Presus PEB Yudha

32
PRESENTASI KASUS Pre Eklampsia Berat Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Obstetri dan Ginekologi Di RSUD Panembahan Senopati Bantul Diajukan Kepada Yth: dr. Bambang Basuki, Sp.OG Diajukan Oleh : Yudha Irla Saputra SMF ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL 2015

description

peb

Transcript of Presus PEB Yudha

Page 1: Presus PEB Yudha

PRESENTASI KASUS

Pre Eklampsia Berat

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Obstetri dan Ginekologi

Di RSUD Panembahan Senopati Bantul

Diajukan Kepada Yth:

dr. Bambang Basuki, Sp.OG

Diajukan Oleh :

Yudha Irla Saputra

SMF ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

2015

Page 2: Presus PEB Yudha

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

Pre Eklampsia Berat

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Obstetri dan Ginekologi

Di RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh:

Yudha Irla Saputra

20100310221

Telah dipresentasikan dan disetujui pada:

10 Juni 2015

Mengetahui

Dosen Pembimbing

dr. Bambang Basuki, Sp.OG

Page 3: Presus PEB Yudha

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dunia ini setiap menit seorang perempuan meninggal karena komplikasi

yang terkait dengan kehamilan dan persalinan. Dengan kata lain, 1.400 perempuan

meninggal setiap hari atau lebih dari 500.000 perempuan meninggal setiap tahun

karena kehamilan dan persalinan. Di Indonesia, 2 orang ibu meninggal setiap jam

karena kehamilan, persalinan dan nifas. Begitu juga dengan kematian anak, di

Indonesia setiap 20 menit anak usia di bawah 5 tahun meninggal. Dengan kata

lain 30.000 anak balita meninggal setiap hari dan 10,6 juta anak balita meninggal

setiap tahun. Sekitar 99 % dari kematian ibu dan balita terjadi di Negara miskin,

terutama di Afrika dan Asia Selatan. Di Indonesia angka kematian anak balita

menurun 15 % dalam 15 tahun, dari 79 kematian per 1.000 kelahiran hidup pada

tahun 1988 menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup pada kurun waktu 1998-2002

(Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2002/2003). Sebagai perbandingan,

angka kematian bayi di negara maju seperti di Inggris saat ini sekitar 5 per 1.000

kelahiran hidup (WHO, 2005). Sebagian besar kematian perempuan disebabkan

komplikasi karena kehamilan dan persalinan, termasuk perdarahan, infeksi, aborsi

tidak aman, tekanan darah tinggi dan persalinan lama (Anonim, 2005).

Data menunjukkan sebagian besar kematian terjadi pada masyarakat

miskin dan mereka yang tinggal jauh dari Rumah Sakit. Penyebab kematian ibu

yang utama adalah perdarahan, eklampsia, partus lama, komplikasi aborsi, dan

infeksi. Kontribusi dari penyebab kematian ibu tersebut masing-masing adalah

perdarahan 28 %, eklampsia 13 %, aborsi yang tidak aman 11 %, serta sepsis 10

%.Salah satu penyebab kematian tersebut adalah Preeklampsia dan eklampsia

yang bersama infeksi dan pendarahan, diperkirakan mencakup 75-80 % dari

keseluruhan kematian maternal Sehingga diagnosis dini preeklampsia yang

merupakan pendahuluan eklampsia serta penatalaksanaannya harus diperhatikan

dengan seksama. Disamping itu, pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara

rutin untuk mencari tanda preeklampsia yaitu hipertensi dan proteinuria sangat

Page 4: Presus PEB Yudha

penting dalam usaha pencegahan, disamping pengendalian faktor-faktor

predisposisi lain (Sudinaya, 2003).

Insiden preeklampsia sangat dipengaruhi oleh paritas, berkaitan dengan ras

dan etnis. Disamping itu juga dipengaruhi oleh predisposisi genetik dan juga faktor

lingkungan. Sebagai contoh, dilaporkan bahwa tempat yang tinggi di Colorado

meningkatkan insiden preeklampsia. Beberapa penelitian menyimpulkan

bahwawanita dengan sosio ekonominya lebih maju jarang terkena preeklampsia

(Cunningham, 2003). Preeklampsia lebih sering terjadi pada primigravida

dibandingkan multigravida. Faktor risiko lain yang menjadi predisposisi terjadinya

preeklampsia meliputi hipertensi kronik, kelainan faktor pembekuan, diabetes,

penyakit ginjal, penyakit autoimun seperti Lupus, usia ibu yang terlalu muda atau

yang terlalu tua dan riwayat preeklampsia dalam keluarga (George, 2007).

Page 5: Presus PEB Yudha

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Preeklampsia

Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa

berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai

dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuria (Cunningham et al, 2003,

Matthew warden, MD, 2005).

Preeklampsia terjadi pada umur kehamilan diatas 20 minggu, paling

banyak terlihat pada umur kehamilan 37 minggu, tetapi dapat juga timbul kapan

saja pada pertengahan kehamilan. Preeklampsia dapat berkembang dari

preeklampsia yang ringan sampai preeklampsia yang berat (George, 2007).

B. Epidemiologi Preeklampsia

1 Insiden Preeklampsia

Frekuensi preeklampsia untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak

faktor yang mempengaruhinya; jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi,

perbedaan kriteria dalam penentuan diagnosis dan lain-lain. Di Indonesia

Page 6: Presus PEB Yudha

frekuensi kejadian preeklampsia sekitar 3-10% (Triatmojo, 2003), Sedangkan di

Amerika Serikat dilaporkan bahwa kejadian preeklampsia sebanyak 5% dari

semua kehamilan (23,6 kasus per 1.000 kelahiran) (Dawn C Jung, 2007).

