Presentasi Kasus Ep

38
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Efusi pleura merupakan penyakit saluran pernafasan. Penyakit ini bukan suatu disease entity tetapi merupakan suatu gejala penyakit yang serius yang dapat mengancam jiwa penderita. Secara geografis penyakit ini terdapat di seluruh dunia, bahkan menjadi masalah utama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Penyakit efusi pleura dapat ditemukan sepanjang tahun dan jarang dijumpai secara sporadic tetapi lebih sering bersifat epidemic di suatu daerah. Diagnosis dari efusi pleura ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis dari efusi pleura dimulai dari menggali riwayat klinis pasien dan melakukan pemeriksaan fisik dan dilanjutkan dengan pemeriksaan radiografi thorax dan analisis cairan pleura. Jika diperlukan, dilanjutkan dengan pemeriksaan CT thoraks, biopsi pleura, thorakoskopi, dan bronkoskopi. Pengetahuan yang dalam tentang efusi pleura dan segalanya merupakan pedoman dalam mendiagnosis serta memberikan terapi awal pada pasien. Oleh karena itu pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai bagaimana mendiagnosis efusi pleura, apa saja diagnosis banding dari efusi pleura, dan bagaimana penatalaksanaan pasien dengan efusi pleura. 1

description

1

Transcript of Presentasi Kasus Ep

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Efusi pleura merupakan penyakit saluran pernafasan. Penyakit ini bukan

suatu disease entity tetapi merupakan suatu gejala penyakit yang serius yang

dapat mengancam jiwa penderita.

Secara geografis penyakit ini terdapat di seluruh dunia, bahkan menjadi

masalah utama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia.

Penyakit efusi pleura dapat ditemukan sepanjang tahun dan jarang dijumpai

secara sporadic tetapi lebih sering bersifat epidemic di suatu daerah.

Diagnosis dari efusi pleura ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis dari efusi pleura dimulai dari menggali

riwayat klinis pasien dan melakukan pemeriksaan fisik dan dilanjutkan dengan

pemeriksaan radiografi thorax dan analisis cairan pleura. Jika diperlukan,

dilanjutkan dengan pemeriksaan CT thoraks, biopsi pleura, thorakoskopi, dan

bronkoskopi.

Pengetahuan yang dalam tentang efusi pleura dan segalanya merupakan

pedoman dalam mendiagnosis serta memberikan terapi awal pada pasien. Oleh

karena itu pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai bagaimana

mendiagnosis efusi pleura, apa saja diagnosis banding dari efusi pleura, dan

bagaimana penatalaksanaan pasien dengan efusi pleura.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara mendiagnosis efusi pleura?

2. Apa saja diagnosis banding dari efusi pleura?

3. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan efusi pleura?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui cara mendiagnosis efusi pleura.

2. Untuk mengetahui apa saja diagnosis banding dari efusi pleura.

3. Untuk mengetahui penatalaksanaan pasien dengan efusi pleura.

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi

Efusi pleura adalah adanya cairan yang berlebih dalam rongga pleura

baik transudat maupun eksudat (Suzanne, 2001).

Efusi pleura adalah jumlah cairan nonpurulen yang berlebihan dalam

rongga pleural, antara lapisan visceral dan parietal (Arif, 2001).

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat akumulasi cairan

yang abnormal dalam rongga pleura (Brunner dan Suddarth, 2001).

Jadi kesimpulan efusi pleura adalah akumulasi cairan abnormal atau

penimbunan cairan yang berlebih dalam rongga pleura diantara permukaan

visceral dan parietal yang berupa transudat maupun eksudat.1

Klasifikasi Efusi Pleura :

1. Efusi Pleura Transudat

Pada efusi jenis transudat ini keseimbangan kekuatan menyebabkan

pengeluaran cairan dari pembuluh darah. Mekanisme terbentuknya

transudat karena peningkatan tekanan hidrostatik (CHF), penurunan

onkotik (hipoalbumin) dan tekanan negatif intra pleura yang meningkat

(atelektasis akut).

Ciri-ciri cairan :

- Serosa jernih

- Berat jenis rendah (di bawah 1,012)

- Terdapat limfosit dan mesofel tetapi tidak ada neutrofil

- Protein < 3%

Penimbunan cairan transudat dalam rongga pleura dikenal dengan

hydrothorax, penyebabnya :

a. Payah jantung

b. Penyakit ginjal (SN)

c. Penyakit hati (SH)

d. Hipoalbuminemia (malnutrisi, malabsorbsi)1

2. Efusi Pleura Eksudat

2

Eksudat ini terbentuk sebagai akibat penyakit dari pleura itu sendiri yang

berkaitan dengan peningkatan permeabilitas kapiler (missal pneumonia)

atau drainase limfatik yang berkurang (misal obstruksi aliran limfa karena

karsinoma).

Ciri cairan eksudat :

- Berat jenis > 1,015

- Kadar protein > 3% atau > 30 g/dL

- Ratio protein pleura berbanding LDH serum 0,6

- LDH cairan pleura lebih besar daripada 2/3 batas atas LDH serum

normal

- Warna cairan keruh

Penyebab dari efusi eksudat ini adalah :

a. Kanker : karsinoma bronkogenik, mesotelioma atau penyakit

metastatik ke paru atau permukaan pleura

b. Infark paru

c. Pneumonia

d. Pleuritis virus1

2.2 Anatomi

Paru-paru merupakan organ elastis berbentuk kerucut yang terletak

dalam rongga thoraks atau dada. Kedua paru-paru saling terpisah oleh

mediastinum sentral yang mengandung jantung dan pembuluh-pembuluh darah

besar. Setiap paru-paru mempunyai apeks dan basis. Arteria pulmonalis dan

darah arteria bronkhialis, bronkus, saraf dan pembuluh limfe masuk pada setiap

paru-paru kiri dan dibagi menjadi tiga lobus oleh fisura interlobaris. Paru-paru

dibagi menjadi dua lobus, kemudian lobus tersebut dibagi lagi menjadi segmen-

segmen sesuai dengan segmen bronchus, paru-paru kanan dibagi menjadi 10

segmen sedangkan paru-paru kiri dibagi menjadi 9.

