preskas skizoafektif

46
I. IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. E Jenis Kelamin : perempuan Usia : 44 tahun Alamat : Kramat Sawah, Jakarta Status : menikah Pendidikan : SMP Pekerjaan : pedagang Suku : Makassar Agama : Islam Datang ke RSCM : 3 Februari 2009 NRM : 293-20-30 II. RIWAYAT PSIKIATRI Diperoleh dari: autoanamnesis dan alloanamnesis dari rekam medis (tanggal 3 Februari 2009) A. Keluhan Utama Pasien merasa lemas dan tidak nafsu makan tiga hari sebelum kontrol ke poli jiwa RSCM B. Riwayat Gangguan Sekarang Sejak kontrol poli terakhir (8 januari 2009), pasien sudah merasa baikan. Ketakutan, rasa sedih, emosi, gelisah dan suara-suara yang menggangu mulai berkurang dan dapat dikendalikan. Dua hari setelah setelah kontrol poli, saat bangun pagi pasien merasa lupa siapa dirinya dan keluarganya. Hal ini dirasakan selama + 30 menit setelah itu pasien kembali ingat. 1

description

Gangguan psikiatri dapat terjadi apabila terdapat ketidakseimbangan adaptasi antara faktor biologis, sosiokultural, dan psikologis. Psikodinamika adalah suatu pendekatan konseptual yang memandang proses-proses mental sebagai gerakan dan interaksi energi psikis, yang berlangsung intra- maupun inter-individual.

Transcript of preskas skizoafektif

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. E

Jenis Kelamin : perempuan

Usia : 44 tahun

Alamat : Kramat Sawah, Jakarta

Status : menikah

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : pedagang

Suku : Makassar

Agama : Islam

Datang ke RSCM : 3 Februari 2009

NRM : 293-20-30

II. RIWAYAT PSIKIATRI

Diperoleh dari: autoanamnesis dan alloanamnesis dari rekam

medis (tanggal 3 Februari 2009)

A. Keluhan Utama

Pasien merasa lemas dan tidak nafsu makan tiga hari sebelum

kontrol ke poli jiwa RSCM

B. Riwayat Gangguan Sekarang

Sejak kontrol poli terakhir (8 januari 2009), pasien sudah merasa

baikan. Ketakutan, rasa sedih, emosi, gelisah dan suara-suara yang

menggangu mulai berkurang dan dapat dikendalikan. Dua hari

setelah setelah kontrol poli, saat bangun pagi pasien merasa lupa

siapa dirinya dan keluarganya. Hal ini dirasakan selama + 30 menit

setelah itu pasien kembali ingat.

Seminggu sebelum kontrol, pasien merasa senang dan

mentraktir tetangganya dengan uang keuntungan dagangannya

(Rp.100.000,-). Pasien merasa senang karena tetangganya yang

berkata ”Wah, senangnya Bu Eripah, dagangannya laris”. Setelah

uangnya habis, pasien baru tersadar benar kalau uangnya sudah

habis untuk mentraktir yang seharusnya ditabung untuk membeli

sepeda anak bungsunya.

1

Dalam sebulan terakhir, pasien terkadang masih merasakan

ketakutan terutama tentang keadaan anaknya di sekolah, pasien

takut kalau anak bungsunya jatuh saat main di tangga sekolah.

Selain itu, pasien juga merasa khawatir akan nasib ke-4 anaknya

nanti bila pasien sudah tidak ada (meninggal dunia). Ketakutan pun

dirasakan saat pasien akan memegang pisau dapur untuk

memasak, hal ini mengingatkan pasien saat dulu pernah menyakiti

dirinya dengan pisau. Bila ketakutan muncul pasien biasanya

merasa sedih. Tak lama rasa sedih ini ada, mulailah timbul suara-

suara yang menyuruhnya melakukan hal yang negatif. Suara-suara

itu terdengar saat pasien sedang wudhu dan menjelang sholat.

Suara tersebut terdengar biasanya seminggu sekali. Suara tersebut

awalnya terasa seperti hembusan angin, kemudian terdengar suara

lelaki tua yang berkata ”buat apa sholat, tidak ada gunanya kamu

sholat”. Saat pasien akan minum obat, suara-suara terkadang

terdengar pula dan berkata ”buat apa minum obat, itu tidak ada

manfaatnya buat kamu, tidak akan buat kamu sembuh”.

Untuk mengatasi ketakutan, rasa sedih, dan suara-suara yang

mengganggu itu, selain minum obat teratur, pasien juga melakukan

relaksasi yang telah diajarkan oleh dokter dan menjalankan CBT

(cognitive behaviour theraphy) dengan menuliskan hal-hal yang ia

resahkan dalam diari dan berpikir positif. Relaksasi biasanya

dilakukan selama + 30 menit. Setelah melakukan relaksasi maupun

CBT, perasaan takut, sedih, dan suara-suara yang menggangu itu

hilang. Tiga hari sebelum kontrol, pasien merasakan kesedihan lagi,

pasien merasa lemas dan tidak nafsu makan. Tidak ada suara-suara

yang mengganggu. Pasien masih dapat berdagang dengan lancar.

Saat hari kontrol poli, pasien sudah merasa baikan walaupun masih

ada rasa cemas terhadap anak bungsunya.

C. Riwayat Gangguan Sebelumnya

1. Riwayat Penyakit Dahulu

2

Pasien belum pernah mengalami trauma kepala, kecelakaan,

serta kejang. Pasien juga menyangkal adanya riwayat sering sakit

kepala maupun sering demam tinggi.

2. Riwayat Penggunaan Zat Psikoaktif

Pasien tidak pernah mengkonsumsi alkohol, obat-obatan

terlarang, dan rokok.

3. Riwayat Gangguan Psikiatri Sebelumnya

Tahun 1986, setelah melahirkan anak pertama pasien merasa

sedih hingga 25 hari. Saat itu pasien merasa tidak nafsu makan,

sering terbangun malam hari, tidak bisa mengerjakan apa-apa,

tidak bisa berkonsentrasi, merasa hampa, dan tidak bergairah

untuk hidup.

Dua puluh tahun yang lalu (1988), suami pasien berhenti

bekerja. Sebelumnya suaminyalah yang menanggung biaya

kehidupan keluarganya. Pasien berhenti bekerja setelah kejadian

kebakaran di tempat kerjanya (pom bensin) yang disangkut

pautkan dengan suaminya. Perasaan pasien sangat sedih dan

kecewa karena pasien merasa suaminya tidak bersalah atas

kejadian itu. Pasien pun mulai berpikir bagaimana kebutuhan

anak-anaknya dapat terpenuhi. Pasien juga merasa pesimis

untuk mengharapkan pekerjaan yang lebih baik pada suaminya

karena suaminya hanyalah lulusan SMP. Pasien akhirnya

memutuskan untuk menggunakan uang simpanannya untuk

usaha buka warung kecil-kecilan. Namun, usaha ini tak berdiri

lama. Kentungan yang tidak seberapa tak sebanding dengan

pengeluaran untuk membenuhi kebutuhan keluarga terutama

anaknya. Pasien merasa kecewa dan sedih karena usahanya ini

harus gulung tikar.

Di tahun yang sama, pasien dituduh tidak becus mengurus

mertuanya yang mengidap diabetes melitus. Pasien merasa tidak

dihargai dan berguna. Tubuhnya terasa lemas dan dia cenderung

banyak diam. Pasien juga sering mengeluh sakit kepala. Saat

malam hari, pasien mendengar suara-suara yang ia tidak ketahui

3

sumbernya, suara itu menyuruhnya membunuh anaknya. Pasien

awalnya ia tidak mengiraukan suara gaib itu. Akan tetapi,

intensitasnya semakin kuat dan mengganggu tidurnya. Pasien

akan diam bila suara itu terdengar. Hal ini juga membuat pasien

menjadi malas makan, mandi, dan mengurus dirinya dan

anaknya. Hal ini terus terjadi hampir setiap hari dan untuk

mengatasinya pasien hanya berdiam diri. Setelah diam dan

tenang, suara-suara itu menghilang.

Pasien memutuskan untuk berobat ke puskesmas. Dokter

mengatakan bahwa ia harus dirawat di RS Grogol. Pasien tidak

menerima karena ia merasa badannya sehat bugar dan hanya

suara-suara saja yang mengganggunya. Pasien memutuskan

tidak ke RS Grogol dan meminum obat tidur dari dokter

puskesmas bila sulit tidur.

Sebelas tahun yang lalu (1997) pasien mulai merasa gelisah. Ia

dituduh adik iparnya tidak mengurusi mertuanya yang sakit

kencing manis dengan baik hingga akhirnya meninggal dunia.

