PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN ... · batugamping merah kristalin tidak dijumpai...

17
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA 748 GENESA BATUGAMPING MERAH DI DAERAH SIUNG DAN SEKITARNYA, KECAMATAN TEPUS DAN GIRISUBO, KABUPATEN GUNUNGKIDUL Anastasia Dewi Titisari 1* Adnan Hendrawan 1 Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada *corresponding author: [email protected] ABSTRAK Salah satu formasi batuan yang memiliki potensi batugamping dalam jumlah besar adalah Formasi Wonosari-Punung yang tersingkap di daerah Gunungkidul dan sekitarnya. Batugamping Formasi Wonosari-Punung umumnya berwarna putih hingga abu-abu. Akan tetapi, di daerah Siung dan sekitarnya, dijumpai batugamping berwarna merah yang memiliki persebaran secara setempat-setempat. Kehadiran batugamping merah ini cukup unik karena berada di sekitar tubuh gunung api purba sehingga mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai genesa batugamping merah di daerah tersebut. Karakteristik petrografi dan geokimia oksida utama sangat membantu dalam menjelaskan genesa batugamping merah di daerah penelitian. Pengamatan petrografi pada batugamping merah menunjukkan kehadiran kalsit, kuarsa, hematit, dan titanit. Analisis geokimia oksida mayor menunjukkan adanya pengayaan senyawa SiO 2 , Al 2 O 3 , Fe 2 O 3 , MnO, TiO 2 , dan SrO, , sedangkan kandungan CaO pada batugamping merah lebih rendah daripada batugamping putih. Pengayaan SiO 2 , Fe 2 O 3 , dan TiO 2 berkaitan dengan kehadiran mineral hematit dan titanit yang diduga sebagai mineral pengontrol warna merah pada batugamping, sementara pengayaan MnO dan SrO memberikan kontrol warna merah pada batugamping dalam bentuk unsur bukan dalam bentuk mineral. Pengayaan SiO 2 , Al 2 O 3 , dan TiO 2 diinterpretasikan berasal dari material terigenus yang masuk ke dalam cekungan pengendapan batugamping serta turut berperan dalam pembentukan batugamping merah. Hal ini juga didukung dengan kehadiran kuarsa sebagai penciri mineral terigen. Pengayaan Fe 2 O 3 dan MnO, serta korelasi positif antara Mn dan Sr mengindikasikan bahwa terjadi proses diagenesis yang turut berperan dalam pembentukan warna merah pada batugamping. Hal ini juga didukung dengan kehadiran stylolite pada batugamping merah yang terbentuk dari kompaksi kimia selama proses diagenesis. Kompaksi kimia biasanya disertai dengan pembebasan unsur Fe yang akan membentuk mineral hematit di sekitar stylolite. Kata Kunci : batugamping merah, formasi Wonosari-Punung, mineralogi, geokimia 1. Pendahuuan Formasi Wonosari-Punung merupakan formasi penyusun Pegunungan Selatan Jawa Timur yang memiliki potensi sumberdaya batugamping dalam jumlah banyak. Menurut Surono dkk (1992), Formasi Wonosari-Punung tersusun oleh batugamping, batugamping napalan-tufan, batugamping konglomerat, batupasir tufan, dan batulanau. Siregar dkk (2004) menyebutkan bahwa batugamping Formasi Wonosari-Punung pada umumnya berwarna putih hingga abu-abu. Akan tetapi, di daerah Siung, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul dijumpai batugamping Formasi Wonosari-Punung yang berwarna merah dengan penyebaran secara setempat-setempat. Kehadiran batugamping merah ini cukup unik karena berada di sekitar batuan beku Formasi Wuni sehingga mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai genesa batugamping merah di daerah tersebut.

Transcript of PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN ... · batugamping merah kristalin tidak dijumpai...

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

748

GENESA BATUGAMPING MERAH DI DAERAH SIUNG DAN SEKITARNYA,

KECAMATAN TEPUS DAN GIRISUBO, KABUPATEN GUNUNGKIDUL

Anastasia Dewi Titisari1*

Adnan Hendrawan1

Departemen Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada

*corresponding author: [email protected]

ABSTRAK

Salah satu formasi batuan yang memiliki potensi batugamping dalam jumlah besar adalah

Formasi Wonosari-Punung yang tersingkap di daerah Gunungkidul dan sekitarnya.

Batugamping Formasi Wonosari-Punung umumnya berwarna putih hingga abu-abu. Akan

tetapi, di daerah Siung dan sekitarnya, dijumpai batugamping berwarna merah yang memiliki

persebaran secara setempat-setempat. Kehadiran batugamping merah ini cukup unik karena

berada di sekitar tubuh gunung api purba sehingga mendorong penulis untuk melakukan

penelitian mengenai genesa batugamping merah di daerah tersebut. Karakteristik petrografi

dan geokimia oksida utama sangat membantu dalam menjelaskan genesa batugamping merah

di daerah penelitian. Pengamatan petrografi pada batugamping merah menunjukkan kehadiran

kalsit, kuarsa, hematit, dan titanit. Analisis geokimia oksida mayor menunjukkan adanya

pengayaan senyawa SiO2, Al2O3, Fe2O3, MnO, TiO2, dan SrO,, sedangkan kandungan CaO

pada batugamping merah lebih rendah daripada batugamping putih. Pengayaan SiO2, Fe2O3,

dan TiO2 berkaitan dengan kehadiran mineral hematit dan titanit yang diduga sebagai mineral

pengontrol warna merah pada batugamping, sementara pengayaan MnO dan SrO memberikan

kontrol warna merah pada batugamping dalam bentuk unsur bukan dalam bentuk mineral.

