
menditribusikannya secara merata ke seluruh bagian daging, (2) memudahkan
ekstraksi protein serabut otot, (3) membantu pembentukan emulsi dan (4)
mempertahankan suhu adonan agar tetap rendah akibat pemanasan mekanis.
Keripik daging
Keripik adalah merupakan makanan jajanan atau cemilan yang populer
baik di Indonesia maupun di dunia. Bentuk dan ukuran keripik sangatlah
bervariasi tergantung dari jenis bahan yang digunakan ataupun keinginan
produsen. Namun secara fisik keripik marupakan bahan makanan yang disayat
tipis, baik sebelum atau sesudah diolah kemudian digoreng kering. Produk
yang berasal dari sapi kita kenal kerupuk paru, sebenarnya namanya adalah
keripik karena kerupuk paru tidak mengembang saat digoreng.
Siahaan (1988) menyatakan chip adalah keripik. Sedangkan menurut
Dallal (1981) keripik adalah olahan bahan pangan yang dibuat dengan cara
pengeringan atau penggorengan. Keripik dapat dibuat dari berbagai macam
bahan makanan berkabohidrat antara lain ketela pohon, kentang, pisang.
Keripik mempunyai tekstur yang kering, ringan dan rasa yang renyah
cripsness. Pembuatan keripik biasanya dilakukan untuk menbuat produk
menjadi lebih awet.
Menurut Matz (1984) keripik banyak menyerap minyak selama
penggorengan. Banyak sedikitnya minyak yang diserap akan mempengaruhi
rasa, tekstur serta penampakan keripik. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi banyak sedikitnya minyak yang diserap adalah kandungan
padatan bahan, suhu minyak goreng, ketebalan bahan serta fisik permukaan
irisan.
Transfer Panas
Penggorengan merupakan fenomena transfer yang terjadi secara
simultan yaitu transfer panas, transfer massa air dan transfer minyak Panas
yang ditransfer dari minyak ke bahan, massa air diuapkan dari bahan dan
minyak diserap oleh bahan (Whitaker 1977a; Sahin et al. 1999) Faktor-
faktor yang mempengaruhi proses transfer panas dan massa tersebut adalah
sifat-sifat thermal dan physicochemical bahan dan minyak, suhu minyak dan
perlakuan bahan sebelum digoreng (Krokida et al. 2001). Proses transfer
panas pada daging yang sedang digoreng terjadi dalam dua cara. Transfer
panas dari minyak goreng ke bahan terjadi secara konveksi dan transfer panas
dalam bahan terjadi secara konduksi (Costa et al. 1999). Akibat adanya
proses transfer panas bahan makanan yang akan digoreng mengalami
kenaikan suhu bersamaan dengan itu terjadilah pemasakan bahan makanan
yang antara lain dengan penurunan kadar air, gelatinisasi pati dan denaturasi
protein.
Kecepatan transfer panas dari minyak ke bahan dipengaruhi oleh suhu
minyak, koefisien transfer panas, koefisien transfer panas, konduksi bahan dan
bentuk dimensi serta ukuran bahan. Kecepatan transfer massa air dari bahan
ke lingkungan (minyak) dipengaruhi oleh kadar air awal produk yang akan
digoreng, difusifitas bahan dan bentuk dimensi serta ukuran bahan. Kecepatan
transfer minyak oleh bahan dipengaruhi oleh suhu minyak, viskositas minyak,
porositas bahan, perbedaan tekanan kapiler. Panas merupakan dasar dari
proses pemasakan, yang diakibatkan dari meningkatnya temperatur berakibat
terhadap energi input.
Teknik Penggorengan secara Vakum
Menurut Ketaren (1986) ada beberapa cara sistem menggoreng yang
lazim dilakukan dalam praktek komersial, yaitu pan frying dan deep frying.
Yang dimaksud dengan pan frying adalah proses penggorengan dengan hanya
menggunakan sedikit minyak dengan titik asap yang rendah. Sementara pada
deep frying menggunakan banyak minyak sehingga produk terendam dalam
minyak dan suhu minyak dapat mencapai 200 – 205 oC. Bila ditinjau dari
kontak bahan dengan udara maka cara penggorengan dapat dibagi menjadi
penggorengan biasa (terjadi kontak dengan udara) dan penggorengan dengan
cara bervakum. Pada sistem penggorengan bervakum, penggorengan
dilakukan dalam suatu tabung yang udaranya disedot keluar dengan pompa
vakum sehingga tekanan dalam tabung menjadi -76 cm Hg.
Di Indonesia saat ini dipasarkan dua jenis tipe penggorengan vakum
yaitu tipe horizontal dan tipe vertikal. Tipe horizontal sangat sesuai untuk
digunakan di laboratorium, karena kapasitas minyaknya lebih sedikit (60 kg),
dan tempat sampel tidak dapat dilepas dari tabung penggorengan. Untuk tipe
komersial kapasitas minyak lebih banyak (80 kg) dan wadah tempat sampel
dapat dilepas dari tabung vakum, sehingga proses penirisan dapat dilakukan
dengan cepat.
Mesin penggorengan vakum ini terdiri atas dua bagian, yaitu tabung
penggorengan bervakum dengan rak penggorengan di dalamnya dan mesin
vakum (dapat menggunakan mesin vakum dengan oli atau mesin vakum
dengan water jet). Pemanasan dilakukan dengan kompor elpiji yang
dihubungkan dengan sensor otomatis pengatur suhu. Apabila panas dalam
tabung telah mencapai angka yang ditentukan, api kompor gas akan mengecil
secara otomatis dan menyala lagi untuk menstabilkan temperatur, begitu
seterusnya.
Penggorengan vakum berguna untuk memperlambat terjadinya
ketengikan pada medium penggorengan. Hal ini disebabkan kontak dengan
udara dapat diminimumkan dan temperatur yang dipakai sekitar 90 oC.
Dengan demikian medium penggorengan dapat dipakai berkali-kali.
Minyak
Menurut Ketaren (1986) pada dasarnya minyak adalah campuran
trigliserida. Trigliserida terbentuk dari 1 molekul gliserol dan 3 asam lemak.
Trigliserida dapat berwujud padat atau cair, hal ini tergantung dari komposisi
asam lemak yang menyusunnya. Sebagian besar minyak nabati berbentuk cair
karena mengandung asam lemak tidak jenuh yaitu asam olet, linoleat dan
linolenat dengan titik cair yang rendah. Di dalam proses penggorengan, jenis
minyak akan berpengaruh terhadap kualitas produk. Minyak merupakan hasil
dari esterifikasi glicerol dengan asam lemak, yang juga disebut sebagai
trigliserida. Berat molekul gliserida sebagian besar berasal dari berat molekul
asam lemak (94-96%). Oleh sebab itu sifat kimia dan fisika gliserida sangat
dipengaruhi oleh jenis asam lemaknya. Pada asam lemak jenuh, semua atom C
pada rantai karbonnya diisi oleh atom hidrogen, sementara asam lemak tidak
jenuh pada rantai atom carbonnya terdapat ikatan rangkap, sehingga tidak
semua atom C diisi oleh atom hidrogen. Tingkat ketidakjenuhan suatu asam
lemak tergantung pada jumlah ikatan rangkapnya. Ada beberapa jenis minyak
yang biasa dipakai dalam proses penggorengan, yaitu minyak kelapa dan
minyak kelapa sawit atau minyak inti sawit.
Struktur Bahan Pangan Digoreng
Semua bahan pangan yang digoreng mempunyai struktur yang sama
terdiri dari core (inner zone), lapisan luar (outer zone) dan permukaan luar
(outer zone surface). Proses pemasakan berlangsung oleh penetrasi panas
dari minyak yang masuk ke dalam bahan pangan. Proses pemasakan ini dapat
merubah atau tidak merubah karakter bahan pangan tergantung dari bahan
pangan yang digoreng.
Gambar 3 di bawah ini mempelihatkan potongan melintang dari bahan
pangan yang digoreng. Inner zone atau core merupakan bagian dalam dari
bahan pangan berkadar air tinggi dan umum terdapat pada bahan pangan yang
digoreng.
Core (inner zone)
Lapisan luar (outer zone)
Gambar 3. Struktur bahan pangan yang digoreng
Permukaan luar (outer zone surface) akan berwarna coklat keemasan akibat
penggorengan. Timbulnya warna pada permukaan bahan disebabkan oleh
reaksi browning atau reaksi maillard. Tingkat intensitas warna ini tergantung
dari lama dan suhu menggoreng serta komposisi kimia dari bahan pangan
yang digoreng sedangkan jenis lemak yang digunakan berpengaruh sangat
kecil terhadap warna permukaan bahan pangan (Ketaren 1986).
Proses Menggoreng
Menggoreng adalah suatu proses untuk memasak bahan pangan
menggunakan lemak atau minyak pangan.
