Problem Perkawinan · 2017-12-13 · pernyataan menerima dari pihak laki-laki. ... dengan cara...
-
Upload
hoangkhanh -
Category
Documents
-
view
219 -
download
0
Transcript of Problem Perkawinan · 2017-12-13 · pernyataan menerima dari pihak laki-laki. ... dengan cara...
1
Problem Perkawinan
Perkawinan sangat penting di dalam hidup dan kehidupan
umat manusia, baik perseorangan maupun kelompok, dengan jalinan
perkawinan yang sah (sesuai dengan hukum Islam). Pergaulan laki –
laki dan perempuan terjalin secara terhormat sesuai dengan kedudukan
manusia sebagai makhluk yang berkehormatan diantara makhluk Tuhan
lainnya. Allah Subhanahu wata’ala telah menetapkan cara-cara
tersebut yang diatur dalam lembaga perkawinan dan hukum Islam. Hal
ini sesuai dengan keberadaan Islam sebagai agama fitrah yang datang
bukan untuk membenuh kecenderungan-kecenderungan manusia,
melainkan untuk membimbing dan mengarahkan sesuai dengan
kehendak sang pencipta.1
Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. 2
Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Perkawinan, perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, hal ini dapat
digunakan sebagai dasar hukum berlakunya hukum perkawinan Islam
di Indonesia sebagai peraturan khusus di samping peraturan umum
yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan, untuk warga negara
Indonesia yang beragama Islam yang kebanyakan menganut Mazhab
Syafi‟i.
1 Sayuti Thalib, Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta; UI Press, Cet. Ke-4), Hal. 63
2 Anonim, Pedoman Penghulu, (Jakarta; Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji
Anonim, Departemen Agama RI, 2005), Hal. 232
2
Sedangkan menurut hukum Islam, perkawinan antara
mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan dilakukan di depan
dua orang saksi laki-laki dengan menggunakan kata-kata Ijab qabul.
Ijab diucapkan pihak perempuan yang menurut kebanyakan fuqaha
dilaksanakan oleh walinya atau wakilnya, sedangkan qabul adalah
pernyataan menerima dari pihak laki-laki. Adapun perkawinan menurut
istilah syara‟ ialah suatu akad (transaksi) yang intinya mengandung
penghalalan wathi’ (persetubuhan) dengan memakai kata nikah atau
kawin.3
Di dalam negara yang berdasarkan hukum, segala sesuatu
yang ada hubungannya dengan perilaku atau tingkah laku manusia
harus diatur sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah
hukum yang berlaku. Sehubungan dengan hal tersebut perkawinan di
Indonesia harus dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
atau Penghulu bagi yang beragama Islam. Pegawai Pencatat Nikah atau
Penghulu mempunyai kewenangan yang jelas dalam peraturan
perundang-undangan nomor 22 Tahun 1946 dan Undang-undang
Nomor 32 Tahun 1954 sampai sekarang yang berkaitan dengan
perkawinan di Indonesia.
Setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan Pegawai
Pencatat Nikah (PPN) mempunyai kedudukan yang kuat menurut
hukum, ia sebagai pegawai negeri yang diangkat oleh Menteri Agama
pada tiap-tiap Kantor Urusan Agama Kecamatan. Adapun tugas pokok
penghulu berdasarkan Pasal 24 peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Per/62/M.PAN/6/2005 tentang Jabatan Fungsional
Penghulu dan Angka Kreditnya Menteri Pendayagunaan Aparatur
3 Aziz Zainuddin bin Abdul Al-Malibari Al-Fannani, Terjemahan Fathul Mu’in,
(Bandung; Sinar Baru Algasindo, 2003), Hal. 1154
3
Negara Bab II Pasal 4, Tugas Pokok Penghulu adalah melakukan
pencatatan kegiatan kepenghuluan, pengawasan, pencatatan nikah,
rujuk, pelayanan fatwa hukum munakahat dan bimbingan mu‟amalah,
pembinaan keluarga sakinah, serta pemantauan dan evaluasi kegiatan
kepenghuluan dan pengembangan kepenghuluan. Dengan demikian
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau Penghulu masing-masing
mempunyai tugas dan fungsi yang jelas, karena ditetapkan dengan
peraturan yang berlaku.
Undang-undang Perkawinan tidak terlepas dari hukum
perkawinan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Syarat sah dan
rukun sebuah perkawinan salah satu dari sahnya nikah adalah adanya
wali nikah. Pengertian dan dasar hukum adanya wali nikah terdapat
dalam pasal 20 (1) tentang yang bertindak sebagai wali nikah ialah
seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim,
aqil dan baligh.4
Pernikahan harus dilangsungkan dengan wali, apabila
dilangsungkan tidak dengan wali atau yang menjadi wali bukan yang
berhak, maka pernikahan tersebut tidak sah. Adapun wali itu ada tiga
macam, yaitu wali nasab, wali hakim dan wali muhakkam.
Adapun wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari
keluarga calon mempelai wanita, orang-orang tersebut adalah keluarga
calon mempelai wanita yang berhak menjadi wali sesuai dengan aturan
dan urutannya. Adapun wali hakim ialah orang yang diangkat oleh
pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan.5
4 Anonim, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta; Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam Anonim, Departemen Agama RI, 1997/1998), hal.20 5 Anonim, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta; Dirjen Bimas Islam
dan Urusan Haji, 1999/2000), hal. 32-34
4
Adapun yang dimaksud dengan wali muhakkam ialah
seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami isteri untuk bertindak
sebagai wali dalam akad nikah mereka.6 Pernikahan tidak dapat
berlangsung dengan tindakan atau ucapan perempuan itu sendiri, sebab
syarat-syarat perkawinan harus terpenuhi demi keabshahan akad nikah
dan dasar sahnya perkawinan harus ada seorang wali yang
mengawinkan, dasarnya adalah firman Allah Subhanahu wata’ala
dalam Al-Qur‟an :
()اىس :
Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-
Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
(QS. An-nur [24] : 32).7
Menurut ayat tersebut di atas, pada dasarnya menyatakan
bahwa Allah Subhanahu wata’ala menyerahkan perkara perkawinan
kepada pihak laki-laki untuk menikahkan seorang perempuan sebagai
walinya, dan ayat ini tidak ada mengkhususkan bahwa laki-laki yang
menikahkan perempuan tersebut haruslah wali nasab atau wali hakim,
tetapi ayat ini memerintahkan kepada laki-laki tanpa dijelaskan ada
6 Anonim, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, hal.35
7 Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta; Departemen
Agama RI, 2008). Hal 494
5
hubungan darah atau sebagai hakim, maka ayat tersebut di atas adalah
salah satu dasar hukum wali muhakkam, karena ayat tersebut hanya
menyuruh seorang untuk mengawinkan orang-orang yang sendirian,
dan orang-orang yang layak untuk berkawin.
Hadits yang berasal dari Abu Hurairah :
ع أت ششجقاه : قاه سص ه هللا صي هللا عي صي ال
خ اىثة در ذضرأ شالاىثنش إالارا )سا أتدا(ذن
Artinya : Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda “Janganlah menikahkan janda sampai ada
persetujuannya dan jangan menikahkan gadis kecuali dengan
izinnya”.8 (HR. Abu Daud)
Hadits di atas memberikan hak seorang perempuan janda
terhadap dirinya untuk memilih wali dalam pernikahannya, tanpa
harus wali nasab atau wali hakim. Jadi hadits ini adalah merupakan
isyarat bolehnya kawin dengan wali muhakkam sebagai wali dalam
pernikahannya. Adapun perempuan yang masih gadis (perawan),
bahwa izin walinya cukup untuk boleh dinikahkan oleh orang lain
(wali muhakkam), maka hadits tersebut di atas merupakan salah satu
dasar hukum nikah dengan wali muhakkam, walaupun hadits
tersebut tidak mengkhususkan kepada salah satu bentuk wali dalam
pernikahan.
Kedudukan wali sangat penting, sebagaimana diketahui
bahwa yang berhak menjadi wali nikah terhadap seorang wanita
adalah hak bagi wali nasab. Apabila wali nasab tidak ada, naka
perwalian berpindah ke tangan wali hakim dan apabila suatu
8 Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Beirut; Dar‟Ilya‟ut Turats Al-„Arabi, t.thal.), Jilid
1, Juz 2, hal. 232-233
6
pernikahan yang seharusnya dilaksanakan oleh wali hakim padahal
di suatu tempat itu tidak ada wali hakimnya, maka pernikahan
dilangsungkan dengan wali muhakkam, dengan cara kedua calon
suami isteri mengangkat seorang yang mempunyai pengetahuan luas
tentang hukum-hukum Islam untuk menjadi wali dalam pernikahan
mereka.
Dalam hal wanita tidak mempunyai wali sama sekali, para
fuqaha telah sepakat tentang kebolehannya menggunakan wali
hakim, tetapi bila wali hakim tidak ada disebabkan oleh sesuatu hal
para fuqaha masih terdapat perbedaan pendapat.9
Menurut hukum islam, wanita boleh mengangkat seseorang
yang adil untuk menjadi walinya, sesuai dengan pendapat Syaikhuna
( Ibnu Hajar ), ia mengatakan memang dibenarkan jika hakim tidak
mau menikahkan, kecuali dengan diberi dirham (uang), seperti yang
terjadi di masa sekarang, untuk jalan keluarnya pihak mempeai
wanita boleh mengangkat seseorang yang adil sebagai walinya tanpa
memandang keberadaan hakim, sekalipun kita percaya bahwa dia
tidak dapat dipecat karena perbuatannya itu, mengingat orang yang
mengangkatnya mengetahui hal tersebut disaat pengangkatannya.10
Dalam hal tersebut di atas menurut pengamatan penulis di
lapangan, bahwa di Jambi Timur masih ditemukan orang yang
melaksanakan perkawinan dengan wali muhakkam.
Adapun data yang diperoleh melalui wawancara, baik dari
pihak Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Jambi Timur
maupun orang yang melaksanakan perkawinan dengan wali
9 Anonim, Buku Pintar Keluarga Muslim, (Semarang; Badan Penasehat Perkawinan,
Perselisihan dan Penceraian (BPA), 1993), hal.8 10
Aziz Zainuddin bin Abdul Al-Malibari Al-Fannani, Terjemahan Fathul Mu’in,
hal.1239
7
muhakkam atau data yang diperoleh dari tokoh agama, tokoh
masyarakat adalah sebagai berikut :
Data dari Januari tahun 2009 sampai dengan bulan
Desember tahun 2010 berjumlah 1.254 pasang pengantin. Dari
jumlah yang melangsungkan perkawinan tahun 2009 adalah
berjumlah 638 pasang terdiri dari 570 pasangan pengantin melalui
wali nasab, 56 pasang pengantin melalui wali hakim dan 12 pasang
pengantin dengan wali muhakkam.
Sedang dari Januari sampai bulan Desember 2010 yang
melangsungkan pernikahan adalah berjumlah 616 pasang pengantin,
yang terdiri dari 523 pasang pengantin melalui wali nasab, 78
pasang pengantin melalui wali hakim, 14 pasang pengantin dengan
wali muhakkam.
Dengan demikian dari tahun 2009 sampai dengan bulan
Desember tahun 2010 perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi
Timur telah ditemukan 25 pasang pengantin yang menikah dengan
wali muhakkam.11
Hasil temuan dilapangan mengenai orang – orang yang
melaksanakan perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur
telah diadakan penelitian awal melalui wawancara, baik terhadap
yang bertindak sebagai wali muhakkam, maupun pasangan suami
istri yang melaksanakan perkawinan dengan wali muhakkam dan
tidak kalah pentingnya adalah pelaksanaan perkawinan dengan wali
muhakkam sudah sesuai apa belum dengan yang diamanatkan
Undang-Undang Perkawinan, karena dalam Undang-Undang
perkawinan dijelaskan perkawinan harus dilangsungkan dengan
wali, apabila dilangsungkan tidak dengan wali, atau yang menjadi
11
Observasi, Jambi Timur, 15 Oktober 2010
8
wali bukan yang berhak, maka tidak serta merta membolehkan
perkawinan dengan wali muhakkam sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Perkwinan, wali muhakkam baru boleh
melaksanakan perkawinan apabila suatu pernikahan yang
seharusnya dilaksanakan dengan wali hakim, padahal di tempat itu
tidak ada wali hakimnya, maka pernikahan baru boleh dilaksanakan
dengan wali muhakkam, caranya ialah kedua calon mempelai
suami/istri mengangkat seseorang yang mempuyai pengertian
tentang hukum menjadi wali dalam pernikahan mereka.12
Setelah diamati secara seksama, maka pelaksanaan
perkawinan dengan wali mukahham di Jambi Timur belum ada yang
menelitinya. Untuk itu penulis berkeinginan untuk meneliti hal
tersebut, mengapa perkawinan dengan wali muhakkam masih terjadi
di Jambi Timur, meliha latar belakang pendidikan masyarakat Jambi
Timur sudah tergolong banyak yang maju dan Kantor Urusan
Agama sebagai tempat wali hakim juga ada di Jambi Timur.
Dari uraian tersebut diatas, maka penulis terfokus kepada
pembahasan tentang pelaksanaan perkawinan dengan wali
muhakkam di Jambi Timur serta mendalami tentang faktor apa saja
yang menjadi penyebab digunakannya wali muhakkam di sebagian
masyarakat Jambi Timur.
12
Anonim, Pedomamn Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, hal.35
9
Pemahaman Tentang Perkawinan
Adapun pengertian perkawinan atau nikah ialah pernikahan
yang merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua
makhluk, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.
Perkawinan ialah suatu cara yang dipilih oleh Allah Subhanahu
wata’ala sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak
dan melestarikan hidupnya. Untuk itu pengertian perkawinan adalah
sebagai berikut :
1. Menurut bahasa nikah ialah gabungan atau kumpulan. Sedangkan
istilah syara‟ nikah adalah suatu akad (transaksi) yang intinya
mengandung wathi’ (persetubuhan) dengan memakai kata
“nikah” atau “kawin”.
Menurut pendapat yang shahih, pengertian hakiki dari
nikah adalah akadnya, sedangkan secara majaz menunjukkan
makna wathi’ (persetubuhan).13
2. Perkawinan menurut Hukum Islam adalah akad yang sangat kuat
atau miitsaqaan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.14
3. Adapun perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.15
Dari pengertian-pengertian tersebut di atas jelas dan terang
bahwa nikah itu intinya adalah mengandung penghalalan wathi’
13
Aziz Zainuddin bin Abdul Al-malibari Al-fannani, Terjemahan Fathul Mu’in,
(Bandung; Sinar Baru Algasindo, 2003), hal.1154 14
Anonim, Kompilasi Hukum Islam, hal. 14 15
Anonim, Pedoman Penghulu, hal. 232
10
(persetubuhan) untuk mentaati perintah Allah dengan ikatan lahir
bathin yang terpatri kokoh antara seorang pria dengan seorang
wanita. Untuk dapat mempedomani pengertian-pengertian diatas,
maka Islam sudah menentukan sikap terhadap pasangan yang bolah
dipilih dan yang terbaik untuk menjalani pasangan suami isteri,
sebagaimana disebutkan dalam :
1. Firman Allah Subhanahu wata’ala :
) : اىثقشج )
Artinya : Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak
yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia
menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih
baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.
mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke
surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)
11
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Qs.
Al-Baqarah [2] : 221)16
2. Hadits yang berasal dari Abu Hurairah
صي هللا عي ع أت ش شجسض هللا ذعا ى ع ع اىث
ىذضثا ىجا صي قا ه : ذنخ اىش أج ألستع : ىا ىا
ىاىذا : فا ظفشتزا خ اىذ ذشتد ذاك )رفق عي (
Artinya : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda : “Seseorang
wanita dikawini karena empat hal, kekayaannya,
keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, tetapi
pilihlah yang beragama agar hidupmu bahagia”. (Muttafaq
alaih)17
Dari ayat dan hadits di atas, jelas bahwa Allah itu tidaklah
ingin hamba-Nya hidup di dunia ini mendapat pasangan yang tidak
sesuai dan tidak cocok baik dari segi agama maupun dari segi
perangai dan perbuatan, yang jelas Allah dan Rasul-Nya
menginginkan manusia hidup selamat, sejahtera dan bahagia dari
pasangan-pasangannya hidup berdampingan sebagai suami isteri
yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
Perkawinan akan berperan setelah masing-masing pasangan
siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan
16
Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta, Departemen
Agama RI, 2008), hal.43 17
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Mar‟am min Adillatil Ahkam, (Surabaya; Dahlan,
t.th), hal.201
12
pengertian pernikahan itu sendiri. Firman Allah Subhanahu
wata‟ala:
) : النساء)
Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu
yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari
padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah
yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu. (QS. An-Nisa [4] : 1)18
Akan tetapi Allah Subhanahu wata’ala tidak menjadikan
manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti
nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina tidak
mempunyai norma atau aturan, akan tetapi untuk menjaga
keharmonisan dan martabat manusia, maka Allah Subhanahu
wata’ala mengadakan hukum sesuai dengan harkat dan martabat
manusia.
Dengan demikian, hubungan laki-laki dan perempuan diatur
secara terhormat berdasarkan ikatan perkawinan. Dengan ikatan
18
Anonim, Departemen Agama RI, Op.Cit, hal.99
13
perkawinan tersebut memberikan jalan yang aman pada naluri
seksual untuk memelihara keturunan yang baik.
Adapun makna pernikahan secara defenitif, masing-masing
ulama fiqh berbeda dalam mengemukakan pendapatnya antara lain
sebagai berikut :
1. Ulama Hanafiyah mendefisinisikan pernikahan sebagai suatu
keadaan yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja.
Artinya seseorang laki-laki dapat menguasai perempuan dengan
seluruh anggota tubuhnya untuk mendapatkan kesenangan dan
kepuasan.
2. Ulama Syafi‟iyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu
akad dengan menggunakan lafal nikah atau tazwij yang
mempunyai arti „memiliki‟ atrinya „wathi‟. Artinya dengan
pernikahan seseorang dapat memiliki atau mendapatkan
kesenangan dari pasangannya.
3. Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu
akad yang mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan
dengan tidak mewajibkan adanya harga.
4. Ulama Hanabilah menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad
yang mengandung lafal „inkah‟ atau „tazwij‟ untuk mendapatkan
kepuasan. Artinya seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan
dari seorang perempuan dan sebaliknya.19
Dari beberapa pengartian nikah tersebut di atas, maka dapat
penulis kemukakan bahwa pernikahan itu adalah suatu akad antara
seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan
kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh pihak wali
19
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, (Bandung; CV. Pustaka Setia, 1999).
Jilid 1, Hal. 10-11
14
menurut sifat dan syarat yag telah ditetapkan oleh hukum syara’
untuk menghalalkan pencampuran antara keduanya sehingga satu
sama lainnya saling membutuhkan sebagai sekutu menjadi teman
hidup dalam rumah tangga.
15
Tujuan Perkawinan
Adapun tujuan perkawinan pada umumnya bergantung
pada masing-masing individu yang akan melakukan, karena lebih
bersifat subjektif, namun demikian ada juga tujuan umum yang
memang diinginkan oleh semua orang yang melakukan perkawinan
tersebut yaitu untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan
lahir batin menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia dan akhirat.
Adapun tujuan perkawinan secara rinci adalah sebagai
berikut :
1. Melaksanakan Libido Seksual
Semua manusia baik laki-laki maupun perempuan
mempunyai insting seks, hanya kadar dan intensitasnya yang
berbeda, dengan pernikahan seorang laki-laki dapat menyalurkan
nafsu seksualnya kepada seorang perempuan dengan sah dan
begitu pula sebaliknya.
Firman Allah Subhanahu wata’ala :
: اىثقشج()
Artinya : Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu
bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-
tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan
kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah
kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
16
menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang
beriman. (QS. Al-Baqarah [2] : 223).20
2. Memperoleh Keturunan
Insting untuk mendapatkan keturunan juga dimiliki oleh
perempuan maupun laki-laki. Akan tetapi perlu diketahui
mempunyai anak bukanlah suatu kewajiban melainkan
merupakan amanat dari Allah Subhanahu wata’ala. Walaupun
dalam kenyataannya ada seseorang yang ditakdirkan untuk tidak
mempunyai anak.
Firman Allah Subhanahu wata’ala :
.
: اىشس(-)
Artinya : kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia
menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan
anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki
dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia
kehendaki. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-
laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-
Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia
kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi
Maha Kuasa. (QS. Asy- Syura [42] : 49-50).21
20
Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan terjemahannya (Jakarta, Departemen
Agama RI, 2008), Hal.44 21
Ibid, Hal.700
17
3. Memperoleh Keturunan Yang Shalih
Keturunan yang shalih/shalihah akan membahagiakan
kedua orang tua, baik di dunia maupun di akhirat kelak dari anak
yang diharapkan oleh orang tua hanyalah keturunan, akhlak,
ibadah dan sebagainya yang bersifat kejiwaan. Sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam :
سصه هللا صي هللا عي صي ع أت ششجسض هللا ع أ
إرا ا خ اإل ضا اقطع عي إال ثالثح إال صذقحجا قاه
عي رفع ت، أىذصا ىخ ذعى )سا ضي(سح، أ
Artinya : Dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: jika meninggal
manusia maka terputuslah semual amalnya kecuali tiga
perkara, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan
anak yang shalih yang mendo‟akannya. (HR.Muslim)22
4. Memperoleh Kebahagiaan dan Ketentraman
Dalam hidup berkeluarga perlu adanya ketentraman,
kebahagiaan dan ketenangan lahir batin dengan keluarga yang
bahagia dan sejahtera.
22
As-Sayyid Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Kahlani Summa Ash-Shan‟ani Ma‟ruf
bin Amir, Subulus Salam, (Bandung; Dahlan, t.th), Juz 3, hal.87
18
Firman Allah Subhanahu wata’ala :
... : (٨١)األعشاف
Artinya : Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu
dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia
merasa senang kepadanya... (QS. Al-A‟raf [7]: 189).23
5. Mengikuti Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wasallam
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
menyuruh ummatnya untuk menikah bahkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam mengancam umatnya bila sudah
mampu tapi tidak mau menikah. Hal ini diterangkan dalam
sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam :
قا ه اىشصه صي هللا عي صي اىنا ح صر ف سغة
ع صر فيش )رفق عي(
Artinya : Nikah itu adalah Sunnahku, maka barang siapa yang
tidak senang dengan Sunnahku maka tidak termasuk
umatku. (Muttafaq alaih).24
6. Menjalankan Perintah Allah Subhanahu wata’ala
Allah Subhanahu wata’ala juga menyuruh umat-Nya
agar menikahi wanita-wanita yang dipandang cocok sebagai
pasangan hidup apabila telah mampu.
