Presentasi Kasus Ep
-
Upload
androd42923564257 -
Category
Documents
-
view
222 -
download
0
description
Transcript of Presentasi Kasus Ep
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Efusi pleura merupakan penyakit saluran pernafasan. Penyakit ini bukan
suatu disease entity tetapi merupakan suatu gejala penyakit yang serius yang
dapat mengancam jiwa penderita.
Secara geografis penyakit ini terdapat di seluruh dunia, bahkan menjadi
masalah utama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia.
Penyakit efusi pleura dapat ditemukan sepanjang tahun dan jarang dijumpai
secara sporadic tetapi lebih sering bersifat epidemic di suatu daerah.
Diagnosis dari efusi pleura ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis dari efusi pleura dimulai dari menggali
riwayat klinis pasien dan melakukan pemeriksaan fisik dan dilanjutkan dengan
pemeriksaan radiografi thorax dan analisis cairan pleura. Jika diperlukan,
dilanjutkan dengan pemeriksaan CT thoraks, biopsi pleura, thorakoskopi, dan
bronkoskopi.
Pengetahuan yang dalam tentang efusi pleura dan segalanya merupakan
pedoman dalam mendiagnosis serta memberikan terapi awal pada pasien. Oleh
karena itu pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai bagaimana
mendiagnosis efusi pleura, apa saja diagnosis banding dari efusi pleura, dan
bagaimana penatalaksanaan pasien dengan efusi pleura.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara mendiagnosis efusi pleura?
2. Apa saja diagnosis banding dari efusi pleura?
3. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan efusi pleura?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui cara mendiagnosis efusi pleura.
2. Untuk mengetahui apa saja diagnosis banding dari efusi pleura.
3. Untuk mengetahui penatalaksanaan pasien dengan efusi pleura.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Klasifikasi
Efusi pleura adalah adanya cairan yang berlebih dalam rongga pleura
baik transudat maupun eksudat (Suzanne, 2001).
Efusi pleura adalah jumlah cairan nonpurulen yang berlebihan dalam
rongga pleural, antara lapisan visceral dan parietal (Arif, 2001).
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat akumulasi cairan
yang abnormal dalam rongga pleura (Brunner dan Suddarth, 2001).
Jadi kesimpulan efusi pleura adalah akumulasi cairan abnormal atau
penimbunan cairan yang berlebih dalam rongga pleura diantara permukaan
visceral dan parietal yang berupa transudat maupun eksudat.1
Klasifikasi Efusi Pleura :
1. Efusi Pleura Transudat
Pada efusi jenis transudat ini keseimbangan kekuatan menyebabkan
pengeluaran cairan dari pembuluh darah. Mekanisme terbentuknya
transudat karena peningkatan tekanan hidrostatik (CHF), penurunan
onkotik (hipoalbumin) dan tekanan negatif intra pleura yang meningkat
(atelektasis akut).
Ciri-ciri cairan :
- Serosa jernih
- Berat jenis rendah (di bawah 1,012)
- Terdapat limfosit dan mesofel tetapi tidak ada neutrofil
- Protein < 3%
Penimbunan cairan transudat dalam rongga pleura dikenal dengan
hydrothorax, penyebabnya :
a. Payah jantung
b. Penyakit ginjal (SN)
c. Penyakit hati (SH)
d. Hipoalbuminemia (malnutrisi, malabsorbsi)1
2. Efusi Pleura Eksudat
2
Eksudat ini terbentuk sebagai akibat penyakit dari pleura itu sendiri yang
berkaitan dengan peningkatan permeabilitas kapiler (missal pneumonia)
atau drainase limfatik yang berkurang (misal obstruksi aliran limfa karena
karsinoma).
Ciri cairan eksudat :
- Berat jenis > 1,015
- Kadar protein > 3% atau > 30 g/dL
- Ratio protein pleura berbanding LDH serum 0,6
- LDH cairan pleura lebih besar daripada 2/3 batas atas LDH serum
normal
- Warna cairan keruh
Penyebab dari efusi eksudat ini adalah :
a. Kanker : karsinoma bronkogenik, mesotelioma atau penyakit
metastatik ke paru atau permukaan pleura
b. Infark paru
c. Pneumonia
d. Pleuritis virus1
2.2 Anatomi
Paru-paru merupakan organ elastis berbentuk kerucut yang terletak
dalam rongga thoraks atau dada. Kedua paru-paru saling terpisah oleh
mediastinum sentral yang mengandung jantung dan pembuluh-pembuluh darah
besar. Setiap paru-paru mempunyai apeks dan basis. Arteria pulmonalis dan
darah arteria bronkhialis, bronkus, saraf dan pembuluh limfe masuk pada setiap
paru-paru kiri dan dibagi menjadi tiga lobus oleh fisura interlobaris. Paru-paru
dibagi menjadi dua lobus, kemudian lobus tersebut dibagi lagi menjadi segmen-
segmen sesuai dengan segmen bronchus, paru-paru kanan dibagi menjadi 10
segmen sedangkan paru-paru kiri dibagi menjadi 9.
