prncann bhs

download prncann bhs

of 25

Transcript of prncann bhs

DASAR-DASAR PERENCANAAN BAHASA Oleh Masnur Muslich[*] Latar Belakang Perencanaan Bahasa Mengapa perencanaan bahasa diperlukan oleh masyarakat pemakainya? Berkaitan dengan itu, Charles A. Ferguson (1977) dalam bukunya Language Planning Processesmemberikan ilustrasi baik yang menyangkut karakteristik bahasa, pemakai bahasa, dan sejarah pemaksaan pemakaian bahasa oleh penguasa, yang pada garis besarnya sebagai berikut. Bahasa itu dinamis sehingga menyebabkan bahasa itu hidup, berubah, dan berkembang. Bahasa itu aktif dan terus berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat pemakai bahasa tersebut. Banyak pemakai bahasa yang sedikit banyak telah mempunyai pengetahuan tentang linguistik. Mereka dapat menilai dan menentukan apakah bahasa itu betul atau salah dalam penggunaannya. Mereka dapat memperkirakan apakah bahas itu baik, tidak baik, enak didengar, atau janggal ketika dipakai. Ada juga sebagian pemakai bahasa yang dapat membedakan apakah bahasa itu baku (standar), tidak baku, dialek, kreol, slang, dan variasi lainnya. Padaprinsipnya pemakai bahasa (penutur, penulis, pendengar, pembaca) dapat menilai apakah bahasa itu benar atau salah berdasarkan ilmu bahasa yang diketahuinya. Penjajah dapat juga menyebabkan penggunaan bahasa pada masyarakat tertentu berubah. Perubahan semacam ini banyak berlaku di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Penjajah memaksakan penggunaan bahasanya terhadap penduduk atau negara yang dijajahnya. Banyak negara di Afrika jajahan Perancis menggunakan bahasa Perancis sebagai bahasa resmi, meskipun negara tersebut telah merdeka. Sampai abad ke-16, terdapat tiga bahasa yang digunakan di Inggris, yaitu bahasa Inggris, bahasa Perancis, dan bahasa Latin. Bahasa Inggris digunakan di rumah dan komunikasi umum, bahasa Perancis digunakan di parlemen dan pemerintahan, dan bahasa Latin digunakan di gereja. Setelah itu, terjadi perubahan besar di Inggris (Jones, 1993). Pemerintah pada saat itu menetapkan strategi yang amat fondamental, yaitu bahasa Inggris harus digunakan di semua bidang dan ranah pemakaian, termasuk di parlemen dan gereja. Dalam waktu relatif singkat, pemakaian bahasa Perancis dan bahasa Latin tersisih. Sebab, bahasa Perancis yang biasa dipakai di parlemen beralih ke bahasa Inggris, begitu, bahasa Latin yang biasa dipakai di geraja beralih ke bahasa Inggris. Bahkan, rakyat Wales, Irlandia, dan Skotlandia yang biasanya menggunakan bahasa mereka sendiri, setelah keputusan pemerintah Inggris tersebut, ikut beralih ke bahasa Inggris. Pengorbanan dan kerelaan rakyat jajahan Inggris ini membantu kelancaran pembinaan dan pengembangan bahasa Inggris. Pada abad ke-18 dab 19 bahasa Inggris terus berkembang ke negara-negara jajahan Inggris. Hingga kini bahasa Inggris menjadi salah satu bahasa dunia dan dipakai dalam komunikai internasional. Aspek-aspek Perencanaan Bahasa Ferguson (1966) dan Steward (1968) menyatakan bahwa ciri-ciri bahasa yang memudahkan masyarakat awam menerima perencanaan bahasa adalah sebagai berikut.

Bahasa itu adalah bahasa pribumi (penduduk asli) atau bahasa ibu negara itu. Bahasa itu pernah menjadi lingua franca dalam negara itu dan antarnegara tetangga. Bahasa itu berpotensi (kreatif dan fleksibel) untuk perkembangan pendidikan, agama, sastra, iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), dan media massa. Bahasa itu mempunyai budaya yang mantap dan agung. Sejarah bahasa itu mantap dan sahih. Bahasa itu mempunyai banyak bahan dokumentasi untuk dikaji. Bahasa itu mempunyai pakar tradisional dan modern. Bahasa itu mempunyai kebijakan (polecy) perencanaan yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang cinta bahasanya. Bahasa itu dihormati oleh pemakainya dan masyarakat pemakai kelompok lain. Bahasa itu mempunyai ciri kebangsaan atau nasional. Bahasa itu mempunyai daya tarik yang memudahkan pemakainya taat dan setia kepadanya. Bahasa itu mudah memupuk persatuan bangsa dan negara. Ferdinand de Saussure (1922) seorang tokoh bahasa Perancis berpendapat bahwa perencanaan bahasa perlu dilakukan secara berangsur-angsur dan berkesinambungan karena hal-hal berikut. Budaya suatu masyarakat senantiasa berubah yang mengkibatkan bahasanya pun berkembang dan berubah. Bahasa perlu dirancang untuk menyediakan ruang daya cipta dan kreativitas individu. Perencanaan bahasa dapat membantu corak kepemimpinan suatu bangsa. Pemerintah yang melaksanakan perencanaan bahasa berarti memelihara jiwa bangsanya. Perkembangan bahasa yang terencana dapat dijadikan bahasa nasional dan bahasa resmi. Perencanaan bahasa dapat menepis pengaruh negatif terhadap bahasa tersebut. Bahasa yang terencana (perkembangannya) dapat dijadikan alat propaganda bangsa dan negara. Bahasa yang trrencana (perkembangannya) dapat memupuk sentimen atau ideologi bangsa tersebut. Bahasa yang terrencana (perkembangannya) dapat menampung konsep atau ide baru yang muncul sejalan dengan perkembangan bahasa tersebut.

Realitas Perencanaan Bahasa Sejarah mencatat bahwa perubahan dan perpindahan bahasa antara lain bisa disebabkan oleh penjajahan. Sebagai akibat penjajahan Spanyol dan Portugis, bahasa Latin digunakan secara meluas di Amerika Latin. Hampir seluruh negara bekas jajahan Inggris, kini menggunakan bahasa Inggris. Bahkan, India dan Singapura sampai sekarang menggunakan bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa resminya. Semua negara jajahan Uni Soviet atau Rusia pernah dipaksa menggunakan bahasa Rusia selama hampir 50 tahun, walaupun setelah Uni Soviet runtuh, bekas jajahannya saat ini tidak lagi menggunakan bahasa Rusia sebagai bahasa resminya. Apabila diteliti lebih jauh, perubahan dan perpindahan bahasa disebabkan oleh bebarapa faktor. Selain disebabkan oleh penjajahan, faktor lainnya adalah: perpindahan penduduk dari negara satu ke negara lain, perdagangan (yang menyebabkan penduduk berinteraksi dengan pedagang/pendatang), transfer ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), pertemuan dua budaya atau lebih sehingga saling mempengaruhi (baik secara difusi maupun asimilasi) di kawasan isoglos. Oleh karena bahasa itu berubah, berkembang, bahkan bertukar sebagai akibat faktor tersebut , perencanaan dan pembinaan bahasa perlu dilakukan. Perubahan dan perkembangan bahasa yang direncanakan, dikendalikan (diarahkan), dan dilaksanakan secara terstruktur dan tersistemlah yang akan mencapai sasaran sesuai dengan yang diharapkan. Pemerintah dan pakar bahasa setempatlah yang sangat menentukan keberhasilan perencanaan dan pembinaan bahasa ini. Norwegia merupakan salah satu contoh perencanaan bahasa yang dilakukan dengan baik, yang dipelopori oleh Einer Haugen (1966). Terkait dengan perencanaan bahasa iniInternational Research Project on Language Planning telah mengadakan kongres yang bertopik Language Problems of Developing Nation yang disponsori oleh Social Science Research Council Comittee on Sociolinguistics di Virginia, Amerika Serikat (Fishman, 1966). Lima negara telah mengirimkan delegasinya ke kongres tersebut. Pada tahun 1968 dan 1968 kongres yang sama dilaksanaka di Honolulu,Hawaii atas sponsor Ford Foundation. Lebih lanjut Fishman (1977) mengatakan bahwa perencanaan bahasa akan berhasil apabila didukung oleh semua pihak, khususnya: pemerintah atau meneteri terkait, pendidik, ahli bahasa, hakim, kalangan swasta, dan rakyat sendiri. Dalam bukunya Advance ini Language Planning,Fishman (1977) menekankan bahwa perencanaan bahasa dapat dikelomokkan menjadi dua bagian, yaitu perencanaan status dan perencanaan korpus. Perencanaan status adalah pemberian kedudukan yang jelas kepada suatu bahasa, yaitu sebagai bahasa resmi, bahasa negara, atau bahasa nasional. Tindakan ini menyangkut bagaimana peran pemerintah,bagaimana payung hukumnya, bagaimana pelaksanaan teknisnya yang terkait dengan penguasaan dasar pemakaian, penyebaran pemakaian, pemupukan sikap pemakai, dan deskripsi bahasa tersebut. Perencanaan korpus adalah usaha kodifikasi bahasa dalam rangka penyempurnaan bahasa tersebut sehingga bisa dipakai secara mantap baik secara lisan maupun tulis. Aspek-aspek yang dirancang adalah abjad, ejaan, lisan, tulis, kosakata, istilah, kamus, buku teks, laras, sastra, dan bahan pengajaran bahasa di lembaga-lembaga pendidikan. Kedua kelompok perencanaan bahasa bisa berjalan apabila didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai

