presentasi kasus besar bedah

58
PRESENTASI KASUS RGB SEORANG WANITA USIA 24 TAHUN DENGAN COMOTIO CEREBRI, CLOSE FRAKTUR COLLUM FEMUR (S) GARDEN IV, CLOSE FRAKTUR FEMUR (S) 1/3 TENGAH COMMINUTIF, FRAKTUR ZMC (S) oleh: Alva Putri Deswandari Ferika Brillian S Raja Amelia Putriana Dicky Budi Nurcahya Dwi Rachmawati H Diwiasti F Yasmin Nimfa Christina RW Antonius Bagus Budi K Prisca Priscilla Annisa Budiastuti Gia Noor Pratami Hanifah Astrid E. Raden Artheswara S Nimas Ayu Suri P Gloria K. Evasari Pratiwi Prasetya P RatihPuspa W Irene Yunita P Muhammad David P Bobbi Juni Saputra Erickson Pembimbing: dr. Darmawan Ismail, Sp.BTKV KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH

description

SEORANG WANITA USIA 24 TAHUN DENGAN COMOTIO CEREBRI, CLOSE FRAKTUR COLLUM FEMUR (S) GARDEN IV, CLOSE FRAKTUR FEMUR (S) 1/3 TENGAH COMMINUTIF, FRAKTUR ZMC (S)

Transcript of presentasi kasus besar bedah

Page 1: presentasi kasus besar bedah

PRESENTASI KASUS RGB

SEORANG WANITA USIA 24 TAHUN DENGAN COMOTIO CEREBRI, CLOSE

FRAKTUR COLLUM FEMUR (S) GARDEN IV, CLOSE FRAKTUR FEMUR (S)

1/3 TENGAH COMMINUTIF, FRAKTUR ZMC (S)

oleh:

Alva Putri Deswandari Ferika Brillian S

Raja Amelia Putriana Dicky Budi Nurcahya

Dwi Rachmawati H Diwiasti F Yasmin

Nimfa Christina RW Antonius Bagus Budi K

Prisca Priscilla Annisa Budiastuti

Gia Noor Pratami Hanifah Astrid E.

Raden Artheswara S Nimas Ayu Suri P

Gloria K. Evasari Pratiwi Prasetya P

RatihPuspa W Irene Yunita P

Muhammad David P Bobbi Juni Saputra

Erickson

Pembimbing:

dr. Darmawan Ismail, Sp.BTKV

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI

SURAKARTA

2013

Page 2: presentasi kasus besar bedah

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. SN

Umur : 26 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Pelajar

Alamat : Jamperejo 01/01 Rembang

Agama : Islam

Tanggal Masuk : 26 Oktober 2013

Tanggal Periksa : 28 Oktober 2013

No. RM : 01-22-55-34

II. ANAMNESIS

A. Keluhan Utama

Penurunan kesadaran setelah kecelakaan lalu lintas

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Empat hari sebelum masuk rumah sakit, pasien sedang

mengendarai sepeda motor dengan dibonceng,pasien ditabrak truk dari

arah berlawanan. Setelah kejadian, pasien mengalami penurunan

kesadaran, kejang (-), muntah (-). Penurunan kesadaran pada pasien

dirasakan ± kurang dari 15 menit, setelah sadar pasien agak susah diajak

berkomunikasi dan mengeluh kepalanya pusing, pusing sifatnya menetap,

tidak membaik dengan perubahan posisi.

Selain itu pasien mengeluh nyeri pada kaki kiri,nyeri dirasakan

seperti tertusuk dan menjalar, nyeri bersifat terus menerus, tidak

berkurang dengan istirahat, sehingga membuat pasien tak bisa

menggerakkan kaki kiri sama sekali. Oleh penolong pasien dibawa ke RS

Rembang dilakukan injeksi obat, dirontgen kaki, CT Scan Kepala, dan

dirawat selama 4 hari, Atas permintaan keluarga pasien dirujuk ke RSUD

Dr. Moewardi dengan diagnosis CKB dan Fraktur Femur.

Page 3: presentasi kasus besar bedah

C. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat alergi obat/makanan : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat asma : disangkal

Riwayat mondok : disangkal

D. Riwayat penyakit keluarga

Riwayat alergi obat/makanan : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat asma : disangkal

Riwayat sakit serupa : disangkal

Riwayat mondok : disangkal

E. Anamnesa sistemik

1. Sistem saraf pusat : pusing (+), kejang (-).

2. Mata : pandangan berkunang-kunang (-),

ikterik (-), pandangan dobel (-), pandangan

berputar (-), pandangan kabur(-).

3. Hidung : mimisan (-), pilek (-).

4. Telinga : pendengaran berkurang (-), berdenging (-),

keluar cairan (-), darah (-).

5. Mulut : sariawan (-), luka pada sudut

bibir (-), gusi berdarah (-), mulut kering (-),

gigi tanggal (-)

6. Tenggorokan : sakit menelan (-), sulit menelan (-), suara

serak (-).

7. Sistem respirasi : sesak napas (-), batuk (-), dahak (-), batuk

darah (-)

8. Sistem kardiovaskuler : dada ampeg (-),sesak napas saat beraktivi-

tas (-), berdebar-debar (-)

Page 4: presentasi kasus besar bedah

9. Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), sakit perut (-), susah

BAB (-), sebah (-), nyeri ulu hati(-), kem-

bung (-).

10. Sistem muskuloskeletal : Nyeri (+) di daerah kaki kiri, nyeri sendi

(-) dan kaku sendi (-).

11. Sistem genitourinaria : nyeri saat kencing (-),darah (-),sulit memu-

lai kencing (-), kencing sedikit (-).

12. Ekstremitas atas : luka (+), ujung jari terasa kebas (-).

13. Ekstremitas bawah : luka (-), ujung jari terasa kebas (-).

14. Sistem neuropsikiatri : kejang (-), gelisah (-), mengigau (-), emosi

tak stabil (-).

15. Sistem integumentum : kulit kuning (-), pucat (-), gatal (-).

III. PEMERIKSAAN FISIK

Primary Survey

a. Airway : bebas, terpasang collar brace

b. Breathing

I : pergerakan dinding dada kanan = kiri, RR= 22 x/menit

P : krepitasi (-/-)

P : sonor/sonor

A: SDV (+/+), ST (-/-)

c. Circulation : Tekanan darah : 100/80 mmHg, Nadi 74 x/menit

d. Disability : GCS E3V1M5, reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3 mm/3 mm)

e. Exposure : suhu 36,8ºC

Page 5: presentasi kasus besar bedah

Secondary Survey

1. Keadaan Umum

- Keadaan umum : sedang

- Derajat kesadaran : somnolen

- Derajat gizi : gizi kesan baik

2. Kulit

Kulit sawo matang, ujud kelainan kulit (-), hiperpigmentasi (-)

3. Kepala

Bentuk mesosefal, rambut kering (-), oedem (+) lihat status lokalis, jejas

(+) lihat status lokalis

4. Mata

Oedema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-),

refleks cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/3mm)

5. Hidung

Nafas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-), deviasi(-/-)

6. Mulut

Mukosa basah (+), sianosis (-), pucat (-), kering (-)

7. Telinga

Daun telinga dalam batas normal, sekret (-)

8. Tenggorok

Uvula di tengah, mukosa pharing hiperemis (-)

