preskes dr lili 100%

download preskes dr lili 100%

of 37

Transcript of preskes dr lili 100%

Presentasi Kasus

GLOMERULONEFRITIS AKUT POST STREPTOKOKUS (GNAPS) PADA PASIEN ANAK BAGIAN NEFROLOGI RSDM

Oleh : ASIH NOVEA K. DYAH LISTYORINI Pembimbing : SRI LILIJANTI W., dr., Sp. A. (K) G9911112024 G9911112059

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

2012 PENDAHULUAN Glomerulonefritis akut (GNA) adalah manifestasi klinis kompleks dari proses patologis pada ginjal yang ditandai dengan adanya hematuria atau silinder sel darah merah disertai 2 dari presentasi klinis lain yaitu edem periorbital, azotemia, oligouria dan hipertensi. GNA dapat diklasifikasikan menjadi 4 kategori klinis utama yaitu GNA postinfeksius, GNA berhubungan dengan penyakit sistemik, GNA idiopatik dan GNA familial (Elzouki, 2001). Pada anak-anak, penyebab GNA paling banyak adalah postinfeksi yang meliputi bakteri, virus maupun parasit. GNA postinfeksi yang paling umum adalah yang mengikuti infeksi streptococcus hemoliticus grup A pada faring (faringitis) dan kulit (pioderma) dikenal dengan istilah Glomerulonefritis Akut Post Infeksi Streptococcus (GNAPS). GNAPS terjadi dalam dua bentuk yaitu epidemik dan sporadic (Elzouki, 2001). Streptococcus hemoliticus menjadi penyebab yang paling umum kejadian Glomerulonefritis Akut pada anak-anak di negara berkembang di Thailand, China, India, Afrika Selatan, Amerika Selatan, Asia Tenggara, Turki dan Arab. Penelitian mengungkapkan terdapat beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh yaitu: 1. Kepadatan penduduk per unit rumah (insiden lebih tinggi di negara dengan jumlah anggota keluarga dalam serumah lebih banyak); 2. Prevalensi streptococcus strain nefritogenik di populasi (Elzouki, 2001). Penyakit ini umumnya terjadi pada anak umur 3-7 tahun. Penyakit ini jarang terjadi pada anak usia < 2 tahun dan paling umum terjadi pada laki-laki. Penelitian pada 302 anak dengan sporadik GNAPS menunjukkan bahwa umur rata-rata 7,1 tahun, 85% berumur 4 tahun ke atas dengan rasio laki-laki:perempuan 1,6:1. Kasus GNAPS biasanya terkluster dalam satu keluarga. Sebuah penelitian mengungkapkan

2

bahwa 20% dari kontak saudara kandung dari pasien dengan GNAPS berkembang menjadi glomerulonefritis klinis atau subklinis (Elzouki, 2001). Dengan tingkat kejadian yang masih tinggi tersebut, maka perlu untuk dilakukan kajian secara lebih mendalam tentang GNAPS mulai dari kriteria klinis, diagnosis dan terapi sehingga kasus-kasus GNAPS dapat ditegakkan dengan tepat dan dapat segera dilakukan penatalaksanaan yang benar untuk mencegah terjadinya komplikasi maupun penularan lebih lanjut.

3

STATUS PASIENI. IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis Kelamin Nama Ayah Pekerjaan Ayah Nama Ibu Pekerjaan Ibu Agama Alamat Tanggal masuk No. RM II. ANAMNESIS Alloanamnesis diperoleh dari ibu penderita tanggal 28 Maret 2012. A. Keluhan Utama : Pusing (sakit kepala) B. Riwayat Penyakit Sekarang : Kurang lebih 9 hari SMRS, pasien panas tinggi selama 2 hari. Riwayat batuk (+), pilek (+), nyeri telan (+), riwayat infeksi di kulit (-), bercak merah di kulit (-), BAK normal, banyak, warna kuning, BAB normal, mencret (-), mual-muntah (-). Kemudian berobat ke puskesmas dan mendapat obat penurun panas. Kurang lebih 7 hari SMRS, panas menghilang, namun timbul bengkak pada kedua palpebra dan kedua kaki. Pasien berobat ke puskesmas lagi, dan didiagnosis mengalami alergi obat. Kurang lebih 3 hari SMRS, pasien mengeluhkan sakit kepala sampai mau menangis, disertai muntah setiap kali makan dan minum. Kemudian Ibu pasien memberikan parasetamol tetapi sakit : An. FA : 14 tahun : Laki - laki : Bp. Suradi : Petani : Ibu Eni : Petani : Islam : Kuryo 04/01 Jatipurno Wonogiri : 28 Maret 2012 pukul 14.00 WIB : 01120049

Tanggal Pemeriksaan : 28 Maret 2012

4

kepala tidak menghilang. Pasien juga mengeluh warna kencing seperti air teh. Pasien kemudian dibawa ke IGD RSDM. Di IGD, pasien tampak kesakitan, selalu memegang kepala (merasa pusing). Tampak udem pada palpebra dan kedua kaki, panas (-), batuk (+), pilek (+), nyeri telan (+), koreng (-), BAK di IGD (+), sedikit, warna seperti air teh. C. Riwayat Penyakit Dahulu : 1. 2. 3. 4. 1. 2. Ayah Ibu Saudara Pemeriksaan di Frekuensi Riwayat hipertensi sebelumnya Riwayat sakit jantung bawaan Riwayat sakit kepala Riwayat alergi Riwayat sakit ginjal pada orang tua Riwayat hipertensi pada orang tua : baik : baik : baik : Bidan : Trimester I Trimester II Trimester III Obat-obatan yang diminum selama kehamilan (-) G. Riwayat Kelahiran : Pasien lahir di praktek bidan, ditolong bidan, dengan berat badan lahir 3300 gram dan panjang 50 cm, lahir spontan, langsung menangis, menangis kuat, usia kehamilan 9 bulan. H. Riwayat Postnatal Rutin ke puskesmas untuk menimbang badan dan mendapat imunisasi. : 1x/ 1 bulan : 2x/ 1 bulan : 3x/ 1 bulan : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : (-) : (-)

D. Riwayat Penyakit Keluarga

E. Riwayat Kesehatan Keluarga

F. Pemeliharaan Kehamilan dan Prenatal

Keluhan selama kehamilan : pusing-pusing (-), mual (-).

5

I. Status Imunisasi Jenis 1. BCG 2. DPT 3. Polio 4. Campak 5. Hepatiti sB I 2 bulan II III 6 bulan 4 bulan 3 bulan IV 6 bulan -

2 bulan 4 bulan 0 bulan 2 bulan 9 bulan Lahir 1 bulan

J. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Pasien duduk di kelas 2 SMP. Pasien mempunyai prestasi sekolah yang wajar sesuai dengan teman sebayanya dengan indikasi pasien tidak pernah tinggal kelas. Berat badan pasien juga sesuai dengan anak seusianya, namun perawakan pasien tergolong pendek. Kemampuan bahasa pasien cukup baik dibuktikan dengan keikutsertaan pasien di organisasi sekolah. Pasien juga mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di bidang olahraga. K. Riwayat Makan Minum Anak Sehari-hari pasien makan sebanyak 3 kali yaitu sebelum pergi ke sekolah, setelah pulang sekolah dan malam hari sebelum tidur. Dengan porsi setiap makan 1 piring penuh. Nafsu makan pasien baik, sehingga setiap makan selalu habis. Makanan pasien sehari-harinya terdiri atas nasi dan lauk-pauk. Lauk-pauk yang sering digunakan adalah tempe, tahu dan telur goreng. Pasien tidak suka mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan. Pasien jarang mengkonsumsi daging, baik daging

6

ayam maupun sapi. Dalam satu bulan rata-rata hanya 2 kali saja. Konsumsi air putih pasien kurang lebih 5 gelas dalam satu hari. Kesan : kualitas dan kuantitas baik L. Riwayat Keluarga Berencana : Ibu penderita tidak mengikuti KB M. Pohon Keluarga

