preskes anak
-
Author
dian-ajeng-atikaningrum -
Category
Documents
-
view
140 -
download
2
Embed Size (px)
Transcript of preskes anak

Presentasi Kasus
SEORANG ANAK USIA 3,5 BULAN DENGAN PENYAKIT JANTUNG
BAWAAN ASD II, VSD PMO, PS RELATIF, PNEUMONIA,
DAN GIZI BURUK TIPE MARASMIK
Oleh :
Dian Ajeng Atikaningrum G9911112049 / F-15-12
Katia Amanda Sinoel G9911112084 / F-16-12
Pembimbing :
Sri Lilijanti W., dr., Sp. A. (K)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2012

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, angka kejadian beberapa penyakit
noninfeksi, termasuk penyakit kongenital, makin menonjol baik di negara maju
maupun di negara berkembang. Di dalam bidang kardiologi, jumlah pasien
penyakit jantung bawaan makin meningkat Penyakit jantung bawaan (PJB)
adalah penyakit dengan kelainan pada struktur jantung atau fungsi sirkulasi
jantung yang dibawa dari lahir. Penyakit ini merupakan jenis penyakit yang cukup
banyak diderita. Insidens PJB berkisar 8-10 bayi per 1000 kelahiran hidup dan
30% diantaranya memberikan gejala pada minggu pertama kehidupan. Lima
puluh persen kematiannya akan terjadi pada bulan pertama kehidupan bila tidak
terdeteksi secara dini dan tidak ditangani dengan baik.
Penyakit jantung bawaan dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu
penyakit jantung bawaan non-sianotik dan sianotik. Jumlah pasien penyakit
jantung bawaan non-sianotik jauh lebih besar dibanding penyakit jantung bawaan
sianotik, yakni berkisar antara 3 sampai 4 kali. Oleh karena itu, dokter memiliki
peranan untuk deteksi dini kelainan jantung bawaan disamping menangani
berbagai masalah terkait gizi maupun penyakit infeksi pada anak.
Infeksi berulang sering merupakan masalah besar pada pasien PJB.
Lingkaran antara infeksi dan malnutrisi jelas berdampak negatif pada
pertumbuhan anak dengan PJB. Pasien PJB yang mengalami infeksi akut
misalnya infeksi saluran pernapasan akan menyebabkan anoreksia, malabsorbsi
dan gangguan metabolisme. Anoreksia dan sesak napas dapat menyebabkan
problem makan pada anak-anak. Pada anak tidak cukupnya konsumsi makanan
akan menyebabkan turunnya berat badan, pertumbuhan terhambat, menurunnya
imunitas dan kerusakan mukosa. Perubahan dalam sirkulasi paru menyebabkan
perubahan sistem pernapasan disertai penurunan kekebalan seluler setempat yang
memudahkan pasien terserang infeksi saluran pernapasan.

BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. KS
Umur : 3,5 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Nama Ayah : Tn. S
Pekerjaan Ayah : Buruh bangunan
Nama Ibu : Ny. S
Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Gondang RT 04/01 Manahan Banjarsari Surakarta
Tanggal masuk : 7 Juni 2012 pukul 11.23 WIB
Tanggal pemeriksaan : 8 Juni 2012
No. RM : 01114498
II. ANAMNESIS
Alloanamnesis diperoleh dari ibu penderita tanggal 8 Juni 2012
A. Keluhan Utama :
Sesak nafas.
B. Riwayat Penyakit Sekarang :
Sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien sesak nafas,
batuk grok-grok, pilek, panas sumer-sumer, muntah (-), diare (-), pasien
masih mau makan dan minum. Kemudian oleh keluarga pasien dibawa ke
puskesmas dan diberi obat, tetapi keluhan belum berkurang. Satu minggu
sebelum masuk rumah sakit, pasien dibawa kembali ke puskesmas dan
diberi obat kembali. Karena keluhan masih belum berkurang, keluarga
pasien membawa anaknya kembali ke puskesmah dan akhirnya dirujuk
ke RSDM. Saat datang di IGD RSDM, pasien tampak lemah, sesak (+),

demam (+), batuk (+) grok-grok. BAK terakhir ±1 jam sebelum masuk
rumah sakit. BAB 2-3 kali/hari, warna kuning, lendir (-).
Ibu pasien mengatakan bahwa pasien memiliki penyakit jantung
sejak lahir. Pasien dirawat selama 5 hari di HCU neonatus karena lahir
prematur dalam usia kehamilan 7 bulan. Dari pemeriksaan lebih lanjut,
diketahui bahwa pasien menderita penyakit jantung bawaan. Pasien telah
melakukan pemeriksaan ekokardiografi pada tanggal 3 Maret 2012 dan
hasilnya menunjukkan penyakit jantung bawaan ASD II, VSD PMO dan
PS relatif. Oleh karena itu pasien rutin periksa ke poli anak RSDM
bagian kardiologi. Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya tidak pernah
tampak biru dan jarang tampak sesak nafas
C. Riwayat Penyakit Dahulu :
1. Riwayat sakit serupa : disangkal
2. Riwayat sakit jantung : (+)
3. Riwayat penyakit kuning : disangkal
4. Riwayat mondok : (+)
5. Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat sakit serupa : disangkal
2. Riwayat sakit jantung : disangkal
3. Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
E. Riwayat Kesehatan Keluarga
Ayah : baik
Ibu : baik
Saudara : baik
F. Pemeliharaan Kehamilan dan Prenatal
Pemeriksaan di : Bidan
Frekuensi :
Trimester I : 3x (sekali perbulan)
Trimester II : 3x (sekali perbulan)

Trimester III : 3x (sekali perbulan)
Keluhan selama kehamilan : pusing-pusing (-), mual (+), muntah (+)
terus menerus (hiperemesis gravidarum) sampai usia kehamilan 6 bulan,
dan dirawat di RS.
Selama hamil ibu mendapatkan vitamin dari bidan di puskesmas dan
tidak minum obat selain dari puskesmas.
G. Riwayat Kelahiran :
Pasien merupakan anak ke-2, lahir di rumah sakit dengan berat
badan lahir 1800 gram dan panjang 47 cm, lahir dengan sectio caesaria,
langsung menangis, kebiruan (-), usia kehamilan 7 bulan. Pasien dirawat
di HCU neonatus selama 5 hari.
H. Riwayat Postnatal
Rutin periksa ke poli anak untuk kontrol penyakit jantung yang diderita.
I. Status Imunisasi
J. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Pasien berusia 3,5 bulan. Pasien sudah bisa tersenyum sejak usia 2 bulan.
K. Riwayat Makan Minum Anak
Pasien mendapat ASI sejak lahir. ASI diberikan 8-10 kali per hari selama
10-15 menit. Setelah menyusu, pasien tertidur pulas. Semenjak lahir,
pasien juga mulai minum susu formula 3-4 botol. Pisang diberikan sejak
usia 2,5 bulan sehari 1x.
Kesan : kualitas dan kuantitas cukup
L. Riwayat Keluarga Berencana
Ibu pasien tidak mengikuti program KB
Jenis I II III IV
1. BCG
2. DPT
3. Polio
4. Campak
5. Hepatiti
s B
2 bulan
2 bulan
lahir
-
Lahir
-
4 bulan
2 bulan
-
1 bulan
-
-
4 bulan
-
-
-
-
-
-
-

M. Pohon Keluarga
I.
II.
III.
Penderita merupakan anak ke-2 dari 2 bersaudara. Riwayat anak lahir
meninggal tidak ada, riwayat keguguran (-). Ayah dan ibu menikah satu
kali.
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum
Keadaan umum : lemah, tampak sakit sedang
Derajat kesadaran : compos mentis
Status gizi : kesan gizi kurang
B. Tanda vital
Nadi : 144x/menit, reguler, isi tegangan cukup
Pernafasan : 56 x/menit, reguler, dalam, tipe thorakoabdominal
Suhu : 37,6º C (per axiler)
BB : 2,8 kg
TB : 53 cm
C. Kulit
Warna sawo matang, kelembaban baik, ujud kelainan kulit (-)
An.KS
An.KS, BB: 2,8 kg, TB: 53 cm

D. Kepala
Mesocephal, UUB belum menutup, tidak cekung. Lingkar kepala 36,5
cm (-3 SD < Z-score < -2 SD).
E. Mata
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-), air mata
(+/+), pupil isokor (2mm/2mm), refleks cahaya (+/+).
F. Hidung
Nafas cuping hidung (+/+), sekret (+/+), darah (-/-)
G. Mulut
Bibir sianosis (-), mukosa basah (+)
H. Telinga
Sekret (-/-)
I. Tenggorok
Uvula di tengah, tonsil T1-T1, tonsil hiperemis (-), kripte melebar (-),
detritus (-), mukosa faring hiperemis (-)
J. Leher
Bentuk normocolli, trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak
membesar, JVP sulit dievaluasi.
K. Lymphonodi
Preaurikuler : tidak membesar
Retroaurikular : tidak membesar
Submental : tidak membesar
Submandibular : tidak membesar
Jugularis superior : tidak membesar
Jugularis media : tidak membesar
Jugularis inferior : tidak membesar
Supraklavikula : tidak membesar
Cervical posterior : tidak membesar
L. Thorax
Bentuk : normochest, retraksi (+) subcostal.