(termasuk anggaran) dari pemerintah. Negara-negara yang telah mengikuti pola perencanaan bahasa tersebut adalah India, Pakistan, Israel, Finlandia, Papua New Guinia, dan Indonesia. Ferguson (1968) menggariskan bahwa perencanaan bahasa perlu melalui tahapan berikut: - pengabjadan (graphization), - pembakuan (standardization), dan - pemodernan (modernization). Perencanaan bahasa juga perlu diikuti dengan pembinaan dan pengembangan bahasa agar pemakaian bahasa bisa diterapkan secara maksimal: sempurna. Terkait dengan perencanaan bahasa tersebut, pendapat para ahli perencanaan bahasa berikut perlu diperhatikan. E. Haugen (1966) mengatakan bahwa perencanaan bahasa memerlukan perwujudan satu kebijakan bahasa; kodifikasi bahasa untuk pemakaian umum, modern, dan teknik; perkembangan dan pelaksanaannya. Sjoberg (1966) mengatakan bahwa ketika merencanakan suatu bahasa harus mengakomodasi pendapat dan pendangan masyarakat pemakai bahasa tersebut sebab merekalah pendukung utama pelaksanaannya nanti. Dengan cara ini, perencanaan bahasa bersifat demokratis, menyeluruh, dan memudahkan pemupukan rasa setia dan rasa taat asas terhadap bahasa. Neustupuy (1970) menambahkan bahwa perencanaan bahasa juga harus memperhatikan stilistika sebab stilistika menyediakan kesempatan bagi perkembangan sastra. Rubin (1971) mengatakan bahwa setiap tahap perencanaan bahasa perlu ada proses penilaian agar dapat diketahui kadarkeberhasilannya. Lewat penilaian ini pun akan diketahui bagimana kondisi dan tingkat perkembangan bahasa tersebut. Jernudd dan Das Gupta (1971) berpendapat bahwa pemerintah yang berkuasa dapat menjadi penggerak dan kunci keberhasilan perencanaan bahasa. Oleh karena itu, perhatian dan keterlibatan pemerintah sangat diperlukan agar setiap tingkat perencanaan berjalan dengan baik sehingga mempercepat terwujudnya sosok bahasa yang ditargetkan. V. Tauli (1973) mengatakan bahwa perencanaan bahasa mustahil bisa berjalan apabila tidak didukung oleh biaya yang memadai. Oleh karena itu, komitmen pemegang sumber dana dalam hal ini pemerintah untuk mengalokasikan biaya perencanaan bahasa secara berkala sangat diperlukan. Fishman (1973) menyarankan agar perencanaan bahas diselaraskan dengan perencanaan bidang-bidang lain agar padu dan/atau bersinergi dengan perencanaan induk negara. Dengan cara demikian, kepaduan dan integritas nasional bisa terpupuk dengan baik. Ilustrasi berikut juga dapat dipakai sebagai pertimbangan bahwa perencanaan bahasa memang diperlukan oleh masyarakat pemakainya. Wilhelm von Humboldt (1907) suatu ketika pernah berkata bahwa bahasa merupakan alat komunikasi yang mudah dipakai masyarakat ketika

berurusan dengan kehidupan sehari-harinya. Pada zaman dahulu, banyak kata-kata yang mempunyai kaitan dengan alat sekitar dan budaya atau kebiasaan sehari-hari masyarakat pemakainya sehingga lahir istilah bahasa adalah jiwa masyarakat. Hal ini bisa dimaklumi karena dengan mengkaji bahasa kita dapat memahami sedikit atau banyak budaya masyarakat pemakai bahasa tersebut. Joyce O. Hertzler (1965) mengatakan bahwa bahasa dapat memancarkan identitas rasa, penunjuk pangkat, derajat, keturunan, hubungan kekeluargaan, cara pemikiran,weltanshauung, aktivitas harian, kreativitas, ilmu, teknologi, cara dan gaya hidup, adat dan budaya suatu bangsa. Bahkan, sebagian bangsa ada yang membedakan pemakaian bahasa untuk golongan atau kelompok laki-laki dan perempuan. Sementara itu, V. Tauli (1974) dalam bukunya The Theory of Language Planning menyatakan bahwa banyak individu yang dapat menilai bahasa yang dipakainya. DIa mengetahui apakah bahasa yang dipakainya betul atau tidak, sopan atau tidak. Malah, katanya lagi, individu bebas memilih laras (register) apa yang digunakan, remi atau tidak, ilmiah atau tidak, biasa atau tidak, akrab atau tidak, formal atau tidak, baku atau tidak, halus atau tidak; bahkan ia suka-suka memilih dialek,kreol, slang, bahasa tulis atau lisan. Jelaslah di sini bahwa individu memunyai kebebasan yang luas untuk memilih penggunaan bahasanya. Dijumpai juga individu yang setia menggunakan bahasa aslinya,mengubah,menukar, atau memindahkan bahasanya. Hal ini amat bergantung pada penguasaan bahasa. Dia seorang eka bahasa, dwi bahasa, atau multi bahasa. Namun, katanya lebih lanjut, sekirany manusia itu tidak sempurna,bahasanya pun tidak sempurna. Hal inilah yang menyebabkan diperlukan perencanaan bahasa agar bahasa bisa mengemban fungsinya secara maksimal. Terkaikt dengan penilaian bahasa ini, Otto Jespersen (1921) setuju bahwa sebelum perencanaan bahasa dilakukan perlu diadakan penilaian terhadap bahasa tersebut. Hal ini untuk mengetahui sejauh mana taraf perkembangannya. Penilaian ini terus dilakukan secara periodik seiring dengan pembangunan ilmu dan teknologi suatu bangsa pemakai bahasa tersebut. Banyak ahli bahasa yang berminat terhadap perencanaan bahasa. Mereka menyumbangkan pemikirannya dalam perencanaan bahasa bagi negaranya. Tokoh-tokoh yang dimaksud tercatat sebagai berikut. Chatterji (1943), Brown (1953), dan Das Gupta (1970) untuk India. Jones (1949) untuk Jepang. De Francis (1950) untuk Cina. Zaki (1953) untuk Mesir. Heyd (1954) dan Gallagher (1971) untuk Turki. Morag (1959), Blanc (1968), dan Rubin (197..) untukIsrael. S.T Alisjahbana (1960) untuk Indonesia. E. Haugen (1966) untuk Norwegia. Ramos, Sibayan, dan Aquilar (1967) untuk Filipina.

Whiteley (1969) untuk Kenya dan Tanzania. Macnamara (1971) untuk Irlandia. Terkait dengan perencanaan bahasa ini, Ferguson (1966) DAN Ohamnesian (1971) memperkenalkan satu bagan ringkas untukmembantu perencanaan bahasa, Topik besar yang diperkenalkan adalah perencanaan, pelaksanaan, komunitas bahasa, dan penilaian.

Setelah bahasa direncanakan, pelaksanaannya diserahkan kepada masyarakat, yaitu komunitas bahasa yang akan menggunakan bahasa, dan menguji segmen atau bagian yang direncanakan. Kemampuan komunitas menggunakan bahasa yang direncanakan akan menjadi balikan bagi perencana untuk dianalisis. Perencana akan menilai apakah segmen yang direncanakan sudah tercapai atau belum. Kalau belum, masalah apa yang dihadapi oleh komunitas bahasa, dan bagaimana upaya pemecahannya. Perencanaan berikutnya diarahkan pada segmen-semen yang belum tercapai, sehingga lambat laun perencanaan bahasa akan berhasil sesuai dengan target. Johannes Aarik (1924) berpendapat bahwa pada tingkat pelaksanaan harus juga digalakkan kreativitas secara bebas agar banyak karya atau tulisan yang dihasilkan komunitas bahasa. Karya-karya yang baik dapat dipakai sebagai acuan komunitas bahasa (terutama pemakai utama bahasa) tersebut. Strategi ini dapat dipakai juga untuk mempercepat proses perencanaan bahasa dalam bidang korpus. Dalam pelaksanaannya tentu timbul berbagai masalah bahasa, terutama ketika diadakan penialaian. Sehubungan dengan ini, S.T. Alisjahbana (1964) dan Rubin dan Jernudd (1971) menyarankan agar dibentuk kelompok perencana (ahli bahasa setempat) yang bertugas menyelesaikan atau memecahkan masalahmasalah bahasa tersebut. Dengan caraini, proses perencanaan bahasa akan lancar dan terkendali. Dalam rangka penyelesaian masalah-masalah bahasaini perlu juga dipertimbgangkan faktor sosial, ekonomi, politik, demografi, dan psikologi masyarakat pemakainya. P.A. Garvin dan Mathiod (1974) memberikan contoh keberhasilan perencanaan bahasa dalam bidang status karena direncanakan secara sistematis, terkendali, dan terorganisasi. Negeranegara yang berhasil adalah: a. Bahasa Inggris dan Perancis di Kanada dan Kamerun.

b. Bahasa Perancis dan bahasa Flemish (?) di Belgia. c. Bahasa Perancia, Italia, Jerman, dan Romanish (?) di Switzerland (?). d. BahasaMelayu, Mandarin., Tamil, dan Inggris di Singapura. Masing-masng bahasa di negara tersebut mempunyai status tersendiri sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam ranah pemakaiannya. Pada sisi lain, banyak juga negara yang merencanakan bahasa resmi dengan berhasil. Hal ini terjadi karena pemerintah (atau pemerintah) sadar bahwa bahasa dapat dijadikan alat untuk komunikasi resmi kenegaraan, sehingga kinerja pemerintahan dapat berjalan dengan baik. Negara-negara yang berhasil menentukan atau memilih bahasa fresmi negara adalah: Perancis memilih bahasa Perancis, Inggris, Amerika, Singapura, India, Papua New Guinea, Filipina, dan Kanada memilih bahasa Inggris, Indonesia memilih bahasa Indonesia. Malaysia memilih bahasa Melayu, Israel memilih bahasa Hebew (?), dan Peru memilih bahasa Quechue (?). Weinstein (1980) yakin bahwa perencanaan bahasa suatu negara akan berhasil dengan baik apabila inisiatif tersebut berawal dari pemerinah yang bersangkutan. Sebab, pemerintah mempunyai kemampuan memasukkan perencanaan bahasa tersebut dalam perencanaan pembangunan negara. Pemerintah mampu menyediakan biaya tinggi untuk memulai pelaksanaan perencanaan bahasa ini. Sejajar dengan pembangunan yang lain, perencanaan bahasa ini dapat memupuk persatuan dan integrasi nasional. Bahkan, dalam jangka panjang, perencanaan bahasa ini dapat membantu pembangunan budaya, bangsa, dan negara. Lebih jauh Jyotirindra Das Gupta, Joshua Fishman, Bjorn Jernudd, dan Joan Rubin (1968-1969) sependapat bahwa perencanaan bahasa memerlukan lembaga khusus (semacam Pusat Bhasa di Indonesia) yang bertugas menangani atau menyelesaikan masalah-masalah bahasa yang timbul ketika pelaksanaan. Di samping itu, lembaga ini juga berfungsi untuk mengendalikan dan memonitor perkembangan perencanaan. Sebab, bagaimana pun, perkembangan yang terkendali tentu lebih baik daripada yang tidak terkendali atau perkembangan yang liar. Terkait dengan perkembangan bahasa ini, Gabarrubias (1983) mengingatkan perencana bahasa bahwa ada bahasa yang telah mati karena dibiarkan dan tidak dipakai lagi oleh komunitasnya. Faktor utama penyebabnya adalah bahasa itu tidak memunyai perencana yang handal dan masyarakat bahasanya tidak mencintai bahasa ibu mereka sendiri. Misalnya, bahasa Basque di Spanyol. Oleh karena itu, agar bahasa tidak menjadi simpanan di museum, bahasa perlu direncanakan, dibina, dan dimodernkan agar budaya, bangsa, dan negara yang mendukung bahasa itu terus hidup dan dinamis.

