Problematika pengelolaan ekowisata Gili Iyang: Perspektif ...

12
Prosiding Seminar Nasional IV 2018 Peran Biologi dan Pendidikan Biologi dalam Revolusi Industri 4.0 dan Mendukung Pencapaian Sustainability Development Goals (SDG’s) ISBN: 978-602-5699-43-6 225 Problematika pengelolaan ekowisata Gili Iyang: Perspektif community based ecotourism Husamah, Diani Fatmawati, Dwi Setyawan, Fuad Jaya Miharja Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Muhammadiyah Malang Penulis koresponden Husamah, Pendidikan Biologi, FKIP Universitas Muhammadiyah Malang Email: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis problematika pengelolaan ekowisata gili iyang berdasarkan perspektif Community Based Ecotourism. Metode penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data yang diperoleh adalah data primer yang diperoleh melalui observasi ke lokasi dan melakukan wawancara mendalam dengan informan (Pengelola: Ketua/coordinator, wakil, anggota, pemandu; Masyarakat Lokal: Pedagang, penyedia jasa penyewaan alat/perahu, penginapan dan fasilitas lain, masyarakat sekitar daerah ekowisata; Biro perjalanan; Akademisi Perguruan tinggi lokal; regulator/pemerintah daerah/dinas) dan data sekunder yang diperoleh melalui studi literatur dan dokumen kebijakan/peraturan. Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2018 sampai Agustus 2018. Data yang diperoleh diolah atau dianalisis dengan teknik deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan 5 prinsip Community Based Ecotourism (CBE). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum 5 prinsip ekowisata berbasis masyarakat belum diupayakan secara seirus untuk diimplementasikan dalam pengelolaan ekowisata tiga gili di Sumenep dimana kondisi eksisting menunjukkan bahwa masih banyak yang sangat kurang. Beberapa kriteria pada masing-masing prinsip ada yang belum dilaksanakan (masih rendah), baru diwanakan, sedang direncanakan, dan sedang diupayakan. Kata kunci: Community based ecotourism Ekowisata Gili Iyang Sumenep Copyright © 2018 Universitas Muhammadiyah Malang PENDAHULUAN Kabupaten Sumenep merupakan kabupaten dengan pulau terbanyak di Jawa Timur. Sumenep memiliki 126 pulau (48 pulau berpenghuni dan 78 pulau tidak berpenghuni). Sumenep terdiri dari 25 Kecamatan dan 331 desa. Dengan potensi itu, maka Sumenep adalah kabupaten yang mempunyai terumbu karang dan mangrove terluas di Jawa Timur (Muhsoni & Efendy, 2016). Kondisi ini menunjukkan Kabupaten Sumenep memiliki potensi sumberdaya alam yang besar, khususnya terkait dengan potensi bahari dan pulau-pulau kecil. Pemerintah Kabupaten Sumenep mulai menyadari tentang potensi ekowisatanya dan meskipun masih agak lambat dan belum maksimal mulai melaksanakan pembangunan di bidang pariwisata (Rani, 2014). Ekowisata Sumenep sangat menjanjikan mengingat

Transcript of Problematika pengelolaan ekowisata Gili Iyang: Perspektif ...

Page 1: Problematika pengelolaan ekowisata Gili Iyang: Perspektif ...

Prosiding Seminar Nasional IV 2018 Peran Biologi dan Pendidikan Biologi dalam Revolusi Industri 4.0

dan Mendukung Pencapaian Sustainability Development Goals (SDG’s) ISBN: 978-602-5699-43-6

225

Problematika pengelolaan ekowisata Gili Iyang: Perspektif community based ecotourism

Husamah, Diani Fatmawati, Dwi Setyawan, Fuad Jaya Miharja Pendidikan Biologi, FKIP, Universitas Muhammadiyah Malang

Penulis koresponden

Husamah, Pendidikan Biologi, FKIP Universitas Muhammadiyah Malang Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis problematika pengelolaan ekowisata gili iyang berdasarkan perspektif Community Based Ecotourism. Metode penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data yang diperoleh adalah data primer yang diperoleh melalui observasi ke lokasi dan melakukan wawancara mendalam dengan informan (Pengelola: Ketua/coordinator, wakil, anggota, pemandu; Masyarakat Lokal: Pedagang, penyedia jasa penyewaan alat/perahu, penginapan dan fasilitas lain, masyarakat sekitar daerah ekowisata; Biro perjalanan; Akademisi Perguruan tinggi lokal; regulator/pemerintah daerah/dinas) dan data sekunder yang diperoleh melalui studi literatur dan dokumen kebijakan/peraturan. Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2018 sampai Agustus 2018. Data yang diperoleh diolah atau dianalisis dengan teknik deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan 5 prinsip Community Based Ecotourism (CBE). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum 5 prinsip ekowisata berbasis masyarakat belum diupayakan secara seirus untuk diimplementasikan dalam pengelolaan ekowisata tiga gili di Sumenep dimana kondisi eksisting menunjukkan bahwa masih banyak yang sangat kurang. Beberapa kriteria pada masing-masing prinsip ada yang belum dilaksanakan (masih rendah), baru diwanakan, sedang direncanakan, dan sedang diupayakan.

Kata kunci: Community based ecotourism Ekowisata Gili Iyang Sumenep

Copyright © 2018 Universitas Muhammadiyah Malang

PENDAHULUAN

Kabupaten Sumenep merupakan kabupaten dengan pulau terbanyak di Jawa Timur. Sumenep memiliki 126 pulau (48 pulau berpenghuni dan 78 pulau tidak berpenghuni). Sumenep terdiri dari 25 Kecamatan dan 331 desa. Dengan potensi itu, maka Sumenep adalah kabupaten yang mempunyai terumbu karang dan mangrove terluas di Jawa Timur (Muhsoni & Efendy, 2016).

Kondisi ini menunjukkan Kabupaten Sumenep memiliki potensi sumberdaya alam yang besar, khususnya terkait dengan potensi bahari dan pulau-pulau kecil.

Pemerintah Kabupaten Sumenep mulai menyadari tentang potensi ekowisatanya dan meskipun masih agak lambat dan belum maksimal mulai melaksanakan pembangunan di bidang pariwisata (Rani, 2014). Ekowisata Sumenep sangat menjanjikan mengingat

Page 2: Problematika pengelolaan ekowisata Gili Iyang: Perspektif ...

