Presus Ards Fix

44
TUGAS PRESENTASI KASUS ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROM (ARDS)” Tutor: dr. Ariadne Sp.A Disusun Oleh: Kelompok E2 Nurvita Pranasari G1A010054 Febrilia Mutiara Sari G1A010056 Indra Jati Laksana G1A010057 Rahmat Vanadi N. G1A010058 JURUSAN KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

description

ards

Transcript of Presus Ards Fix

Page 1: Presus Ards Fix

TUGAS PRESENTASI KASUS

“ ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROM (ARDS)”

Tutor:

dr. Ariadne Sp.A

Disusun Oleh:

Kelompok E2

Nurvita Pranasari G1A010054

Febrilia Mutiara Sari G1A010056

Indra Jati Laksana G1A010057

Rahmat Vanadi N. G1A010058

JURUSAN KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2013

Page 2: Presus Ards Fix

I. PENDAHULUAN

Gagal nafas (respiratory failure) dan distress nafas (respiratory distress)

merupakan diagnosis yang ditegakkan secara klinis dimana sistem pernafasan

tidak mampu untuk melakukan pertukaran gas secara normal tanpa bantuan.

Terminologi respiratory distress digunakan untuk menunjukkan bahwa pasien

masih dapat menggunakan mekanisme kompensasi untuk mengembalikan

pertukaran gas yang adekuat, sedangkan respiratory failure merupakan keadaan

klinis yang lanjut akibat kegagalan mekanisme kompensasi dalam

mempertahankan pertukaran gas atau tercukupinya aliran oksigen (Wratney,

2006).

Pada suatu penelitian epidemiologi gagal nafas di Amerika Serikat,

insidensi gagal napas di Amerika adalah 18 per 1000 kelahiran hidup. Meskipun

insidensinya lebih tinggi pada bayi dengan berat badan lahir rendah, sepertiga

kasus terjadi pada bayi dengan berat badan normal. Insidensi tertinggi terdapat

pada ras kulit hitam dan sangat berhubungan dengan kemiskinan (Angus et al.,

2001).

Di Indonesia, sepertiga dari kematian bayi terjadi pada bulan pertama

setelah kelahiran, dan 80% di antaranya terjadi pada minggu pertama dengan

penyebab utama kematian di antaranya adalah infeksi pernafasan akut dan

komplikasi perinatal. Pada suatu studi kematian neonatal di daerah Cirebon tahun

2006 disebutkan pola penyakit kematian neonatal 50% disebabkan oleh gangguan

pernapasan meliputi asfiksia bayi baru lahir 38%, respiratory distress 4%, dan

aspirasi 8% (Bappenas, 2010; Depkes, 2006). Meskipun angka-angka tersebut

masih tinggi, Indonesia sebenarnya telah mencapai tujuan keempat dari MDG,

yaitu mengurangi tingkat kematian anak. Dengan pencegahan dan

penatalaksanaan yang tepat, serta sistem rujukan yang baik, kematian neonatus

khususnya akibat gangguan pernafasan diharapkan dapat terus berkurang

(Bappenas, 2010).

Page 3: Presus Ards Fix

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Gagal nafas (respiratory failure) dan distress nafas (respiratory distress)

merupakan diagnosis yang ditegakkan secara klinis dimana sistem pernafasan

tidak mampu untuk melakukan pertukaran gas secara normal tanpa bantuan.

Terminologi respiratory distress digunakan untuk menunjukkan bahwa pasien

masih dapat menggunakan mekanisme kompensasi untuk mengembalikan

pertukaran gas yang adekuat, sedangkan respiratory failure merupakan

keadaan klinis yang lanjut akibat kegagalan mekanisme kompensasi dalam

mempertahankan pertukaran gas atau tercukupinya aliran oksigen (Wratney,

2006).

Gagal nafas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam memenuhi

kebutuhan pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara udara dan darah,

sehingga terjadi gangguan dalam asupan oksigen dan ekskresi karbondioksida,

keadaan ini ditandai dengan abnormalitas nilai PO2 dan PCO2. Gagal nafas

dapat disebabkan oleh penyakit paru yang melibatkan jalan nafas, alveolus,

sirkulasi paru atau kombinasi ketiganya. Gagal nafas juga dapat disebabkan

oleh gangguan fungsi otot pernafasan, gangguan neuromuskular dan gangguan

sistem saraf pusat (Levy, 2005 ; Kumar 2005).

B. Etiologi dan Faktor risiko

Bayi khususnya neonatus rentan terhadap kejadian gagal nafas akibat: (1)

ukuran jalan nafas yang kecil dan resistensi yang besar terhadap aliran udara,

(2) compliance paru yang lebih besar, (3) otot pernafasan dan diafragma

cenderung yang lebih mudah lelah , serta (4) predisposisi terjadinya apnea yang

lebih besar (Wratney, 2006).

Gagal nafas pada neonatus dapat disebabkan oleh hipoplasia paru

(disertai hernia diafragma kongenital), infeksi, aspirasi mekoneum, dan

persistent pulmonary hypertension (Allen, 2009). Secara umum, etiologi

gagal nafas pada neonatus ditunjukkan pada tabel 1.

Page 4: Presus Ards Fix

Tabel 1. Etiologi gagal nafas pada neonatus

Paru-paru Aspirasi, pneumonia, transient tachypnea of the newborn,

persistent pulmonary hypertension, pneumotoraks, perdarahan

paru, edema paru, displasia bronkopulmonal, hernia

diafragma, tumor, efusi pleura, emfisema lobaris kongenital

Jalan nafas Laringomalasia, trakeomalasia, atresia/stenosis choana, Pierre

Robin Syndrome, tumor dan kista

Otot-otot respirasi Paralisis nervus frenikus, trauma medulla spinalis, miasthenia

gravis

Sistem saraf pusat (SSP) Apnea of prematurity, obat: sedatif, analgesik, magnesium;

kejang, asfiksia, hipoksik ensefalopati, perdarahan SSP

Lain-lain Penyakit jantung bawaan tipe sianotik, gagal jantung

kongestif, anemia/polisitemia, tetanus neonatorum,

immaturitas, syok, sepsis

Faktor resiko utama gagal nafas pada neonatus adalah prematuritas, bayi

berat badan lahir rendah, dan penelitian menunjukkan kejadiannya lebih

banyak terjadi pada golongan sosio ekonomi yang rendah (Qian et al., 2008).