9. Leher

Bentuk normocolli, limfonodi tidak membesar, glandula thyroid tidak

membesar, kaku kuduk (-), gerak bebas, deviasi trakhea (-), JVP tidak

meningkat

10. Toraks (lihat status lokalis)

Cor : Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak

Palpasi : Iktus kordis teraba di SIC V LMCS

Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)

Page 6: presentasi kasus besar bedah

Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi : Fremitus raba dada kanan = kiri

Perkusi : Sonor/Sonor

Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+)

Suara tambahan (-/-)

11. Abdomen

Inspeksi : distended (-)

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal,

12. Ekstremitas

Akral dingin Oedem Ikterik

13. Muskuloskeletal

Nyeri (+) di daerah kaki kiri

14. Genital

BAK warna kuning jernih, nyeri saat BAK (-)

15. Status Lokalis

Regio Frontalis

Look : vulnus terjahit, panjang 3 cm

Regio Midfacialis (S)

Look : Oedem (+), vulnus appertum ukuran 1 x 0,5 cm

Feel : Nyeri tekan (+), krepitasi (-)

Regio Femur (S)

Look : Oedem (+), angulasi (+), vulnus (-)

Feel : Nyeri tekan (+), krepitasi (-), NVD (-)

- -

- -

- -

- +

- -

- -

Page 7: presentasi kasus besar bedah

Movement : ROM hip terbatas karena nyeri

Regio Cruris (S)

Look : Oedem (+), vulnus terjahit panjang 4 cm

Feel : NVD (-)

Movement : ROM terbatas karena nyeri

Regio Ankle (S)

Look : Oedem (+)

Feel : NVD (-)

Move : ROM ankle terbatas karena nyeri

IV. ASSESSMENT I

Commotio cerebri GCS E3V1M5

Suspect fraktur collum femur (S)

Suspect fraktur femur (S)

Suspect fraktur ZMC (S)

V. PLANNING I

MRS HCU Bedah

Infus NaCl 0.9% 20 tpm

Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam

Injeksi ranitidine 50 mg/12 jam

Injeksi ketorolac 30 mg /8jam

Injeksi Piracetam 3 gr /8jam

Phenitoin 50 mg/ 12 jam

CT Scan Kepala

Rotgen Pelvis sinistra AP, Femur sinistra AP/Lat

Cek darah rutin III, PT/APTT, HbsAg

Konsul TS Anestesi, Bedah Saraf, Orthopaedi, Bedah Plastik

Page 8: presentasi kasus besar bedah

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Hasil pemeriksaan laboratorium Patologi Klinik 26 Oktober 2013

Parameter Hasil Nilai Normal Satuan

Hemoglobin 14,6 12,3-15,35 g/dl

Hematokrit 44 33-45 %

Eritrosit 4,87 3.8-5.8 106/μL

Leukosit 15,5 4,5-11,5 103/μL

Trombosit 226 150-450 103/μL

PT 10,8 10-15,00 detik

APTT

HBsAg

36,6

Nonreactive

20-40 Detik

2. Hasil Foto Rontgen Femur Sinistra AP (26 Oktober 2013)

Tampak fraktur collum femur dan fraktur comminutif femur kiri 1/3

tengah.

Page 9: presentasi kasus besar bedah

Trabekulasi tulang di luar lesi baik.

Celah dan permukaan sendi dalam batas normal.

Tak tampak kalsifikasi abnormal.

Tak tampak erosi/destruksi tulang.

Tak tampak soft tissue swelling/mass.

Kesimpulan: Fraktur Collum femur dan fraktur comminutif di 1/3 tengah

os femur kiri.

3. Foto Rontgen Pelvis AP (26 Oktober 2013)

Tampak fraktur komplit collum femur kiri

Trabekulasi tulang normal

Sacroiliac joint dan hip joint kanan kiri normal

Page 10: presentasi kasus besar bedah

Shenton’s line kanan kiri asimetris

Tak tampak erosi/destruksi tulang

Tak tampak soft tissue mass/swelling

Kesimpulan: Fraktur complete collum femur kiri.

4. Hasil CT Scan kepala (26 Oktober 2013)

Tak tampak lesi hipo/hiperdens di brain parenkim.

Tak tampak midline shifting.

Sistem ventrikel dan sisterna tak tampak kelainan.

Sulci dan gyru tak tampak merapat.

Pons, cerebellum, dan cerebellopontin angle tak tampak kelainan.

Page 11: presentasi kasus besar bedah

Tampak fraktur os maxilla kiri.

Tampak perselubungan di sinus maxillaris kiri.

Craniocerebral space tak tampak kelainan.

Calvaria intak.

Kesimpulan: Fraktur os maxilla kiri, hematosinus kiri.

VII. ASSESSMENT II

Commotio Cerebri GCS E3V1M5

Close Fraktur Collum Femur (S) Garden IV

Close Fraktur Femur (S) 1/3 tengah comminutif

Fraktur ZMC (S)

VIII. PLANNING II

TS Bedah Saraf : Konservatif

TS Orhopaedi : Immobilisasi dengan Splint

Pro ORIF Elektif

TS Bedah Platik : Pro ORIF Elektif

IX. PROGNOSIS

A. Ad vitam : dubia ad bonam

B. Ad sanam : dubia ad bonam

C. Ad fungsionam : dubia ad malam

Page 12: presentasi kasus besar bedah

Tanggal 26 Oktober 2013 27 Oktober 2013Subyektif Kesadaran Menurun GCS E3V1M5 Kesadaran Menurun GCS E3V2M5, pusingObyektif KU: tampak sakit sedang, somnolen

T : 110/70Rr : 30x/menitN : 68x/menitSuhu : 36,5°CMata: CP (-/-), SI(-/-)Leher: KGB tidak membesar.Cor: IC tak tampak, ICtak kuat angkat, Batas jantung kesan melebar ke caudolateranormal, BJ I-II murni, intensitas normal, reguler, bising (-) Pulmo: Pengembangan dada kanan=kiri, fremitus raba kanan=kiri, sonor/sonor, SDV(+/+), ST (-/-)Abdomen: DP//DD, bising usus (+) normal, tympaniAkral dingin Oedem:

_ _

_ _

Regio FrontalisLook: vulnus terjahit, panjang 3 cm

Regio Femur (S)Look: Oedem (+), angulasi (+)Feel: Nyeri tekan (+), krepitasi (-),luka (-),kulit teraba dingin (-)ROM: terbatas karena nyeri

Regio Cruris (S)Look: oedem (+), vulnus terjahit panjang 4 cmFeel: NVD (-)ROM: Terbatas karena nyeri

Regio Ankle (S)Look: Oedem (+)Feel: NVD (-)ROM: Terbatas karenanyeri

KU: tampak sakit sedang, somnolenT : 116/60Rr : 26x/menitN : 73x/menitSuhu : 36,5°CMata: CP (-/-), SI(-/-)Leher: KGB tidak membesar.Cor: IC tak tampak, ICtak kuat angkat, Batas jantung kesan melebar ke caudolateranormal, BJ I-II murni, intensitas normal, reguler, bising (-) Pulmo: Pengembangan dada kanan=kiri, fremitus raba kanan=kiri, sonor/sonor, SDV(+/+), ST (-/-)Abdomen: DP//DD, bising usus (+) normal, tympaniAkral dingin Oedem:

_ _

_ _

Regio FrontalisLook: vulnus terjahit, panjang 3 cm

Regio Femur (S)Look: Oedem (+), angulasi (+)Feel: Nyeri tekan (+), krepitasi (-),luka (-),kulit teraba dingin (-)ROM: terbatas karena nyeri

Regio Cruris (S)Look: oedem (+), vulnus terjahit panjang 4 cmFeel: NVD (-)ROM: Terbatas karena nyeri

Regio Ankle (S)Look: Oedem (+)Feel: NVD (-)ROM: Terbatas karenanyeri

Pemeriksaan Penunjang

Terlampir Terlampir

Assesment 1. Commotio cerebri GCS E3V1M5

2.Suspect fraktur collum femur (S)

3.Suspect fraktur femur (S)

1.Commotio Cerebri GCS E3V1M52.Close Fraktur Collum Femur (S) Garden IV3.Close Fraktur Femur (S) 1/3 tengah comminutif4.Fraktur ZMC (S)

Planning 1.CT Scan Kepala

2.Rotgen Pelvis sinistra AP, Femur sinistra

AP/Lat

3.Cek darah rutin, Ur/Cr

- Cek Darah Rutin pre OP, Ur/Cr, OT/PT\- Balance cairan per 2 jam- KUVS per 2 jam-Konsul TS Orthopaedi, Bedah Saraf, Bedah Plastik, Anestesi, Jantung.