226

Husamah, dkk. / Seminar Nasional IV 2018 Hal. 225-236

kondisi alam dan topografi pantai dan pulau-pulau kecil yang dimiliki cukup indah dan banyak menyimpan keunikan yang bersifat alami (Yustijanto et al., 2013). Hal ini sejalan dengan Tanaya & Rudiarto (2014) bahwa pariwisata mulai dilirik sebagai salah satu sektor yang sangat menjanjikan bagi perkembangan wilayah di skala global. Wisata juga perlu menyuguhkan segala sumber daya wilayah yang masih alami, yang tidak hanya mengembangkan aspek lingku-ngan dalam hal konservasi saja, namun juga memberikan keuntungan bagi masyarakat sekitar, sebagai salah satu upaya pengembangan pedesaan untuk meningkatkan perekonomian lokal, dimana masyarakat di kawasan tersebut merupakan pemegang kendali utama.

Sumenep sebelumnya hanya terkenal dengan ikon wisata Pantai Lombang yang memiliki tumbuhan cemara udang. Hanya ada dua pantai yang memiliki cemara udang di dunia yaitu Pantai Lombang dan satunya ada di negara China (Reza, 2009). Sejarah penyebaran pohon cemara udang di wilayah perairan Sumenep erat kaitannya dengan ekspedisi besar kekaisaran negeri Tiongkok dalam mengarungi perairan nusantara pada abad ke-15 yang dipimpin oleh Jenderal The Ho (Sampo Thai Kam), Jenderal Ma’huan dan Jenderal Ong Keng Hong. Namun tiga tahun terakhir ini Sumenep mulai mengembangkan obyek ekowisata lain, salah satunya adalah Gili Iyang.

Gili Iyang terkenal dengan area memancing dan udara yang bersih. Berdasarkan penelitian terakhir yang dilakukan Balai Besar Teknis Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKL-PP), kondisi oksigen (O2) mencapai 20,9-21,5% (normal). Kondisi kadar karbon dioksida (CO2) berkisar antara 302-313 ppm, masih di bawah batas normal yang diperbolehkan di udara sebesar 387 ppm. Sementara tingkat kebisingan udara 36,5 - 37,8 dBA, di bawah baku mutu kebisingan wilayah pemukiman yaitu 55 dbA (BBTKLPP Surabaya, 2013). Meskipun kadar oksigen Gili Iyang sebenarnya relatif saja dengan daerah lain, namun masyarakat

dan pemerintah daerah memberikan perhatian khusus terkait wisata pulau ini (Sumaryati, 2015). Gili Iyang sangat sesuai sebagai wisata untuk keluarga, wisata memancing, wisata goa, dan wisata kuliner (Kompas, 2017).

Pengelolaan obyek wisata di Kabupaten Sumenep tersebut haruslah berorientasi berkelanjutan dan keber-manfaatan maksimal bagi masyarakat lokal. Sehubungan dengan itu, pariwisata berkelanjutan dapat diterapkan pada daerah tujuan wisata mana pun dan pada semua jenis aktivitas pariwisata. Pariwisata berkelanjutan harus men-cakup kualitas, kesinam-bungan serta keseimbangan aspek-aspek lingkungan, budaya dan manusia. Menurut Sutanto et al (2013) pengembangan pariwisata berkaitan erat dengan pelestarian nilai-nilai kepri-badian dan pengembangan budaya bangsa, dengan memanfaatkan seluruh potensi keindahan dan kekayaan alam Indonesia. Pemanfaatan tersebut bukan berarti merubah secara total, tetapi lebih berarti mengelola, memanfaatkan, dan melestarikan setiap potensi yang ada. Potensi tersebut dirangkai menjadi satu daya tarik wisata. World Tourism Organization (WTO) mendefinisikan pembangunan pariwi-sata berkelanjutan sebagai pemba-ngunan yang memenuhi kebutuhan wisatawan saat ini, sambil melindungi dan mendorong kesempatan untuk waktu yang akan datang. Mengarah pada pengelolaan seluruh sumber daya sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika dapat terpenuhi sambil memelihara integritas kultural, proses ekologi esensial, keanakeragaman hayati, dan sistem pendukung kehidupan.

Pariwisata berkelanjutan hanya dapat dicapai apabila secara konsisten memepertimbangkan dan melibatkan masyarakat lokal. Menurut Nurhidayati & Fandeli, (2012) wacana tentang kegagalan pariwisata menimbulkan perdebatan mengenai paradigma pemba-ngunan pariwisata yang berkembang dewasa ini yang dianggap kurang menguntungkan komunitas setempat. Pengembangan pariwisata yang baik

Page 3: Problematika pengelolaan ekowisata Gili Iyang: Perspektif ...

227

Husamah, dkk. / Seminar Nasional IV 2018 Hal. 225-236

harus memberikan keuntungan eko-nomi, sosial, danbudaya kepada komunitas di sekitar destinasi. Kemudian lahirlah pemikiran untuk mengembangkan pariwisata yang lebih berpihak pada masyarakat yang kemu-dian dikenal dengan istilah Community Based Tourism (CBT) atau pariwisata berbasis komunitas. Melalui pengem-bangan CBT diharapkan industri pariwisata dapat menjadi instrumet pembangunan yang lebih menyejahtera-kan masyarakat. Secara global CBT tidak sekedar pengembangan pariwisata melainkan juga dikembangkan sebagai bagian dari program penanggulangan masalah kemiskinan di Afrika Selatan, Thailand, Dominika, Karibia, Jamaika, dan Barbados.

Konsep CBT diadaptasi pula dalam ekowisata sehingga dikenal istilah Community Based Ecotourism (CBE) atau ekowisata berbasis komunitas. Ekowisata berbasis masyarakat meru-pakan usaha ekowisata yang menitik-beratkan peran aktif komunitas (CIFOR, 2004). Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadipotensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata, sehingga pelibatanmasyarakat menjadi mutlak (Ditjen PDP-Depbudpar & WWF-Indonesia, 2009).

Secara konseptual ekowisata menekankan pada prinsip dasar terintergrasi yang harus diperhatikan untuk menjamin keberhasilannya. Sehubungan dengan itu Ditjen PDP Depbudpar & WWF-Indonesia (2009) telah mengeluarkan Panduan Prinsip dan Kriteria Ekowisata Berbasis Masyarakat. Ada lima prinsip yang perlu diperhatikan para pengelola dan pengembang. Panduan tersebut ternyata masih belum lengkap dan operasional, karena banyak prinsip yang mirip, dan belum tercakup sehingga bisa jadi akan menyebakan kegiatan analisis atau evaluasi yang dilakukan tidak maksimal. Oleh karena itu, Priono (2012) juga mengembangkan panduan yang relatif lebih operasional, dimana ada lima prinsip yang perlu diperhatikan.

