PRAKTIK JUAL BELI MUSIMAN (StudiKasus di ...e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5015/1/SKRIPSI...
Transcript of PRAKTIK JUAL BELI MUSIMAN (StudiKasus di ...e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5015/1/SKRIPSI...
1
PRAKTIK JUAL BELI MUSIMAN
(StudiKasus di DesaKecandranKecamatanSidomukti Kota
Salatiga)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
FERI FIRDAUS
NIM. 214-13-017
PROGAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2018
2
3
4
5
MOTTO
Ridhollah Fi RidholWalidain
Ridho Allah terletakpadaRidhokedua orang tua
6
PERSEMBAHAN
Alhamdulilah puji syukur kepada Allah SWT dengan izin-Nya
Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini penulis
persembahkan untuk orang-orang yang mendukung penulis dalam
menuntut ilmu.
1. Bapak Muhammad Nasori dan ibu Khotijah yang saya hormati dan
saya cintai yang telah bersusaha payah menuntun perjalanan kaki
saya agar tetap berada pada jalan yang di ridhoi Allah SWT.
2. Kakek H. Muhammad ImrondanHj. Rukanah yang
telahmemberikando’adandukungankepadapenulis
3. Keluarga besar H. RusmandanAlmHj. Khuzaemah yang telah
memberikan do’a, dukungan moral maupun material.
4. Ketigaadiksaya yang sayasayangi Faisal Ikhsani,
NajihaNisaRizkia, dan Muhammad Rizkiputra.
5. Kakak-kakaksepupusayaFakhriyandanSukriNiami yang
selalumemberikanarahan, motivasidandukungankepadapenulis.
6. Sahabat-sahabat tercinta saya NurlailatulMaghfiroh,
AnidaKUmalasari, NurulAzizah, IlhamIndrawan, Diana wulansari,
IntanFadlilah, MaulinaHandayani
7. Pak Inam dan bu Inung yang selalu menjadi motifasi buat hidup
saya.
8. Kawan-kawan Hukum Ekonomi Syari’ah 2013 IAIN Salatiga.
7
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penyusun dalam mengarungi
proses pembelajaran akademik di jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas
Syariah IAIN Salatiga.
Sholawat serta salam mudah-mudahan dilimpahkan kepada khotamul
anbiya, Nabi Muhammad SAW, yang telah menyelamatkan ummat manusia dari
gelap kejahiliyaan kepada cahaya illahiyah yang terang benderang yang penuh
ilmu pengetahuan.
Dalam penyelesaian penyusunan skripsiini, yang berjudul “Praktik Jual
Beli Musiman (Studi Kasus di Desa Kecandran Kecamatan Sidomukti Kota
Salatiga)” sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata 1
dalam Hukum Ekonomi Syariah, pada Fakultas Syariah Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga, tentunya tidak terlepas bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, hingga akhirnya
skribsi ini dapat terselesaikan dengan segala kekurangannya. Karenannya patutlah
penyusun mengucapkan terimakasih kepada mereka yang telah membantu, baik
secara langsung maupun tidak langsung, terutama kepada:
8
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri
Salatiga.
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah Institut Agama
Islam Negeri Salatiga.
3. Bapak Dr. Ilya Muhsin, S.H.I., M.Si., selaku Wakil Dekan Fakultas Syariah.
4. Ibu Evi Ariyani, M.H selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syariah.
5. Bapak Moh. Khusen, M.Ag., M.A., selaku dosen pembimbing akademik.
6. Bapak Sukron Ma‟mun,S.HI,M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah dengan ikhlas mencurahkan pikiran dan tenagannya serta pengorbanan
waktunya dalam membimbing penulis skripsi ini.
7. Bapak ibu dosen serta karyawan Institut Agama Islam Negeri Salatigayang
telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Para Narasumber di Desa Kecandran yang telah memberikan informasi kepada
penulis yang tidak bisa penulis sebut satu persatu.
9. Ayahanda Muhammad Nasori dan Ibunda Khotijah yang telah mendoakan dan
memberikan dukungan dalam menyelesaikan studi di Institut Agama Islam
Negeri Salatiga dan penyusunan skripsi dengan penuh kasih sayang dan
kesabaran.
10. Teman-teman Jurusan S1 Hukum Ekonomi Syariah angkatan2013 di Institut
Agama Islam Negeri Salatiga.
Kepada mereka semua penulis tidak dapat memberikan balasan apapun.
9
Penyusun menyadari skripsi ini jauh dari sempurna. Maka dari itu kritik
dan saran dari pembaca sangat di harapkan dalam rangka perbaikan dan
penyempurnaan karya ilmiyah ini. Penyusun berharap skripsi ini bermanfaat
khususnya bagi peyusun dan para pembaca pada umumnya.atas bantuan yang
diberikan kepada penyusu, semoga Allah SWT memberikan balasan yang layak,
Amin
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 14 Maret 2018
Penulis
FERI FIRDAUS
NIM. 214 13 017
10
ABSTRAK
Firdaus, Feri 2018. “Praktik Jual Beli Musiman (Studi Kasus di desa Kecandran
Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga). Skripsi Fakultas Syari‟ah.
Jurusan Hukum Ekonimu Syari‟ah. Institut Agama Islan Negeri
(IAIN) Salatiga. Pembimbing Sukron Ma‟mun, S.HI,M.Si.
Kata Kunci: Praktik, jual beli, musiman.
Jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar barang dengan barang atau
uang dengan barang. Jual beli dikatakan sah atau tidaknya tergantung dari
terpenuhinya rukun-rukun dan syarat akad. Jualbeli yang dilakukan di Desa
Kecandran adalah jual beli musiman. Jual beli ini dilakukan karena faktor
ekonomi dan kebutuhan mendesak. Sebagaimana yang terjadi dalam praktik jual
beli musiman bahwa buah kelengkeng, duku dan durian yang dibeli belum jelas
atau belum kelihatan wujudnya. Melihat permasalahan tersebut penulis
merumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah praktik jual beli musiman di
Desa Kecandran? Bagaimanakah menurut perpsektif Hukum Islam tentang praktik
jual beli musiman di DesaKecandran?
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yang
meggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat diskriptif metode yang dipakai
menggunakan pendekatan normative sosiologis yang dikaitkan dengan Hukum
Islam. Kemudian ditarik sebuah kesimpulan akhir mengenai praktik jual beli
musiman.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pelaksanaan jual beli musiman di
Kecandran awal mulanya karena factor ekonomi dan sistemnya satu pohon
kelengkeng dibayar lima musim sekali, pohon duku dibayar tiga musim sekali dan
durian satu tahun sekali. Apabila buah kelengkeng setiap satu musim gagal panen
maka akan digantikan musim berikutnya. Kalau buah duku apabila gagal panen
juga yang memanen adalah pemilik pohon tetapi cuma digantikan selama satu
musim saja. Berbeda lagi dengan durian tidak akan mendapatkan ganti rugi dari
pemilik pohon atau penjual. Mengenai pelaksanaan jual beli musiman di Desa
Kecandran dalam pandangan Hukum Islam terdapat sifat gharar karena terdapat
ketidakjelasan suatu barang yang belum terlihat tetapi sudah dilakukan
pembayaran diawal.
11
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
LEMBAR BERLOGO ............................................................................... ii
NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................. iii
PENGESAHAN ......................................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN.................................................. v
MOTTO...................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN ...................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ............................................................................... viii
ABSTRAK ................................................................................................. xi
DAFTAR ISI .............................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
Rumusan Masalah ......................................................................... 4
Tujuan Penelitian ........................................................................... 4
Tinjauan Pustaka ............................................................................ 5
Manfaat Penelitian ......................................................................... 6
Metode Penelitian .......................................................................... 7
Sistematika Penulisan .................................................................... 12
BAB II TEORI JUAL BELI DALAM ISLAM
Pengertian Jual Beli........................................................................ 14
Macam-macam Jual Beli ................................................................ 17
Dasar Hukum Kebolehan Jual Beli ................................................ 19
Rukun dan Syarat Jual Beli ............................................................ 22
Khiyar dalam Jual Beli ................................................................... 27
Pengertian Gharar dan Dasar Hukum............................................ 30
Macam-macam Gharar .................................................................. 31
12
Haramnya Gharar dalam Jua Beli ................................................. 33
Jual beli Buah-buahan .................................................................... 34
BAB III DESA KECANDRAN DAN TRADISI JUAL BELI MUSIMAN
Profil Desa Kecandran ................................................................... 37
LetakGeografis ............................................................................... 38
Demografi ...................................................................................... 45
Kondisi Sosiologis dan Kultural masyarakat Kecandran ............... 48
Potensi pertanian dan perkebunan di Kecandran ........................... 50
BAB IV PRAKTIK JUAL BELI MUSIMAN DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM
Praktik Jual Beli Musiman ............................................................. 53
Perspektif Hukum Islam Tentang Praktik Jual Beli Musiman ....... 58
BAB V PENUTUP
Kesimpulan ................................................................................... 66
Saran-saran .................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
13
DAFTAR LAMPIRAN
A. Biografi Penulis
B. Nota Pembimbing Skripsi
C. Surat Permohonan Izin Penelitian
D. Lembar Konsultasi
E. Surat Keterangan Kegiatan
F. Surat Keterangan Lulus Ujian Komprehensif
G. Surat Rekomendasi Penelitian
14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk Allah yang paling sempurna karena
manusia diberikan kelebihan akal untuk berfikir dan menjalankan
kehidupannya. Dengan kelebihan tersebut, manusia harus bisa
membedakan yang baik dan yang buruk, yang halal dan yang haram dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan manusia yang perlu
pemilahan untuk dijalani atau di tinggalkan.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak lepas dari berbagai
kebutuhan untuk kelangsungan hidupnya, untuk memenuhi kebutuhan
tersebut manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat memenuhi
kebutuhanya sendiri atau dengan kata lain manusia harus bekerjasama
dengan manusia lainya, misalnya dalam hal tukar-menukar barang dengan
jual beli, atau sewa-menyewa atau hutang-piutang dan lain-lain.
Ketergantungan antar manusia ini membuat manusia hidup secara
berkumpul atau berdekatan agar saling melengkapi antara satu dengan
lainya. Kerjasama dengan sesama adalah dianjurkan menurut Islam. Setiap
muslim dianjurkan bekerja apapun selama pekerjaan tersebut tidak
bertentangan dengan syari‟at Islam.
Masalah sosial yang sering timbul dan mengakibatkan perselisihan
antar manusia adalah karena tidak dijalankannya undang-undang syariat
yang telah ditetapkan oleh Allah dalam hal muamalah, termasuk jual beli
15
yang merupakan pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan
milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (Pasaribu, 1996: 33). Berbagai
aturan telah dijelaskan dalam Islam seperti aturan dalam jual beli.
Perkataan jual beli sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu “jual dan
beli”. Sebenarnya kata “jual” dan “beli” mempunyai arti yang satu sama
lainya bertolak belakang. Kata jual menunjukan bahwa adanya perbuatan
menjual, sedangkan beli adalah adanya perbuatan membeli. Dengan
demikian perkataan jual beli menunjukan adanya dua perbuatan dalam
satu peristiwa, yaitu satu pihak menjual dan di pihak yang lain membeli,
maka dalam hal ini terjadilah peristiwa hukum jual beli. Seperti yang ada
pada Al-Quran Surat Al-Baqarah 275 yang membahas tentang jual beli.
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Dalam kegiatan masyarakat, khususnya di Desa Kecandran
terdapat transaksi jual beli yakni hasil panen buah seperti kelengkeng,
duku dan durian yang disebut jual beli musiman. Dimana dalam transaksi
jual beli ini, jika ada warga yang membutuhkan uang serta dalam keadaan
yang sangat mendesak dan dia menjual hasil panen buah kelengkeng, duku
dan durian kepada orang lain dengan cara musiman.
