Prinsip Dasar Teologi Yudaisme

6

Click here to load reader

description

In Indonesian language, "Judaism", originally a paper presented by Martin Suhartono, S.J. as an introduction to the seminar on Judaism, Faculty of Theology Wedabhakti, Sanata Dharma University, Yogyakarta, 1998.

Transcript of Prinsip Dasar Teologi Yudaisme

Page 1: Prinsip Dasar Teologi Yudaisme

TEOLOGI YUDAISME

Martin Suhartono, S.J.

Pengantar

Istilah "Yudaisme" kerap berarti macam-macam ungkapan sejarah dan kebudayaan Yahudi.

Secara umum, istilah itu menunjuk pada keseluruhan perintah, ritus, tradisi dan kepercayaan

yang membentuk agama Yahudi. Agama Yahudi mencakup hidup, ibadat, dan iman bangsa

Yahudi sepanjang masa, yaitu mulai dari para Bapa Bangsa dan Nabi sampai sekarang. Tapi

secara khusus, istilah "Yudaisme" merujuk pada agama Yahudi sebagaimana berkembang

setelah Pembuangan Babilonia (587 - 538 sebM) (lih. New Catholic Encyclopedia, "Judaism").

Arti terakhir inilah yang pada umumnya dimaksudkan bila orang bicara mengenai Studi

Yudaisme.

Judul kuliah ini dapat memberikan kesan yang keliru, seakan-akan hanya ada satu jenis

Yudaisme dengan satu jenis teologi. Dari kuliah Sejarah Yudaisme tentunya telah diketahui

bahwa ada macam-macam aliran Yudaisme sejak dari zaman lahirnya Yudaisme secara resmi,

yaitu saat bangsa Yahudi di bawah pimpinan Ezra (sering dianggap Musa kedua), imam dan ahli

kitab, sekembalinya dari pembuangan di Babilonia menjelang akhir abad ke-5 Seb.M, bersama-

sama mengikat diri untuk berjalan sesuai dengan Taurat Allah (Neh 10:29). Sejak peranan

sentral para nabi tergantikan oleh para ahli kitab ini Yudaisme mengenal macam-macam

golongan dengan faham masing-masing.

Pada abad pertama Masehi paling sedikit dikenal adanya golongan Saduki, Farisi, Esseni

(yang terdiri atas macam-macam sekte pula, a.l. Komunitas Qumran) dan Zelot (I. Suharyo,

Dunia Perjanjian Baru, hlm. 77-93). Setelah kehancuran Yerusalem (th. 70) muncul pula

Yudaisme Rabbinis, berkembang sebagai akibat kemenangan golongan Farisi atas golongan-

golongan lainnya, yang mendasarkan diri pada Talmud. Pada Abad Pertengahan muncul pemikir-

pemikir Yahudi (a.l. yang terutama, Maimonides, 1135-1204) yang memberikan sistematisasi

pada pandangan Yudaisme. Berkembang pula di Abad Pertengahan ini gerakan mistisisme

Yahudi dengan nama Kabbala, selain juga gerakan Mesianisme (a.l. Shabbatai Sevi), dan

Hasidisme. Di zaman modern ini dikenal macam-macam gerakan Reformatif dalam Yudaisme

(klasik, konservatif, moderat) (lih. Encyclopaedia Britannica, "Judaism").

Keliru pula bila orang membayangkan bahwa "teologi Yudaisme" itu terungkap dalam

traktat-traktat sistematis, panjang, spekulatif. Para rabbi Yahudi biasa merumuskan pemahaman

mereka mengenai Allah secara singkat dan sederhana, lewat rumusan aforistik dan kisah-kisah,

yang kadang bersifat anekdotal. Maka yang diuraikan di bawah ini merupakan abstraksi teoretis

hal-hal umum yang dapat dijumpai pada macam-macam aliran dalam Yudaisme.

Page 2: Prinsip Dasar Teologi Yudaisme

Martin/Yudaisme/hlm. 2

Allah hadir dan bertindak dalam sejarah manusia

Pembagian kuliah mengenai Yudaisme dalam pokok bahasan "sejarah", "teologi/filsafat", dan

"etika" agak sulit dilaksanakan karena Yudaisme bukan terutama didasarkan pada suatu sistem

ajaran tertentu melainkan pada suatu pengalaman historis suatu bangsa dalam perjumpaan

mereka dengan Realitas Absolut, yang mereka kenal sebagai Yahweh. Pengalaman itu membuat

bangsa tersebut menerapkan suatu pola hidup tertentu dalam hubungan dengan Allah mereka dan

antar mereka sendiri.

