presentasi kasus
-
Upload
sekar-kumalasari -
Category
Documents
-
view
29 -
download
2
description
Transcript of presentasi kasus
Presentasi Kasus
SEORANG ANAK PASIEN 17 TAHUN DENGAN Fe ZMC ( D/S ) + Fe
RAMUS (S) MANDIBULA
Oleh:
A. Jalu Aribowo
G0006005
PEMBIMBING:
dr. H. Marthunus Judin, Sp.An. KAP
KEPANITERAAN KLINIK SMF ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2015
BAB I
LAPORAN KASUS
1
I. ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama : Bagas Bima Perkasa
Umur : 17 th
Agama :
Pekerjaan :
Alamat :
Tanggal masuk :
Tanggal pemeriksaan :
No RM :
B. Data Dasar
1. Keluhan Utama
Luka Bakar terkena ledakan komper gas.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan dari Puskesmas Karangpandan datang ke IGD
RSDM dengan keluhan luka bakar yang dirasakan pasien sejak 11 jam
SMRS. Pasien merasakan luka bakar di wajah, tangan kanan bagian
atas dan di kedua kaki pasien. Luka bakar didapatkan dari tabung gas
elpiji bocor dan menyambar api terkena pada pasien dan disiram oleh
keluarga. Setelah itu pasien di bawa ke Puskesmas Karangpandan,
Karanganyar.
Di IGD RSDM pasien dalam keadaan menangis dan BAK
dalam batas normal. Pasien hanya mengeluhkan nyeri yang dirasakan
pada lukanya.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat luka bakar sebelumnya : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat asma : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
2
Riwayat luka bakar : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat asma : disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
Merokok : disangkal
Minuman beralkohol : disangkal
Ketergantungan obat : disangkal
6. Riwayat asupan gizi
Pasien makan makanan keluarga satu hari tiga kali makan dengan
nasi, lauk dan sayur. Pasien meminum susu formula.
Kesan: asupan gizi baik.
7. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang anak laki-laki usia 4 tahun, belum bekerja.
Pasien berobat dengan BPJS.
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Primary Survey
Airway : Bebas
Breathing : Inspeksi : Pengembangan dada kanan=kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan=kiri, krepitasi (-/-)
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-)
Circulation : Tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 120 x/menit,
RR 24 x/menit.
Disability : GCS: E4V5M6, pupil bulat isokor ukuran 3 mm / 3 mm,
Exposure : jejas (+) lihat status lokalis
B. Secondary Survey
Status gizi : Berat badan : 15 kg
Tinggi badan : 82 cm
BMI : 22.3
3
Kesan : Status gizi normoweight,stunted, dan
gizi cukup
Kulit : Sawo matang, turgor menurun (-), lembab (-),
ikterik(-)
Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), palpebra
inferior kanan terdapat luka bakar, bulu mata kanan
dan kiri
Telinga : Sekret (-), nyeri tekan tragus (-), telinga kanan
terdapat luka bakar
Hidung : Epistaksis (-/-), nafas cuping hidung (-), sekret (-),
tampak luka bakar grade II + bula
Mulut : Sianosis (-), mukosa basah (+), tampak luka bakar
grade II + bula
Leher : Trakhea di tengah, simetris, massa/pembesaran
limfonodi (-), JVP tidak meningkat
Thoraks : Bentuk normothoraks, retraksi dinding dada (-)
Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC IV linea
midclavicularis, tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler,
bising (-).
Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada kanan=kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan=kiri, krepitasi (-/-)
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-)
Abdomen : Dinding perut // dinding dada, supel, timpani, hepar
dan lien tidak teraba
Ekstremitas : Oedem - - Luka Bakar + -
- - + +
4
C. Status Lokalis
Regio facial Tampak combutio grade II, bula (+) 5%
Regio extremitas superior dextra Tampak combutio grade II, bula (+) 4%
Regio cruris dextra Bula (+) 7%
Regio cruris sinistra Tampak combutio grade II 6%
Total 22%
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tanggal 02 September 2015
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
Hematologi rutin
Hemoglobin 12.8 g/dl 10.8-12.8
Hematokrit 40 % 35-43
Leukosit 16.1 Ribu/ul 5.5-17.0
Trombosit 371 Ribu/ul 150-450
Eritrosit 4.85 Juta/ul 3.90-5.30
Golongan O
Hemostasis
PT 14.1 detik 10.0-15.0
APTT 27.6 detik 20.0-40.0
INR 1.070
Hematologi Klinik
GDS 106 mg/dl 60-100
Elektrolit
Natrium 132 Mmol/L 132-145
5
Kalium 4.8 Mmol/L 3.1-5.1
Klorida 103 Mmol/L 98-106
HBsAg Nonreactive
IV. ASSESMENT
1. Combustio api grade II 22%
2. Gizi normal
V. PENATALAKSANAAN
1. Tatalaksana bagian Anestesi
a. Pemasangan infus RL 13 tpm
b. Persiapan operasi medikasi dan debridemen
c. Puasa
VI. PLAN
1. Rencana GAET
2. Premedikasi
a. Inj. Ranitidin 20mg/12 jam
b. Inj. Kalmetasin 1 amp/12 jam
3. Induksi dengan Propofol 1mg/kgBB 1mg X 15 kg = 15 mg
4. Propofol maintenance 0.1mg/kgBB 0.1mg X 15 kg = 1.5mg
5. Anestesi inhalasi menggunakan sevofluran
6. Fentanyl 10mcg/kgBB 10mcg X 15 kg = 150mcg
7. Fentanyl maintenance 1mcg X 15 kg = 15 mcg
8. Resusitasi cairan puasa (6jam) 313 ml
9. Resusitasi cairan selama operasi 24 ml/jam
10. Resusitasi cairan setelah OP 2150ml/24 jam
11. Post OP rawat PICU
12. Post OP diberikan obat
6
a. Inj. Cefotaxim 500mg/12jam
b. Inj. Metamizolol 500mg/8 jam
c. Inj. Ranitidin 20mg/12 jam
d. Inj. Kalmetasin 1amp/12 jam
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anestesi
1. Definisi
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri.
Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya
persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain
hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri
atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara
reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat
anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Obat
anastesi umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah
menguap) yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran,
metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara
intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain
dan molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin. (Munaf,
2008).
Dalam tesis Nainggolan (2011), untuk menentukan prognosis ASA
(American Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan
status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok
atau kategori sebagai berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat
yang memerlukan operasi. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik
ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun penyakit
lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol,
atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan febris. ASA 3, yaitu
pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diaktibatkan
karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi dengan
septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium. ASA
4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung
8
mengancam kehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup
setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua
dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III
E.
Menurut Kee et al (1996), Anastesi seimbang, suatu kombinasi obat-
obatan, sering dipakai dalam anastesi umum. Anestesi seimbang terdiri dari:
a. Hipnotik diberikan semalam sebelumnya
b. Premedikasi, seperti analgesik narkotik atau benzodiazepin (misalnya,
midazolam dan antikolinergik (contoh, atropin) untuk mengurangi
sekresi diberikan kira-kira 1 jam sebelum pembedahan
c. Barbiturat dengan masa kerja singkat, seperti natrium tiopental
(Pentothal)
d. Gas inhalan, seperti nitrous oksida dan oksigen
e. Pelemas otot jika diperlukan
2. Tahap-tahap Anestesi
Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi atau
eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan
hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan
pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II (stadium
eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan
stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak
menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah,
midriasis, hipertensi, dan takikardia. Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi
dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan
terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal
9
masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea
terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata
ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III,
ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan
otot perut relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau
overdosis),ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi.
Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi
lakrimal (Munaf, 2008).
Tabel 2.1. Tahap Anestesi
Tahap Nama Keterangan
1 Analgesia Dimulai dengan keadaan sadar dan
diakhiri dengan hilangnya kesadaran.
Sulit untuk bicara; indra penciuman
dan rasa nyeri hilang. Mimpi serta
halusinasi pendengaran dan
penglihatan mungkin terjadi. Tahap
ini dikenal juga sebagai tahap induksi.
2 Eksitasi atau delirium Terjadi kehilangan kesadaran akibat
penekanan korteks serebri.
Kekacauan
mental
, eksitasi, atau
delirium dapat terjadi. Waktu induksi
singkat.
10
3 Surgical
Prosedu
r pembedahan biasanya
dilakukan pada tahap ini
4 Paralisis medular Tahap toksik dari anestesi. Pernapasan
hilang dan terjadi kolaps sirkular.
Perlu
diberikan bantuan
ventilasi.
Sumber: E, B, C, et al., 2008. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC.
3. Sifat-Sifat Anestesi Umum yang Ideal
Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1) bekerja cepat, induksi dan
pemilihan baik, (2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3) batas keamanan
lebar;(4) tidak bersifat toksis. Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang
secara langsung mencapai kadar yang tinggi di SSP (obat intravena) atau
tekanan parsial yang tinggi di SSP (obat ihalasi). Kecepatan induksi dan
pemulihan bergantung pada kadar dan cepatnya perubahan kadar obat anastesi
dalam SSP (Munaf, 2008).
4. Anestesi Cair yang Menguap
a. Halotan
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh
1) Kardiovaskular
Depresi miokard bergantung pada dosis, penurunan
otomatisitas sistem konduksi, penurunan aliran darah ginjal
dan splanknikus dari curah jantung yang berkurang, serta
11
pengurangan sensitivitas miokard terhadap aritmia yang
diinduksi katekolamin yang menyebabkan terjadinya hipotensi
untuk menghindari efek hipotensi yang berat selama anestesi,
yang dalam hal ini perlu diberikan vasokonstriktor langsung,
seperti fenileprin (Munaf, 2008).