Pengayaan SiO2, Al2O3, dan TiO2 diinterpretasikan berasal dari material terigenus yang

masuk ke dalam cekungan pengendapan batugamping serta turut berperan dalam

pembentukan batugamping merah. Hal ini juga didukung dengan kehadiran kuarsa sebagai

penciri mineral terigen. Pengayaan Fe2O3 dan MnO, serta korelasi positif antara Mn dan Sr

mengindikasikan bahwa terjadi proses diagenesis yang turut berperan dalam pembentukan

warna merah pada batugamping. Hal ini juga didukung dengan kehadiran stylolite pada

batugamping merah yang terbentuk dari kompaksi kimia selama proses diagenesis. Kompaksi

kimia biasanya disertai dengan pembebasan unsur Fe yang akan membentuk mineral hematit

di sekitar stylolite.

Kata Kunci : batugamping merah, formasi Wonosari-Punung, mineralogi, geokimia

1. Pendahuuan

Formasi Wonosari-Punung merupakan formasi penyusun Pegunungan Selatan Jawa

Timur yang memiliki potensi sumberdaya batugamping dalam jumlah banyak. Menurut

Surono dkk (1992), Formasi Wonosari-Punung tersusun oleh batugamping, batugamping

napalan-tufan, batugamping konglomerat, batupasir tufan, dan batulanau. Siregar dkk (2004)

menyebutkan bahwa batugamping Formasi Wonosari-Punung pada umumnya berwarna putih

hingga abu-abu. Akan tetapi, di daerah Siung, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul

dijumpai batugamping Formasi Wonosari-Punung yang berwarna merah dengan penyebaran

secara setempat-setempat. Kehadiran batugamping merah ini cukup unik karena berada di

sekitar batuan beku Formasi Wuni sehingga mendorong penulis untuk melakukan penelitian

mengenai genesa batugamping merah di daerah tersebut.

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

749

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persebaran batugamping merah di

daerah Siung dan sekitarnya, mengetahui mineral dan unsur pengontrol warna merah pada

batugamping, serta mengetahui proses pembentukan batugamping merah. Proses

pembentukan batugamping merah dalam penelitian ini difokuskan pada peran proses-proses

geologi dalam pembentukan warna merah pada batugamping. Manfaat yang diharapkan dari

penelitian ini adalah tersedianya data mineralogi serta data geokimia yang dapat digunakan

sebagai bahan pertimbangan dalam pemanfaatan batugamping merah di daerah tersebut.

Kondisi geologi daerah Siung dan sekitarnya telah menjadi objek beberapa penelitian,

diantaranya penelitian mengenai asal-usul pembentukan Gunung Batur (Hartono dan Bronto,

2009) dan penelitian mengenai kondisi geologi dan penyebaran zona alterasi hidrotermal

(Mustakim dkk, 2014), tetapi penelitian-penelitian tersebut belum pernah membahas

mengenai batugamping merah. Penelitian mengenai batugamping merah pada Formasi

Wonosari-Punung sebelumnya pernah dilakukan, tetapi berlokasi di daerah Ponjong (Atmoko

dkk, 2016). Oleh sebab itu, penelitian mengenai batugamping merah di daerah Siung dan

sekitarnya merupakan penelitian baru yang dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.

2. Metode Penelitian

Lokasi penelitian berada di daerah Siung dan sekitarnya, Kecamatan Tepus dan Girisubo,

Kabupaten Gunungkidul dengan luas daerah penelitian 20 km2 (Gambar 1). Penelitian ini

disusun berdasarkan data primer yang dihasilkan dari pekerjaan lapangan dan analisis

laboratorium. Pekerjaan lapangan dilakukan untuk memetakan kondisi geologi, memetakan

persebaran batugamping merah, serta pengambilan sampel batuan yang digunakan untuk

analisis laboratorium. Sampel batuan yang digunakan untuk analisis laboratorium berjumlah

15, yang terdiri dari 8 sampel batugamping merah, 3 sampel batugamping putih, dan 4 sampel

batuan beku.

Analisis laboratorium yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis petrografi dan

analisis geokimia Inductively Coupled Plasma - Atomic Emission Spectrometry (ICP-AES).

Analisis petrografi bertujuan untuk mengetahui tekstur dan jenis mineral penyusun batuan.

Analisis petrografi dilakukan di Laboratorium Geologi Optik, Departemen Teknik Geologi,

Universitas Gadjah Mada. Analisis geokimia ICP-AES bertujuan untuk mengetahui

kandungan oksida utama pada batuan. Analisis ICP-AES dilakukan di Laboratorium ALS-

Geochemistry, Ontario, Canada. Penelitian ini juga menggunakan data sekunder berupa citra

digital elevation model (DEM) yang digunakan untuk analisis struktur geologi.

3. Data

3.1. Data lapangan

Berdasarkan modifikasi klasifikasi van Zuidam (1985) dan Brahmantyo (2006), daerah

penelitian terbagi menjadi 3 satuan geomorfologi, yaitu satuan punggungan aliran lava, satuan

bukit intrusi dan satuan perbukitan kerucut kars. Secara litostratigrafi daerah penelitian

tersusun oleh 3 satuan batuan yang terdiri dari satuan lava andesit, satuan intrusi andesit

hornblende, dan satuan batugamping floatstone (Gambar 2). Satuan batugamping floatstone

secara tidak selaras menumpang di atas satuan lava andesit dan satuan intrusi andesit

hornblende.

Batugamping merah yang menjadi objek penelitian berada pada satuan batugamping

floatstone dengan persebaran secara setempat-setempat. Secara megaskopis, batugamping

merah menunjukkan karakteristik sebagai batugamping floatstone (Gambar 3a) dan

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

750

batugamping kristalin (Gambar 3b). Batugamping merah floatstone berwarna merah muda –

merah, ukuran butir <1 – 25 mm, bentuk butir material penyusun membundar dan melensa,

mud supported, struktur berlapis dan masif, serta tersusun oleh alga merah, cangkang

foraminifera, hematit, pirolusit, dan lumpur karbonat. Batugamping merah kristalin berwarna

merah – merah kecoklatan, ukuran butir <1 mm, sebagian besar material penyusun telah

mengalami rekristalisasi, struktur masif, serta tersusun oleh kalsit, hematit, pirolusit, dan

sedikit lumpur karbonat. Baik pada batugamping merah floatstone maupun batugamping

merah kristalin dijumpai adanya stylolite (Gambar 4).