Yudaisme kerap disebut "agama sejarah" (religion of history, menurut Encyclopaedia

Britannica). Sejarahlah yang dapat menjelaskan apakah Yudaisme itu. Faham mengenai

Yudaisme muncul dalam kisah-kisah yang merupakan laporan peristiwa-peristiwa yang terjadi

dan sekaligus pula refleksi teologis atas peristiwa-peristiwa itu. Para penulis laporan kejadian

dan sekaligus refleksi teologis itu percaya bahwa dalam sejarahlah kehadiran ilahi itu dapat

dijumpai. Tentu saja, kehadiran Allah dapat mereka alami pula di dalam alam, tapi bagi mereka,

hubungan yang lebih pribadi dan mendalam terjadi pada wilayah tindakan manusia. Lebih

daripada sekedar sistem ajaran, Yudaisme merupakan suatu way of life yang merupakan

ungkapan tanggapan terhadap kehadiran Allah dalam hidup mereka itu. Dan itu berarti

mencakup pula hubungan dengan sesama karena kehadiran Allah dialami sebagai yang meliputi

seluruh bidang kehidupan seseorang. Tak ada wilayah apa pun dalam hidup yang tak dimasuki

atau pun ditentukan oleh kehadiran Ilahi itu. Karena itu tanggapan manusia terhadap kehadiran

Ilahi itu juga merupakan tanggapan menyeluruh yang melibatkan seluruh keakuan manusia

(Ulangan 6:6-9).

Hal tersebut paling jelas tampak dari fakta bagaimana liturgi, khususnya dalam hal

pengucapan "berkat/doa syukur", meresapi setiap bidang kehidupan orang Yahudi. Dalam setiap

keadaan dan tindakan, ada doa-doa syukur/pujian/berkat yang perlu diucapkan: entah sedang

memandang laut atau pun pohon berbunga, mendengar kabar baik atau pun buruk, memandang

orang cantik maupun buruk, dll. Sejak dari hal-hal pribadi seperti kelahiran, sunat, akil balik,

pertunangan, perkawinan, kematian, sampai pada kehidupan masyarakat umum diatur dalam

upacara-upacara liturgis.

Hari-hari Raya Keagamaan dirayakan dengan meriah bukan sekedar sebagai peringatan

nostalgis melainkan sebagai penghadiran kembali tindakan-tindakan penyelamatan Allah yang

dialami oleh bangsa Israel. Paskah (Pesah) menghadirkan Allah yang menyelamatkan bangsa

Israel dari perbudakan di Mesir. Pentakosta (Shavu'ot) menghadirkan Allah sebagai pemberi

Hukum di Sinai. Pondok Daun (Sukkot) menghadirkan Allah yang memelihara bangsa Israel di

padang gurun. Inilah tiga Hari Raya dengan kewajiban bagi pria Yahudi untuk berziarah ke

Yerusalem. Selain itu ada pula pesta-pesta lain, seperti Ro'sh ha-Shanah (Tahun Baru), Yom

Kippur (Hari Penebusan), Tish'ah be-Av (memperingati dihancurkannya Bait Allah), Purim

Page 3: Prinsip Dasar Teologi Yudaisme

Martin/Yudaisme/hlm. 3

(memperingati penyelamatan Allah yang dikisahkan dalam Kitab Esther), Hannukah

(memperingati penyucian Bait Allah oleh Dinasti Makkabe th. 164 sebM).

Allah yang hadir dalam kehidupan bangsa Israel itu dihayati sebagai Allah yang Tunggal.

Selain itu, Allah tidak dimengerti sebagai yang jauh dan abstrak tetapi sebagai yang dekat dan

personal. Iman Yahudi adalah perpaduan antara ungkapan "Allahku" dan "Allah bapaku" (bdk.

