Proceeding ToT ICM

167
1 P R O S I D I N G Bogor, 29 Oktober - 3 November 2001 Penyunting: Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor 2001

Transcript of Proceeding ToT ICM

Page 1: Proceeding ToT ICM

1

P R O S I D I N G

Bogor, 29 Oktober - 3 November 2001

Penyunting:Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA

Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan LautanInstitut Pertanian Bogor

2001

Page 2: Proceeding ToT ICM

LAPORAN PENYELENGGARAAN PELATIHAN PENGELOLAANWILAYAH PESISIR TERPADU

Assalammu'alaikum Wr. Wb.

Pertama-tama marilah kita panjatkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya atas rahmat dan karunia-Nya kita dapat berkumpul di Hotel Permata ini untuk mengikuti acara pembukaan Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu.

Pelatihan yang berlangsung dari tanggal 29 Oktober - 3 November 2001 atas kerjasama antara Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB dan Proyek Pesisir, diikuti oleh 35 peserta yang berasal dari perguruan tinggi (UNHAS, UNDIP, UNILA, UBH, UNRI dan Universitas Khairun Ternate) Proyek Pesisir Sulawesi Utara, Lampung dan Kalimantan Timur, Dinas Kelautan dan Perikanan Prop. Jambi, Bali, Kalimantan Tengah, Kab. Minahasa dan Lampung Selatan, Dinas Pemukiman dan Sarna Wilayah NTT, Dinas Kehutanan Kab. Lampung Selatan, Kecamatan Rajabasa, Ketapang Lampung Selatan, BPD Tejang Pulau Sebesi, Guru SD Negeri 3 Taman Sari Palembang, Kecamatan Likupang Kab. Minahasa, DPRD Kab. Minahasa, Sulawesi Utara, BAPEDALDA Kab. Kepulauan Riau, Pemerintah Daerah (BAPPEDA) Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur dan Jawa Tengah.

Pelatihan ini dirancang di samping untuk meningkatkan wawasan dan kualitas para akademisi, pemerhati, pengelola dan praktisi dalam pengelolaan wilayah pesisir, juga sebagai wacana untuk saling bertukar pengalaman dan informasi dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Pelatihan ini menjadi sangat penting dan strategis mengingat pada saat ini sumberdaya wilayah pesisir memerlukan perhatian khusus utnuk dikelola secara optimal dan berkelanjutan. Dalam melakukan upaya ini, selain diperlukan sumberdaya manusia yang berkualitas, juga diperlukan komitmen dan aksi nyata dalam mengelola sumberdaya wilayah pesisir secara lestari.

Dengan demikian apa yang diharapkan di atas sangatlah sesuai dengan tujuan yang ditetapkan dalam pelatihan ini, yaitu untuk meningkatkan kemampuan baik perseorangan maupun kelompok kerja para peserta dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Tujuan ini akan dicapai melalui dua sasaran pokok, yakni : (1) memberikan informasi tentang konsep pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia, dan (2) meningkatkan pemahaman dan kemampuan para peserta dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu, sehingga pada gilirannya para peserta akan dapat menyusun suatu perencanaan, pelaksanaan dan pengevaluasian program pengelolaan wilayah pesisir itu sendiri.

Pelatihan yang dilaksanakan di kelas dan lapangan dengan menggunakan metode pengajaran secara interaktif, presentasi, diskusi, studi kasus dan praktek lapang, tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa adanya pengajar dan instruktur yang berpengalaman di bidangnya. Karena itu pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada para pengajar dan instruktur yang telah bersedia untuk memberikan materi dalam pelatihan ini.

Page 3: Proceeding ToT ICM

Juga kepada para panitia pelaksana yang telah bekerja keras dalam mempersiapkan pelaksanaan pelatihan ini, saya ucapkan terima kasih.

Wassalammu'alaikum Wr. Wb.

Pemimpin Pelatihan (Training Leader)

Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA

Page 4: Proceeding ToT ICM

1

PENYUSUNAN PROGRAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIRDAN PULAU-PULAU KECIL SECARA TERPADU

IR. DARMAWAN, MAJurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Fakultas Perikanan & Ilmu KelautanInstitut Pertanian Bogor

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

PENDAHULUANSeiring dengan meningkatnya perhatian

masyarakat luas (termasuk politisi) terhadappentingnya peranan pesisir dan lautan dalampembangunan di Indonesia, maka dewasa ini istilah“Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu(PWPT)” bukanlah satu hal yang asing lagi. Namunapa dan bagaimana sebenarnya PWPT tersebutmungkin justru belum banyak dipahami secaramendalam.

Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu(PWPT)sebenarnya merupakan satu upaya yangmenyatukan antara pemerintahan dengan komunitas,ilmu pengetahuan dengan manajemen, dan antarakepentingan sektoral dengan kepentinganmasyarakat dalam mempersiapkan danmelaksanakan perencanaan terpadu bagiperlindungan dan pengembangan ekosistem pesisirdan sumberdayanya. Tujuan akhir dari PWPTadalah meningkatkan kualitas hidup dari komunitasmasyarakat yang menggantungkan hidupnya darisumberdaya yang terkandung di wilayah pesisir danpada saat yang bersamaan juga menjaga

keanekaragaman hayati dan produktifitas dariekosistem pesisir tersebut. Sehingga untukmencapainya diperlukan suatu perencanaan yangkomprehensif dan realistis. Proses perencanaansuatu program pengelolaan serta kemudianimplementasi dari apa yang direncanakan tersebutmerupakan satu siklus yang berkesinambungan(gambar 1).

SIKLUS PROGRAM PENGELOLAANWILAYAH PESISIR

Proses berkembangnya satu program dapatdigambarkan sebagai satu lingkaran yang diawalidengan identifikasi dan analisis terhadap isu-isu lokalwilayah pesisir tersebut (Langkah Pertama).Langkah tersebut kemudian diikuti oleh menetapkantujuan dan mempersiapkan rencana kebijakan danprogram-program aksi. Setelah itu langkah ketigamenitikberatkan pada formalisasi perencanaanmelalui jalur hukum, peraturan, kerjasama antarinstitusi dan mengalokasikan dana untukpelaksanaannya. Berikutnya adalah tahapimplementasi dari perencanaan tersebut. Adapun

Gambar 1. Langkah-Langkah dalam Siklus Kebijakan (GESAMP, 1996)

Page 5: Proceeding ToT ICM

2

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

langkah terakhir yang sering terlewatkan adalahmelakukan evaluasi. Siklus seperti ini menempatkanbanyak kegiatan dari suatu program dalam satusekuen yang logis dan membantu untuk menguraikanketerkaitan yang rumit dari unsur-unsur yangterdapat dalam pengelolaan wilayah pesisir. Dalamkonteks tersebut “siklus program” ini dapat dianggapsebagai peta atau alat bantu navigasi dalammenelusuri proses yang kompleks, dinamis danbersifat adaptif. Pengalaman dari beberapa negaramaju maupun berkembang menunjukkan bahwaterdapat beberapa hal harus dilaksanakan pada saatyang tepat agar program pengelolaan wilayah pesisirdapat dengan sukses bergerak terus menuju tujuanjangka panjangnya.

Di Indonesia sendiri, walaupun sudah cukupbanyak proyek/program yang terkait denganpermasalahan di lingkungan pesisir, tapi hanyasebagian kecil saja yang benar-benar dirancanguntuk menjalankan pengelolaan secara terpadu.Proyek pengelolaan wilayah pesisir di SegaraAnakan, Cilacap pada tahun 1986-1992 bolehdikatakan merupakan yang pertama kali berupayauntuk mencari cara mengelola satu wilayah pesisirsecara terpadu. Setelah itu menyusul berbagaiinisiatif yang dilakukan baik oleh berbagai donorasing maupun oleh pemerintah sendiri dan pihak-pihak non pemerintahan lainnya. Namun sayangnyapendekatan yang dilakukan ataupun pemahamankonsep yang diambil seringkali kurang sesuai.Terkadang diatas kertas pendekatan dan konsepsudah tepat, tetapi pemahaman pelaksana proyekyang tidak sesuai. Sehingga yang sering terjadi adalahtidak jelasnya tujuan akhir dari proyek-proyektersebut dan bagaimana tolok ukur keberhasilannya.Akibat yang berikut adalah tidak terjadinya“pembelajaran” (lesson learned) antar proyek, alihpengetahuan maupun replikasi dari pelaksanaan/inisiatif yang berhasil karena setiap proyek cenderunguntuk selalu mengulang “kembali dari awal”pelaksanaan proyek-proyek baru (reinventing thewheel).

Siklus penyusunan program sebenarnyamerupakan panduan yang cukup baik bagi pelaksanaproyek untuk melangkahkan kakinya dalammenjabarkan konsep pengelolaan wilayah pesisir dilapangan. Hanya sayangnya banyak hal dalam siklustersebut yang sengaja maupun tidak disengajaditinggalkan karena dianggap remeh. Anggapan

remeh ini muncul karena siklus tersebut sangatlahlogis (sangat masuk akal) sehingga pelaksanacenderung punya sikap “sudah tahu” dan “bukanmasalah”. Hal yang terbukti salah pada akhirnya.

Langkah pertamaPada langkah awal identifikasi dan pengkajian

isu, setiap pelaksana mengetahui bahwa inimerupakan tahap dimana program/proyekpengelolaan pesisir didefinisikan dan dikaji. Semuamemahami bahwa terdapat beberapa tindakan utamayang perlu dilakukan, seperti (1) mengidentifikasistakeholder utama dan kepentingan serta minatnya;(2) mengkaji prinsip dan isu lingkungan, isu-isu sosialdan kelembagaan serta implikasinya; dan (3)mengidentifikasi hubungan sebab-akibat yangmenghubungkan antara kegiatan manusia, prosesalamiah dan kemunduran kualitas kondisisumberdaya pesisir. Sering terjadi langkah pertamaini dianggap selesai setelah ketiga hal tersebut di atasdapat terdokumentasikan. Disinilah sebenarnyaterjadi “kesalahan pertama”.

Langkah pertama seharusnya hanya dapatdianggap selesai bila telah secara jelas menyusunrekomendasi mengenai isu-isu penting mana yangdiprioritaskan untuk digarap terlebih dahulu dalamjangka waktu pelaksanaan proyek nantinya secararealistis. Permasalahan di wilayah pesisir selalukompleks sehingga tidak realistis apabila satu (dan hanyasatu proyek) untuk jangka waktu pendek (1-5 tahun)berusaha untuk menyelesaikannya sekaligus. Langkahpertama ini biasanya memakan waktu 6 bulan sampai1,5 tahun.

Langkah keduaDi langkah kedua, yakni persiapan dan

perencanaan, memerlukan proses konsultasi yanglebih intensif dan proses perencanaan yang lebihmendalam terhadap berbagai macam alternatiftindakan yang direkomendasikan oleh langkahpertama. Hal ini karena tujuan utama dari langkahini adalah menyusun satu rencana pengelolaan yangsecara realistis dan terukur, sehingga dapatmengekspresikan kualitas lingkungan yang ingindicapai dan dipertahankan, cara-cara bagaimanasumberdaya dapat dialokasikan, dan berbagaiperubahan yang diperlukan dalam pola hubunganantara pengeksploitasian sumberdaya alam dengantingkah laku masyarakat disekitarnya. Dalam

Page 6: Proceeding ToT ICM

3

Penyusunan Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Secara Terpadu

langkah inilah tujuan spesifik dari program/proyekharus didefinisikan secara jelas (satu hal yang seringsekali ditinggalkan !).

Tidak dapat dipungkiri bahwa langkah keduamerupakan langkah yang paling kompleks danberlangsung selama beberapa tahun. Seringkaliproyek-proyek bantuan dari donor diberikan dalammasa 3-5 tahun, dimana waktu tersebut hanya akandapat dialokasikan untuk menyusun dokumenperencanaan pengelolaan, bukan pelaksanaannya.Terkadang pelaksana, baik LSM maupunpemerintah melupakan hal ini sehingga setelah selesaipekerjaan perencanaan, tidak ada lagi upaya untukbenar-benar merealisasikannya karena “proyek”sudah selesai. Oleh sebab itu pendekatan yang pal-ing baik adalah dengan menyusun dan mencobaberbagai strategi serta tujuan untuk melakukanpemilahan terhadap berbagai pilihan yang ada.Dalam proses perencanaan ini termasuk jugapelaksanaan pengelolaan skala kecil (demo/pilot)untuk menguji fisibilitas dari rencana yang disusununtuk lingkup dan wilayah yang lebih luas.

Kegiatan utama dalam langkah kedua ini adalahsebagai berikut:• Melaksanakan penelitian ilmiah terhadap berbagai

isu yang dipilih pada langkah pertama.• Mendokumentasikan kondisi awal (baseline)

wilayah pesisir yang akan dikelola.• Menyusun rencana pengelolaan dan kerangka

kerja kelembagaan yang akan melaksanakan pro-gram.• Mempersiapkan sumberdaya manusia dan

kapasitas kelembagaan dalam pelaksanaan(implementasi) program.• Merancang (mendesain) struktur kelembagaan

dan proses pengambilan keputusan dalampelaksanaan program.• Menguji strategi pelaksanaan program dalam

skala kecil (pilot/demo)• Melaksanakan program pendidikan dan

penyadaran bagi masyarakat (umum) dan stake-holder.

Apabila hasil dari langkah pertama sudah“salah” maka pada tahap ini kesalahan tersebut akanmakin terakumulasi. Perencanaan yang disusun akanberupaya “menjawab” seluruh permasalah yangdiberikan dari hasil identifikasi. Akibatnya seluruhrencana hanya tinggal rencana karena sumberdayayang ada (institusional, manusia dan biaya) tidak

mampu memikul tugas yang dilimpahkan dalamperencanaan tersebut. Kesalahan kedua ini biasanyabersifat “fatal”. Artinya sebagian besar proyekpengelolaan wilayah pesisir di Indonesia (yangjumlahnya juga tidak banyak) tidak pernah bisaberanjak ke langkah berikutnya

Langkah KetigaApabila proyek “selamat” dan dapat berlanjut

ke tahap berikutnya maka adopsi secara fomalmerupakan pengakuan terhadap rencana yangdisusun, oleh pengambil keputusan dan kebijakandi tingkat tinggi, seperti menteri, gubernur ataupunpresiden. Seringkali pengakuan ataupun persetujuantersebut dituangkan dalam surat keputusan mapunperaturan perundangan lainnya. Adopsi dalamkonteks ini meliputi persetujuan pendanaan danpengalokasian sumberdaya manusia untukmelaksanakan tiap langkah yang direncanakan.

Tentunya sebelum sampai kesana dokumen yangdisusun pada langkah kedua akan diteliti dan mendapatbanyak pertanyaan-pertanyaan, bahkan seringkalimembutuhkan revisi sebelum dapat disetujui. Sebagaikonsekuensinya, dokumen perencanaan dapatmengalami perubahan mendasar terutama dari berbagaipertimbangan aspek teknis menjadi aspek politis, yangmerupakan minat dan prioritas dari kalangan pemerintahmaupun pihak-pihak lainnya yang mungkin akanterpengaruh oleh proyek tersebut.. Dalam proses iniakan muncul berbagai argumentasi yang sebelumnyatidak terpikirkan atau tidak dianggap penting (satukesalahan lagi !) oleh penyusun dokumen. Bahkan bilaperencanaan pada akhirnya disetujui tidak berarti selaluselalu otomatis diikuti oleh persetujuan pengalokasi danauntuk melaksanakannya. Demikian pula persetujuanterhadap isi dokumen tidak selalu diikuti olehpersetujuan pengalokasi dana untuk melaksanakannya.Memang langkah ketiga ini merupakan satu tahapdimana terdapat proses tawar menawar dan pemberianakomodasi diantara berbagai pihak yang terkaitekonomis maupun politis. Bahayanya adalah apabilahasil kompromi tersebut pada akhirnya malahmengaburkan tujuan utama dari pelaksanaan proyekitu sendiri, dan ini memang sering sekali terjadi(kesalahan ketiga !). Tantangan yang harus dihadapiuntuk dapat melalui langkah ini untuk sampai ketahappelaksanaan merupakan tantangan yang bahkan dapatlebih berat dibandingkan dengan langkah-langkahsebelumnya.

Page 7: Proceeding ToT ICM

4

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Langkah KeempatPada tahap ini rencana pengelolaan menjadi

operasional dan titik berat proses beralih padapengenalan bentuk-bentuk baru dari pemanfaatandan pengembangan sumberdaya alam, pengaturaninstitusional yang berganti, pelaksanaan pemantauandan aplikasi dari kontrol serta peraturan yang baru.Pelaksanaan yang berhasil sangat tergantung padakemampuan pelaksanan proyek/program untukmenghadapi berbagai tantangan yang sebelumnyatidak terpikirkan dan dapat mengadaptasikannya kedalam inti program yang sedang berjalan. Aktifitasutama yang biasanya terdapat dalam langkah inimeliputi: penyelesaian konflik, pengaturan koordinasiantar institusi, pembangunan infrastruktur, pendidikanmasyarakat, pelatihan bagi pelaksana dan penegakhukum, perencanaan dan penelitian terhadapmasalah yang baru timbul. Aktifitas-aktifitas tersebuttermasuk dalam: (1) pelaksanaan mekanismekoordinasi antar lembaga dan prosedur-prosedurresolusi konflik; (2) pelaksanaan peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur pengambilankeputusan; (3) penguatan kapasitas pengelolaanprogram; (4) peningkatan pembangunan danpemeliharaan infrastruktur fisik yang dibutuhkan; (5)membangkitkan, mendorong atau meningkatkanpartisipasi kelompok stakeholder utama; (6)menjaga agar prioritas program tersebut tetapberada dalam agenda publik; (7) memantau kinerjaprogram dan kecenderungan yang terjadi padalingkungan sosial; (8) mengadaptasikan programterhadap pengalaman yang mereka miliki; sertaterhadap perubahan kondisi lingkungan, politik dankondisi sosial.

Pada umumnya pelaksanaan pengelolaanwilayah pesisir merupakan suatu hal yang rumit dandaftar dari permasalahn yang mungkin timbul selamapelaksanaan sangatlah panjang. Sabatier danMazmanian (1981), mengidentifikasikan 6 (enam)prakondisi utama agar langkah ini dapat berjalandengan baik, yaitu: (a) tujuan dan kebijakan yangjelas dan konsisten; (b) cukup baiknya ilmupengetahuan yang menunjang kebijakan yangdiambil; (c) kewenangan dan otoritas yang cukup;(d) struktur organisasi pelaksanaan yang baik; (e)kompetensi dan komitmen dari pelaksana; (f)mempertahankan tujuan dan prioritas program dalamagenda politik

Langkah KelimaPada tahap ini seharusnya dapat diperoleh

suatu pembelajaran dan pengalaman yang sangatbermanfaat (lesson learned). Namun langkah inisering disepelekan ataupun diabaikan dalam banyakproyek-proyek pengelolaan wilayah pesisir. Namunbila kita menginginkan adanya keberlanjutan dari satugenerasi siklus ke generasi berikutnya, maka tahapini harus dilakukan secara benar. Tindakan utamadalam langkah ini adalah melakukan evaluasi danpenyesuaian program sesuai kebutuhan dan hasilevaluasi itu sendiri. Secara umum langkah evaluasiharus dapat menjawab dua pertanyaan mendasar,yaitu: (1) apa yang telah dilakukan dan dicapai olehprogram yang dilaksanakan terdahulu? danbagaimana pengalaman tersebut dapatmempengaruhi penyusunan desain dan fokus dariprogram generasi berikutnya?; (2) apakah adaperubahan yang terjadi pada isu-isu dan lingkunganhidup semenjak program tersebut dijalankan?

Seringkali proyek-proyek dilaksanakan tanpadilengkapi oleh perangkat evaluasi ataupun panduanuntuk melakukannya sejak awal. Akibatnya apabilapada akhirnya ada evaluasi, maka itu hanya“memotret” kejadian yang sudah berlalu, tidak bisamerupakan umpan balik yang langsung berguna untukmemperbaiki kinerja proyek.

Evaluasi didefinisikan sebagai kegiatan dalamrangkaian proses pengelolaan yang dilakukan secaraselektif untuk memberikan informasi kepada parapengelola mengenai berbagai isu penting sebelummereka mengambil keputusan-keputusan yang dapatberdampak besar. Tergantung pada lingkup darikeputusan yang akan dibuat, maka kegiatan evaluasidapat dilakukan pada berbagai tingkatan, baik padakegiatan proyek tertentu ataupun pada kegiatan pro-gram yang lebih luas (Owen, 1993; Olsen, et al,1998; Kay and Alder, 1999). Pada tingkat proyek,kegiatan evaluasi dapat memberikan informasiterhadap jalannya proyek tersebut. Berdasarkaninformasi tersebut maka manager akan dapatmenentukan berbagai perubahan maupun aksi yangdiperlukan agar proyek tersebut dapat lebihmeningkatkan kinerjanya ataupun untukmemperbaiki kinerja yang kurang. Sedangkan padatingkatan program, maka hasil evaluasi dari berbagaiproyek akan dapat dipergunakan sebagai bahanuntuk mengkaji ketepatan perencanaan dan strategiprogram tersebut.

Page 8: Proceeding ToT ICM

5

Penyusunan Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Secara Terpadu

Setiap kali seseorang ingin melakukan evaluasi,maka kumpulan pertanyaan utama yang dirangkumoleh Owens (1993) di bawah ini dapat menjadipetunjuk sebelum melangkah lebih lanjut.Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah: (a) apa yangmenjadi alasan utama dilaksanakannya evaluasitersebut?; (b) program/proyek yang akan dievaluasitersebut telah mencapai tahapan apa danbagaimana?; (c) aspek apa dari proyek/programtersebut yang akan dievaluasi; (d) bagaimanaperkiraan ketepatan waktu pelaksanaan evaluasidengan waktu pelaksanaan proyek/program secarakeseluruhan?; (e) pendekatan evaluasi bagaimanayang akan dipergunakan dan apa metodologipengumpulan dan analisis data dan informasi yangsesuai dengan pendekatan tersebut?

Selanjutnya Owens (1993) mengklasifikasikanpelaksanaan evaluasi menjadi 5 (lima) jenis, yaitu:(1) evaluasi dampak, (2) evaluasi dalam pengelolaanprogram, (3) evaluasi proses, (4) evaluasi desain,(5) evaluasi untuk pengembangan. Pendapat lainmengenai jenis evaluasi ini dikemukakan oleh Olsen,Lowry dan Tobey (1998). Mereka menyatakanbahwa evaluasi terhadap proyek ataupun kegiatan-kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dapatdikategorikan dalam tiga jenis utama, yaitu; (1)Evaluasi Kinerja (Performance Evaluation), (2)Evaluasi Hasil (Outcome Evaluation), (3) EvaluasiKapasitas Pengelolaan (Management Capacity As-sessment).

Mengapa kita memerlukan cara untuk dapatmelakukan evaluasi secara sistematisterhadap pelaksanaan “Pengelolaan WilayahPesisir (proyek/program)”?.

Alasan utama mengapa kita membutuhkanperangkat evaluasi yang sistematis karena pelaksanaanproyek pengelolaan pesisir yang sukses sangatlah kecildibandingkan dengan berbagai kegiatan yangmenyebabkan degradasi lingkungan pesisir di dunia ini.Alasan lain adalah bahwa di berbagai negaraberkembang, terutama di daerah tropis seperti Indo-nesia, proyek pengelolaan wilayah pesisir dijalankansebagai “proyek-proyek pilot/percontohan” yangtersebar dari Sabang sampai Merauke. Komunikasiyang terjalin diantara proyek ataupun analisis terhadapperbedaan desain tiap proyek serta dampaknya dalampelaksanaan sangat jarang dilakukan atau bahkan tidakpernah dilakukan.

Sangat sedikit jumlah proyek perencanaanpengelolaan wilayah pesisir di negara-negaraberkembang, termasuk dan terutama di Indonesia,yang kemudian berhasil dilaksanakanimplementasinya setelah proyeknya berakhir. Lebihsedikit lagi metodologi evaluasi yangdidokumentasikan dan disebarluaskan. Kalaupunada maka metoda evaluasi tersebut tidakmenganalisis perbedaan berbagai desain dari proyek/program yang ada serta pengaruhnya terhadap hasilakhirnya. Oleh karena itu, tanpa adanya kerangkakerja evaluasi yang dapat diterima oleh para praktisidan para pengguna lainnya maka kajian sistematisterhadap pelaksanaan kegiatan yang berhubungandengan pengelolaan wilayah pesisir akan sulit untukdapat dilakukan dan direplikasikan.

Pertanyaan-Pertanyaan dalam Tiap LangkahBerikut adalah pertanyaan-pertanyaan yang

merefleksikan 5 langkah yang ada dalam sikluskebijakan di atas. Tiap bagian tersebut kemudiandibagi lagi kedalam topik-topik yang palingpenting dalam langkah tersebut. Dalam tiap topikitulah rangkaian pertanyaan tersebut dijabarkan.Penting untuk diingat bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak semuanya relevandengan semua proyek atau program yang ada.Oleh karenanya tidak semua pertanyaan tersebutperlu dijawab atau dipergunakan. Terdapat 120pertanyaan yang terbagi dalam 29 kategori.Pertanyaan-pertanyaan tersebut harusdiperlakukan hanya sebagai “petunjuk/arahan”dan bukan sebagai cetak biru yang dapatdipergunakan untuk seluruh jenis pekerjaan.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut disusunberdasarkan pengalaman yang didapat dari“pengalaman terbaik” yang terjadi diprogram-pro-gram seluruh dunia. Pengalaman terbaik tersebutberdasarkan dari studi pustaka dan pendapat-pendapat para ahli terhadap karakteristik daripengelolaan wilayah pesisir yang efektif.Karakteristik tersebut adalah;•• Partisipasi stakeholder di setiap fase dari

pengembangan proyek•• Strategis, fokus dan pengambilan keputusan dari

proyek yang berdasarkan isu tertentu•• Kordinasi antar institusi baik di tingkat lokal

maupun nasional•• Pengelolaan secara adaptif dan “learning”

Page 9: Proceeding ToT ICM

6

•• Analisis ilmiah yang tepat yang diperlukan olehpengelola

•• Penguatan kapasitas sumberdaya manusia daninstitusional dalam pengelolaan wilayah pesisir

•• Menyepadankan antara kegiatan-kegiatan proyekdengan kemampuan institusi dan SDMnya

•• Kepemilikan lokal maupun nasional terhadapproyek atau program yang dilaksanakan.

Kegunaan utama pertanyaan-pertanyaantersebut selain untuk menilai/mengkaji “diri sendiri”(self-assessment), tetapi dapat juga dipergunakansebagai checklist dari disain program, kerangkakerja pelatihan, metodologi untuk mengkajikematangan dan kapasitas proyek/programpengelolaan wilayah pesisir.

Langkah Pertama :Identifikasi dan Pengkajian Isu

Tidak ada yang lebih penting bagi kesuksesansatu generasi pengelolaan wilayah pesisir daripadaseleksi/pemilihan isu yang akan ditangani, baikpermasalahannya maupun oportunitasnya. Langkahpertama ini bisa dianggap selesai apabila isu-isu danwilayah yang akan menjadi subyek perencanaan,penelitian dan dan kerangka dari tindakan-tindakanpengelolaan telah terdefinisikan.

Proses identifikasi isu seringkali didasari olehinformasi yang ada ditambah dengan pelaksanaanpengkajian cepat (rapid assessment) untukmemperoleh gambaran mengenai kondisi lingkungandan sosial di wilayah yang dipertimbangkan untukdikelola. Namun bagaimanapun juga analisis yanglebih lama dan rinci untuk mengidentifikasipermasalahan yang ada, penyebabnya dankemungkinan penanggulangannya oleh masyarakatlokal dan para pimpinan akan lebih mendukung.

Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan yangberkaitan dengan pelaksanaan langkah pertama ini;

A. Identifikasi dan pengkajian isu wilayah pesisir•• Isu-isu pengelolaan apa saja yang menjadi sasaran/

arah dari program atau proyek?•• Apa yang menjadi alasan/pemicu sehingga proyek

pengelolaan sumberdaya tersebut perlu diusulkandan bagaimana hubungannya dengan pemilihan isuyang akan ditangani oleh proyek ?.

•• Apakah suatu kajian telah dipersiapkan denganbaik ? Siapa yang mempersiapkan kajian tersebut

dan siapa yang membiayai kegiatan ini ?•• Siapa saja yang terlibat dalam pengkajian tersebut?

Bagaimana proses keterlibatan mereka ?•• Sejauh mana pengkajian ini membahas kondisi

sosial-ekonomi dari para pengguna/pemanfaatsumberdaya tersebut?

•• Apakah ada analisa mengenai hubungan antaralembaga pemerintah dan lembaga lainnya denganisu-isu pengelolaan pesisir utama pada saat ini?Apakah analisa tersebut dapat mengungkapkankecukupan (adequacy) dari pengelolaan yang adasaat ini?

•• Apa ruang lingkup kajian tersebut ? Teknik danmetodologi apa yang digunakan?

•• Bagaimana tingkat kedalaman/ketelitian dari kajianisu ini terhadap keterbatasan ruang lingkup,sumberdaya dan waktu dalam melaksanakanprogram pada saat ini?

B. Kelompok Stakeholder Utama dan Kepentingannya•• Kelompokstakeholder non-pemerintah mana yang

akan terpengaruh oleh adanya proyek pengelolaansumberdaya pesisir di daerah tersebut ?

•• Apakah proses pengkajian isu tersebut jugamenggali pendapat/pandangan dan persepsi darimasyarakat umum yang tidak termasuk dalamsuatu organisasi? Bagaimana pelaksanaannya danapa hasilnya?

•• Apakah kepentingan dari instansi pemerintah danlembaga formal lainnya seperti universitas,kelompok pengguna, dan organisasi keagamaantelah diperhatikan? Bagaimana kepentingan-kepentingan mereka tersebut dianalisa?

•• Sejauh mana kajian ini mengemukakan perbedaanatau konflik kepentingan? Apakah semua stake-holder dan para tokoh di tingkat lokal maupunpusat telah dilibatkan? Bagaimana hal inidilakukan?

•• Apakah kajian ini mengidentifikasi pemimpin yangberpotensi dan kelompok stakeholder yangketerlibatannya dalam proyek tersebut akandiprioritaskan?

C. Pemilihan Isu•• Isu apa yang telah dipilih oleh proyek sebagai

fokus kegiatannya? Bagaimana dan oleh siapaisu tersebut dipilih?

•• Apakah ruang lingkup dan kompleksitas isu yang

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 10: Proceeding ToT ICM

7

telah dipilih tersebut sesuai dengan kapasitaslembaga yang terlibat dan tim kerja proyek?

•• Apakah perencanaan dan proses perumusankebijakan untuk menjawab isu tersebut dapatmenghasilkan proposal yang cukup berbobot/berkualitas agar memperoleh persetujuan formaldan pendanaan untuk implementasinya?

D. Reaksi terhadap proses pengkajian isu•• Bagaimana kualitas teknis dari kajian yang

dilakukan? Apakah para pakar menilai bahwakajian tersebut sahih?

•• Kepada siapa dan dalam bentuk apa hasil kajiantersebut disampaikan?

•• Respon apa yang diperoleh dari pelaksanaankajian tersebut?

E. Tujuan Program/Proyek Pengelolaan Pesisir•• Sejauh mana proyek yang diusulkan atau tujuan

program mencerminkan isu-isu yang telahdiidentifikasi?

•• Apakah maksud/tujuan dari proyek pengelolaansumberdaya pesisir ini telah dimengerti olehmereka yang akan menerima dampak daripelaksanaan nantinya?

Langkah Kedua: Persiapan PerencanaanPada langkah ini pengelola proyek menyusun

rincian rencana aksi untuk menjawab permasalahan/isu yang telah dipilih di langkah pertama. Tujuanspesifik, kebijakan pengelolaan dan program-pro-gram aksi dijabarkan untuk tiap isu yang dipilih.Penelitian dilaksanakan untuk mengisi data daninformasi detail yang diperlukan untuk lebihmemahami permasalahan yang dihadapi.

Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan yangberkaitan dengan pelaksanaan langkah kedua ini;

A. Pendokumentasian kondisi awal (baseline)•• Studi apa saja yang telah dilakukan dalam

pendokumentasian kondisi awal?•• Apakah masyarakat atau kelompok stakeholder

tertentu berpartisipasi dalam pendokumentasiantersebut?

•• Apakah kondisi awal tersebut dapat dijadikansebagai tolok ukur dalam menganalisis perubahandi masa mendatang? Hal-hal apa saja dalam

kondisi awal tersebut yang dapat menggambarkandampak dimasa datang akibat adanya kegiatanpengelolaan?

•• Apakah lokasi/daerah kontrol (control sites) telahdirencanakan sebagai dasar analisa dampakpengelolaan sumberdaya pesisir?

B. Penelitian Penting•• Penelitian apa saja yang telah dilaksanakan?

Pertanyaan-pertanyaan (hipotesa) apa yangdibuat untuk dijawab oleh penelitian tersebut?Bagaimana peranan isu-isu pengelolaan tersebutdalam menentukan agenda penelitian? Apakahskala penelitian tepat untuk untuk isu yang telahdiidentifikasi dan sesuai dengan kebutuhan pro-gram/proyek?

•• Apakah penelitian yang dilakukan berguna bagiproses perencanaan proyek?

· Siapakah pelaksana dari penelitian ini? Apakahpenelitian ini melibatkan tenaga ahli lokal danberdasarkan pada penelitian yang sudah ada?Apakah telah dipilih pakar dari luar lokasi yangkeahlian dan pengalamannya dapat digunakanuntuk menambah kualitas penelitian tersebut?Apakah pakar dari luar itu membimbing penelitilokal dan bekerja untuk meningkatkan kapasitaslokal di dalam melaksanakan penelitian yangberdasarkan isu-isu pengelolaan sumberdayapesisir?

•• Apakah masyarakat dan stakeholder lainnyadilibatkan dalam penelitian? Apakah merekamendapat informasi mengenai hasil penelitian danimplikasinya?

C. Perencanaan Pengelolaan•• Dasar pemikiran atau teori apa yang melandasi

rancangan pengelolaan utama kedalam rencanapengelolaan? Bagaimana validitas dari logika atauteori tersebut?

•• Untuk kelompok atau individu mana pengelolaanwilayah pesisir tersebut direncanakan?

•• Perubahan-perubahan perilaku apa saja yangdiharapkan dari kelompok sasaran? Seberapapentingnya perubahan-perubahan tersebut?

•• Apakah strategi pengelolaan telahmempertimbangkan keseimbangan antarakegiatan yang telah memiliki pengaturan dengankegiatan yang tidak diatur? Apakah instansipemerintah yang akan dilibatkan dalam

Penyusunan Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Secara Terpadu

Page 11: Proceeding ToT ICM

8

pelaksanaan tersebut telah diajak berkonsultasi?•• Insentif/dorongan apa yang ditawarkan atau biaya

apa yang akan dibebankan kepada kelompoksasaran dalam strategi pengelolaan?

•• Apakah ruang lingkup dan kompleksitas darirencana pengelolaan tersebut sesuai dengankapasitas lembaga-lembaga yang akanbertanggungjawab dalam pelaksanaannya?

•• Apakah batasan-batasan yang diusulkan dalamperencanaan dan pengelolaan itu sesuai denganisu-isu yang telah dipilih?

D. Struktur kelembagaan dan hukum serta proses pengambilan keputusan bagi implementasi program.•• Apakah kerangka kerja kelembagaan telah

dirancang untuk melaksanakan program?•• Apakah dalam rancangan kelembagaan itu

menetapkan hubungan/kaitan dalam formulasikebijakan dan proses pengambilan keputusanpada tingkat lokal dan pada tingkat pemerintahpusat atau daerah (propinsi)?

•• Apa saja kewenangan formal dari pengelola pro-gram? Apakah sudah cukup memadai?

•• Sejauh mana strategi pengelolaan berlandaskanpada kerjasama antar lembaga yang terlibat?

•• Apakah ada kesenjangan juridiksi secara jelas?Apakah kegiatan-kegiatan pengembangan (im-pact generating) secara nyata lepas dariperaturan atau ketentuan pengeloaan lainnya?

•• Apakah program ini terjadi konflik dengan pro-gram atau peraturan lainnya?

•• Apakah konflik hukum (juridiksi) telah dikenalluas? Bagaimana pemecahannya?

E. Kompetensi Staf•• Apa saja pelatihan teknis dan/atau pengelolaan

dan kegiatan pengembangan kapasitas yang telahdiselenggarakan bagi staf proyek dan/atau stafdari lembaga koordinatif? Apakah mereka telahmendalami pengetahuan yang relevan denganpengalaman di berbagai tempat di negaranya, re-gional dan internasional? Apakah mempunyaisuatu strategi peningkatan kapasitas yang khusus?Jika ada, seberapa jauh efektifitasnya?

•• Pada tingkatan apa kepercayaan dan komitmenstaf terhadap rencana pengelolaan? Apakah parastaf mengharapkan untuk berperan secara nyatadalam pelaksanaannya?

F. Perencanaan finansial yang berkelanjutan•• Apakah telah direncanakan sumber dana

keuangan dan sumberdaya lainnya yangdibutuhkan untuk pelaksanaan program?

•• Apakah telah dipersiapkan suatu strtegipendanaan bagi pelaksanaan program? Apakahpendanaan tersebut merupakan gabungan danainti dari pemerintah dengan sumber lainnya?Sampai pada tingkat mana program ini bergantungpada penyandang dana (donatur)?

G. Kegiatan implementasi awal/pendahuluan (Early Implementation Actions)•• Apa jenis kegiatan pendahuluan yang

dilaksanakan?•• Seberapa jauh pengalaman yang diperoleh dari

kegiatan pendahuluan itu dapat ditransfer kepadaisu atau lokasi lainnya?

•• Apakah pengalaman yang dipetik dari kegiatanpendahuluan telah dimasukkan kedalampenyusunan kebijakan?

•• Apakah kegiatan pendahuluan itu menghasilkanpeningkatan yang dapat dirasakan langsung olehpara stakeholder ditempat kegiatan tersebutditerapkan?

H. Program pendidikan dan penyuluhan/ penyadaran bagi masyarakat•• Apakah telah dirancang program pendidikan dan

penyuluhan terutama untuk menginformasikan danmelibatkan mereka yang memiliki kepentingandalam pemilihan isu? Apakah kelompok sasaran(target audiences) telah diidentifikasi dan pesan-pesan penting yang disusun telah disampaikankepada kelompok sasaran dan melalui apa pesan-pesan tersebut telah disalurkan dengan berhasil?

•• Apakah kegiatan pendidikan dan upaya pelibatanyang dilakukan telah mempunyai dampak yangjelas terhadap kelompok sasaran? Apakah reaksidan saran dari masyarakat (publik) mempengaruhirancangan program?

•• Apakah proyek telah mendidik para petugas dantokoh/pemimpin masyarakat tentang problemwilayah pesisir dan upaya-upaya proyek untukmemudahkan pemecahan problem tersebut?Apakah para petugas senior dan para tokohpanutan tersebut berbicara secara terbuka danpenuh perhatian terhadap pengelolaan wilayahpesisir? Apakah mereka itu memahami implikasi

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 12: Proceeding ToT ICM

9

dari penanganan isu-isu proyek, sebab-sebanyadan kemungkinan solusinya?

•• Apakah proyek telah mengubah persepsi umumtentang isu dan kontribusinya terhadap perubahan-perubahan prilaku masyarakat?

Langkah Ketiga:Adopsi Formal dan Pendanaan

Langkah ketiga merupakan masa dimanaupaya perencanaan dikristalisasikan. Pada tahap inisangat penting untuk memperoleh formal mandat tingkattinggi bagi perencanaan yang disusun. Hal ini biasanyadiekspresikan melalui peraturan-peraturan ataupunkeputusan yang memberikan tanggungjawab dankekuatan tertentu.

Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan yangberkaitan dengan pelaksanaan langkah ketiga ini;

A. Persetujuan formal terhadap rencana pengelolaan•• Apakah proses persetujuan menjelaskan cara

untuk satu periode implementasi ataukah masihdiperlukan perencanaan dan/atau prosedur danperaturan persiapan operasional lebih lanjut ?

•• Melalui proses apa, dan pada tingkat politik yangmana, program pengelolaan wilayahpesisir secaraadministratif telah disetujui?

•• Isu-isu penting apa saja yang dimunculkan selamaproses persetujuan?

•• Lembaga/instansi pemerintah, figur politik,kelompok atau kepentingan apa saja yang banyakterlibat dalam proses persetujuan rencanatersebut?

•• Dalam bentuk apa rencana strategi pengelolaansecara resmi disetujui, apakah berupa undang-undang, pemeraturan pemerintah, surat keputusanatau perjanjian antar lembaga? Apakah logikaatau teori yang melandasi rancangan rencanapengelolaan pada Langkah Kedua ini secara nyatatelah dimodifikasi selama proses persetujuan?

B. Penetapan kerangka kerja implementasi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir.•• Apakah telah terjadi pengalihan dengan berhasil

dari proyek kepada program pengelolaan suatulembaga yang jelas didentitasnya sebagai bagian/unsur permanen di dalam struktur pemerintahan?

•• Apakah telah dinegosiasikan perjanjian antar

lembaga yang bertanggungjawab khusus dalamimplementasi program telah dialokasikan diantaraberbagai lembaga yang ada?

•• Apakah otoritas (wewenang) resmi dan kerangkakerja implementasi program cukup dipertimbangkanuntuk kelancaran pelaksanaannya?

•• Apakah terjadi konflik yang baru secara hukum ataudengan program lainnya yang dihadapi selama prosesformalisasi program? Bagaimana terjadinya secaranyata? Apakah ada lembaga lainnya yangmemprotes atau melakukan veto terhadap aspek-aspek program yang dilaksanakan?

C. Pendanaan implementasi program.¨ Apakah sumber keuangan yang telah disepakati

untuk implementasi program telah memadai?Apakah sumberdaya yang tersedia ini cukupuntuk melaksanakan semua program yang adasecara maksimal?

¨ Berapa bagian (proporsi) biaya-biayaimplementasi yang merupakan bagian darianggaran rutin pemerintah? Berapa bagian(proporsi) dana yang didukung oleh grant jangkapendek dan berapa bagian dukungan proyek yangdidanai oleh lembaga internasional dan lembagalainnya?

Langkah Keempat:Implementasi (Pelaksanaan Program)

A. Efektivitas strategi pengelolaan•• Apakah logika atau teori yang melandasi strategi

pengelolaan ini cukup valid ? apakah hipotesadasar dari strategi yang telah disusun itu dapatdianalisa validitasnya?

•• Bagaimana rencana strategi dapat dimodifikasisetiap waktu, jika terjadi ?

•• Apakah kegiatan implementasi telah dilakukansecara imbang antara aksi/tindakan yang berkaitandengan peraturan dan yang tidak berkaitan denganperaturan?

•• Kelompok atau individu mana yang banyakterpengaruh secara langsung oleh kegiatanimplementasi program? Apakah yang terkenadampak implementasi tersebut sesuai yangdiharapkan dalam program yang telah dirancangdan disetujui? Jika bukan, mengapa?

Penyusunan Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Secara Terpadu

Page 13: Proceeding ToT ICM

10

B. Penegakan dan pelanggaran peraturan•• Perubahan-perubahan apa yang diinginkan dari

prilaku kelompok sasaran dalam programpengelolaan? Apakah perubahan-perubahan itutelah tercapai? Jika ada, sebutkan perubahan-perubahan tersebut?

•• Apakah program memberikan kontribusi berupacontoh-contoh penting bagi penegakan peraturanyang dilakukan oleh kelompok pengguna secaramandiri?

•• Apakah insentif/perangsang yang ditawarkan ataubiaya yang dikenakan kepada kelompok sasarandalam strategi pengelolaan terbukti cukup efektif?

C. Kelengkapan kerangka kerja dan wewenang resmi untuk pengelolaan pesisir•• Apakah ada wewenang resmi bagi pengelola

secara penuh? Perkembangan apa saja darikerangka kerja yang telah dibuat?

•• Apakah implementasi mengungkapkankesejangan yurisdiksi secara jelas? Apakahkegiatan-kegiatan yang berdampak besar danluas (impact-generating) merupakanpengecualian dari peraturan atau bentuk aturanlain bagi pengelolaan pesisir?

D. Integrasi dan kerjasama antar lembaga•• Apakah dalam implementasi ada konflik yang

serius dengan program atau peraturan lainnya?Apakah kegiatan dari lembaga-lembaga tersebutkonsisten dengan tujuan dan program pengelolaanpesisir?

•• Apakah konflik secara hukum diangkat kepermukaan dan dikenal secara umum? Bagaimanamengatasinya? Apakah sudah dibuat aturan mainantar lembaga atau telah ditetapkan mekanismeuntuk mengatasi konflik yurisdiksi tersebut? Apabentuk konfliknya? Bagaimana aturan ataumekanisme itu dapat berjalan dengan baik?

•• Apakah bentuk kerjasama yang dibutuhkan antarlembaga dalam strategi pengelolaan itu akan berjalan/bekerja baik?

•• Apa saja aturan organisasi yang cukup efektif untukmengkoordinasikan atau bekerjasama antarlembaga? Aturan mana yang tidak berguna?Mengapa?

•• Apakah ada lembaga lain yang melakukan vetoterhadap beberapa aspek dari strategi pengelolaan?

•• Insentif/perangsang apa yang diperlukan untukmemperkuat koordinasi antar lembaga? Resiko/biaya apa saja yang dibebankan bagi lembaga yangtidak melakukan kerjasama?

E. Program pengadaan staf dan administrasi•• Apakah cukup personalia untuk melaksanakan

strategi pengelolaan? Apakah cukup sumberdayauntuk mendukung tugas staf?

•• Apakah tenaga kerja telah dikelola secara efektif?•• Apakah petunjuk administrasi dan pengerahan

sumberdaya manusia cukup jelas?•• Apakah tanggungjawab setiap staf untuk

mengimplementasikan strategi pengelolaan dapatdipahami oleh yang bersangkutan? Apakah merekaterlibat dalam proses merancang programnya?

•• Apakah staf mendukung strategi pengelolaan?Seberapa jauh komitmen dan kontribusi keahlianmereka dalam implementasinya?

•• Perubahan-perubahan apa saja dalam strategipengelolaan yang merupakan prakarsa dari staf?

F. Pengelolaan keuangan•• Apakah ada proses penganggaran dan

pengelolaan keuangan?•• Bagaimana program dan pertanggungjawaban

keuangannya?

G. Analisa teknis•• Penilaian teknis apa yang dibutuhkan dalam

strategi pengelolaan?•• Data teknis secara khusus apa yang diperlukan

sesuai tujuan pengelolaan? Apakah ada datatentang isu-isu yang valid atau realistis?

•• Apakah cukup tersedia sumberdaya teknis untukmelaksanakan program? Apakah para stafmempunyai keterampilan teknis yang memadaiuntuk membuat penilaian secara tepat?

H. Transparansi•• Apakah kebijakan, prosedur pengambilan

keputusan dan penegakan mekanisme programtelah dipahami oleh sebagian besar dari merekayang terpengaruh langsung dalam implementasinya?

•• Apakah keputusan program yang tidak tepat tetapdiumumkan dan diinformasikan kepada merekayang terpengaruh terhadap program tersebut?

•• Sejauh mana data yang diprogramkan (data kajiandampak, keputusan yang dihasilkan, rencana

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 14: Proceeding ToT ICM

11

pengembangan dan konservasi, jenis/macampelanggaran, dan data penting lainnya) tersediabagi stakeholder utama dan masyarakat umum?

I. Konstruksi (pembangunan) dan pemeliharaan infrastruktur•• Jika pembangunan infrastruktur wilayah pesisir

merupakan bagian penting dari lembaga pengelolanpesisir, apakah implementasi strategi dari unsur(pembangunan) ini telah membuat perhatian para stafmelebihi unsur pengelolaan lain yang menjaditugasnya?

•• Seberapa jauh pembangunan infrastruktur tersebutmerupakan bagian dari kewajiban lembagapengelola? Bagaimana penetapan secara khusustentang kebutuhan proyek infrastruktur tersebut?

•• Berapa bagian (proporsi) proyek infrastruktur inidisebut proyek besar dan proyek kecil menurut parapenerima manfaat (beneficiaries) yangteridentifikasi?

•• Seberapa jauh para penerima manfaatpembangunan infrastruktur yang teridentifikasitersebut berpartisipasi dalam penyusunanrancangan, pendanaan, dan pengembanganproyek infrastruktur wilayah pesisir?

•• Seberapa jauh penerima manfaat berpartisipasidalam operasi dan pemeliharaan proyekinfrastruktur itu?

•• Apakah ada mekanisme penganggaran bagipembangunan dan pemeliharaan infrastruktur?Bagaimana efektifitasnya?

•• Apa standar mutu dari pembangunan infratrukturtersebut?

J. Partisipasi•• Golongan/kelompok dan individu mana saja dari

pemerintah dan non-pemerintah yang mempunyaiandil paling besar dalam pengelolaan wilayah pesisirtersebut?

•• Pada tingkat apa dukungan politik dari golongantersebut terhadap pengelolaan pesisir?

•• Seberapa jauh keterlibatan penerima manfaat pro-gram dan stakeholder utama secara aktif dalamimplementasi program?

•• Cara atau strategi apa yang digunakan untukmembangkitkan partisipasi mereka? Seberapa jauhtingkat keberhasilannya?

K. Resolusi konflik•• Jika ada, konflik apa yang muncul dalam

implementasi program?•• Apa saja teknik resolusi konflik yang digunakan?

Bagaimana keberhasilannya?

L. Dukungan politik•• Apakah ada figur politik senior dalam program/

proyek? Apakah mereka mendukung program?•• Apakah mereka dipilih atau ada petugas

pemerintah lain yang ditunjuk menempati posisidalam program? Bagaimana dukungan merekaterhadap program? Bagaiamana, jika terjadi,perubahan dukungan mereka sepanjang waktuprogram?

•• Dalam implementasinya, problem utama apa yangdihadapi menurut pendapat para petugas yangsecara langsung terlibat dalam pengelolaan?Bagaimana menurut petugas lembaga lainnya?Bagaimana menurut petugas non-pemerintah(LSM)?

•• Bagaimana dukungan dari kelompok non-pemerintah (LSM)?

•• Apakah program/proyek ini mendapat dukungansecara umum dari masyarakat? Dalam bentukapa atau bagaimana dukungan tersebutdiwujudkan atau diekspresikan?

M. Program monitoring (pemantauan)•• Apakah telah dirumuskan mengenai program

monitoring? Apakah program monitoring itumenekankan pada data administrasi, datalingkungan, data sosial atau data kombinasi?

•• Sumberdaya apa dan kapan staf dibutuhkan dalamprogram monitoring? Apakah penempatan staftelah sesuai permintaan yang rasional?

•• Apakah ada rancangan analitis untuk menyusunberbagai kesimpulan yang diolah dandipertimbangkan dari data yang telahdikumpulkan? Apakah lokasi kontrol telahdimasukkan ke dalam rancangan analitis?

•• Indikator apa yang digunakan untuk menilai pro-gram utama? Bagaimana validitasnya?

•• Untuk ekologi pesisir, berapa kali datadikumpulkan? Pada skala ruang apa datadikumpulkan?

•• Data monitoring apa yang dikumpulkan?Seberapa jauh program/proyek mengatur tentangrencana monitoring?

Penyusunan Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Secara Terpadu

Page 15: Proceeding ToT ICM

12

•• Keputusan administrasi rutin, rencana ataukegiatan apa yang diinformasikan dalam programmonitoring?

•• Bagaimana data monitoring dikumpulkan,disimpan dan diolah untuk diinformasikan? Siapayang mengakses data tersebut?

Langkah Kelima: Evaluasi

A. Kegunaan dan dampak dari evaluasi•• Apakah evaluasi dinyatakan secara jelas dalam

dokumen proyek?•• Apakah swa-kaji (self-assessment) atau bentuk

evaluasi lainnya telah dilaksanakan dalam pro-gram? Apakah dilaksanakan untuk beberapaproyek atau beberapa komponen lain dari pro-gram?

•• Tipe evaluasi yang mana telah dilaksanakan?•• Bagaimana hasil evaluasi dikomunikasikan?•• Bagaimana hasil evaluasi digunakan?•• Bagaimana, jika ada, evaluasi memberikan

kontribusi kepada learning secara organisatoris?

STUDI KASUS :PENERAPAN SIKLUS KEBIJAKAN/

PROYEK

A. PEMILIHAN ISU

•• Di Srilangka, rencana pengelolaan wilayah pesisirgenerasi pertama (satu siklus) dimulai pada tahun1983, proses identifikasi isu dilaksanakan olehstaf Departemen Konservsi Pesisir (Coast Con-servation Department = CCD).

•• Isu-isu penting yang dipilih dari hasil identifikasiadalah erosi pantai, degradasi dan deplesi habitatdan hilangnya sumberdaya sejarah, budaya dankeindahan alam pada daerah pesisir.

•• Erosi pantai dipilih secara nyata karena bagiandari tugas departemen. Pengelolaan habitat danperlindungan tempat bersejarah dan berbudayadilakukan melalui proses penetapan peraturanpada lebar 300 m di pesisir yang termasuk dalamarea konservasi pantai.

•• Perhatian lainnya pada limbah industri terhadaphabitat estuaria. Program pengelolaan kualitas airdi wilayah pesisir dilakukan pada perencanaangenerasi kedua (siklus kedua) pada tahun 1997.

Oleh karena itu, satu generasi (satu sikluskebijakan) proyek/program pengelolaan wilayahpesisir di Srilangka dalam kasus ini selama 14tahun.

B. UNSUR-UNSUR PENTING UNTUK MENGGAMBARKAN PROFIL (PROFILING) SUATU WILAYAH PESISIR

a. Bagaimana kondisi ekosistem pada saat ini ?•• Menggambarkan karakteristik habitat, spesies dan

komunitas biologis.•• Mengidentifikasi perkembangan kondisi dan

pemanfaatan sumberdaya, serta menggambarkanpertimbangan implikasi jangka pendek dan jangkapanjang terhadap perubahan-perubahanlingkungan dan atau sosial.

•• Mengidentifikasi masalah-masalah sumberdayadan peluang pengelolaan yang dinilai penting padalokasi-lokasi yang spesifik.

b. Bagaimana kualitas hidup masyarakat pada area tersebut?•• Mengkaji indikator yang dapat dikuantifikasi (ma-

terial indicators) seperti pendapatan, gizi,perumahan, pendidikan, dan sebagainya, jugaindikator yang tidak tampak/sulit dikuantifikasi (in-tangible indicators) misalnya harapan, impian, danketakutan masa depan dari masyarakat.

•• Apa yang ada dalam fikiran masyarakat? Isu-isuapa yang dapat diatasi sendiri oleh masyarakat lokal?

b. Bagaimana konteks kelembagaan bagi sumberdaya pada area yang telah ditentukan?•• Apa peranan dan tanggungjawab lembaga

pemerintah terhadap pengelolaan sumberdayapesisir? Apakah ada lembaga yang dipersiapkanuntuk menangani isu pengelolaan sumberdayayang penting? Bagaimana peranan pengelola yangberubah-ubah dari waktu ke waktu ? Apakahada pengelolaan secara tradisional yang relevanuntuk masalah-masalah yang kontemporer?

•• Mengkaji kemampuan lembaga-lembaga dalammengelola isu-isu pada saat ini dan masamendatang berdasarkan kemampuan teknis dankredibilitas publiknya?

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 16: Proceeding ToT ICM

13

C. BASELINE STUDIES (STUDI KONDISI AWAL)•• Studi baseline tentang sosial-ekonomi dan

lingkungan pada tingkat desa telah dilaksanakandi desa Bentenan dan Tumbak (Minahasa,Sulawesi Utara) oleh Proyek Pesisir.

•• Studi sosial-ekonomi ini mengumpulkan informasidemografi berbasis rumah tangga, jenis kegiatanproduktif rumah tangga, praktek perikanan, dansikap-sikap penduduk terhadap aktifitaspemanfaatan sumberdaya pesisir di kedua desatersebut.

•• Survey lingkungan pada kedua desa tersebut dibagidalam 12 stasiun transek untuk sensus jenis-jenisikan dan kondisi terumbu karang.

D. CIRI-CIRI KEBERHASILAN KEGIATAN PENDAHULUAN (Early Action)•• Kegiatan berjangka pendek kurang dari 12 bulan.•• Hasil kegiatan secara langsung dapat dirasakan

manfaatnya oleh masyarakat.•• Melibatkan berbagai kelompok, dalam arti

kegiatan ini memerlukan koordinasi sebanyakmungkin kelompok yang beragam.

•• Kegiatan ini mempertimbangkan prilaku sosialdalam penggunaan dan pengelolaan sumberdayapesisir.

•• Menghasilkan publisitas positif bagi proyekpengelolaan pesisir.

PENUTUPPengalaman global maupun regional

menunjukkan bahwa program pengelolaan wilayahpesisir menjadi “dewasa” setelah menyelesaikansecara berturut-turut beberapa “siklus”. Satu siklusdapat membutuhkan waktu 8-15 tahun dan dapatdianggap sebagai satu generasi dari programpengelolaan. Siklus awal biasanya dimulai denganmenjawab beberapa isu yang sangat mendesak untuksegera diatasi dalam lingkup geografi terbatas.Setelah melalui “belajar dari pengalaman” barulahkita mencoba menjawab isu-isu yang lebih rumit danlingkup wilayah yang lebih luas.

Dalam mempelajari pengalaman pelaksanaanpengelolaan pesisir, yang penting untuk diperhatikanadalah lamanya waktu yang diperlukan untukmencapai tujuan akhir dari program tersebut, yaitu;(1) kualitas hidup komunitas pesisir yangberkelanjutan dan (2) kualitas lingkungan hidupwilayah pesisir yang lestari. Urut-urutan untuk dapatmencapai tujuan akhir tersebut dapat digambarkansebagai pencapaian tujuan antara pada generasipertama, kedua dan ketiga. Skala waktu yangdemikian panjang berada diluar “masa kerja” proyekatau program yang dibiayai oleh bank-bankpembangunan maupun donor-donor internasional.Oleh karena itu untuk dapat selalu menarik benangmerah dari satu siklus/generasi ke siklus/generasiberikutnya ataupun mengikuti setiap langkah dalamsatu siklus diperlukan adanya metoda evaluasi yangsistematis.

DAFTAR PUSTAKA

GESAMP (IMO/FAO/UNESCO-IOC/WMO/WHO/IAEA/UN/UNEP Joint Group of Experts on the ScientificAspects of Marine Environmental Protection). 1996.The contributions of science to coastal zone manage-ment. Rep.Stud.GESAMP, (61):66p.

Kay, R. and J. Alder. 1999. Coastal Planning and Manage-ment. E & FN SPON. London and New York.

Margolius, R., and N. Salafsky. 1998. Measures of suc-cess: designing, managing and monitoring conserva-tion and development projects. Island Press, Wash-ington, D.C.

Owens, J.M. 1993. Program Evaluations: Forms and Ap-proaches. Allen & Unwin, Melbourne.

Olsen, Stephen., Kem Lowry., Jim Tobey. 1998. CoastalManagement Planning and Implementation: A Manualfor Self-Assessment. The University of Rhode Island,Coastal Resources Center. Graduate School of Ocean-ography. Narragansett, Rhode Island.

Sabatier, P. and D. Mazmanian. 1981. The implementationof Public Policy: A Framework for Analysis. In Effec-tive Policy Implementation, ed. by D. Mazmanian andP. Sabatier, Lexington, Mass. Lexington Books.

USAID. 1987. AID Program Design and Evaluation Meth-odology Report No. 7. AID Evaluation Handbook.Agency for International Development, Washington,D.C. USA.

Penyusunan Program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Secara Terpadu

Page 17: Proceeding ToT ICM

14

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

ASPEK SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DANSTRATEGI PEMBERDAYAAN MEREKA DALAM KONTEKS

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR SECARA TERPADU

DR. VICTOR P.H. NIKIJULUWDirektorat Pemberdayaan Masyarakat

Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau KecilDepartemen Kelautan dan Perikanan-RI

[email protected]

PENDAHULUANDari judul makalah ini, terdapat tiga kata kunci

yang patut dicermati yaitu (1) aspek sosial ekonomi,(2) strategi pemberdayaan masyarakat, dan (3)pengelolaan pesisir secara terpadu. Kaitan atauhubungan antara ketiga kata kunci ini telahdiungkapkan pada judul makalah ini. Dapat dilihatbahwa aspek sosial ekonomi masyarakat pesisirserta upaya-upaya pemberdayaan merekamerupakan variabel penting dalam mengembangkanpengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu.Bagaimana wujud dan esensi hubungan antaravariabel ini akan diuraikan pada makalah ini. Namunterlebih dahulu akan diuraikan mengenai aspek-aspek sosial ekonomi dan strategi pemberdayaanmasyarakat pesisir. Pada bagian akhir makalah ini,diajukan beberapa contoh kegiatan pemberdayaanmasyarakat pesisir serta implikasinya bagipengembangan pengelolaan wilayah pesisir secaraterpadu.

Siapakah Masyarakat PesisirBagi kepentingan makalah ini, masyarakat

pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yangtinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupanperekonomiannya bergantung secara langsung padapemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Definisiinipun bisa juga dikembangkan lebih jauh karenapada dasarnya banyak orang yang hidupnyabergantung pada sumberdaya laut. Mereka terdiridari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidayaikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan,pengolah ikan, supplier faktor sarana produksiperikanan. Dalam bidang non-perikanan, masyarakatpesisir bisa terdiri dari penjual jasa pariwisata,penjual jasa transportasi, serta kelompokmasyarakat lainnya yang memanfaatkan sumberdaya

non-hayati laut dan pesisir untuk menyokongkehidupannya.

Namun untuk lebih operasional, definisimasyarakat pesisir yang luas ini tidak seluruhnyadiambil tetapi hanya difokuskan pada kelompoknelayan dan pembudidaya ikan serta pedagang danpengolah ikan. Kelompok ini secara langsungmengusahakan dan memanfaatkan sumberdaya ikanmelalui kegiatan penangkapan dan budidaya.Kelompok ini pula yang mendominasi pemukimandi wilayah pesisir di seluruh Indonesia, di pantaipulau-pulau besar dan kecil. Sebagian masyarakatnelayan pesisir ini adalah pengusaha skala kecil danmenengah. Namun lebih banyak dari mereka yangbersifat subsisten, menjalani usaha dan kegiatanekonominya untuk menghidupi keluarga sendiri,dengan skala yang begitu kecil sehingga hasilnyahanya cukup untuk memenuhi kebutuhan jangkawaktu sangat pendek.

Dari sisi skala usaha perikanan, kelompokmasyarakat pesisir miskin diantaranya terdiri darirumah tangga perikanan yang menangkap ikan tanpamenggunakan perahu, menggunakan perahu tanpamotor dan perahu bermotor tempel. Dengan skalausaha ini, rumah tangga ini hanya mampu menangkapikan di daerah dekat pantai. Dalam kasus tertentu,memang mereka dapat pergi jauh dari pantai dengancara bekerjasama sebagai mitra perusahaan besar.Namun usaha dengan hubungan kemitraan sepertitidak begitu banyak dan berarti dibandingkan denganjumlah rumah tangga yang begitu banyak.

Dikemukakan pada Tabel 1, rumah tanggadengan usaha skala kecil ini sekitar 370.031 unit(81,67%) dari total rumah tangga. Katakanlah, suatuunit usaha mempekerjakan 4 orang, maka secaratotal terdapat 1.480.124 keluarga yang menjalankanusaha skala kecil penangkapan ikan. Dibandingkan

Page 18: Proceeding ToT ICM

15

dengan 10 tahun sebelumnya, proporsi rumah tanggaskala usaha kecil ini boleh dikatakan tidak berubah.Secara magnitude jumlahnya bahkan meningkatdengan berarti. Bila data-data ini digunakan sebagaivariabel determinan ketidak-mampuan dan ketidak-berdayaan usaha maka dapat dikatakan bahwasebagian besar nelayan kecil itu tidak berdaya dandi sisi lain mereka terperangkap dalam ketidakberdayaannya.

Kemiskinan yang merupakan indikatorketertinggalan masyarakat pesisir ini disebabkanpaling tidak oleh tiga hal utama, yaitu (1) kemiskinanstruktural, (2) kemiskinan super-struktural, dan (3)kemiskinan kultural.

