PRAKTEK JUAL BELI TANAH TANPA SERTIFIKAT MENURUT …repository.uinjambi.ac.id/512/1/SHE141581 HAIRUL...
Transcript of PRAKTEK JUAL BELI TANAH TANPA SERTIFIKAT MENURUT …repository.uinjambi.ac.id/512/1/SHE141581 HAIRUL...
-
1
PRAKTEK JUAL BELI TANAH TANPA SERTIFIKAT MENURUT HUKUM
ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1960 TENTANG
PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA
(Studi Kasus Di Desa Muara Belengo Kabupaten
Merangin Provinsi Jambi)
Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Dalam Ilmu Syariah
Oleh:
HAIRUL ADKAN
NIM: SHE. 141581
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
1439H / 2018M
-
2
-
3
-
4
-
5
-
6
MOTTO
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang
lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat
merupakan suatu kesatuan”.1
1 Q.S An-Nisa’ : 29
-
7
PERSEMBAHAN
السالم عليكن ورحمتاهلل وبركاته
Segala puji dan syukur kupanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
limpahan rahmat, kenikmatan, anugrah, kesempatan, dan kemudahan bagi
saya sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada panutan seluruh ummat manusia yaitu
nabi besar Muhammad SAW yang telah menuntun dan memberikan pengetahuan
sehingga kita bisa lebih dekat kepada Allah SWT.
Kupersembahkan skripsi ini kepada:
Ibundaku Tersayang Hazizah
Ayahandaku tecinta Samsuri
Untuk kakak dan adikku, Faisal Zahri, Marwanzi Dan Siti Mukarromah Terima kasih
selalu memberi semangat dan dukungan sehingga membuat saya
selalu tersenyum menghadapi getirnya rintangan ini semua.
Untuk dosen pembimbing dan dosen yang ada di fakultas syari’ah terkhusus jurusan
Hukum Ekonomi Syari’ah yang telah memberikan kontribusi
besar atas kesuksesan penulisan skripsi ini yang tidak bisa saya
sebutkan satu persatu, terima kasih untuk semuanya.
Untuk semua sahabat dan teman tidak lupa pula saya ucapkan terimakasih khususnya
Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah angkatan 2014 yang
penulis banggakan dan sayangi. Dan pada umumnya
seluruh teman seperjuangan.
Semoga cinta dan kasih sayang kalian semua akan dibalas oleh Allah SWT sebagai
amal ibadah dan mampu membawa manfaat bagi saya dalam
menjalani gelombang hidup dikemudian hari.
Amiin Ya Robbal Alamiin
Saya Hairul Adkan mengucapkan banyak terima kasih.
السالم عليكن ورحمتاهلل وبركاته
-
8
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr, Wb.
“Alhamdulillahi Robbil Aalamiin” dengan segala kerendahan hati, izinkan
penulis memanjatkan rasa syukur yang mendalam kepada Allah SWT yang senantiasa
membukakan pikiran dan hati untuk terus berjuang dalam menegakkan agama-Nya
serta memampukan penulis dalam menyelesaikan skripsi yang membahas tentang
“Praktek Jual Beli Tanah Tanpa Sertifikat Menurut Hukum Islam Dan
Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (Study Khasus Di Desa Muara Belengo Kabupaten Merangin Provinsi
Jambi” Sholawat dan salam tak pernah putus penulis sampaikan kepada pimpinan
sekaligus guru peradaban dunia Nabi Muhammad SAW yang telah banyak
memberikan keteladanan dalam berfikir dan bertindak.
Kemudian dalam penyusunan skripsi ini, penulis akui, tidak sedikit hambatan
dan rintangan yang penulis temui baik dalam pengumpulan data maupun dalam
penyusunannya. Dan berkat adanya bantuan dari berbagai pihak, terutama bantuan
dan bimbingan yang diberikan oleh dosen pembimbing, maka skripsi ini dapat
penulis selesaikan dengan baik. Oleh karena itu, hal yang pantas penulis ucapkan
adalah kata terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu penyelesaian
skripsi ini, terutama sekali Yang Terhormat:
1. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA. Selaku Rektor UIN STS Jambi.
-
9
2. Bapak Dr. A.A. Miftah, M.Ag. Selaku Dekan Fakultas Syariah UIN Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi.
3. Bapak H. Hermanto, Lc., M. HI., P.h.D. Dr. Rahmi Hidayati, S.Ag., M.HI dan Dr.
Yulianti, S.Ag., M.HI. Selaku Wakil Dekan I, II dan III di Lingkungan Fakultas
Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
4. Ibu Mariani, S.Ag., M.HI. Selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
5. Ibu Pidayan Sasnifa, S.Ag., M.E.Sy. Selaku Sekretaris Jurusan Hukum Ekonomi
Syariah Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
6. Bapak Drs. Bakhtiar L., M.HI. Selaku Dosen Pembimbing I yang telah
memberikan pencerahan dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Bapak Fauzi Muhammad S.Ag., M.Ag. Selaku Dosen Pembimbing II yang telah
membimbing, memberikan pemikiran, arahan, koreksi serta saran hingga
penulisan skripsi ini selesai.
8. Bapak dan Ibu dosen, asisten dosen, dan seluruh karyawan dan karyawati di
lingkungan Fakultas Syariah UIN STS Jambi.
9. Bapak dan Ibu pengawai Perpustakaan UIN STS Jambi dan Perpustakaan
Wilayah Provinsi Jambi atas segala bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Orang tua yang saya sayangi hormati dan sangat saya sayangi yang telah
mengasuh, memelihara, mendidik dan membesarkan penulis hingga seperti
sekarang ini.
-
10
11. Kakak dan adik tersayang, serta keluarga tercinta yang telah membantu dan
memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan perkuliahan ini.
12. Rekan-rekan seperjuangan khususnya Jurusan Hukum Ekonomi Syariah prodi
Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2014 yang telah memberikan motivasi, saran
dan kritikan dalam pembuatan skripsi ini.
13. Semua pihak yang telah begitu banyak membantu penulisan skripsi ini yang tidak
dapat penulis tuliskan satu persatu.
Semoga Allah SWT memberikan imbalan pahala dan dicatat sebagai amal
ibadah atas jasa bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak yang ikut membantu
dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Baik dari segi penulisan, penyusunan kata maupun penggunaan
bahasanya. Oleh karena itu penulis mengharapkan pada semua pihak untuk
memberikan sumbangan pemikiran saran maupun kritikan, yang bersifat membangun
demi kesempurnaan dan guna meningkatkan kualitas dari skripsi ini.
Demikianlah semoga Allah SWT senantiasa memberi hidayah-Nya kepada kita
semua Aamiin ya robbal’alamin.
Wasssalamu’alaikum Wr, Wb.
-
11
ABSTRAK
Jual beli pada hakikatnya tentulah bukan sesuatu yang dilarang dalam Islam apapun
bentuk dan objeknya, sebelum ada dalil yang melarangnya. Selain memperboleh
praktek jual beli, Islam juga mengatur tata cara jual beli yaitu dengan unsur suka
sama suka akan tetapi tidak boleh merugikan pihak lain. Sedangkan menurut
ketentuan yang berlaku jual beli dalam UUPA untuk menjamin kepastian hukum hak
atas tanah haruslah dilakukan dihadapan PPAT, akan tetapi terjadi di Desa Muara
Belengo ternyata masih banyak terjadi peralihan hak atas tanah yang dilakukan
dibawah tangan dalam arti tidak dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku, hal yang
demikian tentulah akan sangat merugikan pihak pembeli, karena dia hanya dapat
menguasai hak atas tanah secara fisik saja secara hukum kepemilikan atas tanah
tersebut adalah tetap pada penjual. Begitupun bila dikaitkan dengan Hukum Islam
praktek jual beli seperti ini tentu sesuatu yang dilarang, karena dalam praktek jual
beli tersebut ada pihak yang dirugikan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
praktek jual beli tanah tanpa sertifikat ditinjau dari Hukum Islam dan Undang-
Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam
penyusunan skripsi ini, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan
deskriptif kualitatif, dengan teknik mengumpulkan data interviu, dokumentasi dan
observasi. Penelitian ini deskriptif yaitu mengambarkan pokok masalah yang ada
dalam pokok bahasan secara kritis analitis apakah masalah itu sesuai dengan hukum
islam dan UUPA atau tidak, dengan pendekatan normative yaitu pendekatan melalui
norma-norma Hukum Islam berdasarkan nash Al-Qur’an, Hadits maupun Ijthad para
ulama serta undang-undangan yang berlaku dalam UUPA. Setelah melakukan
penelitian di Desa Muara Belengo Kabupaten Merangin Provinsi Jambi dapat diambil
kesimpulan antara lain: Pengetahuan serta pemahaman masyarakat terhadap praktek
jual beli tanah tanpa sertifikat, masih sangat-sangat kurang, sehingga mereka tidak
memikirkan dampak dari jual beli yang dilakukan. Sedangkan menurut Hukum Islam,
tidak boleh merugikan pihak lain dalam praktek jual beli, begitupun dengan kepastian
hukum yang sudah diatur secara jelas dalam UUPA.
-
12
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ..................................................................... ii
NOTA DINAS ............................................................................................. iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................. iv
MOTTO ....................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ........................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ................................................................................. vii
ABSTRAK ................................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 5
C. Batasan Masalah .............................................................................. 5
D. Tujuan Penelitian ............................................................................. 5
E. Manfaat Penelitian ........................................................................... 6
F. Kerangka Teori ................................................................................ 6
G. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 19
BAB II METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian ...................................................................... 21
B. Jenis dan Sumber Data ..................................................................... 22
C. Unit Analisis Data ............................................................................ 23
D. Instrumen Pengumpulan Data .......................................................... 23
E. Teknik Analisis Data ........................................................................ 25
F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 26
-
13
BAB III GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN
A. Histori, Geografi dan Demografi ..................................................... 28
B. Struktur Desa ................................................................................... 30
C. Keadaan Penduduk ........................................................................... 31
D. Keadaan Agama dan Adat Istiadat ................................................... 33
BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Praktek Jual Beli Tanah Di Desa Muara Belengo Kabupaten Merangin
Provinsi Jambi ..................................................................................
35
B. Status Hukum Jual Beli Tanah Tanpa Sertifikat Di Desa Muara
Belengo Kabupaten Merangin Provinsi Jambi menurut Hukum Islam
dan Undang-undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria .......................................................................