Kitab Keluaran 15:2), d.p.l., Allah yang telah mewujudkan diri dalam sejarah keluarga/bangsa

("bapaku") maupun dalam hidup pribadi ("ku"). Keesaan Allah ini dikumandangkan oleh setiap

orang Yahudi minimal dua kali sehari (pagi dan petang) lewat rumusan yang dikenal dengan

istilah Shema (dengarlah): "Dengarlah, O Israel, Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Satu" (Shema,

Israel, Adonai elohenu, Adonai ehad, Ulangan 6:4). Ungkapan "kita" menunjuk pada

partikularitas Allah, hubungan khusus Israel dengan Allah, sedangkan "Satu" menunjuk pada

universalitas Allah, Allah bagi seluruh alam semesta. Rumusan ini mengungkapkan tekad orang

Yahudi untuk hanya committed terhadap Allah, menerima Dia sebagai satu-satunya Junjungan

(Adonai, Lord) dalam hidupnya. Karena itu seorang budak tak diharuskan mengucapkan Shema

karena dia punya lebih dari satu junjungan.

Rumusan Shema itu diucapkan pada pagi hari didahului oleh sebuah berkat dan diikuti

oleh sebuah berkat pula. Pada berkat pertama, Allah dipuji sebagai Pencipta, yang terus

memperbaharui ciptaan-Nya setiap hari. Pada berkat kedua, Allah dipuji sebagai Pewahyu atau

Guru (yang telah memberikan Torah, ajaran). Ungkapan "Tuhan itu Esa" mengungkapkan aspek

Allah sebagai Penebus seluruh alam semesta. Jadi ada tiga aspek tindakan Allah yang dihayati

oleh orang Israel, yaitu Allah sebagai Pencipta, Guru (Pemberi Hukum), dan Penebus. Ketiga

aspek ini tercermin pula pada perayaan Sabath: pada Jumat malam (aspek Penciptaan, vayechulu

"dan selesailah ..."), pada Sabtu pagi (aspek Pewahyuan, yismach Moshe "Musa bergembira ...),

dan pada Sabtu petang (aspek Penebusan, attah ehad, "Kaulah Esa") (lih. P.H. Peli, "Hear O

Israel: Witness to the One God", dalam Sidic Vol. XVI/2/1983, hlm. 7).

Yudaisme mengalami pula bagaimana Allah itu adalah Allah yang mencari manusia (A.

Heschel, God in Search of Man), Allah yang membutuhkan manusia untuk membantunya dalam

ketiga aspek karya Ilahi itu. Bila orang menulis rumusan Shema, ada dua huruf yang harus ditulis

lebih besar dari yang lain, ayin dari Shema dan daleth dari ehad (Esa). Kedua huruf ini

membentuk kata Ed, yaitu "saksi". Israel menghayati dirinya sebagai Saksi ketiga aspek tindakan

Allah itu.

Page 4: Prinsip Dasar Teologi Yudaisme

Martin/Yudaisme/hlm. 4

Manusia menanggapi kehadiran dan tindakan Allah dalam sejarah

Ketiga aspek tindakan Allah terhadap bangsa Israel itu dihayati sebagai ungkapan Cinta

Ilahi atas umat-Nya. Dalam berkat pagi itu diungkapkan Ahavah rabah ahavthana ("dengan

Cinta yang besarlah Engkau telah mencintai kami"): karena Allah menerbitkan matahari tiap

pagi, terus menerus mencipta, dan mengajar bagaimana harus hidup. Bagian kedua Shema

berbunyi Veahavta et Adonai eloheka ("Cintailah Tuhan, Allahmu ..., Ul 6:5). Rumusan ini tak

dianggap sebagai perintah. Hampir semua tafsiran para rabbi mempertanyakan: bagaimana

mungkin orang diperintahkan mencintai?! Bukankah cinta tak bisa dipaksakan? Berkat pagi itu

menjawab problem tersebut: Allah telah lebih dahulu mencintai, dan cinta spontan

membangkitkan cinta. Cinta manusia dihayati sebagai ungkapan spontan terhadap cinta Allah.

Dengan demikian, inisiatif hubungan Allah-manusia selalu dihayati sebagai datang dari Allah

sendiri, dan bukan dari pihak manusia (bdk. Ul 7:6-9). Hal ini pulalah yang ditekankan bila

seseorang datang membawa persembahan pada Allah (Ul 26:5-10).