Pada primigravida frekuensi preeklampsia lebih tinggi bila dibandingkan

dengan multigravida, terutama primigravida muda, Sudinaya (2000) mendapatkan

angka kejadian preeklampsia dan eklamsia di RSU Tarakan Kalimantan Timur

sebesar 74 kasus (5,1%) dari 1431 persalinan selama periode 1 Januari 2000

sampai 31 Desember 2000, dengan preeklampsia sebesar 61 kasus (4,2%) dan

eklamsia 13 kasus (0,9%). Dari kasus ini terutama dijumpai pada usia 20-24 tahun

dengan primigravida (17,5%). Diabetes melitus, mola hidatidosa, kehamilan

ganda, hidrops fetalis, umur lebih dari 35 tahun dan obesitas merupakan faktor

predisposisi untuk terjadinya preeklampsia (Trijatmo, 2005).

Peningkatan kejadian preeklampsia pada usia > 35 tahun mungkin

disebabkan karena adanya hipertensi kronik yang tidak terdiagnosa dengan

superimposed PIH (Deborah E Campbell, 2006). Di samping itu, preklamsia juga

dipengaruhi oleh paritas. Surjadi, dkk (1999) mendapatkan angka kejadian dari 30

sampel pasien preeklampsia di RSU Dr. Hasan Sadikin Bandung paling banyak

terjadi pada ibu dengan paritas 1-3 yaitu sebanyak 19 kasus dan juga paling

banyak terjadi pada usia kehamilan diatas 37 minggu yaitu sebanyak 18 kasus.

Wanita dengan kehamilan kembar bila dibandingkan dengan kehamilan tunggal,

maka memperlihatkan insiden hipertensi gestasional (13 % : 6 %) dan

preeklampsia (13 % : 5 %) yang secara bermakna lebih tinggi. Selain itu, wanita

dengan kehamilan kembar memperlihatkan prognosis neonatus yang lebih buruk

daripada wanita dengan kehamilan tunggal (Cunningham, 2003).

2 Faktor Risiko Preeklampsia

Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab

terjadinya preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah

faktor yang mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor risiko tersebut

meliputi;

Page 7: Presus PEB Yudha

a) Riwayat preeklampsia. Seseorang yang mempunyai riwayat preeklampsia

atau riwayat keluarga dengan preeklampsia maka akan meningkatkan

resiko terjadinya preeklampsia.

b) Primigravida, karena pada primigravida pembentukan antibodi

penghambat (blocking antibodies) belum sempurna sehingga

meningkatkan resiko terjadinya preeclampsia Perkembangan preklamsia

semakin meningkat pada umur kehamilan pertama dan kehamilan dengan

umur yang ekstrem, seperti terlalu muda atau terlalu tua.

c) Kegemukan

d) Kehamilan ganda. Preeklampsia lebih sering terjadi pada wanita yang

mempuyai bayi kembar atau lebih.

e) Riwayat penyakit tertentu. Wanita yang mempunyai riwayat penyakit

tertentu sebelumnya, memiliki risiko terjadinya preeklampsia. Penyakit

tersebut meliputi hipertensi kronik, diabetes, penyakit ginjal atau penyakit

degeneratif seperti reumatik arthritis atau lupus.

3. Etiologi Preeklampsia

Etiologi preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.

Banyak teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan

penyebabnya, oleh karena itu disebut ―penyakit teori‖; namun belum ada yang

memberikan jawaban yang memuaskan. Diduga faktor imunologis memegang

peranan penting yg mengakibatkan terjadinya kerusakan organ organ secara

menyeluruh.

Adapun teori-teori tersebut adalah ;

a) Peran Prostasiklin dan Tromboksan

Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel

vaskuler, sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial

plasenta berkurang, sedangkan pada kehamilan normal prostasiklin

meningkat. Sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah sehingga timbul

vasokonstrikso generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat

perubahan ini menyebabkan pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%,

hipertensi dan penurunan volume plasma (Y. Joko, 2002).

Page 8: Presus PEB Yudha

b) Peran Faktor Imunologis

Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan I karena pada kehamilan I

terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak

sempurna. Pada preeklampsia terjadi komplek imun humoral dan aktivasi

komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan

proteinuria.

c) Peran Faktor Genetik

Preeklampsia hanya terjadi pada manusia. Preeklampsia meningkat pada

anak dari ibu yang menderita preeklampsia.

d) Iskemik dari uterus.

Terjadi karena penurunan aliran darah di uterus

e) Defisiensi kalsium.

Diketahui bahwa kalsium berfungsi membantu mempertahankan

vasodilatasi dari pembuluh darah (Joanne, 2006).

f) Disfungsi dan aktivasi dari endotelial.

Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan penting dalam

patogenesis terjadinya preeklampsia. Fibronektin diketahui dilepaskan

oleh sel endotel yang mengalami kerusakan dan meningkat secara

signifikan dalam darah wanita hamil dengan preeklampsia. Kenaikan

kadar fibronektin sudah dimulai pada trimester pertama kehamilan dan

kadar fibronektin akan meningkat sesuai dengan kemajuan kehamilan

(Drajat koerniawan, ).

4. Patofisiologi Preeklampsia

Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan

patologis pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh

vasospasme dan iskemia (Cunningham, 2003). Wanita dengan hipertensi pada

kehamilan dapat mengalami peningkatan respon terhadap berbagai substansi

endogen (seperti prostaglandin, tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme

dan agregasi platelet. Penumpukan trombus dan pendarahan dapat mempengaruhi

sistem saraf pusat yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal dan

kejang. Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus dan

Page 9: Presus PEB Yudha

proteinuria. Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan nyeri

epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati. Manifestasi terhadap kardiovaskuler

meliputi penurunan volume intravaskular, meningkatnya cardiac output dan

peningkatan tahanan pembuluh perifer. Peningkatan hemolisis microangiopati

menyebabkan anemia dan trombositopeni. Infark plasenta dan obstruksi plasenta

menyebabkan pertumbuhan janin terhambat bahkan kematian janin dalam rahim

(Michael, 2005).

