Preskes Anestesi Jay
description
Transcript of Preskes Anestesi Jay
PENATALAKSANAAN GENERAL ANESTESI PADA
SEKSIO SESARIAPADA PRE EKLAMPSIA BERAT DENGAN
OEDEMA PARU
Oleh :
dr. Andy Wijaya
Pembimbing :
dr. RTh. Supraptomo, SpAn
LAB/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FK UNS/RSUD DR.MOEWARDI
SURAKARTA
2013
1
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dibacakan laporan kasus dengan judul “PENATALAKSANAAN GENERAL
ANESTESI PADA SEKSIO SESARIA PADA PADA PRE EKLAMPSIA BERAT
DENGAN OEDEMA PARU “
Surakarta , Januari 2013
Pembimbing
dr. RTh. Supraptomo, SpAn
2
BAB I
PENDAHULUAN
Setelah pembedahan dapat terjadi komplikasi akibat tindakan tersebut diantaranya
akan terjadi perdarahan. Hal ini sering terjadi pada kasus-kasus pembedahan obstetri dan
ginekologi. Kemajuan dalam bidang anestesi dan teknik operasi menyebabkan intervensi
bedah dapat dilakukan pada pasien dengan masalah sirkulasi.1,2
Pada kasus-kasus yang beresiko tinggi terhadap pembedahan dapat dipilihkan teknik
anestesi, obat-obatan dan jenis operasi yang akan dilakukan dapat mengurangi resiko
tersebut, seperti pada pasien yang mengalami perdarahan antepartum.1,2
Secara umum penderita gawat darurat ialah penderita yang oleh karena suatu
penyebab (penyakit, trauma, kehamilan dengan penyulit, kecelakaan, tindakan anestesi) yang
bila tidak segera ditolong akan mengalami cacat, kehilangan organ tubuh atau meninggal.1
Dalam menghadapi pasien gawat darurat maka faktor waktu memegang peranan yang
sangat penting (time saving is life saving). Tindakan pada menit pertama dalam menangani
kegawatan medik tersebut, dapat sangat bermakna dan sangat menentukan hidup atau mati
penderita. Pada keadaan ibu hamil kita mempunyai kepentingan akan keselamatan dua nyawa
yaitu ibu dan janin.1
Dalam memberikan pertolongan pada penderita harus diingat hal-hal sebagai berikut:
1. Bagaimana mempertahankan jiwa penderita. Atasi dulu yang paling mengancam jiwa
2. Bagaimana mengurangi penyulit yang mungkin timbul
3. Bagaimana meringankan penderitaan korban
4. Melindungi diri terhadap kemungkinan penularan penyakit menular dari penderita
(hepatitis, HIV/ AIDS )
Urutan penanganan penderita gawat darurat dibuat berdasarkan faktor yang paling
cepat menyebabkan kematian :
Breath =pernapasan dapat menyebabkan kematian dalam waktu 3 menit
Bleed =hemodinamik juga dapat menyebabkan kematian dalam beberapa menit
Brain = kesadaran dan susunan syaraf pusat
Bladder = urogenital
Bowel = traktus digestivus
Bone = tulang dan kerangka
3
Breath (pernapasan)1
Jalan napas harus bebas. Disebut bebas bila penderita dapat bernapas atau diberi
napas dengan mudah. Suara napas bersih dan tidak ada suara napas tambahan. Bila keadaan
ini tidak kita jumpai maka:
Lakukan bantuan manual dengan triple airway maneuver yaitu:
1. hiperekstensi kepala, angkat tengkuk, ganjal bahu
2. jaw thrust, dorong rahang bawah ke depan
3. buka mulut
Bantuan jalan napas buatan yaitu:
1. jalan napas oro/nasopharinx/nasotracheal
2. cricothyrotomi/tracheostomy
Bleed (perdarahan)1
Untuk memonitor keadaan ini periksalah pada bagian perifer (perfusi, tekanan darah,
nadi rate dan pengisiannya). Perfusi dianggap baik bila jari-jari dan telapak tangan hangat,
kering dan merah muda. Tekanan darah dapat membantu diagnosa tapi bukan satu-satunya
cara untuk menegakkan diagnosa.
Brain (kesadaran)
Tingkat kesadaran penderita dapat dievaluasi dengan cara yang biasa dipakai (compos
mentis, somnolen, sopor, koma) atau lebih baik menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS).
Dibandingkan dengan penilaian kualitatif, GCS bersifat lebih praktis, lebih dapat dipercaya,
dapat dilakukan oleh dokter maupun para medis, mudah dimonitor dari waktu ke waktu,
dapat untuk memberikan prognosis.
Tabel Glasgow Coma Scale (GCS)
Eye Opening Motor Response Verbal respons4 Membuka spontan 6 Mematuhi perintah 5 Punya Orientasi3 Membuka dengan
panggilan5 Menunjukkan
lokasi nyeri4 Kalimat yang
membingungkan2 Membuka mata
kalau sakit4 Gerakan
fleksi menarik diri3 Masih berupa kata-kata
1 Nil 3 Fleksi abnormal 2 Suara yang tidak jelas2 Ekstensi 1 Nil1 Nil
4
Ada lima kemungkinan hasil akhir yang diperoleh setelah melakukan pertolongan
yang maksimal pada pasien
1. Good recovery
Bila penderita dapat hidup mandiri tanpa tergantung orang lain dan tanpa ada minimal
neurologist
2. Moderat disability
Bila penderita dapat hidup mandiri tapi ada kelainan neurologist dan
intelektualitas
3. Severe disability
Kesadaran penderita baik, tapi untuk melakukan sehari-hari masih memerlukan bantuan
orang lain
4. Vegetatif state
5. Death
Bladder1
Disini yang dinilai adalah fungsi ginjal terhadap ancaman terjadinya gagal ginjal
(acute renal failure). Oliguria < 25 ml/jam yang berlangsung > 2 jam, merupakan keadaan
darurat yang membutuhkan pertolongan darurat dan terapi koreksi cairan yang agresif.