Ungkapan cinta Allah itu paling jelas terungkap dalam faham mengenai Perjanjian

(Covenant, B'rith). Perjanjian kerap dianggap sebagai inti KS dan Yudaisme. Perjanjian

menyangkut hubungan antara Allah dan umat-Nya Israel. Itu sekaligus mengungkapkan pula

bagaimana Israel memahami peranan dan misinya, dunia dan hubungan Israel dengan

orang/bangsa lain. Kesadaran religius Israel itu diungkapkan pula dalam liturgi (Siddur atau

Machzor). Pada doa pagi diucapkan "Pemilik keberadaan, kami tak bergantung pada perbuatan

baik kami sendiri bila kami mengutarakan kebutuhan kami di hadapan-Mu ...", diikuti dengan

renungan mengenai kehinaan manusia (Pengkhotbah 3:19 "nasib manusia sama dengan nasib

binatang ..."), namun dilanjutkan dengan kepercayaan sbb. "Namun kami adalah umat-Mu, b'nei

britekah, anak-anak perjanjian-Mu, anak-anak Abraham, teman-Mu, ... benih Ishak, putra

tunggalnya ... jemaat Yakub putra sulung-Mu, yang Kau namakan Israel ... Karena itulah

kewajiban kami memuji nama-Mu yang kudus dan mengakui keesaan-Mu dua kali sehari .."

Melalui B'rith itulah Israel menjadi Umat Allah.

Perjanjian itu pertama kali dibuat Allah dengan Abraham (Kej 15:9-17) dan dihayati

terus turun temurun. Bagi setiap orang Yahudi, B'rith bukan sekedar kejadian masa lalu yang

punah dalam peredaran waktu, melainkan kenyataan masa kini yang akan selalu bertahan (C.

Kessler, "A Jewish Understanding of Covenant", dalam Sidic Vol. XXIII/3/1990, hlm. 2-3).

Dalam arti itu B'rith adalah B'rith Olam, Perjanjian yang Abadi (bdk. perintah sunat dalam Kej

17:9-14). Perjanjian itu diperbaharui lagi lewat Ishak dan Yakub.

Perjanjian itu bersifat timbal balik dalam arti menelurkan janji maupun perintah dan

kewajiban (Kej 18:19). Perjanjian ditaati bila Israel menjalankan kewajiban itu. Dan hanya

dengan hidup dalam jalan Allah itulah Israel menjadi berkat bagi semua bangsa (Kej 12:3).

Sedangkan janji kesetiaan Allah itu ditepatinya ditepatinya lewat Musa: Ia menyelamatkan Israel

dan perbudakan Mesir. Perjanjian dengan para patriakh itu (Abraham, Ishak, Yakub) kini dibuat

Page 5: Prinsip Dasar Teologi Yudaisme

Martin/Yudaisme/hlm. 5

lagi oleh Allah dengan seluruh umat Israel di Sinai (Kel 19). Di sanalah diberikan "batu loh

perjanjian" (Ul 9:9, 15) dan "kitab perjanjian" (Kel 24:7).

Aspek perjanjian Allah dan umat-Nya itu dirayakan dalam liturgi. Sabbath merupakan

tanda utama perjanjian abadi itu: lewat perayaan Sabbath orang mencicipi dunia yang akan

datang, perjanjian abadi diungkapkan kini dan di sini. Tindakan ritual harian, seperti memakai

tefillin pada lengan dan dahi, melambangkan ikatan cinta yang menyatukan orang Yahudi

dengan Allah. Pada saat mengenakan tefillin, orang harus mengucapkan doa dari Hos 2:18-19:

"Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku untuk selamanya ....".

Hanya dalam rangka Perjanjian itulah konsep Yudaisme mengenai Torah dapat dipahami.

