Presus Tia Wita

59
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hernia Nukleus Pulposus merupakan salah satu dari sekian banyak ³LowBack Pain´ akibat proses degeneratif.. Biasanya masyarakat mengobatinya dengan pijat urat dan obat-obatan gosok, karena anggapan yang salah bahwa penyakit ini hanya sakit otot biasa atau karena capek bekerja. Penderita penyakit ini sering mengeluh sakit pinggang yang menjalar ke tungkai bawah terutama pada saat aktifitas membungkuk. Penderita mayoritas melakukan suatu aktifitas mengangkat beban yang berat dan sering membungkuk.Hernia Nukleus Pulposus (HNP) merupakan salah satu penyebab dari nyeri punggung (NBP) yang penting. Prevalensinya berkisar antara 1-2% dari populasi.HNP lumbalis paling sering (90%) mengenai diskus intervertebralis L5-S1 dan L4-L5. Biasanya NBP oleh karena HNP lumbalis akan membaik dalam waktu kira- kira 6 minggu. Tindakan pembedahan jarang diperlukan kecuali pada keadaan tertentu. Hernia Nucleus Pulposus (HNP) atau herniasi diskus intervertebralis atau Lumbar Disc Syndrome atau Lumbosacralradiculopathies adalah penyebab tersering nyeri pugggung bawah yang bersifat akut, kronik atau berulang (Reni H. Masduchi, 2011) 1

description

anestesi

Transcript of Presus Tia Wita

Page 1: Presus Tia Wita

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hernia Nukleus Pulposus merupakan salah satu dari sekian banyak

³LowBack Pain´ akibat proses degeneratif.. Biasanya masyarakat mengobatinya

dengan pijat urat dan obat-obatan gosok, karena anggapan yang salah bahwa

penyakit ini hanya sakit otot biasa atau karena capek bekerja. Penderita penyakit

ini sering mengeluh sakit pinggang yang menjalar ke tungkai bawah terutama

pada saat aktifitas membungkuk. Penderita mayoritas melakukan suatu aktifitas

mengangkat beban yang berat dan sering membungkuk.Hernia Nukleus Pulposus

(HNP) merupakan salah satu penyebab dari nyeri punggung (NBP) yang penting.

Prevalensinya berkisar antara 1-2% dari populasi.HNP lumbalis paling sering

(90%) mengenai diskus intervertebralis L5-S1 dan L4-L5. Biasanya NBP oleh

karena HNP lumbalis akan membaik dalam waktu kira-kira 6 minggu. Tindakan

pembedahan jarang diperlukan kecuali pada keadaan tertentu.

Hernia Nucleus Pulposus (HNP) atau herniasi diskus intervertebralis atau Lumbar

Disc Syndrome atau  Lumbosacralradiculopathies adalah penyebab tersering nyeri

pugggung bawah yang bersifat akut, kronik atau berulang (Reni H. Masduchi,

2011)

Penatalaksanaan HNP berupa medikasi, fisioterapi dan bila medikasi tak

mampu lagi menangani keluhan HNP, maka dapat dilakukan tindakan

pembedahan laminektomi. Laminektomi adalah tindakan pembedahan atau

pengeluaran dan atau pemotongan lamina tulang belakang dan biasanya dilakukan

untuk memperbaiki luka pada spinal. Dalam setiap tindakan operatif, dibutuhkan

anestesi yang adekuat untuk menyokong kelancaran pembedahan. Prosedur

anestesi ditentukan berdasar kebutuhan prosedur, durasi operasi, resiko dan

komplikasi posisi dan operasi serta faktor resiko pada pasien.

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai

tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang

mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif

pasien gawat, terapi inhalasi dan penanaggulangan penyakit menahun. Anestesi

1

Page 2: Presus Tia Wita

yang ideal adalah tercapainya anestesi yang meliputi hipnotik/sedasi, analgesi dan

relaksasi otot.

Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : (1) anestesi lokal, yaitu

suatu tindakan menghilangkan nyeri lokal tanpa disertai hilangnya kesadaran, dan

(2) anestesi umum yaitu keadaan ketidaksadaran yang reversibel yang disebabkan

oleh zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh.

Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi

terdapat beberapa tahap pesiapan yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi,

tahap penatalaksanaan anestesi dan pemeliharaan serta tahap pemulihan dan

perawatan pasca anestesi.

Tahap pra anestesi merupakan tahap persiapan yang sangat menentukan

keberhasilan suatu anestesi. Hal ini penting dalam tahap ini adalah : (1)

menyiapkan pasien yang meliputi riwayat penyakit pasien, keadaan umum pasien,

dan mental pasien, (2) menyiapkan teknik, obat-obatan dan macam anestesi yang

digunakan, (3) memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul

pada waktu pengelolaan anestesi dan komplikasi yang mungkin timbul pada pasca

anestesi.

Tahap pengelolaan anestesi meliputi premedikasi, induksi dan

pemeliharaan yang dapat dilakukan secara intravena maupun inhalasi. Pada tahap

ini perlu monitoring dan pengawasan ketat serta pemeliharaan jalan nafas karena

pada saat ini pasien dalam keadaan sadar dan kemungkinan komplikasi anestesi

maupun pembedahan dapat terjadi.

1.2. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah untuk menganalisis

kasus dalam menentukan tahap pesiapan yang harus dilaksanakan yaitu pra

anestesi, tahap penatalaksanaan anestesi dan pemeliharaan serta tahap pemulihan

dan perawatan pasca anestesi.

2

Page 3: Presus Tia Wita

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi – Fisiologi Vertebra

Columna vertebralis adalah pilar utama tubuh. Vertebra merupakan struktur

fleksibel yang dibentuk oleh tulang-tulang tak beraturan, disebut

vertebrae.Vertebrae dikelompokkan sebagai berikut :

Cervicales (7)

Thoracicae (12)

Lumbales (5)

Sacroles (5, menyatu membentuk sacrum)

Coccygeae (4, 3 yang bawah biasanya menyatu)

Gambar 1. Padangan lateral columna vertebralis

Tulang vertebrae merupakan struktur kompleks yang secara garis besar terbagi

atas 2 bagian :

a. Bagian anterior tersusun atas korpus vertebra, diskus intervertebralis(sebagai

artikulasi), dan ditopang oleh ligamentum longitudinale anterior dan

posterior.

3

Page 4: Presus Tia Wita

b. Bagian posterior tersusun atas pedikel, lamina, kanalis vertebralis,serta

prosesus tranversus dan spinosus yang menjadi tempat otot penyokong dan

pelindung kolumna vertebrae.Bagian posterior vertebrae antara satu dan lain

dihubungkan dengan sendiapofisial (fascet joint). Tulang vertebrae ini

dihubungkan satu sama lainnya olehligamentum dan tulag rawan. Bagian

anterior columna vertebralis terdiri daricorpus vertebrae yang dihubungkan

satu sama lain oleh diskus fibrokartilagoyang disebut discus invertebralis dan

diperkuat oleh ligamentum longitudinalis anterior dan ligamentum

longitudinalis posterior.

Diskus Intervertebralis

Diskus invertebralis menyusun seperempat panjang columna vertebralis.Diskus

ini paling tebal di daerah cervical dan lumbal, tempat dimana banyak terjadi

gerakan columna vertebralis. Struktur ini dapat dianggap sebagai

discussemielastis, yang terletak di antara corpus vertebrae yang berdekatan dan

bersifatkaku. Ciri fisiknya memungkinkan berfungsi sebagai peredam benturan

bila beban pada columna vertebralis mendadak bertambah, seperti bila

seseorang melompatdari tempat yang tinggi. Kelenturannya memungkinkan

vertebra yang kaku dapat bergerak satu dengan yang lain. Sayangnya daya

pegas ini berangsur-angsur menghilang dengan bertambahnya usia.

Setiap discus terdiri atas bagian pinggir, anulus fibrosus, dan bagian

tengahyaitu nucleus pulposus.

a. Anulus fibrosus

Terdiri atas jaringan fibrocartilago, di dalamnya serabut-serabut

kolagentersususn dalam lamel-lamel yang kosentris. Berkas kolagen

berjalanmiring di antara corpus vertebrae yang berdekatan, dan lamel-

lamel yanglain berjalan dalam arah sebaliknya. Serabut-serabut yang lebih

perifer melekat dengan erat pada ligamentum longitudinale anterius dan

posterius columna vertebralis.

b. Nucleus fibrosus

Pada anak-anak dan remaja merupakan massa lonjong dari zat gelatinyang

banyak mengandung air, sedikit serabut kolagen, dan sedikit sel-seltulang

4

Page 5: Presus Tia Wita

rawan. Biasanya berada dalam tekanan dan terletak sedikit ebihdekat ke

pinggir posterior daripada pinggir anterior discus.

