PROCEEDING WORKSHOP PRESIDIUM DKN “PENATAAN...

94
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 1 Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga Tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan PROCEEDING WORKSHOP PRESIDIUM DKN “PENATAAN KAWASAN HUTAN BAGI KEBANGKITAN KEHUTANAN NASIONAL” Hotel Grand Aston - Yogyakarta, 17 – 18 Juli 2013 Kata Pengantar Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas terselenggaranya Workshop Presidium Dewan Kehutanan Nasional – Penataan Kawasan Hutan Bagi Kebangkitan Kehutanan Nasional. Kegiatan workshop selama dua hari, tanggal 17 – 18 Juli 2013 tersebut diselenggarakan di Hotel Grand Aston, Yogyakarta. Tujuan diselenggarakannya workshop Presidium DKN ini adalah untuk merumuskan peran strategis DKN dalam mendukung agenda dan kegiatan yang terkait dengan perubahan kebijakan kehutanan di Indonesia. Dukungan tersebut melalui pengembangan kerjasama dan dukungan terhadap implementasi NKB 12 kementerian dan lembaga yang dikoordinasikan dengan KPK. Selain itu, workshop juga bertujuan untuk mengidentifikasi pandangan tentang substansi dan merumuskan masukan konkrit berupa policy brief Presidium DKN tentang strategi implementasi Rencana Aksi NKB 12 kementerian dan lembaga. Merangkum Keputusan MK tentang hutan adat dan rumusan peran masyarakat adat dan komunitas lokal, serta menyusun dan menyepakati rencana kerja (work plan) sebagai tindak lanjut workshop. Workshop Presidium DKN diharapkan menghasilkan rumusan tentang peran strategis DKN dalam perumusan rencana aksi NKB 12 kementerian dan lembaga. Selain itu juga menghasilkan dokumen rancangan policy brief Presidium DKN sebagai masukan substansi yang akan menjadi masukan bagi KPK dan 12 kementerian dan lembaga dalam implementasi rencana aksi untuk mengakselerasi pengukuhan kawasan hutan di Indonesia. Menghasilkan rencana kerja (work plan) berupa kegiatan-kegiatan tindak lanjut dari workshop ini, diantaranya konsultasi atau dialog publik di tingkat nasional dan region, serta proyek percontohan implementasi NKB 12 kementerian dan lembaga di sejumlah region. Kami menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah mendukung dan mensukseskan pelaksanaan workshop Presidium DKN ini. Baik pihak sekretariat DKN, EO maupun para anggota Presidium DKN dari semua kamar sebagai peserta workshop dan para narasumber. Proceeding ini berisi catatan proses yang telah dilalui dalam workshop Presidium DKN “Penataan Kawasan Hutan Bagi Kebangkitan Kehutanan Nasional”. Mencerminkan gambaran dinamika yang terjadi dalam forum maupun hasil-hasil yang dicapai. Harapannya semoga apa yang

Transcript of PROCEEDING WORKSHOP PRESIDIUM DKN “PENATAAN...

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 1Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

PROCEEDING

WORKSHOP PRESIDIUM DKN“PENATAAN KAWASAN HUTAN BAGI KEBANGKITAN

KEHUTANAN NASIONAL”

Hotel Grand Aston - Yogyakarta, 17 – 18 Juli 2013

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas terselenggaranya Workshop Presidium Dewan

Kehutanan Nasional – Penataan Kawasan Hutan Bagi Kebangkitan Kehutanan Nasional. Kegiatan

workshop selama dua hari, tanggal 17 – 18 Juli 2013 tersebut diselenggarakan di Hotel Grand Aston,

Yogyakarta.

Tujuan diselenggarakannya workshop Presidium DKN ini adalah untuk merumuskan peran

strategis DKN dalam mendukung agenda dan kegiatan yang terkait dengan perubahan kebijakan

kehutanan di Indonesia. Dukungan tersebut melalui pengembangan kerjasama dan dukungan

terhadap implementasi NKB 12 kementerian dan lembaga yang dikoordinasikan dengan KPK.

Selain itu, workshop juga bertujuan untuk mengidentifikasi pandangan tentang substansi dan

merumuskan masukan konkrit berupa policy brief Presidium DKN tentang strategi implementasi

Rencana Aksi NKB 12 kementerian dan lembaga. Merangkum Keputusan MK tentang hutan adat dan

rumusan peran masyarakat adat dan komunitas lokal, serta menyusun dan menyepakati rencana kerja

(work plan) sebagai tindak lanjut workshop.

Workshop Presidium DKN diharapkan menghasilkan rumusan tentang peran strategis DKN

dalam perumusan rencana aksi NKB 12 kementerian dan lembaga. Selain itu juga menghasilkan

dokumen rancangan policy brief Presidium DKN sebagai masukan substansi yang akan menjadi

masukan bagi KPK dan 12 kementerian dan lembaga dalam implementasi rencana aksi untuk

mengakselerasi pengukuhan kawasan hutan di Indonesia. Menghasilkan rencana kerja (work plan)

berupa kegiatan-kegiatan tindak lanjut dari workshop ini, diantaranya konsultasi atau dialog publik di

tingkat nasional dan region, serta proyek percontohan implementasi NKB 12 kementerian dan

lembaga di sejumlah region.

Kami menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua

pihak yang telah mendukung dan mensukseskan pelaksanaan workshop Presidium DKN ini. Baik

pihak sekretariat DKN, EO maupun para anggota Presidium DKN dari semua kamar sebagai peserta

workshop dan para narasumber.

Proceeding ini berisi catatan proses yang telah dilalui dalam workshop Presidium DKN

“Penataan Kawasan Hutan Bagi Kebangkitan Kehutanan Nasional”. Mencerminkan gambaran

dinamika yang terjadi dalam forum maupun hasil-hasil yang dicapai. Harapannya semoga apa yang

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 2Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

telah dihasilkan dalam workshop ini baik berupa sikap, pandangan maupun masukan dari para peserta

bermanfaat bagi pengawalan program FIP di Indonesia untuk tujuan keadilan dan kelestarian hutan.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada 11 Maret 2013, 12 Kementerian dan Lembaga menandatangani Nota

Kesepahaman Bersama (NKB) tentang “Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia”.

NKB 12 K/L ini lahir dengan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Unit Kerja

Presiden Bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan (UKP4).

Tujuan NKB ialah untuk meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam percepatan

pengukuhan kawasan hutan serta meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam mendorong

percepatan pembangunan nasional dan pencegahan korupsi.

Tiga agenda utamanya adalah harmonisasi kebijakan dan peraturan perundang-

undangan. Penyelarasan teknis dan prosedur. Serta resolusi konflik berprinsip keadilan dan

HAM.

Kejelasan agenda dan kegiatan yang dijalankan menyusul terbitnya NKB 12 K/L ini

akan sangat tergantung pada rencana aksi bersamanya. Termasuk di dalamnya, terkait

keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai status hutan adat. Keputusan MK ini tentu

akan membawa implikasi serius dan luas, baik terhadap perjuangan masyarakat (lokal dan

adat) atas hutan, juga menyangkut keseluruhan kebijakan kehutanan nasional di Indonesia.

Sinergitas para pihak sangat vital. Dalam hal ini, kedua belas kementerian/ lembaga

yang menandatangi NKB (Kemendagri, Kemenkum HAM, Kemenkeu, Kemen ESDM,

Kementan, Kemenhut, Kemen PU, Kemen LH, Kemen PP/ Bappenas, BPN, BIG, dan

Komnas HAM) harus benar-benar responsif, kredibel dan bekerja nyata dalam mensukseskan

maksud NKB ini.

Dewan Kehutanan Nasional (DKN) sebagai salah satu wadah dimana duduk wakil

konstituen dalam sektor kehutanan (Masyarakat Adat dan Lokal, Pemerintah, Bisnis, LSM/

Pemerhati, dan Akademisi/Peneliti) yang berkepentingan atas penataan kehutanan nasional,

tentu saja sangat penting untuk memberikan respon khusus atas terbitnya NKB ini, termasuk

Keputusan MK mengenai Hutan Adat. Respon DKN ini didudukkan sebagai bahan masukan

dan pertimbangan bagi semua pihak agar substansi NKB ini dipahami dengan utuh dan

implementasi rencana aksinya di lapangan dapat dikawal secara kritis, objektif dan efektif.

Sebagai langkah awal, guna mendiskusikan dan merumuskan respon tersebut, DKN

memandang perlu untuk mengadakan workshop yang dihadiri oleh semua pihak yang

merupakan unsur anggota DKN. Dalam Workshop ini didiskusikan, dirumuskan dan

ditetapkan pandangan DKN atas rencana aksi NKB 12 K/L, termasuk di dalamnya keputusan

MK terkait hutan adat. Dari workshop ini diharapkan keluar rencana aksi DKN yang konkrit

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 3Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

dalam mengawal implementasi rencana aksi NKB dan tindak lanjut dari keputusan MK

tersebut. Beberapa isu strategis yang perlu elaborasi khusus dalam workshop ini adalah kaitan

NKB 12 K/L dan Keputusan MK dengan: reforma agraria, land reform plus, forestry land

tenure, hak masyarakat adat atas hutan, dan resolusi konflik agraria.

Tentu rangkaian kegiatan ini tidak akan berhenti di sini, berdasarkan diskusi dengan

KPK, ke depan diharapkan DKN bersama KPK akan mengawal sosialisasi rencana aksi ini di

7 (tujuh) regio. Diharapkan, perwakilan dari kamar pemerintah, masyarakat, akademisi, dunia

usaha, dan LSM dapat memberikan kontribusi pemikirannya. Sehingga, percepatan

pengukuhan kawasan hutan dapat diarahkan guna memastikan penguasan dan pengusahaan

hutan sungguh jadi bagian dari perwujudan spirit ideologis Pancasila dan Konstitusi, yakni

keadilan sosial dan kemakmuran rakyat.

B. Materi dan Agenda Pembahasan

Materi dan substansi acara yang akan dibahas dalam workshop ini mencakup:

1. Pemaparan konteks dan substansi serta rencana aksi yang dikandung dalam NKB 12 K/L,

serta langkah-langkah tindak lanjut dalam implementasi rencana aksi NKB tersebut;

2. Pemaparan konteks dan substansi judicial review terhadap UU Kehutanan dan Putusan

MK, serta tindak lanjut dan konsekuensinya terhadap kebijakan kehutanan nasional dari

perspektif Kementerian Kehutanan;

3. Pemaparan pakar mengenai implikasi NKB 12 K/L dan Putusan MK serta

hubungannya dengan penataan kebijakan kehutanan dan reforma agraria dan pengelolaan

SDA;

4. Pembahasan peran DKN terhadap permasalahan dan kebijakan nasional

kehutanan, khususnya merespon NKB 12 K/L dan Putusan MK terkait hutan adat;

5. Pembahasan respon Presidium DKN berdasarkan kamar-kamar DKN untuk

mengidentifikasi pandangan dan masukan terhadap konteks, substansi dan pelaksanaan

rencana aksi NKB 12 K/L, dan kaitannya dengan Putusan MK tentang hutan adat;

6. Perumusan substansi hasil workshop ini menjadi sebuah dokumen yang utuh dan

terintegrasi (policy brief) berdasarkan masukan dari setiap Kamar DKN, dan rencana

kerja (work plan) sebagai tindak lanjut workshop.

Agenda pembahasan dalam workshop selama dua hari adalah sebagai berikut:

1. Pengantar dan Pembukaan: Penjelasan tentang pandangan dan sikap DKN terhadap

permasalahan dan kebijakan nasional kehutanan, khususnya merespon terbitnya NKB 12

K/L dan Putusan MK terkait hutan adat. Oleh Ketua Presidium DKN, Prof. Dr. Hariadi

Kartodohardjo.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 4Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

2. Pemaparan Materi I: Uraian mengenai konteks dan substansi serta rencana aksi yang

dikandung oleh NKB 12 kementerian dan lembaga, serta langkah-langkah tindak lanjut

dalam implementasi rencana aksi NKB 12 K/L. Oleh Pimpinan KPK, dalam hal ini

diwakili Dian Patria (Tim Monitoring dan Evaluasi NKB-KPK).

3. Pemaparan Materi II: Uraian mengenai konteks dan substansi judicial review terhadap

UU Kehutanan dan Putusan MK terkait hutan adat, serta tindak lanjut dan

konsekuensinya terhadap kebijakan kehutanan nasional dari perspektif Kementerian

Kehutanan RI. Oleh Dirjen Planologi Kemenhut, Ir. Bambang Soepijanto, MM.

4. Pemaparan Materi III: Uraian pakar mengenai implikasi NKB 12 K/L dan Putusan MK

terkait hutan adat serta hubungannya dengan penataan kebijakan kehutanan dan reforma

agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Oleh Direktur Eksekutif SAINS, Noer Fauzi

Rachman, PhD.

5. Diskusi dan Klarifikasi: Peserta memberikan respon berupa pertanyaan dan pandangan

terhadap apa yang sudah diuraikan oleh narasumber, lalu narasumber menyampaikan

respon baliknya yang dipandu oleh fasilitator.

6. Pengantar Sidang Kamar: Penjelasan singkat mengenai substansi materi yang akan

dibahas, dan proses pelaksanaan diskusi kelompok atau sidang kamar yang dipandu oleh

fasilitator.

7. Pelaksanaan Sidang Kamar: Membahas respon Presidium DKN berdasarkan kamar-

kamar DKN untuk mengidentifikasi pandangan dan masukan terhadap konteks, substansi

dan pelaksanaan rencana aksi NKB 12 K/L, dan kaitannya dengan Putusan MK terkait

hutan adat yang dipimpin oleh ketua kamar dan dibantu sekretaris kamar masing-masing.

8. Perumusan Hasil Sidang Kamar: Para Ketua dan Sekretaris Kamar merumuskan hasil

Sidang Kamar dan menyiapkan bahan pemaparan pleno.

9. Review dan Pengantar: Penjelasan tentang proses yang sudah berjalan pada hari pertama,

dan yang akan berlangsung pada hari kedua yang dipandu fasilitator.

10. Pleno Pemaparan Hasil Sidang Kamar: Uraian mengenai rumusan hasil sidang setiap

kamar DKN terhadap substansi dan implementasi NKB 12 kementerian dan lembaga,

serta tindak lanjut dalam implementasi rencana aksinya. Oleh ketua kamar masing-

masing dan dipandu fasilitator.

11. Perumusan Hasil: Merumuskan substansi hasil workshop ini menjadi sebuah dokumen

yang utuh dan terintegrasi (policy brief) berdasarkan masukan dari setiap Kamar DKN,

dan rencana tindak lanjut setelah lokakarya yang dipandu oleh fasilitator.

12. Perumusan Rencana Kerja: Menyusun rencana kerja (work plan) sebagai tindak lanjut

dari workshop ini yang dipandu pleh fasilitator.

13. Penetapan Hasil dan Penutupan: Menetapkan hasil-hasil workshop, rencana tindak lanjut,

dan penutupan workshop. Oleh Ketua Presidium DKN, Prof. Dr. Hariadi Kartodohardjo.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 5Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

II. DINAMIKA FORUM

A. Hari Pertama

1. Pembukaan

Oleh Ketua Presidium DKN, Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo.

Ketua menyampaikan terimakasih kepada anggota presidium DKN serta Dirjen

Planologi Kemenhut, Tim KPK dan UKP4 yang akan menjadi narasumber.

Kinerja nasional terkait kehutanan dan pengelolaan lahan:

a). Masalah kelola hutan konservasi & lindung, penurunan kinerja

usaha besar, terutama hutan alam, dan stagnasi peran usaha kecil;

b). Gap antara de jure dan de facto dari kawasan hutan negara. Dari

konteks de jure kawasan hutan Indonesia cukup luas. Meskipun

persentase penetapan masih kecil tapi secara de facto sebenarnya

tidak terlalu menggembirakan karena banyak potensi konflik yang

terkait dengan kawasan hutan;

c). Rendahnya tata kelola hutan dan lahan, terkait dengan

pelaksanaan kebijakan transparansi, akuntabilitas, korupsi dst. Ini

sudah dikaji dan sudah diserahkan ke Presidium DKN. Masalah ini

perlu mendapatkan perhatian khusus yang sekarang oleh tim UNDP

dan UKP4 sedang berkeliling ke 10 propinsi untuk melihat bagaimana

peningkatan tata kelola hutan dan lahan.

Memahami kondisi dan perubahan kebijakan kehutanan dan pertanahan:

Pegangan kedepan harus memperhatikan RKTN

• (Permenhut 49/2011)—

• MP3EI (Perpres 32/2011)—

• RAN GRK (Prespres 61/2011)—

• Stranas REDD+ (02/Satgas Redd+/09/2012)—

• (P 6/2007 jo P 3/2008) kaitannya dengan upaya kemenhut untuk

mengoperasionalkan KPH.

Kebijakan terkait dengan penetapan kawasan hutan negara

Arah kedepan dari kebijakan-kebijakan ini sudah jelas yaitu untuk

memastikan di satu sisi pelestarian hutan, di sisi lain adalah distribusi

pendapatan kepada masyarakat. Tetapi tidak seluruhnya sinkron satu sama

lain. Ada hal-hal yang terkait dengan pertentangan-pertentangan prioritas.

Misalnya antara RKTN dan MP3EI.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 6Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

• Putusan MK (45/2011)

• NKB 12/KL, dikoordinasikan oleh KPK. Fokus pada kawasan hutan dan

percepatan pengukuhannya serta seluruh aspek yang terkait dengan persoalan

kawasan hutan.

• Putusan MK (35/2012) yang menyatakan bahwa hutan adat berada di luar

kawasan hutan negara.

Berkaitan dengan MDG’s dan penanggulangan Kemiskinan (right base approah)

• UU P3H (Pencegahan dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan)

• Revisi UU 32/2004 dan PP 38/2007. Pada akhir Juni di Surabaya,

Dirjen BUK melakukan diskusi mengenai revisi berbagai peraturan perijinan

untuk meningkatkan pelayanan publik. Dalam acara tersebut Kemendagri

mempresentasikan arah perubahan PP 38. Kemendagri berpandangan bahwa

kehutanan dalam konteks sebagai lanskap dan ekosistem sehingga peran propinsi

sangat tinggi dibandingkan kebupaten.

• FIP dan DGM, yang juga menjadi tema di DKN.

Tampaknya ini akan menjadi tema besar di dunia setelah tahun 2015.

Penjelasan tentang FIP dan DGM

Forest Investment Program (FIP) adalah satu dari tiga program di bawah

Dana Iklim Strategis (SCF), sebuah dana perwalian multi-donor yang dibentuk pada

tahun 2009 untuk memberikan pembiayaan jalur cepat.

Jadi akan ada proses tertentu yang terkait dengan pembiayaan ini yang

tujuannya adalah pengurangan deforestasi dan degradasi. Kemenhut sudah

membentuk SC ketuanya adalah Sekjen Kementerian Kehutanan. DKN diminta

sebagai anggota SC, termasuk eselon 1 Kementerian keuangan dst. Di pertemuan ini

akan dibicarakan secara khusus bagaimana FIP dan DGM itu.

Dedicated Grand Mechanism (DGM) adalah mekanisme hibah khusus bagi

masyarakat adat dan lokal, sebuah inisiatif global dalam rangka memberikan hibah

kepada masyarakat adat dan lokal untuk meningkatkan kapasitas dan mendukung

inisiatif tertentu, sehingga dapat lebih banyak berpartisipasi dalam FIP dan proses-

proses REDD+ lainnya di tingkat lokal, nasional, dan global. Komitmen dana 70 juta

DKN sudah bicara dengan KPK tentang bagaimana DKN bisa mendukung

proses ini terutama dalam implementasinya. Agenda NKB 12/KL

direncanakan hingga tahun 2015. Ini merupakan program jangka panjang dan

tidak ingin terpengaruh dengan politik praktis.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 7Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

US $ akan digunakan untuk maksud tsb. Basis pengembangan FIP adalah melalui

pembangunan KPH;

Catatan DKN berkaitan dengan FIP dan DGM

Ketua Presidium DKN belum bisa memberikan hal yang lebih detil lagi karena

SCFIP belum pernah mengadakan pertemuan sehingga DKN belum bisa

mendapatkan informasi terkait pelaksanaan FIP.

Pemetaan Agenda NKB 12 K/L

Pertama, terkait dengan seluruh aspek pemanfaatan kawasan hutan beserta

pengukuhannya serta penyelesaian pihak ketiga. Pihak ketiga itu bisa kampung, desa,

masyarakat adat. Ada juga pedoman tersendiri untuk memastikan bagaimana

penempatannya. Lalu ada juga revisi P 44 dan P 47 yang terkait dengan panitia tata

batas dan pengukuhan kawasan hutan. Disamping itu juga tersedia sistem pengaduan

dan tindak lanjut dari proses-proses pengukuhan dan masalah tenurial. Diharapkan

kedepan ada semacam informasi yang terbuka bagi masyarakat jika ada masalah

terkait sehingga ada komunikasi secara langsung mengenai pengaduan dan prosesnya.

Hal ini tidak mudah karena banyak juga lembaga yang melakukan itu,

termasuk Komnas Ham dan DKN. Hampir setiap tahun dua lembaga ini menerima

beberapa puluh konflik. Yang penting adalah bagaimana tindak lanjut dari pangaduan

tersebut. Di samping ini ada juga segenap hal lain yang diperlukan, seperti peta dasar

yang harus seragam dst.

Kedua, berkaitan dengan operasional KPH dengan kelengkapan regulasinya,

pelaksanaan program pendampingan masyarakat di KPH itu, lalu mempercepat

Diperlukan pembaruan dan pelaksanaan kebijakan (peraturan-perundangan

dan kelembagaan) —NKB 12 K/L adalah salah satu proses yang sedang

dilakukan. Kamar bisnis menyatakan bahwa policy reform lebih penting

daripada softloan, untuk kondisi Indonesia sekarang.

DKN bukan pelaksana dari FIP dan DGM. DKN hanya sebagai anggota SC.

Persoalan DKN dengan FIP sebetulnya bukan DKN menolak atau menerima

FIP, karena menolak atau menerima, FIP tetap jalan, tapi yang sangat penting

adalah catatan DKN yang akan disampaikan di dalam SCFIP, untuk

memastikan perbaikan FIP jika ada temuan kelemahan di masing-masing

kamar.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 8Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

pelaksanaan pencadangan untuk HTR, HKM, HD dst yang diharapkan KPH punya

peranan penting dalam konteks ini. Yang selama ini relatif sulit masyarakat dapat

menyampaikan proposal perijinan dst, diharapkan KPH punya peran seperti itu.

Ketiga terkait dengan review dan proses perbaikan kebijakan perijinan. Yang

diharapkan tidak hanya ijin pinjam pakai terkait kawasan hutan tapi seluruh perijinan

karena pada saat bulan lalu DKN memfasilitasi di Surabaya banyak sekali terkait

dengan perijinan yang lain yang berada di kawasan hutan yang sedang berjalan.

Bukan hanya persoalan penggunaan dan pelepasan kawasan hutan tapi eksisting ijin

itu juga mempunyai peran penting.

Keempat, ada khusus penyelesaian konflik sendiri, regulasi penyelesaian

sengketa di dalam kawasan hutan, kemudian juga terbangun konsensus penyelesaian

konflik ini oleh Kementerian dan Lembaga. Ini sangat penting karena konflik,

terutama keterlanjuran itu banyak sekali interpretasi yang berbeda. Apalagi kemudian

menggunakan UU Kehutanan, yang satu menggunakan cara bekerjanya BPN, dst. Ini

juga perlu bukan hanya jangka pendek tapi juga jangka panjang karena persoalan-

persoalan yang terkait dengan konteks sengketa ini. Ini juga sangat terkait dengan UU

Pertanahan yang akan segera muncul; bagaimana sebenarnya peradilan pertahan dsb

bisa menyelesaikan konflik.

Kelima, berkaitan dengan penguatan peraturan-peraturan rencana yang

intinya adalah penjabaran RKTN menjadi hal-hal yang sifatnya operasional;

bagaimana itu bisa dilaksanakan di setiap pulau, bagaimana tata batas bisa bekerja

dengan penguatan kapasitas. Idenya adalah satu tahun sebelum panitia tata batas

bekerja, ada survey sosial untuk mengetahui desa dsb.

Ketua Presidium DKN sedang menyarankan, memberikan input kepada tim

KPK untuk melakukan klustering dari 93 rencana aksi.

Garis Besar Agenda NKB—12K/L: Harapan Peran DKN

a) Penyempurnaan kebijakan dan peraturan serta percepatan pengukuhan kawasan

hutan, termasuk kepastian status pihak ke-3 dalam kawasan hutan negara;

b) Beroperasinya 120 KPH serta berjalannya kemitraan dan pemberdayaan masyarakat,

RHL, di dalam areal kerja KPH itu;

c) Proses perizinan secara integratif dan transparan dengan jaminan masa depan

perizinan sesuai peraturan-perundangan dan bebas konflik;

d) Terdapat regulasi penyelesaian sengketa kehutanan dan terwujud konsensus

penyelesaian konflik oleh 12 K/L;

e) Terdapat perencanaan nasional yang lebih rinci dalam penyelesaian pengukuhan

kawasan hutan.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 9Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Dalam konteks percepatan pengukuhan kawasan hutan, UKP4 mengadakan

pertemuan antara pak Untoro dengan gubernur Kalimantan Tengah di Barito Selatan.

Diharapkan KPK juga menggagas tindakan serupa bersama kementerian dan lembaga

mungkin ada fokus menyelesaikan tata ruang dan tata batas di propinsi tertentu.

Dalam konteks operasional di lapangan, terhadap 5 kluster rencana aksi ini, DKN

diharapkan bisa melihat pelaksanaan ini. Seperti yang diketahui bersama, pada saat

membicarakan ekonomi, peran masyarakat adat, termasuk juga konservasi, mustahil

bisa tercapai ketika kawasan hutan tidak menjadi prioritas. Setiap pergantian menteri

selalu mengambil program populis, tetapi kawasan hutan selalu menjadi bagian yang

tidak prioritas. Ini terlihat dari anggaran kementerian kehutanan dimana 46%

ditujukan untuk membuat persemaian. Sebaiknya anggaran itu untuk Dirjen

Planologi.

2. Pengantar oleh Usep Setiawan (Fasilitator)

Usep Setiawan menjelaskan tentang tujuan dan keluaran yang hendak dicapai dalam

workshop serta alur dan acara hari pertama.

3. Pemaparan materi NKB Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia Sebagai

Upaya Pencegahan Korupsi di Sektor Kehutanan

oleh Tim Monev NKB-KPK, Dian Patria

Tanggal 3 Desember 2010 KPK melakukan paparan hasil kajian Sistem

Perencanaan Kawasan Hutan di Dirjen Planologi. KPK masuk ke perencanaan di

planologi karena KPK menganggap upaya perbaikan harus mulai dari perencanaan.

Proses belangsung hingga 11 Maret 2013 dengan ditandantanginya NKB Percepatan

Pengukuhan Kawasan Hutan.

Program yang didukung oleh KPK ini adalah program fundamental yang

harusnya selesai dalam 10 tahun mendatang, setelah itu baru hal-hal lain

dibicarakan untuk memastikan pembangunan kedepan.

Ada sejumlah syarat rekomendasi KPK di Dirjen Planologi. Salah satunya

adalah perlu adanya satu peta yang menjadi acuan bersama. Dalam kajiannya,

KPK menemukan banyak versi kawasan hutan dengan skala yang tidak

operasional sehingga KPK menyarankan adanya one map sebagai acuan semua

pihak. Syarat yang lainnya adalah adanya jaminan pelepasan kawasan hutan.

Kajian KPK juga menemukan banyak tanah-tanah terlantar yang dilepaskan

tetapi tidak digunakan sebagaimana mestinya.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 10Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Persoalan kehutanan tidak mudah dan tidak bisa diselesaikan sendiri oleh Dirjen

Planologi. Perlu berbagai peran dari Kementerian dan lembaga yang lain. Oleh karena itu

KPK melakukan pengkajian dan pendalaman dengan mengundang para pakar. Berberapa

kali KPK berdiskusi dengan CSO, LSM akademisi dan K/L. Dari pengkajian, pendalaman

dan diskuti tersebut lahirlah 3 naskah tematik yaitu Harmonisasi Kebijakan dan Peraturan

Perundangan, Penyelarasan Teknis dan Prosedur, serta Resolusi Konflik. Kalau bicara

dalam konteks KPK, korupsi bisa terjadi karena keijakan yang bermasalah. Oleh karena

itu perlu ada perbaikan dan harmonisasi kebijakan. Dalam operasionalisasi pun terjadi

penyimpangan-penyimpangan, ada kolusi, suap dalam pemberian ijin dsb. Salah satu

sumber konflik adalah karena adanya penyelewengan pada saat operasional.

Rencana Aksi NKB 12 K/L

Dalam rencana aksi NKB terdapat tiga tema yang saling terkait dan outputnya

pun beririsan; ada rencana aksi yang menjadi prasyarat untuk rencana aksi yang lain di

kementerian yang sama atau kementerian yang lain. Total ada 93 Renaksi dan sudah

disimplifikasi oleh pak Hariadi menjadi satu tabel.

Latar Belakang

Di Sektor kehutanan banyak sekali masalah yang sudah lama berlangsung akibat

tata kelola dan korupsi di sektor sumberdaya alam. Masalah-masalah di sektor kehutanan

diantaranya tingginya deforestasi, tingginya kerugian negara di sektor kehutanan, dan

adanya ketidakpastian hukum atas kawasan hutan yang menyebabkan tumpang tindih

izin.

KPK concern dengan masalah di sektor kehutnan karena KPK ingin

berkontribusi untuk menyelamatkan sumberdaya alam atau menghilangkan

korupsi atau faktor-faktor penyebab korupsi di dalam pengelolaan sumberdaya

alam.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 11Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Salah satu penyebab yang ditemukan KPK mengapa tambang tidak clean dan

celar adalah belum selesainya masalah batas administrasi. Baru sekitar 17% segmen yang

telah mempunyai batas administrasi yang jelas. Jika tidak ada kejelasan batas

administrasi, ketika lokasi tambang yang berbatasan dengan kabupaten atau propinsi yang

lain, biasanya terjadi konflik.

Dari sisi PNPB SDA penerimaan dari hutan dan tambang tidak terlalu banyak.

Jauh di bawah APBN. Angka tidak seimbang dengan konflik-konflik di area hutan yang

sangat besar dan tingginya kerusakan lingkungan. Ada biaya sosial korupsi.

UU KPK mengatakan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara

meluas tidak hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga telah merupakan

pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga

tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus

dilakukan secara luar biasa. KPK dibentuk dalam perspektif Penjagaan Hak-hak Sosial

dan Ekonomi untuk Kesejahteraan Rakyat. Jadi, KPK tidak hanya menangkap koruptor

tapi juga memberikan perubahan nyata di masyarakat.

KPK masuk ke chapter sumberdaya alam karena di dalam strategy map KPK ada

3 hal, yaitu ketahanan pangan, pendapatan dan ketahanan energi serta sektor kesehatan.

