PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN ... · PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN...

13
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA 793 BIOSTRATIGRAFI NANNOFOSIL GAMPINGAN PADA SUMUR “SSB” SUB-CEKUNGAN PALEMBANG SELATAN, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN Angela Prita Ratiwi Akmaluddin Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika No.2 Bulaksumur Yogyakarta Corresponding author: [email protected] ABSTRAK Pada Sumur “SSB” Sub-Cekungan Palembang Selatan, Cekungan Sumatera Selatan, telah dilakukan analisis biostratigrafi nanofosil gampingan pada Formasi Lahat, Talang Akar, Gumai, Baturaja, dan Air Benakat, dengan menggunakan 53 sampel washed cutting dari sumur sedalam 2500m. Sampel diambil pada interval 10-100m, menyesuaikan pada rentang umur fosil yang ditemukan. Sampel cutting kemudian di preparasi dengan menggunakan metode quick smear slide. Secara umum kelimpahan nannofosilnya sedang hingga cukup melimpah, dengan pengawetan yang baik. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh 60 spesies nannofosil gampingan dengan jumlah total 1461 spesimen. Data tersebut digunakan sebagai dasar pembagian zona biostratigrafi dan diperoleh 5 zona biostratigrafi dari yang paling tua hingga paling muda yaitu Zona Sphenolithus ciperoensis (NP 25), Zona Reticulofenestra bisecta (NN1), Zona Sphenolithus heteromorphus(NN2), Zona Helicosphaera ampliaperta (NN4), dan Zona Reticulofenestra minuta (NN5). Terdapat satu gap zone (NN3), yang merupakan penciri sesar. Berdasarkan zonasi tersebut Formasi Lahat berumur NP25-NN1, Formasi Talang Akar berumur NN1-awal NN2, Formasi Baturaja berumur NN2-NN4, Formasi Gumai berumur NN4, dan Formasi Air Benakat berumur NN4-NN5 atau lebih muda. Hasil analisis menunjukkan bahwa umur dari Formasi Lahat-Air Benakat berkisar antara Oligosen akhir-Miosen tengah, hal ini berbeda dengan beberapa penelitian yang menyebutkan Formasi Lahat-Air Benakat berumur Eosen- Miosen Tengah. Kata Kunci :biostratigrafi, nannofosil, Sumatera Selatan 1. Pendahuluan Cekungan Sumatera Selatan merupakan sebuah cekungan dengan prospek minyak bumi yang besar. Klett, (2000) dalam Bishop, (2001) menyebutkan bahwa cadangan minyak di cekungan ini mencapai 4,3 milyar BBOE. Dalam eksplorasi minyak bumi di Cekungan Sumatera Selatan tentu diperlukan studi mengenai stratigrafi dari daerah tersebut. Salah satu cabang dari studi stratigrafi adalah studi biostratigrafi yang berguna dalam penentuan strata batuan berdasarkan kandungan fosilnya (Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996). Namun, sampai saat ini penelitian mengenai biostratigrafi pada umumnya dan nannofosil pada khususnya belum banyak dilakukan di cekungan ini.Dilatarbelakangioleh pentingnya analisis biostratigrafi serta terbatasnya data biostratigrafi dari Formasi Lahat- Air Benakat, peneliti melakukan penelitian mengenai biostratigrafinannofosil gampingan di daerah Sub-Cekungan Palembang Selatan, Cekungan Sumatera Selatan, berdasarkan data drill cutting pada Sumur “SSB” milik PT.Pertamina EP. Pemilihansampel dari bawah permukaan tersebut dianggap mampu mewakili bagian dari Sub-Cekungan Palembang Selatan, Cekungan Sumatera Selatan. Selain itu, penggunaan data pemboran bawah permukaan diharapkan dapat memberikan manfaat dalam eksplorasi minyak dan gas bumi berupa data umur maupun interpretasi lainnya. 2. Kondisi Geologi Regional

Transcript of PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN ... · PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN...

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

793

BIOSTRATIGRAFI NANNOFOSIL GAMPINGAN PADA SUMUR “SSB” SUB-CEKUNGAN

PALEMBANG SELATAN, CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

Angela Prita Ratiwi

Akmaluddin

Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada,

Jl. Grafika No.2 Bulaksumur Yogyakarta

Corresponding author: [email protected]

ABSTRAK Pada Sumur “SSB” Sub-Cekungan Palembang Selatan, Cekungan Sumatera Selatan, telah dilakukan

analisis biostratigrafi nanofosil gampingan pada Formasi Lahat, Talang Akar, Gumai, Baturaja, dan