Permukaan atas dan bawah corpus vertebrae yang berdekatan yang menempel

pada discus diliuti oleh cartiloago hyalin yang tipis.Sifat nucleus pulposus yang

setengah cair memungkinkannya berubah bentuk dan vertebrae dapat mengjungkit

kedepan dan kebelakang diatasyang lain, seperti pada flexi dan ekstensi columna

vertebralis.

Gambar 3. Perubahan bentuk nucleus pulposus saat fleksi dan ekstensi.

Peningkatan beban kompresi yang mendadak pada columna vertebralis

menyebabkan nucleus pulposus yang semi cair menjadi gepeng. Dorongan keluar

dari nucleus ini dapat ditahan oleh daya pegas anulus fibrosus disekelilingnya

kadang-kadang, dorongan keluar ini terlalu kuat bagi anulus, sehingga anulus

menjadi robek dan nucleus pulposus enjadinkeluar dan menonjol kedalam canalis

vertebralis, tempat nucleus ini dapat menekan radix nervus spinalis,

nervusspinalis, atau bahkan medula spinalis.Dengan bertambahnya umur,

kandungan air di dalam nucleus pulposus berkurang dan digantikan oleh

fibrocartilago. Serabut-serabut collagen anulus berdegenerasi, dan sebagai

akibatnya anulus tidak lagi berada dalam tekanan.Pada usia lanjut, discus ini tipis

dan kurang lentur, dan tidak dapat lagi dibedakanantara nucleus dan anulus.

5

Page 6: Presus Tia Wita

Discus intervertebralis tidak ditemukan di antara vertebra C1 dan 2 atau didalam

os sacrum atau os coccygeus.Diskus intervertebralis, baik anulus fibrosus maupun

nukleus pulposusnyaadalah bangunan yang tidak peka nyeri. Bagian yang

merupakan bagian peka nyeri adalah:

a. Lig. Longitudinale anterior

b. Lig. Longitudinale posterior

c. Corpus vertebra dan periosteumnya

d. Articulatio zygoapophyseal

e. Lig. Supraspinosum

Fasia dan otot fasia dan stabilitas vertebrae tergantung pada integritaskorpus

vertebra dan diskus intervertebralis serta dua jenis jaringan penyokongyaitu

ligamentum (pasif) dan otot(aktif). Untuk menahan beban yang besar terhadap

kolumna vertebrale ini stabilitas daerah pinggang sangat bergantung pada gerak

kontraksi volunter dan refleks otot-otot sakrospinalis, abdominal,gluteus

maksimus, dan hamstring. Dengan bertambahnya usia, kadar air nukleus pulposus

menurun dan digantioleh fibrokartilago. Sehingga pada usia lanjut,diskus ini tipis

dan kurang lentur, dan sukar dibedakan dari anulus.

2.2 Hernia Nucleus Pulposus (HNP)

HNP adalah keadaan dimana terjadi penonjolan discus intervertera ke arah

posterior dan atau lateral yang dapat menimbulkan penekanan atau penyempitan

radiks saraf – saraf spinal, penekanan medula spinalis dengan berakibat timbulnya

gejala – gejala neurologis. Herniasi diskus intervertebralis atau hernia nukleus

pulposus sering terjadi pada pria dan wanita dewasa dengan insiden puncak pada

dekade ke 4 dan ke 5. Kelainan ini banyak terjadi pada individu dengan pekerjaan

yang banyak membungkuk dan mengangkat. HNP pada daerah lumbal lebih

sering terjadi pada usia sekitar 40 tahun dan lebih banyak pada wanita dibanding

pria. HNP servikal lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun. HNP torakal lebih

sering pada usia 50-60 tahun dan angka kejadian pada wanita dan pria sama.

HNP menurut gradasinya dibagi menjadi 4 :

a. Protruted invertebral disc : nukleus terlihat menonjol ke satu arah tanpa

kerusakan annulus fibrosus.

6

Page 7: Presus Tia Wita

b. Prolaps intervertebral disc : nukleus berpindah, tapi masih dalam lingkaran

annulus fibrosus.

c. Extruded invertebral disc : nukleus keluar dari annulus fibrosus dan berada di

bawah ligamentum longitudinalis posterior.

d. Sequestrated invertebral disc : nukleus telah menembus ligamentum

longitudinal posterior.

Hampir 80% dari HNP terjadi di daerah lumbal. Sebagian besar HNP terjadi pada

diskus L4-L5 dan L5-S1. Sedangkan HNP servikal hanya sekitar 20% dari insiden

HNP. HNP servikal paling sering terjadi pada diskus C6-C7, C5-C6, C4-C5.

Selain pada daerah servikal dan lumbal, HNP juga dapat terjadi pada daerah

torakal namun sangat jarang ditemukan. Lokasi paling sering dari HNP torakal

adalah diskus T9-T10, T10-T11, T11-T12. Karena ligamentum longitudinalis

posterior pada daerah lumbal lebih kuat pada bagian tengahnya, maka protrusi

diskus cenderung terjadi ke arah posterolateral, dengan kompresi radiks saraf.

Sebagian besar HNP terjadi pada L4-L5 dan L5-S1 karena:

a. Daerah lumbal, khususnya daerah L5-S1 mempunyai tugas yang berat, yaitu

menyangga berat badan. Diperkirakan 75% berat badan disangga oleh sendi

L5-S1.

b. Mobilitas daerah lumabal terutama untuk gerak fleksi dan ekstensi sangat

tinggi. Diperkirakan hamper 57% aktivitas fleksi dan ekstensi tubuh

dilakukan pada sendi L5-S1

c. Daerah lumbal terutama L5-S1 merupakan daerah rawan karena ligamentum

longitudinal posterior hanya separuh menutupi permukaan posterior diskus.

Arah herniasi yang paling sering adalah postero lateral.

7

Page 8: Presus Tia Wita

Adapun faktor yang mempengaruhi terjadinya HNP :

a. Riwayat trauma

b. Riwayat pekerjaan yang perlu mengangkat beban beban berat, duduk,

mengemudi dalam waktu lama.

c. Sering membungkuk.

d. Posisi tubuh saat berjalan

e. Proses degeneratif (usia 30-50 tahun).

f. Struktur tulang belakang.

g. Kelemahan otot-otot perut, tulang belakang. Jika beban pada discus

bertambah, annulus fibrosus tidak kuat menahan nucleus pulposus (gel) akan

keluar, akan timbul rasa nyeri oleh karena gel yang berada di canalis

vertebralis menekan radiks.

2.3 Anestesi General

Pemberian anestesi dimulai dengan induksi yaitu memberikan obat sehingga

penderita tidur. Tergantung lama operasinya, untuk operasi yang waktunya

pendek mungkin cukup dengan induksi saja. Tetapi untuk operasi yang lama,

kedalaman anestesi perlu dipertahankan dengan memberikan obat terus menerus

dengan dosis tertentu, hal ini disebut maintenance atau pemeliharaan.

1. Induksi 

Induksi dapat dilakukan dengan cara inhalasi, intravena, atau intramuskuler.

a. Induksi Inhalasi

Sering disebut dengan istilah induksi lambat karena membutuhkan waktu

yang lama, sedangkan induksi intravena disebut juga dengan induksi cepat

karena penderita cepat tertidur. Tetapi pada saat ini telah ditemukan

sevoflurane yaitu obat inhalasi yang dapat membuat tidur secepat obat

intravena.

Induksi inhalasi diberikan dengan meminta penderita menghirup campuran

gas anestesi dengan udara atau oksigen, dengan memakai face mask

(sungkup muka/ kap). Gas anestesi dapat berasal dari gas (N2O ) atau dari

obat anestesi cair yang diuapkan menggunakan alat yang disebut vaporizer.

8

Page 9: Presus Tia Wita

Pada zaman dulu obat anestesi cair diteteskan pelan-pelan langsung

kesungkup muka yang berlubang –lubang kecil, cara ini disebut open drop,

Induksi inhalasi menggunakan ether pada saat ini tidak populer, karena

menimbulkan stadium II yang menyebabkan terjadinya risiko morbiditas

dan mortalitas bagi penderita. Dibandingkan dengan ether induksi inhalasi

lebih baik menggunakan halothane,enflurane isoflurane atau sevoflurane.

Penderita yang mendapat induksi inhalsi dengan obat ini cepat masuk

kedalam stadium III, sehingga tanda stadium II yang membahayakan

penderita tidak terlihat.

b. Induksi Intravena.

Pada induksi intravena tidak terjadi stadium II, dikerjakan dengan

menyuntikkan obat anestesi kedalam pembuluh darah vena.

c. Induksi Intramuskuler.

