PROBLEMATIKA LEGAL PROTECTION OJEK ONLINE PASCA...
Transcript of PROBLEMATIKA LEGAL PROTECTION OJEK ONLINE PASCA...
PROBLEMATIKA LEGAL PROTECTION OJEK ONLINE PASCA
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 41/PUU-XVI/2018
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
SITI ROMLAH
NIM: 11150480000105
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2019 M
i
ABSTRAK
Siti Romlah. NIM 11150480000105. PROBLEMATIKA LEGAL PROTECTION
OJEK ONLINE PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
41/PUU-XVI/2018. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syari‟ah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/ 2019 M. Ix + 60
halaman 10 lembar lampiran.
Studi ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis urgensitas dari
adanya perlindungan hukum bagi ojek dalam jaringan, dan menganalisis dampak
yang ditimbulkan dari dikeluarkannya putusan MK Nomor 41/PUU-XVI/2018
terhadap ojek dalam jaringan. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan membagi jenis-jenis kendaraan yang
dapat digunaakan sebagai angkutan jalan. Jenis-jenis angkutan jalan tersebut
disebut dengan kendaraan bermotor umum, namun sepeda motor yang notabene
merupakan kendaraan yang digunakan oleh ojek online sebagai pengangkut orang
dan/atau barang tidak termasuk kedalam salah satu kendaraan bermotor umum
yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009. Oleh karena itu,
kesatuan ojek online mengajukan uji materil kepada Mahkamah Konstitusi untuk
terkait pasal tersebut, namun lewat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
41/PUU-XVI/2018 Mahkamah Konstitusi menolak perkara tersebut sehingga ojek
online hingga saat ini belum mendapatkan pengakuan sebagai salah satu angkutan
jalan di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif empiris dengan cara
meneliti bahan kepustakaan yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum,
sistematika hukum, sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum
antar negara, ataupun dari perkembangan hukum positif dari kurun waktu tertentu
yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukan bahwa ojek online saat ini sudah merupakan
kebutuhan bagi masyarakat perkotaan. Ojek merupakan angkutan yang telah ada
sejak dahulu dan telah diakui oleh masyarakat sebagai angkutan jalan, namun
hingga saat ini belum ada pengakuan hukum ojek sebagai suatu angkutan jalan di
Indonesia, bahkan ketika ojek berkembang menjadi ojek yang kita kenal saat ini
sebagai ojek online. Dan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-
XVI/2018 yang memperjelas bahwa tidak ada satupun regulasi yang mengakui
keberadaan ojek online, menimbulkan banyak kekacauan sebagai dampak dari
tidak adanya perlindungan hukum yang mengakomodir keberadaan ojek online itu
sendiri.
Kata Kunci: Ojek Online, Perlindungan Hukum, Putusan Mahkamah Konstitusi,
Dampak Hukum
Pembimbing : Fathudin, S.H.I., S.H., M.A.Hum., M.H.
Daftar Pustaka : 1958-2019
ii
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah S.W.T, karena
berkat rahmat, nikmat serta karunia dari Allah SWT peneliti dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “Problematika Legal Protection Ojek Online Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XVI/2018”. Sholawat serta salam peneliti
panjatkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu „Alayhi wa Sallam, yang telah
membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderan
ini.
Selanjutnya, dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan
bimbingan, arahan, dan serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S. H., M. H., M.A., Dekan Fakultas Syariah
Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi
dalam pembuatan skripsi ini.
3. Terkhusus Fathudin, S.H.I., S.H., M.A.Hum., M.H., yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta kesabarang rampasan dalam
memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran yang sangat
berharga kepada peneliti dalam menyusun skripsi ini.
4. Pimpinan dan Staff Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti
mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
5. Para driver ojek online yang telah memberikan informasi dan memberikan
data kepada peneliti.
6. Pihak-pihak lain yang telah memberi kontribusi kepada peneliti dalam
penyelesaian karya tulisnya.
Akhir kata dari penulis semoga Allah SWT membalas dukungan dan kasih
sayang mereka yang telah mendukung peneliti dengan kebaikan. Peneliti juga
berharap rahmat Allah SWT agar skripsi ini dapat berguna untuk kedepannya.
Jakarta, 26 April 2019
Peneliti
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
PENGESAHAN PANITI UJIAN SKRIPSI
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK ............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .................... 5
1. Identifikasi Masalah .............................................................. 5
2. Pembatasan Masalah ............................................................. 5
3. Perumusan Masalah .............................................................. 6
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian .................................................. 6
1. Tujuan Penelitian .................................................................. 6
2. Manfaat Penelitian ................................................................ 6
a. Manfaat Teoritis .............................................................. 6
b. Manfaat Praktis ................................................................ 7
D. Metode Penelitian........................................................................ 7
1. Jenis Penelitian Dan Pendekatan Penelitian .......................... 7
2. Jenis Dan Sumber Data Penelitian ........................................ 8
3. Metode Dan Teknik Pengumpulan Data ............................... 9
4. Metode Analisis Data ............................................................ 10
E. Rancangan Sistematika Penelitian .............................................. 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM
DAN PERUBAHAN SOSIAL TERHADAP HUKUM ...................... 12
v
A. Kerangka Konseptual .................................................................. 12
1. Perlindungan Hukum ............................................................ 12
2. Ojek Online ........................................................................... 13
B. Kerangka Teori............................................................................ 14
1. Teori Perubahan Sosial dan Perubahan Hukum .................... 14
2. Teori Modernisasi Hukum dan Teori Disruption di Era Revolusi
Industri 4.0 ............................................................................ 18
3. Teori Kepastian Hukum ........................................................ 20
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu.......................................... 22
1. Skripsi ................................................................................... 22
2. Jurnal ..................................................................................... 24
3. Buku ...................................................................................... 26
BAB III PERSPEKTIF REGULASI TENTANG EKSISTENSI OJEK
DALAM JARINGAN ........................................................................... 28
A. Sejarah Profesi Ojek Sebagai Transportasi di Indonesia ............ 28
B. Perkembangan TI dan Ojek dalam Jaringan ............................... 30
C. Problematika Regulasi bagi Ojek ................................................ 32
1. Kendaraan Bermotor dalam UU. No. 22 Tahun 2009 .......... 33
2. Surat Pemberitahuan Nomor UM.3012/1/21/Phb/2015 ........ 36
3. Permenhub Nomor 26 Tahun 2017 dan Putusan Mahkamah Agung
Nomor 37 P/HUM/2017 ........................................................ 37
4. Permenhub Nomor 108 Tahun 2017 dan Putusan Mahkamah Agung
Nomor 15 P/HUM/2018 ........................................................ 40
5. Permenhub Nomor 12 Tahun 2019 Tentang Perlindungan
Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk
Kepentingan Masyarakat ....................................................... 42
BAB IV ANALISIS DAMPAK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 41/PUU-XVI/2018 TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM
OJEK DALAM JARINGAN ................................................................ 44
vi
A. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XVI/2018 44
B. Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XVI/2018 48
1. Adanya Pelanggaran Perlindungan Hukum Warga Negara karena
Tidak Adanya Kepasstian Hukum ........................................ 48
a. Pelarangan Operasional Ojek Online di Banyumas dan
Wonosobo ........................................................................ 50
b. Pelarangan Jemput-Antar Daerah Operasional Angkutan Umum
di Depok .......................................................................... 51
2. Terjadinya Konflik Sosial Antara Driver Ojek online dengan
Angkutan Jalan Lainnya ........................................................ 53
3. Timbulnya Ketidakpastian Hukum ....................................... 57
BAB V PENUTUP ................................................................................. 62
A. Kesimpulan ................................................................................. 63
B. Rekomendasi ............................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 67
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi dewasa ini semakin pesat. Tidak dapat
dipungkiri lagi, bahwasannya perkembangan teknologi juga menimbulkan
perubahan gaya hidup di masyarakat, mulai dari cara berkomunikasi, hingga
kegiatan-kegiatan seperti jual beli secara dalam jaringan, dan juga pemesanan
jasa angkutan umum secara dalam jaringan seperti ojek dalam jaringan dan
taksi dalam jaringan.
Transportasi dalam jaringan sudah ada di Indonesia sejak tahun 2010
dan baru menjadi tren di masyarakat pada tahun 2015. Pelopor adanya
transportasi dalam jaringan di Indonesia sendiri adalah Nadim Makarim,
pendiri dari PT. Aplikasi Karya Anak Bangsa.1 Bahkan, pada tahun 2017
transportasi dalam jaringan telah mengurangi tingkat pengangguran terbuka
Indonesia hingga 7,03 juta orang, yang sebelumnya hanya mampu
mengurangi 530 ribu orang pertahun. Kini, transportasi dalam jaringan sudah
menjadi kebutuhan bagi masyarakat, khususnya masyarakat kota. Buletin
harian dalam jaringan kompas, menyebutkan bahwa pada tahun 2017 ada 15
juta orang yang menggunakan aplikasi Go-jek secara aktif, dan ada lebih dari
100 juta transaksi yang terjadi di platform Go-jek.2
Walaupun transportasi dalam jaringan sudah menjadi kebutuhan bagi
sebagian masyarakat di Indonesia, belum ada pertauran perundang-undangan
yang mengatur mengenai transportasi dalam jaringan tersebut, bahkan pada
tahun 2015 Menteri Perhubungan mengeluarkan Surat Pemberitahuan Nomor
UM.3012/1/21/Phb/2015, yang menyatakan bahwa kendaraan umum bukan
1 Diakses dari laman https://www.go-jek.com/about/, pada tanggal 17 September 2018,
pukul 09:48 WIB
2 Diakses dari laman https://tekNomorkompas.com/read/2017/12/18/07092867/berapa-
jumlah-pengguna-dan-pengemudi-go-jek pada tanggal 17 September 2018, pukul 10:55 WIB
2
angkutan umum yang dipesan menggunakan aplikasi untuk mengangkut
orang dan/atau barang dengan memungut bayaran, tidak memenuhi ketentuan
sebagai angkutan umum dalam hal ini adalah ojek online, sehingga tidak
dapat beroperasi. Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama, karena
Presiden Joko Widodo segera memerintahkan untuk mencabut aturan
tersebut.
Tidak berhenti sampai situ saja, drama mengenai regulasi transportasi
dalam jaringan terus berjalan. Banyak pihak yang mulai mempertanyakan
apakah ojek dalam jaringan masih dapat beroperasi atau tidak, dikarenakan
ojek dalam jaringan tidak memenuhi beberapa kriteria sebagai angkutan
umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, seperti halnya harus diregistrasi sebagai sebuah
angkutan umum (Pasal 73), pengemudi angkutan umum harus memiliki sim
yang khusus untuk mengemudikan angkutan umum (Pasal 77), dan syarat-
syarat sebagai angkutan umum dalam dan tidak dalam trayek sebagaimana
diatur dalam bagian ketiga Bab X tentang angkutan dalam Undnag-Undang
Nomor 22 Tahun 2009. Selain itu, konflik antara transportasi dalam jaringan
dan transportasi konvensional semakin memanas di penghujung 2017. Oleh
karena itu, untuk memperjelas kedudukan hukum transportasi dalam jaringan,
Menteri Perhubungan Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Angkutan
Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek. Namun,
beberapa pengemudi angkutan sewa khusus yang merasa keberatan dengan
adanya beberapa pasal yang terdapat di dalam Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 tersebut, mengajukan uji materiil kepada
Mahkamah Agung, yang diputus dengan mencabut 14 pasal yang terdapat di
dalam peraturan menteri tersebut.
Tidak lama sejak dikeluarkannya Putusan Mahkamah Agung tersebut,
Menteri Perhubungan mengeluarkan peraturan menteri baru sebagai revisi
dari Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017, yaitu Peraturan
Menteri Nomor 108 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang
3
dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek. Namun,
permasalahan selanjutnya yang timbul adalah, Peraturan Menteri Nomor 108
Tahun 2017 hanya mengatur Tentang taksi dalam jaringan, dan tidak
mengatur Tentang ojek dalam jaringan. Karena tidak adanya regulasi yang
mengatur Tentang pengoperasian dan perlindungan terhadap ojek dalam
jaringan, menyebabkan beberapa daerah melarang beroperasinya ojek dalam
jaringan di daerahnya, seperti Banyumas, Garut, dan Cirebon.
Beberapa pengemudi ojek dalam jaringan yang tidak terima atas
adanya pelarangan terhadap ojek online dibeberapa daerah tersebut,
melakukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi atas Pasal 47 Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan yang merupakan akar dari segala permasalahan. Namun, setelah
melakukan uji materiil, Mahkamah Konstitusi memberikan putusan melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XVI/2018 yang menyatakan
bahwa, sepeda motor atau ojek dalam jaringan bukan termasuk salah satu
jenis angkutan umum.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan binding
tersebut, memberikan garis jelas bahwa, hingga sekarang pun ojek dalam
jaringan masih belum memiliki perlindungan hukum. Padahal, pengoperasian
ojek dalam jaringan telah tersebar di penjuru Indonesia, bahkan sudah
menjadi kebutuhan bagi beberapa orang di Indonesia, namun hingga saat ini
belum ada regulasi yang mengatur dan melindunginya.
Dalam teori kontrak sosial yang dikemukakan John Locke
menyatakan bahwa masyarakat memberikan sebagian hak mereka kepada
penguasa agar hak-hak mereka terlindungi dengan baik.3 Jika kita melihat
permasalahan ini, pemerintah Indonesia sebagai penguasa yang telah
menerima sebagian hak yang diberikan oleh masyarakat Indonesia,
seharusnya memberikan perlindungan kepada setiap masyarakat. Dengan
tidak adanya pengaturan yang menjamin adanya pengoperasionalan ojek
3 Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), h. 66
4
dalam jaringan, hal tersebut akan berdampak kepada banyak hal, seperti tidak
adanya jaminan terhadap perlindungan konsumen dan tindakan operasional
ojek dalam jaringan menjadi ilegal, karena ojek dalam jaringan bukan salah
satu angkutan umum yang dilegalkan dalam Undang-Undang Nomor 22
tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Permasalahan tersebut menggambarkan, bahwa masyarakat mulai
berubah dengan cepat, namun pergerakan hukum begitu lambat. Hal tersebut
senada dengan apa yang dikatakan oleh Munir Fuady, bahwa hukum bersifat
statis dan konservatif, sedangkan masyarakat bersifat dinamis.4 Beliau juga
menyebutkan bahwa keadaan tarik-menarik antara hukum dengan masyarakat
telah terjadi sedari dulu.
Tidak adanya hukum yang mengatur Tentang ojek dalam jaringan,
walaupun kegiatan operasional ojek dalam jaringan tetap berlangsung
menyebabkan terjadinya recht vacuum. Padahal, sebagaimana disebutkan
dalam pasal 1 Ayat (3) Undang-undang Dasar NRI 1945 menyebutkan bahwa
Indonesia adalah negara hukum, dimana untuk menciptakan suasana
harmonis dan teratur, memerlukan aturan hukum sesuai dengan apa yang
diharapkan para founding father. Kekosongan hukum ini merupakan
permasalahan yang sangat krusial di negara hukum itu sendiri. Ketika hukum
tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya, maka akan timbul keadaan
sosial lag yaitu keadaan dimana hukum dengan perubahan masyarakat tidak
seimbang dan akan menimbulkan chaos jika ketidak seimbangan tersebut
semakin terlihat.
Permasalahan tersebut menjadi sangat krusial untuk diteliti, mengingat
banyaknya permasalahan yang akan muncul jika tidak segera ditangani.
Mulai dari permasalahan kebutuhan masyarakat kepada ojek dalam jaringan
tersebut, hingga kepada pertumbuhan ekonomi yang akan melambat
dikarenakan perubahan hukum yang melambat. Karena pentingnya
permasalahan tersebut, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti
4 Munir Fuady, Teori-Teori dalam Sosiologi Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, 2011) h. 109
5
permasalahan dengan judul, “Problematika Legal Protection Ojek Dalam
Jaringan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XVI/2018.”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berangkat dari latar belakang yang telah peneliti paparkan
sebelumnya, peneliti mengidentifikasi masalah antara lain:
a. Adanya pembatasan terhadap jenis angkutan umum yang terdapat
dalam pasal 47 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
Tentang LLAJ, yang diperjelas kembali dengan adanya putusan MK
Nomor 41/PUU-XVI/2018 menyebabkan ojek dalam jaringan tidak
dapat dikategorikan sebagai angkutan umum.
b. Dengan adanya putusan MK Nomor 41/PUU-XVI/2018, beberapa
daerah di Indonesia melarang beroperasinya ojek dalam jaringan.
c. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap ojek dalam jaringan
sehingga sampai saat ini belum ada regulasi terkait perlindungan
terhadap ojek dalam jaringan.
d. Pasca dikeluarkannya putusan MK Nomor 41/PUU-XVI/2018 yang
mempertegas bahwa ojek dalam jaringan bukan termasuk angkutan
umum, maka memperjelas pula bahwa tidak adanya regulasi yang
mengatur Tentang ojek dalam jaringan, sehingga ojek dalam
jaringan tidak mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah
dipaparkan, banyak permasalahan-permasalahan penting yang perlu
dijawab. Untuk mempermudah pembahasan dan penelitian ini, perlu
diadakannya pembatasan masalah, agar pembahasan dari penelitian ini
hanya berfokus untuk menjawab satu permasalahan, yaitu dengan
permasalahan pasca dikeluarkannya putusan MK Nomor 41/PUU-
6
XVI/2018 yang mempertegas bahwa ojek dalam jaringan bukan termasuk
angkutan umum, maka memperjelas pula bahwa tidak adanya regulasi
yang mengatur Tentang ojek dalam jaringan, sehingga ojek dalam
jaringan tidak mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah. Selain
itu, daerah pengambilan sample hanya diambil di daerah Depok dan
Tangerang Selatan.