Permukaan Luar (outer zone surface)
Minyak dalam ketel
penggorengan Bahan Mentah
Minyak
Panas Penyaringan Remah
Hasil Gorengan
Uap Uap yang dihasilkan dari minyak dan hasil samping
Gambar 4. Proses Penggorengan
Berbagai faktor yang mempengaruhi kondisi penggorengan dalam ketel
adalah pemanasan dengan adanya udara, minyak yang panas, aerasi pada
minyak, kontak minyak dengan logam dari ketel, kontak bahan pangan dengan
minyak serta adanya kerak. Pemanasan yang tidak mencapai suhu
penggorengan menyebabkan minyak membentuk busa, sehingga proses
penggorengan menjadi tidak praktis (Ketaren 1986).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi proses minyak dalam ketel
adalah uap yang dilepaskan dan penambahan minyak segar untuk
menggantikan minyak yang hilang dari ketel selama proses menggoreng. Uap
yang dihasilkan dalam proses menggoreng berfungsi untuk memisahkan hasil
dekomposisi lemak dapat menguap yang dapat menimbulkan bau tengik.
Pengaruh Penggorengan Terhadap Kerusakan Nutrisi
Oksidasi pada lemak dapat menyebabkan terjadinya ketengikan.
Menurut Ketaren (1986) faktor-faktor yang dapat mempercepat oksidasi
adalah (1) Radiasi oleh panas dan cahaya; (2) Bahan pengoksidasi (oxidizing
agent) seperti peroksida, perasid, ozone dan asam nitrat; (3) katalis metal
khususnya garam dari logam berat; (4) sistem oksidasi yang diakibatkan
adanya katalis organik yang labil terhadap panas. Kerusakan akibat oksidasi
pada bahan pangan yang berlemak terdiri atas dua tahap, tahapan pertama
disebabkan oleh reaksi lemak dengan oksigen, tahapan kedua yang merupakan
kelanjutan dari tahapan pertama, yang prosesnya dapat merupakan proses
oksidasi maupun non oksidasi. Proses oksidasi ini umumnya terjadi pada
setiap jenis lemak seperti minyak goreng.
Autooksidasi biasanya terjadi melalui proses reaksi radikal bebas.
Yang dimaksud dengan radikal bebas adalah sebuah molekul atau atom
dengan elektron yang tidak berpasangan, misalnya -CH3, -Br Radikal bebas
dapat memiliki dua elektron yang tidak berpasangan, biradikal, -C6H5-.
Menurut Buck (1991) reaksi oksidasi lemak tidak jenuh diawali
dengan tahap inisiasi yaitu dengan terbentuknya radikal bebas (R*) melalui
kontak dengan panas, cahaya, ion metal dan oksigen. Reaksi terjadi pada
kelompok metilen yang berdekatan dengan ikatan rangkap –C=C-.
Selanjutnya adalah tahap propagasi yaitu bertemunya radikal bebas dengan
oksigen membentuk radikal peroksida (ROO*). Radikal peroksida bebas ini
akan mengekstrak ion hidrogen dari lipida lainnya (R1H) yang akan
membentuk hidrogen peroksida (ROOH) dan molekul radikal lipida baru
(R1*). Tahap akhir adalah tahap terminasi dimana hidroperoksida yang sangat
tidak stabil terpecah menjadi senyawa organik berantai pendek seperti aldehid,
keton, alkohol dan asam.
Inisiasi RH -------------> R* + H* Katalis RH -------------> R* + OOH* O2+ Katalis
Propagasi R* + O2 -------------> ROO*
ROO* + R1H -------------> ROOH + R1*
Terminasi R1* + R* -------------> R1-R
ROO* + R* -------------> ROOR
Autooksidasi acyl-lipid dapat dihambat dengan tiga cara (Ketaren,
1986), yaitu dengan meminimalkan kontak dengan oksigen. Hal ini dapat
dilakukan dengan kemasan vakum atau dengan pemberian glucose oxidase.
Selanjutnya adalah penyimpanan pada suhu rendah bebas cahaya. Terakhir
adalah dengan pemberian antioksidan. Pengukuran terjadinya autooksidasi ini
dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan mengetahui bilangan
peroksidasi, yaitu dengan mengukur kemampuannya membebaskan yodium
(I) dari potasium yodida (KI) iodimetry):
ROOH + 2KI ROH + I2 + K2O
atau mengoksidasi ferro menjadi ion ferri (metode thiocyanat):
ROOH + Fe2+ ROH + HO + Fe3+
Bilangan peroksida biasanya diekspresikan dalam miliekuivalen dari
oksigen per kg lemak. Oksidasi lemak akan bereaksi dengan komponen bukan
berasal dari lemak yaitu dengan protein. Perubahan oksidatif dari fraksi lemak
adalah kecil tergantung dari kadar asam lemak tidak jenuh pada makanan yang
digoreng.
Senyawa peroksida mengalami dekomposisi oleh panas. Dalam waktu
yang cukup lama peroksida dapat mengakibatkan destruksi beberapa macam
vitamin dalam bahan pangan yang berlemak. Peroksida juga dapat
mempercepat proses timbulnya bau tengik dan flavor yang tidak dikehendaki
dalam bahan pangan. Jika jumlah peroksida dalam bahan pangan lebih besar
dari 100 akan bersifat sangat racun dan tidak dapat dimakan (Ketaren 1986).
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan
bulan Desember 2006 di Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Ruminansia
Besar Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas
Peternakan IPB dan Laboratorium Pangan Gizi PAU IPB.
Bahan dan Alat
Bahan
Bahan penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah :
• Daging sapi yang diperoleh di Pasar Anyar
• Tepung tapioka, tepung terigu, tapioka, tepung maizena, garam, bawang
putih diperoleh dari Toko Yogya Jl Baru Bogor
• STPP (Na5P3O10) diperoleh dari Toko Bahan Kimia Seger Jl. Ahmad Yani
Bandung
• Es diperoleh dari Laboratorium Ruminansia Besar Fakultas Peternakan
IPB
• Minyak goreng diperoleh dari Toko Citra Usaha Jl. Bara Darmaga Bogor
Alat
Peralatan yang digunakan adalah alat penggiling daging, timbangan,
wadah dari plastik, timbangan digital, pisau, thermometer, kompor, loyang,
dandang, gelas ukur talenan, refrigerator, meat slicer, alat penggorengan
vakum bentuk vertikal. Peralatan untuk analisis fisik dan kimia yaitu
seperangat peralatan laboratorium lainnya yang digunakan untuk kepentingan
analisis.
Metode Penelitian
Penelitian produksi keripik daging secara keseluruhan dapat dibagi ke
dalam tiga tahap yaitu :
Tahap 1. Pembuatan daging olahan
Tahapan pembuatan daging olahan adalah sebagai berikut :
1. Daging sapi segar sebanyak 500 gram dipisahkan dari lemak dan jaringan
ikat, dipotong kecil-kecil kemudian dicuci
2. Potongan daging digiling dengan meat grinder ditambahkan es 30 %,
STPP 0.3 %, bumbu dan tepung sampai tercampur homogen.
Adapun perlakuan tepung sebagai berikut :
Tepung A : Konsentrasi tepung tapioka sebanyak 15 %
Tepung B : Konsentrasi tepung tapioka 10 %, tepung terigu 2.5 % dan
tepung maizena 2.5%
Tepung C : Konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung
maizena 5%
3. Adonan daging dimasukan ke dalam loyang kemudian didinginkan dalam
refrigerator selama 30 menit.
4. Adonan daging dikukus dengan suhu 65 °C selama 60 menit.
5. Daging olahan dikeluarkan dari loyang didinginkan kemudian dibekukan
dalam freezer pada suhu -18 °C.
6. Daging olahan beku diiris dengan menggunakan meat slicer pada
ketebalan 2 mm
Komposisi bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan keripik
daging secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi bahan keripik daging
Taraf Perlakuan A B C Bahan
............................. gram .......................... Daging Sapi 500 500 500 Tepung Tapioka 75 50 25 Tepung Terigu 0 12.5 25 Tepung Maizena 0 12.5 25 Es Batu 150 150 150
Garam 5 5 5 Merica 2.5 2.5 2.5 STTP 1.5 1.5 1.5 Bawang Putih 1.5 1.5 1.5
Tahap 2. Penggorengan keripik daging
Irisan daging yang masih beku ditimbang dan dimasukan ke dalam
tempat berbentuk kotak, kemudian digoreng dengan menggunakan alat
penggorengan vakum, berbentuk vertikal (Gambar 5) pada temperatur
pemanasan suhu terkontrol pada suhu 90 °C dengan lama penggorengan 10,
20, 30, 40, 50 dan 60 menit. Setelah matang keripik daging ditiriskan dengan
menggunakan spinner (Gambar 6) selama 10 menit untuk mengurangi
kelebihan minyak yang menempel pada keripik daging.