Firman Allah Subhanahu wata’ala :
23
Anonim, Departemen Agama RI Op.cit. hal. 235 24
As-Syyid Al-Imam Muhammad bin Ismail Op.cit hal.110
19
... : اىضاء()
Artinya : ...Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi ... (QS. An-Nisa[4]:3)
7. Untuk Berda’wah
Manusia merupakan makhluk yang sempurna karena
akal dan pikirannya. Oleh karena itu, bila seseorang telah
menikah maka melalui pernikahan tersebut dia akan lebih
percaya diri dan akan lebih tekun untuk menjalankan perintah
Allah dan akan terhindar dari penyakit-penyakit perzinaan
yang dapat menimbulkan penyakit AIDS.
Disamping tujuan perkawinan yang telah dikemukakan
di atas, menurut Prof. Muhammad Amin Summa, bahwa
tujuan perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan,
yaitu:
1. Tujuan perkawinan dari segi sosial ialah bahwa dalam
setiap masyarakat (bangsa), ditemukan suatu penilaian yang
umum bahwa yang berkeluarga, atau pernah berkeluarga
(dianggap) mempunyai kedudukan yang telah dihargai
(terhormat) dari mereka yang tidak kawin.
2. Tujuan perkawinan dari segi agama khususnya Islam ialah
pernikahan memiliki kedudukan yang sangat terhormat, dan
dianggap sakral untuk meletakkan dasar-dasar pergaulan
hidup dan hubungan suatu keluarga yang terbentuk akibat
dari suatu perkawinan itu sendiri.
20
3. Tujuan perkawinan dari segi hukum ialah perkawinan
dipandang sebagai suatu perbuatan (peristiwa) hukum yakni
perbuatan dan tingkah laku subjek atau karena subjek
hukum itu terkait oleh kekuatan hukum.25
25
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta; PT. Raja
Grafindo Persada, 2005), Hal.81-97
21
Dasar-dasar dan Hukum Perkawinan
Adapun dasar-dasar dan hukum perkawinan menurut
undang-undang dan hukum Islam, akan diuraikan sesuai dengan
ajaran Islam yang telah mengatur hubungan yang benar dan sah,
yaitu melalui akad nikah sesuai dengan keyakinan dan
kepercayaan syariat Islam. Untuk itu akan diuraikan terlebih
dahulu dasar-dasar perkawinan kemudian baru iuraikan hukum
perkawinan sebagai berikut :
1. Dasar-dasar perkawinan
Adapun dasar-dasar perkawinan sebagaimana dijelaskan
dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dalam hukum
Islam pada BAB II tentang Dasar-dasar perkawinan pasal 2
adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miisaaqon
ghliidhon untuk mentaati perintah Allah Subhanahu wata’ala
dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pada pasal 3 perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah.
Pada pasal 4 perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) undang-
undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Pada pasal 5
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat
Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan
oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sebagaimana yang
22
diatur dalam undang-undang No. 22 Tahun 1946 undang-
undang No. 32 Tahun 1954.
Pada Pasal 6
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap
perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah
Pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah (PPN) tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pada Pasal 7
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah
yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta
nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke pengadilan
agama.
(3) Itsbat nikah dapat diajukan ke pengadilan agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian
perceraian.
b. Hilangnya akta nikah.
c. Adanya keraguantentang, sah atau tidaknya salah satu
syarat perkawinan.
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya
Undang-undang No. 1 Tahun 1974.
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1
Tahun 1974.
23
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah
suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak
yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Pada pasal 8 putusan perkawinan selain erai mati hanya
dapat dibuktikan dengan Surat Cerai berupa putusan
Pengadilan Agama, baik yang berbentuk perceraian, ikrar
talak, khulu‟ ataupun taklik talak.
Pada pasal 9 disebutkan :
(1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan
karena hilang, dan sebagainya, dapat dimintakan
salinannya kepada Pengadilan Agama.
(2) Dalam hal Surat Bukti yang dimaksud dalam ayat (1)
tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan
ke Pengadilan Agama.
Pada pasal 10 disebutkan pula bahwa Rujuk hanya dapat
dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yang
dikelurakan oleh Pegawai Pencatat Nikah.26
Disamping dasar-dasar perkawinan tersebut, pada
dasarnya perkawinan itu hendaklah timbul daripada
kehendaknya sendiri, bukan karena dipaksa, tertipu, terpedaya
dan lain sebagainya.27
Disamping itu hendaknya perkawinan itu dilaksanakan
atas dasar kerelaan, yakni suka sama suka. Sebab nantinya
keduanya juga akan memikul segala konsekuensinya. Jadi
suka sama suka adalah dasar utama dalam perkawinan.
26
Anonim, Kompilasi Hukum Islam, hal. 14-16 27
Dja‟far Amir, Ilmu Fiqh Bagian Nikah, (Solo; t.tp. 1983), hal.13
24
Disamping itu perlu pula mengindahkan pertimbangan
orang tua. Sebab pertimbangan orang tua itu adlah merupakan
faktor yang penting dalam perkawinan. Oleh karena pemikiran
yang baru nikah masih sangat hijau dalam persoalan rumah
tangga, sehingga kalau kurang hati-hati dalam memilih jodoh,
karena hanya semata-mata mengikuti bahwa nafsu saja.
Setelah dilangsungkan perkawinan maka timbullah penyesalan
dan kekecewaan yang tidak kunjung padam, akhirnya rumah
tangga berantakan.
Disamping itu, dasar-dasar perkawinan yang sudah
ditulis di atas harus menjadi pedoman dan pertimbangan yang
matang agar perkawinan tidak berantakan.
2. Hukum Perkawinan
Pada dasarnya golongan fuqaha yaitu Jumhur Fuqaha
berpendapat bahwa menikah itu hukumnya sunat. Sedangkan
golongan Zhahiri mengatakan bahwa nikah itu hukumnya
wajib. Para ulama Maliki muta‟akhirin berpendapat bahwa
hukumnya wajib untuk sebagian orang dan sunnah bagi
sebagian yang lain dan mubah bagi sebagian yang lain. Hal ini
disebabkan kekhawatiran terhadap kesusahan dan kesulitan
dirinya.28
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa
hukum nikah itu berubah sesuai dengan keadaan pelakunya.
Secara rini hukum perkawinan itu adalah sebagai berikut :
a. Jaiz (diperbolehkan) ini adalah asal hukumnya.
b. Sunat bagi orang yang berkehendak serta mampu
memberikan nafkah.
28
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, hal.31
25
c. Makruh bagi yang tidak mampu memberi nafkah.
d. Haram bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan
yang akan dinikahinya.29
Disamping itu pula ada yang menguraikan hukum
perkawinan itu lebih terperinci sebagai mana berikut :
a. Nikah hukumnya wajib bagi orang yang mampu dan
nafsunya telah mendesak, serta takut terjerumus dalam
lembah perzinaan, karena menjauhi perbuatan yang
diharamkan.
Imam Qurthubi berkata, “bujangan yang sudah mampu
menikah dan takut dirinya dan agamanya, sedangkan untuk
menyelamatkan diri tidak ada jalan lain kecuali dengan
perkawinan, maka tidak terdapat perselisihan di kalangan
ulama tentang wajibnya ia untuk menikah. Jika nafsunya
tidak mendesak sedangkan ia belum mampu untuk
menafkahi isterinya, maka Allah Subhanahu wata’ala akan
melapangkan rezekinya sebagaimana firman Allah :
... : اىس()
Artinya : dan orang-orang yang tidak mampu kawin
hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga
Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya...
(Qs. An-Nur [24] : 33).30
29
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Jakarta; Sinar Baru Algesindo, 2000), Cet. Ke-33. Hal.
381-382 30
Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta; Departemen
Agama RI, 2008). Hal. 494
26
Senada dengan pendapat di atas ulama Malikiyah
menyatakan bahwa menikah itu wajib bagi orang yang
takut dirinya akan terjerumus ke jurang perzinaan manakala
ia tidak menikah. Adapun kriteria tentang wajib menikah
bagi seseorang ialah :
1) Apabila takut dirinya terjerumus ke dalam lembah
perzinaan.
2) Untuk mengekang hawa nafsu tidak mampu berpuasa
atau mampu berpuasa tapi tidak mampu mengekang
nafsunya.
3) Tidak mampu menyatukan kekayaan umat manusia.31
b. Nikah hukumnya sunat bagi orang yang mau menikah dan
nafsunya kuat, tetapi mampu mengendalikan diri dari
perbuatan zina.
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah mereka sepakat bahwa
menikah itu sunat bagi yang menyukainya, tetapi tidak
takut terjerumus dalam lembah perzinaan. Sedangkan
ulama Syafi‟i berpendapay bahwa menikah itu sunat, bagi
orang yang melakukannya dengan niat untuk mendapatkan
ketenangan jiwa dan melanjutkan keturunan.32
c. Nikah hukumnya haram bagi orang yang tidak
menginginkannya karena tidak mampu memberikan nafkah,
baik nafkah lahir maupun nafkah batin kepada isterinya
serta nafsunya tidak mendesak atau dia yakin bahwa bila ia
menikah ia akan keluar dari Islam.
31
Slamet Abidin dan Amiruddin, Fiqh Munakahat, hal.23-24 32
Slamet Abidin, Loc.Cit
27
Al-Qurthubi berkata, “Apabila seseorang laki-laki tidak
mampu menafkahi isterinya atau tidak mampu membayar
maharnya atau tidak mampu memenuhi hak-hak isterinya
tidaklah boleh ia kawin sebelum ia dengan terus terang
menjelaskan keadaannya kepadanya atau sampai datang
saatnya ia mampu memenuhi hak-hak isterinya, begitu pula
kalau ia karena sesuatu hal menjadi lemah, tidak mampu
menggauli isterinya, maka wajiblah ia menerangkan dengan
terus terang agar isterinya tidak tertipu olehnya dan begitu
juga sebaliknya terhadap perempuan.
d. Nikah hukumnya makruh bagi seseorang yang lemah
syahwatnya dan tidak mampu memberikan nafkah kepada
isterinya, walaupun tidak merugikan istri karena ia kaya
dan tidak mempunyai syahwat yang kuat.33
e. Nikah hukumnya mubah, bagi laki-laki yang tidak
mendesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera
kawin atau karena alasan-alasan yang mengharamkan untuk
kawin, maka hukumnya mubah.34
Para ulama di kalangan Syafi‟iyah mengatakan bahwa
manikah itu hukumnya makruh bagi orang-orang yang
mempunyai kekhawatiran tidak mampu memberikan kewajiban
kepada isterinya.35
33
Sayyid Sabiq, Fikih Sunah, (Bandung; Al-Ma‟arif, 1994), Alih Bahasa oleh Mohal.
Thalib, Jilid 4, Cet.Ke-9, hal.25. 34
Sayyid Sabiq, Loc.Cit. 35
Slamet Abidin, Op.Cit. hal.36
28
Rukun dan Syarat Sah Perkawinan
Adapun rukun adalah unsur pokok (tiang) dalam setiap
perbuatan sedangkan syarat adalah unsur pelengkap dalam setiap
perbuatan hukum. Apabila kedua unsur ini tidak dipenuhi maka
perbuatan itu dianggap tidak sah menurut hukum, demikian pula
untuk sahnya perkawinan harus dipenuhi rukun dan syarat nika.
Untuk itu penulis menyusun terlebih dahulu rukun perkawinan
baru dilanjutkan dengan syarat sha perkawinan.
1. Rukun perkawinan adalah:
a. Ada calon mempelai laki-laki dan perempuan
b. Ada wali dari calon mempelai perempuan
c. Ada dua orang saksi laki-laki
d. Ijab dari wali calon mempelai perempuan atau wakilnya
e. Qabul dari mempelai laki-laki atau wakilnya.36
2. Syarat sah perkawinan adalah:
Adapun syarat sah bagi calon pengantin laki-laki sebagai
berikut :
a. Beragama islam
b. Terang prianya (bukan banci)
c. Tidak dipaksa
d. Tidak beristri empat orang
e. Bukan mahram calon istri
f. Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan calon
istri
g. Mengetahui calon istri tidak haram dinikahi
h. Tidak dalam sedang ihram atau umrah
36
Sayyid Sabiq, Loc.Cit.
29
Adapun syarat sah bagi calon pengantin perempuan
sebagai berikut:
a. Beragama islam
b. Terawang wanitanya (bukan banci)
c. Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya
d. Tidak bersuami dan tidak dalam iddah
e. Bukan mahram calon suami
f. Belum pernah di-li’an (disumpah li’an) oleh calon suami
g. Terang orangnya
h. Tidak dalam sedang ihram haji atau umrah.37
Rukun dan syarat perkawinan yang telah diuaikan diatas,
merupakan hal yang mutlak dipenuhi oleh setiap orang yang mau
melaksanakan perkawinan, karena tanpa melengkapi rukun dan
syarat perkawinan tersebut di atas maka perkawinan menjadi
tidak sah. Akan tetapi pada garis besarnya syarat sah perkawinan
itu ada dua, yaitu:
a. Laki-laki dan perempuan sah untuk dinikahi. Artinya kedua
calon pengantin adalah bukan haram dinikahi baik karena
haram untuk sementara atau selamanya.
b. Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi. Artinya saksi alam
perkawinan merupakan syarat yang mutlak dalam pernikahan,
karena perkawinan tanpa saksi merupakan perkawinan yang
tidak sah dan untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.
Perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah
mencapai umur yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-
37
Anonim, Pedoman Pembantu Pengawai Pencatat Nikah, hal.23-24
30
Undang Nomor 1 Tahun 1974 yakni calon suami berumur
sekurang-kurangnya 19 tahun dan calon istri berumur
sekurang-kurangnya 16 tahun.38
38
Anonim, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Hal.18
31
Asas-asas Perkawinan
Adapun asas-asas perkawinan dalam islam adalah :
1. Asas Terlaksananya Perintah Allah Subhanahu wata’la
Menurut islam perkawinan bukanlah sekedar penyaluran
naluri seks semata, melainkan juga merupakan perintah agama
agar pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan terpelihara
ketaqwaannya kepada Allah subhdanahu wata’la, firman
Allah dalam surah Ali Imran :
: اه عشا()
Artinya : dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan
kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita.
(QS. Ali Imran [3] : 14).39
Sabda Rasulullah Shallahu ‘alaihi waasallam :
ر ف سغة ه سصهللا صي هللا عي صي اىنا ح ص اق
ع صر فيش )رفق عي(
Artinya : Rasulullah Shallahu „alaihi waasallam bersabda
Nikah itu adalah sunnahku, maka barangsiapa yang
tidak senang dengan sunnahku maka tidak termasuk
umatku. (Muttafaq alaih).40
Berdasarkan ayat dan hadits tersebut jelaslah bahwa
perkawinan itu merupakan prinsip-prinsip terlaksananya
39
Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan. Hal. 64 40
As-Sayyid Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Kahlani Summa Ash-Shan‟ani Ma‟ruf
bin Amir, Subulus Salam, hal.110
32
perintah agama. Itulah sebabnya, agama mengatur cara-cara
melangsungkan perkawinan dengan berdasarkan syarat, rukun
dan cara-cara pelaksanaannya dengan harapan perkawinan
yang sakinah mawaddah warohmah di bawah Ridho Allah
Subhanahu wata’ala.
2. Asas Rela Sama Rela antara Pihak-pihak Bersangkutan
Salah satu asas yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak
yang hendak melansungkan perkawinan ialah adanya usaha
diantara kedua belah pihak agar masing-masing rela sama rela,
baik dari calon mempelai perempuan dari pihak wanita,
kerelaan dari pihak calon mempelai wanita dinyatakan dalam
pengakuan dengan kata-kata (setuju), jikalau janda, atau
dengan diamnya, jika ia masih perawan pada saat ditanyai
kesediaannya untuk menikah dengan calon suaminya,
sementara itu kerelaan dari pihak calon mempelai pria dapat di
dengar ketika ia menyatakan kabul pada sat akad nikah, yaitu
kesediaan menjadi suami yang bertanggung jawab dan baik
sewaktu kepadanya dinyatakan (ijab) oleh wali dari calon
mempelai wanita untuk menjadi suami dari anaknya, maka
dalam ajaran Islam tidak boleh melaksanakan pasangan suami
atau istri terhadap anak-anak kita karena prinsip perkawinan
dalam Islam Termasuk rela sama rela, tidak boleh karena
terpaksa, karena bila dipaksa akan membuat anak tertekan,
tersiksa dan menderita seumur hidup karena perkawinan yang
tidak rela sama rela akan menimbulkan khiyanat antara satu
sama lain dalam keluarganya, hal itu akan mendatangkan
fitnah dan membuat murka Allah Subhanahu wata’ala,
33
makanya Allah selalu menyuruh memilih pasangan hidup yang
cocok, Firman Allah Subhanahu wata’ala :
: اىضاء()
Artinya : Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi (QS. An-Nisa [4] : 3)41
3. Asas Nikah untuk Selamanya
Tujuan perkawinan adalah dalam rangka terwujudnya
keluarga bahagia dalam kehidupan yang tenang, tentram
(sakinah) berdasarkan kasih sayang.
Firman Allah Subhanahu wata’ala :
: اىش()
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir. (QS. Ar-Rum [30] : 21).42
41
Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hal. 99 42
Ibid, Hal. 572
34
Berdasarkan ayat tersebut jelas perkawinan bertujuan
untuk selamanya, karena kalau dalam perkawinanya bisa
bahagia pasti merasa tentram, kalau merasa tentram pasti bisa
selamanya, dengan prinsip nikah untuk selamanya, maka
dalam perkawinan terdapat tiga larangan, 1) membatasi waktu
perkawinan, 2) nikah mut’ah, 3) nikah muhallil.
a. Adapun larangan membatasi waktu perkawinan. Suatu
perkawinan tidak boleh dibatasi waktunya, oleh sebab itu
dalam akad nikah tidak dibenarkan ada pernyataan tentang
batasan nikah.
b. Larangan nikah mut‟ah. Nikah mut‟ah adalah nikah yang
dilakukan untuk sekedar bersenang-senang, yaitu nikah
yang ditentukan untuk waktu tertentu, atau untuk sementara
yang sewaktu-waktu boleh diputuskan (cerai).
c. Larangan nikah muhallil. Nikah muhallil adalah nikah yang
dilakukan seseorang dengan wanita mantan istri yang telah
dijatuhi talak tiga, yang pernah dinikahi orang lain dan
diceraikan pula. Nikah muhallil ini dilarang karena terdapat
unsur kesengajaan dari mantan suami, yang kedua untuk
melakukan perkawinan yang sifatnya sementara dengan
maksud, karena permitaan bekas suami yang pertama agar
dapat menikahinya kembali.43
Tiga larangan tersebut bertujuan agar perkawinan kekal
abadi, harmonis, saling sayang menyayangi, kasih mengasihi
antara satu sama lain, sehingga tercipta perkawinan yang baik
untuk selama-lamanya karena perkawin untuk selamanya
43
HAL. E. Hasan Saleh (Editor), Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kntemporer, (Jakarta,
PT. Raja Grafindo Persada, 208), hal. 316-317
35
merupakan perintah Allah dan Rasul-nya, maka bila kita
berpedoman kepada perkawinan Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam beliau tidak pernah bererai dengan istri-istrinya
walaupun Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pernah
rumah tangganya digoncang oleh issu yang tidak bertanggung
jawab yaitu antara Nabi dengan istrinya „Aisyah yang terkenal
dengan haditsul ifki, namun Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam tetap dapat mempertahankan keluarganya itu sampai
akhir hayatnya.
4. Asas Monogami
Ketentuan hukum Islam yang membenarkan seorang
laki-laki boleh menikah lebih dari pada seorang wanita, hal ini
bukanlah hal yang mudah dan bukan pula maksud yang
dikehendaki firman Allah dalam surah An-Nisa ayat 3.
: النساء()
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku
adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-
36
budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-
Nisa [4] : 3).44
Mengingat kalimat sebelumnya adalah menyangkut
nasib anak-anak yatim, dan itulah maksud sebenarnya yaitu
menjaga dan memelihara anak yatim secara benar, tidak boleh
disia-siakan, karena merupakan kewajiban setiap muslim
untuk memelihara anak yatim dengan sebaik-baiknya, dan di
samping itu melihat dari asbabun nuzul dari QS. An-Nisa ayat
3 tersebut sebagai berikut :
„Aisyah r.a menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan
berkenaan dengan seorang laki-laki yang suatu ketika
menguasai anak yatim yang kemudian dinikahinya, lalu ia
mengadakan perserikatan harta untuk berdagang dengan
wanita yatim yang menjadi tanggungannya itu, karena itu di
dalam pernikahan ia tidak mamberi apa-apa dan menguasai
seluruh harta perserikatan itu, hingga wanita itu tidak
mempunyai kuasa apapun (HR. Bukhari).45
Melihat dari asbabun nuzul ini berarti seorang laki-laki
menikahi lebih dari seorang wanita bukanlah maksud yang
sebenarnya, tapi ayat tersebut lebih untuk menjaga dan
memelihara harta anak yatim untuk itu dalam pernikahan
adalah mempunyai prinsip monogami demi kesejahteraan
keluarga dan demi terjaganya keharmonisan rumah tangga.
44
Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta, Departemen
Agama RI, 2008), hal.90 45
Ahmad Hatta, Tafsir Al-Qur’an Perkata Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan
Terjemah, hal.77
37
Jadi poligami tidaklah mempunyai prinsip pernikahan dalam
islam tapi hanya sekedar menyelamatkan anak yatim, itupun
bila sanggup berlaku adil.
5. Asas Suami sebagai Penanggungjawab Keluarga
Asas dalam perkawinan adalah bahwa laki-lakilah yang
bertanggungjawab, yang wajib untuk mencukupi kebutuhan
keluarga (istri dan anak), firman Allah Subhanahu wata’ala.
النساء(
:)
Artinya : kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang
lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu
Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah
lagi memelihara. (QS. An-Nisa [4] : 34).46
Ayat ini menunjukan bahwa suami mempunyai
kedudukan yang lebih dari pada istri, karena suami adalah
penanggung jawab bagi keluarga di dalam pencari nafkah
sekaligus berkewajiban melindungi istri dan anak-anaknya,
maka walaupun istri lebih tinggi jabatan dalam pekerjaan
46
Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta, Departemen
Agama RI, 2008), hal.108
38
namun dalam rumah tangga ia mempunyai kewajiban menjaga
harta dalam rumah tangganya, dan mempunyai tugas untuk
mendidik anak-anaknya agar menjadi anak yag baik, namun
secara keseluruhan suamilah yang bertanggung jawab untuk
memberikan keamanan dan kenyamanan terhadap keluarga,
dan antara suami dan istri sama-sama mempunyai bagian
dalam urusan rumah tangga sesuai kodrat masing-masing dan
sesuai dengan ilmu yang mereka peroleh. Firman Allah dalam
surah Al-Nisa ayat 32.