3. Perumusan Masalah
Perumusan masalah pada penelitian ini adalah tidak adanya legal
protection terhadap ojek online pasca putusan MK. Nomor 41/PUU-
XVI/2018. Permasalahan tersebut, kemudian akan dipertegas dengan
adanya pertanyaan penelitian, yaitu:
a. Apakah urgensi dari ojek dalam jaringan sehingga membutuhkan
legal protection?
b. Apa saja dampak hukum yang ditimbulkan dari adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XVI/2018 terhadap eksistensi
ojek dalam jaringan?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari adanya penelitian ini adalah:
a. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis urgensitas dari adanya
perlindungan hukum bagi ojek dalam jaringan.
b. Untuk menganalisis dampak yang ditimbulkan dari dikeluarkannya
putusan MK Nomor 41/PUU-XVI/2018 terhadap ojek dalam
jaringan
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari adanya penelitian ini terbagi menjadi dua,
yakni manfaat teoritis dan mafaat praktis:
7
a. Manfaat Teoritis
1) Mengetahui dampak perubahan masyarakat atas teknologi
sebagai fenomena sosial terhadap adanya perubahan hukum di
Indonesia. Dalam hal ini, adanya ojek dalam jaringan merupakan
suatu fenomena sosial dan dikeluarkannya putusan MK. Nomor
41/PUU-XVI/2018 terhadap ojek dalam jaringan merupakan
suatu perubahan hukum yang memberikan dampak signifikan
terhadap keberadaan ojek online.
2) Sebagai kajian lebih lanjut terhadap perlindungan hukum yang
harus diberikan kepada ojek dalam jaringan
b. Manfaat Praktis
1) Manfaat bagi peneliti adalah untuk melatih kemampuan dan
menerapkan teori-teori yang telah didapatkan dari bangku kuliah
kedalam sebuah penelitian terhadap fenomena yang terjadi di
lapangan dan merumuskannya kedalam sebuah tulisan ilmiah.
Dalam hal ini peneliti dapat mengetahui dampak yang
ditimbulkan dari dikeluarkannya putusan MK. Nomor 41/PUU-
XVI/2018 terhadap ojek dalam jaringan.
2) Mengatasi permasalahan hukum terkait ketetapan regulasi dari
ojek dalam jaringan.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian Dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif empiris.
Penelitian normatif adalah penelitian hukum yang meletakan hukum
sebagai sebuah bangunan sistem norma. Mukti Fajar dan Yulianto
Achmad sebagaimana mengutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji
mengemukakan bahwa penelitian normatif adalah penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan yang mencakup
penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi
vertikal dan horizontal, perbandingan hukum antar negara, ataupun dari
8
perkembangan hukum positif dari kurun waktu tertentu.5 Sedangkan
penelitian hukum empiris adalah penelitian Tentang hukum yang pada
kenyataannya dan diterapkan oleh manusia yang hidup dalam masyarakat
itu sendiri.6
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan statute
approach (pendekatan undang-undang) dan pendekatan sosiologis.
Pendekatan undang undang menurut Peter Mahmud Marzuki adalah
pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan
semua regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang yang sedang
ditangani.7 Sedangkan yang dimaksud dengan pendekatan sosiologis,
adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah hukum dengan
mempertimbangkan institusi sosial lainnya, hukum sebagai alat rekayasa
sosial dan hukum sebagai peubahan sosial. Pendekatan ini melihat
hukum yang hidup adalah hukum yang berlaku di tengah-tengah
masyarakat, dan bukan hukum yang kaku di dalam senuah tulisan.
Pendekatan sosiologis ditujukan untuk mengadakan identifikasi terhadap
hukum yang tidak tertulis, karena hukum merupakan framework dari
perilaku manusia dalam kehidupan sosial sehingga pendekatan ini sangat
cocok dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti, selain itu
pendekatan ini bertujuan untuk mengukur efektifitas hukum tertulis
terhadap peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat.8
5 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015) h. 34-35
6 Mukti fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empris, ...
h. 44
7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2005), h. 93
8 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian Uin Jakarta, 2010), h. 47-50
9
2. Jenis Dan Sumber Data Penelitian
Peter Mahmud Marzuki mengemukakan bahwasannya sumber-
sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu data yang
bersumber dari bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer
adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif. Bahan hukum primer
terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan
hukum sekunder berupa buku teks yang berisi mengenai prinsip-prinsip
hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang memiliki
kualifikasi yang tinggi. Bahan hukum sekunder dapat juga berupa
tulisan-tulisan hukum baik yang berbentuk buku, jurnal, maupun
mengenai perkembangan isu-isu hukum yang aktual.9
3. Metode Dan Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang akan digunakan adalah metode
library research (Penelitian Kepustakaan) dan metode komunikasi
dengan menggunakan teknik interview. Metode library research adalah
metode pengumpulan data dengan menggunakan literatur baik berupa
buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian dari penelitian
terdahulu.10
Selain itu, pengumpulan data penelitian juga menggunakan metode
komunikasi dengan menggunakan teknik interview atau biasa dienal
dengan wawancara. Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan
cara memperoleh informasi langsung dari sumbernya.11
Wawancara yang
dilakukan berfokus kepada dampak langsung yang dirasakan oleh para
9 Mukti fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empris, ...
h. 141-143
10
M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Bogor:
Ghalia, 2002), h. 11
11
Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1992), h. 71
10
driver ojek dalam jaringan yang dibatasi kepada ojek dalam jaringan
yang beroperasi disekitar Depok dan Tangerang Selatan. Sample diambil
dengan menggunakan teknik penentuan sample tak acak dengan cara
kebetulan. Teknik penentuan sample tak acak dengan cara kebetulan
adalah teknik penentuan sample dengan memilih responden terdekat
yang pertama kali dijumpai.12
4. Metode Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses kelanjutan dari proses
pengolahan data yang bertujuan untuk memudahkanatau
menyederhanakan data sehingga mudah untuk dipahami.13
Sedangkan
menurut Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, analisis data merupakan
kegiatan dalam penelitian yang berupa kajian atas hasil dari pengolahan
data terhadap teori-teori yang sesuai.14
Analisis yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis non-statistika (kualitiatif) yang
bersifat evaluatif. Analisis non-statistika merupakan analisis yang tidak
menggunakan perhitungan statiska dan analisis dilakukan dengan cara
membaca data yang telah diolah. Analisis yang akan digunakan bersifat
evaluatif, maksudnya peneliti akan memberikan penilaian dari hasil
penelitian tersebut.
E. Sistematika Penulisan
Skripsi yang akan dikerjakan oleh peneliti terbagi kedalam 5 (lima) bab,
yaitu:
Bab I: Berupa pendahuluan. Di dalam bab tersebut akan diuraikan mengenai
pokok pemikiran yang melatarbelakangi pembuatan penelitian. Bab
12
Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, ... h. 59
13
Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, ... h. 88
14
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015) h.183
11
tersebut terdiri dari 6 (enam) sub-bab, yaitu 1) latar belakang, 2)
identifikasi, pembatasan dan pePerumusan masalah, 3) tujuan dan
manfaat peneitian, 4) metode penelitian, 5) sistematika penelitian.
Bab II: Berupa kajian pustaka. Bab tersebut akan terdiri dari tiga sub bab
yaitu, 1) kerangka konseptual, 2) kajian teoritis dan 3) tinjauan
(review) kajian terdahulu.15
Pada sub bab kajian teoritis, terdiri dari 3
(tiga) point, yaitu perlindungan hukum, teori perubahan sosial dan
perubahan hukum, dan teori moderenisasi hukum. Sedangkan dalam
review hasil penelitian terdahulu peneliti akan menelususri penelitian
terdahulu yang mirip dengan penelitian yang akan dikerjakan oleh
peneliti.
Bab III: Berjudul “Eksistensi Perlindungan Hukum Bagi Ojek Dalam
jaringan.” Dalam bab tersebut terdiri dari tiga sub bab, yaitu 1)
eksistensi ojek dalam jaringan di Indonesia, 2) perkembangan regulasi
mengenai ojek dalam jaringan di Indonesia, 3) eksistensi ojek dalam
jaringan pasca putusan MK Nomor 41/PUU-XVI/2018.
Bab IV: Berjudul “Analisis Perlindungan Hukum Bagi Ojek Online Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XVI/2018.” Bab
tersebut akan terbagi kedalam dua sub bab, yaitu 1) status ojek dalam
jaringan pasca putusan MK Nomor 41/PUU-XVI/2018, dan 2)
dampak yang ditimbulkan dari adanya putusan MK Nomor 41/PUU-
XVI/2018.
Bab V:Merupakan penutup. Bab tersebut merupakan akhir dari bagian skripsi
yang akan dibuat. Bab tersebut akan memuat dua sub bab yang terdiri
dari kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian nanti dan
rekomendasi yang relevan bagi peneliti dan penelitian yang
dikerjakan.
15
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Pedoman Penelitian Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2017), h. 40
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN
PERUBAHAN SOSIAL TERHADAP HUKUM
A. Kerangka Konseptual
1. Perlindungan Hukum
Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, mereka akan selalu
melakukan apapun untuk mempertahankan hidup mereka dan memenuhi
kebutuhan hidup mereka, karena itu tak jarang terjadi perselisihan
diantara manusia itu sendiri. Untuk mengatasi timbulnya perselisihan
yang terus menerus terjadi, manusia mengadakan perjanjian bersama
dengan tujuan untuk membentuk masyarakat berbudaya, guna melindungi
dan menjamin tercapainya hak-hak mereka dan menangani permasalahan-
permasalahan yang timbul diantara mereka. Masyarakat berbudaya
tersebut adalah pemerintah, m ereka memiliki kekuasaan untuk mengatur
dan memerintah rakyatnya. Kekuasaan tersebut timbul dan didapatkan
dari adanya perjanjian sebelumnya, dimana rakyat bersama-sama
memberikan sebagian haknya kepada pemerintah, agar pemerintah
memliki kekuasaan untuk mengatur dan memerintah rakyatnya, guna
melindungi dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan rakyatnya.1
Teori tersebut mengisyaratkan bahwa, ketika pemerintah telah
menerima hak-hak yang diberikan rakyat kepada mereka, maka
pemerintah memiliki kewajiban untuk dapat melindungi dan
menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi di dalamnya. Namun, di
negara rechstaat seperti Indonesia, setiap kekuasaan yang dijalankan
harus sesuai dengan hukum positif yang berlaku. Legalitas merupakan
asas terpenting dinegara hukum.2 Oleh karena itu, hukum harus dapat
mengakomodir segala bentuk
1 A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara:
Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia, Jakarta: Fajar Media, 2013. H. 75-76
2 Munir Fuady, Teori-Teori dalam Sosiologi Hukum,... h. 133
13
14
perlindungan bagi rakyatnya, mulai dari hal terkecil sekalipun, hingga hal-
hal yang menyangkut kemaslahatan bersama.
Satjipto Raharjo berpendapat bahwa suatu upaya yang dilakukan
guna melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan
kekuasaan kepadanya kewenangan bertindak untuk kepentingannya,
disebut dengan perlindungan hukum. Lebih lanjut lagi, Satjipto Raharjo
mengemukakan bahwa perlindungan hukum kepada masyarakat
merupakan salah satu sifat sekaligus tujuan dari hukum itu sendiri, oleh
karena itu perlindungan hukum harus diwujudkan dalam bentuk kepastian
hukum.3 Berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Muchsin. Muchsin
berpendapat bahwa perlindungan hukum adalah suatu kegiatan yang
ditujukan untuk melindungi individu dengan cara menyerasikan kaidah-
kaidah yang ada kedalam sikap atau tindakan guna menciptakaan
ketertiban dalam pergaulan hidup manusia.4
Perlindungan hukum terbagi kedalam dua macam, yaitu
perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.
Perlindungan hukum preventif adalah suatu upaya perlindungan yang
diberikan pemerintah dalam bentuk pencegahan sebelum terjadinya
pelanggaran. Sedangkan perlindungan hukum represif adalah
perlindungan hukum yang berupa perlindungan yang diberikan ketika
suatu pelanggaran atau sengketa telah terjadi.5
2. Ojek dalam Jaringan
Ojek merupakan salah satu angkutan transportasi yang sudah lama
dikenal di Indonesia. Transportasi ojek sendiri memang hanya beroperasi
dengan jarak yang tidak terlalu jauh. KBBI V pun memberikan definisi
3 Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum Di Indonesia, Bandung: Alumni, 1983, h. 121
4 Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Surakarta:
Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003, h. 14
5 Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, ... h. 20
15
terhadap ojek dengan sebuah sepeda motor yang ditambangkan dengan
cara memboncengkan penumpang atau penyewanya.6 Namun seiring
perkembangan zaman dan teknologi, kini ojek dapat dilakukan dengan
berbasiskan sistem dalam jaringan. Ojek berbasiskan sistem dalam
jaringan tersebut mulai populer dan menjadi tren di masyarakat sejak
tahun 2015 lalu. Dan hingga kini, transportasi dalam jaringan sudah
menjadi kebutuhan bagi masyarakat, khususnya masyarakat kota. Buletin
harian dalam jaringan kompas, menyebutkan bahwa pada tahun 2017 ada
15 juta orang yang menggunakkan aplikasi Go-jek secara aktif, dan ada
lebih dari 100 juta transaksi yang terjadi di platform Go-jek.7 Dan angka
tersebut belum termasuk pengguna aplikasi Grab.
B. Kerangka Teori
1. Teori Perubahan Sosial dan Perubahan Hukum
Perubahan dalam sosial atau perubahan masyarakat, sudah menjadi
sesuatu yang lumrah dewasa ini, bahkan perubahan dalam masyarakat
terjadi dengan sangat cepat. Hal tersebut terjadi karena masyarakat
sudah dapat berkembang dan menggunakkan nalarnya untuk menilai
keadaan lingkungan disekitarnya, karena menurut Soerjono Soekanto
perubahan masyarakat dapat diketahui apabila seseorang mampu untuk
membandingkan dan mengetahui perbedaan atau perkembangan dari
keadaan suatu masyarakat yang lalu dengan masyarakat sekarang. Selo
Soemardjan merumuskan bahwa perubahan sosial adalah segala
perubahan yang mempengaruhi sistem sosial, nilai-nilai, sikap-sikap,
serta pola-pola tingkah laku suatu masyarakat pada lembaga
6 Dadang Sunendar, dkk, KBBI V (aplikasi), Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016.
7 Diakses dari laman https://tekNomorkompas.com/read/2017/12/18/07092867/berapa-
jumlah-pengguna-dan-pengemudi-go-jek pada tanggal 17 September 2018, pukul 10:55 WIB
16
kemasyarakatan.8 Perubahan-perubahan tersebut tentunya terjadi karena
adanya desakkan kebutuhan yang terjadi karena adanya perkembangan
ilmu pengetahuan, adanya suatu revolusi, maupun karena adanya
perkembangan ilmu teknologi. Terjadinya perubahan sosial dalam suatu
masyarakat, dapat menyebabkan pula berubahnya suatu hukum di
masyarakat tersebut. Henry S. Maine menyebutkan bahwa hukum
merupakan hasil turunan dari kondisi struktural masyarakat, oleh
karena itu hukum ada karena adanya dinamika dalam masyarakat itu
sendiri.9 Namun, beberapa ahli tidak menganggap perubahan
masyarakat semudah itu, pendapat Lawrence Friedman dan Jack
Landsky yang dikutip oleh Roger Cotterrell menyatakan bahwa
perubahan sosial dianggap telah terjadi apabila telah terjadi perubahan
dalam struktur sosial, pola-pola hubungan sosial, norma-norma dan
pola-pola hubungan sosial. Mereka menegaskan untuk dapat
membedakan mana yang merupakan perubahan sosial dan mana yang
merupakan manajemen ekonomi. Hal ini berbeda dengan Joel dan Mary
Grossman yang menyatakan bahwa perubahan sosial dapat dilihat
bukan hanya dari tingkatannya namun juga dari jumlah besaran dan
ruang lingkupnya.10
Hukum sebagai suatu norma terkadang mempengaruhi atau
terpengaruh atas norma yang lainnya. Dalam hal adanya perubahan
sosial, terkadang hukum juga terpengaruhi, maupun sebaliknya
sehingga menimbulkan dua paradigma, yaitu perubahan hukum
menimbulkan perubahan sosial atau perubahan sosial menimbulkan
perubahan hukum. Untuk mengetahuinya terdapat ciri-ciri untuk dapat
8 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2016) h.101
9 Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), h. 102
10
Roger Cotterrell, “Sosiologi Hukum,” (Bandung: Nusa Media, 2012), h. 67-68
17
melihat apakah hukum yang mempengaruhi perubahan sosial atau
sebaliknya.
Ciri ciri perubahan hukum karena perubahan masyarakat, alasan
adalah karena hukum melayani kebutuhan masyarkaat supaya hukum
tidak tertinggal oleh cepatnya laju perkembangan masyarakat:
a. Perubahan yang cenderung diikuti oleh sistem lain karena dalam
kondisi ketergentungan;
b. Ketertinggalan hukum dibelakang perubahan sosial;
c. Penyesuaian yang cepat dari hukum kepada keadaan baru;
d. Hukum sebagai fungsi pengabdi;
e. Hukum berkembang mengikuti kejadian berarti tempatnya adalah
dibelakang peristiwa, bukan mendahuluinya.11
Dalam paradigma ini, hukum bersifat menunggu. Hukum baru akan
diatur secara formal kedalam undang-undang apabila telah terjadi suatu
peristiwa yang menimbulkan sengketa, konflik, bahkan adanya korban
yang berjatuhan. Ciri-ciri perubhan masayrakat karena adanya perubhan
hukum, alasannya karena hukum dapat menciptakan perubahan sosial
dalam masyarakat atau setidaknya dapat memacu terhadap perubahan-
perubahan yang berlangsung, yaitu:
a. Law as a tool of social engineering;
b. Law as a tool of direct social change;
c. Berorientasi ke masa depan;
d. Ius constituendum;
e. Hukum berperan aktif;
f. Tidak hanya sekedar menciptakan ketertiban tetapi juga menciptakan
dan mendorong terjadinya perubahan dan perkembangan tersebut.12
Arnold M. Rose juga mengemukakan bahwa perubahan hukum
terjadi karena dipengaruhi oleh adanya perubahan sosial yang terjadi
karena adanya penyebab seperti adanya penemuan-penemuan baru
11
Saifullah, “Refleksi Sosiologi Hukum,” Bandung: PT. Refika Aditama, 2007, h. 31
12
Saifullah, “Refleksi Sosiologi Hukum,” ... h. 33
18
dibidang teknologi, terjadinya konflik anatar kebudayaan, atau karena
adanya pergerakkan sosial.