42
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 52
B. Rekomendasi .................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
CURRICULUM VITAE
-
14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanah sangat erat sekali hubunganya dengan kehidupan manusia. Setiap orang
tentu memerlukan tanah bahkan bukan hanya dalam kehidupan, untuk matipun
manusia masih memerlukan sebidang tanah.
Jumlah luas tanah yang dapat dikuasai oleh manusia terbatas sekali,
sedangkan jumlah manusia yang berhajat terhadap tanah senantiasa bertambah. Selain
bertambahnya jumlah manusia yang memerlukan tanah untuk tempat tinggal, juga
kemajuan dan perkembangan ekonomi, sosial, budaya dan teknologi menghendaki
pula tersedianya tanah yang banyak, umpamanya untuk perkebunan, peternakan,
pabrik-pabrik, perkantoran, tempat hiburan dan jalan untuk sarana perhubungan.2
Oleh karena itu, bertambah lama dirasakan seolah-olah tanah menjadi sempit,
sedangkan permintaan selalu bertambah. Maka tidak heran kalau nilai tanah jadi
meningkat tinggi. Tidak seimbangnya antara persediaan tanah dengan kebutuhan
akan tanah itu telah menimbulkan berbagai persoalan. Saat ini, untuk memperoleh
tanah dapat diperoleh dengan beberapa cara, yaitu dengan permohonan hak ataupun
dengan pemindahan hak.
2 John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1987), hlm.
37.
-
15
Dalam masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah lebih sering dilakukan
dengan cara pemindahan hak yaitu dengan jual beli.
Pemindahan hak atau peralihan hak adalah suatu perbuatan hukum yang
bertujuan memindahkan hak, antara lain: jual beli, hibah, tukar menukar, pemisahan
dan pembagian harta bersama dan pemasukan dalam perusahaan.
Perkataan jual beli dalam pengertian sehari-hari dapat diartikan, di mana
seseorang melepaskan uang untuk mendapatkan barang yang dikehendaki secara
sukarela.
Dalam Hukum Islam jual beli tanah atau transaksi jual beli tanah tentulah
bukan sesuatu yang di larang, asalkan memiliki kejelasan hak milik, kewajiban yang
dilakukan dipenuhi, serta tidak berefek kepada sosial masyarakat dan juga jual beli
atau transaksi tersebut haruslah sesuai dengan syariat Islam.3 Sebagaimana di
jelaskan dengan firman Allah SWT:
. . .
Artinya:“. . .Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. . .”.4
Selain menegaskan tentang kebolehan transaksi jual beli, dalam Al-Qur’an
juga menjelaskan tentang cara berlangsungnya transaksi jual beli tersebut, jual beli
atau transaksi didalam Al-Qura’an diartikan dengan Tijarah, cara berlangsungnya
3 Hasbi Umar, Filsafat Fiqh Muamalat Kontemporer, (Jakarta: Rajagrapindo Persada, 2014),
hlm. 207-208.
4 Al-Baqarah (2): 275.
-
16
Tijarah ini menurut Al-qur’an, harus ada prinsip suka sama suka dan bebas dari unsur
penipuan untuk mendapatkan sesuatu yang ada manfaatnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa yang menjadi kriteria suatu transaksi yang hak
dan sah dalam Islam adalah adanya prinsip suka sama suka serta bebas dari unsur
penipuan didalamnya. Dengan demikian, segala bentuk transaksi yang tidak terdapat
pada prinsip suka sama suka serta terdapat unsur penipuan, maka transaksi tersebut
adalah batil, dalam artian memakan harta orang lain secara tidak sah. Statemen ini
sesuai dengan penjelasan Al-Qur’an yang berbunyi:
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesama dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang bagimu”.5
Sedangkan menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, transaksi jual beli tanah serta peralihan hak milik atas
tanah dijelaskan dalam pasal 26 ayat 1 yaitu jual beli, penukaran, penghibahan,
pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain
yang di maksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur
dengan peraturan pemerintah.6
5 An-Nisaa’ (4): 29.
6 Iman Sjahputra Tunggal, Dkk, Peraturan Perundang-undangan Pertanahan Di Indonesia,
(Jakarta: Harvindo, 1997), hlm. 704.
-
17
Adapun untuk menjamin kepastian hukum diatur dalam Pasal 19 UUPA, yaitu
untuk menjamin kepastian hukum, oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di
seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan
peraturan pemerintah. Pendaftaran tersebut meliputi pengukuran, pemetaan, dan
pembukuan tanah, pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan haknya, serta
pemberian surat tanda bukti hak (sertifikat) yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat.7
Dalam praktek transaksi jual beli tanah yang terjadi di Desa Muara Belengo,
Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Si penjual dalam hal ini pihak pertama tidak
memiliki bukti apapun baik itu sertifikat atau pun yang lainnya, yang menjadi tolak
ukur bahwa tanah tersebut miliki nya (si penjual) hanya keyakinan saja begitu pun
dalam menentukan luas serta batas-batasan tanah tersebut.
Si pembeli dalam hal ini pihak kedua menyetujui jual beli tersebut tanpa bukti
yang kuat dari status tanah tersebut, yang menjadi pegangan si pembeli yaitu surat
jual beli yang di setujui kedua belah pihak dan ada juga yang hanya sebatas akad saja.
Akan tetapi yang sering dilakukan masyarakar Desa Muara Belengo dalam transaksi
jual beli tanah tanpa sertifikat hanya sebatas akad saja.
Hasil grandtour terhadap transaksi jual beli tanah ini di mana masih
banyaknya ditemukan permasalahan yaitu: pertama, tidak adanya kepastian hukum
terhadapat status tanah yang di perjualbelikan sebagimana dijelaskan dalam pasal 19
UUPA, untuk menjamin kepastian hukum, tanah tersebut harus terdaftar atau
7 Ibid., hlm. 705.
-
18
mempunyai sertifikat sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan
pemerintah. Kedua, dari sudut pandang Hukum Islam, dijelaskan bahwa jual beli
harus didasari dengan prinsip suka sama suka serta bebas dari unsur penipuan
didalamnya atau merugi kan pihak lain. Dalam praktek jual beli diatas tentu ada pihak
yang dirugikan yaitu apabila terjadi sengketa terhadap hak kepemilikan atas tanah
tersebut, pihak kedua tentu tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak ada bukti yang
kuat secara hukum.8
Sehingga hal ini menjadi sebuah permasalahan yang penulis ingin untuk
mengkaji dan mengangkat menjadi sebuah penelitian. Oleh karena itu penulis tertarik
untuk melakukan penelitian yang berjudul. “Praktek Jual Beli Tanah Tanpa
Sertifikat Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang No 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Studi Kasus Di Desa Muara
Belengo Kabupaten Merangin Provinsi Jambi)”.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian dan penulisan
skripsi ini antara lain adalah:
1. Bagaimana praktek jual beli tanah di Desa Muara Belengo Kabupaten Merangin
Provinsi Jambi ?
2. Bagaimana status hukum jual beli tanah tanpa sertifikat di Desa Muara Belengo
Kabupaten Merangin Provinsi Jambi menurut Hukum Islam dan Undang-undang
No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria ?
8 Observasi, 22 Juni 2017.
-
19
C. Batasan Masalah
Sebagaimana telah ditemukan terdahulu dalam latar belakang masalah serta
dari pengamatan awal (grand tour) ditemukan fenomena-fenomena yang dipilih
sebagai objek perhatian untuk dikaji secara ilmiah. Penelitian ini di fokuskan pada
kajian Praktek Jual Beli Tanah Tanpa Sertifikat Menurut Hukum Islam Dan Undang-
Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
D. Tujuan Penelitian
Bertolak dari latar belakang diatas, tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui praktek jual beli tanah di Desa Muara Belengo Kabupaten
Merangin Provinsi Jambi.
2. Untuk mengetahui status hukum jual beli tanah tanpa sertifikat di Desa Muara
Belengo Kabupaten Merangin Provinsi Jambi menurut Hukum Islam dan
Undang-undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria.
E. Manfaat Penelitian
Apabila tujuan-tujuan diatas sudah terlaksana dengan baik, maka penelitian
ini akan dipergunakan sebagai berikut:
1. Memberi sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya,
dan pengetahuan di bidang Hukum Ekonomi Syari’ah khususnya mengenai
hukum praktek jual beli tanah tanpa serifikat.
-
20
2. Penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian keilmuan dan pengetahuan
dalam studi Hukum Ekonomi Syari’ah yang berkaitan dengan transaksi jual beli.
3. Penulisan karya ilmiah ini berguna untuk menyusun skripsi yang menjadi salah
satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) pada jurusan
Hukum Ekonomi Syari’ah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi.
F. Kerangka Teori
Landasan berfikir dalam menganalisis, menelaah dan mengkaji serta
menjabarkan permasalahan yang diteliti maka diperlukan suatu rujukan dan konsep
para ahli atau pakar dalam bidang sesuai dengan masalah yang diteliti.
Bertolak dari permasalahan yang diteliti tentang “Praktek Jual Beli Tanah
Tanpa Sertifikat Menurut Hukum Islam dan Undang-undang No 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria di Desa Muara Belengo Kabupaten
Merangin Provinsi Jambi”.
Maka teori yang di kembangkan dalam kerangka berfikir ini adalah tentang
Praktek Jual Beli Tanah Tanpa Sertifikat Menurut Hukum Islam dan Undang-undang
No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria di Desa Muara
Belengo Kabupaten Merangin Provinsi Jambi, diantaranya sebagai berikut :
1. Pengertian jual beli secara umum
-
21
Perjanjian jual beli merupakan perjanjian penting yang kita lakukan sehari-
hari, namun kita kadang tidak menyadari bahwa apa yang kita lakukan merupakan
suatu perbuatan hukum yang tentu saja memiliki akibat hukum.
Akan tetapi perjanjian jual beli yang berlansung tidak antara penjual dan
pembeli tidak selamanya merupakan perjanjian jual beli yang sederhana bahkan tidak
jarang menimbulkan masalah, diperlukan aturan hukum yang mengatur tentang
berbagai kemungkinan yang dapat timbul dalam perjanjian jual beli.
