Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

112
BAB I LAPORAN KASUS 1.1. IDENTITAS PASIEN Nama : An. A Tanggal Lahir : 11 Mei 2013 Umur : 1 Tahun 10 bulan 14 Hari Jenis Kelamin : Perempuan Alamat : Jl. Masjid Attayibah No.48, Pulo Gadung, Jakarta Timur Tanggal Masuk: 25 Maret 2015 Bangsal : Bougenville Bawah 1.2. IDENTITAS ORANG TUA/WALI Nama Ayah/Wali Ibu/Wali Nama Tn. A Ny. S Umur 30 Tahun 19 Tahun Pekerjaa n Wiraswasta Ibu rumah tangga Pendidik an SMA SMA Penghasi lan Rp. 3.000.000,- - Agama Islam Islam Alamat Jl. Masjid Attayibah No.48, Pulo Gadung, Jakarta Timur Jl. Masjid Attayibah No.48, Pulo Gadung, Jakarta Timur 1

description

anak, pneumonia

Transcript of Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Page 1: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. A

Tanggal Lahir : 11 Mei 2013

Umur : 1 Tahun 10 bulan 14 Hari

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Masjid Attayibah No.48, Pulo Gadung, Jakarta Timur

Tanggal Masuk: 25 Maret 2015

Bangsal : Bougenville Bawah

1.2. IDENTITAS ORANG TUA/WALI

Nama Ayah/Wali Ibu/Wali

Nama Tn. A Ny. S

Umur 30 Tahun 19 Tahun

Pekerjaan Wiraswasta Ibu rumah tangga

Pendidikan SMA SMA

Penghasilan Rp. 3.000.000,- -

Agama Islam Islam

Alamat Jl. Masjid Attayibah No.48,

Pulo Gadung, Jakarta Timur

Jl. Masjid Attayibah No.48,

Pulo Gadung, Jakarta Timur

1.3. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 25 Maret 2015 dengan

Orang tua pasien dan berdasarkan data dari rekam medis

Keluhan Utama : Sesak napas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

Keluhan Tambahan : Batuk, Demam, Pilek

Riwayat Penyakit Sekarang :

Sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami batuk. Batuk

disertai dengan riak, namun riak tidak dapat keluar. Keluhan batuk timbul tiba-tiba.

Keluhan batuk tidak didahului dengan tersedak sebelumnya. Keluhan batuk darah,

berkeringat di malam hari maupun napas berbunyi ngik disangkal. Untuk mengurangi

1

Page 2: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

keluhan batuk oleh ibu pasien dibalurkan minyak kayu putih di dada pasien, namun

keluhan dirasa tidak berkurang. Napas pasien berbunyi grok-grok. Pasien juga

mengalami pilek. Ingus kental berwarna bening. Pasien masih mau minum sebanyak 4

botol susu perhari dan 5 botol air putih dan makan nasi tim tiga kali sehari setengah

mangkuk bubur bayi. Suhu tubuh pasien normal, tidak demam, buang air besar

normal, konsistensi tidak lunak dan tidak keras. Buang air kecil tidak ada keluhan.

Orang tua pasien terbiasa mengganti pampers sebanyak 3 kali sehari dan pampers

penuh.

Dua hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami demam, demam

timbul mendadak, demam dirasakan terus menerus pada pagi, siang dan malam hari.

Saat dirumah suhu tubuh saat demam tidak diukur menggunakan thermometer oleh

ibu, ibu hanya meletakkan punggung tangannya ke dahi, dan merasakan suhu tubuh

pasien lebih tinggi dari pada hari-hari biasanya. Demam tidak disertai dengan kejang.

Oleh ibu, pasien di kompres untuk menurunkan demam. Oleh ibu pasien tidak

diberikan obat penurun panas. Batuk, pilek juga masih dirasakan oleh pasien, keluhan

dirasakan masih sama dari hari sebelumnya. Buang air besar dan buang air kecil

normal seperti biasanya, tidak ada keluhan. Oleh karena itu pasien dibawa ke

puskesmas, diberi obat puyer, namun keluhan tak membaik.

Hari masuk rumah sakit pasien nampak sulit bernapas dan pasien nampak

lebih lemas. Pasien tampak bernapas melalui mulut dan pasien semakin malas untuk

makan. Kulit kebiruan pada pasien disangkal baik pada kulit tubuh dan kulit sekitar

hidung dan mulut, tangan dan kaki pucat pada pasien disangkal. Sesak timbul

mendadak, tidak diakibatkan oleh perubahan suhu menjadi dingin sebelumnya. Sesak

napas tidak disertai suara ngik. Sesak tidak timbul setelah pasien berlari ataupun

berjalan. Sesak tidak disertai dengan bengkak pada kedua kaki ataupun anggota tubuh

lain. Sesak juga tidak timbul akibat tersedak sebelumnya. Pasien juga masih

mengalami batuk, batuk dirasakan lebih sering dibandingkan sebelumnya. Pasien juga

masih mengalami keluhan pilek, seperti hari sebelumnya. Pasien mengalami muntah

sebanyak dua kali berisi susu berwarna putih kental, muntah warna kekuningan dan

coklat kehitaman disangkal. Sejak delapan jam sebelum masuk rumah sakit, pasien

hanya minum susu sebanyak kurang lebih 2 botol susu. Pasien masih buang air kecil.

Pasien diganti pampers sebanyak dua kali dan pampers tidak penuh. Ibu pasien

biasanya mengganti pampers sebanyak tiga kali sehari dan pampers penuh. Jika

2

Page 3: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

pasien menangis, diakui air mata masih ada. Buang air besar tidak ada keluhan. Oleh

karena itu pasien dibawa oleh orang tua pasien ke IGD RS Persahabatan.

Riwayat Penyakit Dahulu :

- Pasien belum pernah mengalami keluhan kesulitan bernapas sebelumnya sejak

pasien lahir, pasien pernah mengalami batuk, dan pilek sebelumnya namun tidak

pernah sampai sulit bernapas.

- Riwayat alergi disangkal.

- Batuk lama disangkal.

- Riwayat kebiruan ketika pasien menangis sejak lahir disangkal.

- Riwayat sesak napas akibat perubahan udara menjadi dingin disangkal.

- Riwayat sesak disertai dengan bengkak pada kedua kaki disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :

- Keluhan sesak napas disertai demam pada anggota keluarga lain disangkal.

- Riwayat asma disangkal

- Riwayat alergi disangkal

- Keluhan batuk lama di keluarga maupun di lingkungan rumah disangkal.

- Ayah pasien memiliki keluhan batuk dan pilek sejak beberapa hari sebelum

pasien sakit.

Riwayat Sosial, Ekonomi dan Lingkungan

Pasien tinggal dilingkungan padat penduduk. Jarak antara rumah yang satu dengan

rumah yang lainnya berdekatan. Pasien tinggal di rumah kontrakan dengan satu kamar

tidur. Dengan luas kurang lebih 20 meter persegi. Rumah pasien beralaskan keramik,

berdinding tembok, satu buah jendela berada pada bagian depan rumah, dan satu pada

bagian dapur, ventilasi dirasakan kurang. Satu rumah dihuni oleh tiga orang yaitu,

ayah, ibu dan pasien. Ayah pasien memiliki kebiasaan merokok. Air minum yang

digunakan dirumah adalah air isi ulang. Terdapat sebuah kamar mandi yang terletak

dekat dengan dapur dan menggunakan jamban jongkok. Jarak antara septiktank dan

rumah tidak tahu. Sumber air bersih yang digunakan di rumah berasal dari air PDAM.

Penanganan sampah dengan dibuang disekitar tempat rumah. Penghasilan keluarga

hanya didapatkan dari penghasilan ayah sebesar Rp. 3.000.000 , dan digunakan untuk

membiayai tiga orang anggota keluarga yaitu ayah, ibu serta pasien.

3

Page 4: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Kesimpulan : Lingkungan padat penduduk, ekonomi menengah kebawah dan

higienitas kurang

Riwayat Antenatal :

Status obstetric ibu P1A0

Kontrol kehamilan Ibu kontrol kehamilan di bidan sebanyak

6x selama masa kehamilan, mulai minum

vitamin asam folat sejak usia kehamilan 1

bulan.

Penyakit yang diderita selama masa

kehamilan

Demam, nyeri kepala, keputihan dan

batuk pilek selama kehamilan disangkal

Ibu pasien tidak mengkonsumsi obat-

obatan lain selain vitamin, tidak merokok,

dan minum-minuman beralkohol.

Kesan : kontrol kehamilan rutin, kelanian selama kehamilan tidak ada.

Riwayat Kelahiran :

Kelahiran Tempat kelahiran Di Bidan

Cara persalinan Spontan

Masa gestasi Cukup bulan, 38 minggu

Ketuban Pada saat pasien dibawa ke bidan belum ada

cairan ketuban yang merembes, ibu tidak tahu

air ketuban berwarna apa

Keadaan bayi Berat lahir 2700 gr

Panjang lahir lupa

Langsung menangis spontan

Nilai APGAR tidak tahu

Kelainan bawaan tidak ada

Kesan: Bayi lahir spontan, neonatus cukup bulan, sesuai masa kehamilan

4

Page 5: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Riwayat imunisasi :

IMUNISASI DASAR ULANGAN

BCG 2 bulan

Hepatitis B 0, 1, 6 bulan

DPT / POLIO 0, 2, 4 dan 6 bulan 18 bulan

Campak Tidak dilakukan

Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap berdasarkan rekomendasi PPI ( Program

Pengembangan Imunisasi)

Riwayat makanan :

UMUR ASI /

PASI

BUAH / BISKUIT BUBUR NESTLE NASI TIM

0–1 Minggu ASI

(sesuai

kemauan)

1 minggu –

6 bulan

PASI

(sesuai

kemauan)

6 – 8 bulan PASI

(sesuai

kemauan)

Buah pisang

dikerik ( 1 kali 1

buah pisang

sehari)

Bubur nestle (3

kali 1 mangkuk

bayi sehari)

8 – 10 bulan PASI

(sesuai

kemauan)

Buah pisang

dikerik (2 kali 1

buah pisang

sehari)

Nasi tim saring (3

kali 1 mangkuk

bayi sehari)

10 -12 bulan PASI

(sesuai

kemauan)

Buah pisang

dikerik (2 kali 1

buah pisang

sehari)

Nasi tim

ditambah

dengan sayuran

( 3 kali 1

mangkuk bayi

sehari)

Kesan : Kuantitas baik, kualitas makanan kurang, makanan pokok diberikan 3 kali sehari.

5

Page 6: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

UMUR DIATAS 1 TAHUN

MAKANAN BIASA FREKUENSI

Nasi Nasi tiga kali sehari, sebanyak 1 piring

kecil, terkadang tidak dihabiskan

Sayur Tiga kali sehari, memilih-milih sayuran

yang dikonsumsi.

Daging Satu kali sehari (selang-seling)

Telur Satu kali sehari (selang-seling)

Ikan Satu kali sehari (selang-seling)

Tahu Dua kali sehari (selang-seling)

Tempe Dua kali sehari (selang-seling)

Susu Formula Tiga kali sehari, 1 botol susu

Kesan : Kuantitas kurang, kualitas makanan kurang, makanan pokok diberikan 3 kali sehari.

Riwayat Perkembangan :

Berdasarkan Denver Development Screening Test II. ( Terlampir )

Kesan : pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan anak usia 22 bulan.

1.4. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan dilakukan di Bougenvile Bawah tanggal 25 Maret 2015 jam 14.20

WIB

Kesan Umum : Tampak sesak, rewel, gizi cukup, compos mentis, pasien

tampak sakit berat, kulit tidak tampak kebiruan.

Tanda Vital :

Nadi : 176 x/menit, kuat angkat, reguler, isi cukup

RR : 56 x/ menit

Suhu : 37,8oC

Saturasi O2 : 93% dengan menggunakan nasal kanul 1 liter permenit

6

Page 7: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Status Antropometri :

BB : 10 kg PB : 82cm

- BB/U : -2 < Z score < 0

- TB/U : -2 < Z score < 0

- BB/TB : -1 < Z score < 0

- Kesan gizi menurut WHO: Gizi baik (kurva terlampir)

Kepala : Lingkar Kepala=48cm, Normocephal. Ubun-ubun sudah menutup.

Rambut : Hitam, distribusi rambut merata, tidak mudah dicabut.

Mata : Conjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, refleks pupil +/+, isokor Ø

2mm/2mm. Palpebra cekung (-/-)

Telinga : Bentuk normal, simetris, lubang lapang, serumen -/-

Hidung : Bentuk normal, tidak ada septum deviasi, sekret (+/+) putih kental,

darah (-/-), pernapasan cuping hidung (+)

Tenggorokan : Mukosa bibir basah, coated tongue (-), faring hiperemis, Tonsil T1-

T1

Leher : Simetris, tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada deviasi

trakhea, tidak teraba pembesaran KGB cervical.

Thorak : bentuk dada simetris, retraksi suprasternal (+), pergerakan dada statis

dan dinamis.

- Pulmo

• I : Normochest, dinding dada simetris

• P : fremitus taktil kanan = kiri

• P : Sonor di kedua lapang paru

• A : Vesikuler (+/+) normal, ronkhi basah halus (+/+), wheezing (-/-)

- Cor

• I : Tidak tampak ictus cordis

• P : Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba

• P :

o Batas kanan atas : linea para sternalis dekstra ICS II

o Batas kiri atas : linea para sternalis sinistra ICS II

o Batas kanan bawah : linea parasternalis dekstra ICS IV

7

Page 8: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

o Batas kiri bawah : linea midclavicularis sinistra ICS IV

• A : bunyi jantung I tunggal, bunyi jantung II split tidak konstan, Gallop -/-,

Murmur -/-

Kesan : tidak ada kardiomegali, bising -

Abdomen : I : Datar

A : Bising usus (+) normal ( 4 kali dalam 1 menit)

P : Dinding perut supel, turgor kulit baik

P : Timpani

Hepar : Tidak teraba pembesaran

Lien : Tidak teraba pembesaran

Ginjal : Ballotement -/-

Ekstremitas : Akral hangat (+), capilary refill <2detik, sianosis (-), motorik aktif,

kekuatan normal.

Kulit : ruam (-), lebam (-), sianosis (-), turgor kembali cepat

Genitalia : Perempuan, eritema (-)

Status Neurologis :

- Nervus cranialis : parese (-), tidak ditemukan kelainan

- Rangsang meningeal : kaku kuduk (-), brudzinski I (-), brudzinski II (-).

- Refleks fisiologis :biceps (++/++), patella (++/++)

- Refleks patologis : babinski (-/-), oppenheim (-/-), chaddok (-/-)

1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan darah pada tanggal 25 Maret 2015

PemeriksaanHasil

25-3-2015Nilai Rujukan

Hematologi

Hematologi Rutin

Hemoglobin 12,9 11,5-13,5 g/dl

Leukosit

Hitung Jenis :

Netrofil

Limfosit

Monosit

15,63

78

16,5

5,1

5-14,5 ribu/mm3

17-60%

20-70%

1-11%

8

Page 9: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Eosinofil

Basofil

0,1

0,3

1-5%

0-1%

Eritrosit 5,35 3,87-5,39 juta/uL

Hematokrit 38 34-40 %

Trombosit 369 150-440 ribu/mm3

MCV 70,7 75-87 fL

MCH 24,1 24-30 pg

MCHC 34,1 31-37 %

RDW-CV 14,4 11,5-14,5 %

Kesimpulan : terdapat lekositosis, dan peningkatan netrofil (shift to the left) .

PemeriksaanHasil

25-3-2015Nilai Rujukan

Analisa Gas Darah

PH 7,361 7,34-7,44

PCO2

PO2

HCO3

TCO2

Base Excess

Std HCO3

Saturasi O2

30,9 mmHg (↓)

77,3 mmHg (↓)

17,3 mmol/L (↓)

18,2 mmol/L (↓)

-7,1

18,7 mmol/L (↓)

95,1%

35-45 mmHg

85-95 mmHg

22- 26 mmol/L

23-27 mmol/L

-2.5 - 2.5

22-26 mmol/L

96- 97 %

Glukosa darah sewaktu 96 mg/dL < 180 mg/dL

Elektrolit

Natrium 140 mmol/L 135-145 mmol/L

Kalium 4,6 mmol/L 3,5-5,5 mmol/L

Klorida 102,0 mmol/L 98-109 mmol/L

Hasil analisa gas darah didapatkan adanya asidosis metabolik terkompensasi. Glukosa darah

sewaktu dan elektrolit dalam batas normal.