Diberikan dengan menyuntikkan obat anestesi kedalam otot, dikerjakan

pada anak-anak.

Tergantung ada tidaknya indikasi setelah induksi dilakukan selanjutnya dapat

dipasang pipa endotrakheal (endotracheal tube) atau dapat pula dipasang

sungkup laring (LMA), atau cukup dilakukan dengan face mask. Untuk

menjaga agar penderita tidak jatuh kedalam hipoksia sebelum induksi perlu

diberikan oksigenasi selama 5 menit lebih dulu, cara ini disebut pre oksigenasi.

Dengan memberikan pre oksigenasi fungsional residual capacity paru akan

terisi oleh oksigen, selain itu oksigen yang larut dalam darah juga meningkat,

sehingga bila terjadi gangguan respirasi waktu induksi maka sudah ada

cadangan oksigen , yang diharapkan cukup memenuhi kebutuhan sampai

gangguan respirasi dapat diatasi.

2. Maintenance (Pemeilharaan)

Dalam periode ini diberikan obat anestesi dalam dosis tertentu , tergantung

jenis operasinya, anestesi tidak boleh terlalu dalam karena membahayakan jiwa

penderita , tetapi juga tidak boleh terlalu ringan sehingga penderita masih

merasakan nyeri yang akan menimbulkan trauma psikis yang berkepanjangan.

9

Page 10: Presus Tia Wita

Selain itu anestesi yang terlalu ringan juga dapat menyebabkan spasme saluran

pernafasan, batuk, mutah atau gangguan kardio vaskuler. 

Seperti pada induksi, pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai obat

inhalasi atau intravena. Obat intravena bisa diberikan secara intermiten atau

continous drip. Kadang-kadang dipakai gabungan obat inhalasi dan intravena

agar dosis masing-masing obat dapat diperkecil. Untuk operasi-perasi tertentu

diperlukan anestesi umum sampai tingkat kedalamannya mencapai trias

anestesi yaitu penderita tidur, analgesi cukup, dan terjadi relaksasi otot. Pada

penderita yang tingkat analgesinya tidak cukup dan tidak mendapat pelemas

otot, maka bila mendapat rangsang nyeri dapat timbul : 

– gerakan lengan atau kaki 

– penderita akan bersuara, suara tidak timbul pada penderita yang memakai

pipa endotrakeal

– adanya lakrimasi 

– pernafasan tidak teratur, menahan nafas, stridor laringeal, bronkospasme.

– tanda-tanda adanya adrenalin release, seperti denyut nadi bertambah

cepat , tekanan darah meningkat, berkeringat. 

Kedaaan ini dapat diatasi sengan cara mendalamkan anestesi. Pada operasi-

operasi yang memerlukan relaksasi otot , bila relaksasinya kurang maka ahli

bedah akan mengeluh karena tidak bisa bekerja dengan baik , untuk operasi

yang membuka abdomen maka usus akan bergerak dan menyembul keluar,

operasi yang memerlukan penarikan otot juga sukar dilakukan.

Keadaan relaksasi bisa terjadi pada anestesi yang dalam, sehingga bila

kurang relaksasi salah satu usaha untuk membuat lebih relaksasi adalah dengan

mendalamkan anestesi, yaitu dengan cara menambah dosis obat. Pada

umumnya keadaan relaksasi dapat tercapai setelah dosis obat anestesi yang

diberikan sedemikian tinggi , sehingga menimbulkan gangguan pada organ

vital. Dengan demikian keadaan ini akan mengancam jiwa penderita, lebih-

lebih pada penderita yang sensitif atau memang sudah ada gangguan pada

organ vital sebelumnya. Untuk mengatasi hal ini maka ada tehnik tertentu agar

tercapai trias anestesi pada kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur

dengan obat hipnotik, analgesinya menggunakan analgetik kuat, relaksasinya

10

Page 11: Presus Tia Wita

menggunakan pelemas otot (muscle relaxant) tehnik ini disebut balance

anestesi. 

Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant , maka otot

mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami kelumpuhan,

termasuk otot respirasi, jadi penderita tidak dapat bernafas. Karena itu harus

dilakukan nafas buatan (dipompa), tanpa dilakukan nafas buatan, penderita

akan mengalami kematian, karena hipoksia. Jadi nafas penderita sepenuhnya

tergantung dari pengendalian kita, karena itu balance anestesi juga disebut

dengan tehnik respirasi kendali atau control respiration. Untuk mempermudah

respirasi kendali penderita harus dalam keadaan terintubasi. 

Dengan menggunakan balance anestesi maka ada beberapa keuntungan

antara lain :

a. Dosis obatn minimal, sehingga gangguan pada organ vital dapat

dikurangi. polusi kamar operasi yang ditimbulkan obat anestesi inhalasi

dapat dikurangi , Selesai operasi penderita cepat bangun sehingga

mengurangi resiko yang ditimbulkan oleh penderita yang tidak sadar.

b. Dengan dapat diaturnya pernafasan maka dengan mudah kita bisa

melakukan hiperventilasi, untuk menurunkan kadar CO2 dalam darah

sampai pada titik tertentu misalnya pada operasi otak . Dengan

hiperventilasi kita juga dapat menurunkan tekanan darah untuk operasi

yang memerlukan tehnik hipotensi kendali. 

c. Karena pernafasan bisa dilumpuhkan secara total maka mempermudah

tindakan operasi pada rongga dada (thoracotomy ) tanpa terganggu oleh

gerakan pernafasan. Kita juga dapat mengembangkan dan mengempiskan

paru dengan sekehendak kita tergantung keperluan.

Dengan demikian berdasar respirasi, anestesi general dibedakan menjadi 3:

a. Respirasi spontan yaitu penderita bernafas sendiri secara spontan. 

b. Respirasi kendali / respirasi terkontrol/balance anestesi : pernafasan

penderita sepenuhnya tergantung bantuan kita. 

c. Assisted Respirasi : penderita bernafas spontan tetapi masih kita berikan

sedikit bantuan.

11

Page 12: Presus Tia Wita

Berdasar sistim aliran udara pernapasan dalam rangakaian alat anestesi,

anestesi dibedakan menjadi 4 sistem yaitu : Open, semi open, closed, dan semi

closed. 

a. Sistem open adalah system yang paling sederhana. Disini tidak ada

hubungan fisik secara langsung antara jalan napas penderita dengan alat

anestesi. Karena itu tidak menimbulkan peningkatan tahanan respirasi.

Disini udara ekspirasi bebas keluar menuju udara bebas. Kekurangan

sistim ini adalah boros obat anestesi, menimbulkan polusi obat anestesi

dikamar operasi, bila memakai obat yang mudah terbakar maka akan

meningkatkan resiko terjadinya kebakaran di kamar operasi, hilangnya

kelembaban respirasi, kedalaman anestesi tidak stabil dan tidak dapat

dilakukan respirasi kendali. 

b. Dalam system semi open alat anestesi dilengkapi dengan reservoir bag,

selain reservoir bag , adapula yang masih ditambah dengan klep satu arah,

yang mengarahkan udara ekspirasi keluar, klep ini disebut non rebreathing

valve. Dalam system ini tingkat keborosan dan polusi kamar operasi lebih

rendah disbanding sistem open. 

c. Dalam sistem semi closed, udara ekspirasi yang mengandung gas anestesi

dan oksigen lebih sedikit dibanding udara inspirasi, tetapi mengandung

CO2 yang lebih tinggi, dialirkan menuju tabung yang berisi sodalime,

disini CO2 akan diikat oleh soda lime. Selanjutnya udara ini digabungkan

dengan campuran gas anestesi dan oksigen dari sumber gas ( FGF / Fresh

Gas Flow) untuk diinspirasi kembali. Kelebihan aliran gas dikeluarkan

melalui klep over flow . Karena udara ekspirasi diinspirasi lagi maka

pemakaian obat anestesi dan oksigen dapat dihemat dan kurang

menimbulkan polusi kamar operasi. 

d. Dalam sistem closed prinsip sama dengan semi closed, tetapi disini tidak

ada udara yang keluar dari sistem anestesi menuju udara bebas.

Penambahan oksigen dan gas anestesi harus diperhitungkan, agar tidak

kurang sehingga menimbulkan hipoksia dan anestesi kurang adekwat,

tetapi juga tidak berlebihan, karena pemberian yang berlebihan bisa

berakibat tekanan makin meninggi sehingga menimbulkan pecahnya

12

Page 13: Presus Tia Wita

alveoli paru. Sistem ini adalah sistim yang paling hemat obat anestesi dan

tidak menimbulkan polusi. 

