Preskes Anestesi Jay

41
PENATALAKSANAAN GENERAL ANESTESI PADA SEKSIO SESARIAPADA PRE EKLAMPSIA BERAT DENGAN OEDEMA PARU Oleh : dr. Andy Wijaya Pembimbing : dr. RTh. Supraptomo, SpAn LAB/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF 1

description

anestesi

Transcript of Preskes Anestesi Jay

Page 1: Preskes Anestesi Jay

PENATALAKSANAAN GENERAL ANESTESI PADA

SEKSIO SESARIAPADA PRE EKLAMPSIA BERAT DENGAN

OEDEMA PARU

Oleh :

dr. Andy Wijaya

Pembimbing :

dr. RTh. Supraptomo, SpAn

LAB/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FK UNS/RSUD DR.MOEWARDI

SURAKARTA

2013

1

Page 2: Preskes Anestesi Jay

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan laporan kasus dengan judul “PENATALAKSANAAN GENERAL

ANESTESI PADA SEKSIO SESARIA PADA PADA PRE EKLAMPSIA BERAT

DENGAN OEDEMA PARU “

Surakarta , Januari 2013

Pembimbing

dr. RTh. Supraptomo, SpAn

2

Page 3: Preskes Anestesi Jay

BAB I

PENDAHULUAN

Setelah pembedahan dapat terjadi komplikasi akibat tindakan tersebut diantaranya

akan terjadi perdarahan. Hal ini sering terjadi pada kasus-kasus pembedahan obstetri dan

ginekologi. Kemajuan dalam bidang anestesi dan teknik operasi menyebabkan intervensi

bedah dapat dilakukan pada pasien dengan masalah sirkulasi.1,2

Pada kasus-kasus yang beresiko tinggi terhadap pembedahan dapat dipilihkan teknik

anestesi, obat-obatan dan jenis operasi yang akan dilakukan dapat mengurangi resiko

tersebut, seperti pada pasien yang mengalami perdarahan antepartum.1,2

Secara umum penderita gawat darurat ialah penderita yang oleh karena suatu

penyebab (penyakit, trauma, kehamilan dengan penyulit, kecelakaan, tindakan anestesi) yang

bila tidak segera ditolong akan mengalami cacat, kehilangan organ tubuh atau meninggal.1

Dalam menghadapi pasien gawat darurat maka faktor waktu memegang peranan yang

sangat penting (time saving is life saving). Tindakan pada menit pertama dalam menangani

kegawatan medik tersebut, dapat sangat bermakna dan sangat menentukan hidup atau mati

penderita. Pada keadaan ibu hamil kita mempunyai kepentingan akan keselamatan dua nyawa

yaitu ibu dan janin.1

Dalam memberikan pertolongan pada penderita harus diingat hal-hal sebagai berikut:

1. Bagaimana mempertahankan jiwa penderita. Atasi dulu yang paling mengancam jiwa

2. Bagaimana mengurangi penyulit yang mungkin timbul

3. Bagaimana meringankan penderitaan korban

4. Melindungi diri terhadap kemungkinan penularan penyakit menular dari penderita

(hepatitis, HIV/ AIDS )

Urutan penanganan penderita gawat darurat dibuat berdasarkan faktor yang paling

cepat menyebabkan kematian :

Breath =pernapasan dapat menyebabkan kematian dalam waktu 3 menit

Bleed =hemodinamik juga dapat menyebabkan kematian dalam beberapa menit

Brain = kesadaran dan susunan syaraf pusat

Bladder = urogenital

Bowel = traktus digestivus

Bone = tulang dan kerangka

3

Page 4: Preskes Anestesi Jay

Breath (pernapasan)1

Jalan napas harus bebas. Disebut bebas bila penderita dapat bernapas atau diberi

napas dengan mudah. Suara napas bersih dan tidak ada suara napas tambahan. Bila keadaan

ini tidak kita jumpai maka:

Lakukan bantuan manual dengan triple airway maneuver yaitu:

1. hiperekstensi kepala, angkat tengkuk, ganjal bahu

2. jaw thrust, dorong rahang bawah ke depan

3. buka mulut

Bantuan jalan napas buatan yaitu:

1. jalan napas oro/nasopharinx/nasotracheal

2. cricothyrotomi/tracheostomy

Bleed (perdarahan)1

Untuk memonitor keadaan ini periksalah pada bagian perifer (perfusi, tekanan darah,

nadi rate dan pengisiannya). Perfusi dianggap baik bila jari-jari dan telapak tangan hangat,

kering dan merah muda. Tekanan darah dapat membantu diagnosa tapi bukan satu-satunya

cara untuk menegakkan diagnosa.

Brain (kesadaran)

Tingkat kesadaran penderita dapat dievaluasi dengan cara yang biasa dipakai (compos

mentis, somnolen, sopor, koma) atau lebih baik menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS).

Dibandingkan dengan penilaian kualitatif, GCS bersifat lebih praktis, lebih dapat dipercaya,

dapat dilakukan oleh dokter maupun para medis, mudah dimonitor dari waktu ke waktu,

dapat untuk memberikan prognosis.

Tabel Glasgow Coma Scale (GCS)

Eye Opening Motor Response Verbal respons4 Membuka spontan 6 Mematuhi perintah 5 Punya Orientasi3 Membuka dengan

panggilan5 Menunjukkan

lokasi nyeri4 Kalimat yang

membingungkan2 Membuka mata

kalau sakit4 Gerakan

fleksi menarik diri3 Masih berupa kata-kata

1 Nil 3 Fleksi abnormal 2 Suara yang tidak jelas2 Ekstensi 1 Nil1 Nil

4

Page 5: Preskes Anestesi Jay

Ada lima kemungkinan hasil akhir yang diperoleh setelah melakukan pertolongan

yang maksimal pada pasien

1. Good recovery

Bila penderita dapat hidup mandiri tanpa tergantung orang lain dan tanpa ada minimal

neurologist

2. Moderat disability

Bila penderita dapat hidup mandiri tapi ada kelainan neurologist dan

intelektualitas

3. Severe disability

Kesadaran penderita baik, tapi untuk melakukan sehari-hari masih memerlukan bantuan

orang lain

4. Vegetatif state

5. Death

Bladder1

Disini yang dinilai adalah fungsi ginjal terhadap ancaman terjadinya gagal ginjal

(acute renal failure). Oliguria < 25 ml/jam yang berlangsung > 2 jam, merupakan keadaan

darurat yang membutuhkan pertolongan darurat dan terapi koreksi cairan yang agresif.