Proses patologis seperti atelektasis dan pneumonia biasanya hanya

terbatas pada satu lobus dan segmen saja. Pleura ada dua macam : pleura

parietal yang melapisi rongga thoraks, sedangkan pleura viseralis yang menutup

setiap paru-paru. Di antara pleura parietal dan viseralis terdapat cairan pleura

seperti selaput tipis yang memungkinkan kedua permukaan tersebut bergesekan

satu sama lain selama respirasi, dan mencegah pemisahan thoraks dan paru-

paru. Sifat ini analog dengan dua slide dari gelas yang saling diletakkan dengan

3

air, kedua slide tersebut dapat bergeser satu sama lain, tetapi keduanya tidak

dapat dipisahkan dengan mudah begitu saja. Hal yang sama juga terdapat pada

cairan pleura antara paru-paru dan thoraks. Tekanan dalam rongga pleura lebih

rendah dari tekanan atmosfir, sehingga mencegah kolaps paru-paru. Ketika paru

terserang penyakit, pleura mengalami peradangan atau udara atau cairan dapat

masuk ke dalam rongga pleura, menyebabkan paru-paru tertekan atau kolaps.2

2.3 Etiologi

Etiologi dari efusi pleura ini adalah (Davey, 2002) :

1. Efusi pleura transudat

a. Gagal jantung

b. Sindroma nefrotik

c. Hipoalbuminemia

d. Sirosis hepatis

2. Efusi pleura eksudat

a. Pneumonia bakterialis

b. Karsinoma

c. Infark paru

d. Pleuritis

Etiologi secara umum (Mansjoer, 2001) :

1. Neoplasma seperti bronkogenik dan metastatik

2. Kardiovaskuler seperti CHF, emboli pulmonal, dan perikarditis

3. Penyakit pada abdomen seperti pancreatitis, asites, abses, sindroma

meigs

4. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, mikrobakterial dan

parasit

5. Trauma

6. Lain-lain seperti SLE, rheumatoid arthritis, sindroma nefrotik atau anemia

2.4 Patogenesis

Rongga pleura dalam keadaan normal mengandung cairan dengan kadar

protein rendah (<1,5 g/dL) yang dibentuk oleh pleura visceral dan parietal. Cairan

kemudian diserap oleh pleura parietal melalui pembuluh limfe dan pleura visceral

melalui pembuluh darah mikro. Produksinya sekitar 0,01 ml/kgBB/jam hampir

4

sama dengan kecepatan penyerapan dan dalam rongga pleura volume cairan

pleura lebih kurang 10-20 ml. Mekanisme ini mengikuti hukum Starling yaitu

jumlah pembentukan dan pengeluaran seimbang sehingga volume dalam rongga

pleura tetap. Cairan pleura berfungsi sebagai pelican agar paru dapat bergerak

dengan leluasa saat bernafas.2

Dalam keadaan normal rongga pleura mengandung kurang lebih 10-20 ml

cairan dengan konsentrasi protein rendah, terdapat di antara pleura viseralis dan

parietalis yang berfungsi sebagai pelican agar gerakan kedua pleura tidak

terganggu. Cairan ini dibentuk oleh kapiler parietalis dan direabsorbsi oleh kapiler

dan pembuluh getah bening pleura viseralis. Keseimbangan ini tergantung pada

tekanan hidrostatik, dan direabsorbsi oleh kapiler dan pembuluh getah bening

pleura dan penyaluran cairan pleura oleh saluran getah bening. Pada keadaan

patologis rongga pleura dapat menampung beberapa liter cairan dan udara. Efusi

pleura dapat timbul bila terjadi peningkatan tekanan hidrostatik sistemik,

penurunan tekanan osmotic koloid darah akibat hipoproteinemia, kerusakan

dinding pembuluh darah atau dalam rongga pleura pada atelektasis yang luas,

gangguan penyerapan kembali cairan pleura oleh saluran pembuluh getah

bening, hipersensitif terhadap tuberkuloprotein, robeknya pembuluh darah atau

saluran getah bening dan cairan ascites dapat mengalir melalui pembuluh getah

bening diafragma atau defek makroskopis pada diafragma.

Patofisiologi efusi pleura ganas belum jelas benar tetapi berkembang

beberapa hipotesis untuk menjelaskan mekanisme efusi pleura ganas. Akumulasi

efusi di rongga pleura terjadi akibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah

karena reaksi inflamasi yang ditimbulkan oleh infiltrasi sel kanker pada pleura

parietal dan/atau viseral. Mekanisme lain yang mungkin adalah invasi langsung

tumor yang berdekatan dengan pleura, obstruksi pada kelenjar limfe, penyebaran

hematogen atau tumor primer pleura (mesotelioma). Gangguan penyerapan

cairan oleh pembuluh limfe pada pleura parietal akibat deposit sel kanker itu

menjadi penyebab akumulasi cairan di rongga pleura. Teori lain menyebutkan

terjadi peningktan permeabilitas yang disebabkan oleh gangguan fungsi

beberapa sitokin antara lain tumor ncrosing factor-α (TNF- α), tumor growth

factor-β (TGF- β) dan vascular endothelial growth factor (VEGF). Penulis lain

mengaitkan efusi pleura ganas dengan gangguan metabolism, menyebabkan

hipoproteinemia dan penurunan tekanan osmotic yang memudahkan

perembesan cairan ke rongga pleura (Syahruddin dkk, 2009).

5

2.5 Diagnosis

Diagnosis dari efusi pleura dimulai dari menggali riwayat klinis pasien dan

melakukan pemeriksaan fisik dan dilanjutkan dengan pemeriksaan radiografi

thorax dan analisis cairan pleura. Jika diperlukan, dilanjutkan dengan

pemeriksaan CT thoraks, biopsi pleura, thorakoskopi, dan bronkoskopi.5

Gejala Klinis

Pasien dengan efusi pleura biasanya mengeluh sesak, batuk, dan nyeri

dada yang bersifat tajam dan tidak menjalar, yang sering karena nyeri pleuritik.