Air Benakat, dengan menggunakan 53 sampel washed cutting dari sumur sedalam 2500m. Sampel diambil pada interval 10-100m, menyesuaikan pada rentang umur fosil yang ditemukan. Sampel

cutting kemudian di preparasi dengan menggunakan metode quick smear slide. Secara umum

kelimpahan nannofosilnya sedang hingga cukup melimpah, dengan pengawetan yang baik. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh 60 spesies nannofosil gampingan dengan jumlah total 1461

spesimen. Data tersebut digunakan sebagai dasar pembagian zona biostratigrafi dan diperoleh 5 zona

biostratigrafi dari yang paling tua hingga paling muda yaitu Zona Sphenolithus ciperoensis (NP 25),

Zona Reticulofenestra bisecta (NN1), Zona Sphenolithus heteromorphus(NN2), Zona Helicosphaera ampliaperta (NN4), dan Zona Reticulofenestra minuta (NN5). Terdapat satu gap zone (NN3), yang

merupakan penciri sesar. Berdasarkan zonasi tersebut Formasi Lahat berumur NP25-NN1, Formasi

Talang Akar berumur NN1-awal NN2, Formasi Baturaja berumur NN2-NN4, Formasi Gumai berumur NN4, dan Formasi Air Benakat berumur NN4-NN5 atau lebih muda. Hasil analisis menunjukkan

bahwa umur dari Formasi Lahat-Air Benakat berkisar antara Oligosen akhir-Miosen tengah, hal ini

berbeda dengan beberapa penelitian yang menyebutkan Formasi Lahat-Air Benakat berumur Eosen-Miosen Tengah.

Kata Kunci :biostratigrafi, nannofosil, Sumatera Selatan

1. Pendahuluan

Cekungan Sumatera Selatan merupakan sebuah cekungan dengan prospek minyak

bumi yang besar. Klett, (2000) dalam Bishop, (2001) menyebutkan bahwa cadangan

minyak di cekungan ini mencapai 4,3 milyar BBOE.

Dalam eksplorasi minyak bumi di Cekungan Sumatera Selatan tentu diperlukan studi

mengenai stratigrafi dari daerah tersebut. Salah satu cabang dari studi stratigrafi adalah

studi biostratigrafi yang berguna dalam penentuan strata batuan berdasarkan kandungan

fosilnya (Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996).

Namun, sampai saat ini penelitian mengenai biostratigrafi pada umumnya dan

nannofosil pada khususnya belum banyak dilakukan di cekungan ini.Dilatarbelakangioleh

pentingnya analisis biostratigrafi serta terbatasnya data biostratigrafi dari Formasi Lahat-

Air Benakat, peneliti melakukan penelitian mengenai biostratigrafinannofosil gampingan

di daerah Sub-Cekungan Palembang Selatan, Cekungan Sumatera Selatan, berdasarkan

data drill cutting pada Sumur “SSB” milik PT.Pertamina EP. Pemilihansampel dari bawah

permukaan tersebut dianggap mampu mewakili bagian dari Sub-Cekungan Palembang

Selatan, Cekungan Sumatera Selatan. Selain itu, penggunaan data pemboran bawah

permukaan diharapkan dapat memberikan manfaat dalam eksplorasi minyak dan gas bumi

berupa data umur maupun interpretasi lainnya.

2. Kondisi Geologi Regional

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

794

Cekungan Sumatera Selatan dapat dibagi menjadi empat sub cekungan, yakni Sub-

Cekungan Jambi, Palembang Utara, Palembang Tengah dan Palembang Selatan. Daerah

penelitian masuk ke dalam Sub-Cekungan Palembang Selatan, pada Kecamatan Muara

Kelingi, Kabupaten Musi Rawas.

2.1 Struktur Geologi dan Evolusi Cekungan

Sejarah cekungan ini terbagi menjadi tiga megasekuen tektonik menurut Ginger

& Fielding (2005). Megasekuen yang pertama yakni syn-rift megasekuen. Akibat

adanya subduksi pada palung Sumatera bagian Barat, kerak benua pada Sumatera

Selatan mengalami ekstensi pada kala Eosen-Awal Oligosen. Hasil dari ekstensi ini

adalah terbentuknya half-graben yang bentuk dan arahnya tergantung pada

keberagaman batuan dasarnya. Rata-rata, ekstensi pada Sumatera berorientasi Barat-

Timur, sehingga menghasilkan graben Utara-Selatan. Setelah terjadi ekstensi bagian

selatan dari Sumatera mengalami rotasi sekitar 15 searah jarum jam yang

menghasilkan orientasi Pulau Sumatera seperti saat ini.

Megasekuen yang kedua adalah post-rift megasekuen. Terjadinya proses

pemekaran menyebabkan bagian tengah kerak mengalami penipisan dan subsidence

terus berlanjut akibat proses penyeimbangan thermal pada litosfer. Pada megasekuen

ini ketebalan sedimen dapat mencapai hingga 13.000 ft. Besarnya tingkat subsidence

dan tingginya muka air laut relatif menyebabkan terjadinya fase regresi yang panjang

hingga 16 juta tahun yang lalu pada seluruh bagian cekungan. Setelah fase transgresi

yang panjang, terjadilah fase regresi pada 16 hingga 5 juta tahun lang lalu. Fase regresi

ini tidak dipengaruhi oleh event tektonik tertentu.