Hubungan antara perubahan sosial dengan perubahan hukum tidak
dapat selalu berjalan bersama. Adakalanya perubahan hukum tidak
dapat menyeimbangi terhadap perubahan sosial yang terjadi sangat
cepat. apalagi di negara hukum seperti Indonesia yang mana dalam
perubahan hukumnya mengehendaki proses yang begitu panjang yang
dilakukan oleh pemerintah yang berwenang. Keadaan ketidak
seimbangan yang dimaksud tersebut oleh W.F. Ogburn disebut dengan
keadaan social lag. Namin, keadaan social lag baru dapat terjadi
apabila hukum tersebut benar-benar sudah tidak mampu memenuhi
kebutuhan suatu masyarakat. Keadaan lainnya yang menunjukkan
bahwa hukum sudah tertinggal oleh adanya perubahan sosial adalah
hukum tersebut menjadi penghambat dari adanya perubahan tersebut.
selain menimbulkan social lag, ketertinggalan hukum juga dapat
menimbulkan disorganisasi dan bahkan terjadi keadaan kekosongan
hukum. Ketika keadaan-keadaan tersebut terjadi, maka yang akan
terjadi adalah keadaan chaos karena tidak adanya kaidah yang menjadi
patokan bagi tingkah laku manusia.13
Oleh karena itu, hukum
semaksimal mungkin untuk menghindari ketertinggalan dari pada
perubahan sosial, agar tidak terjadi kekacauan-kekacauan akibat
tidakberdayaan hukum.
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi tidak serta merta dapat
menyebabkan perubahan hukum, Satjipto Raharjo menyebutkan
setidaknya terdapat dua unsur agar suatu perubahan sosial dapat
menjadi dasar dari perubahan hukum yaitu:
a. Keadaan baru yang timbul
b. Kesadaran akan perlunya perubahan masyarakat yang bersangkutan
itu sendiri (timbul emosi-emosi pada pihak yang terkena yang
13
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, ... h.108-120
19
dengan demikian akan mengadakan langkah-langkah menghadapi
keadaan bentuk kehidupan yang baru)14
2. Teori Modernisasi Hukum dan Teori Disruption Era Revolusi
Industri 4.0
Teori ini merupakan teori yang lahir dari adanya persilangan antara
perubahan masyarakat dengan perubahan hukum. Teori ini berkembang
dalam ranah bidang sosiologi hukum pasca perang dunia II dan world-
wide economic depression.15
Munir Fuadi mengatakan pula bahwa teori
ini lahir dari adanya interaksi dari perkembangan teknologi dan sikap
responsif dari hukum itu sendiri. Dalam teori ini menyebutkan
bahwasannya yang dimaksud dengan memodernisasi hukum adalah
dengan menyesuaikan hukum tersebut dengan sifat dan perilaku
masyarakat yang modern. Muchtar Kusumaatmadja menyebutkan sifat-
sifat yang dimaksud sebagai sifat dari masyarakat modern tersebut,
yaitu:16
Kejujuran, Efisiensi, Tepat Waktu, Teratur, Rajin, Hemat,
Rasional, Penangguhan konsumsi (sikap suka menabung).
Munir Fuadi mengatakan bahwa masyarakat akan modern secara
alami, sedangkan hukum tidak, oleh karena itu ketika masyarakat sudah
modern sedangkan tidak ada hukum yang mengaturnya, maka yang
akan terjadi adalah terhambatnya kemajuan suatu bangsa yang akan
menimbulkan persoalan-persoalan sosial dan jika tidak ditanggulangi
secara sadar, maka akan terjadi chaos dalam suatu masyarakat.17
14
Satjipto raharjo, “Hukum dan Masyarakat,” Bandung: Angkasa Bandung, 1981, h. 100-
101 15
William Seal Carpenter, Foundation of Modern Jurisprudence, (New York: Appelton
Century Croft, Inc., 1958), h. 212
16
Munir Fuady, Teori Modernisasi Hukum: Aliran Hukum Kritis (Paradigma
Ketidakberdayaan Hukum), (Jakarta: Citra Aditya Bakti: 2003) h. 17
17
Munir Fuady, Teori Modernisasi Hukum: Aliran Hukum Kritis (paradigma
ketidakberdayaan hukum), ... h. 116
20
Dengan banyaknya program modernisasi hukum dan pembangunan
industrialisasi, banyak kebijakan yang mulai dilegalisasikan sebagai
sebuah undang-undang yang berlaku. Namun ketika aturan yang
berlaku tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, ataupun hukum
yang hidup dimasyaraat, maka hukum tersebut tidak akan dilaksanakan
atau diterapkan oleh masyarakat. Keadaan tersebut dinamakan dengan
legal gaps atau legal conflic. Untuk mengatasi permasalaan tentang
legal gap ataupun legal conflic dapat diselesaikan dengan adanya
beberapa tindakan, yaitu:
a. Pendayagunaan Sanksi (adanya suatu aturan harus dilengkapi
dengan adanya sanksi agar efektifnya law enforcement oleh
masyarakat)
b. Penyuluhan Hukum (melakukan penyuluhan hukum kepada
masyarakat agar mereka sadara akan hukum
c. Legal Reform (melakukan perubahan hukum dengan menyesuaikan
dengan kebiasaan dan kebutuhan masyarakat)18
Perkembangan teknologi tersebut terus diikuti dengan adanya
perkembangan industri, bahkan dengan adanya perkembangan
teknologi tersebut era pembangunan industri telah mencapai era
revolusi industri 4.0. Sebutan tersebut pertama kali digunakan secara
resmi dapa Hannouver Fair di Jerman pada tahun 2011. Dalam era
industri 4.0 tersebut mengembangkan penggunaan teknologi sensor,
interkoneksi, dan analisis data dalam penindustrian konvensional.19
Perkembangan tersebut selain menimbulkan banyak manfaat, namun,
juga menimbulkan banyak tantangan dan permasalahan. Salah satu
tantangan yang muncul adalah disruption yang terjadi di dunia kerja.
Revolusi industri 4.0 mendisrupsi kemapanan industri-industri
18
Soetandyo Wigniosoebroto, “Hukum dalam Masyarakat Edisi 2,” Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2013, H. 53-55
19
Hoedi Prasetyo dan Wahyudi Sutopo, “Industri 4.0: Telaah Klasifikasi Aspek dan Arah
Perkembangan Aset.” Dalam Jurnal Teknik Industri, Vol. 13, No.1, Januari, 2018. H. 17-18
21
konvensional yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu, sering terjadi
pertentangan-pertentangan antara pengembang industri yang mulai
menerapkan teknologi dan informasi dengan industri konvensional
yang telah ada. Dalam kumpulan tulisan dalam buku Revousi Industri
4.0, Krisna Rettob mengatakan bahwa umumnya terdapat dua aspek
yang dapat mendongkrak pertentangan pemikiran tersebut. Pertama,
adanya aspek regulasi dan yang kedua, adanya aspek fasilitas dalam hal
ini adalah jaringan internet.20
Sonia Anggun Andini berpendapat pula bahwa untuk mengatasi
adanya disruption and job creation dilemma, dibutuhkan beberpa
strategi, yaitu:
a. Evolusi sistem pendidikan dan pembelajatan
b. Adanya kerjasama antara swasta dalam melakukan pelatihan
c. Membangun kemitraan antara swasta dan publik untuk
meningkatkan fasilitas pendukung
d. Mendukung fase transisi dan jaring pengaman bagi pekerja yang
terpengaruh
e. Pemfokusan kepada penciptaan pekerjaan
f. Membangun invovasi interaksi antara manusia dengan mesin
dalam pengerjaan industri.21
3. Teori Kepastian Hukum
Kepastian hukum merupakan salah satu tujuan dari pada
terciptanya hukum itu sendiri. Manullang dalam bukunya mengatakan
bahwa kepastian hukum merupakan salah satu unsur yang ada dalam
hukum yang dikemukakan oleh Montesquieu, Rousseau, dan
20
Krisna Rettob, “Transformation of Mindset: From Campus to Kampung,” dalam
kumpulan tulisan Revolusi Industri 4.0, Sukabumi: CV. Jejak, 2019. H. 152
21
Sonia Anggun Andini, “Strategi Membuka Peluang Digital di Era 4.0: menjadikan
disruption sebagai job creation,” dalam kumpulan tulisan Revolusi Industri 4.0, Sukabumi: CV.
Jejak, 2019H. 261-263
22
Beccaria.22
Kepastian hukum itu sendiri merupakan suatu unsur terapan
yang harus terpenuhi jika ingin menerapkan hukum terhadap suatu
kasus maupun kasus lainnya. Contohnya, jika A membunuh dan
dipidana 20 tahun penjara, maka si B jika ia juga membunuh dengan
motif yang sama seperti yang dilakukan oleh si A maka ia juga harus
dipidana 20 tahun penjara.
Kepastian hukum itu sendiri menurut Soedikno Mertokusumo
adalah suatu perlindungan yustisiabel yang melindungi rakyat dari
tindakan sewenang-wenang yang dilaukan oleh pemerintah atau pihak
tertentu, sehigga seseorang dapat memperoleh apa yang seharusnya.23
Hal ini senada dengan pendapat P. Mahmud Marzuki, hanya saja beliau
menambahkan satu pengertian lagi terkait kepastian hukum. Menurut
Peter Mahmud Marzuki kepastian hukum memiliki dua pengertian,
pengertian pertama hukum dianggap suatu aturan umum sehingga
setiap orang mengetahui apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak
boleh dilakukan, dan pengertian kedua adalah pengertian yang sama
dengan kepastian hukum yang dikatakan oleh Soedikno Mertokusumo,
yakni kepastian hukum merupakan perlindungan hukum masyarakat
dari kesewenang-wenangan pemerintah.24
Hukum baru dapat dikatakan telah memenuhi unsur kepastian
apabila:
a. Hukum harus dirumuskan secara jelas dan tidak boleh dirumuskan
secara samar;
b. Hukum tidak boleh memberlakukan asas retroaktif (huum berlaku
surut);
c. Badan legistalif dilarang menciptakan delik baru;
22
E. Fernando M. Manullang, Legisme, Legalitas dan Kepastian Hukum, (Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2016), h. 10-14
23
Muhammad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum dan Hukum
Indonesia dalam Dimensi Ide dan Aplikasi, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Indonesia, 2011), h. 198
24
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana. 2008), h. 137
23
d. Hukum pidana harus ditafsirkan secara ketat dan terbatas.25
Penerapan kepastian hukum berbeda-beda disetiap negaranya
tergantung dengan sistem dan madzhab hukum mana yang dianut oleh
negara itu sendiri. Seperti halnya di Indonesia yang menganut sistem
hukum civil law dan paham positivisme, maka kepastian hukum terletak
pada penerapan suatu kasus terhadap adanya aturan-aturan yang
berlaku. P. Mahmud Marzuki menambahkan bahwasannya
Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-
undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim
antara putusan hakim yang satu dan putusan hakim lainnya untuk
kasus serupa yang telah diputuskan.26
Hal tersebut dikarenakan dalam negara-negara civil law tidak
menutup kemungkinan dijadikannya yurisprudensi sebagai dasar
hukum, terutama di Indonesia, namun hal tersebut bukanlah merupakan
suatu kewajiban yang harus dilakukan.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Tinjauan (review) kajian terdahulu terdiri dari tinjauan yang berisi
terkait penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh orang lain,
baik dalam bentuk buku, skripsi, maupun jurnal. Hal tersebut diperlukan
untuk membuktikan originalitas dari penelitian ini, peneliti perlu untuk
melakukan tinjauan kajian studi terdahulu. Berikut ini beberapa penelitian
dan perbedaan dari penelitian sebelumnya.
1. Skripsi
a. Andhitta A. Dhewidiningrat dalam skripsinya yang berjudul
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Tindakan
Wanprestaasi yang Dilakukan oleh Pengendara Go-jek dalam
Transaksi Menggunakkan Sistem Go-pay, Universitas Islam Negeri
Jakarta tahun 2017. Skripsi tersebut meneliti Tentang perbuatan
wanprestasi yang dilakukan oleh pengemudi ojek berbasis online
25
E. Fernando M. Manullang, Legisme, Legalitas dan Kepastian Hukum... h. 153
26
P. Mahmud Marzuki, Penganttar Ilmu Hukum ... h. 137
24
dalam suatu transaksi menggunakan sistem non-tunai, dan untuk
mengetahui akbit hukum apa yang akan timbul dari perbuatan
wanprestasi tersebut. Perbedaaan skripsi tersebut dengan penelitian
yang akan dilakukan oleh peneliti adalah, skripsi tersebut meneliti
terkait perkara wanprestasi yang dilakukan pengemudi ojek berbasis
online dan akibat hukumnya, sedangkan penelitian yang akan
dilakukan peneliti adalah penelitian mengenai dampak hukum yang
terjadi dari adanya putusan Mk Nomor 41/PUU-XVI/2018.
b. Danya Divayana dalam skripsinya yang berjudul Perlindungan Hukum
Terhadap Resiko Kerja Para Pengemudi Ojek dalam Jaringan,
Universitas Gajah Mada tahun 2016. Dalam skripsi ini menjelaskan
bahwa perlindungan hukum terhadap para pengemudi ojek dalam
jaringan belum berjalan secara efektif, dan menganalisa legalitas dari
ojek dalam jaringan tersebut. Perbedaannya dengan skripsi yang akan
dituli oleh peneliti adalah dalam skripsi yang akan ditulis oleh peneliti,
tidak lagi membahas Tentang legalitas dari ojek dalam jaringan itu
sendiri, karena pasca Putusan MK Nomor 41/PUU-XVI/2018, ojek
dalam jaringan sudah tidak termasuk kedalam angkutan umum,
sehingga tidak ada payung hukum yang melindunginya. Peneliti akan
meneliti dan menjelaskan bagaimana implikasi yang akan timbul dari
tidak adanya perlindungan hukum bagi ojek dalam jaringan, sedangkan
ojek dalam jaringan terus beroperasi.
c. Bella Yustika dalam skripsinya yang berjudul Perlindungan Konsumen
Pengguna Jasa Transportasi Dalam jaringan di Kota Surakarta,
Universitas Muhammadiyah Surakarta tahun 2018. Dalam skripsi
tersebut, membahas Tentang pertanggung jawaban penyedia jasa
transportasi dalam jaringan kepada konsumen saat terjadi kecelakaan.
Perbedaannya dengan skripsi yang akan diteliti oleh peneliti adalah
Skripsi yang akan ditulis oleh peneliti lebih berfokus kepada
perlindungan pengemudi ojek dalam jaringannya dan bagaimana
perlindungannya pasca putusan MK Nomor 41/PUU-XVI/2018.
25
d. Dwi Nur Aini Habibah dalam skripsinya yang berjudul Aspek Hukum
yang Timbul dari Kegiatan Usaha Ojek Berbasis Aplikasi atau Dalam
jaringan (Go-jek), Universitas Pasundan tahun 2016. Penelitian
tersebut mengidentifikasi aspek-aspek hukum yang timbul dari adanya
usaha ojek berbasis dalam jaringan, seperti aspek hukum perjanjian,
aspek hukum transaksi elektronik, aspek perlindungan konsumen,
aspek hukum kemitraan, aspek hukum asuransi, aspek hukum hukum
perusahaan, aspek hukum ketenagakerjaan, pengangkutan dan lainnya.
Perbedaannya dengan skripsi yang akan ditulis oleh peneliti adalah
peneliti hanya membahas Tentang implikasi dari adanya putusan MK
Nomor 41/PUU-XVI/2018 dan bagaimana perlindungan hukum ojek
dalam jaringan pasca putusan tersebut, dan tidak membahas terkait
kontrsk bisnis maupun perjanjian yang timbul dari adanya ojek dalam
jaringan tersebut.
2. Jurnal
a. Elvian Sudirmandalam jurnalnya yang berjudul Perlindungan Hukum
Bagi Pengguna Jasa Transportasi Dalam jaringan Di Kota Makassar
(Studi Pengguna Jasa Grab Motor DI Lingkungan Fakultas Ilmu Sosial
UNM), Jurnal Tomalebbi, tahun 2018. Jurnal tersebut membahas
Tentang bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi pengguna jasa
transportasi dalam jaringan dipandang dari Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1999 dan jurnal tersebut membatasi hanya dengan ruang
lingkup Kota Makassar. Perbedaannya dengan skripsi yang akan
ditulis oleh peneliti adalah Skripsi yang akan ditulis oleh peneliti lebih
berfokus kepada perlindungan pengemudi ojek dalam jaringannya dan
bagaimana perlindungannya pasca putusan MK Nomor 41/PUU-
XVI/2018 dan tidak terbatas disuatu wilayah tertentu.
b. Geistiar Yoga Pratama dkk, dalam jurnalnya yang berjudul
Perlindungan Hukum Terhadap Data pribadi Pengguna Jasa
Transportasi dalam jaringan dari Tindakan Penyalahgunaan Pihak
26
Penyedia Jasa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, Diponegoro Law Journal tahun
2016. penelitian tersebut membahas Tentang bentuk perlindungan
konsumen terhadap penyalahgunaan data pribadi konsumen oleh
penyedia jasa yang dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Perbedaan skripsi yang akan
ditulis oleh peneliti dengan jurnal tersebut adalah peneliti tidak
membahas perlindungan konsumen terhadap penyalahgunaan data
pribadi konsumen oleh penyedia jasa. Peneliti lebih berfokus kepada
pembahasan perlindungan pengemudi ojek dalam jaringannya dan
bagaimana perlindungannya pasca putusan MK Nomor 41/PUU-
XVI/2018.
c. Asep Iswahyudi Rachman dalam jurnalnya yang berjudul
Perlindungan Hukum dengan Hak-Hak pekerja di PT Grab Semarang.
