Presentasi Kasus BPH

download Presentasi Kasus BPH

of 22

description

stase bedah

Transcript of Presentasi Kasus BPH

BAB I

PENDAHULUANPembesaran prostat jinak atau lebih dikenal sebagai BPH sering diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah hispatologis, yaitu terdapat hyperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Hyperplasia prostat benigna ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria diatas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia diatas 80 tahun.

Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan urethra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO).

Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbukan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah.

Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower urinary tract symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi atau gejala berkemih (voiditing symptoms) maupun gejala iritasi atau gejala penyimpanan (storage symptoms) yang meliputi frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi yang lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urine.

Hubungan antara BPH dan LUTS sangat kompleks. Tidak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak semua keluhan miksi disebabkan oleh BPH.

Banyak sekali faktor yang diduga berperan dalam proliferasi / pertumbuhan jinak kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang masih berfungsi normal menghasilkan testosterone. Di samping itu pengaruh hormone lain (esterogen, prolaktin ). Diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan diduga berperan dalam proliferasi sel-sel kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor-faktor tersebut mampu mempengaruhi sel-sel prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang selanjutnya protein inilah yang berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat. Faktor-faktor yang mampu meningkatkan sintesis protein growth factor dikenal sebagai faktor intrinsik yang menyebabkan hyperplasia kelenjar prostat.

Terapi yang akan diberikan pada pasien tergantung pada tingkat keluhan pasien, komplikasi yang terjadi, sarana yang tersedia dan pilihan pasien. Di berbagai daerah di Indonesia kemampuan melakukan diagnosis dan modalitas terapi pasien BPH tidak sama karena perbedaan fasilitas dan sumber daya manusia di tiap-tiap daerah. Walaupun demikian didaerah terpencil pun diharapkan dapat menangani pasien BPH dengan sebaik-baiknya.

BAB II

LAPORAN KASUSI. Identitas Pasien

Nama

: Tn. NUmur

: 56 tahunJenis kelamin

: Laki LakiStatus

: MenikahSuku Bangsa

: Sunda

Pekerjaan

: Tidak bekerja

Alamat

: Kp. Bugis, Lenggasari

Status perkawinan : Kawin

Tanggal masuk rawat: 16 Agustus 2013Tanggal pemeriksaan: 25 Juni 2013No. RM

: 0283xx

II. Anamnesis ( Autoanamnesa pada tanggal 25 Juni 2013 )a. Keluhan utama : tidak bisa buang air kecil sejak 1 hari SMRSb. Riwayat Penyakit Sekarang :Pasien datang ke RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhan tidak bisa buang air kecil sejak 1 hari SMRS. Dalam 3 tahun terakhir ini, pasien sering mengedan saat akan buang air kecil, tetapi air kencing yang keluar tidak lancar. Pasien merasakan ingin segera buang air kecil dan seperti tidak dapat ditahan tetapi pada saat awal buang air kecil pasien harus menunggu untuk memulai kencing. Saat buang air kecil, pancaran berkurang, tidak sekencang biasanya dan sering sekali terasa nyeri. Setelah buang air kecil pasien sering merasa tidak terpuaskan dan terdapat tetesan air kencing saat akhir menetes. Setelah beberapa saat setelah buang air kecil pasien sering merasakan untuk buang air kecil kembali. Pasien menyatakan sering terbangun saat malam hari untuk buang air kecil, hingga 4 kali dalam semalam.Sehingga, dalam 3 tahun tersebut, pasien selalu kontrol ke puseksmas dan selalu dipasangkan kateter selama 1-2 minggu, setelah kateter dilepas keluhan tersebut hilang. Namun hal tersebut hanya bertahan hingga 1 2 bulan. Setelah itu akan ada kesulitan dalam buang air kecil kembali. Dalam 1 bulan terakhir pasien menyatakan kencing sering berwarna merah seperti bercampur darahNyeri pada daerah pinggang disangkal oleh pasien, kencing berpasir disangkal oleh pasien. c. Riwayat Penyakit Dahulu :Riwayat penyakit hipertensi dan DM disangkal oleh pasien.d. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak terdapat keluarga pasien yang mengalami hal serupa.e. Riwayat Alergi :Pasien menyangkal adanya alergi terhadap obat atau makanan tertentu.III. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis Keadaan Umum: Baik