2) Pernapasan
Depresi respirasi terkait dengan dosis yang dapat
menyebabkan menurunnya volume tidal dan sensitivitas
terhadap pengaturan respirasi yang dipacu oleh CO2.
Pemberian bronkodilator poten sangat baik untuk mengurangi
spasme bronkus (Munaf, 2008).
3) Susunan Saraf Pusat
Hilangnya autoregulasi aliran darah serebral yang
menyebabkan tekanan intrakranial menurun (Munaf, 2008).
4) Ginjal
Menurunnya GFR, dan berkurangnya aliran darah ke ginjal
disebabkan oleh curah jantung yang menurun (Munaf, 2008).
5) Hati
Aliran darah ke hati menurun (Munaf, 2008).
6) Uterus
Menyebabkan relaksasi otot polos uterus; berguna dalam
manipulasi kasus obstetrik (misalnya penarikan plasenta)
(Munaf, 2008).
Metabolisme
Sebanyak 80% hilang melalui gas yang dihembuskan, 20%
12
melalui metabolisme di hati. Metabolit berupa bromida dan asam
trifluoroasetat (Munaf, 2008).
Keuntungan dan Kerugian
Potensi anestesi umum kuat, induksi dan penyembuhan baik,
iritasi jalan napas tidak ada, serta bronkodilator yang sangat baik.
Sedangkan kerugiannya adalah depresi miokard dan pernapasan,
sensitisasi miokard terhadap aritmia yang diinduksi oleh
katekolamin, serta aliran darah serebral menurun yang dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Munaf, 2008).
Indikasi Klinik
Halotan digunakan secara ekstensif dalam anestesia anak
karena ketidakmampuannya menginduksi inhalasi secara cepat dan
status asmatikus yang refraktur. Obat ini dikontraindikasikan pada
pasien dengan penyakit intrakranial (Munaf, 2008).
Efek samping/Toksisitas
1) Hepatitis halotan: kejadian 1/30.000 dari pemberian; pasien
yang mempunyai resiko adalah yang mengalami obesitas,
wanita usia muda lebih banyak terjadi dengan periode waktu
yang singkat; ditandai dengan nekrosis sentrilobuler; uji fungsi
hati abnormal dan eosinofilia. Sindrom ini dapat juga terjadi
dengan isofluran dan etran (Munaf, 2008).
2) Hipertermi maligna: suatu sindrom yang ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh secara belebihan, rigiditas otot rangka,
serta dijumpai asidosis metabolik. Secara umum, hal ini
berakibat fatal kecuali jika diobati dengan dantrolen yang
merupakan pelemas otot yang mencegah Ca dari retikulum
sarkoplasmik (Munaf, 2008).
13
b. Enfluran
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh
1) Kardiovaskular
Depresi miokard bergantung pada dosis, vasodilator
arterial, dan sensitisasi ringan miokard terhadap katekolamin
(Munaf, 2008).
2) Respirasi
Depresi pernapasan bergantung pada dosis; hipoksia
ablasia yang disebabkan oleh bronkodilator (Munaf, 2008).
3) Susunan Saraf Pusat
Dapat menimbulkan kejang pada kadar enfluran tinggi dengan
tekanan parsial CO2 (PCO2) menurun (hipokarbia);
vasodilatasi serebral dengan meningkatnya tekanan
intrakranial (Munaf, 2008).
4) Ginjal
Aliran darah ginjal dan GFR menurun (Munaf, 2008).
Metabolisne
Sebanyak 2% enfluran dimetabolisme di hati, metabolit
utama, yaitu fluorida mempunyai potensi untuk menimbulkan
nefrotoksis (sangat jarang digunakan secara klinis) (Munaf, 2008).
Keuntungan dan kerugian
Secara klinis, enfluran merupakan bronkodilator yang
baik, respons kardiovaskular stabil, kecenderungan aritmia jantung
minimal, dan tidak mengiritasi saluran napas. Sedangkan
kerugiannya adalah Enfluran mempunyai potensi aktivitas kejang.
Kontraindikasi pada pasien dengan tekanan intrakranial yang
meningkat disertai dengan gangguan patologik intrakranial (Munaf,
2008).
14
c. Isofluran
Efek terhadap Sistem dalam Tubuh
1) Kardiovaskular
Terjadi depresi miokard yang ringan dan bergantung
pada dosis, sedangkan curah jantung biasanya normal
disebabkan sifat vasodilatasinya, sensitisasi miokard minimal
terhadap katekolamin, dapat menyebabkan coronary steal oleh
vasodilatasi normal pada stenosis dengan aliran yang
berlebihan (Munaf, 2008).
2) Respirasi
Depresi respons terhadap CO2 bergantung pada dosis,
hipoksia ventilasi, bronkodilator, iritasi sedang pada jalan
napas (Munaf, 2008).
3) Ginjal
Glomerular Filtration Rate (GFR) dan aliran darah
ginjal rendah disebabkan tekanan arterial menengah yang
menurun (Munaf, 2008).
4) Susunan Saraf Pusat
Efek minimal pada otoregulasi serebral, konsumsi
oksigen metabolik serebral menurun, dan merupakan obat
pilihan untuk bedah saraf (Munaf, 2008).
Metabolisme
Hanya 0,2% yang dimetabolisme di hati, selebihnya
diekskresikan pada waktu ekspirasi dalam bentuk gas (Munaf,
2008).
Keuntungan dan Kerugian
Keadaan kardeiovaskular stabil, tidak bersifat
15
aritmogenik, tekanan ntrakranial tidak meningkat,
bronkodilator. Sedangkan kerugiannya adalah Iritasi jalan
napas sedang (Munaf, 2008).
d. Sevofluran
Sevofluran merupakan fluorokarbon dengan bau yang
tidak begitu menyengat, dan tidak begitu mengiritasi saluran
napas, serta absorpsinya cepat. Indikasi klinik: sebagai anestesi
umum untuk melewati stadium 2 dan untuk pemeliharaan umum
(Munaf, 2008).
Tabel 2.2. Obat Sevofluran
Obat Aritmia Sensitivitas Curah Tekanan Refleks Toksisitas
terhadap jantung Darah Respirasi pada
katekolamin Hepar
Halotan ↑ ↑ ↓ ↓ ↓ +++
Enflura ↑ ↑ ↓ ↓ ↓ +
n
Isoflura -- -- ↓ ↓ ↑(stimulasi --
n awal)
Sevoflur -- -- -- -- -- --
an
Nitrogen -- -- -- -- -- --
oksida
Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta:
EGC.
5. Anestesi Intravena
Pada suatu operasi biasanya digunakan anestesi intravena untuk
16
induksi cepat melewati stadium II, dilanjutkan stadium III, dan
dipertahankan dengan suatu anestesi umum per inhalasi. Karena anestesi
IV ini cepat menginduksi stadium anestesi, penyuntikan harus dilakukan
secara perlahan-lahan (Kee, et al (1996).
Tabel 2.3. Anestesi Intravena
Obat Waktu induksi
Pertimbangan
Pemakaian
Natrium Cepat Masa kerja singkat. Dipakai untuk
tiopental induksi cepat pada anestesi umum.
Membuat pasien tetap hangat, karena
dapat terjadi tremor. Dapat menekan
pusat pernapasan dan mungkin
Natrium
diperlukan bantuan
ventilasi
Cepat Dipakai untuk induksi anestesi dan
Tiamilal anestesi untuk terapi elektrosyok
Droperidol Sedang sampai cepat Sering digunakan bersama anaestesi
umum. Dapat juga dipaki sebagai
obat
Ketamin
preanestetik
Cepat
Dipaka
i untuk pembedahan jangka
Hidroklorida singkat atau untuk induksi
pembedahan. Obat ini meningkatkan
salivasi, tekanan darah, dan denyut
jantung
Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta:
EGC.
17
6. Anestesi Gas
Tabel 2.4. Anestesi Gas
Obat Waktu Induksi Pertimbangan pemakaian
Nitrous Sangat cepat Pemulihan cepat. Mempunyai efek
oksida yang minimal pada kardiovaskular.
Harus diberikan bersama-sama
oksigen. Potensi rendah
Siklopropan Sangat cepat Sangat mudah terbakar dan meledak.
Jarang digunakan
Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC.
7. Penggolongan Muscle Relaxant
Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri. Relaksan otot adalah
obat yang mengurangi ketegangan otot dengan bekerja pada saraf yang
menuju otot (misalnya kurare, suksinilkolin) (Grace, 2006). Berdasarkan
perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya' obat-obat pelumpuh otot
dapat dibagi menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi (meniru aksi
asetilkolin) dan obat pelumpuh otot nondepolarisasi (mengganggu kerja
asetilkolin). Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi menjadi 3 grup
lagi yaitu obat kerja lama' sedang' dan singkat. Obat-obat pelumpuh otot
dapat berupa senyawa benzilisokuinolin atau aminosteroid. Obat- obat
pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot fase I depolarisasi' blokade
saraf-otot fase II depolarisasi atau nondepolarisasi (Rachmat, et al.,
2004).
a. Muscle Relaxant Golongan Depolarizing
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi
di celah sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga
18
bertahan cukup lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang
ditandai dengan fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk
golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan dekametonium.
Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase
plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti
kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat
kerja pseudokolinesterase (Mangku, 2010).
1) Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang
bergabung. obat ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan
duration of action yang pendek (kurang dari 10 menit). Ketika
suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh
pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat
efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang
mencapaineuromuscular junction. Duration of action akan
memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal,
seperti hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase.
Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan,
penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa
orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang
menyebabkan blokade yang memanjang (Mangku, 2010).
b. Ciri Kelumpuhan
1) Ada fasikulasi otot.
2) Berpotensiasi dengan antikolinesterase.
3) Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat
pelumpuh otot non depolarisasi dan asidosis.
4) Tidak menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada
perangsangan tunggal maupun tetanik.
19
5) Belum diatasi dengan obat spesifik
c. Muscle Relaxant Golongan Non Depolarizing.
Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa
menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja (Latief, dkk,
2007).
Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung
setelah pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang
hilang dari plasma dicirikan dengan penurunan inisial cepat
(distribusi ke jaringan) diikuti penurunan yang lebih lambat (klirens).
Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam aliran darah' anestesi
inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada
farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh
anestesi volatil mencerminkan aksi farmakodinamik' seperti
dimanifestasikan oleh penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh
otot yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat blokade saraf
tertentu dengan adanya anestesi volatile. Bila volume distribusi
menurun akibat peningkatan ikatan protein' dehidrasi' atau
perdarahan akut' dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi
plasma yang lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu
paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan
durasi kerja obat-obat ini saat diberikan sebagai injeksi cepat
intravena (Lunn, 2004).
Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non
depolarisasi digolongkan menjadi:
1) Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurium,
20
atrakurium, doksakurium, mivakurium.
2) Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium,
ropakuronium, rokuronium.
3) Eter-fenolik : gallamin.
4) Nortoksiferin : alkuronium.
Tabel 2.5. Obat Pelumpuh Otot
Berdasarkan maka pelumpuh otot non depolarisasi dibagi menjadi kerja
panjang, sedang, dan pendek:lama kerja,
Durasi Efek SampingDosis Dosis
Awal Rumatan(menit)
(mg/kg) (mg/kg)
Non Depol Long Acting
1. D-tubokurarin 0.40 – 30 – Hipotensi
2. Pankuronium 0.600.10
60 Vagolitik,takikardi
3. Metakurin 0.08 – 30 – Hipotensi0.15 –
4. Pipekuronium 0.12 60 Kardiovaskuler0.20
5. Doksakurium 0.20 - 40 – stabil0.05
6. Alkurium 0.40 60 Kardiovaskuler0.01 –
0.05 – 40 – stabil0.015
0.12 60 Vagolitik,0.005 –
0.02 – 45 – takikardi0.010
0.08 600.05
0.15 – 40 –
21
0.30 60
Non depol Intermediate
1. Gallamin4 – 6
30 – Hipotensi
2. Atrakurium 60 Aman untuk hepar0.5 – 0.5
3. Vekuronium 20 –0.6 0.1
4. Rokuronium 450.1 – 0.015 –
5. Cistacuronium 25 –0.2 0.02
450.6 – 0.10 –
30 –0.1 0.15
600.15 – 0.02
30 –
Berdasarkan lama kerja, maka pelumpuh otot non
depolarisasi dibagi menjadi kerja panjang, sedang,
dan pendek
Dosis DosisEfek Samping
DurasiAwal Rumatan (menit)
(mg/kg) (mg/kg)
Non Depol Short Acting 0.20 – 10 –
1. Mivakurium 0.25 0.05 15
2. Ropacuronium 1.5 – 0.3 – 0.5 15 –
22
2.0 30
Depol Short Acting1 3 – 10
1. Suksinilkolin
Sumber: Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An., 2010. Buku
Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta: PT. Indeks.
Ciri Kelumpuhan Otot
Non Depolarisasi tidak ada fasikulasi otot.
1) Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat
anestetik inhalasi (eter, halotan, enfluran, isofluran)
2) Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan
tunggal atau tetanik.
3) Dapat diantagonis oleh antikolinesterase.
8. Penawar Pelumpuh Otot
Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase
sehingga asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering
digunakan adalah neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin
(dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan
fisostigmin yang hanya untuk penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg).
Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik sehingga menyebabkan
hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas
usus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai
vagolitik seperti atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat
(dosis 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa) (Mangku,
2010).
9. Analgesik
Menurut kamus perobatan Oxford (2011), obat anti nyeri
23
bermaksud suatu obat yang meredakan rasa nyeri. Obat anti nyeri ringan
(aspirin dan parasetamol) digunakan untuk meredakan nyeri kepala, nyeri
gigi dan nyeri reumatik ringan manakala obat anti nyeri yang lebih poten
(narkotika atau opioid) seperti morfin dan petidin hanya digunakan untuk
meredakan nyeri berat memandangkan ia bisa menimbulkan gejala
dependensi dan toleransi. Sesetengah analgesik termasuk aspirin,
indometasin dan fenilbutazon bisa juga meredakan demam dan inflamasi
serta digunakan dalam kondisi rematik.
a. Jenis-Jenis Analgesik
Berdasarkan sifat farmakologisnya, obat anti nyeri
(analgesika) dibagi kepada dua kelompok yaitu analgesika perifer
dan analgesika narkotika. Analgesika perifer (non-narkotika) terdiri
dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral
manakala analgesika narkotika digunakan untuk meredakan rasa
nyeri hebat misalnya pada pesakit kanker (Suleman, 2006).
b. Mekanisme Kerja Obat
1) Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS)
Hampir semua obat AINS mempunyai tiga jenis efek yang
penting yaitu :
a) Efek anti-inflamatori : memodifikasi reaksi inflamasi
b) Efek analgesik : meredakan suatu rasa nyeri
c) Efek antipiretik : menurunkan suhu badan yang
meningkat.
Secara umumnya, semua efek-efek ini berhubungan dengan
tindakan awal obat-obat tersebut yaitu penghambatan arakidonat
siklooksigenase sekaligus menghambat sintesa prostaglandin dan
tromboksan (Rang et al., 2007). Terdapat dua tipe enzim
siklooksigenase yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 merupakan enzim
24
konstitutif yang dihasilkan oleh kebanyakan jaringan termasuklah
platlet darah (Rang et al., 2007). Enzim ini memainkan peranan
penting dalam menjaga homeostasis jaringan tubuh khususnya
ginjal, saluran cerna dan trombosit. Di mukosa lambung, aktivasi
COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. COX-2
pula diinduksi dalam sel-sel inflamatori diaktivasi. Dalam hal ini,
stimulus inflamatoar seperti sitokin inflamatori primer yaitu
interleukin-1 (IL-1) dan tumour necrosis factor-α (TNF- α),
endotoksin dan faktor pertumbuhan (growth factors) yang dilepaskan
menjadi sangat penting dalam aktivasi enzim tersebut.Ternyata
sekarang COX-2 juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu di ginjal,
jaringan vaskular dan pada proses pembaikan jaringan. Tromboksan
A2, yang disentesis trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi
trombosit, vasokonstriksi dan proliferasi otot polos. Sebaliknya
prostasiklin yang disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskular
melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi
trombosit, vasodilatasi dan efek anti-proliferatif (Fendrick et al.,
2008).
2) Obat Anti Inflamasi Steroid
Morgan Jr GE, Michail MS, Murray MJ (2006), Menjelaskan
bahwa opioid didefinisikan sebagai senyawa dengan efek yang
diantagonis oleh nalokson.
a) Analgesik Opioid Kuat
Analgesik ini khususnya digunakan pada terapi nyeri
tumpul yang tidak terlokalisasi dengan baik (viseral). Nyeri
somatik dapat ditentukan dengan jelas dan bisa diredakan dengan
analgesik opioid lemah. Morfin parenteral banyak digunakan
untuk mengobati nyeri hebat dan morfin oral merupakan obat
terpilih pada perawatan terminal.
Morfin dan analgesik opioid lainnya menghasilkan suatu
25
kisaran efek sentral yang meliputi analgesia, euforia, sedasi,
depresi napas, depresi pusat vasomotor (menyebabkan hipotensi
postural), miosis akibat stimulasi nukleus saraf III (kecuali petidin
yang mempunyai aktifitas menyerupai atropin yang lemah), mual,
serta muntah yang disebabkan oleh stimulasi chemoreceptor
trigger zone. Obat tersebut juga menyebabkan penekanan batuk,
tetapin hal ini tidak berkaitan dengan aktivitas opioidnya. Efek
perifer seperti konstipasi, spasme bilier, dan konstriksi sfingter
Oddi bisa terjadi. Morfin bisa menyebabkan pelepasan histamin
dengan vasodilatasi dan rasa gatal. Morfin mengalami
metabolisme dalam hati dengan berkonjugasi dengan asam
glukoronat untuk membentu morfin-3-glukoronid yang inaktif,
dan morfin-6-glukuronid, yaitu analgesik yang lebih poten
daripada morfin itu sendiri, terutama bila diberi intratekal.
Diamorfin (heroin, diasetilmorfin) lebih larut dalam lemak
daripada morfin sehingga mempunyai awitan kerja lebih cepat
bila diberikan secara suntikan. Kadar puncak yang lebih tinggi
menimbulkan sedasi yang lebih kuat daripada morfin. Dosis kecil
diamorfin epidural semakin banyak digunakan untuk
mengendalikan nyeri hebat.
Dekstromoramid mempunyai durasi kerja singkat (2-4 jam)
dan dapat diberikan secara oral maupun sublingual sesaat sebelum
tindakan yang menyakitkan.
Metadon mempunyai durasi kerja panjang dan kurang
sedatif dibandingkan morfin. Metadon digunakan secara oral
untuk terapi rumatan pecandu heroin atau morfin. Pada pecandu,
metadon mencegah penggunaan obat intravena.
3) Analgesik Opioid Lemah
Analgesik opioid lemah digunakan pada nyeri ringan sampai
26
sedang. Analgesik ini bisa menyebabkan ketrgantungan dan
cenderung disalahgunakan. Akan tetapi, ibuprofen kurang menarik
untuk pencandu karena tidak memberikan efek yang hebat.