Evaluasi mengenai implementasi prinsip ekowisata berbasis masyarakat dalam pengelolaan ekowisata Gili Iyang Kabupaten Sumenep sangat perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis problematika pengelolaan ekowisata gili iyang berdasarkan perspektif Community Based Ecotou-rism. Menurut Romadhon et al (2013) pemanfaatan berkelanjutan menunjuk-kan perlunya penerapan konsep sustainable development dalam perencanaan dan pengelolaan ekowisata pada kawasan kepulauan dan pulau-pulau kecil. Dengan demikian, hasil evaluasi ini nantinya diharapkan bermanfaat bagi upaya-upaya pengem-bangan produk dan konservasi kawasan ekowisata. Hal tersebut sangat penting agar pengembangan kawasan mampu memberikan manfaat karena sesuai dengan kebutuhan sehingga peningkatan kesejahteraan dan perekonomian masya-rakat setempat secara berkelan-jutan dapat terpenuhi atau tercapai. Hal ini juga sejalan dengan Rini et al (2015) bahwa dalam pengembangan dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya berbasis daya dukung bagi peruntukan ekowisata di suatu daerah memerlukan kajian yang mendalam mengenai kondisi ekologi, sosial budaya, hukum-kelembagaan dan ekonomi yang ada di daerah setempat, daya dukung sumberdaya terhadap pemanfaatan eko-wisata bahari serta strategi pemanfaatan sumberdaya tersebut. METODE

Penelitian ini merupakan jenis deskriptif kualitatif yang didukung oleh data-data kuantitatif. Penelitian dilaksa-nakan di objek ekowisata Gili Iyang Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep. Selanjutnya data dan infor-masi yang terkumpul akan diolah di Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan UMM serta Labora-torium Biologi (Sub Lab Ekologi) Universitas Muhammadiyah Malang. Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2018.

Page 4: Problematika pengelolaan ekowisata Gili Iyang: Perspektif ...

228

Husamah, dkk. / Seminar Nasional IV 2018 Hal. 225-236

Alat yang digunakan adalah seperangkat alat untuk penelitian ekologi, yaitu meteran, Haga Altimeter, alat tulis menulis, kamera, komputer/notebook beserta perleng-kapanya, blangko pengamatan, peta, kamera, cutter, GPS, refraktometer, gunting tanaman, buku identifikasi, dan wadah/kantong platik. Bahan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah pohon / vegetasi, data-data kependudu-kan, dan dokumen pendukung penelitian lainnya. Instrumen yang digunakan adalah lembar observasi, angket / kuesioner implementasi prinsip CBE dan panduan wawancara.

Adapun prosedur penelitian ini, meliputi persiapan, perizinan, observasi awal, pelaksaan pengambilan data, entri data dan analisis data yang diperoleh. Adapun rincian dari tahapan pelaksaan pengambilan data adalah: (1) Pengambilan data tentang kondisi eksisting kawasan ekowisata di Gili Iyang, Gili Labak, dan Pantai Sembilan Kabupaten Sumenep yang meliputi penggunaan lahan, kondisi hidrologi, topografi, dan ekosistem pesisir. Selain itu kondisi non fisik yang meliputi kegiatan pariwisata dan keterkaitannya dengan aspek sosial, budaya, dan ekonomi. Pengambilan data ini dilakukan dengan cara observasi pengamatan langsung dan didukung dengan data penelitian lain, serta dokumen yang memberikan informasi pendukung. (2) Pengambilan data 5 prinsip Community Based Ecotourism (CBE) dalam pengelolaan objek ekowisata di Gili Iyang, Gili Labak, dan Pantai Sembilan Kabupaten Sumenep. Pengumpulan data ini dilakukan dengan beberapa cara yang direkomendasikan oleh Soedigdo & Priono (2013), yaitu a). In-depth interview dengan narasumber yang terdiri dari pengelola, pengunjung, dan biro travel. b) Angket/kuisioner, diisi oleh responden yang terdiri dari pengelola, pengunjung, pemerintah, dan biro travel. Angket.kuesioner merujuk pada Priono (2012) yang berisi (1) Prinsip konservasi (prinsip konservasi alam, 6 kriteria dan konservasi budaya, 4 kriteria), (2) Prinsip partisipasi

masyarakat (7 kriteria), (3) Prinsip ekonomi (5 kriteria), (4) Prinsip pendidikan (5 kriteria), dan (5) Prinsip pariwisata (6 kriteria). c). Observasi lapangan untuk melakukan pengamatan dan pengecekan terhadap objek ekowisata, baik dalam hal atraksi wisata alam, amenitas, aksesibilitas, pasar (wisatawan / pengunjung) dan terhadap keterlibatan masyarakat dalam ekowisata. d). Kajian pustaka dan dokumen. Peneliti mengkaji berbagai literatur yang terkait dengan kata kunci penelitian ini.

Metode analisis data menggunakan paradigma penelitian deskriptif kualitatif berdasarkan teori–teori yang terkait dengan kata kunci-kata kunci penelitian. Menurut Priono (2012) ada tiga kriteria untuk menilai kondisi eksisting implementasi masing-masing prinsip dan aspek/kriteria, yaitu Rendah (R), Sedang (S), dan Tinggi (T). Evaluasi implementasi prinsip ekowisata berbasis masyarakat dalam pengelolaan ekowisata oleh responden dilakukan dengan instrumen kuesioner yang menggunakan skala Likert dengan skala pilihan 1-4. Selanjutnya dihitung jumlah total dari masing-masing aspek/kriteria. Total skor diintepretasikan ke dalam tiga kategori, yaitu tinggi dengan rentang nilai 81-100%, sedang dengan rentang nilai 61-80%, dan rendah jika rentang nilai ≤60%. Untu mendukung pengambilan keputusan atau penetapan status terkait implementasi prinsip CBE maka didukung dengan data hasil observasi, wawancara, studi dokumen, dan pengkajian kondisi eksisting ekologi setempat yang datanya dianalisis dengan paradigm tiangulasi data. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran umum Gili Iyang

Gili Iyang ada pula yang menyebut Giliyang ataupun Gili Elang merupakan pulau kecil yang terletak di ujung timur pulau Madura. Secara administratif Gili Iyang masuk dalam wilayah Kecamatan Dungkek, Kabupaten Sumenep. Pulau dengan luas sekitar 9 km2 itu terdiri dari dua desa yaitu desa Banraas dan

Page 5: Problematika pengelolaan ekowisata Gili Iyang: Perspektif ...