KPK sampai tahun 2003-2015 fokus pada 3 sektor tersebut. Tahun lalu KPK mengkaji

tata niaga daging sapi. KPK menemukan dugaan-dugaan penyimpangan. KPK

bekerjasama antara pencegahan dan penindakan. Selain perbaikan sistem, KPK juga

melakukan tindakan ketika ada kasus. Hal serupa juga dilakukan di chapter pendapatan

berkaitan dengan perpajakan dll.

KPK juga melibatkan CSO. Hal ini sangat tepat karena dengan pertimbangan

sumberdaya KPK yang terbatas. Misalnya dalam, konteks NKB, peran CSO adalah

memantau impelementasi NKB di lapangan atau memberikan masukan secara substansial

sehingga KPK bisa bekerja lebih efektif dan efisien.

Tugas KPK Dalam NKB

Tugas KPK merupakan kombinasi antara pencegahan dan penindakan.

Sebenarnya peran KPK dalam NKB lebih banyak memberikan koordinasi dan

supervisi. Jadi tidak hanya dalam bidang penindakan, KPK melakukan

koordinasi, tapi juga dalam pencegahan, dalam rangka perbaikan sistem.

Termasuk dalam NKB ini. Seringkali KPK memberikan saran, menjadi mediator

dan fasilitator serta menjaga koordinasi antar Kementerian.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 12Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Tugas Monitor KPK sesuai pasal 14 diantaranya Melakukan pengkajian terhadap

sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara & pemerintah. Tahun 2010

KPK melakukan kajian di Dirjen Planologi, BPN, Imigrasi, Bea Cukai, dll. Memberi

saran perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi

tersebut berpotensi korupsi kepada semua pimpinan lembaga negara & pemerintah. Dan

melaporkan jika saran KPK mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan kepada

Presiden, DPR, & BPK. Salah satu instansi yang dinilai kooperatif yaitu Kementerian

Kehutanan.

Pemetaan Permasalahan dan Komitmen Bersama

Tema 1: Harmonisasi kebijakan dan Peraturan Perundagan.

Renaksi Tema 1 diantaranya

a) Harmonisasi kebijakan dalam rangka penyelarasan wilayah usaha sektoral, dengan

kebijakan tata ruang dll.

b) Mendorong proses perizinan terintegrasi. BPK sering menemukan tidak adanya ijin

pinjam pakai bagi perusahaan tambang di Kawasan hutan. Misalnya di Aceh tidak satu

pun perusahaan tambang mempunyai ijin pinjam pakai. Pihak Kehutanan hanya tahu yang

lapor dan berharap dinas kehutanan di daerah melakukan pengawasan. Tapi di daerah,

pengendalian sangat lemah. Sama juga dengan pertambangan.

Akhirnya pengusaha jalan terus. Ditambah lagi dengan ketidakjelasan peta kawasan

hutan.

c) Mendorong instrumen pengendalian dalam pengelolaan SDA. Dengan otonomi daerah

tidak mudah mengendalikan ijin. Ijin-ijin usaha perkebunan oleh Bupati, sangat sedikit

yang dilaporkan ke pusat. Tahun lalu tidak ada satupun Pemda yang melaporkan IUP.

Sangsi sulit diterapkapkan kepada Pemda. Pemda selalu beralasan lokasi tambang yang

jauh dan sumberdaya Pemda yang terbatas.

Masalah di NKB sudah lama tapi tidak ada penyelesaian. Sudah ada TAP MPR

9/2001 tapi dinilai tidak ada implementasi. Untuk menyelesaikan masalah ini

KPK menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi untuk mempercepat

implementasi Renaksi NKB. Intinya KPK berusaha mendorong bagaimana akar

masalah bisa hilang sehingga koruptor makin sulit bersembunyi di balik masalah

yang tidak kunjung selesai.

Alasan pengusaha tidak memiliki ijin pinjam pakai adalah sudah mendapatkan IUP dari Bupati dan pengurusan ijin pinjam pakai butuh waktu lama.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 13Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Data yang dipakai adalah data surveyor. Data tersebut dipakai oleh pemerintah dan

negara, sementara surveyor dibayar oleh perusahaan tambang.

Tema 2: Penyelarasan Teknik dan Prosedur Pengukuhan Kawasan Hutan

Renaksi Tema 2, diantaranya:

a) Mendorong one map yang jadi acuan semua stakeholders sehingga bisa single reference,

single standard.

b) Pengembangan integrasi informasi geospasial dengan memperkuat peran BIG,

memperkuat jaringan data spasial nasional. Sesuai data kajian, masih 16% yang clear dan

clean serta 16% batasan administrasi yang selesai sehingga perlu dipercepat.

c) Percepatan pengukuhan kawasan hutan Indonesia, Pembentukan KPH. Data terakhir ada

60.000 km yang belum memiliki tata batas. Tapi dengan usulan perubahan tata ruang,

menjadi 170.000 km lari.

Tema 3: Resolusi Konflik

Renaksi tema 3 diantaranya:

a) Membangun basis data dan informasi konflik agraria. Di sini juga ada peran Komnas

HAM;

b) Membangun konsesus perlunya lembaga penyelesaian konflik agrarian;

c) Memperluas wilayah kelola masyarakat.

Terkait Harmonisasi Kebijakan, tidak ada yang pas antara UU sektoral, UU 4/2009, UU

Pertambangan, UU Kehutanan, UU Perkebunan dan UU Tata Ruang, karena masih jalan

masing-masing.

Di tema 1 ada peran-peran dari Kemenhut, ESDM, Lingkungan Hidup, Pertanian,

dan PU untuk harmonisasi regulasi baik di internal K/L maupun diantara K/L itu sendiri.

Banyak hal yang perlu dilakukan di renaksi tema 1.

Tema 2, penyelarasan teknik dan prosedur pengukuhan kawasan hutan. Seperti

diketahui ada putusan MK 45 bahwa penunjukkan saja tidak cukup untuk pengukuhan

kawasan hutan. Ada masalah-masalah di dalamnya. Ada yang sudah terlanjur ditunjuk

tapi belum sempat diinventarisasi, baik itu kayu maupun masyarakat di dalamnya. Tata

batas juga masih banyak sekali PR-nya. Terakhir ada putusan MK 35 tentang hutan adat.

Putusan itu setelah NKB ditandatangani. Akibatnya adalah lemahnya legitimasi kawasan

hutan dan konflik yang tidak kunjung habis.

Bisa dikatakan tidak ada pengawasan atas industri tambang.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 14Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Tema 2 terdorong oleh visi PP 44, PP 50 dan PP 47 untuk penguatan Panitia Tata

Batas. Ada di kajian KPK tahun 2010, dimana Bupati sebagai ketua Panitia Tata Batas

tidak mengindahkan saran dari tim sehingga tidak ada solusi. KPK juga mendorong

Pemda, melalui Mendagri untuk mensosialisasikan setiap rencana tata batas dan

membuka ruang partisipasi masyarakat dalam penataan tata batas di wilayahnya. Agar

masyarakat tahu wilayah mana yang akan ditatabatas sehingga konflik bisa diminimalisir

dan diaplikan di APBD.

Tema 3 menunjukkan bahwa peran masyarakat sangat dikedepankan di dalam

NKB.

Tindak Lajut NKB

a) Menyusun Tim dan Kelembagaan Monev Pelaksanaan Renaksi Bersama NKB;

b) Membentuk Satgas Pelaksanaan NKB (gabungan dari perwakilan 12 K/L);

c) Penajaman dan finalisasi renaksi NKB dengan 10 K/L dengan melibatkan Pakar dan

CSO;

d) Pleno dengan 12 K/L (akhir Juli 2013);

e) Pemantauan implementasi renaksi dengan melibatkan Pakar dan CSO. KPK

menggunakan aplikasi F8K dan IMH (Indonesia Memantau Hutan). IMH akan

dilaunching pada 17 Agustus 2013. Diharapkan CSO bisa berperan memberikan masukan

atas data-data spasial, tidak hanya kehutanan tapi juga pertambangan dan perkebunan.

4. Pemaparan materi mengawal reformasi tatakelola hutan dan lahan gambut di

Indonesia oleh Tim UKP4, Josi Khatarina

Sekilas UKP-PPP (UKP4)

Dasar pendirian UKP4 adalah Perpres 54/2009 jo Perpres 10/2012.Tugasnya

antara lain membantu Presiden dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian

pembangunan sehingga mencapai sasaran pembangunan nasional dengan

penyelesaian penuh.

Prioritas tugasnya antara lain meningkatan efektivitas dan percepatan

pelaksanaan reformasi birokrasi dan perbaikan layanan umum, meningkatan

efektivitas penegakan hukum serta perwujudan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan

dan berkeadilan.

Ijin untuk masyarakat sangat kecil dibandingkan ijin untuk usaha. Porsinya tidak sampai 0,5%. Perlu mendorong kepastian hukum yang berkadilan untuk rakyat.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 15Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Tugas awal UKP4, antara lain monitoring dan evaluasi prioritas nasional.

Debottlenecking; memastikan apabila ada persoalan-persoalan dalam prioritas

nasional maka ada upaya-upaya untuk melakukan terobosan-terobosan. Penguatan

Lembaga Penegakan Hukum.

Contoh tugas-tugas terkait tugas utama adalah REDD+, TEPA (Penyerapan

Anggaran), Satgas PMH (Pemberantasan Mafia Hukum), sampai tahun 2011, Open

Government Indonesia.

Memonitor dan Mengawal Prioritas Nasional

Dari 11 prioritas nasional Kabinet Indonesia Bersatu 2010-2014 dua

diantaranya yang terkait langsung dengan NKB 12/KL adalah Reformasi Birokrasi

dan Pemerintahan serta Lingkungan Hidup dan Tatakelola Daerah Pasca Bencana.

Tiga prioritas bidangnya adalah politik, hukum dan Keamanan, Ekonomi dan

Kesejahteraan Rakyat.

Mengawal REDD+ dan Tata Kelola Hutan & Lahan Gambut

Karena sampai akhir Juni lalu Ketua Satgas REDD+ adalah Pak Untoro,

maka program-program reformasi tata kelola dan lahan gambut di Indonesia yang

dikawal UKP4 banyak dilakukan dan terkait dengan prioritas di bidang penurunan

emisi atau perubahan iklim secara umum.

Gambaran Umum Persoalan Tata Kelola Hutan dan Lahan Gambut

Perencanaan

a) Belum selesainya penataan ruang;

b) Belum selesainya pengukuhan kawasan hutan;

c) Terdapat beberapa perbedaan dalam pengaturan kriteria kawasan lindung dan

budidaya di dalam kawasan hutan dan APL;

d) Proses perencanaan yang belum transparan, partisipatif dan akuntabel.

Pemanfaatan

a) Perizinan yang belum transparan, efisien dan efektif serta harmonis antar sektor

dan pusat dan daerah;

Fungsi UKP4 antara lain pencegahan dan pemberantasan mafia hukum,

penyempurnaan peraturan dan informasi pertanahan, sumber daya alam dan

tata ruang, penguatan kontribusi Indonesia dalam isu perubahan iklim

global, lingkungan, dan upaya persiapannya.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 16Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

b) Tidak tersedianya sarpras yang memadai termasuk ketiadaan database perizinan

yang terkoneksi antar pusat-daerah, dan antar sektor, sehingga data-data perijinan

tidak terbaharui dengan baik di tingkat pusat. Bahkan di tingkat propinsi pun

data-data perijinan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah tingkat II tidak

diketahui. Di beberapa kasus ditemukan pemerintahan yang ada saat ini tidak

memiliki data perijinan yang diberikan oleh pemerintahan tahap sebelumnya.

c) Akses masyarakat yang relatif tertutup di dalam pengelolaan SDA.

Pengawasan dan penegakan hukum

a) Rumusan delik yang tidak efektif dalam memberikan efek jera;

b) Lemahnya koordinasi antar APH dan kapasitas serta sarpras yang belum

memadai. SDM juga belum memadai dan jauh dari mencukupi untuk memastikan

adanya penegakan hukum yang efektif;

c) Judicial corruption. Ini adalah salah satu alasan presiden mendirikan Satgas

PHM pada tahun 2009.

Berbagai Rencana Aksi

a) Inpres 1/2013 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.

Ada outline untuk memastikan sektor pertambangan memiliki perijinan berbasis

teknologi informasi;

b) Inpres 2/2013 tentang Keamanan dan Ketertiban Dalam Negeri (dalam kaitannya

dengan penyelesaian konflik); salah satu item yang ada di rencana aksi adalah

percepatan pengukuhan kawasan hutan;

c) Inpres 6/2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata

Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Inpres ini ditindaklanjuti dengan

sebuah rencana aksi yang didalamnya terdapat berbagai rencana aksi yang harus

dilakukan oleh kementerian dan lembaga yang dilaporkan dan dipantau juga oleh

UKP4;

d) NKB 12 K/L tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan. Bisa dikatakan

ada beberapa rencana aksi yang keliatannya overlapping untuk mencapai tujuan

yang berbeda-beda. Tapi perlu dipahami bahwa pengawasan di UKP4 hanya

satu. Mungkin ada beberapa rencana aksi yang terkait beberapa Inpres, rencana

aksinya sama tapi pelaporannya cukup satu dan pemantauannya terintegrasi;

Database perijinan menjadi salah satu yang krusial yang harus ditangani.

Salah satu poin dalam rencana aksi adalah aspek transparansi perijinan.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 17Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

e) MOU dan Peraturan Bersama (6 K/L: Kemenhut, KemenLH, Kemenkeu,

Kejaksaan Agung, POLRI, PPATK) Penanganan Perkara Tindak Pidana Terkait

SDA-LH Di Atas Hutan dan Lahan Gambut dengan Pendekatan Multidoor+;

f) MOU antara Satgas REDD+ dengan Pemda Prov Kalteng, Kaltim dan Jambi. Di

Kalteng ada dua kegiatan utama terkait MoU, yaitu penataan perijinan dan

percepatan pengukuhan kawasan hutan. Sementara di Kaltim kegiatannya

terfokus pada penataan perijinan. Untuk di Jambi, selain penataan perijinan ada

juga pemanfaatan data-data one map. Pada dasarnya MoU-MoU ini itu adalah

melaksanakan sebuah kegiatan di tingkat teknis sehingga hasil dari kegiatan ini

bisa menjadi input bagi pembenahan tata kelola di tingkat nasional. Nanti akan

dilihat bagaimana implementasi MoU menyumbang pada beberapa perubahan

peraturan di tingkat nasional.

Kegiatan-kegiatan yang diupayakan untuk menjawab masalah-masalah

dalam tata kelola hutan dan lahan gambut:

a) Reformasi Peraturan Perundang-undangan: Mempersiapkan dan memberi

kerangka hukum bagi reformasi tata kelola hutan dan lahan gambut serta

memberi dasar bagi REDD+. Kegiatan ini sedikit berbeda dengan NKB yang

tujuannya lebih kepada pencegahan korupsi. Kegiatan ini diarahkan bagi

pengurangan emisi melalui penyempurkan tata kelola hutan dan lahan gambut;

b) Gerakan One Map;

c) Percepatan pengukuhan kawasan hutan;

d) Penataan perjinan;

e) Penguatan penegakan hukum.

“Policy Paper” Pengkajian & Perancangan Peraturan Perundang-undangan

Mempersiapkan dan Memberi Kerangka Hukum bagi REDD+

Isi Policy Paper secara umum:

a) Menganalisa kondisi kerangka hukum yang mengatur tata kelola hutan dan lahan

gambut yang ada saat ini.

Bagaimana mengkaji secara sistematis berbagai peraturan perundang-

undangan yang ada terkait hutan dan lahan gambut,

UKP4 bekerjasama dengan kementerian Hukum dan Ham membangun sebuah

policy paper yang isinya adalah prinsip-prinsip, mengkaji dan merancang

peraturan perundang-undangan untuk mempersiapkan dan memberi kerangka

hukum bagi REDD+.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 18Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Mengidentifikasi persoalan-persoalan di dalam peraturan perundang-

undangan tersebut.

Dan pada akhirnya memberikan masukan-masukan tentang peraturan-

peraturan mana yang mungkin perlu direvisi, peraturan mana yang perlu

dicabut, atau peraturan mana yang perlu dibuat. Misalnya secara khusus

perlu dibuat peraturan tentang masyarakat adat.

b) Membangun Konsep hukum yang tepat dalam konteks Indonesia untuk

melakukan pembenahan pengurusan SDH dan lahan gambut

Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan REDD+ (lembaga

REDD+, badang REDD+, instrumen pendanaan, mekanisme MAV)

Selain secara substantif memberikan arahan tentang bagaimana

menyempurnakan tata kelola hutan dan lahan gambut, di dalam policy

paper ini juga ada mekanisme kelembagaannya. Berdasarkan diskusi

dengan berbagai K/L dan juga masyarakat sipil yang dilakukan dalam

membangun peraturan perundang-undangan ini maka disepakati bahwa

diperlukan sebuah mekanisme dan kelembagaan untuk mengawal policy

paper ini. Salah satu opsi yang ada yaitu Kementerian Hukum dan Ham

lewat GBHN dari Dirjen Perundang-undangan. Itu diharapkan nantinya

akan mengawal seluruh proses reformasi peraturan perundang-undangan

ini.

c) Memberi dasar yang kuat bagi pelaksanaan mekanisme REDD+.

Pengukuhan Kawasan Hutan; Studi Kasus Barito Selatan

Kalau misalnya di NKB itu dibicarakan rencana aksi di tingkat nasional, sebetulnya rencana

aksi itu juga dibangun berdasarkan kerja dari studi kasus yang kita lakukan di Barito Selatan.

Di Barito Selatan ada sebuah tim percepatan pengukuhan kawasan hutan yang terdiri dari

Kementerian Kehutanan, Direktur Pengukuhan, Dirjen Planologi, Kemendagri (berkaitan dengan

penyelesaian batas wilayah), UKP4, BPN (berkaitan dengan hak pihak ketiga), Pemda (sebagai

penanggungjawab pengukuhan kawasan hutan), dan Akademisi. Setelah penandatanganan MoU, lalu

ada Tim Percepatan Pengukuhan tersebut, ada pertemuan dengan Bupati dan Dinas Kehutanan. Pada

tahap ini ada pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan yang sudah berjalan.

Tahun sebelumnya sudah ada pembentukan BPKH sebagai salah satu bagian dari Renaksi dan

kebetulan sesuai dengan rencana di Kemenhut untuk membentuk BPKH khusus di Kalimantan

Tengah. Mudah-mudahan bisa membantu secara umum proses pengukuhan kawasan hutan di

Kalimatan Tengah. Saat ini yang sedang berjalan di Barito Selatan adalah pengembangan juklak

resolusi konflik dan bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengukuhan

kawasan hutan.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 19Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Pada saat pembahasan mengenai prioritas wilayah mana yang akan ditatabatas, karena

keterbatasan anggaran, maka disepakati di dalam Tim Percepatan Pengukuhan yang kemudian

difollowup di lapangan yaitu penatabatasan ini diarahkan pada penyelamatan hutan yang tersisa dan

saat yang bersamaan memiliki ancaman tinggi. Daerah yang dipilih sesuai dengan data-data yang ada,

termasuk citra resolusi tinggi yang saat ini sudah tersedia.

Pengembangan Juklak Resolusi Konflik & Proses Partisipatif

Pada saat pembahasan percepatan pengukuhan saat itu, P50 sudah berubah dengan P44, dan

banyak hal di dalam P44 sudah sangat membantu agar proses pengukuhan bisa jauh lebih cepat

dibandingkan proses sebelumnya. Salah satu yang masuk adalah patok virtual. Tapi di sisi lain, ada

beberapa hal yang kelihatannya masih perlu ditindaklanjuti, antara lain:

Tim percepatan kemudian menginisiasi sebuah penyusunan Juklak teknis untuk berbagai

pengaturan tersebut sehingga pengukuhan kawasan hutan ini bukan hanya cepat selesai tapi juga tidak

menyisakan konflik-konflik di lapangan. Jadi, tingkat akseptabilitas-nya jadi jauh lebih tinggi. Saat ini

draft tersebut sudah ada di Kemenhut dan akan disinkronkan dengan proses di NKB dimana

diharapkan akan menjadi bagian terintegrasi dari perubahan P44 dan P47.

Penataan Perizinan

Penataan perijinan didasarkan pada MoU dengan tiga daerah, Kaltim, Kalteng dan Jambi.

Inisiatif penataan perijinan bukan hanya dari pemerintah pusat tapi juga pemerintah daerah. Jadi, ada

demand dari pemerintah daerah menyambut berbagai perkembangan pemikiran tentang perijinan yang

sudah dibangun di Satgas REDD+-UKP4. Ketiga provinsi inisiator ini secara sukarela memasukkan

diri ke dalam MoU.

Tiga Kegiatan utama Penataan Perijinan

1) Pengembangan sistem pengelolaan informasi perijinan (SPIP)

Kegiatan ini sudah berjalan di Kalimantan Tengah. Kegiatan turunan

a) Pengumpulan data.

Beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti untuk percepat pengukuhan kawasan hutan

a). Keterlibatan masyarakat adat dan lokal;

b). Bagaimana resolusi konflik di lapangan atas indentifikasi hak-hak yang ada;

c). Peningkatan transparansi proses;

d). mekanisme keberatan apabila dalam proses pengukuhan ada pihak yang tidak setuju

dengan tata batas.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 20Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Selama ini yang dimiliki oleh Pemprov adalah daftar perijinan tanpa ada data-data dukung.

Dengan adanya SPIP ini diharapkan pemprov dan pemerintah pusat memiliki akses terhadap

seluruh data dukung perijinan.

b) Pengembangan infrastruktur SPIP yang terintegrasi (software SPIP)

c) Registrasi izin (Upload dan penomoran data secara digital). Untuk mempermudah akses oleh

policy maker.

d) Verifikasi data oleh pemegang izin

Tahap ini sedang dijajaki dengan Kalimantan Tengah, dan akan dilanjutkan dengan Kaltim

dan Jambi. Data-data yang asalnya adalah dari Pemda, pada satu tahap dirasa perlu untuk

dibuka dan diberikan waktu kepada pemegang ijin untuk melakukan verifikasi, apakah data-

data tersebut mutakhir atau tidak.

e) Penerapan sistem perizinan on-line terintegrasi

f) Publikasi informasi publik perizinan, hanya untuk data yang memang bisa dikonsumsi oleh

publik. Sebagian merupakan data yang diperlukan oleh K/L untuk proses administrasi

perijinan itu sendiri. Yang akan berjalan secara paralel adalah kajian tentang data-data mana

yang harus terbuka pada publik dan mana yang merupakan bagian dari informasi internal

pemerintahan.

2) Uji tuntas

a) Penyediaan dokumen

b) Pelaksanaan audit oleh law firm (Kalimatan Tengah)

c) Penyusunan rekomendasi. Rekomendasi dibangun pada dua tingkat,

Tingkat kegiatan

Dari data yang masuk dilihat kegiatan mana saja yang perlu difollow up.

Rekomendasi di tingkat kegiatan yang saat itu dibangun berdasarkan MoU nanti akan

diberikan kepada pemerintah daerah karena pemerintah daerah adalah pihak yang

memberikan ijin dan nantinya akan punya kewenangan mengenai tindakan-tindakan

tertentu.

Tingkat kebijakan

Di tingkat ini dilihat kebijakan-kebijakan apa saja yang berpengaruh pada kondisi

perijinan yang ada saat ini. Rekomendasi didapatkan dari lawfirm dan akademisi.

3) Implementasi

a) Penertiban;

b) Penyelesaian konflik lahan;

c) Pembenahan kebijakan

Tahap implementasi akan lebih banyak dilakukan oleh badan REDD+. Sedangkan tahap 1 dan

2, di awalnya akan lebih banyak dilakukan oleh UKP4 bersama-sama dengan K/L yang lainnya.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 21Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Lingkup Audit Ijin

Di aspek sosial di sini diupayakan identifkasi kemungkinan adanya overlapping klaim atas

satu bidang lahan. Aspek Revenues saat ini baru berfokus pada pajak saja dan bekerjasama dengan

Dirjen pajak untuk mengidentifikasi kepatuhan membayar pajak dari berbagai perusahaan yang

masuk.

Berdasarkan MoU yang ada serta kapasitas dan sumberdaya yang ada, fokus penataan

perijinan baru pada kebun dan tambang.

Sistem Database yang terintegrasi

Harapannya SPIP ini hanya ada satu saja secara nasional dan nantinya masing-masing daerah

akan bisa mengakses dan memperbaharui datanya melalui microsites. Di masing-masing Pemda

tingkat II dan I akan punya akun khusus untuk mengupload data-data perijinan yang mereka miliki.

Untuk tambang sudah ada peraturan perundang-undangan yang menjamin adanya akses data dari

pemda ke pemerintah pusat, sementara untuk kebun, seperti masukan ke draft terkahir dari program

Permentan 2006/2007, mewajibkan pemda maupun pemegang ijin untuk mengupload data-data

mereka melalui database yang sudah disediakan.

Lingkup informasi dalam SPIP

a). Permohonan Izin dan Pemrosesan

Dokumen permohonan izin dan kelengkapan-nya; I

nformasi proses perizinan yang real time.

b). Penerbitan Izin

Dokumen izin, meliputi antara lain: izin lokasi, AMDAL, izin lingkungan, izin usaha perkebunan,

izin pelepasan kawasan hutan.

c). Pelaporan dan Pengawasan

Dokumen laporan perusahaan;

Dokumen laporan pengawasan

d). Penegakan Hukum

Surat keputusan yang berisi tindakan penegakan hukum kepada pengusaha, meliputi antara lain

surat peringatan, dll.

Penguatan Penegakan Hukum

Pendekatan Multidoor

Alasan menggunakan pendekatan Multidoor:

a) Kejahatan di sektor kehutanan dan sumber daya alam merupakan kejahatan lintas sector;

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 22Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

b) Keterbatasan Peraturan Perundang-undangan yang satu dapat diisi dengan Peraturan perundang-

undangan yang lain;

c) Kejahatan kehutanan hampir selalu dibarengi oleh pencucian uang, suap, gratifikasi dan

penghindaran pajak.

Tujuan dan Manfaat Multidoor

a) Sistem Penegakan Hukum Terpadu

b) Menghindarkan disparitas tuntutan pidana untuk perkara-perkara sejenis

c) Menghindari peluang lolosnya pelaku kejahatan (ijin terbang)

d) Efek Jera

e) Pertanggung jawaban Korporasi apabila terjadi kejahatan kerusakan lingkungan

f) Pemulihan Lingkungan

g) Kerjasama Internasional (asset recovery)

h) Pengembalian Kerugian Negara

Pada dasarnya latar belakang multidoor adalah mendorong Koordinasi dan kerjasama antar

Aparat Penegak Hukum. Aparat Penegak Hukum bisa melihat satu kasus dengan pendekatan multi

rezim hukum. Di sini peran fasilitator dan confiner sangat dibutuhkan.

5. Pemaparan materi perspektif kebijakan atas putusan MK No. 35/PUU-X/2012

tentang uji konstitusionalitas UU No. 41/1999 terkait hak masyarakat hukum adat

oleh Dirjen Planologi Kemenhut, Ir. Bambang Soepijanto, MM

KPK dan UKP4 adalah mitra kementerian kehutanan untuk memperbaiki tata

kelola. Penandatangan NKB 12/KL adalah puncak dari pemahaman KPK tentang

kesulitan kementerian kehutanan untuk menyelesaikan persoalannya sendiri. Dan

pembentukan BPKH yang baru merupakan rekomendasi dari ABK. Semula kita

mengajukan ke Menpan, ditolak. Tapi setelah ada hasil telaah dari lembaga-lembaga

Pendekatan Multidoor adalah Pendekatan penegakan hukum atas rangkaian/gabungan

tindak pidana terkait Sumber Daya Alam-Lingkungan Hidup (SDA-LH) di atas hutan

dan lahan gambut yang mengandalkan berbagai peraturan perundangan antara lain

Kehutanan, Perkebunan, Pertambangan, Penataan ruang, Lingkungan hidup,

Perpajakan, Tindak pidana Korupsi, dan TP Pencucian uang. Diharapkan secara

optimal bisa diupayakan sebuah efek jera apabila ditemukan pelanggaran di atas hutan

maupun lahan gambut.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 23Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

yang ditugaskan oleh kami maka yang sekarang ini ada di Kalteng, di Riau,

Lampung, Aceh dan Kendari, merupakan salah satu renaksi yang kami tindaklanjuti.

Kehutanan berbeda dengan Kementerian Pertanian yang houlding company

karena eksekutor Kehutanan adalah Menteri.

KPK sungguh memahami itu. Oleh karena itu Kementerian kehutanan diberikan

rencana aksi untuk memudahkan itu, antara lain adanya single reference dalam bentuk

peta dasar yang tunggal. Peta dasar hanya dikeluarkan oleh BIG. Dalam implementasi

ini, kemenhut terus menerus dipandu oleh KPK dan UKP4.

Pemohon uji konstitusionalitas UU No. 41/1999 terkait hak masyarakat

hukum adat adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan

Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

Kasepuhan Cisitu.

Pasal yang diuji meliputi: Pasal 1 angka (6); Pasal 4 ayat (3); Pasal 5 ayat (1)

ayat (2), ayat (3), ayat (4); Pasal 67 ayat (1), ayat (2), ayat (3). Sebagian permohonan

dikabulkan, yaitu Pasal 1 angka (6); Pasal 4 ayat (3); Pasal 5 ayat (1) ayat (2), ayat

(3), ayat (4).

Uraian Pasal Yang Diuji

a) Pasal 1 angka 6, berbunyi Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah

masyarakat hukum adat.

b) Pasal 4 ayat (3), berbunyi Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak

masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui

keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

c) Pasal 5

Aayat (1), berbunyi Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: hutan negara, dan

hutan hak.

Ayat (2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa

hutan adat.

Ayat (3) Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya

masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.

Urusan perijinan di kehutanan tidak sederhana. P 38 menyatakan bahwa ijin bidang dikeluarkan oleh daerah, ditambah dengan AMDAL, rekomendasi Gubernur, ada CNC-nya, dan juga pertimbangan teknis dari perkebunan, baru kemudian ke Kementerian Kehutanan.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 24Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Ayat (4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang

bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada

Pemerintah.

d) Pasal 67

1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui

keberadaannya berhak:

a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup

sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;

b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku

dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan mendapatkan

pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

AMAR PUTUSAN YANG DIKABULKAN MK

No. Pasal Dalam UU No. 41 Tahun 1999 Amar Putusan MK1. Kata ”negara” dalam pasal 1 angka 6,

yaitu: “Hutan adat adalah hutan “negara” yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pasal 1 angka 6 UU No. 41 Tahun 1999 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga pasal 1 angka 6 dimaksud menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat adat”.

2. Pasal 4 ayat (3), yaitu: “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”.

Pasal 4 ayat (3) dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.