: اىضاء()
Artinya : Bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa
yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun)
ada bahagian dari apa yang mereka usahakan. (QS.
An-Nisa‟ [4] : 32).47
Berdasarkan ayat ini ada bagian-bagian masing-masing,
yaitu sebagai seorang suami mempunyai tanggung jawab
tentang sandang, pangan, papan dan kenyamanan, sedangkan
si istri mempunyai tanggung jawab dalam mengurus rumah
dan harta suaminya serta mempunyai kewajiban untuk
memberikan pendidikan terhadap anak-anaknya, namun
prinsip ini adalah prinsip tanggung jawab suami dalam rumah
tangga sebagai kepala dalam rumah tangganya.
47
Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta, Departemen
Agama RI, 2008), hal.108
39
Wali dalam Perkawinan
Sebelum penulis menguraikan tentang pengertian,
syarat-syarat dan macam-macam wali nikah serta urutannya ada
baiknya penulis memberikan gambaran umum tentang Jambi
Timur sebagai lokasi penelitian dalam menghimpun data yang
akurat untuk penyusunan tesis ini.
Kecamatan Jambi Timur merupakan salah satu
kecamatan dari 8 (delapan) kecamatan yang ada di wilayah Kota
Jambi, dengan luas wilayah 20.21 km2 yang terletak kurang lebih
15 mil dari permukaan laut (sungai Batang Hari), dengan jumlah
penduduk sebanyak 94.593 jiwa yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, dengan perincian ; penduduk muslim berjumlah
80.571 jiwa, sedangkan penduduk non muslim berjumlah 14.002
jiwa yang terdiri dari 10 kelurahan 217 RT dengan perincian
sebagai berikut :
1. Kelurahan Sijenjang
2. Kelurahan Kasang Pudak
3. Kelurahan Talang Banjar
4. Kelurahan Budiman
5. Kelurahan Sulanjana
6. Kelurahan Kasang
7. Kelurahan Tanjung Pinang
8. Kelurahan Rajawali
9. Kelurahan Payo Selincah
10. Kelurahan Tanjung Sari
Jika melihat kepada luas wilayah dan jumlah kelurahan
yang ada maka dapat diketahui bahwa Kecamatan Jambi Timur
40
merupakan salah satu kecamatan di Kota Jambi yang cukup luas
wilayahnya dan beragam agama yang dianut, sebagaimana dalam
tabel berikut ini.
Tabel. 1 Potensi Penduduk
No Kelurahan Jumlah Penduduk Jumlah Ket
RT KK LK Pr
1 Sijenjang 8 775 2.200 2.101 4.301
2 Kasang Jaya 14 1.413 3.547 3.600 7.147
3 Talang Banjar 35 2.146 8.719 8.500 19.200
4 Budiman 20 1.153 2.712 2.900 5.612
5 Sulanjana 16 2.653 2.555 2.800 5.355
6 Kasang 13 1.356 3.400 3.109 6.509
7 Tanjung Pinang 33 2.911 7.506 7.500 15.006
8 Rajawali 25 1.971 4.983 4.683 9.683
9 Payo Selincah 29 2.330 6.700 6.618 13.318
10 Tanjung Sari 24 1.669 4.262 4.200 8.462
Jumlah 217 18.368 46.284 45.011 94.593
Tabel. 2 Potensi Umat Beragama
No Kelurahan Umat Beragama
Jlh Islam Katholik Protestan Hindu Budha Konghucu
1 Sijenjang 3.437 202 68 39 27 528 4.301
2 Kasang Jaya 6.638 171 251 30 36 20 7.147
3 Talang Banjar 17.219 435 309 400 350 487 19.200
4 Budiman 4.519 106 95 47 605 240 5.612
5 Sulanjana 3.594 844 38 309 490 80 5.355
6 Kasang 5.024 816 235 198 225 11 6.509
7 Tanjung Pinang 12.909 400 400 194 103 1000 15.006
8 Rajawali 8.049 210 330 330 348 194 9.683
9 Payo Selincah 11.128 334 329 329 349 581 13.318
10 Tanjung Sari 8.054 97 102 102 103 20 8.462
Jumlah 80.571 3.616 2.631 1.978 2.636 3.161 94.593
41
Inilah gambaran umum wilayah Jambi Timur sebagai
lokasi penelitian yang berhubungan dengan penyusunan tesis ini
dan dibutuhkan untuk tempat pengambilan data-data, seterusnya
penulis uraikan :
A. Pengertian, Syarat-syarat dan Macam-macam Wali Nikah
serta Urutannya.
Dalam pembahasan ini, ada tiga hal yang akan penulis
jelaskan. Pertama penulis akan membahas tentang pengertian
wali, dan yang kedua penulis akan membahas tentang syarat-
syarat, serta yang ketiga penulis akan membahas tentang macam-
macam wali nikah serta urutannya, sebagaimana berikut ini.
1. Pengertian Wali
Secara etimologi kata „wali‟ berasal dari Bahasa Arab
yang bermakna pelindung atau penolong.48
Dalam fiqh kata
wilayah (الح) digunakan sebagai wewenang seseorang untuk
mengelola harta dan mengayomi seseorang yang belum cakap
bertindak hukum. Istilah wilayah juga dapat berarti hak untuk
menikahkan seseorang perempuan. Hak itu dipegang oleh wali
nikah.49
Dalam Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq menyatakan, bahwa
wali nikah ialah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan
kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya.50
48
Abd bin Nub Oemar Bakriy, Kamus Arab Indonesia-Inggris, (Jakarta; Sumber Mulya,
1974), hal.265 49
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta; PT.Ikhtiar Van Hope, 1996),
hal.1944 50
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung; Al-Ma‟arif, 1986), Jilid 7, hal.11
42
Perwalian terbagi dua yaitu perwalian umum dan
perwalian yang khusus. Yang khusus ialah perwalian manusia
atas manusia dan harta benda. Perwalian atas manusia di sini
ialah perwalian dalam pernikahan.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Peunoh Daly
mengatakan bahwa wali ialah orang-orang yang berhak dan
berkuasa untuk melakukan perbuatan hukum bagi orang yang
berada di bawah perwaliannya menurut ketentuan syari‟at.
Dalam masalah perkawinan, diperlukan wali dari pihak
perempuan sebab perempuan tidak sah melakukan akad
nikah.51
Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa
wali nikah adalah suatu kewenangan yang diberikan oleh
syara‟ kepada seorang laki-laki yang cakap untuk menjadi
wakil dari calon mempelai perempuan karena ia dianggap
tidak cakap dalam masalah perkawinan.
Di samping itu beragam pula pendapat ulama tentang
kedudukan wali dalam perkawinan. Apakah wali itu termasuk
rukun perkawinan sehingga perkawin yang tidak dihadiri oleh
wali menjadi perkawinannya tidak sah, atau hanya sebuah
syarat nikah sehingga apabila syarat yang dibutuhkan
terpenuhi, seorang perempuan yang baligh dan berakal bisa
menikahkan dirinya.
Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa wali adalah
rukun nikah. Pendapat ini didukung oleh Imam Syafi‟i, Maliki
dan Hambali. Mereka berpendapat bahwa apabila seorang
perempuan yang baligh, berakal sehat serta masih gadis
51
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta; Bulan Bintang, 1996), hal.134
43
hendak menikah, maka hak mengawinkan dirinya ada pada
wali. Apabila ia janda maka hak itu ada pada keduanya, wali
tidak boleh mengawinkan janda tersebut tanpa persetujuannya.
Sebaliknya perempuan tersebut tidak boleh mengawinkan
dirinya tanpa restu dari sang wali. Akad yang diucapkan oleh
perempuan tersebut tidak berlaku sama sekali, walaupun akad
itu sendiri memerlukan persetujuan.52
Hanya saja Imam Malik berpendapat bahwa wali hanya
disyaratkan untuk pernikahan bangsawan, ia tidak disyaratkan
untuk pernikahan perempuan kebanyakan mengapa? Karena
malik berpegang pada mashalih mursalah, bahwa seorang
bangsawan saat itu akan merasa malu dan memandang aib
besar bila anak perempuannya menikah dengan laki-laki
kebanyakan.53
Orang-orang yang mensyaratkan wali untuk
melangsungkan perkawinan mengambil dalil dari Al-Qur‟an,
As-Sunnah dan Logika. Adapun dalil-dalil dari Al-Qur‟an
firman Allah Subhanahu wata’ala dalam :
a. QS. An-Nur [24] : 32
( )اىش :
52
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta; Lentera Basritama,
1996), hal.345 53
Haramein,K edudukan Wali Dalam Pernikahan, Majalah Paras, Edisi Khusus No.28,
(2006), hal.56
44
Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian
diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.(QS. An-Nur
[24] : 32).54
b. QS. Al-Baqarah ayat 221
: البقره( )
Artinya : dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman... (QS. Al-Baqarah
[2] : 221).55
c. QS. Al-Baqarah ayat 232
: البقره( )
54
Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta, Departemen
Agama RI, 2008), hal. 494 55
Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta, Departemen
Agama RI, 2008), hal.43
45
Artinya : Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis
masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara
mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang
dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu
lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui.(QS. Al-Baqarah [2]
: 232).56
Cara pengambilan dalil dengan dua ayat pertama ialah
bahwa khitab pada ayat tersebut ditujukan kepada wali, maka
ayat itu menunjukan bahwa perkawinan itu diserahkan kepada
mereka bukan kepada perempuan calon pengantin. Jalan
mengambil dalil dari ayat ketiga ialah bahwa ayat tersebut
melarang wali mencegah perempuan kawin dengan pria yang
mereka pilih sebagai calon suami. Dan pencegahan hanya
dapat terjadi dari orang yang dalam tangannya terletak sesuatu
hak, maka ayat itu menunjukan bahwa akad nikah berada di
tangan wali bukan di tangan perempuan.
Pendapat itu diperkuat oleh hadits yang datang mengenai
sebab, turunanya ayat tersebut (Al-Baqorah[2]: 232). Imam
Bukhari telah meriwayatkan dalam Shahihnya, juga Abu Daud
dan Tirmidzi telah menshahihkannya. “Ma‟qil bin Yasar
menceritakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan dirinya
katanya, „saya menikahkan seorang saudara perempuan saya
56
Anonim, Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta, Departemen
Agama RI, 2008), hal. 46-47
46
dengan seorang pria, kemudian ia menceritakannya. Ketika
iddahnya habis, ia datang lagi untuk meminangnya, maka saya
menjawab, „Dulu kamu saya jodohkan, saya nikahkan dan
saya muliakan. Tapi kemudian kamu menceraikan dan kini
kamu datang untuk meminangnya lagi. Demi Allah! Kamu
tidak dapat kembali lagi padanya untuk selama-lamanya.
Lelaki ini orangnya biasa saja tetapi bekas isterinya ingin
kembali kepadanya. Lalu Allah Subhanahu wata’ala
menurunkan surat Al-Baqarah ayat 232. Kemudian saya
berkata, sekarang saya menerima ya Rasulullah dengan
ucapannya ... maka aku nikahkan saudaraku itu kepadanya.
Al-Hafizh dalam Fathul Bari berkata, sebab turunya ayat
tersebut yang paling tepat adalah karena riwayat ini dan
sekaligus merupakan alasan yang kuat tentang hukum wali,
karena kalau perempuan boleh mengawinkan dirinya sendiri
tentu ia tidak perlu kepada saudara laki-lakinya tersebut.
Sebab barang siapa yang perkarannya menjadi kekuasaannya
sendiri, tentu tidak akan dikatakan kepada orang lain
„menghalang-halangi‟ jika memang tidak setuju pada
tindakannya.
Adapun dalil-dalil dari sunnah :
a. Hadits dari Abi Burdah yang berbunyi :
ت ى )سا ع أت تشدج أ اىث صي هللا عي صي قا ه النا ح إال
أتداد(
47
Artinya : Dari Abu Burdah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Tidak sah nikah tanpa seorang
wali”. (HR. Abu Daud).57
Hadits ini telah dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-
Hakim. Al-„Hakim menyebutkan banyak jalan bagi hadits itu
dan dia berkata, “Telah saya shahihkan riwayat tentangnya
dari isteri-isteri Nabi Shallallahu’alaihi wasallam, Aisyah,
Ummu Salamah dan Zainab binti Jahasyi. Kemudian dia
memaparkan genap 30 sahabat nabi, mereka mengatakan
dengan tegas bahwa tidak sah nikah tanpa wali.”
b. Hadits dari Aisyah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
عائشح قاىد : قاه سصه هللا صي هللا عي صي ع
نذد تغشإر اىا، فنا دا تاطو، ثالز أااشأج
ىشىاتاأصاب افإ شاخ، فإ دخو ا فا
(اثرجاسافاىضيطا ى الىاىا )سا أتداد
Artinya : Dari Aisyah ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Siapapun perempuan
yang menikah tanpa izin wali maka nikahnya itu batal
(diucapkan tiga kali), jika suaminya menggaulinya
maka maharnya adalah untuknya (si perempuan),
karena apa yang diperolehkan daripadanya kemudian
apabila mereka bertengkar, maka penguasa menjadi
57
Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, hal.229
48
wali bagi orang yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu
Daud).58
c. Hadits yang berasal dari Abu Hurairah :
ع أت ششجقاه : قاه سصه هللا صي هللا عي صي :
اىزا ج اىشأجفضا، فإ ج اىشأجاىشأج، الذز ح الذز
ج فضا )سا ات اجح ف صذخ اىجاع(اىر ذز
Artinya : Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Telah bersabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Wanita
tidak dapat mengawinkan wanita dan dia tidak dapat
mengawinkan dirinya sendiri, Maka sesungguhnya
wanita pezinalah yang mengawinkan dirinya”. (HR.
Ibnu Majah).59
Adapun dalil menurut logika sebagaimana dijelaskan
berikut ini:
a. Menurut Syaikh Mahmud Syaltut, Pernikahan itu mempunyai
beberapa tujuan. Sedangkan perempuan biasanya suka
dipengaruhi oleh perasaannya. Oleh karena itu dia tidak pandai
memilih sehingga tidak dapat memperoleh tujuan-tujuan
utama dalam pernikahan itu. Dalam pada itu dia tidak boleh
mengurus langsung akadnya, tetapi hendaknya diserahkan
kepada walinya agar tujuan pernikahan itu benar-benar
tercapai dengan sempurna.60
58
Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, hal.229 59
Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut; Dar Al-Filer, t.th), Jilid I, hal.601 60
Syaikh Mahmud Syaltut, Perbandingan Mazhab Masalah Fiqh, (Jakarta; Bulan
Bintang, 1973 M), hal.122
49
b. Mahmud Yunus menjelaskan, bahwa perlunya wali dalam
pernikahan adalah karena agama. Islam mementingkan adanya
perhubungan antara anak dengan orang tuanya harus tetap
dijaga dengan baik. Oleh karena itu, seorang anak perempuan
bila hendak menikah dengan seorang laki-laki haruslah dengan
perantara orang tuanya (wali), dan dengan persetujuan kedua-
duanya ( anak dan orangtua ) supaya rumah tangga yang
didirikan oleh mereka tetap berhubungan dengan baik dengan
rumah tangga orangtuanya. Karena itu sudah sepantasnya
urusan pernikahan itu diserahkan ke tangan wali dengan tidak
melupakan persetujuan (izin) putrinya.61
Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa wali hanyalah
syarat dalam sebuah pernikahan. Pendapat ini di dukung oleh
Imam Abu Hanifah, menurutnya perempuan yang telah baligh
dan berakal sehat boleh memilih sendiri suaminya, dan boleh
pula menikahkan dirinya sendiri atau mewakilkan kepada
orang lain. Namun apabila seorang perempuan menikah
dengan seorang laki-laki yang tidak sekufu maka pihak wali
boleh menolak.
Menurut Mazhab Hanafi, wali menjadi syarat sah nikah
hanya bagi pernikahan anak yang masih kecil baik laki-laki
maupun perempuan, juga bagi pernikahan orang gila atau
budak. Kedudukannya adalah bagi perempuan yang sudah
dewasa lagi sehat akalnya hanyalah sebagai penyempurna.
Sebab perempuan itu sendiri sah melakukan akad nikahnya
61
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta; Pustaka Mahmudin,
1956), hal. 24-25
50
untuk dirinya sendiri atau mengangkat orang lain sebagai
walinya untuk mengakadnikahkan dirinya.
Hanafi dan ulama yang memperbolehkan seorang
perempuan mengangkat orang lain menjadi wali, atau
mewakilkan dirinya sendiri berargumen dengan Al-Qur‟an,
As-Sunnah dan logika.
Argumen dari dalil Al-Qur‟an :
1. Surah Al-Baqarah ayat 230
...
()البقرة :
Artinya : kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah
Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi
halal baginya hingga Dia kawin dengan suami
yang lain.... (QS. Al-Baqarah [2] : 230)
51
2. Surah Al-Baqarah ayat 232
: البقرة()
Artinya : Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis
masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara
mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang
dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu
lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.(QS.
Al-Baqarah [2] : 232)
3. Surah Al-Baqarah ayat 234
()البقرة :
52
Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu
dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para
isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat
bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis
'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang
kamu perbuat.(QS.Al-Baqarah [2] : 234)
Kata-kata yankihna dan tankiha pada surah Al-Baqarah
ayat 230-232 di atas bermakna menikah, di sini pelakunya
adalah perempuan bekas isteri itu tadi, pekerjaan mana yang
dalam isnad hakiki (riwayat) semestinya dikerjakan langsung
oleh pelaku aslinya, tegasnya tidak dikerjakan orang lain
sebagaimana halnya pada isnad majazi (kiasan), demikian pula
dilihat dalam surah Al-Baqarah ayat 234 terdapat kata kerja
fa’alna mengerjakan atau perbuatan pelakunya adalah wanita
perempuan yang kematian suami.62
Adapun argumen dari dalil As-Sunnah dari hadits yang
berasal dari Abdullah bin Fadhl yang berbunyi:
تفضا ىا ع عثذهللا ت اىفضو : اىثة أدق
اىثنشضرأ شاأتا )سا أتداد(
Artinya : Dari Abdullah bin Fadhl : “Seorang janda lebih
berhak atas dirinya sendiri daripada walinya.
Sedangkan gadis dimintai izin akan dia oleh
bapaknya”. (HR. Abu Daud).63
62
M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Hukum Acara Perdata PA dan Hukum
Perkawinan Islam, (Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada, 1985), hal.218 63
Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, hal.232-233
53
Hadits di atas memberikan gambaran terhadap seorang
perempuan hak atas dirinya dan menapikan orang lain
mengenai urusan nikahnya, menurut umumnya mencakup apa
yang berhubungan dengan calon suami dan apa yang
berhubungan dengan akad, adapun perempuan perawan
(gadis), karena melihat dari segi ia tidak jinak dengan laki-laki
dan biasanya malu menegaskan kerelaannya, lebih-lebih
bertindak langsung mengenai akad, maka syara‟ mencukupkan
dengan sesuatu yang menunjukan kerelaannya untuk memberi
keringanan baginya, hadits di atas bahkan tidak menunjukan
tidak sah akad yang dilakukan oleh perawan, tetapi yang dapat
diambil dari hadits ini ialah bahwa izinnya itu cukup dengan
menunjukan sesuatu kerelaannya untuk dinikahkan, karena
diperhitungkan ia masih malu, maka berdasarkan hadits ini,
tidak ada jalan bagi pendapat mereka mengambil dalil bahwa
si perempuan tidak mempunyai hak kecuali memberi izin
mengenai nikahnya.
Adapun argumen dari dalil logika ialah, rasio
menetapkan bahwa setiap orang mempunyai kebebasan penuh
dalam bertindak dan tidak seorangpun baik yang memiliki
hubungan kekerabatan dekat maupun jauh yang punya
kekuasaan untuk memaksanya.64
Disyaratkan adanya wali bagi wanita. Islam
mensyaratkan adanya wali bagi wanita sebagai penghormatan
bagi wanita, memuliakan dan menjaga masa depan mereka.
Walinya lebih mengetahui daripada wanita tersebut. Jadi bagi
wanita, wajib ada wali yang membimbing urusannya,
64
Syaikh Mahmud Syaltut, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqh, hal.346
54
mengurus akad nikahnya.tidak boleh bagi seorang wanita
menikah tanpa wali, dan apabila ini terjadi maka tidak sah
pernikahannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi walasam bersabda :
ع عائشح قاىد : قاه سصه هللا صي هللا عي صي "
شأج نذد تغشإر اىا، فناداتاطو، ثالز شاخ، أاا
فإ دخو ا فاىشىاتاأصا ب ا فإ ثرجاسافاىشيطاى
)سا أتداد( الى ىا
Artinya : Dari Aisyah ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “siapapun perempuan
yang menikah tanpa izin wali maka nikahnya itu batal
(diucapkan tiga kali), jika suamniya menggaulinya
maka maharnya adalah untuknya (si perempuan),
karena apa yang diperolehkan daripadanya kemudian
apabila mereka bertengkar, maka penguasa menjadi
wali bagi orang yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu
Daud).65
Hadits di atas merupakan hujjah yang kuat tentang wali
merupakan rukun nikah. Oleh karena itu, wanita tidak boleh
menikahkan dirinya sendiri. Banyak ulama yang menegaskan
dengan adanya wali. Sebagaimana dikutip oleh Yazid bin
Abdul Qadir Jawas dalam artikelnya yang berjudul, Aqad
Nikah diantaranya adalah :66
65
Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, hal.229 66
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Aqad Nikah, www.islamic-wedding.com, 3 februari
2009
55
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama
berselisih tentang disyaratkannya wali dalam pernikahan.
Jumhur ulama berpendapat demikian. Mereka berpendapat
bahwa pada prinsipnya wanita tidak dapat menikahkan dirinya
sendiri. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang telah
disebutkan di atas tentang perwalian. Jika tidak, niscaya
penolakannya (untuk menikahkan wanita yang berada di
bawah perwaliannya) tidak ada artinya. Seandainya wanita tadi
mempunyai hak menikahkan dirinya, niscaya ia tidak
membutuhkan saudara laki-lakinya. Ibnu Mundzir
menyebutkan bahwa tidak ada seorang sahabat pun yang
berselisih tentang hal itu.
Imam asy-Syafi‟i rahimahullah berkata, “siapa pun
wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka tidak ada nikah
baginya (tidak sah). Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam
bersabda, maka nikahnya bathil (tidak sah).”
Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Tidak halal
bagi wanita untuk menikah, baik janda maupun gadis,
melainkan dengan izin walinya: ayahnya, saudara laki-lakinya,
kakeknya, pamanya, atau anak laki-laki pamannya...”
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Nikah
tidak sah kecuali dengan wali. Wanita tidak berhak
menikahkan dirinya sendiri, tidak pula selain (wali)nya. Juga
tidak boleh mewakilkannya, maka nikahnya tidak sah.