Pada 7 10 April 1969, sepuluh orang ahli bahasa terkenal dunia berkumpul di Honolulu Hawaii untuk membicarakan topik-topik yang terkait dengan perencanaan bahasa. Antara lain tokoh-tokoh itu adalah S.T. Alisjahbana dari Indonesia, Ferguson dan Gallagher dari Turki, Hai dan Haugen dari Norwegia, Sibayan dan Rubin dari Filipina, Kelman dan Macnamara dari Irlandia. Pertemuan ini bertujuan untuk membicarakan dasar-dasar perencanaan bahasa, yang akhirnya menghasilkan satu garis besar (semacam blue-print) perencanaan bahasa. Garis besar itu dapat dipakai oleh perencana bahasa sebagai panduan umum. Setiap segmen diteliti, dikaji, dan didiskusikan, yang akhirnya dikerangkakan untuk panduan perencana bahasa, terutama di negara-negara yang sedang membangun. Yang ikut terlibat dalam pembicaraan itu adalah tokoh-tokoh dari disiplin lain, yaitu tokoh di bidang antropologi, sosiologi, ilmu pilitik, ekonomi, budayawan, dan psikologi. Mereka diminta pendapat dan pendangan agar kerangka acuan perencanaan bahasa ini bisa menyeluruh dan sinergis dengan disiplin lain. Negara yang terlibat dalam penyusunan kerangka panduan ini adalah Indonesia, Filipina, Pakistan, Irlandia, Kenya, Tanzania, Turki, dan Israel. Pada September 1969 terjadi kegiatan yang sama yang dilakukan oleh lain negara atas sponsor Ford Foundation. Tokoh yang terlibat dalam kegiatan ini adalah Ferguson(1969) dan Fishman (1969). J. Rubin dan B. H. Jernudd (1971) dalam tulisan mereka yang berjudul Language Planning as an Element in Modernization menyarankan agar faktor-faktor berikut ini dimasukkan dalam perencaraan bahasa. Memperkaya dan mengembangkan bahasa nasional lebih intensif. Menggalakkan penulis dan calon penulis untuk menulis buku-buku dalam bahasa nasional. Menggalakkan penulisan karya sastra dalam bahasa nasional. Mencetak dan menerbitkan bahan-bahan bahasa dan sastra dalam bahasa nasional. Membantu penerbitan jurnal, buku,majalah, makalah, dan rencana bahasa dan sastra dalam bahasa nasional. Merencanakan dan membukukan sisem ejaan, sistem ucapan, tatabahasa, istilah, kamus, ensiklopedia, dan bahan pengajaran bahasa dalam bahasa nasional. Menyusun dan mencetak semua jenis kamus dan ensiklopedia dalam bahasa nasional. Menyelesaikan semua masalah yang terkait dengan bahasa sekiranya timbul dalam proses kontinum dalam pelaksanaan bahasa basional. Mewujudkan satu institusi khusus yang tugas utamanya menjalankan pelaksanaan bahasa nasional secara total. Perwujudan isntitusi ini diharapkan akan melahirkan ahli bahasa yang mahir dan pakar dalam ihwal bahasa nasional. Mandat yang diberikan kepada institusi ini diharapkan bisa menjadi institusi rujukan yang berkewenangan memberikan pernyataan, penjelasan, atau saran yang terkait dengan ihwal bahasa nasional. Kewenangan ini karena dibuktikan oleh kemampuan dan dedikasinya yang tinggi terhadap bahasa nasional.

Akademi Bahasa Perancis dapat dijadikan contoh sebuah institusi yang memiliki kemampuan yang mendalam dan kewibawaan yang tinggi dalam ihwal bahasa Perancis. Akademi ini setidaknya mampunyai 40 orang ahli bahasa yang mumpuni setiap kurun. Pada umumnya suatu bahasa mempunyai masyarakat penuturnya. Dalam proyek perencanaan bahasa, penutur-penutur asli ini perlu dimintai pendangan dan pendapat karena golongan inilah yang akan menjadi pendukung utamanya. Mereka akan lebih bangga dan merasa dihargai jika ketika bahasa mereka dirancang, mereka diberikan kesempatan untuk bersuara mengenai bahasa mereka. Setiap masyarakat yang cinta akan bahasanya, mereka menginginkan bahasanya terancang, terkendali, terbina, dan modern. Di negara-negara yang sedang membangun, masyarakat bahasanya masih membicarakan bahasa nasional, bahasa resmi, pembakuan, pelaksanaan, penilaian, dan pemodernan bahasa. E. Haugen (1966) yang mempelopori perencanaan bahasa di Norwegia berkata bahwa walaupun ia diberi tanggung jawab penuh untuk merencanakan bahasanya, namun tugas ini dilakukannya dengan berkerja sama semua pihak. Bahasa adalah milik semua orang, maka sangat wajarlah kalau semua orang turut dalam perencanaannya. Salah satu tujuan perencanaan bahasa adalah mengangkat status bahasa menjadi bahasa nasional atau bahasa resmi. Sekiranya pengangkatan ini diterima dengan baik oleh masyarakat penuturnya,maka bahasa dapat dijadikan alat untuk menyatupadukan rakyat dan integrasi nasional. Perencanaan bahasa dilakukan seiring dengan perkembangan masyarakat. Dengan demikian, perencanaan bahasa yang baik akan menjadikan negaranya dikenal olah bangsa lain (bahkan dikenal dunia) karena bahasanya mampu memaparkan pertumbuhan pembangnan negaranya dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekonologi. Lajunya pembangunan idustri suatu negara akan mamaksa perlunya perencanaan bahasa karena kedua hal ini harus berkembang serentak. Jika bahasa tidak berkembang,maka perkembangan pembangunan yang lain (termasuk industri) akan terhambat. Oleh karena itu, perencanaan yang terpadu dan sinergis dalam semua bidang meruakan persyaratan yang harus dipenuhi. Dalamkaitan dengan perencanaan bahasa, faktor yang perlu dipertimbangkan latar belakang masyarakat, situasi masyarakat, sikapmasyarakat,politik. Ekonomi. Dasar negara, budaya, sejarah bangsa, kesan psikologis dan implikasinya padamasyarakat. Apabila faktor ini diperhatikan dalam perencanaan bahasa akan berdampak positf bagi negara dan bangsa pemakai bahasa tersebut. Di beberapa negara, perencanaan bahasa yang memperhatikan faktor tersebut bisa membantu kerukunan dan integritas nasional, mewujudkan kestabilan politik, kegiatan pertumbuhan ekonomi, perkembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi, kemanan dan ketenteraman umum. E. Haugen juga menasihati calon perencana bahasa, jangan sampai melakukan proyek perencanaan bahasa yang bisa memancing kericuhan bangsa. Bahasa adalah jiwa bangsa. Masyarakat siap mati demi mempertahankan bahasanya. Sebaliknya, perencanaan bahasa seharusnya bisa memperkokoh sistem ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pembangunan negara. Sebagai contoh, kekacauan dan kericuhan pernah terjadi di India dan Srilangka dipicu oleh perencana bahasa yang mempunyai sifat nativisme. Perjuangan dan sikap kesukuan ini menyebabkan rakyat terpecah-pecah dan timbul kekacauan. Perencana bahasa yang baik mestinya memabantu mewujudkan suasana komunikasi yang kondusif, saling menghormati, keakraban, dan tidak saling mencurigai di kalangan masyarakatnya.

Komunikasi yang akrab, kondusif, dan tidak saling mencurigai akan melahirkan suasana yang terteram dan harmonis di kalangan masyarakatnya. J.A. Fishamn (1971) dalam bukunya Impact of Nationalism on Language Planningmenyatakan bahwa perencanaan bahasa merupakan ciri pembangunan dan pemodernan bangsA dan negara. Contoh ini banyak berlaku di Eropa, Asia,dan Afrika. Perncanaan bahasa di Asia dan Afrika berjalan setelah negara dijajah. Ketika dijajah, semangat kebangsaan dan semangat ingin merdeka mulai lahir karena rakyat terasa tertekan di negeri sendiri. Tekanan inilah yang menyebabkan mereka bersemangat menantang penjajah. Kalu dahulu bahasa penjajah yang digunakan sebagai bahasa resmi pemerintahan, kini mereka mulai mengangkat bahasa sendiri (pribumi) sebagai bahasa nasional (kebangsaan). Proses penggantian bahasa penjajah ke bahasa probudi ini memakan waktu yang cukuplama karena golongan tua sudah terbasa memakai bahasa penjajah. Karena itu, perencanaan bahasa di sebagian besarnegara Asiamemerlukan jangka waktu yang cukup lama. Perencanaan bahasa juga bertujuan untuk mensinkronkan semua dialek yang terdapat dalam suatu negara. Dengan cara ini diharapkan negara itu hanya mempunyai satu bahasa rujukan untuk semua rakyatnya. Sinkronisasi ini dapat memperkecil pemakaian dialek kedaerahan yang bermacam-macam, karena diarahkan ke pamakaian bahasa yang seragam dan satu. Kalau keinginan ini tercapai, maka pembakuan dan pemodernan bahasa lebih mudah tercapai dan pada akhirnya dapat membentuk satu masyarakat. Satu bahasa, satu budaya, satu bangsa, dan satu negara. Indonesia telah menggunakan konsep ini lewat ikrar Sumpah Pemuda pada tahun 1928: satu bangsa, satu megara, satu bahasa; walaupun pelaksanaannya dimulai sejak tahun 1945 bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan. Hal ini dilakukan karena Indonesia mempunyai banyak bahasa dan banyak dialek. Konseo ini pun dapat digunakan untuk usaha penyatuan bahasa, budaya, bangsa, dan negara. Rajiv Gandhi (1989), bekas perdana menteri India, pernah menyatakan bahwa salah satu faktor yang membawa penyatuan negara Persemakmuran (Inggris) adalah bahasa, yaitu bahasa Inggris. Tanpa perencanaan bahasa, dialek dan bahasa daerah akan tumbuh dan berkembang menuju keinginan masing-masing yang kebanyakan bersifat kedaerahan, yang akhirnya bisa membawa suku atau kelompok yang menggunakan bahasa itu memilih cara, haluan, dan sikap politik masing-masing. Akhirnya, mereka akan terpecah, memisahkan diri, menonjolkan keinginan masing-masing sehingga timbul pertentangan dan kekacauan. Kondisi ini pernah terjadi di Irlandia, India, Eropa Timur, Afrika, dan bekas jajahan Uni Soviet. Bangsa yang berpaham nativisme rela mati mempertahankan bahasa warisan leluhurnya. Di sisi lain, ada juga bangsa yang amat bangga dengan bahasamereka, misalnya bangsa Inggris, Perancis, Rusia, dan Yahudi. Perencanaan bahasa di suatu negara bisa mantap apbila status bahasa itu telah tercantum dalam undang-undang negara tersebut, baik sebagai bahasa resmi maupun sebagai bahasa nasional. Dedngan demikian, perenacanaan bahasa lebih diarahkan pada penyempurnaan inti bahasa,misalnya pembakuan abjad, ejaan, kosakata, istilah, kamus, tatabahasa, buku teks, bahan pengaharan bahasa, pelatihan guru bahasa, ensiklopedia, dan bahan rujukan lain. Perenaan akan lebih lancar dan terprogram apabila melibatkan pihak pemerintah (atau departemen terkait), masyarakat bahasa, pihak swasta, ahli bahasa, dan partisan individu. Perencanaan semacam ini akan memberikan manfaat langsung kepada bangsa dan negara.