3. Pasal 5 ayat (1), yaitu: Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara, dan b. hutan hak

Pasal 5 ayat (1), dimaknai “hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat”

Pasal 5 ayat (1) bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

4. Pasal 5 ayat (2), yaitu: Hutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.

Pasal 5 ayat (2) bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 25Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

5. Pasal 5 ayat (3), yaitu: pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) “dan ayat (2)” dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.

Frasa “dan ayat (2)” dalam pasal 5 ayat (3) bertentangan dengan UUD Tahun 1945 ;

Frasa “dan ayat (2)” dalam pasal 5 ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga pasal 5 ayat (3) dimaksud menjadi “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”.

Pada pasal 5 ayat (3), kata “sepanjang” tidak berani dihilangkan. Yang dilakukan oleh MK adalah

penyempurnaan.

AMAR PUTUSAN YANG DITOLAK MK

No. Pasal Dalam UU No. 41 Tahun 1999 Pertimbangan Hukum MKPasal 67(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk

pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;

b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan

c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat(1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 67 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kehutanan mengandung substansi yang sama dengan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan dalam konteks frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya”. Oleh karenanya, pertimbangan hukum terhadap Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan menyangkut konteks frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya”mutatis mutandis berlaku terhadap dalil permohonan Pasal 67 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kehutanan;

Perspektif Kebijakan Pasca Putusan MK No.. 35/PUU-X/2012

A. Pertimbangan MK atas pengujian Pasal 67 UU 41/1999

Pengujian Pasal 67 yang tidak dikabulkan oleh MK, didasarkan pertimbangan sebagai

berikut:

1. Frasa “dan Hutan Adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat

hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”, Frasa

dimaksud sudah tepat dan sejalan dengan Pasal 18B ayat (2) dan pasal 28I ayat (2)

UUD 1945 (vide halaman 176)

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 26Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

2. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak

ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat dikembalikan kepada Pemerintah, dan

status hutan adat pun beralih menjadi hutan negara (vide halaman 182)

B. Langkah-Langkah

1. Membentuk tim sosialisasi putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012.

2. Telah diterbitkan Surat Edaran Menteri Kehutanan No SE.1/Menhut-II/2013 tanggal

16 Juli 2013 kepada Gubernur/Bupati/Walikota Seluruh Indonesia dan Kepala Dinas

Provinsi /Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan yang memuat penjelasan

putusan MK.

3. Mempercepat penyelesaian RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat

Hukum Adat (inisiatif DPR).

4. Meminta Kemendagri untuk mendorong Pemda menetapkan Perda tentang Penetapan

Wilayah Masyarakat Hukum Adat.

5. Wilayah masyarakat hukum adat yang berdasarkan Perda berada dalam kawasan

hutan, maka sesuai Permenhut No P.44/Menhut-II/2012 dikeluarkan dari kawasan

hutan.

Inventarisasi Masyarakat Hukum Adat

A. Hasil Inventarisasi Perda

Perda Provinsi

1. Perda Provinsi Maluku No 14 Tahun 2005 dan Perda No 3 Tahun 2008;

2. Perda Provinsi Sumatera Barat No 16 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat Dan

Pemanfaatannya (tidak dilampiri peta);

3. Perda Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Hak Ulayat Masyarakat

Hukum Adat Dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah

(tidak dilampiri peta);

4. Perda Provinsi Riau No 1 Tahun 2012 Tentang Lembaga Adat Melayu Riau (tidak

dilampiri peta).

Perda Kabupaten

Sepanjang UU yang diperintahkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 belum

terbentuk, dalam mengisi kekosongan hukum, maka pengukuhan dan hapusnya

masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah, dapat dibenarkan

(vide halaman 184).

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 27Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

1. Perda Kab. Kampar No 12 Tahun 1999 Tentang Hak Tanah Ulayat (tidak dilampiri

peta);

2. Perda Kab. Lebak No 65 Tahun 2001 Tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat

Masyarakat Baduy (tidak dilampiri peta namun terdapat batas-batas wilayah);

3. Perda Kabupaten Maluku Tenggara No 03 Tahun 2009 Tentang Ratshap dan Ohoi

(tidak dilampiri peta);

4. Perda Kabupaten Nunukan No 03 Tahun 2004 Tentang Hak Ulayat Masyarakat

Hukum Adat Kabupaten Nunukan (tidak dilampiri peta).

Ini adalah masukan dalam rangka penyusunan Perda karena nanti kementerian

kehutanan akan merespon Perda-Perda yang memang merupakan penetapan wilayah

masyarakat hukum adat. Jadi, ada tanggungjawab. Contoh pembuktian untuk ditetapkan

sebagai wilayah hukum adat: makam menggunakan batu berwarna hitam, ada tulisan

meninggal tahun 1881. Pemerintah daerah harus punya tanggungjawab bagaimana

menetapkan itu karena mereka harus mencari pembuktian baik itu saksi hidup ataupuan

tanda-tanda yang masih ada. Atau juga kebiasaan yang terpelihara baik. Bukti-bukti itu

akan menjadi ruh dari perda.

6. Pemaparan materi ralat kebijakan agraria kehutanan oleh MK: apresiasi dan

konsekuensinya oleh Direktur Eksekutif SAINS, Noer Fauzi Rachman

Adat merupakan retorika legitimasi bagi hampir semua pengguna praktek atau

hak yang dituntut. Adat bukan suatu bagian dari peristiwa masa lampau yang masih

Putusan MK bagi Kemenhut tidak ada masalah. Semua bisa dilaksanakan dengan

baik sepanjang sudah ada Perda yang menetapkan itu atau sekarang segera

menetapkan perda atas wilayah masyarakat hukum adat. Jadi, tidak ada masalah kita

akan bisa bekerja secara cepat sepanjang itu menyangkut tindak lanjut dari putusan

MK.

B. Syarat-syarat pengakuan masyarakat hukum adat (Kumulatif)

Syarat-syarat berdasarkan penjelasan Pasal 67 UU 41 Tahun 1999:

1. Masyarakat dalam bentuk paguyuban,

2. Ada kelembagaan adat,

3. Ada wilayah hukum adat yang jelas,

4. Ada pranata adat, khususnya peradilan adat,

5. Mengadakan pemungutan hasil hutan.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 28Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

bersisa pada masa sekarang. Adat adalah suatu cara dimana kelompok masyarakat yang

berada dalam situasi konflik untuk melegitimasi klaimnya. Konflik yang dimaksud adalah

konflik yang berkenaan dengan, pertama-tama dimasukkannya hutan adat dalam kawasan

hutan negara, tapi lebih dari itu, setelah dimasukkan dalam kategori hutan negara,

kementerian kehutanan dalam hal ini Menteri mengalokasikan, memberikan ijin hak dan

pengelolaan hutan kepada industri di atas tanah dan wilayah yang diklaim oleh

masyarakat adat itu. Jadi, situasinya konflik. Kalau masyarakat adat itu menyingkir, tidak

masalah. Masalah akan timbul jika masyarakat adat menolak untuk menyingkir dan

mempertanyakan legitimasi dari pemberian lisensi itu dan bekerjanya konsesi, baik itu

taman nasional, hutan tanaman industri, hutan produksi, atau sekarang adalah konsesi

restorasi ekosistem.

Pada situasi konflik seperti itu, dan memang karena latar belakang demikianlah,

AMAN dengan dua komunitas anggotanya mengajukan constitutional review ke MK.

Yang dilaporkan oleh masyarakat adat di dalam MK itu adalah peristiwa-peristiwa

kekerasan, bahkan masyarakat dari Manggarai melaporkan kematian sejumlah orang. MK

diminta untuk meninjau konstitusionalitas kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan

hutan adat.

Garisbawah terhadap keputusan MK

Dikabulkannya klaim masyarakat adat itu didasarkan pada pasal-pasal tertentu,

diantaranya adalah pasal 18b. Uraian tentang pasal 18b dinyatakan bahwa ada hal yang

fundamental. Berikut kutipan pasal 18b, “hal yang penting dan fundamental adalah

masyarakat hukum adat tersebut secara konstitusional diakui dan dihormati sebagai

penyandang hak yang dengan demikian tentu dapat pula dibebani kewajiban. Dengan

demikian masyarakat hukum adat adalah subyek hukum. Sebagai subyek hukum di dalam

suatu masyarakat di dalam negara maka masyarakat hukum adat haruslah mendapatkan

perhatian sebagaimana subyek hukum yang lain.”

Masyarakat adat adalah penyandang hak dan subyek hukum atas tanah wilayah

adatnya yang harus diperlakukan sama dengan subyek hukum yang lain yakni dalam

hal ini negara dan pihak ketiga seperti pemegang lisensi-lisensi yang diberikan oleh

Kementerian Kehutanan itu.

Latar belakang situasinya adalah konflik. Konfliknya bukan sekedar pertentangan klaim tapi sudah melibatkan bagaimana kelompok masyarakat tersebut berhadapan secara kekerasan dengan aparatus keamanan maupun dengan pemegang konsesi itu sendiri.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 29Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Kebijakan sebelumnnya yang berkaitan dengan hutan adat dianggap keliru secara

konstitusional harus diralat, karena ini ditemukan di dalam semangat putusan MK, seperti

yang diungkapkan oleh hakim MK itu bahwa, jika dikaitkan dengan pasal 33 ayat 3

UUD45, yang menjadi tugas negara adalah bagaimaa pengusahaan sumberdaya alam

yang di bumi, air ….secara adil dan merata.”, hal itu tidak dapat dicapai dengan

menegakkan hukum semata karena hukum yang berkenaan dengan sumberdaya alam

mengandung cacat yang jika ditegakkan justru akan menimbulkan ketidakadilan sosial.

Penegakan hukum sumberdaya alam yang tidak adil akan mengancam eksistensi

masyarakat hukum adat yang sangat rentan penggusuran oleh mereka yang

mengatasnamakan atau izin dari negara.” Ini adalah kalimat dari salah satu hakim MK,

Ahmad Shodiqin Jadi jelas sekali definisi bahwa pasal yang diluruskan oleh MK itu

adalah hukum yang menciptakan ketidakadilan itu atau yang dianggap pak Ahmad

Sodiqin sebagai cacat konstitusional.

Sekarang bagaimana peristiwanya apabila situasi kenyataannya kawasan atau

tanah wilayah adat ada di dalam kawasan konsesi suatu persusahaan tertentu, kawasan

konsesi taman nasional?

Hal-hal yang diuraikan pak Bambang sangat indah apabila situasinya bukan di

dalam konflik agraria. Tetapi akan tidak mudah dan menjadi ada masalah ketika wilayah

adatnya ada di dalam kawasan konsesi yang masih berjalan. Kalau saja diserahkan

Kementerian Kehutanan untuk melakukan indentifikasi, ada konflik-konflik interest,

yakni tidak mungkin wilayah adat yang diidentifikasi itu ditunjukkan ada di dalam

klausul konsesi. Ini potensialnya besar menjadi konflik interest. Oleh karena itu, ini

adalah sesuatu yang perlu penanganan khusus. Kalau pak Bambang sendiri sebagai ketua

tim yang menyusun daftar isian masalah terhadap RUU PPMA (Pengakuan dan

Perlindungan atas Masyarakat Hukum Adat) yang diajukan oleh DPR secara inisiatif,

maka soal ini harusnya diurus secara sungguh-sungguh. Uraian pak Bambang

menunjukkan hal itu belum mendapat perhatian.

Lisensi-lisensi yang berkenaan dengan wilayah adat sangat besar. Hampir

wilayah-wilayah anggota komunitas masyarakat adat di dalam AMAN itu dalam situasi

konflik; pertambangan, kehutanan, konservasi. Yang ini masalahnya adalah bagaimana

wilayah adat itu telah terfragmentasi dan untuk mengembalikannya ke dalam situasi yang

utuh, memerlukan penyelesaian konflik dengan pemegang konsesi-konsesi itu. Konflik

tersebut bukan sesuatu yang terjadinya satu kali dua kali tapi sudah kronis dan meluas.

Sifat kronis dan meluas ini sudah berlangsung bertahun-tahun, bukan hanya konflik

antara masyarakat hukum adat tersebut dengan pemegang lisensi dan pemerintah yang

memberikan lisensi, akan tetapi meluas hingga, misalnya konflik antara masyarakat

hukum adat dengan pekerja perusahaan. Konflik-konflik ini sebaiknya menjadi masalah

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 30Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

kebijakan yang dibicarakan di dalam penyelesaian terhadap putusan-putusan mengenai

pemberian lisensi yang ada di dalam kawasan hukum adat.

Ada beberapa pandangan mengenai hal ini, tetapi yang paling penting adalah

bahwa ralat ini berkenaan dengan putusan yang telah diberikan oleh Menteri Kehutanan

terhadap satu wilayah hutan negara yang di dalamnya terdapat wilayah adat. Ralat ini

apakah akan berujung pada ralat terhadap kawasan-kawasan yang konsesinya telah

diberikan itu? Apakah hendak dikeluarkan, wilayahnya itu? Permen Agraria 5/99

menyatakan wilayah hukum adat itu tidak bisa ditetapkan pada kawasan yang telah

diberikan hak oleh pejabat publik di atasnya.

Tantangannya saat ini adalah mencari cara yang manjur agar wilayah adat bisa

keluar dari hutan negara dan menjadi hutan hak. Menunggu Perda, seperti yang

ditindaklanjuti oleh Kementerian Kehutanan, bukanlah sesuatu yang bisa ditunggu oleh

AMAN. AMAN, begitu keluar keputusan MK, Abdon Nababan, Sekjen AMAN,

menyampaikan ke Presiden untuk minta maaf karena sebelumnya keputusan-keputusan

Kementerian Kehutanan diberikan lisensi pada kawasan wilayah adat, anggota-anggota

AMAN. Kemudian para pejuang-pejuang adat yang bertarung di dalam konflik itu,

sebagian dikriminalisasi. Karena masih ada yang dipenjara, mereka diminta untuk

diamnesti. Karena menang sebagian, AMAN merayakan. Salah satu perayaannya adalah

apa yang disebut sebagai Plangisasi. Plangisasi adalah gerakan dimana masyarakat

hukum adat memberikan tanda mengenai wilayah adat mereka. Masalahnya, wilayah itu

masih dalam wilayah konsesi. Sementara Menteri Kehutanan mengatakan bahwa

kementeriannya berposisi menunggu.

Sebaliknya Pemda kabupaten dan kota harus aktif mengajukan Perda karena yang

mengetahui kawasan hutan adat adalah pemerintah daerah. Sekjen Kementerian

Kehutanan mengatakan perlu mendorong pemerintah di berbagai daerah untuk

mempercepat penyusunan perda. Dia sangat mengandalkan Perda. Pada perspektif

konflik, cara yang mengandalkan Perda agak sulit bekerja karena sebagian dari yang

memotivasi AMAN melakukan tuntutan ke MK itu adalah perbuatan hukum yang

dilakukan dari Menteri Kehutanan dalam memberikan izin ataupun hak atas wilayah yang

didalamnya wilayah itu ada kawasan atau wilayah adat. Pejabat publik telah berbuat

sesuatu pada masa lampau yang pada situasi sekarang mengakibatkan sebagian besar atau

kecil atau seluruhnya dari wilayah adat itu masuk dalam kawasan konsesi. Lalu sekarang

dibiarkan Pemda untuk melakukan identifikasi. Pemda mungkin akan melakukan

Jika Permen 5/1999 diterapkan di dalam urusan ini, wilayah adat tidak bisa

diterapkan. Pemda yang mengikuti peraturan penyelesaian masalah ulayat oleh

Permen 5/1999 ini tidak akan memberikan pemulihan secara sepenuhnya terhadap

wilayah adat. Dia hanya bisa dipergunakan untuk wilayah sisa saja, yaitu yang

tidak dikenakan kawasan konsesi.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 31Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

identifikasi. Kalau pakai pedoman Permen 5/1999, Perda akan ambil wilayah sisanya

saja. Sedangkan kalau pakai pedoman yang lain maka dia akan masuk ke dalam kawasan

konsesi. Ujiannya DKN di sini, karena ini akan menjadi peristiwa yang sifatnya

pertarungan.

Karena ini menjadi masalah nasional, presiden mengungkapkan I am personally

committed to initiating a process that registers and recognizes the collective ownership of

adat territories in Indonesia. Seharusnya presiden mengungkapkan hal itu bukan sebagai

personal, melainkan sebagai pejabat publik karena presiden punya otoritas untuk

membuat Perpu, karena jelas dalam putusan MK yang dibutuhkan adalah Undang-

undang.

Situasi konflik ini berlangsung terus di lapangan dan memerlukan penyelesaian

yang luar biasa. Belum bisa ada analisis yang firm tentang bagaimana kementerian

kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, dan BIG bekerja

untuk membuat satu kesepahaman bersama apakah dalam bentuk surat putusan bersama

untuk kepastian mengenai wilayah adat ini.

Dari pengalaman masa lampau, sinergi kerja ataupun harmonisasi kerja diantara

badan-badan ini adalah peristiwa langka. Badan Pertanahan Nasional takut kalau

melakukan tindakan menyelesaikan, apa yang diistilahkan “hak pihak ketiga dalam

kawasan hutan”. Bagi mereka haram masuk ke dalam urusan memastikan hak masyarakat

bila itu ada di dalam kawasan hutan negara. Mereka akan menjadi objek kriminalisasi

juga. Dan bukan sedikit pejabat-pejabat dari BPN yang dikriminalisasi karena

memberikan satu sertifikat di atas kawasan hutan negara.

Problematik yang ada sekarang sebenarnya mengacu pada suatu prinsip apakah

pejabat publik atau pemegang kekuasaan negara itu punya kesediaan untuk mengakui

eksistensi masyarakat hukum adat yang otonomi dan pada satu pihak itu juga memberikan

kemungkinan bagi mereka untuk melanjutkan hidup berkenaan dengan penguasaan tanah

dan sumberdaya alam yang berada diatasnya, yang itu juga vital bagi kelestarian fisik dan

non-fisik masyarakat tersebut. Ini bukan hanya perjuangan keadilan sosial, ini perjuangan

kewarganegaraan yang diusir. Prinsip dasar penguasaan negara atas wilayah hutan negara

adalah kriminalisasikanlah masyarakat hukum adat yang berada dalam kawasan hutan

yang mau dikuasai oleh negara. Prinsip itu sudah berlaku sejak jaman kolonial. Menurut

Alm. Edhar Lauden, yang juga anggota Dewan Kehutanan Nasional, itu adalah hukum

Dan ketika Undang-undang tidak bisa dijalankan, ada Perpu yang dapat dilakukan

dengan inisiatif dari presiden.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 32Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

kolonial di alam Indonesia merdeka yang diteruskan dengan UU 5/67 dan masih

dilanjutkan dengan UU 41.

Ralat seharusnya dilakukan tidak hanya pada tingkat kalimat, seperti yang telah

MK nyatakan, tetapi pada prakteknya. Ini adalah hubungan-hubungan sosial. Pendekatan

hubungan sosial berbeda dengan pendekatan tekstual. Pendekatan tekstual bisa dilihat

dalam teksnya, berubah. Teks berubah belum tentu praktek berubah. Seperti yang

diketahui putusan MK terhadap cara penunjukkan kawasan hutan negara, yang tidak lagi

dianggap inkonstitusional, tapi harus melalui proses sampai dengan pengukuhan, itu

berakhir tidak melakukan koreksi terhadap penguasaan hutan negara yang sebelumnya.

Persoal ini seperti gong yang membuka pertarungan. Pertarungan dalam kebijakan level

yang paling tinggi, yakni perundang-undangan, sampai pertarungan di lapangan.

Pertarungannya berlapis-lapis dan membuka pertarungan di berbagai arena, yang

memungkinkan terjadinya berbagai bahaya. Semua pihak harus memastikan hal ini tidak

menjadi konflik dimana masyarakat-masyarakat yang lemah semakin tersingkir. Dengan

memberikan wilayah adat kepada masyarakat adat bukan berarti membuat masyarakat

marjinal di dalam wilayah itu lebih baik. Berbagai penelitian berkenaan dengan

pembentukan kontrol wilayah adat oleh masyarakat hukum adat, menyatakan bahwa

kaum perempuannya menjadi kehilangan akses pada wilayah itu, kaum miskinnya tidak

berhasil mendapatkan aset lagi. Karena biar bagaimana pun, negara-bangsa itu memiliki

norma-norma perlindungan terhadap kaum yang lemah. Dan begitu adat dikembalikan

pada situasi feodal misalnya, masyarakat elit feodalnya dapat menggunakannya lebih

dahsyat daripada kalau tidak ada kontrol negara.

Pihak-pihak seperti kementerian Kehutanan, BPN, Kemendagri, dan BIG perlu

bekerja dan mematangkan bagaimana menemukan formula baru di dalam komunikasi-

komunikasi. Antar KPK dan mereka, satu per satu, belum ditemukan satu terobosan yang

membuat putusan MK dapat menjadi riil. Prosesnya masih masing-masing

mengkoordinasi, masing-masing membuat suatu aturan, aturan bersama, yang nantinya

diketahui antara rencana, antara proses internal di dalam internal kebijakan dengan

implementasi, dan hasilnya masih berjalan.

7. Catatan kritis pemaparan oleh fasilitator, Usep Setiawan

Untuk Dian Patria (KPK)

a) Bagaimana KPK melakukan pengawasan dan monitoring dan kontrol terhadap 12

kementerian dan lembaga setelah renaksi tuntas disusun? Termasuk apa sanksi

bagi menteri dan kementerian yang bandel?

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 33Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

b) Bagaimana formulasi kongkrit pelibatan CSO/masyarakat sipil dalam

pengawalan da pengimplementasian NKB?

c) Apa harapan KPK terhadap DKN terkait pengawalan NKB?

Untuk Josi Khatrina (UKP4)

a) Bagaimana UKP4 memastikan 12 Kementerian dan Lembaga menjalankan

renaksinya secara efektif? Fungsi UKP4 adalah memberikan pengawasan dan

pengendalian, bagaimana posisi spesifik UKP4 terhadap implementasi NKB 12

K/L?

b) Posisi UKP4 sifatnya Ad Hoc dan akan berakhir masa pemerintahan ini di tahun

2014. Setelah 2014 UKP4 tidak jelas lagi baik secara eksistensi lembaga dan

programnya. Bagaimana mengatasi transisi eksistensi lembaga UKP4 dan

program-programnya?

c) Apa harapan UKP4 terhadap DKN berkaitan dengan NKB 12 K/L?

Untuk Bambang Soepijanto (Kemenhut)

a) Bagaimana Kemenhut berkoordinasi dengan Kemendagri dalam upaya

mendorong Pemda? Koordinasi dengan Kemendagri sangat penting agar

keputusan MK bisa menjadi satu gerakan nasional antara kementerian kehutanan

dan kemendagri khususnya supaya Pemda mengetahui, memahami dan memang

terdorong untuk melakukan percepatan penetapan wilayah-wilayah adat atau

hutan-hutan rakyat, atau pengakuan terhadap eksistensi satu komunitas

masyarakat adat tertentu di wilayahnya.

b) Bagaimana Kemenhut berkomunikasi dengan masyarakat adat dan komunitas-

komunitas lokal dalam implementasi atau tindak lanjut dari keputusan MK?

Selain Pemda dan Kemendagri yang menaungi para Pemda itu, putusan MK ini

akan secara langsung berpengaruh terhadap eksistensi masyarakat adat dan

komunitas lokal yang bersentuhan dengan kawasan hutan. Di Jawa maupun di

luar Jawa.

c) Apa harapan Kemenhut atas DKN untuk berperan dalam mengawal tindak lanjut

putusan MK?

Untuk Noer Fauzy Rachman (SAINS)

Nur Fauzi diharapkan bisa menanggapi respon para narasumber, serta

memberikan penajaman-penajaman yang nantinya bisa mengarahkan presidium DKN

untuk membuat sesuatu yang kongkrit, dari NKB maupun putusan MK.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 34Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Respon Narasumber

a). Dian Patria (KPK)

Fungsi kontrol yang selama ini KPK lakukan dalam konteks NKB adalah

saran perbaikan pada Kementerian/Lembaga dan pemantauan atas implementasi saran

perbaikan. Ada juga fungsi pencegahan terhadap pelaporan LHKPN, pelanggaran

negara dan pelaporan gratifikasi. Khusus terkait NKB, KPK bersama-sama UKP4

menggunakan tools aplikasi webbased F8K (Formulir 8 kolom).

Kementerian/Lembaga setiap 3 bulan melaporkan progressnya. Ada kesepakatan

dengan masing-masing K/L tentang target-target yang akan dilakukan 3 tahun

kedepan. Itu masuk dalam webbased dan tiap 3 bulan melaporkan bukti

pendukungnya, misalnya peraturan yang baru atau dokumen yang lain. Kemudian tim

Monev KPK melakukan pemantauan di lapangan.

Persoalannya, SDM KPK sangat terbatas. Litbang KPK yang mengurus NKB

hanya dua orang. Oleh karena itu, dibutuhkan pelibatan-pelibatan CSO, pakar dan

NGO. Misalnya dalam melakukan verifikasi dokumen-dokumen yang disampaikan

pada KPK, kelengkapannya, substansinya, keterlibatan CSO, pakar, dan NGO sangat

membantu KPK melihat apakah peraturan-peraturan yang disampaikan ke KPK

menjawab saran perbaikan. Menjawab Renaksi. Karena bisa jadi, renaksi kita dijawab

tapi ada jebakan-jebakan di dalamnya yang luput. DKN adalah salah satu CSO yang

bisa diajak bekerjasama karena DKN memiliki 5 kamar dan punya 5 perspektif.

KPK dalam pemantauannya menggunakan mekanisme berbasis web dan ada

pelibatan pakar. KPK dibantu 10 pakar, termasuk Prof. Dr. Hariadi Kartodiharjo dan

Noer Fauzi Rachman, PhD. Keterlibatan pakar bertujuan untuk memastikan KPK

tidak melenceng. KPK adalah lembaga yang mengurusi pemberantasan korupsi,

bukan mengurusi kehutanan. Jadi, KPK berharap sisi governance-nya di sektor

kehutanan dibantu oleh pakar.

Ada dua kebutuhan KPK baik untuk keluar maupun untuk kepentingan ke

dalam. Untuk ke dalam, informasi diolah jika memang ternyata K/L-K/L-nya ada

yang bandel. Informasi yang didapatkan mungkin bisa ditangani oleh bagian

penindakan KPK.

Peran DKN, DKN memiliki 7 region dengan 5 kamar. Saat ini 12 K/L juga

sedang menyepakati lokus-lokus daripada Renaksi NKB di daerah. Lokus-lokus itu

Selain F8K, KPK juga melaunching IMH (Indonesia Memantau Hutan). Sistem

itu akan dibuka ke publik dan media sehingga CSO atau NGO bisa memberikan

masukan atau informasi bahwa peta kawasan hutan atau ijin suatu kawasan hutan

tertentu sedang bermasalah dsb.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 35Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

akan dibagi disepakati dalam prioritas-prioritas untuk dikerjakan bertahap secara

bersama-sama. Ini sudah dimulai oleh teman-teman UKP4 yang sudah memiliki

lokasi implementasi karena mungkin prasyarat-prasyarat di sana sudah lebih lengkap.

Itu bisa menjadi prioritas lokasi untuk implementasi NKB. Atau mungkin ada tempat-

tempat lain, tentu saja dengan melihat kekuatan dan sumberdaya yang ada di KPK.

b). Josi Khatarina (UKP4)

UKP4 dalam hal ini pemantau program, sudah memiliki sebuah sistem

establish karena selama ini yang dipantu UKP4 bukan hanya NKB tapi juga berbagai

prioritas nasional. Sudah banyak INPRES yang ada selama ini dengan cara yang

terukur dimana Kementerian dan Lembaga itu semuanya menyampaikan laporan

berdasarkan format 8 kolom, setiap 3 bulan dan menyampaikan dokumen-dokumen

pendukung melalui sistem wholecase. Setelah itu baru diberi catatan. Mekanisme

pelaporan UKP4 langsung ke presiden. Raport Merah adalah mekanisme monev yang

ada di UKP4 dan sudah establish.

UKP4 hanya ada pada masa pemerintahan saat ini. UKP4 bukan

penanggungjawab program tetapi lebih kepada pengawasan. Implementator adalah

masing-masing K/L. Fungsi pengawasannya sendiri saat ini sedang dalam masa

transisi ke Bappenas, sesuai dengan INPRES 1/2013 tentang Pemantauan yang

dilakukan oleh Bappenas, format 8 kolom ini yang digunakan oleh Bappenas,

sehingga bisa langsung dimanfaatkan di kemudian hari. Tugas dan Fungsi

pengawasan akan dilakukan oleh Bappenas setelah tahun 2014. Sementara itu

berbagai kegiatan, misalnya percepatan pengukuhan kawasan hutan, yang menjadi

penanggungjawab utama di tingkat nasional adalah Kemenhut. Ini hanyalah

komitmen untuk saling sama-sama belajar aspek-aspek mana dalam proses

pengukuhan kawasan hutan yang perlu untuk diimprove. NKB merupakan exit

strategy bagi UKP4 karena masa hidup NKB lebih panjang dibandingkan UKP4.

Berbagai program di UKP4 akan diupayakan masuk ke dalam NKB. Sejauh ini

sebagian sudah masuk ke dalam NKB.

c). Bambang Soepijanto (Dirjen Planologi Kemenhut)

Dalam upaya mendorong Pemda, Kemenhut melakukan pertemuan-

pertemuan dengan Pemda. Kemenhut sudah 3 kali meeting dengan Dirjen yang

DKN diharapkan bisa terlibat dalam proses perencanaan, dalam proses

pelaksanaan maupun proses monev. Diharapkan dari forum DKN bisa

didapatkan input untuk pelaksanaan NKB.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 36Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

membidangi untuk membicarakan langkah-langkah kedepan. Persoalan kesepakatan

pengukuhan dilakukan secara sistemik. Karena di Kehutanan hampir seluruhnya

concruent authority. Ketika tata batas diserahkan kepada pemerintah daerah 5 tahun

hanya bisa 7000. Ketika sudah ditarik ke sini, setiap tahun 3000. Akhir tahun 2014

akan diselesaikan 63.000. Tahun ini akan diselesaikan 19.000 km lari dan tahun

depan 20.000 km lari. Tapi yang namanya tata batas tidak akan pernah selesai, karena

selalu ada perubahan karena dinamika tata ruang 5 tahunan, parsial, permohonan

pelepasan, dan permohonan pinjam pakai.

Kehutanan unik karena istilahnya macam-macam; pengelolaan, pelepasan,

pemanfaatan, penggunaan. Oleh karena itu Kemenhut bersama Pemda menyepakati

bahwa sekarang de Jure menurut PP 38, yang mengukur adalah tim Kemenhut tapi

yang memegang jabatan Bupati. Ngga bakal selesai kalau Kementerian dalam negeri

tidak bisa menyelesaikan, membantu ada edaran pada Bupati-Walikota untuk

menyelesaikan itu. Kalau Bupati rapat dan tidak datang, berita acaranya batal. Oleh

karena itu perlu ada penyederhanaan yaitu Berita acara bisa dikuasakan Butapi

kepada siapa yang menghadiri. Jika tidak begitu, penentuan tata batas tidak akan

selesai. Jadi yang mengukur adalah pihak Kemenhut, biaya juga dari Kemenhut, tata

batasnya oleh Bupati dengan timnya. Oleh karena itu Kemenhut sudah berkoordinasi

sebelum putusan MK tentang masyarakat hukum adat. Sekarang lebih intens pada

tataran menteri dalam upaya mendorong lahirnya Perda. Di tataran eselon 1 dan 2

sudah jalan.

