PRESUsssssss ObsgYn
-
Upload
endah-warroza-putri -
Category
Documents
-
view
166 -
download
10
Embed Size (px)
Transcript of PRESUsssssss ObsgYn

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sampai saat ini angka kematian ibu melahirkan tidak dapat turun seperti yang
diharapkan. Menurut laporan BKKBN pada bulan Juli 2005, AKI masih berkisar 307 pe
100.000 kelahiran hidup. Pemerintah sebenarnya telah bertekad untuk emnurunkan AKI
dari 309 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 19994) menjadi 225 per 100.000 kelahiran
hidup pada tahun 1999 dan menurunkannya kembali menjadi 125 per 100.000 kelahiran
hidup pada tahun 2010.
Telah diketahui bahwa tiga penyebab utama kematian ibu dalam bidang obstetri adalah
perdarahan (45%), infeksi (15%). Dan hipertensi dalam kehamilan (preeklampsi)
sebanyak 13%. Sisanya terbagi atas penyebab partus macet, abortus yang tidak aman dan
penyebab tidak langsung lainnya. Dalam perjalanannya berkat kemajuan dalam bidang
anestesi, teknik operasi, pemberian cairan infus dan transfusi, dan peranan antibiotik yang
semakin meningkat, amak penyebab kematian ibu karena perdarahan dan infeksi dapat
diturunkan dengan nyata. Sebaliknya, pada penderita preeklampsia, karena ketidaktahuan
dan sering terlambat mencari pertolongan setelah gejala klinis berkembang menjadi
preeklampsia berat dengan segala komplikasinya, angka kematian ibu bersalin belum
dapat diturunkan.
Pada tahun 1996 di RSUP Dr. Kariadi Semarang preeklampsia dan eklampsia masih
merupakan penyebab utama kematian maternal (40%) diikuti infeksi (26,6%) dan
perdarahan (24,4%). Sedangkan pada tahun 1999-2000 preeklampsia dan eklampsia juga
merupakan penyebab utama kematian maternal (52,9%) diikuti perdarahan (26,5%) dan
infeksi (14,7%).
Penyebab preeklampsia sampai saat ini belum diketahui secara pasti sehingga penyakit
ini oleh Zweifel (1916) disebut “the disease of theories”. Oleh karena itu berbagai
penelitian terus dilakukan untuk mengetahui patogenesis preeklampsia, dengan hasil
berbagai temuan baru yang terungkap. Penelitian membuktikan bahwa plasenta penderita
preeklampsia ternyata mengalami iskemia akibat menurunnya aliran darah ke plasenta
yang disebabkan karena perubahan pada arteria spiralis.

B. TUJUAN
Tujuan dari penyusunan presentasi kasus ini adalah:
a. Sebagai sarana pembelajaran bagi para mahasiswa, sehingga diharapkan
memiliki kompetensi yang bisa diandalkan ketika kelak terjun di masyarakat.
b. Mengetahui penegakan diagnosis, dan penatalaksanaan preeklampsia berat.
c. Mengetahui penatalaksanaan induksi.
d. Mengetahui indikasi medis operatif wanita.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Report on The National High Blood Pressure Education Program Working Group
on High Blood Pressure in Pregnancy, hipertensi dalam kehamilan diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Hipertensi Gestasional
Pada kehamilan dijumpai tekanan darah ≥140/90, tanpa disertai proteinuria dan
biasanya tekanan darah akan kembali normal sebelum 12 minggu pasca-persalinan
2. Preeklampsia
Apabila dijumpai tekanan darah ≥140/90, setelah kehamilan 20 minggu disertai
proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau pemeriksaan dengan dipstick ≥ 1+
3. Eklampsia
Ditemukan kejang-kejang pada penderita preeklampsia, dapat disertai koma.
4. Hipertensi Kronis
Dari sebelum kehamilan atau sebelumkehamilan 20 minggu ditemukan tekanan darah
≥140/90 dan tidak menghilang setelah 12 minggu pasca-persalinan
5. Hipertensi kronis dengan Super Imposed Preeklampsia
Pada wanita hamil dengan hipertensi kronis, muncul proteinuria ≥ 300 mg/24 jam
setelah kehamilan 20 minggu, dapat disertai gejala dan tanda preeklampsia lainnya.
Preeklampsia merupakan suatu diagnosis klinis. Definisi klasik preeklampsia meliputi 3
elemen, yaitu onset baru hipertensi (didefinisikan sebagai suatu tekanan darah yang menetap
≥ 140/90 mmHg pada wanita yang sebelumnya normotensif), onset baru proteinuria
( didefinisikan sebagai › 300 mg/24 jam atau ≥ +2 pada urinalisis bersih tanpa infeksi traktus
urinarius), dan onset baru edema yang bermakna. Pada beberapa konsensus terakhir
dilaporkan bahwa edema tidak lagi dimasukkan sebagai kriteria diagnosis.
Faktor resiko terjadinya preeklampsia:
1. Primigravida

2. Hiperplasentosis : mola hidatidosa, kehamilan ganda, diabetes mellitus, hidrops
fetalis, bayi besar.
3. Umur yang ekstrem
4. Riwayat preeklampsia-eklampsia pada kehamilan sebelumnya
5. Riwayat keluarga dengan preeklampsia-eklampsia
6. Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum kehamilan
7. Obesitas
8. Trombofilia, yakni sindrom antifosfolipid, mutasi faktor V Leiden, resistensi protein
C aktif, dan hiperhomosisteinemia.
9. Dislipidemia
Pada saat ini ada beberapa hipotesa yang mendasari patogenesa:
1. Iskemia plasenta
Peningkatan deportasi sel trofoblas yang akan menyebabkan kegagalan invasi
arteria spiralis menyebabkan iskemia plasenta. Pada kehamilan normal, invasi
trofoblas ke dalam sel desidua menghasilkan perubahan fisiologis arteri
spiralis. Hasil akhir dari perubahan tersebut adalah arteri spiralis yang tadinya
tebal dan muskularis menjadi lebih lebar berupa pembuluh darah yang
berdinding tipis, lemas, dan berbentuk seperti kantong yang memungkinkan
terjadinya dilatasi secara pasif untuk menyesuaikan dengan kebutuhan aliran
darah yang meningkat. Pada preeklampsia proses plasentasi tersebut tidak
berjalan sebagaimana mestinya oleh karena tidak semua arteri spiralis
mengalami invasi oleh trofoblas. Plasenta pada penderita preeklampsi
menunjukkan ekspresi abnormal dari molekul integrin yang mengatur interaksi
antar matriks sel sehingga perubahan hanya terjadi pada sebagian arteri
spiralis segmen desidua, sementara arteri spiralis segmen miometrium masih
diselubungi oleh sel-sel otot polos. Selain itu ditemukan juga adanya
hiperplasia tunika media dan trombosis. Garis tengah arteri spiralis 40% lebih
kecil dibandingkan denga kehamilan normal, hal ini menyebabkan
insufisiensi dan iskemia. Teori tentang bagaimana sel-sel trofoblas gagal
mengadakan invasi arteri spiralis sampai saat ini belum jelas.
2. Mal Adaptasi imun
Terjadinya maladaptasi imun dapat menyebabkan dangkalnya invasi sel
trofoblas pada arteri spiralis. Dan terjadinya disfungsi endotel dipicu oleh