Megasekuen terakhir adalah Syn-orogenik. Orogenik Barisan terjadi dari 5 juta

tahun lalu hingga saat ini. Lipatan yang memanjang dengan arah barat laut-tenggara

terbentuk pada fase ini. Selain terbentuknya lipatan, penurunan dasar cekungan terus

berlanjut dan terisi oleh sedimen hasil erosi dari Pegunungan Barisan ke arat selatan

dan barat.

2.2 Stratigrafi

Stratigrafi dari Cekungan Sumatera Selatan, menurut Ginger & Fielding (2005),

mulai dari yang paling tua hingga yang paling muda tersusun oleh batuan dasar batuan

metamorf dan batuan beku, Formasi Lahat/Lemat, Formasi Talang akar, Formasi

Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat, Formasi Muara Enim, Formasi Kasai

dan Endapan alluvium.

Batuan Pre Tersier / Basement

Batuan dasar dari Cekungan Sumatra Selatan terdiri dari kompleks batuan beku

Mesozoik dan batuan metamorf serta karbonat Paleozoik-Mesozoik.

Formasi Lahat/Lemat

Sedimentasi Cekungan Sumatra Selatan diawali pada kala Eosen-Oligosen, yaitu

sedimentasi Formasi Lahat dan Lemat. Formasi Lahat terendapkan secara tidak selaras

yang diawali dengan sedimen terestrial seperti sedimen klastik yang mengandung tuff,

atau klastika dari batuan dasar yang disebut granite wash (disebut juga sebagai Kikim

Member atau Old Lemat). Proses subsidence yang perlahan berlanjut, membentuk

cekungan yang mendalam hingga lingkungannya berubah dari fluvial menjadi

lacustrine. Sedimen hasil pengendapan pada lingkungan transisi ini selanjutnya

disebut Formasi Lemat dengan litologi yang terendapkan adalah batupasir, batulanau,

serpih serta batubara (disebut juga sebagai Benakat Member atau Young Lemat).

Formasi Lahat dan Lemat ini diperkirakan memiliki hubungan disconformity.

Formasi Talang Akar

Selanjutnya pada kala Oligosen- Awal Miosen, Formasi Talang Akar

terendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Lemat. Formasi Talang Akar bagian

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

795

bawah terdiri dari batupasir, serpih, batulanau, sisipan batubara, dan bersifat non

karbonat. Pada bagian atas formasi ini mulai mengandung batuan karbonatan.

Formasi Baturaja

Pada Miosen Awal, Formasi Baturaja terendapkan diatas formasi Talang Akar

secara selaras. Formasi ini terdiri dari Serpih, Batupasir, serta Batugamping.

Batugamping pada formasi ini didominasi oleh batugamping klastik, namun terdapat

pula batugamping terumbu pada bagian intrabasinal high.

Formasi Gumai

Setelah Miosen Awal hingga Miosen Tengah, Formasi Gumai terbentuk. Pada

formasi Gumai didominasi oleh serpih laut dalam, batulanau karbonatan, diselingi

batugamping klastik berukuran halus. Pada formasi Gumai sendiri, di bagian atas juga

terdapat batuan berupa batupasir yang tidak karbonatan.

Formasi Air Benakat

Pada Miosen Tengah, Formasi Air Benakat terendapkan secara selaras diatas

Formasi Gumai, dengan litologi berupa batupasir dengan kandungan material vulkanik

serta batulanau.

Formasi Muara Enim

Formasi Muara Enim terendapkan pada kala Miosen Akhir. Batuan yang ada

pada formasi ini hampir sama dengan Formasi Air Benakat namun dibedakan dengan

ketidakhadiran dari serpih laut dalam.

Formasi Kasai

Formasi termuda adalah Formasi Kasai yang terbentuk pada kala Pliosen.

Formasi kasai ini terdiri dari tuff, batulempung, serta batupasir vulkaniklastik.

3. Metode Penelitian

Pengukuran stratigrafi pada sumur dilakukan dengan deskripsi washed cutting pada

Sumur “SSB” dengan kedalaman 2500mMD milik PT.Pertamina EPserta

mempertimbangkan data log pada sumur .

Selanjutnya untuk sampel paleontologi, 53 sampel diambil di sepanjang jalur

pengukuran . Sampel diambil pada litologi yang bersifat karbonatan. Sampel tersebut

dipreparasi menggunakan metode quick smear slide dan diamati menggunakan mikroskop

polarisasi perbesaran 1000x melalui nikol sejajar dan nikol bersilang. Penghitungan

kelimpahan spesies nanofosil gampingan dilakukan dengan metode kuantitatif pada 100-

200 medan pandang setiap smear slide.