C. Epidemiologi

Gagal nafas pada neonatus merupakan masalah klinis yang sangat serius,

yang berhubungan dengan tingginya morbiditas, mortalitas dan biaya

perawatan. Faktor resiko utama gagal nafas pada neonatus adalah prematuritas,

bayi berat badan lahir rendah, dan penelitian menunjukkan kejadiannya lebih

banyak terjadi pada golongan sosioekonomi rendah (Angus et al., 2001; Qian

et al., 2008).

Pada suatu penelitian epidemiologi gagal nafas di Amerika Serikat,

insidensi gagal napas di Amerika adalah 18 per 1000 kelahiran hidup.

Meskipun insidensinya lebih tinggi pada bayi dengan berat badan lahir rendah,

sepertiga kasus terjadi pada bayi dengan berat badan normal. Insidensi tertinggi

Page 5: Presus Ards Fix

terdapat pada ras kulit hitam dan sangat berhubungan dengan kemiskinan

(Angus et al., 2001).

Di Indonesia, sepertiga dari kematian bayi terjadi pada bulan pertama

setelah kelahiran, dan 80% di antaranya terjadi pada minggu pertama dengan

penyebab utama kematian di antaranya adalah infeksi pernafasan akut dan

komplikasi perinatal. Pada suatu studi kematian neonatal di daerah Cirebon

tahun 2006 disebutkan pola penyakit kematian neonatal 50% disebabkan oleh

gangguan pernapasan meliputi asfiksia bayi baru lahir 38%, respiratory

distress 4%, dan aspirasi 8% (Bappenas, 2010; Depkes, 2006). Meskipun

angka-angka tersebut masih tinggi, Indonesia sebenarnya telah mencapai

tujuan keempat dari MDG, yaitu mengurangi tingkat kematian anak. Dengan

pencegahan dan penatalaksanaan yang tepat, serta sistem rujukan yang baik,

kematian neonatus khususnya akibat gangguan pernafasan diharapkan dapat

terus berkurang (Bappenas, 2010).

D. Patomekanisme

ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada membran alveolar

kapiler yang mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang interstisiel

alveolar dan perubahan dalam jaring-jaring kapiler, terdapat

ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang jelas akibat kerusakan pertukaran

gas dan pengalihan ekstansif darah dalam paru-paru. ARDS menyebabkan

penurunan dalam pembentukan surfaktan, yang mengarah pada kolaps alveolar.

Komplians paru menjadi sangat menurun atau paru-paru menjadi kaku

akibatnya adalah penurunan karakteristik dalam kapasitas residual fungsional,

hipoksia berat dan hipokapnia (Brunner, 2002).

Page 6: Presus Ards Fix

Ada 3 fase dalam patogenesis ARDS:

1. Fase Eksudatif

Fase permulaan, dengancedera pada endotheliumdan epitelium, inflamasi,

daneksudasicairan. Terjadi 2-4 hari sejak serangan akut.

2. Fase Proliferatif

Terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks dan proliferasi

fibroblast, sel tipe II, dan miofibroblast, menyebabkan penebalan dinding

alveolus dan perubahan eksudat perdarahan menjadi jaringan granulasi

seluler/membran hialin. Fase proliferatif merupakan fase menentukan yaitu

cedera bisa mulai sembuh atau menjadi menetap, ada resiko terjadi lung

rupture (pneumothorax).

Page 7: Presus Ards Fix

3. Fase Fibrotik/Recovery

Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan mengalami remodeling dan

fibrosis. Fungsi paru berangsurangsur membaik dalam waktu 6 – 12 bulan, dan

sangat bervariasi antar individu, tergantung keparahan cederanya.

ARDS biasanya terjadi pada individu yang sudah pernah mengalami

trauma fisik, meskipun dapat juga terjadi pada individu yang terlihat sangat

sehat segera sebelum awitan, misalnya awitan mendadak seperti infeksi akut.

Biasanya terdapat periode laten sekitar 18-24 jam dari waktu cedera paru

sampai berkembang menjadi gejala. Durasi sindrom dapat dapat beragam dari

beberapa hari sampai beberapa minggu. Pasien yang tampak sehat akan pulih

dari ARDS. Sedangkan secara mendadak relaps kedalam penyakit pulmonary

akut akibat serangan sekunder seperti pneumotorak atau infeksi berat.

Sebenarnya sistim vaskuler paru sanggup menampung penambahan

volume darah sampai 3 kali normalnya, namun pada tekanan tertentu, cairan

bocor keluar masuk ke jaringan interstisiel dan terjadi edema paru.

E. Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis:

Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) ditandai oleh

perkembangan dyspnea akut dan hipoksemia dalam waktu jam dan beberapa

hati, seperti trauma, sepsis, overdosis obat, transfusi masif, pankreatitis akut,

atau aspirasi. Dalam banyak kasus, hal menghasut jelas, tetapi, pada orang

lain (misalnya, obat overdosis), mungkin lebih sulit untuk mengidentifikasi.

Sindroma gawat pernafasan akut terjadi dalam waktu 24-48 jam

setelah kelainan dasarnya. Di awali penderita akan merasakan sesak nafas,

dan bisanya berupa pernafasan yang cepat dan dangkal. Karena rendahnya

kadar oksigen dalam darah, kulit terlihat pucat atau biru, dan organ lain

seperti jantung dan otak akan mengalami kelainan fungsi. Hilangnya

oksigen karena sindroma ini dapat menyebabkan komplikasi dari organ lain

segera setelah sindroma terjadi atau beberapa hari/minggu kemudian bila

keadaan penderita tidak membaik. Kehilangan oksigen yang berlangsung

lama bisa menyebabkan komplikasi serius seperti gagal ginjal. Tanpa

Page 8: Presus Ards Fix

pengobatan yang tepat, 90% kasus berakhir dengan kematian. Bila

pengobatan yang diberikan sesuai, 50% penderita akan selamat. Karena

penderita kurang mampu melawan infeksi, mereka biasanya

menderitapneumonia bakterial dalam perjalanan penyakitnya. Gejala

lainnya yang mungkin ditemukan:

a. Cemas, merasa ajalnya hampir tiba

b. Tekanan darah rendah atau syok (tekanan darah rendah disertai oleh

kegagalan organ lain)

c. Penderita seringkali tidak mampu mengeluhkan gejalanya karena tampak

sangat sakit.