Keterangan :

Abs, antibodies; Ang II, angiotensin II; AT1, angiotensin II type 1 receptor;

eNOS, endothelial nitric oxide synthase; L-Arg, L-arginine; MMP2, matrix

metalloproteinase 2; MMP9, matrix metalloproteinase 9; NO, nitric oxide; O2-,

superoxide anion; OH, hydroxyl radical; PGI2, prostacyclin; sFlt1, soluble Fms-

like tyrosine kinase 1; TxA2, thromboxane A2; VEGF, vascular endothelial

growth factor.

Pre eklampsia adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan plasentasi

yang dipicu oleh karena berkurangnya aktifitas atau half-life dari nitric oxide,yang

selanjutnya dipengaruhi oleh konsentrasi L-arginine yang rendah sebagai akibat

ekspresi arinase II yang berlebihan. Rendahnya tingkat L-arginine memicu

endothelial nitric oxide synthase untuk menghasilkan jenis oksidatif yang reaktif

Page 10: Presus PEB Yudha

(contoh : peroxynitrite and hydroxyl radical) dan secara local memicu stress

oksidatif. Berkurangya aliran menuju plasenta, jalur L-arginine–nitric oxide

konsisten dengan resistensi yang lebih tinggi dan hipoperfusi sirkulasi fetal–

placental. Sebagai respon aliran darah plasenta yang mengecil dan hipoksia yang

konsekuen, plasenta melepaskan ke dalam sirkulasi maternal sejumlah factor

termasuk di dalamnya soluble Fms-like tyrosine kinase 1 and reactive oxygen

species, yang mana memulai disfungsi vascular sebagai karakteristik sindrom

maternal. Soluble Fms-like tyrosine kinase 1 berada dalam konsentrasi yang tinggi

pada wanita dengan preeklampsi dan penggunaan soluble Fms-like tyrosine kinase

1 pada hewan menghasilkan sindrom maternal yang menyerupai preeclampsia.

Dalam upaya lebih lanjut untuk memperbaiki perfusi plasenta serta organ

organ ibu yang terlibat dalam pre-eclampsia, upregulation dari reseptor B2 untuk

bradikinin vasodilator terjadi. reseptor B2 heterodimerize dengan reseptor

angiotensin II tipe 1, sehingga meningkatkan respon vaskuler dan inflamasi

menjadi angiotensin II, yang secara paradoks mengurangi perfusi organ sistemik

dan mendorong generasi spesies oksigen reaktif. produksi secara serentak dari

agonis angiotensin II tipe 1 autoantibodies reseptor juga berkontribusi terhadap

stress oksidatif. Sebuah loop umpan balik positif dimulai yang akhirnya

menghasilkan sindrom klinis full-blown pra-eklampsia.

Perubahan pada organ-organ :

a) Perubahan kardiovaskuler.

Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada

preeklampsia dan eklamsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya

berkaitan dengan peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload

jantung yang secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis

hipervolemia kehamilan atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh

larutan onkotik atau kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai

ekstravasasi ke dalam ruang ektravaskular terutama paru (Cunningham,

2003).

b) Metabolisme air dan elektrolit

Hemokonsentrasi yang menyerupai preeklampsia dan eklamsia tidak

diketahui penyebabnya. Jumlah air dan natrium dalam tubuh lebih banyak

Page 11: Presus PEB Yudha

pada penderita preeclampsia dan eklamsia daripada pada wanita hamil

biasa atau penderita dengan hipertensi kronik. Penderita preeklampsia

tidak dapat mengeluarkan dengan sempurna air dan garam yang diberikan.

Hal ini disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun, sedangkan

penyerapan kembali tubulus tidak berubah. Elektrolit, kristaloid, dan

protein tidak menunjukkan perubahan yang nyata pada preeklampsia.

Konsentrasi kalium, natrium, dan klorida dalam serum biasanya dalam

batas normal (Trijatmo, 2005 ).

c) Mata

Dapat dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah. Selain

itu dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan oleh edema intra-okuler

dan merupakan salah satu indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan.

Gejala lain yang menunjukan tanda preklamsia berat yang mengarah pada

eklamsia adalah adanya skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini

disebabkan oleh adanya perubahan preedaran darah dalam pusat

penglihatan dikorteks serebri atau didalam retina (Rustam, 1998).

d) Otak

Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia

pada korteks serebri, pada keadaan yang berlanjut dapat ditemukan

perdarahan (Trijatmo, 2005).

e) Uterus

Aliran darah ke plasenta menurun dan menyebabkan gangguan pada

plasenta, sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena

kekurangan oksigen terjadi gawat janin. Pada preeklampsia dan eklamsia

sering terjadi peningkatan tonus rahim dan kepekaan terhadap rangsangan,

sehingga terjadi partus prematur.

f) Paru-paru

Kematian ibu pada preeklampsia dan eklamsia biasanya disebabkan oleh

edema paru yang menimbulkan dekompensasi kordis. Bisa juga karena

terjadinya aspirasi pneumonia, atau abses paru (Rustam, 1998).

g) Ginjal

Page 12: Presus PEB Yudha

Pada kehamilan normal, aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus

(LFG) meningkat secara bermakna. Pada preeklampsia dan eklampsia,

perfusi ginjal dan LFG menurun. Kadar asam urat biasanya meningkat,

khususnya pada wanita dengan penyakit yang lebih berat. Penurunan LFG

akibat dari berkurangnya volume plasma kadar kreatinin darah

meningkat dua kali lipat (0,5 mg/dL). Pada beberapa kasus preeklamsia

berat, dapat terjadi peningkatan kadar kreatinin darah menjadi 2 - 3 mg/dL

.Setelah melahirkan, tanpa adanya penyakit renovaskular kronik,

pemulihan fungsi ginjal dapat terjadi.