Struktur geologi yang terdapat pada daerah penelitian, antara lain sesar geser sinistral

nampu, sesar turun banyutibo, kekar gerus, dan kekar ekstensi. Penentuan sesar didasarkan

pada analisis peta topografi dan citra DEM, sedangkan penentuan kekar didasarkan pada data

lapangan. Hasil analisis citra DEM juga menunjukkan bahwa pada daerah penelitian

berkembang 3 arah pola kelurusan struktur geologi, yaitu arah barat barat laut - timur

menenggara, arah utara barat laut – selatan menenggara, dan arah timur timur laut - barat

baratdaya (Gambar 5).

3.2. Data petrografi

Analisis petrografi pada batugamping digunakan untuk mengetahui tekstur batuan, jenis,

dan kelimpahan komponen penyusun batuan, serta jenis dan kelimpahan mineral penyusun

batuan. Hasil analisis petrografi menunjukkan bahwa batugamping merah dapat

dikelompokkan dalam 2 jenis menurut Embry & Klovan (1971), yaitu batugamping floatstone

(Gambar 6a-6b) dan batugamping kristalin (Gambar 6c-6d). Sementara itu, seluruh sampel

batugamping putih termasuk dalam batugamping floatstone (Gambar 7). Rangkuman hasil

analisis petrografi batugamping dapat dilihat pada Tabel 1.

Terdapat beberapa perbedaan antara batugamping merah floatstone dengan batugamping

merah kristalin dari pengamatan petrografi. Pada pengamatan PPL batugamping merah

kristalin nampak lebih merah daripada batugamping floatstone. Pada batugamping floatstone

dijumpai skeletal grain berupa alga merah, foraminifera, dan litik, sedangkan pada

batugamping merah kristalin tidak dijumpai skeletal grain, Batugamping kristalin memiliki

kandungan sparit yang lebih melimpah daripada batugamping floatstone, sebalikanya

kandungan mikrit pada batugamping kristalin sangat sedikit.

Pengamatan petrografi juga menunjukkan perbedaan mineralogi penyusun batugamping

merah dan batugamping putih. Terdapat beberapa mineral yang dijumpai pada batugamping

merah tetapi tidak dijumpai pada batugamping putih, diantaranya kuarsa, titanit, dan hematit.

Hematit cukup melimpah pada batugamping merah dan tersebar secara acak diantara sparit, di

sekitar retakan dan stylolite. Sementara itu, titanit memiliki kelimpahan yang cukup rendah

dan hanya dijumpai pada beberapa sampel batugamping merah.

Analisis petrografi pada batuan beku digunakan untuk mengetahui tekstur batuan, jenis

mineral penyusun batuan. Rangkuman analisis petrografi batuan beku dapat dilihat pada

Tabel 2. Hasil analisis petrografi menunjukkan beberapa perbedaan antara sampel lava andesit

(Gambar 8a-8b) dan sampel intrusi andesit hornblende (Gambar 8c-8d). Lava andesit

memperlihatkan tekstur trakhitik, ukuran fenokris lebih halus, kelimpahan hornblende lebih

rendah, serta dijumpai urat kalsedon. Intrusi andesit hornblende memiliki ukuran fenokris

lebih kasar, hornblende lebih melimpah, serta dijumpai kuarsa. Analisis ini dipakai untuk

mendukung dalam menginterpretasi asal material terigenus.

3.3. Data geokimia

Hasil analisis kandungan oksida utama menggunakan metode ICP-AES disajikan dalam

Tabel 3. Kandungan oksida utama batugamping dapat digunakan untuk mengelompokkan

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

751

jenis batugamping secara geokimia. Todd (1996) mengelompokkan batugamping kedalam 3

kelompok berdasarkan rasio Ca/Mg, yaitu batugamping murni (Ca/Mg > 39,00), batugamping

magnesium (Ca/Mg antara 12,30 – 39,00), dan batugamping dolomitik (Ca/Mg antara 1,41 –

12,30). Hasil pengelompokkan batugamping secara geokimia dapat dilihat pada Tabel 4. Dari

8 sampel batugamping merah yang dianalisis, 7 sampel termasuk dalam batugamping murni

dan 1 sampel termasuk dalam batugamping magnesium. Sementara itu, semua batugamping

putih yang dianalisis termasuk dalam batugamping murni.

Untuk mengetahui pola oksida utama pada batugamping merah dan batugamping putih,

hasil analisis kandungan oksida utama disajikan dalam bentuk kurva kelimpahan (Gambar 9).

Dari kurva tersebut, dapat diidentifikasi perbedaan kandungan oksida utama pada

batugamping merah dan batugamping putih. Batugamping merah memiliki kandungan SiO2,

Al2O3, Fe2O3, Na2O, K2O, TiO2, MnO, dan SrO lebih tinggi daripada batugamping putih.

Batugamping putih memiliki kandungan CaO lebih tinggi daripada batugamping merah.

Sementara itu, kandungan MgO dan P2O5 menunjukkan pola yang acak pada batugamping

merah dan batugamping putih.

Dari hasil analisis geokimia juga dibuat diagram bivariat untuk mengetahui hubungan

antara CaO dengan beberapa oksida utama (Gambar 10). Diagram bivariat menunjukkan

bahwa CaO sebagai senyawa utama penyusun batugamping memiliki hubungan korelasi

negatif terhadap beberapa oksida utama, diantaranya SiO2, Al2O3, Fe2O3, MgO, P2O5, TiO2,

MnO, dan SrO.