Kodein (metilmorfin) diabsorpsi baik secara oral, tetapi
mempunyai afinitas sangat rendah terhadap reseptor opioid. Sekitar
10% obat mengalami demetilasi dalam hati menjadi morfin, yang
bertanggung jawab atas efek analgesik kodein. Efek samping
(kostipasi, mudah, sedasi) membatasi dosis ke kadar yang
menghasilkan analgesia yang jauh lebih ringan daripada morfin.
Kodein juga digunakan sebagai obat antitusif dan antidiare.
B. Post Operative Nausea and Vomitus (PONV)
1. Definisi
Mual muntah pasca operasi atau Post Operative Nausea and
Vomiting (PONV) tidak mengenakkan bagi pasien dan potensial
mengganggu penyembuhan paska operatif. Kapur mendeskripsikan PONV
sebagai ‘the big little problem’ pada pembedahan ambulatori (Maddali
MM, Mathew J, 2003).
Mual adalah suatu sensasi tidak enak yang bersifat subjektif yang
berhubungan dengan keinginan untuk muntah. Muntah adalah ekspulsi
dengan tenaga penuh dari isi gaster. Stimulus yang bisa mecetuskan mual
dan muntah berasal dari olfaktori, visual, vestibular dan psikogenik.
Kemoreseptor pada CTZ memonitor level substansi di darah dan cairan
serebrospial dan dan faktor – faktor lainnya juga bisa mencetuskan
terjadinya PONV. Muntah diawali dengan bernafas yang dalam, penutupan
glotis dan naiknya langit – langit lunak. Diafrahma lalu berkontraksi
dengan kuat dan otot – otot abdominal berkontraksi untuk meningkatkan
tekanan intra-gastrik. Hal ini menyebabkan isi lambung keluar dengan
penuh tenaga ke esofagus dan keluar dari mulut (Honkavaara, P, 1995).
2. Patofisiologi
27
Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata,
memperantarai refleks muntah. Bagian ini sangat dekat dengan nukleus
tractus solitarius dan area postrema. Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ)
berlokasi di area postrema. Rangsangan perifer dan sentral dapat
merangsang kedua pusat muntah dan CTZ. Afferent dari faring, GI tract,
mediastinum,ginjal, peritoneum dan genital dapat merangsang pusat
muntah. Sentral dirangsang dari korteks serebral, cortical atas dan pusat
batang otak, nucleus tractus solitarius, CTZ, dan sistem vestibular di
telinga dan pusat penglihatan dapat juga merangsang pusat muntah.
Karena area postrema tidak efektif terhadap sawar darah otak, obat atau
zat-zat kimia di darah atau di cairan otak dapat langsung merangsang CTZ
(Ho KY, Chiu JW, 2005).
Kortikal atas dan sistem limbik dapat menimbulkan mual muntah
yang berhubungan dengan rasa, penglihatan, aroma, memori dan perasaaan
takut yang tidak nyaman (Zainumi C M). Nukleus traktus solitaries dapat
juga menimbulkan mual muntah dengan perangsangan simpatis dan
parasimpatis melalui perangsangan jantung, saluran billiaris, saluran cerna
dan saluran kemih (Morgan Jr GE, Mikhail MS, Murray Mj, 2006). Sistem
vestibular dapat dirangsang melalui pergerakan tiba-tiba yang
menyebabkan gangguan pada vestibular telinga tengah (Rahman MH,
Beattie J, 2004).
Reseptor sepeti 5-HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid dan neurokinin-1
(NK-1) dapat dijumpai di CTZ. Nukleus tractus solitarius mempunyai
konsentrasi yang tinggi pada enkepalin, histaminergik, dan reseptor
muskarinik kolinergik. Reseptor-reseptor ini mengirim pesan ke pusat
muntah ketika di rangsang. Sebenarnya reseptor NK-1 juga dapat
ditemukan di pusat muntah. Pusat muntah mengkoordinasi impuls ke
vagus, frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan otot- otot perut untuk
melakukan refleks muntah (Ho KY, Chiu JW, 2005)
28
Gambar 2.1. Skema patofisiologi mual dan muntah
Sumber: Rahman MH, Beattie J., 2004. Post Operative Nausea and Vomiting.
29
The Pharmaceutical Journal, Vol. 273
Gambar 2.2. Patofisiologi mual dan muntah
Sumber: Siregar, D., 2011. Perbandingan Kombinasi Ondansetron 2mg
IV Dengan Deksametason 4mg IV Dan Ondansetron 4 mg IV Dengan
Deksametason 4mg IV Sebagai Profilaksis Pada Pasien Resiko Tinggi
Mual Muntah Setelah Operasi Yang Menjalani Tindakan Operasi
30
Dengan Anestesi Umum Intubasi. Tesis akhir penelitian. Medan.
Gambar 2.3. Fisiologi Post Operative Nausea and vomiting
Sumber: Siregar, D., 2011. Perbandingan Kombinasi Ondansetron 2mg
31
IV Dengan Deksametason 4mg IV Dan Ondansetron 4 mg IV Dengan
Deksametason 4mg IV Sebagai Profilaksis Pada Pasien Resiko Tinggi
Mual Muntah Setelah Operasi Yang Menjalani Tindakan Operasi
Dengan Anestesi Umum Intubasi. Tesis akhir penelitian. Medan.
3. Faktor Risiko
a. Faktor – faktor pasien
1) Umur : insidensi PONV 5% pada bayi, 25% pada usia
dibawah 5 tahun, 42 – 51% pada umur 6 – 16 tahun dan 14
– 40% pada dewasa.
2) Gender : wanita dewasa akan mengalami PONV 2 – 4 kali
lebih mungkin dibandingkan laki – laki, kemungkinan
karena hormon perempuan.
3) Obesitas : dilaporkan bahwa pada pasien tersebut lebih
mudah terjadi PONV baik karena adipos yang berlebihan
sehingga penyimpanan obat – obat anestesi atau produksi
estrogen yang berlebihan oleh jaringan adipos.
4) Motion sickness : pasien yang mengalami motion sickness
lebih mungkin terkena PONV
5) Perpanjangan waktu pengosongan lambung : pasien
dengan kondisi ini akan menambah resiko terjadinya
PONV
6) Perokok : bukan perokok akan lebih cenderung mengalami
PONV
b. Faktor – faktor preoperatif
1) Makanan : waktu puasa yang panjang atau baru saja makan akan
meningkatkan insiden PONV
2) Ansietas : stess dan ansietas bisa menyebabkan muntah
3) Penyebab operasi : operasi dengan peningkatan tekanan intra
kranial,obstruksi saluran pencernaan, kehamilan, aborsi atau
32
pasien dengan kemoterapi.
4) Premedikasi : atropine memperpanjang pengosongan lambung
dan mengurangi tonus esofageal, opioid meningkatkan sekresi
gaster, dan menurunkan motilitas pencernaan. Hal ini
menstimulasi CTZ dan menambah keluarnya 5-HT dari sel – sel
chromaffin dan terlepasnya ADH.
c. Faktor – faktor intraoperatif
1) Faktor anestesi
a) Intubasi : stimulasi mekanoreseptor faringeal bisa
menyebabkan muntah
b) Anestetik : kedalaman anestesi atau inflasi gaster pada saat
ventilasi dengan masker bisa menyebabkan muntah
c) Anestesia : perubahan posisi kepala setelah bangun akan
merangsang vestibular.
d) Obat – obat anestesi : opioid adalah opat penting yang
berhubungan dengan PONV. Etomidate dan methohexital
juga berhubungan dengan kejadian PONV yang tinggi
e) Agen anstesi inhalasi : eter dan cyclopropane menyebabkan
insiden PONV yang tinggi karena katekolamin. Pada
sevoflurane, enflurane, desflurane dan halothane dijumpai
angka kejadian PONV yang lebih rendah. N2O mempunyai
peranan yang dalam terjadinya PONV. Mekanisme terjadinya
muntah karena N2O karena kerjanya pada reseptor opioid
pusat, perubahan pada tekanan telinga tengah, stimulasi saraf
simpatis dan distensi gaster.
b. Teknik anestesi
Insiden PONV diprediksi lebih rendah dengan spinal anestesi
bila dibandingkan dengan general anestesi. Pada regional anestesi
33
dijumpai insiden yang lebih rendah pada emesis intra dan postoperatif.
c. Faktor pembedahan :
1) Kejadian PONV juga berhubungan dengan tingginya insiden dan
keparahan PONV. Seperti pada laparaskopi, bedah payudara,
laparatomi, bedah plastik, bedah optalmik (stabismus), bedah
THT, bedah ginekologi (Gan TJ, 2003).
2) Durasi operasi (setiap 30 menit penambahan waktu resiko PONV
meningkat sampai 60%).
d. Faktor – faktor paska operatif
Nyeri, pusing, ambulasi, makan yang terlalu cepat (Saeeda I,
Jain P, 2004). Terjadinya PONV sangat kompleks tapi faktor – faktor
tertentu diketahui meningkatkan insiden. Faktor – faktor preoperatif
yang berhubungan dengan pasien seperti umur, gender, keseimbangan
hormonal, berat badan, isi lambung, riwayat sebelumnnya, kecemasan
dan riwayat mual muntah. Faktor – faktor post operatif adalah tekhnik
atau obat yang berhubungan dengan hipotensi, nyeri, analgesia opioid,
intake oral yang cepat dan pergerakan. Thomson juga menegaskan
bahwa penggunaan opioid menstimulasi pusat muntah melalui CTZ
tanpa pengaruh dari jalur maupun waktu pemberiannya. (Saeeda I, Jain
P, 2004)
Walaupun begitu, intervensi untuk mencegah PONV tidaklah
perlu untuk semua populasi pasien, bahkan tanpa profilaksis pasien
belum tentu mengalami simptom tersebut. Terlebih lagi intervensi yang
dilakukan kurang efikasinya terutama yang monoterapi. Oleh karena itu,
penting untuk memberikan intervensi pada pasien yang mungkin
mengalami PONV. Bagaimanapun, pengertian mengenai faktor resiko
PONV belumlah lengkap, untuk mengerti tentang patofisiologi dan
faktor resiko PONV dipersulit oleh banyaknya faktor karena banyaknya
34
reseptor dan stimulus. Setidaknya ada 7 neurotransmiter yang diketahui,
serotonin, dopamine, muscarine, acetylcholine, neurokinin – 1,
histamine dan opioid (Gan TJ, 2006).
4. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan farmakologikal PONV menurut Morgan Jr GE, 2006)
dan Wallenborn J, Gelbrich G, Bulst D, 2006 :
a. Antagonist reseptor Serotonin: bahwa tidak ada perbedaan efek dan
keamanannya diantara golongan –golongan Antagonist reseptor
Serotonin tersebut, seperti Ondansetron , Dolasetron, Granisetron, dan
Tropisetron untuk profilaksis PONV. Obat ini efektif bila diberikan
pada saat akhir pembedahan. Banyak penelitian dari golongan obat ini
seperti Ondansetron dimana mempunyai efek anti muntah yang lebih
besar dari pada anti mual.
b. Antagonist dopamin: reseptor dopamin ini mempunyai reseptor di CTZ,
bila reseptor ini dirangsang akan terjadi muntah, antagonist Dopamin
tersebut seperti:Benzamida (Metoklopramide dan
Domperidon),Phenotiazine (Clorpromazine dan Proclorpromazine), dan
Butirophenon (Haloperidol dan Droperidol).
c. Antihistamin: Obat ini ( Prometazine dan Siklizine ) memblok H1 dan
Reseptor muskarinik di pusat muntah. Obat ini mempunyai efek dalam
penatalaksanaan PONV yang berhubungan dengan aktivasi sistem
vestibular tetapi mempunyai efek yang kecil untuk muntah yang
dirangsang langsung di CTZ .Obat Antikholinergik: Obat ini ( Hyoscine
hydrobromide atau Scopolamin) mencegah rangsangan di pusat muntah
dengan memblok kerja dari acetylcolin di pada reseptor muskarinik di
sistem vestibular.
d. Steroid : Dalam hal ini obat yang sering digunakan adalah
deksametason. Deksametason berguna sebagai profilaksis PONV
dengan cara menghambat pelepasan prostaglandin. Efek samping
35
pemakaian berulang deksametason adalah peningkatan infeksi, supressi
adrenal, tetapi tidak pernah dilaporkan efek samping timbul pada
pemakaian dosis tunggal. Obat ini juga menurunkan motilitas lambung
dan rangsangan aferen di pusat muntah, efek samping yang sering
terjadi pada obat ini adalah pandangan kabur, retensi urine, mulut
kering, drowsiness.
5. Jenis Operasi yang Menyebabakan PONV
Sistem vestibular bisa menstimulasi PONV sebagai akibat dari operasi
yang berhubungan dengan telinga tengah, atau gerakan post operatif. Gerakan
tiba – tiba dari kepala pasien setelah bangun menyebabkan gangguan vestibular
telinga tengah, dan menambah insiden PONV. Acetilkoline dan histamin
berhubungan dengan transmisi sinyal dari sistem vestibular ke pusat muntah.
Pusat kortikal yang lebih tinggi (cth sistem limbik) juga berhubungan, terutama
jika adanya riwayat PONV. Hal ini mencetuskan mual dan muntah yang
berhubungan dengan rasa, penglihatan, bau, memori yang tidak enak dan rasa
takut. Pusat muntah adalah medulla oblongata yang letaknya sangat dekat
dengan pusat viseral lainnya seperti pusat pernafasan dan vasomotor (Chandra,
2012).
Mual dan muntah sering juga ditemukan pascabedah dan bisa
sekunder terhadap ileus paralitikus, obstruksi usus halus mekanik, abses dan
peradangan intraabdomen (terutama jika dalam epigastrium) serta pemebrian
berbagai obat yang lazim diberikan pada pasien bedah. Anestesi umum dan
analgesik opiat tersering dilibatkan dalam hal ini. Mual dan muntah yang
disebabkan oleh ileus paralitikus dan obstruksi usus memerlukan pendekatan
terapi yang lebih agresif. Disamping debilitasi psikolog yang menyertai masa
muntah yang lama, juga timbul akibat fisiologi yang telah dikenal.
Hipovolemia, hipokalemia dan alkalosis merupakan penyimpangan metabolik
dini yang dominan, yang akhirnya bisa memerlukan koreksi jika muntah tetap
(Sabiston, 2005).
36
B. Combustio
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan
yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan
kimia, listrik dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan
morbiditas dan mortalitas tinggi. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganannya
pun tinggi.1 Di Indonesia, luka bakar masih merupakan problem yang berat.
Perawatan dan rehabilitasinya masih sukar dan memerlukan ketekunan, biaya
mahal, tenaga terlatih dan terampil. Oleh karena itu, penanganan luka bakar
lebih tepat dikelola oleh suatu tim trauma yang terdiri dari spesialis bedah
(bedah anak, bedah plastik, bedah thoraks, bedah umum), intensifis, spesialis
penyakit dalam, ahli gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan psikologi 2
Luka bakar adalah luka yang terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh
dengan benda-benda yang menghasilkan panas (api secara langsung maupun
tidak langsung, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia,
air, dll) atau zat-zat yang bersifat membakar (asam kuat, basa kuat) 1. Kulit
adalah organ tubuh terluas yang menutupi otot dan mempunyai peranan dalam
homeostasis. Kulit merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh
kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh, pada orang dewasa sekitar 2,7 – 3,6 kg
dan luasnya sekitar 1,5 – 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5
mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Kulit tipis
terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian medial
lengan atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki,
punggung, bahu dan bokong. Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis
yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis yang merupakan lapisan epitel
berasal dari ectoderm sedangkan lapisan dalam yang berasal dari mesoderm
adalah dermis atau korium yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat 2.
Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan.
Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi.
37
Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia.
Meningkatnya permeabilitas menyebabkan oedem dan menimbulkan bula yang
banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan
intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan
cairan akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang
terbentuk pada luka bakar derajat dua dan pengeluaran cairan dari keropeng
luka bakar derajat tiga. Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya
mekanisme kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari
20% akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang khas, seperti gelisah,
pucat, dingin,
berkeringat, nadi kecil, dan cepat, tekanan darah menurun, dan produksi urin
berkurang. Pembengkakkan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah
delapan jam.3
Gambar 2.4. Lapisan Kulit
Pada kebakaran dalam ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat
terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap, atau uap panas yang
terhisap. Oedem laring yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan
jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak
bewarna gelap akibat jelaga. Dapat juga keracunan gas CO dan gas beracun
lainnya. Karbon monoksida akan mengikat hemoglobin dengan kuat sehingga
hemoglobin tak mampu lagi mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan adalah
lemas, bingung, pusing, mual dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi
38
koma. Bisa lebih dari 60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal.
Setelah 12 – 24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan mobilisasi serta
penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini di tandai dengan
meningkatnya diuresis 3
PENILAIAN DERAJAT LUKA BAKAR.
1. Luka bakar grade I
a. Disebut juga luka bakar superficial
b. Mengenai lapisan luar epidermis, tetapi tidak sampai mengenai
daerah dermis. Sering disebut sebagai epidermal burn
c. Kulit tampak kemerahan, sedikit oedem, dan terasa nyeri.
d. Pada hari ke empat akan terjadi deskuamasi epitel (peeling).
2. Luka bakar grade II
a. Superficial partial thickness:
1) Luka bakar meliputi epidermis dan lapisan atas dari
dermis
2) Kulit tampak kemerahan, oedem dan rasa nyeri lebih berat
daripada luka bakar grade I
3) Ditandai dengan bula yang muncul beberapa jam setelah
terkena luka
4) Bila bula disingkirkan akan terlihat luka bewarna merah
muda yang basah Luka sangat sensitive dan akan menjadi
lebih pucat bila terkena tekanan
5) Akan sembuh dengan sendirinya dalam 3 minggu ( bila
tidak terkena infeksi), tapi warna kulit tidak akan sama
seperti sebelumnya.
b. Deep partial thickness
1) Luka bakar meliputi epidermis dan lapisan dalam dari
39
dermis disertai juga dengan bula
2) permukaan luka berbecak merah muda dan putih karena
variasi dari vaskularisasi pembuluh darah( bagian yang
putih punya hanya sedikit pembuluh darah dan yang
merah muda mempunyai beberapa aliran darah
3) luka akan sembuh dalam 3-9 minggu.
3. Luka bakar grade III
a. Menyebabkan kerusakan jaringan yang permanen
b. Rasa sakit kadang tidak terlalu terasa karena ujung-ujung saraf
dan pembuluh darah sudah hancur.
c. Luka bakar meliputi kulit, lemak subkutis sampai mengenai otot
dan tulang 1
4. Luka Bakar grade IV
Berwarna hitam.
PERTOLONGAN PERTAMA PADA PASIEN DENGAN LUKA BAKAR
1. Segera hindari sumber api dan mematikan api pada tubuh, misalnya
dengan menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar untuk
menghentikan pasokan oksigen pada api yang menyala
2. Singkirkan baju, perhiasan dan benda-benda lain yang membuat efek
Torniket, karena jaringan yang terkena luka bakar akan segera menjadi
oedem
3. Setelah sumber panas dihilangkan rendam daerah luka bakar dalam air
atau menyiramnya dengan air mengalir selama sekurang-kurangnya lima
belas menit. Proses koagulasi protein sel di jaringan yang terpajan suhu
tinggi berlangsung terus setelah api dipadamkan sehingga destruksi tetap
meluas. Proses ini dapat dihentikan dengan mendinginkan daerah yang
terbakar dan mempertahankan suhu dingin ini pada jam pertama sehingga
40
kerusakan lebih dangkal dan diperkecil.