Pada sistim closed dan semi closed juga disebut system rebreathing, karena

udara ekspirasi diinspirasi kembali, sistem ini juga perlu sodalime untuk

membersihkan CO2. Pada sistem open dan semi open juga disebut system non

rebreathing karena tidak ada udara ekspirasi yang diinspirasi kembali, system

ini tidak perlu sodalime. Bila obat anestesi seluruhnya menggunakan obat

intravena, maka disebut anestesi intravena total ( total intravenous anesthesia/

TIVA). Bila induksi dan maintenance anestesi menggunakan obat inhalasi

maka disebut VIMA (Volatile Inhalation And Maintenance Anesthesia).

Tabel 2.1. pembagian anestesi berdasar sistem pernafasan

Sistem Rebreathing Reservoir bag

Sodalime Tingkat polusi

Open - - - ++++Semi open - + - +++Semi closed + + + ++Closed + + + +

2.4 Manajemen anestesi pada posisi prone

Proseduran laminektomi, pasien diposisikan prone. Posisi operasi dapat

mempengaruhi pasien dibawah anestesi maka perlu manajemen anestesi untuk

menghadapi perubahan fisiologis, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi

akibat posisi :

a. Manajemen jalan napas

Intervensi jalan nafas sering menggunakan teknik laringoskopi direk atau

indirek dengan manual inline stabilizations (MILS). Ekstubasi segera setelah

operasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu lamanya operasi, komplikasi

pembedahan, lamanya tindakan, posisi prone, kehilangan volume darah,

resusitasi cairan dan kemudahan intubasi.

b. Manajemen posisi : Prone Position

Pasien diposisikan setelah pemasangan infus intravena dan induksi anestesi.

Pemilihan posisi pada pasien – pasien bedah saraf perlu mempertimbangkan

kecukupan kedalaman anestesi, pemeliharaan stabilitas hemodinamik,

13

Page 14: Presus Tia Wita

oksigenasi, adanya monitor invasif. Posisi prone atau ventral decubitus

digunakan untuk operasi di daerah fossa posterior, suboccipital, vertebra,

gluteus dan daerah perirektal serta ekstremitas bawah. Pada pasien ini akan

dilakukan laminectomi dan stabilisasi posterior sehingga digunakan posisi

tengkurap atau prone. Keuntungan dari posisi ini adalah menurukan insiden

emboli udara dibandingkan dengan posisi duduk. Kesulitan pada pasien ini

berhubungan dengan oksigenasi, pemeliharaan ventilasi yang adekuat,

pemeliharaan hemodinamik serta mengamankan jalur intravena dan ETT.

Komplikasi pada pasien ini dapat terjadi luka akibat penekanan, kompresi

pembuluh darah, cedera pleksus brakialis, emboli udara, kebutaan, dan atau

quadriplegia. Berikut ini adalah perubahan fisiologis yang terjadi saat prone

position.

c. Hemodinamik dan Ventilasi

Perubahan posisi pasien dari supine ke prone akan meningkatkan tekanan

intraabdomen, menurunkan aliran balik vena ke jantung, dan meningkatkan

resistensi vaskuler sistemik dan pulmonal. posisi kepala miring dan posisi

berlutut disertai flexi pada ekstremitas bawah maka akan terjadi pengumpulan

darah vena di bagian bawah tubuh menyebabkan penurunan aliran balik vena

sehingga terjadi hipotensi. meskipun respon kardiovaskuler selama posisi

prone belum dapat dipastikan sepenuhnya, data−data menyokong bahwa

ejeksi ventrikel kiri dan index cardio menurun, yang menyebabkan

ketidakstabilan hemodinamik.

Oksigenasi dan penghantaran oksigen dapat meningkat pada posisi prone

karena peningkatan baik ventilasi maupun perfusi. Peningkatan ventilasi dan

perfusi disebabkan karena:

a. peningkatan perfusi paru

b. peningkatan tekanan intraabdominal menurunkan pengembangan

dinding thorak, yang berada dalam ventilasi tekanan positif sehingga

meningkatkan ventilasi paru

Tantangan pada pasien dalam posisi prone adalah dapat terlepasnya alat

oksimetri, jalur infus arteri dan ETT yang bisa menyebabkan hipoventilasi,

desaturasi, ketidakstabilan hemodinamik dan anestesi yang terlalu dalam.

14

Page 15: Presus Tia Wita

Maka pada pasien ini diperlukan stabilisasi pada alat oksimetri, jalur infus

dan ETT, untuk mencegah kesalahan anestesi alat oksimetri dan jalur arteri

dipasang sesudah pasien log roll dari posisi terlentang ke posisi prone, jika

memungkinkan. Pada pasien ini anestesi dilakukan saat posisi supine,

kemudian dirubah menjadi posisi prone dengan chest roll. Kepala diusahakan

pada posisi netral. Kateter, monitor dan ETT harus dijaga sampai dengan

perubahan posisi pasien ke prone. Komplikasi tersering pada posisi prone

adalah luka akibat penekanan pada mammae, penis, jaringan lunak pada

persendian, telinga dan mata. Chest roll digunakan untuk menyokong dada

sehingga memungkinkan pergerakan bebas dinding dada dan abdomen.

Pergerakan dinding abdomen harus bebas oleh karena:

a. Dapat meningkatkan kerja diafragma dan meningkatkan oksigenasi

b. Menurunkan tekanan intraabdomen dan menurunkan risiko perdarahan

saat operasi

c. Meningkatkan aliran balik vena dari ekstremitas bawah dan pelvis

Efek posisi prone pada stabilitas hemodinamik dan sistem respirasi adalah

tergantung dari frame yang digunakan. Penggunaan Jackson table mampu

menstabilkan hemodinamik dan tidak meningkatkan kapasitas pengembangan

paru.

d. Komplikasi

Mata, hidung dan telinga harus dilindungi dari penekanan, kelopak mata

harus ditutup menggunakan kasa. Pada pasien menggunakan bantal khusus C

shape form untuk mencegah penekanan pada mata dan hidung, dan dilakukan

pengecekan setiap 30 menit sekali untuk melihat adakah penekanan pada

keduanya. Posisi kepala juga dapat direposisi jika diperlukan. Memposisikan

kepala sejajar dengan tubuh atau lebih tinggi mencegah posisi kepala jatuh

lebih rendah dan mencegah kongesti vena

Mata dan Telinga

Komplikasi kebutaan sangat jarang. Insidensinya sekitar 0,2% kasus.

Biasanya berhubungan dengan proses operasi yang lama yang disertai

kehilangan banyak volume darah, anemia dan hipotensi. Pada saat operasi,

kelopak mata harus ditutup untuk mencegah bulu mata menggores kornea.

15

Page 16: Presus Tia Wita

Dapat juga diberi lubrikan pada mata. Komplikasi yang lain adalah

oedema konjungtiva, tapi biasanya bersifat sementara.

Leher

Biasa terjadi karena spasme otot leher selama posisi prone atau saat

peralihan posisi supine ke prone. Dapat juga terjadi artritis leher yang bisa

dicegah dengan cara menempatkan kepala dalam posisi sagital.

Cedera Plexus Brachialis

Perlu memastikan bahwa saat operasi collum humerus tidak menarik dan

menekan saraf axilaris.

Cedera Mammae

Tekanan langsung pada payudara dapat menyebabkan iskemik jaringan,

sehingga perlu dihindari.

Penekanan abdomen

Penekanan pada abdomen dapat mendesak diafragma sehingga

mengganggu ventilasi. Jika tekanan intra abdominal meningkat maka

aliran darah balik dari pelvis dan ekstremitas bawah akan berkurang atau

terbendung sehingga akan mengganggu hemostasis. Berbagai macam

bantalan dan frame operasi digunakan untuk menghilangkan tekanan

berlebihan terhadap abdomen.

Pada pasien ini dengan teknik dan manajemen operasi yang benar maka

komplikasi yang bisa terjadi karena posisi prone dapat dihindari.

16

Page 17: Presus Tia Wita

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama : Ny. Sukiyati

Usia : 24 tahun

No. Rekam Medik : 960944

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Banyumas

Tanggal Masuk RS : 18 Mei 2013

Tanggal Follow up : 21 Mei 2013

Tanggal Operasi : 22 Mei 2013

3.2. Primary Survey

A : Airway clear, Snoring (-), Gurgling (-), Crowing (-), Gipong (+), Gisu (-),

Maxillofacial injury (-)

B: Spontan, Respiration rate: 16 kali per menit, Suara dasar vesikuler +/+,

Wheezing -/-, Ronchi -/-

C: Tekanan darah 120/80 mmHg, Nadi 76 kali per menit, Tegangan dan isi

cukup, S1>S2, Gallop (-), Murmur (-)

D : GCS E4M6V5 , BB 52kg, S 36oC

3.3. Secondary Survey

a. Anamnesis (Tanggal 21 Mei 2013)

a. Keluhan Utama:

Kedua kaki terasa lemas untuk digerakkan

b. Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke klinik bedah RSMS dengan keluhan kedua anggota

gerak bawah terasa lemas digerakkan sejak 2 tahun yang lalu. Keluhan

dirasa memburuk hingga kini pasien hampir tak bisa mengangkat kedua

kaki. Pasien juga merasakan kebas dari ujung kaki hingga kedua pangkal

17

Page 18: Presus Tia Wita

tangannya. Kulit terasa tebal dan kurang peka terhadap nyeri. Namun

kedua tangannya masih dapat bergerak bebas.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

1) Riwayat trauma : pasien pernah jatuh terpeleset dari

tangga, punggung terbentur sudut tangga kurang lebih 2,5 tahun yang

lalu.