Terapi -MRS HCU Bedah

-Infus NaCl 0.9% 20 tpm

-Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam

-Injeksi ranitidine 50 mg/12 jam

-Injeksi ketorolac 30 mg /8jam

-Injeksi Piracetam 3 gr /8jam

-Phenitoin 50 mg/ 12 jam

-Infus NaCl 0.9% 20 tpm

-Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam

-Injeksi ranitidine 50 mg/12 jam

-Injeksi ketorolac 30 mg /8jam

-Injeksi Piracetam 3 gr /8jam

-Phenitoin 50 mg/ 12 jam

Page 13: presentasi kasus besar bedah

Tanggal 28 Oktober 2013 29 Oktober 2013Subyektif Kesadaran Menurun GCS E4V3M5, pusing ↓ Kesadaran Menurun GCS E4V3M5, pusing ↓Obyektif KU: tampak lemas, somnolen

T : 126/73Rr : 24x/menitN : 79x/menitSuhu : 36,7°CMata: CP (-/-), SI(-/-)Leher: KGB tidak membesar.Cor: IC tak tampak, ICtak kuat angkat, Batas jantung kesan melebar ke caudolateranormal, BJ I-II murni, intensitas normal, reguler, bising (-) Pulmo: Pengembangan dada kanan=kiri, fremitus raba kanan=kiri, sonor/sonor, SDV(+/+), ST (-/-)Abdomen: DP//DD, bising usus (+) normal, tympaniAkral dingin Oedem:

_ _

_ _

Regio FrontalisLook: vulnus terjahit, panjang 3 cm

Regio Femur (S)Look: Oedem (+), angulasi (+)Feel: Nyeri tekan (+), krepitasi (-),luka (-),kulit teraba dingin (-)ROM: terbatas karena nyeri

Regio Cruris (S)Look: oedem (+), vulnus terjahit panjang 4 cmFeel: NVD (-)ROM: Terbatas karena nyeri

Regio Ankle (S)Look: Oedem (+)Feel: NVD (-)ROM: Terbatas karenanyeri

KU: tampak lemas, apatisT : 111/67Rr : 22x/menitN : 64x/menitSuhu : 36,3 °CLeher: KGB tidak membesar.Cor: IC tak tampak, ICtak kuat angkat, Batas jantung kesan melebar ke caudolateranormal, BJ I-II murni, intensitas normal, reguler, bising (-) Pulmo: Pengembangan dada kanan=kiri, fremitus raba kanan=kiri, sonor/sonor, SDV(+/+), ST (-/-)Abdomen: DP//DD, bising usus (+) normal, tympaniAkral dingin Oedem:

_ _

_ _

Regio FrontalisLook: vulnus terjahit, panjang 3 cm

Regio Femur (S)Look: Oedem (+), angulasi (-)Feel: Nyeri tekan (+), krepitasi (-),luka (-),kulit teraba dingin (-)ROM: -

Regio Cruris (S)Look: oedem (-), vulnus terjahit panjang 4 cmFeel: NVD (-)ROM: -

Regio Ankle (S)Look: Oedem (-)Feel: NVD (-)ROM: -

Pemeriksaan Penunjang

Terlampir Terlampir

Assesment 1.Commotio Cerebri GCS E3V1M52.Close Fraktur Collum Femur (S) Garden IV3.Close Fraktur Femur (S) 1/3 tengah comminutif4.Fraktur ZMC (S)

1.Commotio Cerebri GCS E3V1M52. Post ORIF ai Close Fraktur Collum Femur (S) Garden IV DPH I3. Post ORIF ai Close Fraktur Femur (S) 1/3 tengah comminutif DPH I4. Post reduction ai Fraktur ZMC (S) DPH I

Planning Cek Darah rutin Post OPBalance cairan per 2 jamKUVS per 2 jam

Balance cairan per 2 jamKUVS per 2 jam

Terapi -Infus NaCl 0.9% 20 tpm

-Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam

-Injeksi ranitidine 50 mg/12 jam

-Injeksi ketorolac 30 mg /8jam

-Injeksi Piracetam 3 gr /8jam

-Phenitoin 50 mg/ 12 jam

-Infus NaCl 0.9% 20 tpm

-Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam

-Injeksi ranitidine 50 mg/12 jam

-Injeksi ketorolac 30 mg /8jam

-Injeksi Piracetam 3 gr /8jam

-Phenitoin 50 mg/ 12 jam

Page 14: presentasi kasus besar bedah

Tanggal 30 Oktober 2013 31 Oktober 2013Subyektif Kesadaran Menurun GCS E4V4M5 Kesadaran Menurun GCS E4V4M5

Obyektif KU: tampak lemas, apatisT : 127/75Rr : 24x/menitN : 67x/menitSuhu : 36,4 °CLeher: KGB tidak membesar.Cor: IC tak tampak, ICtak kuat angkat, Batas jantung kesan melebar ke caudolateranormal, BJ I-II murni, intensitas normal, reguler, bising (-) Pulmo: Pengembangan dada kanan=kiri, fremitus raba kanan=kiri, sonor/sonor, SDV(+/+), ST (-/-)Abdomen: DP//DD, bising usus (+) normal, tympaniAkral dingin Oedem:

_ _

_ _

Regio FrontalisLook: vulnus terjahit, panjang 3 cm

Regio Femur (S)Look: Oedem (+), angulasi (-)Feel: Nyeri tekan (+), krepitasi (-),luka (-),kulit teraba dingin (-)ROM: -

Regio Cruris (S)Look: oedem (-), vulnus terjahit panjang 4 cmFeel: NVD (-)ROM: -

Regio Ankle (S)Look: Oedem (-)Feel: NVD (-)ROM: -

KU: tampak lemasT : 123/72Rr : 23x/menitN : 62x/menitSuhu : 36,8 °CLeher: KGB tidak membesar.Cor: IC tak tampak, ICtak kuat angkat, Batas jantung kesan melebar ke caudolateranormal, BJ I-II murni, intensitas normal, reguler, bising (-) Pulmo: Pengembangan dada kanan=kiri, fremitus raba kanan=kiri, sonor/sonor, SDV(+/+), ST (-/-)Abdomen: DP//DD, bising usus (+) normal, tympaniAkral dingin Oedem:

_ _

_ _

Regio FrontalisLook: vulnus terjahit, panjang 3 cm

Regio Femur (S)Look: Oedem (+), angulasi (-)Feel: Nyeri tekan (+), krepitasi (-),luka (-),kulit teraba dingin (-)ROM: -