Pasien jadi merasa bersalah karena merasa tidak becus dalam

merawat mertuanya selama ini. Selain itu, adik iparnya juga

mantii bunuh diri karena ketergantuang obat. Pasien kembali

merasa bersalah karena tidak dapat mencegah hal ini terjadi.

Kedua kejadian ini semakin membuatnya pikiran dan perasaanya

kacau hingga ia sulit tidur selama + 2 minggu. Sejak itu ia mulai

mendengar suara-suara lelaki tak dikenal, yang mengatakan,

”Kalau begini terus supaya tidak disalahkan lebih baik kamu

akhiri hidup saja”. Pasien tidak dapat mengendalikan suara

tersebut sehingga ia merasa kepalanya bergerak hingga

membentur tembok. Suara tersebut muncul seminggu dua kali.

Selain itu pasien juga sering mendengar bisikan yang

mengatakan, ”Kalau kamu keluar akan ada yang melukai kamu”.

Akibatnya pasien jadi merasa takut bila akan keluar rumah.

Suara-suara tersebut terus terdengar walau intensitasnya

semakin jarang. Namun pada tahun 1999 dan 2002 pasien

4

merasa sangat emosi. Saat itu, pasien sedang menyetrika baju

suami dan anaknya. Tiba-tiba kakak iparnya memarahinya dan

memukul pasien. Tiba-tiba, terdengar suara-suara yang

menyuruhnya untuk kabur dari rumah dan mengikuti jalannya

suara itu. Tanpa sadar pasien sudah tiduran di jalan raya dan

mencoba terjun dari gedung Kenari Mas.

Pasien juga pernah dituduh oleh saudara iparnya mencuri

uang Rp.5000,-. Pasien merasa kesal sekali dan suara-suara itu

terdengar kembali yang menyuruhnya mengakhiri hidupnya.

Kebetulan ada pisau dapur didekat pasien, lalu pasien

menggoreskan pisau itu ke tangan kirinya hingga berdarah.

Untung saja, ibu pasien melihatnya lalu menamparnya sehingga

usaha bunuh diri itu terhenti.

Pasien menyatakan bila sedang ketakutan pasien mencium

bau-bauan bunga, kemenyan dan juga bau busuk. Ia juga

mengatakan jika ketakutan itu bercampur dengan emosi (marah,

perasaan ingin menghancurkan atau memukul sesuatu), bisikan

untuk mengakhiri hidup semakin kencang. Setiap bisikan selalu

diawali dengan bunyi seperti angin lewat kemudian tiupan, kata-

kata mati, dan perintah untuh mengakhiri hidup. Bila suara-suara

untuk bunuh diri sangat kuat pasien jadi merasa lemas, tidak

berdaya, malas mengerjakan sesuatu, dan sulit tidur karena

ketakutan.

Lima tahun yang lalu (Agustus 2003) saat melihat lomba 17

Agustusan, pasien tiba-tiba merasa gelisah dan ketakutan.

Pasien merasa orang-orang di sekitarnya mau melempar pasien

dengan batu. Ia yakin karena melihat tangan diacung-acungkan

seperti orang yang akan melihat barang. Karena merasa sangat

ketakutan pasien menjerit-jerit, lari ke rumah, dan bersembunyi.

Tiga tahun yang lalu (Mei 2005) anak pasien dituduh mencuri

burung. Pasien merasa emosi (marah) dan muncul bisikan untuk

mencari tahu penjelasan masalah ini. Karena sangat emosi ia

terjatuh di trotoar. Pasien merasa lemas seluruh tubuh dan tidak

5

bersemangat. Pasien pun dibawa ke poli saraf. Saat diperiksa,

pasien bercerita bahwa ia merasa emosi, gelisah, ketakutan,

sedih, dan tidak bersemangat. Pasien kemudian dirujuk ke poli

psikiatri dan dikatakan sedang mengalami depresi berat. Pasien

direkomendasikan untuk dirawat namun menolak. Beberapa hari

kemudian, terdengar suara-suara pria tua yang mengatakan

”Apa gunanya hidup, lebih baik akhiri saja hidup mu!” semakin

sering dan keras. Akibatnya pasien semakin ketakutan sehingga

mengamuk. Ia kemudian dibawa ke IGD oleh kakak pasien dan

akhirnya dirawat di PKW.

Saat di PKW, pasien melihat orang-orang di sekelilingnya

seperti binatang dan makhluk aneh. Ia sampai protes dan

mengatakan kenapa ia dimasukkan ke kandang binatang. Selain

itu, pasien juga melihat orang besar bertaring dan bertanduk di

pintu. Saat dirawat, pasien takut untuk tidur di atas ranjang

karena ada makhluk hitam besar bertaring yang mengawasinya

terus dan hal ini membuat pasien sampai menjerit-jerit hingga

akhirnya diikat. Selama dirawat, pasien mendengar bisikan

”kenapa minum obat, tidak ada gunanya, kamu tidak akan

sembuh juga”. Pasien jadi sering tidak minum obat dan

menyembunyikannya di bawah lidah. Setelah tidak dilihat oleh

suster pasien membuang obat tersebut. Saat perawatan pasien

meminum Haloperidol dan THP. Pasien mengeluh kaku-kaku

setelahnya. Pasien hanya dirawat selama 4 minggu dan cuti

pulang di tengah-tengah perawatan karena ingin mengurus

anaknya yang akan masuk sekolah. Sebenarnya, Pasien masih

merasa depresi dan suara-suara yang mengganggu itu. Namun,

agar dapat diizinkan pulang, pasien berkata bahwa pasien sudah

tenang dan nyaman.

Setelah keluar dari perawatan pasien merasa lebih baik.

Pasien masih sering merasa ketakutan namun tidak seperti dulu.

Bisikan-bisikan untuk mengakhiri hidup masih ada namun dapat

dikontrol. Ia rutin periksa di poli dan sering mengeluhkan

6

badannya kaku seprti robot sehingga mengganggu aktivitasnya.

Sejak itu obat haloperidol tidak diresepkan lagi dan diganti

dengan Risperidone.

Pada tahun 2006-2007 pasien mengikuti penelitian obat Seroquel

(Quetianapin) dan selama menggunakan obat itu, pasien merasa

enak dan tidak ada gejala-gejala yang muncul. Pasien diresepkan

pula obat Calsetin. Segera sesudah makan obat ini, pasien

merasakan rasa bahagia, lebih banyak senyum, dan tidak mudah

lelah walaupun sudah banyak kerjaaan yang ia lakukan. Hal ini

terus dirasakan selama pasien meminum obat dalam 2 tahun ini.

Setelah tahun 2007, pasien sudah tidak diberikan Calsetin oleh

dokter. Pasien tidak lagi merasakan perasaan senang seperti

sebelumnya.

Setelah mengikuti penelitian tersebut, pasien sempat putus obat

selama 3 hari dan gejala depresi dan suara-suara yang

mengganggu itu terdengar kembali. Bahkan pasien hampir

melukai diri sendiri karena suruhan suara-suara itu. Namun, hal

ini tidak bertahan lama karena pasien sudah kembali minum obat

teratur dan pasien merasa tenang.

Enam bulan yang lalu (Juli 2008) rumah pasien terbakar. Pasien

merasa tidak berdaya lagi, barang-barangnya, alat-alat masak,

dan semua perlengkapan dagangnya musnah dimakan si jago

api. Pasien sungguh sedih sekali, merasa usahanya yang selama

ini dirintis telah musnah berakhir. Bahkan pasien hingga

mengurung diri selama 2 hari di kamar rumah ibunya, tidak

makan dan mandi. Saat itu, pasien mendengar bisikan, ”Kalau

begini kenapa gak ikut bakar diri aja”. Pasien pun menjadi

semakin tidak semangat hidup, susah tidur, dan merasa serba

salah.

Empat bulan yang lalu (September 2008) pasien sempat putus

obat selama 3 hari. Sebelum ke poli pasien merasa gelisah dan

takut tidak mendapatkan obat (obat di apotik habis, sulit

menebus resep). Saat di poli dan diwawancara, pasien melihat

7

pulpen yang dipegang dokter yang memeriksanya berubah

menjadi sebatang kayu. Pasien merasa ketakutan dan ingin

cepat-cepat pulang. Ketika pulang pasien merasa dokter yang

memeriksanya tadi ada di belakangnya dan mengejar-ngejarnya.

Ia menjadi sangat ketakutan. Besoknya pasien kembali ke poli

untuk meminta stempel agar dapat menebus obat. Saat mau ke

apotik pasien mendengar juga bisikan ,”Kalau obat tidak ada

lebih baik bunuh diri saja”.