h) Hematologik

Trombositopenia, penurunan tingkat faktor pembekuan darah plasma, dan

trauma eritrosit sehingga bentuknya menjadi aneh dan cepat mengalami

hemolisis. Trombositopenia ditambah dengan gejala peningkatan kadar

enzim hati disebut juga sebagai sindrom HELLP (Hemolysis Elevated

Liver enzyme and Low Platelet).Kekurangan faktor pembekuan darah

sangat jarang terjadi kecuali pada keadaan yang memudahkan terjadinya

koagulopati konsumtif: abruptio placentae atau perdarahan akibat infark

hati.

i). Hati

Nekrosis hemoragik periportal pada lobus hati perifer merupakan

penyebab yang paling mungkin dari peningkatan kadar enzim

serum.Perdarahan dari lesi ini dapat mengakibatkan rupture hepar atau

perdarahan tersebut dapat merembes ke bawah kapsul hati dan menjadikan

hematoma subkapsula

5 Gambaran Klinis Preeklampsia

a. Gejala subjektif

Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma,

diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-

muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat

dan merupakan petunjuk bahwa eklamsia akan timbul. Tekanan darahpun akan

Page 13: Presus PEB Yudha

meningkat lebih tinggi, edema dan proteinuria bertambah meningkat (Trijatmo,

2005).

b. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan meliputi; peningkatan

tekanan sistolik 30 mmHg dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat

lebih dari 140/90 mmHg. Tekanan darah pada preklamsia berat meningkat lebih

dari 160/110 mmHg dan disertai kerusakan beberapa organ. Selain itu kita juga

akan menemukan takikarda, takipneu, edema paru, perubahan kesadaran,

hipertensi ensefalopati, hiperefleksia, pendarahan otak (Michael,2005).

2.6 Diagnosis Preeklampsia

Diagnosis preeklampsia dapat ditegakkan dari gambaran klinik dan

pemeriksaan laboratorium. Dari hasil diagnosis, maka preeklampsia dapat

diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu;

1) Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:

a) Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau

lebih, atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu

kehamilan dengan riwayat tekanan darah normal.

Page 14: Presus PEB Yudha

b) Proteinuria kuantitatif ≥ 0,3 gr perliter atau kualitatif 1+ atau 2+ pada urine

kateter atau midsrteam.

2) Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:

a) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.

b) Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+

c) Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam.

d) Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di

epigastrium.

e) Terdapat edema paru dan sianosis

f) Trombositopeni

g) Gangguan fungsi hati

h) Pertumbuhan janin terhambat (Lanak, 2004).

2.7 Penatalaksanaan Preeklampsia Berat

Page 15: Presus PEB Yudha

Preeklamsia berat (PEB)

Pada kehamilan dengan penyulit apapun, dilakukan pengelolaan dasar sebagai

berikut:

1. Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya, yaitu medikamentosa

2. Setelah itu menentukan sikap terhadap janinnya yang tergantung umur

kehamilan

Sikap terhadap kehamilan dibagi 2, yaitu:

Page 16: Presus PEB Yudha

1. Ekpektatif atau konservatif, jika umur kehamilan <37 minggu. Artinya

kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil memberikan terapi

medikamentosa.

2. Aktif atau agresif, jika umur kehamilan ≥37 minggu,artinya kehamilan

diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu.

Pemberian terapi medikamentosa yaitu:

a. segera masuk RS

b. tirah baring miring ke kiri secara intermitten

c. infus RL atau Dextrose 5%

d. pemberian MgSO4 sebagai pencegah kejang, yaitu dengan:

-loading dose

-maintenance dose

Terapi medikamentosa pada PEB terdiri dari:

1. Magnesium Sulfat (MgSO4)

2. Obat anti hipertensi

3. Kortikosteroid berupa dexamethasone atau betamethasone untuk maturasi

paru janin

1. Magnesium Sulfat (MgSO4)

Tujuan utama pemberian MgSO4 adalah untuk mencegah dan

mengurangi kemungkinan terjadi kejang, sehingga dapat mengurangi

komplikasi pada ibu dan janin. Cara kerjanya sampai saat ini tidak

seluruhnya diketahui, diduga ia bekerja dengan beberapa mekanisme

seperti:

-mendilatasi pembuluh darah serebral sehingga mengurangi

iskemia serebri

-Mg memblok reseptor Kalsium (Ca) melalui inhibisi reseptor N-

Metil D-Aspartat (NMDA) di otak

Page 17: Presus PEB Yudha

-Mg menyebabkan vasodilatasi perifer (terutama arteriola)

sehingga menurunkan tekanan darah

-Mg secara kompetitif memblok masuknya Kalsium ke dalam

synaptic endings sehingga mengubah transmisi neuromuskular

-Efek tokolitik yang belum jelas penyebabnya, diduga akibat

hambatan kanal Kalsium sehingga menginhibisi kontraksi otot.11

Terdapat dua pilihan cara pemberian MgSO4, yaitu:11

1. Pritchard Regimen

- loading dose dengan bolus 4 gram MgSO4 secara intravena lambat

dalam 5-10 menit; diikuti dengan 10 gr intramuscular terbagi 5 gr per

area injeksi (pantat kanan-kiri)

- maintenance dose dengan penyuntikan 5 gr intramuscular tiap 4 jam

pada pantat, hungga 24 jam post partum (pada eklamsia hingga 24 jam

post last convulsion)

