presentasi kasus

87
Presentasi Kasus SEORANG ANAK PASIEN 17 TAHUN DENGAN Fe ZMC ( D/S ) + Fe RAMUS (S) MANDIBULA Oleh: A. Jalu Aribowo G0006005 PEMBIMBING: dr. H. Marthunus Judin, Sp.An. KAP KEPANITERAAN KLINIK SMF ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI 1

description

presentasi kasus

Transcript of presentasi kasus

Page 1: presentasi kasus

Presentasi Kasus

SEORANG ANAK PASIEN 17 TAHUN DENGAN Fe ZMC ( D/S ) + Fe

RAMUS (S) MANDIBULA

Oleh:

A. Jalu Aribowo

G0006005

PEMBIMBING:

dr. H. Marthunus Judin, Sp.An. KAP

KEPANITERAAN KLINIK SMF ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI

SURAKARTA

2015

BAB I

LAPORAN KASUS

1

Page 2: presentasi kasus

I. ANAMNESIS

A. Identitas Penderita

Nama : Bagas Bima Perkasa

Umur : 17 th

Agama :

Pekerjaan :

Alamat :

Tanggal masuk :

Tanggal pemeriksaan :

No RM :

B. Data Dasar

1. Keluhan Utama

Luka Bakar terkena ledakan komper gas.

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien rujukan dari Puskesmas Karangpandan datang ke IGD

RSDM dengan keluhan luka bakar yang dirasakan pasien sejak 11 jam

SMRS. Pasien merasakan luka bakar di wajah, tangan kanan bagian

atas dan di kedua kaki pasien. Luka bakar didapatkan dari tabung gas

elpiji bocor dan menyambar api terkena pada pasien dan disiram oleh

keluarga. Setelah itu pasien di bawa ke Puskesmas Karangpandan,

Karanganyar.

Di IGD RSDM pasien dalam keadaan menangis dan BAK

dalam batas normal. Pasien hanya mengeluhkan nyeri yang dirasakan

pada lukanya.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat luka bakar sebelumnya : disangkal

Riwayat diabetes mellitus : disangkal

Riwayat alergi obat : disangkal

Riwayat asma : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga

2

Page 3: presentasi kasus

Riwayat luka bakar : disangkal

Riwayat diabetes mellitus : disangkal

Riwayat alergi obat : disangkal

Riwayat asma : disangkal

5. Riwayat Kebiasaan

Merokok : disangkal

Minuman beralkohol : disangkal

Ketergantungan obat : disangkal

6. Riwayat asupan gizi

Pasien makan makanan keluarga satu hari tiga kali makan dengan

nasi, lauk dan sayur. Pasien meminum susu formula.

Kesan: asupan gizi baik.

7. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien adalah seorang anak laki-laki usia 4 tahun, belum bekerja.

Pasien berobat dengan BPJS.

II. PEMERIKSAAN FISIK

A. Primary Survey

Airway : Bebas

Breathing : Inspeksi : Pengembangan dada kanan=kiri

Palpasi : Fremitus raba kanan=kiri, krepitasi (-/-)

Perkusi : Sonor/sonor

Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-)

Circulation : Tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 120 x/menit,

RR 24 x/menit.

Disability : GCS: E4V5M6, pupil bulat isokor ukuran 3 mm / 3 mm,

Exposure : jejas (+) lihat status lokalis

B. Secondary Survey

Status gizi : Berat badan : 15 kg

Tinggi badan : 82 cm

BMI : 22.3

3

Page 4: presentasi kasus

Kesan : Status gizi normoweight,stunted, dan

gizi cukup

Kulit : Sawo matang, turgor menurun (-), lembab (-),

ikterik(-)

Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), palpebra

inferior kanan terdapat luka bakar, bulu mata kanan

dan kiri

Telinga : Sekret (-), nyeri tekan tragus (-), telinga kanan

terdapat luka bakar

Hidung : Epistaksis (-/-), nafas cuping hidung (-), sekret (-),

tampak luka bakar grade II + bula

Mulut : Sianosis (-), mukosa basah (+), tampak luka bakar

grade II + bula

Leher : Trakhea di tengah, simetris, massa/pembesaran

limfonodi (-), JVP tidak meningkat

Thoraks : Bentuk normothoraks, retraksi dinding dada (-)

Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC IV linea

midclavicularis, tidak kuat angkat

Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler,

bising (-).

Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada kanan=kiri

Palpasi : Fremitus raba kanan=kiri, krepitasi (-/-)

Perkusi : Sonor/sonor

Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-)

Abdomen : Dinding perut // dinding dada, supel, timpani, hepar

dan lien tidak teraba

Ekstremitas : Oedem - - Luka Bakar + -

- - + +

4

Page 5: presentasi kasus

C. Status Lokalis

Regio facial Tampak combutio grade II, bula (+) 5%

Regio extremitas superior dextra Tampak combutio grade II, bula (+) 4%

Regio cruris dextra Bula (+) 7%

Regio cruris sinistra Tampak combutio grade II 6%

Total 22%

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium tanggal 02 September 2015

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN

Hematologi rutin

Hemoglobin 12.8 g/dl 10.8-12.8

Hematokrit 40 % 35-43

Leukosit 16.1 Ribu/ul 5.5-17.0

Trombosit 371 Ribu/ul 150-450

Eritrosit 4.85 Juta/ul 3.90-5.30

Golongan O

Hemostasis

PT 14.1 detik 10.0-15.0

APTT 27.6 detik 20.0-40.0

INR 1.070

Hematologi Klinik

GDS 106 mg/dl 60-100

Elektrolit

Natrium 132 Mmol/L 132-145

5

Page 6: presentasi kasus

Kalium 4.8 Mmol/L 3.1-5.1

Klorida 103 Mmol/L 98-106

HBsAg Nonreactive

IV. ASSESMENT

1. Combustio api grade II 22%

2. Gizi normal

V. PENATALAKSANAAN

1. Tatalaksana bagian Anestesi

a. Pemasangan infus RL 13 tpm

b. Persiapan operasi medikasi dan debridemen

c. Puasa

VI. PLAN

1. Rencana GAET

2. Premedikasi

a. Inj. Ranitidin 20mg/12 jam

b. Inj. Kalmetasin 1 amp/12 jam

3. Induksi dengan Propofol 1mg/kgBB 1mg X 15 kg = 15 mg

4. Propofol maintenance 0.1mg/kgBB 0.1mg X 15 kg = 1.5mg

5. Anestesi inhalasi menggunakan sevofluran

6. Fentanyl 10mcg/kgBB 10mcg X 15 kg = 150mcg

7. Fentanyl maintenance 1mcg X 15 kg = 15 mcg

8. Resusitasi cairan puasa (6jam) 313 ml

9. Resusitasi cairan selama operasi 24 ml/jam

10. Resusitasi cairan setelah OP 2150ml/24 jam

11. Post OP rawat PICU

12. Post OP diberikan obat

6

Page 7: presentasi kasus

a. Inj. Cefotaxim 500mg/12jam

b. Inj. Metamizolol 500mg/8 jam

c. Inj. Ranitidin 20mg/12 jam

d. Inj. Kalmetasin 1amp/12 jam

7

Page 8: presentasi kasus

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anestesi

1. Definisi

Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri.

Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya

persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain

hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri

atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara

reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat

anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Obat

anastesi umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah

menguap) yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran,

metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara

intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain

dan molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin. (Munaf,

2008).

Dalam tesis Nainggolan (2011), untuk menentukan prognosis ASA

(American Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan

status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok

atau kategori sebagai berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat

yang memerlukan operasi. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik

ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun penyakit

lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol,

atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan febris. ASA 3, yaitu

pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diaktibatkan

karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi dengan

septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium. ASA

4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung

8

Page 9: presentasi kasus

mengancam kehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup

setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua

dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik.

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan

mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III

E.

Menurut Kee et al (1996), Anastesi seimbang, suatu kombinasi obat-

obatan, sering dipakai dalam anastesi umum. Anestesi seimbang terdiri dari:

a. Hipnotik diberikan semalam sebelumnya

b. Premedikasi, seperti analgesik narkotik atau benzodiazepin (misalnya,

midazolam dan antikolinergik (contoh, atropin) untuk mengurangi

sekresi diberikan kira-kira 1 jam sebelum pembedahan

c. Barbiturat dengan masa kerja singkat, seperti natrium tiopental

(Pentothal)

d. Gas inhalan, seperti nitrous oksida dan oksigen

e. Pelemas otot jika diperlukan

2. Tahap-tahap Anestesi

Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi atau

eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan

hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan

pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II (stadium

eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan

stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak

menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah,

midriasis, hipertensi, dan takikardia. Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi

dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan

terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal

9

Page 10: presentasi kasus

masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea

terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata

ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III,

ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan

otot perut relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau

overdosis),ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi.

Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi

lakrimal (Munaf, 2008).

Tabel 2.1. Tahap Anestesi

Tahap Nama Keterangan

1 Analgesia Dimulai dengan keadaan sadar dan

diakhiri dengan hilangnya kesadaran.

Sulit untuk bicara; indra penciuman

dan rasa nyeri hilang. Mimpi serta

halusinasi pendengaran dan

penglihatan mungkin terjadi. Tahap

ini dikenal juga sebagai tahap induksi.

2 Eksitasi atau delirium Terjadi kehilangan kesadaran akibat

penekanan korteks serebri.

Kekacauan

mental

, eksitasi, atau

delirium dapat terjadi. Waktu induksi

singkat.

10

Page 11: presentasi kasus

3 Surgical

Prosedu

r pembedahan biasanya

dilakukan pada tahap ini

4 Paralisis medular Tahap toksik dari anestesi. Pernapasan

hilang dan terjadi kolaps sirkular.

Perlu

diberikan bantuan

ventilasi.

Sumber: E, B, C, et al., 2008. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC.