Tiga bulan yang lalu (Oktober 2008) pasien putus obat 4 hari. Ia

merasa gelisah dan ketakutan. Suara di telinga yang menyuruh

untuk bunuh diri masih terdengar walau pelan. Semakin hari

suara tersebut semakin kencang. Karena ketakutan pasien

merasa susah tidur (suka terbangun), jadi malas, berpikir hidup

ini tidak ada gunanya (lebih enak ngelamun dan bengong), dan

makan jadi lebih sedikit dari biasanya. Pasien jadi mudah emosi

bila ada masalah sedikit. Pasien juga merasa suka lupa

(bertengkar karena merasa sudah memberi uang jajan pada

anak, padahal belum). Setelah mendapat obat, suara-suara

tersebut terdengar lebih pelan. Ia juga bercerita kalau selama ini

bila sudah merasa baikan obat tidak diminum lagi (bila sehari

harusnya 2 kali hanya diminum sekali atau pernah pula 2 hari

sekali). Hal ini dilakukan untuk menghemat obat karena harga

obat yang mahal dan pasien kesulitan biaya.

Dua bulan yang lalu (November 2008), dalam satu hari pasien

kembali merasakan rasa bahagia. Rasa bahagia ini timbul setelah

ia bangun tidur. Setelah sarapan, pasien sangat giat dalam

merapihkan rumah. Sebelumnya pasien tidak pernah merasakan

hal tersebut. Pasien merasa energinya tidak habis, nyanyi-

nyanyi, dan serasa harga dirinya membumbung. Pasien tidak ada

minum obat calsetin.

Satu bulan yang lalu (Desember 2008) pasien mengatakan rasa

sedihnya berkurang dan justru lebih merasa takut dan cemas.

Rasa cemas muncul jika anak-anaknya tidak ada yang menjaga

8

atau pergi bermain dan ke sekolah. Pasien khawatir terjadi

sesuatu pada anaknya jika anak pergi sekolah. Suara-suara tidak

terdengar lagi.

D. Riwayat Kehidupan Pribadi

1. Riwayat Prenatal dan Perinatal

Pasien lahir spontan ditolong bidan, cukup bulan, dengan berat

lahir cukup (3,4 kg). Riwayat trauma, infeksi, dan kejang selama

hamil disangkal.

2. Riwayat Masa Kanak Awal

Pasien diasuh oleh orang tua pasien. Ibu pasien memberikan ASI

eksklusif Pertumbuhan dan perkembangan pasien sesuai dengan

teman-teman sebayanya.

3. Riwayat Masa Kanak Pertengahan

Pasien tinggal bersama orang tua pasien. Orang tua pasien sering

memukul pasien bila berlaku salah. Pasien jadi sering ketakutan.

Ia menyatakan tidak mempunyai banyak teman karena mudah

tersinggung (sering diejek bertubuh besar).

4. Riwayat Masa Kanak Akhir dan Remaja

Pasien menyatakan tidak memiliki banyak teman. Pasien lebih

senang menyendiri.

5. Riwayat Masa Dewasa

a. Riwayat Pendidikan

Pasien hanya bersekolah hingga kelas 2 SMP. Alasan tidak

melanjutkan pendidikan karena biaya dan kemampuan otak

kurang (merasa tidak mampu). Saat kelas 5 SD pernah tidak

naik kelas.

b. Riwayat Pekerjaan

Setelah tidak bersekolah pasien bekerja sebagai pramuniaga

kosmetik. Pasien kemudian mencari nafkah dengan berjualan

makanan setelah menikah.

c. Riwayat Pernikahan

Pasien sudah menikah dan memiliki 4 orang anak

9

Anak I : perempuan, sudah menikah, baru saja melahirkan

anak pertama

Anak II : laki-laki, tamat SMA, saat ini sedang mencari

pekerjaan

Anak III: laki-laki, sudah selesai SMP dan kini ingin

melanjutkan ke STM

Anak IV: perempuan, meninggal usia 7 bulan setelah

laparotomi

Anak V: laki-laki, saat ini di bangku SD

d. Riwayat Kehidupan Beragama

Pasien beragama Islam. Pasien menyatakan rajin dalam

beribadah dan rutin mengikuti kegiatan pengajian baik di

lingkungan tempat tinggal maupun di Masjid Istiqlal.

e. Riwayat Militer

Pasien tidak pernah mengikuti kegiatan militer.

f. Riwayat Pelanggaran Hukum

Pasien tidak pernah melakukan pelanggaran hukum.

g. Riwayat Psikoseksual

Pasien mulai menyukai lawan jenis ketika berusia 20 tahun. Ia

kemudian berpacaran dan menikah pada usia 24 tahun. Pasien

hanya berhubungan seksual dengan suaminya.

h. Aktivitas Sosial

Pasien jarang mengikuti aktivitas yang bersifat sosial di

lingkungan sekitar rumahnya.

i. Situasi Kehidupan Sekarang

Sejak cucu pertamanya lahir 3 bulan yang lalu, pasien mondar-

mandir dari rumahnya ke rumah orang tuanya. Pagi hari ia ke

rumahnya untuk menyiapkan makanan untuk suami dan anak

keduanya serta berjualan makanan. Siangnya ia ke rumah

orang tuanya untuk mengurus cucunya. Pada dasarnya ia lebih

senang tinggal di rumah orang tuanya karena rumahnya gelap

(tidak memakai listrik). Situasi yang gelap membuat ia sering

ketakutan. Selain itu, di rumahnya (Kramat Sawah) tinggal pula

10

kakak ipar dan adik ipar (saudara suaminya) dengan

keluarganya. Hubungannya dengan adik ipar tidak baik (sering

bertengkar).

Suami pasien sudah tidak bekerja lagi sejak 20 tahun yang

lalu sehingga kini dia yang menjadi tulang punggung keluarga.

Jika emosi itu muncul pasien menjadi sulit berdagang karena

takut mendengar bisikan-bisikan untuk melukai dirinya lagi.

Namun, sejak bisa minum obat teratur, relaksasi, dan CBT,

pasien bisa mengendalikan dirinya dan keluhannya terus

berkurang.

6. Riwayat Keluarga

Pasien adalah anak kelima dari delapan bersaudara. Ayah pasien

meninggal karena sakit jantung. Anak-anak pasien tumbuh

dengan normal dan tidak ada yang menampilkan gejala yang

serupa dengan pasien.

7. Persepsi Pasien tentang Diri dan Kehidupannya

Pasien rutin kontrol ke poli karena merasa butuh obat untuk

penyakitnya. Jika minum obat ketakutan, emosi, serta suara-suara

di telinga berkurang. Namun pasien tidak ingin keluarganya

mengetahui bahwa ia mempunyai gangguan jiwa. Orang yang

mengetahui bahwa ia mempunyai gangguan jiwa hanya kakak ke-

3 yang mengantarkannya ketika dirawat di PKW tahun 2005.

Selain itu pada anggota keluarga yang lain ia mengatakan alasan

ia dirawat adalah karena sakit jantung. Hal ini dilakukan karena

sejak merasa ketakutan pasien sering menjerit-jerit sehingga

dijuluki “Si Stress”.Ia merasa tidak nyaman dan tetangga-

tetangga juga mulai menjauhinya. Pasien jadi lebih senang

menyendiri dan segan berbicara dengan keluarganya.

Genogram

11

Keterangan :

: anggota keluarga laki-laki

: anggota keluarga perempuan

: anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa

: pasien

: tinggal satu rumah

/ : sudah meninggal

8. Persepsi Keluarga tentang Diri Pasien

Keluarga pasien tidak mengetahui bahwa pasien mengalami

gangguan jiwa hanya kakak no 3 yang tahu. Keluarga hanya

melihat ada waktu-waktu tertentu pasien terlihat gelisah, marah-

marah, melamun, menjerit-jerit, dan mencoba bunuh diri. Namun

keluarga tetap mendukung pasien untuk memeriksakan diri.

9. Impian, Fantasi, dan Cita-cita Pasien

Pasien ingin menabung untuk biaya sekolah anaknya yang ingin

melanjutkan ke STM. Selain itu pasien juga ingin mencari tempat

yang permanen untuk berjualan makanan.

III. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL

(Dilakukan pada tanggal 4 Februari 2009)

A. Deskripsi Umum

1. Penampilan

12

Seorang wanita, berpenampilan sesuai usianya,

berpakaian kemeja, celana panjang dan berjilbab. Secara

umum, penampilan pasien menunjukkan pasien dapat

merawat diri dengan baik

2. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor

Pasien terlihat tenang saat diwawancara. Kontak mata baik

3. Sikap Terhadap Pemeriksa

Pasien memberikan keterangan secara jelas, terbuka, dan

tidak berbelit-belit. Sikap pasien terhadap pemeriksa

kooperatif.

B. Mood dan Afek

1. Mood : euthym

2. Afek : luas

3. Keserasian : serasi

C. Pembicaraan

Pasien berbicara dengan lancar dan spontan saat ditanya.