Menurut pengamatan sementara di Desa Kecandran, dari segi
kegiatan jual beli hasil panen buah kelengkeng, duku dan durian yaitu
dimana pihak penjual menjual hasil panenya kepada pihak pembeli
dengan kesepakatan untuk beberapa musim panen, yaitu tiga kali musim
16
untuk duku, lima kali musim panen untuk buah kelengkeng. Kesepakatan
yang kedua yaitu jika hasil panen buah kelengkeng, duku, durian baik
maka hasil panen tersebut dimiliki oleh si pembeli, dan apabila hasil panen
buah kelengkeng, duku tersebut tidak baik maka hasil panen tersebut
dimiliki oleh si penjual. Tetapi untuk buah durian ketika gagal panen tidak
mendapatkan ganti dimusim berikutnya karena pembelianya setiap satu
musim sekali. Jika sudah sampai lima kali musim panen dengan hasil
panen yang baik maka hasil panen pohon kelengkeng tersebut akan
kembali lagi pada pihak penjual. Untuk buah duku tiga kali musim apabila
ada musim gagal panen maka digantikan satu kali musim kedepan. Tetapi
untuk buah durian ketika gagal panen tidak mendapatkan ganti dimusim
berikutnya karena pembelianya setiap satu musim sekali. Disini penjual
dan pembeli merupakan orang Islam. Sedangkan dalam jual beli hasil
panen buah kelengkeng, duku dan durian ini, terdapat suatu hal yang
meragukan bila di lihat dari norma Hukum Islam. Seperti pemilik pohon
yang menjual hasil panen dengan kesepakatan bahwa hasil panen buah
kelengkeng, duku dan durian tersebut nantinya akan kembali lagi kepada
penjual setelah selesai.
Syarat dalam jual beli sangatlah banyak, dalam melaksanakan jual
beli membutuhkan syarat-syarat untuk melakukan jual beli. Jual beli yang
dilakukan yaitu harus terhindar dari gharar. Gharar yaitu jual beli yang
barangnya tidak bisa diketahui keadaanya, seperti binatang yang masih
dalam kandungan, ikan di air yang menggenang, daging sebelum di
17
sembelih dan lain-lain. Gharar disini dijelaskan yang wujudnya belum
dipastikan diantara ada dan tiada, tidak diketahui kualitasnya dan
kuantitasnya atau sesuatu yang tidak bisa di serahterimakan(Djuwaini,
2002: 85). Dalam praktik jual beli yang saya teliti disini yaitu buah
kelengkeng, duku dan durian yang dibeli belum jelas atau belum kelihatan
wujudnya. Jual beli gharar itu merupakan jual beli yang dilarang jadi tidak
ada alasan bagi kita untuk melakukan jual beli yang seperti ini.
Fenomena tersebut mendorong penulis untuk meneliti lebih lanjut
dan membahas bagaimana praktik transaksi jual beli buah kelengkeng,
duku dan durian musiman tersebut menurut pandangan tokoh agama di
Desa Kecandran, kemudian ditinjau dalam Hukum Islam. Sehingga
penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam sebuah skripsi yang
berjudul: PRAKTIK JUAL BELI MUSIMAN (Studi kasus di Desa
Kecandran Kecamatan Sidomukti Salatiga).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah praktik jual beli musiman di desa Kecandran?
2. Bagaimanakah menurut perspektif Hukum Islam tentang praktik jual
beli musiman?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui bagaimana praktik jual beli musiman di desa Kecandran.
2. Mengetahui bagaimana menurut perspektif Hukum Islam tentang
praktik jual beli musiman di desa Kecandran.
18
D. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka pada dasarnya adalah untuk menentukan apa
yang telah diteliti orang lain yang berhubungan dengan topik yang akan
dilakukan peneliti. Penelitian ini menganalisis tentang “Praktik Jual Beli
Musiman (Studi Kasus di Desa Kecandran Kecamatan Sidomukti Kota
Salatiga)”. Beberapa penelitian terdahulu yang menjadi acuan dan
perbandingan peneliti yaitu sebgai berikut:
Pertama, skripsi yang ditulis oleh Tsamrotul Fikriyyah (2008) UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam
terhadap kontrak pohon mangga di Desa Pawidean Kecamatan Jatibarang
Kabupaten Indramayu” skripsi tersebut membahas tentang sewa pohon
mangga menggunakan sistem musiman seperti satu musim atau dua
musim, ada juga yang menggunakan sistem tahunan. Pohon mangga yang
disewakan itu oleh penyewa untuk diambil buahnya, sebagai hasil atau
kemanfaatan barang yang disewakan. Hal ini sudah m enjadi kebiaasan di
kalangan masyarakat, karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
(http://digilib.iun-suka.ac.id/1470 diakses pada tanggal 17 Januari 2018).
Kedua, skripsi yang ditulis oleh Farida Khiftiyani Ifda (2016)
STAIN Ponorogo yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap jual beli
sawah tahunan di Desa Ngabar Kecamatan Siman Kabupaten Ponorogo”
skripsi tersebut membahas tentang sewa menyewa sebidang tanah kepada
pembeli tetapi akad yang digunakan adalah akad jual beli .Dimana pihak
penjual menyewakan sebidang tanah kepada pembeli dalam batas atau
19
waktu tertentu (http://etheses.iainponorogo.ac.id/1940 diakses pada
tanggal 17 Januari 2018).
Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Mantoro Adi (2014) STAIN
Ponorogo yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap jual beli buah
jambu alpukat musiman (Studi kasus di Desa Kota Batu Kecamatan
Warkuk Ranau Selatan Sumatra Selatan). Skripsi ini membahas mengenai
penetapan harga dalam jual beli buah jambu alpukat. Cara yang pertama
sudah memenuhi rukun dan syarat dalam jual beli dengan demikian sesuai
dengan Hukum Islam dimana ada kesepakatan yang menunjukan kerelaan
kedua belah pihak dengan adanya suatu paksaan. Cara kedua tidak
memenuhi rukun dan syarat dalam jual beli dengan demikian tidak sah dan
tidak sesuai dengan Hukum Islam. Mengenai penetapan harga jual beli
buah jambu alpukat musiman tidak bertentangan dengan Hukum Islam
karena secara „urf (termasuk „urf‟amm) kebiasaan yang sudah berlaku
turun temurun dan terjadi sampai sekarang diseluruh Kecamatan Warkuk
Ranau Selatan (http://etheses.iainponorogo.ac.id/145 diakses pada tanggal
17 Januari 2018).
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan kepada masyarakat guna menjelaskan dan
memberi sekumpulan data tentang praktik jual beli musiman. Dan juga
penelitian ini mempunyai hal-hal yang positif dan bermanfaat. Setelah
mendapatkan data-data sebagai alternatif untuk mencari informasi teori
yang benar dalam transaksi jual beli musiman.
20
1. Bagi Akademik
a. Menambah wawasan dan pengetahuan pada penulis yang
ingin mendalami permasalahan ini.
b. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi seluruh civitas
akademik sebagai bahan informasi dan rujukan bagi
mereka yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut.
2. Bagi Praktisi
a. Dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menjalankan
sistem jual beli yang baik dan sesuai syari‟at Islam.
b. Dapat dijadikan referensi bagi masyarakat sebelum
melakukan perjanjian jual beli.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
a. Pendekatan
a) Pendekatan Hukum Normatif
Menurut Soekanto (2010) Hukum Normatif yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar
untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran
terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
b) Pendekatan Sosiologis
21
Pendekatan sosiologis yaitu pendekatan yang dasar
tujuannya adalah permasalahan-permasalahan yang ada
dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan masalah,
faktor, praktik jual beli, maka pendekatan ini digunakan
untuk mengetahui realitas yang ada di masyarakat.
b. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
lapangan (fieldresearch) dianggap sebagai pendekatan luas
dalam penelitian kualitatif sebagai metode untuk
pengumpulan data kualitatif. Penelitian Kualitatif adalah
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subyek peneliti misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik,
dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong,
2011: 6). Penelitian ini adalah Studi kasus seperti yang
telah diterangkan di atas bahwasanya penulis akan
melaksakan observasi dan wawancara langsung pada objek
kajian sehingga penelitin berada pada lapangan bersama
narasumber yang ada. Adapaun lokasi penelitian yaitu
berada di Desa Kecandran Kec. Sidomukti Kota. Salatiga.
22
Peneliti akan menggali permasalahan dan mempelajari
praktik jual beli musiman yang sudah terjadi di Desa
Kecandran, Salatiga.
2. Lokasi Penelitian dan Subyek Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Desa Kecandaran Kecamatan
Sidomukti Kota Salatiga dengan subyek penelitian praktik jual beli
musiman yang telah terjadi di Desa Kecandran Kecamatan
Sidomukti Kota Salatiga. Lokasi ini dipilih oleh peneliti karena :
1. Akademis
Karena sistem jual beli ini sangat langka ditemukan di
Desa-desa lainnya.
2. Praktis
Karena di Desa ini sudah ada jual beli seperti ini
lokasinya dekat dan mudah dijangkau.
3. Kebutuhan dan Sumber Data Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui praktik jual beli
musiman yang telah terjadi di desa kecandran kecamatan sidomukti
kota salatiga. Sumber data penelitian adalah sumber dari mana data
dapat diperolehm (Moleong, 2000: 144). Sumber data yang
penulis gunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh dari peneliti
dari sumber asli (langsung dari informan) yang memiliki
23
informasi atau data tersebut (Idrus, 2009: 86). Jadi sumber
data primer yang didapat dari peneliti ini adalah wawancara
langsung antara penjual dengan pembeli di Desa Kecandran
Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber
kedua (bukan orang pertama,bukan asli) yang memiliki
informasi atau data tersebut. Jadi sumber data lain yang
bisa mendukung penelitian ini adalah dengan telaah pustaka
seperti buku-buku, jurnal ataupun hasil penelitian
sebelumnya yang meneliti hal yang serupa.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi (pengamatan)
Observasi atau pengamatan merupakan aktivitas pencatatan
fenomena yang dilakukan secara sistematis (Idrus, 2009:
101). Observasi yang dilakukan penulis ini untuk
mendapatkan data tentang bagaimana praktik jual beli buah
kelengkeng secara musiman ini.
b. Wawancara
Merupakan tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau
lebih berhadapan secara langsung dalam interview ada dua
24
pihak yang menempati kedudukan yang berbeda. Satu
pihak sebagai perncari informasi atau interviewer
sedangkan pihak lain berfungsi sebagai informan atau
responden (Romy, 1990: 71). Dalam penelitian ini penulis
melakukan tanya jawab langsung kepada pihak yang
bersangkutan antara penjual dan pembeli yang melakukan
praktik jual beli musiman, sebagai pelaku sosial yang
mengetahui dan mendapatkan informasi sebanyak-
banyaknya sesuai dengan rumusan masalah.
5. Analisis Data
Analisi data dalam penelitian ini menggunakan metode
deskriptif analisis. Analisi data yang dapat digunakan adalah data
primer dan sekunder, dengan menggunakan pola pikir deduktif
yang menganalisis sistem jual beli menurut Hukum Islam. Setelah
pengumpulan data terkumpul kemudian data tersebut dianalisis
seperlunya agar diperoleh data yang matang dan akurat. Untuk
menganalisisnya, data-data yang diperoleh kemudian direkduksi,
dikategorikan dan selanjutnya disentisasi atau disimpulkan
(Moloeng, 2011: 288).
6. Pengecekan Keabsahan Data
Dalam penelitian ini teknik keabsahan data yang digunakan
yaitu triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan
25
data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk
keperluan pengecekan atau sebagai suatu pembanding terhadap
data itu (Moloeng, 2002: 178).
Berdasarkan pendapat moloeng diatas, maka penulis
melakukan perbandingan data yang telah diperoleh. Yaitu data-data
primer yang diperoleh dari observasi dan wawancara yang sesuai
fakta-fakta yang ditemui di lapangan, sehingga kebenaran dari data
yang diperoleh dapat dipercaya dan meyakinkan untuk diambil
sebuah kesimpulan.
G. Sistematika Penelitian
Agar diperoleh penelitian yang sistematis, terarah serta mudah
dipahami dan dapat dimengerti oleh para pembaca pada umumnya, maka
peneliti akan menyajikan karya ilmiah ini kedalam bentuk sistematika
penelitian yang terdiri dari lima bab yaitu sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan dalam bab ini berisi mengenai Latar
Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian,Tinjauan
Pustaka, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Sistematika Penelitian.