Untuk bisa menilai fungsi ginjal perlu diperhatikan volume urin :
1. Normal : 1-2 ml/kgBB/jam
2. Anuria : 20 ml/24 jam
3. Oliguria : 25 ml/jam atau < 400 ml/24 jam
4. Poliuria : 2500 ml/ 24 jam Kualitas : Berat jenis, sedimen dll
Pemeriksaan serum creatinin, BUN, dan clearance creatinin.
Bowel1
Yang perlu diperhatikan pertama adalah kembung dan distensi. Keadaan ini akan
mengakibatkan diafragma terdorong keatas, sehingga pergerakan terganggu, dengan
demikian pengembangan paru-paru terbatas memudahkan terjadinya hipoventilasi.
Penyebabnya dapat berupa: ascites, perdarahan intraabdominal, ileus paralitik, ileus
obstruktif. Yang kedua adalah muntah dan diare menyebabkan tubuh kehilangan cairan dan
elektrolit sehingga terjadi keadaan dehidrasi akut dengan gejala klinis: turgor kulit menurun,
5
mata cowong, mukosa kering, ubun-ubun cekung. Sementara gejala akibat berkurangnya
cairan plasma adalah takikardi, hipotensi sampai syok, oliguria.
Bone (tulang dan kerangka)
Pada umumnya penyakit tulang atau patah tulang tidak menyebabkan kematian secara
langsung kecuali patah tulang leher, patah tulang terbuka sehingga menyebabkan perdarahan.
Penderita meninggal karena syok.
Pada presentasi kasus ini penulis memusatkan perhatian tentang tatalaksana anestesi
regional pada seksio caesaria atas indikasi impending eklampsia pada sekundigravida hamil
aterm belum dalam persalinan. Pada kasus ini indikasi emergensi pembedahan adalah
impending eklampsia
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hipertensi dalam Kehamilan9-13
Terminologi hipertensi dalam kehamilan (HDK) digunakan untuk menggambarkan
spektrum yang luas dari ibu hamil yang mengalami peningkatan tekanan darah yang ringan
atau berat dengan berbagai disfungsi organ. Sampai sekarang penyakit HDK masih
merupakan masalah kebidanan yang belum dapat dipecahkan dengan tuntas.
HDK adalahsalahsatupenyebabmorbiditas dan mortalitas ibudisampingperdarahan dan
infeksi. Pada HDK juga didapatiangka mortalitas dan morbiditasbayi yang cukuptinggi. Di
Indonesia preeklampsia dan eklamsiamerupakanpenyebabdari 30-40% kematian perinatal,
sementara di beberaparumahsakit di Indonesia
telahmenggeserperdarahansebagaipenyebabutamakematian maternal.
Untukitudiperlukanperhatiansertapenanganan yang serius
terhadapibuhamildenganpenyakitini.
1. KLASIFIKASI9,12,13
Pada saatini, untuklebihmenyederhanakan dan
memudahkanTheWorkingGroupReport dan High BloodPressureiniPregnancy (2000)
menyarankanklasifikasihipertensidalamkehamilansebagaiberikut :
a) Hipertensikronis
b) Superimposedpreeklampsia
c) Preeklampsia ringan, preeklampsiaberat dan eklampsia
d) Hipertensigestasional
Sebagaibatasan yang
disebuthipertensidalamkehamilanadalahkenaikantekanandarahdiastolik90 mmHg
dan tekanandarahsistolik140 mmHg pada duakalipemeriksaan yang berjarak 4
jamataulebih dan proteinuria, jikadijumpaiproteindalamurinemelebihi 0,3 gr/24
jamataudenganpemeriksaankualitatifminimalpositif (+) satu.
2. DEFINISI12
a) Hipertensi kronis adalah hipertensi yang sudah dijumpai sebelum kehamilan, selama
kehamilan sampai sesudah masa nifas. Tidak ditemukan keluhan dan tanda-tanda
preeklampsia lainnya.
7
b) Superimposed preeklampsia adalah gejala dan tanda-tanda preeklampsia muncul
sesudah kehamilan 20 minggu pada wanita yang sebelumnya menderita hipertensi
kronis.
c) Preeklamsia ringan, preeklampsia berat, eklampsia : Dahulu, disebut PE jika
dijumpai trias tanda klinik yaitu : tekanan darah ≥ 140/90 mmHg, proteinuria dan
edema. Tapi sekarang edema tidak lagi dimasukkan dalam kriteria diagnostik , karena
edema juga dijumpai pada kehamilan normal. Pengukuran tekanan darah harus
diulang berselang 4 jam, tekanan darah diastol 90 mmHg digunakan sebagai
pedoman.
1) Preeklampsia ringan adalah jika tekanan darah 140/90 mmHg, tapi
<160/110 mmHg dan proteinuria +1.
2) Preeklampsia berat adalah jika tekanan darah ≥ 160/110 mmHg, proteinuria
+2, dapat disertai keluhan subjektif seperti nyeri epigastrium, sakit kepala,
gangguan penglihatan dan oliguria.
3) Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil dalam persalinan atau
nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dan atau koma. Sebelumnya
wanita ini menunjukkan gejala-gejala preeklampsia berat. (kejang timbul
bukan akibat kelainan neurologik).
a) Hipertensi gestasional adalah kenaikan tekanan darah yang hanya dijumpai dalam
kehamilan sampai 12 minggu pasca persalinan, tidak dijumpai keluhan dan tanda-
tanda preeklampsia lainnya. Diagnosa akhir ditegakkan pasca persalinan.