2. Zuspan Regimen

- loading dose dengan inisial dose sebanyak 4 gram MgSO4, diberikan

intravena lambat dalam 5-10 menit

- maintenance dose 1-2 gr MgSO4 per 1 jam, diberikan melalui infus

pump hingga 24 jam post partum partum (pada eklamsia hingga 24

jam post last convulsion)

Dapat terjadi toksisitas akibat MgSO4, dengan tanda-tanda yang

berurutan muncul sesuai tinggi kadar MgSO4 serum,yaitu:11,12

1. reflek patella yang menurun ataupun hilang

2. pernapasan <16x/ menit

3. urine output <25ml/menit

4. rasa panas di muka, bicara sulit, kesadaran menurun

Page 18: Presus PEB Yudha

5. perubahan irama jantung akibat perubahan konduksi, hingga

cardiac arrest

Anti dotum bagi toksisitas MgSO4 adalah dengan Kalsium Glukonas

larutan 10% sebanyak 1 gram, diberikan secara intravena pelan dalam 10 menit.11

2. Obat anti hipertensi9

Pada hipertensi yang berat dimana tekanan darah >160/110 mmHg,

pemberian obat anti hipertensi direkomendasikan. Tujuannya adalah untuk

menurunkan tekanan darah sehingga mencegah komplikasi

serebrovaskular dan jantung sembari menjaga sirkulasi darah

uteroplasenta. Tekanan darah dijaga dalam tekanan 140/90 mmHg. Namun

bagaimanapun obat anti hipertensi dapat menurunkan isiden komplikasi

serebrovaskular, penggunaan obat ini tidak merubah progresivitas

preeklamsia. Obat yang dapat digunakan adalah:

a. Hidralazin

Merupakan vasodilator langsung dari arteriola perifer. Dahulu obat ini

digunakan secara luas sebagai lini pertama untuk hipertensi dalam kehamilan.

Agen ini memiliki onset yang lambat dalam aksinya yaitu dalam 10-20 manit dan

puncaknya kira-kira 20 menit setelah pemberian. Hidralazin dapat diberikan

dengan dosis 5-10 mg secara bolus intravena tergantung dari beratnya hipertensi

yang terjadi. Obat ini dapat diberikan tiap 20 menit hingga dosis maksimal 30 mg.

Efek samping dari obat ini adalah adanya nyeri kepala, nausea, dan

vomitus. Efek penting yang patut diwaspadai adalah dapat menyebabkan hipotensi

maternal yang dapat diikuti perubahan denyut jantung janin. Pada studi meta-

analisis yang dilakukan Magee et al menemukan bahwa Hidralazin berhubungan

dengan outcome maternal dan perinatal yag lebih buruk dibanding penggunaan

Labetolol dan Nifedipin.

b. Labetalol

Labetalol adalah suatu selective Alpha Blocker dan non selective Beta

Blocker yang menyebabkan vasodilatasi dengan keluaran berupa penurunan

Page 19: Presus PEB Yudha

resistensi vaskular sistemik. Dosis pemberian Labetalol adalah 20mg intravena

dengan dosis ulangan tiap 10 menit (sebesar 40,80,80,80mg) hingga dosis

maksimal sebesar 300mg. Penurunan tekanan darah diobservasi setelah 5 menit

paska pemberian agen ini, dengan hasil penurunan tekanan darah yang lebih

minimal dibanding pemberian Hidralazin.

Labetalol dapat menurunkan ritme supraventrikel dan menurunkan denyut

jantung, sehingga mengurangi konsumsi oksigen miokardial, tanpa mengurangi

volume afterload jantung. Efek samping obat ini dapat menyebabkan pusing,

nyeri kepala dan mual. Jika kontrol tekanan darah telah stabil dengan pemberian

secara intravena maka obat dapat diberikan sebagai maintenance secara oral.

c. Nifedipin

Merupakan Calcium Channel Blockers yang bekerja di dalam otot polos

arteriola dan menginduksi vasodilatasi melalui blocking masuknya Kalsium ke

dalam sel. Dosis Nifedipin adalah 10mg per oral setiap 15-30 menit dengan dosis

maksimum 3 dosis pemberian. Efek sampingnya berupa takikardi, palpitasi, dan

nyeri kepala. Penggunaan secara bersamaan dengan MgSO4 perlu dihindari.

Nifedipin biasa digunakan pada masa post partum pada pasien preeklamsia untuk

kontrol tekanan darah.9

d. Sodium Nitroprusside

Pada hipertensi berat hingga emergency, jika ketiga obat di atas tidak

berhasil menurunkan tekanan darah, maka dilakukan pemberian Sodium

Nitroprusside. Nitroprusside menyebabkan pelepasan nitric oxide yang dapat

menyebabkan vasodilatasi yang signifikan. Volume preload dan afterload jantung

turun secara nyata. Onset action-nya cepat dengan kemungkinan terjadinya severe

rebound hyprtension.

3. Kortikosteroid untuk maturitas paru janin

Page 20: Presus PEB Yudha

Pemberian kortikosteroid untuk maturitas paru janin hanya diberikan pada

umur kehamilan <34 minggu. Pemberiannya dalam bentuk Dexamethasone

atau Betamethasone. Dengan dosis Dexamethasone 6mg intravena 4 dosis

interval 12jam, dan Betamethasone 12 mg intramuskular 2 dosis interval 24

jam.8

6. Pencegahan

Usaha pencegahan preeklamsia hingga saat ini hasilnya masih

mengecewakan. Beberapa trial telah dilakukan namun belum ada yang

berhasil memberikan hasil yang memuaskan.9

a. Aspirin

Pada systemaitic review dari 14 trials menggunakan low-dose

Aspirin (60-150mg/hari) pada wanita dengan faktor risiko terkena

preeklamsia menyimpulkan bahwa Aspirin dapat menurunkan risiko

terjadinya preeklamsia dan kematian perinatal meskipun tidak secara

signifikan mempengaruhi berat lahir bayi ataupun risiko terjadinya

abrupsio plasenta.