Kata "Torah" berasal dari akar kata yang berarti "menunjukkan jalan, arah". Torah berisi bukan

sekedar petunjuk tapi suatu pola tingkah laku, pola hidup, yang hendaknya diikuti oleh baik

individu maupun komunitas. Asal-usul pola hidup ini dihayati sebagai berasal dari Allah, karena

itu dikenal ungkapan Torah min ha-shamayim (Torah dari Sorga). Sesuai dengan pengertian ini,

terjemahan umum untuk Torah sebagai "hukum" memang tak memadai. Torah kerap dimengerti

sebagai inti Yudaisme: Kitab Sucinya, tradisi lisannya, afermasi teologisnya, kenangan

historisnya, kewajiban etisnya, kewajiban ibadah dan ritualnya, tafsirannya atas teks-teks

otoritatifnya (Encyc. Britannica). Baru kemudian Torah disempitkan artinya menjadi Kelima

Kitab Musa (Pentateukh) seperti terungkap dalam istilah Tanakh yang digunakan untuk

menyebut KS Yahudi, yaitu ketiga kumpulan kitab: Torah (Pentateukh), Nevi'im (Nabi-nabi),

Ketubim (Tulisan-tulisan).

Di Sinai itu disampaikan kepada Musa baik Torah Tertulis maupun Lisan. Torah tertulis

itu adalah Tanakh. Tapi selain KS ini diturunkan juga tradisi lisan yang kemudian diteruskan

turun temurun dalam tradisi para rabbi dan dikumpulkan pada akhir abad ke-2 M dalam

Mishnah. Mishnah didampingi oleh supplemennya (Tosefta). Tradisi lisan ini bukan cuma

terbatas pada kumpulan Mishna, melainkan juga tafsiran terhadap Torah tertulis yang terkumpul

dalam literatur Midrash, ada yang bersifat halakhah (aturan) maupun haggadah (kisah). Mishna

ini ditafsirkan oleh para rabi dalam Gemara. Mishnah dan Gemara bersama-sama membentuk

Talmud. Ada Talmud Yerusalem (450 M) yang memelihara tradisi di Palestina dan ada Talmud

Babilonia (500 M) yang memelihara tradisi Babilonia. Jadi KS, Midrash Halakhah dan

Haggadah, Mishna dan Gemara, membentuk sumber perbendaharaan Yudaisme yang terus

menerus digali agar orang-orang Yahudi dapat hidup sesuai dengan panggilannya sebagai "anak-

anak Perjanjian".

Torah disebut juga sebagai esensi Yudaisme. Lalu apakah inti Torah itu? Dalam Talmud

ada kisah bagaimana ada seorang Romawi yang ingin mencoba rabbi-rabbi Israel. Ia ingin diajari

Torah Yahudi selagi ia menyeimbangkan diri berdiri di atas satu kaki. Rabbi Syamai marah dan

mengusir dia, sedangkan rabbi Hilel mengajarkan inti Torah itu dalam satu kalimat "Apa yang

kamu benci, jangan lakukan itu pada orang lain!" (bdk Im 19:18: "Kasihilah sesamamu manusia

Page 6: Prinsip Dasar Teologi Yudaisme

Martin/Yudaisme/hlm. 6

seperti dirimu sendiri") (lih. M.H. Kornspan, "Gagasan-gagasan dan Budaya Yudaisme", Gema

53/1998, hlm. 4-6).

Allah sebagai model manusia

Manusia telah diciptakan seturut gambar Allah (Kej 1:26) maka pada prinsipnya panggilan Allah

atas umat-Nya itu berbunyi, "Hendaklah engkau kudus seperti Tuhan, Allahmu, adalah kudus!"

(Im 19:2; Ul 11:44-45; 14:21). Maka ada juga yang menyebut Yudaisme sebagai monoteisme

etis. Artinya, paham Israel mengenai Allah itu membawa konsekuensi-konsekuensi konkret

dalam bagaimana Israel itu bertindak terhadap sesamanya. Misalnya faham mengenai Allah

sebagai Pembela janda, anak yatim, dan orang asing. Bila faham itu diterjemahkan dalam aturan-

aturan kemasyarakatan sebagaimana dituliskan dalam hukum Deuteronomis (terutama dalam

Ulangan 10, 15, 16, 24, 26, 27), maka yang muncul adalah sistem legislatif yang

memprioritaskan orang miskin sehingga dengan demikian menjamin terwujudnya masyarakat

adil makmur, masyarakat "tanpa orang miskin" (bdk. Ul 15:4, 11) (lih. N. Lohfink, "The Laws of

Deuteronomy: A Utopian Project for a World without any Poor", Scripture Bulletin Vol.

XXVI/1/1996, hlm. 12).

(Yogyakarta, 28 November 1998)