Biostratigrafi nanofosil gampingan pada sumur “SSB”, didasarkan pada kemunculan

awal / firstappearance (FA) dan atau kemunculan akhir / lastappearance (LA) spesies

nannofosil gampingan yang diyakini sebagai fosil indeks atau fosil lain yang mewakili.

Zona yang dihasilkan disebandingkan dengan zonasi nanofosil Standar Martini (1970),

Okada & Bukry (1980) dan Backman (2012).

4. Hasil dan Pembahasan

4.1 Hasil

Berdasarkan hasil deskripsi washed cutting dan data log, litologi pada Sumur

“SSB” dapat dibagi menjadi 9 satuan (Gambar 1) sebagai berikut :

Basement

Basement atau batuan dasar tersusun oleh batuan metamorf berupa filit yang

berwarna hitam, memiliki foliasi phylitic.

Satuan tuff sisipan batupasir & serpih (A)

Satuan ini mempunyai tebal 524 m, dijumpai pada kedalaman 2212 m – 1688 m.

Litologi penyusun satuan ini antara lain tuff, lapili tuff, batupasir, serpih, serta sisipan

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

796

batubara. Pada bagian bawah satuan ini terdapat sisipan batubara serta serpih, di

bagian tengah didominasi oleh tuff dan lapili tuff serta sisipan batupasir vulkaniklastik,

dan pada bagian atas didominasi oleh batupasir dan serpih.

Satuan serpih sisipan batupasir (B)

Satuan ini mempunyai tebal 216 m, dijumpai pada kedalaman 1688 m – 1472 m.

Litologi penyusun satuan ini antara lain serpih, batulanau, batupasir, batulempung dan

batugamping. Pada bagian bawah satuan ini didominasi oleh serpih dengan sisipan

batupasir, di bagian tengah mulai didominasi oleh batulanau karbonatan, serpih

karbonatan serta sisipan batupasir, sedangkan di bagian atas mulai didominasi serpih

karbonatan dengan sisipan batugamping.

Satuan perselingan serpih & batupasir (C)

Satuan ini mempunyai tebal 210 m, dijumpai pada kedalaman 1472m – 1262m.

Litologi penyusun satuan ini antara lain serpih, batulanau, batupasir, dan batugamping.

Pada bagian bawah hingga atas satuan ini didominasi oleh perselingan serpih dengan

batupasir dan pada beberapa bagian terdapat sisipan batugamping, di bagian atas

terdapat sisipan batulanau.

Satuan serpih sisipan batulanau & batugamping (D)

Satuan ini mempunyai tebal 190 m, dijumpai pada kedalaman 1262m – 1072m.

Litologi penyusun satuan ini antara lain serpih, batulanau, batupasir, batubara dan

batugamping. Pada bagian bawah hingga atas satuan ini didominasi oleh serpih dengan

sisipan batulanau dan batupasir, sedangkan pada bagian tengah hingga atas didominasi

oleh serpih dengan sisipan batulanau dan batugamping. Pada bagian atas terdapat pula

sisipan batubara.

Satuan perselingan serpih & batulanau (E)

Satuan ini mempunyai tebal 422 m, dijumpai pada kedalaman 1072m – 650m.

Litologi penyusun satuan ini antara lain serpih, batulanau, batupasir, dan batugamping.

Pada bagian bawah hingga atas satuan ini didominasi oleh perselingan serpih dan

batulanau dengan sisipan batugamping dan sedikit batupasir. Komposisi batugamping

semakin intens pada bagian atas dari satuan.

Satuan serpih sisipan batupasir & batugamping (F)

Satuan ini mempunyai tebal 550 m, dijumpai pada kedalaman 650m – 100m.

Litologi penyusun satuan ini antara lain serpih, batulanau, batupasir, batubara dan

batugamping. Pada bagian bawah satuan ini sisipan batupasir batulanau dan

batugamping mendominasi, sementara pada bagian tengah hingga atas didominasi oleh

serpih dengan sedikit sisipan batulanau dan batugamping.

Satuan batulempung (G)

Satuan ini mempunyai tebal 40 m, dijumpai pada kedalaman 100m – 60m.

Litologi penyusun satuan ini antara lain batulempung, serpih, dan batubara. Pada

bagian bawah satuan didominasi oleh batulempung, sementara pada bagian atas

terdapat sisipan serpih dan batubara.

Satuan batupasir sisipan batubara (H)

Satuan ini mempunyai tebal 35 m, dijumpai pada kedalaman 60 m – 25 m.

Litologi penyusun satuan ini antara lain batupasir dan batubara.