Pulmo :
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba sulit dievaluasi
Perkusi : Sonor di semua lapang paru
Auskultasi : Suara bronchial (+/+), suara tambahan
(+/+), RBK (+/+), RBH sulit dievaluasi,
wheezing (-/-)
Cor :
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi :.Iktus kordis teraba di SIC V LMCS, tidak kuat
angkat
Perkusi : Batas jantung sulit dievaluasi
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas meningkat, regular,
bising (+) sistolik grade III/6 dengan punctum
maksimum di SIC II-III Linea.Parasternalis
Sinistra, tidak dijalarkan.
M. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : Bising usus (+), frekuensi normal
Perkusi : Timpani, pekak alih (-)
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit abdomen
kembali cepat, undulasi (-).
N. Ekstremitas
Akral dingin - - Edema - -
- - - -
Wasting - -
- -
Capillary Refill Time < 2 detik
Arteri dorsalis pedis teraba kuat

O. Perhitungan Status Gizi
1. Secara klinis
Kepala : rambut jagung (-), mudah dicabut (-)
Mata : konjungtiva pucat (-/-), cowong (-/-)
Mulut : mukosa basah (+), pucat (-)
Kulit : kulit keriput (-), dermatitis (-)
Dada : iga gambang (-)
Abdomen : lipatan lemak subkutan (-), hepatomegali
(-), splenomegali (-)
Ekstremitas : wasting - - baggy pant (-)
- -
Status gizi secara klinis : gizi kesan kurang
2. Secara Antropometris
Umur : 3,5 bulan
BB : 2,8 kg
TB : 53 cm
BB : 2,8 x 100% = 44,8% BB/U< -3 SD
U 6,25
TB : 5 3 x 100% = 86,8% TB/U< -3 SD
U 61
BB : 2,8 x 100% = 70 % BB/TB< -3 SD
TB 4
Status gizi secara antropometri : gizi buruk
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium Darah
Pemeriksaan 8/6/12 Nilai Rujukan Satuan
Hb 12,6 9.4-13.0 gr/dl
Hct 38 28-42 %
AE 4,09 3.10-4.30 106/uL
AL 13,5 5.0-19.5 103/uL

AT 264 150-440 103/uL
MCV 92.4 80,0-96,0 /um
MCH 30.8 28,0-33,0 pg
MCHC 33.4 33,0-36,0 d/dl
RDW 13.4 11,6-14,6 %
MPV 9.2 7,2-11,1 fl
PDW 16 25-65 %
Eosinofil 0.50 1.00-2,00 %
Basofil 0.30 0,00-1,00 %
Netrofil 26.30 18,00-74,00 %
Limfosit 63.40 60,00-66,00 %
Monosit 9.50 0,00-6,00 %
LUC 9.10 - %
Gol Darah B
B. Urinalisa pada tanggal 8 Juni 2012
Warna : Kuning
Kejernihan : Cloudy
BJ : 1,020
pH : 6
Leukosit : (-)
Nitrit : (-)
Protein : 25 mg/dl
Keton : (-)
Urobilinogen : N
Bilirubin : (-)
Eritrosit : 10/ul

C. Feces Rutin pada tanggal 8 Juni 2012
Makroskopis
Warna Kuning
Konsistensi Lunak
Lendir -
Pus -
Darah -
Makanan tidak tercerna -
Kuman +
Mikroskopis
Sel epitel -
Lekosit -
Eritrosit -
Protozoa -
Telur cacing -
Lain-lain -
Kesimpulan : tinja lunak warna kuning, tidak ditemukan parasit maupun
jamur patogen
D. Pemeriksaan EKG tanggal 8 Juni 2012
Frekuensi QRS : 125 kali/menit
Tinggi P : 1 mm
Interval PR : 0,08 detik (tidak memanjang)
Interval QRS di V1 dan V6 : 0,04
QoTC : tidak memanjang
Kelainan ST, gel. P, dan gel. T : -
Rasio R/S di V1 : 0,41
Kesimpulan: kesan terdapat LVH
E. Pemeriksaan Ekokardiografi tanggal 3 Maret 2012
Kesimpulan hasil pemeriksaan ekokardiografi:
ASD II (0,4 cm)
VSD PMO (0,53 cm)

PS relatif ringan dengan PG : 25,74 mmHg
IV.RESUME
Sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien sesak nafas, batuk
grok-grok, pilek, panas sumer-sumer, muntah (-), diare (-), pasien masih mau
makan dan minum. Kemudian oleh keluarga pasien dibawa ke puskesmas dan
diberi obat, tetapi keluhan belum berkurang. Pasien dibawa kembali ke
puskesmas, tetapi keluhan juga belum berkurang dan akhirnya dirujuk ke RSDM.
Saat datang di IGD RSDM, pasien tampak lemah, sesak (+), demam (+), batuk (+)
grok-grok. BAK terakhir ±1 jam sebelum masuk rumah sakit. BAB 2-3 kali/hari,
lembek, warna kuning, lendir (-). Pasien masih mau minum ASI dan susu formula.
Pasien pernah diopname di HCU neonatus karena BBLR dan lahir prematur. Dari
hasil pemeriksaan selanjutnya pasien didiagnosis dengan penyakit jantung
bawaan. Pasien telah melakukan pemeriksaan ekokardiografi dan hasilnya adalah
ASD II, VSD, dan PMO relatif. Pasien tidak pernah tampak biru dan jarang
tampak sesak nafas.
Riwayat pemeliharaan prenatal baik. Riwayat kelahiran dengan sectio
cesaria, dengan usia kehamilan 7 bulan dan berat saat lahir 1800 gram. Riwayat
pemeliharaan postnatal baik. Riwayat imunisasi hingga usia 3,5 bulan sudah
lengkap. Pada pemeriksaan tanda vital ditemukan suhu yang tinggi dan takipneu
sedangkan nadi dalam batas normal. Pada auskultasi jantung didapatkan bising
sistolik grade III/6 di SIC II-III LPSS, tidak dijalarkan. Terdapat tanda klinis gizi
kurang seperti tidak adanya lipatan lemak subkutan. Pada pemeriksaan status gizi
dengan menggunakan Z-score didapatkan gizi kesan buruk. Pada pemeriksaan
laboratorium darah rutin didapatkan Hb, AE, AT, AL, an Hct dalam batas normal.
Pemeriksaan mikroskopis urin dalam batas normal. Pemeriksaan feses dalam
batas normal. Pemeriksaan ekokardiografi didapatkan ASD II, VSD, dan PMO
relatif.
V. DAFTAR MASALAH

1. Sesak nafas
2. Demam
3. Retraksi subcostal
4. Ronkhi basah kasar
5. Bising sistolik grade III/6
6. Ekokardiografi tampak ASD II, VSD PMO. PS relatif.
7. Berat badan sulit naik
VI. DIAGNOSIS BANDING
1. Pneumonia
2. Bronkiolitis
3. Penyakit jantung bawaan (PDA, ASD, VSD)
4. Gizi buruk tipe marasmik
VII. DIAGNOSIS KERJA
1. Pneumonia
2. DE : PJB asianotik
DA : ASD II, VSD PMO, PS Relatif
DF : Ross I
3. Bhleparitis ods
4. Gizi buruk tipe marasmik
VIII. PENATALAKSANAAN
1. Teruskan pemberian ASI
2. Diet F75 12 x 20 cc
3. O2 Nasal 2 lpm
4. IVFD RLD 1,6 cc/jam
5. Inj Ampicillin 150 mg/6 jam
6. Inj Gentamicin 15 mg/24 jam
7. Paracetamol 30 mg (1/4 cth) p.o.
8. Digoxin 2 x 1/15 tab

9. Furosemide 2 x 1 mg p.o.
10. Aldacton 2 x 3,125 p.o.
11. Vit C 1 x 40 mg p.o.
12. Asam folat 1 x 1 mg p.o.
13. Mineral mix 1 x 1 cth p.o.
14. Nebulizer NaCl 0,9% 5 cc + Pulmicort 1/3 respule tiap 8 jam
IX. PLANNING
1. Gambaran Darah Tepi
2. Kultur darah
3. Foto thorax
X. MONITORING
1. KU/VS/4 jam
2. BC/D/8 jam
3. Analisis diet
XI. EDUKASI
Pasien disarankan untuk tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung garam
dan air yang terlalu banyak.
LEMBAR MONITORING
Tanggal Jam Pemeriksaan KU/VS Tanggal Jam Pemeriksaan KU/VS
07-06-12 14.00 HR = 130 x/1’
RR = 56 x/1’
S = 37,8oC (peraxiler)
08-03-12 14.00 HR = 138 x/1’
RR = 52 x/1’
S = 36,3oC (peraxiler)
16.00 HR = 128 x/1’
RR = 52 x/1’
S = 37,0oC (peraxiler)
18.00 HR = 140 x/1’
RR = 56 x/1’
S = 36,7oC (peraxiler)
18.00 HR = 132 x/1’ 22.00 HR = 142 x/1’