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yangdisebabkan karena pengaruh faktor atau variabeleksternal di luar individu. Variabel-variabel tersebutadalah struktur sosial ekonomi masyarakat,ketersediaan insentif atau disinsentif pembangunan,ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaanteknologi, dan ketersediaan sumberdayapembangunan khususnya sumberdaya alam.Hubungan antara variabel-variabel ini dengankemiskinan umumnya bersifat terbalik. Artinyasemakin tinggi intensitas, volume dan kualitasvariabel-variabel ini maka kemiskinan semakinberkurang. Khusus untuk variabel struktur sosialekonomi, hubungannya dengan kemiskinan lebih sulitditentukan. Yang jelas bahwa keadaan sosialekonomi masyarakat yang terjadi di sekitar atau dilingkup nelayan menentukan kemiskinan dankesejahteraan mereka.

Kemiskinan super-struktural adalahkemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel kebijakan makro yang tidak begitu kuatberpihak pada pembangunan nelayan. Variabel-variabel superstruktur tersebut diantaranya adanyakebijakan fiskal, kebijakan moneter, ketersediaanhukum dan perundang-undangan, kebijakan

Tabel 1. Komposisi Rumah Tangga Perikanan Berdasarkan Skala Usaha

pemerintahan yang diimplementasikan dalam proyekdan program pembangunan. Kemiskinan super-struktural ini sangat sulit diatasi bila saja tidak disertaikeinginan dan kemauan secara tulus dari pemerintahuntuk mengatasinya. Kesulitan tersebut jugadisebabkan karena kompetisi antar sektor, antardaerah, serta antar institusi yang membuat sehinggaadanya ketimpangan dan kesenjanganpembangunan. Kemiskinan super-struktural ini hanyabisa diatasi apabila pemerintah, baik tingkat pusatmaupun daerah, memiliki komitmen khusus dalambentuk tindakan-tindakan yang bias bagi kepentinganmasyarakat miskin. Dengan kata lain affirmativeactions, perlu dilaksanakan oleh pemerintah pusatmaupun daerah.

Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yangdisebabkan karena variabel-variabel yang melekat,inheren, dan menjadi gaya hidup tertentu. Akibatnyasulit untuk individu bersangkutan keluar darikemiskinan itu karena tidak disadari atau tidakdiketahui oleh individu yang bersangkutan. Variabel-variabel penyebab kemiskinan kultural adalah tingkatpendidikan, pengetahuan, adat, budaya,kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu, serta ketaatan pada panutan.Kemiskinan secara struktural ini sulit untuk diatasi.Umumnya pengaruh panutan (patron) baik yangbersifat formal, informal, maupun asli (indigenous)sangat menentukan keberhasilan upaya-upayapengentasan kemiskinan kultural ini. Penelitian dibeberapa negara Asia yang masyarakatnya terdiridari beberapa golongan agama menunjukkan jugabahwa agama serta nilai-nilai kepercayaanmasyarakat memiliki pengaruh yang sangat signifikanterhadap status sosial ekonomi masyarakat dankeluarga.

Para pakar ekonomi sumberdaya melihatkemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayanlebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial

Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir dan Strategi Pemberdayaan Mereka dalam Konteks Pengelolaan..........

Page 19: Proceeding ToT ICM

16

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

ekonomi yang terkait karakteristik sumberdaya sertateknologi yang digunakan. Faktor-faktor yangdimaksud membuat sehingga nelayan tetap dalamkemiskinannya.

Smith (1979) yang mengadakan kajianpembangunan perikanan di berbagai negara Asiaserta Anderson (1979) yang melakukannya dinegara-negara Eropa dan Amerika Utara tiba padakesimpulan bahwa kekauan aset perikanan (fixityand rigidity of fishing assets) adalah asalan utamakenapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengankemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya merekauntuk keluar dari kemiskinan itu. Kekakuan asettersebut adalah karena sifat aset perikanan yangbegitu rupa sehingga sulit untuk dilikuidasi ataudiubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagikepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitasaset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untukmengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut.Karena itu, meskipun rendah produktivitas, nelayantetap melakukan operasi penangkapan ikan yangsesungguhnya tidak lagi efisien secara ekonomis.

Subade and Abdullah (1993) mengajukanargumen lain yaitu bahwa nelayan tetap tinggal padaindustri perikanan karena rendahnya opportunitycost mereka. Opportunity cost nelayan, menurutdefinisi, adalah kemungkinan atau alternatif kegiatanatau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapatdiperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain,opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisadikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkapikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayancenderung tetap melaksanakan usahanya meskipunusaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien.

Ada juga argumen yang mengatakan bahwaopportunity cost nelayan, khususnya di negaraberkembang, sangat kecil dan cenderung mendekatinihil. Bila demikian maka nelayan tidak punya pilihanlain sebagai mata pencahariannya. Dengan demikianapa yang terjadi, nelayan tetap bekerja sebagainelayan karena hanya itu yang bisa dikerjakan.

Panayotou (1982) mengatakan bahwa nelayantetap mau tinggal dalam kemiskinan karenakehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (pref-erence for a particular way of life). PendapatPanayotou (1982) ini dikalimatkan oleh Subade danAbdullah (1993) dengan menekankan bahwanelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yangbisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan

berlaku sebagai pelaku yang semata-matabeorientasi pada peningkatan pendapatan. Karenaway of life yang demikian maka apapun yang terjadidengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggapsebagai masalah baginya. Way of life sangat sukardirubah. Karena itu maka meskipun menurut pandanganorang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayanitu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasabahagia dengan kehidupan itu.

Mengentaskan KemiskinanMasyarakat Pesisir

Berbagai program, proyek dan kegiatan telahdilakukan untuk mengentaskan nelayan darikemiskinan. Namun seperti digambarkan padaTabel 1, ternyata jumlah nelayan kecil secaramagnitute tetap bertambah. Desa-desa pesisirsemakin hari semakin luas areanya dan banyakjumlahnya. Karena itu meskipun banyak upaya telahdilakukan, umumnya bisa dikatakan bahwa upaya-upaya tersebut belum membawa hasil yangmemuaskan.

Motorisasi armada nelayan skala kecil adalahprogram yang dikembangkan pada awal tahun1980-an untuk meningkatkan produktivitas. Pro-gram motorisasi dilaksanakan di daerah padatnelayan, juga sebagai respons atas dikeluarkannyaKeppres No. 39 tahun 1980 tentang penghapusanpukat harimau. Program ini semacam kompensasiuntuk meningkatkan produksi udang nasional.Namun ternyata motorisasi armada ini banyak gagalkarena tidak tepat sasaran yaitu bias melawannelayan kecil, dimanipulasi oleh aparat dan elit demiuntuk kepentingan mereka dan bukannya untukkepentingan nelayan.

Akan tetapi program motorisasi ini jugamembawa dampak positip, dilihat dari bertambahnyajumlah perahu bermotor di banyak daerah di Indo-nesia. Saat ini bila ada program pemerintah untukmengadakan armada kapal/perahu nelayan, atau bilaada rencana investasi oleh nelayan, selalu pengadaanmotor penggerak perahu menjadi permintaannelayan.

Program lain yang dikembangkan untukmengentaskan kemiskinan adalah pengembangannilai tambah melalui penerapan sistem rantai dingin(cold chain system). Sistem rantai dingin adalahpenerapan cara-cara penanganan ikan denganmenggunakan es guna menghindari kemunduran

Page 20: Proceeding ToT ICM

17

Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir dan Strategi Pemberdayaan Mereka dalam Konteks Pengelolaan..........

mutu ikan. Dikatakan sistem rantai dingin karenaesensinya yaitu menggunakan es di sepanjang rantaipemasaran dan transportasi ikan, yaitu sejakditangkap atau diangkat dari laut hingga ikan tiba dipasar eceran atau di tangan konsumen.

Sistem rantai dingin dikembangkan di seluruhdaerah di Indonesia pada awal tahun 1980-an.Namun demikian masalah yang dihadapi adalahsosialisasi sistem ini yang tidak begitu baik sehinggaakhirnya kurang mendapat tempat di hati masyarakat.Sebagai contoh hingga saat ini, di daerah tertentu diMaluku dan NTT, ada pendapat bahwa ikan yangmenggunakan es adalah ikan yang rendahkualitasnya. Bagi masyarakat di kedua daerah ini,meskipun ikan sudah sangat turun mutunya namuntetap dikonsumsi bila tidak memakasi es. Sebaliknyameskipun masih baik mutunya namun apabilamenggunakan es maka ikan tersebut tidak akan dibelioleh masyarakat.

Alasan lain kurang berhasilnya sistem rantaidingin adalah fasilitas dan prasarana pabrik es yangtidak tersedia secara baik. Umumnya pabrik esdibangun oleh swasta, kecuali di pelabuhanperikanan milik pemerintah dimana pabrik es tersedia.Namun demikian apa yang disediakan olehpemerintah masih sedikit dan terkonsentrasidi daerah tertentu saja, bila dibandingkandengan kebutuhan yang begitu besar dantersebar merata di seluruh Indonesia

Program besar lain yang dilakukanpemerintah untuk mengentaskan kemiskinanadalah pembangunan prasarana perikanan,khususnya pelabuhan perikanan berbagai tipedan ukuran di seluruh Indonesia. Denganbantuan luar negeri, selama beberapa tahunterakhir, pelabuhan perikanan, mulai darikelas yang sangat kecil yaitu pangkalanpendaratan ikan hingga kelas yang terbesaryaitu pelabuhan perikanan samudera,dibangun di desa-desa nelayan dan sentra-sentra produksi perikanan. Akan tetapi,kembali, banyak pelabuhan yang masih belumdimanfaatkan secara optimal, di bawah kapasitas,atau tidak berfungsi sama sekali. Perlahan-lahan,banyak pelabuhan dan fasilitas daratnya mulai rusakdan usang di makan usia. Akhirnya memang masihbanyak pelabuhan yang berfungsi, namun lebihbanyak yang tidak berfungsi atau rusak sebelumdimanfaatkan.

Selain ketiga program di atas, dan banyak pro-gram pembangunan lainnya yang secara tidaklangsung berkaitan dengan pengentasan kemiskinan.Salah satu program yang dilakukan pada masapemerintahan Habibie adalah Protekan 2003 yaituGerakan Peningkatan Eskpor Perikanan hinggamenjelang tahun 2003 mencapai nilai ekspor 10milyar dolar. Gerakan ini namun mati pada usia yangsangat muda, sejalan dengan berhentinya erapemerintahan Habibie.

Program lain berhubungan dengan konservasidan rehabilitasi lingkungan hidup. Pembuatan karangbuatan, penanam kembali hutan bakau, konservasikasawan laut dan jenis ikan tertentu, sertapenegakan hukum terhadap kegiatan-kegiatanpenangkapan ikan dengan menggunakan bom, racun,dan alat tangkap ikan yang destrukif adalah pro-gram-program pembangunan yang secara tidaklangsung mempengaruhi kesejahteraan nelayan.

Dari sisi kelembagaan dikembangkan jugapola-pola usaha perikanan yang mampumeningkatkan pendapatan nelayan. Untuk itudikembangkan koperasi perikanan, KUD Mina,kelompok usaha bersama perikanan, kelompoknelayan, kelompok wanita nelayan, dan organisasi

profesi nelayan. Demikian juga pola usaha yangsecara marak dikembangkan di hampir seluruh In-donesia adalah perikanan inti rakyat, suatu sistemusaha dimana nelayan sebagai plasma bermitradengan perusahaan sebagai inti. Namun demikianbisa juga dikatakan bahwa upaya-upaya dari sisikelembagaan ini belum juga memberikan hasil yangjelas menguntungkan nelayan. Meskipun banyak

Page 21: Proceeding ToT ICM

18

kelembagaan nelayan terbentuk, namun hanyasedikit bisa bertahan. Dengan bergantinya waktu,banyak juga lembaga-lembaga nelayan yangperlahan-lahan mati dan tidak berfungsi. Demikianjuga banyak kemitraan nelayan dan perusahaan besartidak berlanjut karena ketidakadilan dalampembagian hasil, resiko dan biaya. Malahansebaliknya, pola hubungan kemitraan antara nelayandan swasta menjadi sesuatu yang dinilai negatif olehnelayan dan konsep yang bagus ini ditolak olehnelayan.

Keseluruhan program dan pendekatan yangdilakukan untuk meningkatkan pendapatan nelayandan mengentaskan mereka dari kemiskinan sepertiyang diuraikan diatas, seperti membuang garam kelaut. Tiada bekas dan dampak yang berarti. Kalaudemikian maka sebetulnya ada sesuatu yang salahdari program-program tersebut. Atau apa yangdilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan. Jadi adakebutuhan lain yang sebetulnya merupakan kuncipokok permasalahan. Bila hal tersebut bisadipecahkan dan ada program-program pem-bangunan ke arah itu, barangkali saja pendapatannelayan sebagai komponen utama masyarakat pesisirdapat ditingkatkan dan insidens kemiskinan bisadiminimalkan.

PARADIGMA PEMBERDAYAANSOSIAL EKONOMI

Menurut saya kebutuhan lain yang selama initidak dipenuhi yaitu kurang dilibatkannya masyarakatpesisir dalam pembangunan. Keterlibatan yangdimaksudkan di sini adalah keterlibatan secara totaldalam semua aspek program pembangunan yangmenyangkut diri mereka, yaitu sejak perencanaanprogram, pelaksanaannya, evaluasinya, sertaperelevansiannya. Dengan kata lain, kekuranganyang dimiliki selama ini yaitu tidak atau kurangpartisipasi masyarakat dalam pembangunan dirimereka sendiri. Padahal partisipasi itu begitu perlukarena bagaimanapun juga, dan dengan dengansegala jenis upaya, tidak ada seorang miskinpunyang bisa keluar dari kemiskinannya dengan bantuanorang lain, bila dia tidak membantu dirinya sendiri.Di Sri Lanka, misalnya, pembangunan untukmengatasi kemiskinan nelayan begitu signifikanhasilnya karena prinsip program pembangunan yangdianut adalah helping the poor to help themselves(BOBP, 1990).

Berbicara mengenai partisipasi, setiap orangpasti mengatakan bahwa hal tersebut bukan sesuatuyang baru. Barangkali pendapat ini ada benarnya.Namun demikian bisa dikatakan juga bahwapartisipasi masyarakat terutama grass root dalampembangunan selama 50 tahun terakhir ini adalahsesuatu yang artifisial, sebatas slogan,direkayasakan, dan dipaksakan. Dengan adanyarejim sentralistik maka partisipasi masyarakat tidakmendapat tempat sama sekali. Inisiatif masyarakatsering dinilai kurang tepat, kalau tidak dikatakansalah sama sekali. Yang lebih tepat adalah programpemerintah pusat dan program departemen yanguntuk masyarakat dikemas dalam bentuk program-program pembinaan.

Hanya baru pada akhir tahun 1990-an, pro-gram pemberdayaan masyarakat sebagai ganti pro-gram pembinaan masyarakat mulai mendapat tempatkarena bukti dan pengalaman empiris di banyaknegara. Program pemberdayaan masyarakat seakan-akan menjadi new mainstream dalam pembangunan,dikembangkan dan dipromosikan oleh lembagaswadaya masyarakat (LSM). Program pemberdayaanmasyarakat berhasil di banyak tempat karena militansi(sifat ngotot untuk berhasil) LSM untukmelaksanakannya. Program pemberdayaanmasyarakat adalah program pelibatan dan peningkatanpartisipasi masyarakat, program yang berpangkal danberbasis masyarakat karena sesuai dengan kebutuhandan aspirasi mereka, program yang berasal dari bawahyang berarti bahwa masyarakatlah yangmengusulkannya, serta program yang bersifat advokasikarena peran orang luar hanya sebatas mendampingidan memberikan alternatif pemecahan masalahkepada masyarakat.

Program pemberdayaan masyarakat telahmenjadimainstreamupaya peningkatan kesejahteraanserta pengengentasan kemiskinan. Denganpemberdayaan masyarakat maka pembangunan tidakmulai dari titik nadir, tetapi berawal dari sesuatu yangsudah ada pada masyarakat. Pemberdayaan berartiapa yang telah dimiliki oleh masyarakat adalahsumberdaya pembangunan yang perlu dikembangkansehingga makin nyata kegunaannya bagi masyarakatsendiri.

Tujuan Pemberdayaan Masyarakat PesisirBerdasarkan konsep pembanguanan masyarakat

yang menekankan pada pemberdayaan maka

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 22: Proceeding ToT ICM

19

Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir dan Strategi Pemberdayaan Mereka dalam Konteks Pengelolaan..........

diformulasikan sasaran pemberdayaanmasyarakat pesisir, khususnya nelayan danpetani ikan yang tinggal di kawasan pesisirpulau kecil dan besar, yang adalah sebagaiberikut:•• Tersedianya dan terpenuhinya kebutuhan

dasar manusia yang terdiri dari sandang,pangan, papan, kesehatan, danpendidikan.

•• Tersedianya prasarana dan saranaproduksi secara lokal yangmemungkinkan masyarakat dapatmemperolehnya dengan harga murah dan kualitasyang baik.

•• Meningkatnya peran kelembagaan masyarakatsebagai wadah aksi kolektif (collective action)untuk mencapai tujuan-tujuan individu.

•• Terciptanya kegiatan-kegiatan ekonomi produktifdi daerah yang memiliki ciri-ciri berbasissumberdaya lokal (resource-based), memilikipasar yang jelas (market-based), dilakukansecara berkelanjutan dengan memperhatikankapasitas sumberdaya (environmental-based),dimiliki dan dilaksanakan serta berdampak bagimasyarakat lokal (local society-based), dandengan menggunakan teknologi maju tepat gunayang berasal dari proses pengkajian dan penelitian(scientific-based).

•• Terciptanya hubungan transportasi dankomunikasi sebagai basis atau dasar hubunganekonomi antar kawasan pesisir serta antara pesisirdan pedalaman.

•• Terwujudnya struktur ekonomi Indonesia yangberbasis pada kegiatan ekonomi di wilayah pesisirdan laut sebagai wujud pemanfaatan danpendayagunaan sumberdaya alam laut.

Tanggung Jawab Stakeholdersdalam Pemberdayaan

Tanggung jawab pemberdayaan masyarakatpesisisr seolah-olah hanya ada pada DepartemenKelautan dan Perikanan. Hal ini tentu saja tidak benarkarena instansi pemerintah lainnya memiliki jugatanggung jawab di kawasan pesisir. DepartemenKelautan dan Perikanan memang menjalankan kegiatanpembangunan yang berfokus pada pembangunanperikanan, penataan wilayah dan ruang pesisir,pembangunan nelayan dan pembudidaya ikan, sertaeksplorasi potensi sumberdaya kelautan dan perikanan.

Tetapi tugas-tugas pembangunan lainnya yang memangmasih banyak seperti pengembangan prasaranawilayah, pendidikan, kesehatan, pembangunanpertanian, pembangunan industri dan jasa,perhubungan, transportasi, komunikasi, sertapembangunan sosial dalam arti yang luas bukanberada di bawah tanggung jawab DepartemenKelautan dan Perikanan. Keberhasilan pembangunanatau pemberdayaan masyarakat adalah resultantedari semua upaya pembangunan yang dilaksanakanatau diprogramkan oleh setiap instansi. Hal ini perludiperjelas dan dipahami oleh semua pihak. Denganistilah yang lebih populer, hal ini menuntut adanyasinergitas dan koordinasi yang benar-benar terjalinantara berbagai instansi pemerintah. Bila ini bisadiwujudkan maka pembangunan ataupemberdayaan masyarakat pesisir dapatdilaksanakan secara lebih komprehensif, terpadu,menyangkut berbagai aspek pembangunan, bukansaja teknis tetapi juga sosial budaya.

Tanggung jawab pembangunan masyarakatlebih banyak berada pada pundak pemerintahdaerah, dan bukan didominasi oleh pemerintah pusat.Hal ini disebabkan karena pemerintah daerahlah yanglebih mengenal masyarakatnya, memahami masalah-masalah yang dihadapi mereka. Selama ini,meskipun pada era desentralisasi dan otonomidaerah sekarang ini, ada kesan bahwapengembangan masyarakat dilepaskan dandiserahkan kepada pemerintah pusat. Penyerahantanggung jawab ini karena memang tugas-tugaspembangunan masyarakat termasuk berat untukdilaksanakan. Dengan adanya desentralisasi kegiatanpembangunan, selayaknya dan sepatutnyapemerintah daerah lebih banyak memberikanprioritas pada pembangunan yang berbasis padamasyarakat.

Perubahan MaindreamPembangunan Masyarakat

PEMBERDAYAAN

DesentralistikTinggi Partisipasi

Orietasi tujuanPeran LSM besar

Masyarakat sangat aktif

PEMBINAAN

Top Down

SentralistikRendah partisipasi

Orientasi proyekPeran besar pemerintah

Masyarakat hanya menerima

PerubahanParadigma

Page 23: Proceeding ToT ICM

20

Tanggung jawab pembangunan masyarakatpesisir bukan saja berada pada tangan pemerintahtetapi juga pihak-pihak non-pemerintah yaitumasyarakat sendiri, pengusaha swasta, usaha miliknegara, dan lembaga swadaya masyarakat. Hal iniberarti bahwa pemerintah tidak harus berupayasendiri karena hasilnya tidak akan optimal.Kemampuan pemerintah sangat terbatas, karena itukemampuan yang dimiliki pemerintah harusdipadukan dengan apa yang dimiliki oleh non-pemerintah.

Tangggung jawab membangun masyarakatpada hekekatnya merupakan tanggung jawab utamamasyarakat itu sendiri. Selama ini, masyarakatsemata-mata menjadi objek pembangunan. Dalamhubungan ini, masyarakat didekati, didatangi,diprogramkan, dan diarahkan untuk melaksanakankegiatan-kegiatan yang nantinya membawa manfaatkepada mereka. Tentu saja hal ini kurang begitu tepatkarena apa yang dilakukan dengan pendekatakanini berkesan dipaksakan dan masyarakat sendiriterlibat pada lapisan permukaan saja. Mereka tidakmasuk lebih dalam pada kegiatan-kegiatanpembangunan dengan pendekatan ini yang akhirnyamembuat ketidak-berhasilan. Supaya pembangunanmasyarakat berlangsung dengan tepat makapemerintah hanya mempersiapkan dan memfasilitasilingkungan yang sehat bagi peningkatan, perluasan,serta pendalaman kegiatan-kegiatan yang telahdimiliki oleh masyarakat sendiri. Hal ini merupakanmakna pemberdayaan yaitu mengembangkan apayang telah ada pada masyarakat menjadi lebih besarskalanya, lebih ekonomis, dan lebih berdaya gunadan berhasil guna.

PENDEKATAN PEMBERDAYAANMASYARAKAT PESISIR

Paling tidak ada lima pendekatanpemberdayaan masyarakat pesisir yang baru sajadiimplementasikan. Dengan adanya kelimapendekatan ini tidak berarti bahwa pendekatan laintidak ada. Selama ini, baik lingkup DepartemenKelautan dan Perikanan maupun instansi pemerintahlainnya, pemerintah daerah, dan khususnya lembagaswadaya masyarakat dalam bentuk yayasan dankoperasi telah banyak yang melakukan kegiatanpemberdayaan masyarakat. Kelima pendekatantersebut adalah: (1) penciptaan lapangan kerjaalternatif sebagai sumber pendapatan lain bagi

keluarga, (2) mendekatkan masyarakat dengansumber modal dengan penekanan pada penciptaanmekanisme mendanai diri sendiri (self financingmechanism), (3) mendekatkan masyarakat dengansumber teknologi baru yang lebih berhasil danberdaya guna, (4) mendekatkan masyarakat denganpasar, serta (5) membangun solidaritas serta aksikolektif di tengah masyarakat. Kelima pendekatanini dilaksanakan dengan memperhatikan secarasungguh-sungguh aspirasi, keinginan, kebutuhan,pendapatan, dan potensi sumberdaya yang dimilikimasyarakat. Uraian singkat tentang kelima programini adalah sebagai berikut.

Mengembangkan MataPencaharian Alternatif

Pertama, Pengembangan mata pencaharianalternatif dilaksanakan dengan pertimbangan bahwasumber-daya pesisir secara umum dan perikanantangkap secara khusus telah banyak mengalamitekanan dan degradasi. Data empiris menunjukkanbahwa sudah terlalu banyak nelayan yangberkonsentrasi di perairan tertentu. Malahan secaranasional, tampaknya jumlah nelayan juga sudahberlebihan. Potensi ikan laut yang tersedia, kalaumemang benar estimasinya, sudah tidak mampudijadikan andalan bagi peningkatan kesejahteraan.Kalau jumlah ikan yang diperbolehkan ditangkapbetul-betul diambil semuanya maka berdasarkanperhitungan kasar secara rata-rata, nelayan sangatsulit untuk sejahtera.

Ada banyak alasan yang mendasari terlalubanyaknya jumlah nelayan, yang diperhadapkandengan jumlah ikan yang terbatas yang diperkirakansekitar 6,2 juta ton per tahun potensi lestari. Namunsalah satu alasan yang mendasar dan perlu dikajilebih jauh yaitu status sumberdaya perikanan yangde facto akses terbuka. Akses terbuka atassumberdaya ikan membawa serangkaian dampakyang berakhir pada kemiskinan. Ilustrasi dramadampak akses terbuka yaitu bahwa dengan segalaupaya untuk menangkap seluruh jenis ikan yangdiperbolehkan, pendapatan per keluarga nelayanhanya sekitar Rp 400 ribu per bulan.

Dengan drama seperti ini maka pengembanganmata penca-harian alternatif bagi nelayan adalah suatukeharusan. Pengem-bangan mata pencaharianalternatif ini diarahkan untuk mengalihkan profesinelayan atau sebagai tambahan pendapatan. Dengan

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 24: Proceeding ToT ICM

21

kata lain, program diversifikasi pendapatan layanuntuk dikembangkan, yang dapat diarahkan bukansaja untuk nelayan tetapi juga untuk anggotakeluarganya, teristimewa istri atau perempuannelayan yang memang besar potensinya.Pengembangan mata pencaharian alternatif bukansaja dalam bidang perikanan, seperti pengolahan,pemasaran, atau budidaya ikan, tetapi patutdiarahkan ke kegiatan non-perikanan. Smith (1983)berargu-mentasi bahwa bila kondisi akses terbukamasih saja terjadi maka apapun upaya peningkatankesejahteraan yang dilakukan, baik pada kegiatanpenangkapan ikan maupun pada kegiatan yangberkaitan seperti pada pengolahan dan pemasaranikan tidak akan memberikan hasil peningkatankesejahternaan. Jadi masalah utamanya adalahperlunya penataan sumberdaya perikanan secaralebih baik sehingga drama akses terbuka tidakterjadi.

Akses Terhadap ModalElemen kedua strategi pemberdayaan nelayan

adalah pengembangan akses modal. Strategi inisangat penting karena pada dasarnya saat inimasyarakat pesisir, khususnya nelayan danpembudidaya ikan sangat sulit untukmemperoleh modal. Sifat bisnis perikanan yangmusiman, ketidakpastian serta resiko tinggisering menjadi alasan keengganan bankmenyediakan modal bagi bisnis ini. Sifat bisnisperikanan seperti ini yang disertai dengan sta-tus nelayan yang umumnya rendah dan tidakmampu secara ekonomi membuat mereka sulituntuk memenuhi syarat-syarat perbankan yangselayaknya diberlakukan seperti perlu adanyacollateral, insurance dan equity.

Departemen Kelautan dan Perikanan(DKP) melalui Direktorat PemberdayaanMasyarakat (DPM) telah berupaya menjalinhubungan dengan berbagai lembaga perbankannasional dan daerah untuk menggugah perhatianmereka agar masuk ke sektor perikanan. Tetapisayangnya belum banyak hasilnya, dibandingkandengan begitu besarnya kebutuhan. Upaya yangsama telah juga dilakukan dengan menghubungilembaga-lembaga lain, tetapi sama hasilnya.Beberapa perusahaan negara dan swasta telah mulaimenunjukkan keinginan mereka untuk membantumasyarakat di sektor ini dengan cara menyisihkan

sebagian keuntungan mereka untuk membantu usahaskala kecil dan menengah di sektor ini. Program inidinamakan Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi(PUKK) yang adalah merupakan penyisihan sekitar5% keuntungan perusahaan, utamanya BUMN, bagipengembangan usaha kecil dan menengah.

Dengan memperhatikan kesulitan yangdihadapi oleh masyarakat pesisir akan modal inimaka salah satu alternatif adalah mengembangkanmekanisme pendanaan diri sendiri (self-financingmechanism). Bentuk dari sistem ini tidak lain adalahpengembangan lembaga keuangan mikro, dannantinya makro, yang dikhususkan dalam bidangusaha di pesisir, utamanya bidang perikanan.Meskipun masih dalam tahapan konsep, wacana,dan ujicoba, saat ini telah dirintis dan dimulaipengembangan mekanisme pendanaan oleh dirisendiri yang dikenal dengan nama (1) LembagaMikro Mitra Mina (M3), dan (2) Mina Ventura, dan(3) Asuransi Nelayan.

Lembaga M3 adalah aplikasi dan modifikasigrameen bank pada masyarakat pesisir. Melaluiprogram Pemberdayaan Ekonomi MasyarakatPesisir (PEMP) tahun 2000 dan 2001, telah

dikembangkan M3 di 26 Kabupaten pada tahun2000, dan rencananya 125 Kabupaten pada tahun2001. Pada akhir tahun 2001, diharapkan M3secara mandiri atau merupakan unit usaha darilembaga lain di tingkat desa akan ada di sekitar 370desa pesisir di Indonesia.

Tidak seperti M3 yang sudah mulaidiaplilasikan, Mina Ventura masih dalam tahapkonsep dan ujicoba. Konsep Mina Ventura adalah

Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir dan Strategi Pemberdayaan Mereka dalam Konteks Pengelolaan..........

Page 25: Proceeding ToT ICM

22

aplikasi modal ventura pada bisnisperikanan. Karena modal venturaberdasarkan atas sistem bagi hasil makatampaknya tidak terlalu sulitmengaplikasikan Mina Ventura pada bidangperikanan. Perbedaan Mina Ventura dariM3 yaitu bahwa Mina Ventura diarahkanuntuk usaha menengah, sementara M3 padausaha mikro dan kecil. Masalah yangdihadapi dalam pengembangan MinaVentura adalah kesulitan dana untuk modalawal. Sudah beberapa lembaga, asing dannasional, yang didekati untuk mendanai MinaVentura. Sayang belum ada jawaban yang positip.Tentu saja karena banyak kendala. Salah satunya,barangkali, karena konsepnya yang belum matang.Karena itu, perlu ada kajian lebih jauh tentang MinaVentura.

Bentuk skim asuransi yang tepat bagimasyarakat pesisir, khususnya nelayan sedangdikembangkan. Ujicoba telah dilakukan di tigadaerah yaitu Cirebon, Pandeglang dan PelabuhanRatu. Pengembangan asuransi dilaksanakan karenausaha di laut yang penuh resiko. Skim asuransi jugadikembangkan juga untuk asuransi kredit, sebagaijaminan nelayan dalam mengajukan kredit ke bank.Kesulitan dalam pengembangan asuransi nelayanyaitu banyak nelayan yang belum menyadari perlunyahal ini. Hal tersebut disebabkan karena sudah terlalulama mereka dimanjakan oleh organisasi profesinelayan yang berjanji memberi asuransi kepadamereka bila mana ada kecelakaan atau resiko lainyang harus ditanggung. Akibatnya nelayan maudirinya atau propertinya diasuransikan tetapi engganuntuk membayar. Karena itu maka bentuk skim yangtepat yang bisa diterima nelayan perlu dikaji untukdikembangkan.

Akses Terhadap TeknologiTeknologi yang digunakan masyarakat pesisir,

khususnya nelayan, pada umumnya masih bersifattradisional. Karena itu maka produktivitas rendahdan akhirnya pendapatan rendah. Upayameningkatkan pendapatan dilakukan melaluiperbaikan teknologi, mulai dari teknologi produksihingga pasca produksi dan pemasaran. Berkaitandengan teknologi yang digunakan, terdapat juga sifatmasyarakat (nelayan) yang menentukan atauditentutukan oleh penggunaan teknoloi tersebut

(Tabel 2). Untuk itu maka upaya pemberdayaanmasyarakat melalui perbaikan teknologi harus jugamempertimbangkan sifat dan karakteristikmasyarakat.

Upaya-upaya peningkatan akses masyarakatterhadap teknologi belum banyak dilakukan. Hal inikarena adanya kesulitan untuk mengindentifikasi jenisdan tipe teknologi yang dibutuhkan masyarakat.Seringkali, justru masyarakatlah yang lebih majudalam mencari dan mengadopsi teknologi yangdiinginkan. Sehingga kadang-kadang pemerintahtertinggal. Dengan kata lain, dalam hal teknologimasyarakat lebih maju dari pemerintah.

Kesulitan lain dalam hal akses teknologi yaitukurangnya atau tidak adanya penyuluh atau merekayang berfungsi sebagai fasilitator dan katalisator.Pada awalnya memang ada penyuluh perikanan yangmemerankan tugas ini. Namun dengan DKP sebagaisuatu lembaga baru, konsolidasi yang dilakukanuntuk memfungsikan penyuluh perikanan dalammenyediakan akses teknologi bagi masyarakatbelum sepenuhnya berjalan dengan baik.

Sebagai upaya dalam mengatasi kurangnyatenaga penyuluh perikanan, melalui proyek PEMPtahun 2001 ini, telah diadakan pelatihan bagi sekitar500 tenaga pendamping desa yang nantinya akanbertugas membantu masyarakat dalam membangundaerah pesisir. Tenaga pendamping desa ini direkruitdari LSM lokal, berijazah minimum D3, memilikipengalaman dalam pembangunan masyarakat, sertabersedia tinggal di desa selama masa proyek.

Akses Terhadap PasarPasar adalah faktor penarik dan bisa menjadi

salah kendala utama bila pasar tidak berkembang.Karena itu maka membuka akses pasar adalah cara

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 26: Proceeding ToT ICM

23

untuk mengembangkan usaha karena bilatidak ada pasar maka usaha sangatterhambat perkembangannya.

Untuk mengembangkan pasar bagiproduk-produk yang dihasilkanmasyarakat pesisir maka upaya yangdilakukan adalah mendekatkanmasyarakat dengan perusahaan-perusahaan besar yang juga adalaheksportir komoditas perikanan. Untuk itumaka kontrak penjualan produk antaramasyarakat nelayan dengan perusahaanini dilaksanakan. Keuntungan darihubungan seperti ini yaitu masyarakatmendapat jaminan pasar dan harga, pembinaanterhadap masyarakat terutama dalam hal kualitasbarang bisa dilaksanakan, serta sering kalimasyarakat mendapat juga bantuan modal bagipengembangan usaha.

Meskipun hubungan seperti ini sudah ada,secara umum boleh dikatakan bahwa masyarakatmasih menghadapi pasar yang tidak sempurnastrukturnya, monopoli ketika masyarakat membelifaktor produksi serta monopsoni ketikamasyarakat menjual produk yang dihasilkan.Struktur pasar yang tidak menguntungkanmasyarakat ini disebabkan karena informasi yangkurang mengenai harga, komoditas, kualitas,kuantitas serta kontinyutas produk. Kelangkaaninformasi ini begitu rupa sehingga umumnyamasyarakat hanya menghasilkan produk-produkyang serupa sehingga akhirnya membuatkelebihan pemasokan dan kejatuhan harga.

Pengembangan Aksi KolektifPemberdayaan melalui pengembangan aksi

kolektif sama artinya dengan pengembangankoperasi atau kelompok usaha bersama. Hanya disini istilah yang digunakan adalah aksi kolektif yaituuntuk membuka kesempatan kepada masyarakatmembentuk kelompok-kelompok yangdiinginkannya yang tidak semata-mata koperasi ataukelompok usaha bersama. Aksi kolektif merupakansuatu aksi bersama yang bermuara padakesejahteraan setiap anggota secara individu.

Upaya pengembangan aksi kolektif yangdilakukan selama ini yaitu melalui pengembangankelompok yang berbasis agama seperti koperasi

pondok pesantren. Juga dikembangkankelompok-kelompok yang beraliansi denganLSM tertentu yang memang memiliki staf dan danauntuk pembangunan masyarakat pesisir.Kelompok yang juga mendapat perhatian adalahkelompok wanita atau perempuan. Untuk itu jugasedang dicari suatu format pemberdayaanperempuan dengan penekanan pada perananmereka dalam usaha meningkatkan ekonomikeluarga. Aplikasi model grameen bank denganfokus pada wanita nelayan telah dikembangkandi Bekasi dan Kepulauan Seribu pada tahun 2000,dan pada tahun 2001 ini dikembangkan juga diTual (Maluku Tenggara), Brebes (Jawa Tengah)dan Kupang (Nusa Tenggara Timur). Selain itujuga dikembangkan aksi kolektif wanita pengolahikan di Gunung Kidul (Yoyakarta) dan Cirebon(Jawa Barat) sehingga mereka dapat denganmudah memperoleh input produksi dan denganmudah pula menjual hasil olahannya dengan hargayang lebih baik.

Pengembangan aksi kolektif ini masih sangatprematur dan memerlukan kajian untuk mencaribentuk-bentuknya yang sungguh-sungguh bergunabagi masyarakat. Beberapa aksi kolektif yang pernahberkembang memang tidak begitu murni sebagai idedan gagasan masyarakat. Akhirnya aksi kolektif atausemi-kolektif seperti perikanan inti rakyat sertakemitraan usaha antara masyarakat dan pengusahabesar hanya membawa ketidakpuasan kepadamasyarakat dan berhenti di tengah jalan. Ini terjadikarena aksi semi-kolektif tersebut sangat biaskepada kepentingan pengusaha.

Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir dan Strategi Pemberdayaan Mereka dalam Konteks Pengelolaan..........

Page 27: Proceeding ToT ICM

24

INTERNALISASI PEMBERDAYAANMASYARAKAT DALAM PENGELOLAANSUMBERDAYA PESISIRSECARA TERPADU

Pemberdayaan masyarakat secara khusus daneksistensi masyarakat secara umum perludiinternalisasikan dalam pengembangan,perencanaan, serta pelaksanaan pengelolaansumberdaya pesisir secara terpadu. Beberapa aspekyang berkenan dengan masyarakat adalah kekuatanpenentu (driving forces) status dan eksistensi suatukawasan pesisir. Kekuatan tersebut perlu dilibatkanatau diperhitungkan dalam menyusun konseppengelolaan sumberdaya secara terpadu. Kekuatan-kekuatan tersebut adalah sebagai berikut :•• Jumlah penduduk pesisir yang cenderung

bertambah dengan tingkat pertumbuhan yangtinggi.

•• Kemiskinan yang diperburuk oleh sumberdayaalam yang menurun, degradasi habitat, sertakelangkaan mata pencaharian alternatif.

•• Adanya usaha skala besar, menghasilkankeuntungan dengan segera, dan usaha komersialyang menurunkan kualitas sumberdaya dan seringmenyebabkan konflik kepentingan denganpenduduk lokal.

•• Kurang sadar dan pengertian di pihak masyarakatserta pemerintahan lokal tentang pentingnyakeberlanjutan sumberdaya bagi kepentinganmanusia.

•• Kurang pengertian di pihak masyarakat tentangkontribusi dan pentingnya sumberdaya pesisir bagimasyarakat.

•• Kurang pengertian pemerintahan lokal tentangtindak lanjut dan keberlanjutan kegiatanpemberdayaan masyarakat

•• Faktor budaya yang berkaitan langsungpengelolaan dan pemanfaatan kawasan pesisirsecara terpadu.

Program PEMP Suatu ContohPemberdayaan Masyarakat

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP)selama dua tahun terakhir menyelenggarakan suatuprogram nasional yang bernama ProgramPemberdayan Ekonomi Masyarakat Pesisir (Pro-gram PEMP). Pada tahun 2000, dengan dana JPS,program ini dilakukan di 26 Kabupaten, tujuhpropinsi. Pada tahun 2001 melalui ProgramPenanggulangan Dampak Pengurangan SumbsidiEnergi (PPD-PSE) yang dialokasikan ke tujuh pro-gram, PEMP dilaksanakan di 125 kabupaten/kotadi 30 propinsi di Indonesia.

Program PEMP ini bisa dikatakan sebagaisuatu program usaha perikanan terpadu, mulai daritahapan perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi.Keterpaduan juga terwujud dalam hal kegiatanekonomi produktif yang dilakukan masyarakat yangmemang tidak terfokus pada kegiatan tertentu namuntersebar ke dalam kelompok kegiatan yang saling

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 28: Proceeding ToT ICM

25

terkait. Demikian pula keterpaduan diwujudkanmelalui pelibatan stakeholder yang berasal dariberbagai pihak, instansi pemerintah, masyarakat danswasta. Berikut ini adalah uraian singkat tentangPEMP yang kiranya dapat memberikan gambarantentang baik keterpaduan pengelolaan perikananmaupun keterpaduan produksi perikanan.

Tujuan dan Spektrum PEMPTujuan PEMP adalah meningkatkan

kesejahteraan masyarakat melalui penciptaan sistemproduksi serta kelangsungan usaha perikanan yangberbasis masyarakat.

PEMP memiliki 4 kegiatan utama yaitu : (1)Pengembangan lembaga keuangan mikro di tingkatmasyarakat yang bernama lembaga Mikro MitraMina (M3). Lembaga ini pada awalnya adalahlembaga informal yang didirikan sendiri olehmasyarakat serta dijalankan atau diorganisir olehmereka sendiri, (2) Pengembangan usahaekonomi produktif oleh kelompok-kelompok kecil yang memiliki kesamaanusaha, aspirasi dan tujuan. kegiatanekonomi produktis yang dilakukan tentusaja berdasarkan atas potensi sumerdayaalam yang tersedia, peluang pasar,kemampuan dan penguasaan teknologi olehmasyarakat, serta dukungan adat danbudaya. Bentuk-bentuk kegiatan ekonomiproduktif meliputi usaha budidaya ikan,penangkapan ikan, pengolahan ikan,pemasaran ikan, serta usaha jasa yangmendukung seperti perbengkelan atau

penyediaan sarana produksi lainnya. (3)Pelatihan dan pengembangan kapasitaskelembagaan masyarakat lokal. Kegiatan inidilakukan untuk mempersiapkan masyarakatmenjalankan program yang dilaksanakan.Agenda pelatihan lebih banyak bermuatan non-teknis seperti peningkatan motivasi, kerjasamakelompok, serta bagaimana merumuskanmasalah dan menyampaikan pendapatan secaratertulis maupun tidak tertulis. (4) Pengembanganmodel pemberdayaan pasca program yangdiarahkan pada pengembangan jaringan usahaantara masyarakat sasaran dengan kelompoklain, LSM, swasta, serta pemerintah daerah.

Proses PEMPProses PEMP menyangkut (1) penentuan

daerah sasaran, (2) penentuan kelompok sasaran,(3) pelibatan stakeholder, (4) penentuan kegiatanekonomi produktif, (5) pelaksanaan kegiatanekonomi produktif, serta (6) evaluasi danpemantauan sebagai dasar pengembangan kegiatanpasca program.

125 kabupaten pelaksana program PEMPditentukan oleh DKP berdasarkan atas data-datamakro yang meliputi jumlah nelayan (penduduk)miskin, potensi sumberdaya perikanan yang dimiliki,penggunaan potensi perikanan yang dimaksud,kerusakan habitat, serta ada tidaknya kemauanpemerintah dalam memprioritaskan pembangunanperikanan. Hasil seleksi DKP dikomunikasikandengan Bappenas dan DPR-RI. Pertimbangan laindalam pemilihan kabupaten/kota adalah distribusiseluruh Indonesia, artinya bahwa seluruh propinsiharus merupakan daerah sasaran meskipun jumlah

Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir dan Strategi Pemberdayaan Mereka dalam Konteks Pengelolaan..........

TUJUAN PEMP

1. Mereduksi pengaruh kenaikan harga BBM daninflasi secara keseluruhan terhadap kondisi soial, ekonominelayan, melalui peningkatan dan penciptaan usahaproduktif secara berkesinambungan.

2. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan,pelaksanaan, pengawasan dan pengembangan kegiatanekonomi masyarakat.

3. Memperkuat kelembagaan ekonomi masyarakat dalammendukung pembangunan daerah.

4. Memicu usaha ekonomi produktif di desa pesisir.5. Mendorong terlaksananya mekanisme manajemen

pembangunan masyarakat yang pasrtisipatif dantransparan.

6. Meningkatkan kemampuan aparat dan masyarakat pesisirdalam mengelola pembanunan di wilayahnya.

LINGKUP KEGIATAN1. Pengembangan dan partisipasi masyarakat melalui

pembentukan dan penguatan kelompok sasaran.2. Pelatihan teknis dan manajemen bagi kelompok

sasaran sesuai dengan kebutuhan.3. Pemberian bantuan modal usaha (investasi dan modal

kerja).4. Pembentukan lembaga keuangan mikro sebagai

pengelola bantuan.5. Sosialisasi, pemantauan, evaluasi dampak sebagai

umpan balik persiapan pembinaan pasca proyek.6. Pembinaan pasca proyek.

Page 29: Proceeding ToT ICM

26

kabupaten/kota sasaran di setiap propinsi bisaberbeda.

DKP, sebagai instansi pemerintah pusat, hanyamenentukan kabupaten dan kota sasaran.Penunjukkan kecamatan dan desa serta kelompokmasyarakat penerima program adalah merupakantanggung jawab pemerintah daerah, dalam hal inisecara khusus merupakan tanggung jawab instansiperikanan kabupaten/kota. Desa yang ditentukansebagai sasaran berdasarkan atas kriteria yangdikembangkan sendiri oleh pemerintah kabupaten/kota. Kriteria utama yang harus dipertimbangkanadalah jumlah orang miskin yang ada di setiap desa.

Pemerintah bersama masyarakat desamenentukan kelompok sasaran program PEMP ini.Mereka yang mungkin merupakan sasarankelompok ini adalah mereka yang paling rentankegiatan ekonominya akibat memburuknya situasiekonomi negara pada akhir-akhir ini. Pertimbanganlain adalah mereka yang memiliki kemauan untukmemperbaiki diri sehingga bisa keluar dari kesulitandan kemiskinan yang dialaminya.

Masyarakatlah yang juga menentukan kegiatanekonomi yang mungkin dikembangkannya. Dalamhal ini masyarakat dibantu atau difasilitasi oleh LSMatau konsultan lokal yang ditunjuk sebagaipendamping masyarakat. LSM atau konsultan lokalini dibiayai oleh program PEMP, namun merekadiminta untuk bekerja di luar batas-batas proyek,terutama pada pasca program nanti. Karena itu makaLSM dan konsultan lokal diprioritaskan.

Masyarakat terlibat penuh padapengadaan sarana dan prasarana produksi.Untuk itu, merekalah yang menentukandimana harus membeli barang-barang yangdibutuhkan mereka. Demikian juga merekaberhak menjual barang yang dihasilkan.

Keterlibatan stakeholder perikananyaitu sejak perencanaan hingga evaluasi danpengembangan program. Stakeholderutama adalah nelayan atau masyarakat.Stakeholder lainnya adalah LSM,konsultan, swasta lokal, serta instansipemerintah baik di pusat maupun di daerah.

Prinsip Pengelolaan PEMPPrinsip-prinsip pengelolaan dan pengembangan

Program PEMP adalah sebagai berikut :•• Pilihan kegiatan berdasarkan musyawarah

sehingga memperoleh dukungan masyarakat (ac-ceptability)

•• Pengelolaan kegiatan dilakukan secara terbukadan diketahui oleh masyarakat (transparancy).

•• Pengelolaan kegiatan harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat (accountability).

•• Pengelolaan kegiatan dapat memberikan manfaatkepada masyarakat secara berkelanjutan,(sustainability).

•• Kegiatan dilaksanakan sebagai bentuk kepedulianatas beban penduduk miskin (responsiveness).

•• Penyampaian bantuan kepada masyarakat sasaransecara cepat (Quick Disbursement).

•• Proses pemilihan peserta dan kegiatan PEMPdilakukan secara musyawarah (Democracy).

•• Pemberian kesempatan kepada kelompok lain yangbelum memperoleh kesempatan, agar semuamasyarakat merasakan manfaat langsung (Equal-ity).

•• Setiap ketentuan dalam pemanfaatan Dana EkonomiProduktif masyarakat diharapkan dapat mendorongterciptanya kompetisi yang sehat dan jujur dalammengajukan usulan kegiatan yang layak (Competi-tiveness)

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

KELOMPOK SASARAN

Nelayan buruh yang memiliki kemauandan keinginan untuk mengembangkan

usaha Nelayan skala kecil (motor tempel)Petani budidaya ikan skala kecil

dan buruh tambakPengolah ikan tradisionalPedagang ikan setempat

Pelaku ekonomi skala kecil lainnya yangberusaha di daerah pesisir

Page 30: Proceeding ToT ICM

27

Pengembangan ProgramJumlah desa yang merupakan target program

ini yaitu 370 di seluruh Indonesia. Sementara jumlahrumah tangga yang dijangkau sekitar 15.000 hingga20.000 keluarga. Mereka ini merupakan kelompokyang akan diberdayakan seterusnya. Model yangsama dengan PEMP ini juga dikembangkan untukdaerah-derah lain. Dengan mempertimbangkan sifatdan potensi daerah maka beberapa varianpengembangan dan pemberdayaan masyarakatpesisir atau nelayan adalah: (1) pemberdayaanperempuan nelayan, (2) pemberdayaan masyarakatyang tergabung dalam organisasi keagamaan, (3)pemberdayaan pemuda nelayan, (4) pemberdayaanLSM nelayan, (5) pengembangan akses pasar kedaerah yang memiliki kesamaan komoditas, serta(6) pengembangan usaha non-perikanan sebagaibagian dari diversifikasi kegiatan ekonomimasyarakat pesisir.

DAFTAR PUSTAKA

Bengen, D.G. 2001. Pengelolaan Sumberdaya WilayahPesisir Secara Terpadu, Berkelanjutan dan BerbasisMasyarakat. Makalah pada Sosialisasi PengelolaanSumberdaya Berbasis Masyarakat. Bogor, 21-22 Sep-tember 2001.

BOBP. (Bay of Bengal Program). 1990. Helping Fisherfolkto Help Themselves. A Study in People’s Participa-tion. BOBP. 182 p.

Gordon, H.S. 1954. The Economic Theory of a CommonProperty Resource: The Fishery. Journal of PoliticalEconomics, 62(2): 124-142.

Haque, W., N. Mehta, A. Rahman, and P. Wignaraja. 1977.Towards a Theory of Rural Development. Develop-ment Dialogue, No. 2. 144 p.

Johnston, R.S. 1992. Fisheries Development, FisheriesManagement and Externalities. World Bank Discus-sion Paper, 165, 43 p.

Kinnucan H.W. and C.R. Wessells. 1997. Marketing Re-search Paradigm for Aquaculture. Aquaculture Eco-nomics and Management, 1(1):73-86.

Myrdal, G. 1971. Asian Drama. An Inquiry into the Povertyof Nations. Vintage Books. New York. 464 p.

Panayatou, T. 1992. Management Concepts for Small-scaleFisheries: Economic and Social Aspects. FAO Fish.Tech. Paper, 228: 53 p.

Schumacher, E.F. 1973. Small is Beautiful. Economics as ifPeople Mattered. Perenial Library, San Fransisco, Lon-don. 305.

Shepard, M.P. 1991. Fisheries Research Needs of Small Is-land Countries. International Centre for Ocean Devel-opment. Nova Scotia, 71 p.

Smith, I.R. 1983. A Research Framework for Traditional Fish-ery. ICLARM Studies and Reviews No. 2. ICLARM.45 p.

Subade, R.F. and N.M.R. Abdullah. 1993. Are Fishers ProfitMaximizers? The case of Gillnetters in Negros Occi-dental and Iloilo, Philippines, Asian Fisheries Science,6:39-49.

Van den Ban dan H.S. Hawkins. 1999. PenyuluhanPertanian. Penerbit Kanisius.

World Bank. 1991. Fisheries and Aquaculture ResearchCapabilities and Needs in Asia. World Bank TechnicalPaper No. 147. Fisheries Series. 70 p.

World Bank. 1992. A Study of International Fisheries Re-search. World Bank Policy and Research Series No.19. 103 p.

Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir dan Strategi Pemberdayaan Mereka dalam Konteks Pengelolaan..........

Page 31: Proceeding ToT ICM

28

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

EKOSISTEM DAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT SERTAPENGELOLAAN SECARA TERPADU DAN BERKELANJUTAN

DR. IR. DIETRIECH G. BENGEN, DEAPusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Fakultas Perikanan dan Ilmu KelautanInstitut Pertanian Bogor

[email protected]

PENDAHULUANPeranan sumberdaya dan jasa pesisir dan

laut diperkirakan akan semakin meningkat dimasa-masa mendatang dalam menunjangpembangunan ekonomi nasional. Sekurang-kurangnya ada dua alasan pokok yang mendukungkecenderungan di atas. Pertama, bahwa denganpertumbuhan penduduk sebesar 1,8% per tahun,maka pada tahun 2010 penduduk Indonesia akanmencapai 250 juta orang. Hal ini akan mendorongmeningkatnya permintaan terhadap kebutuhansumberdaya dan jasa lingkungan. Sementara itu,ketersediaan sumberdaya alam di darat semakinberkurang dan tidak lagi mencukupi, sehinggapilihan kemudian diarahkan untuk memanfaatkansumberdaya dan jasa pesisir dan laut untukmempertahankan dan sekaligus melanjutkanpertumbuhan yang ada. Kedua bahwa sebagainegara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar17.508 pulau dan panjang pantai sekitar 81.000km serta sekitar dua pertiga wilayahnya berupaperairan (laut), Indonesia memiliki potensisumberdaya pesisir dan laut yang sangat besar.

Wilayah pesisir dan laut menyediakansumberdaya alam yang produktif baik sebagaisumber pangan, tambang mineral dan energi, me-dia komunikasi maupun kawasan rekreasi ataupariwisata. Karena itu wilayah pesisir dan lautmerupakan tumpuan harapan manusia dalampemenuhan kebutuhan hidupnya di masamendatang.

Pembangunan di pesisir dan laut yangmerupakan suatu proses perubahan untukmeningkatkan taraf hidup masyarakat, tidakterlepas dari aktivitas pemanfaatan sumberdayaalam pesisir dan laut. Di dalam aktivitas inisering dilakukan perubahan-perubahan padasumberdaya alam. Perubahan-perubahan yang

dilakukan tentunya akan memberikan pengaruhpada lingkungan hidup. Makin tinggi lajupembangunan, makin tinggi pula tingkatpemanfaatan sumberdaya alam dan makin besarperubahan-perubahan yang terjadi padalingkungan hidup. Oleh karena itu, dalamperencanaan pembangunan pada suatu sistemekologi pesisir dan laut yang berimplikasi padaperencanaan pemanfaatan sumberdaya alam, perludiperhatikan kaidah-kaidah ekologis yang berlakuuntuk mengurangi akibat- akibat negatif yangmerugikan bagi kelangsungan pembangunan itusendiri secara menyeluruh. Perencanaan danpengelolaan sumberdaya alam pesisir dan lautperlu dipertimbangkan secara cermat dan terpadudalam setiap perencanaan pembangunan, agardapat dicapai suatu pengembangan lingkunganhidup di pesisir dan laut dalam lingkunganpembangunan.

STRUKTUR FUNGSIONALEKOSISTEM PESISIRDefinisi dan Batas Wilayah Pesisir

Untuk dapat mengelola pemanfaatansumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (en-vironmental services) kawasan pesisir secaraberkelanjutan (on a sustainable basis), perlupemahaman yang mendalam tentang pengertiandan karakteristik utama dari kawasan ini.

Pertanyaan yang seringkali muncul dalampengelolaan kawasan pesisir adalah bagaimanamenentukan batas-batas dari suatu wilayah pesisir(coastal zone). Sampai sekarang belum adadefinisi wilayah pesisir yang baku. Namundemikian, terdapat kesepakatan umum di duniabahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayahperalihan antara daratan dan laut. Apabiladitinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu

Page 32: Proceeding ToT ICM

29

Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan secara Terpadu dan Berkelanjutan

wilayah pesisir memiliki dua macam batas(boundaries), yaitu : batas yang sejajar garispantai (longshore) dan batas yang tegak lurusterhadap garis pantai (cross-shore). Untukkeperluan pengelolaan, penetapan batas-bataswilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantairelatif mudah, misalnya batas wilayah pesisirantara Sungai Brantas dan Sungai BengawanSolo, atau batas wilayah pesisir KabupatenKupang adalah antara Tanjung Nasikonis danPulau Sabu, dan batas wilayah pesisir DKIJakarta adalah antara SungaiDadap di sebelah barat danTanjung Karawang di sebelahtimur.

Akan tetapi, penetapanbatas-batas suatu wilayah pesisiryang tegak lurus terhadap garispantai, sejauh ini belum adakesepakatan. Dengan perkataanlain, batas wilayah pesisirberbeda dari satu negara kenegara yang lain. Hal ini dapatdimengerti, karena setiap negaramemiliki karakteristik lingkungan,sumberdaya dan sistempemerintahan tersendiri (khas).

Definisi dan batas wilayahpesisir yang digunakan di Indonesia adalahwilayah dimana daratan berbatasan dengan laut;batas di daratan meliputi daerah-daerah yangtergenang air maupun yang tidak tergenang airyang masih dipengaruhi oleh proses-proses lautseperti pasang-surut, angin laut dan intrusi garam,sedangkan batas di laut ialah daerah-daerah yangdipengaruhi oleh proses-proses alami di daratanseperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar kelaut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhioleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan(Gambar 1).

Komponen Fungsional Ekosistem PesisirSebagaimana telah dikemukakan di atas

bahwa sumberdaya hayati perairan pesisir yangmerupakan satuan kehidupan (organisme hidup)saling berhubungan dan berinteraksi denganlingkungan nir-hayatinya (fisik) membentuk suatusistem. Dengan demikian, pembahasan selanjutnyadititik beratkan pada ekosistem pesisir yang

merupakan unit fungsional komponen hayati(biotik) dan nir-hayati (abiotik).

Komponen biotik yang menyusun suatuekosistem pesisir terbagi atas empat kelompokutama: (1) produser, (2) konsumer primer, (3)konsumer sekunder dan (4) dekomposer.

Sebagai produser adalah vegetasi autotrof,algae dan fitoplankton yang menggunakan energimatahari untuk proses fotosintesa yangmenghasilkan zat organik kompleks dari zatanorganik sederhana.

Sebagai konsumer primer adalah hewan-hewan yang memakan produser, disebutherbivora. Herbivora ini menghasilkan pulamateri organik (pertumbuhan, reproduksi), tapimereka tergantung sepenuhnya dari materi organikyang disintesa oleh tumbuhan atau fitoplanktonyang dimakannya.

Konsumer sekunder adalah karnivora, yaitusemua organisme yang memakan hewan. Untuksuatu analisis yang lebih jelas, kita dapatmembagi lagi konsumer sekunder ke dalamkonsumer tersier yang memakan konsumersebelumnya. Sesungguhnya banyak jenisorganisme yang tidak dengan mudah dapatdiklasifikasikan ke dalam tingkatan trofik ini,karena mereka dapat dimasukkan ke dalambeberapa kelompok: konsumer primer dansekunder (omnivora), konsumer sekunder dantersier (predator atau parasit herbivora dankarnivora).

Gambar 1. Diagram Skematik Batas Wilayah Pesisir

Page 33: Proceeding ToT ICM

30

Sebagai dekomposer adalah organismeavertebrata, bakteri dan cendawan yang memakanmateri organik mati: bangkai, daun-daunan yangmati, ekskreta.

Pada prinsipnya terdapat tiga proses dasaryang menyusun struktur fungsional komponenbiotik ini: 1) proses produksi (sintesa materiorganik), 2) proses konsomasi (memakan materiorganik) dan 3) proses dekomposisi ataumineralisasi (pendaurulangan materi).

Komponen abiotik dari suatu ekosistempesisir terbagi atas tiga komponen utama: [1]unsur dan senyawa anorganik, karbon, nitrogendan air yang terlibat dalam siklus materi di suatuekosistem, [2] bahan organik, karbohidrat, pro-tein dan lemak yang mengikat komponen abiotikdan biotik dan [3] regim iklim, suhu dan faktorfisik lain yang membatasi kondisi kehidupan.

Dari sejumlah besar unsur dan senyawaanorganik sederhana yang dijumpai di suatuekosistem pesisir, terdapat unsur-unsur tertentuyang penting bagi kehidupan. Unsur-unsur tersebutmerupakan substansi biogenik atau unsur harabaik makro (karbon, nitrogen, fosfor...) maupunmikro (besi, seng, magnesium...).

Karbohidrat, protein dan lemak yangmenyusun tubuh organisme hidup juga terdapatdi lingkungan. Senyawa tersebut dan ratusansenyawa kompleks lainnya menyusun komponenorganik dari kompartimen abiotik. Bila tubuhorganisme hancur, selanjutnya akan teruraimenjadi fragmen-fragmen dengan berbagai ukuranyang secara kolektif disebut detritus organik.Karena biomassa tanaman lebih besardibandingkan dengan hewan, maka detritustanaman biasanya lebih menonjol dibandingkandengan hewan. Demikian pula tanaman biasanyalebih lambat hancur dibandingkan dengan hewan.

Bahan organik terdapat dalam bentuk terlarutdan partikel. Bila bahan organik terurai, bahantersebut dinamakan humus atau zat humik, yaitusuatu bentuk yang resisten terhadap penghancuranlebih lanjut. Peranan humus dalam ekosistemtidak sepenuhnya dimengerti, tapi diketahuidengan pasti kontribusinya pada sifat tanah.

Kategori ketiga dari komponen abiotik suatuekosistem pesisir adalah faktor-faktor fisik(iklim). Faktor iklim (suhu, curah hujan,kelembaban) sebagaimana halnya sifat kimiawi

air dan tanah serta lapisan geologi di bawahnya,merupakan penentu keberadaan suatu jenisorganisme. Faktor-faktor ini senantiasa beradadalam satu seri gradien. Kemampuan adaptasiorganisme seringkali berubah secara bertahapsepanjang gradien tersebut, tapi sering pulaterdapat titik perubahan yang berbaur atau zonapersimpangan yang disebut ekoton (misalnya zonaintertidal perairan laut).Dimensi Ekologis Lingkungan Pesisir

Secara prinsip ekosistem pesisir mempunyai4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia, yaitu:sebagai penyedia sumberdaya alam, penerimalimbah, penyedia jasa-jasa pendukungkehidupan, dan penyedia jasa-jasa kenyamanan.

Sebagai suatu ekosistem, perairan pesisirmenyediakan sumberdaya alam yang produktifbaik yang dapat dikonsumsi langsung maupuntidak langsung, seperti sumberdaya alam hayatiyang dapat pulih (di antaranya sumberdayaperikanan, terumbu karang dan rumput laut), dansumberdaya alam nir-hayati yang tidak dapat pulih(di antaranya sumberdaya mineral, minyak bumidan gas alam). Sebagai penyedia sumberdaya alamyang produktif, pemanfaatan sumberdaya perairanpesisir yang dapat pulih harus dilakukan dengantepat agar tidak melebihi kemampuannya untukmemulihkan diri pada periode waktu tertentu.Demikian pula diperlukan kecermatanpemanfaatan sumberdaya perairan pesisir yangtidak dapat pulih, sehingga efeknya tidak merusaklingkungan sekitarnya.

Disamping sumberdaya alam yang produktif,ekosistem pesisir merupakan penyedia jasa-jasapendukung kehidupan, seperti air bersih dan ruangyang diperlukan bagi berkiprahnya segenapkegiatan manusia. Sebagai penyedia jasa-jasakenyamanan, ekosistem pesisir merupakan lokasiyang indah dan menyejukkan untuk dijadikantempat rekreasi atau pariwisata.

Ekosistem pesisir juga merupakan tempatpenampung limbah yang dihasilkan dari kegiatanmanusia. Sebagai tempat penampung limbah,ekosistem ini memiliki kemampuan terbatas yangsangat tergantung pada volume dan jenis limbahyang masuk. Apabila limbah tersebut melampauikemampuan asimilasi perairan pesisir, makakerusakan ekosistem dalam bentuk pencemaranakan terjadi.