9

Page 10: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Foto rontgent thoraks AP :

Pemeriksaan radiographi thorax proyeksi PA, dengan hasil sebagai berikut :

Inspirasi kurang optimal,

Jantung kesan tidak membesar,

Aorta dan mediastinum superior tidak melebar,

Trachea ditengah. Hilus kanan-kiri tidak menebal.

Ground glass opacity di kedua paru.

Lengkung hemidiafragma kanan-kiri licin. Sinus kostofrenikus kanan-kiri lancip.

Tulang-tulang intak.

Kesan : cor dalam batas normal

Pneumonia

1.5. RESUME

Pasien seorang perempuan usia 1 tahun 10 bulan, datang dengan keluhan sesak

napas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan batuk. Batuk

dirasakan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk disertai dengan riak, namun

riak sulit keluar. Pilek (+) lendir bening, kental. Napas berbunyi grok-grok. Pasien

menjadi semakin lemas dan tidak mamu makan, namun pasien masih mau untuk

minum. Frekuensi buang air kecil pada pasien dirasakan brkurang, namun jika pasien

10

Page 11: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

menangis masih mengeluarkan air mata. Ayah pasien memiliki keuhan batuk dengan

pilek beberapa hari sebelum pasien sakit.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis. Nadi takikardia

176 x/menit, RR : takipneu 56 x/menit, suhu 37,8 derajat Celcius dan saturasi O2 : 93

%. Pada hidung didapatkan adanya secret kental bening, napas cuping hidung (+),

faring hiperemis, dan pada pemeriksaan dada didapatkan adanya retraksi suprasternal,

suara napas dasar vesikuler normal dan terdapat rhonki basah halus (+/+).

Dari pemeriksaan laboratorium saat awal masuk dilakukan pemeriksaan darah

rutin dan didapatkan hasil lekositosis , hal ini mengindikasikan adanya infeksi pada

tubuh pasien dan juga terdapat peningkatan netrofil yang mengindikasikan infeksi

oleh organisme bakteri.

1.6. DIAGNOSA KERJA

Pneumonia

1.7. DIAGNOSA BANDING

Bronkiolitis

Asma

1.8. PENATALAKSANAAN

1. Tatalaksana di bangsal/ruang rawat :

a. Oksigen 1-2 liter/ menit

b. Diet : Makanan lunak 100 kkal/kgBB/hari

= 1000 kkal

Cara pemberian :

o Makan pagi = 25 % energi total = 25/100 x 1000 = 250 kkal

o Snack = 10 % energi total = 10/100 x 1000 = 100 kkal

o Makan siang = 30 % energi total = 30/100 x 1000 = 300 kkal

o Snack = 10 % energi total = 10/100 x 1000 = 100 kkal

o Makan malam = 25 % energi total = 25/100x1000= 250 kkal

11

Page 12: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Menu makanan pokok adalah nasi tim/ bubur, lauk pauk, dan sayuran

disertakan dengan satu potong buah. Makanan pokok diberikan 3 kali sehari

dan diselingi oleh pemberian snack.

c. IVFD KaEN 3B 14 tpm makro,

Kebutuhan cairan rumatan anak dengan BB 10 kg = 100 ml/ kgBB adalah :

= {(100 x 10)

= (1000) x 20 / (24 x 60) = 13,8 ~ 14 tpm makro

d. Ampicilin : 100 mg/kgBB/hari setiap 6 jam

100x10 = 1000 / 4

4x 250 mg IV

e. Chloramphenicol : 75 mg/kgBB/hari diberikan setiap 6 jam

75 x 10 = 750 /4 = 187,5 ~ 200

4 x 200 mg IV

f. Inhalasi ventolin 1 resp + NaCl 0,9% 3 cc setiap 6 jam

g. Parasetamol 10-15 mg/kgBB/x jika perlu

= 100-150 mg/kgBB

= 120 mg

= Paracetamol syrup : 120 mg / 5 ml → 4 x 1 cth (jika perlu)

h. Salbutamol 0,05 mg-0,1 mg/kgBB/x diberikan setiap 6 jam + ambroxol 0,5

mg/kgBB/x

= Salbutamol 0,5 mg + ambroxol 5 mg -> puyer 4 x1

Sediaan ambroxol tablet : 30 mg

12

Page 13: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pneumonia

Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak

di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas

anak berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak

diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia,

sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional

(SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh

penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia.1

Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas

pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut adalah: pneumonia

yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi,

tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens

kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi

industri atau asap rokok). 1

Definisi

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar

disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain

(aspirasi, radiasi dll). Pada pneumonia yang disebabkan oleh kuman, menjadi pertanyaan

penting adalah penyebab dari Pneumonia (virus atau bakteri). Pneumonia seringkali

dipercaya diawali oleh infeksi virus yang kemudian mengalami komplikasi infeksi bakteri.

Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakterial dengan pneumonia viral.

Demikian pula pemeriksaan radiologis dan laboratorium tidak menunjukkan perbedaan nyata.

Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial awitannya cepat,

batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada pemeriksaan

radiologis. 1

13

Page 14: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Pola bakteri penyebab pneumonia biasanya berubah sesuai dengan distribusi umur

pasien. Namun secara umum bakteri yang berperan penting dalam pneumonia adalah

Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, streptokokus

grup B, serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma. Walaupun pneumonia viral dapat

ditatalaksana tanpa antibiotik, tapi umumnya sebagian besar pasien diberi antibiotik karena

infeksi bakteri sekunder tidak dapat disingkirkan. 1

Di negara berkembang, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh bakteri.

Bakteri yang sering menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae,

Haemophilus influenzae, dan Staphylococcus aureus. Pneumonia yang disebabkan oleh

bakteri-bakteri ini umumnya responsif terhadap pengobatan dengan antibiotik beta-laktam. Di

lain pihak, terdapat pneumonia yang tidak responsif dengan antibiotik beta-laktam dan

dikenal sebagai pneumonia atipik. Pneumonia atipik terutama disebabkan oleh Mycoplasma

pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae. 1

Klasifikasi

Klasifikasi pneumonia berdasarkan WHO : 2,3

a. Pneumonia berat

Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut ini :

- Kepala terangguk-angguk

- Pernapasan cuping hidung

- Tarikan dinding dada bagian bawah kedalam

- Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia.

Selain itu didapatkan pula tanda berikut ini :

- Napas cepat :

o Anak umur < 2 bulan : > 60 kali permenit

o Anak umur 2-11 bulan : > 50 kali permenit

o Anak umur 1-5 tahun : > 40 kali permenit

o Anak umur > 5 tahun : > 30 kali permenit

- Suara merintih (grunting)

- Pada auskultasi tersengar :

o Crackles (ronki)

o Suara pernapasan menurun

o Suara pernapasan bronkial

14

Page 15: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai :

- Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya

- Kejang, letargis atau tidak sadar

- Sianosis dan distress pernapasan berat

Pneumonia ringan :

- bila tidak ada sesak napas

- ada napas cepat dengan laju napas:

>50 x/menit untuk anak usia 2 bulan–1 tahun

>40 x/menit untuk anak >1–5 tahun

- tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral.

Berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk pneumonia, yaitu: 1)

pneumonia-masyarakat (community-acquired pneumonia), bila infeksinya terjadi di

masyarakat, dan 2) pneumonia-RS atau pneumonia nosokomial (hospital-acquired

pneumonia), bila infeksinya didapat di RS. Selain berbeda dalam lokasi tempat terjadinya

infeksi, kedua bentuk pneumonia ini juga berbeda dalam spektrum etiologi, gambaran klinis,

penyakit dasar atau penyakit penyerta, dan prognosisnya. Pneumonia yang didapat di RS

sering merupakan infeksi sekunder pada berbagai penyakit dasar yang sudah ada, sehingga

spektrum etiologinya berbeda dengan infeksi yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu,

gejala klinis, derajat beratnya penyakit, dan komplikasi yang timbul lebih kompleks.

Pneumonia yang didapat di RS memerlukan penanganan khusus sesuai dengan penyakit

dasarnya. Menurut anatomis pneumonia pada anak dibedakan menjadi pneumonia lobaris

dan pneumonia lobularis (bronchopneumonia) dan pneumonia interstitialis.1,2

Broncopneumonia ditandai dengan demam, batuk dan sesak napas disertai dengan

adanya bercak infiltrat menyeluruh pada gambaran rontgent thoraks. Sedangkan pada

pneumonia lobaris, gejala yang didapatkan serupa namun pada pemeriksaan rontgent thoraks

didapatkan gambaran konsolidasi pada lobus tertentu. 1,2

Etiologi 1

Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan

kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi

pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil berbeda

dengan anak yang lebih besar. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi

15

Page 16: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Streptococcus group B dan bakteri Gram negatif seperti E. colli, Pseudomonas sp, atau

Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh

infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus

aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga

ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae. 1

Di negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus, di samping

bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virkki dkk. melakukan penelitian pada pneumonia

anak dan menemukan etiologi virus saja sebanyak 32%, campuran bakteri dan virus 30%, dan

bakteri saja 22%. Virus yang terbanyak ditemukan adalah Respiratory Syncytial Virus

(RSV), Rhinovirus, dan virus Parainfluenza. Bakteri yang terbanyak adalah Streptococcus

pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Mycoplasma pneumoniae. Kelompok anak

berusia 2 tahun ke atas mempunyai etiologi infeksi bakteri yang lebih banyak daripada anak

berusia di bawah 2 tahun. 1,3

Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia yang bersumber

dari data di negara maju dapat dilihat pada Tabel 1. Spektrum etiologi tersebut tentu saja

tidak dapat begitu saja diekstrapolasikan pada Indonesia atau negara berkembang lainnya,

oleh karena faktor risiko pneumonia yang tidak sama. Di negara maju, pelayanan kesehatan

dan akses ke pelayanan kesehatan sangat baik. Vaksinasi dengan vaksin konyugat Hib dan

vaksin konyugat Pneumokokus telah mempunyai cakupan yang luas. Selain menurunkan

morbiditas dan mortalitas, hal-hal tersebut juga mengubah spektrum etiologi pneumonia pada

anak. 1,3

Secara klinis, umumnya pneumonia bakteri sulit dibedakan dengan pneumonia virus.

Demikian juga dengan pemeriksaan radiologis dan laboratorium, biasanya tidak dapat

menentukan etiologi. 1,2,3

Tabel 1. Etiologi Pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara maju1

Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang

Lahir-20 hari Bakteri Bakteri

E. colli Bakteri anaerob

Streptococcus group B Streptococcus group D

Listeria moonocytogenes Haemophillus influenza

Streptococcus pneumonia

Ureaplasma urealyticum

Virus

16

Page 17: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Virus Sitomegalo

Virus Herpes Simpleks

Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang

3 minggu-3 bulan Bakteri Bakteri

Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis

Streptococcus pneumonia Haemophillus influenzae tipe

B

Virus Moraxella catharalis

Virus Adeno Staphylococcus aureus

Virus Influenza Ureaplasma urealyticum

Virus Parainflueza 1,2,3 Virus

Respiratory Syncytial virus Virus Sitomegalo

Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang

4 bulan-5 tahun Bakteri Bakteri

Chlamydia pneumonia Haemophillus influenzae tipe

B

Mycoplasma pneumonia Moraxella catharalis

Streptococcus pneumonia Neisseria meningitides

Virus Staphylococcus aureus

Virus Adeno Virus

Virus Influenza Virus Varisela-Zoster

Virus Parainfluenza

Virus Rino

Respiratory Syncytial virus

Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang

5 tahun-remaja Bakteri Bakteri

Chlamydia pneumonia Haemophillus influenza

Mycoplasma pneumonia Legionella sp

17

Page 18: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Streptococcus pneumonia Staphylococcus aureus

Virus

Virus Adeno

Virus Epstein-Barr

Virus Influenza

Virus Parainfluenza

Virus Rino

Respiratory Syncytial virus

Virus Varisela-Zoster

Sumber: Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respirologi Anak. Badan Penerbit IDAI.

Jakarta:Cetakan Kedua;350-3651

Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong perjalanan penyakit,

sehingga stadium khas yang telah diuraikan sebelumnya tidak terjadi. Beberapa bakteri

tertentu sering menimbulkan gambaran patologis tertentu bila dibandingkan dengan bakteri

lain. Infeksi Streptococcus pneumoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak

konsolidasi merata di seluruh lapangan paru (bronkopneumonia), dan pada anak besar atau

remaja dapat berupa konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumotokel atau

abses-abses kecil sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada neonatus atau bayi

kecil, karena Staphylococcus aureus menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti

hemolisin, lekosidin, stafilokinase, dan koagulase. Toksin dan enzim ini menyebabkan

nekrosis, perdarahan, dan kavitasi. Koagulase berinteraksi dengan faktor plasma dan

menghasilkan bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin, sehingga terjadi

eksudat fibrinopurulen. Terdapat korelasi antara produksi koagulase dan virulensi kuman.

Staphylococcus yang tidak menghasilkan koagulase jarang menimbulkan penyakit yang

serius. Pneumotokel dapat menetap hingga berbulan-bulan, tetapi biasanya tidak memerlukan

terapi lebih lanjut. 1,2

Patologi dan patogenesis

Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran

respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang mempermudah proliferasi

dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami

konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya

kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin

18

Page 19: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis

yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag

meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris

menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru

yang tidak terkena akan tetap normal. 1

Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :4

1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung

pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah

dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan

mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan

cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.

Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama

dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan

peningkatan permeabilitas kapiler paru.

Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium

sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan

cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh

oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2. Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat

dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi

peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan

leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan

seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga

anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48

jam.

19

Page 20: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Gambar 1. tampak alveolus terisi sel darah merah dan sel sel inflamasi (netrofil)

3. Stadium III (3 – 8 hari)

Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi

daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh

daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di

alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,

warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

Gambar 2. tampak alveolus terisi dengan eksudat dan netrofil

4. Stadium IV (7 – 11 hari)

Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan

mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga

jaringan kembali ke strukturnya semula.

20

Page 21: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Manifestasi klinis

Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga

sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam

kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan di RS.1

Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah

imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang

kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik

invasif, etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis. Disamping itu,

kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan karakteristik

penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia.1

Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-ringannya

infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut: Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit

kepala, gelisah, malaise, penurunan napsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual,

muntah atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner. 1

Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas

cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis. 1,2,3

Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara

napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda

pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru

umumnya tidak ditemukan kelainan. 1,2,3

Pneumonia pada Neonatus dan bayi kecil 1,2,5

Pneumonia pada neonatus sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu-anak yang

berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi terjadi akibat kontaminasi dengan sumber

infeksi dari ibu, misalnya melalui aspirasi mekonium, cairan amnion, atau dari serviks ibu.

Infeksi dapat berasal dari kontaminasi dengan sumber infeksi dari RS (hospital-acquired

pneumonia), misalnya dari perawat, dokter, atau pasien lain; atau dari alat kedokteran,

misalnya penggunaan ventilator. Di samping itu, infeksi dapat terjadi akibat kontaminasi

dengan sumber infeksi dari masyarakat (community-acquired pneumonia).

Spektrum etiologi pneumonia neonatus meliputi Streptococcus group B, Chlamydia

trachomatis, dan bakteri Gram negatif seperti bakteri E. colli, Pseudomonas, atau Klebsiela;

disamping bakteri utama penyebab pneumonia yaitu Streptococcus pneumoniae,

Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylloccus aureus. Oleh karena itu, pengobatannya

meliputi antibiotik yang sensitif terhadap semua kelompok bakteri tersebut, misalnya

21

Page 22: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

kombinasi antibiotik beta-laktam dan amikasin, kecuali bila dicurigai adanya infeksi

Chlamydia trachomatis yang tidak responsif terhadap antibotik beta-laktam.

Penularan transplasenta juga terjadi dengan mikroorganisme Toksoplasma, Rubela,

virus Sitomegalo, dan virus Herpes simpleks (TORCH), Varisela-Zoster, dan Listeria

monocytogenes. Selain itu, RSV, virus Adeno, virus Parainfluenza, virus Rino, dan virus

Entero dapat juga menimbulkan pneumonia. Suatu penelitian melaporkan bahwa 25% infeksi

virus Adeno pada bayi terjadi bersamaan dengan infeksi RSV dan virus Parainfluenza, dan

67% bersamaan dengan infeksi bakteri Haemophillus influenzae, Streptococcus pneumoniae,

atau Chlamydia trachomatis. Prognosis infeksi virus Adeno pada neonatus sangat buruk

karena sering terjadi sepsis.

Gambaran klinis pneumonia pada neonatus dan bayi kecil tidak khas, mencakup

serangan apnea, sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah, tidak mau

minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta, dan demam. Pada bayi BBLR sering

terjadi hipotermi. Gambaran klinis tersebut sulit dibedakan dengan sepsis atau meningitis.