Regio Cruris (S)Look: oedem (-), vulnus terjahit panjang 4 cmFeel: NVD (-)ROM: -

Regio Ankle (S)Look: Oedem (-)Feel: NVD (-)ROM: -

Pemeriksaan Penunjang

Terlampir Terlampir

Assesment 1.Commotio Cerebri 2. Post ORIF ai Close Fraktur Collum Femur (S) Garden IV DPH II3. Post ORIF ai Close Fraktur Femur (S) 1/3 tengah comminutif DPH II4. Post reduction ai Fraktur ZMC (S) DPH II

1.Commotio Cerebri 2. Post ORIF ai Close Fraktur Collum Femur (S) Garden IV DPH III3. Post ORIF ai Close Fraktur Femur (S) 1/3 tengah comminutif DPH III4. Post reduction ai Fraktur ZMC (S) DPH III

Planning Balance cairan per 2 jamKUVS per 2 jam

Balance cairan per 2 jamKUVS per 2 jam

Terapi -Infus NaCl 0.9% 20 tpm

-Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam

-Injeksi ranitidine 50 mg/12 jam

-Injeksi ketorolac 30 mg /8jam

-Injeksi Piracetam 3 gr /8jam

-Infus NaCl 0.9% 20 tpm

-Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam

-Injeksi ranitidine 50 mg/12 jam

-Injeksi ketorolac 30 mg /8jam

-Injeksi Piracetam 3 gr /8jam

Page 15: presentasi kasus besar bedah

TINJAUAN PUSTAKA

A. CEDERA KEPALA

Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa

tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral

sementara. Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama

pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan

lalulintas.1

Adapun pembagian trauma kapitis adalah:

Simple head injury

Commotio cerebri

Contusion cerebri

Laceratio cerebri

Basis cranii fracture

Simple head injury dan Commotio cerebri sekarang digolongkan sebagai

cedera kepala ringan. Sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri

digolongkan sebagai cedera kepala berat.

1. Mekanisme dan Patologi

Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan

langsung pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus

dengan atau tanpa fraktur tulang tengkorak.

Cedera fokal dapat menyebabkan memar otak, hematom epidural,

subdural dan intraserebral. Cedera difus dapat mengakibatkan gangguan

fungsi saja, yaitu gegar otak atau cedera struktural yang difus.

Dari tempat benturan, gelombang kejut disebar ke seluruh arah.

Gelombang ini mengubah tekanan jaringan dan bila tekanan cukup besar,

akan terjadi kerusakan jaringan otak di tempat benturan yang disebut “coup”

atau ditempat yang berseberangan dengan benturan (contra coup)2,3

2. Patofisiologi

Gangguan metabolisme jaringan otak akan mengakibatkan oedem yang

dapat menyebabkan heniasi jaringan otak melalui foramen magnum, sehingga

Page 16: presentasi kasus besar bedah

jaringan otak tersebut dapat mengalami iskhemi, nekrosis, atau perdarahan

dan kemudian meninggal.

Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa.

Cedera kepala dapat menyebabkan gangguan suplai oksigen dan glukosa,

yang terjadi karena berkurangnya oksigenisasi darah akibat kegagalan fungsi

paru atau karena aliran darah ke otak yang menurun, misalnya akibat syok.

Karena itu, pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas,

gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu sehingga

oksigenisasi cukup.1,2

3. Gambaran Klinis

Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya.

Derajat cedera dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system

GCS, yakni metode EMV (Eyes, Verbal, Motorik)4

1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)

Secara spontan 4

Atas perintah 3

Rangsangan nyeri 2

Tidak bereaksi 1

2. Kemampuan komunikasi (V)

Orientasi baik 5

Jawaban kacau 4

Kata-kata tidak berarti 3

Mengerang 2

Tidak bersuara 1

3. Kemampuan motorik (M)

Kemampuan menurut perintah 6

Reaksi setempat 5

Menghindar 4

Fleksi abnormal 3

Ekstensi 2

Tidak bereaksi 1

Page 17: presentasi kasus besar bedah

4. Pembagian Cedera Kepala1

a. Simple Head Injury

Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan:

Ada riwayat trauma kapitis

Tidak pingsan

Gejala sakit kepala dan pusing

Umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat

simptomatik dan cukup istirahat.

b. Commotio Cerebri

Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang

berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak

disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala,

vertigo, mungkin muntah dan tampak pucat.

Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau

terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri

mungkin pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan

sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia

ini timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian di lobus temporalis.

Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat adalah foto tengkorak, EEG,

pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan selama 3-5 hari

untuk observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dan mobilisasi

bertahap.

c. Contusio Cerebri

Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan

di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata,

meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang

penting untuk terjadinya lesi contusion ialah adanya akselerasi kepala

yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan

gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula

hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak

terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan

Page 18: presentasi kasus besar bedah

asendens retikularis difus. Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input

aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama blockade reversible

berlangsung.

Timbulnya lesi contusio di daerah “coup” , “contrecoup”, dan

“intermediate”menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa

refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran

puli kembali, si penderita biasanya menunjukkan “organic brain

syndrome”.

Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang

beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh

darah cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah

menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah.

Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan

gangguan pernafasan bisa timbul.

d. Laceratio Cerebri

Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai

dengan robekan piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya

perdarahan subaraknoid traumatika, subdural akut dan intercerebral.

Laceratio dapat dibedakan atas laceratio langsung dan tidak

langsung.Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang

disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada

fraktur depressed terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung

disebabkan oleh deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis.

e. Fracture Basis Cranii

Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan

fossa posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana

yang terkena. Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:

Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding

Epistaksis

Rhinorrhoe

Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:

Page 19: presentasi kasus besar bedah

Hematom retroaurikuler, Ottorhoe

Perdarahan dari telinga

Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii.

Komplikasi :

Gangguan pendengaran

Parese N.VII perifer

Meningitis purulenta akibat robeknya duramater

Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi

terapinya harus disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk

mencegah infeksi. Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe yang

berlangsung lebih dari 6 hari.

Adapun pembagian cedera kepala lainnya2,3:

Cedera Kepala Ringan (CKR) → termasuk didalamnya Laseratio

dan Commotio Cerebri

o Skor GCS 13-15

o Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih

dari 10 menit

o Pasien mengeluh pusing, sakit kepala

o Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan ke-

lainan pada pemeriksaan neurologist.

Cedera Kepala Sedang (CKS)

o Skor GCS 9-12

o Ada pingsan lebih dari 10 menit

o Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad

o Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan

anggota gerak.

Cedera Kepala Berat (CKB)

o Skor GCS <8

o Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang

lebih berat

Page 20: presentasi kasus besar bedah

o Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif

o Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang

terlepas.

5. Pemeriksaan Penunjang

Yang dapat dilakukan pada pasien dengan trauma kapitis adalah:

a. CT-Scan

Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka

pendek.

b. Lumbal Pungsi

Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan

sebelum 6 jam dari saat terjadinya trauma

c. EEG

Dapat digunakan untuk mencari lesi

d. Rontgen foto kepala

Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak

6. Komplikasi

Jangka pendek :

A. Hematom Epidural

Letak : antara tulang tengkorak dan duramater

Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya

Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri

kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa

jam kemudian timbul gejala-gejala yang memperberat progresif seperti

nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan

darah meninggi, pupil pada sisi perdarahan mula-mula sempit, lalu

menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap refleks cahaya. Ini

adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi tentorial.

Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)

o Lucid interval

o Peningkatan TIK

o Gejala lateralisasi → hemiparese

Page 21: presentasi kasus besar bedah

Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati

hematoma subkutan

Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil

melebar. Pada sisi kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-

tanda kerusakan traktus piramidalis, misal: hemiparesis, refleks tendon

meninggi dan refleks patologik positif.

CT-Scan : ada bagian hiperdens yang bikonveks

LCS : jernih

Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan

pengikatan pembuluh darah.

B. Hematom subdural

Letak : di bawah duramater

Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins

dan laserasi piamater serta arachnoid dari kortex cerebri

Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama

Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma

CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian

Ada bagian hiperdens yang berbentuk cresent.

Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan

parenkim otak (bagian dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar

sesuai lengkung tulang tengkorak)

Isodens → terlihat dari midline yang bergeser

Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam

otak (dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan

subdural hematom akut terdiri dari trepanasi-dekompresi.

C. Perdarahan Intraserebral

Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal,

terbanyak pada lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma

kapitis yang berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja.

Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari kematian,

perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan

Page 22: presentasi kasus besar bedah

kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologik sesuai

dengan fungsi bagian otak yang terkena.

D. Oedema serebri

Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya,

mungkin hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri,

hanya lebih berat. Tekanan darah dapat naik, nadi mungkin melambat.

Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada. Cairan otak pun

normal, hanya tekanannya dapat meninggi.

TIK meningkat

Cephalgia memberat

Kesadaran menurun

Jangka Panjang :

a. Gangguan neurologis

Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan

N. VIII, disartria, disfagia, kadang ada hemiparese.

b. Sindrom pasca trauma

Dapat berupa : palpitasi, konsentrasi berkurang, libido menurun, mudah

tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa, gangguan

tingkah laku, misalnya: menjadi kekanak-kanakan, penurunan

intelegensia, menarik diri, dan depresi.

7. Terapi1,2

CKR :

Perawatan selama 3-5 hari

Mobilisasi bertahap

Terapi simptomatik

Observasi tanda vital

CKS :

Perawatan selama 7-10 hari

Anti cerebral edem

Anti perdarahan

Page 23: presentasi kasus besar bedah

Simptomatik

Neurotropik

Operasi jika ada komplikasi

CKB :

Seperti pada CKS

Antibiotik dosis tinggi

Konsultasi bedah saraf

8. Prognosa

Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya

trauma kapitis.

B. FRAKTUR FEMUR

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas dari tulang, sering diikuti oleh

kerusakan jaringan lunak dengan berbagai macam derajat, mengenai pembuluh

darah, otot dan persarafan.Dengan bertambahnya usia, angka kejadian fraktur

femur meningkat secara eksponensial. Meskipun dapat dipulihkan dengan

operasi, fraktur femur menyebabkan peningkatan biaya kesehatan.5

Sampai saat ini, fraktur femur makin sering dilaporkan dan masih tetap

menjadi tantangan bagi ahli orthopaedi. Walaupun penatalaksanaan di bidang

orthopaedi dan geriatri telah berkembang, akan tetapi mortalitas dalam satu

tahun pasca trauma masih tetap tinggi, berkisar antara 10 sampai 20 persen.

Sehingga keinginan untuk mengembangkan penanganan fraktur ini masih tetap

tinggi. Penatalaksanaan fraktur femur harus dilaksanakan secepat dan sebaik

mungkin karena jika ada gangguan suplai darah ke caput femur yang tidak

dikontrol dengan baik, dapat menyebabkan peningkatan kemungkinan

terjadinya avaskular nekrosis.6

Klasifikasi fraktur femur dapat dibagi dalam6 :

a. Fraktur Collum Femur

Fraktur collum femur merupakan cedera yang banyak dijumpai

pada pasien usia tua dan menyebabkan morbiditas serta mortalitas. Dengan

Page 24: presentasi kasus besar bedah

meningkatnya derajat kesehatan dan usia harapan hidup, angka kejadian

fraktur ini juga ikut meningkat. Fraktur ini merupakan penyebab utama

morbiditas pada pasien usia tua akibat keadaan imobilisasi pasien di tempat

tidur. Rehabilitasi membutuhkan waktu berbulan-bulan. Imobilisasi

menyebabkan pasien lebih senang berbaring sehingga mudah mengalami

ulkus dekubitus dan infeksi paru. Angka mortalitas awal fraktur ini adalah

sekitar 10%. Bila tidak diobati, fraktur ini akan semakin memburuk. Fraktur

collum femur sering terjadi pada usia di atas 60 tahun dan lebih sering pada

wanita yang disebabkan oleh kerapuhan tulang akibat kombinasi proses

penuaan dan osteoporosis pasca menopause.5

Fraktur collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung yaitu

misalnya penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter

mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan

oleh trauma tidak langsung yaitu karena gerakan exorotasi yang mendadak

dari tungkai bawah, dibagi dalam :

Fraktur intrakapsuler (Fraktur collum femur)

Fraktur extrakapsuler (Fraktur intertrochanter femur)

Gejala klinis dari fraktur collum femur ini adalah nyeri terus

menerus dan bertambah beratnya sampai tulang dismobilisasi. Dapat juga

terjadi deformitas dimana daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen

tulang berpindah dari tempatnya. Terjadi perubahan kesimbangan dan

kontur terjadi, seperti :

- Rotasi pemendekan tulang

- Penekanan tulang.

Pemendekan tulang terjadi karena kontraksi otot yang melekat di

atas dan bawah tempat fraktur. Dapat juga ditemukan krepitasi, teraba akibat

gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Terjadi pembengkakan lokal

dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan

gangguan sirkulasi yang mengikuti fraktur. Bengkak muncul secara ce-

pat dari lokasi dan ekstravasasi darah dalam jaringan yang berdeka-

tan dengan fraktur. Selain itu juga terdapat ekimosis dari perdarahan su-

Page 25: presentasi kasus besar bedah

bkutan, spasme otot (spasme involunters dekat fraktur) , kehilangan

sensasi, pergerakan abnormal, dan syok hipovolemi.6

2. Fraktur Subtrochanter Femur

Fraktur dimana garis patahnya berada 5 cm distal dari trochanter

minor, dibagi dalam beberapa klasifikasi tetapi yang lebih sederhana dan

mudah dipahami adalah klasifikasi Fielding & Magliato, yaitu :

tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trochanter minor

tipe 2 : garis patah berada 1 -2 inch di bawah dari batas atas trochanter

minor

tipe 3 : garis patah berada 2 -3 inch di distal dari batas atas trochanterminor

3. Fraktur Batang Femur

Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat

kecelakaan lalu lintas dikota kota besar atau jatuh dari ketinggian, patah

pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak,

mengakibatkan penderita jatuh dalam shock, salah satu klasifikasi fraktur

batang femur dibagi berdasarkan adanya luka yang berhubungan dengan

daerah yang patah. Dibagi menjadi : tertutup dan terbuka. Ketentuan fraktur

femur terbuka bila terdapat hubungan antara tulang patah dengan dunia luar

dibagi dalam tiga derajat.

4. Fraktur Supracondyler Femur

Fraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi dislokasi ke

posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot – otot

gastrocnemius, biasanya fraktur supracondyler ini disebabkan oleh trauma

langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial dan stress

valgus atau varus dan disertai gaya rotasi.