B. PREEKLAMPSIA / EKLAMPSIA9-12
1. Insidensi
Resiko persalinan pada ibu dengan Pre eklampsi berat (PEB) sangatlah tinggi,
angka kejadianya menurut WHO, 0,51%-38,4%, maka perlu dilakukan upaya yang
optimal untuk menurunkan kejadian tersebut yaitu mengakhiri kehamilan dengan
tindakan Sectio Caesarea (SC) jika dalam 24 jam tidak dapat diselesaikan dengan
persalinan pervaginam. Di RSUD Dr. M.Yunus Bengkulu kejadian PEB meningkat
setiap tahunnya. Pada 2008-2009 jumlah kasus PEB mengalami peningkatan sebesar
22,3%. Pada 2010, PEB merupakan urutan ke dua (10,7%) dari sepuluh penyakit
terbanyak yang ada di ruang mawar RSUD M.Yunus Bengkulu.Insidens
preeklampsia dan eklamsia berkisar antara 4-9 % pada wanita hamil, 3-7 % terjadi
8
pada nullipara, dan 0,8-5 % pada multipara. Angka kejadian PE di Indonesia berkisar
antara 3-10 %. Penelitian terakhir di Medan oleh Girsang ES (2004), melaporkan
angka kejadian PEB di RSUP. H. Adam Malik dan RSU. Dr. Pirngadi Medan periode
2000-2003 adalah 5,94%, sedangkan eklamsia 1,07%.
2. Etiologi / Patogenesis
Etiologi dan patogenesis preeklampsia sampai saat ini masih belum
sepenuhnya difahami, masih banyak ditemukan kontroversi, itulah sebabnya penyakit
ini sering disebut “the desease of theories”. Pada saat ini hipotesis utama yang dapat
diterima untuk menerangkan terjadinya preeklampsia adalah : faktor imunologi,
genetik, penyakit pembuluh darah dan keadaan dimana jumlah trophoblast yang
berlebihan dan dapat mengakibatkan ketidakmampuan invasi trofoblast terhadap arteri
spiralis pada awal trimester satu dan trimester dua. Hal ini akan menyebabkan arteri
spiralis tidak dapat berdilatasi dengan sempurna dan mengakibatkan turunnya aliran
darah di plasenta. Berikutnya akan terjadi stress oksidasi, peningkatan radikal bebas,
disfungsi endotel, agregasi dan penumpukan trombosit yang dapat terjadi diberbagai
organ.
3. Faktor Predisposisi Terjadinya Preeklampsia.
Primigravida, kehamilan ganda, diabetes melitus, hipertensi essensial kronik,
mola hidatidosa, hidrops fetalis, bayi besar, obesitas, riwayat pernah menderita
preeklampsia atau eklampsia, riwayat keluarga pernah menderita preeklampsia atau
eklampsia, lebih sering dijumpai pada penderita preeklampsia.
4. Penanganan
Pada dasarnya penanganan yang terbaik pada preeklampsia adalah segera
melahirkan janin, tetapi disamping itu usia kehamilan, keadaan ibu dan keadaan janin
harus diawasi dengan baik, dan menjadi pertimbangan untuk melakukan terminasi
kehamilan
5. Klasifikasi PE berdasarkan tingkat keparahan penyakit:
KELAINAN PE RINGAN PE BERAT .
TD diastolik < 100 mmHg 110 mmHg
Proteinuria +1 persisten +2
Sakit kepala - +
Gangguan penglihatan - +
9
Nyeri perut bagian atas - +
Oliguria - +
Kejang (eklamsia) - +
Kreatinin serum - meningkat
Trombositopenia - +
Peningkatan enzim hati minimal nyata
Restriksi pertumbuhan janin - +
Edema pulmonum - +
C. PREEKLAMSIA RINGAN
Penanganan yang optimal pada usia kehamilan <37 minggu adalah dirawat di rumah
sakit karena cara ini dapat meningkatkan ketahanan hidup bayi dan menurunkan progresifitas
penyakit. Jika rawat jalan, pastikan pasien kontrol secara teratur. Selama dirawat pasien
mendapatkan diet yang teratur tanpa restriksi garam dan tanpa pembatasan aktifitas fisik.
1.Antihipertensi, antidiuretik, dan sedatif tidak diberikan.
2.Dilakukan evaluasi kesehatan ibu:
a) Tekanan darah dimonitor setiap 4 jam
b) Berat badan diukur setiap hari
c) Pemeriksaan laboratorium seperti protein urin, hematokrit, hitung trombosit, fungsi
hati, dan fungsi ginjal dilakukan setiap 1-2 minggu.
d) Awasi perkembangan penyakit, kemungkinan menjadi preeklampsia berat, atau
impending eklampsia dengan gejala : sakit kepala, gangguan penglihatan, atau nyeri
epigastrik
3. Evaluasi kesehatan bayi
a) Hitung gerak bayi setiap hari.
b) NST setiap minggu.
c) USG setiap 3 minggu untuk mengetahui IUGR
d) Biofisik profil jika perlu.
4. Jika usia kehamilan > 37 minggu, atau mendekati aterm, lakukan induksi persalinan
walaupun servik belum matang.
D. PREEKLAMPSIA BERAT9,12,13
1. Pengobatan Medisinal
a) Tirah Baring
b) Oksigen
10
c) Kateter menetap
d) IVFD : Ringer Asetat, Ringer Laktat, Kolloid
Jumlah input cairan : 2000 ml/24 jam, berpedoman pada diuresis, insensible water
loss dan CVP. Awasi balance cairan.
e) Magnesium Sulfat
Initial dose :
- Loading dose : 4 gr magnesium sulfat 20% IV (4-5 menit)
- 8 gr MS 40% IM, 4 gr bokong kanan, 4 gr bokong kiri.
Maintenance dose : 4 gr magnesium sulfat 40% IM setiap 6 jam
magnesium sulfat maintenance dapat juga diberikan secara intravenus.
f) Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastole > 110 mmHg. Dapat diberikan
nifedipin sublingual 10 mg. Setelah 1 jam, jika tekanan darah masih tinggi dapat
diberikan nifedipin ulangan 5-10 mg sublingual atau oral dengan interval 1 jam, 2 jam
atau 3 jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan darah tidak boleh terlalu agresif.