Menurut Abu Hanifah, wanita boleh melakukannya. Akan
tetapi kita memiliki dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasalam bersabda,الناح إالتى Pernikahan tidak sah,
melainkan dengan adanya wali.
56
Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang
kebolehan seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri
akan tetapi hampir disepakati, bahwa sebaiknya perempuan
harus dinikahkan oleh seorang wali nikah baginya, karena adat
kebiasaan yang baik dan sesuatu yang pantas bagi perempuan
seperti tidak keluar dari adat kebiasaannya adalah hal yang
dipandang baik, apalagi perempuan fitrahnya adalah pemalu,
lebih baik dia menguasakan akad nikahnya kepada seorang
wali demi menjaga pandangan yang kurang wajar dari pihak
pria asing, seandainya ia sendiri yang melangsungkan akad
nikahnya. Apalagi nyata-nyata ada hadits yang menyatakan
bahwa nikah tidak sah tanpa adanya wali. Hal ini yang
seharusnya menjadi pegangan dan ia merupakan pendapat
mayoritas ulama.
57
Syarat-Syarat Wali
Pada pasal 20 Kompilasi Hukum Islam menetapkan
bahwa yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-
laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, aqil
dan baligh.67
Syarat pertama menjadi wali nikah ialah laki-laki
merupakan syarat perwalian, karena laki-laki dianggap lebih
sempurna. Sedangkan perempuan dianggap mempunyai
kekurangan, perempuan dianggap tidak sanggup mewakili
dirinya sendiri, apalagi mewakili orang lain.68
Dengan demikian menurut pasal 20 Kompilasi Hukum
Islam seorang perempuan tidak bisa menjadi wali nikah dan ia
tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri atau orang lain,
seandainya terjadi perkawinan diman ia mewakilkan dirinya
sendiri, maka pernikahan tersebut menurut undang-undang
perkawinan dianggap tidak sah. Kompilasi Hukum Islam
dalam hal ini cenderung kepada pendapat para ulama yang
mengatakan bahwa perempuan tidak bisa menjadi wali nikah
berdasarkan.
1) Firman Allah Subhanahu wata‟ala :
(اىس : (Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian
diantara kamu, dan orang-orang yang layak 67
Anonim, Kompilasi Hukum Islam, hal.20 68
Syekh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, 2003), hal.59
58
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. An-
Nur [24] : 32)
2) Firman Allah Subhanahu wata‟ala :
... : اىثقشج()
Artinya : Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman.... (QS. Al-
Baqarah [2] : 221)
Kedua ayat tersebut pada dasarnya menyatakan bahwa
Allah menyerahkan perkara pernikahan kepada pihak pria dan
bukan kepada pihak perempuan. Syarat kelaki-lakian itu
dipegang oleh tiga fuqoha mazhab klasik kecuali Hanafi.
Fuqoha modern seperti Wahbah Zuhaili, juga mensyaratkan
laki-laki menjadi wali, berbeda dengan Wahbah Zuhaili, yaitu
Sayyid Sabiq tidak menyertakan laki-laki dalam persyaratan
wali, menurutnya yang termasuk syarat wali adalah beraqal,
dewasa, merdeka dan islam, dan tidak ditemukan dalam
pendapat mereka wali nikah yang harus ada hubungan nasab
atau wali hakim tapi beraqal, dewasa, merdeka.
Sementara dalam surah Al-Baqarah ayat 221 dan surah
An-Nur ayat 32, Said Syabiq berpendapat bahwa ayat ini
secara ekplisit tidak pernah menyinggung ketidakbolehan wali
muhakkam menjadi wali dalam pernikahan, dalam kedua ayat
59
tersebut hanya ada perintah mengawinkan, tetapi yang
diperintahkan tidak hanya wali nasab dan wali hakim. Ayat
tersebut merupakan bentuk perintah yang mengarah kepada
laki-laki, namun ini sangat erat hubunganya dengan budaya
masyarakat setempat. Turunya ayat ini memang menganut
pola kepemimpinan laki-laki, maka dalam situasi ketika laki-
laki bisa menjadi pemimpin, seharusnya ayat tersebut bisa
ditafsirkan lain dalam arti yang lebih luas.
Jadi menurut penulis dapat disimpulkan, bahwa tidak
ada satu ayat pun yang menunjukan kepastian dasar hukum
yang mensyaratkan bahwa seorang wali haruslah dari wali
nasab atau wali hakim, hanya didasarkan pada ayat-ayat yang
mengandung kemungkinan makna yang demikian.
Syarat kedua menjadi wali nikah adalah beragama Islam.
Jika memang yang diperlukan wali itu beragama Islam,
memang yang bukan Islam tidak boleh menjadi wali bagi umat
Islam. Firman Allah.
اىضاء (
: )
Artinya : Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan
kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-
orang yang beriman.(QS. An-Nisa‟ [4] : 141).
Imam Ahmad menyebutkan kami mendengar Ali pernah
membolehkan pernikahan dimana yang menjadi wali
60
seseorang laki-laki muslim dan menolak pernikahan dimana
seorang ayah yang menjadi walinya adalah seorang Nasrani.
Dari ayat tersebut diatas juga dijelaskan syarat yang
kedua ini adalah seorang muslim tidak dikhususkan yang
menjadi wali nikah itu haruslah yang terdiri dari wali nasab
atau wali hakim tapi yang jelas dengan syarat beragama Islam.
Syarat ketiga adalah aqil atau berakal, perwalian
ditetapkan untuk membantu ketidakmampuan orang yang
menjadi objek perwalian dalam mengekspresikan dirinya,
sedangkan orang yang tidak berakal sehat dipastikan tidak
akan mampu melakukannya dan tidak dapat mewakili orang
lain. Merujuk pada penjelasan diatas, secara tersurat dapat
disimpulkan bahwa: orang gila, anak kecil, bahkan orang yang
pikun karena usia tua tidak dapat menjadi wali, karena orang-
orang tersebut tidak berhak mewalikan dirinya sendiri apalagi
terhadap orang lain.
Syarat ke empat baligh. Baligh merupakan syarat bisa
menjadi wali menuru mazhab Hambali. Imam Ahmad
mengemukakan seorang anak tidak boleh menikahkan seorang
perempuan hingga ia mimpi, karena ia tidak mempunyai
kekuasaan untuk itu. Pada riwayat yang lain Imam Ahmad
juga mengatakan bahwa jika seorang anak telah menginjak
usia sepuluh tahun, maka ia boleh menikahkan dan menikah
serta boleh menceraikan, yang menjadi dasarnya adalah bahwa
anak terseut dibenarkan untuk melakukan transaksi jual beli,
berwasiat dan menceraikan sehingga ditetapkan baginya hak
perwalian sebagaimana haknya anak yang sudah baligh.69
69
Syekh Ayyub, Fikkih Keluarga, hal.59
61
Yang pertama adalah pendapat Abu Bakar, dan inilah
pendapat yang paling kuat karena perwalian terkait tindakan
terhadap orang lain, sedangkan anak yang masih kecil berada
di bawah kekuasaan walinya karena ketidakmampuannya
dalam bertindak dan berbuat.
Dari hal-hal yang telah dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa syarat-syarat menjadi wali nikah menurut
Kompilasi Hukum Islam adalah laki-laki, muslim, baligh, dan
berakal, persyaratan wali ditetapkan untuk membantu
ketidakmampuan orang yang menjadi objek perwalian dalam
mengekspresikan diri.
62
Macam-macam Wali Nikah serta Urutannya
Pernikahan harus dilangsungkan dengan wali, apabila
dilangsungkan tidak dengan wali atau yang menjadi wali
bukan yang berhak maka pernikahan tersebut tidak sah.
Adapun wali nikah itu ada tiga yaitu wali nasab, wali
hakim dan wali muhakkam.70
Tetapi dalam fiqih munakahat
kajian fiqih nikah lengkap, menurut Prof Dr. HMA Tihami,
MA, MM dan Drs. Sohari Sahrani MM. MH menyatakan
bahwa macam-macam wali dalam pernikahan ada empat
macam yaitu wali nasab, wali hakim (Sulthan), wali
muhakkam dan wali maula.71
a. Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga
calon mempelai wanita, orang-orang tersebut adalah
keluarga dari calon mempelai wanita yang berhak menjadi
wali menurut urutan sebagai berikut :
1) Pria yang menurunkan calon mempelai wanita dari
keturunan pria murni (yang berarti dalam garis keturunan
itu tidak ada perhubungan yang wanita), yaitu :
a) Ayah
b) Ayah dari ayah
c) Dan seterusnya ke atas.
Ayah dari ibu atau ayah dari ibu si ayah tidak berhak
menjadi wali, karena dalam garis keturuna itu terdapat
70
Anonim, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, hal.32 71
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta; Pt.Raja Grafindo
Persada, 2009), hal.59
63
penghubung wanita, yang berarti garis keturunan sudah
tidak murni lagi dengan terdapat jenis wanita sebagai
penghubung dalam garis keturunan itu.
2) Pria keturunan dari ayah mempelai wanita dalam garis pria
murni, yaitu:
a) Saudara kandung
b) Saudara seayah
c) Anak dari saudara kandung
d) Dan seterusnya ke bawah
Saudara seibu, anak saudara wanitanya atau anak dari
wanita saudara pria tidak berhak menjadi wali karena dalam
garis keturunannya terdapat perhubung wanita (garis yang
menghubungkannya melalui wanita).
3) Pria keturunan dari ayahnya dalam garis pria murni, yaitu:
a) Saudara kandung dari ayah
b) Saudara sebapak dari ayah
c) Anak dari saudara seayah
d) Dan seterusnya ke bawah
Saudara seibu dari ayah, anak saudara wanita dari ayah
atau dari anak wanita si ayah tidak berhak menjadi wali
karena dalam garis keturunan itu terdapat penghubung
wanita.
Apabila wali tersebut di atas tidak beragama Islam
sedangkan calon mempelai wanita beragama Islam atau
wali-wali di atas belum baligh atau tidak berakal, atau
rusak pikirannya atau bisu tidak bisa diajak bicara dengan
isyarat dan tidak bisa menulis maka yang menjadi wali
pernikahan adalah wali berikutnya.
64
Sedangkan calon mempelai wanita yang sudah tidak
mempunyai ayah atau kakek lagi, sedangkan saudara-
saudaranya ada tapi belum ada yang baligh dan tidak pula
mempunyai wali yang terdiri dari keturunan ayah (misalnya
keponakan), maka yang berhak menjadi wali adalah
saudara kandung dari ayah.
b. Wali Hakim
Yang dimaksud dengan wali hakim adalah orang yang
diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam
suatu pernikahan dengan catatan apabila seorang calon
mempelai wanita:
1) Tidak mempunyai wali nasab sama sekali.
2) Wali mafqud, artinya tidak tentu keberadaanya.
3) Walinya sendiri yang akan menjadi mempelai pria.
Sedangkan wali yang sederajat dengannya tidak ada.
4) Wali berada di tempat yang jaraknya sejauh masafatul
qashri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat
qashar), yaitu 92,5 km.
5) Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh
dijumpai.
6) Wali adhal yaitu wali yang tidak bersedia atau menolak
untuk menikahkan.
7) Wali yang sedang melakukan ibadah haji atau umrah.
Maka yang berhak menjadi wali adalah wali hakim,
kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang
lain untuk bertindak sebagai wali dalam hal yang demikian,
orang lain yang diwakilkan itulah yang berhak menjadi wali.
65
Sesuai dengan Peraturan Mentri Agama Nomor 2 Tahun
1987 yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim
adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan.
66
c. Wali Muhakkam
Adapun wali muhakkam disebut juga dengan wali
tahkim (ذذن) yang berarti putusan72
yaitu putusan seseorang
dalam menyelesaikan perselisihan, atau permasalahan bagi
orang-orang yang berselisih atau bermasalah. Berarti wali
tahkim ialah seseorang yang bertindak sebagai pelindung atau
penolong untuk menyelesaikan dua orang atau lebih yang
sedang berselisih atau yang bermasalah dengan putusan yang
baik, termasuk seseorang yang membuat putusan untuk
menikahkan seorang perempuan yang tidak mempunyai wali
dalam perkawinannya.
Menurut Prof Dr. H.M.A Tihami MA, MM dan Drs.
Suhari Sahrani, MM, MH mengatakan bahwa wali tahkim
adalah wali yang diangkat oleh calon suami dan calon istri.
Untuk dapat menjadi wali nikah bagi perempuan yang tidak
mempunyai wali lagi namun di kalangan masyarakat lebih
banyak memakai istilah tahkim untuk menyelesaikan
perselisihan antara suami isteri yang sedang berselisih atau
yang bermasalah, sebagaimana firman Allah Subhanahu
wata’ala dalam Surah An-Nisa‟ ayat 35 :
: اىضاء ( )
72
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhar, Kamus Kontemporer Arab Indonesia,
(Yogyakarta; Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 1998), hal.427
67
Artinya : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan
antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari
keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud
Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. An-Nisa‟ [4] :
35)
Melihat arti dari ayat tersebut adalah untuk
menyelesaikan perselisihan diantara yang sudah menjadi
suami isteri. Adapun asbabun nuzul ayat tersebut diatas adalah
Hasan Radhiyallahu anhu menjelaskan bahwa suatu ketika
seorang wanita mengadu pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam atas perlakuan suaminya yang telah menampar
mukanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda,
suamimu berhak diqishash (dibalas) kemudian turunlah ayat
QS. Annisa‟: 35 ini. Wanita itu pun pulang dan tidak jadi
menuntut qishash suaminya. (HR. Ibnu Abi Hatim)73
Berdasarkan ayat dan asbabun nuzul tersebut di atas
jelaslah bahwa tahkim dengan muhakkam tidak sama
walaupun ada yang berpendapat bahwa wali tahkim adalah
seseorang yang diangkat oleh kedua calon mempelai laki-laki
dan calon mempelai perempuan untuk menjadi wali dalam
perkawinannya. Akan tetapi tahkim dipakai untuk menolong
menyelesaikan perselisihan sepasang suami isteri dengan
putusan yang baik seadil-adilnya.
73
Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Perkata, hal.84
68
Adapun wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat
oleh kedua calon suami isteri untuk bertindak sebagai wali
dalam pernikahan mereka.
Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan
dengan wali hakim. Padahal di tempat itu tidak ada wali
hakimnya, maka pernikahan dilangsungkan dengan wali
muhakkam. Caranya adalah kedua calon mempelai
mengangkat seseorang yang mempunyai pengetahuan tentang
hukum menjadi wali dalam pernikahan mereka.74
Wali muhakkam boleh dilaksanakan apabila :
1) Wali nasab tidak ada.
2) Wali nasab ghaib atau berpergian sejauh masafatul qashri.
3) Tidak ada Qadhi atau Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan
Rujuk di tempat itu.75
d. Wali Maula
Wali maula adalah wali yang menikahkan budaknya
artinya majikan sendiri, laki-laki boleh menikahkan
perempuan yang berada, dalam perwaliannya bilamana
perempuan iru rela menerimanya, maksud perempuan di sini
adalah hamba sahaya yang berada dalam kekuasaan.
Diceritakan dari Said bin Khalid dari Ummu Qais binti
Qaridh ia berkata kepada Abdurrahman bin Auf, “Lebih dari
seorang yang datang meminang saya. Oleh karena itu,
nikahkanlah saya dengan salah seorang yang engkau sukai.
Kemudian Abdurrahman bin Auf bertanya, „Apakah berlaku
74
Anonim, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, hal. 32-35 75
HMA. Tihami dan sohari Sahrani, Fikih Munakahat, hal.99
69
juga bagi saya?” ia menjawab, „Ya‟ kata Abdurrahman. „Kalau
begitu aku nikahkan diri saya dengan kamu.‟76
76
HMA. Tihami dan sohari Sahrani, Fikih Munakahat, hal.99
70
Pengertian Perkawinan dengan Wali Muhakkam
Wali Muhakkam terdiri dari dua suku kata yang pertama
wali, yang kedua muhakkam. Pengertian wali telah diuraikan
secara tegas dan lugas di atas, untuk itu sebelum diuraikan
pengertian dengan wali muhakkam penulis terlebih dahulu
menguraikan tentang pengertian muhakkam, secara etimologi
berasal dari kata Arab dalam bentuk isim mafu’I.
Disebut dalam kamus Al-Munjid, Muhakkam : اىجشب
.ذن77
Di dalam kamus kontemporer Arab Indonesia mujarrab
adalah yang sudah teruji atau yang berpengalaman bearti
muhakkam secara etimologi adalah yang sudah teruji atau yang
berpengalaman.78
Juga di dalam kamus Lisanul Arab disebutkan :
ذن اىز ذن ف فض
Artinya : Muhakkam ialah dia menentukan hukuman sendiri.79
Berarti muhakkam menurut etimologi adalah seseorang
yang menentukan hukuman (ketetapan) sendiri bagi seseorang
yang sudah teruji dan yang berpengalaman.
Adapun pengertian wali muhakkam menurut penulis
adalah seorang yang bertindak sebagai pelindung atau penolong
yang menghukumkan (menetapkan) darinya, karena sudah teruji
atau yang berpengalaman dalam menyelesaikan masalah
77
Kamus Al-Munjid Fil Lughah wal A’lam, (Beirut; Darul Masyriqi Al-Maktabah Asy-
Syardiyah Sahanatun Najah, 1986), hal.146 78
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhar, Kamus Kontemporer Arab Indonesia,
(Yogyakarta; Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 1998), hal.163 79
Muhammad bin Mukrim bin Mansur Al-Afridi Al-Misri, Kamus Lisanul Arab (Al-
Misri, Beirut, tt), jilid 12, hal.142
71
seseorang, termasuk menyelesaikan masalah perkawinan
sepasang calon suami isteri yang mendapat hambatan tentang
wali nasab atau wali hakim.
Dalam Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah wali
muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon
suami isteri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah
mereka.80
Dalam Fiqih Munakahat dijelaskan bahwa wali
muhakkam adalah wali yang diangkat oleh calon suami atau calon
isteri, adapun cara pengangkatannya adalah calon suami
mengucapkan Tahkim kepada seseorang dengan kalimat “saya
angkat Bapak/Saudara untuk menikahkan saya dengan (calon
isteri) dengan mahar dan putusan Bapak/Saudara saya terima
dengan senang, selain itu calon isteri juga mengucapkan hal yang
sama, kemudian calon wali muhakkam itu menjawab saya terima
tahkim ini.81
Sejalan dengan keterangan tersebut di atas, pengertian
perkawinan dengan wali muhakkam adalah satu akad nikah antara
seorang pria dengan seorang perempuan, yang diakadkan oleh
seseorang yang sudah teruji ilmu agamanya, dan yang
berpengalaman menolong seseorang untuk menyelesaikan
masalah perkawinannya, karena wali nikah calon isteri tersebut
non muslim, fasik, belum dewasa, gila, bisu/tuli dan
perkawinannya tidak dapat dilaksanakan dengan wali hakim, oleh
karena tidak dapat melengkapi persyaratan sesuai yang diamatkan
80
Anonim, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, hal.35 81
Tihami dan sohari Sahrani, Fikih Munakahat, hal.98
72
undang-undang perkawinan dalam hal ini dijelaskan dalam
firman Allah Subhanahu wata’ala.
1. Surah Al-Baqarah ayat 234
: البقرة(
)
Artinya : orang-orang yang meninggal dunia di antaramu
dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para
isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat
bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis
'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang
kamu perbuat.(QS.Al-Baqarah [2] : 234)
2. Surah Al-Baqarah ayat 232
: البقرة()
73
Artinya : Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis
masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara
mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang
dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu
lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.(QS.
Al-Baqarah [2] : 232)
3. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang
berasal dari Ibnu Abbas yang berbunyi :
أتا ف فضا اهندق تفضا ىا اىثنش ضرأراىثة أ
)سا ضي (هتا صا هناإر
Artinya : Seorang janda lebih berhak atas dirinya sendiri
daripada walinya. Sedangkan seorang gadis dimintai
izin oleh bapaknya dan pengizinannya adalah sikap
diamnya. (HR. Muslim).82
Dari ayat dan hadits tersebut di atas, tidak ada larangan
yang spesifik tentang orang yang teruji atau orang yang
berpengalaman untun menjadi wali dalam pernikahan, apabila
calon isteri itu adalah seorang janda begitu pula terhadap seorang
perawan, dalam hal menjadi wali dalam pernikahan tidak ada
82
Imam Muslim, Shahih Muslim, Jilid 7, hal.242
74
juga larangan bagi orang lain untuk menjadi wali dalam
pernikahannya, Cuma diharapkan persetujuannya dengan
diamnya saja.
Disamping itu juga perkawinan dengan wali muhakkam
adalah bagian dari Nikah Sirrih, dimana Nikah Sirri lebih umum
dari perkawinan dengan wali muhakkam. Nikah Sirri adalah
nikah yang dilaksanakan tidak sesuai dengan undang-undang
perkawinan tetapi walinya bisa wali nasab dan bisa wali yang
diangkat oleh kedua calon mempelai tersebut, sedangkan
pernikahan dengan wali muhakkam walinya tidak ada hubungan
darah atau nasab, kalau Nikah Sirri walinya bisa melalui wali
yang ada hubungan darah atau nasab dan bisa juga yang tidak ada
hubungan sama sekali.
75
Perkawinan dengan Wali Muhakkam Ditinjau dari Peraturan
Perundang-undangan
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) pada
bab II pasal. 2 Perkawinan Menurut Hukum Islam, “akad yang
sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah
Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah.” Pada Pasal 4
dijelaskan pula bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum Islam, sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam pada Bab IV
Pasal 14 menetapkan bahwa untuk melaksanakan perkawinan
harus ada :
a. Calon Suami;
b. Calon Isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan qabul.83
Dalam hal ini, pernikahan adalah suatu perjanjian suci
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam sebuah
keluaraga sakinah, mawaddah warahmah. Pernikahan adalah
sebuah sunnatullah. Setiap makhluk hidup telah dianugrahi Yang
Maha Kuasa naluri ketertarikan terhadap lawan jenis dan Islam
mengatur melalui syari‟at Islam.