Untuk bisa menilai fungsi ginjal perlu diperhatikan volume urin :

1. Normal : 1-2 ml/kgBB/jam

2. Anuria : 20 ml/24 jam

3. Oliguria : 25 ml/jam atau < 400 ml/24 jam

4. Poliuria : 2500 ml/ 24 jam Kualitas : Berat jenis, sedimen dll

Pemeriksaan serum creatinin, BUN, dan clearance creatinin.

Bowel1

Yang perlu diperhatikan pertama adalah kembung dan distensi. Keadaan ini akan

mengakibatkan diafragma terdorong keatas, sehingga pergerakan terganggu, dengan

demikian pengembangan paru-paru terbatas memudahkan terjadinya hipoventilasi.

Penyebabnya dapat berupa: ascites, perdarahan intraabdominal, ileus paralitik, ileus

obstruktif. Yang kedua adalah muntah dan diare menyebabkan tubuh kehilangan cairan dan

elektrolit sehingga terjadi keadaan dehidrasi akut dengan gejala klinis: turgor kulit menurun,

5

Page 6: Preskes Anestesi Jay

mata cowong, mukosa kering, ubun-ubun cekung. Sementara gejala akibat berkurangnya

cairan plasma adalah takikardi, hipotensi sampai syok, oliguria.

Bone (tulang dan kerangka)

Pada umumnya penyakit tulang atau patah tulang tidak menyebabkan kematian secara

langsung kecuali patah tulang leher, patah tulang terbuka sehingga menyebabkan perdarahan.

Penderita meninggal karena syok.

Pada presentasi kasus ini penulis memusatkan perhatian tentang tatalaksana anestesi

regional pada seksio caesaria atas indikasi impending eklampsia pada sekundigravida hamil

aterm belum dalam persalinan. Pada kasus ini indikasi emergensi pembedahan adalah

impending eklampsia

6

Page 7: Preskes Anestesi Jay

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hipertensi dalam Kehamilan9-13

Terminologi hipertensi dalam kehamilan (HDK) digunakan untuk menggambarkan

spektrum yang luas dari ibu hamil yang mengalami peningkatan tekanan darah yang ringan

atau berat dengan berbagai disfungsi organ. Sampai sekarang penyakit HDK masih

merupakan masalah kebidanan yang belum dapat dipecahkan dengan tuntas.

HDK adalahsalahsatupenyebabmorbiditas dan mortalitas ibudisampingperdarahan dan

infeksi. Pada HDK juga didapatiangka mortalitas dan morbiditasbayi yang cukuptinggi. Di

Indonesia preeklampsia dan eklamsiamerupakanpenyebabdari 30-40% kematian perinatal,

sementara di beberaparumahsakit di Indonesia

telahmenggeserperdarahansebagaipenyebabutamakematian maternal.

Untukitudiperlukanperhatiansertapenanganan yang serius

terhadapibuhamildenganpenyakitini.

1. KLASIFIKASI9,12,13

Pada saatini, untuklebihmenyederhanakan dan

memudahkanTheWorkingGroupReport dan High BloodPressureiniPregnancy (2000)

menyarankanklasifikasihipertensidalamkehamilansebagaiberikut :

a) Hipertensikronis

b) Superimposedpreeklampsia

c) Preeklampsia ringan, preeklampsiaberat dan eklampsia

d) Hipertensigestasional

Sebagaibatasan yang

disebuthipertensidalamkehamilanadalahkenaikantekanandarahdiastolik90 mmHg

dan tekanandarahsistolik140 mmHg pada duakalipemeriksaan yang berjarak 4

jamataulebih dan proteinuria, jikadijumpaiproteindalamurinemelebihi 0,3 gr/24

jamataudenganpemeriksaankualitatifminimalpositif (+) satu.

2. DEFINISI12

a) Hipertensi kronis adalah hipertensi yang sudah dijumpai sebelum kehamilan, selama

kehamilan sampai sesudah masa nifas. Tidak ditemukan keluhan dan tanda-tanda

preeklampsia lainnya.

7

Page 8: Preskes Anestesi Jay

b) Superimposed preeklampsia adalah gejala dan tanda-tanda preeklampsia muncul

sesudah kehamilan 20 minggu pada wanita yang sebelumnya menderita hipertensi

kronis.

c) Preeklamsia ringan, preeklampsia berat, eklampsia : Dahulu, disebut PE jika

dijumpai trias tanda klinik yaitu : tekanan darah ≥ 140/90 mmHg, proteinuria dan

edema. Tapi sekarang edema tidak lagi dimasukkan dalam kriteria diagnostik , karena

edema juga dijumpai pada kehamilan normal. Pengukuran tekanan darah harus

diulang berselang 4 jam, tekanan darah diastol 90 mmHg digunakan sebagai

pedoman.

1) Preeklampsia ringan adalah jika tekanan darah 140/90 mmHg, tapi

<160/110 mmHg dan proteinuria +1.

2) Preeklampsia berat adalah jika tekanan darah ≥ 160/110 mmHg, proteinuria

+2, dapat disertai keluhan subjektif seperti nyeri epigastrium, sakit kepala,

gangguan penglihatan dan oliguria.

3) Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil dalam persalinan atau

nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dan atau koma. Sebelumnya

wanita ini menunjukkan gejala-gejala preeklampsia berat. (kejang timbul

bukan akibat kelainan neurologik).

a) Hipertensi gestasional adalah kenaikan tekanan darah yang hanya dijumpai dalam

kehamilan sampai 12 minggu pasca persalinan, tidak dijumpai keluhan dan tanda-

tanda preeklampsia lainnya. Diagnosa akhir ditegakkan pasca persalinan.