Tekanan darah diastol jangan kurang dari 90 mmHg, penurunan tekanan darah
maksimal 30%.Penggunaan nifedipine sangat dianjurkan karena harganya murah,
mudah didapat dan mudah pengaturan dosisnya dengan efektifitas yang cukup baik.
g) Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada :
- Edema paru
- Gagal jantung kongestif
- Edema anasarka
h) N-Acetyl Cystein 3 x 600 mg.
i) Jika pasien koma, diberikan perawatan koma di ICU
j) Konsul ke Bagian Interna, Hematologi, Mata, Neurologi jika perlu.
k) Jajaki kemungkinan terjadinya komplikasi Sindroma HELLP, gagal ginjal, edema
paru, solusio plasenta, DIC, stroke, dll
l) Jika dijumpai Sindroma HELLP, beri deksametason 10 mg / 12 jam IV 2x sebelum
persalinan, dilanjutkan dengan deksametason 10, 10, 5, 5 mg / jam IV dengan interval
6 jam postpartum. Kelahiran bayi diharapkan terjadi dalam 48 jam setelah pemberian
deksametason pertama.
Catatan:
Syarat pemberian Magnesium Sulfat:
11
a) Harus tersedia antidotum Magnesium Sulfat yaitu Kalsium Glukonas 10%,
diberikan iv secara perlahan.
b) Refleks patella (+)
c) Frekuensi pernafasan > 16 kali / menit.
d) Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5 cc/ kg BB/ jam )
Pemberian Magnesium Sulfat sampai 20 gr tidak perlu mempertimbangkan diurese
2.Penanganan Obstetrik
Pada keadaan ibu sudah stabil, tetapkan suatu keputusan apakah dilakukan terminasi
kehamilan atau tindakan konservatif dengan mempertimbangkan usia kehamilan dan keadaan
janin.Penanganan konservatif bisa dilakukan pada keadaan :
a) Tekanan darah terkontrol < 160/110 mmHg
b) Oliguria respon dengan pemberian cairan
c) Tidak dijumpai nyeri epigastrik
d) Usia kehamilan < 34 minggu
Kalau penyakit berkembang menjadi Sindroma HELLP murni cenderung dilakukan
tindakan penanganan aktif. Jika serviks sudah matang dan tidak ada kontra indikasi obstetrik,
dilakukan induksi persalinan dengan oksitosin drips dan amniotomi. Kala II dipercepat
denganVE / FE.Seksio sesarea dilakukan pada :
a) Skor pelvik dibawah 5.
b) Dengan drips oksitosin, setelah 12 jam belum ada tanda-tanda janin akan lahir
pervaginam.
c) Indikasi obstetrik.
Bayi ditangani oleh Subbagian Perinatologi dan jika perlu dirawat di Neonatal Intensive
Care Unit.
E. EKLAMPSIA11,12
1.PengobatanMedisinal
a) MgSO4 :
Cara pemberian sama dengan pasien preeklampsia berat.
Bila kejang berulang diberikan MgSO4 20 % 2 gr IV, diberikan sekurang-kurangnya
20 menit setelah pemberian terakhir.Bila setelah diberikan dosis tambahan masih
tetap kejang dapat diberikan amobarbital 3-5 mg/ kg BB IV perlahan-lahan.
b) Infus Ringer Asetat atau Ringer Laktat. Jumlah cairan dalam 24 jam sekitar 2000 ml,
berpedoman kepada diuresis, insensible water loss dan CVP .
12
c) Perawatan pada serangan kejang :
Dirawat di kamar isolasi yang cukup tenang.
Masukkan sudip lidah ( tong spatel ) kedalam mulut penderita.
Kepala direndahkan , lendir diisap dari daerah orofarynx.
Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup kendor guna menghindari fraktur.
Pemberian oksigen.
Dipasang kateter menetap ( folley kateter ).
d) Perawatan pada penderita koma :
Monitoring kesadaran dan dalamnya koma memakai “ Glasgow – Pittsburg Coma
Scale “.
Perlu diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan penderita.
Pada koma yang lama ( > 24 jam ), makanan melalui hidung ( NGT = Naso Gastric
Tube : Neus Sonde Voeding ).
e) Diuretikum dan anti hipertensi sama seperti Pre Eklamsia Berat.
f) Kardiotonikum ( cedilanid ) jika ada indikasi.
g) Tidak ada respon terhadap penanganan konservatif pertimbangkan seksio sesarea.
3. Pengobatan Obstetrik :
a) Semua kehamilan dengan eklamsia harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan
dan keadaan janin.
b) Terminasi kehamilan
Sikap dasar : bila sudah stabilisasi ( pemulihan ) hemodinamika dan metabolisme
ibu, yaitu 4-8 jam setelah salah satu atau lebih keadaan dibawah ini :
Setelah pemberian obat anti kejang terakhir.
Setelah kejang terakhir.
Setelah pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir.
Penderita mulai sadar ( responsif dan orientasi ).
c) Bila anak hidup sc dapat dipertimbangkan.
Perawatan Pasca Persalinan
Bila persalinan terjadi pervaginam, monitoring tanda-tanda vital dilakukan sebagaimana
lazimnya.
Pemeriksaan laboratorium dikerjakan setelah 1x24 jam persalinan.
Biasanya perbaikan segera terjadi setelah 24-48 jam pasca persalinan.
13
F. Impending preeklampsia:
Gejala PEB disertai salah satu atau beberapa gejala dari nyeri kepala hebat, gangguan
visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium dan kenaikan tekanan darah yang progresif. Kasus
ini ditangani sebagai kasus eklampsia.
Perawatan aktif dilakukan apabila usia kehamilan 37 minggu atau lebih, adanya ancaman
terjadinya impending eklampsia, kegagalan terapi dengan obat-obatan, adanya tanda
kegagalan pertumbuhan janin di dalam rahim, adanya “HELLP syndrome” (Haemolysis,
Elevated Liver enzymes, and Low Platelet).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urin: protein, reduksi, bilirubin, sedimen urin
Darah: trombosit, ureum, kreatinin, SGOT, LDH dan bilirubin
USG
G. PENATALAKSANAAN ANESTESI
Tujuan utama penggunaan anesthesia dan analgesia adalah memaksimalkan luaran
baik ibu maupun bayi. Dalam obstetri dan ginekologi penggunaan anestesi dan analgesia
cukup luas meliputi: analgesia dalam proses persalinan, analgesia dan anestesi dalam
persalinan pervaginam, analgesia dan anestesi dalam persalinan perabdominal, dan analgesia
untuk nyeri post operasi. Dalam bahasan ini hanya akan dibicarakan anestesi dan analgesi
dalam persalinan perabdominal. Sebelum dilakukan anestesi dilakukan maka pasien perlu
disiapkan.