Gambar 5. Alat Penggorengan Vakum
Gambar 6. Spinner
Tahapan proses pembuatan keripik daging dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 7. Tahapan proses pembuatan keripik daging
Tahap 3. Analisis fisik, kimia dan uji organoleptik
Analisis Fisik
Analisis Fisik yang dilakukan pada keripik daging adalah rendemen,
penyusutan bentuk dan uji kekerasan objektif dengan menggunakan rheoner.
- STTP 0.3 % - Tepung
- Es batu 30 % - Bumbu
Daging sapi 500 gram
Pemotongan kecil-kecil
Pencucian
Penggilingan
Adonan Daging
Dimasukan ke dalam loyang dan didiamkan
selama 30 menit
Dikukus (60 menit dengan suhu 65 oC) Didinginkan dalam refrigerator selama 30 menit
Diiris dengan ketebalan 2 mm
Dibekukan pada suhu -
Sayatan daging olahan digoreng vakum pada suhu 90 oC selama 60’
Ditiriskan dengan menggunakan spinner selama 10
Keripik daging
Analisis Kimia
Analisis Fisik dilakukan pada keripik daging yang digoreng dengan lama
penggorengan 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 menit adalah analisis proksimat (kadar
abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat), kadar air, bilangan
peroksida.
Penilaian Organoleptik
Penilaian organoleptik dilakukan dengan menggunakan uji hedonik
dengan karakteristik penentu adalah warna, aroma, tekstur, rasa dan
kerenyahan pada 30 panelis. Penilaian organoleptik yang diuji pada keripik
daging yang digoreng pada lama penggorengan 60 menit dengan 3 ulangan.
Peubah yang Diamati
Metoda Analisis Fisik dan Kimia
1. Fisik
a. Rendemen
Perhitungan rendemen dilakukan dengan membagi berat keripik yang
telah ditiriskan dengan berat sampel awal yang belum digoreng dan
dikalikan 100%.
Rendemen = Berat Keripik yang telah digoreng
Berat Sampel sebelum digoreng
b. Penyusutan Bentuk
Perhitungan penyusutan bentuk dilakukan dengan membagi luas keripik
(cm) dengan luas sampel yang belum digoreng (cm) dikali 100%.
c. Kekerasan Objektif
Pengukuran kerenyahan dilakukan secara mekanis dengan
menggunakan alat Rheoner RE-3305. Keripik ditekan dengan
menggunakan plunger berbentuk silinder yang berdiameter 4 mm.
Pengukuran dilakukan pada sensitivity voltage 0.5 mV (skala penuh =
X 100 %
500 gf), sampel table speed 5 mm/detik dengan preset nomer 1
(besarnya strain) yang diatur sebesar 5 mm dan preset nomor 2
(frekuensi pergerakan sampel tabel) yang diatur sebanyak satu kali.
Tingkat kerenyahan keripik dinyatakan dalam gf yang berarti besarnya
gaya tekan untuk memecahkan keripik
2. Kimia
a. Nilai proksimat
Dilakukan untuk menentukan Kadar Air, Protein Kasar, Lemak Kasar,
Karbohidrat dan Abu (AOAC 1995).
Kadar Air
Cawan kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit
dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sampel
ditimbang sebanyak 5 gram dan dimasukkan dalam cawan, kemudian
dioven pada suhu 105 oC selama 5 jam. Cawan kemudian dipindahkan
ke dalam desikator dan didinginkan serta ditimbang berat akhirnya.
Kadar Air (% bk) = a – b
Berat contoh basah
Keterangan : bk = bahan kering
a = berat cawan + contoh kering (g)
b = berat cawan + contoh basah (g)
Kadar protein
Sejumlah sampel yang dimasukan ke dalam labu Kjedahl 30 ml,
kemudian ditambahkan 1.9 g K2SO4 40 mg HgO dan 2.0 ml H2SO4 serta
ditambahkan batu didih. Sampel didihkan sampai cairan menjadi jernih.
Setelah jernih cairan didinginkan dengan air mengalir secara perlahan-
lahan. Isi labu kemudian dipindahkan ke dalam alat destilasi kemudian
dicuci dan dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air serta dipindahkan airnya ke
alat destilasi.
X 100 %
Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 4 tetes indikator
(campuran 2 bagian metil merah 0.2 % dalam alkohol diletakan di
bawah kondensor. Ujung kondensor harus terendam, di bawah larutan
H3BO3 . Setelah itu ditambahkan 8 – 10 ml larutan NaOH- Na2S2O3
dan dilakukan destilasi sampai tertampung kira-kira 15 ml destilat
dalam erlemmeyer. Tabung kondensor kemudian dibilas dengan air dan
bilasannya ditampung dalam erlenmeyer yang sama. Isi erlenmeyer
diencerkan sampai kira-kira 50 ml kemudian dititrasi dengan HCl 0.02
N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Dilakukan juga
penetapan blanko :
% N = (ml HCl – ml Blanko) x Normalitas x 14.007 x 100 Mg sampel
% Protein = % N x Faktor Koreksi
Kadar Lemak (Metode Soxhlet)
Sampel yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 5 gram dalam kertas
saring, kemudian ditutup dengan kapas yang bebas lemak. Kertas
saring yang berisi sampel diletakan ke dalam alat soxhlet, kemudian alat
kondensor diletakan di atasnya dan labu lemak di bawahnya. Pelarut
dietil eter atau petroleum eter dituangkan ke dalam labu lemak dan
dilakukan refluks sampai pelarut yang turun ke labu berwarna jernih.
Pelarut yang ada di labu didestilasi dan pelarutnya ditampung.
Selanjutnya abu lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu
105 oC kemudian setelah kering ditimbang.
% Lemak = Berat lemak x 100 % Berat sampel
Kadar Karbohidrat
Larutan glukosa sebanyak 0,10, 20, 30, 40 dan 60 µ glukosa dimasukan
ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 1 ml larutan fenol 5 %
dan dikocok. Ditambahkan dengan cepat 5 ml larutan asam sulfat,
biarkan sampai 10 menit dan tempatkan dalam penangas air selama 15
menit, diukur absorbansinya dan dibuat kurva standar.
Kadar Abu
Sampel sejumlah 3-5 gram dimasukan ke dalam cawan kering yang
telah diketahui beratnya dan dibakar pada pembakar gas sampai asapnya
habis. Kemudian dimasukan ke dalam tanur sampai beratnya konstan
Berat Abu Kadar Abu (%) = X 100 Berat sampel
b. Bilangan Peroksida
Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam erlemeyer tertutup, kemudian
ditambahkan 30 ml asam asetat glasial dan kloroform dan dikocok sampai
larut. Kemudian tambahkan 1.5 ml KI jenuh dan diamkan selama 1 menit.
Tambahkan aquades 30 ml dan titrasi dengan Na2S2O3 0.01 N sampai
warna kuning larutan hampir hilang. Tambahkan larutan indikator kanji
1% dan titrasi kembali sampai warna biru hilang. Lakukan hal yang sama
untuk blanko.
Bilangan Peroksida = [(ml sampel-ml blanko) x N Na2S2O3 (0.01)] / 6.01 x
1000
Penilaian Organoleptik
Penilaian organoleptik dilakukan dengan menggunakan uji hedonik dengan
karakteristik penentu adalah warna, aroma, tekstur, rasa dan kerenyahan pada
30 panelis dengan 3 ulangan. Panelis yang digunakan adalah panelis semi
terlatih dengan menggunakan format isian (Rahayu 1998). Penilaian skala
hedonik ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menaik
dengan tingkat kesukaan, yaitu tidak suka = 1, biasa/netral = 2, agak suka = 3,
suka = 4, sangat suka = 5 dan amat sangat suka = 6 (Soekarto 1985). Data
dianalisis dengan Kruskall Wallis.
Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan
pola faktorial 3 x 6 dengan 3 ulangan. Faktor pertama adalah jenis tepung
yang terdiri atas tepung tapioka, tepung terigu dan tepung maizena dan faktor
kedua adalah lama penggorengan yaitu 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 menit.
Model matematik pengaruh perlakuan dianalisis dengan metoda statistik yang
digunakan Steel and Torrie (1995) adalah :
Yijk = µ + σi + βj + (σβ) ij + εijk
Yijk = Pengaruh perlakuan dan lama penggorengan terhadap kualitas
keripik daging
µ = nilai rataan umum
σi = pengaruh perlakuan jenis tepung ke-i
βj = pengaruh lama penggorengan ke-j
(σβ) ij = Interaksi dari faktor jenis tepung dan lama penggorengan
εijk = pengaruh acak pada perlakuan ke-i , lama penggorengan ke-j
dan ulangan ke-k
Analisis Data
Untuk menguji pengaruh perlakuan terhadap respon yang diamati
dilakukan analisis ragam dengan prosedur General Linier Program (GLM)
dari Statistical System (SAS) Program. Apabila hasil analisis ragam
menunjukkan perbedaan yang nyata maka dilanjutkan dengan uji Least Square
Means (LSMeans) (Steel dan Torrie 1995). Penilaian organoleptik data diolah
dengan uji Kruskall Wallis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Fisik dan Kimia
Karakteristik Fisik
Karakteristik fisik keripik daging meliputi rendemen, penyusutan bentuk
dan kekerasan objektif. Hasil analisis rendemen, penyusutan bentuk dan
kekerasan objektif disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Analisis rendemen, penyusutan bentuk dan kekerasan objektif keripik daging pada jenis tepung dan lama penggorengan yang berbeda.