BAB II: Dalam bab ini peneliti akan menjelaskan tentang jual beli
menurut perspektif hukum Islam, diantaranya pengertian jual beli, dasar
hukum jual beli, syarat dan rukun jual beli, khiyar dalam jual beli,
pengertian gharar dan dasar Hukum, jual beli buah-buahan dan hal-hal
lain yang bersangkutan dengan jual beli.
26
BAB III : Berisi tentang gambaran umum objek penelitian lokasi
penelitian di Desa Kecandran Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga.
BAB IV : Berisi tentang praktik jual beli musiman di Desa
Kecandran Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga dan perspektif Hukum
Islam terhadap praktek jual beli musiman di Desa Kecandran Kecamatan
Sidomukti Kota Salatiga.
BAB V : Berisi kesimpulan dan saran. Bab ini merupakan akhir
dari penulisan skripsi. Dalam bab ini mengemukakan keseluruhan kajian
yang merupakan jawaban dari permasalahan dan juga dikemukakan
tentang saran-saran, penutup sebagai rangkaian dari penutup.
27
BAB II
TEORI JUAL BELI DALAM ISLAM
A. Pengertian Jual Beli
Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-Bai‟, al-
Tijarah dan al-Mubadalah, sebagaimana Allah SWT berfirman:
Artinya :“mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan
merugi”.(Q.S. Faathir.29).
Perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1457-pasal 1540 BW. Pasal
tersebut untuk masa sekarang ini tentu saja tidak cukup untuk mengatur
segala bentuk atau jenis perjanjian jual beli yang ada dalam masyarakat,
akan tetapi cukup untuk mengatur tentang dasar-dasar perjanjian jual beli.
Dalam pasal 1457 BW diatur tentang pengertian jual beli. Perjanjian jual
beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk menyerahkan suatu benda dan pihak lain untuk membayar
harga yang telah dijanjikan (Miru, 2012: 134).
Muamalat ialah tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi
manfaat dengan cara yang ditentukan seperti jual beli, sewa-menyewa,
upah-mengupah, pinjam meminjam urusan bercocok tanam, berserikat,
dan usaha lainya (Rasjid, 2014: 278).
Menurut luqhawinya “jual beli” itu artinya saling menukar
(pertukaran). Menurut pengertian syari‟at, jual beli ialah: pertukaran harta
28
atas saling rela. Atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat
dibenarkan (Ghazali, 2002: 214).
Jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain
dengan cara yang tertentu (akad).
Artinya : “janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu”.(Q.S. An-Nisa: 29).
Jual beli menurut ulama Malikiyah ada dua macam, yaitu jual beli
yang bersifat umum dan jual beli yang bersifat khusus.
Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar-menukar
sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Perikatan adalah akad
yang mengikat dua belah pihak. Tukar menukar yaitu salah satu pihak
menyerahkan ganti penukaran atas sesuatu yang ditukarkan oleh pihak
lain.
Jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar menukar sesuatu yang
bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang mempunyai daya tarik,
penukaranya bukan mas dan bukan pula perak, bendanya dapat dilearisir
dan ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak merupakan utang baik barang
29
yang sudah diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu
(Suhendi , 2014: 69).
Menurut istilah (terminologi) yang dimaksud dengan jual beli
adalah sebagai berikut:
1. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan
jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas
dasar merelakan.
2. Pemilikan harta benda dengan jalan tukar menukar yang sesuai
dengan aturan syara.
3. Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf)
dengan ijab dan qabul, dengan cara yang sesusai dengan syara.
4. Tukar menukar benda dengan denda lain dengan cara yang khusus
(dibolehkan).
5. Penukaran denda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan
atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan
cara yang dibolehkan.
6. Aqad yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta, maka
jadilah penukaran hak milik secara tetap.
Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa inti dari jual beli
ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai
nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima
benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau
30
ketentuan yang telah dibenarkan Syara‟ dan disepakati(Suhendi Hendi,
2014: 68).
Nawawi (juz III, 1995:599) menyatakan bahwa jual beli pemilikan
harta benda dengan secara tukar menukar yang sesuai dengan ketentuan
syariah.
B. Macam-Macam Jual Beli
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi
hukumnya, jual beli ada dua macam, yakni jual beli yang sah menurut
hukum dan batal menurut hukum. Dari segi objek jual beli dan segi pelaku
jual beli.
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli dapat
dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi
tiga bentuk:
1. Jual beli benda yang kelihatan, ialah pada waktu melakukan akad
jual beli benda atau barang yang diperjual belikan ada di depan
penjual dan pembeli. Hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak
dan boleh dilakukan, seperti membeli beras di pasar.
2. Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual
beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam
adalah untuk jual beli yang tidak ada tunai (kontan), salam pada
awalnya berarti meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang
dengan harga tertentu, maksudnya ialah perjanjian yang
31
menyerahkan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa
tertentu.
3. Jual beli yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah jual beli yang
dilarang oleh agama karena barangnya tidak tentu atau masih gelap
sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau
barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah
satu pihak (Suhendi, 2014: 75).
Ditinjau dari segi pelaku akad (subjek), jual beli terbagi menjadi
tiga bagian, dengan lisan, dengan perantara, dan dengan perbuatan:
1. Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan adalah akad yang
dilakukan oleh kebanyakan orang. Bagi orang bisu diganti dengan
isyarat karenan isyarat merupakan pembawaan alami dalam
menampakkan kehendak. Hal yang di pandang dalam akad adalah
maksud atau kehendak dan pengertian, bukan pembicaraan dan
pernyataan.
2. Penyampaian akad jual beli melalui utusan, perantara, tulisan, atau
surat menyurat sama halnya ijab kabul dengan ucapan, misalnya
via Pos dan Giro.
3. Jual beli dengan perbuatan (saling memberikan) atau dikenal
dengan istilah mu‟athah yaitu mengambil dan memberikan barang
tanpa ijab dan kabul (Suhendi, 2014: 77).
32
C. Dasar Hukum Kebolehan Jual Beli
Jual beli sebagai sarana tolong-menolong antara sesama umat
manusia mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Quran dan Sunnah
Rasulullah SAW (Ghazali, 2010: 66). Orang yang sedang melakukan
transaksi jual beli tidak dilihat sebagai orang yang sedang membantu
saudaranya. Bagi penjual, ia sedang memenuhi kebutuhan pembeli.
Sedangkan bagi pembeli, ia sedang memenuhi kebutuhan akan keuntungan
yang sedang dicari oleh penjual. Atas dasar inilah aktifitas jual beli
merupakan aktifitas mulia, Islam memperkenanya (Afandi, 2009: 54).
Jual beli telah disahkan oleh Al-Quran, sunnah, dan ijma‟.
Adapun dalil dari Al-Quran yaitu firman Allah SWT:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
(QS.Al-Baqarah(2): 275)”
Riba adalah haram dan jual beli adalah halal. Jadi tidak semua akad
jual beli adalah haram sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang
berdasarkan ayat ini. Hal ini dikarenakan huruf alif dan lam dalam ayat
tersebut untuk menerangkan jenis, dan bukan untuk yang sudah dikenal
karena sebelumnya tidak disebutkan ada kalimat al-bai‟yang dapat
dijadikan referensi, dan jika ditetapkan bahwa jual beli adalah umum,
maka ia dapat dikhususkan dengan apa yang telah kami sebutkan berupa
riba dan yang lainya dari benda yang dilarang untuk diakadkan seperti
33
minuman keras, bangkai, dan yang lainya dari apa yang disebutkan dalam
sunnah dan ijma‟ para ulama akan larangan tersebut (Azzam, 2010: 26).
Di tempat lain, Allah berfirman dalam Q.S An-Nisa‟ ayat 29 yang
berbunyi:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka diantara kamu”
Allah telah mengharamkan memakan harta oranglain dengan cara
batil yaitu tanpa ganti dan hibah, yang demikian itu adalah batil
berdasarkan ijma umat dan termasuk di dalamnya juga semua jenis akad
yang rusak yang tidak boleh secara syara‟ baik karena ada unsur riba atau
jahalah (tidak diketahui), atau karena kadar ganti yang rusak seperti
minuman keras, babi, dan yang lainya dan jika yang diakadkan itu adalah
harta perdagangan, maka boleh hukumnya, sebab pengecualian dalam ayat
di atas adalah terputus karena harta perdagangan bukan termasuk harta
yang tidak boleh dijual-belikan. Ada juga yang mengatakan istitsna‟
(pengecualian) dalam ayat bermakna lakin (tetapi) artinya, akan tetapi,
34
makanlah dari harta perdagangan, dan perdagangan merupakan gabungan
antara penjualan dan pembelian.
Adapun dalil sunah diantaranya adalah hadist yang diriwayatkan
dari Rasulullah SAW beliau bersabda:”sesungguhnya jual beli itu atas
dasar saling ridha”. Ketika ditanya tentang usaha apa yang paling utama,
Nabi Muhammad SAW menjawab:”usaha seseorang dengan tanganya
sendiri, dan setiap jual beli yang mabrur.” Jual beli yang mabrur adalah
setiap jual beli yang tidak ada dusta dan hianat, sedangkan dusta itu adalah
menyembunyikan aib barang dari penglihatan pembeli. Adapun makna
hianat ia lebih umum dari itu sebab selain menyamarkan bentuk barang
yang dijual, sifat, atau hal-hal luar seperti dia menyifatkan dengan sifat
yang tidak benar atau memberi tahu harga yang dusta (Azzam, 2010: 27).
Sedangkan para ulama telah sepakat mengenai kebolehan akad jual
beli. Ijma‟ ini memberikan hikmah bahwa kebutuhan manusia
berhubungan dengan sesuatu yang ada dalam kepemilikan orang lain, dan
kepemilikan sesuatu itu tidak akan diberikan dengan begitu saja, namun
harus ada kompensasi sebagai imbal baliknya. Sehingga dengan
disyariatkannya jual beli tersebut merupakan salah satu cara untuk
merealisasikan keinginan dan kebutuhan manusia, karena pada dasarnya,
manusia tidak akan dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dan bantuan
orang lain (Djuawaini, 2008: 73).
35
D. Rukun dan Syarat Jual Beli
Di kalangan fuqaha terdapat perbedaan mengenai rukun jual beli.
Menurut fuqaha kalangan Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dan kabul.
Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun jual beli terdiri dari akad (ijab
dan kabul), „aqid (penjual dan pembeli), ma‟qud alaih (objek akad).
Akad adalah kesepakatan (ikatan) antara pihak pembeli dengan
pihak penjual. Akad ini dapat dikatakan sebagai inti dari proses
berlangsungnya jual beli, karena tanpa adanya akad tersebut, jual beli
belum dikatakan sah. Disamping itu akad ini dapat dikatakan sebagai
bentuk kerelaan (keridhaan) antara dua belah pihak. Kerelaan memang
tidak dapat dilihat, karena ia berhubungan dengan hati (batin) manusia,
namun indikasi adanya kerelaan tersebut dapat dilihat dengan adanya ijab
dan kabul antara dua belah pihak (Huda, 2011: 55).
Adanya kerelaan tidak dapat dilihat sebab kerelaan berhubungan
dengan hati, kerelaan dapat diketahui melalui tanda-tanda lahirnya, tanda
yang jelas menunjukan kerelaan adalah ijab dan kabul, Rasulullah SAW
bersabda :
ت قن ا ثنا ن ال عن عن أ ب هر يرة رض عن النب ص م قا ل ل ي
تر ا ض )روه ا بو داود و التمذي(
“dari abi hurairah R.A. dari Nabi SAW bersabda: janganlah dua orang
yang jual beli berpisah, sebelum saling meridhai” (Riwayat Abu Daud
dan Tirmidzi).
36
ما البيع عن ص قال النب هتراض )رواةابن مجاة( م ا
“Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya jual beli hanya sah dengan
saling merelakan” (Riwayat Ibn Hibban dan Ibn Majah).