b. Heparin

Telah dilaporkan adanya adverse outcome pada penggunaan low-

molecular weight heparin pada wanita dengan trombofilia. Hingga

saat ini belum ada data yang merekomendasikan profilaksis heparin

unuk menurunkan insiden preeklamsia.

c. Suplementasi Kalsium dan vitamin

Penelitian mengenai penggunaan Kalsium, vitamin C, dan vitamin E

pada low-risk population tidak menunjukkan adanya penurunan

insiden preeklamsia. Villar et al pada penelitiannya yang

menggunakan metode multicenter randomizes controlled trial

menunjukkan bahwa suplementasi ketiga elemen tadi tidak

menurunkan kejadian preeklamsia, eklamsia, dan gestational

hypertension maupun pengaruhnya pada low birth weight, small for

gestational age, dan kematian perinatal juga tidak ada.

Page 21: Presus PEB Yudha

Walaupun preeklamsia tidak dapat dicegah secara pasti, namun kematian

karena gangguan ini dapat dicegah. Wanita yang tidak menerima asuhan prenatal

7 kali akan lebih mungkin untuk meninggal karena komplikasi preklamsia-

eklamsia dibandingkan yang menerima 7 kali asuhan prenatal.13

Antikonvulsan.

Pada kasus preeklampsia yang berat dan eklampsia, magnesium sulfat

yang diberikan secara parenteral adalah obat anti kejang yang efektif tanpa

menimbulkan depresi susunan syaraf pusat baik bagi ibu maupun janinnya. Obat

ini dapat diberikan secara intravena melalui infus kuntinu atau intramuskular

dengan injeksi intermiten.

Regimen ini digunakan oleh Pritchard & colleagues. Sebuah loading dose 4 g I/V

(biasanya dalam 20% solution) selama 5 minimal, lebih baik 10-15 menit yang

segera diikuti dengan 5 g pada 50% solution injeksi I/M dalam ke kuadran atas

luar setiap bokong. Terapi rumatan juga 5 g I/M setiap 4 jam, dilanjutkan selama

24 jam setelah injeksi terakhir.

Page 22: Presus PEB Yudha

Flow chart for intravena (I/V) magnesium sulphate regimen

Regimen intevena dipopulerkan oleh zuspan. Sebuah loading dose 4 g I/V diikuti

infusan 1 g/jam, dilanjutkan selama 24 jam dari injeksi terakhir.

Antihipertensi.

Hydralazine

Dosis permulaan : 5 mg IV atau 10 mg IM

Jika tekanan darah terkontrol, ulangi dosis permulaan sesuai kebutuhan (

biasanya setiap 3 jam : maksimal 400 mg / hari )

Jika tekanan darah tidak terkontrol dalam 20 menit,ulangi dosis permulaan

setiap 20 menit sampai dosis maksimum tercapai, atau segera dilanjutkan

ke tahap selanjutnya.

Jika tekanan darah tidak terkontrol dengan penggunaan total 20 mg IV

atau 30 mg IM, pertimbangkan obat anti hipertensi yang lainnya (labetalol,

nifedipine [Procardia], sodium nitroprusside [Nitropress]) (Wagner, 2004).

Jika hidralazin tidak tersedia, dapat diberikan:

Nifedipine dosis oral 10 mg yang diulang tiap 30 menit.

Labetalol 10 mg intravena sebagai dosis awal, jika tekanan darah tidak

membaik dalam 10 menit, maka dosis dapat ditingkatkan samapi 20 mg

intravena (Cunningham, 2003) .

Tindakan Obstetrik

1. Konservatif

Page 23: Presus PEB Yudha

Kehamilan dipertahankan, sehingga ditunggu sampai persalinan

spontan

2. Aktif :

2.1 indikasi : bila terdapat 1 atau lebih keadaan di bwh ini :

- UK ≥ 37 minggu

- terdpat gejala impending eclampsia

- tidak ada respon pengobatan (terjadi kenaikan tekana darah setelah 6

jam, tidak ada perbaikan setelah 48 jam, index gestosis > 6)

- adanya foetal compromised/F.C atau foetal distress/F.D

- adanya IUGR

- munculnya HELLP syndrome

2.2 Cara Terminasi / Pengakhiran Kehamilan

- belum dalam persalinan/BDP – induksi ; perlu dipertimbangkan

dengan bishop score dan adanya penekanan terhadap kondisi janin

(fetal well being yaitu F.C & F.D), mengingat risiko tinggi

preeclampsia/eclampsia pada ibu hamil, cenderung untuk dilakukan

bedah caesar.

- dalam persalinan/DP

+ kala I fase laten---seksio caesarea

+ kala I fase aktif---amniotomi, bila 6 jam setelah amniotomi tidak

tercapai pembukaan lengkap—seksio caesarea

+ kala II :

*ekstraksi vakum

*ekstraksi forsipa

Page 24: Presus PEB Yudha

BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas

Nama : Ny. YM

Umur : 36 tahun

HPMT :07 September 2014

HPL : 14 Juli 2015

UK : 35+3 mg

Agama : Kristen

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Perumahan Sribikan Asri

MRS : 11 Mei 2015

B. Anamnesis

Pasien datang dari poli dengan keterangan PEB, dengan umur

kehamilan 35+3 minggu, keluhan kaki bengkak sejak ± 1 bulan,

kenceng kenceng belum dirasakan, air ketuban belum merembes,

lender darah tidak ada, gerak janin terasa. Mual, muntah, pusing,

pandangan kabur, nyeri ulu hati tidak dirasakan.