4. Akan tetapi cara ini tidak dapat dipakai untuk luka bakar yang lebih
luas karena bahaya terjadinya hipotermi. Es tidak seharusnya
diberikan langsung pada luka bakar apapun. 9
5. Evaluasi awal
6. Prinsip penanganan pada luka bakar sama seperti penanganan pada luka
akibat trauma yang lain, yaitu dengan ABC (Airway Breathing
Circulation) yang diikuti dengan pendekatan khusus pada komponen
spesifik luka bakar pada survey sekunder
Saat menilai ‘airway” perhatikan apakah terdapat luka bakar inhalasi.
Biasanya ditemukan sputum karbonat, rambut atau bulu hidung yang
gosong. Luka bakar pada wajah, oedem oropharyngeal, perubahan suara,
perubahan status mental. Bila benar terdapat luka bakar inhalasi lakukan
intubasi endotracheal, kemudian beri Oksigen melalui mask face atau
endotracheal tube.Luka bakar biasanya berhubungan dengan luka lain,
biasanya dari luka tumpul akibat kecelakaan sepeda motor. Evaluasi pada
luka bakar harus dikoordinasi dengan evaluasi pada luka-luka yang lain.
Meskipun perdarahan dan trauma intrakavitas merupakan prioritas utama
dibandingkan luka bakar, perlu dipikirkan untuk meningkatkan jumlah
cairan pengganti.
Anamnesis secara singkat dan cepat harus dilakukan pertama kali untuk
menentukan mekanisme dan waktu terjadinya trauma. Untuk membantu
mengevaluasi derajat luka bakar karena trauma akibat air mendidih
biasanya hanya mengenai sebagian lapisan kulit (partial thickness),
sementara luka bakar karena api biasa mengenai seluruh lapisan kulit (full
thickness) 5,6.
41
RESUSITASI CAIRAN
Sebagai bagian dari perawatan awal pasien yang terkena luka bakar,
Pemberian cairan intravena yang adekuat harus dilakukan, akses intravena
yang adekuat harus ada, terutama pada bagian ekstremitas yang tidak terkena
luka bakar. Adanya luka bakar diberikan cairan resusitasi karena adanya
akumulasi cairan edema tidak hanya pada jaringan yang terbakar, tetapi juga
seluruh tubuh. Telah diselidiki bahwa penyebab permeabilitas cairan ini adalah
karena keluarnya sitokin dan beberapa mediator, yang menyebabkan disfungsi
dari sel, kebocoran kapiler.
Tujuan utama dari resusitasi cairan adalah untuk menjaga dan
mengembalikan perfusi jaringan tanpa menimbulkan edema. Kehilangan cairan
terbesar adalah pada 4 jam pertama terjadinya luka dan akumulasi maksimum
edema adalah pada 24 jam pertama setelah luka bakar. Prinsip dari pemberian
cairan pertama kali adalah pemberian garam ekstraseluler dan air yang hilang
pada jaringan yang terbakar, dan sel-sel tubuh. Pemberian cairan paling
popular adalah dengan Ringer laktat untuk 48 jam setelah terkena luka bakar.
Output urin yang adekuat adalah 0.5 sampai 1.5mL/kgBB/jam.
Formula yang terkenal untuk resusitasi cairan adalah formula
Parkland :
24 jam pertama.Cairan Ringer laktat : 4ml/kgBB/%luka bakar
o contohnya pria dengan berat 80 kg dengan luas luka bakar 25 %
o membutuhkan cairan : (25) X (80 kg) X (4 ml) = 8000 ml dalam 24 jam
pertama
½ jumlah cairan 4000 ml diberikan dalam 8 jam
42
½ jumlah cairan sisanya 4000 ml diberikan dalam 16 jam berikutnya.
Cara lain adalah cara Evans :
a. Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg = jumlah NaCl / 24 jam
1) Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg =jumah plasma /
24 jam
(no 1 dan 2 pengganti cairan yang hilang akibat oedem. Plasma
untuk mengganti plasma yang keluar dari pembuluh dan
meninggikan tekanan osmosis hingga mengurangi perembesan
keluar dan menarik kembali cairan yang telah keluar)
2) 2000 cc Dextrose 5% / 24 jam (untuk mengganti cairan yang hilang
akibat penguapan)
Separuh dari jumlah cairan 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama,
sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua
diberikan setengah jumlah cairan pada hari pertama. Dan hari ketiga
diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.
Cara lain yang banyak dipakai dan lebih sederhana adalah menggunakan
rumus
Baxter yaitu :
% x BB x 4 cc
Separuh dari jumlah cairan ini diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Hari pertama terutama diberikan elektrolit
yaitu larutan RL karena terjadi defisit ion Na. Hari kedua diberikan setengah
43
cairan hari pertama. Contoh : seorang dewasa dengan BB 50 kg dan luka bakar
seluas 20 % permukaan kulit akan diberikan 50 x 20 % x 4 cc = 4000 cc yang
diberikan hari pertama dan 2000 cc pada hari
kedua.9
Kebutuhan kalori pasien dewasa dengan menggunakan formula
Curreri, adalah 25 kcal/kgBB/hari ditambah denga 40 kcal/% luka
bakar/hari.
Petunjuk perubahan
cairan Pemantauan
urin output tiap jam
Tanda-tanda vital, tekanan vena sentral
Kecukupan sirkulasi perifer
Tidak adanya asidosis laktat, hipotermi
Hematokrit, kadar elektrolit serum, pH dan kadar glukosa
PENGGANTIAN DARAH
Luka bakar pada kulit menyebabkan terjadinya kehilangan sejumlah sel
darah merah sesuai dengan ukuran dan kedalaman luka bakar. Sebagai
tambahan terhadap suatu kehancuran yang segera pada sel darah merah yang
bersirkulasi melalui kapiler yang terluka, terdapat kehancuran sebagian sel
yang mengurangi waktu paruh dari sel darah merah yang tersisa. Karena
plasma predominan hilang pada 48 jam pertama setelah terjadinya luka bakar,
tetapi relative polisitemia terjadi pertama kali. Oleh sebab itu,
44
pemberian sel darah merah dalam 48 jam pertama tidak dianjurkan, kecuali
terdapat kehilangan darah yang banyak dari tempat luka. Setelah proses eksisi
luka bakar dimulai, pemberian darah biasanya diperlukan 7
PERAWATAN LUKA BAKAR
Setelah keadaan umum membaik dan telah dilakukan resusitasi cairan
dilakukan perawatan luka. Perawatan tergantung pada karakteristik dan ukuran
dari luka. Tujuan dari semua perawatan luka bakar agar luka segera sembuh
rasa sakit yang minimal.Setelah luka dibersihkan dan di debridement, luka
ditutup. Penutupan luka ini memiliki beberapa fungsi: pertama dengan
penutupan luka akan melindungi luka dari kerusakan epitel dan meminimalkan
timbulnya koloni bakteri atau jamur. Kedua, luka harus benar-benar tertutup
untuk mencegah evaporasi pasien tidak hipotermi. Ketiga, penutupan luka
diusahakan semaksimal mungkin agar pasien merasa nyaman dan
meminimalkan timbulnya rasa sakit
Pilihan penutupan luka sesuai dengan derajat luka bakar.
1. Luka bakar derajat I, merupakan luka ringan dengan sedikit hilangnya
barier pertahanan kulit. Luka seperti ini tidak perlu di balut, cukup
dengan pemberian salep antibiotik untuk mengurangi rasa sakit dan
melembabkan kulit. Bila perlu dapat diberi NSAID (Ibuprofen,
Acetaminophen) untuk mengatasi rasa sakit dan pembengkakan
2. Luka bakar derajat II (superfisial ), perlu perawatan luka setiap harinya,
pertama-tama luka diolesi dengan salep antibiotik, kemudian dibalut
dengan perban katun dan dibalut lagi dengan perban elastik. Pilihan lain
luka dapat ditutup dengan penutup luka sementara yang terbuat dari
45
bahan alami (Xenograft (pig skin) atau Allograft (homograft, cadaver
skin) ) atau bahan sintetis (opsite, biobrane, transcyte, integra)
3. Luka derajat II ( dalam ) dan luka derajat III, perlu dilakukan eksisi
awal dan cangkok kulit (early exicision and grafting ) 6,8
NUTRISI
Penderita luka bakar membutuhkan kuantitas dan kualitas yang berbeda
dari orang normal karena umumnya penderita luka bakar mengalami keadaan
hipermetabolik. Kondisi yang berpengaruh dan dapat memperberat kondisi
hipermetabolik yang ada adalah:
1. Umur, jenis kelamin, status gizi penderita, luas permukaan tubuh, massa
bebas lemak.
2. Riwayat penyakit sebelumnya seperti DM, penyakit hepar berat, penyakit
ginjal dan lain-lain.
3. Luas dan derajat luka bakar
4. Suhu dan kelembaban ruangan ( memepngaruhi kehilangan panas melalui
evaporasi)
5. Aktivitas fisik dan fisioterapi Penggantian balutan
6. Rasa sakit dan kecemasan
7. Penggunaan obat-obat tertentu dan pembedahan.
Dalam menentukan kebutuhan kalori basal pasien yang paling ideal
adalah dengan mengukur kebutuhan kalori secara langsung menggunakan
indirek kalorimetri karena alat ini telah memperhitungkan beberapa faktor
seperti BB, jenis kelamin, luas luka bakar, luas permukan tubuh dan adanya
infeksi. Untuk menghitung kebutuhan kalori total harus ditambahkan faktor
46
stress sebesar 20-30%. Tapi alat ini jarang tersedia di rumah sakit.