Jual beli yang menjadi kebiasaan, misalnya jual beli sesuatu yang
menjadi kebutuhan sehari-hari tidak disyaratkan ijab dan kabul, ini adalah
pendapat jumhur. Menurut fatwa ulama syafiiyah, jual beli barang-barang
yang kecilpun harus ijab dan kabul, tetapi menurut imam Al-Nawawi dan
ulama mutaakhirin Syafi‟iyah berpendirian bahwa boleh jual beli barang-
barang yang kecil dengan tidak ijab dan qabul seperti membeli sebungkus
rokok (Suhendi, 2014: 70).
Oleh karena perjanjian jual beli ini merupakan perbuatan hukum
yang mempunyai konsekuensi terjadinya peralihan hak atas sesusatu
barang dari pihak penjual kepada pihak pembeli, maka dengan sendirinya
dalam perbuatan hukum ini haruslah dipenuhi rukun dan syarat syahnya
jual beli. Adapun yang menjadi rukun dalam perbuatan hukum jual beli
terdiri dari :
1. Adanya pihak penjual dan pembeli
2. Adanya uang dengan benda, dan
3. Adanya lafaz.
37
Dalam suatu perbuatan jual beli, ketiga rukun ini hendaklah
dipenuhi, sebab andai kata salah satu rukun tidak terpenuhi, maka
perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jual beli.
Agar jual beli yang dilakukan oleh pihak penjual dan pihak
pembeli sah, haruslah dipenuhi syarat-syarat yaitu :
1. Penjual dan Pembeli.
a. Baligh berakal agar tidak mudah ditipu orang. Batal akad
anak kecil, orang gila, orang bodoh, sebab mereka tidak
pandai mengendalikan harta. Oleh karena itu, anak kecil,
orang gila dan orang bodoh tidak boleh menjual harta
sekalipun miliknya, Allah berfirman:
فهآء اموالك )النسآء:ة(ول ثؤث ؤ االس
“Dan janganlah kamu berikan hartamu kepada orang-
orang yang bodoh” (Al-Nisa:5)
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa harta tidak boleh
diserahkan kepada orang bodoh. „Illat larangan tersebut
ialah karena orang bodoh tidak cakap dalam mengendalikan
harta, orang gila dan anak kecil juga tidak cakap dalam
mengelola harta sehingga orang gila dan anak kecil juga
tidak sah melakukan ijab qabul.
b. Kehendak sendiri (bukan pksaan)
Tidak sah jika ada unsur pemaksaan terhadap hartanya
tanpa kebenaran karena tidak ada kerelaan darinya.
38
c. Tidak mubazir (pemborops), sebab harta orang yang
mubazir itu ditangan walinya.
d. Beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja
dalam benda-benda tertentu, misalnya seseorang dilarang
menjual hambanya yang beragama selain Islam sebab besar
kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan abid
yang beragama Islam, sedangkan Allah melarang orang-
orang mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk
merendahkan mukmin, firman-Nya:
“Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan bagi orang
kafir untuk menghina orang mukmin” (Al-Nisa:141)
(Suhendi, 2014: 74-75).
2. Ma‟qud „Alaih (barang atau harga).
Menurut Aziz (2010: 47) bahwa al-ma‟uqud alaih adalah
harga dan barang yang dihargakan. Untuk melengkapi
keabsahan jual beli, barang atau harga harus memenuhi
syaratnya yaitu:
a. Suci atau mungkin untuk disucikan sehingga tidak sah
penjualan benda-benda seperti anjing, babi dan yang
lainnya.
39
b. Memberi manfaat menurut syara‟, maka dilarang jual beli
benda-benda yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut
syara‟, seperti menjual babi, kala, cicak dan yang lainnya.
c. Jangan ditaklikan, yaitu dikaitkan atau digantungkan
kepada hal-hal lain, seperti jika ayahku pergi, kujual motor
ini kepadamu.
d. Tidak dibatasi waktunya, seperti kujual motor ini kepada
Tuan selama satu tahun, maka penjualan tersebut tidak sah
sebab jual beli merupakan salah satu sebab pemilikan
secara penuh yang tidak dibatasi apapun kecuali ketentuan
Syara‟.
e. Dapat diserahkan dengan cepat maupun lambat.
f. Milik sendiri.
g. Diketahui (dilihat).
3. Lafaz shighat (Aziz, 2010: 29).
a. Pengertian Lafadz shighat
Shighat adalah ijab dan qabul. Ijab diambil dari kata anjaba
yang artinya meletakkan, dari pihak penjual yaitu
pemberian hak milik, dan qabul yaitu orang yang menerima
hak milik(Aziz, 2010: 29).
b. Syarat-syarat sah ijab kabul ialah sebagai berikut:
40
a) Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam
saja setelah penjual menyatakan ijab dan
sebaliknya.
b) Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab
dan qabul.
c) Beragam Islam, syarat khusus untuk pembeli saja
dalam benda-benda tertentu, misalnya seseorang
dilarang menjual hambanya yang beragama Islam
kepada pembeli yang tidak beragama Islam, sebab
besar kemungkinan pembeli tersebut akan
merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan
Allah melarang orang-orang mukmin memberi jalan
kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin.
E. Khiyar dalam Jual Beli
Dalam jual beli, menurut agama Islam dibolehkan memilih,
apakakh akan mneruskan jual bila atau akan membatalkannya. Karena
terjadinya oleh sesuatu hal, khiar dibagi menjadi tiga macam berikut ini:
1. Khiyar majelis, artinya antara penjual dan pembeli boleh
memilih akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya.
Selama keduanya masiyh ada dalam satu tempat (majelis),
khiar mejelis boleh dilakukan dalam berbagai jual beli.
Rasulullah SAW bersabda
41
فا )رواه البخارى ومسلم( البيعان بلخيار مالم يتفر
“penjual dan pembeli boleh khiar selama belum berpisah”
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Bila keduanya telah berpisah dari tempat akad tersebut, maka
khiar mejelis tidak berlaku lagi, batal.
2. Khiyar Syarat, yaitu penjual yang didalamnya di syaratkan
sesuatu baik oleh penjual maupun oleh pembeli, seperti
seseorang berkata, “saya jual rumah ini dengan harga
100000000 dengan syarat khiar selama 3 hari”. Rasulullah
SAW bersabda:
أهت بلخيارف ك سلعة ابتعتا ثلث ليال )رواه البيهى (
“kamu boleh khiyar pada setiap benda yang telah dibeli selama
tiga hari tiga malam” (Riwayat Baihaqi).
3. Khiyar „aib, artinya dalam jual beli ini disyaratkan
kesempurnaan benda-benda yang dibeli, seperti seseorang
berkata: “saya beli mobil itu seharga sekian, bila mobil itu
cacat akan saya kembalikan”, seperti yang diriwayatkan oleh
Ahmad dan Abu Daud dari Aisah r.a. bahwa seseorang
membeli budak, kemudian budak tersebut disuruh berdiri di
dekatnya, didapatinya pada diri budak itu kecacatan, lalu di
adukannya kepada Rasul, maka budak itu dikembalikan pada
penjual (Suhendi, 2014: 83).
42
4. Khiyar Ta‟yin, adalah hak yang dimiliki oleh pembeli untuk
memastikan pilihan atas sejumlah benda sejenis atau setara
sifat atau harganya. Khiyar ini hanya berlaku pada akad
mu‟awadhah al-maliyah yang mengakibatkan perpindahan hak
milik, seperti jual beli. Keabsahan khiyar ta‟yin menurut
madhab Hanafi harus memehuhi tiga syarat sebagai berikut:
a. Maksimal berlaku pada tiga pilihan obyek akad.
b. Sifat dan nilai benda-benda yang menjadi obyek pilihan
harus setara dan harganya harus jelas. Jika nilai dan
sifat masing-masing benda berbeda jauh, maka khiyar
ta‟yin ini menjadi tidak berarti.
c. Tenggang waktu khiyar ini tidak lebih dari tiga hari.
Adapun Imam Syafi‟i dan Ahmad Ibn Hanbal menyangkal
keabsahan khiyar ta‟yin ini, dengan alasan bahwa salah satu syarat
obyek akad adalah harus jelas.
5. Khiyar Ru‟yah (melihat) adalah hak pembeli untuk
membatalkan atau tetap melangsungkan akad ketika dia
melihat obyek akad dengan syarat dia belum melihatnya ketika
berlangsung akad atau sebelumnya dia pernah melihatnya
dalam batas waktu yang memungkinkan telah terjadi perubahan
atasnya
6. Khiyar Naqd (pembayaran) tersebut terjadi apabila dua pihak
melakukan jual beli dengan ketentuan jika pihak pembeli tidak
43
melunasi pembayaran, atau pihak penjual tidak menyerahkan
barang dalam batas waktu tertentu maka pihak yang dirugikan
mempunyai hak untuk membatalkan atau tetap melangsungkan
akad (Huda, 2001: 46-47).
F. Pengertian Gharar dan Dasar Hukumnya
Gharar artinya jual beli yang mengandung kesamaran (Nawawi,
2012:88). Gharar ialah semua jenis jual beli yang mengandung jahalah
(kemiskinan) atau mukhatharah (spekulasi) atau qamaar (permainan
taruhan) (Sabiq, 1987: 75).
Jual beli dengan cara gharar yaitu jual beli yang barangnya tidak
bisa diketahui keadaanya, seperti binatang yang masih dalam kandungan,
ikan di air yang menggenang, daging sebelum di sembelih dan lain-lain.
Jual beli gharar tidak boleh, haram hukumnya, sesuai dengan
sabda Nabi :
بيع الغرر)رواه ملم( عن نهى
Artinya: “Nabi melarang jual beli dengan tipuan” (HR. Muslim).
Maka tidak boleh jual beli susu yang masih dalam tetek binatang,
buah-buahan yang belum tampak (masih berupa kembang atau muda yang
belum dapat dimanfaatkan), dan lain-lain (Salomo, 1978: 191).
Dalam sitem jual beli gharar terdapat unsur memakan harta orang
lain dengan cara bathil. Padahal Allah melarang memakan harta orang lain
dengan cara bathil.
44
Seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 188:
Artinya: “Dan janganlah (saling) memakan harta di antara kalian
dengan (cara yang) batil dan (jangan pula) membawa (urusan harta) itu
kepada hakim (untuk kalian menangkan) dengan (cara) dosa agar kalian
dapat memakan sebagian harta orang lain, padahal kalian mengetahui.
Gharar merupakan suatu kegiatan yang memiliki potensi untuk
membuat kita meraup keuntungan yang banyak, maka dari itu manusia
biasanya tertarik dengan jual beli ini. Pada zaman Nabi Muhammad SAW
jual beli gharar sangar marak sekali dan Nabi Muhammad SAW melarang
umatnya melakukan jual beli gharar karena itu sangat dilarang oleh agama
dan merugikan orang. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
م ف لاثثت )رواه احمد(الماء فا هه خرر والس
“janganlah kamu membeli ikan di dalam air, karena jual beli
seperti ini termasuk gharar, alias nipu” (Riwatat Ahmad) (Suhendi,
2014:81).
1. Macam-macam Gharar
Gharar dibagi menjadi dua yaitu gharar sighat aqad dan
gharar dalam benda yang berlaku pada aqadnya.
a. Gharar dalam sighat aqad
45
Gharar pada sighat yaitu bahwa aqad terjadi dengan
kriteria yang mengandung unsur gharar. Gharar bentuk ini
berhubungan langsung dengan aqad. Unsur gharar pada jenis
bisnis ini karena kedua belah pihak baik penjual maupun pembeli
tidak mengetahui apakah hal yang disyariatkan terpenuhi atau
tidak, sehingga tidak mengetahui apakah jual beli ini jadi atau
tidak. Juga tidak jelas dari segi waktunya, kapan transaksi tersebut
terjadi. Begitu jugga dari segi suka atau tidak suka, terkadang
pembeli pada saat ini ingin membeli, tetapi pada waktu yang lain
sudah tidak suka dan membetuhkan lagi. Dalam gharar sighat
dibagi menjadi:
1) Dua jual beli dalam satu jual beli
2) Jual beli urban
3) Jual beli munabazah
4) Jual beli hasah
5) Jual beli mulasamah
6) Aqad yang digantungkan dan aqad yang disandarkan
b. Gharar dalam benda yang berlaku pada aqadnya
Gharar bentuk ini lebih buruk lagi, karena tidak jelas
harga, jenis, sifat dan ukuranya. Jika salah satu dari keempat hal
tadi tidak diketahui maka sudah termasuk gharar. Gharar dalam
benda yang berlaku pada aqadnya ada empat:
46
1) Ketidakjelasan pada dzat benda yang ditransaksikan
2) Ketidakjelasan pada jenis barang yang ditransaksikan
3) Ketidakjelasan pada macam barang yang ditransaksikan
4) Ketidakjelasan pada sifat sifat benda yang ditransaksikan
5) Ketidakjelasan kadar benda yang ditransaksikan
6) Ketidakjelasan pada tempo penentuan harga
7) Tidak adanya kemampuan menyerahkan benda yang
ditransaksikan
8) Transaksi pada benda yang tidak ada
9) Tidak bisa melihat benda yang ditransaksikan.