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 34: Proceeding ToT ICM

31

Dari keempat fungsi tersebut di atas,kemampuan ekosistem pesisir sebagai penyediajasa-jasa pendukung kehidupan dan penyediakenyamanan, sangat tergantung dari duakemampuan lainnya, yaitu sebagai penyediasumberdaya alam dan penampung limbah. Darisini terlihat bahwa jika dua kemampuan yangdisebut terakhir tidak dirusakoleh kegiatan manusia, makafungsi ekosistem pesisirsebagai pendukung kehidupanmanusia dan penyediakenyamanan diharapkan dapatdipertahankan dan tetaplestari.

EKOSISTEM TERUMBUKARANGStruktur Karang

Terumbu karang meru-pakan suatu ekosistem khasyang terdapat di wilayahpesisir daerah tropis. Padadasarnya terumbu terbentuk

Gambar 2. Ekosistem Terumbu Karang

dari endapan-endapan masif kalsium karbonat(CaCO

3), yang dihasilkan oleh organisme karang

pembentuk terumbu (karang hermatipik) darifilum Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidupbersimbiosis dengan zooxantellae, dan sedikittambahan dari algae berkapur serta organisme lainyang menyekresi kalsium karbonat (Gambar 2).

Karang pembentuk terumbu (karanghermatipik) hidup berkoloni, dan tiap individukarang yang disebut polip menempati mangkukkecil yang dinamakan koralit. Tiap mangkukkoralit mempunyai beberapa septa yang tajam danberbentuk daun yang tumbuh keluar dari dasarkoralit, dimana septa ini merupakan dasarpenentuan spesies karang. Tiap polip adalahhewan berkulit ganda, dimana kulit luar yangdinamakan epidermis dipisahkan oleh lapisanjaringan mati (mesoglea) dari kulit dalamnya yangdisebut gastrodermis. Dalam gastrodermisterdapat tumbuhan renik bersel tunggal yangdinamakan zooxantellae yang hidup bersimbiosisdengan polip (Gambar 3). Zooxantellae dapatmenghasilkan bahan organik melalui prosesfotosintesis, yang kemudian disekresikan sebagianke dalam usus polip sebagai pangan.

Reproduksi Hewan KarangKarang berbiak baik secara seksual maupun

aseksual (Gambar 4). Pembiakan secara seksualterjadi melalui penyatuan gamet jantan dan betina

Gambar 3. Anatomi polip karang (Nybakken,1993)

Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan secara Terpadu dan Berkelanjutan

Page 35: Proceeding ToT ICM

32

Gambar 4. Pembiakan hewan karang secara seksual (A), dan secara aseksual (B).

A B

untuk membentuk larva bersilia yangdisebut planula. Planula akanmenyebar kemudian menempel padasubstrat yang keras dan tumbuhmenjadi polip. Kemudian poliptersebut akan melakukan pembiakanaseksual. Pembiakan aseksualdilakukan dengan cara fragmentasi,sehingga terbentuk polip-polip baruyang saling menempel sampaiterbentuk koloni yang besar, denganbentuk yang beragam sesuaijenisnya.

Tipe, Asal, dan DistribusiGeografis Terumbu karang

Secara umum terumbu karangterdiri atas tiga tipe: (1) terumbukarang tepi (fringing reef), (2)terumbu karang penghalang (barrierreef), dan (3) terumbu karang cincinatau atol (Gambar 5). Terumbukarang tepi dan penghalangberkembang sepanjang pantai,namun perbedaannya adalah bahwaterumbu karang penghalangberkembang lebih jauh dari daratandan berada di perairan yang lebihdalam dibandingkan dengan terumbukarang tepi. Terumbu karang cincinatau atol merupakan terumbu karang yang munculdari perairan dalam dan jauh dari daratan.

Gambar 5. Tipe terumbu karang

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 36: Proceeding ToT ICM

33

Berbagai tipe terumbu mempunyai asal danriwayat yang berbeda, tetapi perhatian dipusat-kan pada asal terumbu cincin/atol. Beberapa teoritelah berkembang mengenai asal atol, namun salahsatu yang masih diterima hingga kini adalah teoripenenggelaman (subsidence theory) sebagaimanapertama kali dikemukakan oleh Darwin, melaluipengalamannya mempelajari terumbu karang di

Gambar 6.Evolusi geologis karang atol, diawali ketika suatugunung vulkanik muncul sebagai suatu pulau dipermukaan laut.

A. Ketika aktifitas gunung vulkanik berakhir, pulaumulai tererosi:

B. Karang tepi mulai mengkolonisasi garis pantai:C. Karang penghalang berkembang seperti saluran

yang memisahkan dari pulau:D. Laguna yang luas membentuk bagian dalam

karang:E. Pulau tenggelam dan berbentuk atol (Gray, 1993)

Gambar 7. Distribusi geografis terumbu karang.

beberapa kawasan selama 5 tahun berlayar di ataskapal Beagle. Teori penenggelaman Darwinsecara skematik diuraikan dalam Gambar 6.

Terumbu karang ditemukan di perairandangkal daerah tropis, dengan suhu perairan rata-rata tahunan > 180C. Umumnya menyebar padagaris tropis antara Cancer dan Capricorn (Gambar 7).

Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan secara Terpadu dan Berkelanjutan

Page 37: Proceeding ToT ICM

34

Gambar 8. Ikhtisar beberapa faktor pembatas perkembangan terumbu karang.

Faktor-faktor Pembatas PerkembanganTerumbu Karang

Perkembangan terum-bu karang dipengaruhi olehbeberapa faktor fisik ling-kungan yang dapat menjadipembatas bagi karang untukmembentuk terumbu.Adapun faktor-faktor fisiklingkungan yang berperandalam perkembanganterumbu karang adalahsebagai berikut (Gambar 8)(Nybakken, 1993):1. Suhu air >180C, tapi bagi

perkembangan yang op-timal diperlukan suhurata-rata tahunan berkisarantara 23 - 250C, dengansuhu maksimal yang masih dapat ditolerirberkisar antara 36 - 400C.

2. Kedalaman perairan <50 m, dengan kedalamanbagi perkembangan optimal pada 25 m ataukurang.

3. Salinitas air yang konstan berkisar antara 30 -36 0/

00.

4. Perairan yang cerah, bergelombang besar danbebas dari sedimen.

Pecahan ombak yang besar pada sisi yangterbuka (windward) suatu atol menciptakanperkembangan pematang algae dan rataanterumbu. Pada daerah ini perkembangankarangnya minimal. Sebaliknya pada sisi yangterlindung (leeward), perkembangan pematangalgae berkurang dan perkembangan karangdominan.

Komposisi Biota Terumbu KarangTerumbu karang merupakan habitat bagi

beragam biota sebagai berikut (Gambar 9):• Beraneka ragam avertebrata(hewan tak bertulang belakang):terutama karang batu (stonycoral), juga berbagai krustasea,siput dan kerang-kerangan,ekinodermata (bulu babi, anemonlaut, teripang, bintang laut danleli laut).• Beraneka ragam ikan: 50 -70% ikan karnivora oportunistik,15% ikan herbivora dan sisanyaomnivora.• Reptil : umumnya ular laut danpenyu laut.• Ganggang dan Rumput laut: al-gae koralin, algae hijau berkapurdan lamun.Gambar 9. Beberapa biota terumbu karang yang khas dan dominan

(Nybakken, 1993)

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 38: Proceeding ToT ICM

35

Populasi ikan terumbu karang berubah darisiang ke malam hari. Ikan pemakan plankton yangbanyak tersebar di sekeliling terumbu pada sianghari, bersembunyi/berlindung di celah-celahterumbu pada malam hari. Ikan pencari makanpada malam hari sebagian besar pemakan bentos.

Keanekaragaman biota dan keseimbanganekosistem terumbu karang tergantung pada jalamakanan. Pengambilan jenis biota tertentu secaraberlebihan dapat mengakibatkan peledakanpopulasi biota yang menjadi mangsanya, sehinggadapat mengganggu keseimbangan ekosistem.

Peran Terumbu KarangTerumbu karang, khususnya terumbu karang

tepi dan penghalang, berperan penting sebagaipelindung pantai dari hempasan ombak dan aruskuat yang berasal dari laut.

Selain itu, terumbu karang mempunyai peranutama sebagai habitat (tempat tinggal), tempatmencari makanan (feeding ground), tempatasuhan dan pembesaran (nursery ground), tempatpemijahan (spawning ground) bagi berbagaibiota yang hidup di terumbu karang atausekitarnya.

Pemanfaatan Terumbu KarangTerumbu karang dapat dimanfaatkan baik

secara langsung maupun tidak langsung sebagaiberikut :• Sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota

laut konsumsi, dan berbagai jenis ikan hias.• Bahan konstruksi bangunan dan pembuatan

kapur.• Bahan perhiasan.• Bahan baku farmasi.

" Penambangan karang dengan atautanpa bahan peledak.

" Pembuangan limbah panas.

" Penggundulan hutan di lahan atas.

" Pengerukan di sekitar terumbukarang.

" Kepariwisataan.

" Penangkapan ikan hias denganmenggunakan bahan beracun(misalnya Kalium sianida).

" Penangkapan ikan dengan bahanpeledak.

" Perusakan habitat dan kematianmassal hewan karang.

" Meningkatnya suhu air 5-100 C diatas suhu ambien, dapat mematikan karang dan biota

lainnya.

" Sedimen hasil erosi dapat mencapai terumbukarang di sekitar muara sungai, sehinggamengakibatkan kekeruhan yangmenghambat difusi oksigen ke dalam polip.

" Meningkatnya kekeruhan yang mengganggu pertumbuhan karang.

" Peningkatan suhu air karena buangan airpendingin dari pembangkit listrik perhotelan.

" Pencemaran limbah manusia yang dapatmenyebabkan eutrofikasi.

" Kerusakan fisik karang oleh jangkar kapal." Rusaknya karang oleh penyelam." Koleksi dan keanekaragaman biota karang

menurun.

" Mengakibatkan ikan pingsan, mematikankarang dan biota invertebrata.

" Mematikan ikan tanpa diskrimasi, karang danbiota invertebrata yang tidak bercangkang(anemon).

Kegiatan Dampak Potensial

Dampak Kegiatan Manusia pada Ekosistem Terumbu Karang

Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan secara Terpadu dan Berkelanjutan

Page 39: Proceeding ToT ICM

36

EKOSISTEM HUTAN MANGROVEDeskripsi dan Zonasi

Hutan mangrove merupakan komunitasvegetasi pantai tropis, yang didominasi olehbeberapa spesies pohon mangrove yang mamputumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surutpantai berlumpur. Komunitas vegetasi iniumumnya tumbuh pada daerah intertidal dansupratidal yang cukup mendapat aliran air, danterlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat. Karena itu hutan mangrove banyakditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal,estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung.

Penyebaran hutan mangrove ditentukan olehberbagai faktor lingkungan, salah satu diantaranyaadalah salinitas. Berdasarkan salinitas kitamengenal zonasi hutan mangrove sebagai berikut(De Haan dalam Russell & Yonge, 1968):(A) Zona air payau hingga air laut dengan salinitas

pada waktu terendam air pasang berkisar antara10 - 30 0/

00 :

(A1) Area yang terendam sekali atau dua kalisehari selama 20 hari dalam sebulan: hanyaRhizophora mucronata yang masih dapattumbuh.(A2) Area yang terendam 10 - 19 kali per bulan:ditemukan Avicennia (A. alba, A. marina),Sonneratia griffithii dan dominan Rhizophorasp.(A3) Area yang terendam kurang dari sembilankali setiap bulan: ditemukan Rhizophora sp.,Bruguiera sp.(A4) Area yang terendam hanya beberapa hari

dalam setahun: Bruguiera gymnorhizadominan, dan Rhizophora apiculata masihdapat hidup.

(B) Zona air tawar hingga air payau, dimanasalinitas berkisar antara 0 - 10 0/

00 :

(B1) Area yang kurang lebih masih dibawahpengaruh pasang surut: asosiasi Nypa.(B2) Area yang terendam secara musiman: Hi-biscus dominan.

Salah satu tipe zonasi hutan mangrove di In-donesia adalah sebagai berikut (Gambar 9):• Daerah yang paling dekat dengan laut sering

ditumbuhi Avicennia dan Sonneratia.Sonneratia biasa tumbuh pada lumpur dalamyang kaya bahan organik.

• Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnyadidominasi oleh Rhizophora spp. Di zona inijuga dijumpai Bruguiera dan Xylocarpus.

• Zona berikutnya didominasi oleh Bruguieraspp. Selanjutnya terdapat zona transisi antarahutan mangrove dan hutan dataran rendah yangbiasanya ditumbuhi oleh nipah (Nypafruticans), dan pandan laut (Pandanus spp.).

Struktur Vegetasi dan Daur HidupHutan mangrove meliputi pohon-pohonan

dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, danterdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga:Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera,Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia,Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus.

Vegetasi hutan mangrove di Indonesiamemiliki keanekaragaman jenis yang tinggi,

Gambar 10. Salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia.

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 40: Proceeding ToT ICM

37

dengan jumlah jenis tercatatsebanyak 202 jenis yang terdiriatas 89 jenis pohon, 5 jenispalem, 19 jenis liana, 44 jenisherba, 44 jenis epifit, dan 1jenis sikas. Namun demikianhanya terdapat kurang lebih 47jenis tumbuhan yang spesifikhutan mangrove . Paling tidakdi dalam hutan mangroveterdapat salah satu jenistumbuhan sejati penting/dominan yang termasuk kedalam empat famili:Rhizophoraceae (Rhizophora,Bruguiera, dan Ceriops) ,Sonneratiaceae (Sonneratia),Aviceniaceae (Avicennia), danMeliaceae (Xylocarpus)(Gambar 11).

Gambar 11. Dua jenis tumbuhan mangrove sejati (Avicennia sp. dan Rhizophora sp.)

Bakau (Rhizophora sp.) Api-api (Rhizophora sp.)

Jenis mangrove tertentu, seperti Bakau(Rhizophora sp.) dan Tancang (Bruguiera sp.)memiliki daur hidup yang khusus, diawali daribenih yang ketika masih pada tumbuhan indukberkecambah dan mulai tumbuh di dalam semaiantanpa istirahat. Selama waktu ini, semaianmemanjang dan distribusi beratnya berubah,

sehingga menjadi lebih berat padabagian terluar dan akhirnya lepas.Selanjutnya semaian ini jatuh daripohon induk, masuk ke perairan danmengapung di permukaan air.

Semaian ini kemudian terbawaoleh aliran air ke perairan pantaiyang cukup dangkal, di mana ujungakarnya dapat mencapai dasarperairan, untuk selanjutnya akarnyadipancangkan dan secara bertahaptumbuh menjadi pohon (Gambar 12).

Adaptasi Pohon MangroveHutan mangrove yang

umumnya didominasi oleh pohonmangrove dari empat genera(Rhizophora, Avicennia, Sonne-ratia dan Bruguiera), memiliki

kemampuan adaptasi yang khas untuk dapat hidupdan berkembang pada substrat berlumpur yangsering bersifat asam dan anoksik. Kemampuanadaptasi ini meliputi:

Adaptasi Terhadap Kadar Oksigen RendahPohon mangrove memiliki sistem perakaran

yang khas bertipe cakar ayam, penyangga, papan

Gambar 12. Daur hidup pohon mangrove

Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan secara Terpadu dan Berkelanjutan

Page 41: Proceeding ToT ICM

38

dan lutut (Gambar 13). Sistem perakaran cakarayam yang menyebar luas di permukaan substrat,memiliki sederet cabang akar berbentuk pinsilyang tumbuh tegak lurus ke permukaan substrat.Cabang akar ini disebut pneumatofora danberfungsi untuk mengambil oksigen. Sistemperakaran penyangga berbeda dengan sistemperakaran cakar ayam, dimana akar-akar

Adaptasi Terhadap Tanah yang Kurang Stabildan Adanya Pasang Surut

Mengembangkan struktur akar yang sangatekstensif dan membentuk jaringan horizontal yanglebar. Disamping untuk memperkokoh pohon, akartersebut juga berfungsi untuk mengambil unsurhara dan menahan sedimen.

Gambar 13. Bentuk-bentuk akar pohon mangrove

penyangga tumbuh dari batang pohon menembuspermukaan substrat. Pada akar penyangga initidak ditemukan pneumatofora seperti pada akarcakar ayam, tapi mempunyai lobang-lobang kecilyang disebut lentisel yang juga berfungsi untukmelewatkan udara (mendapatkan oksigen).

Adaptasi Terhadap Kadar Garam TinggiBerdaun tebal dan kuat yang mengandung

kelenjar-kelenjar garam untuk dapat menyekresigaram. Mempunyai jaringan internal penyimpanair untuk mengatur keseimbangan garam. Daunnyamemiliki struktur stomata khusus untukmengurangi penguapan.

Fauna Hutan MangroveKomunitas fauna hutan mangrove membentuk

percampuran antara 2 (dua) kelompok:1. Kelompok fauna daratan/terestrial yang

umumnya menempati bagian atas pohon man-grove, terdiri atas: insekta, ular, primata, danburung. Kelompok ini tidak mempunyai sifatadaptasi khusus untuk hidup di dalam hutanmangrove, karena mereka melewatkan sebagianbesar hidupnya di luar jangkauan air laut padabagian pohon yang tinggi, meskipun merekadapat mengumpulkan makanannya berupahewan laut pada saat air surut.

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 42: Proceeding ToT ICM

39

2. Kelompok fauna perairan/akuatik, terdiri atasdua tipe, yaitu: (a) yang hidup di kolom air,terutama berbagai jenis ikan, dan udang; (b)yang menempati substrat baik keras (akar danbatang pohon mangrove) maupun lunak(lumpur), terutama kepiting, kerang, danberbagai jenis invertebrata lainnya (Gambar14).

Fungsi Ekologis Hutan MangroveSebagai suatu ekosistem khas wilayah

pesisir, hutan mangrove memiliki beberapa fungsiekologis penting :• Sebagai peredam

gelombang danangin badai, pe-lindung pantaidari abrasi, pe-nahan lumpur danperangkap se-dimen yang di-angkut oleh aliranair permukaan.

• Sebagai penghasilsejumlah besardetritus, terutamayang berasal dari

daun dan dahan pohon mangrove yang rontok.Sebagian dari detritus ini dapat dimanfaatkansebagai bahan makanan bagi para pemakan de-tritus, dan sebagian lagi diuraikan secarabakterial menjadi mineral-mineral hara yangberperan dalam penyuburan perairan.

• Sebagai daerah asuhan (nursery ground),daerah mencari makanan (feeding ground) dandaerah pemijahan (spawning ground)bermacam biota perairan (ikan, udang dankerang-kerangan...) baik yang hidup di perairanpantai maupun lepas pantai.

Pemanfaatan HutanMangrove

Hutan mangrove di-manfaatkan terutamasebagai penghasil kayuuntuk bahan konstruksi, kayubakar, bahan baku untukmembuat arang, dan jugauntuk dibuat pulp. Disamping itu ekosistem man-grove dimanfaatkan sebagaipemasok larva ikan danudang alam (Gambar 15).

Gambar 14. Makrofauna hutan mangrove yang memperlihatkan penyebaran

Gambar 15. Manfaat ekologi dan ekonomi hutan mangrove (Dixon, 1989)

Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan secara Terpadu dan Berkelanjutan

Page 43: Proceeding ToT ICM

40

EKOSISTEM PADANG LAMUNDeskripsi Bioekologis

Lamun (seagrass) merupakan satu-satunyatumbuhan berbunga (Angiospermae) yangmemiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidupterendam di dalam laut (Gambar 16).

Lamun umumnya membentuk padang lamunyang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkauoleh cahaya matahari yang memadai bagi per-tumbuhannya. Lamun hidup di perairan yangdangkal dan jernih, dengan sirkulasi air yang baik.Air yang bersirkulasi diperlukan untukmenghantarkan zat-zat hara dan oksigen, sertamengangkut hasil metabolisme lamun ke luardaerah padang lamun.

Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhilamun, mulai dari substrat berlumpur sampaiberbatu. Namun padang lamun yang luas lebih

Dampak Kegiatan Manusia pada Ekosistem Hutan Mangrove

" Tebang habis.

" Pengalihan aliran air tawar, misalnya pada pembangunan irigasi.

" Konversi menjadi lahan pertanian,perikanan, pemukiman dan lain-lain.

" Pembuangan sampah cair.

" Pembuangan sampah padat.

" Pencemaran minyak tumpahan.

" Penambangan dan ekstrasi mineral,baik di dalam hutan maupun didaratan sekitar hutan mangrove.

" Berubahnya komposisi tumbuhan mangrove." Tidak berfungsinya daerah mencari makanan dan pengasuhan.

" Peningkatan salinitas hutan mangrove." Menurunnya tingkat kesuburan hutan.

" Mengancam regenerasi stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan mangrove." Terjadi pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh substrat hutan mangrove." Pendangkalan perairan pantai." Erosi garis pantai dan intrusi garam.

" Penurunan kandungan oksigen terlarut, timbul gas H2S.

" Kemungkinan terlapisnya pneumatofora yang mengakibatkan matinya pohon mangrove." Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat.

" Kematian pohon mangrove.

" Kerusakan total ekosistem mangrove, sehingga memusnahkan fungsi ekologis hutan mangrove (daerah mencari makanan, asuhan)." Pengendapan sedimen yang dapat mematikan pohon mangrove.

Kegiatan Dampak Potensial

Gambar 16. Struktur morfologi tumbuhan lamun secara keseluruhan.

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 44: Proceeding ToT ICM

41

sering ditemukan di substrat lumpur-berpasir yangtebal antara hutan rawa mangrove dan terumbukarang.

Di seluruh dunia diperkirakan terdapatsebanyak 52 jenis lamun, di mana di Indonesiaditemukan sekitar 15 jenis yang termasuk kedalam 2 famili: (1) Hydrocharitaceae, dan (2)Potamogetonaceae (Tabel 1).

Jenis yang membentuk komunitas padanglamun tunggal, antara lain: Thalassia hemprichii,Enhalus acoroides, Halophila ovalis,Cymodocea serrulata, dan Thallassodendronciliatum. Padang lamun merupakan ekosistemyang tinggi produktivitas organiknya, dengankeanekaragaman biota yang juga cukup tinggi.Pada ekosistem ini hidup beraneka ragam biotalaut (Gambar 17), seperti ikan, krustasea, moluska(Pinna sp., Lambis sp., Strombus sp.),

Ekinodermata (Holothuria sp., Synapta sp.,Diadema sp., Archaster sp., Linckia sp.), dancacing Polikaeta.

Fungsi Padang LamunSecara ekologis padang lamun mempunyai

beberapa fungsi penting bagi wilayah pesisir,yaitu :

Tabel 1. Beberapa jenis lamun di Indonesia

" Cymodocea rotundata C. serrulata

" Enhalus acoroides

" Halodule pinifolia H. decipiens H. minor H. ovalis

" Halodule uninervis H. spinulosa

" Syringodinium isoetifolium

" Thalassia hemprichii

" Thalassodendron ciliatum

" Terdapat di daerah intertidal. Umumnya dijumpai di daerah intertidal di dekat mangrove.

" Tumbuh pada substrat berlumpur dan perairan keruh. Dapat membentuk jenis tunggal, atau mendominasi komunitas padang lamun.

" Pertumbuhannya cepat, dan merupakan jenis pionir. Umum dijumpai di substrat berlumpur. Dapat merupakan jenis yang dominan di daerah intertidal, mampu tumbuh sampai kedalaman 25 meter.

" Membentuk padang lamun jenis tunggal pada rataan terumbu karang yang rusak. Jenis lamun pionir dan dikenal sebagai makanan dugong.

" Umum dijumpai di daerah subtidal dangkal dan berlumpur.

" Paling banyak dijumpai, biasa tumbuh dengan jenis lain, dapat tumbuh hingga kedalaman 25 meter. Sering dijumpai pada substrat berpasir. Sering mendominasi daerah subtidal, dan berasosiasi dengan terumbu karang.

" Sering mendominasi daerah subtidal dan berasosiasi dengan terumbu karang; membentuk padang lamun jenis tunggal dan umum dijumpai pada laguna atol.

Jenis Deskripsi

Produsen detritus dan zat hara.• Mengikat sedimen dan menstabilkan substrat

yang lunak, dengan sistem perakaran yang padatdan saling menyilang.

• Sebagai tempat berlindung, mencari makan,tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenisbiota laut, terutama yang melewati masadewasanya di lingkungan ini.

• Sebagai tudung pelindung yang melindungipenghuni padang lamun dari sengatan matahari.

Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan secara Terpadu dan Berkelanjutan

Page 45: Proceeding ToT ICM

42

Pemanfaatan PadangLamun

Padang lamun dapatdimanfaatkan sebagaiberikut :• Tempat kegiatan mari-

kultur berbagai jenis ikan,kerang-kerangan dantiram.

• Tempat rekreasi ataupariwisata.

• Sumber pupuk hijau.

EKOSISTEM ESTUARIADeskripsi dan klasifikasi

Estuaria adalah wilayah pesisir semi tertutupyang mempunyai hubungan bebas dengan lautterbuka dan menerima masukan air tawar daridaratan. Sebagian besar estuaria didominasi olehsubstrat berlumpur yang merupakan endapan yangdibawa oleh air tawar dan air laut. Contoh dariestuaria adalah muara sungai, teluk dan rawa pasang-surut (Gambar-18 dan 19).

Estuaria dapat dikelompokkan atas empat tipe,berdasarkan karakteristik geomorfologinya:1.Estuaria dataran pesisir; paling umum

dijumpai, dimana pembentukannya terjadiakibat penaikan permukaan air laut yangmenggenangi sungai di bagian pantai yanglandai.

2. Laguna (Gobah) atau teluk semi tertutup;terbentuk oleh adanya beting pasir yang terletaksejajar dengan garis pantai, sehinggamenghalangi interaksi langsung dan terbukadengan perairan laut.

3. Fjords; merupakan estuaria yang dalam,terbentuk oleh aktivitas glasier yangmengakibatkan tergenangnya lembah es oleh airlaut.

4. Estuaria tektonik; terbentuk akibat aktivitastektoknik (gempa bumi atau letusan gunungberapi) yang mengakibatkan turunnyapermukaan tanah yang kemudian digenangi olehair laut pada saat pasang.

Gambar 17. Beragam biota di padang lamun

Gambar-18. Estuaria (muara sungai) di Segara Anakan, Cilacap.

Gambar-19. Estuaria (teluk) di Serangan, Bali.

Berdasarkan pola sirkulasi dan stratifikasi airterdapat tiga tipe estuaria:

1. Estuaria berstratifikasi sempurna/nyataatau estuaria baji garam, dicirikan olehadanya batas yang jelas antara air tawar dan airasin. Estuaria tipe ini ditemukan di daerah-

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 46: Proceeding ToT ICM

43

daerah dimana aliran air tawar dari sungai besarlebih dominan dari pada intrusi air asin dari lautyang dipengaruhi oleh pasang-surut (Gambar-20 A).

2. Estuaria berstratifikasi sebagian/parsialmerupakan tipe yang paling umum dijumpai.Pada estuaria ini, aliran air tawar dari sungaiseimbang dengan air laut yang masuk melaluiarus pasang. Pencampuran air dapat terjadikarena adanya turbulensi yang berlangsungsecara berkala oleh aksi pasang-surut.

mendukung kehidupan biota yang padat danjuga menangkal predator dari laut yang padaumumnya tidak menyukai perairan dengansalinitas yang rendah.(2) Substrat. Sebagian besar estuariadidominasi oleh substrat berlumpur yangberasal dari sedimen yang dibawa melalui airtawar (sungai) dan air laut. Sebagian besarpartikel lumpur estuaria bersifat organik,sehingga substrat ini kaya akan bahan organik.Bahan organik ini menjadi cadangan makanan

yang penting bagi organismeestuaria.

(3) Sirkulasi air. Selangwaktu mengalirnya air darisungai ke dalam estuaria danmasuknya air laut melalui aruspasang-surut menciptakansuatu gerakan dan transport airyang bermanfaat bagi biotaestuaria, khususnya planktonyang hidup tersuspensi dalamair.

(4) Pasang-surut. Aruspasang-surut berperan pentingsebagai pengangkut zat haradan plankton. Di samping ituarus ini juga berperan untukmengencerkan danmenggelontorkan limbah yangsampai di estuaria.

(5) Penyimpanan zathara. Peranan estuaria sebagai penyimpan zathara sangat besar. Pohon mangrove dan lamunserta ganggang lainnya dapat mengkonversi zathara dan menyimpannya sebagai bahan organikyang akan digunakan kemudian oleh organismehewani.

Komposisi biota dan produktivitas hayatiDi estuaria terdapat tiga komponen fauna, yaitu

fauna laut, air tawar dan payau. Komponen faunayang terbesar didominasi oleh fauna laut, yaitu hewanstenohalin yang terbatas kemampuannya dalammentolerir perubahan salinitas (umumnya > 30 0/

00 )

dan hewan eurihalin yang mempunyai kemampuanmentolerir berbagai penurunan salinitas di bawah30 0/

00 . Komponen air payau terdiri dari spesies

organisme yang hidup di pertengahan daerah estuaria

Gambar -20. Tipe estuaria berdasarkan pola sirkulasi air: (A) Estuaria berstratifikasi sempurna (baji garam); (B) Estuaria campuran sempurna (homogen vertikal).

3. Estuaria campuran sempurna atau estuariahomogen vertikal. Estuaria tipe ini dijumpai dilokasi-lokasi dimana arus pasang-surut sangatdominan dan kuat, sehingga air estuariatercampur sempurna dan tidak terdapatstratifikasi (Gambar-20 B).

Karakteristik fisikPerpaduan antara beberapa sifat fisik

estuaria mempunyai peranan yang penting terhadapkehidupan biota estuaria. Beberapa sifat fisik yangpenting adalah sebagai berikut:

(1) Salinitas. Estuaria memiliki gradien salinitasyang bervariasi, terutama bergantung padamasukan air tawar dari sungai dan air lautmelalui pasang-surut. Variasi ini menciptakankondisi yang menekan bagi organisme, tapi

Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan secara Terpadu dan Berkelanjutan

Page 47: Proceeding ToT ICM

44

pada salinitas antara 5-30 0/00

. Spesies-spesies ini tidakditemukan hidup pada perairan laut maupun tawar.Komponen air tawar biasanya terdiri dari hewan yangtidak mampu mentolerir salinitas di atas 5 0/

00 dan

hanya terbatas pada bagian hulu estuaria (Gambar-21).

terkait melalui suatu rantai makanan yang kompleks.Secara fisik dan biologis, estuaria

merupakan ekosistem produktif yang setaraf denganhutan hujan tropik dan terumbu karang, karena:1. Estuaria berperan sebagai jebak zat hara yang

cepat didaurulang.2. Beragamnya komposisitumbuhan di estuaria baiktumbuhan makro(makrofiton) maupuntumbuhan mikro(mikrofiton), sehingga prosesfotosintesis dapat berlangsungsepanjang tahun.3. Adanya fluktuasipermukaan air terutamaakibat aksi pasang-surut,sehingga antara lainmemungkinkan pengangkutanbahan makanan dan zat harayang diperlukan berbagaiorganisme estuaria.

Fungsi ekologis estuariaSecara umum estuaria mempunyai peran

ekologis penting sebagai berikut:• Sebagai sumber zat hara dan bahan organik

yang diangkut lewat sirkulasi pasang-surut(tidal circulation).

• Penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan(ikan, udang...) yang bergantung pada estuariasebagai tempat berlindung dan tempat mencarimakanan (feeding ground).

• Sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atautempat tumbuh besar (nursery ground)terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang.

Pemanfaatan estuariaSecara umum estuaria dimanfaatkan oleh

manusia sebagai berikut :• Sebagai tempat pemukiman.• Sebagai tempat penangkapan dan budidaya

sumberdaya ikan.• Sebagai jalur transportasi.• Sebagai pelabuhan dan kawasan industri.

Jumlah spesies organisme yang mendiamiestuaria jauh lebih sedikit jika dibandingkan denganorganisme yang hidup di perairan tawar dan laut.Sedikitnya jumlah spesies ini terutama disebabkanoleh fluktuasi kondisi lingkungan, sehingga hanyaspesies yang memiliki kekhususan fisiologis yangmampu bertahan hidup di estuaria. Selain miskindalam jumlah spesies fauna, estuaria juga miskin akanflora. Keruhnya perairan estuaria menyebabkanhanya tumbuhan mencuat yang dapat tumbuhmendominasi.

Rendahnya produktivitas primer di kolomair, sedikitnya herbivora dan terdapatnya sejumlahbesar detritus menunjukkan bahwa rantai makananpada ekosistem estuaria merupakan rantai makanandetritus. Detritus membentuk substrat untukpertumbuhan bakteri dan algae yang kemudianmenjadi sumber makanan penting bagi organismepemakan suspensi dan detritus. Suatu penumpukanbahan makanan yang dimanfaatkan oleh organismeestuaria merupakan produksi bersih dari detritus ini.

Fauna di estuaria, seperti ikan, kepiting, kerangdan berbagai jenis cacing berproduksi dan saling

Gambar -21. Jumlah spesies fauna estuaria dan penyebarannya berdasarkan salinitas (Nybakken, 1993).

Jum

lah

Sp

esie

s

Spesies LautEurihalin

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 48: Proceeding ToT ICM

45

ANCAMAN TERHADAP EKOSISTEMDAN SUMBERDAYA PESISIR

Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggidan pesatnya kegiatan pembangunan di pesisir, bagiberbagai peruntukan (pemukiman, perikanan,pelabuhan dll), maka tekanan ekologis terhadapekosistem dan sumberdaya pesisir dan laut semakinmeningkat pula. Meningkatnya tekanan ini tentunyadapat mengancam keberadaan dan kelangsunganekosistem dan sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, baik secara langsung (misalnya kegiatankonversi lahan) maupun tidak langsung (misalnyapencemaran oleh limbah berbagai kegiatanpembangunan).

Salah satu tahapan penting yang diperlukandalam penyusunan rencana pengelolaan ekosistemdan sumberdaya pesisir dan laut adalah identifikasiberbagai ancaman yang mengemuka dalam berbagaikegiatan pembangunan. Ancaman-ancaman utamayang dikemukakan disini adalah ancaman terhadapkualitas lingkungan dan sumberdaya alam serta jasa-jasa pesisir dan laut. Ancaman-ancaman ini dapatberdiri sendiri atau saling berkaitan dalam setiapbidang kegiatan pembangunan.

Sedimentasi dan PencemaranKegiatan pembukaan lahan atas dan pesisir

untuk pertanian, pertambangan dan pengembangankota merupakan sumber beban sedimen danpencemaran perairan pesisir dan laut. Adanyapenebangan hutan dan penambangan di DaerahAliran Sungai (DAS) telah menimbulkan sedimentasiserius di beberapa daerah muara dan perairan pesisir.Pembukaan lahan atas sebagai bagian dari kegiatanpertanian, telah meningkatkan limbah pertanian baikpadat maupun cair yang masuk ke perairan pesisirdan laut melalui aliran sungai. Limbah cair yangmengandung nitrogen dan fosfor berpotensimenimbulkan keadaan lewat subur (eutrofikasi) yangmerugikan ekosistem pesisir.

Selain limbah pertanian, sampah-sampah padatrumah tangga dan kota merupakan sumberpencemar perairan pesisir dan laut yang sulitdikontrol, sebagai akibat perkembangan pemukimanyang pesat. Sumber pencemaran lain di pesisir danlaut dapat berasal dari kegiatan pembangunanlainnya, seperti kegiatan pertambangan emas.Pertambangan emas yang menggunakan air raksauntuk mengikat bijih emas menjadi amalgam, dapat

menimbulkan pencemaran air raksa melalui air padasaat pencucian/pengikatan amalgam. Pencemaran airraksa melalui air sangat berbahaya, karena limbahair raksa yang terbawa melalui aliran sungai keperairan pesisir sangat potensial menimbulkanpencemaran logam berat melalui rantai makanan(bioakumulasi). Proses timbulnya pencemaran yangsama juga terdapat pada pertambangan emas yangmenggunakan sianida untuk mengikat emas. Limbahdari hasil tambang tersebut, berupa lumpur, tanahdan batuan, selain mengandung sianida jugamengandung timah, kadmium, nikel dan khrom.Limbah ini dibuang dalam jumlah besar, sehinggasangat potensial mencemari perairan pesisir dan laut,terlebih bahan sianida yang terkenal sebagai racunyang sangat berbahaya.

Degradasi HabitatErosi pantai merupakan salah satu masalah

serius degradasi garis pantai. Selain proses-prosesalami, seperti angin, arus, hujan dan gelombang,aktivitas manusia juga menjadi penyebab pentingerosi pantai. Kebanyakan erosi pantai akibataktivitas manusia adalah pembukaan hutan pesisiruntuk kepentingan pemukiman, dan pembangunaninfrastruktur, sehingga sangat mengurangi fungsiperlindungan terhadap pantai. Di samping ituaktivitas penambangan terumbu karang di beberapalokasi untuk kepentingan konstruksi jalan danbangunan, telah memberikan kontribusi pentingterhadap erosi pantai, karena berkurangnya atauhilangnya perlindungan pantai dari hantamangelombang dan badai.

Ancaman lain terhadap degradasi habitatadalah degradasi terumbu karang. Degradasiterumbu karang di perairan pesisir disebabkan olehberbagai aktivitas manusia, di antaranya pemanfaatanekosistem terumbu karang sebagai sumber pangan(ikan-ikan karang), sumber bahan bangunan (galiankarang), komoditas perdagangan (ikan hias), danobyek wisata (keindahan dan keanekaragamanhayati). Degradasi terumbu karang akibatpemanfaatannya sebagai sumber pangan maupunikan hias sebagian besar dikarenakan olehpenggunaan bahan peledak, tablet potas dan sianida.Kenyataan ini dapat dijumpai di banyak lokasiterumbu karang, berupa karang-karang yang rusaksecara fisik dalam formasi berbentuk cekungan.Selain itu degradasi terumbu karang terjadi sebagai

Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan secara Terpadu dan Berkelanjutan

Page 49: Proceeding ToT ICM

46

akibat kegiatan penambangan/penggalian karanguntuk kepentingan konstruksi jalan atau bangunan.

Degradasi terumbu karang akibatpemanfaatannya sebagai obyek wisata terlihat darikerusakan-kerusakan fisik karang yang disebabkanoleh pembuangan jangkar kapal/perahu yang membawawisatawan ke lokasi terumbu karang. Kerusakan jugadapat diakibatkan oleh perilaku wisatawan, misalnyapenginjakan terumbu karang oleh penyelam yangkurang berpengalaman maupun oleh penyelam yangmemburu ikan. Selain itu limbah yang dibuang turisatau limbah yang berasal dari aktivitas di daratan ikutmenimbulkan kerusakan karang.

Degradasi Sumberdaya danKeanekaragaman Hayati

Sejalan dengan meningkatnya kegiatanpembangunan, dan perkembangan pemukiman danperkotaan ke arah pesisir, maka terlihat jelasadanya degradasi sumberdaya pesisir. Salah satudegradasi sumberdaya pesisir yang cukupmenonjol adalah degradasi hutan mangrovesebagai akibat pembukaan lahan atau konversihutan menjadi kawasan pertambakan, pemukiman,industri, dan lain-lain. Selain konversi, degradasihutan mangrove juga terjadi sebagai akibatpemanfaatannya yang intensif untuk arang, bahankonstruksi atau bahan baku kertas sertapemanfaatan langsung lainnya.

Degradasi sumberdaya juga terjadi padaterumbu karang, di antaranya sebagai akibateksploitasi intensif ikan-ikan karang. Eksploitasiini sangat berdampak pada semakin menurunnyakeanekaragaman ikan karang bahkan punahnyajenis ikan tertentu. Hal ini tentu saja akanberakibat pada kualitas estetika terumbu karangsebagai obyek wisata selam.

Ancaman lain terhadap keanekaragaman hayatidi perairan pesisir diduga antara lain berasal daripembangunan infrastruktur (hotel, restoran, dan lain-lain) di pinggir pantai, dan juga reklamasi pantai.Kegiatan reklamasi pantai sebagaimana terjadi dibeberapa kawasan pesisir, diperkirakan dapat merubahstruktur ekologi komunitas biota laut bahkan dapatmenurunkan keanekaragaman hayati perairan. Dalamskala yang lebih kecil, pembangunan hotel-hotel ataurestoran-restoran di pinggir pantai dapat memberikandampak yang sama, terutama bila berada di sekitarkawasan konservasi atau taman laut.

UPAYA MENGATASI ANCAMANDEGRADASI MELALUI KAWASANKONSERVASI DI PESISIR DAN LAUT

Diantara ekosistem dan sumberdaya pesisirdan laut yang berada dalam kondisi kritis adalahestuaria, rawa mangrove, padang lamun danterumbu karang. Ekosistem dan sumberdayatersebut berperan penting sebagai penyediamakanan, tempat perlindungan dan tempatberkembangbiak berbagai jenis ikan, udang,kerang dan biota laut lainnya (Bengen, 2000).Selain itu, ekosistem pesisir dan laut (terutamaekosistem mangrove dan terumbu karang) jugamemiliki fungsi yang sangat penting sebagaipelindung pantai dan pemukiman pesisir darihantaman gelombang, badai dan erosi pantai.Karena itu, agar supaya ekosistem dan sumberdayaini dapat berperan secara optimal dan berkelanjutan,maka diperlukan upaya-upaya perlindungan dariberbagai ancaman degradasi yang dapat ditimbulkandari berbagai aktivitas pemanfaatan baik secaralangsung maupun tidak langsung.

Salah satu upaya perlindungan yang dapatdilakukan adalah dengan menetapkan suatu kawasandi pesisir dan laut sebagai kawasan konservasi yangantara lain bertujuan untuk melindungi habitat-habi-tat kritis, mempertahankan dan meningkatkankualitas sumberdaya, melindungi keanekaragamanhayati dan melindungi proses-proses ekologi.

Pentingnya PerlindunganEkosistem dan Sumberdaya

Ekosistem dan sumberdaya pesisir dan lautyang merupakan suatu himpunan integral darikomponen hayati dan nir-hayati, mutlak dibutuhkanoleh manusia untuk hidup dan untuk meningkatkanmutu kehidupan.

Komponen hayati dan nir-hayati secarafungsional berhubungan satu sama lain dan salingberinteraksi membentuk suatu sistem. Apabilaterjadi perubahan pada salah satu dari keduakomponen tersebut, maka akan dapat mempenga-ruhi keseluruhan sistem yang ada baik dalamkesatuan struktur fungsional maupun dalamkeseimbangannya. Kelangsungan suatu fungsiekosistem sangat menentukan kelestarian darisumberdaya hayati sebagai komponen yang terlibatdalam sistem tersebut (Bengen, 2000). Karena ituuntuk menjamin kelestarian sumberdaya hayati,

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 50: Proceeding ToT ICM

47

perlu diperhatikan hubungan-hubungan ekologis yangberlangsung di antara komponen-komponensumberdaya alam yang menyusun suatu sistem.

Semakin meningkatnya pembangunanekonomi di kawasan pesisir dan laut, semakinmeningkatkan pula ancaman terhadap degradasiekosistem dan sumberdaya pesisir dan laut, , sepertieksploitasi lebih, degradasi habitat, penurunankeanekaragaman hayati; padahal ekosistem dansumberdaya pesisir dan laut menjadi tumpuanpembangunan nasional sebagai sumber pertumbuhanbaru. Karena itu, untuk dapat mempertahankan danmelindungi keberadaan dan kualitas ekosistem dansumberdaya pesisir dan laut yang bernilai ekologisdan ekonomis penting, diperlukan suatu perencanaandan pengelolaan yang berkelanjutan. Perlindunganterhadap ekosistem dan sumberdaya tersebut di atasdari berbagai ancaman degradasi merupakan suatuupaya pengelolaan berkelanjutan. Wujud nyata dariupaya perlindungan dimaksud dapat dilakukanmelalui penetapan suatu kawasan konservasi dipesisir dan laut.

Peran Kawasan konservasiKawasan konservasi yang dimaksud disini

didefinisikan sebagai suatu kawasan di pesisir danlaut yang mencakup daerah intertidal, subtidal dankolom air di atasnya, dengan beragam flora dan faunayang berasosiasi di dalamnya yang memiliki nilaiekologis, ekonomis, sosial dan budaya.

Kawasan konservasi di pesisir dan lautmemiliki peran utama sebagai berikut (Agardy,1997; Barr et al, 1997) :a. Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur,

fungsi dan integritas ekosistem.Kawasan konservasi dapat berkontribusi untukmempertahankan keanekaragaman hayati padasemua tingkatan trofik dari ekosistem, melindungihubungan jaringan makanan, dan proses-prosesekologis dalam suatu ekosistem.

b. Meningkatkan hasil perikanan.Kawasan konservasi dapat melindungi daerahpemijahan, pembesaran dan mencari makanan;meningkatkan kapasitas reproduksi dan stoksumberdaya ikan.

c. Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata. Kawasan konservasi dapat menyediakan tempat

untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata alam yang

bernilai ekologis dan estetika. Perlindunganterhadap tempat-tempat khusus bagi kepentinganrekreasi dan pariwisata (seperti pengaturandermaga perahu/kapal, tempat berjangkar danjalur pelayaran) akan membantu mengamankankekayaan dan keragaman daerah rekreasi danpariwisata yang tersedia di sepanjang pesisir.

d. Memperluas pengetahuan dan pemahamantentang ekosistem.Kawasan konservasi dapat meningkatkanpemahaman dan kepedulian masyarakat terhadapekosistem pesisir dan laut; menyediakan tempatyang relatif tidak terganggu untuk observasi danmonitoring jangka panjang, dan berperan pentingbagi pendidikan masyarakat berkaitan denganpentingnya konservasi laut dan dampak aktivitasmanusia terhadap keanekaragaman hayati laut.

e.Memberikan manfaat sosial-ekonomi bagimasyarakat pesisir.Kawasan konservasi dapat membantu masyarakatpesisir dalam mempertahankan basis ekonominyamelalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasalingkungan secara optimal dan berkelanjutan.

Sasaran dan Tujuan PenetapanKawasan Konservasi

Sasaran utama penetapan kawasan konservasidi pesisir dan laut adalah untuk mengkonservasiekosistem dan sumberdaya alam, agar proses-prosesekologis di suatu ekosistem dapat terus berlangsungdan tetap dipertahankannya produksi bahanmakanan dan jasa-jasa lingkungan bagi kepentinganmanusia secara berkelanjutan (Agardy, 1997).

Untuk dapat mencapai sasaran tersebut di atas,maka penetapan kawasan konservasi di pesisir danlaut harus ditujukan untuk (Kelleher danKenchington, 1992; Jones, 1994; Barr et al, 1997;Salm et al, 2000) :• Melindungi habitat-habitat kritis.• Mempertahankan keanekaragaman hayati.• Mengkonservasi sumberdaya ikan.• Melindungi garis pantai.• Melindungi lokasi-lokasi yang bernilai sejarah dan

budaya.• Menyediakan lokasi rekreasi dan pariwisata alam.• Merekolonisasi daerah-daerah yang tereksploitasi.• Mempromosikan pembangunan kelautan

berkelanjutan.

Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan secara Terpadu dan Berkelanjutan

Page 51: Proceeding ToT ICM

48

PRINSIP PENGELOLAAN KAWASANKONSERVASI DI PESISIR DAN LAUTPerencanaan dan Proses Pemilihan Lokasi

Kawasan konservasi menuntut adanya prosesperencanaan khusus yang terkait dengan tahapanpengelolaan dari suatu kerangka pengelolaankawasan konservasi. Hasil dari perencanaanlokasi adalah rencana pengelolaan lokasikawasan konservasi. Sebagai tahapan awal dariperencanaan lokasi, diperlukan suatu rencanapendahuluan dari pemilihan lokasi yang berisikebijakan-kebijakan yang diperlukan untukdiimplementasikan, sasaran program dan kerangkastrategi dasar untuk mencapai sasaran program(Salm et al, 2000).

Perencanaan strategis mengharuskan adanyapenelitian pendahuluan, pengumpulan data, analisisisu, dialog dan negosiasi yang diperlukan untukmenetapkan masalah, memahami pilihan, danmeletakkan dasar untuk rencana pengelolaan lokasikawasan konservasi.

Proses perencanaan lokasi kawasankonservasi harus didasarkan pada sasaran dantujuan kawasan konservasi secara jelas,sebagaimana diuraikan dalam sasaran dan tujuanpenetapan kawasan konservasi. Untuk mencapaisasaran dan tujuan dimaksud, informasi dasartentang lokasi sangat dibutuhkan, khususnyamenyangkut karakteristik ekosistem dansumberdaya, tingkat pemanfaatan sumberdaya danancaman terhadap sumberdaya. Rancangan lokasiyang didasarkan pada informasi dasar tersebutdiatas, dapat dilanjutkan dengan informasi lainnyatentang elemen-elemen dasar yang diperlukanuntuk mengalokasikan suatu kawasan konservasidan persiapan rencana pengelolaan lokasi.

Dalam rencana pengalokasian kawasankonservasi, diperlukan sedikitnya 4 (empat) tahapandalam proses pemilihan lokasi (Agardy, 1997):1. Identifikasi habitat atau lingkungan kritis; distribusi

sumberdaya ikan ekologis dan ekonomis penting,dan bila memungkinkan lokasi proses-prosesekologis kritis, dan dilanjutkan dengan memetakaninformasi-informasi tersebut dengan menggunakanSistem Informasi Geografis.

2. Teliti tingkat pemanfaatan sumberdaya danidentifikasi sumber-sumber degradasi di kawasan;petakan konflik pemanfaatan sumberdaya,berbagai ancaman langsung (misalnya over-

eksploitasi) dan tidak langsung (misalnyapencemaran) terhadap ekosistem dan sumber-daya.

3. Tentukan lokasi dimana perlu dilakukankonservasi (misalnya lokasi yang diidentifikasioleh pengambil kebijakan menjadi prioritasuntuk dilindungi).

4. Kaji kelayakan suatu kawasan prioritas yangdapat dijadikan kawasan konservasi, berdasar-kan proses perencanaan lokasi.

Batas dan Zonasi LokasiMasalah utama dalam pengalokasian suatu

kawasan konservasi adalah menetapkan batasekologis yang dapat digunakan untuk merancangsuatu kawasan konservasi. Selama ini, bataskawasan konservasi didasarkan pada karakteristikgeologis kawasan (batas daratan dan laut), batasadministratif (nasional, propinsi atau kabupaten), ataubiaya (lokasi yang lebih kecil memerlukan biaya yanglebih kecil untuk melindungi atau mempertahankankeberadaannya).

Secara umum sangat sedikit alasan ekologisyang dijadikan dasar untuk menentukan bataskawasan konservasi, namun alasan ekologis yangtepat haruslah digunakan untuk menentukan batasdan zonasi kawasan konservasi.Tidak ada aturanbaku yang menetapkan ukuran optimal danrancangan dari suatu kawasan konservasi. Namundemikian secara umum terdapat 2 (dua) kategoriukuran kawasan konservasi, yakni : kategoridisagregasi (sekelompok kawasan konservasiyang berukuran kecil), dan kategori agregasi(sekelompok kawasan konservasi yang berukuranbesar). Setiap kategori ukuran memilikikeunggulan sendiri. Kawasan konservasi yangberukuran kecil dapat mendukung kehidupan lebihbanyak jenis biota dengan relung yang berbeda-beda, serta tidak merusak semua kawasankonservasi secara bersamaan bila terdapat bencana.Kawasan konservasi yang berukuran besar menuntutadanya zonasi kawasan untuk dapat mendukungpengelolaan yang efektif bagi berbagai pemanfaatansecara berkelanjutan. Dengan adanya zonasi, makapemanfaatan sumberdaya alam dapat dikontrolsecara efektif untuk mencapai sasaran dan tujuankawasan konservasi.

Pengelolaan zona dalam kawasan konservasididasarkan pada luasnya berbagai pemanfaatan

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 52: Proceeding ToT ICM

49

sumberdaya kawasan. Aktivitas di dalam setiap zonaditentukan oleh tujuan kawasan konservasi,sebagaimana ditetapkan dalam rencana pengelolaan.Zona-zona tertentu menuntut pengelolaan yangintensif, sementara zona lainnya tidak perlu.

Secara umum zona-zona di suatu kawasankonservasi dapat dikelompokkan atas 3 (tiga)zona, yaitu:• Zona Inti atau Perlindungan. Habitat di zona ini memiliki nilai konservasi

yang tinggi, sangat rentan terhadap gangguanatau perubahan, dan hanya dapat mentolerirsangat sedikit aktivitas manusia. Zona ini harusdikelola dengan tingkat perlindungan yangtinggi, serta tidak dapat diijinkan adanyaaktivitas eksploitasi.

• Zona Penyangga. Zona ini bersifat lebih terbuka, tapi tetap dikontrol,

dan beberapa bentuk pemanfaatan masih dapatdiijinkan. Penyangga di sekeliling zonaperlindungan ditujukan untuk menjaga kawasankonservasi dari berbagai aktivitas pemanfaatanyang dapat mengganggu, dan melindungi kawasankonservasi dari pengaruh eksternal.

• Zona Pemanfaatan Lokasi di zona ini masih memiliki nilai

konservasi tertentu, tapi dapat mentolerir berbagaitipe pemanfaatan oleh manusia, dan layak bagiberagam kegiatan eksploitasi yang diijinkan dalamsuatu kawasan konservasi.

Penzonasian tersebut di atas ditujukan untukmembatasi tipe-tipe habitat penting uuntukperlindungan keanekaragaman hayati dankonservasi sumberdaya ekonomi, sebagaimanasasaran kawasan konservasi di pesisir dan laut.

Kriteria Pemilihan LokasiKawasan Konservasi

Identifikasi dan pemilihan lokasi potensial untukkawasan konservasi di pesisir dan laut menuntutpenerapan kriteria. Kriteria berfungsi untuk mengkajikelayakan suatu lokasi bagi kawasan konservasi.Penerapan kriteria sangat membantu dalammengidentifikasi dan memilih lokasi perlindungansecara obyektif, dimana secara mendasar terdiri ataskelompok kriteria ekologi, sosial dan ekonomi (Salmet al, 2000).

Kriteria EkologiNilai suatu ekosistem dan spesies biota di pesisir dan

laut dapat ditilik dari kriteria sebagai berikut:a. Keanekaragaman hayati: didasarkan pada

keragaman atau kekayaan ekosistem, habitat,komunitas dan jenis biota. Lokasi yang yang sangatberagam, harus memperoleh nilai paling tinggi.

b. Kealamian: didasarkan pada tingkat degradasi.Lokasi yang terdegradasi mempunyai nilai yangrendah, misalnya bagi perikanan atau wisata, dansedikit berkontribusi dalam proses-proses biologis.

c. Ketergantungan: didasarkan pada tingkatketergantungan spesies pada lokasi, atau tingkatdimana ekosistem tergantung pada proses-proses ekologis yang berlangsung di lokasi.

d. Keterwakilan: didasarkan pada tingkat dimanalokasi mewakili suatu tipe habitat, prosesekologis, komunitas biologi, ciri geologi ataukarakteristik alam lainnya.

e. Keunikan: didasarkan pada keberadaan suatuspesies endemik atau yang hampir punah.

f. Integritas: didasarkan pada tingkat dimanalokasi merupakan suatu unit fungsional darientitas ekologi.

g. Produktivitas: didasarkan pada tingkat dimanaproses-proses produktif di lokasi memberikanmanfaat atau keuntungan bagi biota ataumanusia.

h. Kerentanan: didasarkan pada kepekaan lokasiterhadap degradasi baik oleh pengaruh alamatau akibat aktivitas manusia.

Kriteria SosialManfaat sosial dan budaya pesisir dan laut

dapat ditilik dari kriteria sebagai berikut:a. Penerimaan sosial: didasarkan pada tingkat

dukungan masyarakat lokal.b. Kesehatan masyarakat: didasarkan pada tingkat

dimana penetapan kawasan konservasi dapatmembantu mengurangi pencemaran ataupenyakit yang berpengaruh pada kesehatanmasyarakat.

c. Rekreasi: didasarkan pada tingakat dimanalokasi dapat digunakan untuk rekreasi bagipenduduk sekitar.

d. Budaya: didasarkan pada nilai sejarah, agama, seniatau nilai budaya lain dari lokasi.

e. Estetika: didasarkan pada nilai keindahan darilokasi.

Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan secara Terpadu dan Berkelanjutan

Page 53: Proceeding ToT ICM

50

f. Konflik kepentingan: didasarkan pada tingakatdimana kawasan konservasi dapat berpengaruhpada aktivitas masyarakat lokal.

g. Keamanan: didasarkan pada tingkat bahaya darilokasi bagi manusia karena adanya arus kuat,ombak besar dan hambatan lainnya.

h. Aksesibilitas: didasarkan pada kemudahanmencapai lokasi baik dari darat maupun laut.

i. Kepedulian masyarakat: didasarkan pada tingkatdimana monitoring, penelitian, pendidikan ataupelatihan di dalam lokasi dapat berkontribusi padapengetahuan, apresiasi nilai-nilai lingkungan dantujuan konservasi.

j. Konflik dan Kompatibilitas: didasarkan padatingkat dimana lokasi dapat membantumenyelesaikan konflik antara kepentingansumberdaya alam dan aktivitas manusia, atautingkat dimana kompatibilitas antarasumberdaya alam dan manusia dapat dicapai.

Kriteria EkonomiManfaat ekonomi pesisir dan laut dapat

ditilik dari kriteria sebagai berikut:a. Spesies penting: didasarkan pada tingkat dimana

spesies penting komersial tergantung pada lokasi.b. Kepentingan perikanan: didasarkan pada jumlah

nelayan yang tergantung pada lokasi dan ukuranhasil perikanan.

c. Bentuk ancaman: didasarkan pada luasnyaperubahan pola pemanfaatan yang mengancamkeseluruhan nilai lokasi bagi manusia.

d. Manfaat ekonomi: didasarkan pada tingkatdimana perlindungan lokasi akan berpengaruhpada ekonomi lokal dalam jangka panjang.

e. Pariwisata: didasarkan pada nilai keberadaan ataupotensi lokasi untuk pengembangan pariwisata.

PENTINGNYA PENGELOLAANPESISIR TERPADUPengertian Pengelolaan Terpadu

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadumemiliki pengertian bahwa pengelolaansumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisirdilakukan melalui penilaian secara menyeluruh (com-prehensive assessment), merencanakan tujuan dansasaran, kemudian merencanakan serta mengelolasegenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapaipembangunan yang optimal dan berkelanjutan.Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan

secara kontinyu dan dinamis dengan memper-timbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya danaspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir (stake-holders) serta konflik kepentingan dan pemanfaatanyang mungkin ada.

Keterpaduan dalam perencanaan danpengelolaan wilayah pesisir ini mencakup 4 (empat)aspek, yaitu: (a) keterpaduan wilayah/ekologis; (b)keterpaduan sektor; (c) keterpaduan disiplin ilmu;dan (d) keterpaduan stakeholder.

a. Keterpaduan Wilayah/EkologisSecara spasial dan ekologis wilayah pesisir

memiliki keterkaitan antara lahan atas (daratan)dan laut. Hal ini disebabkan karena wilayahpesisir merupakan daerah pertemuan antaradaratan dan lautan. Dengan keterkaitan kawasantersebut, maka pengelolaan kawasan pesisir tidakterlepas dari pengelolaan lingkungan yangdilakukan di kedua kawasan tersebut. Berbagaidampak lingkungan yang terjadi pada kawasanpesisir merupakan akibat dari dampak yangditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yangdilakukan di lahan atas, seperti pertanian,perkebunan, kehutanan, industri, pemukiman dansebagainya. Demikian pula dengan kegiatan yangdilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pengebor-an minyak lepas pantai dan perhubungan laut.

Penanggulangan pencemaran yangdiakibatkan oleh limbah industri, pertanian danrumah tangga, serta sedimentasi tidak dapatdilakukan hanya di kawasan pesisir saja, tetapi harusdilakukan mulai dari sumber dampaknya. Olehkarena itu, pengelolaan di wilayah ini harusdiintegrasikan dengan wilayah daratan dan lautserta Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi satukesatuan dan keterpaduan pengelolaan. Pengelo-laan yang baik di wilayah pesisir akan hancur dalamsekejap jika tidak diimbangi dengan perencanaanDAS yang baik pula. Keterkaitan antar ekosistemyang ada di wilayah pesisir harus selalu diperhatikan.

b. Keterpaduan SektorSebagai konsekuensi dari besar dan

beragamnya sumberdaya alam di kawasan pesisiradalah banyaknya instansi atau sektor-sektor pelakupembangunan yang bergerak dalam pemanfaatansumberdaya pesisir. Akibatnya, sering kali terjaditumpang tindih pemanfaatan sumberdaya pesisir

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 54: Proceeding ToT ICM

51

antar satu sektor dengan sektor lainnya. Agarpengelolaan sumberdaya alam di kawasan pesisirdapat dilakukan secara optimal dan berke-sinambungan, maka dalam perencanaan pengelolaanharus mengintegrasikan semua kepentingan sektoral.Kegiatan suatu sektor tidak dibenarkan mengganggu,apalagi sampai mematikan kegiatan sektor lain.Keterpaduan sektoral ini meliputi keterpaduansecara horisontal (antar sektor) dan keterpaduansecara vertikal (dalam satu sektor). Oleh karenaitu, penyusunan tata ruang dan panduan pembangun-an di kawasan pesisir sangat perlu dilakukan untukmenghindari benturan antara satu kegiatan dengankegiatan pembangunan lainnya.

c. Keterpaduan Disiplin IlmuWilayah pesisir memiliki sifat dan karakteristik

yang unik dan spesifik, baik sifat dan karakteristikekosistem pesisir maupun sifat dan karakteristiksosial budaya masyarakat pesisir. Dengan dinamikaperairan pesisir yang khas, dibutuhkan disiplin ilmukhusus pula seperti hidro-oseanografi, dinamikaoseanografi dan sebagainya. Selain itu, kebutuhanakan disiplin ilmu lainnya juga sangat penting. Secaraumum, keterpaduan disiplin ilmu dalam pengelolaanekosistem dan sumberdaya pesisir adalah ilmu-ilmuekologi, oseanografi, keteknikan, ekonomi, hukumdan sosiologi.

d. Keterpaduan StakeholderSegenap keterpaduan di atas, akan berhasil

diterapkan apabila ditunjang oleh keterpaduandari pelaku dan atau pengelola pembangunan dikawasan pesisir. Seperti diketahui bahwa pelaku

pembangunan dan pengelola sumberdaya alampesisir antara lain terdiri dari pemerintah (pusat dandaerah), masyarakat pesisir, swasta/investor dan jugalembaga swadaya masyarakat (LSM) yang masing-masing memiliki kepentingan terhadap pemanfaatansumberdaya alam di kawasan pesisir. Penyusunanperencanaan pengelolaan terpadu harus mampumengakomodir segenap kepentingan pelakupembangunan pesisir. Oleh karena itu, perencanaanpengelolaan pembangunan harus menggunakanpendekatan dua arah, yaitu pendekatan “top down”dan pendekatan “bottom up”.

Pendekatan Terpadu dalamPengelolaan Pesisir

Keunikan wilayah pesisir serta beragamnyasumberdaya yang ada, mengisyaratkan pentingnyapengelolaan wilayah tersebut secara terpadu, danbukan secara sektoral. Hal ini dapat dijelaskandengan beberapa alasan sebagai berikut:

Pertama. Secara empiris, terdapat keterkaitanekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistemdi dalam kawasan pesisir maupun antara kawasanpesisir dengan lahan atas dan laut lepas. Dengandemikian perubahan yang terjadi pada suatuekosistem pesisir (mangrove, misalnya), cepat ataulambat akan mempengaruhi ekosistem lainnya.Demikian pula halnya, jika pengelolaan kegiatanpembangunan (industri, pertanian, pemukiman, danlain-lain) di lahan atas suatu DAS (Daerah AliranSungai) tidak dilakukan secara arif (berwawasanlingkungan), maka dampak negatifnya akanmerusak tatanan dan fungsi ekologis kawasanpesisir (Gambar 22).

Gambar 22. Keterkaitan Ekologis dan Dampak Pembangunan antara Ekosistem Darat dan Pesisir (dimodifikasi dari ICLARM, 1995)

Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan secara Terpadu dan Berkelanjutan

Page 55: Proceeding ToT ICM

52

Kedua. Dalam suatu kawasan pesisir, biasanyaterdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam danjasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkanuntuk kepentingan pembangunan.