Riwayat dari gangguan jantung, ginjal atau hati mengarah pada efusi transudat.

Riwayat kanker lebih mengarah ke efusi pleura maligna. Riwayat kaki bengkak

atau thrombosis vena dalam sebelumnya dapat mengakibatkan efusi yang

berkaitan dengan emboli paru. Riwayat pneumonia berulang mengarah pada

efusi parapneumonik, baik yang komplikasi (empyema) maupun yang

nonkomplikasi. Riwayat trauma dapat mengakibatkan hemotoraks atau

cilotoraks. Riwayat terpapar asbestosis sering pada pasien dengan efusi benign

yang berhubungan dengan paparan atau memiliki mesothelioma. Riwayat dilatasi

esofagus atau endoskopi dapat mengekibatkan rupture esofageal. Beberapa

pengobatan, seperti amiodaron, methotrexate, fenitoin, dan nitrofurantoin, dapat

menyebabkan efusi pleura. Rheumatoid arthritis dan kondisi autoimun lainnya

juga dapat menyebabkan efusi.

Suatu tanda seperti hemoptisis mungkin berhubungan dengan neoplasma

maligna, emboli paru, atau tuberkulosis berat. Demam terjadi pada tuberkulosis,

empyema dan pneumonia. Berat badan turun berhubungan dengan neoplasma

maligna dan tuberkulosis. Temuan fisik seperti ascites dapat mengindikasikan

sirosis, kanker ovarium, atau Meig syndrome. Pembengkakan tungkai unilateral

mengindikasikan kuat adanya emboli paru, sedangkan pembengkakan tungkai

bilateral berhubungan dengan transudat yang disebabkan karena gagal jantung

atau hati. Pericardial friction rub terjadi pada pericarditis.

Dari hasil radiografi thoraks, jika didapatkan efusi pleura unilateral,

diagnosis bandingnya luas. Sedangkan efusi pleura bilateral diagnosis

bandingnya lebih sedikit dan termasuk penyebab dari efusi transudat seperti

gagal jantung, hati, dan ginjal, hipoalbuminemia, dan pada kasus jarang

neoplasma maligna, emboli paru, dan rheumatoid arthritis. Gagal jantung

6

kongestif adalah penyebab tersering dari efusi pleura bilateral. Thorakosentesis

untuk diagnostik diperlukan hanya pada pasien dengan efusi bilateral yang

ukurannya tidak sama, kemudian pada pasien dengan efusi yang tidak bersepon

dengan terapi, merasakan nyeri dada pleuritik, atau pasien demam. Efusi

biasanya mengalami perbaikan cepat setelah terapi diuretic dimulai.

Thorakosentesis Diagnostik

Thorakosentesis dengan analisis cairan dapat mempersempit diagnosis

banding dengan cepat. Kebanyakan aspirat adalah cairan kuning, menandakan

penyebabnya nonspesifik karena sering terjadi pada beberapa tipe efusi pleura.

Cairan dapat berwarna hemoragis pada kondisi seperti pneumonia, neoplasma

maligna, emboli paru dengan infark, efusi benign karena paparan asbestos, dan

trauma. Pada efusi hemoragis berat, level hematokrit pada cairan yang lebih dari

50% level hematokrit serum mengindikasikan hemothoraks. pH kurang dari 7,2

pada efui yang terinfeksi mengindikasikan efusi parapneumonik yang

terkomplikasi (empyema) hingga dibuktikan, sehingga pemasangan chest drain

dan pengeluaran cairan merupakan prioritas. pH rendah juga terjadi pada rupture

esofageal, rheumatoid arthritis, neoplasma maligna dengan prognosis buruk.

Peningkatan level laktat dehidrogenase terjadi pada limfoma dan tuberkulosis,

sedangkan jika level lebih besar dari 1000 U/L berhubungan dengan empyema.

Pada efusi eksudatif, level glukosa pleura kurang dari 28,8 mg/dL terjadi pada

tuberkulosis, neoplasma maligna, empyema, rheumatoid arthritis, systemic lupus

erythematosus, dan rupture esofageal. Limfositosis pada cairan terjadi pada

kondisi tuberkulosis, sarcoidosis, cilotoraks, rheumatoid arthritis, dan neoplasma

maligna termasuk limfoma. Jika cairan pleura didominasi oleh neutrofil

berhubungan dengan emboli paru, efusi parapneumonik, tuberkulosis akut, dan

efusi benign karen paparan asbestos.

Analisis mikrobiologikal rutin termasuk mengirimkan sampel cairan untuk

pengecatan Gram dan Ziehl-Neelson dan kultur untuk mendeteksi mikobakteria

dan bakteri lain. Analisis sitologi diperlukan jika dicurigai neoplasma maligna, dan

analisis ini positif sekitar 60% pada pasien yang memiliki neoplasma. Jika sampel

pertama negatif, maka sebaiknya dikirimkan sampel kedua karena analisis 2

sampel meningkatkan kesempatan mendiagnosis neoplasma maligna. Level

adenosine deaminase (ADA) lebih dari 40 U/L memiliki sensitivitas lebih dari 90%

7

dan spesifisitas sekitar 85% untuk tuberkulosis. Peningkatan ADA juga dapat

terjadi pada neoplasma maligna, empyema, dan rheumatoid arthritis.

Foto radiograf posteroanterior konvensional dapat menunjukkan efusi.

Foto thoraks lateral dapat mendeteksi efusi minimal. Jika ada keraguan, USG

thoraks berguna untuk mendeteksi efusi minimal, membedakan cairan pleura dari

penebalan pleura, dan penuntun aspirasi cairan dari efusi minimal atau loculated.