2) Riwayat trauma kepala : disangkal

3) Riwayat penyakit jantung : disangkal

4) riwayat penyaki darah tinggi : disangkal

5) Riwayat penyakit kencing manis : disangkal

6) Riwayat penyakit alergi : disangkal

7) Riwayat penyakit asma : disangkal

8) Riwayat operasi sebelumnya : disangkal

d. Riwayat Penyakit Keluarga

1) Riwayat penyakit darah tinggi : disangkal

2) Riwayat penyakit kencing manis : disangkal

3) Riwayat penyakit alergi : disangkal

4) Riwayat penyakit asma : disangkal

5) Riwayat penyakit yang sama : disangkal

e. Riwayat Kebiasaan Pasien

1) Merokok : disangkal

2) Alkohol : disangkal

3) Obat-obat : disangkal

b. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Berat badan : 52 kg

Tinggi badan : 155 cm

BMI : 21.60 (normoweight)

Tanda tanda vital

18

Page 19: Presus Tia Wita

Tekanan darah: 120/80 mmhg

Nadi : 76 x/menit

Suhu : 36,1 C

Pernafasan : 16x/menit

Status Generalis

Kepala : Normocephali

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor,

refleks cahaya langsung (+/+), tidak langsung (+/+)

Hidung : Simetris, deviasi septum (-), sekret (-)

Telinga : Simetris, liang telinga lapang, sekret -/-

Mulut : Bibir pucat (-), sianosis (-), trismus (-), bau pernafasan (-),

gerak sendi temporo mandibula baik

Gigi geligi : Gigi palsu (-), gigi goyang (-), gigi depan menonjol (-)

Rongga mulut : Terlihat palatum mole dan durum, terlihat tonsil kanan T2

tonsil kiri T2 dan uvula, (Mallampati I), oral hygiene baik.

Leher : Leher pendek (-), KGB tidak teraba membesar, JVP

5+1cm H2O, range of movement : terbatas, nyeri saat

digerakkan terutama menunduk

Thorax : Bentuk simetris, gerak dinding dada simetris

Cor : Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo : Vocal fremitus simetris, sonor +/+ Suara nafas vesikuler

normal, Ronki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen : Datar, simetris, supel, nyeri tekan(-), bising usus (+)

normal.

Ekstremitas : Akral hangat (+) Edema (–)

Status neurologis :

Motorik Superior Inferior Gerak Bebas / bebas Terbatas / terbatasKekuatan motorik 555/555 333/333Trofi e/e e/eTonus n/n ↓/↓RF +/+ ++/++RP -/- -/-Klonus -/-

19

Page 20: Presus Tia Wita

c. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium Darah Lengkap Pre operasi 18 Mei 2013 :

Hb : 15,1 gr/dlHt : 44 %Leukosit : 9780 /uLTrombosit : 225.000 /uLEritrosit : 4,9 x 106 /uLPT : 13,6 detikAPTT : 33,3 detikGula sewaktu : 122 mg/dlHitung Jenis Leukosit

- Basofil : 0,2 %- Eosinofil : 2 % - Batang : 0,00% ↓- Segmen : 59,8 %- Limfosit : 31,1 %- Monosit : 6,9 %

Ureum : 10,6 ↓creatinine : 0,46SGOT : 20SGPT : 51Natrium : 139K : 3,9Cl : 9,8

d. DIAGNOSA KLINIS

Diagnosis prabedah : HNP Cervicalis

Diagnosis postbedah : HNP Cervicalis C5-6

Tindakan : Laminektomi

e. KESIMPULAN

Status operatif : ASA II

f. TINDAKAN

Dilakukan : Laminectomy

Tanggal : 22 Mei 2013

20

Page 21: Presus Tia Wita

BAB IV

LAPORAN ANESTESI

4.1 Pre Operatif

a. Persiapan anestesi

1. inform consent

2. pasang IV line no.18G dengan RL 35tpm

3. puasa 6 jam sebelum operasi

4. premedikasi di OK

b. Penatalaksanaan anestesi

Tindakan Anestesi : Anestesi General, semi open

Tindakan Operasi : Laminectomy

Posisi pasien : prone

Premedikasi : Ondansentron, 4 mg i.v, Pethidin 50mg

Medikasi : Ceftrixone, 1 gr i.v

Asam tranexamat, 500 mg i.v

Vitamin K, 2 ml i.v

Induksi : Propofol 100mg

Fentanyl 50µg

Recuronium 50mg

maintenance : sevoflurane 1,5%

N2O : O2 = 50:50

c. Teknik anastesi

1. Pasien di posisikan supine

2. Pasien dipasang monitor tanda vital dan saturasi oksigen

3. Pasien diberikan obat premedikasi Intravena ondansetron 4 mg dan

pethidin 50mg.

4. pasien kemudian diinduksi dengan injeksi propofol 100 mg, fentanil 50

µg dilanjut muscle relaxant recuronium 30mg pukul 10.45

5. pasien dipasang facemask dilakukan oksigenasi pendahuluan 100%.

21

Page 22: Presus Tia Wita

6. pasien dilakukan intubasi dengan ET no.7 dan obat sevoflurane 1,5%,

N2O : O2 = 50:50

7. pasien diposisikan prone

8. Pasien diberikan Recuronium secara intermittent 10mg setiap 30 menit

9. Pasien mulai di insisi

10. Saat operasi diberikan Asam traneksamat 500cc dan Vitamin K 2ml

11. Operasi selesai pukul 14.15. N2O dimatikan dan pasien diberikan O2

100%.

12. suction dilakukan untuk membebaskan jalan nafas dari sekresi air ludah,

kemudian extubasi.

13. Anestesi selesai, pasien belum sadar penuh, GCS 12 dan dikirim ke

Recovery Room

4.2 Intra Operatif (22 April 2013)

a. Lama Operasi : 3 jam 30 menit (11.00-14.30)

b. Lama Anestesi : 3 jam 45 menit (10.45 – 14.30)

c. Jenis Anestesi : General anestesi dengan teknik semi open

d. Pernafasan : assisted

e. Intubasi : - Laringoskop

- Endotracheal Tube no 7 cuff (+)

f. Pemantauan tekanan darah dan frekuensi nadi selama operasi

Pukul (WIB) Tekanan Darah (mmHg) Nadi (kali/menit)

Waktu Tekanan darah Heart rate10.45 110/65 8011.00 106/67 8511.15 108/65 8711.30 125/60 9011.45 105/80 6812.00 100/60 6012.15 105/65 6012.30 106/67 6312.45 103/63 6513.00 100/58 6813.15 103/70 6213.30 105/68 7513.45 101/73 7714.00 90/70 60

22

Page 23: Presus Tia Wita

14.15 94/78 6414.30 103/68 62

g. Cairan yang masuk saat durante operasi : RL 2000cc, HES

h. Pemantauan post operasi

Pemantauan tanda vital , jaga balance cairan

i. Penilaian pemulihan kesadaran

Tabel 2 . Variabel Skor Lockharte/Aldrete

Variabel Tem SkorSkor

Pasien

Aktivitas

Gerak ke-4 anggota gerak atas perintahGerak ke-2 anggota gerak atas perintahTidak respon

210

1

RespirasiDapat bernapas dalam dan batukDispnea, hipoventilasiApnea

210

2

Sirkulasi

Perubahan ,< 20 % TD sistol preoperasiPerubahan 20-50 % TD sistol preoperasiPerubahan .> 50 % TD sistol preoperasi

210

2

KesadaranSadar penuhDapat dibangunkanTidak respon

210

1

Warna kulitMerahPucatSianotik

210

2

Skor Total8

≥ 9 : Pindah dari unit perawatan pasca anestesi≥ 8 : Dipindahkan ke ruang perawatan bangsal

≥ 5 : dipindahkan ke ruang perawatan intensif (ICU)

Pada pasien ini didapatkan nilai aldrete score 8, pasien dipindahkan ke

ruang perawatan bangsal untuk dilakukan observasi lebih lanjut.