2. Haramnya Gharar Dalam Jual Beli
Menurut Ibn Jazi Al-Maliki, gharar yang dilarang ada sepuluh
macam yaitu:
a. Tidak diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih dalam
kandungan induknya.
b. Tidak diketahui harga dan barang
c. Tidak diketahui sifat barang atau harga barang
d. Tidak diketahui ukuran barang atau barang
47
e. Tidak diketahui masa yang akan datang
f. Menghargakan dua kali dalam satu barang
g. Menjual barang yang diharapkan selamat
h. Jual beli mulasamah apabila mengusap baju atau kain, maka wajid
membelinya.
i. Termasuk dalam transaksi gharar adalah menyangkut kuantitas
barang. Dalam transaksi disebutkan kualitas barang yang
berkualitas nomor satu, sedangkan dalam realisasinya kualitas
berbeda. Hal ini mungkin diketahui dua belah pihak (ada
kerjasama) atau sepihak saja (pihak pertama).
G. Jual Beli Buah-Buahan
Jual beli buah-buahan yang belum sempurna keadaanya (ngijo
masih kembang, muda belum musimnya) tidak boleh, termasuk jual beli
gharar. Jual beli buah-buahan yang masih dipohonya, tetapi sudah
sempurna keadannya, sudah tua, sudah masak atau sudah bisa
dimanfaatkan (yang segera dipetik) boleh, sebab sudah jelas keadannya.
Sesuai dengan sabda Nabi SAW :
(اخر جه البخا ري ومسلميبد و صل حا ) حتىرة ل ثباع الثم
Artinya : “Buah-buahan tidak dijual belikan sehingga jelas
baiknya”. (HR. Bukhari dan Muslim) (Salomo, 1978: 193).
48
Bertalian dengan persoalan di atas, ada beberapa masalah terkenal
yang akan kami sebutkan pokok-pokoknya. Sebab menjual buah-buahan
terkadang dilakukan sebelum terjadi dan terkadang sesudah terjadi.
Apabila sudah terjadi, maka kadang sesudah dipetik dan kadang sebelum
matang atau sesudahnya. Dan masing-masing dari kedua bentuk yang
terakhir ini kadang berupa penjualan bebas atau dengan syarat tetap di
pohon, atau dengan syarat dipotong.
1. Menjual Buah-buahan Sebelum Terjadi
Tentang menjual buah-buahan sebelum terjadi, para ulama
sepakat melarangnya karena termasuk dalam bab larangan menjual
sesuatu yang belum jadi dan bab penjualan tahunan.
Diriwayatkan dari Nabi Saw :
ه نهىأ ه ني و عن بيع المعا و مة وه بيع الث جر أعواما عن بيع الس
)خر جه مسلم وأبو داود(
“Nabi Saw melarang menjual tahunan, yakni menjual buah yang
akan berbuah pada pohon selama bertahun-tahun.”(HR. Muslim
dan Abu Dawud)
Kecuali apa yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab r.a
dan Ibnu Zubair r.a. bahwa kedua sahabat tersebut membolehkan
penjualan tahunan terhadap buah-buahan.
49
Sedangkan menjual buah-buahan sesudah datang masa
memetiknya, tidak diperselisihkan lagi kebolehannya.
2. Menjual Buah-buahan Sesudah Terjadi
Menjual buah-buahan sesudah terjadi dibolehkan oleh
kebanyakan ulama, berdasarkan rincian yang akan kami kemukakan.
Kecuali apa yang diriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman
dan dari Ikrimah yang menyatakan bahwa menjual buah-buahan tidak
dibolehkan kecuali sesudah datang masa memetiknya.
Hadis sahih dari Ibnu Umar r.a. berbunyi:
عن عبد الل بن ن رسول الل صل الل عليه و سلم ر أ عن نهىع
مر حت يبد وصل حا والمبتاع ئع البا نهىبيع الث
“Dari Abdullah bin Umar r.a, bahwa Rasulullah SAW melarang
menjual buah-buahan sebelum tampak kematangannya, beliau
melarang penjual dan pembelinya." (HR. Bukhari - Muslim) (Rusyd,
2007: 750).
Tidak boleh menjual buah-buahan yang masih ada di pohon tanpa
dengan menjual pohonya secara mutlak, artinya tanpa ada syarat dipetik
atau dipanen, kecuali setelah tampak kebaikan atau kelayakan buah-
buahan itu. Maksud “tampak kelayakan” ialah sebagi berikut, bagi buah
50
tidak dapat berubah warnanya yaitu sampai pada suatu keadaan sehingga
buah-buahan tersebut sudah sesuai dengan yang dimaksud menurut
umumnya. Seperti manisnya tebu, asamnya delima dan lunak atau
lembeknya buah tin.
Dan bagi buah-buahan yang dapat berubah warnanya, yaitu dengan
berubah warna menjadi merah, atau hitam, atau kuningseperti anggur,
juwet dan kurma mentah. Adapun buah-buahan yang dijual sebelum
tampak kelayakanyan, maka tidak sah menjualnya secara mutlak tidak
sahnya itu berlaku bagi pemilik pohon dan yang lainnya, kecuali dengan
janji bersedia memanen atau memetik, baik berlaku kebiasaan memanen
atau memetik buah-buahan atau tidak.
Bila pohon yang berubah di pohon, maka boleh menjual buahnya,
tanpa ada syarat harus memetik buahnya. Tidak boleh menjual tanaman
(berbiji) yang masih hijau yang ternanam di bumi (sawah), kecuali dengan
syarat memetiknya atau mencabutnya, jika tanaman (berbiji) itu dijual
besrta tanahnya atau disendirikan tanpa menyertakan tabahnya setelah
bijinya menjadi keras, maka boleh menjualnya tanpa syarat.
Barang siapa yang menjual buah-buahan atau tanaman (berbiji)
yang belum tampak kelayakannya, maka wajib bagi penjual untuk
menyiramnya, sekiranya dengan siraman tersebut dapat menaikkan atau
mengembangkan keadaan buh dan aman darim kerusakan, baik si pembeli
dan barang yang dijual atau belum menyerahkan (Mubarok, 2013: 8-10).
51
Sebagaimana ketidak bolehan berjual beli buah-buahan yang masih
hijau kecuali terus dipetik, juga tidak boleh berjual beli pada yang baru
menghiaju kecuali harus dipetik juga. Maka membeli padi yang masih
hijau dan dipetik sesudah kuning nanti, tidak boleh (ngijo). Demikian juga
jual beli kurma sehingga tua, menjual gandum sehingga memutih
tangkainya.
52
BAB III
Desa Kecandran dan Tradisi Jual Beli Musiman
A. Profil Desa Kecandran
Kelurahan Kecandran dibentuk pada Tahun 1992 yang sebelumnya
merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Tuntang Kabupaten
Semarang. Selanjutnya pada Tahun 1993 dengan Dasar Hukum
Pembentukan PP Nomor 69 Tahun 1992 Tentang Perubahan Batas
Wilayah. Pada tanggal 1 agustus 1993, Desa Kecandran masuk
wilayah Kota Madya Salatiga dalam proses pemekaran wilayah Kota
Salatiga. Status wilayahnya masih menggunakan nama DESA dan
Kepala wilayahnya masih tetap Kepala Desa dan Pemilihannya masih
tetap menggunakan sistem PILKADES, dimana warga masyarakat
dapat memilih Kepala Desanya secara langsung dengan mencoblos
tanda gambar.
Pada tanggal 2 Juli 2003, nama Desa Kecandran berubah menjadi
Kelurahan Kecandran sesuai Perda No.11 Tahun 2003 tentang
Perubahan Desa Menjadi Kelurahan. Kepala Desa yang selama ini
dipilih langsung oleh masyarakat melalui PILKADES, Sejak Tanggal
tersebut diganti dengan Kepala Kelurahan yang statusnya sebagi PNS
dan ditetapkan melalui SK Walikota.
53
Tipologi Kelurahan Kecandran yaitu kawasan Perladangan, Jasa
dan Perdagangan. Kondisi wilayahnya berada diluar Ibu Kota
Kecamatan dan bukan merupakan daerah rawan bencana. Adapun
Nomor Kode Wilayah 33 73 04 1001 Nomor Kode Pos 50723.
1. Letak Geografis
a. Luas Wilayah
Luas Wilayah : 600,6 Ha
b. Topografi
Topografi Kelurahan Kecandran terdiri dataran rendah dan tinggi.
Dataran rendah terletak di sebelah utara sampai timur dan dataran
tinggi di sebelah barat dan selatan. Curah hujan pertahun 2.583
mm. suhu rata-rata ± 26° C. adapun rincian gambaran lingkungan
Kelurahan Kecandran meliputi : Persawahan, Perladangan,
Perkebunan, Peternakan, Kerajinan dan Industri Kecil maupun
Industri sedang, Jasa dan Perdagangan.
c. Peta Wilayah
Peta Wilayah Kelurahan Kecandran sebagai berikut:
Peta Wilayah Kelurahan Kecandran
54
Gambar 3.1
55
d. Jarak dari keluarahan
Orbitrasi ( jarak dari pusat Pemerintahan ) :
1. Jarak dari Pusat Pemerintahan Kecamatan : 7 km
2. Jarak dari Pusat Pemerintahan Kota : 5 km
3. Jarak dari Kota/Ibukota Kabupaten : 5 km
4. Jarak dari Ibukota Provinsi : 46 km
e. Perubahan status pengunaan lahan
Sesuai Perda No. 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Salatiga Tahun 2010 – 2030 lokasi Lahan atau
Tanah berada pada Kawasan Perumahan Kepadatan Rendah,
Sehingga Zonasi tanah harus memenuhi ketentuan umum sebagai
berikut:
1. Kawasan Perumahan Kepadatan Rendah merupakan
kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi
dengan prasarana dan sarana lingkungan, dengan
ketentuan zonasi :
a) Pembangunan rumah atau perumahan wajib
mengikuti persyaratan teknis, ekologis dan
administrative.
b) Kawasan peruntukan perumahan diperbolehkan
untuk kegiatan tempat tinggal, pertemuan dan
56
penunjangnya, pelayanan pemerintah dan lain – lain
sejenis.
c) Kegiatan perdagangan dan jasa, perkantoran,
industry rumah tangga diperbolehkan dikawasan
peruntukan perumahan dengan syarat mematuhi
ketentuan yang berlaku.
d) Kawasan peruntukan perumahan tidak
diperbolehkan untuk kegiatan industry besar.
e) Tidak mengganggu fungsi lindung yang ada.
f) Tidak berada pada pada daerah rawan bencana
(lonsor, banjir, erosi).
g) Memiliki sistem drainase baik sampai sedang.
h) Tidak berada pada wilayah sempadan sungai/mata
air/saluran pengairan.
i) Tidak terletak pada kawasan budidaya pertanian /
penyangga.
j) Menghindari sawah irigasi teknis.
2. Perumahan Diizinkan dengan ketentuan:
a) Melaksanakan penyusunan dokumen lingkungan.
b) Melaksanakan penyusunan dokumen lalu lintas.
c) Mendapat persetujuan dari RT dan RW setempat.
d) Rekomendasi teknis dari instansi terkait.