pembentukan sitokin, enzim proteolitik, dan radikal bebas. Para ahli
mengemukakan pendapat bahwa preeklampsi urni adalah terjadi pada
kehamilan pertama kali. Ini didasarkan pada data bahwa angka kejadian
preeklampsia lebih rendah pada wanita yang sebelumnya telah pernah
mengalami kehamilan normal. Tetapi resiko akan meningkat bila wanita
tersebut berganti pasangan seksual. Paparan berulang terhadap sperma dari
individu yang sama juga merupakan faktor pencegah terjadinya preeklampsia.
Walaupun belum jelas dipahami, hipotesis yang mendasari efek protektif dari
sperma yaitu bahwa sel T dalam traktus genitalis dapat mengenali antigen
tanpa adanya human leucocyt antigen (HLA) kelas 1 pada antigen precenting
cell (APC), sehingga trofoblas yang mengandung sedikit HLA klasik dapat
dikenali. Selain itu, limfosit T kurang respon terhadap HLA kelas I paternal,
yang mungkin berpengaruh terhadap reaksi imun. Maladaptasi imun diduga
mengakibatkan terjadinya kegagalan invasi trofoblas ke desidua, tetapi
mekanisme yang mendasari belum diketahui dengan jelas.
3. Genetic Inprenting
Terjadinya preeklampsia dan eklampsia mungkin didasarkan pada gen resesif
tunggal atau gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Penetrasi
mungkin tergantung pada genotip janin.
4. Perbandingan VLDL ( Very Low Density Lipoprotein) dan TxPa (Toxicity
Preventing Activity)
Sebagai kompensasi untuk peningkatan ebergi selama kehamilan, asam lemak
non-esterifikasi akan dimobilisasi. Pada wanita hamil dengan kadar albumin
yang rendah, pengangkatan kelebihan asam lemak non-esterifikasi dari
jaringan lemak ke dalam hepar akan menurunkan aktivitas antitoksik albumin
sampai pada titik di mana VLDL terekspresikan. Jika kadar VLDL melebihi
TxPA maka efek toksik dari VLDL akan muncul.
5. Disfungsi endotel
Salah satu teori mengenai patogenesis preeklampsi yang saat ini dianggap
penting yaitu teori mengenai disfungsi endotel. Disfungsi endotel diduga
menjadi dasar dari timbulnya manifestasi klinis pada preeklampsia. Teori ini
tidak bisa lepas dari teori patogenesis preeklampsi yang lain, salah satunya
yaitu teori iskemia plasenta. Pada saat plasenta mengalami iskemia maka
plasenta menghasilkan peroksida lipid yang selanjutnya akan masuk dalam

sirkulasi darah dan terikat dengan lipoprotein, khususnya low density
lipoprotein (LDL). Dalam kadar yang rendah peroksidasi lipid merupakan
peristiwa normal dalam kehidupan sel maupun jaringan. Pada preeklampsia
berat dijumpai perubahan ultrastruktur mitokondria pada pembuluh darah
uterina dan jaringan plasenta. Mitokondria adalah sumber oksigen radikal dan
diperkaya oleh asam lemak tak jenuh. Maka plasenta dapat merupakan sumber
terbesar dari produksi peroksida lipid pada kehamilan. Proses peroksidasi lipid
meningkat sesuai dengan meningkatnya umur kehamilan, bahkan pada akhir
kehamilan aktivitas menjadi dua kali lipat. Dalam keadaan normal peroksida
lipid selalu dijaga dalam keadaan seimbang melalui peran antioksidan. Bila
kadar antioksidan rendah maka peroksida lipid menjadi tidak terkendali dan
timbulah stres oksidatif.
Sekali terjadi peroksidasi lipid yang tidak terkendali, maka proses akan
berlangsung terus. Karena lapisan sel endotel merupakan lapisan yang terpapar
langsung darah arterial, maka sel endotel menjadi sangat rentan terhadap
proses peroksidasi lipid. Kontak sel endotel dengan peroksida lipid akan
menimbulkan kerusakan peroksidatif membran sel endotel. Endotel diketahui
berfungsi memelihara integritas dan patensi kompartemen vaskular, mengatur
fluiditas darah, mengatur trombosis dan koagulasi intravaskuler, regulasi
inflamasi, regulasi pertumbuhan sel, oksidasi LDL, dan menjaga tonus
vaskuler serta mengatur permeabilitas dinding pembuluh darah terhadap
berbagai sel dan molekul, kerusakan sel endotel menimbulkan diskontinuitas
lapisan pembuluh darah sebelah dalam. Kerusakan sel endotel ini bila
dibiarkan akan menimbulkan kebocoran, khususnya pada sistem vaskuler
ikro. Secara alamiah, tubuh akan meutup tempat kerusakan endotel tersenut
dengan agregasi trombosit. Dalam keadaan normal, sel endotel memproduksi
PGI2 yang relatif tinggi. Sedang trombosis akan memproduksi TXA. PGI2
adalah bahan vasodilator kuat sedang TXA adalah vasokonstriktor kuat.
Akibat rasio PGI2/TXA yang menurun maka vasokonstriksi akan meningkat
dan menyebabkan hipertensi menyeluruh. Selain itu terjadi penurunan NO dan
EDRF, sehingga menimbulkan peningkatan tahanan perifer dan peningkatan
kepekaan terhadap agonis vasopresor sehingga terjadi hipertensi. Inilah yang
disebut disfungsi endotel suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan
antara vasodilator dan vasokonstriktyor. Disfungsi endotel mengakibatkan

keluarnya zat-zat mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, IL-10,
dan fibronektin, serta mikropartikel endotel yang terbukti meningkat pada
preeklampsia. Membran sel lain yang juga peka terjadi peroksidasi lipid yaitu
mebran eritrosit, sehingga akan menyebabkan hemolisis yang akan
meningkatkan kadar zat besi serum pada preeklampsia sampai dua kali lipat.
Zat besi bersama hematin merupakan katalis untuk proses peroksidasi lipid.
Peroksidasi lipid yang dipicu oleh zat besi serum, dipermudah oleh keadaan
hiperlipidemia dalam kehamilan.
Peroksidasi lipid yang merusak sel endotel kapiler glomerulus meningkatkan
permeabilitas kapiler terhadap protein sehingga menyebabkan proteinuria,
sedangkan peningkatan permeabilitas sel endotel menyebabkan edema.
6. Stres oksidatif
Stres oksidatif yaitu ketidakseimbangan antara jumlah oksidan dan
antioksidan. Dalam keadaan normal tubuh manusia dilengkapi dengan
berbagai mekanisme untuk mempertahankan keseimbangan antara oksidan
dan antioksidan. Jika jumlah radikal bebas yang terbentuk melampaui batas
kemampuan mekanisme pertahanan antioksidan yang dimiliki tubuh maka
rangkaian reaksi yang terjadi akan bersifat destruktif dan menyebabkan
kerusakan sel. Ketidak seimbangan antara oksidan dan antioksidan ini
dijumpai pada preeklampsia dan eklampsia dan diduga merupakan awal dari
berbagai reaksi yang kompleks yang menimbulkan sindrom klinis dari
preeklampsia.
Dalam pengelolaan klinis, preeklampsia dibagi sebagai berikut:
1. Preeklampsia ringan jika ditemukan:
a) Tekanan darah ≥140/90 mmHg, tetapi kurang dari 160/110 mmHg.
b) Proteinuria ≥ 300 mg/ 24 jam, atau pemeriksaan dipstick ≥1 +
2. Preeklamsia berat jika ditemkan tanda dan gejala
a) Tekanan darah dalam keadaan istirahat: sistolik ≥ 160 mmHg dan
diastolik ≥110 mmHg
b) Proteinuria ≥ 5 gr/ 24 jam atau dipstick ≥ 2 +
c) Oliguria < 500 ml/ 24 jam
d) Serum kreatinin meningkat
e) Oedema paru atau sianosis

