PRESKES MAXILLOFACIAL
-
Upload
dwi-wirastomo -
Category
Documents
-
view
91 -
download
3
Embed Size (px)
Transcript of PRESKES MAXILLOFACIAL

Presentasi Kasus Bedah Plastik
LAKI-LAKI 38 TAHUN DENGAN CLOSED FRAKTURE NASOETHMOIDAL,
FRAKTURE ZIGOMATICUM, DAN FRAKTURE MAXILLA
DEKSTRA ET SINISTRA
Periode : 11 – 17 Maret 2013
Oleh :
Nafika Ikhwanudin G99121031Verawati Sundari G99121048Eva Veronika G9911112066Dwi Wirastomo G9911112058
Pembimbing :
dr. Amru Sungkar, Sp.B., Sp.BP.
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2013

STATUS PASIEN
I. ANAMNESIS
A. Identitas pasien
Nama : Tn. S
Umur : 38 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Craken Krebet, Masaran, Sragen
Pekerjaan : Petani
Tanggal Masuk : 07 Maret 2013
Tanggal Periksa : 11 Maret 2013
No RM : 01182767
Status Pembayaran : Jamkesmas
B. Keluhan Utama
Nyeri kepala setelah kecelakaan lalu lintas
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Satu jam sebelum masuk rumah sakit pasien mengendarai sepeda
motor dengan menggunakan helm standard bertabrakan dengan sepeda
motor lain, mekanisme kejadian tidak diketahui, pasien pingsan, setelah
sadar pasien mengeluhkan nyeri di kepala dan luka dikening, nyeri
dirasakan terus menerus dan semakin memberat, muntah (-), kejang (-).
Oleh penolong, langsung dibawa ke RSUD Dr. Moewardi.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
1

Riwayat alergi obat : disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat : disangkal
F. Anamnesis Sistemik
Keluhan utama : Nyeri kepala setelah kecelakaan lalu lintas
Kulit : kuning (-), kering (-), pucat (-)
Kepala : sakit kepala (+), pusing (-)
Mata : pandangan kabur (+),kuning (-),pandangan dobel (-)
Hidung : tersumbat (-), pilek (-), keluar darah (+)
Telinga : pendengaran berkurang (-), berdenging (-) keluar
cairan (-),
Mulut : gusi sakit (-), mulut kering (-), nyeri rahang atas (+),
nyeri membuka mulut (+)
Tenggorokan : sakit menelan (-), suara serak (-), gatal (-)
Respirasi : sesak nafas (-), batuk (-), nyeri dada (-/-)
Kardiovaskuler : berdebar-debar (-), denyut jantung meningkat (-), ulu
hati terasa panas (-)
Gastrointestinal : mual (-), muntah (-), nafsu makan berkurang (-), BAB
sulit (-)
Muskuloskeletal : lemas (-), kaku sendi (-), nyeri sendi (-)
Genitourinaria : nyeri BAK (-), BAK darah (-), sering BAK (-)
Ekstremitas
Atas : luka (-/-), ujung jari terasa dingin (-/-), bengkak (-/-)
lemah (-/-), nyeri (-/-) pada lengan bawah kanan
Bawah : luka (-/-), ujung jari terasa dingin (-/-), bengkak (-),
lemah (-/-), nyeri (-/-)
2

II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Primary Survey
1. Airway
Look : pengembangan dada (+)
Listen :terdengar suara napas, tidak terdengar suara napas
tambahan
Feel : terasa adanya hembusan napas
Diagnosis : airway clear
2. Breathing
Look : gerak nafas spontan, thorakoabdominal, tanda-tanda
sesak:
frekuensi napas 18 kali/menit, takipneu (-), napas
cuping hidung (-), napas paradoksal (-),
ketertinggalan gerak (-), retraksi (-), menggunakan
masker oksigen (-)
Listen : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
Feel : krepitasi (-), perkusi (sonor/sonor)
Diagnosis : breathing adekuat
3. Circulation
Look : sianosis (-), jugular venous distended (-), konjunctiva
pucat (-)
Listen : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Feel : perabaan akral hangat, nadi 76 kali/menit, tekanan
darah 120/70 mmHg
Diagnosis : Circulation secure
4. Disability
GCS : E4V5M6
Pupil : isokor (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+)
5. Exposure
Suhu tubuh : 36,50C per aksiller
Jejas (+) lihat status lokalis
3