Kesadaran

: Compos mentis

Status gizi

: Cukup

Tandi vital

: Tekanan Darah 130/90 mmHg

Nadi 84 x/menit

Respirasi 20 x/menit

Suhu 36,8 oc

Kepala

Mata: Konjungtiva Anemis -/-, Sklera ikterik -/-, Reflek pupil +/+

Hidung: Epistaksis -/-, Deviasi septum (-) , Krepitasi (-), PCH (-)

Mulut: Sianosis peri oral (-), faring tidak hiperemis

Leher: Trakea ditengah, pembesaran KGB (-) Thoraks

Inspeksi: Hemitorak simetris kanan dan kiri dalam keadaan statis dan dinamis

Palpasi: Fremitus vokal dan taktil simetris kanan dan kiri, Nyeri tekan (-)

Perkusi: Sonor pada kedua hemitorak

Auskultasi: Pulmo : VBS kanan = kiri normal, ronki -/-, wheezing -/-

Cor : Bunyi jantung I -II murni reguler, murmur (-), Gallop (-)Abdomen Inspeksi: Tampak datar, simetris, massa (-), kelainan kulit (-)

Auskultasi: Bising usus (+) normal

Perkusi: Timpani di seluruh kuadran abdomen, Nyeri ketok (-)

Palpasi: Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba pembesaranEkstremitas

Superior dex. dan sin. : Tonus otot: baik

Gerakan: aktif / aktif

Edema: -/-

Massa: -/-

Kekuatan: 5/5

Inferior dex. dan sin. : Tonus otot: baik

Gerakan: aktif/ aktif

Edema: -/-

Massa: -/-

Kekuatan: 5/5Status Urologis:

Regio Costovertebralis

Inspeksi : Warna kulit sama dengan sekitarnya, tanda radang tidak ada, hematom tidak ada, alignment tulang belakang normal, gibbus tidak ada, tidak tampak massa tumor.

Palpasi : Tidak teraba massa tumor, ballotemen ginjal tidak teraba, nyeri tekan (-)

Perkusi : Nyeri ketok CVA (-)Regio SuprapubicInspeksi : Kesan datar, warna kulit sama dengan sekitar, tidak tampak massa tumor, hematom tidak ada, edema tidak ada

Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, buli-buli tidak teraba, massa tumor tidak teraba. Regio Genitalia Eksterna Inspeksi : terpasang kateter, tampak penis tersirkumsisi, OUE pada gland penis, tanda radang (-), skrotum tampak normal, hematom (-), edema (-)

Palpasi : Pada penis tidak teraba massa tumor, tidak nyeri tekan. Pada skrotum teraba dua buah testis, kesan normal, massa tumor tidak ada, nyeri tekan tidak ada.

Rectal Toucher

Spincter Ani

: kuat

Ampula

: tidak kolaps

Prostat

: konsistensi kenyal, Mukosa licin, tidak ada nodul, teraba simetris, berat > 70 gram, Nyeri tekan (-), pada handskun darah (-), feses (+), lendir (-)Skor Madsen Iversen : Pancaran

: Lemah (3)

Mengedan

: Ya (2) Harus menunggu

: Ya (2) BAK terputus-putus

: Ya (3) Tidak lampias

: Berubah-ubah (4) Inkontinensia

: tidak (1) BAK sulit ditunda

: Sedang (1) Kencing malam hari

: 3-4 (2) Kencing siang hari

: setiap 1-2 jam/x (2)

Jumlah skor

: 20 (berat)