5. Fraktur Intercondyler

Biasanya fraktur intercondyler diikuti oleh fraktur supracondular, sehingga

umumnya terjadi bentuk T fraktur atau Y fraktur.

6. Fraktur Condyler Femur

Mekanisme traumanya biasa kombinasi dari gaya hiperabduksi dan adduksi

disertai dengan tekanan pada sumbu femur keatas.

Page 26: presentasi kasus besar bedah

Anamnesis

Anamnesis perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Anamnesis ini

meliputi identitas pasien, usia, pekerjaan, dll. Setelah itu menanyakan keluhan

utama pasien. Pada scenario ini terjadi gangguan system musculoskeletal,

biasanya pada system ini keluhan yang terjadi adalah nyeri hebat yang dirasakan

oleh pasien. Perlu ditanyakan lokasi di mana terjadinya nyeri, onset, durasi, sudah

berapa lama mengalami nyeri dan apakah ada factor yang memperberat. Pasien

juga harus menceritakan bagaimana kejadian awal hingga terjadinya nyeri

tersebut. Dokter juga harus menanyakan apakah ada gejala dan keluhan penyerta

lain seperti demam, penurunan BB, mudah lelah, dan gejala sistemik lainnya.

Selain itu harus juga ditanyakan kepada pasien tentang riwayat penyakit

sebelumnya, riwayat traum, aktivitas dan diet sehari-hari.5,6

Pemeriksaan Fisik

Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatic fraktur), baik

yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidak mampuan untuk

menggunakan anggota gerak. Penderita biasanya datang karena adanya nyeri,

pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak, deformitas, kelainan gerak,

krepitasi atau datang dengan gejala lain.

Pada pemeriksaan awal penderita perlu diperhatikan adanya syok, anemia

atau perdarahan. Sangat penting juga untuk diselidiki apakah ada kerusakan pada

organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau organ-organ dalam

rongga thoraks, panggul dan abdomen.6,7

a. Inspeksi (look)

Pada inspeksi perlu dibandingkan ekstremitas yang sakit dengan bagian

yang sehat. Perhatikan posisi anggota gerak secara keseluruhan dan dilihat

adanya tanda-tanda anemia bila terjadi pendarahan. Harus juga

diketahui apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk

membedakan fraktur tertutup atau terbuka. Perhatikan adanya deformitas

berupa angulasi, rotasi dan pemendekan. Lalu perlu dilakukan survei pada

seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ lain.

Page 27: presentasi kasus besar bedah

b. Palpasi (feel)

Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya

mengeluh sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :

- Temperatur setempat yang meningkat

- Nyeri tekan. Nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh

kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang

- Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-

hati

- Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri

radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota

gerak yang terkena. Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada

bagian distal daerah trauma, temperatur kulit

- Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya

perbedaan panjang tungkai.

c. Pergerakan (move)

Periksa pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan

secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami

trauma. Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri

hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping

itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh

darah dan saraf.

Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan penunjang perlu dilakukan pemeriksaan secara radiologi.

Proyeksi anteroposterior dan lateral, kadang-kadang diperlukan axial. Pada

proyeksi anteroposterior, kadang-kadang tidak jelas ditemukan adanya fraktur

(pada kasus yang impacted). Untuk itu perlu ditambah dengan pemeriksaan

proyeksi axial.

Foto Rontgen

Pada proyeksi AP kadang tidak jelas ditemukan adanya fraktur pada kasus

yang impacted, untuk ini diperlukan pemerikasaan tambahan proyeksi axial.

Page 28: presentasi kasus besar bedah

Pergeseran dinilai melalui bentuk bayangan tulang yang abnormal dan tingkat

ketidakcocokan garis trabekular pada kaput femoris dan ujung leher femur.

Penilaian ini penting karena fraktur yang terimpaksi atau tidak bergeser (stadium I

dan II Garden ) dapat membaik setelah fiksasi internal, sementara fraktur yang

bergeser sering mengalami non union dan nekrosis avaskular.

Radiografi foto polos secara tradisional telah digunakan sebagai langkah

pertama dalam pemeriksaan pada fraktur tulang pinggul. Tujuan utama dari film

x-ray untuk menyingkirkan setiap patah tulang yang jelas dan untuk menentukan

lokasi dan luasnya fraktur. Adanya pembentukan tulang periosteal, sclerosis,

kalus, atau garis fraktur dapat menunjukkan tegangan fraktur. Radiografi mungkin

menunjukkan garis fraktur pada bagian leher femur, yang merupakan lokasi untuk

jenis fraktur. Fraktur harus dibedakan dari patah tulang kompresi, yang menurut

Devas dan Fullerton dan Snowdy, biasanya terletak pada bagian inferior leher

femoralis. Jika tidak terlihat di film x-ray standar, bone scan atau Magnetic

Resonance Imaging (MRI) harus dilakukan.8,9

Penatalaksanaan

1. Terapi konservatif :

Proteksi

Misalnya mitella untuk fraktur collum chirurgicum humeri dengan

kedudukan baik.

Immobilisasi saja tanpa reposisi

Misalnya pemasangan gips atau bidai pada fraktur inkomplit dan fraktur

dengan kedudukan baik.

Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips

Reposisi dapat dengan anestesi umum atau anestesi lokal. Fragmen distal

dikembalikan pada kedudukan semula terhadap fragmen proksimal dan

dipertahankan dalam kedudukan yang stabil dalam gips.

Page 29: presentasi kasus besar bedah

Traksi

Traksi dapat untuk reposisi secara perlahan dan fiksasi hingga sembuh atau

dipasang gips setelah tidak sakit lagi. Pada anak-anak dipakai traksi kulit

(traksi Hamilton russel / traksi Bryant)

Traksi kulit terbatas untuk 4 minggu dan beban < 5 kg. Untuk anak-anak

waktu dan beban tersebut mencukupi untuk dipakai sebagai traksi definitive.

Tetapi bila tidak, maka diteruskan dengan immobilisasi gips. Untuk orang

dewasa traksi definitif harus traksi skeletal berupa balanced traction.

2. Terapi operatif:

Terapi operatif dengan reposisi secara terttutp dengan bimbingan radiologis :

a. Reposisi tertutup- fiksasi externa

Setelah reposisi baik berdasarkan control radiologi intraoperatif maka

dipasang alat fiksasi externa. Fiksasi externa dapat model sederhana seperti

Roger Anderson, Judet, screw dengan bone cement atau llizarov yang lebih

canggih.

b. Reposisi tertutup dengan control radiologis diikut fiksasi interna

Misalnya : reposisi tertutup fraktur supra condylair humerus pada anak

diikuti dengan pemasangan parallel pins. Reposisi tertutup fraktur collum

pada anak diikuti planning dan immobilisasi gips. Cara ini sekarang terus

diekmbangkan menjadi “close nailing”: pada fraktur femur dan tibia, yiatu

pemasangan fiksasi interna intra meduller (pen) tanpa membuka frakturnya.