B. Secondary Survey
Keadaan umum : tampak sakit sedang, compos mentis, gizi kesan cukup
Kepala : mesocephal, jejas (+) lihat status lokalis
Mata : konjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), visus normal,
gerakan bola mata normal, hematom palpebra (+/+),
diplopia (-/-)
Telinga : bloody otorhea (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri
tekan tragus (-/-), jejas (-)
Hidung : bentuk simetris, sekret (-/-), darah (+/+)
Mulut : maloklusi (+) cross bite, sianosis (-), gigi tanggal (-),
gigi goyang (-) maksilla goyang (+), vulnus apertum
(+) regio oris inferior ukuran 2 x 1x 0,5 cm
Leher : trakea di tengah, pembesaran tiroid (-), nyeri tekan (-),
JVP tidak meningkat
Thoraks : bentuk normochest, jejas (-), ketertinggalan gerak (-),
retraksi (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), pernapasan
paradoksal (-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
Abdomen
Inspeksi : distended (-)
4

Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, undulasi (-), pekak alih (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas
Akral dingin Oedem
C. Status Lokalis
Regio Supraorbita Sinistra
Inspeksi : Vulnus appertum (+) ukuran 5x 2x 2 cm
Mulai dari supraorbita sinistra exend ke supra nasal, dasar
tulang , tepi ireguler
Palpasi : Krepitasi (-)
Regio Midfacial
Inspeksi : pendataran molar iminens (+/+), oedem (+), hipoestesi
infraorbita (+/+)
Palpasi : Krepitasi (-/-)
III. ASSESSMENT I
Commotio cerebri GCS E4V5M6
Vulnus appertum regio supraorbita sinistra
Suspek fraktur zigomaticus dextra et sinistra
IV. PLAN I
O2 3lpm
IVFD NaCl 200cc/ 24jam
Injeksi Ceftriaxon 1g/12 jam
Injeksi Metamizol 1 g/ 8 jam
Injeksi Rantidin 1g / 12 jam
5

Injeksi Piracetam 3 g/ 8jam
Cek laboratorium lengkap
CT Scan kepala
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium (07 Maret 2013)
Hb : 14,8 g/dL
AE : 5,3 106/uL
Hct : 44 %
AL : 18,4. 103/uL
AT : 295. 103/uL
Golongan darah : A
PT : 14,1“
APTT : 23,7“
HBsAg : non reaktf
Ureum : 63 mg/dL
Kreatinin : 1,0 mg/dL
Na : 137 mmol/L
K : 3,8 mmol/L
Cl : 107 mmol/L
6

2. CT Scan Kepala
7

VI. ASSESSMENT II
Closed Frakture Nasoethmoidal
Frakture Zigomaticum
Frakture Maxilla dekstra et sinistra
8

VII. PLAN II
Rawat Bangsal
Pro ORIF
Repair Vulnus
9

TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Fraktur zygomatic complex merupakan fraktur yang paling sering pada
trauma maksilofasial. Zygomatic complex bertanggung jawab untuk kontur
wajah bagian tengah dan untuk perlindungan dari isi orbital. Fraktur zygomatic
complex muncul biasanya pada dewasa muda. Fraktur zigoma merupakan
merupakan fraktur fasial yang paling sering terjadi. Tingginya insiden dari
fraktur zigoma berhubungan dengan lokasi zigoma yang lebih menonjol.
Predileksi terutama pada laki-laki, dengan perbandingan 4:1 dengan perempuan
(Sallam, 2010). Penyebab dari fraktur zigoma yang paling sering adalah
dikarenakan kecelakaan kendaraan bermotor. Zigoma mempunyai peran yang
penting dalam membentuk struktur wajah, dan disrupsi dari posisi zigoma dapat
mengganggu fungsi okular dan mandibular; oleh karena itu trauma pada zigoma
harus didiagnosa secara tepat dan ditangani secara adekuat (Rehman, 2010).
2. ANATOMI DAN KLASIFIKASI
Gambar 1. Tulang-tulang maksilofasial
Fraktur zigomatikomaksilari disebabkan karena trauma langsung di pipi
yang terjadi pada artikulasio antara os.zigomaticum dan os.maksilaris bagian
10