VI. Pemeriksaan Penunjang

(persiapan pre op)

Pre-op ( Lab darah rutin + kimia darah ( SGPT, SGOT, Ureum, Kreatinin, GDS) Thorak foto (pre-op),

EKG

USG trans abdominal

USG

Expertise

USG VU : Dalam batas normal

USG Prostat : prostat lobulated, volume 98 cc, melebar pada lobus bilateral

EKG : Dalam Batas normalRontgen Thorak : Dalam batas normalLaboratorium (Tgl 21 Juni 2013)Darah rutin-Hb

: 14,4

( N: 12-16 g/dL)-Ht

: 45,2

( N: 37-47 %)-Eritrosit

: 5,3

( N: 4,3-6,0 juta/dL)-Leukosit

: 11.600( N: 4400-11500 /uL)-Trombosit

: 282.000( N: 150000-400000 /uL)-masa perdarahan: 3,05-masa pembekuan: 5,00Kimia klinik-Gula Darah sewaktu

: 100

(< 120)

-SGOT

: 13

(s/d 37 U/L)

-SGPT

: 15

(s/d 40 U/L)

-Ureum

: 24

(20-50 mg/dL)

-Kreatinin

: 0,9

(0,5-1,5 mg/dL)

V. Diagnosa Kerja

Benign Prostat Hiperplasia (BPH)

VI. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pre operasi1. bed rest

2. infus RL 20 tpm

3. pasang kateter

4. Rencana operasi prostatektomi pada tanggal 26 Juni 2013 ( persiapan puasa 6-8 jam sebelum operasi

5. medikamentosa

Ciprofloksazin 3x1Penatalaksanaan pos operasi

1. bed rest

2. infus dan kateter tetap terpasang

3. irigasi Nacl

4. mobilisasi hari pertama pos operasi (miring kanan miring kiri)

5. medikamentosa

Transamin 3x1

Ceftriaxone 2x1

Analgetik 3x1

VII. Prognosis:

Quo ad vitam

: bonam

Quo ad functionam: bonamQuo ad sanactionam: bonam

Follow up TanggalSOAPHasil Lab

26 Juni 13Nyeri disekitar luka operasiTD: 130/90Nadi: 88

RR: 20

T: 36,7

Luka operasi : tertutup kasa, tidak ada rembesan,BAK 100 cc kemerahanPos operasi prostatektomiAnalgetik 3x1, ceftriaxone 2x1, transamin 3x1, irigasi NaClHb :12,6Leu : 20.000

Erit : 4,6

Ht : 37,1

Trom : 244

27 Juni 13Nyeri di sekitar luka operasi, BAB cair berwarna kehijauan sebanyak 5 kaliTD: 140/80

Nadi: 88

RR: 20

T: 36,7

Luka operasi : tertutup kasa, tidak ada rembesanH+1 pos operasi prostatektomi dan diare akutAnalgetik 3x1, transamin 3x1, irigasi NaCl, Meropenem 2x1, ranitidine 3x1, ondancenron 2x1

28 Juni 13Nyeri di sekitar luka operasi, demam sejak semalam, BAB cair berwarna kehijauan sebanyak 5 kali, kembung, mual, muntahTD: 130/90

Nadi: 88

RR: 20

T: 36,7

Luka operasi : tertutup kasa, tidak ada rembesanH+2 pos operasi prostatektomi dan diare akutAnalgetik 3x1, transamin 3x1, irigasi NaCl, Meropenem 2x1, ranitidine 3x1, ondancenron 2x1, anjuran mobilisasi miring kanan dan miring kiri

29 Juni 13BAB masic cair berwarna kehijauan, mulai ada ampas, 4 kali sehari.TD: 130/90

Nadi: 88

RR: 20

T: 36,7

Luka operasi : kering, baikIrigasi lepas, GV, Analgetik 3x1, transamin 3x1, Meropenem 2x1, ranitidine 3x1, ondancenron 2x1