B. PREEKLAMPSIA / EKLAMPSIA9-12

1. Insidensi

Resiko persalinan pada ibu dengan Pre eklampsi berat (PEB) sangatlah tinggi,

angka kejadianya menurut WHO, 0,51%-38,4%, maka perlu dilakukan upaya yang

optimal untuk menurunkan kejadian tersebut yaitu mengakhiri kehamilan dengan

tindakan Sectio Caesarea (SC) jika dalam 24 jam tidak dapat diselesaikan dengan

persalinan pervaginam. Di RSUD Dr. M.Yunus Bengkulu kejadian PEB meningkat

setiap tahunnya. Pada 2008-2009 jumlah kasus PEB mengalami peningkatan sebesar

22,3%. Pada 2010, PEB merupakan urutan ke dua (10,7%) dari sepuluh penyakit

terbanyak yang ada di ruang mawar RSUD M.Yunus Bengkulu.Insidens

preeklampsia dan eklamsia berkisar antara 4-9 % pada wanita hamil, 3-7 % terjadi

8

Page 9: Preskes Anestesi Jay

pada nullipara, dan 0,8-5 % pada multipara. Angka kejadian PE di Indonesia berkisar

antara 3-10 %. Penelitian terakhir di Medan oleh Girsang ES (2004), melaporkan

angka kejadian PEB di RSUP. H. Adam Malik dan RSU. Dr. Pirngadi Medan periode

2000-2003 adalah 5,94%, sedangkan eklamsia 1,07%.

2. Etiologi / Patogenesis

Etiologi dan patogenesis preeklampsia sampai saat ini masih belum

sepenuhnya difahami, masih banyak ditemukan kontroversi, itulah sebabnya penyakit

ini sering disebut “the desease of theories”. Pada saat ini hipotesis utama yang dapat

diterima untuk menerangkan terjadinya preeklampsia adalah : faktor imunologi,

genetik, penyakit pembuluh darah dan keadaan dimana jumlah trophoblast yang

berlebihan dan dapat mengakibatkan ketidakmampuan invasi trofoblast terhadap arteri

spiralis pada awal trimester satu dan trimester dua. Hal ini akan menyebabkan arteri

spiralis tidak dapat berdilatasi dengan sempurna dan mengakibatkan turunnya aliran

darah di plasenta. Berikutnya akan terjadi stress oksidasi, peningkatan radikal bebas,

disfungsi endotel, agregasi dan penumpukan trombosit yang dapat terjadi diberbagai

organ.

3. Faktor Predisposisi Terjadinya Preeklampsia.

Primigravida, kehamilan ganda, diabetes melitus, hipertensi essensial kronik,

mola hidatidosa, hidrops fetalis, bayi besar, obesitas, riwayat pernah menderita

preeklampsia atau eklampsia, riwayat keluarga pernah menderita preeklampsia atau

eklampsia, lebih sering dijumpai pada penderita preeklampsia.

4. Penanganan

Pada dasarnya penanganan yang terbaik pada preeklampsia adalah segera

melahirkan janin, tetapi disamping itu usia kehamilan, keadaan ibu dan keadaan janin

harus diawasi dengan baik, dan menjadi pertimbangan untuk melakukan terminasi

kehamilan

5. Klasifikasi PE berdasarkan tingkat keparahan penyakit:

KELAINAN PE RINGAN PE BERAT .

TD diastolik < 100 mmHg 110 mmHg

Proteinuria +1 persisten +2

Sakit kepala - +

Gangguan penglihatan - +

9

Page 10: Preskes Anestesi Jay

Nyeri perut bagian atas - +

Oliguria - +

Kejang (eklamsia) - +

Kreatinin serum - meningkat

Trombositopenia - +

Peningkatan enzim hati minimal nyata

Restriksi pertumbuhan janin - +

Edema pulmonum - +

C. PREEKLAMSIA RINGAN

Penanganan yang optimal pada usia kehamilan <37 minggu adalah dirawat di rumah

sakit karena cara ini dapat meningkatkan ketahanan hidup bayi dan menurunkan progresifitas

penyakit. Jika rawat jalan, pastikan pasien kontrol secara teratur. Selama dirawat pasien

mendapatkan diet yang teratur tanpa restriksi garam dan tanpa pembatasan aktifitas fisik.

1.Antihipertensi, antidiuretik, dan sedatif tidak diberikan.

2.Dilakukan evaluasi kesehatan ibu:

a) Tekanan darah dimonitor setiap 4 jam

b) Berat badan diukur setiap hari

c) Pemeriksaan laboratorium seperti protein urin, hematokrit, hitung trombosit, fungsi

hati, dan fungsi ginjal dilakukan setiap 1-2 minggu.

d) Awasi perkembangan penyakit, kemungkinan menjadi preeklampsia berat, atau

impending eklampsia dengan gejala : sakit kepala, gangguan penglihatan, atau nyeri

epigastrik

3. Evaluasi kesehatan bayi

a) Hitung gerak bayi setiap hari.

b) NST setiap minggu.

c) USG setiap 3 minggu untuk mengetahui IUGR

d) Biofisik profil jika perlu.

4. Jika usia kehamilan > 37 minggu, atau mendekati aterm, lakukan induksi persalinan

walaupun servik belum matang.

D. PREEKLAMPSIA BERAT9,12,13

1. Pengobatan Medisinal

a) Tirah Baring

b) Oksigen

10

Page 11: Preskes Anestesi Jay

c) Kateter menetap

d) IVFD : Ringer Asetat, Ringer Laktat, Kolloid

Jumlah input cairan : 2000 ml/24 jam, berpedoman pada diuresis, insensible water

loss dan CVP. Awasi balance cairan.

e) Magnesium Sulfat

Initial dose :

- Loading dose : 4 gr magnesium sulfat 20% IV (4-5 menit)

- 8 gr MS 40% IM, 4 gr bokong kanan, 4 gr bokong kiri.

Maintenance dose : 4 gr magnesium sulfat 40% IM setiap 6 jam

magnesium sulfat maintenance dapat juga diberikan secara intravenus.

f) Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastole > 110 mmHg. Dapat diberikan

nifedipin sublingual 10 mg. Setelah 1 jam, jika tekanan darah masih tinggi dapat

diberikan nifedipin ulangan 5-10 mg sublingual atau oral dengan interval 1 jam, 2 jam

atau 3 jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan darah tidak boleh terlalu agresif.