frontal dan arkus zigomatikus (Obuekwe, 2005). Fraktur Maxilla dari fraktur
simpel dentoalveolar hingga fraktur comminutif midface, tergantung pada
kekuatan benturan secara langsung. Pada fraktur maksilari komplit, dinding
penopang vertikal terpecah. Fraktur maksila dapat juga terjadi langsung pada
sagital, biasanya dimulai pada perbatasan hingga kaninus (Rajendra, 2009).
Klasifikasi Le Fort (Stewart, 2008):
a. Le Fort I (fraktura maksilari transversa).
Fraktur melalui maksila setinggi rima piriformis, termasuk seluruh
prosesus alveolaris, palatum dan prosesus pterigoideus.
Letak: sepertiga bawah.
Ditandai dengan floating fragmen pada maksila bagian bawah, oedem
muka, maloklusi.
Gambar 2. Le Fort I Fracture
b. Le Fort II (fraktura piramidal).
Sepertiga tengah dan segmen maksila yang terisolasi berbentuk piramid,
Gerakan dapat diperiksa pada medial lantai orbital dengan
menggerakkan gigi atas kebelakang dan kedepan.
Dapat menyebabkan midfasial terpisah dan mobile, ekimosis/ hematom
periorbita, kerusakan nervus infraorbita, diplopia dan perdarahan
subkonjungtiva, oedem muka, pendataran nasal, telecanthus, epistaksis
atau CSF rhinorrhea, unstable maxilla dan hidung
11

Gambar 2. Le Fort II Fracture
c. Le Fort III (disjunksi kraniofasial).
merupakan separasi yang lengkap tulang fasial dari basis tengkorak
dimana letaknya sepertiga atas dari facial,
bisa menyebabkan midfasial terlepas dari bagian atas.
memerlukan pengikatan pada sutura zigomatikofrontal
Muka datar seperti piring (Dish face deformity), epistaksis, CSF
rhinorrhea , Unstable maxilla, os nasal dan os zygoma, obstruksi jalan
napas berat, maloklusi, battle sign (perdarahan retroauriculair), Raccoon
eyes, CSF otorrhea, hemotympani
Gambar 3. Le Fort III Fracture
3. PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik pada fraktur multipel wajah dilakukan
pemeriksaan jalan nafas, pernafasan serta sirkulasi darah. Keterbatasan gerakan
12

rahang dan pendataran pipi, epistaksis unilateral merupakan akibat dari fraktur
maxilla atau dasar orbita. Status lokalis regio yang trauma seperti defek rima
infraorbita, sutura frontozigoma dan penyokong zigoma dapat merupakan tanda
defisiensi malar. Pemeriksaan mata sangat penting dengan menilai adanya
diplopia, kerusakan periorbita atau ekimosis subkonjungtiva. Pada palpasi
didapatkan adanya nyeri di daerah zigoma, parestesia terjadi bila saraf
infraorbita, zigomatikofasial atau zigomatikotemporal terkena trauma serta
krepitasi pada emfisema subkutis (Ahmed, 2010).
Fraktur pada zygoma dapat melibatkan foramen infraorbita dan menekan
nervus infraorbita yang bermanifestasi klinis sebagai parestesia pada daerah
infraorbita. Perubahan posisi frontal dengan pemisahan sutura
zygomaticofrontalis menyebabkan penurunan atau pengenduran canthus lateral
dari kelopak mata dan bola mata. Trauma pada pipi yang menekan os zygoma
ke dalam dapat menekan dan menyebabkan fraktur dinding lateral dan dasar
orbita. Fraktur ini dapat mengakibatkan diplopia yang disebabkan edema dan
hemoragi pada otot ekstraokuler atau disebabkan terjepitnya otot ekstraokuler
atau saraf mata diantara fragmen-fragmen tulang (Kreishat, 2011).
Ketika zygoma mengalami penekanan dan terdepresi ke dalam, os
temporal dapat menekan prosesus koronoideus mandibula dan tendo muskulus
temporalis sehingga pasien mengalami kesulitan dalam membuka dan menutup
mulut (David and Coen, 2008).
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Radiographi plan dan CT scan (axial section, coronal sction dan 3d
reconstruksi regio maxillofacial) sangat efektif untuk membantu diagnosis.
Rekonstruksi 3D dapat membantu menggambarkan bentuk ulang sehingga
dapat membantu dalam keakuratan rencana preoperatif. Computed tomography
(CT) adalah teknologi yang dapat memperlihatkan visualisasi dari jaringan
keras dan lunak pada wajah. Dilaporkan bahwa CT dapat mencapai nilai yang
lebih akurat dalam diagnosis fraktur tulangmidfasial. Teknik alternatif lain
adalah pemeriksaan ultrasonografi. Ultrasonografi mudah dan cepat untuk 13