CT thoraks dengan kontras dapat menunjukkan perubahan patologi paru seperti

pneumonia atau tumor dan penebalan pleura dan nodularitas.

Jika hasil analisis cairan dan radiologi tidak cukup untuk mendiagnosis

efusi pleura eksudatif yang persisten, maka merupakan indikasi dilakukan biopsi

pleura. Biopsi dapat dilakukan secara blind, dengan tuntunan imaging, maupun

dengan thorakoskopi. Drainase cairan dan pleurodesis dapat dilakukan pada

saat yang sama dengan thorakoskopi. Bronkoskopi tidak rutin direkomendasikan

kecuali pasien mengalami hemoptisis atau gambaran radiologi mengarah ke

neoplasma maligna seperti ada massa, efusi pleura massif, atau pergeseran

midline ke arah yang berlawanan dengan efusi.

8

9

2.6 Diagnosis Banding

Penyakit infeksi Semua inflamasi pneumonic pleura,

empyema akut, empyema kronik,

pleuritis tuberkulosis, infeksi parasit

Tumor maligna Ca paru primer, Ca paru metastase,

thymoma, leukemia, penyakit

Hodgkin, multiple myeloma, pleura

mesothelioma maligna

Penyakit kolagen Rheumatoid arthritis, SLE

Penyakit gastrointestinal Sirosis hepatis, pancreatitis akut,

abses liver, abses subphrenic,

peritonitis, perforasi esofageal

Penyakit kardiovaskuler Gagal jantung kongestif, infark paru,

rupture aneurisma aorta thoracic

Penyakit ginjal Sindrom nefrotik

Penyakit ginekologi Meigs sindrom, pleural endometriosis

Lain-lain External injury, pneumothoraks

spontan, benign asbestos pleurisy,

sarcoidosis

10

2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada efusi pleura adalah (Mansjoer, 2001) :

1. Aspirasi cairan pleura

Pungsi pleura ditujukan untuk menegakkan diagnose efusi pleura yang

dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopis cairan. Di samping itu

pungsi ditujukan pula untuk melakukan aspirasi atas dasar gangguan

fungsi restriktif paru atau terjadinya desakan pada alat-alat mediastinal.

Jumlah cairan yang boleh diaspirasi ditentukan atas pertimbangan

keadaan umum penderita, tensi dan nadi. Makin lemah keadaan umum

penderita makin sedikit jumlah cairan pleura yang bisa diaspirasi untuk

membantu pernafasan penderita.

Indikasi :

1) Terapeutik : mengurangi sesak nafas

2) Diagnostik : pemeriksaan sitologi, kultur mikroorganisme (resistensi

dan sensitivitas terhadap BTA, jamur dan parasit

Kontraindikasi :

1) Gagal jantung (yang belum diatasi)

2) Keadaan yang tidak dapat mentolerir komplikasi pneumotoraks

3) Keadaan umum sangat lemah sehingga tidak dapat duduk/ setengah

duduk

4) Jumlah cairan terlalu sedikit

5) Gangguan hemostasis yang belum diatasi

6) Pasien dengan positif pressure ventilation karena risiko fistel

bronkopleura dan tension pneumotoraks.

2. Thorakosentesis

Drainase cairan jika efusi pleura menimbulkan gejala subjektif seperti

nyeri, dispnea dan lain-lain. Cairan efusi sebanyak 1-1,5 liter perlu

11

dikeluarkan segera untuk mencegah meningkatnya edema paru. Jika

jumlah cairan efusi lebih banyak maka pengeluaran cairan berikutnya

baru dilakukan 1 jam kemudian.

3. Pemberian antibiotik jika ada infeksi.

4. Pleurodesis

Pada efusi karena keganasan dan efusi rekuren lain, diberikan obat

(tetrasiklin, kalk dan bieomisin) melalui selang interkostalis untuk

melekatkan kedua lapisan pleura dan mencegah cairan terakumulasi

kembali.

5. Tirah baring

Tirah baring ini bertujuan untuk menurunkan kebutuhan oksigen karena

peningkatan aktivitas akan meningkatkan kebutuhan oksigen sehingga

dyspnea akan semakin meningkat pula.

6. Biopsi pleura, untuk mengetahui adanya keganasan

2.8 Komplikasi

a. Infeksi

b. Fibrosis paru

Sedangkan komplikasi dari tindakan torakosentesis dapat menyebabkan :

a. Trauma

Karena aspirasi dilakukan dengan blind, kemungkinan dapat

mengenai pembuluh darah, saraf atau alat-alat lain di samping

merobek pleura parietalis yang dapat menyebabkan pneumotoraks.

b. Mediastinal displacement

Pindahnya struktur mediastinum dapat disebabkan oleh penekanan

cairan pleura tersebut. Tetapi tekanan negatif saat pungsi dapat

menyebabkan bergesernya kembali struktur mediastinal. Tekanan

negatif yang berlangsung singkat menyebabkan pergeseran struktur

mediastinal kepada struktur semula.

c. Gangguan keseimbangan cairan, pH, elektrolit, anemia dan

hipoproteinemia

Pada aspirasi cairan pleura yang berulang kali dalam waktu yang

lama dapat menimbulkan tiga pengaruh pokok :

12

1) Menyebabkan berkurangnya berbagai komponen intra vaskuler

yang dapat menyebabkan anemia, hipoprotein, air dan berbagai

gangguan elektrolit dalam tubuh.

2) Aspirasi cairan pleura menimbulkan tekanan cavum pleura yang

negatif sebagai faktor yang menimbulkan pembentukan cairan

pleura yang lebih banyak.

3) Aspirasi pleura dapat menimbulkan sekunder aspirasi.