Analisis geokimia juga dilakukan terhadap sampel batuan beku. Hasil analisis ini

bertujuan untuk melakukan penamaan batuan beku secara geokimia menurut klasifikasi Le

Bas dkk (1986) (Gambar 11). Berdasarkan klasifikasi tersebut, baik sampel lava andesit

maupun sampel intrusi andesit hornblende termasuk dalam kelompok andesit, tetapi intrusi

andesit hornblende memiliki kandungan SiO2 yang lebih tinggi daripada lava andesit.

4. Pembahasan

4.1. Persebaran batugamping merah

Persebaran batugamping merah terhadap kondisi geologi di daerah penelitian ditentukan

dengan menampalkan hasil interpolasi persebaran batugamping merah yang dijumpai di

lapangan, persebaran satuan litologi, serta pola kelurusan dan struktur geologi hasil analisis

DEM (Gambar 12). Hasilnya menunjukkan bahwa batugamping merah secara umum dijumpai

pada 2 lokasi, yaitu di daerah Pantai Siung (bagian barat daerah penelitian) dan daerah

Nampu (bagian tenggara daerah penelitian). Batugamping merah yang dijumpai di kedua

lokasi tersebut menunjukkan karakteristik yang sama.

Dengan melihat persebaran batugamping merah pada Gambar 12, dapat diinterpretasikan

bahwa persebaran batugamping merah dikontrol oleh 2 aspek, yaitu litologi dan struktur

geologi. Batugamping merah memiliki persebaran pada satuan batugamping floatstone yang

berada di sekitar kontak litologi dengan satuan lava andesit. Jenis kontak litologi antara kedua

satuan batuan tersebut berupa kontak ketidakselarasan. Oleh sebab itu, dapat diinterpretasikan

bahwa satuan lava andesit berkontribusi sebagai sumber material terigenus dalam cekungan

dan pembentukan batugamping merah. Kehadiran batugamping merah juga dikontrol oleh

struktur geologi. Batugamping merah hadir pada daerah dengan pola kelurusan struktur yang

cukup intensif sehingga dapat diinterpretasikan bahwa struktur geologi juga berperan dalam

pembentukan batugamping merah.

4.2. Mineral dan unsur pengontrol warna merah pada batugamping

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

752

Mineral pengotrol warna merah pada batugamping ditentukan dengan membandingkan

jenis mineral penyusun batugamping merah dan batugamping putih berdasarkan deskripsi

secara megaskopis dan analisis petrografi. Mineral pengontrol warna merah akan hadir

dan/atau memiliki kelimpahan yang lebih tinggi pada batugamping merah daripada

batugamping putih. Mineral yang hadir pada batugamping merah tetapi tidak dijumpai pada

batugamping putih adalah kuarsa, hematit, titanit, dan pirolusit. Dari keempat mineral

tersebut, mineral yang dapat menyebabkan warna merah pada batugamping adalah hematit

dan titanit (Flugel, 2010; Atmoko dkk, 2016).

Baik secara megaskopis maupun mikroskopis, hematit dijumpai pada semua sampel

batugamping merah dengan kelimpahan berkisar antara 4,7% - 8,4%. Kehadiran hematit

sebagai mineral pengontrol warna merah juga didukung dengan hasil analisis geokimia ynag

menunjukkan adanya pengayaan Fe2O3 (Gambar 9). Hematit umumnya berasal dari batuan

beku, terutama lava, urat hidrothermal, dan batuan metamorf derajat rendah (Hurlbut, 1941;

Mottana dkk, 1978) sehingga diinterpretasikan bahwa satuan lava andesit dan satuan intrusi

andesit hornblende bertanggungjawab sebagai sumber material yang menyebabkan terjadinya

pengayaan Fe2O3. Sementara itu, hematit sebagai mineral autigenik terbentuk sebagai hasil

dari proses diagenesis (Flugel, 2010; Mottana dkk, 1978). Kehadiran hematit yang tersebar

secara acak di antara sparit, di sekitar retakan dan stylolite diinterpretasikan bahwa hematit

tersebut terbentuk akibat proses diagenesis.

Kehadiran titanit pada batugamping merah hanya dapat diidentifikasi dari hasil analisis

petrografi. Titanit hadir pada beberapa sampel batugamping merah, diantaranya sampel AH-3,

AH-6, AH-7, AH-22, dan AH-51 dengan kelimpahan berkisar antara 0,5% - 1,2%. Kehadiran

titanit sebagai mineral pengontrol warna merah juga didukung dengan hasil analisis geokimia

yang menunjukkan adanya pengayaan TiO2 dan SiO2 (Gambar 9). Kehadiran titanit pada

batugamping merah dapat berupa detritus hasil rombakan dari batuan beku asam – intermediet

yang masuk dalam cekungan pengendapan batugamping (Mottana, 1978). Titanit juga dapat

terbentuk dalam batugamping kristalin (Speer dan Gibbs, 1976; Klein dan Hurlbut Jr., 1995).

Unsur pengontrol warna merah pada batugamping ditentukan dengan membandingkan

kandungan oksida utama pada batugamping merah dan batugamping putih dari hasil analisis

geokimia. Unsur pengontrol warna merah akan memiliki konsentrasi yang lebih tinggi pada

batugamping merah dibandingkan pada batugamping putih. Unsur yang memiliki konsentrasi

yang lebih tinggi pada batugamping merah, antara lain Si, Al, Fe, Na, K, Ti, Mn, dan Sr. Dari

unsur-unsur tersebut, unsur yang dapat menyebabkan warna merah pada batugamping adalah

Fe, Mn, dan Sr (Nassau, 1978).