Fishman (1971) berpendapat bahwa perencanaan yang baik memerlukan penyelidikan yang bersifat ilmiah, empiris, prakis, padu, dan up to date. Perencanaan bahasa jangan dilakukan secara ad hoc, tergesa-gesa, dan tambal sulam, karena perencanaan yang baik perlu valid, kredibel, dan objektif. Dengan cara demikian, hasilnya diharapkan sesuai dengan target: perkembangan bahasa yang mantap, bahasa yang dapat menimbulkan rasa setia pemakainya, dan bahasa yang bisa menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging)bagi pemakainya. Perkembngan dan kondisi bahasa yang demikian akan menghilangkan salah paham dan perpecahan karena semua pemakainya berbangga diri dengan satu bahasa. Daftar Pustaka Alisjahbana, S.T. 1970. Some Planning Processes in the Development of the Indonesia-Malay Language. Dalam Rubin, et.al. Can be Language be Planned? Honolulu:University of Hawaii Press, hlm. 179-188. Eastman C.M. 1983. Language Planning: An Introduction. San Francisco: Chandler & Sharp Publisher. Ferguson, C.A. 1968. Language Development. Dalam Fishman, et.al. Language Problems of Developing Nation. New York: John Wiley and Sons. Fishman, J.A. 1968. Nationality-Nationism and Nation-Nationism. Dalam Fishman, et.al. Language Problems of Developing Nation. New York: John Wiley and Sons. Fishman, J.A. 1973. Language Modernization and Planning in Comparison with other Types of National Modernization and Planning. Dalam Language in Society, 2: 23-43. Fishman, Joshua A. (ed.). 1974. Advanced in Language Planning. The Hague: Mouton. Haugen, E.. 1959. Planning for Standard Language in ModernNorway. Dalam Anthropological Linguistics, I (3): 8 21. Haugen, E.. 1966. Construction and Reconstruction in Language Planning: Ivar Aasens Grammar. DalamWord, 2 (2): 188 207. Haugen, E.. 1966. Dialect, Language, Nation. DalamAmerican Anthropologist, 68 (4): 922 935. Haugen, E.. 1966. Linguistic and Language Planning. Dalam W. Bright (ed.). Sociolingustics: Proceedings of the VCLA Sociolinguistics Conference. The Huggue: Norton, hlm. 159: 190. Haugen, E.. 1966. Language Conflict and Language Planning: The Case of Modern Norwegian. Cambridge: HarvardUniversity Press. Haugen, E.. 1969. Language Planning, Theory and Practice. Dalam A. Graur (ed.). Actes due Xe Congres International des Linguistic Bucharest. Bucharest: Editions de LAcademic de La Republique de Roumanic, 701 711. Neustuphy, J.V. 1974. Basic Types of Treatment of Language Problems. Dalam J.A. Fishman. Advances in Language Planning. The Hague: Mouton.

Noss, R. 1967. Language Policy and Higher Education, Vol III, Part 2 of Higher Education and Development inSoutheast Asia. Paris: UNESCO and Internatioan Association of Universities. Ray, P.S. 1966. Language Standardization. Dalam J.A. Fishman, et.al. Reading in the Sociology of Language.The Hague: Mourton. Rubin, J & B. H. Jernudd. 1971. Can Language be Planned? Sociolinguistics Theory and Practice for Developing Nations. Honolulu, Hawaii: East West Cantre Book. Rubin, J & B.H. Jernudd. 1975. Can Language be Planned?Honolulu: University Press of Hawaii. Rubin, J. 1971. Evaluation and Langauge Planning. Dalam J. Rubin & B.H. Jernudd. Can Language be Planned?Honolulu: University Press of Hawaii. Rubin, J., et.al. Language Planning Processes. Hague: Mouton Publisher. Sturtevant, E.H. 1917. Language Change. Chicago: Universityof Chicago Press. Wardhaugh, R. 1989. An Introduction to Sociolinguistics.Oxford: Basil Blackwell. World Almanac. 1991. Research and Information Service,NSTP, Kuala Lumpur.

A. Kebijakan bahasa Apakah yang dimaksud kebijakan bahasa itu? Kalau kita mengikuti rumusan yang disepakati dalam seminar politik bahasa nasional yang diadakan di Jakarta tahun 1975 maka kebijakan bahasa itu dapat diartikan sebagai pertimbnagan konseptual dan politis yang dimaksudkan untuk dapat memberi perencanaan, pengarahan dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pengelolaan keseluruhan kebahasaan yang dihadapi oleh suatu bnagsa secara nasional. Masalah-masalah kebahasaan yang di hadapi setiap bangsa adalah tidak sama, sebab tergantung terhadap situasi kebahasaan yang ada di dalam negara itu. Negara-negara yang sudah memiliki sejarah kebahasaan yang cukup, dan di dalam negara itu hanya ada satu bahasa saja (meskipun dengan sekian dialek dan ragamnya) cenderung tidak mempunyai masalah kebahasaan yang serius. Negara yang demikian, misalnya, Saudi Arabia, Jepang, Belanda dan Inggris. Tetapi negara-negara yang terbentuk, dan memiliki sekian bahasa banyak bahasa daerah akan memiliki persoalan kebahasaan yang cukup serius, dan mempunyai kemungkinan untuk timbulnya gejolak sosial dan polotik akibat persoalan bahasa itu. Indonesia sebagai negara yang relatif baru dengan bahasa daerah yang tidak kurang dari 400 buah, agak beruntung sebap masalah-masalah kebahasaan yang terjadi di negara lain, secara historis telah agak terselesaikan sejak agak lama. Peristiwa pengangkatan bahasa Indonesia yang terjadi pada tanggal 28 oktober 1928 dalam satu ikrar yang disebut soempah pemoeda itu tidak pernah menimbulkan protes atau reaksi negatif dari suku-suku lain di Indonesia, meskipun jumlah penuturnya lebih banyak, berlipat ganda. Kemudian, penetapan bahasa Indonesia menjadi bahasa negara dalam undang-undang

Dasar 1954 pun tidak menimbulkan masalah. Oleh karna itulah, para pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan bahasa yang menetapkan fungsi-fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah, bahasa asing dapat melakukannya dengan mulus. Tujuan kebijakan bahasa adalah dapat berlangsungnya komunikasi kenegaraan dan komunikasi intra bangsa dengan baik, tanpa menimbulkan gejolak sosial dan gejolak sosial yang dapat mengganggu stsbilitas bangsa. Oleh karena itu, kebijakan bahasa yang telah di ambil Indonesia dari perkataan diatas bisa dilihat bahwa kebijaksanaan bahasa merupakan usaha kenegaraan suatu bangsa untuk menentukan dan menetapkan dengan tepat fungsi dan status bahasaatau bahasa-bahasa yang ada di negara tersebut, agar komunukasi kenegaraan dan kebangsaan dapat berlangsung dengan baik. Selain memberi keputusan mengenai status, kedudukan, dan fungsi suatu bahasa, kebijakan bahasa harus pula memberi pengarahan terhadap pengolahan materi bahasa itu yang biasa disebut sebagai korpus bahasa. B. Perencanaan bahasa Melihat urutan dalam penanganan dan pengolahan masalah-masalah kebahasaan dalam negara yang multilingual, multirasial, dan multikultural, maka perencanaan bahasamerupakan kegiatan yang harus dilakukan sesudah melakukan kebijaksanaan bahasa. Tetapi sebelumnya perlu juga diketahui bahwa ada pula pakar yang memasukkan kebijaksanaan bahasa itu sebagai satu tahap dalam perencanaan bahasa (Neustupni 1970, Gorman 1973, dan Garvin 1973). Istilah perencanaan bahasa (language planning) mula-mula digunakan oleh haugen (1959) pengertian usaha untuk membimbing perkembangan bahasa ke arah yang di inginkan oleh para perencana. Menurut hougen selanjutnya, perencanaan bahasa itu tidak semata-mata meramalkan masa depan berdasarkan dari yang diketahui pada masa lampau, tetapi perencanaan itu merupakan usaha yang terarah. Di Indonesia kegiatan yang serupa dengan language planning ini sebenarnya sudah berlangsung sebelum nama itu diperkenalkan oleh hougen(moeliono 1983), yakni sejak zaman pendudukan Jepang ketika ada komisi bahasa Indonesia sampai ketika Alisjahbana menerbitkan majalah pembina bahasa Indonesia tahun 1948. Malah kalau mau dilihat lebih jauh, language planning di Indonesia sudah dimulai sejak Van op huijsen menyusun ejaan bahasa Melayu (Indonesia). Sesudah memahami apa yang dimaksud dengan perencanaan bahasa itu, maka masalah berikut yang timbul adalah siapa yang harus melakukan perencanaan bahasa itu. Siapapun sebenarnya bisa menjadi pelaku perencanaan itu dalam arti perseorangan atau lembaga pemerintah atau lembaga suasta. Dalam sejarahnya, tampaknya, yang menjadi pelaku perencanaan itu adalah lembaga kebahasaan, baik dalam instansi maupun bukan. Di Indonesia lembaga yang terlibat dalam perencanaan dan pengembangan bahasa dimulai dari berdirinya commisie voor de volkslectuur yang didirikan oleh kolonial pemerintahan belanda pada tahun 1908, yang pada tahun 1917 berubah menjadi balai pustaka. Lembaga ini dengan majalahnya sari pustaka, panji pustaka, dan kedjawen dapat dianggap sebagai perencanaan dan pengembangan bahasa. Lalu, pada tahun 1942 pemerintah penduduk Jepang membentuk dua komisi bahasa Indonesia satu di Jakarta dan satu lagi di Medan. Komisi ini diberi tugas untuk mengembangkan bahasa Indonesia lewat pembentukan istilah keilmuan, penyusunan tatabahasa baru, dan penentuan kata pungutan baru(moeliono 1983). Sesudah proklamasi kemerdekaan, pada tahun 1947 pemerintah indonesia membentuk panitia