RR = 58 x/1’
S = 36,8oC (peraxiler)
RR = 56 x/1’
S = 36,1oC (peraxiler)
20.00 HR = 130 x/1’
RR = 50 x/1’
S = 36,7oC (peraxiler)
02.00 HR = 138 x/1’
RR = 54 x/1’
S = 36,5oC (peraxiler)
22.00 HR = 138 x/1’
RR = 50 x/1’
S = 36,6oC (peraxiler)
06.00 HR = 136 x/1’
RR = 50 x/1’
S = 36,3oC (peraxiler)
00.00 HR = 138 x/1’
RR = 44 x/1’
S = 36,8oC (peraxiler)
09-06-12 14.00 HR = 134 x/1’
RR = 50 x/1’
S = 36,6oC (peraxiler)
02.00 HR = 140 x/1’
RR = 48 x/1’
S = 36,4oC (peraxiler)
18.00 HR = 132 x/1’
RR = 46 x/1’
S = 36,8oC (peraxiler)
04.00 HR = 146 x/1’
RR = 56 x/1’
S = 36,6oC (peraxiler)
22.00 HR = 134 x/1’
RR = 48 x/1’
S = 36,5oC (peraxiler)
06.00 HR = 134 x/1’
RR = 60 x/1’
S = 36,2oC (peraxiler)
02.00 HR = 128 x/1’
RR = 44 x/1’
S = 36,3oC (peraxiler)
08-06-12 07.00 HR = 140 x/1’
RR = 54 x/1’
S = 37,0oC (peraxiler)
06.00 HR = 130 x/1’
RR = 44 x/1’
S = 36,7oC (peraxiler)
FOLLOW UP PASIEN
Follow up DPH II (9 Juni 2012) DPH III (10 Juni 2012)
S Sesak (+), batuk (+), pilek (-), demam (+),
minum (+), BAK (+), BAB (+), muntah (-)
Sesak (+), batuk (+), pilek (-), demam (-),
minum (+), BAK (+), BAB (+), muntah (-)
O Tampak lemah, composmentis, rewel, gizi
kurang
Tampak lemah, composmentis, rewel, gizi
kurang
Tanda Vital HR : 128 x/menit
RR : 60 x/menit
t : 37,7oC (per axiler)
SiO2: 98%
HR : 150 x/menit
RR : 54 x/menit
t : 37,3oC (per axiler)
SiO2: 99%

Kepala Mesocephal Mesocephal
Telinga Sekret (-/-) Sekret (-/-)
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil isokor (2 mm/2 mm), reflek cahaya (+/+)
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil isokor (2 mm/2 mm), reflek cahaya (+/+),
sekret (+/+) warna kuning, tampak kemerahan,
udem palpebra (+/+).
Hidung Napas cuping hidung (+/+), sekret (-/-) Napas cuping hidung (+/+), sekret (-/-)
MulutMukosa basah (+), sianosis (-) Mukosa basah (+), sianosis (-)
ThoraxRetraksi (+) epigastrial dan subcostal
Cor : : Ictus cordis tidak tampak, IC teraba di
SIC V LMCS, tidak kuat angkat, BJ I-II
intensitas normal, reguler, bising (+), sistolik
grade III/6, p.m di SIC II Linea parasternalis
sinistra, tidak dijalarkan.
Pulmo: SD bronchial (+/+), RBK(+/+), RBH
sde, wheezing (-/-)
Retraksi (+) epigastrial dan subcostal
Cor : : Ictus cordis tidak tampak, IC teraba di
SIC V LMCS, tidak kuat angkat, BJ I-II
intensitas normal, reguler, bising (+), sistolik
grade III/6, p.m di SIC II Linea parasternalis
sinistra, tidak dijalarkan.
Pulmo: SD bronchial (+/+), RBK(+/+), RBH
sde, wheezing (-/-)
Abdomen Supel, Dinding perut // dinding dada, pekak alih
(-), hepar dan lien tidak teraba, turgor kembali
cepat, peristaltik (+) normal.
Supel, Dinding perut // dinding dada, pekak alih
(-), hepar dan lien tidak teraba, turgor kembali
cepat, peristaltik (+) normal.
Ekstremitas Akral dingin (-)
Edema (-)
CRT < 2 detik, ADP teraba kuat
Akral dingin (-)
Edema (-)
CRT < 2 detik, ADP teraba kuat
Asessment Pneumonia
DE : PJB asianotik
DA : ASD II, VSD PMO, PS relatif
Gizi Buruk tipe marasmik fase stabilisasi hari ke
I
Pneumonia
DE : PJB asianotik
DA : ASD II, VSD PMO, PS relatif
Bhleparitis ods
Gizi Buruk tipe marasmik fase stabilisasi hari ke
II
Terapi Teruskan pemberian ASI
Diet F 75 12x20 cc
O2 nasal 2 lpm
IVFD RLD 6 cc/jam
Inj Ampicilin 150 mg/6 jam
Inj Gentamicin 15 mg/24 jam
Paracetamol 30 mg (1/4 cth) k/p
Nebulizer NaCl 0,9 % 5 cc/6 jam
Digoxin 2 x 1/15 tab
10. Furosemid 2 x 1 mg
11. Aldacton 2 x 3,125 mg
12. Vit A 1 x 200.000
13. Asam folat 1 x 5 mg
14. Vit C 1 x 40 mg
15. Mineral mix 1 x 1 cth
Teruskan pemberian ASI
Diet F 75 12x20 cc
O2 nasal 2 lpm
IVFD RLD 6 cc/jam
Inj Ampicilin 150 mg/6 jam
Inj Gentamicin 15 mg/24 jam
Paracetamol 30 mg (1/4 cth) k/p
Nebulizer NaCl 0,9 % 5 cc + pulmicort 1/3
respule /8 jam
Digoxin 2 x 1/15 tab
10. Furosemid 2 x 1 mg
11. Aldacton 2 x 3,125 mg
12. Asam folat 1 x 5 mg
13. Vit C 1 x 40 mg
14. Mineral mix 1 x 1 cth
Plan GDT, kultur darah, Ro thorax GDT, kultur darah, Ro thorax

Monitoring - KU/VS/TD tiap 4 jam
- BC/D tiap 8 jam
- Analisis diet, BB, histagram tiap hari
- KU/VS/TD tiap 4 jam
- BC/D tiap 8 jam
- Analisis diet, BB, histagram tiap hari
Follow up DPH IV (11 Juni 2012) DPH V (12 Juni 2012)
S Sesak (+), batuk (+), pilek (-), demam (-), minum
(+), BAK (+), BAB (+), muntah (-)
Sesak (+), batuk (+), pilek (-), demam (-), minum
(+), BAK (+), BAB (+), muntah (-)
O Tampak lemah, composmentis, gizi kurang Tampak lemah, composmentis, gizi kurang
Tanda Vital HR : 150 x/menit
RR : 44 x/menit
t : 36,5oC (per axiler)
HR : 128 x/menit
RR : 36 x/menit
t : 36,7oC (per axiler)
Kepala Mesocephal Mesocephal
Telinga Sekret (-/-) Sekret (-/-)
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil isokor (2 mm/2 mm), reflek cahaya (+/+),
sekret (+/+) warna kuning, tampak kemerahan,
udem palpebra (+/+).
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil isokor (2 mm/2 mm), reflek cahaya (+/+),
sekret (+/+) warna kuning, tampak kemerahan,
udem palpebra (-/-).
Hidung Napas cuping hidung (+/+), sekret (-/-) Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
MulutMukosa basah (+), sianosis (-) Mukosa basah (+), sianosis (-)
ThoraxRetraksi (+) epigastrial dan subcostal
Cor : : Ictus cordis tidak tampak, IC teraba di
SIC V LMCS, tidak kuat angkat, BJ I-II
intensitas normal, reguler, bising (+), sistolik
grade III/6, p.m di SIC II Linea parasternalis
sinistra, tidak dijalarkan.
Pulmo: SD bronchial (+/+), RBK(+/+), RBH
sde, wheezing (-/-)
Retraksi (+) subcostal
Cor : : Ictus cordis tidak tampak, IC teraba di
SIC V LMCS, tidak kuat angkat, BJ I-II
intensitas normal, reguler, bising (+), sistolik
grade III/6, p.m di SIC II Linea parasternalis
sinistra, tidak dijalarkan.
Pulmo: SD bronchial (+/+), RBK(+/+)
berkurang, RBH (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen Supel, Dinding perut // dinding dada, pekak alih
(-), hepar dan lien tidak teraba, turgor kembali
cepat, peristaltik (+) normal.
Supel, Dinding perut // dinding dada, pekak alih
(-), hepar dan lien tidak teraba, turgor kembali
cepat, peristaltik (+) normal.
Ekstremitas Akral dingin (-)
Edema (-)
CRT < 2 detik, ADP teraba kuat
Akral dingin (-)
Edema (-)
CRT < 2 detik, ADP teraba kuat
Asessment Pneumonia
DE : PJB asianotik
DA : ASD II, VSD PMO, PS relatif
Bhleparitis ods
Gizi Buruk tipe marasmik fase stabilisasi hari ke
III
Pneumonia
DE : PJB asianotik
DA : ASD II, VSD PMO, PS relatif
Bhleparitis ods
Gizi Buruk tipe marasmik fase stabilisasi hari ke
IV
Terapi Teruskan pemberian ASI Teruskan pemberian ASI