Tekanan darah diastol jangan kurang dari 90 mmHg, penurunan tekanan darah

maksimal 30%.Penggunaan nifedipine sangat dianjurkan karena harganya murah,

mudah didapat dan mudah pengaturan dosisnya dengan efektifitas yang cukup baik.

g) Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada :

- Edema paru

- Gagal jantung kongestif

- Edema anasarka

h) N-Acetyl Cystein 3 x 600 mg.

i) Jika pasien koma, diberikan perawatan koma di ICU

j) Konsul ke Bagian Interna, Hematologi, Mata, Neurologi jika perlu.

k) Jajaki kemungkinan terjadinya komplikasi Sindroma HELLP, gagal ginjal, edema

paru, solusio plasenta, DIC, stroke, dll

l) Jika dijumpai Sindroma HELLP, beri deksametason 10 mg / 12 jam IV 2x sebelum

persalinan, dilanjutkan dengan deksametason 10, 10, 5, 5 mg / jam IV dengan interval

6 jam postpartum. Kelahiran bayi diharapkan terjadi dalam 48 jam setelah pemberian

deksametason pertama.

Catatan:

Syarat pemberian Magnesium Sulfat:

11

Page 12: Preskes Anestesi Jay

a) Harus tersedia antidotum Magnesium Sulfat yaitu Kalsium Glukonas 10%,

diberikan iv secara perlahan.

b) Refleks patella (+)

c) Frekuensi pernafasan > 16 kali / menit.

d) Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5 cc/ kg BB/ jam )

Pemberian Magnesium Sulfat sampai 20 gr tidak perlu mempertimbangkan diurese

2.Penanganan Obstetrik

Pada keadaan ibu sudah stabil, tetapkan suatu keputusan apakah dilakukan terminasi

kehamilan atau tindakan konservatif dengan mempertimbangkan usia kehamilan dan keadaan

janin.Penanganan konservatif bisa dilakukan pada keadaan :

a) Tekanan darah terkontrol < 160/110 mmHg

b) Oliguria respon dengan pemberian cairan

c) Tidak dijumpai nyeri epigastrik

d) Usia kehamilan < 34 minggu

Kalau penyakit berkembang menjadi Sindroma HELLP murni cenderung dilakukan

tindakan penanganan aktif. Jika serviks sudah matang dan tidak ada kontra indikasi obstetrik,

dilakukan induksi persalinan dengan oksitosin drips dan amniotomi. Kala II dipercepat

denganVE / FE.Seksio sesarea dilakukan pada :

a) Skor pelvik dibawah 5.

b) Dengan drips oksitosin, setelah 12 jam belum ada tanda-tanda janin akan lahir

pervaginam.

c) Indikasi obstetrik.

Bayi ditangani oleh Subbagian Perinatologi dan jika perlu dirawat di Neonatal Intensive

Care Unit.

E. EKLAMPSIA11,12

1.PengobatanMedisinal

a) MgSO4 :

Cara pemberian sama dengan pasien preeklampsia berat.

Bila kejang berulang diberikan MgSO4 20 % 2 gr IV, diberikan sekurang-kurangnya

20 menit setelah pemberian terakhir.Bila setelah diberikan dosis tambahan masih

tetap kejang dapat diberikan amobarbital 3-5 mg/ kg BB IV perlahan-lahan.

b) Infus Ringer Asetat atau Ringer Laktat. Jumlah cairan dalam 24 jam sekitar 2000 ml,

berpedoman kepada diuresis, insensible water loss dan CVP .

12

Page 13: Preskes Anestesi Jay

c) Perawatan pada serangan kejang :

Dirawat di kamar isolasi yang cukup tenang.

Masukkan sudip lidah ( tong spatel ) kedalam mulut penderita.

Kepala direndahkan , lendir diisap dari daerah orofarynx.

Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup kendor guna menghindari fraktur.

Pemberian oksigen.

Dipasang kateter menetap ( folley kateter ).

d) Perawatan pada penderita koma :

Monitoring kesadaran dan dalamnya koma memakai “ Glasgow – Pittsburg Coma

Scale “.

Perlu diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan penderita.

Pada koma yang lama ( > 24 jam ), makanan melalui hidung ( NGT = Naso Gastric

Tube : Neus Sonde Voeding ).

e) Diuretikum dan anti hipertensi sama seperti Pre Eklamsia Berat.

f) Kardiotonikum ( cedilanid ) jika ada indikasi.

g) Tidak ada respon terhadap penanganan konservatif pertimbangkan seksio sesarea.

3. Pengobatan Obstetrik :

a) Semua kehamilan dengan eklamsia harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan

dan keadaan janin.

b) Terminasi kehamilan

Sikap dasar : bila sudah stabilisasi ( pemulihan ) hemodinamika dan metabolisme

ibu, yaitu 4-8 jam setelah salah satu atau lebih keadaan dibawah ini :

Setelah pemberian obat anti kejang terakhir.

Setelah kejang terakhir.

Setelah pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir.

Penderita mulai sadar ( responsif dan orientasi ).

c) Bila anak hidup sc dapat dipertimbangkan.

Perawatan Pasca Persalinan

Bila persalinan terjadi pervaginam, monitoring tanda-tanda vital dilakukan sebagaimana

lazimnya.

Pemeriksaan laboratorium dikerjakan setelah 1x24 jam persalinan.

Biasanya perbaikan segera terjadi setelah 24-48 jam pasca persalinan.

13

Page 14: Preskes Anestesi Jay

F. Impending preeklampsia:

Gejala PEB disertai salah satu atau beberapa gejala dari nyeri kepala hebat, gangguan

visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium dan kenaikan tekanan darah yang progresif. Kasus

ini ditangani sebagai kasus eklampsia.

Perawatan aktif dilakukan apabila usia kehamilan 37 minggu atau lebih, adanya ancaman

terjadinya impending eklampsia, kegagalan terapi dengan obat-obatan, adanya tanda

kegagalan pertumbuhan janin di dalam rahim, adanya “HELLP syndrome” (Haemolysis,

Elevated Liver enzymes, and Low Platelet).

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Urin: protein, reduksi, bilirubin, sedimen urin

Darah: trombosit, ureum, kreatinin, SGOT, LDH dan bilirubin

USG

G. PENATALAKSANAAN ANESTESI

Tujuan utama penggunaan anesthesia dan analgesia adalah memaksimalkan luaran

baik ibu maupun bayi. Dalam obstetri dan ginekologi penggunaan anestesi dan analgesia

cukup luas meliputi: analgesia dalam proses persalinan, analgesia dan anestesi dalam

persalinan pervaginam, analgesia dan anestesi dalam persalinan perabdominal, dan analgesia

untuk nyeri post operasi. Dalam bahasan ini hanya akan dibicarakan anestesi dan analgesi

dalam persalinan perabdominal. Sebelum dilakukan anestesi dilakukan maka pasien perlu

disiapkan.