3. Sifat-Sifat Anestesi Umum yang Ideal

Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1) bekerja cepat, induksi dan

pemilihan baik, (2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3) batas keamanan

lebar;(4) tidak bersifat toksis. Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang

secara langsung mencapai kadar yang tinggi di SSP (obat intravena) atau

tekanan parsial yang tinggi di SSP (obat ihalasi). Kecepatan induksi dan

pemulihan bergantung pada kadar dan cepatnya perubahan kadar obat anastesi

dalam SSP (Munaf, 2008).

4. Anestesi Cair yang Menguap

a. Halotan

Efek terhadap Sistem dalam Tubuh

1) Kardiovaskular

Depresi miokard bergantung pada dosis, penurunan

otomatisitas sistem konduksi, penurunan aliran darah ginjal

dan splanknikus dari curah jantung yang berkurang, serta

11

Page 12: presentasi kasus

pengurangan sensitivitas miokard terhadap aritmia yang

diinduksi katekolamin yang menyebabkan terjadinya hipotensi

untuk menghindari efek hipotensi yang berat selama anestesi,

yang dalam hal ini perlu diberikan vasokonstriktor langsung,

seperti fenileprin (Munaf, 2008).

2) Pernapasan

Depresi respirasi terkait dengan dosis yang dapat

menyebabkan menurunnya volume tidal dan sensitivitas

terhadap pengaturan respirasi yang dipacu oleh CO2.

Pemberian bronkodilator poten sangat baik untuk mengurangi

spasme bronkus (Munaf, 2008).

3) Susunan Saraf Pusat

Hilangnya autoregulasi aliran darah serebral yang

menyebabkan tekanan intrakranial menurun (Munaf, 2008).

4) Ginjal

Menurunnya GFR, dan berkurangnya aliran darah ke ginjal

disebabkan oleh curah jantung yang menurun (Munaf, 2008).

5) Hati

Aliran darah ke hati menurun (Munaf, 2008).

6) Uterus

Menyebabkan relaksasi otot polos uterus; berguna dalam

manipulasi kasus obstetrik (misalnya penarikan plasenta)

(Munaf, 2008).

Metabolisme

Sebanyak 80% hilang melalui gas yang dihembuskan, 20%

12

Page 13: presentasi kasus

melalui metabolisme di hati. Metabolit berupa bromida dan asam

trifluoroasetat (Munaf, 2008).

Keuntungan dan Kerugian

Potensi anestesi umum kuat, induksi dan penyembuhan baik,

iritasi jalan napas tidak ada, serta bronkodilator yang sangat baik.

Sedangkan kerugiannya adalah depresi miokard dan pernapasan,

sensitisasi miokard terhadap aritmia yang diinduksi oleh

katekolamin, serta aliran darah serebral menurun yang dapat

menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Munaf, 2008).

Indikasi Klinik

Halotan digunakan secara ekstensif dalam anestesia anak

karena ketidakmampuannya menginduksi inhalasi secara cepat dan

status asmatikus yang refraktur. Obat ini dikontraindikasikan pada

pasien dengan penyakit intrakranial (Munaf, 2008).

Efek samping/Toksisitas

1) Hepatitis halotan: kejadian 1/30.000 dari pemberian; pasien

yang mempunyai resiko adalah yang mengalami obesitas,

wanita usia muda lebih banyak terjadi dengan periode waktu

yang singkat; ditandai dengan nekrosis sentrilobuler; uji fungsi

hati abnormal dan eosinofilia. Sindrom ini dapat juga terjadi

dengan isofluran dan etran (Munaf, 2008).

2) Hipertermi maligna: suatu sindrom yang ditandai dengan

peningkatan suhu tubuh secara belebihan, rigiditas otot rangka,

serta dijumpai asidosis metabolik. Secara umum, hal ini

berakibat fatal kecuali jika diobati dengan dantrolen yang

merupakan pelemas otot yang mencegah Ca dari retikulum

sarkoplasmik (Munaf, 2008).

13

Page 14: presentasi kasus

b. Enfluran

Efek terhadap Sistem dalam Tubuh

1) Kardiovaskular

Depresi miokard bergantung pada dosis, vasodilator

arterial, dan sensitisasi ringan miokard terhadap katekolamin

(Munaf, 2008).

2) Respirasi

Depresi pernapasan bergantung pada dosis; hipoksia

ablasia yang disebabkan oleh bronkodilator (Munaf, 2008).

3) Susunan Saraf Pusat

Dapat menimbulkan kejang pada kadar enfluran tinggi dengan

tekanan parsial CO2 (PCO2) menurun (hipokarbia);

vasodilatasi serebral dengan meningkatnya tekanan

intrakranial (Munaf, 2008).

4) Ginjal

Aliran darah ginjal dan GFR menurun (Munaf, 2008).

Metabolisne

Sebanyak 2% enfluran dimetabolisme di hati, metabolit

utama, yaitu fluorida mempunyai potensi untuk menimbulkan

nefrotoksis (sangat jarang digunakan secara klinis) (Munaf, 2008).

Keuntungan dan kerugian

Secara klinis, enfluran merupakan bronkodilator yang

baik, respons kardiovaskular stabil, kecenderungan aritmia jantung

minimal, dan tidak mengiritasi saluran napas. Sedangkan

kerugiannya adalah Enfluran mempunyai potensi aktivitas kejang.

Kontraindikasi pada pasien dengan tekanan intrakranial yang

meningkat disertai dengan gangguan patologik intrakranial (Munaf,

2008).

14

Page 15: presentasi kasus

c. Isofluran

Efek terhadap Sistem dalam Tubuh

1) Kardiovaskular

Terjadi depresi miokard yang ringan dan bergantung

pada dosis, sedangkan curah jantung biasanya normal

disebabkan sifat vasodilatasinya, sensitisasi miokard minimal

terhadap katekolamin, dapat menyebabkan coronary steal oleh

vasodilatasi normal pada stenosis dengan aliran yang

berlebihan (Munaf, 2008).

2) Respirasi

Depresi respons terhadap CO2 bergantung pada dosis,

hipoksia ventilasi, bronkodilator, iritasi sedang pada jalan

napas (Munaf, 2008).

3) Ginjal

Glomerular Filtration Rate (GFR) dan aliran darah

ginjal rendah disebabkan tekanan arterial menengah yang

menurun (Munaf, 2008).

4) Susunan Saraf Pusat

Efek minimal pada otoregulasi serebral, konsumsi

oksigen metabolik serebral menurun, dan merupakan obat

pilihan untuk bedah saraf (Munaf, 2008).

Metabolisme

Hanya 0,2% yang dimetabolisme di hati, selebihnya

diekskresikan pada waktu ekspirasi dalam bentuk gas (Munaf,

2008).

Keuntungan dan Kerugian

Keadaan kardeiovaskular stabil, tidak bersifat

15

Page 16: presentasi kasus

aritmogenik, tekanan ntrakranial tidak meningkat,

bronkodilator. Sedangkan kerugiannya adalah Iritasi jalan

napas sedang (Munaf, 2008).

d. Sevofluran

Sevofluran merupakan fluorokarbon dengan bau yang

tidak begitu menyengat, dan tidak begitu mengiritasi saluran

napas, serta absorpsinya cepat. Indikasi klinik: sebagai anestesi

umum untuk melewati stadium 2 dan untuk pemeliharaan umum

(Munaf, 2008).

Tabel 2.2. Obat Sevofluran

Obat Aritmia Sensitivitas Curah Tekanan Refleks Toksisitas

terhadap jantung Darah Respirasi pada

katekolamin Hepar

Halotan ↑ ↑ ↓ ↓ ↓ +++

Enflura ↑ ↑ ↓ ↓ ↓ +

n

Isoflura -- -- ↓ ↓ ↑(stimulasi --

n awal)

Sevoflur -- -- -- -- -- --

an

Nitrogen -- -- -- -- -- --

oksida

Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta:

EGC.

5. Anestesi Intravena

Pada suatu operasi biasanya digunakan anestesi intravena untuk

16

Page 17: presentasi kasus

induksi cepat melewati stadium II, dilanjutkan stadium III, dan

dipertahankan dengan suatu anestesi umum per inhalasi. Karena anestesi

IV ini cepat menginduksi stadium anestesi, penyuntikan harus dilakukan

secara perlahan-lahan (Kee, et al (1996).

Tabel 2.3. Anestesi Intravena

Obat Waktu induksi

Pertimbangan

Pemakaian

Natrium Cepat Masa kerja singkat. Dipakai untuk

tiopental induksi cepat pada anestesi umum.

Membuat pasien tetap hangat, karena

dapat terjadi tremor. Dapat menekan

pusat pernapasan dan mungkin

Natrium

diperlukan bantuan

ventilasi

Cepat Dipakai untuk induksi anestesi dan

Tiamilal anestesi untuk terapi elektrosyok

Droperidol Sedang sampai cepat Sering digunakan bersama anaestesi

umum. Dapat juga dipaki sebagai

obat

Ketamin

preanestetik

Cepat

Dipaka

i untuk pembedahan jangka

Hidroklorida singkat atau untuk induksi

pembedahan. Obat ini meningkatkan

salivasi, tekanan darah, dan denyut

jantung

Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta:

EGC.

17

Page 18: presentasi kasus

6. Anestesi Gas

Tabel 2.4. Anestesi Gas

Obat Waktu Induksi Pertimbangan pemakaian

Nitrous Sangat cepat Pemulihan cepat. Mempunyai efek

oksida yang minimal pada kardiovaskular.

Harus diberikan bersama-sama

oksigen. Potensi rendah

Siklopropan Sangat cepat Sangat mudah terbakar dan meledak.

Jarang digunakan

Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC.

7. Penggolongan Muscle Relaxant

Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri. Relaksan otot adalah

obat yang mengurangi ketegangan otot dengan bekerja pada saraf yang

menuju otot (misalnya kurare, suksinilkolin) (Grace, 2006). Berdasarkan

perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya' obat-obat pelumpuh otot

dapat dibagi menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi (meniru aksi

asetilkolin) dan obat pelumpuh otot nondepolarisasi (mengganggu kerja

asetilkolin). Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi menjadi 3 grup

lagi yaitu obat kerja lama' sedang' dan singkat. Obat-obat pelumpuh otot

dapat berupa senyawa benzilisokuinolin atau aminosteroid. Obat- obat

pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot fase I depolarisasi' blokade

saraf-otot fase II depolarisasi atau nondepolarisasi (Rachmat, et al.,

2004).

a. Muscle Relaxant Golongan Depolarizing

Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi

di celah sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga

18

Page 19: presentasi kasus

bertahan cukup lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang

ditandai dengan fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk

golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan dekametonium.

Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase

plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti

kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat

kerja pseudokolinesterase (Mangku, 2010).

1) Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)

Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang

bergabung. obat ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan

duration of action yang pendek (kurang dari 10 menit). Ketika

suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh

pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat

efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang

mencapaineuromuscular junction. Duration of action akan

memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal,

seperti hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase.

Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan,

penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa

orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang

menyebabkan blokade yang memanjang (Mangku, 2010).

b. Ciri Kelumpuhan

1) Ada fasikulasi otot.

2) Berpotensiasi dengan antikolinesterase.

3) Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat

pelumpuh otot non depolarisasi dan asidosis.

4) Tidak menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada

perangsangan tunggal maupun tetanik.

19

Page 20: presentasi kasus

5) Belum diatasi dengan obat spesifik

c. Muscle Relaxant Golongan Non Depolarizing.

Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa

menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin

menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja (Latief, dkk,

2007).

Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung

setelah pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang

hilang dari plasma dicirikan dengan penurunan inisial cepat

(distribusi ke jaringan) diikuti penurunan yang lebih lambat (klirens).

Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam aliran darah' anestesi

inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada

farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh

anestesi volatil mencerminkan aksi farmakodinamik' seperti

dimanifestasikan oleh penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh

otot yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat blokade saraf

tertentu dengan adanya anestesi volatile. Bila volume distribusi

menurun akibat peningkatan ikatan protein' dehidrasi' atau

perdarahan akut' dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi

plasma yang lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu

paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan

durasi kerja obat-obat ini saat diberikan sebagai injeksi cepat

intravena (Lunn, 2004).

Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non

depolarisasi digolongkan menjadi:

1) Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurium,

20

Page 21: presentasi kasus

atrakurium, doksakurium, mivakurium.

2) Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium,

ropakuronium, rokuronium.

3) Eter-fenolik : gallamin.

4) Nortoksiferin : alkuronium.

Tabel 2.5. Obat Pelumpuh Otot

Berdasarkan maka pelumpuh otot non depolarisasi dibagi menjadi kerja

panjang, sedang, dan pendek:lama kerja,

Durasi Efek SampingDosis Dosis

Awal Rumatan(menit)

(mg/kg) (mg/kg)

Non Depol Long Acting

1. D-tubokurarin 0.40 – 30 – Hipotensi

2. Pankuronium 0.600.10

60 Vagolitik,takikardi

3. Metakurin 0.08 – 30 – Hipotensi0.15 –

4. Pipekuronium 0.12 60 Kardiovaskuler0.20

5. Doksakurium 0.20 - 40 – stabil0.05

6. Alkurium 0.40 60 Kardiovaskuler0.01 –

0.05 – 40 – stabil0.015

0.12 60 Vagolitik,0.005 –

0.02 – 45 – takikardi0.010

0.08 600.05

0.15 – 40 –

21

Page 22: presentasi kasus

0.30 60

Non depol Intermediate

1. Gallamin4 – 6

30 – Hipotensi

2. Atrakurium 60 Aman untuk hepar0.5 – 0.5

3. Vekuronium 20 –0.6 0.1

4. Rokuronium 450.1 – 0.015 –

5. Cistacuronium 25 –0.2 0.02

450.6 – 0.10 –

30 –0.1 0.15

600.15 – 0.02

30 –

Berdasarkan lama kerja, maka pelumpuh otot non

depolarisasi dibagi menjadi kerja panjang, sedang,

dan pendek

Dosis DosisEfek Samping

DurasiAwal Rumatan (menit)

(mg/kg) (mg/kg)

Non Depol Short Acting 0.20 – 10 –

1. Mivakurium 0.25 0.05 15

2. Ropacuronium 1.5 – 0.3 – 0.5 15 –

22

Page 23: presentasi kasus

2.0 30

Depol Short Acting1 3 – 10

1. Suksinilkolin

Sumber: Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An., 2010. Buku

Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta: PT. Indeks.

Ciri Kelumpuhan Otot

Non Depolarisasi tidak ada fasikulasi otot.

1) Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat

anestetik inhalasi (eter, halotan, enfluran, isofluran)

2) Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan

tunggal atau tetanik.

3) Dapat diantagonis oleh antikolinesterase.

8. Penawar Pelumpuh Otot

Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase

sehingga asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering

digunakan adalah neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin

(dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan

fisostigmin yang hanya untuk penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg).

Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik sehingga menyebabkan

hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas

usus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai

vagolitik seperti atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat

(dosis 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa) (Mangku,

2010).

9. Analgesik

Menurut kamus perobatan Oxford (2011), obat anti nyeri

23

Page 24: presentasi kasus

bermaksud suatu obat yang meredakan rasa nyeri. Obat anti nyeri ringan

(aspirin dan parasetamol) digunakan untuk meredakan nyeri kepala, nyeri

gigi dan nyeri reumatik ringan manakala obat anti nyeri yang lebih poten

(narkotika atau opioid) seperti morfin dan petidin hanya digunakan untuk

meredakan nyeri berat memandangkan ia bisa menimbulkan gejala

dependensi dan toleransi. Sesetengah analgesik termasuk aspirin,

indometasin dan fenilbutazon bisa juga meredakan demam dan inflamasi

serta digunakan dalam kondisi rematik.

a. Jenis-Jenis Analgesik

Berdasarkan sifat farmakologisnya, obat anti nyeri

(analgesika) dibagi kepada dua kelompok yaitu analgesika perifer

dan analgesika narkotika. Analgesika perifer (non-narkotika) terdiri

dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral

manakala analgesika narkotika digunakan untuk meredakan rasa

nyeri hebat misalnya pada pesakit kanker (Suleman, 2006).

b. Mekanisme Kerja Obat

1) Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS)

Hampir semua obat AINS mempunyai tiga jenis efek yang

penting yaitu :

a) Efek anti-inflamatori : memodifikasi reaksi inflamasi

b) Efek analgesik : meredakan suatu rasa nyeri

c) Efek antipiretik : menurunkan suhu badan yang

meningkat.

Secara umumnya, semua efek-efek ini berhubungan dengan

tindakan awal obat-obat tersebut yaitu penghambatan arakidonat

siklooksigenase sekaligus menghambat sintesa prostaglandin dan

tromboksan (Rang et al., 2007). Terdapat dua tipe enzim

siklooksigenase yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 merupakan enzim

24

Page 25: presentasi kasus

konstitutif yang dihasilkan oleh kebanyakan jaringan termasuklah

platlet darah (Rang et al., 2007). Enzim ini memainkan peranan

penting dalam menjaga homeostasis jaringan tubuh khususnya

ginjal, saluran cerna dan trombosit. Di mukosa lambung, aktivasi

COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. COX-2

pula diinduksi dalam sel-sel inflamatori diaktivasi. Dalam hal ini,

stimulus inflamatoar seperti sitokin inflamatori primer yaitu

interleukin-1 (IL-1) dan tumour necrosis factor-α (TNF- α),

endotoksin dan faktor pertumbuhan (growth factors) yang dilepaskan

menjadi sangat penting dalam aktivasi enzim tersebut.Ternyata

sekarang COX-2 juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu di ginjal,

jaringan vaskular dan pada proses pembaikan jaringan. Tromboksan

A2, yang disentesis trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi

trombosit, vasokonstriksi dan proliferasi otot polos. Sebaliknya

prostasiklin yang disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskular

melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi

trombosit, vasodilatasi dan efek anti-proliferatif (Fendrick et al.,

2008).

2) Obat Anti Inflamasi Steroid

Morgan Jr GE, Michail MS, Murray MJ (2006), Menjelaskan

bahwa opioid didefinisikan sebagai senyawa dengan efek yang

diantagonis oleh nalokson.

a) Analgesik Opioid Kuat

Analgesik ini khususnya digunakan pada terapi nyeri

tumpul yang tidak terlokalisasi dengan baik (viseral). Nyeri

somatik dapat ditentukan dengan jelas dan bisa diredakan dengan

analgesik opioid lemah. Morfin parenteral banyak digunakan

untuk mengobati nyeri hebat dan morfin oral merupakan obat

terpilih pada perawatan terminal.

Morfin dan analgesik opioid lainnya menghasilkan suatu

25

Page 26: presentasi kasus

kisaran efek sentral yang meliputi analgesia, euforia, sedasi,

depresi napas, depresi pusat vasomotor (menyebabkan hipotensi

postural), miosis akibat stimulasi nukleus saraf III (kecuali petidin

yang mempunyai aktifitas menyerupai atropin yang lemah), mual,

serta muntah yang disebabkan oleh stimulasi chemoreceptor

trigger zone. Obat tersebut juga menyebabkan penekanan batuk,

tetapin hal ini tidak berkaitan dengan aktivitas opioidnya. Efek

perifer seperti konstipasi, spasme bilier, dan konstriksi sfingter

Oddi bisa terjadi. Morfin bisa menyebabkan pelepasan histamin

dengan vasodilatasi dan rasa gatal. Morfin mengalami

metabolisme dalam hati dengan berkonjugasi dengan asam

glukoronat untuk membentu morfin-3-glukoronid yang inaktif,

dan morfin-6-glukuronid, yaitu analgesik yang lebih poten

daripada morfin itu sendiri, terutama bila diberi intratekal.

Diamorfin (heroin, diasetilmorfin) lebih larut dalam lemak

daripada morfin sehingga mempunyai awitan kerja lebih cepat

bila diberikan secara suntikan. Kadar puncak yang lebih tinggi

menimbulkan sedasi yang lebih kuat daripada morfin. Dosis kecil

diamorfin epidural semakin banyak digunakan untuk

mengendalikan nyeri hebat.

Dekstromoramid mempunyai durasi kerja singkat (2-4 jam)

dan dapat diberikan secara oral maupun sublingual sesaat sebelum

tindakan yang menyakitkan.