dilakukan, selain itu bersifat noninvasif. CT telah direkomendasikan untuk
evaluasi preoperatif pada trauma zygomaticus sebagai metode diagnostik
standar, terutama dalam kasus-kasus rumit dengan cedera intrakranial cedera
atau ketika ada kebutuhan untuk evaluasi saraf optik, karena kedua hal tersebut
tidak dapat secara memadai dilihat oleh ultrasonografi. Sementara
ultrasonografi telah terbukti menjadi alat yang berharga dalam mendeteksi
fraktur tanpa komplikasi di zygomaticofrontal, arcus zygomaticus dan margio
infraorbital, tapi hasil untuk dasar orbita dan dinding medial orbitatetap tidak
memuaskan. Selain itu, USG lebih dapat diandalkan dalam menilai keadaan
pascaoperasi, sehingga dapat menurunkan biaya dan paparan radiasi (Ceallaigh,
2007; Sallam, 2010).
Foto polos dari anteroposterior (AP)
Foto AP: walaupun garis patah kadang tidak jelas, dengan
membandingkan sisi kontralateral, bisa ditemui diskontinuitas tulang secara
radiologis (David dan Coen, 2008)
Waters
Proyeksi Water biasanya menampilkan opaque sinus maxillary,
dengan keterkaitan fraktur lateral dinding sinus maksilaris yang terlibat
14

CT Scan
CT Scan bisa melihat garis patah yang tidak nampak dalam foto radiologi
biasa. CT Scan 3-dimensi akan menggambarkan bentuk tulang muka
keseluruhan dan lubang tulang yang patah atau melesak dapat dikenali
dengan lebih jelas, selain itu dapat pula mengevaluasi jaringan lunak,
dikerjakan atas indikasi khusus. Meskipun demikian, gambar 3D mungkin
membantu dalam visualisasi besar kominuta, zygomatico, dan kompleks
fraktur yang melibatkan beberapa rangkaian,khususnya sehubungan dengan
midface. Gambar 3D memberikan informasi hanya mengenai arsitektur.
Untuk jeratan lemak dan otot, encephaloceles, hematoma, dan cedera terkait
harus dinilai radiografi melalui CT Scan 2D (Candance, 2010).
Pada kebanyakan pasien dengan dampak wajah yang signifikan, CT scan
harus dilakukan. CT scan harus dilakukan dengan potongan aksial tidak
lebih besar dari 3 mm terpisah, dari atas tempurung kepala melalui bagian
bawah mandibula.. Secara umum, CT scan dapat diterima untuk diagnosis
pada semua fraktur wajah, selain mandibula. Meskipun CT scan pada
dasarnya 100% sensitif dan spesifik untuk fraktur, namun tidak memberikan
informasi rinci tentang struktur gigi. Hal ini paling penting di daerah sudut
mandibula dengan mengenai kondisi geraham ketiga. Informasi mengenai
kerusakan akar gigi dan posisi relatif terhadap patah tulang sangat penting
dalam perencanaan dan pengobatan patah tulang sudut (Saigal et al., 2005)
15

5. RENCANA PENCEGAHAN
a. Penanganan awal
Stabilkan Pasien
Primary survey: Airway, breathing, circulation, dan selanjutnya tetap
diawasi. Fraktur mandibula bilateral dan maxilla harus distabilkan agar
tidak mengganggu jalan napas. Apabila ada perdarahan lakukan
penjahitan.
Bila ada hematoma septum nasi atau hematoma auricula, harus
dilakukan drainase dan dilanjutkan dengan balut tekan/ tamponade
hidung.
Secondary survey: pemeriksaan leher, neurologis, scalp, orbita,
telinga, hidung, wajah bagian tengah (midfacial), mandibula, rongga
mulut, dan oklusi. Adanya cedera kepala (brain injury) dapat menunda
timing operasi Open Reduction Internal Fixation (ORIF) pada fraktur
tulang muka.
Bila ada luka, ditutup dengan kasa lembab sambil menunggu terapi
definituf.
Identifikasi cedera
Memperoleh gambaran imaging yang diperlukan (CT scan 3-dimensi)
16

Konsultasi dengan bagian yang bersangkutan, misalnya bedah saraf,
bedah tulang, jantung, rehabilitasi medik, dan anestesi untuk persiapan
operasi).
Konsultasikan penyakit menular atau infeksi
Stabilkan dasar jaringan keras untuk mendukung jaringan lunak dan
mencegah kontraktur bekas luka sebelum rekonstruksi utama.
Lakukan review menyeluruh dan imaging serta tentukan perawaan
yang akan dilakukan.
b. Penanganan lanjut
Ganti komponen jaringan lunak yang hilang
Lakukan rekonstruksi utama dan manajemen fraktur
Memasukkan agresif fisik / pengobatan dgn memberi pekerjaan
tertentu
Lakukan rekonstruksi sekunder (misalnya, implan, vestibuloplasty)
Lakukan rekonstruksi tersier (misalnya, masalah kosmetik, bekas luka
revisi)
(Powers et al., 2005; Khan et al, 2010, Parashar, 2007)
6. PROGNOSIS
Jika terapi dan operasi perbaikan untuk memulihkan bentuk dilakukan
dalam waktu 1 minggu setelah cedera/ trauma maka prognosis dapat baik. Jika
penderita mempunyai penyakit kronik atau osteoporosis maka
penyembuhannya bisa jadi masalah.
Trauma kendaraan sepeda motor atau luka tembak sebagai contoh dapat
menyebabkan trauma berat pada wajah sehingga menbutuhkan bedah multipel
dan membutuhkan perawatan yang lama. Laserasi jaringan lunak karena bekas
luka biasanya dapat diatasi dengan lebih maksimal oleh ahli bedah plastik.
Salah satu metode pencegahan trauma antara pengguna kendaraan
bermotor di sebagian besar negara di dunia adalah wajib sabuk pengaman.
Penggunaan sistem kerja air bag maupun perlengkapan keselamatan dengan
helm (pengaman kepala) yang melindungi sampai rahang bawah juga dapat 17