1. Pemeriksaan preanestesi untuk seksio sesaria7

a) Anamnesa

Untuk mengetahui riwayat penyakit pasien baik sekarang maupun penyakit yang sudah

diderita sebelum hamil, riwayat pernah operasi, riwayat alergi, riwayat obstetric, makan

minum terakhir.

b) Pemeriksaan fisik

Meliputi keadaan umum, vital sign, kesadaran, pemeriksaan jantung, paru, pemeriksaan

penyulit anestesi seperti leher pendek

c) Pemeriksaan penunjang

Untuk mengetahui penyulit selama dilakukan anestesi dan operasi. Mulai dari

pemeriksaan laboratorium, Rontgen dan EKG.

14

Page 15: Preskes Anestesi Jay

2. Anestesi pada Seksio Sesaria3,,4,6,7,8

Anestesi pada persalinan perabdominal atau SC ada 2 macam yaitu regional anestesi

yang terdiri dari spinal dan epidural anestesi sedangkan yang kedua adalah general anestesi.

a. Regional Anestesi3,4,7,8

Regional anestesi dicapai dengan menyuntikkan atau memasukkan agent anesthesia

ke dalam rongga epidural atau subarakhnoid setinggi ± L3- L4 atau L4 -L5 sehingga agent

anestesi mencapai saraf yang melewati segmen spinal hingga ke saraf perifer yang

bertanggung jawab mempersarafi area tubuh sesuai dengan dermatomnya.

Perbedaan antara spinal dan epidural anestesi hanya pada masuknya agent anestesi. Pada

spinal anestesi obat anestesi lokal masuk ke rongga subarachnoid sedangkan epidural anestesi

obat anestesi masuk ke rongga epidural.

1) Anesthesia spinal

a) Keuntungan dari spinal anestesi

Teknik sederhana

Induksinya cepat

Kontak fetus dengan agent minimal

Pasiennya sadar dan bahaya aspirasi sedikit

b) Kerugian dari spinal anestesi

Maternal hipotensi

Insidensinya sebesar 60 - 80 % bila terjadi > 5 menit dapat terjadi fetal

asidosis dan kerusakan saraf. Hal ini terjadi karena blok saraf simpatis dan adanya

penekanan aorta dan vena cava inferior oleh uterus yang gravid pada posisi

supine.

Usaha untuk meminimalkan efek maternal hipotensi dengan pemberian cairan

Ringer Laktat 1000 – 1500cc 15 sampai 30 menit sebelum dilakukan anesthesia

dan pasien dalam posisi Fowler serta pemberian oksigen. Bila perlu dapat

diberikan efedrin 5 - 10 mg atau phenylefrin 40 mcg. Tapi obat ini hanya

diberikan pada kondisi ibu dan janin yang sehat tanpa insufisiensi uteroplasenta.

Mual - muntah

Seringkali terjadi pada pasien dengan spinal anestesi disebabkan adanya

hipotensi sistemik sehingga menyebabkan cerebral blood flow turun dan terjadi

cerebral hipoksia. Selain itu nyeri viscera dari traksi pada peritoneum atau viscera

15

Page 16: Preskes Anestesi Jay

abdominalis akan merangasang pusat muntah melalui nervus vagus. Cara untuk

mengatasi dengan pemberian analgetik golongan opiat atau pemberian

metoklopramid/droperidol setelah bayi lahir.

Post spinal headache

Insidensinya 0 - 10%. Usaha untuk mengatasi keadaan ini suntikan jarum

spinal harus parallel dengan arah serabut duramater, penggunaan jarum spinal

yang lebih kecil, penggunaan ujung jarum spinal pencil point dibandingkan

quincke mempunyai insidens sakit kepala yang lebih kecil hanya 1%. Biasanya

dapat sembuh sendiri, bila berat dapat diberikan caffeine IV atau peroral

Lama kerja obat anestesi terbatas

c) Agent regional anestesi

Agent yang biasa digunakan untuk regional anestesi adalah:

0,5% tetracaine dalam 5% dextrose, durasi 90-120 menit

5% lidocaine dalam 7,5% dextrose yang diencerkan, durasi 45 - 60 menit

0,75% bupivacaine dalam 8,5% dextrose yang diencerkan, durasi 90- 120 menit

0,5% bupivacaine dalam 8% dextrose yang diencerkan, durasi 90 -120 menit, obat

ini belum disetujui FDA ( Food and Drug Administration )

d) Kontra indikasi

Perdarahan hebat pada ibu

Hipotensi hebat

Gangguan pembekuan

Kelainan neurologis

Pasien menolak

Kesulitan teknis

Tubuh pasien pendek atau obesitas

Sepsis, baik lokal maupun general

2. Epidural anestesi

a) Keuntungan epidural anestesi

Kejadian dan beratnya maternal hipotensi lebih kecil karena onset bloknya lebih

lambat dibanding anesthesia spinal

16

Page 17: Preskes Anestesi Jay

Tidak adanya tusukan duramater sehingga kejadian sakit kepala paska anesthesia

kecil

Dapat dipasang kateter untuk operasi yang lama dan pemberian obat analgetik

paska bedah

b) Kerugian epidural anestesi

Teknik lebih sulit daripada anestesi spinal

Onset obat lebih lama

Membutuhkan obat anestesi lokal lebih banyak

c) Kontraindikasi

Hipotensi hebat

Gangguan koagulasi

Kelainan neurologist

Pasien menolak

Kesulitan teknis

Sepsis, baik lokal maupun sistemik

b. General Anestesi3,5,6,7,8

Anestesi umum dicapai dengan pemberian agen anestesi melalui teknik inhalasi

sehingga dicapai stadium anestesi. System yang dipakai pada anestesi inhalasi ada 2 yaitu

closed dan semi closed.

1). Keuntungan general anestesi

Induksi cepat

Mudah dikendalikan

Kegagalan anestesi tidak ada

Dapat menghindari terjadinya hipotensi

2). Kerugian general anestesi

Maternal aspirasiterjadi akibat aspirasi cairan lambung atau Mendelson syndrome.