2.9 Efusi Pleura Ganas

Efusi pleura ganas adalah masalah klinis yang sering terjadi pada kasus

kanker (Antony VB, 2001). Efusi pleura ganas didefinisikan sebagai efusi yang

terjadi berhubungan dengan keganasan yang dibuktikan dengan penemuan sel

ganas pada pemeriksaan sitologi cairan pleura atau biopsi pleura. Kenyataannya

sel ganas tidak dapat ditemukan pada sekitar 25% kasus efusi pleura yang

berhubngan dengan penyakit keganasan, sehingga jika hanya menggunakan

definisi di atas dapat terjadi kekeliruan pada kasus dengan sitologi/ histologi

negatif. Pada kasus efusi pleura bila tidak ditemukan sel ganas pada cairan atau

hasil biopsi pleura tetapi ditemukan kanker primer di paru atau organ lain,

Departemen Pulmonolgi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI dan Perhimpunan

Dokter Paru Indonesia (PDPI) memasukkannya sebagai efusi pleura ganas.

Pada beberapa kasus, diagnosis efusi pleura ganas didasarkan pada sifat

keganasan secara klinis, yaitu cairan eksudat yang serohemoragik/ hemoragik,

berulang, massif, tidak respons terhadap antiinfeksi atau sangat produktif

meskipun telah dilakukan torakosentesis untuk mengurangi volume cairan

intrapleura.3

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia mendefinisikan efusi pleura ganas yaitu

(Subagyo, 1998) :

a. Efusi pleura yang terbukti ganas secara sitologi (cairan pleura)

atau histologi (biopsi pleura)

b. Efusi pleura pada pasien dengan riwayat atau bukti yang jelas

terdapat keganasan organ intratoraks maupun ekstratorak

Efusi pleura yang sifat keganasannya hanya dapat dibuktikan secara

klinis yaitu hemoragis, massif, berulang dan tidak responsif terhadap pengobatan

antiinfeksi.2

13

Seperti pada penderita efusi pleura lain, EPG memberikan gejala sesak

nafas, nafas pendek, batuk, nyeri dada dan isi dada terasa penuh. Gejala ini sangat

bergantung pada jumlah cairan dalam rongga pleura. Pada pemeriksaan fisik

ditemukan gerakan diafragma berkurang dan deviasi trakea dan/atau jantung kea

rah kontralateral, fremitus melemah, perkusi redup dan suara nafas melemah pada

sisi toraks yang sakit. Pada kanker paru, infiltrasi pleura oleh sel tumor dapat terjadi

sekunder akibat perluasan langsung (infiltrasi) terutama tumor jenis

adenokarsinoma yang letaknya perifer. Dapat juga terjadi akibat metastasis ke

pembuluh darah dan getah bening. Bila efusi pleura terjadi akibat metastasis, cairan

pleuranya banyak mengandung sel tumor ganas sehingga pemeriksaan sitologi

cairan pleura dapat diharapkan member hasil positif.6,7

Diagnosis EPG dapat ditegakkan bila didapat sel ganas dari hasil

pemeriksaan sitologi cairan pleura atau biopsi pleura. Meski terkadang sulit

didapatkan dan dugaan/ suspek EPG berdasarkan sifat dan produktivitas cairan

yang dihasilkan. Menegakkan diagnosis EPG serta menetapkan tumor primer yang

menjadi penyebabnya merupakan langkah pertama penanggulangan EPG. Seperti

penyakit lain, anamnesis yang sistematis dan teliti dapat menuju ke pencarian tumor

primer. Pemeriksaan jasmani perlu untuk menentukan lokasi dan tingkat berat

ringannya keluhan dan perlu tidaknya tindakan segera untuk mengurangi keluhan

dan terkadang untuk menyelamatkan nyawa penderita. Pemeriksaan fisik

menyeluruh perlu dilakukan untuk mencari tumor primer. Pemeriksaan laboratorium

cairan pleura dapat memastikan cairan adalah eksudat. Pemeriksaan sitologi cairan

pleura adalah hal yang tidak boleh dilupakan jika kita menduga EPG. Pemeriksaan

radiologik dengan foto toraks PA/Lateral untuk menilai massif tidaknya cairan yang

terbentuk, juga kemungkinan melihat terdapatnya tumor primer. Untuk mendapatkan

data yang informatif, pemeriksaan CT-scan toraks sebaiknya dilakukan setelah

cairan dapat dikurangi semaksimal mungkin. Pemeriksaan penunjang lain seperti

biopsi pleura akan sangat membantu. Tindakan bronkoskopi, biopsi transtorakal,

USG toraks, dan torakotomi eksplorasi adalah prosedur tindakan yang terkadang

perlu dilakukan untuk penegakan diagnosis.4

Efusi pleura ganas mempunyai 2 aspek penting dalam penatalaksanaannya

yaitu pengobatan lokal dan pengobatan kausal. Pengobatan kausal disesuaikan

dengan stage dan jenis tumor. Tidak jarang tumor primer sulit ditemukan, maka

aspek pengobatan lokal menjadi pilihan dengan tujuan untuk mengurangi sesak

napas yang sangat mengganggu terutama bila produksi cairan berlebihan dan

cepat. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain, pungsi pleura, pemasangan WSD

14

dan pleurodesis untuk mengurangi produksi cairan. Zat-zat yang dapat dipakai

antara lain talk, tetrasiklin, mitomisin-C, adriamisin dan bleomisin. Bila tumor primer

beasal dari paru dan dari cairan pleura ditemukan sel ganas maka EPG termasuk

T4, tetapi bila ditemukan sel ganas pada biopsi pleura termasuk stage IV. Bila

setelah dilakukan berbagai pemeriksaan tumor primer paru tidak ditemukan, dan

tumor-tumor di luar paru juga tidak dapat dibuktikan, maka EPG dianggap berasal

dari paru. Apabila tumor primer ditemukan di luar paru, maka EPG ini termasuk

gejala sistemik tumor tersebut dan pengobatan disesuaikan dengan

penatalaksanaan untuk pengobatan kanker primernya.6

Sindrom Vena Cava Superior (SVCS)

Sindrom vena cava superior muncul bila terjadi gangguan aliran oleh

berbagai sebab, di antaranya tumor paru dan tumor mediastinum. Gangguan ini

pada penderita kanker paru muncul akibat penekanan atau invasi massa ke vena

cava superior, sehingga menimbulkan gejala SVCS.