Diet F 75 12 x 30 cc
O2 nasal 2 lpm
IVFD RLD 6 cc/jam
Inj Ampicilin 150 mg/6 jam
Inj Gentamicin 15 mg/24 jam
Paracetamol 30 mg (1/4 cth) k/p
Nebulizer NaCl 0,9 % 5 cc + pulmicort 1/3
respule /8 jam
Digoxin 2 x 1/15 tab
10. Furosemid 2 x 1 mg
11. Aldacton 2 x 3,125 mg
12. Asam folat 1 x 5 mg
13. Vit C 1 x 40 mg
14. Mineral mix 1 x 1 cth
Diet F 75 10 x 40 cc
O2 nasal 2 lpm
Inj Ampicilin 150 mg/6 jam
Inj Gentamicin 15 mg/24 jam
Paracetamol 30 mg (1/4 cth) k/p
Nebulizer NaCl 0,9 % 5 cc + pulmicort 1/3
respule /8 jam
Digoxin 2 x 1/15 tab
Furosemid 2 x 1 mg
10. Aldacton 2 x 3,125 mg
11. Asam folat 1 x 5 mg
12. Vit C 1 x 40 mg
13. Mineral mix 1 x 1 cth
Plan GDT, kultur darah, Ro thorax GDT, kultur darah, Ro thorax
Monitoring - KU/VS/TD tiap 4 jam
- BC/D tiap 8 jam
- Analisis diet, BB, histagram tiap hari
- KU/VS/TD tiap 4 jam
- BC/D tiap 8 jam
- Analisis diet, BB, histagram tiap hari

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
VENTRICULAR SEPTAL DEFECT
1. Definisi
Ventricular Septal Defect (VSD) atau defek septum ventrikel
merupakan kelainan jantung berupa terdapatnya satu atau lebih lubang
pada septum interventrikuler yang menyebabkan adanya hubungan aliran
darah antara ventrikel kanan dan kiri. Defek septum ventrikel adalah salah
satu kelainan jantung bawaan (kongenital) yang paling banyak (Webb et
al., 2011).
Defek septum ventrikel disebabkan oleh keterlambatan penutupan
sekat interventrikuler sesudah kehidupan intrauterin 7 minggu pertama,
alasan penutupan terlambat atau tidak sempurna belum diketahui.
Kemungkinan faktor keturunan berperan dalam hal ini (Fyler, 1996).
2. Klasifikasi
Berdasarkan lokasi lubang, dibagi 3 (Chandrasoma, 2006; Purwaningtyas,
2007):
a. Tipe perimembranous (60%), bila lubang terletak di daerah pars
membranaceae septum interventrikularis.
b. Tipe subarterial doubly commited (37%), bial lubang terletak di daerah
septum infundibuler dan sebagian dari batas defek dibentuk oleh
terusan jaringan ikat katup aorta dan katup pulmonal
c. Tipe muskuler (3%) bial lubang terletak di daerah septum muskularis
interventrikularis.
Menurut besarnya defek septum ventrikel diklasifikasikan menjadi
defek septum ventrikel kecil (luas defek kurang dari 5 mm2/m2 luas
permukaan tubuh), sedang (luas defek 5-10 mm2/m2 luas permukaan
tubuh), dan besar (luas defek lebih dari setengah diameter aorta atau lebih
dari 10 mm2/m2 luas permukaan tubuh) (Sastroasmoro et al., 1994).

Klasifikasi Anatomik Defek Septum Ventrikel
3. Etiologi Dan Faktor Risiko
Etiologi dari penyakit ini masih belum jelas. Diperkirakan bahwa
pada penyakit ini terdapat 4% kasus kelainan kromosom atau genetik.
Faktor lingkungan dan paparan bahan kimia juga berperan dalam
timbulnya penyakit jantung bawaan ini. Selain itu, penyebab lain adalah
penyakit ibu misalnya diabetes melitus, infeksi, demam, serta terapi terkait
penyakit tersebut. Disebutkan pula bahwa paparan prenatal oleh
cyclooxygenase (COX) inhibitors, terutama aspirin dan ibuprofen,
meningkatkan risiko terjadinya defek septum ventrikel (Burdan, 2006).
4. Hemodinamik
Pada defek kecil hanya terjadi pirau dari kiri ke kanan yang minimal,
sehingga tidak terjadi gangguan hemodinamik yang berarti. Kira-kira 70%
pasien menutup spontan dalam 10 tahun, sebagian besar dalam 2 tahun
pertama. Bila setelah 2 tahun belum menutup, maka kemungkinan
menutup spontan adalah kecil. Pada defek sedang dan besar terjadi pirau
yang bermakna dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan. Pada hari-hari
pertama pasca lahir belum terdapat pirau kiri ke kanan yang bermakna
karena resistensi vaskular paru masih tinggi. Hal inilah yang menyebabkan
bising baru terdengar antara minggu ke-2 sampai ke-6 setelah bayi lahir

karena telah timbul pirau yang bermakna akibat tahanan vaskular paru
yang menurun.
Pirau kiri ke kanan yang besar menyebabkan meningkatnya tekanan
ventrikel kanan, yang bila tidak terdapat obstruksi jalan keluar ventrikel
kanan akan diteruskan ke arteri pulmonalis. Pada defek besar dapat terjadi
perubahan hemodinamik akibat peningkatan tekanan terus-menerus pada
ventrikel kanan yang diteruskan ke a. pulmonalis. Pada suatu saat terjadi
perubahan dari pirau kiri ke kanan menjadi kanan ke kiri sehingga pasien
menjadi sianosis. Hal ini disebut sebagai sindrom Eisenmenger (Morales,
2006; Sastroasmoro, 1994).
5. Manifestasi Klinis
Defek Septum Ventrikel Kecil
Biasanya asimtomatik. Jantung normal atau sedikit membesar dan
tidak ada gangguan tumbuh kembang. Bunyi jantung biasanya normal,
dapat ditemukan bising sistolik dini pendek yang mungkin didahului early
systolic click. Ditemukan pula bising pansistolik yang biasanya keras
disertai getaran bising dengan pungtum maksimum di sela iga III-IV garis
parasternal kiri dan menjalar ke sepanjang sternum kiri, bahkan ke seluruh
prekordium (Sastroasmoro, 1994).
Defek Septum Ventrikel Sedang
Gejala timbul pada masa bayi berupa sesak napas saat minum atau
memerlukan waktu lebih lama/tidak mampu menyelesaikan makan dan
minum, kenaikan berat badan tidak memuaskan, dan sering menderita
infeksi paru yang lama sembuhnya. Infeksi paru ini dapat mendahului
terjadinya gagal jantung yang mungkin terjadi pada umur 3 bulan. Bayi
tampak kurus dengan dispneu, takipneu, serta retraksi. Bentuk dada
biasanya masih normal. Pada pasien yang besar, dada mungkin sudah
menonjol. Pada auskultasi terdengar bising pansistolik yang keras dan
kasar disertai getaran bising dengan pungtum maksimum di sela iga III-IV
garis parasternal kiri yang menjalar ke seluruh prekordium. Bising mid-