Oleh karena itu, masalah jual beli secara cermat dalam peraturan perundang-
undangan merupakan suatu kebutuhan yang mendasar karena jual beli yang terjadi di
masyarakat sangat beragam, baik dari jenis objek yang di perdagangkan maupun cara
membayarnya.9
Adapun pengertian jual beli secara umum yaitu suatu persetujuan dengan
mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan
pihak yang lain untuk membayar pihak lain yang telah di janjikan (pasal 1457 BW).
Dari pengertian diatas, dapat dikemukakan lebih lanjut bahwa:
a. Terdapat 2 (dua) pihak yang saling mengikat dirinya, yang masing-masing
mempunyai hak dan kewajiban yang timbul dari perikatan jual beli tersebut.
b. Pihak yang satu berhak untuk mendapatkan/menerima pembayaran dan
berkewajiban menyerahkan suatu benda, sedangkan pihak yang lainnya berhak
9 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, (Jakarta: Rajawali Press 2014),
hlm. 125-126.
-
22
atas mendapatkan atau menerima suatu kebendaan dan kewajiaban menyerahkan
suatu pembayaran.
c. Hak bagi pihak yang satu merupakan kewajiban bagi pihak lainnya, begitupun
sebaliknya, kewajiban bagi pihak yang satu merupakan hak bagi pihak lainnya.
d. Bila salah satu pihak tidak terpenuhi atau kewajiaban tidak terpenuhi oleh salah
satu pihak, maka tidak akan terjadi perikatan jual beli.10
2. Jual beli tanah tanpa sertifikat menurut Undang-undang No 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
a. Pengertian jual beli tanah
Dalam UUPA istilah jual beli hanya disebutkan dalam pasal 26 ayat 1 dan 2
yang berbunyi sebagai berikut:
1) Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut
adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak
milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.11
2) Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung
memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warganegara yang
disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing atau
kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah termaksud
10
Daeng Naja, Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis, (Bandung:
Citra Aditya Bakti 2006), hlm. 34.
11
Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal
26 Ayat 1 dan 2.
-
23
dalam pasal 21 ayat 2, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada
Negara, dengan ketentuan, bahwa pihak-pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat
dituntut kembali.
Sedangkan yang dimaksud dengan jual beli tanah itu sendiri UUPA tidak
menerangkan secara jelas, akan tetapi hal tersebut dikaitkan dengan pasal 5 UUPA
yang menyatakan Hukum Tanah Nasional kita adalah Hukum Adat, berarti kita
menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum, dan sistem hukum adat.
Hukum adat yang dimaksudkan dalam pasal 5 UUPA tersebut adalah hukum
adat yang telah di hilangkan dari cacat-cacatnya atau hukum adat yang sudah di
sempurnakan atau hukum adat yang sudah di hilangkan sifat kedaerahannya dan di
beri sifat nasional.12
Pengertian jual beli tanah menurut hukum adat merupakan perbuatan
pemindahan hak, yang sifatnya tunai, riil dan terang. Sifat tunai berarti bahwa
penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Sifat riil
berarti bahwa dengan mengucapkan kata-kata dengan mulut saja belum lah terjadi
jual beli. Jual beli tersebut di anggap sah apabila di lakukan secara tertulis atau
kontrak jual beli di hadapan kepala desa serta penerimaan harga penjual, meskipun
tanah yang bersangkuatan masih dalam penguasaan si penjual. Sifat terang berarti
12
Andrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), hlm. 76-77.
-
24
jual beli di lakukan menurut peraturan tertulis yang berlaku. Hal ini di kuatkan
dengan putusan MA No. 271/K/Sip/1956 dan No. 840/K/Sip/1971.
b. Syarat-syarat jual beli tanah menurut UUPA
1) Syarat materil
Syarat materil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut, antara
lain sebagai berikut:
a) Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan, maksudnya adalah pembeli
sebagai penerima hak harus memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang akan di
belinya. Sebagaimana di jelaskan dalam pasal 21 UUPA, yaitu yang dapat hak
milik atas tanah hanya warga negara Indonesia dan badan hukum yang di
tetapakan oleh pemerintah. Jika pembeli mempunyai kewarganegaraan asing atau
kepada suatu badan hukum yang di kecualikan oleh pemerintah, maka jual beli
tersebut batal karena hukum dan tanah jatuh pada negara (pasal 26 ayat 2
UUPA).13
b) Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan, akan tetapi apabila pemilik
tanah dua orang maka yang berhak menjual tanah itu ialah kedua orang tersebut
secara bersama-sama.
c) Tanah hak yang bersangkuatan boleh di perjual belikan dan tidak sedang dalam
sengketa, hal ini diatul dalam UUPA (pasal 20) hak milik, (pasal 28) hak guna
usaha, (pasal 35) hak guna bangunan, (pasal 41) hak pakai.
2) Syarat formal
13
Ibid., hlm. 78-79.
-
25
Untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam setiap peralihan hak atas
tanah, sebagaimana yang di jelaskan dalam PP No. 24 Tahun 1997 sebagai pengatur
pelaksana dari UUPA telah menentukan bahwa setiap perjanjian yang dimaksud
memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh
dan di hadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah).
Sebelum akta jual beli dibuat PPAT, maka disyaratkan bagi para pihak untuk
menyerahkan surat-surat yang diperlukan kepada PPAT, yaitu:
a) Jika tanahnya sudah bersertifikat: sertifikat tanah yang asli dan tanda bukti
pembayaran biaya pendaftaranya.
b) Jika tanahnya belum bersertifikat: surat keterangan bahwa tanah tersebut belum
bersertifikat, surat-surat tanah yang ada yang memerlukan penguatan oleh kepala
desa dan camat, dilengkapi dengan surat-surat yang membuktikan identitas
penjual dan pembelinya yang diperlukan untuk persertifikatan tanahnya setelah
selesai dilakukan jual beli.
c. Tata cara jual beli tanah dalam pelaksanaannya menurut UUPA dengan
peraturan pelaksaannya
Tata cara dalam pelaksanaannya menurut UUPA dengan peraturan
pelaksaannya, secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Calon pembeli dan penjual sepakat untuk melakukan jual beli menentukan sendiri
segala sesuatunya, tentang tanah dan harganya.14
14
Harun Al–Rashid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan–Peraturanya),
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm 51.
-
26
2) Calon pembeli dan penjual datang sendiri atau mewajibkan kepada orang lain
dengan surat kuasa, menghadap kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
(Kepala Kecamatan, Notaris atau lainnya yang diangkat oleh pemerintah).
3) Dalam hal tanah yang akan dijual itu belum dibukukan (belum bersertifikat),
maka diharuskan kehadiran Kepala Desa atau seorang anggota Pemerintah Desa
yang disamping akan bertindak sebagai saksi, juga menjamin bahwa tanah yang
akan dijual itu memang betul adalah milik penjual dan ia berwenang untuk
menjualnya.
4) Dalam hal tanah yang akan dijual itu sudah dibukukan (sudah ada sertifikat)
dihadiri dua orang saksi, tidak harus Kepala Desa dan anggota pemerintah desa.
Tetapi apabila Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menganggap perlu (jika ada
keraguan tentang wewenang orang yang melakukan jual beli itu), maka PPAT
dapat meminta kehadiran Kepala Desa dan seorang anggota Pemerintah Desa dari
tempat letak tanah yang akan dijual.
5) Kalau tanah yang dijual telah dibukukan, penjual harus menyerahkan sertifikat,
tetapi kalau belum di bukukan sebagai gantinya harus dibuat surat keterangan dari
Kepala Kantor Pertahanan yang menyatakan bahwa tanah itu belum dibukukan.
6) Setelah PPAT merasa cukup persyaratan, tidak ada halangan (umpamanya ada
persengketaan) dan tidak ragu-ragu lagi, maka PPAT membuat Akta Jual Beli
Tanah tersebut.
-
27
7) Selanjutnya dengan telah adanya akta tersebut, maka PPAT menguruskan
pendaftaran sampai mendapat sertifikat.
3. Jual beli tanah tanpa sertifikat menurut Hukum Islam
a. Pengertian jual beli
Jual beli menurut bahasa artinya pertukaran atau saling menukar. Sedangkan
menurut pengertian fiqih, jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang
lain dengan rukun dan syarat tertentu. Jual beli juga dapat diartikan menukar uang
dengan barang yang diinginkan sesuai dengan rukun dan syarat tertentu.15
Setelah
jual beli dilakukan secara sah, barang yang dijual menjadi milik pembeli sedangkan
uang yang dibayarkan pembeli sebagai pengganti harga barang, menjadi milik
penjual.
Jual beli yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syariat agama
Islam. Prinsip jual beli dalam Islam, tidak boleh merugikan salah satu pihak, baik
penjual ataupun pembeli. Jual beli harus dilakukan atas dasar suka sama suka, bukan
karena paksaan.16
Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”.17
15
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, cet. Ke-2 (Kencana 2012), hlm. 68-69.
16
Lihat Juga, Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat cet. Ke-2, (Jakarta: Amzah 2013), hlm.
184.
17
An-Nisa (4): 29.
-
28
b. Hukum jual beli
Hukum jual beli ada 4 macam, yaitu:
1) Mubah (boleh), merupakan hukum asal jual beli.
2) Wajib, apabila menjual merupakan keharusan, misalnya menjual barang untuk
membayar hutang.
3) Sunah, misalnya menjual barang kepada sahabat atau orang yang sangat
memerlukan barang yang dijual.
4) Haram, misalnya menjual barang yang dilarang untuk diperjualbelikan. Menjual
barang untuk maksiat, jual beli untuk menyakiti seseorang, jual beli untuk
merusak harga pasar, dan jual beli dengan tujuan merusak ketentraman
masyarakat.
c. Rukun jual beli
Jual beli dinyatakan sah apabila memenuhi rukun dan syarat jual beli. Rukun
jual beli berarti sesuatu yang harus ada dalam jual beli. Apabila salah satu rukun jual
beli tidak terpenuhi, maka jual beli tidak dapat dilakukan. Menurut sebagian besar
ulama, rukun jual beli ada empat macam, yaitu:
1) Penjual dan pembeli
2) Benda yang dijual
3) Alat tukar yang sah (uang)
4) Ijab Kabul
d. Syarat-syarat jual beli
http://basicartikel.blogspot.com/2013/07/rukun-jual-beli-dalam-islam.html
-
29
1) Berdasarkan Subjeknya:
a) Orang yang mengadakan transaksi jual beli seseorang yang dibolehkan untuk
menggunakan harta, yaitu orang yang baligh, berakal, merdeka dan rasyid
(cerdik bukan idiot).
b) Dengan kehendaknya sendiri (bukan dipaksa).
c) Keduanya tidak mubazir.
d) Baligh.