229

Husamah, dkk. / Seminar Nasional IV 2018 Hal. 225-236

Bancamara. Pulau kecil ini menjadi menarik karena diyakini oleh masyarakat sebagai kawasan dengan kadar oksigen (O2) tinggi, bahkan tertinggi kedua setelah Laut Mati. Keyakinan ini didukung oleh fakta bahwa penduduk Gili Iyang banyak yang mencapai usia tinggi dengan kondisi yang sehat dan kuat, sehingga muncullah kepercayaan Gili Iyang ini menjadikan awet muda dan tak ayal Gili Iyang ini mendapat pula julukan pulau awet muda (Sumaryati, 2015).

Untuk menuju ke pulau Gili Iyang harus menggunakan perahu atau kapal sebagai transportasi utama, pelabuhan terdekat yaitu pelabuhan Dungkek seperti pada gambar 2.1 dan 2.2 di bawah. Orientasi tapak menghadap Barat Laut dengan luas lahan kurang lebih 16.430 m2, ketinggian tapak mulai dari 6-25 meter di atas permukaan laut. Kondisi di sekitar tapak yaitu berupa ladang, rumah-rumah penduduk dan terdapat tebing setinggi 5 meter yang terdapat di dalam site. Ketentuan bangunan yang ada yaitu tinggi bangunan maximal 2 lantai dengan ruang terbuka hijau (RTH) minimal 50%, KDB maksimal 50%, KLB maksimal 1,5 luas lahan, KDH minimal 25%, garis sempadan bangunan 8 meter dari jalan utama dan garis sempadan pantai sekitar 100 meter (RDTRK Kecamatan Kabupaten Sumenep, 2013; Setiawan & Julistiono, 2014).

Pulau ini dikembangkan sebagai kawasan pulau wisata kesehatan oleh Pemerintah Kabupaten Sumenep karena memiliki kandungan oksigen yang cukup tinggi, yaitu sekitar 3,3-4,8% diatas normal menurut hasil penelitian LAPAN (Pemkab Sumenep, 2013). Meskipun hal tersebut masih kontroversial dan masih menjadi perdebatan karena tidak rasional. Menurut Sumaryati (2015) sesuai dengan pengukuran yang dilakukan oleh Pusat Sains Atmosfer dan Iklim tahun 2006 dan analisanya, kadar oksigen di Gili Iyang adalah normal dan tidak bisa dikatakan sebagai pulau dengan kadar oksigen tertinggi kedua di dunia. Adanya hasil pengukuran lain yang menunjukkan kadar oksigen yang

tinggi perlu dilakukan pengecekan lagi yang lebih mendalam memastikan keakuratan alat, tidak adanya human error atau memang benar ada titik spot dengan kadar oksigen melebihi kondisi normal.

Prinsip Konservasi Data terkait prinsip konservasi

(prinsip konservasi alam dan prinsip konservasi budaya) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Prinsip Konservasi

No Aspek/Kriteria

Kondisi

Eksisting

T S R

Prinsip Konservasi Alam

1 Memperhatikan kualitasdaya dukung

lingkungan kawasan tujuan, melalui

permintakatan (zonasi).

Ѵ

2 Mengelola jumlah pengunjung, sarana

dan fasilitas sesuai dengan daya

dukung lingkungan daerah tujuan.

Ѵ

3 Meningkatkan kesadaran dan apresiasi

para pelaku terhadap lingkungan alam

dan budaya.

Ѵ

4 Memanfaatkan sumber daya secara

lestari dalam penyelenggaraan

kegiatan ekowisata.

Ѵ

5 Meminimumkan dampak negatif yang

ditimbulkan, dan bersifat ramah

lingkungan.

Ѵ

6 Mengelola usaha secara sehat. Ѵ

Prinsip Konservasi Budaya

1 Menerapkan kode etik ekowisata bagi

wisatawan, pengelola dan pelaku

usaha ekowisata.

Ѵ

2 Melibatkan masyarakat setempat dan

pihak-pihak lainnya (multi

stakeholders dalam penyusunan kode

etik wisatawan, pengelola dan pelaku

usaha ekowisata.

Ѵ

3 Melakukan pendekatan, meminta

saran-saran dan mencari masukan dari

tokoh/pemuka masyarakat setempat

pada tingkat paling awal sebelum

memulai langkah-langkah dalam

proses pengembangan ekowisata.

Ѵ

4 Melakukan penelitian dan pengenalan

aspek aspek sosial budaya masyarakat

setempat sebagai bagian terpadu

dalam proses perencanaan dan

pengelolaan ekowisata.

Ѵ

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa prinsip konservasi alam belum diperhatikan atau menjadi pertimbangan dalam pengelolaan Gili Iyang. Aspek atau kriteria dari prinsip konservasi alam berada dalam kondisi rendah (4 kriteria) dan sedang (2 kriteria). Hal ini menunjuk bahwa pengelolaan Gili Iyang belum didasarkan atas kepedulian, tanggung jawab, dan komitmen terhadap

Page 6: Problematika pengelolaan ekowisata Gili Iyang: Perspektif ...

230

Husamah, dkk. / Seminar Nasional IV 2018 Hal. 225-236

pelestarian alam serta pembangunan yang mengikuti kaidah ekologis. Hal ini justru bertentangan dengan “brand” Gili Iyang sebagai Pulau Oksigen dan Pulau Panjang Umur.

Hal ini sesuai dengan penuturan narasumber 1 (masyarakat yang pernah berkunjung), sebagai berikut:

“Gili Iyang sangat terkenal di media sosial dan

berita. Begitu banyak liputan atau artikel media

yang mengulas tentang Gili Iyang sebagai Pulau Oksigen, yang katanya nomor 2 di dunia.

Meskipun sampai saat ini saya belum

menemukan jawaban dari pertanyaan mengapa

bisa menjadi pulau dengan kadar oksigen tertinggi? Kesannya tidak logis. Saya juga belum

menemukan artikel ilmiah tentang itu, justru yang

ada adalah artikel yang membantah klaim

tersebut. Di Gili Iyang ada satu titik yang dikatakan sebagai pusat oksigen tertinggi, tapi

justru tempatnya kotor, gersang, terkesan tak

terawatt, dan tidak menunjukkan objek wisata.

Tidak ada zonasi, tidak ada pembatasan pengunjung karena jumlah pengunjung yang

sedikit dan cenderung menurun, tidak ada yang

terlihat special, malah yang ada adalah tempat itu

menjadi tempat penjemuran pakaian,” (W1/N1/08/2018).