3. Impending Eklampsia apabila ditemukan keluhan:
a) Nyeri epigastrium
b) Nyeri kepala frontal, scotoma, dan pandangan kabur (gangguan syaraf
pusat)
c) Gangguan fungsi hepar dengan meningkatnya alanine atau asparttate
aminitransferase
d) Tanda-tanda hemolisis dan mikroangiopatik
e) Trombositopenia < 100.000/ mm3
f) Munculnya komplikasi sindrom HELLP
4. Eklampsia jika pada penderita preeklampsia berat dijumpai kejang klonik dan
tonik dapat disetai adanya koma.
Penatalaksanaan
Pada dasarnya penanganan penderita preeklampsia dan eklampsia yang definitif adalah
segera melahirkan bayi dan seluruh hasil konsepsi, tetapi dalam penatalaksanaannya kita
harus mempertimbangkan keadaan ibu dan janinnya, antara lain umur kehamilan, proses
perjalanan penyakit, dan seberapa jauh keterlibatan organ.
Tujuan penatalaksanaan preeklampsia dan eklampsia adalah:
a) Melahirkan bayi yang cukup bulan dan dapat hidup di luar, disamping itu mencegah
komplikasi yang dapat terjadi pada ibu.
b) Mencegah terjadinya kejang/eklampsia yang akan memperburuk keadaan ibu hamil.
Pada dasarnya pada pengelolaan preeklampsia berat, kita sedapat mungkin harus berusaha
mempertahankan kehamilan sampai aterm. Pada kehamilan aterm persalinan pervaginam
adalah yang terbaik bila dibandingkan dengan seksio sesarea. Jika perjalanan penyakitnya
memburuk dan dijumpai tanda-tanda impending eklampsi, kehamilan harus diakhiri tanpa
memandang umur kehamilan. Di samping itu pemeriksaan terhadap kesejahteraan janin harus
dilakukan secara ketat, bila keadaan janin memburuk terminasi kehamilan harus segera
dilakukan. Pada kehamilan preterm yang akan dilakukan terminasi keamilan kortikosteroid
seperti dexametason atau betametason diberikan untuk pematangan paru.
Pada preeklampsia berat obat-obat yang dapat diberi untuk memperbaiki keadaan ibu dan
janin adalah:
1. Magnesium Sulfat
Tujuan utama pemberian magnesium sulfat adalah untuk mencegah dan mengurangi
terjadinya kejang. Di samping itu, juga untuk mengurangi komplikasi yang terjadi

pada ibu dan janin. Cara kerja magnesium sulfat sampai saat ini belum sepenuhnya
diketahui, diduga bekerja sebagai N-methyl D Aspartate (NDMA) reseptor inhibitor,
untuk menghambat masuknya ion kalsium ke dalam neuron pada sambungan neuro
muskuler (Neuromuscular junction) ataupun pada susunana syaraf pusat. Dengan
menurunnya kalsium yang masuk maka penghantaran impuls akan menurun dan
kontraksi otot berupa kejang dapat dicegah.
Magnesim sulfat dapat diberikan sebagai berikut:
a) Awalnya diberikan 4 gram secara intravena selama 4-5 menit dan 10 gram
secara intramuskuler. Selanjutnya diberikan 5 gram setiap 4 jam secara
intramuskuler. Atau
b) Awalnya diberikan 6 gram secara intavena selama 5-10 menit, kemudian
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1-2 gram/ jam melalui infus.
Pada pemberian magnesium sulfat harus berhati-hati akan terjadinya keracunan yang
ditandai dengan munculnya:
a) Reflek patella yang menurun atau menghilang
b) Pernafasan < 16 kali per menit
c) Rasa panas dimuka, bicara sulit, kesadaran menurun
d) Cardiac arrest
Antidotum pada keracunan magnesium sulfat adalah kalsium glukonas 10% dalam 10
cc diberikan secara intravena.
2. Antihipertensi
Pada preeklampsia berat antihipertensi diberikan jika tekanan darah 180/110 mmHg.
Tujuan pemberian anti hipertensi adalah untuk mencegah terjadinya cardiovaskuler
dan cerebrovaskuler accident.
Banyak pilihan antihipertensi yang dapat diberikan, tetrapi pilihan pertama adalah
hydralazine. Mekanisme kerjanya adalah dengan merelaksasi otot pada arteriol
sehingga terjadi penurunan tahanan perifer. Hydralazine dapat diberikan peroral atau
parenteral. Kerjanya cepat, bila diberikan intravena efeknya dicapai 5-15 menit. Efek
samping hydralazine adalah sakit kepala, takikardia, dan gelisah.
Obat antihipertensi yang banyak digunan adalah labetalol, termasuk beta bloker yang
dapat diberikan per oral atau intravena
3. Kortikosteroid.

Pada preeklampsia berat kortikosteroid hanya diberikan pada kehamilan preterm < 34
minggu dengan tujuan untuk mematangkan paru janin. Semua kehamilan preterm
yang akan diakhiri diberikan kortikosteroid dalam bentuk dexamethason atau
betamethason.
National Institute of health (NIH) menganjurkan pemberian kortikosteroid pada
semua wanita dengan usia kehamilan 24-34 minggu yang beresiko melahirkan
preterm, termasuk penderita preeklampsi berat. Pemberian betamethason 12 mg
intramuskuler dua dosis dengan interval 24 jam atau pemberian dexamethason 6 mg
intravena empat dosis dengan interval 12 jam.
Komplikasi
1. Eklampsia
Eklampsia ditandai dengan terjadinya kejang umum dan atau koma pada
preeklampsia tanpa adanya kondisi neurologik lainnya. Dahulu, eklampsia
dikatakan sebagai hasil akhir dari preeklampsia, sesuai dengan asal katanya.
Penyebab pasti dari kejang pada wanita dengan eklampsia tidak diketahui.
Penyebab yang dikemukakan meliputi vasospasme serebral dengan iskemia lokal,
hipertensi ensefalopati dengan hiperperfusi, edema vasogenik dan kerusakan
endotelial. Meskipun terdapat kemajuan pesat dalam deteksi dan penatalaksanaan,
preeklampsia/eklampsia tetap menjadi penyebab umum kematian ibu yang kedua
di Amerika Serikat ( sesudah penyakit tromboemboli), sekitar 15 % dari seluruh
kematian. Bahkan, diperkirakan 50.000 kematian maternal di seluruh dunia
disebabkan oleh eklampsia.
Manifestasi klinis dan diagnosis
Diagnosis klinis eklampsia didasarkan pada timbulnya kejang umum dan atau
koma pada wanita dengan preeklampsia tanpa adanya kondisi neurologis lainnya.
Kejang eklampsia hampir selalu hilang sendiri dan jarang terjadi lebih dari 3-4
menit. Kejang eklamptik secara klinis dan elektroensefalografik tidak dapat
dibedakan dari kejang tonik klonik umum lainnya. Secara umum, wanita dengan
kejang eklamptik tipikal tanpa defisit neurologik fokal atau koma yang
berlangsung lama, tidak dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan
elektroensefalografik atau pencitraan serebral.
Sekitar separuh dari seluruh kasus eklampsia terjadi sebelum aterm, lebih dari
20% terjadi sebelum kehamilan 31 minggu. Tiga perempat dari kasus terjadi pada

kehamilan aterm, berkembang saat intrapartum atau selama 48 jam postpartum.
Kejang karena eklampsia dapat muncul kembali pada saat postpartum. Sering
selama beberapa jam sampai beberapa hari post partum. Diuresis (> 4 L/ hari)
diyakini sebagai indikator klinis yang paling akurat dari pulihnya preeklampsia
atau eklampsia, tetapi hal ini tidak menjamin tidak berulangnya kejang. Dapat
pula terjadi eklampsia postpartum lanjut (kejang eklamptik yang berkembang >
48 jam postpartum, namun < 4 minggu postpartum) pada 25% kasus postpartum
dan > 16% dari seluruh kasus eklampsia.
Penatalaksanaan
Sejumlah strategi penatalaksanaan telah dikembangkan untuk mencegah
komplikasi eklampsia terhadap ibu dan janin selama periode peripartum. Cara
terbaru pada penatalaksanaan wanita dengan eklampsia meliputi beberapa aspek,
yaitu mempertahankan fungsi vital ibu, mencegah kejang dan mengontrol tekanan
darah, 5