57
3. Kegiatan Perumahan dengan ketentuan Intensitas Lahan:
a) KWT (Koefisien Wilayah Terbangun) Maksimum
60 % dari luas lahan, Ruang Terbuka (prasarana
dan Sarana Utilitas) 40 % dari luas lahan.
b) KDB (Koefisien Dasar Bangunan) per kavling
maksimum 60 % dari Luas Kavling.
c) KLB (Koefisien Lantai Bangunan) Maksimum 1,2
dan Ketinggian bangunan Maksimum 10m (1-2
lantai).
d) KDH (Koefisien Dasar Hijau) per kavling minimum
10 % dari luas kavling ditanami pohon pelindung
atau dapat didalam Pot ditambah perdu dan semak,
serta penutup tanah atau rumput.
4. Ketentuan Tata Masa Bangunan:
Sempadan jalan lingkungan perumahan:
a) Ruang Milik Jalan (Rumija) 5m.
b) Ruang pengawasan Jalan (Ruawasja) 7m.
c) Pagar depan harus berjarak minimal 2,5 meter dari
AS jalan.
d) Tritisan bangunan depan rumah harus berjarak
minimal 3,5 meter dari AS jalan.
58
5. Ketentuan Perumahan:
a) Setiap orang yang membangun perumahan wajib
dengan hunian berimbang, kecuali diperuntukan
untuk rumah sederhana dan/ atau rumah susun
umum. Komposisi penyelenggaraan perumahan
hunian berimbang dengan perbandingan jumlah
rumah sekurang – kurangnya 3:2:1 (tiga
berbanding dua berbanding satu), yaitu 3 (tiga)
atau lebih rumah sederhana berbanding 2 (dua)
rumah menengah berbanding 1 (satu) rumah
mewah sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat
(2) Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 2012 tentang
penyelenggaraan perumahan dan kawasan
permukiman dengan hunian berimbang.
b) Dalam hal rumah sederhana tidak dibangun dalam
satu hamparan, maka pembangunan rumah
sederhana oleh setiap orang harus memenuhi
persyaratan: dibangun dalam satu wilayah
Kabupaten/Kota; dan penyediaan akses ke pusat
pelayanan dan tempat kerja, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 11 ayat (5) Peraturan
Menteri Perumahan Rakyat Republik Indonesia
59
Nomor 10 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan
perumahan dan Kawasan Permukiman dengan
Hunian Berimbang.
c) Bersedia membuat surat pernyataan di atas materai
kesanggupan untuk menyerahkan Prasarana,
Sarana dan Utilitas (PSU) Perumahan dan
Permukiman dari Pengembang kepada Pemerintah
Daerah dalam bentuk sertifikat atas nama
PEMKOT SALATIGA, dengan tujuan untuk
menjamin keberlanjutan pemeliharaan dan
pengelolaan prasarana, Sarana dan Utilitas di
Lingkungan Perumahan dan Permukiman.
f. Keadaan iklim
Berdasarkan letak geografisnya, Kelurahan Kecandran
beriklim tropis dengan dua pergantian musim yaitu musim
penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan terjadi pada
bulan Nopember–April dipengaruhi oleh angin muson barat,
sedang musim kemarau terjadi antara bulan Mei–Oktober yang
dipengaruhi oleh angin muson timur.
g. Batas wilayah keluarahan
1. Sebelah Utara : Kelurahan Pulutan
2. Sebelah Selatan : Kelurahan Dukuh
3. Sebelah Barat : Desa Gedangan
60
4. Sebelah Timur : Kelurahan Dukuh
2. Demografi
a. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin
No. Desa / Kelurahan Laki –
Laki
Perempuan Jumlah
1 Kecandran 3323 3266 6589
b. Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan
No. Pendidikan Jumlah
1. Tidak / BelumSekolah 1142
2. BelumTamat SD / Sederajat 689
3. Tamat SD/ Sederajat 1748
4. SLTP/ Sederajat 1042
5. SLTA/ Sederajat 1179
6. Diploma I/II 30
7. Akademi / Diploma III SarjanaMuda 104
8. Diploma IV/ Strata I 251
9. Strata II 23
61
10. Strata III 1
c. Jumlah Penduduk menurut Agama dan Aliran kepercayaan
No. AGAMA LAKI -
LAKI
PEREMPUAN JUMLAH
1 Islam 3262 3214 6476
2 Kristen Protestan 29 20 49
3 Katolik 25 24 49
4 Hindu 0 0 0
5 Bundha 2 2 4
6 Konghucu 0 0 0
7 Kepercayaan 0 0 0
62
d. Banyaknya Kelahiran dan Kematian
No. Bulan Kelahiran Kematian
L P JML L P JML
1. Januari 2017 0 2 2 2 1 3
2. Februari 2017 6 8 14 3 0 3
3. Maret 2017 1 8 9 0 5 5
4. April 2017 6 3 9 3 1 4
5. Mei 2017 3 6 9 2 2 4
6. Juni 2017 0 0 0 2 1 3
7. Juli 2017 4 5 9 2 1 3
8. Agustus 2017 8 5 13 2 2 4
9. September 2017 8 6 14 3 3 6
10 Oktober 2017 5 4 9 1 2 3
e. Mutasi penduduk
No. Mutasi Pindah Datang
63
L P JML L P JML
1 AntarDesa /
Kelurahan
2 1 3 7 3 10
2 AntarKecamatan 3 3 6 16 11 27
3 AntarKab / Kota 13 18 41 29 30 59
4 AntarProvinsi 1 4 5 6 9 15
5 Antar Negara 0 0 0 0 0 0
B. Kondisi Sosiologis dan Kultural Masyarakat Kecandran
Kondisi sosiologis masyarakat Kecandran ditentukan dari hasil
mata pencaharian yang rata-rata adalah buruh lepas, karyawan swasta,
petani kebun. Mayoritas penduduk Kecandran merupakan lulusan SMP
dan SMA sedangkan lulusan S1 dan S2 hanya sedikit. Masyarakat desa
Kecandran cenderung berhubungan baik dengan tetangga karena interaksi
sosial dijalin dengan baik.
Kondisi sosial agama masyarakat Kecandran lebih dari 90% Islam
dan masyarakat disini rata-rata Islam Nahdhatul Ulama yang selalu
menuju ke Ahli Sunnah Wal Jama‟ah.
64
Kondisi kultural masyarakat Kecandran terkait dengan kebiasaan
masyarakat yang meliputi organisasi dan tradisi. Di desa Kecandran juga
terdapat banyak organisasi dan banyak tradisi-tradisi sebagai berikut :
1. Organisasi
a. Takmir Masjid
Takmir Masjid adalah sekumpulan orang yang
mempunyai kewajiban memakmurkan Masjid.
b. Remaja Masjid
Remaja Masjid adalah perkumpulan pemuda Masjid
yang melakukan aktifitas sosial di lingkungan masjid.
c. Karang Taruna
Karang Taruna adalah organisasi sosial wadah
pengembangan atas dasar kesadaran dan taggung jawab
sosial masyarakat dan untuk masyarakat terutama
bergerak di bidang usaha kesejahteraan masyarakat.
d. Pkk (pembinaan kesejahteraan keluarga)
Pkk adalah organisasi kemasyarakatan yang
memberdayakan wanita untuk turut berpartisipasi dalam
pembangunan Indonesia
2. Tradisi
a. Nyadran
Nyadran adalah suatu rangkain budaya yang berupa
pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya
65
berupa kenduri selamatan di Makam leluhur. Nyadranan di
Kecandran dilakukan satu tahun dua kali.
b. Berzanji
Berzanji adalah suatu doa-doa puji-pujian dan pencitraan
riwayat Nabi Muhammad SAW yang dilafalkan dengan
suatu irama atau nada yang biasa dilantunkan ketika
kelahira, khitanan, pernikahan dan Maulid Nabi
Muhammad SAW .
c. Tahlilan
Tahlilan adalah upacara selamatan yang dilakukan
sebagian umat Islam untuk memperingati atau mendoakan
orang yang telah meninggal.
d. Masa‟i
Masa‟i adalah kegiatan mengaji yang dilakukan pada
waktu bulan Ramadhan setiap sore sebelum berbuka
puasa.
e. Mauludan
Mauludan adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad
Saw yang dirayakan setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam
penanggalan Hijriah.
C. Potensi Pertanian dan Perkebunan di Kecandran
Desa kecandran memiliki lahan yang digunakan sebagai lahan
pertanian yaitu sawah yang ditanami padi di sekitar Jalan Baru yang
66
didukung dengan keadaan tanah yang cukup subur. Sehingga potensi
pertanian di Desa Kecandran sangat prospektif untuk kedepannya. Untuk
mendukung kegiatan dan pengetahuan para petani di desa Kecandran, para
petani bergabung dalam Kelompok Tani. Hasil padi di Desa Kecandran
ada yang dijual dan ada yang di konsumsi sendiri.
Selain pertanian, sudah banyak diketahui bahwa desa Kecandran
mempunyai potensi perkebunan yang baik yaitu hasil perkebunan seperti
salak, langsep, duku, kokosan, kelengkeng dan durian walaupun untuk
durian tidak begitu banyak. Selain karena tanahnya yang subur, di Desa
Kecandran didukung dengan adanya SDM yang aktif merawat perekbunan
mereka. Hasil perkebunan buah langsep, duku, kokosan dan kelengkeng
biasanya dijual dengan cara tebasan. Tebasan yaitu pembelian hasil
tanaman sebelum dipetik atau sebelum masa panen.
Luas persawahan di Kecandran 35M2 sebelah barat berbatasan
dengan Desa Candi sebelah utara Desa pulutan dan sebelah timur dengan
Banyuputih. Pertanian di Kecandran mayoritas tanamanya yaitu tanaman
padi karena air disini mudah di dapatkan dari sungai-sungai sekitar sawah.
Sebagian persawahan dimiliki bengkok yaitu sawah milik Desa, sawah ini
biasanya di kontrak salah satu orang Desa lalu di garap oleh petani yang
mau dan hasilnya dibagi dua. Biasanya hasil padi sebagian di konsumsi
dan sebagian dijual untuk kebutuhan pokok keluarga. Pertanian di
Kecandran berada di dusun Wining dan dusun Karang Rejo. Di Kecandran
67
juga ada petani pembenihan ikan, terdapat 35 kolam yang luasnya 741M2
dan menghasilkan 1.025.000 per tiga bulan.
Perkebunan di Kecandran sangat luas di banding Kelurahan lain se
Kecamatan Sidomukti. Batas wilayah Kecandran sebelah selatan dusun
Gamol, disana perkebunan masih luas karena belum begitu padat
pemukimanya, sebelah barat dusun Karang Rejo, sebelah utara dusn
Winong, dusun Winong ini area persawahan dan ladang, sebelah timur
dusun Winong dan Sawahan. Dusun ini masih terdapat banyak perkebunan
salak. Kecandran masih terdapat banyak perkebunan dan ladang, tetapi
tidak seperti dulu di tahun 90an karena sekarang sudah banyak yang dibuat
rumah pemukiman ataupun perumahan dan juga adanya jalan baru Salatiga
memakan banyak area perkebunan dan persawahan di Kecandran ini.
Perkebunan sekarang di Kecandran sekarang kalau di total sekitar 60M2.
Kecandran adalah centra buah-buahan yang mempunyai ciri khas seperti
Duku, Langsep, Kokosan, Salak dan Durian, tetapi Durian tidak sebanyak
itu. Untuk buah Duku, Langsep, Kokosan setiap musimnya mencapai
874kwintal, salak 1760kwintal, Durian 90kwintal setiap musimnya.
68
BAB IV
Praktik Jual Beli Musiman Dalam Perspektif Hukum Islam
D. Praktik Jual Beli Musiman
Manusia merupakan makhluk Allah yang paling sempurna karena
manusiadiberikan kelebihan akal untuk berfikir dan menjalankan
kehidupannya. Dengan kelebihan tersebut, manusia harus bisa
membedakan yang baik dan yang buruk, yang halal dan yang haram dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan manusia yang perlu
pemilahan untuk dijalani atau ditinggalkan.