Kemenhut adalah pemerintah yang punya policy, tidak hanya policy

statement tapi juga policy decision. DKN diharapkan bisa memberikan masukan

dalam rangka reformulasi policy.

Putusan MK adalah policy decision maka dalam ekonomi politik kebijakan

publik, state harus kuat tapi tidak dominan. Yang dilakukan adalah rekonstruksi

policy, bukan dekonstruksi. Tidak perlu juga konstruksi karena policy sudah ada,

maka direkonstruksi policy itu mengacu pada putusan MK. Kita bicaranya rule of the

game. Yang disampaikan oleh pak Noer Fauzy di atas tadi ada 3 hal persoalan yaitu

sosiologi hukum, sosiologi konflik, atau masalah reformasi kebijakan. Seharusnya

tidak demikian. Begitu ada policy decision yang baru maka Kemenhut sebagai

turunan harus melakukan rekonstruksi kebijakan terkait adat. Kalau dicampur dengan

Berkaitan dengan sosialisasi putusan MK, Pemerintah telah membentuk tim untuk

melakukan sosialisasi dengan masyarakat adat dan lokal tentang substansi dan

langkah-langkah yang akan ditempuh Pemerintah. Proses Sosialisasi ini tidak

sederhana karena tim sosialisasi harus paham betul akan content dan situasi yang

dihadapi.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 37Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

masalah klaim kawasan dan konflik, urusannya jadi berbeda. Tidak semua disebut

konflik. Ketika belum jelas persoalan hak, sebutannya adalah klaim kawasan. Situasi

dimana satu kelompok merasa punya hak, berhadapan dengan administrasi bukan

hak, itu disebut dengan konflik. Tapi ketika hanya merasa memiliki kawasan hutan,

itu disebut dengan klaim kawasan. Klaim kawasan bicara sosisologi hukum, konflik

bicara resolusi konflik. Klaim dan konflik adalah dua hal yang berbeda.

Putusan MK, langkahnya adalah rekonstruksi kebijakan untuk implementasi.

Tidak perlu lagi bicara latar belakang yang ruwet karena sudah putusan MK, sehingga

harus dilakukan oleh Pemerintah. Bahwa ada sejarah yang buruk, iya. Justru di situlah

puncaknya adalah menguji konstitusional di MK. Bahwa ada hal-hal yang perlu

disosialisasikan, benar. Tapi yang dilakukan pemerintah dalam welfare state ini

adalah merekonstruksi kebijakan yang ada. Tidak ada lain. Tidak akan ngawur-

ngawuran. Ini ilmiah. Kalau ada masalah diselesaikan dengan putusan MK. Kalau

Perdanya memang menyatakan bahwa konsesi itu wilayah masyarakat adat, maka

harus dilakukan revisi atas area bukan ijin. Akan tetapi hal itu harus diuji terlebih

dahulu. Jika tidak demikian, negara ini akan jadi bukan negara hukum. Di sini state

harus kuat tapi tidak dominan. Jika state tidak kuat maka yang terdorong adalah

sosialisme modern. Itu tidak boleh ada di negeri ini. Negara harus berpikir

kesejahteraan tapi dalam koridor negara hukum dan dalam bingkai NKRI. Jika mau

baik di depan publik maka harus benar di depan hukum. Kalau tidak benar di depan

hukum maka tidak perlu baik di depan publik.

d). Noer Fauzi Rachman (Direktur Eksekutif SAINS)

DKN adalah satu channel bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat,

pengusaha, pemerintah, akademisi dan pemerhati/LSM agar masuk menjadi bagian

dalam proses penyusunan kebijakan. Putusan MK ini sudah direspon dan akan terus

direspon melalui proses sosial, diantaranya plangisasi yang dilakukan oleh AMAN

dan rasa bahagia para kesultanan karena dengan adanya putusan MK ini mereka bisa

melakukan klaim atas tanah-tanah mereka. Sejumlah Pemda-pun bekerja keras dan

cepat untuk menetapkan wilayah-wilayah masyarakat hukum adat. Kesemua itu perlu

masuk ke dalam proses kebijakan Kementerian Kehutanan.

Jika Perda menetapkan suatu kawasan sebagai wilayah hukum adat maka itu adalah

hak masyarakat adat, dan yang berada di dalam wilayah hukum adat adalah hutan

adat. Hutan adat adalah bukan hutan negara sebagaimana putusan MK kendati UU

41 belum dilakukan revisi tapi berlaku sejak diundangkan pada sidang paripurna.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 38Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Contoh-contoh respon tersebut diantaranya intensifikasi konflik antara

masyarakat adat dengan pemegang konsesi, intensifikasi pembuatan perda kabupaten,

intensifikasi hidupnya kembali pembentukan masyarakat hukum adat dalam bentuk

kerajaan/kesultanan serta klaim wilayah adatnya, dan terjadi post-mobilitasi. Respon-

respon tersebut harus masuk ke dalam proses kebijakan. Tanpa perlu khawatir dengan

koridor NKRI, kelompok-kelompok ini sebelumya secara sosiologis dianggap sebagai

bukan bagian dari yang dilindungi ketika keputusan-keputusan konsesi diberikan, dan

terjadi kekerasan-kekerasan terhadap mereka atau kriminalisasi. Mereka yang telah

dikriminalisasi di masa lampau mengalami rasa luka yang besar. Kini mereka

mengambil sikap untuk protes atau sebagian lagi menghindar dan menjadi perambah

lahan.

DKN sebaiknya punya pemetaan respon-respon itu di masing-masing region

kemudian pemetaan itu masuk ke kebijakan nasional. Posisinya sudah bisa diketahui

dimana ujungnya adalah keluarnya hutan adat dari kawasan hutan negara, tinggal

bagaimana itu bisa berlangsung di dalam suatu mekanisme yang secara pegangan

belum ada. Karena kedekatannya dengan problematik tersebut Kemenhut perlu

membuat mekanisme bagaimana putusan MK dijalankan, kemudian bekerjasama

dengan BPN, BIG, dan Pemda dan Kemendagri. DKN bisa bekerja membuat suatu

proses bagaimana fakta sosiologis bisa naik ke dalam proses-proses kebijakan.

Konflik-konflik yang ada di masyarakat membutuhkan mekanisme penyelesaian

konflik. Klaim-klaim adat atas wilayah konsesi banyak terjadi, mulai dari yang

proyek raksasa hingga ke skala unit. Apa yang dikerjakan oleh KPK dan NKB dapat

memfasilitasi proses koordinasi di antara ke-4 kelembagaan itu. Kami masih akan

terus bekerja bagaimana keempat lembaga nasional ini bisa bekerja menjamin bahwa

terdapat suatu mekanisme yang mewadahi supaya putusan MK punya jalur dan

menjadi implementasi yang nyata dan berefek nyata pada status dari penguasaan

tanah masyarakat-masyarakat adat.

8. Diskusi dan pendalaman materi

a). Marthen Kayoi (Kamar Pemerintah)

Perlu ada definisi jelas tentang hutan negara dan hutan adat di Papua.

Mengingat ada 200 lebih suku yang tersebut merata di tanah Papua.

Yang penting dikerjakan oleh DKN adalah membuat suatu pemetaan mengenai

bagaimana di 7 region yang menjadi bagian kerjanya memiliki identifikasi peta

bagaimana putusan MK direspon oleh masing-masing wilayah itu.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 39Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Keadaan yang ada saat ini harus dianggap sebagai kerja bersama sehingga

perlu duduk bersama. Pusat tidak boleh mengklaim diri atas putusan MK dan

lalu menugaskan pemda dan masyarakat. Secara bersama-sama juga harus

mengakui bahwa kesalahan tempo dulu adalah kesalahan bersama,

diantaranya kesalahan atas Papua.

Setelah putusan MK perlu ada spesifikasi wilayah. Pelaksananya akan

dipikirkan bersama.

Apakah putusan MK berlaku surut atau berlaku sejak tanggal ditetapkan? Jika

berlaku surut maka kesalahan tempo dulu adalah kesalahan bersama tapi jika

berlaku sejak tanggal ditetapkan maka HPH harus angkat kaki dari Papua.

Prioritas pencabutan HPH dilakukan terhadap HPH tidak aktif. Sedangkan

yang masih aktif diajak duduk bersama. Indikator aktif tidaknya HPH di tiap

level pemerintahan, berbeda-beda. Perbedaan indikator ini melahirkan

penilaian dan juga mempengaruhi kebijakan. Walaupun rekomendasi

gubernur adalah cabut ijin HPH tidak aktif akan tetapi Keputusan Menteri

tidak menyatakan demikian, maka ijin tidak akan dicabut. Oleh karena itu

perlu ada standar prosedur mengenai indikator aktif tidaknya HPH. Standar

yang berbeda-beda akan memunculkan tindakan saling menyalahkan. Yang

jadi korban adalah pelaksana.

Perlu ada kesepakatan mengenai pihak yang akan menentukan peta dasar.

Peta dasar merujuk pada Bakosurtanal. Peta dasar kemudian dioverlay

dengan peta tematik agar semuanya bisa terlihat.

Harmonisasi dan Sinkronisasi kebijakan dan aturan sudah dibicarakan sejak 6

tahun lalu di Papua tapi tidak dihiraukan. Harmonisasi dan sinkronisasi

aturan sebaiknya terlebih dahulu dilakukan. Aturan-aturan diinventarisir.

Aturan yang tidak cocok, yang disusun berdasarkan aturan kolonial dan tidak

mempunyai nilai pemanfaatan bagi pemberdayaan ekonomi rakyat, harus

dinyatakan batal. Jika aturan seperti itu masih dipakai maka yang membuat

aturan tersebut harus disalahkan terlebih dahulu baru kemudian

pelaksananya.

Pembentukan Perda harus ada instruksi secara nasional kepada Gubernur.

Papua sudah punya Perda berkaitan dengan masyarakat adat akan tetapi

hanya mengatur tentang bagaimana posisi adat diperlakukan. Belum sampai

kepada bagaimana memberdayakan masyarakat di dalam hutan adat.

Memisahkan hutan negara dan hutan adat. Perlu dilihat indikator penentuan

tata batas. Dulu indikator tata batas adalah batas fungsi kemudian dirubah

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 40Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

menjadi batas ruang. Dalam penentuan batas hutan negara harus aspek sosial,

ekonomi dll harus diperhitungkan agar tidak terjadi konflik.

b). David (Kamar Bisnis)

Penataan kawasan hutan merupakan salah satu alternatif yang cukup baik

untuk membenahi hutan Indonesia, yang menjadi masalah semua hutan sudah

diberikan ijin konsesi. Jika setelah selesai penataaan kawasan hutan dan

didapati ternyata sebagian berada di hutan adat, apakah konsesinya nanti akan

berkurang atau tidak?

Apakah pengelolaan hutan adat kedepannya bersifat otonomi atau semuanya

diserahkan untuk masyarakat adat? Apakah masyarakat adat cukup mereka

kelola sendiri atau tetap memerlukan perijinan dari instansi teknis

Kehutanan? Apakah di tingkat kabupaten-Kota, Propinsi, ataukah tetap masih

di pusat? Ini untuk pengelolaan hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan

kayu. Hal yang berkaitan dengan mekanisme hak pengelolaan hutan adat

perlu diklarifikasi kedepannya, mengingat coverage hutan adat sangat besar.

Bagaimana konsesi-konsesi yang sudah diberikan apabila masyarakat adat

tidak berkenan terhadap ijin konsesi HPH yang telah diberikan.

Apakah pengelolaan hutan oleh masyarakat adat masih memerlukan ijin

pengelolaan, baik hasil hutan kayu maupun hutan bukan kayu.

c). Agus Justianto (Kamar Pemerintah)

Terkait pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat

Pemisahan konsepsi hutan adat dari hutan negara akan berimplikasi pada

keberadaan masyarakat hukum adat dan pengelolaan hutan adat itu sendiri. Saat ini

yang tersisa hanya komunitas tertentu yang terdiri dari beberapa desa. Tidak ada lagi

wilayah masyarakat hukum adat yang secara hukum masih utuh, seperti tahun 80-an.

Padahal pertimbangan hakim pada putusan MK ini jika keberadaan masyarakat

hukum adat tidak hidup lagi maka hak pengelolaan kembali kepada negara. Artinya

status hutan adat menjadi hutan negara. Konstruksi dan fakta hukum ini rancu karena

di satu sisi pengakuan hutan adat terpisah dari hutan negara, di sisi lain keberadaan

masyarakat hukum adat sulit dibuktikan jika harus kembali seperti tahun 1980-an.

Oleh karena itu diperlukan penyamaan pemahaman atau persepsi karena kebijakan

pemerintah dalam hal pengakuan masyarakat hukum adat harus didasarkan peraturan

atau hukum yang berlaku. Di sinilah peran DKN untuk bisa membantu menyamakan

persepsi atau menjembatani antara pemerintah dan masyarakat hukum adat.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 41Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

d). Yohanes Balubun (Kamar Masyarakat)

Harapannya NKB bukan merupakan bagian dari cara pembendungan

departemen-departeman terhadap korupsi yang dilakukan sebelum NKB

karena kalau dalam penataan kawasan hutan kedepan untuk lebih baik dan

jauh dari korupsi dsb, sebelumnya itu ternyata dugaan kita banyak yang

terjadi. Contohnya pengalihan kawasan hutan di pulau-pulau kecil. Pulau-

pulau yang sebenarnya tidak bisa diijinkan, tapi itu diijinkan. Pulau Roma

yang kecil yang besarnya dua kali mall di Jakarta, itu diijinkan untuk

pertambangan. Kepulauan Aru yang karangnya begitu banyak tapi diijinkan

ribuan hektarnya untuk ditanami tebu. Pasti ada sesuatu di pemberian ijin-ijin

tersebut.

Terkait dengan keputusan MK. Kata “sepanjang masih hidup” itu tidak beda

dengan pernyataan pak Bambang bahwa itu harus dibuktikan dulu. Jadi

sepanjang-masing-hidup itu artinya masyarakat adat dipaksa untuk

mengidentifikasikan dirinya lalu meminta pemerintah untuk melegitimasi,

padahal masyarakat adat sudah ada jauh sebelum negara ini ada. Tapi di

Maluku, pembuktian dilakukan melalui sidang-sidang pengadilan dimana

masyarakat adat menggugat PT. Wahana Potensi Nusa dan Koperasi Wahana

Lestari di pulau Buru karena menghancurkan tempat-tempat keramat dari

marga-marga yang ada di sana. Gugatan itu dikabulkan oleh pengadilan.

Tanpa peta. Marga-marga bersangkutan datang dan melakukan ritual-ritual

adat di wilayahnya dan itu diakui. Peta jangan dijadikan satu-satunya alasan

bahwa kawasan hutan ini harus ditetapkan dengan peta. Perda 14/2005 di

Maluku merupakan Perda penetapan kembali negeri menjadi persekutuan

masyarakat hukum adat. Kita turut mengawal perda itu. Hanya saja yang

tidak diakomodir oleh DPRD ketika itu adalah pengakuan terhadap agama-

agama suku yang ada di Maluku. Hutan yang berada di belakang negeri tetap

menjadi hutan dan bukan berarti tidak dikelola karena di dalamnya terdapat

binatang buruan, tanaman obat-obatan dll. Hubungan masyarakat hukum adat

dengan hutannya jelas ada. Kalau hal itu dibawa ke peta, tidak ada yang

namanya hutan negara di Maluku. Batasan antar negeri adalah batas antar

marga. Implementasi dengan pengakuan kawasan hutan harus dibedakan

antara pulau-pulau kecil dan pulau-pulau besar.

Harapannya KPK tidak hanya melihat kedepan tapi juga

mengungkapkan korupsi sebelum adanya NKB.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 42Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

e). Endro Siswoko (Kamar Bisnis)

Untuk pak Bambang Soepijanto:

Perlu ada antisipasi pemekaran kabupaten. Bisa jadi wilayah yang semula berada

di satu kabupaten, karena ada pemekaran kabupaten, sebagian wilayahnya tidak

diakui oleh kabupaten baru.

Perlu ada antisipasi kemungkinan masyarakat adat yang meminta kembali

hutannya yang semula sudah diserahkan kepada negara.

Area konsesi bisa jadi akan terkurangi karena adanya enclave, pengakuan atas

wilayah konsesi. Berkurangnya wilayah konsesi juga perlu menjadi catatan.

Untuk pak Dian Patria:

Perlu pencerahan mengenai interpretasi illegal logging. Interpretasi illegal

logging yang berbeda-beda menimbulkan ketidakpastian di dunia usaha. Ini

membingungkan dunia usaha. Siapakah yang akan menjadi wasit ketika timbul

masalah-masalah seperti ini?

f). Mateus Pilin (Kamar LSM)

Dengan fakta-fakta sosial yang ada sekarang, dalam konteks kehutanan di

Indonesia, KPK harus segera melakukan tindakan-tindakan strategis.

Apa terminologi online dalam perijinan online? Perijinan online di satu sisi

membuka akses pada banyak pihak tapi di sisi yang lain masih ada masalah

akses di tingkat masyarakat.

Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan dirasa cukup serius. Di

Kalimantan Barat, akses masyarakat terhadap wilayah tinggal 6,68%. Ini

paradoks. Ijin-ijin yang diberikan masih tetap jalan tapi di sisi lain ada

persoalan di lokal.

Tuntutan-tuntutan lain yang disampaikan oleh AMAN agar segera difollowup

oleh pemerintah.

g). Hariadi Himawan (Kamar Pemerintah)

Untuk pak Noer Fauzy:

Tadi ada statemen yang mengatakan bahwa konsekuensi dari putusan MK ini

akan menimbulkan potensi pertarungan. Pertarungan ini bisa berupa perang intelek,

Stop perijinan dan proses kebijakan-kebijakan yang selama ini

mengkriminalisasi masyarakat.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 43Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

bisa juga perang tubuh. Bisakah pertarungan ini dibawa menjadi dialektika yang

dilandasi dengan persaudaraan? Ada beberapa provinsi yang sudah punya rintisan ke

arah itu. Jika tadi banyak yang mengatakan bahwa ini sudah terlanjur menjadi

konsesi, ini hak, ini batas, banyak kaitannya dengan hak. Pernahkah kita melihat

bahwa nanti kalau masyarakat adat berdaulat, prinsip hutan lestari tetap akan

inkonsisten? Ini belum disinggung. Kita punya kepentingan di situ. Jangan sampai

nanti ini berdaulat otonom, disalipkan semua. Di propinsi yang hutan adatnya

dominan, di Sumatera Barat dan NTT, sebelum ada putusan MK ini kami sudah

sepakat dengan pemerintah daerahnya, ini akan dikompatibelkan dengan hutan-hutan

desa yang ada di dalam kerangka regulasi. Maksudnya adalah supaya mereka ini

dilatih dan didampingi bagaimana mengelola hutan secara benar.

Kami menyampaikan dengan cara santun bahwa ini bukan soal menang kalah

namun Pemerintah ingin mengawal dan mengantarkan. Tapi ini hanya ada pada

provinsi yang sejarah konsesinya tipis. NTT tidak pernah ada HPH sejak dulu.

Masalah akan terjadi pada provinsi-provinsi yang sebagian wilayahnya sudah

terfragmentasi. Pasti akan terjadi perang saling klaim. Penyelesaian masalahnya harus

dilakukan dengan duduk bersama.

Untuk pak Dian Patria:

Delapan bulan lagi pemerintahan efektif. NKB baru sampai pada tataran

instrumental kebijakan, belum sampai tataran ideologis. KPK harus mengantisipasi

kemungkinan pemerintah yang baru akan tergagap-gagap yang dikhawatirkan akan

kembali pada kebijakan yang populis.

Untuk pak Bambang Soepijanto:

Harapannya pak Bambang menularkan ke eselon 1 yang lain agar tidak hanya

menjadi urusan planologi saja.

Respon Narasumber

Pemerintah ingin mengawal masyarakat. Kalaupun nanti mereka menjadi

masyarakat adat yang otonom di dalam pengelolaan hutan, dia tetap bisa

mengelola hutan dengan prinsip-prinsip lestari.

Tidak fair jika persoalan penataan hutan diserahkan kepada daerah.

Kementerian Kehutanan juga harus ikut duduk bersama dan difasilitasi DKN.

Kalau ini dibiarkan bisa berpotensi dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 44Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

a). Bambang Soepijanto (Dirjen Planologi Kemenhut)

Duduk bersama pasti dilakukan tapi yang dikaji hanyalah hal yang pasti,

karena putusan MK tidak berubah, bahwa hutan adat adalah bukan hutan

negara melainkan hutan hak. Segala sesuatunya akan berlaku hutan hak. Tata

usaha kayunya berlaku hutan hak. Jadi, tidak ada lagi yang namanya

interpretasi ganda. Pembuktiannya dilakukan dengan Undang-undang. Jika

belum ada Undang-undang, Perda. Itu mandat, jangan ditafsir-tafsir lagi.

Duduk bersama dilakukan hanya untuk membicarakan bahwa itu harus

dilaksanakan.

Putusan MK tidak berlaku surut. Tidak ada putusan majelis manapun yang

backward looking, pasti forward looking. Tetapi adat itu ada sejak dulu.

Ketika Perda yang baru atas symptom, atas bukti-bukti, atas hal-hal yang

baru, maka Perda baru itu akan mengeliminasi ijin. Putusan memang tidak

retroaktif tapi adat itu ada sejak dulu, kemarin belum diperdakan. Kalau

sekarang sudah diperdakan oleh daerah maka adat itu diakui.

Tidak masalah jika masyarakat adat tidak menggunakan peta. Yang penting

bisa menunjukkan dimana letak kawasan masyarakat adat. Peta dasar sudah

ada UU-nya, bahwa single referencenya BIG. Kedepan, BIG dimita untuk

membuat peta dasar seluruh Indonesia dengan skala 50.000 per propinsi.

Kalau pakai skala 250.000 batas-batas kawasan bisa mencong.

Ada tiga tata batas, tata batas fungsi, tata batas luar dan tata batas perijinan.

Dalam rangka bareng ini, untuk tata batas luar maupun tata batas fungsi,

kalau kemudian ada masyarakat adat yang sudah ada perda-nya itu bersamaan

kita akan lakukan tata batas itu. Saya tidak terlalu mengandalkan patok batas

karena vocated. Saya menggunakan koordinat geografis. Jika menggunakan

batok batas, rentan hilang. Titik koordinat tidak mungkin hilang. Patok tidak

terlalu penting tapi patok adalah stick boundary yang di peta merupakan

koordinat geografis.

Kewajiban, kewenangan pemegang ijin merupakan konsekuensi hukum azas

hukum. Kalau ada yang baru maka yang lama diabaikan. Kalau ada yang

tinggi, yang rendah diabaikan. Kalau ada yang khusus, yang umum

diabaikan. Kalau ada hutan baru maka yang lama diabaikan. Perijinan itu

akan tereliminasi dengan besiking yang baru. Untuk yang baru harus ada

pembuktian dulu. Mandatnya dalam MK adalah Perda. Introspeksi internal

Kemenhut, sebenarnya banyak SK-SK HPH/HTI yang cacat karena belum

tata batas. Besiking itu kongkrit, final, individual. Tidak ada lagi luasan plus-

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 45Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

minus. Kalau plus-minus namanya belum final. Seharusnya ketika

memberikan ijin itu harus sudah tata batas. SK yang masih menjanjikan dua

tahun penyelesaian tata batas adalah SK yang belum final. Saat ini bahkan

pada perpanjangan baru tata batas. Telah terjadi kesalahan-kesalahan

berjamaah dalam pengurusan ijin. Angka pasti dalam tata batas menghindari

kesalahan sanksi administrasi atas boundary. Sudah pasti pidana kalau keluar

dari itu.

Kalau masyarakat adat sudah bisa membuktikan wilayahnya, pengurangan

working area pasti terjadi.

Karena pembuktian tata batas tidak sederhana maka perlu ada instrumen

untuk membuktikan bahwa masyarakat hukum adat berhak berada di satu

kawasan tertentu. DKN bisa memberikan masukan kepada UU Pengakuan

dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Berkaitan dengan ijin di pulau-pulau kecil, teguran bisa langsung

disampaikan ke Bupatinya karena ijin diberikan langsung oleh Bupati. Kalau

kemudian dia sampai ke Jakarta pada kawasan hutan yang dapat dikonversi,

kalau syarat kecukupannya oke, tidak ada jalan lain menteri akan melepas.

Yang harus dipersoalkan kenapa Bupati memberi ijin. Pada HPK,

peruntukkannya adalah untuk kegiatan non-kehutanan. HPK adalah bukan

hutan tetap. Jadi boleh dilepaskan. Harus dipertanyakan langsung kepada

Bupati setempat mengapa pulau-pulau kecil diberikan ijin konsesi.

Peta spasial sangat penting ketika pemekaran kabupaten terjadi. Ketika

kabupaten berkembang, spasial tidak berubah. Yang berubah hanya judul

wilayah spasial. Letak masyarakat hukum adat berdasarkan spasialnya

walaupun nomenklatur pemdanya bisa berbeda.

Jika ada pejabat yang memberikan ijin tidak sesuai dengan peruntukkannya

bisa ditindak dengan menggunakan UU 26/2007. UU tersebut sangat

mengikat kuat pejabat yang memberikan ijin manfaat yang tidak sesuai

dengan ruangnya. Pejabat yang melanggar bisa dicopot dari jabatannya dan

dipidana.

Hutan adat yang berada di posisi hutan lindung juga punya fungsi lindung,

tidak hanya statusnya kawasan hutan. Ini adalah persoalan status. Letak yang

akan menentukan peran.

Sosialisasi mengenai kawasan dan ruang di internal Kemenhut sangat

diperlukan. Biasanya persoalan kawasan dan ruang diurus oleh Planologi.

70% urusan Kehutanan berada di Planologi, termasuk menjadi kuasa hukum

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 46Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Menteri. Perubahan, peruntukkan, pelepasan, ijin pinjam pakai, semuanya di

Planologi. Tugas Planologi adalah mensosialisasikan persoalan-persoalan ini

di internal Kemenhut. Pak Hariadi yang selama membantu kami dalam hal-

hal seperti ini.

b). Dian Patria (KPK)

KPK tidak perlu menjadi bagian dalam implementasi NKB jika pimpinan

pemerintah komit untuk perbaikan tata kelola sumberdaya alam kehutanan.

DKN dan KPK bisa saja hanya memberikan saran dan yang menjalankan

komitmen adalah pemerintah. KPK memiliki fungsi pencegahan dan

penindakan, disamping koordinasi dan supervisi.

Dalam menjalankan fungsi pencegahan KPK bekerja bersama bagian

penindakan. Di bagian pencegahan pun KPK memiliki fungsi-fungsi deteksi

RHKPN, ada gratifikasi, bahkan punya nation interest; ketahanan pangan,

ketahanan energi dan pendapatan.

Dalam pemberantasan korupsi, ada 3 lembaga yang menangani yaitu KPK,

polisi dan kejaksaan. Tapi kalau bukan korupsi, misalnya illegal logging

semata, bukan urusan KPK. Tapi kalau korupsi, KPK bisa menangani, dan

ada dua penegak hukum yang lain, KPK menjalankan fungsi koordinasi dan

supervisi atas penanganan kasus yang ada di kepolisian dan kejaksanaan. Itu

ditangani secara spesifik dikerjakan oleh Korsub penindakan yang kerjanya

keliling polda dan melakukan koordinasi-supervisi kasus-kasus korupsi yang

sedang ditangani oleh Polda setempat. KPK dimungkinkan untuk mengambil

alih kasus ketika dianggap penanganan polisi tidak seperti yang seharusnya.

KPK sangat berharap ada masukan dari kamar masyarakat jika ada

pengaduan-pengaduan yang bisa disampaikan melalui bagian pengaduan

masyarakat KPK, surat, atau website Indonesia Memantau Hutan.

KPK adalah lembaga independen. KPK bukan di bawah presiden, legislatif

ataupun yudikatif. Secara teoritik, tidak masalah jika pemerintahnya ganti

karena yang dipegang oleh KPK adalah MoU dengan kementerian.

c). Noer Fauzi Rachman (Direktur Eksekutif SAINS)

Renaksi penindakan tidak mungkin dimasukan ke dalam NKB karena

kemungkinan tidak akan ada K/L yang bersedia menandatangani

MoU.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 47Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

DKN harus menguatkan kemampuan untuk mengurus konflik dengan skala

yang besar. Selama ini DKN mengurus konflik yang skalanya kasus per kasus. Pulau-

pulau kecil seperti Maluku Utara atau Maluku Tenggara bisa saja satu pulau keluar

dari kawasan hutan negara karena seluruhnya wilayah hutan adat. Maka jika

dikerjakan prosesnya, dimana sudah ada konsesi pada waktu itu maka itu akan

menjadi konflik dengan pemegang konsesi. Dan itu akan datang begitu besar arusnya

dalam DKN.

Tidak ada yang tidak bisa diurus, termasuk konflik. Pengalaman di Filipina,

National Commision on Indegineous People mencanangkan 7 juta hektar dari 70 juta

hektar. 70 juta itu adalah keseluruhan kawasan nasional Filipina. Tujuh juta hektar

adalah wilayah teritorial adat. Saat ini kawasan yang sudah mendapatkan CADC dan

CADT, Certificate of Ancestral Domain Claim dan Certificate of Ancestral Domain

Title mencapai di atas 1 juta hektar. Dari claim ke title membutuhkan 10-15 tahun.

Besaran di Indonesia belum bisa diketahui jumlahnya. Kalau DKN punya

pengalaman dengan mediasi konflik maka ini jumlahnya akan jauh lebih besar lagi,

begitu dia masuk ke dalam dan membuka prosesnya. Karena konsesinya bekerja

dengan proses dimana hutan adat dianggap hutan negara. Gerakan Plangisasi sangat

mungkin terjadi, dan jumlahnya sangat banyak karena jumlah HPH-HTI juga tidak

sedikit. Itupun jika Perdanya bener. Di sinilah kemampuan mengurus konflik dalam

skala yang besar diperlukan.

Tidak sederhana ketika National Land Commision Filipina membuat kamar

penyelesaian konflik. Di situ berkenaan dengan bagaimana konflik diajudikasi, data-

data dari kementerian kehutanan, bagaimana bisa keluar ijin di wilayah itu,

bagaimana masyarakat tidak terlihat ketika ijin itu keluar, bagaimana sekarang

visibilitas dilakukan supaya masyarakat adat bisa kelihatan. Proses verifikasi itu

membutuhkan skill yang tidak sedikit. Kita belum sampai pada membayangkan

seperti itu. Itu akan tumbuh dari kemampuan yang ada naik ke dalam kelas

berikutnya.