Adapun wali nikah dalam peraturan perundang-
undangan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi mempelai
83
Anonim, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hal.14-18
76
perempuan yang bertindak untuk menikahkannya. Pada Pasal 20
Ayat (1) tentang Wali Nikah, yang bertindak sebagai wali nikah
ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam, yakni
muslim, aqil dan baligh.84
Berdasarkan keterangan tersebut di atas, tidak terdapat
larangan yang mendasarkan untuk melaksanakan perkawinan
dengan wali muhakkam dan tidak ada ditemukan yang berupa
sanksi bagi orang yang melaksanakan perkawinan dengan wali
muhakkam. Hanya saja pada Pasal 6 Ayat (2) dikatakan bahwa
“Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.85
Untuk itu menurut hemat penulis, bahwa perkawinan
dengan wali muhakkam menurut peraturan perundang-undangan
adalah tidak ditemukan tentang kebolehannya dan tidak
ditemukan pula larangannya. Namun di dalam Pedoman
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dijelaskan, bila di suatu
tempat perkawinan tidak ada wali nasab bagi calon mempelai
perempuan, maka berpindah kepada wali hakim. Akan tetapi
apabila wali hakim juga tidak ada di tempat itu maka perkawinan
dilangsungkan dengan wali muhakkam. Caranya adalah kedua
calon suami isteri mengangkat seorang yang mempunyai
pengertian tentang hukum menjadi wali dalam pernikahan
mereka.86
84
Anonim, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hal.20 85
Anonim, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hal.15 86
Anonim, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, hal.35
77
Pada buku Pedoman Penghulu pada Bab I Pasal 2 Ayat
(1) menjelaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.87
Mengamati isi bab I pasal 2 Ayat (1) berarti setiap
perkawinan yang dilakukan sesuai dengan hukum agama masing-
masing, dan kepercayaannya itu sesuai dengan perundang-
undangan. Sedangkan perkawinan dengan wali muhakkam adalah
sah dan boleh menurut hukum Islam walaupun masih terdapat
perbedaan tentang kebolehannya di kalangan fuqaha.
87
Anonim, Pedoman Penghulu. Hal.232
78
Sebab-sebab dan Alasan Nikah dengan Wali Muhakkam
Diantara sebab-sebab dan alasan nikah dengan wali
muhakkam adalah:
1. Karena wali nasab tidak ada.
2. Wali nasab ghaib atau berpergian sejauh dua hari perjalanan
serta tidak ada wakilnya di situ.
3. Tidak ada qadhi atau Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan
Rujuk (NTR).88
Di samping itu menurut pengamatan penulis, sebab-
sebab dan alasan-alasan nikah dengan wali muhakkam adalah :
1. Karena minimnya pengetahuan orang yang melaksanakan
perkawinan tersebut tentang peraturan dan perundang-
undangan tentang perkawinan.
2. Karena orang yang melaksanakan perkawinan tersebut tidak
mempunyai wali nasab lagi atau walinya berjauhan.
3. Karena orang yang melaksanakan perkawinan tersebut adalah
seorang janda tetapi tidak mempunyai akata cerai. Hal ini bila
perkawinannya dilaksanakan melalui wali hakim, maka
rencana pernikahannya akan ditolak karena tidak sesuai
dengan Undang-Undang Perkawinan.
4. Karena orang yang melaksanakan perkawinan tersebut tidak
sabar menunggu sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, yakni Undang-Undang Perkawinan bahwa
pernikahan baru bisa dilaksanakan setelah 10 hari dari
pendaftaran.
88
HMA. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, hal.99
79
5. Karena orang yang melaksanakan perkawinan tersebut merasa
berat mengurus persyaratan mulai dari KTP, Kartu Keluarga,
Surat Keterangan untuk Menikah ( N1, N2, dan N4) dari
kantor kelurahan atau desa, menyediakan pas foto, imunisasi
dan ditambah melampirkan tanda pembayaran PBB ketika
mengurus surat-menyurat tersebut.
6. Karena orang yang melaksanakan perkawinan tersebut sudah
terlebih dahulu hamil sebelum menikah, lantas merasa malu
bila diketahui oleh orang banyak.
80
Pengangkatan dan Proses Perkawinan dengan Wali Muhakkam
Pengangkatan dan proses seseorang untuk bertindak
sebagai wali dalam perkawinan seorang perempuan, dalam hal ini
Sayyid Sabiq mengatakan dalam bukunya, Fiqh Sunnah jilid 7;
setiap perempuan yang sempurna kesanggupannya ia berkuasa
mengawinkan dirinya sendiri dengan orang lain dan setiap orang
yang dapat berbuat demikian, maka ia dianggap sah mengangkat
orang lain bertindak mewakilkan dirinya bertindak sebagai wali
untuk menikahkan dirinya. Abu Hanafih berpendapat sah
sebagaimana halnya dengan laki-laki karena perempuan berhak
mengakadnikahkan dirinya, dan selama ia berhak mengadakan
akad maka adalah menjadi hak pula baginya untuk mengangkat
orang lain bertindak mewakili dirinya.89
Di samping itu Abu Hanifah berpendapat jika
perempuan minta dikawinkan tanpa memberi betas-betas tertentu,
misalnya ia berkata begini, “Saya angkat saudara menjadi wakil
untuk menikahkan saya dengan seorang laki-laki. Lalu wakilnya
itu menikahkannya dengan dirinya sendiri atau dengan ayah atau
anaknya. Perkawinan yang dilakukan wakil ini tidak mengikat
dirinya (perempuan) karena adanya rasa kecurigaan. Jadi untuk
memberlakukan hukum akad nikah seperti ini tergantung kepada
persetujuan perempuannya. Tetapi wakilnya mengawinkan
perempuan tersebut dengan laki-laki lain, yaitu laki-laki yang
89
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 7, hal.33
81
asing, jika sepadan dan dengan mahar mitsil, maka akad nikahnya
mengikat wali serta dirinya tidak dapat membatalkannya.90
Cara pegangkatan wali muhakkam ialah calon suami
mengucapkan kalimat, “Saya angkat Bapak/Saudara sebagai wali
saya untuk menikahkan saya dengan si fulanah (calon isteri)
engan mahar... dan putusan Bapak/Saudara saya terima dengan
senang.” Setelah itu calon isteri juga mengucapkan hal yang
sama dengan ucapan, “Saya angkat Bapat/Saudara sebagai wali
saya untuk menikahkan saya dengan si fulan (calon suami)
dengan mahar... dan putusan Bapak/Saudara saya terima dengan
senang.” Kemudian calon wali muhakkam menjawab,” Saya
terima tahkim ini.”91
Adapun proses perkawinan dengan wali muhakkam
adalah terlebih dahulu calon mempelai laki-laki dan perempuan
menghubungi seseorang yang dianggap ahli fiqh. Kemudian
calon mempelai tersebut mengutarakan maksud perkawinannya.
Setelah terdapat kesepakatan tentang waktu dan lain-lain, maka
pada waktu melaksanakan akad nikah tersebut calon wali
muhakkan ini menyuruh kepada calon mempelai perempuan
untuk mengangkatnya sebagai wali dengan ucapan,
“Bapak/Saudara saya angkat sebagai wali saya untuk menikahkan
diri saya sendiri kepada seorang laki-laki yang bernama fulan bin
fulan dengan mahar...” Lalu dijawab, “Saya terima tugas
tersebut.”
90
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 7, hal.34 91
H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, hal.98
82
Kemudian dilanjutkan dengan giliran calon mempelai
laki-laki dengan hal yang sama. Setelah selesai baru wali yang
diangkat kedua calon mempelai tersebut menikahkannya.92
Jadi proses perkawinan dengan wali muhakkam sama
dengan proses perkawinan dengan wali nasab dan wali hakim,
Cuma wali muhakkam harus terlebih dahulu calon mempelai laki-
laki dan perempuan mengangkat wali muhakkam tersebut,
selebihnya sama agar syarat dan rukun nikah dapat terpenuhi.
92
Observasi, Tanggal 27 Desember 2010.
83
Pelaksanaan dan Faktor Penyebab
Perkawinan dengan Wali Muhakkam di Jambi Timur
Sebelum penulis membahas tentang bentuk pelaksanaan
dan faktor penyebab terjadinya perkawinan dengan wali
muhakkam di Jambi Timur, penulis terlebih dahulu menerangkan
gambaran umum tentang jumlah pelaku perkawinan dengan wali
muhakkam di Jambi Timur dari tahun 2009 sampai dengan tahun
2010, berdasarkan informasi yang penulis dapatkan di lapangan
atau melalui observasi maupun wawancara, kemudian penulis
akan memberikan jawaban tentang mengapa perkawinan dengan
wali muhakkam terjadi di Jambi Timur.
Adapun pelaku perkawinan dengan wali muhakkam di
Jambi Timur sebagai berikut :
1. Dari bulan Januari sampai dengan Desember Tahun 2009 yang
melakukan perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi
Timur berjumlah 12 pasang pengantin.
2. Dari Bulan Januari sampai dengan Desember Tahun 2010
yang melakukan perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi
Timur berjumlah 14 pasang pengantin.
3. Adapun jumlah yang bertindak sebagai wali muhakkam mulai
dari bulan Januari 2009 sampai dengan Desember 2010
berjumlah 9 orang.
Adapun pendidikan para pelaku perkawinan dengan wali
muhakkam pada umumnya SD walaupun ada yang
berpendidikan yang lebih tinggi. Sedangkan pekerjaan mereka
84
secara umum adalah swasta, dan mempunyai tingkat ekonomi
yang menengah ke bawah.93
Sementara itu tingkat pendidikan yang bertindak sebagai
wali muhakkam pada umumnya berpendidikan pondok
pesantren walaupun ada yang berpendidikan S.1 sedangkan
tingkat ekonomi rata-rata menengah ke bawah.
Secara umum para pelaku perkawinan dengan wali
muhakkam di Jambi Timur adalah mereka yang sudah pernah
terlebih dahulu menghubungi Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
atau Penghulu yang ada di Kantor Urusan Agama. Kecamatan
di Jambi Timur yang bisa menikahkan mereka, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun oleh
karena mereka terhalang oleh administrasi yang berlaku maka
mereka beralih ke wali muhakkam walaupun diantara mereka
ada yang tidak pernah berusaha terlebih dahulu memberitahu
ke Kantor Urusan Agama Kecamatan di Jambi Timur, karena
mereka tahu dan yakin kalau mereka memang tidak bisa
menikah dengan wali hakim, karena persyaratan yang
dibutuhkan untuk menikah dengan wali hakim tidak mungkin
mereka peroleh.
Terjadinya perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi
Timur bila dilihat dari fenomena yang berkembang di tengah
masyarakat karena sebahagian masyarakat tidak puas dengan
ketentuan Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan yang tidak bisa mengakomodir semua
permasalahan perkawinan yang timbul di tengah-tengah
masyarakat, dan belum ada satu orang pun dari tokoh agama
93
Observasi, Tanggal 28 Desember 2010.
85
yang pernah melarang secara tegas perkawinan dengan wali
muhakkam yang dilakukan masyarakat Jambi Timur,
sebagaimana penuturan bapak H.A. Sayuti. HS sebagai Ketua
majelis Ulama Kecamatan Jambi Timur pada saat penulis
mewawancarainya dengan memberikan pertanyaan:
Bapak H.A. Sayuti menurut bapak kenapa masih terjadi
perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur?
Lalu ia menjawab, karena perkawinan dengan wali muhakkam
masih banyak ditemukan dalam kitab-kitab fiqh tentang
kebolehannya karena perkawinan dengan wali muhakkam
masih termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi orang yang
tidak bisa menempuh perkawinan sesuai dengan Undang-
undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan mereka merujuk
kepada kitab-kitab fiqh yang membolehkan perkawinan
dengan wali muhakkam tersebut, karena berkembang wacana
dalam masyarakat bahwa perkawinan dengan wali muhakkam
itulah perkawinan menurut agama Islam. Sedangkan
perkawinan dengan pangawasan pencatatan PPN atau
Penghulu hanya sekedar urusan administrasi.94
Pada saat penulis mewawancarai M. Sofwan, S. Ag
sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Jambi
Timur, dengan pertanyaan bapak M. Sofwan mengapa masih
terjadi perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur?
Lalu ia menjawab, karena masih banyak di kalangan
masyarakat Jambi Timur yang tidak peduli dengan peraturan
perundang-undangan, sehingga masih banyak orang yang mau
94
H.A. Sayuti, HS, Ketua Majelis Ulama Kecamatan Jambi Timur, Wawancara, 11
Januari 2011.
86
melaksanakan perkawinannya tidak mempedulikan efek
negatif yang akan di peroleh di belakang hari dan dia tidak
faham tentang peraturan perundang-undangan perkawinan
yang berlaku umumnya di Indonesia, khususnya di Jambi
Timur.95
Pada saat penulis bertanya kepada H. Adi Sumarno, S.
Ag salah satu tokoh pemuda Jambi Timur, dengan pertanyaan
mengapa di Jambi Timur masih terjadi perkawinan dengan
wali muhakkam, ia menjawab terjadinya perkawinan dengan
wali muhakkam di Jambi Timur adalah karena mayoritas
penduduk Jambi Timur tidak memahami secara baik tentang
Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, dan masih
banyak yang tidak mengetahui tentang kitab Kompilasi
Hukum Islam yang mengatur tentang Perkawinan. Jadi masih
banyak yang tidak mengerti tentang fungsi Undang-undang
Perkawinan yang sebenarnya untuk menertibkan perkawinan
dan mengoptimalkan fungsi demi kenyamanan dan keamanan
bagi orang yang melaksanakan perkawinan, dan masih ada di
kalangan masyarakat Jambi Timur yang beranggapan bahwa
Undang-undang Perkawinan hanyalah untuk mempersulit dan
mempersempit ruang gerak dalam urusan perkawinan terutama
masyarakat kelas menengah ke bawah.96
Saat saya menanyakan kepada bapak H.M. Isa selaku
salah satu tokoh agama di Jambi Timur, mengapa terjadi
perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur? Ia
menjawab menurut sepengetahuan saya terjadinya perkawinan
95
M. Sofwan, S.Ag. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Jambi Timur,
Wawancara, 13 Januari 2011 96
H. Adi Sumarno, S.Ag. Tokoh Pemuda Jambi Timur, Wawancara, 6 Maret 2011
87
dengan wali muhakkam di Jambi Timur karena masih
ditemukannya orang yang suami isteri apabila terjadi
perceraian, hanya bercerai di bawah tangan, artinya bercerai
cukup disaksikan tetangga sekitar atau keluarga, karena
mereka beranggapan bahwa mengurus perceraian ke
pengadilan membutuhkan biaya yang besar, dan membutuhkan
waktu yang lama, oleh karena perceraian tidak melalui
pengadilan maka tidak memiliki akta cerai yang diakui
undang-undang, jadi bila terjadi perkawinan tentu tidak
mungkin mengurus perkawinan yang diatur dalam undang-
undang perkawinan pula, maka bagi orang-orang yang seperti
itu, terutama yang tidak mempunyai wali nasab maka
terjadilah perkawinan dengan wali muhakkam, yang menurut
keyakinannya sah menurut agama walaupun tidak diakui
menurut undang-undang.97
Begitu pula saat saya bertanya kepada M. Soeb salah
satu Tokoh Pemuda di Jambi Timur sekaligus sebagai salah
satu Penghulu, dengan pertanyaan mengapa terjadi perkawinan
dengan wali muhakkam di Jambi Timur? Lalu ia menjawab
sepanjang yang saya tahu terjadinya perkawinan dengan wali
muhakkam di Jambi Timur karena ketidakpedulian sebagian
orang tentang Undang-Undang Perkawinan produk
pemerintah, orang lebih menghormati pendapat-pendapat para
ulama-ulama fiqh yang masih sering diajarkan para da‟i-da‟i,
baik da‟i-da‟i yang ada di Jambi Timur maupun da‟i-da‟i yang
ada di luar Jambi Timur, dan da‟i zaman dulu sampai zaman
sekarang belum pernah didengar sangsi bagi orang yang
97
H.M. Isa, Tokoh Agama Jambi Timur, Wawancara, 7 Maret 2011
88
melakukan perkawinan dengan wali muhakkam. Jadi masih
banyak di kalangan penduduk Jambi Timur yang sangat
mempedomani pendapat-pendapat para ulama yang masih
sering dijumpai dalam kitab-kitab fiqh. Hal ini membuat
masyarakat Jambi Timur bila tidak bisa diurus secara resmi
sesuai undang-undang perkawinan, mereka melaksanakan
perkawinan dengan wali muhakkam, karena masih ada juga
yang mau bertindak sebagai wali muhakkam dan yang
bertindak sebagai wali muhakkam tersebut sangat dihormati di
tempat itu.98
Pada saat penulis bertanya kepada bapak A. Syaifuddin,
AR sebagai salah satu Penyuluh Agama Fungsional Jambi Timur,
kenapa di Jambi Timur terjadi perkawinan dengan wali
Muhakkam, ia menjawab menurut saya terjadinya perkawinanan
melalui wali Muhakkam adalah karena pengurusan perkawinan
yang diakui undang-undang terlalu banyak urusan yang harus
diselesaikan tentang pengurusan surat-surat, dan memakan waktu
yang panjang pula, ditambah memakan biaya yang agak besar
walaupun peraturan biaya nikah hanya sebesar Rp. 30.000.-
namun kenyataan memakan biaya paling sedikit Rp. 350.000.-
bagi warga yang kurang mampu, tentu hal ini memberatkan
mereka, dan ditambah lagi memakan waktu yang tidak sedikit,
apalagi banyak di kalangan masyarakat Jambi Timur tidak bisa
dan tidak merasa sanggup untuk mengurus hal-hal yang seperti
itu, bilamana urusan tersebut dimintak tolongkan kepada Ketua
Rukun Tetangga setempat biayanya masih bisa bertambah, hal
yang seperti ini membuat sebagian warga Jambi Timur
98
M. Soeb, Tokoh Pemuda dan Penghulu Jambi Timur, Wawancara, 3 Maret 2011
89
melaksanakan perkawinan dengan wali Muhakkam bilamana
wali nasabnya tidak ada atau berada di tempat yang berjauhan
dan ditambah masih adanya tokoh agama yang mau menikahkan
orang yang ingin menikah melalui tokoh agama, atau yang
dianggap sebagai panutan agama di Jambi Timur, dimana
mayoritas warga Jambi Timur sangat yakin dan percaya terhadap
perilaku, putusan dan perkataan para tokoh agama tersebut karena
warga Jambi Timur kebanyakan sangat taat dan patuh terhadap
orang-orang yang dianggap ahli agama, melebihi kepatuhan
mereka terhadap ahli agama tersebut dari pada PPN, Penghulu
maupun staf yang ada di KUA Kecamatan Jambi Timur.99
Dari hasil wawancara penulis dengan Ketua MUI
Kecamatan Jambi Timur, Kepala KUA Kecamatan Jambi Timur
maupun dengan Tokoh Agama, tokoh masyarakat dan tokoh
pemuda tersebut di atas, terjadinya perkawinan dengan wali
Muhakkam di Jambi Timur adalah :
1. Karena Undang-undang Perkawinan belum mengakmodir
pelaksanaan perkawinan begi seorang janda dan duda yang
tidak memiliki akta cerai dari pengadilan agama, di samping
itu karena belum pernah ditemukan seorang tokoh agama,
tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh pemuda yang
melarang perkawinan dengan wali Muhakkam secara terang-
terangan dan terbuka, karena perkawinan dengan wali
Muhakkam itu dianggap sah secara hukum Islam, karena hal
yang membolehkan perkawinan dengan wali Muhakkam itu
masih banyak ditemukan dalam kitab-kitab fiqh.
99
A. Syaiufuddin, AR. Penghulu Agama Jambi Timur, Wawancara, 14 Maret 2011
90
2. Karena masih banyak di kalangan masyarakat Jambi
Timuryang tidak peduli dan tidak faham tentang Undang-
undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, sehingga apabila
terdapat hambatan dalam menjalankan undang-undang
perkawinan tersebut mereka langsung mempedomani kitab-
kitab yang membolehkan perkawinan dengan wali Muhakkam.
3. Karena masih ada diantara masyarakat Jambi Timur yang
beranggapan bahwa Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun
1974 itu hanyalah untuk mempersempit kebebasan
pelaksanaan perkawinan, terutama bagi seseorang yang ingin
beristri lebih dari satu.
4. Karena sebagian masyarakat Jambi Timur masih ada yang
beranggapan bahwa pengurusan persyaratan perkawinan yang
diakui oleh undang-undang terlalu banyak persyaratan, yang
harus dilengkapi dan karena menganggap terlalu besar biaya
yang dikeluarkan, walaupun dalam peraturan biaya
perkawinan relatif kecil, namun dalam prakteknya memakan
biaya yang agak besar dan memakan waktu cukup lama.
5. Karenan masih ada di kalangan tokoh agama yang mau
mengurus dan melaksanakan perkawinan dengan wali
Muhakkam, dan sekaligus masih ada yang bersedia menjadi
wali Muhakkam untuk menikahkan seorang perempuan yang
tidak mempunyai wali, dan tidak bersedia untuk menghubungi
wali hakim, karena sesuatu hal yang membuat dia tidak
mungkin dinikahkan wali hakim disamping itu melaksanakan
perkawinan dengan wali Muhakkam tidak perlu mengeluarkan
biaya yang lebih besar, cukup mengeluarkan biaya suka rela,
sesuai dengan kemampuan yang ada.
91
Inilah antara lain alasan masih terjadinya perkawinan
dengan wali Muhakkam di Jambi Timur, walaupun di Jambi
Timur sudah ada Kantor Urusan Agama Kecamatan dan ada juga
wali hakim yang resmi, begitu juga pendidikan masyarakat Jambi
Timur sudah termasuk maju, namun masih terjadi perkawinan
dengan wali Muhakkam di Jambi Timur.
Maka untuk mengatasi supaya perkawinan dengan wali
Muhakkam tidak terjadi di Jambi Timur, dilakukan sosialisasi
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus
lebih ditingkatkan dan harus lebih memasyarakat.
Adapun bentuk pelaksanaan dan faktor penyebab
terjadinya perkawinan dengan wali Muhakkam di Jambi Timur
sebagai berikut :
1. Bentuk Pelaksanaan Perkawinan dengan wali Muhakkam
di Jambi Timur.
Adapun bentuk pelaksanaan perkawinan dengan wali
Muhakkam di Jambi Timur, diantaranya adalah keterangan
yang penulis dapatkan dari beberapa responden, antara lain :
a. Pada saat saya mengadakan wawancara dengan Bapak
Dakwan, salah seorang yang pernah menjadi wali
Muhakkam. Lalu saya tanyakan. Bagaimana bentuk
pelaksanaan perkawinan yang pernah Bapak laksanakan ?
Lalu ia menjawab, “Pertama calon mempelai itu datang ke
rumah saya, dan mohon minta saya agar menikahkan
mereka. Lalu saya suruh melalui KUA Kecamatan Jambi
Timur tapi mereka menjawab, kami duda dan janda.
Sedangkan akta cerai kami tidak punya dan hal ini sudah
92
kami beritahukan kepada pihak KUA tetapi mereka
menjawab tidak bisa dilaksanakan pernikahan kami kalau
tidak mempunyai akta cerai. Lalu mereka mendatangi saya
dan saya tanya walinya dimana. Jawab calon mempelai
perempuan, „Bapak saya jauh di kampung di Tapanuli‟.