Metadon mempunyai durasi kerja panjang dan kurang

sedatif dibandingkan morfin. Metadon digunakan secara oral

untuk terapi rumatan pecandu heroin atau morfin. Pada pecandu,

metadon mencegah penggunaan obat intravena.

3) Analgesik Opioid Lemah

Analgesik opioid lemah digunakan pada nyeri ringan sampai

26

Page 27: presentasi kasus

sedang. Analgesik ini bisa menyebabkan ketrgantungan dan

cenderung disalahgunakan. Akan tetapi, ibuprofen kurang menarik

untuk pencandu karena tidak memberikan efek yang hebat.

Kodein (metilmorfin) diabsorpsi baik secara oral, tetapi

mempunyai afinitas sangat rendah terhadap reseptor opioid. Sekitar

10% obat mengalami demetilasi dalam hati menjadi morfin, yang

bertanggung jawab atas efek analgesik kodein. Efek samping

(kostipasi, mudah, sedasi) membatasi dosis ke kadar yang

menghasilkan analgesia yang jauh lebih ringan daripada morfin.

Kodein juga digunakan sebagai obat antitusif dan antidiare.

B. Post Operative Nausea and Vomitus (PONV)

1. Definisi

Mual muntah pasca operasi atau Post Operative Nausea and

Vomiting (PONV) tidak mengenakkan bagi pasien dan potensial

mengganggu penyembuhan paska operatif. Kapur mendeskripsikan PONV

sebagai ‘the big little problem’ pada pembedahan ambulatori (Maddali

MM, Mathew J, 2003).

Mual adalah suatu sensasi tidak enak yang bersifat subjektif yang

berhubungan dengan keinginan untuk muntah. Muntah adalah ekspulsi

dengan tenaga penuh dari isi gaster. Stimulus yang bisa mecetuskan mual

dan muntah berasal dari olfaktori, visual, vestibular dan psikogenik.

Kemoreseptor pada CTZ memonitor level substansi di darah dan cairan

serebrospial dan dan faktor – faktor lainnya juga bisa mencetuskan

terjadinya PONV. Muntah diawali dengan bernafas yang dalam, penutupan

glotis dan naiknya langit – langit lunak. Diafrahma lalu berkontraksi

dengan kuat dan otot – otot abdominal berkontraksi untuk meningkatkan

tekanan intra-gastrik. Hal ini menyebabkan isi lambung keluar dengan

penuh tenaga ke esofagus dan keluar dari mulut (Honkavaara, P, 1995).

2. Patofisiologi

27

Page 28: presentasi kasus

Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata,

memperantarai refleks muntah. Bagian ini sangat dekat dengan nukleus

tractus solitarius dan area postrema. Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ)

berlokasi di area postrema. Rangsangan perifer dan sentral dapat

merangsang kedua pusat muntah dan CTZ. Afferent dari faring, GI tract,

mediastinum,ginjal, peritoneum dan genital dapat merangsang pusat

muntah. Sentral dirangsang dari korteks serebral, cortical atas dan pusat

batang otak, nucleus tractus solitarius, CTZ, dan sistem vestibular di

telinga dan pusat penglihatan dapat juga merangsang pusat muntah.

Karena area postrema tidak efektif terhadap sawar darah otak, obat atau

zat-zat kimia di darah atau di cairan otak dapat langsung merangsang CTZ

(Ho KY, Chiu JW, 2005).

Kortikal atas dan sistem limbik dapat menimbulkan mual muntah

yang berhubungan dengan rasa, penglihatan, aroma, memori dan perasaaan

takut yang tidak nyaman (Zainumi C M). Nukleus traktus solitaries dapat

juga menimbulkan mual muntah dengan perangsangan simpatis dan

parasimpatis melalui perangsangan jantung, saluran billiaris, saluran cerna

dan saluran kemih (Morgan Jr GE, Mikhail MS, Murray Mj, 2006). Sistem

vestibular dapat dirangsang melalui pergerakan tiba-tiba yang

menyebabkan gangguan pada vestibular telinga tengah (Rahman MH,

Beattie J, 2004).

Reseptor sepeti 5-HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid dan neurokinin-1

(NK-1) dapat dijumpai di CTZ. Nukleus tractus solitarius mempunyai

konsentrasi yang tinggi pada enkepalin, histaminergik, dan reseptor

muskarinik kolinergik. Reseptor-reseptor ini mengirim pesan ke pusat

muntah ketika di rangsang. Sebenarnya reseptor NK-1 juga dapat

ditemukan di pusat muntah. Pusat muntah mengkoordinasi impuls ke

vagus, frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan otot- otot perut untuk

melakukan refleks muntah (Ho KY, Chiu JW, 2005)

28

Page 29: presentasi kasus

Gambar 2.1. Skema patofisiologi mual dan muntah

Sumber: Rahman MH, Beattie J., 2004. Post Operative Nausea and Vomiting.

29

Page 30: presentasi kasus

The Pharmaceutical Journal, Vol. 273

Gambar 2.2. Patofisiologi mual dan muntah

Sumber: Siregar, D., 2011. Perbandingan Kombinasi Ondansetron 2mg

IV Dengan Deksametason 4mg IV Dan Ondansetron 4 mg IV Dengan

Deksametason 4mg IV Sebagai Profilaksis Pada Pasien Resiko Tinggi

Mual Muntah Setelah Operasi Yang Menjalani Tindakan Operasi

30

Page 31: presentasi kasus

Dengan Anestesi Umum Intubasi. Tesis akhir penelitian. Medan.

Gambar 2.3. Fisiologi Post Operative Nausea and vomiting

Sumber: Siregar, D., 2011. Perbandingan Kombinasi Ondansetron 2mg

31

Page 32: presentasi kasus

IV Dengan Deksametason 4mg IV Dan Ondansetron 4 mg IV Dengan

Deksametason 4mg IV Sebagai Profilaksis Pada Pasien Resiko Tinggi

Mual Muntah Setelah Operasi Yang Menjalani Tindakan Operasi

Dengan Anestesi Umum Intubasi. Tesis akhir penelitian. Medan.

3. Faktor Risiko

a. Faktor – faktor pasien

1) Umur : insidensi PONV 5% pada bayi, 25% pada usia

dibawah 5 tahun, 42 – 51% pada umur 6 – 16 tahun dan 14

– 40% pada dewasa.

2) Gender : wanita dewasa akan mengalami PONV 2 – 4 kali

lebih mungkin dibandingkan laki – laki, kemungkinan

karena hormon perempuan.

3) Obesitas : dilaporkan bahwa pada pasien tersebut lebih

mudah terjadi PONV baik karena adipos yang berlebihan

sehingga penyimpanan obat – obat anestesi atau produksi

estrogen yang berlebihan oleh jaringan adipos.

4) Motion sickness : pasien yang mengalami motion sickness

lebih mungkin terkena PONV

5) Perpanjangan waktu pengosongan lambung : pasien

dengan kondisi ini akan menambah resiko terjadinya

PONV

6) Perokok : bukan perokok akan lebih cenderung mengalami

PONV

b. Faktor – faktor preoperatif

1) Makanan : waktu puasa yang panjang atau baru saja makan akan

meningkatkan insiden PONV

2) Ansietas : stess dan ansietas bisa menyebabkan muntah

3) Penyebab operasi : operasi dengan peningkatan tekanan intra

kranial,obstruksi saluran pencernaan, kehamilan, aborsi atau

32

Page 33: presentasi kasus

pasien dengan kemoterapi.

4) Premedikasi : atropine memperpanjang pengosongan lambung

dan mengurangi tonus esofageal, opioid meningkatkan sekresi

gaster, dan menurunkan motilitas pencernaan. Hal ini

menstimulasi CTZ dan menambah keluarnya 5-HT dari sel – sel

chromaffin dan terlepasnya ADH.

c. Faktor – faktor intraoperatif

1) Faktor anestesi

a) Intubasi : stimulasi mekanoreseptor faringeal bisa

menyebabkan muntah

b) Anestetik : kedalaman anestesi atau inflasi gaster pada saat

ventilasi dengan masker bisa menyebabkan muntah

c) Anestesia : perubahan posisi kepala setelah bangun akan

merangsang vestibular.

d) Obat – obat anestesi : opioid adalah opat penting yang

berhubungan dengan PONV. Etomidate dan methohexital

juga berhubungan dengan kejadian PONV yang tinggi

e) Agen anstesi inhalasi : eter dan cyclopropane menyebabkan

insiden PONV yang tinggi karena katekolamin. Pada

sevoflurane, enflurane, desflurane dan halothane dijumpai

angka kejadian PONV yang lebih rendah. N2O mempunyai

peranan yang dalam terjadinya PONV. Mekanisme terjadinya

muntah karena N2O karena kerjanya pada reseptor opioid

pusat, perubahan pada tekanan telinga tengah, stimulasi saraf

simpatis dan distensi gaster.

b. Teknik anestesi

Insiden PONV diprediksi lebih rendah dengan spinal anestesi

bila dibandingkan dengan general anestesi. Pada regional anestesi

33

Page 34: presentasi kasus

dijumpai insiden yang lebih rendah pada emesis intra dan postoperatif.

c. Faktor pembedahan :

1) Kejadian PONV juga berhubungan dengan tingginya insiden dan

keparahan PONV. Seperti pada laparaskopi, bedah payudara,

laparatomi, bedah plastik, bedah optalmik (stabismus), bedah

THT, bedah ginekologi (Gan TJ, 2003).