Proses patologis seperti atelektasis dan pneumonia biasanya hanya
terbatas pada satu lobus dan segmen saja. Pleura ada dua macam : pleura
parietal yang melapisi rongga thoraks, sedangkan pleura viseralis yang menutup
setiap paru-paru. Di antara pleura parietal dan viseralis terdapat cairan pleura
seperti selaput tipis yang memungkinkan kedua permukaan tersebut bergesekan
satu sama lain selama respirasi, dan mencegah pemisahan thoraks dan paru-
paru. Sifat ini analog dengan dua slide dari gelas yang saling diletakkan dengan
3
air, kedua slide tersebut dapat bergeser satu sama lain, tetapi keduanya tidak
dapat dipisahkan dengan mudah begitu saja. Hal yang sama juga terdapat pada
cairan pleura antara paru-paru dan thoraks. Tekanan dalam rongga pleura lebih
rendah dari tekanan atmosfir, sehingga mencegah kolaps paru-paru. Ketika paru
terserang penyakit, pleura mengalami peradangan atau udara atau cairan dapat
masuk ke dalam rongga pleura, menyebabkan paru-paru tertekan atau kolaps.2
2.3 Etiologi
Etiologi dari efusi pleura ini adalah (Davey, 2002) :
1. Efusi pleura transudat
a. Gagal jantung
b. Sindroma nefrotik
c. Hipoalbuminemia
d. Sirosis hepatis
2. Efusi pleura eksudat
a. Pneumonia bakterialis
b. Karsinoma
c. Infark paru
d. Pleuritis
Etiologi secara umum (Mansjoer, 2001) :
1. Neoplasma seperti bronkogenik dan metastatik
2. Kardiovaskuler seperti CHF, emboli pulmonal, dan perikarditis
3. Penyakit pada abdomen seperti pancreatitis, asites, abses, sindroma
meigs
4. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, mikrobakterial dan
parasit
5. Trauma
6. Lain-lain seperti SLE, rheumatoid arthritis, sindroma nefrotik atau anemia
2.4 Patogenesis
Rongga pleura dalam keadaan normal mengandung cairan dengan kadar
protein rendah (<1,5 g/dL) yang dibentuk oleh pleura visceral dan parietal. Cairan
kemudian diserap oleh pleura parietal melalui pembuluh limfe dan pleura visceral
melalui pembuluh darah mikro. Produksinya sekitar 0,01 ml/kgBB/jam hampir
4
sama dengan kecepatan penyerapan dan dalam rongga pleura volume cairan
pleura lebih kurang 10-20 ml. Mekanisme ini mengikuti hukum Starling yaitu
jumlah pembentukan dan pengeluaran seimbang sehingga volume dalam rongga
pleura tetap. Cairan pleura berfungsi sebagai pelican agar paru dapat bergerak
dengan leluasa saat bernafas.2
Dalam keadaan normal rongga pleura mengandung kurang lebih 10-20 ml
cairan dengan konsentrasi protein rendah, terdapat di antara pleura viseralis dan
parietalis yang berfungsi sebagai pelican agar gerakan kedua pleura tidak
terganggu. Cairan ini dibentuk oleh kapiler parietalis dan direabsorbsi oleh kapiler
dan pembuluh getah bening pleura viseralis. Keseimbangan ini tergantung pada
tekanan hidrostatik, dan direabsorbsi oleh kapiler dan pembuluh getah bening
pleura dan penyaluran cairan pleura oleh saluran getah bening. Pada keadaan
patologis rongga pleura dapat menampung beberapa liter cairan dan udara. Efusi
pleura dapat timbul bila terjadi peningkatan tekanan hidrostatik sistemik,
penurunan tekanan osmotic koloid darah akibat hipoproteinemia, kerusakan
dinding pembuluh darah atau dalam rongga pleura pada atelektasis yang luas,
gangguan penyerapan kembali cairan pleura oleh saluran pembuluh getah
bening, hipersensitif terhadap tuberkuloprotein, robeknya pembuluh darah atau
saluran getah bening dan cairan ascites dapat mengalir melalui pembuluh getah
bening diafragma atau defek makroskopis pada diafragma.
Patofisiologi efusi pleura ganas belum jelas benar tetapi berkembang
beberapa hipotesis untuk menjelaskan mekanisme efusi pleura ganas. Akumulasi
efusi di rongga pleura terjadi akibat peningkatan permeabilitas pembuluh darah
karena reaksi inflamasi yang ditimbulkan oleh infiltrasi sel kanker pada pleura
parietal dan/atau viseral. Mekanisme lain yang mungkin adalah invasi langsung
tumor yang berdekatan dengan pleura, obstruksi pada kelenjar limfe, penyebaran
hematogen atau tumor primer pleura (mesotelioma). Gangguan penyerapan
cairan oleh pembuluh limfe pada pleura parietal akibat deposit sel kanker itu
menjadi penyebab akumulasi cairan di rongga pleura. Teori lain menyebutkan
terjadi peningktan permeabilitas yang disebabkan oleh gangguan fungsi
beberapa sitokin antara lain tumor ncrosing factor-α (TNF- α), tumor growth
factor-β (TGF- β) dan vascular endothelial growth factor (VEGF). Penulis lain
mengaitkan efusi pleura ganas dengan gangguan metabolism, menyebabkan
hipoproteinemia dan penurunan tekanan osmotic yang memudahkan
perembesan cairan ke rongga pleura (Syahruddin dkk, 2009).
5
2.5 Diagnosis
Diagnosis dari efusi pleura dimulai dari menggali riwayat klinis pasien dan
melakukan pemeriksaan fisik dan dilanjutkan dengan pemeriksaan radiografi
thorax dan analisis cairan pleura. Jika diperlukan, dilanjutkan dengan
pemeriksaan CT thoraks, biopsi pleura, thorakoskopi, dan bronkoskopi.5
Gejala Klinis
Pasien dengan efusi pleura biasanya mengeluh sesak, batuk, dan nyeri
dada yang bersifat tajam dan tidak menjalar, yang sering karena nyeri pleuritik.
Riwayat dari gangguan jantung, ginjal atau hati mengarah pada efusi transudat.