30 juni 13-----

01 Juli 13BAB cair berkurang, namun masih kehijauan, mual dan muntah sudah tidak ada, kembung (-)TD: 130/90

Nadi: 88

RR: 20

T: 36,7

BAK 200ccH+5 pos operasi prostatektomi Analgetik 3x1, transamin 3x1, Meropenem 2x1, ranitidine 3x1, ondancenron 2x1Cek feses lengkap, bladder trainingFeses lengkap : dalam batasa normal

02 Juli 13-TD: 130/90

Nadi: 88

RR: 20

T: 36,7H+6 pos operasi prostatektomi Analgetik 3x1, transamin 3x1, meropenem 2x1,DC lepasHb :12,6

Leu : 17.000

Erit : 3,9

Ht : 31,6

Trom : 304

03 Juli 13-TD: 140/90

Nadi: 88

RR: 20

T: 36,7H+7 pos operasi prostatektomi Analgetik 3x1, meropenem 2x1, transamin 3x1

04 juli 13-TD: 130/90

Nadi: 88

RR: 20

T: 36,7H+8 pos operasi prostatektomi Obat pulang : asam mefenamat 3x1, cefotaxim 2x1

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostate Hyperplasia, BPH)3.1.1. Anatomi

Kelenjar prostat dan vesika seminalis merupakan bagian dari sistem reproduksi pria. Prostat berfungsi untuk membentuk komposisi semen. Pada orgasme, otot prostat berkontraksi dan membenatu dorongan ejakulasi keluar dari penis. Struktur prostat mengelilingi uretra proksimal, yang disebut juga uretra pars prostatika. McNeal membagi kelenjar prostat menjadi tiga bagian oleh McNeal, yaitu zona sentral, perifer, dan transisional. Zona transisional (5-10% volume prostat normal) ini merupakan bagian dari prostat yang membesar pada hiperplasia prostat jinak, sedangkan sebagian besar kanker prostat berkembang dari zona perifer (75% volume prostat normal).

GAMBAR 1. Penampang Prostat NormalProstat adalah berbentuk seperti buahkemiri dengan ukuran kira-kira 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram pada keadaan normal. Secara histopatologik kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma. Komponen stroma ini terdiriatas otot polos, fibroblast, pembuluh darah, saraf, dan jaringan penyanggah yanglain.Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponendari cairan ejakulat. Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuaradi uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat merupakan 25% dari seluruhvolume ejakulat.Prostat mendapatkan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus prostatikus. Pleksus prostatikus (pleksus pelvikus) menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis S 2-4 dan simpatik dari nervushipogastrikus ( T 10 L 2). Stimulasi parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluarancairan prostat ke dalam uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. Sistemsimpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher buli buli. Di tempat tempat itu banyak terdapat reseptor adrenergik .Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot polos tersebut.

Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testosteron,yang di dalam sel sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi 2 metabolit aktif dihidrotestoteron (DHT) dengan bantuan enzim 5-reduktase. Dihidrotestoteron inilah yang secara langsung memacu m RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat.3.1.2. Etiologi

Pada BPH, istilah hipertrofi sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi sebenarnya adalah hiperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat yang sebenarnya ke perifer dan menjadi simpai bedah. Disebut hiperplasia karena secara histopatologi pada BPH terjadi peningkatan jumlah sel epitelial dan stromal pada area periuretral dari prostat, hal ini terjadi mungk karena proliferasisel epitelial dan stromal atau terganggunya proses kematian sel terprogram (apoptosis) yang mengakibatkan akumulasi seluler. Androgen, estrogen, interaksi stromal-epitelia, faktor pertumbuha, dan neurotransmiter dapat berperan, baik tunggal maupun kombinasi, dalam etiologi proses hiperplasia.