2) Durasi operasi (setiap 30 menit penambahan waktu resiko PONV

meningkat sampai 60%).

d. Faktor – faktor paska operatif

Nyeri, pusing, ambulasi, makan yang terlalu cepat (Saeeda I,

Jain P, 2004). Terjadinya PONV sangat kompleks tapi faktor – faktor

tertentu diketahui meningkatkan insiden. Faktor – faktor preoperatif

yang berhubungan dengan pasien seperti umur, gender, keseimbangan

hormonal, berat badan, isi lambung, riwayat sebelumnnya, kecemasan

dan riwayat mual muntah. Faktor – faktor post operatif adalah tekhnik

atau obat yang berhubungan dengan hipotensi, nyeri, analgesia opioid,

intake oral yang cepat dan pergerakan. Thomson juga menegaskan

bahwa penggunaan opioid menstimulasi pusat muntah melalui CTZ

tanpa pengaruh dari jalur maupun waktu pemberiannya. (Saeeda I, Jain

P, 2004)

Walaupun begitu, intervensi untuk mencegah PONV tidaklah

perlu untuk semua populasi pasien, bahkan tanpa profilaksis pasien

belum tentu mengalami simptom tersebut. Terlebih lagi intervensi yang

dilakukan kurang efikasinya terutama yang monoterapi. Oleh karena itu,

penting untuk memberikan intervensi pada pasien yang mungkin

mengalami PONV. Bagaimanapun, pengertian mengenai faktor resiko

PONV belumlah lengkap, untuk mengerti tentang patofisiologi dan

faktor resiko PONV dipersulit oleh banyaknya faktor karena banyaknya

34

Page 35: presentasi kasus

reseptor dan stimulus. Setidaknya ada 7 neurotransmiter yang diketahui,

serotonin, dopamine, muscarine, acetylcholine, neurokinin – 1,

histamine dan opioid (Gan TJ, 2006).

4. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan farmakologikal PONV menurut Morgan Jr GE, 2006)

dan Wallenborn J, Gelbrich G, Bulst D, 2006 :

a. Antagonist reseptor Serotonin: bahwa tidak ada perbedaan efek dan

keamanannya diantara golongan –golongan Antagonist reseptor

Serotonin tersebut, seperti Ondansetron , Dolasetron, Granisetron, dan

Tropisetron untuk profilaksis PONV. Obat ini efektif bila diberikan

pada saat akhir pembedahan. Banyak penelitian dari golongan obat ini

seperti Ondansetron dimana mempunyai efek anti muntah yang lebih

besar dari pada anti mual.

b. Antagonist dopamin: reseptor dopamin ini mempunyai reseptor di CTZ,

bila reseptor ini dirangsang akan terjadi muntah, antagonist Dopamin

tersebut seperti:Benzamida (Metoklopramide dan

Domperidon),Phenotiazine (Clorpromazine dan Proclorpromazine), dan

Butirophenon (Haloperidol dan Droperidol).

c. Antihistamin: Obat ini ( Prometazine dan Siklizine ) memblok H1 dan

Reseptor muskarinik di pusat muntah. Obat ini mempunyai efek dalam

penatalaksanaan PONV yang berhubungan dengan aktivasi sistem

vestibular tetapi mempunyai efek yang kecil untuk muntah yang

dirangsang langsung di CTZ .Obat Antikholinergik: Obat ini ( Hyoscine

hydrobromide atau Scopolamin) mencegah rangsangan di pusat muntah

dengan memblok kerja dari acetylcolin di pada reseptor muskarinik di

sistem vestibular.

d. Steroid : Dalam hal ini obat yang sering digunakan adalah

deksametason. Deksametason berguna sebagai profilaksis PONV

dengan cara menghambat pelepasan prostaglandin. Efek samping

35

Page 36: presentasi kasus

pemakaian berulang deksametason adalah peningkatan infeksi, supressi

adrenal, tetapi tidak pernah dilaporkan efek samping timbul pada

pemakaian dosis tunggal. Obat ini juga menurunkan motilitas lambung

dan rangsangan aferen di pusat muntah, efek samping yang sering

terjadi pada obat ini adalah pandangan kabur, retensi urine, mulut

kering, drowsiness.

5. Jenis Operasi yang Menyebabakan PONV

Sistem vestibular bisa menstimulasi PONV sebagai akibat dari operasi

yang berhubungan dengan telinga tengah, atau gerakan post operatif. Gerakan

tiba – tiba dari kepala pasien setelah bangun menyebabkan gangguan vestibular

telinga tengah, dan menambah insiden PONV. Acetilkoline dan histamin

berhubungan dengan transmisi sinyal dari sistem vestibular ke pusat muntah.

Pusat kortikal yang lebih tinggi (cth sistem limbik) juga berhubungan, terutama

jika adanya riwayat PONV. Hal ini mencetuskan mual dan muntah yang

berhubungan dengan rasa, penglihatan, bau, memori yang tidak enak dan rasa

takut. Pusat muntah adalah medulla oblongata yang letaknya sangat dekat

dengan pusat viseral lainnya seperti pusat pernafasan dan vasomotor (Chandra,

2012).

Mual dan muntah sering juga ditemukan pascabedah dan bisa

sekunder terhadap ileus paralitikus, obstruksi usus halus mekanik, abses dan

peradangan intraabdomen (terutama jika dalam epigastrium) serta pemebrian

berbagai obat yang lazim diberikan pada pasien bedah. Anestesi umum dan

analgesik opiat tersering dilibatkan dalam hal ini. Mual dan muntah yang

disebabkan oleh ileus paralitikus dan obstruksi usus memerlukan pendekatan

terapi yang lebih agresif. Disamping debilitasi psikolog yang menyertai masa

muntah yang lama, juga timbul akibat fisiologi yang telah dikenal.

Hipovolemia, hipokalemia dan alkalosis merupakan penyimpangan metabolik

dini yang dominan, yang akhirnya bisa memerlukan koreksi jika muntah tetap

(Sabiston, 2005).

36

Page 37: presentasi kasus

B. Combustio

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan

yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan

kimia, listrik dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan

morbiditas dan mortalitas tinggi. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganannya

pun tinggi.1 Di Indonesia, luka bakar masih merupakan problem yang berat.

Perawatan dan rehabilitasinya masih sukar dan memerlukan ketekunan, biaya

mahal, tenaga terlatih dan terampil. Oleh karena itu, penanganan luka bakar

lebih tepat dikelola oleh suatu tim trauma yang terdiri dari spesialis bedah

(bedah anak, bedah plastik, bedah thoraks, bedah umum), intensifis, spesialis

penyakit dalam, ahli gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan psikologi 2

Luka bakar adalah luka yang terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh

dengan benda-benda yang menghasilkan panas (api secara langsung maupun

tidak langsung, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia,

air, dll) atau zat-zat yang bersifat membakar (asam kuat, basa kuat) 1. Kulit

adalah organ tubuh terluas yang menutupi otot dan mempunyai peranan dalam

homeostasis. Kulit merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh

kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh, pada orang dewasa sekitar 2,7 – 3,6 kg

dan luasnya sekitar 1,5 – 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5

mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Kulit tipis

terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian medial

lengan atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki,

punggung, bahu dan bokong. Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis

yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis yang merupakan lapisan epitel

berasal dari ectoderm sedangkan lapisan dalam yang berasal dari mesoderm

adalah dermis atau korium yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat 2.

Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan.

Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi.

37

Page 38: presentasi kasus

Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia.

Meningkatnya permeabilitas menyebabkan oedem dan menimbulkan bula yang

banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan

intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan

cairan akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang

terbentuk pada luka bakar derajat dua dan pengeluaran cairan dari keropeng

luka bakar derajat tiga. Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya

mekanisme kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari

20% akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang khas, seperti gelisah,

pucat, dingin,

berkeringat, nadi kecil, dan cepat, tekanan darah menurun, dan produksi urin

berkurang. Pembengkakkan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah

delapan jam.3

Gambar 2.4. Lapisan Kulit

Pada kebakaran dalam ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat

terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap, atau uap panas yang

terhisap. Oedem laring yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan

jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak

bewarna gelap akibat jelaga. Dapat juga keracunan gas CO dan gas beracun

lainnya. Karbon monoksida akan mengikat hemoglobin dengan kuat sehingga

hemoglobin tak mampu lagi mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan adalah

lemas, bingung, pusing, mual dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi

38

Page 39: presentasi kasus

koma. Bisa lebih dari 60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal.

Setelah 12 – 24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan mobilisasi serta

penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini di tandai dengan

meningkatnya diuresis 3

PENILAIAN DERAJAT LUKA BAKAR.

1. Luka bakar grade I

a. Disebut juga luka bakar superficial

b. Mengenai lapisan luar epidermis, tetapi tidak sampai mengenai

daerah dermis. Sering disebut sebagai epidermal burn

c. Kulit tampak kemerahan, sedikit oedem, dan terasa nyeri.

d. Pada hari ke empat akan terjadi deskuamasi epitel (peeling).

2. Luka bakar grade II

a. Superficial partial thickness:

1) Luka bakar meliputi epidermis dan lapisan atas dari

dermis

2) Kulit tampak kemerahan, oedem dan rasa nyeri lebih berat

daripada luka bakar grade I

3) Ditandai dengan bula yang muncul beberapa jam setelah

terkena luka

4) Bila bula disingkirkan akan terlihat luka bewarna merah

muda yang basah Luka sangat sensitive dan akan menjadi

lebih pucat bila terkena tekanan

5) Akan sembuh dengan sendirinya dalam 3 minggu ( bila

tidak terkena infeksi), tapi warna kulit tidak akan sama

seperti sebelumnya.

b. Deep partial thickness

1) Luka bakar meliputi epidermis dan lapisan dalam dari

39

Page 40: presentasi kasus

dermis disertai juga dengan bula

2) permukaan luka berbecak merah muda dan putih karena

variasi dari vaskularisasi pembuluh darah( bagian yang

putih punya hanya sedikit pembuluh darah dan yang

merah muda mempunyai beberapa aliran darah

3) luka akan sembuh dalam 3-9 minggu.

3. Luka bakar grade III

a. Menyebabkan kerusakan jaringan yang permanen

b. Rasa sakit kadang tidak terlalu terasa karena ujung-ujung saraf

dan pembuluh darah sudah hancur.

c. Luka bakar meliputi kulit, lemak subkutis sampai mengenai otot

dan tulang 1

4. Luka Bakar grade IV

Berwarna hitam.