mencegah kejang berulang dan evaluasi untuk persalinan. Bila terjadi kejang,
langkah pertama yang harus dilakukan adalah menjaga jalan nafas tetap terbuka
dan mencegah terjadinya aspirasi. Ibu berbaring miring ke kiri dan penahan lidah
diletakkan di dalam mulutnya.
A. Mengontrol Kejang
Walaupun kejang pada eklampsia membaik tanpa pengobatan dalam 3-4 menit,
obat anti kejang dapat digunakan untuk mengurangi kejang. Obat-obat terpilih
untuk mengatasi kejang pada eklampsia adalah magnesium sulfat (MgSO4).
Pada wanita yang telah mendapat pengobatan MgSO4 profilaksis, kadar
magnesium plasma harus dipertahankan dengan pemberian infus MgSO4 1-2
gram secara cepat. Pada penderita yang tidak mendapatkan pengobatan
profilaksis tersebut, harus diberikan infus 2-6 gram MgSO4 secara cepat, diulang
setiap 15 menit. Dosis awal ini memungkinkan untuk diberikan pada ibu-ibu
dengan insufisiensi renal. Sedangkan mekanisme kerja MgSO4 dalam mereduksi
kejang belum diketahui secara pasti. Beberapa mekanisme kerja MgSO4 adalah
memberikan efek vasodilatasi selektif pada pembuluh darah otak juga
memberikan perlindungan terhadap endotel dari efek perusakkan radikal bebas,
mencegah pemasukan ion kalsium ke dalam sel yang iskemik dan atau memiliki
efek antagonis kompetitif terhadap reseptor glutamat N-metil-D–aspartat (yang
merupakan fokus epileptogenik).
Benzodiazepin juga digunakan pada waktu lampau untuk pengobatan kejang
eklampsia. Diazepam memasuki susunan saraf pusat secara cepat dimana efek
anti konvulsan akan tercapai dalam waktu 1 menit dan efek diazepam ini akan
mengontrol kejang >80% pasien dalam waktu 5 menit. Akan tetapi saat ini
banyak peneliti menganjurkan untuk tidak menggunakan benzodiazepin karena
sangat berpotensi untuk menyebabkan depresi pada janin. Secara klinis, efek ini
menjadi bermakna ketika dosis total benzodiazepin pada ibu > 30 mg.
B. Penatalaksanaan hipertensi
Gangguan serebrovaskular terjadi pada 15-20% dari seluruh kematian pada
eklampsia. Risiko terjadinya strok hemoragik memiliki hubungan secara langsung

dengan derajat peningkatan tekanan darah sistolik dan sedikit berhubungan
dengan tekanan darah diastolik. Terapi emergensi pada keadaan terjadinya
peningkatan tekanan darah tersebut masih belum jelas. Sebagian besar peneliti
menganjurkan untuk menggunakan anti hipertensi yang poten untuk mengatasi
tekanan darah diastolik pada kadar 105-110 mmHg dan tekanan darah sistolik >
160 mmHg, walaupun hal ini belum diuji secara prospektif. Pada wanita yang
telah mengalami hipertensi kronik, pembuluh darah otaknya lebih toleran
terhadap tekanan darah sistolik yang lebih tinggi tanpa terjadinya kerusakan pada
pembuluh darahnya, sedangkan pada orang dewasa dengan tekanan darah yang
normal atau rendah mungkin akan menguntungkan jika terapi dimulai pada kadar
tekanan darah yang lebih rendah. Peningkatan tekanan darah yang berat dan
persisten (>160/110 mmHg) harus diatasi untuk mencegah perdarahan
serebrovaskular. Penatalaksanaannya termasuk pemberian hidralazin (5 mg IV,
diikuti dengan pemberian 5-10 mg bolus sesuai kebutuhan dalam waktu 20 menit)
atau labetalol (10-20 mg IV, diulang setiap 10-20 menit dengan dosis ganda,
namun tidak lebih dari 80 mg pada dosis tunggal, dengan dosis kumulatif total
300 mg). Pada keadaan yang tidak menunjukkan perbaikan dengan segera setelah
mendapat terapi untuk kejang dan hipertensinya atau mereka yang memiliki
kelainan neurologis harus dievaluasi lebih lanjut.
C. Pencegahan kejang berulang
Sekitar 10% wanita eklampsia akan mengalami kejang berulang walaupun telah
ditanggulangi secara semestinya. Ada kesepakatan umum bahwa wanita dengan
eklampsia membutuhkan terapi anti konvulsan untuk mencegah kejang dan
komplikasi dari berulangnya aktivitas kejang tersebut, seperti: asidosis,
pnemonitis aspirasi, edema pulmonal, neurologik dan kegagalan respirasi.
Namun, pemilihan jenis obat untuk keadaan ini masih kontroversial. Ahli
obstetrik telah lama menggunakan MgSO4 sebagai obat pilihan untuk mencegah
berulangnya eklampsia, sementara ahli neurologi memilih anti konvulsan
tradisional yang digunakan pada wanita yang tidak hamil seperti fenitoin atau
diazepam. Permasalahan ini telah disepakati oleh sejumlah penelitian klinis
terakhir dengan hasil seperti dibawah ini:
• The Eclampsia Trial Collaborative Group melakukan penelitian prospektif terhadap
905 wanita eklampsia yang secara random dipilih untuk mendapat Magnesium
atau Diazepam dan 775 wanita eklampsia yang dipilh secara random menerima

Magnesium atau Fenitoin. Pengukuran keluaran primer adalah kejang rekuren dan
kematian maternal. Wanita dengan terapi Magnesium mendapatkan separuh
angka kejang rekuren dibandingkan dengan diazepam (13% dan 28%). Tidak ada
perbedaan yang bermakna pada kematian maternal atau perinatal atau angka
komplikasi diantara kedua kelompok. Wanita yang diberi magnesium memiliki
sepertiga angka kejang rekuren dibandingakan dengan fenitoin (6% dan 17%).
Dalam rangkaian penelitian ini wanita yang menerima magnesium <8% yang
menerima perawatan intensif, <8% mendapat bantuan ventilator dan <5%
menjadi pneumonia, dibandingkan dengan wanita yang diberikan fenitoin. Tidak
ada perbedaan signifikan pada angka kematian maternal dan perinatal.
• Chocrane melaporkan bahwa MgSO4 lebih hemat dan lebih baik daripada litik
koktail (terdiri dari prometazin hidroklorid, klorpromazin dan meperidin
hidroklorid) untuk mencegah pengulangan kejang pada wanita eklampsia.
Manfaat tambahan dari terapi MgSO4 terdiri dari biaya yang rendah, cara
pemberian yang mudah (tidak membutuhkan monitor jantung) dan lebih sedikit
efek sedasi dari pada diazepam dan fenitoin. Magnesium juga tampak secara
selektif meningkatkan aliran darah serebral dan konsumsi oksigen pada wanita
dengan preeklampsia. Hal ini tidak pada fenitoin. Dosis pemeliharaan MgSO4
adalah 2-3 gram/jam diberikan sebagai infus IV yang kontinyu. Fase
pemeliharaan hanya jika reflek patella ada (kehilangan reflek tendon yang dalam
adalah manifestasi pertama gejala hipermagnesemia), respirasi >12X/menit, urine
output > 100 ml/ 4jam. Pemantauan kadar serum magnesium tidak diperlukan
jika status klinis wanita tersebut dimonitor secara ketat untuk membuktikan
toksisitas potensial magnesium. Juga tidak tampak suatu konsentrasi ambang
yang jelas untuk meyakinkan pencegahan kejang, meskipun telah
direkomendasikan sekitar 4,8-8,4 mg/dL. Dosis harus disesuaikan menurut respon
klinis pasien.

Evaluasi pada persalinan
Terapi definitif eklampsia adalah persalinan yang segera, tanpa memandang usia
kehamilan untuk mencegah komplikasi pada ibu dan anak. Tetapi ini tidak perlu
menghalangi dilakukannya induksi persalinan. Setelah dilakukan stabilisasi
terhadap ibu, terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan sebelum
menentukan cara yang paling sesuai untuk persalinan. Diantaranya usia
kehamilan, nilai Bishop, keadaan dan posisi janin. Secara umum, kurang dari
sepertiga wanita dengan preeklampsia berat / eklampsia berada pada kehamilan
preterm (< 32 minggu kehamilan) dengan serviks yang belum matang untuk dapat
melahirkan pervaginam. Pada keadaan ini, obat-obat untuk mematangkan serviks
dapat digunakan guna meningkatkan nilai Bishop, namun induksi yang terlalu
lama harus dihindari.
Bradikardi pada janin yang berlangsung sedikitnya 3 sampai 5 menit merupakan
keadaan yang sering dijumpai selama dan segera setelah kejang eklampsia, dan
hal ini tidak memerlukan tindakan seksio sesar emergensi. Tindakan stabilisasi
ibu dapat membantu janin dalam uterus pulih kembali dari efek hipoksia ibu,
hiperkarbia dan hiperstimulasi uterus. Akibat kejang pada ibu sering berhubungan
dengan takikardi janin kompensata bahkan dengan deselerasi denyut jantung
janin sementara yang akan pulih kembali dalam waktu 20 sampai 30 menit.
2. Gagal ginjal
Karakteristik histologis pada lesi renal pada preeklampsia adalah adanya
endoteliasis glomerulus, dimana glomerulus besar dan membengkak dengan sel-sel
endotel bervakuola. Gambaran histologis ini, berpasangan dengan vasokonstriksi
umum yang menandai preeklampsia, menyebabkan penurunan sebesar 25-30% dari
aliran plasma ginjal dan glomerular filtrasi dibandingkan dengan kehamilan
normal. Bagaimanapun, kerusakan fungsional pada ginjal dibandingkan dengan
preeklampsia secara umum bersifat ringan dan mengalami perbaikan sempurna
setelah persalinan. Sebagai contoh, gagal ginjal akut pada wanita preeklampsia
yang secara klinis bermakna jarang terjadi.
Penyebab dari terjadinya gagal ginjal akut dapat dibagi dalam 3 kategori besar;
prerenal (yang dihubungkan dengan hipoperfusi ginjal tanpa melibatkan parenkim),
intraarenal (yang mengakibatkan kerusakan instrinsik pada parenkim ginjal), dan
postrenal (yang berimplikasi pada obstruktif uropati). Keadaan patologis prerenal