Beberapa teori yang menjelaskan pembesaran kelenjar periuretral, yaitu:

1. Teori Stem Cell, dikemukakan oleh Isaacs, menyatakan bahwa dalam kondisi normal kelenjar periuretral berada dalam keadaan seimbang antara sel yang tumbuh dengan yang mati. Kemudian oleh sebab tertentu seperti usia, gangguan keseimbangan hormon, atau faktor pencetus lainnya, stem cell berproliferasi lebih cepat sehingga sel yang tumbuh lebih banyak daripada sel yang mati, akibatnya terjadilah hiperplasi kelenjar periuretral.

2. Teori Reawakening, dikemukakan oleh McNeal, menyatakan bahwa jaringan periuretral kembali berkembang seperti pada tingkat embriologik sehingga tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.

3. Teori yang dikemukakan McConnel menyatakan bahwa hiperplasi kelenjar periuretral disebabkan oleh ketidakseimbangan testosteron dengan estrogen. Testosteron bebas, yaitu testosteron yang tidak terikat protein dalam bentuk Serum Binding Hormone, akan dihidrolisis oleh enzim 5-alfa reduktase menjadi dihidrotestosteron (DHT). Kemudian DHT akan berikatan dengan reseptor di sel-sel prostat dan mengakibatkan proliferasi sel.

Seiring bertambahnya usia produksi testosteron akan berkurang dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa oleh enzim aromatase, estrogen lalu akan mengakibatkan hiperplasi stroma prostat.

GAMBAR 2. Skema Pembesaran Prostat Jinak3.1.3. Patofisiologi

Pada penderita BPH, akan terjadi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum, leher vesika, dan kekuatan kontraksi otot detrusor. Trigonum, leher vesika, dan otot detrusor dipersarafi oleh sistem simpatis, sedangkan trigonum oleh parasimpatis. Saat terjadi BPH akan terjadi peningkatan resistensi di daerah prostat dan leher vesika. Kemudian otot detrusor akan berkontraksi lebih kuat sebagai kompensasinya. Kontraksi detrusor yang terus-menerus akan mengakibatkan penebalan dan penonjolan serat detrusor ke dalam buli-buli yang disebut pula trabekulasi, bentuknya serupa balok-balok. Mukosa vesika dapat menerobos antara serat detrusor sehingga membentuk sakula dan bila semakin membesar disebut divertikel. Detrusor yang terus-menerus mengkompensasi pada suatu saat akan jatuh pada fase dekompensasi dimana otot detrusor tidak mampu berkontraksi lagi dan terjadi retesi urin total.

Retensi urin total yang terjadi menginkatkan tekanan intravesika. Ketika tekanan intravesika lebih tinggi daripada tekanan sfingter uretra, akan terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi urin yang berjalan kronik mengakibatkan refluks vesikouretral, yang semakin diteruskan ke atas mengakibatkan dilatasi ureter (hidroureter) dan sistem pelviokalises ginjal (hidronefrosis). Jika keadaan ini berlangsung terus-menerus dapat terjadi penurunan fungsi ginjal dan pada akhirnya akan terjadi gagal ginjal.

Obstruksi traktus urinarius kronik dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdomen karena penderita harus mengejan pada waktu kencing. Peningkatan tekanan intraabdomen dapat mengakibatkan hernia atau hemoroid. Sisa urin dalam vesika dapat meningkatkan risiko terjadinya batu endapan dan infeksi. Adanya batu di dalam vesika dapat memperberat gejala iritatif dan mengakibatkan hematuria.

GAMBAR 3. Aliran Urin dengan BPH3.1.4. Manifestasi Klinis

Gejala pada penderita BPH dibagi menjadi gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi secara adekuat misalnya karena volume prostat pada BPH yang besar, sedangkan gejala iritatif disebabkan oleh pengosongan yang tidak sempurna saat miksi atau rangsangan pada vesika oleh BPH sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum terisi penuh.