PERTOLONGAN PERTAMA PADA PASIEN DENGAN LUKA BAKAR

1. Segera hindari sumber api dan mematikan api pada tubuh, misalnya

dengan menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar untuk

menghentikan pasokan oksigen pada api yang menyala

2. Singkirkan baju, perhiasan dan benda-benda lain yang membuat efek

Torniket, karena jaringan yang terkena luka bakar akan segera menjadi

oedem

3. Setelah sumber panas dihilangkan rendam daerah luka bakar dalam air

atau menyiramnya dengan air mengalir selama sekurang-kurangnya lima

belas menit. Proses koagulasi protein sel di jaringan yang terpajan suhu

tinggi berlangsung terus setelah api dipadamkan sehingga destruksi tetap

meluas. Proses ini dapat dihentikan dengan mendinginkan daerah yang

terbakar dan mempertahankan suhu dingin ini pada jam pertama sehingga

40

Page 41: presentasi kasus

kerusakan lebih dangkal dan diperkecil.

4. Akan tetapi cara ini tidak dapat dipakai untuk luka bakar yang lebih

luas karena bahaya terjadinya hipotermi. Es tidak seharusnya

diberikan langsung pada luka bakar apapun. 9

5. Evaluasi awal

6. Prinsip penanganan pada luka bakar sama seperti penanganan pada luka

akibat trauma yang lain, yaitu dengan ABC (Airway Breathing

Circulation) yang diikuti dengan pendekatan khusus pada komponen

spesifik luka bakar pada survey sekunder

Saat menilai ‘airway” perhatikan apakah terdapat luka bakar inhalasi.

Biasanya ditemukan sputum karbonat, rambut atau bulu hidung yang

gosong. Luka bakar pada wajah, oedem oropharyngeal, perubahan suara,

perubahan status mental. Bila benar terdapat luka bakar inhalasi lakukan

intubasi endotracheal, kemudian beri Oksigen melalui mask face atau

endotracheal tube.Luka bakar biasanya berhubungan dengan luka lain,

biasanya dari luka tumpul akibat kecelakaan sepeda motor. Evaluasi pada

luka bakar harus dikoordinasi dengan evaluasi pada luka-luka yang lain.

Meskipun perdarahan dan trauma intrakavitas merupakan prioritas utama

dibandingkan luka bakar, perlu dipikirkan untuk meningkatkan jumlah

cairan pengganti.

Anamnesis secara singkat dan cepat harus dilakukan pertama kali untuk

menentukan mekanisme dan waktu terjadinya trauma. Untuk membantu

mengevaluasi derajat luka bakar karena trauma akibat air mendidih

biasanya hanya mengenai sebagian lapisan kulit (partial thickness),

sementara luka bakar karena api biasa mengenai seluruh lapisan kulit (full

thickness) 5,6.

41

Page 42: presentasi kasus

RESUSITASI CAIRAN

Sebagai bagian dari perawatan awal pasien yang terkena luka bakar,

Pemberian cairan intravena yang adekuat harus dilakukan, akses intravena

yang adekuat harus ada, terutama pada bagian ekstremitas yang tidak terkena

luka bakar. Adanya luka bakar diberikan cairan resusitasi karena adanya

akumulasi cairan edema tidak hanya pada jaringan yang terbakar, tetapi juga

seluruh tubuh. Telah diselidiki bahwa penyebab permeabilitas cairan ini adalah

karena keluarnya sitokin dan beberapa mediator, yang menyebabkan disfungsi

dari sel, kebocoran kapiler.

Tujuan utama dari resusitasi cairan adalah untuk menjaga dan

mengembalikan perfusi jaringan tanpa menimbulkan edema. Kehilangan cairan

terbesar adalah pada 4 jam pertama terjadinya luka dan akumulasi maksimum

edema adalah pada 24 jam pertama setelah luka bakar. Prinsip dari pemberian

cairan pertama kali adalah pemberian garam ekstraseluler dan air yang hilang

pada jaringan yang terbakar, dan sel-sel tubuh. Pemberian cairan paling

popular adalah dengan Ringer laktat untuk 48 jam setelah terkena luka bakar.

Output urin yang adekuat adalah 0.5 sampai 1.5mL/kgBB/jam.

Formula yang terkenal untuk resusitasi cairan adalah formula

Parkland :

24 jam pertama.Cairan Ringer laktat : 4ml/kgBB/%luka bakar

o contohnya pria dengan berat 80 kg dengan luas luka bakar 25 %

o membutuhkan cairan : (25) X (80 kg) X (4 ml) = 8000 ml dalam 24 jam

pertama

½ jumlah cairan 4000 ml diberikan dalam 8 jam

42

Page 43: presentasi kasus

½ jumlah cairan sisanya 4000 ml diberikan dalam 16 jam berikutnya.

Cara lain adalah cara Evans :

a. Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg = jumlah NaCl / 24 jam

1) Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg =jumah plasma /

24 jam

(no 1 dan 2 pengganti cairan yang hilang akibat oedem. Plasma

untuk mengganti plasma yang keluar dari pembuluh dan

meninggikan tekanan osmosis hingga mengurangi perembesan

keluar dan menarik kembali cairan yang telah keluar)

2) 2000 cc Dextrose 5% / 24 jam (untuk mengganti cairan yang hilang

akibat penguapan)

Separuh dari jumlah cairan 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama,

sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua

diberikan setengah jumlah cairan pada hari pertama. Dan hari ketiga

diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.

Cara lain yang banyak dipakai dan lebih sederhana adalah menggunakan

rumus

Baxter yaitu :

% x BB x 4 cc

Separuh dari jumlah cairan ini diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya

diberikan dalam 16 jam berikutnya. Hari pertama terutama diberikan elektrolit

yaitu larutan RL karena terjadi defisit ion Na. Hari kedua diberikan setengah

43

Page 44: presentasi kasus

cairan hari pertama. Contoh : seorang dewasa dengan BB 50 kg dan luka bakar

seluas 20 % permukaan kulit akan diberikan 50 x 20 % x 4 cc = 4000 cc yang

diberikan hari pertama dan 2000 cc pada hari

kedua.9

Kebutuhan kalori pasien dewasa dengan menggunakan formula

Curreri, adalah 25 kcal/kgBB/hari ditambah denga 40 kcal/% luka

bakar/hari.

Petunjuk perubahan

cairan Pemantauan

urin output tiap jam

Tanda-tanda vital, tekanan vena sentral

Kecukupan sirkulasi perifer

Tidak adanya asidosis laktat, hipotermi

Hematokrit, kadar elektrolit serum, pH dan kadar glukosa

PENGGANTIAN DARAH

Luka bakar pada kulit menyebabkan terjadinya kehilangan sejumlah sel

darah merah sesuai dengan ukuran dan kedalaman luka bakar. Sebagai

tambahan terhadap suatu kehancuran yang segera pada sel darah merah yang

bersirkulasi melalui kapiler yang terluka, terdapat kehancuran sebagian sel

yang mengurangi waktu paruh dari sel darah merah yang tersisa. Karena

plasma predominan hilang pada 48 jam pertama setelah terjadinya luka bakar,

tetapi relative polisitemia terjadi pertama kali. Oleh sebab itu,

44

Page 45: presentasi kasus

pemberian sel darah merah dalam 48 jam pertama tidak dianjurkan, kecuali

terdapat kehilangan darah yang banyak dari tempat luka. Setelah proses eksisi

luka bakar dimulai, pemberian darah biasanya diperlukan 7

PERAWATAN LUKA BAKAR

Setelah keadaan umum membaik dan telah dilakukan resusitasi cairan

dilakukan perawatan luka. Perawatan tergantung pada karakteristik dan ukuran

dari luka. Tujuan dari semua perawatan luka bakar agar luka segera sembuh

rasa sakit yang minimal.Setelah luka dibersihkan dan di debridement, luka

ditutup. Penutupan luka ini memiliki beberapa fungsi: pertama dengan

penutupan luka akan melindungi luka dari kerusakan epitel dan meminimalkan

timbulnya koloni bakteri atau jamur. Kedua, luka harus benar-benar tertutup

untuk mencegah evaporasi pasien tidak hipotermi. Ketiga, penutupan luka

diusahakan semaksimal mungkin agar pasien merasa nyaman dan

meminimalkan timbulnya rasa sakit

Pilihan penutupan luka sesuai dengan derajat luka bakar.

1. Luka bakar derajat I, merupakan luka ringan dengan sedikit hilangnya

barier pertahanan kulit. Luka seperti ini tidak perlu di balut, cukup

dengan pemberian salep antibiotik untuk mengurangi rasa sakit dan

melembabkan kulit. Bila perlu dapat diberi NSAID (Ibuprofen,

Acetaminophen) untuk mengatasi rasa sakit dan pembengkakan

2. Luka bakar derajat II (superfisial ), perlu perawatan luka setiap harinya,

pertama-tama luka diolesi dengan salep antibiotik, kemudian dibalut

dengan perban katun dan dibalut lagi dengan perban elastik. Pilihan lain

luka dapat ditutup dengan penutup luka sementara yang terbuat dari

45

Page 46: presentasi kasus

bahan alami (Xenograft (pig skin) atau Allograft (homograft, cadaver

skin) ) atau bahan sintetis (opsite, biobrane, transcyte, integra)

3. Luka derajat II ( dalam ) dan luka derajat III, perlu dilakukan eksisi

awal dan cangkok kulit (early exicision and grafting ) 6,8

NUTRISI

Penderita luka bakar membutuhkan kuantitas dan kualitas yang berbeda

dari orang normal karena umumnya penderita luka bakar mengalami keadaan

hipermetabolik. Kondisi yang berpengaruh dan dapat memperberat kondisi

hipermetabolik yang ada adalah:

1. Umur, jenis kelamin, status gizi penderita, luas permukaan tubuh, massa

bebas lemak.

2. Riwayat penyakit sebelumnya seperti DM, penyakit hepar berat, penyakit

ginjal dan lain-lain.