1. Pemeriksaan preanestesi untuk seksio sesaria7
a) Anamnesa
Untuk mengetahui riwayat penyakit pasien baik sekarang maupun penyakit yang sudah
diderita sebelum hamil, riwayat pernah operasi, riwayat alergi, riwayat obstetric, makan
minum terakhir.
b) Pemeriksaan fisik
Meliputi keadaan umum, vital sign, kesadaran, pemeriksaan jantung, paru, pemeriksaan
penyulit anestesi seperti leher pendek
c) Pemeriksaan penunjang
Untuk mengetahui penyulit selama dilakukan anestesi dan operasi. Mulai dari
pemeriksaan laboratorium, Rontgen dan EKG.
14
2. Anestesi pada Seksio Sesaria3,,4,6,7,8
Anestesi pada persalinan perabdominal atau SC ada 2 macam yaitu regional anestesi
yang terdiri dari spinal dan epidural anestesi sedangkan yang kedua adalah general anestesi.
a. Regional Anestesi3,4,7,8
Regional anestesi dicapai dengan menyuntikkan atau memasukkan agent anesthesia
ke dalam rongga epidural atau subarakhnoid setinggi ± L3- L4 atau L4 -L5 sehingga agent
anestesi mencapai saraf yang melewati segmen spinal hingga ke saraf perifer yang
bertanggung jawab mempersarafi area tubuh sesuai dengan dermatomnya.
Perbedaan antara spinal dan epidural anestesi hanya pada masuknya agent anestesi. Pada
spinal anestesi obat anestesi lokal masuk ke rongga subarachnoid sedangkan epidural anestesi
obat anestesi masuk ke rongga epidural.
1) Anesthesia spinal
a) Keuntungan dari spinal anestesi
Teknik sederhana
Induksinya cepat
Kontak fetus dengan agent minimal
Pasiennya sadar dan bahaya aspirasi sedikit
b) Kerugian dari spinal anestesi
Maternal hipotensi
Insidensinya sebesar 60 - 80 % bila terjadi > 5 menit dapat terjadi fetal
asidosis dan kerusakan saraf. Hal ini terjadi karena blok saraf simpatis dan adanya
penekanan aorta dan vena cava inferior oleh uterus yang gravid pada posisi
supine.
Usaha untuk meminimalkan efek maternal hipotensi dengan pemberian cairan
Ringer Laktat 1000 – 1500cc 15 sampai 30 menit sebelum dilakukan anesthesia
dan pasien dalam posisi Fowler serta pemberian oksigen. Bila perlu dapat
diberikan efedrin 5 - 10 mg atau phenylefrin 40 mcg. Tapi obat ini hanya
diberikan pada kondisi ibu dan janin yang sehat tanpa insufisiensi uteroplasenta.
Mual - muntah
Seringkali terjadi pada pasien dengan spinal anestesi disebabkan adanya
hipotensi sistemik sehingga menyebabkan cerebral blood flow turun dan terjadi
cerebral hipoksia. Selain itu nyeri viscera dari traksi pada peritoneum atau viscera
15
abdominalis akan merangasang pusat muntah melalui nervus vagus. Cara untuk
mengatasi dengan pemberian analgetik golongan opiat atau pemberian
metoklopramid/droperidol setelah bayi lahir.
Post spinal headache
Insidensinya 0 - 10%. Usaha untuk mengatasi keadaan ini suntikan jarum
spinal harus parallel dengan arah serabut duramater, penggunaan jarum spinal
yang lebih kecil, penggunaan ujung jarum spinal pencil point dibandingkan
quincke mempunyai insidens sakit kepala yang lebih kecil hanya 1%. Biasanya
dapat sembuh sendiri, bila berat dapat diberikan caffeine IV atau peroral
Lama kerja obat anestesi terbatas
c) Agent regional anestesi
Agent yang biasa digunakan untuk regional anestesi adalah:
0,5% tetracaine dalam 5% dextrose, durasi 90-120 menit
5% lidocaine dalam 7,5% dextrose yang diencerkan, durasi 45 - 60 menit
0,75% bupivacaine dalam 8,5% dextrose yang diencerkan, durasi 90- 120 menit
0,5% bupivacaine dalam 8% dextrose yang diencerkan, durasi 90 -120 menit, obat
ini belum disetujui FDA ( Food and Drug Administration )
d) Kontra indikasi
Perdarahan hebat pada ibu
Hipotensi hebat
Gangguan pembekuan
Kelainan neurologis
Pasien menolak
Kesulitan teknis
Tubuh pasien pendek atau obesitas
Sepsis, baik lokal maupun general
2. Epidural anestesi
a) Keuntungan epidural anestesi
Kejadian dan beratnya maternal hipotensi lebih kecil karena onset bloknya lebih
lambat dibanding anesthesia spinal
16
Tidak adanya tusukan duramater sehingga kejadian sakit kepala paska anesthesia
kecil
Dapat dipasang kateter untuk operasi yang lama dan pemberian obat analgetik
paska bedah
b) Kerugian epidural anestesi
Teknik lebih sulit daripada anestesi spinal
Onset obat lebih lama
Membutuhkan obat anestesi lokal lebih banyak
c) Kontraindikasi
Hipotensi hebat
Gangguan koagulasi
Kelainan neurologist
Pasien menolak
Kesulitan teknis
Sepsis, baik lokal maupun sistemik
b. General Anestesi3,5,6,7,8
Anestesi umum dicapai dengan pemberian agen anestesi melalui teknik inhalasi
sehingga dicapai stadium anestesi. System yang dipakai pada anestesi inhalasi ada 2 yaitu
closed dan semi closed.
1). Keuntungan general anestesi
Induksi cepat
Mudah dikendalikan
Kegagalan anestesi tidak ada
Dapat menghindari terjadinya hipotensi
2). Kerugian general anestesi
Maternal aspirasiterjadi akibat aspirasi cairan lambung atau Mendelson syndrome.