: An. FA, , 14 Tahun (BB : 35 kg, TB 145 cm) Penderita merupakan anak ke-1 dari 6 bersaudara. Riwayat anak lahir meninggal tidak ada, riwayat keguguran satu kali. Ayah dan ibu menikah satu kali. III. PEMERIKSAAN FISIK A. Keadaan Umum Keadaan umum Status gizi B. Tanda vital Nadi Pernafasan Suhu Tekanan darah : 92 x/menit, reguler, isi tegangan cukup : 26 x/menit,reguler, dalam, tipe abdominothorakal : 37,4 C (per axiler) : 150/110 mmHg : tampak kesakitan memegangi kepala : kesan gizi normal Derajat kesadaran : compos mentis

7

BB TB C. Kulit

: 9,5 kg : 73 cm

Warna sawo matang, kelembaban baik, ujud kelainan kulit (-) D. Kepala Bentuk mesosefal E. Mata Edema palpebra (+/+), konjungtiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), cowong (-/-), air mata (+/+), pupil isokor (2mm/2mm), refleks cahaya (+/+). F. Hidung Bentuk normal, nafas cuping hidung (-/-), sekret (+/+), darah (-/-) G. Mulut Bibir sianosis (-), mukosa basah (+) H. Telinga Bentuk normal, tragus pain (-), mastoid pain (-), sekret (-) I. Tenggorok Nyeri telan (+), tonsil T3-T3, tonsil hiperemis (+), kripte melebar (-), detritus (-), mukosa faring hiperemis (+) J. Leher Bentuk normocolli, trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak membesar, JVP tidak meningkat. K. Lymphonodi Preaurikuler Retroaurikular Submental Submandibular Jugularis media Supraklavikula : tidak membesar : tidak membesar : tidak membesar : tidak membesar : tidak membesar : tidak membesar

Jugularis superior : tidak membesar Jugularis inferior : tidak membesar

8

Cervical posterior : tidak membesar L. Thorax Bentuk : normochest, retraksi (-), gerakan simetris kanan kiri Pulmo : Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Cor : Inspeksi Palpasi Perkusi : Pengembangan dada kanan = kiri : Fremitus raba normal, dada kanan = kiri : Sonor di semua lapang paru : Suara dasar vesikuler (+/+), suara bronchial (-/-), suara tambahan (-/-) : iktus kordis tidak tampak : iktus kordis teraba di SIC V LMCS tidak kuat angkat : * RBCD: 1 jari sebelah medial sepanjang linea sternalis dekstra * LBCD: sepanjang SIC II linea sternalis sinistra hingga 1 jari sebelah medial SIC V linea midklavikularis sinistra dengan bagian di SIC IV dan SIC III bergeser lebih ke medial, yaitu pada pinggang jantung. (Batas jantung kesan tidak melebar) Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas nomal, regular, bising (+) sistolik grade III/6 di SIC III LPSS. M. Abdomen Inspeksi Perkusi Palpasi : dinding perut sejajar dinding dada : timpani, pekak alih (-) : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit baik, undulasi (-) N. Urogenital : edema skrotum (-), phymosis(-) O. Ekstremitas Auskultasi : Bising usus (+), frekuensi normal

9

Akral dingin -

-

edema

-

+ +

Capillary Refill Time < 2 detik Arteri dorsalis pedis teraba kuat

P. Perhitungan Status Gizi 1. Secara klinis Kepala Mata Mulut Otot Kulit Dada Ekstremitas : rambut jagung (-), mudah dicabut (-) : CA (+/+), cowong (-/-), bercak bitot (-) : Mukosa basah (+), pucat (-) : wasting (-) : kulit keriput (-), dermatitis (-) : iga gambang (-) : akral dingin Status gizi secara klinis : gizi kesan baik 2. Secara Antropometris Umur : 14 tahun BB : 35 kg TB : 145 cm BB : 35 x 100% = 68,6% U 51 TB : 145x 100% = 88,4% U 164 BB : 35x 100% = 94,5 % TB 37 TB Ayah = 158 cm TB Ibu = 142 cm TPG = (158 + (142 + 13) 8,5 2 BB/U< p3 (CDC, 2000) TB/U< p3 (CDC, 2000) p25< BB/TB< p50 (CDC, 2000) -

Status gizi secara antropometri : gizi normal

10

= 156,5 8,5 cm (148-165 cm) Perawakan pendek

III.

PEMERIKSAAN PENUNJANG RUJUKAN 14.0 17.5 33 45 4.5-14.5 3.80 5.80 150 450 80.0 - 96.0 28.0 33.0 33.0 36.0 11.6 - 14.6 7.2 - 11.1 25 65 52.00 - 67.00 33.00 48.00 0.00 - 6.00 6.0 8.0 0.5 1.0 < 48 3.2 4.5 50 - 200 400 IU/ml () 5. Kimia Urin: Berat Jenis: 1.015 pH: 5.0

11

6.

7.

8.

Nitrit: negatif Protein: +3 Glukosa: normal Keton: negatif Urobilinogen: normal Bilirubin: negatif Eritrosit: +4 Leukosit: 25 /l () Protein: 500 mg/dl () Eritrosit: 250 () Mikroskopis: Leukosit: 78,8 /l () Leukosit: 14 /LPB () Epitel Transisional: - /LPB Epitel Bulat: - /LPB Silinder: Hyline: 1/LPK Granulated: 2-3 /LPK () Lekosit: Yeast like cell: 0.00 Small round cell: 5,2 /l () Sperma: 0.0 Konduktivitas: 9.2 mS/cm EKG QPS Axis: +60 Gelombang P: 1,5 mm Interval PR : 0,24 detik (memanjang) Interval QRS : 0,04 detik (memanjang)

negatif negatif normal negatif normal negatif negatif negatif negatif negatif 0 5.8 0 12 Negatif Negatif 03 negatif negatif 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 3.0 32.0

V. RESUME Seorang pasien An. FA, laki-laki, umur 14 tahun dengan keluhan utama pusing (sakit kepala). Pasien mengeluhkan panas tinggi selama 2 hari sebelum masuk rumah sakit dengan riwayat batuk (+), pilek (+), dan nyeri telan (+). Tampak bengkak pada kedua palpebra dan kedua kaki. Air kencing pasien berwarna seperti air teh. Riwayat pemeliharaan prenatal baik. Riwayat kelahiran normal, dengan usia kehamilan 37 minggu. Riwayat pemeliharaan postnatal

12

baik. Riwayat imunisasi lengkap. Riwayat nutrisi kualitas dan kuantitas kesan baik. Riwayat perkembangan baik. Sedangkan riwayat pertumbuhan didapatkan perawakan pendek. Pada pemeriksaan vital sign, diperoleh tekanan darah 150/110 mmHg. Pada pemeriksaan fisik mata diperoleh edema palpebra (+/+), konjungtiva anemis (+/+). Pemeriksaan tenggorok diperoleh ukuran tonsil T3-T3, tonsil dan mukosa faring hiperemis. Pada auskultasi jantung didapatkan bising sistolik grade III/6 di SIC III LPSS. Pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan edema pada kedua kaki. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan hasil yang menurun yaitu Hb 9,6 g/dl, Hct 30%,dan eritrosit 3,6 juta. Nilai indeks eritrosit juga menurun yaitu MCH 26,6 pg, MCHC 31,6 g/dl. Hitung jenis granulosit meningkat 80,20%, limfosit menurun 14, 50%. Pemeriksaan kimia klinik didapatkan kreatinin dan ureum meningkat yaitu 1,1 mg/dl dan 89 mg/dl. Pemeriksaan serologi didapatkan ASTO yang meningkat yaitu >400 IU/ml. Pemeriksaan kimia urin didapatkan hasil yang meningkat yaitu leukosit 25/l, protein 500 mg/dl, eritrosit 250/ l. Pemeriksaan mikroskopis urin didapatkan leukosit meningkat yaitu 14/LPB. Didapatkan silinder granulasi 2-3/LPK dan small round cell 5,2/ l. Pada pemeriksaan EKG didapatkan PR interval memanjang yaitu 0,24 detik. QRS interval memanjang yaitu 0,04 detik. VI. DAFTAR MASALAH 1. Pusing (sakit kepala) 2. Edema palpebra dan kedua kaki 3. Conjungtiva anemis 4. Tekanan darah 150/110 mmHg 5. TB/U < P3 6. Tonsil T3-T3 7. Bising sistolik grade III/6 8. Hb 9,6 g/dl, MCH 26,6 pg, MCHC 31,6 g/dl