Lama penggorengan (menit)
No Peubah Tepung 10 20 30 40 50 60 Rataan 1. Rendemen A 60. 63 54.38 50.76 49.33 56.67 46.41 53.03 (%) B 52.81 49.63 55.39 58.53 58.53 51.22 54.35 C 62.29 54.20 47.47 47.00 52.00 44.17 51.19 Rataan 58.58 a 52.74 ab 51.21b 51.62 ab 55.73a 47.27 b
2. Penyusutan A 58.46 54.13 58.05 53.65 51.26 48.38 53,99 (%) B 63.08 56.90 52.79 54.77 53.73 47.55 54,80 C 73.81 59.10 57.88 51.01 56.08 52.88 58,46 Rataan 65.12 a 56.71 b 56.24 b 53.14 bc 53.69 bc 49.60 c
3. Kekerasan A 1 004.72 787.78 750.00 730.00 688.33 770.98 788.61 Objektif B 949.21 880.00 766.67 658.33 1 038.33 919.72 868.71 (gf) C 992.77 1 021.19 1 106.97 833.06 954.76 678.33 931.16 Rataan 982.24 896.32 874.51 740.46 788.61 789.,63
Keterangan : Angka yang diikuti superkrip pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) Tepung A : Konsentrasi tepung tapioka sebanyak 15 % Tepung B : Konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 % dan tepung maizena 2.5% Tepung C : Konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%
Rendemen
Rendemen adalah berat keripik daging yang diperoleh dibandingkan
dengan berat daging olahan sebelum digoreng. Rendemen sangat dipengaruhi
oleh hilangnya air selama pemasakan, keadaan ini dipengaruhi oleh protein yang
dapat mengikat air selama penggorengan. Hal ini dimungkinkan karena jumlah
kolagen yang berbeda dalam proses gelatinisasi dan pembentukan matrik pati
protein.
Hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan tepung tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap rendemen (Tabel 2). Rendemen keripik daging
pada tepung A (konsentrasi tepung tapioka sebanyak 15%) sebesar 53.03%,
tepung B (konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 % dan tepung jagung
2.5 %) sebesar 54.35% dan tepung C (konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung
terigu 5% dan tepung maizena 5 %) sebesar 51.19%. Rendemen dipengaruhi
secara nyata (P<0.05) oleh lama penggorengan, semakin lama penggorengan
vakum maka semakin kecil rendemen keripik daging yang diperoleh. Pindah
panas secara konduksi yang terjadi di dalam produk yang digoreng selalu diikuti
dengan terjadinya pindah massa yang ditandai dengan hilangnya sejumlah
kandungan air karena penguapan. Hilangnya sejumlah kandungan air dari bahan
yang digoreng menyebabkan terjadinya penurunan massa bahan.
Penyusutan Bentuk
Penyusutan bentuk keripik daging merupakan adanya penurunan luas dari
produk yang digoreng dengan sebelum digoreng. Dari analisis diperoleh
penyusutan bentuk keripik daging tidak dipengaruhi secara nyata oleh jenis
tepung. Hal ini diduga dengan kombinasi persentase tepung yang sama tidak
menunjukkan adanya penyusutan yang nyata. Namun demikian, lama
penggorengan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap penyusutan keripik daging.
Semakin lama penggorengan maka keripik daging semakin menyusut, hal ini
disebabkan semakin banyak air yang hilang selama penggorengan vakum.
Kekerasan Objektif
Menurut Soekarto (1990) besarnya nilai kekerasan merupakan besarnya
gaya tekan yang dibutuhkan untuk memecahkan produk padat. Kekerasan produk
berhubungan dengan kerenyahan, semakin rendah nilai kekerasan produk maka
produk semakin renyah. Kerenyahan merupakan parameter yang sangat penting
dalam penerimaan produk keripik daging yang diterima konsumen. Hasil analisis
nilai kekerasan objektif dilihat dari rataan lama penggorengan setiap jenis tepung
menunjukan tidak adanya perbedaan yang nyata. Jika dilihat dari lama
penggorengan mulai 10 – 60 menit besarnya gaya untuk memecahkan suatu
produk semakin kecil. Semakin kecil gaya untuk memecahkan produk maka
produk akan semakin renyah.
Tinggi rendahnya nilai gaya akan mempengaruhi sedikit dan banyaknya
renyahan (crust) yang terbentuk pada produk. Menurut Ketaren (1986) salah satu
fungsi minyak yang terserap untuk melunakkan permukaan kulit luar yang
terbentuk pada bahan yang digoreng.
Karakteristik Kimia
Karakteristik kimia keripik daging meliputi nilai proksimat (kadar abu,
kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat) pada lama penggorengan
menit ke-60, kadar air, kadar lemak dan bilangan peroksida.pada laju 10 sampai
dengan 60 menit.
Nilai Proksimat
Nilai proksimat daging olahan dan keripik daging dianalisis pada lama
penggorengan menit ke-60. Nilai Proksimat daging olahan sebelum digoreng dan
keripik daging dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai proksimat sampel daging olahan dan keripik daging
Kandungan Nutrisi (%) No. Sampel Tepung Air Abu Protein Lemak Karbohidrat 1. Daging Olahan A 72.47 2.35 16.21 2.52 6.45 B 70.53 2.77 16.65 2.44 8.11 C 73.25 2.47 14.19 2.44 7.65 2 Keripik Daging A 2.50 6.59 35.92 31.17 23.82 B 6.70 7.55 41.11 21.50 23.14 C 2.83 6.36 40.26 26.77 23.78
Keterangan : Tepung A : Konsentrasi tepung tapioka sebanyak 15 % Tepung B : Konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 % dan tepung maizena 2.5% Tepung C : Konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%
Sampel sebelum digoreng mempunyai kadar air yang tinggi berkisar antara
70.53 sampai dengan 73.25%, jika dibandingkan dengan sampel keripik daging
kadar air menurun secara drastis, hal ini disebabkan sampel daging yang dianalisis
dalam keadaan beku. Sampel keripik daging untuk kombinasi jenis tepung B
(kombinasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5% dan tepung maizena 2.5%)
mempunyai kadar air yang lebih tinggi dibanding dengan sampel keripik daging
untuk tepung A dan C, hal ini menunjukkan adanya perbedaan sifat antara tepung
tapioka dengan kombinasi tepung tapioka, tepung terigu dan tepung maizena.
Perbedaan tersebut diduga kombinasi tepung tapioka, tepung terigu dan tepung
maizena menyerap air lebih banyak. Menurut Lee (1984) dalam Rustamadji
(1989) bahwa jenis pati yang ditambahkan akan menentukan gel yang didapat,
karena hal tersebut dapat mempengaruhi daya ikat air selama gelatinisasi dan
viskositas pati tergelatinisasi.
Kadar abu sampel sebelum digoreng berkisar antara 2.35 sampai 2.77 %,
sedangkan kadar abu keripik daging berkisar antara 6.36 sampai dengan 7.55 %.
Perbedaan kadar abu pada produk ini dipengaruhi oleh kandungan bahan baku
yang digunakan, dimana masing-masing bahan baku tersebut mempunyai
kandungan yang bervariasi. Kandungan mineral utama daging antara lain
kalsium, phosphor, kalium dan natrium. Penyebaran mineral ini dapat berada
dalam bentuk terlarut dan bentuk zat terlarut. Mineral yang tidak larut berasosiasi
dengan protein terutama pada bagian daging non lemak. Daging tidak berlemak
umumnya memiliki kandungan atau abu lebih tinggi. Proses pengolahan biasanya
tidak mengurangi kandungan mineral daging (de man 1989).
Protein merupakan kelompok nutrien yang sangat penting. Protein dalam
bahan pangan biasanya menentukan kualitas dari suatu produk terutama bahan
dasar berasal dari daging yang merupakan pangan sumber protein. Kadar protein
sampel sebelum digoreng berkisar antara 14.19 sampai dengan 19.65 %,
sedangkan sampel keripik daging berkisar antara 35.92 sampai dengan 41.11 %.
Protein dapat meningkat dengan adanya penambahan bahan lain yang
mengandung protein. Naruki dan Konani (1991) menerangkan bahwa kolagen
merupakan protein yang tahan terhadap panas.