Selanjutnya, dari 53 sampel yang dipreparasi, ditemukan 60 spesies nannofosil

gampingan, dengan total kelimpahan sebanyak 1461 spesimen (Tabel 2). Dari tabulasi

data tersebut diperoleh 4 spesies yang digunakan sebagai biodatum yaitu Sphenolithus

ciperoensis, Reticulofenestra bisecta, Sphenolithus heteromorphus, dan Helicosphaera

ampliapertha (Gambar 2). Berdasarkan biodatum tersebut diperoleh 5 zona

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

797

biostratigrafi yakni, Zona Sphenolithus ciperoensis, Zona Reticulofenestra bisecta,

Zona Discoaster druggii, Zona Helicosphaera ampliapertha, dan Zona

Reticulofenestra minuta. Uraian dari masing-masing zona adalah sebagai berikut :

Zona Sphenolithus ciperoensis / NP 25

Zona ini merupakan zona kisaran sebagaian dari Sphenolithus ciperoensis. Batas

bawah dari zona ini tidak diketahui, sedangkan batas atas dari zona ini merupakan

akhir kemunculan dari species Sphenolithus ciperoensis. Ketebalan lapisan batuan

pada zona ini adalah 256 m. Zona ini berada pada kedalaman 1926 – 2182 mMD.

Zona Sphenolithus ciperoensis ini sebanding dengan Zona Sphenolithus

ciperoensis / NP 25 (Martini, 1971). Zona ini juga sebanding dengan Zona

Cyclycargolithus abisectus / CN 1a (Okada dan Bukry, 1980).

Fosil penyerta yang dijumpai pada zona ini antara lain Coccolithus pelagicus,

Cyclicargolithus floridanus, Ericsonia cava, Reticulofenestra minuta, dll. Pada zona

ini dijumpai fosil rombakan antara lain, Reticulofenestra dictyoda dan Sphenolithus

compactus, dll

Zona Reticulofenestra bisecta / NN1

Zona ini merupakan zona selang dengan batas bawah dari zona merupakan akhir

kemunculan/last appearance (LA) dari Sphenolithus ciperoensis dan batas atas dari

zona merupakan LA dari Reticulofenestra bisecta. Zona ini berada pada kedalaman

1106 – 1926 mMD.

Zona ini sebanding dengan Zona Triquetrorhabdulus Carinatus / NN1

(Martini,1971). Zona ini juga sebanding dengan Zona Discoaster deflandrei / CN 1b

(Okada dan Bukry, 1980) dan Zona Sphenolithus conicus / CNM 1 (Backman et al.,

2012).

Fosil penyerta yang dijumpai pada zona ini antara lain Coccolithus orangensis,

Coccolithus pelagicus, Cyclicargolithus floridanus, Ericsonia cava, Reticulofenestra

minuta, dll. Pada zona ini dijumpai juga fosil rombakan antara lain, Reticulofenestra

haqii, Reticulofenestra dictyoda.

Zona Discoaster druggii / NN2

Zona ini merupakan zona selang dengan batas bawah dari zona ini merupakan

akhir kemunculan/last appearance (LA) dari Reticulofenestra bisecta dan batas atas

zona merupakan awal kemunculan/first appearance (FA) dari Sphenolithus

heteromorphus. Dinamakan zona Discoaster druggi karena spesies tersebut dianggap

lebih mewakili bagian dari zona. Ketebalan zona ini adalah 260 m. Zona ini berada

pada kedalaman 832 -1092 mMD.

Zona ini sebanding dengan Zona Discoaster druggii / NN2 (Martini,1971). Zona

ini juga sebanding dengan Zona Discoaster druggii / CN 1c (Okada dan Bukry, 1980)

dan Zona Sphenolithus disbelemnos / CNM 2 sampai dengan Zona Helicosphaera

carteri / CNM 4 (Backman et al., 2012).

Fosil penyerta pada zona ini antara lain Coccolithus pelagicu, Discoaster

druggii, Reticulofenestra minuta, dll. Pada zona ini ditemukan juga fosil rombakan

antara lain, Cyclicargolithus luminis, Discoaster kugleri, dll.

Zona Helicosphaera ampliapertha / NN4

Zona ini merupakan zona selang dengan batas bawah zona merupakan awal

kemunculan/first appearance (FA) dari Sphenolithus heteromorphus dan batas atas

zona merupakan LA dari Helicosphaera ampliapertha. Ketebalan dari zona ini adalah

610 m. Zona ini berada pada kedalaman 130-740 mMD.

Zona ini sebanding dengan Zona Sphenolithus belemnos / NN3 (Martini,1971).

Zona ini juga sebanding dengan Zona Sphenolithus belemnos / CN 2 (Okada dan

Bukry, 1980) dan Zona Sphenolithus belemnos / CNM 5 (Backman et al.,2012).

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

798

Fosil penyerta pada zona ini antara lain Coccolithus pelagicus, Cyclicargolithus

floridanus, Helicosphaera ampliaperta, Reticulofenestra haqqii, Reticulofenestra

minuta, Sphenolithus heteromorphus, dll. Pada zona ini juga ditemukan fosil

rombakan antara lain, Cyclicargolithus luminis, Sphenolithus delphix, dll.