Jurnal Daulat Hukum tahun 2018. Penelitian tersebut membahas
terkait perlindungan hukum bagi hak-hak pekerja di PT Grab yang
difokuskan di area Semarang. Perbedaannya dengan penelitian yang
ingin peneliti teliti adalah, peneliti meneliti terkait perlindungan
hukum bagi pengemudi ojek dalam jaringan pasca putusan MK Nomor
41/PUU-XVI/2018. Sedangkan, penelitian dalam jurnal tersebut
membahas Tentang perlindungan hukum bagi para pekerjanya seperti
staf call service dan lainnya.
d. Pendi Ahmad dalam jurnalnya yang berjudul Perlindungan Hukum
terhadap Tarif Pengguna Jasa Angkutan Umum Berbasis Dalam
jaringan, Jurnal Sekretari tahun 2018. Penelitian ini mengidentifikasi
perlindungan hukum terhadap tarif pengguna jasa angkutan dalam
jaringan yang sering berubah-ubah. Penelitian tersebut ditinjau dengan
Permenhub Nomor 32 Tahun 2016 Tentang Angkutan Orang dengan
Kendaraan Bermotor Tidak dalam Trayek dan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Penelitian
ini berbeda dengan jurnal tersebut, karena peneliti meneliti terkait
27
perlindungan hukum bagi pengemudi ojek dalam jaringan pasca
putusan MK Nomor 41/PUU-XVI/2018. Sedangkan penelitian dalam
jurnal tersebut terkait perlindungan konsumen pengguna jasa ojek
dalam jaringan terhadap perubahan tarif yang ditinjau dari Permenhub
Nomor 32 Tahun 2016 Tentang Angkutan Orang dengan Kendaraan
Bermotor Tidak dalam Trayek dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
e. Wayan Andika Darmajaya dalam jurnalnya yang berjudul
Perlindungan Hukum terhadap Hak-Hak Pekerja di PT. Go-jek
Yogyakarta. Penelitian tersebut membahas terkait perlindungan hukum
bagi hak-hak pekerja di PT Go-jek yang difokuskan di area
Yogyakarta. Perbedaannya dengan penelitian yang ingin peneliti teliti
adalah, peneliti meneliti terkait perlindungan hukum bagi pengemudi
ojek dalam jaringan pasca putusan MK Nomor 41/PUU-XVI/2018.
Sedangkan, penelitian dalam jurnal tersebut membahas Tentang
perlindungan hukum bagi para pekerjanya.
3. Buku
a. Dian Mega Erianti, dalam bukunya yang berjudul Perlindungan
Hukum e-commerce: perlindungan hukum pelaku e-commerce di
Indonesia, Singapura, dan Australia. Buku tersebut menjelaskan
terkait bagaimana perlindungan hukum menurut peraturan perundang-
undangan yang ada di Indonesia dan dibandingkan dengan
perlindungan hukum yang diberikan oleh negara Sinapura dan
Australia. Buku tersebut diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Taman
Pustaka pada tahun 2017. Perbedaannya dengan penelitian yang akan
diteliti oleh peneliti adalah buku tersebut menjabarkan terkait
perlindungan pelaku e-commerce secara meluas dan sekaligus
membandingkannya dengan negara lainnya, sedangkan penelitian yang
akan dilakukan oleh peneliti hanya berfokus terhadap e-commerce
terhadap jasa ojek dalam jaringan saja dan meneliti terkait
28
perlindungan hukumnya di Indonesia saja, tanoa membandingkannya
dengan negara lain.
b. Hery Firmansyah, dalam bukunya yang berjudul Perlindungan Hukum
Terhadap Merek: Panduan Memahami Dasar Hukum Penggunaan
dan Perlindungan Merek diterbitkan di Yogyakarta oleh penerbit
Medpress pada tahun 2013. Buku tersebut menjelaskan tentang
bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur tentang hak
kekayaan intelektual. Buku ini juga menjelaskan tentang dasar-dasar
dari hak kekayaan intelektual, terutama perlindungan terhadap merek.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dibuat oleh peneliti adalah,
peneliti menjelaskan terkait perlindungan terhadap ojek dalam
jaringan, sedangkan buku tersebut menjelaskan terkait perlindungan
hukum terhadap merek dan hak kekayaan intelektual lainnya.
28
BAB III
PERSPEKTIF REGULASI TENTANG EKSISTENSI OJEK DALAM
JARINGAN
A. Sejarah Profesi Ojek Sebagai Transportasi di Indonesia
Transportasi merupakan salah satu kebutuhan bagi manusia untuk
memenuhi kebutuhan pokoknya. Manusia menggunakan transportasi untuk
berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dalam jarak yang cukup jauh.
Manusia menggunakan transportasi untuk mencari makanan, bekerja, maupun
hal lainnya. Dalam KBBI V, transportasi diartikan sebagai pengangkutan
barang oleh berbagai jenis kendaraan sesuai dengan kemajuan teknologi,1
namun sebagaimana kita ketahui bahwa transportasi tidak hanya mengangkut
barang melainkan juga manusia dari satu tempat ke tempat yang lainnya.
Transportasi sendiri telah berkembang bahkan sejak ribuan tahun yang lalu,
transportasi pertama yang digunakan adalah transportasi menggunakan jalur
sungai yang dilakukan oleh bangsa Mesopotamia lima ribu tahun yang lalu
dan transportasi modern mulai berkembang di Inggris pada abad ke-18,
dimana transportasi saat itu sudah menggunakan sistem maritim dan kereta
api yang modern.2
Transportasi kian berkembang dari zaman ke zaman, dan bahkan
hingga kini sudah banyak moda transportasi yang digunakan manusia, mulai
dari transportasi di darat, di laut, maupun di udara. Pada tahun 1869 Sylvester
H. Roper menemukan kendaraan yang akan disebut dengan sepeda motor
pada
1 Dadang Sunendar, dkk, KBBI V (aplikasi), Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016
2 William L. Garrison, “Historical Transportation Development,” Encyclopedia of Life
Support Systems, Vol.1, University of California, t.th. h.2
29
abad ini.3 Hal tersebut menjadi inovasi kendaraan roda dua pada awal
abad ke-19.
Di Indonesia kendaraan roda dua awalnya hanya menjadi kendaraan
pribadi, namun kemudian kendaraan roda dua digunakan sebagai moda
transportasi barang maupun manusia yang dewasa ini kita sebut dengan ojek.
Profesi ojek merupakan suatu profesi jasa angkutan umum tidak resmi
dengan menggunakan kendaraan bermotor roda dua atau dahulu
menggunakan sepeda. Menurut Neneng Fauziah secara terminologis kata
“ojek” berasal dari kata “objek” dan “object” dalam bahasa Belanda yang
artinya “barang dagangan.” Kata tersebut digunakan untuk mewakili isyarat
kata ojek karena pada pertengahan tahun 60-an ojek merupakan pekerjaan
sampingan yang dilakukan untuk menjadi tambahan penghasilan dari
pekerjaan utama mereka.”4 Sedangkan ojek dalam KBBI V didefinisikan
sebagai sepeda atau sepeda motor yang ditambangkan dengan cara
memboncengkan penumpang atau penyewa.5 Sehingga dapat disimpulkan
bahwa ojek merupakan suatu kendaraan roda dua yang disewakan untuk
mengangkut orang.
Perkembangan ojek dimulai pada tahun 1969 di kawasan Jawa
Tengah. Ojek pada awalnya menggunakan kendaraan sepeda untuk
mengangkut orang dan mulai perlahan-lahan beralih dengan menggunakan
motor bermesin pada tahun 1970. Hal tersebut terjadi dikarenakan sepeda
motor menjadi tren dunia saat perusahaan Honda mengeluarkan sepeda motor
Honda C100 yang menjadi primadona pada saat itu.6
3 Edward Abdo, Modern Motorcycle Technology, (Cencage Learning: Amerika, 2013),
h.2
4 Neneng Fauziah, “Ojek dari Masa ke Masa Kajian secara manajemen Sumber Daya
Manusia,” dalam Jurnal AKP, Vol. 7, No. 1, Edisi Februari (2017), h. 38
5 Dadang Sunendar, dkk, KBBI V (aplikasi), Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016.
6 Edward Abdo, Modern Motorcycle Tecjhnology, (Cencage Learning: Amerika, 2013),
h.8
30
Penyebab munculnya profesi ojek di setiap daerah berbeda-beda,
seperti di Jawa Tengah munculnya ojek dikarenakan jalan-jalan yang ada di
sekitar pedesaan di Jawa tengah rusak parah sehingga tidak dapat dilalui
mobil, sedangkan penyebab munculnya ojek di Jakarta adalah karena adanya
larangan terhadap penggunaan jasa bemo dan becak untuk masuk ke
pelabuhan Tanjung Periok. Namun, karena adanya ledakan jumlah jasa ojek
yang semakin meningkat oleh karena itu pada tahun 1979 polisi akhirnya
mengadakan razia ojek motor untuk mengendalikan jumlah ojek yang
semakin hari semakin meningkat.7
B. Perkembangan TI dan Ojek dalam Jaringan
Perubahan masyarakat yang terjadi di dunia dewasa ini sudah tidak
dapat dipungkiri lagi. Hal tersebut didorong dengan berkembangnya
komunikasi modern menggunakan internet yanag dipadukan dengan
banyaknya inovasi-inovasi baru yang berkembang. Sejak internet dapat
diakses oleh non-military service pada tahun 1970, sudah banyak orang
maupun institusi yang menggunakan internet. Internet digunakan baik untuk
berkomunikasi jarak jauh maupun untuk mencari pengetahuan baru. Selaras
dengan adanya perkambangan zaman, internet mulai berkembang dan mulai
sering dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas diberbagai bidang. Internet
tidak hanya digunakan untuk berkomunikasi jarak jauh saja, internet mulai
digunakan untuk mengkomersilkan sesuatu, melakukan transaksi secara
online, dan bahkan memanggil angkutan umum secara online. Preston L.
Schiller dan Jeffrey Kenworthy menjelaskan, sebagai berikut:8
“These service characterize themselves as web service that connect
clients with individually contracted drivers who own vehnicles.clients
generally hail such ride service through their mobile telephones.”
7 Neneng Fauziah, “Ojek dari Masa ke Masa Kajian secara manajemen Sumber Daya
Manusia,” ..., h. 38-39
8 Preston L. Schiller dan Jeffrey Kenworthy, “An Introduction to Sustainable
Transportation: Policy, Planing and Implementation,” (London and New York: Routledge Taylor
and Francis Group, 2018) h. 185
31
Awalnya, memanggil angkutan umum, yaitu taksi dilakukan dengan
menggunakan telepon. Mereka menelepon perusahan taksi dan memesannya
untuk menjemputnya di suatu lokasi, kemudian hal ini berkembang seiring
dengan adanya perkembangan zaman. Private transportation mulai berubah
dengan moda pemesanan melalui aplikasi berbasis online.
Pelopor dari aplikasi taksi online adalah Travis Kalanick dan Garrett
Camp yang mendirikan Uber. Hal ini terinspirasi oleh pengalaman Travis
Kalanick dan Garrett Camp yang tidak bisa mendapatkan taksi saat berjalan-
jalan di Paris sehingga mereka mendapatkan ide untuk membuat taksi bisa
datang hanya dengan memesannya menggunaan telepon melalui aplikasi
berbasis online9 yang mereka namakan Uber. Hingga sekarang, terdapat
banyak aplikasi yang dapat memberikan layanan angkutan online seperti
Uber, Lyft, Ola Cabs, DiDi, dan masih banyak lainnya.10
Berbeda dengan aplikasi transportasi online yang tersebar diseluruh
penjuru dunia yang hanya terdiri dari taksi, bis, bis mini, pick-up, dan mobil
privat, di Indonesia sendiri pemuda Indonesia asal Surabanya Nadiem
Makarim menjadikan ojek sebagai angkutan yang dapat dipesan dengan
aplikasi berbasis online yang dinamakan Go-jek. Berbeda dengan Uber dan
Grab, Go-jek terinspirasi dengan kebiasaan pendiri yang selalu menggunakan
ojek sebagai alat transportsaunya untuk memenbus kemacetan yang terjadi di
Ibukota, namun selalu terkendala oleh driver yang susah dicari, oleh karena
itu pendiri membuat aplikasi ojek dalam jaringan.11
Go-jek merupakan
pelopor dari adanya angkutan beroda dua yang berbasis online di dunia yang
sekarang mulai diikuti oleh Uber, QiQi dan aplikasi lainnya.
9 Diakses di laman https://www.uber.com/en-GB/newsroom/history/ pada 19 Februari
2019, pukul 2:52 WIB
10
Matthias Finger dan Maxime Audouin, “The Governance of Smart Transportation
Systems,” (Switzerland: Springer, 2019), h. 13
11
Hasil wawancara Nadiem Makarim dengan Tim Line Live Cast yang dipublikasikan
pada 10 Mei 2016, dilihat dilaman https://youtu.be/SjdeoUK37MA
32
C. Problematika Regulasi bagi Ojek
Seiring dengan banyaknya aplikasi-aplikasi penunjang untuk taksi,
mobil, bahkan sharing motor (ojek) yang menjelma di seluruh dunia,
munculah berbagai regulasi yang mengatur tentang angkutan yang berbasis
dalam jaringan, karena sesuai dengan teori perubahan masyarakat dan hukum,
perubahan masyarakat dapat menimbulkan terjadinya perubahan hukum itu
sendiri baik akibat adanya penemuan teknologi baru maupun adanya
penemuan-penemuan baru. Namun tak sedikit juga negara-negara yang masih
belum melegalkan kegiatan transportasi online dikarenakan kendala
pengaturan terkait transportasi online itu sendiri. Seperti halnya di London,
Uber sempat dilarang dan kehilangan izin untuk beroperasi oleh TfL
(Transportation for London). Dikutip dari The Guardian, transportation for
London sebagai badan pemerintah yang bertanggung jawab atas semua jenis
angkutan umum dan kendaraan privat yang disewakan beralasan bahwa
pencabutan izin Uber dikarenakan pendekatan dan perilaku Uber menunjukan
kurangnya tanggung jawab perusahaan dalam hal keamanan dan keselamatan
publik.12
Namun Uber mengajukan hal tersebut ke pengadilan dan pengadilan
mengabulkannya setelah melakukan audit dan investgasi mendalam terhadap
Uber.13
Berbeda dengan London, Malaysia mengamandemen undang-undang
terkait angkutan darat dan memasukan penggunaan transportasi online untuk
menyesuaikan kebutuhan masyarakat.14
Di Indonesia sendiri, regulasi terkait transportasi online juga menjadi
masalah yang belum terpecahkan. Masih banyak terjadi pro dan kontra terkait
regulasi transportasi online di masyarakat terkait status ojek online sebagai
salah satu transportasi berjenis kendaraan bermotor umum atau tidak.
12
Diakses dilaman https://www.theguardian.com/technology/2018/jun/25/uber-appeal-
london-licence-ban#img-1 pada 5 Maret 2019 jam 12.13 WIB
13
Diakses dari laman https://www.independent.co.uk/voices/uber-court-ruling-london-
licence-renewed-tfl-taxis-sadiq-khan-a8418236.html pada 05 Maret 2019 jam 12.00 WIB
14
Diakses dilaman https://www.cnnindonesia.com/internasional/20151218095957-106-
99051/malaysia-kaji-aturan-layanan-transportasi-berbasis-aplikasi pada 05 Maret 2019 jam 12.33
WIB
33
Pasalnya dalam Pasal 47 Ayat (3) menyebutkan bahwa kendaraan bermotor
hanya terbagi kedalam kendaraan bermotor perseorangan dan kendaraan
bermotor umum, karena ojek online berada di zona abu-abu sehingga banyak
terjadi pro dan kontra terhadap statusnya sebagai kendaraan bermotor.
Banyak regulasi yang sudah mencoba untuk menghimpun ojek online
kedalamnya, namun semuanya dibatalkan dengan putusan Mahkamah Agung
seperti Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2017 yang dibatalkan dengan
putusan Mahkamah Agung Nomor 37 P/HUM/2017 dan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 108 Tahun 2017 yang dibatalkan dengan putusan
Mahkamah Agung Nomor 15 P/HUM/2018 hingga pada puncaknya persatuan
ojek online mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi terkait
masuknya ojek online kepada kendaraan bermotor umum sebagaimana Pasal
47 Ayat (3) UU. No. 22 Tahun 2009, namun permohonan tersebut ditolak
oleh majelis hakim. Semua hal tersebut akan diuraikan pada sub-bab
dibawah.