pekerja bahasa Indonesia dengan tugas mengmban peristilahan, menyusun tata bahasa sekolah, dan menyiapkan kamus baru untuk keperluan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah. Suatu perencanaan bahasa tentunya harus diikuti dengan langkah-langkah pelaksanaan apa yang direncanakan. Pelaksanaan yang berkenaan dengan korpus bahasa adalah penyusunan sistim ejaan yang ideal (baku) yang dapat digunakan oleh penutur dengan benar, sebap adanya sistem ejaan yang di sepakati akan memudahkan dan melancarkan jalannya komunikasi. Pelaksanaan perencanaan bahasa ini kemungkinan besar akan mengalami hambatan yang mungkin akibat dari perencanaannya yang kurang tepat; bisa juga dari para pemegang tampuk kebijakan, dari kelompok sosial tertentu, dari sikap bahasa para penutur, maupun dari dana dan ketenagaan. Perencanaan yang kurang tepat bisa bersumber dari pengambilan kebijaksanaan yang tidak tepat atau keliru, karena salah mengistemasi masalah kebahasaan yang harus diteliti. Hambatan dari pemegang tampuk kebijakan bisa terjadi karna mereka yang memegang tampuk kebijakan diluar bidang bahasa. Di Indonesia, misalnya tidak jarang, ada orang yang cukup berpengaruh bukannya tidak memberi contoh penggunaan bahasa yang baik, malah juga melakukan tindakan yang tidak menunjang pembinaan bahasa. Antara lain dengan mengatakan soal bahasa adalah urusan guru bahasa Berhasil atau tidaknya usaha perencanaan bahasa ini adalah masalah evaluasi. Dalam hal ini memang dapat dikatakan evaluasi keberhasilan perencanaan bahasa itu memang sukar dilaksanakan. Umpamanya, bagaimana mengevaluasi keberhasilan dalam bidang pembukuan bahasa, sebap pembukuan bahasa itu tidak disertai dengan pemerian terperinci mengenai sasarannya, dan tidak pula diberi kerangka acuan waktu bilamana hasil kira-kira akan tercapai. Pustaka Acuan Mata Kuliah Sosiolinguistik, Universitas Pendidikan Indonesia Alwasiah, A Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung:Angkasa Badudu,J.S.1989. Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar. Jakarta: PT. Gramedia Pateda, Mansyur.1987. Sosiolinguistik. Bandung:Angkasa Chaer, Abdul. 1980. Sosiolinguistik :Perkenalan Awal, Jakarta: Rineka Cipta Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Balai Pustaka. www.wikipedia.com Pedoman Umum Bahasa Indonesia Yang disempurnakan

1. Penanganan Bahasa dalam Perjalanan Waktu Penelitian bahasa dalam berbagai aspek, baik masa lalu (diakronis) maupun masa kini (sinkronis), untuk menyusun rencana penanganan masalah bahasa ke depan merupakan

langkah perencanaan bahasa. Hasil penelitian itu diolah untuk kodifikasi sebagai acuan pengguna bahasa, di samping untuk keperluan dokumentasi. Dari waktu ke waktu aspek bahasa yang digarap dalam telaah bahasa adalah kosakata dan tata bahasa yang kemudian telaah itu berkembang ke aspek fonologi setelah para ahli bahasa memanfaatkan ilmu fisika. Pada perkembangan selanjutnya, sosiologi pun mempengaruhi telaah bahasa sehingga telaah bahasa tidak hanya menyangkut kata dan tata cara penggunaannya serta bagaimana menghasilkan bahasa, tetapi mencakup masyarakat pengguna bahasa yang bersangkutan. 1.1 Daftar Kata Embrio Penanganan Bahasa di Indonesia Dalam sejarah studi bahasa di Indonesia, catatan kosakata tertua adalah Daftar Kata CinaMelayu pada awal abad ke-15 (500 lema) dan Daftar Kata Italia-Melayu oleh Pigafetta pada tahun 1522. Dari daftar kata berkembang ke perkamusan; kamus yang dapat dikatakan tertua ialah Spraeck ende Woord-boek, Inde Maleysche ende Madagaskarsche Talen met vele Arabicshe ende Turcische Woorden karangan Frederick de Houtman pada tahun 1603. Dua puluh tahun kemudian (1623), Casper Wiltens dan Sebastianus Danckaerts menyusun Vokabularium ofte Woortboek naer order vanden Alphabet in t Duytsch-Maleysch ende Maleysch Duytsch. Kemudian, muncullah karya orang Indonesia, Kitab Pengetahuan Bahasa, Kamus Logat Melayu-Johor-Pahang-Riau oleh Raja Ali Haji. Pada masa hidupnya pula Raja Ali Haji menulis Pelajaran Ejaan dan Tata Bahasa, Bustanulkatibina (1857). Daftar kata ataupun kamus-kamus tersebut merupakan upaya pencatatan leksikon bahasa Indonesia, sedangkan Kitab Pengetahuan Bahasa tersebut di atas lebih merupakan pengetahuan tentang ejaan dan tata bahasa. 1.2 Perluasan Penggunaan Bahasa Indonesia Pada perkembangan selanjutnya telaah bahasa Indonesia memasuki fungsi politis dan sosiologis, seperti penggunaan bahasa Indonesia pada bacaan rakyat dan karya sastra pada tahun 1920-an yang telah memperluas ranah penggunaan bahas itu. Bahasa Indonesia digunakan pada perkumpulan-perkumpulan (organisasi), surat kabar, majalah, dan buku sastra ataupun buku lainnya. Penggunaan bahasa Indonesia dalam berbagai media tersebut telah membangkitkan rasa kebersamaan, kesatuan, dan kesetiakawanan. Bahkan, bahasa Indonesia telah menyemangati para pejuang kemerdekaan dalam menyalakan api perjuangan. Bahasa Indonesia mampu menyatukan berbagai kelompok etnis yang berbeda latar belakan sosial budaya dan bahasa ke dalam satu kesatuan bangsa. Semangat itu telah menjiwai para pejuang yang akhirnya mencetuskan pernyataan sikap politik yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 pada Kongres Pemuda Kedua di Jakarta. Dalam Sumpah Pemuda itu dinyatakan pengakuan terhadap satu tanah air dan satu bangsa, Indonesia, serta menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Pernyataan ketiga itu mengandung makna: (1) pengutamaan bahasa Indonesia di atas kepentingan bahasa-bahasa lain, (2) memberikan hak hidup bahasabahasa daerah yang ada di Indonesia, dan (3) memberi peluang penggunaan bahasa asing untuk keperluan tertentu. 1.3 Kamus dan Tata Bahasa Panduan Pembinaan Bahasa Perluasan penggunaan bahasa tersebut memperbesar keperluan akan kosakata/istilah itu dalam berbagai bidang ilmu, terutama untuk keperluan pendidikan/pengajaran. Perkembangan fungsi politis mencapai puncak perjuangan ketika Proklamasi Kemerdekaan dinyatakan dalam bahasa Indonesia dan sehari kemudian bahasa itu diangkat sebagai bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 36). Kini fungsi itu dikukuhkan dalam sistem pendidikan, yaitu bahwa bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan nasional (Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, Pasal 33). Oleh karena itu, telaah bahasa Indonesia mencapai fungsi politis dan sosiologis bagi bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya. Penggunaan bahasa Indonesia dalam berbagai ranah tersebut telah merangsang para ahli bahasa untuk menulis ihwal bahasa Indonesia, seperti S.T. Alisjahbana Bahasa Indonesia dalam Poedjangga Baroe (1933) dan Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (1953). S.T. Alisjahbana diikuti para ahli bahasa segenerasinya yang menulis tentang bahasa Indonesia. Penanganan masalah kebahasaan dilakukan secara kelembagaan setelah berdirinya lembaga yang menangani masalah kebahasaan tahun 1947, yaituInstituut voor Taal en Cultuur Onderzoek yang kini bernama Pusat Bahasa. Perubahan sistem tulis atau ejaan Ch. A.van Ophuijsen ke dalam Ejaan Republik (1947) oleh Soewandi, Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan merupakan upaya penyerdehanaan ejaan. Kemajuan linguistik di Eropa dan Amerika telah membawa pengaruh terhadap perkembangan penanganan masalah bahasa di Indonesia. Perkembangan fonologi, misalnya, telah mempengaruhi penanganan sistem ejaan bahasa Indonesia. Bermula dari perundingan tahun 1959, Indonesia dan Malaysia melakukan pembaharuan sistem ejaan bahasa kebangsaan kedua negara. Pada akhirnya disetujui ejaan bersama yang disebut Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan pada tahun 1972. Kerja sama Dengann Malaysia itu dilanjutkan Dengann pengembangan istilah sejak tahun 1975 dan bersama Brunei Darussalam sejak tahun 1985. Kerja sama pengembangan istilah itu telah membawa kemajuan yang amat berarti dalam pengembangan peristilahan bahasa Indonesia. Penanganan bahasa dilanjutkan Dengann pengembangan kosakata yang akhirnya melahirkan Kamus Besar Bahasa Indonesia 1988 dan penanganan tata bahasa melahirkan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia 1988. Pada akhirnya penangana itu meliputi pengembangan tes bahasa Indonesia, Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia 2001. Di sisi lain, penelitian bahasa-bahasa daerah telah dilakukan baik oleh sarjana asing maupun oleh sarjana dalam negeri.Pemerintah Belanda sekitar tahun 1930-an mulai mengadakan penelitian tentang kebudayaan di Indonesia. Penelitian itu disalurkan melalui Lembaga Pendidikan Universitas, Kantoor voor Inlandsche Zaken, en Oudheidkundige Dienst. Sementara itu, pihak swasta, Yayasan Matthes, sejak tahun 1930 telah melakukan penelitian bahasa dan kebudayaan daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara. Selain itu, Yayasan Kirtya Liefrinck van der Tuuk yang berkedudukan di Singaraja, Bali, melakukan kegiatan serupa. Perjalanan sejarah pencatatan bahasa yang dimulai dari daftar kata hingga kamus dan tata bahasa serta tes bahasa dan penelitian bahasa-bahasa daerah di Indonesia tersebut merupakan bukti dokumen penanganan masalah bahasa di Indonesia. Semua itu amat bermanfaat dalam upaya penyusunan perencanan bahasa di Indonesia. 2. Cakupan Perencanaan Bahasa

Perkembangan tatanan kehidupan yang baru telah membawa perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat Indonesia. Perkembangan ilmu dan teknologi serta kemajuan teknologi informasi yang mampu menerobos batas negara dan bangsa telah memungkinkan penggunaan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, memasuki berbagai sendi kehidupan bangsa. Di sisi lain, pemberlakuan otonomii daerah telah membawa pengaruh pada sistem pemerintahan dan pengelolaan masalah kebahasaan dan kesastraan di daerah. Di sejumlah provinsi telah muncul penggunaan bahasa daerah itu pada situasi resmi pemerintahan dan penggunaan bahasa daerah itu pada iklan layanan, di DKI Jakarta, misalnya, telah digunakan dialek Jakarta pada iklan layanan imbauan menjaga dan membangun Jakarta. Bukankah Jakarta ibukota negara yang menjadi wajah Indonesia? Bahkan, dialek Jakarta telah digunakan pada iklan salah satu perusahan terkenal dan dipasang di kota-kota besar di Indonesia. Demikian juga, penggunaan bahasa di media televisi sudah amat memprihatinkan kehidupan generasi muda ke depan.