Tabel 1. Gejala obstruktif dan iritatif pada BPHObstruktifIritatif

Menunggu pada permulaan miksi (hesitancy)Peningkatan frekuensi miksi (frequency)

Miksi terputus (intermittency)Peningkatan frekuensi miksi malam hari (nocturia)

Urin menetes pada akhir miksi (terminal dribbling)Miksi sulit ditahan (urgency)

Pancaran miksi lemahNyeri pada waktu miksi (dysuria)

Rasa tidak puas setelah miksi (tidak lampias)

Beratnya gangguan miksi diidentifikasi dan diklasifikasikan oleh berbagai jenis skoring, di antaranya International Prostate Symptom Score (IPSS) yang disusun oleh World Health Organization dan Madsen Lawson Score. IPSS terdiri dari delapan buah pertanyaan mengenai LUTS. Skor akhir akan menentukan tatalaksana yang akan dilakukan terhadap penderita. Tabel 2. Klasifikasi hasil IPSSSkorKategoriTatalaksana

0-7RinganWatchfull waiting

8-18SedangMedikamentosa

19-35BeratOperasi

3.1.5. Diagnosis

Pada pria berusia di atas 60 tahun kira-kira ditemukan 50% dengan pembesaran prostat dan separuhnya akan memberikan keluhan.Jika dasar kelainan berada di traktur urinarius bagian atas, maka diperiksa kelianan ginjal yang tergambar lewat pemeriksaan fisik yaitu ginjal dapat teraba pada hidronefrosis, nyeri pinggang dan nyeri ketok regio Flank pada pielonefritis, vesika urinaria dapat teraba bila terjadi retensi urin, dan teraba benjolan di lipat paha bila ada hernia.

Pemeriksaan colok dubur (rectal touch, RT) dilakukan untuk memeriksa tonus sfingter ani, mukosa rektum, dan prostat. Jika batas atas prostat masih teraba, dapat diperkirakan massa prostat kurang dari 60 gram. Jika prostat teraba membesar maka diberi deskripsi lebih lanjut mengenai konsistensi, simetri, dan nodul untuk menentukan dugaan pembesaran jinak atau ganas. Pembesaran prostat jinak biasanya memiliki konsistensi kenyal, bentuknya simetris, dan tidak terdapat nodul. Sedangkan pada adenokarsinoma prostat konsistensinya keras, bentuk asimetris, dan terdapat nodul.

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendeteksi adanya komplikasi atau faktor komorbid pada penderita seperti infeksi, penurunan fungsi ginjal, batu saluran kemih, dan diabetes mellitus. Pemeriksaan darah terdiri dari darah perifer lengkap, elektrollit, PSA, ureum, kreatinin, dan kadar glukosa. Pemeriksaan urin terdiri dari urinalisis, biakan, dan tes sensitivitas antibiotik.

Pemeriksaan pencitraan yang dilakukan pada BPH terutama ultrasonografi (USG) secara Trans Abdominal Ultrasound (TAUS) atau Trans Rectal Ultrasound (TRUS). TAUS digunakan untuk menilai volume buli, volume sisa urin, divertikel, tumor, atau batu buli. TRUS digunakan untuk mengukur volume prostat, prostat digolongkan besar jika volumenya lebih dari 60 gram. TRUS juga dapat mendeteksi kemungkinan keganasan dengan memperlihatkan adanya daerah hypoehoic, dan bisa dapat dilakukan biopsi prostat dengan jarum yang dituntun TRUS diarahkan ke daerah yang hypoechoic Pencitraan lainnya yang dapat dilakukan yaitu Blaas Nier Overzicht-Intravenous Pyelogram (BNO-IVP) untuk melihat adanya batu saluran kemih, hidronefrosis, divertikulae, volume sisa urin, dan indentasi prostat. CT Scan dan MRI jarang digunakan karena dianggap tidak efisien.Tabel 3. Indikasi biopsi prostat