1. Kendaraan Bermotor dalam UU. No. 22 Tahun 2009
Angkutan umum sebagi salah satu tipe kendaraan telah diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan. Dalam pasal 1 angka 3 dijelaskan bahwa angkutan adalah
perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya
dengan menggunakan kendaraan di ruang lalu lintas, namun tidak
sembarang kendaraan bisa dijadikan angkutan. Dalam Pasal 47 Ayat (1)
kendaraan telah terbagi kedalam dua macam, yaitu kendaraan bermotor
dan kendaraan tidak bermotor. Kemudian kendaraan bermotor terbagi
menurut jenis dan juga fungsinya. Kendaraan bermotor menurut jenisnya
dalam Pasal 47 Ayat (2) terbagi kedalam:
a. Sepeda motor;
b. Mobil penumpang;
c. Mobil bus;
d. Mobil barang;
34
e. Kendaraan khusus.
Sedangkan berdasarkan fungsinya, dalam pasal 47 Ayat (3) kendaraan
bermotor dibagi kedalam dua jenis, yaitu kendaraan bermotor
perseorangan dan kendaraan bermotor umum. Dalam pasal 1 nomor 10
UU. No. 22 tahun 2009 mendefinisikan kendaraan bermotor umum adalah
setiap kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang
dengan dipungut bayaran, inilah jenis kendaraan yang pada umumnya
dijadikan sebagai angkutan umum, walaupun dalam pasal 137 ayat (1)
juga meyebutkan terdapat beberapa kendaraan tidak bermotor yang dapat
menjadi angkutan umum.
Angkutan umum juga terbagi kedalam dua jenis, yaitu angkutan
barang dan angkutan orang. Untuk angkutan orang, dalam pasal 141
terbagi kedalam angkutan orang dengan kendaraan bermotor dalam trayek
dan angkutan orang dengan kendaraan bermotor tidak dalam trayek.
Angkutan dalam trayek yang dimaksud adalah
a. Angkutan lintas batas negara
b. Angkutan antarkota antar provinsi
c. Angkutan antarkota dalam propinsi
d. Angkutan perkotaan;atau
e. Angkutan perdesaan.
Sedangkan untuk angkutan orang dengan kendaraan bermotor tidak
dalam trayek terbagi kedalam sebagaimana pasal 151 UU. No. 22 Tahun
2009, yaitu:
a. angkutan orang dengan menggunakan taksi;
b. angkutan orang dengan tujuan tertentu;
c. angkutan orang untuk keperluan pariwisata; dan
d. angkutan orang di kawasan tertentu.
Jika kita hanya melihat pasal ini, kita akan beranggap bahwa ojek
online dapat dimasukan kedalam kategori angkutan orang tidak dalam
35
trayek dengan tujuan tertentu karena ojek online tidak memiliki trayek,
namun dalam pasal 153 ayat (2) memperjelas bahwa angkutan umum tidak
dalam trayek yang dimaksudkan adalah mobil penumpang umum atau
mobil bus umum, sehingga ojek tidak dapat dikategorikan kedalam
angkutan orang tidak dalam trayek yang dimaksud oleh pasal 151 UU. No.
22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Padahal dalam
pasal 137 ayat (2) menyebutkan sepeda motor termasuk kedalam macam-
macam kendaraan bermotor yang dapat digunakan sebagai angkutan orang
yang selengkapnya berbunyi Angkutan orang yang menggunakan
Kendaraan Bermotor berupa Sepeda Motor, Mobil penumpang, atau bus.
Adanya dua pasal yang saling bertentangan tersebut menyebabkan
ketidakpastian hukum terjadi, hal inilah yang kemudian menjadi
perdebatan, apakah ojek yang notabene merupakan jasa angkutan orang
dengan mengunakan sepeda motor yang sudah diakui sejak dahulu, dapat
dikategorikan sebagai angkutan orang yang diatur dalam UU. No. 22
Tahun 2009 atau tidak..
Dilihat dari sejarah asal mula ojek, ojek telah menjadi angkutan umum
bagi orang sejak Tahun 1970 dan tetap eksis hingga sekarang. Jika hal ini
dikaitkan dengan adanya konsep dari perlindungan hukum, seharusnya
hukum terutama UU No. 22 tahun 2009 sudah mengatur tentang ojek sejak
dahulu, mengingat ojek secara historis telah menjadi angkutan orang di
Indonesia sejak dahulu dan diakui keberadaannya oleh masyarakat. Hal
tersebut harus dilakukan agar ojek bisa mendapatkan perlindungan dari
hukum, baik perlindungan hukum yang bersifat preventif maupun
perlindungan hukum yang bersifat represif, agar kejadian razia ojek pada
tahun 1979 tidak terjadi kembali. Bahkan, ketika ojek dewasa ini terbalut
dengan sentuhan teknologi dan menjadi sorotan banyak orang, regulasi
mengenai ojek maupun ojek online tidak pernah terwujud. Padahal teori
modernisasi hukum yang dikutip dari Munir Fuadi telah menyebutkan
bahwa hukum harus dapat menyesuaikan dirinya dengan perubahan yang
36
ada di masyarakat modern, karena ketika masyarakat telah memodernisasi
dirinya dan hukum tidak dapat menyesuaikannya maka, akan terjadi chaos
dalam suatu masyarakat.15
Dewasa ini, dengan adanya fenomena maraknya penggunaan jasa ojek
online yang tidak didampingi dengan adanya pengaturan, menjadikan
Indonesia berada ditengah-tengah keadaan ketidakberdayaan hukum.
Dimana hukum tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya, sehingga
fungsi dari adanya negara sebagai penjamin hak untuk melindungi
masyarakat tidak terpenuhi, padahal Indonesia adalah negara hukum
sebagaimana tercantum dalam pasal 1 Ayat (3) UUD, yang seharusnya
selalu menjamin hak-hak warganya dengan hukum itu sendiri.
2. Surat Pemberitahuan Nomor UM.3012/1/21/Phb/2015
Sejak ojek online menjadi trend di ibukota, banyak muncul perdebatan
pro dan kontra yang muncul terkait status beroperasinya ojek online
tersebut. Pasalnya, dalam UU. No. 22 Tahun 2009 ojek tidak termasuk
kedalam jenis angkutan orang dan banyak kriteria-kriteria lain angkutan
umum yang yang diatur dalam PP No. 74 tahun 2014 tidak terpenuhi oleh
ojek online itu sendiri. Maka dari itu, pada 9 November 2015 Kementerian
Perhubungan memberikan Surat Pemberitahuan Nomor
UM.3012/1/21/Phb/2015 perihal Kendaraan Pribadi (Sepeda Motor, Mobil
Penumpang, Mobil Barang) yang Digunakan Untuk Mengangkut Orang
Dan/Atau Barang Dengan Memungut Bayaran, yang isinya adalah
pelarangan mengenai pengoperasian ojek online, dan kendaraan online
lainnya, lebih jelasnya berbunyi:
“2. Pengaturan kendaraan bermotor bukan angkutan umum tersebut
diatas sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Noor 22 Tahun 2009
Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pemerintah Nomor
74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan tidak memenuhi ketentuan sebagai
angkutan umum. 3. Berdasarkan hal tersebut di atas dimohon kiranya
15
Munir Fuady, Teori Modernisasi Hukum: Aliran Hukum Kritis (paradigma
ketidakberdayaan hukum), ... h. 116
37
saudara dapat mengambil langkah-langkah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.”
Namun, tak lama dari keluarnya surat pemberitahuan tersebut, banyak
massa yang mengeluh, bahkan presiden Joko Widodo dalam akun media
sosialnya “memarahi” kementerian perhubungan dengan tulisan:16
“Saya segera panggil Menhub. Ojek dibutuhkan rakyat. Jangan karena
aturan rakyat jadi susah. Harusnya ditata –Jkw.”
Tak lama, Kementerian Perhubungan mencabut surat pemberitahuan
tersebut dan mulai merancang peraturan menteri yang dapat
mengakomodir keberadaan angkutan online.
3. Permenhub Nomor 26 Tahun 2017 dan Putusan Mahkamah Agung
Nomor 37 P/HUM/2017
Pada tanggal 31 Maret 2017, Menteri Perhubungan Republik
Indonesia menerbitkan sebuah peraturan menteri No. 26 Tahun 2017
Tentang Penyelenggaran Angkutan Orang dengan kendaraan Bermotor
Umum tidak dalam Trayek. Aturan tersebut dibuat untuk mengakomodir
fenomena perkembangan teknologi dan informasi dibidang angkutan
umum di masyarakat. Dalam peraturan menteri tersebut, angkutan online
disebut sebagai angkutan sewa khusus. Hal tersebut diatur dalam Pasal 18
ayat (1) PM Hub 26 tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Angkutan
Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek yang
membahas tentang pembagian jenis angkutan sewa, yaitu angkutan sewa
umum yakni angkutan yang melayani pelayanan dari pintu ke pintu
dengan menyewa hanya kendaraanya ataupun dengan pengemudinya
dalam jangka waktu tertentu dan angkutan sewa khusus yang diatur dalam
Pasal 19 ayat (1) PM Hub 26 tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan
Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam
Trayek yakni angkutan yang melayani pelayanan dari pintu ke pintu
16
Cuitan twitter di akun @jokowi pada 17 Desember 2015 pada pukul 19.41 WIB.
38
dengan pengemudinya dalam kawasan Jabodetabek dan dipesan dengan
menggunakan aplikasi online.
Dengan adanya pengakuan dalam peraturan meneteri tersebut, tidak
serta merta membuat para driver transportasi online dapat menghela nafas
lega. Pasalnya dalam permenhub no. 26 tahun 2017 tersebut terdapat
sejumlah persyaratan agar transportasi online dapat beroperasi yang
tercantum dalam Pasal 19 ayat (3) PM Hub 26 tahun 2017, yaitu:
a. menggunakan kendaraan mobil penumpang umum minimal 1.000
(seribu) centimeter cubic;
b. kendaraan yang dipergunakan meliputi:
1. Mobil Penumpang sedan yang memiliki 3 (tiga) ruang; dan/atau
2. Mobil Penumpang bukan sedan yang memiliki 2 (dua) ruang.
c. menggunakan tanda nomor kendaraan bermotor dengan warna
dasar hitam tulisan putih dan berkode khusus sesuai dengan
penetapan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia;
d. dilengkapi dengan tanda khusus berupa stiker yang ditempatkan di
kaca depan kanan atas dan belakang;
e. dilengkapi dokumen perjalanan yang sah, berupa surat tanda
nomor kendaraan atas nama badan hukum, kartu uji, dan kartu
pengawasan;
f. dilengkapi nomor pengaduan masyarakat di dalam kendaraan yang
mudah terbaca oleh pengguna jasa; dan
g. identitas pengemudi ditempatkan pada dashboard kendaraan atau
tertera pada aplikasi yang dikeluarkan oleh masing-masing
perusahaan angkutan sewa khusus.
Selain itu, masih banyak pasal-pasal yang merugikan bagi para driver
dari angkutan online seperti, kendaraan yang dijadikan angkutan sewa
khusus harus atas nama perusahaan angkutan sewa (Pasal 36 ayat (4) huruf
c dan Pasal 37 ayat (4) huruf c Permenhub Nomor 26 Tahun 2017),
perusahaan aplikasi tidak boleh bertindak sebagai perusahaan angkutan
sewa khusus (Pasal 51 ayat (3) Permenhub Nomor 26 Tahun 2017) dan
lainnya. Oleh karena itu, pada tanggal 2 Mei 2017 Sutarno dan kawan-
kawan yang merupakan driver angkutan online mengajukan judicial
review ke Mahkamah Agung terkait Permenhub No. 26 Tahun 2007
tersebut. Dalam petitumnya mereka meminta untuk mencabut beberapa
pasal yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 22
39
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pasal-
pasal tersebut adalah Ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf e, Pasal 19 ayat (2)
huruf f dan ayat (3) huruf e, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 huruf a, Pasal 30
huruf b, Pasal 35 ayat (9) huruf a angka 2 dan ayat (10) huruf a angka 3,
Pasal 36 ayat (4) huruf c, Pasal 37 ayat (4) huruf c, Pasal 38 ayat (9) huruf
a angka 2 dan ayat (10) huruf a angka 3, Pasal 43 ayat (3) huruf b angka 1
sub huruf b), Pasal 44 ayat (10) huruf a angka 2 dan ayat (11) huruf a
angka 2, Pasal 51 ayat (3) dan Pasal 66 ayat (4) Permenhub Nomor
PM.26/2017 semuanya bertentangan dengan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah. Mereka beralasan bahwa pasal-pasal tersebut dapat
menghambat adanya pertumbuhan usaha mikro, kecil, dan menengah yang
dilaksanakan atas dasar demokrasi ekonomi.17
Majelis hakim dalam pertimbangannya berpendapat bahwa pasal-pasal
yang disebutkan oleh pemohon memang bertentangan dengan pasal-pasal
yang terdapat dalam UU No. 20 Tahun 2008 dan UU. No. 22 Tahun 2009,
dan membatalkan 14 pasal yang yang terdapat dalam Permenhub No. 26
tahun 2007. Pendapat majelis hakim sebagai berikut:18
Bahwa dalam permohonan keberatan hak uji materiil ini, Mahkamah
Agung menilai objek permohonan bertentangan dengan peraturan
perundangundangan yang lebih tinggi, sebagai berikut: a.
bertentangan dengan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2008, karena tidak menumbuhkan dan
mengembangkan usaha dalam rangka membangun perekonomian
nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berkeadilan dan
prinsip pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah; b.
bertentangan dengan Pasal 183 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009, karena penentuan tarif dilakukan berdasarkan tarif batas
atas dan batas bawah, atas usulan dari Gubernur/Kepala Badan yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri, dan bukan
didasarkan pada kesepakatan antara pengguna jasa (konsumen)
dengan perusahaan Angkutan Sewa Khusus;
17
Salinan Putusan Mahkamah Agung Nomor 37 P/HUM/2017 h. 34
18
Salinan Putusan Mahkamah Agung Nomor 37 P/HUM/2017 h. 75
40
Bahwa, semenjak dibatalkannya 14 pasal yang terdapat dalam
Permenhub No. 26 tahun 2007, yang notabene-nya merupakan peraturan
baru yang mengatur transportasi online, transportasi online kembali dalam
zona “abu-abu.”
4. Permenhub Nomor 108 Tahun 2017 dan Putusan Mahkamah Agung
Nomor 15 P/HUM/2018
Pasca adanya putusan Nomor 37 P/HUM/2017, untuk mengisi adanya
kekosongan hukum atas fenomena sosial hadirnya transportasi online
Kementerian Perhubungan kembali menerbitkan peraturan menteri
perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 tentang penyelenggaraan angkutan
orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek sebagai
tindak lanjut dari adanya uji materiil Permenhub Nomor 26 tahun 2017
yang telah diputus dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 37
P/HUM/2017. Dalam Permenhub No. 108 Tahun 2017 terdapat beberapa
pasal tentang angkutan online dan perusahaan aplikasi yang sebelumnya
belum diatur dalam Permenhub No. 26 Tahun 2017, yaitu
a. Adanya pengertian terkait perusahaan aplikasi yang bergerak
dibidang trasnportasi ( pasal 1 nomor 22 Permenhub Nomor 108
Tahun 2017)
b. Diakuinya penentuan tarif yang terdapat dalam aplikasi
c. Diakuinya pemesanan melalui aplikasi
d. Diakuinya perusahaan aplikasi dibidang transportasi sebagai
perusahaan angkutan umum dengan memenuhi syarat-syarat
sebagaimana perusahaan angkutan umum pada biasanya.
Namun, masih terdapat beberapa pasal dari Permenhub No.26 Tahun
2017 yang sudah pernah dibatalkan dalam putusan MA No. 37
P/HUM/2017 yang kembali dimasukan kedalam Permenhub No. 108
Tahun 2017, pasal-pasal tersebut adalah pasal Pasal 6 ayat (1) huruf e,
Pasal 27 ayat (1) huruf d, Pasal 27 ayat (1) huruf f, Pasal 27 ayat (2), Pasal
41
38 huruf a, Pasal 38 huruf b, Pasal 38 huruf c, Pasal 39 ayat (1), Pasal 39
ayat (2), Pasal 40, Pasal 48 ayat (10) huruf a angka 2, Pasal 48 ayat (10)
huruf b angka 2, Pasal 48 ayat (11) huruf a angka 3, Pasal 48 ayat (11)
huruf b angka 3, Pasal 51 ayat 9 huruf a angka 2, Pasal 51 ayat 10 huruf a
angka 3, Pasal 56 ayat 3 huruf b angka 1 sub b, Pasal 57 ayat 10 huruf a
angka 2, Pasal 57 ayat 11 huruf a angka 2, Pasal 65 huruf a, Pasal 65 huruf
b, Pasal 65 huruf c, Pasal 72 ayat (5) huruf c.
Kembalinya beberapa pasal tersebut kedalam peraturan menteri yang
berkaitan dengan transportasi online kembali masuk dalam uji materiil
yang akhirnya dibatalkan kembali oleh Mahkamah Agung dengan putusan
nomor 15 P/HUM/2018. Dalam uji materiil tersebut diajukan oleh para
driver transportasi online yang beroperasi di daerah Surabaya. Selain
pasal-pasal yang dihidupkan kembali dalam Permenhub 108 tahun 2017,
terdapat beberapa pasal yang ikut diajukan dalam uji materiil tersebut.
pasal-pasal tersebut adalah Pasal 27 ayat (1) huruf d, Pasal 27 ayat (2),
Pasal 72 ayat (5) huruf c, Pasal 27 ayat (1) huruf c, Pasal 28 ayat (1), Pasal
28 ayat (2), Pasal 28 ayat (3), Pasal 28 ayat (4), Pasal 28 ayat (5), Pasal 65
huruf d, Pasal 65 huruf e, dan Pasal 80. Namun dalam pertimbangannya
tidak semua pasal yang diajukan bertentangan dengan undang-undang
yang lebih tinggi. Norma baru yang terdapat dalam Permenhub yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
hanya Pasal 27 ayat (1) huruf d, Pasal 27 ayat (2), Pasal 72 ayat (5) huruf
c, dan selainnya tidak. Namun, yang patut digaris bawahi adalah baik
dalam Permenhub No. 26 tahun 2017 dan Permenhub No. 108 Tahun
2017, tidak sama sekali menyebut ojek online. Padahal yang banyak
menyerap pengangguran dan sangat membutuhkan perlindungan dan
kepastian hukum adalah ojek online. Sebagaimana disampaikan Nadiem
Makarim dalam wawancaranya dengan Najwa Shihab mengatakan bahwa
pada tahun 2018 pengemudi ojek online dalam perusahaan Go-jek sudah
mencapai 800.000 orang dibanding dengan pengemudi Go-Car yang hanya
42
200.000.19
Jumlah tersebut belum termasuk dengan pengemudi ojek online
dari perusahaan Grab Indonesia.