Keprihatinan ini sudah dirasakan oleh berbagai pihak dan kalangan masyarakat yang peduli terhadap masa depan bangsa melalui berbagai pertemuan kebahasaan, seperti kongres, konferensi, seminar, lokakarya, dan diskusi. Atas dasar pemikiran tersebut, perencanaan bahasa harus dilakukan secara terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan. Perencanaan bahasa itu merupakan bagian dari kebijakan bahasa nasional yang meliputi upaya penanganan masalah kebahasaan di Indonesia. Masalah kebahasaan di Indonesia meliputi tiga kelompok masalah, yaitu masalah bahasa nasional, bahasa daerah, dan masalah penggunaan bahasa asing. Ketiga masalah itu saling terkait maka perencanaan bahasa meliputi ketiga kelompok bahasa itu. Namun, pada tulisan ini akan lebih menekankan perencanaan bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia, yang meliputi upaya (1) peningkatan mutu bahasa, (2) pemantapan sistem bahasa, (3) peningkatan mutu penggunaan bahasa, (4) peningkatan kepedulian masyarakat terhadap bahasa, (5) pengadaan sarana kebahasaan, dan (6) peningkatan mutu tenaga kebahasaan, serta (7) kelembagaan. Adapun perencanaan bahasa daerah meliputi upaya penelitian, kodifikasi, publikasi, dokumentasi, penyelamatan, dan pelestarian. Dalam hubungan Dengann bahasa asing, perencanan bahasa mencakup penelitian penggunaan bahasa asing dalam kaitan Dengann pengayaan bahasa Indonesia, peningkatan mutu penggunaan bahasa asing melalui peningkatan mutu pengajaran bahasa asing. 3. Peningkatan Mutu Bahasa Indonesia

Perkembangan ilmu dan teknologi dari mancanegara, sebagaimana digambarkan di atas, masuk Indonesiamembawa bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Demikian juga arus barang dan jasa serta tenaga kerja yang masuk Indonesia membawa bahasa asing, bahkan membawa budaya mereka. Perkembangan ilmu dan teknologi serta arus barang, jasa, dan tenaga kerja yang masuk Indonesia tersebut harus diikuti Dengann pengembangan kosakata/istilah Indonesia dalam bidang-bidang tersebut. Kalau tidak diikuti Dengann pengembangan kosakata/istilah Indonesia, keadaan itu akan memperbesar peluang penggunaan bahasa asing ke seluruh sendi kehidupan bangsa. Oleh karena itu, upaya peningkatan mutu bahasa Indonesia harus ditujukan pada percepatan pengembangan kata dan istilah dalam bahasa Indonesia. 3.1 Percepatan Pengembangan Kosakata Sebagaiana dikemukakan di atas, perkembangan ilmu dan teknologi, jika tidak diimbangi Dengann percepatan pengembangan kosakata/istilah Dengann sungguh-sungguh, akan menimbulkan dampak luar biasa terhadap peri kehidupan masyarakat Indonesia. Penggunaan bahasa asing makin mendesak ruang penggunaan bahasa Indonesia dan ini yang sekarang sedang terjadi. Kebanggaan masyarakat akan bahasa Indonesia sebagai lambang jati diri bangsa telah memudar di sebagian anggota masyarakat. Untuk itu, perlu dilakukan berbagai upaya penanganan secara sungguh-sungguh untuk mengembalikan kewibawan bahasa Indonesia, sebagaimana pernyataan sikap politik dalam Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia menjadi jiwa bangsa, yang menggerakkan seluruh sendi kehidupan kebangsaan, dan menjadi lambang kebanggaan nasional. Salah satu langkah ke arah itu perlu dilakukan melalui percepatan laju pengembangan kosakata/istilah agar bahasa itu mampu memenuhi seluruh tuntutan keperluan sarana pikir, ekspresi, dan komunikasi masyarakat penuturnya dalam berbagai bidang kehidupan modern, termasuk bidang ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. Percepatan laju pengembangan kosakata/istilah tersebut dilakukan melalui jalur yang berikut.

3.1.1 Kerja Sama Kebahasaan Di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, laju perkembangan peristilahan harus dipacu lebih kencang melalui kerja sama kebahasan Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia (Mabbim). Kerja sama yang diawali Dengann penyaman sistem ejaan bersama (1972) itu, sejak tahun 1980-an mulai menggarap peristilahan bidang ilmu dan teknologi. Pengembangan peristilahan itu kini telah menghasilkan sekitar 340.000 istilah berbagai bidang ilmu (seperti kimia, fisika, matematika, biologi, filsafat, farmasi, kedokteran, pertanian, kehutanan, teknologi komunikasi, agama, dan pendidikan). Istilah itu telah dimasyarakatkan melalui penerbitan senarai atau glosarium bidang ilmu. Dari waktu ke waktu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknoogi melaju Dengann pesat. Agar tidak tertinggal Dengann perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peristilahan bidang ilmu yang telah dihasilkan itu harus terus dimutakhirkan dan dikembangkan secara berkelanjutan. 3.1.2 Kerja Sama Bidang Teknologi Perkembangan bidang teknologi telah mencapai kemajuan yang amat berarti. Teknologi komputer, misalnya, telah menghasilkan alat bantu kerja yang tidak hanya urusan tulis dan cetak, tetapi telah mampu menerobos teknologi komunikasi. Perpaduan kemajuan teknologi komputer dan teknologi komunikasi telah melahirkan kosakata/istilah baru di bidang itu. Karena teknologi, baik perangkat lunak maupun perangkat keras, datang dari mancanegara, kosakata/istilah yang digunakan pastilah kosakata/istilah dalam bahasa asing, bahasa Inggris. Pengalihan kosakata/istilah bidang ilmu itu ke dalam bahasa Indonesia, kalau tidak secepatnya dilakukan, akan menghadapi kendala. Pengalaman selama ini ialah bahwa pengalihan kata/istilah bahasa Inggris, yang telah lama digunakan, ke dalam bahasa Indonesia cenderung tidak diterima masyarakat. Tidak demikian halnya Dengann kata/istilah yang baru masuk dalam kehidupan masyarakat langsung dialihkan ke dalam bahasa Indonesia dan diperkenalkan kepada masyarkat pengguna bahasa Indonesia. Kata/istilah itu langsung diterima dan digunakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, pengalihan kata/istilah asing ke dalam bahasa Indonesia harus dilakukan secepat-cepatnya agar istilah asing tersebut tidak lebih dahulu memasyarakat. Dalam hubungan Dengann penggunaan kata/istilah bidang komputer itu, Pusat Bahasa, bekerja sama Dengann Microsof. Bersama Microsof, Pusat Bahasa telah mengalihkan lebih dari 250.000 kata/istilah bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Kerja sama itu kini masih berlanjut untuk mengindonesiakan produk-produk lainnya. 3.1.3 Pemanfaatan Budaya Daerah Di samping pengembangan kosakata/istilah bidang ilmu dan teknologi (informasi), pengembangan kosakata/istilah juga harus mencakup bidang kebudayaan. Pengembangan kosakata bidang itu dapat memanfaatkan sumber kekayaan dari bahasa daerah di seluruh wilayah penggunaan bahasa Indonesia. Ada 726 bahasa daerah. Bukankah itu merupakan sumber pengayaan bahasa Indonesia? Pemanfaatan kosakata bahasa daerah itu sekaligus merupakan upaya pelestarian budaya daerah di samping juga merupakan upaya pemberian warna keindonesiaan dalam pengembangan kosakata bahasa Indonesia. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian kosakata bahasa daerah. Kosakata bahasa daerah yang tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia, sebaiknya, dimasukkan ke dalam warga kosakata bahasa Indonesia. Jika terdapat perbedaan dalam lafal atau dalam ejaannya Dengann sistem bahasa Indonesia, perlu dilakukan penyesuaian Dengann sistem lafal dan ejaan dalam bahasa Indonesia (lihat Pedoman Umum Pembentukan Istilah). Upaya pelibatan bahasa-bahasa daerah dalam pengembangan kosakata bahasa Indonesia itu merupakan usaha menjadikan

masyarakat Indonesia merasa ikut mengarahkan pengembangan bahasa kebangsaannya sehingga tumbuh kepedulian dan rasa ikut memiliki terhadap bahasa Indonesia yang pada akhirnya makin memupuk rasa cinta terhadap bahasa Indonesia. 3.2 Pemantapan Sistem Bahasa Percepatan pengembangan kosakata tersebut harus diimbangi Dengann pemantapan sistem bahasa.Penelitian berbagai aspek bahasa, seperti fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, sosiolinguistik, dan dialektologi, terus dilakukan dan ditingkatkan mutunya agar diperoleh data yang akurat untuk memantapkan sistem bahasa Indonesia. Sementara itu, kodifikasi yang telah dihasilkan, baik dalam bentuk kamus, tata bahasa maupun buku-buku pedoman, perlu terus disempurnakan dan dimutakhirkan berdasarkan hasil penelitian tersebut. Percepatan laju pengembangan kosakata/istilah dan pemantapan sistem/kaidah bahasa tersebut akan menumbuhkan kembali kepercayan masyarakat akan kemampuan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu dan teknologi, serta sebagai lambang jati diri dan kebanggaan nasional pada era globalisasi. 4. Peningkatan Mutu Penggunaan Bahasa Indonesia