13

9. ASTO > 400 IU/ml 10. Leukosit urin 25/ l 11. Protein urin 500 mg/dl 12. Ureum 89 mg/dl, kreatinin 1,1 mg/dl VII. DIAGNOSIS BANDING 1. Hipertensi grade II e/c GNAPS DD non PS 2. Tonsilofaringitis akut 3. Anemia mikrositik hipokromik e/c infeksi dd defisiensi Fe 4. Infeksi saluran Kemih 5. Sindroma nefrotik 6. Perawakan pendek 7. Kelainan jantung: DE: PJR; DA: AR Trivial dan TR ringan; DF: NYHA I. VIII. DIAGNOSIS KERJA 1. 2. 3. 1. 2. 3. 4. Diet nefritis 2100 kalori/hari Paracetamol 3 x 100 mg p.o. (bila t> 38oC) Injeksi Furosemid 35 mg/12 jam iv Captopril 0,3 mg/KgBB/kali p.o X. PLANNING 1. Swab tenggorok (kultur dan sensitivitas tes) 2. C3 komplemen 3. CRP 4. Urinalisa, kultur urin 5. SI/TIBC (saturasi transferin), Feritin 6. Foto rontgen thoraks 7. Echocardiografi XI. MONITORING Hipertensi grade II e/c GNAPS Tonsilofaringitis akut Anemia mikrositik hipokromik e/c infeksi

IX. PENATALAKSANAAN

14

1. KU/VS/TD/4 jam 2. BC/D/8 jam X. EDUKASI Pasien disarankan untuk tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung garam dan air yang terlalu banyak.

LEMBAR MONITORINGTanggal 29-03-12 Jam Pemeriksaan KU/VS 14.00 HR = 90 x/1 RR = 23 x/1 S = 36,8oC (peraxiler) TD = 100/90 mmHg 16.00 HR = 110 x/1 RR = 25 x/1 S = 36,8oC (peraxiler) TD = 130/100 mmHg 18.00 HR = 104 x/1 RR = 24 x/1 S = 36,8oC (peraxiler) TD = 130/100 mmHg 20.00 HR = 98 x/1 RR = 24 x/1 S = 36,7oC (peraxiler) TD = 120/80 mmHg 22.00 HR = 100 x/1 RR = 22 x/1 S = 36,6oC (peraxiler) TD = 120/80 mmHg 00.00 HR = 88 x/1 RR = 22 x/1 S = 36,2oC (peraxiler) TD = 110/80 mmHg 02.00 HR = 84 x/1 RR = 20 x/1 S = 36,4oC (peraxiler) TD = 110/80 mmHg 04.0 HR = 84 x/1 0 RR = 22 x/1 S = 36,6oC (peraxiler) TD = 120/100 mmHg 06.00 HR = 86 x/1 RR = 30 x/1 S = 36,2oC (peraxiler) TD = 140/100 mmHg Tanggal 01-03-12 Jam 14.00 Pemeriksaan KU/VS HR = 100 x/1 RR = 24 x/1 S = 36,3oC (peraxiler) TD = 120/80 mmHg HR = 108 x/1 RR = 32 x/1 S = 36,7oC (peraxiler) TD = 120/80 mmHg HR = 96 x/1 RR = 18 x/1 S = 36,1oC (peraxiler) TD = 120/80 mmHg HR = 100 x/1 RR = 80 x/1 S = 36,5oC (peraxiler) TD = 120/80 mmHg HR = 82 x/1 RR = 24 x/1 S = 36,3oC (peraxiler) TD = 120/80 mmHg HR = 72 x/1 RR = 23 x/1 S = 36,6oC (peraxiler) TD = 130/100 mmHg HR = 84 x/1 RR = 28 x/1 S = 36,8oC (peraxiler) TD = 130/90 mmHg HR = 88 x/1 RR = 24 x/1 S = 36,5oC (peraxiler) TD = 110/80 mmHg HR = 86 x/1 RR = 23 x/1 S = 36,3oC (peraxiler) TD = 110/80 mmHg

18.00

22.00

02.00

06.00

02-04-12

14.00

18.00

22.00

02.00

15

30-03-12

07.00 HR = 105 x/1 RR = 28 x/1 S = 37,0oC (peraxiler) TD = 130/100 mmHg

06.00

HR = 80 x/1 RR = 23 x/1 S = 35,3oC (peraxiler) TD = 110/80 mmHg

FOLLOW UP PASIENFollow up S O Tanda Vital DPH I (29 Maret 2012) Batuk (+), demam (-), BAK (+) warna teh , BAB (+) kuning, muntah (-), mual (-), pusing (+) kompos mentis, tampak kesakitan, gizi baik HR : 98 x/menit RR : 24 x/menit t : 37,0oC (per axiler) Kepala Telinga Mata TD : 140/110 mmHg Mesocefal bentuk normal Edema palpebra (+/+), DPH II (30 Maret 2012) Batuk (+), demam (-), BAK (+) warna teh, BAB (+) kuning, muntah (-), mual (-), pusing (+) kompos mentis, tampak lemas, gizi baik HR : 86 x/menit RR : 30 x/menit t : 36,2 oC (per axiler) TD : 140/100 mmHg Mesocefal bentuk normal Edema palpebra (+/+),

pupil

isokor

Pupil

isokor

(2mm/2mm), reflek cahaya (+/+), konjungtiva Hidung Mulut Tenggorok anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-) Napas cuping hidung (-/-), sekret (+/+) Mukosa basah (+), sianosis (-) Nyeri telan (+,) Tonsil T3-T3, tonsil hiperemis (+), kripte melebar (-), detritus (-), mukosa faring hiperemis (+) Thorax Retraksi (-) Cor : : Ictus cordis tidak tampak, IC teraba di SIC V LMCS, BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (+), sistolik grade III/6, p.m di SIC III Linea parasternalis sinistra Pulmo: Fremitus raba normal, SD vesikuler (+/+), RBK(-/-), Suara Abdomen bronchial (-/-), Suara tambahan (-/-) Supel, Dinding perut // dinding dada, pekak alih (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor < 2 detik, peristaltik (+) normal, undulasi Ekstremitas (-) Akral dingin (-) Edema kedua kaki (+) Asessment CRT < 2 detik 1. Hipertensi Grade II e/c DD GNAPS, GNA nonPS 2. DE : PJR DA : Tsk Mitral Stenosis DF : NYHA I

(2mm/2mm), reflek cahaya (+/+), konjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-) Napas cuping hidung (-/-), sekret (+/+) Mukosa basah (+), sianosis (-) Nyeri telan (+,) Tonsil T3-T3, tonsil hiperemis (+), kripte melebar (-), detritus (-), mukosa faring hiperemis (+) Retraksi (-) Cor : : Ictus cordis tidak tampak, IC teraba di SIC V LMCS, BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (+), sistolik grade III/6, p.m di SIC III Linea parasternalis sinistra Pulmo: Fremitus raba normal, SD vesikuler (+/+), RBK(-/-), Suara bronchial (-/-), Suara tambahan (-/-) Supel, Dinding perut // dinding dada, pekak alih (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor < 2 detik, peristaltik (+) normal, undulasi (-) Akral dingin (-) Edema kedua kaki (+) CRT < 2 detik 1. GNAPS 2. Hipertensi stage II DE : PJR

3.

DA : Tsk Mitral stenosis

16

3. 4. 5.