Jumlah kata-kata yang dikeluarkan pasien banyak

(produktivitas baik). Kontak mata dengan pemeriksa baik.

D. Gangguan Persepsi

Tidak ada gangguan persepsi

E. Pikiran

1. Proses Pikir/Bentuk Pikir

Tidak ditemukan gangguan proses pikir

2. Isi Pikir

Terdapat ide-ide paranoid terhadap keadaan anak

bungsunya.

F. Kesadaran dan Kognisi

1. Taraf Kesadaran dan Kesigapan

Kompos Mentis. Pasien memiliki kesan sigap bila ada

bahaya yang akan datang pada pasien.

2. Orientasi

Waktu:baik (pasien dapat menyebutkan hari, tanggal,

bulan)

13

Tempat: baik (pasien mengetahui tempat pasien

berada saat wawancara dan letak rumah pasien)

Orang: baik (pasien dapat menyebutkan nama orang-

orang di sekitar pasien

3. Daya Ingat

Jangka panjang : baik (pasien masih ingat masa

kecilnya ketika

SD sampai SMP, pasien juga ingat

pengalaman-pengalamannya semasa

kanak-kanak)

Jangka sedang : baik (pasien masih ingat hal-hal yang

membawa pasien datang ke rumah

sakit dan orang-orang yang

mengantar pasien ke rumah sakit)

Jangka pendek : baik (pasien ingat akan menu makan

paginya

dan nama pewawancara)

Segera : baik (pasien dapat

menyebutkan empat

macam benda yang disebutkan oleh

pemeriksa)

4. Konsentrasi dan Perhatian

Baik. Pasien dapat mempertahankan konsentrasinya saat

diwawancarai .

5. Kemampuan Membaca dan Menulis

Baik. Pasien dapat membaca dan menulis sesuai

permintaan.

6. Kemampuan Visuospasial

Baik. Pasien dapat menggambar jam dinding .Selain itu

pasien juga dapat menggambar segitiga dan persegi yang

diminta pewawancara dengan baik

7. Pikiran Abstrak

14

Cukup baik. Pasien dapat menyebutkan persamaan bis dan

sepeda motor serta mengerti beberapa arti kiasan panjang

tangan dan setali tiga uang

8. Inteligensi dan Kemampuan Informasi

Cukup. Pasien dapat menyebutkan kabar terbaru yang

sedang hangat dibicarakan di media massa

9. Kemampuan Menolong Diri Sendiri

Baik (pasien dapat makan, minum, mandi, dan mencuci

baju sendiri).

G. Pengendalian Impuls

Baik. Pasien tidak menujukkan agresivitas selama

diwawancara.

H. Daya Nilai dan Tilikan

1. Daya Nilai Sosial: baik (pasien mengatakan tidak pernah

ingin menyusahkan orang lain).

2. Uji Daya Nilai: baik, pasien akan mengembalikan barang

yang tertinggal pada pemiliknya jika tersedia keterangan

yang jelas.

3. Penilaian Realita: baik (pasien menyadari kenyataan

yang sesungguhnya pada diri dan lingkungannya, tidak

ada waham maupun halusinasi lagi)

4. Tilikan: Derajat 6. Pasien sadar sepenuhnya bahwa

dirinya sakit, bahwa sakitnya adalah mendengar suara-

suara tersebut, dan ketakutan serta gelisah. Maka, pasien

berobat ke Poli Psikiatri, mau minum obat, melakukan

relaksasi dan CBT.

I. Taraf Dapat Dipercaya

Secara umum dapat dipercaya meskipun keterangan pasien

suka berubah-rubah.

IV. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis

Keadaan umum : Sakit ringan

15

Kesadaran : kompos mentis

Tekanan darah : 150/100 mmHg

Frekuensi nadi : 88x / menit

Frekuensi napas: 24x / menit

Suhu : afebris

Kepala : deformitas (-), rambut hitam, tidak mudah

dicabut

Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-,

refleks pupil

baik

THT : deformitas (-), serumen (-/-)

Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)

Mulut : oral higiene cukup, tampak gigi pasien yang

ompong

Jantung : BJ I/II normal, murmur (-), gallop (-)

Paru : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen : datar lemas, nyeri tekan (-), bising usus (+)

normal

Ekstremitas : simetris, akral hangat, edema -/-, perfusi

perifer

cukup, needle tract (-), scar di tungkai

distal dekstra (+)

B. Status Neurologikus

a. Gejala rangsang selaput otak (-)

b. Pupil bulat, isokor, 3mm/3mm, RCL +/+ dan RCTL +/+

c. Refleks fisiologis normal

d. Nervus kranialis: kesan paresis (-), nistagmus (-)

e. Refleks patologis (-)

e. Pemeriksaan Motorik : 5555 5555

5555 5555

f. Gejala ekstrapiramidal :

- gaya berjalan dan postur tubuh normal

- stabilitas postur tubuh normal

16

- rigiditas ekstremitas tidak ada

- gangguan keseimbangan dan tremor (-)

g. Pemeriksaan Sensorik

Sensibilitas : parestesia di kaki-tangan kiri dan kanan (-)

h. Pemeriksaan Saraf Otonom

Inkontinensia alvi dan urin(-), anhidrosis(-)

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA

Telah diperiksa seorang wanita, Ny. E, 44 tahun, bertempat tinggal

di Kramat Sawah, suku Makassar, agama Islam, status menikah

dengan 4 orang anak, pendidikan terakhir SMP kelas II.

Dua puluh tahun yang lalu (1988), suami pasien berhenti

bekerja. Pasien sedih, dan pesimis yang semakin memberat setelah

ia gagal dalam usaha warungnya. Pasien merasa tidak dihargai,

tidak berguna, lemas dan banyak diam. Pasien juga sering

mengeluh sakit kepala. Saat malam hari, pasien mendengar suara-

suara yang ia tidak ketahui sumbernya, suara itu menyuruhnya

membunuh anaknya. Pasien akan diam bila suara itu terdengar. Hal

ini juga membuat pasien menjadi malas makan, mandi, dan

mengurus dirinya dan anaknya.

Pasien telah mendengar suara-suara yang mengganggu

seperti mengomentari tindakannya maupun menyuruhnya melukai

dirinya bahkan menyuruhnya bunuh diri sejak 20 tahun yang lalu

(1988). Awalnya pasien merasa gelisah, ketakutan, rasa bersalah

yang mendalam, dan kesulitan tidur selama + 2 minggu sejak

mertua dan adik iparnya meninggal. Lalu pasien mendengar suara-

suara untuk mengakhiri hidupnya. Bila suara-suara tersebut

semakin kencang dan tanpa sadar menuruti perintah tersebut.

Percobaan bunuh diri pernah dilakukan beberapa kali dengan

membentur-benturkan kepala ke dinding (1997), tiduran di jalan

raya (1999), dan loncat dari gedung bertingkat (Kenari Mas) pada

tahun 2002.

17

Suara-suara tersebut terus ada walau tidak sesering dan

sekencang tahun 1997,1999, dan 2002. Bila pasien merasa

ketakutan, ia juga mencium bau-bau yang tidak dicium oleh orang

sekitarnya.

Pada bulan Agustus 2003, pasien merasa orang-orang ingin

menyakitinya karena ia melihat tangan diacung-acungkan sehingga

ia lari ketakutan, menjerit-jerit, dan bersembunyi di rumah.

Dua tahun setelahnya (tahun 2005) pasien dirujuk dari poli

saraf paska trauma kepala, ke poli psikiatri dan dikatakan

mengalami depresi berat. Pasien kemudian dirawat selama 4

minggu. Selama perawatan pasien melihat orang-orang di

sekelilingnya menjadi binatang. Selain itu ia juga melihat orang

besar bertaring dan bertanduk sehingga pasien menjerit-jerit

ketakutan. Saat dirawat ia juga sering mendengar bisikan bahwa

minum obat itu tidak berguna sehingga tidak jarang ia membuang

obat tersebut. Setelah keluar dari perawatan pasien kontrol rutin ke

poli. Ia merasa gelisah, ketakutan, dan suara-suara yang

mengganggu cenderung berkurang. Pasien rutin minum obat walau

tidak jarang bila merasa sudah enakan ia tidak minum obat lagi. Hal

itu ia lakukan untuk menghemat biaya beli obat.

Enam bulan yang lalu (Juli 2008) rumah pasien terbakar.

Pasien merasa tidak berdaya lagi. Alat-alat masak dan semua

perlengkapan dagangnya telah musnah. Pasien merasa sedih sekali

hingga mengurung diri selama 2 hari, tidak makan dan mandi. Saat

itu, pasien mendengar suara-suara yang menyuruhnya membakar

diri. Pasien pun menjadi semakin tidak semangat hidup, susah tidur,

dan merasa serba salah.