Keluhan yang ditimbulkan tergantung berat ringannya gangguan, sakit

kepala, sesak nafas, batuk, sinkope, sakit menelan, dan batuk darah. Pada keadaan

berat selain gejala sesak nafas yang hebat dapat dilihat pembengkakan leher dan

lengan kanan disertai pelebaran vena-vena subkutan leher dan dada. Keadaan ini

kadang-kadang memerlukan tindakan emergensi untuk mengatasi keluhan.3

Obstruksi Bronkus

Obstruksi terjadi karena tumor intrabronkial menyumbat langsung atau

tumor di luar bronkus menekn bronkus sehingga terjadi sumbatan. Sumbatan

intrabronkial dapat parsial atau total dan kadang-kadang diperlukan tindakan untuk

meningkatkan kualitas hidup penderita.

Keluhan sesak nafas disertai nafas berbunyi dapat terjadi pada obstruksi

yang hebat. Keluhan akan bertambah bila disertai “mucus plug”. Pada pemeriksaan

jasmani akan ditemukan bunyi nafas melemah pada sisi paru yang sakit, dan dapat

dijumpai pula bunyi nafas patologis, misalnya mengi pada ekspirasi dan inspirasi,

suara ekspirasi memanjang atau stridor bila sumbatan pada jalan nafas yang besar.

Invasi Dinding Toraks

Tidak jarang tumor yang berada di perifer paru menunjukkan invasi ke

dinding toraks sehingga menimbulkan keluhan nyeri yang sangat, misalnya pada

tumor Pancoast. Keluhan juga dapat terjadi akibat proses metastasis ke berbagai

15

tulang yang membentur rongga dada. Tindakan radiasi segera untuk mengurangi

keluhan dapat diberikan.

Batuk darah (Hemoptisis)

Hemoptisis pada kanker paru juga terkadang memerlukan segera karena

dapat mengancam nyawa. Pada batuk darah massif juga harus dilakukan segera

tindakan bronkoskopi, selain untuk membuang bekuan darah (stool cell), tindakan

ini juga perlu untuk mengetahui sumber perdarahan yang bermanfaat bila

diperlukan pembedahan untuk mengatasinya. Radiasi adalah salah satu

noninvasive untuk batuk darah.

Kompresi (penekanan) Esofagus

Keluhan akibat penekanan pada esophagus dapat dikurangi dengan

pemberian radiasi.

Kompresi Sumsum Tulang

Keluhan akibat kompresi sumsum tulang biasanya adalah efek samping obat

atau radiasi. Leucopenia (neutropeni) dan trombositopeni merupakan keluhan yang

sering timbul. Pada gangguan ringan, perbaikan dapat terjadi tanpa pengobatan

sebagai proses perbaikan stem cell yang terjadi setelah sekitar 21 hari. Meskipun

jarang terjadi kegawatan seperti neutropeni fever sering dapat menyebabkan

kematian.

Metastasis

Metastasis kanker paru dapat terjadi di dalam paru (intrapulmoner) dan/atau

di luar paru (ekstrapulmoner). Metastasis intrapulmoner tidak memerlukan tindakan

khusus, sedangkan metastasis ekstrapulmoner terkadang membutuhkannya.

Keluhan nyeri atau sesak nafas akibat invasi langsung tumor ke dinding dada atau

mediastinum ipsilateral tidak dianggap sebagai metastasis, meskipun terkadang

dibutuhkan tindakan khusus untuk mengatasi keluhan tersebut. Metastasis diatasi

bila telah menimbulkan keluhan tetapi terkadang perlu segera dilakukan tindakan

sebagai usaha preventif, misalnya telah terjadi metastasis ke tulang belakang.

Prinsip pengobatan untuk metastasis ini lebih diupayakan untuk memperbaiki

kualitas hidup penderita.

Metastasis ke tulang, keluhan yang sering terjadi adalah nyeri dan patah

tulang. Nyeri akibat metastasis ke tulang dapat diatasi dengan pemberian radiasi.

16

Jika tidak memungkinkan maka nyeri diatasi dengan pemberian obat penghilang

nyeri (cancer pain). Fraktur (patah) tulang sering terjadi akibat metastasis ke tulang

panjang, penatalaksanaan untuk patah tulang akibat metastasis ini sama seperti

kasus patah tulang lainnya.

Metastasis ke otak, jenis adenokarsinoma sering bermetastasis ke otak. Bila

memungkinkan maka intervensi bedah dapat dilakukan untuk nodul soliter di otak.

Bila terjadi multiple nodul di otak atau tindakan bedah tidak mungkin dilakukan

maka radiasi menjadi pilihan. Jika tidak memungkinkan untuk tindakan bedah dan

radiasi maka keluhan akibat penekanan di rongga kepala dapat dikurangi dengan

pemberian obat golongan steroid.3

17

BAB III

PRESENTASI KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. S

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 76 tahun

Alamat : Tulungagung

Tanggal masuk : 31 Maret 2014 pk 10.15

3.2 Anamnesis

Keluhan utama : Sesak nafas

Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang dengan keluhan sesak. Sesak kambuh-kambuhan sejak 2

bulan yang lalu dan semakin memberat, serta perut terasa sebah dan

kembung. Pasien juga mengeluh batuk berdahak yang kumat-kumatan.

Tidak ada panas badan maupun kaki bengkak. Pasien merasa berat badan

semakin turun dalam 2 bulan terakhir. BAB dan BAK normal.

Riwayat penyakit dahulu

Pasien telah MRS dua kali (tanggal 1 Maret dan 17 Maret 2014) dengan

keluhan yang sama. Pasien sempat dilakukan pengambilan cairan paru 3

kali, 600 cc, 1500 cc, dan 750 cc, awalnya berwarna kekuningan kemudian

menjadi kemerahan. Sebelumnya pasien tidak ada riwayat sakit jantung,

hati maupun ginjal, dan tidak ada riwayat infeksi paru.