Penggunaan bahasa Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan, terutama bahasa tulis, perlu ditingkatkan mutunya agar seluruh dokumen tulis kita menggambarkan penggunaan bahasa Indonesia yang taat pada sistem/kaidah bahasa. Peningkatan mutu penggunaan bahasa Indonesia itu meliputi bidang ilmu dan teknologi, serta kebudayan. Upaya itu meliputi bahasa Indonesia pada karya ilmiah, buku rujukan/acuan, media massa, karya seni, dan sebagainya. Ada dua langkah yang dapat ditempuh, yaitu (1) penelitian terhadap semua jenis dan ragam dokumen tulis dan lisan, (2) pemeriksaan semua bahan yang akan dicetak terhadap penggunaan bahasa Indonesia. Strategi pertama ditempuh untuk memperbaiki dokumen yang telah dihasilkan sehingga pada penerbitan selanjutnya tidak terjadi kelemahan penggunaan bahasa dalam publikasi tersebut. Demikian juga, pemeriksan rekaman bahasa lisan (terutama media televisi yang amat strategis itu) akan sangat bermanfaat dalam perbaikan publikasi (atau siaran) selanjutnya. Sementara itu, strategi kedua ditujukan untuk mencegah pencetakan dan peredaran buku/publikasi yang penggunaan bahasanya tidak baik. Jika pemeriksaan dilakukan pada semua bahan yang akan dicetak dan dilakukan secara berkelanjutan, pada saatnya bahasa Indonesia akan memiliki kewibawaan di dalam masyarakat pendukungnya. 5. Peningkatan Kepedulian terhadap Bahasa Indonesia

Betapapun laju perkembangan kosakata/istilah dipacu dan sistem/kaidah bahasa dimantapkan serta mutu penggunaannya dalam berbagai bidang ditingkatkan, sebagaimana dikemukakan di atas, kalau masyarakat pendukungnya tidak mau menggunakan hasil pengembangan kosakata/istilah dan pemantapan sistem/kaidah tersebut, upaya pemacuan laju perkembangan kosakata/istilah ataupun pemantapan sistem/kaidah tersebut akan sia-sia. Salah satu upaya menjaga agar bahasa Indonesia tidak tergeser oleh bahasa-bahasa utama dunia, bahasa asing, ialah pengukuhan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia di tengah-tengah masyarakat pendukungnya, yaitu di seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Upaya menanamkan rasa kecintaan terhadap bahasa kebangsaan itu, antara lain, dilakukan melalui peningkatan mutu kampanye penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar ke seluruh lapisan masyarakat Dengann pendekatan dan metode yang sesuai Dengann perkembangan zaman. Kampanye itu dilakukan di lingkungan kelompok masyarakat yang memiliki pengaruh atau yang berhubungan langsung Dengann masyarakat, seperti aparatur pemerintah, anggota DPR, guru

(termasuk dosen), wartawan (cetak dan elektronik), penulis, dan yang lebih penting dan strategis dikalangan pelajar/mahasiswa. Pemasyarakatan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar, selain melalui jalur penyuluhan, dilakukan pula melalui media cetak ataupun elektronik serta media luar ruang, seperti iklan layanan imbauan penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Dalam upaya penyiapan generasi ke depan penanaman kecintaan terhadap bahasa Indonesia dilakukan melalui perbaikan sistem pengajaran bahasa yang lebih menekankan aspek kemampuan menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar sehingga mereka memiliki kepekan terhadap estetika dan etika dalam berbahasa Indonesia. Upaya itu juga harus dibarengi Dengann penciptaan calon guru profesional yang memiliki kompetensi mengajar di kelas Dengann baik. Minat penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar tersebut dikembangkan pula melalui penyelenggaraan sayembara menulis, baik menulis kreatif maupun menulis ilmiah. Di kalangan media cetak dan elektronik, melalui Forum Bahasa Media Massa, setiap bulan diadakan diskusi ihwal penggunaan bahasa Indonesia di dalam media cetak ataupun elektronik yang selain diikuti kalangan jurnalistik juga diikuti pakar bahasa. Upaya meningkatkan martabat penggunaan bahasa Indonesia dilakukan juga melalui pemberian penghargaan terhadap pengguna bahasa terbaik para tokoh pemerintahan ataupun tokoh masyarakat. Pengembangan kreativitas dan daya apresiasi terhadap bahasa di kalangan generasi ke depan dilakukan melalui penyelenggaraan bengkel-bengkel bahasa dan sastra di sekolah-sekolah Dengann menghadirkan para penulis nasional ataupun penulis lokal di sejumlah provinsi di Indonesia. Dalam upaya mengukuhkan komitmen bangsa yang dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 1928, setiap bulan Oktober diadakan Bulan Bahasa dan Sastra yang kini diselenggarakan di seluruh Indonesia melalui Balai/Kantor Bahasa ataupun di perguruan tinggi dan bahkan di sekolah. 6. Bahasa Daerah dan Bahasa Asing Di Indonesia terdapat sekitar 726 bahasa daerah yang tersebar di 17.508 pulau, baik di pulau besar maupun di pulau-pulau kecil, di seluruh wilayah Indonesia. Bahasa-bahasa daerah itu dapat dikelompokkan ke dalam bahasa Dengann jumlah penutur besar, menengah, dan bahasa Dengann jumlah penutur kecil. Perencanan bahasa daerah Dengann jumlah penutur besar meliputi penelitian, penyusunan, kodifikasi/pembakuan, dokumentasi, publikasi, dan pelestarian. Pelestarian dilakukan melalui revitalisasi kehidupan penggunaan bahasa daerah itu di dalam masyarakat pendukungnya, misalnya penggunaan bahasa daerah itu pada upacara adat, pentas seni, dan kreasi budaya. Untuk keperluan pelestarian kepada generasi pelapis, diupayakan pembenahan sistem dan metodologi pengajaran bahasa daerah yang menarik, sehingga generasi muda, sebagai generasi pelapis, mau belajar dan menggunakan bahasa daerah yang hidup di tempat mereka dibesarkan. Dalam hubungan Dengann bahasa asing, perencanan meliputi upaya penguasaan bahasa asing, terutama bagi generasi pelapis bangsa, dan kelompok masyarakat yang memiliki akses ke dunia internasional. Upaya itu dilakukan melalui penngkatan mutu pengajaran bahasa asing bagi generasi pelapis dan penyediaan fasilitas peningkatan mutu penggunaan bahasa asing diluar sistem persekolahan bagi masyarakat yang memiliki akses ke dunia internasional. 7. Pengembangan Saran Kebahasaan Berbagai upaya di atas harus diikuti Dengann pengembangan sarana kebahasaan. Sarana itu dapat berupa berbagai buku acuan dan panduan serta sarana informasi kebahasaan. Selain

harus tersedia buku tata bahasa dan buku panduan lainnya serta kamus ekabahasa, untuk keperluan masyarakat Indonesiamemasuki tatanan kehidupan baru, globalisasi, perlu disediakan kamus dwibahasa Indonesia-asing. Sementara itu, untuk keperluan masyarakat internasional masuk Indonesia, perlu disediakan kamus bahasa asing-Indonesia. Penyediaan sarana juga meliputi perangkat informasi kebahasaan, baik dalam bentuk cetak maupun elektronis. Penyediaan kepustakaan yang memadai dan terlengkap di Indonesiaharus menjadi sasaran utama penyediaan fasilitas itu. Semua itu dilakukan untuk menjadikan lembaga kebahasaan ini mnjadi pusat informasi tentang bahasa di Indonesia. Sarana informasi yang dibangun harus memungkinkan kemudahan bagi masyarakat, nasional maupun internasional, mengakses berbagai informasi yang mereka perlukan dari tempat mereka. Penyediaan fasilitas itu juga sekaligus memberikan layanan yang prima kepada masyarakat, secara nasional ataupun secara internasional. 8. Pengembangan Tenaga Kebahasaan dan Publikasi Pelaksanaan berbagai kegiatan di atas memerlukan tenaga kebahasaan yang memadai dari segi jumlah ataupun mutu. Pengadaan tenaga baru masih terus diperlukan sampai memenuhi kebutuhan, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Di pusat, misalnya diperlukan sampai memenuhi kebutuhan, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Di pusat, misalnya, diperlukan sekurang-kurangnya 150 tenaga peneliti lulusan S1, 100 orang lulusan S2, dan 25 orang lulusan S3. Sementara itu, di setiap Balai/Kantor Bahasa setidaknya memiliki 50 orang lulusan S1, 20 orang lulusan S2, dan 5 orang lulusan S3. Sementara itu, tenaga administrasi perlu mengimbangi perkembangan kelembagaan tersebut. Di tingkat pusat setidaknyamemenuhi jumlah sekurang-kurangnya 75 orang tenaga administrasi sebagai pendukung seluruh kegiatan kebahasaan tersebut. Selain itu, pengembangan tenaga kebahasaan dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan, keikutsertaan dalam pertemuan ilmiah, nasional ataupun internasional. Untuk keperluan pembangunan tenaga pelapis, perlu harus digalakkan penyelenggaraan berbagai kegiatan yang dapat membentuk komunitas kebahasaan di kampuskampus dan sekolah-sekolah, melalui penyelenggaraan bengkel bahasa dan sastra. Langkah yang harus ditempuh dalam upaya menyebarluaskan hasil pengembangan kosakata/istilah dan pemantapan kodifikasi ialah publikasi. Publikasi, baik dalam bentuk cetak maupun dalam bentuk elektronis, diharapkan dapat menjangkau kelompok masyarakat pembaca buku ataupun masyarakat yang telah menggunakan jasa elektronis. Publikasi dalam bentuk elektronis dapat pula menjangkau kalangan yang lebih luas tanpa batas, misalnya melalui laman (internet). Demikian juga media massa dapat dimanfaatkan untuk menyebarluaskan hasil pengembangan kosakata/istilah. Tanpa publikasi melalui berbagai jalur tersebut, pemasyarakatan hasil pengembangan kosakata/istilah akan terlalu lambat sampai ke masyarakat pengguna bahasa Indonesia. 9. Kelembagaan

Pelaksanaan berbagai upaya sebagaimana dikemukakan di atas memerlukan sistem kelembagaan yang andal. Untuk itu, lembaga yang menangani masalah kebahasaan perlu ditingkatkan statusnya yang strategis sehingga memudahkan koordinasi dan posisi tawar Dengann instansi/pihak lain karena upaya itu memerlukan dukungan seluruh komponen bangsa. Agar pelaksanaan berbagai kegiatan yang terencana tersebut berjalan Dengann baik dan menyeluruh, lembaga kebahasaan perlu terus dikembangkan sehingga memiliki wakil di seluruh wilayah penutur bahasa Indonesia dan bahkan dapat membangun institusi di luar neara untuk memfasilitasi masyarakat internasional yang ingin belajar bahasa Indonesia.