4.4. Terapi Cairan Intra Operatif

23

Page 24: Presus Tia Wita

Berat badan : 52 kg

Kebutuhan Cairan Basal (M) :

2 x 52 kg = 104 cc

Kebutuhan cairan operasi (O) :

(Stress Operasi) 8 x 52 kg = 416 cc

Kebutuhan cairan puasa (P) :

6 x 104 cc = 624 cc

Pemberian cairan jam pertama :

50% Kebutuhan cairan puasa+Kebutuhan cairan basal+Kebutuhan cairan

operasi = 317cc + 52cc + 208cc = 577cc

Pemberian cairan jam kedua :

25% Kebutuhan cairan puasa+Kebutuhan cairan basal+Kebutuhan cairan

operasi = 159cc + 26cc + 104cc = 289 cc

Pemberian cairan jam ketiga = Pemberian cairan jam kedua = 289 cc

Pemberian cairan jam ke empat dan seterusnya :

Kebutuhan cairan basal+Kebutuhan cairan operasi = 104 cc + 416 cc = 520 cc

4.5. Prognosis

Ad Vitam : dubia ad Bonam

Ad Functionam : dubia ad Bonam

Ad Sanationam :dubia Ad Bonam

24

Operasi besar x Berat Badan (kg)

Lama jam puasa x kebutuhan cairan basal

2 x Berat

Page 25: Presus Tia Wita

BAB V

ANALISA KASUS

Berdasarkan hasil anamnesis, Pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan

penunjang pasien didiagnosis Hernia Nucleus Pulposus Cervicalis dengan ASA II,

yakni pasien memiliki kelainan sensorik dan motorik serta akan menjalani operasi

mayor besar yang beresiko perdarahan. Pasien dianjurkan untuk melakukan

operasi Laminektomi. Menjelang operasi pasien tampak sakit sedang, tenang,

kesadaran compos mentis. Pasien sudah dipuasakan selama 6 jam. Jenis anestesi

yang dilakukan yaitu anestesi general dengan teknik Open Circuit System dengan

Endotracheal Tube no 7 with cuff.

Pada pasien diberikan premedikasi ondancentron 4 mg. Ondansentron

merupakan antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang diberikan sebagai

pencegahan dan pengobatan mual dan muntah selama dan pasca bedah.

Ondansentron diberikan pada pasien untuk mencegah mual muntah yang bisa

menyebabkan aspirasi.. Pelepasan 5HT3 ke dalam usus merangsang refleks

muntah dan mengaktifkan serabut aferen vagal lewat reseptornya. Pasien juga

diberikan analgetik opiat Pethidin 50mg sebagai premedikasi. dalam 1 ampul

pethidin mengandung 100mg/2ml. Pethidin diencerkan dengan aquades 8cc

menjadi 10cc hingga mengandung 10mg/cc. Kemudian pethidin diberikan 50mg

intravena.

Dilakukan induksi dengan propofol 100mg (dosis induksi 2-2,5mg/kgBB),

propofol dapat menghambat transmisi neuron yang hancur oleh GABA. Obat

anestesi yang bekerja cepat efek kerjanya dicapai dalam waktu 30 detik. Dan

diberikan Fentanyl 50µg (dosis 1-3µg/kgbb) . Kemudian pasien diberikan Reculax

(recuronium bromide) 40 mg (dosis 0,6-1 mg/kg) merupakan obat golongan

pelemas otot nondepolarisasi. Recuronium memiliki waktu efek obat mulai

bekerja setelah 60 detik. Obat golongan ini sangat cocok untuk intubasi.

recuronium diberikan secara intermitten. Recuronium diberikan 3cc kemudian

diulang setiap 30 menit sebanyak 1 cc sebanyak 2 kali.

25

Page 26: Presus Tia Wita

Untuk maintenance selama operasi berlangsung diberikan N20 2L, O2 2L,

dan sevoflurane 1.5% L vol% dengan cara inhalasi dengan mesin anesthesia. N20

bersifat anestetik lemah tetapi analgesik digunakan untuk mengurangi rasa nyeri.

Pada pasien ini digunakan cairan infus Ringer Laktat 2000 dan HES 500cc

untuk mengganti defisit cairan puasa sebelum dan sesudah pembedahan,

mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan serta mengganti perdarahan yang

terjadi. Cairan Ringer Laktat merupakan cairan yang paling fisiologis jika

sejumlah volume besar diperlukan. Banyak dipergunakan sebagai replacement

therapy, antara lain untuk syok hipovolemik, diare, trauma, dan luka bakar. HES

adalah larutan koloid pengganti volume yang tidak mengandung hemoprotein.

HES diberikan sebagai terapi hipovolemi dan pencegahan syok karena

pendarahan.

Pada pasien diberikan antibiotik untuk pencegahan infeksi yaitu

ceftriaxone 1 gr. Ceftriaxone merupakan antibiotik sprektum luas, golongan

sefalosporin generasi ketiga yang mempunyai khasiat bakterisidal dan bekerja

dengan menghambat sintesis mukopeptida pada dinding sel bakteri. Pasien pula

diberikan obat –obatan hemostatik seperti asam traneksamat 500mg dan Vitamin

K 2ml untuk membantu hentikan perdarahan.

Selama operasi keadaan pasien cukup stabil. Observasi dilanjutkan pada

pasien postoperatif di Recovery Room, dimana dilakukan pemantauan tanda vital

meliputi tekanan darah, nadi, respirasi dan saturasi oksigen.

Berikut obat – obatan yang diberikan pada prosedur anestesi selama operasi

1. propofol

pada pasien diberikan recofol yang mengandung propofol. Propofol dikemas

dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonic dengan

pemekatan 1% ( 1 ml = 10 mg). Suntikan intravena sering menyebabkan

nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2

mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2.5 mg/kg, dosis rumatan

untuk anesthesia intravena total 4-13 mg/kg per jam , atau 100 – 200

mcg/kgbb/menit dengan syringe pump dan dosis sedasi untuk perawatan

intensif 0.2mg / kg atau 25 -50 mcg/kgbb/menit syringe pump. Pengenceran

propofol hanya boleh dengan dextrose 5%.

26

Page 27: Presus Tia Wita

Tabel. 4.1. Dosis dan Administrasi Propofol Berdasar Indikasi

Farmakokinetik

propofol digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik. propofol 98%

terikat protein plasma, eliminasi dari obat ini terjadi di hepar menjadi suatu

metabolit tidak aktif, waktu paruh propofol diperkirakan berkisar antara 2

– 24 jam. Namun dalam kenyataanya di klinis jauh lebih pendek karena

propofol didistribusikan secara cepat ke jaringan tepi. Dosis induksi cepat

menyebabkan sedasi ( rata – rata 30 – 45 detik ) dan kecepatan untuk pulih

juga relatif singkat. Satu ampul 20ml mengandung propofol 10mg/ml.

Popofol bersifat hipnotik murni tanpa disertai efek analgetik ataupun

relaksasi otot.

Farmakodinamik

Sistem saraf pusat

Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang

kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik, pada

27

Page 28: Presus Tia Wita

pemberian dosis induksi (2mg /kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung

cepat.

Sistem kardiovaskular

Dapat menyebakan depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana

tekanan dapat turun sekali disertai dengan peningkatan denyut nadi,

pengaruh terhadap frekuensi jantung juga sangat minim.

Sistem pernafasan

Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam beberapa

kasus dapat menyebabkan henti nafas kebanyakan muncul pada

pemberian.

Dosis dan penggunaan:

1. Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV.

2. Sedasi : 25 to 75 µg/kg/min dengan I.V infuse

3. Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 – 150 µg/kg/min IV

(titrate to effect).

4. Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau

apabila digabung penggunaanya dengan obat anastesi yang lain.

e) Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan

konsentrasi yang minimal 0,2%

5. Profofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada

dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah

terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri.

Efek Samping

Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%.

Nyeri ini bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada

pemberian propofol dapat dihilangkan dengan menggunakan lidocain (0,5

mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1 sampai 2 menit dengan

pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat suntikan, berikan

secara I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan muntah juga sering

sekali ditemui pada pasien setelah operasi menggunakan propofol.

Propofol merupakan emulsi lemak sehingga pemberiannya harus hati –

28

Page 29: Presus Tia Wita

hati pada pasien dengan gangguan metabolisme lemak seperti

hiperlipidemia dan pankreatitis.

2. Recuronium

Sediaan berupa Rocuronium bromide 10 mg/ml dengan 1 ampul

mengandung 5ml.