Riwayat kanker lebih mengarah ke efusi pleura maligna. Riwayat kaki bengkak
atau thrombosis vena dalam sebelumnya dapat mengakibatkan efusi yang
berkaitan dengan emboli paru. Riwayat pneumonia berulang mengarah pada
efusi parapneumonik, baik yang komplikasi (empyema) maupun yang
nonkomplikasi. Riwayat trauma dapat mengakibatkan hemotoraks atau
cilotoraks. Riwayat terpapar asbestosis sering pada pasien dengan efusi benign
yang berhubungan dengan paparan atau memiliki mesothelioma. Riwayat dilatasi
esofagus atau endoskopi dapat mengekibatkan rupture esofageal. Beberapa
pengobatan, seperti amiodaron, methotrexate, fenitoin, dan nitrofurantoin, dapat
menyebabkan efusi pleura. Rheumatoid arthritis dan kondisi autoimun lainnya
juga dapat menyebabkan efusi.
Suatu tanda seperti hemoptisis mungkin berhubungan dengan neoplasma
maligna, emboli paru, atau tuberkulosis berat. Demam terjadi pada tuberkulosis,
empyema dan pneumonia. Berat badan turun berhubungan dengan neoplasma
maligna dan tuberkulosis. Temuan fisik seperti ascites dapat mengindikasikan
sirosis, kanker ovarium, atau Meig syndrome. Pembengkakan tungkai unilateral
mengindikasikan kuat adanya emboli paru, sedangkan pembengkakan tungkai
bilateral berhubungan dengan transudat yang disebabkan karena gagal jantung
atau hati. Pericardial friction rub terjadi pada pericarditis.
Dari hasil radiografi thoraks, jika didapatkan efusi pleura unilateral,
diagnosis bandingnya luas. Sedangkan efusi pleura bilateral diagnosis
bandingnya lebih sedikit dan termasuk penyebab dari efusi transudat seperti
gagal jantung, hati, dan ginjal, hipoalbuminemia, dan pada kasus jarang
neoplasma maligna, emboli paru, dan rheumatoid arthritis. Gagal jantung
6
kongestif adalah penyebab tersering dari efusi pleura bilateral. Thorakosentesis
untuk diagnostik diperlukan hanya pada pasien dengan efusi bilateral yang
ukurannya tidak sama, kemudian pada pasien dengan efusi yang tidak bersepon
dengan terapi, merasakan nyeri dada pleuritik, atau pasien demam. Efusi
biasanya mengalami perbaikan cepat setelah terapi diuretic dimulai.
Thorakosentesis Diagnostik
Thorakosentesis dengan analisis cairan dapat mempersempit diagnosis
banding dengan cepat. Kebanyakan aspirat adalah cairan kuning, menandakan
penyebabnya nonspesifik karena sering terjadi pada beberapa tipe efusi pleura.
Cairan dapat berwarna hemoragis pada kondisi seperti pneumonia, neoplasma
maligna, emboli paru dengan infark, efusi benign karena paparan asbestos, dan
trauma. Pada efusi hemoragis berat, level hematokrit pada cairan yang lebih dari
50% level hematokrit serum mengindikasikan hemothoraks. pH kurang dari 7,2
pada efui yang terinfeksi mengindikasikan efusi parapneumonik yang
terkomplikasi (empyema) hingga dibuktikan, sehingga pemasangan chest drain
dan pengeluaran cairan merupakan prioritas. pH rendah juga terjadi pada rupture
esofageal, rheumatoid arthritis, neoplasma maligna dengan prognosis buruk.
Peningkatan level laktat dehidrogenase terjadi pada limfoma dan tuberkulosis,
sedangkan jika level lebih besar dari 1000 U/L berhubungan dengan empyema.
Pada efusi eksudatif, level glukosa pleura kurang dari 28,8 mg/dL terjadi pada
tuberkulosis, neoplasma maligna, empyema, rheumatoid arthritis, systemic lupus
erythematosus, dan rupture esofageal. Limfositosis pada cairan terjadi pada
kondisi tuberkulosis, sarcoidosis, cilotoraks, rheumatoid arthritis, dan neoplasma
maligna termasuk limfoma. Jika cairan pleura didominasi oleh neutrofil
berhubungan dengan emboli paru, efusi parapneumonik, tuberkulosis akut, dan
efusi benign karen paparan asbestos.
Analisis mikrobiologikal rutin termasuk mengirimkan sampel cairan untuk
pengecatan Gram dan Ziehl-Neelson dan kultur untuk mendeteksi mikobakteria
dan bakteri lain. Analisis sitologi diperlukan jika dicurigai neoplasma maligna, dan
analisis ini positif sekitar 60% pada pasien yang memiliki neoplasma. Jika sampel
pertama negatif, maka sebaiknya dikirimkan sampel kedua karena analisis 2
sampel meningkatkan kesempatan mendiagnosis neoplasma maligna. Level
adenosine deaminase (ADA) lebih dari 40 U/L memiliki sensitivitas lebih dari 90%
7
dan spesifisitas sekitar 85% untuk tuberkulosis. Peningkatan ADA juga dapat
terjadi pada neoplasma maligna, empyema, dan rheumatoid arthritis.
Foto radiograf posteroanterior konvensional dapat menunjukkan efusi.
Foto thoraks lateral dapat mendeteksi efusi minimal. Jika ada keraguan, USG
thoraks berguna untuk mendeteksi efusi minimal, membedakan cairan pleura dari
penebalan pleura, dan penuntun aspirasi cairan dari efusi minimal atau loculated.
CT thoraks dengan kontras dapat menunjukkan perubahan patologi paru seperti
pneumonia atau tumor dan penebalan pleura dan nodularitas.
Jika hasil analisis cairan dan radiologi tidak cukup untuk mendiagnosis
efusi pleura eksudatif yang persisten, maka merupakan indikasi dilakukan biopsi
pleura. Biopsi dapat dilakukan secara blind, dengan tuntunan imaging, maupun
dengan thorakoskopi. Drainase cairan dan pleurodesis dapat dilakukan pada
saat yang sama dengan thorakoskopi. Bronkoskopi tidak rutin direkomendasikan
kecuali pasien mengalami hemoptisis atau gambaran radiologi mengarah ke
neoplasma maligna seperti ada massa, efusi pleura massif, atau pergeseran
midline ke arah yang berlawanan dengan efusi.