Kadar lemak sampel daging olahan berkisar antara 2.44 sampai 2.52%
sedangkan keripik daging berada kisaran 21.50 sampai dengan 31.17%.
Bertambahnya kadar lemak keripik daging dikarenakan minyak menggantikan
ruang kosong tempat air yang menguap karena adanya proses penggorengan.
Selama proses penggorengan berlangsung, minyak meresap ke dalam daerah crust
dan sebagian mengisi ruang-ruang kosong yang terjadi akibat hilangnya air
(Robertson 1967). Hal serupa disampaikan Fellows (1992) selama penggorengan
suhu permukaan bahan meningkat dan air menguap yang menjadikan permukaan
mengering.
Kadar Air
Analisis kadar air untuk jenis tepung pada berbagai lama penggorengan
disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama
penggorengan memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap penurunan
kadar air. Penurunan kadar air keripik daging pada awal penggorengan sampai
menit ke-20 terjadi sangat cepat, selanjutnya kadar air bahan konstan sampai akhir
penggorengan dengan rataan sebesar 3.32 %. Hal ini menunjukkan adanya
perbedaan sifat pada jenis tepung yang digunakan.
Tabel 4. Analisis kadar air keripik daging pada jenis tepung dan lama penggorengan yang berbeda
Lama penggorengan (menit)
Peubah Tepung 10 20 30 40 50 60 Rataan
Kadar Air (%) A 7.77 4.08 3.67 2.89 2.83 2.60 3.97
B 8.81 3.82 4.04 2.96 3.12 3.78 4.42
C 18.65 4.63 5.92 4.11 3.61 3.57 6.75
Rataan 11.74a 4.18 b 4.54 b 3.32 b 3.19 b 3.32 b
Keterangan : Angka yang diikuti superskrip menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) Tepung A : Konsentrasi tepung tapioka sebanyak 15 % Tepung B: Konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 % dan tepung maizena 2.5% Tepung C : Konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%
Kombinasi antara tepung tapioka (5%), tepung terigu (5%) dan tepung
maizena (5%) menyebabkan kadar air meningkat dibandingkan dengan
penggunaan jenis tepung A dan tepung B. Perbedaan tersebut bahwa kombinasi
jenis tepung C menyerap air lebih banyak. Lee (1984) dalam Rustamadji (1989)
menerangkan bahwa jenis pati yang ditambahkan akan menentukan gel yang
didapat, karena hal tersebut mempengaruhi daya ikat air selama gelatinisasi dan
viskositas pati tergelatinisasi. Histogram penurunan kadar air keripik daging pada
jenis tepung dan lama penggorengan terlihat pada Gambar 8.
0.002.004.006.008.00
10.0012.0014.0016.0018.0020.00
10 20 30 40 50 60
Lama Penggorengan (menit)
Kada
r Air
(%)
Tepung ATepung BTepung C
Gambar 8 Histogram kadar air keripik daging pada jenis tepung dan lama
penggorengan yang berbeda
Menurut Supriyanto et al. (2006) air yang berada di permukaan bahan akan
menjadi uap karena adanya kontak langsung dengan minyak goreng, akibatnya
konsentrasi air pada permukaan bahan selalu lebih rendah dibandingkan
konsentrasi air yang berada di dalam bahan. Massa air akan terdifusi dari dalam
ke permukaan bahan sebagai kadar air akhir produk goreng.
Kadar Lemak
Kadar lemak keripik daging menunjukkan tidak adanya pengaruh yang
nyata. Menurut Pinthus, Weinberg and Saguy et al.(1993) dalam Mellema
(2003) volume dari lemak seimbang dengan total volume air yang keluar dari
bahan yang digoreng. Menurut Moeira, Palau dan Sun et al. 1995; Soulthern et
al. 2000 dalam Mellema (2003) secara tidak langsung penguapan air dapat
berakibat dari rusaknya permukaan dan kadar lemak akan sebanding dengan kadar
air yang menguap selama penggorengan.
Analisis kadar lemak keripik daging pada jenis tepung dan lama
penggorengan yang berbeda disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Analisis kadar lemak untuk jenis tepung pada berbagai lama penggorengan
Lama penggorengan (menit) Peubah Tepung 10 20 30 40 50 60 Rataan
Kadar Lemak (%) A 29.05 30.86 28.08 28.93 23.74 23.74 27.40 B 23.19 28.89 29.90 29.55 29.48 28.12 28.19 C 22.05 22.92 23.86 26.24 26.34 30.63 25.34
Rataan 24.76 27.56 27.28 28.24 26.52 27.50 Keterangan : Tepung A : Konsentrasi tepung tapioka sebanyak 15 %
Tepung B : Konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 % dan tepung maizena 2.5% Tepung C : Konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%
Kadar lemak pada keripik daging dengan penggunaan jenis tepung A, B dan
C pada lama penggorengan 10 – 60 menit mempunyai rataan sebesar 24.76 –
28.24%. Menurut Markinson et al. (1987) kadar lemak meningkat dengan adanya
energi yang termetabolis dari produk pangan yang digoreng. Produk pangan yang
digoreng yang berasal dari tumbuhan dan hewan jika dibandingkan setelah
digoreng selama 10, 30 dan 70 detik pada suhu 175 °C, kadar lemak meningkat
dengan meningkatnya lama penggorengan. Pangan yang berasal dari tumbuhan
dapat menyerap lemak lebih tinggi dibanding pangan yang berasal dari hewan.
Tingginya kadar lemak setelah hasil penelitian pada penggorengan tomat (35 – 75
%) dan jamur (65 – 80 %). Kadar lemak pada kentang goreng lebih rendah (15 –
36 %) namun masih lebih tinggi kadar lemaknya dibanding pada ayam goreng
(10 – 30%) dan daging sapi goreng (10 – 25%).
Pada keripik tortila 20 % dari minyak masuk ke dalam bahan pada saat
akhir penggorengan, sementara yang 80 % tersisa pada permukaan dari produk.
Bertambahnya kadar lemak pada keripik daging dikarenakan minyak
menggantikan ruang kosong akibat air yang menguap saat penggorengan.
Menurut Robertson (1967) selama proses penggorengan berlangsung minyak
meresap ke dalam permukaan bahan yang digoreng dan mengisi sebagian ruang
kosong akibat hilangnya air. Sedangkan menurut Markinson (1987) kadar lemak
pada bakso yang digoreng sebesar 10 – 25%. Pada penelitian Santosa, Y T (2005)
kadar lemak keripik dengan diameter 3 mm mempunyai kadar lemak berkisar
25.41% sedangkan untuk ketebalan 4 mm berkisar 26.65%.
Bilangan Peroksida
Analisis bilangan peroksida keripik daging pada jenis tepung dan lama
penggorengan yang berbeda disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Analisis bilangan peroksida keripik daging pada jenis tepung dan lama
penggorengan yang berbeda
Lama penggorengan (menit) Peubah Tepung 10 20 30 40 50 60 Rataan Bilangan Peroksida A 31.13 a 34.77a 28.16 b 30.04 b 37.02 a 29.54 b 31.78 a
(mg/kg) B 33.47 a 18.37 c 28.46 b 30.61 b 38.54 a 29.59 b 29.83 b C 15.66 c 22.46 c 32.22 a 27.63b 33.69a 33.56 a 27.54 b
Rataan 26.75c 25.20 c 29.61 b 29.43 b 35.87 a 30.76 b Keterangan : Angka yang diikuti superskrip pada baris dan kolom menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata (P<0.05) Tepung A : Konsentrasi tepung tapioka sebanyak 15 % Tepung B: Konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 % dan tepung maizena 2.5% Tepung C : Konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%
Hasil analisis bilangan peroksida keripik daging pada jenis tepung dan
lama penggorengan yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata
(P<0.05) dan terjadi interaksi diantara keduanya. Keripik daging dengan
perlakuan tepung A (konsentrasi tepung tapioka 15%) mempunyai rataan bilangan
peroksida sebesar 31.78 mg/kg, tepung B (konsentrasi tepung tapioka 10%,
tepung terigu 5% dan tepung maizena 5%) mempunyai rataan bilangan peroksida
29.83 mg/kg sedangkan tepung C (konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu
5% dan tepung maizena 5%) mempunyai rataan bilangan peroksida sebesar 27.54
mg/kg. Menurut Ketaren (1986) peroksida tidak terbentuk pada proses ionisasi
radiasi dalam suasana vakum, namun adanya air akan mempercepat pembentukan
peroksida dari persenyawaan asam lemak tidak jenuh. Nilai bilangan peroksida
dari keripik daging yang dihasilkan dipengaruhi oleh ketersediaan oksigen dalam
tabung penggorengan karena proses penggorengan dilakukan secara vakum
ketersediaan oksigen dapat dikurangi. Menurut Nawar (1996) reaksi oksidasi
dipengaruhi oleh tekanan oksigen, suhu dan luas permukaan yang bersinggungan.