Maka perlu menetralkan asam lambung pada pasien dengan operasi emergensi dan

puasa ±8-10 jam karena pada orang hamil terjadi perlambatan pengosongan lambung

pada pasien yang direncanakan SC. Pemberian obat penetral asam lambung tidak

boleh dalam bentuk partikel Karena partikel tersebut dapat teraspirasi ke paru dan

menyebabkan perubahan struktur dan fisiologi paru.

17

Page 18: Preskes Anestesi Jay

Pemilihan obat penetral asam lambung seperti glycopyrrolate, suatu anti kolinergik

yang menurunkan sekresi gaster tapi terjadi relaksasi spingter oesophageal dan

meningkatkan kemungkinan terjadinya aspirasi. Sedangkan metoclopramid sering

digunakan pada SC karena bekerja meningkatkan motilitas gaster sehingga tonus

spingter oesophageal meningkat juga berefek antiemetik sentral.

Pengelolaan jalan nafas terutama adalah adanya penurunan saturasi O2 yang

disebabkan peningkatan konsumsi O2 dan penurunan kapasitas fungsional residu pada

ibu hamil. Diambil langkah pemberian preoksigenasi 100% dan monitoring O2 dan

C02

Depresi neonatus terjadi baik karena penyebab fisiologis maupun dari agent anestesi.

Penyebab fisiologis meliputi hipoventilasi ibu yang menyebabkan perubahan asam

basa pada neonatus. Hiperventilasi ibu akan menimbulkan penurunan tekanan O2

fetus akibat vasokonstriksi pembuluh umbilical sekunder terhadap hipokarbia ibu dan

terjadi perubahan hemodinamik ibu akibat peningkatan tekanan intra torakal sehingga

aliran darah aorta dan aliran darah ke uterus turun. Yang ketiga adanya penekanan

aortocaval yang mengakibatkan fetus dalam keadaan distress. Sedangkan penyebab

farmakologis meliputi obat induksi, muscle relaxant, N20, efek interval induction

delivery. Efek farmakologi ini yang mempengaruhi luaran bayi karena agent dapat

menembus sawar plasenta. Hasil luaran bayi yang dihubungkan dari lamanya waktu

yang diperlukan mulai dari induksi hingga bayi lahir (interval induction - delivery )

dan waktu yang diperlukan mulai dari induksi hingga dimulainya insisi ( Uterine

incision delivery ) yaitu bila bayi tidak lahir dalam waktu < 8 menit dan waktu

incisinya > 180 detik akan terjadi Apgar Score <7 dan adanya asidosis neonatal. Efek

ini terjadi akibat manipulasi uterus pada uteroplasenta dan umbilical blood flow,

tekanan padauterus yang menitikberatkan pada kompresi aortocaval, penekanan pada

kepala bayi ketika kesulitan melahirkan bayi, dan inhalasi cairan amnion akibat

pernafasan gasping bayi dalam uterus.

Awareness akibat dosis agent anestesi kecil untuk mengurangi efek pada fetus,

insidensnya 17 - 36 %. Dapat diatasi dengan penggunaan konsentrasi kecil volatile

agent anestesi.

18

Page 19: Preskes Anestesi Jay

3). Agent anestesi

Thiopental dengan dosis 3-4 mg/kgBB. Aman dan merupakan agent standar yang

dipakai, dapat menyebabkan depresi jantung

Ketamin dengan dosis 1 - 1,5 mg/kgBB. Merupakan bahan anestesi dan analgesi,

dapat menyebabkan peningkatan heart rate dan tekanan darah

Propofol dengan dosis 2-3 mg/ kgBB. Masa recovery cepat tapi meningkatkan

insidens terjadinya hipotensi

Pemilihan dari teknik anesthesia disesuaikan dengan kondisi ibu, janin dan

memperhatikan indikasi dan kontra indikasinya.

3.Terapi Cairan Perioperatif

Terapi cairan perioperatif meliputi cairan pada masa prabedah, selama pembedahan

dan pascabedah. Terapi cairan meliputi penggantian kehilangan cairan, memenuhi kebutuhan

air, elektrolit dan nutrisi untuk membantu tubuh mendapatkan kembali keseimbangan normal

dan pulihnya perfusi ke jaringan, oksigenasi sel, dengan demikian akan mengurangi iskemia

jaringan dan kemungkinan kegagalan organ.14

Dalam pemberian cairan pada pasien perioperatif, kita harus memperhitungkan

kebutuhan cairan basal, penyakit yang menyertai, medikasi, teknik dan obat anestetik serta

kehilangan cairan akibat pembedahan.14

Penderita yang menjalani pembedahan mengalami perubahan fisiologi tubuh, baik

karena penyakitnya sendiri atau akibat trauma pembedahan. Perubahan-perubahan tersebut

antara lain : 15,16

a. Peningkatan rangsang simpatis yang menimbulkan sekresi katekolamin dan

menyebabkan takikardi, konstriksi pembuluh darah, peningkatan kadar gula darah.

b. Rangsangan terhadap kelenjar hipofise

Bagian anterior : sekresi growth hormone yang mengakibatkan kenaikan

kadar gula darah, dan sekresi ACTH.

Bagian posterior : sekresi ADH yang mengakibatkan retensi air (Syndrome

Inappropriate of ADH secretion)

c. Peningkatan sekresi aldosteron akibat stimulasi ACTH dan berkurangnya volume

ekstra sel.

d. Peningkatan kebutuhan oksigen dan kalori karena peningkatan metabolisme.

19

Page 20: Preskes Anestesi Jay

Pemberian infus kristaloid atau koloid, terutama ditujukan untuk mempertahankan

volume intravaskular, tetapi juga akan mempengaruhi komposisi kompartemen cairan

fisiologi. Untuk mengurangi penyulit akibat pemberian cairan yang kurang atau berlebihan,

diperlukan pengetahuan tentang volume, komposisi kompartemen cairan dan tanda-tanda

fisik dan laboratori kelebihan dan kekurangan cairan dan pemilihan jenis cairan.14

20

Page 21: Preskes Anestesi Jay

BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Ny. W

Umur : 36 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

No RM : 01076186

Diagnosis pre operatif : Impending eklampsi pada sekundigravida hamil aterm

belum dalam persalinan

Diagnosa post operatif : Impending eklampsi pada sekundipara hamil aterm

Macam Operasi : Sectio Secaria Emergency

Macam Anestesi : Regional anesthesi

Tanggal Masuk : 20 November 2012 Jam 09.15

Tanggal Operasi : 20 November 2012 Jam 11.10

B. PEMERIKSAAN PRA ANESTESI

1. Anamnesis

a. Riwayat Penyakit Sekarang :