9. Sidang Kamar

a). Pengantar oleh Ketua Presidium DKN, Hariadi Kartodihardjo

• Dokumen pendukung sidang Kamar

DKN juga harus meningkatkan pengalamannya memediasi kasus konflik menjadi

pengalaman mengelola teritorial. Dari kasus ke teritorial. Oleh karena perlu

dilihat lagi cara manajemen pengelolaan konflik yang selama ini dijalankan di 7

region DKN.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 48Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

– Handout presentasi pemaparan workshop;

– Draft Naskah Kebijakan DKN: Penataan Kawasan Hutan bagi

Kebangkitan Kehutanan Nasional; masalah kebijakan dan peran DKN;

– Tiga Lampiran NKB 12/KL;

– Detail Rencana Aksi detail;

– Garis Besar Haluan Kehutanan (GBHK), yang merupakan hasil rumusan

pada saat kongres kehutanan Indonesia ke-5. GBHK berisi cakupan

mandat yang diamanatkan oleh kongres. Ada 10 aspek yang dirumuskan

di dalam kongres Kehutanan Indonesia ke-5 tahun 2011.

– Surat-surat berkaitan dengan intervensi World Bank. Ketua presidium

dan perwakilan tiap kamar akan melakukan pertemuan dengan World

Bank untuk membahas sikap DKN terhadap hubungan kerjasama dengan

World Bank. Ini dalam rangka mengembalikan DKN sesuai dengan

statutanya.

• Hasil sidang kamar

– Diinput langsung ke dalam naskah draft kebijakan;

– Catatan-catatan penting untuk ditambahkan ke dalam naskah kebijakan;

– Follow up dari KPK dan DKN berkaitan dengan implementasi NKB 12

K/L.

• Sidang dipimpin Ketua Kamar, dibantu sekretaris

• Substansi yang didiskusikan dan dirumuskan:

– Apa pandangan masing-masing kamar terhadap keberadaan NKB 12 K/L,

dan Putusan MK 35/2012 ?

– Apa saja masukan substansi dan strategis kamar terhadap 3 kelompok

Renaksi NKB 12 K/L ?

– Apa saja kegiatan yang penting dijalankan oleh kamar atau komisi dan

DKN secara keseluruhan ?

• Setiap kamar menyiapkan:

– Bahan presentasi (power point);

– Mempresentasikan hasil sidang kamar.

Pembagian Kamar

1. Kamar Pemerintah (Ketua: Agus Yustianto)

2. Kamar Masyarakat (Ketua: Leonard Imbiri)

3. Kamar Akademisi (Ketua: Hariadi Kartodhardjo)

4. Kamar Bisnis (Ketua: Agus Wahyudi)

5. Kamar LSM (Ketua: Matheus Pilin)

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 49Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

b). Pembekalan oleh Noer Fauzi Rachman

Renaksi NKB 12 K/L tidak mempertimbangkan putusan MK karena pada

saat itu belum ada. Naskah lampiran ketiga NKB 12 K/L tentang Resolusi Konflik

belum mempertimbangkan putusan MK. Maka naskah ini memiliki bentuk khusus

karena ada konflik antara konsesi, Kementerian Kehutanan, dan masyarakat hukum

adat. Konflik tersebut akan berlangsung di lapangan dan diperkirakan memiliki

intensitas yang lebih besar.

Putusan MK seperti memberi isi bahwa akan ada jenis konflik melalui mana

status dari masyarakat hukum adat menjadi lebih kuat karena dia akan keluar dari

hutan negara. Padahal hutan negaranya sebagian sudah ada di dalam kawasan-

kawasan konsesi kehutanan. Konsesi kehutanan dapat berbentuk konsesi hutan

produksi seperti HPH, bisa hutan tanaman, bisa hutan konservasi, bisa juga konsesi

restorasi ekosistem.

Butir-butir yang dibicarakan di dalam sidang kamar

1. Pandangan DKN atas konflik yang akan terjadi;

2. Pandangan DKN atas konflik yang akan diurus oleh DKN;

3. Rencana Kerja DKN.

B. Hari Kedua

Pleno Pemaparan Hasil Sidang Kamar

1. Kamar Masyarakat

Peserta Sidang Kamar Masyarakat

a) Leonard Imbiri;

b) Yanes Balubun;

c) Jomi Suhendri;

d) Sungging Septivianto;

e) Andreas Lagimpu.

Input Draft Kebijakan DKN Terkait NKB 12/KL

a) Proses pelaksanaan program percepatan pengukuhan kawasan hutan/ NKB 12 KL

(dasar : putusan MK No.45/2011) harus selaras dengan upaya implementasi

keputusan MK No.35/2012 tekait dengan status hutan adat.

b) Proses pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan memperhatikan dan

menghormati hak perorangan dan hak komunal/pertuanan/ulayat terkait dengan

hutan adat sesuai putusan MK No.35/2013.

Yang bisa dilakukan DKN dalam kaitannya dengan KPK adalah membuat

resolusi konflik menjadi bagian yang diusulkan untuk dijadikan topik

interaksinya. Masing-masing kamar memiliki andil khusus karena merupakan

channel bagi tiap konstituennya.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 50Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

c) Penggunaan kalimat “masyarakat perlu membuktikan hutan adatnya”,

merupakan bagian dari proses penetapan kawasan hutan adat yang berbelit dan

mempersulit masyarakat adat untuk menguasai dan mengelola kawasan hutannya.

d) Perlu diatur dengan PP yang memungkinkan pemerintah memfasilitasi dan

mendanai proses penetapan hutan adat.

e) Peta kawasan hutan adat adalah salah satu alat dan bukan satu-satunya alat dalam

membantu identifikasi kawasan hutan adat.

f) Perumusan kebijakan kehutanan dalam kaitan dengan pengukuhan kawasan hutan

secara khusus hutan adat di provinsi Aceh, Papua dan Papua Barat haruslah

merujuk pada UU otonomi khusus Papua dan Aceh.

g) Penunjukkan kawasan hutan pada pulau-pulau kecil yang akan dikukuhkan perlu

dikaji dengan mempertimbangkan aspek ekologi, sosial dan budaya masyarakat

setempat.

h) Rumusan Materi pokok dan peran bagi masyarakat adat/lokal pada halaman 4 dan

aktifitas pada halaman 5 perlu dirumuskan kembali dengan mempertimbangkan

keputusan MK No.35/2013.

i) Pada bagian peran masyarakat adat/lokal (halaman 4 & 5) perlu memasukkan

posisi BUMN Kehutanan (Perum Perhutani,Inhutani) sebagai pihak yang selama

ini juga mendapatkan alokasi besar dalam pengelolaan hutan.

j) Pada halaman 6 perlu memasukkan peran UKM kehutanan yang telah memiliki

konstribusi positif melalui hutan tanaman/hutan rakyat, namun belum

mendapatkan perhatian yang baik melalui kebijakan pemerintah.

k) Dalam kluster renaksi (gambar 1. hal 5) perlu memasukkan upaya perluasan

pencadangan kawasan hutan untuk HTR, HKM dan Hutan Desa.

l) FIP/DGM akan mencapai kesetaraan dan legitimasi jika rancangan, implementasi

dan alokasi berbagai manfaatnya mencerminkan kebutuhan dan aspirasi di tingkat

nasional dan subnasional.

Berkaitan dengan penanganan konflik, perlu;

1) memperkuat sistem yang telah dimiliki DKN (komisi mediasi konflik,

mekanisme dan protokol penanganan konflik, infrastruktur pengaduan berbasis

Web based online/offline, jejaring sosial, SMS Center);

2) memperkuat koordinasi dengan pihak terkait terutama Kementerian Kehutanan;

3) memperkuat kapasitas mediasi konflik.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 51Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Tambahan Kamar Masyarakat

Leonard Imbiri: Dalam perumusan kebijakan, terutama peraturan perundang-

undangan, biasanya ada kalimat-kalimat yang kadangkala menjadi jebakan dan tidak

memperhitungkan mekanisme internal atau kearifan lokal masyarakat adat dalam

menentukan batas-batas wilayah. Kalimat “masyarakat perlu membuktikan tanah

adatnya.” menurut kita itu adalah suatu bentuk penyangkalan terhadap keberadaan

masyarakat adat di wilayah Republik Indonesia. Kami menyarankan kalimat seperti

itu tidak digunakan karena secara hukum itu kadangkala mempersulit masyarakat

dalam proses-proses pengurusan hak-haknya.

Dan itu tidak hanya pada pemanfaatan peta tapi juga dengan memperhitungkan

bagaimana mekanisme lokal masyarakat dalam menentukan batas wilayah adatnya.

Diskusi dan Klarifikasi

Zulfikar (Kamar Pemerintah): saya mempertanyakan implementasi dari

pernyataan “tidak diperlukan pembuktian terhadap batas wilayah masyarakat hukum

adat.” Pertama, saya informasikan bahwa kondisi masyarakat hukum adat di setiap

wilayah Indonesia berbeda-beda, karena masing-masing memiliki sejarah yang

berbeda. Kedua, kaitannya dengan peraturan perundangan. Keputusan MK masih

mengiyakan yang 67, lalu diatur dengan Undang-undang, dan dalam konteks diatur

dengan undang-undang itu pengertiannya, sesuai dengan peraturan perundangan.

Leonard Imbiri (Kamar Masyarakat): Dalam penjelasan teman-teman lebih

banyak berkaitan dengan proses-proses penataan yang dilakukan terhadap

tanah/hutan adat.

Berkaitan dengan fungsi supervisi yang dilakukan KPK terhadap

implementasi NKB 12 KL, peran strategis yang perlu dilakukan DKN adalah

memberikan masukan berupa informasi yang berkaitan dengan isu

kehutanan.

Apabila UU itu belum ada maka UU sebelumnya yang mengatur hal tersebut yang tidak berlawanan dengan substansi keputusan MK, masih berlaku. Dengan demikian maka tetap diperlukan pengakuan terhadap batas wilayah masyarakat hukum adat melalui Perda.

Kamar masyarakat mengusulkan agar penentuan hutan adat perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah yang memungkinkan pemerintah memfasilitasi proses-proses penentuan batas wilayah masyarakat adat.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 52Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Di sini masyarakat adat disuruh untuk membuktikan hutan adatnya, melalui peta tadi.

Menurut kami itu adalah suatu kerja yang membutuhkan kapasitas yang besar dan

dalam proses-proses hukumnya masyarakat adat akan mengalami satu proses yang

berbelit-belit dan itu akan membawa dia pada posisi sekarang. Itu satu kekhawatiran

setelah menginterpretasikan kalimat “masyarakat adat perlu membuktikan hutan

adatnya.”

Kita tidak mengatakan “tidak membuktikan”, tapi penggunaan kalimat

“masyarakat adat perlu membuktikan hutan adatnya.” dalam mekanisme, itu

menyangkal posisi masyarakat adat dalam kaitannya dengan kearifan lokalnya

menentukan batas-batasnya.

Zulfikar (Kamar Pemerintah): Saya menyarankan kita perlu memberi

perhatian khusus terhadap proses dan mekanisme di dalam Perda. Kita paham

masyarakat punya kelemahan untuk melakukan pembuktian karena pembuktian butuh

waktu, biaya serta berpotensi konflik. Perhatian khusus yang dimaksud adalah

Pemerintah daerah dan DPR yang akan membuat Perda perlu ada persiapan dan

perhatian khusus karena hal itu mengandung konsekuensi tertentu.

Usep Setiawan (Fasilitator): Poin pak Zulfikar adalah memang harus jelas

betul mengenai proses dan tatacara dalam penentuan mana yang disebut hutan adat

dan mana yang bukan. Kita ingin memastikan bahwa proses penentuan wilayah adat

betul-betul dijalankan dengan baik, dengan melibatkan banyak pihak, saling

bersinergi, dan tidak ada yang menegasikan satu pihak dengan pihak yang lain.

Leonard Imbiri (Kamar Masyarakat): Pertama, Perda untuk menentukan

mekanisme sangat penting. Kearifan lokal dalam menentukan batas perlu dimasukkan

ke dalam perda sebagai satu bentuk mekanisme. Jika kearifan lokal tidak dipakai,

masyarakat tidak akan memiliki kapasitas untuk itu.

Dalam pandangan kami bahwa, pertama, masyarakat adat memiliki kearfian

lokal dalam menentukan batas wilayah. Peta bukan satu-satunya alat untuk

menentukan batas wilayah masyarakat adat. Kedua, pembuktian tentang

hutan adat tidak merupakan kerja masyarakat adat.

Kalau kearifan lokal dipakai, masyarakat akan jauh mempunyai kapasitas

dalam mendorong proses-proses penenntuan batas wilayah adat. Mekanisme

dari luar yang terlalu dipaksakan di luar mekanisme masyarakat adat, akan

selalu membawa konflik baru bagi masyarakat.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 53Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Hasby: kekhawatiran Kamar Masyarakat sudah ada di NKB, bahwa sebelum

kita menetapkan kawasan atau wilayah hukum masyarakat adat, pertama kali perlu

melakukan identifikasi. Identifikasi dilakukan melalui survey sosial yang melibatkan

seluruh stakeholder. Disitulah kearifan lokal digunakan. Di dalam survey sosial,

kearifan lokal bisa masuk untuk mengidentifikasi. Setelah itu menentukan batas-batas

di lapangan.

David (Kamar Bisnis): di dalam pembuktian hutan adat, yang sering

dipikirkan adalah potensi konflik dengan perusahaan atau dengan pemerintah. Kalau

di Kalimantan Timur ada hambatan ketidaksepakatan antara masyarakat adat itu

sendiri. Tidak ada solusi untuk masalah seperti itu. Pemegang ijin terpaksa menunggu

mereka menyelesaikan persoalan, bahkan pro aktif menghubungi Panglima Dayak

dsb. Dalam perencanaan penataan kawasan hutan perlu dipikirkan mekanisme

penyelesaian masalah jika terjadi ketidaksepakatan antar sesama kelompok

masyarakat. Di Sumatera juga terjadi hal serupa. Ada beberapa areal di Sumatera

terjadi overlapping klaiming, masyarakat yang berbeda merasa memiliki areal yang

sama sehingga terjadi dualisme kepemimpinan masyarakat adat di wilayah yang

sama.

Yohanes Balubun (Kamar Masyarakat): Pertama, kemarin kita

mendiskusikan sejarah keluarnya MK 45/2012. Putusan MK 45 dari sebuah proses

penunjukan yang oleh MK menyatakan bahwa itu bertentangan dengan hukum

sehingga harus dilakukan yang dinamakan pengukuhan. Menjadi pertanyaan diskusi

kemarin adalah apakah pengukuhan itu akan dilakukan di atas wilayah-wilayah hasil

penunjukan. Kalau itu dilakukan di atas wilayah hasil penunjukan, maka konflik akan

terjadi, karena sejarah penunjukkan di masa lalu selalu bertentangan dengan hukum,

selalu terjadi pelanggaran HAM, dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat.

Kalau memang dari pemerintah sendiri meyakinkan kita, masyarakat adat

atau masyarakat lokal, bahwa proses pengukuhan kawasan hutan bukan serta merta di

Setelah batas-batas di lapangan ada, barulah dipetakan. Jadi, tidak terbalik;

dipetakan baru dibuktikan. Survey sosial yang mengakomodir kearifan lokal

dalam mengindentifikasi wilayah bisa meminimalisir konflik antara

masyarakat adat dengan pemerintah juga antara masyarakat adat satu dengan

yang lain.

Dalam rangka kelancaran penataan hutan, jika terjadi konflik antar

masyarakat adat, perlu ditentukan pihak mana yang akan menyelesaikan

konflik tersebut.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 54Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

atas wilayah-wilayah yang sudah mendapat penunjukan kawasan hutan, atau

pengukuhan kawasan hutan itu di wilayah baru yang diajukan oleh dunia usaha, maka

mungkin mekanisme proses identifikasi itu bisa dilakukan secara terbuka dan secara

partisipatif dengan masyarakat.

Kalau proses pengukuhan kawasan itu dilakukan lagi di atas kawasan hutan

yang sudah ditunjuk, hanya untuk memenuhi sebuah syarat legalitas hukum, setelah

MK menyatakan itu tidak sah, maka itu yang tidak kita inginkan. Akan menjadi

persoalan karena itu berarti bahwa sudah dibayangkan proses mengindentifikasi

semua pranata-pranata sosial untuk menentukan, mengeluarkan hak ulayat,

mengeluarkan hak perorangan terkait dengan masyarakat-masyarakat lokal, itu pun

juga akan menjadi persoalan. Untuk mengantisipasi konfliknya bisa menggunakan

peran DKN.

Kedua, berkaitan dengan konflik antar masyarakat adat. Berdasarkan

pengalaman kita, masyarakat adat memiliki kearifan untuk menyelesaikan konflik

antar masyarakat adat. Tapi kalau tidak ada penyelesaian, ada intervensi dari oknum

dunia usaha terhadap konflik itu. Oleh karena itu pemerintah harus memfasilitasi

proses-proses penyelesaian konflik antar masyarakat adat agar semua pihak bisa

duduk bersama-sama.

Dunia usaha juga memberikan ruang kepada masyarakat adat untuk masuk ke

dalam wilayahnya untuk melakukan pemetaan wilayah adat, tanpa merasa takut akan

dikeluarkan dari wilayah investasi, dan masyarakat adat juga terbuka menyatakan

titik-titik penguasaannya secara adat.

Usep Setiawan (Fasilitator): Dua catatan kritis: mekanisme penanganan

konflik yang mungkin terjadi dalam proses pengukuhan kawasan hutan dan proses

identifikasi hutan-hutan adat harus disusun sedemikian rupa.

Marthen (Kamar Pemerintah): Pertama, percepatan proses penataan dan

pengukuhan kawasan hutan bukan satu-satunya alat untuk menyelesaikan konflik

tenurial. Kamar masyarakat menyatakan proses itu harus melibatkan masyarakat.

Mekanisme proses penentuan batas dirinci dengan baik karena ini sangat berkaitan

dengan hukum. Berdasarkan pengalaman, di H-2 dilakukan proses inventarisasi

trayek batas terlebih dahulu sebagai prakondisi untuk melakukan penataan batas.

Proses penentuan batas sangat bergantung pada mental sang Pengukur. Proses

Di Maluku, ketika terjadi konflik antar negeri, maka Latupati, Forum Raja-

raja di kawasan itu yang akan rapat dan memutuskan penyelesaian konflik.

Masyarakat adat harus diberi ruang untuk menyelesaikan konfliknya.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 55Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

penataan batas kawasan dan Penentuan batas bukan satu-satunya alat untuk

menyelesaikan konflik, terutama di Papua karena 200 suku menyebar merata di

seluruh tanah Papua.

Kedua, bicara soal identifikasi hak-hak masyarakat adat harus dengan hati,

tidak hanya dengan pikiran. Hati dan pikiran harus sinergis. Konflik kehutanan dan

tenurial sudah berlangsung sangat lama dan basisnya hanya masyarakat dan

pengusaha. Seharusnya Kemenhut harus ikut terlibat dalam penyelesaian konflik.

Tidak bisa hanya mengandalkan Pemda. Penataan batas merupakan kata kunci, peta

buka satu-satunya cara. Masing-masing kelompok masyarakat adat memiliki cara

identifikasi kepemilikan hak ulayat yang berbeda-beda. Pengakuan kepemilikannya

pun berbeda salah satunya berdasarkan sejarah perjuangan, seperti Papua.

Usep Setiawan: Implementasi NKB tidak diperuntukkan bagi penyelesaian

konflik tapi NKB punya kontribusi positif terhadap upaya-upaya penyelesaian konflik

tenurial kehutanan. Noer Fauzy mengingatkan bahwa NKB punya potensi konflik

karena terjadi tarik menarik kepentingan baik antar K/L, K/L dengan dunia usaha,

dunia usaha dengan masyarakat, bahkan antar kelompok masyarakat. Dalam

implementasi NKB ada tahapan-tahapan kritis yang harus disiapkan; mekanisme

penyelesaian konflik.

Oding (Kamar Akademisi): Di Papua dan Maluku sebagian besar kawasan

hutannya berstatus hutan adat. Bisa jadi tidak ada hutan negara. Nanti kalau itu benar-

benar terjadi, dengan berlaku putusan MK 35 maka potensi konfliknya sangat besar.

Penting untuk mencermati dan menghilangkan potensi konflik itu.

Yohanes Balubun (Kamar Masyarakat): memperjelas poin memperkuat

koordinasi dengan pihak terkait terutama Kemenhut. Poin ini berkaitan dengan

penangan konflik-konflik kehutanan.

Usep Setiawan (Fasilitator): identifikasi pihak terkait selain Kemenhut dalam

urusan penanganan konflik?

Sungging Septivianto (Kamar Masyarakat): ketika proses penangangan

konflik sudah berjalan dengan baik di awal, di pertengahan dan menjelang akhir

proses biasanya Kemenhut berjalan sendiri dalam pengambilan keputusan. Salah satu

contohnya yang ditangani di Sumatera. Ada upaya memperkuat koordinasi agar itu

tidak terjadi lagi.

Leonard Immbiri (Kamar Masyarakat): menambahkan mekanisme lokal

dalam penanganan konflik.

2. Kamar LSM dan Pemerhati

Ketua : Matheus Pilin

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 56Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Sekretaris : Ita Natalia

Anggota : Paramita Iswari

Rafles

Ahmad Zazali

Catatan dan Masukan

a) Lampiran 1; Harmonisasi kebijakan dan Peraturan Perundangan tabel hal 5

Renaksi Kementerian Kehutanan mengenai penyempurnaan aturan tentang

pengukuhan kawasan hutan perlu penegasan mengenai: 1. Penerbitan aturan

tentang STATUS kawasan hutan, 2. Penyempurnaan aturan terkait FUNGSI

kawasan hutan.

b) Terkait dengan hal tersebut, pada lampiran 5, draft naskah kebijakan DKN perlu

di tambahkan catatan kaki mengenai belum adanya SK penunjukan/penetapan

terhadap STATUS KAWASAN hutan di Indonesia

c) Usulan; Tabel 5 pada draft Naskah Kebijakan DKN tidak perlu di cantumkan.

d) Sebelum adanya kepastian hukum atas kawasan hutan sebaiknya revisi atas

RTRWP di tangguhkan karena belum ada kepastian legal mengenai kawasan

hutan. Implikasi dari melanjutkan RTRWP akan melegalkan pemutihan

pelanggaran.

e) Lampiran 3; Resolusi konflik. Terbangunnya konsensus penyelesaian konflik

secara terpadu dan perlu ditetapkan penyelesaian konflik 1 pintu di kementerian

atau lembaga terkait.

f) Lampiran 3 ; bagi konsesi yang belum tata batas penyelesaian konflik (hak pihak

ke tiga/ hutan adat) diselaraskan dengan proses tata batas. Bagi konsesi yang

sudah tata batas tapi masih ada konflik (hak pihak ke tiga/hutan adat)

penyelesaian dengan mekanisme dialog dan mediasi. Poin ini mendukung kerja-

kerja di poin 5.

g) Secara khusus untuk KPK, perlu secara jeli menindak lebih lanjut kementerian

atau lembaga yang mengabaikan renaksi NKB nya

h) Catatan khusus kepada Presiden, untuk memberikan sanksi kepada kementerian

atau lembaga yang mengabaikan renaksi NKB yang ditetapkan

Pandangan umum terhadap Carut Marutnya Tata Kelola Kehutanan Di

Indonesia

a) Dalam konteks Putusan MK 35/2012 & No.45/2012; Masalah kehutanan saat ini

adalah sebagai masalah bersama dan masalah sektoral yang perlu perubahan cara

pandang; kebijakan dan cara kerja.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 57Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

b) Inkonsistensi terhadap proses pengukuhan kawasan hutan yang telah ada selama

ini sehingga diperlukan transparansi terhadap seluruh dokumen dalam

pengukuhan kawasan hutan (peta dan berita acara) sehingga dapat diverifikasi

oleh publik.

Pandangan Kamar LSM/Pemerhati terhadap NKB 12 K/L

a) Partisipasi masyarakat sangat penting mengawal proses NKB K/L sampai ke

tujuan.

b) Bahwa NKB 12 K/L bisa menjadi terobosan untuk mengatasi carut marutnya

persoalan kehutanan dengan catatan semua pihak (pemerintah, CSO, masyarakat

adat dan komunitas lokal, sektor usaha, akademisi) mengambil peran/bagian

sesuai dengan fungsinya terkait dengan putusan MK ini.

c) Bahwa dalam upaya memperkuat Indonesia Memantau Hutan (IMH)

menghimbau kepada semua pihak untuk mendukung upaya tersebut yang di

fasilitasi KPK.

d) Memastikan transparansi dari setiap proses serta uji akuntabilitas terhadap output

yang dihasilkan

Rekomendasi

a) Memastikan prinsip keadilan gender dalam NKB

b) Legalitas perijinan akan bermasalah ketika kepastian hukum belum ada sehingga

moratorium menjadi alasan yang paling kuat.Ijin-ijin tidak diterbitkan di

wilayah yang belum ditata batas menjadi hutan Negara, tidak dipertukarkan dan

tidak dipinjamkan, sebagaimana penjelasan UUK pasal 12.

c) KPK bersama DKN membangun sebuah sistem monitoring yang transparan dan

inklusif

d) Dalam upaya memperkuat Indonesia Memantau Hutan IMH) menghimbau untuk

mendukung bentuk pemantauan hutan yang di fasilitasi KPK. Tidak harus semua

melalui DKN, bisa juga bentuknya himbauan untuk memperkuat IMH yang

difasilitasi KPK. Secara explicit kita biulang yang difasilitasi

e) KPK bersama DKN mendiseminasikan hasil NKB 12 K/L dan rencana aksinya

seluruh wilayah di Indonesia, termasuk pulau kecil.

f) KPK bersama DKN melakukan peningkatan kapasitas terhadap masyarakat sipil

untuk dapat memantau pelaksanaan NKB ini

g) Kementerian Kehutanan harus mempunyai desk terpadu untuk penyelesaian

konflik kawasan hutan. Ini juga berlaku untuk Papua dan pulau-pulau kecil.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 58Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Dalam Tabel 5 pada naskah Kebijakan DKN, yang dijelaskan hanya fungsi

saja. Sementara yang menyangkut status tidak dibahas sehingga tentang hutan negara,

hutan adat, hutan kemasyarakatan, hutan rakyat, dll tidak ada kejelasan. Pernyataan

bahwa bisa jadi di Papua tidak ada hutan negara, dikarenakan persoalan status yang

tidak jelas. Dalam konteks fungsi, diasumsikan fungsi kawasan hutan merupakan

hutan negara. Status menjadi isu yang penting. Hubungannya dengan moratorium

dan kepastian hukum, aspek penetapan dengan memperhatikan aspek status menjadi

sangat penting.

Momentum

Terkait dengan UU 41 banyak sekali terjadi kriminalisasi sehingga

masyarakat adat menginginkan segera adanya amnesti terhadap kasus-kasus yang

ada. Implikasinya adalah soal kepastian hukum kalau kita bicara mengenai hutan

adat, aspek pengukuhan. Moratorium juga berimplikasi pada kepastian hukum. Kalau

kepastian hukum ini dalam konteks mendukung NKB 12/KL maka revisi rencana

RTRWP itu dalam konteks kepastian hukum.

Tambahan Kamar LSM

Rafles: Status kawasan hutan diatur dalam pasal 5 UU 41 sedangkan fungsi

kawasan hutan diatur dalam pasal 6 UU 41. Yang terjadi dalam aturan-aturan

pelaksanaanya itu adalah mengacaukan istilah status dan fungsi di dalam Permen-

Permen yang kemudian keluar.

Sama saja ketika kita mempersoalkan antara kawasan hutan dengan batas

administrasi negara karena memang kepemilikan pasti dibagi habis. Kalau tidak

dimiliki oleh rakyat, pasti dimiliki oleh negara. Sampai saat ini, dari 8 SK penunjukan

kawasan hutan yang ada di pulau Sumatera, tidak satupun SK penunjukan yang

mengatakan itu adalah status kawasan hutan, tapi fungsi kawasan hutan. Itu kenapa

kita berani mengatakan bahwa ini tidak dilaksanakan. Mungkin paradigma ini yang

perlu dilihat ulang. Artinya, sepertinya sudah ada penerjemahan-penerjemahan yang

keliru dan ini mungkin perlu diperdebatkan kedepan kalau memang konteks

Dalam status kawasan hutan sebetulnya tidak perlu adanya PU 45 maupun PU 35 kalau mandat ini dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan. Karena terhadap status kawasan hutan, itu terkait dengan hak penguasaan; hak penguasaan oleh masyarakat, hak penguasaan oleh negara. Sementara, fungsi kawasan hutan adalah tentang bagaimana hutan itu dikelola. Jadi kedua-dua halnya itu membagi habis seluruh wilayah Indonesia. Jadi tidak bisa fungsi menegasikan status.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 59Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

hukumnya perlu dipersoalkan. Ini sangat menarik sekali karena memang akar

persoalannya ada di status dan tidak pernah dilaksanakan dan yang muncul kemudian

adalah interpretasi-interpretasi yang cenderung menyesatkan.

Diskusi dan Klarifikasi

Agus Yustianto (Kamar Pemerintah): Mengomentari diagram. Tadi

disampaikan “status kawasan hutan”, ini rancu karena diposisikan ada hutan negara,

hutan adat, hutan desa, hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat. Hutan desa dan hutan

kemasyarakatan adalah ijin yang diberikan oleh pemerintah yang berada di hutan

negara.

Pola-pola pemanfaatan hutan harus direkonstruksi agar tidak

membingungkan. Misalnya posisi hutan desa dan hutan kemasyarakatan, yang

dipahami adalah ijin yang diberikan. Hutan desa, hutan negara dan hutan

kemasyarakat tidak bisa disejajarkan.

Rafles (Kamar LSM): memang betul di dalam beberapa Permenhut, hutan

desa dan Hutan kemasyarakatan dimaknai sebagai ijin. Tapi kalau melihat konstruksi

dari UU 41 di pasal 5 dan pejelasan pasal 5, sepanjang hutan desa dan hutan

kemasyarakatan itu dimaknai sebagai ijin, itu justru bertentangan dengan UU 41.

Banyak hal yang mis dari UU 41 karena banyak aturan-aturan yang tidak ditemukan.

Misalnya tentang pembatasan ijin, ada di UU tapi tidak ada PP maupun Permen yang

mengatur itu. Itu adalah aspek monopoli.

Usep Setiawan (Fasilitator): Point tentang status dan fungsi kawasan hutan

adalah perlu mengkaji ulang, merekonstruksi dan mendudukan kembali UU 41, UU

Kehutanan, dikaitkan dengan implementasi NKB.

Zulfikar (Kamar Pemerintah): Rekomendasi kamar LSM menggiring DKN

seolah-olah menjadi operasional pelaksana eksekusi. Tidak setuju dengan

rekomendasi itu. Tidak masalah DKN melakukan pemantauan tapi jangan tempatkan

DKN bersama KPK untuk melakukan sesuatu yang operasional. Apalagi DKN

bersama KPK menonitor kerja NKB, kemudian mendesimenasikan ke seluruh

Indonesia. Itu sudah keluar dari garis besar haluan di DKN.