diastolik di daerah mitral dapat terjadi oleh karena flow murmur pada fase
pengisian cepat dari atrium ke ventrikel kiri (Sastroasmoro, 1994).
Defek Septum Ventrikel Besar
Gejala dapat timbul pada masa neonatus. Pada minggu I sampai III
dapat terjadi pirau kiri ke kanan yang bermakna dan sering menimbulkan
dispneu. Gagal jantung biasanya timbul setelah minggu keenam, sering
didahului infeksi saluran napas bawah. Bayi sesak napas saat istirahat,
kadang tampak sianosis karena kekurangan oksigen akibat gangguan
pernapasan. Gangguan pertumbuhan sangat nyata. Biasanya bunyi jantung
masih normal, dapat didengar bising pansistolik, dengan atau tanpa getaran
bising, melemah pada akhir sistolik karena terjadi tekanan sistolik yang
sama besar pada kedua ventrikel. Bising mid-diastolik di daerah mitral
mungkin terdengar akibat flow murmur pada fase pengisian cepat
(Sastroasmoro, 1994).
Pada defek septum ventrikel besar dapat terjadi perubahan
hemodinamik dengan penyakit vaskular paru (sindrom Eisenmenger). Pada
fase peralihan antara pirau kiri ke kanan dan kanan ke kiri, seringkali
pasien tampak lebih aktif, dengan toleransi latihan yang relatif lebih baik
dibanding sebelumnya. Saat terjadi pirau terbalik dari kanan ke kiri, pasien
tampak sianotik dengan keluhan dan gejala yang lebih berat dibanding
sebelumnya. Anak gagal tumbuh, sianotik, dengan jari-jari tabuh (clubbing
fingers). Dada kiri membonjol dengan peningkatan aktivitas ventrikel
kanan yang hebat. Bunyi jantung I normal, akan tetapi bunyi jantung II
mengeras dengan split yang sempit. Bising yang sebelumnya jelas menjadi
berkurang intensitasnya; kontur bising yang semula pansistolik berubah
menjadi ejeksi sistolik. Tak jarang bising menghilang sama sekali. Hati
menjadi teraba besar akibat bendungan sistemik, namun edema jarang
ditemukan (Mansjoer, 2000).
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto Thorax

Pada defek yang kecil gambaran radiologi thorax menunjukkan
besar jantung normal dengan atau tanpa corakan pembuluh darah
berlebih.
Pada defek sedang dan besar akan menunjukkan:
Hipertrofi biventricular dengan variasi dari ringan sampai
sedang.
Pembesaran atrium kiri.
Pembesaran batang a.pulmonalis sehingga tonjolan pulmonal
prominen.
Peningkatan vaskularisasi paru
Foto Thorax Anteroposterior Defek Septum Ventrikuler
b. Elektrokardiografi
Pada bayi dan anak dengan defek kecil gambaran EKG normal
tau sedikit terdapat peningkatan aktivitas ventrikel kiri.
Pada neonatus dengan defek sedang dan besar gambaran EKG
normal, namun pada bayi yang lebih besar terdapat kelainan.
Pada defek sedang terdapat peningkatan aktivitas ventrikel kiri
dan kanan, didominasi oleh ventrikel kiri. Pada defek besar
biasanya gambaran EKG memperlihatkan hipertrofi biventrikular
dengan hipertrofi atrium kiri (P mitral).
Bila telah terjadi hipertensi pulmonal hipertrofi ventrikel kanan
makin menonjol. Pada sindrom Eisenmenger dominasi kanan
makin jelas dan dapat disertai hipertrofi atrium kanan (P
pulmonal).

EKG pasien VSD. Menunjukkan deviasi aksis ke kiri dan pembesaran ventrikel kiri.
c. Ekokardiografi
Ekokardiografi pada defek septum ventrikel didapat dengan
menggunakan M-mode dan dapat diukur dimensi atrium kiri dan
ventrikel kiri. Dengan ekokardiografi dua dimensi, dapat dideteksi
dengan tepat ukuran dan lokasi defek septum ventrikel. Sedangkan
dengan efek Doppler dan warna, dapat dipastikan arah dan besarnya
aliran yang melewati defek tersebut (Cheng, 2005).
Large Ventricular Septal Defect in Echocardiography
d. Kateterisasi Jantung
Dengan kateterisasi jantung dapat dibuktikan kenaikan saturasi
oksigen di ventrikel kanan, serta tekanan diruang jantung, dan
pembuluh darah besar. Pada defek septum ventrikel kecil tekanan

ruang jantung dan pembuluh darah dalam batas normal. Pada defek
sedang, tekanan arteri pulmonalis mungkin masih dalam batas normal
pada waktu bayi, akan tetapi meningkat dengan bertambahnya umur
(Sastroasmoro, 1994).
7. Penatalaksanaan
Medikamentosa
Pasien dengan defek kecil tidak memerlukan pengobatan apapun,
kecuali pemberian profilaksis terhadap terjadinya endokarditis infektif
terutama bila akan dilakukan tindakan operatif didaerah rongga mulut atau
tindakan pada traktus gastrointestinal atau urogenital. Infeksi saluran napas
diatasi dengan pemberian antibiotik dini yang adekuat (Sastroasmoro,
1994). Pada pasien dengan gagal jantung, tata laksana yang ideal adalah
memperbaiki kelainan struktural jantung yang mendasarinya. Obat-obat
yang digunakan pada gagal jantung antara lain (Djer, 2000):
a. Obat inotropik seperti digoksin atau obat inotropik lain seperti
dobutamin atau dopamin. Digoksin untuk neonatus misalnya, dipakai
dosis 30 µg/kg. Obat inotropik isoproterenol dengan dosis 0,05-1
µg/kg/menit diberikan bila terdapat bradikardia, sedangkan bila
terdapat takikardia diberikan dobutamin 5-10 µg/kg/menit atau
dopamin bila laju jantung tidak begitu tinggi dengan dosis 2-5
µg/kg/menit.
b. Vasodilator, yang biasa dipakai adalah kaptopril dengan dosis 0,1-0,5
mg/kg/hari terbagi 2-3 kali per oral.
c. Diuretik, yang sering digunakan adalah furosemid dengan dosis 1-2
mg/kg/hari per oral atau intravena.
Tindakan Bedah
Tidak semua pasien dengan defek septum ventrikel harus di operasi.
Tindakan operasi pada kasus-kasus dengan gejala klinis yang menonjol
terutama pada defek sedang atau besar yang tidak mempunyai respon yang
baik terhadap pengobatan (Mansjoer, 2000). Penutupan defek yang

dilakukan untuk memperpanjang umur harapan hidup, dilakukan pada
umur muda, yaitu dengan 2 cara:
Pembedahan: menutup defek dengan dijahit melalui cardiopulmonal
bypass.
Non pembedahan: menutup defek dengan alat melalui kateterisasi
jantung
8. Prognosis
Kemungkinan penutupan spontan defek kecil cukup besar, terutama
pada tahun pertama kehidupan. Kemungkinan penutupan spontan sangat
berkurang setelah pasien berusia 2 tahun, dan umumnya tidak ada
kemungkinan lagi di atas usia 6 tahun. Secara keseluruhan penutupan
spontan berkisar 40 - 50% kasus (Sastroasmoro, 1994).
ATRIAL SEPTAL DEFECT
Definisi
Atrial Septal Defect (ASD) atau defek septum atrium adalah lubang
abnormal pada sekat yang memisahkan kedua atrium sehingga terjadi
pengaliran darah dari atrium kiri yang bertekanan tinggi ke dalam atrium
kanan yang bertekanan rendah.
Klasifikasi
Menurut lokasi defek, ASD dikelompokkan menjadi:
Defek septum atrium primum (ASD I): bagian dari defek septum
atrioventrikular dan pada bagian atas berbatas dengan fosa ovalis
sedangkan bagian bawah dengan katup atrioventrikular.
Defek septum atrium sekundum (ASD II): defek terjadi pada fosa
ovalis dan sering disertai dengan aneurisma fosa ovalis. Tipe ini
merupakan 80% dari seluruh defek septum atrium
(Sastroasmoro,1994).
Defek septum atrium dengan defek sinus venosus superior: defek
terjadi dekat muara vena kava superior sehingga terjadi koneksi
biatrial. Sering vena pulmonalis dari paru-paru kanan juga mengalami

anomali. Dapat juga terjadi defek sinus venosus tipe vena kava
inferior, denganlokasi di bawah foramen ovale dan bergabung dengan
dasar vena kava inferior (Markham, 2012).
Etiologi dan Faktor Risiko
Beberapa penyakit jantung bawaan mungkin memiliki link genetik,
baik yang terjadi karena cacat pada gen, kelainan kromosom, atau paparan
lingkungan, menyebabkan masalah jantung lebih sering terjadi dalam
keluarga tertentu. Faktor-faktor penyebab tersebut diantaranya (Forrester,
2004; Mone, 2004):
Faktor Prenatal
Ibu menderita infeksi Rubella
Ibu alkoholisme
Umur ibu lebih dari 40 tahun
Ibu menderita IDDM
Ibu meminum obat-obatan penenang atau jamu
Faktor genetik
Anak yang lahir sebelumnya menderita PJB
Ayah atau ibu menderita PJB
Kelainan kromosom misalnya Sindroma Down
Lahir dengan kelainan bawaan lain
Defek Septum Atrium Sekundum (ASD II)
Hemodinamik
Pada defek septum atrium sekundum terdapat lubang patologis
di fossa ovalis. Akibatnya terdapat pirau dari atrium kiri ke atrium
kanan sehingga beban pada sisi kanan jantung lebih kuat. Beban
tersebut merupakan beban volume (volume overload).
Aliran dari atrium kiri ke atrium kanan disebabkan karena
tekanan atrium kiri yang agak melebihi tekanan atrium kanan,
sehingga terjadi peningkatan aliran darah yang kaya oksigen kedalam
sisi kanan jantung. Karena perbedaan tekanan rendah, kecepatan aliran
yang tinggi tetap dapat terjadi karena rendahnya tahanan vaskular paru