Peryantaan tersebut sesuai dengan kondisi yang riil ditemui di Gili Iyang. Pengamatan langsung menunjukkan bahwa Gili Iyang sangat sepi dari pengunjung, tidak ada pembagian zonasi yang jelas, dan jumlah kendaraan yang cukup banyak. Warga menuturkan bahwa saat ini di Gili Iyang telah terdapat ratusan sepeda motor dan hampir 30-an kendaraan odong-odong. Hal ini sebagai dampak adanya jalan yang telah dipaving. Namun dikhawatirkan keada-an tersebut justru menambah tingkat polusi udara di Gili Iyang.

Tidak ada pengelolaan yang jelas (yang sehat) di Gili Iyang. Di titik yang diklaim sebagai tempat oksigen tertinggi, pengunjung cukup membayar sukarela. Di beberapa titik seperi Gowa, hanya ada tulisan atau tanda bahwa untuk memasuki daerah tersebut pengunjung dikenakan tarif tertentu. Namun demikian, tempat tersebut tidak terjaga/tidak ada yang menunggui. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehadiran pengunjung hanya berdampak pada perorangan, dan hasil penjualan tiket atau kontribusi

pengunjung hanya untuk orang pribadi, dan tidak digunakan untuk kegiatan konservasi.

Kondisi tersebut juga dikuatkan oleh informasi dari Narasumber 2 (warga Sumenep/Dosen PTS lokal), sebagai berikut:

“Orang Sumenep sendiri tidak ada yang tertarik

datang ke Gili Iyang. Dan kecenderungannya, sekali pengunjung datang ke Gili Iyang, mereka

pasti tidak akan pernah datang kembali. Apa yang

bisa dinikmati di sana? Hanya menang di media

saja. W1/N2/08/2017).

Berdasarkan Tabel 1 diketahui pula bahwa pengelolaan Gili Iyang juga belum memperhatikan prinsip konservasi budaya. Sebagaimana hasil wawancara yang dilakukan, belum ada penerapan peraturan dan etika yang harus diperhatikan oleh pengelola serta oleh para pengunjung.

Aspek atau kriteria “melakukan penelitian dan pengenalan aspek aspek sosial budaya masyarakat setempat sebagai bagian terpadu dalam proses perencanaan dan pengelolaan ekowisata” masih belum dilakukan. Hal ini mengingat bahwa pengelola masih memiliki keterbatasan pengetahuan terkait hal tersebut. Menurut narasumber 3 (pemandu wisata), akan sangat bermanfaat bagi mereka apabila ada pihak ketiga khususnya dari perguruan tinggi yang membantu mereka terkait aspek tersebut.

Prinsip Partisipasi Masyarakat

Data terkait prinsip partisipasi masyarakat disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Prinsip Partisipasi Masyarakat

No Aspek/Kriteria

Kondisi

Eksisting

T S R

1 Melakukan penelitian dan

perencanaan terpadu dalam

pengembangan ekowisata.

Ѵ

2 Membangun hubungan kemitraan

dengan masyarakat setempat

dalam proses perencanaan dan

pengelolaan ekowisata.

Ѵ

3 Menggugah prakarsa dan aspirasi

masyarakat setempat untuk

pengembangan ekowisata.

Ѵ

4 Memberi kebebasan kepada

masyarakat untuk bisa menerima

atau menolak pengembangan

ekowisata.

Ѵ

Page 7: Problematika pengelolaan ekowisata Gili Iyang: Perspektif ...

231

Husamah, dkk. / Seminar Nasional IV 2018 Hal. 225-236

No Aspek/Kriteria

Kondisi

Eksisting

T S R

5 Menginformasikan secara jelas

dan benar konsep dan tujuan

pengembangan ekowisata.

Ѵ

6 Membuka kesempatan untuk

melakukan dialog dengan seluruh

pihak yang terlibat (multi-

stakeholders) dalam proses

perencanaan dan pengelolaan

ekowisata.

Ѵ

7 Membentuk kerjasama dengan

masyarakat setempat untuk

melakukan pengawasan dan

pencegahan terhadap

dilanggarnya peraturan yang

berlaku.

Ѵ

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa prinsip partisipasi masyarakat masih rendah, meskipun pada beberapa hal ada bentuk keterlibatan masyarakat. Pembukaan ekowisata Gili Iyang bukanlah asli dari keinginan masyarakat sebagaimana di daerah lain, melainkan dari adanya informasi akan tingginya kadar oksigen di pulau tersebut berdasarkan hasil penelitian LAPAN sekitar 3,3-4,8% diatas normal (Pemkab Sumenep, 2013). Meskipun hal tersebut masih kontroversial dan masih menjadi perdebatan karena tidak rasional. Menurut Sumaryati (2015) sesuai dengan pengukuran yang dilakukan oleh Pusat Sains Atmosfer dan Iklim tahun 2006 dan analisanya, kadar oksigen di Gili Iyang adalah normal dan tidak bisa dikatakan sebagai pulau dengan kadar oksigen tertinggi kedua di dunia. Adanya hasil pengukuran lain yang menunjuk-kan kadar oksigen yang tinggi perlu dilakukan pengecekan lagi yang lebih mendalam memastikan keakuratan alat, tidak adanya human error atau memang benar ada titik spot dengan kadar oksigen melebihi kondisi normal.

Narasumber 3 (tour guide) juga menyampaikan sebagai berikut:

“Masyarakat akhirnya merasa bahwa Gili Iyang layak menjadi tempat wisata karena Presiden,

beberapa menteri, gubernur dan Bupati sudah

pernah ke Gili Iyang. Mereka mulai terlibat misalnya dalam bentu penyediaan perahu

penyebarangan, motor angkutan, mmebuka

warung, dan menyewakan rumah atau kamar

untuk pengunjung yang akan menginap” (W2/N3/08/2018).

Partisipasi masyarakat seharusnya menjadi kekuatan dalam pengelolaan Gili Iyang. Apabila peran masyarakat terabaikan maka akan menghambat pengembangan ekowisata atau bahkan akan mematikan ekowisata tersebut. Prinsip Ekonomi

Data terkait prinsip ekonomi disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa pengelolaan Gili Iyang sudah mulai memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat sebagai pelaku-pelaku ekonomi kegiatan ekowisata namun dalam bentuk dan jumlah yang masih terbatas. Dengan demikian kesejahteraan belum mening-kat secara signifikan. Tiga aspek dalam prinsip ekonomi ini memiliki nilai sedang dan dua aspek memiliki nilai kurang.