Fe dan Mn merupakan unsur minor pada batugamping. Fe dan Mn dapat menyusun

batugamping dalam bentuk senyawa maupun dalam bentuk kation (Boggs, 2009). Nilai rata-

rata konsentrasi Fe dan Mn pada batugamping merah berturut-turut adalah 0,74 wt% dan 0,03

wt%, sedangkan nilai rata-rata Fe dan Mn pada batugamping putih berturut-turut adalah 0,12

wt% dan <0,01 wt%. Fe dan Mn umumnya dibawa oleh material non-karbonat yang dapat

berasal dari material terigenus (Boggs, 2009). Fe juga dapat ditambahkan ke dalam

batugamping melalui proses diagenesis (Flugel, 2010).

Unsur Sr merupakan unsur jejak yang umumnya menyusun batugamping dalam bentuk

kation (Boggs, 2009). Unsur Sr merupakan unsur yang mudah terlarut dalam air laut sehingga

dapat dengan mudah terikat di dalam struktur kristal mineral karbonat pada saat pembentukan

batugamping. Unsur Sr dapat juga tersimpan di dalam material skeletal (Chester, 2000 dalam

Boggs, 2009). Rata-rata konsentrasi Sr pada batugamping merah adalah 76,5 ppm, sedangkan

pada batugamping putih adalah 8,6 ppm. Korelasi negatif antara Sr dengan CaO menunjukkan

bahwa sumber Sr dalam batugamping bukan berasal dari proses yang sama dengan proses

pembentukan CaO pada batugamping. Senyawa CaO sebagai senyawa utama penyusun

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

753

batugamping berasal dari air laut dan terkandung dalam batugamping saat presipitasi

berlangsung, sedangkan kehadiran unsur Sr diinterpretasikan berasal dari input material

terigenus ataupun proses diagenesis.

4.3. Proses pembentukan warna merah pada batugamping

Proses pembentukan warna merah pada batugamping merah ditentukan berdasarkan

persebaran batugamping merah, asosiasi mineral dan unsur pengontrol warna merah pada

batugamping, dan didukung dengan hasil uji geokimia. Setidaknya terdapat 2 proses geologi

yang berperan dalam pembentukan batugamping merah, yaitu penambahan material terigenus

dan diagenesis.

Persebaran batugamping merah yang berada di sekitar kontak litologi dengan satuan lava

andesit mengindikasikan bahwa satuan lava andesit dan/atau satuan intrusi andesit hornblende

berpengaruh terhadap pembentukan warna merah pada batugamping. Satuan lava andesit dan

intrusi hornblende merupakan bagian dari tubuh gunung api purba Batur yang merupakan

suatu gunung api darat (Hartono dan Bronto, 2007). Oleh sebab itu, dapat diinterpretasikan

bahwa kedua satuan batuan tersebut dapat memberikan suplai material terigenus yang dapat

meyebabkan terbentuknya warna merah pada batugamping.

Proses pelapukan dan erosi menyebabkan beberapa material terlepas dari batuan induk.

Material-material terigen tersebut membawa beberapa unsur kimia, seperti Si, Ti, Al, Fe, Mn,

dan Sr. Kemudian, ketiga unsur tersebut mengalami transportasi oleh sungai dan akhirnya

masuk ke dalam cekungan pengendapan batugamping. Saat presipitasi berlangsung, Fe, Mn,

dan V terikat di dalam struktur kristal mineral karbonat sehingga menyebabkan terbentuknya

warna merah pada batugamping.

Adanya penambahan material terigenus pada batugamping merah juga diperkuat dengan

beberapa bukti hasil analisis geokimia. Penambahan material terigenus dicirikan dengan

pengayaan beberapa senyawa penciri material terigen pada batugamping merah, seperti SiO2,

Al2O3, dan TiO2 (Nagarajan dkk, 2011; Song dkk, 2014). Ketiga senyawa tersebut juga

menunjukkan korelasi negatif yang signifikan terhadap CaO sehingga dapat diinterpretasikan

bahwa senyawa-senyawa tersebut bukan berasal dari air laut. Hasil analisis petrografi

menunjukkan bahwa pada batugamping merah juga dijumpai mineral kuarsa. Meskipun

kuarsa bukan mineral pengontrol warna merah pada batugamping, tetapi kuarsa merupakan

salah satu penciri material terigen (Nagarajan dkk, 2011).

Batugamping merah yang memiliki persebaran di sekitar struktur geologi

mengindikasikan bahwa terdapat proses paska pengendapan (post-sedimentary) yang berperan

dalan pembentukan warna merah pada batugamping. Pengamatan di lapangan dan hasil

analisis petrografi menunjukkan bahwa terdapat stylolite pada batugamping merah dan

beberapa mineral berwarna merah terkonsentrasi di sekitar stylolite. Stylolite mencirikan

terjadinya proses kompaksi kimia pada saat diagenesis batugamping (Azizi dkk, 2014). Hasil

analisis laboratorium juga menunjukkan adanya kehadiran mineral hematit dan titanit dimana

mineral-mineral tersebut dapat dipakai sebagai indikasi pengontrol warna merah pada

batugamping karena proses diagenesis (Speer dan Gibbs, 1976; Klein dan Hurlbut Jr., 1995;

Flugel, 2010). Oleh sebab itu, dapat diinterpretasikan bahwa proses diagenesis juga berperan

dalam pembentukan warna merah pada batugamping. Selain memberikan pengaruh warna

merah dengan membentuk mineral, larutan yang berperan sebagai agen diagenesis juga

membawa unsur kimia yang juga mengontrol pembentukan warna merah pada batugamping,

yaitu Fe, Mn, dan Sr.

Proses diagenesis yang terjadi pada batugamping merah juga diperkuat dengan beberapa

bukti hasil dari analisis geokimia. Batugamping merah memiliki kandungan Fe2O3 dan MnO

yang lebih tinggi daripada batugamping putih. Menurut Nagarajan dkk (2011) dan Song

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

754

(2014), pengayaan Fe2O3 dan MnO salah satu penciri proses diagenesis karena kedua senyawa

tersebut banyak terkandung oleh fluida diagenesis yang bersifat oksidatif. Selain itu, proses

diagenesis juga dicirikan dengan korelasi positif antara Mn dengan Sr (Madhavaraju dan Lee,

2009) (Gambar 13).