Akhirnya saya nikahkan mereka dengan bentuk
pelaksanaan sama dengan bentuk pelaksanaan yang
dilaksanakan dengan wali nasab atau hakim, Cuma bedanya
sebelum akad nikah calon suami dan isteri terlebih dahulu
mengangkat saya sebagai wali. Dalam akad nikahnya
dengan cara, „Bapak Dakwan saya angkat Bapak sebagai
wali untuk menikahkan diri saya sendiri dengan seorang
laki-laki yang bernama. ... bin ... dengan mahar ... tunai.
Saya jawab, „Saya terima tugas tersebut‟. Begitulah bentuk
pelaksanaan perkawinan yang pernah saya lakukan.100
b. Pada saat saya bertanya kepada Bapak H. M. Isa,
bagaimana bentuk pelaksanaan perkawinan yang pernah
bapak pimpin sebagai wali Muhakkam? Ia menjawab
bilamana pasangan calon suami isteri mendatangi saya
untuk menyampaikan kehendak nikah. Bilamana betul-
betul menurut calon mempelai tersebut mereka tidak bisa
menikah dengan petugas KUA. Padahal mereka sudah
mendesak harus segera menikah. Sedangkan wali nasabnya
tidak ada sama sekali, maka akan segera saya laksanakan
pernikahan sepanjang calon suami dan isteri tersebut dalam
pelaksanaannya menghadirkan dua orang saksi, dan calon
mempelai terlebih dahulu mengangkat saya sebagai
100
Dakwan, Tokoh Agama Jambi Timur, Wawancara, 29 Desember 2010.
93
walinya. Dengan cara calon mempelai laki-laki mengangkat
saya sebagai wali dalam pernikahannya dengan ucapan,
“Saya angkat Bapak sebagai wali untuk menikahkan saya
dengan si ... (calon isteri) dengan mahar dan putusan Bapak
saya terima dengan senang.” Setelah itu calon isteri
melakukan hal yang sama. Kemudian saya menjawab
dengan ucapan, “Saya terima tahkim ini.”101
c. Pada saat saya penulis menanyakan kepada bapak A. Kohar
Hawasyi, bagaimana bentuk pelaksanaan perkawinan yang
pernah bapak laksanakan? Ia mengatakan, “Bila sepasang
calon suami isteri mendatangi saya dan menyampaikan
kehendak nikahnya kepada saya. Saya akan terlebih dahulu
menanyakan kepada keduanya, „Dimana walimu‟? Bila
kedua calon mempelai menjawab seseorang tidak bisa
menikah, dikarenakan suatu hal yang menurut Undang-
undang Perkawinan harus ada tapi tidak punya dan wali
nasab juga tidak ada, maka kedua calon mempelai itu akan
saya nikahkan dengan bentuk pelaksanaan, kedua calon
suami isteri itu terlebih dahulu mengucapkan pengangkatan
saya sebagai wali untuk mengakadnikahkannya, setelah itu
baru saya laksanakan akad nikahnya dengan syarat pula,
harus calon suami isteri tersebut terlebih dahulu mendatangi
saya dan diadakan dialg, dan hasil dialog itu menentukan
boleh tidaknya saya menikahkannya.102
d. Sumber yang lain penulis peroleh dari bapak Makrup MS.
Pada waktu penulis memberikan pertanyaan bagaimana
101
M. Isa, Tokoh Agama Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 30 Desember 2010. 102
A. Kohar Hawasyi, Tokoh Agama Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 2 Januari 2011.
94
yang bapak ketahui tentang bentuk pelaksanaan perkawinan
dengan wali Muhakkam? Lalu ia menjawab, saya pernah
menikahkan orang yang tidak bisa dinikahkan oleh KUA
Kecamatan atau Penghulu serta tidak mempunyai wali
nasab. Kemudian ia menerangkan bentuk pelaksanaannya
adalah, “Kedua calon mempelai datang ke rumah saya dan
mereka bertanggung jawab atas segala resiko yang akan
ditimbulkan perkawinan mereka. Kemudian mengangkat
saya menjadi wali dalam pelaksanaan pernikahannya.
Caranya sebagaimana pengangkatan sebagai wali
Muhakkam yang saya ketahui contoh-contohnya di buku-
buku.103
e. Penjelasan lain datang dari Bapak Herman. Setelah, penulis
bertanya tentang bentuk pelaksanaan perkawinan dengan
wali Muhakkam Bapak Herman Menjawab, bahwa ia baru
sekali melaksanakan perkawinan dengan wali Muhakkam.
Itupun karena calon suami isteri mendatangi saya. Mereka
sudah mencoba mengurus perkawinan melalui RT dan
sudah mengurus surat-menyurat yang berhubungan dengan
syarat-syarat perkawinan mereka, tetapi terhalang bahwa
perempuan itu adalah seorang janda tapi tidak memiliki
akta cerai. Sedangkan bapaknya sebagai wali nasab jauh
tinggal di kampung menurut pengakuan si perempuan tidak
bisa dihubungi sedangkan mereka sudah satu rumah.
Akhirnya mereka datang kerumah saya, minta tolong untuk
dinikahkan, maka mereka saya nikahkan dengan terlebih
103
Makrup, Tokoh Agama Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 3 Januari 2011.
95
dahulu mereka mengangkat, saya sebagai wali keduanya
dalam pernikahan mereka.104
f. Begitu juga pada saat penulis memberikan pertanyaan yang
sama kepada Bapak Datuk H. Syahbudin HS tentang
bagaimana bentuk pelaksanaan perkawinan dengan wali
muhakkam? Bapak Datuk H. Syahbuddin HS menjelaskan
bahwa apabila ada calon mempelai yang ingin menikah
maka mereka datang kepada saya, dan mengemukakan
tentang keadaan dan maksud mereka untuk menikah, dan
selalu saya menyarankan agar pergi ke KUA Jambi Timur,
akan tetapi mereka terhalang masalah administrasi, artinya
tidak bisa diurus di KUA Jambi Timur, sementara pada saat
yang sama mereka mendesak untuk segera dinikahkan, lalu
ditanyakan kepada mereka siapa wali nikah mereka, lantas
mereka menyatakan bahwa wali nikahnya sudah tidak ada.
Oleh karena itu, saya nikahkan mereka menurut ajaran
Islam yang saya ketahui dengan jalan mereka mengangkat
saya sebagai wali nikah, kemudian saya baru menikahkan
mereka.105
g. Penuturan selajutnya penulis dapatkan dari Bapak H. Yahya
HZ, dia salah seorang yang pernah bertindak sebagai wali
muhakkam, Bahwasaya menikahkan orang yang meminta
untuk dinikahkan. Awalnya saya menyarankan kepada
kedua calon mempelai untuk mengurus ke wali hakim
apabila wali nasabnya tidak ada, atau tidak bisa
menikahkannya. Menurut saya bahwa saya hanya mau
104
Herman, Tokoh Agama Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 3 Januari 2011. 105
H. Datuk Syahabuddin HS, Tokoh Agama Kecamatan Jambi Timur, Wawancara, 20
Januari 2011
96
menikahkan mereka yang memang tidak bisa dinikahkan
oleh wali hakim, di KUA Kecamatan. Ia menjelaskan
bahwa mempelai perempuan harus mengangkat saya untuk
menjadi walinya. Baru kemudian menikahkan keduanya.106
Melihat penjelasan para responden yang penulis
dapatkan melalui wawancara dengan mereka, maka penulis
melihat bentuk perkawinan yang dilakukan dengan jalan wali
muhakkam adalah sama, yaitu calon mempelai mendatangi
orang-orang yang dianggap faham agama. Lalu setelah terjadi
dialog, dimana mereka menjelaskan perihal mereka dan
terdapat kesepakatan untuk melaksanakan perkawinan, maka
kedua calon mempelai mengangkat orang yang dianggap
faham agama itu untuk menjadi wali nikah mereka. Setelah
diangkat menjadi wali, maka wali muhakkam itu kemudian
menikahkan mereka sesuai syarat dan rukun yang sudah
ditentukan agama Islam.
Guna melengkapi pejelasan tentang kondisi orang-orang
yang melaksanakan perkawinan dengan wali muhakkam,
berikut ini penulis terangkan keadaan mereka dalam bentuk
tabel yang diperoleh melalui hasil wawancara dengan Bapak
H.A. Sayuti, Da‟wan, H.M. Isa dan Suherman pada tanggal 27
Januari 2011 sebagaimana table 4 berikut :
106
Yahya HZ, Tokoh Agama Kecamatan Jambi Timur, Wawancara, 25 Januari 2011
97
Table. 3
Daftar Nama-nama Pelaku Perkawinan dengan Wali
Muhakkam Di Jambi Timur Tahun 2009107
No Nama
Suami-Isteri
Pendidk
an
Pekerjaa
n
Status
Sebelum
Nikah
Tanggal
Nikah Alamat
Wali
Muhakkam
1 Ali Asnin SD Sopir Duda
10/01/2009 RT.27 Kel. Tl. Banjar
Dakwan Atika SD - Janda RT.27 Kel. Tl. Banjar
2 Syafruddin SD Sopir Jejaka
05/05/2009 RT.27 Kel. Tl. Banjar
Dakwan Misnawati SD Swasta Janda RT.33 Kel.Tj.Pinang
3 M. Hermapelani SD Swasta Jejaka
21/01/2009 RT.4 Kel.Pondk Meja
KH. A.Latif Eka Fitri SD Swasta Perawan RT.15 Kel.Rajawali
4 Nazir SUP Swasta Jejaka
02/11/2009 RT.10 Kel. Tj.Pinang
M. Makrup Susi SLTA Swasta Janda RT.10 Kel. Tj.Pinang
5 Sukadi SD - Jejaka
19/09/2009 RT.30 Kel. Tj. Pinang
Syamsul Ernawati SD Swasta Perawan RT.30 Kel. Tj. Pinang
6 Indra Mulya SD Swasta Jejaka
25/12/2009 RT.3 Kel. Sijenjang
KH. A.Latif Farida Ariyani SD Swasta Janda RT. 4 Kel. Sijenjang
7 Mad Rois SD/SD Buruh Jejaka
01/05/2009 RT.30 Kel.Tj.Pinang
Dakwan Erma Yusnita SD Swasta Janda RT.30 Kel.Tj.Pinang
8 M. Yusuf SD Buruh Duda
16/05/2009 RT.1 Kel. Kasang
Dakwan Rachmawati SD Swasta Janda RT.1 Kel. Kasang
9 M. Nasir SD Sopir Duda
04/01/2009 RT.3 Kel. Sijenjang
Makrup. MS Risfita SD Swasta Janda RT.3 Kel. Sijenjang
10 Andri SLTP Buruh Jejaka
10/12/2009 RT.2 Kel. Sijenjang
KH. A.Latif Desi Nopriariti SD - Perawan RT.2 Kel. Sijenjang
11 Yordi SLTA Buruh Duda
06/08/2009 RT.30 Kel.Tj.Pinang
Dakwan Nurayati SLTP Swasta Janda RT.33 Kel.Tj.Pinang
12 Sudin SD Buruh Duda
07/09/2009 RT. 6 Kel. Budiman
H. M. Isa Ratna Dewi SD - janda RT. 6 Kel. Budiman
(Sumber : Diperleh dan diolah dari berbagai hasil wawancara)
Dari table di atas dapat diketahui, perkawinan dengan
wali muhakkam yang terjadi di Jambi Timur pada tahun 2009
banyak dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang berstatus
duda atau janda. Dari 12 pasang suami isteri yang menikah
dengan wali muhakkam ada 9 orang pasang suami isteri yang
suami atau isteri atau kedua-duanya telah berstatus duda dan
107
H.A. Sayuti, Da‟wan, H.M.Isa dan Suherman, Tokoh Agama Jambi Timur,
Wawancara, 27 Januari 2011
98
janda. 3 pasang berstatus belum menikah. Sebagai bukti
terjadinya perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi Timur
Tahun 2009, maka bukti perkawinan dengan wali muhakkam
dalam lampiran-lampiran.
Untuk tahun 2010 penulis menemukan pasangan suami
isteri yang menikah dengan wali muhakkam yang lebih banyak
dibandingkan tahun 2009, sebagaimana dalam bentuk table
berikut :
Table. 4
Daftar Nama-nama Pelaku Perkawinan dengan Wali
Muhakkam Di Jambi Timur Tahun 2010
No Nama
Suami-Isteri
Pendid
kan
Pekerja
an
Status
Sebelum
Nikah
Tanggal
Nikah Alamat
Wali
Muhakka
m
1 Syamsuki SD Swasta Duda
05/01/2010 RT.21 Kel. P.Selincah KH.
A.Latif Mariam SD IRT Janda RT. 11 Kel. Tj. Pinang
2
Subandi SD Swasta Duda
02/05/2010
RT. 10 Kel. Tj. Pinang Makrup.
MS Eni Sri
muryani
SLTP - Janda RT. 10 Kel. Tj. Pinang
3 Hendi Setiawan SLTA Swasta Jejaka
07/01/2010 RT. 10 Kel. Tj. Pinang Makrup.
MS Nazla Sopian SLTA - Janda RT. 10 Kel. Tj. Pinang
4 Firdaus Daus SLTA Swasta Duda
14/01/2010 RT. 12 Kel. Rajawali
H. M. Isa Aya SLTA Swasta Janda RT. 12 Kel. Rajawali
5
Masianto SLTA Swasta Jejaka
19/11/2010
RT. 9 Kel. Tj. Pinang Makrup.
MS Sri Yuni
Prihatin
SLTA - Perawan RT. 10 Kel. Tj. Pinang
6
Abu Bakar
Ali
Simatupang
SLIP
Buruh Duda
04/10/2010
RT. 6 Kel. Sijenjang
Suherman
Jusniar
Harahap
SLTA - Janda RT. 6 Kel. Sijenjang
7
Falulalizai,
SE
S.1 Swasta Duda
26/12/2010
RT. 25 Kel. Tj.Pinang
Makrup.
MS Delima
Susmita
SMK - Perawan RT. 2 Kel. Rajawali
8 Sanim SD Buruh Duda
06/02/2010 RT. 5 Kel. Budiman
H. M. Isa Suarti SLIP - Janda RT. 5 Kel. Budiman
9 Said SLTA Buruh Duda
08/03/2010 RT. 1 Kel. Ks. Jaya A. Kohar
Khawasy ruyan SLTA - Janda RT. 1 Kel. Ks. Jaya
10 Sukisno SLTA Swasta Jejaka
03/02/2010 RT. 16 Kel. Tj. Pinang KH.
A.Latif Poniran SD - Perawan RT. 16 Kel. Tj. Pinang
99
11
M. Badri SUP Buruh Jejaka
15/01/2010
RT. 7 Kel. Tj. Pinang Makrup.
MS Yustinan
Mohyuni
SU - Janda RT. 33 Kel. Tj. Pinang
12
M. Riduan SD Swasta Duda
04/02/2010
RT. 3 Kel. Sijenjang Dtk
Syahabud
din Erwani SD IRT Janda
RT. 3 Kel. Sijenjang
13
Rohibbi SMP Buruh Duda
02/02/2010
RT. 7 Kel. Sijenjang Dtk
Syahabud
din Hadia SD IRT Janda
RT. 7 Kel. Sijenjang
14
Hendry
Bermana
SD Swasta Duda
17/01/2010
RT. 3 Kel. Sulanjana Yahya.
HZ syamsuriati SD IRT Janda RT. 3 Kel. Sulanjana
(Sumber : diperoleh dan diolah dari berbagai hasil wawancara)
Dari table di atas dapat diketahui, bahwa pasangan yang
menikah dengan wali muhakkam ada 12 orang pasang dari 14
pasang yang diketahui bahwa suami atau isteri atau kedua-
duanya telah berstatus duda dan janda. Sementara itu hanya 2
pasang yang berstatus belum menikah keduanya berstatus
jejaka dan perawan.
Sebagai bukti terjadinya perkawinan dengan wali
muhakkam di Jambi Timur maka penulis melampirkan bukti
nikah dengan wali muhakkam dalam bentuk lampiran-
lampiran.
Selain data-data pelaku perkawinan dengan wali
muhakkam, berikut ini penulis terangkan juga informasi
tentang orang-orang yang bertindak sebagai wali muhakkam.
Selengkapnya ada pada table di bawah ini :
100
Table. 5
Daftar Nama-nama yang Berperan sebagai Wali
Muhakkam
Di Jambi Timur Kota Jambi Tahun 2009-2010
No Nama Pendidikan Pekerjaan Keterangan
1 A. Kohar
Khawasy
Ponpen Swasta Jarang
2 Dakwan Ponpen Swasta Jarang
3 Datuk
Syahabuddin
Ponpen Swasta Sangat
Sering
4 H.M. Isa S.1 Swasta Jarang
5 KH. A. Latif Ponpen Swasta Sangat
Sering
6 Makrup MS Ponpen Swasta Sering
7 Suherman Ponpen Swasta Sekali
8 Syamsul Ponpen Swasta Sekali
9 Yahya HZ Ponpen Swasta Jarang (Sumber : Diperoleh dan diolah dari berbagai hasil wawancara)
2. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan dengan
Wali Muhakkam di Jambi Timur
Pada saat penulis mewawancarai bapak KH. Sayuti HS
Ketua MUI Kecamatan Jambi Timur dengan memberikan
pertanyaan, menurut bapak apa faktor-faktor penyebab
terjadinya perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi
Timur? Lalu ia menjawab, menurut yang saya ketahui diantara
penyebab terjadinya perkawinan dengan wali muhakkam
adalah karena ada masalah yang mereka alami yang membuat
pernikahan mereka tidak bisa dilakukan sesuai dengan
keinginan calon mempelai seperti wali nasabnya jauh. Kalau
menurut Undang-undang Perkawianan, kalau wali nasabnya
harus terlebih dahulu pihak KUA Kecamatan akan
mengirimkan surat pemberitahuan kehendak nikah calon
101
mempelai kepada wali nasab. Ketika telah dikirim, maka harus
menunggu 10 hari kerja dari tanggal pengiriman surat itu. Oleh
karena itu, banyak calon mempelai yang tidak bisa menerima
hal itu atau menunggu waktu yang ditetapkan itu. Di samping
itu mereka juga merasa bahwa status janda atau duda yang
tidak bisa dibuktikan dengan akta cerai. Hal ini membuat
mereka tidak bisa menyesuaikan dengan ketentuan Undang-
undang Perkawinan dan banyak lagi yang lainnya.108
Begitu juga pada saat penulis memberikan pertanyaan
yang sama terhadap Bapak Dakwan, bapak H. Isa, bapak A,
Kohar Hawasi, bapak Makrup MS dan bapak Herman melalui
hasil wawancara penulis dengan mereka, hasil wawancara saya
tersebut adalah calon mempelai tidak bisa dinikahkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan ada
yang tidak mempunyai biaya yang dibutuhkan, mulai dari
pengurusan KTP, KK, N1, N2, dan N4 sampai biaya
perkawinan di KUA.109
Di samping itu penulis mewawancarai para pelaku nikah
dengan wali muhakkam, penulis mengajukan pertanyaan: Apa
yang menyebabkan anda menikah dengan wali muhakkam?
Diantara pasangan suami isteri yang menikah dengan wali
muhakkam ialah Ali asmin dan Atika. Keduanya
menyebutkan, bahwa mereka melaksanakan perkawinan
dengan wali muhakkam adalah karena mereka berstatus duda
dan janda, tetapi mereka tidak mempunyai akta cerai serta
108
H. Sayuti HS, Ketua MUI Kecamatan Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 3 Januari
2011. 109
Dakwan, H.M.Isa dan Abdul Kohar, Ma‟rup. MS dan Herman, Tokoh Agama
Kecamatan Jambi Timur, wawancara, 6 Januari 2011
102
orang tuanya (ayah) dari Atika berada jauh di kampung. Oleh
sebab itu mereka tidak bisa menikah melalui Pegawai Pencatat
Nikah (PPN) di KUA Kecamatan. Apalagi mereka sudah
sangat saling mencintai, sehingga mereka memutuskan
menemui bapak Dakwan salah seorang tokoh agama yang
diminta untuk menjadi wali nikahnya.110
Keterangan lainnya adalah dari pelaku nikah dengan
wali muhakkam adalah Indra Mulya dan Farida, pasangan ini
ketika penulis mewawancaranya tentang alasan-alasan
mengapa mereka menikah dengan wali muhakkam. Keduanya
menjawab bahwa mereka menikah karena mereka tidak
mempunyai akta cerai. Sedangkan wali nasab, yakni ayah dari
farida sudah wafat. Sementara mereka tidak mempunyai wali
nasab yang lain yang ada di Jambi. Lantas mereka menemui
KH. Abdul Latif dan meminta supaya bersedia, menikahkan
mereka.111
Pelaku nikah dengan wali muhakkam lainnya adalah
Subandi dan Eni Sri Muryani. Penulis mewawancarai
keduanya, saat penulis menanyakan apa yang menjadi alasan
mereka menikah dengan wali muhakkam. Diantaranya adalah
karena mereka tidak mempunyai akta cerai padahal status
mereka adalah janda dan duda. Sebagai jalan keluarnya
mereka menemui Bapak Makrup. MS dan mengangkatnya
sebagai wali nikah dan menikahkan mereka.112
110
Ali Samin dan Atika, Pelaku Nikah dengan Wali Muhakkam, Wawancara, Jambi, 7
Januari 2011. 111
Indra Mulya dan Farida, Pelaku Nikah dengan Wali Muhakkam, Wawancara, Jambi, 8
Januari 2011 112
Subandi dan Eni Sri Muryani, Pelaku Nikah dengan Wali Muhakkam, Wawancara,
Jambi, 8 Januari 2011
103
Keterangan berbeda penulis dapatkan dari pasangan
suami isteri Masianto dan Sriyuni. Penulis juga mengajukan
pertanyaan melalui wawancara kepada Masianto dan Sriyuni
pasangan suami isteri yang menikah dengan wali muhakkam.
Penulis menanyakan tentang apa yang menyebabkan mereka
melakukan nikah dengan wali muhakkam. Mereka menjawab
bahwa mereka sebelumnya adalah jejaka dan gadis, namun
wali nikah yakni bapak Sriyuni telah meninggal dan wali
nasab yang lain tidak ada, ditambah lagi menurut mereka
bahwa mereka tidak memiliki cukup biaya untuk mengurus
surat-menyurat seperti N1, N2, dan N4 dan biaya lainnya.
Namun mereka juga berniat kalau sudah menikah akan
mengurus akta nikahnya di KUA Kecamatan.113
Selain keterangan di atas, dan beberapa hasil wawancara.
Penulis dengan pelaku nikah dengan wali muhakkam,
ditemukan bahwa alasan yang paling banyak dikemukakan
adalah calon mempelai tidak mempunyai akta cerai bagi
mereka yang telah berstatus duda atau janda, tidak mempunyai
wali nasab dan tidak mempunyai cukup biaya untuk mengurus
perkawinan melalui KUA Kecamatan atau Penghulu.