Pasien dalam perjalanan penyakitnya menjadi ARDS, sering disertai

dengan kegagalan multisistem organ, dan mereka mungkin tidak mampu

memberikan informasi historis. Biasanya, penyakit berkembang dalam 12-

48 jam setelah kejadian menghasut, meskipun, dalam kasus yang jarang,

mungkin diperlukan waktu hingga beberapa hari.

Dengan terjadinya cedera paru-paru, pasien awalnya dicatat dyspnea

dengan pengerahan tenaga. Hal ini dengan cepat berkembang menjadi

dispnea berat saat istirahat, takipnea, gelisah, agitasi, dan kebutuhan untuk

konsentrasi semakin tinggi oksigen terinspirasi (Djojodibroto, 2009).

2. Pemeriksaan fisik

Temuan fisik sering tidak spesifik dan termasuk takipnea, takikardia,

dan kebutuhan untuk sebagian kecil tinggi oksigen terinspirasi (FiO2) untuk

mempertahankan saturasi oksigen. Pasien mungkin demam atau hipotermia.

Karena ARDS sering terjadi dalam konteks sepsis, hipotensi terkait dan

vasokonstriksi perifer dengan ekstremitas dingin mungkin ada. Sianosis

pada bibir dan kuku tempat tidur dapat terjadi. Pemeriksaan paru-paru dapat

mengungkapkan rales bilateral. Rales mungkin tidak hadir meskipun

keterlibatan luas. Karena pasien sering diintubasi dan ventilasi mekanik,

bunyi nafas menurun lebih dari 1 paru-paru dapat menunjukkan

pneumotoraks atau tabung endotrakeal turun bronkus utama kanan.

Page 9: Presus Ards Fix

Manifestasi dari penyebab yang mendasari misalnya, temuan perut

akut dalam kasus ARDS disebabkan oleh pankreatitis. Pada pasien septik

tanpa sumber yang jelas, perhatikan selama pemeriksaan fisik untuk

mengidentifikasi penyebab potensial dari sepsis, termasuk tanda-tanda

konsolidasi paru-paru atau temuan konsisten dengan abdomen akut. Hati-

hati memeriksa situs garis intravaskuler, luka bedah, situs tiriskan, dan ulkus

dekubitus untuk bukti infeksi. Periksa subkutan udara, manifestasi infeksi

atau barotrauma. Karena edema paru kardiogenik harus dibedakan dari

ARDS, hati-hati mencari tanda-tanda gagal jantung kongestif atau kelebihan

beban volume intravaskular, termasuk distensi vena jugularis, murmur

jantung dan gallop, hepatomegali, dan edema. (Djojodibroto, 2009)

3. Pemeriksaan Laboratorium

Dalam ARDS, jika tekanan parsial oksigen dalam darah arteri pasien

(PaO2) dibagi oleh fraksi oksigen dalam udara inspirasi (FiO2), hasilnya

adalah 200 atau kurang. Untuk pasien bernafas oksigen 100%, ini berarti

bahwa PaO2 kurang dari 200. Pada cedera paru akut (ALI), rasio

PaO2/FIO2 kurang dari 300.Selain hipoksemia, gas darah arteri sering

awalnya menunjukkan alkalosis pernapasan. Namun, dalam ARDS terjadi

dalam konteks sepsis, asidosis metabolik dengan atau tanpa kompensasi

pernapasan mungkin ada.

Saat kondisi berlangsung dan pekerjaan peningkatan pernapasan,

tekanan parsial karbon dioksida (PCO2) mulai meningkat dan alkalosis

pernapasan memberikan cara untuk asidosis pernafasan. Pasien pada

ventilasi mekanik untuk ARDS mungkin diperbolehkan untuk tetap

hiperkapnia (hiperkapnia permisif) untuk mencapai tujuan dari volume tidal

rendah dan terbatas dataran tinggi strategi ventilator tekanan yang bertujuan

untuk membatasi ventilator terkait cedera paru-paru.

Untuk mengecualikan edema paru kardiogenik, mungkin akan

membantu untuk mendapatkan plasma B-type natriuretic peptide (BNP)

nilai dan ekokardiogram. Tingkat BNP kurang dari 100 pg / mL pada pasien

dengan infiltrat bilateral dan hipoksemia nikmat diagnosis ARDS / cedera

Page 10: Presus Ards Fix

paru akut (ALI) daripada edema paru kardiogenik. Echocardiogram yang

menyediakan informasi tentang fraksi ejeksi ventrikel kiri, gerakan dinding,

dan kelainan katup.

Kelainan lain yang diamati pada ARDS tergantung pada penyebab

atau komplikasi yang terkait dan mungkin termasuk yang berikut:(Behrman

et al., 1999)

a. Hematologi

b. Pada pasien septik, leukopenia atau leukositosis dapat dicatat.

Trombositopenia dapat diamati pada pasien sepsis dengan adanya

koagulasi intravaskular diseminata (DIC). Von Willebrand Factor (vWF)

dapat meningkat pada pasien berisiko untuk ARDS dan dapat menjadi

penanda cedera endotel.

c. Ginjal – nekrosis tubular akut (ATN) sering terjadi kemudian dalam

perjalanan ARDS, mungkin dari iskemia ke ginjal. Fungsi ginjal harus

dimonitor secara seksama.

d. Hati - hati kelainan fungsi dapat dicatat baik dalam pola cedera

hepatoseluler atau kolestasis.

e. Sitokin – sitokin Beberapa, seperti interleukin (IL) -1, IL-6, dan IL-8,

yang meningkat dalam serum pasien pada risiko ARDS.

Page 11: Presus Ards Fix

4. Pemeriksaan Penunjang

a. Radiografi

ARDS didefinisikan oleh adanya infiltrat paru bilateral. Para

infiltrat mungkin menyebar dan simetris atau asimetris, terutama jika

dilapiskan di atas sudah ada sebelumnya penyakit paru-paru atau jika

penghinaan menyebabkan ARDS adalah proses paru, seperti aspirasi atau

memar paru-paru.

Para infiltrat paru biasanya berkembang dengan cepat, dengan

tingkat keparahan maksimal dalam 3 hari pertama. Infiltrat dapat terlihat

pada radiografi dada segera setelah timbulnya kelainan pertukaran gas.

Mereka mungkin interstisial, ditandai dengan pengisian alveolar, atau

keduanya.

Awalnya, infiltrat mungkin memiliki distribusi perifer merata, tapi

segera mereka maju untuk meredakan keterlibatan bilateral dengan

perubahan kaca tanah atau alveolar jujur infiltrat (lihat gambar di bawah).