Farmakodinamik

Rocuronium bromide bekerja dengan bersaing terhadap reseptor kolinergik

pada motor end-plate. Aksi ini dilawan oleh penghambat

asetilkolinesterase, seperti neostigmine dan edrophonium. Pemulihan

fungsi neuromuskuler baik. Aksi penghambatan neuromuskuler dari

rocuronium bromide dapat meningkat dengan adanya anestetik inhalasi

yang poten.

Farmakokinetik 

Rocuronium adalah obat penghambat neuromuskuler nondepolarisasi

dengan mula kerja cepat sampai sedang tergantung dosisnya, dan lama

kerjanya sedang. Waktu paruh distribusi cepat adalah 1-2 menit dan waktu

paruh distribusi yang lebih lambat adalah 14-18 menit. Kira-kira 30 %

rocuronium terikat oleh protein plasma manusia. Rocuronium terutama

dieliminasi oleh hati. Metabolit rocuronium, 17-desacetyl-rocuronium,

jarang ditemukan dalam plasma atau urin manusia pada pemberian dosis

tunggal 0,5-1 mg/kg dengan atau tanpa infus rocuronium berikutnya.

Indikasi 

Roculax diindikasikan sebagai tambahan pada anestesia umum untuk

mempermudah intubasi endotrakeal serta memberikan relaksasi otot

rangka selama pembedahan.

Dosis dan Cara Pemberian 

Roculax diberikan secara intravena baik dengan injeksi bolus atau dengan

infus kontinu. Metode anestesia, lama pembedahan yang diharapkan,

kemungkinan interaksi dengan obat lain yang diberikan sebelum dan/atau

selama anestesia, serta kondisi pasien harus diperhitungkan saat

menentukan dosis. Dianjurkan penggunaan teknik pemantauan muskuler

yang sesuai untuk penilaian hambatan neuromuskuler dan

29

Page 30: Presus Tia Wita

pemulihannya.          

Anestetik inhalasi dapat mempotensiasi efek penghambatan

neuromuskuler dari Roculax. Namun, potensiasi ini menjadi relevan jika

obat volatil mencapai konsentrasi di dalam jaringan yang diperlukan untuk

interaksi ini. Konsekuensinya, harus dilakukan penyesuaian dosis Roculax

dengan pemberian dosis pemeliharaan yang lebih kecil paling tidak dengan

interval yang lebih jarang atau dengan kecepatan infus Roculax yang lebih

lambat selama prosedur pembedahan yang lama (lebih lama dari 1 jam)

dengan anestesia inhalasi.

Intubasi Endotrakeal: 0,6-1,2 mg/kgBB.

Dosis Pemeliharaan: 0,1- 0,2 mg/kgBB.

Penggunaan dengan infus kontinu: Jika hambatan neuromuskuler mulai

pulih dianjurkan untuk memulai pemberian infus Roculax dengan

dosis muat 0,6 mg/kgBB. Pada pasien dewasa dengan anestesia  i.v,

kecepatan infus yang diperlukan untuk mempertahankan hambatan

neuromuskuler pada tingkat ini berkisar 5-10 µg/kgBB/menit.

Pengawasan yang kontinu terhadap hambatan neuromuskuler penting

dilakukan karena kecepatan infus yang diperlukan bervariasi dari

pasien ke pasien dan dengan metode anestetik yang digunakan.

Roculax dikontraindikasikan pada pasien yang hipersensitif terhadap

rocuronium bromide atau ion bromida; dan kehamilan.

3. Fentanyl

Fentanyl merupakan derivat agonis sintetik opioid fenil piperidin, yang

secara strukturberhubungan dengan meperidin, sebagai anestetik 100 kali

lebih poten dari Morfin.

Farmakodinamik

Fentanil adalah analgesik narkotik yang poten, bisa digunakan sebagai

tambahanuntuk general anastesi maupun sebagai awalan anastetik.

Fentanil menyediakanstabilitas jantung dan stress yang berhubungan

dengan hormonal, yang berubahpada dosis tinggi. Dosis 100 µg (w.o ml)

setara dengan aktifits analgesik 10mg morfin. Fentanil memiliki kerja

cepat dan efek durasi kerja kurang lebih 30 menit setelah dosis tunggal IV

30

Page 31: Presus Tia Wita

100mg. Fentanil bergantung dari dosis dan kecepatan pemberian bisa

menyebabkan rigiditas otot, euforia, miosis dan bradikardi. Seluruhefek

dari kerja fentanil secara cepat dan secara penuh teratasi dan hilang

denganmenggunaka narkotik antagonis seperti Naloxone.

Farmakokinetik

Fentanyl dosis tunggal intravena memiliki onset yang lebih cepat dan

durasi kerja yang lebih singkat dari morfin oleh karena sifat lipofilik dari

fentanyl sehingga dapat melewati sawar darah otak dengan mudah.

Sebaliknya, durasi singkat fentanyl disebabkan oleh redistribusi cepat pada

jaringan-jaringan inaktif seperti lemak dan otot skelet. Paru merupakan

salah satu tempat penyimpanan dengan estimasi 75% dari dosis awal

fentanyl. Disamping itu juga terdapat jeda waktu tersendiriantara

konsentrasi puncak fentanil plasma, dan konsentrasi puncak dari

melambatnya EEG. Jeda waktu ini memberi efek waktu Equilibration

antara darahdan otak selama 6,4 menit

Semakin tinggi potency dan onset yang lebih cepat mengakibatkan Lipid

solubilitymeningkat lebih baik daripada morfin, yang memudahkan

perjalanan obat menujusawar darah otak.Dikarenakan durasi dan kerja

dosis tunggal fentanil yang cepat, mengakibatkandistribusi ke jaringan

yang tidak aktif menjadi lebih cepat pula, seperti jaringan lemakdan otot

skelet, dan ini menjadi dasar penurunan konsentrasi obat dalam plasma.

Waktu paruh eliminasi obat ini lebih lambat dibandingkan morfin sehingga

volume distribusi obat lebih besar. Lebih dari 80% dari dosis yang

disuntikkan sudah tidak berada dalam plasma < 5menit. Pemanjangan

waktu pareuh eliminasi fentanyl pada pasien usia lanjut disebabkan oleh

penurunan laju klirens opioid karena volume distribusi tidak berubah bila

dibandingkan pada pasien yang lebih muda. Hal ini kemungkinan

disebabkan oleh penurunan aliran vena porta hepatic akibat usia, atau

produksi albumin oleh karena fentanyl sebagian besar terikat protein (79-

87%). Jadi jarang pemberian dosis fentanyl bisa lebih lama pada pasien

usia lanjut.

31

Page 32: Presus Tia Wita

Dosis pemberian

Secara klinis, fentanyl dapat diberikan dengan rentang dosis yang cukup

luas. Dosis rendah fentanyl 1-2 μg/kg/IV diberikan untuk efek analgesia.

Fentanyl 2-20 μg/kg/IV diberikan sebagai tambahan untuk anestesi

inhalasi guna mengurangi respons sirkulasi terhadap intubasi ETT atau

perubahan mendadak akibat stimulasi operasi. Dosis besar fentanyl, 50-

150 μg/kg/IV dapat digunakan tunggal untuk anestesi operasi.

4. pethidin

Petidin ( meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat

berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping

yang mendekati sama. 

Perbedaan antara petidin dengan morfin :

a. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut

dalam air.

b. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin,

asammeperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin adalah

metabolit yang masihaktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin,

tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin

bentuk asli ditemukan dalam urin.

c. Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan

pandangan dantakikardia.

d. Seperti morpin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter

oddi lebih ringan.

e. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah

yang tidak ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg

i.v pada dewasa.

f. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin

Petidin merupakan narkotika sintetik derivat fenilpiperidinan dan terutama

berefek terhadap susunan saraf pusat. Mekanisme kerja petidin menghambat

kerja asetilkolin(senyawa yang berperan dalam munculnya rasa nyeri) yaitu

pada sistem saraf serta dapatmengaktifkan reseptor, terutama pada reseptor µ,

dan sebagian kecil pada reseptor kappa.Penghambatan asetilkolin dilakukan

32

Page 33: Presus Tia Wita

pada saraf pusat dan saraf tepi sehingga rasa nyeri yangterjadi tidak dirasakan

oleh pasienEfeknya terhadap SSP adalah menimbulkan analgesia, sedasi,

euphoria,depresi pernafasan serta efek sentral lain. Efek analgesik petidin timb

ul agak lebih cepat daripada morfin, yaitu kira-kira 10 menit, setelah suntikan

subkutan atau intramuskular,tetapi masa kerjanya lebih pendek, yaitu 2-4 jam.

Absorbsi petidin melalui pemberian oralmaupun secara suntikan berlangsung

dengan baik. Obat ini mengalami metabolisme di hati dan diekskresikan

melalui urin.