Tabel 3. Prinsip Ekonomi

No Aspek

Kondisi

Eksisting

T S R

1 Membuka kesempatan kepada

masyarakat setempat untuk

membuka usaha ekowisata dan

menjadi pelaku-pelaku ekonomi

kegiatan ekowisata baik secara

aktif maupun pasif.

Ѵ

2 Memberdayakan masyarakat

dalam upaya peningkatan usaha

ekowisata untuk kesejahteraan

penduduk setempat.

Ѵ

3 Meningkatkan ketrampilan

masyarakat setempat dalam

bidang-bidang yang berkaitan dan

menunjang pengembangan

ekowisata.

Ѵ

4 Menekan tingkat kebocoran

pendapatan (leakage) serendah-

rendahnya.

Ѵ

5 Meningkatkan pendapatan

masyarakat. Ѵ

Berdasarkan pengamatan terhadap penerapan prinsip ekonomi ini, hal yang sangat lemah adalah ketrampilan masyarakat setempat dalam bidang-bidang yang berkaitan dan menunjang pengembangan ekowisata. Masyarakat masih perlu mendapatkan pendampi-ngan dari pihak-pihak terkait sehingga mampu memaksimalkan potensi yang ada sehingga keberadaan ekowisata benar-benar memberi dampak maksimal bagi masyarakat setempat. Jika semua potensi dimanfaatkan maka akan dapat

Page 8: Problematika pengelolaan ekowisata Gili Iyang: Perspektif ...

232

Husamah, dkk. / Seminar Nasional IV 2018 Hal. 225-236

menekan tingkat kebocoran pendapatan (leakage) serendah-rendahnya.

Prinsip Edukasi Data terkait prinsip edukasi disajikan

pada Tabel 4.

Tabel 4. Prinsip Edukasi

No Aspek

Kondisi

Eksisting

T S R

1 Mengoptimalkan keunikan dan

kekhasan daerah sebagai daya

tarik wisata.

Ѵ

2 Memanfaatkan dan

mengoptimalkan pengetahuan

tradisional berbasis pelestarian

alam dan budaya serta nilai-nilai

yang dikandung dalam kehidupan

masyarakat sehari-hari sebagai

nilai tambah.

Ѵ

3 Mengoptimalkan peran

masyarakat sebagai interpreter

lokal dari produk ekowisata.

Ѵ

4 Memberikan pengalaman yang

berkualitas dan bernilai bagi

pengunjung.

Ѵ

5 Dikemas ke dalam bentuk dan

teknik penyampaian yang

komunikatif dan inovatif.

Ѵ

Berdasarkan Tabel 4, prinsip edukasi masih dalam kategori lemah dan sedang. Pengelola telah berupaya 1) mengoptimalkan keunikan dan kekhasan daerah sebagai daya tarik wisata, 2) memanfaatkan dan mengoptimalkan pengetahuan tradisional berbasis pelestarian alam dan budaya serta nilai-nilai yang dikandung dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sebagai nilai tambah, dan 3) mengoptimalkan peran masyarakat sebagai interpreter lokal dari produk ekowisata. Namun demikian secara umum Gili Iyang cenderung tidak memberikan pengalaman yang ber-kualitas dan bernilai bagi pengunjung dan tidak dikemas secara komunikatif dan inovatif. Masyarakat lokal memiliki pandangan dan informasi yang berbeda-beda terkait ekowisata Gili Iyang. Masyarakat terkesan tidak siap secara pengetahuan tentang apa dan mengapa perlu ada ekowisata dan mengapa pengunjung harus berwisata ke Gili Iyang. Enam orang responden yang diwawancarai relatif tidak memiliki pemahaman terkait ekowisata Gili Iyang. Kebanyakan mereka hanya menyampaikan “katanya-katanya”, ber-

dasarkan informasi yang mereka dengan ketika beberapa pejabat datang ke Gili Iyang. Hal yang patut diapresiasi adalah keberhasilan “meramaikan” media sosial dengan berita Gili Iyang, termasuk mampu mendorong pejabat negara mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur, dan Bupati untuk datang berkunjung.

Prinsip edukasi harus terus dikembangkan atau dioptimalkan. Kekhasan daerah masih harus terus ditonjolkan, termasuk dalam hal ini adalah kearifan lokal masyarakat setempat yang mungkin saja tidak dimiliki oleh masyarakat di daerah lain, sehingga akan semakin menjaring minat pengunjung karena mereka yang datang akan memperoleh pengalaman baru dan bernilai. Informasi mengenai berbagai hal (keunggulan dan potensi) yang ada di Gili Iyanf belum dikemas dalam bentuk dan teknik penyampaian yang komunikatif dan inovatif, sehingga selama ini informasi hanya bersifat dari mulut ke mulut. Pemda Sumenep telah membuat Travel Guide yang telah memberikan informasi tentang Gili Iyang. Namun demikian, karena penerbitan Travel Guide yang cukup terlambat (bulan Oktober 2018) dan penyebaran yang terbatas, maka penyebaran informasi yang unik dan baru mengenai Gili Iyang cenderung tidak sampai (tidak tersosialisasikan dengan baik).

Prinsip Wisata Data terkait prinsip wisata disajikan

pada Tabel 10. Pengembangan ekowisata harus dapat memberikan kepuasan pengalaman kepada pengunjung untuk memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan. Selain itu pengembangan ekowisata juga harus mampu menciptakan rasa aman, nyaman dan memberikan kepuasan serta menambah pengalaman bagi pengunjung. Hal ini dikenal dengan prinsip wisata, sebagai mana disajikan pada Tabel 5.

Tabel 10. Prinsip Wisata

No Aspek

Kondisi

Eksisting

T S R

1 Mengoptimalkan keunikan dan

kekhasan daerah sebagai daya tarik Ѵ

Page 9: Problematika pengelolaan ekowisata Gili Iyang: Perspektif ...

233

Husamah, dkk. / Seminar Nasional IV 2018 Hal. 225-236

No Aspek

Kondisi

Eksisting

T S R

wisata.

2 Membuat Standar Prosedur Operasi

(SPO) untuk pelaksanaan kegiatan

di lapangan.

Ѵ

3 Menyediakan fasilitas yang

memadai sesuai dengan kebutuhan

pengunjung, kondisi setempat dan

mengoptimalkan kandungan

material lokal.