Perawakan pendek Anemia Mikrositik Hipokromik e/c Tsk ISK

DF : NYHA I 4. 5. 6. Perawakan pendek Anemia Mikrositik Hipokromik e/c Tsk ISK

infeksi DD defisiensi Fe

infeksi DD defisiensi Fe

Terapi

- Diet nefritis 2100 kkal /hari - Inj Furosemid 35mg/12 jam IV - Captopril 0,3 mg/kgBB/kali = 3x12,5 mg p.o - Amoxicilin 3 x 500 mg p.o (I)

- Diet nefritis 2100 kkal /hari - Inj Furosemid 35mg/12 jam IV - Captopril 0,3 mg/kgBB/kali = 3x12,5 mg p.o -Amoxicilin 3 x 500 mg p.o (II)

Plan

- Swab tenggorok

- Tunggu hasil swab tenggorok - CRP, SI/TIBC, feritin, saturasi transferin, C3 komplemen, urinalisa, kultur urin - Tunggu jadwal Echocardiografi

Monitoring

- KU/VS/TD tiap 4 jam - BC/D tiap 8 jam

- KU/VS/TD tiap 4 jam - BC/D tiap 8 jam

Follow up S O Tanda Vital

DPH III (31 Maret 2012) Batuk (+), demam (-), BAK (+) warna teh, BAB (+) kuning, muntah (-), mual (-), pusing (+) kompos mentis, lemah, gizi baik HR : 100 x/menit RR : 20 x/menit t : 36,3 C (per axiler)o

DPH IV (1 April 2012) Batuk (-), demam (-), BAK (+) warna kuning, BAB (+) kuning, muntah (-), mual (-), pusing (+) kompos mentis, KU baik, gizi baik HR : 88 x/menit RR : 24 x/menit t : 36,8oC (per axiler) TD : 120/80 mmHg Mesocefal bentuk normal Edema palpebra (-/-), Pupil isokor (2mm/2mm), reflek cahaya (+/+), konjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-) Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-) Mukosa basah (+), sianosis (-) Nyeri telan (-,) Tonsil T3-T3, tonsil hiperemis (-), kripte melebar (-), detritus (-), mukosa faring hiperemis (-) Retraksi (-) Cor : : Ictus cordis tidak tampak, IC teraba di SIC V LMCS, BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (+), sistolik grade III/6, p.m di SIC III Linea parasternalis sinistra Pulmo: Fremitus raba normal, SD vesikuler (+/+), RBK(-/-), Suara bronchial (-/-), Suara tambahan (-/-) Supel, Dinding perut // dinding dada, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor < 2 detik, pekak alih (-), peristaltik (+) normal, undulasi (-)

Kepala Telinga Mata

TD : 120/80 mmHg Mesocefal bentuk normal Edema palpebra (+/+), Pupil isokor (2mm/2mm), reflek cahaya (+/+), konjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-) Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-) Mukosa basah (+), sianosis (-) Nyeri telan (+) Tonsil T3-T3, tonsil hiperemis (+), kripte melebar (-), detritus (-), mukosa faring hiperemis (+) Retraksi (-) Cor : : Ictus cordis tidak tampak, IC teraba di SIC V LMCS, BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (+), sistolik grade III/6, p.m di SIC III Linea parasternalis sinistra Pulmo: Fremitus raba normal, SD vesikuler (+/+), RBK(-/-), Suara

Hidung Mulut Tenggorok

Thorax

Abdomen

bronchial (-/-), Suara tambahan (-/-) Supel, Dinding perut // dinding dada, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak undulasi (-) teraba, turgor < 2 detik,pekak alih (-), peristaltik (+) normal,

17

Ekstremitas

Akral dingin (-) Edema (-) CRT < 2 detik 1. GNAPS

Akral dingin (-) Edema (-) CRT < 2 detik 1. GNAPS

Asessment

2.3.

Riwayat Hipertensi Stage II DE : PJR

2.3.

Riwayat Hipertensi Stage II DE : PJR

DA : Tersangka Mitral Stenosis DF : NYHA I

DA : AR Trivial, TR ringan DF : NYHA I

4.5.

Perawakan pendek Anemia mikrositik hipokromik e/c

4.5.

Perawakan pendek Anemia mikrositik hipokromik e/c

infeksi DD defisiensi Fe Tsk ISK Terapi - Diet nefritis 2100 kkal /hari - Inj Furosemid 35mg/12 jam IV - Captopril 0,3 mg/kgBB/kali = 3x12,5 mg p.o - Amoxicilin 3 x 500 mg p.o (III) Plan - Echocardiogram

infeksi DD defisiensi Fe 6. Tsk ISK - Diet nefritis 2100 kkal /hari - Inj Furosemid 35mg/12 jam IV - Captopril 0,3 mg/kgBB/kali = 3x12,5 mg p.o - Amoxicilin 3 x 500 mg p.o (IV) - Tunggu hasil swab tenggorok ( Hasil Echocardiogram: AR Trivial, TR ringan, Fungsi sistoilik dan diastolik baik) - KU/VS/TD tiap 4 jam - BC/D tiap 8 jam

Monitoring

- KU/VS/TD tiap 4 jam - BC/D tiap 8 jam

Follow up S O Tanda Vital

DPH V (2 April 2012) Batuk (-), demam (-), BAK (+) warna kuning, BAB (+) kuning, muntah (-), mual (-), pusing (-) kompos mentis, gizi baik HR : 82 x/menit RR : 24 x/menit t : 36,3oC (per axiler) TD : 120/80 mmHg mesocefal bentuk normal Edema palpebra (-/-), Pupil isokor (2mm/2mm), reflek cahaya (+/+), konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-) Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-) Mukosa basah (+), sianosis (-) Nyeri telan (-,) Tonsil T3-T3, tonsil hiperemis (-), kripte melebar (-), detritus (-), mukosa faring hiperemis (-) Retraksi (-) Cor : : Ictus cordis tidak tampak, IC teraba di SIC V LMCS, BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (+), sistolik grade III/6, p.m di SIC III Linea parasternalis sinistra Pulmo: Fremitus raba normal, SD vesikuler (+/+), RBK(-/-), Suara bronchial (-/-), Suara tambahan (-/-) Supel, Dinding perut // dinding dada, nyeri tekan

DPH VI (3 April 2012) Batuk (-), demam (-), BAK (+) kuning jernih, BAB (+) kuning, muntah (-), mual (-), pusing (-) kompos mentis, gizi baik HR : 80 x/menit RR : 23 x/menit t : 35,9oC (per axiler) TD : 110/80 mmHg Mesocefal bentuk normal Edema palpebra (-/-), Pupil isokor (2mm/2mm), reflek cahaya (+/+), konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-) Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-) Mukosa basah (+), sianosis (-) Nyeri telan (-,) Tonsil T3-T3, tonsil hiperemis (-), kripte melebar (-), detritus (-), mukosa faring hiperemis (-) Retraksi (-) Cor : : Ictus cordis tidak tampak, IC teraba di SIC V LMCS, BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (+), sistolik grade III/6, p.m di SIC III Linea parasternalis sinistra Pulmo: Fremitus raba normal, SD vesikuler (+/+), RBK(-/-), Suara bronchial (-/-), Suara tambahan (-/-) Supel, Dinding perut // dinding dada, nyeri tekan

Kepala Telinga Mata

Hidung Mulut Tenggorok

Thorax

Abdomen

18

(-), hepar dan lien tidak teraba, turgor < 2 detik, pekak alih (-), peristaltik (+) normal, undulasi (-) Ekstremitas Akral dingin (-) Edema (-) Asessment CRT < 2 detik 1. GNAPS

(-), hepar dan lien tidak (-) Akral dingin (-) Edema (-) CRT < 2 detik 1. GNAPS

teraba, turgor < 2

detik,pekak alih (-) peristaltik (+) normal, undulasi

2. 3.

Riwayat Hipertensi Stage II DE : Obs PJR

2.3.

Riwayat Hipertensi Stage II DE : PJR

DA : AR Trivial, TR ringan DF : NYHA I

DA : AR Trivial, TR ringan DF : NYHA I 4. 5. 6. Perawakan pendek Anemia mikrositik hipokromik e/c Tsk ISK

4.5.