5. Permenhub Nomor 12 Tahun 2019 Tentang Perlindungan
Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk
Kepentingan Masyarakat
Memenuhi aspirasi rakyat, kementerian perhubungan mengeluarkan
peraturan menteri perhubungan terbaru yang dibuat dengan melibatkan
para stakeholder dan beberapa driver. Dalam peraturan menteri
perhubungan dengan nomor 12 tahun 2019 tersebut yang mengatur terkait
perlindungan keselamatan pengguna sepeda motor yang digunakan untuk
kepentingan masyarakat, terbagi ke dalam beberapa pokok materi yaitu,
jenis dan kriteria sepeda motor yang dapat digunakan untuk kepentingan
masyarakat, formula penghitungan biaya jasa, mekanisme penghentian
oprasional penggunaan sepeda motor yang dilakukan untuk kepentingan
masyarakat yang dilakukan dengan aplikasi, perlindungan masyarakat,
pengawasan, dan peran serta masyarakat.
Peraturan menteri Perhubungan tersebut terdiri dari 21 pasal yang
mana tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan bahwa ojek atau sebutan
dalam peraturan menteri tersebut adalah sepeda motor yang digunakan
untuk kepentingan masyarakat ini, dinyatakan sebagai salah satu jenis
moda angkutan umum di Indonesia. Peraturan menteri perhubungan
tersebut tidak hanya mengatur ojek online secara khusus namun juga
mengatur ojek secara umum dan kendaraan bermotor dengan rumah-
rumah dan/atau kereta samping. Kebanyakan pasal yang diatur dalam
Permenhub No. 12 Tahun 2019 adalah tentang perlindungan ojek online
kepada perusahaan pengelola aplikasi, bahkan perlindungan kepada
penumpang hanya diatur sedikit di beberapa pasal, yakni pasal 16 ayat (2)
19
Wawancara Nadiem Makarim dengan Najwa Shihab dalam acara Matanajwa yang
dipublikasikan Pada 20 Mei 2018 dilaman https://youtu.be/iTsVSjRUSyU dilihat pada 18 Maret
2019 pukul 15.32 WIB
43
Permenhub No. 12 Tahun 2019. Pasal tersebut hanya menyebutkan hak-
hak yang dapat dimiliki oleh seorang penumpang seperti mendapatkan
santunan ketika terjadi kecelakaan namun tidak dijelaskan bagaimana cara
untuk memperoleh ataupun mengklaim hal tersebut.
Tidak diakuinya ojek online menjadi salah satu jenis moda angkutan
umum di Indonesia dalam Permenhub Nomor 12 Tahun 2019 adalah hal
yang wajar karena dalam hierarki perundang-undangan, permenhub
merupakan aturan pelaksana dari peraturan perundang-undangan di
atasnya sehingga Permenhub No. 12 Tahun 2019 tidak boleh sampai
bertentangan dengan peraturan perundnag-undangan di atasnya. Hal ini
senada dengan adanya teori stufenbau teori yang dikemukakan Hans
Kelsen.
Sebagaimana yang kita ketahui, bahwasannya dalam UU No. 22
Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan PP No. 74
Tahun 2014 Tentang Angkutan Jalan tidak mengakui ojek maupun ojek
online sebagai salah satu angkutan jalan di Indonesia, sehingga sudah tepat
jika Permenhub No. 12 Tahun 2019 tidak secara tegas mengakui bahwa
ojek, ojek online, ataupun sepeda motor yang digunakan untuk
kepentingan masyarakat tidak diatur di dalam Permenhub Nomor 12
Tahun 2019.
Walaupun dengan adanya peraturan menteri perhubungan ini, ojek
online tetap berada pada posisi yang lemah diantara angkutan umum yang
lainnya, sehingga masih dibutuhkan regulasi yang lebih kuat lagi
mengenai ojek online dan statusnya sebagai angkutan umum yang diakui
secara hukum di Indonesia.
44
BAB IV
ANALISIS DAMPAK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
41/PUU-XVI/2018 TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM OJEK
DALAM JARINGAN
A. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XVI/2018
Berbeda dengan permasalahan yang terdapat dalam Permenhub No.
26 Tahun 2017 dan Permenhub No. 37 Tahun 2017 yang hanya
membicarakan perusahaan penyedia aplikasi transportasi online dan taksi
online, keberadaan ojek online sama sekali belum tersentuh oleh aturan
manapun, sehingga terdapat beberapa daerah yang memberlakukan aturan
pelarangan terhadap ojek online. Oleh karena itu, para driver ojek online
mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji pasal
47 ayat (3) UU.No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
yang membagi kendaraan bermotor ke dalam dua fungsi, yaitu kendaraan
bermotor perseorangan (kendaraan pribadi) dan kendaraan bermotor umum.
Sedangkan kendaraan bermotor umum terbagi lagi kedalam dua bagian, yaitu
yang berada dalam trayek dan yang tidak berada dalam trayek (pasal 140 dan
pasal 153 ayat (2) sebagai pasal turunan dari pasal 151 huruf b memberikan
penjelasan bahwa kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek terdiri dari
kendaraan mobil penumpang umum atau mobil bus umum. Sebelumnya
dalam acara pendahuluan para pemohon mengajukan pasal 138 Ayat (3)
UU.No. 22 Tahun 2009, kemudian oleh hakim panel yang saat itu diketuai
oleh Hakim Arief Hidayat menyarankan untuk memperjelas pasal yang akan
diuji karena jika terus menggunakan pasal 138 Ayat (3) maka permohonan
masih kabur dan belum jelas.1
1 Risalah sidang perkara nomor 41/PUU-XVI/2018 perihal Pengujian Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Acara Pemeriksaan Pendahuluan,
21 Mei 2018, h. 4-11
45
Tidak masuknya ojek online sebagai sebuah kendaraan yang bisa
digunakan sebagai angkutan orang menjadi dalil di beberapa daerah untuk
melarang pengoperasian ojek online sebagai jenis kendaraan yang dapat
dijadikan sebagai kendaraan umum. Oleh karena itu, para driver ojek online
dan beberapa penumpang mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi.
Namun, dalam putusan Mahkamah Konstitusi dengan Nomor 41/PUU-
XVI/2018, majelis hakim memutuskan untuk menolak permohonan pemohon
untuk seluruhnya. Pasal 47 ayat (3) UU. No. 22 tahun 2009 yang diuji dengan
pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dinyatakan tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar 1945. Dalam pertimbangannya, hakim Arif Hidayat
berpendapat bahwa ketika pasal 47 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009
dihubungkan dengan dasar filosofis yang terdapat dalam konsideran huruf b
UU No. 22 Tahun 2009, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa jenis
kendaraan bermotor umum harus mewujudkan keamanan dan keselamatan,
terlebih yang diangkutnya adalah orang.2 Dari pernyataan tersebut dapat kita
simpulkan bahwasannya majelis hakim berpendapat bahwa sepeda motor
bukan termasuk kedalam kendaraan bermotor yang aman bagi orang. Padahal,
untuk menjadi driver ojek online di Indonesia (dengan aplikasi Go-jek dan
Grab), para driver harus memiliki SKCK, KTP, STNK, serta terdapat batas
minimal sepeda motor seperti apa yang dapat dijadikan kendaraan online,
dalam wawancara yang peneliti lakukan dapat diketahui bahwa dari 10
drirver yang diwawancarai, semua driver menyebutkan bahwa motor yang
dapat digunakan untuk mendaftar sebagai ojek online adalah motor dengan
tahun keluaran diatas 2010, hanya terdapat 1 driver yang mengatakkan motor
yang dipergunakan berada di bawah kisaran motor keluaran 2010. Selain itu,
penumpang dapat mengklaim asuransi apabila terjadi kecelakaan dan
2 Risalah sidang perkara nomor 41/PUU-XVI/2018 perihal Pengujian Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Acara pengucapan ketetapan dan
putusan, Kamis 28 Juni 2018, h. 31
46
sebagainya.3 Walaupun dalam wawancara yang dilakukan peneliti, para
driver mengatakan bahwa tida ada asuransi yang dapat diklaim oleh
penumpang, namun peneliti menemukan data dilaman Go-Jek dan Grab yang
menyatakan bahwa penumpang dapat mendapatkan atau mengklaim asuransi
apabila terjadi kecelakaan selama perjalanan dengan ojek online tersebut.
Dalam pendapat lainnya majelis hakim juga berpendapat:4
...Mahkamah tidak menutup mata adanya fenomena ojek, namun hal
tersebut tidak ada hubungannya dengan konstitusional atau tidak
konstitusionalnya norma Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ karena faktanya
ketika aplikasi online yang menyediakan jasa ojek belum ada atau
tersedia seperti saat ini, ojek tetap berjalan tanpa terganggu dengan
keberadaan Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ...
Pendapat “ojek tetap berjalan tanpa terganggu dengan keberadaan
Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ” memberikan pengertian bahwasannya ojek
online tetap dapat beroperasi walaupun tanpa adanya pengakuan dari UU.
No. 22 tahun 2009 yang menjadi acuan dan perlindungan hukum bagi
angkutan umum dan perilaku dalam lalu lintas di Indonesia. Padahal,
Arnold M. Rose mengemukakan bahwa perubahan hukum terjadi karena
dipengaruhi oleh adanya perubahan sosial yang terjadi karena adanya
penyebab seperti adanya penemuan-penemuan baru dibidang teknologi,
terjadinya konflik antar kebudayaan, atau karena adanya pergerakkan
sosial,5 sehingga hukum seharusnya mengikuti dengan adanya
perkembangan dan perubahan sosial yang tengah terjadi di masyarakat.
Karena tidak adanya pengaturan yang mengatur terkait ojek online tersebut
banyak terjadi konflik antara angkutan umum dan ojek online dan ojek
online selalu berada dalam posisi yang sangat lemah, yang mana hal ini
akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan selanjutnya.
3 Dilihat dilaman https://driver.go-jek.com/s/article/Cara-Melakukan-Klaim-Asuransi-
Kecelakaan-Mobil-PasarPolis dan https://www.grab.com/id/blog/driver/grabbike-jabodetabek-
asuransi/ pada 19 Maret 2019, pukul 16.45 WIB
4 Risalah sidang perkara nomor 41/PUU-XVI/2018 perihal Pengujian Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Acara pengucapan ketetapan dan
putusan, Kamis 28 Juni 2018, h. 33
5 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, ... h.108
47
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, ojek online
merupakan konsep modern dari adanya ojek konvensional. Ojek telah
eksis di Indonesia sejak 1937 dan telah menajdi salah satu angkutan
favorit masyarakat disemua kalangan. Dengan hadirnya ojek online yang
jangkauan wilayahnya lebih luas dari pada ojek konvensional, seharusnya
hukum harus bisa memberikan perlindungan kepada ojek online, karena
perlindungan hukum merupakan salah satu hak setiap warga negara
Indonesia yang dijamin dalam konstitusi Indonesia.
Dalam putusannya pun, majelis hakim tidak memandatkan kepada
DPR maupun pemerintah untuk merevisi UU No. 22 tahun 2009 yang
menjadi acuan semua angkutan umum yang beroperasi di Indonesia.
Padahal, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 22/PUU-XV/2017
memandatkan kepada Legislator untum melakukan perubahan terhadap
UU Perkawinan, selengkapnya berbunyi:6
“Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk dalam
jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun melakukan perubahan
terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
(Lembar Negara Republi Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019), khususnya
berkenaan dengan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan.”
Tidak diperintahkannya legislator dan pemerintah untuk merevisi UU
No. 22 Tahun 2009 menimbulkan pertanyaan, mengapa Mahkamah
Konstitusi tidak memerintahkan demikian? Apakah ojek maupun ojek online
benar-benar tidak layak untuk dijadikan angkutan umum? Padahal ojek telah
menjadi angkutan umum yang digunakan untuk mengangkut orang dan
barang dari zaman ke zaman di Indonesia
6 Salinan Putusan Mahamah Konstitusi No. 22/PUU-XV/2017 Tentang Pengujian
Undang-Undnag Nomor 1 Tahun 1974 dengan Undnag-Undang Dasar, h. 60
48
B. Dampak dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XVI/2018
1. Adanya Pelanggaran Perlindungan Hukum Warga Negara karena
Tidak Adanya Kepastian Hukum
Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XVI/2018 yang
memperjelas bahwa ojek online bukanlah salah satu jenis moda angkutan
jalan dan transportasi umum. Padahal sebagai warga negara Indonesia,
para driver ojek online berhak untuk mendapatkan pengakuan dan
kepastian hukum, tentunya hal ini menyebabkan hak warga negara tidak
terpenuhi dan menimbulkan pula tidak adanya jaminan perlindungan dari
hukum itu sendiri. Satjipto Raharjo mengatakan bahwa untuk mewujudkan
perlindungan hukum, harus diwujudkan kedalam kepastian hukum,7
sedangkan jika kita melihat kembali terkait pengakuan ojek online sebagai
salah satu jenis moda angkutan jalan ataupun transportasi umum yang
belum terakomodir di dalam regulasi manapun, maka jelas bahwa ojek
online belum memiliki perlindungan hukum yang memadai, karena
walaupun Permenhub Nomor 12 Tahun 2019 telah dikeluarkan dan
disahkan, namun regulasi tersebut tidak menjamin status keberadaan ojek
online sebagai salah satu jenis moda angkutan jalan ataupun transportasi
umum yang diakui secara hukum di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang lalu Lintas dan
Angkutan Jalan yang menjadi kiblat regulasi angkutan jalan dan
transportasi umum di Indonesia yang belum mengakomodir kehadiran ojek
online menjadi salah satu hal yang fatal. Bahkan setelah lima tahun
operasional ojek online hingga kini belum ada perubahan tentang undang-
undang tersebut. Padahal dalam negara hukum yang selalu mengagung-
agungkan asas legalitasnya, perlindungan hukum menjadi suatu hal yang
absolut, terlebih jika hal yang diatur merupakan suatu hak yang dapat
dimiliki oleh suatu kelompok sosial yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat Indonesia. Seharusnya hukum harus dapat menyerasikan
7 Satjipto Raharjo, Permasalahan Hukum di Indonesia ... h. 121
49
dirinya dengan sikap dan tindakan manusia guna terciptanya suatu
ketertiban sosial.8
Dengan tidak adanya instrumen hukum yang menjamin ojek online
sebagai salah satu moda angkutan jalan yang diakui secara hukum,
menimbulkan berbagai dampak signifikan kepada ojek online. Salah satu
dampaknya adalah timbulnya pelarangan penjemputan di kawasan stasiun
dan pusat perbelanjaan. Dari sepuluh driver ojek online yang peneliti
wawancarai, tujuh diantaranya mengatakan bahwa di kawasan stasiun dan
pusat perbelanjaan ojek online dilarang untuk menjemput penumpang,
sedangkan untuk menurunkan penumpang ojek online diperbolehkan. Hal
tersebut memang tidak diatur oleh regulasi yang dibuat oleh pemerintah,
namun hal tersebut merupakan kesepakatan antara driver ojek online
dengan angkutan jalan lainnya yang akan dijelaskan lebih rinci pada
pembahasan selanjutnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan salah satu
driver ojek online yaitu bapak Mardini yang mengatakan bahwa dalam
kawasan stasiun ojek online tidak dapat menjemput penumpang dan hanya
bisa mengantarkan saja:
“Kalo jalan itu udah dilewatin sama angkot gak boleh kalo sekarang
udah enggak, palingan Cuma kaya ditempat-tempat tertentu aja kaya
di stasiun kita gak boleh pick up penumpang, kalo nurunin mah gak
apa-apa, jadi kita baru boleh pick up berapa ratus meter gitu.”9
Selain Bapak Mardini, Bapak Romdoni juga mengatakan hal serupa
dengan kalimat yang begitu singkat “Stasiun di mall ojek gak boleh pick
up penumpang, kalo nurunin mah boleh.”10
Diantara interviewee
mengatakan bahwa untuk di daerah Depok wilayah yang harus diwaspadai
8 Muchsin, perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor ... h. 14
9 Hasil Wawancara Peneliti dengan Mardini Ojek Online yang diambil dengan penentuan
sample tidak acak dengan cara kebetulan yang ditemui di daerah Tangerang Selatan 2 April 2019.
10
Hasil Wawancara Peneliti dengan Romdoni Ojek Online yang diambil dengan
penentuan sample tidak acak dengan cara kebetulan yang ditemui di daerah Depok 2 April 2019
50
adalah daerah dekat ITC Depok.11
Sedangkan untuk daerah Tangerang
Selatan adalah daerah Stasiun Pondok Ranji dan Sudimara.12
Pelarangan terhadap ojek online tidak hanya berlaku di kawasan-
kawasan tertentu saja, namun juga terjadi di beberapa daerah. Pelarangan
pengoperasian maupun sistem antar-jemput penumpang di berbagai daerah
terjadi di Banyumas, Bali, Depok, Pekanbaru, Wonosobo, Magelang dan
beberapa daerah lainnya, karena apada dasarnya, perlindungan hukum bagi
rakyat berfungsi untuk melindungi rakyat dari kesewenangan penguasa.