Ketiga. Dalam suatu kawasan pesisir, padaumumnya terdapat lebih dari satu kelompokmasyarakat (orang) yang memiliki ketrampilan/keahlian dan preferensi (preference) bekerja yangberbeda, sebagai petani, nelayan, petani tambak,petani rumput laut, pendamping pariwisata, industridan kerajinan rumah tangga, dan sebagainya.Padahal, sangat sulit atau hampir tidak mungkin, untukmengubah preferensi bekerja (profesi) sekelompokorang yang sudah secara mentradisi menekuni suatubidang pekerjaan.

Keempat. Secara ekologis maupunekonomis, pemanfaatan tunggal (single use) suatukawasan pesisir umumnya sangat rentan terhadapperubahan internal maupun eksternal yang menjuruspada kegagalan usaha. Contohnya, pembangunantambak udang di Pantai Utara Jawa, yang sejaktahun 1982 mengkonversi hampir sepanjangkawasan pesisir termasuk mangrove (sebagaikawasan konservasi) menjadi tambak udang;sehingga, pada saat akhir 1980-an sampai sekarangterjadi peledakan wabah virus pada sebagian besartambak udang di kawasan ini. Kemudian, pada tahun1988 ketika Jepang menghentikan impor udang In-donesia selama sekitar 3 bulan, karena kematiankaisarnya (rakyat Jepang berkabung, tidak makanudang), mengakibatkan penurunan harga udangsecara drastis dari rata-rata Rp. 14.000,- per kgmenjadi Rp 7.000,- per kg, sehingga banyak petanitambak yang merugi dan frustasi.

Kelima. Kawasan pesisir pada umumnyamerupakan sumberdaya milik bersama (commonproperty resources) yang dapat dimanfaatkan olehsemua orang (open access). Padahal setiappengguna sumberdaya pesisir biasanya berprinsipmemaksimalkan keuntungan. Oleh karenanya,wajar jika pencemaran, over-eksploitasisumberdaya alam dan konflik pemanfaatan ruangseringkali terjadi di kawasan ini.

Pengelolaan Terpadu sebagai DasarPembangunan Berkelanjutan

Konsep pengelolaan wilayah pesisir secaraterpadu seperti diuraikan di atas, merupakan salahsatu syarat untuk mencapai pembangunan yang op-

timal dan berkelanjutan. Pembangunan berkelan-jutan adalah pembangunan untuk memenuhikebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menu-runkan kemampuan generasi mendatang untukmemenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987).

Dengan demikian, pembangunan berkelan-jutan pada dasarnya merupakan suatu strategipembangunan yang memberikan semacam ambangbatas pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah sertasumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambangbatas ini tidaklah bersifat mutlak, melainkanmerupakan batas yang luwes yang bergantung padakondisi teknologi dan sosial ekonomi tentangpemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuanbiosfir untuk menerima dampak kegiatan manusia.Dengan perkataan lain, pembangunan berkelanjutanadalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiahsedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnyauntuk memberikan manfaat bagi kehidupan umatmanusia tidak rusak. Secara garis besar konseppembangunan berkelanjutan memiliki empat dimensi: (1) ekologis, (2) sosial-ekonomi-budaya, (3) sosialpolitik, dan (4) hukum dan kelembagaan.

(1) Dimensi EkologisBerangkat dari konsep ini, pemanfaatan

sumberdaya wilayah pesisir secara berkelanjutanberarti bagaimana mengelola segenap kegiatanpembangunan yang terdapat di suatu wilayah yangberhubungan dengan wilayah pesisir, agar totaldampaknya tidak melebihi kapasitas fungsional-nya. Setiap ekosistem alamiah, termasuk ekosistempesisir, memiliki 4 fungsi pokok bagi kehidupanmanusia: (1) jasa-jasa pendukung kehidupan, (2)jasa-jasa kenyamanan, (3) penyedia sumberdayaalam, dan (4) penerima limbah.

Jasa-jasa pendukung kehidupan (life supportservices) mencakup berbagai hal yang diperlukanbagi eksistensi kehidupan manusia, seperti udaradan air bersih serta ruang bagi berkiprahnyasegenap kegiatan manusia. Jasa-jasa kenyamanan(amenity services) yang disediakan olehekosistem alamiah adalah berupa suatu lokasibeserta atributnya yang indah dan menyenangkanyang dapat dijadikan tempat berekreasi sertapemulihan kedamaian jiwa. Ekosistem alamiahmenyediakan sumberdaya alam yang dapatdikonsumsi langsung atau sebagai masukan dalamproses produksi. Sedangkan fungsi penerima limbah

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 56: Proceeding ToT ICM

53

dari suatu ekosistem adalah kemampuannya dalammenyerap limbah dari kegiatan manusia, hinggamenjadi suatu kondisi yang aman.

Dari keempat fungsi ekosistem alamiahtersebut, dapatlah dimengerti bahwa kemampuandua fungsi yang pertama sangat bergantung pada duafungsi yang terakhir. Ini berarti bahwa jikakemampuan dua fungsi terakhir dari suatuekosistem alamiah tidak dirusak oleh kegiatanmanusia, maka fungsinya sebagai pendukungkehidupan dan penyedia jasa-jasa kenyamanandapat diharapkan tetap terpelihara.

Berdasarkan keempat fungsi ekosistem diatas, maka secara ekologis terdapat tiga persyaratanyang dapat menjamin tercapainya pembangunanberkelanjutan, yaitu : (1) keharmonisan spasial, (2)kapasitas asimilasi, dan (3) pemanfaatanberkelanjutan. Keharmonisan spasial (spatial suit-ability) mensyaratkan, bahwa dalam suatu wilayahpembangunan, seperti Pantai Timur Kalimantan,Pulau Batam, dan Pantai Utara Jawa Barat,hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan sebagaizona pemanfaatan, tetapi harus pula dialokasikanuntuk zona preservasi dan konservasi. Contohdaerah preservasi adalah daerah pemijahan ikan(spawning ground) dan jalur hijau pantai. Dalamzona preservasi ini tidak diperkenankan adanyakegiatan pembangunan, kecuali penelitian.Sementara itu, beberapa kegiatan pembangunan,seperti pariwisata alam, pemanfaatan hutan man-grove dan perikanan secara berkelanjutan dapatberlangsung dalam zona konservasi.

Keberadaan zona preservasi dan konservasidalam suatu wilayah pembangunan sangat pentingdalam memelihara berbagai proses penunjangkehidupan, seperti siklus hidrologi dan unsur hara,membersihkan limbah secara alamiah, dan sumberkeanekaragaman hayati. Bergantung pada kondisialamnya, luas zona preservasi dan konservasi yangoptimal dalam suatu kawasan pembangunansebaiknya antara 30 - 50 % dari luas totalnya.

Selanjutnya, setiap kegiatan pembangunan(industri, pertanian, budidaya perikanan, pemukimandan lainnya) dalam zona pemanfaatan hendaknyaditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai,sehingga membentuk suatu mosaik yang harmonis.Misalnya, penempatan kegiatan budidaya tambakudang pada lahan pesisir sangat masam, atau

berdekatan dengan kawasan industri biasanya akanmenemui kegagalan.

Sementara itu, bila kita menganggap wilayahpesisir sebagai penyedia sumberdaya alam, makakriteria pemanfaatan untuk sumberdaya yang dapatpulih (renewable resources) adalah bahwa lajuekstraksinya tidak boleh melebihi kemampuannyauntuk memulihkan diri pada suatu periode tertentu(Clark, 1988); sedangkan pemanfaatan sumber-daya pesisir yang tak dapat pulih (non-renew-able resources) harus dilakukan dengan cermat,sehingga efeknya tidak merusak lingkungansekitarnya.

Ketika kita memanfaatkan wilayah (ekosis-tem) pesisir sebagai tempat untuk pembuanganlimbah, maka harus ada jaminan bahwa jumlah totaldari limbah tersebut tidak boleh melebihi kapasitasasimilasinya (assimilative capacity). Dalam hal ini,yang dimaksud dengan kapasitas asimilasi adalahkemampuan sesuatu ekosistem pesisir untukmenerima suatu jumlah limbah tertentu sebelum adaindikasi terjadinya kerusakan lingkungan dan ataukesehatan yang tidak dapat ditoleransi (Krom,1986).

(2) Dimensi Sosial-Ekonomi-BudayaDimensi ekologis seperti diuraikan di atas

pada dasarnya menyajikan informasi tentang dayadukung sistem alam wilayah pesisir dalammenopang segenap kegiatan pembangunan dankehidupan manusia. Dengan demikian, agarpembangunan wilayah pesisir dapat berkelanjutan,maka pola dan laju pembangunan harus dikelolasedemikian rupa, sehingga total permintaan (de-mand) terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasalingkungan tidak melampaui daya dukung tersebut.

Kualitas dan jumlah permintaan tersebutditentukan oleh jumlah penduduk dan standar/kualitas kehidupannya. Oleh karena itu, selainmengendalikan jumlah penduduk, kebijakan yangmendesak untuk dilakukan adalah mengurangikesenjangan antara kaya dan miskin.

Secara sosial-ekonomi-budaya konseppembangunan berkelanjutan mensyaratkan, bahwamanfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatanpenggunaan suatu wilayah pesisir sertasumberdaya alamnya harus diprioritaskan untukmeningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar

Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan secara Terpadu dan Berkelanjutan

Page 57: Proceeding ToT ICM

54

kegiatan (proyek) tersebut, terutama mereka yangekonomi lemah, guna menjamin kelangsunganpertumbuhan ekonomi wilayah itu sendiri. Untuknegara berkembang, seperti Indonesia, prinsip inisangat mendasar, karena banyak kerusakanlingkungan pesisir misalnya penambangan batukarang, penebangan mangrove, penambanganpasir pantai dan penangkapan ikan denganmenggunakan bahan peledak, berakar padakemiskinan dan tingkat pengetahuanyang rendahdari para pelakunya. Keberhasilan Pemda Dati IPropinsi Bali dalam menanggulangi kasuspenambangan batu karang, dengan menyediakanusaha budidaya rumput laut sebagai alternatif matapencaharian bagi para pelakunya, adalahmerupakan salah satu contoh betapa relevannyaprinsip ini bagi kelangsungan pembangunan diIndonesia.

(3) Dimensi Sosial PolitikPada umumnya permasalahan (kerusakan)

lingkungan bersifat eksternalitas. Artinya pihakyang menderita akibat kerusakan tersebut bukanlahsi pembuat kerusakan, melainkan pihak lain, yangbiasanya masyarakat miskin dan lemah. Misalnya,pendangkalan bendungan dan saluran irigasi sertapeningkatan frekuensi dan magnitude banjir suatusungai akibat penebangan hutan yang kurangbertanggung jawab di daerah hulu. Demikian juga

dampak pemanasan global akibat peningkatankonsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yangsebagian besar disebabkan oleh negara-negaraindustri.

Mengingat karakteristik permasalahanlingkungan tersebut, maka pembangunanberkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalamsistem dan suasana politik yang demokratis dantransparan. Tanpa kondisi politik semacam ini,niscaya laju kerusakan lingkungan akan melangkahlebih cepat ketimbang upaya pencegahan danpenanggulangannya.

(4) Dimensi Hukum dan KelembagaanPada akhirnya pelaksanaan pembangunan

berkelanjutan mensyaratkan pengendalian diridari setiap warga masyarakat untuk tidak merusaklingkungan. Bagi kelompok yang lebih mampusecara ekonomi hendaknya dapat berbagikemampuan dan rasa dengan saudaranya yangmasih belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya,sembari mengurangi budaya konsumerismenya.Persyaratan yang bersifat personal ini dapat dipenuhimelalui penerapan sistem peraturan dan perundang-undangan yang berwibawa dan konsisten, sertadiiringi dengan penanaman etika pembangunanberkelanjutan pada setiap warga masyarakat. Disinilah sentuhan nilai-nilai etika dan moral akan sangatberperan.

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 58: Proceeding ToT ICM

55

DAFTAR PUSTAKA

Agardy, T.S. 1997. Marine Protected Areas and OceanConservation. Academic Press, Inc., San Diego, Cali-fornia.

Barnes, R.S.K. 1980. The Unity and Diversity of AquaticSystems. In: Barnes, R. and K. Mann, eds. Fundamen-tals of Aquatic Ecosystems. Blackwell ScientificPublications, Boston, pp.5-23.

Barnes, R.S.K. & R.N. Hughes. 1988. An Introduction toMarine Ecology. Second Edition. Blackwell Scien-tific Publication, Oxford.

Barr, J., B. Henwood and K. Lewis. 1997. A Marine Pro-tected Areas Strategy For the Pacific Coast ofCanada. In Munro, N.W.P. and J.H.M. Willison (Eds).Linking Protected Areas with Working LandscapesConserving Biodiversity. Proceedings of the Third in-ternational Conference on science and Managementof Protected Areas. Halifax, Nova Scotia, 12-16 May1997.

Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan SumberdayaAlam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir danLautan IPB.

Carter, R.W.G. 1988. Coastal Environments. An Introduc-tion to Physical, Ecological and Cultural Systems ofCoastlines. Academic Press Limited, London.

Clark, J. 1974. Coastal Ecosystem. Ecological Consider-ations for Management of the Coastal Zone. The Con-servation Foundation, Washington, D.C.

_______, 1979. Coastal Ecosystem Management. ATechnical Manual for the Conservation of CoastalZone Resources. John Wiley & Sons, New York, USA.

Dixon, J.A. 1989. Valuation of Mangroves. Trop. Coast.Area Mgt., 4(3): 1.

Falkland, A. (Ed.). 1991. Hydrology and Water Resourcesof Small Islands: A Practical Guide. UNESCO, Paris.

Fortes, M.D. 1990. Seagrass: A Resource Unknown inASEAN region. ICLARM Education Series 6.ICLARM, Manila, Philippines.

Gray, W. 1993. Coral Reefs and Islands: The Natural His-tory of a Threatened Paradise. David and Charles,Singapore.

Jaccarini, V. & E. Martens (eds.). 1992. The Ecology ofMangrove and Related Ecosystems. Kluwer AcademicPublishers, Dordrecht.

Jones, P.J. 1994. A Review and Analysis of the Objectivesof Marine Nature Reserves. Ocean and Coastal Man-agement, 24: 149-178.

Kelleher, G.B. and R.A. Kenchington. 1992. Guidelinesfor Establishing Marine Protected Areas. IUCN Ma-rine Conservation and Development Report, Gland,Switzerland.

Kennish, M.J. 1990. Ecology of Estuaries. Volume II: Bio-logical Aspects. CRC Press Inc., Boca Raton, Florida.

Levinton, J.S. 1982. Marine Ecology. Prentice-Hall Inc., NewJersey.

Mays, L.W. 1996. Water Resources Handbook. McGraw-Hill, New York.

Nair, N.B. & D.M. Thampy. 1980. A Textbook of MarineEcology. The MacMillan Company of India Ltd, NewDelhi, India.

Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology. An Ecological Ap-proach. Third Edition. Harper Collins College Publish-ers, New York.

Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B.Saunders Company, Philadelphia, USA.

Russell, F.S. & M. Yonge (eds). 1968. Advances in Ma-rine Biology, Volume 6. Academic Press, Inc., NewYork, USA.

Salm, R.V., J.R. Clark and E. Siirila. 2000. Marine andCoastal Protected Areas: A Guide for Planners andManagers. Third Edition. International Union for Con-servation of Nature and Natural Resources, Gland,Switzerland.

Snedaker, S.C. & C.D. Getter. Coastal Resources Manage-ment Guidelines. Research Planning Institute, Inc.,Columbia, SC, USA.

WCED. 1987. Our Common Future. Oxford UniversityPress, New York.

Webber, H.H. & H.V. Thurman. 1991. Marine Biology.Second Edition. Harper Collins Publishers Inc., NewYork.

White, A.T. 1987. Coral Reefs: Valuable Resources of South-east Asia. ICLARM Education Series 1. InternationalCenter for Living Aquatic Resources Management, Ma-nila, Philippines.

Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan secara Terpadu dan Berkelanjutan

Page 59: Proceeding ToT ICM

56

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

PEMANFAATAN SUMBERDAYA PESISIR DALAMBIDANG PERIKANAN TANGKAP

PROF. DR. DANIEL MONINTJAFakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - Institut Pertanian Bogor

ROZA YUSFIANDAYANIMahasiswa Program Doktor, Program Studi Teknologi Kelautan IPB

PENDAHULUAN

Definisi Perikanan TangkapPerikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi

yang mencakup penangkapan/ pengumpulan hewandan tanaman air yang hidup di laut/perairan umumsecara bebas. Perikanan tangkap merupakan suatusistem yang terdiri dari beberapa elemen atausubsistem yang saling berkaitan dan mempengaruhi satudengan lainnya (Gambar 1) : (1) Sarana Produksi, (2)Usaha Penangkapan, (3) Prasarana (Pelabuhan), (4)Unit Pengolahan, (5) Unit Pemasaran dan (6) UnitPembinaan.

Mengapa Perlu Dikelola ?(1) Perikanan tangkap berbasis pada sumberdaya

hayati yang dapat diperbaharui (renewable),namun dapat mengalami deplesi atau kepunahan.Sumberdaya ikan memiliki kelimpahan yangterbatas, sesuai carrying capacity habitatnya.

(2) Sumberdaya ikan dikenal sebagai sumberdayamilik bersama (common property) yang rawanterhadap tangkap lebih (overfishing).

(3) Pemanfaatan sumberdaya ikan dapat merupakansumber konflik (di daerah penangkapan ikanmaupun dalam pemasaran hasil tangkapan).

(4) Usaha penangkapan haruslah menguntungkan

Gambar 1. Hubungan komponen-komponen salam suatu kompleks penangkapanikan (dimodifikasi dari Kesteven, 1973)

Page 60: Proceeding ToT ICM

57

Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dalam Bidang Perikanan Tangkap

dan mampu memberi kehidupan yang layak bagipara nelayan dan pengusahaannya. Jumlahnelayan yang melebihi kapasitas akanmenimbulkan kemiskinan para nelayan.

(5) Kemampuan modal, teknologi dan aksesinformasi yang berbeda antar nelayanmenimbulkan kesenjangan dan konflik.

(6) Usaha penangkapan ikan dapat menimbulkankonflik dengan subsektor lainnya, khususnyadalam zona atau tata ruang pesisir dan laut.

PENTINGNYA PERIKANAN TANGKAPPosisi Perikanan Tangkap Secara Nasionaldan Internasional

Posisi perikanan tangkap secara nasionalterlihat pada Tabel 1.

Posisi perikanan tangkap di Indonesia secarainternasional pada tahun 1997 berada pada urutanke-7 dan tahun 1998 urutan ke-6 dan dapat dilihatpada Tabel 2.

Keadaan Perikanan Tangkap Nasional a. Unit Penangkapan

Unit penangkapan adalah kesatuan teknisdalam suatu operasi penangkapan yang biasanyaterdiri dari perahu/kapal penangkap yangdipergunakan :(1) Kapal

Perahu/kapal penangkap ikan adalah perahu/kapal yang langsung dipergunakan dalam operasipenangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.Perahu/kapal yang digunakan untuk mengangkutnelayan, alat-alat penangkap dan hasil penangkapan

Tabel 1. Produksi perikanan menurut sub sektor perikanan

dalam rangka penangkapan dengan sero, kelong danlain-lain juga termasuk dalam kategori perahu/kapalpenangkap (Tabel 3).

Klasifikasi perahu/kapal menurut tingkat/besarnya usaha adalah :1. Perahu tidak bermotor (non powered boats)(1). Jukung (dug-out boats)(2). Perahu papan (plank-built boats)

(i) kecil : < 7 m (small)(ii) sedang : 7 - 10 m (medium)(iii) besar : > 10 m (large)

2. Perahu motor tempel (out-board powered boats)3. Kapal motor (in board powered boats)

(i) < 5 GT(ii)5 - 10 GT(iii) 10 - 20 GT(iv) 20 - 30 GT(v) 30 - 50 GT(vi) 50 - 100 GT(vii) 100 - 200 GT(viii) > 200 GT

(2) AlatAlat penangkap ikan menurut Statistik

Perikanan Indonesia dibagi menjadi 10 kelompok alattangkap (dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 7).(3) Nelayan

Nelayan adalah orang yang secara aktifmelakukan pekerjaan dalam operasi penangkapanikan/binatang air lainnya/tanaman air. Orang yanghanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring,mengangkut alat-alat perlengkapan ke dalam perahu/kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan. Ahli mesindan juru masak yang bekerja di atas kapal

Page 61: Proceeding ToT ICM

58

Tabel 2. Negara penangkap ikan yang penting di dunia

Tabel 3. Jumlah perahu / kapal perikananlaut menurut kategori perahu / kapal

Tabel 3. Jumlah perahu/kapal perikanan laut menurut kategori perahu/kapal

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 62: Proceeding ToT ICM

59

penangkap dimasukkan sebagai nelayan, walaupunmereka tidak secara langsung melakukanpenangkapan (Tabel 5).

Berdasarkan waktu yang digunakan untukmelakukan pekerjaan operasi penangkapan/pemeliharaan, nelayan/petani ikan diklasifikasikansebagai berikut :1. Nelayan Penuh; yaitu nelayan yang seluruh waktu

kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaanoperasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.

2. Nelayan Sambilan Utama; yaitu nelayan yangsebagian besar waktu kerjanya digunakan untukmelakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.

3. Nelayan Sambilan Tambahan; yaitu nelayan yangsebagian kecil waktu kerjanya digunakan untukmelakukan pekerjaan penangkapan ikan/binatangair lainnya/tanaman air.

ProduksiProduksi perikanan tangkap nasional menurut

jenis ikan ekonomis penting dari tahun 1988 sampaitahun 1998 mengalami peningkatan, sedangkanproduksi tanaman air mengalami penurunan. Secaralebih jelas dapat dilihat pada Tabel 6.

Ketentuan yang terkait dengan PengelolaanSelama ini pengelolaan perikanan tangkap telah

dilakukan, namun masih bersifat parsial, sesuaidengan kebutuhan dan permasalahan yang timbul.Beberapa ketentuan yang dikeluarkan olehpemerintah yang berkaitan dengan pengelolaanperikanan tangkap, antara lain :1. Aturan Dasar(1) Undang-undang No. 9/1985 tentang Perikanan.(2) PP. No. 15/1990 tentang Usaha Perikanan.(3) PP. No. 46/1993 tentang Perubahan Atas PP. No. 15/1990.

Tabel 4. Jumlah unit penangkapan perikanan laut menurut jenis alat penangkap

Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dalam Bidang Perikanan Tangkap

Page 63: Proceeding ToT ICM

60

2. Ketentuan Pengelolaan Sumberdaya Ikan(1) SK. Mentan No. 392/1999 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan.(2) SK. Mentan No. 995/1999 tentang Potensi SDI dan Jumlah Tangkapan yang diperbolehkan3. Perizinan(1) SK. Mentan No. 815/1990.(2) SK. Mentan No. 428/1999.(3) SK. MENELP No. 45/2000(4) PP. No. 141/2000 tentang Perubahan Kedua

Atas PP. No. 15/1990 tentang UsahaPenangkapan Ikan.

(5) PP. No. 142/2000 tentang Tarif Atas Jenis

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlakupada Departemen Kelautan dan Perikanan.

.PENGELOLAAN PERIKANANIndikator Pengelolaan yang sukses

Pengelolaan perikanan tangkap yang suksesharuslah menunjukkan karakteristik usahapenangkapan yang berkelanjutan :(1) Proses penangkapan ramah lingkungan :

• • Hasil tangkapan sampingan (by catch mini-mum). • • Hasil tangkapan terbuang minim. • • Tidak membahayakan keanekaragaman

hayati.

Tabel 6. Produksi Perikanan Laut menurut Jenis Ikan

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 64: Proceeding ToT ICM

61

SK Mentan No. 392/1999 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan

Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dalam Bidang Perikanan Tangkap

Page 65: Proceeding ToT ICM

62

•• Tidak menangkap jenis ikan yang dilindungi. •• Tidak membahayakan habitat.

•• Tidak membahayakan kelestarian sumberdaya ikan target. •• Tidak membahayakan keselamatan dan kesehatan nelayan.

• • Memenuhi ketentuan Code of Conduct for Responsible Fisheries.(2) Volume produksi tidak berfluktuasi drastis (suplai

tetap).(3) Pasar (buyers) tetap/terjamin.(4) Usaha penangkapan masih menguntungkan.(5) Tidak menimbulkan friksi sosial.(6) Memenuhi persyaratan legal.

Pengkajian Praktis Kondisi PerikananTangkap(1) Pengamatan Hasil Tangkapan perSatuan Upaya

(Catch per Unit of Effort = CPUE)Contoh :•• Perikanan Ikan Merah (Lutjanus spp.), (=Kakap

Merah = Bambangan)•• Jenis ikan ini dapat ditangkap oleh beberapa alat

: pancing ulur (handline), rawai dasar (bottomlongline) dan jaring insang dasar.

•• Diperlukan standardisasi upaya penangkapan (ef-fort). Pilih alat standar (umumnya diambil alattangkap yang dominan di daerah tersebut)

•• Gunakan rumus Gulland :CPUE

s = C

s / f

s

CPUEx = C

x / f

x

FPIx = CPUE

x / CPUE

s

Upaya Standar = CPUEx / CPUE

s

Keterangan :CPUE

s = hasil tangkapan alat tangkap standar per

satuan upayaCPUE

x= hasil tangkapan alat tangkap i persatuan

upayaC

s= hasil tangkapan alat tangkap standar

fs

= jumlah alat tangkap standarC

x= hasil tangkapan alat tangkap i

fx

= jumlah alat tangkaap iFPI

x= faktor daya tangkap jenis alat tangkap i

•• Kemudian hitung CPUE. Rumus Gulland : CPUE

i = C

i / f

i

CPUEi

= jumlah hasil tangkapan persatuan upaya penangkapan ke-iC

i = hasil tangkap ke-i

Fi = upaya penangkapan ke-i

•• Pengamatan dilakukan minimum 3 tahun, lebihlama lebih baik, misalnya 5 tahun.

•• Tarik garis kecenderungan data CPUE selamaminimum 3 tahun :positif = keadaan sumberdaya ikan baik,

(boleh dikembangkan)datar = keadaan sumberdaya ikan baik

(hati-hati) negatif = keadaan sumberdaya ikan baik (stop / gejala overfishing)(2) Pengamatan Ukuran Ikan•• Pengukuran panjang ikan :- panjang total- panjang cagak- panjang baku- berat ikan•• Lakukan dalam 4 musim, selama minimum 3 tahun•• Tarik garis kecenderungan :

positif = keadaan sumberdaya ikan berkembang (baik)

datar = keadaan sumberdaya stabilnegatif = gejala overfishing

(3) Kecenderungan total produksi, minimum 3 tahunberturut-turut : bila menurun patut dicurigai sebagaigejala overfishing, cek jumlah unit penangkapanyang aktif.

(4) Analisis komposisi hasil tangkapan, untukmendeteksi keanekaragaman sumber hayati.

STRATEGI PERENCANAANPENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAPA.Pengikutsertaan nelayan dalam proses

perencanaan merupakan suatu hal yang mutlakuntuk mendapatkan dukungan yang kuat terhadapperencanaan pengembangan perikanan tangkap.Hal ini akan mempermudah Law Enforcementsetiap kebijakan pengelolaan (Gambar 2).

B.Implementasi Monitoring, Controlling dan Surveil-lance (MCS), guna pembentukan sistem informasiyang efektif dan akurat, guna perencanaanpengelolaan sumberdaya ikan untuk menjamin usahapenangkapan ikan yang berkelanjutan (Gambar 2).

C.Code Of Conduct For Responsible Fisheries(FAO, 1995) dalam artikel 10 tentang “IntegrasiPerikanan ke dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir”terutama pada artikel 10.1 :

(1) Negara harus menjamin pemberlakuan suatukebijakan, hukum dan kerangka kelembagaan yangtepat, guna mencapai pemanfaatan sumberdayasecara terpadu dan lestari, dengan memperhatikan

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 66: Proceeding ToT ICM

63

kerawanan dari ekosistem pantai dan sifatsumberdaya alamnya yang terbatas dan kebutuhandari masyarakat pesisir.

(2) Mengingat penggunaan ganda dari wilayahpesisir, negara harus menjamin bahwa wakil darisektor perikanan dan masyarakat penangkap ikanharus dilibatkan dalam proses pengambilankeputusan serta kegiatan lainnya yang terkaitdalam perencanaan pengelolaan danpembangunan wilayah pantai.

(3) Negara harus membentuk sebagaimana layaknya,kelembagaan dan kerangka hukum untukmenentukan kemungkinan pemanfaatansumberdaya pesisir dan untuk mengatur aksesterhadapnya, dengan memperhatikan hak-hakmasyarakat nelayan pesisir dan praktek-praktekkebiasaan mereka untuk keselarasan terhadappembangunan berkelanjutan.

(4) Negara harus memfasilitasi pemberlakuanpraktek-praktek perikanan yang dapatmenghindarkan konflik antar penggunasumberdaya perikanan dan antara mereka denganpengguna wilayah pesisir lainnya.

(5) Negara harus mengusahakan penetapanprosedur dan mekanisme pada tingkatadministrasi yang sesuai, guna menyelesaikankonflik di dalam sektor perikanan dan antarapengguna sumberdaya perikanan dengan parapengguna wilayah pesisir lainnya.

PENUTUP(1) Perikanan tangkap di Indonesia masih merupakan

sumber penghidupan (livelihood) yang pentingbaik secara nasional maupun global.

(2) Pengelolaan perikanan tangkap masih bersifatparsial dan belum memiliki perencanaanpengelolaan perikanan yang utuh.

(3) Perencanaan pengelolaan perlu disusun denganmengikutsertakan para nelayan sebagai pelakudan para stakeholders lainnya.

(4) Implementasi MCS merupakan kegiatan yangperlu dilaksanakan secara konsisten, gunamenjamin usaha penangkapan ikan yangberkelanjutan (sustainable) dan berwawasanlingkungan (environmental friendly).

Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dalam Bidang Perikanan Tangkap

Page 67: Proceeding ToT ICM

64

Gam

bar2

. Pro

ses

Idea

l Pen

gem

bang

an d

an P

enge

lola

an P

erik

anan

Tan

gkap

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 68: Proceeding ToT ICM

65

Tab

el 7

. Sta

ndar

d K

lasi

fika

si S

tati

stik

Ala

t Pen

angk

ap P

erik

anan

Lau

t(S

tati

stic

al S

tand

ard

Cla

ssif

icat

ion

of M

arin

e F

ishi

ng G

ears

)

Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dalam Bidang Perikanan Tangkap

Page 69: Proceeding ToT ICM

66

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

SISTEM HUKUM DAN KELEMBAGAAN DALAMPENGELOLAAN WILAYAH PESISIR SECARA TERPADU

SUPARMAN A. DIRAPUTRA, SH., LL.M.Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran

PENDAHULUANDi dalam era reformasi dewasa ini, fungsi dan

peranan serta kinerja hukum dalam menunjangberbagai bidang pembangunan sedang gencardipertanyakan, bahkan adakalanya disorot dengankritik yang sangat tajam. Sebagian dari anggotamasyarakat adakalanya bersikap skeptis atau bahkanpesimistis, tetapi sebagian lagi masih menunjukkanharapan besar ke arah perbaikan. Pendapat yangpertama didasarkan pada asumsi bahwabagaimanapun baiknya pengaturan apabila moralaparat pelaksananya tidak baik maka tidak akanmencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan.Sedangkan pendapat yang kedua didasarkan padaasumsi bahwa pembangunan akan berlangsungdengan baik hanya apabila dilandasi oleh kepastianhukum dan supremasi hukum, oleh karena itupenegakan hukum merupakan syarat mutlak yangtidak dapat ditawar-tawar lagi. Kedua pendapattersebut sama kurang tepatnya semata mata karenakedua-duanya memandang fungsi dan perananhukum secara sangat berlebihan. Pendapat pertamaterlalu melecehkan aparat hukum, padahal tidaksedikit aparat negara yang bermoral terpuji.Sedangkan pendapat yang kedua menggantungkanharapan yang terlalu besar kepada kinerja hukum,seolah-olah segala sesuatu akan menjadi baik apabilahukum ditegakkan secara konsekwen.

Permasalahan yang sebenarnya sedangdihadapi adalah bagaimana memposisikan hukumpada fungsi dan peranannya secara proporsional agarmampu menjamin kepastian hukum melaluipemeliharaan ketertiban. Hukum harus diperankansebagai landasan untuk mengarahkan berbagaikegiatan pembangunan secara selaras dan seimbangseraya mampu mengamankan hasil-hasilpembangunan yang telah dicapai. Kinerja hukumharus diberdayakan secara optimal untukmenyerasikan berbagai kepentingan yang berbeda.Hukum harus mampu menciptakan keseimbangan

antara upaya peningkatan kesejahteraan (welfare)dan jaminan keselamatan (safety) bagi semua or-ang. Peningkatan kesejahteraan sebagai hasilpembangunan harus dapat dinikmati secara merataoleh sebanyak-banyaknya orang agar secarabetahap dapat mendekati keadilan yang dicita-citakan. Oleh karena itu berbagai perubahan di dalamkinerja hukum harus segera dilakukan agar keadaanpada masa yang akan datang menjadi lebih baik.Namun di dalam suasana perubahan inilah hukumharus senantiasa diindahkan agar berbagaiperubahan dalam kehidupan bermasyarakat dapatberlangsung dengan tertib, tidak menimbulkangejolak sosial, apalagi yang bersifat destruktif.

Di dalam kerangka upaya pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam nasional, hukum harusdifungsikan untuk menciptakan keseimbangan antaradua kepentingan, yaitu: pembagian manfaat ekonomidan kesinambungan ketersediaannya antar generasi.Pemeliharaan keseimbangan antata dua kepentingantersebut jatuh bersamaan dengan tujuan negara untukmenciptakan keseimbangan antara aspekkesejahteraan dan aspek keselamatan. Hukumdiarahkan untuk mengatur perilaku manusia agartidak menimbulkan gangguan terhadap keselamatanbersama yang dapat merusak keseimbangan hidupbermasyarakat. Keseimbangan yang telah dicapaisenantiasa harus dipertahankan melalui pemeliharaanketertiban dalam bermasyarakat disertai denganpemberdayaan lembaga-lembaga penegak hukumdan pengembangan fungsi dan peranan norma-normahukum secara inovatif.

Sementara itu hukum positif yang berkaitandengan pengelolaan wilayah pesisir sampai saat initidak pernah memberikan pengaturan secaraspesifik, artinya wilayah pesisir sebagai bagian dariwilayah nasional tunduk pada pengaturan yangberlaku umum, baik untuk unsur lautnya maupununsur daratnya. Unsur lautnya tunduk padapengaturan hukum laut, dan mengenai unsur daratnya

Page 70: Proceeding ToT ICM

67

Sistem Hukum dan Kelembagaan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu

tunduk pada pengaturan mengenai tanah dan air.Sedangkan pengaturan mengenai sumber-sumberkekayaan alam yang terkandung di dalam tanah danairnya tunduk pada berbagai undang-undang yangmemberikan wewenang khusus kepada masing-masing departemen secara sektoral-sentralistik.Walupun ada sebagian dari wewenang sektoral yangtelah diserahkan atau dilimpahkan kepadapemerintah daerah, namun sistem pengaturankewenangan tersebut justru telah menimbulkantumpang tindih wewenang di dalam pelaksanaannya.Selain dari itu tidak jarang pula timbul benturankepentingan, terutama apabila di dalam suatukesatuan ruang tertentu terdapat lebih dari satu jenissumber kekayaan alam yang sedang dimanfaatkanpada saat yang bersamaan. Masalah pembagianwewenang antar departemen dan antara pemerintahPusat dan Daerah telah berkembang menjadi isuyang sangat penting, khususnya dalam rangkapelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 tahun1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayahpesisir dan lautan, pelaksanaan fungsi dan perananhukum sebagai penunjang pembangunan masih belumtampak jelas hasilnya, khususnya dalammemberdayakan masyarakat pesisir yang tergolongmiskin. Padahal apabila ditelusuri dari sejarahnya,pengaturan terhadap wilayah pesisir dan perairan pantaisudah dilakukan sejak jaman Belanda, namun sampaisaat ini kondisi masyarakatnya masih termasuk kedalamgolongan yang paling terpuruk dan seolah-olah kurangmendapat perlindungan. Ironisnya, gejala-gejalapemiskinan dan degradasi lingkungan pesisir danperairan pantai semakin tampak dengan jelas dari waktuke waktu. Sebagian penduduk pesisir, dengan alasanuntuk tetap bertahan hidup, menjadi semakin terbiasauntuk memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alammelalui cara-cara yang bertentangan dengan kaidah-kaidah pelestarian. Hutan mangrove yang memegangperanan penting di dalam pemeliharaan kelestarianekosistem pantai telah ditebangi secara tidak terkendali.Berbagai jenis ikan karang penghuni perairan pantaiseringkali ditangkapi dengan menggunakan bom atautenaga listrik bahkan dengan menaburkan racun. Lahanpertambakan yang dikelola para investor dijarahberamai-ramai karena merasa tidak mendapatkanbagian keuntungan secara adil. Karena terus menerushidup di dalam kungkungan kemiskinan yang telahberlangsung dari generasi ke generasi, maka basis

ekonomi masyarakat pesisir menjadi semakin tidakberdaya, bahkan seolah-olah mereka sedang menggalilubang kuburnya sendiri.

Keadaan demikian sudah tidak dapat ditolerirlagi karena disamping merupakan pelanggaranhukum juga dapat menghambat investasi serta telahmenimbulkan kerusakan sumber-sumber kekayaanalam yang seharusnya dipelihara kelestariannyadalam waktu yang tidak terbatas. Kondisilingkungan pesisir dan perairan pantai harus segeradipulihkan melalui penggunaan instrumen ekonomi,pengaturan hukum, intervensi teknologi, maupunmelalui peningkatkan kesadaran masyarakat.Masyarakat pesisir yang tergolong miskin harusdiberdayakan supaya mampu memelihara kelestariansumber-sumber kekayaan alam dan lingkunganhidupnya sendiri. Sementara itu para pejabatpemerintah pun harus memberdayakan segenapkewenangan yang dimilikinya baik sebagai stimula-tor, dinamisator, regulator, administrator, maupunsebagai pengambil keputusan strategis untukmeningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Tulisan ini dihajatkan untuk mengupas berbagaifungsi, peranan, serta kinerja hukum dalampembangunan, khususnya di dalam kerangka upayapengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Pembahasandiarahkan pada upaya peningkatan fungsi, peranan,dan manfaat hukum serta kinerja kelembagaanpemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalamrangka pengelolaan kekayaan alam wilayah pesisirdan lautan secara optimal, lestari, dan berkelanjutan.Pemberdayaan hukum sebagai salah satu instrumenpengelolaan akan lebih ditonjolkan untukmenunjukkan keunggulan-keunggulannya, baiksebagai instrumen pengendalian kegiatan ekonomimasyarakat maupun sebagai instrumen pengelolaankekayaan alam dan lingkungan hidup. Pembahasanakan diakhiri dengan kesimpulan dan saran-sarantindak bagi aparat pemerintah bersama-sama dengandunia usaha untuk memberdayakan masyarakatpesisir melalui upaya hukum.

FUNGSI DAN PERANAN SERTAMANFAAT HUKUM

Fungsi HukumDi dalam kehidupan bermasyarakat, pada

dasarnya setiap orang bebas untuk melakukanperbuatan apapun, kecuali yang secara tegas telah

Page 71: Proceeding ToT ICM

68

dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang olehnorma hukum. Sedangkan perbuatan-perbuatantertentu yang tidak dikehendaki oleh sebagian besaranggota masyarakat diatur secara tersendiri olehnorma sosial lainnya, seperti norma agama, normakesusilaan, dan norma kesopanan demiterpeliharanya ketertiban dalam kehidupanbermasyarakat. Fungsi hukum adalah untukmenciptakan kepastian mengenai apa yang dilarang,apa yang tidak dilarang, dan apa pula yangdiperkenankan apabila telah dipenuhi syarat-syarattertentu. Pemberlakuan norma hukum bersifat pastikarena dapat dipaksakan berlakunya melaluipenggunaan kekuasaan. Sedangkan kekuasaanuntuk memaksakan berlakunya norma hukumbersumber dari wewenang formal yang diberikankepada para pejabat negara oleh peraturanperundangan yang berlaku. Adanya kepastian inilahyang membedakan norma hukum dengan norma-norma sosial lainnya, artinya norma hukum dapatdipaksakan berlakunya oleh lembaga-lembagapenegak hukum. Sifat memaksa yang secara inherendimiliki oleh norma hukum merupakan keniscayaankarena dijamin pemberlakuannya terhadap setiapbentuk pelanggaran. Kepastian hukum merupakanprasyarat bagi tercapainya tujuan hukum, yaituketertiban. Oleh karena itu orang boleh berpendapatbahwa apabila tidak ada kepastian hukum makakehidupan bermasyarakat tidak akan berlangsungdengan tertib dan pada gilirannya akan timbul anarkidan ketidakadilan. Norma-norma hukum yangmemuat perintah dan kebolehan-kebolehan tertentudi dalam kehidupan bermasyarakat disebut sebagaihukum materil (substantive law). Sedangkannorma-norma hukum yang mengatur tata cara bagipara aparat penegak hukum di dalam menjalankanfungsi penegakan hukum disebut hukum acara atauhukum formil (procedural law). Perlu pula dipahamibahwa apabila ada dugaan telah terjadi pelanggaranterhadap hukum substantif, maka proses penegakanhukumnya harus dilakukan melalui prosedur yangtelah ditetapkan di dalam hukum acara. Hukumacara memuat rambu-rambu agar proses penegakanhukum dilakukan melalui prosedur tertentu dan tetapmemelihara ketertiban dalam kehidupanbermasyarakat dan sekaligus dapat mencegahterjadinya pelanggaran terhadap hak azasi manusia.

Pengembangan norma hukum dalam rangkapengelolaan wilayah pesisir dan lautan harus

diarahkan sedemikian rupa sehingga sekaligusmampu memenuhi lima fungsinya, yaitu:

1. Fungsi DirektifFungsi direktif adalah salah satu fungsi hukum

yang sangat penting di dalam era pembangunandewasa ini. Dalam hal ini hukum harus berfungsisebagai pengarah pembangunan secara terencanadan konsisten sehingga dapat mencapai tujuannyasecara efektif dan efisien. Untuk itu kepastianberlakunya norma hukum harus dijaga, baik padatahap perumusan maupun pada tahappelaksanaannya. Perumusan norma hukum harusmelibatkan masyarakat, baik yang akan terkenaarahan pengaturan maupun yang akan memperolehmanfaat pengaturan. Partisipasi masyarakat dalammenyampaikan aspirasinya harus ditampung untukdijadikan sebagai dasar pengembangan pengaturan.Demikian pula setiap pelaksanaan peraturan harusmengacu pada tujuan akhir dari pengaturan.Kekeliruan dalam menafsirkan tujuan pengaturanakan mengakibatkan tidak efektifnya kinerja hukumsehingga tujuannya tidak dapat tercapai sebagaimanayang diharapkan. Salah satu fungsi direktif hukumdapat dilihat pada penyusunan Rencana Tata RuangWilayah (RTRW) untuk setiap kabupaten dankotamadya. Rencana Tata Ruang Wilayahmerupakan acuan bagi semua sektor pembangunan.Oleh karena itu status RTRW tersebut harusdikukuhkan menjadi produk hukum yang mengikatsemua pihak melalui pengundangannya dalam bentukperaturan daerah.

2. Fungsi IntegratifPengembangan pengaturan hukum dalam

berbagai tingkatan (pusat, propinsi, kabupaten/kotamadya) harus menunjukkan suatu sistem yangintegral. Pengertian integral adalah tidak ditemukankontradiksi atau inkonsistensi, baik dalamperumusan pasal-pasalnya maupun dalampelaksanaannya. Pengertian integral yang keduaadalah bahwa hukum harus berfungsi sebagai saranapengintegrasian bangsa dalam pengertian harus dapatmencegah perpecahan yang disebabkan karenatimbulnya berbagai kesenjangan, baik secaraekonomi maupun sosial. Oleh karena itu perludicegah timbulnya kecemburuan sosial diantarapenduduk yang berbeda suku, agama maupunkemampuan ekonominya. Kasus-kasus penjarahan

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 72: Proceeding ToT ICM

69

tambak yang sempat marak beberapa waktu yanglalu merupakan akibat dari timbulnya kecemburuansosial yang mengarah pada disintegrasi. Ancamandisintegrasi lainnya adalah timbulnya konflikmengenai penetapan batas daerah penangkapan ikandi laut antara nelayan-nelayan tradisional yangberasal dari daerah yang berbeda. Hukum harusresponsif terhadap gejala-gejala yang mengarahpada perpecahan atau disintegrasi bangsa.

3. Fungsi StabilitatifPengaturan pemanfaatan kekayaan alam

wilayah pesisir harus berfungsi untuk menciptakandan mendorong tingkat stabilitas sosial yang semakinbaik. Penegakan norma hukum dan peraturanperundang-undangan secara konsisten dan tidakmemihak diharapkan dapat menghilangkan stabilitassemu yang dapat menimbulkan ledakan kekecewaanmasyarakat dalam skala yang luas. Berbagai inovasidi dalam penyusunan peraturan dan penegakanhukumnya perlu dilakukan untuk menampung aspirasimasyarakat sehingga berbagai perubahan dapatberlangsung secara tertib.

4. Fungsi KorektifFungsi korektif dimaksudkan untuk

memperbaiki kesalahan atau kekeliruan dalampenetapan pengaturan, antara lain karena adanyaperubahan dalam pemilihan kebijakan yangdikhawatirkan dapat menimbulkan ketidakpastiandalam pelaksanaannya. Perubahan dalam pemilihankebijakan harus dirumuskan secara jelas agar tidakmembingungkan para pihak yang terkait dalampelaksanaan dan penegakan hukumnya. Oleh karenaitu apabila ditemukan kekeliruan, maka peraturanyang bersangkutan harus segera dicabut untukdiperbaiki. Selain dari itu pengertian fungsi korektifharus pula diartikan untuk memperbaiki ataumembetulkan keadaan yang dianggap kurang baik atausalah agar menuju ke arah yang lebih baik dan benar.

5. Fungsi PerfektifFungsi perfektif merupakan fungsi akhir dari

pengaturan, yaitu untuk menyempurnakan keadaanyang sudah baik ke arah keadaan yang mendekatikesempurnaan. Tujuan dari fungsi perfektif adalahagar lebih banyak lagi anggota masyarakat yangdapat merasakan manfaat positif dari kinerjapengaturan sehingga kehidupan dapat dinikmati

dengan lebih baik dan dalam suasana tertib dandamai.

Peranan dan Manfaat HukumPeranan hukum adalah untuk menciptakan

keseimbangan antara kepentingan individu dengankepentingan masyarakat pada umumnya agarkehidupan bermasyarakat dapat berlangsung dengantertib dan teratur. Apabila keseimbangan telahtercipta, maka peran hukum selanjutnya adalahmemelihara keseimbangan tersebut dalam jangkawaktu yang tidak terbatas dan tetap sesuai denganperkembangan rasa keadilan di dalam kehidupanbermasyarakat. Peranan hukum dalam memeliharakeseimbangan ini dapat dilakukan antara lain melaluiberbagai inovasi dalam penerapan sanksi hukum,termasuk pemberian insentif dan disinsentif supayadapat lebih mendekati rasa keadilan yangberkembang di dalam masyarakat.

Peranan hukum sebagai pemeliharakeseimbangan antara berbagai kepentingan yangberbeda harus dapat dilaksanakan secara fleksibel,misalnya antara kepentingan individu dengankepentingan masyarakat, antara kepentingan sektoryang satu dengan kepentingan sektor lainnya, antarakepentingan pemerintah Pusat dan pemerintahDaerah, antara kepentingan ekologis dengankepentingan ekonomi, antara kepentinganpemanfaatan dengan kepentingan pelestarian, dansebagainya. Demikian pula apabila timbulkepentingan-kepentingan baru yang cenderungberbeda atau bertentangan antara yang satu denganyang lainnya, maka akan diperlukan pula hukum yangbaru atau pembaharuan dari ketentuan yang telahada untuk menciptakan keseimbangan yang baru.

Sedangkan apabila berbicara mengenaimanfaat hukum, baik bagi pemerintah maupun bagimasyarakat pada umumnya, sangat tergantung padabidang-bidang yang diaturnya dan siapa saja yangmemiliki kepentingan (stakeholders) atas bidang-bidang pengaturan tersebut. Mengenai pertanyaanapakah bidang-bidang pengaturan tertentu telahmampu mengakomodasikan berbagai aspirasi yangberkembang di kalangan mereka yang memilikikepentingan akan sangat bergantung pada prosespenyusunan dan pengembangan normanya, apakahsecara top-down ataukah secara bottom-up. Dalamhal ini perlu dicatat bahwa proses pengembangannorma hukum pada masa-masa lalu lebih dicirikan

Sistem Hukum dan Kelembagaan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu

Page 73: Proceeding ToT ICM

70

oleh proses top-down, bahkan tidak jarang puladilatarbelakangi oleh kepentingan-kepentingankelompok tertentu melalui rekayasa atau kolusi.Sebagai akibatnya maka produk hukum menjaditidak bermanfaat bagi masyarakat yang diaturnya,disamping tidak aspiratif terhadap kepentinganmasyarakat yang lebih luas. Oleh karena itu prosespembentukan hukum pada masa-masa mendatangsebaiknya dilakukan secara bottom-up serayamelibatkan kepentingan-kepentingan stakekholdersyang seluas-luasnya. Agar produk-produk hukumlebih bermanfaat, maka dalam prosespenyusunannya harus lebih aspiratif dan akomodatifterhadap kepentingan-kepentingan yang sah dalamskala yang seluas-luasnya. Pihak-pihak yangmemiliki kepentingan atas sesuatu bidang pengaturanhendaknya lebih proaktif untuk berpartisipasi melaluiprosedur penyusunan peraturan yang tersedia.Dengan kata lain manfaat hukum akan menjadisemakin besar apabila pada tahap perumusannyadapat menampung aspirasi dan kepentinganmasyarakat yang diaturnya.

Proses Pembentukan Norma Hukum (Norm Development)

Upaya untuk menciptakan keseimbanganantara kepentingan kesejahteraan (ekonomi) dankepentingan kelestarian (ekologi) atas sumber-sumber kekayaan alam wilayah pesisir dan lautantidak akan dapat dilakukan hanya oleh kalanganprofesi hukum saja, karena bidang kajiannya bersifatmultidisiplin. Selain dari itu kewenangan pengelolaanwilayah pesisir dan lautan tunduk pada kewenangankelembagaan yang berbeda-beda (lintas sektoral).Keseimbangan antara berbagai kepentingan tersebutharus dicari melalui pertimbangan dari berbagaiaspek dengan memanfaatkan perkembangan ilmupengetahuan dan teknologi. Pemanfaatan hasilperkembangan ilmu dan teknologi merupakan bahanbaku untuk merumuskan kebijakan pengelolaanwilayah pesisir dan lautan. Sedangkan untukmengaktualisasikan kebijakan tersebut kedalamkenyataan diperlukan norma-norma hukum sebagaiperwujudan dari Wawasan Nusantara yangmencakup aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, termasuk pertimbangan dari aspekpertahanan dan keamanan negara

Perlu pula disadari bahwa perumusankebijakan pengaturan dalam rangka pengelolaan

wilayah pesisir dan lautan tidak selalu merupakanhasil karya nasional. Dalam hal ini kebijakan yangtelah dirumuskan pada tataran regional maupuninternasional seringkali sangat besar pengaruhnyaterhadap pelaksanaan pada tataran nasional, kalautidak hendak dikatakan sebagai faktor yang tidakdapat dihindarkan. Selain dari itu perumusankebijakan pengaturan perlu pula dikaji secara vertikaldan horizontal untuk memelihara keserasian dankonsistensinya dengan peraturan perundangan yangtelah ada sebelumnya, baik pada tataran nasionalmaupun internasional.

Permasalahan yang seringkali timbul dalampelaksanaan peraturan, terutama di tingkat pusat,adalah bahwa proses penyusunan rancanganperaturan tidak selalu mengikuti prosedur bakusecara benar. Menurut ketentuan yang berlaku,setiap rancangan peraturan seharusnya melaluipenggodokan bidang kajian secara multidisiplin danpengkajian kewenangan secara lintas sektoral.Penggodokan ini harus dilakukan oleh suatu badankhusus yaitu Badan Pembinaan Hukum Nasional(BPHN). Menurut pengalaman, BPHN seringkalimenghadapi kesulitan untuk mempertemukanpejabat-pejabat yang berwenang untuk mengambilkeputusan atas nama sektor-sektor yang terkait.Oleh karena itu walaupun proses pengkajiannyamemerlukan waktu yang sangat lama, namun hasil-hasil pengkajiannya seringkali tidak mampu mewakilikepentingan semua sektor yang terkait. Sementaraitu tidak jarang pula timbul keinginan dari sektor yangberkepentingan untuk segera menggoalkanrancangan peraturan yang diusulkannya karenakebutuhan yang mendesak. Dalam keadaandemikian biasanya berkembang praktek-praktekuntuk menempuh jalan pintas yang dapatmenimbulkan ekses-ekses yang tidak semestinyaterjadi. Praktek-praktek untuk menggoalkanrancangan peraturan dengan cepat walaupun dengancara yang tidak benar dan kurang terpuji, misalnyadengan menggunakan kekuatan uang, menjadi sangatlazim di masa lalu. Oleh karena itu tidakmengherankan apabila hasilnya kurang mewadahiaspirasi para pihak yang berkentingan, baik secaralangsung maupun tidak langsung.

Praktek penyusunan peraturan pada bidang-bidang yang menjadi wewenang pemerintah pusat,pada masa lalu seringkali pula kurangmengakomodasikan aspirasi pemerintah daerah. Hal

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 74: Proceeding ToT ICM

71

ini disebabkan karena adanya anggapan bahwapemerintah daerah hanya memiliki wewenangtertentu yang secara eksplisit telah diserahkan olehpemerintah pusat. Dengan kata lain pemerintahdaerah hanya menerima kewenangan sisa saja.Kewenangan pemerintah pusat dalam urusan-urusantertentu pada umumnya dapat diserahkan kepadapemerintah propinsi melalui peraturan perundangan.Selanjutnya pemerintah kabupaten/kotamadya akanmenerima penyerahan wewenang dari pemerintahpropinsi. Namun demikian biasanya tidak semuaurusan yang kewenangannya telah diserahkan olehpemerintah pusat kepada pemerintah propinsi secaraotomatis diserahkan seluruhnya kepada pemerintahkabupaten/kotamadya. Mengingat bahwa pelaksanaansemua peraturan pada berbagai tingkatan pada akhirnyaakan diberlakukan di daerah kabupaten/kotamadya,tentu saja sistem penyerahan urusan demikian tidakakan menjamin terakomodasikannya aspirasi daerahyang bersangkutan. Dengan kata lain pemerintahkabupaten/kotamadya hanya melaksanakan ketentuandan arahan dari pemerintah propinsi.

Model penyusunan peraturan dan penyerahankewenangan melalui proses top-down sebagaimanadilukiskan di atas dapat dipastikan akan berubahsecara drastis sejalan dengan pemberlakuanUndang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentangPemerintahan Daerah. Pada masa-masa mendatangpemerintah daerah akan memiliki kewenangan atasurusan-urusan yang ruang lingkupnya sangat luas.Sedangkan pemerintah pusat hanya memilikiwewenang atas bidang-bidang tertentu saja yangtelah ditentukan secara eksplisit di dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999. Pembagianwewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahdaerah atas urusan-urusan yang berkaitan denganpengelolaan wilayah pesisir dan lautan akan dibahassecara tersendiri pada bagian berikut dari tulisan ini.

PENGATURAN PENGELOLAANWILAYAH PESISIR DAN LAUTAN

Apabila fungsi dan peranan hukumsebagaimana telah diuraikan di atas kemudiandiproyeksikan pada pengelolaan wilayah pesisir danlautan maka keseimbangan harus diciptakan melaluikompromi antara dua kepentingan yang berbeda,kalau tidak hendak dikatakan sebagai bertolak

belakang. Kepentingan yang pertama adalah untukmendapatkan manfaat ekonomi dari sumber-sumberkekayaan alam guna menunjang upaya peningkatankesejahteraan masyarakat pesisir. Sedangkankepentingan yang kedua adalah adanya jaminanbahwa pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alamwilayah pesisir dan lautan dilakukan secara rasionalagar dapat berlangsung dalam jangka waktu yangtidak terbatas seraya menghindari terjadinyakepunahan jenis.

Berikut ini disajikan pembahasan ketentuan-ketentuan normatif yang berkaitan denganpengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang tersebardi dalam berbagai tingkatan peraturan mulai dariundang-undang, peraturan pemerintah, keputusanpresiden, sampai keputusan menteri. Untukmemudahkan pengidentifikasian terhadap bidang-bidang permasalahan hukumnya, pembahasandilakukan berdasarkan katagorisasi jenis-jenissumber alam yang terdapat di wilayah pesisir danlautan, yaitu sumberdaya alam hayati, non hayati,dan jasa-jasa lingkungan.

Pengaturan PengelolaanSumber Kekayaan Alam

1. Pengaturan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan

Pengaturan tertinggi mengenai pengelolaansumberdaya ikan terdapat dalam Undang-UndangNomor 9 tahun 1985 tentang Perikanan. Undang-undang ini memperluas cakupan pengaturansebelumnya yang dirasakan kurang mampumenampung perkembangan permasalahan yangdihadapi dalam pengelolaan sumberdaya ikan.Pengelolaan sumberdaya ikan ditujukan untuktercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagibangsa Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebutdilaksanakan pengelolaan secara terarah melaluipengendalian pemanfaatannya dan pelestariansumberdaya ikan beserta lingkungannya. Ruanglingkup pengaturan pengelolaan sumber daya ikanmeliputi ketentuan mengenai:a. alat penangkapan ikanb. syarat-syarat teknis yang harus dipenuhi oleh

kapal-kapal perikanan;c. jumlah ikan yang boleh ditangkap dan jenis serta

ukuran ikan yang tidak boleh ditangkap;d. daerah penangkapan serta musim penangkapan;

Sistem Hukum dan Kelembagaan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu

Page 75: Proceeding ToT ICM

72

e. pencegahan kerusakan dan rehabilitasi sumber-sumber perikanan serta lingkungannya;

f. introduksi ikan jenis baru;g. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;h. pencegahan dan pemberantasan hama dan

penyakit ikan; dan,i. hal-hal lain yang dipandang perlu untuk mencapai

tujuan pengelolaan..

2. Pengaturan Perlindungan Hutan Mangrove

Mengingat fungsinya yang sangat penting dalammemelihara ekosistem pantai serta luasannya yangsemakin menyusut, status hukum hutan mangrove sudahdimasukkan kedalam katagori kawasan perlindungansetempat (Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990tentang Pengelolaan Kawasan Lindung). Dalampelaksanaannya pemerintah propinsi memilikiwewenang untuk menetapkan kebijakan danpengaturan pengelolaannya. Selanjutnya daerahkabupaten/kotamadya menjabarkan lebih lanjut sesuaidengan kondisi daerahnya masing-masing secaraterpadu dan lintas sektoral untuk kemudiandisosialisasikan kepada segenap anggota masyarakat.

3. Pengaturan Perlindungan Terumbu Karang

Sebagaimana halnya dengan hutan mangrove,terumbu karang merupakan ekosistem yang sudahdilindungi oleh ketentuan hukum (Undang-UndangNomor 5 Tahun 1990 tentang PerlindunganSumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya).Perlindungan terhadap terumbu karang diperlukanuntuk mencegah berlanjutnya praktek-praktek yangbersifat destruktif yang akan memerlukan waktu lamauntuk memulihkannya. Praktek-praktek pemanfaatanyang bersifat destruktif meliputi penangkapan ikandengan menggunakan bom, tenaga listrik, atau denganmenggunakan racun telah diatur di dalam Undang-Undang Perikanan.

4. Pengaturan Penguasaan Tanah PantaiDalam pembicaraan sehari-hari, penggunaan kata

‘pantai’ dan ‘pesisir’ biasanya tidak selalu dibedakanbahkan tidak terlalu dipermasalahkan. Walaupundemikian apabila ditinjau secara yuridis tampaknyakedua istilah tersebut harus diberi pengertian secarajelas. Pemaknaan kembali kedua istilah tersebutdimaksudkan untuk menghindarkan keraguan atau

ketidakpastian, baik dalam perumusan peraturanmaupun dalam pelaksanaannya.

Pantai adalah daerah pertemuan antara airpasang tertinggi dengan daratan. Sedangkan garispantai adalah garis air yang menghubungkan titik-titik pertemuan antara air pasang tertinggi dengandaratan. Garis pantai akan terbentuk mengikutikonfigurasi tanah pantai/daratan itu sendiri.

Pesisir adalah daerah pertemuan antarapengaruh daratan dan pengaruh lautan. Ke arahdaratan mencakup daerah-daerah tertentu di manapengaruh lautan masih terasa (angin laut, suhu,tanaman, burung laut, dsb). Sedangkan ke arahlautan daerah pesisir dapat mencakup kawasan-kawasan laut dimana masih terasa atau masihtampak pengaruh dari aktifitas di daratan (misalnyapenampakan bahan pencemar, sedimentasi, danwarna air). Dengan demikian maka pengertian‘pesisir’ mencakup kawasan yang lebih luas daripengertian ‘pantai’.

Dari kedua pengertian di atas dapat puladibedakan antara ‘tanah pantai’ dan ’tanah pesisir’.Tanah pantai adalah tanah yang berada antara garisair surut terendah dan garis air pasang tertinggi,termasuk ke dalamnya bagian-bagian daratan mulaidari garis air pasang tertinggi sampai jarak tertentuke arah daratan, yang disebut sebagai sempadanpantai. Dari pengertian tersebut yang masih menjadimasalah adalah lebar sempadan pantai yang harusditetapkan dan dibuat tanda-tanda batasnya agartampak jelas di dalam kenyataan. Pasal 1 ayat (6)Keppres No. 32 tahun 1990 tentang PengelolaanKawasan Lindung, menyatakan bahwa: “Sempadanpantai adalah kawasan tertentu sepanjangpantai yang mempunyai manfaat penting untukmempertahankan kelestarian fungsi pantai.”Selanjutnya Pasal 14 menyatakan bahwa: “Kriteriasempadan pantai adalah daratan sepanjangtepian yang lebarnya proporsional denganbentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100meter dari titik air pasang tertinggi ke arahdarat”.

Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwatanah pantai yang disebut sebagai ‘sempadan pantai’secara yuridis telah memiliki status yang jelas yaitusebagai ‘kawasan perlindungan setempat’. Statushukum yang sama juga berlaku untuk sempadansungai yang lebarnya 100 meter di kiri kanan sungaibesar, dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 76: Proceeding ToT ICM

73

berada di luar pemukiman. Selanjutnya untuk sungaiyang melewati zona pemukiman lebar sempadansungai yang diperkirakan cukup untuk pembangunanjalan inspeksi adalah antara 10 -15 meter (Pasal 16Keppres 32 Tahun 1990).

Selanjutnya yang agak sulit untuk ditetapkanbatasnya adalah pengertian tanah pesisir. Walaupundemikian apabila telah ditetapkan batas tanah pantai(misalnya dengan dibangun jalan inspeksi atau jalanumum) maka batas tanah pesisir akan tampakdengan jelas, yaitu dimulai dari jalan umum tersebutke arah daratan. Sebenarnya apabila telah dibuatjalan umum sebagai tanda batas tanah pantai, makaseparuh persoalan sudah dapat diatasi. Jalan umumakan merupakan batas yang secara visual dapatmembedakan status hukum ‘tanah pantai’ dan ‘tanahpesisir’. Berdasarkan peraturan yang berlaku, tanahpantai (yang biasanya digunakan sebagai lahan tambak)tidak dapat dibebani dengan hak milik, karenamerupakan tanah negara yang berfungsi sebagai zonaperlindungan setempat. Dengan demikian makabagian-bagian tanah yang dapat diberi status sebagaihak milik dan atau hak-hak lainnya baru dapat dimulaidari batas luar tanah pantai, atau dimulai dari jalan umumke arah daratan yang disebut sebagai tanah pesisir.