Selama diagenesis berlangsung, proses yang menyebabkan terbentuknya warna merah

pada batugamping adalah kompaksi mekanik dan kompaksi kimia (Flugel, 2010). Kompaksi

mekanik terjadi akibat pembebanan sedimen (burial). Efek yang ditimbulkan dari proses

kompaksi mekanik, antara lain terbentuknya retakan pada batugamping, butiran penyusun

batugamping saling berdekatan, dan berkurangnya porositas (Azizi dkk, 2014). Karena

batugamping di daerah penelitian berupa memiliki kemas terbuka (mud supported) dan

dominan tersusun oleh matriks berukuran halus maka butiran penyusun yang saling

berdekatan sulit diamati. Akan tetapi, terbentuknya retakan akibat kompaksi mekanik pada

batugamping dapat dengan mudah diamati dilapangan maupun pada pengamatan petrografi.

Proses kompaksi mekanik juga menyebabkan terjadinya peningkatan suhu dan tekanan

sedimen yang menginisiasi terjadinya interaksi antara ion Ca2+

, Ti4+

, dan Si4+

untuk

membentuk mineral titanit yang menyebabkan terbentuknya warna merah pada batugamping

(Speer dan Gibbs, 1976; Klein dan Hurlbut Jr., 1995).

Kompaksi mekanik yang terjadi secara terus - menerus, menyebabkan terjadinya tekanan

larutan pada kontak antar butiran penyusun batugamping. Tekanan larutan akan melarutkan

permukaan butiran sehingga menghasilkan stylolite. Peristiwa ini dinamakan sebagai

kompaksi kimiawi (Ben-Itzhak dkk, 2014). Retakan yang dihasilkan dari kompaksi mekanik

dan stylolite yang terbentuk akibat kompaksi kimiawi dapat menjadi jalan bagi larutan yang

menjadi agen proses diagenesis. Larutan yang bersifat oksidatif akan membawa koloid

lempung yang mengandung beberapa unsur kimia, seperti Fe, Mn, dann Sr. Unsur-unsur

tersebut akan dilepaskan dan masuk ke dalam batugamping. Unsur Fe akan terpresipitasi

sebagai mineral hematit apabila lingkungan diagenesis bersifat oksidatif (Flugel, 2010).

Sementara itu, unsur Mn dan Sr memberikan pengaruh warna merah pada batugamping merah

dalam bentuk unsur pengotor dalam struktur kristal mineral karbonat, bukan dalam bentuk

mineral.

5. Kesimpulan

Persebaran batugamping merah di daerah Siung dan sekitarnya dikontrol oleh aspek

litologi dan struktur geologi, yaitu pada batugamping floatstone yang berada di sekitar kontak

litologi dengan satuan lava andesit, serta di daerah dengan pola kelurusan struktur yang

intensif. Mineral pengontrol warna merah pada batugamping adalah hematit dan titanit,

sedangkan unsur kimia pengontrol warna merah pada batugamping adalah Fe, Mn, dan Sr.

Proses geologi yang berperan dalam pembentukan warna merah pada batugamping adalah

penambahan material terigenus yang diindikasikan berasal dari satuan lava andesit dan satuan

intrusi andesit hornblende; dan proses diagenesis, berupa kompaksi mekanik dan kompaksi

kimiawi yang dicirikan dengan kehadiran stylolite.

Acknowledgements

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik,

Universitas Gadjah Mada yang telah memberikan dana hibah untuk membiayai pelaksanaan

penelitian ini.

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

755

Daftar Pustaka

Atmoko, D.D., Titisari, A.D., dan Idrus, A. (2016). Mineralogi dan Geokimia Batugamping Merah

Ponjong, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta – Indonesia, in: Riset Geologi dan

Pertambangan, Vol. 26 (1), p. 55 – 69.

Azizi, S.H.H., Shabestari, G.M., dan Khazaei, A. (2014). Petrography and Geochemistry of

Paleocene-Eocene Limestone in the Ching-dar Syncline, Eastern Iran, in: Geoscience

Frontiers, Vol. 5, p. 429 – 438.

Babu, K., Prabhakaran, R., Subramanian, P., dan Selvaraj, B. (2014). Geochemical Characterization

of Garudamangalam Limestone Cretaceous of Ariyalur Tamilnadu, India, in: International

Journal of Geology, Agriculture and Environmental Science, Vol. 2, p. 17 – 22.

Ben-Itzhak, L.L., Aharonov, E., Karcz, Z., Kaduri, M., dan Toussaint, R. (2014). Sedimentary Stylolite

Networks and Connectivity in Limestone: Large-scale Field Observations and Implications for

Structure Evolution, [pdf], (https://hal.archives-ouvertes.fr/hal-00961075v2, diakses tanggal

18 Februari 2017).

Boggs, S. (2009). Petrology of Sedimentary Rocks, Cambridge University Press, Cambridge, 600 p.

Brahmantyo, B. (2006). Klasifikasi Bentuk Muka Bumi (Landform) untuk Pemetaan Geomorfologi

pada Skala 1:25.000 dan Aplikasinya untuk Penataan Ruang, in: Jurnal Geoaplika, Vol. 1 (2),

p. 71 – 78.

Flugel, E. (2010). Microfacies of Carbonate Rocks. Springer, Berlin, 984 p.

Hartono, G., dan Bronto, S. (2007). Asal-usul Pembentukan Gunung Batur di daerah Wediombo,

Gunungkidul, Yogyakarta, in: Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2 (3), p. 143 – 158.