Ketika perlidungan hukum tersebut hilang, maka penguasa dapat
melakukan kesewenang-wenangannya dengan kekuasaan yang ia miliki,
seperti halnya pelarangan tersebut.
a. Pelarangan Operasional Ojek Online di Banyumas dan
Wonosobo
Pada 10 Juli 2017 bupati Banyumas mengeluarkan Surat Edaran
Nomor 551.2/2900/2017 Tentang Larangan Operasional Ojek
Online (Layanan Ojek Sepeda Motor Berbasis Teknologi
Informasi) di Wilayah Administratif Kabupaten Banyumas. Dalam
surat edaran tersebut bupati Banyumas mendalilkan bahwa
pelarangan tersebut merupakan upaya prefentif untuk mencegah
adanya konflik horizontal antara transportasi umum dengan pelaku
usaha ojek online selengkapnya Surat Edaran Bupati Banyumas
Nomor 551.2/2900/2017 Nomor 1: “Bahwa operasional ojek online
di Kabupaten Banyumas berpotensi menimbulkan konflik
horizontal di antara pelaku usaha pelayanan transportasi umum
dengan pelaku usaha ojek online, dimungkinkan tidak kondusifnya
11
Hasil Wawancara Peneliti dengan Feriyanto (seorang Ojek Online dengan pengalaman
2 tahun bermitra dengan Go-Jek) yang diambil dengan penentuan sample tidak acak dengan cara
kebetulan yang ditemui di daerah Depok 9 April 2019.
12
Hasil Wawancara Peneliti dengan M. Sohid (seorang Ojek Online dengan pengalaman
2 tahun bermitra dengan Grab) yang diambil dengan penentuan sample tidak acak dengan cara
kebetulan yang ditemui di daerah Tangerang Selatan 8 April 2019.
51
ketentraman dan ketertiban di Kabupaten Banyumas.” Hal serupa
juga terjadi di Wonosobo. Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman
dan Perhubungan Kabupaten Wonosobo mengeluarkan Surat
Edaran Nomor 551.2000/2019 tentang Larangan Operasional
Sementara Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Berbasis
Online di Wilayah Kabupaten Wonosobo. Surat edaran tersebut
juga dikeluarkan atas dasar untuk menjaga ketertiban dan
keamanan daerah Wonosobo dari adanya konflik antara ojek online
dengan transportasi umum.
Tindakan pelarangan terhadap pengoperasian ojek online
sebagai langkah preventif dari pencegahan timbulnya konflik
antara trasnportasi umum dengan ojek online bukanlah hal yang
dapat dibenarkan, mengingat kebutuhan masyarakat terhadap ojek
online semakin meningkat. Dalam Pasal 9 UU. No. 7 Tahun 2012
Tentang Penyelesaian Konflik menyebutkan beberpa tindakan yang
harus dilakukan untuk meredam potensi konflik sosial, yaitu:
1) melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
yang memperhatikan aspirasi masyarakat;
2) menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik;
3) melakukan program perdamaian di daerah potensi Konflik;
4) mengintensifkan dialog antar kelompok masyarakat;
5) menegakkan hukum tanpa diskriminasi;
6) membangun karakter bangsa;
7) melestarikan nilai Pancasila dan kearifan lokal; dan
8) menyelenggarakan musyawarah dengan kelompok
masyarakat untuk membangun kemitraan dengan pelaku
usaha di daerah setempat.
Pemerintah daerah Banyumas dan Wonosobo seharusnya
mengadakan dialog antar kelompok untuk menemukan jalan tengah
untuk meredam konflik sosial antara transportasi umum dengan
ojek online dan bukan melakukan pelarangan pengoperasian
terhadap ojek online.
52
b. Pelarangan Jemput-Antar Daerah Operasional Angkutan
Umum di Depok
Berbeda dengan pelarangan yang terjadi di Wonosobo dan
Banyumas, di Depok memperbolehkan pengoperasian ojek online,
namun ojek online dilarang untuk menjemput-antar penumpang di
daerah yang dilalui oleh angkutan umum dan stasiun. Hal ini
tercantum dalam Peraturan Walikota Depok Nomor 11 Tahun 2017
Tentang Angkutan Orang dengan Sepeda Motor pada Pasal 6 huruf
a, yang berbunyi:
“Setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dilarang: a.menyimpan kendaraan
bermotor (parkir) di badan jalan, bahu jalan, halte, dan fasilitas
pejalan kaki (trotoar); b.menaikkan orang di kawasan terminal;
c.menaikkan orang di badan jalan yang telah dilayani oleh
angkutan orang dalam trayek.”
Hal tersebut merupakan contoh lain karena tidak adanya hukum
yang melindungi ojek online. Jika kita mencermati Pasal 6 huruf c
Peraturan Walikota Depok Nomor 11 Tahun 2017 tersebut, maka
dapat kita ketahui bahwa ojek online tidak dapat menejmput
penumpang di daerah yang telah di lalui oleh angkutan umum,
padahal konsumen memiliki kebebasan untuk memilih jasa
transportasi yang memang ia inginkan. Hal tersebut menimbulkan
ketidakadilan bagi ojek online, ojek online yang merupakan jasa
angkutan orang dan/atau barang memiliki hak yang sama seperti
angkutan umum lainnya, hanya saja ojek online memang belum
diakui secara hukum sebagai salah satu jenis angkutan jalan.
Perilaku tidak adil yang dikeluarkan oleh Pemerintah Depok
menjadi salah satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa sebagai
angkutan hasil kebudayaan Indonesia yang berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman, ojek online seharusnya mendapatkan
kedudukan yang sama dengan angkutan jalan ataupun transportasi
53
umum lainnya. Karena sesuai dengan pasal 28 D Ayat (1) yang
menyebutkan:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
dihadapan hukum.”
Ojek online berhak untuk mendapatkan pengakuan, jaminan,
perlindungan, serta kepastian hukum yang adil, sama seperti
angkutan jalan lainnya. Kenyataan bahwa ojek online masih berada
dipihak yang lemah dan tidak setara dengan angkutan jalan lainnya
memberikan konsekuensi yang jelas bahwa ojek online belum
terlindungi hak-haknya, dan hal ini jelas menjadi salah satu sebab
adanya ketidakpastian hukum, padahal hak tersebut telah dijamin
dalam konstitusi Indonesia.
2. Terjadinya Konflik Sosial Antara Driver Ojek online dengan
Angkutan Jalan Lainnya
Sejak ojek online menjadi tren transportasi pada tahun 2015, banyak
terjadi konflik antara kelompok ojek online dengan angkutan jalan lainnya
seperti supir angkutan umum dan supir taksi, bahkan oleh ojek
konvensional itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari 10 driver
ojek online yang peneliti wawancarai. Mereka menyatakan bahwa awal
mereka menjadi ojek online banyak ojek konvensional yang sering
melarang mereka berhenti sejenak di area mereka, tak jarang pula mereka
terlibat dalam adu mulut dengan para supir angkutan umum. Namun, 10
driver ojek online tersebut mengatakan bahwa sekarang konflik dengan
angkutan jalan tidak separah dahulu ketika masih awal dan bahkan 1
diantara mereka mengakan bahwa sekarang sudah tidak ada konflik. 13
Setelah diusut lebih dalam lagi ternyata berkurangnya konflik yang terjadi antara ojek online dengan angkutan
13
Hasil Wawancara Peneliti dengan Ojek Online yang diambil dengan penentuan sample
tidak acak dengan cara kebetulan yang ditemui di daerah Depok dan Tangerang Selatan mulai dari
22 Maret hingga 11 April 2019.
54
jalan lainnya adalah terjadinya kesepakatan antara ojek online dengan angkutan jalan lainnya yang berisi
bahwa ojek online dapat menjemput penumpang di stasiun maupun mall
dalam jarak radius kurang lebih 100 meter dari stasiun dan mall tersebut,
keadaan tersebut hanya berlaku bagi penjemputan penumpang dan tidak
berlaku untuk penurunan penumpang, bagi ojek online yang melanggar hal
tersebut akan dikenakan sanksi. Hal ini dibuktikan dengan adanya 7 driver
ojek online yang membenarkan hal tersebut, dan
tiga driver ojek online
memberikan penjelasan terkait kesepakatan tersebut. Tiga orang tersebut
adalah Eman Sulaeman, Herul Rudiansyah, dan Mardini. Bapak Eman
Sulaeman menyatakan:
“Udah jarang, tapi gak separah dulu, sekarang kan udah pake zona-
zona kaya di stasiun ojol itu jaraknya 100 m dari stasiun gitu kalo gak
patuh dipintain duit 150 kalo gak helmnya diambil, motornya diambil
gitu, cuma kalo nganterin penumpang boleh kalo ngambil penumpang
gak boleh.”14
Sedangkan yang lainnya seperti Bapak Herul Rudiansyah
menceritakan pengalaman teman-temannya yang pernah melanggar
kesepakatan tersebut:
“Kalo saya gak pernah mba, Cuma kalo yang lain kaya temen-temen
saya pernah sampe motornya diancurin, atau nebus 500 ribu ke tukang
ojek pangkalan.”15
Jika kita melihat kesepakatan tersebut, hal ini tentu merugikan bagi
ojek online pasalnya kesepakatan tersebut hanya berlaku bagi ojek online
dan hanya ojek online saja yang mendapatkan sanksi dari adanya
pelanggaran tersebut. Keadaaan seperti itu, merupakan praktik dari tidak
adanya hukum yang mengatur terkait hubungan antara ojek online dengan
angkutan jalan lainnya. dalam hal ini ojek online berada di pihak yang
lemah karena memang tidak ada regulasi yang mengatur tentang ojek
online secara komprehensif.
14
Hasil Wawancara Peneliti dengan Ojek Online yang diambil dengan penentuan sample
tidak acak dengan cara kebetulan yang ditemui di daerah Tangerang Selatan 10 April 2019.
15
Hasil Wawancara Peneliti dengan Ojek Online yang diambil dengan penentuan sample
tidak acak dengan cara kebetulan yang ditemui di daerah Tangerang Selatan 9 April 2019.
55
Peristiwa-peristiwa seperti hal tersebut dan bahkan sampai pelarangan
oleh kelompok transportasi lainnya dapat dikatakan sebagai suatu konflik
sosial. Alfitra menyebutkan setidaknya terdapat beberapa unsur untuk
suatu peristiwa dapat dikatakan sebagai suatu konflik sosial, yaitu:
1) Ada dua belah pihak atau lebih yang terlibat, dalam hal ini dapat
kita lihat bahwa peristiwa tersebut melibatkan dua pihak yakni,
driver ojek online dan pelaku transportasi umum lainnya;
2) Ada tujuan yang dijadikan sasaran konflik, tujuan yang menjadi
sasaran konflik adalah keberadaan ojek online itu sendiri;
3) Adanya perbedaan pemikiran, perasaan, tindakan antara para
pihak, dalam hal ini ojek online berpikir bahwasannya sebagai
warga negara Indonesia dia berhak untuk mencari penghasilan
dengan ojek online tersebut, dedangkan menurut supir angkutan
jalan lainnya meranggapan bahwa keberadaan ojek online
merupakan penghambat dari adanya usaha jasa mereka;
4) Adanya suatu konflik diantara kedua belah pihak yang melibatkan
antar pribadi, kelompok, dan antar organisasi. Dalam hal ini
gesekan-gesekan antara ojek online dengan angkutan jalan yang
lainnya terkadang berujung konflik.
Terjadinya chaos ataupun konflik di masyarakat terjadi atas beberapa
faktor yang sudah dijelaskan sebelumnya di bab II. Dalam konflik yang
terjadi di antara para supir angkutan umum dan ojek online merupakan suatu
akibat maupun dampak dari tidak seimbangnya arus perubahan masyarakat
menuju masyarakat modern dengan hukum yang berkembang secara lambat.
Masyarakat telah berubah ke arah modernisasi dengan memanfaatkan
teknologi informasi untuk memesan jasa angkutan umum yang dapat lebih
efisien dari pada transportasi lainnya namun hukum belum melakukan
perubahan atasnya.
Sebagaimana disebutkan pada bab II pula, bahwasanya dalam
interaksi antara perubahan hukum dengan perubahan masyarakat terdapat
dua paradigma, yaitu paradigma dimana hukum dapat merubah masyarakat
56
dan paradigma perubahan masyarakat dapat mengubah hukum itu sendiri.
Dalam paradigma bahwa perubahan masyarakat dapat menyebabkan
berubahnya hukum mensyaratan bahwa perubahan masyarakat tersebut
merupakan perubahan akibat adanya desakan kebutuhan yang terjadi karena
adanya perkembangan ilmu pengetahuan, suatu revolusi, maupun karena
adanya perkembangan terknologi dan informasi.
Fenomena munculnya ojek online sebagai salah satu moda
transportasi yang efisien dengan memanfaatkan perkembangan teknologi
dan informasi untuk menyediakan jasa penjemputan yang dipesan secara
online, menjadi suatu kebutuhan lain bagi masyarakat Indonesia, khususnya
yang berkedudukan di ibukota. Faktanya bahwa riset yang dilakukan oleh
Lembaga Demografi Universitas Indonesia meyatakan bahwa 89%
koresponden yang merupakan pengguna dari pada ojek online menyatakan
bahwa Go-Jek (salah satu perusahaan pengembang ojek online) berdampak
baik hingga sangat baik bagi masyarakat umum, dan 78% koresponden
menyatakan bahwa jika terdapat pemberhentian terhadap ojek online
tersebut dapat memberikan dampak buruk hingga sangat buruk kepada
masyarakat. Hal ini sesuai dengan hasil riset dibawah ini:
Hasil riset yang dilakukan oleh Lembaga Demografi Universitas Indonesia yang bekerja sama dengan
Go-Jek
Kebutuhan terhadap ojek online tidak hanya dirasakan oleh
konsumen atau pengguna jasa ojek online saja, namun juga berpengaruh
57
terhadap para pengemudi ojek online. Bagaimana tidak, ojek online
merupakan salah satu pembuka lapangan pekerjaan yang paling digemari dan
dapat menyerap banyaknya pengangguran. Dalam satu perusahaan jasa ojek
online saja (Go-Jek) terdapat kurang lebih 800.000 pengemudi ojek onlien di
Indonesia, dan jumlah tersebut belum ditambah dengan jumlah pengemudi
dari perusahaan ojek online lainnya yang beroperasi di Indonesia.
Dengan adanya banyak desakan kebutuhan yang disebabkan oleh
perkembangan teknologi dan informasi tersebut, hukum harus dapat berubah
dan memberikan jaminan kepada ojek online, menimbang kebutuhan
masyarakat Indonesia terhadap ojek online tersebut.
Selain itu, dalam teori modernisasi hukum menyebutkan bahwa ketika
masyarakat mulai memodernisasi dirinya, maka hukum harus dapat
menyeimbangkan dirinya agar tidak terjadi chaos di masyarakat. Terjadinya
konflik sosial yang timbul antara para driver ojek online negan supir-supir
angkutan jalan maupun ojek konvensional merupakan konsekuensi logis dari
timpangnya perkembangan masyarakat dengan perubahan hukum. Oleh
karena itu untuk dapat menghentikan kekacauan tersebut maka dibutuhkan
sebuah regulasi yang dapat menjamin keberadaan ojek online sebagai salah
satu moda transportasi umum yang diakui secara hukum di Indonesia, baik
dengan adanya regulasi baru, maupun perubahan atas Undang-Undang nomor
22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
3. Timbulnya Ketidakpastian Hukum
Terjadinya konflik sosial dan bahkan perlakuan kesewenang-
wenangan pelarangan terhadap ojek online merupakan suatu akibat yang tidak
dapat dihindari lagi dari tidak adanya perlindungan hukum terhadap ojek
online. Padahal perilaku masyarakat telah berubah ke arah modern dengan
perkembangan teknologi dan informasi.
Perubahan tersebut tidak hanya terjadi di dalam sektor komunikasi
saja, melainkan telah merambah ke sektor mekanisme pasar dan bahkan
pemesanan jasa transportasi. Dengan sedikit sentuhan budaya Indonesia,
58
transportasi yang memanfaatkan teknologi informasi sebagai salah satu
medianya telah hadir, yakni ojek online. Dengan tarif yang terjangkau dan
efisiensinya, ojek online telah menjadi salah satu kebutuhan dari masyarakat
modern di daerah ibukota. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya
pengguna aplikasi ojek online yang mencapai total 50 juta lebih pendownload
untuk aplikasi Go-Jek16
dan 100 Juta lebih untuk aplikasi Grab,17
walaupun
tidak menutup kemungkinan terdapat sejumlah orang yang memiliki kedua
aplikasi tersebut ataupun memiliki multi-akun, namun hal tersebut tidak serta
merta dapat menafikan bahwa ojek online memang digemari oleh masyarakat
di Indonesia, khususnya masyarakat yang tinggal di ibukota.
Kebutuhan terhadap ojek online yang tidak diseimbangi dengan
adanaya perubahan hukum yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut
merupakan satu cerminan dari adanya ketidakpastian hukum bagi ojek online.
Pasalnya walaupun ojek online telah memiliki regulasi yang mengatur terkait
hubungan antara pengguna ojek online, perusahaan aplikasi, dan driver ojek
online itu sendiri dengan adanya Permenhub No. 12 Tahun 2019, namun
status mengenai ojek online sebagai salah satu angkutan masih belum
terakomodir. Status ojek online sebagai angkutan jalan merupakan hal yang
sangat vital, karena hal tersebut merupakan legitimasi dari adanya
pengoperasian ojek online sebagai angkutan jalan. Sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang lalu
Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan bahwa
“Angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat
ke tempat lain dengan menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas
Jalan.”