Terapi operatif dengan membuka frakturnya :

a. Reposisi terbuka dan fiksasi interna

ORIF (Open Reduction and Internal Fixation)

Keuntungan cara ini adalah :

- Reposisi anatomis

- Mobilisasi dini tanpa fiksasi luar

Indikasi ORIF :

Fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avasculer nekrosis tinggi

Misalnya : fraktur talus, fraktur collum femur

Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup

Page 30: presentasi kasus besar bedah

Misalnya : fraktur avulsi, fraktur dislokasi

Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan

Misalnya : fraktur monteggia, fraktur galeazzi, fraktur antebrachii,

fraktur pergelangan kaki

Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik

dengan operasi

Misalnya : fraktur femur.

b. Excicional arthroplasty

Membuang fragmen yang patah yang membentuk sendi. Misalnya : fraktur

caput radii pada orang dewasa, fraktur collum femur yang dilakukan

operasi Girldlestone.

c. Excisi fragmen dan pemasangan endoprosthesis

Dilakukan excise caput femur dan pemasangan endoprosthesis Moore atau

yang lainnya.7,9

C. FRAKTUR ZYGOMATICOMAXILLARIS COMPLEX

1. Definisi

Fraktur zygomatic complex merupakan fraktur yang paling sering

pada trauma maksilofasial. Zygomatic complex bertanggung jawab untuk

kontur wajah bagian tengah dan untuk perlindungan dari isi orbital. Fraktur

zygomatic complex muncul biasanya pada dewasa muda. Fraktur zigoma

merupakan merupakan fraktur fasial yang paling sering terjadi. Tingginya

insiden dari fraktur zigoma berhubungan dengan lokasi zigoma yang lebih

menonjol. Predileksi terutama pada laki-laki, dengan perbandingan 4:1

dengan perempuan. Penyebab dari fraktur zigoma yang paling sering adalah

dikarenakan kecelakaan kendaraan bermotor. Zigoma mempunyai peran

yang penting dalam membentuk struktur wajah, dan disrupsi dari posisi

zigoma dapat mengganggu fungsi okular dan mandibular; oleh karena itu

trauma pada zigoma harus didiagnosa secara tepat dan ditangani secara

adekuat.10

Page 31: presentasi kasus besar bedah

2. Anatomi dan Klasifikasi

Gambar 1. Tulang-tulang maksilofasial

Fraktur zigomatikomaksilari disebabkan karena trauma langsung di

pipi yang terjadi pada artikulasio antara os.zigomaticum dan os.maksilaris

bagian frontal dan arkus zigomatikus. Fraktur Maxilla dari fraktur simpel

dentoalveolar hingga fraktur comminutif midface, tergantung pada kekuatan

benturan secara langsung. Pada fraktur maksilari komplit, dinding penopang

vertikal terpecah. Fraktur maksila dapat juga terjadi langsung pada sagital,

biasanya dimulai pada perbatasan hingga kaninus.

Klasifikasi Le Fort10,11:

a. Le Fort I (fraktura maksilari transversa).

Fraktur melalui maksila setinggi rima piriformis, termasuk seluruh

prosesus alveolaris, palatum dan prosesus pterigoideus.

Letak: sepertiga bawah.

Ditandai dengan floating fragmen pada maksila bagian bawah, oedem

muka, maloklusi.

Page 32: presentasi kasus besar bedah

Gambar 2. Le Fort I Fracture

b. Le Fort II (fraktura piramidal).

Sepertiga tengah dan segmen maksila yang terisolasi berbentuk pira-

mid,

Gerakan dapat diperiksa pada medial lantai orbital dengan mengge-

rakkan gigi atas kebelakang dan kedepan.

Dapat menyebabkan midfasial terpisah dan mobile, ekimosis/ hema-

tom periorbita, kerusakan nervus infraorbita, diplopia dan perdarahan

subkonjungtiva, oedem muka, pendataran nasal, telecanthus, epistak-

sis atau CSF rhinorrhea, unstable maxilla dan hidung

Gambar 2. Le Fort II Fracture

c. Le Fort III (disjunksi kraniofasial).

merupakan separasi yang lengkap tulang fasial dari basis tengkorak

dimana letaknya sepertiga atas dari facial,

Page 33: presentasi kasus besar bedah

bisa menyebabkan midfasial terlepas dari bagian atas.

memerlukan pengikatan pada sutura zigomatikofrontal

Muka datar seperti piring (Dish face deformity), epistaksis, CSF rhin-

orrhea , Unstable maxilla, os nasal dan os zygoma, obstruksi jalan na-

pas berat, maloklusi, battle sign (perdarahan retroauriculair), Raccoon

eyes, CSF otorrhea, hemotympani

Gambar 3. Le Fort III Fracture

3. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik pada fraktur multipel wajah dilakukan

pemeriksaan jalan nafas, pernafasan serta sirkulasi darah. Keterbatasan

gerakan rahang dan pendataran pipi, epistaksis unilateral merupakan akibat

dari fraktur maxilla atau dasar orbita. Status lokalis regio yang trauma

seperti defek rima infraorbita, sutura frontozigoma dan penyokong zigoma

dapat merupakan tanda defisiensi malar. Pemeriksaan mata sangat penting

dengan menilai adanya diplopia, kerusakan periorbita atau ekimosis

subkonjungtiva. Pada palpasi didapatkan adanya nyeri di daerah zigoma,

parestesia terjadi bila saraf infraorbita, zigomatikofasial atau

zigomatikotemporal terkena trauma serta krepitasi pada emfisema

subkutis.

Fraktur pada zygoma dapat melibatkan foramen infraorbita dan

menekan nervus infraorbita yang bermanifestasi klinis sebagai parestesia

pada daerah infraorbita. Perubahan posisi frontal dengan pemisahan sutura

zygomaticofrontalis menyebabkan penurunan atau pengenduran canthus

Page 34: presentasi kasus besar bedah

lateral dari kelopak mata dan bola mata. Trauma pada pipi yang menekan os

zygoma ke dalam dapat menekan dan menyebabkan fraktur dinding lateral

dan dasar orbita. Fraktur ini dapat mengakibatkan diplopia yang disebabkan

edema dan hemoragi pada otot ekstraokuler atau disebabkan terjepitnya otot

ekstraokuler atau saraf mata diantara fragmen-fragmen tulang. Ketika

zygoma mengalami penekanan dan terdepresi ke dalam, os temporal dapat

menekan prosesus koronoideus mandibula dan tendo muskulus temporalis

sehingga pasien mengalami kesulitan dalam membuka dan menutup mulut.11

4. Pemeriksaan Penunjang

Radiographi plan dan CT scan (axial section, coronal sction dan 3d

reconstruksi regio maxillofacial) sangat efektif untuk membantu diagnosis.

Rekonstruksi 3D dapat membantu menggambarkan bentuk ulang sehingga

dapat membantu dalam keakuratan rencana preoperatif.Computed

tomography (CT) adalah teknologi yang dapat memperlihatkan visualisasi

dari jaringan keras dan lunak pada wajah. Dilaporkan bahwa CT dapat

mencapai nilai yang lebih akurat dalam diagnosis fraktur tulangmidfasial.

Teknik alternatif lain adalah pemeriksaan ultrasonografi. Ultrasonografi

mudah dan cepat untuk dilakukan, selain itu bersifat noninvasif. CT telah

direkomendasikan untuk evaluasi preoperatif pada trauma zygomaticus

sebagai metode diagnostik standar, terutama dalam kasus-kasus rumit

dengan cedera intrakranial cedera atau ketika ada kebutuhan untuk evaluasi

saraf optik, karena kedua hal tersebut tidak dapat secara memadai dilihat

oleh ultrasonografi. Sementara ultrasonografi telah terbukti menjadi alat

yang berharga dalam mendeteksi fraktur tanpa komplikasi di

zygomaticofrontal, arcus zygomaticus dan margio infraorbital, tapi hasil

untuk dasar orbita dan dinding medial orbitatetap tidak memuaskan. Selain

itu, USG lebih dapat diandalkan dalam menilai keadaan pascaoperasi,

sehingga dapat menurunkan biaya dan paparan radiasi.12

Foto polos dari anteroposterior (AP)

Page 35: presentasi kasus besar bedah

Foto AP: walaupun garis patah kadang tidak jelas, dengan

membandingkan sisi kontralateral, bisa ditemui diskontinuitas tulang

secara radiologis.