2) Berdasarkan Obyeknya:
a) Bersih barangnya
Bukan barang najis atau digolongkan sebagai benda yangdi haramkan.
b) Dapat dimanfaatkan
Dapat digunakan atau di konsumsi.
c) Milik orang yang melakukan akad
Pemilik sah barang tersebut atau telah mendapat izin dari pemilik sah barang.
d) Mampu menyerahkan
Penjual dapat menyerahkan barang yangdi jadikan sebagai objek jual beli.
e) Mengetahui
Mengetahui jumlah dan harga barang.18
f) Barang yang di akadkan di tangan
18
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta Timur, Sibar Grafika, 2012), hlm.
141-146.
-
30
Menjual barang yang belum di tangan dilarang, sebab bisa jadi barang
tersebut rusak atau tidak dapat di serahkan sebagaimana yang telah
diperjanjikan.
e. Macam-macam jual beli
Jual beli ada tiga macam yaitu sebagai berikut:
1) Jual beli barang yang dapat disaksikan langsung, seperti jual beli pulpen, tanah,
motor, mobil dal lain-lain yang jelas. Hukumnya boleh berdasarkan kesepakatan
para ulama.19
Jual beli seperti inilah yang umum terjadi dalam transaksi jika
syarat-syarat barang yang diperjual belikan dan syarat serta rukun jual beli telah
dipenuhi.
2) Jual beli sesuatu yang ditentukan sifat-sifatnya dalam tanggungan. Jual beli
seperti ini disebut akad salam atau pemesanan, yaitu jual beli barang yang tidak
langsung diserahkan dengan pembayaran secara tunai. Jual beli seperti ini
hukumnya boleh, menurut ijma’ ulama dengan syarat pembeli menyebutkan ciri-
ciri barang yang diperjual belikan yang akan diserahkan pada waktu itu juga
ditempat perjanjian.20
3) Jual beli yang tidak dapat disaksikan langsung. Jual beli demikian tidak sah,
menurut jumhur ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in selain mazhab hanafi.
19
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah. . ., ( Jakarta, Sinar Grafika, 2010), hlm. 177.
20
Altriani, Jual Beli Kulit Binatang Selain Anjing Dan Babi Setelah Disamak Menurut
Hukum Islam, (IAIN STS Jambi 2013), hlm. 7.
-
31
Sebab, Rasulallah melarang jual beli gharar. Sebagaimana yang dijelaskan dalam
hadistnya:
رواهمسلن () َعْنَأِبيُهَرْيَرَةَقاَلَنَهيَرُسىُلاللَِّهَصلَّياللَُّهَعَلْيِهَىَسلََّمَعْنَبْيِعاْلَحَصاِةَوَعْنَبْيِعاْلَغَرِر
Artinya:“Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah Saw melarang jual beli
hashah (yaitu: jual beli dengan cara melempar batu) dan beliau juga melarang
jual beli gharar”.21
f. Jual beli tanah tanpa sertifikat menurut Hukum Islam
1) Dasar hukum
Pada hakikatnya Islam memperbolehkan jual beli apapun bentuk dan
objeknya, sebelum ada dalil yang melarangnya. Begitupun dengan jual beli tanah atau
transaksi jual beli tanah tentu bukan sesuatu yang di larang didalam islam,
sebagaimana di jelaskan dengan firman Allah SWT:
. . .
Artinya:“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. . .”.22
Selain ayat diatas yang memperbolehkan perihal jual beli, Islam juga
mengatur transaksi jual beli secara tunai maupun tidak tunai. Hal ini sebagaimana di
jelaskan dalam firman Allah SWT yang berbunyi:
21
Ishamas Shababaty, Shahih Muslim jilid ke-4, (Darul Hadits, 1994), hlm. 64.
22
Al-Baqarah (2) 275.
-
32
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”.23
Selain dalil yang terdapat dalam Al-qur’an, kebolehan terhadap jual beli juga
dijelaskan dalam Hadits Rasulullah SAW sebagaimana sabda nya yang berbunyi:
Artinya:“Diriwayatkan Al Bazzar, Hakim, dinukil dari Taudhihul Ahkam bahwa
Rasulullah SAW bersabda: emas ditukar dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama
beratnya dan langsung diserah terimakan. Apabila berlainan jenis, maka jual
lah sesuka kalian namun harus langsung diserah terimakan atau secara
kontan”.
Berdasarkan dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa jual beli itu mubah
(boleh). Terkadang hukum mubah ini bisa berubah menjadi sunat bahkan wajib, jika
itu satu-satunya cara untuk mewujudkan kemaslahatan. Namun terkadang juga,
berubah menjadi haram karena ada persyaratan yang kurang atau terkadang
persyaratan jual beli sudah lengkap, namun tetap terlarang dalam syari’at.24
1) Kaidah jual beli tanah menurut Hukum Islam
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa jual beli tanah dalam Islam tentu
bukan sesuatu yang dilarang, asalkan memiliki kejelasan hak milik, kewajiban yang
dilakukan dipenuhi, serta tidak berefek kepada sosial masyarakat. Misalnya saja
23
Albaqarah (2) 282.
24
Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika 2008), hlm. 4.
-
33
dengan pembelian tanah tersebut, rumah warga miskin menjadi tergusur, hak air
mereka terkurangi, dan sebagainya.
Dalam hal jual beli tanah, maka ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan. Hal-hal ini biasanya sering kali menjadi masalah ketika kita akan
membeli tanah. Untuk itu, sebelum melakukan transaksi jual beli tanah, maka perlu
adanya pertimbangan tersendiri untuk kejelasan tanah yang diperjual belikan.25
Berikut ini adalah beberapa kaidah jual beli tanah dalam Islam didasarkan
pada prinsip-prinsip kejelasan dan keseimbangan dalam transaksi antara penjual dan
pembelinya:
a) Jelas batasnya
Dalam pembelian tanah maka kejelasan batas harus menjadi hal yang utama.
Hal ini untuk menjelaskan mana hak tanah yang nantinya akan menjadi milik kita dan
bukan setelah pembelian. Jika tanah tidak jelas batasannya di kemudian hari biasanya
akan terjadi konflik atau sengketa tanah karena proses klaim antara dua belah pihak
lain. Tentu dalam hal ini harus diperjelas dulu antara penjual dan pembeli tanah.
Kasus yang terjadi sering kali terdapat penipuan batas tanah yang akhirnya
merugikan salah satu pihak di waktu depan.26
b) Tidak menjual tanah yang tidak jelas kepemilikannya
25
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad Dalam Fikih
Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo 2007), hlm. 83.
26
Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarata:
Sinar Grafika 1996), hlm. 22-23.
-
34
Hendaknya kita pun tidak menjual atau membeli tanah yang tidak jelas
kepemilikannya. Hal ini pun berefek kepada jangka panjang akan menjadi masalah
dan konflik pula. Untuk itu sebelum proses jual beli tanah dilakukan hak kepemilikan
harus diperjelas terlebih dahulu.
c) Bukan tanah sengketa
Dalam proses jual beli tanah hendaknya kita pun memperhatikan apakah tanah
tersebut tanah sengketa. Jika tanah sengketa hendaknya tidak diperjual belikan karena
tentu merugikan salah satu pihak jelas akan terjadi. Tanah sengketa artinya tanah
yang bermasalah, jika diperjual belikan tentu masalahnya akan bertambah banyak.
Tanah sengketa ini tidak diperjual belikan sebelum nantinya adanya status
kepemilikan serta dinaungi oleh hukum yang berlaku.
d) Bukan tanah wakaf
Tanah wakaf tidak boleh diperjual belikan, hal ini dikarenakan sudah
dititipkan oleh nazir atau pemberi wakaf yang bersangkutan. Dalam hal ini tanah
wakaf adalah milik ummat, sehingga tidak ada penjual belian.27
e) Tanah yang berasal dari proses riba atau proses haram
Sebelum melakukan proses jual beli tanah, hendaknya memahami terlebih
dahulu apakah tanah tersebut terdapat uang riba atau uang yang haram. Karena riba
adalah larangan Allah dan tentu akan dilaknat Allah jika dilakukan oleh manusia.
Untuk itu, perlu memeriksa adakah riba disana dan apakah proses tanah tersebut
didapatkan dengan jalan yang halal.
27
Ibid., hlm. 24.
-
35
f) Kelengkapan dokumen dan tata aturan hukum dalam Negara
Dokumen adalah alat hukum yang sangat penting. Untuk itu dalam proses jual
beli tanah hendaknya ada dokumen terkait bagaimana tanah itu dijual, dibeli,
statusnya, harga, luas tanahnya, serta kepemilikannya. Untuk itu, ada sertifikat tanah
yang berarti sang pemilik sertifikat berhak dan boleh mendayagunakan tanahnya
selagi masih dalam ukuran hukum yang berlaku.
g) Mengolah dan Memberikan Manfaat
Setelah tanah diperjual belikan jangan sampai kita hanya membiarkannya
menjadi tidak terawat. Tentu harta tersebut menjadi tidak mengalir manfaatnya dan
berkahnya serta sia-sia saja. Maka hendaklah mengolahnya agar mendapatkan
manfaat dari tanah tersebut.
G. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka adalah uraian hasil-hasil penelitian terdahulu (penelitian-
penelitian lain). Terdapat penelitian judul skripsi yang berjudul “Praktek Jual Beli
Tanah Yang Belum Bersertifikat dan Pendaftarannya Menurut Peraturan Pemerintah
No 24 Tahun 1997 (Studi Kasus Dikantor Pertanahan Pati)”. bertujuan untuk
mengetahui Praktek Jual Beli Tanah Yang Belum Bersertifikat dan Pendaftarannya
yang di lakukan masyarakat di kantor pertanahan pati berdasarkan peraturan
pemerintah no 24 tahun 1997.
Skripsi yang berjudul “Jual Beli Tanah Yang Dilakukan Tanpa Akta Jual Beli
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) (Studi Kasus Perkara Nomor
-
36
220/Pdt.G/2006/PN.BKS)”. bertujuan untuk mengetahui Untuk mengetahui status
jual beli tanah yang dilakukan tanpa akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Khususnya Dalam Perkara Nomor: 220/Pdt.G/2006/ PN.Bks dan cara
penyelesaiannya.