dan semakin besarnya daya kembang atrium kanan yang selanjutnya
akan mengurangi resistensi aliran. Volume darah ini ditoleransi
dengan baik oleh ventrikel kanan karena dialirkan dengan tekanan
yang jauh lebih rendah dibandingkan pada defek septum ventrikel
(VSD). Meskipun terjadi pembesaran atrium dan ventrikel kanan,
gagal jantung jarang terjadi pada ASD yang tidak mengalami
komplikasi (Markham, 2012; Mansjoer, 2000).
Defek Septum Atrium Sekundum
Manifestasi Klinis
Pasien defek septum atrium sekundum mungkin tidak
menunjukkan gejala (asimtomatik) terutama bayi dan anak kecil.
Defek ini dapat mengalami penutupan spontan pada 14%-66% bayi
berusia kurang dari tiga bulan. Bila defek berukuran besar dan tidak
menutup spontan akan mengalami hipertensi pulmonal yang
merupakan hipertensi pulmonal sekunder karena meningkatnya aliran
darah pulmonal akibat adanya pirau kiri ke kanan yang besar. Pada
pasien ini akan mengalami sesak napas, sering mengalami infeksi
paru, dan berat badan akan sedikit berkurang. Pada pasien ini juga
dapat terjadi gagal jantung dan berisiko untuk mengalami disritmia
atrium (Saxena, 2005; Hanslick, 2006).
Jantung umumnya normal atau hanya sedikit membesar dengan
pulsasi ventrikel kanan teraba. Terdengar bising jantung yang khas.
Komponen aorta dan pulmonal bunyi jantung II terbelah lebar (wide
split) yang tidak berubah saat inspirasi maupun ekspirasi (fixed split).

Pada defek sedang sampai besar bunyi jantung I mengeras dan
terdapat bising ejeksi sistolik di daerah pulmonal akibat aliran darah
yang berlebih melalui katup pulmonal (stenosis pulmonal relatif).
Selain itu terdapat bising diastolik di daerah trikuspid akibat aliran
darah yang berlebihan melalui katup trikuspid pada fase pengisian
cepat ventrikel kanan (Sastroasmoro, 1994).
Pemeriksaan Penunjang
Foto Thorax
Pada penderita defek septum atrium dengan pirau yang
bermakna, foto toraks AP menunjukkan atrium kanan yang menonjol,
dan dengan konus pulmonalis yang menonjol. Jantung hanya sedikit
membesar dan vaskularisasi paru yang bertambah sesuai dengan
besarnya pirau (Wahab, 2009).
Foto Thorax Anteroposterior Defek Septum Atrium
Elektrokardiografi
Pada pasien dengan defek septum atrium sekundum,
elektrokardiografi (EKG) biasanya menunjukkan hasil sebagai
berikut:
Right axis deviation (deviasi sumbu QRS ke kanan)
Pola RBBB yang menunjukkan terdapatnya beban volume
ventrikel kanan (adanya hipertrofi ventrikel kanan), terdapat pada
95% kasus.
Pola rSR' di lead prekordial kanan dengan durasi QRS normal.
Keterlambatan aktivasi ventrikel kanan merupakan manifestasi
dari kelebihan beban volume ventrikel kanan atau gangguan

konduksi di cabang berkas kanan dan sistem Purkinje perifer
masih belum jelas.
Blok AV derajat 1 (pemanjangan interval PR) terdapat pada
10% kasus pada defek sekundum (Wahab, 2009).
EKG pasien ASD di atas menunjukkan adanya pembesaran atrium
kanan, yaitu tampak gelombang P yang tinggi (P pulmonal, lebih dari
2-3 mm) serta gelombang R slurred (rsR' pattern) di V1, V2 dan aVR.
Ekokardiografi
Tujuan utama pemeriksaan ekokardiografi pada ASD adalah untuk
mengevaluasi pirau dari kiri ke kanan di tingkat atrium, antara lain
adalah:
Mengidentifikasi secara tepat defek diantara ke dua atrium
Memvisualisasikan hubungan seluruh vena pulmonalis
Menyingkirkan lesi tambahan lainnya
Menilai ukuran ruang-ruang jantung (dilatasi)
Ekokardiografi pada Defek Septum Atrium Sekundum

Kateterisasi Jantung
Penderita di operasi tanpa katerisasi jantung, katerisasi hanya
dilakukan apabila terdapat keraguan akan adanya penyakit penyerta
atau hipertensi pulmonal (Sastroasmoro, 1994).
Penatalaksanaan
Pembedahan
Jika Qp:Qs kurang dari 1,5:1 maka defek septum sekundum
umumnya tidak perlu dikoreksi, melainkan dibiarkan dengan
pengawasan. Indikasi dilakukan pembedahan adalah ukuran defek
Qp:Qs > 1,5:1, volume jantung kanan yang overload, dan gejala yang
semakin memburuk. Jika Qp:Qs lebih besar dari 2:1, defek harus
ditutup pada usia 4-5 tahun (Dardas, 2010).
Penutupan Defek dengan Kateter
Penutupan defek dengan keteter menggunakan alat yang berbentuk
seperti payung tertutup dari atrium kanan ke atrium kiri, kemudian
dibuka dan ditarik sampai menutup defek dan septum atrium
membonjol ke atrium kanan. Contoh penutupan defek dengan kateter
adalah penutupan dengan Amplatzar Septal Occluder (ASO) yang
merupakan prosedur alternatif yang aman dan efektif (Huang, 2004).
Prognosis
Secara umum prognosis pada anak dapat dikatakan baik. Pada
sebagian besar kasus, meski tidak dioperasi,pasien dapat melakukan
aktivitasnya dengan normal atau hampir normal (Sastroasmoro, 1994).
PNEUMONIA
Definisi
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru
yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit).
Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak
termasuk.

Etiologi
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme dan
sebagian kecil disebabkan oleh hal lain misalnya bahan kimia/benda
asing yang teraspirasi (Sectish dan Puber, 2003).
Pada masa neonatus, Streptococcus group B dan Listeriae
monocytogenes merupakan penyebab pneumonia terbanyak. Virus adalah
penyebab terbanyak pada anak usia prasekolah dan berkurang dengan
bertambahnya usia. Selain itu, Streptococcus pneumoniae merupakan
penyebab paling utama pneumonia bakterial. Mycoplasma pneumonia
dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan
pada anak di atas 5 tahun (Sectish dan Puber, 2003).
Faktor Risiko
Beberapa keadaan seperti malnutrisi, usia muda, kelengkapan
imunisasi, kepadatan hunian, defisiensi vitamin A, defisiensi zinc,
paparan asap rokok secara pasif dan faktor lingkungan (polusi udara)
merupakan faktor risiko untuk terjadinya pneumonia. Faktor predisposisi
yang lain adalah kelainan anatomi kongenital (contoh fistula
trakeaesofagus, penyakit jantung bawaan), gangguan fungsi imun
(penggunaan sitostatistika dan steroid jangka panjang, gangguan system
imun berkaitan penyakit tertentu seperti HIV), campak, pertusis,
gangguan neuromuskuler, kontaminasi perinatal dan gangguan klirens
mucus/sekresi seperti pada fibrosis kistik, aspirasi benda asing atau
disfungsi silier.
Patogenesis Dan Patofisiologi
Sebagian besar pneumonia timbul melalui aspirasi kuman atau
penyebaran langsung kuman dari saluran respiratorik atas. Dalam
keadaan normal saluran respiratorik bawah mulai dari sublaring hingga
unit terminal adalah steril. Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa
mekanisme termasuk barier anatomi dan mekanik diantaranya adalah
filtrasi partikel di hidung, pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis,
ekspulsi benda asing melalui refleks batuk, pembersihan kearah cranial
oleh lapisan mukosilier. System pertahanan tubuh yang terlibat baik
1