Maka perlu menetralkan asam lambung pada pasien dengan operasi emergensi dan
puasa ±8-10 jam karena pada orang hamil terjadi perlambatan pengosongan lambung
pada pasien yang direncanakan SC. Pemberian obat penetral asam lambung tidak
boleh dalam bentuk partikel Karena partikel tersebut dapat teraspirasi ke paru dan
menyebabkan perubahan struktur dan fisiologi paru.
17
Pemilihan obat penetral asam lambung seperti glycopyrrolate, suatu anti kolinergik
yang menurunkan sekresi gaster tapi terjadi relaksasi spingter oesophageal dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya aspirasi. Sedangkan metoclopramid sering
digunakan pada SC karena bekerja meningkatkan motilitas gaster sehingga tonus
spingter oesophageal meningkat juga berefek antiemetik sentral.
Pengelolaan jalan nafas terutama adalah adanya penurunan saturasi O2 yang
disebabkan peningkatan konsumsi O2 dan penurunan kapasitas fungsional residu pada
ibu hamil. Diambil langkah pemberian preoksigenasi 100% dan monitoring O2 dan
C02
Depresi neonatus terjadi baik karena penyebab fisiologis maupun dari agent anestesi.
Penyebab fisiologis meliputi hipoventilasi ibu yang menyebabkan perubahan asam
basa pada neonatus. Hiperventilasi ibu akan menimbulkan penurunan tekanan O2
fetus akibat vasokonstriksi pembuluh umbilical sekunder terhadap hipokarbia ibu dan
terjadi perubahan hemodinamik ibu akibat peningkatan tekanan intra torakal sehingga
aliran darah aorta dan aliran darah ke uterus turun. Yang ketiga adanya penekanan
aortocaval yang mengakibatkan fetus dalam keadaan distress. Sedangkan penyebab
farmakologis meliputi obat induksi, muscle relaxant, N20, efek interval induction
delivery. Efek farmakologi ini yang mempengaruhi luaran bayi karena agent dapat
menembus sawar plasenta. Hasil luaran bayi yang dihubungkan dari lamanya waktu
yang diperlukan mulai dari induksi hingga bayi lahir (interval induction - delivery )
dan waktu yang diperlukan mulai dari induksi hingga dimulainya insisi ( Uterine
incision delivery ) yaitu bila bayi tidak lahir dalam waktu < 8 menit dan waktu
incisinya > 180 detik akan terjadi Apgar Score <7 dan adanya asidosis neonatal. Efek
ini terjadi akibat manipulasi uterus pada uteroplasenta dan umbilical blood flow,
tekanan padauterus yang menitikberatkan pada kompresi aortocaval, penekanan pada
kepala bayi ketika kesulitan melahirkan bayi, dan inhalasi cairan amnion akibat
pernafasan gasping bayi dalam uterus.
Awareness akibat dosis agent anestesi kecil untuk mengurangi efek pada fetus,
insidensnya 17 - 36 %. Dapat diatasi dengan penggunaan konsentrasi kecil volatile
agent anestesi.
18
3). Agent anestesi
Thiopental dengan dosis 3-4 mg/kgBB. Aman dan merupakan agent standar yang
dipakai, dapat menyebabkan depresi jantung
Ketamin dengan dosis 1 - 1,5 mg/kgBB. Merupakan bahan anestesi dan analgesi,
dapat menyebabkan peningkatan heart rate dan tekanan darah
Propofol dengan dosis 2-3 mg/ kgBB. Masa recovery cepat tapi meningkatkan
insidens terjadinya hipotensi
Pemilihan dari teknik anesthesia disesuaikan dengan kondisi ibu, janin dan
memperhatikan indikasi dan kontra indikasinya.
3.Terapi Cairan Perioperatif
Terapi cairan perioperatif meliputi cairan pada masa prabedah, selama pembedahan
dan pascabedah. Terapi cairan meliputi penggantian kehilangan cairan, memenuhi kebutuhan
air, elektrolit dan nutrisi untuk membantu tubuh mendapatkan kembali keseimbangan normal
dan pulihnya perfusi ke jaringan, oksigenasi sel, dengan demikian akan mengurangi iskemia
jaringan dan kemungkinan kegagalan organ.14
Dalam pemberian cairan pada pasien perioperatif, kita harus memperhitungkan
kebutuhan cairan basal, penyakit yang menyertai, medikasi, teknik dan obat anestetik serta
kehilangan cairan akibat pembedahan.14
Penderita yang menjalani pembedahan mengalami perubahan fisiologi tubuh, baik
karena penyakitnya sendiri atau akibat trauma pembedahan. Perubahan-perubahan tersebut
antara lain : 15,16
a. Peningkatan rangsang simpatis yang menimbulkan sekresi katekolamin dan
menyebabkan takikardi, konstriksi pembuluh darah, peningkatan kadar gula darah.
b. Rangsangan terhadap kelenjar hipofise
Bagian anterior : sekresi growth hormone yang mengakibatkan kenaikan
kadar gula darah, dan sekresi ACTH.
Bagian posterior : sekresi ADH yang mengakibatkan retensi air (Syndrome
Inappropriate of ADH secretion)
c. Peningkatan sekresi aldosteron akibat stimulasi ACTH dan berkurangnya volume
ekstra sel.
d. Peningkatan kebutuhan oksigen dan kalori karena peningkatan metabolisme.