Penjual merupakan seseorang yang memiliki pohon kelengkeng,
duku dan durian sedangkan pembeli adalah yang membeli buah
kelengkeng, duku dan durian dengan cara musiman seperti halnya yang
terjadi di Kecandran Kecamatan Sidomukti Salatiga. Ada yang berbeda
mengenai sistem jual beli yang dilakukan oleh penjual dan pembeli di
Kecandran. Berikut hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan
narasumber yang berkenaan dengan hal tersebut dalam hal ini sebagai
narasumbernya ialah penjual dan pembeli.
Penjual adalah orang yang memiliki hak penuh atas pohon
kelengkeng, duku dan durian yang dijual. Pada saat buah kelengkeng,
duku dan durian masih muda (pentil) penjual biasanya mencari pembeli
untuk membelinya dengan sistem musiman.
Dalam penelitian ini terdapat informan atau narasumber terkait
dalam pelaksanaan jual beli dengan sistem musiman di Kecandran
69
Kecamatan Sidomukti Salatiga, satu narsumber atau informan dari pihak
penjual yaitu sebagi berikut :
Data informan penjual buah
No Nama Penjual Buah Pekerjaan
1. Muhadi Kelengkeng Petani
2. Masrukhan Duku Wiraswasta
3. Siti Mariyam Duku Pedagang
4. Rokhim Durian Petani
Pembeli adalah orang yang membeli buah kelengkeng, duku dan
durian secara musiman, dalam hal ini buah kelengkeng, duku dan durian
masih muda (pentil). Pada saat buah kelengkeng masih muda (pentil)
pembeli mulai membungkus (brongsong) buah kelengkeng supaya tidak
dimakan hewan (codot). Setelah tiba musim panen pembeli mulai
memanennya, biasanya untuk memanen buah kelengkeng dan duku itu
caranya sama yaitu satu pohon membutuhkan waktu satu hari. Beda
dengan durian membutuhkan waktu agak lama karena tingkat
kematangan dari setiap buah itu berbeda.
Dalam penelitian ini terdapat informan atau narasumber dari pihak
pembeli buah musiman yaitu sebagai berikut :
Data pembeli buah
70
No Nama Pekerjaan Pembeli Buah
1. Mustamim Wiraswasta Kelengkeng
2. Suroso Pedagang Duku
3. Poyo Serabutan Durian
4. Sukemi Pegawai Swasta Duku
Perjanjian yang dilakukan oleh penjual dan pembeli di Kecandran
ini sebenarnya sudah lama dilakukan, sebagaimana temuan penulis dalam
wawancara dengan narasumber.
“sistem jual beli musiman ini sudah dilakukan sejak lama mas,
kira-kira sepeuluh tahun yang lalu”/wawancara dengan Bapak
Muhadi penjual buah kelengkeng 20 Januari 2018.
“saya sudah melakukan jual beli musiman ini kira-kira hampir
limabelas tahun mas sudah cukup lama”/wawancara dengan Ibu
Siti Mariyam penjual buah duku pada tanggal 14 Maret 2018.
Sistem jual beli yang dilakukan penjual dan pembeli yaitu sistem
jual beli musiman.
“sistem jual beli disini dari sepuluh tahun terakhir ini menggunakan
sistem jual beli musiman, mengenai perjanjiannya mas, yaitu
perjanjian telah sepakat untuk lima kali masa panen, dan apabila
selama lima kali masa panen itu ada musim panen yang kurang
baik atau gagal panen maka akan di ganti tahun
berikutnya”/wawancara dengan Bapak Mustamim pembeli buah
kelengkeng 20 Februari 2018.
“jual beli musiman ini saya lakukan beberapa tahun terakhir ini
mas, mengenai perjanjianya jual beli musiman setiap tahunnya
kadang saya juga merasa rugi mas kalau buah durianya
71
busuk/boleng”/wawancara dengan bapak Poyo pembeli buah
durian pada tanggal 15 Maret 2018.
Mengenai akad atau perjanjian yang di buat oleh kedua belah
pihak, bahwa telah terjadi ijab dan qabul antar penjual dan pembeli
sebelum masa panen tiba dan telah di anggap sah dan memenuhi unsur
perjanjian. Jual beli dengan sistem musiman ini sudah sesuai kesepakatan
saling rela. Kekuatan Hukum menurut penjual terkait dengan sistem jual
beli musiman ini bahwa sistem ini sudah sesuai dengan Hukum karena
telah terjadi kesepakatan antara penjual dengan pembeli, dan tidak ada
paksaan atau tekanan dan sudah memenuhi unsur perjanjian atau akad
sebagaimana hasil wawancara dengan narasumber.
“menurut saya ya mas sistem jual beli musiman ini sudah sesuai
dengan Hukum, karena sudah ada kesepakatan antaran saya dengan
pembeli. jadi ya sistem ini tidak bertentangan dengan hukum dan
sah-sah saja mas”/wawancara dengan Bapak Muhadi penjual buah
kelengkeng 20 Januari 2018.
“menurut saya sudah sesuai Hukum karena sudah ada perjanjian
sebelumnya mas, karena sebelum masa panen sudah ada
kesepakatan”/wawancara dengan Bapak Rohkim penjual buah
durian 15 Maret 2018.
Penjual yang mempunyai buah-buahan melakukan perjanjian jual
beli musiman untuk memenuhi kebutuhan yang begitu mendesak seperti
yang ditemukan peneliti ketika mewawancarai narasumber.
“jadi gini mas, alasan saya jual musiman karena kebutuhan
ekonomi yang sangat mendesak. makanya saya jual selama lima
musim”/wawancara dengan Bapak Muhadi penjual buah
kelengkeng 20 Januari 2018.
72
“untuk menambah kebutuhan rumah mas”/wawancara dengan
Bapak Masrukhan penjual buah duku pada tanggal 14 Maret 2018.
Pada umumnya pembeli ini melakukan perjanjian jual beli
musiman adalah untuk mencari keuntungan. Alasan lainnya yaitu
menolong tetangga yang sedang membutuhkan uang. Sebagaimana temuan
peneliti dalam wawancara penulis dengan narasumber.
“ya namanya pembeli ya mencari keuntungan mas. Selain mencari
keuntungan juga saling tolong menolong”/wawancara dengan
Bapak Mustamim pembeli buah kelengkeng 20 Februari 2018).
“mencari keuntungan mas tetapi kadang juga rugi kalau buah duku
gagal panen”/wawancara dengan Bapak Suroso pembeli buah duku
pada tanggal 14 Maret 2018.
“alhamdulillah mas mesti keuntunganya sedikit bisa menjadi
tambahan kebutuhan”/wawancara dengan Bapak Sukemi pembeli
buah duku pada tanggal 14 Maret 2018.
Adapun cara penjual untuk menawarkan buah kepada pembeli
yaitu penjual mendatangi langsung kerumah pembeli.
”jadi gini mas, saya mendatangi langsung kerumah Pak Mustamim
dan saya menawarkan buah kelengkeng untuk dibeli secara
musiman selama lima musim di bayar di awal. Satu usimnya itu di
harga 200.000 jadi kalau lima musim 1.000.000. Dan Pak
Mustamim menyetujui untuk membelinya selama lima
musim”/wawancara dengan Bapak Muhadi penjual buah
kelengkeng 20 Januari 2018).
“jadi gini mas saya menemui pemilik buah durian untuk mebelinya
dengan harga 1.200.000 dua pohon”/wawancara dengan Bapak
Poyo pembeli buah durian pada tanggal 15 Maret 2018.
Adapu transaksi yang digunakan penjual dan pembeli yaitu pembeli
memberikan uang secara langsung kepada penjual. Sebagaimana
temuanpenulisdalamwawancaradengannarasumber.
73
“sayamembayarlangsungkepada Pak Muhadiuntuk lima
musimkedepan”/wawancara dengan Bapak Mustamim pembeli
buah kelengkeng 20 Februari 2018.
“jadi saya langsung memberikan uang kepada Ibu Siti Mariyam
dengan jumlah yang sudah di sepakati mas”/wawancara dengan
Bapak Suroso pembeli buah duku pada tanggal 14 Maret 2018.
Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa,
sistem penjualan buah kelengkeng musiman dilakukan oleh sebagian
penduduk di Desa Kecandran dikarenakan kebutuhan ekonomi yang
mendesak. Dengan cara inilah pembeli dapat dengan mudah mendapatkan
keuntungan karna selain harganya relatif murah. Sehingga pembeli bisa
mendapatkan keuntungan sekalipun itu sedikit dan pembeli juga bisa
tolong-menolong.
E. Perspektif Hukum Islam tentang Praktik Jual Beli Musiman
Dalam kehidupan bermasyarakat saling tolong menolong dan
membantu antar sesama itu diharuskan. Karena sebagai makhluk sosial
kita tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal tersebut
dijelaskan di dalam Surat Al-Maidah Ayat 2 :
Artinya : “Dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
permusuhan. Bertakwalah kepada Allah,sungguh, Allah
sangat berat siksa-Nya”.
74
Salah satu bentuk muamalah dalam bermasyarakat yaitu jual beli.
Dalam praktik jual beli harus memenuhi aturan terkait syarat dan rukun
yang sesuai dengan syariat Islam sebagaimana yang telah di utarakan
dalam bab II bahwa jual beli di anggap sah apabila memenuhi syarat
dan rukun yang telah di tentukan dalam Islam.
1. Dilihat dari Segi Rukun
Sudah dijelaskan dalam Hukum Islam bahwa pelaksanaa jual beli
musiman itu harus memperhatikan ketentuan yang bisa menjamin
dalam pelaksaanya tidak merugikan salah satu pihak. Dalam
menjalankan ketentuan tersebut maka di butuhkan Rukun dan Syarat.
Berdasarkan hal tersebut penulis akan mencoba meninjau
pelaksanaan praktik jual beli musiman.
Dalam jual beli terdapat rukun yaitu sighat atau ijab qabul, „aqid
(penjual dan pembeli), ma‟qud alaih (objek akad).
a. Aqad atau ijab qabul
Sighat ijab qabul antara penjual dan pembeli misalnya
seseorang berkata,”kuserahkan pohon ini kepadamu untuk
di panen buahnya selama lima musim dengan pembayaran
di awal. Untuk satu musim buah kelengkeng dengan harga
Rp 200.000 jadi selama lima musim Rp 1.000.000, apabila
hasil panen tidak bagus maka saya yang akan memanennya
dan kamu akan di gantikan dengan musim selanjutnya”.
75
Kemudian pembeli menjawab”aku akan melaksanakan
semua ketentuan yang telah engkau ucapkan”.
b. „aqid (penjual dan pembeli)
Syarat penjual dan pembeli yang melakukan aqad yaitu
baligh berakal agar tidak mudah ditipu orang. Batal aqad
anak kecil, orang gila, orang bodoh, sebab mereka tidak
pandai mengendalikan harta dan beragama Islam syarat ini
khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu
misalnya seseorang dilarang menjual hambanya yang
beragama Islam sebab besar kemungkinan pembeli tersebut
akan merendahkan abid yang beragama Islam. Dalam
penelitian ini penjual dan pembeli sudah baligh dan
berakal.
c. Ma‟qud alaih (obyek aqad)
Obyek yang digunakan dalam transaksi jual beli ini adalah
buah kelengkeng, duku dan durian. Objek jual beli itu harus
jelas atau tidak mengandung unsur gharar, tetapi hasil
penelitian dari penulis objek dalam buah musiman ini
mengandung unsur gharar atau ketidak jelasan. Obyek
tersebut merupakan barang yang belum diketahui maka dari
itu tidak boleh di perjual belikan dalam syariat Islam.
Dengan begitu timbul pertanyaan, bahwa ketidakjelasan
barang tersebut tidak sesuai dengan ketentuan syariat Islam,
76
maksudnya pemanfaatan barang tersebut bertentangan
dengan norma-norma agama yang ada. Misalnya jika
sesuatu barang di beli, yang tujuan pemanfaatan barang
untuk berbuat yang bertentangan dengan syariat agama
Islam dalam kata lain perbuatan yang dilarang, maka dapat
dikatakan bahwa barang yang demikian disebut dengan
gharar (belum kelihatan).