Empat bulan yang lalu (September 2008), saat kontrol ke poli,

pasien tiba-tiba melihat pulpen yang dipegang oleh dokter yang

memeriksanya berubah menjadi kayu. Pasien jadi ketakutan

sehingga cepat-cepat pulang. Saat pulang ia merasa dokter yang

memeriksanya mengikutinya sehingga ia semakin ketakutan.

18

Tiga bulan yang lalu (Oktober 2008) pasien putus obat 4 hari.

Ia kembali merasa gelisah dan ketakutan. Suara di telinga yang

menyuruh untuk bunuh diri masih terdengar walau pelan. Semakin

hari suara tersebut semakin kencang. Karena ketakutan pasien

merasa susah tidur (suka terbangun), jadi malas, berpikir hidup ini

tidak ada gunanya (lebih enak ngelamun dan bengong), dan makan

jadi lebih sedikit dari biasanya. Pasien jadi mudah emosi bila ada

masalah sedikit. Pasien juga merasa suka lupa. Setelah mendapat

obat, suara-suara tersebut terdengar lebih pelan. Ia juga bercerita

kalau selama ini bila sudah merasa baikan obat tidak diminum lagi

Hal ini dilakukan untuk menghemat obat karena harga obat yang

mahal dan pasien kesulitan biaya.

Dua bulan yang lalu (November 2008) Pasien merasa

energinya tidak habis, nyanyi-nyanyi, dan serasa harga dirinya

membumbung.

Satu bulan yang lalu (Desember 2008) pasien mengatakan

rasa sedihnya berkurang dan justru lebih merasa takut dan cemas.

Rasa cemas masih berkaitan dengan anaknya. Suara-suara tidak

terdengar lagi.

Saat kontrol poli psikiatri (3 Februari 2008) pasien sudah

merasa baikan. Ketakutan, rasa sedih, emosi, dan suara-suara yang

menggangu mulai berkurang dan dapat dikendalikan. Pasien

sempat mengalami selama + 30 menit. Pasien juga pernah merasa

senang yang amat hingga mentraktir tetangganya dengan uang

keuntungan dagangannya. Dalam sebulan terakhir, pasien

terkadang masih merasakan ketakutan terutama tentang keadaan

anaknya dan masa depannya. Ketakutan pun dirasakan saat pasien

akan memegang pisau dapur untuk memasak. Bila ketakutan

muncul pasien biasanya merasa sedih. Tak lama rasa sedih ini ada,

mulailah timbul suara-suara yang menyatakan ataupun

menyuruhnya melakukan hal yang negatif. Untuk mengatasi

ketakutan, rasa sedih, dan suara-suara yang mengganggu itu, selain

minum obat teratur, pasien juga melakukan relaksasi yang telah

19

diajarkan oleh dokter dan menjalankan CBT. Keadaan keluarganya

sekarang, suami pasien tidak bekerja sejak 20 tahun yang lalu.

Hubungannya dengan adik ipar tidak baik (sering bertengkar).

Dari pemeriksaan status mental (saat kontrol poli 3 Februari

2009) ditemukan sudah tidak ditemukan halusinasi auditori,

halusinasi olfaktorius, visual, maupun taktil. Pada pasien didapat

ide-ide paranoid. Sedangkan dari pemeriksaan fisik ditemukan

adanya hipertensi, nistagmus, parestesia di kaki kiri dan telapak

kaki kanan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hipertensi grade 1.

Tidak ada nistagmus dan parastesia kaki dan tangan kiri dan kanan.

VI. FORMULASI DIAGNOSTIK

Pada pasien ditemukan sindrom atau pola perilaku atau psikologis

yang bermakna secara klinis dan menimbulkan penderitaan

(distress) dan hendaya (disability) dalam fungsi pekerjaan dan

aktivitas sehari-hari pasien. Oleh karena itu, dapat disimpulkan

bahwa pasien mengalami suatu gangguan jiwa sesuai dengan

definisi yang tercantum dalam PPDGJ III.

Diagnosis Aksis I

Berdasarkan anamnesis tidak ditemukan adanya riwayat trauma

kepala yang dapat menyebabkan gangguan intrakranial. Sakit

kepala yang berputar pada pasien dan adanya nistagmus

menunjukkan adanya penyakit vertigo. Namun, kelainan ini tidak

menjadi sebab gangguan yang dialami pasien. Selain itu, tidak

ditemukan riwayat kejang yang mengarah pada kelainan organik di

otak. Pada pemeriksaan fisik juga tidak ditemukan adanya tanda-

tanda yang mengarah pada gangguan intrakranial sehingga adanya

gangguan organik (F0) pada pasien dapat disingkirkan.

Gejala yang ditemukan pada pasien dapat terjadi pada

penggunaan zat psikoaktif. Namun, tidak didapatkan adanya

riwayat penggunaan zat psikoaktif berupa konsumsi alkohol

maupun obat-obat yang dapat menstimulasi maupun mendepresi

susunan saraf pusat. Dari pemeriksaan fisik juga tidak ditemukan

20

adanya needle tract. Pasien juga tidak mengkonsumsi rokok.

Kemungkinan gangguan mental akibat penggunaan zat psikoaktif

(F1) sejauh ini dapat disingkirkan.

Pada pasien didapatkan hendaya dalam menilai realita, oleh

sebab itu gangguan jiwa pada pasien dimasukkan ke dalam

golongan besar psikotik. Selain itu, pasien juga ditemukan hendaya

pada moodnya. Hendaya moodnya ini dapat muncul mendahului

ataupun bersamaan dengan gejala psikotiknya pada hampir setiap

episodenya. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan status mental,

ditemukan beberapa gejala psikopatologi yaitu:

1. Adanya riwayat halusinasi auditorik yang bersifat commenting

dan commanding (menyuruh pasien bunuh diri dan

mengatakan obat itu tidak berguna).

2. Adanya riwayat waham kejar (pasien merasa ada orang yang

ingin menyakiti dirinya, misal :ada orang yang ingin

memukulnya)

3. Adanya riwayat halusinasi visual (melihat monyet,dll), taktil

(merasa didorong orang) dan halusinasi olfaktorius (bau-

bauan bunga, kemenyan, busuk).

4. Riwayat waham rujukan (merasa orang-orang

membicarakannya)

5. Riwayat gejala depresi yakni susah tidur (suka terbangun),

jadi malas, berpikir hidup ini tidak ada gunanya (lebih enak

ngelamun dan bengong), dan makan jadi lebih sedikit dari

biasanya.

6. Riwayat gejala manik (perasaan senang yang amat ,

mentraktir tetangganya, irritable, dan gelisah).

7. Adanya ide-ide paranoid tentang keadaan anak bungsunya.

8. Gejala tersebut sudah muncul lebih dari satu bulan (sudah

sejak 11 tahun yang lalu)

9. Setiap episode gangguan mood, terjadi kurang dari 2 minggu

untuk depresi dan 1 minggu untuk manik.

21

Berdasarkan gejala-gejala yang ditemukan saat ini, diagnosis

pada pasien adalah skizoafektif tipe campuran (F25.2) yang sedang

terkontrol pengobatan. Skizofrenia paranoid dan gangguan afektif

bipolar dengan gejala psikotik merupakan diagnosis banding pada

kasus ini.

Dipikirkannya skizofrenia paranoid terkontrol sebagai

diagnosis banding karena gejala psikotik seperti waham kejar serta

halusinasi terutama auditorik yang bersifat commenting dan

commanding yang pernah ada cukup menonjol dalam mewarnai

setiap episode yang ada. Namun, pada skizofrenia paranoia tidak

terjadi penonjolan gejala-gejala afek dan mood yang cukup jelas

pada pasien walaupun terjadi secara rapid cycling. Atas dasar

adanya gangguan afektif yang meramaikan perjalanan

penyakitnya, perlu dipikirkan diagnosis banding gangguan afektif

bipolar dengan gejala psikotik episode kini remisi.

Diagnosis Aksis II

Tidak ada diagnosis.

Diagnosis Aksis III

Saat ini pasien menderita penyakit jantung, hipertensi, carpal tunnel

syndrome, dan tarsal tunnel syndrome. Pasien sering merasa nyeri

seperti ditekan pada dadanya, bila tidur harus memakai 2 bantal

(orthopnea), dan sering capai jika berjalan jauh (exercise

intolerance). Pasien rutin kontrol ke poli jantung dan meminum ISDN

dan adalat. Pasien memiliki riwayat vertigo dan dulu meminum obat

Mertigo, Flexor, dan Renadinac. Untuk hipertensi, CTS, dan TTS

pasien lupa nama obatnya.

Diagnosis Aksis IV

Pasien mengalami masalah ekonomi. Suami pasien tidak bekerja

lagi sehingga pasien menjadi tulang punggung keluarga. Bila ada

keuntungan berjualan makanan baru pasien bisa membeli obat.