Zona Reticulofenestra minuta / NN5

Zona ini merupakan zona kumpulan dengan keberadaan species Reticulofenestra

minuta. Batas bawah dari zona merupakan akhir kemunculan/last appearance (LA)

dari Helicosphaera ampliaperta sedangkan batas atas dari zona ini tidak ditemukan.

Zona ini berada pada kedalaman 50-130 mMD.

Zona ini sebanding dengan Zona Sphenolithus heteromorphus / NN5

(Martini,1971). Zona ini juga sebanding dengan Zona Sphenolithus heteromorphus /

CN 4 (Okada dan Bukry, 1980) dan Zona Discoaster signus / CNM7 (Backman et

al.,2012)

Fosil penyerta pada zona ini antara lain Reticulofenestra minuta, dan Ericsonia

cava. Pada zona ini juga ditemukan fosil rombakan antara lain Helicosphaera

ampliapertha.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Biodatum

Akhir kemunculan (LA) Sphenolithus ciperoensis dipilih sebagai biodatum

pembatas antara Zona NP 25 dan NN 1 karena spesies tersebut merupakan fosil

indeks. Hal tersebut didukung pula oleh hasil penelitian dari Fornaciari & Rio

(1996) yang menyatakan bahwa tingkat kepercayaan LA Sphenolithus

ciperoensis sebagai biodatum untuk batas Oligosen dan Miosen adalah bagus

(good). Peneliti lain seperti Okada & Bukry (1980), Fornaciari & Rio (1996),

dan Shafik dkk. (1998), Bown & Jones (2012) juga memilih akhir kemunculan

(LA) Sphenolithus ciperoensis sebagai biodatum untuk waktu tersebut.

Akhir kemunculan (LA) Reticulofenestra bisecta dipilih sebagai biodatum

pembatas antara Zona NN1 dan NN2 karena spesies tersebut memiliki kisaran

hidup pada NP 17 – NN 1, sehingga akhir kemunculannya dianggap sama

dengan berakhirnya umur NN 1. Pada sampel ditemui pula species indeks yaitu

Discoaster druggii yang biasa digunakan oleh Martini (1970) dan Okada &

Bukry (1980) sebagai biodatum untuk waktu tersebut. Akan tetapi hasil

penelitian yang dilakukan oleh Fornaciari & Rio (1996) menyatakan bahwa

tingkat keyakinan awal kemunculan spesies ini sebagai biodatum adalah buruk

(poor). Hal tersebut dikarenakan spesies tersebut pada umumnya merupakan

spesies yang jarang dijumpai pada campuran fosil nannofosil gampingan

(Fornaciari & Rio, 1996). Oleh karena itu, penulis memilih tidak menggunakan

Discoaster druggii ini sebagai biodatum. Selain itu pemilihan akhir kemunculan

Reticulofenestra bisecta sebagai biodatum sesuai dengan data biostratigrafi

foraminifera pada sumur yang sama.

Awal kemunculan (FA) Spenolithus heteromorphus dipilih sebagai biodatum

pembatas antara Zona NP NN 2 dan NN 4 karena spesies tersebut merupakan

spesies indeks. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fornaciari & Rio

(1996) dinyatakan bahwa tingkat keyakinan awal kemunculan spesies ini sebagai

biodatum adalah baik, namun dalam penelitiannya digunakan sebagai awal dari

puncak kelimpahan. Selain itu peneliti lain seperti Müller (1978), Okada &

Bukry (1980), Theodoridis (1984), Fornaciari & Rio (1996) juga memilih awal

kemunculan Awal kemunculan (FA) Spenolithus heteromorphus sebagai

biodatum untuk umur tersebut.

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

799

Akhir kemunculan (LA) Helicosphaera ampliaperta dipilih sebagai biodatum

pembatas antara Zona NP NN 4 dan NN 5 karena spesies tersebut merupakan

spesies indeks. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fornaciari & Rio

(1996) dinyatakan bahwa tingkat keyakinan akhir kemunculan spesies ini

sebagai biodatum adalah baik, namun dalam penelitiannya digunakan sebagai

akhir dari puncak kelimpahan. Selain itu peneliti lain seperti Müller (1978),

Okada & Bukry (1980), Fornaciari & Rio (1996), Backman (2012), juga

memilih akhir kemunculan (LA) Helicosphaera ampliapertha sebagai biodatum

untuk umur tersebut.