Yang sering di rekomendasikan adalah perhitungan kebutuhan kalori
basal dengan formula HARRIS BENEDICK yang melibatkan faktor BB, TB
dan Umur. Sedangkan untuk kebutuhan kalori total perlu dilakukan modifikasi
formula dengan menambahkan faktor aktifitas fisik dan faktor stress.
Pria : 66,5 + (13,7 X BB) + (5 X TB) – (6.8 X U) X AF X FS
Wanita : 65,6 + (9,6 X BB) + (1,8 X TB)- (4,7 X U) X AF X FS
Perhitungan kebutuhan kalori pada penderita luka bakar perlu perhatian
khusus karena kurangnya asupan kalori akan berakibat penyembuhan luka
yang lama dan juga meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas. Disisi lain,
kelebihan asupan kalori dapat menyebabkan hiperglikemi, perlemakan hati.
Penatalaksanaan nutrisi pada luka bakar dapat dilakukan dengan
beberapa metode yaitu : oral, enteral dan parenteral.
Untuk menentukan waktu dimualinya pemberian nutrisi dini pada
penderita luka bakar, masih sangat bervariasi, dimulai sejak 4 jam pascatrauma
sampai dengan 48 jam pascatrauma.
EARLY EXICISION AND GRAFTING (E&G)
Dengan metode ini eschar di angkat secara operatif dan kemudian luka
ditutup dengan cangkok kulit (autograft atau allograft ), setelah terjadi
penyembuhan, graft akan terkelupas dengan sendirinya. E&G dilakukan 3-7
hari setelah terjadi luka, pada umumnya tiap harinya dilakukan eksisi 20% dari
luka bakar kemudian dilanjutkan pada hari berikutnya. Tapi ada juga ahli
bedah yang sekaligus melakukan eksisi pada seluruh luka bakar, tapi cara ini
memiliki resiko yang lebih besar yaitu : dapat terjadi hipotermi, atau terjadi
perdarahan masive akibat eksisi.
Metode ini mempunyai beberapa keuntungan dengan penutupan luka dini,
mencegah terjadinya infeksi pada luka bila dibiarkan terlalu lama,
47
mempersingkat durasi sakit dan lama perawatan di rumah sakit, memperingan
biaya perawatan di rumah sakit, mencegah komplikasi seperti sepsis dan
mengurangi angka mortalitas. Beberapa penelitian membandingkan teknik
E&G dengan teknik konvensional, hasilnya tidak ada perbedaan dalam hal
kosmetik atau fungsi organ, bahkan lebih baik hasilnya bila dilakukan pada
luka bakar yang terdapat pada muka, tangan dan kaki.
Pada luka bakar yang luas (>80% TBSA), akan timbul kesulitan
mendapatkan donor kulit. Untuk itu telah dikembangkan metode baru yaitu
dengan kultur keratinocyte. Keratinocyte didapat dengan cara biopsi kulit dari
kulit pasien sendiri. Tapi kerugian dari metode ini adalah membuthkan waktu
yang cukup lama (2-3 minggu) sampai kulit (autograft) yang baru tumbuh dan
sering timbul luka parut. Metode ini juga sangat
mahal 6
ESCHAROTOMY
Luka bakar grade III yang melingkar pada ekstremitas dapat menyebabkan
iskemik distal yang progresif, terutama apabila terjadi edema saat resusitasi
cairan, dan saat adanya pengerutan keropeng. Iskemi dapat menyebabkan
gangguan vaskuler pada jari-jari tangan dan kaki. Tanda dini iskemi adalah
nyeri, kemudian kehilangan daya rasa sampai baal pada ujung-ujung distal.
Juga luka bakar menyeluruh pada bagian thorax atau abdomen dapat
menyebabkan gangguan respirasi, dan hal ini dapat dihilangkan dengan
escharotomy. Dilakukan insisi memanjang yang membuka keropeng sampai
penjepitan bebas 8
ANTIMIKROBA
Dengan terjadinya luka mengakibatkan hilangnya barier pertahanan
48
kulit sehingga memudahkan timbulnya koloni bakteri atau jamur pada luka.
Bila jumlah kuman sudah mencapai 105 organisme jaringan, kuman tersebut
dapat menembus ke dalam jaringan yang lebih dalam kemudian menginvasi ke
pembuluh darah dan mengakibatkan infeksi sistemik yang dapat menyebabkan
kematian. Pemberian antimikroba ini dapat secara topikal atau sistemik.
Pemberian secara topikal dapat dalam bentuk salep atau cairan untuk
merendam. Contoh antibiotik yang sering dipakai:
Salep : Silver sulfadiazine, Mafenide acetate, Silver nitrate, Povidone-iodine,
Bacitracin (biasanya untuk luka bakar grade I), Neomycin, Polymiyxin B,
Nysatatin, mupirocin , Mebo.
MEBO/MEBT (Moist Exposed Burn Ointment / Therapy)
BROAD SPECTRUM OINTMENT
Preparat herbal, mengungakan zat alami
tanpa kimiawi Toxisitas dan efek samping
belum pernah ditemukan Terdiri dari :
1. Komponen Pengobatan :
beta sitosterol, bacailin, berberine Yang mempunyai efek :
Analgesik, anti-inflamasi, anti-infeksi pada luka bakar dan mampu
mengurangi pembentukan jaringan parut.
2. Komponen Nutrisi : amino acid, fatty acid dan amylose, yg
memberikan nutrisi untuk regenerasi dan perbaikan kulit yg
terbakar.
Efek pengobatan :
49
Menghilangkan nyeri luka bakar
Mencegah perluasan nekrosis pada jaringan
yg terluka. Mengeluarkan jaringan nekrotik
dengan mencairkkannya
Membuat lingkungan lembab pada luka , yg dibutuhkan selama
perbaikan jaringan kulit tersisa.
Kontrol infeksi dengan membuat suasana yg jelek untuk pertumbuhan
kuman. bukan dengan membunuh kuman.
Merangsang pertumbuhan PRCs ( potential regenerative cell ) dan stem
cell untuk penyembuhan luka dan mengurangi terbentuknya jaringan
parut
Mengurangi kebutuhan untuk skin graft
Prinsip penanganan luka bakar dgn MEBO
• Makin cepat diberi MEBO , hasilnya lebih baik ( dalam 4-12 jam setelah
kejadian)
• Biarkan luka terbuka
• Kelembaban yg optimal pada luka dengan MEBO
• Pemberian salep harus teratur & terus menerus tiap6-12 jam dibersihkan
dengan kain kasa steril jangan dibiarkan kulit terbuka tanpa salep > 2-
3 menit untuk mencegah penguapan cairan di kulit dan microvascular
menyebabkan thrombosit merusak jaringan dibawahnya yang masih
vital.
• Pada pemberian jangan sampai kesakitan / berdarah, menimbulkan
50
perlukaan pada jaringan hidup tersisa
• Luka jangan sampai maserasi maupun kering
• Tidak boleh menggunakan : desinfektan (apapun) , saline atau air untuk
Wound debridement
FLOWCHART DARI PENANGANAN LUKA
• EARLIER PERIOD ( 1 – 6 HARI ) Blister di pungsi , kulitnya dibiarkan
utuh. Beri MEBO pd luka setebal 0,5-1 mm. Ganti dan beri lagi MEBO
tiap 6 jam hari ke 3-5 kulit penutup bulla diangkat
• LIQUEFACTION PERIOD ( 6-15 HARI )
Angkat zat cair yg timbul diatas luka
Bersihkan dgn kasa , beri mebo lagi setebal 1 mm
• PREPARATIVE PERIOD ( 10-21 HARI ) Bersihkan luka seperti
sebelumnya
Beri MEBO dengan ketebalan 0,5 – 1 mm Ganti dan beri lagi MEBO tiap 6 - 8
jam
• REHABILITATION
Bersihkan luka yg sembuh dengan air hangat Beri MEBO 0,5 mm, 1X-2X /hari
Jangan cuci luka yg sudah sembuh berlebihan Lindungi luka yg sembuh dari
sinar matahari Catatan : 1. Untuk luka bakar grade 2 superficial :
Pada hari 6-15 : luka sembuh , mebo tetap diberi untuk 2 minggu
2X /hari
2. untuk luka bakar grade 2 deep / grade 3 : Pada hari ke 6 – 15 terjadi
pencairan jaringan necrotic
Cairan rendam : 0.5% silver nitrate, 5% mafenide acetate, 0.025% sodium
51
hypochlorite, 0.25% acetic acid 6,8
KONTROL RASA SAKIT
Rasa sakit merupakan masalah yang signifikan untuk pasien yang
mengalami luka bakar untuk melalui masa pengobatan. Pada luka bakar yang
mengenai jaringan epidermis akan menghasilkan rasa sakit dan perasaan tidak
nyaman. Dengan tidak terdapatnya jaringan epidermis (jaringan pelindung
kulit), ujung saraf bebas akan lebih mudah tersensitasi oleh rangsangan. Pada
luka bakar derajat II yang dirasakan paling nyeri, sedangkan luka bakar derajat
III atau IV yang lebih dalam, sudah tidak dirasakan nyeri atau hanya sedikit
sekali. Saat timbul rasa nyeri terjadi peningkatan katekolamin yang
mengakibatkan peningkatan denyut nadi, tekanan darah dan respirasi,
penurunan saturasi oksigen, tangan menjadi berkeringat, flush pada wajah dan
dilatasi pupil.