8
2.6 Diagnosis Banding
Penyakit infeksi Semua inflamasi pneumonic pleura,
empyema akut, empyema kronik,
pleuritis tuberkulosis, infeksi parasit
Tumor maligna Ca paru primer, Ca paru metastase,
thymoma, leukemia, penyakit
Hodgkin, multiple myeloma, pleura
mesothelioma maligna
Penyakit kolagen Rheumatoid arthritis, SLE
Penyakit gastrointestinal Sirosis hepatis, pancreatitis akut,
abses liver, abses subphrenic,
peritonitis, perforasi esofageal
Penyakit kardiovaskuler Gagal jantung kongestif, infark paru,
rupture aneurisma aorta thoracic
Penyakit ginjal Sindrom nefrotik
Penyakit ginekologi Meigs sindrom, pleural endometriosis
Lain-lain External injury, pneumothoraks
spontan, benign asbestos pleurisy,
sarcoidosis
10
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada efusi pleura adalah (Mansjoer, 2001) :
1. Aspirasi cairan pleura
Pungsi pleura ditujukan untuk menegakkan diagnose efusi pleura yang
dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopis cairan. Di samping itu
pungsi ditujukan pula untuk melakukan aspirasi atas dasar gangguan
fungsi restriktif paru atau terjadinya desakan pada alat-alat mediastinal.
Jumlah cairan yang boleh diaspirasi ditentukan atas pertimbangan
keadaan umum penderita, tensi dan nadi. Makin lemah keadaan umum
penderita makin sedikit jumlah cairan pleura yang bisa diaspirasi untuk
membantu pernafasan penderita.
Indikasi :
1) Terapeutik : mengurangi sesak nafas
2) Diagnostik : pemeriksaan sitologi, kultur mikroorganisme (resistensi
dan sensitivitas terhadap BTA, jamur dan parasit
Kontraindikasi :
1) Gagal jantung (yang belum diatasi)
2) Keadaan yang tidak dapat mentolerir komplikasi pneumotoraks
3) Keadaan umum sangat lemah sehingga tidak dapat duduk/ setengah
duduk
4) Jumlah cairan terlalu sedikit
5) Gangguan hemostasis yang belum diatasi
6) Pasien dengan positif pressure ventilation karena risiko fistel
bronkopleura dan tension pneumotoraks.
2. Thorakosentesis
Drainase cairan jika efusi pleura menimbulkan gejala subjektif seperti
nyeri, dispnea dan lain-lain. Cairan efusi sebanyak 1-1,5 liter perlu
11
dikeluarkan segera untuk mencegah meningkatnya edema paru. Jika
jumlah cairan efusi lebih banyak maka pengeluaran cairan berikutnya
baru dilakukan 1 jam kemudian.
3. Pemberian antibiotik jika ada infeksi.
4. Pleurodesis
Pada efusi karena keganasan dan efusi rekuren lain, diberikan obat
(tetrasiklin, kalk dan bieomisin) melalui selang interkostalis untuk
melekatkan kedua lapisan pleura dan mencegah cairan terakumulasi
kembali.
5. Tirah baring
Tirah baring ini bertujuan untuk menurunkan kebutuhan oksigen karena
peningkatan aktivitas akan meningkatkan kebutuhan oksigen sehingga
dyspnea akan semakin meningkat pula.
6. Biopsi pleura, untuk mengetahui adanya keganasan
2.8 Komplikasi
a. Infeksi
b. Fibrosis paru
Sedangkan komplikasi dari tindakan torakosentesis dapat menyebabkan :
a. Trauma
Karena aspirasi dilakukan dengan blind, kemungkinan dapat
mengenai pembuluh darah, saraf atau alat-alat lain di samping
merobek pleura parietalis yang dapat menyebabkan pneumotoraks.
b. Mediastinal displacement
Pindahnya struktur mediastinum dapat disebabkan oleh penekanan
cairan pleura tersebut. Tetapi tekanan negatif saat pungsi dapat
menyebabkan bergesernya kembali struktur mediastinal. Tekanan
negatif yang berlangsung singkat menyebabkan pergeseran struktur
mediastinal kepada struktur semula.
c. Gangguan keseimbangan cairan, pH, elektrolit, anemia dan
hipoproteinemia
Pada aspirasi cairan pleura yang berulang kali dalam waktu yang
lama dapat menimbulkan tiga pengaruh pokok :
12
1) Menyebabkan berkurangnya berbagai komponen intra vaskuler
yang dapat menyebabkan anemia, hipoprotein, air dan berbagai
gangguan elektrolit dalam tubuh.
2) Aspirasi cairan pleura menimbulkan tekanan cavum pleura yang
negatif sebagai faktor yang menimbulkan pembentukan cairan
pleura yang lebih banyak.
3) Aspirasi pleura dapat menimbulkan sekunder aspirasi.
2.9 Efusi Pleura Ganas
Efusi pleura ganas adalah masalah klinis yang sering terjadi pada kasus
kanker (Antony VB, 2001). Efusi pleura ganas didefinisikan sebagai efusi yang
terjadi berhubungan dengan keganasan yang dibuktikan dengan penemuan sel
ganas pada pemeriksaan sitologi cairan pleura atau biopsi pleura. Kenyataannya
sel ganas tidak dapat ditemukan pada sekitar 25% kasus efusi pleura yang
berhubngan dengan penyakit keganasan, sehingga jika hanya menggunakan
definisi di atas dapat terjadi kekeliruan pada kasus dengan sitologi/ histologi
negatif. Pada kasus efusi pleura bila tidak ditemukan sel ganas pada cairan atau
hasil biopsi pleura tetapi ditemukan kanker primer di paru atau organ lain,
Departemen Pulmonolgi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI dan Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia (PDPI) memasukkannya sebagai efusi pleura ganas.