Pada sumur ini juga terlihat adanya struktur sesar turun, yang ditunjukkan

dengan adanya loncatan umur dari NN2 ke NN4 , terdapat gap yaitu pada NN3,

diperkirakan terdapat sesar yang melalui sumur dengan offside yang cukup besar

4.2.2 Korelasi

Dalam penelitian ini diperoleh bahwa umur dari Formasi Lahat-Air Benakat

adalah Oligosen Akhir – Miosen Tengah (NP 25 – NN 5). Namun, pada

beberapa penelitian terdahulu, memperlihatkan hasil yang berbeda dengan

penelitian (Gambar 3). Ginger & Fielding pada tahun 2005 melakukan penelitian

dan menyatakan bahwa umur dari Formasi Lahat tidak dapat diidentifikasi

namun diperkirakan Eosen-Oligosen, kemudian umur Formasi Talang Akar-Air

Benakat ini berkisar antara Oligosen Akhir (NP 25) – Miosen Tengah (NN 6).

Selanjutnya, Marpaung et al. pada tahun 2007 melakukan studi biostratigrafi

kuantitatif pada Sub-Cekungan Jambi, Cekungan Sumatera Selatan, yang

lokasinya berada di Barat Laut dari sumur. Dalam penelitiannya, Marpaung et al.

mengungkapkan bahwa umur dari Formasi Lahat-Air Benakat berkisar antara

Eosen Tengah – awal Miosen Akhir (NP 16 – NN 9)

Kemudian LEMIGAS pada tahun 2011 melakukan analisis biostratigrafi pada

Sub-Cekungan Palembang Selatan, dalam penelitiannya dihasilkan kisaran umur

Formasi Lahat-Air Benakat adalah Eosen Akhir -Miosen Tengah (NP 18 - NN 5).

Perbedaan hasil pada penelitian disebabkan oleh berbagai macam faktor,

antara lain :

1.Adanya perbedaan lokasi penelitian

Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengambil lokasi yang berbeda

dengan Sumur SSB Sub-Cekungan Palembang Selatan. Perbedaan lokasi

penelitian tentu akan menyebabkan perbedaan dalam korelasi. Sebagai contoh

apabila pengambilan sampel dilakukan pada geometri cekungan yang berbeda

atau pada bagian cekungan yang berbeda.

2.Adanya perbedaan interval sampling

Perbedaan interval dalam sampling tentu akan menghasilkan posisi biodatum

yang berbeda, sehingga rentang umurnya juga akan berbeda.

5. Kesimpulan

Pada Sumur “SSB” diperoleh 5 zona biostratigrafi dari yang paling tua hingga paling

muda yaitu Zona Sphenolithus ciperoensis (NP 25), Zona Reticulofenestra bisecta (NN1),

Zona Sphenolithus heteromorphus(NN2), Zona Helicosphaera ampliaperta (NN4), dan

Zona Reticulofenestra minuta (NN5). Terdapat satu gap zone (NN3), yang merupakan

penanda sesar. Berdasarkan zonasi tersebut Formasi Lahat berumur NP25-NN1 (25,20-

24,26 Ma), Formasi Talang Akar berumur NN1-awal NN2 (24,26-23,86 Ma), Formasi

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

800

Baturaja berumur NN2-NN4 (23,86-17,58 Ma), Formasi Gumai berumur NN4-awal NN5

(17,58-14,86 Ma), dan Formasi Air Benakat berumur NN5 (14,86-14,72Ma) atau lebih

muda.

Acknowledgement

Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada PT. Pertamina EP yang telah memberikan

ijin untuk melakukan penelitian.

Daftar Pustaka Amier, Rubianto I. 1991. Coals, Source Rock and Hydrocarbon in the South Palembang Sub-Basin,

South Sumatra, Indonesia. Thesis Department of Geology, University of Wollongong.

Armstrong, H.A. danBrasier, M.D. 2005.Microfossils 2nd Edition.Blackwell Publishing, Malden,

Oxford, Carlton.

Backman, J., Raffi, I., Rio, D., Fornaciari, E., Palike, H. 2012. Biozonation and Biochronology of

Miocene Through Pleistocene Calcareous Nannofossilsfrom low and middle latitudes Newsletters

on Stratigraphy, Vol. 45/3, Hal. 221–244.Stuutgart :GebrüderBorntraeger Germany

Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia Vol I A. Amsterdam :Government Printing Office.

Bishop, M.G. 2011.South sumatra Basin Province, Indonesia : The Lahat/Talangakar-Cenozoic Total

Petroleum System. USA : USGS

Bown, P.R., Jones, T.D. 2012. Calcareous nannofossils from the Paleogene equatorial Pacific (IODP

Expedition 320 Sites U1331-1334). JournalNannoplankton Research 32 (2).

Bown, P.R. 2005. Palaeogene Calcareous Nannfossils from Kilwa and Indi Areas of Coastal Tanzania

(Tanzania Drilling Project 2003 – 4). JournalNannoplankton Research 27 (1).

Bukry, D. 1973. Low latitude coccolithbiostratigraphic Zonation.Edgar N.T. et al., Init.Rep. of the

DSDP, Vol. 15.Washington D.C.