Sepsis pada pneumonia neonatus dan bayi kecil sering ditemukan sebelum 48 jam pertama.

Angka mortalitas sangat tinggi di negara maju, yaitu dilaporkan 20–50%. Angka kematian di

Indonesia dan di negara berkembang lainnya diduga lebih tinggi. Oleh karena itu, setiap

kemungkinan adanya pneumonia pada neonatus dan bayi kecil berusia di bawah 2 bulan

harus segera dirawat di RS.

Infeksi oleh Chlamydia trachomatis merupakan infeksi perinatal dan dapat

menyebabkan pneumonia pada bayi berusia dibawah 2 bulan. Umumnya bayi mendapat

infeksi dari ibu pada masa persalinan. Port d‘ entrée infeksi meliputi mata, nasofaring,

saluran respiratori, dan vagina. Gejala baru timbul pada usia 4–12 minggu, pada beberapa

kasus dilaporkan terjadi pada usia 2 minggu, tetapi jarang terjadi setelah usia 4 bulan. Awitan

gejala timbul perlahan-lahan, dan dapat berlangsung selama beberapa hari hingga berminggu-

minggu. Gejala umumnya berupa gejala infeksi respiratori ringan−sedang, ditandai dengan

batuk staccato (inspirasi diantara setiap satu kali batuk), kadang-kadang disertai muntah,

umumnya pasien tidak demam. Pada pasien seperti ini, panduan tatalaksana adalah berobat

jalan dengan terapi makrolid oral dan observasi yang ketat. Lebih kurang 30% dari infeksi

Chlamydia trachomatis berkembang menjadi pneumonia berat, dikenal juga sebagai sindrom

pneumonitis, dan memerlukan perawatan. Gejala klinis meliputi ronki atau mengi, takipnea,

dan sianosis. Gambaran foto rontgen toraks tidak khas, umumnya terlihat tanda-tanda

hiperinflasi bilateral dengan berbagai bentuk infiltrat difus, seperti infiltrat intersisial,

22

Page 23: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

retikulonoduler, atelektasis, bronkopneumonia, dan gambaran milier. Antibiotik pilihan

adalah makrolid intravena.

Pneumonia pada Balita dan anak yang lebih besar1,2,5

Spektrum etiologi pneumonia pada anak meliputi Streptococcus pneumoniae,

Haemophilus influenzae tipe B, Staphylococcus aureus, Mycoplasma pneumoniae,

Chlamydia pneumoniae, di samping berbagai virus respiratori. Pada anak yang lebih besar

dan remaja, Mycoplasma pneumoniae merupakan etiologi pneumonia atipik yang cukup

signifikan.

Keluhan meliputi demam, menggigil, batuk, sakit kepala, anoreksia, dan kadang-

kadang keluhan gastrointestinal seperti muntah dan diare. Secara klinis ditemukan gejala

respiratori seperti takipnea, retraksi subkosta (chest indrawing), napas cuping hidung, ronki,

dan sianosis.

Penyakit ini sering ditemukan bersamaan dengan konjungtivitis, otitis media,

faringitis, dan laringitis. Anak besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang

sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrat

alveoler. Retraksi dan takipnea merupakan tanda klinis pneumonia yang bermakna. Bila

terjadi efusi pleura atau empiema, gerakan ekskursi dada tertinggal di daerah efusi. Gerakan

dada juga akan terganggu bila terdapat nyeri dada akibat iritasi pleura. Bila efusi pleura

bertambah, sesak napas akan semakin bertambah, tetapi nyeri pleura semakin berkurang dan

berubah menjadi nyeri tumpul.

Kadang-kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus kanan bawah

yang menimbulkan iritasi diafragma. Nyeri abdomen dapat menyebar ke kuadran kanan

bawah dan menyerupai apendisitis. Abdomen mengalami distensi akibat dilatasi lambung

yang disebabkan oleh aerofagi atau ileus paralitik. Hati mungkin teraba karena tertekan oleh

diafragma, atau memang membesar karena terjadi gagal jantung kongestif sebagai komplikasi

pneumonia.

Pneumonia atipik1

Istilah pneumonia atipik pertama kali digunakan untuk membedakan dengan

gambaran pneumonia yang lazim dikenal. Mikroorganisme penyebabnya adalah Mycoplasma

pneumoniae, Chlamydia sp, Legionnela pneumofila, dan Ureaplasma urealyticum. Chlamydia

trachomatis sering ditemukan sebagai penyebab infeksi akut respiratori pada bayi melalui

transmisi vertikal dari ibu pada masa persalinan dan merupakan etiologi infeksi perinatal

23

Page 24: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

yang penting. Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab

potensial infeksi respiratori dan pneumonia pada anak, terutama pada anak usia sekolah dan

remaja. Sedangkan Legionella pneumophila dan Ureaplasma urealiticum jarang dilaporkan

menyebabkan infeksi pada anak. Suatu penelitian melaporkan pneumonia mikoplasma pada

anak berusia >5 tahun mencapai 20%, dan bersama dengan Chlamydia pneumoniae

diperkirakan prevalensnya mencapai 40%. Deteksi kedua mikroorganisme ini sulit dilakukan

sehingga dahulu prevalensnya tidak dapat dipastikan. Dengan berkembangnya metode deteksi

seperti microimmunofluorescence (MIF) dan polymerase chain reaction (PCR), akhir-akhir

ini banyak laporan tentang prevalens infeksi Mycoplasma pneumoniae yang dapat dipercaya.

Peningkatan kewaspadaan terhadap Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia

pneumoniae sebagai penyebab potensial pneumonia atipik pada anak disertai dengan

perkembangan metode deteksi yang lebih akurat diharapkan akan menurunkan morbiditas

penyakit. Infeksi Mycoplasma pneumoniae biasanya endemik namun dapat terjadi epidemik

dengan interval 4–7 tahun.

Infeksi oleh Mycoplasma pneumoniae1

Infeksi diperoleh melalui droplet dari kontak dekat, terutama terjadi di asrama atau

keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang besar. Masa inkubasi lebih kurang 3 minggu.

Penularan dalam rumah tangga dapat terjadi dalam jangka waktu berbulan-bulan. Meskipun

umumnya gejala klinis ringan, tetapi kasus berat yang fatal dan mengancam jiwa dapat

terjadi. Gambaran klinis pneumonia atipik didahului dengan gejala menyerupai influenza

(influenza like syndrome) seperti demam, malaise, sakit kepala, mialgia, tenggorokan gatal,

dan batuk. Suhu tubuh jarang mencapai lebih dari 38.5 0C. Kadang-kadang dapat juga

berlanjut menjadi bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia. Batuk terjadi 3–5 hari setelah

awitan penyakit, awalnya tidak produktif tetapi kemudian menjadi produktif. Sputum

mungkin berbercak darah dan batuk dapat menetap hingga berminggu-minggu. Hasil

pemeriksaan auskultasi paru bervariasi. Mengi ditemukan pada 30–40% kasus pneumonia

mikoplasma dan lebih sering ditemukan pada anak yang lebih besar. Oleh karena itu,

diagnosis klinis pneumonia mikoplasma tanpa pemeriksaan radiologis dapat dikacaukan

dengan asma. Sering terjadi underdiagnosis pada infeksi Mycoplasma pneumoniae. Hal ini

dikarenakan uji mikrobiologis tidak dapat dipakai sebagai alat diagnostik, oleh karena itu

tidak dikerjakan secara rutin. Kultur memerlukan waktu 2 minggu dan uji serologis hanya

bermanfaat bila telah terjadi pembentukan antibodi, yaitu ketika penyakit telah sangat

berkembang. Umumnya gejala klinis infeksi Mycoplasma pneumoniae adalah ringan dan

24

Page 25: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

kadang-kadang dapat sembuh sendiri, tetapi kasus berat seperti severe necrotizing

pneumonitis dengan konsolidasi luas pada jaringan paru dan efusi pleura pernah dilaporkan.

Gambaran foto rontgen toraks pneumonia mikoplasma bervariasi, meliputi gambaran infiltrat

intersisial, retikuler, retikulonoduler, bercak konsolidasi, pembesaran kelenjar hilus, dan

kadang-kadang disertai efusi pleura.

Infeksi oleh Chlamydia pneumoniae 1

Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab tersering infeksi respirasi akut atas

seperti faringitis, sinusitis, dan otitis. Akan tetapi, dapat juga menyebabkan bronkitis dan

pneumonia. Gejala klinis awalnya berupa gejala seperti flu, yaitu batuk kering, mialgia, sakit

kepala, malaise, pilek, dan demam yang tidak tinggi. Pada pemeriksaan auskultasi dada tidak

ditemukan kelainan. Gejala respiratori umumnya tidak mencolok. Leukosit darah tepi

biasanya normal. Gambaran foto rontgen toraks menunjukkan infiltrat difus atau gambaran

peribronkial nonfokal yang jauh lebih berat daripada gejala klinis.

Pneumonia Klamidia dapat ditemukan di seluruh dunia, tetapi lebih sering di daerah

tropis, bersifat endemik, dan epidemik dapat terjadi dengan interval 3–4 tahun. Umumnya

perjalanan penyakit dan gejala klinis pneumonia Klamidia sulit dibedakan dengan pneumonia

mikoplasma.

Seperti infeksi virus, infeksi Chlamydia pneumoniae dapat berperan dalam

patogenesis asma. Diduga terdapat hubungan antara infeksi Chlamydia pneumoniae kronis

dengan eksaserbasi asma pada anak. Dari beberapa penelitian ditemukan prevalens yang

tinggi dari infeksi kronis Chlamydia pneumoniae pada kelompok anak dengan asma.

Chlamydia pneumoniae juga dihubungkan dengan penyakit kronis lain, seperti penyakit arteri

koroner, endokarditis, arteritis, sindrom Guillan Barre, dan eritema nodosum. Meskipun

terdapat hubungan kausal yang langsung, patogenesis pasti masih belum jelas.

Peran Makrolid pada Pneumonia atipik1,2,5

Bakteri atipik seperti Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia sp. umumnya tidak

responsif terhadap antibiotik golongan beta-laktam. Hal ini dikarenakan Mycoplasma

pneumoniae tidak mempunyai dinding sel dan Chlamydia spp merupakan bakteri intraselular.

Makrolid merupakan antibiotik pilihan utama pada pneumonia atipik, baik pneumonia pada

anak besar dan remaja yang disebabkan oleh Mycoplasma pneumoniae atau Chlamydia

pneumoniae, maupun pneumonia pada bayi kecil yang disebabkan oleh Chlamydia

trachomatis. Makrolid yang sering dipakai adalah eritromisin atau makrolid-baru seperti

25

Page 26: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

azitromisin, klaritromisin, dan roksitromisin. Eritromisin mempunyai efektivitas klinis yang

baik pada infeksi Mycoplasma pneumoniae, tetapi tidak efektif dalam mengeradikasi

mikroorganisme dari jaringan.

Umumnya makrolid-baru lebih unggul dalam hal bioavailabilitas dan efektivitas

antimikroba serta efek samping yang lebih minimal. Makrolid-baru seperti klaritromisin

menunjukkan efektivitas klinis yang baik, selain itu mampu mengeradikasi mikroorganisme

dari jaringan.

Keunggulan lain dari setiap makrolid-baru bervariasi, misalnya waktu paruh yang

lebih panjang, konsentrasi hambat minimum yang lebih rendah, adanya efek pascaantibiotik,

konsentrasi dalam serum tinggi, penetrasi ke dalam jaringan, sel dan sekret lebih tinggi,

metabolit merupakan zat aktif, dan adanya efek antiinflamasi. Di samping itu, makrolid-baru

mempunyai spektrum antibakteri yang lebih luas, yaitu mencakup bakteri atipik dan bakteri

tipik.

Dosis eritromisin untuk anak berkisar antara 30–50 mg/kgBB/hari, diberikan setiap 6

jam selama 10–14 hari. Klaritromisin dan roksitromisin diberikan dua kali sehari dengan

dosis 15 mg/kgBB untuk klaritromisin dan 5–10 mg/kgBB untuk roksitromisin. Azitromisin

dapat diberikan sekali sehari dengan lama pemberian lebih pendek, yaitu selama 3–5 hari

dengan dosis 10 mg/kgBB pada hari pertama, dilanjutkan dengan dosis 5 mg/kgBB untuk

hari berikutnya.

Pemeriksaan penunjang1

1. Darah perifer lengkap

Pada pneumonia virus dan juga pada pneumonia mikoplasma umumnya ditemukan

leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi, pada pneumonia bakteri

didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000–40.000/mm3 dengan predominan PMN.

Leukopenia (<5.000/mm3) menunjukkan prognosis yang buruk. Leukositosis hebat

(>30.000/mm3) hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri, sering ditemukan pada

keadaan bakteremi, dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada infeksi Chlamydia

pneumoniae kadang-kadang ditemukan eosinofilia. Efusi pleura merupakan cairan eksudat

dengan sel PMN berkisar antara 300–100.000/mm3, protein >2,5 g/dl, dan glukosa relatif

lebih rendah daripada glukosa darah. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan laju endap

darah (LED) yang meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan

LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti.

26

Page 27: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

2. C-Reactive Protein (CRP)

C-reactive protein adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit.

Sebagai respons infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh

sitokin, terutama interleukin (IL)-6, IL-1, dan tumor necrosis factor (TNF). Meskipun fungsi

pastinya belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme

atau sel yang rusak.

Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor

infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan

profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri

superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. C-reactive protein kadang-kadang digunakan

untuk evaluasi respons terapi antibiotik. Suatu penelitian melaporkan bahwa CRP cukup

sensitif tidak hanya untuk diagnosis empiema torasis, tetapi juga untuk memantau respons

pengobatan. Dari 38 kasus empiema yang diselidiki, ternyata sebelum pengobatan semua

kasus mempunyai CRP yang tinggi. Dengan pengobatan antibiotik, kadar CRP turun secara

meyakinkan pada hari pertama pengobatan. Hanya empat pasien yang CRP nya tidak kembali

normal pada saat pulang dari RS. Meskipun demikian, secara umum CRP belum terbukti

secara konklusif dapat membedakan antara infeksi virus dan bakteri.

3. Uji serologis

Uji serologik untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik

mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis infeksi

Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti

antistreptolisin O, streptozim, atau antiDnase B. Peningkatan titer dapat juga berarti adanya

infeksi terdahulu. Untuk konfirmasi diperlukan serum fase akut dan serum fase konvalesen

(paired sera).

Secara umum, uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi

bakteri tipik. Akan tetapi, untuk deteksi infeksi bakteri atipik seperti Mikoplasma dan

Klamidia, serta beberapa virus seperti RSV, Sitomegalo, campak, Parainfluenza 1,2,3,

Influenza A dan B, dan Adeno, peningkatan antibodi IGM dan IgG dapat mengkonfirmasi

diagnosis.

4. Pemeriksaan mikrobiologis

Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan

kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan mikrobiologik,

spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi

pleura, atau aspirasi paru. Diagnosis dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari darah,

27

Page 28: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

cairan pleura, atau aspirasi paru. Kecuali pada masa neonatus, kejadian bakteremia sangat

rendah sehingga kultur darah jarang yang positif. Pada pneumonia anak dilaporkan hanya 10–

30% ditemukan bakteri pada kultur darah. Pada anak besar dan remaja, spesimen untuk

pemeriksaan mikrobiologik dapat berasal dari sputum, baik untuk pewarnaan Gram maupun

untuk kultur. Spesimen yang memenuhi syarat adalah sputum yang mengandung lebih dari 25

leukosit dan kurang dari 40 sel epitel/lapangan pada pemeriksaan mikroskopis dengan

pembesaran kecil. Spesimen dari nasofaring untuk kultur maupun untuk deteksi antigen

bakteri kurang bermanfaat karena tingginya prevalens kolonisasi bakteri di nasofaring.

Kultur darah jarang positif pada infeksi Mikoplasma dan Klamidia, oleh karena itu

tidak rutin dianjurkan. Pemeriksaan PCR memerlukan laboratorium yang canggih; di

samping tidak selalu tersedia, hasil PCR positif pun tidak selalu menunjukkan diagnosis pasti.

5. Pemeriksaan Rontgen toraks

Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, hanya

direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto rontgen toraks pada

pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Kadang-kadang bercak-bercak

sudah ditemukan pada gambaran radiologis sebelum timbul gejala klinis. Akan tetapi,

resolusi infiltrat sering memerlukan waktu yang lebih lama setelah gejala klinis menghilang.

Pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi, ulangan foto rontgen toraks tidak

diperlukan. Ulangan foto rontgen toraks diperlukan bila gejala klinis menetap, penyakit

memburuk, atau untuk tindak lanjut.

Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia di

Instalasi Gawat Darurat hanyalah pemeriksaan rontgen toraks posisi AP. Lynch dkk.

mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada foto rontgen toraks tidak meningkatkan

sensitivitas dan spesifisitas penegakan diagnosis pneumonia pada anak. Foto rontgen toraks

AP dan lateral hanya dilakukan pada pasien dengan tanda dan gejala klinik distres pernapasan

seperti takipnea, batuk, dan ronki, dengan atau tanpa suara napas yang melemah.

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari: Infiltrat interstisial, ditandai dengan

peningkatan corakan bronkovaskular, peribronchial cuffing, dan hiperaerasi.

Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi

dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris, atau terlihat sebagai lesi

tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas, dan

menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia.

28

Page 29: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru, berupa

bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan

peningkatan corakan peribronkial.

Gambaran foto rontgen toraks pneumonia pada anak meliputi infiltrat ringan pada

satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada suatu penelitian ditemukan bahwa

lesi pneumonia pada anak terbanyak berada di paru kanan, terutama di lobus atas. Bila

ditemukan di paru kiri, dan terbanyak di lobus bawah, maka hal itu merupakan prediktor

perjalanan penyakit yang lebih berat dengan risiko terjadinya pleuritis lebih meningkat.

Beberapa faktor teknis radiologis dan faktor noninfeksi dapat menyebabkan gambaran

yang menyerupai pneumonia pada foto rontgen toraks.

Faktor teknis radiologis:

intensitas sinar rendah (underpenetration)

grid pada film tidak merata

kurang inspirasi.

Faktor noninfeksi:

bayangan timus

bayangan payudara

gambaran atelektasis.

Gambaran atelektasis sulit dibedakan dengan gambaran pneumonia pada foto rontgen

toraks. Atelektasis disebabkan oleh berbagai penyebab seperti kompresi ekstrinsik pada

bronkus (malformasi kongenital, limfadenopati, tumor, penyakit kardiovaskular, web, atau

ring) dan obstruksi bronkial intrinsik (benda asing, edema, inflamasi, bronkomalasia atau

stenosis, tumor, dan sumbatan mukus). Di samping itu, penyakit paru noninfeksi dapat juga

menyebabkan atelektasis, misalnya penyakit membran hialin atau edema paru.

Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi

pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat intersisial merata, dan hiperinflasi cenderung

terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar,

bronkopneumonia, dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada

pneumonia Stafilokokus sering ditemukan abses-abses kecil dan pneumatokel dengan

berbagai ukuran.

29

Page 30: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Gambaran foto rontgen toraks pada pneumonia Mikoplasma sangat bervariasi. Pada

beberapa kasus terlihat sangat mirip dengan gambaran foto rontgen toraks pneumonia virus.

Selain itu, dapat juga ditemukan gambaran bronkopneumonia terutama di lobus bawah,

infiltrat intersisial retikulonodular bilateral, dan yang jarang adalah konsolidasi segmen atau

subsegmen. Biasanya lesi foto rontgen toraks lebih berat daripada gambaran klinisnya.

Meskipun tidak terdapat gambaran foto rotgen toraks yang khas, tetapi bila terdapat

gambaran retikulonodular fokal pada satu lobus, hal ini cenderung disebabkan oleh infeksi

Mikoplasma. Demikian pula bila terlihat gambaran perkabutan atau ground-glass

consolidation, serta transient pseudoconsolidation karena infiltrat intersisial yang konfluens,

patut dipertimbangkan adanya infeksi Mikoplasma. Gambaran radiologis pneumonia

Klamidia sulit dibedakan dengan pneumonia Mikoplasma.

Meskipun terdapat beberapa pola yang memberikan kecenderungan, secara umum

gambaran foto rontgen toraks tidak dapat membedakan secara pasti anatar pneumonia virus,

bakteri, Mikoplasma, atau campuran mikroorganisme tersebut.

1. Pemeriksaan analisa gas darah6

Keseimbangan asam-basa sebenarnya mengacu kepada pengaturan ketat konsentrasi ion

hidrogen (H+) bebas didalam cairan tubuh. PH darah arteri dalam keadaan normal adalah 7,45

dan PH darah vena adalah 7,35, untuk PH darah rata-rata adalah 7,4. PH darah vena sedikit

lebih rendah daripada PH darah arteri karena adanya H+ yang dihasilkan oleh H2CO3 dari

CO2 yang diserap dikapiler jaringan. Asidosis terjadi apabila PH darah turun dibawah 7,35

sementara alkalosis terjadi jika PH darah lebih dari 7,45.

Pasangan penyangga H2CO3 : HCO3- adalah sistem penyangga asam-basa terpenting pada

cairan ekstra seluler untuk menyangga perubahan PH akibat berbagai salah satunya fluktuasi

H2CO3 yang dihasilkan oleh CO2 melalui reaksi : H+ + HCO3- ↔ H2CO3 ↔ CO2 + H2O .

Asidosis respiratorik terjadi akibat peningkatan [CO2], Alkalosis respiratorik terjadi

akibat penurunan [CO2], Asidosis metabolik berkaitan dengan penurunan [HCO3-] , Alkalosis

metabolik berkaitan dengan peningkatan [HCO3-] .

Diagnosis 1,5

Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau serologis

merupakan dasar terapi yang optimal. Akan tetapi, penemuan bakteri penyebab tidak selalu

mudah karena memerlukan laboratorium penunjang yang memadai. Oleh karena itu,

pneumonia pada anak umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang menunjukkan

keterlibatan sistem respiratori, serta gambaran radiologis. Prediktor paling kuat adanya

30

Page 31: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut:

takipnea, batuk, napas cuping hidung, retraksi, ronki, dan suara napas melemah.

Akibat tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita, maka dalam

upaya penanggulangannya, WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan tatalaksana yang

sederhana. Pedoman ini terutama ditujukan untuk Pelayanan Kesehatan Primer, dan sebagai

pendidikan kesehatan untuk masyarakat di negara berkembang. Tujuannya ialah

menyederhanakan kriteria diagnosis berdasarkan gejala klinis yang dapat langsung dideteksi;

menetapkan klasifikasi penyakit, dan menentukan dasar pemakaian antibiotik. Gejala klinis

sederhana tersebut meliputi napas cepat, sesak napas, dan berbagai tanda bahaya agar anak

segera dirujuk ke pelayanan kesehatan. Napas cepat dinilai dengan menghitung frekuensi

napas selama satu menit penuh ketika bayi dalam keadaan tenang. Sesak napas dinilai dengan

melihat adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam ketika menarik napas (retraksi

epigastrium). Tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan–5 tahun adalah tidak dapat minum,

kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk; tanda bahaya untuk bayi berusia di

bawah 2 bulan adalah malas minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi, dan

demam/badan terasa dingin.

Kriteria rawat inap

Bayi :

- Saturasi oksigen < 92%, sianosis

- Frekuensi napas > 60 x/menit

- Distress pernapasan, apnea intermiten, atau grunting

- Tidak mau minum atau menetek

- Keluarga tidak bisa merawat di rumah

Anak :

- Saturasi oksigen < 92%, sianosis

- Frekuensi napas >50 x / menit

- Distress pernapasan

- Grunting

- Terdapat tanda dehidrasi

- Keluarga tidak bisa merawat di rumah

31

Page 32: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Tatalaksana

Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan

terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan, tidak

mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama

mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis

pneumonia harus dirawat inap.

Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik

yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena,

terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam-basa, elektrolit, dan gula

darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik. Suplementasi vitamin A

tidak terbukti efektif. Penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan adekuat, komplikasi

yang mungkin terjadi harus dipantau dan diatasi.1,2,5,7

Pasien dengan saturasi oksigen < 92% pada saat bernapas dengan udara kamar harus

diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup untuk mempertahankan

saturasi oksigen > 92%.

- Pada pneumonia berat atau asupan peroral kurang, diberikan cairan intravena dan

dilakukan balans cairan ketat.

- Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan pasien dan

mengontrol batuk

- Nebulasi dengan ᵝ2 agonis dan/ atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki

mucocilliary clearance

Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan.

Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga

disebabkan oleh bakteri. 1,2,5,7

Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapat dilakukan karena tidak

tersedianya uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu, antibiotik dipilih berdasarkan

pengalaman empiris. Umumnya pemilihan antibiotik empiris didasarkan pada kemungkinan

etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta faktor

epidemiologis.

Pemberian antibiotik, berdasarkan epidemiologi agen penyebab terbanyak, dapat

dimulai dari amoksisilin pada anak <5 tahun karena efektif, dapat ditoleransi dan moral.

Alternatif meliputi co-amoxiclav, eritromisin, klaritromisin dan azitromisin. Pada anak >5

tahun, pneumonia lebih sering disebabkan oleh M.pneumoniae sehingga makrolida lebih

32

Page 33: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

sering diberikan sebagai terapi empiric. Antibiotik intravena diindikasikan pada pasien

dengan gangguan asupan oral, misalnya akibat muntah, atau pada kasus pneumonia berat.

Pilihan antibiotik antara lain ampisilin dan kloramfenikol, seftriakson, sefotaksim. 1,2,5,7

Tabel 2. Dosis terapi antibiotik

Rekomendasi UUK Repirologi mengenai antibiotik pada pneumonia komunitas:1

Pada neonatus hingga bayi <2 bulan: ampisilin dan gentamisin

Pada bayi >2 bulan: ampisilin, bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan dapat

ditambahkan kloramfenikol. Lini kedua dapat menggunakan seftriakson.

Antibiotik parenteral diberikan sampai 48-72 jam setelah panas turun dan dilanjutkan

dengan pemberian oral sampai 4-5 hari bebas demam. Pasien dapat dipulangkan bila gejala

dan tanda pneumonia sudah hilang, asupan per oral adekuat, pemberian antibiotik dapat

dilanjutkan per oral, keluarga mengerti dan dapat melakukan pemberian terapi dan rencana

control, serta kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan.1

Pneumonia rawat jalan1,2,5,7

Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara oral,

misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat jalan, dapat

diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang mencapai 90%. Penelitian

multisenter di Pakistan menemukan bahwa pada pneumonia rawat jalan, pemberian

amoksisilin dan kotrimoksazol dua kali sehari mempunyai efektifitas yang sama. Dosis

33

Page 34: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

amoksisilin yang diberikan adalah 25-50 mg/kgBB/x diberikan setiap 6 jam, sedangkan

kotrimoksazol adalah 4 mg/kgBB TMP−20 mg/kgBB sulfametoksazol).

Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru, dapat digunakan sebagai terapi

alternatif beta-laktam untuk pengobatan inisial pneumonia, dengan pertimbangan adanya

aktivitas ganda terhadap S. pneumoniae dan bakteri atipik.

Pneumonia rawat inap

Pilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan antibiotik golongan beta-laktam

atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap beta-laktam dan

kloramfenikol, dapat diberikan antibiotik lain seperti gentamisin, amikasin, atau sefalosporin,

sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan. Terapi antibiotik diteruskan selama 7−10

hari pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi, meskipun tidak ada studi kontrol

mengenai lama terapi antibiotik yang optimal. 1,2,5,7

Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai sesegera

mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan meningitis,

antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti kombinasi beta-

laktam/klavulanat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila keadaan

sudah stabil, antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral selama 10 hari. 1,2,5,7

Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan adalah

antibiotik beta-laktam dengan/atau tanpa klavulanat; pada kasus yang lebih berat diberikan

beta-laktam/klavulanat dikombinasikan dengan makrolid baru intravena, atau sefalosporin

generasi ketiga. Bila pasien sudah tidak demam atau keadaan sudah stabil, antibiotik diganti

dengan antibiotik oral dan berobat jalan. 1,2,5,7

Pada pneumonia rawat inap, berbagai RS di Indonesia memberikan antibiotik beta-

laktam, ampisilin, atau amoksisilin, dikombinasikan dengan kloramfenikol. Feyzullah dkk.

melaporkan hasil perbandingan pemberian antibiotik pada anak dengan pneumonia berat

berusia 2–24 bulan. Antibiotik yang dibandingkan adalah gabungan penisilin G intravena

(25.000 U/kgBB setiap 4 jam) dan kloramfenikol (15 mg/kgBB setiap 6 jam), dan seftriakson

intravena (50 mg/kgBB setiap 12 jam). Keduanya diberikan selama 10 hari, dan ternyata

memiliki efektifitas yang sama. 1,5

Kriteria pulang 5

- Gejala dan tanda pneumonia hilang

- Asupan peroral adekuat

34

Page 35: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

- Pemberian antibiotic dapat diteruskan di rumah

- Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana control

- Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah.

Komplikasi 1,2,5,7

Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis purulenta,

pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Empiema torasis

merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia bakteri.

Ilten F dkk. melaporkan mengenai komplikasi miokarditis (tekanan sistolik ventrikel

kanan meningkat, kreatinin kinase meningkat, dan gagal jantung) yang cukup tinggi pada seri

pneumonia anak berusia 2–24 bulan. Oleh karena miokarditis merupakan keadaan yang fatal,

maka dianjurkan untuk melakukan deteksi dengan teknik noninvasif seperti EKG,

ekokardiografi, dan pemeriksaan enzim.

2.2 Bronkiolitis

Definisi 1

Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respirasi akut-bawah yang ditandai dengan

adanya inflamasi pada bronkiolus. Umumnya, infeksi tersebut disebabkan oleh virus. Secara

klinis ditandai dengan episode pertama wheezing pada bayi yang didahului dengan gejala

infeksi respirasi akut.1

Etiologi

Sekitar 95% dari kasus-kasus tersebut secara serologis terbukti disebabkan oleh invasi

RSV. Orenstein menyebutkan pula beberapa penyebab lain seperti Adenovirus, virus

Influenza, virus Parainfluenza, Rhinovirus, dan mikoplasma, tetapi belum ada bukti kuat

bahwa bronkiolitis disebabkan oleh bakteri.1

Epidemiologi

Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratori tersering pada bayi. Paling sering

terjadi pada usia 2–24 bulan, puncaknya pada usia 2–8 bulan. Sembilan puluh lima persen

kasus terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun dan 75% di antaranya terjadi pada anak

berusia di bawah 1 tahun. Orenstein menyatakan bahwa bronkiolitis paling sering terjadi pada

35

Page 36: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

bayi laki-laki berusia 3–6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, dan hidup di lingkungan padat

penduduk. Selain Orenstein, Louden menyatakan bahwa bronkiolitis terjadi 1,25 kali lebih

banyak pada anak laki-laki daripada anak perempuan. 1,5

Rerata insidens perawatan setahun pada anak berusia di bawah 1 tahun adalah 21,7

per 1000, dan semakin menurun seiring dengan pertambahan usia, yaitu 6,8 per 1000 pada

usia 1–2 tahun. 1

Kenaikan jumlah perawatan karena bronkiolitis dipengaruhi oleh berbagai faktor,

yaitu perubahan kriteria perawatan anak dengan IRA, kebiasaan pengasuhan dengan lebih

banyak anak yang dititipkan di tempat penitipan anak (TPA), dan faktor virus sendiri yaitu

perubahan virulensi strain RSV. Selain itu, terdapat juga faktor perubahan kriteria diagnostik

terutama mikrobiologis dan panduan terapi, serta turunnya mortalitas bayi prematur dan bayi

dengan kelainan bawaan kompleks yang merupakan risiko tinggi perawatan karena RSV.1,5

Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di negara-negara berkembang daripada

di negara-negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya status gizi dan ekonomi,

kurangnya tunjangan medis, serta kepadatan penduduk di negara berkembang. Angka

mortalitas di negara berkembang pada anak-anak yang dirawat adalah 1–3%. 1

Patofisiologi

Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respons inflamasi akut,

ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mukus, timbunan debris

selular/sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan infiltrasi limfosit peribronkial

dan edema submukosa. Karena tahanan aliran udara berbanding terbalik dengan diameter

penampang saluran respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa akan memberikan

hambatan aliran udara yang besar, terutama pada bayi yang memiliki penampang saluran

respiratori kecil. Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi,

tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka akan menyebabkan

air trapping dan hiperinflasi. Atelektasis dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi total dan

udara yang terjebak diabsorbsi. 1

Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru. Penurunan

kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (ventilation-

perfusion mismatching), yang berikutnya akan menyebabkan terjadinya hipoksemia dan

kemudian terjadi hipoksia jaringan. Retensi karbondioksia (hiperkapnea) tidak selalu terjadi,

kecuali pada beberapa penderita. Semakin tinggi laju respiratori, maka semakin rendah

tekanan oksigen arteri. Kerja pernapasan (work of breathing) akan meningkat selama end-

36

Page 37: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

expiratory lung volume meningkat dan compliance paru menurun. Hiperkapnea biasanya

baru terjadi bila respirasi mencapai 60 x/menit. 1

Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3–4 hari, tetapi silia akan diganti setelah dua

minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag. 1

Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan

laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Anamnesis

Gejala awal berupa gejala infeksi respiratori-atas akibat virus, seperti pilek ringan,

batuk, dan demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertai dengan sesak

napas. Selanjutnya dapat ditemukan wheezing, sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi,

muntah setelah batuk, rewel, dan penurunan napsu makan. 1,5

Pemeriksaan Fisis

Pemeriksaan fisis pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah adanya

takipnea, takikardi, dan peningkatan suhu di atas 38,5 °C. Selain itu, dapat juga ditemukan

konjungtivitis ringan dan faringitis. 1,5

Obstruksi saluran respiratori-bawah akibat respons inflamasi akut akan menimbulkan

gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha pernapasan yang dilakukan anak

untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan napas cuping hidung dan retraksi interkostal.