Pada beberapa kasus, diagnosis efusi pleura ganas didasarkan pada sifat
keganasan secara klinis, yaitu cairan eksudat yang serohemoragik/ hemoragik,
berulang, massif, tidak respons terhadap antiinfeksi atau sangat produktif
meskipun telah dilakukan torakosentesis untuk mengurangi volume cairan
intrapleura.3
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia mendefinisikan efusi pleura ganas yaitu
(Subagyo, 1998) :
a. Efusi pleura yang terbukti ganas secara sitologi (cairan pleura)
atau histologi (biopsi pleura)
b. Efusi pleura pada pasien dengan riwayat atau bukti yang jelas
terdapat keganasan organ intratoraks maupun ekstratorak
Efusi pleura yang sifat keganasannya hanya dapat dibuktikan secara
klinis yaitu hemoragis, massif, berulang dan tidak responsif terhadap pengobatan
antiinfeksi.2
13
Seperti pada penderita efusi pleura lain, EPG memberikan gejala sesak
nafas, nafas pendek, batuk, nyeri dada dan isi dada terasa penuh. Gejala ini sangat
bergantung pada jumlah cairan dalam rongga pleura. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan gerakan diafragma berkurang dan deviasi trakea dan/atau jantung kea
rah kontralateral, fremitus melemah, perkusi redup dan suara nafas melemah pada
sisi toraks yang sakit. Pada kanker paru, infiltrasi pleura oleh sel tumor dapat terjadi
sekunder akibat perluasan langsung (infiltrasi) terutama tumor jenis
adenokarsinoma yang letaknya perifer. Dapat juga terjadi akibat metastasis ke
pembuluh darah dan getah bening. Bila efusi pleura terjadi akibat metastasis, cairan
pleuranya banyak mengandung sel tumor ganas sehingga pemeriksaan sitologi
cairan pleura dapat diharapkan member hasil positif.6,7
Diagnosis EPG dapat ditegakkan bila didapat sel ganas dari hasil
pemeriksaan sitologi cairan pleura atau biopsi pleura. Meski terkadang sulit
didapatkan dan dugaan/ suspek EPG berdasarkan sifat dan produktivitas cairan
yang dihasilkan. Menegakkan diagnosis EPG serta menetapkan tumor primer yang
menjadi penyebabnya merupakan langkah pertama penanggulangan EPG. Seperti
penyakit lain, anamnesis yang sistematis dan teliti dapat menuju ke pencarian tumor
primer. Pemeriksaan jasmani perlu untuk menentukan lokasi dan tingkat berat
ringannya keluhan dan perlu tidaknya tindakan segera untuk mengurangi keluhan
dan terkadang untuk menyelamatkan nyawa penderita. Pemeriksaan fisik
menyeluruh perlu dilakukan untuk mencari tumor primer. Pemeriksaan laboratorium
cairan pleura dapat memastikan cairan adalah eksudat. Pemeriksaan sitologi cairan
pleura adalah hal yang tidak boleh dilupakan jika kita menduga EPG. Pemeriksaan
radiologik dengan foto toraks PA/Lateral untuk menilai massif tidaknya cairan yang
terbentuk, juga kemungkinan melihat terdapatnya tumor primer. Untuk mendapatkan
data yang informatif, pemeriksaan CT-scan toraks sebaiknya dilakukan setelah
cairan dapat dikurangi semaksimal mungkin. Pemeriksaan penunjang lain seperti
biopsi pleura akan sangat membantu. Tindakan bronkoskopi, biopsi transtorakal,
USG toraks, dan torakotomi eksplorasi adalah prosedur tindakan yang terkadang
perlu dilakukan untuk penegakan diagnosis.4
Efusi pleura ganas mempunyai 2 aspek penting dalam penatalaksanaannya
yaitu pengobatan lokal dan pengobatan kausal. Pengobatan kausal disesuaikan
dengan stage dan jenis tumor. Tidak jarang tumor primer sulit ditemukan, maka
aspek pengobatan lokal menjadi pilihan dengan tujuan untuk mengurangi sesak
napas yang sangat mengganggu terutama bila produksi cairan berlebihan dan
cepat. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain, pungsi pleura, pemasangan WSD
14
dan pleurodesis untuk mengurangi produksi cairan. Zat-zat yang dapat dipakai
antara lain talk, tetrasiklin, mitomisin-C, adriamisin dan bleomisin. Bila tumor primer
beasal dari paru dan dari cairan pleura ditemukan sel ganas maka EPG termasuk
T4, tetapi bila ditemukan sel ganas pada biopsi pleura termasuk stage IV. Bila
setelah dilakukan berbagai pemeriksaan tumor primer paru tidak ditemukan, dan
tumor-tumor di luar paru juga tidak dapat dibuktikan, maka EPG dianggap berasal
dari paru. Apabila tumor primer ditemukan di luar paru, maka EPG ini termasuk
gejala sistemik tumor tersebut dan pengobatan disesuaikan dengan
penatalaksanaan untuk pengobatan kanker primernya.6
Sindrom Vena Cava Superior (SVCS)
Sindrom vena cava superior muncul bila terjadi gangguan aliran oleh
berbagai sebab, di antaranya tumor paru dan tumor mediastinum. Gangguan ini
pada penderita kanker paru muncul akibat penekanan atau invasi massa ke vena
cava superior, sehingga menimbulkan gejala SVCS.