Pendapat Ketaren (1986) senyawa peroksida mengalami dekomposisi oleh
panas sehingga minyak yang telah dipanaskan hanya mengandung sejumlah kecil
peroksida. Dalam jangka waktu yang cukup lama peroksida dapat mengakibatkan
destruksi beberapa macam vitamin, selain itu juga dapat mempercepat proses
timbulnya bau tengik dan flavor yang tidak dikehendaki. Jika jumlah peroksida
lebih dari 100 mh/kg akan bersifat racun.
Grafik pengaruh jenis tepung dan lama penggorengan terhadap bilangan
peroksida keripik daging dapat dilihat pada Gambar 9.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
10 20 30 40 50 60
LAMA PENGGORENGAN (MENIT)
BILA
NGAN
PER
OKS
IDA
Tepung ATepung BTepung C
Gambar 9. Grafik pengaruh jenis tepung dan lama penggorengan yang berbeda
terhadap bilangan peroksida keripik daging
Nilai bilangan peroksida meningkat pada lama penggorengan 50 menit untuk
ketiga perlakuan jenis tepung yang digunakan. Proses oksidasi dapat berlangsung
bila ada kontak langsung antara sejumlah oksigen dengan lemak. Oksidasi
biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida, jadi
kenaikan bilangan peroksida merupakan indikator bahwa minyak sebentar lagi
akan berbau tengik (Ketaren 1986). Minyak goreng yang digunakan berjam-jam
bahkan berhari-hari akan terjadi degradasi secara intensif. Lemak juga merupakan
bahan yang mudah teroksidasi pada suhu penggorengan yang tinggi. Namun
perubahan oksidatif dari fraksi lemak adalah kecil tergantung dari jumlah asam
lemak tidak jenuh yang mempunyai banyak ikatan rangkap. Menurut Pikul dan
Niewiarowicz (1990) di dalam penelitiannya pada lemak daging ayam yang
mempunyai banyak ikatan rangkap memperlihatkan adanya perubahan setelah
penggorengan, yaitu dengan meningkatnya reaksi TBA (thiobarbituric acid).
Kualitas minyak goreng juga sangat penting, minyak goreng yang digunakan pada
waktu yang lama akan meningkatkan oksidasi pada produk yang digoreng.
Penilaian organoleptik terhadap keripik daging
Penilaian organoleptik keripik daging yang terdiri dari tiga perlakuan jenis
tepung yang digunakan pada penelitian ini dilakukan melalui uji hedonik atau uji
kesukaan. Dalam uji ini, panelis diminta untuk mengungkapkan tanggapan
pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya ketidaksukaan terhadap keripik
daging. Penilaian meliputi warna, aroma, tekstur, rasa dan kerenyahan dari
masing-masing produk.
Warna
Hasil analisis Kruskall Wallis untuk penilaian warna menunjukkan tidak
adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) untuk perlakuan 3 jenis tepung yang
digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penilaian warna yang agak
disukai (skor 3) untuk keripik daging jenis tepung A (Konsentrasi tepung tapioka
15 %) karena sifat dari tepung tapioka yang banyak mengandung amilopektin
yang salah satu sifatnya sangat jernih sehingga dapat mempertinggi mutu
penampilan produk akhir sedangkan tidak disukai untuk keripik daging jenis
tepung B (konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5% dan tepung
maizena 2.5%) dan tepung C (konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5%
dan tepung maizena 5%). Hal tersebut diduga karena adanya reaksi antara grup
amino dan karbohidrat. Reaksi antara protein dan gula hampir seluruhnya
menimbulkan reaksi warna coklat atau sering disebut reaksi Maillard (Parker
2003). Semua zat makanan yang digoreng akan menyumbangkan zat-zat seperti
gula, pati dan protein, zat-zat yang terekstrak dari makanan akan mengalami
warna pencoklatan sendiri atau bereaksi dengan minyak yang menyebabkan
minyak menjadi gelap. Minyak juga dapat berkontribusi terhadap perubahan
warna bahan selama penggorengan. Menurut Analisis dengan menggunakan test
median diperoleh Gambar 10 di bawah ini.
Gambar 10. Grafik tes median penilaian warna keripik daging
Hasil tes median panelis penilaiannya terhadap keripik daging perlakuan
tepung A (konsentrasi tepung tapioka 15%) berada di atas median sebanyak
51.11% sedangkan dibawah dan sama dengan median sebanyak 49.99%.
Penilaian panelis terhadap warna keripik daging mulai tidak suka sampai agak
suka. Penilaian warna keripik daging perlakuan tepung B (konsentrasi tepung
tapioka 10%, tepung terigu 2.5 % dan tepung maizena 2.5%) berada di atas
median sebanyak 49.99% sedangkan di bawah dan sama dengan median
sebanyak 51.11%. Penilaian panelis terhadap warna keripik daging mulai tidak
suka sampai suka. Penilaian warna keripik daging perlakuan tepung C
(Konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%) di
atas median 46.67% sedangkan di bawah dan sama dengan median 53.33%.
Penilaian panelis terhadap warna keripik daging mulai tidak suka sampai agak
suka.
Aroma
Aroma dapat mempengaruhi pemilihan dan kesukaan konsumen terhadap
suatu produk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aroma keripik daging jenis
tepung A (konsentrasi tepung tapioka 15%) dan tepung B (konsentrasi tepung
tapioka 10%, tepung terigu 2.5% dan tepung maizena 2.5%) penilaian panelis
agak suka (skor 3) sedangkan penilaian keripik daging tepung C dengan penilaian
Jenis Tepung C B A
6
5
4
3
2
1
0
Peni
laia
n W
arna
netral (skor 2). Hasil analisis Kruskall Wallis menunjukkan adanya perbedaan
yang nyata (P<0.05) dengan menggunakan test median diperoleh Gambar 11.
Gambar 11. Grafik tes median penilaian aroma keripik daging
Penilaian aroma keripik daging perlakuan tepung A (konsentrasi tepung
tapioka 15%) berada di atas median sebanyak 42.22% sedangkan di bawah dan
sama dengan median sebanyak 57.88% atau penilaian panelis terhadap aroma
keripik daging mulai netral sampai suka. Penilaian aroma keripik daging
perlakuan tepung B (Konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 % dan
tepung maizena 2.5%) di atas median 43.33% sedangkan di bawah dan sama
dengan median 46.67% atau penilaian panelis terhadap aroma keripik daging
mulai netral sampai suka. Penilaian warna keripik daging perlakuan tepung C
(Konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%) di
atas median 30.00% sedangkan di bawah dan sama dengan median 70.00% atau
penilaian panelis terhadap aroma keripik daging mulai netral sampai suka.
Tekstur
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penilaian tekstur disukai (skor 4)
untuk keripik daging jenis tepung A (konsentrasi tepung tapioka 15%) dan B
C B A
6
5
4
3
2
1
0
Jenis Tepung
Peni
laia
n A
rom
a
(konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 % dan tepung maizena 2.5%)
sedangkan untuk jenis tepung C (Konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5
% dan tepung maizena 5%) penilaian agak disukai (skor 3). Keripik daging pada
tepung A dan B mempunyai konsentrasi tepung tapioka yang lebih banyak
dibanding kombinasi C. Hal tersebut dapat mempengaruhi terhadap tekstur yang
dihasilkan, karena sifat dari tepung tapioka memiliki daya pemekat yang tinggi
serta tidak mudah rusak atau pecah. Penilaian tekstur dengan menggunakan test
median diperoleh Gambar 12.
Gambar 12. Grafik tes median penilaian tekstur keripik daging
Penilaian tekstur keripik daging perlakuan tepung A (konsentrasi tepung
tapioka 15%) berada di atas median sebanyak 52.22% sedangkan di bawah dan
sama dengan median sebanyak 47.78% atau penilaian panelis terhadap tekstur
keripik daging mulai netral sampai suka. Penilaian warna keripik daging
perlakuan tepung B (Konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 % dan
tepung maizena 2.5%) di atas median 52.22% sedangkan di bawah dan sama dengan
median 47.78% atau penilaian panelis terhadap tekstur keripik daging mulai agak
suka sampai suka. Penilaian warna keripik daging perlakuan tepung C
(Konsentrasi tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%) di
Jenis Tepung
C B A
7
6
5
4
3
2
1
0
91 92 93 94 95
Peni
laia
n T
ekst
ur
atas median 35.56% sedangkan di bawah dan sama dengan median 64.44% atau
penilaian panelis terhadap tekstur keripik daging mulai tidak suka sampai agak
suka.
Rasa Rasa merupakan faktor yang menentukaan dalam keputusan akhir
konsumen untuk menerima atau menolak makanan. Penilaian rasa pada keripik
daging untuk jenis tepung A (konsentrasi tepung tapioka 15%) dan C (Konsentrasi
tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%) adalah disukai (skor
4), sedangkan untuk tepung B (konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 %
dan tepung maizena 2.5%) penilaian agak disukai (skor 3), dengan menggunakan
test median pada Gambar 13.