Masalah hukum yang paling menonjol diwilayah pesisir adalah mengenai penguasaan tanahpantai. Melihat fungsi ekologisnya yang sangatpenting, dapatlah dimengerti bahwa pengukuhan sta-tus hak atas tanahnya tidak dapat dilakukan melaluipensertifikatan berdasarkan atas hak terkuat yaituhak milik, walaupun menurut pemahaman penduduk,lahan yang sekarang mereka tempati adalah lahanhak milik mereka berdasarkan ketentuan hukum adat.Oleh karena itu pensertifikatan dengan hak-hak lain(misalnya HGU, Hak Pakai, atau HGB) diperkirakantidak akan dapat diterima oleh penduduk karenaderajatnya lebih rendah dari hak milik berdasarkanhukum adat setempat. Apabila karena keadaantertentu harus diberikan sertifikat hak milik, maka tanahyang dapat diberikan status hak milik hanyalah bagian-bagian tanah tertentu yang secara turun-temurun telahdigunakan sebagai lahan pemukiman penduduk.Walaupun demikian terlebih dahulu perlu ditetapkansyarat-syarat yang sangat ketat di dalam pemberiansertifikatnya, agar tidak terlalu mudah untukdipindahtangankan atau dirubah tatagunanya sehinggatidak sesuai dengan peruntukannya menurut RencanaTata Ruang Wilayah yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap melalui pengundangannya dalam bentukperaturan daerah.

Untuk menjamin konsistensi dan keadilan didalam pelaksanaannya, maka setiap bentukpemanfaatan tanah pantai harus dilandasi oleh prinsip-prinsip pengaturan sebagai berikut:

a. Prinsip Non-Pemilikan (Non-Appropriation)

Telah dikemukakan di bagian terdahulu bahwa,dengan pengecualian-pengecualian yang sangatterbatas, tanah pantai tidak dapat dibebani denganhak milik. Pengaturan demikian dimaksudkan supayatidak mengurangi kebebasan publik untuk dapatmenikmati bagian-bagian tertentu dari tanah pantaisebagai kawasan pariwisata atau kegiatan-kegiatan lainyang dapat menambah sumber pendapatan aslipemerintah daerah yang bersangkutan.

b. Prinsip Terbuka untuk Umum (Open Access)

Kebebasan publik untuk mendapatkan aksesguna menikmati lingkungan pantai merupakan hak yangsifatnya universal. Oleh karena itu pembangunan fisikdalam bentuk apapun (misalnya rumah, villa atau ho-tel) yang dilakukan di atas tanah pantai hampir dapatdipastikan akan menghambat kebebasan akses publikke laut. Mengingat kenyataan bahwa semua oranghidup di atas pulau maka sangat masuk akal apabilakebebasan setiap orang untuk memperoleh akses kelaut mendapatkan jaminan hukum yang kuat. Olehkarena itu Pemerintah Daerah harus mulai mengambilprakarsa untuk melindungi kebebasan publik ini secaraterencana, konsepsional, dan dilaksanakan dengankonsisten. Salah satu alternatif adalah dengan caramembuat jalan sepanjang pantai sebagai batas visualantara tanah pantai dan tanah pesisir. Dengan adanyajalan tersebut maka perkembangan pembangunanselanjutnya akan lebih mudah untuk dikendalikan. Selaindari itu anggota masyarakat pada umumnya akan lebihmudah melihat dan memahami arah kebijakanPemerintah tentang peruntukkan setiap zona yangterbentuk karena adanya jalan umum tersebut.

c. Prinsip Perlindungan Kepentingan Penduduk (Protection of Local Interests)

Kenyataan menunjukkan bahwa bagian-bagiantertentu dari tanah pantai telah digunakan sejakdahulu kala oleh penduduk setempat secara turun

Sistem Hukum dan Kelembagaan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu

Page 77: Proceeding ToT ICM

74

temurun, misalnya untuk perumahan atau untukpelabuhan perikanan nelayan. Kegiatan-kegiatandemikian seharusnya mendapat perlindungan hukummelalui pengaturan, terutama terhadap dampakinvasi kekuatan ekonomi dari luar yang dapatmengancam keberlanjutan dan ketentramanpenduduk setempat.

d. Prinsip Prioritas Manfaat Pembangunan (Development Priority)

Sesuai dengan konsep pembangunan yangditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,maka manfaat ekonomi dari potensi sumber-sumberkekayaan alam wilayah pesisir dan pantai harusdiarahkan untuk peningkatan kesejahteraanmasyarakat setempat. Tidaklah adil bila manfaatekonomi diraup oleh orang luar, sedangkanpenduduk setempat hanya menjadi penonton saja,apalagi bila menjadi korban penggusuran, walaudengan alasan apapun. Oleh karena itu manfaatpembangunan wilayah pantai dan pesisir harusdiprioritaskan untuk peningkatan kesejahteraanpenduduk setempat.

e. Prinsip Penataan Ruang (Spatial Planning)

Pengaturan pemanfaatan tanah pantai danpesisir secara rasional seharusnya didahului denganrencana tata ruang yang sudah memiliki kekuatanhukum yang mengikat. Dengan demikianpenempatan setiap kegiatan pembangunan di setiapbagian dari tanah pantai dan pesisir akanmemperoleh jaminan kepastian hukum sehinggasarana dan prasarana yang sudah ada akan terhindardari risiko pembongkaran, antara lain karena adanyaperubahan pilihan kebijakan yang dapatmengakibatkan investasi yang sudah ditanamkanmenjadi mubazir.

5. Pengaturan Permanfaatan Jasa-jasa Lingkungan

Jasa lingkungan adalah komponen-komponenbiogeofisik yang pemanfaatan potensi ekonominyabersifat non-ekstraktif, seperti keindahan bentangalam, iklim mikro, energi pasang-surut, angin, arusdan ombak laut, bentukan-bentukan geologi,peninggalan sejarah, dan sebagainya, yangbermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.Karena telah semakin terbatasnya alternatif

pemanfaatan kekayaan alam yang bersifat ekstraktif,maka pemanfaatan jasa-jasa lingkungan merupakanpotensi ekonomi non-ekstraktif yang dapatdimanfaatkan pada masa-masa mendatang.Pemerintah daerah perlu segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengamankanpotensi jasa-jasa lingkungan dari berbagai bentukgangguan yang dapat mengakibatkan perusakanmaupun penurunan mutunya.

Kelembagaan PengelolaanWilayah Pesisir dan Lautan

Pembahasan mengenai mekanismekelembagaan merupakan implementasi dariketentuan substantif ke dalam kenyataan. Padatataran nasional. lembaga-lembaga yang memilikikewenangan atas urusan-urusan yang menyangkutpemanfaatan sumber-sumber kekayaan alamwilayah pesisir dan lautan ditentukan oleh undang-undang yang bersangkutan. Sedangkan penyerahanurusan-urusan tertentu dari pemerintah pusat kepadapemerintah daerah biasanya ditetapkan melaluikeputusan menteri yang membidangi sektor yangbersangkutan. Kewenangan atas semua jenissumber kekayaan alam, termasuk yang terdapat diwilayah pesisir dan lautan, diasumsikan telah terbagihabis kepada sektor-sektor. Secara kewilayahan,ruang lingkup kewenangan setiap sektor jatuhbersamaan (coinsidence) dengan wilayah negara,artinya setiap menteri yang membidangi sektormemiliki yurisdiksi atas jenis sumber kekayaan alamtertentu yang terdapat di seluruh wilayah negara.Selanjutnya sektor-sektor yang bersangkutan dapatmenyerahkan urusan tertentu menjadi urusan-urusanyang menjadi wewenang pemerintah daerah, baikdaerah propinsi maupun daerah kabupaten/kotamadya. Dengan kata lain penyerahan urusandari pemerintah pusat kepada pemerintah daerahmerupakan kebijakan dari menteri yangbersangkutan.

Pengaturan pengelolaan wilayah pesisir danlautan berdasarkan ketentuan normatif yang berlakusampai saat ini sebagian besar merupakan urusan-urusan yang menjadi wewenang pemerintah pusat.Hal ini disebabkan karena adanya pertimbanganbahwa belum adanya peraturan pelaksanaan yangmemerintahkan penyerahan urusan-urusan yangberkaitan dengan wilayah pesisir dan lautan kepadadaerah. Keadaan ini hendak dirubah dengan

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 78: Proceeding ToT ICM

75

lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999tentang Pemerintahan Daerah. Walaupun demikian,undang-undang ini pun masih menunggu peraturanpemerintah untuk pelaksanaannya.

Secara teoritis, kewenangan sektoralsebenarnya tidak perlu menimbulkan permasalahan,apalagi sampai menimbulkan benturan kepentingan.Jenis-jenis kegiatan setiap sektor sudah ditetapkanbatasannya oleh peraturan perundangan tentangpembentukannya, termasuk batas-batas wilayahyurisdiksi untuk pelaksanaan tugasnya yang meliputiseluruh wilayah negara. Oleh karena itu klaim-klaimteritorial secara eksklusif yang dilakukan olehsektor-sektor tertentu dapat dipastikan akanmelampaui wewenang yang telah diserahkankepadanya. Demikian pula klaim-klaim fungsionalmaupun administratif tidak perlu dilakukan secaraunilateral karena akan mengacaukan prinsip-prinsippembagian kerja setiap sektor. Secara mendasardapat dikatakan bahwa wewenang setiap sektormerupakan visualisasi dari kewenangan negarasebagai satu kesatuan otoritas. Oleh karena itudapat disimpulkan bahwa bahwa permasalahampembagian wewenang secara teritorial hanyamungkin timbul apabila tidak dilakukan upayakoordinasi antara sektor-sektor yang terkait.Berdasarkan peraturan yang berlaku sampai saat ini,kewenangan untuk mengkoordinasikan kegiatansektor di daerah berada pada pemerintah daerah(Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentangKoordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah).

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR MELALUI UPAYA HUKUM

Pengertian tentang pemberdayaan masyarakatpesisir mengindikasikan bahwa masyarakat pesisirpada saat ini memang sedang dalam keadaan tidakberdaya. Masalahnya adalah sedang tidak berdayadalam menghadapi apa, dan apakah penyebabketidak berdayaannya itu. Dua pertanyaan tersebutperlu dijawab terlebih dahulu untuk dapatmenunjukkan dengan tepat bentuk-bentuk upayahukum yang relevan untuk memberdayakanmasyarakat pesisir. Masyarakat pesisir sedang tidakberdaya, dan oleh karena itu pula merekamemerlukan bantuan pihak luar, untuk menghadapitantangan yang mengancam kelangsungan hidupnya

(survival). Mereka tidak berdaya dalammenghadapi tantangan alam yang tidak dapatdiatasinya di tengah-tengah keterbatasan alternatifpenunjang kehidupannya. Karena tidak berdayamaka mereka menjadi golongan masyarakat miskin.Karena miskin mereka tidak mendapatkan hak aksesterhadap lembaga-lembaga ekonomi yang dapatmenolongnya sebagaimana halnya golonganmasyarakat yang lainnya. Atau mungkin karenasangat terbatasnya hak yang dimilikinya kemudianmereka menjadi golongan masyarakat yang miskin.Hak yang dimaksud adalah landasan hukum untukmenguasai komponen-komponen alam tertentu yangterdapat di sekitar lingkungan hidupnya. Ada atautidak adanya hak yang dimiliki oleh masyarakatpesisir atas sumber-sumber alam penunjangkehidupannya berkaitan sangat erat dengan kemiskinanyang digelutinya. Masalah ini akan dibahas secara lebihmendalam pada bagian berikut ini.

Pengertian hak adalah sesuatu yang dapatdijadikan sebagai landasan dari kekuasaan sesoranguntuk melakukan perbuatan tertentu, baik terhadapbarang tertentu maupun orang lain tertentu. Suatuhak dapat diperoleh melalui upaya-upaya yangdilakukannya atas prakarsa sendiri maupundiperoleh melalui pemberian oleh pihak lain. Sebagaicontoh, hak milik atas tanah dapat diperoleh melaluipenguasaan secara efektif (effective occupation)atas suatu bidang tanah tertentu dan dalam jangkawaktu tertentu pula. Penguasaan secara efektifartinya memiliki kemampuan secara alamiah untukmempertahankan segala sesuatu yang telah beradadalam penguasannya itu terhadap tuntutan pihak laindan atau mampu meyakinkan pihak lain untukmengakui (recognition) bahwa haknya itu memangbenar-benar ada. Perolehan hak secara alamiahtersebut merupakan sendi-sendi hidupnya hukumadat yang berlaku secara terbatas di lingkunganmasyarakatnya sendiri. Sedangkan hak yangdiperoleh karena pemberian pihak lain terjadi karenatukar menukar atau jual beli dengan pihak lain, ataudiberikan oleh penguasa yang berwenang untukmemberikan hak tertentu kepada seseorang,termasuk dalam hal adalah Kepala Adat atau pejabatnegara yang telah diberi wewenang formal atas namanegara untuk memberikan hak tertentu atas sesuatukepada warga negaranya.

Secara alamiah dan berdasarkan akal sehat(common sense) masyarakat pesisir saling

Sistem Hukum dan Kelembagaan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu

Page 79: Proceeding ToT ICM

76

mengakui tentang adanya hak tertentu yang melekatpada para anggotanya, misalnya hak atas tanah atausumber alam lainnya. Sebaliknya mereka mengakuisecara akal sehat bahwa sumber-sumber alamtertentu tidak dapat dimiliki secara perseoranganmelainkan harus dimiliki bersama oleh para anggotamasyarakatnya. Walaupun hak-hak tersebut telahdiakui sebagai hak yang sangat kuat namunlegitimasinya hanya berlaku secara terbatas di dalamlingkungan kelembagaan mereka sendiri. Haknyaitu tidak dapat diberlakukan untuk memperoleh aksesterhadap kepentingan-kepentingan lain yang beradadi luar lingkungannya Sebagai contoh, karenahaknya tersebut tidak dapat dibuktikan melaluisertifikat maka mereka tidak dapat memperolehakses terhadap kredit dari perbankan. Hak yangdimilikinya tidak dapat dijadikan jaminan kepadapihak-pihak di luar lingkungannya yang mensyaratkanadanya pengakuan atas haknya melalui bukti-buktisecara formal. Oleh karena itulah masyarakat pesisirmenjadi tidak berdaya untuk memperoleh aksesterhadap kepentingan-kepentingan ekonomi yangberada di luar lingkungannya. Oleh karena itu pulamereka menjadi tertinggal sehingga tidak berdayauntuk melepaskan diri dari lilitan kemiskinan yangbukan mustahil harus dialaminya selama hidupnya.

Upaya hukum yang dapat dilakukan untukmemberdayakan masyarakat pesisir adalahmemberikan hak secara eksklusif berupa pengakuanresmi (formal recognition) atas hak-hak merekayang sangat diperlukan sebagai penopang hajathidupnya. Pengakuan formal berupa sertifikasi hakatas tanah yang telah dikuasainya secara turuntemurun merupakan langkah awal untukmemberikan kemampuan guna memperoleh aksesterhadap kepentingan-kepentingan ekonomi yangberada di luar lingkungannya. Pengakuan formaltersebut hanya dapat dilakukan oleh pejabat negarayang memiliki kewenangan untuk melakukantindakan hukum demikian. Masalah yang dihadapiuntuk melaksanakannya adalah adanya kemauanpolitik (political will) dari pemerintah karenapenerbitan sertifikat bukan merupakan hal yang sulitbagi pejabat pemerintah. Dalam hal ini pemberiansertifikat hak atas tanah merupakan upaya hukumyang dapat minimbulkan akibat positif berupapemberdayaan masyarakat pesisir di bidangekonomi. Dengan kata lain pemberian sertifikat hakatas tanah akan sama nilainya dengan memberikan

kekuatan kepada masyarakat pesisir untukmemperoleh akses terhadap kepentingan-kepentingan ekonomi yang diperlukannya.

Apabila penduduk pesisir telah memilikisertifikat hak atas tanahnya, maka mereka akanmemiliki kekuasaan yang diperlukan untukmelakukan hubungan hukum yang seimbang denganpihak-pihak lain yang berasal dari luar lingkungannya.Hak atas tanah yang diperolehnya secara eksklusifakan menjelma menjadi suatu kekuatan yang mautidak mau harus diakui oleh pihak lain karena telahmemperoleh jaminan dari pemerintah atas namanegara. Pemerintah tidak perlu memberi merekamodal untuk membantu meningkatkan tarafhidupnya, tapi berilah mereka pengakuan formalberupa sertifikat hak atas tanah yang dapatmemberdayakannya sebagaimana halnya denganinstrumen ekonomi. Perjanjian mengenai pengadaanlahan pertambakan pada masa-masa yang akandatang tidak perlu lagi dilakukan secara di bawahtangan atau sembunyi-sembunyi karena lahan yangsebelumnya berstatus tanah negara telah berubahstatus hukumnya menjadi hak pakai atas nama paraanggota masyarakat pesisir. Mereka tidak lagidiperlakukan sebagai penyerobot tanah negaramelainkan sebagai pemegang hak yang sah. Selaindari itu hasrat untuk menjarah tambak akan hilangdengan sendirinya karena apabila masih melakukanpenjarahan, maka sertifikat hak atas tanahnya tidakakan ada artinya, baik bagi orang lain maupun untukdirinya sendiri. Para penanam modal yang selamaini merasa ketakutan akan timbul keberaniannyauntuk masuk lagi kedalam bisnis pertambakan karenamerasa lebih aman. Mereka akan merasa yakinbahwa mereka sedang berhubungan dengan orang-orang pesisir yang telah memiliki hak yang sah ataslahan pertambakan dan bertanggungjawab untukmenghargai hak-hak orang lain. Demikian pulapemerintah akan mendapatkan sumber pemasukanbaru karena tanah negara yang dikuasainya telahberubah menjadi lahan produktif yang mampumenjadi sumber penerimaan pajak dan retribusisebagai pendapatan asli daerah.

PENUTUP

Dari uraian di atas kiranya dapat disimpulkanhal-hal sebagai berikut:1. Fungsi norma hukum dalam pengelolaan wilayah

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 80: Proceeding ToT ICM

77

pesisir dan lautan adalah untuk menciptakankepastian, baik bagi pemerintah maupun paraanggota masyarakat, tentang apa yang boleh dantidak boleh dilakukan dan apa yang diperkenankanuntuk dilakukan. Sedangkan peranan normahukum adalah sebagai pemelihara keseimbanganantara berbagai kepentingan yang berbeda demitercapainya tujuan yang dikehendaki bersama, yaituketertiban.

2. Anggapan bahwa undang-undang sektoralmerupakan landasan utama bagi pelaksanaan tugasdan wewenang departemen yang bersangkutan,khususnya dalam pemanfaatan sumber-sumberkekayaan alam pesisir dan lautan, tidak seluruhnyabenar. Sebenarnya setiap undang-undang sudahseharusnya diindahkan oleh semua aparat daridepartemen yang terkait, walaupun rancangannyadiusulkan hanya oleh satu departemen saja. Olehkarena itu pengkajian terhadap rancangan peraturansecara lintas sektoral mutlak diperlukan sebagaibagian integral dari proses penyusunannya. Sikapmasa bodoh, apalagi memaksakan kepentingansektor sendiri (egosektoral) harus dihindarkan, baikpada tahap penyusunan peraturan maupun danterutama pada tahap pelaksanaannya.

3. Pelaksanaan semua undang-undang sektoral yangberlaku saat ini (hukum positif) harus mengacu padaketentuan yang tercantum di dalam Undang-UndangNomor 22 Tahun 1999 tentang PemerintahanDaerah, kecuali urusan-urusan tertentu yang secaraeksplisit ditetapkan sebagai urusan yang menjadiwewenang pemerintah pusat (bidang luar negeri,pertahanan keamanan, peradilan, fiskal dan moneter,agama, dan kewenangan lain yang meliputi: kebijakanumum mengenai perencanaan dan pengendalianpembangunan, dana perimbangan keuangan, sistemadministrasi negara dan lembaga perekonomiannegara, pembinaan dan pemberdayaan sumberdayamanusia, pemberdayaan sumberdaya alam danteknologi tinggi yang strategis, konservasi, danstandardisasi nasional).

4. Apabila kita cenderung hendak menyimpulkanbahwa pengelolaan wilayah pesisir yang kurang efektfitu sebagian disebabkan karena kegagalan hukumdalam melaksanakan fungsinya sebagai pemeliharakeseimbangan ekosistem pesisir, maka alternatifperbaikannya harus dimulai dari pengintegrasiansemua aspek yang terkait dengan pengelolaan wilayah

pesisir kedalam proses penyusunan peraturansampai dengan mekanisme penegakan hukumnya.Dalam hal inilah para stakeholder harus lebih proaktifuntuk berani menyuarakan kepentingannya agarpembentukan hukum secara substantif dapatmengakomodasikan kepentingan dan aspirasi darikalangan yang lebih luas dan prosesnya benar-benar dimulai dari bawah (bottom – up).

5. Untuk memberdayakan masyarakat pesisir, makabagian-bagian tertentu dari tanah pantai yangmerupakan tanah negara harus dirubah statusnyamenjadi Hak Pengelolaan yang berada dibawahpenguasaan pemerintah daerah. SelanjutnyaKantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya, atasnama pemerintah daerah, dapat mengeluarkansertifikat hak atas tanah, yaitu Hak Milik untuklahan pemukiman dan Hak Pakai untuk lahanusaha. Pemberian hak atas tanah tersebut harusbersifat eksklusif, artinya sertifikat hak atas tanahhanya dapat diberikan kepada penduduk setempatyang memenuhi persyaratan berdasarkan peraturanyang berlaku. Hak yang diberikan secara eksklusifinilah yang kelak akan menumbuhkan kekuatanekonomi yang diperlukan oleh masyarakat pesisiruntuk memberdayakan dirinya sendiri gunamelepaskan diri dari lilitan kemiskinan.Kebijaksanaan untuk melanjutkan status tanah pantaisebagai tanah negara merupakan kebijakan yangtidak produktif karena tidak ada pihak yangmemperoleh manfaat ekonomi secara sahdaripadanya. Sebaliknya melalui pemberian statushak milik atau hak pakai atas tanah pantai secaraeksklusif kepada penduduk setempat akan menjadidasar bagi pemungutan Pajak Bumi dan Bangunandan retribusi dari berbagai kegiatan produktif sebagaisumber pendapatan asli daerah.

6. Langkah awal yang disarankan untuk segeradilakukan adalah pengesahan status hukum RencanaTata Ruang Wilayah melalui penerbitan peraturandaerah agar memiliki kekuatan hukum yangmengikat, baik terhadap pemerintah, dunia usaha,maupun anggota masyarakat. Pengesahan RencanaTata Ruang Wilayah yang memuat zona lindung danzona-zona budidaya merupakan wadah dan arahanbagi berbagai kegiatan pembangunan dan sekaligusakan berfungsi sebagai pintu gerbang menujupemberdayaan potensi ekonomi masyarakat pesisir.Semoga.

Sistem Hukum dan Kelembagaan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu

Page 81: Proceeding ToT ICM

78

DAFTAR PUSTAKA

Bagir, M dan Kuntana M. 1987. Peranan PeraturanPerundang-undangan dalam Pembinaan HukumNasional. Armico, Bandung.

Basah, S. 1989. Tiga Tulisan tentang Hukum. Armico,Bandung.

Dahuri, R. et. al. 1996. Pengelolaan Sumberdaya WilayahPesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta.

Kusumaatmadja, M. 1976. Fungsi dan PerkembanganHukum dalam Pembangunan Nasional. Bina Cipta,Bandung.

Orians, Gordon H. 1986. Ecological Knowledge and Envi-ronmental Problem-Solving : Concepts and Case Stud-ies. National Academy Press, Washington D.C.

Sorensen, J. C. and Scott T. M. 1990. Institutional Ar-rangement for Managing Coastal Resources and En-vironment (Renewable Resources Information Ser-vices).

Suryaningrat, B. 1981. Desentralisasi dan Dekonsentrasi.Dewaruci Press, Jakarta.

Sistem Hukum dan Kelembagaan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu

Page 82: Proceeding ToT ICM

79

PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PESISIR TERPADU

DR. M. FEDI A. SONDITAJurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Fakultas Perikanan dan Ilmu KelautanInstitut Pertanian Bogor

Penyusunan Rencana Pengelolaan Pesisir Terpadu

FUNGSI PENGELOLAAN WILAYAHPESISIR (Menurut Cicin-Sain dan Knecht,1998)a. Perencanaan wilayahb. Pengembangan pembangunan ekonomic. Pemeliharaan sumberdaya alamd. Penyelesaian konflike. Perlindungan keselamatan masyarakatf. Pengaturan hak pengelolaan lahan dan perairan

umum

Perencanaan Wilayah•• Pengkajian lingkungan pesisir dan pemanfaatannya•• Penentuan zonasi pemanfaatan ruang•• Antisipasi perencanaan dan perencanaan jenis

pemanfaatan yang baru•• Pengaturan proyek-proyek pembangunan pesisir

dan kedekatannya dengan garis pantai•• Penyuluhan masyarakat untuk apresiasi terhadap

kawasan pesisir dan lautan•• Pengaturan akses umum terhadap pesisir dan

lautan

Pengembangan Pembangunan Ekonomi•• Industri perikanan tangkap•• Perikanan rakyat•• Wisata massal dan ekowisata, wisata bahari•• Perikanan budidaya•• Perhubungan laut dan pembangunan pelabuhan•• Pertambangan lepas pantai•• Penelitian kelautan•• Akses terhadap sumberdaya genetika

Pemeliharaan Sumberdaya Alam•• Pengkajian kondisi dan dampak lingkungan•• Penyusunan dan penerapan baku mutu lingkungan•• Perlindungan dan perbaikan kualitas air•• Penetapan dan pengelolaan daerah perlindungan

laut

•• Perlindungan keanekaragaman hayati laut•• Konservasi dan restorasi ekosistem pesisir dan

laut (terumbu karang, mangrove, tanah basah,padang lamun dan lain-lain)

Penyelesaian Konflik•• Pengkajian aneka ragam kegiatan pemanfaatan

ruang atau sumberdaya dan interaksi antarberbagai bentuk kegiatan pemanfaatan

•• Penerapan berbagai metode penyelesaian konflik•• Pengurangan dampak negatif sejumlah kegiatan

pemanfaatan

Perlindungan Keselamatan Masyarakat•• Penghindaran bahaya terhadap bencana alam dan

perubahan global•• Peraturan untuk kawasan-kawasan berbahaya

dengan cara menetapkan “set back lines”•• Pembangunan perlindungan pantai•• Penyusunan rencana evakuasi atau contingency

plan untuk keadaan darurat

Pengaturan Hak Pengelolaan Lahan danPerairan Umum•• Penetapan sewa dan pajak untuk penggunaan

sumberdaya dan ruang milik umum•• Penetapan kerjasama untuk memanfaatkan

sumberdaya tidak dapat pulih

Kerangka Pemikiran Perencanaan (LogicalFramework)•• Tujuan pengelolaan•• Issue-based management•• Peluang sukses•• Penyebab-akibat-strategi•• Input-output-outcome-impacts•• Proses partisipatif dan stakeholder utama•• Keterpaduan dan dual track approach•• Sustainability dari manfaat dan dampak

Page 83: Proceeding ToT ICM

80

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

PENGKAJIAN KEMBALI TERHADAPPROFIL UNTUK MENENTUKAN ISUYANG AKAN DITANGANI DANPERUMUSAN STRATEGIPENANGANANNYA

Dasar Pemilihan isu yang akan Ditangani•• Cakupan masalah : sebaran dampak, skala waktu,

skala geografi, skala sosial•• Kapasitas untuk mengelola sumberdaya manusia,

dana, waktu dan hukum/kewenangan•• Peluang sukses

Penentuan Strategi Pengelolaan•• Logical framework dan asumsi•• Perumusan berbagai alternatif strategi pemecahan

permasalahan yang akan ditangani•• Penentuan strategi : efektif dan efisien, tidak

menimbulkan konflik (baru)•• Keberlanjutan efektivitas strategi yang dipilih•• Siapa melakukan apa?•• Sumberdaya pengelolaan dari luar : tenaga ahli,

dana, teknologi, program

Penentuan Indikator KeberhasilanPengelolaanSangat erat kaitannya dengan tujuan umum dantujuan khusus pengelolaan•• Indikator proses (pelaksanaan program)•• Indikator dampak•• Indikator dampak antara•• Baseline data tentang indikator pilihan

Beberapa Kendala dalam PenerapanPengelolaan Pesisir Terpadu•• Konsekuensi process-oriented program•• Keterbatasan sumberdaya manusia

•• Orientasi PROYEK versus PROGRAM•• Sustainability dampak pengelolaan•• Kebutuhan EKONOMI jangka pendek versus

upaya KELESTARIAN•• KOMUNIKASI antar stakeholder•• Dinamika sosial mempengaruhi kestabilan dan

konsistensi dukungan politik

Beberapa Saran Agar Upaya PengelolaanPesisir Dapat Sukses•• Proses awal atau inisiasi dimulai dari yang kecil dan

mudah dulu : learning period dan pembentukanworking group dengan team work yang utuh

•• Pembangunan pemahaman masyarakat terhadapisu (permasalahan) dan kondisi sumberdaya alamyang dimanfaatkannya

•• Berkonsultasi dengan pihak-pihak yang kompeten•• Membangun pendukung atau konstituen•• Membangun keterpaduan antar lembaga•• Memanfaatkan dan membangun enabling con-

dition : potensi lokal•• Membangun kapasitas pemberdayaan masyarakat dan lembaga yang ada•• Menerapkan pendekatan partisipatif•• Menerapkan adaptive management, continuos

monitoring dan self evaluation, learning cul-ture

•• Melaksanakan early actions•• Melakukan pengkajian ilmiah•• Membangun dukungan dari sistem politik•• Menentukan waktu yang tepat•• Strategi pengelolaan tidak semata-mata konservasi•• Memanfaatkan dari upaya-upaya lain yang pernah

dilakukan

Page 84: Proceeding ToT ICM

81

Lesson-learned Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Lampung-Indonesia : Keberhasilan & Hambatannya

Lesson-learned Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadudi Lampung-Indonesia : Keberhasilan & Hambatannya

DR. IR. BUDY WIRYAWAN, M.ScProyek Pesisir PKSPL IPB. Mess UNILA

Email : [email protected]

PENDAHULUANWilayah pesisir merupakan pertemuan antara

dua fenomena : laut dan darat. Mereka menujukkanperbedaan dua dunia dengan perbedaan flora danfauna. Wilayah ini secara ekologi tidak dapat berdirisendiri, karena tergantung pada kesetimbangan yangada antara berbagai element alam, seperti : angindan air, batu dan pasir, flora dan fauna, yangberinteraksi membentuk ekosistem pesisir yang unik.

Kompleksitas wilayah pesisir sebagai multi-use zone menuntut adanya upaya-upaya pengelolaansecara terpadu dengan tahapan yang jelas, yaitumengikuti siklus program (policy cycle). Siklus pro-gram ini dimulai dengan identifikasi dan pengkajianisu (issue identification and assessment) (Olsenet al, 1999).

Siklus program pengelolaan wilayah pesisirterdiri dari :(1) Identifikasi dan pengkajian isu(2) Persiapan program(3) Adopsi program secara formal dan penyediaan dana(4) Pelaksanaan Program(5) Evaluasi

Pengalaman global maupun regional menunjukkanbahwa program pengelolaan wilayah pesisir menjadi‘matang’setelah menyelesaikan secara berturut-turutbeberapa siklus program tersebut. Satu siklus dapatmembutuhkan waktu 8-15 tahun.

Pengelolaan wilayah terpadu (IntegratedCoastal Management / ICM), dalam pelaksanaannyamencakup keterpaduan Sistem, Fungsi dan Waktu.Sehingga oleh Cicin-Saun dan Knecht (1998)didefinisikan sebagai berikut :

‘ICM is a process by which rational deci-sion are made concerning the conservation andsustaibable use of coastal and ocean resourcesand space. The process is designed to overcomethe fragmentation inherent in single-sector man-agement approaches (fishing operations, oil and

gas development, etc.), in the splits in jurisdic-tion among different levels of government, andin the land-water interface’

Oleh karenanya, secara garis besar beberapatugas program ICM adalah :•• Menyebarkan informasi dan peningkatan kepedulian masyarakat•• Mengembangkan perencanaan tata ruang yang

tepat dan efektif•• Mengantisipasi pengaruh-pengaruh yang bersumber dari daratan•• Mengembangkan aturan-aturan yang tepat.

Beberapa unsur-unsur prospektus pelaksanaanprogram pengelolaan pesisir dalam era otonomi daerah,yaitu :•• Desentralisasi dan otonomi daerah (UU No.22/1999

dan UU No.25/1999)•• Kelembagaan di tingkat nasional yang mendukung

(DKP)•• Pengalaman Lampung dalam program ICM, sejak

1998•• Kehendak berbagai pihak untuk bermitra (stake-

holders)

Kegagalan program ICM umumnya terletakpada tahap implementasinya, yang sangat ditentukanoleh :•• Kebijakan-kebijakan yang jelas•• Konsistensi aturan yang dijalankan•• Sumberdaya pelaksana yang terlatih dan berpengalaman•• Partisipasi masyarakat yang optimal•• Anggaran/dana yang mencukupi•• Keterpaduan antar sektor dan antar tingkat pemerintahan yang efektif.

PROFIL WILAYAH PESISIR LAMPUNGPotensi ekonomis penting Wilayah Pesisir

Page 85: Proceeding ToT ICM

82

Lampung, antara lain :•• Kehutanan (TNWK, TN BBS, CA Krakatau dan

Tambling) dengan wilayah konservasi 12,8 %•• Pariwisata bahari (ekowisata), dengan potensi

obyek wisata di teluk Lampung (18 obyek)•• Produksi perikanan 190.441 ton (13.311 ton

ekspor dengan nilai US$ 116 juta), mutiara~500.000 butir/tahun

•• Pertambangan minyak•• Transportasi laut : Ferry 48 trip/hari dan Con-

tainer 70.000/tahun, dll.

Luas perairan pesisir Lampung, termasukwilayah 12 mil laut, adalah : 16.625 km2(Pemerintah Propinsi Lampung, 2000). Wilayahpesisir Lampung yang mempunyai garis pantai 1105km (CRMP, 1998) dengan 184 desa pantai (114000 Ha), merupakan pusat-pusat kegiatan manusia.Aktifitas ekonomi di wilayah ini yang utama antaralain : kepelabuhannan (penumpang, petikemas, danperikanan), pabrik, perikanan dan pariwisata massal,sehingga terjadi pengrusakan habitat karena aktivitasmanusia tersebut.

Terlihat nyata, bahwa “Kecenderungan yangada saat ini dari perubahan ekosistem di wilayahpesisir adalah terjadinya penurunan kapasitas jangkapanjang dari sistem ini untuk menyediakan manusiadengan suatu kualitas hidup yang cukup dan

menghasilkan kesejahteraan yang langgeng”. Beberapaindikasi telah terlampauinya daya dukung atau kapasitaskeberlanjutan dari ekosistem pesisir, sepertipencemaran, tangkap lebih (over fishing), degradasifisik habitat dan abrasi pantai telah terjadi beberapakawasan pesisir di Lampung.

Kerusakan habitat pesisir, seperti di Pantai TimurLampung (270 km), selain disebabkan oleh sebab alami(erosi pantai), juga diakselerasi dengan penebangantanaman pelindung pantai (mangrove) dan konversilahan pantai secara besar-besaran, serta pencemaranlimbah domestik dan industri. Dengan adanyapeningkatan kegiatan “pembangunan”, maka wilayahpesisir yang merupakan habitat primer manusia yangseharusnya menjadi semakin baik, tetapi justrupengembangan wilayah pesisir menuju ke arah yangmenyebabkan degradasi habitat. Alhasil, wilayah inisarat dengan konflik pemanfaatan dan konflikkewenangan.

Masalah erosi di Pantai Timur Lampung tidakbisa dipisahkan dengan sedimentasi (deposisisedimen), adalah suatu proses alami pada awalnya.Tetapi proses ini sering menyebabkan konflik dengankepentingan di daerah pantai. Konflik tersebut akanmenjadi besar, apabila aktifitas manusia menambahcepatnya laju erosi pantai, seperti mengadakanmanipulasi-manipulasi di daerah pantai yangsebenarnya merupakan usaha proteksi daerah pantai,

Gambar 1. Interpretasi Citra Landsat Pantai Timur

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 86: Proceeding ToT ICM

83

tetapi dampak negatifnya lebih besar dari tujuanawalnya. Tidak jarang, bahwa proses erosidiperparah secara langsung, dengan adanyapengembangan atau “pembangunan” di daerahpantai (shorefront-development) yang tidakmempertimbangkan lingkungan. Sudah merupakanhal yang umum, seperti penebangan mangrove yangberlebihan untuk pertambakan udang di Lampung(khususnya pantai timur). Ekploitasi mangrove selainakan mempercepat erosi, juga telah menyebabkanintrusi air laut. Sedimentasi yang menyebabkanadanya tanah timbul di beberapa tempat di PantaiTimur telah menyebabkan konflik pemilikan lahan,karena status lahan dan sistem hukumnya belum jelas.

Upaya-upaya untuk menekan laju erosi puntelah dilaksanakan oleh Kanwil / Dinas Kehutanandengan program reboisasi tanaman pelindung pantai(mangrove), namun kendala keberhasilan dari pro-gram reboisasi masih besar. Pantai Timur saatsekarang hanya tersisa sekitar 2000 ha mangrovedari jenis Avicennia dan Rhyzophora. Dinas PUPengairan telah membuat percontohanpenanggunlangan erosi pantai di Muara Gading Mas,Lampung Timur, dengan ‘ model hard-structuresederhana’untuk 150 m panjang pantai.

KERANGKA RENCANA KERJA DALAMPEMBUATAN RENCANA STRATEGISPENGELOLAAN PESISIR

Visi Pengelolaan Wilayah Pesisir Lampungyang telah disepakati bersama, adalah: “Terwujudnyapengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yangberwawasan lingkungan dan berkelanjutan yangdidukung oleh peningkatan kualitas sumberdayamanusia, penaatan dan penegakan hokum, sertapenataan ruang untuk terwujudnya peningkatankesejahteraan rakyat”

Sedang Visi Pengelolaan Pulau-pulau Kecil diLampung, adalah : “Terwujudnya pengelolaan pulau-pulau kecil dan lingkungan perairan sekitarnya secaraadil dan lestari yang berbasis masyarakat untukmeningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat”

Suatu rencana strategis dapat dilakukan denganberbagai cara. Dijabarkan di bawah ini sebuahcontoh pengorganisasian yang mungkin dilakukandengan menggunakan isu-isu pesisir sebagai fokuspengelolaan yang utama. Apakah kita memakai “isu-isu”, “ancaman-ancaman” atau titik pangkal yang laindalam rencana tersebut, pengorganisasian rencana ituharus sedemikian rupa sehingga terdapat sebuah logikayang sangat nyata, yang menghubungkan isu-isu (atau

Gambar 2: DAS dan Industri di Lampung

Lesson-learned Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Lampung-Indonesia : Keberhasilan & Hambatannya

Page 87: Proceeding ToT ICM

84

ancaman-ancaman) dengan sebab-sebab (atau faktoryang mendukung, dsb.), kebijakan-kebijakan danstrategi yang disarankan. Bahkan dalam sebuah rencanastrategis yang ringkas, haruslah jelas kepada pembaca/pengguna mengapa strategi-strategi yang diusukan yangdipilih dan bagaimana semua hal itu dapatmempengaruhi kondisi-kondisi yang mendukungkepada isu (atau ancaman) wilayah pesisir.

ISU-ISU Masalah-masalah atau isu-isu adalah suatu

rencana yang bermanfaat untuk memfokuskansebuah rencana strategis. Secara alternatif, kita dapatmemulai dengan sasaran-sasaran, tujuan-tujuan,ancaman-ancaman, peluang-peluang atau beberapatitik pangkal yang lain. Orang lebih menyukai “isu-isu” terutama karena kebanyakan orang lebihterangsang dan terpikat oleh “masalah-masalah” atau“isu-isu” daripada sasaran-sasaran atau tujuan-tujuan. (Tentu saja, sebuah fokus pada isu tidakmendahului pemanfaatan sasaran-sasaran atautujuan-tujuan. Keduanya dapat dipadukan.)

Bagaimana isu-isu dapat ditentukan? Saya lebihsuka menentukan isu-isu sebagai kondisi-kondisi hasilakhir atau dampak yang orang-orang ingin ubah.Mengapa hal ini penting? Pertama, hal itu tidak terlalukeliru. Misalnya, “ketiadaan sebuah rencana manajemensumberdaya pesisir” bukanlah suatu “isu” menurutdefisini ini. Rencana manajemen sumber daya pesisirdapat, bila dengan hati-hati dirancang dan diterapkan,meningkatkan rencana-rencana pesisir, tetapi itulahcara-cara untuk mencapai sebuah tujuan (misalnyakondisi-kondisi habitat yang membaik, meningkatnyakeragaman biota) daripada sebuah tujuan itu sendiri.Kedua, kondisi-kondisi hasil akhir kurangkontroversial. Dalam proses keikutsertaanmasyarakat, banyak orang lebih senang berbicaratentang sebab-sebab permasalahan, sepertipengambilan ikan atau reklamasi secara tidak sahkarena diskusi-diskusi tentang sebab-sebabnyalebih memudahkan mereka untuk melemparkantudingan. Tetapi jika seseorang perlu menetapkansebuah rencana strategis dengan kelompok-kelompokmasyarakat, mereka harus hati-hati dalam melemparkankesalahan awal pada kondisi-kondisi buruk wilayahpesisir dalam proses perencanaannya. Adalah lebihmudah memperoleh persetujuan dari wakil-wakilinstansi, warga, Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM) dan para pelaksana pembangunan sehingga

kepunahan atau kehancuran batu karang menjadisebuah isu daripada mendapat persetujuan sehinggapermasalahannya adalah penggundulan hutan danpenyiapan lahan secara besar-besaran - yangmenimbulkan erosi yang memunahkan batu-batukarang. Di samping itu, kepunahan batu karang dandampak-dampak yang berkaitan terhadap pencarianikan di wilayah-wilayah terumbu karang telah dapatdiduga oleh mereka yang memerlukan verifikasiempiris.

Seperti telah saya tunjukkan dalam diskusi-diskusikita, “ancaman-ancaman” pesisir dapat pula dipakaisebagai suatu kerangka pengorganisasian. Ke dalamancaman-ancaman dapat juga dimasukkan beberapaakibat (seperti habitat yang rusak, mutu air yangtercemar) dengan faktor-faktor penyebab (misalnyapraktek-praktek reklamasi atau tidak adanyakoordinasi antar-instansi pemerintah.) Apakah kitamemakai “isu-isu” atau “ancaman-ancaman” ataubeberapa titik pangkal yang lain tidaklah sepentingseperti menunjukkan hubungan-hubungan antara isu-isu, sebab-sebab dan pilihan-pilihan strategi.

Jadi isu pengelolaan pesisir (management is-sues) adalah netral atau dapat diartikan sebagaipermasalahan yang sifatnya negatif (buruk) ataupositif (baik). Suatu isu negatif, jika isu tersebutdibiarkan atau tidak ditangani akan memberikandampak negatif terhadap kualitas lingkungan ataukesejahteraan masyarakat. Sebaliknya isu positif,apabila ditangani akan memberikan dampak positifterhadap lingkungan atau menyebabkan peningkatankesejahteraan masyarakat.

Dalam analisis KEKEPAN (Swot), isu-isupositif dapat dibedakan menjadi kekuatan (strength)dan peluang (opportunity), sedang isu-isu negatifdapat dibedakan menjadi kelemahan (weakness)dan ancaman (threats) (Bryzon, 1995). Namundemikian, dalam identifikasi isu, daftar isu didominasioleh isu negatif, karena manusia mempunyai sifatberkeluh-kesah.

PENYEBAB-PENYEBAB Untuk sebuah rencana strategis biasanya lazim

menyebut kegiatan-kegiatan pemanfaatan tanah danair yang mendukung masalah tersebut. Limbah-limbahindustri dan tempat-tempat pembuangan air yang tidakterpelihara merupakan dua penyebab yang jelas disebagian besar kota di Indonesia. Biasanya tidak perludinyatakan betapa besarnya dampak setiap jenis

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 88: Proceeding ToT ICM

85

limbah tercemar bagi kemerosotan mutu air dalamsebuah rencana strategis. Adalah memadai denganmengenali dan menggolong-golongkan sumber-sumber utama racun (toksin) dan bakteri (patogen).Namun sebelum menginvestasikan milyaran rupiahke dalam pembangunan instalasi perawatan limbah,adalah bijaksana untuk memperkirakan seberapabesar investasi masyarakat itu memiliki dampak yangbermanfaat kepada mutu perairan pesisir. Kadang-kadang ada manfaatnya memasukkan bagan-bagansebab-akibat untuk menunjukkan, misalnya, seberapajauh kegiatan reklamasi merusak habitat danberpengaruh kepada penduduk. Berbagai penyebabtimbulnya isu-isu itu, seperti lenyapnya habitat mangrove(bakau) bervariasi dari satu tempat dengan tempat yanglain. Misalnya, penebangan mangrove untukkepentingan pembangunan mungkin merupakan sebabutama di satu tempat, sementara konversi mangroveuntuk budidaya tanaman dan ikan di kawasan pantaimungkin menjadi penyebab di tempat yang lain.Mengenali tempat-tempat di mana isu-isu berbedatimbul adalah satu cara mengenali mereka yang ikutserta dalam identifikasi isu yang Anda dengar menjadikepedulian mereka.

SEBAB-SEBAB YANG MENDUKUNGTelah dirumuskan sebab-sebab yang mendukung

(atau sekunder) seperti kegiatan-kegiatan ataukeadaan-keadaan yang secara tidak langsungmendukung kondisi-kondisi yang merugikan. Misalnya,pertumbuhan penduduk di kawasan pantai bukanlahpenyebab langsung dari penurunan kualitas air dikawasan pesisir, tetapi jika tidak dibangun fasilitas limbahbuang untuk mengakomodasikan penduduk baru makakondisi mutu air dapat menurun. Adalah dalampengertian ini tingkat pertumbuhan pendudukdirumuskan sebagai “sebab yang mendukung”. Banyaksebab-sebab pendukung bersifat administratif. Tanpapenegakan hukum di kalangan pejabat pemerintah,sarana umum yang tidak memadai, dan lain sebagainya,dapat membuat permasalahan lebih buruk.

Adalah tindakan yang baik untuk mengenaliinstansi-instansi mana yang bertanggung jawab untuk“menangani” kegiatan-kegiatan yang menimbulkan isudan menentukan mutu keefektifan manajemen yangada. Sementara banyak pengamat dapat menganggapmanajemen yang ada sebagai tidak mampu, adalahpenting untuk secara bebas mengecek mengapa instansiyang bersangkutan tidak berkemampuan.

Sementara masyarakat dapat mengangggapdepartemen yang mengurus sektor perikanan sebagaibermutu rendah dalam ketidakmampuan atauketidakinginan mereka untuk menghentikanpengeboman ikan, dari sudut pandang instansi yangbersangkutan. Adalah mungkin kelangkaan kapaldan tenaga penegak hukum atau peraturan-peraturanyang tidak berdaya merupakan sebab-sebab “yangnyata”. Sampai ke batas bahwa tim perencanaanCRMP dapat mengenali masalah-masalah manajemenyang spesifik, maka strategi-strategi dapat disesuaikanuntuk memecahkan masalah-masalah ini.

LOKASIAdalah tindakan yang baik untuk mengetahui di

mana isu-isu (ancaman-ancaman) tersebut muncul.Sebuah peta sederhana yang disertakan dalamdokumen, sebagai alamat isu, akan dapat membantu.

DAMPAKSebuah isu atau ancaman menimbulkan dampak-

dampak. Dampak-dampak jenis pertama seringkaliberupa dampak lingkungan. Misalnya, pengendapanyang meningkat dapat merusak terumbu karang.Kemusnahan dan kerusakan karang mengurangikeragaman biota. Dampak-dampak kedua acapkalibersifat ekonomi dan sosial. Berkurangnya keragamanbiota mengurangi ketersediaan ikan bagi kaum nelayan,sedang penghasilan mereka berasal dari penangkapanikan. Hal itu juga dapat menekan minat turis denganakibat kerugian bagi mereka yang kehidupannyatergantung pada pariwisata. Sampai batas itu adalahmungkin untuk mengetahui dampak karenaberkurangnya keragaman biota, hilangnya pendapatanatau kerugian bersifat ekonomi bagi bidang usaha,perlunya campur tangan (dalam hal ini dalam bentukstrategi-strategi untuk mengurangi erosi) dilakukansehingga jauh lebih dramatis.

KEBIJAKANDalam konteks rencana strategis ini, suatu

kebijakan adalah suatu pernyataan yangmenunjukkan program apa yang diharapkan dapattercapai dan strategi-strategi adalah yangmenunjukkan bagaimana Anda bertindak untukmencapainya. (Cara lain untuk menyatakannyaadalah kebijakan-kebijakan yang menunjukkan kemana programnya mengarah, strategi-strategi yangmenunjukkan jalan yang harus diikuti dan

Lesson-learned Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Lampung-Indonesia : Keberhasilan & Hambatannya

Page 89: Proceeding ToT ICM

86

sumberberdaya-sumberdaya spesifik yangdibutuhkan bagi strategi-strategi yang menunjukkanjumlah “bahan bakar” yang dibutuhkan untukmendorong Anda ke tujuan-tujuan Anda). Kebijakan-kebijakan akan bersifat spesifik. Menetapkan suatuhari untuk pencapaian adalah tindakan yang baik,tetapi hari-hari tidak harus disertakan jika hal itu tidakrealistis.

STRATEGI-STRATEGIStrategi-strategi adalah komponen kunci dari

rencana strategis. Hal ini menunjukkan bagaimanakondisi-kondisi pesisir diperbaiki. Hubungan antarapilihan strategi dan penyebab-penyebab isu dapatmenjadi jelas. Secara jelas terdapat banyak carauntuk memeriksa kondisi-kondisi penyebab. Dalampelaksanaan suatu rencana strategis, saya melihatmanfaat untuk mempertimbangkan rencana-rencanasebelumnya, berbicara dengan para pakar danbertukar pikiran dengan para perencana lainnya untukmengenali jajaran strategi yang mungkin untuk setiappenyebab. Misalnya, memperbaiki mutu airkawasan pesisir dapat melibatkan jajaran strategiyang meliputi sejak dari program-programpendidikan umum yang relatif tidak masuk akalsampai kepada pembangunan instalasi penanganantempat pembuangan limbah. Tantangannya adalahuntuk mengenali kombinasi strategi-strategi yangpraktis bernilai efektif yang dapat diterapkan padawaktu pelaksanaan. Pilihan strategi-strategi final akanbersifat spesifik berkaitan dengan instansi-instansiyang bertanggung jawab dalam pelaksanaan danperkiraan biayanya. (Yang ideal, instansi-instansiyang bertanggung jawab untuk pelaksanaan telahdikonsultasikan lebih dahulu selama prosesperencanaan atau, lebih baik lagi, memiliki wakil-wakilnya di dalam tim.) Instansi-instansi jangandibuat terkejut dengan masuknya mereka ke dalamrencana tanpa sepengetahuan mereka sendiri.Melakukan demikian akan merintangi pelaksanaanrencana. (Penelitian menunjukkan bahwakemungkinan pelaksanaan yang efektif sangatmeningkat jika instansi-instansi yang diberi tanggungjawab untuk pelaksanaan agar memahamipermasalahan, bagaimana rencana dikembangkandan mengapa mereka ditugaskan mengembantanggung jawab.)

Meringkas suatu daftar panjang strategi kedalam daftar yang singkat yang akan dimasukkanke dalam rencana dapat dipandang sebagai suatutugas teknis buat disempurnakan denganmenerapkan kriteria evaluasi dengan beberapa carayang cermat. Namun, kelompok-kelompokmasyarakat dan satuan-satuan tugas instansi jugadapat berguna untuk mengevaluasi strategi-strategiyang potensial. Ada bermacam teknik pemrosesankelompok yang dapat dipakai bersama kelompok-kelompok untuk memperoleh bantuan mereka dalammengevaluasi pilihan-pilihan. (Dalam bekerja dengankelompok-kelompok masyarakat dan satuan-satuantugas instansi adalah penting untuk diperjelas apakahberbagai peran-peran mereka berada dalam proses.Apakah keberadaan mereka dalam tim perencanaanmemberi mereka otoritas untuk menciptakan pilihanstrategi-strategi yang aktual? Biasanya tidak. Lebihsering mereka memberi saran atau masukan kepadapeserta apa yang mereka minta untuk diberikan. danbagaimana masukan mereka akan digunakan).

Bagian strategi adalah kelemahan utama darikebanyakan rencana strategis. Begitu banyak rencanaberisi “daftar panjang keinginan” dari strategi yangmungkin, semuanya masuk akal, tetapi sedikit yangdievaluasi dengan hati-hati berkenaan dengan biayanya,penerimaan instansi, kapasitas instansi atau penerimaansecara politis. Memilih strategi yang baik adalah keahliandan seni. Di atas segala-galanya diperlukan perhatianyang cermat untuk “lingkungan penerapan” yang akanmenentukan apakah rencana tersebut akan berdampakpositif atau hanya kembali menjadi sebuah laporan yangmemenuhi rak.

PATOK DUGAPatok duga terlihat ketika perencanaan-

perencanaan kunci dan tugas-tugas pelaksanaanterjadi. Patok duga (kadang-kadang disebut “hasilantara”) kadangkala dapat dispesifikasikansetepatnya, tetapi lebih sering hal itu diperkirakan.Salah satu nilai utama patok duga bukan mematokorang pada sebuah jadwal (yang berpotensiberubah-ubah), tetapi untuk mengungkapkan secarajelas langkah-langkah dan urutan-urutan sebuahperencanaan dan proses pelaksanaannya.

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 90: Proceeding ToT ICM

87

UNSUR KHAS SEBUAH RENCANASTRATEGIS PENGELOLAAN PESISIR

ISUKerusakan dan kepunahan habitat karang.

PENYEBABPengeboman ikan dan jenis-jenis penangkapan

ikan yang lain; kerusakan karang karena penggundulanhutan, kegiatan-kegiatan reklamasi lahan dan kegiatan-kegiatan penyiapan lahan di wilayah dekat pantai;kehancuran karena lego jangkar oleh kapal-kapal..SEBAB-SEBAB PENDUKUNG

Tidak adanya penegakan hukum terhadappenangkapan ikan secara tidak sah dan tidak adanyapenegakan peraturan yang memadai di bidangreklamasi.

LOKASIDi sini diperlihatkan di Lampung, dan di

tempat-tempat lain berlangsung kemusnahan karang.

DAMPAK-DAMPAKPenurunan volume tangkapan ikan dan lenyapnya

penghasilan kaum nelayan; merosotnya peluang hiduppara penyelenggara kapal-kapal wisata dan parapemandu wisata.

KEBIJAKANContoh 1: “Pelestarian terumbu karang.”Contoh 2: “Perusakan dan pemusnahan lahan

dan pemakaian air yang merusak atau memusnahkanterumbu karang.”

STRATEGI-STRATEGIStrategi 1: Mendirikan suatu satuan tugas

untuk melahirkan program terumbu karang.Dalam satuan tugas itu termasuk wakil-wakil dariinstansi kelautan dan pelestarian yang utama, instansi-instansi perencanaan, wakil-wakil kelompokpengguna/penggarap dan mungkin LSM-LSMpelestarian pesisir (sebuah rencana strategistermasuk memberi lebih banyak informasi tentangkeanggotaan, batas waktu, dan sebagainya.)

Instansi yang bertanggung jawab: (Siapa yangyang menghimpun sebuah satuan tugas seperti itu diLampung?)

Sumber-sumber daya : Wakil-wakil dari dari(seberapa banyak ?)

Instansi, staf dari CRMP (?) ; 42,2 juta ru-piah.

Strategi 2: Penegakan peraturan-peraturanyang berlak terhadap penangkapan ikan secaratidak sah.

Instansi yang bertanggung jawab: ?Sumber-sumber daya: 4 staf tambahan, 2

perahu motor.

Strategi 3: Mengembangkan suatupendidikan lingkungan dan kesadaran yangmenyeluruh untuk mengembangkan kesadaranmasyarakat tentang penting dan pekanya terumbukarang, mangrove dan habitat-habitat pesisirlainnya.

Instansi yang bertanggung jawab :BAPEDALDA?

Sumber-sumber daya : Pakar pendidikanmasalah pesisir.

HASIL AKHIR Kurang dari 2% kerusakan atau kemusnahan

karang pada akhir 2001 (tingkat kerusakannya akanlebih sedikit dari tingkat kehancuran/kepunahan yangsedang berlangsung).

SUATU CONTOH DARI RENSTRAPESISIR LAMPUNG (Pemda PropinsiLampung, 2000)

Isu D. Degradasi Habitat Wilayah Pesisir(Mangrove, Padang Lamun, dan PantaiBerpasir)

Habitat penting di sepanjang pesisir Lampungmeliputi mangrove, terumbu karang, padang lamun,pantai berpasir dan hutan pantai. Pantai Barat hampirseluruhnya didominasi oleh pantai berpasir, hutanpantai tipe Barringtonia, dengan sisipan tanamanperkebunan rakyat, dan dataran rendah berhutanMeranti (Dipterocarpaceae) sebagai kelanjutan dariTaman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).(Gambar 1)

D.1 MangroveSaat ini, vegetasi mangrove di Pantai Timur

Lampung telah mengalami penurunan luasan. Lebarluasan mangrove yang tersisa bervariasi dari 0 hingga100. Hamparan vegetasi mangrove di kawasan ini

Lesson-learned Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Lampung-Indonesia : Keberhasilan & Hambatannya

Page 91: Proceeding ToT ICM

88

membujur dari daerah Way Sekampung bagian Selatanhingga ke Utara sampai ke perbatasan Taman NasionalWay Kambas (TNWK). Konversi lahan untukbudidaya dan permukiman secara besar-besaran telahmenyebabkan luas vegetasi mangrove di Pantai Timurtersisa hanya 1.700 ha (CRMP, 1999a, b).

Penyebab utama hilangnya mangrove adalah :•• Pembabatan dan pengulitan pohon mangrove untuk

kayu/pengawet.•• Konversi lahan mangrove untuk tambak udang (sekitar

65.000 Ha).•• Pengelolaan pertambakan tidak berwawasan lingkungan•• Penggunaan tanah timbul menjadi tambak•• Pencemaran pantai (limbah industri dan minyak)•• Urbanisasi di Teluk Lampung

Akibat yang ditimbulkan adalah:•• Penurunan luasan vegetasi mangrove•• Penurunan kualitas air•• Penurunan hasil tangkapan, terutama kepiting,

kerang, dan udang•• Penurunan pendapatan pengguna mangrove•• Erosi pantai meluas karena penurunan fungsi alami

perlindungan pantai

SASARAN D.1-1 : Peningkatan pemahamandan partisipasi masyarakat dalam pengelolaanmangrove

Indikator D.1-1•• Meningkatnya pengelolaan mangrove berbasis

masyarakat yang berwawasan lingkungan danberkelanjutan

•• Terbentuknya kelompok masyarakat pengelolamangrove

•• Meningkatnya budidaya tambak berwawasanlingkungan dan berkelanjutan

•• Meningkatnya nilai tambah ekosistem mangrove

Strategi D.1-1•• Mengembangkan program pelestarian mangrove

berbasis masyarakat•• Meningkatkan kerjasama dalam penanggulangan

erosi pantai•• Mengembangkan program pengelolaan tambak

rakyat berwawasan lingkungan•• Membentuk kelompok masyarakat dan

meningkatkan perannya dalam pengelolaan man-grove

SASARAN D.1-2 Rehabilitasi mangrove

Indikator D.1-2•• Menurunnya areal mangrove yang rusak•• Meningkatnya luas tanaman mangrove yang

ditanam dan dijaga masyarakat•• Meningkatnya hasil tangkapan nelayan baik jenis

maupun jumlahnya

Strategi D.1-2•• Mengembangkan program dan melaksanakan

rehabilitasi mangrove bersama masyarakat•• Membangun sistem monitoring dan evaluasi

terhadap kegiatan rehabilitasi mangrove•• Mengembangkan program penelitian untuk

mendukung inisiatif pengelolaan mangrove•• Membuat atau mengadopsi panduan praktis

pengelolaan mangrove dan mengadakanbimbingan kepada masyarakat

SASARAN D.1-3 :Pemanfaatan tanah timbuluntuk jalur hijau

Indikator D.1-3•• Tidak ada lagi penguasaan dan pengusahaan tanah

timbul oleh masyarakat•• Meningkatnya luas tanaman mangrove di tanah

timbul yang tumbuh secara alami dan dijagamasyarakat

Strategi D.1-3•• Penegasan terhadap status penggunaan dan

penguasaan tanah timbul•• Meningkatkan peran masyarakat dalam menjaga

keberadaan tanah timbul

B. Pantai Berpasir

SASARAN D.3.B-1 : Pengelolaan pantaiberpasir sesuai manfaat ekologi danekonomi

Indikator D.3.B-1•• Adanya upaya perlindungan pantai terhadap erosi

secara terpadu•• Adanya lokasi-lokasi perlindungan untuk

peneluran penyu yang disepakati bersama

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 92: Proceeding ToT ICM

89

Strategi D.3.B-1•• Mengembangkan program penanggulangan erosi

pantai secara terpadu•• Sosialisasi dan standarisasi konstruksi bangunan

pengaman pantai•• Mengendalikan dan mengatur penambangan batu

hitam dan pasir besi•• Mengadakan inventarisasi dan pemetaan lokasi-

lokasi peneluran penyu

Isu B. Rendahnya penaatan dan penegakanhukum (dan rendahnya kualitas SDM Isu A)

Rendahnya penaatan dan penegakan hukumtidak terlepas dari rendahnya kualitas sumberdayamanusia baik di kalangan masyarakat maupun aparatpenegak hukum yang berada di wilayah pesisir.Lemahnya penaatan dan penegakan hukum ini antaralain tercermin dari sikap dan pengetahuanmasyarakat tentang hukum yang masih rendah,khususnya yang berhubungan dengan UU No. 5/90tentang konservasi sumberdaya alam hayati danekosistemnya, serta UU No.23/97 tentangpengelolaan lingkungan hidup.

Beberapa masalah yang sering muncul antaralain banyaknya nelayan yang menangkap ikandengan cara-cara merusak seperti pengeboman ataudengan potas (racun sianida), belum dipatuhinyabatas/jalur penangkapan yang telah dibuat, danbanyaknya penebangan hutan mangrove di daerahsempadan pantai.

Dari sudut penegakan hukum masalahpengeboman merupakan masalah yang kompleks,baik ditinjau dari peraturan perundang-undanganyang ada maupun sarana dan prasarana yang dimilikipenegak hukum yang sangat terbatas, sehinggapelaksanaan patroli pengawasan tidak dapatberjalan seperti yang diharapkan.

Penyebab utama rendahnya penaatan danpenegakan hukum adalah:•• Rendahnya kualitas sumberdaya manusia terutama

yang berhubungan dengan pengetahuan nelayantentang hukum.