Keluhan yang ditimbulkan tergantung berat ringannya gangguan, sakit
kepala, sesak nafas, batuk, sinkope, sakit menelan, dan batuk darah. Pada keadaan
berat selain gejala sesak nafas yang hebat dapat dilihat pembengkakan leher dan
lengan kanan disertai pelebaran vena-vena subkutan leher dan dada. Keadaan ini
kadang-kadang memerlukan tindakan emergensi untuk mengatasi keluhan.3
Obstruksi Bronkus
Obstruksi terjadi karena tumor intrabronkial menyumbat langsung atau
tumor di luar bronkus menekn bronkus sehingga terjadi sumbatan. Sumbatan
intrabronkial dapat parsial atau total dan kadang-kadang diperlukan tindakan untuk
meningkatkan kualitas hidup penderita.
Keluhan sesak nafas disertai nafas berbunyi dapat terjadi pada obstruksi
yang hebat. Keluhan akan bertambah bila disertai “mucus plug”. Pada pemeriksaan
jasmani akan ditemukan bunyi nafas melemah pada sisi paru yang sakit, dan dapat
dijumpai pula bunyi nafas patologis, misalnya mengi pada ekspirasi dan inspirasi,
suara ekspirasi memanjang atau stridor bila sumbatan pada jalan nafas yang besar.
Invasi Dinding Toraks
Tidak jarang tumor yang berada di perifer paru menunjukkan invasi ke
dinding toraks sehingga menimbulkan keluhan nyeri yang sangat, misalnya pada
tumor Pancoast. Keluhan juga dapat terjadi akibat proses metastasis ke berbagai
15
tulang yang membentur rongga dada. Tindakan radiasi segera untuk mengurangi
keluhan dapat diberikan.
Batuk darah (Hemoptisis)
Hemoptisis pada kanker paru juga terkadang memerlukan segera karena
dapat mengancam nyawa. Pada batuk darah massif juga harus dilakukan segera
tindakan bronkoskopi, selain untuk membuang bekuan darah (stool cell), tindakan
ini juga perlu untuk mengetahui sumber perdarahan yang bermanfaat bila
diperlukan pembedahan untuk mengatasinya. Radiasi adalah salah satu
noninvasive untuk batuk darah.
Kompresi (penekanan) Esofagus
Keluhan akibat penekanan pada esophagus dapat dikurangi dengan
pemberian radiasi.
Kompresi Sumsum Tulang
Keluhan akibat kompresi sumsum tulang biasanya adalah efek samping obat
atau radiasi. Leucopenia (neutropeni) dan trombositopeni merupakan keluhan yang
sering timbul. Pada gangguan ringan, perbaikan dapat terjadi tanpa pengobatan
sebagai proses perbaikan stem cell yang terjadi setelah sekitar 21 hari. Meskipun
jarang terjadi kegawatan seperti neutropeni fever sering dapat menyebabkan
kematian.
Metastasis
Metastasis kanker paru dapat terjadi di dalam paru (intrapulmoner) dan/atau
di luar paru (ekstrapulmoner). Metastasis intrapulmoner tidak memerlukan tindakan
khusus, sedangkan metastasis ekstrapulmoner terkadang membutuhkannya.
Keluhan nyeri atau sesak nafas akibat invasi langsung tumor ke dinding dada atau
mediastinum ipsilateral tidak dianggap sebagai metastasis, meskipun terkadang
dibutuhkan tindakan khusus untuk mengatasi keluhan tersebut. Metastasis diatasi
bila telah menimbulkan keluhan tetapi terkadang perlu segera dilakukan tindakan
sebagai usaha preventif, misalnya telah terjadi metastasis ke tulang belakang.
Prinsip pengobatan untuk metastasis ini lebih diupayakan untuk memperbaiki
kualitas hidup penderita.
Metastasis ke tulang, keluhan yang sering terjadi adalah nyeri dan patah
tulang. Nyeri akibat metastasis ke tulang dapat diatasi dengan pemberian radiasi.
16
Jika tidak memungkinkan maka nyeri diatasi dengan pemberian obat penghilang
nyeri (cancer pain). Fraktur (patah) tulang sering terjadi akibat metastasis ke tulang
panjang, penatalaksanaan untuk patah tulang akibat metastasis ini sama seperti
kasus patah tulang lainnya.
Metastasis ke otak, jenis adenokarsinoma sering bermetastasis ke otak. Bila
memungkinkan maka intervensi bedah dapat dilakukan untuk nodul soliter di otak.
Bila terjadi multiple nodul di otak atau tindakan bedah tidak mungkin dilakukan
maka radiasi menjadi pilihan. Jika tidak memungkinkan untuk tindakan bedah dan
radiasi maka keluhan akibat penekanan di rongga kepala dapat dikurangi dengan
pemberian obat golongan steroid.3
17
BAB III
PRESENTASI KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 76 tahun
Alamat : Tulungagung
Tanggal masuk : 31 Maret 2014 pk 10.15
3.2 Anamnesis
Keluhan utama : Sesak nafas
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak. Sesak kambuh-kambuhan sejak 2
bulan yang lalu dan semakin memberat, serta perut terasa sebah dan
kembung. Pasien juga mengeluh batuk berdahak yang kumat-kumatan.
Tidak ada panas badan maupun kaki bengkak. Pasien merasa berat badan
semakin turun dalam 2 bulan terakhir. BAB dan BAK normal.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien telah MRS dua kali (tanggal 1 Maret dan 17 Maret 2014) dengan
keluhan yang sama. Pasien sempat dilakukan pengambilan cairan paru 3
kali, 600 cc, 1500 cc, dan 750 cc, awalnya berwarna kekuningan kemudian
menjadi kemerahan. Sebelumnya pasien tidak ada riwayat sakit jantung,
hati maupun ginjal, dan tidak ada riwayat infeksi paru.
Riwayat trauma
Pasien tidak mengalami trauma.