Sedangkan penulisan skripsi ini membahas tentang Praktek Jual Beli Tanah
Tanpa Sertifikat Menurut Hukum Islam dan Undang-undang No 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (studi kasus Desa Muara Belengo
Kabupaten Merangin Provinsi Jambi). Perbedaannya adalah penulis membahas
tentang pandang Hukum Islam dan Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria terhadap praktek jual beli tanah tanpa
sertifikat.
-
37
BAB II
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah deskriftif kualitatif. Deskriftif
kualitatif merupakan metode yang digunakan untuk membedah suatu phenomena
dilapangan. Metode ini hanya memaparkan situasi atau peristiwa.28
Penelitian kualitatif dalam mengumpulkan dan menganalisa data tidak
berdasarkan angka-angka, tetapi bukan berarti tidak boleh memakai angka dalam
menerangkan gejala.29
Menurut Soejono Soekanto, penelitian deskriftif adalah
penelitian yang bermaksud memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia,
keadaan, atau gejala-gejala.
Berkaitan dengan penelitian yang mencoba menjelaskan Praktek Jual Beli
Tanah Tanpa Sertifikat Menurut Hukum Islam dan Undang-undang No 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Maka jenis penelitian ini adalah jenis
kualitatif. Metode ini ditekankan pada proses analisis yang mana untuk memaparkan
data untuk melihat praktek jual beli tanah tanpa sertifikat yang dilakukan oleh
masyarakat tersebut.
B. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
28
Iskandar, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Gaung Persada,2009), hlm. 11.
29
Sayuti Una, Pedoman Penulisan Skripsi Revisi, (Jambi: Syariah Press, 2014), hlm. 31-32.
-
38
a. Data Primer
Data primer adalah data penelitian yang dikumpulkan dan diolah sendiri oleh
suatu organisasi atau perorangan langsung dari objeknya.30
Data primer biasanya
disebut dengan data asli atau data baru yang mempunyai sifat untuk emperoleh data
primer, peneliti wajib mengumpulkannya secara langsung.dalam penelitian ini terdiri
dari data-data hasil wawancara dengan sumber data (narasumber).
b. Data Skunder
Data sekunder adalah sumber data yang telah lebih duhulu dikumpulkan dan
dilaporkan oleh orang di luar penyelidikan sendiri walaupun yang dikumpulkan itu
sesungguhnya data asli. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari sumber
lain, jenis data sekunder dalam penelitian ini berupa data-data tentang profil lokasi
penelitian yang telah terdokumentasi.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dimana data diperoleh.
Sumber data dalam kualitatif ini adalah orang atau narasumber. Posisi narasumber
sangat penting, bukan sekedar memberi respon melainkan juga sebagai pemilik
informasi. Jadi sumber data dalam penelitian ini adalah orang atau narasumber di
Desa Muara Belengo Kabupaten Merangin Provinsi Jambi.
C. Unit Analisis
30
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm. 102.
-
39
Unit Analisis adalah satuan tertentu yang di perhitungkan sebagai subjek
penelitian.31
Dengan sampling kita memilih objek (individu) atau benda yang diambil
dari satu kesatuan atau keseluruhan untuk mendapatkan gambaran mengenai kesatuan
atau keseluruhan tersebut.
Untuk menentukan unit analisis data peneliti menggunakan sistem purposive
sampling yaitu subjek dari penelitiannya sudah ditentukan dan hanya diambil pada
orang-orang tertentu atau orang-orang yang mendalami bidang penelitian ini, yaitu
tokoh-tokoh masyarakat desa seperti tokoh lembaga adat, tokoh agama, kepala desa
dan masyarakat.
D. Instumen Pengumpulan Data
Dalam mendapatkan data, terdapat beberapa teknik pengumpulan data,
diantaranya:
1. Observasi (Pengamatan)
Observasi adalah metode pengumpulan data dimana peneliti atau
kaloboratornya mencatat informasi sebagaimana yang mereka saksikan selama
penelitian.32
Observasi adalah pemilihan, pengubahan, pencatatan serangkaian perilaku
dan suasana yang berkenaan dengan organisasi yang sesuai dengan tujuan empiris.
Akan tetapi, observasi atau pengamatan disini diartikan lebih sempit yaitu
pengamatan dengan menggunakan indera penglihatan dan menanyakan beberapa
31
Suharsimi Arikunto, Metode Penelitian, hlm. 143.
32
W. Gulo, Metode penelitian, (Jakarta: Grasindo,2002), hlm. 116.
-
40
pertanyaan. Sebagai objek penelitian ini dengan menggunakan observasi partipatif,
dimana peneliti melakukan interaksi secara langsung dalam situasi sosial dengan
subjek penelitian, teknik ini digunakan untuk mengamati, memehami peristiwa yang
terjadi di lapangan tentang Praktek Jual Beli Tanah Tanpa Sertifikat Menurut Hukum
Islam dan Undang-undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria di Desa Muara Belengo Kabupaten Merangin Provinsi Jambi.
2. Wawancara
Wawancara adalah bentuk komunikasi langsung antara peneliti dengan
responden. Komunikasi berlangsung dalam bentuk tanya jawab dalam hubungan tatap
muka, sehingga gerak dan mimik responden merupakan pola media yang melengkapi
kata-kata secara verbal. Oleh karena itu, wawancara tidak hanya menangkap
pemahaman atau ide, tetapi juga dapat menangkap perasaan, pengalaman, emosi,
motif, yang dimiliki oleh responden yang bersangkutan.
Dalam penelitian ini wawancara dilakukan dengan pihak-pihak terkait yang
berhubungan dalam permasalahan ini dan beberapa masyarakat yang mengerti.
Wawancara yang penulis maksud disini adalah penulis akan menanyakan langsung
kepada responden yang telah penulis tentukan sebagai narasumber dalam penelitian
ini.
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah sejumlah dokumen-dokumen tentang berbagai kegiatan
atau peristiwa pada waktu yang lalu. Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan
-
41
data dengan memanfaatkan data sekunder yang telah tersedia dalam perpustakaan,
surat kabar, majalah, notulen, dan sebagainya. Dokumentasi penulis gunakan untuk
memperoleh semua data-data menggunakan analisa langsung yang terjadi dalam
masyarakat yang sudah menjadi suatu kebiasaan.
E. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini teknik analisa data yang digunakan adalah teknik
deskriftif dengan pendekatan kualitatif yaitu dengan menjabarkan hasil penelitian
sebagaimana adanya dengan tahap-tahap sebagai berikut:
1) Mentelaah data yang telah dikumpulkan melalui wawancara, observasi, pustaka
dan pendokumentasian mengikuti teknik pengumpulan data.
2) Setelah data ditelaah, kemudian data dicoba untuk direduksi dengan membuat
rangkuman-rangkuman yang dapat menggambarkan keutamaan data.
3) Setelah data di reduksi, kemudian data disusun melelui pengkategorisasian
dengan melihat kesamaan-kesamaan data.
4) Selanjutnya adalah memeriksa kembali keabsahan data yang telah dikategorikan
dengan mencocokkan dan membandingkaan dengan data-data yang telah
dirangkum sebelumnya ataupun dengan rekaman-rekaman dari teknik
pengumpulan data awal.
5) Yang terakhir adaalah mencoba menafsirkan data dengan cara membuat
kesimpulan data yang diperoleh dengan berdasarkan pada pertanyaan rumusan
masalah.
-
42
Data-data yang sudah di transkip ini, kemudian disajikan dengan cara
dipetakan data-data yang serupa kedalam bagian-bagian tertentu yang telah diberi
tanda. Langkah selanjutnya adalah membuat sesuatu rangkuman inti mengenai aspek
yang diteliti. Langkah terakhir adalah membuat suatu kesimpulan sementara dari
data-data yang terkumpul, sehingga dapat diambil langkah-langkah awal untuk
penelitian lanjut dan mengecek kembali data-data asli yang telah diperoleh.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penelitian skripsi ini adaalah terjadi dari lima bab pembahasan
dengan sub-sub bahasan sesuai dengan kebutuhan:
1. Bab I tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan
masalah, batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori, dan
tinjauan pustaka.
2. Bab II tentang metode penelitian, yakni tentang tempat dan waktu penelitian,
pendekatan penelitian, sumber data dan jenis data, unit analisis, instrument
pengumpulan data, teknik analisis data, sistematika penulisan, dan jadwal
penelitian.
3. Bab III tentang kondisi obyektif penelitian yakni letak geografis, struktur
organisasi, keadaan penduduk, keadaan sosial masyarakat.
4. Bab IV tentang pembahasan dan hasil penelitian tentang (Praktek Jual Beli Tanah
Tanpa Sertifikat Menurut Hukum Islam dan Undang-undang No 5 Tahun 1960
-
43
Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria di Desa Muara Belengo
Kabupaten Merangin Provinsi Jambi).
5. Bab V tentang penutup yaitu terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
-
44
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Historis, Geografis Dan Demografi
1. Historis
Menurut sejarah, Desa Muara Belengo merupakan bagian dari Desa
Pamenang. Terbentuknya Desa Muara Belengo dan Desa Pamenang diawali dengan
kisah 7 kepala keluarga. Pada masa itu, untuk bertahan hidup mereka selalu
berpindah-pindah dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dikarenakan kehidupan
yang berpindah-pindah, singkat cerita pada suatu malam mereka melakukan
musyawarah untuk membentuk pemungkiman atau desa agar dapat menetap.
Hasil musyawarah pada malam itu diputuskan bahwa 3 dari mereka akan
menuju ke hulu dan membentuk sebuah desa yang meraka namakan Teluk Balango
(sekarang dinamakan Desa Muara Belengo). Sedangkan sisanya menuju ke hilir dan
membentuk desa yang dinamakan Teluk Sungai Lintang (sekarang di namakan Desa
Pamenang).33
Peristiwa ini terjadi diperkirakan pada abad ke 16 M, daerah ini juga menjadi
wilayah jajahan belanda pada masa itu, hal ini dibuktikan dengan banyaknya
ditemukan peninggalan-peninggalan pada masa itu seperti jembatan beton sebagai
penghubung tranportasi darat, batu batulis, dan bendungan air, serta pemakaman
33
Wawancara Dengan Datuk Jenah, Ketua Lembaga Adat Desa Muara Belengo Kecamatan
Pamenang Kabupaten Merangin, 4 juli 2018.