C. Riwayat ANC

ANC dilakukan sebanyak 10x di puskesmas dan rumah sakit

D. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat asma, diabetes, hipertensi dan penyakit jantung disangkal.

E. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit dengan keluhan

yang sama. Riwayat penyakit asma, diabetes, hipertensi, penyakit

jantung disangkal.

F. Riwayat Haid

Menarche : 12 tahun

Lama haid : 7 hari

Siklus haid : 30 hari

Page 25: Presus PEB Yudha

G. Riwayat KB

Riwayat KB (-)

H. Riwayat perkawinan

Menikah satu kali dengan suami yang sekarang

I. Riwayat obstetric

I. 2014, IUFD, umur kehamilan 6 bulan

II. Hamil ini

J. Pemeriksaan fisik

1. STATUS GENERALISATA

a) Keadaan umum : Baik

b) Kesadaran : Compos Mentis

c) Vital Sign : TD = 220/130 mmHg, N = 92 x/menit,

: RR = 22 x/menit, t = 36,5° C

d) Tinggi Badan : 158 cm

e) Berat Badan : 123 kg

f) BMI : 49

g) Kulit : Turgor dan elastis baik

h) Kepala : Mesochepal

i) Mata : Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak

ikterik

j) Telinga : Tidak ada secret, tidak ada perdarahan

k) Hidung : Tidak ada secret, tidak ada perdarahan

l) Mulut :Bibir tidak sianosis, lidah tidak kotor, lidah

tidak tremor

m) Leher :JVP tidak meningkat, tidak ada

pemebesaran kelenjar,tiroid tidak ada

pembesaran getah bening

n) Dada : Simetris, tidak ada ketinggalan gerak

Jantung = S1 dan S2 tunggal, regular, tidak

ada bising

Paru = Suara dasar vesikuler, suara

tambahan tidak ada

Page 26: Presus PEB Yudha

o) Perut : Membesar sesuai dengan umur kehamilan

TFU 39 cm

p) Anggota Gerak : Akral hangat, edema kedua tungkai kaki

2. STATUS OBSTETRI

a) Inspeksi perut membesar, membujur sesuai masa kehamilan.

b) Palpasi

Leopold I : Teraba bagian bulat, keras,, jumlah 1, TFU 39 cm.

Leopold II : Kanan → Teraba bagaian-bagian kecil janin

Kiri → Teraba bagian panjang janin

Leopold III : Teraba bagian besar, bulat, lunak, belum masuk

panggul, teraba 5/5 bagian

Leopold IV : Belum masuk panggul

His : Negatif, DJJ = 132 x/menit, TFU : 39 cm

c) Pemeriksaan Dalam :

v/u tenang, diding vagina licin, servix tebal, lunak, VT tidak ada

pembukaan, STLD (-), selaput ketuban (-), air ketuban (-)

K. Pemeriksaan penunjang

Pemerikssan Laboratorium

Tanggal 11 / 5 / 2015

Hb : 12,3

AL : 11,12

AT : 232

HMT : 37,8

Gol. darah : O

PPT : 13,9

APTT : 33,1

Protein total : 5,34

Albumin : 2,48

Globulin : 2,86

Gds : 80

Ureum : 24

Kreatinin : 0,61

SGOT : 15

SGPT : 9

Natrium : 141

Kalium : 3,40

Chloride : 109,0

HbsAg : -

Proteinuria : ++++

L. Diagnosis

Page 27: Presus PEB Yudha

PEB, sekundigravida, presbo, hamil pre term, belum dalam persalinan

M. Penatalaksanaan

O2 3 lpm

Infus RL

Injeksi MgSO4 40% 4gr bolus intravena lambat, dilanjutkan MgSO4

1gr/jam sampai 24 jam

Nifedipin 3 x 10 mg

Metildopa 3 x 250 mg

Pasang cateter

Observasi vital sign

Observasi HIS dan DJJ

Terminasi kehamilan dengan seksio caesarea elektif

12/05/15

Telah dilakukan SC + IUD a/i PEB, presbo P2A0Ah1, bayi lahir perabdominal

JK: perempuan, BB 2500 gram, PB: 46 cm, LK: 32, LD: 28 cm, LLA: 10 cm A/S:

3/5

A: Post SC + IUD a/i PEB, Presbo P2A0Ah1 H-0

P: inj. Cefotaxime 1 gr / 12 jam

Inj. Ketorolac 30 mg / 8 jam

Inj. MgSO4 1 gr/jam mulai 6 jam post op sampai dengan 24 jam

Cek HB 6 jam post op

Mobilisasi bertahap

Makan minum bertahap

13/05/15

S: ASI (-), Nyeri luka operasi (+), ASI (-), pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-),

pusing (-)

O: KU sedang

TD: 170/100 mmHg Nadi: 80 x/menit

Suhu: 36,5 RR: 20 x/menit

A: Post SC + IUD a/i PEB, Presbo P2A0Ah1 H-1

Page 28: Presus PEB Yudha

P: inj. Cefotaxime 1 gr / 12jam

Inj. Ketorolac 30 mg / 8jam

Konsul UPD

14/05/15

S: ASI (+),keluhan (-)

O: KU sedang

TD: 150/90 mmHg Nadi: 88 x/menit

Suhu: 36,5 RR: 22 x/menit

A: Post SC + IUD a/i PEB, Presbo P2A0Ah1 H-2

P: inj. Cefotaxime 1 gr / 12jam

Inj. Ketorolac 30 mg / 8jam

Dopamet 2x250 mg

Captoril 3x25 mg

15/06/15

S: ASI (+) keluhan (-) mobilisasi (+)