Selain itu, dapat juga ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat

terjadi, dan bila gejala menghebat, dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia <6

minggu. 1,5

Pemeriksaan Laboratorium dan Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah rutin kurang bermakna karena jumlah leukosit biasanya normal,

demikian pula dengan elektrolit. Analisis gas darah (AGD) diperlukan untuk anak dengan

sakit berat, khususnya yang membutuhkan ventilator mekanik.

Pada foto rontgen toraks didapatkan gambaran hiperinflasi dan infiltrat (patchy

infiltrates), tetapi gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada asma, pneumonia

viral atau atipikal, dan aspirasi. Dapat pula ditemukan gambaran atelektasis, terutama pada

37

Page 38: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

saat konvalesens akibat sekret pekat bercampur sel-sel mati yang menyumbat, air trapping,

diafragma datar, dan peningkatan diameter antero-posterior. Untuk menemukan RSV

dilakukan kultur virus, rapid antigen detection tests (direct immunofluoresence assay dan

enzyme-linked immunosorbent assays, ELISA) atau polymerase chain reaction (PCR), dan

pengukuran titer antibodi pada fase akut dan konvalesens.1

Dalam penegakan diagnosis bronkiolitis, perlu memperhatikan manifestasi klinis yang

dapat menyerupai penyakit lain. Diagnosis banding sebaiknya dipikirkan, misalnya asma,

bronkitis, gagal jantung kongestif, dan edema paru, yang memiliki gambaran klinis

menyerupai bronkiolitis. Selain itu, pneumonia dengan berbagai sebab (aspirasi, virus,

bakteri, dan mikoplasma) juga dapat memberikan gambaran klinis dan pemeriksaan

penunjang yang menyerupai bronkiolitis. Oleh karena itu, untuk menentukan diagnosis

bronkiolitis pada anak, penting untuk memperhatikan epidemiologi, rentang usia terjadinya

kasus, dan musim-musim tertentu dalam satu tahun. 1

Tatalaksana

Bronkiolitis pada umumnya tidak memerlukan pengobatan. Pasien bronkiolitis

dengan klinis ringan dapat rawat jalan, jika klinis berat harus rawat inap.1,5,7

Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu pemberian

oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena dan kecukupan cairan, penyesuaian

suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan nutrisi.

Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, anti-inflamasi seperti kortikosteroid, antiviral

seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV, RSV immunoglobuline (polyclonal),

atau humanized RSV monoclonal antibody (Palivizumab). Namun menurut penelitian,

pemberian antiviral, antibiotik, inhalasi ᵝ2 agonis, inhalasi antikolinergik (ipratropium) dan

inhalasi kortikosteroid tidak direkomendasikan. 1,5

Bronkodilator1

Wohl dan Chernick menyatakan bahwa penyebab obstruksi saluran respiratori adalah

inflamasi dan penyempitan akibat edema mukosa dan sumbatan mukosa, serta kolapsnya

saluran respiratori kecil pada bayi dengan bronkiolitis.

Kelebihan epinefrin dibandingkan dengan bronkodilator -adrenergik selektif adalah:

1. Kerja konstriktor -adrenergik yang merupakan dekongestan mukosa, membatasi

absorbsinya dan mengatur aliran darah pulmoner, dengan sedikit efek pada

ventilation-perfusion matching.

38

Page 39: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

2. Relaksasi otot bronkus karena efek -adrenergik.

3. Kerja -adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi.

4. Efek fisiologik antihistamin yang melawan efek histamin seperti edema.

5. Mengurangi sekresi kataral.

Efek epinefrin terhadap denyut jantung

Penelitian membandingkan antara nebulisasi epinefrin dengan normal salina

didapatkan dalam bentuk 1% epinefrin tartrat dengan sodium metabisulfit dan vehikulum

sebanyak 4 ml, diberikan tiga kali dengan interval 4 jam selama 24 jam pertama

dibandingkan dengan normal salin. Tidak ada perbedaan bermakna pada laju respiratori,

tekanan darah, atau usaha napas sebelum maupun setelah perlakuan. Akan tetapi, epinefrin

menyebabkan kenaikan yang secara statisitik tidak bermakna pada laju pernapasan yaitu

sebesar 2 x/menit, dan kenaikan tekanan darah sebesar 5 mmHg baik sistolik maupun

diastolik, dan tampak usaha napas lebih rendah.

Efek pemberian terapi β-agonis

Beta-agonis masih sering digunakan dengan alasan 15–25% pasien bronkiolitis

nantinya akan menjadi asma. Inhalasi 2-agonis diberikan satu kali sebagai trial dose. Karena

efek akan tampak dalam 1 jam, maka dosis ulangan hanya diberikan bila pasien menunjukkan

perbaikan klinis fungsi paru yang jelas dan menetap.

Kortikosteroid1

Kortikosteroid yang digunakan adalah prednison, prednisolon, metilprednison,

hidrokortison, dan deksametason. Untuk penyamaan dilakukan konversi rata-rata dosis per

hari serta rata-rata total paparan obat tersebut dalam equivalen mg/kgBB prednison. Rata-rata

dosis per hari berkisar antara 0,6−6,3 mg/kgBB, dan rata-rata total paparan antara 3,0−18,9

mg/kgBB. Cara pemberian adalah secara oral, intramuskular, dan intravena. Tidak ada efek

merugikan yang dilaporkan.

Dari pemikiran bahwa bronkiolitis terjadi pada anak dengan kecenderungan asma

maka kortikosteroid lebih efektif pada anak dengan predisposisi asma dari pada dengan anak

yang tidak. Karena faktor predisposisi tersebut tidak dapat diidentifikasi sebelumnya, maka

penggunaan kortikosteroid harus dipertimbangkan dengan bijaksana pada bayi yang dirawat

dengan bronkiolitis

Ribavirin

Guerguerian meneliti efektifitas klinis ribavirin pada bayi yang sebelumnya sehat

kemudian menggunakan ventilator karena distress respirasi akibat bronkiolitis RSV.

Digunakan ribavirin aerosol 20mg/ml dibandingkan dengan plasebo yaitu NaCl 0,9%

39

Page 40: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

diberikan 18 jam per hari selama maksimum 7 hari atau sampai ekstubasi. Hasilnya

menunjukan aerosol ditoleransi dengan baik dan tidak dilaporkan adanya kematian namun

analisis keluaran menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pada kedua kelompok

perlakuan pada lamanya penggunaan ventilator, terapi aerosol, lama perawatan di unit

intensif, total terapi oksigen, dan lama perawatan di rumah sakit. Penelitian ini menunjukan

tidak efektifnya ribavirin aerosol untuk mengurangi lamanya penggunaan ventilator dan

perjalanan penyakit pada bayi yang menderita bronkiolitis RSV. Dilaporkan adanya plugging

karena sisa ribavirin di pipa endotrakeal dan ventilation circuit. Meert tahun 1994 juga

menyatakan bahwa ribavirin tidak mengurangi lamanya ventilasi mekanik. 1,5

Sebaliknya, Edell yang meneliti secara prospektif pada bayi dengan bronkiolitis RSV

berat sebelum 5 hari dari gejala awal segera diberi ribavirin dosis tinggi jangka pendek:

60mg/ml selama 2 jam, diberikan 3 kali sampai total 6g/100ml tiap 24 jam selama 3 hari

dibandingkan dengan terapi konservatif. Pemberian terapi konservatif berupa O2 untuk

mempertahankan saturasi O2 transkutan > 92%, cairan intravena, nebulisasi 2,5 mg albuterol

tiap 3–4 jam, methylprednisolone 1 mg/kg berat badan/kali intravena tiap 12 jam selama 3

hari dan ranitidin oral 3 mg/kg per kali tiap 12 jam. Pada pengamatan 1 tahun kemudian

kelompok ribavirin mempunyai lebih sedikit episode penyakit saluran respiratori reaktif

(2,7±2,3 dibanding 6,2±4,2 episode per pasien/tahun), berat penyakit saluran respiratori

reaktif berkurang (0,08 dibanding 1,09 penyakit sedang sampai berat per pasien/tahun ),dan

perawatan oleh karena penyakit saluran respiratori berkurang (25 hari perawatan dibanding

90/100 pasien/tahun). Edell menyimpulkan pemberian ribavirin dini kurang dari 5 hari akan

mengurangi insidens dan beratnya penyakit saluran respiratori reaktif maupun perawatan di

rumah sakit, sehingga akan mengurangi biaya. Efek yang menguntungkan ini mungkin juga

efek sinergistik pemberian ribavirin sedini mungkin ditambah pengobatan lain yang

berpotensi mengurangi reaktivitas saluran respiratori. 1,5

Kriteria pulang pada bronkiolitis adalah bila tidak diperlukan pemberian oksigen

selama 10 jam terakhir (ditandai dengan saturasi oksigen menetap di atas 93% atau stabil

selama 4 jam), retraksi dada minimal, mampu makan/minum, dan perbaikan tanda klinis yang

lain. 1,5

Prognosis 1,5

Sekitar 40–50% bayi yang dirawat dengan bronkiolitis karena RSV akan menderita

mengi di kemudian hari. Peran virus respiratori pada mengi dijelaskan dengan kesamaan

respons inflamasi yang ditunjukkan pada serangan asma dan infeksi virus. Infeksi RSV

40

Page 41: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

dihubungkan dengan respons sel T, yang terutama ditandai dengan produksi sitokin oleh sel

Th tipe 2; hal yang juga terjadi pada asma. Keadaan ini ditandai dengan penggunaan sel T

dan eosinofil, serta pelepasan mediator yang larut (histamin, kinin, dan leukotrien lain). Pada

anak dengan bronkiolitis, mengi yang lebih sering dan berat berhubungan dengan

peningkatan kadar antibodi IgE terhadap RSV dan virus Parainfluenza, menunjukkan

antibodi yang dirangsang virus meningkatkan pelepasan mediator inflamasi. RSV juga dapat

mempengaruhi mengi dengan cara mengubah jalur saraf yang menyebabkan responsifnya

saluran respiratori.

Tidak dapat dibuktikan secara jelas bahwa bronkiolitis terjadi pada anak dengan

kecenderungan asma, tetapi bila bayi yang terkena bronkiolitis dihubungkan dengan asma,

keberhasilan pengobatan dengan kortikosteroid mungkin dapat mengurangi prevalens asma

pada anak dari kelompok pengobatan.

2.3 Asma

Definisi

Menurut Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) 2004, asma adalah mengi berulang

dan/atau batuk persisten (menetap) dengan karakteristik sebagai berikut:

timbul secara episodik,

cenderung pada malam/dini hari (nokturnal),

musiman,

setelah aktivitas fisik,

ada riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya. 1,7

Sedangkan menurut GINA ( Global Initiative for Asthma ) Asma didefinisikan sebagai

gangguan inflamasi kronik saluran respiratorik dengan banyak sel yang berperan, khususnya

sel mast, eosinofil, dan limfosit T. 7

Secara khas, sebagian besar serangan berlangsung singkat selama beberapa menit hingga

beberapa jam setelah itu, pasien tampak mengalami kesembuhan klinik yang total. Namun

demikian, ada suatu fase ketika pasien mengalami obstruksi jalan napas dengan derajat

tertentu setiap harinya. Fase ini dapat ringan dengan atau tanpa disertai episode yang berat

atau yang lebih serius lagi, dengan obstruksi hebat yang berlangsung selama berhari-hari atau

berminggu-minggu. Keadaan semacam ini dikenal sebagai status asmatikus. Pada beberapa

keadaan yang jarang ditemui, serangan asma yang akut dapat berakhir dengan kematian. 7

41

Page 42: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Patogenesis Asma

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan,

terutama sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, sel epitel. Faktor lingkungan dan

berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada

penderita asma. Selama 30 tahun terakhir, konsep inflamasi kronis sebagai hal yang berperan

penting pada patogenesis asma, telah dibuktikan dengan penelitian-penelitian. GINA (Global

Initiative for Asma) dengan jelas menggambarkan konsep inflamasi pada asma merupakan

suatu proses inflamasi kronis yang khas, melibatkan dinding saluran respiratorik, dan

menyebabkan terbatasnya aliran udara serta meningkatnya reaktivitas saluran respiratori.

Dalam proses ini terjadi hal-hal sebagai berikut :

1. Inflamasi akut

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain virus, iritan,

alergen yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.

Reaksi asma tipe cepat dan spasmogenik

Jika ada pencetus terjadi peningkatan tahanan saluran napas yang cepat dalam 10–15

menit. Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi

degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan performed mediator

seperti histamin protease dan newly generated mediator seperti leukotrien,

prostaglandin dan platelet activating factor yang menyebabkan kontraksi otot polos,

sekresi mukus dan vasodilatasi. Reaksi tersebut dapat hilang segera, baik secara

spontan maupun dengan bronkodilator seperti simpatomimetik. Perubahan ini dapat

dicegah dengan pemberian kromoglikat atau antagonis H1 dan H2 sebelumnya.

Keadaan ini tidak dipengaruhi oleh pemberian kortikosteroid beberapa saat

sebelumnya. Tetapi pemberian kortikosteroid untuk beberapa hari sebelumnya dapat

mencegah reaksi ini.

Reaksi fase lambat dan lama

Reaksi ini timbul antara 6–9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan

pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel CD4+, netrofil dan makrofag. Patogenesis

reaksi yang tergantung pada IgE, biasanya berhubungan dengan pengumpulan netrofil

4–8 jam setelah rangsangan. Reaksi lamabat ini mungkin juga berhubungan dengan

reaktivasi sel mast. Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan mungkin juga

mempunyai peranan pada reaksi lambat karena mediator ini menyebabkan kontraksi

otot polos bronkus yang lama dan edema submukosa. Reaksi lambat dapat dihambat

oleh pemberian kromiglikat, kortikosteroid, dan ketotifen sebelumnya. 1,2,7

42

Page 43: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

2. Inflamasi kronik

Asma yang berlanjut yang tidak dobati atau kurang terkontrol berhubungan dengan

inflamasi di dalam dan disekitar bronkus. Berbagai sel terlibat dan teraktivasi, seperti

limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblas dan otot polos bronkus. Pada

otopsi ditemukan infiltrasi bronkus oleh eosinofil dan sel mononuklear. Sering ditemukan

sumbatan bronkus oleh mukus yang lengket dan kental. Sumbatan bronkus oleh mukus

ini bahkan dapat terlihat sampai alveoli. Infiltrasi eosinofil dan sel-sel mononuklear

terjadi akibat factor kemotaktik dari sel mast seperti ECF-A dan LTB4. Mediator PAF

yang dihasilkan oleh sel mast, basofil dan makrofag yang dapat menyebabkan hipertrofi

otot polos dan kerusakan mukosa bronkus serta menyebabkan bronkokonstriksi yang

lebih kuat. Kortikosteroid biasanya memberikan hasil yang baik. Diduga, ketotifen dapat

juga mencegah fase ketiga ini. 1,2,7

Airway remodeling

Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling.

Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya

seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstitial, fibrogenic

growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.

Perubahan struktur yang terjadi :

1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas.