Efek Samping

Petidin sebagai salah satu obat analgesik golongan narkotik tentu memiliki

efek samping berupa ketagihan terhadap penggunaan obat. Selain ketagihan,

petidin juga memilikiefek samping menekan sistem pernapasan.

Obat ini juga dapat menimbulkan efek alergi berupa kemerahan, gatal dan

bengkak  pada daerah sekitar tempat penyuntikan. Gejala alergi ini

dapat bermanifestasi parah, seperti kesulitan bernafas, bengkak pada wajah,

bibir dan lidah, serta tenggorokan. Efek samping yang sangat berbahaya dan

dapat menyebabkan kematian adalah menekan sistem pernafasan. Efek

samping ini akan semakin berbahaya apabila petidin digunakan secara

berlebihan atau dikonsumsi bersamaan dengan obat lain yang juga

menekansistem pernafasan, seperti obat pelemas otot atau obat penenang.

Kematian dapat disebabkanlaju nafas yang semakin menurun kemudian

berhenti.

Dosis

Dosis premedikasi dewasa 50-75 mg (1-1,5 mg/kgBB) intravena. Diberikan

untuk menekan tekanan darah dan pernafasan serta merangsang otot polos.

5. Sevofluran

Sevofluran merupakan fluorinasi methyl isoprophyl ether. Pasien dengan

pemberian sevofluran akan pulih sadar setelah pemberian dihentikan.

Rendahnya kelarutan darah/gas dan kenyamanan pemakaian sevofluran,

membuat agent ini jadi pilihan utama untuk induksi inhalasi cepat dengan

recovery yang cepat. Sevofluran sering digunakan untuk induksi pada anak

karena berbau enak, tidak merangsang jalan nafas dan tidak meningkatkan

33

Page 34: Presus Tia Wita

sekresi saluran nafas. Sevofluran mungkin paling tidak iritasi pada saluran

nafas dibanding agent inhalasi lain yang dipakai saat ini. MAC ( Minimal

Alveolar Concentration ) adalah konsentrasi agent inhalasi minimal yang

dapat mencegah gerakan pada 50% pasien terhadap respon stimulus standar

( irisan operasi pertama ). MAC sevofluran pada manusia berkisar 1,7-2,05.

Bila diberikan dalam 64% N2O-O2, MAC menjadi 0,66%, yang

menandakan efek N2O bersifat aditif terhadap sevofluran. Kelarutan

sevofluran jaringan yang rendah menimbulkan eliminasi yang cepat

sehingga terjaga cepat. Depresi ventilasi merupakan efek depresi langsung

terhadap pusat ventilasi medulla dan kemungkinan efek perifer terhadap otot

interkostal. Relaksasi otot polos bronkus juga dapat timbul. Dosis induksi

yaitu 6-8 vol% dan dosis rumatan (maintenance) 1-2 vol%.

6. N2O

(N2O/gas gelak). N2O merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis,

tidak iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah

terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber (pengikat

CO2). Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi

N2O:O2yaitu 60% : 40%, 70% : 30%, dan 50%: 50%. Pemberian anestesi

dengan N2O harus disertai dengan O2 minimal 25%. gas ini bersifat

anestetik lemah tetapi kuat analgesia sehingga sering digunakan unuk

mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada akhir anestesia setelah N2O

dihentikan , maka N2O akan cepar keluar mengisi alveoli sehingga terjadi

pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi. untuk menghindari

terjadinya hipoksia difusi, diberikan O2 100% selama 5-10 menit.

7. Hemostatik

hemostatik adalah obat yang digunakan untuk menghentikan pendarahan.

pada pasien digunakan Asam tranexamat dan Vitamin K.

a. asam traneksamat

asam traneksamat bekerja hentikan perdarahan melalui aktivitas

antiplasminik dan hemostatis.

Aktifitas antiplasminik

34

Page 35: Presus Tia Wita

Menghambat aktifitas dari aktifaktor plasmonogen dan plasmine.

Aktifitas anti plasminik telah dibuktikan dengan berbagai percobaan “

in vitro” penemuan aktifitas plamin dalam darah dan aktifitas plasma

setempat, setelah diberikan pada tubuh manusia.

Aktifitas Hemostatis

Mencegah degradasi fibrin, pemecahan trombosit, peningkatan

kerapuan faskuler dan pemecahan factor koagulasi. Efek ini terlihat

secara klinis dengan berkurangnya waktu pendarahan dan lama

pendarahan.

Obat ini diberikan atas indikasi :

a. Untuk fibrinolosis local seperti: epistaksi, prostaktetomi, konisasi

servik,

b. Edema angioneurotonik herediter

c. Pendarahan abnormal sesudah operasi

d. Pendaragan sesudah operasi gigi dan penderita hemophilia

Dosis dan cara pemberian

a. peroral :

250 mg : 3-4 kali sehari, 1-2 kapsul

500 mg : 3-4 kali sehari, 1 tablet

b. injeksi :

50 mg : Sehari 1-2 ampul (5-10ml) disuntikan secara intravena

atau intramuscular, dibagi dalam 1-2 disis. Pada waktu atau

setelah operasi, bila diperlukan dapat diberikan 2-10 ampul (10-

50 ml) dengan infuse intravena.

100 mg : 2.5 – 5 ml perhari disuntikan secara intravena atau intra

muscular dibagi dalam 1-2 dosisi. Pada waktu atau setelah operasi

bila dperlukan dapat diberiklan sebanyak 5-25 ml dengan cara

infuse intravena.

Efek samping

Gangguan-gangguan gastrointestinal, mual, muntah, anaroreksia,

pusing, ekstantema dan sakit kepala dapat timbul pada pemberian

secara oral. Gejala-gejala ini menghilang dengan pengurangan dosis

35

Page 36: Presus Tia Wita

atau penghentian pengobatannya. Dengan injeksi intravena yang cepat

dapat menyebabkan pusing dan impotens

b. Vitamin K

Sebagai obat hemostatik, vitamin K memerlukan waktu untuk dapat

menimbulkan efek, sebab vitamin K harus merangsang pembentukan

faktor-faktor pembekuan darah terlebih dahulu. Preparat vitamin K ada

dua macam yaitu alami dan sintetik :

 Alami :Vit K1 ( phytonadione ) dan Vit K2 ( menadione ), Larut

dalam lemak dan proses absorpsi butuh empedu

· Sintetik : Vit K3, Larut dalam air dan proses absorpsi tanpa empedu

36

Page 37: Presus Tia Wita

DAFTAR PUSTAKA

Benyamin C. 2009. Herniated Disk. Sports Medicine and Shoulder Service. UCSF Department of Orthopaedic Surgery. 2009. Diunduh dari : http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000442.htm

Cassorla l, lee jw. Patient positioning and anesthesia. Dalam Ronald D Miller, Lars I eriksson, Lee A fleisher, Jeanine P wiener, William L Young, penyunting. Miller's anesthesia 7th edition. 2009;1.

Edgcombe H, Carter K, Yarrow S. anaesthesia in the prone position. Br J Anaesth. 2008;100(2):165−77.

Goodkin R, mesiwala A. general principles of operative positioning. Dalam: Winn H, penyunting. . Youman Neurological surgery 5th edition Sounders: Elsevier Inc. 2004:595−621.

 Hasting R, Kelly S. neurological deterioration associated with airway management in a cervical spine injured patient. anesthesiology. 1993;78:580−83.

Hering R, Wrigge H, Vorwerk R, al. e. The effects of prone positioning on intraabdominal pressure and cardiovascular and renal function in patients with acute lung injury. Anesth Analg.92:1226−31.

Latief. S. A, Suryadi K. A, dan Dachlan M. R. 2001.  Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi II. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI. Jakarta

Michael Gordon, Ph.D.2013. Medical Pharmacology and Disease-Based Integrated Instruction.

Thomas N. Joseph. 2008. Herniated Nucleus Pulposus. A.D.A.M., Inc. 2008. Diunduh dari: http://www.medhelp.org/medical-information/show/2210/Herniated-nucleus-pulposus

Toyota S, Amaki Y. Hemodynamic evaluation of the prone position by transesophageal echocardiography. . J Clin Anesth. 1998;10:32−5.

Yokoyama M, Ueda W, Hirakawa M, Yamamoto H. Hemodynamic effect of the prone position during anesthesia. . Acta Anaesthesiol Scand. 1991.;35:741−44.

Firman,B. 2007. Perbandingan Pengaruh Sevofluran Dan Isofluran Terhadap Jumlah Neutrofil Polimorfonuklear Darah Tepi. Tesis Program Pasca

37

Page 38: Presus Tia Wita

Sarjana Magister Ilmu Biomedik Dan Pendidikan Dokter Spesialis I Anestesiologi Universitas Diponegoro Semarang

38