Anteroposterior rontgen dada portabel pada pasien yang telah di

kegagalan pernafasan selama 1 minggu dengan diagnosis sindrom

gangguan pernapasan akut. Gambar menunjukkan tabung endotrakeal,

meninggalkan subklavia pusat vena kateter pada vena kava superior, dan

kekeruhan merata bilateral di zona paru-paru sebagian besar menengah

ke bawah. Korelasi antara temuan radiografi dan beratnya hipoksemia

sangat bervariasi. Selain itu, diuresis cenderung meningkatkan infiltrat

dan volume overload cenderung memburuk mereka, terlepas dari

perbaikan atau memburuk di ARDS mendasarinya.

Untuk pasien yang mulai membaik dan menunjukkan tanda-tanda

resolusi, perbaikan dalam kelainan radiografi umumnya terjadi selama

10-14 hari (Djojodibroto, 2009).

Page 12: Presus Ards Fix

b. Computed Tomography

Secara umum, evaluasi klinis dan radiografi dada yang cukup rutin

pada pasien dengan ARDS. Namun, computed tomography (CT)

scanning dapat diindikasikan dalam beberapa situasi. CT scan lebih

sensitif dibandingkan radiografi dada polos dalam mendeteksi emfisema

interstisial paru, pneumotoraks dan pneumomediastinum, efusi pleura,

kavitasi, dan limfadenopati mediastinum. Heterogenitas keterlibatan

alveolar sering terlihat pada CT scan bahkan di hadapan infiltrat difus

homogen pada radiograf dada rutin.

Dalam beberapa kasus, penemuan patologi paru tak terduga, seperti

pneumotoraks, mungkin menyelamatkan nyawa. Namun, ini potensi

manfaat harus dipertimbangkan terhadap risiko yang terkait dengan

mengangkut pasien sakit kritis pada intensitas tinggi ventilasi mekanis

keluar dari unit perawatan intensif (ICU) dengan peralatan CT scan

(Djojodibroto, 2009).

c. Echocardiography

Sebagai bagian dari pemeriksaan, pasien dengan ARDS harus

menjalani ekokardiografi 2-dimensi untuk tujuan skrining. Jika temuan

ini sugestif shunting paten foramen ovale, 2-dimensi ekokardiografi

harus ditindaklanjuti dengan transesophageal echocardiography.

Karena pasien dengan ARDS parah sering membutuhkan posisi

rentan berkepanjangan karena hipoksemia refraktori, sebuah studi dinilai

penggunaan transesophageal echocardiography (TEE) pada pasien dalam

posisi rawan. Penelitian menetapkan bahwa TEE dapat dengan aman dan

efisien dilakukan pada pasien dengan ARDS parah dalam posisi rawan

(Mekontso, 2011).

d. Pemantauan hemodinamik invasif

Karena diagnosis diferensial dari ARDS meliputi edema paru

kardiogenik, pemantauan hemodinamik dengan arteri pulmonalis (Swan-

Page 13: Presus Ards Fix

Ganz) kateter mungkin dapat membantu dalam kasus-kasus yang dipilih

untuk membedakan dari edema paru kardiogenik noncardiogenic.

Kateter arteri paru melayang melalui introducer yang dipasang di

pembuluh darah sentral, biasanya vena jugularis atau subklavia kanan

internal. Dengan balon digelembungkan, kateter maju dengan

pemantauan tekanan berkelanjutan. Hal ini memungkinkan pengukuran

tekanan atrium kanan, tekanan ventrikel kanan, tekanan arteri

pulmonalis, dan arteri tekanan oklusi paru (PAOP).

Dengan kateter dalam posisi benar, PAOP mencerminkan tekanan

mengisi di sisi kiri jantung dan secara tidak langsung, status volume

intravaskular. PAOP A lebih rendah dari 18 mm Hg biasanya konsisten

dengan edema paru noncardiogenic, meskipun faktor-faktor lain, seperti

tekanan onkotik plasma rendah, memungkinkan edema paru kardiogenik

terjadi pada tekanan lebih rendah.

Kateter arteri paru-paru juga menyediakan informasi lainnya yang

dapat membantu baik dalam diagnosis diferensial dan pengobatan pasien

tersebut. Sebagai contoh, perhitungan resistensi pembuluh darah sistemik

berdasarkan keluaran thermodilution jantung, tekanan atrium kanan, dan

rata-rata tekanan arteri dapat memberikan dukungan untuk kecurigaan

klinis dari sepsis.

Saturasi oksigen vena campuran untuk memungkinkan perhitungan

shunt dan pengiriman oksigen digunakan oleh beberapa untuk

menyesuaikan parameter ventilator dan dukungan vasoaktif. Saturasi

oksigen vena campuran juga digunakan dalam tujuan-diarahkan terapi

untuk sepsis.

Karena menghindari cairan yang berlebihan mungkin bermanfaat

dalam pengelolaan ARDS, penggunaan kateter vena sentral atau kateter

arteri paru dapat memfasilitasi manajemen cairan yang tepat dalam

pasien yang menilai status volume intravaskular berdasarkan gejala klinis

mungkin sulit atau tidak mungkin. Hal ini mungkin sangat berguna pada

pasien yang hipotensi atau mereka dengan gagal ginjal terkait.

Page 14: Presus Ards Fix

Meskipun kateter arteri paru-paru memberikan informasi yang

cukup, penggunaannya bukan tanpa kontroversi. Para ARDS Clinical

Trials Jaringan mempelajari apakah perbedaan angka kematian dapat

ditemukan pada pasien ARDS yang cairan manajemen dipandu oleh

kateter arteri paru-paru dibandingkan dengan kateter vena sentral setelah

resusitasi awal. Penelitian ini tidak menemukan perbedaan dalam

kematian, hari ventilator, ICU hari , atau perlu untuk pressors atau

dialisis. Kelompok kateter arteri paru-paru memiliki dua kali lebih

banyak kateter terkait komplikasi, terutama aritmia.

Studi lain retrospektif besar pasien kritis dipantau dengan kateter

arteri paru-paru dalam 24 jam pertama masuk ICU menunjukkan bahwa

pasien dengan kateter arteri paru-paru memiliki tingkat kematian

meningkat, biaya rumah sakit, dan lama tinggal dibandingkan dengan

kelompok pasien secara retrospektif. Penggunaan kateter arteri

pulmonalis masa lalu saat resusitasi awal tidak bermanfaat kelangsungan

hidup dan mungkin memiliki efek buruk pada kelangsungan hidup.