dan intrarenal (akut tubular nekrosis) sekitar 83-90% dari semua kasus gagal ginjal
akut pada preeklampsia.
Kerusakan ginjal sekunder dengan perubahan patologi seperti ini terlihat paling
umum pada preeklampsia dan biasanya mengalami perbaikan sempurna setelah
persalinan. Sebaliknya, nekrosis korteks renal bilateral, berkisar 10-29% dari
kasus-kasus gagal ginjal akut pada kehamilan, adalah kondisi yang jauh lebih
serius dan dihubungkan dengan angka kematian maternal dan angka kematian
perinatal beserta komplikasinya.Hal ini paling umum terlihat pada wanita dengan
latar belakang hipertensi kronik dan superimposed preeklampsia, dikenal sebagai
penyakit parenkim ginjal, solusio plasenta atau DIC.
3. Hipertensi ensefalopati dan buta kortikal
Otak secara normal dilindungi dari tekanan darah yang ekstrim oleh suatu sistim
autoregulasi yang mengatur perfusi konstan pada tekanan sistemik yang
mempunyai rentang yang bervariasi. Untuk penatalaksanaan hipertensi sistemik,
arteriol-arteriol serebral perlu dilebarkan untuk mempertahankan perfusi yang
adekuat, dimana pembuluh-pembuluh mengalami penyempitan sebagai respon dari
tingginya tekanan sistemik. Diatas dari batas tertinggi dari autoregulasi, dapat
terjadi ensefalopati hipertensi . Hipertensi ensefalopati merupakan suatu sindroma
neurologik subakut yang ditandai dengan sakit kepala, kejang, penurunan
penglihatan dan gangguan-gangguan neurologik lainnya (perubahan status mental,
gejala-gejala fokal neurologik) pada keadaan tekanan darah yang meningkat.
Walaupun sindroma ini bersifat reversibel jika hipertensi yang terjadi diobati
secara dini, namun tetap menjadi fatal jika gejala-gejala ini tidak dikenali atau jika
pengobatan ini tertunda. Penemuan klinis bersifat tidak spesifik dan diagnosisnya
mungkin sulit untuk ditegakkan terutama pada pasien-pasien yang menderita
penyakit lainnya. Kondisi-kondisi neurologi yang bervariasi seperti CVA,
trombosis vena, ensefalitis dapat menutupi gejala klinis dari hipertensi
ensefalopati. MRI berguna dalam menegakkan diagnosa pada kasus-kasus klinik
yang sesuai.
Studi –studi otopsi klasik dari Sheehan dan Lynch tahun 1960 menghasilkan suatu
pendapat bahwa preeklampsia dan eklampsia lebih sering dihubungkan dengan
meluasnya edema serebral. Lesi yang paling sering dijumpai adalah perdarahan
petekie multipel pada daerah kortek, subkortek, substansia alba dan otak bagian
tengah. Karena perdarahan petekie berkaitan dengan adanya trombus kapiler, maka

para ahli menyimpulkan bahwa lesi-lesi tersebut disebabkan oleh suatu gangguan
vaskuler yang menyebabkan lokal iskemik. Kadang-kadang edema difus yang berat
tampak pada eklampsia, namun semakin spesifik lesi, maka edem otak semakin
terlokalisir pada jaringan penghubung substansia alba dan grisea pada lobus
oksipital. Kerentanan dari sirkulasi posterior pada lesi hipertensi ensefalopati sudah
dikenal, tapi fenomena terjadinya masih belum banyak dimengerti. Satu penjelasan
yang mungkin adalah terdapatnya hubungan dengan heterogenitas regional dari
penemuan simpatis vaskuler.
Pada studi eksperimental, persarafan-persarafan simpatis dari arteriol-arteriol
intrakranial telah terbukti untuk melindungi otak dari peningkatan tekanan darah
yang bermakna. Kemudian , studi-studi ultrastruktural telah menunjukkan bahwa
sistim karotis interna mendapat suplai yang lebih baik dengan inervasi simpatis jika
dibandingkan dengan sistim vertebrobasiler. Hipertensi akut menurut hipotesa ini
dapat menstimulasi saraf-saraf simpatis perivaskuler, yang dapat melindungi
bagian anterior tapi tidak inervasi bagian posterior yang sirkulasinya lebih sedikit.
Hipotesa tersebut dapat menghasilkan suatu hipotesa baru dengan edema yang
sebagian besar terdapat pada lobus oksipital yang bermanifestasi klinis pada mata.
Dua teori yang telah diajukan untuk menghitung kelainan-kelainan klinis dan
radiologis pada hipertensi ensefalopati dan buta kortikal. Postulat I menyatakan
bahwa hipertensi ensefalopati disebabkan karena adanya spasme dari vaskular
serebral sebagai respon dari hipertensi akut, yang juga dapat menyebabkan
kerusakan iskemik, nekrosis arteriol, dan edema sitotoksik. Hipotesis alternatif
yang terbaru adalah sindrom-sindrom yang berasal dari rusaknya autoregulasi
dengan overdistensi pasif dari arteriol-arteriol serebral, yang mengacu pada
peningkatan permeabilitas kapiler dengan kebocoran cairan dan protein sampai
disekeliling jaringan, menghasilakan edema vasogenik ( hidrostatik). Pada kedua
contoh diatas hasil akhir dari progresifitas penyakit adalah edema serebral fokal.
Terdapatnya edema serebral pada hasil CTscan dan MRI kepala, tidak membantu
dalam mendefinisikan mekanisme yang melatarbelakangi terjadinya hipertensi
ensefalopati. Peningkatan neuroimaging mungkin dilakukan, termasuk SPECT
(single photon emission computed tomography), yang dapat membedakan baik
area hiper/hipoperfusi, yang telah memungkinkan dilakukannya penyelidikan
secara lebih terperinci dari respon vaskuler serebral pada hipertensi.