Melihat keadaan pasangan suami isteri yang menikah
dengan wali muhakkam sebagaimana di table 4 dan table 5
(dari tahun 2009 s.d 2010) pada uraian di atas, nyata sekali
bahwa kebanyakan diantara mereka yakni 21 pasang dari 26
pasang suami isteri telah berstatus duda atau janda, atau
113
Masianto dan Sriyuni, Pelaku Nikah dengan Wali Muhakkam, Wawancara, Jambi, 9
Januari 2011
104
keduanya adalah duda dan janda. Sementara itu hanya 5
pasang suami isteri yang berstatus jejaka dan perawan.114
Hal tersebut tentu menjadi bukti bahwa status suami dan
isteri yang telah duda dan janda tanpa mempunyai akta cerai
dari pengadilan, menyebabkan mereka tidak bisa menikah
dengan wali hakim di KUA Kecamatan. Sehingga mereka
mengambil jalan lain yakni menikah dengan wali muhakkam.
Menurut hasil observasi yang penulis lakukan, faktor
penyebab terjadinya nikah dengan wali muhakkam di Jambi
timur antara lain adalah:
a. Karena minimnya pengetahuan orang yang melaksanakan
perkawinan tersebut tentang peraturan dan Undang-undang
Perkawinan.
b. Karena wali nasab tidak ada atau walinya jauh.
c. Para pelaku nikah dengan wali muhakkam ini berstatus
janda dan duda tetap tidak bisa dibuktikan dengan akta
cerai.
d. Para pelaku nikah dengan wali muhakkam ini tidak sabar
menunggu, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yakni 10 har kerja dari pendaftaran.
e. Karena mereka merasa berat mengurus persyaratan yang
sudah ditetapkan mulai dari pembuatan KK, KTP, PBB,
N1, N2, N4, pasfoto dan imunisasi bagi calon mempelai
perempuan.115
114
Lihat Tabel 3 dan 4 halaman 71-72 115
Observasi, Jambi, 5-6 Januari 2011
105
f. Karena calon mempelai perempuan sudah terlebih dahulu
hamil, sehingga cepat-cepat dinikahi walaupun dengan wali
muhakkam guna menutupi aib.
g. Karena calon isteri yang akan dinikahi merupakan isteri
kedua, ketiga atau keempat.
h. Karena masih ditemukan tentang kebolehan nikah dengan
wali muhakkam dalam sebagian kitab-kitab fiqh.
i. Karena masih sering ditemukan perkawinan dengan wali
muhakkam di tempat lain.
j. Karena belum ada yang mendapat sanksi dari pernikahan
dengan wali muhakkam.116
A. Akibat yang Ditimbulkan Melalui Perkawinan dengan Wali
Muhakkam
Setelah sub bab tentang bentuk pelaksanaan dan faktor
penyebab terjadinya perkawinan dengan wali muhakkam di Jambi
Timur, maka pada sub bab ini penulis akan menjelaskan akibat
yang ditimbulkan melalui perkawinan dengan wali muhakkam.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam telah dijelaskan,
bahwa pada Pasal 6 ayat (2) Perkawinan yang dilakukan di luar
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan
hukum.117
Perkawinan dengan wali muhakkam merupakan
pernikahan sirri, yakni perkawinan yang tidak tercatat atau tidak
memiliki kutipan akta nikah wali muhakkam pada dasarnya tidak
diakui di depan hukum.
116
Da‟wan, Tokoh Agama Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 7 Januari 2011 117
Anonim, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hal.5
106
Berbagai pertimbangan di atas, pernikahan semacam ini
menyebabkan munculnya wacana untuk menindak pelaku nikah
sirri – termasuk nikah dengan wali muhakkam – diantaranya
adalah munculnya Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama
yang diantara keputusan adalah menindak pelaku nikah sirri.
Keinginan pemerintah untuk memberikan fatwa hukum
yang tegas terhadap pernikahan sirri, kini telah dituangkan dalam
rancangan undang-undang tentang perkawinan. Sebagaimana
penjelasan Nasarudin Umar, Direktur Bimas Islam Depag, RUU
ini akan memperketat pernikahan sirri, kawin kontrak, dan
poligami.
Berkenaan dengan nikah sirri, dalam RUU yang baru
sampai di meja Setneg, pernikahan sirri dianggap perbuatan
ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi
penjara minimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Tidak hanya itu
saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang
dikawinkan secara nikah sirri, poligami, maupun nikah kontrak.
Setiap penghulu yang menikahkan seorang yang bermasalah,
misalnya masih terkait dalam perkawinan sebelumnya, akan
dikenakan sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan
agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga
diancam denda Rp. 6 juta dan 1 tahun penjara.118
Isu mempidanakan pelaku nikah sirri telah menimbulkan
sikap kontra dari kalangan ulama. Misalnya saja dari Ketua MUI
Jawa Timur sebagaimana dilansir dalam situs berita
www.okezone.com :
118
Syamsuddin Ramadhan An Nawiy, Pandangan Islam tentang Nikah Sirri,
www.faridm.com, 28 Februari 2009
107
Surabaya – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur
menolak keras rencana pemberlakuan sanksi pidana bagi pelaku
nikah sirri. Penolakan itu menyusul Rancangan Undang-Undang
(RUU) tentang Peradilan Agama yang memuat sanksi pidana bagi
pelaku nikah sirri.
“Sangat disayangkan, Depag mengusulkan RUU
tersebut,” ujar Ketua MUI Jatim Abdus Shomad ketika dihubungi
wartawan di Surabaya, Jum‟at (19/2/2010).
Selain tentang pemidanaan praktik nikah sirri, Shomad
menambahkan, MUI Jatim juga menolak rencana penghapusan
UU penistaan agama. “Untuk UU penistaan agama lebih baik
jangan dihapus, MUI Jatim menolak itu”, imbuhnya.
RUU tindak pidana praktik nikah sirri, menurut Shomad,
bertentangan dengan ajaran islam, sebab menurut hukum Islam
nikah sirri adalah sah. Pemerintah diminta terlebih dahulu
mengkaji hal itu, sebelum mengesahkan UU tersebut.
“(Tidak etis) jika nikah sirri dipidanakan sementara UU
yang mengatur tentang pelacuran tidak ada. Karena pelacur dan
perzinahan di Indonesia kini masih marak,” lanjut Shomad.
Pemerintah, kata dia, semestinya memberantas praktik
pelacuran, sebelum membuat UU tentang pidana nikah sirri.
“Di dalam nikah sirri akan ada saksi, wali dan hakim,
namun yang harus diatur dan dipidanakan adalah seseorang yang
melakukan nikah sirri, namun sang suami menelantarkan sang
isteri atau anaknya, maka dia harus dipinakan,”tuturnya.119
119
Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur, MUI Jatim Tolak Sanksi Pidana Nikah Sirri,
www.okezone.com, Surabaya, 19 Februari 2010.
108
Barangkali kalau Rancangan Undang-Undang itu benar-
benar disahkan menjadi Undang-Undang maka akibat hukum
bagi pelaku nikah dengan wali muhakkam tentu lebih serius lagi
yakni masuk ranah delik pidana. Sehingga dengan demikian
mereka yang melakukan bisa mendapatkan sanksi pidana. Bahkan
juga bisa menyeret orang-orang yang terlibat misalnya wali
muhakkam itu sendiri.
Terlepas menjadi kenyataan atau tidak Rancangan
Undang-Undang Peradilan Agama itu, apakah memang
perkawinan dengan wali muhakkam sendiri telah memberikan
akibat yang drasakan oleh para pelaku. Untuk mengetahi hal itu
maka diperlukan bukti-bukti dan tentu memerlukan informasi.
Untuk mengetahui hal ini penulis mewawancarai beberapa
informan yang terkait dengan perkawinan dengan wali
muhakkam.
Pada saat peulis mengajukan pertanyaan kepada
Muhammad Sofwan S.Ag selaku Kepala KUA Kecamatan Jambi
Timur dengan pertanyaan, menurut bapak apa akibat yang
ditimbulkan melalui perkawinan dengan wali muhakkam? Lalu ia
menjawab menurut saya akibat hukum yang ditimbulkan melalui
perkawinan dengan wali muhakkam adalah suami isteri yang
menikah dengan wali muhakkam tidak bisa mendapatkan dan
memiliki kutipan akta nikah yang diakui dan sah menurut
Undang-undang.120
Pada kesempatan yang lain penulis juga mewawancarai
Bapak H. Adi Sumarno, salah satu tokoh pemuda Jambi Timur
120
M. Sofwan, Kepala KUA Kecamatan Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 6 Januari
2011
109
tentang apa akibat dari perkawinan dengan wali muhakkam.
Beliau mengatakan apabila pasangan suami isteri yang menikah
dengan wali muhakkam, maka akibatnya akan terjadi pada masa
yang akan datang, misalnya isteri dan anak-anak yang
ditinggalkan oleh suami dan bapaknya, sementara mereka tidak
mendapatkan nafkah lahir dan batin jika mereka tidak
mempunyai salinan akta nikah, maka isteri dan anak-anaknya
tidak bisa mengadu kepada Pengadilan Agama. Dengan kata lain
isteri dan anaknya tidak dapat melakukan upaya hukum untuk
menyelesaikan masalah pengabaian hak isteri dan anak-anaknya.
Apabila mereka memiliki harta maka mereka tidak bisa
mengambil haknya karena tidak ada bukti otentik yang
dibenarkan hukum bahwa harta itu milik mereka.121
Begitu pula pada saat penulis bertanya kepada Bapak
Ibrahim Taher, BA sebagai tokoh adat Kecamatan Jambi Timur,
menurut bapak apa akibat yang ditimbulkan perkawinan dengan
wali muhakkam, lalu ia menjawab menurut pendapat saya bahwa
diantara akibat dari perkawinan dengan wali muhakkam yang
terjadi di masyarakat Jambi Timur adalah mereka yang menikah
dengan wali muhakkam, akan mengalami kesulitan dalam
membuktikan bahwa mereka adalah pasangan suami isteri yang
sah. Misalnya, saat sebuah keluarga pindah rumah. Biasanya
Ketua RT akan menanyakan apakah mereka mempunyai buku
nikah. Apabila mereka tidak bisa menunjukan buku nikah, maka
RT meminta bukti lain seperti surat keterangan nikah, namun
biasanya dia akan menyarankan agar pasangan suami isteri segera
mengurus, akta nikah yang sesuai Undang-Undang Perkawinan
121
Adi Sumarno, Tokoh Pemuda Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 24 Januari 2011
110
yakni mengambil buku nikah dari Kantor Urusan Agama
Kecamatan.122
Informasi lain penulis dapatkan pula dari Bapak Drs.
Muhammad Soeb, salah seorang tokoh pemuda dan sehari-hari
bekerja menjadi Penghulu di Kantor Urusan Agama Kecamatan
Jambi Timur. Beliau menyatakan apabila pasangan suami isteri
melakukan perkawinan dengan wali muhakkam dan tidak
mempunyai buku nikah, maka manakala mempunyai anak-anak
yang telah dewasa lantas bertanya tentang buku nikah orang
tuanya. Apabila orang tuanya tidak bisa menunjukan buku
nikahnya, maka bisa jadi anak-anaknya akan menyangka bahwa
kedua orang tuanya dulu menikah tanpa restu kakek dan
neneknya, atau mereka malah kawin lari. Hal ini tentu akan
menimbulkan kesan yang kurang baik, atau malah membuat
mental anak terjangkiti perasaan minder karena menyangka
bahwa orangtuanya „kawin lari‟.123
Penulis mewawancarai Bapak bambang Darmawan,
S.HI, Penghulu di KUA Kecamatan Jambi Timur. Penulis
menanyakan, apa akibat yang ditimbulkan perkawinan dengan
wali muhakkam? Menurutnya perkawinan dengan wali
muhakkam hanya menimbulkan akibat bagi pelaku dalam
birokrasi saja. Misalnya membuat akta kelahiran anak, atau
persoalan yang menuntut pembuktian perkawinan yang diakui di
mata hukum. Misalnya pembuktian ahli waris, yang hanya bisa
ditujukan dengan adanya akta nikah. Adapun bila yang dimaksud
122
Ibrahim Thaher, Ketua Lembaga Adat Kec. Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 23
Januari 2011 123
Muhammad Soeb, Tokoh Pemuda dan Penghulu di KUA Kec. Jambi Timur,
Wawancara, Jambi, 24 Januari 2011.
111
akibat hukum yang bersifat pidana. Menurutnya bahwa selama ini
tidak pernah terdengar mereka yang dipidana oleh karena
menikah dengan wali muhakkam. Hanya saja itu masih wacana
dan masih berupa RUU yang masih kontroversial.124
Dari hasil wawancara penulis diatas maka menurut
penulis hanyalah berdasarkan asumsi-asumsi semata tanpa
didasarkan fakta nyata, karena di dalam buku-buku fiqh tidak ada
satu pendapat pun yang mengatakan tentang akibat yang
ditimbulkan oleh perkawinan dengan wali muhakkam, dan begitu
pula dengan Kompilasi Hukum Islam atau Undang-Undang
Perkawinan. Yang ada adalah perbedaan pendapat tentang sah
atau tidaknya perkawinan dengan wali muhakkam.
Di samping itu kebiasaan di masyarakat Jambi Timur
bila seorang bapak meninggal dunia ada atau tidak ada surat
nikah maka isterinya tetap diurus keluarga. Begitu juga dengan
para pendatang baru, bila melapor ke ketua RT apabila ditanya
tentang buku nikah, kalau tidak ada maka ketua RT biasanya
sudah merasa cukup apabila pasangan suami isteri menunjukan
bukti nikah seperti surat keterangan. Namun bila dihadapkan
terhadap urusan pemerintah yang membutuhkan persyaratan buku
nikah maka urusan yang bersangkutan tentu akan terkendala
karenanya. Sementara itu sebagian masyarakat Jambi Timur
masih terdapat anggapan yang kuat bahwa nikah dengan wali
muhakkam atau tanpa pencatatan di KUA Kecamatan adalah sah
menurut agama tanpa mempertimbangkan akibat yang
ditimbulkannya.
124
Bambang Darmawan, Penghulu di KUA kec. Jambi Timur, wawancara, Jambi 15
Januari 2011
112
Berdasarkan hal tersebut di atas, menurut penulis
perkawinan dengan wali muhakkam akan berakibat :
1. Tidak bisa mendapatkan akta kelahiran, bila anak lahir hasil
perkawinan dengan wali muhakkam, karena untuk
memperoleh akata kelahiran harus memiliki akta perkawinan,
yang dibuktikan dengan adanya buku nikah yang isinya adalah
kutipan dari akta perkawinan yang ada di KUA Kecamatan.
2. Jika akta perkawinan tidak ada, maka apabila anak dari suami
isteri yang tidak mempunyai akta perkawinan akan kesulitan
untuk masuk ke sekolah dan ujian nasional.
3. Sulit dalam melamar pekerjaan, karena seseorang biasanya
akan dimintakan akta kelahirannya terutama ketika
melengkapi bahan kelulusan CPNS.
4. Bila salah seorang suami atau isteri meninggal dunia, maka
suami atau isteri yang ditinggalkan (janda atau duda) tidak
diakui di depan hukum sebagai ahli waris tanpa adanya akta
nikah sesuai peraturan perundang-undangan.
5. Bila suami atau isteri yang menikah dengan wali muhakkam
salah satunya menjadi PNS, maka ia tidak bisa memasukan
suami atau isterinya serta anaknya ke dalam daftar gaji karena
tidak memiliki akta nikah. Sehingga tunjangan mereka tidak
diberikan oleh negara.
6. Apabila salah satu suami isteri yang menikah dengan wali
muhakkam itu pensiun, maka isteri atau suaminya tidak
mendapatkan hak dari pensiunnya karena daftar gaji pensiun
juga di dasarkan atas akta nikah.125
125
M. Sofwan, Kepala KUA Kecamatan Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 10 Januari
2011
113
B. Status Hukum Perkawinan dengan Wali Muhakkam Menurut
Hukum Islam
Sebagaimana telah dipaparkan pada sub bab di atas, jelas
bahwa nikah dengan wali muhakkam merupakan salah satu
bentuk dari nikah sirri, yakni nikah yang tidak tercatat dan tidak
mempunyai akta nikah. Memang nikah sirri masih menjadi isu
yang masih kotroversial dalam kedudukan peraturan perundang-
undangan Indonesia dan syariat Islam.
Bahkan Menteri Agama Surya Darma Ali pernah
menyatakan itu sah menurut syariat Islam apabila telah terpenuhi
rukun dan syaratnya.
“Menurut pribadi saya, nikah sirri itu sah menurut agama
karena syarat dan rukunnya terpenuhi. Kawin sirri dalam
terminologi fiqh tidak ada, tetapi kawin sirri di Indonesia dikenal
sebagai pernikahan yang tidak dicacat, namun diketahui oleh
kedua keluarga dan ada saksi serta walinya. Jadi perkawinan itu
tidak sesuai dengan namanya,” ujarnya. Suryadharma Ali tidak
sependapat jika nikah sirri diartikan sebagai nikah diam-diam,
karena sudah sesuai dengan ketentuan agam Islam. “Jadi bukan
sesuatu yang bertentangan. Dari hukum Islam sah dan bukan
seperti yang dipahami kawin secara diam-diam, bukan itu
maksudnya,” jelasnya.126
Jika nikah dianggap sah kalau telah sesuai dengan
ketentuan, yakni terpenuhi syarat dan rukunnya. Maka sudah
126
Suryadarma Ali, Nikah Sirri Sah Jika Sesuai Ketentuan, www.okezone.com,
Jakarta,19 Februari 2010
114
tentu pula nikah dengan wali muhakkam tentu bisa dibenarkan
sesuai dengan syariat Islam.
Bias yang muncul adalah mengenai wali nikah dalam
perkawinan dengan wali muhakkam. Karena sudah mafhum
bahwa, wali nikah bagi perempuan ada dua, yakni wali nasab dan
wali hakim. Jika seorang perempuan tidak mempunyai wali nasab
maka hakimlah yang menjadi wali nikahnya.
Untuk menjawab hal ini penulis berusaha
mengumpulkan beberapa penjelasan dari para ulama, tentang
apakah boleh seorang wanita, yang tidak mempunyai wali nasab,
putus walinya atau walinya berada di tempat yang jauh
menjadikan orang lain yang bukan hakim menjadi wali nikahnya?
Qurthubi berkata, bahwa, jika perempuan yang tinggal di
tempat yang tidak ada sultan dan tidak pula memiliki wali, maka
penyelenggaraan nikahnya dapat diserahkan kepada tetangga
yang dipercayainya untuk mengakadnikahkannya. Dalam hal
yang demikian itu tetangga telah menjadi wali, karena stiap orang
yang mau kawin tetapi dalam pelaksanaannya hendaklah dengan
sebaik-baiknya dikerjakan. Dalam hal ini Malik berkata tentang
perempuan yang kondisinya lemah, ia boleh dikawinkan oleh
orang yang diserahi urusannya, karena tidak dapat pergi kepada
sultan. Jadi seolah-olah sultan tidak berada di tempatnya sehingga
seluruh orang Islam secara umum dapat bertindak menjadi wali.
Syafi‟i berpendapat bahwa apabila dalam masyarakat
terdapat perempuan yang tidak mempunyai wali, lalu ia
mewakilkannya kepada seorang laki-laki untuk menikahkannya
maka hukumnya boleh, karena hal itu merupakan tindakan
115
mengangkat hakim dan orang yang diangkat sebagai hakim sama
kedudukannya dengan hakim itu sendiri.127
Menurut Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
dijelaskan pula bahwa apabila suatu perkawinan yang seharusnya
dilaksanakan dengan wali hakim padahal di tempat itu tidak ada
wali hakimnya, maka perkawinan dilangsungkan dengan wali
muhakkam.128
Di dalam kitab ‘Ianatut Thalibin Juz 3 dijelaskan :
جا )شفز ممن(إ ىــــ جذ ى مث) عذه( دشىر ع خا حمكمم
جا إ قاض مثن ملإرا جمتهدان ملطثاأشاىز
.جمتهدا احملكممىغشأو، إال فشرشط م Artinya : Kemudian jika tidak ada seorang wali pun dari
orang-orang yang telah disebut di atas. Maka yang
mengawinkan adalah orang merdeka yang
diangkatkan sebagai (wali muhakkam yang adil). Dia
diangkat oleh kedua belah pihak yang bersangkutan
untuk mengurus perkawinan mereka. Sekalipun (wali
muhakkam itu) bukan mujtahid, jika di tempat mereka
tidak terdapat qadhi sekalipun yang bukan ahlinya.
Akan tetapi jika di tempat mereka terdapat serang
qadhi yang bukan ahlinya maka disyaratkan bagi wali
muhakkam yang diangkat hendaknya dia seorang
mujtahid.129
127
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 7, hal.27 128
Anonim, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, hal.35 129
Lissaid Abi Al-Mansyur Bissayidil Bakri bin As-Sayyid Muhammad Syathad Dimyati
Al-Misri, Taziliu Makkatal Musyafafah, (Syirqah Al-Ma‟arif Lithabal Wannasi,
Syirqah Nurussyaqafah Al-Islamiyah, t.th), Juz 3, hal. 318-319
116
Dan demikian pula bahwa wanita boleh mengangkat
seseorang yang adil untuk menjadi walinya. Sebagaimana yang
terdapat dalam kitab ‘Ianatut Thalibin Jus 3 dijelaskan :
ج إالتذسا، م دذز حلاشخا : عإ ما ا قاه م الز
ذى عذالع جد إ صيا أ هلاا ـــ فرج أ أ
العزه تزىل تأ عي ىزىل داه اىرىح.
Artinya : Syaikhuna (Ibnu Hajar) mengatakan bahwa memang
dibenarkan jika hakim tidak mau menikahkan kecuali
dengan diberi dirham (uang) seperti yang terjadi pada
masa sekarang. Untuk jalan keluarnya pihak perempuan
boleh menngangkat seorang yang adil sebagai walinya
tanpa memandang keberadaan hakim. Sekalipun, kita
percaya bahwa ia tidak dapat dipecat karena
perbuatannya itu, mengingat orang yang mengangkatnya
mengetahui hal tersebut di saat pengangkatannya.130
Dari penjelasan tersebut di atas, maka dapat diketahui
bahwa orang yang bisa menjadi wali muhakkam harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
1. Beragama Islam
2. Aqil baligh
3. Laki-laki131
4. Mempunyai pengetahuan tentang hukum Islam (ulama)132
130
Lissaid Abi Al-Mansyur Bissayidil Bakri bin As-Sayyid Muhammad Syathad
Dimyati Al-Misri, Taziliu Makkatal Musyafafah, (Syirqah Al-Ma‟arif Lithabal
Wannasi, Syirqah Nurussyaqafah Al-Islamiyah, t.th), Juz 3, hal. 318-319 131
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat, hal. 103
117
5. Bersikap adil133
Pada masa sekarang para ulama agaknya
mempertimbangkan juga aspek ini, yakni kebolehan untuk
mengambil jalan wali muhakkam jika wali hakim mempersulit
atau meminta imbalan atau biaya kepada calon pengantin. Dalam
hal ini penulis mendapat fatwa dari Majelis Ulama Indonesia DKI
Jakarta telah mengeluarkan fatwa tersebut. Berikut ini penulis
cantumkan fatwa tersebut yang telah dimuat oleh Institut
Pengurusan dan Penyelidikan Fatwa Sedunia (INFAD) University
Sains Islam Malaysia, Tingkat 1, Fakulti Syariah dan Undang-
Undang dalam situsnya. www.e-infad.my:134
Di tengah-tengah masyarakat Indonesia, seringkali
terjadi perkawinan antara seorang pria dan wanita yang tidak
dihadiri oleh wali nasab dari pihak mempelai wanita.