1. Bila pada RT dicurigai adanya keganasan

2. Nilai PSA > 10 ng/ml atau PSA 4 10 ng/ml dengan PSAD > 0,15 (Standar internasional)

3. Nilai PSA > 30 ng/ml atau PSA 8 30 ng/ml dengan PSAD > 0,22 (Standar Jakarta)

3.1.6. Pengukuran Derajat Obstruksi

Derajat berat obstruksi dapat diukur melalui beberapa cara. Cara pertama yaitu dengan mengukur volume sisa urin setelah penderita miksi spontan karena pada orang normal biasanya tidak terdapat sisa. Sisa urin lebih dari 100cc merupakan indikasi terapi intervensi pada penderita BPH. Volume sisa urin dapat diukur dengan melakukan kateterisasi ke dalam vesika setelah penderita miksi, dengan ultrasonografi vesika, atau foto post voiding pada BNO-IVP. Cara kedua yaitu dengan uroflowmetri. Pada pemeriksaan ini diukur pancaran urin, dimana nilai normal average flow rate (Qave) 10-12 ml/detik, maximum flow rate (Qmax) 20 ml/detik, dan voided volume. 3.1.7. Diagnosis Banding

Proses miksi bergantung pada kekuatan otot detrusor, elastisitas leher vesika, dan resistensi uretra. Oleh karena itu kesulitan miksi dapat disebabkan oleh kelemahan detrusor, kekakuan leher vesika, dan resistensi uretra.

Selain pada BPH, keluhan LUTS dijumpai pula pada striktur uretra, kontraktur leher vesika, batu buli-buli kecil, karsinoma prostat, atau kelemahan detrusor, misalnya pada penderita asma kronik yang menggunakan obat-obat parasimpatolitik. Sedang bila hanya gejala-gejala iritatif yang menyolok, lebih sering ditemukan apda penderita instabilitas detrusor, karsinoma in situ vesika, infeksi saluran kemih, prostatitis, batu ureter distal, atau batu vesika kecil.3.1.8. Tatalaksana

3.1.8.1. Watchfull Waiting

Tatalaksana pada penderita BPH saat ini tergantung pada LUTS yang diukur dengan sistem skor IPSS. Pada pasien dengan skor ringan (IPSS 7 atau Madsen Iversen 9), dilakukan watchful waiting atau observasi yang mencakup edukasi, reasuransi, kontrol periodik, dan pengaturan gaya hidup. Bahkan bagi pasien dengan LUTS sedang yang tidak terlalu terganggu dengan gejala LUTS yang dirasakan juga dapat memulai terapi dengan malakukan watchful waiting. Saran yan gdiberikan antara lain : mengurangi minum setelah makan malam (mengurangi nokturia)

menghindari obat dekongestan (parasimpatolitik)

mengurangi minum kopi dan larang minum alkohol (mengurangi frekuensi miksi)

setiap 3 bulan mengontrol keluhan: sistem skor, Qmax, sisa kencing, TRUS3.1.8.2. Medical Treatment

Ada beberapa jenis pengobatan medikamentosa pada BPH yaitu :

Penghambat adrenergik alfa

Obat ii menghambat reseptor alfa pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat, sehingga terjadi relaksasi, penurunan tekanan di uretra pars prostatika, sehingga meringankan obstruksi. Perbaikan gejala timbul dengan cepat, contohnya Prazosin, Doxazosin, Terazosin, Afluzosin, atau Tamsulosin. Efek samping yang dapat timbul adalah karena penurunan tekanan darah sehingga pasien bisa mengeluh pusing, capek, hidung tersumbat, dan lemah.

Penghambat enzim 5 reduktase

Obat ini menghambat kerja enzim 5 reduktase sehingga testosteron tidak diubah menjadi DHT, konsentrasi DHT dalam prostat menurun, sehingga sintesis protein terhambat. Perbaikan gejala baru muncul setelah 6 bulan, dan efek sampingnya antara lain melemahkan libido, dan menurunkan nilai PSA.