2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus

3. Penebalan membran retikular basal

4. Pembuluh darah meningkat

5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat

6. Perubahan struktur parenkim

7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

Airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat

inflamasi yang terus menerus. Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan

gejala dan tanda asma seperti hiperreaktivitas jalan napas, masalah distenbilitas/regangan

jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling

bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses

tersebut. 7

43

Page 44: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Diagnosis

Mengi berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menuju

diagnosis. Termasuk yang perlu dipertimbangkan kemungkinan asma adalah anak-anak yang

hanya menunjukkan batuk sebagai satu-satunya tanda, dan pada saat diperiksa tanda-tanda

mengi, sesak, dan lain-lain sedang tidak timbul. Kelompok anak yang patut diduga asma

adalah anak-anak yang menunjukkan batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik,

cenderung pada malam / dini hari (nokturnal / morning dip), musiman, setelah aktivitas fisik,

serta adanya riwayat asma dan atopi pada pasien atau keluarganya. Untuk anak yang sudah

besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana

dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus

dengan histamin, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin, atau dengan

salin hipertonis, sangat menunjang diagnosis. Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung

diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya:

• Variabilitas pada PFR atau FEV1 >15%.

• Kenaikan >15% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.

• Penurunan >15% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.

Variabilitas adalah peningkatan dan penurunan hasil PFR dalam satu hari. Penilaian

yang baik dapat dilakukan jika pemeriksaannya berlangsung >2 minggu. Jika gejala dan

tanda asmanya jelas, serta respons terhadap pengobatan baik sekali maka tidak perlu

pemeriksaan diagnostik lebih lanjut. Bila respons terhadap obat asma tidak baik maka perlu

dinilai dahulu apakah dosisnya sudah adekuat, cara dan waktu pemberiannya sudah benar,

serta ketaatan pasien baik, sebelum melanjutkan pengobatan dengan obat yang lebih poten.

Bila semua aspek tersebut sudah baik dan benar maka perlu dipikirkan kemungkinan bukan

asma.

Pasien dengan batuk produktif, infeksi saluran napas berulang, gejala respiratorik

sejak masa neonatus, muntah dan tersedak, gagal tumbuh, atau kelainan fokal paru, perlu pe-

meriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah foto Rontgen paru, uji

fungsi paru, dan uji provokasi.

Selain itu mungkin juga perlu diperiksa foto Rontgen sinus paranaslis, uji keringat, uji

imunologis, uji defisiensi imun, pemeriksaan refluks, uji mukosilier, bahkan sampai

bronkoskopi.

Di Indonesia, tuberkulosis masih merupakan penyakit yang banyak dijumpai dan

salah satu gejalanya adalah batuk kronik berulang. Oleh karena itu uji tuberkulin perlu

44

Page 45: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

dilakukan baik pada kelompok yang patut diduga asma maupun yang bukan. Dengan cara itu

maka penyakit tuberkulosis yang mungkin bersamaan dengan asma akan terdiagnosis dan

diterapi.

Pemeriksaan Fisik9

Hasil yang didapat tergantung stadium serangan serta lamanya serangan serta jenis

asmanya. Pada asma yang ringan dan sedang tidak di temukan kelainan fisik di luar serangan.

Pada inpeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, disertai batuk-batuk paroksismal,

kadang-kadang terdapat suara ‘wheezing’ (mengi), ekspirium memanjang, pada inspirasi

terlihat retraksi daerah supraklavikular, suprasternal, epigastrium dan sela iga. Pada asma

kronik terlihat betuk toraks emfisematus, bongkok ke depan, sela iga melebar, diameter

anteroposterior toraks bertambah. Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks, terutama

bagian bawah posterior. Daerah pekak jantung dan hati mengecil.

Pada auskultasi mula-mula bunyi nafas kasar/mengeras, tapi pada stadium lanjut suara

nafas melemah atau hamper tidak terdengar karena aliran udara sangat lemah. Dalam keadaan

normal fase ekspirasi 1/3 – 1/2 dari fase inspirasi, Pada waktu serangan waktu ekspirasi

memanjang. Terdengar juga ronki kering dan ronki basah serta suara lendir bila banyak

sekresi bronkus.

Tinggi dan berat badan perlu diperhatikan dan bila mungkin juga hubungannya dengan

tinggi badan kedua orang tua. Asma sendiri merupakan penyakit yang dapat menghambat

perkembangan anak. Gangguan pertumbuhan biasanya terdapat pada asma yang sangat berat.

Anak perlu diukur tinggi dan berat badannya pada tiap kali kunjungan, karena perbaikan

akibat pengobatan sering dapat dinilai dari perbaikan pertumbuhannya. Bentuk toraks perlu

diperhatikan untuk melihat adanya dada burung atau sulkus Harrison sebagai tanda obstruksi

jalan nafas yang lama. Tanda ini hanyaditemukan pada asma yang berta dan menahun dengan

pengolahan asma yang tidak adekuat sebelumnya.

Klasifikasi Klinis

GINA membagi klasifikasi klinis asma menjadi 4, yaitu Asma intermiten, Asma

persisten ringan, Asma persisten sedang, dan Asma persisten berat. Dasar pembagiannya

adalah gambaran klinis, faal paru, dan obat yang dibutuhkan untuk mengendalikan penyakit.

Dalam klasifikasi GINA dipersyaratkan adanya nilai PEF atau FEV1 untuk penilaiannya.

Pembagian asma menurut GINA adalah sebagai berikut :

45

Page 46: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Tabel 3. klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis1

Derajat

asma

Gejala Gejala

malam

Faal paru

Intermitten Bulanan

Gejala < 1x/minggu

Tanpa gejala diluar serangan

Serangan singkat

≤ 2x/bulan APE ≥ 80%

VEP1 ≥ 80% nilai

prediksi APE ≥ 80%

nilai terbaik

Variabilitas APE <

20%

Persisten

ringan

Mingguan

Gejala > 1x/minggu tetapi <

1x/hari

Serangan dpt mengganggu

aktivitas dan tidur

> 2x/bulan APE > 80%

VEP1 ≥ 80% nilai

prediksi APE ≥ 80%

nilai terbaik

Variabilitas APE 20-

30%

Persisten

sedang

Harian

Gejala setiap hari

Serangan mengganggu

aktivitas dan tidur

membutuhkan bronkodilator

setiap hari

>

1x/minggu

APE 60-80%

VEP1 60-80% nilai

prediksi APE 60-80%

nilai terbaik

Variabilitas APE >

30%

Persisten

berat

Kontinua

Gejala terus menerus

Sering kambuh

Aktivitas fisik terbatas

Sering APE ≤ 60%

VEp1 ≤ 60% nilai

prediksi ≤ 60% nilai

terbaik

Variabilitas APE >

30%

Konsensus Internasional III juga membagi asma anak berdasarkan keadaan klinis dan

kebutuhan obat menjadi 3 yaitu , asma episodik jarang (asma ringan) yang meliputi 75%

populasi anak asma, asma episodik sering (asma sedang) meliputi 20% populasi, dan asma

persisten (asma berat) meliputi 5% populasi.

46

Page 47: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Tabel 4. Klasifikasi asma1

Tanda dan Gejala pada Asma1,7,9

Gejala asma terdiri dari trias asma : dispnea, batuk dan mengi. Pada bentuk yang

paling khas, asma merupakan penyakit episodik dan keseluruhan tiga gejala tersebut dapat

timbul bersama-sama. Berhentinya episode asma kerapkali ditandai dengan batuk yang

menghasilkan lendir atu mukus yang lengket seperti benang yang liat.

Pada serangan asma ringan:

Anak tampak sesak saat berjalan.

Pada bayi: menangis keras.

Posisi anak: bisa berbaring.

Dapat berbicara dengan kalimat.

Kesadaran: mungkin irritable.

Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).

Mengi sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi.

Biasanya tidak menggunakan otot bantu pernafasan.

Retraksi interkostal dan dangkal.

Frekuensi nafas: cepat (takipnea).

Frekuensi nadi: normal.

Tidak ada pulsus paradoksus (< 10 mmHg)

SaO2 % > 95%.

47

Page 48: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

PaO2 normal, biasanya tidak perlu diperiksa.

PaCO2 < 45 mmHg

  Pada serangan asma sedang:

Anak tampak sesak saat berbicara.

Pada bayi: menangis pendek dan lemah, sulit menyusu/makan.

Posisi anak: lebih suka duduk.

Dapat berbicara dengan kalimat yang terpenggal/terputus.

Kesadaran: biasanya irritable.

Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).

Mengi nyaring, sepanjang ekspirasi ± inspirasi.

Biasanya menggunakan otot bantu pernafasan.

Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya sedang.

Frekuensi nafas: cepat (takipnea).

Frekuensi nadi: cepat (takikardi).

Ada pulsus paradoksus (10-20 mmHg)

SaO2 % sebesar 91-95%.

PaO2 > 60 mmHg.

PaCO2 < 45 mmHg

Pada serangan asma berat tanpa disertai ancaman henti nafas:

Anak tampak sesak saat beristirahat.

Pada bayi: tidak mau minum/makan.

Posisi anak: duduk bertopang lengan.

Dapat berbicara dengan kata-kata.

Kesadaran: biasanya irritable.

Terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).

Mengi sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop sepanjang ekspirasi dan inspirasi.

Menggunakan otot bantu pernafasan.

Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya dalam, ditambah nafas cuping hidung.

Frekuensi nafas: cepat (takipnea).

Frekuensi nadi: cepat (takikardi).

48

Page 49: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Ada pulsus paradoksus (> 20 mmHg)

SaO2 % sebesar < 90 %.

PaO2 < 60 mmHg.

PaCO2 > 45 mmHg

 Pada serangan asma berat disertai ancaman henti nafas:

Kesadaran: kebingungan.

Nyata terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).

Mengi sulit atau tidak terdengar.

Penggunaan otot bantu pernafasan: terdapat gerakan paradoks torakoabdominal.

Retraksi dangkal/hilang.

Frekuensi nafas: lambat (bradipnea).

Frekuensi nadi: lambat (bradikardi).

Tidak ada pulsus paradoksus; tanda kelelahan otot nafas.

Tujuan Tatalaksana

Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya

potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci tujuan yang ingin dicapai

adalah:

• Pasien dapat menjalani aktivitas normal seorang anak, termasuk bermain dan

berolahraga.

• Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.

• Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.

• Uji fungsi paru normal, tidak ada variasi diurnal yang mencolok pada PEF.

• Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga hari, dan

tidak ada serangan.

• Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul,

terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.

Tatalaksana

Pengobatan Asma

49

Page 50: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Pasien asma dapat berada dalam keadaan tenang, tetapi dapat juga dalam keadaan

serangan. Serangan asma dapat ringan, sedang dan berat. Bahkan dapat jatuh dalam keadaan

status asmatikus, yakni serangan asma yang berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obat

biasa yang dapat mengatasi serangan tersebut.

Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas,

terdiri dari pengontrol dan pelega.

1. Pengontrol (controller)

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan

setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma

persisten. Pengontrol sering disebut pencegah. Yang termasuk obat pengontrol :

Kortikosteroid inhalasi

Kortikosteroid sistemik

Sodium kromoglikat

Nedokromil sodium

Metilsantin

Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi

Agonis beta-2 kerja lama, oral

Leukotrien modifier

2. Pelega (reliever)

Prinsipnya adalah untuk mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,

memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut,

seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas.

Termasuk pelega adalah :

Agonis beta-2 kerja singkat

Kortikosteroid sistemik (steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila

penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,

penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).

Antikolinergik

Aminofilin

Adrenalin

50

Page 51: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara, yaitu inhalasi, oral dan

parenteral (subkutan, intramuskular dan intravena). Kelebihan pemberian medikasi langsung

ke jalan napas adalah :

1. Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas

2. Efek sistemik minimal atau dihindarkan

3. Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorbsi pada

pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah cepat

bila diberikan secara inhalasi daripada oral.

Serangan asma dan penanggulangannya

o Serangan asma yang ringan biasanya cukup diobati dengan obat bronkodilator oral

atau aerosol, bahkan ada yang demikian ringannya hingga tidak memerlukan

pengobatan.

o Serangan asma yang sedang dan akut perlu pengobatan dengan obat yang kerjanya

cepat, misalnya bronkodilator aerosol atau bronkodilator subkutan seperti adrenalin.

o Pada serangan ringan akut tidak diperlukan kortikosteroid tetapi pada serangan ringan

kronik atau serangan sedang mungkin diperlukan tambahan kortikosteroid dan

bronkodilator. Pada serangan sedang oksigen sudah perlu diberikan 1–2 liter/menit.

o Pada serangan asma yang berat bila gagal dengan bronkdilator aerosol atau subkutan

dan kortikosteroid perlu teofilin intravena, oksigen dan koreksi keseimbangan cairan,

asam-basa dan elektrolit. Bila upaya-upaya tersebut gagal atau diduga akan gagal,

keadaan jiwa anak mungkin terancam, berarti anak tersebut sudah masuk dalam

keadaan status asmatikus. 1,3,7

Bronkodilator simpatomimetik seperti juga bronkodilator lainnya, disamping dipakai

untuk mengobati asma juga dapat digunakan untuk mencegah asma. Dianjurkan

dipakai golongan beta-2 selektif. Sebaiknya digunakan dalam bentuk aerosol

(inhalasi) karena dapat bekerja secara cepat.

Kortikosteroid masih merupakan salah satu obat yang penting dalam mencegah asma

dan hendaklah dipertimbangkan bila hasil dengan bronkodilator optimal tidak

memadai. Prednison 1-2 mg/kgBB perhari dengan pemberian 1-2 minggu biasanya

tidak memberikan efek samping.

Tabel 5. Daftar obat yang dipakai untuk asma pada anak9

Nama Obat Nama Dagang Dosis

51

Page 52: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Obat simpatomimetik :

Salbutamol Ventolin Oral : 0,05-0,1 mg/kgBB tiap

6 jam

Larutan respirator : 0,02-0,03

ml/kgBB tiap 4 – 6 jam

Terbutaline Bricasma Oral : 0,075 mg/kgBB tiap 6

jam

Subkutan : 0,005 mg/kgBB

Larutan respirator : 0,02-0,03

ml/kgBB tiap 4-6 jam

Methylxanthine :

Aminophyline Dosis awal (bolus) 6-8

mg/kgBB dalam 20 menit

Dosis rumatan 0,5-1

mg/kgBB/jam

Steroid :

Budesonid Pulmicort Aerosol : 2-4 semprotan

(100-200 mikrogram) 3-4

kali sehari

Beclomethasone Aldecin Aerosol : 2-4 semprotan

(100-200 mikrogram) 3-4

kali sehari

Puyer kering 100-200 mg 3-

4kali sehari

Edukasi terhadap pasien dan keluarga

Yang paling penting pada penatalaksanaan asma yaitu edukasi pada pasien dan orang

tuanya mengenai penyakit, pilihan pengobatan, identifikasi dan penghindaran alergen,

pengertian tentang kegunaan obat yang dipakai, ketaatan dan pemantauan, dan yang paling

utama adalah menguasai cara penggunaan obat hirup dengan benar. Edukasi sebaiknya

diberikan secara individual secaa bertahap. Pada awal konsultasi perlu dijelaskan diagnosis

dan informasi sederhana tentang macam pengobatan, alasan pemilihan obat, cara

menghindari pencetus bila sudah dapat diidentifikasi macamnya. Kemudian perlu

52

Page 53: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

diperagakan penggunaan alat inhalasi yang diikuti dengan anak diberi kesempatan mencoba

sampai dapat menggunakan dengan teknik yang benar. Berikut beberapa hal yang mendasar

tentang edukasi asma yang dapat diberikan pada pasien dan keluarganya:

- Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang sering kambuh

- Kekambuhan dapat dicegah dengan obat anti inflamasi dan mengurangi paparan

terhadap faktor pencetus

- Ada dua macam obat yaitu reliever dan controller

- Pemantauan mandiri gejala dan PEF dapat membantu penderita dan keluarganya

mengenali kekambuhan dan segera mengambil tindakan guna mencegah asma

menjadi lebih berat.

1. Mengevaluasi klasifikasi/keparahan asma Kriteria asma terkontrol

- Tidak ada gejala asma atau minimal

- Tidak ada gejala asma malam

- Tidak ada keterbatasan aktivitas

- Nilai APE/VEP1 normal

- Penggunaan obat pelega napas minimal

- Tidak ada kunjungan ke UGD

2. Menghindari pajanan terhadap faktor risiko

Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peran yang cukup.

Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya

rangsangan terhadap salur an respiratorik yang berakibat terjadi bronkokonstriksi, edema

mukosa, dan hipersekresi. Penghindaran terhadap pencetus diharapkan dapat mengurangi

rangsangan terhadap saluran respiratorik.

Tatalaksana asma jangka panjang

Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya

potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci tujuan yang ingin dicapai

adalah :

1. Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan berolahraga.

2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.

3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.

4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok.

53

Page 54: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.

6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul,

terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.