Ketidakhadiran wali nasab tersebut, bisa jadi karena yang
bersangkutan tidak menyetujui dilangsungkannya pernikahan,
atau bertempat tinggal diluar negeri atau luar daerah, sehingga
sulit menghadiri pernikahan tersebut atau karena sebab lain. Agar
pernikahan tersebut dapat berlangsung, maka pihak mempelai
wanita menunjuk wali hakim dari kalangan pegawai Kantor
Urusan Agama (KUA) yang ditunjuk oleh pemerintah, atau wali
muhakkam dari tokoh masyarakat atau ulama setempat.
Untuk memberikan pemahaman kepada umat Islam
tentang sah atau tidaknya pernikahan yang dilangsungkan oleh
wali hakim atau muhakkam, maka MUI Provinsi DKI Jakarta
132
Anonim, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, hal.35 133
Aziz Zainuddin bin Abdul Al-Malibari Al-Fannani, Terjemahan, Fathul Mu‟in,
hal.1239 134
MUI DKI Jakarta, Fatwa Tentang Wali Muhakkam, http://www.e.infad.my, 17 Januari
2011
118
memfatwakan tentang pengangkatan wali hakim (muhakkam),
sebagai berikut:
1. Bahwa pernikahan yang sah menurut syari‟at Islam, adalah
pernikahan yang dilaksanakan berdasarkan syariat Islam
dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun pernikahan
yang disebut dalam kitab-kitab fiqh. Seperti adanya calon
suami, calon isteri, wali dan dua orang saksi yang beragama
Islam dan bersifat adil, serta ijab qabul. Di samping itu, harus
dicatat pada Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan
setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
2. Bahwa suatu pernikahan harus dihadiri oleh wali dan kedua
orang saksi laki-laki yang adil. Jika memungkinkan, yang
menjadi wali pernikahan adalah wali nasab, yaitu; ayah
kandung, atau kakek, atau saudara laki-laki mempelai wanita.
Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasalam dalam hadist shahih yang diriwayatkan Imam al-
Baihaqi dalam kitab Sunan al-Kubra dari „Aisyah RA, sebagai
berikut:
شا ذ عذه )سا اىثق(الناح إالى
Artinya : Tidak sah suatu pernikahan, kecuali jika dihadiri oleh
wali dan kedua saksi yang adil.
Demikian juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam yang diriwayatkan Imam Ad-Daruquthni dari
sahabat Abu Hurairah RA :
119
ج ج املرأجاملرالذز اىزاح املرأجالذز الميتأجفضا فإ
ج فضا )سا ات اجح، ع(اجلاصذخ يفذز
Artinya : Wanita, tidak boleh menikahkan dirinya sendiri,
karena sesungguhnya wanita pelaku zina adalah
wanita, yang menikahkan dirinya sendiri.
3. Jika wali nasab menolak untuk menikahkan anak gadisnya
dengan laki-laki yang kafa‟ah atau tidak bisa menghadiri
pernikahan karena bertempat tinggal di luar negeri atau luar
daerah atau karena sebab lain, maka untuk mempermudah dan
memperlancar pelaksanaan pernikahan, mempelai wanita
dapat menunjuk wali hakim dari kalangan pegawai Kantor
Urusan Agama (KUA) yang ditunjuk oleh pemerintah.
Hal ini didasarkan pada hadist shahih yang diriwayatkan
Imam Tirmidzi dari „Aisyah RA. Sebagai berikut :
سصه هللا صي هللا عي صي أااشأجنذد ع عائشح أ
تغشإر ىا فنادا تاطو فناداتاطو فناداتاطو فإ
لم افاىضطاشتجرفشجا فإ اصرذو ااملهرمبفيا هبادخو
سا اىرشز( ىل ال
Artinya : Dari Aisyah bahwa sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda setiap wanita
yang melangsungkan perkawinan tanpa seizin
walinya, maka pernikahan-nya batal, batal, batal. Jika
suaminya telah menggaulinya, maka ia berhak
memperleh mahar. Jika para wali berselisih
120
(bertengkar) maka pemerintah adalah menjadi wali
bagi orang yang tidak memiliki wali. (HR. At-
Tirmidzi).
4. Sepanjang masih ada wali hakim dari kalangan pegawai
Kantor Urusan Agama ( KUA) yang ditunjuk oleh pemerintah,
maka mempelai wanita tidak boleh menunjuk Wali Muhakkam
dari tokoh masyarakat atau ulama setenpat. Sebab jika hal itu
diperbolehkan, maka akan membuka pintu terjadinya
perkawinan di bawah tangan yang tidak tercatat, sehingga
mengakibatkan kesulitan perlindungan hukum bagi kedua
mempelai dan anak-anak keturunan mereka.
5. Jika wali hakim dari kalangan pegawai Kantor Urusan Agama
(KUA) Kecamatan yang ditujukan oleh pemerintah
mempersulit pelaksanaan pernikahan, atau menuntut honor
yang memberatkan orang yang hendak melangsungkan
pernikahan, atau memperlambat pelaksanaan tugasnya
melebihi batas waktu yang wajar, sehingga menimbulkan
kegelisahan bagi orang yang bersangkutan, maka mempelai
wanita boleh menunjuk Wali muhakkam dari tokoh masyarakat
atau ulama setempat.
Keterangan lainya penulis peroleh pula dari Bapak M.
Sofwan, S.Ag. Kepala KUA Kecamatan Jambi Timur
mengatakan pada saat penulis mewawancarainya dengan
pertanyaan, bagaimana menurut bapak status hukum
perkawinan dengan wali muhakkam lalu ia menjawab menurut
yang saya ketahui seorang perempuan yang dinikahkan dengan
121
wali muhakkam adalah sah apabila tidak ada walinya (wali
nasabnya).135
Menurut Bapak H.A Sayuti HS, Ketua MUI Kecamatan
Jambi Timur pada saat penulis mewawancarainya dan
menanyakan bagaimana status hukum perkawinan dengan wali
muhakkam sebagaimana yang dilakukan sebagian warga di
Jambi Timur, dimana calon mempelai tidak bisa melaksanakan
perkawinannya dengan wali hakim atau penghulu, karena
misalnya seorang janda yang secara administrasi tidak
memiliki akta cerai atau wali hakim menghambat pernikahan
karena seorang perempuan atau calon mempelai itu tidak
memiliki biaya nikah, maka menurut beliau seorang
perempuan boleh mengangkat seseorang yang ahli dalam
agama untuk menjadi wali dalam pernikahannya.136
Keterangan yang agak berbeda penulis dapatkan dari
Bapak Drs. M. Soeb dan M. Hafiz, S.Ag. Keduanya
merupakan penghulu pada KUA Kecamatan Jambi Timur,
keduanya menyatakan bahwa seorang perempuan boleh
mengangkat seseorang sebagai wali untuk menikahkannya
apabila dalan keadaan situasi yang sangat darurat, misalnya
saat perang.137
Keterangan lain penulis peroleh dari Bambang
Darmawan, S.HI, salah seorang penghulu di KUA Kecamatan
Jambi Timur. Menurutnya seorang wanita boleh mengangkat
135
M. Sofwan, Kepala KUA Kecamatan Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 10 Januari
2011 136
H.A. Sayuti HS, Ketua MUI Kecamatan Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 11 Januari
2011 137
M. Soeb dan M. Hafiz, Penghulu KUA Kecamatan Jambi Timur, Wawancara, Jambi,
12 Januari 2011
122
orang lain menjadi wali muhakkam selama ada syarat-syarat
yang membolehkan itu. Misalnya saja wali nasab terputus,
jauh atau tidak diketahui keberadaannya, sementara ia tidak
memungkinkan berwali hakim di KUA Kecamatan karena
suatu hal. Misalnya tidak mempunyai akta cerai, karena sudah
jelas hakim di KUA Kecamatan tidak mungkin
menikahkannya karena terhalang dengan aturan hukum
negara.138
Menurut Bapak H.M. Isa salah seorang tokoh agama di
Jambi Timur, bahwa seseorang perempuan boleh mengangkat
seseorang sebagai wali dalam perkawinannya bilamana
perkawinannya tidak bisa dilangsungkan dengan wali nasab
atau wali hakim, oleh karena suatu hal seperti wali nasabnya
tidak ada atau wali hakim tidak bisa menikahkannya karena
terhalang Undang-Undang Perkawinan, seperti seorang janda
yang tidak mempunyai akta cerai atau yang lainnya.139
Selain keterangan diatas, penulis juga mendapatkan
keterangan dari hasil diskusi dari anggota penyuluh agama
fungsional Kota Jambi dengan jumlah anggota 21 orang yang
bertempat di Ruang Penyuluh Fungsional di Kantor
Kementrian Agama Kota Jambi dengan mengangkat tema
status hukum perkawinan dengan wali muhakkam menurut
hukum Islam dengan hasil sebagai berikut :
Hukum perkawinan dengan wali muhakkam adalah sah
menurut syar‟iat Islam dan pelakunya tidak boleh dianggap
138
Bambang Darmawan, Penghulu KUA Kec. Jambi Timur, Wawancara, 14 Januari
2011 139
H.M. Isa, Tokoh Agama Kecamatan Jambi Timur, Wawancara, Jambi, 14 Januari
2011
123
melakukan tindakan kemaksiatan, sehingga tidak berhak
dijatuhi sanksi di dunia dan akhirat. Dengan catatan calon
mempelai tidak bisa melakukan perwalian nikah dengan wali
hakim karena terhalang Undang-undang Perkawinan, dan
calon mempelai perempuan tidak mempunyai wali nasab, wali
nasabnya ghaib, atau berada di tempat yang jauh dimana
seseorang dibolehkan untuk meng-qashar shalat atau ketika
wali nasab adhal.140
Menurut para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh
adat dan tokoh pemuda yang penulis wawancarai tentang
bagaimana status hukum perkawinan dengan wali muhakkam,
maka penulis mendapat jawaban mereka hampir sama, yakni
menganggap sah nikah dengan wali muhakkam.
Para ulama berbeda pendapat tentang wanita yang
menikahkan dirinya sendiri dengan mengangkat seseorang
sebagai walinya. Menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf,
apabila seorang perempuan mengangkat orang lain menjadi
wali untuk menikahkannya itu sah mutlak, hanya wali yang
memiliki hak sanggah selama wanita itu belum melahirkan.
Adapun Daud Azh-Zhahiri dan orang-orang yang sependapat
dengannya mengambil dalil kebolehhan seseorang
mengangkat orang lain untuk menjadi wali dalam
pernikahannya, sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam
ىفأتاهنااىثة أدق تفضا ىا اىثنشضرأر )سا ضي( هتاصاهنافضاإر
140
Kantor Kemenag Kota Jambi, Diskusi, 5 Januari 2011
124
Artinya : seorang janda lebih berhak atas dirinya sendiri
daripada walinya. Sedangkan seorang gadis dimintai
izin leh bapaknya dan pengizinannya adalah sikap
diamnya.141
(HR. Muslim No.2546)
Hadits di atas sangatlah tegas mengenai kebolehan
wanita janda untuk mengangkat orang lain untuk menjadi wali
dalam pernikahannya, termasuk urusan-urusan yang lainnya.
Dalam hadits dari Ibnu Abbas dimana Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda :
ليىي صي هللا عي صي قاه ىش النبيع ات عثاس ع
راإقشاسا )سا اىضاء ( شقص ح ذضرأ اىر ش ة أ ع اىث
Artinya : Dari Ibnu „Abbas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam beliau bersabda, “Tidaklah bagi wali
mempunyai urusan mengenai janda. Sedangkan
wanita yatim (tidak berayah) diminta pendapatnya
dan diamnya adalah kerelaannya.142
(HR. Nasa‟i)
Hadits di atas menjadikan hak bagi wanita mengenai
dirinya dan menafikan urusan orang lain dalam hal
berhubungan dengan nikahnya, serta melingkupi apa yang
berhubungan dengan memilih calon suami juga berhubungan
dengan akad.
141
Imam Muslim, Shahih Muslim, Jilid 7, hal.242 142
Imam An-Nasa‟i, Sunan An-Nasa’i, (Riyadh: Maktabah Syamilah, t.th), Jilid 10,
hal.382
125
Adapun mengenai perawan bila melihat sifat dan
biasanya malu-malu untuk menegaskan kerelaannya, lebih-
lebih bertindak secara langsung dalam hal akad nikah, syara‟
mencukupkan dengan sesuatu yang menunjukan rela untuk
memberi keringanan baginya, akan tetapi bukan berarti syara‟
mencabut haknya untuk mencampuri langsung mengenai akad
yang padanya berdasarkan kaidah yang umum. Oleh karena
itu, selama perawan itu sudah baligh (dewasa) dan akil
(berakal sehat), ia mendapat perlakuan yang sama
sebagaimana janda, keduanya dipandang sama dalam hal
urusan nikah.143
Dengan demikian, sifat perawan tidak mempunyai
pengaruh bagi wanita tersebut untuk kehilangan haknya dalam
menentukan wali dalam pernikahannya karena akilah dan
balighah.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dan berdasarkan
hadits Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wasalam tersebut, maka
penulis berpendapat bahwa perkawinan dengan wali
muhakkam yang terjadi di Jambi Timur sudah sesuai dengan
hukum Islam. Hanya saja tidak sesuai dengan Undang-Undang
Perkawinan yang berlaku di Indonesia.
Maka status hukum perkawinan dengan wali muhakkam
adalah mubah (boleh) dalam arti sah perkawinan yang
dilakukan dengan wali muhakkam berdasarkan kaidah-kaidah
fiqh :
ساخالمخطواىضشسخ ذثخ (
143
Mahmud Syaltut, Perbandingan Mazhab Masalah Fiqh, hal.123
126
Artinya : Kemudharatan membolehkan yang terlarang.
جحالحا( ا دشا ع اىضشساخ المشاح ع
Artinya : Tidak ada yang haram ketika darurat dan tidak ada
yang makruh kalau terdesak kebutuhan.
( اأتخ ىيضشساجقذستقذسا
Artinya : Apa yang diperblehkan karena darurat diukur
menurut kadar kemudharatannya.144
Dan tidak sah (batal) perkawinan dengan Wali
Muhakkam berdasarkan kaidah fiqh berikut :
المصالحصذقذ عي جية المفادفع Artinya : Menolak mafsadah didahulukan dari para meraih
maslahat.145
144
Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqih, (Jakarta, 2007), hal.72-73 145
Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqih, (Jakarta, 2007), hal.29
127
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Jakarta,
Departemen RI, 2008
, 25 Tahun Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan,
Jakarta, Balitbang Departemen Agama RI, 2003.
A. Rahman Bakri dan Sukardj, Ahmad, Hukum Perkawinan
Manurut Islam, Undang-undang dan Hukum Perdata
(BW), Jakarta, PT. Hadi Karya Agung, 1981
Abidin, Slamet dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat, Bandung,
CV. Pustaka Setia, 1999, Jilid I.
Abu Daud, Imam, Sunan Abu daud, Beirut: Dar‟Ihya‟ut Turats
Al‟Arabi, t.th.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Bulughul Maram min Ahkam, Surabaya:
Achmad bin Nabhan, t.th), h.201.
Al-Fannani, Aziz Zainuddin bin Abdul Al-Malibari, Terjemahan
Fathul Mu’in, Bandung: Sinar Baru Algasindo, 2003.
Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala Mazahib Al-Arba’ah,
Beirut: Dar Al-Fikr, t.th, Juz 4
Al-Marbawi, Muhammad Idris Abdurrauf, Kamus Idris Al-
Marbawi, Arab Melayu: Yhoba‟a Ala Nafaqoh
Maktabah Wamattaba‟ah Al-Hidayah, Surabaya, tt.
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdhar, Kamus Kontemporer
Arab Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika
Pndok Pesantren Krapyak, 1998
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam Dalam Peradilan Agama,
Jakarta,: Pt. Raja Grafindo Perdana, 2002
128
Ali, Suryadarma, Nikah Sirri Sah Jika Sesuai Ketentuan,
www.kezone.com, Jakarta: 19 Februari 2010
An-Nasai, Imam, Sunan An-Nasa’i, Riyadh: Maktabah Syamilah,
t.th, Jilid 10
An Nawiy, Syamsuddin Ramadhan, Pandangan Islam tentang
Nikah Sirri, www.faridm.com, 28 Februari
Anonim, Buku Pintar Keluarga Muslim, Semarang: Badan
Penasehatan Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian
BP.4, 1993.
, Badan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Dirjen Bimas
Islam Departemen Agama RI, 2004
, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI,
1997/1998
, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Jakarta:
Dirjen Bimas Islam Dan Urusan Haji, 1999/2000
, Pedoman Penghulu, Jakarta: Dirjen Bimas Islam dan
Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, 2005
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek, Jakarta: Bineka Cipta, 1988
As-Sayyid Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Kahlani Summa,
Subulus Salam, As-Sananil Ma‟ruf bil Amar, Penerbit
Dahlan, Bandung, t.th, Jilid 3
At-Tirmidzi, Imam, Sunan At-Tirmidzi, Riyadh: Maktabah
Syamilah, t.th, Jilid 4
Ayyub, Hasan, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003
Bakriy, Abd bin Nur Oemar, Kamus Arab Indnesia-Inggris, Jakarta,
Sumber Mulya, 1974
129
Dahlan, Abdul Aziz, Eksiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ikhtiar
Van Hope, 1996
Daly, Peunh, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1996
Dja‟far, Amir, Ilmu Fiqih Bagi Nikah Absitti Syamsyiah, Solo:
Secoyudan, 1983
Haramein, “Kedudukan Wali Dalam Pernikahan”, Majalah Paras,
Edisi Khusus No.28, 2006
Hasan, Ahmad, Tafsir Al-Qur’an Perkata Dilengkapi dengan
Asbabun Nuzul dan Terjemah, Jakarta: Pustaka
Maghfirah, 2009
Ibnu Majah, Imam, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Dar Al-Fikri, t.th, Jili
1
Idhamy, Dahlan, Asas-asas Fiqih Munakahat Hukum Islam,
Surabaya: Al-Ikhlas, t.th
Jawas, Yazid bin Abdul Qadir, Aqad Nikah, www.islamic-
wedding.com, 3 Februari 2009
Kamus Al-Munjid fil Lughah wal A’lam, Beirut: Darul Masyriqi Al-
Maktabah Asy-Syardiyah Sahanatun Najah, 1986
Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur, MUI Jatim Tolak Sanksi
Pidana Nikah Sirri, www.okezne.com, Surabaya, 19
Februari 2010
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta:
Lentera Basritama, 1996
Muslim, Imam, Shahih Muslim, Riyadh: Maktabah Syamilah, t.th.
Jilid 7
Musyarrafah, Lissayid Abi Bakrin Abi Bakrin Al-Mansyhur
Bissayidil Bakri bin as-Sayyid Muhammad Syatha
130
Dimyati Al-Misri Taziliu Makkatal Musyarrofah,
I’anatut Thalibin, Syirqah Al-Ma‟arif Lithabal
Wannasri, Syitqah Nurussyaqafah Al-Islamiyah, t.th,
Juz 3
MUI DKI Jakarta, Fatwa tentang wali muhakkam, www.e-
onfad.my, 17 Januari 2011
Nawawi, Hadri, Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: UGM Press,
1993
Rasyid Sulaiman, Fiqh Islam, Jakarta: Sinar Baru Algesindo, 2000
Cet.Ke-33
Ramulyo, M.Idris, Beberapa Masalah Hukum Acara Perdata PA
dan Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1985
Saleh, H.E. Hasan, Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Banung: Al-Ma‟arif, 1994, Alih
Bahasa Oleh Moh. Thalib, Jilid 4, cet.Ke-9
Sukamto, Sarjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press,
1986
Summa, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005
Sutrisno, Hadi, Metode Riset, Yogyakarta: Fak. Psikologi UGM,
1996
Syaltut, Syaikh Mahmud, Perbandingan Mazhab Masalah Fiqh,
Jakarta: Bulan Bintang, 973
Thalib, Sayuti, Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, Cet.Ke-4
Tihami, H.M.A. dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2009
131
Umur, Abd. Rahman, Kedudukan Saksi Dalam Peradilanan
Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Husna
Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: Pustaka
Mahmudin, 1956
Muhammad bin Makrum bin Mansur Al-Afriqi Al-Misri, Kamus
Lisanul Arab Al-Misri, Dar Shaddar, Beirut, t.th, Jilid.
12
132
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Drs. Abber Hasibuan, M.Sy
TTL : Siolip Kecamatan Barumun Tapanuli Selatan,
12 Juni 1964
Alamat : Jl. Sri S. Pakubuwono, RT. 33 No. 52
Kelurahan Tanjung Pinang Kecamtan Jambi Timur
Kota Jambi 36146
Telepon/Hp : (0741) 7076017/ 085266915991
Orang Tua : Jabungan Hasibuan (Ayah)
Tiagen Daulay (Ibu)
Istri : Rosidah
Anak : Asad Khatib Hasibuan (Laki-Laki)
Rodiyah Shalilah Hasibuan (Perempuan)
Saudara : Gong Matogu Hasibuan
133
Pendidikan :
No Pendidikan Tempat Tahun
1 Madrasah Ibtidaiyah NU Siborong Borong
Tapanuli Selatan
1974
2 Ponpes MTs Darul ‘Ulum Nabundong 1977
3 Ponpes Mas Darul ‘Ulum Nabundong 1980
4 IAIN STS Jambi (Sarjana
Muda)
Jambi 1986
5 IAIN STS Jambi (S1
Fakultas Syariah)
Jambi 1988
6 Pascasarjana IAIN STS
Jambi (S2)
Jambi 2011
Pengalaman Kerja :
1. Dosen STAI Ma’arif Jambi Tahun 1993 s.d Sekarang
2. Penyuluh Agama Fungsional Kementrian Agama Tahun
2000 s.d sekarang