Datang seorang G2P1A0 36th uk 40 mgg datang ke poli kebidanan

dengan keluhan sakit kepala dan nyeri uluhati. Pasien merasa hamil 9 bulan

lebih. Gerakan janin masih dirasakan. Kenceng-kenceng teratur belum

dirasakan. Air kawah belum dirasakan keluar. Lendir darah (-).

b. Riwayat Penyakit Dahulu :

1. Riwayat Asma : disangkal

2. Riwayat Hipertensi : disangkal

3. Riwayat DM : disangkal

4. Riwayat Alergi : disangkal

5. Riwayat makan minum terakhir : jam 06.00 WIB

6. Riwayat pemasangan gigi palsu : disangkal

7. Riwayat gigi goyah : disangkal

2. Pemeriksaan Fisik

KU : sedang , CM , Gizi kesan cukup21

Page 22: Preskes Anestesi Jay

Vital Sign : T : 170/110 mmHg RR : 20X/menit

HR : 80 X/menit t : 36,6C

Mata : Conjungtiva anemis (-/-) , Sklera ikterik (-/-)

Leher : JVP tidak meningkat , KGB servikal tidak membesar

Thoraks : Retraksi (-)

Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi: BJ I-II , intensitas normal , reguler bising (-)

Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada kanan= kiri

Palpasi : Fremitus raba kanan= kiri

Perkusi : sonor/sonor

Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) , suara tambahan (-/-)

Abdomen: Supel , NT (+) daerah epigastrium, teraba janin tunggal intrauterine,

memanjang, preskep, kepala masuk panggul< 1/3 bagian, His (-), DJJ

(+) 13-12-13/reg TFU : 31 TBJ : 2900 gr

VT : v/u tenang , dinding vagina dalam batas normal , portio lunak

mencucu dibelakang, - cm eff 20%, KK dan penunjuk belum dapat

dinilai, AK (-), STLD (-),

3. Pemeriksaan Penunjang

USG : tampak janin tunggal, IU, memanjang, puka, preskep, DJJ (+) dengan FB :

BPD 94 AC 314 FL 68 EFBW 2723 gram

Air ketuban kesan cukup

Plasenta insersi di corpus kiri grd II

Tidak tampak jelas kelainan kongenital mayor

Kesan : saat ini janin tunggal hidup dalam keadaan baik

Laboratorium darahtanggal20November 2012

Hb : 13.6 gr/dl Albumin : 3.5 gr/dl

Hct : 40 % OT/PT : 42 / 35 U/l

AE : 4,16. 106 /ul Natrium : 136 mmol/l

22

Page 23: Preskes Anestesi Jay

AL : 6.7 103 /ul Kalium : 4.0 mmol/l

AT : 162 103/ul

Golongan darah : B Clorida : 107 mmol/l

GDS : 64 mg/dl PT : 13.3 detik

Ureum : 33 mg/dl APTT : 31.7 detik

Creatinim : 0,9 mg/dl HBSAg : (-)

Laboratorium urinalisa tanggal 11 Mei 2012

Proteinuria +2

4. Diagnosis

Impending eklampsia pada sekundigravida hamil aterm belum dalam persalinan

5. Terapi Obsgyn

Usul SCTPem

Cek lab lengkap

Konsul anestesi

Inj. Ceftriaxone 1 gr skin test

Protap PEB :

o O2 2-3 lpm

o Inj. MgSO4 8 gr boka-boki dilanjutkan 4 gr im (jk syarat

terpenuhi)

o Nifedipine 10 mg jika TD ≥ 160/100 mg

C. LAPORAN ANESTESI

I. Persiapan

Anestesi mulai jam 11.10

Advis Anestesi :

- Puasa 8 jam pre op

- Pasang iv line (infus RL 12 tetes / menit )

- Informed consent

- Premedikasi di OK

23

Page 24: Preskes Anestesi Jay

- Sedia darah 2 WB

Golongan : ASA II

II. Penatalaksanaan

Posisi : Supine

Jenis Anestesi : RA (Regional Anestesi )

RASAB : Bupivakain 12,5 mg + Fentanyl 25 mcg

III. Monitoring

- Vital sign selama operasi tiap 15 menit

- Kedalaman anestesi

- Cairan

- Pendarahan

- Produksi Urine

IV. Tata laksanaan anestesi

Diruang persiapan

o Cek inform consent

o Periksa vital sign

o Cek obat-obatan dan alat anestesi

o Infuse RL I jalur

o Sedia darah 2 WB

o Posisi telentang

o Pakaian pasien diganti pakaian operasi , cocokkan identitas pasien

Di recovery Room

Pasien masuk RR dalam posisi supine , diberi O2 3 liter/menit – awasi vital sign tiap

15 menit . Sesudah operasi pasien dirawat di HCU , terapi yang diberikan :

- Infuse RL : D 5 % : NaCl = 1 : 2 : 1

- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam (IV)

- Inj. Metronidazole 500 mg/8 jam (IV)

- Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam (IV)

- Inj.Vit B comp 2 cc /24 jam (IV)

24

Page 25: Preskes Anestesi Jay

- Inj. Vit C 1 amp/ 12 jam ( IV)

V. Instruksi pasca anestesi

1. Posisi supine dengan oksigen 3 L/mnt

2. Kontrol vital sign , bila T<90/60 MmHg , beri efedrin 5-10 mg + cairan

kristaloid ± 250 cc

3. Bila muntah diberi ondansetron 4 mg dan Bila kesakitan di beri ketorolac

30 mg

4. Lain-lain

Antibiotik sesuai Obsgyn

Analgetik sesuai Obsgyn

Puasa sampai dengan peristaltik (+)

Post operasi , cek Hb . Bila < 10 mg/dl transfusi sampai Hb ≥ 10

Kontrol balance cairan

Monitor vital sign

25

Page 26: Preskes Anestesi Jay

BAB IV

PEMBAHASAN

Dasar diagnosis Impending Eklampsia pada pasien ini adalah adanya sakit kepala,

nyeri uluhati, peningkatan tekanan darah, proteinuria +2.