Perlu merekonstruksi lagi hal yang berkaitan dengan status kawasan hutan

karena pemahaman dan implementasi dari hutan-hutan tersebut masih rancu.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 60Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Matheus Pilin (Kamar LSM): Perspektif kamar LSM dalam poin rekomendasi

adalah disadari bahwa anggota presidium DKN berada di beberapa wilayah di

Indonesia. Maka ketika melakukan proses diseminasi terkait dengan dokumen NKB,

ini akan sangat strategis untuk disampaikan kepada banyak orang. Kamar LSM tidak

melihat ini dalam konteks operasional melainkan mendayagunakan fungsi-fungsi

yang ada dalam tubuhnya DKN ini ketika berada di wilayah-wilayah yang ada di tiap

kamar yang bisa berkontribusi.

Usep Setiawan (Fasilitator): Poinnya DKN mendorong KPK untuk

melakukan rekomendasi poin 3, 5 dan 6, tapi tidak dalam posisi DKN mengerjakan

pekerjaannya KPK. Perlu ada reformulasi redaksi rekomendasi.

Zulfikar (Kamar Pemerintah): Kalau yang dimaksudkan bahwa DKN ingin

mendiseminasikan informasi apa yang telah dilakukan oleh DKN kepada konstituen,

itu tidak ada masalah. Itu satu keharusan bagi DKN karena DKN berdasarkan

konstituen. Tapi kalau misalnya DKN bersama KPK mendiseminasikan hasil NKB

dan rencana aksinya pada seluruh wilayah Indonesia, termasuk pulau kecil, itu sama

dengan DKN didorong untuk menjadi operasional eksekusi. Redaksi rekomendasinya

mengarah ke situ.

Eny Faridah (Kamar Akademisi): di dalam draft Naskah Kebijakan DKN, di

bagian terakhir tertera bahwa DKN akan mendukung proses perencanaan maupun

desimenasi dan pelaksanaan renaksi NKB dan akan masuk ke 5 kelompok. Agar

DKN tidak menjadi pelaksana KPK, bentuk dukungan DKN bisa mengikuti apa yang

diperlukan. Redaksi rekomendasi menjadi “KPK dengan dukungan DKN melakukan

desiminasi.” Bentuk dukungan bisa dibicarakan lebih lanjut.

Paramitha Iswari (kamar LSM): DKN bukan hanya presidium. AD

menyebutkan bahwa DKN termasuk juga orang-orang yang pernah mengikuti

kongres DKN. Artinya DKN punya konstituen di seluruh wilayah Indonesia. Maksud

dari rekomendasi ini adalah KPK menyelenggarakan diseminasi NKB lalu DKN

memberikan informasi mengenai konstituen DKN. Ini tidak keluar dari kewenangan

DKN karena ini bukan proyek atau DKN menjadi konsultan bagi KPK.

Marthen (Kamar Pemerintah): berkaitan dengan rekomendasi poin 5 dan 6,

“mendukung” bentuknya bisa “bersama-sama KPK”, bisa juga “sendiri tapi substansi

sama”. “Melakukan sendiri” juga termasuk mendukung. Yang penting semua sepakat

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 61Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

untuk menindaklanjuti NKB maka semua punya tanggungjawab yang sama untuk

melakukan itu. Sosialisasi adalah tugas KPK dan 12 K/L.

Zulfikar (kamar Pemerintah): Mohon klarifikasi lebih lanjut tentang

pernyataan penundaan revisi RTRWP sampai ada kepastian hukum atas kawasan

hutan.

Rafles (Kamar LSM):

Contohnya di Kalimantan Tengah. Dokumen Tim terpadu belum pernah

ditemukan secara publik sehingga tidak bisa dilakukan penilaian apakah kajian tim

terpadu itu berdasarkan otoritas ilmiah yang bisa diverifikasi pula secara ilmiah. Jika

itu tidak dilakukan, maka bisa dikatakan bahwa ini adalah sebuah upaya untuk

mengebiri semangat yang luar biasa dari UU Penataan ruang. Karena proses

keluarnya PP 10/2010 itu setelah UU 26/2007 keluar, tentang Tata Ruang. Memang

benar itu mandat dari UU 41 tapi keluarnya pasca UU Tata Ruang keluar. Dan

menariknya, satu mandat dari UU Tata Ruang tidak dilaksanakan oleh pemerintah;

Audit Perijinan. Karena di sana resmi batal demi hukum dan batal dengan

kompensasi. Artinya semangatnya itu adalah menertibkan ijin-ijin. Ini seirama

dengan NKB. Persoalannya adalah seberapa parah persoalan, ketika tidak

teridentifikasi akan menumpuk akumulasi persoalan. Penyelesaian juga bersifat

parsial, akhirnya. Yang kasihan adalah pihak pengusaha.

Usep Setiawan (Fasilitator): poin kritisnya adalah isu kaitan antara

percepatan pengukuhan kawasan hutan dan revisi RTRW. Lampiran 1 NKB berkaitan

dengan harmonisasi kebijakan maka perlu dilihat harmonisasi sinkronisasi antara UU

Kehutanan, pelaksanaan NKB dan UU RTRW dan pelaksanaanya.

Leonard Imbiri (Kamar Masyarakat): Posisi DKN bisa merupakan satu

kesimpulan bersama. Tapi posisi DKN juga bisa keluar dalam posisi kamar-kamar,

jika DKN tidak bisa sampai pada konsensus.

RTRWP perlu ditunda karena fungsi maupun status kawasan hutan menjadi data dasar dalam penyusunan rencana tataruang. Rencana tataruang menjadi tidak pasti jika datanya ilegal. Legalitas tata ruang bisa dipertanyakan ketika legalitas kawasan hutannya bermasalah. RTRWP justru menjadi alat untuk melegalkan ijin-ijin yang bermasalah di masa lalu. Memutihkan pelanggaran ijin. Tapi tidak ada proses transparansi dari setiap proses tim terpadu kepada publik.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 62Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Usep Setiawan (Fasilitator): Ada dua model penyikapan atas kebijakan, bisa

DKN secara keseluruhan merumuskan sikap bersama secara bulat tapi dalam hal-hal

tertentu tiap kamar bisa punya sikap yang otonom. Rekomendasi LSM perlu diberi

konteks yang lebih luas terkait hubungan antara kebijakan tata ruang dan penataan

kawasan hutan.

Matheus Pilin (Kamar LSM): Ini adalah pandangan kamar. Kamar punya

kepentingan terhadap konteks dan teminologi. Muncul kata “ditangguhkan” di dalam

catatan dan masukan poin 4 karena perhatian kita lebih pada land-use ketika bicara

soal tataruang. Land-tenure sering terabaikan. Ketika kita selalu bicara dalam konteks

land-use nya dan mengabaikan land-tenure-nya maka berhubungan ketika kita bicara

soal tata ruang. Contoh kasus untuk menegaskan bahwa RTRW perlu ditangguhkan

adalah masyarakat tidak diperbolehkan membuat sekolah di kampungnya karena

masih masuk di dalam kawasan hutan sementara masyarakat butuh sekolah. Ketika

itu dipaksakan masuk ke dalam bagian tataruang yang ditetapkan maka konflik yang

terjadi. Rekonstruksi rekomendasi tidak boleh menghilangkan kata “ditangguhkan”.

Mohon tanggapan atas rekomendasi mengenai penyelesaian konflik satu

pintu di Kementerian atau lembaga terkait. (catatan dan masukan kamar LSM poin 5)

Yohanes Balubun (Kamar Masyarakat): penyelesaian konflik harus

berkoordinasi dengan pihak terkait, dalam hal ini kehutanan. Pengalaman Komisi

Mediasi Konflik DKN, penyelesaian konflik justru hilang di tingkat Kementerian

kehutanan. Penyelesaian konflik harus berada di dalam satu kewenangan tertentu

yang benar-benar bisa punya kepastian hukum.

Jomi Suhendri (Kamar Masyarakat/Komisi Mediasi Konflik DKN) Sepakat

dengan adanya mekanisme penyelesaian konflik 1 pintu di kementerian atau lembaga

tertentu. Proses penyelesaian konflik terkait dengan keterbatasan di DKN, terutama

Komisi Konflik. Komisi Konflik DKN sifatnya hanya rekomendasi, tidak bisa

memutuskan segala sesuatu yang sifatnya eksekusi. Eksekusi tetap ada di wilayah

kemenhut. Jika arah dorongannya ke penyelesaian konflik 1 pintu, harus ditentukan

ada di kementerian mana. Di Kemenhut sebenarnya sudah ada tim kerja yang bekerja

menyelesaikan konflik kehutanan.

Perlu diperjelas apakah yang dimaksudkan dengan 1 pintu ini mendorong ke

arah Rekomendasi Kamar LSM poin 7; Kemenhut harus mempunyai desk terpadu

untuk penyelesaian konflik kawasan hutan.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 63Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Jali (Kamar LSM): proses penyelesaian konflik di internal Kemenhut tersebar

di beberapa direktorat. Tahap penyelesaian penataan batasnya dipegang Dirjen

Planologi(?). Terhadap konflik yang terjadi antara masyarakat dan pemegang konsesi

diurus oleh Dirjen BUK. Bahkan sekarang ada PUPDAL, di bawah Sekjen langsung

yang punya fungsi mediasi. Tiga proses ini terkadang tidak terkoneksi. Ketika DKN

ditunjuk sebagai mediator, untuk menyelesaikan satu kasus, DKN harus rapat sendiri-

sendiri dengan masing-masing bagian tersebut. Untuk penyelesaian melalui

mekanisme tata batas harus berurusan dengan planologi. Untuk yang berurusan RKT,

proses perijinan dll, melalui BUK. Dan sekarang ditambah dengan lembaga PUSDAL

yang langsung di bawah Sekjen.

DKN pernah mengusulkan adanya direktorat khusus yang menangani

penyelesaian konflik. Minimal 1 direktur penyelesaian konflik di bawah Kementerian

Kehutanan. Menurut Kementerian Kehutanan penambahan itu tidak mudah karena itu

membutuhkan persetujuan DPR dan Menpan karena butuh penambahan eselon.

Akhirnya jalan tengahnya adalah penambahan tupoksi yang akibatnya tupoksi

tersebar.

Usep Setiawan (Fasilitator): kamar LSM dan kamar masyarakat

mengusulkan agar mekanisme penanganan dan penyelesaian konflik kawasan

kehutanan ini diperbaharui dan ditata ulang dengan satu usulan kongkrit mekanisme

dan kelembagaan yang selama ini tersebar kewenangannya di sejumlah unit,

dikumpulkan dalam satu unit. Perlu juga didesain mekanisme penyelesaian konflik

yang ada di kemenhut dan kementerian yang lain, serta antara kementerian.

David (Kamar Bisnis): di dalam NKB 12 K/L ada satu bagian yang khusus

masalah penyelesaian konflik. Di dalam satu Kementerian saja sering tidak terbangun

koordinasi yang baik, apalagi antar kementerian.

Perlu ada penyelesaian konflik satu pintu agar birokrasinya tidak terlalu

panjang.

Karena ini NKB, yang kita pikirkan adalah konflik kawasan hutan yang terkait

dengan fungsi departemen atau kementerian lain. Tentu penyelesaiannya tidak

di desk Kementerian Kehutanan tapi harus ada kelembagaan yang bisa

menjadi payung. Barangkali ada lembaga penyelesaian konflik yang bisa

lintas departemen.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 64Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Usep Setiawan (Fasilitator): lampiran ketiga NKB berkaitan dengan resolusi

konflik, yaitu mengidentifikasi tugas-tugas atau aksi-aksi yang akan dilakukan setiap

kementerian/lembaga dalam konteks resolusi konflik. Kedepannya akan dibentuk satu

badan khusus atau mengoptimalkan fungsi koordinasi antar kementerian dan

lembaga, perlu ada konfirmasi dari KPK.

3. Kamar Akademisi dan Peneliti

Peserta Sidang Kamar Akademisi

a) Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo (IPB)

b) Dr. Eny Faridah (UGM)

c) Dr. Agus Kastanya (Universitas Pattimura)

d) Teguh Yuwono, M.Si (UGM)

e) Oding Affandi, M.P (USU)

f) Dr. Edy Batara Siregar (USU)

Masukan Terhadap Naskah KebijakanDKN

a) Bagian Pendahuluan Penambahan “hutan desa” pada kalimat “Sementara itu

bagi usaha kecil seperti hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan desa,

maupun ….. Dst”

b) Bagian Kinerja Nasional dan Perkembangan Kebijakan

Kondisi dan kinerja nasional point (3) penambahan kata “(ill forestry and

land governance)”

Rencana pembangunan dan problemanya point (6) penambahan kalimat”

Kebijakan ini juga nyaris tidak berkomunikasi dengan kebijakan pengurusan

kehutanan terutama dalam bidang perencanaan kehutanan sebagaimana

termaktub pada UU 41/1999 Tentang Kehutanan”.

Bagian Kawasan Hutan dan Ruang point (7) penambahan kata “Namun

dalam konteks lapangan, adanya putusan MK ini dapat menjadi tameng dari

kebijakan bupati/gubernur dalam hal “alih fungsi/peruntukan kawasan hutan”

menjadi perkebunan/pertambangan dll yang selama ini banyak terjadi di

banyak daerah”.

Penyelesaian konflik tidak bisa diserahkan kepada satu kementerian saja

karena konflik pasti terjadi lintas kementerian. Dengan adanya NKB 12 K/L

akan dibentuk saru organisasi yang didalamnya salah satu khusus untuk

menyelesaikan konflik.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 65Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

c) Bagian Kinerja Nasional dan Perkembangan Kebijakan

Bagian Kawasan Hutan dan Ruang point (10) penambahan kata Oleh

karena itu perlu segera diketahui bagaimana konstelasi terkait penguasaan

kawasan hutan dan lahan di tingkat tapak dan potensi konflik antara

“masyarakat hukum adat” dengan pemilik ijin-ijin konsensi.

Penambahan point (11) Pemerintah telah mencanangkan kebijakan

penggunaan ruang di dalam kawasan hutan melalui kerangka Kesatuan

Pengelolaan Hutan (KPH), sebagaimana dimandatkan oleh UU 41/1999 dan

PP 6/2007 Jo. PP 3/2008. Kebijakan ini menggariskan bahwa kawasan hutan

harus terbagi habis ke dalam satu anakuntabilitas dan permanen di tingkat

tapak. Melalui KPH, implementasi kebijakan yang berkaitan dengan

keruangan, serta hubungan antar aktor di sektor primer kehutanan, dan

pencapaian/pemeliharaan fungsi social, lingkungan (termasuk peran dalam

penurunan emisi karbon) dan ekonomi dapat didesentralisasikan kepada

KPH.

d) Bagian Agenda 12 Kementerian/Lembaga

Peran bagi Masyarakat Adat/Lokal penambahan kata Pemerintah/Pemda

sendiri misalnya dalam pengelolaan kawasan konservasi dan hutan lindung.

Keberadaan …dst… Hutan ini dapat diselesaikan dengan dilakukannya

revisi UU 41/1999 tentang kehutanan

Penambahan kalimat Dengan kenggotaaan Panitia Nasional Tata Batas

yang tidak hanya dari Kemenhut tapi juga beranggotakan representasi K/L

yang lain.

Peran bagi Usaha Besar Kehutanan Penambahan kalimat alinea 2 “Yang

tidak kalah penting adalah adanya mafia perizinan yang berdampak pada

mahalnya biaya perizinan khususnya untuk izin pinjam pakai kawasan hutan

untuk tambang.”

Pandangan DKN

a) Pembahasan Kebijakan point Kelompok Pengukuhan Kawasan Hutan

penambahan kata “terutama untuk menentukan kriteria legalitas masyarakat

hukum adat di tingkat lapangan”.

b) Penambahan alinea penutup dengan kalimat “Tentu, kelima kelompok

tersebut tidak bekerja secara independen, karena kelimanya saling terkait dan

saling berinteraksi. Muara atau sasaran akhir yang harus dipantau adalah

perbaikan tata kelola baik di tingkat koherensi kebijakan, efektivitas

pemantapan kawasan, efektivitas organisasi pengelola sumber daya

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 66Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

kehutanan, terjaminnya peningkatan ruang kelola dan pendapatan

masyarakat, serta terjaminnya usaha dan bisnis berbasis kehutanan lestari.”

Seluruh rencana pembangunan harus terintegrasi dalam Rencana

Pembangunan Nasional yang terpadu termasuk MP3EI, RAN GRK, Stranas

REDD+, Pengelolaan hutan lestari seluruhnya diarahkan untuk kesejahteraan

masyarakat. Konsep pembangunan nasional inilah yang harus dijabarkan dalam

pembangunan daerah (keterpaduan RTRW, TGH/K dan pembangunan sector

lainya)

Dengan adanya keputusan MK No. 35/2012 tentang hak masyarakat adat,

perlu dipikirkan bagaimana pengelolaan hutan lestari bisa berjalan. Ada acaman

terhadap eksistensi hutan lestari yaitu KPH, apabila hutan adat dikeluarkan dari

hatan Negara, dan tidak ada aturan yang tegas menyangkut pengelolaan KPH.

Wilayah-wilayah yang hampir seluruhnya menyangkut hak adat (seperti

Maluku dan Papua) terutama Maluku sebagai kawasan pulau-pulau kecil, perlu

dikelola dalam kesatuan KPH hutan adat, untuk menjamin kelestarian hutan dan

kesejahteraan masyarakat.

Untuk kawasan pulau-pulau kecil, maka pemberian ijin untuk pertambangan

harus dihentikan karena sangat berbahaya bagi masyarakat dan lingkungan,

terutama lingkungan laut pesisir yang juga memiliki biodeversitas tinggi

Peran KPK dalam NKB 12 K/L, selain terfokus pada 12 kementerian dan

lembaga, juga harus benar-benar difokuskan ke pemerintah daerah untuk

mengatasi pemberian ijin yang tidak sesuai prosedur dan menyalahi RTRW dan

tumpang tindih ijin

Pandangan Umum Terhadap NKB 12 K/L

• NKB merupakan program jangka panjang dan bersifat lintas sektoral maka

dibutuhkan komitmen penyelenggara pemerintahan baik legislatif, eksekutif,

maupun yudikatif.

• Perlu dibangun kesepahaman yang sama terkait NKB, khususnya dengan

legislatif. Kesepahaman yang sama akan memudahkan tercapai harmonisasi

Naskah kebijakan DKN harus dapat menjelaskan bahwa pembangunan nasional sekarang sagat sektoral dan tidak terpadu, baik antar Departemen maupun dalam Departemen kehutanan sendiri (Antar Dirjen), sehingga setiap program yang dikembangkan tidak ada prioritas untuk penyelesaian masalah yang dihadapi.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 67Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

kebijakan dan peraturan perundangan jika dalam aksi NKB akan mengarah

pada proses penyusunan atau amandemen sebuah kebijakan (undang-undang)

• Jikapun ada komitmen besar di tingkat menteri/ketua lembaga dalam renaksi

NKB, yang juga penting adalah bagaimana antisipasi implementasi ketia

kegiatan ini di tingkat2 lebih rendah/di lapangan, apalagi jika

mempertimbangkan perbedaan kondisi/budaya kerja di setiap daerah;

• Terwujudnya NKB 12 K/L dengan peran KPK yang kuat, adalah kesempatan

untuk mereformasi kebijakan termasuk peraturan pelaksana yang tidak sesuai

untuk mendudukkan pengelolaan yang benar dan mendukung kesejahteraan

masyarakat. Untuk itu memadukan Renaksi NKB 12 K/L dengan

memfokuskan integrasi semua jenis program kehutanan yang ada dengan

pembangunan KPH hendaknya menjadi prioritas utama;

Pandangan Umum Terhadap Putusan MK 35/2012

• Putusan MK telah menempatkan kembali masyarakat adat dan komunitas

lokal sebagai subjek hak dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya

hutan;

• Putusan MK diharapkan menjadi pintu masuk rekonsiliasi antara pemerintah,

masyarakat adat, dan pngusaha Pemerintah bersama masyarakat adat

memetakan wilayah hutan adat yang selama ini masih belum ada kejelasan

penunjukan dan penetapannya;

• Dalam menindaklanjuti putusan (constitutional review) MK/45 maupun

MK/35 diusulkan agar sementara dilakukan penundaan perijinan yang baru

(HPH/HTI dsb) di kawasan hutan yang belum ditetapkan, agar pengukuhan

status (hutan adat) tidak banyak hambatan;

• Perlu disusun strategi/kebijakan dengan mempertimbangkan ketidak-netralan

Pemda terhadap percepatan penetapan hutan adat, mengingat dari

kepentingannya Pemda akan lebih diuntungkan dng pengukuhan kawasan

untuk tujuan selain itu;

• Perlu kepastian hukum bagaimana hak (kepemilikian) hutan adat ini secara

administratif didaftarkan ke Negara (register) apakah berstatus seperti hak

milik atau ada hak komunal, sehingga terdapat kejelasan statusnya.

Kegiatan Yang Penting untuk Dilaksanakan oleh DKN

DKN akan memberikan input substansial terhadap perbaikan peraturan-

perundangan, berupa: masalah-masalah di lapangan serta pemecahan masalah

yang dapat dijalankan;

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 68Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Dalam 6 bulan sekali diusulkan ada pertemuan antara KPK dan DKN untuk

mereview pelaksanaan NKB dan mekanisme penyelesaian hambatan-

hambatan yang dihadapi;

Identifikasi/inventarisasi hasil pemetaan hutan yang secara de facto dan de

jure yang merupakan kawasan hutan adat untuk mempercepat penetapan

legalitas masyarakat hukum adat yang sah sebagai pemangku kawasan hutan

adat;

Akademisi dapat berperan dalam percepatan pembangunan KPH melalui

peningkatan kapasitas SDM nya;

Mengingat anggota DKN/DKD terbatas, mungkin perlu disampaikan bahwa

terbuka kemungkinan bahwa DKN –dalam mendukung NKB 12 K/L ini-

akan bekerjasama dengan lembaga terkait jika dipandang perlu;

Peran DKN untuk merealisasikan NKB 12 K/L, sebaiknya mendorong

pembentukan DKD di tiap Provinsi dan meningkatkan kapasitas DKD untuk

membantu merealisasikan seluruh Renaksi NKB;

DKN sebagai wadah multi-pihak diharapkan mampu keluar dengan satu

pandangan bahwa dengan adanya Keputusan MK No. 35/12 eksistensi hak

masyarakat adat dengan hutan adatnya harus tetap dapat berbentuk sebagai

hutan/lestari di dalam KPHP, KPHL, KPHK dan tidak mengkonversi fungsi

hutan sehingga daya dukung lingkungan terabaikan.

Diskusi dan Klarifikasi

Imam (Kamar Bisnis): Setuju atas usulan Kamar akademisi berkaitan

dengan amandemen UU 41 karena dalam 14 tahun ini sudah banyak yang harus

disesuaikan.

Dengan NKB diharapkan kita bisa memberikan pendewasaan kepada

konstituen bahwa kita tidak berdiri sendiri. Setiap kamar pasti ingin kepentingan

kostituennya didahulukan. Diterbitkannya NKB adalah kemajuan pemerintah.

Implementasi NKB harus memperhitungkan kelangsungan hidup dari konstituen

lain. Harapannya DKN bisa diterima oleh semua konstituen dari seluruh

stakeholder.

Kerjasama antar kamar perlu ditingkatkan karena DKN adalah milik

bersama. Mendukung penyelesaian konflik satu pintu yang penting bisa

menyerap aspirasi 5 kamar.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 69Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Zulfikar (Kamar Pemerintah): Panitia tata batas anggotanya antara lain

BPN, perkebunan, kehutanan dll.

Marthen (Kamar Pemerintah): Amandemen UU 41 pasti membutuhkan

waktu. Sambil menunggu amandemen UU 41 yang bisa dipercepat adalah

harmonisasi dan sinkronisasi aturan-aturan tiap KL dalam waktu 2 minggu.

Usep Setiawan (Fasilitator): dua poin dari Kamar Pemerintah; (1)

penjelasan panitia tata batas perlu diperdalam dan (2) revisi UU Kehutanan serta

percepatan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan-peraturan

kementerian/Lembaga. Panitia tata batas sebagai ujung tombak dari proses

percepatan pengukuhan kawasan hutan mendapatkan perhatian khusus.

Agus K. (Kamar Akademisi): Semangat untuk membangun ini kembali

betul-betul dilakukan dengan proses-proses yang terbuka dan tidak menggunakan

cara-cara lama.

Marthen (Kamar Pemerintah): Pembentukan Panitia Tata Batas harus

merujuk kepada NKB 12/KL, bukan hanya kepada panitia tata batas yang ada

sekarang. Itu bisa dilakukan di daerah. Dinas Kehutanan setempat mengusulkan

ke Gubernur. Langsung saja bisa karena ketuanya itu Bupati.

Usep Setiawan (Fasilitator): Kewenangan, inovasi dari pemerintah

daerah dibutuhkan untuk menjadikan panitia tata batas lebih melibatkan banyak

pihak, dan lebih efektif dalam pekerjaannya. Bukan hanya terbentuk format tapi

juga efektif di lapangan.

Zulfikar (Kamar Pemerintah): Ada masalah ketatanegaraan terkait

dengan Panitia Tata Batas. Panitia Tata Batas diketuai oleh Bupati atas

sepengetahuan menteri. Anggotanya adalah Disbun, Dinas Kehutanan, Dinas

Pertanian dan semua SKPD yang berkaitan dengan penggunaan lahan.

Masalahnya lembaga-lembaga ini tidak ada hubungannya dengan K/L. Disbun

tidak ada hubungannya dengan K/L Pertanian, Dinas kehutanan tidak punya

hubungan dengan K/L Kehutanan. Hanya ada satu lembaga yang punya

hubungan vertikal langsung dengan pusat, yaitu kantor pertanahan.

Yang perlu menjadi catatan, apa yang dimaksudkan dengan instansi K/L itu tidak serta merta dalam tata pemerintahan kita itu bisa didelegasikan pada dinas-dinas tingkat kabupaten.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 70Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Contohnya kebijakan kementerian pertanian tidak serta merta bisa dijabarkan

oleh dinas perkebunan ketika menjadi panitia tata batas. Wakil pemerintah di

daerah itu adalah Gubernur. Gubernur membentuk panitia, tapi dia tidak punya

link secara langsung. Hubungannya dengan Bupati adalah koordinasi dan monev.

Usep Setiawan (Fasilitator): butuh penjelasan lebih lanjut hubungan

antar unsur pemerintahan.

Agus (Kamar Akademisi): Harus dilihat substansi apa yang mau

dilakukan dalam penentuan tata batas. Semua komponen yang masuk ke dalam

kepanitiaan tata batas harus melihat substansi itu; apa yang harus diselesaikan.

Eny Faridah (Kamar Akademisi): NKB di atas meja terlihat mulus tapi

belum tentu pelaksanaan di lapangan juga akan mulus. Di bagian masukan untuk

draft kebijakan DKN kamar akademisi menegaskan bahwa yang terpenting

adalah bagaimana mengantisipasi implementasi setiap kegiatan. Diantaranya

Panitia Tata batas, diupayakan kedepannya tidak akan seperti sekarang.

Usep Setiawan (Fasilitator): Implementasi NKB membutuhkan

sinergisitas dari semua unsur pemerintahan dan itu harus tercermin dari Panitia

Tata Batas.

Jali (Kamar LSM): Tata batas merupakan titik masuk pengentasan soal

status maupun soal konflik-konflik di dalam kawasan hutan. Ada dua tata batas

yang berbeda; tata batas untuk pengukuhan kawasan hutan dan tata batas terhadap

wilayah yang sudah dibebani hak pihak, dalam hal ini sudah diberikan ijin-ijin

konsesi di atas kawasan hutan itu. Kedua jenis tata batas itu memiliki Permenhut

yang berbeda. Khusus untuk kawasan hutan yang sudah dibebani konsesi

IUPHHK-HT, itu diatur dalam Permenhut 9/2011, sedangkan untuk pengukuhan

kawasan hutan diatur Permenhut 44/2012 tentang pengukuhan kawasan hutan.

Penatabatasan wilayah yang sudah dibebani ijin konsesi berada di bawah

koordinasi BPKH yang kewajibannya hanya 11% dari total tata batas, selebihnya

diserahkan kepada konsultan/pihak ketiga yang disewa oleh pemegang konsesi.

Rata-rata pemegang konsesi belum melakukan tata batas walaupun di Permenhut

44/2012 menyatakan bahwa dua tahun sejak ijin didapat tata batas harus sudah

selesai. Tapi dalam prakteknya masih banyak yang belum punya tata batas

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 71Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

padahal sudah puluhan tahun konsesi dipegang. Titik ini paling mungkin

digunakan untuk penyelesaian konflik yaitu diselaraskan dengan proses

penatabatasan konsesi. Poinnya adalah di dalam Permenhut diatur bahwa dalam

proses penatabatasan ada proses identifikasi dan penyelesaian hak pihak ketiga.

Yang tidak ada adalah penyelesaian hak pihak ketiga. Tidak ada panduan yang

dibuat oleh Kemenhut tentang cara mengidentifkasi, cara memverifikasi pihak

ketiga dan skema penyelesaiannya. Itu diserahkan kepada kesepakatan masing-

masing pihak dalam proses dialog maupun mediasi. Akibatnya yang kita hadapi

selama ini adalah usulan mana yang paling meyakinkan. Kalau perusahaan,

selama ini selalu mengusulkan bentuk penyelesaian kemitraan dan kerjasama

untuk menyelesaikan hak-hak pihak ketiga yang sudah ada di dalam konsesi.

Sementara masyarakat biasanya tuntutannya adalah dikeluarkan dari konsesi

perusahaan. Tentu kalau dikeluarkan implikasinya harus ada adendum terhadap

perijinan. Tapi karena tidak adanya panduan, hanya berdasarkan proses

perundingan dari pada pihak, penyelesaian konfliknya jadi lebih lama. Tarik

ulurnya lebih lama.

Permenhut P44/2012 tidak berbeda dengan Permenhut P9/2011.