Asma Episodik Jarang

Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda (reliever) seperti β2-agonis

dan teofilin. Penggunaan β2-agonis untuk meredakan serangan asma biasanya digunakan

dalam bentuk inhalasi. Namun, pemakaian obat inhalasi/hirupan (Metered Dose Inhaler atau

Dry Powder Inhaler) cukup sulit untuk anak usia kurang dari 5 tahun dan biasanya hanya

diberikan pada anak yang sudah mulai besar (usia 1x/bulan atau pengobatan yang diberikan

sudah adekuat dalam waktu 4-6 minggu, namun tidak menunjukkan respon yang baik maka

tatalaksananya berpindah ke asma episodik sering.

Asma Episodik Sering

Jika penggunaan β2-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa menghitung

penggunaan praaktivitas fisis) atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam

sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai pengendali sudah terindikasi. 1,3 Tahap

pertama obat pengendali pada asma episodic sering adalah pemberian steroid hirupan dosis

rendah. Obat steroid hirupan yang sudah sering digunakan pada anak adalah budesonid,

sehingga digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan 100-

200 ug/hari budesonid (50-100 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun,

dan 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12

tahun. Dalam penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200 ug/hari, atau

setara flutikason 50-100 ug belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka panjang.

Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat pengendali berupa anti-

inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi. Oleh karena itu penilaian

efek terapi dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu waktu yang diperlukan untuk mengendalikan

inflamasinya. Jika setelah pengobatan selama 6-8 minggu dengan steroid hirupan dosis

rendah tidak menunjukkan respons (masih terdapat gejala asma atau atau gangguan tidur atau

aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu menaikkan dosis steroid

hirupan sampai dengan 400 ug/hari yang termasuk dalam tatalaksana Asma Persisten. Jika

tatalaksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah adekuat namun responsnya tetap tidak

baik dalam 6-8 minggu, maka derajat tatalaksanya berpindah ke yang lebih berat (step-up).

Sebaliknya jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih

54

Page 55: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

ringan (step-down). Bila memungkinkan steroid hirupan dihentikan penggunaannya. Sebelum

melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan penghindaran pencetus, cara penggunaan

obat, faktor komorbid yang mempersulit pengendalian asma seperti rintis dan sinusitis.dan

dengan penatalaksanaan rinitis dan sinusitis secara optimal dapat memperbaiki asma yang

terjadi secara bersamaan.

Asma Persisten

Pada penatalaksanaan asma persisten terdapat dua alternative yaitu dengan

menggunakan steroid hirupan dosis medium dengan memberikan budenoside 200- 400

ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, 400-

600 ug/hari budesonid (200-300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun.

Selain itu, dapat digunakan alternatif pengganti dengan menggunakan steroid hirupan dosis

rendah ditambah dengan LABA (Long Acting β-2 Agonist) atau ditambahkan Theophylline

Slow Release (TSR) atau ditambahkan Anti-Leukotriane Receptor (ALTR.) Apabila dengan

pengobatan tersebut selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala asma, maka dapat diberikan

alternatif lapis ketiga yaitu dapat meningkatkan dosis kortikosteroid sampai dengan dosis

tinggi pada pemberian >400 ug/hari budesonid (>200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia

kurang dari 12 tahun, dan >600 ug/hari budesonid (>300 ug/hari flutikason) untuk anak

berusia di atas 12 tahun. atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR, atau

ALTR. Penambahan LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan keberhasilannya

yaitu dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala asmanya, dan memperbaiki kualitas

hidupnya. Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800 ug/hari namun tetap tidak

mempunyai respons, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan

kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan terakhir setelah penggunaan

steroid hirupan atau alternatif di atas telah dijalankan. Langkah ini diambil hanya bila bahaya

dari asmanya lebih besar daripada bahaya efek samping obat. Untuk steroid oral sebagai dosis

awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil

yang diberikan selang hari pada pagi hari. Penggunaan steroid secara sistemik harus berhati-

hati karena mempunyai efek samping yang cukup berat. Pada pemberian antileukotrien

(zafirlukas) pernah dilaporkan adanya peningkatan enzim hati, oleh sebab itu kelainan hati

merupakan kontraindikasi. Mengenai pemantauan uji fungsi hati pada pemberian

antileukotrien belum ada rekomendasi. Mengenai obat antihistamin generasi baru non-sedatif

(misalnya ketotifen dan setirizin), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak dengan

asma tipe rinitis, hanya untuk menanggulangi rinitisnya. Pada saat ini penggunaan kototifen

55

Page 56: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

sebagai obat pengendali (controller) pada asma anak tidak lagi digunakan karena tidak

mempunyai manfaat yang berarti. Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi

paru yang optimal atau perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid

dapat dikurangi bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan

asmanya. Sementara itu penggunaan β-agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan.

Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena perbedaan

kemampuan menggunanakan alat inhalasi. Dmeikian juga kemauan anak perlu

dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan biasa

(Metered Dose Inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali.

Tabel 6. Karakteristik pneumonia, bronkiolitis dan asma

Pneumonia Bronkiolitis Asma

Epidemiologi Angka kejadian

tertinggi pada anak

usia kurang dari 4

tahun

Usia 2-24 bulan.

Puncak usia 2-8

bulan

Berkisar antara 5-10

% anak di Indonesia

yang mengalami

asma

Etiologi - Bakteri terutama

- Virus

- Non-infeksi

(radiasi, aspirasi)

95% disebabkan oleh

Respiratory Syncytial

Virus

- Hipereaktivitas

bronkus

Gejala

- Demam

- Sesak

- Riwayat

penyakit

keluarga

Pemeriksaan fisik

Demam tinggi

- Timbul didahului

oleh batuk, dan

pilek.

- Riwayat tersedak

sebelumnya

-

Auskultasi :

Crackles (rhonki

Demam subfebril

Didahului oleh batuk

pilek, kemudian

sesak yang semakin

lama semakin

memberat

-

Auskultasi :

- Ekspirasi

-

Timbul akibat adanya

faktor pencetus..

Riwayat atopi dan

asma pada keluarga

Auskultasi :

- Ekspirasi

56

Page 57: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

basah) memanjang

- Wheezing

memanjang

- Wheezing

Tatalaksana Antibiotik Tidak berespon baik

terhadap

bronkodilator

Berespon baik

terhadap

bronkodilator

BAB III

ANALISA KASUS

57

Page 58: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Pasien seorang perempuan usia 1 tahun 10 bulan, datang dengan keluhan sesak napas

sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan batuk. Batuk dirasakan

sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk disertai dengan riak, namun riak sulit keluar.

Pilek (+) lendir bening, kental. Napas berbunyi grok-grok. Dari keluhan yang di dapatkan

kita dapat menduga beberapa penyakit yang menyebabkan manifestasi klinis sesak napas dan

batuk yaitu kelainan pneumonia, bronkiolitis, asma, penyakit jantung bawaan, penyakit

ginjal dan akibat aspirasi. Namun penyakit jantung bawaan dapat disingkarkan dari hasil

anamnesa yang menyatakan keluhan sesak napas belum pernah dirasakan sebelumnya sejak

pasien lahir dan riwayat kulit kebiruan disangkal. Penyakit ginjal dapat disingkirkan dari

hasil anamnesa yang menyatakan bahwa sesak napas tidak disertai dengan pembengkakan

pada kedua kaki ataupun bagian tubuh lainnya. Sesak napas akibat aspirasi dapat disingkirkan

dengan tidak adanya riwayat tersedak sebelum keluhan sesak napas muncul. Asma dapat

dilemahkan karena sesak napas yang terjadi merupakan sesak napas berbunyi ngik

(wheezing) berulang dan kadang tidak berhubungan dengan batuk dan pilek dan pada asma

biasanya menunjukkan batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada

malam / dini hari (nokturnal / morning dip), musiman, dan setelah aktivitas fisik. 7

Pasien masih mungkin mengalami bronkiolitis karena pada bronkiolitis gejala awal

yang terjadi dapat berupa gejala infeksi respiratori-atas akibat virus, seperti pilek ringan,

batuk, dan demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertai dengan sesak

napas.1

Ayah pasien memiliki keluhan batuk dengan pilek beberapa hari sebelum pasien sakit.

Riwayat alergi dan asma di keluarga disangkal. Hal ini merupakan faktor resiko sebagai

terjadinya suatu infeksi respiratori akut, sehingga dapat melemahkan dugaan asma karena

pada asma didapatkan adanya riwayat asma dan atopi pada pasien atau keluarganya. dan

memperkuat dugaan pada pneumonia dan bronkiolitis.1

Pasien semakin lemas dan tidak mau makan, namun pasien masih mau untuk minum.

Frekuensi buang air kecil pada pasien dirasakan berkurang, namun jika pasien menangis

masih mengeluarkan air mata. Hal ini ditanyakan pada keluarga pasien untuk memeriksa

status kondisi hidrasi pada pasien, dikarenakan pada pasien sesak intake menjadi sulit

sehingga yang di khawatirkan terjadi adalah dehidrasi pada pasien.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis. Nadi takikardia 176

x/menit, RR : takipneu 56 x/menit, suhu 37,8 derajat Celcius dan saturasi O2 : 93 %. Pada

58

Page 59: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

hidung didapatkan adanya secret kental bening, napas cuping hidung (+), faring hiperemis,

dan pada pemeriksaan dada didapatkan adanya retraksi suprasternal, suara napas dasar

vesikuler normal dan terdapat rhonki basah halus (+/+). Hal ini menunjang pada diagnosa

pneumonia, dan melemahkan dugaan ke arah asma dan bronkiolitis. Karena pada pneumonia

didapatkan ronkhi (crackles) pada auskultasi sedangkan pada bronkiolitis dan asma

didapatkan tanda-tanda air trapping seperti ekspirasi memanjang dan wheezing pada

auskultasi. Dan pada bronkiolitis dapat didapatkan hiperinflasi dinding dada.1,2,7

Dari pemeriksaan laboratorium saat awal masuk dilakukan pemeriksaan darah rutin

dan didapatkan hasil lekositosis. Kondisi ini menunjukkan adanya infeksi pada pasien.

Dengan didapatkan nya peningkatan netrofil relatif dibandingkan dengan limfosit

menunjukkan pada keadaan ini adalah shift to the left yaitu dimana hal ini menunjukkan

infeksi yang terjadi adalah akibat bakteri, hal ini memperkuat diagnosis pneumonia. Karena

pneumonia pada negara berkembang terutama diakibatkan oleh infeksi bakteri.1,9

Dari hasil analisa gas darah didapatkan asidosis metabolik yang terkompensasi yang

ditunjukkan dengan PH normal disertai dengan PCO2, PO2, HCO3 yang menurun dan base

excess yang negatif. Asidosis tersebut dapat diakibatkan karena keadaan sesak napas pada

pasien.

Di bangsal pasien mendapatkan terapi IVFD KaEN 3B 14 tpm makro, Kebutuhan

cairan rumatan anak dengan BB 10 kg = 100 ml/ kgBB untuk BB 10 kg. Antibiotik yang

diberikan Ampicilin 4x 250 mg IV, Chloramphenicol 4 x 200 mg IV antibiotik yang

diberikan pada pasien merupakan pilihan antibiotik lini pertama.1 Inhalasi ventolin 1 resp +

NaCl 0,9% 3 cc setiap 6 jam. Pasien diberikan obat lini pertama untuk pneumonia dan

dievaluasi selama 24 sampai dengan 72 jam, jika keadaan klinis memburuk dipikirkan untuk

mengganti antibiotik yang digunakan menjadi obat lini kedua. Pasien diberikan inhalasi,

untuk membantu mucocilliary clearance. 1

DAFTAR PUSTAKA

59

Page 60: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

1. Rahajoe Nastiti N, Supriyanto Bambang, dkk. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi

Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. Th; 2010.hal; 351-363

2. WHO. 2008. Global Action Plan for Prevention and Control Pneumonia.

3. Alih bahasa, Tim Adaptasi Indonesia. Pedoman pelayanan kesehatan anak di rumah sakit

rujukan tingkat pertama di kabupaten/kota. Jakarta : WHO Indonesia.th;2008. Hal 86-93

4. Robbins C. Kumar. Buku Ajar Patologi. Volume 2. Edisi 7. Jakarta : EGC. Hal; 539-540

5. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 1.

Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2007.

6. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. EGC. 1997: 55-69.

7. Pickering LK, Snyder JD. Gastroenteritis in Behrman, Kliegman, Jenson eds. Nelson

Textbook of Pediatrics 17 ed. Saunders. 2004 :1272-6.

8. Rudolph, abraham, 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Edisi 2. Volume 1. Jakarta: EGC

9. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 3.

Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985.

LAMPIRAN

60

Page 61: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

61

Page 62: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

62

Page 63: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

63

Page 64: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Pemeriksaan fisik pada anak

a. Data antropometrik :

Hasil pengukuran berat badan, lingkar lengan atas harus di plot ke kurva

pertumbuhan untuk menentukan status antropometri pasien. Acuan yang pada saat ini

digunakan adalah kurva pertumbuhan WHO untuk bayi dan anak usia 0-5 tahun, dan

kurva CDC-NCHS 2000 untuk anak berusia > 5 tahun sampai dengan 18 tahun.

Berat badan (BB) :

Berat badan adalah parameter pertumbuhan yang paling sederhana, mudah

diukur dan diulang. Beberapa keadaan klinis dapat mempengaruhi berat badan seperti

terdapatnya edema, organomegali, hidrosefalus dan lain sebagainya. Hasil

pengukuran berat badan dipetakan pada kurva standar berat badan menurut usia

(BB/U). Untuk anak usia 0-5 tahun digunakan kurva weight for age WHO 2006

dengan interpretasi sebagai berikut :

- Terletak di < -3 SD : berat badan sangat kurang

- Terletak di antara <-2 SD sampai -3SD : berat badan kurang

- Terletak di antara -2 SD sampai +2 SD : berat badan cukup

- Terletak di  >+2 SD : mungkin ada masalah pertumbuhan, lakukan penilaian berat

badan menurut tinggi badan.

Untuk anak usia >5-18 tahun digunakan kurva CDC - NCHS 2000 dengan

interpretasi sebagai berikut :

- >120 % : berat badan lebih

- 80-120 % : berat badan baik

- 60-80 % : berat badan kurang

- < 60 % : berat badan sangat kurang

Tingi badan (TB) 

Tinggi/panjang badan pasien harus diukur tiap kunjungan. 

Untuk anak usia 0-5 tahun digunakan kurva length for age WHO 2006 , dengan

interpretasi sebagai berikut : 

- Terletak di < -3 SD : sangat pendek

- Terletak di antara <-2 SD sampai -3SD : pendek

64

Page 65: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

- Terletak di antara -2 SD sampai +3 SD: normal

- Terletak di >+3 SD : sangat tinggi 

Untuk anak usia >5-18 tahun digunakan kurva pertumbuhan CDC-NCHS

2000 dengan interpretasi sebagai berikut : 

TB/U pada kurva :

- < sentil 3 : pendek

- Sentil 3-97 : normal

- Sentil >97 : tinggi

TB/U dibandingkan baku (%) :

- 90-110% : baik/ normal

- 70-89% : tinggi kurang

- <70% : tinggi sangat kurang

Rasio berat badan menurut panjang/tinggi badan (BB/TB)

Penilaian BB/TB merupakan indikator status gizi.  BB/TB (%) : (BB terukur saat itu)/

(BB standar sesuai untuk TB terukur) x 100 %

Untuk anak 0-5 tahun digunakan kurva wieght for length/height WHO 2006, dengan

interpretasi sebagai berikut : 

- Terletak di < -3 SD : gizi buruk

- Terletak di antara <-2 SD sampai -3SD : gizi kurang

- Terletak di antara -2 SD sampai +2 SD: gizi baik/ cukup

- Terletak di >+2 SD sampai +3 SD : gizi lebih, harus dilakukan

penghitungan indeks masa tubuh dan diplot ke kurva IMT

WHO/CDC NCHS

Penilaian status gizi berdasarkan persentase BB/TB untuk anak usia > 5-18 tahun

menggunakan kurva CDC-NCHS 2000 :

- > 120 % : obesitas

- 110-120 % : overweight

- 90-110% : normal

- 70-90% : gizi kurang

- < 70% : gizi buruk

65

Page 66: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

b. Thoraks

Sela iga dihitung dengan meraba angulus sterni Ludovici (angle of Louis)

yaitu sudut yang dibentuk oleh manubrium sterni dan korpus sterni. Pada angulus

sterni Ludovici menempel iga ke-2, berarti sela iga di bawahnya adalah sela iga ke-2,

di bawahnya lagi sela iga ke-3 dan seterusnya.