10.

Bahasa Jiwa dan Citra Bangsa

Kini bangsa Indonesia berada dalam tatanan kehidupan modern dalam memasuki kehidupan global. Salah satu sarana dalam kehidupan masyarakat modern adalah bahasa yang mampu memenuhi tuntutan keperluan komunikasi seluruh anggota masyarakatnya. Maka, berbagai langkah sebagaimana digambarkan dalam paparan di atas merupakan upaya menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa modern. Pengembangan bahasa menuju bahasa modern tersebut diharapkan akan mampu menjadikan bahasa Indonesia sebagai jiwa bangsa yang menggerakkan seluruh kehidupan kebangsaan. Berbagai perubahan bahasa dan masyarakat pendukungnya menuju kehidupan modern tersebut merupakan dinamika yang dapat memacu perkembangan bahasa dan sastra Indonesia dalam memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat pendukungnya. Dengan demikian, bahasa Indonesia akan mampu menjadi bahasa pengantar perdagangan bebas di bumi Indonesia pada era globalisasi. Upaya perluasan penggunaan bahasa Indonesia ke luar masyarakat Indonesia merupakan langkah memperbaiki citra Indonesia di dunia internasional melalui peningkatan mutu pengajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing (BIPA), yang pada gilirannya akan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa perhubungan luas di dunia internasional. ----------------ooOoo---------------- Rujukan Alwi, Hasan dan Dendy Sugono (Ed.). 2000. Politik Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa. Alwi, Hasan, Dendy Sugono, dan A. Rozak Zaidan. (Ed.). Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi. Jakarta: Pusat Bahasa. Halim, Amran. 1976. Politik Bahasa Nasional Jilid 1. Jakarta: Pusat Bahasa. Halim, Amran. 1976. Politik Bahasa Nasional Jilid 2. Jakarta: Pusat Bahasa. Hassan, Abdullah (Ed.). 1994. Language Planning in Southeast Asia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Moeliono, Anton M. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan. Moeliono, Anton. 2000. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi dalam Hasan Alwi, Dendy Sugono, dan A. Rozak Zaidan (Ed.). Jakarta: Pusat Bahasa. Sugono, Dendy (Ed.). 2003. Bahasa Indonesia Menuju Masyarakat Madani. Jakarta: Progress. Sugono, Dendy. et.al 2003. Setengah Abad Kiprah Kebahasaan dan Kesastraan Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Sugono, Dendy. 2004. Strategi Perancangan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia. Makalah Kongres Bahasa Utama Dunia. Kuala Lumpur, 58 Oktober 2004. Sugono, Dendy. 2005. Dinamika Bahasa dan Sast

Adapun fungsi bahasa baku ialah sebagai pemersatu, pemberi kekhasan, pembawa kewibawaan, dan kerangka acuan. Ciri-ciri ragam bahasa baku, yaitu, sebagai berikut. Digunakan dalam situasi formal, wacana teknis, dan forum-forum resmi seperti seminar atau rapat. Memiliki kemantapan dinamis artinya kaidah dan aturannya tetap dan tidak dapat berubah.

Bersifat kecendekiaan, artinya wujud dalam kalimat, paragraf, dan satuan bahasa yang lain mengungkapkan penalaran yang teratur. Memiliki keseragaman kaidah, artinya kebakuan bahasa bukan penyamaan ragam bahasa, melainkan kesamaan kaidah. Dari segi pelafalan, tidak memperlihatkan unsur kedaerahan atau asing. Adapun fungsi bahasa baku ialah sebagai pemersatu, pemberi kekhasan, pembawa kewibawaan, dan kerangka acuan. Ciri-ciri ragam bahasa baku, yaitu, sebagai berikut. Digunakan dalam situasi formal, wacana teknis, dan forum-forum resmi seperti seminar atau rapat. Memiliki kemantapan dinamis artinya kaidah dan aturannya tetap dan tidak dapat berubah. Bersifat kecendekiaan, artinya wujud dalam kalimat, paragraf, dan satuan bahasa yang lain mengungkapkan penalaran yang teratur. Memiliki keseragaman kaidah, artinya kebakuan bahasa bukan penyamaan ragam bahasa, melainkan kesamaan kaidah. Dari segi pelafalan, tidak memperlihatkan unsur kedaerahan atau asing.

PEMBAKUAN BAHASA INDONESIAPembakuan atau penstandaran bahasa adalah pemilihan acuan yang dianggap palingwajar dan paling baik dalam pemakaian bahasa. Masalah kewajaran terkait dengan berbagaiaspek. Dalam berbahasa, misalnya, aspek ini meliputi situasi, tempat, mitra bicara, alat, status penuturnya, waktu, dan lain-lain. Aspek-aspek tersebut disebut juga dengan istilah konteks.Konteks itulah yang menuntut adanya variasi bahasa. Dalam pemakaiannya, variasi bahasa berhubungan dengan masalah fungsi bahasa sebagai alat komunikasi sosial. Berdasarkanfungsinya itu,maka bahasa tidak menunjukkan adanya satu acuan yang dipergunakan untuk berkomunikasi dalam segala fungsinya. Setiap acuan cenderung dipergunakan sesuai konteksyang mempengaruhinya.Karena adanya berbagai acuan itu, maka masalah utama standardisasi bahasa adalahacuan manakah yang harus dipilih di antara berbagai acuan yang ada dalam berbagai variasi pemakaian sesuai dengan faktorfaktor yang mempengaruhinya, yang akan ditetapkan sebagaiacuan standard dan Masalah pembakuan bahasa terkait dengan dua hal, yakni kebijaksanaan bahasa dan perencanaan bahasa.A. Bahasa BakuBahasa baku atau bahasa standar adalah bahasa yang memiliki nilai komunikatif yangtinggi, yang digunakan dalam kepentingan nasional, dalam situasi resmi atau dalam lingkunganresmi dan pergaulan sopan yang terikat oleh tulisan baku, ejaan baku, serta lafal baku (Junus danArifin Banasuru, 1996:62). Bahasa baku tersebut merupakan ragam bahasa yang terdapat pada bahasa bersangkutan. Ragam baku itu merupakan ragam yang dilembagakan dan diakui olehsebagian besar warga masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi dan diakui oleh sebagiankerangka rujukan norma bahasa dalam penggunaannya.Untuk menentukan apakah sebuah ragam bahasa itu baku atau tidak, maka ada tiga halyang dijadikan patokan. Ketiga hal tersebut adalah kemantapan dan kedinamisan, kecendikiandan kerasionalan, serta keseragaman.

Proses pembakuan bahasa diadakan karena keperluan komunikasi. Dalam proses ini satuvariasi diangkat untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu dan variasi itu disebut bahasa baku atau bahasa standar.Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh dalam usaha pembakuan ini adalah :1. KodifikasiHimpunan dari hasil pemilihan mana yang lebih baik antara satu dengan yang lainnya,itulah kodifikasi. Jadi, yang mula-mula dilakukan ialah inventarisasi bahan dari sejumlah bidangyang diperlukan. Kemudian diadakan pemilihan pada kelompok tiap bidang. Selanjutnya, hasil pemilihan itu dihimpun menjadi satu kesatuan.Dalam pengkodifikasian bahasa Indonesia akan menyangkut dua aspek yang penting,yaitu: Bahasa menurut situasi pemakai dan pemakaiannya. Bahasa menurut strukturnya sebagai suatu system komunikasi.Kodifikasi yang pertama akan menghasilkan sejumlah ragam bahasa dan gaya bahasa.Perbedaan ragam gaya tampak dalam pemakaian bahasa lisan dan bahasa tulisan, masing-masingakan mengembangkan variasi menurut pemakaiannya di dalam pergaulan keluarga dan sahabat.Kodifikasi yang kedua menghasilkan tata bahasa dan kosa kata yang baku. Padaumumnya yang layak dianggap baku adalah ujaran dan tulisan yang dipakai oleh golonganmasyarakat yang paling luas pengaruhnya dan lebih besar kewibawaannya.2. ElaborasiElaborasi ini merupakan penyebarluasan kodifikasi. Penyebarluasan ini dilakukan dengan jalan menerapkan hasil kodifikasi kedalam segi kehidupan bangsa Indonesia.3. ImplementasiSetelah usaha kodifikasi dan elaborasi, maka harus diikuti oleh usaha implementasi yangmerupakan proses akhir dari usaha pembakuan bahasa. Terwujudnya implementasi dengan baik berarti usaha pembakuan bahasa telah tercapai. Hal ini bergantung pada masyarakat, apakah masyarakat menerima hasil kodifikasi dan usaha elaborasi tadi dengan sikap positif atau tidak.Kalau usaha kodifikasi dan elaborasi dikerjakan oleh pusat pembinaan dan pengembangan bahasa atau lembaga-lembaga bahasa maka implementasi dilakukan oleh seluruh anggotamasyarakat.B. Fungsi Bahasa BakuSelain berfungsi sebagai bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi, bahasa bakumempunyai fungsi lain. Gravin dan Mathint (Chaer : 252) menjelaskan bahwa bahasa baku bersifat sosial politik, yaitu fungsi pemersatu, fungsi pemisah, fungsi harga diri, dan fungsikerangka acuan.Alwi, dkk. (1998:14-20) menjelaskan bahwa bahasa baku mendukung empat fungsi, tigadi antaranya bersifat pelambang atau simbolik, sedangkan yang satu lagi bersifat objektif.Fungsi fungsi tersebut adalah1. fungsi pemersatu2. fungsi pemberi kekhasan3. fungsi pembawa kewibawaan4.

fungsi sebagai kerangka acuan.Kridalaksana (1975) mencatat empat fungsi bahasa yang menuntut penggunaan ragam baku, yaitu1. komunikasi resmi2. wacana teknis3. pembicaraan di depan umum4. pembicaraan dengan orang yang dihormati.Dari empat fungsi bahasa yang menuntut ragam baku itu, hanya dua yang terakhir yanglangsung berkaitan dengan komunikasi verbal secara lisan. Dengan kata lain, lafal baku perludigunakan dalam pembicaraan di depan umum, seperti kuliah, ceramah, khotbah, pidato, dsb.atau dalam pembicaraan dengan orang yang dihormati seperti pembicaraan dengan atasan,