Akibat kesulitan ekonomi itu pula yang membuat pasien tidak

minum obat dengan teratur. Alasannya agar uang bisa dihemat

untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Namun saat ini,

22

masalah ekonomi menjadi beban pikiran bagi pasien. Pasien

mencoba untuk menerima dan berusaha sebaik mungkin

pekerjaannya sekarang walaupun masih menjadi masalah.

Selain itu, pasien juga mengalami masalah dengan keluarga

terutama saudara ipar sehingga membuat pasien tidak betah

tinggal di rumah. Ia juga menyembunyikan penyakitnya dari

keluarganya sehingga kurang ada yang mendukung pengobatan

pasien, dan hubungan dengan keluarga menjadi renggang. Pasien

juga mulai merasa terasing dari lingkungannya karena sering

dijuluki “Si Stress”.

Kedua masalah ini tidaklah jelas sebagai stressor untuk

diagnosis. Tetapi stressor yang berpengaruh dalam pengobatan dan

prognosis.

Diagnosis Aksis V

Pada aksis V, dinilai kemampuan penyesuaian diri pasien dengan

menggunakan GAF (Global Assessment of Functioning). GAF saat

dilakukan pemeriksaan adalah 90 (beberapa gejala minimal,

berfungsi baik, cukup puas, dan gangguan yang ada tidak lebih dari

masalah harian biasa). Hal ini ditetapkan karena pasien tetap bisa

berdagang untuk mencari nafkah walaupun terkadang masih ada

halusinasi auditorik dalam kuantitas dan kualitas minimal (saat

pemeriksaan tidak ada) maupun ide-ide paranoid. Kedua gangguan

ini sudah menjadi biasa bagi pasien dan dengan mudah ia tangani

dengan relaksasi dan CBT. Sedangkan nilai tertinggi GAF tahun lalu

adalah 55 (gejala sedang, disabilitas sedang dalam fungsi). Hal ini

berdasarkan riwayat gangguan tahun 2008, dimana saat itu terjadi

peristiwa terbakarnya rumah pasien serta riwayat beberapa kali

putus obat (hanya beberapa hari) yang membuat gejala depresi dan

psikotik muncul kembali bahkan hingga fungsi pasien mengalami

disabilitas sedang.

VII. DAFTAR MASALAH

23

1. Organobiologis: Jantung, vaskular (hipertensi grade 1), dan

saraf tepi (CTS dan TTS)

2. Psikologis:

Ide-ide paranoid

Riwayat halusinasi auditorik yang bersifat commanding

dan commenting, halusinasi visual, olfaktori, dan taktil.

Riwayat waham kejar

Riwayat gejala depresi dan manik

3. Lingkungan dan sosial ekonomi:

Masalah ekonomi: pasien menjadi tulang pungggung

perekonomian keluarga

Masalah keluarga: tidak akur dengan adik iparnya sehingga

pasien tidak betah di rumah dan lebih senang tinggal di

rumah orang tuanya. Selain itu pasien juga ingin

menyembunyikan penyakitnya dari keluarganya (hanya

kakak no 3 yang tahu) sehingga dukungan keluarga

terhadap penyakit pasien kurang

Masalah dengan lingkungan: karena sering terlihat

ketakutan dan menjerit-jerit pasien dijuluki si stress oleh

keluarganya.

VIII. EVALUASI MULTIAKSIAL

Aksis I : Skizoafektif tipe campuran terkontrol obat

DD/ Gangguan Afektif bipolar dengan gejala psikotik

episode kini

Remisi (dalam pengobatan)

Skizofrenia paranoid terkontrol obat

Aksis II : tidak ada diagnosis.

Aksis III : penyakit jantung, hipertensi, CTS, TTS, riwayat

vertigo

Aksis IV : masalah ekonomi, keluarga, dan lingkungan

Aksis V : GAF Current : 90

GAF Highest Level Past Year : 55

24

IX. PROGNOSIS

Quo ad vitam : bonam

Quo ad functionam : bonam

Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

Faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap perjalanan

penyakit pasien:

Wanita

Onset pada usia dewasa

Adanya pengetahuan pasien untuk berobat

Tidak ada anggota keluarga yang menderita kelainan yang

sama

Adanya gejala gangguan mood (diagnosis skizoafektif)

Pasien sudah menikah

Respon terhadap pengobatan baik

Lama setiap episode kurang dari sebulan (karena pengobatan)

Sikap pasien yang kooperatif

Faktor-faktor yang berpengaruh negatif terhadap perjalanan

penyakit pasien :

Gangguan berulang

Onsetnya tersembunyi (insidious)

Dukungan yang kurang dari keluarga (hanya ibu dan kakak

kandungnya)

Masalah ekonomi yang dapat membuat pasien tidak teratur

minum obat

X. FORMULASI PSIKODINAMIK

Gangguan psikiatri dapat terjadi apabila terdapat

ketidakseimbangan adaptasi antara faktor biologis, sosiokultural,

dan psikologis. Psikodinamika adalah suatu pendekatan konseptual

yang memandang proses-proses mental sebagai gerakan dan

interaksi energi psikis, yang berlangsung intra- maupun inter-

individual.

25

Berdasarkan definisi tersebut, psikodinamika berusaha

mempelajari struktur (kepribadian), kekuatan (dorongan), gerakan

(aksi), pertumbuhan dan perkembangan, serta maksud dan tujuan

dari fenomena patologik yang ada pada seseorang. Psikodinamika

menganggap bahwa gejala-gejala psikosis yang dialami pasien

terjadi akibat konflik yang dialaminya.

Freud berpendapat bahwa skizofrenia terjadi akibat fiksasi

dalam perkembangan kepribadian dan adanya defek ego. Karena

kedua hal tersebut, seseorang akan mengalami regresi ke tingkat di

mana terjadi fiksasi apabila ia mengalami konflik atau kejadian yang

signifikan dalam hidupnya.

Skizofrenia digambarkan oleh Freud sebagai keadaan

pecahnya objek dari emosi dari pikiran, ide, atau seseorang, dan

sebuah regresi yang merupakan respon terhadap frustasi atau

konflik terhadap orang lain. Pada berulangnya kasus pasien ini

karena tidak ada pekerjaan sehingga pasien merasa putus asa.

Onset dari gejala-gejala skizofrenia biasanya mulai muncul

pada fase kehidupan adolesence, di mana pada saat ini seorang

remaja membutuhkan ego yang kuat untuk berfungsi secara bebas,

terlepas dari orang tua, untuk mengidentifikasi tugas, untuk

mengkontrol insting-insting dasar, dan untuk menyeimbangkan diri

dengan stimulasi eksternal yang intense. Gejala psikotik muncul

pada pasien ketika usia dewasa tepat setelah masa adolescense.

Teori psikoanalisis lain mengatakan bahwa setiap gejala

psikosis memiliki makna simbolik bagi pasien. Halusinasi timbul

akibat ketidakmampuan pasien dalam menghadapi kenyataan

objektif dan menggambarkan ketakutan atau keinginan pasien yang

terpendam. Sedangkan waham merupakan upaya-upaya regresif

untuk menciptakan suatu realita yang baru atau untuk

mengekspresikan ketakutan atau impuls yang tersembunyi.

Pada kasus ini, gejala-gejala psikosis yang dialami pasien

(dalam hal ini berupa antara lain halusinasi anditorik yang bersifat

commanding dan commenting, halusinasi visual, taktil, dan olfaktori

26

serta adanya waham kejar. Pada pasien dengan gangguan psikotik,

mekanisme pertahanan yang digunakan biasanya berupa

penyangkalan, proyeksi, regresi dan distorsi (semuanya merupakan

mekanisme pertahanan yang imatur).

Pasien dengan gangguan skizofrenia paranoid tidak pernah

mendapatkan objek secara konstan yang dicirikan sebagai suatu

perasaan yang aman. Pasien skizofrenia menemukan kesulitan

untuk menangkap berbagai macam stimulus dan memfokuskan

pada satu stimulus pada saat yang bersamaan.

Pemahaman psikodinamik tentang depresi yang digambarkan

oleh Sigmund Freud dan telah diperluas oleh Karl Abraham dikenal

sebagai pandangan yang klasik tentang depresi. teori tersebut

terdiri dari empat, yaitu: (1) gangguan pada hubungan ibu-anak

pada usia 10-18 bulan pertama kehidupan menjadikan seseorang

lebih mudah untuk jatuh ke dalam depresi; (2) depresi dapat

merupakan perwujudan kehilangan suatu obyek; (3) introjeksi dari

obyek yang hilang tersebut adalah suatu mekanisme pertahanan

yang dihubungkan dengan kehilangan obyek tersebut; dan (4)

sebab kehilangan obyek yang hilang tersebut merupakan campuran

dari rasa cinta dan rasa benci, sehingga kemarahan diarahkan pada

diri sendiri.