Dengan inspeksi diteliti untuk mendapatkan gambaran tentang dinding dada,

bentuk dan besar dada, simetri dada baik dalam keadaan statis maupun dinamis,

gerakan dada pada pernapasan, terdapatnya deformitas, pembonjolan, pembengkakan,

serta kelainan lokal lain. Perhatikan pula adanya jaringan parut dan sifat serta pula

pembuluh darah subkutan, keadaan ini kadang dapat memberi petunjuk adanya

sirkulasi kolateral pada sumbatan vena kava superior.

Beberapa macam bentuk dada:

Pektus ekskavatum (funnel chest): sternum bagian bawah serta rawan iga masuk

ke dalam; terutama pada saat inspirasi. Keadaan ini dapat merupakan kelainan

kongenital, atau akibat hipertrofi adenoid yang berat.

Pektus karinatum (pigeon chest, dada burung): sternum membonjol ke luar,

biasanya disertai dengan depresi vertikal daerah kostokundral. Kelainan ini dapat

terlihat pada rakitis, osteoporosis.

Barrel chest, toraks emfisematikus; dada berbentuk bulat seperti tong, ditandai

dengan sternum yang terdorong ke depan dengan iga-iga horizontal; terdapat pada

penyakit paru obstruktif kronik misalnya asma, fibrosis kistik, emfisema.

Perlu diperhatikan pengembangan dada dan gerakan sela iga pada pernapasan;

demikian pula kecepatan, kedalaman, simetri, serta pola gerakan pernapasan. Gerakan

dada berkurang pada sisi dada yang mengalami pneumonia, hidrotoraks atau

pneumotoraks, atelektasis, serta sumbatan oleh benda asing. Seperti setelah disebut di

atas, retraksi suprasternal biasanya menunjukkan terdapatnya obstruksi tinggi seperti

sumbatan laring, sedang retraksi infrasternal (subkostal) mengarah pada obstruksi

rendah, misalnya bronkiolitis.

66

Page 67: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Paru

Inspeksi

Inspeksi keadaan pada paru telah dicakup pada waktu inspeksi dada.

Palpasi

Palpasi dilakukan dengan cara meletakkan telapak tangan serta jari-jari pada

seluruh dinding dada dan punggung dengan palpasi dicari dan ditentukan hal-hal

sebagai berikut:

Simetri atau asimetri toraks, kelainan tasbih (rosary) pada rakitis, setiap

benjolan abnormal, bagian-bagian yang nyeri, pembesaran kelenjar limfe pada aksila,

fusa supraklavikularis, fosa infraklavikularis.

Fremitus suara; pemeriksaan ini mudah dilakukan pada anak yang menangis

atau anak yang sudah dapat diajak berbicara (misalnya disuruh mengatakan “tujuh

puluh tujuh”); dalam keadaan normal akan teraba getaran yang sama pada telapak

tangan yang diletakkan pada kedua sisi dada, kemudian kedua sisi punggung.

Fremitus suara ini meninggi bila ada konsolidasi, misalnya pada pneumonia. Fremitus

akan mengurang apabila terdapat obstruksi jalan napas, atelektasis, pleuritis, efusi

pleura, pleuritis dengan schwarte, serta tumor antara paru dan dinding dada. Bila ada

mukus yang banyak pada saluran napas bagian atas, akan teraba fremitus yang kasar.

Perkusi

Perkusi paru dapat dilakukan dengan 2 cara, yakni perkusi langsung dan

perkusi tidak langsung. Perkusi langsung dilakukan dengan mengetukkan ujung jari

tengah atau telunjuk langsung ke dinding dada. Cara ini cepat, lembut, akan tetapi

agak sulit dan memerlukan banyak latihan yang lebih sering dikerjakan adalah perkusi

tidak langsung, yang dilakukan dengan meletakkan 1 jari pada dinding dada dan

mengetuknya dengan jari tangan yang lain. Pada bayi dan anak, perkusi tidak boleh

dilakukan terlalu keras, karena dinding dada anak masih tipis dan otot-ototnya masih

kecil, sehingga suara perkusi lebih resonans dibandingkan dengan suara perkusi pada

orang dewasa.

Biasanya perkusi dilakukan mulai dari daerah supraklavikular, kemudian turun

ke bawah, setiap kali satu sela iga, dan tiap kali dibandingkan sisi kanan dan sisi kiri.

Demikian pula perkusi punggung biasanya dilakukan dari atas ke bawah, dan juga

dibandingkan sisi kanan dan kiri.

67

Page 68: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Suara perkusi paru normal adalah sonor. Perkusi untuk menentukan batas

paru-jantung sulit dilakukan pada bayi dan anak kecil. Pada anak yang lebih besar

perkusi yang cermat dapat memberikan informasi besarnya jantung.

Bunyi perkusi yang abnormal dapat berupa; (1) hipersonor atau timpani, yang

terjadi bila udara dalam paru atau pleura bertambah, misalnya emfisema paru atau

pneumotoraks, dan (2) redup atau pekak apabila terdapat konsolidasi jaringan paru

(pneumonia lobaris, atelektasis, tumor) dan cairan dalam rongga pleura.

Auskultasi

Auskultasi paru dilakukan untuk mendeteksi suara napas dasar dan suara

napas tambahan.

Suara napas dasar

Suara napas vesikular. Ini adalah suara napas normal yang terjadi karena udara

masuk dan keluar melalui jalan napas. Suara inspirasi lebih keras dan lebih panjang

daripada suara ekspirasi. Suara napas vesikular melemah terdapat pada penyempitan

bronkus (bronkostenosis), dan setiap keadaan yang menyebabkan ventilasi berkurang,

atau bertambahnya hambatan konduksi suara, atau keduanya. Keadaan tersebut dapat

ditemukan pada pasien pneumonia, atelektasis, edema paru, efusi pleura, emfisema,

pneumotoraks, atau emfisema. Suara vesikular mengeras terdapat pada bertambahnya

ventilasi dan bertambah baiknya konduksi suara, misalnya fase resolusi pneumonia,

konsolidasi paru, serta tumor yang mengantarkan suara lebih baik.

Suara napas bronkial. Pada suara napas ini terdengar inspirasi keras yang

disusul oleh ekspirasi yang lebih keras. Suara napas ini pada keadaan normal hanya

terdengar pada bronkus besar kanan dan kiri, di daerah parasternal atas di dada depan

dan di daerah interskapular di belakang. Bila suara napas bronkial terdengar di tempat

lain, berarti terdapat konsolidasi yang luas, misalnya pada pnuemonia lobaris. Dikenal

pula suara napas subbronkial atau bronkovesikular yang merupakan kombinasi antara

suara antara napas vesikular dan bronkial.

Suara nafas amforik. Suara napas ini sangat menyerupai bunyi tiupan di atas

mulut botol kosong, dapat didengar pada kaverne.

Suara napas tambahan

Suara napas tambahan yang dapat kita dengar dengan auskultasi adalah : 1.

Ronki basah dan ronki kering, 2. krepitasi, 3. bunyi gesekan pleura (pleural friction

rub).

68

Page 69: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Ronki basah (dalam bahasa Inggris disebut rales) adalah suara napas tambahan

berupa vibrasi terputus – putus (tidak kontinu) akibat getaran yang terjadi karena

cairan dalam jalan napas dilalui oleh udara. Perlu dibedakan ronki basah halus (dari

duktus alveolos, bronkiolus, bronkus halus), ronki basah sedang (dari bronkus kecil

dan sedang), dan ronki basah kasar (dari bronkus di luar jaringan paru). Pada ronki

basah halus dan sedang dibedakan pula ronki basahg nyaring dan tidak nyaring.

Ronki basah nyaring berarti nyata benar terdengar, oleh karena suara

disalurkan melalui benda padat (yakni infiltrat atau konsolidasi) ke stetoskop,

sedangkan pada ronki basah tidak nyaring suara ronki disalurkan melalui media

normal (tidak terdapat infiltrate atau konsolidasi). Seringkali ronki basah halus hanya

terdengar pada akhir inspirasi atau pada inspirasi yang dalam. Pada bayi yang

menangis hal ini mudah terdengar, oleh karena antara 2 teriakan tangusan bayi akan

melakukan inspirasi dalam; pada anak besar dapat disuruh inspirasi yang dalam.

Ronki kering (dalam basaha Inggris disebut rhonchi) adalah suara kontinu

yang terjadi oleh karena udara melalui halan napas yang menyempit baik akibat factor

intraluminar (spasme bronkus, edema, lender yang kental, benda asing) maupun factor

ekstraluminar (desakan oleh tumor). Ronki kering lebih jelas terdengar pada fase

ekspirasi daripada fase inspirasi.

Wheezing (mengi) adalah jenis ronki kering yang terdengar lebih musical atau

sonor dibandingkan dengan ronki kering lainnya. Mengi lebih sering terdengar pada

fase ekspirasi. Mengi pada fase inspirasi biasanya menunjukkan obstruksi saluran

napas bagian atas, edema laring atau benda asing, sedang mengi ekspirasi terdengar

pada obstruksi saluran napas bagian bawah seperti asma dan bronkiolitis.

Krepitasi adalah suara membukanya alveoli. Krepitasi normal dapat terdengar

di belakang bawah dan samping pada waktu inspirasi yang dalam sesudah istirahat

telentang beberapa waktu lamanya. Krepitasi patologis terdapat pada pneumonia

lobaris.

Pleural friction rub (bunyi gesekan pleura) terdapat pada pleuritus fibrinosa,

oleh karena pleura biserale dan parietale yang saling bergesakan dengan fibrin di

tengahnya. Suara yang terdengar adalah suara gesekan kasar seolah dekat dengan

telinga, baik pada fase inspirasi maupun ekpirasi (paling jelas pada akhir inspirasi).

Suara gesekan ini biasanya terdengar di bagian bawah belakang paru, jarang terdengar

di apeks paru.

69

Page 70: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Jantung

lnspeksi dan palpasi

Denyut apeks dan aktivitas ventrikel

Denyut apeks, atau iktus kordis, biasanya sulit dilihat pada bayi dan anak

kecil, kecuali pada anak yang sangat kurus atau bila terdapat kardiomegali. Dengan

palpasi iktus kordis dapat ditentukan, meskipun biasanya batasnya tidak sejelas pada

anak besar. Pada bayi dan anak kecil, oleh karena posisi jantung yang lebih

horizontal, iktus kordis dalam keadaan normal terdapat di sela iga ke-4 pada garis

mid-klavikularis kiri atau sedikit lateral. Pada anak berusia 3 tahun ke atas, iktus

kordis terdapat pada sela iga ke-5, sedikit medial dari garis mid-klavikularis kiri. Iktus

kordis paling baik diraba dengan anak duduk, atau sedikit membungkuk.

Getaran bising

Getaran bising (thrill) adalah getaran pada dinding dada yang terjadi akibat

bising jantung yang keras. Perabaan dapat dilakukan dengan ujung – ujung jari II dan

III atau telapak tangan dengan palpasi ringan, meski kadang getaran tersebut teraba

lebih baik dengan palpasi yang agak keras. Getaran bising menandakan terdapatnya

bising jantung yang keras (derajat 4/6 atau lebih), yang biasanya menunjukkan

kelainan organic. Tempat getaran bising adalah sesuai dengan tempat pungtum

maksimum bising.

Perkusi

Pada bayi dan anak kecil perkusi untuk menentukan bentuk dan besar jantung

sulit dilakukan, bahkan dapat memberi informasi yang menyesatkan. Inspeksi dan

palpasi yang cermat untuk menentukan denyut apeks serta aktivitas ventrikel memberi

infurmasi yang lebih baik daripada perkusi untuk menentukan besar jantung.

Auskultasi

Bunyi jantung

Bunyi akibat vibrasi pendek pada siklus jantung disebut bunyi jantung,

sedangkan bunyi akibat vibrasi yang lebih panjang disebut bising jantung.

70

Page 71: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Bunyi jantung I

Bunyi jantung I dianggap terjadi akibat bunyi penutupan katup

atrioventrikular, meski sebenarnya bunyi ini setidaknya terjadi dari 4 kompleks

komponen bunyi pada awal kontraksi jantung. Komponen mitral bunyi jantung I

disebut M1, sedang komponen trikuspid disebut T1. Karena T1 terjadi kira-kira 0,03

detik setelah M1, maka bunyi jantung I terdengar terpecah (split) sempit, praktis

terdengar tunggal.

Pada auskultasi, dinilai intensitas bunyi jantung I (normal, melemah,

mengeras) dan apakah terdapat duplikasi/split. Jangan membuat deskripsi bunyi

jantung ‘murni’, karena pengertiannya yang rancu; apabila tidak ditemukan kelainan,

cukup disebut bunyi jantung I ‘normal’. Bunyi jantung I mengeras pada defek septum

atrium, stenosis mitral, stenosis tricuspid, dan pada keadaan dengan interval P-R yang

pendek. Bunyi jantung I lemah pada insufisiensi mitral dan trukuspid, interval P-R

yang panjang, miokarditis, serta perikarditis dengan efusi pericardium.

Bunyi jantung II

Bunyi jantung II terjadi akibat penutupan katupsemilunar (katup aorta dan

pulmonal). Komponen aorta bunyi jantung II disebut A2, kumponen pulmonalnya

disebut P2. Pada bayi, anak dan dewasa muda, bunyi jantung II split pada inspirasi,

dan terdengar tunggal pada ekspirasi. Fenomena ini dapat diterangkan sebagai

berikut :

Pada inspirasi, akibat tekanan negatif intratorakal yang makin menurun, alir

balik (venous return) dari vena kava superior dan inferior ke jantung kanan

bertambah, sehingga pengisian atrium kanan dan ventrikel kanan bertambah.

Akibatnya waktu ejeksi ventrikel kanan bertambah lama dan penutupan

katup pulmonal (P2) lebih lambat.

Pada inspirasi, resistensi vaskular paru menurun, sehingga kapasitas

pembuluh darah paru untuk menerima darah dari a. pulmonalis bertambah;

hal tersebut menyebabkan tahanan ejeksi ventrikel kanan berkurang sehingga

waktu ejeksi ventrikel kanan bertambah dan penutupan katup pulmonal (P2)

lebih lambat.

Pada waktu inspirasi juga terjadi penumpukan darah di pembuluh vena paru,

sehingga alir balik ke atrium kiri berkurang. Akibatnya waktu ejeksi

ventrikel kiri lebih pendek sehingga A2 terjadi lebih cepat.

71

Page 72: Presentasi Kasus Pneumonia 25-3-2015

Akibatnya, pada saat inspirasi A2 maju dan P2 mundur, sehingga bunyi

jantung II jelas terpecah. Pada ekspirasi mekanisme yang sebaliknya terjadi, sehingga

bunyi jantung II terdengar tunggal atau terpecah sempit.

Karakteristik bunyi jantung II pada anak mempunyai arti yang sangat penting.

Dalam keadaan normal harus terdengar bunyi jantung II yang terpecah pada saat

inspirasi; bila bunyi jantung II selalu terdengar tunggal berarti kalup semilunaris

hanya satu, dapat terjadi karena obstruksi jalan keluar ventrikel yang berat atau atresia

(tetralogi Fallot, atresia pulnuonal, atresia aorta), atau malposisi arteri besar.

Seperti halnya dengan bunyi jantung I, maka bunyi jantung II juga

diidentifikasi intensitasnya (normal, melemah, mengeras) serta terpecahnya bunyi

jantung II. Bunyi jantung II terpecah lebar pada beberapa keadaan seperti right bundle

branch block (RBBB), defek septum atrium, stenosis pulmonal sedang, gagal jantung

kanan berat, dilatasi a. pulmonalis, insufisiensi mitral akut, atau defek septum

ventrikel (jarang). Bunyi jantung II terpecah sempit pada hipertensi pulmonal,

biasanya disertai P2 yang keras. Kadang terdengar P2 mendahului A2, disebut

reversed splitting, misalnya pada stenosis aorta, left bundle branch block (LBBB) dan

pada sindrom Wolff-Parkinson-White. Pada keadaan ini maka pecahnya bunyi

jantung II lebih jelas terdengar pada fase ekspirasi, sedangkan pada inspirasi akan

terdengar bunyi jantung II tunggal atau tidak terpecah.

Pada beberapa keadaan P2 terdengar lemah atau tidak terdengar sama sekali

sehingga bunyi jantung II terdengar tunggal pada seluruh siklus pernapasan, baik pada

inspirasi maupun pada ekspirasi. Keadaan ini dapat terjadi pada stenosis pulmonal

berat, tetralogi Fallot, atresia pulmonal, atresia trikuspid, transposisi arteri besar, atau

trunkus arteriosus persiten. Selain pada hipertensi pulmonal, P2 juga keras pada

insufisiensi pulmonal. Pada insufisiensi aorta bunyi jantung II juga terdengar keras

akibat mengerasnya A2, mengawali bising diastolik dini yang bernada tinggi.

72