Riwayat alergi
Tidak ada asma, gatal-gatal, maupun alergi makanan pada pasien
3.3 Pemeriksaan Fisik
Kesan umum : Tampak sesak, underweight
Tanda-tanda vital
o GCS : 456
18
o Tekanan darah : 110/70
o Nadi : 78x/menit, reguler, pulsasi cukup
o Pernafasan : 28x/menit, teratur
o Suhu : 36,7˚ C
Status Generalis
a. Kepala-Leher
Kepala
o Edema palpebra : -/-
o Konjunctiva anemis : (-)
o Sklera ikterik : (-)
Leher
o Trakea : tidak ada deviasi
o Kelenjar tiroid : tidak ada pembesaran
o Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
o JVP : tidak meningkat
b. Toraks :
Jantung: bunyi jantung S1S2 tunggal, reguler, murmur (- ),gallop (-)
Paru:
Inspeksi : asimetris, gerak dada kanan tertinggal, retraksi
dinding dada (-)
Palpasi : tidak ada krepitasi, tidak teraba massa,
vocal fremitus : sulit dievaluasi
Perkusi :
Sonor Sonor
Redup Sonor
Redup Sonor
Auskultasi :
suara nafas: vesikuler vesikuler
↓ vesikuler
↓ vesikuler
Rhonki - - Wheezing - -
- - - -
- - - -
19
c. Abdomen :
o Inspeksi : flat
o Auskultasi : BU (+)
o Perkusi : tympani, traube space tympani, liver span 8 cm
o Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
epigastrium
d. Extremitas :
akral dingin kering, CRT < 2 detik
Anemis -/- Ikterik -/- Edema -/-
-/- -/- -/-
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Lab : GDA, DL, OT/PT, Ur/Cr, SE, BGA
Foto Thorax PA, USG Fast, EKG
Lab Hasil Nilai normal Lab Hasil Nilai normal
Leukosit 10.670 4-10 10^3/uL SGOT 26 0-40 U/l
Eritrosit 2.26 3,8-6 10^3/uL SGPT 10.7 0-41 U/l
Hemoglobin 6.3 11-16,5 g/dl BUN 12.8 6-20 mg/dl
Hematokrit 20.1 35-50 % Cr 0.82 0.67-1.5 mg/dl
Trombosit 141 150-450 10^3/uL GDA 144.5 0-140 mg/dL
MCV 88.9 81-99 Natrium 139.2 135-148 mmol/L
MCH 27.9 27-31 Kalium 3.18 3.5-4.5 mmol/L
MCHC 31.3 33-37 Chlorida 103.9 98-107 mmol/L
Limfosit 0.79 1-3,7 Calsium 3.65 4.49-5.29 mg/dL
Monosit 0.85 0,16-1 Albumin 3.35 3.8-4.6 g/dL
Neutrofil 8.96 1.5-7
Basofil 0.03 0-0,2
Eosinofil 0.04 0-0,8
Parameter Hasil Nilai normal
PH 7,668 7,350 - 7,450
PO2 222,7 80,0 - 100,00 mmHg
PCO2 23,5 35,0 - 45,0 mmHg
20
SO2 99,9 75,0 - 99,0 %
BE 5,7 ± 2 mmol/L
HCO3 26,4 23 - 27 mmol/L
TCO2 27,1 23 - 29 mmol/L
Kesimpulan : alkalosis respiratori
USG : gambaran hipoechoic paru kanan
3.5 Diagnosis
SOB dt Efusi pleura D massif suspek keganasan
3.6 Penatalaksanaan
Posisi semifowler
O2 NRBM 8-10 lpm
21
Pasang DC
Inj. Levofloxacin 500 mg iv
Inj. Metilprednisolon 125 mg iv
Evakuasi cairan pleura 500 cc serohemoragik
3.7 Follow Up
Tangg
al
Subjektif Objektif Assesment Planning
31
Maret
2014
(ROI)
Sesak
(+)
GCS 435
T: 100/60
N: 60x/menit
R: 36x/menit
SaO2 98%
Efusi pleura
D massif
Terapi lanjut
Cek DL ulang
1 April
2014
(ROI)
Sesak
(+)
GCS 445
T:131/79
N: 80x/menit
R: 36x/menit
SaO2 99%
Efusi pleura
D massif
Pdx : Hb post transfusi
Ptx :
O2 NRBM 8-10 lpm
IVFD PZ 7 tpm
Transfusi PRC 1 labu/
hari sd Hb ≥ 10 g/dL
Inj. Levofloxacin
1x500 mg iv
Lab Hasil Nilai normal
Leukosit 12.91 4-10 10^3/uL
Eritrosit 2.50 3,8-6 10^3/uL
Hemoglobin 6.9 11-16,5 g/dl
Hematokrit 21.4 35-50 %
Trombosit 126 150-450 10^3/uL
MCV 85.6 81-99
MCH 27.6 27-31
MCHC 32.2 33-37
Limfosit 0.78 1-3,7
Monosit 0.77 0,16-1
Neutrofil 11.35 1.5-7
Basofil 0.01 0-0,2
22
Eosinofil 0.00 0-0,8
2 April
2014
(FLM)
Sesak ↓
Rh (-)
Wh (-)
Ves ↓ +
GCS 445
T: 110/70
N: 92x/menit
R: 28x/menit
Hb : 8,5
Efusi pleura
D massif
Pdx : -
Ptx :
O2 NRBM 8-10 lpm
IVFD PZ 7 tpm
Transfusi PRC 1
labu/hari sd Hb ≥ 10
g/dL
Inj. Levofloxacin
1x500 mg iv
3 April
2014
(FLM)
Sesak ↓ GCS 425
T: 100/70
N: 96x/menit
R: 28x/menit
Efusi pleura
D massif
Pdx : cek Hb
Ptx :
O2 nasal 2-4 lpm
IVFD PZ 7 tpm
Inj. Levofloxacin
1x500 mg iv
Px minta PLPS
KRS
23
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Penegakan Diagnosis Efusi Pleura pada Pasien
Diagnosis efusi pleura pada pasien ini ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan
keluhan utama pasien adalah sesak nafas. Sesak kambuh-kambuhan sejak 2
bulan yang lalu dan semakin memberat, serta perut terasa sebah dan kembung.