2. Dilihat dari segi syarat
Sudah dijelaskan dalam Hukum Islam bahwa pelaksanaa jual beli
musiman itu harus memperhatikan ketentuan yang bisa menjamin
dalam pelaksaanya tidak merugikan salah satu pihak. Dalam
menjalankan ketentuan tersebut maka di butuhkan Rukun dan Syarat.
Berdasarkan hal tersebut penulis akan mencoba meninjau
pelaksanaan praktik jual beli musiman.
Dalam jual beli terdapat syarat yaitu baligh, berakal, beragama
Islam
a. Baligh berakal agar tidak mudah ditipu orang. Batal akad anak
kecil, orang gila, orang bodoh, sebab mereka tidak pandai
mengendalikan harta. Oleh karena itu, anak kecil, orang gila
dan orang bodoh tidak boleh menjual harta sekalipun miliknya,
Allah berfirman:
فهآء اموالك )النسآء:ة(ول ثؤث ؤ االس
77
“Dan janganlah kamu berikan hartamu kepada orang-orang
yang bodoh” (Al-Nisa:5)
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa harta tidak boleh
diserahkan kepada orang bodoh. „Illat larangan tersebut ialah
karena orang bodoh tidak cakap dalam mengendalikan harta,
orang gila dan anak kecil juga tidak cakap dalam mengelola
harta sehingga orang gila dan anak kecil juga tidak sah
melakukan ijab qabul. Para pelaku di desa Kecandran ini sudah
dalam kategori Baligh dan berakal.
b. Beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam
benda-benda tertentu, misalnya seseorang dilarang menjual
hambanya yang beragama Islam sebab besar kemungkinan
pembeli tersebut akan merendahkan abid yang beragama
Islam, sedangkan Allah melarang orang-orang mukmin
memberi jalan kepada orang kafir untuk merendahkan
mukmin, firman-Nya:
“Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan bagi orang kafir
untuk menghina orang mukmin” (Al-Nisa:141) (Suhendi,
2014: 74-75).
Dalam praktik jual beli musiman di desa Kecandran para pihak
yang melakukan transaksi yaitu penjual dan pembeli beragama Islam
78
c. Kehendak sendiri (bukan paksaan)
Tidak sah jika ada unsur pemaksaan terhadap hartanya
tanpa kebenaran karena tidak ada kerlaan darinya.Adanya
kerelaan tidak dapat dilihat sebab kerelaan berhubungan
dengan hati, kerelaan dapat diketahui melalui tanda-tanda
lahirnya, tanda yang jelas menunjukan kerelaan adalah ijab dan
kabul, Rasulullah SAW bersabda :
ت قن ا ثنا ن ال عن أ ب هر يرة رض عن النب ص م قا ل ل ي
عن تر ا ض )روه ا بو داود و التمذي(
“dari abi hurairah R.A. dari Nabi SAW bersabda: janganlah
dua orang yang jual beli berpisah, sebelum saling meridhai”
(Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi).
ما البيع عن تراض )رواةابن مجاة( ه قال النب م ا
“Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya jual beli hanya sah
dengan saling merelakan” (Riwayat Ibn Hibban dan Ibn
Majah).
Para pelaku jual beli musiman di desa Kecandran ini kedua belah
pihak saling rela karena tidak ada unsur paksaan dari siapapun.
d. Barang harus jelas
Jual beli buah-buahan yang belum sempurna keadaanya
(ngijo masih kembang, muda belum musimnya) tidak boleh,
79
termasuk jual beli gharar. Jual beli buah-buahan yang masih
dipohonya, tetapi sudah sempurna keadannya, sudah tua, sudah
masak atau sudah bisa dimanfaatkan (yang segera dipetik)
boleh, sebab sudah jelas keadannya.
Sesuai dengan sabda Nabi SAW :
(اخر جه البخا ري ومسلمل ثباع الثمرة حت يبد و صل حا )
Artinya : “Buah-buahan tidak dijual belikan sehingga jelas
baiknya”. (HR. Bukhari dan Muslim) (Salomo, 1978: 193).
Praktik jual beli di desa Kecandran termasuk gharar karena
terdapat ketidak jelasan buah belum masak, masih kembang. Peneliti dapat
menyimpulkan bahwa jual beli musiman ini tidak sesuai dengan Hukum
Islam.
Dari pemaparan diatas penulis menyatakan bahwa jual beli yang
dilakukan tersebut jika dilihat dari segi obyek barang yang
diperjualbelikan adalah sah menurut Hukum Islam karena barang yang
diperjualbelikan bukan barang yang najis, bermanfaat, kepemilikan penuh
dari si pemilik pohon kelengkeng, duku dan durian.
Menurut pemaparan yang dituliskan pada bab 2, jual beli buah
kelengkeng, duku dan durian tersebut menggunakan sistem transaksi jual
beli musiman yang dibayarkan sekaligus diawal perjanjian padahal buah
tersebut belum masa panen. Beberapa ulama mengatakan bahwa transaksi
80
seperti itu tidak boleh dilakukan dengan alasan buah-buahan tersebut
belum sempurna keadaanya termasuk jual beli gharar seperti yang sudah
ditulis pada bab 2.
Dari penjelasan diatas yang menjadi suatu kemungkinan tidak
sahnya jual beli musiman adalah tidak diketahui jumlahnya. Jadi secara
keseluruhan bahwa jual beli buah kelengkeng, duku dan durian yang
dilakukan di Kecandran menurut Hukum Islam tidak boleh dan tidak sah
karena tidak jelasnya karena buah tersebut belum tampak kebaikan atau
kelayakanya namun sudah dibayar semunya diawal perjanjian.
Dalam praktik pelaksanaan jual beli musiman di Kecandran pihak
penjual telah menjual buah kelengkeng selama lima musim, duku selama
tiga musim dan durian setiap musim. Sementara dari pihak pembeli
membayar di awal buah kelengkeng, duku dan durian selama beberapa
musim kedepan dan apabila gagal panen maka yang memanen buah
kelengkeng, duku dan durian itu penjual dengan ketentuan si pembeli di
gantikan dengan tahun berikutnya.
Walaupun didalam praktik jual beli musiman terdapat ijab dan
qabul karena unsur kerelaan antara penjual dan pembeli, namun dalam
unsur kerelaan tersebut masih mengandung ketidak jelasan pada obyek
(kesamaran) maka hal tersebut tidak di benarkan dalam Islam. Pada
dasarnya praktik jual beli buah kelengkeng, duku durian musiman di
Kecandran Kecamatan Sidomukti Salatiga adalah dalam faktor kebutuhan
ekonomi (tolong-menolong).
81
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan jual beli di desa Kecandran ini awal mulanya karena
faktor ekonomi, penjual telah menjual buah yang ada di pohon yang
dimilikinya kepada pembeli dengan sistem musiman yaitu satu pohon
kelengkeng dibayar lima musim sekali, pohon duku dibayar tiga tahun
sekali dan durian satu tahun sekali. Praktik jual beli dengan sistem
musiman di desa Kecandran ini adalah menggunakan akad jual beli,
dimana pemilik pohon meminjamkan pohonya untuk di panen buahnya
kepada pembeli dan dari hasil panen semuanya menjadi hak milik
pembeli, tetapi apabila buah kelengkeng setiap satu musim gagal
panen maka yang berhak memanen adalah si pemilik pohon atau
penjual dan akan digantikan musim berikutnya. Kalau buah duku
apabila gagal panen juga yang berhak memanen adalah pemilik pohon
tetapi Cuma digantikan selama satu musim saja. Berbeda lagi dengan
durian tidak akan mendapatkan ganti rugi dari pemilik pohon atau
penjual.
2. Pelaksanaan jual beli musiman di desa Kecandran dalam pandangan
Hukum Islam adalah termasuk dalam akad jual beli. Selain itu, dapat
diketahui bahwa dalam praktiknya tersebut terdapat sifat gharar yang
82
tidak sempurnanya akad jual beli karena terdapat ketidakjelasansuatu
barang yang belum terlihat tetapi sudah dilakukan pembayaran diawal.
B. Saran
1. Masyarakat Akademis
Perlunya pihak masyarakat akademis untuk mengevaluasi kembali
praktik jal beli musiman tersebut supaya tidak terjadi lagi dan
diharapkan bisa memberi contoh kepada masyarakat biasa supaya
melakukan transaksi jual beli dengan cara yang biasa saja yang pasti
barang harus jelas dan tidak ada unsur gharar nya.
2. Tokoh Agama
Diharapkan memberi wawasan kepada masyarakat tentang jual beli
yang sesuai dengan Hukum Islam untuk menghindari sifat gharar
sehingga ketidakjelasan buah yang tumbuh dapat dihindari.
3. MasyarakatUmum
Hendaknya antara penjual dan pembeli mentaati apa yang sudah
ditetapkan dalam syarat dan rukun jual beli agar transaksi jual beli
tersebut menjadi berkah dan tanpa adanya kesalahpahaman di waktu
kemudian.
83
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an dan Terjemahnya.
BUKU-BUKU
Al-Ghazali, Imam. 2002. Benang Tipis Antara Halal dan Haram. Surabaya: Putra
Pelajar.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.
Bungan, Burhan. 2001. Metode Penelitian Sosial: Format Kuantitatif dan
Kualitatif. Surabaya: Airlangga University.
Djuwaini, Dimyauddin. 2008. Pengantar Fiqh Muamalah. Yoyakarta:Pustaka
Pelajar.
Farida Khiftiyani Ifda. 2016. Tinjauan Hukum Islam terhadap jual beli sawah
tahunan di Desa Ngabar Kecamatan Siman Kabupaten Ponorogo.STAIN
Ponorogo.
Huda, Qamarul. 2011. Fiqh Muamalah. Yogyakarta:Teras.
J. Moleong, Lexy. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Moleong, J, Lexy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya.
J. Moloeng, Lexy. 2011 .Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya.
Mantoro Adi. 2014. Tinjauan Hukum Islam terhadap jual beli buah jambu
alpukat musiman (Studi kasus di Desa Kota Batu Kecamatan Warkuk Ranau
Selatan Sumatra Selatan). STAIN Ponorogo.
Miru, Ahmadi. 2012. Hukum Kontrak Bernuansa Islam. Jakarta:PT raja grafindo
persada.
Mubarok, Abu Hazim. 2013. FIQH IDOLA Terjemahan Fathul Qarib. Jawa
Barat: Mukjizat.
Nawawi, Ismail. 2012. Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Pasaribu, Chairuman dan Suhrawardi K. Lubis.1996. Hukum Perjanjian Dalam
Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Rasjid, Sulaiman, Haji. 2014. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Aglensindo.
84
Romy, Soemitro. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Junemetri. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Rusyd, Ibn. 2007. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Mustashid. Jakarta: Pustaka
Amani.
Suhendi, Hendi, Haji. 2104. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers.
Tsamrotul Fikriyyah. 2008.Tinjauan Hukum Islam terhadap kontrak pohon
mangga di Desa Pawidean Kecamatan Jatibarang Kabupaten Indramayu.
UIN Sunan Kalijaga.
INTERNET
http://digilib.uin-suka.ac.id/147diaksespadatanggal 17 Januari 2018
http://etheses.iainponorogo.ac.id/1940diaksespadatanggal 17 Januari 2018
http://etheses.iainponorogo.ac.id/145diaksespadatanggal 17 Januari 2018
85
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Curriculum Vitae
Data Pribadi
Nama : Feri Firdaus
Tempat/Tanggal Kelahiran : Kab. Semarang/ 03 Mei 1995
Alamat : Gedongan RT 02/RW 02 Kecandran
Kecamatan Sidomukti Kota Salatiga
Email : [email protected]
Nomor Telepon : 085701550748
Pekerjaan : Mahasiswa
Agama : Islam
Riwayat Pendidikan
TK MA’ARIF KECANDRAN, Lulus Tahun 2001
SD NEGERI SIDOREJO LOR 02, Lulus Tahun 2007
MT NU SALATIGA, Lulus Tahun 2010
MAN SALATIGA, Lulus Tahun 20013
86
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN)
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya.
Hormat saya,
Feri Firdaus
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96