Pengukuran akurat dari parameter hemodinamik dengan kateter

arteri paru-paru membutuhkan keterampilan dan perawatan. Hal ini

terutama sulit pada pasien baik pada ventilasi mekanik atau dengan

inspirasi spontan dipaksakan karena tekanan menelusuri dipengaruhi oleh

tekanan intrathoracic. PCWP harus diukur pada akhir ekspirasi dan dari

pelacakan bukan dari display digital pada monitor di samping tempat

tidur (Mekontso, 2011).

e. Bronkoskopi

Bronkoskopi dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi

kemungkinan infeksi, perdarahan alveolar, atau akut pneumonia

eosinofilik pada pasien akut dengan infiltrat paru bilateral. Materi budaya

dapat diperoleh dengan wedging bronkoskop dalam bronkus

subsegmental dan mengumpulkan cairan disedot setelah menanamkan

volume besar garam nonbacteriostatic (bronchoalveolar lavage; UUPA).

Cairan dianalisis untuk diferensial sel, sitologi, perak noda, dan Gram

noda dan kuantitatif berbudaya.

Page 15: Presus Ards Fix

Sepuluh ribu organisme per mililiter umumnya dianggap signifikan

pada pasien yang sebelumnya tidak diobati dengan antibiotik.

Sebagaimana dicatat (lihat di atas), ARDS awal ditandai oleh adanya

neutrofil dalam cairan BAL, sehingga kehadiran organisme intraseluler

dan penggunaan kultur kuantitatif penting dalam membangun infeksi.

Cara alternatif untuk memperoleh suatu budaya adalah dengan cara

sikat spesimen yang dilindungi, yang dilewatkan melalui bronkoskop

menjadi bronkus segmental. Selanjutnya, sikat dipotong menjadi 1 mL

saline nonbacteriostatic steril. Budaya 1000 organisme dianggap

signifikan.

Analisis jenis sel hadir dalam cairan BAL dapat membantu dalam

diagnosis banding pasien dengan ARDS. 20%) in the BAL fluid is

consistent with the diagnosis of acute eosinophilic pneumonia.”>Sebagai

contoh, ditemukannya persentase yang tinggi dari eosinofil (> 20%) pada

cairan BAL konsisten dengan diagnosis pneumonia eosinofilik akut.

Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi pada pasien ini mungkin

menyelamatkan nyawa.

Sebagian besar dari limfosit dapat diamati pada pneumonitis

hipersensitivitas akut, sarkoidosis, atau bronchiolitis obliterans

mengorganisir pneumonia (Boop). Sel darah merah dan hemosiderin-

sarat makrofag dapat diamati pada perdarahan paru. Makrofag sarat lipid

sugestif dari aspirasi atau pneumonia lipoid.

Evaluasi sitologi dari cairan BAL juga dapat membantu dalam

diagnosis diferensial ARDS. Hal ini dapat mengungkapkan perubahan

sitopatik virus, misalnya. Perak noda dapat membantu dalam

mendiagnosis infeksi, seperti pneumonia.

Penggunaan bronkoskopi sebagai tambahan untuk terapi surfaktan

telah dilaporkan. Dalam 10 orang dewasa dengan ARDS, lavage

segmental sekuensial bronkopulmonalis dengan sintetik encer itu aman,

ditoleransi dengan baik, dan terkait dengan penurunan kebutuhan oksigen

(Walmrath, 1996).

Page 16: Presus Ards Fix

f. Temuan histologis

Perubahan histologis dalam ARDS adalah dari kerusakan alveolar

difus. Sebuah fase eksudatif terjadi pada beberapa hari pertama dan

ditandai oleh edema interstitial, perdarahan alveolar dan edema, kolaps

alveolar, kemacetan kapiler paru, dan pembentukan membran hialin.

Perubahan-perubahan histologis tidak spesifik dan tidak memberikan

informasi yang akan memungkinkan ahli patologi untuk menentukan

penyebab ARDS. Fotomikrograf dari pasien dengan sindrom gangguan

pernapasan akut (ARDS). Gambar menunjukkan dalam tahap ARDS

eksudatif. Perhatikan membran hialin dan hilangnya epitel alveolar dalam

tahap awal ARDS. Biopsi dilakukan setelah beberapa hari menunjukkan

awal organisasi eksudat intra-alveolar dan perbaikan, fase proliferasi

ARDS, yang ditandai oleh pertumbuhan tipe 2 pneumocytes di dinding

alveolar dan penampilan fibroblas, myofibroblasts, dan kolagen

pengendapan di interstitium. Tahap akhir dari ARDS adalah fibrosis.

Dinding alveolar yang menebal oleh jaringan ikat bukan edema atau

selular menyusup (Walmrath, 1996).

g. Pementasan

Pada 1980-an, Murray dan rekan kerja mengembangkan cedera

paru-paru sistem penilaian, yang telah terbukti membantu dalam

penelitian klinis pada ARDS. Sistem ini didasarkan pada 4 parameter

berikut.:

1) Keparahan konsolidasi berdasarkan temuan radiograf dada

2) Beratnya hipoksemia berdasarkan rasio PaO2/FIO2

3) Paru

4) Tingkat kebutuhan PEEP (Walmrath, 1996)

F. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan neonatus dengan gagal nafas sebaiknya ditujukan pada

penyakit yang mendasarinya. Saat ini terapi gagal nafas pada neonatus

ditujukan untuk mencegah komplikasi dan memburuknya keadaan yang terjadi

Page 17: Presus Ards Fix

akibat penyakit paru-paru pada neonatus, seperti hipoksemia dan asidemia,

sehingga proses penyembuhan dapat berlangsung. Bayi baru lahir yang

mengalami gangguan nafas berat harus dirawat di ruang rawat intensif untuk

neonatus (NICU), bila tidak tersedia bayi harus segera dirujuk ke rumah sakit

yang memiliki fasilitas NICU (Hagedorn et al., 2002). Sebelum dirujuk atau

dipindahkan ke NICU, penatalaksanaan yang tepat sejak awal sangat

diperlukan untuk mencapai keberhasilan perawatan.