sekresi lokal immunoglobulin A maupun respon inflamasi oleh sel-sel
leukosit, komplemen, sitokin, immunoglobulin, alveolar makrofag dan
cell mediated immunity.
Pneumonia terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas mengalami
gangguan sehingga kuman pathogen dapat mencapai saluran nafas
bawah. Inokulasi pathogen penyebab pada saluran nafas menimbulkan
respon inflamasi akut pada penjamu yang berbeda sesuai dengan
pathogen penyebabnya.
Pada pneumonia terjadi gangguan pada komponen volumedari
ventilasi akibat kelainan langsung di parenkim paru. Terhadap gangguan
ventilasi akibat gangguan volume ini tubuh akan berusaha
mengkompensasinya dengan cara meningkatkan volume tidal dan
frekuensi nafas sehingga secara klinis terlihat takipnea dan dispnea
dengan tanda-tanda inspiratory effort. Akibat penurunan ventilasi maka
rasio optimal antara ventilasi perfusi tidak tercapai (V/Q <4/5) yang
disebut ventilation perfusion mismatch, tubuh berusaha meningkatkannya
sehingga terjadi usaha nafas ekstra dan pasien terlihat sesak. Selain itu
dengan berkurangnya volume paru serta fungsional karena proses
inflamasi maka akan mengganggu proses difusi dan menyebabkan
gangguan pertukaran gas yang berakibat terjadinya hipoksia. Pada
keadaan yang berat bisa terjadi gagal nafas.
Gejala Pneumonia
Kelompok Umur Kriteria Pneumonia Gejala Klinis
< 2 bulan Berat Napas cepat atau retraksi yang
berat
Sangat Berat Tidak mau menetek/minum,
kejang, letargis, demam atau
hipotermia, bradipnea atau
pernapasan ireguler.
2 bulan – 5 tahun Ringan Napas cepat
Berat Retraksi
2

Sangat Berat Tidak dapat minum/makan,
kejang, letargis, malnutrisi
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pneumonia utamanya didasarkan klinis. Foto posisi
anteroposterior (AP) dan lateral (L) diperlukan untuk menentukan
luasnya lokasi anatomic dalam paru, luasnya kelainandan kemungkinan
adanya komplikasi seperti pneumotoraks, pneumomediastinum,
pneumatokel, abses paru, dan efusi pleura.
Leukositosis >15.000/UL seringkali dijumpai. Dominasi neutrofil
pada hitung jenis atau adanya pergeseran ke kiri menunjukkan bakteri
sebagai penyebab. Leukosit > 30.000/UL dengan dominasi netrofil
mengarah ke pneumonia streptococcus dan stafilococcus.
Laju Endap Darah dan C-reaktif protein (CRP) merupakan
indicator inflamasi yang tidak khas sehingga hanya sedikit membantu.
Adanya CRP positif dapat mengarah pada infeksi bakteri (Lakhanpaul,
2004).
Biakan darah merupakan cara spesifik untuk diagnosis tapi hanya
positif pada 10-15% kasus terutama pada anak kecil. Kultur darah sangat
membantu pada penanganan kasus pneumonia dengan dugaan penyebab
stafilokokus dan pneumokokus yang tidak menunjukkan respon baik
terhadap penanganan awal. Kultur darah juga direkomendasikan pada
kasus pneumonia yang berat dan pada bayi usia kurang dari 3 bulan.
Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) bermanfaat untuk
diagnosis Streptococcus pneumoniae dan infeksi karena mikoplasma.
Pemeriksaan PCR mahal, tidak tersedia secara luas serta tidak banyak
berpengaruh terhadap penanganan awal pneumonia sehingga
pemeriksaan ini tidak direkomendasikan (Lakhanpaul, 2004).
Bila fasilitas memungkinkan, pemeriksaan analisis gas darah
menunjukkan keadaan hipoksemia.
Tata Laksana
Pencegahan :
3

a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko
terhadap kejadian pneumonia. Upaya yang dapat dilakukan antara
lain:
Memberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan dan imunisasi
DPT (Diphteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada usia
2, 3, dan 4 bulan.
Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberikan ASI pada
bayi neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi
pada balita.Di samping itu, zat-zat gizi yang dikonsumsi bayi dan
anak-anak juga perlu mendapat perhatian.
Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan
dan polusi di luar ruangan.
Mengurangi kepadatan hunian rumah.
b. Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk
mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat
progresifitas penyakit, menghindari komplikasi, dan mengurangi
ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini dan
pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya penyakit
dan terjadinya komplikasi. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:
Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik
parenteral dan penambahan oksigen.
Pneumonia : diberikan antibiotik kotrimoksasol oral, ampisilin atau
amoksilin.
Bukan Pneumonia : perawatan di rumah saja. Tidak diberikan
terapi antibiotik. Bila demam tinggi diberikan parasetamol.
Bersihkan hidung pada anak yang mengalami pilek dengan
menggunakan lintingan kapas yang diolesi air garam. Jika anak
mengalami nyeri tenggorokan, beri penisilin dan dipantau selama
10 hari ke depan.
c. Pencegahan Tertier
4

Tujuan utama dari pencegahan tertier adalah mencegah agar tidak
munculnya penyakit lain atau kondisi lain yang akan memperburuk
kondisi balita, mengurangi kematian serta usaha rehabilitasinya.
Pada pencegahan tingkat ini dilakukan upaya untuk mencegah
proses penyakit lebih lanjut seperti perawatan dan pengobatan.
Upaya yang dilakukan dapat berupa:
Melakukan perawatan yang ekstra pada balita di rumah, beri
antibiotik selama 5 hari, anjurkan ibu untuk tetap kontrol bila
keadaan anak memburuk.
Bila anak bertambah parah, maka segera bawa ke sarana kesehatan
terdekat agar penyakit tidak bertambah berat dan tidak
menimbulkan kematian.
Idealnya, tata laksana pneumonia sesuai dengan penyebabnya.
Namun karena berbagai kendala diagnostic etiologi, untuk semua
pasien pneumonia diberikan antibiotika secara empiris. Golongan
beta laktam biasanya digunakan untuk terapi pneumonia yang
disebabkan oleh bakteri seperti Streptococcus pneumoniae,
Haemophillus influenza, dan Staphylococcus aureus. Pada kasus
yang berat digunakan golongan sefalosporin sebagai pilihan,
terutama bila penyebabnya belum diketahui. Sedangkan pada kasus
yang ringan sedang, dipilih golongan penisilin. Streptokokus dan
pneumokkus merupakan kuman gram positif yang dapat dicakup
oleh ampisilin, sedangkan hemofilus sebagai kuman gram negative
dapat dicakup oleh ampisilin dan kloramfenikol. Dengan demikian
keduanya dapat dipakai sebagai antibiotika lini pertama untuk kasus
pneumonia anak tanpa komplikasi. Pada pasien pneumonia yang
community acquired , umumnya ampisilin dan kloramfenikol masih
sensitive. Pilihan berikutnya adalah obat golongan sefalosporin.
Penanganan pneumonia pada neonates serupa dengan penanganan
infeksi neonates pada umumnya. Antibiotika yang diberikan harus
dapat mencakup kuman kokus gram positif terutama Streptococcus
group B dan batang gram negative. Penisilin dan derivatnya
5

merupakan pilihan utama untuk gram positif sedangkan untuk
kuman gram positif sedangkan untuk kuman gram negative terutama
E.coli dan Proteus mirabilis digunakan golongan aminoglikosida.
Kombinasi kloksasin dan gentamisin efektif untuk terapi pneumonia
di bawah 3 bulan karena dapat mencakup kuman Staphylococcus
aureus. Umur kehamilan, berat badan lahir dan umur bayi akan
menentukan dosis dan frekuensi pengobatan khususnya untuk
pemberian aminoglikosida. Sefalosporin generasi 3 dapat digunakan
jika ada kecurigaan
BAB IV
ANALISIS KASUS
6

Pasien adalah seorang bayi perempuan An. KS berusia 3,5 bulan yang
didignosis dengan pneumonia, penyakit jantung bawaan ASD II (Atrial Septal
Defect), VSD (Ventricular Septal Defect), PS (Pulmonal Stenosis) relatif, dan gizi
buruk. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang relevan.
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas. Sejak 2 minggu sebelum masuk
rumah sakit, pasien sesak nafas, batuk grok-grok, pilek, panas sumer-sumer,
muntah (-), diare (-), pasien masih mau makan dan minum. Kemudian oleh
keluarga pasien dibawa ke puskesmas dan diberi obat, tetapi keluhan belum
berkurang. Pasien dibawa kembali ke puskesmas, tetapi keluhan juga belum
berkurang dan akhirnya dirujuk ke RSDM. Saat datang di IGD RSDM, pasien
tampak lemah, sesak (+), demam (+), batuk (+) grok-grok. BAK terakhir ±1 jam
sebelum masuk rumah sakit. BAB 2-3 kali/hari, warna kuning, lendir (-). Pada
pemeriksaan fisik didapatkan adanya pasien tampak lemah, demam, takipneu,
napas cuping hidung, retraksi subcostal dan ronkhi basah kasar (+). Adanya trias
pneumonia pada pasien ini yaitu demam, takipneu, dan retraksi ditambah dengan
keadaan umum pasien yang letargis dan adanya keluhan batuk pilek yang tak
kunjung sembuh selama 2 minggu lamanya mengarahkan diagnosis pasien yaitu
pneumonia.
Pasien An. KS sebenanrnya merupakan pasien yang rutin datang ke poli
kardiologi anak karena memiliki penyakit jantung bawaan berupa ASD II, VSD,
dan PS relatif. Hal tersebut ditegakkan dari anamnesis, hasil pemeriksaa fisik dan
hasil ekokardiografi pada saat anak diopname di HCU neonatus. Ibu pasien
mengatakan bahwa anaknya tidak pernah tampak biru. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan bising sistolik grade IV/6, PM di SIC II-III LPSS. Pasien
dikategorikan dalam Ross I karena tidak ada pembatasan aktivitas fisik, aktivitas
biasa tidak menyebabkan sesak nafas, pasien masih mau minum seperti biasa.
Penyakit jantung bawaan secara garis besar dibagi menjadi penyakit
jantung bawaan non sianotik (antara lain defek septum atrium, defek septum
ventrikel, defek septum atrioventrikularis, PDA, stenosis pulmonal, stenosis aorta,
dan koarktasio aorta) dan penyakit jantung bawaan sianotik (tetralogi Fallot,
7