Agus Wahyudi (Kamar Bisnis): Berkaitan dengan penataan tata batas

konsesi oleh pemegang konsesi. Sebagian besar pemegang konsesi belum bisa

menata batas bukan karena tidak mau tapi karena pada realitanya menentukan tata

batas sangat sulit. Biasanya di tahun awal sudah melakukan penataan tata batas

tapi penyelesaian sampai dengan pengukuhan sangat rumit. Rumitnya antara lain

karena sebagaian batas area kerjanya itu adalah batasan kawasan. Ketika batas

kawasannya belum selesai, karena batas kawasan menyangkut Panitia Tata Batas

yang beranggotakan banyak pihak maka sulit mengambil keputusan, sehingga

penataan batas beberapa konsesi tertunda. Langkah lebih lanjut sebenarnya

Pemerintah sudah menyederhanakan pelaksanaan tata batas. Peran BPKH

Usulan kongkritnya, untuk tata batas kawasan konsesi perlu pengaturan

tentang prosedur penyelesaian hak pihak ketiga dalam proses penetapan

tata batas. Selama ini yang terjadi adalah kreasi masing-masing pihak di

perundingan antar pihak. Sedangkan untuk tata batas dalam rangka

pengukuhan kawasan hutan, juga perlu ada panduan penyelesaian hak

pihak ketiga.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 72Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

sebenarnya bukan hanya 11% tapi karena keterbatasan tenaga dan semua

pedoman trayek tata batas sudah dibuat sehingga Pemerintah hanya mengontrol

pelaksanaan dan porsinya 10% saja. Setidaknya pedoman sudah dibuat dan

disepakati bersama antara pihak-pihak terkait batasnya maupun dengan

Pemerintah. Kamar Bisnis akan mengusulkan penyederhanaan pelaksanaan

penataan tata batas baik di penetapan kawasan maupun kawasan konsesi.

Hasby: mengkomentari penyampaian pak Jali.

Untuk melakukan tata batas harus dibentuk panitia tata batas. Panitia tata

batas di tingkat kabupaten, ketuanya adalah Bupati. Untuk membentuk panitia

tata batas membutuhkan waktu yang sangat lama. Di beberapa tempat, teman-

teman di konsesi sudah meminta melakukan tata batas sampai 10 tahun. Suratnya

sudah dilayangkan tapi panitia tata batasnya belum terbentuk. Pembentukan

panitia tata batas harus diberi tenggat waktu sehingga percepatan pelaksanaan tata

batas bisa dilakukan. Seandainya penentuan tata batas bisa dilakukan oleh

konsesi sendiri, prosesnya bisa cepat. Konsesi menginginkan kepastian.

Di beberapa tempat, untuk kepentingan sertifikasi maka mereka

melakukan sendiri tata batasnya hanya minta berita acara kedua belah pihak,

tanpa ada pengesahan dari pihak yang diberikan kewenangan, untuk memastikan

bahwa satu sama lain itu tidak melanggar antara batas masing-masing.

Putusan MK 35/2012 sifatnya bukanlah tata batas untuk ijin melainkan

pengukuhan tata batas pada fungsi maupun statusnya. Tata batas ijin baru bisa

dilakukan setelah semua pengukuhan atau penetapan batas-batas fungsi maupun

status selesai dilaksanakan.

Usep Setiawan (Fasilitator): Prosedur dan mekanisme penatabatasan

kawasan hutan perlu diperbaiki karena hal itu terkait langsung juga dengan

kepentingan dunia usaha dan kepastian hukum bagi masyarakat adat.

Sebenarnya kewajiban tata batas untuk ijin yang diberikan kepada unit

usaha di tangan pemegang ijin, tetapi yang melakukannya tidak boleh

pemegang ijin. Ini yang membuat betapa sedikitnya penyelesaian tata

batas hutan yang berijin dari kementerian Kehutanan sehingga

realisasinya sampai saat ini kurang dari 26% terhadap semua konsesi yang

sudah diberikan pemerintah Indonesia.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 73Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

4. Kamar Bisnis

Anggota Kamar Bisnis

a) Agus Wahyudi

b) David

c) Bambang Soekartiko

d) Bambang Supriyambodo

e) Aldrianto Priadjati

f) Endro Siswoko

g) Iman Harmain

h) Hasbillah (ABK)

Pandangan terhadap NKB 12 K/L

Percepatan Penataan dan Pengukuhan Kawasan Hutan

• Masalah belum selesainya penataan dan pengukuhan kawasan hutan sebenarnya

sudah dirasakan sejak lama oleh banyak pihak. Putusan MK No 45/PUU-

IX/2011, membuat banyak pihak tersentak dan menyadarkan kita semua untuk

segera menyelesaikan penataan dan pengukuhan kawasan hutan.

• Pengukuhan kawasan hutan, bagi siapapun sangat penting. Karenanya percepatan

pelaksanaan dan penelesaiannya merupakan kebutuhan mendesak dan harus

dijadikan prioritas

• Kesulitan dan hambatan pelaksanaan penataan batas dan pengukuhan kawasan

hutan sangat komplek dan melibatkan banyak pihak terkait, baik di pusat maupun

di daerah, harus diselesaikan dan dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak

terkait. Maka NKB 12 K/L untuk percepatan penataan dan pengukuhan kawasan

hutan Indonesia adalah langkah strategis dan penting. Maka perlu dipastikan

kelancaran implementasinya.

• Walaupun Percepatan pengukuhan kawasan hutan Indonesia sangat penting,

tetapi belum cukup untuk menjamin bangkitnya kehutanan nasional. Dibutuhkan

prasyarat lain yang sangat prioritas untuk diselesaikan.

• Terpuruknya kehutanan nasional, antara lain diakibatkan masih banyaknya

kebijakan-kebijakan yang tidak kondusif

• Harga kayu log di luar negeri 2,5 kali lebih tinggi dari harga log dalam negeri.

• Tetapi industri kayu lapis nasional tidak mampu bersaing dengan industri luar

negeri, akibatnya kinerjanya makin menurun,

• Kayu gergajian (sawn timber) yang dilarang ekspor harganya di pasar dunia jauh

lebih mahal dari kayu lapis.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 74Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

• Produk Industri kayu sekunder nasional belum mampu memberikan nilai tambah

dan nilai devisa yang besar karena ada pembatasan luas penampang yang bisa

ekspor (max 4.000 mm2), padahal produk dengan luas penampang besar

harganya jauh lebih mahal.

• Perlu ada Revisi kebijakan al dengan membuka kesempatan ekspor log selekif

dan mencabut larangan ekpsor kayu gergajian, mempermudah ekspor veener

(turunkan pajak ekspor), mencabut batasan luas penampang produk

moulding/wood working ekspor, serta mendorong pemanfaatan kayu maksimal

dan optimal (kisah sop ayam) untuk memperoleh nilai tambah dan devisa tinggi.

• Mendorong terbitnya Permenhut yang mengatur pemanfaatan HHBK dan

agroforestry.

• Kebangkitan kehutanan nasional harus didukung dengan implementasi roadmap

pembangunan indutri kehutanan bebasis hutan tanaman. Pengembangan hutan

tanaman menjadi prioritas untuk mengurangi tekanan dan pelestarian hutan alam

nasional, pembukaan lapangan kerja, pembangunan wilayah dll.

• Pembangunan Hutan Tanaman seluas 14,5 juta ha netto diproyeksikan akan

mampu menghasilkan kayu lestari sebanyak 362,5 jt m3 pertahun dan diharapkan

mampu menghasilkan devisa 10 kali devisa saat ini

• Segera selesaikan pelaksanaan penataan dan pengukuhan kawasan hutan,

prioritaskan di daerah-daerah yang dibebani ijin dan banyak komunitas di

sekitarnya. Sederhanakan prosedur dan persingkat waktu pelaksanaan, buat target

ketat yang disepakati oleh semua pihak terkait (pemerintah pusat dan daerah)

untuk menyelesaikan berita acara dan kesepakatan antar instansi terkait yang

selama ini menjadi kendala utama pelaksanaan pemetaan dan pengukuhan

kawasan hutan.

• Percepat dan permudah proses pemberian ijin pemanfaatan kawasan hutan (HTI,

HPH, HTR dll) baru, untuk implementasi road map pembangunan kehutanan.

Jangan biarkan open acces terlalu lama kawasan hutan yang habis masa ijin

sebelumnya karena hanya akan mendorong terjadinya perambahan, penebangan

liar dan bahkan kebakaran lahan-hutan.

Pandangan Terhadap Putusan MK No. 35/2012

• Putusan MK No 35 sesuai bunyinya adalah tidak retroaktif, tidak berlaku surut.

• Kondisi tersebut penting untuk memberikan jaminan usaha bagi unit-unit usaha

dan unit menajemen yang telah memperoleh ijin dan telah berinvestasi sebelum

putusan MK tersebut.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 75Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

• Jaminan tersebut selain penting untuk kepastian usaha juga untuk

memngapresiasi investasi dan capain-capaian lain seperti sertifikasi dll, yang

diperlukan untuk kebangkinan kehutanan nasional.

• Pemerintah perlu membuat pedoman penyelesaian terhadap hutan adat yang telah

dibebani ijin pemanfaatan. Tidak boleh merugikan siapapun termasuk pemegang

ijin pemanfaatan.

UU tentang P3H

• Menyambut baik terbitnya UU tersebut. Namun juga berharap penerapannya

harus tepat, definisi dan batasan-batasan harus dipahami dan diterapkan sesuai

makna yang sebenarnya, tidak diintrepretasikan salah sehingga menumbuhkan

ketidak-pastian hukum baru misalnya kesalahan adminstrasi kehutanan dianggap

pelanggaran pidana.

• Harus diikuti dengan langkah seperti penerbitan PP turunannya agar tidak terjadi

kekosongan hukum dan salah intrepretasi dan kesalahan dalam pemahaman dan

penerapan UU tersebut.

• Sebaiknya DKN aktif berpartisipasi dalam penyusunan PP tersebut agar

menjamin kepentingan semua pihak.

• Untuk menjamin implementasinya, upaya kebangkitan kehutanan nasional yang

didukung dengan upaya percepatan penataan dan pengukuhan kawasan hutan,

roadmap pembangunan kehutanan, dan membutuhkan kebijakan yang kondusif,

maka sangat mendesak agar Negara memiliki Garis Besar Haluan Kehutanan

Nasional bagian dari Garis Besar Halauan Negara, sehingga terjamin adanya

kesinambungan pembangunan kehutanan.

Prioritas Aksi DKN

a) DKN mengusulkan adanya GBHKN

b) DKN mengusulkan minimal aktif dalam penyusunan PP turunan UU P3 HH

c) Komunikasi reguler misalnya 4 bulan sekali, antara DKN dan KPK, Kemenhut

untuk memastikan implementasi NKB 12 K/L

d) Mengusulkan agar pemerintah segera membuat Pedoman penyelesaian adanya

hutan adat yang sudah dibebani ijin pemanfaatan hutan.

e) DKN mendorong percepatan revisi/penyederhanaan pedoman pelaksanaan

penataan dan pengukuhan batas kawasan hutan serta penataan dn pengukuhan

batas areal kerja UM

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 76Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

f) DKN mendorong percepatan pelaksanaan penataan dan pengukuhan batas

kawasan hutan di daerah-daerah dimana terdapat keberadaan hutan adat.

(memprioritaskan, untuk mencegah konflik antar pihak)

g) Kamar Bisnis DKN akan melakukan pertemuan internal berkala untuk memberi

masukan ke DKN

Diskusi dan Klarifikasi

Marthen (Kamar Pemerintah): Pertama menyangkut pemberian kesempatan

untuk export log. Dalam sejarah HPH, Papua sangat dirugikan oleh Export Log.

Hubungannya dengan industri, dengan kebijakan kemenhut, dari 600-an HPH, Papua

hanya kebagian 4. Kalau distribusi pemerataan pembangunan kehutanan, Papua itu

satu entry point. Oleh sebab itu, kebijakan yang sudah diambil oleh Papua adalah logs

tidak boleh keluar dan industri harus dimulai dari Papua. Tidak mudah untuk

memulai itu, tapi kapan lagi kalau tidak memulainya sekarang. Setelah dihitung-

hitung, Papua tidak mendapat fee dari export logs.

Kedua, berkaitan dengan penyederhanaan prosedur tata batas. Hal itu

terdengar kongkrit juga karena mekanisme penataan tata batas cukup panjang. Salah

satu prosedur dalam proses penentuan tata batas adalah substansi dari konsultan, dan

itu harus dipertimbangkan jika ingin menyederhanakan prosedur. Dalam Penentuan

tata batas di Papua, Konsultan harus didatangkan dari Jakarta dan jumlahnya bisa

mencapai 15 orang. Penentuan tata batas di daerah perlu mengembangkan konsultan

dari daerah.

Ketiga berkaitan dengan open access. Apakah HPH-HPH yang pegang ijin

tapi tidak aktif masuk dalam kategori open access? Perlu mengartikulasikan open

access karena open access yang diberikan di Papua berbeda dengan di tempat lain. Di

Papua, dari 31 HPH, yang aktif hanya 14 . 17 HPH tidak aktif diusulkan ke

Kemenhut untuk ditinjau kembali SK-nya karena open access. Dia memberikan ruang

kepada siapa saja untuk mengaksesnya. Setelah dihitung-hitung, jika 17 HPH tidak

aktif tersebut tetap bekerja, Papua bisa mendapatkan pemasukan cukup besar. Saya

usulkan, HPH yang tidak aktif dicabut SK-nya. Area dan tata batas kembali ke hutan

adat.

Keempat, salah satu yang menjadi faktor di Papua adalah tata batas menjadi

panjang karena area konsesinya menjadi luas dan areal-areal yang tidak produktif di

dalam area HPH. Di dalam area HPH banyak kampung dll. Bahkan kebijakan yang

kami ambil waktu menjadi Kakanwil Kehutanan, saya membuat redesain area HPH.

Papua saat ini punya kebijakan untuk tidak mengeksport log.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 77Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Waktu saya bikin redesain area HPH, seluruh mitra kehutanan bilang bahwa redesain

tersebut mereduksi area konsesi. Saya mengatakan bahwa sesungguhnya tidak

demikian. Redesain ini memfokuskan HPH pada ruang yang efektif sesuai dengan

area bisnis HPH. BUK sendiri menerapkan konsep itu. Saat ini konsep itu dipakai

sebagai RKU untuk menentuan area HPH. Jika tidak keberatan, kita juga bisa

mengusulkan Redesain atas area HPH supaya HPH bekerja pada areal yang tertib dan

produktif sesuai dengan bisnisnya.

Kelima, putusan MK tidak berlaku surut. Putusan MK menjadi catatan kita

untuk memberi rekomendasi ke Kemenhut tentang ijin-ijin yang sudah ada dan

bentuk penyelesaiannya. Harus ada bentuk kongkrit dari putusan MK.

Zulfikar (Kamar Pemerintah): Kamar Bisnis menyampaikan pesan bahwa

penataan kawasan hutan tidak cukup untuk kita bangkit dari Kehutanan Nasional.

Bahasa pesimisnya, kalau bangkit dari kehutanan nasional bukan penataan hutan.

Penataan hutan itu menangani konflik. Masih ada satu masalah yang tersembunyi.

Ada informasi yang masih tersimpan, yaitu kita punya potensi kayu yang bisa untuk

nilai tambah ekonomi bisa diekspor, tapi ada larangan ekspor. Maksud dari melarang

ekspor adalah nilai tambah dan lebih. Tapi setelah kita lakukan pengelolaan dalam

negeri, dijual. Harganya lebih tinggi daripada pasar dunia. Ini blunder. Sementara ada

batasan-batasan dimensi.

Kemudian batasan dimensi. Jika batasan dimensi menyebabkan kayu kita

tidak bisa kompetitif di luar dan tidak bisa ekspor, maka perlu dicarikan

penyebabnya. Apakah ada tekanan dari pasar dunia kepada kita supaya kita terjepit

sehingga mempengaruhi peraturan yang memaksa batasan dimensi, sehingga kita

menjual dengan batasan dimensi yang harganya jatuh dan cukup masuk ke segment

tertentu. Dan sebagian besar masalahnya bukan di Kehutanan melainkan Perdagangan

dan Perindustrian. Artinya, kita harus buka, bangkitnya kehutanan itu kendalinya ada

dimana? Jika Kehutanan tidak bisa bangkit karena ada masalah di Perdagangan dan

Perindustrian, maka kita harus bicara. Tidak relevan mengatakan masalah di bisnis

dikarenakan masalah penataan kawasan hutan. Ini ada sesuatu yang tidak tuntas

ditangani.

Pertanyaannya, dimana biaya tinggi itu? Apakah biaya tinggi pada investasi

dan teknologinya, atau biaya tinggi pada pajaknya atau biaya tinggi pada hal

yang lain? Kalau ini menjadi hal penting, kita bongkar saja, untuk

menemukan dimana masalah yang sebenarnya.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 78Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

David (Kamar Bisnis): secara analisa komparasi antar negara, seharusnya

sektor hutan Indonesia menjadi pemenang, atau sebagai pemain dominan di tingkat

global. Berdasarkan historical data, ternyata hari ini hutan Indonesia mengalami

koleps. Banyak kebijakan larangan ekspor, tepat pada waktunya. Dari awal

munculnya industri di Indonesia, dengan pelarangan ekspor, itu seperti jamur di

musim hujan, terjadi pembangunan industri besar-besaran. Sehingga sekitar tahun 91

kita bisa menghasilkan plywood lebih dari 10 juta meter kubik petahun. Waktu itu

kita dikatakan raja kayu untuk menguasai pasar dunia. Tapi hari ini dari yang 10 juta

sekarang produksinya hanya 3 juta meter kubik plywood. Pada saat itu di Cina hanya

1 juta kubik plywood tapi tahun lalu china sudah memproduksi 224 juta meter kubik

panel, yang mana plywood lebih dari 100 juta, lalu ada MDM dan partikel board.

Jadi, peta persaingan sudah berubah. Sepuluh tahun terkahir, dengan pelarangan

ekspor ini malahan industri yang ada di luar Papua semua satu persatu berguguran.

Itu aneh. Mendapatkan bahan baku murah tapi rugi.

Kalau kita lihat dari proses HPH, sekitar 20 tahun yang lalu kita masih ada

sekitar 580 HPH. Hari ini sekitar 294 HPH. Luas area dulu sekitar 60 juta, sekarang

tinggal 24 juta. Dan pengusaha itu realistis. Kalau mendapat satu area HPH itu tidak

jatuh dari langit. Kita perlu satu proses waktu dan biaya untuk memperolehnya.

Setelah kita peroleh, pertanyaannya, kenapa tidak dikerjakan. Itu aneh. Ijin HPH tidak

bisa dijaminkan. HPH bukan aset perusahaan. Sehingga pertanyaannya, kenapa

mereka tidak memproduksi. Kalau kita lihat dari catatan, 9,1 juta itu adalah angka 5-6

tahun yang lalu, realisasi hanya sekitar 6 juta. Lebih parah lagi tahun lalu. Realisasi

dari 9,1 juta hanya 3,77 juta. Ada apa? Mungkin selama ini kita bergerak di HPH juga

bagi masyarakat juga susah mencerna, mengambil kayu di hutan yang tidak ditanam,

kok rugi? Kan aneh pertanyaanya.

Sebelum 2008, 1 liter BBM hanya dibayar sekitar 2000 rupiah. Sekarang

BBM kita bayar sampai ke logging operation itu sudah di atas 10.000-15.000. Terjadi

peningkatan sekitar 5-6 kali lipat harga BBM satuannya. Begitu juga dengan jarak

hooling. Awal memperoleh HPH jarak hoolingnya relatif masih dekat. Sekarang jarak

hooling sudah mencapai peningkatan 4-5 kali lipat. Untuk biaya BBM per meter

kubik, kalau dulunya 1 kubik log diperlukan 2 dollar untuk jarak hooling, sekarang

biayanya 2 dollar x 5 jarak hooling x 6 harga kenaikan satuan. biaya hooling

melompat 2 dollar langsung ke 60 dollar.

HPH juga menghadapi perbedaan harga. Di luar negeri, harga Meranti 300

dollar, Kapur 500 dollar, Merbau 800 dollar. Tetapi di dalam negeri, untuk Merbau di

Surabaya hanya dihargai sekitar 3 juta, 300 dollar. Meranti hanya dihargai sekitar 120

dollar. Kondisi saat ini analoginya kita melakukan ekspor 40%, sisa kayu yang 60%

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 79Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

dibuang ke laut, dimana harga terdistorsi sangat parah. Akibatnya HPH memilih tidak

aktif karena biaya produksi kayu jauh lebih tinggi daripada harga jual. Sehingga kalau

pun kita cabut HPH-nya, kita serahkan lagi ke yang lain, penyakitnya tidak akan

selesai.

Dalam pengelolaan HPH, dunia bisnis tidak mengharuskan ekspor log tetapi

menginginkan agar harga tidak terdistorsi. Kalau hal itu tidak dilakukan akan banyak

HPH yang hanya untuk bayar pegawai saja kesulitan. Tujuan dunia bisnis adalah bisa

melakukan ekspor log secara selektif dan perlu periodisasi tertentu yang kita evaluasi

sehingga harga tidak terdistorsi. Sekarang kita mengorbankan sumberdaya kita. Yang

seharusnya bisa jual 300, karena ada kebijakan pelarangan ekspor log, jualnya tinggal

120.

Masuk di dalam industri. Dapat harga 120 dollar harusnya industri sangat

untung, tapi yang terjadi industri malah bangkrut. Pabrik plywood yang tergabung di

AKINDO, yang semula 130 saat ini tinggal 20an pabrik. Hal ini terjadi karena dengan

membeli seharga 120 plus DRPSDH 20 dollar, jual produk plywood, antara break

event dan rugi. Jadi, pertanyaannya, kenapa orang mau beli kayu kita 300? Karena

kayu ini seharusnya kita gunakan untuk produk yang bernilai tinggi dulu. Shawn

timber. Itu kualitas 1 meranti putih, 2000 dollar. Dilarang ekspor. Akibatnya di dalam

industri kita, tidak sempurna. Harusnya produk yang bernilai tinggi kita melakukan

ekspor, itu dilarang. Itu yang kemarin saya sempat sampaikan kepada bapak

Gubernur di Papua Barat, “pak, bapak industrialisasi sederhana sekali. Beri kebijakan

ekspor shawn timber dan ekspor log, tidak ada pembatasan luas penampang di Papua,

itu otomatis industri akan menjamur.” Dulu Papua agak terlambat karena letak lokasi

sehingga masalah pengapalan dsb memang ada satu kendala sehingga jaman dulu itu

industri kayu lapis dilarang dibangun, jaman-nya pak Bob Hasan, dimasukkan ke

dalam daftar negatif investasi, kecuali untuk Timor Timur dan Papua. Yang lain tidak

diijinkan lagi karena untuk memberikan kesempatan. Ternyata kesempatan yang

sudah diberikan tersebut tidak begitu banyak dimanfaatkan. Banyak teman-teman

yang investasi di Papua yang sampai hari ini tidak memiliki banyak cerita sukses

karena kendala infrastruktur dsb.

Yang harus kita benahi adalah bagaimana kita bisa memaksimalkan nilai

kayu di industri primer.

Di Industri sekunder ada kebijakan pemerintah yang melarang ekspor yang

luas penampangnya lebih dari 4000mm, kecuali Merbau. Merbau batasannya antara

8000-10.000mm. Padahal kita tahu semakin tebal produk shawn timber dan moulding

maka harganya makin mahal. Seharusnya tidak perlu perlu dipotong kecil-kecil

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 80Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

karena dalam ukuran besar bisa dijual lebih mahal. Di dalam proses industri ada yang

namanya anomali. Tidak selamanya setiap proses akan menciptakan nilai tambah.

Kalau bicara tentang kebangkitan kehutanan ada agenda besar yang harus

diselesaikan, yaitu kenapa kita dulunya the winner sekarang menjadi the losser. Ini

sangat tergantung dengan kebijakan di Kementerian Perdagangan, yang mendapatkan

input dari Perindustrian. Dengan ekspor log secara selektif, harga terdistorsi bisa

dikurangi. Dengan kebijakan ekspor shawn timber kita memaksimalkan nilai industri

primer. Dengan mencabut larangan pembatasan luas penampang, kita bisa menaikkan

harga produk industri sekunder pada harga normal. Ini adalah agenda yang sangat

penting, karena kalau tidak HPH akan koleps. Industri juga tinggal menunggu waktu.

Sementara ini kita berbicara masalah penataan kawasan hutan. Padahal ada hal yang

lebih jauh lebih penting selain penataan kawasan hutan yang harus dibenahi.

Marthen (Kamar Pemerintah):

Penjelasan dan analisis pak David disusun secara tertulis.

Pilihannya jangan eksport log. Perlu dijelaskan bentuk dari eskspor log selektif

dan sasarannya daerah mana saja. Kaitannya dengan Papua, kalau pilihannya

Export Log, Papua tidak akan mendapatkan apapun.

5. Kamar Pemerintah

Anggota Kamar Pemerintah

Agus Justianto

Zulfikhar

Marthen Kayoi

Hariyadi Himawan

Pandangan Kamar Pemerintah Terhadap NKB 12 K/L

Posisi DKN adalah sebagai mitra yang dapat memberikan masukan sesuai keahlian /

keilmuan kehutanan.

DKN dapat memberi masukan dan mengkritisi formulasi dan re-formulasi kebijakan

dalam implementasi NKB. Banyak kebijakan yang dinilai belum tepat sasaran. NKB

akan berdampak pada peraturan-peraturan yang lain.

Masalah yang dihadapi lebih banyak menyangkut Perindustrian dan

Perdagangan. Perindustrian dan Perdagangan tidak mungkin masuk ke

dalam NKB 12 K/L karena NKB menyangkut penataan kawasan.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 81Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Pandangan Kamar Pemerintah Terhadap Keputusan MK 35/2012

DKN meminta Kemenhut untuk melakukan koordinasi secara aktif dengan K/L

terkait dalam proses-proses penyusunan Perda Penetapan Masyarakat Hukum Adat.

DKN meminta Kemenhut untuk melakukan rekonstruksi kebijakan dan peraturan

perundangan di bidang kehutanan untuk menindaklanjuti Keputusan MK No. 35/2012

Mendorong percepatan penyelesaian RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan

Masyarakat Hukum Adat

Mengidentifikasi seluruh kawasan hutan negara berdasarkan UU 41/1999 setelah

keluarnya keputusan MK, terutama hutan yang tidak dibebani hak dan tidak termasuk

Hutan Adat.

Pemetaan kawasan konflik yang selama ini dinyatakan oleh masyarakat sebagai hutan

hak dan hutan adat, untuk membedakan mana yang baru tahap “klaim dan mana yang

riil “konflik”.

Pemikiran Baru

Melakukan identifikasi hutan adat Ini baru menyelesaikan claim dan konflik

kawasan hutan dengan masyarakat adat.

Bagaimana dengan : masyarakat setempat didalam dan disekitar kawasan hutan, dan

juga eks masyarakat hukum adat ?

Pemberian Sertifikat Hak Pengelolaan Kawasan Hutan kepada Masyarakat, untuk

Usaha di Bidang Kehutanan. Di Indonesia kewenangan dibagi dua; hutan, diampu

oleh kemenhut dengan UU kehutanan dan Agraria dengan UU Agraria. Kalau Agraria

bisa memberikan sertifikat, maka hutan bisa memberikan sertifikat juga.

Sebagai sertifikat penggunaan kawasan hutan kepada masyarakat untuk usaha di

bidang kehutanan (Sertifikat Hak Pengelolaan Kawasan Hutan). Kawasan hutan

negara diharapkan tidak berkurang terus. Dengan memberikan legalitas maka tidak

perlu dienclave atau dikeluarkan dari kawasan hutan negara. Pemberian sertifikat

harus dilakukan dengan persyaratan yang ketat.

Kemanfaatan sebagai solusi :

a) Antisipasi pertumbuhan kebutuhan ruang kawasan hutan untuk masyarakat;

b) Memberikan kepastian hak pengelolaan kawasan hutan;

c) Usaha masyarakat akan lebih bankable;

Mensikapi keberadaan NKB dalam konteks penyelesaian masalah klaim dan

konflik kawasan hutan dengan masyarakat, serta mensikapi keputusan MK,

sebagai “Reforma Agraria Kehutanan”.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 82Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

d) Sebagai implementasi kemitraan antara KPH dengan Masyarakat dalam

Pengelolaan Kawasan Hutan.

Analisa Resiko :

a) Konflik kawasan hutan dengan masyarakat menurun;

b) Rekonstruksi kebijakan dan peraturan perundangan di bidang pengelolaan

kawasan hutan;

c) Percepatan pembentukan kelembagaan KPH sebelum diimplementasikan, karena

relatif masyarakat sudah lebih siap /telah hadir di kawasan.

Diskusi dan Klarifikasi

David (kamar Bisnis):

HPH koleps salah satunya karena harga jual jauh lebih rendah daripada biaya

produksi. Bukan karena tidak mampu bersaing atau karena tidak punya pasar

melainkan karena kebijakan, salah satunya pelarangan ekspor logs.

Khusus Papua, untuk mempercepat industri di Papua, maka perlu ada

pemberian insentif yang sama. Misalnya dengan melakukan ekspor shawn timber.

Salah satu langkah kompromi yang dikatakan selektif tadi, bisa berdasarkan ijin

pengolahan PHPR, FIC, bahwa dia benar-benar sudah menerapkan sustainable forest

management di pengolahan hutan.

Masalah lokasi masih terbuka ruang untuk diskusi. Khusus untuk Papua

misalnya dalam rangka untuk peningkatan industrialisasi, malahan sebelum ini kita

bahas sudah mempercepat untuk melakukan kebijakan ekspor shawn timber dari

Papua. Jangan kayunya kayu bulat, dari Papua, dikirim ke pulau Jawa, kemudian

diekspor. Proses itu membutuhkan logistic cost yang sangat besar sehingga kita tidak

akan kompetitif. Kalau bisa ekspor dilakukan langsung dari Papua. Ada dua variabel

dalam peta persaingan HPH; logistic cost dan scale of economic. Kalau tidak

mencapai satu skala ekonomis, kita akan kesulitan.

Masalah penyederhanaan prosedur tata batas. Diperlukan diskusi lebih detil

tentang hal ini. APHI mengusulkan adanya pemotongan langkah prosedur tata batas.

Tapi perlu ada pembicaan mengenai kriteria untuk memaksimalkan sumberdaya di

lokal, seperti konsultan.

Imam Harmain (Kamar Bisnis): Khusus Papua, agar bisa mendapatkan

manfaat dari ekspor logs, Papua bisa menerapkan retribusi ekspor. Yang penting bagi

Setuju dengan redesain HPH sehingga HPH bisa mengelola area yang

benar-benar dikelola. HPH juga agar tidak perlu membayar PBB area-area

yang tidak masuk dalam ijin.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 83Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

HPH, ekspor bisa dilakukan. Retribusi juga bisa jadi salah satu sumber dana untuk

menumbuhkan perekonomian dan masyakat yang signifikan.

Yohanes Balubun (Kamar Masyarakat): Sertifikat untuk hak pengelolaan

kawasan hutan harus benar-benar dikaji. Jangan sampai di dalamnya muncul

sertifikat-sertifikat lain. Kalau sertifikat ini hanya terkait dengan hak pengelolaan

hutan saja, tidak masalah. Tapi kalau sertifkiat itu berkaitan dengan wilayah hutan, itu

akan menjadi persoalan baru di tingkat masyarakat.

Agus (Kamar Pemerintah): Masyarakat yang tinggal di dalam hutan perlu

penyelesaian yang tuntas. Masalah sertifikat akan dikaji ulang termasuk implikasi-

implikasi yang akan timbul. Opsinya adalah pemberian ijin property right di dalam

kawasan hutan. Ini adalah usulan yang kontroversial karena sangat progresif.