1. Penatalaksanaan Non Respiratorik

a. Temperatur bayi harus dijaga dalam rentang 36,5−37,5oC (Sweet et al.,

2010).

b. Enteral feeding harus dihindari pada neonatus yang mengalami distress

nafas yang berat, dan cairan intravena dapat segera diberikan, untuk

mencegah keadaan hipoglikemia. Keseimbangan cairan, elektrolit dan

glukosa harus diperhatikan. Pemberian cairan biasanya dimulai dengan

jumlah yang minimum, mulai dari 60 ml/kgBB/hari dengan Dekstrose

10% atau ¾ dari kebutuhan cairan harian. Kalsium glukonas dengan

dosis 6-8 ml/kgBB/hari dapat ditambahkan pada infus cairan yang

diberikan (Mathai et al., 2007). Pemberian nutrisi parenteral dapat

dimulai sejak hari pertama. Pemberian protein dapat dimulai dari 3,5

g/kgBB/hari dan lipid mulai dari 3 g/kgBB/hari (Sweet et al., 2010).

c. Pemberian antibiotik spektrum luas sedini mungkin harus dimulai

sampai hasil kultur terbukti negatif. Pemilihan antibiotik inisial yang

dianjurkan adalah ampicillin dan gentamicin (Hermansen et al., 2007;

Jing et al., 2010).

Page 18: Presus Ards Fix

2. Penatalaksanaan Respiratorik

Penanganan awal adalah dengan membersihkan jalan nafas, serta

memastikan pernafasan dan sirkulasi yang adekuat. Semua bayi yang

mengalami distress nafas dengan atau tanpa sianosis harus mendapatkan

tambahan oksigen. Oksigen yang diberikan sebaiknya oksigen lembab dan

telah dihangatkan (Mathai et al., 2007). Tujuan utama dalam

penatalaksanaan gagal nafas adalah menjamin kecukupan pertukaran gas

dan sirkulasi darah dengan komplikasi yang seminimal mungkin. Hal ini

dapat dicapai dengan menangani dan mengatasi etiologi gagal nafas.

Indikasi untuk memulai ventilasi mekanis pada pasien yang mengalami

gagal nafas biasanya didasari atas menetap atau memburuknya keadan

klinis akibat proses pertukaran gas di paru-paru yang terganggu (Frankel,

2007).

Page 19: Presus Ards Fix

(Hermansen et al., 2007; Mathai et al., 2007).

3. Penatalaksanaan di ruang NICU

Penatalaksanaan gagal nafas pada neonatus di ruang perawatan

intensif neonatus (NICU) saat ini telah mengalami perkembangan.

Penggunaan surfaktan, high frequency ventilator, inhaled nitric oxide

(iNO), telah banyak dilakukan dan berakibat pada berkurangnya

penggunaan extracorporeal membrane oxygenation yang memiliki banyak

efek samping (Hagedorn, 2002).

4. Ventilasi Mekanis

Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif

dengan berbagai efek pada sistem kardiopulmonal. Tujuan ventilasi

mekanis adalah membaiknya kondisi klinis pasien dan optimalisasi

pertukaran gas dan pada FiO2 (fractional concentration of inspired

oxygen) yang minimal, serta tekanan ventilator/volume tidal yang minimal

(Sweet et al., 2010).

Indikasi absolut penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1)

prolonged apnea, (2) PaO2 kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas 0,8 yang

bukan disebabkan oleh penyakit jantung bawaan tipe sianotik, (3) PaCO2

lebih dari 60 mmHg dengan asidemia persisten, dan (4) bayi yang

menggunakan anestesi umum. Sedangkan indikasi relatif untuk

penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1) frequent intermittent apnea,

(2) bayi yang menunjukkan tanda-tanda kesulitan nafas, (3) dan pada

pemberian surfaktan (Eichenwald, 2008).

5. Surfaktan

Surfaktan dibentuk oleh pneumosit alveolar tipe II dan disekresikan

kedalam rongga udara pada usia kehamilan sekitar 22 minggu. Komponen

utama surfaktan adalah fosfolipid, sebagian besar terdiri dari

dipalmitylphosphatidylcholine (DPPC). Fungsinya adalah untuk

mengurangi tegangan permukaan dan menstabilkan saluran nafas kecil

selama ekspirasi yang memungkinkan stabilisasi dan pemeliharaan volume

Neonatus dengan distress nafas

Berat(PCH, grunting, apneu, sianosis

Resusitasi:• Bersihkan jalan nafas, hisap lendir

(suction)• Pemberian oksigen , pasang OGT• Pasang akses intra vena :• D10% 60 ml/kgBB• Ca-Gukonas 10% 6-8 ml/kgBB• Monitor temperatur• Monitor saturasi• Rontgen toraks (Bila memungkinkan)

Algoritma diagnosis dan Tatalaksana Gagal nafas pada Neonatus

Ringan(Takipneu ringan)

Disesuaikan menurut usia

Evaluasi menggunakan skor Downes

Perbaikan klinis

Evaluasi menggunakan skor Downes

Perawatan di NICU

Pemberian O2 dilanjutkan Monitoring saturasi Rontgen toraks

Intubasi Pemberian antibiotik spektrum luas:Ampicillin &

Gentamicin (inisial) Pemeriksaan penunjang: Darah rutin & hitung jenis, AGD, GDS,

elektrolit, rontgen toraks Konsul NICU/rujuk ke RS yang memiliki NICU

Hasil AGD:Asidosis metabolik/respiratorikBila pH ≤ 7,25 Na-Bikarbonat 1-2 mEq/kgBB dlm 30 menit

TIDAK ( Ancaman gagal nafas/DS≥6)

Hipoglikemi bolus D10% 2cc/kgBB, dilanjutkan infus kontinyu kec 6-8 mg/kgBB/mntHiperglikemi kuranngi konsentrasi infus glukosa (D5%)

Page 20: Presus Ards Fix

paru. Surfaktan juga berperan dalam mekanisme pertahanan paru dengan

meningkatkan mucociliar clearance (Kosim, 2005).

Fungsi surfaktan yang paling penting adalah menurunkan tegangan

permukaan alveolar sehinggga terjadi stabilisasi volume paru pada tekanan

transpulmonal yang rendah. Surfaktan akan mencegah kolapsnya jalan

nafas saat ekspirasi dan memungkinkan tekanan yang lebih rendah untuk

mengembangkan paru-paru, sehingga peregangan yang berlebihan dari

paru-paru dapat dicegah dan resiko terjadinya ruptur alveolus berkurang

akibat surfaktan mengurangi tekanan negatif yang diperlukan untuk

membuka jalan nafas dan kerja pernafasan (Sweet, 2010).

Surfaktan dapat diberikan pada 6 sampai 24 jam setelah bayi lahir

apabila bayi mengalami respiratory distress syndrome yang berat.