atresia pulmonal dengan/tanpa defek septum ventrikel, atresia tricuspid, trunkus
arteriosus, dan anomaly Ebstein). Penyakit jantung bawaan dapat mengakibatkan
gagal jantung dengan manifestasi klinis berupa sesak nafas, biasanya ditandai
dengan peningkatan frekuensi nafas dan denyut jantung, retraksi pada dinding
dada, nafas cuping hidung, dan batuk. Sistem skor Ross digunakan untuk
mengklasifikasikan gagal jantung secara klinis pada bayi.
Dalam kasus ini ada kaitan antara adanya penyakit jantung bawaan yang
diderita dengan timbulnya pneumonia dan gizi buruk pada pasien. Pasien dengan
penyakit jantung dengan pirau kiri ke kanan seringkali mendapat infeksi saluran
napas, dan bila terkena lebih lama sembuh dibanding pada anak normal.
Perubahan dalam sirkulasi paru menyebabkan perubahan sistem pernapasan
8

disertai penurunan kekebalan seluler setempat yang memudahkan pasien terserang
infeksi saluran pernapasan. Infeksi saluran nafas yang berulang ini dapat berlanjut
menjadi pneumonia yang kadang sangat sulit dibedakan dengan gagal jantung.
Infeksi saluran napas sering terjadi pada bayi usia kurang dari satu tahun. Belum
sempurnanya sistem imunitas bayi, refleks batuk yang belum baik, dan adanya
malnutrisi atau gizi yang buruk juga turut memperparah derajat infeksi yang
diderita.
Lingkaran antara infeksi dan malnutrisi jelas berdampak negatif pada
pertumbuhan anak dengan PJB. Pasien PJB yang mengalami infeksi akut
misalnya infeksi saluran pernapasan akan menyebabkan anoreksia, malabsorbsi
dan gangguan metabolisme. Anoreksia dan sesak napas dapat menyebabkan
problem makan pada anak-anak. Pada anak tidak cukupnya konsumsi makanan
akan menyebabkan turunnya berat badan, pertumbuhan terhambat, menurunnya
imunitas dan kerusakan mukosa.
Kelainan jantung bawaan yang disertai adanya peningkatan aliran darah ke
paru seperti pada kasus ini, seringkali menyebabkan gangguan pertumbuhan fisis.
Pada umumnya kurangnya tinggi atau panjang badan pasien tidak terlalu nyata
apabila dibandingkan dengan kurangnya berat badan. Adanya pirau dari kiri ke
kanan menyebabkan aliran darah ke paru yang meningkat dan menurunnya aliran
darah ke seluruh tubuh. Hal tersebut menyebabkan pasokan nutrisi ke seluruh
tubuh menjadi berkurang dan dapat berakibat adanya keluhan berat badan yang
sulit naik seperti pada pasien ini. Secara umum, dapat dikatakan bahwa pada
penyakit jantung dengan pirau dari kiri ke kanan, berat badan yang makin
menyimpang dari nilai normal merupakan petunjuk bahwa kompensasi tidak
dapat dicapai sepenuhnya sehingga diperlukan terapi yang lebih intensif.
Selain penyakit jantung bawaan dan penumonia, pasien ini juga menderita
gizi buruk. Status gizi ditentukan berdasarkan kondisi klinis pasien dan dari status
antropometri. Status gizi pasien berdasarkan kondisi klinis menunjukkan gizi
kesan kurang, namun bila dicocokkan menggunakan chart WHO, pasien termasuk
dalam kategori gizi buruk. Pasien didiagnosis dengan gizi buruk tipe marasmik
dan mendapatkan tata laksana gizi buruk.
9

Gizi buruk pada pasien ini juga dapat berakibat pada menurunnya imunitas
pasien. Pasien menjadi rentan terhadap serangan berbagai penyakit termasuk
dalam kasus ini adalah infeksi pernapasan. Defisiensi zat gizi ini apabila tidak
ditangani dengan tepat dapat memperburuk keadaan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Burdan F., Szumilo J., Dudka J., Korobowicz A. and Klepacz R. 2006. Congenital Ventricular Septal Defects And Prenatal Exposure To Cyclooxygenase Inhibitors. Braz J Med Biol Res. Vol.39, no. 7.
Chandrasoma dan Taylor. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi. Ed: ke-2.Jakarta : EGC.
10

Cheng T.O., Xie M.X., Wang X.F., Wang Y., Lung Q. 2005. Real time 3-dimensional echocardiography in assessing atrial and ventricular septal defects: an echocardiographic surgical correlative study. Am Heart J. Vol. 149(2),pp: 208.
Dardas P., Vlasis N., Ninios, Nikolaos E., Mezilis, Vasilis D. 2010. Percutaneous Closure of Atrial Septal Defects: Immediate and Mid-Term Results. Hellenic J Cardiol. Vol. 51, pp: 104-112.
Djer M.M. dan Madiyono B. 2000. Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan. Sari Pediatri, Vol. 2, No.3, pp: 155-162.
Forrester M. and Merz R. 2004. Descriptive epidemiology of selected congenital heart defect, Hawaii, 1986-1999. Paediatric and Perinatal Epidemiology. Vol. 18, pp: 415-424.
Fyler, D. 1996. Kardiologi Anak Nadas. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Gittens M.M. 2002. Pediatric Pneumonia. Clin Ped Emerg Med. Vol. 3(3), pp: 200-214.
Hanslick A., Pospisil U., Muhar U.S., Platzer S.G., Male C. 2006. Predictors of spontaneous closure of isolated secundum atrial septal defect in children: a longitudinal study. Pediatrics. Vol. 118, pp: 1560-1565.
Huang C., LiangLee C., Hsieh S. 2004.Transcatheter Closure of AtrialSeptal Defects with the Amplatzer Septal Occluder ¾ Clinical Results. Acta Cardiol Sin. Vol. 20, pp: 223-228.
Lakhanpaul M., Atkitson M., Stephenson T. 2004. Community Acquired Pneumonia in Children: a Clinical Update. Arch Dis Child Ed Pract. Vol. 89, pp: 29-34.
Mansjoer et al. 2000. Kapita selekta kedokteran Edisi 3 jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta.
Markham L. 2012. Atrial Septal Defect. http://emedicine.medscape.com/article/162914-overview#a0102 (Diunduh tanggal 21 Juni 2012).
Mone S., Gillman M., Miller T., Herman E., Lipshultz S. 2004. Effects of environmental exposures on the cardiovascular system: prenatal period through adolescence. Pediatrics. Vol. 113, No. 4.
Morales, D.L. and Fraser, C.D. 2006. Ventricular Septal Defects. Congenital Cardiac Surgery TechBooks Chapters: CH-57, page: 1077-1089.
11

Purwaningtyas, N. 2008. Klasifikasi Klinis Penyakit Jantung Anak Kongenital. Dalam: Cardiology After Mid. Surakarta : Filamen 05.
Sastroasmoro S., dan Madiyono B. 1994. Buku Ajar Kardiologi Anak. Jakarta : IDAI.
Saxena A., Divekar A., Soni N.R. 2005. Natural history of secundum atrial septal defect revisited in the era of transcatheter closure. Indian Heart J. Vol.57, pp: 35-38.
Sectish T.C., Prober T.C. 2003. Pneumonia. Dalam: Behrman R.E., Kleigman R.M., Jenson H.B., penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelpia: WB Saunders, pp: 1432-1435.
Wahab A. S. 2009. Kardiologi Anak Penyakit Jantung Kongenital yang Tidak Sianotik. Jakarta : EGC.
Webb G.D., Smallhorn J.F., Therrien J., Redington A.N.. 2011. Congenital heart disease. In: Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, Libby P, eds. Braunwald's Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. 9th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier: chap 65.
12