19
Pemberian infus kristaloid atau koloid, terutama ditujukan untuk mempertahankan
volume intravaskular, tetapi juga akan mempengaruhi komposisi kompartemen cairan
fisiologi. Untuk mengurangi penyulit akibat pemberian cairan yang kurang atau berlebihan,
diperlukan pengetahuan tentang volume, komposisi kompartemen cairan dan tanda-tanda
fisik dan laboratori kelebihan dan kekurangan cairan dan pemilihan jenis cairan.14
20
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. W
Umur : 36 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
No RM : 01076186
Diagnosis pre operatif : Impending eklampsi pada sekundigravida hamil aterm
belum dalam persalinan
Diagnosa post operatif : Impending eklampsi pada sekundipara hamil aterm
Macam Operasi : Sectio Secaria Emergency
Macam Anestesi : Regional anesthesi
Tanggal Masuk : 20 November 2012 Jam 09.15
Tanggal Operasi : 20 November 2012 Jam 11.10
B. PEMERIKSAAN PRA ANESTESI
1. Anamnesis
a. Riwayat Penyakit Sekarang :
Datang seorang G2P1A0 36th uk 40 mgg datang ke poli kebidanan
dengan keluhan sakit kepala dan nyeri uluhati. Pasien merasa hamil 9 bulan
lebih. Gerakan janin masih dirasakan. Kenceng-kenceng teratur belum
dirasakan. Air kawah belum dirasakan keluar. Lendir darah (-).
b. Riwayat Penyakit Dahulu :
1. Riwayat Asma : disangkal
2. Riwayat Hipertensi : disangkal
3. Riwayat DM : disangkal
4. Riwayat Alergi : disangkal
5. Riwayat makan minum terakhir : jam 06.00 WIB
6. Riwayat pemasangan gigi palsu : disangkal
7. Riwayat gigi goyah : disangkal
2. Pemeriksaan Fisik
KU : sedang , CM , Gizi kesan cukup21
Vital Sign : T : 170/110 mmHg RR : 20X/menit
HR : 80 X/menit t : 36,6C
Mata : Conjungtiva anemis (-/-) , Sklera ikterik (-/-)
Leher : JVP tidak meningkat , KGB servikal tidak membesar
Thoraks : Retraksi (-)
Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi: BJ I-II , intensitas normal , reguler bising (-)
Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada kanan= kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan= kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) , suara tambahan (-/-)
Abdomen: Supel , NT (+) daerah epigastrium, teraba janin tunggal intrauterine,
memanjang, preskep, kepala masuk panggul< 1/3 bagian, His (-), DJJ
(+) 13-12-13/reg TFU : 31 TBJ : 2900 gr
VT : v/u tenang , dinding vagina dalam batas normal , portio lunak
mencucu dibelakang, - cm eff 20%, KK dan penunjuk belum dapat
dinilai, AK (-), STLD (-),
3. Pemeriksaan Penunjang
USG : tampak janin tunggal, IU, memanjang, puka, preskep, DJJ (+) dengan FB :
BPD 94 AC 314 FL 68 EFBW 2723 gram
Air ketuban kesan cukup
Plasenta insersi di corpus kiri grd II
Tidak tampak jelas kelainan kongenital mayor
Kesan : saat ini janin tunggal hidup dalam keadaan baik
Laboratorium darahtanggal20November 2012
Hb : 13.6 gr/dl Albumin : 3.5 gr/dl
Hct : 40 % OT/PT : 42 / 35 U/l
AE : 4,16. 106 /ul Natrium : 136 mmol/l
22
AL : 6.7 103 /ul Kalium : 4.0 mmol/l
AT : 162 103/ul
Golongan darah : B Clorida : 107 mmol/l
GDS : 64 mg/dl PT : 13.3 detik
Ureum : 33 mg/dl APTT : 31.7 detik
Creatinim : 0,9 mg/dl HBSAg : (-)
Laboratorium urinalisa tanggal 11 Mei 2012
Proteinuria +2
4. Diagnosis
Impending eklampsia pada sekundigravida hamil aterm belum dalam persalinan
5. Terapi Obsgyn
Usul SCTPem
Cek lab lengkap
Konsul anestesi
Inj. Ceftriaxone 1 gr skin test
Protap PEB :
o O2 2-3 lpm
o Inj. MgSO4 8 gr boka-boki dilanjutkan 4 gr im (jk syarat
terpenuhi)
o Nifedipine 10 mg jika TD ≥ 160/100 mg
C. LAPORAN ANESTESI
I. Persiapan
Anestesi mulai jam 11.10
Advis Anestesi :
- Puasa 8 jam pre op
- Pasang iv line (infus RL 12 tetes / menit )
- Informed consent
- Premedikasi di OK
23
- Sedia darah 2 WB
Golongan : ASA II
II. Penatalaksanaan
Posisi : Supine
Jenis Anestesi : RA (Regional Anestesi )
RASAB : Bupivakain 12,5 mg + Fentanyl 25 mcg
III. Monitoring
- Vital sign selama operasi tiap 15 menit
- Kedalaman anestesi
- Cairan
- Pendarahan
- Produksi Urine
IV. Tata laksanaan anestesi
Diruang persiapan
o Cek inform consent
o Periksa vital sign
o Cek obat-obatan dan alat anestesi
o Infuse RL I jalur
o Sedia darah 2 WB
o Posisi telentang
o Pakaian pasien diganti pakaian operasi , cocokkan identitas pasien
Di recovery Room
Pasien masuk RR dalam posisi supine , diberi O2 3 liter/menit – awasi vital sign tiap
15 menit . Sesudah operasi pasien dirawat di HCU , terapi yang diberikan :
- Infuse RL : D 5 % : NaCl = 1 : 2 : 1
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam (IV)
- Inj. Metronidazole 500 mg/8 jam (IV)
- Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam (IV)
- Inj.Vit B comp 2 cc /24 jam (IV)
24
- Inj. Vit C 1 amp/ 12 jam ( IV)
V. Instruksi pasca anestesi
1. Posisi supine dengan oksigen 3 L/mnt
2. Kontrol vital sign , bila T<90/60 MmHg , beri efedrin 5-10 mg + cairan
kristaloid ± 250 cc
3. Bila muntah diberi ondansetron 4 mg dan Bila kesakitan di beri ketorolac
30 mg
4. Lain-lain
Antibiotik sesuai Obsgyn
Analgetik sesuai Obsgyn
Puasa sampai dengan peristaltik (+)
Post operasi , cek Hb . Bila < 10 mg/dl transfusi sampai Hb ≥ 10
Kontrol balance cairan
Monitor vital sign
25
BAB IV
PEMBAHASAN
Dasar diagnosis Impending Eklampsia pada pasien ini adalah adanya sakit kepala,
nyeri uluhati, peningkatan tekanan darah, proteinuria +2.