Pasien juga mengeluh batuk berdahak yang kumat-kumatan. Tidak ada panas
badan maupun kaki bengkak. Pasien merasa berat badan semakin turun dalam 2
bulan terakhir. BAB dan BAK normal. Riwayat penyakit dahulu, pasien telah MRS
dua kali dengan keluhan yang sama, sempat dilakukan pengambilan cairan paru
3 kali, awalnya berwarna kekuningan kemudian menjadi kemerahan.
Sebelumnya pasien tidak ada riwayat sakit jantung, hati maupun ginjal, dan tidak
ada riwayat infeksi paru. Dari anamnesis ini dan dilihat dari umur pasien yang
sudah tua, efusi pleura mengarah ke suspek keganasan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sesak, underweight,
takipneu dan akral dingin. Pemeriksaan thoraks dari inspeksi didapatkan thoraks
asimetris, gerak dada kanan tertinggal, auskultasi didapatkan suara vesikuler
paru kanan menurun dibandingkan dengan yang kiri, tidak didapatkan rhonki dan
wheezing. Perkusi thoraks didapatkan redup pada paru kanan. Pemeriksaan
stem fremitus tidak dapat dievaluasi pada pasien ini karena kondisinya yang
sesak dan lemah. Pemeriksaan lain dalam batas normal.
Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien ini adalah
laboratorium, foto thoraks, serta USG. Dari laboratorium didapatkan leukositosis,
anemia, hipoalbuminemia, serta kondisi alkalosis respiratorik dari hasil BGA. Dari
foto thoraks didapatkan gambaran perselubungan pada hemithoraks dextra
dengan sinus frenicocostalis kanan tumpul dan meniscus sign positif. Gambaran
roentgen tersebut sesuai dengan tanda efusi pleura. Pada pasien ini telah
dilakukan evakuasi cairan pleura di IGD, sebanyak 500 cc berwarna
serohemoragik. Hal ini semakin menguatkan kecurigaan ke arah keganasan.
24
4.2 Analisis Penatalaksanaan Efusi Pleura pada Pasien
Untuk penanganan awal pada pasien ini dilakukan stabilisasi kondisi
dengan pemberian oksigenasi, serta evakuasi cairan pleura untuk mengurangi
sesaknya. Kemudian diberikan antibiotik untuk profilaksis infeksi.
Untuk penatalaksanaan di ruangan pada pasien ini tetap diberikan
oksigenasi, cairan maintenance, pemberian antibiotik serta diberikan transfusi
PRC untuk mengatasi kondisi anemia. Pada pasien ini juga telah dilakukan
pemeriksaan analisis cairan pleura namun hasil belum jadi. Dan sangat
disayangkan pada hari keempat perawatan pasien memutuskan untuk PLPS
karena merasa kondisi sesak yang tidak berkurang dan merasa tidak ada
harapan untuk sembuh.
25
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Efusi pleura adalah akumulasi cairan abnormal atau penimbunan cairan
yang berlebih dalam rongga pleura diantara permukaan visceral dan parietal
yang berupa transudat maupun eksudat.
Efusi pleura dapat timbul bila terjadi peningkatan tekanan hidrostatik
sistemik, penurunan tekanan osmotic koloid darah akibat hipoproteinemia,
kerusakan dinding pembuluh darah atau dalam rongga pleura pada atelektasis
yang luas, gangguan penyerapan kembali cairan pleura oleh saluran pembuluh
getah bening, hipersensitif terhadap tuberkuloprotein, robeknya pembuluh darah
atau saluran getah bening dan cairan ascites dapat mengalir melalui pembuluh
getah bening diafragma atau defek makroskopis pada diafragma.
Diagnosis dari efusi pleura dimulai dari menggali riwayat klinis pasien dan
melakukan pemeriksaan fisik dan dilanjutkan dengan pemeriksaan radiografi
thorax dan analisis cairan pleura. Jika diperlukan, dilanjutkan dengan
pemeriksaan CT thoraks, biopsi pleura, thorakoskopi, dan bronkoskopi.
Penatalaksanaan efusi pleura adalah dengan aspirasi cairan pleura,
thorakosentesis, pemberian antibiotik, pleurodesis, tirah baring, biopsi pleura.
5.2 Saran
Diperlukan ketepatan diagnosis dan penanganan awal pasien dengan
efusi pleura. Apabila kondisi penanganan tidak dilakukan dengan segera maka
kondisi pasien dapat bertambah buruk yang nantinya akan mempengaruhi
prognosis dari pasien.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Lee YCG; Light RW. Textbook of Pleural Diseases. London, Englang:
Hodder Amold. 2003.
2. Light RW. Pleural Diseases. 5th ed. Philadeplphia, PA: Lippincott Williams &
Wilkins. 2007.
3. Konsensus Kanker Paru. Penatalaksanaan Pada Keadaan Khusus. PDPI :
2009.
4. McGrath, E. Emmet, et al. Diagnosis of Pleural Effusion : A Systematic
Approach. American Journal of Critical Care. Vol 20 No 2. 2011.
5. Sato, Tetsuo. Differential Diagnosis of Pleural Effusions. JMAJ 49(9-10):
315-319. 2006.
6. Moffett, U, Padmini, et al. Diagnosing and Managing Suspected Malignant
Pleural Effusions. www.supportiveoncology.net. Vol 7 No 4. 2009.
7. Antunes, G, et al. BTS Guidelines For The Management Of Malignant
Pleural Effusions. www.thoraxjnl.com. 2003.
27