-
45
sesepuh yang di percaya masyarakat sebagai batas wilayah antara Desa Muara
Belengo dan Desa Pamenang.
2. Geografis
Secara geografis Desa Muara Belengo terletak pada skala 2,5000 Lintang
Selatan (LS) sampai dengan garis 102,200 Bujur Timur (BT). Desa Muara Belengo
berada di ketinggian terendah 200 meter dan permukaan laut, serta pada umumnya
wilayah Desa Muara Belengo merupakan daerah dataran rendah. Secara administrasi
Desa Muara Belengo berbatasan dengan:
a) Sebelah Timur dengan : Kelurahan Pamenang
b) Sebelah Utara dengan : Desa Mentawak
c) Sebelah Selatan dengan : Desa Meranti (Trans B3)
d) Sebelah Barat dengan : Desa Jelatang
Desa Muara Belengo berada di pinggir jalan lintas Sumatra Merangin Jambi
dan dipinggiran Sungai Merangin. Secara orbitirasi Desa Muara Belengo sejauh 0.3
KM dari pusat Kecamatan dan 27 KM dari pusat Kabupaten, serta 295 dari pusat
Ibukota Provinsi.
3. Demografi
Jumlah penduduk Desa Muara Belengo cenderung meningkat yaitu 1281
dengan jumlah Kepala Keluarga 325 KK.34
Tabel I
34
Arsip Desa Muara Belengo Tahun 2017.
-
46
Laki-Laki Perempuan Jumlah Total
654 627 1281
B. Struktur Desa
Sebuah lembaga atau Organisasi tidak akan berjalan dengan baik, bahkan
dapat mengalami keruntuhan atau kekacauan dalam mencapai tujuan, apabila
lembaga atau organisasi tidak terkoordinir dengan baik maka dibutuhkan struktur
organisasi pemerintah yang baik agar tujuan dapat tercapai. Desa Muara Belengo
menganut sistem kelembagaan Pemerintahan Desa dengan pola minimal,
selengkapnya sebagai berikut:
BPD KEPALA DESA
ANWAR
SEKRETARIS DESA
MARHALIM
KAUR KEUANGAN
SRI HURNIATI
KAUR UMUM
ALIS ANDIKA
KASI PEMERINTAHAN
HUSNI MUBARAK
KASI KESEJAHTERAAN
SINTA NAPIRI
KADUS I
BAHARI
KADUS II
ALI USMAN
KADUS III
SUKARDI
KADUS IV
SUTIKO
-
47
C. Keadaan Penduduk
1. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu hal paling penting dalam memajukan tingkat
kesejahteraan pada umumnya dan tingkat perekonomian pada khususnya. Dengan
tingkat pendidikan yang tinggi maka akan mendongkrak tingkat kecakapan.
Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi manusia,
pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik buruknya pribadi mausia menurut
ukuran normatif.
Tingkat kecakapan juga akan mendorong keterampilan kewirausahaan. Dan
pada gilirannya mendorong munculnya lapangan pekerjaan baru. Dengan sendirinya
akan membantu program pemerintah untuk pembukaan lapangan pekerjaan baru guna
mengatasi pengangguran. Pendidikan biasanya akan dapat mempertajam sistematika
pikir atau pola pikir individu, selain itu mudah menerima informasi yang lebih maju.
Dibawah ini tabel yang menunjukan tingkat rata-rata pendidikan warga Desa Muara
Belengo.
Tabel II
No Keterangan Jumlah
1 Tamatan SD/Sederajat 361 Orang
2 Tamatan SMP/Sederajat 278 Orang
3 Tamatan SMA/Sederajat 125 Orang
4 Tamatan Diploma 18 Orang
-
48
5 Tamatan Peguruan Tinggi 56 Orang
Dari tabel diatas bisa kita amati bahwa tingkat pendidikan sangatlah minim
hampir 70% masyarakat Desa Muara Belengo tingkat pendidikan mereka hanya
sebatas SD/Sederajat, bahkan banyak juga masyarakat yang tidak pernah menyecam
dunia pendidikan.35
2. Ekonomi
Ekonomi merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Seiring perkembangan zaman, tentu kebutuhan manusia bertambah oleh karena itu
ekonomi secara terus-menerus mengalami pertumbuhan dan perubahan.36
Pertumbuhan ekonomi masyarakat Desa Muara Belengo secara umum
mengalami peningkatan setiap tahunnya, hal ini tidak terlepas dari dukungan berbagai
pihak khususnya perusahan kelapa sawit yang berada di kecamatan pamenang. Selain
dari hasil kelapa sawit, penghasilan lainnya diperoleh dari hasil perkebunan karet.
Serta dengan bertambahnya jumlah penduduk yang memiliki usaha atau pekerjaan
walaupun jenis pendapatan tersebut pada umumnya belum dapat dipastikan
bersumber dari usaha yang dilakukan atau bisa juga diperoleh dari pinjaman modal
usaha dari pemerintah, seperti dari program PNPM mandiri. Berikut ini tabel mata
pencarian masyarakat Desa Muara Belengo:
35
Arsip Desa Muara Belengo Tahun 2017.
36
Syafrudin99.blogspot.co.id diakses pada 29 Mei 2018.
-
49
Tabel III
No Mata Pencarian Penghasilan
1 Karet 2.500 Ton/Tahun
2 Kelapa Sawit 12.000 Ton/Tahun
Dilihat dari potensi diatas maka rata-rata penduduk di Desa Muara Belengo
berpenghasilan dari perkebunan karet dan kelapa sawit sebagai mata pencaharian
sehari-hari.
D. Keadaan Agama dan Adat Istiadat
1. Keadaaan Agama
Penduduk Desa Muara Belengo 97% memeluk agama Islam dan sisanya
memeluk agama Kristen. Dalam kehidupan beragama kesadaran melaksanakan
ibadah keagamaa sangat berkembang dengan baik terbukti dengan banyaknya Masjid
dan Mushalla setiap RW bahkan ada juga di setiap RT.
Aktifitas pendidikan keagamaan di Desa Muara Belengo sangatlah beragam
mulai dari TK sampai tingkat SD, MTS dan MAS serta belajar di madrasah pada
siang hari dan juga belajar ngaji di malam hari.37
Selain itu juga ada kgiatan-kagiatan keagamaan yang bersifat kesenian seperti
kaligrafi, shalawat, dan pidato yang dilakukan oleh anak-anak dalam memperingati
hari besar Islam atau hanya sekedar berlatih saja. Antusias masyarakat dalam hal
37 Profil Desa Muara Belengo Kecamatan Pamenang Kabupaten Merangin Tahun 2017.
-
50
keagamaan sangatlah tinggi bisa dilihat dari acara keagamaan seperti peringatan
Maulid Nabi Muhammad SAW dan hari besar Islam lainnya yang selalu ramai oleh
penonton dan peserta dari kegiatan tersebut.
2. Adat Istiadat
Pada bidang budaya masyarakat Desa Muara Belengo menjaga dan
menjunjung tinggi budaya dan adat istiadat yang diwarisi oleh para leluhur, hal ini
terbukti masih berlakunya tatanan budaya serta kearipan lokal pada setiap proses
pernikahan, khitanan, nubo serta proses cuci kampung jika salah seorang warga dari
masyarakat melanggar ketentuan hukum adat.
Lembaga yang paling berperan dalam melestarikan dan menjaga tatanan adat
istiadat dan budaya lokal ini adalah Lembaga Adat Desa Muara Belengo (LAD),
lembaga ini masih tetap aktif, baik dalam kepengurusan maupun dalam menjalankan
tugas- tugasnya.38
38
Profil Desa Muara Belengo Kecamatan Pamenang Kabupaten Merangin Tahun 2017.
-
51
BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Praktek Jual Beli Tanah Di Desa Muara Belengo Kabupaten Merangin
Provinsi Jambi
Jual beli tanah tanpa bukti kepemilikan berupa sertifikat tanah, merupakan
masalah pelik yang sering menjadi sumber konflik masyarakat kita. Ada yang
melakukan transaksi jual beli tanah berdasarkan kesepakatan lisan saja antara penjual
dan pembeli. Bahkan ada orang yang nekat menjual tanah yang sudah dijualnya,
istilah kampungnya, jual di atas jual.39
Di kemudian hari muncul masalah, tanah yang dijual atau dibeli itu digugat
keabsahannya. Ada yang kemudian diselesaikan secara musyawarah atau
kekeluargaan, ada yang dibawa ke pengadilan, adapula lewat jalan pintas pertikaian
bahkan pertumpahan darah. Jual beli tanah merupakan proses peralihan hak atas
tanah yang sudah ada sejak zaman dahulu, dan diatur dalam hukum adat, dengan
prinsip “terang” dan “tunai.” Terang artinya dilakukan dihadapan pejabat umum
berwenang. Tunai artinya tanah dibayarkan secara tunai. Apabila harga belum lunas,
maka belum dapat dilakukan proses jual beli tanah.
Sebagian besar sistem yang dilakukan masyarakat Desa Muara Belengo dalam
praktek jual beli tanah tanpa sertifikat ini adalah ada secara lisan, ada dengan sistem
39
Urip Santoso, Perolehan Hak Atas Tanah, (Jakarta: PT kharisman putra utama 2015), hlm.
25.
-
52
kekeluargaan, dan ada juga yang diketahui oleh pemerintah setempat. Hal ini telah di
observasi penulis sejak lama dan peristiwa ini terjadi di tempat kelahiran penulis,
selain itu penulis juga perkuat dengan wawancara kepada tokoh-tokoh masyarakat
dan pihak-pihak baik itu penjual maupun pembeli yang melakukan jual beli tanah
tanpa sertifikat.
Seperti wawancara penulis dengan Kepala Desa Muara Belengo mengatakan
bahwa:
Praktek jual beli tanah tanpa sertifikat masih terjadi di Desa Muara Belengo
sampai saat ini, untuk sistem jual beli tanah tanpa serifikat tersebut dimana
pihak penjual membuat surat jual beli tanah dengan ketahui oleh pihak saksi,
saksi ini yaitu orang-orang yang tanahnya berbatasan dengan tanah yang akan
dijual, baru saya selaku Kepala Desa menyetujui surat jual beli tersebut.