Induksi
Induksi persalinan adalah suatu upaya stimulasi mulainya proses persalinan (dari tidak ada
tanda-tanda persalinan, kemudian distimulasi menjadi ada). Cara ini dilakukan sebagai upaya
medis untuk mempermudah keluarnya bayi dari rahim secara normal.
Kondisi harus dilakukan induksi:
1. Ibu hamil tidak merasakan adanya kontraksi atau
his. Padahal kehamilannya sudah memasuki
tanggal perkiraan lahir bahkan lebih (sembilan
bulan lewat).
2. Induksi juga dapat dilakukan dengan alasan
kesehatan ibu, misalnya si ibu menderita tekanan
darah tinggi, terkena infeksi serius, atau mengidap
diabetes
3. Ukuran janin terlalu kecil, bila dibiarkan terlalu
lama dalam kandungan diduga akan
beresiko/membahayakan hidup janin.
4. Membran ketuban pecah sebelum ada tanda-tanda
awal persalinan.
5. Plasenta keluar lebih dahulu sebelum bayi.
Induksi persalinan akan berhasil bila memperhatikan beberapa persyaratan sebagai berikut:
a) Kehamilan aterm
a) Ukuran panggul normal
b) Tak ada CPD
c) Janin dalam presentasi kepala
d) Servik telah matang (portio lunak, mulai mendatar dan sudah mulai membuka) (Israr,
2009)

Induksi partus menurut Mochtar (1998) ada berbagai cara antara lain :
a) Cara Kimiawi
(1) Oksitosin drip: kemasan yang dipakai adalah pitosin dan sintosinon, pemberiannya
dapat dapat secara suntikan intra muskuler, intravena dan infus tetes. Yang paling
baik dan aman adalah pemberian infus tetes (drip) karena dapat diatur dan
diawasi.
Efek kerjanya :
(a) Kandung kemih dan rektum terlebih dahulu dikosongkan
(b) Ke dalam 500 cc dektrosa 5% dimasukkan 5 satuan oksitosin dan diberikan
per infus dengan kecepatan pertama 10 tetes per menit.
(c) Kecepatan dapat dinaikkan 5 tetes setiap 15 menit sampai tetes maksimal 40-
60 tetes per menit.
(d) Oksitosin drip akan lebih berhasil bila nilai pelviks di atas 5 dan dilakukan
amniotomi.
(2) Injeksi larutan hipertonik intra-amnial. Cara ini biasanya dilakukan pada
kehamilan di atas 16 minggu di mana rahim sudah cukup besar. Secara transuterin
atau amniosentesis, ke dalam kantong amnion (yang sebelumnya cairan
amnionnya telah dikeluarkan dahulu) kemudian dimasukkan larutan garam
hipertonik dan larutan gula hipertonik (larutan garam 20% atau larutan glukosa
50%) sebagai iritan pada amnion dengan harapan akan terjadi his. Sebaiknya
diberikan oksitosin drip yaitu: 10-20 satuan oksitosin dalam 500 cc dektrosa 5%
dengan tetesan 15 sampai 25 tetes per menit. Penderita diobservasi baik-baik.
(3) Pemberian prostaglandin. Prostaglandin dapat merangsang otot-otot polos
termasuk juga otot-otot rahim. Prostaglandin yang spesifik untuk merangsang otot
rahim ialah PGE2 dan PGS2 alpha. Untuk induksi persalinan prostaglandin dapat
diberikan secara intravena, oral, vaginal, rektal dan intra amnion. Pada kehamilan
aterm, induksi persalinan dengan prostaglandin cukup efektif. Pengaruh
sampingan dari pemberian prostaglandin ialah mual, muntah, diare (Wiknjosastro,
2006).
b) Cara Mekanis
Menurut Mochtar (1998) induksi secara mekanis adalah sebagai berikut :
(1) Melepas selaput ketuban stripping of the membrane jari yang dapat masuk ke
dalam kanalis servikalis selaput ketuban yang melekat dilepaskan dari dinding

uterus sekitar ostium uteri internum. Cara ini akan lebih berhasil bila serviks
sudah terbuka dan kepala dan lepasnya ketuban maka selaput ini akan lebih
menonjol yang akan merangsang timbulnya his dan terbukanya serviks.
(2) Memecahkan ketuban (amniotiomi). Hendaknya ketuban baru dipecahkan kalau
memenuhi syarat sebagai berikut :
(a) Serviks sudah matang atau skor pelviks di atas 5.
(b) Pembukaan kira-kira 4-5 cm
(c) Kepala sudah memasuki pintu atas panggul. Biasanya setelah 1-2 jam
pemecahan ketuban diharapkan his akan timbul dan menjadi lebih kuat.
(3) Dilatasi serviks uteri. Dilatasi serviks uteri dapat dikerjakan dengan memakai
gagang laminaria, atau dilatator (busi) hegar.
(4) Accauchement farce.
(a) Kalau bagian terbawah janin adalah kaki, mata kaki ini di ikat dengan kain
kasa steril yang melalui kontrol dan di beri beban.
(b) Bila bagian terbawah janin adalah kepala, maka kulit kepala di jepit dengan
cunzim. Muzeuk yang dikemudian di ikat dengan kain kasa melalui katrol di
beri beban.
c) Cara kombinasi kimiawi dan mekanis
Adalah memakai cara kombinasi antara cara kimiawi diikuti dengan pemberian
oksitosin drip atau pemecahan ketuban dengan pemberian prostaglandin per oral dan
sebagainya.
Pada umumnya cara kombinasi akan berhasil kalau induksi partus gagal
sedangkan ketuban sudah pecah pembukaan serviks tidak memenuhi syarat untuk
pertolongan operatif pervaginam, satu-satunya jalan adalah mengakhiri kehamilan
dengan seksio caesarea.
Skor Pelvis Menurut Bishop
Skor Bishop 0 1 2 3
Dilatasi serviks
Pembukaan
konsistensi
Posisi janin
Posisi serviks
<1
>4
Keras
-3
Posterior
1-2
2-4
sedang
-2
Central
2-4
1-2
lunak
-1
Anterior
>4
<1
+1, +2
Sumber : Magowan, 2005

Menurut Rustam (1998), komplikasi induksi persalinan adalah :
a) Terhadap Ibu
(1) Kegagalan induksi.
(2) Kelelahan ibu dan krisis emosional.
(3) Inersia uteri partus lama.
(4) Tetania uteri (tamultous lebar) yang dapat menyebabkan solusio
plasenta, ruptura uteri dan laserasi jalan lahir lainnya.
(5) Infeksi intra uterin.
b) Terhadap janin
(1) Trauma pada janin oleh tindakan.
(2) Prolapsus tali pusat.
(3) Infeksi intrapartal pada janin
MEDIS OPERATIF WANITA (MOW)
a. Pengertian

MOW (medis operatif wanita) atau kontrasepsi mantap (kontap) atau
sterilisasi atau tubektomi. (Manuaba, 1999).
Kontrasepsi mantap ialah setiap tindakan pada kedua saluran bibit wanita atau
bibit pria yang mengakibatkan pasangan yang bersangkutan tidak akan mendapat
keturunan lagi, atas permintaan suami atau istri yang bersangkutan. (Winkjosastro,
2007).
Tubektomi adalah prosedur bedah sukarela untuk menghentikan fertilitas
(kesuburan) seorang perempuan. (Depkes, 2006)
Tubektomi adalah prosedur bedah sukarela untuk menghentikan fertilitas
(kesuburan) seorang perempuan secara permanen. Dengan mengoklusi tuba
falopii (mengikat dan memotong atau memasang cincin), sehingga sperma tidak
dapat bertemu dengan ovum. (Saifuddin, 2003).
b. Manfaat
Kontrasepsi
a. Sangat efektif (0,5 kehamilan per 100 perempuan selama tahun pertama
penggunaan).
b. Tidak mempengaruhi proses menyusui (breastfeeding)
c. Tidak bergantung pada faktor sanggama
d. Baik bagi klien apabila kehamilan akan menjadi faktor resiko kesehatan yang
serius
e. Pembedahan sederhana, dapat dilakukan dengan anestesi lokal
f. Tidak ada efek samping dalam jangka panjang
g. Tidak ada perubahan dalam fungsi seksual (tidak ada efek pada produksi
hormon ovarium)
Non kontrasepsi
Berkurangnya resiko kanker ovarium
c. Cara Tubektomi
1) Cara mencapai tuba
a) Abdominal/Transabdominal
(1) Laparotomi
Laparotomi yang dilakukan untuk MOW ini ada 2 macam, yaitu
laparotomi dan laparotomi post partum. (Winkjosastro, 2005).
(2) Minilaparotomi

Laparotomi mini dilakukan dalam masa interval. Sayatan
dibuat di garis tengah di atas simfisis, daerah perut bawah
(suprapubik) maupun pada lingkar pusat bawah (subumbilikal)
sepanjang 3 cm sampai menembus peritoneum. Setelah tuba
didapat, kemudian dikeluarkan, diikat dan dipotong sebagian.
Setelah itu dinding itu ditutup kembali, luka sayatan ditutup dengan
kasa yang kering dan steril dan apabila tidak ditemukan masalah
yang berarti, klien dapat dikeluarkan dalam 2-4 jam. (Saiffudin,
2006).
Gambar 2.1: Sayatan Mini Laparatomi
Sumber : Wiknjosastro, 2005
(3) Laparoskopi
Tindakan operasi dengan bantuan kamera/laparoskop yang
dimasukkan melalui sayatan kecil abdomen untuk mengertahui
letak tuba.
b) Vaginal/ Transvaginal
(1) Kuldoskopi
Kuldoskop dimasukkan transvaginal untuk mengetahui letak tuba
yang akan dilakukan oklusi.
(2) Kolpotomi posterior