•• Terlalu diutamakannya kepentingan sektoral•• Tidak transparannya proses pembuatan produk

hukum•• Terbatasnya sarana dan prasarana petugas

penegak hukum•• Masih lemahnya pelaksanaan sosialisasi produk

hukum

Akibat yang ditimbulkan adalah:•• Terjadinya konflik kewenangan antar instansi•• Menurunnya keamanan laut•• Meningkatnya pengeboman dan penggunaan

jaring trawl•• Terjadinya konflik kepentingan antar pengguna

SDA wilayah pesisir,•• Berkurangnya hutan mangrove karena ulah

manusia•• Reklamasi pantai yang tidak berwawasan

lingkungan, dan tidak dilengkapi studi AMDALyang baik

•• Pelanggaran proses perizinan oleh petambak besar(perusahaan)

•• Pencemaran air laut

SASARAN A-3 : Peningkatan partisipasiaktif masyarakat dalam pengelolaan wilayahpesisir terpadu

Indikator A-3•• Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan wilayah pesisir mulai prosesperencanaan sampai pengawasan dan evaluasi

•• Meningkatnya masyarakat yang peduli dantanggungjawab terhadap sumberdaya wilayahpesisir

•• Meningkatnya perhatian stakeholders dalampengelolaan pesisir

Strategi A-3•• Mengembangkan partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan wilayah pesisir•• Pemberdayaan Lembaga Swadaya Masyarakat

/Perguruan Tinggi/Sekolah/Lembaga Pemerintahuntuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalampengelolaan wilayah pesisir

•• Mengimplementasikan rencana pengelolaanwilayah pesisir terpadu

SASARAN B-1 : Peningkatan kemampuanaparat penegak hukum

Indikator B-1•• Meningkatnya frekuensi penyuluhan hukum

lingkungan untuk aparat penegak hukum danaparat pemerintahan

Lesson-learned Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Lampung-Indonesia : Keberhasilan & Hambatannya

Page 93: Proceeding ToT ICM

90

•• Meningkatnya kemampuan dan keterampilanaparat penegak hukum

•• Meningkatnya jumlah personil, sarana, danprasarana penegak hukum

•• Terciptanya kesamaan persepsi dalam penegakanhukum pada tingkat aparat

•• Berkurangnya pengrusakan sumberdaya alamwilayah pesisir

Strategi B-1•• Mengadakan pelatihan-pelatihan hukum

lingkungan untuk aparat penegak hukum danaparatur pemerintah (pejabat)

•• Penambahan jumlah personil, sarana, danprasarana penegak hukum

•• Mengadakan pelatihan dan simulasi prosesperadilan yang sederhana

SASARAN B-2 : Peningkatan keterlibatanmasyarakat dalam proses pembuatan produkhukum, penaatan, dan penegakan hukum

Indikator B-2•• Menurunnya jumlah kasus perusakan lingkungan

dan pelanggaran hukum•• Meningkatnya frekuensi penyuluhan hukum•• Terangkatnya kasus pelanggaran hukum sampai

ke pengadilan•• Meningkatnya keamanan di laut•• Meningkatnya hasil tangkapan nelayan dan hasil

pertanian/perikanan di wilayah pesisir•• Berkurangnya konflik pemanfaatan sumberdaya

pesisir antar stakeholders•• Meningkatnya keterlibatan masyarakat dalam

proses pembuatan produk hukum

Strategi B-2•• Mengintensifkan sosialisasi draft dan produk

hukum•• Meningkatkan pengadaan sarana dan prasarana

pengawasan•• Meningkatkan frekuensi operasi pengawasan di

laut•• Menentukan jalur-jalur penangkapan ikan dan

penggunaan lainnya dengan rambu dan pemetaanyang disepakati bersama

•• Mengatur kembali konsesi pemanfaatan wilayahpesisir sehingga dapat mengakomodasikepentingan semua pengguna

•• Membentuk balai penyuluhan pesisir dan kelautan•• Melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan

produk hukum

SASARAN B-3 : Peningkatan keterpaduan dankoordinasi wewenang antar instansi

Indikator B-3•• Semakin jelasnya peran, fungsi, dan kewenangan

masing-masing instansi terkait•• Meningkatnya kerjasama antar instansi terkait•• Semakin sederhananya prosedur penindakan

terhadap pelanggaran hukum•• Berkurangnya konflik kewenangan di antara instansi

terkait•• Semakin terbukanya akses masyarakat ke pantai•• Semakin membaiknya kondisi lingkungan wilayah

pesisirStrategi B-3•• Mengadakan pengkajian kelembagaan•• Membuat kesepakatan bersama tentang

kewenangan pengelolaan wilayah pesisir•• Mengembangkan operasi pengamanan laut secara

terpadu

Isu E. Pencemaran Wilayah PesisirWilayah pesisir merupakan tempat

terakumulasinya segala macam limbah yang dibawamelalui aliran air, baik limbah cair maupun padat.Sampah sering ditemukan berserakan di sepanjangpantai dan semakin banyak di dekat permukiman,khususnya permukiman yang membelakangi pantai.Permukiman seperti itu dikategorikan sebagaipermukiman kumuh yang fasilitas sanitasi dankebersihan lingkungannya sangat buruk.

Dengan berkembangnya industri pengolahan hasilpertanian dan perkebunan sepanjang DAS di PesisirTimur Lampung , kasus pencemaran aliran sungai(Tulang Bawang dan Seputih) semakin meningkat danmempengaruhi sumberdaya perairan laut sekitarnya.Sebagian besar masyarakat petani tambak udangmenduga bahwa kegagalan usaha mereka tidak terlepasdari dampak limbah industri di sepanjang daerah aliransungai.

Penyebab utama pencemaran wilayah pesisiradalah :•• Masih rendahnya kepedulian industri sepanjang DAS

dan pesisir terhadap sistem pengolahan limbah cairyang masuk ke perairan umum.

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 94: Proceeding ToT ICM

91

•• Kurang ketatnya pengawasan limbah oleh instansiterkait

•• Belum jelasnya penerapan sanksi terhadap industriyang melanggar isi dokumen Amdal dan peraturanperundangan yang berlaku (PP 27/99 tentang Amdaldan UU 23/97 tentang Pengelolaan LingkunganHidup).

•• Rendahnya kepedulian masyarakat pesisir terhadappengelolaan sampah dan kebersihan lingkungansekitarnya serta pola bangunan yang membelakangipantai.

•• Sampah dari kegiatan pariwisata massal•• Penangkapan ikan dengan potas (racun sianida)•• Buangan minyak kotor dari kapal ikan, nelayan, dan

sebagainya.Akibat yang ditimbulkan adalah :

•• Menurunnya daya dukung lingkungan dan kualitasperairan pesisir

•• Kotornya kawasan pantai oleh sampah danmenimbulkan bau yang tidak menyenangkan untukdaerah kunjungan wisata.

•• Menurunnya kualitas sumber air tanah danmeningkatnya wabah penyakit menular terhadapkehidupan masyarakat di pesisir.

•• Semakin menurunnya tingkat keberhasilanbudidaya perikanan (tambak dan mariculture)dan kegiatan ekonomi lainnya (pariwisata).

SASARAN E-1 : Melindungi penduduk didesa-desa pesisir terhadap gangguankesehatan sebagai akibat kontaminasisumber air tanah

Indikator E-1•• Terbebasnya sumber air tanah yang digunakan

penduduk dari asam sulfida, amonia, dan baktericoliform sesuai baku mutu nasional untuk air minum

Strategi E-1•• Mengembangkan bimbingan masyarakat atau

kampanye tentang resiko kesehatan karenapencemaran air tanah

•• Perbaikan sistem drainase dan sanitasi lingkungandi areal pemukiman

SASARAN E-2 : Terciptanya kawasan pantaiyang bebas dari limbah padat (sampah) baikorganik maupun non-organik

Indikator E-2•• Semakin bersihnya kawasan pantai dari limbah

padat•• Terbebasnya kawasan pemukiman pantai dari

genangan banjir•• Semakin baiknya mekanisme penanganan sampah

di kawasan pantai

Strategi E-2•• Mengadakan program kampanye-kampanye

penanganan sampah•• Mengembangkan program penanganan sampah

untuk desa-desa pantai•• Meningkatkan pengelolaan sampah di areal

permukiman pesisir

SASARAN E-3 : Peningkatan kualitasperairan pesisir sesuai dengan baku mutunasionalIndikator E-3•• Terpenuhinya standar baku mutu air laut sesuai

peruntukannya

Strategi E-3•• Penguatan kelembagaan•• Mengefektifkan operasionalisasi pemantauan dan

pengawasan terhadap sumber-sumberpencemaran di daerah hulu ke hilir (early warn-ing system)

•• Mengembangkan penelitian pencemaran air laut•• Menyusun standar emisi buangan ke laut

SASARAN E-4 : Peningkatan kepedulianstakeholders terhadap kualitas lingkunganwilayah pesisir yang sehat

Indikator E-4•• Meningkatnya tuntutan dan kepedulian

masyarakat akan kualitas lingkungan sekitar yangbaik

•• Menurunnya wabah penyakit akibat lingkunganyang tidak sehat

Lesson-learned Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Lampung-Indonesia : Keberhasilan & Hambatannya

Page 95: Proceeding ToT ICM

92

Strategi E-4•• Mengembangkan program penyuluhan sanitasi

lingkungan kepada masyarakat di desa pantai

Isu J. Ancaman Intrusi Air LautIntrusi air laut ke arah persawahan, khususnya

di daerah Rawa Sragi, akibat konversi sawah ketambak udang secara besar-besaran yang telahmencapai sekitar 4000 Ha. Perlu upaya penangananyang serius tentang permasalahan alih fungsi lahan,karena keberlanjutan usaha tambak udang di daerahRawa Sragi tidak dapat dijamin masa depannyaapabila tidak ada upaya pengelolaan yang baik,sedang bekas tambak sangat sulit untukdikembalikan lagi menjadi sawah.

Penyebab utama intrusi air laut adalah :•• Penebangan mangrove untuk permukiman dan

pertambakan di Pantai Timur•• Masuknya air laut ke sawah•• Eksploitasi air tanah berlebihan

Sebagai konsekuensinya adalah :•• Degradasi kualitas air tanah•• Korosi konstruksi bangunan pipa logam di bawah

tanah

SASARAN J-1 : Pengendalian intrusi air laut

Indikator J-1•• Tidak adanya kontaminasi air laut terhadap air

tanah dan air permukaan

Strategi J-1•• Pengawasan pengambilan air tanah•• Mengadakan pengkajian tentang alih fungsi lahan•• Merancang ulang sistem kanal untuk mengatur

keperluan sawah dan tambak

Isu C. Belum ada penataan ruang wilayahpesisir

Penyusunan rencana tata ruang yang telahdilakukan selama ini belum mengintegrasikan wilayahpesisir, baik dalam RTRW Propinsi maupun RTRWKabupaten. Dalam kenyataannya, pelaksanaanpemanfaatan ruang di wilayah pesisir telah banyakterjadi pelanggaran, misalnya pendirian bangunandan atau pengusahaan tambak di sempadan pantaiyang menyebabkan rusaknya hutan mangrove di jalurhijau (green belt).

Belum adanya penyusunan rencana tata ruang

wilayah pesisir berkaitan erat dengan belum adanyaperaturan yang mendukung secara tegas upayapenataan ruang wilayah pesisir tersebut. Hal initernyata merupakan salah satu pemicu terjadinyakonflik kepentingan yang berkepanjangan. Konflikkepentingan terjadi antara sektor kehutanan denganperikanan yang berhubungan dengan pemanfaatanjalur hijau untuk tambak, perikanan dengan pertanianyang berhubungan dengan alih fungsi lahan sawahmenjadi tambak, keduanya banyak terjadi di PantaiTimur. Sebagai contoh, konflik kepentingan antaranelayan dengan nelayan, nelayan dengan sektorperhubungan.

Penataan ruang merupakan salah satu usahauntuk menekan terjadinya konflik kepentinganpemanfaatan ruang, termasuk pemanfaatan ruang diwilayah pesisir. Pada saat ini aktivitas dan jumlahorang yang ingin memanfaatkan sumberdaya wilayahpesisir semakin hari semakin meningkat, sedangkansumberdaya wilayah pesisir tetap atau cenderungberkurang. Di sisi lain pemanfaatan sumberdayawilayah pesisir yang ada saat ini kurang ramahlingkungan dan tidak berkelanjutan. Kondisi iniakhirnya akan menurunkan daya dukung sumberdayawilayah pesisir.

Penyebab utama belum adanya penataan ruangwilayah pesisir adalah :•• Belum adanya peraturan yang tegas tentang

penataan ruang wilayah pesisir, baik pedomanpelaksanaannya maupun peraturan penunjanglainnya

Akibat yang ditimbulkan adalah :•• Konflik kewenangan dalam pemanfaatan

sumberdaya wilayah pesisir semakin tajam, kegiatanyang tumpang tindih

•• Pelanggaran hukum oleh pengguna sumberdayasemakin luas, misalnya dalam perusakan hutan man-grove di jalur hijau (green belt), rusaknya terumbukarang (coral reef) karena penangkapan ikan dengancara pengeboman (blast fishing) dan ataumenggunakan bahan kimia beracun (potasiumsianida)

•• Pemanfaatan wilayah pesisir tidak sesuai denganfungsi dan peruntukkannya, seperti hilangnya estetikapantai, pola pembangunan yang membelakangipantai, adanya pembangunan di sempadan pantai,hilangnya akses masyarakat ke pantai, sehinggakawasan pantai menjadi eksklusif

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 96: Proceeding ToT ICM

93

SASARAN C-1 : Penyusunan rencana tataruang wilayah pesisir

Indikator C-1•• Tersusunnya rencana tata ruang kawasan pesisir

berbasis masyarakat dan ramah lingkungan

Strategi C-1•• Melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan

rencana tata ruang wilayah pesisir•• Sosialisasi rencana tata ruang wilayah pesisir

SASARAN C-2 : Mengintegrasikan rencanatata ruang wilayah pesisir dalam RTRWK danRTRWP

Indikator C-2•• Tersusunnya rencana tata ruang wilayah kabupaten

dan propinsi yang mencakup wilayah pesisir

Strategi C-2•• Revisi RTRWK dan RTRWP dengan mensyaratkan

RTRW pesisir menjadi bagiannya•• Memberdayakan tim penataan ruang secara opti-

mal dengan mengikutsertakan institusi non-pemerintah

REKOMENDASIUpaya penanggulangan kerusakan wilayah

pesisir memerlukan suatu upaya pengelolaan secaraterpadu (Integrated Coastal Management), yangmemuat keterpaduan Sistem (ruang-waktu), Fungsi(harmonisasi antar lembaga), dan Kebijakan(konsistensi program pusat-daerah). ICM dapatmengambil beberapa bentuk yang tergantung dengankonteksnya, tetapi secara prinsip difokuskan padapeningkatan pemanfaatan sumberdaya pesisir secaraberkelanjutan melalui proses-proses interaktif dalampengembangan peraturan/produk hukum dankebijakan, koordinasi lintas sektoral dan pendidikan(Olsen et al. 1998, Cicin-Sain and Knecht 1998,Kay and Alder 1999).

Program ICM adalah suatu program multisektor dan lintas kewenangan yang hanya dibatasidengan batas-bats ekologi. ICM adalah suatu upayayang dapat ditawarkan untuk menjalin komitmen

kelembagaan yang memfokuskan pada upaya-upayayang bermanfaat dalam konservasi biodiversitas,pengembangan matapencaharian, dan peningkatankesehatan masyarakat dan lingkungannya.

Prinsip-prinsip pengelolaan wilayah pesisir yangsangat terkait dengan ICM adalah :•• Menciptakan visi untuk mengarahkan strategi perencanaan untuk menghindari keputusan sepihak/sektoral• • Mengacu kepada prinsip keterpaduan•• Mempromosikan transparansi dalam perencanaan dan pembuatan keputusan•• Menghargai proses suatu produk hukum/peraturan/

perundang-undangan•• Tidak tergantung pada pemerintah saja•• Menggunakan “good science” dan informasi yang

akurat dalam perencanaan•• Menjaga kualitas lingkungan pesisir•• Melakukan monitoring dan memberikan masukan

(feed back) dan belajar untuk efektifitas program/proyek

•• Mengadakan pelatihan untuk peningkatan SDM

DAFTAR PUSTAKACicin-Sain, B & R.W. Knecht 1998. Integrated coastal and

ocean management: Concept and practice. IslandPress.

Goodstein, L.D, T.N.Nolan and J.W.Pfeiffer. 1992. AppliedStrategic Planning :A Comprehensive Guide. Pfeiffer& Company, San Diego, California.

LAN dan BPKP. 2000. Perencanaan Strategik InstansiPemerintah. Modul Sosialisasi Sistem AkuntabilitasKinerja Instansi Pemerintah.

Lowry, K. 1999. Notes on strategic planning framework forLampung. 3 p

Pemerintah Propinsi Lampung. 2000. Rencana StrategisPengelolaan Wilayah Pesisir. Kerjasama PKSPL-IPB/CRC Univ.Rhode Island.

Sondita, F.A. 2000. Metode Identifikasi Isu PengelolaanPesisir dalam Bengen, D.G. Prosiding Pelatihan untukPelatih, Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu.

Wiryawan, B, B.Marsden, H.A.Susanto, A.K.Maki,M.Ahmad, H.Poespitasari. 1999 (eds). AtlasSumberdaya Wilayah Pesisir Lampung. Pusat KajianSumberdaya Pesisir dan Lautan IPB dan Coastal Re-sources Center, University of Rhode Island. BandarLampung

Lesson-learned Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Lampung-Indonesia : Keberhasilan & Hambatannya

Page 97: Proceeding ToT ICM

94

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

PENDAHULUANDimanapun di dunia baik dalam suatu negar,

propinsi maupun kabupaten yang jika memilikikandungan pulau-pulau kecil yang banyak makakonsekuensi logisnya adalah panjangnya garis pantainegara/propinsi/ kabupaten tersebut. Sebagai akibatdari kondisi sedemikian maka selalu terdapatketidakseimbangan nisbah luas laut dan daratnya.Sebagai contoh, Indonesia sebagai negara kepulauan(archipelagic state), panjang garis pantainya81.000km (terpanjang kedua di dunia sesudah Kanada)sehingga luas lautannya sebesar 75 % dari luasdaratannya atau sekitar 6 juta km2. Hal yang samasudah pasti pula terjadi di provinsi seperti Maluku,NTT, NTB, Kepulauan Riau dan sebagainya. DiKab. Sumenep dengan jumlah pulau 76 buah makajika dihitung garis pantainya serta nisbah laut dandarat maka kondisi seperti diatas juga akan terjadi.Kondisi obyektif sedemikian ini seharusnya menjadijustifikasi munculnya sektor kelautan dan perikanansebagai leading sector pada baik suatu negara/propinsi/kabupaten.

Ironisnya, di Era Orde Baru pemerintah In-donesia sama sekali tidak memiliki political willuntuk membentuk departemen khusus sebagi badantunggal pembuat kebijakan yang mengatur masalahkelautan dan perikanan. Sejalan dengan itu, kegiataneksploitasi sumberdaya hayati laut berjalan sangatintensif tanpa adanya ukuran manajemen yang efektif.Political will tersebut baru muncul pada KabinetPersatuan Nasional yang dipimpin olehAbdurrachman Wahid sebagai presiden. Walaupundemikian, munculnya Departemen Kelautan danPerikanan (DKP) bertepatan dengan seriusnyakerusakan fisik habitat di laut serta adanya kelebihantangkap di hampir semua stok perikanan di Indone-sia.

Pengembangan pulau-pulau kecilmerupakan arah kebijakan baru bertepatan denganlahirnya DKP dimana terdapat sebuah direktorat

PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL

DR. ALEX S.W. RETRAUBUNDirektorat Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil,

Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau KecilDepartemen Kelautan dan Perikanan-RI

yang mengurusi masalah pembangunan pulau-pulaukecil. Hal ini berindikasi tidak dipahami arti danperan penting dari ribuan pulau-pulau kecil yang ada.Indonesia memiliki 17.508 pulau, sebagian besardari pulau-pulau tersebut merupakan pulau-pulaukecil dengan kekayaan Sumberdaya Alam (SDA)dan Jasa Lingkungan (Jasling) yang sangat potensialuntuk pembangunan ekonomi. Dari jumlah tersebutbaru 5700 pulau yang memiliki nama (data:Departemen Transmigrasi dan PPH, 1995).

Kawasan pulau-pulau kecil ini memilikipotensi pembangunan yang cukup besar karenadidukung oleh adanya ekosistem denganproduktivitas hayati tinggi seperti terumbu karang,padang lamun (sea grass), rumput laut (sea weeds)dan hutan bakau (mangrove). Sumber daya hayatilaut pada kawasan ini memiliki potensi keragamandan nilai ekonomis yang tinggi seperti kerapu, na-poleon, ikan hias, kuda laut, kerang mutiara, kimaraksasa (Tridacna gigas) dan teripang. Selain itu,pulau-pulau kecil ini juga memberikan jasa-jasalingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya dansekaligus sebagai kawasan berlangsungnya kegiatankepariwisataan.

Disisi lain, fakta menunjukkan bahwa perairanpulau-pulau kecil yang memiliki potensi perikanancukup tinggi cenderung menjadi tempatpenangkapan ikan yang dilakukan baik oleh nelayanasing maupun nelayan lokal dengan cara tidak ramahlingkungan, seperti pemboman, pembiusan,penggunaan racun, dan sebagainya. Selain itu,terdapat fakta bahwa pulau-pulau kecil yang terpencilsering dijadikan sebagai tempat penyelundupan,pembuangan limbah dan/atau penambangan pasirsecara liar.

KAITAN PULAU-PULAU KECILDAN PESISIR

Batas ke arah darat dari sisi administrasi adalahbatas terluar sebelah hulu dari desa pantai atau jarak

Page 98: Proceeding ToT ICM

95

definitif secara arbiter misalnya 2 km, 20 km danseterusnya dari garis pantai. Sedangkan dari sisisecara fisik, ekologis, sosial budaya dan ekonomiyang meliputi:1. Secara ekologis•• Habitat/ekosistem pulau-pulau kecil cenderung

memiliki spesies endemik yang tinggi dibandingproporsi ukuran pulaunya.

•• Memiliki resiko lingkungan yang tinggi, misalnyaakibat pencemaran dan kerusakan akibat aktivitastransportasi laut dan aktivitas penangkapan ikan,akibat bencana alam seperti gempa, tsunami.

•• Keterbatasan daya dukung lingkungan pulau(ketersediaan air tawar dan tanaman pangan)

•• Melimpahnya biodiversitas laut.2. Secara Fisik•• Terpisah dari pulau besar•• Bisa dalam bentuk gugusan atau sendiri•• Tidak mampu mempengaruhi hidroklimat laut•• Luas pulau tidak lebih dari 10.000 kilometer

persegi•• Sangat rentan terhadap perubahan alam dan atau

manusi seperti bencana angin badai, gelombangtsunami, letusan gunung berapi, fenomenakenaikan permukaan air laut (sea level rise) danpenambangan.

3. Secara Sosial- Budaya-Ekonomi•• Ada pulau yang berpenghuni dan tidak•• Penduduk asli mempunyai budaya dan sosial

ekonomi yang khas•• Kepadatan penduduk sangat rendah (1-2 orang

per hektar)•• Ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar (pulau induk,

kontinen)•• Keterbatasan kualitas SDM•• Aksessibilitas (sarana, jarak, waktu) rendah atau

maksimal satu kali sehari. Jika aksessibilatsnyatinggi maka keunikan pulau lebih mudah terganggu.

PULAU-PULAU KECIL : KASUS KHUSUSDALAM PEMBANGUNAN

Pulau-pulau kecil merupakan kasus khususdalam pembangunan karena ciri khusus yangdimilikinya. Ciri khusus tersebut meliputi sumberdayaalamnya, ekonominya dan dalam banyak kasuskebudayaannya. Pada pulau-pulau kecil, pilihanpembangunan yang sustainable secara ekologismaupun ekonomi sangat terbatas (Hein, 1990),

penyediaan jasa umum sangat mahal, kelangkaandalam hal sumberdaya manusia yang handal lebihkhusus lagi pada pulau yang berukuran sangat kecil(luasnya kurang dari 1000 km2 dengan jumlahpenduduk 10.000 orang ) (Hein, 1990),pengembangan ekonomi hampir sulit dilakukantampa campur tangan dari luar. Kemampuan pulauuntuk mengembangkan dirinya tanpa bantuan dariluar (self-sufficiency) hampir tidak mungkin.Disamping itu, sumberdaya alam insular seperti airtawar, vegetasi, tanah, udara, ekosistem pesisir danhewan liar pada akhirnya mendikte suatu pulau untukberkembang secara sustainable. Produktivitassumberdaya dan jasa lingkungan yang tersediabergantung pada ekosistem tetangganya.

Pembangunan ekonomi pada pulau-pulau kecildibatasi oleh ukuran dan lokasi pulau itu sendiri.Ukuran tersebut juga dapat menjadi kelemahan jikaprodusen dan konsumen lokal.

Dari sisi lingkungan pulau-pulau kecilmerupakan lingkungan khusus yang berciri:•• Terbuka dari pukulan ombak dari semua sisi•• Memiliki massa daratan yang relatif lebih kecil•• Memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kekeringan karena kemampuan menahan air yang sangat minim sehingga sering kekurangan air tawar•• Daya dukung pulau sangat terbatas

Opsi pembangunan pada pulau-pulau kecilpada umumnya hanya 3 jenis yaitu 1) aktivitaspembangunan yang tidak berdampak negatif samasekali pada lingkungan misalnya dengan menentukansuatu pulau dengan perairannya sebagai kawasanwildlife sanctuary; 2) aktifitas yang hanya sedikitdampak negatifnya misalnya pengembanganekonomi subsistem untuk pemenuhan kebutuhanlokal melalui penggunaan sumberdaya lokal secaralestari; 3) aktifitas yang berakibat perubahan radikaldalam lingkungan seperti pertambangan skala besar,kegiatan militer dan pengetesan nuklir danpengembangan tourisme yang intensif.

Masing-masing opsi tersebut di atas memilikikeuntungan dan kelemahan dari sisi pertumbuhanekonomi dan sustainabilitasnya. Misalnya, padapilihan pertama sustainabilitasnya tinggi tetapi darisisi pertumbuhan ekonomi sangat rendah.Sebaliknya untuk pilihan yang ketiga. Oleh sebabitu pilihan ke dua dipercayai sebagai pilihan yangtepat karena sustainabilitas dari sisi sumberdaya alammaupun pertumbuhan ekonomi dapat dicapai.

Pengelolaan Pulau-pulau Kecil

Page 99: Proceeding ToT ICM

96

Dari uraian di atas maka pada pulau-pulaukecil, pencegahan terhadap kerusakan ekosistemmerupakan alternatif terbaik walaupun modifikasilingkungan untuk meningkatkan penyediaan barangdan jasa berharga bagi manusia tidak dapat dihindari.Dengan kata lain, manajemen lingkungan merupakansyarat pencapaian pertumbuhan ekonomi yang sus-tainable dan manajemen pertumbuhan ekonomimerupakan bagian dari manajemen lingkungan.

Manajemen lingkungan umumnya meliputipemantauan, dan modifikasi SDA sebagaimanadibutuhkan untuk menghasilkan sesuatu yang bernilaitambah. Walaupun demikian, SDM merupakankomponen penentu pemanfaatan SDA sehinggamanajemen lingkungan dapat disebut sebagaimanajemen hubungan antara manusia dan lingkungan(man-environment management).

Untuk mengembangkan pulau-pulau kecildibutuhkan studi dan perencanaan untuk mengetahuikebutuhan pembangunan. Paradigma penelitian padapulau-pulau kecil antara lain:1. Kategorisasippk untuk menunjukkan kendala dan

permasalahan lingkungan yang ada serta potensitransfer teknologi dan pengalaman

2. Penekanan pada analisa sistem (ekonomi,demografi, politik, lingkungan dan teknologi)

3. Penelitian interdisipliner dan interaktif4. Kader pakar dan lembaga pengkajian teknologi re-

gional atau pusat penelitian untuk mendukungpenelitian, perencanaan dan pembangunan.Penelitian dapat dilakukan perpulau atau per guguspulau.

KENDALA PEMBANGUNAN SPESIFIKPULAU-PULAU KECIL

Beberapa karakteristik pulau kecil yang dapatmerupakan kendala pembangunan adalah:1. Ukuran yang kecil dan isolasi sehingga penyediaan

sarana dan prasarana menjadi sangat mahal, dansumberdaya manusia yang handal menjadi langka.Luas pulau yang kecil itu sendiri bukanlah suatukelemahan, jika barang dan jasa yang diproduksidan dikonsumsi oleh penghuninya hanya terdapat didalam pulau yang dimaksud. Akan tetapi begitujumlah penduduk meningkat secara drastis, makadiperlukan barang dan jasa serta pasar yang beradajauh dari pulau tersebut.

2. Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapaiskala ekonomi (economics of scale) yang optimal

dan menguntungkan dalam hal administarsi, usahaproduksi dan transportasi turut menghambatpembangunan hampir semua pulau-pulau kecil didunia (Brookfield, 1990; Hein, 1990).

3. Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasaseperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir(coastal ecosystem) dan satwa liar, padaakhirnya akan menetukan daya dukung suatusistem pulau kecil dalam menopang kehidupanmanusia penghuni dan segenap kegiatanpembangunannya.

4. Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasalingkungan (seperti pengendalian erosi) yangterdapat di setiap unit (lokasi) di dalam pulau danyang terdapat di sekitar pulau (seperti ekosistemterumbu karang dan peraian pesisir) saling terkaitsatu sama lain secara erat (Mc Elroy et.al., 1990).Misalnya di Pulau Palawan, Philipina danbeberapa pulau di Karibia Timur, penebanganhutan di lahan darat secara tidak terkendali telahmeningkatkan laju erosi tanah dan sedimentasi diperairan pesisir, kemudian merusak/mematikanekosistem terumbu karang yang akhirnyamenghancurkan industri perikanan pantai danusaha pariwisata bahari (Hodgson dan Dixon,1988; Lugo, 1990). Oleh karena itu, keberhasilanusaha pertanian, perkebunan atau kehutanan dilahan darat suatu pulau, jika tidak dikelola menurutprinsip-prinsip ekologis, dapat merusak/mematikan industri perikanan pantai danpariwisata bahari di sekitar pulau tersebut.

5. Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangandengan kegiatan pembangunan. Contohnyapariwisata yang akhir-akhir ini dianggap sebagaidewa penolong (panacea) bagi pembangunanpulau-pulau kecil, tetapi di beberapa pulau kecilbudaya yang dibawa oleh wisatawan (asing)dianggap tidak sesuai dengan kendala atau agamasetempat (Francillon, 1990).

Segenap kendala tersebut bukan pulau-pulaukecil tidak dapat dibangun atau dikembangkan,melainkan pola pembangunannya harus mengikutikaidah-kaidah ekologis, khususnya adalah bahwatingkat pembangunan secara keseluruhan tidak bolehmelebihi daya dukung (carrying capacity) suatupulau, dampak negatif pembangunan (cross-sectoralimpacts) hendaknya ditekan seminimal mungkinsesuai dengan kemampuan ekosistem pulau tersebut.Selain itu, setiap kegiatan pembangunan (usaha

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 100: Proceeding ToT ICM

97

produksi) yang akan dikembangkan di suatu pulauseyogyanya memenuhi skala ekonomi yang optimaldan menguntungkan serta sesuai dengan budayalokal.

LATAR BELAKANG KEBIJAKANPEMERINTAH TENTANGPENGELOLAAN PULAU-PULAU KECILBERBASIS MASYARAKAT DANBERKESINAMBUNGAN

Untuk mengakomodir keragamanpermasalahan pulau-pulau kecil maka pemerintahtelah membuat pedoman umum pengelolaan pulau-pulau kecil yang pada dasarnya sesuai amanatundang-undang otonomi daerah.

Persoalan pulau-pulau kecil adalah bagian daripersoalan bangsa dan negara yang sangat penting.Kebijakan alokasi ruang dan pengelolaan pulau-pulau kecil harus dirumuskan secara hati-hati, karenaaspek pembangunan ekonomi, isu ini jugamenyangkut:1) harga diri dan moralitas Indonesia sebagai suatu

negara kepulauan2) kedaulatan dan keutuhan wilayah RI sebagai

negara kepulauan3) penegakan hak-hak masyarakat adat sebagi unsur

penting dalam struktur negara bangsa4) kelestarian sumberdaya alam antar generasi

Pendekatan arah kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dan berbasismasyarakat sebagaimana tertuang dalam PedomanUmum dikembangkan dan dirumuskan denganmelibatkan berbagai pihak yang berkepentingandengan mengkombinasikan 3 pendekatan yaitu hak,ekosistem dalam alokasi ruang wilayah pulau dangugus pulau, serta pengelolaan yang sesuai denganlatar setempat.

1. Pendekatan hakAda 3 tujuan yang ingin dicapai yakni:

1. adanya pengakuan dan perlindungan hukum atashak-hak masyarakat adat atas tanah dan wilayahperairan pulau-pulau kecil;

2. terjalinnya kerjasama usaha yang setara antaramasyarakat dengan pengusaha/investor dalampemanfaatan ekosistem pulau-pulau kecil dalamkejelasan hak dan kewajiban masing-masingpihak dalam kontrak kerjasama yang pelaksanaan

hak dan kewajibannya diawasi dan ditegakkanoleh pemerintah;

3. kepastian berusaha bagi pengusaha/investor yangsudah mendapatkan hak pakai atas tanah danwilayah perairan pulau-pulau kecil yang dikuasaioleh negara

2. Pendekatan ekosistem dalam alokasi ruang wilayah pulau dan gugus pulau

Wilayah gugus pulau dan pulau-pulau kecilsangat rentan secara ekologis. Selain itu, wilayahini memiliki keterkaitan ekologis, sosial ekonomi dansosial budaya dengan ekosistem di sekitarnya.Dengan alokasi ruang yang didasarkan pada dayadukung ekologis, jaringan sosial-budaya antaramasyarakat dan integrasi kegiatan sosial-ekonomiyang sudah berlangsung selama ini, akanmemberikan pilihan investasi yang tepat.

Tata ruang dengan pendekatan ekosistem harusmenjadi instrumen kebijakan utama untuk menjagakeamanan dan keselamatan sosial-budaya danekologis dalam pengelolaan pulau-pulau kecil.Alokasi seperti ini memberikan kesempatan bagipenataan ulang posisi dan peran startegis masyarakatloka, pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalampengelolaan pulau-pulau kecil sejalan dengan paketUU Otonomi Daerah (UU No. 22/1999 dan UUNo. 25/1999). Hal ini akan berimplikasi padakejelasan hak dan kewajiban serta wewenang pihak-pihak di atas.

3. Pendekatan pengelolaan yang sesuai dengan latar setempat

Jenis kegiatan investasi, baik yang dilakukanoleh masyarakat lokal maupun investor dalam negeridan asing, dikawasan gugus pulau-pulau kecil harusmengacu pada alokasi ruang yang telah ditetapkan.Pengelolaan pulau-pulau kecil ini pun tidak akan samauntuk seluruh Indonesia, tetapi disesuaikan denganlatar geografisnya dan karakteristik ekosistem, sertasosial budaya masyarakat setempat. Pada tahapperencanaan induk wilayah, akan dilakukan penilaiansumberdaya alam (resources valuation), yang akanmenjadi landasan pengembangan pola pengelolaansereta sistem keselamatan ekologis, sosial danbudaya.

Mengingat rentannya ekosistem pulau-pulaukecil dan gugus pulau kecil, pemerintah melakukanpembatasan kegiatan yang sudah terbukti

Pengelolaan Pulau-pulau Kecil

Page 101: Proceeding ToT ICM

98

menimbulkan dampak negatif yang luas, baik secaraekologis maupun sosial. Pemerintah hanyamengijinkan pengelolaan pulau-pulau kecil untukkonservasi, budidaya laut (mariculture), ekowisataserta usaha penangkapan ikan dan industri perikananyang lestari. Dalam usaha pemanfaatan pulau-pulaukecil ini oleh pengusaha dari luar pulau, pemerintahmenjadi fasilitator pelibatan masyarakat dalamberbagai bentuk, seperti akses berusaha bagipenduduk lokal, kemitraan usaha dan penyertaanmodal.

Pemerintah akan mengembangkan instrumenkebijakan untuk mendukung sistem keselamatanekologis, berupa, (1) pemberlakuan dana jaminanyang diserahkan oleh calon pengelola pulau-pulaukecil, seperti berupa bonds, colateral fee, dan envi-ronmental insurance; (2) pebegakan prosedur analisismengenai dampak lingkungan dan sosial darikegiatan investasi yang direncanakan secara terpadu.

PEDOMAN KEBIJAKAN PENGELOLAANPULAU-PULAU KECIL

A. Pedoman Kebijakan tentang Hak-hak Para Pihak Atas Tanah dan Wilayah Perairan Pulau-Pulau Kecil1. Negara mengakui dan melindungi hak ulayat/ hak

adat/hak asal usul atas penguasaan tanah danwilayah perairan pulau-pulau kecil olehmasyarakat hukum adat di samping hak-haklainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

a. Untuk pulau-pulau kecil dan wilayah perairannyayang dikuasai/dimiliki/ diusahakan olehmasyarakat hukum adat, maka kegiatanpengelolaannya sepenuhnya berada di tanganmasyarakat hukum adat itu sendiri, sesuai denganperaturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Setiap kerjasama pengelolaan pulau-pulau kecilantara masyarakat hukum adat dengan pihakketiga harus didasarkan pada kesepakatan yangsaling menguntungkan dengan memperhatikandaya dukung lingkungan dan kelestariansumberday

c. Setiap kerjasama pengelolaan pulau kecil antaramasyarakat hukum adat dengan pihak ketiga dariluar negeri harus mendapatkan izin dariPemerintah kabupaten/Kota denganmemperhatikan kepentingan nasional.

2. Pemerintah berwenang untuk memberikan HakPengelolaan Lahan (HPL) kepada pihak yangakan melakukan pengelolaan pulau-pulau kecildan Pemerintah Kabupaten/Kota berwenangmemberikan Hak Guna Bagunan (HGB), HakPakai (HP) diatas HPL sepanjang tidakmelanggar hak individu dan/atau hak hukum adatatas tanah.

3. Pemberian Hak Pengelolaan Lahan (HPL)dituangkan antara lain dalam bentuk perjanjiansewa menyewa, perjanjian pengelolaan danbentuk lainnya.

4. Pengaturan hak atas wilayah perairan di sekitarpulau-pulau kecil diatur lebih lanjut olehPemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. Pedoman Kebijakan tentang Pemanfaatan Ruang Pulau-pulau Kecil

Kebijakan tentang pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil harus mempertimbangkan hal-hal sebagiberikut:1. Latar geografis Dalam pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil perlu

diperhatikan latar geografis pulau dan gugus pulauyang mempunyai kedudukan strategis dalampengembangan ekonomi wilayah dan konstelasigeopolitik. Oleh karena itu, penataan ruang pulau-pulau kecil perlu mempertimbangkan faktorketerkaitan antar pulau dan gugus pulau.

2. Kerentanan wilayah terhadap bidang politik,ekonomi, sosial, budaya dan ekologi

3. Keamanan nasional4. Ketersediaan sarana dan prasarana5. Kawasan konservasi dan endemisme flora dan

fauna termasuk di dalamnya yang terancan punah6. Karakter politik, ekonomi, sosial, budaya dan kelembagaan masyarakat lokal7. Bentang alam (landscape) Bentang alam pulau merupakan perwujudan

keseimbangan alam yang terjadi dan memeilikinilai-nilai keunikan alam. Oleh karena itu,perubahan yang terjadi terhadap bentang alampulau harus berada dalam batas toleransi dankapasitas asimilatif lingkungan pulau kecil.

8. Tata guna lahan dan permintakatan (zonasi) laut Pengaturan tata guna lahan dan laut harus

mempertimbangkan konflik pemanfaatan dan

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 102: Proceeding ToT ICM

99

faktor-faktor lain seperti keunikan, kepekaan dantransformasi sumberdaya alamnya. Keterpaduanpenggunaan lahan dan laut menjadi salah satuprinsip utama yang harus dipertimbangkan.

9. Keterkaitan kegiatan ekkonomi, sosial dan budayaantar pulau. Keterkaitan fungsional antarpulaudapat memberikan sinergi terhadap pertumbuhandan perkembangan kegiatan sosial ekonomi dariwilayah gugus pulaunya.

10. Skala ekonomi dalam pengembangan kegiatan Tingkat pengelolaan suatu pulau kecil harus

sebanding dengan skala ekonominya agar dapatdiperoleh tingkat efisiensi yang optimal.

11. Pelibatan para pihak yang berkepentingan (stake holders) yang terdiri dari pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam proses perencanaan pemanfaatan ruang.

C. Pedoman Kebijakan tentang PengelolaanPulau-pulau Kecil dan Wilayah PerairanSekitarnya1. Dalam melakukan pengelolaan pulau-pulau kecil dan

wilayah perairan disekitarnya harusmempertimbangkan:

a) Keseimbangan /stabilitas lingkungan;b) Keterpaduan kegiatan antara wilayah darat dan laut

sebagai satu kesatuan ekosistem;c) Efisiensi pemanfaatan sumberdaya;d) Protokol keamanan yang didasarkan pada penilaian

harga sumberdaya sesuai dengan prinsip ekonomilingkungan;

e) Peraturan-peraturan dan konvensi internasionalterutama yang menyangkut tata batas perairaninternasional.

2. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota harus menjamin bahwa pantai dan perairanpulau-pulau kecil adalah merupakan akses yangterbuka bagi masyarakat.

3. Pengelolaan ekosistem pulau-pulau kecil perludilakukan secara menyeluruh berdasarkan satukesatuan gugusan pulau-pulau dan/atau keterkaitanpulau tersebut dengan ekosistem pulau besar.

4. Kegiatan pengelolaan pulau-pulau kecil yang berbasismasyarakat harus memperhatikan adat, norma dan/atau sosial budaya serta kepentingan masyarakatsetempat.

5. Pengelolaan pulau-pulau kecil oleh pihak ketigadengan tujuan observasi, penelitian dan kompilasidata/spesimen untuk keperluan pengembangan iptek,

wajib melibatkan lembaga/instansi terkait setempatdan/atau pakar di bidangnya. Data, informasi, hasildari penelitian tersebut dan Hak KekayaanIntelektual (HAKI) menjadi milik pihak-pihak yangterlibat.

6. Pulau-pulau yang telah ditetapkan sebagai kawasankonservasi menurut Undang-Undang Nomor 5Tahun 1990, kawasan otorita, kawasan tertentukhususnya tempat latihan militer dan pangkalanmiliter, tidak termasuk di dalam pedoman umumpengelolaan pulau-pulau kecil.

7. Gosong, atol dan pulau kecil yang menjadi titikpangkal (base point) pengukuran wilayah perairanIndonesia hanya dapat dikembangkan sebagaikawasan konservasi. Penggunaan terbatas pulaukecil tersebut hanya diperkenankan apabila telahdimanfaatkan masyarakat sebagai pemukiman.

8. Pengelolaan pulau-pulau kecil dengan luas kurangatau sama dengan 2.000 km2 hanya dapat digunakanuntuk kepentingan sebagai berikut:

- konservasi- budidaya laut (mariculture)- kepariwisataan- usaha penangkapan dan industri perikanan secara

lestari- pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga- industri teknologi tinggi non ekstraktif- pendidikan dan penelitian- industri manufaktur dan pengolahan9. Pengecualian dari butir tersebut diatas hanya untuk

kegiatan yang telah dilakukan masyarakat penghunipulau-pulau kecil sebelum Pedoman Umum inidikeluarkan, sepanjang tidak mengakibatkandegradasi lingkungan dan tidak bertentangan denganperaturan perundang-undangan yang berlaku.

10. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya pulau-pulaukecil yang menimbulkan dampak penting lingkungantidak diizinkan.

11. Kegiatan penglolaan pulau kecil untuk usaha industrimanufaktur dan industri pengolahan hanya dapatdilakukan di pulau kecil dengan luas lebih besar dari2.000 km2; dengan persyaratan pengelolaanlingkungan yang sangat ketat, menggunakanteknologi ramah lingkungan serta tidak bertentangandengan peraturan perundang-undangan yangberlaku.

12. Kegiatan pengelolaan pulau-pulau kecil yangdiarahkan untuk kegiatan kepariwisataan harusmemperhatikan kelestarian lingkungan

Pengelolaan Pulau-pulau Kecil

Page 103: Proceeding ToT ICM

100

sebagaimana tersebut dalam pasal 6 dan pasal21 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentangKepariwisataan.

13. Pengelolaan pulau-pulau kecil yang dilakukanoleh pihak ketiga harus memberdayakanmasyarakat lokal, baik dalam bentuk penyertaansaham maupun kemitraan lainnya secara aktif danmemberikan keleluasaan aksesibilitas terhadappulau-pulau kecil tersebut.

14. Setiap kerjasama dengan pihak luar negeri dalampengelolaan pulau-pulau kecil harus berdasarkankepentingan nasional.

15. Jangka waktu pengelolaan pulau-pulau kecildisesuaikan dengan tujuan pengelolaan yangpelaksanaannya diatur kemudian.

MEKANISME PENGELOLAANPULAU-PULAU KECIL

Mekanisme pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil diatur sebagai berikut:1.Pengelolaan pulau-pulau kecil sepenuhnya

dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bekerjasama dengan masyarakat dan duniausaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapatmelakukan inventarisasi dan penamaan untukpulau-pulau kecil yang belum mempunyai namadengan tetap memperhatikan penamaan pulauyang telah digunakan masyarakat dan sesuaidengan peraturan perundang-undangan yangberlaku.

3. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota menyusun startegis dan rencana pemintakan(zonasi) untuk pengelolaan pulau-pulau kecil diwilayahnya.

4. Dalam perencanaan pengelolaan pulau-pulautersebut, para pihak yang berkepentingan harusmenyusun rencana pengelolaan pulau-pulau kecildan membuat mintakat (zona) sesuai dengan tujuanpemanfaatannya.

5. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapatmemberikan izin pengelolaan pulau-pulau kecil danwilayah perairannya kepada pihak ketiga sesuaidengan hukum adat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Khusus untuk pengelolaan pulau kecil oleh pihakketiga dari luar negeri; sebelum izin dikeluarkan,Pemerintah Daerah/Kota terlebih dahulu

mengkonsultasikannya ke Pemerintah.7. Pihak ketiga yang akan melakukan pengelolaan wajib

menyusun rencana investasi dan rencana aksi yangsejalan dengan rencana strategis pembangunandaerah (Propeda) secara transparan yang akan dinilaioleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

8. Pihak ketiga dari luar negeri yang akan melakukanpengelolaan perlu menyusun rencana investasi danrencana aksi yang sejalan dengan pembangunandaerah (Propeda) secara transparan yang akandinilai oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

9. Pihak ketiga bersama Pemerintah Provinsi danKabupaten/Kota diwajibkan mensosialisasikanrencana pengelolaan pulau-pulau kecil yang telahdisusun kepada masyarakat setempat

10. Sebagai tindak lanjut pelaksanaan pengelolaanpulau-pulau kecil, pihak ketiga harus melakukanStudi AMDAL, termasuk Rencana PemantauanLingkungan (RPL) dan Rencana PengelolaanLingkungan (RKL) untuk kegiatan-kegiatan yangdiperkirakan akan menimbulkan dampak pentingterhadap lingkungan.

11. Dalam pelaksanaan pengelolaan pulau-pulaukecil, pihak ketiga disarankan dapat memanfaat-kan potensi energi yang tersedia sebagi sumberenergi baru yaitu angin, pasut, gelombang, OceanThermal Energy Conversion (OTEC) dantenaga surya.

12. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota menetapkan pulau-pulau kecil yang akandigunakan sebagai tempat usaha industri startegiessesuai peraturan perundang-undangan.

13. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota biladiperlukan, dapat menunjuk lembaga/ dinas teknisyang membidangi kelautan dan perikanan sebagiinstansi di daerah yang bertanggung jawab dalamperencanaan, pelaksanaan, pemantauan danevaluasi kegiatan pengelolaan pulau-pulau kecildengan luas atau sama dengan 2000 km2.

14. Masyarakat berperan serta dalam pengawasanpengelolaan pulau-pulau kecil sejak dari tahapperencanaan sampai pelaksanaan.

15. Dalam rangka pengendalian pengelolaan pulau-pulau kecil baik yang sedang dan akan berjalan,Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota wajibmemberikan laporan secara berkala kepadaDepartemen Kelautan dan Perikanan.

16. Apabila pengelolaan pulau tersebut akan

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 104: Proceeding ToT ICM

101

dikerjasamakan dengan pihak ketiga harus adajaminan pengelolaan dan asuransi lingkungan (en-vironmental insurance) kepada pemerintah.

17. Dalam hal pengelolaan pulau-pulau kecil yangdilakukan oleh Pihak Ketiga yang aktivitasfisiknya mengorbankan/ menghilangkan fungsi dannilai-nilai ekosistem bioma penyangga setempat,maka Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kotamempunyai hak untuk mencairkan jaminanpengelolaan pulau-pulau kecil secara langsungtanpa persetujuan dari pihak ketiga.

PENEGAKAN DAN PENATAAN HUKUM1. Dalam pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau

kecil; Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kotaberwenang melakukan pemantauan dan evaluasisecara berkala terhadap pelaksanaan pengelolaansesuai dengan aturan dan kebijakan yang berlaku.

2. Apabila Pihak Ketiga terbukti melakukanpenyimpangan terhadap aturan dan kebijakanyang berlaku serta Perjanjian Pengelolaan yangtelah disepakati, akan dikenakan sanksi berupaperingatan dan/atau pembatalan izin pengelolaan.Selanjutnya Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan

Pengelolaan Pulau-pulau Kecil

Kabupaten/Kota setempat berhak untukmencairkan Jaminan Pengelolaan tanpapersetujuan Pihak Ketiga.

3. Masyarakat berhak mengajukan tuntutan hukumterhadap pihak pengelola apabila dalammelaksanakan kegiatannya menyimpang darirencana yang tealah ditetapkan dan telahmenimbulkan kerugian bagi masyarakat setempat.

4. Departemen Kelautan dan Perikanan bersamaPemerintah Provinsi dan Kabupaten/ Kotaberkewajiban melakukan evaluasi ulang terhadappelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil olehpihak ketiga yang sudah berjalan sebelumpedoman ini dikeluarkan. Selanjutnya menyam-paikan hasil evaluasi tersebut ke instansi yangberwenang untuk dapat ditindak lanjuti bila dalampelaksanaan pengelolaannya terjadi penyim-pangan dari peraturan dan perundang-undanganyang berlaku.

5. Semua pihak yang terlibat dalam pengelolaanpulau-pulau kecil wajib mentaati peraturanperundang-undangan yang berlaku, baik yangtertulis maupun yang berasal dari hukum adat.

Page 105: Proceeding ToT ICM

102

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

EROSI PANTAI (COASTAL EROSION)

DR. IR. SUBANDONO DIPOSAPTONO, M. EngDirektorat Bina Pesisir

Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau KecilDepartemen Kelautan dan Perikanan-RI

PENDAHULUANErosi Pantai adalah proses mundurnya garis

pantai dari kedudukan garis pantai semula, yangantara lain disebabkan oleh :a. Daya tahan erosi material dilampaui oleh kekuatan

eksternal yang di timbulkan oleh pengaruhhidrodinamika (arus dan gelombang).

b. Terganggunya atau tidak adanya keseimbanganantara suplai sedimen yang datang ke bagian pantaiyang ditinjau dan kapasitas angkutan sedimen dibagian pantai tersebut.

Erosi pantai tergantung pada kondisi angkutansedimen pada lokasi tersebut, yang dipengaruhi oleh:angin, gelombang, arus, pasang surut, sedimen, dankejadian lainnya, serta adanya gangguan yangdiakibatkan oleh ulah manusia yang mungkin berupakonstruksi bangunan pada pantai, dan penambanganpasir pada pantai tersebut.

Pada hakekatnya garis pantai akan selaluberevolusi dan berubah untuk menyesuaikan dengankeadaan alam untuk mencapai suatu kondisikeseimbangan dinamiknya. Terdapat tiga macamskala waktu pada evolusi garis pantai dan dapatdibedakan atas : (a) evolusi geologi yang terjadiselama ratusan tahun, (b) evolusi jangka panjang(long-term evolution) yang terjadi dalam ordetahunan atau puluhan tahun, dan (c) evolusi yangterjadi dalam jangka musiman (evolusi yang terjadipada saat arus dan gelombang terbesar).

Evolusi geologi terjadi secara regional untukseluruh kawasan misalnya seluruh kawasan PulauBatam ataupun Teluk Jakarta. Long-term evolu-tion terjadi untuk sebagian pantai di antara head-land (tempat yang tetap seperti batuan, bangunanpantai dan lain-lain). Evolusi musiman juga terjadipada sebagian pantai, diakibatkan misalnya olehtopan, gelombang (major storm). Evolusi musimanini sifatnya merusak dan kemudian berangsur-angsurperubahan musiman ini akan kembali kepadakeseimbangannya.

Untuk mengetahui erosi pantai perlu dipahamijuga tentang proses pantai. Hal ini sangat pentingkarena proses pantai ini yang akan mendominasikejadian erosi pantai di Indonesia. Proses pantaimencakup sirkulasi arus dan mekanisme gelombangdan intekasinya dengan sedimen. Arus yang terjadidi pantai berasal dari arus laut global, akibat angin,akibat pasang surut, arus yang diakibatkan olehgelombang (wave induced current) terjadi di surfzone (antara daerah gelombang pecah dan garispantai), dan arus orbital gelombang. Arus global,arus akibat angin, dan arus pasang surut disebut shelfcuurent atau coastal current. Arus yang disebabkanoleh gelombang berupa arus littoral (littoral cur-rent/longshore current) dan rip current. Arus lit-toral terjadi bila arah gelombang membentuk sudutdengan garis pantai. Arus orbital gelombnag adalaharus disebabkan oleh kecepatan partikel yangarahnya maju mundur searah dengan arahgelombang, besarnya tergantung pada tinggi danperiode gelombnag. Panjang daerah pengaruh arusorbital ini adalah sebanding dengan panjanggelombang. Mekanisme gelombang di daerahselancar (surf zone) dimulai dengan terjadinyagelombang pecah di kedalaman 1, 25 kali tinggigelombang. Gelombang pecah ini membentuk boreyang merayap ke pantai dan naik ke swash zonedan kemudian kembali kelaut. Bila arah gelombangmembentuk sudut dengan garis pantai akan terjadizigzag arus naik dan turus di swash zone (Gambar0.) Swash zone hanya sewaktu-waktu terendam olehair dan dalam perjalannya kembali kelaut arus akanmembawa material sedimen. Peristiwa inimenyebabkan pergerakan sedimen dalam arahsejajar pantai (littoral transport/longshore trans-port) menambah transpor sedimen yang disebabkanoleh arus litoral.

EROSI PANTAI DI INDONESIASalah satu permasalahan utama yang terjadi di

kawasan pesisir adalah erosi dan sedimentasi. Erosi

Page 106: Proceeding ToT ICM

103

Erosi Pantai (Coastal Erosion)

pantai terjadi karena ketidak setimbangan antaraangkutan sedimen yang masuk dan yang keluar darisuatu bentang pantai. Akibat tidak setimbangnya pasokdan angkutan sedimen, maka pantai akan tererosi. Erosidapat terjadi karena faktor alami maupun faktor buatan.Berbagai faktor buatan penyebab erosi pantai antaralain karena perubahan energi gelombang, pengaruhbangunan pantai, pengambilan material pantai danpengurangan suplai sedimen ke pantai. Bangunan pantaiseperti groin dan jetty dapat mengurangi bahkanmenghentikan suplai sedimen dari angkutan sedimensejajar pantai (littoral transport). Pengambilan mate-rial pantai untuk bahan bangunan (karang, batu danpasir) akan mengurangi “cadangan” sedimen bagipembentukan pantai dalam siklus dinamiknya.Pengurangan suplai sedimen ke pantai dapat terjadikarena aktifitas di hulu sungai seperti pembuatankantong-kantong sedimen, waduk, bendung danbangunan air lainnya, pengalihan muara sungai,penambangan material dasar sungai, bahkanpenghijauan dan pengendalian erosi yang berhasil didaerah hulu dapat mengurangi pasokan sedimen kepantai. Erosi pantai dapat diikuti dengan abrasi/pengikisan tebing oleh gempuran ombak. Abrasi dapatterjadi karena pelapukan tebing atau karenapeningkatan energi gelombang atau karena penurunandaya tahan tebing oleh pelapukan baik kimiawi, fisikmaupun biologis. Peningkatan energi gelombang dapatterjadi karena hilangnya/rusaknya penghalang alamiseperti terumbu karang di depan garis pantai. Berdasarinventarisasi Puslitbang Pengairan (Syamsudin &

Kardana, 1997) tercatat tak kurang dari 60 lokasipantai dan muara di 17 propinsi mengalami kerusakan.

Problem erosi di Indonesia telah mencapaitahapan kritis, karena banyak lahan yang hilang,prasarana jalan dan perumahan yang rusak akibat erosi.Erosi pantai di Indonesia dapat diakibatkan oleh prosesalami, aktivitas manusia ataupun kombinasi keduanya.Akibat aktivitas manusia, misalnya pembangunanpelabuhan, reklamasi pantai (untuk permukiman,pelabuhan udara, dan industri), penambangan karangdan pasir di daerah pantai, penebangan hutan man-grove dan sebagainya. Namun demikian penyebabutamanya adalah gerakan gelombang pada pantaiterbuka, seperti pantai selatan Jawa, selatan Bali danbeberapa areal Kepulauan Sunda.

Berdasarkan hasil opname terhadap data primermaupun sekunder, disimpulkan terdapat beberapakasus erosi pantai di Indonesia yang memerlukanperhatian dan penanganan segera, seperti terlihat padaTabel 1 dan Gambar 1.

KLASIFIKASI PENYEBAB EROSIBerdasarkan atas analisis data seperti

diperlihatkan pada Tabel 1, diperoleh gambaran bahwaterdapat 5 macam klasifikasi penyebab erosi yang terjadidi Indonesia yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia :a. Erosi pantai karena terperangkapnya angkutan

sedimen sejajar pantai akibat adanya bangunantegak lurus garis pantai seperti : groin, jetty,breakwater pelabuhan dan lain-lain.

Gambar 0. Arus yang terjadi di pantai

Page 107: Proceeding ToT ICM

104

Ketika gelombang datang menuju pantaidengan membentuk sudut terhadap garis pantai,gelombang akan menimbulkan arus sejajar pantai dizona gelombang pecah. Gaya-gaya dan turbulensiyang ditimbulkan oleh gelombang pecah akanmengerosi sedimen dasar, dan mengaduknya menjadimaterial tersuspensi. Sedimen ini selanjutnya oleh arussejajar pantai yang terjadi di zona gelombang pecahdibawa menyusuri garis pantai. Akibat adanyabangunan tegak lurus garis pantai, akanmengakibatkan perubahan konfigurasi pantaisehingga pantai akan menuju keseimbangan dinamisbaru. Sedimen yang diangkut oleh arus sejajar pantaitersebut akan terperangkap oleh bangunan dan akanmengakibatkan terjadinya proses sedimentasi di daerahupdrift (hulu) dan erosi di daerah downdrift (hilir).Terjadinya sedimentasi di daerah updrift ini disampingkarena sedimen terperangkap oleh bangunan tegaklurus pantai, juga disebabkan karena terjadinyapembelokan dan mengecilnya magnitude arus yangpada gilirannya menyebabkan kecepatan jatuh partikellebih dominan bekerja terhadap partikel sedimendibanding transpor arus, sehingga akan terjadi prosessedimentasi. Sebaliknya di daerah downdrift akanterjadi erosi. Erosi ini terjadi karena terperangkapnyasedimen di sebelah updrift (hulu) sehinggamempengaruhi keseimbangan transpor sedimen disebelah downdrift (hilir) juga disebabkan karenaadanya arus olakan yang menuju ke arah laut akibatadanya bangunan tegak lurus pantai. Proses erosi iniakan berlangsung terus sampai terjadi keseimbangan

dinamis baru, yaitu apabila sedimentasi yang terjadi disebelah updrift (hulu) bangunan telah berhenti.

Kasus erosi semacam ini di Indonesia misalnyaterjadi akibat dibangunnya breakwater PelabuhanPulau Baai, dibangunnya Bandara Sepinggan dengsnjalan reklamasi yang menjorok ke laut, dibangunnyabandara Ngurah Rai di pantai Kuta dengan jalanreklamasi yang menjorok ke laut (Gambar 2),dibangunnya LNG Arun dengan jalan reklamasi yangmenjorok ke laut, dibangunnya dermaga jetty diBalongan dan lain sebagainya.b. Erosi pantai karena terjadinya arus pusaran akibat

adanya bangunan seawall.Gelombang yang mendekati pantai, oleh

bangunan massive seawall sebagian dipantulkan olehseawall ke arah laut. Gelombang hasil pantulan ini akanberasosiasi dengan gelombang datang sehinggamenimbulkan efek standing wave dan menimbulkanarus pusaran (eddy current) di sebelah kiri dan kanandari seawall. Standing wave tersebut akan bersifatmerusak pantai yang terekspose karena mempunyaidaya hisap yang besar yang akan menghisap tanahsekitar bangunan seawall. Disamping itu karena tanahsebelah kiri dan kanan seawall merupakan tanahterekspose dan tidak terlindungi oleh seawall makatanah tersebut akan tererosi sampai mencapaikeseimbangan dinamis baru.

Kasus erosi ini terjadi misalnya dibangunnyaseawall di Banda Aceh, dibangunnya seawall diEretan Indramayu, Malalayang 2 Manado (Gambar3) dan lain sebagainya.

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Gambar 1. Lokasi erosi pantai di Indonesia

Page 108: Proceeding ToT ICM

105

c. Erosi pantai karena berkurangnya suplai sedimendari sungai akibat dibangunnya dam di sebelahhulu sungai dan sudetan atau pemindahan muarasungai.

Berkurangnya suplai sedimen dari sungai iniakan menimbulkan gangguan terhadapkeseimbangan transpor sedimen sejajar pantai.Kondisi semula dimana sedimen yang datang darimuara sungai oleh arus sejajar pantai dibawamenyelusuri pantai untuk selanjutnya didistribusikandan diendapkan di pantai tersebut. Tetapi berhubungsuplai sedimen dari sungai berkurang akanmengakibatkan terjadinya erosi pantai di sebelahdowndrift muara sungai untuk mengimbangiangkutan sedimen yang semula disuplai dari sungai.

Kasus erosi semacam ini terjadi karenapembuatan floodway di muara sungai Krueng Aceh,pembuatan banjir kanal di Padang, dan pembuatansudetan muara Sungai Cidurian, pembuatan kanalwulan di pantai Kedung Semat.d. Erosi pantai akibat penambangan karang dan

pasir pantai.Penambangan karang atau pasir ini biasanya

dilakukan di daerah nearshore dimana di daerah inigerakan pasir/sedimen di dasar pantai/laut masihdipengaruhi oleh gerakan gelombang.

Penggalian karang atau pasir pantai akanmengakibatkan dampak yang berupa perubahanbatimetri, pola arus, pola gelombang, dan erosi.Apabila dasar perairan digali untuk penambangankarang atau pasir, maka dasar perairan akan

mengalami perubahan karena yaitu semakin dalam.Dampak yang timbul adalah :•• Energi gelombang yang menghantam pantai akan

lebih besar karena dasar perairan di depan garispantai akan menjadi lebih dalam, sehinggamekanisme peredaman energi gelombang olehdasar peraira berkurang. Dengan demikian erosiatau penggerusan oleh gelombang akan lebihmeningkat intensitasnya.

•• Penambangan juga mengakibatkan lereng pantaimenjadi lebih terjal sehingga menimbulkan ketidakstabilan lereng pantai yang pada gilirannya akanmenimbulkan terjadinya pemacuan erosi.

•• Penambangan akan menimbulkan kawah yangakan menjadi tempat bagi terperangkapnyasedimen sejajar pantai. Akibat gerakan gelombangmaka lubang-lubang/kawah bekas penambanganpasir akan terisi kembali oleh pasir di sekitarnyatermasuk pasir yang ada di pantai di muka danmenyebakan terjadinya erosi. Keseimbangantranspor sedimen sejajar pantai akan terganggu yangberupa berkurangnya angkutan sedimen ke arahdowndrift (hilir) tempat penggalian, sehinggamenimbulkan gangguan terhadap keseimbangangaris pantai. Berkurangnya transpor sedimen karenaterperangkap oleh kawah galian ini akanmenimbulkan erosi di sebelah downdrift (hilir) kawahgalian. Kasus ini terjadi di pantai Kepulauan Riau,Bengkulu, Tangerang (Gambar 4.), pantai Marunda,pantai Kepulauan Seribu, pantai Sanur, PantaiMenado, dan lain sebagainya.