Penanganan pada kasus ini adalah SCTP emergency untuk menghindari komplikasi
lebih lanjut antara lain gangguan fungsi ginjal dan gangguan neurologis, yang bahkan dapat
mengakibatkan kematian ibu.
Teknik anestesi yang digunakan adalah anestesi regional dengan pertimbangan
diperlukan operasi emergensi dengan pemulihan anestesi yang cepat, teknik sederhana,
induksi cepat, kontak fetus dengan agent minimal, pasiennya sadar dan bahaya aspirasi
sedikit.
Penggunaan spinal anestesi seringkali menimbulkan hipotensi (sistolik < 100 mmHg
atau turun > 30 mmHg dari tekanan awal), insiden ini hampir 80 %. Perubahan hemodinamik
ini disebabkan karena blokade simpatis dan diperbesar oleh penekanan aorta dan vena cafa
inferior oleh uterus yang gravid ketika pasien dalam posisi supine. Maternal hipotensi dapat
mengancam kehidupan ibu bila penurunan tekanan darah dan cardiac output tidak cepat
dikoreksi.
Setelah operasi selesai, pasien masuk HCU karena pada masa pre operasi pasien
mengeluh pusing dan nyeri uluhati yang merupakan gejala ancaman terjadinya eklampsia.
Terapi cairan peri operatif meliputi pemberian cairan pada masa prabedah, selama
pembedahan dan pasca bedah. Perlu diketahui perubahan fisiologi akibat pembiusan dan
pembedahan, fisiologi cairan tubuh, tanda-tanda fisik dan laboratorium kelebihan atau
kekurangan cairan.
Penilaian status cairan dilakukan pada kunjungan pertama pra bedah dan mulai
diberikan terapi cairan dan diusahakan status cairan seoptimal mungkin sebelum dilakukan
induksi pembiusan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat pembiusan dan
pembedahan.
Selama pembedahan harus selalu dijaga keseimbangan cairan dan elektrolit dengan
mengganti kehilangan cairan akibat pembedahan, kebutuhan dasar dan trauma pembedahan.
26
Selalu dipantau tanda-tanda fisik mengenai kelebihan atau kekurangan cairan. Terapi cairan
pasca bedah ditujukan untuk mengoreksi pemberian cairan sebelumnya dan memenuhi
kebutuhan cairan dan nutrisi untuk mempercepat penyembuhan.
27
BAB V
KESIMPULAN
Pemeriksaan kehamilan antepartum yang baik dapat meminimalkan risiko yang akan
terjadi pada pasien yang akan mengalami persalinan. Identifikasi penyebab gangguan
neurologis pada pasien antepartum dapat mengurangi risiko terjadinya morbiditas dan
mortalitas.
Pemilihan teknik anestesi dan jenis obat-obatan yang tepat dapat membantu
pelaksanaan pembedahan dan mengurangi berbagai faktor risiko akibat pembedahan dan
anestesi. Anestesi pada persalinan mempunyai perbedaan dengan anestesi pada umumnya
yaitu dengan adanya ibu dan janin. Perubahan fisiologis pada ibu hamil dan adanya janin
berpengaruh pada pemilihan obat anesthesia, premedikasi, dan cara anestesi. Setelah selesai
operasi diusahakan obat anestesi yang masih tersisa sudah tidak berpengaruh pada kontraksi
otot rahim.
Terapi cairan yang diberikan tergantung dari trauma operasi yang didapat. Adanya
berbagai macam cairan memberi keleluasaan untuk memilih cairan yang mendekati
kebutuhan pasien.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Karyadi Wirjoatmodjo, Prof. dr. DSAn (KIC), Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk Pendidikan S1 Kedokteran, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000.
2. Muhiman Muhardi, dkk, Anestesiologi, FKUI, Jakarta, 1989.3. Brandon J. Brankowski, et all, The Johns Hopkins Manual oh Gynecology & Obstetrics,
2nd edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, 2002, pp 183 – 193.4. Alan H. De Cherney, Md, Laurent Nathan, MD, Current Obstetrics & Gynecologys
Diagnosis & Treatment, 9th edition, Lange Medical Books / Mc Graw Hill, 2003, pp 337– 498.
5. F. Garry Cunningham, MD, Norman F. Gant, MD, Kenneth J. Leveno, MD, Larry C. Gilstrap III, MD, John C. Hauth, Williams Obstetrics, 21st edition, Mc Graw Hill Medical Publishing Division, 2001, pp 576 – 618.
6. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2002, hal 205 – 216, 574 – 576.
7. Craig M. Palmer, Robert D’Angelo, Michael J. Paech, Handbook of Obstetric Anesthesia, Bios Scientific Publisher Ltd, UK, 2002, pp 82 – 138.
8. Tatang Bisri, dr. DSAn, Obstetri Anesthesia, Edisi 1, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran / RSUP dr. Hasan Sadikin, Bandung, 1997.
9. Pritchard JA, MacDonald PC, Gant NF. Williams Obstetrics, 20th ed. R Hariadi, R Prajitno Prabowo, Soedarto, penerjemah. Obstetri Williams. Edisi 20. Surabaya: Airlangga University Press, 2001; 456-70.
10. Prawirohardjo S, Hanifa W. Kebidanan Dalam Masa Lampau, Kini dan Kelak. Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi III. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2002; 3-21.
11. Benzion T. 1994. Kapita selekta kedaruratan obstetri dan ginekologi. Jakarta, EGC.12. Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins Gea. Intrapartum
Assessment.. 2002. Williams obstetrics. Ed.22. Stamford: Appleton and Lange.13. Hariadi R . 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Ed.1. Surabaya : Himpunan
Kedokteran Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.14. Sunatrio. Terapi Cairan untuk Resusitasi Pasien Traumatik, dalam Symposium of Fluid
and Nutrition Therapy in Traumatic Patients, Bagian Anestesiologi FK UI/RSCM, Jakarta, 1997.
15. Suntoro, A., Terapi Cairan Perioperatif, dalam Muhiman, M. dkk., Anestesiologi, CV. Infomedika, Jakarta.
16. Ngurah, N., Terapi Cairan Perioperatif, Workshop Cairan, FK UGM, RSUP Dr. Sardjito, 1999.
29