Perawakan pendek Anemia mikrositik hipokromik e/c

infeksi DD defisiensi Fe

infeksi DD defisiensi Fe Terapi 6. Tsk ISK - Diet nefritis 2100 kkal /hari - Inj Furosemid 35mg/12 jam IV - Captopril 0,3 mg/kgBB/kali = 3x12,5 mg p.o - Amoxicilin 3 x 500 mg p.o (V) Monitoring - KU/VS/TD tiap 4 jam - BC/D tiap 8 jam

- Diet nefritis 2100 kkal /hari - Inj Furosemid 35mg/12 jam IV - Captopril 0,3 mg/kgBB/kali = 3x12,5 mg p.o - Amoxicilin 3 x 500 mg p.o (VI) - KU/VS/TD tiap 4 jam - BC/D tiap 8 jam

TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI

19

Glomerulonefritis akut post infeksi streptococcus(GNAPS) adalah sebuah contoh klasik sindrom nefritik akut yang ditandai dengan awitan mendadak terjadinya hematuria, edema, hipertensi, dan insufisiensi renal (azotemia). Gejala-gejala ini timbul setelah infeksi kuman streptococcus hemolitikus grup A di saluran nafas bagian atas atau setelah infeksi di kulit (Pudjiadi dan Hegar, 2010). B. EPIDEMOLOGI Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu proses reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu. Insiden GNAPS mengikuti infeksi sterptococcus hemolitikus pada faring atau kulit. Hanya tipe M tertentu yang berhubungan dengan sekuel tersebut. Pembagian tipe M berdasarkan lokasi menginfeksi. Tipe 3, 4, 12, 25 berhubungan dengan GNAPS-faringitis dan tipe 2, 6, 49, 55 dan 57 berhubungan dengan GNAPS-pioderma. GNAPS-faringitis memuncak pada musim semi dan musim salju sedangkan GNAPS-pioderma lebih prevalen pada musim panas dan musim gugur. Interval antara terjadinya infeksi streptococcus dengan perkembangan GNAPS adalah 1-2 minggu (rata-rata 10 hari) pada GNAPSfaringitis dan 4-8 minggu pada GNAPS-pioderma. Faktor penentu dimana hanya beberapa strain streptococcus nefritogenik tertentu yang mampu menginfeksi masih belum jelas (Elzouki, 2001). Hubungan antara GNA dan infeksi streptococcus ditemukan pertama kali oleh Lohlein 1907 dengan alasan bahwa timbul GNA setelah infeksi skarlatina, diisolasinya kuman streptococcus hemoliticus grup A, meningkatnya titer antistreptolisin pada serum penderita. Glomerulonefritis akut post infeksi streptococcus (GNAPS) umumnya disebabkan oleh serotype 12 dan 25 yang diduga bersifat lebih nefritogen disbanding serotype yang lain. Penyakit ini sering ditemukan pada anak berumur antara 3-7 tahun dan lebih sering mengenai anak pria dibanding wanita. Faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi mempengaruhi perkembangan menjadi GNAPS (Geetha, 2011).

20

C. BUKTI ADANYA INFEKSI STREPTOCOCCUS Isolasi streptococcus dari tenggorok atau kulit dan respon host adalah bukti adanya infeksi streptococcus. Kultur swab tenggorokdan lesi di kulit dapat mengungkapkan adanya kuman streptococcus hemoliticus. Antibodi humoral terhadap produk ekstraseluler spesifik dari streptococcus dapat diperiksa dengan menggunakan neutralizing assay. Antistreptolisin O assay adalah paling umum digunakan. 80% anak yang tidak mendapatkan perawatan titer ASTO akan meningkat hingga 4x lipat. Setelah pioderma, respon terhadap ASTO sedikit berkurang. Tetapi kebalikannya antideoxyribonuclease B (antiDNAase B) dan antihialuronidase dapat digunakan. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa peningkatan antibodi zimogen streptococcus adalah penanda paling efektif untuk infeksi streptococcus yang berhubungan dengan GNA. Studi mutakhir melaporkan bahwa kombinasi ASTO dan AntiDNAase B sangat sensitif dan spesifik untuk mengidentifikasi penyakit post infeksi streptococcus (sensitifitas 95,5% spesifisitas 88,6%) (Elzouki, 2001). D. PATOGENESIS Pada GNAPS, periode laten antara infeksi akut dengan onset nefritis diperkirakan merupakan periode yang dibutuhkan untuk menghasilkan jumlah antibodi antistreptococcus yang cukup untuk menginduksi pembentukan kompleks imun. Beberapa antigen streptococcus telah berhasil diidentifikasi pada deposit imun dalam glomerulus yaitu endostreptosin, protein strain nerfritic dan nephritis plasma-binding protein, yang membuktikan bahwa antigen tersebut adalah target serangan sistem imun yang selanjutnya menyebabkan kerusakan pada glomerulus. Hipotesis terakhir mengungkapkan bahwa antigen target pertama kali terperangkap di dalam glomerulus dan memicu pembentukan kompleks imun berikutnya di dalam ginjal. Antigen tersebut berasal dari kuman streptococcus atau merupakan molekul glomerulus normal yang mengalami reaksi silang (cross reaction) dengan antibody yang sebenarnya dihasilkan untuk menyerang

21

antigen streptococcus. Imunoglobulin G dapat menjadi antigen yang tertanam setelah mengalami desialasi oleh neuraminidase streptococcus dengan pengambilan Imunoglobulin G elektrostatik akibat paparan muatan permukaan yang positif. Sesaat setelah deposit imun glomerular terbentuk, aktivasi kaskade komplemen dan infiltrasi leukosit yang berada dalam sirkulasi akan mengawali terjadinya kerusakan glomerulus yang bersifat eksudatif dengan banyak neutrofil intraglomerular dijumpai (Avner dan Davis, 2004). Hasil penyelidikan klinis-imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab dengan beberapa hipotesis yaitu: terbentuknya kompleks antigen antibody yang melekat pada membrane basalis glomerulus kemudian merusaknya; streptococcus nefritogen dan membrane basalis glomerulus mempunyai komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrane basalis ginjal. Secara garis besar terdapat dua mekanisme terjadinya glomerulonefrtis yaitu circulating immune complex dan terbentuknya deposit kompleks imun secara in situ. Antigen yang berperan pada pembentukan deposit in situ berasal dari komponen membrane basal glomerulus sendiri atau substansi dari luar yang terjebak pada glomerulus. Mekanisme pertama apabila antigen dari luar memicu terbentuknya antibody spesifik, kemudian membentuk kompleks imun AgAb yang ikut dalam sirkulasi. Kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang kemudian berikatan dengan kompleks Ag-Ab. Kompleks imun yang mengalir dalam sirkulasi akan terjebak dalam glomerulus dan mengendap di subenditel dan mesangium. Aktivasi sistem komplemen akan terus berjalan setelah terjadi pengendapan kompleks imun. Mekanisme kedua apabila antibody secara langsung berikatan dengan antigen yang merupakan komponen glomerulus. Alternatif lain apabila antigen non glomerulus yang bersifat kation terjebak pada bagian anionic glomerulus diikuti pengendapan antibody dan aktivasi komplemen secara local (Avner dan Davis, 2004). 22