Edward Bibring melihat depresi sebagai fenomena dimana

seseorang menyadari pertentangan antara ide-ide yang tinggi dan

ketidakmampuan untuk mencapai tujuan-tujuan. Edith Jacobson

melihat depresi sebagai sesuatu yang tidak berbeda dengan anak

yang lemah dan tanpa pertolongan yang merupakan korban dari

orangtuanya. Silvano Arieti mengobservasi bahwa orang yang

menderita depresi telah menjalani hidup mereka lebih banyak untuk

orang lain dibandingkan dengan dirinya sendiri. Depresi muncul

ketika pasien menyadari bahwa seseorang atau tempat dimana

pasien tersebut hidup tidak akan pernah memberikan respon atas

apa yang telah mereka kerjakan. Hal ini terlihat pada pasien, saat ia

dituduh tidak merawat mertuanya dan akhirnya meninggal pada

27

tahun 1997 bersamaan dengan kematian adik iparnya. Konsep

depresi dari Heinz Kohut, diambil dari teorinya tentang self-

psychological, dimana suatu pribadi yang berkembang memiliki

kebutuhan yang spesifik yang harus disadari oleh orang tua untuk

memberikan kepercayaan diri yang positif kepada anaknya. Ketika

seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, akan terjadi

kehilangan kepercayaan diri yang sangat besar yang bermanifestasi

sebagai depresi. John Bowlby meyakini bahwa perpisahan yang

traumatik pada masa kanak-kanak merupakan predisposisi untuk

menjadi depresi.

Etiologi depresi pada pasien ini belum jelas. Namun beberapa

faktor diduga berpengaruh terhadap etiologi depresi. Faktor yang

pertama yaitu faktor genetik. Meskipun penyebab depresi secara

pasti tidak dapat ditentukan, faktor genetik mempunyai peran

terbesar. Gangguan alam perasaan cenderung terdapat dalam

suatu keluarga tertentu. Bila suatu keluarga salah satu orangtuanya

menderita depresi, maka anaknya berisiko dua kali lipat dan apabila

kedua orangtuanya menderita depresi maka risiko untuk mendapat

gangguan alam perasaan sebelum usia 18 tahun menjadi empat kali

lipat. Tetapi pada pasien ini tidak ditemukan riwayat gangguan yang

sama dengan yang dialami pasien.

Faktor yang kedua adalah faktor sosial. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa status perkawinan orangtua, jumlah sanak

saudara, status sosial keluarga, perpisahan orangtua, perceraian,

fungsi perkawinan, atau struktur keluarga banyak berperan dalam

terjadinya gangguan depresi. Suami pasien sudah tidak bekerja lagi

sejak 20 tahun yang lalu dan sebagai kompensasinya pasien harus

berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri.

Sedangkan dalam fungsi keluarga yang, suami sebagai kepala

keluarga yang berperan utama sebagai tulang punggung keluarga

bukan istri. Hal ini dapat menjadi faktor terjadinya depresi pada

pasien karena harus menanggung beban berat sendiri.

28

Faktor yang terakhir diduga berpengaruh dalam terjadinya

gangguan depresi yaitu faktor biologis. Dua hipotesis yang menonjol

mengenai mekanisme gangguan alam perasaan terfokus pada:

terganggunya regulator sistem monoamin-neurotransmiter,

termasuk norepinefrin dan serotonin (5-hidroxytriptamine).

Hipotesis lain menyatakan bahwa depresi yang terjadi erat

hubungannya dengan perubahan keseimbangan adrenergik-

asetilkolin yang ditandai dengan meningkatnya kolinergik,

sementara dopamin secara fungsional menurun.

Banyak teori psikodinamik tentang manik menyatakan bahwa

manik merupakan sebuah defensi melawan depresi. Karl Abraham

percaya bahwa manik terjadi sebagai refleksi dari ketidakmampuan

untuk mentoleransi suatu tragedi yang sedang berkembang. Manik

juga dikatakan sebagai hasil dari superego triannikal, yang tidak

dapat menerima kritikan padanya dan digantikan dengan kepuasan

euforianya. Klein juga menyatakan hal yang serupa dengan Karl

dimana pada seseorang dengan manik akan berkembang waham

kebesaran. Pasien mengetahui betul bahwa sedang sulit dalam

masalah keuangan dan setiap ada keuntungan pasien harus

memikirkan alokasi pemanfaatan uang yang didapat. Untuk

kebutuhan makan sekeluarga, memenuhi permintaan anak

bungsunya untuk dibelikan sepeda, dan menambah modal

usahanya. Tekanan pemikiran ini diduga menyebabkan depresi

pada pasien dan ternyata defensi pasien justru timbul manik

dengan mentraktir tetangganya.

XI. RENCANA TERAPI

A. Psikofarmaka

Risperidon (per oral) 2x3 mg

Asam valproat (per oral) 3x 250 mg, setelah makan

B. Psikoterapi

Dilakukan melalui:

a. Psikoterapi suportif

29

Psikoterapi ini dapat dilakukan dengan bimbingan, reassurance,

serta terapi kelompok

b. Psikoterapi reedukatif

Terhadap Pasien

Memberikan informasi kepada pasien dan edukasi mengenai

penyakit yang dideritanya, gejala-gejala, dampak, faktor-

faktor penyebab, pengobatan, komplikasi, prognosis, dan

risiko kekambuhan agar pasien tetap taat meminum obat dan

segera datang ke dokter bila timbul gejala serupa di kemudian

hari

Memotivasi pasien untuk berobat teratur

Mengajarkan terapi relaksasi pada pasien saat pasien marah

ataupun akan marah sehingga diharapkan pasien dapat

mengontrol marahnya dan mengemukakan amarahnya

dengan cara yang lebih halus.

Terhadap Keluarga

Memberikan edukasi dan informasi mengenai penyakit pasien,

gejala, faktor-faktor pemicu, pengobatan, komplikasi,

prognosis, dan risiko kekambuhan di kemudian hari.

Menjelaskan kepada keluarga bahwa salah satu faktor pemicu

penyakit pasien saat ini adalah keluarga pasien yang

mengabaikan pasien

Meminta keluarga untuk mendukung pasien pada saat-saat

setelah sakit agar pasien dapat mengalami remisi.

c. Terapi kognitif perilaku

Dilakukan untuk merubah keyakinan yang salah dari pasien dan

memperbaiki distorsi kognitif.

XII. DISKUSI

Menurut DSM IV diagnosis Skizoafektif dapat ditegakkan apabila

terdapat:

30

1. Pada saat episode yang sama, terdapat episode depresi dan atau

manik yang bersamaan engan gejala pada kriteria A untuk

skizofrenia yakni:

Gejala karakteristik : 2 atau lebih dari gejala muncul dalam waktu

yang signifikan selama 1 bulan (atau kurang bila berhasil diobati)

a. Waham

b. Halusinasi

c. Disorganisasi dalam berbicara (inkoherensi, dll)

d. Perilaku disorganized, katatonik

e. Gejala negatif yaitu afek yang mendatar,dll

Bila waham yang terdapat pada pasien adalah waham aneh atau

halusinasi yang bersifat commenting maka 1 gejala sudah dapat

memenuhi.

2. Selama periode sakit (episode), terdapat waham atau halusinasi

setidaknya minimal 2 minggu dimana tidak ada gejala gangguan

mood/afektif yang berarti

3. Gejala yang memenuhi kriteria episode gangguan mood jelas

terjadi pada bagian dari total durasi periode aktif dan residual

dari penyakit

4. Gangguan ini terjadi bukan karena efek langsung dari zat

psikoatif ataupun penyakit sistemik tertentu.

Pada pasien ditemukan halusinasi auditori yang bersifat

commenting, commanding, dan waham kejar selama lebih dari satu

bulan (gejala yang mereda bila mengkonsumsi obat).. Gejala

gangguan mood/afektif pada pasien ditemukan gejala depresi dan

manik dengan sifat rapid cycling yakni terjadi perubahan dari manik

dan depresi dari hari ke hari bahkan jam ke jam. Gejala depresi

pasien terlihat jelas dari episode-episode yang ada, dimana hampir

setiap gejala depresi akan diikuti dengan gejala psikotik. Untuk

manik, tidak seperti gejala depresinya, manik yang terjadi tidak

selalu diikuti oleh gejala psikotik. Terkadang gejala psikotik saja

yang jelas dalam satu episode tanpa ada gejala depresi maupun

manik. Dari anamnesis juga tidak didapatkan keterangan

31

penggunaan zat psikoaktif, alkohol, rokok, maupun penyakit

sistemik yang berkaitan dengan gangguan psikiatri. Dengan

demikian gejala-gejala pada pasien sudah memenuhi kriteria

skizoafektif menurut DSM IV. Karena didapatkan gejala depresi dan

manik pada perjalanan penyakitnya dan pada saat kunjungan poli

terakhir (anamnesis dan pemeriksaan status mental) tidak ada

keluhan lagi sehingga diagnosis lengkapnya menjadi skizoafektif

tipe campuran terkontrol obat. Untuk kasus (terutama riwayat

perjalan penyakitnya, bukan keadaan sekarang) ini perlu didiagnosis

banding dengan gangguan afektif bipolar disertai gejala psikotik dan

skizofrenia paranoid.