Selanjutnya surfaktan dapat diberikan 2 jam (umumnya 4-6 jam) setelah

dosis awal apabila sesak menetap dan bayi memerlukan tambahan oksigen

30% atau lebih (Kosim, 2005).

Dosis surfaktan yang direkomendasikan untuk terapi.

Nama Produk Dosis Awal Dosis Tambahan

Galfactant 3 ml/KgBB Dapat diulang sampai 3 kali

pemberian dengan interval tiap

12 jam

Beractant 4 ml/KgBB Dapat diulang setelah 6 jam,

sampai total 4 dosis dalam 48

jam

Colfosceril 5 ml/KgBB diberikan dalam 4

menit

Dapat diulang setelah 12 dan 24

jam

Porcine 2,5 ml/KgBB Dosis 1,25 ml/KgBB dapat

diberikan tiap 12 jam

Surfaktan dapat diberikan langsung melalui selang ETT atau dengan

menggunakan nebulizer. Pemberian langsung kedalam selang ETT

memungkinkan distribusi surfaktan yang lebih cepat sampai ke bagian

perifer paru-paru, efektivitas nya lebih baik dan efek samping yang dapat

ditimbulkan lebih sedikit (Sweet, 2010).

Page 21: Presus Ards Fix

Komplikasi yang mungkin terjadi pada pemberian surfaktan antara

lain, bradikardi, hipoksemia, hipo atau hiperkarbia, dan apnea. Bradikardi,

hipoksemia dan sumbatan pada endotracheal tube (ETT) dapat terjadi

pada saat pemberian surfaktan dilakukan. Perubahan perfusi serebral dapat

terjadi pada bayi yang sangat prematur akibat redistribusi yang mendadak

dari aliran darah paru kedalam sirkulasi otak. Seluruh efek samping

tersebut dapat diatasi dengan menghentikan pemberian surfaktan dan

meningkatkan aliran oksigen dan ventilasi (Kosim, 2005).

6. High Frequency Ventilation

High frequency ventilation (HFV) adalah bentuk ventilasi mekanik

yang menggunakan volume tidal yang kecil, dan laju ventilator yang cepat.

Keuntungan HFV adalah dapat memberikan gas yang adekuat dengan

tekanan pada jalan nafas yang lebih rendah sehingga mengurangi kejadian

barotrauma. Penggunaan klinis HFV lebih menguntungkan dibandingkan

ventilator biasa. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa pasien RDS

yang menggunakan ventilator HFV memperlihatkan penurunan kejadian

lung injuries. Penggunaan HFV ini dapat menyediakan ventilasi yang

adekuat dengan airway pressure (tekanan jalan nafas) yang rendah,

sehingga penggunaannya dapat dipertimbangkan pada pneumotoraks,

hipoplasia paru, sindroma aspirasi mekonium, pneumonia dengan

atelektasis (Field, 2002)

7. Inhaled Nitric Oxid

Terapi iNo pada bayi baru lahir telah diteliti pada bayi preterm dan

aterm. Nitrat oksida eksogen yang dihantarkan melalui ventilator akan

menyebabkan vasodilatasi paru. Terapi iNO memperbaiki oksigenisasi

tanpa efek samping jangka pendek seperti perdarahan paru, perdarahan

intrakranial, pnumotoraks pada bayi prematur dengan gagal napas

(Konduri et al., 2007).

Page 22: Presus Ards Fix

8. Extracorporeal Membrane Oxygenation

Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) merupakan alat

yang menghubungkan langsung darah vena pada alat paru-paru buatan

(membrane oxygenator), di mana oksigen ditambahkan dan CO2

dikeluarkan, kemudian darah dipompa balik pada atrium kanan pasien

(Venovenosis ECMO) atau aorta (venoarterial). Prosedur ini membuat

paru-paru dapat beristirahat dan menghindari tekanan tinggi ventilator.

Selama ECMO berlangsung paru-paru bayi dapat terus bekerja namun

dalam volume yang lebih kecil untuk mencegah terjadinya atelektasis.

Prosedur ECMO sangat invasif dan resiko tinggi. Penggunaan ECMO

pada bayi preterm dengan usia gestasi 34 minggu ternyata memperlihatkan

angka kematian yang tinggi disebabkan perdarahan intrakranial. Sehingga

kriteria inklusi untuk ECMO adalah usia gestasional ≥ 34 minggu atau

berat lahir ≥ 2000 gram, tidak ada gangguan perdarahan, telah diberikan

ventilasi mekanik selama 10-14 hari, penyakit paru bersifat reversibel

(Brown et al., 2010).

Page 23: Presus Ards Fix

III. KESIMPULAN

1. Gagal nafas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam memenuhi

kebutuhan pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara udara dan

darah, sehingga terjadi gangguan dalam asupan oksigen dan ekskresi

karbondioksida, keadaan ini ditandai dengan abnormalitas nilai PO2 dan

PCO2. Gagal nafas dapat disebabkan oleh penyakit paru yang melibatkan

jalan nafas, alveolus, sirkulasi paru atau kombinasi ketiganya.

2. Faktor resiko utama gagal nafas pada neonatus adalah prematuritas, bayi

berat badan lahir rendah, dan penelitian menunjukkan kejadiannya lebih

banyak terjadi pada golongan sosioekonomi rendah.

3. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) ditandai oleh perkembangan

dyspnea akut dan hipoksemia dalam waktu jam dan beberapa hati, seperti

trauma, sepsis, overdosis obat, transfusi masif, pankreatitis akut, atau

aspirasi.

4. Temuan fisik sering tidak spesifik dan termasuk takipnea, takikardia, dan

kebutuhan untuk sebagian kecil tinggi oksigen terinspirasi (FiO2) untuk

mempertahankan saturasi oksigen.

5. Penatalaksanaan neonatus dengan gagal nafas sebaiknya ditujukan pada

penyakit yang mendasarinya. Saat ini terapi gagal nafas pada neonatus

ditujukan untuk mencegah komplikasi dan memburuknya keadaan yang

terjadi akibat penyakit paru-paru pada neonatus, seperti hipoksemia dan

asidemia, sehingga proses penyembuhan dapat berlangsung.

Page 24: Presus Ards Fix

IV. DAFTAR PUSTAKA

Allen M. 2009. Follow-up of high-risk infants. Dalam: Gomella T, Cunningham

M, Eyal F, Tuttle D, penyunting. Neonatology: Management, procedures,

on-call problems, diseases and drugs. Edisi 6. USA

Angus D, Linde-Zwirble W, Clermont G, Griffin M, Clark R. 2001.