Meskipun studi morfologis dan penurunan level komplemen serum (C3) secara kuat mengindikasikan bahwa glomerulonefritis akut post infeksi streptococcus diperantarai oleh imun kompleks, mekanisme pasti dimana streptococcus nefritogenik menginduksi pembentukan kompleks imun belum dapat ditentukan. Selain persamaan klinis dan histologis dengan serum sickness akut pada kelinci, penemuan kompleks imun yang bersikulasi pada GNAPS tidak selalu sama dan aktivasi komplemen terutama melalui jalur alternatif daripada melalui jalur klasik (Avner dan Davis, 2004). E. PROSES PATOLOGI Ginjal tampak secara simetris membesar. Semua glomeruli tampak melebar dan vaskularisasinya menurun dan menunjukkan proliferasi sel mesangial dengan peningkatan matriks mesangial. Leukosit polimorfonuklear sering ditemukan di glomeruli pada fase awal penyakit. Inflamasi sel sabit dan sel interstisiil dapat ditemukan pada tahap yang berat. Perubahan tersebut tidak khas untuk GNAPS. Mikroskopi imunofluorescent mengungkapkan adanya lumpy-bumpy deposit dari immunoglobulin dan komplemen pada dasar membrane glomerulus dan pada mesangium. Pada electron mikroskopi, deposit electron ditemukan pada sisi epithelial dari membrane dasar glomerulus (Avner dan Davis, 2004). F. MANIFESTASI KLINIS Presentasi Epidemiologis dan Klinis dari 302 anak dengan GNAPS sporadik Rata-rata interval umur 2-14 tahun Ratio Laki-laki : Perempuan 1,6:1 Kejadian rata-rata per rumah 8,2 Kejadian familial 2% Edema 98% Gross hematuria 60% Hipertensi 64% Encephalopathy 6% Edema pulmo 18%

23

Penurunan kadar C3 Serum kreatinin > 2mg/dl Proteinuria (nefrotik)

90% 10% 10% (Elzouki, 2001)

Gambaran klinis bervariasi. Kadang-kadang gejala ringan tetapi kadang juga berat. Gejala yang sering ditemukan ialah hematuria/ kencing berwarna merah daging. Kadang-kadang disertai edema ringan yang terbatas di sekitar mata atau di seluruh tubuh. Umumnya edem berat terdapat pada oligouria dan bila ada gagal jantung. Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama kemudian pada akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Bila terdapat kerusakan jaringan ginjal maka tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa minggu dan menjadi permanen bila penyakit menjadi kronis. Hipertensi timbul karena vasospasme atau iskemia ginjal dan berhubungan dengan gejala serebrum dan kelainan jantung. Suhu badan tidak terlalu tinggi tapi bisa sangat tinggi pada hari pertama. Kadang-kadang gejala panas tetap ada walaupun tidak ada gejala ginjal lain yang mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan, konstipasi dan diare tidak jarang menyertai penderita GNA (Hasan dan Alatas, 2007). Selama fase akut, terdapat vasokonstriksi arteriola glomerulus yang mengakibatkan tekanan filtrasi menjadi kurang dan karena hal ini kecepatan filtrasi glomerulus menjadi kurang. Filtrasi air, garam, ureum dan zat lainnya berkurang, sebagai akibatnya kadar ureum dan kreatinin darah meningkat. Fungsi tubulus relatif kurang terganggu. Ion natrium dan air diresorbsi kembali sehingga diuresis berkurang (timbul oligouria dan anuria) dan ekskresi natrium mengurang. Ureum juga diresorbsi kembali lebih dari biasanya. Akhirnya terjadi insufisiensi ginjal akut dengan uremia, hiperfosfatemia, hidremia dan asidosis metabolic (Hasan dan Alatas, 2007). Pasien akan mengalami sindrom nefritik akut setelah 1-2 minggu dari infeksi streptococcus tipe faringitis secara antesenden dan setelah 3-6 minggu infeksi streptococcus tipe pioderma. Tingkat keparahan keterlibatan 24

ginjal bervariasi dari hematuria mikroskopis yang asimptomatik dengan fungsi ginjal yang masih normal hingga gagal ginjal akut. Bergantung pada tingkat keparahan keterlibatan ginjal, pasien akan mengalami berbagai derajat edema, hipertensi, dan oligouria. Pasien mungkin akan berkembang menjadi encefalopati dan atau gagal jantung akibat dari hipertensi atau hipervolemia. Encefalopati juga bisa disebabkan oleh efek toksik secara langsung dari streptococcus pada sistem syaraf pusat. Edema biasanya disebabkan oleh adanya retensi garam dan air. Sindrom nefrotik juga bisa muncul pada 10-20% kasus. Gejala nonspesifik seperti malaise, letargi, nyeri abdominal dan flank, dan demam merupakan gejala yang paling umum dirasakan pasien. Fase akut pada umumnya akan sembuh dalam 6-8 minggu. Meskipun ekskresi protein urin dan hipertensi akan normal kembali dalam 4-6 minggu setelah onset. Namun hematuri mikroskopis dapat bertahan hingga 1-2 tahun setelah kemunculan yang pertama kali (Hasan dan Alatas, 2007). G. DIAGNOSIS 1. Anamnesis: Riwayat infeksi saluran nafas atas (faringitis) 1-2 minggu sebelumnya atau infeksi kulit (pyoderma) 3-6 minggu sebelumnya. Umumnya pasien datang dengan hematuria yang nyata atau sembab di kedua kelopak mata dan tungkai. Kadang-kadang pasien datang dengan kejang dan penurunan kesadaran akibat ensefalopati hipertensi. Oligouria/anuria akibat gagal ginjal atau gagal jantung (Pudjiadi, 2010).

2. Pemeriksaan Fisik

25

Edema. Edema adalah manifestasi klinis yang paling umum pada pasien GNAPS, yaitu 90% kasus. Edema biasa terjadi di pagi hari pada bagian periorbital. Ekstremitas bagian bawah adalah lokasi kedua untuk retensi cairan. Biasanya tidak dijumpai ascites atau efusi pleura kecuali pada pasien dengan sindrom nefrotik. Derajat edema tergantung pada jumlah garam dalam diet. Pasien dengan edema yang kurang jelas, dapat kehilangan 1-2 kg berat badan selama masa penyembuhan.

Hematuria. Gross hematuria adalah tanda umum kedua setelah edema. Hematuria ini dideskripsikan pasien sebaga air kencing yang berwarna seperti teh atau cola. Warna coklat pada kencing ini akibat terjadinya hemolisis sel darah merah dengan pembebasan hemoglobin yang kemudian diubah menjadi hematin pada suasana urin yang asam.

Hipertensi. Hipertensi terjadi pada 70-82% kasus, dan dapat memberat pada setengah dari persentase tersebut. Hipertensi biasanya muncul bersamaan onset GNAPS. Hipertensi pada pasien GNAPS berhubungan dengan ekspansi volume intravaskular dan ekstravaskuler hingga vasospasme akibat faktor neurogenik dan hormonal. Hipertensi pada GNAPS adalah bentuk volume-dependent-hypertension, sehingga restriksi cairan dan garam serta pemberian diuretik dan vasodilator mampu mengontrol kejadian hipertensi dengan optimal.

Hipertensif Ensefalopati. Gejala serebral biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan darah akut. Gejala ini dilaporkan terjadi pada 5-10% kasus. Manifestasi cerebral akut yang paling umum adalah sakit kepala, nausea, muntah, gangguan kesadaran dan kejang.

26

Gagal jantung kongestif / Edem Pulmo. Bukti klinis adanya gagal jantung kongestif yaitu adanya takikardi, takipneu, respiratory distress, ritme gallop, dan pembesaran hepatik dan adanya bukti radiologis adanya edem pulmonum yaitu infiltrat pada alveolar pulmo, cardiomegali, dan penebalan septum terjadi pada 20% kasus. Hipertensi dan hipervolemia adalah faktor primer yang menghasilkan gejala gagal jantung kongestif. Pada GNAPS, volume plasma pada pasien meningkat, dan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara volume darah dengan gejala edem pulmonal. Pada anak dengan distress respiratory, dan foto thoraks dengan cardiomegali dan edem pulmonal, maka analiusa urin harus segera dilakukan untuk mendiagnosis glomerulonefritis akut. Hemoptisis (perdarahan pulmonal) juga dapat terjadi pada GNAPS (Elzouki, 2001).