3. Luas dan derajat luka bakar

4. Suhu dan kelembaban ruangan ( memepngaruhi kehilangan panas melalui

evaporasi)

5. Aktivitas fisik dan fisioterapi Penggantian balutan

6. Rasa sakit dan kecemasan

7. Penggunaan obat-obat tertentu dan pembedahan.

Dalam menentukan kebutuhan kalori basal pasien yang paling ideal

adalah dengan mengukur kebutuhan kalori secara langsung menggunakan

indirek kalorimetri karena alat ini telah memperhitungkan beberapa faktor

seperti BB, jenis kelamin, luas luka bakar, luas permukan tubuh dan adanya

infeksi. Untuk menghitung kebutuhan kalori total harus ditambahkan faktor

46

Page 47: presentasi kasus

stress sebesar 20-30%. Tapi alat ini jarang tersedia di rumah sakit.

Yang sering di rekomendasikan adalah perhitungan kebutuhan kalori

basal dengan formula HARRIS BENEDICK yang melibatkan faktor BB, TB

dan Umur. Sedangkan untuk kebutuhan kalori total perlu dilakukan modifikasi

formula dengan menambahkan faktor aktifitas fisik dan faktor stress.

Pria : 66,5 + (13,7 X BB) + (5 X TB) – (6.8 X U) X AF X FS

Wanita : 65,6 + (9,6 X BB) + (1,8 X TB)- (4,7 X U) X AF X FS

Perhitungan kebutuhan kalori pada penderita luka bakar perlu perhatian

khusus karena kurangnya asupan kalori akan berakibat penyembuhan luka

yang lama dan juga meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas. Disisi lain,

kelebihan asupan kalori dapat menyebabkan hiperglikemi, perlemakan hati.

Penatalaksanaan nutrisi pada luka bakar dapat dilakukan dengan

beberapa metode yaitu : oral, enteral dan parenteral.

Untuk menentukan waktu dimualinya pemberian nutrisi dini pada

penderita luka bakar, masih sangat bervariasi, dimulai sejak 4 jam pascatrauma

sampai dengan 48 jam pascatrauma.

EARLY EXICISION AND GRAFTING (E&G)

Dengan metode ini eschar di angkat secara operatif dan kemudian luka

ditutup dengan cangkok kulit (autograft atau allograft ), setelah terjadi

penyembuhan, graft akan terkelupas dengan sendirinya. E&G dilakukan 3-7

hari setelah terjadi luka, pada umumnya tiap harinya dilakukan eksisi 20% dari

luka bakar kemudian dilanjutkan pada hari berikutnya. Tapi ada juga ahli

bedah yang sekaligus melakukan eksisi pada seluruh luka bakar, tapi cara ini

memiliki resiko yang lebih besar yaitu : dapat terjadi hipotermi, atau terjadi

perdarahan masive akibat eksisi.

Metode ini mempunyai beberapa keuntungan dengan penutupan luka dini,

mencegah terjadinya infeksi pada luka bila dibiarkan terlalu lama,

47

Page 48: presentasi kasus

mempersingkat durasi sakit dan lama perawatan di rumah sakit, memperingan

biaya perawatan di rumah sakit, mencegah komplikasi seperti sepsis dan

mengurangi angka mortalitas. Beberapa penelitian membandingkan teknik

E&G dengan teknik konvensional, hasilnya tidak ada perbedaan dalam hal

kosmetik atau fungsi organ, bahkan lebih baik hasilnya bila dilakukan pada

luka bakar yang terdapat pada muka, tangan dan kaki.

Pada luka bakar yang luas (>80% TBSA), akan timbul kesulitan

mendapatkan donor kulit. Untuk itu telah dikembangkan metode baru yaitu

dengan kultur keratinocyte. Keratinocyte didapat dengan cara biopsi kulit dari

kulit pasien sendiri. Tapi kerugian dari metode ini adalah membuthkan waktu

yang cukup lama (2-3 minggu) sampai kulit (autograft) yang baru tumbuh dan

sering timbul luka parut. Metode ini juga sangat

mahal 6

ESCHAROTOMY

Luka bakar grade III yang melingkar pada ekstremitas dapat menyebabkan

iskemik distal yang progresif, terutama apabila terjadi edema saat resusitasi

cairan, dan saat adanya pengerutan keropeng. Iskemi dapat menyebabkan

gangguan vaskuler pada jari-jari tangan dan kaki. Tanda dini iskemi adalah

nyeri, kemudian kehilangan daya rasa sampai baal pada ujung-ujung distal.

Juga luka bakar menyeluruh pada bagian thorax atau abdomen dapat

menyebabkan gangguan respirasi, dan hal ini dapat dihilangkan dengan

escharotomy. Dilakukan insisi memanjang yang membuka keropeng sampai

penjepitan bebas 8

ANTIMIKROBA

Dengan terjadinya luka mengakibatkan hilangnya barier pertahanan

48

Page 49: presentasi kasus

kulit sehingga memudahkan timbulnya koloni bakteri atau jamur pada luka.

Bila jumlah kuman sudah mencapai 105 organisme jaringan, kuman tersebut

dapat menembus ke dalam jaringan yang lebih dalam kemudian menginvasi ke

pembuluh darah dan mengakibatkan infeksi sistemik yang dapat menyebabkan

kematian. Pemberian antimikroba ini dapat secara topikal atau sistemik.

Pemberian secara topikal dapat dalam bentuk salep atau cairan untuk

merendam. Contoh antibiotik yang sering dipakai:

Salep : Silver sulfadiazine, Mafenide acetate, Silver nitrate, Povidone-iodine,

Bacitracin (biasanya untuk luka bakar grade I), Neomycin, Polymiyxin B,

Nysatatin, mupirocin , Mebo.

MEBO/MEBT (Moist Exposed Burn Ointment / Therapy)

BROAD SPECTRUM OINTMENT

Preparat herbal, mengungakan zat alami

tanpa kimiawi Toxisitas dan efek samping

belum pernah ditemukan Terdiri dari :

1. Komponen Pengobatan :

beta sitosterol, bacailin, berberine Yang mempunyai efek :

Analgesik, anti-inflamasi, anti-infeksi pada luka bakar dan mampu

mengurangi pembentukan jaringan parut.

2. Komponen Nutrisi : amino acid, fatty acid dan amylose, yg

memberikan nutrisi untuk regenerasi dan perbaikan kulit yg

terbakar.

Efek pengobatan :

49

Page 50: presentasi kasus

Menghilangkan nyeri luka bakar

Mencegah perluasan nekrosis pada jaringan

yg terluka. Mengeluarkan jaringan nekrotik

dengan mencairkkannya

Membuat lingkungan lembab pada luka , yg dibutuhkan selama

perbaikan jaringan kulit tersisa.

Kontrol infeksi dengan membuat suasana yg jelek untuk pertumbuhan

kuman. bukan dengan membunuh kuman.

Merangsang pertumbuhan PRCs ( potential regenerative cell ) dan stem

cell untuk penyembuhan luka dan mengurangi terbentuknya jaringan

parut

Mengurangi kebutuhan untuk skin graft

Prinsip penanganan luka bakar dgn MEBO

• Makin cepat diberi MEBO , hasilnya lebih baik ( dalam 4-12 jam setelah

kejadian)

• Biarkan luka terbuka

• Kelembaban yg optimal pada luka dengan MEBO

• Pemberian salep harus teratur & terus menerus tiap6-12 jam dibersihkan

dengan kain kasa steril jangan dibiarkan kulit terbuka tanpa salep > 2-

3 menit untuk mencegah penguapan cairan di kulit dan microvascular

menyebabkan thrombosit merusak jaringan dibawahnya yang masih

vital.

• Pada pemberian jangan sampai kesakitan / berdarah, menimbulkan

50

Page 51: presentasi kasus

perlukaan pada jaringan hidup tersisa

• Luka jangan sampai maserasi maupun kering

• Tidak boleh menggunakan : desinfektan (apapun) , saline atau air untuk

Wound debridement

FLOWCHART DARI PENANGANAN LUKA

• EARLIER PERIOD ( 1 – 6 HARI ) Blister di pungsi , kulitnya dibiarkan

utuh. Beri MEBO pd luka setebal 0,5-1 mm. Ganti dan beri lagi MEBO

tiap 6 jam hari ke 3-5 kulit penutup bulla diangkat

• LIQUEFACTION PERIOD ( 6-15 HARI )

Angkat zat cair yg timbul diatas luka

Bersihkan dgn kasa , beri mebo lagi setebal 1 mm

• PREPARATIVE PERIOD ( 10-21 HARI ) Bersihkan luka seperti

sebelumnya

Beri MEBO dengan ketebalan 0,5 – 1 mm Ganti dan beri lagi MEBO tiap 6 - 8

jam

• REHABILITATION

Bersihkan luka yg sembuh dengan air hangat Beri MEBO 0,5 mm, 1X-2X /hari

Jangan cuci luka yg sudah sembuh berlebihan Lindungi luka yg sembuh dari

sinar matahari Catatan : 1. Untuk luka bakar grade 2 superficial :

Pada hari 6-15 : luka sembuh , mebo tetap diberi untuk 2 minggu

2X /hari

2. untuk luka bakar grade 2 deep / grade 3 : Pada hari ke 6 – 15 terjadi

pencairan jaringan necrotic

Cairan rendam : 0.5% silver nitrate, 5% mafenide acetate, 0.025% sodium

51

Page 52: presentasi kasus

hypochlorite, 0.25% acetic acid 6,8

KONTROL RASA SAKIT

Rasa sakit merupakan masalah yang signifikan untuk pasien yang

mengalami luka bakar untuk melalui masa pengobatan. Pada luka bakar yang

mengenai jaringan epidermis akan menghasilkan rasa sakit dan perasaan tidak

nyaman. Dengan tidak terdapatnya jaringan epidermis (jaringan pelindung

kulit), ujung saraf bebas akan lebih mudah tersensitasi oleh rangsangan. Pada

luka bakar derajat II yang dirasakan paling nyeri, sedangkan luka bakar derajat

III atau IV yang lebih dalam, sudah tidak dirasakan nyeri atau hanya sedikit

sekali. Saat timbul rasa nyeri terjadi peningkatan katekolamin yang

mengakibatkan peningkatan denyut nadi, tekanan darah dan respirasi,

penurunan saturasi oksigen, tangan menjadi berkeringat, flush pada wajah dan

dilatasi pupil.