Erosi Pantai (Coastal Erosion)

Gambar 2a. Skema erosi pantai akibat adanya bangunan tegak lurus garis pantai

Page 109: Proceeding ToT ICM

106

e. Erosi karena penggundulan hutan mangrove.Pada pantai-pantai berlumpur umumnya

ditumbuhi pohon mangrove. Perakaran mangrove yangbiasanya merupakan penopang bagi kestabilan pantaiyang berlumpur. Hutan mangrove ini berfungsi sebagaiperedam energi gelombang yang akan mencapai pantai.Apabila hutan mangrove ini ditebangi maka fungsiperedamannya akan berkurang atau bahkan hilang.Gelombang akan langsung mengenai tanah yang gunduldan lemah sifatnya, dan akan mengaduk dan melarutkantanah pantai tersebut dalam bentuk suspensi, kemudiandiangkut oleh arus dan diendapkan ke tempat lain yang

memungkinkan. Kasus ini banyak terjadi di LampungTimur, Pantura (Gambar 4), Kalimantan Barat danKalimantan Timur.

Peristiwa erosi ini tentunya tidak perludipersoalkan sejauh belum menimbulkan masalah bagikepentingan manusia. Namun apabila peristiwa tersebutmenimbulkan gangguan dan kerusakan terhadaplingkungan di sekitarnya, maka diperlukan usaha-usahapenanganan berupa perlindungan dan kegiatan-kegiatan lainnya.

Peristiwa erosi pantai dapat mengakibatkangangguan terhadap permukiman, pertambakan dan

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Gambar 2b. Erosi pantai akibat adanya reklamasi Bandara Ngurah Rai yangmenjorok ke laut kurang lebih 400 m

Gambar 3a. Erosi pantai akibat dibangunnya seawall

Page 110: Proceeding ToT ICM

107

sarana perhubungan. sedangkan peristiwapendangkalan atau pengendapan di wilayah pantaidapat merupakan keuntungan dan sebaliknya dapatpula merupakan kerugian; hal ini sangat tergantung padakondisi lingkungan setempat.

KONDISI PENANGANAN SAAT INISelama ini penanganan perlindungan kawasan

pesisir terhadap erosi pantai masih banyak dilakukandengan menggunakan pendekatan “keras” yaitudengan membuat pelindung pantai yang secara estetis

dan ekologis kurang ramah. Penanganan jugasifatnya sporadis dan kurang komprehensif, sehinggamenimbulkan masalah baru yaitu hanya akanmemindahkan lokasi terjadinya erosi dari tempatyang telah dilindungi ke tempat lain di sekitarnya yangkurang mendapat perhatian. Sehingga masalah-masalah seperti disebutkan di atas akan tidak pernahakan terselesaikan, yaitu hanya akan memindahkanmasalah dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya.

Upaya untuk mengatasi masalah erosi dan abrasisecara “text book” antara lain dilakukan dengan

Erosi Pantai (Coastal Erosion)

Gambar 3b. Erosi pantai di Malalayang 2 Manado akibat pembangunan seawall

Gambar 4a. Kondisi gelombang dan erosi pantai sebelum dan sesudah ada galian karang

Page 111: Proceeding ToT ICM

108

pendekatan hard measures, yakni dengan membuatbangunan-bangunan pantai seperti: tembok laut,pelindung tebing (revetment), groin, jetty, krib sejajarpantai, dan tanggul laut. Efektifitas dan dampak negatifpendekatan ini telah pula digambarkan pada butir 3disertai dengan contoh-contohnya.

Groin dan jettyGroin dan jetty merupakan bangunan

tegak lurus pantai untuk mengamankan pantai darigangguan kesetimbangan angkutan sedimensejajar pantai (longshore transport). Groinberfungsi menahan laju sedimen sejajar pantai danbiasanya berupa serangkaian struktur krib.Sedimen akan terperangkap di bagian hulu krib,sedangkan di bagian hilir/bayangan krib akanterjadi erosi. Sedimen yang terperangkap diantara krib-krib diharapkan lama-kelamaan akanmembentuk sudut garis pantai sedemikian rupasehingga arah datang gelombang menjadi tegaklurus terhadap garis pantai baru tersebut. Bilaarah datang gelombang tegak lurus terhadap garispantai maka angkutan sedimen sejajar pantai akanterhenti dan pantai akan stabil. Groin dapat dibuatpendek (lebih pendek dari lokasi gelombangpecah) atau panjang (melampaui zona gelombangpecah). Puncaknya dapat dibuat tinggi maupunrendah tergantung pada keperluannya. Sebagaibahan groin dapat dipakai tumpukan batu,bronjong, kayu, sheet pile beton maupun baja.

Konsep tersebut ternyata tidak selalu berhasil.Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keberada-

an krib justru meningkatkan arus sirkulasi di antaradua krib dan membentuk rip current yang akanmengangkut sedimen hilang ke lepas pantai. Erosiyang terjadi di daerah hilir krib juga dapat membaha-yakan keamanan bangunan krib di sebelahnya. Darisisi estetis adanya krib mengganggu keindahan dankenyamanan pejalan kaki di pantai. Selain itu groinsama sekali tidak efektif untuk mengatasi permasalaherosi yang disebabkan oleh angkutan sedimen tegaklurus pantai (cross-shore transport).

Jetty merupakan bangunan tegak lurus pantaiyang cukup panjang menjorok ke laut. Struktur inidibangun untuk mengatasi masalah pendangkalanmuara sungai. Dengan adanya jetty yang cukuppanjang, maka muara sungai akan bebas dari lit-toral transport. Permasalahan yang terjadi adalahtertahannya sedimen di sisi hulu dan tererosinya garispantai di sisi hilir jetty.

Sea wall dan revetmentTembok laut (sea wall) berupa bangunan yang

dibuat pada garis pantai sebagai pembatas antaradaratan di satu sisi dan dan perairan di sisi yang lain.Fungsinya adalah untuk melindungi/mempertahankangaris pantai dari serangan gelombang serta untukmenahan tanah di belakang tembok laut tersebut.Dengan adanya tembok laut diharapkan prosesabrasi dapat dihentikan. Tembok laut (sea wall)berupa struktur masif yang diharapkan mampumenahan gempuran gelombang sedangkan revet-ment berupa struktur fleksibel susunan batu kosongatau blok beton.

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Gambar 4b. Erosi pantai di Tangerang akibat penambangan pasir

Page 112: Proceeding ToT ICM

109

Karena struktur tembok laut berupa bangunanyang masif, maka refleksi yang ditimbulkan olehbangunan tersebut justru meningkatkan tinggigelombang bahkan dapat mencapai dua kali tinggigelombang datang dan dapat terjadi gelombangtegak (clapotis). Akibatnya, di depan strukturtersebut justru terjadi gerusan yang kadang dapatmembahayakan struktur itu sendiri.

Detached breakwaterStruktur yang berupa bangunan lepas pantai

yang dibangun sejajar dengan garis pantai inidimaksudkan untuk menahan energi gelombangyang menghempas pantai. Daerah di belakangbangunan tersebut akan lebih tenang dari daerahsekitarnya sehingga transpor sedimen sejajar pantaiakan terhenti di belakang detached breakwatertersebut.

Permasalahan utama yang timbul adalah erosidi luar daerah bayangan detached breakwater.Selain itu, refleksi dari bangunan tersebut jugamenyebabkan keadaan gelombang di sekitarbangunan justru meningkat sehingga menimbulkangerusan lokal di sekeliling bangunan. Struktur ini jugamengubah pola arus/sirkulasi pantai.

Penyelesaian dengan struktur tersebut diatassaat ini masih dilakukan secara parsial dan sporadissehingga belum memberikan hasil yang baik. Untukitu diperlukan penyelesaian yang menyeluruh dankomprehensif dengan menggunakan pendekatancoastal cell (sedimen budget) yaitu suatupendekatan dimana pantai dikarakteristikkansebagai masukan, perpindahan, penyimpanan danpengurangan sedimen. Konsep ini mengidentifikasibahwa sistem pantai terdiri dari sejumlah unit yangberhubungan dan terkait dengan banyak prosesperpindahan yang bekerja dalam skala ruang danwaktu yang berbeda.

Alternatif sistem proteksi juga harus diseleksiberdasarkan aspek berikut :a. Aspek Teknis•• Kemampuan untuk mereduksi tranpor sedimen

sejajar pantai•• Kemampuan untuk mereduksi transpor sedimen

tegak lurus pantai (offshore transport)•• Durabilitas dari sistem dan komponen•• Resiko kehancuran dari sistem dan komponennya.•• Pelaksanaan konstruksi• • Pemeliharaan

Erosi Pantai (Coastal Erosion)

•• Kepekaan terhadap perubahan morfologi dalamskala yang lebih besar (misalnya skala regional).

b. Aspek Ekonomi•• Biaya investasi•• Biaya operasi dan pemeliharaan•• Biaya untuk perbaikan dan rehabilitasi•• Umur konstruksi dinyatakan dalam present valuec. Aspek Lingkungan•• Dampak terhadap pantai dan property yang

berdekatan•• Dampak terhadap lingkungan dalam skala yang

lebih besard. Aspek Estetika dan Aspek Sosial•• Secara estetika kelihatan menyenangkan•• Secara sosial dan kultural diterima masyarakat

DIAGNOSE DENGANMODEL NUMERIK

Untuk melakukan kajian dampak daripenanganan erosi pantai yang sifatnya sporadis danlokal tersebut perlu dilakukan diagnose denganmenggunakan teknik permodelan.

Berbagai model analitik maupun matematik telahdikembangkan untuk memperkirakan/ meramalkanperubahan garis pantai terutama dalam kaitannyadengan pembuatan bangunan seperti groin, seawalldan lain sebagainya.

Model numerik perubahan garis pantai padaumumnya didasarkan pada persamaan kontinuitasangkutan sedimen pantai, dan skematisasi perubahangaris pantai. Salah satu skematisasi perubahan garispantai adalah skematisasi dengan garis lurus yangpertama kali dikemukakan oleh Pelnard-Considere(Bijker, 1968). Dengan skematisasi tersebutpenyelesaian numeriknya menjadi sederhana, danhitungannya dapat dilakukan pada PC dengan programyang mudah. Dibawah ini disajikan diagnosepermasalahan perubahan garis pantai akibat adanyabangunan pantai yang berupa groin atau jetty dan sea-wall dengan menggunakan perangkat lunak Genesis,yaitu perangkat lubak untuk menghitung perubahangaris pantai yang dikembangkan oleh US Army ofCoastal Engineer.

Dari kajian dengan model numerismenunjukkan bahwa pembangunan struktur yangtegak lurus pantai akan menimbulkan erosi di daerahdowndrift bangunan. Akibat halangan bangunan,arus berbelok menuju arah laut sehinggamenimbulkan perbedaan elevasi di sebelah updrift

Page 113: Proceeding ToT ICM

110

bangunan. Pengaruh ini menyebabkan terbentuknyaarus olakan dari arah laut menyusur dinding ke bagiankaki struktur.

Di ujung bangunan terjadi penumpukan aruskarena halangan struktur. Sudut datang gelombang45( (terhadap garis normal pantai) dan arus yangbergerak dari arah ujung bangunan menyebabkanperbedaan elevasi di bagian downdrift kalibangunan. Perbedaan ini membangkitkan arusolakan dari laut menuju ke arah garis pantai danmenyusur dinding bangunan kembali ke laut.

Di updrift bangunan terjadi proses sedimentasiakibat terhalangnya arus yang membawa material.Pembelokan dan mengecilnya magnitude arusmenyebabkan kecepatan jatuh partikel lebihdominan bekerja terhadap partikel sedimendibanding transpor arus. Di sebelah updrift kakibangunan terjadi sedimentasi akibar arus olakanbermagnitude kecil membawa material sedimen yangbergerak menyusur dinding ke arah darat.

Di downdrift bangunan terjadi penggerusanuntuk mengimbangi transport sedimen yangterperangkap oleh bangunan. Penggerusan ini juga

disebabkan karena adanya arus olakan yang terjadidi downdrift bangunan.

Hasil diagnose dengan model numerik terhadaperosi pantai akibat adanya bangunan tegak lurus pantaidisajikan pada Gambar 5.

Diagnose dengan model numerik terhadappenanganan erosi dengan menggunakan sewall yangsifatnya spotish menunjukkan bahwa pola penanganantersebut tidak menyelesaikan masalah keseluruhan tetapihanya akan memindahkan masalah dari tempat yangsatu ke tempat yang lain.

Hasil diagnose dengan model numerik terhadaperosi pantai akibat adanya penanganan yang sifatnyaspotish dengan membangun seawall disajikan padaGambar 6.

ALTERNATIF PENDEKATAN LUNAKDengan belajar dari kekurang berhasilan cara-

cara penanganan masalah pesisir dengan “pendekatankeras”, maka perlu dikembangkan konsep penangananpermasalahan pesisir secara lebih lunak dan ramahlingkungan. Penggunaan pendekatan lunak tersebutsudah mulai dilakukan sejak akhir dasa-warsa 80-

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Gambar 5. Simulasi model numerik perubahan garis pantai dengan adanya struktur tegak lurus

D50 = 0.1 mm, Gelombang : H = 1 m, T = 6s,

case 1 : groin 100m, slope 1 : 40

case 2 : groin 50m

Page 114: Proceeding ToT ICM

111

an. Beberapa cara penanganan dengan pendekatanlunak antara lain dapat dilakukan dengan:peremajaan pantai, pembentukan dune, peremajaandan restorasi mangrove, rehabilitasi koral, artificial reef,serta pengelolaan/manajemen kawasan pantai secaraterpadu.

Peremajaan pantaiUntuk mengatasi erosi dan abrasi, cara restorasi

dengan peremajaan pantai (beach nourishment)merupakan alternatif yang sudah cukup lama dikenal.Proses ini meliputi pengambilan material dari tempatyang tidak membahayakan dan diisikan ke tempat yangmembutuhkan. Meskipun penimbunan/pengisian pesisirdengan material dari luar sistem tidak banyakdampaknya terhadap ekosistem yang ada, namunpengambilan material dapat menimbulkan dampak yangcukup signifikan. Oleh karena itu, opsi ini harus ditinjausecara lebih komprehensif, terutama dari sisi sumberpenyediaan sedimennya.

Akhir-akhir ini telah dikembangkan pulaperemajaan pantai dengan menggunakan sistemdrainasi pantai (Coastal Drain System) sepertimisalnya Beach Management System (BMS).Pemegang patennya adalah Danish GeotechnicalInstitute. Metode ini adalah mengurangi tekanan air(pore water pressure) di swash zone sehinggalereng daerah ini menjadi lebih stabil, pada saat aliranke bawah (rundown) tidak ada sedimen yang

Erosi Pantai (Coastal Erosion)

terbawa. Sistem ini pada prinsipnya mengurangi ataumengabsorbsi energi gelombang pada saatmenggempur pantai dengan cara dihisap melalui pompayang dihubungkan oleh pipa berlubang yang terletakdibawah permukaan pantai (de-watering).

Pembentukan dunePerlindungan pantai berpasir dapat dilakukan

dengan menyediakan “stock pile” di sisi darat berupadune buatan atau meningkatkan dune yang sudah ada.Biasanya cara ini dilengkapi dengan usaha-usahamenahan kehilangan pasir dari daerah dune baik secaravegetatif maupun secara artifisial.

Rehabilitasi mangrovePerbaikan dan peramajaan hutan bakau yang

rusak merupakan langkah perlindungan pesisir yangramah lingkungan. Penanganan ini dapat dikombinasidengan bangunan sementara (hard measures) yangdiharapkan dapat melindungi bakau yang baru selamamasa pertumbuhannya.Rehabilitasi koral

Terumbu karang yang rusak akan memerlukanwaktu yang cukup lama untuk dapat hidup kembali.Menurut (Tomascik, 1997) massa terumbu karangsetebal 500 m memerlukan waktu antara 6000hingga 10000 tahun untuk pembentukannya.Meskipun proses rehabilitasi karang tidak secepatrehabilitasi mangrove, tetapi pendekatan ini

Gambar 6. simulasi model numerik perubahan garis pantaidengan adanya seawall

Page 115: Proceeding ToT ICM

112

merupakan alternatif yang sangat bermanfaat bagiekosistem pesisir. Beberapa penelitian dan uji cobatelah dilakukan untuk mencangkokkan organismakarang pada karang yang telah rusak dan hasilnyacukup menjanjikan (Yamashita, 1998).

Selain rehabilitasi koral secara langsung,penggunaan artificial reef sebagai alternatifperlindungan pantai yang lebih ramah lingkungan jugamulai banyak diteliti (Nizam, 1995). Sistem ini mulaibanyak dipakai di Australia. Untuk melindungi puraTanah Lot, salah satu alternatif yang diusulkan adalahmenggunakan artificial reef tersebut.

Aspek pengelolaanAgar dapat hidup berdampingan secara

harmonis dengan lingkungannya, maka pengelolaanpesisir yang arif perlu terus dikembangkan. Denganmengadaptasi (IPCC, 1990), pada prinsipnyapengelolaan kawasan pesisir (coastal manage-ment) bertujuan untuk:1. Menghindari pengembangan di daerah ekosistem

yang rawan dan rentan,2. Mengusahakan agar sistem perlindungan alami

tetap berfungsi dengan baik,3. Melindungi keselamatan manusia, harta benda

dan kegiatan ekonominya dari bahaya yang datangdari laut, dengan tetap memperhatikan aspekekologi, kultur, sejarah, estetika dan kebutuhanmanusia akan rasa aman serta kesejahteraan(Jansen, 1990).

Secara filosofis, penanganan daerah pantai dapatditempuh melalui beberapa alternatif berikut:1. Pola protektif, yaitu dengan membuat bangunan

pantai yang secara langsung “menahan proses alamyang terjadi”. Cara ini yang paling banyakdikembangkan di Indonesia.

2. Pola adaptif, yakni berusaha menyesuaikanpengelolaan pantai dengan perubahan alam yangterjadi. Saat ini mulai banyak dikembangkanpendekatan “mega scale”, di mana pengelolaanpantai direncanakan berdasar pola morfodinamikaspesifik di pantai yang dikembangkan.

3. Pola mundur (retreat) atau do-nothing, dengan tidakmelawan proses dinamika alami yang terjadi tetapi“mengalah” pada proses alam dan menyesuaikanperuntukan sesuai dengan kondisi perubahan alamyang terjadi.

Di Indonesia, kedua pola terahir di atas saat inibelum banyak dipandang sebagai alternatif penyelesaian

permasalahan pantai. Kajian ke arah tersebut perludilakukan agar kelestarian sumber daya alam pantaidapat terpelihara serta kemanfaatannya dapat terusdinikmati dari generasi ke generasi.

KESIMPULANDalam pengelolaan kawasan pantai, khususnya

untuk mencegah/mengurangi terjadinya erosi pantaiperlu diperhatikan hal-hal berikut ini:•• Hindari penambangan pasir di tepi pantai•• Hindari penambangan karang untuk bahan bangunan•• Hindari penggundulan hutan mangrove•• Hindari mendirikan bangunan menjorok ke pantai•• Penyuluhan masyarakat

Penanganan erosi pantai harus dilakukan secaramenyeluruh dan komprehensif yang meliputi satukawasaan coastal cell. Penanganan yang sifatnya lokalhanya akan memindahkan masalah dari satu tempat ketempat yang lain.

Alternatif dengan pendekatan struktur lunak (softstructure) perlu dipertimbangkan, karena pendekatanini merupakan pendekatan untuk menangani erosi pantaiyang ramah lingkungan.

Pendekatan mutakhir dan sistematis untukpenanganan masalah pantai dapat dilakukan melalui:a) penelitian lapangan (survei) untuk mengetahui pa-rameter lingkungan fisik dan data historis, b) penelitiandengan model matematika, dan c) penelitian denganmodel fisik (skala laboratorium) untuk menentukanperencanaan yang secara teknis, ekonomis danlingkungan layak dan secara estetika dan sosial budayadapat diterima oleh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKABijker, 1968, Llittoral Drift as Function of Waves and Current,

Proceedings of 11th Conference on Coastal Engineer-ing, American Society of Civil Engineers, pp. 415-435.

Bijker, 1971, Longshore Transport Computations, Proceed-ings of 12th Conference on Coastal Engineering, Ameri-can Society of Civil Engineers, pp. 415-434.

Syamsudin & Kardana, 1997, Rehabilitasi Pantai/ZonaPesisir, P3P Dept. PU

Subandono D. et al., 2001, Erosi Pantai dan Klasifikasinya,Kasus di Indonesia, Prosiding Konferebsi Esdal 2001,BPPT

Hunter, M, 1992, Coastal Groins and Breakwaters, US Army- CE, Washington

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 116: Proceeding ToT ICM

113

Tabel 1. Hasil Opname Lokasi Kerusakan Pantai Akibat Erosi di Indonesia

Erosi Pantai (Coastal Erosion)

Page 117: Proceeding ToT ICM

114

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 118: Proceeding ToT ICM

115

Erosi Pantai (Coastal Erosion)

Page 119: Proceeding ToT ICM

116

Erosi Pantai (Coastal Erosion)

Page 120: Proceeding ToT ICM

117

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

PENDAHULUANPengelolaan berbasis-masyarakat sudah

merupakan suatu pendekatan yang banyak dipakaidi dalam program-program pengelolaan sumberdayawilayah pesisir terpadu di berbagai negara di duniaini, khususnya di negara-negara berkembang.Pendekatan ini secara luas digunakan di wilayah AsiaPasifik seperti di negara-negara Filipina dan PasifikSelatan. Keberhasilan pendekatan ini semakinbanyak dan didokumentasi secara baik (Polotan-de la Cruz, 1993; Buhat, 1994; Pomeroy, 1994;White et.al., 1994; Ferrer et.al., 1996; Pomeroyand Carlos, 1997; Wold Bank,1999). Di negara-negara dimana sistem pemerintahannya semakinmengarah pada desentralisasi dan otonomi lokal,pendekatan berbasis masyarakat ini dapatmerupakan pendekatan yang lebih tepat guna, lebihmudah dan dalam jangka panjang dapat terbuktilebih efisien dan efektif dalam segala hal.

Pendekatan pengelolaan sumberdaya wilayahpesisir berbasis-masyarakat telah dicobakandiberbagai proyek pembangunan di Asia yangdibiayai oleh Bank Pembangunan Internasional.Sebagai contoh, Program Sektor Perikanan diFilipina yang bernilai 150 juta US dolar (Albaza-Baluyut, 1995), Proyek Coremap di Indonesia, jugaberbagai proyek bantuan bilateral lainnya (sepertiCRMP -Filipina dan Proyek Pesisir - Indonesia),memasukkan pengelolaan berbasis masyarakatsebagai bagian dari desain program. Filipina memilikipengalaman sejarah yang cukup panjang dalampengelolaan berbasis masyarakat sejak sekitar duadasawarsa terakhir ini. Pendekatan ini telah menjadipendekatan utama dalam pengelolaan sumberdayapesisir di negara ini sebagai bagian dari systempemerintahan yang desentralistis. Pada pergantianmillenium ini telah ada ratusan contoh Pengelolaan

sumberdaya pesisir berbasis masyarakat yang tersebardi hampir setiap wilayah pesisir di negara ini.

Di Indonesia, dengan dikeluarkannya UU No22 tahun 1999 yang memberikan kewenangankepada daerah dalam mengelola pesisir dan lautnyasejauh 12 mil untuk propinsi dan 4 mil untukkabupaten memberikan peluang yang besar bagipendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir terpadudan berbasis masyarakat. Selain itu dengan adanyaDepartemen Kelautan dan Perikanan dan konteksperubahan pemerintahan di Indonesia setelah erareformasi mendorong pemerintah pusat dan di daerahmengembangkan pendekatan pembangunan yangmelibatkan kerjasama antara pemerintah danmasyarakat setempat dalam bentuk pengelolaansecara bersama (co-management) berbasismasyarakat.

Upaya-upaya seperti ini sudah di mulai diSulawesi Utara sejak tahun 1997 untukmengadaptasikan pendekatan-pendekatan berbasismasyarakat ini dalam konteks pembangunan danpengelolaan di Indonesia (Crawford & Tulungen,1998a, 1998b, 1999a, 1999b,; Tulungen et.al.,1998, 1999; Crawford et.al, 1998) lewat ProyekPesisir (Coastal Resources Management Project- CRMP). Proyek Pesisir yang dimulai sejak tahun1997 ini didasarkan pada pemikiran/hipotesa bahwapendekatan partisipatif dan desentralistis akanmengarah lebih pada berkelanjutan dan adil/seimbangnya pengelolaan sumberdaya wilayahpesisir di Indonesia. Setelah melakukan kegiatandan upaya selama empat tahun di Sulawesi Utara,contoh-contoh praktek pengelolaan sumberdayawilayah pesisir berbasis-masyarakat mulaimenunjukkan hasil yang menggembirakan yangmendukung validitas pemikiran/hipotesa dari ProyekPesisir. Makalah ini merangkum pendekatan dan

PROGRAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA WILAYAH PESISIRTERPADU DAN BERBASIS MASYARAKAT: TELAAH KASUS DI

KABUPATEN MINAHASA, SULAWESI UTARA

J. JOHNNES TULUNGENField Program Manager Proyek Pesisir Sulawesi Utara

[email protected]@manado.wasantara.net.id

Page 121: Proceeding ToT ICM

118

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

pengalaman Proyek Pesisir dalam pengembanganProgram Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisirtingkat desa yang dilaksanakan lewat proses terpaduantara partisipasi masyarakat, keterlibatanpemerintah setempat dan koordinasi antar lembagaterkait di tingkat Kecamatan, Kabupaten danPropinsi yang telah menghasilkan berbagai luaranpositif dan nyata dilapangan.

Konsep Dasar Pengelolaan SumberdayaWilayah Pesisir Terpadu dan BerbasisMasyarakat

A. Pendekatan dua arah Proyek PesisirSaruan (1998) mengemukakan bahwa

perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir danlautan secara terpadu masih merupakan hal yangrelatif baru dalam pembangunan mengingat hal inibaru tercantum dalam GBHN 1993 dan RepelitaVI. Seiring dengan pembangunan wilayah pesisir danlaut secara terpadu telah dirasakan perlunyadesentralisasi dan partisipasi masyarakat.Diharapkan perencanaan lebih dititik beratkan padabottom up planning berupa proses perencanaan danpengambilan keputusan penting dari bawah yangdikombinasikan dengan top down planning berupa

kebijakan, aturan-aturan dan dukungan/bantuanteknis dari atas. Berdasarkan pemikiran ini ProyekPesisir menggunakan pendekatan dua arah inisebagaimana terlihat dalam Gambar 1.

Pengelolaan secara desentralisasi sudahsemakin mendesak untuk dilaksanakan mengingatterdapat banyaknya kasus tumpang tindihperencanaan, konflik kebijakan, dan kompetisidalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdayapesisir dan laut yang berakibat pada ketidak jelasankewenangan dan terabainya upaya pelestariansumberdaya pesisir dan laut (Ginting, 1998)

Di Sulawesi Utara, tujuan Proyek Pesisiradalah mengembangkan pengelolaan sumberdayawilayah pesisir yang baik/efektif - lewatpengembangan dan penggunaan metode, strategi,kegiatan perencanaan dan aturan-aturan lokal - yangdapat memperbaiki atau mempertahankan kualitashidup masyarakat pesisir dan meningkatkan ataumempertahankan kondisi sumberdaya pesisir dimanabanyak orang menggantungkan kehidupannya.Pendekatan dengan desentralisasi ini didasarkanpada hipotesa bahwa pendekatan pengelolaansecara desentralisasi, partisipatif dan kolaboratifakan menghasilkan pengelolaan lingkungan dansumberdaya pesisir yang lebih berkelanjutan/lestari

Gambar 1. pendekatan dua arah (two track approach) Proyek pesisir

Page 122: Proceeding ToT ICM

119

dan seimbang/adil daripada pendekatan secaraterpusat.

Dalam mencapai tujuan ini diperlukan upaya-upaya langsung untuk mencapai: (1) peningkatanpartisipasi pihak-pihak terkait dalam proses-prosesperencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir;(2) memperbaiki pelaksanaan dan pengembangankebijakan lokal, dan; (3) memperkuat kapasitaslembaga lokal.

Berdasarkan pengalaman yang diperolehdalam tahun-tahun pertama kegiatan proyek, pro-gram lapangan Sulawesi Utara kemudianmemfokuskan programnya pada tiga pendekatanspesifik pengelolaan berbasis-masyarakat yakni:•• Daerah perlindungan laut berbasis-masyarakat

tingkat-desa•• Rencana pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir

terpadu berbasis-masyarakat tingkat-desa•• Aturan-aturan pemanfaatan sumberdaya wilayah

pesisir berbasis-masyarakat tingkat-desaHasil yang ingin dicapai dari berbagai

pendekatan ini adalah antara lain:•• Menguatnya kapasitas lembaga dan perorangan

setempat dalam pengelolaan sumberdaya wilayahpesisir secara terpadu

•• Membaiknya perencanaan dan kebijakanpengelolaan sumberdaya pesisir di tingkat lokal

•• Semakin besarnya partisipasi stakeholder dalamkeputusan perencanaan, pelaksanaan danpengawasan sumberdaya pesisir

•• Stabil dan membaiknya kondisi habitat dansumberdaya pesisir

•• Lestari dan seimbangnya kesempatan-kesempatan ekonomis bagi masyarakat setempatyang tergantung kehidupannya pada sumberdayapesisir dan kualitas lingkungan yang baik diwilayah pesisir.

B. Pengelolaan Secara TerpaduUntuk mencapai tujuan di atas maka Proyek

Pesisir, belajar dari pengalaman dunia mengadopsipendekatan siklus kebijakan pengeleloaansumberdaya wilayah Pesisir terpadu (ICM policycycle) kedalam program pengelolaan berbasismasyarakat (Gambar 2).

Pengelolaan Sumberdaya Wilayah PesisirTerpadu (PSWPT) didefinisikan sebagai “Prosesdinamis dan berkelanjutan yang menyatukanpemerintah dan masyarakat, ilmu pengetahuan dan

pengelolaan, dan kepentingan sektoral dan masyarakatumum dalam menyiapkan dan melaksanakan suaturencana terpadu untuk perlindungan dan pengembangansumberdaya dan ekosistem Pesisir” (GESAMP -Group of Expert on scientific Aspect of Marine Pro-tection, 1996).

Tujuan pengelolaan sumberdaya wilayah Pesisirterpadu menurut GESAMP adalah untukmemperbaiki kualitas hidup masyarakat yangtergantung pada sumberdaya wilayah pesisir danpada saat yang bersamaan menjamin keanekara-gaman biologis dan produktivitas ekosistem wilayahpesisir. Dengan demikian maka tujuan pengelolaansumberdaya wilayah pesisir memiliki beberapa aspekyang mencakup aspek pengelolaan (pembangunanmasyarakat), aspek konservasi (perlindungan darikerusakan) dan aspek biodiversity (menjaminkeanekaragaman bilogis) ekosistem wilayah pesisir.

Yang dimaksud dengan pesisir adalah: suatutempat dimana terjadi pertemuan antara daratan danlautan yang mencakup lingkungan disepanjang garispantai dan air.

Ciri-ciri Wilayah Pesisir meliputi antara lain:•• Wilayah yang sangat dinamis dengan perubahan-

perubahan biologis, kimiawi dan geologis yangsangat cepat.

•• Tempat dimana terdapat ekosistem yangproduktif dan beragam dan merupakan tempatbertelur, tempat asuhan dan berlindung berbagaijenis spesies

•• Ekosistemnya yang terdiri dari terumbu karang, hutanbakau, pantai dan pasir, muara sungai, lamun dsbyang merupakan pelindung alam yang penting darierosi, banjir dan badai serta dapat berperan dalammengurangi dampak polusi dari daratan ke laut

•• Sebagai tempat tinggal manusia, untuk saranatransportasi, dan tempat berlibur atau rekreasi

Sumberdaya wilayah pesisir mempunyai nilaidan manfaat yang sangat besar bagi kehidupanmanusia antara lain karena:••Wilayah pesisir adalah tempat yang paling kaya

secara ekonomis dan ekologis•• Tempat berbagai fasilitas seperti pelabuhan dan

industri berada•• Sumber mineral dan pertambangan: minyak, gas,

emas, pasir, bahan galian dsb.•• Sumber energi•• Tempat yang sangat disenangi untuk kegiatan

Program Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu dan Berbasis Masyarakat .............................

Page 123: Proceeding ToT ICM

120

pariwisata dan tujuan berlibur•• Tempat tinggal lebih dari setengah populasi dunia,

2/3 kota-kota besar berada di wilayah Pesisir•• Tempat buangan sampah dan kotoran

Sebagai contoh, salah satu ekosistem wilayahPesisir penting yaitu terumbu karang mempunyaifungsi dan manfaat yang sangat penting bagikehidupan manusia. Terumbu karang berfungsi antaralain sebagai: tempat menangkap ikan, pariwisata,pelindung pantai, dan tempat keanekaragaman hayatiyang penting bagi manusia. Dalam hal perikanan,terumbu karang merupakan tempat hidup berbagaiikan karang, kerang, lobster, dan kepiting yang mahalharganya. Jumlah panenan yang diperoleh di wilayahterumbu karang di dunia mencapai 9 juta ton pertahun atau sekitar 12 % dari keseluruhanpenangkapan perikanan. Sebagai contoh, di Filipina,Terumbu karang yang baik dapat menghasilkansebanyak 15,6 ton/km2/tahun. Total keuntunganatau pendapatan dari perlindungan dan pemanfaatanwilayah pesisir dari pariwisata, perikananberkelanjutan dan perlindungan pesisir dari aberasiberkisar antara 32.000 - 113.000 US$/km2/tahun(White & Cruz-Trinidad, 1998).

Arti terpadu dalam Pengelolaan SumberdayaWilayah Pesisir Terpadu adalah menyangkutberbagai dimensi:

•• Terpadu antar sektor•• Terpadu antar ekosistem (ruang) darat dan air di

wilayah Pesisir•• Terpadu antar tingkatan pemerintahan•• Terpadu antara disiplin ilmu - pengelolaan•• Terpadu antara bangsa (internasional) dan politik

Berdasarkan pengertian di atas maka prinsip-prinsip pengelolaan terpadu dalam PengelolaanSumberdaya Wilayah Pesisir (PSWP) harusmencakup dan berprinsip pada:•• Program PSWP memerlukan pendekatan

menyeluruh (holistic), terpadu dan multi-sektor.•• Perencanaan PSWP harus konsisten dengan dan

dipadukan dengan rencana kabupaten, propinsi,dan nasional. Termasuk rencana pembangunanberkelanjutan tingkat pusat (APBN)

•• Perencanaan harus konsisten dengan kebijakanlingkungandan perikanan di DepartemenPerikanan dan Kelautan dan KementrianLingkungan Hidup Nasional

•• Dikembangkan dan diintegrasikan kedalam pro-gram di lembaga yang sudah ada.

•• Proses perencanaan dan pelaksanaan harusmelibatkan partisipasi masyarakat dari berbagaikelompok dan komunitas yang akan terimbasoleh keputusan dan program. Masyarakat umum

Gambar 2. Siklus Kebijakan Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir terpadu

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 124: Proceeding ToT ICM

121

dan kelompok-kelompok masyarakat harus dilihatsebagai partner yang seimbang (equal) dalampengambilan keputusan melalui lingkuppengelolaan bersama (co-management).Semakin tinggi tingkat keterlibatan (partisipasi)masyarakat semakin tinggi tingkat keberhasilanprogram.

•• Program harus dibangun dan didasarkan padakapasitas lokal atau kapasitas masyarakat danpemerintah setempat untuk melakukanpengelolaan secara berkelanjutan

•• Program harus berupaya untuk membangunmekanisme pendanaan secara swadaya (self-re-liant financing mechanism) untuk pelaksanaansecara berkelanjutan

•• Program harus menjawab isu-isu kualitas hidupatau kesejahteraan masyarakat lokal dan isukonservasi (perlindungan sumberdaya).

C. Pengelolaan Berbasis MasyarakatProgram Pengelolaan Sumberdaya Wilayah

Pesisir-Berbasis Masyarakat (PSWP-BM) belumbanyak ditemukan contohnya di Indonesia.Keuntungan sistem pengelolaan sumberdayaberbasis masyarakat sudah banyak dikenal dalamkegiatan irigasi, hutan masyarakat dan pertanian.Upaya pengelolaan berbasis masyarakat di sektorperikanan dan kelautan umumnya masih dalam tahappengembangan. Hal ini barangkali disebabkan olehrumitnya sistem sumberdaya pesisir dan laut sertastruktur sosial budaya masyarakat nelayan/pesisir.

PSWP-BM bertujuan untuk lebih aktifnyapartisipasi masyarakat dalam perencanaan danpelaksanaan pengelolaan sumberdaya. PSWP-BMdimulai dari suatu pemahaman bahwa masyarakatmemiliki kapasitas dalam memperbaiki kulaitas hidupmereka sendiri dan mampu mengelola sumberdayamereka dengan baik, yang dibutuhkan tinggaldukungan untuk mengatur dan mendidik masyarakatuntuk memanfaatkan sumberdaya yang tersediasecara berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan-kebutuhan mereka. Keuntungan potensial utama dariPSWP-BM adalah keadilan dan efektivitassustainability (kesinambungan). Kelemahannyaadalah terletak pada proses dan upaya pelibatan dirimasyarakat yang membutuhkan waktu yang cukuplama karena sifat dasarnya yang antara lain :•• Menuntut partisipasi aktif dan komitmen dalam

perencanaan dan pelaksanaan

•• Kemampuan pengelolaan sendiri oleh masyarakatsebagai penanggung jawab utama dalampelaksanaan, pemantauan dan penegakan aturan

•• Menuntut rasa memiliki masyarakat yang tinggiterhadap sumberdaya yang memungkinkanmereka mengambil tanggung jawab dalampengelolaan jangka panjang

•• Memberi kesempatan setiap anggota masyarakatmengemukakan strategi sesuai keinginan dankondisi mereka

•• Menuntut fleksibilitas agar dapat dengan mudahdisesuaikan dan diubah berdasarkan perubahankondisi dan kebutuhan masyarakat

•• Membutuhkan pemanfaatan secara optimalpengetahuan dan keahlian lokal/tradisional dalampengembangan strategi

•• Menuntut kemitraan (partnership) yang dinamisdengan berbagai pihak dalam masyarakat danpemerintah memiliki peran yang jelas

•• Membutuhkan kebijakan yang memungkinkanbagi PSWP-BM dan dukungan dana maupunbantuan teknis dari pemerintah setempat

PSWP-BM bukanlah merupakan satu-satunyapendekatan dalam pengelolaan dan mungkin tidakakan cocok atau sesuai dilaksanakan pada setiapmasyarakat pesisir. Diperlukan upaya hati-hatidalam penerapan PSWP-BM terutama dalammasyarakat yang kapasitasnya belum memadai untukitu. Kalau hendak dijalankan diperlukan investasibagi pengembangan kapasitas masyarakat sehinggatahap-tahap awal dalam program PSWP-BM akanbanyak memfokuskan kegiatan pada pengembangankapasitas dan penguatan kelembagaan danperorangan dalam pengelolaan kepada masyarakatdan lembaga setempat.

Kriteria Pengelolaan Berbasis Masyarakat :•• Persiapan, perencanaan dan monitoring oleh

masyarakat sendiri•• Komitmen dan rasa memiliki yang tinggi dari

penduduk•• Penentuan isu dan prioritas oleh masyarakat•• Manfaat/keuntungan bagi mayoritas masyarakat•• Mulai dari apa yang masyarakat miliki

(pengetahuan, sumberdaya, lembaga, pemimpin)•• Keputusan diambil bersama•• Perlunya konsultasi formal dan informal•• Informasi seimbang•• Terbuka

Program Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu dan Berbasis Masyarakat .............................

Page 125: Proceeding ToT ICM

122

Kunci Keberhasilan PSWP-BM mencakup:•• Batas-batas wilayah yang jelas terdefinisi•• Kejelasan anggota•• Keterikatan dalam kelompok•• Manfaat lebih besar dari biaya•• Pengelolaan sederhana•• Legalisasi dari pengelolaan•• Kerjasama dan kepemimpinan dalam masyarakat•• Desentralisasi dan pendelegasian wewenang•• Koordinasi antar pemerintah dan masyarakat•• Pengetahuan, kemampuan dan kepedulian

masyarakat•• Fasilitator (SDM, paham konsep, mampu

memotivasi masyarakat, tinggal bersama, diterimaoleh semua pihak)

Faktor sosio-kultural-ekonomi danlingkungan dalam PSWP-BM

Program PSWP-BM didasarkan padapemahaman atau hipotesa bahwa perubahanekosistem yang terjadi sekarang ini di wilayah pesisirakan mengurangi kemampuan jangka panjang darisistem ini untuk menjamin kualitas hidup masyarakatdan kondisi suberdaya yang cukup baik dan jugaakan mengurangi kemampuannya untukmenghasilkan kesejahteraan yang sustainable.

Ada berbagai faktor atau isu-isu yang perludiperhatikan dalam upaya pngembangan programPSWP-BM sebagaimana dirangkum berikut ini:

Isu-isu Kelembagaan:•• Kurangnya kapasitas untuk melaksanakan

pengelolaan terpadu•• Kurangnya pengetahuan bagaimana pengaruh

ekosistem terhadap kegiatan manusia•• Konflik dan tumpang tindih peraturan/antar

lembaga•• Kurangnya dukungan masyarakat terhadap

upaya-upaya pengelolaan wilayah pesisir•• Kurangnya pelaksanaan peraturan yang ada•• Kurangnya partisipasi dan keterlibatan berbagai

sektor•• Kurangnya pengakuan terhadap pengelolaan

tradisional dan indigenous knowledge (kearifanlokal)

Isu-Isu Sosial:•• Pertumbuhan penduduk•• Kemiskinan•• Hilangnya akses•• Isu kesehatan masyarakat

•• Meningkatnya konflik sosial•• Kebebasan berpolitik dan hak asasi

Isu Degradasi Lingkungan:•• Menurunnya kualitas air•• Menurunnya ikan-ikan yang tergantung pada

daerah pesisir (wetland, rawa, bakau, karang,lamun, dll.)

•• Perusakan habitat penting secara langsung atautidak langsung baik oleh alam maupun olehmanusia, seperti perusakan terumbu karang akibatcara penangkapan yang salah (dengan menggunakanbahan peledak, racun, trawl) penambangan karangdan pasir, sedimentasi, penebangan mangrove, erosipantai

•• Degradasi aset budaya dan keindahan akibatpembangunan yang kurang menghargai asset dankeindahan wilayah pesisir

•• Pembangunan garis pantai yang tidak sesuai•• Banjir dan badai laut

Kerangka Kerja Konsep PengelolaanSumberdaya Wilayah Pesisir - BerbasisMasyarakat

Program-program PSWP-BM haruslahdikembangkan dan berprinsip sebagai programsukarela (voluntary program) bagi masyarakat dandesa di wilayah pesisir dimana dalampelaksanaannya bantuan teknis dan pendanaannyaditopang/dianggarkan oleh lembaga/instansipemerintah kabupaten maupun propinsi ataupunlewat swadaya dan usaha masyarakat/desa.Sedangkan tujuan, rencana pengelolaan danpelaksanaan program ditentukan oleh masyarakatsetempat berdasarkan dan mengikuti kebijakan/aturan/pedoman yang dibuat atau disepakati olehpemerintah setempat. Secara umum pendekatanprogram berbasis masyarakat yang dilaksanakanoleh Proyek Pesisir di Sulawesi Utara (lewat model-model di atas) dalam rangka menopang (support)masyarakat yang memanfaatkan sumberdayanyauntuk: memutuskan siapa yang akan memanfaatkansumberdaya dan bagaimana memanfaatkannya, danmelaksanakan pilihan-pilihan pengelolaan yangmereka tetapkan. Berikut ini akan dijelaskan prosesdan langkah-langkah program pengelolaansumberdaya wilayah pesisir desa.

Adapun kerangka kerja konsep (conceptualframework) proses perencanaan dan pelaksanaanberbasis-masyarakat di Sulawesi Utara

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 126: Proceeding ToT ICM

123

sebagaimana digambarkan dalam siklus kebijakandalam Gambar 2 mengikuti langkah-langkah sebagaiberikut:1. Identifikasi Isue2. Persiapan Perencanaan3. Persetujuan Rencana dan Pendanaan4. Pelaksanaan dan Penyesuian

Langkah ke 5 yakni monitoring dan evaluasidilaksanakan oleh masyarakat dan Proyek Pesisirdalam setiap langkah dan tahapan di atas untukmereview setiap langkah.

Model program bagi perencanaan danpelaksanaan rencana pembangunan dan pengelolaanberbasis masyarakat alurnya dapat dijelaskan dalamTabel 1 (terlampir). Model ini menggambarkan apayang dilakukan oleh program menyangkut kegiatanyang dilakukan dan hasil dari tiap kegiatan. Setiaplangkah dalam proses memiliki sejumlah capaianantara yang dihasilkan dari setiap kegiatan yangdilaksanakan. Proses dan kegiatan serta capaian iniakan mengarah pada tujuan akhir atau dampak yangdihasilkan. Table 2 dan 3 (terlampir) merupakanversi yang lebih rinci dari Tabel 1, yang merincilangkah-langkah utama, kegiatan dan hasil yangdiharapkan dalam rangka pembuatan danpelaksanaan rencana pembangunan dan pengelolaanberbasis masyarakat.

Proses Program Pengelolaan SumberdayaWilayah Pesisir Terpadu - BerbasisMasyarakat

Berdasarkan model konsep dan kerangkakerja yang digambarkan dalam Gambar 1 di atasserta tabel 1 dan 3 (terlampir) maka Proyek Pesisirmalakukan berbagai seri kegiatan sebagai berikut:

Identifikasi IsueIdentifikasi masyarakat : Satu rangkaian

kriteria ditetapkan dan dipakai untuk memperkirakanpenerimaan secara cepat dan mudah metode/carapemanfaatan sumberdaya yang lestari dan jugadalam membangun kapasitas masyarakat dalammengambil alih tanggungjawab pengelolaan. Kriteriatersebut antara lain:•• Tingkat tekanan atau derajat kerusakan

sumberdaya akibat pemanfaatan yang tidak lestari(rendah/kecil)

• • Ikatan sosial dan politik masyarakat (tinggi/kuat)• • Ketergantungan masyarakat terhadap

sumberdaya pesisir (tinggi)• • Kecenderungan masyarakat untuk konservasi

sumbedaya (tinggi)•• Ketertarikan masyarakat terhadap kegiatan dan

tujuan program (tinggi)Kriteria di atas dijadikan acuan oleh Tim Kerja

Propinsi dan Proyek Pesisir untuk menentukan lokasidesa dimana model/contoh akan dikembangkanselain kemudahan koordinasi, model pulau kecil,keragaman isu-isu utama dan keragaman kelompoketnis serta strategi diseminasi model/contoh.

Orientasi dan penyiapan masyarakat :Sebelum rencanan pengelolaan dibuat maka upayaawal perlu dilakukan untuk menerangkan danmenjelaskan tujuan program, proses yang akandilalui, dan manfaat yang akan diperoleh kepadamasyarakat. Keterlibatan dan hubungan yang terus-menerus dalam masyarakat sangat penting dandilakukan dengan penempatan secara tetappendamping masyarakat (penyuluh lapangan) yangberasal dari di luar desa dan melibatkan seorangassisten/motivator desa dari masyarakat setempat.Tenaga lapangan ini harus ditopang atau dibantu olehtim teknis yang akan memberikan bantuan ataupelayanan teknis untuk isu-isu tertentu jikadiperlukan. Orientasi dan penyiapan masyarakat inidiisi dengan berbagai kegiatan pendidikan lingkunganhidup (penyuluhan), pelatihan (training), workshopdan studi banding serta keikutsertaan dalam semi-nar, konferensi dan rapat (secara regional maupunnasional). Pendidikan lingkungan hidup yangdiberikan kepada masyarakat berupa penyuluhanmengenai terumbu karang, konsep daerahperlindungan, hutan, hukum lingkungan, habitat danekosistem wilayah pesisir dan pengorganisasianmasyarakat. Pelatihan yang diberikan antara lainpelatihan pengamatan terumbu karang (manta tow),pelatihan menyelam, pelatihan pengukuran danpemantauan profil pantai, pelatihan pengelolaankeuangan, serta pelatihan pengelolaan sumbedayawilayah pesisir terpadu (ICM training). Workshopyang dilakukan seperti workshop penyusunan profildesa, workshop penyusunan rencana pengelolaandesa, workshop kelompok pengelola dll. Studi band-ing seperti studi banding DPL di Pulau Apo, Filipina,pengelolaan hutan bakau seperti di Sulawesi Selatandan study banding usaha kecil dan wisata alam sepertidi Bunaken, Malalayang dan Manado sertakunjungan silang (cross visit) antar masyarakat desa.

Program Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu dan Berbasis Masyarakat .............................

Page 127: Proceeding ToT ICM

124

Orientasi dan penyiapan masyarakat lewat PLH,pelatihan, studi banding dan keterlibatan dalam semi-nar, konferensi dan pertemuan-pertemuan inibertujuan juga untuk meningkatkan kapasitas danpemahaman masyarakat desa dan pemerintah desadalam pengelolaan sumberdaya pesisir.

Pengumpulan data dasar : Data dasarmengenai kondisi sosial ekonomi dan lingkungandiperlukan untuk menentukan atau menilaipencapaian hasil dari adanya intervensi proyek.Dalam rangka kesepakatan dan mencoba model dancara yang baik di lokasi percontohan, survey dananalisa secara mendalam yang memadukan teknikempiris dan sistematis dengan tekhik partisipatif perludilaksanakan. Hal yang sama harus juga dilakukandi desa kontrol untuk membandingkannya dengandesa percontohan dimana intervensi proyekdilakukan. Data dasar yang dikumpulkan antara laindata sosial, ekonomi, lingkungan, dan sejarah. Selaindata dasar dilakukan juga studi teknis seperti potensisumberdaya (mangrove, hutan dan hidupan liar,mariculture) serta strategi Pendidikan LingkunganHidup di masyarakat.

Identifikasi, prioritas dan penetapan isu:Identifikasi isu dilaksanakan berdasarkan penilaiandari tenaga teknis ahli/pakar berdasarkan survey/studi lingkungan dan sosial ekonomi di atas, jugaoleh masyarakat lewat pertemuan-pertemuan for-mal dan informal, diskusi mendalam denganinforman-informan kunci, diskusi dengan masyarakatumum dari berbagai tingkatan dan kelompok-kelompok stakeholder, serta observasi langsung daripendamping masyarakat dan asisten penyuluhlapangan. Perkiraan empiris mengenai beratnya isudibuat oleh tim teknis. Persepsi mengenai berattidaknya isu dan prioritas kegiatan yang perludilakukan ditentukan oleh masyarakat lewatpertemuan-pertemuan formal maupun informal,diskusi maupun workshop. Monitoring partisipatifdimulai oleh dan bersama masyarakat tergantungpada isu (misalnya monitoring dan pemetaan terumbukarang, monitoring pantai akibat erosi pantai). Studiteknis mengenai isu-isu spesifik dapat dilakukan olehkonsultan luar jika diperlukan informasi tambahanyang lebih detail diperlukan bagi penentuan rencanapengelolaan dan pengambilan keputusan. Namundemikian hasil dari studi teknis dan rekomendasinyaharus di sampaikan kepada masyarakat. Isu-isu yangdiidentifikasi baik oleh masyarakat yang didukung

oleh studi teknis dan survey oleh tenaga teknis danpenyuluh lapangan diverifikasi, dikumpulkan dandiprioritaskan oleh masyarakat yang produkakhirnya didokumentasi dalam bentuk ProfilSumberdaya Wilayah Pesisir Desa (Kasmidi et.al.,1999; Tangkilisan et.al., 1999). Profil ini dipakaisebagai dasar bagi masyarakat desa menyusunrencana pembangunan dan pengelolaan terpaduberbasis-masyarakat di masing-masing lokasi/desa.

Persiapan PerencanaanPilihan yang dikembangkan adalah kombinasi

dari masukan dan usulan teknis dari staf teknis yangdipadukan dengan rekomendasi dan ide/pikiran darimasyarakat sendiri. Harus ada komitmen dankesepakatan dari sebagian besar masyarakatsebelum kegiatan dan strategi ditetapkan untukdilaksanakan. Untuk memulai rencana pengelolaandiperlukan kelompok inti yang merupakanperwakilan masyarakat yang akan merumuskanrencana pengelolaan tersebut. Sebelum kelompokinti ini bekerja mereka dibekali terlebih dahulu denganpelatihan penyusunan rencana pengelolaan danmencoba membuat draft rencana pengelolaan yangakan menjadi pemicu dan dasar diskusi konsultasidengan masyarakat dan pemerintah desa. Hasil daridraft rencana pengelolaan ini kemudiandisosialisasikan kepada masyarakat lewat pertemuandan konsulatasi baik secara formal dan informaluntuk mendapatkan masukan, tambahan dan koreksidari masyarakat, pemimpin formal dan informal,pemerintah desa dan stakeholder yang ada di desa.Pelaksanaan awal untuk mencoba prosedur danstruktur pengelolaan, dan membangun dukungan bagirencana jangka panjang dan rencana yangmenyeluruh dikembangkan dan diusulkan olehmasyarakat dengan atau tanpa dukungan proyekseperti: penanaman bakau, pembuatan MCK,pengadaan air bersih, dan pembuatan tanggul; ataudiusulkan oleh tim proyek dan dilaksanakan setelahmendapat persetujuan masyarakat seperti:pembersihan Bintang Laut Berduri (Crown ofThorns -CoTs), pembuatan daerah perlindungan laut,dan pembuatan pusat informasi.

Persetujuan Perencanaan dan PendanaanPersetujuan dan Adopsi : Masyarakat

menentukan prioritas isu dan tujuan bagi pengelolandan kegiatan. Penyuluh lapangan dapat

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 128: Proceeding ToT ICM

125

menambahkan/ memberikan masukan, rekomendasidan tambahan ide tetapi keputusan dan pilihan adalahhak dan tanggungjawab masyarakat. Prosespenetapan dan kesepakatan diupayakan setelah adakonsensus dan dukungan dari mayoritas masyarakat.Proses pengambilan keputusan harus transparan danadil agar supaya dipahami oleh semua pihak bahwaproses penentuan/pengambilan keputusan diketahuidan didukung oleh mayoritas masyarakat dan stake-holder. Rencana pengelolaan dan aturan lokal harusdisepakati secara formal oleh unsur pemerintah dankepala desa. Aturan formal tersebut adalah dalambentuk Peraturan Desa yang ditandatangani olehKepala Desa dan diketahui oleh BPD atau wakilmasyarakat melalui rapat musyawarah desa. Olehpemerintah setempat bersama-sama dengan anggotaKTF kemudian memutuskan untuk mengadopsiRencana Pengelolaan tersebut juga sebagai rencanapembangunan desa.

Pendanaan: Untuk mebiayai kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan dalam rencanapengelolaan, idealnya dimana kegiatan tersebutmembutuhkan bantuan dana, maka usulan dananyaakan diintegrasikan dalam proses DIP/DUP yangdiawali dengan rapat Musyawarah Pembangunan(Musbang) di desa dan Rapat KoordinasiPembangunnan (Rakorbang) di kecamatan sampaikabupaten yang kemudian dianggarkan dalamAPBN/APBD. Sedangkan kegiatan yang tidakmembutuhkan biaya yang besar dapat dilakukansecara swadaya masyarakat, lewat upaya yang sahdari masyarakat maupun lewat pendapatan asli desa.Kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak dapat dibiayaioleh desa dan belum masuk dalam APBN/APBDdapat diusahakan oleh badan/kelompok pengelolalewat bantuan lain dari lembaga/donatur di dalamdan di luar desa/daerah.

Pelaksanaan dan PenyesuaianPelaksanaan : Pelaksanaan kegiatan sedapat

mungkin dilaksanakan oleh masyarakat yangbertindak sebagai pengelola sumberdaya utama.Pendanaan dan bantuan teknis dapat diberikan olehproyek maupun pemerintah kabupaten/propinsi jikadiperlukan. Apabila ada kegiatan tertentu yang tidakdapat dilaksanakan sendiri oleh masyarakatmisalnya: pengaspalan jalan dan pembuatan saranaair bersih. Kegiatan dalam rencana pengelolaandapat disesuaikan sesuai kebutuhan dan perubahan

yang terjadi di desa. Penyesuaian ini harus dilakukansecara terbuka dan atas persetujuan masyarakat dankelompok pengelola bersama-sama denganpemerintah desa. Penyusunan rencana kegiatantahunan dilaksanakan secara terbuka, disepakatioleh masyarakat dan Pemerintah Desa dandipresentasikan kepada pemerintah di tingkatKabupaten untuk diketahui dan didukung.Pelaksanaan rencana kerja tahunan dilaksanakanoleh masyarakat melalui kelompok/badan yang adadi desa yang bertugas/ditugaskan untuk itu.

Monitoring dan evaluasi: Monitoring danevaluasi dari pelaksanaan rencana pengelolaan inidilakukan oleh masyarakat dan pemerintah desauntuk menilai kegiatan dan hasil capaian dari setiapkegiatan. Proses dan pelaksanaan monitoring danevaluasi ini telah diintegrasikan dalam dokumenrencana pembangunan dan pengelolaan. Reviewtahunan dilaksanakan oleh masyarakat dengan atautanpa bantuan atau dukungan pemerintah setempat,dan dilaksanakan sebelum siklus pendanaan tahunanggaran berikutnya dimulai sebagai masukan bagirencana kegiatan tahunan berikutnya. Pelaporanterhadap pelaksanaan dan penggunaan keuangandilaporkan secara terbuka kepada masyarakatdengan membuat laporan formal yang di umumkandalam pertemuan-pertemuan formal dan informalserta di papan-papan informasi desa. PemerintahDesa dan BPD atau lembaga lain di desa bertanggungjawab mengevaluasi dan mengaudit program danpenggunaan dana. Hasil evaluasi ini juga harusdisampaikan kepada masyarakat. Jika dalampelaksanaan terdapat temuan-temuan yang tidaksesuai dengan rencana kerja atau terdapatpenyimpangan penggunaan keuangan maka BPDdan Hukum Tua (Kepala Desa) harus menetapkansolusi untuk pemecahan masalah tersebut.

Isi Rencana Pengelolaan BerbasisMasyarakat di Sulawesi Utara

Mengikuti proses dan langkah-langkah di atasmaka masyarakat dan pemerintah desa di tiga lokasi(empat desa) Proyek Pesisir telah berhasil secarapartisipatif, terbuka, transparan dan didukungsepenuhnya oleh pemerintah daerah (Kabupaten danPropinsi), membuat dan menetapkan RencanaPembangunan dan Pengelolaan tingkat desa.

Struktur dokumen Rencana Pembangunan dan

Program Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu dan Berbasis Masyarakat .............................

Page 129: Proceeding ToT ICM

126

Pengelolaan ini terdiri dari:•• Keputusan Desa mengenai Kesepakatan dan

Pelaksanaan Rencana Pengelolaan•• Gambaran Umum dan Latar Belakang Desa•• Proses Perencanaan dan Tujuan dari Rencana

Pengelolaan•• Visi Masyarakat Desa•• Pengelolaan Isu-isu (berisi gambaran mengenai

isu, tujuan, strategi, kegiatan dan hasil yangdiharapkan)

•• Struktur Kelembagaan•• Monitoring dan Evaluasi

Instansi pemerintah daerah yang tergabungdalam Kabupaten Task Force memandang bahwarencana pengelolaan desa ini dapat dipakai sebagaiproses percobaan perencanaan bottom-up dalamjiwa UU no 22 yang baru yang apabila berhasil dapatditerapkan dalam program pembangunan secaraumum di Sulawesi Utara. Ada keinginan yang kuatdari lembaga-lembaga ini untuk mencoba danmengadopsi pendekatan pengelolaan ini secaraadaptive yaitu bahwa berbagai perubahan dalamprosedur dan struktur pelaksanaan mungkindiperlukan dalam rencana pengelolaan ini. Terdapatpula kemauan dan antusias yang kuat untukmenjadikan pelaksanan dari rencana pengelolaan inidapat berhasil sehingga dapat dijadikan contoh untukditerapkan di desa-desa lain di Sulawesi Utara.

Berdasarkan rencana pengelolaan ini maka dibuat rencana aksi tahunan oleh badan pengeloladimana penentuan prioritas kegiatan dan rencananyaditetapkan dan disetujui oleh masyarakat desa secaratransparan dan terbuka yang dikoordinasi olehbadan pengelola, sedangkan petunjuk, kebijakandan bantuan teknis serta dananya diperoleh daripemerintah daerah (dinas dan instansi yangberkepentingan), APBD/APBN langsung, LSM,perguruan tinggi dan donatur, serta dari pendapatandan usaha yang sah dari desa maupun lewat swadayamasyarakat.

Di Sulawesi Utara, contoh rencana pengelolaanyang dikembangkan oleh masyarakat sudahdisepakati oleh masyarakat dan pemerintah di desamaupun di tingkat kabupaten dan propinsi besertalembaga-lembaga terkait yang ada di daerah. Tahappelaksanaan Rencana Pengelolaan ini sudah dimulaidalam Tahun Anggaran 2000. Proyek Pesisirmembimbing masyarakat, pemerintah desa danBadan Pengelola yang dibentuk untuk melaksanakan

rencana pengelolaan ini. Bantuan teknis berupapendampingan dan pedoman dalam membuatrencana aksi tahunan, pelaksanaan dan monitoringakan dikembangkan oleh masyarakat bersama-samapendamping masyarakat Proyek Pesisir. Untukmendorong masyarakat dan pemerintah memulaipelaksanaan, Proyek Pesisir telah memberikanbantuan financial (grant) pada setiap desa dan danapendamping juga diperoleh dan di ditunjang olehdana dari masyarakat dan dari pemerintah daerahbaik dari BAPPEDA maupun dari dinas/instansiterkait lainnya lewat dana APBD/APBN, termasukbantuan teknis dan dukungan kebijakan dariPemerintah Daerah

Peran Pendamping Masyarakat, Tim Teknisdan Pemerintah Daerah

Satu hal yang kami percaya sangat pentingdalam membantu mitra kerja baik di tingkat lokalmaupun Kabupaten/Propinsi untuk mencapai hasilyang diharapkan adalah mendorong partisipasi yangtinggi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan.Pendamping masyarakat bertindak sebagaikatalisator dan koordinator kegiatan-kegiatan danperencanaan berbasis-masyarakat yang di dukungoleh kantor Proyek Pesisir Manado, konsultan lokal,LSM dan lembaga-lembaga pemerintah setempat.Pendamping masyarakat selain bertugas sebagaikoordinator dan fasilitator kegiatan di atas, jugabersama-sama masyarakat mengadakan pertemuan-pertemuan formal dan informal di desa untukmengadakan penilaian secara partisipatifmenyangkut sejarah, kondisi dan isu-isu pengelolaansumberdaya di desa serta berusaha mencari solusidan kesepakatan pengelolaan yang tepat.

Pendamping masyarakat dari Proyek Pesisirhidup dan bekerja secara tetap dan penuh denganmasyarakat. Mereka berasal dari berbagai latarbelakang ilmu, dari ilmu kelautan sampaipengembangan masyarakat (Pendampingmasyarakat Proyek Pesisir didominasi oleh latarbelakang sarjana Ilmu Kelautan dan Perikanan).Walaupun pendamping masyarakat adalah sarjana(S1) namun masih diperlukan investasi demimengembangkan kapasitas mereka untuk secaraefektif berinteraksi dengan masyarakat maupundalam memahami isu pengelolaan sumberdaya pesisirsetempat. Untuk menjamin proses koordinasi danpelaporan yang cukup, penyuluh lapangan sebulan

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 130: Proceeding ToT ICM

127

sekali mengadakan pelaporan dan pertemuan dikantor Proyek Pesisir (Manado).

Pendamping masyarakat tidak tinggal secarapermanen di desa sampai proyek selesai. Setelahrencana pengelolaan dan/atau aturan dikembangkan,disepakati dan pelaksanaan dimulai, dan masyarakatsudah memiliki kapasitas yang cukup dan terlatihuntuk melakukan sendiri rencana pengelolaan merekadan aturan-aturan mereka, pendamping masyarakatditarik dari lokasi/ desa/masyarakat. Merekakemudian memulai kegiatan perencanaan danpengembangan (outreach) di desa-desa lain atausekitar lokasi desa mereka. Lama waktupenempatan pendamping masyarakat di lokasi/desa/masyarakat berkisar antara satu sampai tiga tahunyang diikuti oleh kunjungan-kunjungan singkat (parttime) minimal dalam jangka waktu satu tahun setelahmereka ditarik secara tetap dari lokasi. Untukmeneruskan kegiatan pendamping masyarakat iniassiten pendamping masyarakat (anggotamasyarakat) yang sudah bekerja sama dan dilatiholeh pendamping masyarakat dan proyekmelanjutkan kegiatan di lokasi sebagai motivator dankatalisator.