Untuk skizofrenia paranoid, dapat disingkirkan dengan adanya

gejala afek yang menonjol pada pasien. Namun masih perlu

dipikirkan terjadi superimposed atau concomitant antara skizofrenia

paranoid dengan gejala depresi. Hal ini dapat dipikirkan karena

terdapat beberapa episode depresif terjadi setelah gejala psikotik

halusinasi auditorik yang menyuruhnya bunuh diri ataupun

commenting pasien.

Gangguan afektif bipolar dengan gejala psikotik merupakan

diagnosis banding terkuat, terutama gangguan afektif bipolar tipe II.

Gejala depresi pada pasien bervariasi dari depresi ringan, sedang,

hingga berat. Hal ini terlihat jelas pada perjalanan penyakit

depresinya yang dari sekedar membuat disabilitas fungsi ringan

hingga adanya perasaan ingin mengakhiri hidupnya (berat). Akan

tetapi, efek dari depresi yang banyak terjadi cenderung ringan-

sedang dan adanya usaha bunuh diri lebih disebabkan gejala

psikotik halusinasi auditoriknya bukan langsung dari depresinya.

Untuk gejala manik yang segera timbul setelah minum

calsetin, tidaklah suatu manik karena antidepresan. Hal ini

kemungkinan suatu episode manik murni. Dalam kepustaakaan,

efek primer dari antidepresan baru ada setelah 2-4 minggu

pemakaian. Dari keterangan pasien, selama ia minum obat calsetin

pasien merasakan gejala manik. Diduga manik saat 2 minggu

32

pertama pemakaian calsetin adalah manik murni sedangkan

minggu-minggu selanjutnya manik murni tersalut oleh efek samping

antidepresan.

Dalam awal perjalanan penyakitnya pasien kemungkinan

mengalami depresi berat dengan gejala psikotik. Namun, depresi

yang tidak berat terkadang diikuti dengan gejala psikotik. Gejala

psikotik tidak selalu bersama gejala depresi dan saat itu pasien

mengalami skizoafektif tipe depresif. Dalam 2 tahun ini, pasien juga

mengalami episode manik selain gejala depresi dan psikotiknya.

Sehingga diagnosis pasien menjadi skizoafektif tipe campuran.

Terapi pada pasien terdiri dari psikofarmaka dan psikoterapi.

Psikofarmaka yang diberikan berupa risperidon obat anti psikosis

atipikal dari golongan benzisoxazole. Obat ini mempunyai afinitas

tinggi terhadap reseptor serotonin (5HT2) dan aktivitas menengah

terhadap reseptor dopamin (D2), α1 dan α2 adrenergik, serta

histamin. Dengan demikian obat ini efektif baik untuk gejala positif

(waham, halusinasi), maupun gejala negatif (upaya pasien yang

menarik diri dari lingkungan). Risperidon dimetabolisme di hati dan

diekskresi di urin. Dengan demikian perlu diadakan pengawan

terhadap fungsi hati. Secara umum risperidon ditoleransi dengan

baik. Efek samping sedasi, otonomik, dan ekstrapiramidal sangat

minimal dibandingkan obat antipsikosis tipikal. Dosis anjurannya

adalah 2-6 mg/hari. Pada pasien ini diberikan dosis 2x3 mg/hari

karena pada dosis yang lebih rendah 2x2 mg pasien tidak

merasakan manfaatnya.

Pemberian asam valproat ditujukan untuk mengatasi

gangguan mood/afektifnya pasien yakni depresi dan manik. Asam

valproat diindikasikan pada gangguan afektif bipolar (kombinasi

dengan litium) dan skizoafektif. Obat ini lebih efektif pada rapid

cycling yang terjadi pada pasien dibandingkan litium sehingga

dijadikan pilihan utama pada gangguan afektif dengan ciri rapid

cycling . Pembuktian terakhir menndapatkan bahwa asam valproat

lebih efektif menangani episode depresi dibandingkan litium dan

33

karbamazepin. Mekanisme keefektivitasannya dalam gangguan

psikiatri masih belum diketahui. Obat ini dimetabolisme oleh hati

melalui sistim beta-oksidasi, glukuronidasi, dan sitokrom P450.

Adapun efek samping yang sering terjadi antara lain gangguan

gastrointestinal, hati (hepatitis), darah (trombositopenia), dan saraf

(ataksia, tremor). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan

fungsi hati dan hematologi secara berkala.

Psikoterapi yang diberikan pasien adalah psikoterapi suportif,

psikoterapi reedukatif, dan terapi kognitif-perilaku. Psikoterapi

suportif bertujuan untuk memperkuat mekanisme defens

(pertahanan) pasien terhadap stres. Hal ini dilakukan mengingat

toleransi (kemampuan) pasien mengahadapi stres (tekanan,

kecewa, frustasi) rendah. Selain itu pasien mudah marah (merasa

emosi, ingin memukul, menghancurkan barang) bila ada masalah.

Adanya percobaan bunuh diri beberapa kali juga semakin

memprkuat kenyataan bahwa perlu diadakannya terapi untuk

meningkatkan kemampuan pengendalian diri dan menghadapi

masalah.

Psikoterapi reedukatif bertujuan untuk meningkatkan insight

(pengetahuan pasien) terhadap penyakitnya serta mengembangkan

kemampuannya untuk menunjang penyembuhan dirinya. Selain itu

juga meningkatkan pengetahuan keluarga untuk mendukung

kesembuhan pasien. Peningkatan pengetahuan dilakukan dengan

edukasi baik terhadap pasien maupun keluarga.

Keluarga pasien saat ini belum mengetahui penyakit pasien.

Adalah hak pasien untuk tidak memberitahukan keadaan ini

terhadap keluarga. Namun sudah menjadi tanggung jawab kita

sebagai dokter untuk memberikan informasi apa saja keuntungan

yang didapat bila keluarga turut berperan serta sebagai care giver

yang menunjang kesembuhan pasien. Adapun materi yang dapat

diberikan pada keluarga adalah informasi mengenai penyakit

pasien, gejala, faktor-faktor pemicu, pengobatan, komplikasi,

prognosis, dan risiko kekambuhan di kemudian hari. Perlu pula

34

dijelaskan bahwa dukungan moral sangat dibutuhkan oleh pasien.

Dengan demikian sebaiknya keluarga tidak mengucilkan dan

menjatuhkan mental pasien dengan menganggapnya ”orang yang

stress”.

Selain psikoterapi di atas dapat dilakukan pula terapi kognitif

perilaku. Terapi ini bertujuan untuk merubah keyakinan yang salah

dari pasien dan memperbaiki distorsi kognitif.

Prognosis Quo ad vitam pasien adalah bonam. Karena pasien

sudah tidak lagi merasakan halusinasi yang pernah menyuruhnya

untuk bunuh diri. Quo ad functionam bonam karena pasien masih

dapat menjalankan fungsinya misal merawat diri, mengurus rumah

tangga, dan berdagang dengan baik. Quo ad sanactionam dubia ad

bonam. Gangguan yang ada beberapa waktu terakhir ini sudah

cenderung berkurang dari segi kualitas maupun kuantitias dan

pasien sudah dapat mengatasinya dengan relaksasi dan CBT).

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral Pelayanan Medik.

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ

III). Jakarta : Departemen Kesehatan RI. 1993.

2. Kaplan HI, Saddock BJ, Greb JA. Synopsis of Psychiatry:

Behavioral Sciences / Clinical Psychiatry. 9th ed. USA : Lippincott

Williams & Wilkins. 2003.

3. Maslim R. Paduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik

Jakarta : PT Nuh Jaya. 1996.

4. Birnkrant J, Carlsen A. Crash course Psychiatry: The Psychotic

Disorders and The Mood disorders. In: Horton-Szar D, editor. U.K

ed. China: Mosby Elsevier Inc.2007.

5. Albers J L, Hahn RK, Reist C. Handbook of Psychiatric Drugs. 2005

edition. Current Clinical Strategies Publishing. Diunduh dari:

www.ccspublishing.com/ccs pada tanggal 30 Januari 2009.

35