Gambar 13. Grafik tes median penilaian rasa keripik daging
Menurut Winarno (1997) rasa dipengaruhi oleh komponen-komponen
penyusun makan seperti protein, lemak, protein, lemak, vitamin dan lainnya.
Rasa merupakan faktor penentu utama daya terima konsumen terhadap produk
pangan (Pearson dan Tauber 1984).
Penilaian rasa keripik daging perlakuan tepung A (konsentrasi tepung
tapioka 15%) berada di atas median sebanyak 52.22% sedangkan di bawah dan
Jenis Tepung C B A
7
6
5
4
3
2
1
0
91 92 93 94 95 121 122 151 152 153 154 155 156 157
1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 31 61
90
Peni
laia
n R
asa
sama dengan median sebanyak 47.78% atau penilaian panelis terhadap rasa
keripik daging mulai agak suka sampai suka. Penilaian warna keripik daging
perlakuan tepung B (Konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 % dan
tepung maizena 2.5%) di atas median 52.22% sedangkan di bawah dan sama dengan
median 47.78% atau penilaian panelis terhadap rasa keripik daging mulai agak suka
sampai suka. Penilaian warna keripik daging perlakuan tepung 3 (Konsentrasi
tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%) di atas median
44.44% sedangkan di bawah dan sama dengan median 54.54% atau penilaian panelis
terhadap rasa keripik daging mulai netral sampai suka.
Kerenyahan
Kerenyahan keripik berdasarkan bunyi yang ditimbulkan jika produk
dipatahkan, semakin tinggi daya patah pada angka tertentu akan menurunkan
tingkat kerenyahan. Hal ini terjadi karena pada makanan kering seperti keripik
timbulnya bunyi disebabkan adanya rongga sel yang kaku dan rapuh yang berisi
udara apabila diberikan gaya dari luar, sel-sel akan patah dan menimbulkan
getaran udara pada rongga-rongga tersebut. Getaran ini akan menghasilkan bunyi
renyah yang penyaringannya tergantung pada kekakuan sel (Vickers 1974),
Penilaian kerenyahan berdasarkan hasil analisis Kruskall Wallis menunjukkan
adanya perbedaan yang nyata (P<0.05), penilaian kerenyahan mempunyai
penilaian disukai (skor 4), dengan menggunakan test median pada Gambar 14.
Penilaian kerenyahan keripik daging perlakuan tepung A (konsentrasi
tepung tapioka 15%) berada di atas median sebanyak 52.22% sedangkan di
bawah dan sama dengan median sebanyak 47.78% atau penilaian panelis terhadap
kerenyahan keripik daging mulai agak suka sampai suka. Penilaian warna keripik
daging perlakuan tepung B (Konsentrasi tepung tapioka 10%, tepung terigu 2.5 %
dan tepung maizena 2.5%) di atas median 52.22% sedangkan di bawah dan sama
dengan median 47.78% atau penilaian panelis terhadap kerenyahan keripik daging
mulai agak suka sampai suka.
Gambar 14. Grafik tes median kerenyahan keripik daging
Penilaian kerenyahan keripik daging perlakuan tepung C (Konsentrasi
tepung tapioka 5%, tepung terigu 5 % dan tepung maizena 5%) di atas median
44.44% sedangkan di bawah dan sama dengan median 54.54% atau penilaian panelis
terhadap kerenyahan keripik daging mulai agak suka sampai suka. Penilaian
kerenyahan pada keripik daging dengan menggunakan tepung A (konsentrasi
tepung tapioka 15 %) mmpunyai nilai dengan tingkat kesukaan yang lebih tinggi
dibanding keripik dengan kombinasi tepung B dan C. Hal ini disebabkan tepung
tapioka mempunyai sifat tidak mudah mengumpal pada suhu normal pasta dari
amilopektin tidak mudah mengumpal dan kembali menjadi keras sehingga produk
mejadi lebih renyah.
Jenis Tepung C B A
7
6
5
4
3
2
1
0
1 2 31 32 33 34 35 36 61 62
30 29 28
Peni
laia
n K
eren
yaha
n
SIMPULAN • Jenis tepung tidak mempengaruhi sifat fisik keripik daging
• Lama penggorengan mempengaruhi sifat fisik keripik daging kecuali
kekerasan objektif.
• Jenis tepung tidak mempengaruhi sifat kimia keripik daging kecuali bilangan
peroksida
• Lama penggorengan mempengaruhi sifat kimia keripik daging kecuali kadar
lemak.
• Sifat fisik dan kimia keripik daging tidak dipengaruhi oleh interaksi jenis
tepung dan lama penggorengan.
DAFTAR PUSTAKA
Aberle ED, Forrest JC, Gerrard DE, Mills EW. 2001. Principles of Meat Science.
Fourth Ed. Dubuque, IOWA : Kendall/Hunt publishing Company. AOAC. 1995. Official methods of analysis of the Association of Official
Analylitical Chemists. Washington D.C.: AOAC. Buck DF. 1991. Antioxidants. In: M.J. Smith (Ed). Food Additive User’s
Handbook. Glasgow : Blackie Academic and Professional. Buckle KA, Edward RA, Fleet GH, Wotton M. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan.
Purnomo H Adiono. Jakarta : UI Press Carballo J, Fernandez P, Baretto G, Solas MT, Colmenero FJ. 1996. Morphology
and Texture of Bologna Sausage as Related to Content of Fat, Starch and Egg White. Journal Food Science. 61(3): 652-655
Costa, R M., Fernanda, A R.. Delaney, O., Gekas, V. 1999. Analysis of The Heat
Transfer Coeficient during Patato Frying. Journal of Food Engineering 39 : 293-299
Dallal DB 1981. Blacks Agriculture Dictionary. Second Edition. New Delhi
India : Jaypee Brither. Fellows, PJ. 1992. Food Processing Tecnology. Principles and Practise. London
: Ellis Horwood. Keeton, J T. 2001. Formed and Emulsion Products. Sams, A R (Ed). Poultry
Meat Processing. New York : CRC Press Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta :
Universitas Indonesia Press. Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. Edisi Ke-5. Terjemahan A. Parrakasi. Jakarta :
Universitas Indonesia Press. McWilliams, M . 2001. Foods Experimental Perspektives. New Jersey : Prentise
Hall Matz SA. 1984. Snack Food Technology. 2nd Edition. Westfort, Connecticut : AVI
Pub. Co., Inc.. Mellema M. 2003. Mechanism and Reduction Fat uptake in deep fat fried foods.
Netherlands : Unilever Research Vlaardingen.
Moreira, R G., Barufet, M A 1996. Spatial Distribution of Oil after Deep Fat Frying Tortilla Chips From a Stochastic Model. Journal of Food Engineering 31 : 485 - 498
Nawar WW. 1996. Lipids In O.R. Fennema (Ed) Food Chemistry. 3rd Edition.
Marcel Dekker, New York. Naruki S, Konani, S. 1991. Kimia dan Teknologi Pengolahan Hewan. PAU
Pangan dan Gizi. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. Ockerman HW. 1983. Chemistry of Meat Tissue. 10th ed. Department of Animal
Science. The Ohio State University and The Ohio Agricultural Research and Development Center.
Parker R. 2003. Introduction to Food Science. Dilmar Pearson AM, Tauber FW. 1984. Processed Meats. Wesport, CT : The Avi
Publishing Co., Inc. Pinthus, E J., Sagui, I S. 1995. Oil Uptake in Deep Fat Frying as Affected by
Porosity. Journal of Food Science Rahayu WP. 1998. Petunjuk Praktikum Penilaian Organoleptik Jurusan
Teknologi Pangan dan Gizi. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Robertson J, Ratcliff D, Bouton PE, Harris PV, Shorthose WR. 1986. A
comparism of Some Properties of Meat from Young Buffalo (Bubalis bubalis) and Cattle. Journal Food Science 51,47-57
Rustamaji E. 1989. Karakterisasi Jaringan Daging Ikan Tenggiri
(Scomberomorus commersoni). [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian. IPB.
Sahin, S., Sastry, S K., Bayindirli, L. 1999. The Determinations of Convective
Heat Transfer Coeficient During Frying. Journal of Food Engineering Siahaan D. 1988. Mengkaji Pengaruh Suplementasi Protein Terhadap
Karakteristik Fisika Kimia dan Organoleptik Keripik Sagu. [Skripsi]. Fateta, IPB
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. Susanti KK. 1990. Nutrition Aspect of Soy Fiber. Buletin Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Pangan 8 (19) : 20
Supriyanto, Rahardjo B, Marsono. 2006. Pemodelan Matematik Transfer Panas
dan Massa pada Proses Penggorengan Bahan Makanan Berpati. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 17 (1):28-37
Underriner E.W, Hume I.R.. 1994. Handbook of Industrial Seasonings. London
: Blackie Academic & Professional. Whitaker, S. Harnett P H, Irvine T F, editor 1977. Simultaneous Heat, Mass and
momentum Transfer in Porous Media : A Theory of Drying in Advantaces in Heat Transfer. Academic Press pp: 119-202
Wilson NRP, Dyett EJ, Hughes RB, Jones CRV. 1981. Meat and Meat Products.