O: KU sedang

TD: 140/90 mmHg Nadi: 82 x/menit

Suhu: 36,7 RR: 20 x/menit

A: Post SC + IUD a/i PEB, Presbo P2A0Ah1 H-3

P: cefadroxil 2x500 mg

Asam mefenamat 3x500 mg

Dopamet 2x250 mg

Captopril 3x25 mg

Cek proteinuria

16/05/15

S: ASI (+) keluhan (-) mobilisasi (+)

O: KU sedang, protein +1

TD: 140/90 mmHg Nadi: 90 x/menit

Suhu: 36,4 RR: 22 x/menit

Page 29: Presus PEB Yudha

A: Post SC + IUD a/i PEB, Presbo P2A0Ah1 H-4

P: cefadroxil 2x500 mg

Asam mefenamat 3x500 mg

Dopamet 2x250 mg

Captopril 3x25 mg

BLPL

Page 30: Presus PEB Yudha

BAB IV

PEMBAHASAN

Preeklampsia berat adalah timbulnya hipertensi ≥ 160/110 mmHg disertai

proteinuria pada kehamilan setelah 20 minggu. Pada kasus ini ibu dikatakan

mengalami preeklampsia berat karena mengalami hipertensi, yaitu tekanan

darahnya sebesar 220/130 mmHg dan disertai proteinuria +4. Ibu mengalami

edema kedua tungkai kaki dan oliguria. Dalam kasus ini ibu hamil kurang bulan.

Hipertensi terjadi sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tahanan perifer agar

oksigenasi jaringan dapat tercukupi. Proteinuria terjadi karena pada preeclampsia

permeabilitas pembuluh darah terhadap protein meningkat. Edema terjadi karena

terjadi penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang interstitial.

Terapi preeklampsia berat menggunakan injeksi MgSO4 40% 4 gram

bolus IV secara lambat, dilanjutkan 1gr/jam sampai 24 jam. Pemberian Nifedipin

3x 10 mg dan Metildopa 3 x 250 mg peroral juga efektif pada pasien ini.

Pemasangan cateter tinggal untuk menilai pengeluaran urine.

Pada pasien ini dilakukan terminasi aktif dengan cara secsio caesarea.

Penulis sependapat karena mempertimbangkan usia kehamilan 35+3 minggu yang

sudah mendekati aterm. Secsio caesarea dipilih karena selain efeknya minimal

untuk penderita preeclampsia, juga karena pada psien ini presentasi bokong,

sehingga tidak direkomendasikan untuk melakukan terminasi aktif dengan cara

mekanik maupun medikamentosa.

Usaha pencegahan preeklamsia hingga saat ini hasilnya masih

mengecewakan. Aspirin dapat menurunkan risiko terjadinya preeklamsia dan

kematian perinatal meskipun tidak secara signifikan mempengaruhi berat lahir

bayi ataupun risiko terjadinya abrupsio plasenta

Page 31: Presus PEB Yudha

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, (2005, 07 April), Make Every Mother and Child Count, Available from:

http://pikas.bkkbn.go.id/news_detail.php?nid=4356 (Accesed: 2008,

November 20).

Anonim., (2006, october 31 – Last updated), About Preeclampsia, Available from:

http://www.preeklamsia.org/abaut.asp. (Accesed: 2008, November 20)

Anonim, (2006, August), Preeclampsia, Eclampsia, and HELLP Syndrome,

Available from : http://www.marchofdimes.com/pnhec/188 1054.asp.

(Accesed: 2008, November 20)

Anonim, (2007, January 24), Preeclampsia, Available from :

htttp://www.mayoclinic.com/health/preeclamsia/DS00583/DSECTION=4

(Accesed: 2008, November 20)

Brooks, B.M., (2005, January 05 – Last update), Pregnancy, Preeclampsia,

Available from : http://www.emedicine.com/emerg/topic480.htm

(Accesed: 2008, November 20)

Cunningham, F.G. et all, 2003, Williams Obstetrics, 21st ed, McGraw-Hill

Companies.

Mochtar, R., 1998, Toksemia Gravidarum, dalam: Sinopsis Obstetri, Jilid I edisi

II, EGC,Jakarta.

Musalli,G. & Linden, A. (2007), Preeclampsia, Available from:

http://www.babycenter.com/refcap/pregnancy/pregcomplications/257.html

#5.(Accesed: 2008, November 20).

Rachimhadhi, T., 2005, pereklamsia dan Eklamsia, dalam: buku Ilmu Kebidanan,

Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta.

Saifuddin, B. A., 2001, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan

Neonatal, JNNPKKR-POGI bekerjasama dengan Yayasan bina pustaka sarwono

prawirohardjo, Jakarta.

Page 32: Presus PEB Yudha

Sudinaya I.P., 2003, Insiden Preeklamsia-Eklamsia di Rumah Sakit Umum

Tarakan Kalimantan Timur-Tahun 2000, Cermin Dunia Kedokteran, 139,

13-15.

Surjadi, M.L. dkk, 1999, Perbandingan Rasio Ekskresi Kalsium/Kreatinin Dalam

Urin Antara Penderita Preeklamsia Dan Kehamilan Normal, Majalah

Obstetri Dan Ginekologi Indonesia, 23, 23-26.

Suyono, Y.J., 2002, Dasar-Dasar Obstetri & Ginekologi, edisi 6, Hipokrates,

Jakarta

Tomasulo, P.J. & Lubetkin, D., (2006, March 15 – Review date), Preeclamsia,

Available from :

http://www.obgyn.health.ivillage.com/pregnancybacics/preeclamsia.cmf.

Wagner, L., (2004), Diagnosis And Management Of Preeclampsia, Available:

http://www.aafp.org/afp/20041215/2317.html. (Accesed: 2008, November

20)

Wahdi. Dkk, 2000. Kematian Maternal Di RSUP Dr. Kariadi Semarang Tahun

1996-1998, Majalah Obstetri Dan Ginekologi Indonesia, 24, 165-170.