Pasien akan mengalami nyeri terutama saat ganti balut, prosedur operasi,
atau saat terapi rehabilitasi. Dalam kontrol rasa sakit digunakan terapi
farmakologi dan non farmakologi. Terapi farmakologi yang digunakan
biasanya dari golongan opioid dan NSAID. Preparat anestesi seperti ketamin,
N2O (nitrous oxide) digunakan pada prosedur yang dirasakan sangat sakit
seperti saat ganti balut. Dapat juga digunakan obat psikotropik sepeti
anxiolitik, tranquilizer dan anti depresan. Penggunaan benzodiazepin dbersama
opioid dapat menyebabkan ketergantungan dan mengurangi efek dari opioid. 8
PERMASALAHAN PASCA LUKA BAKAR
Setelah sembuh dari luka, masalah berikutnya adalah jaringan parut yang
dapat berkembang menjadi cacat berat. Kontraktur kulit dapat mengganggu
fungsi dan menyebabkan kekakuan sendi atau menimbulkan cacat estetik yang
buruk sekali sehingga diperlukan juga ahli ilmu jiwa untuk mengembalikan
52
kepercayaan diri.
Permasalahan-permasalahan yang ditakuti pada luka bakar:Infeksi dan
sepsis Oliguria dan anuria Oedem paru ,ARDS (Adult Respiratory Distress
Syndrome ) Anemia, Kontraktur Kematian 7
BAB III
ANALISIS KASUS
Pasien rujukan dari Puskesmas Karangpandan datang ke IGD RSDM
dengan keluhan luka bakar yang dirasakan pasien sejak 11 jam SMRS. Pasien
merasakan luka bakar di wajah, tangan kanan bagian atas dan di kedua kaki
pasien. Luka bakar didapatkan dari tabung gas elpiji bocor dan menyambar api
terkena pada pasien dan disiram oleh keluarga. Setelah itu pasien di bawa ke
Puskesmas Karangpandan, Karanganyar.
Dari anamnesis dapat diketahui bahwa pasien mengalami combustio
api. Derajat luka bakar dilihat dari kulit yang kemerahan dan terdapat bula.
Sehingga dapat disimpulkan pasien mengalami luka bakar grade II. Luas luka
bakar dihitung menggunakan rules of nine, menghasilkan angka 22%.
Pasien dipuasakan sebelum dilakukan pembiusan karena pasien harus
dalam keadaan gaster yang kosong agar tidak terjadi aspirasi saat muntah (bila
terjadi) karena efek samping obat-obat anestesi. Injeksi ranitidin diberikan
untuk mencegah pengeluaran asam lambung. Bila asam lambung diproduksi
53
dan mengalami muntah dapat menyebabkan pneumonitis asam bila sampai
aspirasi.
Pasien akan dilakukan medikasi dan debridement di ruang OK
menggunakan anestesi general dengan pertimbangan pasien merupakan
pediatri yang kurang kooperatif, luka bakar yang cukup luas sehingga
memerlukan GA, kemungkinan durasi operasi yang lama sehingga dilakukan
GA.
Resusitasi cairan sangat penting pada kasus combustio karena
pengeluaran cairan yang lebih banyak dibandingkan dengan anak tanpa luka
bakar. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi pada luka.
Ceftriakson dipilih dengan alasan empiris.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Benjamin C. Wedro. First Aid for Burns. http://www.medicinenet.com.
Calvey TN, Williams NE., 1982. Principles and practice of pharmacology for
anaesthetists. London; Blackwell Scientific Publications; 159-84.
Campbell., 1995. Anesthesia. Blackwell scientific publication.
Chandra, F.A., 2012. Perbandingan Efek Akupunktur pada Titik Pericardium 6
(PC6) dengan Ondansetron 4mg Intravena untuk Mencegah Mual
Muntah Paska Operasi Pada Pasien yang Dilakukan Anestesi Umum
Intubasi dengan Skor APFEL 3-4. Tesis akhir penelitian Medan.
David, S. 2008. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka. Dalam :
Surabaya Plastic Surgery. http://surabayaplasticsurgery.blogspot.com
54
E.B.C, et al., 2008. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC.
Fendrick, A.M., Pan, D.E., and Johnson, G.E., 2008. OTC Analgesics and Drug
Interactions: Clinical Implications. Osteopathic Medicine and Primary
Care 2 (2).
Gan TJ., 2006. Risk Factors for Postoperative Nausea and Vomiting. Anesth
Analg; 102:1884 – 98. Grace, P. A., Borley, N. R., 2006. At a glance:
ilmu bedah. Ed. 3.
Gan TJ., 2003. Evidence-based management of postoperative nausea and
vomiting. Can J Anesth; 50:6.
Gerard M Doherty. Current Surgical Diagnosis and Treatment. Edisi 12.
McGraw-Hill Companies. New York. p 245-259
Honkavaara, P., 1995. Effect of ondansetron on nausea and vomiting after
middle ear surgery during general anaesthesia. British Journal 76: 316-8.
Ho, K.Y., Chiu, J.W., 2005. Mutltimodal antiemeyic therapy and emetic risk
profiling. Ann Acad Med Singapore 34: 196 – 205. J, N, M., 2006.
Medical Pharmacology at a Glance. 5th edition. Erlangga Medical Series.
James H. Holmes., David M. heimbach. 2005. Burns, in : Schwartz’s Principles
of Surgery. 18th ed. McGraw-Hill. New York. p.189-216
James M Becker. Essentials of Surgery. Edisi 1. Saunders Elsevier.
Philadelphia. p 118-129
Jerome FX Naradzay. http: // www. emedicine. com/ med/ Burns, Thermal.
55
Kee, J.L., Hayes, E.R., 1996. Pendekatan Proses Keperawatan. EGC. Kovac,
A. L. 2003. Prevention and Treatment of Postoperative Nausea.
MedicineAbstrack, pp : 1-2.
Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR., 2007. Pelumpuh Otot. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi 2. Jakarta; Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 3: 66-70.
Lunn JN., 2004. Farmakologi Terapan Anestesi Umum. Catatan Kuliah
Anestesi. Edisi 4. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC; 4: 86-93.
Latief, S,A, Surjadi K, Dachlan R., 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
Pertama. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. h 41 – 9.
Maddali MM, Mathew J, Fahr J, Zarroug AW., 2003. Postoperative nausea
and vomiting in diagnostic gynaecological laparoscopic procedures:
Comparison of the efficacy of the combination of dexamethasone and
metoclopramide with that of dexamethasone and ondansetron. J Postgrad
Med 49:302–6.
Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An., 2010. Buku Ajar Ilmu
Anestesi dan Reanimasi. Jakarta: PT. Indeks.
Mayo clinic staff. Burns First Aids. http: // www.nlm.nih.gov/medlineplus .
Munaf, S., 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang: EGC.
Morgan Jr GE, Mikhail MS, Murray Mj., 2006. Clinical Anesthesiology. 4th
ed. New York: Mcgraw-Hill Companies.
Mohamed H. Rahman, Jane Beattie., 2004. Post Operative Nausea and
56
Vomiting. The Pharmaceutical Journal. 273 : 786-8.
Nainggolan, I.B., 2011. Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi
Anestesi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Tesis
Akhir Penelitian. Medan.
Nisita, K., 2010. Perbandingan Efektifitas Ondansetron dan Metoklopramid
dalam Menekan Mual dan Muntah Paska Laparatomi. Skripsi. Surakarta
Notoatmodjo, S., 2010. Metodelogi Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC.
Oxford University Press, 2011., Concise Medical Dictionary. 9th ed. UK:
Market House Books Ltd.
Rang, H.P., Dale, M.M., Ritter, J.M., and Moore, P.K., 2007. Pharmacology.
5th ed. UK: Churchill Livingstone.
Rachmat, L., Sunatrio S., 2004. Obat pelumpuh otot. Anestesiologi. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta; 15: 81-86.
Sabiston, D.C., 2005. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC.
Saeeda I, Jain PN., 2004. Post operative nausea and vomiting (PONV) : a
review article. Indian J Anaesth;48(4):253–8.
Siregar, D., 2011. Perbandingan Kombinasi Ondansetron 2mg IV Dengan
Deksametason 4mg IV Dan Ondansetron 4 mg IV Dengan Deksametason
4mg IV Sebagai Profilaksis Pada Pasien Resiko Tinggi Mual Muntah
Setelah Operasi Yang Menjalani Tindakan Operasi Dengan Anestesi
57
Umum Intubasi. Tesis akhir penelitian. Medan.
St. John Ambulance. First aid: First on the Scene: Activity Book, Chapter 19
Suleman, A., 2006. Tinjauan Farmakologis Obat-Obat Analgesik Untuk Rasa
Nyeri. Dalam: Hasan, W., (eds). 2006. Info Kesehatan Masyarakat.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan: 90-
97.
Staff pengajar departemen farmakologi FK UNSRI., 2008. Kumpulan kuliah
farmakologi. Edisi 2. Palembang: EGC
Soenarjo., 2004. Peranan Anestesi dan Pengelolaan Raluat lntensif dalam
Hubungan dengan Kualitas Hidup. Semarang. Available from:
http://eprints.undip.ac.id/298/1/Soenarjo.pdf [Accesed: 21 April 2013].
Wallenborn J, Gelbrich G, Bulst D., 2006. Prevention of postoperative nausea
and vomiting by metoclopramide combined with dexamethasone:
randomized double blind multicenter trial. BMJ.;1 – 6.
Wahyuni, A., 2008. Statistika Kedokteran. Jakarta Timur: Bamboedoea
Communication.
Wim de Jong. 2005. Bab 3 : Luka, Luka Bakar : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi
2. EGC. Jakarta. p 66-88
Zainumi C.M., 2009. Perbandingan antara skor APFEL dengan skor
Koivuranta terhadap prediksi terjadinya post operative nausea and
vomiting pada anestesi umum. Tesis akhir penelitian Medan.
58