Apabila tidak ketahui saksi-saksi ini maka saya tidak berani menyetujui surat
jual beli tersebut. Selama saya menjabat sebagai Kepala Desa kurang lebih
berjalan 6 bulan Alhamdulillah belum pernah terjadi permasalahan. Dan kami
juga dari pemerintahan desa telah bekerjasama dengan pemerintahan kab.
merangin untuk pembuatan sertifikat, harapan kami agar semua masyarakat
Desa Muara Belengo dapat mempunyai atau memiliki sertifikat.40
Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa praktek jual beli tanah tanpa
sertifikat di Desa Muara Belengo hingga saat ini masih terjadi, untuk sistem jual beli
tanah tanpa sertifikat tersebut mengunakan surat jual beli yang disetujui oleh kepala
desa dan diketahui oleh saksi-saksi yang berbatasan langsung dengan tanah yang
diperjual belikan. Pada tahun 2018 barulah ada upaya Pemerintah Desa untuk
mensertifikasi tanah milik masyarakat Desa Muara Belengo.
40
Wawancara dengan Bapak Anwar, Kepala Desa Muara Belengo Kecamatan Pamenang
Kabupaten Merangin, 04 Juli 2018.
-
53
Selanjutnya wawancara dengan masyarakat Desa Muara Belengo yang
melakukan praktek jual beli tanah tanpa sertifikat (pembeli), mengatakan bahwa:
Jual beli tanah tanpa sertifikat masih berlaku hingga saat ini, ditahun 2000
keatas itu sistemnya menggunakan segel tanpa materai, sedangkan di tahun
2000 kebawah hanya menggunakan akad tanpa surat jual beli. Saya pernah
membeli tanah di tahun 1988, pada waktu itu harga tanah Rp. 450.000 per-
hektar tanpa surat jual beli, dan sistem pembayarannya tidak tunai tapi dengan
sistem kredit. Pada waktu itu transaksi jual beli tanah yang saya lakukan
hanya sebatas akad saja tidak ada surat jual beli tanah. Sekarang baru saya
buat surat jual belinya setelah adanya program sertifikat gratis dari
Pemerintah. Pada saat itu untuk menentukan batas tanah di rintis atau di
terbas, yang penting jelas batasan nya saat di perjualbelikan. Untuk masalah
atau sengketa jual beli tanah tanpa sertifikat ini sering kali terjadi, 4 tahun
yang lalu pernah si pembeli harus membeli kembali tanah yang dulunya sudah
diperjual belikan, karena tidak memiliki surat jual beli tanah dan sertifikat,
apabila terjadi sengketa penyelesaiannya hanya sistem kekeluargaan.41
Dari wawancara diatas dapat di simpulkan bahwa jual beli tanah tanpa
sertifikat sudah terjadi dari tahun 1988 hingga sekarang. Ada dua sistem penjualan,
yang pertama yaitu hanya dengan akad, dan yang kedua yaitu mengunakan surat jual
beli yang tidak dikuatkan oleh materai. Untuk menentukan batas tanah, tidak ada
batasan yang bersifat permanen hanya dengan analisa saja oleh sipemilik tanah.
Dikarenakan masih kurangnya pemahaman masyarakat Desa Muara Belengo
terhadap pentingnya sebuah sertifikat tanah dan juga sistem jual beli tanah, baik itu
penjual maupun pembeli sehingga jual beli tetap di lakukan tanpa
mempertimbangkan akibatnya dikemudian hari. Serta masih ada juga masyarakat
yang menjual tanahnya tanpa sepengetahuan Kepala Desa.
41
Wawancara dengan Bapak Jalil, masyarakat Desa Muara Belengo yang melakukan praktek
jual beli tanah tanpa sertifikat (pembeli), 4 Juli 2018.
-
54
Kemudian wawancara dengan Tokoh Lembaga Adat Desa Muara Belengo,
mengatakan bahwa:
Sistem jual beli tanah itu ada yang tersirat dan ada yang tersurat. Perpindahan
hak milik di dalam adat itu ada 4 macam yaitu: pertama tertulis diatas kertas
terlukis diatas batu maksudnya miliki surat jual beli, kedua lah nyato dialam
lah terang deklareh maksudnya semua orang tau bahwa kita yang membeli
tanah tersebut, ketiga diketahui oleh pemerintah desa, keempat yaitu saksi
dalam bahasa adat kok kaayek tahan diendam kok kaateh tahan di ampa tahan
di nantajam tahan di enjek dengan sumpah. Hak milik atas tanah didalam adat
dibagi menjadi 2 macam yaitu hak allah dan hak manusia. Untuk masalah jual
beli tanpa sertifikat yang terjadi didesa in, ada yang ter sirat ada yang ter
surat, yang memiliki sertifikat itu pun masih jarang. Proses jual beli untuk
yang tersurat diketahui oleh pemerintah desa dan saksi-saksi batasan tanah.
Selama ini terdapat permasalahan yang timbul dari jual beli tersebut, tetapi
tidak begitu banyak. Untuk penyelesaiannya, kedua belah pihak yang
bersangkatan menyelesaikan dengan cara kekeluargaan saja. Menurut adat
jual beli seperti ini sah, baik tersirat maupun tersurat karena sudah ketahui
oleh orang banyak. Akan tetapi menurut pemerintah tidak sah karena tidak
miliki sertifikat apalagi jual beli yang tersirat.42
Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa jual beli tanah tanpa
sertifikat di Desa Muara Belengo dibagi menjadi 2 macam yaitu: ada yang tersirat
dan ada yang tersurat, yang diketahui oleh pemerintah desa dan saksi-saksi batasan
tanah. Masyarakat Desa Muara Belengo masih jarang yang miliki sertifikat,
Perpindahan hak milik di dalam adat itu ada 4 macam yaitu: pertama tertulis diatas
kertas terlukis diatas batu maksudnya miliki surat jual beli, kedua lah nyato dialam
lah terang deklareh maksudnya semua orang tau bahwa kita yang membeli tanah
tersebut, ketiga tau pemerintah desa, keempat yaitu saksi dalam bahasa adat kok
kaayek tahan di endam kok kaateh tahan di ampa tahan di nantajam tahan di enjek
42
Wawancara dengan Datuk Ali Jennah, Tokoh Lembaga Adat Desa Muara Belengo
Kecamatan Pamenang Kabupaten Merangin, 4 Juli 2018.
-
55
dengan sumpah. Dari segi adat jual beli yang seperti itu hukumnya sah karena ketahui
oleh orang banyak, tetapi menurut Hukum Pemerintah tidak sah dikarenakan tidak
adanya bukti tertulis yang di sahkan oleh pemerintahan desa setempat.
Selanjutnya wawancara dengan Tokoh Masyarakat Desa Muara Belengo,
mengatakan bahwa:
Masalah jual beli tanah tanpa sertifikat ini sebenarnya sudah terjadi sejak
dulu, dikarenakan sertifikat ini baru terealisasi di masa presiden jokowi. Saya
sudah 10 tahun memimpin desa ini, pada saat itu sering kali terjadi masalah
akibat dari jual beli tanah tanpa sertifikat ini. Karena pada saat itu ada yang
melapor kepada kami untuk memintak surat jual beli dan ada juga yang tidak
melapor atau tanpa sepengetahuan kepala desa. Permasalahan yang sering
terjadi itu justru ada pada masalah batasan tanah, walaupun sebelum tanah di
jual saksi batas tanah sudah mengetahui batasanya, tetapi sering kali terjadi
perebutan batas tanah. Hal ini terjadi dikarenakan batasan tanah tersebut
merupakan benda yang tidak permanen, seperti kalau dalam adat kita
namanya tunggul pemareh. Apabila tunggul pemareh ini hilang, maka akan
berubah pula batasan tanahnya. Untuk menyelesaikan masalah tersebut hanya
dilakukan dengan sistem kekeluargaan, karena memang dari segi adat kita
tidak ada yang mengatur masalah jual beli tanah tanpa sertifikat.43
Dari wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa akibat dari praktek jual beli
tanah tanpa sertifikat di Desa Muara Belengo banyak sekali menimbulkan masalah
terutama terhadap batasan tanah, hal ini dikarenakan bukti batasan yang tidak secara
tertulis atau tidak bersifat permanen. Serta masih banyak masyarakat yang melakukan
jual beli tanah tanpa sepengetahuan Kepala Desa atau tanpa surat jual beli tanah.
Selanjutnya wawancara dengan Tokoh Agama Desa Muara Belengo,
mengatakan bahwa:
43
Wawancara dengan Bapak Mustafa.,S.E, Tokoh Masyarakat Desa Muara Belengo
Kecamatan Pamenang Kabupaten Merangin, 5 Juli 2018.
-
56
Kalau untuk masalah jual beli tanah tanpa sertifikat ini masih sangat sering
terjadi, hal tersebut dikarenakan masyarakat yang mempunyai sertifikat
tersebut masih sangat-sangat minim. Untuk masalah proses jual tanah tanpa
sertifikat di desa muara belengo ini yaitu ada 2 sistem, yang pertama ada yang
menggunakan surat jual beli dan yang menggunakan akad dan kuitansi saja.
Dan masalah perbatasan tanah yang diperjual belikan itu dibunyikan dalam
surat jual beli bagi yang menggunakan surat jual dan bagi yang tidak
perbatasannya seperti pohon yang di anggap batasan tanahnya oleh sipenjual.
Akibat dari jual beli tanah seperti ini sangat banyak sekali timbul masalah di
kemudian hari dan yang banyak di rugikan yaitu pihak kedua atau sipembeli.
Kalau menurut pandangan saya jual beli seperti ini tidak sah sama dengan
zholim, merampas hak orang lain dan itu sangat dilarang dalam agama
Islam.44
Selanjutnya wawancara dengan masyarakat Desa Muara Belengo yang
melakukan praktek jual beli tanah tanpa sertifikat (pembeli), mengatakan bahwa:
Untuk jual beli tanah tanpa sertifikat masih terjadi sampai sekarang terkhusus
di Desa ini, proses atau sistem jual beli tanah tersebut menggunakan surat jual
beli yang ketahui oleh Kepala Desa serta saksi-saksi batasan dan ada juga
yang hanya sebatas akad saja atau jual beli tanah dengan sistem kekeluarga.