Ѵ

4 Memprioritaskan kebersihan dan

kesehatan dalam segala bentuk

pelayanan, baik fasilitas maupun

jasa.

Ѵ

5 Memberikan kemudahan pelayanan

jasa dan informasi yang benar. Ѵ

6 Memprioritaskan keramahan dalam

setiap pelayanan. Ѵ

Terkait dengan Tabel 10 yaitu penerapan prinsip wisata, pengelola berupaya memunculkan keunikan dan kekhasan daerah sebagai daya tarik wisata, dalam hal ini adalah keunikan “Oksigen tertingi nomor dua didunia” dan beberapa gua yang unik, serta memberikan kesan positif bahwa masyarakat setempat cukup ramah. Namun demikian, semua aspek masih dalam kategori sedang dan rendah, sehingga dapat dikatakan belum maksimal. Pengelola juga belum berupaya memprioritaskan kebersihan dan kesehatan dalam segala bentuk pelayanan, baik fasilitas maupun jasa, meskipun belum maksimal atau perlu ditingkatkan secara konsisten. Pada kenyataannya beberapa fasilitas penunjang masih kurang atau bahkan tidak asda. Hal ini juga dirasakan oleh pengunjung, dimana narasumber 5 (pengunjung) menuturkan sebagai berikut:

“Fasilitas sangat terbatas, memang lebih cocok

untuk backpackeran di Gili Iyang. Wisata itu

belum memanjakan pengunjung, apalagi untuk datang bersama rombongan besar ataupun

keluarga.” (W1/N5/08/2018).

Pengelola berupaya memberikan kemudahan pelayanan jasa dan informasi yang benar dan memprioritaskan keramahan dalam setiap pelayanan. Namun demikian, Standard Operating Procedures (SOP) untuk pelaksanaan kegiatan di lapangan juga belum dibuat atau belum tersedia,

dan dalam prakteknya pun tidak ada aturan yang disepakati. Semua berjalan secara alami. KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan

bahwa secara umum 5 prinsip ekowisata berbasis masyarakat belum diupayakan secara seirus untuk diimplementasikan dalam pengelolaan ekowisata Gili Iyang di Sumenep dimana kondisi eksisting menunjukkan bahwa masih banyak yang sangat kurang/rendah. Beberapa kriteria pada masing-masing prinsip ada yang belum dilaksanakan (masih rendah), baru diwanakan, sedang direncanakan, sedang diupayakan, dan sedang dioptimalkan.

Prinsip konservasi alam dianggap penting namun cenderung terabaikan karena berfokus pada upaya mendatangkan pengunjung sebanyak-banyakya dan aspek pengelolaan pengunjung masih rendah dan sebagian sedang (belum optimal). Prinsip konservasi budaya masih kurang dilakukan karena pengelola masih memiliki keterbatasan pengetahuan terkait hal tersebut, meskipun dari sisi pemerintah mulai menunjukkan pentingnya kebijakan integrasi budaya dengan pengelolaan ekowisata. Prinsip partisipasi masyarakat belum maksimal. Aspek membangun hubungan dengan masyarakat, menunjukkan sikap terbuka dan memberikan informasi yang tepat, memaksimalkan dialog, dan kerjasama dengan segenap lapisan masyarakat setempat masih dalam kategori rendah. Masyarakat masih menganggap tidak banyak dilibatkan atau tidak terkait dengan aspek wisata. Prinsip Ekonomi dalam pengelolaan masih rendah karena belum memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk terlibat sebagai pelaku-pelaku ekonomi kegiatan ekowisata sehingga kese-jahteraan belum meningkat secara signifikan. Prinsip edukasi masih lemah. Kekhasan daerah dan kearifan lokal belum ditonjolkan atau bahkan belum terpetakan. Informasi mengenai berbagai hal (keunggulan dan potensi) yang ada belum dikemas dalam bentuk

Page 10: Problematika pengelolaan ekowisata Gili Iyang: Perspektif ...

234

Husamah, dkk. / Seminar Nasional IV 2018 Hal. 225-236

dan teknik penyampaian yang komunikatif dan inovatif, sehingga selama ini informasi hanya bersifat dari mulut ke mulut atau viral melalui media sosial dan media massa oleh pengunjung yang pernah datang. Secara terpisah Pemerintah Kabupaten Sumenep melalui Dinas Komunikasi dan Informatika telah membuat “Sumenep Travel Guide” yang memuat informasi tentang potensi / eksotika tiga gili di Sumenep, namun tidak secara detail. Penerapan prinsip wisata masih lemah, fasilitas penunjang masih sangat terbatas, pelayanan masih lemah, dan SOP pelayanan belum dibuat.

DAFTAR PUSTAKA Aini, N. N. & Suyanto, I. A. J. (2016).

Prospek pengembangan ekowisata berbasis masyarakat di desa wisata Betisrejo Kabupaten Sragen. Naskah publikasi. Surakarta: Sekolah Tinggi Pariwisata Sahid Surakarta

Anonim. (2011). Pulau Gili Labak menunggu investor. Retrieved from http://nasional.news.viva.co.id/news/read/235323pulau-gili-labak-menungguinvestor?&view=lowongan&TB_iframe=true&width= 700&height=450

Anonim. (2013). 755 Obyek wisata, Jatim tak kalah dengan Bali. Retrieved from http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2013/11927 7-755-Obyek-Wisata,-Jatim-Tak-Kalah-Dengan-Bali

Anonim. (2013). Yuk ke Gili Labak. Retrieved from http://www.griyawisata.com/nasional/maduraisland/artikel/yuk-ke-pulau-gilik-lebak.

BBTKLPP Surabaya. (2013). Laporan kajian kualitas lingkungan dan faktor risiko kesehatan di kawasan wisata Giliyang Kabupaten Sumenep tanggal 1-3 Mei 2013. Surabaya: Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan pengendalian Penyakit.

CIFOR. (2004). Pembangunan pariwisata berbasis masyarakat. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR).

Ditjen PDP-Depbudpar dan WWF Indonesia. (2009). Prinsip dan kriteria ekowisata berbasis masyarakat. Jakarta: Kerjasama Direktorat Produk Pariwisata Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan WWF Indonesia.

Ekayani, M., Nuva, Yasmin, R, Shaffitri, L. R., Tampubolon, B. I. (2014a). Taman nasional untuk siapa? Tantangan membangun wisata alam berbasis masyarakat di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan, 1(1), 46-52.

Ekayani, M.,.Nuva, Yasmin, R., Sinaga, F., Maaruf, L. O. (2014b). Wisata alam Taman nasional gunung Halimun Salak: Solusi kepentingan ekologi dan ekonomi. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 19(1), 29-37.