De Coster, GL. 1974. The Geology of Central and South Sumatra Basin Proccedings, Indonesia

Petroleum Association 3 rd

Annual Convention and Exhibition.Jakarta

DivisiEksplorasi Region Sumatra PT. PertaminaEP .Geological Well Report , Sumatra Selatan.(tidak

dipublikasikan)

Fornaciari, E., Backman, J., dan Rio, D. 1996. Latest Oligocene to Early MiddleMiocene Quantitative

Calcareous Nannofossil Biostratigraphy in theMediterranean Region, Micropaleontology Vol. 42.

No. 1.

Fornaciari, E. dan Rio, D. 1993. Quantitative Distribution patterns of SelectedLower to Middle

Miocene Calcareous Nannofosil from the Ontong JavaPlateau. Proceedings of the Ocean Drilling

Program, Scientific Results,Vol. 345.

Fornaciari, E., Raffi, I., Rio, D., Villa, G., Backman, J., dan Olafsson, G. 1990.Quantitative

Distribution Patterns of Oligocene and Miocene CalcareousNannofossils from the Western

Equatorial Indian Oean.

Ginger, D., dan Fielding, K. 2005.The Petroleum Systems and Future Potential of The South Sumatra

Basin. Proccedings, Indonesia Petroleum Association 30 thAnnual Convention and Exhibition.

Jakarta

Hidayat, Feri. 2010. GeologidanEndapan Batubara di Daerah Kecamatan Semidang Adji dan

Pengadonan dan Sekitarnya, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan.

Bandung :Tidakdipublikasikan

Jones, R. W. 1959. Applied Palaeontology.Cambridge :Cambridge University Press.

Kapid, Rubiyanto. 2003. NannofosilGampingan :PengenalandanAplikasiBiostratigrafi. Bandung:

ITB,.

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

801

Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia.1996. Sandi Stratigrafi Indonesia.IkatanAhliGeologi Indonesia,

Jakarta.

Martini, E. 1970.Standard Tertiary and Quartenary Calcareous Nannoplankton Zonation,

EdizioniTecnoscienza, Rome, Italy.

Marpaung, L. P., Maryunani,K. A., Suta,I N., Irawan,C. 2007. Quantitative Biostratigraphy of Jabung

Block, South Sumatra Basin : A Probabilistic Approach for Biozonation and Correlation.

Proccedings, Indonesia Petroleum Association 31 stAnnual Convention and Exhibition.Jakarta

Muller, C. 1978. Neogene calcareous nannofossils from the Mediterranean. Leg 42A of the Deep Sea

Drilling Project. IRDSDP, 42

Okada, H. danBukry, D. 1980.Supplementary Modification and Introduction of Code Numbers to the

Low-Latitude Coccolith Biostratigraphic Zonation, Elsevier Scientific Publishing Company, USA.

Pusat penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”. 2011.

Biostratigraphic Analyses of TheGinaya Well South Sumatra Basin Interval 130M-2202M. Jakarta

(Tidakdipublikasikan)

Romein, AJT. 1979. Utrecht Micropaleontological Bulletins 22nd

“Lineages in Early Paleongene

Calcareous Nannoplankton” . Belanda: Loonzetterij Abe, Hoogeveen

Sato , T., Rendy, Syavitri, D., Widianto ,E., Priambodo, D., Burhannudinnur, M. , Prasetyo,A. 2016.

Unconformities detected by high-resolution Calcareous Nannofossil biostratigraphy and its effect

on Petroleum System inNortheast Java Basin. Proceedings Geosea XIV and 45th IAGI annual

Convention 2016 (GIC 2016) Bandung.

Setyaningsih, C.A., Lelono, E.B., Firdaus.I. 2015. Palynological Study of the Jambi Sub-Basin, South

Sumatra.Scientific Contribiution Oil & Gas Vol.38. Jakarta : LEMIGAS

Shafik, S., Watkins, D.K., dan Shin, I.C. 1998. Calcareous Nannofossil Paleogene Biostratigraphy,

Cote D’ Ivoire – Ghana Marginal Ridge, Eastern Equatorial Atlantic. Proceedings of the Ocean

Drilling Program, ScientificResults, Vol. 159.

Theodoridis, S. 1984. Calcareous nannofossil biozonation of the Miocene and revision of the

He1icoliths and Discoasters. Utrecht Micropaleont. Bull. , 32

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

802

Gambar 1. Kolom deskripsi litologi dan lokasi sampel pada Sumur “SSB” Sub-Cekungan

Palembang Selatan Cekungan Sumatera Selatan

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

803

Gambar 2. Kisaran umur biodatum dan biozonasi pada Sumur “SSB” Sub-Cekungan Palembang

Selatan Cekungan Sumatera Selatan

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

804

Gambar 3. Korelasi hasil penelitian dengan penelitian terdahulu

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

805

Tabel 2. Distribusi dan biozonasi nanofosil gampingan pada Sumur “SSB” Sub-Cekungan Palembang Selatan Cekungan Sumatera Selatan