Riwayat trauma

Pasien tidak mengalami trauma.

Riwayat alergi

Tidak ada asma, gatal-gatal, maupun alergi makanan pada pasien

3.3 Pemeriksaan Fisik

Kesan umum : Tampak sesak, underweight

Tanda-tanda vital

o GCS : 456

18

o Tekanan darah : 110/70

o Nadi : 78x/menit, reguler, pulsasi cukup

o Pernafasan : 28x/menit, teratur

o Suhu : 36,7˚ C

Status Generalis

a. Kepala-Leher

Kepala

o Edema palpebra : -/-

o Konjunctiva anemis : (-)

o Sklera ikterik : (-)

Leher

o Trakea : tidak ada deviasi

o Kelenjar tiroid : tidak ada pembesaran

o Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran

o JVP : tidak meningkat

b. Toraks :

Jantung: bunyi jantung S1S2 tunggal, reguler, murmur (- ),gallop (-)

Paru:

Inspeksi : asimetris, gerak dada kanan tertinggal, retraksi

dinding dada (-)

Palpasi : tidak ada krepitasi, tidak teraba massa,

vocal fremitus : sulit dievaluasi

Perkusi :

Sonor Sonor

Redup Sonor

Redup Sonor

Auskultasi :

suara nafas: vesikuler vesikuler

↓ vesikuler

↓ vesikuler

Rhonki - - Wheezing - -

- - - -

- - - -

19

c. Abdomen :

o Inspeksi : flat

o Auskultasi : BU (+)

o Perkusi : tympani, traube space tympani, liver span 8 cm

o Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan

epigastrium

d. Extremitas :

akral dingin kering, CRT < 2 detik

Anemis -/- Ikterik -/- Edema -/-

-/- -/- -/-

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Lab : GDA, DL, OT/PT, Ur/Cr, SE, BGA

Foto Thorax PA, USG Fast, EKG

Lab Hasil Nilai normal Lab Hasil Nilai normal

Leukosit 10.670 4-10 10^3/uL SGOT 26 0-40 U/l

Eritrosit 2.26 3,8-6 10^3/uL SGPT 10.7 0-41 U/l

Hemoglobin 6.3 11-16,5 g/dl BUN 12.8 6-20 mg/dl

Hematokrit 20.1 35-50 % Cr 0.82 0.67-1.5 mg/dl

Trombosit 141 150-450 10^3/uL GDA 144.5 0-140 mg/dL

MCV 88.9 81-99 Natrium 139.2 135-148 mmol/L

MCH 27.9 27-31 Kalium 3.18 3.5-4.5 mmol/L

MCHC 31.3 33-37 Chlorida 103.9 98-107 mmol/L

Limfosit 0.79 1-3,7 Calsium 3.65 4.49-5.29 mg/dL

Monosit 0.85 0,16-1 Albumin 3.35 3.8-4.6 g/dL

Neutrofil 8.96 1.5-7

Basofil 0.03 0-0,2

Eosinofil 0.04 0-0,8

Parameter Hasil Nilai normal

PH 7,668 7,350 - 7,450

PO2 222,7 80,0 - 100,00 mmHg

PCO2 23,5 35,0 - 45,0 mmHg

20

SO2 99,9 75,0 - 99,0 %

BE 5,7 ± 2 mmol/L

HCO3 26,4 23 - 27 mmol/L

TCO2 27,1 23 - 29 mmol/L

Kesimpulan : alkalosis respiratori

USG : gambaran hipoechoic paru kanan

3.5 Diagnosis

SOB dt Efusi pleura D massif suspek keganasan

3.6 Penatalaksanaan

Posisi semifowler

O2 NRBM 8-10 lpm

21

Pasang DC

Inj. Levofloxacin 500 mg iv

Inj. Metilprednisolon 125 mg iv

Evakuasi cairan pleura 500 cc serohemoragik

3.7 Follow Up

Tangg

al

Subjektif Objektif Assesment Planning

31

Maret

2014

(ROI)

Sesak

(+)

GCS 435

T: 100/60

N: 60x/menit

R: 36x/menit

SaO2 98%

Efusi pleura

D massif

Terapi lanjut

Cek DL ulang

1 April

2014

(ROI)

Sesak

(+)

GCS 445

T:131/79

N: 80x/menit

R: 36x/menit

SaO2 99%

Efusi pleura

D massif

Pdx : Hb post transfusi

Ptx :

O2 NRBM 8-10 lpm

IVFD PZ 7 tpm

Transfusi PRC 1 labu/

hari sd Hb ≥ 10 g/dL

Inj. Levofloxacin

1x500 mg iv

Lab Hasil Nilai normal

Leukosit 12.91 4-10 10^3/uL

Eritrosit 2.50 3,8-6 10^3/uL

Hemoglobin 6.9 11-16,5 g/dl

Hematokrit 21.4 35-50 %

Trombosit 126 150-450 10^3/uL

MCV 85.6 81-99

MCH 27.6 27-31

MCHC 32.2 33-37

Limfosit 0.78 1-3,7

Monosit 0.77 0,16-1

Neutrofil 11.35 1.5-7

Basofil 0.01 0-0,2

22

Eosinofil 0.00 0-0,8

2 April

2014

(FLM)

Sesak ↓

Rh (-)

Wh (-)

Ves ↓ +

GCS 445

T: 110/70

N: 92x/menit

R: 28x/menit

Hb : 8,5

Efusi pleura

D massif

Pdx : -

Ptx :

O2 NRBM 8-10 lpm

IVFD PZ 7 tpm

Transfusi PRC 1

labu/hari sd Hb ≥ 10

g/dL

Inj. Levofloxacin

1x500 mg iv

3 April

2014

(FLM)

Sesak ↓ GCS 425

T: 100/70

N: 96x/menit

R: 28x/menit

Efusi pleura

D massif

Pdx : cek Hb

Ptx :

O2 nasal 2-4 lpm

IVFD PZ 7 tpm

Inj. Levofloxacin

1x500 mg iv

Px minta PLPS

KRS

23

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Penegakan Diagnosis Efusi Pleura pada Pasien

Diagnosis efusi pleura pada pasien ini ditegakkan dari anamnesis,

pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan

keluhan utama pasien adalah sesak nafas. Sesak kambuh-kambuhan sejak 2

bulan yang lalu dan semakin memberat, serta perut terasa sebah dan kembung.