Hurbut, C.S. (1952). Dana’s Manual of Mineralogy. John Wiley and Sons, Inc., New York, 530 p.

Klein, C dan Hurlbut Jr, C.S. (1995). Manual of Mineralogy. Wiley, New York, 681p.

Le Bas, M.J., Le Maitre, R.W., Streckeisen, A., dan Zanettin, B. (1986). A Chemical Classification of

Volcanic Rocks Based on Total Alkali-Silica Diagram, in: Journal of Petrology, Vol. 27 (3), p.

745 – 750.

Madhavaraju, J., dan Lee, Y.I. (2009). Geochemistry of the Dalmiapuram Formation of the Uttatur

Group (Early Cretaceous), Cauvery Basin, Southeastern India: Implications on Provenance

and Paleo-redox Conditions, in: Revista Mexicana de Ciencias Geologicos, Vol. 26 (2), p. 380

– 394.

Mottana, A., Crespi, R., dan Liborio, G. (1978). Guide to Rocks and Minerals. Simon and Schuster

Inc, New York, 607 p.

Mustakim, W.Y., Idrus, A., Setiadji, L.D., dan Warmada, I.W. (2014). Geologi dan Alterasi

Hidrotermal di Gunung Batur, Wediombo, Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi DI Yogyakarta,

in: Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-7, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik,

Universitas Gadjah Mada, p. 657 – 664.

Nagarajan, R., Madhavaraju, J., Armstrong-Altrin, J.S., dan Nagendra, R. (2011). Geochemistry of

Neoproterozoic Limestone of the Shahabad Formation, Bhima Basin, Karnataka, southern

India, in: Geoscience Journal, Vol. 15 (1), p. 9 – 25.

Nassau, K. (1978). The Origins of Color in Minerals, in: American Mineralogist, Vol. 63, p. 219 –

229.

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

756

Siregar, M.S., Kamtono, Praptisih, dan Mukti, M.M. (2004). Reef Facies of the Wonosari Formation,

South of Central Java, in: Riset Geologi dan Pertambangan, Vol. 14 (1), p. 1 – 17.

Song, C., Herong, G., dan Linhua, S. (2014). Geochemical Characteristics of REE in the Late Neo-

proterozoic Limestone from Nothern Anhui Province, China, in: China Journal of

Geochemistry, Vol. 33, p. 187 – 193.

Speer, J.A., dan Gibbs, G.V. (1976). The Crystal Structure of Synthetic Titanite, CaTiOSiO4, and the

Domain Textures of Natural Titanites, in: American Mineralogist, Vol. 61, p. 238 – 247.

Surono, Toha, B., dan Sudarno, I. (1992). Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro skala 1:100.000.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

Todd, T.W. (1966). Petrographic Classification of Carbonate Rocks, in: Journal of Sedimentary

Petrology, Vol. 36 (2), p. 317 – 340.

Van Zuidam, R.A. (1985). Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and Geomorphologic

Mapping. ITC, Smits Publ., Enschede, The Hagu, 442 p.

Gambar 1. Peta indeks lokasi penelitian.

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

757

Gambar 2. Peta geologi daerah penelitian

Gambar 3. (a) Contoh setangan batugamping merah floatstone dari sampel AH-3. (b) Contoh

setangan batugamping merah kristalin dari sampel AH-52

Gambar 4. Kenampakan stylolite pada contoh setangan batugamping merah dari sampel AH-6

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

758

Gambar 5. Interpretasi pola kelurusan struktur geologi dari digital elevation model

Gambar 6. Kenampakan mikroskopis batugamping merah. Batugamping merah floatstone (AH-54)

pada kenampakan PPL (a) dan XPL (b). Batugamping merah kristalin (AH-51) pada

kenampakan PPL (c) dan XPL (d). Keterangan: F = foraminifera besar, B = foraminifera kecil bentonik, P = foraminifera kecil plangtonik, Lbm = litik batugamping mudstone,

Hem = hematit, Ttn = titanit, Op = mineral opak, mi = mikrit, sp = sparit

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

759

Gambar 7. Kenampakan mikroskopis batugamping putih. Batugamping putih (AH-9) pada

kenampakan PPL (a) dan XPL (b). Batugamping putih (AH-21) pada kenampakan PPL

(c) dan XPL (d). Keterangan: F = foraminifera besar, A = alga merah, Hem = hematit, Op

= mineral opak, mi = mikrit, sp = sparit

Gambar 8. Kenampakan mikroskopis batuan beku. Lava andesit (AH-8) pada kenampakan PPL (a)

dan XPL (b). Intrusi andesit hornblende (AH-15) pada kenampakan PPL (c) dan XPL (d)

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

760

Gambar 9. Kurva kelimpahan oksida utama batugamping dan batuan beku

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

761

Gambar 10. Diagram bivariat antara CaO terhadap beberapa oksida utama pada batugamping

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

762

Gambar 11. Hasil pengeplotan sampel batuan beku pada diagram TAS (Le Bas dkk, 1986).

Gambar 12. Persebaran batugamping merah terhadap litologi dan struktur geologi di daerah

penelitian

Gambar 13. Diagram bivariat antara Mn dengan Sr

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

763

Tabel 1. Rangkuman hasil analisis petrografi batugamping merah dan batugamping putih Kode

Sampel Nama Petrografi

Kelimpahan (%)