Phytoterapi

Obat dari tumbuhan herbal ini mengandung Hypoxis Rooperis, Pygeum Africanum, Urtica Sp, Sabal Serulla, Curcubita pepo, populus temula, Echinacea pupurea, dan Secale cereale. Banyak mekanisme kerja yang belum jelas diketahui, namun PPygeum Africanum diduga mempengaruhi kerja Growth Factor terutama b-FGF dan EGF. Efek dari obat lain yaitu anti-estrogen, anti-androgen, menurunkan sex binding hormon globulin, hambat proliferasi sel prostat, pengaruhi metabolisme prostaglandin, anti-inflamasi, dan menurunkan tonus leher vesika.3.1.8.3. Tatalaksana Invasif

Tatalaksana invasif pada BPH bertujuan untuk mengurangi jaringan adenoma. Indikasi absolut untuk melakukan tatalaksana invasif :

sisa kencing yang banyak

infeksi saluran kemih berulang

batu vesika

hematuria makroskopil

retensi urin berulang

penurunan fungsi ginjal

Standar emas untuk tatalaksana invasif BPH adalah Trans Urethral Resection of the Prostate (TURP) yang dilakukan untuk gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gram, dan kondisi pasien memenuhi toleransi operasi. Komplikasi jangka pendek pada TURP antara lain perdarahan, infeksi, hiponatremi, retensi karena bekuan darah. Komplikasi jangka panjang TURP adalah striktur uretra, ejakulasi retrograd, dan impotensi.

Trans Urethral Incision of the Prostate (TUIP) dapat dilakukan apabila volume prostat tidak begitu besar/ada kontraktur leher vesik / prostat fibrotik. Indikasi TUIP yaitu keluhan sedang atau berat dan volume prostat tidak begitu besar.

Bila alat yang tersedia tidak memadai, maka dapat dilakukan operasi terbuka dengan teknik transvesikal atau retropubik. Karena morbiditas dan mortalitas yang tinggi yang ditimbulkannya, operasi sejenis ini hanya dilakukan apabila ditemukan pula batu vesika yang tidak bisa dipecah dengan litotriptor / divertikel yang besar (sekaligus diverkulektomi) / volume prostat lebih dari 100cc.3.1.9. Komplikasi

Pada BPH yang dibiarkan tanpa tatalaksana dapat menyebabkan komplikasi seperti trabekulasi, yaitu penebalan serat-serat detrusor menyerupai balok akibat tekanan intravesikal yang terus menerus tinggi akibat obstruksi. Kemudian dapat terjadi sakulasi, yaitu mukosa vesika menerobos serat-serat detrusor, dan bila ukurannya membesar bisa menjadi divertikel.

Batu vesika juga dapat terbentuk sebagai komplikasi akibat sisa urin yang menetap di vesika urinaria. Tekanan vesika yang tinggi tadi apabila diteruskan ke struktur di atasnya dapat menyebabkan hidroureter, hidronefrosis, dan penurunan fungsi ginjal.

Tahap yang terakhir terjadi adalah keadaan dimana otot detrusor mengalami dekompensasi sehingga vesika tidak dapat lagi berkontraksi untuk mengosongkan isinya sehingga terjadi retensi urin total. Dan ketika besarnya tekanan vesika melebihi tekanan obstruksi makadapat terjadi overflow incontinence.DAFTAR PUSTAKA

Deters, Levi A. 2011. Benign Prostatic HypertrophyDifferential Diagnoses. Diakses melalui: http://emedicine.medscape.com/article/437359-differential pada 15 July 2012Hardjowijoto, Sunaryo dkk. 2003. Panduan Penatalaksanaan (Guidelines) Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) di Indonesia. Jakarta : Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI)Kumar, Cotran, Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins, Ed.7 Vol 2. Jakarta: EGC Purnomo. 2007. Dasar-Dasar Urologi, Edisi Kedua. Jakarta: CV.Sagung Seto.Reksoprodjo, Soelarto. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI. Jakarta: Binarupa Aksara

Sjamjuhidayat & De Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC. 2005.