menurunkan resiko kejadian luka rahang atas pada pengguna kendaraan
bermotor. Selain itu, lebih dari separuh pasien yang menderita trauma wajah,
akibat kecelakaan lalu lintas adalah setelah penggunaan alkohol dan obat-
obatan yang menyebabkan kantuk. Edukasi untuk tidak menyetir kendaraan
dalam keadaan mengantuk dan mabuk perlu dilakukan sebagai usaha
pencegahan trauma maxillofacial (Malara et al., 2006)
18

DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, S.S, Bey, A., Hashmi, G.S, et al. 2010. Neurosensory Deficit in Cases of
Zygomatic Complex Fractures. Current Neurobiology Volume 1, pp. 51-54
Candace. Pau, Barrera. Jose, et al. 2010. Three-Dimensional Analysis of Zygomatic-
Maxillary Complex Fracture Patterns. Craniomaxillofacial trauma &
reconstruction
Ceallaigh. P, Ekanaykaee. K, et al. 2006. Diagnosis and management of common
maxillofacial injuries in the emergency department. Part 3: orbitozygomatic
complex and zygomatic arch fractures. Emerg Med J. pp 120 -122
David B. Kamadjaja, Coen Pramono D. 2008. Management of Zygomatic-Maxillary
Fracture (The principles of diagnosis and surgical treatment with a case
illustration). Dent J (Majalah Kedokteran Gigi) Vol 41 No. 2 April-June. pp:
77-83
Khan, M., Qiamuddin, et al. 2010. Maxillofacial and Associated Fractures of the
Skeleton. Pakistan Oral & Dental Journal, Volume 30, Nomor 2, pp. 313-316
Khreisat, Majed Hani. 2011. Diplopia in Zygomatic-Complex Fracture. Pakistan Oral
& Dental Journal Volume 31, Nomor 1, pp. 27-32
Malara, P., Malara, B., Drugacz, J. Characteristics of Maxillofacial Injuries Resulting
from Road Trafic Accident- a 5 Year Review of The Case Records from
Department of Maxillofacial Surgery in Katowice, Poland. 2006.Head and Face
Medicine, pp. 1-6
Obuekwe., et al. 2005. Etiology and Pattern of Zygomatic Complex Fractures: a
Retrospective Study. Journal of the national medical association vol 97
19

Powers, David B.; Will ,Michael; Bourgeois, Sidney L ; Hatt , Holly D. 2005.
Maxillofacial Trauma Treatment Protocol. Oral Maxillofacial Surg Clin N Am
Vol.17, Pp 341 – 355
Rajendra, P.B., Mathew, T.P., Agrawal, A, et al. 2008. Characteristics of associated
craniofacial trauma in patients with head injuries: An experience with 100
cases. J. Emerg Trauma Shock, pp: 89-94
Rehman, A., Ansari, S.R., Shah, S.M, et al. 2010. Pattern of Zygomatic Bone
Fractures and Treatment Modalities: A Study. Pakistan Oral & Dental Journal,
Volume 30, Nomor 1, pp. 36-40
Saigal, K., Ronald S. Winokur., et al. 2005. Use of Three-Dimensional Computerized
Tomography Reconstruction in Complex Facial Trauma. Facial Plastic Surgery,
Volume 21, Nomor 3, pp. 214-219
Sallam, Maha, Ghada Khalifa, et al. 2010. Ultrasonography vs Computed
Tomography in Imaging of Zygomatic Complex Fractures. Journal of American
Science, pp. 524-533
Stewart, C., Fiechti, J.F., Wolf, S.J. 2008. Maxillofacial Trauma: Challenges in ED
Diagnosis and Management. Emergency Medicine Practice, pp. 1-20
20