3. Pemeriksaan Penunjang Hematuria mikroskopis biasanya muncul pada semua pasien. Pemeriksaan urin mengungkapkan kadar RBCs dengan bukti hematuria glomerular, dan silinder eritrosit dapat dilihat pada spesimen urin segar. Proteinuria muncul pada 80% kasus dengan GNAPS. Meskipun begitu proteinuria masif hanya muncul pada 4-10% pasien. Kadar serum komplemen C3 didapatkan turun pada 80-95% kasus jika pengukuran dilakukan 2 minggu awal penyakit. Kadar komplemen biasanya akan kembali normal pada 6-8 minggu. Kadar komplemen yang ,menetap lebih dari 8 minggu mengindikasikan penyebab lain dari glomerulonefritis . Fungsi ginjal : azotemia timbul pada GNAPS, biasanya terdapat penurunan ringan hingga sedang dari laju filtrasi glomerulus.

27

Serum kreatinin biasanya tidak lebih dari 150 micromole/L pada sebagian besar pasien. Anemia biasanya timbul ringan berhubungan dengan ekspansi volume plasma (anemia dilusi). Laju sedimentasi meningkat selama fase akut penyakit. Kreatinin dan ureum darah meningkat ASTO meningkat pada 75-80% kasus Kultur tenggorok positif mendukung diagnosis atau

menunjukkan bahwa seseorang adalah carrier. Dengan kata lain, titer antibody yang naik terhadap antigen streptococcus mengkonfirmasi infeksi streptococcus yang baru terjadi. Jika terjadi komplikasi asidosis gagal ginjal akut, didapatkan dan

hiperkalemia, hipokalsemia.

metabolic,

hiperfosfatemia

Biopsi ginjal harusnya dipertimbangkan bila hanya dijumpai gagal ginjal akut, sindrom nefrotik, tidak ada bukti infeksi streptococcus atau kadar komplemen yang normal. Biopsi ginjal juga dianjurkan bila terdapat hematuria, proteinuria, hilangnya fungsi ginjal dan kadar C3 yang menetap selama 2 bulan setelah onset (Elzouki, 2001).

H. DIAGNOSIS BANDING Diagnosis Banding Glomerulonefritis Post Infeksi Akut A. Sistemic Disease: 1. Sistemic Lupus Eritematosus (SLE) 2. Henoch Schonlein Purpura 3. Goodpasture syndrome 4. Wegener granulomatosis

28

5. Periarteritis dan hipersensitif angitis 6. Cryoimmunoglobulinemia 7. Hemolytic-uremic syndrome B. Idiopatic glomerulonephritis: 1. Imunoglobulin A nephritis (Berger disease) 2. Mensangiocapillary proliferative glomerulonephritis 3. Rapidly progressive glomerulonephritis (RPGN) C. Familial nephritis (Alport disease) (Elzouki,2001) I. KOMPLIKASI 1. Oligouria sampai anuria dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagai akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia, dan hidremia. 2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah, dan kejang-kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh dfarah lokal dengan anoksisa dan edem otak. 3. Gangguan sirkulasi berupa dispneu, ortopneu, terdapatnya ronki basah, pembesaran jantung dan meningginya tekanan darah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesar dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium. 4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia disamping sintesis eritropoietin yang menurun (Geetha, 2011). J. PENCEGAHAN Terapi antibiotic sistemik awal untuk streptococcus pada tenggorokan dan kulit tidak dapat mengurangi resiko berkembangnya glomerulonefritis. Anggota keluarga yang juga positif menderita GNAPS sebaiknya dukultur

29

untuk menemukan streptococcus grup A -hemoliticus dan diobati jika kultur positif (Geetha, 2011). K. PENATALAKSANAAN 1. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan selama 6-8 minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya penyakit tidak berakibat buruk pada perjalanan penyakitnya. 2. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika tidak mempengaruhi beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi menyebarnya infeksi streptococcus yang mungkin masih ada dan mencegah terjadinya nefritis pada carrier. Kultur swab tenggorok sebaiknya juga dilakukan ke anggota keluarga lain yang kemungkinan terinfeksi. Dosis yang diberikan yaitu 50 mg/KgBB dibagi dalam 3 dosis. Pemberian obat golongan penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang menetap. Secara teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan kuman nefrirtogen yang lain tetapi kemungkinanya sangat kecil. 3. Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1 g/KgBB/hari), dan rendah garam (1 g./hari). Makanan lunak dapat diberikan pada penderita dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu sudah normal kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD dengn larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada komplikasi seperti gagal jantung, edema, hipertensi, dan oligouria maka jumlah cairan yang diberikan harus dibatasi. 4. Untuk masalah hipertensi diberikan diuretic. Loop diuretic akan meningkatkan urin output sehingga dapat mengurangi kongesti jantung

30

dan tekanan darah. Diuretik yang digunakan adalah Furosemid dengan dosis 20-40 mg, selama 6-8 jam setelah dosis sebelumnya hingga dosis yang diinginkan tercapai. Furosemid bekerja dengan cara meningkatkan ekskresi air melalui sistem co transport ion klorida, sehingga akan menghambat reabsorbsi garam dan klorida di bagian ansa Henle dan tubulus distal renalis. 5. Hipertensi yang tidak dapat dikontrol dengan diuretic, dapat digunakan calcium channel blocker atau angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE inhibitor). Calcium channel blocker menghambat perpindahan ion calcium melewati membrane sel sehingga tidak terjadi pembentukan impuls dan konduksi jantung. Jenis yang digunakan biasanya Amlodipine (Norvasc) yang bekerja dengan cara merelaksasi otot polos jantung dan akan menghasilkan dilatasi arteri koronaria sehingga oksigenasi jantung meningkat. Sehingga dapat memperbaiki gangguan fungsi sistolik, hipertensi dan aritmia yang terjadi. Untuk ACE inhibitor, bekerja dengan menghambat perubahan angiotensin 1 menjadi angiotensin 2 sehingga sekresi aldosteron akan menurun. Preparat yang digunakan adalah Captopril dan Enalapril. Enalapril bekerja dengan cara menjadi inhibitor kompetitif angiotensin converting enzyme sehingga dapat mengurangi kadar angiotensin 2 dan menurunkan sekresi aldosteron. Sehingga mencegah terjadinya retensi air dan natrium. 6. Untuk hipertensi tipe maligna/emergensi digunakan natrium nitropruside intravena dan nifedipin parenteral yaitu vasodilator. Vasodilator bekerja dengan cara menurunkan resistensi vaskuler sehingga dapat meningkatkan cardiac output dan aliran darah. Preparat yang digunakan adalah nitroprusid yang bekerja dengan meningkatkan aktivitas inotropik jantung. Preparat lain adalah Hidralazine yang bekerja dengan menurunkan resistensi sistemik melalui vasodilatasi 7. Bila anuria berlangsung lama 5-7 hari maka ureum harus segera dikeluarkan dari darah dengan cara dialysis peritoneum, hemodialisis,

31

bilas lambung dan usus atau pengeluaran darah vena. Indikasi lain untuk melakukan dialysis adalah hiperkalemia yang mengancam kehidupan.