Waters

ProyeksiWaterbiasanyamenampilkan opaquesinus maxillary,

dengan keterkaitan frakturlateraldindingsinus maksilarisyang terlibat

CT Scan

CT Scan bisa melihat garis patah yang tidak nampak dalam foto

radiologi biasa. CT Scan 3-dimensi akan menggambarkan bentuk tulang

muka keseluruhan dan lubang tulang yang patah atau melesak dapat

dikenali dengan lebih jelas, selain itu dapat pula mengevaluasi jaringan

lunak, dikerjakan atas indikasi khusus. Meskipun demikian, gambar 3D

mungkin membantu dalam visualisasi besar kominuta, zygomatico, dan

kompleks fraktur yang melibatkan beberapa rangkaian,khususnya

sehubungan dengan midface. Gambar 3D memberikan informasi hanya

mengenai arsitektur. Untuk jeratan lemak dan otot, encephaloceles,

hematoma, dan cedera terkait harus dinilai radiografi melalui CT Scan

2D.

Pada kebanyakan pasien dengan dampak wajah yang signifikan, CT

scan harus dilakukan. CT scan harus dilakukan dengan potongan aksial

tidak lebih besar dari 3 mm terpisah, dari atas tempurung kepala melalui

bagian bawah mandibula.. Secara umum, CT scan dapat diterima untuk

diagnosis pada semua fraktur wajah, selain mandibula. Meskipun CT

scan pada dasarnya 100% sensitif dan spesifik untuk fraktur, namun tidak

Page 36: presentasi kasus besar bedah

memberikan informasi rinci tentang struktur gigi. Hal ini paling penting

di daerah sudut mandibula dengan mengenai kondisi geraham ketiga.

Informasi mengenai kerusakan akar gigi dan posisi relatif terhadap patah

tulang sangat penting dalam perencanaan dan pengobatan patah tulang

sudut.11,13

5. Rencana Pencegahan

a. Penanganan awal

Stabilkan Pasien

Primary survey: Airway, breathing, circulation, dan selanjutnya

tetap diawasi. Fraktur mandibula bilateral dan maxilla harus

distabilkan agar tidak mengganggu jalan napas. Apabila ada per-

darahan lakukan penjahitan.

Bila ada hematoma septum nasi atau hematoma auricula, harus

dilakukan drainase dan dilanjutkan dengan balut tekan/ tamponade

hidung.

Secondary survey: pemeriksaan leher, neurologis, scalp, orbita,

telinga, hidung, wajah bagian tengah (midfacial), mandibula,

rongga mulut, dan oklusi. Adanya cedera kepala (brain injury)

dapat menunda timing operasi Open Reduction Internal Fixation

(ORIF) pada fraktur tulang muka.

Bila ada luka, ditutup dengan kasa lembab sambil menunggu terapi

definituf.

Identifikasi cedera

Memperoleh gambaran imaging yang diperlukan (CT scan 3-di-

mensi)

Konsultasi dengan bagian yang bersangkutan, misalnya bedah

saraf, bedah tulang, jantung, rehabilitasi medik, dan anestesi untuk

persiapan operasi).

Konsultasikan penyakit menular atau infeksi

Stabilkan dasar jaringan keras untuk mendukung jaringan lunak

dan mencegah kontraktur bekas luka sebelum rekonstruksi utama.

Page 37: presentasi kasus besar bedah

Lakukan review menyeluruh dan imaging serta tentukan perawaan

yang akan dilakukan.

b. Penanganan lanjut

Ganti komponen jaringan lunak yang hilang

Lakukan rekonstruksi utama dan manajemen fraktur

Memasukkan agresif fisik / pengobatan dgn memberi pekerjaan ter-

tentu

Lakukan rekonstruksi sekunder (misalnya, implan, vestibuloplasty)

Lakukan rekonstruksi tersier (misalnya, masalah kosmetik, bekas

luka revisi)

6. Prognosis

Jika terapi dan operasi perbaikan untuk memulihkan bentuk dilakukan

dalam waktu 1 minggu setelah cedera/ trauma maka prognosis dapat baik.

Jika penderita mempunyai penyakit kronik atau osteoporosis maka

penyembuhannya bisa jadi masalah.

Salah satu metode pencegahan trauma antara pengguna kendaraan

bermotor di sebagian besar negara di dunia adalah wajib sabuk pengaman.

Penggunaan sistem kerja air bag maupun perlengkapan keselamatan dengan

helm (pengaman kepala) yang melindungi sampai rahang bawah juga dapat

menurunkan resiko kejadian luka rahang atas pada pengguna kendaraan

bermotor. Selain itu, lebih dari separuh pasien yang menderita trauma

wajah, akibat kecelakaan lalu lintas adalah setelah penggunaan alkohol dan

obat-obatan yang menyebabkan kantuk. Edukasi untuk tidak menyetir

kendaraan dalam keadaan mengantuk dan mabuk perlu dilakukan sebagai

usaha pencegahan trauma maxillofacial.12

Page 38: presentasi kasus besar bedah

DAFTAR PUSTAKA

1. Iskandar J, Cedera Kepala, PT Dhiana Populer. Kelompok Gramedia, Jakarta,

1981

2. Chusid, Neuroanatomi Korelatif dan Neurology Fungsional, bagian dua. Gajah

Mada University Press, 1991

3. Staff pengajar bagian ilmu bedah FKUI Jakarta. Kumpulan kuliah ilmu bedah.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004.p.484-7.

4. Sidharta P, Mardjono M, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 1981

5. Apley, Dalam Buku Ajar Ortopedi dan fraktur Sistem Apley, Edisi 7, Editor :

Edi Nugroho 1999.

6. Harrelson J.M, Ortopedi Umum. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah Sabiston.

Editor : dr. Devi H, Alih bahasa : De Petrus A, EGC, Jakarta, 1994.

7. Jergesen F. H., Ortopedi. Dalam Ilmu Bedah (Handbook of Surgery), Editor :

Theodore R. Schrock, Alih bahasa : Adji Dharma, Petrus, Gunawan, EGC,

Jakarta, 1995.

8. Rasad, S. Radiologi Diagnostik.Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;

2006.p.31.

9. Rasjad C., Pengantar Ilmu Beadh Ortopedi, Bintang Lamumpatue, Ujung

Pandang, 1992

10. Tucker MR, Ochs MW. Management of facial fractures. Dalam : Peterson lj

et al. contemporary oral and maxillofacial surgery. St louis: mosby co. 2003

11. Prasetiyono A. Penanganan fraktur arkus dan kompleks zigomatikus.

Indonesian journal of oral and maxillofacial surgeons. Feb 2005 no 1 tahun

IX hal 41-50.

12. Ellis E. fractures of the zygomatic complex and arch. Dalam : fonseca rj et al.

oral and maxillofacial trauma. St. louis : Elsevier. 2005

13. Bailey JS, Goldwasser MS. Management of Zygomatic Complex Fractures.

Dalam : Miloro M et al. Peterson’s principles of Oral and Maxillofacial

Surgery 2nd. Hamilton, London : BC Decker Inc. 2004.