London : Applied Science Publisher.
Lampiran 1 Kuesioner Penilaian Organoleptik Uji Hedonik
U 1 Nama : Tanggal : Petunjuk : 1. Di hadapan saudara terdapat 6 sampel.
2. Saudara dimohon untuk memberikan penilaian terhadap masing-msing sampel berdasarkan kesukaan terhadap warna, aroma, tekstur, rasa dan kerenyahan.
3. Berilah tanda checklist (√) sesuai dengan kesan yang dicicipi. 4. Setelah mencicipi stu sampel, saudara harap minum air putih yang telah
disediakan untuk menetralkan sebelum mencicipi sampel berikutnya.
Kode Sampel Penilaian Warna 7 9 11
Tidak Suka Netral Agak Suka Suka Sangat Suka Amat Sangat Suka
Kode Sampel Penilaian Aroma 7 9 11
Tidak Suka Netral Agak Suka Suka Sangat Suka Amat Sangat Suka
Kode Sampel Penilaian Tekstur 7 9 11
Tidak Suka Netral Agak Suka Suka Sangat Suka Amat Sangat Suka
Kode Sampel Penilaian Rasa 7 9 11
Tidak Suka Netral Agak Suka
Suka Sangat Suka Amat Sangat Suka
Kode Sampel Penilaian Kerenyahan 7 9 11
Tidak Suka Netral Agak Suka Suka Sangat Suka Amat Sangat Suka
Kuesioner Penilaian Organoleptik Uji Hedonik U 3 Nama : Tanggal : Petunjuk : 1. Di hadapan saudara terdapat 6 sampel.
2. Saudara dimohon untuk memberikan penilaian terhadap masing-msing sampel berdasarkan kesukaan terhadap warna, aroma, tekstur, rasa dan kerenyahan.
3. Berilah tanda checklist (√) sesuai dengan kesan yang dicicipi. 4. Setelah mencicipi stu sampel, saudara harap minum air putih yang telah
disediakan untuk menetralkan sebelum mencicipi sampel berikutnya.
Kode Sampel Penilaian Warna 8 10 12
Tidak Suka Netral Agak Suka Suka Sangat Suka Amat Sangat Suka
Kode Sampel Penilaian Aroma 8 10 12
Tidak Suka Netral Agak Suka Suka Sangat Suka Amat Sangat Suka
Kode Sampel Penilaian Tekstur 8 10 12
Tidak Suka Netral Agak Suka Suka Sangat Suka Amat Sangat Suka
Kode Sampel Penilaian Rasa
8 10 12 Tidak Suka Netral Agak Suka Suka Sangat Suka Amat Sangat Suka
Kode Sampel Penilaian Kerenyahan 8 10 12
Tidak Suka Netral Agak Suka Suka Sangat Suka Amat Sangat Suka
Kuesioner Penilaian Organoleptik Uji Hedonik U 2 Nama : Tanggal : Petunjuk : 1. Di hadapan saudara terdapat 6 sampel.
2. Saudara dimohon untuk memberikan penilaian terhadap masing-msing sampel berdasarkan kesukaan terhadap warna, aroma, tekstur, rasa dan kerenyahan.
3. Berilah tanda checklist (√) sesuai dengan kesan yang dicicipi. 4. Setelah mencicipi stu sampel, saudara harap minum air putih yang telah
disediakan untuk menetralkan sebelum mencicipi sampel berikutnya.
Kode Sampel Penilaian Warna 6 4 2
Tidak Suka Netral Agak Suka Suka Sangat Suka Amat Sangat Suka
Kode Sampel Penilaian Aroma 6 4 2
Tidak Suka Netral Agak Suka Suka Sangat Suka Amat Sangat Suka
Kode Sampel Penilaian Tekstur 6 4 2
Tidak Suka Netral Agak Suka Suka Sangat Suka Amat Sangat Suka
Kode Sampel Penilaian Rasa 6 4 2
Tidak Suka Netral Agak Suka Suka Sangat Suka Amat Sangat Suka
Kode Sampel Penilaian Kerenyahan 6 4 2
Tidak Suka Netral Agak Suka Suka Sangat Suka Amat Sangat Suka
Lampiran 2 Analisis ragam rendemen keripik daging
Sumber Keragaman DB JK KT F Hit Pr > F Tep 2 91.05 45.53 0.81 0.4536 LP 5 688.70 137.74 2.44 0.0525 Tep*LP 10 570.27 57.03 1.01 0.4523 Lampiran 3 Analisis ragam penyusutan keripik daging
Sumber Keragaman DB JK KT F Hit Pr > F Tep 2 204.28 102.14 1.87 0.1693 LP 5 1 239.29 247.86 4.53 0.0026 Tep*LP 10 365.19 36.52 0.67 0.7465 Lampiran 4 Analisis ragam kekerasan objektif keripik daging
Sumber Keragaman DB JK KT F Hit Pr > F Tep 2 183 827.17 91 913.59 0.84 0.4383 LP 5 331 267.19 66 253.44 0.61 0.6939 Tep*LP 10 483 332.71 48 333.27 0.44 0.9142 Lampiran 5 Analisis ragaman kadar air keripik daging
Sumber Keragaman DB JK KT F Hit Pr > F Tep 2 80.01 40.00 3.00 0.0621 LP 5 497.44 99.49 7.47 0.0001 Tep*LP 10 152.40 15.24 1.14 0.3584 Lampiran 6 Analisis ragam kadar lemak keripik daging
Sumber Keragaman DB JK KT F Hit Pr > F Tep 2 77.83 38.91 1.20 0.3132 LP 5 66.62 13.32 0.41 0.8382 Tep*LP 10 307.80 30.78 0.95 0.5026 Lampiran 7 Analisis ragam bilangan peroksida keripik daging
Sumber Keragaman DB JK KT F Hit Pr > F Tep 2 865.79 432.90 4.78 0.0145 LP 5 2 727.54 545.51 6.07 0.0004 Tep*LP 10 2 283.96 228.40 2.52 0.0205
Lampiran 8 Uji kruskall-wallis penilaian warna Perlakuan N Sum of
Scores Ecpected
Under HO Std Dev Mean
Score 1 90 12 384.00 12 195.00 584.48 133.60 2 90 12 242.50 12 195.00 584.48 136.03 3 90 11 958.50 12 195.00 584.48 132.87
Kruskall – wallis test (Chi Square Approximation) Chisquare = 0.18 DF = 2 Prob > Chi Square = 0.9124 Lampiran 9 Uji kruskall-wallis penilaian aroma Perlakuan N Sum of
Scores Ecpected
Under HO Std Dev Mean
Score 1 90 12 316.00 12 195.00 582.70 136.84 2 90 13 358.50 12 195.00 582.70 148.42 3 90 10 911.50 12 195.00 582.70 121.23
Kruskall – wallis test (Chi Square Approximation) Chisquare = 5.92 DF = 2 Prob > Chi Square = 0.0518 Lampiran 10 Uji kruskall-wallis penilaian tekstur Perlakuan N Sum of
Scores Ecpected
Under HO Std Dev Mean
Score 1 90 12 510.50 12 195.00 574.38 139.01 2 90 12 921.00 12 195.00 574.38 143.57 3 90 11 153.50 12 195.00 574.38 123.93
Kruskall – wallis test (Chi Square Approximation) Chisquare = 3.46 DF = 2 Prob > Chi Square = 0.1774 Lampiran 11 Uji kruskall-wallis penilaian rasa Perlakuan N Sum of
Scores Ecpected
Under HO Std Dev Mean
Score 1 90 13 036.00 12 195.00 587.76 144.84 2 90 12 247.00 12 195.00 587.76 136.08 3 90 11 302.50 12 195.00 587.76 125.58
Kruskall – Wallis Test (Chi Square Approximation) Chisquare = 2.91 DF = 2 Prob > Chi Square = 0.2335
Lampiran 12 Uji Kruskall-Wallis Penilaian Kerenyahan Perlakuan N Sum of
Scores Ecpected
Under HO Std Dev Mean
Score 1 90 13 819.00 12 195.00 578.28 153.54 2 90 11 537.50 12 195.00 578.28 128.19 3 90 11 228.50 12 195.00 578.28 124.76
Kruskall – Wallis Test (Chi Square Approximation) Chisquare = 7.98 DF = 2 Prob > Chi Square = 0.0185