Pasien juga mengeluh batuk berdahak yang kumat-kumatan. Tidak ada panas

badan maupun kaki bengkak. Pasien merasa berat badan semakin turun dalam 2

bulan terakhir. BAB dan BAK normal. Riwayat penyakit dahulu, pasien telah MRS

dua kali dengan keluhan yang sama, sempat dilakukan pengambilan cairan paru

3 kali, awalnya berwarna kekuningan kemudian menjadi kemerahan.

Sebelumnya pasien tidak ada riwayat sakit jantung, hati maupun ginjal, dan tidak

ada riwayat infeksi paru. Dari anamnesis ini dan dilihat dari umur pasien yang

sudah tua, efusi pleura mengarah ke suspek keganasan.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sesak, underweight,

takipneu dan akral dingin. Pemeriksaan thoraks dari inspeksi didapatkan thoraks

asimetris, gerak dada kanan tertinggal, auskultasi didapatkan suara vesikuler

paru kanan menurun dibandingkan dengan yang kiri, tidak didapatkan rhonki dan

wheezing. Perkusi thoraks didapatkan redup pada paru kanan. Pemeriksaan

stem fremitus tidak dapat dievaluasi pada pasien ini karena kondisinya yang

sesak dan lemah. Pemeriksaan lain dalam batas normal.

Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien ini adalah

laboratorium, foto thoraks, serta USG. Dari laboratorium didapatkan leukositosis,

anemia, hipoalbuminemia, serta kondisi alkalosis respiratorik dari hasil BGA. Dari

foto thoraks didapatkan gambaran perselubungan pada hemithoraks dextra

dengan sinus frenicocostalis kanan tumpul dan meniscus sign positif. Gambaran

roentgen tersebut sesuai dengan tanda efusi pleura. Pada pasien ini telah

dilakukan evakuasi cairan pleura di IGD, sebanyak 500 cc berwarna

serohemoragik. Hal ini semakin menguatkan kecurigaan ke arah keganasan.

24

4.2 Analisis Penatalaksanaan Efusi Pleura pada Pasien

Untuk penanganan awal pada pasien ini dilakukan stabilisasi kondisi

dengan pemberian oksigenasi, serta evakuasi cairan pleura untuk mengurangi

sesaknya. Kemudian diberikan antibiotik untuk profilaksis infeksi.

Untuk penatalaksanaan di ruangan pada pasien ini tetap diberikan

oksigenasi, cairan maintenance, pemberian antibiotik serta diberikan transfusi

PRC untuk mengatasi kondisi anemia. Pada pasien ini juga telah dilakukan

pemeriksaan analisis cairan pleura namun hasil belum jadi. Dan sangat

disayangkan pada hari keempat perawatan pasien memutuskan untuk PLPS

karena merasa kondisi sesak yang tidak berkurang dan merasa tidak ada

harapan untuk sembuh.

25

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Efusi pleura adalah akumulasi cairan abnormal atau penimbunan cairan

yang berlebih dalam rongga pleura diantara permukaan visceral dan parietal

yang berupa transudat maupun eksudat.

Efusi pleura dapat timbul bila terjadi peningkatan tekanan hidrostatik

sistemik, penurunan tekanan osmotic koloid darah akibat hipoproteinemia,

kerusakan dinding pembuluh darah atau dalam rongga pleura pada atelektasis

yang luas, gangguan penyerapan kembali cairan pleura oleh saluran pembuluh

getah bening, hipersensitif terhadap tuberkuloprotein, robeknya pembuluh darah

atau saluran getah bening dan cairan ascites dapat mengalir melalui pembuluh

getah bening diafragma atau defek makroskopis pada diafragma.

Diagnosis dari efusi pleura dimulai dari menggali riwayat klinis pasien dan

melakukan pemeriksaan fisik dan dilanjutkan dengan pemeriksaan radiografi

thorax dan analisis cairan pleura. Jika diperlukan, dilanjutkan dengan

pemeriksaan CT thoraks, biopsi pleura, thorakoskopi, dan bronkoskopi.

Penatalaksanaan efusi pleura adalah dengan aspirasi cairan pleura,

thorakosentesis, pemberian antibiotik, pleurodesis, tirah baring, biopsi pleura.

5.2 Saran

Diperlukan ketepatan diagnosis dan penanganan awal pasien dengan

efusi pleura. Apabila kondisi penanganan tidak dilakukan dengan segera maka

kondisi pasien dapat bertambah buruk yang nantinya akan mempengaruhi

prognosis dari pasien.

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Lee YCG; Light RW. Textbook of Pleural Diseases. London, Englang:

Hodder Amold. 2003.

2. Light RW. Pleural Diseases. 5th ed. Philadeplphia, PA: Lippincott Williams &

Wilkins. 2007.

3. Konsensus Kanker Paru. Penatalaksanaan Pada Keadaan Khusus. PDPI :

2009.

4. McGrath, E. Emmet, et al. Diagnosis of Pleural Effusion : A Systematic

Approach. American Journal of Critical Care. Vol 20 No 2. 2011.

5. Sato, Tetsuo. Differential Diagnosis of Pleural Effusions. JMAJ 49(9-10):

315-319. 2006.

6. Moffett, U, Padmini, et al. Diagnosing and Managing Suspected Malignant

Pleural Effusions. www.supportiveoncology.net. Vol 7 No 4. 2009.

7. Antunes, G, et al. BTS Guidelines For The Management Of Malignant

Pleural Effusions. www.thoraxjnl.com. 2003.

27