ANALISIS KASUS Seorang pasien An. FA, laki-laki, umur 14 tahun dengan keluhan utama pusing (sakit kepala). Pasien mengeluhkan panas tinggi selama 2 hari sebelum masuk rumah sakit dengan riwayat batuk (+), pilek (+), dan nyeri telan (+). Tampak bengkak pada kedua palpebra dan kedua kaki. Air kencing pasien berwarna seperti air teh. Riwayat pemeliharaan prenatal baik. Riwayat kelahiran normal, dengan usia kehamilan 37 minggu. Riwayat pemeliharaan postnatal baik. Riwayat imunisasi lengkap. Riwayat nutrisi kualitas dan kuantitas kesan

32

baik. Riwayat perkembangan baik. Sedangkan riwayat pertumbuhan didapatkan perawakan pendek. Pada pemeriksaan vital sign, diperoleh tekanan darah 150/110 mmHg. Pada pemeriksaan fisik mata diperoleh edema palpebra (+/+), konjungtiva anemis (+/+). Pemeriksaan tenggorok diperoleh ukuran tonsil T3-T3, tonsil dan mukosa faring hiperemis. Pada auskultasi jantung didapatkan bising sistolik grade III/6 di SIC III LPSS. Pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan edema pada kedua kaki. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan hasil yang menurun yaitu Hb 9,6 g/dl, Hct 30%,dan eritrosit 3,6 juta. Nilai indeks eritrosit juga menurun yaitu MCH 26,6 pg, MCHC 31,6 g/dl. Hitung jenis granulosit meningkat 80,20%, limfosit menurun 14, 50%. Pemeriksaan kimia klinik didapatkan kreatinin dan ureum meningkat yaitu 1,1 mg/dl dan 89 mg/dl. Sedangkan kadar albumin menurun yaitu 3,0 g/dl. Pemeriksaan serologi didapatkan ASTO yang meningkat yaitu >400 IU/ml. Pemeriksaan kimia urin didapatkan hasil yang meningkat yaitu leukosit 25/l, protein 500 mg/dl, eritrosit 250/ l. Pemeriksaan mikroskopis urin didapatkan leukosit meningkat yaitu 14/LPB. Didapatkan silinder granulasi 2-3/LPK dan small round cell 5,2/ l. Pada pemeriksaan EKG didapatkan PR interval memanjang yaitu 0,24 detik. QRS interval memanjang yaitu 0,04 detik. Hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien, mengarahkan diagnosis banding bahwa pasien mengalami Hipertensi stage 2 akibat glomerulonefrtis akut. Diagnosis hipertensi ditegakkan dengan melihat hasil pengukuran tekanan darah pasien. Hipertensi pada GNA diakibatkan oleh danya ekspansi volume intravaskular dan ekstravaskular hingga vasospasme oleh faktor hormonal dan neurogenik. Tekanan darah yang tinggi akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang menuju otak dan berakibat pada keluhan yang dirasakan pasien yaitu pusing/ sakit kepala hebat. Adanya 33

edema diakibatkan oleh retensi air dan natrium akibat menurunnya fungsi ginjal. Selain itu, ekspansi volume plasma lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya hemodilusi. Hemodilusi ini akan bermanifestasi dalam bentuk anemia mikrositik hipokromik yang pada pasien ini ditunjukkan dengan adanya conjungtiva anemis dan penurunan pada kadar Hb, Hct, MCH dan MCHC. Kepastian glomerulonefitis akut juga didukung dari hasil pemeriksaan penunjang lab darah dan urin. Pada glomerulonefritis akut, dapat dijumpai adanya hematuria akibat terjadinya proses hemolisis sel darah merah dengan pembebasan hemoglobin yang kemudian diubah menjadi hematin pada suasana urin yang asam yang pada akhirnya membuat warna kencing tampak seperti air teh. Selain itu pada glomerulonefritis akut akan dijumpai peningkatan ureum dan kreatinin dalam darah serta protein urin karena selama fase akut glomerulonefritis, terdapat vasokonstriksi arteriola glomerulus yang mengakibatkan tekanan filtrasi menjadi kurang dan karena hal ini kecepatan filtrasi glomerulus menjadi kurang. Filtrasi air, garam, ureum dan zat lainnya berkurang, sebagai akibatnya kadar ureum dan kreatinin darah meningkat. Kemampuan filtrasi ginjal yang buruk mengakibatkan sejumlah besar protein lolos ke dalam urin tanpa mampu untuk direabsorpsi kembali. Namun pada pemeriksaan lab, tidak dijumpai adanya hiperkolesterol dan hipoalbumin sehingga glomerulonefritis akut yang muncul kemungkinan bukan disebabkan oleh adanya sindrom nefritik. Selain itu, pemeriksaan lab menunjukkan hasil leukosit urin yang tinggi, kemungkinan pasien ini juga mengalami infeksi saluran kemih. Gejala glomerulonefritis akut pada pasien didahului dengan awitan panas selama 2 hari yang disertai dengan tanda-tanda tonsilofaringitis akut trainyaitu pembesaran ukuran tonsil T3-T3, nyeri telan dan batuk pilek. Kemungkinan tonsilofaringitis akut ini akibat infeksi bakteri streptococcus hemoliticus grup A. Bakteri Streptococcus hemoliticus grup A strain nefritogenik, jika menginfeksi faring, dapat menimbulkan terjadinya

34

sekuele. Sekuele berupa glomerulonefritis akut post streptococcus (GNAPS). GNAPS timbul akibat pembentukan kompleks imun antara antigen yang berasal dari streptococcus dengan antibodi yang berasal dari host yang mengendap di lapisal basal glomerulus yang bersifat merusak glomerulus. Mekanisme yang lain juga bisa melalui proses cross reaction karena antigen dari streptococcus memiliki struktur yang mirip dengan penyusun lapisan glomerulus sehingga antibodi yang harusnya digunakan untuk menghancurkan streptococcus disalahgunakan untuk merusak glomerulus. Keberadaan antigen streptococcus pada pasien ini dibuktikan dengan tes serologi ASTO yang menunjukkan kadar yang meningkat yaitu sebesar > 400 IU/ml. Selain dengan tes serologi ASTO, adanya GNAPS juga bisa dibuktikan dengan pemeriksaan kadar komplemen C3 dan kultur swab tenggorok . Penurunan kadar komplemen C3 dan hasil kultur yang positif dapat lebih memastikan telah terjadi GNAPS. Pemeriksaan echocardiografi pada pasien ini digunakan untuk menilai apakah kuman Streptococcus juga menyebabkan sekuele ke jantung berupa karditis. Namun dari pemeriksaan echocardiografi pasien tidak mengalami karditis tapi pasien mengalami vaskulitis pada pembuluh darah paruparunya. Vaskulitis ini akan menyebabkan terjadinya edema pulmonum sehingga tekanan di pulmo menjadi tinggi. Tekanan yang tinggi di pulmo akan menyebabkan terjadinya regurgitasi trikuspid sehingga akan menimbulkan bising sistolik yang dapat didengar jelas di SIC III LPSS. Terapi GNAPS pada pasien ini, diarahkan terutama untuk mengatasi hipertensi dan mencegah ekspansi volume plasma yang terjadi. Terapi yang paling penting adalah dengan membatasi asupan air dan natrium dalam diet (diet nefritis) yang dianjurkan pada pasien ini sebesar 2100 kkal/hari. Kemudian untuk mengatasi hipertensi diberikan diuretik kuat furosemid per oral dengan dosis 2 x 20 mg. Furosemid bekerja dengan cara mencegah reabsorbsi kembali air dan natrium melalui peningkatan ekskresi dalam kencing sehingga kadar cairan plasma dapat dikurangi. Sementara itu,

35

pemberian Captopril dengan dosis 3 x 12,5 mg bertujuan untuk mengurangi jumlah aldosteron yang sifatnya meretensi natrium dan air. Dengan adanya Captopril yang berperan sebagai ACE inhibitor, pembentukan angiotensin 1 menjadi angiotensin 2 akan dihambat sehingga angiotensin 2 tidak akan mampu menginduksi pembentukan aldosteron dari korteks adrenal. Selain mengatasi hipertensi, pengobatan GNAPS juga ditujukan untuk mengeradikasi kuman sumber infeksi, yaitu dengan pemberian amoksisilin dosis 50 mg/KgBB dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Pasien juga disarankan untuk melakukan tirah baring selama kurang lebih 3-4 minggu selama fase akut.

DAFTAR PUSTAKA Avner, ED., Davis ID. 2004. Poststreptococcal Glomerulonephritis. Nelson Textbook of Pediatric. 18th Edition. Pp: 2173-2175 Elzouki, A.Y. 2001. Poststreptococcal Glomerulonephritis Acut. Textbook of Clinical Pediatrics. Lippincolt Williams & Wilkins. Pp : 2745-2749. Geetha, Duvuru. 2011. Acute Glomerulonephritis. American Society of Nephrology and International Society of Nephrology. www. medscape.com Hassan, R., Alatas, H (eds). 2007. Glomerulonefritis Akut dalam Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI.

36

Pudjiadi, H.A., Hegar, B. 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia.

37