Penanganan pada kasus ini adalah SCTP emergency untuk menghindari komplikasi

lebih lanjut antara lain gangguan fungsi ginjal dan gangguan neurologis, yang bahkan dapat

mengakibatkan kematian ibu.

Teknik anestesi yang digunakan adalah anestesi regional dengan pertimbangan

diperlukan operasi emergensi dengan pemulihan anestesi yang cepat, teknik sederhana,

induksi cepat, kontak fetus dengan agent minimal, pasiennya sadar dan bahaya aspirasi

sedikit.

Penggunaan spinal anestesi seringkali menimbulkan hipotensi (sistolik < 100 mmHg

atau turun > 30 mmHg dari tekanan awal), insiden ini hampir 80 %. Perubahan hemodinamik

ini disebabkan karena blokade simpatis dan diperbesar oleh penekanan aorta dan vena cafa

inferior oleh uterus yang gravid ketika pasien dalam posisi supine. Maternal hipotensi dapat

mengancam kehidupan ibu bila penurunan tekanan darah dan cardiac output tidak cepat

dikoreksi.

Setelah operasi selesai, pasien masuk HCU karena pada masa pre operasi pasien

mengeluh pusing dan nyeri uluhati yang merupakan gejala ancaman terjadinya eklampsia.

Terapi cairan peri operatif meliputi pemberian cairan pada masa prabedah, selama

pembedahan dan pasca bedah. Perlu diketahui perubahan fisiologi akibat pembiusan dan

pembedahan, fisiologi cairan tubuh, tanda-tanda fisik dan laboratorium kelebihan atau

kekurangan cairan.

Penilaian status cairan dilakukan pada kunjungan pertama pra bedah dan mulai

diberikan terapi cairan dan diusahakan status cairan seoptimal mungkin sebelum dilakukan

induksi pembiusan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat pembiusan dan

pembedahan.

Selama pembedahan harus selalu dijaga keseimbangan cairan dan elektrolit dengan

mengganti kehilangan cairan akibat pembedahan, kebutuhan dasar dan trauma pembedahan.

26

Page 27: Preskes Anestesi Jay

Selalu dipantau tanda-tanda fisik mengenai kelebihan atau kekurangan cairan. Terapi cairan

pasca bedah ditujukan untuk mengoreksi pemberian cairan sebelumnya dan memenuhi

kebutuhan cairan dan nutrisi untuk mempercepat penyembuhan.

27

Page 28: Preskes Anestesi Jay

BAB V

KESIMPULAN

Pemeriksaan kehamilan antepartum yang baik dapat meminimalkan risiko yang akan

terjadi pada pasien yang akan mengalami persalinan. Identifikasi penyebab gangguan

neurologis pada pasien antepartum dapat mengurangi risiko terjadinya morbiditas dan

mortalitas.

Pemilihan teknik anestesi dan jenis obat-obatan yang tepat dapat membantu

pelaksanaan pembedahan dan mengurangi berbagai faktor risiko akibat pembedahan dan

anestesi. Anestesi pada persalinan mempunyai perbedaan dengan anestesi pada umumnya

yaitu dengan adanya ibu dan janin. Perubahan fisiologis pada ibu hamil dan adanya janin

berpengaruh pada pemilihan obat anesthesia, premedikasi, dan cara anestesi. Setelah selesai

operasi diusahakan obat anestesi yang masih tersisa sudah tidak berpengaruh pada kontraksi

otot rahim.

Terapi cairan yang diberikan tergantung dari trauma operasi yang didapat. Adanya

berbagai macam cairan memberi keleluasaan untuk memilih cairan yang mendekati

kebutuhan pasien.

28

Page 29: Preskes Anestesi Jay

DAFTAR PUSTAKA

1. Karyadi Wirjoatmodjo, Prof. dr. DSAn (KIC), Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk Pendidikan S1 Kedokteran, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000.

2. Muhiman Muhardi, dkk, Anestesiologi, FKUI, Jakarta, 1989.3. Brandon J. Brankowski, et all, The Johns Hopkins Manual oh Gynecology & Obstetrics,

2nd edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, 2002, pp 183 – 193.4. Alan H. De Cherney, Md, Laurent Nathan, MD, Current Obstetrics & Gynecologys

Diagnosis & Treatment, 9th edition, Lange Medical Books / Mc Graw Hill, 2003, pp 337– 498.

5. F. Garry Cunningham, MD, Norman F. Gant, MD, Kenneth J. Leveno, MD, Larry C. Gilstrap III, MD, John C. Hauth, Williams Obstetrics, 21st edition, Mc Graw Hill Medical Publishing Division, 2001, pp 576 – 618.

6. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2002, hal 205 – 216, 574 – 576.

7. Craig M. Palmer, Robert D’Angelo, Michael J. Paech, Handbook of Obstetric Anesthesia, Bios Scientific Publisher Ltd, UK, 2002, pp 82 – 138.

8. Tatang Bisri, dr. DSAn, Obstetri Anesthesia, Edisi 1, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran / RSUP dr. Hasan Sadikin, Bandung, 1997.

9. Pritchard JA, MacDonald PC, Gant NF. Williams Obstetrics, 20th ed. R Hariadi, R Prajitno Prabowo, Soedarto, penerjemah. Obstetri Williams. Edisi 20. Surabaya: Airlangga University Press, 2001; 456-70.

10. Prawirohardjo S, Hanifa W. Kebidanan Dalam Masa Lampau, Kini dan Kelak. Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi III. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2002; 3-21.

11. Benzion T. 1994. Kapita selekta kedaruratan obstetri dan ginekologi. Jakarta, EGC.12. Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins Gea. Intrapartum

Assessment.. 2002. Williams obstetrics. Ed.22. Stamford: Appleton and Lange.13. Hariadi R . 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Ed.1. Surabaya : Himpunan

Kedokteran Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.14. Sunatrio. Terapi Cairan untuk Resusitasi Pasien Traumatik, dalam Symposium of Fluid

and Nutrition Therapy in Traumatic Patients, Bagian Anestesiologi FK UI/RSCM, Jakarta, 1997.

15. Suntoro, A., Terapi Cairan Perioperatif, dalam Muhiman, M. dkk., Anestesiologi, CV. Infomedika, Jakarta.

16. Ngurah, N., Terapi Cairan Perioperatif, Workshop Cairan, FK UGM, RSUP Dr. Sardjito, 1999.

29