Untuk memberikan bantuan teknis kepadapendamping masyarakat, staff Proyek Pesisir danmasyarakat maka dibutuhkan tenaga-tenaga teknis(tim teknis) yang mempunyai keahlian danpengetahuan spesifik yang berhubungan denganpengelolaan sumberdaya pesisir terpadu. Tim teknis(konsultan) Proyek Pesisir seperti antara lain:•• Penasihat lokal (local advisor) yang membantu

proyek pesisir sebagai katalisator denganpemerintah setempat, universitas dan lembagaswasta di daerah serta memberikan masukanteknis terhadap kegiatan/kebijakan pemerintahdan proyek dalam mengembangkan program;

•• Konsultan hukum (legal specialist) yangmembantu proyek dan masyarakat yangberhubungan dengan pengembangan kebijakandan peraturan daerah dalam pengelolaan wilayahpesisir serta membantu masyarakat desa danpendamping masyarakat dalam merumuskanaturan lokal (ordinances) pengelolaan pesisirseperti Keputusan Desa untuk DaerahPerlindungan Laut dan Rencana Pembangunandan Pengelolaan Desa;

•• Ahli perencanaan pesisir (coastal planner) yangmempunyai keahlian di bidang teknik seperti

perubahan garis pantai, erosi dan pekerjaan umum;•• Konsultan di bidang perikanan (budidaya laut dan

ikan) yang memberikan masukan bagi kegiatan-kegiatan dibidang budidaya laut dan matapencaharian tambahan dibidang perikanan; serta

•• Konsultan agroforestry yang membantu dalamupaya perlindungan dan konservasi hutan,perlindungan sumber air dan aktivitas pertanian.

Selain membantu tim/staff Proyek Pesisir, timteknis juga melakukan pelatihan, penyuluhan, danmemberikan masukan teknis langsung kepadamasyarakat.

Pemerintah setempat (khususnya di tingkatdesa tetapi juga kadangkala di tingkat yang lebihtinggi) harus dipandang sebagai stakeholder dalamproses perencanaan, dan karena itu perlu dilibatkansejak awal proses - karena proses partisipasi jugamengharuskan keterlibatkan semua stakeholdersejak awal proses. Dimasa lampau banyak proyekberbasis masyarakat yang gagal melibatkanpemerintah setempat sejak awal proses sehinggawalupun mayoritas masyarakat sudah siap dalamproses perencanaan namun tidak didukung olehpemerintah setempat. Dilain pihak banyak kegiatanperencanaan pembangunan yang dilakukan olehpemerintah yang tidak melibatkan masyarakat sejakawal proses mengalami kegagalan karena tidakmelibatkan masyarakat sejak awal prosesperencanaan.

Peran pemerintah daerah (Propinsi,Kabupaten, Kecamatan dan Desa) sangat pentingbagi upaya pengelolaan sumberdaya wilayah pesisirdi daerah terutama dalam upaya desentralisasi(otonomi) pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir.Peran, teterlibatan dan dukungan dari pemerintahsetempat mulai dari tahap intervensi proyek,penentuan lokasi kegiatan (sebagai lokasi pilot),kebijakan pengelolaan di daerah, keterlibatanlangsung dan dukungan pada program yangdikembangkan oleh proyek maupun keterlibatan dandukungan kepada masyarakat di desa terhadapupaya yang dilaksanakan oleh masyarakat sangatmenentukan keberhasilan program di lapangan.Selain keterlibatan dan dukungan, pemerintah daerahsetempat juga berperan dalam memberikan bantuanteknis maupun pendanaan (dana pendamping) bagikegiatan dan program yang diusulkan sertadisepakati oleh masyarakat. Bantuan teknis dandana seperti ini dilihat oleh masyarakat dan

Program Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu dan Berbasis Masyarakat .............................

Page 131: Proceeding ToT ICM

128

pemerintah di desa sebagai keseriusan daripemerintah daerah (Kabupaten dan Propinsi) dalammendukung program di lapangan. Peran utamapemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdayawilayah pesisir adalah dalam menyetujui rencanapembangunan dan pengelolaan serta keputusan desa,mengadopsi rencana pembangunan dan pengelolaandesa serta replikasi contoh/model yangdikembangkan di desa-desa contoh (field sites) kedesa, kecamatan dan kabupaten lain di SulawersiUtara. Dalam mengoptimalkan dan memadukanperan pemerintah daerah maka dibentuk Provin-cial Working Group (Tim Kerja Propinsi) yangterdiri dari instansi terkait di tingkat propinsi yangkemudian menjadi Provincial Advisory Commit-tee (Tim Penasihat Propinsi) dan Komite PengelolaanSumberdaya wilayah Pesisir Terpadu. Tim yangsama juga di bentuk di tingkat kabupaten yang diberinama Kabupaten Task Force yang jugaberanggotakan dinas dan instansi terkait di kabupatenserta unsur dari universitas dan LSM. Perbedaanfokus peran antara Tim Penasehat Propinsi danKabupaten Task Force terletak pada fungsikoordinasinya yakni di tingkat propinsi tim/komiteberperan terutama untuk fungsi memberikan nasihatdan kebijakan propinsi sedangkan untuk Task Forcemenekankan pada koordinasi kegiatan pelaksanaandi lapangan.

Pembelajaran dalam Program PSWP-BM diKab. Minahasa, Sulawesi Utara

Kegiatan-kegiatan proyek dilapang telahmendapatkan sejumlah besar produk (sepertilaporan-laporan teknis, dokumen profil dan rencanapengelolaan, masyarakat dan staff pemerintahsetempat yang telah dilatih, dst) dan yang lebih pentingadalah hasil (outcome) yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan. Hasil-hasil antara yang penting yangdiperoleh dan nyata disemua desa proyek termasukantara lain:•• Peningkatan kesadaran dan pemahaman mengenai

isu-isu pengelolaan pesisir dari masyarakat.•• Konsensus dan dukungan dari anggota

masyarakat dan pemimpin mengenai isu-isuprioritas yang perlu segera dilaksanakan termasuktujuan dan kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukanuntuk menjawab permasalahan danmengembangkan potensi dan peluang.

•• Perubahan perilaku menyangkut masyarakat

dalam melindungi dan memanfaatkan sumberdayasecara berkelanjutan sudah mulai nampak(misalnya menurunnya penggunaan bahan peledakdan racun, penambangan karang, perlindunganterumbu karang, dan penanaman kembali hutanmangrove)

•• Menguatnya kapasitas mansyarakat dan lembagadi tingkat desa dalam pengelolaan sumberdaya

•• Dukungan pemerintah terhadap upayaperencanaan dan pengelolaan berbasismasyarakat dan bottom-up mulai dari desa,kabupaten dan propinsi

Di setiap desa lapangan Proyek Pesisir, contohspesifik hasil nyata di lapangan seperti terlihat dalamTabel 4.

Hasil dan kemajuan nyata diatas sudahnampak dan diperoleh walaupun rencanapengelolaan baru dilaksanakan dan dievaluasi. Masihbanyak upaya yang perlu dilakukan dalammemperkuat kapasitas masyarakat dan lembaga didesa dalam melaksanakan program yang sudahditetapkan. Mekanisme pengelolaan oleh masyarakatdan koordinasi antar lembaga dalam pelaksanaandi lapang masih akan dicoba sejalan denganpelaksanaan rencana pengelolaan desa ini. Diakuibahwa keberlanjutan pendekatan pengelolaanberbasis-masyarakat sebagaimana dihasilkan dandicoba di Sulawesi Utara ini belum pasti karenanyadibutuhkan beberapa tahun lagi sebelum kita yakinbahwa model/contoh yang dikembangkan diSulawesi Utara ini sesuai untuk diterapkan di Indo-nesia secara umum dan di Sulawesi Utara secarakhusus.

Kemajuan dan hasil nyata juga telah diperolehdi tingkat propinsi dan kabupaten dalammelembagakan contoh pendekatan yang dilakukanoleh Proyek Pesisir dalam pengelolaan sumberdayawilayah pesisir-berbasis masyarakat ini kedalamprogram pemerintah setempat. Hasil spesifik yangdiperoleh antara lain:•• Meningkatnya dukungan di antara lembaga-

lembaga utama di tingkat Propinsi dan Kabupaten(khususnya Bappeda dan Dinas Perikanan danKelautan) bagi program pengelolaan sumberdayawilayah pesisir berbasis masyarakat yangdikembangkan oleh Proyek Pesisir khususnyaDPL untuk disebarluaskan dan diterapkan didesa-desa lain.

•• Pengakuan bahwa pendekatan pengelolaan

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 132: Proceeding ToT ICM

129

Tabel 4. Contoh-contoh hasil nyata di tiap desa Proyek Pesisir di Sulawesi Utara

berbasis-masyarakat yang dikembangkan olehProyek Pesisir sebagai uji coba dan punya potensiyang baik untuk dipakai sebagai model/contohprogram desentralisasi sesuai UU No 22 tahun1999 mengenai otonomi daerah dan karena itukeinginan untuk secara adaptive mencobapendekatan baru untuk mengembangkan strategipenyebarluasan model secara lebih luas lagi (scal-ing-up model).

•• Meningkatnya pemahaman dan diskusi-diskusimengenai proses dan sumberdaya yangdibutuhkan dalam keberhasilan upayapenyebarluasan model dalam program pemerintahdaerah.

•• Kesepakatan bahwa upaya penyebarluasan (scal-ing-up) dapat dimulai melalui program danlembaga yang ada di daerah dan melalui usulandana APBN/APBD untuk memulai replikasi ditingkat Kabupaten (Minahasa) dan Propinsi(Sulawesi Utara). Replikasi sementara dilakukandi Kecamatan Likupang sedangkan contohPSWP-BM sudah mulai diadopsi oleh lembaga

donor lainnya seperti JICA dan masyarakatsekitar.

•• Sementara diagendakan oleh DPRD untukmenetapkan Peraturan Daerah KabupatenMinahasa mengenai PSWPT-BM

Sebelum Proyek Pesisir ini berakhir, makadiharapkan berbagai capaian dan hasil yang dapatdilihat, ditinggalkan dan diteruskan oleh masyarakatadalah antara lain:•• Daerah Perlindungan Laut (Marine Sanctuary)

di tiap desa Proyek Pesisir dibentuk dan berjalandengan baik.

•• Rencana Pengelolaan dapat dilaksanakan,dievaluasi dan dilembagakan oleh Pemda.

•• Pusat Informasi Sumberdaya Wilayah Pesisir diDesa dibangun dan dimanfaatkan.

•• Ekoturisme berbasis masyarakat di Talise danBentenan berkembang.

•• Sanitasi lingkungan masyarakat meningkat.•• Banjir dan erosi berkurang.•• Hutan bakau, terumbu karang dan lamun

terpelihara dengan baik.

Program Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu dan Berbasis Masyarakat .............................

Page 133: Proceeding ToT ICM

130

•• Hutan dan satwa langka dilindungi dan lestari•• Agroforestry dan kegiatan pertanian berkembang

dengan baik.•• Sumber mata air terlindungi.•• Kegiatan penangkapan ikan secara destruktif

berkurang dan dilarang.•• Adanya kesepakatan dalam menyelesaikan konflik

dalam menentukan areal pemanfaatan diantarapengguna sumberdaya laut di desa (terutama diTalise dan Bentenan -Tumbak)

•• Kelompok Pengelola aktif dan berperan denganbaik.

•• Masyarakat mampu memahami dan menanganiisu secara mandiri.

•• Kemampuan dalam melakukan evaluasi secarapartisipatif untuk pelaksanaan RencanaPengelolaan dan kegiatan-kegiatan lainnya.

•• Aturan-aturan yang sudah dikembangkanditetapkan dilaksanakan (penegakan aturan)

•• Berkembangnya mata pencaharian tambahan yangberkelanjutan.

KesimpulanDari pengalaman Proyek Pesisir dalam

memfasilitasi PSDWP-BM maka sejumlah pelajarandan kesimpulan dapat dirangkum. Dokumentasipembelajaran dari kegiatan Proyek Pesisir ini sejaktahun 1999 sudah dilakukan oleh Learning TeamInstitut Pertanian Bogor dan sudah dipresentasikandalam Learning Team Workshop di Bogor dan ditulisdalam beberapa dokumen (Sondita et.al. 1999,2000, 2001). Pelajaran dan kesimpulan yangdipaparkan berikut ini sebagiannya mungkin sudahdipaparkan dalam dokumen-dokumen tersebut.

Rasa memiliki masyarakat terhadap rencanapengelolaan merupakan hal yang penting danmembutuhkan partisipasi nyata dari masyarakatdalam tahap-tahap perencanaan dan pelaksanaan.Masyarakat desa di wilayah pesisir apabila dilatihdan diperkuat kemampuan dan kapasitas merekaserta diberi kepercayaan secara partisipatif akanmampu bertanggungjawab secara baik dalammengelola sumberdana dan sumberdaya secara baik,mampu melakukan pemantauan/monitoring kondisisumberdaya pesisir secara tepat serta dapat dirubahdari pemanfaat murni sumberdaya menjadi pengelolasumberdaya mereka sendiri.

Peningkatan pengembangan kapasitasmasyarakat dan kelompok yang bertugas untuk

melaksanakan rencanan pengelolaan harusmendapatkan perhatian serius dan penekanan utamaselama proses persiapan, perencanaan, bahkanharus dilanjutkan sampai pada tahap pelaksanaan.Tanpa kapasitas yang cukup bagi pengelolaan makakemungkinan keberhasilan secara berkelanjutanakan sulit dijamin.

Program pengelolaan sumberdaya wilayahpesisir-berbasis masyarakat harus dipandang sebagaipendekatan pengelolaan bersama (co-manage-ment) atau secara kolaboratif dimana masyarakatdan pemerintah setempat (di desa, kecamatan danditingkat kabupaten) secara aktif bekerjasamaselama proses perencanaan dan pelaksanaan.Partisipasi masyarakat akan sangat efektif apabiladiintegrasikan sejak awal proses perencanaanbersamaan dengan keterlibatan aktif dari lembagapermerintah. Karena belum ada pengalaman dantradisi yang cukup panjang menyangkut “bottom-up planning” dan partisipasi masyarakat yang nyata,penekanan dan perhatian pada pengembangankapasitas sangat penting bagi pengelolaan berbasis-masyarakat.

Dukungan dari pejabat pemerintah ditingkatkabupaten dan propinsi akan juga mempercepatkemungkinan keberhasilan program. Demikian jugadi tingkat desa, dukungan yang kuat dari pemimpinsetempat pada saat memulai proses perencanaanakan menjamin bahwa proses perencanaan tersebutberhasil dan mempercepat waktu yang dibutuhkandalam mengembangkan rencana pengelolaan. Biladukungan yang kuat dari masyarakat sudah dibangundan rencana pengelolaan sudah ditetapkan makaperubahan dalam kepemimpinan di desa akanmemberikan dampak yang kecil atau tidakberpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan.

Ketrampilan dan komitmen pendampingmasyarakat merupakan syarat utama keberhasilanprogram, namun demikian masih diperlukan investasibagi pengembangan kapasitas dari pendampinglapangan terutama dalam ketrampilan dankemampuannya untuk pengembangan masyarakat,menumbuhkan partisipasi masyarakat danpengelolaan pesisir terpadu.

Pelaksanaan awal perlu dilakukan untukmembangun dukungan masyarakat bagi konsepPengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir - BerbasisMasyarakat, menciptakan kepercayaan masyarakatterhadap lembaga yang membantu masyarakat dalam

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 134: Proceeding ToT ICM

131

proses dan membantu meningkatkan kemampuankapasitas masayarakat dalam perencanaan danpengelolaan sumberdaya pesisir berbasis-masyarakat. Pelaksanaan awal juga berperan sebagaiujicoba pelaksanaan pengelolaan dan proses belajarmasyarakat dalam pengelolaan pesisir berbasismasyarakat. Mengingat tujuan pelaksanaan awal diatas, maka jenis pelaksanaan awal tidak terlalupenting tetapi harus didasarkan pada keinginanmasyarakat dan proses dalam menentukan jenispelaksanaan awal tersebut. Karena itu kegiatanseperti MCK, pusat informasi, mata pencahariantambahan dll. cocok untuk ditetapkan/diterimasebagai kegiatan pelaksanaan awal.

Lembaga yang terlibat memerlukan kerjasamadan keterlibatan dengan masyarakat sampai tahappelaksanaan rencana pembangunan dan pengelolaansudah berjalan dengan baik. Lembaga yang terlibatharus tinggal di lokasi sampai masyarakat sudahbenar-benar siap dan memiliki kapasitas yang cukupuntuk secara mandiri mengelola sumberdayamereka. Lembaga atau badan pengelola lokal yangdibentuk sudah harus terorganisasi dan berjalandengan baik sebelum lembaga yang terlibat ditarik/keluar dari masyarakat. Penarikan lembaga dari desaharus dilakukan secara perlahan-lahan.

Metode partisipasi harus menggunakan metodeformal dan informal. Secara formal adalah melaluipertemuan masyarakat, diskusi dan presentasi lewatlembaga formal yang ada di desa termasuk sekolah,organisasi keagamaan, arisan, dll. Secara informalmelalui diskusi tatap muka antara individu, dari rumahke rumah, di tepi pantai dan jalan, dan keterlibatandalam kegiatan sosial dan produktif dalammasyarakat seperti dalam pesta kawin, ulang tahun,kematian, menangkap ikan, panen dll. Metode/pendekatan informal memiliki nilai yang sama danbahkan lebih penting daripada pendekatan formalnamun metode informal memerlukan waktu yangpanjang tetapi kadangkala lebih efektif daripadametode formal.

Setelah rencana pengelolaan disepakati, makauntuk menjamin keberlanjutannya dibutuhkanjaringan kerjasama dan keterlibatan dengan luar danlokal yang mendukung rencana pengelolaan tanpamemandang apakah lembaga tersebut dari LSM,universitas maupun lembaga pemerintah.

Proses pembuatan Rencana Pengelolaan danPembangunan Sumberdaya Wilayah Pesisir -

Berbasis Masyarakat memerlukan waktu minimalsatu tahun. Untuk mendapatkan rencana berbasismasyarakat yang efektif memerlukan prosespartisipatif yang tinggi dan dukungan dari mayoritasmasyarakat sehingga membutuhkan waktu yanglama. Apabila dibentuk kurang dari satu tahun makakemungkinan untuk kelanjutan dan keberhasilan sulitdi capai atau dipertahankan. Pengalaman di berbagainegara seperti Filipina, untuk membangun komitmendan kemampuan kapasitas masyarakat dalampengelolaan berbasis-masyarakat memerlukanwaktu yang panjang.

Perubahan lingkungan dan kondisi sumberdayatidak akan nampak dalam waktu singkat dandiperlukan beberapa tahun setelah rencanapengelolaan tersebut di sepakati dandiimplementasikan sampai perubahan ini mulaikelihatan. Dampak terhadap masyarakat bahkanmembutuhkan waktu yang lebih lama daripadaperubahan lingkungan. Pada beberapa kasusintervensi khusus seperti daerah perlindungan dapatmenunjukkan hasil yang lebih cepat seperti dalampeningkatan dan perubahan terhadap kelimpahanikan, keanekaragaman species dan tutupan karang- perubahannya dapat diperoleh minimal dalamwaktu satu tahun. Dalam hal produksi perikanandisekitar daerah perlindungan laut, sebagaimanapengalaman di Filipina dan Pasifik Selatan,diperlukan waktu antara tiga sampai lima tahunsetelah daerah perlindungan ditetapkan.

Untuk mencapai keberhasilan pendekatanberbasis-masyarakat hal yang penting adalahperlunya menempatkan secara tetap tenaga penyuluhlapangan yang berpengalaman dan terlatih yang akanmemotivasi, mengkoordinasi, menfasilitasi danmelatih masyarakat dalam kegiatan-kegiatanpengelolaan berbasis-masyarakat di desa.Sumberdaya dan perhatian khusus dalammembangun kapasitas sumberdaya manusia untukprogram-program berbasis-masyarakat perludilakukan sejak dari awal yang di barengi denganpelatihan jangka pendek yang mampu diterima olehmasyarakat desa dapat dilaksanakan jika ada tenagapenyuluh lapangan yang mencurahkan waktu dantenaganya secara penuh di desa.

Dukungan dari pemerintah pusat dan daerahdalam mendorong desentralisasi pengelolaansumberdaya wilayah pesisir untuk menjamin kualitasdan kelestarian sumberdaya wilayah pesisir dimana

Program Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu dan Berbasis Masyarakat .............................

Page 135: Proceeding ToT ICM

132

banyak penduduk miskin menggantungkan hidupnyasangat diperlukan. Program-program desentralisasidapat lebih efektif/murah biayanya, lebih adil/seimbang dan lebih lestari/berkesinambungandibanding program-program terpusat (centralized).

PenghargaanProyek Pesisir Sulawesi Utara mengucapkan

terima kasih kepada panitia Pelatihan PengelolaanSumberdaya Pesisir Terpadu yang telah mengundangProyek Pesisir Sulawesi Utara untuk menyampaikanpresentasi dan makalah dalam pelatihan ini. Terimakasih kepada BAPPEDA Propinsi Sulawesi Utaradan Kabupaten Minahasa beserta lembaga terkaitdalam Tim Pengarah Propinsi dan Tim KerjaKabupaten Minahasa yang memberikan bantuan dankerjasama yang baik dalam kegiatan Proyek Pesisirdi Sulawesi Utara. Kami berterima kasih kepadaUSAID sebagai penyandang dana kegiatan ProyekPesisir di Sulawesi Utara. Opini dan pandanganyang dikemukakan dalam paper ini adalah opini danpandangan penulis dan tidak merupakan pandangandari CRC-URI, USAID, maupun mitra kerja dariPemerintah Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Ablaza-Baluyut, E. 1995. The Philippine fisheries sectorprogram. pp. 156-177. In: Coastal and Marine Envi-ronmental Management: Proceedings of a Workshop.Bangkok, Thailand, 27-29, March, 1995. Asian Devel-opment Bank. pp. 331.

Buhat, D. 1994. Community-based coral reef and fisheriesmanagement, San Salvador Island, Philippines. pp.33-49. In: White, A. T., L.Z. Hale, Y Renard and L.Cortesi. (Eds.) 1994. Collaborative and community-based management of coral reefs: lessons from experi-ence. Kumarian Press, West Hartford, Connecticut,USA. pp. 124.

Calumpong H. 1993. The Role of Academe in CommunityBased Coastal Resource Management: The Case ofAPO Island. In: Proceedings of the Seminar Workshopon Community-Based Coastal Resources Manage-ment: Our Sea Our Life. Lenore P. C. (eds.). VoluntaryServices Overseas, New Manila, Quezon City,Philiphines.

Crawford, B.R., I. Dutton, C. Rotinsulu, L. Hale. 1998. Com-munity-Based Coastal Resources Management in In-donesia: Examples and Initial Lessons from NorthSulawesi. Paper presented at Internaional TropicalMarine Ecosystem Management Symposium,Townsville, Australia, November 23-26

Crawford, B.R., P. Kussoy, A Siahainenia and R.B. Pollnac,1999. Socioeconomic Aspects of coastal resources usein Talise, North Sulawesi. Proyek Pesisir Publication.University of Rhode Island, Coastal Resources Cen-ter, Narragansett, Rhode Island, USA. pp. 67

Crawford, B.R., J.J. Tulungen. 1998a. Metodological ap-proach of Proyek Pesisir in North Sulawesi. WorkingPaper. Coastal Resources Management Project - Indo-nesia. Coastal Resources Center, University of RhodeIsland and the US Agency for International Develop-ment. Jakarta.

Crawford, B.R., J.J. Tulungen. 1998b. Marine Sanctuary asa Community Based Coastal Resources ManagementModel for North Sulawesi and Indonesia. WorkingPaper. Coastal Resources Management Project - Indo-nesia. Coastal Resources Center, University of RhodeIsland and the US Agency for International Develop-ment. Jakarta.

Crawford, B.R., J.J. Tulungen. 1999a. Scaling-up InitialModels of Community-Based Marine Sanctuaries intoa Community Based Coastal Management Program asa Means of Promoting Marine Conservation in Indo-nesia. Working Paper. Coastal Resources ManagementProject - Indonesia. Coastal Resources Center, Uni-versity of Rhode Island and the US Agency for Inter-national Development. Jakarta.

Crawford, B.R., J.J. Tulungen. 1999b. Concept for a Decen-tralized Provincial and/or Kabupaten Coastal Manage-ment Program in North Sulawesi. Working Paper.Coastal Resources Management Project - Indonesia.Coastal Resources Center, University of Rhode Islandand US Agency for International Development. Jakarta.

Ferrer, E. M., L. Polotan-Dela Cruz and M. Agoncillo-Domingo (Eds.). 1996. Seeds of hope: A collection ofcase studies on community based coastal resourcesmanagement in the Philippines. College of Social Workand Community Development, University of the Phil-ippines, Diliman, Quezon City, Philippines. pp. 223.

Kasmidi, M., A. Ratu, E. Armada, J. Mintahari, I. Maliasar,D. Yanis, F. Lumolos, dan N. Mangampe. 1999. ProfilSumberdaya Wilayah Pesisir Desa Blongko, KecamatanTenga, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. In press.Proyek Pesisir. University of Rhode Island, CoastalResources Center, Naragansettt, Rhode Island, USA.

Pollnac, R.B., C. Rotinsulu and A. Soemodinoto. 1997. RapidAssesment of Coastal Management Issues on theCoast of Minahasa. Coastal Resources ManagementProject - Indonesia. Coastal Resources Center, Uni-versity of Rhode Island, and the US Agency for Inter-national Development, pp. 60.

Polotan-de la Cruz, L. 1993. Our Life Our Sea. Proceedingsof the seminar workshop on community-based coastalresources management. February 7-12, 1993, SillimanUniversity, Dumaguete City, Philippines. VoluntaryServices Overseas, Quezon City, Philippines. pp. 95.

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 136: Proceeding ToT ICM

133

Pomeroy, R.S. 1994. Community management and com-mon property of coastal fisheries in Asia and the Pa-cific: concepts, methods and experiences. ICLARMConf. Proc. 45. International Center for Living AquaticResources Management, Metro Manila Philippines.pp.185.

Pomeroy, R.S. and M.B. Carlos. 1997. Community-basedcoastal resources management in the Philippines: areview and evaluation of programs and projects, 1984-1994. Marine Policy. Vol. 21. No. 5. pp. 445-464.

McManus, J.W., C. vanZwol, L.R. Garces and D.Sadacharan. Editors. 1998. A framework for future train-ing in marine and coastal protected area management.Proceeding ICLARM Conference 57. 54p.

Sondita, M.F.A., N.P. Zamani, Burhanuddin, B. Priyantodan A. Tahir (editors). 1999, Pelajaran dari pengalamanProyek Pesisir 1997 - 1999. Prosiding Lokakarya HasilPendokumentasian Kegiatan Proyek Pesisir. PKSPL -Institut Pertanian Bogor dan CRC - University of RhodeIsland

Sondita, M.F.A., N.P. Zamani, Burhanuddin, B. Priyantodan A. Tahir (editors). 2000. Pelajaran dari pengalamanProyek Pesisir 1997 - 2000. Prosiding Lokakarya HasilPendokumentasian Kegiatan Proyek Pesisir. PKSPL -Institut Pertanian Bogor dan CRC - University of RhodeIsland

Sondita, M.F.A., N.P. Zamani, Burhanuddin, B. Priyantodan A. Tahir (editors). Pelajaran dari pengalamanProyek Pesisir 1997 - 2001. Prosiding Lokakarya HasilPendokumentasian Kegiatan Proyek Pesisir. PKSPL -Institut Pertanian Bogor dan CRC - University of RhodeIsland

Tangkilisan, N., V. Semuel, F. Masambe, E. Mungga, I.Makaminang, M. Tahumul dan S. Tompoh. 1999. ProfilSumberdaya Wilayah Pesisir Desa Talise, KecamatanLikupang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Inpress. Proyek Pesisir. University of Rhode Island,Coastal Resources Center, Naragansettt, Rhode Island,USA.

Tulungen, J.J., P. Kussoy, B.R. Crawford. 1998. CommunityBased Coastal Resources Management in Indonesia:North Sulawesi Early Stage Experiences. Paper pre-sented at Convention of Integrated Coastal Manage-ment Practitioners in the Philippines. Davao City. 10 -12 Nopember.

Tulungen, J.J., B.R. Crawford, I. Dutton. 1999 PengelolaanSumberdaya Wilayah Pesisir Berbasis-masyarakat diSulawesi Utara sebagai salah satu contoh OtonomiDaerah dalam Pembangunan Pesisir. Paperdipresentasikan dalam Seminar Ilmiah hasil-hasilPenelitian Unggulan, Likupang, Sulawesi Utara, 15Desember 1999

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 1997. KantorMenteri Negara Lingkungan Hidup/BAPEDAL.Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999tentang Pemerintahan Daerah. 1999. Departemen DalamNegeri. Jakarta.

White A.T. 1989. Two Community-based marine reserves:Lessons Learned for Coastal Management. P. 85-96.In: Coastal Area Management in Southeast Asia: Poli-cies, Management Strategies and Case Studies. Pro-ceeding ICLARM Conference 19. T.E Chua and D.Pauly (eds.) 254 p. Ministry of Science and Technol-ogy and the Environment, Kuala Lumpur; Johor StateEconomic Planning Unit, Johore Baru, Malaysia; andInternational Center for Living Aquatic ResourcesMangement, Manila, Philippines.

White A.T., L. Z. Hale, Y. Renard, L. Cortesi. 1994. Collabo-rative and Community-Based Management of CoralReefs: Lesson from Experience. Kumarian Press. WestHartford, Con. USA.

White A.T, A. Cruz-Trinidad. 1998. The values of Philip-pine Coastal Resources: Why Protection and Man-agement are Critical. Coastal Resources ManagementProject, Cebu City, Philippines, 96p.

World Bank. 1999. Voices from the village: a comparativestudy of coastal resource management in the PacificIslands. Pacific Islands Discussion Paper Series Num-ber 9 (and No. 9A-Summary Report). World Bank, EastAsia and Pacific Region, Papua New Guinea and Pa-cific Islands Country Management Unit. WashingtonD.C. USA.

Program Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu dan Berbasis Masyarakat .............................

Page 137: Proceeding ToT ICM

134

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 138: Proceeding ToT ICM

135

Program Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu dan Berbasis Masyarakat .............................

Page 139: Proceeding ToT ICM

136

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 140: Proceeding ToT ICM

137

Program Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu dan Berbasis Masyarakat .............................

Page 141: Proceeding ToT ICM

138

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

EVOLUSI : NGO Via ORNOP ke LSMKonferensi Stockholm 1972 secara eksplisit

mengidentifikasi tanggung jawab pemerintah dalamupaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan(Patterson &Theobald, 1999: 157). Kendatidemikian banyak pihak berpendapat bahwa secaraimplisit Konferensi ini merupakan awal pelibatanpihak non-pemerintah, utamanya setelah disadaribahwa pemerintah tidak mungkin secara efektifmelakukan seluruh upaya perlindungan danpengelolaan tersebut (lihat misalnya Khosla, 1997;Parker dan Selman, 1999; Filho, 1999).

Pada akhir dasawarsa 1970an itu pula tumbuhpesat wacana perencanaan pembangunan ekonomimaupun pengelolaan dan pemanfaatan sumberdayaalam. Ini yang kemudian melahirkan dikotomi rentangperencanaan yang menempatkan pemerintah di satuujung (formal) dan masyarakat di ujung yang lain(perencanaan informal atau ketiadaan perencanaan).Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) hadir dansecara progresif menjembatani dikotomi ini, sehinggaterbentuklah segitiga Pemerintah - Masyarakat -LSM (lihat misalnya Haeruman, 1992). Tidak jelasapakah “segitiga” serupa secara khusus dijumpaipula pada pengelolaan wilayah pesisir.

Sejak 1978 saat dibentuknya Kantor MenteriNegara Pengawasan Pembangunan dan LingkunganHidup (PPLH), Menteri PPLH mendorongperanserta berbagai kalangan di luar pemerintahdalam upaya penyadaran dan pengelolaan lingkunganhidup. Kelompok utama yang didekati termasuk:pengusaha, ulama, mahasiswa dan pencinta alamserta kelompok minat atau hobi yang berkaitandengan satwa dan fauna. Sebagian kelompok inisecara informal dirangkul oleh Menteri PPLH dalamKelompok 10 yang terutama aktif dalam kegiatanpenyadaran.

Sejumlah organisasi pencinta alam kemudianpada bulan Oktober 1980 membentuk Wahana

Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yangindependen dari pemerintah kendati awalnyamemperoleh bantuan dana tidak mengikat daripemerintah. Para anggota Walhi disyaratkan bukanmerupakan organisasi pemerintah. Walhi dengandemikian merupakan jejaring pertama organisasinon-pemerintah (Ornop) yang bergerak di bidanglingkungan hidup di Indonesia. Walhi ketika itudiharapkan menjadi mitra dalam perencanaan danpengelolaan lingkungan termasuk menjadi pemasokpendekatan alternatif pada bidang-bidang yang tidakdapat secara efektif ditangani oleh pemerintah.

Arti penting keberadaan Ornop ini lebih lanjutditegaskan dalam Undang-undang No. 4/1982tentang Pokok-pokok Pengelolaan LingkunganHidup. Undang-undang ini secara formalmenggunakan istilah Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM) untuk mendefinisikan “organisasi yang tumbuhsecara swadaya, atas kehendak dan keinginansendiri, di tengah masyarakat, dan berminat sertabergerak dalam bidang lingkungan hidup” (pasal 1:12, UU 4/1982). Dalam pengertian organisasitermasuk pula kelompok swadaya masyarakat(Penjelasan Umum, UU 4/1982) . Undang inimenempatkan pemerintah sebagai pemegang kendaliutama, sedangkan LSM berperan sebagai“penunjang bagi pengelolaan lingkungan hidup” (BabV : Kelembagaan, pasal 19, UU 4/1982). LSMsecara tidak langsung diberi peran sebagai perantaraantara pemerintah sebagai pengelola dan masyarakatyang secara implisit memperoleh posisi obyekkegiatan.

Untuk keperluan makalah ini, istilah LembagaSwadaya Masyarakat (LSM) digunakan sebagaipadanan istilah Non Government Organization(NGO) atau Private Voluntary Organization (PVO),dan mencakup pula Kelompok SwadayaMasyarakat (KSM).

PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DALAMPRAKTEK PENGELOLAAN PESISIR SECARA TERPADU

TITAYANTO PIETERConservation Partnership, The Nature Conservancy, Indonesia Program Office

[email protected]

Page 142: Proceeding ToT ICM

139

Peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Praktek Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu

Mimikri dan AdaptasiSecara bertahap alam melakukan seleksi

sehingga hanya komponen yang unggul yaitu yangmampu beradaptasi pada lingkungan tertentu yangbakal bertahan hidup (Wallace, 1962; Darwin,1964). Proses ini diawali dengan keragaman danciri yang merata serta akan berujung padaspesialisasi. Sosok LSM lingkungan di Indonesiamengalami pula proses serupa.

Pada awalnya LSM cenderung menanganisegala kegiatan yang mereka hadapi di lokasi binaanatau lokasi kerjanya. Secara bertahap LSM akancenderung memilih aspek tertentu untuk merekageluti secara intensif. Sebagaimana komponen hayatidalam ekosistem, LSM mulai dengan diversifikasikegiatan sebagai tanggapan atas kelimpahan tetapikemudian akan tergiring secara alami untukmelakukan spesialisasi.

Tipologi LSM dapat didasarkan pada berbagaihal seperti (1) lokasi (misal Pulau Barang Cedi VsDepapre, (2) cakupan geografis wilayah kerja (misalnasional Vs Provinsi Sulawesi Utara Vs KabupatenMinahasa Vs Kecamatan Tenga Vs Desa Blonko),(3) sektor garapan (misal pertanian dataran tinggiVs budidaya rumput laut atau ikan kerapu), (4)keterlibatan dalam perumusan kebijakan(pendampingan tanpa sasaran kebijakan Vsperumusan dan pembahasan kebijakan), (5) aliansike organisasi induk (lokal Vs nasional Vsinternsional).

Tetapi secara umum LSM memiliki ciri-ciri: (1)Minat dan perhatian yang khas (kawasan geografis,isu) pada konteks waktu tertentu, (2) Pengetahuanlokal pada satu atau banyak aspek yang berkaitandengan pengelolaan, (3) Keberpihakan (nihil sampaimutlak) dan (4) Akses ke sumber-sumber (informasi,dana) eksternal. Ciri ini dapat berfungsi sebagaiambang dalam menentukan peran LSM dalampengelolaan sumberdaya.

Dalam kaitan pengelolaan keanekaragamanhayati dan sumberdaya alam, kegiatan LSMkelihatan mencakup spektrum yang amat luas.Spektrum kegiatan itu meliputi: (1) penyadaran, (2)pendampingan dan pengembangan konstituensi(pengorganisasian masyarakat), (3) penggalanganperanserta para pihak dan integrasi kepentingansecara horizontal (isu, geografis) maupun vertikal(antar jenjang kewenangan mulai dari lokal desa

sampai nasional), (4) penguatan kapasitas, (5)advokasi kebijakan, dan (6) memperluas dampakprogram (lihat juga Aliadi dkk, 2000).

Sebagian (besar) LSM melakukan anekakegiatan tersebut secara tumpang tindih. Initampaknya berakar pada kenyataan bahwakebanyakan LSM dibentuk agar mampu bereaksisecara oportunistik pada kesempatan dan tantanganyang ada. LSM berusaha menangani segala macampekerjaan, bahkan kadangkala yang tidak didukungsekalipun oleh kapasitas internal.

Kendati sedikit, ada pula LSM yang secarasadar melakukan spesialisasi dan sejak semuladibentuk untuk menangani hal khusus. Contoh LSMsemacam ini adalah Indonesian Centre for Envi-ronmental Law (ICEL) yang bergerak dalamhukum lingkungan dan kajian kebijakan. Contoh lainadalah Yayasan Terumbu Karang Indonesia(Terangi) yang bergerak dalam penyadaran sertakajian kebijakan berkaitan dengan terumbu karang.Spesialisasi dapat juga terjadi jika suatu LSMmelakukan diversifikasi dan kegiatan (-kegiatan)“anakan” itu tumbuh pesat sehingga layak memilahdiri menjadi lembaga mandiri. Contoh pertumbuhansemacam ini adalah Forest Watch Indonesia (FWI)yang tumbuh dari kegiatan pemantauan pengelolaanproduksi hutan yang dilakukan Yayasan Telapak.

Dampak lanjutan spesialisasi adalah tumbuhnyajejaring yang menghimpun organisasi dengan minatsama pada aspek tertentu pengelolaan sumberdayadan keanekaragaman hayati. Organisasi ataukelompok anggota dengan demikian dapat lebihleluasa mengembangkan kegiatan dan aspek tertentukemampuannya dengan memanfaatkan sinergiberjaringan. Contoh jaringan semacam ini antara lainJaringan Pesisir dan Laut (Jaring Pela), JaringanPendidikan Lingkungan (JPL), Jaringan KomunikasiPemetaan Partisipatif (JKPP), Forum KomukinasiKehutanan Masyarakat (FKKM) dan AliansiMasyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Dalam kaitan ini menarik diamati bahwabanyak organisasi (umumnya yang berbasis lokasi)di saat yang bersamaan menjadi anggota beberapajaringan. Ini dapat merupakan cerminan urgensianeka masalah yang digeluti, tetapi jugamencerminkan sifat oportunistik LSM yang kerapdituntut oleh keadaan atau konstituennya untukmenangani aneka bidang secara simultan.

Page 143: Proceeding ToT ICM

140

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Praktek Pengelolaan Pesisir Secara TerpaduKelestarian keanekaragaman hayati dan

sumberdaya alam merupakan persinggungan antaratiga domain: ekonomi, sosial dan lingkungan(McLaren, 1998). Ketiga domain ini harus dibinadan dikembangkan secara saling mengisi, secaraterpadu. Pengelolaan pesisir secara terpadu adalahpendekatan pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisiruntuk mencapai pembangunan secara berkelanjutanmelalui keterpaduan sektoral, lintas bidang ilmumaupun ekologis (Dahuri dkk, 2001: 5, 12).

Tindakan pengelolaan sendiri meliputi:penilaian menyeluruh kawasan pesisir, penetapantujuan dan sasaran pemanfaatan, perencanankegiatan pemanfaatan dan pengelolaan kegiatanpemanfaatan (Dahuri dkk, 2001: 5). Olsen &Hale (1997:7) mengusulkan suatu kerangka yanglebih kompresensif yang meliputi (1) identifikasiisu, (2) penyiapan dan perencanaan program, (3)adopsi formal dan pendanaan, (4) implementasidan (5) evaluasi. Berpijak pada pengalaman 50tahun konservasi keanekaragaman hayati melaluiperlindungan habitat daratan dan perairan, TheNature Conservancy merumuskan kerangkaserupa yang dikenal dengan nama Conservationby Design (Upaya Konservasi Secara Terancang- CBD).

Kerangka CBD ini terdiri dari empat tahapanyaitu: (1) penetapan prioritas konservasi, (2)pengembangan strategi, (3) implementasi, dan (4)pengukuran hasil (The Nature Conservancy,2001). CBD memasukkan tahapan adopsi for-mal dan pendanaan sebagai bagian daripengembangan strategi. Tetapi ciri pentingkerangka Olsen & Hale serta CBD adalah bahwatahapan-tahapan tersebut dilakukan secaramendaur. Hasil pemantauan dan pengukurankemajuan pekerjaan kemudian menjadi masukanuntuk perbaikan daur prakarsa berikutnya.Evaluasi atau pengukuran hasil merupakan kunci;pembelajaran memungkinkan perbaikan kinerjadan perluasan dampak prakarsa.

Untuk setiap tahapan dalam CBD itu, TheNature Conservancy kemudian mengembangkanperangkat implementasi (tools). Salah satunyaadalah Site Conservation Plan (perencanaan tapakkonservasi -SCP) yang secara sistematik dapatdiaplikasikan mulai jenjang mikro pada skala desa

atau habitat tunggal sampai skala bentang alamberupa jaringan (portfolio) kawasan konservasikonvensional.

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpaduberfungsi untuk: perencanaan kawasan,pengembangan dan pembangunan ekonomi,perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya, resolusikonflik, perlindungan keselamatan umum, danpenataan pemilikan sumberdaya (Cicin-Sain &Knecht, 1998). Tetapi dalam implementasinya,Dahuri dan Dutton (2000) mengidentifikasi masalah-masalah seperti: (1) kurangnya pengetahuanmengenai pesisir dan lautan, (2) rendahnya penilaian(valuation) pada sumberdaya pesisir dan lautan, (3)kurangnya pemberdayaan masyarakat dan penggunasumberdaya pesisir dan lautan, (4) ketidakjelasanwewenang pengelolaan, (5) rendahnya kapasitaskelembagaan, dan (6) kurangnya keterpaduan antarprakarsa.

Peran Strategis LSMdan Kendala Pelaksanaan

Identifikasi Dahuri & Dutton tersebut tampakparalel dengan kegiatan yang secara umum digelutiLSM mulai dari upaya penyadaran sampai perluasandampak suatu prakarsa. Hakikatnya peran LSMtampaknya adalah peningkatan peranserta parapemangku kepentingan dalam perencanaan,implementasi serta evaluasi prakarsa (lihat Anon.2001, juga Meltzer, 1998). LSM dapat memainkanperan kunci dalam pengorganisasian sosial denganbertindak sebagai fasilitator, katalisator, peloporkepemimpinan dan pemasok kepemimpinanperalihan.

Dalam kaitan ini, LSM dihadapkan padatantangan yang cukup luas karena peransertamemiliki beberapa jenjang mulai dari nihil sampaikeleluasaan untuk memegang kendali penuh (lihatmisalnya model Arstein yang diacu Davoudi, 1999).Dutton (2001) menggunakan ilustrasi kontrol vol-ume pada perangkat musik stereo. Pada sisi “lembut”suara masyarakat nyaris tidak terdengar dan nyaristidak berperan dalam pengambilan keputusan,sedang pada sisi “nyaring” keputusan sepenuhnyaada pada kelompok pemangku kepentingan.

Dalam menggalang peranserta, LSMsetidaknya dihadapkan pada dua kendala: (1) isukeberpihakan (partisanship) termasuk diterimatidaknya intervensi LSM oleh konstituen, dan (2)

Page 144: Proceeding ToT ICM

141

Peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Praktek Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu

kapasitas teknis dan kelembagaan untuk melakukanpenggalangan secara efektif.

Setiap LSM harus secara kritis menentukanapakah keberpihakannya (partisanship) mendukungkinerja organisasi dan efektivitas kegiatan.Keberpihakan merupakan pisau bermata dua. Disatu sisi, keberpihakan merupakan kunci diterimatidaknya LSM oleh konstituen, tetapi di pihak lainkeberpihakan menempatkan LSM pada satu sisikepentingan dan menghilangkan kemampuan untukberdiri netral. Artinya keberpihakan dapatmenghilangkan kemampuan LSM untuk menjadijembatan (conduit) penghubung dikotomiperencanaan informal (masyarakat) ke kancahperencanaan formal (pemerintah). Keberpihakanumumnya menonjol dalam kegiatan LSM advokasi.Walaupun, dapat juga terjadi bahwa keberpihakanpada isu (dan bukan pada kelompok konstituentertentu misalnya) kemudian menjadi bumerangketika kelompok konstituen merasa bahwa LSMsekedar “menggunakan” mereka sebagai contohkasus atau wahana pergerakan dan bukan sebagaitujuan akhir upaya advokasi tersebut.

Keberpihakan juga merupakan isu peka jikaLSM dihadapkan (atau berhadapan) denganpengusaha swasta dalam pertikaian sumberdayaalam. Keberpihakan secara membabi buta, kerapmelemahkan posisi rebut-tawar LSM dan bahkandapat merusak kredibilitas. Dibutuhkan perangkatdan tolok ukur yang obyektif untuk menentukan sta-tus sumberdaya, dan mengembangkan pilihan

pemanfaatannya oleh banyak pihak (multiple us-ers) termasuk oleh masyarakat dan pengusaha.

The Nature Conservancy menggunakanperangkat SCP untuk secara obyektifmenggambarkan prioritas konservasi danmengembangkan pilihan-pilihan kebijakan . Prioritasdan pilihan ini memperhatikan keragamansumberdaya hayati tanpa meminggirkan kepentinganmasyarakat untuk hidup berdampingan dengansumberdaya hayati di lingkungan mereka.

BSP-Kemala dan para mitranya menggunakanpemetaan partisipatif sebagai wahana dan jugaperangkat yang secara efektif melandasi advokasi.Perangkat ini memungkinkan LSM menunjukkankeberpihakan (lihat misalnya Kirana, 2000 danKirana, 2001). Artinya kendala keberpihakan dapatdiatasi jika LSM dapat menunjukkan tolok ukurobyektif yang dipakai untuk melakukan pilihan bagipemanfaatan sumberdaya secara optimum.

Kapasitas teknis dan kelembagaan merupakankendala yang dialami LSM secara luas. Ini terutamamenonjol di saat LSM tumbuh menjamur sebagaitanggapan oportunistik pada perubahan tatanan gov-ernance sumberdaya hayati di Indonesia saat ini.Rendahnya kapasitas teknis menyebabkan LSMhanya mampu mengetengahkan retorika, atau isusecara deskriptif dan bukan presktiptif. Pengambilkebijakan dihadapkan pada daftar masalah tanpagagasan atau usulan pemecahan dan jalan keluar.Kegiatan pengelolaan tidak diperkaya oleh masukandari daur kegiatan sebelumnya. Sehingga lama

Gambar 1. Jenjang peran serta publik

Page 145: Proceeding ToT ICM

142

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

kelamaan LSM dapat kehilangan kredibilitas sebagaipenggagas dan fasilitator peranserta pemangkukepentingan dalam pengelolaan.

Kapasitas kelembagaan merupakan sisi laindari keping kapasitas yang sama. Tidak mungkinmeningkatkan kemampuan teknis denganmengabaikan pengembangan kapasitaskelembagaan. Juga, upaya peningkatan kemampuanteknis semata tidak akan meninggalkan dampakjangka panjang jika kapasitas kelembagaan terusmenerus diabaikan.

Pilihan untuk meningkatkan kapasitas teknisatau kelembagaan adalah pilihan yang sulit tetapiharus dibuat. LSM harus menentukan prioritas, dansecara bertahap menggerakkan organisasi sertastafnya ke jenjang kapasitas yang lebih tinggi. Initidak pula berarti bahwa upaya penggalangankonstituen harus ditunda sampai kapasitas LSMmencapai jenjang tertentu. Upaya penggalangantetap dapat dikerjakan, tetapi harus dipadankandengan kapasitas yang ada. Selanjutnya,kesenjangan kapasitas yang diidentifikasi pada daurkegiatan yang pertama harus menjadi masukan bagipenetapan prioritas peningkatan kapasitas dalamdaur kegiatan berikutnya.

Pengalaman The Nature Conservancymenunjukkan bahwa kesenjangan kapasitas dapatdijembatani sementara lewat bantuan danpendampingan teknis. Tetapi LSM sendiri harusmenentukan arah pengembangan kapasitas yangpadan dengan kebutuhannya untuk berperan secaraefektif dalam pengelolaan sumberdaya hayati.

Catatan Akhir“Dalam kurun waktu lebih dari satu

dasawarsa sejak diundangkannya Undang-undang No. 4/1982, kesadaran lingkungan hidupmasyarakat telah meningkat dengan pesat, yangditandai antara lain oleh makin banyaknyaragam organisasi masyarakat yang bergerak dibidang lingkungan hidup selain lembagaswadaya masyarakat. Terlihat pula peningkatankepeloporan masyarakat dalam pelestarianfungsi lingkungan hidup sehingga masyarakattidak sekedar berperanserta, tetapi juga mampuberperan secara nyata” (Penjelasan Umum, UU23/1997).

Pernyataan ini secara tidak langsungmencerminkan evolusi yang terjadi pada LSM dan

perannya dalam pengelolaan lingkungan secaraumum. Limabelas tahun sejak UU 4/1982diundangkan, para pembuat kebijakan tidak melihatlagi perlunya secara eksplisit mencantumkan LSMdan perannya dalam pengelolaan lingkungan.Penggalangan, pendampingan dan penyadaransecara implisit dianggap telah menjadi bagian alamiorganisasi masyarakat. Kebutuhan untukmerangsang fungsi tersebut dengan mendorongkehadiran dan pembentukan LSM tampaknya sudahtidak mendesak lagi. Fungsi-fungsi yang semuladianggap hanya dapat dilakukan oleh LSM,dipandang telah dapat dilakukan oleh organisasimasyarakat “selain LSM”. Tetapi itu tidak otomatismenihilkan peran strategis LSM. Sebaliknya peranLSM secara tidak langsung telah diakui sebagaipenggalang peranserta pemangku kepentingan danpenghubung antara kutub perencanaan formalpemerintah dan praktek pengelolaan informal padajenjang akar rumput di masyarakat.

Munculnya “LSM plat merah” dalamdasawarsa terakhir menyebabkan kaburnya garisperan antara pemerintah dan LSM, karena sebagianLSM menjadi sekedar perpanjangan tangan lembagapemerintah dengan baju yang berbeda. Iniselanjutnya mendorong penggunaan kembali istilah“Ornop” untuk secara tegas membedakan domainkepentingan yang ditangani. LSM tetapmenginginkan peran alternatif agar menjadipengimbang pemerintah dalam kebijaksanaanpengelolaan sumberdaya dan lingkungan.

Pengelolaan pesisir terpadu diharapkanmenjadi solusi dalam perencanaan kawasan,pengembangan dan pembangunan ekonomi,perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya, resolusikonflik, perlindungan keselamatan umum, danpenataan pemilikan sumberdaya (Cicin-Sain &Knecht, 1998). Jelaslah adanya ruang gerak yangluas terbuka bagi LSM. Tetapi kelihatannya perankunci yang dapat dimainkan LSM adalah padapenggalangan peranserta pemangku kepentingan. Inidapat dilakukan LSM melalui berbagai kegiatanmulai penyadaran sampai penguatan kapasitas danadvokasi kebijakan.

Sejauh ini upaya LSM untuk menjadi jembatanatau pendorong peranserta pemangku kepentingandalam pengambilan kebijakan formal tampaknyabelum memperlihatkan hasil secara luas. Tatanangovernance sumberdaya alam (dan lebih-lebih

Page 146: Proceeding ToT ICM

143

Peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Praktek Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu

sumberdaya pesisir dan laut) masih menjalani prosespendewasaan. Kutub perencanaan formal belumdapat secara efektif dicapai oleh kegiatanperencanaan informal yang mengakar danberkembang di masyarakat. Pekerjaan di jenjangakar rumput belum banyak yang berhasil dilekatkandan dibuat menjadi bagian sistem formal. Hasilpemetaan partisipatif yang dikerjakan masyarakat,misalnya, belum banyak yang kemudian menjadimasukan bagi perencanaan tata ruang dan wilayahyang mendasari kebijakan dan pengambilankeputusan.

Apakah LSM dapat secara efektif memainkanperan tersebut, terpulang kembali pada LSM.

DAFTAR PUSTAKAAliadi, A., Kismadi, B.C., & Munggoro, D.W. (2000) Berbagi

Pengalaman: Pengelolaan Sumberdaya Alam BerbasisMasyarakat. Bogor: Pustaka Latin.

Anonimus (2001) Towards a new paradigm of Indonesiacommunity development. Van Gorge Report on Indo-nesia Vol. III (8): 4-11.

Cicin-Sain, B. & Knecht, R. (1998) Integrated Ocean andCoastal Management. Washington, DC: Island Press

Dahuri, R. & Dutton, I.M. (2000) Integrated Coastal andMarine Enters a New Era in Indonesia. Dalam Pink, A.(ed.), Integrated Coastal Zone Management (pp. 11-16). London: ICG Publishing.

Dahuri, R., Rais, J. Ginting, S.P., Sitepu, M.J.( 2001)Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan LautanSecara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita.

Darwin, C. (1964) The Origin of Species. Cambridge, MA:Harvard University Press

Davoudi, S. (1999) What do we mean by public participa-tion?

http:// www.surveying.salford.ac.uk/bqextra/Workshop/Helsinki/Doc1-4c.htm

Dutton, I. (2001) Engaging communities as partners in con-servation and development. Van Gorge Report on In-donesia. Vol. III (8): 24-32

Filho, W.L. (1999) Getting people involved. DalamBuckingham-Hatfield, S. & Percy S. (eds.) Construct-ing local environmental agendas: People, places, par-ticipation (pp. 31-41). London: Routledge.

Haeruman, H. (1992) Peranan Lembaga SwadayaMasyarakat dalam pengelolaan lingkungan. DalamAnonimus. Konservasi dan Masyarakat: Diskusi danRumusan Workshop Keanekaragaman hayati tamannasional Gunung Halimun Jawa Barat (pp. 4-10).Jakarta: Biological Science Club.

Khosla, A. (1997) Fourteen years in the jungle: The questfor a development that is sustainable. DevelopmentAlternatives. Vol. 7/11.

Kirana, C. (2000) Perencanaan strategi komunikasi advokasi:Manual untuk fasilitator. Jakarta: BSP-Kemala.

Kirana, C. (2001) Advokasi itu komunikasi. Jakarta: BSP-Kemala.

McLaren, D, Bullock, S. & Yousuf, N. (1998) Tomorrow’sworld. Britain’s share in a sustainable future. London:Futurescan.

Meltzer, E. (1998) International Review of Integrated CoastalZone Management. Ocean Conservation Report Se-ries. Ottawa: Canada Department of Fisheries andOcean.

Olsen, S. & Hale, L.Z. (1997) Coastal management: prin-ciples and major features. Proceeding Workshop oncoastal resources management project. 15-16 January1997. Bogor: PKSPL IPB, CRC URI, USAID.

Parker, J., & Selman, P. (1999) Local government, local peopleand local agenda 21. Dalam Buckingham-Hatfield, S.dan S. Percy (eds.) Constructing local environmentalagendas: People, places, participation (pp. 18-30). Lon-don: Routledge.

Patterson, A. & Theobald, K.S. (1999) Emerging contradic-tions: Sustainable development and the new local gov-ernment. Dalam Buckingham-Hatfield, S. dan S. Percy(eds.) Constructing local environmental agendas:People, places, participation (pp. 156-171). London:Routledge.

The Nature Conservancy. (2001) Conservation by Design:A framework for mission success. Arlington, VA: au-thor.

Undang-undang No. 4/1982 tentang Pokok-pokokPengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-undang No. 23/1997 tentang PengelolaanLingkungan Hidup

Wallace, A.R. (1962) The Malay Archipelago: The land ofthe orang-utan and the bird of paradise. A narrative oftravel, with studies of man and nature. London:MacMillan. Reprint: New York: Dover Publication.

Page 147: Proceeding ToT ICM

144

LAMPIRAN

Page 148: Proceeding ToT ICM

145

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 149: Proceeding ToT ICM

146

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 150: Proceeding ToT ICM

147

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 151: Proceeding ToT ICM

148

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 152: Proceeding ToT ICM

149

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 153: Proceeding ToT ICM

150

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 154: Proceeding ToT ICM

151

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 155: Proceeding ToT ICM

152

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 156: Proceeding ToT ICM

153

Daftar PesertaPelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 157: Proceeding ToT ICM

154

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 158: Proceeding ToT ICM

155

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 159: Proceeding ToT ICM

156

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 160: Proceeding ToT ICM

157

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 161: Proceeding ToT ICM

158

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 162: Proceeding ToT ICM

159

Daftar PanitiaPelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Page 163: Proceeding ToT ICM

160

PROSIDING

PELATIHAN PENGELOLAAN WILAYAHPESISIR TERPADU

BOGOR, 29 OKTOBER - 3 NOVEMBER 2001

PENYUNTING:

DR. IR. DIETRIECH G. BENGEN, DEA

DITERBITKAN OLEH:

PUSAT KAJIAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTANINSTITUT PERTANIAN BOGOR

dan

PROYEK PESISIR - COASTAL RESOURCES MANAGEMENT PROJECTCOASTAL RESOURCES CENTER - UNIVERSITY OF RHODE ISLAND

Page 164: Proceeding ToT ICM

161

PENYUNTING:DR. IR. DIETRIECH G. BENGEN, DEA

Cover : Pasus Legowo, Proyek Pesisir PKSPL-IPBLayout : Vitri Karina dan Pasus Legowo, Proyek Pesisir PKSPL-IPBISBN : 979-9336-11-........

Funding for preparation and printing of this document was provided by USAID as part of theUSAID/BAPPENAS Natural Resources Management Program and the USAID-CRC/URICoastal Resources Management (CRM) Program.

Page 165: Proceeding ToT ICM

162

LAPORAN PENYELENGGARAAN PELATIHANPENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU

Assalammu’alaikum Wr. Wb.

Pertama-tama marilah kita panjatkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya atasrahmat dan karunia-Nya kita dapat berkumpul di Hotel Permata ini untuk mengikuti acara pembukaanPelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu.

Pelatihan yang berlangsung dari tanggal 29 Oktober - 3 November 2001 atas kerjasama antaraPusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB dan Proyek Pesisir, diikuti oleh kurang lebih35 peserta yang berasal dari perguruan tinggi (UNHAS, UNDIP, UNILA, UBH, UNRI dan UniversitasKhairun Ternate) Proyek Pesisir Sulawesi Utara, Lampung dan Kalimantan Timur, Dinas Kelautan danPerikanan Prop. Jambi, Bali, Kalimantan Tengah, Kab. Minahasa dan Lampung Selatan, Dinas Pemukimandan Sarna Wilayah NTT, Dinas Kehutanan Kab. Lampung Selatan, Kecamatan Rajabasa, KetapangLampung Selatan, BPD Tejang Pulau Sebesi, Guru SD Negeri 3 Taman Sari Palembang, KecamatanLikupang Kab. Minahasa, DPRD Kab. Minahasa, Sulawesi Utara, BAPEDALDA Kab. Kepulauan Riau,Pemerintah Daerah (BAPPEDA) Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur dan JawaTengah.

Pelatihan ini dirancang di samping untuk meningkatkan wawasan dan kualitas para akademisi, pemerhati,pengelola dan praktisi dalam pengelolaan wilayah pesisir, juga sebagai wacana untuk saling bertukarpengalaman dan informasi dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Pelatihan ini menjadi sangat pentingdan strategis mengingat pada saat ini sumberdaya wilayah pesisir memerlukan perhatian khusus utnukdikelola secara optimal dan berkelanjutan. Dalam melakukan upaya ini, selain diperlukan sumberdayamanusia yang berkualitas, juga diperlukan komitmen dan aksi nyata dalam mengelola sumberdaya wilayahpesisir secara lestari.

Dengan demikian apa yang diharapkan di atas sangatlah sesuai dengan tujuan yang ditetapkan dalampelatihan ini, yaitu untuk meningkatkan kemampuan baik perseorangan maupun kelompok kerja parapeserta dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Tujuan ini akan dicapai melalui dua sasaran pokok,yakni : (1) memberikan informasi tentang konsep pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia, dan (2)meningkatkan pemahaman dan kemampuan para peserta dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu,sehingga pada gilirannya para peserta akan dapat menyusun suatu perencanaan, pelaksanaan danpengevaluasian program pengelolaan wilayah pesisir itu sendiri.

Pelatihan yang dilaksanakan di kelas dan lapangan dengan menggunakan metode pengajaran secarainteraktif, presentasi, diskusi, studi kasus dan praktek lapang, tidak mungkin dapat diwujudkan tanpaadanya pengajar dan instruktur yang berpengalaman di bidangnya. Karena itu pada kesempatan ini kamimengucapkan terima kasih kepada para pengajar dan instruktur yang telah bersedia untuk memberikanmateri dalam pelatihan ini. Juga kepada para panitia pelaksana yang telah bekerja keras dalammempersiapkan pelaksanaan pelatihan ini, saya ucapkan terima kasih.

Wassalammu’alaikum Wr. Wb.

Pemimpin Pelatihan(Training Leader)

Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA

i

Page 166: Proceeding ToT ICM

163ii

DAFTAR ISI

Laporan Penyelenggaraan Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu ...........................................i

MAKALAH PENELITIAN

DARMAWAN. - Penyusunan program pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecilsecara terpadu ................................................................................................................................1

NIKIJULUW, V, P.H. - Aspek sosial ekonomi masyarakat pesisir dan strategi pemberdayaanmereka dalam konteks pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu..........................................14

BENGEN, D.G. - Ekosistem dan sumberdaya pesisir dan laut serta pengelolaan secaraterpadu dan berkelanjutan............................................................................................................28

MONINTJA, D. dan YUSFIANDAYANI, R. - Pemanfaatan sumberdaya pesisir dalam

bidang perikanan tangkap............................................................................................................56

DIRAPUTRA, S.A. - Sistem hukum dan kelembagaan dalam pengelolaan wilayah pesisirsecara terpadu .............................................................................................................................66

SONDITA, M.F.A. - Penyusunan rencana pengelolaan pesisir terpadu.......................................................................................................................................................79

WIRYAWAN, B. - Lesson-learned pengelolaan wilayah pesisir terpadu di Lampung-Indonesia :keberhasilan dan hambatannya .................................................................................................81

RETRAUBUN, A.S.W. - Pengelolaan pulau-pulau kecil.............................................................94

DIPOSAPTONO, S. - Erosi pantai (coastal erosion).....................................................................................................................................................102

TULUNGEN, J. - Program pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir terpadu dan berbasismasyarakat : telaah kasus di kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara .....................................117

PIETER, T. - Peran lembaga swadaya masyarakat dalam praktek pengelolaan

pesisir secara terpadu ...............................................................................................................138

LAMPIRAN

Rencana pengelolaan kawasan pesisir kecamatan Cilincing kotamadya

Jakarta Utara.............................................................................................................................145

Rencana pengelolaan budidaya kerang hijau di kecamatan Cilincing,

Jakarta Utara.............................................................................................................................149

Jadwal Acara Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu ...........................................150

Daftar Peserta Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu .........................................153

Daftar Panitia Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu ..........................................159

Page 167: Proceeding ToT ICM

164

MAKALAH PELATIHAN