Usep Setiawan (Fasilitator): Poin mengenai sertifikat akan dibicarakan lebih

lanjut. Bukan sesuatu yang final. Poin kamar pemerintah adalah diperlukannya

semacam hak legalitas atas kepemilikan dan pengelolaan atas kawasan hutan oleh

masyarakat. Bentuknya akan dibicarakan lebih lanjut.

Yohanes Balubun (Kamar Masyarakat): kalau sertifikat itu berlaku untuk

masyarakat lokal yang sudah bertahun-tahun ada di dalam kawasan hutan, dan hutan

itu tidak berada dalam status hutan adat, itu tidak masalah. Tetapi untuk masyarakat

adat yang yang menempati kawasan hutan adat pemberian hak harus memperhatikan

mekanisme kepemilikian lokal.

Usep Setiawan (fasilitator): Apapun bentuknya, legalitas tidak boleh

melanggar budaya lokal adat setempat. Kekhawaritan sertifikasi wilayah adat

berhubungan dengan kemungkinan komersialisasi atas tanah atau kawasan hutan adat

tersebut.

Marthen (Kamar Pemerintah): Usul: tahap awal jangan log tetapi

memperbesar luas penampang shawn timber. Ekspor log sangat merugikan Papua.

Standing stok Merbau saat ini perlu mendapat perlindungan walaupun Papua Barat

keluar dari SKB 2 Gubernur.

Input KPK, oleh: Dian Patria

Pada saat kita menyusun NKB, kita banyak berhubungan dengan pemerintah,

ada pertisipasi dari CSO, LSM dan juga dari Akademisi. Di DKN ada pihak yang

kongkrit, yaitu user; masyarakat dan pebisnis. Merekalah yang paling tahu masalah-

masalah kongkrit yang ada di lapangan. Pemerintah bisa jadi membuat sesuatu yang

tidak operasional di lapangan. Kesepakatan kita adalah peraturan harus dibuat tidak

koruptif sekaligus operasional di lapangan.

KPK sampai kapan pun sumberdayanya terbatas sehingga perlu

bekerjasama dengan jaringan yang ada. Dalam konteks NKB, DKN bisa

membantu KPK untuk memastikan implementasi NKB sesuai dengan

konteks yang kongkrit di lapangan, operasional, sekaligus tidak koruptif.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 84Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Tadi juga ada masukan dari kamar LSM untuk melakukan sosialisasi di

seluruh Indonesia. Menurut kami, yang terpenting adalah implementasinya. Ada

kekhawatiran jika terlalu banyak melakukan sosialisasi, waktunya akan habis. Untuk

mengantisipasi kekhawatiran tersebut, KPK mengusulkan semacam ToT dengan

LSM. Pihak LSM membantu meneruskan jaringan-jaringan yang ada ke seluruh

Indonesia sehingga nanti ada simpul-simpul yang lengkap yang ikut membantu

memantau NKB. Sekali lagi, NKB bukan satu-satunya penyelesaian masalah

kehutanan. Prosesnya pun jangka panjang 3 tahun. Masukan dari tiap-tiap kamar

sebagian sudah masuk di dalam NKB karena dalam penyiapan renaksinya sudah

melibatkan pemerintah, CSO dan Akademisi.

Hal konkrit yang bisa dilakukan kedepan

Masalah itu ada di daerah sedangkan KPK 12/KL di pusat. Karena kapasitas sangat

terbatas maka dibuatkan prioritas. Jaringan-jaringan DKN diharapkan bisa optimal di

prioritas-prioritas implementasi NKB.

KPK sudah memiliki aplikasi monev yang dinamakan F8K, bersama UKP4 plus

Indonesia Memantau Hutan yang sedang dikembangkan. LSM diharapkan bisa

memberikan masukan atas isi dari Indonesia Memantau Hutan atau isi dari F8K itu

sendiri.

Masing-masing sesuai kewenangannya dan melakukan perannya masing-masing.

Intinya, yang baik-baik kita dorong bersama-sama. Setiap pihak harus melepaskan

kepentingannya untuk hal-hal yang lebih besar.

Kesepakatan di NKB untuk konflik adalah mengoptimalkan peran-

peran atau fungsi-fungsi yang ada di 12/KL, sekaligus mendorong

kelembagaan 1 pintu. Itu sudah masuk ke dalam butir-butir NKB.

Sistem IT direncanakan terimplementasi pada tahun ini.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 85Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Perumusan Draft Naskah Kebijakan

Dilakukan oleh Tim Perumus yang terdiri dari:

a) Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo (Ketua Presidium DKN)

b) Leo Imbiri (Kamar Masyarakat)

c) Agus Wahyudi (Kamar Bisnis)

d) Zulfikar (Kamar Pemerintah)

e) Oding (Kamar Akademisi)

f) Mateus Pilin (Kamar LSM)

III. RANGKUMAN RENCANA KERJA

1. Mediasi konflik DKN

a) DKN pernah bekerjasama dengan Epistema dan Huma mengembangkan alat untuk

mendokumentasikan kasus-kasus yang masuk ke DKN. Sepanjang tahun 2013 sistem

tidak berjalan dengan baik. Database dan dokumentasi kasus sangat penting untuk

mengukur kinerja divisi mediasi konflik. Harapannya, alat yang dikembangkan bisa

dimaksimalkan. Sepanjang Januari sampai Juli 2013 Komisi Mediasi Konflik belum

mendapatkan laporan dari sekretariat mengenai pengaduan-pengaduan yang masuk ke

DKN. Kasus terakhir yang masuk ke DKN adalah peristiwa di Pasaman, akan tetapi

komisi mediasi konflik tidak mendapatkan informasi kasus tersebut. (Jomi Suhendri)

b) Mempertimbangkan masuknya usulan adanya desk terpadu penyelesaian konflik

kehutanan.

c) Bahasanya masih bahasa rekomendasi. Perlu merubah bahasanya menjadi bahasa

kegiatan. (Agus)

d) Poin 1 dan 2 menjamin kelanjutan desk.

e) Di KPK ada pengembangan pengaduan dan penyelesaiannya. Mekanisme penyelesaian 1

pintu bisa dibicarakan lebih luas. Pengaduan dibuka dan bagaimana koordinasinya

dengan kementerian kehutanan. (Hariadi)

Kelemahan Komisi Mediasi Konflik terletak di database. Kasus-kasus yang

masuk ke DKN tidak terdokumentasi dengan baik.

Pada bulan ke-9 dan bulan ke-12 poin tentang mekanisme penyelesaian

1 pintu bisa dibicarakan dengan Kemenhut berdasarkan NKB karena ada

mekanisme evaluasi 3 bulanan.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 86Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

f) Jika ini disepakati, divisi mediasi konflik akan mendiskusikannya kembali,

mendetilkannya ke dalam kegiatan-kegiatan, termasuk mencari support dari media

strategis.

g) Pak leo mengusulkan untuk mengacu ke GBHK DKN dalam perumusan tindak lanjut. Di

dalam GBHK sudah ada program-program kongkrit yang dilakukan tiap komisi. Ratih

mengatakan bahwa pernah ada renstra sebagai turunan GBHK yang menghasilkan

kompilasi Program Kerja DKN 2011-2016 yang di dalamnya terdapat usulan aktivitas

dan rekomendasi komisi yang menjalankan, usulan output, dan alokasi waktu

pelaksanaan. Ratih mengusulkan untuk mengoverlaykan rekomendasi kegiatan kali ini

dengan GBHK dan kompilasi program kerja DKN 2011-2016. Mita mengusulkan rencana

dari workshop ini mendetilkan ke dalam kegiatan dan harus mengacu kepada dokumen

GBHK dan turunanya.

2. Mengawal Implementasi NKB 12 K/L

Berkaitan dengan Poin 5, Marthen mengatakan masukan boleh apa saja tapi

fungsinya bisa beda. Perlu ada pertimbangan informasi seperti apa yang harus diberikan.

Informasi seperti apa yang harus diberikan oleh DKN harus diberikan batasan yang jelas.

Mita mengusulkan untuk menunda pembahasan poin 5 dan akan dilihat apakah poin 5 ini

sudah masuk ke poin-poin yang lain atau tidak.

Bagi Kamar LSM, komunikasi reguler ini dipakai untuk mereview NKB-nya dan

mekanisme penyelesaian hambatan-hambatan yang ada. Sedangkan bagi kamar bisnis,

memastikan implementasi dan hambatan-hambatan. Perlu mempelajari NKB yang lebih

dalam hingga ke target bulanan sehingga DKN bisa menentukan informasi apa yang akan

disebar. Poin 5 bisa masuk ke poin 6. Perlu ditentukan penanggungjawab dari pertemuan

koordinasi DKN-KPK. (Hariadi)

Dalam konteks informasi, Pilin mengusulkan judul programnya disederhakan menjadi

penguatan sistem IMH yang di dalamnya akan bicara soal prosedur, sumber informasi,

kriteria serta bagaimana informasi diterima, didistribusian dan diproduksikan. Mita

menegaskan bahwa hal itu dilakukan dengan pertemuan rutin dsb.

Usulan kegiatan Penguatan sistem IMH berada di bawah Komisi

Pemerintahan/Komisi I yang diketuai oleh pak Zulfikar. Pak Zulfikar masih belum jelas

tentang apa itu IMH. Kalau konsep IMH sudah clear, baru DKN bisa menentukan bentuk

dukungannya dan dari sisi mana akan mendukung. Karena situasinya seperti itu, dan itu akan

menjadi bagian dari posisi DKN, pak Hariadi mengusulkan agar surat DKN ke KPK

Hingga poin 10 Rekomendasi Kegiatan, usulan konkritnya adalah adanya komunikasi reguler antara DKN dan KPK.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 87Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

mengatakan bahwa di pertemuan dua hari ini DKN sepakat untuk melakukan koordinasi

dengan KPK berkaitan dengan pelaksanaan NKB. Respon ini harus resmi. Di pertemuan

pertama, DKN sudah bisa menentukan informasi apa yang harus diberikan di pertemuan

selanjutnya. Oleh karena itu bentuk informasi seperti apa yang akan disampaikan tidak perlu

didefinisikasi dari sekarang.

Pak Marthen menegaskan bahwa bentuk informasi yang diberikan kepada KPK harus

substantif, sesuai dengan kapasitas dan fungsi lembaga DKN. Jangan sampai DKN

memberikan masukan teknis yang merupakan tugas Kemenhut. Pertemuan rutin DKN dan

KPK dilakukan setiap 3 bulan, mengikuti jadwal F8K.

Pertemuan DKN dengan World Bank tanggal 17 Juli 2013, Werner dan Mubariq

meminta DKN mengajukan sebuah rencana kerja dalam jangka waktu satu tahun. Mita

mengusulkan DKN mengajukan rencana kerja berkaitan dengan mendukung KPK.

3. Keputusan MK No. 35 Mengenai Hutan Adat

a) Poin 13 inti dari Kamar Akademisi adalah menyatakan bahwa hutan adat tetap hutan dan itu

masuk ke dalam implementasi keputusan MK. (Hariadi)

b) Inventarisasi, adat dsb di dalam NKB dinyatakan sudah akan dikerjakan oleh Kemenhut, BIG,

BPN dan Kemendagri.

Hasil identifikasinya bisa dikaitkan dengan kamar masyarakat. Ketika hasil identifikasi sudah

ada, Kamar Masyarakat perlu mengecek dll. Jangan sampai DKN berperan seperti K/L juga.

(Hariadi)

c) Sekedar pertemuan tidak akan efektif.

Policy paper itu sebagai bahan pertemuan. (Agus Justianto)

d) Usulan mengenai policy paper diperuntukkan untuk semua pertemuan.

Bentuk kegiatannya adalah DKN mendampingi proses itu melalui koordinasi periodik. Di internal DKN, kegiatan ini ditangani oleh komisi 1.

KPK sudah menyatakan akan mengajak kerjasama dengan DKN untuk

melakukan ToT kepada CSO untuk beberapa wilayah sehingga bisa

melakukan sosialisasi NKB ke jaringan-jaringan DKN. Forum sepakat dengan

usulan ini.

Oleh karena itu Poin 14 harus ditambahkan dengan mendorong percepatan proses identifikasi dst.

DKN dalam konteks isu tersebut membuat semacam policy paper yang bisa disampaikan melalui pertemuan atau melalui surat.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 88Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

e) inti dari poin 9 usulan kegiatan adalah kalau hutan adat baik maka hutan negara baik via

versa.

f) Penanggungjawab: komisi pemerintah khususnya yang mengerjakan kamar masyarakat.

g) DKN juga harus memperhatikan RUU Pengakuan Perlidungan Masyarakat Adat. Selama ini

pembicaraan RUU Masyarakat Adat berjalan sendiri.

h) Pak Zulfikar menawarkan diri untuk mengkoordinasikan poin-poin usulan yang akan

disampaikan ke DPR. Mita menambahkan dengan RUU Desa.

4. Terkait Kebijakan

Poin 19 Rekomendasi Kegiatan

a) GBHK nasional yang dimaksud oleh Kamar Bisnis adalah GBHK untuk kehutanan bukan

GBHK untuk DKN. Kehutanan hanya memiliki RPJM 5 tahun. Lima tahun dianggap

terlalu singkat. Zulfikar dan Agus dari Kamar Pemerintah menginformasikan bahwa

Kemenhut memiliki RKTN untuk tingkat nasional dan RKTD di tingkat propinsi yang

jangka waktunya 25 tahun. RKTN masih baru dan sudah ada PP sistem perencanan

kehutanan untuk penyusunan RKTN dan RKTD dan sudah ada mekanisme

penyambungan dengan perencanaan di Bappenas.

Poin 19 rekomendasi kegiatan tetap ada tapi tidak dalam rangka membuat sesuatu yang

baru

b) Pak Hariadi menyebutkan komitmen lisan dari Bappenas, yaitu RPJM 2015-2019 dan

Renstra 2015-2019 yang berkaitan dengan kehutanan akan dikonsultasikan dengan DKN.

c) Kaitannya dengan proses konsultasi publik yang dilakukan, pak Leo menegaskan bahwa

proses persiapan pra konsultasi publik perlu mendapatkan perhatian dari DKN.

Pengalaman tahun lalu dokumen diberikan pada saat DKN diundang sehingga masukan

DKN tidak signifikan. Mita menjelaskan bahwa aturan DKN berkaitan dengan konsultasi

publik diatur di dalam Protokol Konsultasi Publik, yaitu dua minggu sebelum

pelaksanaan konsultasi publik, sudah harus ada bahan yang masuk ke pihak DKN.

Poin 17 Rekomendasi Kegiatan

a) Dari 93 Renaksi NKB sama sekali tidak menyentuh spesifikasi otsus. Kelemahannya

adalah hubungan dengan Papua, Papua Barat dan Aceh, berbeda.

Pak Zulfikar mengusulkan adanya agenda tersendiri yang membahas RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.

Leo mengusulkan untuk mengawal mekanisme yang sudah dikerjakan oleh pemerintah.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 89Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Pak Marthen mengingatkan bahwa dirinya sudah memberikan catatan tambahan redaksi

di Naskah Kebijakan DKN, yaitu bahwa khusus untuk daerah yang mendapatkan

Otonomi Khusus, segala seusatunya harus mengacu pada UU Otsus. Dalam PP 38 tentang

pembagian kewenangan juga dinyatakan bahwa untuk Papua dan Aceh penjabaran lebih

lanjutnya harus mengacu pada UU Otsus.

b) Pak Leo berharap kehadiran pak Hariadi di rapat-rapat KPK atas nama presidium,

sementara SK mengenai NKB memposisikan pak Hariadi sebagai pakar. Pak Hariadi

mengatakan prosesnya cukup informal saja, yang penting informasi bisa mengalir.

Zulfikar mengingatkan bahwa DKN memiliki protokol ketika presidium menyampaikan

sesuatu. Jangan sampai menjadi beban berat bagi pak Hariadi yang posisinya sebagai

pakar dan harus mengajukan sesuatu sebagai presidium yang belum menjadi komitmen

bersama.

c) Posisi DKN terhadap UUP3H.

Ada informasi bahwa sebagian konstituen dari kamar LSM akan mempersoalkan

UUP3H ke MK. Pandangan mengenai UUP3H juga sudah dikeluarkan oleh kamar

masyarakat dan kamar LSM. Pak Hariadi ikut merumuskan UUP3H bersama ICW dan

Komnas HAM. Pak Hariadi belum memposisikan UUP3H dalam konteks DKN dan

menyerahkan kepada presidium apakah akan menentukan posisi terhadap UUP3H atau

tidak. Zulfikar mengusulkan agar usul JR oleh kamar masyarakat dan kamar LSM harus

hati-hati. Tidak ada hubungan antara posisi DKN dengan pandangan kedua kamar

tersebut. Mita menjelaskan bahwa di DKN dimungkinan tiap kamar menyatakan sikapnya

ke publik atas nama Kamar. Seperti yang diinisiasi oleh kamar LSM terkait dengan HTI

dengan mengeluarkan naskah atas nama Kamar LSM DKN. Zulfikar menyanggah dengan

menyatakan bahwa sesuai Protokol DKN tidak bisa seperti itu.

Zulfikar menginginkan adanya ketegasan apakah sikap kamar ada di dalam

mekanisme internal DKN atau untuk keluar. Seingat Zulfikar, kesepakatan di Bandung

menyatakan bahwa sikap kamar untuk keluar tidak diperbolehkan. Yang boleh keluar

hanya sikap DKN. Menurut Mita diskusi Bandung memperbolehkan sikap kamar. Bung

Yanes menguatkan bahwa kamar boleh membawa sikapnya, internal maupun eksternal,

tapi tidak atas nama DKN. Pak Edy menyatakan bahwa kamar boleh menyatakan

sikapnya di internal maupun eksternal, tidak ada batasan. Kamar-kamar di dalam DKN

boleh berbeda pendapat. Sikap DKN yang keluar harus menyertakan catatan sikap tiap

kamar. Zulfikar mengatakan bahwa poin ini dibahas ketika ada pembicaraan tentang

mekanisme untuk pengambilan keputusan yang ada komposisi.

Jika sepakat untuk mengajukan masalah otsus, pak Hariadi mengajukan diri untuk membicarakannya di rapat KPK, dan sekalian bisa menjadi agenda NKB.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 90Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Agar tidak larut dengan pembicaraan mengenai sikap kamar dan sikap DKN, pak Leo

mengusulkan untuk kembali melihat beberapa protokol DKN. Menurut pak Leo,

pernyataan pak Zulfikar sangat penting untuk diperhatikan karena berkaitan dengan posisi

anggota presidium, posisi presidium, dan posisi kamar. Mita mengingatkan tentang

protokol komunikasi DKN yang sudah didesain tapi belum ditetapkan.

Menurut Zulfikar belum ada pembicaraan secara khusus mengenai UUP3H baik di dalam

kamar maupun antar amar. Sikap DKN terhadap UUP3H adalah menyesalkan kenapa

tidak dibicarakan dengan DKN.

Zulfikar dan Agus Justianto mengusulkan keluarannya merupakan masukan untuk PP

turunan dalam bentuk policy paper.

No. 19 Rekomendasi Kegiatan

Yanes mengingatkan agar DKN tetap harus mempertimbangkan dengan usulan kamar

masyarakat terkait dengan putusan MK 35. Jangan sampai proses pengukuhan ini akan

menyebabkan konflik.

5. Lain-lain

Poin 21 Rekomendasi Kegiatan

Menurut Mita, poin ini sudah masuk ke rencana turunan GBHK yang dirumuskan di

Bandung. Pak Hariadi mengusulkan untuk menentukan DKD yang potensial untuk didorong.

DKD Sumatera Utara dibentuk berdasarkan SK Gubernur. Penanggungjawabnya adalah

sekretariat atau lintas Komisi.

Poin 22 Rekomendasi Kegiatan

Poin ini bertujuan untuk menyamakan kapasitas mengingat kapasitas akademisi sangat

beragam. Bentuknya bisa ToT.

Poin 24 Rekomendasi Kegiatan

a) Poin ini adalah masukan dari pak Noer Fauzy. DKN diasumsikan sangat kaya oleh orang-

orang yang punya pengalaman terkait dengan banyak hal dengan berbagai macam perspektif

Rencana kedepan DKN adalah mendiskusikan UUP3H di dalam presidium agar bisa dilanjutkan dengan perdebatan di dalam kamar mengenai kekuatan dan kelemahan UU tersebut.

Presidium sepakat menentukan DKD Papua yang didorong pembentukannya dan bekerjasama dengan DKD Sumatera Utara, Maluku dan Kalimantan Timur.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 91Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

sehingga diusulkan adanya pendidikan kehutanan kontemporer. Bentuknya bisa diskusi atau

kursus dan diisi oleh berbagai narasumber. Inti dari pendidikan ini adalah berbagi

pengetahuan yang ada di dalam presidium DKN ke khalayak yang lebih luas.

b) Pak Zulfikar mengusulkan DKN tidak perlu menyelenggarakan, tapi memberikan ke diklat-

diklat yang dilakukan pihak yang lain yang relevan dengan DKN, misalnya Lemhanas yang

juga punya kajian strategi nasional tentang kehutanan. Pak Agus Justianto mengusulkan untuk

bekerjasama dengan Pusdiklat kemenhut sehingga DKN tidak hanya menjadi narasumber tapi

juga berkontribusi pada perumusan kurikulum. Pak Marthen mengusulkan peserta pendidikan

adalah kepala-kepala dinas kehutanan di daerah.

Perbedaan pandangan soal “kebangkitan kehutanan”

Tema workshop kali ini adalah penataan hutan bagi kebangkitan hutan nasional.

Kalau penataan hutan saja tidak begitu signifikan untuk kebangkitan hutan nasional. Kamar

bisnis mengusulkan untuk ada pembicaraan mengenai revitalisasi sektor kehutanan mulai dari

HPH, industri primer, industri sekunder. Ada kebijakan yang dalam jangka pendek harus

segera direvisi. Untuk jangka menengah kamar bisnis juga mengusulkan adanya upaya

mendorong percepatan permen mengenai HHBK maupun agro forestry. Untuk jangka

panjang usulannya adalah untuk mengimplementasikan workplan tanah garapan. Apakah isu

ini perlu kita sampaikan ke dalam NKB 12/KL, agar mereka tahu bahwa dengan adanya

rencana-rencana ini kebangkitan kehutanan bisa tercapai.

Menurut Rafles kamar bisnis mengusulkan hal tersebut karena melihat kebangkitan

kehutanan dari sisi ekonomi. Berbeda dengan kamar LSM yang melihat kebangkitan

kehutanan dari sisi lingkungan yaitu jumlah perlindungan ekologinya.

Pak Hariadi berusaha mengakomodir perbedaan pandangan mengenai Kebangkitan

Kehutanan. Di dalam NKB ada Kementerian Keuangan. Walaupun belum tahu persis dari

Kementerian Kehutanan yang terkait dengan ekonomi. Jika dilihat dari perspektif ekonomi

berpendapat bahwa lingkungan dan sosial tidak akan bisa dipikirkan jika usahanya bangkrut.

Upaya-upaya ekonomi harus komprehensif dengan yang lainnya. Sangat penting di dalam

naskah posisi DKN, posisi ekonomi diletakkan sebagai salah satu unsur penting di dalam

renaksi NKB.

Tambahan Input

Menurut pak Hariadi, DKN selama ini didominasi oleh komisi mediasi dan

lingkungan. Ini menyebabkan proporsi aktivitas presidum menjadi tidak seimbang. Setelah

NKB ini komisi Pemerintah diharapkan mendapatkan porsi yang cukup, tapi justru ekonomi

tidak. Salah satu opsi yang bisa dilakukan agar bisa menyeimbangkan aktivitas presidium pak

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 92Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Hariadi mengusulkan peleburan komisi. Misalnya anggota komisi ekonomi didistribusikan ke

komisi yang lain. Wacana peleburan ini perlu dipikirkan.

Pak Zulfikar mengusulkan adanya revitalisasi organisasi DKN. Selama ini yang

revitalisasi dilakukan di tingkatan supporting, administrasi dsb. Khususnya untuk ABK, pak

Zulfikar meminta ada keberanian untuk mengambil langkah agar tidak menjadi beban.

Berkaitan dengan komisi, pak Zulfikar menjelaskan bahwa ketidakseimbangan juga terjadi di

dalam komisi itu sendiri. Ketidakseimbangan aktivitas di dalam komisi DKN akan berakibat

kontraproduktif terhadap DKN sendiri.

Kaitannya dengan usul pak Zulfikar, pak Hariadi mengingatkan hasil Rapim I yang

menyepakati adanya pertemuan periodik sekretariat yang dihadiri oleh ketua presidium, wakil

ketua presidium, ketua harian dan wakil, serta sekretariat. Lalu itu ditingkatkan menjadi ketua

presidium, wakil ketua presidium dan ketua-ketua kamar. Rapim I memutuskan dua hal;

pertama, bahwa kalau ada komisi yang sedang bekerja lalu anggota komisi tertentu tidak

hadir, itu bisa menunjukkan orang lain meskipun bukan anggota komisi itu. Yang penting

representasi kamar selalu terpenuhi. Sebaliknya, keanggotaan komisi sebenarnya fleksibel di

tiap kamar. Kedua, khusus untuk mediasi konflik yang ke lapangan tidak harus presidium

yang turun langsung. Bisa menunjuk mediator sebagai wakil dari presidium. Jadi, setiap

kamar mendefinisikan sendiri berdasarkan kamarnya. Rapim I berusaha mengambil

terobosan-terobosan.

Pak Marthen mengusulkan pembicaraan lebih lanjut di DKN untuk menganalisis

tentang export logs. Pak Marthen mengusulkan fokusnya tidak harus logs tapi kayu gergajian

dengan memperjuangkan luas penampangnya. Asal jangan dalam bentuk square logs. Itu bisa

masuk ke dalam agenda revitalisasi ekonomi kehutanan. Pak Hariadi mengusulkan hal ini

menjadi agenda kamar bisnis untuk melakukan pertemuan yang pertama dengan mengundang

anggota presidium yang lain, terutama Papua.

Pak Leo membacakan protokol Konsultasi Publik DKN, pasal 6 dan 7. Pasal (6)

Komunikasi antar pemangku kepentingan atau kamar DKN disampaikan secara terbuka tetapi

santun sesuai dengan protokol sikap sebagaimana disebutkan pada bagian 3. Pasal (7)

komunikasi hasil konsultasi kesepahaman persetujuan sikap, posisi, perbedaan pandang,

rekomendasi dan langkah tindak lanjut disampaikan kepada peserta konsultasi tatap muka dan

menjadi informasi publik. Pada bab II menjelaskan tentang proses dimana bisa dilakukan atas

penunjukkan atau rekomendasi ketua presidium.

Dari protokol tersebut, pak Leo berpandangan bahwa kamar mempunyai kewenangan

untuk melakukan pernyataan sikap sesuai sikap kamar, sesuai dengan konsensus yang

dilakukan oleh kamar, baik dalam pertemuan presidium maupun oleh pertemuan kamar.

Karena kita juga sepakat bahwa hasil dari pertemuan presidium bisa merupakan satu

konsensus bersama tapi itu juga bisa merupakan hasil dari perbedaan pandangan kamar.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 93Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Terkait dengan anggota DKN di daerah, perlu ada keleluasaan penyampaian sikap bagi

mereka. Yang penting pernyataan sikap tersebut bukan pernyataan pribadi atau merupakan

klarifikasi terhadap konsensus yang dibuat oleh DKN. Atau konsensus yang dibuat oleh

kamar DKN. Dalam hal-hal tertentu itu perlu rekomendasi atau penunjukkan dari ketua

presidium DKN.

Penutupan

Oleh: Hariadi Kartodihardjo (Ketua Presidium DKN)

Pertama, terkait dengan sikap kamar. Hal itu penting untuk dilihat lagi karena

merupakan aktivitas sehari-hari DKN. Ketua presidium bukan menteri yang memberikan

arahan kepada anak buahnya melainkan mensarikan dari bawah. Pihak-pihak lain harus tahu

mengenai hal itu. termasuk juga bagaimana sikap kamar dst. Kita bisa menyampaikan sesuatu

ke menteri dengan perbedaan pendapat antar kamar. Tidak harus selalu bulat. Menteri yang

akan menilai. Oleh karena itu tidak selalu harus dipaksakan mekanisme voting. Tetapi

instrumen voting suatu saat bisa dipakai. Intinya ini menjadi penegasan penting yang akan

kita lihat bersama untuk memastikan itu.

Kedua, saya memandang kegiatan dua hari ini sangat baik. Kebetulan yang hadir

banyak. Yang penting sebetulnya, seperti juga harapan banyak orang, termasuk juga middle

class kehutanan, berikutnya tidak harus selalu populis. Sementara persoalan tenurial selalu

ditinggal dari waktu ke waktu. Kita punya kesempatan yang baik untuk kerjasama dengan

KPK karena formulasi dan pikiran awalnya juga dari kita sendiri, untuk memastikan ini

sampai pada tahun 2015. Mudah-mudahan kita juga punya energi cukup besar untuk

mengantarkan ini dan saya kira tadi malam dengan World Bank dst, termasuk juga sekretariat,

siap mendorong ini semua.

Ketiga, terkait dengan pengantar FGD 19 Juli 2013, posisi DKN jangan dibuat sulit.

DKN terhadap FIP sebenarnya tidak dalam posisi setuju atau menolak. FIP bisa berjalan

sebagaimana program pemerintah yang lain, dengan atau tanpa DKN. Saat ini DKN ditunjuk

sebagai anggota SC FIP. Oleh karena itu, yang penting adalah memastikan bagaimana FIP

mempunyai kelemahan dan kekuatan dan input DKN terhadap FIP. Tentunya sangat baik

kalau pandangan dan input berasal dari semua kamar, yang kemudian menjadi mandat ketua

presidium dan mbak Mita sebagai anggota untuk membawa input tiap kamar ke dalam

pertemuan SC.

Hingga saat ini SC belum mengadakan pertemuan maka DKN akan melayangkan surat ke ketua SC untuk segera melakukan pertemuan dan dalam pertemuan itulahdisampaikan butir-butir yang akan dihasilkan.

Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 94Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan

Ketua presidium akan melaporkan kepada seluruh anggota seberapa jauh butir-butir

itu diterima. Kemudian DKN memutuskan. Jika sebagian besar tidak diterima, saya

mengusulkan DKN mengundurkan diri dari SCFIP, tapi itu tergantung presidium, karena saya

yakin yang diusulkan tiap kamar adalah hal-hal yang prinsip. Hasil SC pertama akan

diputuskan bersama untuk memastikan apakah DKN masih di dalam SCFIP atau tidak.

Sedangkan DGM, itu adalah prakarsa hubungan kamar masyarakat dengan AMAN. Itu bisa

kita lanjutkan sampai dengan terbentuknya SC dst, itupun sangat tergantung dengan

komunikasi antara kamar masyarakat dan AMAN. Jadi DKN adalah channel saja.