Epidemiology of neonatal respiratory failure in the united states. Am J

Respir Crit Care Med. Vol. 164: 1154-60.

Badan penelitian dan pengembangan kesehatan. 2006. Akselerasi pelayanan

kesehatan: Peran penelitian kesehatan. Tersedia dari:

http://www.depkes.go.id.

Behrman, Richard E, Kligman. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisis 15.

Jakarta: EGC.

Brown K, Sriram S, Ridout D, Cassidy J, Pandya H, Liddell M, et al. 2010.

Extracorporeal membrane oxygenation and term neonatal respiratory

failure deaths in the United Kingdom compared with the United States:

1999 to 2005. Pediatr Crit Care Med. Vol. 11(1).

Brunner, L, et al. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Edisi 8 Vol 1.

Jakarta : EGC

Djojodibroto, Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC.

Eichenwald E. 2008. Mechanical ventilation. Dalam: Cloherty J, Eichenwald E,

Stark A, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi 6. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins. Hal 331-42.

Field D. 2002. Alternative strategies for the management of respiratory failure in

the newborn – clinical realities. Semin Neonatol 2002. Vol. 7: 429-36

Frankel L. 2007. Respiratory distress and failure. Dalam: Kliegman R, Behrman

R, Jenson H, Stanton B, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi

18. Philadelphia: Sunders Elsevier. Hal. 421-4.

Hagedorn M, Gardner S, Abman S. 2002. Common systemic diseases of the

neonate: Respiratory diseases. Dalam: Merenstein G, Gardner S,

penyunting. Handbook of neonatal intensive care. Edisi 5. St. Louis:

Mosby. Hal. 485-575.

Page 25: Presus Ards Fix

Hermansen C, Lorah K. 2007. Respiratory distress in the newborn. Am Fam

Physician. Vol. 76: 987-94.

Hudak, ML. 1997. A multicenter Randomized Masked Comparison Ttrial of

Synthetic Surfactant versus Calf Lung Surfactant Extract in the

Prevention of Neonatal Respiratory Distress Syndrome. USA :

Department of Pediatrics, Children's Hospital of Buffalo, State

University of New York at Buffalo, Buffalo, NY, USA.

Jing L, Yun S, Jian-ying D, Tian Z, Jing-ya L, Li-li L, et al. 2010. Clinical

characteristics, diagnosis and management of respiratory distress

syndrome in full-term neonates. Chin Med J. Vol. 123(19) :2640-44.

Konduri G, Vohr B, Robertson C, Sokol G, Solimano A, Singer J, et al. 2007.

Early inhaled nitric oxide therapy for term and near-term newborn infants

with hypoxic respiratory failure: neurodevelopmental follow-up. J Pediatr.

Vol. 150: 235-40.

Kosim M. 2005. Use of surfactant in neonatal intensive care units. Pediatrica

ndonesiana. Vol. 45: 233-40.

Kumar A, Bhatnagar V. 2005. Respiratory Distress in Neonates. Indian J Pediatr

2005. 72(5):425-38

Levy M. 2005 Pathophysiology of oxygen delivery in respiratory failure. Chest.128:547-53.

Mathai S, Raju C, Kanitkar C. 2007. Management of respiratory distress in the

newborn. MJAFI. Vol. 63: 269-72.

Mekontso Dessap A, Boissier F, Leon R, Carreira S, Campo FR, Lemaire F, et al.

2010. Prevalence and prognosis of shunting across patent foramen ovale

during acute respiratory distress syndrome. Crit Care Med.

Mekontso Dessap A, Proost O, Boissier F, Louis B, Roche Campo F, Brochard L.

2011. Transesophageal echocardiography in prone position during severe

acute respiratory distress syndrome. Intensive Care Med.

Qian L, Liu C, Zhuang W, Guo Y, Yu J, Chen H, et al. 2008. Neonatal respiratory

failure: a 12-month clinical epidemiologic study from 2004 to 2005 in

China. Pediatrics. Vol. 121: 1115-24.

Suwondo, Aryanto. 2006. Acute Respiratory Distress Syndrome. Jakarta : FKUI

Page 26: Presus Ards Fix

Sweet D, Carnielli V, Greisen G, Hallman M, Ozek E, Plavka R, et al. 2010.

European consensus guidelines on the management of neonatal respiratory

distress syndrome in preterm infants: 2010 Update. Neonatology. Vol. 97:

402-17.

UNDP-Bappenas. Usaha Pencapaian MDGs di Indonesia (Diunduh 23 November

2010); Tersedia dari: http://www.targetmdgs.org.

Walmrath D, Günther A, Ghofrani HA, Schermuly R, Schneider T, Grimminger

F, et al. 1996. Bronchoscopic surfactant administration in patients with

severe adult respiratory distress syndrome and sepsis. Am J Respir Crit

Care Med

Wratney A, Chifetz I, Fortenberry J, Paden M. 2006. Disorders of the lung

parenchyma. Dalam: Slonim A, Pollack M, penyunting. Pediatric critical

care medicine. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;

Page 27: Presus Ards Fix

Lampiran 1. Resep

dr. Indra Mutiara Prana Vanadi

SIP : BMS/010/54/56/57/58/2013

Jalan Kebenaran No.1 Rt 6 Rw 9 Kelurahan Baru

083 86233 4750

Purwokerto, 13 Desember 2013

R/ Oksigen 3 lt/menit

S imm

β

R/ Dekstrose 10% flab no. I

S imm

β

R/ Ampicillin 100 mg / 1 g vial no. I

S 3 dd inj 1

β

Pro : Nn. Fiola

Usia : 2 hari

Alamat : Desa Konoha

Page 28: Presus Ards Fix

Lampiran 2. Surat Rujukan

Purwokerto, 13 Desember 2013

Kepada

Yth. TS. dr. Ariadne Tiara H, M.Si.Med, Sp.A

Spesialis Anak

Jalan dr. Gumberg No.1

Purwokerto

Dengan hormat,

Dimohon konsul dan pengobatan selanjutnya penderita Nn.Fiola 2 hari L/P,

diagnosis : Acute Respiratory Distress Syndrom, hasil pemeriksaan laboratorium

terlampir.

Penderita telah kami beri terapi sementara oksigen, infus dextrose, dan antibiotik.

Atas kesediaan dokter, kami ucapkan terima kasih.

Wassalam,

Dr. Indra Mutiara Prana Vanadi

Jalan Kebenaran No. 1

Purwokerto