El Sahawi, M. (2015). Partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata dan dampaknya terhadap peningkatan ekonomi masyarakat. Laporan Studi Pustaka. Bogor: Departemen Sains Komunikasi Dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Haerani, H. G. (2012). Pengembangan kawasan ekowisata di Pulau Maitara Kota Tidore Kepulauan. Jurnal Plano Madani, 1(1), 39-46.

ILO. (2012). Rencana strategis pariwisata berkelanjutan dan green jobs untuk Indonesia. Jakarta: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia bekerjasama dengan International Labour Organization (ILO).

Indah, D. N. (2017). Faktor-faktor pengembangan kawasan

Page 11: Problematika pengelolaan ekowisata Gili Iyang: Perspektif ...

235

Husamah, dkk. / Seminar Nasional IV 2018 Hal. 225-236

pariwisata bahari di Gili Labak, Kabupaten Sumenep (Tugas Akhir tidak diterbitkan). Surabaya: Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Kompas. (2017, 1 Juli). Melancong ke Gili Iyang, "Pulau Awet Muda" di Sumenep. Retrieved from http://travel.kompas.com/travel-story.

Mahardinata, M. R. (2017). Menikmati senja di Pantai Sembilan Pulau Gili Genting Sumenep. Retrieved from http://www.dinata.my.id/2017/05/senja-pantai-sembilan-gili-genting-sumenep.html.

Muhsoni, F. G. & Efendy, M. (2016). Analisi daya dukung pemanfaatan pulau gili labak dengan menggunakan sistem informasi geografis. Prosiding Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan VI, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang.

Nugraheni, E. (2002). Sistem pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat di taman nasional (Studi kasus taman nasional Gunung Halimun) (Tesis tidak dipublikasikan). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Nurhidayati, S. E. & Fandeli, C. (2012). Penerapan prinsip community based tourism (CBT) dalam pengembanganagrowisata di Kota Batu, Jawa Timur. Jejaring Administrasi Publik, 4(1), 36-46.

Panca, A. (2017). Pantai Sembilan Gili Genting Sumenep, Objek wisata asri dan ekonomis. Retrieved from https://penginapan.net/perihal/wisata/.

Panggabean, A. S., Mardlijah, S. & Pralampita, A. W. (2010). Terumbu karang buatan sebagai inovasi pengkayaan stok Napoleon wrasse di perairan pantai Gili Labak. Jakarta: Balai

Riset Perikanan Laut. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Dewan Riset – Kementrian Ristek.

Pemkab Sumenep (2013). Potensi dan produk unggulan Jawa Timur: Kabupaten Sumenep.

Prihanta, W., Syarifuddin, A. & Zainuri, A. M. (2017). Pembentukan kawasan ekonomi melalui pengembangan ekowisata berbasis masyarakat. Jurnal Dedikasi, 14, 73-84.

Priono, Y. (2012). Pengembangan kawasan ekowisata bukit Tangkiling berbasis masyarakat. Jurnal Perspektif Arsitektur, 7(1), 51-67.

Purnamasari, A. M. (2011). Pengembangan masyarakat untuk pariwisata di kampung wisata Toddabojo Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 22(1), 49 - 64

Rani, D. P. M. (2014). Pengembangan potensi pariwisata Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur (Studi Kasus: Pantai Lombang). Jurnal Politik Muda, 3(3), 412-421.

Reza, M. (2009). Analisis strategi pengembangan pantai lombang di Kabupaten Sumenep (Skripsi tidak diterbitkan). Bogor: Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Rini, D. A. S., Pratikto, W. A. & Sambodo, K. (2015). Identifikasi potensi kawasan sumberdaya Pulau Kangean Kabupaten Sumenep Madura sebagai kawasan wisata bahari. Jurnal Kelautan, 8(2), 58-66.

Romadhon, A., Yulianda, F., Bengen, D. G. & Adrianto, L. (2013). Perencanaan pembangunan gugus Pulau Sapeken secara berkelanjutan: Penilaian daya dukung kawasan bagi pengembangan wisata. TATA LOKA, 15(3), 218-234.

Page 12: Problematika pengelolaan ekowisata Gili Iyang: Perspektif ...

236

Husamah, dkk. / Seminar Nasional IV 2018 Hal. 225-236

Romadhon, A. (2014). Strategi konservasi pulau kecil melalui pengelolaan perikanan berkelanjutan (Studi kasus Pulau Gili Labak, Sumenep). Jurnal Kelautan, 7(2), 86-93.

Setiawan, Y. & Julistiono, E. K. (2014). Fasilitas wisata kesehatan di Pulau Gili Iyang, Madura. Jurnal eDIMENSI Arsitektur, 2(1), 174-181.

Singih, M. N. & Nirwana. (2016). Perencanaan dan pengembangan desa wisata berbasis masyarakat dengan model partisipatory rural appraisal (Studi perencanaan desa wisata Gunungsari, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu). Jurnal Pesona, 18(1), 1-21.

Soedigdo, D. & Priono, Y. (2013). Peran ekowisata dalam konsep pengembangan pariwisata berbasis masyarakat pada taman wisata alam (TWA) Bukit Tangkiling Kalimantan Tengah. Jurnal Perspektif Arsitektur, 8(2), 1-8.

Soetomo. (2007). Filsafat Pariwisata. Makalah disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Peningkatan Mutu Tenaga Kepariwisataan 22-26 Mei 2007. Semarang: STIEPARI.

Sumaryati. (2015). Kajian potensi wisata kesehatan oksigen di Gili Iyang. Berita Dirgantara, 16(2), 83-90.

Sutanto, M. A., Riyanto, B. & Yuwono, E. C. (2013). Perancangan promosi untuk menunjang potensi wisata bahari Kepulauan Kangean, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Surabaya: Program Studi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain, Universitas Kristen Petra.

Tanaya, D. & Rudiarto, I. (2014). Potensi pengembangan ekowisata berbasis masyarakat di kawasan Rawa Pening, Kabupaten Semarang. Jurnal Teknik PWK, 3(1), 71-81.

TIES. (2016). What is ecotourism? The International Ecotourism Society. Retrieved from https://www.ecotourism.org/.

Yustijanto, A. G., Wibowo & Aryanto, H. (2013). Perancangan buku panduan pariwisata Kabupaten Sumenep (Laporan Penelitian tidak dipublikasikan). Surabaya: Program Studi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain, Universitas Kristen Petra.