MOW yang dilakukan melalui sayatan kecil di dinding belakang
vagina, kemudian tuba ditampakkan menggunakan spekulum
Soonawalla sehingga bisa dilakukan oklusi. (Wiknjosastro, 2007).
c) Transervical / Transuterine
Merupakan metode kontrasepsi non chirurgis (non incisional)
dimana oklusi tuba falopi dilakukan melalui serviks uteri. Untuk
mencapai ostium tuba (utero tubal junction), dapat dilakukan dengan:
(1) Histeroskopi
Prinsipnya seperti laparoskopi, hanya pada histeroskopi tidak
dipakai trochar, tetapi suatu vakum cervical adaptor untuk
mencegah keluarnya gas saat dilatasi cervik/ cavum uteri.
(2) Blind delivery
Pada cara ini operator tidak melihat langsung ke dalam cavum
uteri untuk melokalisir orificium tuba. Zat kimia yang digunakan
untuk mengoklusi tuba falopii dalam bentuk cair, pasta, atau padat,
dimasukkan ke dalam kateter, kanula atau pipa/ tube lalu didorong
dengan alat pendorong atau dengan pompa yang khusus dibuat
untuk prosedur ini. (Hartanto, 2004).
2) Cara penutupan tuba
a) Cara Madlener
Bagian tengah tuba diangkat dengan cunam Pean, sehingga
terbentuk suatu lipatan terbuka. Kemudian, dasar dari lipatan tersebut
dijepit dengan cunam kuat-kuat, dan selanjutnya dasar itu diikat
dengan benang yang tidak dapat diserap. Pada cara ini tidak dilakukan
pemotongan tuba. Sekarang cara ini sudah tidak dilakukan lagi karena
angka kegagalannya relatif tinggi yaitu 1% sampai 3%.
Gambar 2.2: Penutupan tuba menurut Madlener
Sumber: Wiknjosastro, 2005

b) Cara Pomeroy
Cara Pomeroy banyak dilakukan. Cara ini dilakukan dengan
mengangkat bagian tengah dari tuba sehingga membentuk suatu lipatan
terbuka, kemudian dasarnya diikat dengan benang yang dapat diserap,
tuba di atas dasar itu dipotong. Setelah benang pengikat diserap, maka
ujung-ujung tuba akhirnya terpisah satu sama lain.
Gambar 2.3: Tubektomi menurut Pomeroy
Sumber: Wiknjosastro, 2005
c) Cara Irving
Pada cara ini tuba dipotong antara dua ikatan benang yang dapat
diserap; ujung proksimal dari tuba ditanam ke dalam miometrium,
sedangkan ujung distal ditanam ke dalam ligamentum latum.
Gambar 2.4: Tubektomi menurut Irving
Sumber: Wiknjosastro, 2005

d) Cara Aldridge
Peritoneum dari ligamentum latum dibuka dan kemudian tuba
bagian distal bersama-sama dengan fimbria ditanam ke dalam
ligamentum latum.
e) Cara Uchida
Pada cara ini, tuba ditarik ke luar abdomen melalui suatu insisi
kecil (minilaparotomi) di atas simfisis pubis. Kemudian di daerah
ampula tuba dilakukan suntikan dengan larutan adrenalin dalam air
garam di bawah serosa tuba. Akibat suntikan ini, mesosalping di
daerah tersebut menggembung. Lalu, dibuat sayatan kecil di daerah
yang kembung tersebut. Serosa dibebaskan dari tuba sepanjang kira-
kira 4-5 cm; tuba dicari dan setelah ditemukan dijepit, diikat lalu
digunting. Ujung tuba yang proksimal akan tertanam dengan
sendirinya di bawah serosa, sedangkan ujung tuba yang distal
dibiarkan berada di luar serosa. Luka jahitan dijahit secara kantong
tembakau. Angka kegagalan cara ini adalah 0.
Gambar 2.5: Tubektomi meurut Uchida
Sumber: Wiknjosastro, 2005
f) Cara Kroener

Bagian fimbria dari tuba dikeluarkan dari lubang operasi. Dibuat
suatu ikatan dengan benang sutra melalui bagian mesosalping di bawah
fimbria. Seluruh fimbria dipotong, setelah pasti tidak ada perdarahan,
maka tuba dikembalikan ke dalam rongga perut.
Teknik ini banyak digunakan. Keuntungan cara ini antara lain ialah
sangat kecilnya kemungkinan kesalahan mengikat ligamentum rotundum.
Angka kegagalan 0,19%.
(Wiknjosastro, 2005).
Gambar 2.6: Tubektomi menurut Kroener
Sumber: Wiknjosastro, 2005
g) Pemasangan cincing Falope/ cincin Yoon/ Silastic band
Sesudah terpasang, lipatan tuba tampak keputih-putihan oleh
karena tidak mendapat suplai darah lagi dan akan menjadi Jibrotik.
Cincin Falope dapat dipasang pada laparotomi mini, laparoskopi atau
dengan laprokator.
Gambar 2.7. Tubektomi dengan Pemasangan Cincin Falope
Sumber: Glasier, 2006

h) Pemasangan Klip
Dikenal beberapa tubal klip, yaitu:
a. Klip Filshie = Nottingham Clip
Dikembangkan pada tahun 1973 oleh G.M Filshie, terbuat dari
titanium dengan permukaan dalam klip dialpisi silicone. (Hartanto,
2004). Mempunyai keuntungan dapat digunakan pada tuba yang
edema. (Glasier, 2006).
(b) Klip Filshie
Sumber: Glasier, 2006
b. Klip Hulka-Clemens = Spring loaded clips
(a) Klip Hulka-Clemens
Sumber: Glasier, 2006
c. Tantulum hemo-clips
Terbuat dari tantalum, suatu logam yang tidak bereaksi dengan
jaringan (non- tissue reactive), mempunyai alur bagian dalamnya
agar lebih kuat menjepit tuba fallopii.

Gambar 2.8: Tubektomi dengan pemasangan klip
Sumber: Glasier, 2006
i) Elektro koagulasi/ diatermi dan pemutusan tuba
Cara ini dulu banyak digunakan pada tubektomi laparoskopik.
Dengan memasukkan Grasping Foerceps melalui laparoskop tuba
dijepit kurang lebih 2 cm dari koruna, diangkat menjauhi uterus dan
alat-alat panggul lainnya, kemudian dilakukan kauterisasi. Tuba
terbakar kurang lebih 1 cm ke proksimal, dan distal serta mesosalping
terbakar sejauh 2 cm. Pada waktu kauterisasi tuba tampak menjadi
putih, menggembung, lalu putus. Cara ini sekarang banyak
ditinggalkan.
(Wiknjosastro, 2007)
Gambar 2.10: Koagulasi diatermi pada tuba falopii
Sumber: Glasier, 2006

BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Ny. R.
Umur : 35 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Pengggarutan 2/2, Bumiayu
Tiba di IGD : 15 Juli 2010 / jam 12.30 WIB
II. ANAMNESA
A. Keluhan utama : Gagal drip
B. Keluhan Tambahan : Kenceng-kenceng masih jarang
C. Riwayat Penyakit Sekarang : (Autoanamnesis)
Pasien hamil untuk yang keempat kalinya, datang dengan surat rujukan Rumah
Sakit Siti Aminah Bumiayu, keluhan utama gagal drip, pasien sudah mendapatkan
oxytosin 5 iu, botol kedua sudah habis tetapi masih belum terdapat kemajuan.
Kenceng-kenceng masih jarang, lendir/darah (-), rembes (-). HPHT 13-10-2009, HPL
20-7-2010, usia kehamilan 39 minggu 2 hari.
Riwayat obstetri: G4P3A0,
Riwayat Antenatal Care :
Trimester I periksa 1 kali di bidan, trimester II periksa 1 kali di bidan, trimester III
periksa 2 kali di bidan, suntik TT 2 kali pada usia kehamilan 6 dan 7 bulan. Tablet Fe
satu kali sehari. selama ANC ditemukan peningkatan tekanan darah.
D. Riwayat KB
Pil dan suntik.
E. Riwayat Obstetrik
Pasien saat ini hamil untuk keempat kalinya. Anak 1 wanita/17
thn/3200gr/spontan/bidan, anak 2 IUFD, anak 3 wanita/10 thn/3000gr/spontan/bidan
Pasien menikah pada umur 17 tahun.

G. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat penyakit tekanan darah tinggi sebelumnya disangkal
- Riwayat penyakit gula disangkal
- Riwayat epilepsi disangkal
H. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat penyakit tekanan darah tinggi pada keluarga disangkal
- Riwayat penyakit gula pada keluarga disangkal
- Riwayat penderita epilepsi pada keluarga disangkal
- Riwayat keturunan kembar dalam keluarga diterima
III. PEMERIKSAN FISIK
A. Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum : sedang
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign : T : 160/110 mmHg R :24 x/menit
N : 104 x/menit S :36,7 °CMata : Edema palpebra (-/-), conjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik
Thorax : Paru-paru : Suara dasar : Vesikuler kanan dan kiri
Suara tambahan : Rbk (-)/(-)
Jantung : S1 > S2, reguler, bising (-), gallop (-)
Extremitas
Superior : Edem (-/-)
Inferior : Edema tungkai kanan dan kiri, reflek patella (+/+)
B. Pemeriksaan Obstetri
1. Pemeriksan Luar
Inspeksi : Tampak perut membesar membuncit
Palpasi : TFU : 32 cm
HIS (+) jarang
Pemeriksaan Leopold
L1 : teraba besar, bulat dan lunak.
L2 : teraba tahanan memanjang sebelah kiri .

L3 : teraba dua bagian besar,bulat dan keras.
L4 : sudah masuk masuk PAP.
Auskultasi : DJJ I (11,11,12)
His : Jarang
2. Pemeriksaan Dalam (vagina toucher)
- Vagina dan vulva tenang
- Pembukaan (2 jari)
- Kepala turun Hodge II
- Kulit ketuban (+)
- Lendir dan darah (-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Usulan USG
b. Usulan Laboratorium lengkap
V. DIAGNOSIS
G4P3A0, 35 tahun, hamil 39 minggu +2hari, janin tunggal hidup intrauterin, letak
memanjang, presentasi kepala, punggung kiri, belum inpartu dengan Pre Eklampsia
Berat dengan gagal drip 2 kali
VI. PENATALAKSANAAN
- Infus RL 20 tpm.
- Monitor vital sign, DJJ, his
- Hasil laboratorium tanggal 16 juli 2010
Hb : 13,0 gr/dl
Ht : 38 %
Leukosit : 13.100/
Eritrosit : 4,3 juta
Trombosit : 57.000
SGOT : 50 UI
SGPT : 42 UI
Ureum : 9,4 mg/dl
Kreatinin : 0,8 mgdl
PT : 12,7 detik
APTT : 36,9 detik

Laboratorium Urin Lengkap
Warna : cokelat kemerahan
Kekeruhan : agak keruh
Bau : khas
Protein urin : 75 mg/dl
Leukosit : 25
pH : 6,0
Erytrosit : 250
Keton : negative
VII. PROGNOSA
Prognosa kehamilan : Dubia ad bonam
Prognosa persalinan : Dubia ad bonam

a. Persalinan Kala I
Lembar Monitoring di VK
TGL Tekanan darah
(mmHg)
Nadi / menit
DJJ HIS VT
15-7-2010
14.30
15.00
15.30
16.00
16.30
17.00
17.30
18.00
18.30
19.00
19.30
20.00
20.30
150/100
150/90
92
94
12-12-12
11-12-11
11-12-11
11-11-11
11-12-11
11-11-11
12-11-11
12-12-11
11-11-12
12-12-12
12-13-12
12-12-12
11-12-11
(+), jarang
(+), jarang
(+), jarang
(+), jarang
(+), jarang
(+), jarang
(+), jarang
(+), jarang
(+), jarang
(+), jarang
(+), jarang
(+), jarang
(+), jarang
Pembukaan 2 cm
Pembukaan 2 cm, KK (+), kepala turun hodge I
b. Persalinan Kala IIPukul 20.30
Instruksi dokter, dilakukan sectio cesarea dan operasi MOW.
Pukul 22.00

Bayi lahir spontan, APGAR score 7-8-9, jenis kelamin perempuan.Drip Synto pada ibu 20 iu
c. Persalinan Kala IV
Pukul TD N t RR KONTRAKSI UTERUS PERDAR
AHAN
VU
22.15 150/90 80 x/menit 36 oC 16 x/’’ Keras Setinggi pusat (+) dbn 1500
cc
22.30 150/90 80 x/menit 36 oC 16 x/’’ Keras Setinggi pusat (+) dbn 1500
cc
22.45 140/90 88x/menit 36 oC 20 x/’’ Keras 1 jr bwh pusat (+) dbn 1500
cc
23.00 140/90 86x/menit 36 oC 20 x/’’ Keras 1 jr bwh pusat (+) dbn 1500
cc
23.30 140/90 88x/menit 36 oC 20 x/’’ Keras 1 jr bwh pusat (+) dbn 1500
cc
24.00 140/90 88x/menit 36 oC 20 x/’’ Keras 2 jr bwh pusat (+) dbn 1500
cc
Bayi lahir hidup kembar perempuan
By. : As : 7-8-9
BB : 2950 gram.
PB : 47 cm.
LK : 33 cm.
LD : 34 cm.
Anus : (+).
Kelainan : (-).
e. Catatan perkembangan Pasien selama di bangsal:
Tanggal S O A P
16-7-2010 - Ku: sedang /cm
TD : 140/80
N: 80 x/menit
RR: 24x/menit
S: 36oC
CA-/- SI -/-
Thorak: C/p dbn
Abd:
P4A0 usia 35
thn Post
Sectio cesarea
atas indikasi
gagal induksi,
preeklampsia
berat dan
medis operatif
Infus RL 20 tpm
Asam mefenamat
3 x 500 mg
Vit B complek 2 x
1 tablet
Diet lunak
Pengawasan KU
Pengawasan VS

I: Cembung,
Pal: TFU 2 jari
bawah pusat,
Per: tympani
Aus : BU (+)
wanita Pengawasan ppv
Pengawasan TFU
Pengawasan ASI
BAB/BAK
Mobilisasi
17-7-2010 - Ku: sedang /cm
TD : 140/80
N: 80 x/menit
RR: 20x/menit
S: 36,3oC
CA-/- SI -/-
Thorak: C/p dbn
Abd:
I: Cembung,
Pal : TFU 2 jari
bawah pusat,
Per: tympani
Aus : BU (+)
P4A0 usia 35
thn Post
Sectio cesarea
atas indikasi
gagal induksi,
preeklampsia
berat dan
medis operatif
wanita
Infus RL 20 tpm
Infus RL 20 tpm
Asam mefenamat
3 x 500 mg
Vitamin B
complek 2 x 1
tablet
Diet lunak
Pengawasan KU
Pengawasan VS
Pengawasan ppv
Pengawasan TFU
Pengawasan ASI
BAB/BAK
Mobilisasi

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
- Tujuan utama penanganan preeklamsi berat adalah secepat mungkin mengakhiri
kehamilan untuk menyelamatkan ibu dan janin. Prioritas penanganan pada ibu.
- Tindakan terminasi pada kasus ini dilakukan induksi persalinan. Pengawasan secara
berkala penting his dan DJJ penting dilakukan untuk memantau adanya kegawatan.
- Sebelum dilakukan induksi, keadaan umum ibu harus distabilkan dan jika terdapat
kejang, prioritaskan penanganan kejang.
SARAN
Pentingnya peningkatan pengetahuan ibu tentang antenatal care (ANC) selama
kehamilan dan deteksi dini faktor resiko preeklamsia berat pada ibu hamil dapat menurunkan
morbiditas dan mortalitas ibu dan janin.