Jika meliha pasal tersebut, maka kita dapat menambil unsur-unsur
suatu kendaraan dikatakan sebagai angkutan, yaitu adanya perpindahan orang
dan/atau barang, kedua perpindahan tersebut merupakan suatu perpindahan
16
Diakses dilaman https://play.google.com/store/apps/details?id=com.gojek.app pada 22
maret 2019 pukul 16.03 WIB
17
Diakses dilaman https://play.google.com/store/apps/details?id=com.grabtaxi.passanger
pada 22 maret 2019 pukul 16.04 WIB
59
dari suatu tempat ke tempat yang lainnya, yang ketiga perpindahan tersebut
dilakukan dengan menggunakan kendaraan, dan yang keempat perpindahaan
tersebut dilakukan di ruang lalu lintas.
1) Adanya perpindahan orang dan/atau barang, dalam hal tersebut
ojek online memang melakukan perpindahan orang dengan
adanya Go-Ride atau pun Grab Bike yang merupakan jasa yang
memindahkan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat
yang lainnya, telah terpenuhi unsur tersebut.
2) perpindahan tersebut merupakan suatu perpindahan dari suatu
tempat ke tempat yang lainnya, ojek online pada dasarnya
memang dilakukan untuk mengantarkan penumpang dan/atau
barang dari tempat penjemputan menuju ke tempat tujuan. Oleh
karenanya unsur perpindahan dar satu tempat ke tempat yang
lainnya sudah terpenuhi oleh ojek online.
3) perpindahan tersebut dilakukan dengan menggunakan kendaraan,
pengertian kendaraan telah disebutkan dalam pasal 1 angka 8 UU.
No. 22 Tahun 2009 yakni suatu sarana angkut di jalan yang terdiri
atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor. Dan
untuk jenis kendaraan bermotor itu sendiri telah disebutkan
jenisnya dalam Pasal 47 Ayat (2) UU. No. 22 Tahun 2009 yakni a.
sepeda motor; b. mobil penumpang; c. mobil bus; d. mobil barang;
dan e. kendaraan khusus. Ojek online sendiri menggunakan
kendaraan bermotor berjenis sepeda motor. Sehingga samapai
disini ojek online telah memenuhi unsur menggunakan kendaraan.
4) Perpindahaan tersebut dilakukan di ruang lalu lintas. Ojek online
dalam UU. No. 22 Tahun 2009 Pasal 1 Angka 11 telah disebutkan
bahwa Ruang Lalu Lintas Jalan adalah prasarana yang
diperuntukkan bagi gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau
barang yang berupa Jalan dan fasilitas pendukung. Dalam
pengoperasiannya ojek online menggunkan ruang lalu lintas dalam
melakukan perpindahan karena ojek online tidak memerlukan alat
60
oenunjang lainnya untuk bergerak dari satu titik menuju titik yang
lainnya.
Jika melihat secara keseluran dari unsur-unsur angkutan tersebut,
jelas bahwa ojek online merupakan salah satu angkutan. Namun,
dalam UU No. 22 tahun 2009 mengklasifikassikan kembali bahwa
terdapat kendaraan yang merupakan kendaraan umum. Kendaraan
Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang digunakan untuk
angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran, Pasal 1
Angka 10 UU No 22 Tahun 2009. Dalam hal ini, ojek online memang
memungut bayaran atas jasanya mengantarkan orang dan/atau barang.
Ojek online hanya tidak memenuhi jenis kendaraan sebagai kendaraan
bermotor umum dalam trayek maupun tidak dalam trayek yang diatur
dalam Bab X tentang angkutan, dimana sepeda motor tidak dimasukan
sebagai salah satu jenis kendaraan bermotor umum baik dalam trayek
maupun tidak dalam trayek. Padahal unsur dari pada kendaraan
bermotor umum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Angka 10
UU. No. 22 Tahun 2009 telah terpenuhi oleh ojek online. Selain itu,
ojek sebagai angkutan telah lama diakui oleh masyarakat di Indonesia
dan telah menjadi kebudayaan yang terus berkembang hingga menjadi
tren seperti sekarang ini.
Tidak adanya hukum yang mengatur status ojek online sebagai
kendaraan bermotor umum, menyebabkan terjadinya ketidakpastian
hukum mengenai statusnya sebagai angkutan jalan, karena kepastian
hukum sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab II menyebutkan
bahwa, kepastian hukum merupakan suatu perlindungan hukum rakyat
dari kesewenang-wenangan pemerintah sehingga baik rakyat maupun
pemerintah dapat mengetahui apa yang dapat dilakukan dan apa yang
tidak boleh dilakukan. Sehingga konsekuensi logis dari adanya
ketidakpastian hukum terkait status sepeda motor yang notabene
merupakan kendaraan yang digunakan oleh ojek online dalam
61
mengangkut orang dan/atau barang sebagai kendaraan bermotor
umum, menimbulkan ilegalnya pengoperasian ojek online dalam
mengangkut orang dan/ atau barang menurut Undang-Undang Nomor
22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-
XVI/2018 yang memperjelas bahwa ojek online bukanlah salah satu jenis dari
angkutan jalan karena ojek online yang menggunakan sepeda motor bukan
termasuk kedalam jenis kendaraan bermotor umum baik dalam trayek
maupun tidak dalam trayek, ojek online tidak memiliki perlindungan hukum
sama sekali. Tidak adanya perlindungan hukum bagi ojek online
menimbulkan banyak permasalahan khususnya di Indonesia yang merupakan
negara hukum yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, peneliti
dapat menarik beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Adanya kebutuhan masyarakat yang berubah tidak diseimbangi
dengan adanya regulasi yang mengakui keberadaannya. Faktanya
bahwa riset yang dilakukan oleh Lembaga Demografi Universitas
Indonesia meyatakan bahwa 89% koresponden yang merupakan
pengguna dari pada ojek online menyatakan bahwa Go-Jek (salah
satu perusahaan pengembang ojek online) berdampak baik hingga
sangat baik bagi masyarakat umum, dan 78% koresponden
menyatakan bahwa jika terdapat pemberhentian terhadap ojek
online tersebut dapat memberikan dampak buruk hingga sangat
buruk kepada masyarakat. Dengan tarif yang terjangkau dan
efisiensinya, ojek online telah menjadi salah satu kebutuhan dari
masyarakat modern di daerah ibukota. Hal tersebut dapat dilihat
dari banyaknya pengguna aplikasi ojek online yang mencapai total
50 juta lebih pendownload untuk aplikasi Go-Jek1 dan 100 Juta
1 Diakses dilaman https://play.google.com/store/apps/details?id=com.gojek.app pada 22
maret 2019 pukul 16.03 WIB
63
lebih untuk aplikasi Grab. Selain itu, ojek online merupakan salah
satu kendaraan yang bertransformasi dari adanya interaksi dari
kendaraan transportasi sederhana yang diakui sejarah dengan
adanya perkembangan teknologi dan informasi yang ada.
Perubahan-perubahan tersebut belumlah dapat mengubah regulasi
yang ada. Bahkan walaupun salah satu upaya hukum telah
ditempuh melalui uji materil, ojek online belum mendapatkan
pengakuannya sebagai salah satu moda angkutan jalan yang diakui
secara legalitasnya.
2. Timbulnya dampak-dampak negatif dari tidak adanya regulasi
yang mengakui ojek online sebagai salah satu moda angkutan
jalan di Indonesia. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
41/PUU-XVI/2018, ojek online tidak memiliki status sebagai
sebuah angkutan jalan yang diakui secara hukum tersebut
menimbulkan ojek online berada dipihak yang lemah. Terbitnya
berbagai pengaturan maupun kesepakatan yang melarang
pengoperasian dengan disertai sanksi yang tegas bagi para ojek
online itu sendiri, seperti Nomor 551.2/2900/2017 Tentang
Larangan Operasional Ojek Online (Layanan Ojek Sepeda Motor
Berbasis Teknologi Informasi) di Wilayah Administratif
Kabupaten Banyumas, Surat Edaran Nomor 551.2000/2019
tentang Larangan Operasional Sementara Angkutan Orang dengan
Kendaraan Bermotor Berbasis Online di Wilayah Kabupaten
Wonosobo, dan Peraturan Walikota Depok Nomor 11 Tahun 2017
Tentang Angkutan Orang dengan Sepeda Motor, hingga
kesepakatan-kesepakatan yang merugikan bagi ojek online yang
dilakukan hanya demi menghindari konflik sosial yang terjadi
antara ojek online dengan angkutan jalan lainnya. Tidak adanya
perlindungan hukum yang menimbulkan chaos bagi ojek online
membuktikan bahwa belum tercapainya kepastian hukum bagi
ojek online itu sendiri.
64
A. Rekomendasi
Timbulnya permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi,
merupakan hasil dari tidak seimbangnya perubahan sosial yang ada dengan
adanya perubahan hukum. Sehingga untuk menyeimbangkan keduanya
diperlukan perubahan terhadap hukum itu sendiri, yakni adanya pengakuan
terhadap sepeda motor sebagai salah satu kendaraan yang dapat dipakai
untuk keperluan umum tidak dalam trayek dalam Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
65
DAFTAR PUSTAKA
LITERASI:
Abdo, Edward. Modern Motorcycle Technology. Cencage Learning: Amerika.
2013.
Ahmadi, Fahmi Muhammad. Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum, Jakarta:
Lembaga Penelitian Uin Jakarta. 2010.
Andini, Sonia Anggun. “Strategi Membuka Peluang Digital di Era 4.0:
menjadikan disruption sebagai job creation,” dalam kumpulan tulisan
Revolusi Industri 4.0, Sukabumi: CV. Jejak. 2019.
Carpenter, William Seal. Foundation of Modern Jurisprudence. New York:
Appelton Century Croft, Inc. 1958.
Cotterrell, Roger. Sosiologi Hukum.Bandung: Nusa Media. 2012.
Erwin, Muhammad. Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum dan Hukum
Indonesia dalam Dimensi Ide dan Aplikasi. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Indonesia. 2011.
Fajar, Mukti. Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2015.
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta. Pedoman Penelitian Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum. Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum. 2017.
Finger, Matthias. Maxime Audouin. The Governance of Smart Transportation
Systems. Switzerland: Springer. 2019.
Fuady, Munir. Teori Modernisasi Hukum: Aliran Hukum Kritis (Paradigma
Ketidakberdayaan Hukum). Jakarta: Citra Aditya Bakti. 2003.
Fuady, Munir. Teori-Teori dalam Sosiologi Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup. 2011.
Hasan, M. Iqbal. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya.
Bogor: Ghalia. 2002.
Maggalatung, A. Salman. Nur Rohim Yunus. Pokok-Pokok Teori Ilmu Negara:
Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia. Jakarta: Fajar Media.
2013.
Manullang, E. Fernando M. Legisme, Legalitas dan Kepastian Hukum. Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group. 2016.
Marzuki, Peter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana. 2008.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup. 2005.
Prasetyo, Hoedi dan Wahyudi Sutopo. “Industri 4.0: Telaah Klasifikasi Aspek dan
Arah Perkembangan Aset.” Dalam Jurnal Teknik Industri, Vol. 13,
No.1, Januari. 2018.
Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa Bandung. 1981.
Rahardjo, Satjipto. Permasalahan Hukum Di Indonesia. Bandung: Alumni. 1983.
66
Rettob, Krisna. “Transformation of Mindset: From Campus to Kampung,” dalam
kumpulan tulisan Revolusi Industri 4.0, Sukabumi: CV. Jejak. 2019.
Saifullah. Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung: PT. Refika Aditama. 2007.
Schiller, Preston L. Jeffrey Kenworthy. An Introduction to Sustainable
Transportation: Policy, Planing and Implementation. London and
New York: Routledge Taylor and Francis Group. 2018.
Soekanto, Soerjono. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2016.
Sunendar, Dadang. Dkk. KBBI V (aplikasi). Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2016.
Tanya, Bernard L. Dkk. Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi. Yogyakarta: Genta Publishing. 2013.
Wasito, Hermawan. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama. 1992.
Wigniosoebroto, Soetandyo. Edisi 2. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2013.
JURNAL:
Fauziah, Neneng. 2017. “Ojek dari Masa ke Masa Kajian secara manajemen
Sumber Daya Manusia,” dalam Jurnal AKP, Vol. 7, No. 1, Edisi
Februari (2017), h. 38
Garrison, William L. t.th. “Historical Transportation Development,” Encyclopedia
of Life Support Systems, Vol.1, University of California.
Muchsin. 2003. “Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia”,
Surakarta: Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret.
Wisana, I Dewa G. K. Dkk. 2018. Dampak Go-Jek terhadap Perekonomian
Indonesia. Hasil riset yang dilakukan oleh Lembaga Demografi
Universitas Indonesia yang bekerja sama dengan Go-Jek.
WAWANCARA:
Hasil wawancara Nadiem Makarim dengan Tim Line Live Cast yang
dipublikasikan pada 10 Mei 2016, dilihat dilaman
https://youtu.be/SjdeoUK37MA
Hasil Wawancara Peneliti dengan Feriyanto (seorang Ojek Online dengan
pengalaman 2 tahun bermitra dengan Go-Jek) yang diambil dengan
penentuan sample tidak acak dengan cara kebetulan yang ditemui di
daerah Depok 9 April 2019.
Hasil Wawancara Peneliti dengan M. Sohid (seorang Ojek Online dengan
pengalaman 2 tahun bermitra dengan Grab) yang diambil dengan
67
penentuan sample tidak acak dengan cara kebetulan yang ditemui di
daerah Tangerang Selatan 8 April 2019.
Hasil Wawancara Peneliti dengan Ojek Online yang diambil dengan penentuan
sample tidak acak dengan cara kebetulan yang ditemui di daerah
Tangerang Selatan 10 April 2019.
Hasil Wawancara Peneliti dengan Ojek Online yang diambil dengan penentuan
sample tidak acak dengan cara kebetulan yang ditemui di daerah
Tangerang Selatan 2 April 2019.
Hasil Wawancara Peneliti dengan Ojek Online yang diambil dengan penentuan
sample tidak acak dengan cara kebetulan yang ditemui di daerah
Depok 2 April 2019
Hasil Wawancara Peneliti dengan Ojek Online yang diambil dengan penentuan
sample tidak acak dengan cara kebetulan yang ditemui di daerah
Depok dan Tangerang Selatan mulai dari 22 Maret hingga 11 April
2019.
Hasil Wawancara Peneliti dengan Ojek Online yang diambil dengan penentuan
sample tidak acak dengan cara kebetulan yang ditemui di daerah
Tangerang Selatan 9 April 2019.
Wawancara Nadiem Makarim dengan Najwa Shihab dalam acara Matanajwa yang
dipublikasikan Pada 20 Mei 2018 dilaman
https://youtu.be/iTsVSjRUSyU dilihat pada 18 Maret 2019 pukul
15.32 WIB
INFORMASI DAN BERITA ELEKTRONIK:
Cuitan twitter di akun @jokowi pada 17 Desember 2015 pada pukul 19.41 WIB.
Diakses dari laman https://www.go-jek.com/about/, pada tanggal 17 September
2018, pukul 09:48 WIB
Diakses dari laman https://www.independent.co.uk/voices/uber-court-ruling-
london-licence-renewed-tfl-taxis-sadiq-khan-a8418236.html pada 05
Maret 2019 jam 12.00 WIB
Diakses di laman https://www.uber.com/en-GB/newsroom/history/ pada 19
Februari 2019, pukul 2:52 WIB
Diakses dilaman https://play.google.com/store/apps/details?id=com.gojek.app
pada 22 maret 2019 pukul 16.03 WIB
Diakses dilaman
https://play.google.com/store/apps/details?id=com.grabtaxi.passanger
pada 22 maret 2019 pukul 16.04 WIB
Diakses dilaman
https://tekNomorkompas.com/read/2017/12/18/07092867/berapa-
68
jumlah-pengguna-dan-pengemudi-go-jek pada tanggal 17 September
2018, pukul 10:55 WIB
Diakses dilaman https://www.cnnindonesia.com/internasional/20151218095957-
106-99051/malaysia-kaji-aturan-layanan-transportasi-berbasis-aplikasi
pada 05 Maret 2019 jam 12.33 WIB
Dilihat dilaman https://driver.go-jek.com/s/article/Cara-Melakukan-Klaim-
Asuransi-Kecelakaan-Mobil-PasarPolis dan
https://www.grab.com/id/blog/driver/grabbike-jabodetabek-asuransi/
pada 19 Maret 2019, pukul 16.45 WIB
Diakses dilaman https://www.theguardian.com/technology/2018/jun/25/uber-
appeal-london-licence-ban#img-1 pada 5 Maret 2019 jam 12.13 WIB
REGULASI DAN PUTUSAN:
Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Penyelesaian Konflik Sosial
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan
Angkutan Orang dengan Kendaran Bermotor Umum Tidak Dalam
Trayek
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 Tentang
Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor
Umum Tidak Dalam Trayek
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 Tentang Perlindungan
Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk
Kepentingan Masyarakat
Risalah sidang perkara nomor 41/PUU-XVI/2018 perihal Pengujian Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan, Acara pengucapan ketetapan dan putusan, Kamis 28 Juni 2018.
Salinan Putusan Mahamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017
Salinan Putusan Mahkamah Agung Nomor 37 P/HUM/2017
Salinan Putusan Mahkamah Agung Nomor 15 P/HUM/2018
Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XVI/2018
Surat Edaran Bupati Banyumas Nomor 551.2/2900/2017 tidak kondusifnya
ketentraman dan ketertiban di Kabupaten Banyumas.”
Surat Pemberitahuan Kementerian Perhubungan Nomor UM.3012/1/21/Phb/2015
perihal Kendaraan Pribadi (Sepeda Motor, Mobil Penumpang, Mobil
Barang) yang Digunakan Untuk Mengangkut Orang Dan/Atau Barang
Dengan Memungut Bayaran.