Biasanya yang menjadi saksi itu dari pihak penjual, 1 tahun yang lalu saya
pernah membeli 1 hektar tanah milik masyaratkat Desa Muara Belengo tanah
tersebut tidak memiliki sertifikat. Oleh karena itu pada waktu transaksi jual
beli saya meminta kepada penjual untuk membuat surat jual beli tanah yang
diketahui oleh Kepala Desa dan saki-saksi. Karena saya tidak mau dirugikan
sebagaimana yang sering terjadi di Desa Muara Belengo ini. Harapan saya
semoga kedepannya semua masyarakat desa muara belengo sudah memiliki
sertifikat tanah semua.45
Dari hasil wawancara tiga narasumber diatas dapat disimpulkan bahwa
praktek jual beli tanah tanpa sertifikat yang terjadi didesa muara belengo terdapat 2
sistem: yang pertama praktek jual beli tersebut hanya di lakukan dengan akad,
44
Wawancara dengan Ustadz Hudri, Tokoh Agama Desa Muara Belengo Kecamatan
Pamenang Kabupaten Merangin, 7 Juli 2018.
45
Wawancara dengan Bapak Arfan, masyarakat Desa Muara Belengo yang melakukan
praktek jual beli tanah tanpa sertifikat (pembeli), 8 Juli 2018.
-
57
sedangkan yang kedua dengan cara menggunakan surat jual beli, dalam menentukan
batas tanah hanya dengan keyakinan dan kepercayaan dari sipenjual. Prakter jual
semacam ini sudah terjadi sejak dahulu, efek dari jual beli tersebut seringkali terjadi
dengan berbagai macam permasalahan sedangkan untuk penyelesaian permasalahan
tersebut hanya dengan sistem kekeluargaan.
Selanjutnya wawancara dengan masyarakat Desa Muara Belengo yang
melakukan praktek jual beli tanah tanpa sertifikat (penjual), mengatakan bahwa:
Jual beli tanah tanpa sertifikat di Desa Muara Belengo ini memang sudah
terjadi sejak dulu. Sistemnya ada yang mengunakan surat jual beli tanah dan
ada yang hanya sebatas akad saja, di tahun 2008 saya pernah menjual
sebidang tanah kepada masyarakat Desa Muara Belengo. Pada saat itu saya
menjual tanah tersebut tidak mengunakan surat jual beli tanah artinya hanya
mengunakan akad saja, karena pada waktu itu kebetulan pihak pembeli masih
famili saya. Kalau untuk menentukan batas waktu proses jual beli kita ajak
saja orang-orang yang berbatas lansung dengan tanah yang saya jual beserta
dengan pihak pembeli juga.46
Kemudian wawancara dengan masyarakat Desa Muara Belengo yang
melakukan praktek jual beli tanah tanpa sertifikat (pembeli), mengatakan bahwa:
Sistem jual beli tanah di Desa Muara Belengo ini ada 2 sistem, pertama ada
yang mengunakan surat jual beli serta ada juga yang hanya sebatas akad saja
artinya yang kedua ini sama dengan sistem kekeluargaan. Beberapa tahun
yang lalu saya pernah membeli tanah yang di jual oleh masyarakat Desa ini,
pada saat itu jual beli yang kami lakukan hanya sebatas akad saja dengan
pembayaran secara kredit. Yang menjadi pegang saya karena pihak penjual
masih famili atau masih keluarga saya.47
46
Wawancara dengan Bapak Mustakim, masyarakat Desa Muara Belengo yang melakukan
praktek jual beli tanah tanpa sertifikat (penjual), 10 Juli 2018.
47
Wawancara dengan Bapak Heri, masyarakat Desa Muara Belengo yang melakukan praktek
jual beli tanah tanpa sertifikat (pembeli), 10 Juli 2018.
-
58
Dari hasil wawancara diatas dapat di atas dapat disimpulkan bahwa sistem
jual beli tanah tanpa sertifikat yang terjadi di Desa Muara Belengo ada 2 sistem,
pertama mengunakan surat jual beli tanah sedangkan yang kedua hanya sebatas akad
saja. Akan tetapi yang sering dilakukan masyarakat Desa Muara Belengo jual beli
tanah hanya sebatas saja, dengan alasan karena ikatan kekeluargaan.
Wawancara dengan masyarakat Desa Muara Belengo yang melakukan praktek
jual beli tanah tanpa sertifikat (pembeli), mengatakan bahwa:
Sekitar ditahun 2009 saya pernah membeli tanah tanpa sertifikat yang di jual
oleh masyarakat Desa Muara Belengo. Pada saat itu transaksi jual beli tanah
yang saya lakukan tanpa mengunakan surat jual beli tanah yang di ketahui
oleh Kepala Desa, maksudnya jual beli yang kami lakukan tersebut hanya
sebatas akad saja. Karena pada saat itu pelayanan Pemerintah Desa kurang
baik, kalau mau buat surat jual beli tanah itu sangat di persulitkan, nunggu
waktu selesai nya juga lama. Jadi jual beli tanah yang kami lakukan hanya
sebatas akad saja, kebetulan yang pihak penjual juga masih keluarga saya.48
Selanjutnya wawancara dengan masyarakat Desa Muara Belengo yang
melakukan praktek jual beli tanah tanpa sertifikat (pembeli), mengatakan bahwa:
Dalam praktek jual beli tanah tanpa sertifikat di Desa Muara Belengo ini,
Yang mengunakan surat jual beli tanah dalam transaksi jual belinya menurut
saya baru beberapa tahun terakhir ini saja, kalau dulunya hanya dengan sistem
kekeluargaaan tanpa surat jual beli tanah. Dan beberapa tahun terakhir ini
saya pernah membeli tanah, yang menjual tanah tersebut yaitu masyarakat
Desa Muara Belengo ini sendiri. Pada saat proses jual beli saya meminta
kepada penjual untuk membuat surat jual beli tanah, kalau tidak mau si
penjual membuatnya saya tidak akan jadi membeli tanah tersebut. Karena
sekarang sudah bisa memiliki sertifikat dengan gratis, salah satu syarat untuk
membuat sertifikat tanah adalah surat jual beli tanah.49
48
Wawancara dengan Ibu Yunni, masyarakat Desa Muara Belengo yang melakukan praktek
jual beli tanah tanpa sertifikat (pembeli), 11 Juli 2018.
49
Wawancara dengan Bapak Yoga, masyarakat Desa Muara Belengo yang melakukan
praktek jual beli tanah tanpa sertifikat (pembeli), 13 Juli 2018.
-
59
Dari hasil wawancara di atas dapat di simpulkan bahwa sistem jual beli tanah
tanpa sertifikat yang terjadi di Desa Muara Belengo ada 2 sistem, pertama
mengunakan surat jual beli tanah sedangkan yang kedua hanya sebatas akad saja.
Yang mengunakan surat jual beli dalam melakukan praktek jual beli tanah tanpa
sertifikat ini, hanya beberapa tahun terakhir ini saja. Karena sekarang sudah ada
program Pemerintah untuk membeli sertifikat kepada masyarakat yang mempunyai
hak milik atas tanah secara gratis.
Selanjutnya wawancara dengan masyarakat Desa Muara Belengo yang
melakukan praktek jual beli tanah tanpa sertifikat (penjual), mengatakan bahwa:
Jual beli tanah tanpa adanya sebuah sertifikat di Desa Muara Belengo ini
memang sangat sering terjadi, termasuk saya pun pernah melakukan praktek
tersebut. Praktek atau sistem yang dilakukan itu ada 2, ada yang mengunakan
surat jual beli tanah dan ada yang hanya sebatas akad saja. Saya pernah
menjual tanah saya, pada saat itu saya buatkan surat jual beli tanah yang
ketahui oleh kepala desa dan saksi-saksi. Karena saya berpikir kalau tanpa ada
surat jual beli tentu si pembeli ini sangat di rugikan. Apalagi mau buat
sertifikat harus ada surat jual beli tanah.50
Kemudian wawancara dengan masyarakat Desa Muara Belengo yang
melakukan praktek jual beli tanah tanpa sertifikat (penjual), mengatakan bahwa:
Beberapa tahun terakhir ini saya pernah menjual sebidang tanah, yang
membeli tanah tersebut adalah masyarakat Desa Muara Belengo ini. Jual beli
tanah yang kami lakukan tanpa mengunakan surat jual beli tanah dengan kata
lain hanya sebatas akad saja, memang pada saat itu yang membeli tanah saya
adalah menantu saya. Jadi saya rasa tidak perlu dibuatkan suarat jual beli
karena masih ada ikatan kekeluargaan yang erat.51
50
Wawancara dengan Ibu Elma, masyarakat Desa Muara Belengo yang melakukan praktek
jual beli tanah tanpa sertifikat (penjual), 14 Juli 2018.
51
Wawancara dengan Bapak Nanang Kosim, masyarakat Desa Muara Belengo yang
melakukan praktek jual beli tanah tanpa sertifikat (penjual), 14 Juli 2018.
-
60
Dari beberapa hasil wawancara di atas penulis berkesimpulan bahwa
terjadinya praktek jual beli tanah tanpa sertifikat di desa muara belengo disebabkan
kurangnya pemahaman masyakat tentang aturan atau tata cara serta sistem jual beli
tanah tersebut dan kurangnya perhatian dari pemerintah desa maupun kabupaten
kota. Disini penulis juga melihat banyak sekali masyarakat yang dirugikan akibat dari
praktek jual beli semacam ini terutama sipembeli, dan apabila terjadi masalah
penyelesaiannya hanya sistem kekeluargaan tanpa campur tangan dari pemerintah
desa dalam masalah tersebut, hal ini terjadi dikarenakan masyarakat desa muara
belengo tidak tahu penyelesai sengketa jual beli tanah dengan proses hukum di
pengadilan.
Kemudian penulis juga melihat masyarakat desa muara belengo masih kurang
paham dengan hukum jual beli tanah baik dari segi hukum islam maupun dengan
undang-undang yang berlaku, padahal dalam hukum islam di jelaskan jual beli harus
dilakukan dengan unsur suka sama suka dengan tidak saling merugikan sedangkan
sudah jelas diatur dalam undang-undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, pasal 26 ayat 1 yaitu jual beli, penukaran, penghibahan,
pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain
yang di maksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur
dengan peraturan pemerintah.
-
61
B. Status hukum jual beli tanah tanpa sertifikat di Desa Muara Belengo
Kabupaten Merangin Provinsi jambi menurut Hukum Islam dan Undang-
Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Setelah mengetahui praktek dan pemahaman masyarakat tentang jual