F A Lbm Qtz Ttn Op Hem mi sp

Batugamping merah

AH-3 Foraminiferal lime-floatstone 21,0 8,0 6,3 2,0 0,8 1,6 20,8 4,8 34,7

AH-6 Crystalline limestone - - - 2,3 0,7 2,3 12,1 7,4 75,2

AH-7 Crystalline limestone - - - 5,6 0,7 2,7 12,3 7,3 71,4

AH-22 Foraminiferal lime-floatstone 13,1 6,1 - 0,9 0,5 0,6 56,0 4,7 18,1

AH-26 Foraminiferal lime-floatstone 27,1 5,8 - 1,6 - 1,2 42,9 5,0 21,4

AH-51 Crystalline limestone - - 5,2 1,4 1,2 1,8 15,4 8,4 66,6

AH-52 Crystalline limestone - - - 6,1 - 1,2 18,5 6,7 67,2

AH-54 Foraminiferal lime-floatstone 25,7 - 4,5 - - 3,4 37,1 6,6 22,7

Batugamping putih

AH-9 Foraminiferal lime-floatstone 18,8 6,5 - - - 1,2 58,0 - 22,5

AH-12 Foraminiferal lime-floatstone 22,2 4,7 - - - - 56,2 - 21,6

AH-21 Algal lime-floatstone 3,4 25,2 - - - - 54,3 - 17,1

Keterangan:

F : Foraminifera Qtz : Kuarsa Hem : Hematit

A : Alga merah Ttn : Titanit mi : mikrit

Lbm : Litik batugamping mudstone Op : Mineral opak sp : sparit

Tabel 2. Rangkuman hasil analisis petrografi batuan beku

Kode

Sampel

Nama

Petrografi

Kelimpahan (%)

Tekstur khusus Fenokris Massa dasar Mineral sekunder

Pl Hbl Qtz Op Pl Gls Chl Cal Ccd

Satuan lava andesit

AH-8 Andesit 27,9 6,7 - 5,4 40,0 13,0 5,2 - 1,8 Porfiroafanitik,

trakhitik, zoning,

reaction rims

AH-43 Andesit 26,0 8,4 - 4,0 47,6 11,4 2,6 - - Porfiroafanitik,

trakhitik, zoning,

reaction rims

Satuan intrusi andesit hornblende

AH-15 Andesit

hornblende

32,0 14,4 5,8 3,6 40,3 - 1,6 2,3 - Porfiroafanitik,

zoning, reaction rims

AH-16 Andesit

hornblende

28,6 16,0 3,2 6,2 42,3 - - 3,7 - Porfiroafanitik,

zoning, reaction rims

Keterangan:

Pl : Plagioklas Qtz : Kuarsa Gls : Gelas volkanik Cal : Kalsit

Hbl : Hornblende Op : Mineral opak Chl : Klorit Ccd : Kalsedon

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

764

Tabel 3. Kandungan oksida utama batuan

Kode

Sampel

Konsentrasi (wt%)

SiO2 Al2O3 Fe2O3 CaO MgO Na2O K2O TiO2 MnO P2O5 SrO LOI

Batugamping merah

AH 3 1,89 0,59 0,38 54,22 0,54 <0,01 <0,01 0,03 0,01 0,02 0,001 42,31

AH 6 1,32 0,62 0,60 52,20 2,47 0,02 0,04 0,05 0,03 0,06 0,004 42,59

AH 7 1,40 0,87 0,63 53,98 0,53 0,03 <0,01 0,03 0,03 0,06 0,002 42,43

AH 22 1,85 1,22 0,62 54,26 0,20 <0,01 <0,01 0,05 0,01 0,01 0,011 41,78

AH 26 1,25 0,62 0,48 54,47 0,26 0,01 0,02 0,03 0,11 0,02 0,024 42,71

AH 51 1,49 0,96 0,73 53,56 0,85 <0,01 0,02 0,12 0,02 0,06 0,002 42,17

AH 52 2,61 1,34 0,40 52,61 1,04 0,07 0,06 0,05 0,03 0,11 0,003 41,67

AH 54 2,88 1,83 2,03 51,45 0,40 0,01 0,07 0,09 0,02 0,09 0,025 41,12

Batugamping putih

AH 9 0,47 0,13 0,21 55,43 0,40 <0,01 <0,01 0,05 0,01 0,07 0,001 43,23

AH 12 0,44 0,07 0,08 55,99 0,63 <0,01 <0,01 0,01 <0,01 0,02 0,001 42,76

AH 21 0,42 0,03 0,07 56,36 0,18 <0,01 <0,01 <0,01 <0,01 0,03 0,001 42,92

Lava andesit

AH 8 60,01 17,14 5,37 5,30 2,87 3,80 1,06 0,49 0,11 0,13 0,040 3,67

AH 43 58,82 17,35 5,26 7,57 1,91 3,39 0,61 0,55 0,10 0,15 0,040 4,25

Intrusi andesit hornblende

AH 15 61,49 16,93 5,28 6,43 2,28 3,53 0,83 0,49 0,13 0,13 0,070 2,39

AH 16 61,20 16,84 4,97 6,24 2,27 3,42 0,73 0,47 0,11 0,13 0,060 3,56

Keterangan: <0,01 = di bawah limit deteksi

Tabel 4. Penamaan batugamping di daerah penelitian secara geokimia menurut Todd (1996)

Kode Sampel CaO (wt%) MgO (wt%) Ca (wt%) Mg (wt%) Ca/Mg Nama

Batugamping merah

AH-3 54,22 0,54 38,75 0,33 118,72 Batugamping murni

AH-6 52,20 2,47 37,31 1,49 25,08 Batugamping magnesium

AH-7 53,98 0,53 38,58 0,32 121,19 Batugamping murni

AH-22 54,26 0,20 38,78 0,12 327,08 Batugamping murni

AH-26 54,47 0,26 38,93 0,16 251,15 Batugamping murni

AH-51 53,56 0,85 38,28 0,51 74,55 Batugamping murni

AH-52 52,61 1,04 37,60 0,63 59,70 Batugamping murni

AH-54 51,45 0,40 36,77 0,24 153,47 Batugamping murni

Batugamping putih

AH-9 55,43 0,40 39,62 0,24 164,13 Batugamping murni

AH-12 55,99 0,63 40,01 0,38 104,99 Batugamping murni

AH-21 56,36 0,18 40,28 0,11 375,28 Batugamping murni