Pasien akan mengalami nyeri terutama saat ganti balut, prosedur operasi,

atau saat terapi rehabilitasi. Dalam kontrol rasa sakit digunakan terapi

farmakologi dan non farmakologi. Terapi farmakologi yang digunakan

biasanya dari golongan opioid dan NSAID. Preparat anestesi seperti ketamin,

N2O (nitrous oxide) digunakan pada prosedur yang dirasakan sangat sakit

seperti saat ganti balut. Dapat juga digunakan obat psikotropik sepeti

anxiolitik, tranquilizer dan anti depresan. Penggunaan benzodiazepin dbersama

opioid dapat menyebabkan ketergantungan dan mengurangi efek dari opioid. 8

PERMASALAHAN PASCA LUKA BAKAR

Setelah sembuh dari luka, masalah berikutnya adalah jaringan parut yang

dapat berkembang menjadi cacat berat. Kontraktur kulit dapat mengganggu

fungsi dan menyebabkan kekakuan sendi atau menimbulkan cacat estetik yang

buruk sekali sehingga diperlukan juga ahli ilmu jiwa untuk mengembalikan

52

Page 53: presentasi kasus

kepercayaan diri.

Permasalahan-permasalahan yang ditakuti pada luka bakar:Infeksi dan

sepsis Oliguria dan anuria Oedem paru ,ARDS (Adult Respiratory Distress

Syndrome ) Anemia, Kontraktur Kematian 7

BAB III

ANALISIS KASUS

Pasien rujukan dari Puskesmas Karangpandan datang ke IGD RSDM

dengan keluhan luka bakar yang dirasakan pasien sejak 11 jam SMRS. Pasien

merasakan luka bakar di wajah, tangan kanan bagian atas dan di kedua kaki

pasien. Luka bakar didapatkan dari tabung gas elpiji bocor dan menyambar api

terkena pada pasien dan disiram oleh keluarga. Setelah itu pasien di bawa ke

Puskesmas Karangpandan, Karanganyar.

Dari anamnesis dapat diketahui bahwa pasien mengalami combustio

api. Derajat luka bakar dilihat dari kulit yang kemerahan dan terdapat bula.

Sehingga dapat disimpulkan pasien mengalami luka bakar grade II. Luas luka

bakar dihitung menggunakan rules of nine, menghasilkan angka 22%.

Pasien dipuasakan sebelum dilakukan pembiusan karena pasien harus

dalam keadaan gaster yang kosong agar tidak terjadi aspirasi saat muntah (bila

terjadi) karena efek samping obat-obat anestesi. Injeksi ranitidin diberikan

untuk mencegah pengeluaran asam lambung. Bila asam lambung diproduksi

53

Page 54: presentasi kasus

dan mengalami muntah dapat menyebabkan pneumonitis asam bila sampai

aspirasi.

Pasien akan dilakukan medikasi dan debridement di ruang OK

menggunakan anestesi general dengan pertimbangan pasien merupakan

pediatri yang kurang kooperatif, luka bakar yang cukup luas sehingga

memerlukan GA, kemungkinan durasi operasi yang lama sehingga dilakukan

GA.

Resusitasi cairan sangat penting pada kasus combustio karena

pengeluaran cairan yang lebih banyak dibandingkan dengan anak tanpa luka

bakar. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi pada luka.

Ceftriakson dipilih dengan alasan empiris.

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Benjamin C. Wedro. First Aid for Burns. http://www.medicinenet.com.

Calvey TN, Williams NE., 1982. Principles and practice of pharmacology for

anaesthetists. London; Blackwell Scientific Publications; 159-84.

Campbell., 1995. Anesthesia. Blackwell scientific publication.

Chandra, F.A., 2012. Perbandingan Efek Akupunktur pada Titik Pericardium 6

(PC6) dengan Ondansetron 4mg Intravena untuk Mencegah Mual

Muntah Paska Operasi Pada Pasien yang Dilakukan Anestesi Umum

Intubasi dengan Skor APFEL 3-4. Tesis akhir penelitian Medan.

David, S. 2008. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka. Dalam :

Surabaya Plastic Surgery. http://surabayaplasticsurgery.blogspot.com

54

Page 55: presentasi kasus

E.B.C, et al., 2008. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC.

Fendrick, A.M., Pan, D.E., and Johnson, G.E., 2008. OTC Analgesics and Drug

Interactions: Clinical Implications. Osteopathic Medicine and Primary

Care 2 (2).

Gan TJ., 2006. Risk Factors for Postoperative Nausea and Vomiting. Anesth

Analg; 102:1884 – 98. Grace, P. A., Borley, N. R., 2006. At a glance:

ilmu bedah. Ed. 3.

Gan TJ., 2003. Evidence-based management of postoperative nausea and

vomiting. Can J Anesth; 50:6.

Gerard M Doherty. Current Surgical Diagnosis and Treatment. Edisi 12.

McGraw-Hill Companies. New York. p 245-259

Honkavaara, P., 1995. Effect of ondansetron on nausea and vomiting after

middle ear surgery during general anaesthesia. British Journal 76: 316-8.

Ho, K.Y., Chiu, J.W., 2005. Mutltimodal antiemeyic therapy and emetic risk

profiling. Ann Acad Med Singapore 34: 196 – 205. J, N, M., 2006.

Medical Pharmacology at a Glance. 5th edition. Erlangga Medical Series.

James H. Holmes., David M. heimbach. 2005. Burns, in : Schwartz’s Principles

of Surgery. 18th ed. McGraw-Hill. New York. p.189-216

James M Becker. Essentials of Surgery. Edisi 1. Saunders Elsevier.

Philadelphia. p 118-129

Jerome FX Naradzay. http: // www. emedicine. com/ med/ Burns, Thermal.

55

Page 56: presentasi kasus

Kee, J.L., Hayes, E.R., 1996. Pendekatan Proses Keperawatan. EGC. Kovac,

A. L. 2003. Prevention and Treatment of Postoperative Nausea.

MedicineAbstrack, pp : 1-2.

Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR., 2007. Pelumpuh Otot. Petunjuk Praktis

Anestesiologi. Edisi 2. Jakarta; Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 3: 66-70.

Lunn JN., 2004. Farmakologi Terapan Anestesi Umum. Catatan Kuliah

Anestesi. Edisi 4. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC; 4: 86-93.

Latief, S,A, Surjadi K, Dachlan R., 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi

Pertama. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. h 41 – 9.

Maddali MM, Mathew J, Fahr J, Zarroug AW., 2003. Postoperative nausea

and vomiting in diagnostic gynaecological laparoscopic procedures:

Comparison of the efficacy of the combination of dexamethasone and

metoclopramide with that of dexamethasone and ondansetron. J Postgrad

Med 49:302–6.

Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An., 2010. Buku Ajar Ilmu

Anestesi dan Reanimasi. Jakarta: PT. Indeks.

Mayo clinic staff. Burns First Aids. http: // www.nlm.nih.gov/medlineplus .

Munaf, S., 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang: EGC.

Morgan Jr GE, Mikhail MS, Murray Mj., 2006. Clinical Anesthesiology. 4th

ed. New York: Mcgraw-Hill Companies.

Mohamed H. Rahman, Jane Beattie., 2004. Post Operative Nausea and

56

Page 57: presentasi kasus

Vomiting. The Pharmaceutical Journal. 273 : 786-8.

Nainggolan, I.B., 2011. Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi

Anestesi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Tesis

Akhir Penelitian. Medan.

Nisita, K., 2010. Perbandingan Efektifitas Ondansetron dan Metoklopramid

dalam Menekan Mual dan Muntah Paska Laparatomi. Skripsi. Surakarta

Notoatmodjo, S., 2010. Metodelogi Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC.

Oxford University Press, 2011., Concise Medical Dictionary. 9th ed. UK:

Market House Books Ltd.

Rang, H.P., Dale, M.M., Ritter, J.M., and Moore, P.K., 2007. Pharmacology.

5th ed. UK: Churchill Livingstone.

Rachmat, L., Sunatrio S., 2004. Obat pelumpuh otot. Anestesiologi. Bagian

Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta; 15: 81-86.

Sabiston, D.C., 2005. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC.

Saeeda I, Jain PN., 2004. Post operative nausea and vomiting (PONV) : a

review article. Indian J Anaesth;48(4):253–8.

Siregar, D., 2011. Perbandingan Kombinasi Ondansetron 2mg IV Dengan

Deksametason 4mg IV Dan Ondansetron 4 mg IV Dengan Deksametason

4mg IV Sebagai Profilaksis Pada Pasien Resiko Tinggi Mual Muntah

Setelah Operasi Yang Menjalani Tindakan Operasi Dengan Anestesi

57

Page 58: presentasi kasus

Umum Intubasi. Tesis akhir penelitian. Medan.

St. John Ambulance. First aid: First on the Scene: Activity Book, Chapter 19

Suleman, A., 2006. Tinjauan Farmakologis Obat-Obat Analgesik Untuk Rasa

Nyeri. Dalam: Hasan, W., (eds). 2006. Info Kesehatan Masyarakat.

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan: 90-

97.

Staff pengajar departemen farmakologi FK UNSRI., 2008. Kumpulan kuliah

farmakologi. Edisi 2. Palembang: EGC

Soenarjo., 2004. Peranan Anestesi dan Pengelolaan Raluat lntensif dalam

Hubungan dengan Kualitas Hidup. Semarang. Available from:

http://eprints.undip.ac.id/298/1/Soenarjo.pdf [Accesed: 21 April 2013].

Wallenborn J, Gelbrich G, Bulst D., 2006. Prevention of postoperative nausea

and vomiting by metoclopramide combined with dexamethasone:

randomized double blind multicenter trial. BMJ.;1 – 6.

Wahyuni, A., 2008. Statistika Kedokteran. Jakarta Timur: Bamboedoea

Communication.

Wim de Jong. 2005. Bab 3 : Luka, Luka Bakar : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi

2. EGC. Jakarta. p 66-88

Zainumi C.M., 2009. Perbandingan antara skor APFEL dengan skor

Koivuranta terhadap prediksi terjadinya post operative nausea and

vomiting pada anestesi umum. Tesis akhir penelitian Medan.

58